PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS SUAMI (Studi Analisis Putusan No. 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal)
SKRIPSI
Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh: HADAENA MU’ARIFAH NIM 21107010
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2012
i
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Hadaena Mu’arifah
NIM
: 21107010
Jurusan
: Syari’ah
Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 6 Maret 2012 Yang Menyatakan,
Hadaena Mu’arifah NIM 21107010
iv
MOTTO
“Kehidupan harus tetap berjalan, meski berbagai kegagalan menghampiri. Karena Kegagalan, bukanlah akhir dari segalanya”
“Dibalik ujian dan cobaan, niscaya ada hikmah luar biasa yang membuat kita senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Nya”
v
PERSEMBAHAN
Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada:
Ayah Bunda tercinta yang do’anya selalu mengiringi setiap nafas, langkah, dan kehidupanku
Riri, Tyas, Antin, dan Mas Ahmad yang senantiasa menemani hari-hariku
Mas Danny tercinta yang menjadi pendamping hidupku
Putraku Dimas Sena Al-Ghifar, kuharap kelak menjadi putra yang shaleh, dan menjadi penerus bangsa yang berbakti kepada orang tua
Keluarga Besar Mbah Amir
Bapak ibu mertua, nenek-nenek, dan kakek
vi
KATA PENGANTAR
Dengan asma Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT karena penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, setelah melewati waktu yang panjang dengan mengalami berbagai macam cobaan, kesulitan dan hambatan. Dalam penyusunan skripsi ini penulis memperoleh bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik yang bersifat moral maupun material. Untuk itu, penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih atas bimbingan, bantuan serta petunjuk-petunjuk yang sangat berharga dalam penyusunan skripsi ini kepada: 1.
Bapak Drs. Imam Sutomo M.Ag Selaku rektor Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga
2.
Bapak Ilyya Muhsin M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal Al Syahsyiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga
3.
Drs. Badwan M. Ag selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingan dan arahan, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4.
Drs. Umar Muchlis selaku Ketua Pengadilan Agama Salatiga, yang telah memberikan izin dan bimbingan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.
5.
Ayah Bunda tercinta, Adik-adik, Suami, dan Putraku tercinta yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
vii
6.
Semua Dosen Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
7.
Teman-teman angkatan 2007 tercinta yang tidak dapat disebutkan satu persatu Semoga Allah SWT berkenan membalas budi baik semua dengan pahala yang
berlipat ganda. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
Salatiga, Maret 2012 Penulis
viii
ABSTRAK
Mu’arifah, Hadaena. 2012. Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas Suami (Studi Analisis Putusan No. 0560/Pdt.G/2011/PA. Sal). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al Syakhsyiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Pembimbing: Drs. Badwan, M. Ag. Kata Kunci: Pembatalan Perkawinan, Pemalsuan, Identitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas Suami. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Apa pertimbangan pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinannya di Pengadilan Agama Salatiga dalam Perkara No. 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal?, (2) Apa Pertimbangan Hakim terhadap Permohonan Pembatalan Perkawinan dalam perkara No. 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Ketentuan hukum mengharuskan perkawinan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Salah satu syarat perkawinan yang harus dipenuhi adalah adanya kesepakatan yang berarti harus ada kejujuran antara masing-masing pihak yang hendak melangsungkan perkawinan, termasuk didalamnya telah diketahuinya kebenaran identitas diri oleh masing-masing pihak sehingga menghindari terjadinya kebohongan atau penipuan dari salah satu pihak yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Temuan penelitian ini adalah keputusan pembatalan perkawinan yang didasarkan pada pertimbangan fakta-fakta hukum yang dinyatakan telah terbukti dan cukup alasan bahwa suami (termohon) terbukti telah melakukan penipuan dengan sengaja dimana termohon mengaku sebagai duda mati dengan melampirkan surat kematian istri sirrinya, padahal kenyataannya termohon masih berstatus suami dari istri pertama yang sah meskipun sudah dalam proses perceraian. Pertimbangan tersebut berdasarkan pasal 72 ayat (2) KHI yang pada pokoknya menegaskan bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri. Penipuan yang dimaksud, termasuk didalamnya penipuan mengenai status diri salah satu pihak yang dengan sengaja dilakukan ketika mencapai tujuan tertentu. Melalui penelitian ini dihasilkan suatu kesimpulan bahwa dalam perkara pembatalan perkawinan No. 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal. telah terjadi hal yang dapat dijadikan alasan untuk dilakukannya pembatalan perkawinan, karena telah terjadi penipuan yang dilakukan oleh termohon terhadap pemohon mengenai status dirinya yang bertentangan dengan syarat-syarat perkawinan. ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………….....................……………
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...........................
ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………...
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN………………………
iv
HALAMAN MOTTO…………………………............................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN……...…………….....................
vi
KATA PENGANTAR..............……………………....................
vii
ABSTRAK………………………………………….....................
ix
DAFTAR ISI..……………………………..................................
x
BAB I PENDAHULUAN........................................................
1
A. Latar Belakang Masalah..........................................
1
B. Fokus Penelitian.......................................................
4
C. Tujuan Penelitian.....................................................
4
D. Manfaat Penelitian…...............................................
5
E. Penegasan Istilah......................................................
6
F. Telaah Pustaka.........................................................
7
x
G. Metode Penelitian.....................................................
10
H. Sistematika Penulisan...............................................
16
BAB II KAJIAN PUSTAKA...........................................................
18
A. Perkawinan………........................................................
18
1. Pengertian Perkawinan ……………………………
18
2. Dasar Hukum Perkawinan…………………………
20
3. Tujuan dan Prinsip Perkawinan…………………...
21
4. Syarat-syarat Perkawinan………………………….
25
5. Rukun Perkawinan……………...............................
28
B. Pembatalan Perkawinan………………………………
30
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan………………..
30
2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan……………
31
3. Pembatalan Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan………………………………………...
32
4. Pembatalan Perkawinan menurut KHI……………
34
5. Pihak-pihak yang Dapat Mengajukan Pembatalan Perkawinan………………………………………...
36
6. Pembatalan Perkawinan karena Adanya Pemalsuan Identitas (Status Diri) Suami………………………
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN ……........... A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga……….
xi
37
41 41
B. Pertimbangan Pemohon Mengajukan Permohonan Pembatalan
Perkawinan
di
Pengadilan
Agama
Salatiga……………………………………………….
52
C. Dasar Pertimbangan Hakim terhadap Permohonan Pembatalan Perkawinan karena adanya Pemalsuan Identitas Suami…….………………………………….
58
BAB IV ANALISIS……………….................................................
73
A. Analisis
Pertimbangan
Permohonan
Pemohon
Pembatalan
Mengajukan
Perkawinannya
di
Pengadilan Agama Salatiga….......................................
73
B. Analisis Pertimbangan Hakim terhadap Permohonan Pembatalan Perkawinan karena Pemalsuan Identitas Suami………………………………………………….
75
BAB V PENUTUP............................................................................
79
A. Kesimpulan...................................................................
79
B. Saran.............................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………..….. LAMPIRAN…………………………………………………...…....
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan institusi atau lembaga yang sangat penting dalam masyarakat.Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita. Institusi ini juga memiliki kedudukan yang terhormat dalam Hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia.Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan khusus terkait dengan perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan Undang-Undang mengharuskan perkawinan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinan. Salah satu syarat perkawinan yang harus dipenuhi adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan, termasuk didalamnya telah diketahuinya kebenaran identitas diri oleh masingmasing pihak. Dengan adanya kesepakatan atau persetujuan ini berarti bahwa calon mempelai telah mengetahui siapa yang akan menjadi pasangannya, baik dari
1
pihak perempuan maupun pihak laki-laki yang akan menjalin ikatan perkawinan, sehingga nantinya mereka merasa senang dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Selain itu, pada dasarnya seseorang yang akan melangsungkan suatu perkawinan diharuskan melengkapi seluruh syarat-syarat perkawinan dan diharuskan mendaftarkan diri terlebih dahulu, maksudnya agar lebih mengetahui dengan jelas identitas diri calon mempelai yang sebenarnya. Bukti yang menerangkan identitas diri adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Surat Keterangan yang diminta dari Kepala Desa atau Kantor Kelurahan setempat dimana calon mempelai bertempat tinggal. Bila dicermati, adanya surat keterangan tentang status diri merupakan aplikasi dari adanya pelaksanaan salah satu syarat dari sebuah perkawinan sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan. Akan menjadi sebuah persoalan tersendiri apabila surat keterangan yang digunakan ternyata tidak benar baik dari cara memperoleh maupun isi yang tertuang. Adanya perbedaan fakta antara yang tertera pada surat keterangan dengan yang ada pada kenyataan merupakan bentuk tidak terpenuhinya syarat perkawinan yang dapat merugikan pihak lain. Tidak terpenuhinya syaratsyarat maupun rukun dalam melangsungkan perkawinan menjadi penyebab dibatalkannya suatu perkawinan. Seperti dalam perkara Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Salatiga No. 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal terdapat fakta bahwa perkawinan antara
Pemohon dan Termohon dibatalkan atas dasar adanya pemalsuan
2
status diri Termohon yaitu suami. Pada saat melangsungkan perkawinan, Pemohon mengaku berstatus janda mati dengan bukti surat kematian suami terdahulu dan Termohon berstatus duda mati dengan bukti surat kematian istri terdahulu (F) yang dinikahi termohon tanpa dicatatkan. Termohon yang menyatakan sebagai duda mati melengkapi syarat-syarat dengan surat kematian istri yang dikeluarkan oleh Lurah Tajur, Ciledug, Kota Tangerang, guna memperjelas status dirinya sebagai duda mati, sehingga perkawinan antara pemohon dan termohon terlaksana tanpa ada suatu halangan. Namun, setelah beberapa bulan menikah, Pemohon mengetahui bahwa Termohon sedang dalam proses perceraian dengan isteri pertamanya (Y), sehingga perkawinan
pemohon
dengan
termohon
terjadi
sebelum
termohon
mendapatkan akta cerai. Kenyataan tersebut diketahui pemohon sejak pemohon bermaksud mengurus tunjangan sebagai istri pensiunan TNI yang kemudian ditolak karena masih tercantum nama istri pertama (Y) dari termohon yang belum diceraikan secara sah. Dari peristiwa pembatalan perkawinan tersebut permasalahannya terletak pada adanya penghalang perkawinan antara pemohon dan termohon yang menjadi penyebab perkawinannya harus dibatalkan.Permasalahan selanjutnya terjadinya penipuan status yang dilakukan termohon yang mengaku sebagai duda mati, padahal masih terikat perkawinan sah dengan seorang wanita. Berdasarkan hal-hal tersebut maka penulis mencoba untuk meninjau lebih dalam melalui penulisan skripsi dengan judulPembatalan Perkawinan
3
karena
Pemalsuan
Identitas
Suami
(Studi
Analisis
Putusan
No.
0560/Pdt.G/2011/PA. Sal)
B. Fokus Penelitian Berdasarkan
latar
belakang
masalah
yang
telah
dikemukakan
sebelumnya, maka yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah: 1.
Apa Pertimbangan Pemohon Mengajukan Pembatalan Perkawinannya di Pengadilan Agama Salatiga dalam Perkara No. 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal?
2.
Apa Dasar Pertimbangan Hakim terhadap Permohonan Pembatalan Perkawinan dalam perkara No. 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sehingga penelitian ini akan lebih terarah serta dapat mengenai sasarannya. Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1.
Tujuan Khusus a.
Untuk mengetahui pertimbangan pemohon mengajukan pembatalan perkawinannya di Pengadilan Agama Salatiga dalam Perkara No. 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal?
b.
Untuk mengetahui Pertimbangan Hakim terhadap Permohonan Pembatalan
Perkawinan
0560/Pdt.G/2011/PA.Sal? 2.
Tujuan Umum
4
dalam
perkara
No.
a.
Sebagai bahan bagi peneliti dan peminat studi kasus pembatalan perkawinan, sehingga dapat dikembangkan teori, konsep dan terapannya pada penelitian berikutnya.
b.
Sebagai bahan kajian dan penelitian bagi para ilmuwan dan peneliti yang berminat untuk melanjutkan penelitian yang sejenis, sehingga diharapkan dapat menuntaskan persoalan yang dirumuskan.
D. Manfaat Penlitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik dari segi praktis maupun dari segi teoritis: 1.
Manfaat Praktis Diharapkan dengan adanya penelitian ini akan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang dapat dipergunakan oleh alat-alat penegak hukum dan pihak-pihak lain yang berkecimpung dalam usaha penertiban dan pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sehingga dapat mengurangi praktik perkawinan yang bertentangan dengan Undangundang.
2.
Manfaat Teoritis a.
Bagi perkembangan ilmu hukum, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat untuk memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan bidang Hukum Islam pada umumnya dan bidang Hukum Perkawinan Islam yang berlaku di Indonesia pada khususnya.
5
b.
Bagi perkembangan kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah terutama Pengadilan Agama Salatiga sebagai lembaga yang menangani masalah perkawinan dan sengketa dalam perkawinan bagi umat Islam di Kota Salatiga dan sekitarnya, Lembaga Pendidikan Tinggi Hukum dan Praktisi Hukum.
E. Penegasan Istilah Untuk menghindari adanya beda penafsiran kata-kata, kesalahpahaman, dan pengertian yang simpang siur dalam judul Pembatalan Perkawinan karena Pemalsuan Identitas Suami (Studi Analisis Putusan No. 0560/Pdt.G/2011/PA. Sal), maka perlu penulis kemukakan pengertian istilah-istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini, yakni sebagai berikut: 1.
Pembatalan Pembatalan berasal dari kata batal yang berarti tidak sah; tidak berlaku; tidak dipakai; sia-sia. Pembatalan berarti pengurungan; proses; perbuatan; cara membatalkan; pernyataan batal. (Fajri dan Senja, ttp:125).
2.
Perkawinan Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Keuhanan Yang Maha Esa.(Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974).
3.
Pemalsuan
6
Pemalsuan berasal dari kata Palsu yang berarti tidak asli, tidak tulen tidak sah, lancung (tentang ijazah, surat keterangan, uang, dsb); tiruan (tentang gigi, kunci, dsb); gadungan; sumbang (tentang suara, dsb). Pemalsuan berarti perbuatan memalsu.Perbuatan Memalsu adalah membuat sesuatu yang palsu. (Fajri dan Senja, ttp:612). Pemalsuan merupakan kejahatan yang didalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (obyek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. (Chazawi, 2002:2). 4.
Identitas Identitas adalah ciri khusus seseorang, jati diri. (Fajri dan Senja, ttp:368). Jadi yang dimaksud dengan Pembatalan Perkawinan karena Pemalsuan
Identitas Suami adalah membatalkan suatu ikatan perkawinan yang telah terjalin antara suami istri disebabkan karena adanya perbuatan memalsukan jati diri dalam hal ini jati diri seorang suami.
F. Telaah Pustaka Perkawinan merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan manusia, begitu pula hal-hal yang berhubungan dengannya seperti halnya dalam masalah pembatalan perkawinan, oleh karena itu tidak dipungkiri bahwa telah terdapat penelitian-penelitian dengan tema sejenis yang telah
7
ada, akan tetapi penulis akan memaparkan perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian yang telah ada. Pada tahun 2005, dalam penelitian berjudul “Pembatalan Nikah Karena Menggunakan Wali Hakim (Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Temanggung No.616/Pdt.G/1996)” karya Mahsun memfokuskan pembahasannya pada status wali hakim dalam perkawinan ditinjau dari hukum Islam, pembatalan nikah karena menggunakan wali hakim di Pengadilan Agama Temanggung, dan pembatalan nikah di Pengadilan Agama Temanggung ditinjau dari hukum Islam serta Undang-Undang Perkawinan.Di dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa status wali hakim menurut hukum Islam itu sudah sah hukumnya, tetapi harus melalui kaidah atau ketentuan-ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.Dalam kajian ini terdapat kelemahan yaitu fokus permasalahan dengan tujuan yang hendak dicapai kurang sesuai. Pada tahun 2007, dalam penelitian berjudul “Fasakh Suatu Perkawinan Karena
Murtad
(Studi
Putusan
Pengadilan
Agama
Salatiga
No.438/Pdt.G/2003/PA.Sal dan No.138/Pdt.G/2006/PA.Sal)” karya Mir‟atul Hidayah memfokuskan pembahasannya pada konsep fasakh perkawinan karena murtad ditinjau dari fiqh dan perundang-undangan, dasar yang digunakan Pengadilan Agama Salatiga untuk menerima gugatan perceraian yang diajukan oleh masyarakat non muslim, pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga untuk memutus perkara gugat cerai dengan putusan fasakh, dan akibat hukum karena putusan fasakh. Dalam penelitian tersebut
8
dijelaskan bahwa menurut fiqh, fasakhnya perkawinan karena murtad tidak memerlukan keputusan hakim yakni fasakh atau batal seketika itu juga.Sedangkan menurut perundang-undangan segala bentuk putusnya perkawinan termasuk fasakh harus didaftarkan ke Pengadilan Agama dan sah setelah mendapatkan keputusan dari hakim. Pengadilan Agama Salatiga menerima gugatan yang diajukan masyarakat non muslim atas dasar status perkawinannya yakni pada awal perkawinan keduanya beragama Islam dan melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, bukan dilihat dari agama para pihak ketika mengajukan gugatan. Putusan fasakh karena murtad telah benar sesuai KHI pasal 116 (h) dan kitab Muhadzdzab Juz II halaman 54. Mengenai akibat hukum putusan fasakh karena murtad sama dengan akibat dari talak. Pada tahun 2011, dalam penelitian berjudul “Kewenangan Jaksa dalam Pembatalan Perkawinan (Studi Pasal 26 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974)” karya Jery Susanto memfokuskan penelitiannya pada kewenangan pembatalan perkawinan oleh jaksa, dan prosedur yang dilakukan jaksa dalam mengajukan perkara ke Pengadilan. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 23 sampai 27, maka jaksa memiliki wewenang sebagai salah satu pihak yang berhak melakukan pembatalan perkawinan, adapun kedudukannya sebagai pemohon/penggugat karena pembatalan perkawinan termasuk dalam perkara perdata. Dalam hal prosedur yang dilakukan jaksa dalam mengajukan perkara pembatalan pada dasarnya sama dengan
9
pembatalan yang diajukan oleh pihak-pihak lain, Jaksa harus menunggu pengajuan dari pihak lain yang menyebabkan pembatalan oleh jaksa hanya akan memakan waktu yang lebih lama. Berdasarkan penelusuran literature di atas, maka penulis tegaskan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan oleh orang lain. Berbeda dengan penelitian
yang
telah
ada
sebelumnya,
penulis
memfokuskan
padaPertimbangan pemohon mengajukan pembatalan perkawinannya di Pengadilan Agama Salatiga dalam Perkara No. 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal, Pertimbangan Hakim terhadap Permohonan Pembatalan Perkawinan karena Pemalsuan Identitas Suami dalam perkara No. 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal.
G. Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu cara yang ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu penelitian atau penyusunan skripsi. 1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini bersifatyuridis normatif yaitu penelitian yang membahas datasekunder yaitu membahas suatu kasus, yang berupaanalisis Putusan Pengadilan. Karena pada penelitian ini yangdibahas adalah penekanannya pada data sekunder berupa putusan Pengadilan dan Undang-undang, jadi penelitian iniberbasis analisa data primer yang diperoleh langsung darimasyarakat yang berlaku sesuai dengan tema yang penulis pilih dalam penelitian ini
10
yaitu
Pembatalan
Perkawinan
karena
Pemalsuan
Identitas
Suamiyangmerupakan studi analisis atas putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang secara umum bersifat deskriptif .Sifat deskriptif ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data secermat mungkin
tentang
objek
yang
menggambarkan semua hal
diteliti.
Dalam
hal
ini
untuk
yang berkaitan dengan pembatalan
perkawinan di Pengadilan Agama Salatiga 2.
Kehadiran Peneliti Peneliti bertindak sebagai instrument sekaligus pengumpul data yang mana penulis langsung datang dan mewawancarai salah satu hakim Pengadilan Agama Salatiga yang telah membatalkan perkawinan pemohon dan termohon atas dasar pemalsuan identitas suami dalam perkara No. 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal.
3.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga yang beralamat di jalan Lingkar Selatan, Dukuh Jagalan RT 14/05 Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga. Lokasi tersebut menjadi lokasi penelitian karena terdapat objek penelitian yang akan dikaji dan disesuaikan dengan judul yang penulis pilih.
4.
Sumber Data
11
Adapun sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui data primer dan sekunder. a.
Data Primer 1) Informan Informan adalah orang yang dapat memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. (Moloeng, 2000:90). Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah Ketua Pengadilan Agama Salatiga, Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas suami, dan para pihak (pemohon dan termohon) yang perkawinannya dibatalkan. 2) Dokumen Dokumen ialah data yang mencakup surat-surat resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berbentuk laporan dan sejenisnya. (Moloeng, 2000:113). Dokumen dalam penelitian ini meliputi surat permohonan pembatalan nikah, salinan putusan pembatalan nikah, buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini, Artikel ilmiah, dan arsiparsip yang mendukung.
b.
Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari berbagai literature dalam penelitian kepustakaan.Penelitian kepustakaan adalah teknik untuk mencari bahan-bahan atau data-data yang
12
bersifat sekunder yaitu data-data yang erat hubungannya dengan data primer. 5.
Prosedur Pengumpulan Data Prosedur Pengumpulan Data dalam penelitian ini penulis lakukan dengan cara : a.
Observasi Observasi merupakan suatu cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan secara langsung mengenai objek penelitian. Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui kondisi objektif mengenai objek penelitian.(Arikunto, 1997:234).
b.
Wawancara dengan nara sumber Wawancara dimaksudkan untuk memperkuat data sekunder. Wawancara penulis lakukan dengan terlebih dahulu menyusun daftar atau rangkaian pertanyaan yang nantinya akan penulis ajukan pada obyek penelitian atau responden yaitu hakim Pengadilan Agama Salatiga. Untuk
mendukung
keberhasilan
wawancara
diperlukan
instrumen yang dalam penelitian ini terdiri dari instrumen utama dan instrumen penunjang.Yang dimaksud instrumen utama adalah peneliti sendiri sedang instrumen penunjangnya adalah daftar pertanyaan atau rangkaian pertanyaan, alat perekam, dan catatan lapangan. c.
Dokumentasi
13
Dokumentasi sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagi sumber data dimanfaatkan
untuk
menguji,
menafsirkan,
bahkan
untuk
meramalkan. (Moloeng, 2004:917). Dalam penelitian ini dokumentasi dilakukan dengan menelusuri dan mempelajari dokumen berkas perkara nomor 0560/Pdt.G/2011/ PA.Sal tentang Pembatalan Perkawinan. Dokumentasi penulis lakukan terhadap data sekunder untuk mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat para ahli atau informasi melalui tulisan-tulisan, yang dapat digunakan untuk membantu dalam menganalisis serta memahami bahan-bahan hukum primer, yakni berupa bahan pustaka dan dokumen-dokumen mengenai pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas suami. 6.
Analisis Data Yang dimaksud dengan analisis data yaitu suatu cara yang dipakai untuk menganalisa, mempelajari, serta mengolah kelompok data tertentu, sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang konkret tentang permasalahan yang diteliti dan dibahas. Dalam menganalisa data yang diperoleh dan dipakai dalam penelitian
ini,
serta
untuk
mendapatkan
kesimpulan,
penulis
menggunakan metode deskriptif analitis. Metode Deskriptif dalam penelitian ini terdapat dalam bab II mengenai gambaran umum pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas suami, kemudian
14
dilanjutkan
pada
bab
III
yang menggambarkan
deskripsi
dan
pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 0560/Pdt.G/2011/PA. Sal. Selanjutnya data yang telah dideskripsikan dalam bab III dianalisis dalam bab IV guna mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas suami sebagaimana tertuang dalam salinan putusan tersebut. Metode analisis yang penulis gunakan yakni analitis deduktif dan analitis induktif.Yang dimaksud dengan analitis deduktif yakni berfikir deduktif (rasional), artinya menarik suatu kesimpulan dimulai dari pernyataan-pernyataan umum menuju pernyataan-pernyataan khusus dengan menggunakan penalaran atau rasio.Sedangkan analitis induktif atau berfikir induktif yakni pengambilan kesimpulan dimulai dari pernyataan atau fakta-fakta khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat umum. 7.
Pengecekan Keabsahan Data Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian. (Moloeng, 2004:330). Pengecekan keabsahan data dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan yang terlewati oleh penulis, dengan cara menulis kembali hasil wawancara setelah selesai melakukan
15
wawancara langsung, ataupun mewawancarai ulang
dari salah satu
subjek penelitian untuk menambah data yang kurang apabila diperlukan. 8.
Tahap-tahap Penelitian Untuk keperluan penelitian dimaksud, tahapan penelitian yang penulis lakukan, yaitu dengan menentukan atau memilih tema atau topik penelitian, pencarian informasi, penentuan lokasi penelitian yang akan diteliti, pencarian dan pengumpulan sumber-sumber data, serta menganalisis data yang telah diperoleh berkaitan dengan masalah yang penulis teliti dan bahas.
H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan untuk mempermudah pembahasan pemahaman skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Terdiri atas Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai Hukum Perkawinan yang meliputi Pengertian Perkawinan, Dasar Hukum Perkawinan, Tujuan dan Prinsip perkawinan, Syarat-syarat Perkawinan,
Rukun
Perkawinan.
Bagian
kedua
mengenai
Pembatalan Perkawinan yang meliputi Pengertian Pembatalan
16
Perkawinan, Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan, Pembatalan perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan, Pembatalan Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, Pihak-pihak yang dapat
mengajukan
Pembatalan
Perkawinan,
Pembatalan
Perkawinan karena adanya pemalsuan identitas (status diri) suami. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga, Pertimbangan Pemohon mengajukan Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Salatiga, Dasar Pertimbangan
Hakim
terhadap
Permohonan
Pembatalan
Perkawinan karena Adanya Pemalsuan Identitas Suami. BAB IV ANALISIS Dalam bab ini akan diuraikan mengenai Analisis Pertimbangan Pemohon Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinannya di Pengadilan Agama Salatiga.Analisis Pertimbangan Hakim terhadap Permohonan Pembatalan Perkawinan karena pemalsuan identitas. BAB V
PENUTUP Terdiri atas kesimpulan, dan saran.
17
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Perkawinan 1.
PengertianPerkawinan Perkawinan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi‟ dan al-dammu wa al- tadakhul. Terkadang juga disebut denganal-dammu wa al-jam‟u atau „ibarat „an al-wath‟ wa al-„aqd. (Zuhaily, 1989:29). Ahmad Azhar Basyir dalam sebuah bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam berpendapat bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT. (Basyir, 1996:14). Zakiah Daradjat (1995:37) mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolongmenolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.
18
Menurut Sajuti Talib yang dikutip oleh Mohd. Idris Ramulyo (1996:2), perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat, dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram, dan bahagia. Menurut Sayyid Sabiq (1983:5), perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan
berhubungan secara anarkhi tanpa aturan.
(Sabiq, 1983:5) Tahir Mahmood (1987:209) mendefinisikan Perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masingmasing menjadi suami istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Illahi. Definisi tersebut senada dengan definisi yang diberikan UndangUndang Perkawinan yang menyatakan “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentu
19
keluarga (rumah tangga) yang bahagiadan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian Perkawinan dinyatakan dalam pasal 2: “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat (mitsaqon ghalizhan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Dari rumusan diatas dapat diketahui bahwa perkawinan tidak hanya menyangkut unsur lahiriah saja tetapi juga unsur batiniah, demikian dipertegas oleh Undang-undang Perkawinan dalam penjelasan Pasal 1 yang berbunyi : Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Oleh karena itu tanggung jawabsebuah perkawinan bukan saja terhadap sesama manusia tetapijuga terhadap Tuhan yang maha Esa. 2.
Dasar hukum Perkawinan Dalam Al-Qur‟an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah termasuk manusia, sebagaimana firmanNya dalam surat Adz-Dzariyaat ayat 49:
“Dan segala sesutu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT.”(QS. Adz-Dzariyaat: 49) 20
Dari makhluk Allah yang diciptakan berpasang-pasangan inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana tercantum dalam surat An-Nisa‟ ayat 1:
…. “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak….” (QS. An-Nisa‟:1) 3.
Tujuan dan Prinsip Perkawinan Tujuan dilaksanakan perkawinan menurut hukum nasional adalah untuk membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan
Ketuhanan
Yang
Maha
Esa.Sedangkan
bila
mendasarkan pada Alqur‟an dan hadist dapat diperoleh kesimpulan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan RasulNya. Ahmad Azhar Basyir (1996:13) menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan antara laki laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.
21
Tujuan perkawinan dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaituuntuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah danwarrohmah (keluarga yang tenteram penuh kasih dan sayang). Menurut Soemiyati (1986:73), tujuan perkawinan dalamIslam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan,berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkansuatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untukmemperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikutiketentuanketentuan yang telah diatur oleh Syari‟ah. Rumusan tujuan perkawinan tersebut dapat diperinci sebagai berikut: a.
Menghalalkan
hubungan
kelamin
untuk
memenuhi
hajat
tabiatkemanusiaan. Dengan perkawinan, pemenuhan tuntutan tabiatkemanusiaan itu dapat disalurkan dengan sah.Apabila manusiadalam usaha memenuhi hajat tabiat kemanusiaannya dengansaluran yang tidak sah dan dilakukan terhadap siapa saja, makakeadaan manusia itu tidak ubahnya seperti hewan saja, dan dengansendirinya masyarakat menjadi kacau balau serta bercampur aduktidak karuan. b.
Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih Dengan perkawinan maka terjalin ikatan lahir antara suamiisteri dalam hidup bersama diliputi rasa ketenteraman (sakinah) dankasih sayang (mawaddah wa rahmah).
c.
Memperoleh keturunan yang sah.
22
Memperoleh
keturunan
dalam
perkawinan
bagi
kehidupanmengandung dua sisi kepentingan, yaitu: kepentingan untuk memperoleh anak adalah karena anak-anak diharapkan dapatmembantu ibu bapaknya pada hari tuanya kelak. Aspek yang umumatau universal yang berhubungan dengan keturunan ialah karenaanak-anak itulah yang menjadi penyambung keturunan seseorangdan yang akan selalu berkembang untuk meramaikan danmemakmurkan dunia ini. Selain itu, keturunan
yang
diperolehdengan
melalui
perkawinan
akan
menghindarkan pencampuradukanketurunan, sehingga silsilah dan keturunan manusia dapat dipeliharaatas dasar yang sah. Mengenai asas-asas atau prinsip-prinsip dalam perkawinanterdapat dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun1974, yaitu: a.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagiadan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu danmelengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
b.
Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinanadalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing- masingagamanya dan kepercayaannya. Dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undanganyang berlaku.
c.
Undang-undang
ini
menganut
asas
monogami.
Hanya
apabiladikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agamadari yang yang bersangkutan mengizinkannya, suami dapat beristerilebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang
23
suamidengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendakioleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukanapabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskanoleh pengadilan. d.
Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami atauisteri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkanperkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secarabaik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunanyang baik dan sehat.Untuk itu harus dicegah adanya perkawinanantara suami atau isteri yang masih dibawah umur.
e.
Mengingat tujuan perkawinan adalah untuk membentukkeluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-Undangini menganut prinsip untuk
mempersukar
terjadinyaperceraian.
Untuk
memungkinkan
perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harusdilakukan didepan sidang pengadilan. f.
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dankedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupundalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segalasesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskanbersama oleh suami-istri.
Rumusanlainmengenai asas-asas atau prinsip perkawinan seperti yang diuraikan oleh ArsoSosroatmodjo dan Wasit Aulawi (1978:35), yakni sebagai berikut: a.
Asas sukarela
b.
Partisipasi keluarga
c.
Perceraian dipersulit
24
4.
d.
Poligami dibatasi secara ketat
e.
Kematangan calon mempelai
f.
Memperbaiki derajat kaum wanita.
Syarat-syarat Perkawinan Syarat perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting,sebab suatu perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhipersyaratan yang ditentukan dalam undang-undang, maka perkawinantersebut dapat diancam dengan pembatalan atau dapat dibatalkan.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan secara lengkap mengatur syarat-syarat perkawinan baik yang menyangkut orangnya, kelengkapan administrasi, maupun prosedur pelaksanaannya. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut : a.
Syarat materiil mutlak Adalah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak kawin tanpa memandang dengan siapa ia hendak kawin, yaitu : 1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon suami isteri. (Pasal 6 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974) 2) Untuk melangsung perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin orang tua . (Pasal 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974) 3) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun(Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). 25
4) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, berlaku waktu tunggu(Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 39 PP No. 9 Tahun1975), yaitu : (a) Apabila
perkawinan
putus
karena
kematian
waktu
tungguditetapkan 130 hari; (b) Apabila perkawinan putus karena perceraian waktutunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari; bagi yangtidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari; (c) Apabila
perkawinan
putus
sedang
janda
tersebut
dalamkeadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampaidia melahirkan; b.
Syarat materiil relatif. Adalah Seorangyang
syarat-syarat bagi pihak yang hendak dikawin. telah
memenuhi
syarat-syarat
materiil
mutlak
diperbolehkankawin, tetapi ia tidak boleh kawin dengan setiap orang. Dengansiapa hendak kawin, harus memenuhi syarat-syarat materiilrelatif. Syarat tersebut adalah : 1) Perkawinan dilarang antara dua orang yang : (a) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas.
26
(b) Berhubungan
darah
dalam
garis
keturunan
menyamping,yaitu antara saudara, antara seorang saudara dengansaudara orang tua, dan antara seorang dengan saudaraneneknya; (c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu,dan ibu bapak tiri; (d) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, anaksusuan dan bibi susuan; (e) Berhubungan
saudara
bibiataukemenakan
dari
dengan isteri,
isteri,
dalam
hal
sebagai seorang
suamiberisteri lebih dari seorang. (f) Yang mempunyai hubungan oleh agamanya atauperaturan lain yang berlaku sekarang (Pasal 8 UU No. 1Tahun 1974). 2) Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan oranglain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebutdalam pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal9 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974); 3) Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satudengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinanlagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dankepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukanlain (Pasal 10 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974).
27
c.
Syarat-syarat Formal Merupakan syarat-syarat formal yang terdiri dari formalitasformalitas yang mendahului perkawinan seseorang. Syarat formal diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PPNo. 9 Tahun 1975, yang terdiri dari 3 tahap, yaitu : 1) Pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan 2) Penelitian syarat-syarat perkawinan 3) Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan.
5.
Rukun Perkawinan Adapun yang termasuk rukun perkawinan ialah: a.
Pihak-pihak yang melaksanakan aqad nikah, yaitu mempelai pria dan wanita
b.
Wali
c.
Saksi
d.
Akad nikah/Ijab qabul. Menurut Jumhur Ulama dalam bukunya Ahmad Rafiq (1998:71) yang
berjudul “Hukum Islam di Indonesia”, menyebutkan bahwa rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu, sebagai berikut: a. Calon Suami, syarat-syaratnya: 1)
Beragama Islam
2)
Laki-laki
28
b.
c.
d.
3)
Jelas orangnya
4)
Dapat memberikan persetujuan
5)
Tidak terdapat halangan perkawinan
Calon Isteri, syarat-syaratnya: 1)
Beragama Islam
2)
Perempuan
3)
Jelas orangnya
4)
Dapat dimintai persetujuannya
5)
Tidak terdapat halangan perkawinan
Wali nikah, syarat-syaratnya; 1)
Laki-laki
2)
Dewasa
3)
Mempunyai hak perwalian
4)
Tidak terdapat halangan perwaliannya
Saksi nikah, syarat-syaratnya: 1)
Minimal dua orang laki-laki
2)
Hadir dalam ijab qabul
3)
Dapat mengerti maksud akad
4)
Islam
5)
Dewasa
e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya: 1)
Adanya penyataan mengawinkan dari wali
2)
Adanya pernyataan penerimaam dari calon mempelai
29
3)
Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua katatersebut
4)
Antara ijab dan qabul bersambungan
5)
Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6)
Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram hajiatau umrah
7)
Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orangyaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.
B. Pembatalan Perkawinan 1. Pengertian Pembatalan Perkawinan Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya merusakkan atau membatalkan.Fasakh menurut bahasa berarti rusak, batal.Batal yaitu rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana yang ditetapkan oleh syara‟. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.(Basyir, 1996:78). Menurut istilah Syar‟i fasakh „akad berarti membatalkan akad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat antara suami istri. (Sabiq, 1983:269)
30
Secara definitif, sulit untuk memberikan rumusan tentang pembatalan perkawinan, namun untuk sekedar memberikan batasan agar dipahami apa yang dimaksud pembatalan perkawinan tersebut, maka pembatalan perkawinan menurut Zainuddin Ali (2007:37) adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad nikah. Fasakh disebabkan oleh dua hal: a.
Disebabkan oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat adanya halangan perkawinan.
b.
Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan. Apabila terjadi pembatalan perkawinan, baik dalam bentuk
pelanggaran terhadap hukum perkawinan, atau terdapatnya halangan yang tidak memungkinkan dilanjutkannya perkawinan, maka menurut Ahmad Azhar Basyir (1996:80) terjadilah akibat hukum berupa tidak diperbolehkannya suami rujuk kepada mantan isterinya.Akan tetapi apabila keduanya berkeinginan untuk melanjutkan perkawinannya, mereka harus melakukan akad nikah baru.Akibat lainnya ialah pembatalan perkawinan tersebut tidak mengurangi bilangan thalaq artinya suami tetap mempunyai hak talak tiga kali apabila nantinya mereka kembali hidup bersuami istri. 2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Untuk menguraikan dasar hukum pembatalan perkawinan, penulis akan mengemukakan hadits yang berkenaan dengan perkawinan yang
31
dibatalkan karena tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun perkawinan. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari:
ل َ ك فَأَتَتْ َرسُ ْو َ ت َذِل ْ َب َف َكزِه ُ ِّى ثَي َ ْجهَا ّوَه َ َصزِّيَةِ اَّنَ اَبَاهَاسَّو َ ْن خَ ْنسَا َء بِنْتِخِذَامٍ اْالَن ْ َع ُسّلَ َم َفزَ َّد ِنكَاحَه َ عّلَيْ ِه َّو َ هلل ُ صّلَى ا َ هلل ِ ا “Dari Khonsa‟ binti Judzam al-Anshariyah bahwa ayahnya telah mengawinkannya, sedangkan ia sudah janda, lantas ia tidak suka kepada perkawinan itu.Kemudian dia datang kepada Rasulullah SAW, maka beliau membatalkannya”.(HR. Bukhari) 3.
Pembatalan Perkawinan menurut UU Perkawinan Pembatalanperkawinan diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974 di bawah titel “Batalnya Perkawinan”, kemudian ditindaklanjuti dalam pasal 37 sampai dengan pasal 38 PP No. 9 Tahun 1975. Istilah “batal”nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam pengertian batal (nietig) tersebut.Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan),zonder waarde (tidak ada nilai).Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard, sedangkan absolut nietig adalah pembatalan mutlak. (Nuruddin dan Tarigan, 2006:106). Menurut Rachmadi Usman (2006:284), istilah batalnya perkawinan itu tidaklah tepat. Akan lebih tepat apabila dikatakan “dibatalkannya perkawinan”, sebab apabila perkawinan tidak memenuhi syarat-syaratnya maka barulah perkawinan itu dibatalkan sesudah diajukan di muka hakim.Dengan demikian maka istilahnya bukan nietig (batal), melainkan vernietigbaar (dapat dibatalkan).
32
Di dalam pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan.” Pengertian dapat dibatalkan di sini menurut Penjelasan atas pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974, diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Terdapat kesan bahwa pembatalan perkawinan terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan terlanjur terlaksana yang mana setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun terhadap hukum munakahat. Secara sederhana, ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan: a.
Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Misalnya, tidak terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan prosedural lainnya.
b.
Kedua,
pelanggaran
terhadap
materi
perkawinan.
Misalnya,
perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami dan istri. (Nuruddin dan Tarigan, 2006:107 ). Mengenai sebab-sebab pembatalan perkawinan, lebih rincinya dapat dilihat dalam pasal 22, 24, 26, dan 27 UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 22 Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan Pasal 24
33
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 26 (1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri. (2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbarui supaya sah. Pasal 27 (1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. Pengertian salah sangka mengenai diri suami atau istri, menurut Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi (1978:69) bukannya salah sangka mengenai identitas seseorang, pangkat, kedudukan, kekayaan, dan sebagainya, melainkan salah sangka mengenai diri suami atau istri. 4.
Pembatalan Perkawinan menurut KHI Dalam Kompilasi Hukum Islam, istilah yang digunakan “batal” atau “dapat dibatalkan” atau dengan kata lain pembatalan perkawinan itu bisa “batal demi hukum” atau “dapat dibatalkan”. Perkawinan yang batal
34
demi hukum diatur dalam pasal 70 KHI, sedangkan suatu perkawinan dapat dibatalkan diatur dalam pasal 71 KHI. Di dalam pasal 70 KHI dinyatakan bahwa (1) Perkawinan batal apabila: a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak Raj‟i. b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang di Li‟annya. c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isterinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba‟da dukhul dari pria tersebut dan telah habis massa iddahnya. d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu: 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; 2. Berhubungan darah dalam garis lurus keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri; 4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan; (2) Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dariisteri atau isteri-isterinya. Pasal
71
Kompilasi
Hukum
Islam
mempertegas
bahwa
suatuperkawinan dapat dibatalkan apabila: Pasal 71 a. b.
Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadiisteri pria lain yang mafqud (menghilang tanpa berita apakah masih hidup atau sudah meninggal).
35
c. d.
e. f.
Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Adapun alasan untuk mengajukanpembatalan perkawinan menurut Pasal 72 KHI adalah: a.
b.
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalanperkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancamanyang melanggar hukum. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalanperkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Mengenai tata cara beracara dalam permohonan pembatalan perkawinan
dan mengenai saat berlakunya pembatalan perkawinan
diatur dalam pasal 74 KHI: (1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan. (2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. 5.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan Pembatalan Perkawinan Berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 23 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 73 KHI, yaitu: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri b. Suami atau istri
36
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan d. Pejabat yang ditunjuk tersebut pada pasal 16 ayat (2) undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus Di dalam pasal 73 KHI, Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: a.
Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri.
b.
Suami atau istri.
c.
Pejabat yang berwenang yang mengawasi pengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang
d.
Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
6.
Pembatalan Perkawinan karena adanya pemalsuan identitas (status diri) suami. Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri, begitu pula sebaliknya. Pengecualian bagi suami untuk memiliki lebih dari satu istri hanya apabila diizinkan oleh Pengadilan. Izin tersebut dapat diberikan dengan alasan-alasan tertentu
37
antara lain istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat memberikan keturunan. Selain itu, harus ada jaminan bahwa suami akan bertindak adil dan mampu menjamin keperluan istriistri dan anak-anaknya. Namun kenyataan di masyarakat, syarat-syarat yang tertuang dalam undang-undang kecenderungan
tersebut seorang
dianggap suami
yang
mempersulit ingin
sehingga
memiliki
istri
ada lagi
melakukannya dengan tidak jujur seperti dengan cara memalsukan identitasnya. Seperti yang terjadi pada perkara Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Salatiga No. 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal terdapat fakta bahwa perkawinanantara Pemohon dan Termohon dibatalkan atas dasar adanya pemalsuan status diri Termohon yaitu suami. Pada saat melangsungkan perkawinan, Pemohon mengaku berstatus janda mati dengan bukti surat kematian suami terdahulu dan Termohon berstatus duda mati dengan bukti surat kematian istri terdahulu (F) yang dinikahi termohon tanpa dicatatkan. Termohon yang menyatakan sebagai duda mati melengkapi syarat-syarat dengan surat kematian istri yang dikeluarkan oleh Lurah Tajur, Ciledug, Kota Tangerang, guna memperjelas status dirinya sebagai duda mati, sehingga perkawinan antara pemohon dan termohon terlaksana tanpa ada suatu halangan. Namun, setelah beberapa bulan menikah, Pemohon mengetahui bahwa
38
Termohon sedang dalam proses perceraian dengan isteri pertamanya (Y), sehingga telah terjadi penipuan status yang dilakukan termohon yang mengaku sebagai duda mati, padahal masih terikat perkawinan sah dengan seorang wanitadan perkawinan pemohon dengan termohon terjadi sebelum termohon mendapatkan akta cerai. Fakta tersebut dinilai oleh Majelis Hakim yang menangani perkara pembatalan perkawinan antara pemohon dan termohon tidak sesuai dengan pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama”. Oleh sebab itu, sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam,permohonan pemohon dinyatakan telah terbukti dan cukup alasan sehingga perkawinan pemohon dan termohon dapat dibatalkan. Dalam hal ini, perkawinan antara pemohon dan termohon dilaksanakan tanpa mentaati peraturan yang berlaku sehingga dapat dikatakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan firman Allah SWT dalam surah An-Nisa‟ ayat 59:
.... “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu.”(QS. An-Nisa‟:59). Dari uraian di atas telah jelas bahwa tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan lancar dan sempurna, karena pelaksanaannya terkait dengan masalah hukum, antara lain adanya rukun dan syarat perkawinan yang harus dipenuhi sehingga sebuah perkawinan dianggap sah. 39
Disamping itu, ada juga larangan perkawinan yang harus dihindari sehingga hubungan perkawinan itu sah dan tidak melanggar hukum, sehingga tidak ada alasan-alasan bagi pihak-pihak dan pihak lain untuk memutuskan hubungan perkawinan.
40
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga
1.
Wilayah Hukum Pengadilan Agama Salatiga Pengadilan Agama Salatiga dahulu wilayahnya sangat luas yaitu meliputi Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang, akan tetapi sejak SK Menteri Agama Nomor 95 tahun 1982 tanggal 2 Oktober 1982 Jo. KMA Nomor 76 Tahun 1983 tanggal 10 Nopember 1982 dikeluarkan maka dibangunlah Pengadilan Agama untuk masyarakat Kabupaten Semarang yang berdiri di Ambarawa. masyarakat
Kabupaten
Pengadilan Agama yang khusus bagi
Semarang tersebut
kemudian
diberinama
Pengadilan Agama Ambarawa. Kemudian pada tanggal 27 April 1984 dilaksanakanlah penyerahan sebagian wilayah Pengadilan Agama Salatiga yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama Salatiga pada masa itu (Drs. A.M. Samsudin Anwar)kepada Ketua Pengadilan Agama Ambarawa. Sejak saat itu wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga tinggal 13 Kecamatan. Dari 13 kecamatan yang ada, 9 diantaranya merupakan wilayah Kabupaten Semarang dan 4 kecamatan di wilayah Kota Salatiga.Sembilan kecamatan di wilayah Kabupaten Semarang yang ikut dalam wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga yaitu: a.
Kecamatan Bringin,
b.
Kecamatan Bancak,
41
c.
Kecamatan Tuntang,
d.
Kecamatan Getasan,
e.
Kecamatan Tengaran,
f.
Kecamatan Susukan,
g.
Kecamatan Suruh,
h.
Kecamatan Pabelan, dan
i.
Kecamatan Kaliwungu. Sedangkan kecamatan di wilayah Kota Salatiga meliputi:
a.
Kecamatan Sidorejo,
b.
Kecamatan Sidomukti,
c.
Kecamatan Argomulyo, dan
d.
Kecamatan Tingkir. Batas-batas wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga yaitu:
a.
sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Semarang,
b.
sebelah barat berbatasan dengan Kebupaten Semarang dan Kabupaten Magelang,
c.
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali,
d.
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Grobogan.
2.
Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga berdasarkan Staastblad tahun 1882 No. 152.Nama Pengadilan Agama disebutkan sebagaimana
42
adanya pada saat itu Raad Agama.Pada masa itu Pengadilan Agama Salatiga bertempat di serambi masjid Al-Atiq Kauman Salatiga yang sekarang berubah nama menjadi masjid Jami‟ Kauman Salatiga.Pada tahun 1951 Pengadilan Agama Salatigamelakukan perpindahan lokasi yang semula berada di serambi Masjid Jami' Kauman Salatiga ke Jl. Diponegoro No. 72 Salatiga. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 303 tahun 1990 dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/010/SK/III/1996 tanggal 06 Maret 1996, wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga mengalami perubahan. Perubahan wilayah akibat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 303 tahun 1990 dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/010/SK/III/1996 tanggal 06 Maret 1996 sampai sekarang masih dipergunakan. 3.
Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga Sejarah pembentukan Pengadilan Agama Salatiga dibagi tiga masa: a.
Masa Sebelum Penjajah Pengadilan Agama Salatiga sebenarnya sudah terbentuk sejak Agama Islam masuk ke Indonesia.Pengadilan Agama Salatiga timbul bersama
dengan
perkembangan
kelompok
masyarakat
yang
beragama Islam di Salatiga dan Kabupaten Semarang. Masyarakat Islam di Salatiga dan di daerah Kabupaten Semarang pada saat itu apabila terjadi suatu sengketa, mereka menyelesaikan perkaranya melalui Qodli (Hakim) yang diangkat oleh Sultan atau Raja, yang kekuasaannya merupakan tauliyah dari Waliyul Amri yakni
43
Penguasa tertinggi. Qodli (Hakim) yang diangkat oleh Sultan adalah alim ulama' yang ahli di bidang agama Islam. b.
Masa Penjajahan Pada saat penjajah Belanda masuk Pulau Jawa khususnya di Salatiga, masyarakat Salatiga dan Kabupaten Semarang
telah
berkehidupan dan menjalankan syari'at Islam, demikian pula dalam bidang Peradilan umat Islam Salatiga dalam menyelesaikan perkaranya menyerahkan keputusannya kepada para hakim sehingga sulit bagi Belanda menghilangkan atau menghapuskan kenyataan ini. Oleh karena kesulitan pemerintah Kolonial Belanda menghapus pegangan hidup masyarakat Islam yang sudah mendarah daging di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Salatiga, maka kemudian pemerintah Kolonial Belanda menerbitan pasal 134 ayat 2 IS (Indische Staatsregaling) sebagai landasan
formil untuk
mengawasi kehidupan masyarakat Islam di bidang Peradian yaitu berdirinya Raad Agama, disampingi tu pemerintah kolonial Belanda menginstruksikan kepada para Bupati yang termuat dalam Staatblad tahun1820 No. 22 yang menyatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada Alim Ulama. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga terus berjalan sampai tahun 1940, kantor yang ditempatinya masih menggunakan serambi Masjid Kauman Salatiga dengan Ketua dan Hakim Anggotanya diambil dari Alumnus Pondok Pesantren. Pegawai yang
44
ada pada waktu itu 4 orang yaitu K. Salim sebagai Ketua dan K. Abdul mukti sebagai Hakim Anggota dan Sidiq sebagai Sekretaris merangkap Bendahara dan seorang pesuruh. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang terdiri dari 14 Kecamatan.Adapun Perkara yang ditangani dan diselesaikan yaitu perkara waris, perkara gono-gini, gugat nafkah dan cerai gugat. Pada waktu penjajahan Jepang keadaan Pengadilan Agama Salatiga atau Raad Agama Salatiga masih belum ada perubahan yang berarti yaitu pada tahun 1942 sampai dengan 1945 karena pemerintahan Jepang hanya sebentar dan Jepang dihadapkan dengan berbagai pertempuran dan Ketua beserta stafnya juga masih sama. c.
Masa Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Pengadilan Agama Salatiga berjalan sebagaimana biasa.Kemudian pada tahun 1949 Ketua dijabat oleh K. Irsyam yang dibantu 7 pegawai. Kantor yang ditempati masih menggunakan serambi Masjid Al-Atiq Kauman Salatiga dan bersebelahan dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan Salatiga yang sama-sama menggunakan serambi masjid sebagai kantor.
d.
Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Sejak kehadiran dan berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 pada tanggal 17 Desmber 1970 kedudukan dan posisi
45
Peradilan Agama semakin jelas dan mandiri termasuk Pengadilan Agama Salatiga, namun umat Islam Indonesia masih harus berjuang karena belum mempunyai Undang-undang yang mengatur tentang keluarga muslim. Melalui proses kehadirannya pada akhir tahun 1973 membawa suhu politik naik. Para ulama dan umat Islam di Salatiga juga berjuang ikut berpartisipasi, akan terwujudnya Undang-undang perkawinan, maka akhirnya terbitlah Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974. Setelah secara efektif Undang-undang Perkawinan berlaku yaitu dengan
terbitnya
Peraturan
Pemerintah
Nomor
9
Tahun
1975.Pengadilan Agama Salatiga dilihat dari fisiknya masih tetap seperti dalam keadaan sebelumnya, namun fungsi dan peranannya semakin mantap karena banyak perkara yang harus ditangani oleh Pengadilan Agama.Di Pengadilan Agama Salatiga banyak perkara masuk yang menjadi kewenangannya.Volume perkara yang naik yaitu perkara Cerai Talak disamping Cerai Gugat dan juga banyak masuk perkara Isbat Nikah (Pengesahan Nikah). e.
Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Sejak diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 posisi Pengadilan Agama Salatiga semakin kuat sehingga Pengadilan Agama berwenang menjalankan keputusannya sendiri tidak perlu lagi melalui Pengadilan Negeri, selain itu hukum acara yang berlaku
46
di Pengadilan Agama sama dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri. Untuk melaksanakan tugas pemanggilan dan pemberitahuan, sudah ada petugas Jurusita. Untuk menyesuaikan dengan Undang-undang Peradilan Agama ini, Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan bimbingan dan pembinaan dari Departemen Agama RI dan secara teknis Yustisial mendapatkan pembinaan dari Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Tinggi Agama. Struktur organisasi Pengadilan Agama juga disesuaikan dengan Peradilan Umum dan Peradilan lainnya, sehingga status kedudukannya menjadi sederajat dengan Peradilan lain yang ada di Indonesia, dari segi fisik dan jumlah personil Pengadilan Agama Salatiga masih ketinggalan dari Peradilan Umum, hal ini disebabkan karena dana yang tersedia untuk sarana fisik kurang memadai, namun kwalitas sumber daya manusia pegawai Pengadilan Agama Salatiga sama dan sejajar dengan Peradilan Umum bahkan melebihi, karena tenaga yang direkrut harus melalui seleksi yang ketat dan memenuhi syaratsyarat yang ditentukan. Sejak
Pengadilan
Agama
mendapatkan
pembinaan
dari
Mahkamah Agung RI mulai diadakan pemisahan jabatan antara Kepaniteraan dan Kesekretariatan begitu juga rangkap jabatan antara Jurusita dan Panitera Pengganti, bagi para Hakim juga diberi tugas Pengawasan bidang-bidang.Upaya pembenahan di Pengadilan Agama Salatiga selalu ditingkatkan. Pengadilan Agama Salatiga
47
sampai tahun 2004 belum memenuhi standar gedung pengadilan, karena Pengadilan Agama Salatiga pada waktu itu masih menggunakan bangunan rumah kuno peninggalan zaman Belanda, selain itu balai sidang dan ruang-ruang lainnya sangat sempit. Kemudian pada tanggal 1 Mei 2009 Pengadilan Agama Salatiga pindah ke gedung baru yang terletak di Jl. Lingkar Selatan, Argomulyo, Kota Salatiga, Jawa Tengah.Gedung Pengadilan Agama Salatiga berdiri di atas tanah seluas 5425 m2 dengan status milik sendiri, dan luas bangunan 1300 m2. Dari luas bangunan tersebut dibagi beberapa ruangan antara lain: Lantai I (Dasar) 1) Ruang Pendaftaran 2) Ruang Informasi 3) Ruang Kesekretariatan 4) Ruang Wakil Sekretaris 5) Ruang Mediasi 6) Ruang Mushola 7) Ruang Kepaniteraan 8) Ruang Wakil Panitera 9) Ruang Sidang 1 10) Ruang Sidang 2 11) Ruang Kontrol Panel
48
12) Ruang Tunggu 13) Kamar Mandi Lantai II (Atas) 1) Ruang Ketua 2) Ruang Tamu Ketua 3) Ruang Wakil Ketua 4) Ruang Tamu Wakil Ketua 5) Ruang Panitera/Sekretaris 6) Ruang Hakim 7) Ruang Rapat 8) Ruang Panitera Pengganti 9) Ruang Perpustakaan 10) Ruang Hall 11) Ruang IT 12) Ruang Jurusita 13) Kamar Mandi 14) Ruang Arsip 4.
Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga a.
Kewenangan absolut Kompetensi atau Kewenangan absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili berdasarkan materi hukum (hukum materiil). (Musthofa, 2005:9).
49
Menurut Roihan A. Rasyid (1998:27), kewenangan absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan. Dengan kata lain kewenangan absolut adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain, baik dalam lingkungan pengadilan yang sama (Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama) maupun pengadilan yang lain (Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara). Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqah dan ekonomi syariah (Mardani, 2009:54). b.
Kewenangan relatif Kewenangan relatif adalah kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah atau daerah. Kewenangan relatif Pengadilan Agama sesuai dengan tempat dan kedudukannya yang berkedudukan di kota atau
50
ibu kota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kota atau kabupaten. (Musthofa, 2005:11) 5.
Ketua Pengadilan Agama Salatiga dari Masa ke Masa Daftar Nama Ketua Pengadilan Agama Salatiga (sejak berdirinya sampai dengan sekarang ) a.
Tahun 1949-1952
: K. Irsyam
b.
Tahun 1953-1962
: KH. Muslih
c.
Tahun 1963-1966
: KH. Musyafak
d.
Tahun 1967-1974
: K. Sa‟dullah
e.
Tahun 1975-1980
: Drs. H. Imron
f.
Tahun 1981-1985
: Drs. HA. Samsudi Anwar
g.
Tahun 1986-1988
: Drs. H. Ali Muhson, MH
h.
Tahun 1989-1994
: Drs. H. Nuh Muslim
i.
Tahun 1994-1998
: Drs. HA. Fadli Sumadi, SH. M.Hum
j.
Tahun 1999-2002
: Drs. H. Izzudin Mahbub, SH
k.
Tahun 2002-2004
: Drs. H. Arifin Bustam, MH
l.
Tahun 2004-2005
: Drs. HM. Fauzi Humaidi, SH. MH
m. Tahun 2006-2008
: Drs. H. Ahmad Ahrory, SH
n.
Tahun 2009-2011
: Drs. H. Masruhan MS, SH. MH
o.
Tahun 2012-Sekarang
: Drs. H. Umar Muchlis
51
B. Pertimbangan
Pemohon
Mengajukan
Permohonan
Pembatalan
Perkawinan di Pengadilan Agama Salatiga 1.
Proses Pengajuan Permohonan Pembatalan Perkawinan Dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinan sama halnya dengan mengajukan gugatan perceraian, sebagaimana pasal 38 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975yang menyatakan bahwa “Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.” Dalam hal ini pembatalan perkawinan disebabkan karena pemalsuan identitas (status diri) termohon (suami) dan diketahui bahwa termohon masih terikat perkawinan sah dengan wanita lain, maka persyaratan yang harus dipenuhi dalam permohonan pembatalan perkawinan diantaranya adalah: a.
Foto copy Akta Cerai an.termohon dengan istri terdahulu
b.
Foto copy Kutipan Akta Nikah an.pemohon dengan termohon (bermaterai Rp6.000,- cap pos)
c.
Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama pemohon dan atas nama termohon (bermaterai Rp6.000,- cap pos)
d.
Surat permohonan Pembatalan perkawinan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama Salatiga
e.
Membayar biaya panjar Berikut ringkasan proses pengajuan perkara pembatalan perkawinan
di Pengadilan Agama Salatiga
52
a.
Setelah semua persyaratan dipenuhi, pemohon menghadap Meja I dengan menyerahkan suratpermohonan yang telah ditandatangani oleh yang bersangkutan.
b.
Meja I menaksir panjar biaya perkara dan dituangkan dalam SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) rangkap tiga.
c.
Pemohon diminta membayar panjar biaya perkara sesuai jumlah yang tertera pada SKUM kepada kasir atau melalui bank. Akan tetapi, apabila pemohon diminta membayar panjar biaya perkara di bank, biasanya pemohon tidak kembali lagi ke pengadilan untuk menyerahkan bukti pembayaran dari bank, sehingga pengadilan berinisiatif menerima penitipan pembayaran panjar biaya perkara agar prosesnya lebih cepat.
d.
Kasir
yang
menerima
panjar
biaya
perkara
kemudian
membukukannya, menandatangani, memberi nomor perkara, dan tanda lunas pada SKUM tersebut. e.
Dari Meja I pemohon menghadap Meja II yang bertugas mendaftar permohonan dalam register dan memberi nomor perkara pada surat permohonan sesuai nomor SKUM.
f.
Meja II menyerahkan kembali satu salinan surat permohonan kepada pemohon.
g.
Meja II mengatur berkas perkara dan menyerahkan kepada Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua melalui Panitera.
53
h.
Ketua mempelajari perkara tersebut dan mencatatnya dalam buku ekspedisi serta menetapkan Majelis Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan Penetapan Majelis Hakim.
i.
Berkas dikembalikan kepada Panitera untuk membuat Penunjukan Panitera Pengganti kemudian diserahkan kepada Majelis Hakim yang telah ditetapkan.
j.
Majelis Hakim membuat Penetapan Hari Sidang dan perintah memanggil pihak-pihak oleh Juru Sita atau Juru Sita Pengganti.
k.
Juru Sita Pengganti memanggil pihak-pihak untuk menghadap di persidangan.
2.
Tahap Persidangan Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Salatiga Tahap
persidangan
permohonan
pembatalan
perkawinan
di
Pengadilan Agama Salatiga: a. Ketua Majelis membuka sidang yang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. b. Para pihak diperintahkan untuk memasuki ruang siding. c. Ketua Majelis menanyakan identitas para pihak. d. Hakim menganjurkan perdamaian antara pihak yang berperkara. e. Pembacaan permohonan oleh pemohon. f. Penyampaian jawaban oleh termohon atas dalil-dalil yang dibacakan dalam permohonan.
54
g. Pembuktian, dimulai dengan pembuktian berupa alat bukti suratdan dilanjutkan dengan alat bukti saksi. h. Kesimpulan. i. Musyawarah oleh Majlis Hakim (bersifat rahasia). j. Pembacaan Putusan. 3.
Pertimbangan Pemohon mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Salatiga Pada bagian berikut, penulis akan menuliskan kembali permohonan yang diajukan pemohon, sebagai acuan pembahasan penelitian ini. Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: SL binti SMR
Umur
: 48 tahun
Agama
: Islam
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Pedagang
Alamat
: Dusun Galangan RT 01/05 Desa Gentan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang,
Selanjutnya disebut PEMOHON, Mengajukan permohonan Pembatalan Nikah terhadap: Nama
: KY bin SY
Umur
: 69 tahun
Agama
: Islam
Pendidikan
: SLTP
55
Pekerjaan
: Pensiunan ABRI
Alamat
: Dusun Galangan RT 01/05 Desa Gentan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang,
Selanjutnya disebut TERMOHON, Tentang Permasalahannya: 1.
Bahwa pemohon dengan termohon telah menikah pada tanggal 14 Oktober 2010 yang dilaksanakan di hadapan PPN Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang;
2.
Bahwa pada saat pernikahan tersebut pemohon berstatus janda dan termohon berstatus duda;
3.
Bahwa setelah menikah pemohon dan termohon membina rumah tangga belum menetap kadang di rumah milik pemohon di Susukan, dan kadang di rumah termohon di Jakarta, sampai sekarang namun belum dikaruniai keturunan;
4.
Bahwa perkawinan pemohon dengan termohon telah dilaksanakan sesuai dengan syari‟at Islam;
5.
Bahwa sebelum menikah dengan pemohon, termohon mengaku sebagai duda mati namun setelah beberapa bulan menikah atau pada bulan Januari 2011, pemohon baru mengetahui jika termohon dalam proses perceraian dengan istri yang pertama;
6.
Bahwa pernikahan pemohon dan termohon terjadi sebelum termohon mendapatkan akta cerai;
56
7.
Bahwa sesuai pasal 71 ayat (1) KHI, maka pemohon memohon untuk pembatalan perkawinan ini melalui Pengadilan Agama Salatiga; Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pemohon mohon kepada
Bapak Ketua Pengadilan Agama Salatiga cq. Majelis Hakim untuk memprosesnya dalam persidangan dengan penetapan sebagai berikut: 1.
Mengabulkan permohonan pemohon;
2.
Menetapkan pembatalan pernikahan Pemohon (SL binti SMR) dengan Termohon (KY bin SY) yang telah dilaksanakan pada tanggal 14 Oktober 2010 diKantor Urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang;
3.
Menetapkan biaya perkara sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan
oleh
SL(pemohon)
dapat
dilihat
bahwa
yang
dijadikan
dasar
permohonannya yaitu karena perkawinan tersebut mengandung unsur penipuan.Dimana pada saat perkawinan berlangsung, KYmengaku berstatus duda karena kematian isterinya terdahulu. Pada kenyataannya, termohon masih terikat perkawinan sah dengan seorang wanita bernama A alias Y dan sedang dalam proses perceraian. Disamping itu, setelah penulis melakukan penelitian dan wawancara, alasan pemohon mengajukan pembatalan perkawinannya bermula pada keinginan pemohon memperoleh tunjangan pensiun sebagai istri TNI, namun masih terdapat halangan yakni terhalang istri pertama termohon
57
yang masih menjadi tanggungan termohon.Dengan demikian, diperlukan penyelesaian dengan pemutusan perkawinan termohon dengan istri pertama agar diperoleh akta cerai yang kemudian didaftarkan ke Ajendam (Ajudan Jenderal Kodam).Hal tersebut dimaksudkan agar hak tunjangan dialihkan kepada pemohon. Namun, sampai di Ajendam, tetap tidak diterima, karena akta cerai (termohon dengan istri terdahulu) terbit setelah akta nikah (pemohon dengan termohon). Pemohon tetap berkeinginan untuk melanjutkan perkawinannya, namun perkawinan dan terbitnya akta nikah tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.Oleh karena itu, pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Setelah perkawinannya dibatalkan oleh hakim Pengadilan Agama Salatiga, pemohon dengan termohon menikah kembali di KUA Susukan sehingga perkawinan pemohon dengan termohon sah menurut hukum dan hak tunjangan pensiun sebagai istri TNI dapat diperoleh.
C. Dasar
Pertimbangan
Hakim
terhadap
Permohonan
Pembatalan
Perkawinan karena Pemalsuan Identitas Suami 1.
Deskripsi
Putusan
Pengadilan
Agama
Salatiga
Nomor
0560/Pdt.G/2011.PA.Sal Pengadilan Agama Salatiga yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama dalam persidangan Majelis telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara Pembatalan Nikah yang diajukan oleh:----------------------------------------------------------------
58
SL binti SMR, umur 48 tahun, agama Islam, pekerjaan pedagang, pendidikan SD, bertempat tinggal di Dusun Galangan RT
01/05
Desa
Gentan,
Kecamatan
Susukan,
Kabupaten Semarang, untuk selanjutnya mohon disebut sebagai PEMOHON;----------------------------------------Melawan KY bin SY,
umur 69 tahun, agama Islam, pekerjaan Pensiunan ABRI, pendidikan SLTP, bertempat tinggal di Dusun Galangan RT 01/05 Desa Gentan, Kecamatan Susukan, Kabupaten
Semarang,
untuk
selanjutnya
disebut
sebagai TERMOHON;--------------------------------------Pengadilan Agama tersebut;-----------------------------------------------------Setelah membaca permohonan pemohon;--------------------------------------Setelah mendengar keterangan pemohon dan termohon;--------------------Setelah memeriksa dengan seksama alat-alat bukti yang diajukan di muka persidangan;------------------------------------------------------------------------Tentang duduk perkaranya: Menimbang, bahwa Pemohon berdasarkan surat permohonannya tertanggal 14 Juli 2011 yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Salatiga Nomor: 0560/Pdt.G/2011/PA.Sal tanggal 14 Juli 2011 mengajukan hal-hal sebagai berikut;---------------------------------------------
59
1.
Bahwa pemohon dengan termohon telah menikah pada tanggal 14 Oktober 2010 yang dilaksanakan di hadapan PPN Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang;-------------------
2.
Bahwa pada saat pernikahan tersebut pemohon berstatus janda dan termohon berstatus duda;---------------------------------------------------
3.
Bahwa setelah menikah pemohon dan termohon membina rumah tangga belum menetap kadang di rumah milik pemohon di Susukan, dan kadang di rumah termohon di Jakarta, sampai sekarang namun belum dikaruniai keturunan;---------------------------
4.
Bahwa perkawinan pemohon dengan termohon telah dilaksanakan sesuai dengan syari‟at Islam;----------------------------------------------
5.
Bahwa sebelum menikah dengan pemohon, termohon mengaku sebagai duda mati namun setelah beberapa bulan menikah atau pada bulan Januari 2011, pemohon baru mengetahui jika termohon dalam proses perceraian dengan istri yang pertama;-------------------
6.
Bahwa pernikahan pemohon dan termohon terjadi sebelum termohon mendapatkan akta cerai;---------------------------------------
7.
Bahwa sesuai pasal 71 ayat (1) KHI, maka pemohon memohon untuk pembatalan perkawinan ini melalui Pengadilan Agama Salatiga;----------------------------------------------------------------------Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pemohon mohon
kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Salatiga cq. Majelis Hakim
60
untuk memprosesnya dalam persidangan dengan penetapan sebagai berikut:------------------------------------------------------------------------------1.
Mengabulkan permohonan pemohon;------------------------------------
2.
Membatalkan pernikahan Pemohon (SL binti SMR) dengan Termohon (KY bin SY) yang telah dilaksanakan pada tanggal 14 Oktober 2010 di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang;-------------------
3.
Menetapkan biaya perkara sesuai dengan peraturan yang berlaku;-Pada hari sidang yang telah ditetapkan pemohon dan termohon
datang menghadap sendiri ke persidangan setelah sebelumnya kedua pihak melaksanakan mediasi dengan mediator H. S, SH, MH pada tanggal 04 Agustus 2011, namun berdasarkan Surat Keterangan Hasil Mediasi Nomor 560/Pdt.G/2011/PA.Sal tanggal 04 Agustus 2011, mediasi dinyatakan gagal. Selanjutnya dibacakan surat permohonan pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh pemohon. Termohon menyampaikan jawaban secara lisan yang pada pokoknya membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil permohonan pemohon dan tidak keberatan terhadap tuntutan pembatalan nikah dari pemohon. Untuk memperkuat dalil-dalil permohonannya, pemohon mengajukan alat-alat bukti sebagai berikut: I.
BUKTI SURAT:--------------------------------------------------------- Foto kopi sah Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon Nomor xx.xxxx.xxxxxx.xxxx tanggal 15 Agustus 2008 yang
61
dikeluarkan oleh Kepala Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Semarang, yang bermaterai cukup dan setelah
dicocokkan
ternyata
sesuai
dengan
aslinya,
selanjutnya (bukti P1);---------------------------------------------- Foto kopi sah Kutipan Akta Nikah Nomor: xxx/xx/X/2010 tanggal 14 Oktober 2010 yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, telah diperiksa dan sesui dengan aslinya dan bermaterai cukup (bukti P2);------------------------------------------------------------ Foto kopi sah Akte Cerai an. KY bin SY dengan A alias Y binti
US
Nomor: xx/AC/2011/PA/STNG, tanggal
14
Desember 2010 yang dikeluarkan oleh Panitera Pengadilan Agama Tangerang, (bukti P3);------------------------------------II. SAKSI-SAKSI:---------------------------------------------------------1. SM bin AS, umur 52 tahun, agama Islam, pekerjaan PNS DI Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang,
alamat
Limas
RT
02/04
Desa
Sendang,
Kecamatan Karanggede, Kabupaten Boyolali;------------------Setelah bersumpah dan memberikan keterangan yang isi pokoknya sebagai berikut;------------------------------------------ Bahwa saksi adalah Pegawai di Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang mewakili
62
Bapak Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang;------------------------------------------- Bahwa Pemohon dan Termohon benar telah menikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang pada tanggal 14 Oktober 2010;-------------------- Bahwa pada saat itu segala persyaratan telah dipenuhi oleh kedua pihak dimana Pemohon berstatus janda dengan memperlihatkan
Akte
Cerai,
sedangkan
Termohon
berstatus duda mati dengan memperlihatkan Surat Kematian isteri terdahulu bernama FT;----------------------- Bahwa selama tinggal bersama mereka saling bertengkar masalah sepele menjadi besar dan kedua pihak sama-sama keras kepala;------------------------------------------------------ Bahwa ternyata FT adalah isteri kedua termohon yang tidak dinikahi secara sah (nikah siri) dan memang telah meninggal dunia;------------------------------------------------ Bahwa termohon masih terikat hubungan perkawinan dengan isteri sah yang pertama bernama A alias Y binti US, yang pada waktu itu antara termohon dengan A alias Y binti US masih dalam proses perceraian di Pengadilan Agama Tangerang;----------------------------------------------- Bahwa saksi tahu pemohon akan mengurus tunjangan sebagai istri Pensiunan TNI namun ditolak karena masih
63
tercantum nama isteri termohon yang pertama yang belum diceraikan secara sah oleh termohon;------------------------2. SD bin DA, umur 58 tahun, pekerjaan Petugas Pencatat Nikah, alamat Bulu RT 03/06 Desa Gentan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang;----------------------------------Setelah bersumpah dan memberikan keterangan yang isi pokoknya sebagai berikut;------------------------------------------ Bahwa saksi adalah tetangga dekat pemohon dan termohon;---------------------------------------------------------- Bahwa saksi tahu pemohon dan termohon adalah suami isteri yang menikah pada tanggal 14 Oktober 2010;--------- Bahwa setahu saksi pernikahan antara pemohon dengan termohon tidak sah karena termohon masih terikat hubungan perkawinan dengan isteri pertamanya yang saat itu masih dalam proses perceraian;----------------------------- Bahwa pemohon mengajukan permohonan ini dengan maksud untuk keperluan mengurus tunjangan istri pensiunan TNI;---------------------------------------------------Selanjutnya kedua pihak membenarkan keterangan saksi-saksi tersebut tanpa mengajukan tanggapan apapun dan mohon putusan. Terhadap permohonan pemohon Majelis Hakim mempunyai pertimbangan sebagai berikut:
64
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas;-------------------------------------------Menimbang,
bahwa
pokok
permohonan
pemohon
adalah
pembatalan nikah antara pemohon dengan termohon karena pada saat pernikahan pemohon dan termohon, termohon masih terikat perkawinan sah dengan orang lain walaupun sudah dalam proses perceraian;----------Menimbang, bahwa termohon telah mengakui seluruh dalil-dalil permohonan pemohon dan tidak keberatan dengan tuntutan pemohon tersebut: pengakuan tersebut harus diakui sebagai bukti yang sempurna dan mengikat (pasal 174 HIR);--------------------------------------------------Menimbang, bahwa alat-alat bukti yang diajukan pemohon berupa bukti (P.1), (P.2), dan (P.3) telah memenuhi syarat formil dan materiil sebagai alat bukti, maka dapat harus dinyatakan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum (pasal 165 HIR);------------------------------------------Menimbang, bahwa berdasarkan bukti (P.1) terbukti pemohon bertempat tinggal di wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga, maka adalah beralasan mengajukan perkara ini di Pengadilan Agama Salatiga;Menimbang, bahwa berdasarkan bukti (P.2) terbukti pemohon dan termohon telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 14 Oktober 2010 di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang;------------------------------------
65
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti (P.3) terbukti pada saat melangsungkan pernikahan termohon masih menjalani proses perceraian dengan isteri pertamanya bernama A alias Y binti US;----------------------Menimbang, bahwa saksi-saksi yang dihadirkan adalah orangorang yang dinilai mengetahui secara benar tentang kejadian atau peristiwa yang terjadi dan telah memenuhi syarat formil dan materiil sebagai saksi dan keterangannya juga telah mendukung dalil-dalil permohonan pemohon oleh karena itu dapat diterima sebagai saksi;------Menimbang, bahwa berdasarkan jawaban termohon, bukti P.1, P.2, dan P.3 serta keterangan saksi-saksi di persidangan maka Majelis Hakim menemukan fakta sebagai berikut:-----------------------------------------------
Bahwa, pemohon dengan termohon telah melaksanakan pernikahan pada tanggal 14 Oktober 2010 di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang;-
-
Bahwa, sebelum menikah pemohon berstatus janda cerai dan termohon mengaku berstatus duda mati;---------------------------------
-
Bahwa ternyata termohon masih dalam proses perceraian dengan isteri pertamanya yang bernama A alias Y binti US;-------------------
-
Bahwa termohon juga telah pernah menikah yang kedua secara siri dengan wanita bernama FT yang telah meninggal dunia;------------Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut diatas
terbukti bahwa pernikahan pemohon dan termohon atas dasar pemalsuan
66
status diri termohon yang mengaku sebagai duda mati namun ternyata masih dalam proses perceraian dengan istri pertamanya;--------------------Menimbang, bahwa oleh karena itu Majelis menilai termohon telah melakukan praktik poligami (beristri lebih dari seorang) tanpa ijin sesuai ketentuan pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam;------------------------Menimbang, bahwa sejalan dengan apa yang telah dipertimbangkan di atas, maka perkawinan pemohon dengan termohon dapat dibatalkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam;----------------------------------------------------------------------Menimbang, bahwa seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang harus mendapat ijin dari Pengadilan Agama, sebgaimana dalam hal ini pernikahan pemohon dengan termohon tersebut dilaksanakan tanpa menaati peraturan yang berlaku sehingga dapat dikatakan sebagai bertentangan dengan Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa‟ ayat 59:
.... Artinya: “Haiorang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu.” Menimbang,
bahwa
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas, maka permohonan pemohon harus dinyatakan telah terbukti dan cukup alasan, oleh karena Majelis dapat mengabulkan permohonan pemohon tersebut dengan membatalkan pernikahan pemohon dengan termohon;------------------------------------------------------
67
Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, maka kepada pemohon dibebankan untuk membayar biaya perkara ini;-------------------------------Mengingat pasal dalam Peraturan Perundang-undangan dan segala ketentuan yang berlaku serta Hukum Syara‟ yang berkaitan dengan perkara ini;-------------------------------------------------------------------------MENGADILI 1.
Mengabulkan Permohonan Pemohon;-----------------------------------
2.
Membatalkan pernikahan antara pemohon (SL binti SMR) dengan termohon (KY bin SY) yang dilaksanakan pada tanggal 14 Oktober 2010 di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang;-----------------------------
3.
Menghukum pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp271.000,- (du ratus tujuh puluh satu rupiah);------------------------
2.
Dasar Pertimbangan Hakim dalam perkara Pembatalan Perkawinan karena Pemalsuan Identitas Suami Dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara seorang hakim tidak hanya mengambil pertimbangan dari peraturan perundangundangan saja, akan tetapi juga dengan pertimbangan-pertimbangan yang lain. Seperti dalam perkara pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas (status diri) yang dilakukan oleh suami (termohon).Mengapa
68
hakim mendasarkan keputusannya pada pemalsuan status diri.Padahal dalam permohonannya, pemohon memohon pembatalan perkawinannya sesuai pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam. Menurut hakim Pengadilan Agama SalatigaIbu Hj. Farida, mengemukakan bahwa: “Keputusan pembatalan perkawinan tersebut didasarkan pada pertimbangan adanya fakta-fakta hukum yang dinyatakan telah terbukti dan cukup alasan bahwa suami (termohon) telah melakukan penipuan dengan memalsukan identitasnya.Pertimbangan tersebut berdasarkan pada pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang pada pokoknya menegaskan bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.Penipuan yang dimaksud, termasuk didalamnya adalah penipuan mengenai status diri salah satu pihak yang dengan sengaja dilakukan ketika mencapai tujuan tertentu. Dalam perkara ini, suami (termohon) terbukti telah melakukan penipuan dengan sengaja dimana termohon mengaku sebagai duda mati dengan melampirkan surat kematian istri sirrinya, padahal kenyataannya termohon masih berstatus suami dari istri pertama yang sah meskipun sudah dalam proses perceraian.” Selain itu, dari fakta-fakta hukum yang ditemukan, Majelis Hakim Pengadilan
Agama
Salatiga
yang
mengadili
perkara
tersebut
berkesimpulan bahwa dalam perkawinan antara pemohon (SL binti SMR) dan termohon (KY bin SY) telah melanggar aturan-aturan hukum yang harus dipenuhi apabila seorang laki-laki hendak beristeri lebih dari seorang, oleh karena itu majelis berpendapat bahwa permohonan pemohon telah terbukti menurut hukum sesuai Pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, dan sejalan dengan maksud tersebut maka perkawinannya dapat dibatalkan sesuai Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam.
69
Atas permohonan yang diajukan, terlihat jelas bahwa permohonan pembatalan perkawinan diajukan oleh SL binti SMR, umur 48 tahun, agama Islam, pekerjaan pedagang, pendidikan SD, bertempat tinggal di Dusun Galangan RT 01/05 Desa Gentan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, yaitu wanita yang dinikahi KY bin SY pada tanggal 14 Oktober 2010 berdasarkan Kutipan Akta Nikah Nomor xxx/xx/X/2010 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang, yang mana kedudukan SL sebagai pemohon dalam perkara ini telah benar dansesuai dengan aturan hukum, demikian juga tempat pengajuan permohonanpembatalan perkawinan yang dilakukan. Pasal 38 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 menentukan bahwa permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan olehpihak-pihak yang
berhak
mengajukan
kepada
pengadilan
yang
daerah
hukumnyameliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami isteri,suami atau isteri. Ketentuan ini dipertegas Pasal 25 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakanbahwa : “Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada
Pengadilandalam
daerah
hukum
dimana
perkawinan
dilangsungkan atau ditempat tinggalkedua suami isteri, suami atau isteri”.Pengajuan permohonan yang dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga telah tepat, karena Pengadilan Agama Salatiga daerah hukumnya
70
mencakup tempatberlangsungnya perkawinan dan juga mencakup tempat tinggal isteri. Demikian
juga
kedudukan
SL
sebagai
pemohon
telah
memenuhiketentuan yang ada pada Pasal 23 huruf b Undang-undang No. 1 Tahun 1974, bahwa yang dapatmengajukan pembatalan perkawinan yaitu Suami atau Isteri. Selain Pasal 23, Pasal 24 menyebutkan bahwa barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Landasan hukum lainnya, yaitu dalam Kompilasi Hukum Islam mengatur pada Pasal 74 mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan antara lain: 1.
Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri. Misalnya bapak atau ibu dari suami atau istri, kakek atau nenek dari suami atau isteri
2.
Suami isteri, suami atau isteri. Artinya bahwa inisiatif permohonan itu dapat timbul dari suami atau isteri saja, atau dapat juga dari keduanya secara bersama-sama dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
3.
Pejabat
yang
berwenang
hanya
selama
perkawinan
belum
diputuskan. Pejabat yang ditunjuk ditentukan lebih lanjut dalam
71
peraturan perundang-undangan (Pasal 16 ayat (2)), namun sampai saat ini urusan tersebut masih dipegang oleh PPN atau Kepala Kantor Urusan Agama, Ketua Pengadilan Agama atau Ketua Pengadilan Negeri. 4.
Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan tersebut diputuskan. Dari uraian diatas terlihat bahwa dalam mengambil keputusan, Majelis
Hakim berpegang pada keterangan saksi dan pemohon, yang tujuannyauntuk melindungi kepentingan pemohon yang dalam hal ini sebagai pihakyang dirugikan dan pihak yang telah ditipu.Oleh karena itu, majelis berpendapat
bahwa permohonan pemohon telah terbukti menurut hukum sesuai pasalpasal yang telah disebutkan di atas sehingga perkawinan dimaksud patut dibatalkan.
72
BAB IV ANALISIS
A. Analisis terhadap pertimbangan pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinannya di Pengadilan Agama Salatiga Perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan untuk mewujudkannya haruslah ada ketulusan dan kejujuran antara kedua calon suami istri yang akan melangsungkan perkawinan. Berdasarkan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh SL (pemohon), dapat dilihat bahwa yang dijadikan dasar permohonannya yaitu karena perkawinan tersebut mengandung unsur penipuan, dimana pada saat perkawinan berlangsung, KY (termohon) mengaku berstatus duda karena kematian isterinya terdahulu. Pada kenyataannya, termohon masih terikat perkawinan sah dengan seorang wanita bernama A alias Y dan sedang dalam proses perceraian. Menurut penulis, perkawinan ini telah bertentangan dengan syarat materiil mutlak perkawinan yang ada dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 yaitu Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon suami isteri. (Pasal 6 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974). Persetujuan dimaksud adalah persetujuan bebas antara kedua calon mempelai, jadi tidak boleh ada pemaksaan dalam perkawinan dan harus ada kesepakatan diantara kedua belah pihak.
73
Kesepakatan tersebut dalam pandangan penulis dapat juga diartikan harus ada kejujuran antara masing-masing pihak dan tidak ada unsur kebohongan atau penipuan dari salah satu pihak sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Selain itu, perkawinan pemohon dan termohon dilangsungkan tanpa seizin dari A alias Y yang merupakan istri sah termohon meskipun antara termohon dan A alias Y sedang dalam proses perceraian. Sehingga menurut Soimin (2002:6), perkawinan ini dapat dikatakan bertentangan dengan asas monogami yang merupakan suatu asas dalam Undang-undang Perkawinan, dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada mereka yang menurut agama dan hukumnya mengizinkan seseorang boleh beristri lebih dari seorang. Sedangkan bila mendasarkan pada pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan adalah dibenarkan sesuai dengan penegasan pasal tersebut yaitu Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
Pertimbangan lain pemohon mengajukan pembatalan karena keinginan pemohon memperoleh tunjangan pensiun sebagai istri TNI, namun masih terdapat halangan yakni terhalang istri pertama termohon yang masih menjadi tanggungan termohon. Dengan demikian, diperlukan penyelesaian dengan pemutusan perkawinan termohon dengan istri pertama agar diperoleh akta cerai yang kemudian didaftarkan ke Ajendam. Hal tersebut dimaksudkan agar hak tunjangan dialihkan kepada pemohon. Namun, sampai di Ajendam, tetap tidak diterima, karena akta cerai (termohon dengan istri terdahulu) terbit setelah akta nikah (pemohon dengan termohon). Pemohon tetap berkeinginan
74
untuk melanjutkan perkawinannya, namun perkawinan dan terbitnya akta nikah tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu, pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Setelah perkawinannya dibatalkan oleh hakim Pengadilan Agama Salatiga, pemohon dengan termohon menikah kembali di KUA Susukan sehingga perkawinan pemohon dengan termohon sah menurut hukum dan hak tunjangan pensiun sebagai istri TNI dapat diperoleh. Menurut penulis, dibatalkannya perkawinan pemohon dan termohon karena pemohon masih berkeinginan untuk melanjutkan perkawinannya agar memperoleh tunjangan sebagai istri pensiunan TNI merupakan hak asasi setiap individu selama keinginan tersebut tidak melanggar peraturan yang berlaku. Mengenai terjadinya pembatalan perkawinan, baik dalam bentuk pelanggaran terhadap hukum perkawinan, atau terdapatnya halangan yang tidak memungkinkan dilanjutkannya perkawinan, akan tetapi kedua pihak masih berkeinginan untuk melanjutkan perkawinannya, maka harus dilakukan akad nikah yang baru.
B. Analisis Pertimbangan Hakim terhadap Permohonan Pembatalan Perkawinan karena Pemalsuan Identitas Suami Sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya bahwa Pengadilan Agama Salatiga membatalkan perkawinan antara SL binti SMR (pemohon) dengan KY bin SY (termohon) atas permohonan yang diajukan oleh SL binti SMR. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam
75
perkara
No.
0560/Pdt.G/2011/PA.
Sal
adalah
hakim
mendasarkan
keputusannya pada pemalsuan status diri. Meskipun dalam permohonannya, pemohon memohon pembatalan perkawinannya sesuai pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam. Menurut Majelis Hakim, keputusan pembatalan perkawinan tersebut didasarkan pada pertimbangan adanya fakta-fakta hukum yang dinyatakan telah terbukti dan cukup alasan bahwa suami (termohon) telah melakukan penipuan
dengan
memalsukan
identitasnya.
Pertimbangan
tersebut
berdasarkan pada pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang pada pokoknya menegaskan bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri. Penipuan yang dimaksud, termasuk didalamnya adalah penipuan mengenai status diri salah satu pihak yang dengan sengaja dilakukan ketika mencapai tujuan tertentu. Dalam perkara ini, suami (termohon) terbukti telah melakukan penipuan dengan sengaja dimana termohon mengaku sebagai duda mati dengan melampirkan surat kematian istri sirrinya, padahal kenyataannya termohon masih berstatus suami dari istri pertama yang sah meskipun sudah dalam proses perceraian. Selain itu, dalam mengambil keputusan Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perkawinan antara pemohon (SL binti SMR) dan termohon (KY bin
SY) telah melanggar aturan-aturan hukum yang harus dipenuhi apabila seorang laki-laki hendak beristeri lebih dari seorang, oleh karena itu Majelis
76
berpendapat bahwa permohonan pemohon telah terbukti menurut hukum sesuai Pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, dan sejalan dengan maksud tersebut maka perkawinannya dapat dibatalkan sesuai Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan, maka Majelis Hakim berpegang pada keterangan saksi dan pemohon, yang tujuannya untuk melindungi kepentingan pemohon yang dalam hal ini sebagai pihak yang dirugikan dan pihak yang telah ditipu. Oleh karena itu Majelis berpendapat
bahwa permohonan pemohon telah terbukti menurut hukum sesuai pasalpasal yang telah disebutkan di atas sehingga perkawinan dimaksud patut dibatalkan. Menurut penulis, keputusan Pengadilan Agama Salatiga dalam perkara pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas suami telah benar dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan dan hukum munakahat. Hukum munakahat yang dimaksud adalah hukum perkawinan menurut agama Islam yang menganut prinsip-prinsip perkawinan Islam salah satunya adalah kerelaan dan persetujuan sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang hendak melangsungkan perkawinan. (Daradjat, 1995:54). Kerelaan dan persetujuan termasuk didalamnya adalah diketahuinya kejelasan identitas calon mempelai. Salah satu langkah yang perlu ditempuh untuk mengetahui kejelasan identitas calon mempelai adalah dengan adanya khitbah atau peminangan sebelum melangsungkan perkawinan.
77
Dalam perkara pembatalan perkawinan tersebut terbukti termohon telah melanggar prinsip perkawinan dalam hukum perkawinan Islam yang mana termohon melakukan penipuan atau pemalsuan identitasnya. Dengan demikian, syarat dalam hukum munakahat tidak terpenuhi dan keputusan Majelis Hakim membatalkan perkawinan pemohon dan termohon telah benar. Disamping itu, Majelis Hakim telah memproses perkara tersebut sesuai prosedur, yakni sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Agama. Proses tersebut antara lain dengan memanggil pemohon dan termohon secara patut untuk menghadap di persidangan, mendamaikan pemohon dan termohon, memeriksa
bukti-bukti
(surat-surat
dan
saksi-saksi),
mengemukakan
pertimbangan dan dasar hukum yang sesuai dengan perkara, kemudian memberi putusan.
78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Sebagai bagian akhir dari penulisan skripsi dengan judul Pemalsuan Identitas Suami sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan, penulis akan menyampaikan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulannya adalah sebagai berikut: 1.
Pemohon dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinannya mempunyai pertimbangan yakni perkawinan tersebut mengandung unsur penipuan, dimana pada saat perkawinan berlangsung, termohon mengaku berstatus duda karena kematian isterinya terdahulu. Pada kenyataannya, termohon
masih terikat perkawinan sah dengan seorang wanita dan
sedang dalam proses perceraian. Perkawinan ini telah bertentangan dengan syarat materiil mutlak perkawinan mengenai persetujuan kedua calon suami isteri yang mana harus ada kesepakatan yang diartikan harus ada kejujuran antara masing-masing pihak dan tidak ada unsur kebohongan atau penipuan dari salah satu pihak sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Selain itu, perkawinan tersebut dilangsungkan tanpa izin dari Pengadilan Agama dan tanpa seizin dari istri pertama meskipun antara termohon dengan istri pertama sedang dalam proses perceraian. Maka dari itu, pemohon mengajukan pembatalan perkawinan sesuai dengan pasal 71 huruf (a) KHI yaitu suatu perkawinan dapat
79
dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama. 2.
Putusan Pengadilan Agama No. 0560/Pdt.G/2011/PA. Sal tentang pembatalan nikah karena pemalsuan identitas suami telah benar dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan dan hukum munakahat. Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan, bahwa suami
(termohon) terbukti telah melakukan penipuan dengan sengaja dimana termohon mengaku sebagai duda mati dengan melampirkan surat kematian istri sirrinya, padahal kenyataannya termohon masih berstatus suami dari istri pertama yang sah meskipun sudah dalam proses perceraian, makaMajelis berpendapat bahwa permohonan pemohon telah terbukti menurut hukum sesuai pasal-pasal yang telah disebutkan sehingga perkawinan dimaksud patut dibatalkan.
B. Saran Adapun saran yang dapat penulis sampaikan setelah melakukan penelitian dan pembahasan atas penulisan skripsi Pemalsuan Identitas Suami sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan adalah sebagai berikut: 1.
Bagi Calon Suami Istri Sebelum melangsungkan perkawinan biasanya calon suami istri telah melaksanan peminangan (khitbah) yang berguna untuk mengetahui siapa calon yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Untuk itu, perlu kehati-hatian agar tidak terjadi penipuan oleh salah satu pihak sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
80
2.
Bagi Pengadilan Agama Sudah seharusnya Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan agar dalam memeriksa dan memutus perkara yang diajukan hendaknya diputus dengan adil, karena hal itulah yang diharapkan oleh pencari keadilan.Pelayanan administrasi supaya tidak dipersulit dan disepelekan khususnya bagi pencari keadilan, dan bagi mahasiswa yang ingin menimba ilmu.
3.
Bagi Pemerintah Usaha-usaha dari pihak penegak hukum belum dapat menyadarkan masyarakat untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum.Untuk itu serangkaian kegiatan yang bersifat pembelajaran dan penyuluhan di bidang hukum perkawinan pada masyarakat perlu ditingkatkan.
4.
Bagi Kantor Urusan Agama Dalam pelaksanaan sebuah perkawinan perlu kehati-hatian dan profesionalisme penelitian
dan
Petugas
Pencatat
pemeriksaan
Perkawinan mengenai
ketika
melakukan
identitas
calon
mempelai.Pengecekan identitas tidak hanya mengutamakan kebenaran bukti secara administratif saja, namun diupayakan untuk dapat dilakukan pengecekan lapangan melalui komunikasi dengan Pegawai Pencatat Perkawinan KUA Kecamatan yang mewilayahi domisili salah satu calon mempelai. Sehingga tidak akan terjadi lagi pemalsuan atau penipuan yang dilakukan oleh calon mempelai yang dapat mengancam dibatalkannya perkawinan mereka.
81
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2007. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Garfika Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Basyir, Ahmad Azhar. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Fakultas Hukum UII Chazawi, Adami. 2002. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. Jakarta: PT Raja Grafindo Daradjat, Zakiah. 1995. Ilmu Fiqh. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf Fajri, Em Zul dan Ratu Aprilia Senja. 1979. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Difa Publisher Nuruddin, H. Amiur, dan Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974, sampai KHI. Jakarta: Kencana Mahmood, Tahir. 1987. Personal Law in Islamic Countries. New Delhi: Academy of Law and Religion Mardani, Dr. 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar‟iyah. Jakarta: Sinar Grafika Moloeng, Lexy, J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Muhammad, Imam Abi Abdillah bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al Bukhari al Ja‟fi. Tanpa tahun. Shahih Bukhari. Semarang: Toha Putra Usman, Rachmadi. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika Rafiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers Ramulyo, Mohd. Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara
82
Rasyid, Roihan. 1998. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqh al-Sunnah Jilid II. Beirut: Dar al-Fikr Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta Soimin, Soedharyo. 2002. Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta: Sinar Garfika Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan. Liberty: Yogyakarta Sosroatmodjo, Arso dan A. Wasit Aulawi. 1978. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang Sy, Musthofa. 2005. Kepaniteraan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Zuhaily, al-Wahbah. 1989. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz VII. Damsyiq: Dar al-Fikr
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98