PARADIGMA SASTRA, SEMAKIN MEMUDARKAH...? “Jika sastra ini dinilai privasi (hanya untuk kalangan orang-orang sastra) dan Aku tidak boleh memilikinya, mengapa mereka yang bergelar Dokter dan Insinyur leluasa memilikinya...? Sebaliknya, jika sastra ini terbuka untuk semua orang, mengapa Aku tidak diperkenankan bersastra...?”
Kalimat diatas merupakan salah satu bentuk ekspresi dari sekian banyaknya generasi muda tentang tanggapannya mengenai dunia sastra. Sastra dianggapnya suatu pekerjaan yang membutuhkan spesifikasi tertentu. Memilah-milah orang dalam bersastra. Ketika ada orang yang bukan orang sastra tidak diperkenankan bersastra. Itu salah. Itu namanya pembunuhan karakter. Kita beranjak kedalam pengertian sastra itu sendiri. Sastra dalam pelajaran kesusastraan didefiniskan lewat padanan katanya (etimologi). Karena sastra berarti tulisan, maka kesusatraan adalah segala tulisan yang indah. Yang kemudian langsung menjadi khazanah sastra adalah bukubuku karya fiksi dan puisi. Tetapi sampai kepada istilah sastra lisan, pengertian tersebut menjadi sedikit bingung. Secara harfiah, sastra lisan berarti tulisan yang diucapkan. Mesti ada wujud tulisannya dulu, agar bisa diucapkan. Namun pada prakteknya sastra lisan sejak lahir sudah merupakan tutur yang bukan perpanjangan dari tulisan. Kemudian memang tutur itu ditranskripsikan ketika mulai diposisikan sebagai kekayaan budaya. Namun ketika ekspresi lisan itu dibekukan dalam bentuk tulisan, kenikmatannya berbeda. Ia tak menjangkau seluruh eksistensinya ketika masih lisan.
Saya memandang sastra itu sebagai pengertian bukan sebagai tulisan, sehingga ia bisa disampaikan dengan tulisan maupun lisan. Tetapi juga bukan pengertian saja. Ia memiliki satu kelayakan yang membedakannya dengan pengertian yang bukan sastra. Sastra mengandung pemikiran dan perasaan kemanusiaan yang erat kaitannya dengan bahasa. Semua ekspresi yang memakai bahasa sebagai basis kekuatannya bagi saya adalah sastra. Karena itulah dalam ranah pikiran saya, sastra tak mengenal kontrak mati dengan satu idiologi, apalagi sikap politik. Kalau pun ada aliran dan idiologi sastra, itu adalah kebimbangan dan pengkhianatan kepada kesimpulan
yang salah. Akibatnya sastra pun menjadi bukan saja mandul tetapi terutama sekali berbalik sesat. Sastra yang indah itu berubah menjadi binatang buas yang mengunyah-ngunyah kemanusiaan itu sendiri. Akhirnya terbentuklah gap-gap pengkotak-kotakkan aliran sastra.
Menurut pendapat saya sastra adalah segala bentuk ekspresi dengan memakai bahasa sebagai basisnya. Dengan membuat wilayah yang begitu lebar dan umum, maka kita seperti menjaring ikan dengan pukat harimau. Bukan hanya apa yang tertulis, apa yang tidak tertulis pun bisa masuk dalam sastra. Tidak hanya yang indah saja, catatan-catatan, surat-surat, renungan, berita-berita, apalagi cerita dan puisi, anekdot, graffiti, bahkan pidato, doa dan pernyataan-pernyataan, apabila semuanya mengandung ekspresi, itu adalah sastra. Dengan memandang sastra dengan kaca mata lebar seperti itu, lingkup sastra mendadak membludak menyentuh segala sektor kehidupan. Tidak ada satu sudut kehidupan pun yang tidak mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasinya.
Potret sastra Indonesia kini sudah sedemikian terpuruk menjadi barang yang tidak relevan dalam konteks pendidikan. Anak-anak sekolah Indonesia hampir tak mendapat pelajaran sastra lagi. Dan malangnya keadaan seperti itu masih dianggap sudah lumayan, karena sastra pada kenyataannya masih ditempelkan pada pelajaran bahasa sebagai aksesoris. Seakan dengan mempelajari bahasa Indonesia, sudah dengan sendirinya menguasai sastra Indonesia. Walhasil pelajaran sastra Indonesia adalah embel-embel dari pelajaran bahasa dan memang tidak perlu diberikan “otonomi daerah”. Juga tak heran kalau banyak mahasiswa sebagai perpanjangan dari pelajar Indonesia, tak mampu mempergunakan bahasa (sastra). Sebagai akibatnya, skripsi sebagai karya akhir di perguruan tinggi juga tidak ada gunanya, karena memang tidak bisa ditulis oleh mereka yang tidak punya pengalaman mengolah bahasa. Karena kalau dipaksakan pun akan menjadi dagelan, sudah banyak kasus terungkap skripsi ditulis oleh para penyedia jasa skripsi. Sebenarnya sudah terjadi kesalahan besar. Sastra memang harus dibelajarkan kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat menyambung
pikiran/logika dan bukan menyambung rasa. Dan tanpa kehidupan rasa, semua cabang ilmu pengetahuan bukan hanya kering, membosankan, tidak manusiawi, tetapi juga tidak beradab.
Dengan rasa hormat dan penghargaan yang tinggi, harus dipujikan bahwa pelajaran bahasa Indonesia, membuat orang belajar tentang ilmu tata-bahasa. Mengerti tentang bahasa Indonesia sebagai ilmu. Dan mau tak mau juga akan mengerti logika dasar manusia Indonesia dalam merekam dan menyimpulkan berbagai satuan kehidupan ke dalam bahasa. Pelajaran bahasa adalah pelajaran menghapal pengertian kata, menyusun kalimat yang membentuk pengertian untuk dilepaskan dalam lalu-lintas percakapan. Pelajaran bahasa mengantar bagaimana mempergunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi yang memiliki tatanan. Pengetahuan bahasa, belum tentu menjamin yang bersangkutan fasih apalagi lihai mempergunakan bahasa Indonesia untuk mengembangkan renungan-renungannya tentang makna-makna dalam kehidupan. Ilmu tata bahasa hanya sampai sebagai sebuah pengetahuan untuk dapat menganalisa bahasa, bukan sebagai alat untuk mentransver apalagi mengconvert pengertian personal. Segala hal tak mampu bebas dari sastra. Dengan kata lain, tak ada bidang yang tak terkait dengan sastra. Karenanya, bila sastra tiba-tiba menjadi sesuatu yang terisolir dalam kehidupan, pasti ada sesuatu yang telah sesat. Termasuk kesesatan dalam mengajarkan sastra itu sendiri. Sastra adalah sebuah dialog, pencarian spiritual terhadap berbagai makna-makan dengan bahasa sebagai alatnya. Jadi sastra bukan bahasa itu sendiri. Sastra juga bukan sekedar alat dari bahasa. Sastra adalah ilmu bagaimana memanfaatkan bahasa menjadi kosakata untuk menerjemahkan berbagai makna kepada orang lain dengan akurat. Bahasa bagaikan sungai tempat sastra mengalir menuju ke makna yang hendak disergapnya. Bahasa dan sastra adalah dua sekawan yang saling bahu-membahu untuk mengembangkan daya jangkau pikir-rasa dan karsa manusia yang mencari jati dirinya. Sastra tidak bisa lagi dipelajari hanya sebagai teknik penulisan. Sastra bukan hanya penggolongan jenis-jenis tulisan dengan bentuk-bentuk yang dipakainya. Sastra adalah perkembangan pemikiran dalam memahami kehidupan dan seluruh fenomenanya. Sastra juga bukan
hanya cerita, simbol-simbol, ungkapan-ungkapan dan permainan bahasa. Sastra adalah cara mengidentifikasi, sikap, pilihan sudut padang dalam membelah kenyataan-kenyataan sosial dan spiritual, dengan bahasa sebagai mediumnya. Pelajaran sastra yang selama ini diwarnai dengan kegiatan penghapalan nama serta tahuntahun, merupakan kesalahan besar. Pelajaran sastra seyogyanya adalah pelajaran tentang proses pemikiran. Ia bersangkutan bukan hanya dengan masalah-masalah estetika, kendati estetika merupakan bagian yang sangat penting di dalam sastra. Ia memerlukan berbagai ilmu bantu seperti filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah, politik, bahasa itu sendiri dan bahkan juga ekonomi dan teologi. Mempelajari sastra tidak lagi hanya merupakan upaya untuk menangkap gambar-gambar pengembaraan imajinasi, tetapi struktur pemikiran. Sastra merupakan tesis, telaah, skripsi bahkan disertasi dari pengarangnya terhadap tema yang ia tekuni. Wilayahnya berserak di seluruh wilayah pengetahuan. Sastra tidak mungkin kurang dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Dan sastrawan adalah ilmuwan dan teknokrat yang berbicara tidak dengan angka-angka dan rumus-rumus mati, tetapi dengan makna-makna yang bergerak terus. Dengan memposisikkan sastra semacam itu, sastra menjadi memiliki berbagai kekuatan konkrit. Pertama, sastra adalah dokumen perkembangan daya pikir dengan imajinasi sebagai wilayahnya dan yang senantiasa terus bergerak. Ia tidak semata-mata fiksi tetapi juga bukan fakta yang kering. Ia merangkul keduanya, sehingga memiliki wilayah jelajah yang tak terbatas. Kedua, sastra adalah seminar terbuka yang terus-menerus berproses mengikuti pasang-surut kehidupan. Kesimpulankesimpulannnya bertumbuh. Ia mengembangkan budaya interpretasi, melihat segala sesuatu dari segala sudut berbeda dengan hasil yang berbeda, dengan kebenaran yang berbeda namun saling menunjang sebagai sebuah keutuhan. Sastra adalah pendidikan jiwa, yang mengembangkan citra manusia dan kualitas kehidupan dari dalam batin manusia. Sastra mengajak manusia untuk terus menelusuri perkembangan dan kemungkinan-kemungkinan. Ketiga, sastra adalah senjata yang efektif dan kekuasaan raksasa yang lunak. Dengan sastra dapat dicapai berbagai hal yang tak tergapai oleh kekerasan senjata. Dan pada gilirannnya sastra yang berpotensi, memiliki kekuasaan
untuk mengarahkan manusia ke tujuan yang hendak digiringnya dengan dengan pesona bahasa dan makna-maknanya tanpa keterpaksaan dari yang bersangkutan. (Ditulis Oleh Andri Putra Kesmawan, Mahasiswa FISIP UMB)