PARADOKS DALAM AKTIVITAS SIMBOLIK : ANALISIS TAROT DENGAN KERANGKA FILSAFAT SIMBOL SUSANNE LANGER Chandra Bientang Anggarie Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Skripsi ini merupakan pembedahan secara filosofis dengan Tarot sebagai objeknya. Dalam analisis ini, Tarot dikeluarkan dari fungsi-fungsi praktikal yang selama ini dikenal oleh masyarakat pada umumnya, sehingga Tarot dapat dilihat sebagai simbol konkrit, sebagai produk pikiran manusia dalam usahanya memahami realitas. Ada aktivitas simbolik di dalam Tarot di mana elemen-elemennya—naming, dan imagery—berelasi, dengan melibatkan manusia sebagai subjek simbol, baik itu sebagai kreator maupun interpreter. Melalui analisis hubungan elemen-elemen dalam Tarot, muncul permasalahan keterikatan manusia pada sistem simbol (language), menyebabkan terjadinya paradoks dalam aktivitas simbolik Penelitian ini bertujuan membongkar sisi epistemologis Tarot dengan memperlihatkan adanya aktivitas intelektual, di mana kognisi manusia berperan sepenuhnya. Kata kunci
: Tarot, epistemologi, aktivitas simbolik, paradoks, naming, imagery, language
Paradox in Symbolic Activity : Analysis on Tarot using The Symbol Philosophy of Susanne Langer ABSTRACT This undergraduate thesis is a philosophical dissection with Tarot as its object. In this analysis, Tarot is taken out from its usual practical functions as known to society, so Tarot can be seen as a concrete symbol, as a product of human mind as they learn to understand their reality. There is a symbolic activity inside the Tarot where its elements—naming and imagery—related to each other, involve human as the subject of symbol, either creator or interpreter. Through analyse how the elements related to each other in Tarot, raise a problem that human are bounded to system of symbol (language), cause a paradox in symbolic activity. This research has a purpose to expose the epistemology of Tarot by showing that there is an intelectual activity in Tarot, in which human cognition take the whole role. Keywords
: Tarot, epistemology, symbolic activity, paradox, naming, imagery, language
Paradoks dalam..., Chandra Bientang A, FIB UI,2013
Pendahuluan Pada masa kini Tarot diasosiasikan dengan praktek meramal, melihat masa depan, klenik. Kelompok-kelompok religius telah lama, sejak masa Renaissance Eropa, s mengetengahkan kecurigaan bahwa Tarot berhubungan dengan ajaran sesat Penulisan ini bermaksud memperlihatkan sudut pandang yang sebelumnya tidak terlihat dikarenakan prasangka-prasangka negatif yang merendahkan kesakralan Tarot yang sarat akan eksistensi manusia dalam kemampuannya menciptakan simbol. Tarot bukanlah satu hal yang baru di era kontemporer ini. Tarot merupakan bagian dari fenomena kultural, diadopsi dan digunakan di banyak tempat. Dunia melihat Tarot sebagai bagian dari fenomena kultural, benar, namun sebagian besar faktanya orang memaknainya hanya sebatas sensasi, kesan-kesan yang ditangkap oleh pancaindera. Sesuatu yang sangat disayangkan ketika kebudayaan dipandang sekadar dalam ranah performansi (penampilan). Menganalisis Tarot secara filosofis adalah tantangan yang luar biasa, karena Tarot pada masa sekarang dilihat sebagaimana ia digunakan, sebagai alat pengungkapan— divinatory (Farley 2009 : 43). Annie Lionnet dalam Secrets of Tarot memberi keterangan bahwa Tarot merupakan media yang mengungkapkan alam spiritual kita (Lionnet 2001 : 8). Dapat dikatakan ketika seseorang mengalami kontak pertama dengan Tarot, ia dihadapkan pada situasi percaya-tidak percaya. Penyebabnya adalah Tarot selalu ditampilkan seperti layaknya bola kristal, ditunjukkan dengan fungsi sebagai media untuk melihat jalan hidup seseorang. Tantangannya adalah bagaimana melihat Tarot dengan perspektif yang lain.
Term divinatory pada masa sekarang kerap disejajarkan dengan penglihatan, atau pengungkapan masa depan. Jika Tarot dilihat dari pemahaman seperti ini, maka dengan sendirinya orang dapat lantas mengasosiasikan Tarot sebagai media pengungkapan masa depan. Namun menelusuri sedikit ke belakang, dalam sejarah Tarot sendiri, ditemukan bahwa kemunculan kartu-kartu tersebut di Eropa dikenal sebagai kartu permainan. Maka terlihat adanya aspek praktikal dalam kartu-kartu Tarot. Entah itu sebagai kartu permainan, atau sebagai media meramal masa depan, semua itu adalah fungsifungsi praktikal, bagaimana manusia menggunakannya. Fungsi-fungsi praktikal inilah yang membuat keberadaan Tarot yang penuh akan simbol menjadi terabaikan. Tentu tidak berarti manusia tidak mengetahui bahwa yang tertera dalam Tarot adalah simbol-simbol, namun simbol-simbol tersebut dipahami hanya sebatas fungsi praktis. Memahami Tarot murni sebagai simbol harus terlebih dahulu menepiskan fungsi-fungsi praktikal yang selama ini melekat pada dirinya. Maka Tarot dapat dilihat sebagai wujud simbol itu sendiri. Simbol-simbol yang dapat dipahami sebagai divinatory, tetapi tidak dalam pengertian ramalan, atau penglihatan masa depan, melainkan mengungkap pengetahuan—ekstrak dari alam semesta yang dipahami oleh manusia dan dieksplisitkan dalam bentuk-bentuk simbol. Inilah sejatinya pengungkapan misteri ilahi (divine). Melalui observasi yang dilakukan penulis pada praktek-praktek pembacaan kartu Tarot (yang juga dilakukan oleh penulis sendiri), bukan hanya pembaca Tarot yang menginterpretasikan kartu, namun klien juga menginterpretasikan berdasarkan kesan yang ditangkapnya. Hal ini menimbulkan seringnya terjadi kesalahpahaman dalam memaknai Tarot.
Paradoks dalam..., Chandra Bientang A, FIB UI,2013
Simbol-simbol itu hadir di depan mata, namun dangkalnya pemahaman atau keinginan untuk memahami menyebabkan kesakralannya terabaikan. Pada umumnya para analis Tarot memilih menelusuri simbolisme Tarot melalui perspektif spiritual, namun melupakan bahwa spriritual adalah bagian dari ruang besar bernama pikiran (mind). Akibatnya Tarot selalu dikaitkan dengan mistisisme, dikenal sebagai alat yang berasosiasi dengan praktek meramal masa yang akan datang. Jika memahami dengan baik konsep mind, maka tidak mungkin luput peran subjek dalam simbolisme. Dengan begitu pula tidak mungkin terabaikan bahwa Tarot merupakan produk pikiran subjek. Problem simbolisme dalam filsafat adalah sebuah topik yang mendasar, basis dari seluruh persoalan, karena simbol merupakan bukti eksistensi manusia ketika ia berusaha memahami dunia yang terbentang di sekitarnya. Kemampuan tersebut merupakan pemberian manusia untuk dirinya sendiri, menjadikannya spesial di antara spesies-spesies lainnya. Dengan memahami hubungan manusia dengan simbol maka setiap peradaban dan produk-produk pemikiran menjadi masuk akal. Percobaan untuk membuktikan keberadaan Tarot yang original, asal-usulnya melahirkan berbagai versi dan spekulasi. Meski menjadi popular di Eropa, kemiripannya dengan sejumlah tipe kartu dari negara-negara seperti Arab, Mesir, India dan Cina, menyebabkan adanya pendapat bahwa kartu Tarot masuk ke Eropa melalui jalur perdagangan dan kaum gipsi. Tarot adalah sebutan yang dipakai di Inggris dan Prancis, dikenal pertama kali di Itali dengan kata tarocchi. Beberapa penulis mengatakan Tarot berasal dari kata turuq dalam bahasa Arab yang berarti empat jalan (four pathways). Pendapat lain mengatakan, masih dalam bahasa Arab, Tarot ditarik dari kata taraka yang
memiliki makna meninggalkan (to leave, abandon). Antoine Court de Gebelin mengemukakan teori bahwa kata Tarot berasal dari term Mesir, ta-rosh yang berarti jalan kehidupan yang agung (royal road of life). Banyaknya versi mempersulit menentukan originalitas Tarot, sehingga fungsi awal kartu ini tidak dapat diketahui. Dengan kondisi demikian, maka dapat dikatakan bahwa apa yang selama ini diketahui tentang Tarot yaitu bahwa sepanjang sejarahnya kartu-kartu tersebut diciptakan dengan maksud dan fungsi tertentu. Pada masa kini Tarot diasosiasikan dengan praktek meramal dan mistisisme. Pada masa Renaissance di Itali, Tarot memiliki banyak fungsi. Dalam buku The Da Vinci Code karya Dan Brown dikatakan bahwa Tarot digunakan sebagai alat menyebarluaskan ideologi yang pada masa itu dilarang oleh Gereja, dengan menggunakan image-image tertentu yang dapat menyampaikan maksud tersebut. Tema dalam penulisan ini adalah analisis terhadap simbolisme Tarot, di mana titik beratnya ada pada aktivitas simbolik (symbolic activity). Mengapa dikatakan aktivitas simbolik, karena simbol tidak bisa dilihat sebagai objek saja, melainkan konsep yang berada di baliknya. Konsep ini hanya dapat disadari oleh manusia yang mengadakan abstraksi sebagai konsekuensi dari aktivitas mental yang memang menjadi ciri khasnya. Simbol, dengan demikian, memiliki kandungan aktif.
Metode Penelitian Penelitian dilakukan melalui studi literatur dengan teori utama yaitu filsafat simbol Susanne Langer. Selain itu digunakan pula metode observasi berdasarkan pengalaman langsung terhadap penggunaan Tarot. Dikarenakan teori filsafat simbol Langer menekankan pada pentingnya logika simbol dan simbol sebagai media
Paradoks dalam..., Chandra Bientang A, FIB UI,2013
pengetahuan, maka penelitian juga bekerja dalam kerangka pikiran epistemologi, menggunakan filsafat simbol Langer sebagai metode pengupasan aktivitas simbolik di dalam Tarot. Referensi literatur yang digunakan selain buku-buku dari Susanne Langer sendiri, juga data-data historis mengenai perkembangan Tarot. Meskipun demikian, penelitian ini lebih bersifat analisis logika simbol, dalam pengertian memahami relasi di antara elemen-elemen dalam simbolsimbol Tarot. Karenanya, tanpa bermaksud merendahkan fakta-fakta historis dan kultural, dalam penelitian ini data-data tersebut cenderung diabaikan, atau pemberlakuan tanda kurung dengan maksud menunda pembahasan lebih lanjut mengenainya. Dengan observasi langsung, maka yang dimaksud adalah menganalisis sendiri ketika proses interpretasi Tarot berlangsung. Proses interpretasi berlangsung melalui praktek Tarot sebagaimana ia digunakan pada era sekarang, yang dikenal sebagai media pengungkapan masa depan. Namun lagilagi penggunaan praktikal ini di-tandakurung-kan, demi kepentingan analisis simbol. Refleksi filosofis dengan menggunakan teori simbol Langer digunakan dalam proses observasi.
Teori Dasar Dalam buku An Introduction to Symbolic Logic, Susanne K. Langer (1895-1985) mencoba menelusuri problem mengenai forma (form). Di sini ia menekankan hubungan manusia, objek, dan pengetahuan. Langer menekankan bahwa fakultas persepsi adalah sebuah titik tolak penting ketika manusia berusaha memahami dunia. Meski demikian lebih lanjut ia menitikberatkan pada apa yang selanjutnya dilakukan dalam proses mental, yaitu meraih konsep dari data-data
sensual. Pada poin inilah manusia mencapai pengetahuan. (Langer 1967 : 22) Langer dalam bukunya Philosophy In A New Key memberikan pernyataan bahwa manusia merupakan spesies yang lebih unggul dibandingkan hewan dikarenakan kemampuannya menggunakan simbol tetapi juga di dalam pernyataan itu sendiri bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menggunakan simbol. Yang dimaksud dengan kemampuan juga berarti kendali, kekuasaaan untuk menggunakan simbol sesuai dengan keinginannya, sebuah fakultas yang hanya dimiliki oleh manusia. Tidak hanya menciptakan simbol, tapi juga menggunakan simbol. Menurut Langer, manusia menggunakan simbol untuk menyampaikan sebuah idea, sebuah pengetahuan. (Langer 1948 : 20 ) Langer melalui teori penciptaan simbol, mebuat distingsi antara discursive symbol dan presentation symbol. Garis besar pembedaan tersebut adalah bagaimana forma dari simbol terbentuk. Discursive symbolization adalah proses terbentuknya simbol berdasarkan penyusunan elemenelemennya membentuk satu konsep. Namun elemen-elemen ini dapat dibongkar lagi, dipecah dan digabung dengan berbagai elemen lain membentuk konsep yang berbeda. Karenanya masing-masing elemen dapat dianalisis secara terpisah guna mencapai konsep yang dimaksudkan dalam proposisi. Sementara itu presentation symbolization adalah proses terbentuknya simbol yang berawal dari kesatuan forma, sehingga untuk memahaminya tidak dapat menganalisis elemen-elemennya satu persatu, melainkan harus dilihat secara keseluruhan, relasi antar elemennya. Langer bermaksud menyampaikan bahwa konsep mengenai simbol yang baru adalah yang berelasi dengan elemen-elemen lain yang hadir bersama simbol tersebut, di mana keberadaannya masing-masing memengaruhi makna satu sama lain. (Langer 1962 )
Paradoks dalam..., Chandra Bientang A, FIB UI,2013
Langer secara eksplisit dalam Feeling and Form membedakan simbol dalam kebahasaan dan simbol dalam konteks seni. Dalam proposisi kalimat, yang merupakan sistem simbol (language), kita dapat memilah-milah konten pembentuknya hingga bagian terkecil, ataupun menyusun bagian-bagian menjadi satu bentuk. Namun di dalam seni, hal itu tidak berlaku. Seni sebagai simbol, tidak dilihat sebagai susunan dari komponenkomponen yang terpisah. (Langer 1953 : 369)
sebelum menerapkannya dalam bab-bab selanjutnya. Secara etimologi berasal dari term Yunani paradoxon, para = distinct / berbeda, doxa = common belief / popular opinion / pendapat yang umum. Secara harafiah paradoks berarti berbeda dari pendapat atau perspektif pada umumnya. Tetapi tidak berarti perspektif yang satu menggantikan perspektif yang lain, juga tidak berarti yang satu salah sementara yang lain benar. Sesuatu dikatakan paradoks jika ia memiliki dua posisi sekaligus, yang dapat juga dikatakan memiliki pertentangan di dalam dirinya sendiri. Zeno, seorang filsuf Yunani (490-430 SM) menggunakan istilah paradoks untuk konsep pergerakan. Ia melihat pergerakan adalah ilusi karena pokok dari pergerakan adalah statis (tidak bergerak). Salah satu contoh paradoks Zeno adalah panah dikatakan bergerak berarti panah tersebut melewati deretan posisiposisi statis (Lechte 2003 : 222).
Langer menyebut karya seni sebagai simbol yang tidak dapat dipisah-pisahkan (indivisible symbol). Simbol dalam karya seni tidak dapat dipahami jika kontenkontennya dilihat secara terpisah. Pemberlakuan tanda kurung hanya membuat sebuah simbol seni tidak memiliki makna sama sekali. Dari pembedaan antara simbol bahasa dan simbol seni, muncul apa yang Langer sebut sebagai discursive symbol—simbol diskursif, seperti yang terlihat pada bentuk-bentuk kalimat atau language (sistem simbol)—dan presentation symbol (simbol presentasional). Seni adalah presentation symbol, di mana kontenkotennya harus dipahami dalam konteks penampilannya secara keseluruhan.
Keterangan Mengenai Konsep-Konsep yang Digunakan Paradoks
: Term paradoks dalam penulisan digunakan untuk menjelaskan apa yang tampak ketika mengeksplorasi hubungan antara elemenelemen dalam aktivitas simbolik, dan lebih spesifik, aktivitas simbolik yang ada dalam Tarot. Paradoks perlu dijelaskan lebih dahulu
Language
: secara umum language diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi bahasa. Term language dalam penulisan ini tidak sertamerta bersinonim dengan
Paradoks dalam..., Chandra Bientang A, FIB UI,2013
kata bahasa. Kesalahpahaman dapat terjadi jika menerjemahkan term ini menjadi bahasa, yaitu kecenderungan masyarakat pada umumnya menggunakan kata bahasa dengan pengertian “Bahasa Indonesia”, “Bahasa Inggris”, “Bahasa Jerman”, dan sebagainya. Yang dimaksud dengan language adalah merujuk pada pemikiran filsafat Susanne Langer, yaitu sistem simbol, atau simbol diskursif. Term language digunakan untuk membedakannya sebagai salah satu bentuk simbol.
Naming
: term naming jika diterjemahkan secara harafiah dalam Bahasa Indonesia dapat dipadankan dengan penamaan. Meski demikian, naming dalam penulisan ini tidak begitu saja dipahami sebagai tindakan pemberian nama, melainkan ada sebuah proses di dalamnya di mana konsep yang abstrak dieksplisitkan menjadi bentuk nama.
Imagery
: term imagery, dalam Bahasa Indonesia secara harafiah diterjemahkan menjadi penggambaran. Meski demikian term ini dipertahankan dalam
Bahasa Inggris untuk kepentingan penulisan ini, di mana imagery tidak hanya sebatas ilustrasi sebagaimana yang sering diartikan. Imagery dalam penulisan ini dipahami sebagai elaborasi konsep dalam wujud gambar. Dalam imagery terdapat konsep itu sendiri.
Hasil Analisis Tarot adalah kumpulan kartu-kartu, yang masing-masing di dalamnya terdapat gambar atau ilustrasi, yang pada analisis ini disebut imagery. Tarot terdiri dari Minor Arcana dan Major Arcana. Kata arcana sendiri dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary berarti sesuatu yang tersembunyi dan misterius. Baik Minor Arcana dan Major Arcana berisikan simbol-simbol yang mengungkap pengetahuan atau realitas. Pembagian ini didasarkan pada adanya dua karakter dalam simbolisme Tarot. Minor Arcana berisikan simbol-simbol numeral (angka) dan persona (figur manusia) yang dikombinasikan dengan empat elemen : Cups (piala), Wands (tongkat), Pentacles (koin), Swords (pedang). Minor Arcana menunjukkan situasi-situasi atau tahapantahapan spesifik dalam kehidupan manusia. Sementara Major Arcana berisikan simbol-simbol yang menunjukkan situasi, atau peristiwa dalam kehidupan manusia secara garis besar. Melalui kartu-kartu Tarot, konsep-konsep mengenai realitas dituangkan dalam bentuk-bentuk metafor, baik dalam bentuk gambar pada imagery maupun bentuk kata pada naming. Pada masing-masing kartu terdapat label, atau dapat disebut juga judul (title), atau naming, yaitu bagaimana kita menyebut kartu-kartu tersebut (sebagai contoh : The
Paradoks dalam..., Chandra Bientang A, FIB UI,2013
Chariot, The Empress, Ten of Cups, Ace of Swords, Knight of Pentacles, Five of Wands, dsb.). Permasalahan interpretasi, juga abstraksi terjadi jika kita melihat betul ke dalam simbol-simbol ini, antara imagery dan naming. Language (sistem simbol), sesuai dengan pendapat Langer, adalah produk manusia yang “momentuous”, “the whole day of creation”, “a whole chapter of evolution” (Langer 1948 : 83). Language adalah bentuk simbol yang berisikan konsep secara eksplisit. Karena itu kita hidup di tengah-tengah language, di tengah katakata. Language memungkinkan kita berkomunikasi dengan lebih baik, dibandingkan jika kita harus berinteraksi satu sama lain dengan saling melempar gambar. Selanjutnya Langer juga mengatakan bahwa language merupakan bentuk simbol yang tinggi, ia adalah simbol diskursif, sementara simbol presentasional seperti gambar adalah simbol yang berada pada tataran lebih rendah ( Langer 1948 : 96 ). Language merupakan pencapaian manusia ketika ia menyadari kebutuhan mengeksplisitkan pikirannya, mengeksplisitkan bentuk-bentuk abstrak menjadi bentuk yang dapat terucapkan (terlafalkan). Language, meski sebuah kreasi manusia yang membuktikan keunggulan spesiesnya, juga paradoks ketika ia memberi batasan-batasan bagi pikiran itu sendiri. Language tidak pernah memberi kepuasan yang cukup akan pemahaman. Manusia adalah spesies yang telah mencapai “momentuous” sebagaimana diungkapkan oleh Langer, dalam hal language. Keseharian, baik itu tindakan, maupun berpikir, selalu ada bentuk-bentuk simbol yang tersistem dalam rangkaian elemennya yaitu kata-kata. Kita tidak dapat membayangkan sebuah ilustrasi, atau mengingat sebuah memori tanpa disertai language, tanpa disertai kata-kata
(words). Karena adanya sistem simbol inilah kita dapat mengeksplisitkan konsep. Konsep berada pada tataran pemahaman dengan cara kerja yang rumit. Kesulitan membicarakan konsep adalah bahwa ia memiliki bentuk yang abstrak, sementara kita tidak bisa memikirkannya tanpa seiring dengan keberadaan language, jadi sering terjadi tumpang tindih antara konsep itu sendiri dengan kata, yang di satu sisi mengeksplisitkan konsep, namun di sisi lain tidak dapat mengungkap keseluruhan konsep. Konsep adalah hal yang abstrak, dan language sebagai simbol adalah sebuah perangkat di mana melaluinya konsep menjadi eksplisit. Sementara imagery, yang terdiri dari elemen-elemen, adalah sebuah deskripsi, pengejawantahan dari konsep. Konsep terbentuk dengan adanya proses mental yang mengkonstruksi elemen-elemen yang ada pada diri subjek, apa yang ia lihat, apa yang ia rasakan, apa yang ia dengar, yang ia alami. Maka naming merupakan konseptualisasi dari forma abstrak yang terbentuk ketika (creator) seorang pencipta—kreator bekerja dalam sebuah ruang virtual. Imagery adalah apa yang tercipta ketika kreator mengeluarkan konsep tersebut menggunakan peralatan dan ruang yang tersedia untuknya. Dengan begitu, naming, atau penamaan dalam Tarot, tidak dalam pengertian memberi nama pada sebuah objek yang telah ada, tidak dalam pengertian nama diberikan setelah gambar itu tertuang dalam bentuk yang kasat mata. Kata, atau language, seperti yang kita sadari, tidak dapat mencakup konsep secara total. Naming harus dipahami bukan sebagai konsep itu sendiri, melainkan bentuk eksplisit dari konsep. Naming adalah konsep yang telah terstruktur ke dalam language. Pada masa kini Tarot bukan hal yang baru sama sekali. Tarot diproduksi secara luas,
Paradoks dalam..., Chandra Bientang A, FIB UI,2013
dengan beragam karakter pada imagery, namun naming adalah satu elemen yang tetap, digunakan di Tarot deck apapun. Tarot menjadi produk yang global, dan universal. Universalitas yang tampak ketika menyejajarkan beragam jenis Tarot, dan melihat bahwa naming yang sama terdapat dalam setiap deck. Oriental deck, French deck, Indonesian deck, Mythic deck, sebagai contohnya, menggunakan naming yang sama, dengan bahasa yang berbeda-beda. Proses penciptaan bergeser, naming pada Tarot era sekarang bukanlah konseptualisasi dari forma yang abstrak. Naming adalah sesuatu yang terberi, kehadirannya yang bertahan terhadap waktu membuktikan bahwa ia telah disepakati sebagai elemen yang tetap dalam Tarot. Dalam naming telah tersedia konsep eksplisit itu sendiri, dan kreator Tarot bekerja sebagaimana juga sebagai seorang penginterpretasi—interpreter (interpreter). Ia menginterpretasikan konsep eksplisit dalam naming tersebut dengan—sekali lagi—melihat ke dalam kondisi subjektivitas dirinya. Language sebagai simbol diskursif adalah bentuk simbol yang unik, dari forma kita dapat mengabstraksikannya menjadi elemen-elemen yang terkecil. Namun pemahaman atas bentuk simbol ini lebih diartikan sebagai proses mental yang langsung tanpa mediasi (intuitional). Misalnya, sebagai kreator, harus membuat imagery sebagai interpretasi dari konsep Death, ia tidak perlu lagi membongkar formanya menjadi “d-e-a-t-h”. Ia langsung mengenali konsep tersebut secara intuitif. Maka naming dalam Tarot, di mana di dalamnya berisi konsep, juga memungkinkan untuk dikenali (recognizable), dengan demikian memungkinkan elaborasi terhadapnya. Penciptaan simbol Tarot mengalami apa yang selama ini kita pertanyakan mengenai problem language secara umum, yaitu, seperti yang telah dikemukakan pula oleh Langer dalam Philosophy in A New Key, kenyataan bahwa pada masa kini language
adalah sesuatu yang dipelajari, bukan diciptakan (Langer 1948 : 88). Dalam Tarot terlihat adanya batasan (boundary) ketika melakukan analisis terhadap naming. Batasan yang dimaksud adalah proses kreasi Tarot selalu terikat dengan naming. Elemen kedua dalam Tarot adalah imagery. Dalam Tarot, keseluruhan dari sebuah imagery cenderung diabaikan. Imagery adalah bentuk dari presentation symbol. Memahami sebuah imagery tidak dapat dilakukan dengan hanya melihat beberapa elemennya dan lalai mempelajari bagaimana elemen-elemen tersebut berelasi secara utuh. Interpretasi terhadap suatu imagery selalu berawal dari idea yang terbentuk dengan adanya kesan-kesan yang ditangkap. Kesan-kesan yang muncul saat kita melihat sebagian elemen dalam imagery. Berbeda halnya jika kita melakukan abstraksi. Di sini menjadi jelas mengapa sangat berbeda ketika membicarakan imagery, antara interpretasi dan abstraksi. Abstraksi akan memungkinkan kita mencapai konsep sebenarnya yang dimaksud, yang terkandung dalam imagery. Dengan abstraksi, maka kita mempertimbangkan seluruh elemen, dan melihat bagaimana elemen-elemen tersebut berhubungan. Imagery tidak berdiri sendiri. Keberadaannya selalu bersamaan dengan naming, dan karena kita telah melihat bahwa naming pada Tarot selalu tetap, maka naming di sini mendasari pertimbangan dalam pembuatan imagery. Meskipun kita melakukan abstraksi terhadap imagery, namun kita tidak bisa mengabaikan keberadaan naming dan abstraksi yang kita lakukan juga terikat pada naming. Subjek simbol tidak hanya ada pada interpreter, melainkan juga ada pada kreator, seperti layaknya dua orang yang sedang berbicara. Kreator, dalam membuat
Paradoks dalam..., Chandra Bientang A, FIB UI,2013
imagery Tarot mendasarkan proses penciptaannya pada naming. Naming merupakan sebuah bentuk di mana di dalamnya terkandung konsep, dan dari konsep ini kreator membuat semacam deskripsi dalam bentuk ilustrasi, itulah sebabnya disebut imagery. Imagery muncul dalam pikiran sebagaimana creator menginterpretasikan naming. Dengan mempertimbangkan sudut pandang kreator, tidak dapat diabaikan adanya peran subjektivitas sang subjek kreasi. Subjektivitas adalah satu-satunya cara bagaimana sang kreator dapat membentuk sebuah forma. Forma dalam imagery hanya dapat terbentuk dengan pengetahuan yang dimiliki oleh kreator. Dan pengetahuan ini berasal dari latar belakang kehidupannya, kondisi sosial, kondisi budaya, pendidikan, keyakinan, kondisi psikis, tujuan, maksud, motivasi, dan sebagainya. Itulah mengapa imagery berbeda-beda antara deck yang satu dengan deck yang lain. Masing-masing Tarot deck, katakanlah, memiliki tema tersendiri, bergantung pada keputusan sang kreator, bergantung bagaimana ia memahami konsep yang ada pada naming, bergantung bagaimana ia mengaitkan proposisi pada naming dengan perspektif dirinya sebagai subjek yang tidak kosong. Imagery, dengan begitu, adalah sebuah representasi dari interpretasi. Representasi yang berwujud dalam analogi. Imagery adalah hasil simbolisasi dari naming. Imagery, dilihat dari penampilannya, dapat dipahami sebagai simbol presentasional, karena yang perlu diperhatikan adalah keseluruhannya. Lalu apakah dapat serta merta mengatakan imagery merupakan karya seni? Tarot, sebagaimana telah disimpulkan, merupakan hasil pengadopsian. Di dalamnya terdapat beragam konsep yang terberi (given), meskipun ternyata dalam berbagai kultur, dapat saja terjadi konsepsi yang bervariasi. Tapi melihat produk Tarot yang telah menjadi universal, tidak dimungkinkan lagi adanya sebuah originalitas, sementara
bagi Langer yang dinamakan karya seni selalu merupakan prime symbol. Simbolsimbol dalam sebuah Tarot deck juga terdapat dalam Tarot deck yang lain. Terlebih lagi, keterikatan kreator terhadap naming dalam proses pengelaborasian ke dalam imagery juga dengan sendirinya membatasi imajinasi. Kreator tidak membuat sebuah naming yang baru atau membuat sebuah konsep yang baru yang dimasukkan ke dalam susunan deck. Naming adalah batasan bagi pengkreasian imagery, namun batasan di sini harus dimengerti sebagai motif. Motif, sebagaimana dijelaskan oleh Langer, adalah apa yang berfungsi mengorganisir dimulainya imajinasi sang kreator (Langer 1953 : 69). Maka sebuah jurang antara naming yang merupakan limitasi dengan subjektivitas kreator yang bebas, menjadi terjembatani dengan adanya proses ini. Batasan konsep tidak serta-merta mengkotakkan imajinasi sang kreator dalam susunan rapat dan solid, melainkan membantu kreator mengembangkan konsepsinya, namun juga tidak dapat dikatakan keluar dari „kotak‟, lebih tepat jika memperluas „kotak‟ tersebut, memberi warna, corak. Terlihat seolah terjadi ambiguitas menentukan apakah konsep dalam naming seutuhnya menguasai imajinasi kreator ataukah memberi kebebasan. Yang perlu diingat di sini adalah kita membicarakan penciptaan gambar, yang mana lebih bersifat simbolik dibandingkan dengan kata. Karena itu gambar yang mungkin terbayangkan oleh kreator melebihi pemahaman yang dapat dicapai oleh kata, yang berarti dalam gambar sebenarnya terkandung keseluruhan konsep, yang melalui kata sebagian tidak terungkap (terbahasakan). Gambar, karenanya, melonggarkan batasan-batasan yang diciptakan oleh kata. Inilah yang selama ini dimaksud dengan imajinasi. Prime symbol, sebagaimana Langer mengatakannya sebagai karya seni, adalah
Paradoks dalam..., Chandra Bientang A, FIB UI,2013
sebuah ketotalan forma, yang mana hanya bisa dilakukan dalam wujud gambar.
Kesimpulan Language adalah bentuk simbol paling eksplisit untuk merepresentasikan konsep, sementara gambar adalah wujud dengan tingkatan simbolik yang lebih tinggi, juga sebenarnya paling mendekati konsep itu sendiri yang abstrak, yang tak terbahasakan. Kita hidup di dunia yang penuh kata-kata, berpikir dalam kata-kata dan tak bisa hidup tanpanya. Analisis aktivitas simbolik dalam Tarot menarik kembali pada permasalahan yang lebih mendasar, mengenai language. Naming sebagai bentuk language (siste m simbol) mendorong kita melakukan sebuah pola dalam melihat sebuah lukisan maupun imagery. Pola, batasan, atau yang Langer sebutkan, motif, menggerakkan pikiran kita menemukan relasi di antara elemen-elemen yang terlihat. Pada penjelasan mengenai imagery telah kita lihat bagaimana motif yang dibawa oleh naming membuat semacam garis bantuan bagi kreator saat pengkreasian berproses, motif ini pula yang bekerja dalam aktivitas pikiran interpreter. Membedah aktivitas simbolik dalam Tarot berdasarkan logika simbol yang dikemukakan Langer membuka pintu pada sebuah permasalahan yang mendasar, yang terutama berkaitan dengan manusia sebagai subjek simbol, di mana ia adalah pembangun sekaligus pembongkar simbol. Dalam aktivitas seperti demikian, terlihat adanya paradoks. Paradoks yang dimaksud di sini muncul ketika pembedahan antara wujud simbol dalam gambar, dan wujud simbol dalam language. Secara visual, gambar dan proposisi language adalah dua bentuk simbol yang berbeda. Karena itu Langer lantas membedakan simbol yang sifatnya
presentasional dengan simbol yang diskursif. Struktur logis suatu simbol menentukan bagaimana elemen-elemen di dalamnya saling berhubungan. Pada language yang sifatnya diskursif, struktur logis ini ada pada proposisi, di mana terdapat sistem yang mengatur elemenelemennya (grammar). Sementara gambar, bersifat presentasional, relasi antara elemen-elemennya tidak terlingkupi oleh sistem. Setelah memahami hubungan simbol, elemen, dan struktur logis, maka terlihat bahwa simbol presentasional dan simbol diskursif berbeda hanya dari performa. Kita menerima bahwa secara susunan, keduanya adalah simbol yang berbeda, namun simbol presentasional sebenarnya melebur ke dalam bentuk simbol diskursif. Adalah kecenderungan kognisi manusia untuk berusaha memahami sebuah gambar, dan pemahaman ini baru akan tercapai ketika ia menggunakan language—bentuk simbol yang tersistem—menerapkannya ke dalam elemen-elemen gambar yang dilihatnya. Manusia selalu memiliki kebutuhan untuk melontarkan, untuk mengatakan sebuah konsep. Ketika ia melihat sebuah gambar dalam imagery Tarot, maka dengan sendirinya ia menyusun sebuah struktur language. Demikian pula bagaimana naming, yang tentu saja merupakan simbol diskursif, dengan sendirinya telah meliputi konsep yang dapat dikenali oleh pengamat, sehingga pemahaman akan imagery tidak dapat terlepas dari naming. Di sinilah letak paradoks dalam aktivitas simbolik Tarot.
Daftar Pustaka
Brown, Dan (2003). The Da Vinci Code. New York : Doubleday.
Paradoks dalam..., Chandra Bientang A, FIB UI,2013
Brown, Dan (2009). The Lost Symbol. New York : Doubleday.
Cassirer, Ernst (1944). An Essay On Man : An Introduction to Philosophy of Human Culture. Yale University Press. Cassirer, Ernst (1953). Language and Myth , translated by Susanne K. Langer. New York : Dover Publications, Inc. Crain, William C. (2010). Theories of Development : Concepts and Applications (6th edition). Pearson Education, Inc. DePryck, Koen (1993). Knowledge, Evolution, and Paradox : The Ontology of Language. New York : State University of New York Press.
Douglas, Alfred (1974). The Tarot : The Origins, Manings, and Uses of The Cards. London : Penguin Books, Ltd. Eco, Umberto (1999). Kant and The Platypus : Essays on Language and Cognition , translated by Alastair McEwen. Mariner Books. Eldrige, Richard (2003). An Introduction to The Philosophy of Art. New York : Cambridge University Press. Farley, Helen (2009). A Cultural History of Tarot : From Enlightenment to Esotericism. London : I.B. Tauris & Co. Ltd. Hardiman, Budi F. (2007). Filsafat Modern : Dari Machiavelli Sampai
Nietzsche (Edisi ke-2). Jakarta : Gramedia. Hughes, Christopher (2004). Kripke : Names, Necessity, and Identity. New York : Oxford University Press, Inc. Jung, Carl Gustav (2003). Four Archetypes , translated by R.F.C.Hull. London : Routledge.
Jung, Carl Gustav, M.-L. von Franz, Joseph L. Henderson, Jolande Jacobi, Aniela Jaffe' (1964). Man and His Symbol. New York : Anchor Press Doubleday.
Knox,
Jean (2003). Archetype, Attachment, Analysis : Jungian Psychology and The Emergent Mind. New York : BrunnerRoutledge.
Kripke, Saul A. (1980). Naming and Necessity. Massachusetts : Harvard University Press.
Kripke, Saul A. (1982). Wittgenstein On Rules and Private Language : An Elementary Exposition. Massachusetts : Harvard University Press.
Kvanvig, Jonathan L. (2006). The Knowability Paradox. New York : Oxford University Press.
Langer, Susanne K. (1948). Philosophy in A New Key : A Study in the
Paradoks dalam..., Chandra Bientang A, FIB UI,2013
Symbolism of Reason, Rite, and Art. The New American Library.
Rothwell, Dawn (2007). Insight Tarot. Reiki Rays Press.
Langer, Susanne K. (1953). Feeling and Form : A Theory of Art Developed from Philosophy in a New Key. New York : Charles Scribner‟s Son.
Langer, Susanne K. (1962). Philosophical Sketches. Johns Hopkins University Press.
Langer, Susanne K. (1967). An Introduction to Symbolic Logic (2nd edition). New York : Dover Publications, Inc.
Lechte, John (2003). Key Contemporary Concepts From Abjection to Zeno’s Paradox. London : Sage Publications.
Lionnet, Annie (2001). Secrets of Tarot. London : Dorling Kindersley Publishing.
Ouspensky, P. D. (1976). The Symbolism of The Tarot : Philosophy of Occultism in Pictures and Numbers , translated by A.L. Pogossky. New York : Dover Publications, Inc.
Papadopoulos, Renos K. (2006). The Handbook of Jungian Psychology : Theory, Practice and Applications. New York : Routledge.
Paradoks dalam..., Chandra Bientang A, FIB UI,2013