PARADIGMA PROFETIK DALAM ILMU HUKUM: KRITIK TERHADAP ASUMSI-ASUMSI DASAR ILMU HUKUM NONSISTEMATIK
NASKAH PUBLIKASI
Oleh: SAEPUL ROCHMAN NIM: C. 100 040 219
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
:
Saepul rochman
NIM
:
C.100 040 219
Alamat
:
Panyaweuyan, Ds. Sukamulya, Kec. Pangatikan, Kab. Garut.
Dengan ini menyatakan bahwa: 1. Karya tulis saya, skripsi/jurnal ini adalah orisinal dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik Strata 1 baik di Universitas Muhammadiyah Surakarta maupun di perguruan tinggi lain. 2. Bahwa benar skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dibawah arahan pembimbing I a/n. Prof. Dr. Absori., SH., M., Hum dan pembimbing II a/n Kelik Wardiono., SH., M. H., Cdr 3. Bahwa dalam skripsi/jurnal ini tidak terdapat karya, pendapat yang telah ditulis, dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari dibuktikan bahwa skripsi/jurnal ini disusun dengan tindakan plagiarisme, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pembatalan gelar akademik yang telah saya peroleh, serta sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Surakarta, 30 Juli 2014 Yang membuat pernyataan,
Saepul Rochman NIM C 100 040 219
SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH Bismillahirrahmanirrohim Yang bertanda tangan di bawah ini, saya; Nama
: Saepul Rochman
NIM
: C 100 040 219
Fakultas/Jurusan : Hukum/ Ilmu Hukum Jenis
: Skripsi
Judul
: Paradigma Profetik Dalam Ilmu Hukum: Kritik Terhadap Asumsi-Asumsi Dasar Ilmu Hukum Nonsistematik
Dengan ini menyatakan bahwa saya memberikan hak-hak terhadap perpustakaan UMS, kecuali hal-hal yang disebutkan sebaliknya: 1. Bahwa saya memberikan hak menyimpan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database) untuk kepentingan pengarsipan dan akademis perpustakaan UMS; 2. Bahwa saya tidak mengizinkan jurnal ini ditampilkan dalam bentuk apapun, karena penulis telah memiliki kesepakatan dengan pihak pimpinan UMS untuk menerbitkan di media lain. 3. Bahwa saya bersedia menjamin dan bertanggungjawab secara pribadi tanpa melibatkan pihak perpustakaan UMS dari semua tuntutan hukum yang timbul apabila dikemudian hari penelitian ini diklaim oleh orang lain telah melakukan pelanggaran hak cipta dalam karya ilmiah ini. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Surakarta, 24 Desember 2014 Yang Menyatakan
Saepul Rochman NIM C 100 040 219
PARADIGMA PROFETIK DALAM ILMU HUKUM: KRITIK TERHADAP ASUMSI-ASUMSI DASAR ILMU HUKUM NONSISTEMATIK
Oleh: Saepul Rochman (NIM C. 100 040 219) Abstrak Pergeseran paradigma merupakan peluang dialog, itulah yang menjadi acuan diskursus hukum dan sains sebagaimana diperkenalkan oleh hukum nonsistematik yang mendasarkan pada consilience, teori chaos, dekontruksi, gerak transubstansial dan relasi gradasi sebagai dalil-dalil penyangganya. Pondasi kefilsafatan ini memahami pancasila sebagai norma dasar yang terbuka untuk memunculkan perlunya pluralisme hukum. Di bagian dunia yang lain, revolusi pengetahuan juga dimaknai sebagai peluang untuk menambatkan kembali wahyu dan ilmu pengetahuan. Selain islamisasi ilmu, salah satu gagasan yang muncul lebih lanjut dari pusaran gelombang posmodernisme itu adalah paradigma profetik. Tulisan ini mengkritisi asumsi-asumsi dasar dari nonsistematik dengan mendasarkan perspektif profetik. Kata Kunci: paradigma posmodernisme, profetik, intersubyektivitas hukum.
PROPHETICS PARADIGM IN THE LEGAL SCIENCE: A CRITIQUE FOR THE BASIC ASSUMPTIONS OF NONSISTEMATICS LEGAL THEORY
by: Saepul Rochman (NIM C. 100 040 219) Abstract
Shifting paradigm is a chance for dialog, that is a reference of the discourse between law and science, that introduced by non-sistematics legal theory. Based to consilience, chaos theory, decontruction, trans-substantial motion and gradationally relation as supreme arguments. The Fundamental philosophy take in pancasila as inclusive grundnorm to afford an emergence of legal pluralism. In the otherside, scientific revolution can interpreted to dediferenciation between revelation and science. Like islamization of Knowledge, the other perspective that appear from the next wave of posmodernism is prophetics paradigm. This paperwork is a critique for nonsistematic’s basic assumptions from Prophetic side. Keywords: posmodernism paradigm, prophetics, legal intersubjectivity.
PENDAHULUAN Perubahan paradigma dalam pandangan Kuhn adalah perubahan cara memandang suatu persoalan.1 Meskipun ini menuai kritik dari Feyerabend yang dalam Paul H. Huene menyatakan bahwa apa yang ditulis Kuhn bukan sekedar sejarah, namun juga “it is ideology covered up as history”.2 Pandangan dunia ilmiah yang semula berbasis sains kaku Cartesian-Newtonian mempengaruhi positivisme sosial Comte dan selanjutnya konstruksi hukum positivistik.3 Pandangan ini pada gilirannya mulai dipersoalkan melalui teori relativitas Einstein hingga teori Chaos yang diperkenalkan Edward Lorenz.4 Kritik yang berlandaskan teori chaos ini dilakukan oleh Charles Sampford melaluiteori “Theories of Legal Disorder”.5 Di Indonesia pandangan keotik (chaos) ini diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo6yang kemudian digunakan oleh Anthon F. Susanto dalam membangun ilmu ilmu hukum non-sistematik. Seperti pendahulunya Susanto mempercayai keruntuhan positivisme hukum adalah niscaya sebab runtuhnya basis ilmiah Cartesian-Newtonian.7 Pergeseran sains memunculkan gelombang susulan, termasuk pada ilmu hukum yaitu; dari positivistik ke normatif dan selanjutnya nonsistematik yang disebabkan adanya
1
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya, Sketsa Beberapa Episode, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada Pada tanggal 10 November 2008 di Yogyakarta, hal. 5. 2 Feyerabend dalam Paul Hoyingen Huene, Two Letters of Paul Feyerabend to Thomas S. Kuhn on a Draft of The Structure of Scientific Revolutions, Journal Pergamon History and Philosophy Vol. 26, Elsevier Science ltd, Great Britain, 1995, hal. 353-387. 3Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta :Gramedia), 2008, hal. 26. 4 Hokky Situngkir, Menyambut Fajar Menyingsing Teori Sosial Berbasis Kompleksitas, Makalah Diskusi yang diadakan atas Kerjasama Bandung Fe Institute (BFI) dengan Center for Strategies and International Studies (CSIS), Jakarta, 5 Juni 2003, hal. 3-4. 5 Ricardo Samarmata, Penggunaan Socio-Legal dan Gerakan Pembaharuan Hukum, Jurnal Digest Law, Society and Development, Volume. 1 (Desember 2006- Maret 2007), hal. 1-6. 6Agus Raharjo, Hukum dan Dilema Pencitraannya: Transisi Paradigmatis Ilmu Hukum dalam Teori dan Praktek, Jurnal Hukum Pro Justitia, (Januari 2006), Volume. 24. No. 1, hal. 151 7 Anthon F. Sutanto, Ilmu Hukum Non-Sistematik: Pondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, (Bandung: Gentha Publishing,), 2010, hal. 194 dan 218
1
2
perkembangan sains. Pembahasan ini menarik dilihat dari kemunculannya yang erat kaitannya dengan posmodernisme hukum.8 Kondisi yang disemarakkan dengan relativisme bahkan nihilistik dalam posmodernisme, membuka ruang untuk suatu transisi antara teori hukum yang dikukuhi pada era modern. Berdasarkan fokus studi yang demikian, maka yang menjadi pokok masalah adalah: (1) Bagaimanakah asumsi-asumsi dasar ilmu hukum nonsistematik yang dikemukakan oleh Anthon F. Susanto? (2) Bagaimanakah asumsiasumsi dasar paradigma profetik dalam ilmu hukum? (3) Kritik terhadap ilmu hukum non-sistematik yang dikemukakan oleh Anthon F. Susanto, bila dilihat dari asumsi-asumsi dasar paradigma profetik? Dengan mendasarkan pada pendekatan filosofis, penelitian ini melakukan eksplorasi, deskripsi dan refleksi kritis. Datadata tersebut kemudian akan dianalisis dengan cara sebagai berikut: (1) Analisis Deskriptif, (2) Interpretasi dan hermeneutik yang oleh metode analisis dalam perspekstif Islamic Worldview, yakni Tashwir dan Ta’sil. (3) Heureustik.9
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Ilmu Hukum Nonsistematik: Sebuah Acuan Awal Memahami Kajian Menurut paradigma nonsistematik realitas tergradasi menjadi tiga bagian, sebagiannya terlahir dari ide (realitas simbolis) dan alam inderawi (realitas materil), sementara sebagiannya lagi diciptakan melalui rekayasa teknologi, yang
8
9
Muh.Hanif, Studi Media Dan Budaya Populer Dalam Perspektif Modernisme dan Postmodernisme, Jurnal Komunika, Vol.5 No.2 (Juli - Desember 2011), hal. 238-239. Kelik Wardiono, Paradigma Profetik Dalam Ilmu Hukum, Sebagai Pembaharuan Basis Epistemologi Dari Ilmu Hukum di Indonesia, Proposal Disertasi disampaikan pada Seminar Proposal Diserta Program Doktor Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pada 25Januari 2012, hal. 58.
3
disebut Buadrillard dan Umberto Eco sebagai hypereality.10 Konsekuensi dari adanya dunia hiperrealitas ini adalah pergeseran terhadap norma, nilai, dan iman. Norma hukum tertulis akan mengalami dialektika, sebaliknya hukum tidak tertulis dan hukum adat yang tidak mengandalkan pengadilan akan mengambil peran. Hal ini dipahami dengan pendekatan chaos bahwa relasi kekuasaan yang timpang merupakan esensi ketidakteraturan.11 Demikian juga teks terdapat tiga bagian; makna konsensus minimal, makna simbolik dan makna plural yang tak tertafsir. Kebenaran makna merupakan berbagai penafsiran yang terbuka atas keragaman dan perbedaannya.Realitas teks yang bersifat menyebar, konstruktif, dinamis dan transgresif ini hanya dapat dipahami
melalui
dekonstruksi.12
Pijakan
dekontruksi
adalah keraguan-
ketidakpastian yang berarti bahwa pengambilan keputusan, harus melibatkan sebuah lompatan diantara persiapan yang telah ada sebelumnya.13 Pada ranah filsafat hukum, teori hukum dan ilmu hukum serta ilmu-ilmu lainnya, relasi gradasi Huston Smith dan Consilience Edward O. Wilson serta gerak transubstansial adalah penghubung kesenjangan antar ilmu dan peneliti terhadap objek yang ditelitinya.14 Dari sini, hukum dipahami sebagai jaringan
10Dunia
yang melampaui batas-batas realitas yang ada, suatu citraan yang terakumulasi, yang menumpang pada realitas nyata, tetapi tidak mengambil alih realitas itu.Anthon F. Sutanto dan Otje Salman, 2009, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, (Bandung: PT. Refika Aditama), hal. 27-30. 11Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non-Sistematik, Op.Cit, hal. 277-281. 12Anthon dan Otje Salman, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Iman Taufik, (Bandung: PT. Refika Aditama), 2007, hal. 127, 128 dan 227. 13Anthon F. Susanto, 2007. Hukum dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, (Bandung: PT. Refika Aditama), hal. 127-128. 14Anthon F. Sutanto, Ilmu Hukum Non-Sistematik: Pondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, (Bandung: Gentha Publishing,), 2010, hal. 194, 218 dan 269.
4
yang memiliki posisi sederajat dengan disiplin lain. Hukum dapat bekerjasama dengan ilmu-ilmu lain untuk menyelesaikan permasalahan lintas disiplin.15 Pada aspek asumsi tentang manusia (homo asymethricus), ilmu hukum non-sistematis mempercayai bahwa manusia memiliki potensi alamiah di dalam otak, yang dikenal dengan IESQ.16 Dengan potensi tersebut, homo asymetrichus memiliki keberanian dan motif-motif yang khas,17 antara lain: (1) Motif dekonstruksi; (2) Motif relativitas; (3) Motif revolusioner; dan, (4) Motif kosmopolitann. Juga memiliki integritas yang antara lain: (1) Mengurangi jarak dengan apa yang ditelitinya; (2) melebur dengan objek; (3) harus berusaha untuk terikat dan intim; (4) Terlibat dalam proses penciptaan kebenaran; (5) mengalami secara murni; (6) Memiliki kesabaran;dan, (7) Memiliki kemampuan untuk menerima keragaman.18 Terakhir,
pada
ranah
aksiologis,
paradigma
non-sistematik
mendekonstruksi Pancasila sebagai fondasi pengembangan ilmu hukum di Indonesia.19 Melalui proses dekontruksi dan pembacaan relasi gradasi,20 nilai-nilai pancasila tidak lagi sebagai sesuatu yang tertutup melainkan terbuka untuk dimaknai.21 Dari sini lahirlah gagasan tentang makna keadilan asimetris yang diturunkan dari sila ke-5 tentang keadilan sosial. Berbeda dengan “keadilan yang 15Anthon
dan Otje Salman, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Op. Cit, hal. 9-12 16Ary Ginanjar Agustian, ESQ Emostional Spiritual Quotinet: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Penerbit Arga), 2001, hal. 57. 17Anthon F. Susanto, Hukum dari Consilience Menuju Paradigma Konstruktif Transgresif, Op.Cit, hal. 103104. 18Motif-motif dan integritas homo asymethricus ini diderivasi dari terdapat Prinsip-prinsip transformatif motif dan perilaku manusia (Sistem adaptif kompleks dalam pandangan sains), yang kemudian diturunkan dalam diri manusia (sifat adaptif kompleks yang cerdas pada manusia). Lihat, Danah Zoihar dan Ian Marshal, Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, terj. Helmi Mustofa, (Bandung: PT. Mizan Pustaka), 2005, hal.208-212. 19Ibid, hal. 301. 20Otje Salman dan Anthon F. Sutanto, Teori Hukum, Op.Cit, hal. 158-159. 21Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non-Sistematik: Pondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Ed. Nasrullah O Bana dan Ufran, (Yogyakarta: Gentha Publishing), 2010, hal.302.
5
diberlakukan” dalam ilmu hukum positivistik, keadilan yang dimaksud adalah “keadilan melalui proses penafsiran”,22 karena sederhana saja, tidak ada orang yang mampu merasakan keadilan sejati.23 Keadilan asimetrik ditegakkan baik melalui pengadilan atau non-pengadilan dengan kriteria adanya perbedaan pada setiap hasil penafsiran atau putusan hukum, dan bersifat pluralitas, multikultural dan luas.24
Paradigma Profetik Dalam Ilmu Hukum: Sebuah Rekonstruksi Dalam paradigma profetik, mengenal Tuhan dan wahyu merupakan unsur penting dalam menjelaskan realitas.Wahyu yang terkategorisasi menjadi ilmuilmu alam(hukum alam) dan teologi, di luar dua hal ini adalah ilmu-ilmu humaniora (makna, kesadaran dan nilai)25 Dalam tinjauan ilmu-ilmu sosial profetik, kandungan Al-Quran terbagi menjadi dua bagian.Bagian pertama berisi konsep-konsep doktrin Islam dan welthanchuung dengan konsep-konsep ini kita diperkenalkan ideal-type. Sementara bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan archetype dapat dilakukan perenungan untuk memperoleh hikmah, Karenanya melalui pendekatan sintetik-analitik dapat dikembangkan perspektif etik dan moral individual, dan memposisikan wahyu sebagai data.26
22Kata
pemberlakuan, dalam bahasa Jerman diistilahkan dengan Inkraftsetzen yaitu menetapkan (setzen) suatu kekuatan (kraft) telah menyiratkan kekerasan. Demikian juga dapat dilihat dalam pandangan Derrida mengenai apa yang disebut Hardiman sebagai “rahasia hukum”, atau relasi keadilan dengan kekerasan. Lihat, F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris: Deskripsi, Kritik dan Dekonstruksi, (Yogyakarta: Kanisius), 2007, hal. 239-240 23Anthon F. Sutanto, Keraguan dan Keadilan dalam Hukum, Sebuah Pembacaan Dekonstruktif, Loc. Cit, hal. 23. 24Loc.Cit, hal. 290. 25Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, Teraju (PT. Mizan Publika), Jakarta, 2004, hal. 27. 26ibid, hal. 14, 15, 16, 18 dan 27.
6
Realitas menurut paradigma profetik dipahami melalui basis sains integralisme yang melihat segala sesuatu dari partikel fundamental hingga alam semesta membentuk sebuah hierarki,27 termasuk juga alam akhirat dan Tuhan (metakosmos) sebagai penghujung jenjang material.28 Manusia sebagai bagian dari semesta yang integralistik ini tidak hanya dilahirkan untuk dunia namun juga untuk langit dan akhirat (homo-propheticus).29 Dalam hubungannya manusia dengan alam dan Tuhan, terdapat empat relasi antara Tuhan dan manusia, yaitu; relasi ontologis (pencipta-makhluk), relasi komunikatif, relasi status (Tuan hamba), dan relasi etis (sifat Tuhan yang lembut dan keras lintas syukur dan takut).30 Relasi-relasi ini membawa konsekuensi akan adanya struktur ontologi yang integral,31 sifat asal dari ciptaan, prinsip ekualitas manusia dan alam semesta mematuhi hukum alam, amanah, dan visi etis tertentu.32 Dengan demikian, terdapat empat hal yang harus dimiliki dalam benak subjek hukum, yaitu tentang konsep umat terbaik, aktivisme sejarah, transendensi dan liberasi.33 Tugas manusia adalah mengimplementasikan wahyu dengan cara membebaskan dari beban historis yang dibawanya dalam memperoleh makna kekinian dan kedisinian.34 Yakni melalui kesepaduan kesadaran Senses,
27Ibid,
hal. 62. Mahzar, Revolusi Integralisme Islam Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami (Bandung, Mizan, 2004), hal. xxxvii 29Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT. Grasindo), 2007,hal. 43, 47, 48 dan 51. 30Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Quran, Terj. Agus Fahri Husein, Supriyanto Abdullah dan Amirudin, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana), 2003, hal. 10, 15, 104, 105 dan 106. 31Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan Al-Quran, terj. Sari Nuralita, (Jakarta: Gema Insani Press), 2006, hal. 35. 32Agus Iswanto, Relasi manusia Dengan Lingkungan dalam Al-Quran: Upaya Membangun Eco-Theology, Jurnal Suhuf, Vol. 6, No. 1, 2013, hal. 13-14. 33Hasnan Bachtiar, Profetisme, Muhammadiyah dan Gelombang Besar Globalisasi: Suatu Tinjauan Transformasi Sosial, The Centre for Religious and Social Studies, Malang, Volume 15 Nomor 1 (Juni 2012,) hal. 25-27. 34Nor Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. (Yogyakarta; Ar Ruzz Media Group), 2007, hal. 452 28Armahedi
7
Inspiration (Intuition), Ratio dan Revelation (SIRR) yang bersifat seketika, bersamaan dan menyeluruh, Iqbal menyebutnya sebagai intelek induktif.35 Mentransendensikan
makna
tidak
berarti
membiarkan
lompatan
makna
berhamburan ke segala penjuru dan arah. Tetapi dipandu dengan wahyu, kesadaran pradisposisi (fitrah), inspirasi36 atau ilham,37 hati,38 jantung,39 praanggapan metafisik,40 dan khusus untuk para nabi adalah wahyu. Dengan menyetujui adanya inspirasi yang melibatkan faktor Tuhan, maka ilmu tidak hanya didapatkan melalui proses rasionalisasi, melainkan juga melalui wahyu dan hidayah, adanya norma mutlak yang tidak berasal dari manusia.41 Pada asumsi aksiologis, secara fundamental pancasila merupakan hasil dari objektifikasi bangsa. Penyimpangan terhadap pancasila akibat pemahaman penguasa terhadap kekuasaan sebagai pemilik (ambaudendha) bukan pemegang amanah (ambaureksa) Makna pancasila menurut paradigma profetik antara lain: (1) pluralisme positif; (2) kebebasan yang beradab; (3) demokrasi budaya; (4) negara obyektif; dan (5) nasionalisme sosiologis.42 Dari makna pluralisme positif, kebebasan yang beradab dan demokrasi budaya menderivasikan keadilan hukum
35Muhammad
Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, alih bahasa: Ali Audah, Taufiq Ismail, dan Gunawan Muhammad, (Yogyakarta: Jalasutra), 1982, hal. 148. 36William C. Chittick,Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi: Kreativitas dan Persoalan Diversitas Agama, diterjemahkan oleh Ahmad Syahid dari judul aslinya “Imaginal Worlds; Ibn ‘arabi and The Problem of Religious Diversity”, (Surabaya: Risalah Gusti), 2001, hal.92 37Heddy Heddy Shri Ahimsa Putra, 2011, Paradigma Profetik: Mungkinkah? Perlukah?, Makalah disampaikan dalam “Sarasehan Profetik 2011”, diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM, di Yogyakarta, 10 Februari 2011, hal. 31-44. 38Para tokoh yang menganggap bahwa faktor hati ini juga penting adalah William Shakespeare, Francis Bacon, J.W.N Sulivan dan Blaise Pascal Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani Press), 2004, hal.22. 39Marios Loukas, Yousuf Saad, R. Shane Tubbs, dan Mohammadali M. Shoja, The Heart and Cardiovascular system in Quran and Hadeeth, International Journal of Cardiology 140, 2010, hal. 21 40 Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi Agama dan Sains: Analisis Sains Islam Al-Attas dan Mehdi Golshani, (Yogyakarta: IRCISOD), 2012,hal. 308-311. 41 Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan), 1995,.Hal. 31. 42Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Ed. Mukhaer Pakkana, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara), 2010, hal. 240-241.
8
profetik yang bersifat intersubjektif. Hukum dirumuskan dan berlaku untuk masing-masing kelompok masyarakat43 Paradigma profetik tidak berhenti pada pluralisme hukum yang menghargai perbedaan sebagai suatu konstruksi sosial, akan tetapi juga mendorong integralisasi hukum, yang disandarkan pada interobjektifitas normanorma dan dihasilkan melalui pengalaman batin agama dan identitas kebudayaan. Makna ini dapat disebut dengan keadilan interobjektif yang diejawantahkan dari makna negara objektif44 dan objektifisme sains. Cara yang perlukan adalah menjadikan wahyu sebagai teori umum (grand theory) yang harus diturunkan ke tahapan teoritis hingga praksis: teologi, filsafat sosial, teori sosial, dan perubahan sosial.45
Kritik Terhadap Asumsi Dasar Ilmu Hukum Nonsistematik Paradigma nonsistematik tidak sepenuhnya menghapuscara pandang keraguan Cartesian, bahkan masih terbawa sebagai kenang-kenangan, meskipun dengan tujuan berbeda; keraguan-ketidakpastian. Persoalan keraguan memperoleh tantangan dari Misbah Yazdi46 dan Naquib Al-Attas melalui konsepnya tentang hidayah).47 Dalam perspektif profetik, ilmu didasarkan pada adanya kepercayaan, setelah kepercayaan tersebut didukung pembuktian, maka akan memunculkan keyakinan, yang pada gilirannya mengantarkan pada pengetahuan. Dari sini
43
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, AE. Priyono dan Lukman Hakiem (peny), Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Shalahuddin Press, 1994, hal. 11-12. 44 Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos,Selamat Datang Realitas: Esai-Esai Budaya dan Politik, (Bandung: Mizan), 2002, hal.170, 210 dan 225. 45Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, AE. Priyono (ed). Bandung: Mizan, 1991, hal. 70. 46Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa Kazhim dan Saleh Bagir, (Bandung: Mizan), 2003, hal. 89-90. 47 Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, Op.Cit, hal. 31.
9
profetik menawarkan integralisasi (ilmu dan agama) dan obyektifikasi untuk menerjemahkan nilai-nilai internal ke dalam kategori obyektif sehingga seseorang dapat saja melakukan sesuatu sebagai kewajaran tanpa harus menyetujui nilai asalnya.48 Paradigma nonsistematik bertumpu pada dekontruksi dan relativitas kebenaran untuk menafsirkan keseluruhan dalil-dalil penyangganya. Selain tidak ada sumber kebenaran yang mutlak, dekonstruksi dilakukan juga terhadap teori chaos, Pancasila, consilience, IESQ dan gerak transubstansial, hal ini menjadikan teori-teori tersebut mengalami perubahan radikal dan menimbulkan konsekuensi baru; Pertama, Hakim memiliki beban putusan hukum yang berbeda dengan yang sebelumnya meskipun dengan kasus yang sama (rechtshepping), ini merupakan syarat keadilan.49 Lebih dari itu, paradigma nonsistematik menanggalkan yurisprudensi dan tidak ada lagi ne bis in idem karena kasus harus dianggap tak sama;50 Kedua, Paradigma nonsistematik menafsirkan chaos berorientasi pada ketidakteraturan, meskipun puisi Hesoid mengisyaratkan sebaliknya bahwa “segalanya adalah Chaos", baru sesudah itu segalanya menjadi stabil;51 Ketiga, Meskipun nonsistematik menolak hukum sebagai tujuan ilmu, sebagaimana Wilson memposisikan biologi sebagai tujuan akhirdari segala ilmu.52Tetapi di bagian lain ia memaparkan proses evolusi pilihan; hukum
48Kuntowijoyo,
Identitas Politik Umat Islam, Op. Cit, hal. 68-69. Asmaul Husna TR, Penemuan Hukum dan Pembentukan Hukum The Living Law Melalui Putusan Hukum, Jurnal Mizan, Vol.2. No. 3.Februari, 2012, hal. 65. 50 Karen Leback, Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Pemikiran J.S. Mill, J. Rawls, R. Neibuhr dan J.P. Miranda, Terj. Yudi Santoso, (Bandung: Nusamedia), 2004, hal. 63. 51 Hesoid, Theogony: Works and Days, Terj. Apostolos N. Athanassakis, (United States of America: The Johns Hopkins University Press), 2004, hal.3 Dalam Mitologi Yunani Kuno, Chaosmerupakan wujud pertama (dewa) yang tercipta dari semesta. Lihat, E. M. Berens, Kumpulan Mitologi dan Legenda Yunani dan Romawi, ed. Dewi Fita, (Jakarta Selatan: Penerbit Bukune), 2010, hal. 7 dan 8. 52Anthon F. Susanto, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Ed. Aep Gunarsa, (Bandung: PT. Refika Aditama), 2007, hal. 36, 38 dan 39. 49Cut
10
kembali kepada tatanan alam semesta dan atau perintah Tuhan (consilience hukum);53 Keempat, Semula gerak transubstansial adalah suatu kesatuan integral dengan gradasi wujud dan Primasi wujud.54 Namun dengan hanya mengadopsi gerak-transubstansial, mengesankan bahwa asal-usul keberadaan manusia dan alam hanya akibat alami yang terbentuk melalui gerak abadi semata;55 kelima, Dalam konsepsi IESQ untuk menilik domain realitas dan makna,56 terdapat kontradiksi internal, Danah Zohar dan Ian Marshal yang membantah spiritual57 disini berhubungan dengan agama58 Sebaliknya Ary Ginanjar Agustian lekat dengan Islam. Akan tetapi, paradigma nonsistematik tidak memberi argumen lebih lanjut mengenai sintesis antara keduanya.59 Berdasarkan hal yang demikian, nonsistematik menjelaskan bahwa kenyataan dan teks sebenarnya bersifat chaos adalah relatif benar, namun ia tidak berorientasi pada ketidakpastian, tidaklah keliru bahwa alam pada dasarnya suatu kontruksi yang menyeluruh antara chaos dan cosmos, antara subjektivitas dan objektivitas, antara relativitas dan absoluditas, dan demikian seterusnya.
53Anthon
F. Susanto, Hukum Dari Consilience, Op.Cit, hal. 72 Heriyanto, Paradigma Holistik Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, (Jakarta Selatan: Teraju), 2003, hal. 156. 55Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non-Sistematik: Pondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Ed. Nasrullah O Bana dan Ufran, (Yogyakarta: Gentha Publishing), 2010, hal. 24. 56Ibid,hal. 260. 57Danah Zoihar dan Ian Marshal, Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, terj. Helmi Mustofa, (Bandung: PT. Mizan Pustaka), 2005, hal. 96-97 dan 181. 58Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam berpikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan, diterjemahkan dari SQ Spiritual Intellegence – The Ultimate Intellegence, oleh Rahmani Astuti, (Bandung : Mizan), 2001, hal. 8-9. 59Ary Ginanjar Agustian, ESQ Emostional Spiritual Quotinet: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Penerbit Arga), 2001, hal. 57. Lihat juga Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Ihsan, (Jakarta: Arga Publishing), 2009, hal, 68. 54Husain
11
Keduanya merupakan pasangan yang tidak dapat dipisahkan akan tidak adil jika hanya memihak kepada salah satunya dan mengesampingkan sebagiannya.60 Dalam persoalan keadilan pun demikian adanya ia tidak hanya tentang upaya untuk memberikan keleluasaan pada persepsi atau keyakinan subjektif hakim dalam menjatuhkan suatu putusan hukum, melainkan juga memberi kekuasaan pada keluarga korban untuk menghakimi jika terdakwa terbukti bersalah. Hakim tidak lagi sebagai pejabat negara yang sangat sensitif merasakan derita keluarga korban. Keadilan asimetrik mensyaratkan ada keadilan yang multikultural, meskipun hanya terbatas pada hukum adat. Paradigma profetik menyarankan adanya akomodasi radikal terhadap seluruh sumber hukum nasional,61 juga mereposisikan hukum agama dan kepercayaan lainnya yang berlaku di kelompoknya masyarakatnya masing-masing,62 dengan tujuan mewujudkan intersubjektivitas keadilan.63 Namun bilamana terjadi konflik antar kelompok masyarakat, lintas agama dan budaya, keadilan juga harus bersifat interobyektif dalam perkara lintas kelompok yang diambil dari obyektifitas ajaran agama, kemanusiaan maupun adat, karenanya intersubjektivitas dan interobjektivitas keadilan harus dipandu dengan visi etis profetik.
60
Mulyadhi Kertanegara, Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia, (Surabaya: Penerbit Erlangga), 2007, hal. 10. 61Kuntowijoyo nampaknya tidak memcampurkan hukum dengan pandangan ekonomi communitarian, tetapi justru menganjurkan keadilan yang bermula dari sikap personal, harus terlebih dahulu dijadikan produk legal.Ibid, hal. 102. 62Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, AE. Priyono dan Lukman Hakiem (peny), Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Shalahuddin Press, 1994, hal. 11-12. 63 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Op. Cit, hal. 11-12.
12
PENUTUP Kesimpulan-Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa: Pertama, terdapat kontradiksi internal dalam paradigma nonsistematik yang masing-masing menimbulkan persoalan-persoalan lain; Kedua, asumsi dasar dalam memandang semesta yang sebenarnya berpijak pada mitos Yunani tentang dewa chaos, menyelesaikan setiap masalah ke titik awalnya, namun dengan tanpa memperhitungkan ranah cosmos menjadikan bangunan ilmiahnya mengafirmasi kekacauan, libertanisme, sekularisme dan relativisme; Ketiga, makna keadilan nonsistematik atau asimetrik terbatas pada keadilan yang bersifat multikultural dengan dimensi sekularisme yang merasukinya, keadilan ini memang mampu menjawab persoalan dalam tubuh komunitas.
Saran-Saran Berdasarkan yang demikian juga penulis memberikan saran sebagai berikut: Pertama, Dalam kontradiksi internal, seharusnya ada proses sintesis terhadap kontradiksi tersebut; Kedua, pada faktanya masyarakat tidak sepenuhnya kosong dari nilai-nilai, karena itu nampak sekali pandangan nonsistematik akan sukar diimplementasikan, penyelesaian masalah tidak selalu harus menggunakan cara ekstrim dengan menghilangkan (reset) nilai yang lebih dulu hidup di masyarakat, akan tetapi melalui interaksi, dialog dan integrasi; Ketiga, keadilan asimetrik tidak dapat menjawab permasalahan antar golongan, karena itu masih tetap diperlukan keadilan yang berlaku untuk seluruh masyarakat meskipun terbatas pada kasus-kasus konkret lintas golongan tersebut.
13
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Abbas, Anwar, 2010, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Ed. Mukhaer Pakkana, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara Agustian, Ary Ginanjar, 2001, ESQ Emostional Spiritual Quotinet: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta: Penerbit Arga. Anwar, Wan, 2007, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, Jakarta: PT. Grasindo. Anwar, Yesmil dan Adang, 2008, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Gramedia Salman, Otje dan Anthon F. Sutanto, 2009, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Bandung: PT. Refika Aditama Susanto, Anthon F. 2007. Hukum dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Bandung: PT. Refika Aditama. 2010, Ilmu Hukum Non-Sistematik: Pondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Bandung: Gentha Publishing. Chittick, William C. 2001, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi: Kreativitas dan Persoalan Diversitas Agama, Surabaya: Risalah Gusti. Anshari, Endang Saifuddin, 2004, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sistem Islam, Jakarta: Gema Insani Press. Berens, E. M, 2010, Kumpulan Mitologi dan Legenda Yunani dan Romawi, ed. Dewi Fita, Jakarta Selatan: Penerbit Bukune. Hardiman, F. Budi, 2007, Filsafat Fragmentaris: Deskripsi, Kritik dan Dekonstruksi, Yogyakarta: Kanisius. Huda, Nor, 2007, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Yogyakarta; Ar Ruzz Media Group. Heriyanto, Husain 2003, Paradigma Holistik Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, Jakarta Selatan: Teraju. Hesoid, 2004, Theogony: Works and Days, Terj. Apostolos N. Athanassakis, (United States of America: The Johns Hopkins University Press. Iqbal, Muhammad, 1982, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, alih bahasa: Ali Audah, Taufiq Ismail, dan Gunawan Muhammad, Yogyakarta: Jalasutra. Izutsu, Toshihiko, 2003, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Quran, Terj. Agus Fahri Husein, Supriyanto Abdullah dan Amirudin, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
14
Jazuli, Ahzami Samiun, 2006, Kehidupan dalam Pandangan Al-Quran, terj. Sari Nuralita, Jakarta: Gema Insani Press Kertanegara, Mulyadhi 2007, Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia, Surabaya: Penerbit Erlangga. Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, AE. Priyono (ed). Bandung: Mizan. 2002, Selamat Tinggal Mitos,Selamat Datang Realitas: Esai-Esai Budaya dan Politik, Bandung: Mizan. 1994, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, AE. Priyono dan Lukman Hakiem (peny), Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Shalahuddin Press. 2004, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, Teraju Jakarta: PT. Mizan Publika. Leback, Karen 2004, Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Pemikiran J.S. Mill, J. Rawls, R. Neibuhr dan J.P. Miranda, Terj. Yudi Santoso, Bandung: Nusamedia. Mahzar, Armahedi 2004, Revolusi Integralisme Islam Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Bandung, Mizan. Naquib Al-Attas, 1995, Islam dan Filsafat Sains, Bandung: Mizan. Syamsuddin, Maimun, 2012, Integrasi Multidimensi Agama dan Sains: Analisis Sains Islam Al-Attas dan Mehdi Golshani, Yogyakarta: IRCISOD. Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah, 2003, Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa Kazhim dan Saleh Bagir, Bandung: Mizan Zohar, Danah dan Ian Marshal, 2005, Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, terj. Helmi Mustofa, Bandung: PT. Mizan Pustaka. 2001, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam berpikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan Makalah dan Jurnal Ahimsa Putra, Heddy Shri, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya, Sketsa Beberapa Episode, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada Pada tanggal 10 November 2008 di Yogyakarta. Paradigma Profetik: Mungkinkah? Perlukah?, Makalah disampaikan dalam “Sarasehan Profetik 2011”, diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM, di Yogyakarta, 10 Februari 2011. Bachtiar, Hasnan Profetisme, Muhammadiyah dan Gelombang Besar Globalisasi: Suatu Tinjauan Transformasi Sosial, The Centre for Religious and Social Studies, Malang, Volume 15 Nomor 1 (Juni 2012
15
Hanif, Muh. Studi Media Dan Budaya Populer Dalam Perspektif Modernisme dan Postmodernisme, Jurnal Komunika, Vol.5 No.2 (Juli - Desember 2011). Husna TR, Cut Asmaul Penemuan Hukum dan Pembentukan Hukum The Living Law Melalui Putusan Hukum, Jurnal Mizan, Vol.2. No. 3.Februari, 2012. Iswanto, Agus, Relasi manusia Dengan Lingkungan dalam Al-Quran: Upaya Membangun Eco-Theology, Jurnal Suhuf, Vol. 6, No. 1, 2013. Loukas, Marios, Yousuf Saad, R. Shane Tubbs, dan Mohammadali M. Shoja, The Heart and Cardiovascular system in Quran and Hadeeth, International Journal of Cardiology 140, 2010. Paul Hoyingen Huene, 1995, Two Letters of Paul Feyerabend to Thomas S. Kuhn on a Draft of The Structure of Scientific Revolutions, Journal Pergamon History and Philosophy Vol. 26, Elsevier Science ltd, Great Britain. Raharjo, Agus, Hukum dan Dilema Pencitraannya: Transisi Paradigmatis Ilmu Hukum dalam Teori dan Praktek, Jurnal Hukum Pro Justitia, (Januari 2006), Volume. 24. No. 1. Ricardo Samarmata, Penggunaan Socio-Legal dan Gerakan Pembaharuan Hukum, Jurnal Digest Law, Society and Development, Volume. 1 (Desember 2006- Maret 2007). Situngkir, Hokky Menyambut Fajar Menyingsing Teori Sosial Berbasis Kompleksitas, Makalah Diskusi yang diadakan atas Kerjasama Bandung Fe Institute (BFI) dengan Center for Strategies and International Studies (CSIS), Jakarta, 5 Juni 2003. Susanto, Anthon F. Keraguan dan Keadilan dalam Hukum, Sebuah Pembacaan Dekonstruktif, Jurnal keadilan Sosial Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia (ILRC), Edisi.1, didukung oleh Open Soceity Institute, Jakarta Selatan, 2010. Wardiono, Kelik, Paradigma Profetik Dalam Ilmu Hukum, Sebagai Pembaharuan Basis Epistemologi Dari Ilmu Hukum di Indonesia, Proposal Disertasi disampaikan pada Seminar Proposal Diserta Program Doktor Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pada 25 Januari 2012.