PUTUSAN KHUL’I YANG DALAM ACARA PEMBUKTIANNYA TANPA DIHADIRI SAKSI-SAKSI (Studi Analisis putusan No.0850/Pdt.G/PA.SAL) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh SRI KUSRINI NIM 21209007
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHISYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2012
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka Skripsi saudara: Nama
: Sri Kusrini
NIM
: 21209007
Jurusan
: Syari’ah
Program Studi
: Ahwal Al Syakhiyyah
Judul
: Putusan khul’i yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi (Studi Analisis Putusan No.0850/Pdt.G/PA.SAL)
Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan
Salatiga, 12 Juni 2012 Pembimbing
Heni Satar Nurhaida, S.H.,M.Si NIP.19701127199903 2 001
SKRIPSI PUTUSAN KHUL’i DALAM ACARA PEMBUKTIANNYA TANPA DIHADIRI SAKSI-SAKSI (STUDI ANALISIS PUTUSAN No. 850/Pdt.G/2010/PA.SAL)
DISUSUN OLEH SRI KUSRINI NIM. 21209007
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 28 Juni 2012 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Hukum Islam. Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji
:
Drs. Mubasirun, M.Ag
Sekretaris Penguji
:
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag
Penguji I
:
Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, MA
Penguji II
:
Tri Wahyu Hidayati, M.Ag
Penguji III
:
Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si Salatiga, 10 Juli 2012 Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP. 19580827 198303 1 002
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Sri Kusrini
NIM
: 21209007
Jurusan
: Syari’ah
Program Studi
: Ahwal Al Syakhiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutup atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 12 Juni 2012 Yang menyatakan,
Sri Kusrini
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO · Ketika kesempitan sudah sampai pada puncaknya, maka saat itulah datang kelapangan dan ketika musibah telah menyempitkan tenggorokan, maka saat itulah datang kemudahan · Seluruh wadah akan menyempit dengan apa yang diletakkan di dalamnya, kecuali wadah ilmu, karena ia sesungguhnya akan bertambah luas
PERSEMBAHAN Yang tercinta suami (Wiyana),anakku (Adika dan Nadia) terimakasih atas pengertian pengorbanan waktu, tenaga yang kalian berikan untukku Yang saya sayangi ibu dan ayah serta kakak-kakak dan adikku di Bengkulu doa dan dukungan kalian membuat aku bersemangat Teman-teman ku ekstensi dan reguler terimakasih atas motifasi yang kalian berikan untukku Orang –orang disekitarku yang tak bisa tersebut namanya satu persatu yang menyayangiku, membenciku kalian membuat aku tegar dalam menjalani hidup ini
Keluarga besar Ahs’2009 Karya ini kupersembahkan
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik mungkin. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta orang-orang yang senantiasa di jalan-Nya. Dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulis melibatkan bantuan berbagai pihak baik berupa masukan, pengarahan, bimbingan, dukungan, serta dorongan sehingga pada akhirnya karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Imam Sutomo, M.Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga 2. Bapak Drs.Mubasirun, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Syari’ah 3. Bapak Ilyya Muhsin S.H.I.,M.Si., selaku ketua Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah 4. Ibu Heni Satar Nurhaida, SH.,M.Si selaku dosen pembimbing 5. Bapak Moh. Khusen.,S.Ag.,M.Ag selaku Pembimbing Akademik 6. Ibu Dra.Hj. Farida,MH selaku Hakim Pengadilan Agama Salatiga 7. Ibu Dra.Widad selaku panitera pengganti di Pengadilan Agama Salatiga 8. Seluruh karyawan dan staf Pengadilan Agama Salatiga
9. Bapak ibu Dosen STAIN yang telah memberikan pengetahuan kepada penulis semoga Allah melimpahkan rahmat dan hidayahnya lebih baik kepada mereka. 10. Seluruh staf dan karyawan STAIN Salatiga
Salatiga, 12 Juni 2012 Penulis
Sri Kusrini
ABSTRAK
Kusrini, Sri. 2012 Putusan Khul’i yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi. (Studi analisis putusan No. 0850/Pdt.G/PA.SAL) pada Pengadilan Agama Salatiga. Skripsi. Jurusan Syariah Program Studi Ahwal AI Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Heni Satar Nuraida SH.M.Si Kata kunci: Acara pembuktian tanpa saksi saksi Pembuktian dengan saksi pada dasarnya diperbolehkan dalam segala hal kecuali Undang-Undang menentukan lain, kesaksian mengenai suatu peristiwa atau kejadian harus dikemukakan oleh para saksi didalam persidangan secara lisan dan pribadi oleh orang yang terkait dalam perkara Dalam sidang perkara perdata Hakim secara “exofficio” dapat memerintahkan saksi untuk datang sesuai dengan pasal 135 HIR atau pasal 165 RBg pada ketentuan pasal 76 bahwasannya saksi bersifat ” imperatif” karena pada pasal tersebut terdapat kata “ harus “ yakni yang dekat dengan suami istri tersebut. Ini bearti pemeriksaan keluarga dan orangorang terdekat dengan suami istri “wajib” atau “mesti” diperiksa lebih dahulu sebelum hakim menjatuhkan putusan, Oleh karena pemeriksaannya bersifat imperatif, maka apabila dilalaikan tata cara memeriksa dan mengadili perkara menurut tata cara yang ditentukan Undang-Undang mengakibatkan pemeriksaan dan putusan batal demi hukum. Dalam perkara percaraian dengan alasan pertengkaran dan perselisihan terus menerus dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga seperti yang diatur dalam pasal 22 PP No.9/1975 pasal 76 Undang-Undang No.7/1989 dengan ketentuan secara khusus dengan memeriksa keluarga atau orang-orang terdekat dengan suami dan istri: “Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus (syiqoq) maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengarkan keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang terdekat dengan suami istri” Maka dalam putusan No.0850/Pdt.G/PA.SAL hakim telah lalai untuk menghadirkan para saksi yang mengakibatkan pemeriksaan belum memenuhi syarat yang ditentukan undang- undang maka pemeriksaan dan putusan batal demi hukum. Canon MP Navigator EX 3.0.lnk
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN............................................... v MOTTO DAN PERSEMBAHAN .......................................................... vi KATA PENGANTAR ........................................................................... vii ABSTRAKSI ......................................................................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................................... x BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................
1
B. Pembatasan masalah ........................................................... 4 C. Rumusan Masalah...........................................................
4
D. Tujuan Penelitian ............................................................
4
E. Manfaat Penelitian ..........................................................
5
F. Telaah Pustaka ................................................................
6
G. Metode Penelitian ........................................................... 10 H. Sistematika Penulisan ..................................................... 14 BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Talak Khul’I dalam Hukum Islam …...………………... 16 B. Tinjauan umum tentang tata cara penyelesaian perkara di Pengadilan Agama ........................................................... 21 1. Tata cara pemeriksaan Cerai Talak................................ 22
2. Tata cara pemeriksaan Cerai gugat ................................ 26 C. Tata cara perceraian yang diatur secara khusus di Pengadilan Agama ............................................................................... 29 1. Tata cara khuluk ........................................................ 29 2. Tata cara Li’an .......................................................... 30 D. Pembuktian yang disertai alasan dalam perkara perceraian yang harus menghadirkan saksi-saksi ............................... 31 1. Tata cara penyelesaian dengan alasan siyqoq............. 31 2. Tata cara penyelesain dengan alasan istri mendapat cacat badan ............................................................... 33 3. Tata
cara
penyelesaian
dengan
alasan
suami
meninggalkan istri selama 6 bulan berturut- turut ...... 33 4. Tata cara penyelesaian dengan alasan istri murtad ..... 34 E. Peran saksi dalam pembuktian perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus.......... 34 BAB III HASIL PENELITIAN A. Gambaran umum Pengadilan Agama Salatiga ................... 37 B. Hasil putusan khul’i yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi ........................................................... 47 C. Pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam putusan khul’i yang di dalam hukum acaranya tanpa dihadiri saksi-saksi. 57 BAB IV ANALISIS PUTUSAN PERKARA PERCERAIAN NOMOR 850/Pdt.G/PA.SAL
A. Analisis putusan perkara cerai gugat dengan putusan khul’iyang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksisaksi ................................................................................. 59 B. Analisis pertimbangan dan dasar hukum Hakim dalam putusan Nomor.0850/Pdt.G/PA.SAL ................................ 61 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................... 64 B. Saran-saran ...................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Saksi dalam hukum acara perdata termasuk dalam hukum pembuktian. Pembuktian diperlukan oleh hakim untuk mencari kebenaran fakta dan peristiwa yang dijadikan dalil gugatan oleh penggugat dalam menuntut haknya. Pembuktian diperlukan apabila timbul suatu perselisihan terhadap suatu hal di muka Pengadilan, dimana seseorag mengaku bahwa sesuatu hal tersebut adalah haknya, sedangkan pihak lain menyangkal terhadap pengakuan yang dikekemukakan oleh seseorang itu. Jadi, pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan seseorang dalam suatu sengketa. Salah satu alat bukti dalam hukum pembuktian adalah saksi, alat bukti saksi dalam hukum Islam disebut dengan syahid (saksi laki-laki) atau syahidah (saksi perempuan) yang terambil dari kata musyahadah yang artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi saksi yang dimaksud adalah saksi hidup dasar alat bukti yang terdapat dalam pasal 1902 B.W yang isinya: “Ditetapkannya suatu pembuktian dengan tulisan - tulisan namun jika ada suatu permulaan pembuktian dengan tertulis diperkenankan pembuktian dengan saksi-saksi kecuali apabila tiap-tiap pembuktian lain dikecualikan, selain dengan tulisan.
Pada pasal 1912 yang isinya: “Orang- orang yang belum mencapai usia genap limabelas tahun begitu pula orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan karena dungu, sakit ingatan atau mata gelap ataupun selama perkara sedang bergantung, atas perintah hakim telah dimasukkan dalam tahanan, tidak dapat diterima sebagai saksi………..(Kurdianto:1991:46) Adapun menurut Islam, dasarnya ialah Al Quran, surat Al –Baqarah ayat 282 yang berbunyi:
Èb $s?r&zöD$#ur ×@ ã_ tsù Èû÷ün=ã_ u‘ $tRqä3 tƒ öN ©9 b Î*sù (öN à6 Ï9%y` Íh‘ ` ÏB Èûøïy‰ ‹Íky (#r߉ Îhô± tFó™ $#ur 43“ t÷z W{ $#$yJ ßg1y‰ ÷n Î) tÅe2 x‹ çFsù $yJ ßg1y‰ ÷n Î) ¨@ ÅÒ s? b r&Ïä!#y‰ pk’¶ 9$#z` ÏB tb öq|Ê ös? ` £J ÏB 4(#qãã ߊ $tB #sŒÎ)âä!#y‰ pk’¶ 9$#z> ù'tƒ Ÿw ur Artinya: …Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu) Jika tidak ada dua orang lelaki maka boleh seorang lelaki bersama dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu sukai, supaya jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya dan janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…… Sayid Sabiq (1971:1927) mengemukakan bahwa saksi tidak boleh memberikan keterangan kesaksian kecuali apa yang ia lihat dan alami sendiri seperti ia mengetahui terangnya matahari dengan mata kepalanya sendiri. Lebih lanjut Ibnu Rusyd (1960:462) mengatakan bahwa secara garis besar ada lima sifat saksi yang harus dipegangi oleh hakim dalam memeriksa kesaksiannya yaitu adil, dewasa, Islam, merdeka dan bukan budak, mempunyai iktikad baik dalam memberi kesaksian di dalam persidangan.
Pada penelitian penulis putusan No.0850/Pdt.G/PA.SAL di dalam acara pembuktiann cerai gugat di Pengadilan Agama Salatiga, hakim dengan mudah memberikan putusan hanya berdasarkan pada bukti akta nikah dan pengakuan tergugat, tanpa menghadirkan saksi-saksi untuk menguatkan apa yang menjadi hak kedua belah pihak yang bersengketa. Kehadiran seorang saksi dalam proses persidangan tidak dijadikan sebagai suatu bahan pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan, dan hakim tidak memberikan beban pembuktian pada para pihak untuk mendukung dan menguatkan apa yang menjadi alasan perceraian, sebagaimana yang terjadi di Pengadilan Agama Salatiga dengan adanya Putusan Nomor 850/Pdt.G/2010/PA.SAL dengan sebuah putusan yang sudah final namun pada pembuktian pada hukum acaranya tidak dihadiri oleh saksisaksi baik dari pihak penggugat maupun tergugat, sehingga muncul pertanyaan dalam diri peneliti mengapa Pengadilan Agama Salatiga dalam perkara itu memutus perkara cerai gugat yang didalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi. Kiranya atas dasar itulah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini yang akan dituangkan dalam bentuk penulisan Skripsi
dengan
judul
PEMBUKTIANNYA
“PUTUSAN TANPA
KHUL’I
DIHADIRI
DALAM
ACARA
SAKSI-SAKSI
(STUDI
ANALISIS PUTUSAN No. 850/Pdt.G/2010/PA.SAL)”.
B. Pembatasan Masalah
Agar lebih terarah pada inti permasalahan yang akan diteliti maka menganggap perlu untuk mengadakan pembatasan masalah, agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan. Dalam hal ini yang akan diteliti mengenai proses persidangan dengan perkara cerai gugat dalam putusan No.850/Pdt/PA.SAL yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksisaksi.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis dapat memberikan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah hasil putusan cerai gugat dengan putusan No.850./ Pdt.G/PA.SAL yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksisaksi? 2. Apa yang menjadi pertimbangan hakim dan dasar hukum dalam memutuskan perkara dengan tanpa dihadiri saksi-saksi dalam putusan No.850/Pdt.G/PA.SAL di Pengadilan Agama Salatiga?
D. Tujuan Penelitian Agar tidak menyimpang dari rumusan masalah yang diutarakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Untuk mengetahui proses persidangan cerai gugat dengan putusan khul’i No.850/Pdt.G/PA.SAL yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi.
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hakim dan dasar hukum dalam memutuskan perkara dengan tanpa dihadiri saksi-saksi dalam putusan No.850/Pdt.G/PA.SAL di Pengadilan Agama Salatiga ?
E. Manfaat Penelitian Suatu penelitian yang dilaksanakan harus dapat memberikan manfaat adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritik Diharapkan dengan adanya penulisan skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang Studi Analisis Putusan No. 850/Pdt.G/PA.SAL yang dalam acara pembuktiannya tampa menghadirkan saksi-saksi. 2. Manfaat Praktis Dengan tersusunnya skripsi ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran bagi masyarakat dalam masalah yang berkaitan dengan adanya Putusan No.850/Pdt.G/PA.SAL dengan cerai gugat yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihariri saksi-saksi.
F. Telaah Pustaka Skripsi M. Syaipul Alam yang berjudul Sumpah Li’an dalam sistem Pembuktian Perceraian di Pengadilan Agama 2005 (studi kasus di Pengadilan Agama Purworejo tahun 1996) yang menjelaskan tentang: 1. Sumpah li’an yang terjadi dalam perkara perceraian akibat zina memiliki kekuatan hukum mutlak, hal ini sesuai dengan kewenangan absolut. Pengadilan
Agama
yang
berwenang
memeriksa,
mengadili
dan
memutuskan perkara perdata tertentu bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam yang diatur dalam Undang-undang No 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Pengadilan. 2. Sumpah li’an dalam hukum acara persidangan merupakan alat bukti sumpah tambahan yang diperintahan oleh hakim secara ex officio kepada Penggugat karena penggugat belum bisa memenuhi bukti saksi dalam keadaan qodzaf atau inflarante atau saksi empat orang yang benar-benar melihat kejadian zina hal yang dijadikan hakim dalam mengambil keputusannya. a. Pasal 38 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No 9 Tahun 1975 pasal 19 huruf a pasal 70 ayat 1 pasal 87 dan 88 Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, pasal 116 huruf a kompilasi hukum Islam. b. Sistem dan tata cara pembuktian perceraian akibat zina dilakukan dengan cara majelis hakim menyuruh penggugat dan tergugat bersumpah li’an yang mana dalam menyuruh penggugat maupun
tergugat, hakim berdasarkan pada keyakinannya dan Undang-undang pasal 1915 B.W sumpah li’an dilakukan oleh pemohon dan termohon dengan cara menghadap kiblat dihadapan hakim yang menyumpah, keduannya saling me-li’an sebagaimana dilakukan di Masjid Agung Darul Mutaqin Purworejo. Pada skripsi Sayipul Alam, saksi tidak dapat dihadirkan dikarenakan kesulitan dalam menghadirkan empat orang saksi yang menyaksikan perbuatan zina tersebut sehingga, pada acara pembuktian upaya yang hakim lakukan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusannya adalah dengan sumpah li’an sebagai pengganti bukti. Pada
penelitian
penulis
dengan
judul
studi analisis
putusan
No.850/Pdt.G/PA.SAL pada perkara cerai gugat dengan pada acara pembuktiannya hakim tidak menghadirkan saksi-saksi sebagai bahan pertimbangan dalam putusannya. Menurut Yahya Harahap, S.H (1989:321) apabila suami menuduh istrinya berbuat zina dan istrinya menyangkal tuduhan tersebut, maka suami wajib menbuktikan dengan empat orang saksi, bila suami tidak dapat menghadirkan empat orang saksi maka ia akan dihukum dera delapan puluh kali karena menuduh istrinya berbuat zina (qadzaf) tanpa alat bukti untuk menghindari hukuman dera tersebut, Al Qur’an memberi jalan keluar upaya dengan upaya li’an sebagai penganti qadzaf begitupun pihak istri untuk menghindarkan diri dari ancaman dera dibenarkan oleh hukum melakukan upaya li’an sebagai pengganti bukti penyanggahannya atas tuduhan zina
dimana pada ayat Al Quran an-Nur mengandung asas “inflagrante delicto” yakni pembuktian tuduhan berbuat zina dengan saksi, para saksi tersebut harus benar-benar menyaksikan peristiwa zina yang dilakukan dalam keadaan tertangkap basah, sedang berhubungan kelamin secara fisik dan biologis. Sebagaimana sumpah yang lain, maka untuk dapat dilaksanakan sumpah li’an diperlukan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Syarat formal sumpah li’an: a. Tuduhan istri berbuat zina tercantum atau dimuat secara kronologis dalam surat permohonan. b. Istri menyanggah tuduhan suami bahwa dirinya telah berbuat zina dengan laki-laki lain c. Sumpah li’an dilaksanakan atas perintah hakim yang memeriksa perkara tersebut. 2. Syarat materil sumpah li’an a. Suami tidak dapat melengkapi bukti-bukti atas tuduhan zina kepada istri b. Sumpah suami tersebut diucapkan dalam sidang Majelis Hakim yang dihadiri oleh istri pemohon c. Sumpah Mula’anah (saling melaknat) menurut teks sumpah yang telah ditentukan. (Manan, 2006: 270) Tri Astuti skripsi “sikap hakim mengenai hukum pembuktian pada proses perkara perceraian di Pengadilan Agama Salatiga 2005 yang menjelaskan tentang:
1. Sesuai hukum pembuktian dalam acara perdata hakim Pengadilan Agama Salatiga menerapkan hukum pembuktian dalam tahap pembuktian, karena tidak akan memutus suatu perkara tanpa didahului adanya pembuktian. 2. Dalam tahap pembuktian Pengadilan Agama Salatiga telah menerapkan asas-asas hukum acara perdata sesuai hukum acara yang berlaku 3. Sikap hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menilai alat bukti pada proses perkara perceraian yaitu dengan menggunakan pembuktian formil menuju kepembuktian materil artinya apabila dalam proses pembuktian telah terbukti memenuhi syarat formil maka hukum masih menuju kepada pembuktian materil yaitu dengan menghadirkan saksi dengan tujuan supaya rasa keadilan kedua belah pihak dapat terwujud. Pada skripsi Tri Astuti hakim akan memproses perkara tersebut apabila syarat-syarat yang dijadikan sebagai pembuktian formil dan materil dapat diajukan di persidangan maka perkara tersebut akan dilanjutkan pada tahap putusan. Pada penelitian penulis dengan Putusan No.850/Pdt.G/PA.SAL dengan putusan yang sudah final hakim tidak menghadirkan saksi-saksi sebagaimana yang sudah dituliskan pada skripsi Tri Astutin apabila syarat formil dalam pembuktian sudah terbukti maka hakim masih menuju kepada tahap pembuktian materil dimana peran saksi dan alat bukti lain sangat menentukan dalam memutus perkara persidangan. Skripsi Elia Indriyani yang berjudul Cerai Talak Akibat Istri Tidak Menjalankan Kewajiban dalam Rumah Tangga (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 395/ Pdt.G/ 2005/ Pa.Sal) yang menjelaskan tentang:
1. Putusan hakim terhadap putusan cerai talak akibat istri tidak menjalankan kewajiban dalam rumah tangga yaitu hakim memutus tali perkawianan antara penggugat dan tergugat dengan perceraian yang berkaitan dengan PP No. 9 Tahun 1975 pasal 19 huruf f karena tergugat nusyuz. 2. Putusan cerai ini di dasarkan pada pembuktian mengenai hal yang disangkal oleh pihak lawan terbukti dan hakim menggunakan dasar PP No. 9 Tahun 1975 pasal 19 huruf f, pasal 116 huruf f KHI dan pembuktian ini merupakan landasan materiil. Skripsi Elia Indriyani perceraian ini berakhir dengan putusan cerai yang didasarkan pada pembuktian yang disangkal oleh pihak lawan terbukti, maka hakim mempunyai alasan yang kuat sebagai bahan pertimbangan dalam putusannya karena pada dasarnya siapa yang mengemukakan suatu hak ia harus dibebani dengan pembuktian, sedangkan peristiwa yang menghapuskan hak harus dibuktikan oleh pihak yang membantah itu. Pada penelitian penulis pada acara pembuktian hingga berakhir dengan putusan, saksi-saksi tidak dihadirkan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam putusannya.
G. Metode Penelitian Untuk
mencapai
sasaran
yang tepat
bagi penelitian,
penulis
menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Metode pendekatan Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan yuridis sosiologis yakni suatu penelitian yang
didasarkan pada suatu ketentuan hukum (peraturan yang berlaku) dengan fenomena atau kenyataan yang terjadi di lapangan serta dalam prakteknya sesuai dengan yang terjadi yang sebenarnya. (Nawawi, 1991: 11) 2. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk pada penelitian analisis yurisprudensi. Dalam system common law, yurisprudensi diterjemahkan sebagai suatu ilmu pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan hukum lain. Sedangkan dalam system statute law dan civil law, diterjemahkan sebagai putusan-putusan Hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama (Simorangkir, 1987: 78). Alasan menggunakan penelitian yurisprudensi ini adalah untuk memberikan gambaran dan segala sesuatu yang berhubungan dengan studi analisis putusan No. 850/Pdt.G/PA.SAL. 3. Kehadiran Penelitian Penelitian ini bersifat observasi non partisipasi yang dimaksud dengan observasi non partisipasi adalah observasi yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan peneliti sebagai partisipasi atau kelompok yang diteliti. 4. Lokasi Penelitian Sesuai dengan judul skripsi yang telah penulis ajukan, maka untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas, penulis mengambil lokasi di Pengadilan Agama Salatiga.
5. Sumber Data Sumber data penelitian ini berasal dari : a. Sumber data primer Sumber data putusan PA No. 850/Pdt.G/PA.SAL ini diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak Pengadilan Agama Salatiga. b. Sumber data sekunder Sumber data ini diperoleh tidak dengan secara langsung dari yang memberikan data atau informasi, tetapi sumber data ini diperoleh melalui studi kepustakaan yang meliputi buku-buku, arsip-arsip, dan peraturan-peraturan yakni Al Qur’an, Al-hadist, fiqh, KUHP, UndangUndang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo Undang-Undang Nomor. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 Undang-Undang Nomor. 14 tahun 1970 yang telah ditambah dan diubah dengan Undang- Undang Nomor. 35 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Oleh karena itu, dengan sumber data tersebut diharapkan dapat menunjang serta melengkapi data-data yang akan dibutuhkan untuk penyusunan penelitian ini.
6. Metode Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dari sumber data primer, maka penyusun akan menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: a. Studi Pustaka Yaitu dengan jalan mempelajari buku-buku kepustakaan terhadap teori-teori hukum dan untuk memperoleh data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari, membaca, mengutip dari buku-buku literatur, arsip, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan skripsi. b. Wawancara (interview) Merupakan hal penting untuk memperoleh data putusan PA No. 850/Pdt.G/PA.SAL. Dalam wawancara ini dilakukan secara terarah dengan menanyakan hal-hal yang diperlukan untuk memperoleh datadata yang lebih mendalam kepada pihak yang berkompeten dengan penulisan ini yaitu dengan para pihak di Pengadilan Agama Salatiga. Dengan demikian, penulis dapat lebih mudah untuk menganalisis dan mengembangkan data yang dihasilkan dari wawancara tersebut. 7. Metode Analisis Data Dalam metode analisis data yang akan digunakan, maka penulis menggunakan metode analisis data kualitatif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang diperoleh yang kemudian dihubungkan dengan literatur yang ada atau teori-teori yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti, sehingga akan diketahui pemecahannya dan
ditentukan hasil akhir dari penelitian tersebut yang berupa kesimpulankesimpulan.
H. Sistematika Skripsi Untuk mempermudah mencari laporan penelitian ini perlu adanya sistematika penulisan. Skripsi ini terbagi dalam lima bab yang tersusun secara sistematika, didalam tiap-tiap bab memuat pembahasan yang berbeda-beda, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Secara lengkap sistematika penulisan ini adalah sebagi berikut: Bab I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika skripsi. Bab II: Kajian Pustaka berisi tentang tinjauan umum tata cara penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama Salatiga dan peran saksi dalam penyelesaian perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus (syiqoq). Bab III: Hasil Penelitian yang memuat gambaran umum Pengadilan Agama Salatiga, yang berisi sejarah Pengadilan Agama Salatiga, kewenangan Pengadilan Agama Salatiga, dan
hasil putusan khul’i yang dalam acara
pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi. Bab IV: Analisis Putusan yang membahas analisis putusan perkara cerai gugat dengan putusan khul’i yang dalam acara pembuktiannya tanpa
dihadiri saksi-saksi dan Analisis pertimbangan dan dasar hukum majelis hakim dalam putusan Nomor.0850/Pdt.G/PA.SAL Bab V: Penutup yang berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dibahas, saran-saran dan penutup.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Talak Khul’i dalam Hukum Islam 1. Pengertian Khul’i Khul’i berasal dari kata َ( ﺧَﻠَﻊkhala’a) yang artinya menanggalkan. Dapat juga dinamakan juga dengan tebusan, yaitu isteri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanya (mahar). Isteri memisahkan diri dari suaminya dengan memberikan ganti rugi (Sayid Sabiq, 1994: 95). Khul’i menurut istilah fiqh berarti menghilangkan atau membuka buhul akad nikah dengan kesediaan isteri membayar iwadl kepada pemilik akad nikah (suami) dengan menggunakan perkataan cerai atau khuluk. Iwadl dapat berupa pengembalian mahar atau sejumlah barang, uang atau sesuatu yang dipandang mempunyai nilai yang telah disepakati oleh kedua suami isteri. Khul’i bukanlah talak dalam arti yang khusus atau faskh atau semacam sumpah, tetapi khuluk adalah semacam perceraian yang mempunyai unsur-unsur talak, faskh dan sumpah. Dikatakan mempunyai unsur talak karena suamilah yang menentukan jatuh tidaknya khul’i, isteri hanyalah orang yang mengajukan permohonan kepada suaminya agar suaminya mengkhuluknya (Kamal Mukhtar, 1987: 181-182) Khul’i merupakan penyerahan harta yang dilakukan oleh isteri untuk menebus dirinya dari ikatan suaminya. (Muhammad Jawad
Mughniyah, 2002: 456). Khuluk disebut juga dengan talak tebus yang terjadi atas persetujuan suami isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan cara itu. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri kepada suami disebut juga dengan iwadl (Soemiyati, 1986: 110-111). 2. Ketentuan, Persyaratan dan Akibat Khul’i Menurut Hukum Islam Dalam menjalani kehidupan suami isteri, adakalanya terjadi suami tidak lagi menyenangi dan membenci isterinya dan sebaliknya juga mungkin terjadi isteri tidak lagi menyenangi dan membenci suaminya atau bahkan keduanya sama-sama saling tidak menyukai dan saling membenci satu sama lain. Ketika kebencian itu menjadi semakin membesar perpecahan tidak dapat dielakkan dan ketenangan rumah tangga akan lenyap sehingga berakibat mengganggu sendi-sendi kehidupan rumah tangga dan pemenuhan hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Jika krisis rumah tangga ini sampai pada tahap tidak bisa didamaikan lagi maka jalan keluarnya, jika kebencian ada pada suami ia bisa menggunakan hak talaq yang ada padanya, dan jika kebencian ada pada isteri ia dimungkinkan untuk menebus dirinya dengan jalan khuluk, yaitu mengembalikan mahar kepada suaminya untuk mengakhiri ikatan perkawinan diantara mereka. Dasar dibolehkannya Khul’i adalah al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 229, artinya:
žw r& !$sù$sƒs† b r& Hw Î) $º«ø‹x© £` èd qßJ çF÷s?#uä !$£J ÏB (#rä‹ è{ ù's? b r& öN à6 s9 ‘@ Ïts† Ÿw ur ..... $uK‹Ïù $yJ ÍköŽn=tã y $oYã_ Ÿx sù «! $# yŠr߉ ãn $uK‹É)ムžw r&÷LäêøÿÅz ÷b Î*sù («! $# yŠr߉ ãm $yJ ŠÉ)ム...... ¾Ï mÎ/ ôN y‰ tGøù$# Artinya: “…dan tidak halal bagi kalian (suami-suami) meminta kembali sedikitpun apa yang telah diberikan kepada mereka (isteri-isteri), kecuali bila keduanya khawatir tidak dapatmenegakkanhukum Allah, jika kalian khawatir tidak dapat menegakkan hukum Allah, maka tidak ada salahnya bagi mereka berdua (suami-isteri) tentang tebusan isteri kepadanya…”. Pada dasarnya al-Qur’an menggantungkan kebolehan membayar tebusan pada kekhawatiran terjadinya kemaksiatan (tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah) manakala perkawinan dipertahankan (Muhammad Jawad Mughniyah, 2002: 457). Menurut Sayid Sabiq, ketetapan suami menerima tebusan dalam khul’i merupakan hukum yang adil dan tepat, karena jika sebab umumnya suamilah yang memberikan mahar, biaya perkawinan dan nafkah kepada isterinya. Keadaan isteri yang ingkar dan meminta pisah darinya merupakan hukum yang pantas dan adil jika isteri diharuskan mengembalikan
apa
yang
pernah
diterimanya.
Khul’i
berarti
memutuskan tali perkawinan dengan imbalan harta, sehingga adanya ganti rugi merupakan syarat mutlak dalam khuluk, jika ganti rugi tidak ada maka khuluknya juga tidak sah. Ganti rugi hendaknya secara umum dapat dinilai dengan barang (uang), disamping syarat umum lainnya dalam akad nikah yang sama dengan syarat dalam akad jual beli, yaitu dapat diserahterimakan dan merupakan hak milik yang sah dan bukan
merupakan barang-barang yang haram (Sayyid Sabiq, 1994: 94 dan 9798). Mengenai nilai dan jumlah tebusan, berdasarkan Surat al-Baqarah ayat 229, tidak ada ketentuan yang pasti sehingga ada perbedaan pendapat ulama mengenai bolehkah suami menetapkan atau menerima tebusan melebihi dari maharnya ketika menikah, karena adanya dua versi hadits yang membolehkan dan melarang suami memperoleh tebusan melebihi nilai maharnya. Tetapi menurut kitab Bidayah alMujtahid jika khuluk disamakan dengan hukum muamalah maka jumlah tebusan tergantung kepada kerelaan pembayarnya, tetapi jika berpegang kepada hadits yang melarang jumlah tebusan melebih mahar, itu dapat dipandang sama dengan mengambil harta orang lain dengan tidak sah (Sayid Sabiq, 1994: 99-101). Tetapi ulama mazhab sepakat bahwa nilai tebusan hendaknya mempunyai nilai dan jumlahnya boleh sama, kurang atau lebih banyak dari mahar (Muhammad Jawad Mughniyah, 2002: 457) Khul’i hanya dibolehkan dengan adanya alasan yang benar, semisal suami cacat badan, buruk akhlaknya atau tidak memenuhi kewajibannya sehingga isteri khawatir akan melanggar hukum Allah. Khul’i dapat terjadi dengan persetujuan suami isteri, namun jika persetujuan tidak tercapai maka pengadilan dapat menjatuhkan khuluk kepada suami. Menurut jumhur ulama, apabila suami telah menyetujui khuluk isterinya itu berarti isteri berkuasa atas dirinya sendiri dan suami tidak ada lagi hak untuk merujuk isterinya dalam masa iddah meskipun
suami mengembalikan tebusannya dan isteri bersedia menerimanya, jika tidak begitu maka tidak ada artinya tebusan isteri yang sudah diserahkan. Akan tetapi suami boleh mengawini isteri yang telah mengkhuluknya dengan persetujuannya dan dengan aqad nikah yang baru (Sayid Sabiq, 1994: 101 dan 105). Seluruh imam mazhab sepakat bahwa pengucapan khuluk harus menggunakan kata-kata yang jelas, berupa kata thalaq, khuluk, faskh, mufada’ah (tebusan) ataupun dengan lafaz kinayah yang jelas semisal “saya lepas dan jauhkan engkau dari sisiku”. Atau menurut Imam Hanafi dan Imam Syafii boleh dilakukan dengan mengucapkan akad seperti akad dalam jual beli (Muhammad Jawad Mughniyah, 2002: 462-3). Perempuan yang dikhuluk iddahnya satu kali haid, berdasarkan hadits Nabi riwayat Nasa’i mengenai Tsabit yang mengkhuluk isterinya dan Nabi menyuruh isteri Tsabit beriddah satu kali haid dan dikembalikan kepada keluarganya. Menurut Ibnu Taimiyah alasannya adalah, Iddah ditetapkan sebanyak tiga kali haid agar masa rujuk cukup lama dan suami bisa berpikir panjang dan mendapat kesempatan untuk rujuk selama masa iddah ini. Tetapi kalau kesempatan untuk rujuk tidak ada, (dalam khul’i) maka tujuan masa iddah hanya untuk memastikan kebersihan rahim dari kehamilan sehingga cukup satu kali haid saja (Sayid Sabiq, 1994: 111-112). B. Tinjauan Umum Tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga
Perceraian itu didukung oleh bukti yang otentik (berkekuatan pembuktian), Pada garis besarnya perceraian dikelompokkan kepada dua bentuk, yaitu perceraian yang diajukan oleh suami disebut dengan “Cerai Talak” dan perceraian yang diajukan oleh pihak istri yang disebut dengan “Cerai Gugat”, lain halnya dengan “pembatalan nikah” (fasid nikah) yang pengajuannya dilakukan oleh orang diluar pasangan suami-istri. perceraian dengan Cerai Talak maupun perceraian dengan Cerai Gugat diatur pada Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975 untuk menindaklanjuti pengaturan Pasal 38 sampai dengan Pasal 40 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Untuk perceraian yang disebut dengan “Cerai Talak” yang berdasarkan ketentuan Pasal 66 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Jo. Pasal 129, 130, dan 131 KHI (Inpres No.1 Tahun 1991), sedangkan perceraian dengan “Cerai Gugat” diatur prosesnya berdasarkan ketentuan Pasal 73 sampai dengan pasal 79 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Jo. Pasal 132 - 137 KHI (Inpres No.1 Tahun 1991) (Harahap, 1993:229) Kewenangan untuk mengadili perkara perceraian menurut kompetensi Absolutnya adalah Pengadilan Agama bagi umat Islam dan Pengadilan Agama yang berwenang berdasarkan kompetensi relatifnya berada ditempat tinggal istri baik untuk Cerai Talak maupun untuk Cerai Gugat, kecuali istri yang meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami hal ini diatur pada Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 1989.
Sengketa perceraian yang diatur didalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Mengenai tata cara perceraian pada pasal 129 - 148 Kompilasai Hukum Islam telah diklasifikasikan bentuk percaraian yaitu cerai talak dan cerai gugat dan dapat dijelaskan bahwa: 1. Tata cara pemeriksaan Cerai Talak (Pemohon suami, Termohon istri) Seorang suami yang akan mengajukan permohonan, baik lisan, maupun tertulis, kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri, dan dengan alasannya, serta Seorang suami yang akan mengajukan talak kepada isterinya harus meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu, permohonan dalam perkara cerai talak, berpedoman pada ketentuan pasal 67 dan pasal 66 ayat 5 diperbolehkannya menggabung dua gugatan dalam satu proses pemeriksaan namun jika gugatan permohonan murni sebagai gugat cerai talak maka cukup berisi identitas pemohon (suami) dan termohon istri berupa nama, umur dan tempat kediaman pada posita gugat yakni alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak sebagai mana yang dirinci secara liminatif dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 jo. Penjelasan pasal 39 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 Tahun atau hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap yang lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.(Hamami, 2003: 203) Pada rumusan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dalam pasal tersebut memuat alasan–alasan cerai yang disebut dalam pasal 19 PP No.9 Tahun 1975 ada dua poin yang ditambahkan pada huruf “g” berupa alasan suami melanggar taklik taklak dan pada huruf “h” dicantumkan alasan peralihan agama atau murtat yang menjadikan ketidakrukunan dalam rumah tangga. Adapun mengenai asas asas pemeriksaan perkara percaraian yang telah diatur didalam ketentuan Undang-Undang adalah: a. Pemeriksaan oleh Majelis Hakim Asas pertama Pemeriksaan permohonan cerai talak yang dilakukan oleh majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
sekurang-kurangnya tiga orang hakim kecuali apabila UndangUndang menentukan lain, yang diatur didalam pasal 68 ayat 1 yang merupakan pelaksanaan pasal 15 Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1970. b. Pemeriksaan dalam sidang tertutup Pemeriksaan perkara cerai talak yang dilakukan dalam sidang “tertutup” yang diatur dalam pasal 68 ayat 2 dan pasal 80 ayat 2 yang sama dengan ketentuan pasal 33 PP No.9 Tahun 1975 dimana ditegaskan bahwa apabila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan maka perceraian dilakukan dalam sidang tertutup, yang meliputi segala pemeriksaan termasuk pemeriksaan saksi-saksi, dalam ketentuan pasal 18 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 jo. Pasal 81 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 yang menegaskan sekalipun pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum namun putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. c. Pemeriksaan 30 hari dari tanggal pendaftaran Dalam pemeriksaan yang berasaskan pada Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dalam ketentuan pasal 68 ayat 1 memerintahkan agar pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan selambat-lambatnya 30 hari semenjak didaftarkan di kepanitraan Pengadilan.
d. Pemeriksaan in person atau kuasa Pada pemeriksaan perkara perceraian tidak mutlak mesti penggugat atau tergugat in person yang menghadiri pemeriksaan di sidang pengadilan namun dapat diwakilkan oleh kuasanya, yang didukung oleh surat kuasa khusus, kecuali dalam sidang perdamaian pemohon dan termohon harus datang menghadiri “secara pribadi” e. Usaha mendamaikan selama pemeriksaan berlangsung Hakim selalu berupaya dengan sungguh-sungguh mendamaikan suami istri dalam perkara perceraian. Berdasarkan perintah hakim, juru sita pengganti melaksanakan pemangilan kepada para pihak supaya hadir di persidangan seperti pada hari dan tanggal yang sudah di tentukan yaitu adanya Panggilan yang patut dan resmi. Dalam pelaksanaan pemeriksaan perkara perceraian pelaksanaan tata tertib pemeriksaan berpedoman pada hukum acara perdata karena menyangkut tata tertib replik duplik, pemeriksaan saksi dan alat bukti lain yang diatur dalam HIR dan RBg begitu juga pemanggilan para pihak tunduk pada tata cara pemanggilan yang diatur dalam pasal 26, 27 dan pasal 28 PP No. 9 Tahun 1975 jo, pasal 390 HIR atau pasal 718 RBg dimana suatu pemanggilan yang sah secara formil menurut Undang – undang ialah pemanggilan yang didalamnya terpadu unsur “patut” dan “resmi” kedua komponen ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dalam hal tergugat atau termohon yang tidak diketahui alamat kediamannaya diseluruh Indonesia, patokan patut
dan resminya adalah dalam hal cara pemanggilan telah memenuhi ketentuan pasal 27 ayat 1,2,3 PP No. 9 Tahun 1975 yakni: 1) Pemanggilan dilakukan sebanyak 2 kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pemanggilan pertama dengan pemnanggilan kedua dan pemanggilan kedua dengan hari pelaksanaan dan tanggal persidangan sekurang-kurangnya tiga bulan. 2) Panggilan dilakukan dengan cara menempelkan salinan surat gugatan atau permohonan pada papan pengumuman Pengadilan Agama dan pengumumannya melalui media masa. (Hamami, S.H: 2003:149) 2. Tata cara pemeriksaan carai gugat (Penggugat istri, Tergugat suami) Pada dasarnya proses pemeriksaan perkara cerai gugat tidak banyak berbeda dengan pemeriksaan carai talak dalam pemeriksaan perkara cerai gugat membolehkan penggabungan cerai gugat dengan penguasaan anak, nafkah dan pembagian harta bersama dalam proses percaraian yang berbentuk khuluk proses penyelesain hukumnya akan diakhiri dengan tata cara cerai talak, dengan proses awalnya mengikuti proses cerai gugat namun diakhiri dengan cerai talak menurut hukum Islam khuluk adalah hak istri untuk mengajukan tuntutan perceraian kepada suami dengan cara suami bersedia menalak istri dengan suatu imbalan “penggantian” atau “iwadl”. Sebagaimana yang diatur pada pasal 118 HIR atau pasal 142 RBG dan pasal 66 Undang – Undang No.7 Tahun 1989 gugatan diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman “penggugat” yang bertujuan memberi kemudahan bagi istri menuntut percaraian dari suami dalam hal suatu keadaan menentukan sesuatu diluar ketentuan maka Pengadilan Agama mengikuti keadaan tersebut seperti: a. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama tempat kediaman tergugat (suami) apabila istri (penggugat) pergi meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin, apabila terjadi keadaan ini maka pengadilan agama berwenang mengadili perkara cerai gugat yang diajukan istri adalah pengadilan yang berkedudukan ditempat kediaman suami. b. Gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumya meliputi tempat kediaman “tergugat” dalam hal istri bertempat kediaman di “luar negeri” apabila terjadi keadaan demikian maka istri dapat mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan terdahulu dilangsungkan atau istri dapat mengajukan kepada Pengadilan Agama. 3. Asas pemeriksaan perkara cerai cugat Tata cara pemeriksaan perkara cerai gugat yang diatur didalam Undang- undang No.7 Tahun 1989 adapun pemeriksaan perkara carai gugat meliputi:
a. Pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim Yang diatur dalam ketentuan pasal 15 UU No.14 Tahun 1970 memerintahkan bahwa pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim. b. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup Yang diatur dalam ketentuan pasal 80 ayat 2 dan ketentuan pasal 17 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 yang memerintahkan pemeriksaan terbuka untuk umum pada pasal 81 ayat 1 yang menentukan putusan perkara perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum c. Pemeriksaan 30 hari dari tanggal pendaftaraan gugatan Yang diatur dalam pasal 4 ayat 2 UU No. 14 tahun 1970 yakni pengadilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. d. Pemeriksaan di Sidang pengadilan yang dihadiri oleh suami istri atau wakil yang mendapt kuasa khusus dari mereka. e. Upaya perdamaian dilakukan selama proses pemeriksaan berlangsung yang ditegaskan dalam pasal 82 ayat 4 Undang-undang No.7 Tahun 1989 yang juga diatur dalam ketentuan pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 yang menyatakan Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan dan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap pemeriksaan sidang.
C. Tata cara perceraian yang diatur secara khusus di Pengadilan Agama yaitu: 1. Tata cara khuluk Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadl atas persetujuan suaminya (pasal 1 huruf I KHI). Perceraian dengan jalan khuluk merupakan tatacara khusus yang diatur dalam pasal 1 huruf i,8,124,131,148,155,161,dan 163 perceraian dengan khuluk karena pelanggaran taklik talak maka penyelesaiannya dilakukan dengan tata cara cerai gugat. Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk yang menyampaikan permohonan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi yang disertai alasan-alasannya dan khuluk harus didasarkan pada alasan percerain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu yang diatur dalam pasal 19 PP No. 9/1975, pasal 116 KHI (pasal 124 KHI) Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri dan suaminya umtuk didengar keterangan masing-masing dan memeriksa alasan-alasan cerai tersebut. Dalam persidagan Pengadilan Agama memberikan penjelasan akibat khuluk dan memberikan nasehat serta membuktikan kebenaran alasanalasan menurut hukum pembuktian dalam perkara perceraian, setelah alasan-alasan cerai telah terbukti dan kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan maka pengadilan Agama memberikan putusan sela tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang
Pangadilan Agama dalam hal tidak tercapainya kesepakatan tentang besarnya tebusan Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara percerain biasa, pada sidang ini suami mengucapkan ikrar talak dengan dihadiri oleh istrinya dan pada perceraian ini hakim membuat penetapan yang yang isinya menetapkan perkawinan antara A dan B putus karena perceraian dengan talak khul’i. (Arto,SH. 2004: 234) 2. Tata cara Li’an Li’an merupakan acara khusus di pengadilan Agama yang diatur didalam pasal-pasal 43,70,101 dan pada KHI pasal 87 dan 88 UU-PA li’an merupakan cara penyelesaian lain dalam perkara cerai talak dengan alasan istri berbuat zina yang tidak dapat diselesaikan dengan prosedur ikrar talak biasa (pasal 88 ayat (1) UU-PA. lebih lanjut Drs.H.A.Mukti Arto,SH mengatakan bahwa li’an dapat terjadi apabila seorang suami yang ingin menceraikan istrinya dengan alasan istri berbuat zina tetapi tidak dapat menghadirkan 4 orang saksi yang mengetahui perbuatan tersebut sedangkan istrinya menyangkal tuduhan tersebut atau seorang suami mengingkari anak yang berada di dalam kandungan atau dilahirkan oleh istrinya sedang istri menolak pengingkaran tersebut. maka tata cara li’an diatur sebagai berikut: a. Apabila suami menuduh bahwa isterinya telah berbuat zina, baik sebagai alasan cerai ataupun pengingkaran anak tetapi tidak dapat menghadirkan 4 orang saksi.
b. Suami bersumpah 4 kali dengan kata tuduhan zina atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah” atas diri saya apabila tuduhan dan atau pengingkaran apabila saya dusta. c. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah 4 kali dengan kata-kata “murka Allah” atas diri saya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”(Arto,SH:2004:232).
D. Pembuktian yang disertai alasan dalam perkara perceraian yang harus menghadirkan saksi-saksi adalah 1. Tata cara penyelesaian atas alasan syiqoq Syiqoq adalah alasan perceraian karena antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga yang diatur dalam pasal 22 PP No. 9/1975, pasal 76 UU No.7/1989 tata cara pemeriksaan dengan alasan syiqoq tunduk pada ketentuan hukum acara perdata pada umumnya, cara penyelesainnya diatur secara khusus yaitu dengan memeriksa keluarga atau orang – orang terdekat dengan suami istri yang terdapat pada pasal 76 ayat 1 : “apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqoq, maka untuk memdapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri”
Perkara yang didasarkan atas perselisihan dan pertengkaran terus menerus maka ketentuan yang diatur didalamnya dengan sendirinya mengikuti ketentuan yang berlaku apabila terjadi kelalaian mangakibatkan pemeriksaan belum memenuhi syarat pemeriksaan yang ditentukan Undang-Undang, maka pemeriksaan dan putusan tersebut batal demi hukum. Adapun tata cara pemeriksaan yang telah ditentukan dalam pasal 76 ayat 1 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 jo pasal 22 ayat 2 PP No. 9 Tahun 1975 sebagai berikut: a. Hakim
harus
meneliti tentang
sebab-sebab
perselisihan
dan
pertengkaran. b. Hakim harus meneliti pula tentang ada tidaknya perselisihan dan pertengkaran, serta bagaimana bentuk perselisihan dan pertengkaran itu. c. Hakim
harus
meneliti tentang
sebab-sebab
perselisihan
dan
pertengkaran. d. Hakim harus mempertimbangkan sebab perselisihan dan pertengkaran apakah
benar-benar
berpengaruh
prinsipil
terhadap
keutuhan
kehidupan suami istri. e. Hakim harus mendengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang terdekat dengan suami-istri, sebagai saksi mereka harus disumpah.
f. Hakim setelah mendengar keterangan saksi-saksi tentang sifat pertengkaran antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing – masing ataupun orang lain untuk menjadi hakam pengangkatan hakam terserah pada kebijakan hakim. g. Hakim mengangkat hakam dibawah sumpah yang kemudian hakim memberikan petunjuk tentang tugas hakam yaitu meneliti sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran para pihak dan berusaha untuk mendamaikan. h. Perceraian dapat dikabulkan apabila telah cukup bukti mengenai perlisihan dan pertengkaran apakah berpengaruh terhadap kehidupan suami istri tersebut. 2. Alasan cerai talak karena istri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat manjalankan kewajibannya sebagai isteri untuk membuktikan alasan tersebut adalah: a. Pengakuan istri kepada hakim dengan menunjukkan adanya cacat atau penyakit secara nyata kepada hakim. b. Keterangan saksi-saksi yang dapat membarikan keterangan kepada hakim atau bila perlu menggunakan saksi ahli dan Memerintahkan kepada termohon untuk memeriksakan diri ke dokter . 3. Alasan cerai karena suami meninggalkan isteri selama 6 bulan berturutturut tanpa izin isteri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya perceraian dengan alasan tersebut penyelesainnya diatur dalam pasal 21 PP.No. 9/1975 sebagai berikut:
a. Permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama di tempat tinggal istri (pasal 66 ayat (2) UU - PA. b. Perkara tersebut dapat diajukan setelah lampau 2 tahun terhitung sejak suami meninggalkan rumah. c. Permohonan
dapat
dikabulkan
jika
suami
menyatakan
atau
menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama. 4. Alasan cerai karena isteri murtad Dalam hal ini dibuktikan dengan pengakuan isteri, saksi-saksi dan alat bukti tertulis, murtat mengakibatkan terjadinya perbedaan agama yang nantinya mengakibatkan adanya perselisihan dan pertengkaran yang bersifat prinsipil.
E. Peran saksi dalam pembuktian perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus Perceraian dengan alasan siyqoq yang diatur didalam pasal 76 UndangUndang No.7 Tahun 1989, siyqoq adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara suami istri dalam surat An Nisaa ayat 35:
!#y‰ ƒÌムb Î)!$ygÎ=÷d r&ô` ÏiB $VJ s3 ym ur ¾Ï&Î#÷d r&ô` ÏiB $VJ s3 ym (#qèWyèö/$sù $uKÍkÈ]÷t/ s- $s)Ï© óO çFøÿÅz ÷b Î)ur
ÇÌÎÈ #ZŽÎ7yz $¸J ŠÎ=tã tb %x. ©! $#¨b Î)3!$yJ åks]øŠt/ ª! $#È, Ïjùuqム$[s »n=ô¹ Î) Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Dari surat An Nisaa ayat 35 pengertian siyqoq yang dimaksud sama makna dan hakekatnya dengan apa yang dirumuskan pada penjelasan Undang- Undang Pasal 76 No.7 Tahun 1989, maka apabila terjadi perkara perceraian atas dasar alasan tersebut diatas maka tata cara pemeriksaan perkara tunduk pada ketentuan hukum acara perdata pada umumnya seperti pada ketentuan pasal 76 ayat 1 yang berbunyi: “Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan siyqoq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi – saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri” Mayoritas fuqoha berpendapat bahwa menyaksikan talak merupakan hal yang disunahkan sementara jatuhnya talak, hal itu tergantung pada kesaksian seperti pada surat Ath-Thalaq ayat 2 yaitu:
ô“ ursŒ (#r߉ Íkôr&ur 7$ rã÷èyJ Î/ £` èd qè%Í‘$sù ÷rr& >$ rã÷èyJ Î/ £` èd qä3 Å¡ øBr'sù £` ßgn=y_ r& z` øón=t/ #sŒÎ*sù
4¬! noy‰ »yg¤± 9$#(#qßJ ŠÏ%r&ur óO ä3 ZÏiB 5A ô‰ tã Artinya: “Apabila mereka telah mendekat akhir iddahnya maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu, dan hendaklah kamu tegakkan itu karena Allah” Dalam sidang perkara perdata Hakim secara “exofficio” dapat memerintahkan saksi untuk datang sesuai dengan pasal 135 HIR atau pasal
165 RBg pada ketentuan pasal 76 bahwasannya saksi bersifat "imperatif” karena pada pasal tersebut terdapat kata “harus“ yakni yang dekat dengan suami istri tersebut. Ini bearti pemeriksaan keluarga dan orang-orang terdekat dengan suami istri “wajib” atau “mesti” diperiksa lebih dahulu sebelum hakim menjatuhkan putusan, Oleh karena pemeriksaannya bersifat imperatif, maka apabila dilalaikan tata cara memeriksa dan mengadili perkara menurut tata cara yang ditentukan Undang-Undang mengakibatkan pemeriksaan dan putusan batal demi hukum. (Harahap, S.H:1993:266)
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Gambaran umum Pengadilan Agama Salatiga dan hasil putusan khul’i yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi 1. Sejarah pengadilan Agama Salatiga a. Masa sebelum penjajahan Pengadilan Agama Salatiga sudah ada sejak agama Islam masuk ke Indaonesia. Pengadilan Agama Salatiga lahir bersama dengan perkembangan kelompok masyarakat yang beragama Islam di Salatiga dan Kabupaten Semarang diselesaikan oleh Kadi/Hakim yang diangkat oleh Sultan adalah alim ulama yang ahli di bidang agama Islam. Kantor pengadilan Agama Salatiga yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Al-Atiq Kauman Salatiga. b. Masa Penjajahan Belanda sampai dengan Jepang Ketika penjajah Belanda masuk ke pulau Jawa, masyarakat Salatiga telah menjalankan syari’at Islam sementara Pemerintahan Kolonial Belanda menerbitkan pasal 134 ayat 2 IS-Indisce Staatsregeling sebagai landasan formil untuk mengawasi kehidupan masyarakat Islam dibidang Peradilan dan Pemerintah Kolonial Belanda mengintruksikan kepada para bupati yang termuat dalam Staatlaad tahun 1820 nomor 22 yang menyatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian waris dikalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada alim ulama Islam sedangkan Pengadilan Agama Salatiga terus
berjalan
sampai
tahun 1940,
kantor
yang
ditempati
masih
menggunakan serambi masjid Kauman Salatiga dengan ketua dan hakim anggotanya diambil dari alumnus pondok Pesantren yang waktu itu ada empat orang yaitu K.Salim sebagai ketua dan K. Abdul Mukti sebagai hakim anggota dan Sidhiq sebagai sekretaris merangkap bandahara dan pesuruh. Wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi Dati II Salatiga dan Dati II Semarang terdiri dari 14 kecamatan. Adapun perkara yang ditangani dan diselesaikan yaitu perkara waris, gono-gini, gugat nafkah, dan cerai gugat, kondisi ini tidak berubah pada masa penjajahan Jepang. c. Masa Kemerdekaan Pengadilan Agama Salatiga berjalan sebagaimana biasa setelah Indonesia merdeka pada tahun 1949 ketua Pengadilan Agama Salatiga dijabat oleh K.Irsyam dibantu tujuh pegawai Kantor yang masih menempati Masjid Al-Atiq Kauman Salatiga, dan bersebelahan dengan KUA Salatiga yang sama-sama menggunakan serambi Masjid sebagai kantor dan pada tahun 1951 Pengadilan Agama Salatiga menempati kantor di Jalan Dipenogoro Nomor. 72 Salatiga sampai Tahun 1952 ketua Pengadilan Agama Salatiga adalah K. Muh Muslih yang diganti K.H. Musafak pada tahun 1963 dan diteruskan oleh K. Sa’dullah, semuanya adalah alumnus ponpes. Jabatan ketua Ponpes berpindah dari K. Irsyam kepada K. Muslih pada tahun 1952
dikarenakan K. Irsyam bersama Ulama-ulama yang lain oleh tentara 426 Batalyon Kudus yang waktu itu mengadakan pemberontakan. Pada waktu Pengadilan Agama dijabat oleh Drs. Imron dan dibantu oleh staf dan sebagai Panitera yaitu N.Bilal sertifikasi kantor Pengadilan Agama Salatiga diurus ke Jakarta dan akhirnya berhasil, maka terbitlah sertifikat kantor Pengadilan Agama Salatiga RI, Pengadilan Agama Salatiga tanggal 1 Januarai 1950 dengan status hukum sebagai hak pakai dengan sertifikasi No. 4485507 Tanggal 13 Maret 1979 dengan ganti rugi sebesar Rp. 775.665,00. d. Masa berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 pada tanggal 17 Desember 1970 berlaku, sejak saat itu kedudukan dan posisi Peradilan Agama semakin jelas dan mandiri termasuk Pengadilan Agama Salatiga. Umat Islam Indonesia masih terus berjuang kerena belum mempunyai Undang-Undang yang mengatur tentang keluarga muslim. Para ulama dan umat Islam di Salatiga ikut berpartisipasi dalam mewujudkan Undang-Undang perkawinan, yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 sebagai ketentuan hasil kompromi yang luas seluruh rakyat Indonesia. Meskipun Undang-Undang perkawinan sudah berlaku secara aktif, yaitu dengan terbitnya PP No.9 Tahun 1975 Salatiga dilihat dari fisiknya masih tetap seperti dalam keadaan sebelumnya namun fungsi dan peranya semakin mantap karena banyak perkara yang masuk di
Pengadilan Agama Salatiga yang wilayahnya sangat luas yaitu meliputi Dati II Salatiga dan Dati II Kabupaten Semarang maka melalui SK Menteri Agama No.95 Tahun 1982 Jo. KMA No 76 Tahun 1983 Tanggal 10 November 1983 berdirilah Pengadilan Agama Ambarawa di Ungaran. Penyerahan wilayah dilaksanakan pada tanggal 27 April 1984 dari ketua Pengadilan Agama Salatiga Drs.AM.Syamsudin Anwar kepada ketua Pengadilan Agama Ambarawa Drs. Ahmad Ahrory, untuk melaksanakan pemanggilan para pihak diangkatlah juru panggil yaitu Mustakfiri, M.Ali dan Syaifudin Alsy. BA ketika juru panggil ini tugasnya masih merangkap, Mustakfiri selain sebagai penerima perkara, juga duduk sebagai petugas meja ketiga M.Ali bertugas sebagai
panitera
pengganti kendaran
yang
digunakan
untuk
memanggil adalah kendaraan pribadi alat-alat tulis masih minim, seperti alat ketik dan perlengkapan kantor lainnya, karena dana DIK yang ada belum mencukupi kebutuhan kantor. e. Masa Berlakunya Undang-Undang No.7 Tahun 1989 1) Sejak diundangkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1989 posisi Pengadilan Agama Salatiga semakin kuat. 2) Pengadilan Agama berwenang menjalankan keputusannya sendiri tidak perlu lagi melalui Pengadilan Negeri, selain itu hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama sama dengan hukum acara berlaku di Pengadilan Negeri.
3) Sudah ada petugas juru sita untuk melaksanakan tugas pemanggilan dan pemberitahuan. 4) Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan pembinaan secara administrasi dari DEPAG RI, tetapi secara teknis Yudisial mendapatkan pembinaan dari MA RI dan Pengadilan Tinggi Agama. 5) Struktur organisasi Pengadilan Agama Salatiga sama dengan sejajar dengan Pengadilan umum dan pengadilan lainnya. 6) Pegawai Pengadilan Agama Salatiga sama dan sejajar dengan pengadilan umum bahkan melebihi, karena tenaga yang direkkrut harus melalui selaksi yang ketat dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, bahkan untuk tenaga hakim banyak yang telah mempunyai title kesarjanaan ganda, sarjana umum dan sarjana syari’ah, bahkan ada yang sudah S2 dalam ilmu hukum. 7) Pada awal-awal berlakunya Undang-Undang No.7 Tahun 1959 jabatan kepanitraan masih banyak yang kosong, jabatan yang ada di sekretariatan
begitu juga
karena kurang atau belum
adanya pegawai yang memenuhi syarat untuk menduduki jabatanjabatan tersebut. Pada tahun 1991 jabatan kepala kepanitraan perkara mulai terisi, jabatan tersebut diisi oleh Drs. Ach Anwarulchu tugasnya masih merangkap sebagai juru panggil dan panitera pengganti juga sebagai penerima perkara, dan jabatan kepala sub gugatan dijabat oleh Drs. Hadlirin tugasnya masih
merrangkap sebagai wasek, jurusita dan PP sedangkan jabatan lainnya dikepanitraan masih kosong. 8) Semua jabatan baik di kepanitraan atau dibagian kesekretariatan berangsur-angsur terpenuhi setelah Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan tambahan pegawai baru dan sampai tahun 1999 para pejabat pun tugasnya masih banyak yang merangkap dan semuanya tidak mempunyai staf. 9) Sejak Pengadilan Agama mendapatkan pembinaan dari MA RI mulai diadakan pemisahanjabatan antara jurusita dan PP, hakim juga dibari tugas pengawasan bidang-bidang. 10) Upaya pembenahan di Pengadilan Agama selalu ditingkatkan namun karena terbatasnya tenaga pegawai dan kurangnya dana yang tersedia sehingga lambat untuk menuju cita-cita yang diidam-idamkan. 11) Pengadilan Agama Salatiga sampai tahun 1999 belum mempunyai gedung yang memenuhi standar gedung pengadilan, yang ada sekarang adalah bangunan rumah kuno peninggalan bangunan jaman Belanda, ruang sidang juga belum ada yang ada hanyalah balai sidang ruangan sangat sempit. 12) Penataan pegawai masih belum teratur karena bangunan yang ada tidak memungkinkan untuk mengatur para pegawai secara rapi sehingga jurusita, dan bagian kepanitraan masih menjadi satu kesekretariatan
13) Untuk para jutusita apabila melaksanakan panggilan terpaksa harus memakai kendaraan sendiri atau meminjam orang lain, karena tidak ada kendaraan dinas roda dua, mesin ketik dan komputer masih sangat kurang, ruang perpustakaan, ruang arsip dan ruang kasir juga belum punya. f. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Sebelum Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 diberlakukan, Pengadilan Agama secara administrasi dan financial berada dibawah Departemen Agama akan tetapi sejak Undang-Undang tersebut diberlakukan, Pengadilan Agama mendapatkan pembinaan dari MA RI secara administrasi, financial dan yudisial, maka sesuai petunjuk MA mulai diadakan pemisahan jabatan antara kepanitraan dan kesekretariatan begitu juga merangkap jabatan antara jurusita dan PP, hakim juga diberi tugas pengawasan bidang-bidang, demikianlah keadaan sejarah Pengadilan Agama Salatiga sampai saat ini. 2. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga terdiri dari dua macam, absolut dan relatif: a. Wewenang absolut Adalah wewenang Pengadilan yang berkaitan dengan perkaraperkara yang boleh ditangani antara lain: 1) Pencabutan kekuasaan wali 2) Pencegahan perkawinan
3) Penolakan perkawinan 4) Pembatalan perkawinan 5) Penguasaan anak 6) Asal – usul anak 7) Pencabutan kekuasaan orang tua 8) Ganti rugi terhadap wali 9) Waris 10) Harta bersama 11) Penunjukan wali orang lain 12) Kelalainan kewajiban suami/istri 13) Ekonomi syariah dan pengangkatan anak berdasarkan UndangUndang No.3 Tahun 2003 14) Nafkah anak oleh ibu karena ayah tidak mampu 15) Hak bekas istri/kewajiban bekas suami 16) Izin kawin 17) Isbat nikah 18) Perwalian 19) Cerai talak 20) Pengesahan anak 21) Wali adhol 22) Dispensasi kawin 23) Penolakan kawin campur 24) Izin poligami
25) Hibah 26) Cerai gugat 27) Wakaf 28) Wasiat b. Wewenang relatif Kewenangan relatif Pengadilan Agama berkaitan dengan wilayah hukum yang dimilikinya. Prioritas kewenangan relatif berdasarkan ketentuan sebagai berikut: 1) Jika alamat tergugat diketahui maka gugatan diajukan di Pengadilan setempat 2) Jika alamat tergugat tidak diketahui atau tergugat berada diluar negri maka gugatan diajukan dipengadilan setempat dimana pengguggat tinggal 3) Jika penggugat bertempat tinggal di luar Negeri maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 4) Dengan pertimbangan untuk mempermudah proses penyelesaian perkara gugatan boleh diajukan di Pengadilan setempat dimana objek perkara berada dalam hal perkara berkaitan dengan benda tidak bergerak dan atas izin Pengadilan. Pengadilan Agama Salatiga membawahi daerah hukum meliputi seluruh wilayah Kota Madya Salatiga dan beberapa kecamatan yang secara administrasi termasuk wilayah kabupaten.
c. Wilayah Kota Salatiga 1) Kecamatan Sidorejo 2) Kecamatan Sidomukti 3) Kecamatan Tingkir 4) Kecamatan Argomulyo d. Kabupaten Semarang 1) Kecamatan Tuntang 2) Kecamatan Tengaran 3) Kecamatan Susukan 4) Kecamatan Pabelan 5) Kecamatan Suruh 6) Kecamatan Beringin 7) Kecamatan Getasan Baik kewenangan relatif maupun absolut Pengadilan Agama Salatiga dilaksanakan melalui lembaga-lembaga dibawah pimpinan ketua, berikut ini peta wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga dan struktur organisasi Pengadilan Agama Salatiga:
B. Hasil putusan khul’i yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi Pada penelitian penulis Nomor: 0850/Pdt.G/PA.SAL dengan putusan khul’i yang dalam acara pembuktiannya tanpa menghadirkan saksi-saksi baik dari pihak tergugat maupun penggugat, yang dalam putusan ini hakim hanya mendengarkan pengakuan dari Tergugat atas gugatan penggugat tanpa adanya bantahan dari pihak yang tergugat. Adapun putusan dengan Nomor: 0850/Pdt.G/PA.SAL adalah sebagai berikut: Salinan
PUTUSAN NOMOR: 0850/Pdt.G/2010/PA.SAL BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Salatiga yang memeriksa dan mengadili perkara perdata agama dalam tingkat pertama dalam persidangan Majelis telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara Cerai Gugat antara :----------LI binti M. RN, umur 22 tahun, agama Islam, Pekerjaan Penjaga Conter, pendidikan SMP, beralamat di Dusun Bumiharjo, RT 02 RW 04, Desa Somogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, sebagai PENGGUGAT; --------------------------MELAWAN: LY bin WS, umur 33 tahun, agama Islam, pekerjaan buruh kuli bangunan, pendidikan SD, semula beralamat di Dusun Bumiharjo, RT 02 RW 04, Desa Somogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten
Semarang, sekarang berdomisili di Tegalsari, RT 04 RW 08, Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga, sebagai TERGUGAT; ----------Pengadilan Agama tersebut; ---------------------------------------------------------------Setelah membaca gugatan Penggugat ; ---------------------------------------------------Setelah mendengar keterangan Penggugat dan Tergugat; -----------------------------Setelah memeriksa dengan seksama surat-surat dan saksi-saksi yang diajukan di persidangan;TENTANG DUDUK PERKARANYA Menimbang, bahwa Penggugat berdasarkan surat gugatannya tertanggal 11 Nopember 2010 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Salatiga Nomor : 0850/Pdt.G/2010/PA.Sal mengajukan hal-hal sebagai berikut :------------Bahwa pada tanggal 19 Juli 2009, Penggugat dengan Tergugat melangsungkan pernikahan menurut Agama Islam di rumah orang tua Penggugat sebagaimana tercatat dalam kutipan Akta Nikah Nomor 209/39/VII/2009 tertanggal 21 Juli 2009 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang; ----------------------------------------------------------------------1. Bahwa setelah akad nikah Tergugat mengucapkan sihgat taklik talak kemudian Penggugat dan Tergugat hidup rukun layaknya suami isteri dan bertempat tinggal di rumah orang tua Penggugat selama 4 bulan dalam keadaan ba’da dukhul namun belum dikaruniai keturunan; ------------------2. Bahwa semula rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat rukun dan harmonis sebagaimana layaknya suami isteri namun sejak bulan September
2009, rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat mulai tidak harmonis dan sering diwarnai perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan karena Tergugat sering marah-marah tanpa alasan yang sah; --3. Bahwa oleh karena hal tersebut Penggugat sudah sering mengingatkan Tergugat supaya merubah sikap dan perbuatannya tersebut namun Tergugat tidak bisa mengindahkannya; -----------------------------------------4. Bahwa perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan karena permasalahan yang sama terus menerus terjadi kemudian puncaknya pada bulan Nopember 2009, Tergugat bekerja ke Jakarta dengan seijin Penggugat namun tanpa menunjukkan alamatnya sehingga Penggugat tidak mengetahui dimana alamat Tergugat dengan jelas dan pasti di seluruh wilayah hukum RI.; -----------------------------------------------------5. Bahwa sejak kepergian Tergugat yang tidak diketahui alamatnya dengan jelas dan psti diseluruh wilayah hukum RI. Yang sampai dengan sekarang sudah selama 1 tahun tersebut Tergugat tidak pernah pulang, tidak pernah mengirim kabar atau mengirim sesuatu apapun sebagai pengganti nafkah wajib kepada Penggugat sehingga sekarang Penggugat harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari; -----------------------------------------------6. Bahwa dengan sikap dan perbuatan Tergugat tersebut, Tergugat telah melanggar taklik talak karena sudah selama 6 bulan lebih Tergugat telah membiarkan (tidak mempedulikan) Penggugat sebagai seorang isteri dan Penggugat tidak rela, untuk itu sesuai pasal 39 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 19 PP Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum
Islam telah cukup alasan bagi Penggugat untuk mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan Agama Salatiga; --------------------------Bahwa atas dasar hal-hal yang terurai diatas, telah cukup alasan bagi Penggugat untuk mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama Salatiga. Oleh karena itu mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Salatiga c.q Majelis Hakim untuk membuka sidang, dan menjatuhkan putusan sebagai berikut: ---------------------------------------------------------------------Primer
:
-------------------------------------------------------------------------------
Mengabulkan gugatan Penggugat; -----------------------------------------------Menetapkan syarat taklik talak Tergugat telah terpenuhi; --------------------Menetapkan jatuh talak satu khul’i Tergugat (Lestariyanto bin Wiryo Suparman) kepada Penggugat (Lestari binti M. Rebin) dengan iwadl berupa uang sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah); -------------------Menetapkan biaya perkara menurut hukum. ------------------------------------Subsider : ----------------------------------------------------------------------------Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadiladilnya. (at aquo at bono). --------------------------------------------Menimbang bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan Penggugat dan Tergugat hadir di persidangan; -----------------------------------------------------------Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah memerintah Penggugat dan Tergugat untuk mediasi dengan Hakim Mediator Dra. Hj. MLH, MH. pada tanggal 22 Februari 2011 namun dinyatakan gagal; ---------------------------------
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah memberikan nasehat kepada Penggugat supaya rukun dengan Tergugat sebagai suami isteri namun Penggugat tetap pada gugatannya kemudian dibacakan surat gugatan Penggugat yang isinya tetap dipertahankan oleh Penggugat; ----------------------------------------------------Menimbang, bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut, Tergugat di persidangan telah memberikan jawaban secara lisan yang isinya membenarkan semua gugatan dan mengakui semua gugatan Penggugat tersebut; --------------Menimbang, bahwa untuk menguatkan gugatannya, Penggugat
telah
mengajukan alat-alat bukti sebagai berikut : ----------------------------------------Bukti Surat :------------------------------------------------------------------------------Foto kopi sah Kartu Tanda Penduduk atas nama Penggugat Nomor 33.2201.701188.0001 tertanggal 23 April 2009 yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Semarang, yang telah dicocokkan dan ternyata sesuai serta bermaterai cukup, bukti (P.1); ------------§
Fotokopi sah Kutipan Akta Nikah Nomor: 209/39/VII/2009 tanggal 19 Juli 2009 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, yang telah dicocokkan dan ternyata sesuai serta bermaterai cukup, bukti (P.2); --------------Menimbang, bahwa Penggugat sudah tidak mengajukan apapun dan
mohon putusan serta membayar uang iwadl Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah); Menimbang, bahwa untuk singkatnya putusan ini ditunjuk Berita Acara Persidangan sebagai bagian tak terpisahkan dari putusan ini;----------------------
TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana tersebut di atas;---------------------------------------------------------------Menimbang, bahwa sesuai ketentuan dalam PERMA Nomor 1 tahun 2008 tanggal 31 Juli 2008 Majelis Hakim telah memerintahkan kepada Penggugat dan Tergugat untuk menempuh mediasi dengan Mediator Hakim Pengadilan Agama SAlatiga Dra. Hj. MLH, MH namun dinyatakan gagal; -------------------------------Menimbang, bahwa dalil pokok gugatan Penggugat adalah bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat yang sejak bulan Nopember 2009, tidak harmonis, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit untuk dirukunkan kembali, selama 1 tahun lebih telah pisah rumah dan selama itu Tergugat tidak memberi nafkah wajib kepada Penggugat; ----------------------------Menimbang, bahwa meskipun terhadap dalil-dalil gugatan Penggugat tidak ada bantahan dari Tergugat, namun karena perkara ini perkara perceraian, untuk memastikan gugatan Penggugat beralasan dan tidak melawan hukum maka Penggugat tetap dikenai beban pembuktian;---------------------------------------------Menimbang, bahwa alat bukti yang diajukan Penggugat berupa alat bukti surat-surat dan saksi-saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil, maka alatalat bukti terebut sah dan dapat diterima sebagai alat bukti;---------------------------Menimbang, bahwa alat bukti (P.1) adalah alat bukti otentik maka terbukti bahwa Penggugat berdomisili di Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, sehingga sesuai pasal 73 (1) Undang-undang nomor 7 tahun 1989 perkara ini merupakan wewenang Pengadilan Agama Salatiga untuk mengadilinya;.------------
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti (P.2) terbukti Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah dan setelah akad nikah Tergugat mengucapkan sighat ta’lik talak serta belum pernah bercerai;-------------------------Menimbang, bahwa dalil-dalil gugatan Penggugat telah dikuatkan dengan pengakuan Tergugat dan alat bukti (P.1) dan (P.2), maka Majelis telah menemukan fakta hukum sebagai berikut : ----------------------------------------------Bahwa pada tanggal 19 Juli 2009, Penggugat dengan Tergugat telah menikah sebagaimana dalam Kutipan Akta Nikah Nomor 209/39/VII/2009 tertanggal 21 Juli 2009 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang;-----------------------------------------------------------------------Bahwa sesaat setelah akad nikah, Tergugat mengucapkan sighot ta’lik talak, kemudian tinggal bersama dirumah orang tua Penggugat selama 4 bulan, dalam keadaan ba’da dukhul, namun belum dikaruniai keturunan; --------------------------Bahwa sejak bulan Nopember 2009, rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat mulai tidak rukun sering terjadi pertengkaran dan perselisihan yang disebabkan karena Tergugat sering marah-marah tanpa alasan yang sah; -----------Bahwa sejak bulan Nopember 2009, Tergugat pamit bekerja namun selama 1 tahun bekerja, Tergugat telah membiarkan tidak pernah mengirim sesuatu apapun kepada Penggugat sebagai nafkah wajib; ------------------------------------------------Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum di atas dapat dinyatakan telah terbukti Tergugat telah melanggar sighot ta’lik talak yang diucapkannya setelah akad nikah angka 2 (dua) dan 4 (empat); ----------------------------------------
Menimbang, bahwa Penggugat tidak ridlo dan bersedia serta telah membayar uang iwadh sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Dengan demikian telah terpenuhi syarat ta’lik talak sebagaimana diatur dalam pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam.--------------------------------------------------------Menimbang, bahwa sejalan dengan apa yang telah dipertimbangkan diatas Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Tergugat sesaat setelah akad nikah mengucapkan sighat taklik talak, telah melanggar sighat taklik talak tersebut pada angka 2 dan 4, maka dalil-dalil gugatan Penggugat juga telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam;--------Menimbang, bahwa oleh karena rumah tangga Pemohon dan Termohon telah nyata pecah maka apabila perkawinan antara Pemohon dan Termohon tersebut tetap dipertahankan niscaya akan menimbulkan madlarat yang lebih besar bagi kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya ;---------------------------------Menimbang, bahwa Majelis perlu mengetengahkan pendapat Fuqaha dalam kitab Syarqowi Alat Tahrir Juz II halaman 302 yang berbunyi :---------------
ﻭﻣﻦ ﻋﻠﻖ ﻃﻼ ﻗﺎ ﺑﺼﻔﺔ ﻭﻗﻊ ﺑﻮﺟﻮﺩﻫﺎ ﻋﻤﻼ ﲟﻘﺘﻀﻰ ﺍﻟﻠﻔﻆ Artinya: Barangsiapa menggantungkan talak pada suatu keadaan, maka jatuh talaknya dengan adanya keadaan tersebut sesuai dengan bunyi lafadlnya.-------------------------------------------------------------------------------------Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Majelis menyatakan telah cukup alasan untuk mengabulkan gugatan Penggugat dengan jatuh talak satu khul’i Tergugat kepada Penggugat; -------------
Menimbang bahwa, berdasarkan pasal 84 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2003 dan perubahan ke dua dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Panitera berkewajiban menyampaikan salianan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Kantor Urusan Agama yang wilayahnya meliputi tempat tinggal Penggugat dan Tergugat serta tempat perkawinan dilaksanakan; --------------------------------------------------------------------------------Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan maka berdasarkan pasal 89 ayat 1 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka kepada Penggugat dihukum membayar biaya perkara;----------------Memperhatikan ketentuan Hukum Islam dan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perkara ini;--------------------------------------------MENGADILI 1.
Mengabulkan gugatan Penggugat; ---------------------------------------------
2.
Menyatakan syarat ta’lik talak telah terpenuhi; --------------------------
3.
Menetapkan jatuh talak satu khul’i Tergugat (LY bin WS) kepada Penggugat (LI binti MR) dengan iwadl Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah ). ------------------------------------------------------------------------------
4.
Memerintahkan
Panitera
pengadilan
Agama
Salatiga
untuk
mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah Kecamatan Getasan, Kabupaten
Semarang, dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga, untuk dicatat dalam daftar yang tersedia untuk itu; ----------5.
Menhukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebanyak Rp. 331.000,- (tiga ratus tiga puluh satu ribu rupiah). ------------------------Demikian putusan ini dijatuhkan pada hari Selasa tanggal 1 Maret 2011
M bertepatan dengan tanggal 26 Rabi’ul Awwal 1432 H dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga oleh kami Dra. Hj. FA, MH sebagai Hakim Ketua Majelis, H. SO, SH. MH dan MN, SH masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana pada hari itu juga dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis tersebut didampingi para Hakim Anggota, Dra. WD sebagai Panitera Pengganti, dihadiri pula oleh Penggugat dan Tergugat.---------------------------------------------------------------------------------Hakim Anggota I,
Hakim Ketua Majelis,
ttd
ttd
H. SO, SH. MH
Dra. Hj. FA, MH
Hakim Anggota II, ttd MN, SH Panitera Pengganti, ttd Dra. WD Perincian Biaya : 1. Biaya Pendaftaran
: Rp. 30.000,-
2. Biaya Proses
: Rp. 50.000,-
3. Biaya Panggilan
: Rp. 240.000,-
4. Redaksi
: Rp.
5.000,-
5. Materai
: Rp.
6.000,-
Jumlah
Rp. 331.000,-
(tiga ratus tiga puluh satu ribu rupiah)
C. Pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam putusan khul’i yang di dalam hukum acaranya tanpa dihadiri saksi-saksi Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti di Pengadilan Agama Salatiga maka yang menjadi pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam putusan khul’i yang di dalam hukum acaranya tanpa dihadiri saksisaksi adalah sebagai berikut: Menimbang, bahwa Penggugat tidak ridlo dan bersedia serta telah membayar uang iwadh sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Dengan demikian telah terpenuhi syarat ta’lik talak sebagaimana diatur dalam pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam.---------------------------------------------Menimbang, bahwa sejalan dengan apa yang telah dipertimbangkan diatas Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Tergugat sesaat setelah akad nikah mengucapkan sighat taklik talak, telah melanggar sighat taklik talak tersebut pada angka 2 dan 4, maka dalil-dalil gugatan Penggugat juga telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana pasal 39 ayat (1) dan (2) Undangundang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam;---------
Menimbang, bahwa oleh karena rumah tangga Pemohon dan Termohon telah nyata pecah maka apabila perkawinan antara Pemohon dan Termohon tersebut tetap dipertahankan niscaya akan menimbulkan madlarat yang lebih besar bagi kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya ;--------------------Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan maka berdasarkan pasal 89 ayat 1 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
tahun 2006 dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka kepada Penggugat dihukum membayar biaya perkara;----------------Dengan
demikian,
pada
putusan
khul’i
yang
dalam
acara
pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi yang dalam hal ini penulis mewawancarai hakim dengan inisial ‘FA’ yang menjadi dasar pertimbangan hukum bagi majelis hakim adalah pada pasal 174 HIR hal 61 yaitu: Pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim, cukup menjadi bukti untuk memberatkan orang yang mengakui itu baik yang diucapkannya sendiri, maupun dengan pertolongan orang lain yang istimewa dikuasakan untuk itu.
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PERKARA PERCERAIAN NOMOR: 850/Pdt.G/PA.SAL
A. Analisis putusan perkara cerai gugat dengan putusan khul’i yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi Prosedur beracara dalam persidangan menggunakan acara biasa yang dilaksanakan sesuai dengan tahapan persidangan setelah majelis hakim menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk umum maka hakim memulai pemeriksaan terhadap para pihak terlebih dahulu, menganjurkan kepada para pihak untuk berdamai, namun gagal maka dilanjutkan memeriksa pokok perkara, majelis hakim memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para pihak
untuk
mengemukakan
segala
sesuatu
yang
menjadi
pokok
persengketaan mereka agar majelis hakim dapat menentukan hukumnya, dalam mempertahankan dalil gugatan para pihak diberikan kesempatan yang sama untuk memberikan bukti kebenaran dalil dalil yang diajukan, Pada tahapan pembuktian bertujuan untuk menemukan suatu kebenaran peristiwa, seperti pada perkara perceraian dengan (syiqoq) pada perkara Nomor 0850/Pdat.G/PA.SAL diatur secara khusus yang didasarkan atas perselisihan dan pertengkaran terus menerus maka ketentuan yang diatur didalamnya dengan sendirinya mengikuti ketentuan hukum acara yang diatur secara khusus apabila terjadi kelalaian mangakibatkan pemeriksaan belum
memenuhi syarat pemeriksaan yang ditentukan Undang-Undang, maka pemeriksaan dan putusan tersebut batal demi hukum. Adapun tata cara pemeriksaan yang telah ditentukan dalam pasal 76 ayat 1 undang-undang No.7 Tahun 1989 jo pasal 22 ayat 2 PP No. 9 Tahun 1975 sebagai berikut: 1.
Hakim harus meneliti tentang sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran.
2.
Hakim harus meneliti pula tentang ada tidaknya perselisihan dan pertengkaran, serta bagaimana bentuk perselisihan dan pertengkaran itu.
3.
Hakim harus meneliti tentang sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran.
4.
Hakim harus mempertimbangkan sebab perselisihan dan pertengkaran apakah benar-benar berpangaruh dan prinsipil terhadap keutuhan kehidupan suami istri.
5.
Hakim harus mendengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang terdekat dengan suami-istri, sebagai saksi mereka harus disumpah.
6.
Hakim
setelah
mendengar
keterangan
saksi-saksi
tentang
sifat
pertengkaran antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing – masing ataupun orang lain untuk menjadi hakam pengangkatan hakam terserah pada kebijakan hakim. 7.
Hakim mengangkat hakam dibawah sumpah yang kemudian hakim memberikan petunjuk tentang tugas hakam yaitu meneliti sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran para pihak dan berusaha untuk mendamaikan.
8.
Perceraian dapat dikabulkan apabila telah cukup bukti mengenai perlisihan dan pertengkaran apakah berpengaruh terhadap kehidupan suami istri tersebut. Berdasarkan ketentuan pada pasal di atas seharusnya hakim dapat
membebankan
pembuktian
dengan
menghadirkan
para
saksi
untuk
mendukung dan menguatkan dalil-dalil yang menjadi alasan perceraian. Dalam
perkara
No.0850/Pdt.G/PA.SAL
tidak
hanya
mendengarkan
pengakuan tergugat dan membenarkan gugatan penggugat.
B. Analisis pertimbangan dan dasar hukum Hakim dalam putusan Nomor: 0850/Pdt.G/PA.SAL Dalam perkara perceraian pada penelitian penulis yang menjadi dasar pertimbagan hakim adalah pengakuan tergugat “LY” binti WS yang mana antara penggugat dan tergugat terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, jika dalam gugatan tersebut tergugat mengakui secara murni dan tanpa adanya intimidasi dari pihak penggugat, maka dalil tersebut tidak perlu dibuktikan lagi, namun dalam perkara perceraian sangat rawan terjadi penyeludupan hukum, maka sudah sewajarnya pada putusan perkara cerai gugat antara ”LI” dan ”LY” dibebankan pembuktian meskipun sudah diakui oleh tergugat selain pembuktian surat dan pengakuan harusnya dapat menghadirkan saksi-saksi yang melihat, mendengar, dan menyaksikan sendiri peristiwa yang didalilkan penggugat agar tidak mencedrai sebuah keadilan,
sedangkan dalam hal ini dalam Penjelasan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Angka 4 huruf “e” yaitu Azas atau prinsip yang tercantum dalam Undangundang ini adalah: “Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang- Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasanalasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.” Dari azas Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan adanya pengakuan pura-pura karena adanya motif persepakatan cerai yang tidak dianut dan tidak dibenarkan oleh peraturan perundangundangan, namun menurut penulis pembuktian dalam hal ini bukanlah benarbenar untuk membuktikan dalil-dalil penggugat, melainkan pembuktian dalam hal ini hanyalah bertujuan agar jangan sampai terdapat indikasi bahwa pengakuan tergugat terhadap dalil-dalil penggugat semata-mata didasarkan karena motif persepakatan cerai yang mengarah pada penyeludupan hukum. Dengan dibantah ataupun tidak seharusnya, Penggugat harus dibebani untuk membuktikan bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi. Menurut penulis apabila dalam perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran yang terjadi terus menerus dan tidak dapat rukun kembali, seperti dalam perkara cerai gugat yang di ajukan ”LI” adalah peristiwa pertengkaran dalam rumah tangga hanya dimungkinkan dibuktikan dengan bukti saksi (peristiwa pertengkaran tidak dimungkinkan dibuktikan hanya dengan bukti surat dan pengakuan) sementara pada bukti saksi melekat
syarat formil dan meteril yang salah satu syaratnya adalah keterangan saksi hanya terbatas mengenai peristiwa-peristiwa, yang dialami, dilihat, didengar dan disaksikan sendiri oleh saksi, disisi lain pertengkaran yang dibuktikan bukanlah peristiwa yang terjadi sekali saja dan disuatu tempat melainkan peristiwa yang terjadi secara berkesinambungan terjadi secara terus-menerus dan terjadi tanpa proses perencanaan maka dalam putusan ini Hakim secara “exofficio” dapat memerintahkan saksi untuk datang sesuai dengan pasal 135 HIR atau pasal 165 RBg pada ketentuan pasal 76 bahwasannya saksi bersifat ” imperatif” karena pada pasal tersebut terdapat kata “harus” yakni yang dekat dengan suami istri tersebut. Ini bearti pemeriksaan keluarga dan orangorang terdekat dengan suami istri “wajib” atau “mesti” diperiksa lebih dahulu sebelum hakim menjatuhkan putusan, Oleh karena pemeriksaannya bersifat imperatif, maka apabila dilalaikan tata cara memeriksa dan mengadili perkara menurut
tata cara yang ditentukan Undang-Undang mengakibatkan
pemeriksaan dan putusan batal demi hukum.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Kehadiran seorang saksi dalam perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran yang terjadi secara terus menerus wajib menghadirkan saksi-saksi dari para pihak yang mengajukan percaraian baik dari keluarga terdekat maupun dengan orang-orang yang terdekat dengan mereka untuk menghindari adanya hal-hal yang tidak diinginkan diantaranya: 1. Dalam acara pembuktian, hakim tetap tidak menghadirkan saksi-saksi sebagai bahan pertimbangan dalam putusan. Maka hakim mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan syarat ta’lik talak telah terpenuhi, kemudian Menetapkan jatuh talak satu khul’i Tergugat (LY bin WS) kepada Penggugat (LI binti MR) dengan iwadl Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah). 2. Dalam perkara cerai gugat yang di ajukan ”LI” adalah peristiwa pertengkaran dalam rumah tangga hanya dimungkinkan dibuktikan dengan bukti saksi (peristiwa pertengkaran tidak dimungkinkan dibuktikan hanya dengan bukti surat dan pengakuan) sementara pada bukti saksi melekat syarat formil dan meteril yang salah satu syaratnya adalah keterangan saksi dilihat, didengar dan disaksikan sendiri oleh saksi.
Adapun yang menjadi pertimbangan hakim dan dasar hukum yang memutuskan perkara tanpa dihadiri saksi-saksi dalam putusan No. 850/Pdt.G/PA.SAL di Pengadilan Agama Salatiga adalah: 1. Rumah tangga Penggugat dan Tergugat yang sejak bulan Nopember 2009, tidak harmonis, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit untuk dirukunkan kembali, selama 1 tahun lebih telah pisah rumah dan selama itu Tergugat tidak memberi nafkah wajib kepada Penggugat. 2. Terhadap dalil-dalil gugatan Penggugat tidak ada bantahan dari Tergugat, namun karena perkara ini perkara perceraian, untuk memastikan gugatan Penggugat beralasan dan tidak melawan hukum maka Penggugat tetap dikenai beban pembuktian 3.
Alat bukti yang diajukan Penggugat berupa alat bukti surat-surat dan Pengakuan tergugat telah memenuhi syarat formil dan materiil, maka alat-alat bukti terebut sah dan dapat diterima sebagai alat bukti.
4. Alat bukti (P.1) adalah alat bukti otentik maka terbukti bahwa Penggugat berdomisili di Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, sehingga sesuai pasal 73 (1) Undang-undang nomor 7 tahun 1989 perkara ini merupakan wewenang Pengadilan Agama Salatiga untuk mengadilinya. 5. Berdasarkan bukti (P.2) terbukti Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah dan setelah akad nikah Tergugat mengucapkan sighat ta’lik talak serta belum pernah bercerai.
B. Saran 1. Bagi masyarakat Sebelum melakukan perkawinan hendaknya lebih dahulu memahami apa yang menjadi tujuan dan yang menjadi rukun juga syarat dari perkawinan disini dimaksudkan agar di kemudian hari tidak terjadi halhal
yang
dapat
merusak
atau
membatalkan
perkawinan
yang
dilangsungkan. Di Indonesia, perceraian telah diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk menertibkannya, diharapkan dengan peraturan itu tumbuh kesadaran hukum masyarakat agar perceraian itu tidak semudahnya dilakukan. 2. Bagi Pengadilan Agama Lembaga pengadilan merupakan lembaga pencari keadilan bagi masyarakat maka, pengadilan hendaknya tidak dengan mudah memutus sebuah perceraian yang yang diajukan oleh Penggugat.
3. Bagi STAIN Sebagai lembaga pendidikan STAIN Salatiga dapat memberikan penyuluhan agama dan dampak perceraian.
DAFTAR PUSTAKA
Alam M. Syaipul. 2005. Skripsi “Sumpah li’an dalam sistem pembuktian penceraian di Pengadilan Agama Salatiga” (studi kasus di Pengadilan Agama Purworejo 1996) Anwari Ali. Skripsi “Penyelelesaian Kasus Zina” 2004 (studi komparatif antara kitab Undang-undang dan hukum pidana dan hukum Islam) Arto
Mukti A. 2004. “Praktek Agama)Pustaka pelajar offset
Perkara
Perdata”
(pada Pengadilan
Asadulloh al-Faruq. 2009. Hukum Acara Peradilan Islam. Jakarta: PT. Buku Kita Astuti Tri. 2005. Skripsi “sikap hakim mengenai hukum pembuktian pada proses perkara perceraian di Pengadilan Agama Salatiga” Chatib Rasyid dan Syaifuddin. 2009. Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press Hadari Nawawi. 1991. Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta:UGM Press Hamami Taufiq. 2003. Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, Bandung: PT Alumni Harahap Yahya. 1990. Hukum Acara Perdata Indonesia Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini _____________. 1993. Kedudukan Kewenangan dan Acara Pengadilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini _____________. 1989. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: Penerbit Pustaka Kartini Manan Abdul. 2006. Penerapan Hukum Acara Perdata di dalam lingkungan Peradilan Agama, Kencana Mathlub Mahmud Majid Abdul. 2005. Panduan hukum keluarga, Surakarta: Era Intermedia Metrokusumo Sudikno RM. 1985. Hukum Acara Perdata Indonesia Yogyakarta Liberty Mughniyah, Muhammad Jawad. 2002. Fiqh Lima Mazhab (Ja’fari, Maliki, Hanafi, Syafii Hanbali), terj. Masykur AB dkk, cet-1, Jakarta: Lentera
Mukhtar, Kamal. 1987. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet-2, Jakarta: Bulan Bintang Rasyid A Roihan. 1991. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa Sabiq, Sayid. 1994. Fiqh Sunnah, Bandung: al-Ma’arif Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, cet-2, Yogyakarta: Liberty Soepomo. 1978. Hukum Acara Peradilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita Subekti, 1983. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita Supramono Gatot. 1993. Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Alumni Bandung Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 yang diubah oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan perubahan yang ke dua oleh Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Undang-undang No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Wardah Sri, dan Sutiyoso Bambang. 2007. Hukum Acara Perdata Dan Perkembangannya di Idonesia, Gama Media Wawancara di Pengadilan Agama (hakim, panitra dan bagian informasi) Sri kusrini Laporan PPL di Pengadilan Agama Salatiga 2010 Jeri susanto Laporan PPL di Pengadilan Agama Salatiga 2010
DAFTAR RIWAYAT PENULIS
Nama
: Sri Kusrini
Tempat/Tanggal Lahir
: Curup/18 Agustus
Alamat
: Jl. Tritis Baru II No. 12 RT. 02 RW. 08 Kel. Sidorejo Kidul Kec. Tingkir Salatiga
Pendidikan
: Alumni Universitas Bengkulu (UNIB) Jurusan hukum hingga semester 6 melanjutkan di STAIN Salatiga 2012