PARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANA (Ditinjau dari Bentuk Berteologi di Indonesia)
Oleh:
Arif Sugiharto NIM: 0032118695
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA JAKARTA 1429H./ 2008 M.
PARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANA (Ditinjau dari Bentuk Berteologi di Indonesia)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh: Arif Sugiharto NIM: 0032118695
Di bawah Bimbingan Pembimbing,
Drs. Nanang Tahqiq, MA. NIP. 150240753
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H./ 2008 M
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan untuk: Andriyani, Istriku, Tanpa dia, penulis akan menjadi seseorang yang “tidak ada.” Ibu Siti Aminah, Mertuaku Kedua orangtuaku Saudara-saudara kandungku Seluruh keluargaku Hikmah kehidupan ada di mana-mana, termasuk di dalam keluarga Radhar Panca Dahana, Sebagai inspirator tangguh yang patut penulis tiru Semua ummat manusia yang mencintai dan menghargai setiap perbedaan dan warna kehidupan
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul PARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANA (DITINJAU DARI BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Selasa, 17 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada jurusan Perbandingan Agama. Jakarta, 17 Juni 2008 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Masri Mansoer, MA NIP. 150244493
Maulana, MA NIP. 150293221
Penguji I
Penguji II
Dr. Hamid Nasuhi, MA NIP. 150241817
Dra. Ida Rosyidah, MA NIP. 150242267 Pembimbing,
Drs. Nanang Tahqiq, MA NIP. 150248753
ا
=a
= بb = تt = ثts = جj = حh = خkh = دd = ذdz = رr = زz = سs = شsy = صsh = ضdl = طth = ظzh ‘= ع = غgh = فf = قq = كk = لl = مm
= نn = ؤw =h ’= ء = ئy
Untuk Madd dan Diftong
=â ْ = أَوaw = وأû = يأay = يإî
KATA PENGANTAR Sembah dan sujud hamba kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam, Tuhan seluruh ummat manusia yang mengatur alam ini dengan penuh cinta dan kasih. Dan penulis yakin atas cinta kasih-Nya, penulis dapat merampungkan tugas akhir skripsi ini. Salam penghormatan kepada manusia istimewa yang telah mengorbankan hidupnya untuk tegaknya nilai-nilai kemanusiaan di muka bumi ini, Nabi Muhammad SAW. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Dr. H. M Amin Nurdin, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA, selaku Ketua Jurusan Perbandingan Agama, Bapak Drs. Maulana, MA, selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama yang dengan baik hati telah memberikan semangat untuk menyelesaikan skrips ini. Dan seluruh dosen-dosen di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya di jurusan Perbandingan Agama yang telah mengajari penulis dengan penuh antusiasme sehingga penulis mampu melihat realitas kehidupan beragama dengan sesungguhnya. Bapak Drs. Nanang Tahqiq, MA, selaku dosen pembimbing. Banyak pesan dan kesan positif serta penuh makna ketika penulis menjalani bimbingan dengan beliau. Beliau adalah figur yang sabar dan detail dalam melakukan bimbingan skripsi, sehingga mampu memberikan masukan yang sangat amat berharga bagi penulis. Kepada seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakulas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik. Juga penulis tidak lupa haturkan terima kasih kepada beberapa institusi yang telah menyediakan ‘waktunya’ untuk memberikan pinjaman bahan-bahan skripsi ini, seperti Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), terutama Mbak Miskola yang dengan ramah membantu penulis dalam mendapatkan dokumentasi siaran diskusi Radhar Panca Dahana. Kepada perpustakaan Freedom Institute, perpustakaan HB. Jassin, perpustakaan Wahid Institute dan perpustakaan Imam Jama. Persembahan terbesar dan terima kasih tak terhingga untuk yang paling utama penulis haturkan kepada Andriyani, istri tercinta yang telah memberikan dukungan tanpa batas kepada penulis. Istri yang dengan tulus mengorbankan
apapun demi sang suami. Tidak lupa kepada Ibu mertua, Siti Aminah yang selalu memberikan nasihat-nasihat baik kepada kami. Juga kepada keluarga tercinta Papa dan Mamaku, Omah, Emak dan Saudara dan saudari kandungku atas semua dorongan dan doa. Ucapan terima kasih terbesar juga penulis haturkan kepada Abang Radhar Panca Dahana dan keluarga yang telah bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai di tengah-tengah kesibukannya. Selain bahan-bahan skripsi yang diberikan, penulis juga mendapatkan banyak hal bermanfaat dari setiap obrolan dan diskusi dengan Abang Radhar. Bagi penulis, Abang Radhar memang seorang inspirator tangguh. Dua kata kunci yang akan selalu penulis ingat dari Abang Radhar: “independensi dan idealisme.” Terima kasih juga kepada Komunitas Teater Syahid UIN Jakarta, yang penulis anggap sebagai keluarga kedua yang telah bersedia menampung segala kegelisahan penulis sebagai manusia muda dan mewujudkan kegelisahan itu dalam bentuk berkesenian yang mampu membuka potensi yang ada dalam diri penulis. Kita akan selalu mengingat: “Dan perjuangan adalah pelaksanaan katakata” (mengutip sajak Rendra). Dan marilah kita terus dan terus berkarya. Tidak lupa, penulis haturkan terima kasih kepada teman-teman pekerja seni di Ciputat atas pergaulan dan obrolan yang bermakna. Terima kasih kepada Mas Klutuk yang kini menjabat redaktur politik di harian Nonstop dan rekan-rekan yang pernah berjuang bersama melawan pemerintahan tiranik di negeri ini yang tergabung dalam komunitas pergerakan kampus, khususnya di Kesatuan Aksi Mahasiswa Jakarta (Kamjak) UIN Jakarta. “Hanya ada satu kata: LAWAN!” (mengutip sajak Wiji Tukul). Terima kasih atas dukungan semangatnya. Terima kasih kepada ‘guru-guru’ dan rekan-rekan yang kini berkarya di CSRC (Centre for Study of Religion and Culture) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah bersedia melibatkan penulis dalam berbagai kegiatan akademiknya, khususnya kepada Pak Chaider S. Buallim, Pak Irfan, Mas Ridwan, Ibu Karlina, Teh Sri. Dan juga kepada rekan-rekan SCRC lainnya, yang telah menerima penulis dengan kehangatan dan kebersamaan dalam setiap kegiatan
ilmiahnya. Pak Idris, Gus Sholah dan Mas Dlirin “ Saya tidak akan pernah melupakan keceriaan kita dalam bekerja.” Terima kasih penulis haturkan juga kepada rekan-rekan wartawan dan para pekerja di Tabloid Gema Olahraga (GO), harian Indo Pos dan Tabloid Wanita Indonesia. Kebersamaan kita memang singkat, namun banyak petuah dan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam melanjutkan hidup ini. “Jangan lupa: cover both side.” Terima kasih selanjutnya adalah kepada Pondok Pesantren Tarbiyatul Falah di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat, tempat penulis menimba berbagai ilmu (agama dan kemasyarakatan) selama kurun waktu enam tahun. Dari sinilah awal penulis mengenal kehidupan sesungguhnya dan mengenal kasih sayang yang tulus dan murni dari orang-orang yang penulis anggap sebagai orang tua dan keluarga, yakni kepada Ajengan Asep Yusuf Afandi dan Ibu Idah, Ajengan Fauzi dan Ibu Euis, Pak Mumuh dan Ibu Anis serta seluruh keluarga besar pondok pesantren. Tidak lupa kepada keluarga besar Pak Abbas dan Mamih, Mamah Nining, Mamah Martin dan Mamah Yayan yang telah berkenan rumah tinggalnya dijadikan tempat ’peristirahatan’ oleh para santri untuk melepas lelah setelah berjibaku dengan rutinitas pondok dan tentunya ’melepas’ kelaparan perut kami. Sampai kapanpun penulis tidak akan pernah lupa apa yang telah keluarga Pak Abbas berikan kepada kami dari mulai perhatian dan kasih sayang hingga hal-hal yang bersifat materiil. Dan terakhir kepada teman-teman di desa Sadammukti dan keluarganya, Ipang, Blank, Kaka dan Ade, yang telah menerima kehadiran penulis dengan kehangatan dan rasa persaudaraan yang kental. “Saya pasti akan selalu kembali.” Guru spiritual Kang Ajuy dan keluarga yang telah memberikan bimbingan ruhani kepada penulis. Banyak petuah dari beliau yang kini penulis jadikan pegangan dalam mengarungi hidup ini. Dan tidak lupa kepada tiga punggawa perkumpulan spiritual Sukabumi, Asep Cepot, Bang Idris dan Dedet. “Ingat kita selalu bersama dan tidak akan pernah pecah.” Juga kepada para sahabat yang akan selalu mewarnai kehidupan penulis, Mas Hafid Embek (guru), Ustadz Farid (editor), Aris (pengusaha), Nuril (mahasiwa), Amir Coleng (calon politisi) beserta keluarga, Edi Klenk (seniman),
Ainurahman (pekerja pers), teman-teman perkumpulan guru sufi di Depok, Anwar Cablak the best friend, teman-teman di komunitas Lombok, Lestari Sunyek, Riadi, Akieb dan Oji Lalu, Fator dan seluruh rekan-rekan di jurusan Perbandingan Agama angkatan 2000. Dan terakhir penulis berterima kasih adalah kepada orang-orang yang pernah menjalin persahabatan dengan penulis di berbagai komunitas dan wilayah pekerjaan yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu karena adanya keterbatasan. Yang terpenting adalah persahabatan yang telah terjalin di antara kita tidak pernah terputus. Ciputat, 2 Mei 2008 Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................. v PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................................... 10 C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 10 D. Studi Kepustakaan................................................................................ 12 E. Metode Penelitian................................................................................. 13 F. Sistematika Penulisan........................................................................... 15
BAB II BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA A. Pengertian Teologi secara Umum ......................................................... 16 B. Pengertian Teologi Islam di Indonesia .................................................. 21 C. Sejarah Kemunculan Corak Berteologi di Indoneisa ............................. 22 D. Bentuk-Bentuk Berteologi di Indonesia ................................................ 31 1. Teologi Tradisional ........................................................................ 31 2. Teologi Rasional............................................................................. 34 3. Teologi Neo-Modernisme ............................................................... 37 4. Teologi Substansialis...................................................................... 41
BAB III BIOGRAFI RADHAR PANCA DAHANA A. Riwayat Hidup............................................................................. 45 B. Pergulatan Radhar Panca Dahana dalam Dunia Akademik........... 49 C. Aktivitas Radhar Panca Dahana ................................................... 51 D. Karya-karya Radhar Panca Dahana.............................................. 53
Bab IV PARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANA: PANDANGAN TENTANG TUHAN DAN MANUSIA A. Konsep Keberislaman Radhar Panca Dahana .................................. 55 B. Pandangan Radhar Panca Dahana Tentang Tuhan........................... 63 1. Keesaan Tuhan ......................................................................... 63 2. Tuhan dalam Tafsiran Angka .................................................... 66 C. Pandangan Radhar Panca Dahana tentang Manusia......................... 69 1. Manusia sebagai Homo-Religius............................................... 69 2. Manusia Semesta dalam Konteks Keberislaman........................ 72
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................... 77 B. Saran .................................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 81 DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. 86
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak awal abad ke-20 pemahaman masyarakat Muslim Indonesia terhadap agamanya telah mengalami transformasi secara massif. Kebanyakan ummat Islam terutama sarjana Muslim terdidik Barat secara berani dan bertanggung jawab kembali menelaah dan mempertanyakan pemahaman dan keyakinan beragama yang mereka anut selama ini, yang dalam hal ini terkait dengan doktrinal Islam yang prinsipil, seperti tawhîd, Kitab Suci dan kenabian.1 Dalam produk pemahaman yang baru masyarakat Muslim terdidik Barat itu tidak mau asal menerima dan menggunakan dogma-dogma agama tradisional (konservatif) tanpa proses penelahaan kritis. Dan telaah kritis mereka dilakukan dengan menggerakkan berbagai disiplin keilmuan (multidisipliner) secara komprehensif. Penelahaan kritis tersebut dilakukan sebagai penegasan bahwa tidak ada pertentangan antara keyakinan agama yang dianut dengan proses kehidupan yang tengah mereka jalani di era modern.2 Sehingga ummat Islam dapat dengan leluasa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya yang bisa berdampak kepada kemajuan bangsa dalam berbagai bidang kehidupan. Gagasan-gagasan pembaharuan yang disuarakan oleh sarjana keislaman itu, secara perlahan-lahan mengikis hegemoni dan dominasi pemahaman tradisional atas keyakinan agama yang pada umumnya bersandar kepada pendapat aliran dalam madzhab fiqh ditambah sikap taqlid buta atas setiap fatwa-fatwa
1
Baca Prof Howard M Federspiel dalam Kata Pengantar pada buku, Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta: 2004), h. 5-9. 2 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 7.
yang disuarakan oleh para agamawan. Paradigma kebanyakan individu Muslim yang terpenjara oleh pemahaman-pemahaman tradisional seperti itu dinilai sebagai pemicu utama kemunduran yang dialami ummat Islam Indonesia.3 Dari persoalan kebuntuan dan kemunduran yang dialami ummat Islam Indonesia yang kemudian memunculkan usaha-usaha pembaharuan dalam bidang teologis sebagai persoalan dasar yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Muslim Indonesia, lahirlah beragam corak atau bentuk-bentuk berteologi (Islam) di Indonesia. Kemunculan beragam corak atau bentuk berteologi di Indonesia tersebut adalah sebagai respon atas situasi dan kondisi kebekuan dan kemunduran yang dialami ummat Islam dalam banyak bidang antara lain ekonomi, sains dan teknologi, politik dan kebudayaan. Namun demikian, kelahiran teologi-teologi yang dianggap sebagai pembaharuan itu tidak otomatis menghilangkan corak teologi tradisional-klasik
(Asy‘ariyyah)
atau
dalam
istilah
dinamakan dengan teologi formalis-normatif-tradisional.4
kontemporer
Sebagian besar
masyarakat Muslim Indonesia hingga sekarang masih banyak menganut aliran teologi tersebut. Bentuk teologi pembaharuan di Indonesia pada umumnya didasari atau dipengaruhi oleh dua teologi besar, yaitu teologi rasional yang diusung oleh Harun Nasution dan teologi neo-modernisme yang disuarakan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur).5 Kendati demikian, ada juga corak teologi yang selama ini
3
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. 3., h.
62-65.
4
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 48-49. 5 Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 27-28.
kurang terdengar, namun memiliki pengaruh besar secara diam-diam yakni teologi kultural yang salah satunya digerakkan oleh Abdurahman Wahid (Gusdur).6 Lebih menarik lagi, dalam fenomena masyarakat Muslim kekinian, pemikiran tentang pembaharuan teologis yang berkembang di Indonesia tidak hanya terpusat dan diramaikan oleh mereka yang disebut sebagai pemikir-pemikir arus utama (mainstream), yang dalam kategori ini adalah para sarjana Muslim didikan Barat yang dulu pernah mengecap pendidikan tradisional Islam (pesantren atau madrasah yang mengajarkan bahasa Arab, fiqh, ‘ulûm al-Qur’ân dan ‘ulûm al-Hadîst) atau mereka yang pernah hidup di seputar lingkungan dan kalangan pesantren, melainkan juga oleh mereka kalangan masyarakat perkotaan, sekularrasional dan tidak terdidik dalam ilmu-ilmu Islam tradisional7 (sarjana Muslim sekular). Dengan demikian mereka diyakini tidak begitu menguasai ilmu-ilmu tradisional Islam. Oleh William Liddle, individu-individu tersebut diberi nama
6
Penamaan berbagai corak teologi Islam di Indonesia sangat beragam sekali tetapi setiap satu istilah tidak begitu ketat dan mengikat, dan terkadang dipertukarkan maka penamaan istilah tersebut tidak baku atau mutlak. Dalam berbagai literatur dapat ditemukan istilah dari bentukbentuk teologi, antara lain teologi transformatif, teologi rasional, teologi pembangunan, teologi kultural dan teologi substansialis. Untuk mengetahui istilah dari bentuk-bentuk teologi, baca antara lain buku Teologi Pembangunan, ed. M. Masyhur Amin (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, ed. Mark R Woodward, terj. Yuliani Lipoto (Bandung: Mizan, 1998) Azyumardi Azra Konteks Berteologi Islam di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999) dan buku Greg Barton, Gagasan Islam Liberal: Pemikiran Neo-modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999). Dalam penulisan ini penulis hanya akan menggunakan beberapa bentuk teologi yang banyak mendominasi atau berpengaruh dan telah banyak dikaji oleh kalangan akademisi, yaitu teologi tradisional, teologi rasional, teologi neo-modernisme dan teologi substansialis. 7 Islam di Indonesia dianut oleh dua lapisan struktur masyarakat, yaitu masyarakat pedesaan yang dikenal dengan rakyat jelata dan orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang berada pada posisi sosial-ekomoni yang lebih baik. Baca: Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), h. 39-40. Menurut penulis, pemahaman atas kedua lapisan masyarakat terhadap agama tidak sama. Masyarakat pedesaan (tradisional) pada umumnya masih menganut sistem hierarkis keagamaan di mana mereka sangat loyal terhadap para pemuka agamanya. Sedangkan masyarakat perkotaan dan terdidik lebih independen dalam metode memahami agamanya.
dengan sebutan Islam substansialis.8 Sedangkan bila menggunakan kerangka teori Azyumardi Azra, kelompok ini bisa dikategorikan sebagai Muslim subaltern9. Kebanyakan mereka adalah individu-individu yang menggeluti satu bidang tertentu, misalnya politik, kesenian, sastra, ekonomi, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Mereka tidak mau bidang-bidang tersebut tergerus hancur oleh sebab persoalan doktrinal Islam (teologis). Para Muslim substansialis subaltern ini meyakini persoalan teologis dalam Islam yang pada umumnya masih bersandar kepada paradigma tradisionalnormatif dan dianggap dapat membuntukan ruang gerak atau bidang yang mereka geluti (politik, ekonomi, seni dan budaya) di mana di ruang atau bidang itulah mereka bisa mencurahkan segala potensi kemanusiaan yang telah diberikan Tuhan. Namun di sisi lain mereka juga cenderung menolak para pemikir arus utama yang beraliran moderat-liberal (sarjana Islam berpendidikan Barat), karena mereka dianggap belum mampu menyentuh akar persoalan yang dihadapi oleh golongan Muslim subaltern ini terkait dengan bidang yang mereka geluti. Untuk mencegah terjadinya kemunduran dan pereduksian makna terhadap bidang-bidang yang mereka geluti, tidak sedikit yang kemudian para individu 8
Kelompok substansialis tidak terpaut dengan warna-warni kelompok sektarian keislaman, seperti Muhammadiyah, Sunnî dan non-Sunnî. Berbeda dengan kelompok pemikir arus utama yang memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu tradisionalis dan modern sekaligus, yang terdidik klasik dan dipengaruhi pendidikan pesantren tradisional yang kental, kelompok substansialis tidak memiliki latarbelakang pendidikan tradisional keislaman, seperti pesantren, baca Greg Barton, Gagasan Islam Liberal: Pemikiran Neomodernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Abdurrahman Wahidan dan Ahmad Wahib, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta, Paramadina, 1999), h. 34-35. Tentang kelompok substansialis secara lebih dalam akan dibahas pada bab 2. 9 Berasal dari kata Latin subalternus. Sub berarti di bawah dan altern berarti yang lain. Dalam perkembangannya teori-teori tentang subaltern memunculkan sejumlah literatur historis tentang pengalaman orang-orang yang termarjinalkan, yang dalam konteks ini oleh pemikiran yang menjadi mainstream (ulama, cendekiawan Islam dan lain sebagainya), baca Azyumardi Azra, "Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltern," Gatra 6 Desember 2003, h. 8, Dawam Rahardjo, “Aliran Khawarij dan Teologi Sempalan,” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembaharuan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), h. 105-113 dan Hasbullah Mursyid, “Aliran Khawarij dan Splinter Group,” dalam M. Masyhur Amin, ed. Teologi Pembaharuan, h. 114-132.
tersebut melakukan usaha-usaha yang antara lain mengeluarkan gagasan-gagasan personal-alternatif keislaman yang lebih kontekstual sebagai landasan berpijak mereka dalam menjalankan aktivitas mereka. Tidak seperti kebanyakan pemikir arus utama yang menggunakan metode kombinasi modern-tradisional dalam memahami dan menafsir Islam, mereka para Muslim substansialis subaltern memahami Islam dengan metode empiris ditambah dengan menggunakan latarbelakang keilmuan yang sekular.10 Dari konteks inilah besar keinginan penulis untuk menempatkan paradigma keberislaman Radhar Panca Dahana (selanjutnya disingkat RPD) dalam objek kajian keislaman di mana penulis akan menempatkan RPD sebagai Muslim subaltern11 yang memiliki cara pandang alternatif keislaman, dalam hal
10
Kasus seperti ini terjadi di Indonesia di mana HB Jassin, seorang sastrawan Indonesia, yang hanya memiliki latar belakang pendidikan sekular (kesusasteraan) di Barat (Belanda dan Amerika) mampu menelurkan sebuah karya yang dianggap monumental, yaitu Al-Qur`an Bacaan Mulia (ABM) sebagai karya terjemahan dan Al-Qur’ân Berwajah Puisi (ABP) sebagai penemuan model penyusunan mushhaf al-Qur`ân. Dalam penerjemahan ABM, Jassin hanya mempelajari bahasa Arab ketika mengajar sekaligus menjadi Mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, baca Abdul Hafid, “Estetika Puitis al-Qur`ân: Studi Analisis tentang Dua Metode HB. Jassin Memahami al-Qur`ân,” Skripsi (Jakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah: 2005), h. 3. Alasan Jassin melahirkan karya ABM dan ABP adalah, antara lain, karena terjemahan al-Qur’ân yang ada sekarang cenderung ditulis dalam bahasa prosa yang lebih mengutamakan kandungannya saja yang pada akhirnya cenderung kaku, baca Abdul Hafidh, “Estetika Puitis al-Qur’ân: Studi Analisis tentang Dua Metode HB Jassin Memahami al-Qur`an,” h. 3 11 Peta pemikiran Islam di Indonesia tidak selalu monolitik dan tunggal, dalam arti hanya didominasi oleh kalangan sarjana keislaman atau para agamawan yang kemudian menjadi arus utama pemikiran dalam Islam. Dalam realitasnya ditemukan beragam corak pemikiran dari orangorang atau kelompok yang tidak menggunakan metode normatif-tradisional (Hadîst, ‘ulûm alQur’ân, ‘ulûm al-Hadîst, fiqh dan lain sebagainya) dalam memahami Islam (al-Qur’ân) sebagai agama yang dianutnya. Melainkan dengan, misalnya, ijtihâd personal yang bukan tidak sering dipengaruhi konteks sosio-historis dan kultural tertentu, baca Azyumardi Azra, "Komunitas Tersisih,” Gatra 6 Desember 2003, h. 8-9. Penulis dalam konteks ini menempatkan RPD sebagai kategori Muslim subaltern atau dengan kata lain Muslim yang pemikirannya tidak menjadi arus utama (mainstream) dalam wilayah kajian doktrinal Islam atau juga dikategorikan sebagai Muslim pinggiran, baca Azyumardi Azra, "Komunitas Tersisih” Gatra 6 Desember 2003, h. 8-9. Bahwa selama ini yang bisa menjadi arus utama pemikiran dalam keilmuan Islam adalah pandangan mereka yang menguasai bahan dasar Islam yaitu bahasa Arab, serta mendalami ilmu-ilmu keislaman secara formal dan berkesinambungan. Sedangkan mereka, yang tergolong masyarakat tidak berpendidikan Islam tradisional, tetapi berpendidikan sekular (Barat) dianggap sebagai Muslim pinggiran (termarjinalkan) yang pemikiran dan pemahaman keagamaan mereka dipandang telah menyimpang dan sesat serta tidak layak untuk dimunculkan sebagai objek penelitian untuk
ini adalah tentang Tuhan dan manusia, dan ditinjau dari bentuk berteologi di Indonesia, untuk mengetahui bentuk berteologi macam apa pemikiran yang digagas RPD tersebut. RPD adalah seorang pemikir,12 yang berlatarbelakang sebagai seorang sastrawan,13 dan seniman14 Muslim yang pernah mengenyam pendidikan Barat.15 Sesuai dengan latarbelakangnya, sebagai seorang sastrawan, seniman kemudian ditambah sekolah di jurusan sosiologi di Barat, banyak hal yang disorot RPD studi keislaman. Padahal bukan tidak mungkin kritik konstruktif atas pemahaman agama yang telah mapan bisa muncul dari pandangan mereka. Selain itu, wacana keilmuan sekular yang digunakan RPD dalam memahami agama (Islam) setidaknya bisa memberikan pandangan dan saluran alternatif bagi seorang Muslim dalam merespon dan memperlakukan peradaban modern demi sebuah kemajuan Islam. Dengan mengkaji paradigma keberislaman RPD sebagai Muslim subaltern, skrispsi ini bisa dikatakan sebagai bagian dari subaltern studies yang mengekplorasi dan mengetengahkan tema keagamaan dari seseorang tokoh yang memiliki pemahaman splinter (orang yang berbeda dengan pemikiran arus utama) atas agama yang dianutnya. Penulis melihat bahwa selama ini arus utama dalam diskursus keilmuan Islam menjadi terpusat, terhegemoni dan terkontrol oleh agamawan dan intelektual Islam yang notabene berasal dari kalangan pesantren dan perguruan tinggi Islam. Padahal fenomena masyarakat Muslim menunjukkan bahwa selama ini banyak orang yang menafsirkan dogma agamanya (al-Qur’ân) tidak dengan menggunakan metode normatif-tradisional, melainkan juga dengan merujuk kepada hasil pemikiran pemikir-pemikir agama yang telah ada dan atau menggunakan disiplin keilmuan sekular (antropologi, sosiologi, seni, budaya dan lain-lain) yang dimilikinya. Oleh karenanya “Islam sebagai sebuah realitas historis, sosiologis dan kultural tidak pernah tunggal dan monolitik.” Penulis tidak menggunakan teori Clifford Geertz, untuk memetakan RPD masuk ke dalam kelompok Muslim Abangan dan tidak juga sebagai Muslim sekular. Karena teori Abangan sudah tidak tepat untuk mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam golongan agama, karena klasifikasi tersebut tidak bersumber pada satu sistem klasifikasi yang sama. Parsudi Suparlan yang dikutip oleh Abuddin Nata menegaskan, “Abangan dan Santri adalah penggolongan yang dibuat menurut tingkat ketaatan mereka menjalankan ibadah agama Islam, sedangkan Priyai adalah suatu penggolongan sosial,” baca Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2001), h. 183-184. Selain itu, istilah Abangan cenderung denotatif yang isinya merendahkan derajat bagi mereka yang tidak taat dalam menjalankan ibadah, baca Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Indonesia, h. 184. Dalam hal ini RPD adalah Muslim taat beribadah, tetapi tidak terdidik dalam ilmu-ilmu Islam tradisional. Sedangkan,
kenapa penulis tidak menggunakan Muslim sekular adalah untuk menghindari anggapan bahwa RPD adalah orang menutup diri dari agama serta menafikan perannya dalam kehidupan ini. RPD tetap berpandangan bahwa fungsi dan peran sangat vital dalam kehidupan agama, meskipun hanya sebatas peran spiritualisme, baca RadharPanca Dahana, “Keragaman yang Teperdaya,” Gatra 13 Oktober 2007, h.106. 12
Fokus terbesar dalam hidupnya adalah antara lain dicurahkan untuk bidang pemikiran. Ada tiga bidang yang menjadi sorotan RPD, yaitu sosio-kultural (dalam hal ini termasuk agama), kesenian dan sastra. Penulis dalam hal ini hanya akan mengelompokan dan memfokuskan kepada pemikiran RPD dalam bidang keagamaan (Islam) yang meliputi pandangannya tentang Tuhan dan manusia. 13 Sebagai sastrawan RPD banyak menelurkan karya-karya dalam bentuk cerpen, puisi dan prosa yang tema-temanya sangat aktual dengan situasi kekinian dan problema yang dialami manusia modern. Kumpulan puisinya yang berjudul Lalu Batu dan Lalu Waktu dinilai oleh berbagai kalangan penikmat sastra sebagai karya fenomenal. RPD juga telah menulis sebuah buku sastra dengan judul Kebenaran dan Dusta dalam Sastra (Yogyakarta: Lkis, 2004). 14 RPD juga seorang pekerja seni. Sejak duduk di SMP RPD telah menggeluti dunia seni teater di berbagai paguyuban teater baik sebagai pemain, penulis naskah dan sutradara. Pementasan teater yang ia bawakan selalu aktual dengan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia modern, seperti tema pencaharian identitas individu di tengah dunia yang materialis dan modern. 15 Ia adalah seorang sarjana strata dua (S-2) jurusan Sosiologi lulusan EHESS (Ecole des hautes ettuedes en Sciences) Prancis. Dalam jurusan sosiologi yang dijalani ini ia juga mengkaji agama, tentu dengan menggunakan pendekatan yang bukan normatif-tradisional.
dalam pemikiran, namun dalam skripsi ini penulis hanya akan menggali pemikiran RPD yang termuat dalam karya-karya tulisannya dalam bidang keagamaan (Islam) dengan fokus menggali pandangannya seputar Tuhan dan manusia. RPD memiliki ciri khas dalam melahirkan gagasan-gagasan dalam bidang keagamaan. Meskipun ia memiliki latar belakang pendidikan Barat, ia tidak otomatis berpihak kepada paradigma Barat, yang menurut RPD terlalu mengeliminir metabolisme spiritual yang ada di dalam jiwa manusia, dalam menilai agama. Dalam masalah keyakinan dan paham keagamaan, bagi RPD, setiap manusia tidak boleh terikat dan bergantung pada suatu monopoli dan otoritas kebenaran ilmu pengetahun, peradaban dan dogma-dogma agama yang menghegemonik sebagai pilihan hidup,16 lebih-lebih mengikuti satu paham dan keyakinan seseorang, yang dilihatnya sebagai suatu hasil penafsiran atau interpretasi terhadap segala sesuatu. Setiap Muslim, bagi RPD harus mampu dan berhak menafsir sekaligus membentuk keyakinan Islamnya dan tauhidnya masingmasing sesuai dengan kapasitas intelektual, psikologis dan mental. Dalam konteks agama Islam di Indonesia, RPD berusaha mengubah wacana hegemoni paradigmatik intelektual global yang telah masuk dan membentuk nalar kritis intelektual Muslim Indonesia, yakni dengan cara melakukan perubahan paradigmatik-ideologis.17 Usaha-usaha dasar untuk melakukan perubahan paradigmatik-ideologis yang ditawarkan oleh RPD antara lain adalah dengan mengubah cara pandang
16 Wawancara penulis dengan RPD pada tanggal 11 November 2007 pukul 19.00-22.00 WIB di kediaman RPD di perumahan Villa Pamulang, Tangerang, Banten. 17 Radhar Panca Dahana, Jejak Postmodernisme: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia, (Yogyakarta: PT Bintang Pustaka, 2004), cet. I., h. viii.
(persepsi) individu-individu Muslim terhadap dogma agama (fatwa atau tafsir agamawan atau ulama). Bagi sebagian masyarakat Muslim apa yang berasal dari tafsiran seorang agamawan atau ulama adalah sesuatu yang juga dianggap berasal dari Tuhan yang absolut dan maha sempurna. Sedangkan menurut RPD dogma agama (Islam) yang berasal dari agamawan dan ulama tersebut adalah ajaran yang belum tentu murni berasal dari Tuhan, bisa saja tafsiran atas dogma itu adalah kesepakatan antara manusia dengan manusia maupun manusia dengan budaya lokalnya yang berlangsung ketika dogma itu dirumuskan.18 Dalam kasus Islam ditemukan seorang ulama berijtihad dalam menentukan sebuah hukum fiqh, tidak terlepas dari pengalaman empiris ulama tersebut terhadap realitas sosial-kultural-geografis yang ada di sekitarnya.19 Dogma yang ilahiah menurut RPD adalah dogma yang tidak menutup potensi kemanusiaan yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, tetapi sebaliknya justru akan memberikan ruang sebesar dan seluas mungkin bagi tiap manusia untuk mengoptimalkan peran yang sudah difitrahkan kepada manusia.20 Antara lain atas dasar hal-hal di atas, RPD berpandangan bahwa ajaranajaran Tuhan dalam setiap agama sebenarnya adalah ajaran kemanusiaan. Dalam artian, keterlibatan manusia di dalam hukum-hukum Tuhan dalam hal memahami dan menafsir adalah sebuah keniscayaan. Ini tercermin dari konsep Tuhan dalam 18
“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi…’” http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus 2007. 19 Dengan perbedaan budaya yang dihadapi oleh para imam madzhab fiqh, serta mempertimbangkan faktor sosial budaya, maka ditemukan perbedaan-perbedaan bentuk hukum yang ada pada mereka, meski itu dalam satu kasus. Bahkan seorang imam bisa berubah istilah atau metode yang dipakai dalam menentukan produk hukum tatkala ia pindah dari satu daerah ke daerah lain. Baca, Azyumardi azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, cet. I., h. 12. 20 “Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi…’” http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus 2007.
Islam yang menurut RPD diwakili oleh 99 atau yang biasa disebut asmâ’ alhusnâ. Kenapa 99? Karena Islam bukan dan tidak akan menjadi agama yang telah mencapai kesempurnaan tanpa adanya keterlibatan manusia di dalamnya. Dalam tafsiran RPD, angka 99 bukanlah angka yang belum mencapai sempurna, ia harus disempurnakan dengan kehadiran angka satu yang tak lain dan tak bukan adalah manusia. Berbeda dengan konsep ketuhanan pada agama Kristen yang telah berkeyakinan bahwa konsep ajaran ketuhanan mereka telah sempurna dan tidak perlu dilakukan intepretasi oleh manusia. Hal ini terlihat dari bentuk salib yang menurut tafsiran RPD merupakan bentuk lain dari huruf Romawi, X (10) yang artinya Xristos atau sempurna.21 Dalam pandangannya tentang manusia, RPD menilai bahwa manusia dalam pergumulannya dengan peradaban modern kian terseret keluar dari pusat lingkaran eksistensi mereka sendiri. Di sinilah kemudian problem eksistensial mencuat kembali: “bagaimana seorang individu, kelompok, bangsa atau warga dunia menjelaskan dirinya sendiri”22 Problem eksistensial itu akan melahirkan kerinduan manusia untuk mengembalikan kesadarannya kepada bentuknya yang paling amat purba: yaitu mencari dan mendekati Tuhan yang merupakan kodrat pertama manusia. Dalam penjelasannya yang lebih lanjut, RPD menyimpulkan bahwa sebenarnya sudah menjadi kodrat bahwa sebenarnya manusia adalah homo-religius. Dari penjelasan-penjelasan tersebut penulis ingin menguraikan satu bentuk penulisan tentang paradigma keberislaman RPD yang dalam hal ini mengkaji pandangannya tentang Tuhan dan manusia yang ditinjau dari bentuk berteologi 21
Radhar Panca Dahana, “2008” Gatra 7 Januari 2008, h. 106 Radhar Panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia, (Yogyakarta: LKis, 2003), h. 55.
22
Islam di Indonesia ke dalam satu penulisan skripsi dengan judul Paradigma Keberislaman Radhar Panca Dahana (Ditinjau dari Bentuk Berteologi di Indonesia).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Keberislaman RPD adalah hal masih sangat umum sekali. Untuk itu penulis membatasi pembahasan masalah hanya pada seputar pandangan RPD tentang Tuhan dalam Islam dan manusia. Untuk menyamakan variabel penelitian dengan paradigma keberislaman RPD, dalam pembahasan bentuk berteologi pun penulis hanya akan membahas seputar pandangan Tuhan dan manusia menurut masing-masing aliran teologi tersebut. Adapun rumusan masalah yang akan dijawab dalam penulisan skrispsi ini adalah isi pandangan RPD tentang Tuhan dan manusia serta mencari bentuk paradigma keberislaman RPD yang ditinjau dari konteks berteologi di Indonesia.
C. Tujuan penulisan Ada beberapa tujuan dari penulisan karya ilmiah ini. Pertama memperkenalkan isi pemahaman keberislaman RPD dalam hal ini yang terkait dengan kajian tentang Tuhan dan manusia. RPD tergolong sebagai Muslim subaltern atau dengan kata lain Muslim yang pemikirannya tidak menjadi arus utama (mainstream) dalam wilayah kajian doktrinal Islam atau juga bisa dikategorikan sebagai Muslim ‘pinggiran.’ Penulis melihat bahwa selama ini arus utama dalam diskursus keilmuan Islam menjadi terpusat, terhegemoni dan terkontrol oleh agamawan dan
intelektual Islam yang notabene berasal dari kalangan terdidik dalam ilmu-ilmu Islam tradisional. Padahal fenomena masyarakat Muslim menunjukkan bahwa selama ini banyak orang yang menafsirkan dogma agamanya tidak dengan menggunakan metode normatif-tradisional, melainkan juga dengan merujuk kepada metode non-tradisional (antropologi, sosiologi, seni, budaya dan lain-lain) dan atau merujuk kepada hasil pemikiran para pemuka ataupun pemikir-pemikir agama (baik yang dianggap menyimpang maupun yang tidak). Oleh karenanya “Islam sebagai sebuah realitas historis, sosiologis dan kultural tidak pernah tunggal dan monolitik.”23 Untuk itu yang kedua penulis bermaksud memperkaya diskursus keilmuan Islam dengan mengkaji pemikiran orang-orang, dalam hal ini RPD, yang selama ini menjadi margin of history dalam kajian keislaman. Dalam hal ini penulis berharap, para sarjana Islam tidak hanya terpaku untuk meneliti para tokoh-tokoh Muslim yang menjadi arus utama pemikiran Islam, tetapi juga meneliti orangorang yang selama ini dianggap sebagai Muslim pinggiran yang memiliki pemahaman splinter atas Islam, dengan catatan ia telah memiliki karya-karya tertulis untuk, setidaknya, menjadi petunjuk atas bentuk paham keagamaan yang ia anut. Karena dalam realitas historis, sosiologis dan kultural, Islam tidak akan pernah menjadi tunggal dan monolitik. Sisi positif yang bisa diharapkan dari meneliti para Muslim subaltern adalah munculnya kritik konstruktif dan solusif atas kebuntuan pemahaman akan agama (Islam), dalam ruang lingkup dan bidang tertentu, dalam rangka merespon dan memperlakukan peradaban mutakhir ini.
23
Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih” Gatra 6 Desember 2003, h.9.
Dan bukan tidak mungkin bahwa fenomena paradigma keberislaman yang digagas RPD ini mewakili pandangan sejumlah orang yang beridentitas Muslim dengan kemiripan latarbelakang sosio-kultural. Ketiga, tidak ada pemikiran yang terlahir secara sempurna dan terklaim sebagai kebenaran tunggal. Dalam konteks RPD, apa yang dilahirkannya tentu memiliki kekurangan dan kelebihan, untuk itu apa yang dituangkan RPD dalam penulisan karya ilmiah ini seyogyanya dapat dikaji secara lebih kritis dan proporsional dengan menggunakan berbagai sudut pandang.
D. Studi Kepustakaan Memperkenalkan bentuk paradigma keberislaman RPD sebagai Muslim substansialis subaltern yang memfokuskan pemikirannya tentang Tuhan dan manusia sebagai homo-religius yang ditinjau dari bentuk berteologi di Indonesia dalam bentuk penulisan karya skripsi adalah hal baru dan belum pernah ada sebelumnya. Walalupun demikian, bentuk pemahaman dan gagasan RPD tentang agama secara umum dan singkat bisa dibaca dalam wawancara RPD dengan Jaringan
Islam
Liberal
(JIL)
http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944
pada dengan
judul
situs “Radhar
Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi….’” Dalam wawancara tersebut, RPD menjelaskan tentang definisi agama secara fenomenologis-historis, Tuhan dan dogma serta semiotika. Selain
itu,
gagasan
keberagamaan
RPD
juga
tertuang
dalam
wawancaranya dengan koran Jurnal Nasional edisi 013, Miggu IV-April 2007 dengan judul “Pergulatan Hidup Radhar Panca Dahana.” Selain menguraikan
tentang makna hidup, dalam wawancara itu RPD juga menguraikan tentang Tuhan. Sekalipun berbeda dari tulisan-tulisan tersebut, penulisan skripsi ini adalah bentuk pendalaman dan perluasan dari isi gagasan dan pemahaman keberislaman RPD yang memfokuskan kepada pandangan RPD tentang Tuhan dan manusia.
E. Metode Penelitian Karya penulisan skripsi ini menggunakan dua metodologi penelitian, yaitu metode pengumpulan data dan metode pembahasan. Untuk metode pertama, penulis mengumpulkan data-data, literatur dan rujukan melalui studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research) dengan mewawancarai nara sumber secara langsung. Data-data dalam skripsi ini terbagai dua, yakni, data primer yang mengulas tentang pengertian, sejarah kemunculan dan bentuk teologi di Indonesia dan tulisan-tulisan RPD yang terdapat di dalam buku Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia, Menjadi Manusia Indonesia, dan yang terdapat di dalam majalah Gatra24 dengan judul “Keberagaman yang Teperdaya” dan “2008.” Selanjutnya dari data-data primer tersebut, penulis akan memilah dan memilih pembahasan yang mengulas tentang Tuhan dan manusia. Penulis menyadari bahwa data-data primer yang ada di dalam buku maupun majalah tersebut belum mencukupi untuk menjelaskan pandangannya seputar Tuhan dan manusia dalam penulisan karya ilmiah ini. Untuk lebih menegaskan lagi tentang pandangan-pandangan RPD, maka penulis harus mengambil data-data yang ada di dalam wawancara RPD dengan berbagai media
24
Masing-masing dimuat pada 3 Oktober 2007 dan 7 Januari 2008.
cetak maupun internet. Pertama wawancara RPD dengan Burhanuddin dari Jaringan Islam Liberal di situs www.islamlib.com dengan judul “Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi….” Kedua wawancara RPD dengan koran Jurnal Nasional25 dengan judul “Pergulatan Hidup Radhar Panca Dahana,” ketiga wawancara RPD dengan majalah Alkisah26 dengan judul “Radhar Panca Dahana: ‘Saya adalah Karyawan Allah’,” dan terakhir wawancara khusus penulis dengan RPD27 Sedangkan untuk data sekunder penulis menggunakan rujukan pendukung yang bersumber dari buku dan tulisan lain yang termuat dalam jurnal, majalah, koran sebagainya. Selain itu, data sekunder dari tulisan-tulisan lain baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri yang masih terkait dengan pembahasan tetap akan penulis gunakan dalam pembahasan ini. Setelah data-data yang diperlukan dianggap lengkap, penulis melakukan pembahasan
dengan
cara
deskriptif-analitis-personal,
yaitu
menjelaskan,
menguraikan dan memaparkan masalah beserta aspek pentingnya dengan menggunakan nalar penulis. Untuk lebih memperdalam analisis, penulis menggunakan pendekatan hermeneutik, yang terbagi dalam dua metode. Pertama, hermeneutika kecurigaaan (interpretation as excercise of suspention) atau penafsiran sebagai latiahan kecurigaan. Kedua, penafsiran sebagai upaya untuk mencari kembali makna (interpretation as recollection of meaning).
25
Jurnal Nasional edisi 0131 Minggu, IV April 2007. Alkisah No. 4 / 1-14 September 2003. 27 Wawancara yang langsung terfokus kepada bahasan pokok skripsi dilakukan pada dua kali pertemuan. Pertama pada tanggal 11 November 2007, wawancara ini khusus membahas tentang pandangan RPD tentang Tuhan dan manusia serta agama secara umum. Wawancara kedua pada tanggal 25 November 2008 yang mengetengahkan sejarah singkat RPD sebagai seorang Muslim, yang bergelut di dunia seni teater, sastra dan penulisan. 26
Adapun untuk teknik penulisan karya ilmiah ini, penulis merujuk pada buku pedoman penulisan skripsi, tesis dan disertasi yang disusun oleh tim penyusun dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006 ditambah arahan dari pembimbing untuk melengkapi pedoman Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
F. Sistematika Penulisan Untuk lebih memudahkan pembahasan, skripsi ini disusun sesuai dengan alur pembahasan yang komprehensif dan sistematis yang bersandar kepada babbab dan sistematika penulisan yang dapat dilihat di dalam daftar isi.
BAB II BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA A. Pengertian Teologi secara Umum Istilah teologi28 di dunia Islam lebih dikenal dengan ‘ilm al-kalâm,29 yang secara harfiah adalah pembicaraan yang membahas kredo Muslim yang sangat prinsip seperti ketauhidan, kenabian dan eskatologis.30 Menurut Ahmad Hanafi penggunaan istilah ‘ilm al-kalâm adalah untuk membahas kredo dasar Islam, karena pertama, persoalan terpenting yang menjadi fokus pembahasan adalah firman Tuhan (kalâm Allah). Kedua dasar ‘ilm al-kalâm adalah dalil-dalil pikiran yang dijelaskan melalui pembicaraan-pembicaraan, dan ketiga untuk membedakan antara logika dalam filsafat.31 Sedikit berbeda dengan Ahmad Hanafi, menurut Harun Nasution, teologi adalah ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Dalam istilah Arab teologi memiliki banyak sebutan, yakni ushûl al-dîn (ilmu yang mempelajari dasar-dasar agama), ‘aqâ’îd (keyakinan dasar), ‘ilm al-tawhîd (keesaan atau monoteisme) dan terakhir adalah ‘ilm al-kalâm. 28 Secara etimologis teologi berasal dari kata Yunani, theo berarti Tuhan dan logos berarti akal, pikiran, ucapan dan pembicaraan. Dari konteks itu teologi mempunyai pengertian ilmu atau pembahasan tentang Tuhan, Hasbullah Mursyid, “Aliran Khawarij dan Splinter Group” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), h. 114. Istilah teologi yang dipakai sekarang sebenarnya telah lama ada. Istilah ini digunakan oleh para pemikir (intelektual) keagamaan di Yunani untuk menjelaskan soalsoal keagamaan (Tuhan dan dewa-dewa). Istilah teologi bisa juga bisa digunakan untuk menguraikan tradisi masyarakat yang tidak bertuhan (ateistik) ataupun kepada tradisi non-theistik, seperti Hindu, Budha dan Tao, baca David Tracy, “Theology: Comparative Theology,” dalam Mircea Eliade, et.al., The Encyclopedi of Religion, vol. 13., (New York: Macmillan Library refference, 1993), print number 10, h. 446. 29 Terminologi ‘ilm al-kalâm kali pertama digunakan pada masa pemerintahan rezim ‘Abbâsiyyah, tepatnya ketika khalifah al-Makmûn menjabat. Sebelumnya, pembahasan masalah kepercayaan dalam Islam menggunakan istilah, antara lain al-fiqh fî al-dîn dan al-fiqh al-Akbar, baca Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), cet. 12., h. 4 30 Parviz Morewegde, “Teologi” dalam John L. Espositto ed., Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, jil. 6, terj. Eva Y.N., dkk., (Bandung: Mizan, 2001), h.14. 31 Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), h. 5
‘Ilm al-kalâm, kata Harun Nasution, memiliki dua pengertian, yaitu bila kata kalâm yang dimaksud merujuk kepada sabda Tuhan, maka pengertian teologi dalam Islam adalah persoalan sabda Tuhan (al-Qur’ân), namun jika istilah alkalâm merujuk kepada kata-kata manusia, maka pembahasan ‘ilm al-kalâm adalah pendapat atau jalan pikiran dari manusia yang berpendapat itu.32 Harun Nasution juga menyatakan teologi adalah ilmu yang membahas masalah-masalah yang fundamental dalam setiap agama, terutama masalah Tuhan. Teologi akan memberikan keyakinan yang kuat pada sesorang tentang ajaran agama yang dianutnya, dengan tujuan agar keyakinanya tidak mengalami ambiguitas dan skeptis atas tantangan dan perubahan Zaman.33 Secara umum teologi mengandung, “Pertama, analisis tentang konsep Tuhan; kedua, bukti ontologis dan kosmologis keberadaan Tuhan; ketiga, kosmologis hubungan antara Tuhan dan dunia; keempat, etika teodisi perintah Tuhan dalam kaitan dengan kehendak bebas, determinisme, nasib, kebaikan, keburukan, hukuman dan ganjaran; kelima aspek pragmatis dari bahasa agama dan fungsi khusus dari fakultas imajinasi yang secara istimewa terdapat pada para nabi, mistikus dan para pewaris nabi; keenam hubungan antara penalaran dan wahyu; dan ketujuh aspek politik dari penarapan hukum Tuhan ilahi dalam masyarakat.34
32
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta UI Press, 1972), cet. II., h. ix. 33 Harun Nasution, Teologi Islam, h iv 34 Parviz Morewegde, “Teologi,” h. 14.
Di dalam Islam, persoalan teologi lahir35 karena politik, terutama perdebatan mengenai siapakah yang berhak menjadi pemimpin ummat Islam terutama sesudah ‘Umar ibn Khaththâb wafat. Di sini terdapat beberapa kubu yang berambisi menduduki rezim kekuasan Islam, yaitu antara lain kubu ‘Ustmân ibn ‘Affân dan ‘Alî ibn Abû Thâlib serta tidak ketinggalan beberapa kubu lainnya yang juga mengklaim lebih berhak untuk menduduki rezim pemerintahan, seperti kubu ‘Â’isyah.36
35 Kelahiran teologi Islam memang telah disepakati banyak intelektual adalah karena alasan politik, namun demikian, ada beberapa tokoh yang tidak mengamini secara eksplisit bahwa politiklah faktor pemicu dominan bagi kelahiran teologi. Seperti Nurcholish Majdid atau yang biasa disapa Cak Nur, menegaskan persoalan kelahiran teologi karena sebab skisme (perpecahan) di dalam tubuh ummat Islam yang berpuncak pada tewasnya ‘Ustmân ibn ‘Affân, dan bukan menyatakannya langsung dengan istilah sebab politis. Justru karena sebab skisme dalam Islam inilah yang kemudian menumbuhkembangkan ummat Islam dalam berbagai bidang seperti politik, sosial dan keagamaan. ‘Ilm al-kalâm, yang oleh Cak Nur didefinisikan sebagai pembicaraan nalar yang menggunakan logika, pada awalnya adalah untuk keperluan penalaran logis bagi orang-orang yang mendukung dan melakukan pembunuhan terhadap ‘Ustmân ibn ‘Affân, menurut para pendukung dan pelaku pembunuhan, mengapa ‘Ustmân layak dibunuh karena ia telah berbuat dosa besar dengan menjalani pemerintahan dengan tidak adil, sedankan dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran adalah perbuatan menentang Tuhan, maka ‘Ustmân wajib dibunuh, baca Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernenan (Jakarta: Paramadina, 1992), cet. 2., h. 203. Sementara itu, menurut Seyyed Hossein Nasr, kelahiran teologi yang berfungsi untuk menunjang kepercayaankepercayaan prinsipil di dalam Islam secara tradisional adalah oleh ‘Alî ibn Abû Thâlib. Karya ‘Alî, al-Nahj al-Balâghah, kata Nasr adalah karya pertama yang dapat membuktikan keesaan Tuhan yang mengikuti di belakang al-Qur’ân dan Hadîst, Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick, Islam Intelektual: Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, terj. Tim Perenial (Depok: Perenial Press, 2001), cet. 2., h. 18. Berbeda dengan Cak Nur dan Nasr, Fazlur Rahman, meskipun secara samar ia tetap mengakui bahwa persoalan politik merupakan pemicu bagi kelahiran teologi Islam, namun persoalan politis, kata Rahman tidak bisa dijadikan sebagai faktor pemicu yang dominan bagi kelahiran teologi Islam. Kata dia, kelahiran teologi juga dimunculkan oleh sebab pergolakanpergolakan pemahaman ummat Islam terhadap al-Qur’ân dan Hadîst pada masa ‘Ustmân dan ‘Alî. Pergolakan pemahaman atas kedua sumber hukum Islam itu bertambah dalam dan luas ketika daulat Umayyah berkuasa. Pergolakan pemahaman atas al-Qur’ân dan Hadîst dipicu oleh pertanyaan “apakah seorang Muslim dapat disebut sebagai Muslim setelah ia melakukan dosa besar? Atau, apakah iman dalam hati saja sudah cukup atau haruskan ia dinyatakan dalam perbuatan.” Hal ini yang kemudian, menurut Rahman, bisa disebut sebagai salah satu pemicu utama kelahiran teologi Islam, Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung; Pustaka, 1994), cet. 2., h.117. 36Harun Nasution, Teologi Islam, h. 3-4. ‘Â’isyah adalah salah satu istri Nabi Muhammad yang menentang pengangkatan ‘Alî ibn Abû Thâlib sebagai khalifah selepas ‘Ustmân ibn ‘Affân. ‘Â’isyah berusaha keras menolak pengangkatan itu dengan menyokong Thalhah dan Zubayr. Kubu ‘A’isyah dapat ditumpas ‘Alî dalam pertempuran di Irak pada tahun 656, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 4.
Dari persoalan politis di kalangan ummat Islam yang tidak bisa didamaikan, lahirlah aliran-aliran yang awalnya memperdebatkan mekanisme arbitrase antara kubu ‘Alî dan Mu‘awiyah37 yang menurut sebagian mereka tidak sah, karena tidak sesuai dengan hukum Tuhan (al-Qur’ân). Perdebatan ini kemudian mengalir ke ranah siapa yang kafir dan yang mukmin serta siapa yang berdosa dan tidak. Saling menuduh kesalahan (kafir-dosa) dan saling mengklaim kebenaran (mukmin-pahala) antar golongan Muslim, membuat masing-masing kubu yang bertikai membentuk aliran-aliran teologi yang masing-masing memiliki isi pandangan yang berbeda tentang persoalan-persoalan keyakinan dasar keislaman yang kemudian dijadikan dasar pijakan oleh mereka dalam menjalankan aktivitas keseharian (politik, ibadah, ekonomi dan lain sebagainya).
37‘Alî merupakan adik sepupu dan menantu Nabi Muhammad, yang diangkat sebagai khalîfah setelah ‘Ustmân wafat. Namun, oleh pihak-pihak pendukung ‘Ustmân, ‘Alî dicurigai ikut terlibat dalam pembunuhan ‘Ustmân melalui anak angkatnya Muhammad ibn Abû Bakr. Karena ketidakpuasan terhadap kepemimpinan ‘Alî, banyak pihak, terutama para pendukung ‘Ustmân dari kubu Mu‘awiyah (keluarga dekat ‘Ustmân yang juga gubernur Damaskus) melakukan pemberontakan, meskipun pada akhirnya para kubu pemberontak ini kalah dalam peperangan Shiffîn. Karena terdesak kalah, lobilobi politik pun dilancarkan oleh kubu Mu‘awiyah yang dalam hal ini diwakili oleh ‘Amr ibn al-‘Âsh untuk melakukan arbitrase, sementara pihak ‘Alî diwakili oleh Mûsâ alAsy‘arî. Dalam arbitrase tersebut dimufakati bahwa kedua kubu akan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan. Namun, karena kelicikan ‘Amr ibn al-‘Âsh, hanya Mûsâ alAsy‘arî yang menyatakan penjatuhan terhadap ‘Alî, sedangkan ‘Amr mengamini apa yang dinyatakan Mûsâ, sehingga secara de facto, jatuhlah ‘Alî sebagai khalîfah, yang kemudian digantikan oleh Mu‘awiyah ibn Abû Sufyân, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 6-7.
Menurut catatan sejarah, terdapat aliran-aliran teologi penting di dalam Islam yang mempengaruhi pola pikir keberagamaan individu Muslim. Aliran itu adalah Khawârij,38 Murji‘ah,39 Mu‘tazilah,40 Asy‘ariyyah41 dan Mâtûrîdiyah.42 Hingga kini hanya Asy‘ariyyah dan Mâtûrîdiyyah yang keduanya biasa disebut
38Kelompok Khawârij, pada mulanya terdiri orang-orang yang patuh terhadap ‘Alî. Namun, setelah proses arbitrase tersebut, mereka memandang ‘Alî telah berbuat salah dan berbuat dosa besar, sehingga orang-orang yang pada mulanya patuh kepada ‘Alî, mulai memisahkan diri atau keluar dari barisan (Khawârij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar). Setelah memisahkan diri dari kelompok ‘Alî, kaum ini memilih ‘Abdullâh ibn Abû Wahb al-Rasyîdî sebagai imâm mereka. Terlalu sulit untuk menyimpulkan paham-paham teologis yang dianut kubu ini, karena dalam perkembangan, kelompok Khawârij terpecah menjadi 18 subsekte, namun bila merujuk kepada awal perkembangannya, kelompok ini hanya menerima dua khalîfah, yakni Abû Bakr dan ‘Umar ibn Khaththâb sebagai yang masih Muslim, sedangkan para pemimpin berikutnya dianggap kafir, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 13-14. Baca juga Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 205 39Berbeda dengan kelompok Khawârij yang setelah proses arbitrase justru memusuhi ‘Alî, kelompok Murji‘ah merupakan penyokong-penyokong yang tetap setia kepada ‘Alî. Dalam perkembangannya Murji‘ah lebih dikenal dengan nama Syî‘ah. Golongan ini dibagi menjadi dua golongan besar, yakni golongan moderat dan ekstrem. Menurut salah satu paham golongan moderat, orang Islam yang berdosa tetap Mukmin, tetapi akan tetap dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya. Yang termasuk ke dalam golongan moderat adalah al-Hasan ibn Muhammad, Abû Hanîfah dan Abû Yûsuf. Sementara itu golongan ekstrem memiliki pandangan antara lain, orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidak akan menjadi kafir, karena tempat iman dan kekufuran hanya di dalam hati, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 24-28. 40Mu‘tazilah merupakan ajaran sistemik pertama dari lingkungan ulama tradisional yang didirikan oleh Wâshil ibn ‘Athâ’ pada abad ke-2 Hijriah. Kelompok ini mengusung paham rasionalis dan pentingnya kehendak bebas manusia, baca Seyyed Hossein Nasr, Islam Intelektual, h. 20. selanjutnya tentang aliran Mu‘tazilah dapat dibaca juga pada sub bab “Teologi Rasional” pada bab ini. 41Pendiri aliran ini, Abû al-Hasan al-Asy‘arî, semula merupakan pengikut aliran Mu‘tazilah. Namun tanpa alasan yang begitu jelas, hanya lewat mimpi saja, al-Asy‘arî meninggalkan aliran Mu‘tazilah. Pembentukan aliran ini pada abad ke-3 merupakan reaksi kelompok rasionalis Mu‘tazilah yang oleh khalîfah pada saat itu, yakni al-Ma’mûn, dijadikan sebagai landasan wajib bagi ummat Islam dalam berpikir, baca Seyyed Hossein Nasr, Islam Intelektual, h. 25. Kelompok Asy‘ariyyah yang juga dinamakan dengan aliran Sunnî klasik ini merupakan pelopor aliran ketidakpastian. Mereka yakin bahwa serangkaian peristiwa yang terjadi di alam dunia ini merupakan kehendak Tuhan. Kubu ini juga menolak etika rasionalis dan berpendapat bahwa manusia tidak mampu memahami logika kebaikan dan keburukan, sebab keduanya berasal dari Tuhan, Parviz Morewegde, “Teologi,” h. 19. 42Selain Asy‘ariyyah, kelompok yang diberi nama dengan sebutan Sunnî klasik adalah kelompok Mâtûrîdiyyah yang tahun kelahirannya hampir sama dengan kelompok Asy‘ariyyah. Aliran ini diketuai oleh Abû Manshûr Muhammad al-Mâtûrîdî dari daerah Samarkand di Transoxiana. Isi paham ini hampir serupa dengan Asy‘ariyyah dalam pandangan pokoknya, namun dalam hal-hal penting tertentu mereka sangat berbeda. Misalnya, dalam hal perbuatan manusia, Mâtûrîdiyyah sebagaimana Asy‘ariyyah berpendapat bahwa semua itu adalah kehendak Tuhan, namun Mâtûrîdiyyah berpandangan bahwa perbuatan jahat tidaklah diiringi oleh ridha Tuhan, Fazlur Rahman, Islam, h. 128.
sebagai Islam Sunnî atau Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah43 yang masih memiliki wujud. Namun, seiring masuknya paham rasionalisme ke dunia Islam melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran Mu‘tazilah yang bersifat rasional mulai timbul
kembali,
terutama
di
kalangan
cerdik-cendekia
Muslim
yang
berpendidikan Barat.44
B. Pengertian Teologi Islam di Indonesia Sebenarnya pengertian teologi Islam di Indonesia adalah sama dengan pengertian teologi secara umum, yaitu membahas tentang konsep Tuhan, kenabian, perintah Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak bebas, nasib, kebaikan, keburukan, wahyu dan nalar, Hari Akhir dan lain sebagainya.45 Namun, pengertian teologi Islam di Indonesia lebih dimaknai sebagai sebuah gerakan pembaruan pemikiran dalam rangka merespon perubahan zaman yang umumnya dilakukan oleh intelektual muda berpendidikan modern (baik di dunia Timur atau Barat). Para intelektual muda tersebut mencoba merumuskan landasan teologis, yang selama ini dianggap formalis, legalistis dan normatif, untuk membuat penyesuaian antara Islam dan realitas sosial-budaya Indonesia.46 Pengertian teologi di Indonesia terutama yang disuarakan oleh gerakan pembaharuan Islam adalah persoalan yang terkait dengan pembaharuan pemikiran
43Dalam
lapangan teologi Islam, Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah adalah aliran yang terdiri dari kelompok Sunnî Klasik, yakni Asy‘ariyyah dan Mâtûrîdiyyah. Kata-kata alSunnah dan al-Jamâ‘ah sendiri telah dijumpai di dalam tulisan-tulisan Arab jauh sebelum kelompok Asy‘ariyyah dan Mâtûrîdiyyah muncul. Kata al-sunnah berarti kelompok ini percaya terhadap hadîst shahîh tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Sedangkan kata al-Jamâ‘ah berarti paham ini dianut oleh mayoritas ummat Islam, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 65. 44 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 11. 45 Parviz Morewegde, “Teologi,” h. 14. 46 Jamhari, "Islam di Indonesia," dalam Taufiq Abdullah dkk., ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. , (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve), h. 346.
Islam
yaitu
pandangan
seputar
pandangan
bagaimana
keislaman
dan
keindonesiaan dapat bersinergi.47 Namun perumusan pandangan berteologi di Indonesia tidak selalu merujuk kepada kalâm Tuhan (al-Qur’ân) sebagai fokus perbincangan, tetapi juga pemikiran (ijtihâd) dari para agamawan dan intelektual Muslim baik yang klasik maupun kontemporer. Secara spesifik, dalam kajian Islam modern di Indonesia, persoalan pemikiran pembaharuan Islam (teologis) dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu Indonesia dan modernitas versus Islam. Mengenai latar belakang kemunculan bentuk atau corak teologi di Indonesia akan didalami pada pembahasan berikutnya.
C. Sejarah Kemunculan Corak Berteologi di Indonesia Kemunculan aliran teologi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah kedatangan Islam yang dibawa para pedagang Persia dan Arab pada sekitar abad ke-12 atau 13 di Nusantara ini.48 Namun, di sisi lain faktor eksternal berupa pengaruh kondisi sosio-historis dan kultural tertentu 49 juga merupakan faktor penting dalam kemunculan corak berteologi di Indonesia. Secara historis aliran teologi yang kali pertama muncul di Indonesia sejak awal abad ke-12 adalah teologi Asy‘ariyyah. Ini terlihat dari para pedagang
47
Jamhari, "Islam di Indonesia," h. 347. Tidak ada yang dapat memastikan kedatangan Islam ke Nusantara untuk kali pertama, namun abad ke-12 dan 13 adalah abad yang cenderung dipilih oleh para sejarahwan bagi kedatangan Islam ke Nusantara ini. Selain itu, para ahli sejarah juga berdebat dalam kesimpulan tentang cara bagaimana Islam datang ke negeri ini. Sebagian ahli sejarah menegaskan bahwa Islam tiba di Nusantara melalui para pedagang yang berasal dari benua India. Namun, para ahli sejarah yang lain menyatakan bahwa Islam datang di Nusantara ini sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi langsung dari Arabia. Untuk kajian lebih lanjut tentang kedatangan Islam ke Nusantara dan melalui medium apa Islam datang, dapat dibaca di Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah da Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia, (Jakarta: Prenada, 2005), edisi revisi, cet. Ke-2., h. 2-19. 49 Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltren,” Gatra 6 Desember 2003, h. 8. 48
Muslim, baik itu dari benua India maupun Arabia yang masuk ke Indonesia kebanyakan beraliran madzhab Syâfi‘î dan sebagian lagi adalah Hanafî50. Menurut Harun Nasution, teologi Asy‘ariyyah dan Mâtûrîdiyyah umumnya banyak dianut oleh individu Muslim yang menganut Madzhab Syâfi‘î dan Hanafî.51 Sejak abad ke-12 di bumi Nusantara ini sudah terjadi gerakan Islamisasi di Nusantara yang dilakukan oleh gerakan teologi Asy‘ariyyah.52 Namun gerakan ini tidak sepenuhnya berhasil. Ini dikarenakan, meskipun sebagian masyarakat Nusantara khususnya Jawa telah menganut Islam pada abad ke-14,53 mereka telah menganut teologi yang dinamakan oleh Fauzan Saleh, sebagai teologi pra-Islam. Teologi ini sangat dipengaruhi oleh orientasi mistik keyakinan Jawa kuno. Berbeda dengan teologi Asy‘ariyyah yang meyakini Tuhan adalah transenden, teologi pra-Islam berkeyakinan bahwa Tuhan adalah imanen.54 Meskipun mendapatkan ganjalan dari keberadaan teologi pra-Islam dalam penyebarannya, sejak saat itu teologi yang mengusung pemurnian Islam ini semakin berkembang luas di Indonesia. Dan kemudian menemukan titik awal perkembangan yang pesat sejak abad ke-17, atau tepatnya ketika sebagian muslim Indonesia yang belajar dari Timur Tengah, terutama Arab (Makkah dan Madînah) pulang ke Indonesia.55 Pada abad ke-18 terkait dengan datangnya kolonialisme Belanda, muncul teologi jihad yang diprakarsai oleh gerakan tasawuf yang dalam hal ini dipelopori oleh Syekh Abd al-Shamad al-Palembani. Gerakan teologi jihad mencapai 50
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, h. 4. Harun Nasution, Teologi Islam, h.13 52 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. 1., h. 45. 53 Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 63-64. 54 Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 66-67 55 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 47. 51
puncaknya pada tahun 1888 ketika dua aliran tarekat yakni Naqsybandiyyah dan Qâdiriyyah melakukan pemberontakan di Cilegon, Banten melawan Belanda. Sekitar abad ke-19 teologi jihad juga terlihat pada gerakan Pangeran Diponegoro di Jawa dan di Minangkabau yang dipelopori oleh kaum Padri. Teologi jihad paska penjajahan Belanda, pada akhirnya diarahkan sasarannya kepada ummat Islam sendiri. Teologi tersebut diyakini berafiliasi dengan gerakan Wahhâbî di Arab Saudi yang mengusung pemurnian kembali (repurifikasi) Islam sebagaimana yang telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.56 Proses repurifikasi Islam pada abad ke-19 yang dilakukan oleh gerakan teologi jihad dan sejumlah ulama yang pernah belajar di Timur Tengah, terutama di Makkah dan Madînah, lebih menekankan aspek formal-ritual ketimbang hakikat Islam. Hal ini tidak mengherankan, karena sejak abad ke-12 teologi Asy‘ariyyah telah mendominasi paradigma keislaman kebanyakan ummat Islam Nusantara dan memulai titik perkembangan yang amat pesat sejak abad ke-17. Dominasi
teologi
Asy‘ariyyah
yang
dikategorikan
sebagai
aliran
tradisionalisme57 yang menganut paham predestinasi58 terus berlanjut hingga Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagian dari kalangan penganut teologi tradisionalisme ini mulai masuk ke ranah politik-kenegaraan. Tujuannya 56
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 44-49. Teologi Asy‘ariyyah kemudian mendapat kritik dari kalangan ummat Islam Indonesi karena sifatnya yang cenderung mengikuti bentuk teologi Jabâriyyah dalam masalah takdir (predestination). Teologi Asy‘ariyyah dianggap bertanggung jawab atas lemahnya etos sosial ekonomi ummat Islam Indonesia yang cenderung menyandarkan segala bentuk kehidupan pada kekuasaan Tuhan. Manusia tidak lebih berperan sebagai wayang yang diatur oleh dalangnya. Pergeseran cara pandang ummat Islam Indonesia terhadap teologi Asy‘ariyyah ini terlihat sejak abad ke-18. 57 Penggunaan kata tradisionalisme atas teologi Asy‘ariyyah, dikarenakan kebanyakan dari mereka adalah masih terikat kuat dengan pemikiran ulama ahli tawhîd, fiqh, Hadîst, tasawuf dan tafsîr yang hidup antara abad ke-7 hingga abad ke-13, Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 48-49. 58 Penganut paham ini meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang tidak berkuasa dan tidak mampu berkehendak atas sesuatu apapun, melainkan atas kuasa dan kehendak Tuhan, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 107.
adalah agar Indonesia dijadikan sebagai negara Islam yang berazaskan kepada alQur‘ân dan Hadist,59 salah satu alasannya adalah karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Selanjutnya oleh kalangan intelektual, mereka diidentifikasi menjadi golongan teologi formalis-legalistis, teologi normatif dan teologi ortodoks.60 Dalam peta pemikiran Islam kekinian, nama teologi Asy‘ariyyah memang telah hampir redup dalam perbincangan akademis. Kini oleh sebagian intelektual Muslim, golongan yang menyerupai teologi Asy‘ariyyah, karena memiliki paham seperti predestinasi, teosentris,61 fatalistis, skriptualis dan fiqh oriented,62 dikategorikan sebagai aliran teologi tradisionalisme, formalistis-legalistis,63 normatif,64
59
ortodoks65
bahkan
konservatisme.66
Selanjutnya
untuk
Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 346. Teologi yang mengusung semangat pemurnian kembali Islam seperti yang disyariatkan di dalam al-Qur’ân dan oleh Nabi Muhammad serta menolak keras sinkretisme dan bid‘ah di dalam agama, baca Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 25. 61 Paham yang meyakini bahwa segala sesuatu kejadian atau perubahan hanya berpusat pada Tuhan. Manusia tidak memiliki kehendak apapun untuk mengubah diri dan keadaannya, baca Zamakhsyari Dhofier, “Teologi Asy‘ari dan Pembangunan,” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), h. 42. 62 Pemahaman keagamaan yang hanya bersandar kepada fatwa-fatwa yang terdapat di dalam empat madzhab fiqh. Pemahaman keagamaan ini diyakini sebagai salah satu pemicu utama kemunduran yang dialami ummat Islam Indonesia, Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. 3., h. 62-65. 63 Golongan ini juga memfokuskan diri pada perjuangan untuk menjadi Islam sebagai ideologi negara, Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 346. Penekanan paham keagamaan ini juga terletak pada ketaatan formal dan hukum agama. Dan setiap ekspresi keagaman harus diwujudkan secara eksplisit, seperti pembentukan bank-bank Islam, asuransi Islam dan lain sebagainya. Di sisi lain mereka cenderung mengadopsi tradisi-tradisi Arab yang dianggap sebagai warisan Nabi Muhammad, seperti memelihara jenggot dan lain-lain, baca Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 9. 64 Paham Islam yang berangkat dari teks yang tertulis di dalam kitab suci. Paham ini sangat meyakini bahwa keterpurukan yang menimpa bangsa Indonesia dapat ditemukan solusinya di dalam kitab suci dan Hadîst. Mereka sangat menolak usaha penafsiran yang dilakukan oleh kalangan Muslim liberal, baca Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 9-10. 65 Istilah ortodoks sendiri merupakan pinjaman dari istilah dalam lembaga keagamaan dalam tradisi Kristen yang berwenang untuk merumuskan suatu doktrin sebagai kebenaran resmi. Secara umum pengertian tentang ortodoks adalah keyakinan yang benar dan keimanan yang murni sesuai dengan ajaran dan arahan dari pemilik kewenangan mutlak, baca Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 77-78. Aliran teologi ortodoks ini mengusung semangat pemurnian kembali Islam seperti yang disyari‘atkan di dalam al-Qur’ân dan oleh Nabi Muhammad serta menolak 60
mengidentifikasi teologi yang identik dengan paham ajaran Asy‘ariyyah penulis akan menggunakan istilah yang telah dipakai oleh Harun Nasution dan Fachry Ali, yaitu dengan teologi tradisional.67 Azyumardi Azra menilai tidak tepat jika ada anggapan yang berpendapat bahwa teologi Asy‘ariyyah tidak mendorong terjadinya dinamika perubahan dalam masyarakat Islam Indonesia dan justru mendorongnya ke arah kemunduran. Meskipun bila dilihat secara teoritis, tuduhan itu sangat mendasar sekali dikarenakan adanya peningkatan aktivisme yang cukup menonjol di kalangan Muslim, baik dalam bidang politik, ritual keagamaan, budaya dan ekonomi yang landasan aktivitasnya belum tentu berafiliasi ke dalam teologi Asy‘ariyyah.68 Sebagian kalangan, terutama masyarakat Muslim terdidik modern, mulai resah dengan dominasi dan hegemoni teologi tradisional yang telah mendarah daging dalam keyakinan dan pemikiran ummat Islam kebanyakan, sehingga membuat ummat Islam Indonesia mengalami kebuntuan dan kemunduran dalam berbagai bidang. Pernyataan mereka didasari oleh sebuah pandangan bahwa persoalan teologis dalam masyarakat Islam merupakan soal yang sangat amat sensitif, karena meyangkut masalah keyakinan beragama, dan juga faktor determinan dalam progresifitas ummat Islam Indonesia, karena pendirian teologis merupakan upaya untuk mencetak pola perilaku dan struktur keyakinan, selain, tentunya
keras sinkretisme dan bid‘ah di dalam agama. Oleh sebagian peneliti keagamaan, sebutan ortodoksi Indonesia bisa melekat pada kelompok yang digolongkan tradisionalis maupun modernis, yang dalam hal ini oleh M. Howard Federspiel adalah kelompok Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis), Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 24-25. 66 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 49. 67 Istilah tradisionalisme berasal dari kata tradisi yang berarti segala sesuatu, baik itu kepercayaan, kebiasaan, ajaran yang turun-temurun dari nenek moyang, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 1088. 68 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 46.
sebagai rasionalisasi atau justifikasi bagi tindakan-tindakan sosial dan program pembangunan yang telah direncanakan.69 Kalangan sarjana Muslim menilai dengan pemahaman beragama yang masih didominasi dan dihegemoni oleh pemahaman tradisionalisme akan membuntukan
jalan
pembangunan
Indonesia,
yang
mengakibatkan
keterbelakangan ummat Islam dalam berbagai bidang, terutama ekonomi, politik serta sains dan teknologi. Dalam abad modern ini, ummat Islam Indonesia dihadapi oleh dua problem besar, yaitu Indonesia dan modernitas versus Islam.70 Teologi tradisional yang masih menganut paham tradisionalisme-teosentris-skripturalis diyakini tidak akan mampu menemukan kesesuaian di antara dua problem besar itu. Sebab mereka masih terkunci oleh pemahaman sempit bahwa modernisasi di Indonesia akan meminggirkan peran agama dan merusak nilai-nilai yang ada di dalamnya.71 Dengan kerangka tersebut beberapa pemikir Muslim Indonesia mulai berbicara untuk merumuskan sebuah teologi baru yang kondusif dan dapat menopang modernisasi dan pembangunan dalam bidang ekonomi. Dalam ide mereka, para pemikir itu mengharapkan adanya teologi yang lebih kontekstual dengan perkembangan situasi modern.72 Meskipun gerakan pembaharuan Islam Indonesia telah muncul sejak awal abad ke-20, namun awal 1970 adalah periode penting bagi perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Menurut Greg Barton, Indonesia mengalami
69
Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam Kontemporer” dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, (Bandung: Mizan, 1996), h. 84. 70 Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru,” h. 74. 71 Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 347. 72 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 46.
kebangkitan yang amat progresif dan begitu memiliki masa depan dalam pemikiran keagamaan. Dikatakannya, bahwa kebangkitan ini juga bukan petanda bahwa Islam akan kembali ke zaman 1950 di mana kelompok Islam tertentu menginginkan azas Islam sebagai ideologi negara. Islam yang bangkit pada tahun 1970 adalah Islam kontekstual dan substansial, yang memiliki ciri moderat, liberal dan progresif.73 Gerakan yang dimotori oleh para intelektual menyerukan tentang pembaharuan pemikiran Islam itu oleh Barton diidentifikasi sebagai gerakan neomodernisme. Mereka yang dikategorikan masuk ke dalam gerakan ini adalah pemikir-pemikir yang memiliki pengaruh kuat atas setiap gagasan pembaharuan pemikiran Islam yang keluar dari masyarakat Islam Indonesia. Mereka adalah Nurcholish Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib. Menurut Barton, sebenarnya banyak tokoh-tokoh Islam, selain yang telah disebutkan di atas, dapat digolongkan ke dalam komunitas pemikir neomodernisme, seperti, Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rakhmat dan Masdar F. Mas’udi. Tetapi mereka ini lebih memilih untuk tidak menggunakan istilah neomodernisme, yang awalnya dipopulerkan oleh media massa di luar keinginan mereka sendiri.74 Selain tokoh-tokoh yang telah disebutkan Barton, ada tokoh Islam lainnya yang juga memiliki pengaruh kuat dalam hal pemikiran di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, yakni Harun Nasution. Karena dalam karyanya, ia banyak
73 Greg Bartoh, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nucholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 3-4. 74 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 8-11.
memaparkan teologi Mu‘tazilah dan tokoh-tokoh kontemporer yang beraliran Mu‘tazilah, seperti Muhammad ‘Abduh,75 maka Harun oleh sebagian intelektual Islam kerap digolongkan sebagai Muslim berteologi rasional. 76 Berbeda dengan kelompok rasional yang oleh Fachry Ali digolongkan ke dalam kelompok modernisme Islam yang cenderung terfokus ke dalam perdebatan sektarian, seperti Muhammadiah, Persatuan Islam, Sunnî dan non- Sunnî, gerakan neo-modernisme lebih bersifat kultural, karenanya gerakan neo-modernisme disebut sebagai gerakan yang bersifat moderat, karena ia mampu memadukan antara paham modernisme Islam dengan tradisionalisme. Azyumardi Azra berpandangan bahwa penggolongan terhadap bentukbentuk teologi ini adalah penyederhanaan dari berbagai corak berteologi di Indonesia, yang masih sangat mungkin sekali belum pernah tercatat dalam kajian sejarah. Penggolongan ini hanya mencoba menangkap pandangan teologis terkuat di dalam penggolongan itu. Dalam artian, dalam setiap bentuk itu sangat mungkin terdapat unsur-unsur bentuk teologi yang lain yang dapat digolongkan kembali.77 Perlu penulis tekankan juga bahwa mengapa penggolongan ini turut menyertakan terma teologi karena pemikiran-pemikiran yang akan diuraikan dalam penulisan ini adalah tafsir-tafsir para tokoh Islam terhadap realitas kehidupan dengan menggunakan perspektif ketuhanan. 75
Dalam dua bukunya, seperti Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986) dan Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah (Jakarta: UI Press, 1987) yang hingga kini masih dicetak ulang, Harun terkesan mempromosikan paham Mu‘tazilah yang lebih rasional untuk masyarakat muslim Indonesia, yang menurut peninjauan Harun masih terpenjara oleh paham teologi Asy‘ariyyah yang mengusung paham fatalistis. Dan paham ini menurut Harun tidak sesuai dengan iklim perubahan maupun pembangunan di negara Indonesia, Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 350. 76 Fauzan Saleh memetakan diskursus teologi Islam mutakhir Indonesia tetap dipengaruhi oleh dua pemikiran besar, yaitu pemikiran Harun Nasution yang dikenal dengan teologi rasional Mu‘tazilah dan Nurcholish Madjid dengan neomodernisme, baca Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 260-384. 77 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h.51.
Gerakan pembaharuan teologis yang terjadi di Indonesia sudah barang tentu berpengaruh terhadap pola pikir kebanyakan Muslim Indonesia, baik yang berpendidikan tradisional Islam sekaligus sekular maupun Muslim yang hanya berlatarbelakang berpendidikan sekular saja. Fenomena pembaharuan ini juga menjadi pembenaran bagi setiap Muslim untuk mengembangkan agama yang tidak normatif dan legalistik, tetapi lebih pada aspek substantif sehingga instrumen yang digunakan untuk memahami Islam menjadi terbuka.78 Oleh karenanya tidak mengherankan, bila ada fenomena dalam masyarakat Muslim kekinian bahwa ide-ide keislaman (teologis) yang berkembang di Indonesia tidak hanya terpusat dan diramaikan oleh mereka yang disebut sebagai pemikir-pemikir arus utama (mainstream) yang bila dalam konteks penulisan ini adalah yang dikategorikan oleh Greg Barton sebagai pengusung gerakan neoModernisme, yaitu Nurcholish Madjid, Abdurahman Wahid dan lain sebagainya, melainkan juga oleh kalangan masyarakat sekular-rasional dan tidak terdidik dalam ilmu-ilmu tradisional Islam (Muslim atau sarjana sekuler). Oleh William Liddle, kelompok ini diberi nama dengan sebutan Islam substansialis, meskipun kelompok ini tetap bisa digolongkan ke dalam gerakan neo-modernisme. Namun karena mereka memiliki ciri khas tersendiri dari kelompok neo-modernisme, maka dipilihkan istilah lain untuk menggolongkan kelompok tersebut.79 Berdasarkan uraian di atas, bentuk-bentuk teologi yang akan penulis bahas pada penjelasan berikut adalah teologi tradisional, teologi rasional, teologi neomodernisme dan teologi substansialis. Dalam penulisan berikut, penulis akan
78
Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 354. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 33-34
79
menjelaskan ciri-ciri dan isi pandangan tentang Tuhan dan manusia dari masingmasing teologi tersebut.
D. Bentuk-Bentuk Berteologi di Indonesia 1. Teologi Tradisional Teologi tradisional menurut Harun Nasution adalah nama lain dari teologi Asy‘ariyyah80 atau Sunnî klasik di Indonesia81 yang menurut sejarahnya telah ada sejak kedatangan Islam di Indonesia sejak abad ke-12. Namun menurut Fachry Ali istilah tradisional tetap dapat digunakan tidak hanya untuk mengidentifikasi teologi Asy‘ariyyah di Indonesia tetapi juga kelompok-kelompok Islam yang masih terikat kuat dengan pemahaman keagamaan pada abad ke-7 dan 13 yang diyakini sebagai sesuatu yang murni dan sesuai dengan tuntunan Islam yang benar. 82 Teologi tradisional ini banyak dianut oleh masyarakat pedesaan, di mana kehidupan, tingkah laku dan cara berpikir masyarakatnya masih sangat sederhana. Di Indonesia, yang menjadi basis perkembangan dan juga pendukung paham ini umumnya adalah kelompok kiai yang mendirikan pesantren.83
80
Teologi Asy‘ariyyah, lahir pada tahun yang disebut oleh Harun Nasution sebagai zaman Islam klasik (650-1250), baca Harun Nasution, Islam Rasional, h. 115. Teologi Asy’ariyyah merupakan aliran tandingan dari teologi Mu‘tazilah yang didirikan oleh orang yang awalnya penganut Mu’tazilah, yakni Abû al-Hasan al- Asy‘arî. Al-Asy‘arî menilai bahwa pandangan keagamaan teologi Mu‘tazilah tidak lagi sesuai dengan ajaran yang sebenarnya dalam Islam, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 66. 81 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia, h. 52. Aliran ini didirikan oleh Abû Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl. Sebelum mendirikan Asy‘ariyyah, ia adalah seorang penganut teologi Mu‘tazilah. Tanpa sebab yang jelas, ia menyatakan keluar dan membentuk aliran teologi baru, yang kemudian dinamakan Asy‘ariyyah, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 67. Seperti telah dijelaskan di atas, teologi ini menganut paham predestinasi dan fatalistis. 82 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 49. 83 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 49.
Dalam metode pengambilan keputusan yang terkait dengan soal pemahaman keagamaan, mereka masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran ulama tawhîd, fiqh, tafsir dan Hadîst yang hidup antara abad ke-7 hingga 13.84 Wahyu al-Qur’ân bagi aliran teologi ini merupakan dogma yang harus diterima apa adanya dan mereka menolak keras usaha-usaha penafsiran yang dilakukan oleh sebagian ummat Muslim. Dengan istilah lain mereka adalah kelompok skripturalis.85 Paham keagamaan ini cenderung mengabsolutkan teks tanpa memahami masalah yang menjadi latar belakang munculnya teks tersebut (asbâb al-nuzûl dalam al-Qur’ân, dan asbâb al-wurûd dalam al-Hadîst), baik yang bersifat sosiokultural dan psikologis.86 Umumnya aliran teologi tradisional memandang akal manusia tidak bisa mengetahui baik dan buruk dan kewajiban berbuat baik. Hal itu hanya dapat diketahui lewat wahyu Tuhan. Teologi ini sangat bergantung kepada wahyu dan banyak berpegang pada arti lafzhi atau harfiah (membaca yang tersurat).87 Oleh karenanya, menurut Harun Nasution mereka sangat sulit dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan modern.88 Dalam paham tentang al-kasb (perbuatan), teologi ini lebih dekat kepada paham Jabbâriyyah atau fatalisme (paham kekuasan mutlak pada Tuhan). Faham fatalisme dalam teologi tradisional, menurut Harun Nasution didasari oleh firman 84
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 49. Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), cet. 2., h.29. 86 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normatif atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. vi. 87 Harun Nasution, Islam Ditinjua dari Segala Aspeknya Jilid 2, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), h.42. 88 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Saiful Mujani, ed., (Bandung: Mizan, 1995), h. 9 85
Tuhan yang artinya, “Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di dalam kitab sebelum ia Kami wujudkan (QS: 57:22).”89
Al-Qur’ân
sendiri,
Harun
menandaskan
memang
sebenarnya
mengandung ajaran-ajaran yang dapat melahirkan baik filsafat fatalisme atau Jabbâriyyah maupun Qadariyyah (free act) yang dapat dijadikan sandaran bagi keyakinan ummat Islam.90 Tuhan bagi teologi fatalis ini adalah pemilik kekuasaan mutlak pada mahkluk (manusia). Tidak ada kekuasaan pada manusia dan semua tindakan manusia telah diatur dan ditentukan oleh Tuhan. Manusia hanya berkewajiban taat dan tunduk kepada aturan-aturan yang telah ditentukan Tuhan. Tidak ada daya kreatifitas manusia untuk menentukan arah hidupnya, karena Tuhan telah menentukan nasib bagi hamba-hamba-Nya. Dengan demikian manusia tidak memiliki kebebasan dalam hidupnya, ia terpenjara dalam takdir Tuhan.91 Dalam dunia modern, misi yang paling bisa dilihat dari kelompok ini adalah repurifikasi Islam. Individu Muslim yang setuju atas misi ini menilai bahwa akomodasi baru Islam atas kenyataan sosial-budaya dianggap tidak terlalu banyak berhasil. Perumusan akomadasi modernisme atas agama dinilai hanya berpengaruh pada sebagian kaum elit dan urban. Hal itu pada gilirannya membawa sebagian cendekiawan Muslim untuk kembali kepada doktrin Islam yang diyakini sebagai respon yang lebih tepat atas perubahan zaman ini.92
89
Harun Nasution, Islam Rasional, h. 112 Harun Nasution, Islam Rasional, h. 111 91 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Segala Aspeknya, h. 40. 92 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia, h. 14-15. 90
Menurut teologi ini Islam yang paling ideal adalah Islam yang ada pada masa awal Islam, yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat terutama yang empat (Khulafâ’ al-Râsyidîn).93 Gejala repurifikasi Islam inilah yang diyakini dapat memunculkan ajaran fundamentalisme Islam (hal yang terkait dengan kekerasan atas nama agama).94
2. Teologi Rasional Dari sisi historis, aliran rasionalis di dunia Islam ditemukan pada kelompok teologi Mu‘tazilah.95 Dikatakan sebagai teologi rasionalis karena penganut aliran teologi ini mengganggap akal atau nalar manusia akan sampai pada pengetahuan tentang Tuhan, walaupun wahyu belum diturunkan.96 Bagi mereka kebaikan dan kejahatan bukanlah hasil-samping dari irrasionalitas dan buta dari keimanan sebagaimana yang diterapkan oleh sebagian teodisi deterministik. Sebaliknya manusia memiliki kehendak bebas, dapat menguraikan gambaran rasional tentang kebaikan dan kejahatan dan manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Nalar manusia menurut aliran Mu‘tazilah selaras dengan wahyu.97
93
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, h. 32 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia, h.15. 95 Aliran teologi Mu‘tazilah muncul pada abad ke-2 Hijriah di kota Bashrah atau sama pada tahun yang disebut sebagai zaman Islam klasik, yang didirikan oleh Wâshil ibn ‘Athâ'. Ajaran pokok yang dibahas dalam teologi Mu‘tazilah adalah tawhîd, al-‘Adl, al-Wa‘d wa al-wa‘îd (janji dan ancaman), al-manzilah bayna manzilatayn (tempat di antara dua tempat), Amr ma‘rûf nahy munkar, Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), cet. I., h. 43-46. 96 Ada empat permasalahan yang dibahas dalam teologi terkait dengan masalah akal. Pertama masalah apakah akal mampu mengetahui Tuhan. Kedua, bersyukur kepada Tuhan. Ketiga, mengetahui baik dan buruk. Keempat, berkewajiban menjalankan kebaikan dan menjauhi keburukan, Harun Nasution, Teologi Islam, h. 79-94. 97 Parviz Morewedge, “Teologi,” h. 16. 94
Teologi rasional menemukan titik awal perkembangan yang cukup signifikan di Indonesia bersamaan dengan gerakan pembaharuan dalam Islam di Indonesia sekitar tahun 1970.98 Meskipun gerakan pembaharuan Islam kontemporer di mulai sejak awal abad ke-20, namun para peneliti keagamaan memandang bahwa pengusung aliran teologi rasional di Indonesia adalah Harun Nasution.99 Pemikiran Harun Nasution sendiri juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh tokoh pembaharu Islam di Mesir, yakni Muhammad ‘Abduh.100 Para tokoh pembaharu ini, termasuk juga ‘Abduh mendorong umat Islam untuk melakukan penelaahan ulang serta menjelaskan kembali doktrin-doktrin Islam dalam bahasa dan rumusan yang dapat diterima oleh pikiran-pikiran modern. Menurut para tokoh ini, Islam merupakan satu-satunya agama yang meletakkan akal pada posisi cukup baik dan menganjurkan penerapan temuan-temuan ilmiah.101 Semangat pembaharuan pemikiran Islam sangat mendapatkan perhatian dari ummat Islam di daerah perkotaan. Secara geografis dan kultural, menurut Fachry Ali, masyarakat perkotaan, terutama yang berlatar belakang pendidikan
98
Baca Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 350. Beberapa buku secara eksplisit menyebutkan bahwa pemikiran Harun Nasution merupakan pemikiran Islam yang berhaluan rasional, seperti dalam buku Abdul Halim, ed., Teologi Islam Rasional: Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2005). Pada judul buku lain, disebutkan Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Saiful Mujani, ed., (Bandung: Mizan, 1995). Harun menurut Jamhari memang terkesan mempromosikan paham Mu‘tazilah di Indonesia. Menurut Harun, ada kesesuaian beberapa aspek aliran teologi Mu‘tazilah dengan usaha manusia Indonesia dalam mengembangkan masyarakatnya, baca Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 350. 100 Dalam bukunya, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah (Jakarta: UI Press, 1987), Harun menilai bahwa pembaharuan pemikiran Islam yang digagas Muhammad ‘Abduh sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran di Indonesia, Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press,1987), h. 1. Muhammad ‘Abduh menurut Harun adalah penganut teologi rasional Mu‘tazilah yang berpandangan jalan untuk mengetahui Tuhan bukanlah wahyu semata, tetapi juga akal. Akal manusia sangat selaras dengan wahyu dalam mengenal Tuhan, Harun Nasution, Muhammad ‘Abduh, h. 43. 101 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 63. 99
sarjana lebih cepat berhadapan dengan pengaruh luar. Kelompok pembaharu ini diidentifikasi oleh Fachry Ali sebagai kelompok modernisme dalam Islam.102 Kemunculan teologi rasional di Indonesia merupakan respon terhadap kejumudan (kemandekan berpikir) ummat Islam kebanyakan, di mana mereka terperosok ke dalam kehidupan mistisisme berlebihan103 dan terpenjara oleh paradigma tradisional (fatalisme dan fiqh oriented).104 Untuk meningkatkan produktivitas masyarakat Indonesia, menurut Harun, ummat Islam harus mengadopsi teologi sunnatullah105 yang bersifat rasional, filosofis dan ilmiah. Teologi rasionalis ini bersifat terbuka terhadap segala perubahan dan cenderung melihat Islam sebagai agama yang dinamis dan sejalan dengan akal, dengan demikian al-Qur’ân ditafsir berdasarkan kontekstualisasi terhadap kondisi dan permasalahan yang dihadapi. Menurut Harun Nasution, al-Qur’ân diwahyukan dalam bentuk yang sangat umum tanpa penjelasan terperinci tentang pelaksanaannya. Karena al-Qur’ân bersifat umum dan tidak memberi panduan terperinci, maka penafsiran isinya merupakan keharusan.106 Ijtihad harus digalakkan dalam setiap wacana keislaman. Pemikiran yang menegaskan bahwa pintu ijtihad telah ditutup itu tidak dibenarkan. Maka tawaran yang diajukan adalah kontekstualisasi ajaran Islam sebagai cara untuk
102
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 63. Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 62. 104 Moeslim Abdurrahman, Islam Transfomatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. Ke103
3., h. 62.
105 Teologi sunnatullah berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 Masehi). Teologi ini memiliki ciri mendudukkan akal pada posisi yang tinggi, kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’ân dan Hadîst yang sedikit sekali jumlahnya, percaya akan keberadaan sunnatullah dan kausalitas, megambil arti metaforis dari teks wahyu dan adanya dinamika dalam sikap dan berpikir, baca Harun Nasution, Islam Rasional, h. 112. 106 Jamhari, “Teologi,” h. 350.
menyelesaikan permasalahan zaman yang dihadapi ummat Islam dalam segala aspek, seperti sosiol ekonomi, politik dan budaya. Dalam paham tentang al-kasb (perbuatan), teologi rasional memiliki pandangan berbeda dengan teologi tradisional yang menganut paham fatalisme. Teologi rasional menganut paham Qadariyyah, yakni dalam menentukan kehendak berbuat apapun, manusia dengan kemampuan akalnya dapat memilih. Petunjuk Tuhan hanya dapat diperoleh setelah manusia melakukan usaha yang maksimal, tanpa usaha apapun, petunjuk Tuhan tidak akan pernah diberikan.107 Manusia dalam paham teologi ini dipandang sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kebebasan dalam melakukan aktifitasnya. Dengan kebebasannya itu manusia bertanggung jawab terhadap Tuhan.
3. Teologi Neo-Modernisme Neo-modernisme108 awalnya diidentifikasi sebagai gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia pada tahun 1970-an yang muncul sebagai tanggapan pemikiran Islam terhadap tekanan, tantangan serta peluang-peluang modernitas.109 Berbeda dengan semangat gerakan modernis yang masih menuntut tentang
107
Jamhari, “Teologi,” h. 350 Kelahiran kelompok teologi neo-modernisme tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Fazlur Rahman, seorang ilmuwan agama Amerika asal Pakistan, sebagai orang yang pertama kali mencetuskan paham neo-modernisme Islam. Menurut Rahman, neo-modernisme merupakan respon terhadap kemunculan neo-revivalisme yang diakibatkan oleh kelemahan modernisme klasik yang sangat berorientasi kepada Barat. Neo-revivalis dianggap gagal oleh Rahman dalam melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam, mereka hanya berusaha untuk membedakan Islam dari Barat, tetapi tetap menggunakan metodologi Barat secara menyeluruh, baca Taufik Adnan Amal, ed., Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1994), cet. Vi., h.19-20 109 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 5. 108
keterlibatan partai politik Islam di dalam negara, neo-modernisme mengusung semangat pemisahan antara agama dan negara.110 Kemunculan neo-modernisme juga diyakini dilatarbelakangi salah satunya oleh gerakan modernisme Islam yang lahir di awal abad ke-20 yang menurut gerakan ini gagal dalam mempertahankan kesegaran pemikiran pembaharuannya, karena terlalu sibuk dalam mengurusi lembaga-lembaga pembaharuan yang bersifat sektarian, sehingga mengikis potensi intelektual.111 Sementara di pihak lain tradisionalisme Islam yang amat kaya pemikiran klasik sangat berorientasi kepada masa lalu dan sangat selektif dalam menerima gagasan-gagasan modernisasi. Akibatnya dinamika pemikiran di kalangan ini berjalan sangat lambat dalam merespon peradaban modern.112 Dengan latar belakang yang semacam inilah, pola pemikiran neomodernisme muncul, yakni untuk menjembatani kedua aliran konvensional tersebut atau untuk mengakomodasikan dua kutub pemikiran sekaligus: tradisonalisme dan modernisme113 (rasional). Neo-modernisme Islam merupakan orientasi teologis yang memahami teks-teks dan tradisi Islam dalam perspektif ganda etika sosial dan kesalehan personal dan pada saat yang sama pemikiran mereka tidak menonjolkan perbedaan-perbedaan sektarian dalam masyarakat Islam dan konsep negara Islam, dengan kata lain usaha-usaha kelompok noe-modernisme Islam Indonesia terhadap pembaharuan pemikiran keislaman adalah sebuah gerakan kultural.114
110
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 5 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 175. 112 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 176. 113 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h 176-177. 114 Mark R. Woodward, “Pendahuluan: Indonesia, Islam, dan Orientalisme: Sebuah Wacana yang Melintas, dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam, h. 16. 111
Komunitas neo-modernisme ini mencoba menawarkan pendekatan baru pada konsep ijtihâd. Dalam usaha ijtihâd mereka, kelompok ini memadukan antara ilmu kesarjanaan Islam klasik (bahasa Arab, tafsir, Hadîst, ushul fiqh dan lain-lain) dengan metode-metode analitik modern (Barat).115 Secara umum, teologi neo-modernisme dapat disebut sebagai suatu gerakan pemikiran yang mengombinasikan keyakinan yang progresif dan liberal dengan keimanan yang kokoh.116 Adapun tokoh-tokoh yang masuk ke dalam kelompok neo-modernisme yang dikenal bersifat moderat, liberal dan progresif, seperti yang dipaparkan dalam buku Greg Barton adalah Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib. Kendati demikian, beberapa tokoh lainnya dapat juga dimasukkan ke dalam kelompok ini, seperti Jalaluddin Rakhmat, Masdar F Mas‘udi, namun mereka tidak menggunakan istilah tersebut untuk menamakan arus pemikiran yang mereka kembangkan.117 Ciri pemikiran utama yang dibawa oleh teologi ini adalah atas dasar watak inklusifisme Islam di mana pada hakikatnya Islam selalu sejalan dengan semangat kemanusiaan yang universal. Islam adalah sistem yang menguntungkan semua orang termasuk mereka yang bukan Muslim. Inklusifisme Islam merupakan fitrah bagi manusia itu sendiri.118 Pandangan
teologi
neo-modernisme
hanya
meyakini
pemutlakan
trasendensi semata-mata kepada Tuhan. Hal ini yang kemudian melahirkan desakraliasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia dan masalah serta nilai
115
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 12 Fauzan Saleh, Teologi Pembaharun, h. 324. 117 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 11 118 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 180. 116
yang bersangkutan kepadanya: bahwa selain Tuhan yang Esa tidak ada yang tidak bisa disentuh lewat pemikiran manusia.119 Ini sangat relevan dengan sebuah kesimpulan yang menegaskan bahwa Islam adalah ajaran kemanusiaan yang universal. Pada konteks manusia teologi neo-modernisme berpandangan bahwa manusia sebagai yang diciptakan dalam keadaan fitrah (suci) dan benar. Manusia senantiasa merindukan kebenaran, karena manusia diciptakan dalam fitrah yang tidak bisa berubah. Dalam diri manusia ada sesuatu yang bersifat perenial (abadi), yakni kerinduan pada kebenaran abadi yang tidak lain adalah agama yang lurus. Dari kesadaran itu timbul, bahwa semua manusia yang ada di muka bumi ini terlepas dari beragama apapun, pada hakikatnya ia adalah terlahir secara suci dan benar. Dengan sifat primordial manusia yang demikian universal ini maka terlahir sikap yang inklusif terhadap realitas kehidupan.120
4. Teologi Substansialis Genderang perubahan pemikiran keislaman yang ditabuh oleh para pemikir arus utama (mainstream) pada tahun 1970-an tidak hanya berpengaruh kepada masyarakat di kalangan tertentu saja, tetapi juga turut menjadi stimulan kepada masyarakat umum dalam merespon setiap perubahan paradigma
119
Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid” dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1999), cet. xii, h. 23. 120 Nurcholish Madjid “Sekapur Sirih,” dalam Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), h. xiii-xiv.
keislaman (teologis) yang banyak dipengaruhi konteks situasi dan kondisi historis tertentu yang dihadapi kaum Muslim Indonesia. Pada gilirannya stimulasi itu mendorong masyarakat umum, yang dalam hal ini adalah para pemikir, cendekiawan untuk memberikan respon-respon tertentu yang kelihatannya tidak selaras dengan keyakinan dan pemikiran yang mereka anut selama ini. Mereka adalah kelompok yang tidak terpaut dengan warna-warni kelompok sektarian keislaman yang oleh William Liddle digolongkan sebagai kelompok substansialis. Berbeda dengan kelompok neo-modernisme yang memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu tradisionalis dan modern sekaligus, yang terdidik klasik dan dipengaruhi pendidikan pesantren tradisional yang kental, kelompok substansialis tidak memiliki latarbelakang pendidikan tradisional keislaman, seperti pesantren. Mereka hanya terdidik lewat keilmuan sekular.121 Greg Barton berpandangan tidaklah tepat untuk menempatkan neomodernisme sebagai bagian dari substansialis. Lebih tepat, kata Barton, substansialisme maupun neo-modernisme adalah dua cara pendekatan dalam menggambarkan kelompok yang sama.122 Kelompok yang berorientasi teologis substansialis ini memiliki gagasangagasan kunci dalam melahirkan gagasan teologisnya, seperti yang diutarakan Greg Barton dengan mengutip Fachry Ali: “Hal paling utama dan mendasar bahwa substansi keimanan dan praktik adalah lebih penting daripada bentuk. Kedua pesan al-Qur’ân dan Hadîst walau abadi esensinya dan universal artinya dapat ditafsir kembali oleh setiap generasi Muslim sesuai dengan situasi masanya. Ketiga karena mustahil bagi siapapun untuk mendapat kepastian dalam memahami kehendak dan suruhan Tuhan. Ummat Muslim harus toleran terhadap sesamanya dan terhadap non-Muslim, 121
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 34-35. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 35
122
terakhir, Muslim substansialis menerima pemerintahan yang ada sekarang sebagai bentuk final dari negara bangsa Indonesia,”123
Paradigma pemahaman keislaman (teologis) yang dianut oleh kelompok substansialis lebih mementingkan substansi atau isi ketimbang label atau simbolsimbol eksplisit tertentu yang berkaitan dengan agama. Dalam bidang kemasyarakatan mereka cenderung concern pada pengembangan dan penerapan nilai-nilai Islam secara implisit saja.124 Dalam kesehariannya individu-invididu yang tergolong kepada kelompok berorientasi teologis substansialis adalah mereka yang langsung terjun ke dalam masyarakat lewat organisasi kemasyarakatan, baik itu seni dan budaya, hukum, politik dan lain sebagainya. Salah satu tokoh yang digolongkan ke dalam kelompok teologi substansialisme adalah Dawam Rahardjo.125 Hasil pemikiran keislaman mereka yang acapkali diterima dengan sinisme oleh para agamawan dan masyarakat kebanyakan, seperti dalam kasus HB. Jassin,126 menjadikan pemikiran keislaman mereka menjadi termarjinalkan.
123
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 34. Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia, h. 9 125 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 33-35 dan Jamhari, “Teologi,” h.
124
352.
126
Sebagai seorang sastrawan yang hanya mengandalkan pendidikan sekular (sastra), dua karya monumental HB Jassin, yakni Al-Qur’ân Bacaan Mulia (ABM) dan Al-Qur’ân Berwajah Puisi (ABP) tidak mendapatkan apresiasi yang positif di sebagian besar agamawan, intelektual dan masyarakat umum ketika itu (tahun 1993). Oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika itu, karya yang ditelurkan oleh HB. Jassin dianggap lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Dan oleh menteri agama pada saat itu, Munawir Sjadzali, karya Jassin dianggap menimbulkan keresahan di kalangan ummat Islam, sehingga menteri agama harus menarik dukungannya terhadap usaha Jassin untuk menerbitkan karyanya itu, baca Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam Kontemporer,” dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, h. 61-62.
Dalam konteks itu, mereka bisa dimasukkan sebagai Muslim subaltren 127 atau pinggiran (periphery). Dalam konteks diskursus keislaman, jika sebuah penafsiran tentang alQur’ân telah melewati batas-batas yang telah disepakati, seperti tidak melalui Hadîst maupun hasil ijmâ’ ulama, maka penafsiran kelompok ini sering disebut dengan pemahaman agama yang splinter.128 Dalam konteks ini, splinter dapat dimaknai sebagai suatu pemahaman keislaman (teologis) yang tidak dilahirkan melalui metode normatif-tradisional, melainkan dengan latarbelakang keilmuan sekular atau berdasarkan pengalaman empiris. Dalam melahirkan gagasan, mereka cenderung terpengaruh oleh situasi historis dan kondisi tertentu (mental, psikologis, dan intelektual). Sesuai dengan ciri latarbelakang dan metode dalam merumuskan pemikiran keislaman, RPD, tokoh yang akan penulis bahas dalam penulisan ini, adalah tokoh yang termasuk ke dalam kelompok Muslim subaltern. Karena pemikiran keislaman RPD tidak didasari dipadu dengan
metode normatif-tradisional yang
ilmu keislaman modern, maka dalam konteks keislaman,
pemahaman keislaman RPD dapat cenderung kuat dikategorikan sebagai
127 Pengertian subaltern pada awalnya berasal dari kajian tentang Muslim-Muslim yang tertindas dan termarjinalkan karena pemikiran keagamaan mereka dianggap bertentangan dengan pemikiran arus utama atau yang masih memegang doktrinal Islam secara utuh, dalam hal ini adalah institusi agama yang diakui oleh negara. Mereka kerap mendapatkan perlakuan represif oleh kelompok mainstream yang menggandeng kekuasaan politik ketika itu, baca Azyumardi Azra “Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltern” Gatra 6 Desember 2003, h. 8. Penulis menggolongkan para Muslim yang tidak terdidik ilmu-ilmu tradisional Islam dan hanya berpendidikan sekular ke dalam subaltern yang termarjinalkan. Muslim-Muslim yang tidak memiliki latarbelakang keilmuan tradisional Islam dan kemodernan Barat, tidak akan pernah mendapatkan tempat utama dalam pemikiran keislaman mereka. Malahan pemikiran kelompok subaltern yang juga disebut sebagai Muslim pinggiran ini kerap dipandang menyimpang dengan berbagai alasan. Menurut Azyumardi Azra, “kaum splinter dan pinggiran dalam agama manapun hampir tidak mendapatkan tempat dalam sejarah,” baca Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih,” h. 8. 128 Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih,” Gatra 6 Desember 2006, h. 8.
pemahaman splinter. Lebih dalam tentang RPD dan pemikirannya, penulis akan membahasnya pada bab 3 dan 4.
BAB III BIOGRAFI RADHAR PANCA DAHANA
A. Riwayat Hidup Radhar Panca Dahana lahir di Jakarta 26 Maret 1965,129 di daerah Radio Dalam, Jakarta Selatan. Bapaknya bernama Radsomo merupakan pegawai pemerintahan di departemen Perindustrian, sedangkan ibunya, Suharti hanyalah seorang ibu rumah tangga. RPD memiliki tujuh saudara dan RPD adalah anak kelima. Walaupun terlahir dari keluarga beragama Islam, RPD tidak terlalu dekat dengan “lingkungan” agama. Dari kecil RPD oleh Radsomo tidak ditekankan untuk mendalami tentang pendidikan Islam tradisional (belajar bahasa Arab, mengkaji ilmu fiqh dan lain-lain) secara khusus (dimasukkan ke pesantren atau madrasah). Namun oleh kedua orang tuanya RPD tetap diajari baca tulis al-Qur’ân dan tentang tatacara ibadah ritual pokok, seperti puasa, shalat. Sejak masa anak-anak, kedua orang tua RPD juga tidak begitu memerintahkan secara tegas kepada anak-anaknya untuk menunaikan ritus-ritus keagamaan, seperti shalat dan puasa, walaupun itu tetap diajarkan oleh kedua orang tuanya. Bagi kedua orangtuanya, cara berislam tidak hanya difokuskan dengan melaksanakan ritus-ritus agama, tetapi lebih ditekankan kepada integritas pribadi, seperti kejujuran, tata krama, toleransi, inklusifitas dan kerja keras. Pelaksanaan ritus keagamaan oleh penganut agama adalah masalah yang sangat personal, dan tidak perlu diperbincangkan dan diperdebatkan.
129
“Pergulatan Hidup Radhar Panca Dahana,” Jurnal Nasional, edisi 0131 Minggu IVapril 2007, h. 7.
Saat RPD masih kecil, orang tuanya lebih banyak memerintahkannya untuk serius mendalami ilmu-ilmu yang ada di sekolah formal, walaupun pada akhirnya RPD tetap membangkang atas perintah ayahnya itu. RDP lebih memilih jalur seni teater dan sebagai penulis. Potensinya sebagai penulis mulai terlihat saat RPD berumur 10 tahun, kelas lima SD, di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Blok D Gandaria. Cerpennya yang berjudul “Tamu tak Diundang” diterbitkan oleh, Kompas.130 RPD bersyukur bahwa ia dibesarkan di lingkungan di mana dia diarahkan, baik oleh kedua orang tuanya, maupun oleh sahabat-sahabat yang pernah hidup bersamanya, pada satu pemahaman tentang agama bahwa agama harus imanen di dalam kehidupan pribadi, sosial dan politik. RPD akan merasakan kesia-siaan dan ketidakmanfaatan dari agama, jika agama hanya menjadi satu retorika, dengan demikian agama hanya berhenti pada tataran retorika dan tidak menjadi trembling. RPD bukan tidak mau mendalami agama secara formal, namun dia tidak mau pada suatu saat nanti menggunakan agama (Islam) yang secara murni merupakan sebuah keyakinan sebagai sumber pembelaan atas perilaku keduniawiannya. Ia melihat telah terjadi reduksi terhadap premis-premis dasar dalam agama (Islam), seperti, bahwa Islam adalah Arab, Muhammad adalah wakil Tuhan yang segala perkataannya sama sucinya dengan al-Qur’ân itu sendiri dan lain sebagainya. Islam dalam pandangan RPD adalah persoalan personal, yang tidak perlu dibicarakan kepada publik, misalnya tentang bagaimana seseorang itu beribadah, kapan, di mana, bacaan-bacaan dalam ritus-ritus keagamaan dan lain sebagainya.
130
Jurnal Nasional, Edisi 0131, Minggu IV April 2007, h. 7.
Sedari masa remaja atau ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), RPD mengaku telah mengenal dan bersentuhan dengan beberapa pemikiran yang ia baca dari buku-buku yang dikoleksi oleh pamannya, termasuk buku-buku yang berkaitan dengan studi keagamaan dan keislaman. Menurut penuturan RPD, beberapa buku yang telah ia baca antara lain buku tentang Jalâluddîn Rûmî, Max Weber, Karl Marx, al-Ghazâlî, falsafah Islam, sekulerisme Islam di Turki, Mohammed Arkoun, Muhammad Iqbal, falsafah Yunani dan lain sebagainya. Keranjingan membaca RPD ini ditulari dari orang tua dan keluarganya yang memang terkenal kutu buku. Ketika remaja hingga dewasa RPD banyak menghabiskan waktu bersama para seniman dan sastrawan, antara lain W.S Rendra, Noorca Massardi (Pemimpin Redaksi Majalah Jakarta Jakarta), Seno Gumira Adjidarma dan Alex Komang. Penulis meyakini bahwa pergaulannya dengan para seniman dan sastrawan tersebut turut membentuk pola pikir keberagamaan RPD. Dalam perjalanan hidupnya, tahun 2001 merupakan momen terpenting dan bersejarah bagi RPD
dalam
memahami makna
hidup,
termasuk soal
keberagamaannya. Pada tahun itu, RPD telah divonis mengalami penyakit gagal ginjal kronis yang harus memaksanya melakukan cuci darah sebanyak tiga kali seminggu. Dari peristiwa ini, banyak pemahaman RPD tentang makna hidup dan keberagamaan yang mengalami perubahan ke arah yang lebih religius di mana ia
merasa bahwa sebagai manusia dirinya akan selalu bertaut kepada Tuhan sebagai sumber ontologisnya.131 Pemikiran-pemikiran RPD yang kritis dan segar dalam berbagai bidang pemikiran, terutama dalam bidang seni dan budaya, yang termuat di banyak media terkemuka di Indonesia, mendapat respon positif dan simpati dari para intelektual. Tak ayal, sejak masih duduk di bangku kuliah, RPD sudah sering diundang sebagai pembicara di berbagai forum diskusi dan seminar yang terkadang lawan bicara RPD dalam seminar itu adalah profesor-profesor yang menguasai di bidangnya. Hingga sekarang, RPD tetap aktif menghadiri forum-forum diskusi dan seminar, yang tajuknya hingga ke persoalan agama. Seperti dalam Soegeng Sarjadi Forum132
di mana RPD dan tokoh-tokoh intelektual agama seperti
Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Yudi Latif (Deputi Rektor Paramadina), Mudji Soetrisno (dosen Driyakarya), pernah duduk satu meja, dengan berbagai tema pembicaraan antara lain: "Manusia Makhluk Termulya," dalam edisi Puasa Ramadhan 2006, "Ilmu Pengetahuan, Manusia dan Agama," (edisi Isrâ’ Mi‘râj 2007) dan "Kurban dalam ‘Îd al-Adlhâ" (edisi ‘Îd alQurbân 2007). RPD pun mengaku bergaul cukup akrab dengan para intelektual Islam, antara lain dengan Komaruddin Hidayat. Pergaulannya dengan Komaruddin 131“Radhar
Panca Dahana: Cuci Darah Membuatnya Paham Makna Hidup,”
http://www.kompas.com/kesehatan/news/0604/03/152312.htm
diakses
pada
10
Agustus 2008 jam 14.00 WIB. 132
Soegeng Sarjadi Forum adalah sebuah forum diskusi yang digelar oleh lembaga Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) yang mengetengahkan berbagai tema-tema aktual di masyarakat dengan berbagai pembicara yang berkompeten di bidangnya. Acara ini sendiri disiarkan melalui televisi kabel MQTV. Dokumentasi siaran di mana RPD menjadi pembicara dapat dilihat dalam dokumentasi siaran yang penulis miliki.
Hidayat membuat RPD dan para penulis lainnya dipercaya untuk mengerjakan sebuah esai yang kemudian akan dijadikan sebuah buku.
B. Pergulatan Radhar Panca Dahana dalam Dunia Akademik RPD kecil tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan agama secara formal seperti di pesantren atau di madrasah. Ini adalah keinginan orang tuanya yang tidak mau pada suatu saat nanti RPD menjadikan agama hanya menjadi suatu kajian ilmiah atau retorika belaka, tetapi tidak imanen di dalam diri. Namun seperti dikemukan di atas, sebagai seorang Muslim, orang tua RPD tetap memberitahu tentang tradisi-tradisi ibadah keislaman dan menjelaskan kepada RPD bahwa makna, fungsi dan peran di balik ibadah itu adalah untuk kemanusiaan dan bukan untuk Tuhan atau ibadah itu sendiri. Esensi ibadah dapat diraih ketika seseorang telah berbuat jujur, bermoral dan beretika baik dalam pergaulan masyarakat, kata orang tuanya kepada RPD seperti dituturkan RPD sendiri kepada penulis. Bangku sekolah dasar (SD) RPD jalani di SDN 4 Blok D Gandaria (19711977). Setelah itu ia melanjutkan ke SMPN 68 Cilandak (1977-1979). Masa SMA RPD dihabiskan di tiga sekolah yang berlainan, yakni SMA II Jakarta (19801982), SMA 46 Jakarta (1982-1983) dan SMA Gita Kirtti (Giki-SMA Kristes di Bogor) (1983-1986). Di tempat terakhir inilah ia menamatkan sekolah menengah tingkat atas.133
133
Playboy, edisi Juli 2006, h.144.
Aktivitas RPD ketika masa SMA lebih banyak dicurahkan ke dalam dunia seni teater dan penulisan, apalagi ketika itu ia telah diangkat oleh harian Kompas menjadi wartawan freelance dan redaktur di majalah Jakarta Jakarta dengan penghasilan yang cukup lumayan.134 Kesibukannya sebagai penulis dan wartawan menyebabkan sekolahnya pun menjadi kacau balau. Tamat dari SMA RPD melanjutkan pendidikannya ke Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) jurusan Sosiologi. Ia dinyatakan lulus pada tahun 1994. Di jurusan ini pula ia sempat bersentuhan dengan agama dengan mengkaji agama dan aspek-aspek di dalamnya, seperti dogma, doktrin, ritus, nabi-nabi dalam agama dan lain sebagainya dalam diskusidiskusi kelas, tentu kajiannnya itu dalam sudut pandang sosiologis. Berkat pergaulan yang luas dan tulisan-tulisan yang sering dimuat di berbagai media cetak, membuat namanya semakin dikenal di masyarakat luas, terutama para seniman dan budayawan, baik di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Berkat itu pula RPD secara tiba-tiba ditawarkan oleh kedutaan Prancis untuk meneruskan kuliahnya di negeri berikon fashion itu secara gratis. Di sana ia sempat mendalami bahasa Prancis di Centre Linguistique Apliquee (1997-1998). Setelah dirasa cukup menguasai bahasa Prancis RPD melamar sebagai mahasiswa strata 2 (S-2) di Ecole des hautes ettueds en Sciences atau disingkat EHESS. Dan ia berhasil "menembus benteng" EHESS yang menurut kalangan mahasiswa Prancis terkenal sebagai institut yang paling sulit dalam memberikan ujian masuk terhadap calon-calon mahasiswanya. Di sana RPD bertemu dengan ilmuwanilmuwan sosiologi terkenal seperti Jaqques Derrida dan Bourdouex. RPD
134
Playboy, edisi Juli 2006, h.142.
mengaku ketika di EHESS, selain pernah diajar langsung oleh Derrida, RPD juga kerap menemuinya untuk mendiskusikan berbagai hal, termasuk tentang agama beserta persoalan di dalamnya. Ketika RPD mendapatkan kesempatan dari kedutaan Prancis untuk melanjutkan studinya ke jenjang S-3 di tempat yang sama, RPD sempat meminta Derrida untuk menjadi pembimbing disertasinya, tetapi karena kesibukannya, Derrida dengan berat hati menolak permohonan RPD. Karena alasan penolakan Derrida tersebut lalu RPD memutuskan untuk pulang ke Indonesia.
C. Aktivitas Radhar Panca Dahana Dalam suatu wawancara dengan wartawan majalah Islam, RPD pernah bilang bahwa ia adalah karyawan Allah. Alasan, bahwa selama ini apa yang diperbuat dalam berbagai aktivitasnya adalah bekerja untuk Dia (Tuhan).135 Selama pekerjaan yang seseorang lakukan baik di rumah maupun di luar rumah adalah aktualisasi diri dengan mengoptimalkan potensi kemanusiaan dalam dirinya, maka itu bagi RPD sama saja sudah menjalankan sebuah syariah. Saat sekarang ini RPD masih tercatat sebagai pengurus rubrik “Humaniora-Teroka” di harian Kompas dan menjadi kolumnis tetap pada rubrik “Perspektif” di majalah Gatra. Tulisannya, setidaknya setiap dua minggu sekali bisa kita baca di media-media termuka, seperti Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, majalah Tempo, majalah Gatra dan lain-lain yang mengetengahkan berbagai hal.
135
Baca “Radhar Panca Dahana: ‘Saya adalah Karyawan Allah,’” Alkisah no. 4 / 1-14 September 2004.
Pada tahun 2002-2007 RPD diminta untuk mengajar di Universitas Indonesia, pada mata kuliah sosiologi kontemporer di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Politik. Pada tahun 2006-2007 RPD sempat menjadi pembicara berkala pada diskusi reguler pada Soegeng Sarjadi Forum yang kebanyakan temanya berkaitan dengan keagamaan. Di salah satu forum ini pula, seperti diceritakan di atas, RPD banyak bersentuhan dengan intelektual-intelektual agama. Masih pada kegiatan yang sama, RPD juga aktif menghadiri undangan sebagai pembicara di berbagai forum seminar dan diskusi di berbagai propinsi. RPD mengaku bahwa ia kerap bertemu dengan tokoh-tokoh Islam di daerah yang dikunjunginya dan sering terlibat diskusi-diskusi informal dengan mereka. Dari ide-ide pemikirannya dalam berbagai bidang, terutama menyangkut sosio-kultural di mana agama juga kerap menjadi sorotannya, yang selalu segar dan cerdas RPD pernah mendapat penghargaan dari stasiun televisi Jepang NHK (1996) dan Universitas Paramadina (2005) sebagai seniman sekaligus intelektual. Menurut NHK RPD merupakan pemikir sekaligus seniman masa depan yang dimiliki oleh Asia.136 Terakhir RPD mendapatkan penghargaan "Medali Frix de le Francophonie 2007" bersama Gunawan Muhammad dari 15 negara berbahasa Prancis. Menurut tim penilai, RPD dinilai sebagai seseorang yang selalu berjuang untuk kebebasan berpendapat dalam berbagai bidang pemikiran. Untuk yang satu ini, RPD memang selalu menyuarakan independensi diri dalam melahirkan setiap pemikiran, tak terkecuali dalam bidang agama. Bagi RPD tidak ada yang bisa
136
“Radhar Panca Dahana, Meski Berbaring Tetap Tegak,” http:// www.antara.co.id/arc/2007/7/9/ radhar-panca- dahana-meski-berbaring-tetap-tegak/ diakses pada tanggal 14 September 2007 jam 15.00
menyeret manusia ke dalam satu lubang hegemonik pemikiran dan kepercayaan beragama. Dalam kegiatan yang lain RDP juga tetap aktif di bidang seni sastra137 dan seni teater.138
137
RPD juga seorang penulis syair puisi yang ternama. Karya puisinya yang berjudul Lalu Batu ia pernah pentaskan di Gedung Kesenian Jakarta pada 10-11 April 2003 dan ini diliput oleh kebanyakan media cetak. Baca "Di Panggung Radhar Terus Hidup," Kompas 11 April 2003, h. 9. Selain karya puisi RPD juga telah menulis sebuah buku tentang sastra dengan judul Dusta dan Kebenaran dalam Sastra (Yogyakarta: Penerbit Tera, 2004) 138 Kali terakhir RPD sebagai sutradara sekaligus pemain mementaskan sebuah lakon teater bersama teater Kosong dengan judul 1 hari 11 Mata di Kepala, baca "Bahasa 'Baru' Teater Radhar," Tempo 22 Juli 2007, h.7. Selain itu di bidang seni RPD juga memiliki beberapa gagasan, selain gagasan-gagasannya yang telah dijelaskan di atas. Ide-ide RPD sebagai budayawan tentang berkesenian juga patut mendapat perhatian. Apa makna berkesenian bagi RPD? Di tengah desakan dunia yang kini diukur dengan ukuran-ukuran material-praksis, bagi RPD kesenian adalah oase kreatif dan sebagai kerja mental manusia, sedangkan dunia mental adalah setengah dari kemanusian. Mental-mental manusia yang jujur, yang toleran dan menghargai kemanusian itu sendiri, bagi RPD bisa ditempa melalui berkesenian. Karena di dalam seni ada adab budaya dan adab wacana yang mampu mengintegrasikan dan mengembangkan dimensi artistik, emosional dan rasional kemanusiaan, baca Rahdar Panca Dahana, “Seni Oke, Politik Eko!,” artikel diakses pada tanggal 17 September 2007 jam 14.00, http://www.kompas.com/kompas cetak/0509/15/humaniora/2049656.htm. Bagi RPD, kehidupan ini tidak melulu diukur dari seberapa banyak penghasilan atau gaji yang diterimanya setiap bulan, baca “Radhar Panca Dahana, Perjalanan dari Kosong Menjadi Ada,” Bali Post, 3 September 1995, h.10. Tetapi sebagai manusia yang diberikan banyak potensi oleh Tuhan, setiap individu wajib menumbuhkembangkan potensinya itu sebagai rasa syukur yang wujudnya bermacam-macam, baca: “Radhar Panca Dahana: ‘Saya adalah Karyawan Allah,” Alkisah, No.4 / 1-14 September 2003, h. 64-65. RPD dalam hal itu memilih kesenian. Baginya berkesenian adalah perwujudan oleh manusia dalam mengisi dan menumbuhkembang potensi immateril di dalam jiwa manusia, baca Radhar Panca Dahana, “Jika Seni Menjadi Industri,” Republika, 16 Mei 1997, h. 11. RPD bersikeras menolak pandangan dalam paradigma pembangunan yang bertujuan praktis dan materialis, sehingga menyudutkan posisi kesenian sebagai wadah ekspresi yang tidak memiliki peran dalam pembangunan infrastruktur maupun suprastruktur sebuah bangsa, bahwa kesenian adalah kesiasiaan, baca Radhar Panca Dahana, “Jika Seni Menjadi Industri.” Menurut RPD kesenian merupakan produk kebudayaan yang vital, yang membuat sebuah bangsa terbentuk dan bertahan. Selain itu kesenian atau seni dapat berperan sebagai jalan untuk mendapatkan jatidiri setiap individu dan membuka jalan atas hubungan individu atau kelompok dengan dunia luar, baca Radhar Panca Dahana, “Presiden Negeri Simbol,” diakses pada tanggal 17 September jam 14.30, http://www.kompas.com/kompas -cetak/0409/16/humaniora/1271939.htm. Kesenian adalah jembatan bagi dunia mental-material dan ideal-praksis, yang dapat menyeimbangkan metabolisme manusia yang terdiri dari fisik, kognisi dan spiritualitas.. Tidak ada peradaban advance yang muncul tanpa menjungjung peran, posisi dan fungsi seni. Karena itu seni harus ditempatkan sejajar dengan agama dan pendidikan dalam menempa mental manusia. Yang terpenting adalah mensterilkan seni dari kooptasi politik dan pasar. Dengan pengaruh politik dan pasar yang kapitalistis, kebebasan yang menjadi ruh seni akan tereduksi, sehingga peran, posisi dan fungsi seni sebagai kerja mental manusia tidak akan optimal, baca Radhar, “Seni Oke, Politik Eko!” Dalam wawancara dengan penulis, RPD menegaskan bahwa posisi kesenian dalam pembentukan satu manusia atau bangsa harus disejajarkan sama kuatnya dengan posisi agama dan pendidikan. Sama halnya dengan pada agama, RPD meyakini bahwa manusia juga dapat memperoleh kepuasaan-kepuasaan religiusitas dalam aktivitas berkesenian. Ini jika kesenian dilakoni dengan
D. Karya-Karya Radhar Panca Dahana Fokus pemikiran RPD terbagi kepada tiga bidang, yakni sastra, seni dan sosial-budaya (agama). Dalam menjabarkan karya-karya RPD penulis hanya akan memuat seputar karya-karya pemikiran RPD yang bersinggungan dengan karya penulisan skripsi ini a. Jejak Postmodernism: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia (2004). Refleksi kritis tentang cara intelektual Indonesia di berbagai bidang kajian dalam menghadapi atau mengadopsi pemikiran-pemikiran oksidental terutama dalam perkembangan pemikiran mutakhir: postmodernisme. Dalam karyanya tersebut, RPD membuatkan peta para intelektual Islam Indonesia,
yang
pola
pemikirannya
telah
dipengaruhi
oleh
postmodernisme, sehingga mengubah cara pandang mereka atas Tuhan dan agama. b. Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia (2006). Sebuah usaha RPD untuk mengeksposisikan realitas psikologis, mental dan kultural manusia Indonesia saat ini dan sebuah rintisan hipotetikal tentang apa dan siapa manusia Indonesia. c. Menjadi Indonesia Indonesia (2002). Satu kumpulan esai tentang pencaharian kenyataan identifikasi manusia Indonesia lewat penelusuran sejarah dan lain-lain. Dalam karyanya ini, RPD juga menyoroti tentang sekelompok
manusia
yang
tergabung
dalam
berbagai
organisasi
keagamaan yang terkukung oleh elitisme agama. Selain itu, masih dalam bukunya ini, RPD juga menegaskan tentang manusia yang pada penuh kesadaran, disiplin dan 'konsentrasi' tinggi, wawancara penulis dengan RPD dikediamannya pada 25 November 2007.
hakikatnya adalah homo-religious. Religiusitas manusia, tidak hanya dimonopoli oleh mereka yang beragama.
BAB IV PARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANA: PANDANGAN TENTANG TUHAN DAN MANUSIA A. Konsep Keberislaman Radhar Panca Dahana Radhar Panca Dahana (selanjutnya disebut RPD) adalah seorang pemikir yang berlatarbelakang sebagai seorang sastrawan139 dan seniman Muslim yang hanya mengenyam pendidikan sekular. Oleh karena itu, dalam merumuskan diskursus keislaman, RPD tidak menggunakan metode normatif-tradisional, seperti bertumpu pada tafsir, Hadîst, fiqh dan sebagainya, melainkan merujuk kepada pemikiran-pemikiran non keagamaan di mana pemikiran tersebut dianggap mampu mengatasi soalsoal keagamaan. Untuk alasan itulah RPD menggunakan disiplin keilmuan antropologi, sosiologi, seni dan budaya. Sebagaimana pemikir yang lain, adalah sebuah kekeliruan untuk membayangkan bahwa pemikiran RPD lahir dari sebuah kekosongan (exnihilo) atau tidak diwariskan dan dibentuk dari pemikiran-pemikiran sebelumnya.140
Tidak seperti kebanyakan tokoh-tokoh pemikir yang
pemikirannya dipengaruhi secara kuat dari lingkungan rumah dan keluarga, tidak demikian dengan RPD. Pengaruh intelektual RPD, menurut pengakuan RPD, tidak didapatkan dari keluarga, melainkan dari
139
Sebagai seorang sastrawan RPD mengungkapkan pemikirannya dengan menggunakan istilah-istilah yang sangat ambivalen dan metaforis dan hal ini memang dimungkinkan dalam dunia sastra. Istilah-istilah yang mengandung ambivalensi memaksa penulis untuk menerjemahkan kembali istilah-istilah tersebut ke dalam bahasa yang baku, bahasa ilmu pengetahuan. RPD sendiri terkadang tidak memiliki banyak kata baku. Berbeda dengan dunia ilmu pengetahuan di mana konsep-konsep disusun dengan menyingkirkan sebanyak mungkin konotasi dan ambivalensi sehingga tercapai sebuah kata atau istilah denotatif, dalam dunia sastra konotasi justru dimungkinkan dan ambivalensi justru diaktifkan untuk menghidupkan watak simbol sastra, baca Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esei-esai Sastra dan Budaya (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004), cet. I., h. 8. 140Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran NeoModernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 71.
berbagai buku141 yang diintegrasikan dengan pengalaman kehidupan RPD sendiri.142 Secara intelektual, pemikiran RPD tidak bisa dilepaskan dari sosok Jacques Derrida yang pernah menjadi dosen RPD di EHESS, Prancis dan RPD pernah terlibat diskusi intens dengan Derrida. Ketika Derrida wafat pada 8 Oktober 2004 lalu, RPD sempat membuatkan tulisan kenangan yang berjudul “Salam dari Derrida, Jacques”143
141
Lebih jelasnya dapat dilihat di Bab III skripsi ini tentang biografi RPD. Uraian tentang latarbelakang yang diyakini mempengaruhi pola pemikiran keberislaman RPD, penulis peroleh dari hasil pertemuan (wawancara) yang intensif dengan RPD selama kurun waktu 5 bulan (November 2007 hingga April 2008). 143Dengan mengutip pernyataan Presiden Prancis ketika itu, Jacques Chirac, RPD memuji Derrida, “Dengannya, Prancis telah mempersembahkan kepada dunia salah satu filsuf kontemporer terbesar, satu figur utama dari kehidupan intelektual zaman kita,” baca Radhar Panca Dahana, “Salam dari Derrida, Jacques,” Tempo, 24 Oktober 2004, h.156. 142
Senada dengan ide dekonstruksionisme144 Derrida, dalam setiap tulisannya, RPD memang selalu mengajak setiap individu untuk dengan berani menelaah atau merekonstruksi ulang pemahaman-pemahamannya tentang dunia, peradaban, manusia dan dirinya sendiri.145 RPD meyakini bahwa dengan melakukan dekonstruksi seorang individu mampu menguak makna dan membuka interpretasi teks dan fenomena peradaban yang tidak terbatas. 144 Konsep dekonstruksionisme yang diusung Derrida merupakan metode filsafat untuk membaca sebuah teks yang di dalamnya terdapat realitas. Metode dekonstruksi digunakan Derrida untuk menguak asumsi-asumsi tersembunyi di balik hal-hal yang tersurat. Dengan kata lain, Derrida berupaya menampilkan tekstualitas laten di balik teks-teks (realitas). Derrida meyakini bahwa di setiap teks yang ada bukanlah kekosongan, melainkan terdapat sebuah teks lain yang terisi oleh jaringan keragaman kekuatan-kekuatan yang pusat referensinya tidak jelas. Strategi dekonstruksi Derrida terdiri dari tiga langkah, pertama, mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks di mana biasanya lantas terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematik. Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik, misalnya, dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang berlawanan itu, atau dengan mengusulkan privilese secara terbalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama, baca I Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat,” (Jakarta: Kanisius, 2006), cet. ke-6., h. 44-46. Sebagai cara membaca teks, dekonstruksi berbeda dari cara baca biasa. Dekonstruksi merupakan analisis hermeneutika yang hendak mencari makna sebuah teks. Dekonstruksi ingin memperlihatkan ketidakutuhan atau kegagalan tiap teks untuk menutup diri, baca I Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, h. 46. Dalam soal agama, Derrida tidak pernah membahasnya secara eksplisit. Hanya saja hal yang terkait dengan itu Derrida pernah menyoal tentang geist, geistig, gieslich (jiwa, spiritual dan spiritualitas). Dan Derrida menggeledah hal itu dengan menggunakan perspektif linguistik yang juga merupakan bagian dari teori dekonstruksionismenya. Dengan metode dekonstruksi, suatu istilah atau bentuk perwujudan spiritual atau spiritualitas harus mampu dipisahkan dari perwujudan awalnya atau dari makna awal yang dimunculkan baik oleh siapa dan apa. Artinya, setiap teks harus dipisahkan dari penulisnya atau dalam hal ini makna spiritual dari penciptanya, agar seseorang selalu menemukan penafsiran yang lebih murni. Bagi Derrida menampakkan yang esensial dari sebuah teks (realitas) adalah hal yang final, baca Jacques Derrida, Dekonstruksi Spiritual: Merayakan Ragam Wajah Spiritual, terj. Firmansyah Agus, (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), h. 67-72. Derrida juga menolak penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan hal-hal yang magis (ontoteologi) secara tertulis, seperti, Sein (Ada), Eriegenis (kebenaran Sang Ada adalah suatu peristiwa) dan alètheia (Kebenaran adalah ketaktersembunyian), baca I Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, h. 74-75. “Tak akan ada lagi nama unik, bahkan bila nama itu nama sang Ada. Dan kita tidak perlu bernostalgia,” kata Derrida, baca I Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, h. 49. Menurutnya, penggunaan kata-kata itu hanyalah sekadar mencari kepuasan dari ketertutupan filosofis yang tidak mampu melepaskan diri dari ikatan tradisi ontoteologi yang telah ada. Setiap makna dari suatu teks (dan mungkin termasuk agama) harus mampu dibongkar dengan memutuskan hubungan total dengan makna tradisionalnya. Artinya, setiap orang harus bicara dalam berbagai bahasa dan membuat teks sekaligus, baca I Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, h. 49. Dengan demikian penulis memandang bahwa agama dalam perspektif Derrida adalah hal yang harus dilihat sebagai teks tanpa melibatkan Tuhan sebagai sumber agama. Yang ada adalah agama sebagai teks dan subjek yang membaca teks. Dengan begitu, seseorang bebas mengeksplorasi suatu teks agama untuk mendapatkan sebuah pemahaman atau keyakinan, tentunya dengan metodologi yang telah mumpuni. 145Radhar Panca Dahana, “Salam dari Derrida, Jacques,” Tempo 24 Oktober 2004, h.156.
Selain itu pengalaman hidup RPD di tengah-tengah masyarakat Eropa memang tidak diragukan lagi membekas dalam pemikiran RPD sehingga
memperluas
kemampuan
intelektualnya
dalam
melihat
fenomena dalam masyarakat.146 RPD menegaskan bahwa pergulatan panjang masyarakat Eropa dalam membangun nilai-nilai dasar kemanusiaan dalam pergaulan sosial membuat masyarakat Eropa lebih memiliki nilai-nilai Islami ketimbang masyarakat Islam itu sendiri. Hanya saja, kata RPD, kebanyakan masyarakat Eropa secara pribadi tidak memiliki dasar intelektual yang kuat untuk menjelaskan dan merumuskan perilaku kemanusiaannya apakah telah sesuai dengan nilai-nilai religius. Tetapi, kenyataan yang RPD amati adalah
kebanyakan
masyarakat Eropa
tidak pernah
menggunakan alasan-alasan agama untuk melandasi tindak-tanduknya. Kesan tersebut RPD ungkapkan lewat tulisannya, ”Di negara Barat terjadi, banyak perilaku religius, tetapi mereka karena tidak memiliki basic agama yang kuat, mereka tidak bisa menjelaskan perilaku mereka. Namun apa yang mereka lakoni dalam nilai-nilai kehidupan jauh lebih Islami. Silahkan tanya Gus Dur atau Cak Nur. Yang mereka junjung adalah nilainilai kemanusiaan yang universal, yang sebenarnya adalah Islam. Di Indonesia sebaliknya, mereka tahu pengetahuan tentang Islam, tetapi perilakunya jauh dari Islam.”147
Adapun dalam hal keberagamaannya, RPD selalu bersumber dari realitas keagamaan yang ada di Indonesia. Bagaimana, misalnya, fenomena persentuhan agama (dogma dan doktrin) dengan problem 146 Perjalanannya mengelilingi beberapa negara di Eropa (Belanda, Belgia, Prancis dan Jerman) RPD rangkum dalam 5 tulisan serial di harian Media Indonesia. Kelima tulisan itu adalah ”Catatan Perjalanan Eropa (1): Harga Kesenian yang Dihargai,” Media Indonesia Sabtu 19 April 1997, ”Catatan Perjalanan Eropa (2): Mencari Manusia di Puncak Kapitalisme,” Sabtu 26 April 1997, ”Catatan Perjalanan Eropa (3): Dunia Kubus Seorang Frans Malschaert, Sabtu 10 Mei 1997, ”Catatan Perjalanan Eropa (4): Boneka Menangis di Paris,” Sabtu 17 Mei 1997 dan ”Catatan Perjalanan Eropa (5): Menghalau Galau Para Perantu,” Sabtu 24 Mei 1997. Secara garis besar, tulisan RPD tersebut mengungkapkan kekagumannya terhadap peradaban masyarakat Eropa yang memiliki tingkat kedisiplinan dalam bermasyarakat dan berpikir. Seharusnya, kata RPD dalam wawancaranya dengan penulis, kemajuan itu seharusnya dialami juga oleh masyarakat Islam, sebab kemajuan peradaban Eropa terinspirasi dari para pemikir Muslim. Dalam menjelaskan seluk-beluk peradaban modern Eropa dalam tulisannya itu, RPD sempat mengutip beberapa tokoh besar dunia, seperti Goethe, Umberto Eco dan Frans Malschaert. Tokoh-tokoh tersebut juga diyakini membawa pengaruh dalam pemikiran RPD dalam melihat realitas keagamaan. 147Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007.
kemasyarakatan, agama dan para elitnya yang menurut RPD sangat berpeluang mereduksi kesucian agama yang telah diturunkan Tuhan. Sebelum penjabaran lebih lanjut tentang dogma agama menurut RPD, sebaiknya disimak definisi agama oleh RPD berikut ini: ”Agama buat saya adalah bentuk aturan-aturan yang diberikan pada saya sejak kecil. Aturan itu menetapkan batas-batas kapan atau di mana saya harus berhenti melakukan sesuatu. Mungkin ada reward atau pahala bagi yang menaati aturan itu.... Namun dalam agama, punishment itu mungkin berasal dari masyarakat. Kalau saya shalat atau ngaji dengan sembarangan, saya akan dimaki-maki orang. Tapi kalau saya melakukan hal luar biasa, reward-nya mungkin tak akan langsung didapat. Itulah pengertian saya tentang agama sebagai kenyataan sosial. Secara individual, pengertiannya tentu lain lagi. Pemahaman keagamaan itu harus ditelusuri pelan-pelan berdasarkan pengalaman pribadi-pribadi, tidak hanya dari ajaran-ajaran.”148
Ajaran-ajaran (dogma) dalam agama secara keseluruhan, kata RPD, telah mengalami distorsi oleh pemahaman individu ataupun kelompok tertentu dan akibat bercampur dengan beragam kepentingan. Agama sejak awal keberadaaannya hingga sekarang, bagi RPD adalah agama yang bukan an sich agama ilahi, melainkan agama yang selalu bercampur dengan kepentingan sosiologis dan politis (pragmatis-sekular). Oleh karenanya seorang penganut beragama, harus secara kritis menelaah ulang dogma tersebut. Dan penelaahan ini tidak terkait soal keraguan tentang Tuhan. Berikut pernyataan RPD: ”...Mempertanyakan dogma-dogma itu tidak ada kaitannya dengan mempertanyakan Tuhan, sebab belum tentu dogma-dogma itu Tuhan yang bikin. Kebanyakan dogma justru dibikin oleh kita-kita sendiri dan terkadang ia sudah bercampur-baur dengan dogma dari agama lain, tradisi, kebiasaan, hukum adat, hukum formal, hukum kolonial dan macam-macam. Dogma tak jarang campuran dari itu semua. Di situ misalnya bisa bermain kepentingan-kepentingan kaum feodal.”149
148
Tapi…’”
149
Tapi…’”
“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus 2007. “Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus 2007.
Berdasarkan pandangan ini, RPD melihat keberislaman dalam dua hal, yaitu Islam yang tidak terlepas dari ‘kepentingan’ para elit agama yang memunculkan elitisme agama. Dan kedua, adalah ritus-ritus agama yang secara normatif hanya merupakan satu perangkat yang belakangan ini juga telah kehilangan makna di hutan belantara bernama agama. Padahal keberislaman (atau keberagamaan pada umumnya) bukanlah sikap sekali jadi,
melainkan
(kebenaran).
usaha
Untuk
terus-menerus,
itulah
RPD
proses
mengajukan
menuju
kebaikan
dekonstruksionisme,
sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya. Dan dekonstruksionisme ini untuk mengembalikan semangat inti agama, yakni spiritualisme. Agama (Islam) dilihat RPD sebagai suatu wilayah yang telah banyak terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan para elite agamanya. Dalam kasus ini RPD memandang misalnya keberislaman di dalam tubuh NU, dalam mana sebuah restu dari ulama khâsh sangat menentukan suatu karir seseorang baik dalam bidang politik maupun yang lainnya.150 Bagi RPD ini mencerminkan bahwa agama yang ada selalu tidak bisa terlepas dari kepanjangan tangan para elitnya; dia tidak hanya terpengaruh, tetapi juga telah dikontrol oleh para elit agama yang ada. Ini diperparah lagi dengan kecenderungan tegaknya konsep kekuasaan ulama sebagai pewaris para nabi yang dibarengi dengan kecenderungan mistis. Bagi RPD konsep keberislaman seperti ini harus ditelaah ulang dengan sebuah metodologi pembongkaran, yang mesti dilakukan oleh para insider-nya. Kenapa harus dimotori oleh para insider-nya; agar tidak ada penangkalan secara mentah dan massif dari para pemeluk agama atau organisasi agama itu sendiri terhadap ide-ide dekonstruktif. Untuk ini RPD sangat mengapresisasi usaha-usaha yang dilakukan oleh misalnya salah satu intelektual Islam, Ulil Abshar Abdalla. 150
Radhar panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2001), h. 56.
Alasan harus insider melakukan usaha-usaha dekonstruktif terhadap konsep keberagamaan, asumsi atau tafsir tradisional yang mengecoh, karena sosok insider merupakan bagian dari nilai-nilai dasar dan tradisional yang ada dalam (organisasi) agama itu sendiri. Tanpa ada pendekatan yang bersifat emosional, pembongkaran terhadap nilai tradisional yang menurut RPD sudah tidak bisa dipisahkan lagi dengan dogma yang ada dalam agama, akan mengalami reaksi dan pertentangan. ”Betapa berharga usaha pembongkaran asumsi atau tafsir tradisional yang telah sekian lama mengecoh ummat itu, tampaknya tak akan berhasil kecuali usaha itu sendiri dibongkar atau didekonstruksi kembali melalui nilai-nilai dasar dan tradisional yang bersembunyi di baliknya.... Oleh karena itu, dari beberapa hal di bawah inilah, upaya besar menciptakan ummat atau santri (pada tingkat individu) yang mandiri dapat dimulai.”151
Elit agama telah berubah bentuk menjadi satu paham ekslusif (elitisme) dan menempatkan mereka sebagai satu sandaran mutlak bagi payung hukum dan untuk mengukur kualitas keberagamaan seseorang. Padahal elitisme yang dipelihara dan dilanggengkan secara terus menerus tersebut akan melahirkan asumsi rancu bahwa pemimpin ummat tidak dapat bersalah. Bagaimanapun, elitisme agama dimunculkan dari konsep keberagamaan yang telah terkooptasi dengan asumsi-asumsi keliru yang bersumber dari nilai-nilai tradisional agama yang tidak terlepas dari kecenderungan mistis. Sebagai konsekuensi sosial dan psikologis dari elitisme agama adalah terampas hak individu beragama dalam menegakkan kemandirian dan keberdayaan ummat. Sementara manusia yang bebas dan dapat mengaktualisasi diri akan terkubur di bawah bayang-bayang elit dan konsep keberagamaan yang 151Radhar
Panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia, h. 37.
mereka lahirkan. Selain itu pula, ritus-ritus agama pun akan dijadikan etalase atau formalitas untuk meneguhkan posisi sosial, politik dan ekonomi. Agama dan ritus menurut RPD adalah satu mata uang dengan dua sisi yang berbeda, dan memiliki peran dan fungsi yang sangat vital dalam keseharian. Akan tetapi, bagi RPD menguatnya peran dan fungsi agama tersebut, tidak bisa dimaknai semata-mata sebagai kelahiran kekuatan fisik, dalam bentuk penerapan hukum-hukum agama. Melainkan, kata RPD, ”agama akan kembali dalam bentuk dan perannya yang paling purba yaitu sebagai spiritualisme yang memberi rasa nyaman, tanpa harus diikuti oleh loyalitas komunal atau ritus-ritus keagamaan.”152 Dalam pemaparan di atas, terdapat pandangan secara implisit oleh RPD bahwa ritus-ritus keagamaan hanyalah sebuah performa yang telah disepakati secara komunal baik oleh para agamawan dan pemeluknya. Adapun inti dari semua agama, termasuk Islam, adalah spiritualisme. Maka, masyarakat yang telah berhasil mengeliminasi formalisme agama dalam paradigma keberagamaannya, akan
mampu
menghindar
dari
perbedaan-perbedaan
simbolis-formalistis
beragama yang umumnya terbentuk dan menguat karena pengaruh tradisi, kebiasaan atau kepentingan tertentu. Dengan demikian, RPD memprediksikan agama-agama di dunia akan menuju ketunggalan. Atau paling tidak nama agama tradisional akan tetap ada namun paham keagamaannya akan sama sekali baru, lebih tidak menyoal perbedaan antara satu agama dan agama lainnya, tetapi mendahulukan spiritualisme. Walaupun demikian, spiritualisme ini tidak akan tumbuh kecuali masing-masing pemeluk agama memiliki konsep utuh dalam persoalan Tuhan. Ini menjadi pengalaman RPD saat ia melihat, misalnya, dunia yang 152
Radhar Panca Dahana, ”Keberagaman yang Teperdaya” Gatra, 3 Oktober 2007, h. 106.
semakin kacau dan mengalami disorder di mana banyak manusia yang bersikap tiranik dan otoriter kepada manusia lain, atas nama Tuhan, dan di sisi lain hal demikian tetap dibiarkan terjadi oleh Tuhan. ‘Gugatan’ RPD kepada Tuhan bertambah tajam setelah mencuatnya kasus Imam Khomeini, pemimpin revolusi Iran pada tahun 1979, yang diperlakukan tidak adil oleh negara-negara adikuasa seperti Amerika dengan cara menghentikan bantuan kemanusiaan bagi rakyat Iran ketika itu. Di satu sisi Iran bersikap dengan mengatasnamakan Tuhan dalam mengubah format negara, seperti membungkam perbedaan dan menawarkan satu solusi saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni pandangan sesuai para iman (klerikal). Tapi, di sisi lain Tuhan yang mereka agungkan membiarkan Amerika menghancurkan masyarakat Iran. Kejadian-kejadian kemanusiaan itu, pada akhirnya melahirkan sebuah kesimpulan dalam pemikiran RPD bahwa manusia tidak bisa hanya mengandalkan Tuhan dalam mengubah nasibnya atau keadaannya menjadi lebih baik. Tetapi, manusialah yang harus memiliki daya dan usaha kuat sendiri dalam mengubah nasibnya. Tuhan, menurut RPD memang memiliki takdir, tetapi takdir Tuhan terhadap manusia akan menyesuaikan dengan usaha yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. B. Pandangan Radhar Panca Dahana tentang Tuhan 1. Keesaan Tuhan Proses pengetahuan manusia tentang Tuhan diawali dengan kecenderungan
manusia sebagai homo-recitatus153 (insan-pembaca)
sekaligus homo-religius (insan-beragama). Membaca adalah modal dasar manusia untuk mengenal dan memfamiliarisasi sesuatu yang tidak dikenal sebelumnya, termasuk dalam mengenal dan mengetahui sesuatu yang 153Membaca menurut RPD adalah esensi keberadaan manusia. Membaca merupakan kegiatan instinktif yang kemudian menjadi bekal natural dalam perkembangan hidup. Dengan membaca, seorang individu akan tersadar bahwa di seputar kehidupannya terdapat tanda-tanda yang terepresentasikan dalam simbol, gambar, ikon, huruf, terukir maupun tercetak, yang harus mampu dibacanya. Membaca sangat urgen maka, tak mengherankan bila seorang buta huruf yang menjadi nabi penutup dalam Islam, mendapatkan tugas keilahian pertamanya dengan seruan; “bacalah,” baca Radhar Panca Dahana, Dalam Sebotol Coklat Cair dan Sejumlah EseiEsei, (Depok: Koekoesan, 2008), h. xiii-xiv.
tidak dikenal sebelumnya, termasuk dalam mengenal dan mengetahui kekuatan yang ada di luar kekuatan diri manusia.154 Manusia dituntut untuk membaca (menelaah) fenomena di balik fenomena. Pada akhirnya pembacaan terhadap fenomena di balik fenomena tersebut berujung pada pembacaan manusia yang paling dalam dan paling esensial, yaitu pembacaan tentang eksistensi Tuhan. Menurut RPD sudah menjadi kecenderungan dasariah manusia apakah itu melalui proses internal (psikologis, mental dan spiritual) untuk meyakini keberadaan ketunggalan Tuhan. Kecenderungan dasariah manusia ini, kata RPD dibentuk oleh proses pembacaan (pengamatan) manusia kepada alamnya, seperti gunung, langit, gua-gua, sungai dan sebagainya. Pada awalnya, pembacaan dan pengenalan manusia terhadap eksistensi Tuhan tidak langsung tertuju kepada bentuk ketunggalan (tawhîd), tetapi melalui kepercayaan awal, yang meyakini adanya banyak kekuatan (Tuhan) atau politeisme. Saat itu dan barangkali hingga sekarang, setiap manusia memiliki persepsi tentang kekuatan di luar diri manusia itu, sehingga setiap manusia meyakini Tuhannya masing-masing. ”Pada dasarnya orang memiliki satu kebutuhan atau dorongan untuk mengetahui ada kekuatan lain di luar realitas manusia. Dari dulu orang sudah tahu bahwa pasti ada sesuatu di balik gunung atau gua. Ada satu kekuatan yang sifatnya supranatural. Manusia selalu berusaha untuk berkomunikasi dengan kekuatan itu. Munculnya kebudayaan itu karena dorongan untuk mendapatkan satu bentuk interaksi dengan kekuatan itu. Jadi kalau ditemukan gambargambar yang aneh di dalam gua-gua itu adalah fantasi mereka tentang kekuatan di luar diri manusia. Mereka melihat fenomena kekuatan di banyak tempat, ada di langit, gua sungai dan sebagainya. Di situlah muncul panteistik yang menjadi kepercayaan awal manusia.”155
Pada dasarnya keyakinan tentang keesaan Tuhan, yang didapat oleh individu kebanyakan pada saat sekarang hanya pengenalan secara kognitif melalui dogma dan doktrin agama. Keesaan Tuhan, hanya dapat didalami 154Wawancara
penulis dengan RPD 11 November 2007.
155Wawancara
penulis dengan RPD 11 November 2007.
melalui pendalaman yang bersifat pribadi dan transendental dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat meraih pengalaman tersebut. Bentuk keesaaan Tuhan, menurut RPD, sebenarnya muncul dari imajinasi manusia itu sendiri. Manusia secara personal tidak pernah mampu untuk mengetahui kebenaran Tuhan yang tunggal secara langsung. Keesaan Tuhan, kata RPD adalah realitas yang memang menjadi kebenaran, untuk itu realitas itu harus dibahasakan melalui satu aturan, yang tidak lain adalah agama. Meskipun pada hakikatnya instink ketuhanan dimiliki oleh setiap manusia,156 tetapi menurut RPD tidak semua individu memiliki instink keesaan. Hal itu hanya bisa didapatkan ketika ada penghayatan dan pendalaman dari seorang individu. Bagi orang yang telah meraih pendalaman dan pengalaman ketuhanan yang paling esensial, maka seharusnya konflik antar agama bisa dieliminir. Kalau ditelaah lebih dalam, sebenarnya yang selama ini menjadi pemicu konflik antar agama hanya konflik tentang simbol, seperti nama Tuhan yang sebenarnya merupakan bagian dari dunia simbol kebudayaan. Secara historis, RPD mendapatkan pengenalan dan pengetahuan tentang Tuhan melalui pengajaran dari bangku sekolah dasar. Pada awalnya, RPD memahami Tuhan secara taqlid, secara fatalistis dan menempatkan Tuhan sebagai ancaman yang menakutkan. ”Ketika kecil kita selalu mendapatkan kata-kata dari guru: ’awas berdusta pada Tuhan. Kamu akan disiksa,’”157 Terlihat menempatkan menggeledah
jelas, kajian
dalam
pemikiran
antropologi
ketuhanan
sebagai
dasar
soal ketuhanan. Meskipun, secara
di
atas,
pijakan
RPD untuk
eksplisit disiplin
antropolologi sendiri tidak pernah membicarakan tentang keesaan, namun demikian, kesadaran tentang adanya kekuatan di luar manusia yang 156Bahwa manusia diciptakan dengan sejenis sifat dan watak dasar yang membuatnya siap menerima agama. Pada diri manusia selalu ada dorongan dan kecenderungan pada ketuhanan, baca Mahmud Rajabi, Horison Manusia, terj. Yusuf Anas, (Jakarta: al-Huda, 2006), h. 131. 157 Wawancara penulis dengan RPD 11 November 2007.
menurut RPD melalui medium pengamatan dari alam merupakan salah satu pemikiran yang keluar dari para ahli antropologi.158 Dan pandangan ini diperkuat dalam gagasan RPD yang lain bahwa sebenarnya penamaan Tuhan hanyalah produk simbol kebudayaan manusia. Dan gagasan itu sama dengan pemikiran antropologi yang menempatkan agama sebagai bagian sistem simbol kebudayaan manusia.159 2. Tuhan dalam Tafsiran Angka Konsep Tuhan sebagai agama kemanusiaan dalam Islam, menurut pandangan RPD diwakili oleh 99 yang disebut asmâ’ al-husnâ. Kenapa 99?, karena Islam bukan dan tidak akan akan menjadi agama yang telah mencapai kesempurnaan tanpa adanya keterlibatan manusia di dalamnya. Dalam tafsiran RPD, angka 99 bukanlah angka yang belum mencapai sempurna, ia harus disempurnakan dengan kehadiran angka satu yang tak lain dan tak bukan adalah manusia.160 ”...99 nama dan sifat Tuhan dalam Islam, 9 malaikat yang dikenal, mesti digenapkan atau disempurnakan oleh 1 (satu) yang tak lain adalah manusia. Manusia yang membuat semuanya menjadi dunia, kesempurnaan ciptaanNya. Soal tinggal, siapkah kita jadi pelengkap dunia sempurna? Kita tunggu jawabnya.”161
Tuhan dalam agama Islam menuntut agar hukum-hukum-Nya yang telah diturunkan ke muka bumi harus melibatkan manusia dalam hal menafsir, mengkaji, mencari tahu apa-apa saja fungsi, peran, maksud dan tujuan dari hukum-hukum yang telah diturunkan oleh-Nya.
158
Clifford Geerzt, Kebudayaan dan Agama, terj. Fransisco Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), cet. I., h. 6. 159 Baca Clifford Geerzt, Kebudayaan dan Agama, h. 5. 160 Radhar Panca Dahana, “2008”, Gatra, 7 Januari 2008, h. 106 161Radhar
Panca Dahana, “2008,” Gatra, h. 106
Inilah yang kemudian memberikan kesimpulan kepada RPD bahwa sebenarnya Islam adalah agama kemanusiaan. Agama yang bertujuan untuk mengangkat setiap aspek yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu potensi pemikiran. Berbeda dengan konsep ketuhanan pada agama Kristen yang telah berkeyakinan bahwa konsep ajaran ketuhanan mereka telah sempurna dan tidak perlu dilakukan intepretasi oleh manusia. Hal ini terlihat dari bentuk salib yang menurut tafsiran RPD merupakan bentuk lain dari huruf Romawi, X (10) yang artinya Xristos atau sempurna. Pemahaman ’99’ ini pada awalnya bersumber dari kegemaran RPD sejak masa kecil membaca komik dari berbagai genre: cerita robotik Jepang, cerita manusia-manusia super dari Amerika hingga cerita-cerita keagamaan dari berbagai agama. Dalam komik yang bercerita tentang keagamaan RPD menemukan bahwa dalam sifat Tuhan yang terangkum dalam 99, kebanyakan Muslim mengidentifikasi Tuhan dengan sifat-sifat kemanusiaan atau dimulai dengan pemahaman manusia tentang dirinya sendiri, seperti melihat, mendengar, memegang dan lain sebagainya. RPD berpandangan, salah satu contohnya, pemaknaan terhadap sifat-sifat Tuhan hendaknya tidak direduksi menjadi pemaknaan fisik dan batin yang berlaku pada manusia yang selalu memiliki keterbatasan, melainkan bagaimana memaknai, keseluruhan sifat-sifat Tuhan yang terhimpun dalam 99 itu menyatu dengan visi kemanusiaan. Pada dasarnya kata RPD, visi ketuhanan dalam berbagai agama bertujuan untuk memanusiakan manusia.
Ketika ditanyakan tentang latarbelakang penemuan pemikiran nama-nama Tuhan dalam Islam yang berjumlah 99, seperti inilah jawaban RPD, ”Itu (berasal) dari pemikiran lama. Dari berbagai sudut. Itu sifatnya menjalin. Bisa berasal dari komik-komik yang menggambarkan tentang Tuhan Sulaymân, Ibrâhîm, Yesus (‘Îsâ), itu juga berpengaruh. Tetapi bagaimana jalan pengaruhnya, itu berjalan di luar kesadaran, dalam spontanitas dan itu berkelindan.”162 Fakta menunjukkan bahwa komik merupakan latarbelakang penemuan RPD tentang pemikiran ’99’. Pengenalan ’99’ melalui komik-komik yang memuat tentang cerita-cerita kemukjizatan Tuhan tersebut menyeret RPD untuk menggeledah lebih jauh tentang pemaknaan ’99’ yang menurut RPD selama ini lebih dimaknai secara superfisial oleh kebanyakan Muslim, lewat hitung-hitungan matematika yang dimulai dari angka 10 yang dipercaya di seluruh bagian dunia melambangkan
keadaan
yang
positif.
Selain
dianggap
sebagai
isyarat
kesempurnaan,
angka 10 ”...dipercaya banyak agama tangga pertama menuju
perkalian-perkalian bulat berikutnya (100, dst).”163 Dari hitungan itu kemudian RPD menautkan bahwa ’99’ dalam Islam harus digenapkan agar sempurna (mencapai angka 100) oleh manusia. ”Manusia membuat semuanya menjadi dunia, kesempurnaan ciptaanNya. Soalnya tinggal, siapkah kita jadi pelengkap dunia sempurna? Kita tunggu jawabnya,”164 Pemaparan ini menjawab persoalan tentang mengapa seorang RPD secara tiba-tiba berbicara tentang 99, yakni bahwa dalam setiap pemikirannya tentang keberislaman, RPD selalu berusaha untuk melakukan upaya humanisasi agama (Islam). Setiap simbol-simbol Islam selalu harus dapat dihubungkan dengan 162
Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007. Radhar Panca Dahana, ”2008,” Gatra, h. 106. 164 Radhar Panca Dahana, ”2008,” Gatra, h. 106. 163
fungsi dan perannya secara sosiologis. Dalam artian, Tuhan dan agama tidak hadir untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kemanusiaan. Tinggal bagaimana setiap individu, kata RPD, membuat dasar filosofis dan keyakinan yang kuat untuk memaknai ketuhanan dalam agamanya dan segala simbol-simbol yang melekat kepadaNya.
C. Pandangan Radhar Panca Dahana tentang Manusia 1. Manusia sebagai Homo-Religius Manusia dalam pergumulannya dengan peradaban kian terseret dari pusat lingkaran luar eksistensi mereka sendiri. Di sinilah kemudian problem eksistensial mencuat kembali: “bagaimana seorang individu, kelompok, bangsa atau warga dunia menjelaskan dirinya sendiri”165 Dalam peradaban modern, manusia yang pada awalnya kehilangan kesadaran akan kembali mengembalikan kesadarannya kepada bentuknya semula: yaitu mencari dan mendekati Tuhan yang merupakan kodrat pertama manusia. RPD dalam hal ini meyakini bahwa pada dasarnya, semua semesta dicipta karena cahaya yang ghaib (Tuhan), ”Keberadaan manusia, bermula dari kehendak dan cinta yang berproses melalui jasa renik (partikel biologi yang kecil), tumbuhan dan hewan yang akhirnya menjadi manusia di puncaknya.”166 Dengan demikian, sudah menjadi kodrat bahwa di setiap sel di dalam tubuh manusia akhirnya mendedikasikan diri pada yang telah menciptakannya.
165
Radhar Panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia, h. 55. Panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia, h. 56.
166Radhar
Manusia secara kodrat akan mencari pusat dedikasinya dan itu ada pada Penciptanya sendiri, yaitu Tuhan.167 Di sini terbuka suatu pengertian bahwa di setiap jiwa manusia, entah ada dalam kesadaran akal maupun tidak, sudah mengakar rasa religius, atau kerinduan kepada Tuhan. Perjalanan menuju Tuhan akan selalu menjadi nafas dari semua gerak hidupnya. Lebih dalam RPD memaparkan, sebagai berikut: ”Tuhan adalah pertautan bagi manusia, sebab manusia salah satu atau mungkin satu-satunya makhluk yang selalu menderita ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan itu bisa diterjemahkah sebagai kegalauan, kebimbangan, kekacauan-situasi khaotik, sebab manusia dihinggapi oleh satu hal dalam hidupnya yaitu masalah. Masalah inhern dalam hidup atau masalah adalah hidup itu sendiri. Tapi manusia juga diwarisi sifat ketuhanan, sebutlah sebagai kebolehan (jâ’îz). Maka manusia punya pilihan dan ini sekaligus 168
menciptakan problemasi dalam diri manusia.”
Tetapi manusia diberi akal, yang menjadi dasar bagi pilihan-pilihannya. Ini menyebabkan dunia manusia selalu tergerak menciptakan keseimbangan. Karena itu manusia butuh tempat untuk bertaut. Ide manusia tentang keseimbangan itu muncul dari ide tentang Tuhan. Ide tentang Tuhan menurunkan keseimbangan-keseimbangan dari tingkat paling mikro sampai paling makro. Di tingkat diri manusia secara psikologis, fisik, mental, intelektual hingga di tingkat kelompok dan tingkat nasional.169
167Radhar
Panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia, h. 56
Hidup Rahdar Panca Dahana,” Jurnal Nasional edisi 0131 Minggu IV-April 2007 h. 7. 169“Pergulatan Hidup Rahdar Panca Dahana,” Jurnal Nasional edisi 0131 Minggu IV-April 2007 h. 7. 168“Pergulatan
Pemahaman religiusitas di sini, bagi RPD tidak selalu dikaitkan dengan pengertian yang agamawi (dengan melakukan ritus-ritus keagamaan) atau penganut agama formal tertentu. Di sini RPD ingin menegaskan bahwa manusia bertuhan, bukan hanya monopoli orang-orang yang mengikat diri kepada agama secara formal. Namun, hal itu juga dimiliki oleh manusia ateis sekalipun, karena dalam setiap sel manusia selalu ada cahaya Tuhan yang akan selalu menyeret manusia kepada ketertundukan kepada Tuhan, kepada yang ghaib.170 Soal perangkat formal seperti yang ada di dalam berbagai agama, itu hanya soal pilihan. Ada manusia yang merasa cocok untuk menggunakan perangkat formal (ritus agama) sebagai media menuju Tuhan,171 namun ada juga sebagian manusia yang telah memiliki perangkatnya sendiri. Oleh karena itu, satu hal yang menjadi titik tekan dalam penjabaran ini bahwa, persoalan beragama atau tidak, status sosial dan profesi tidak akan melenyapkan iman dan religiusitas di dalam diri manusia. Pada dasarnya semua manusia adalah homo-religius. Pemahaman RPD tentang homo-religius ini terpengaruh pemikiran filsuf Denmark,
Soren
Kierkeegard 172
yang
terkenal dengan
konsep
filsafat
eksistensialis religius. Menurut Soren Kierkegaard manusia akan selalu memiliki pertautan dengan Tuhan, karena Diri (eksistensi manusia) berasal dari Tuhan.
170
Radhar Panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia, h. 56. Panca Dahana, “Keragaman yang Teperdaya,” Gatra, h. 106. Soren Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark pada 5 Mei 1813. Ia merupakan pengusung filsafat eksistensialisme (Diri) religius yang diyakini berpengaruh terhadap para filsuf besar, seperti Martin Heidegger, Karl Jasper dan Jean-Paul Sartre, baca Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004), h. 24-31. Lebih lanjut Kierkegaard menjelaskan, dan ini berkaitan dengan konsep filsafat eksistesialisme religius yang diusungnya, bahwa ada tiga wilayah eksistensi atau tahap dan bentuk pemenuhan hidup manusia: pertama manusia akan melalui kehidupan estetis atau yang penuh dengan keindahan, kedua kehidupan etis dan ketiga kehidupan religius, baca Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, h. 85-86. 171Radhar 172
Untuk memahami Diri, kata Kierkegaard seseorang mesti mengalami perjalanan masing-masing dengan cinta yang berakhir pada keindahan keabadian abadi (Tuhan).173 Di samping itu, kegemaran RPD dalam membaca dan menulis sastra membawanya berkenalan dengan karya-karya Muhammad Iqbal, yang RPD kenal sebagai seorang sastrawan religius asal Pakistan yang konsep ketuhanan dan kemanusiaanya kurang lebih sama dengan Soren Kierkegaard. Dari sini dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa pemikiran-pemikiran para filsuf Barat dan tokoh-tokoh sastra juga sedikit banyak mempengaruhi pola pemikiran keberagamaan RPD.
2. Manusia Semesta dalam Konteks Keberislaman Perubahan paradigmatik ummat Islam Indonesia dalam memandang perubahan zaman yang ada di sekitarnya memunculkan beragam ekspresi keberislaman. RPD berpandangan bahwa ekspresi keberislaman yang lebih murni dan kontekstual adalah keberislaman yang diterapkan oleh manusia semesta; manusia yang mampu membumi dengan nilai-nilai yang ada di lingkungannya. Manusia semesta bukanlah termasuk kelompok-kelompok dalam Islam yang melahirkan konflik, karena berbeda paham dan aliran.174 Justru, manusia semesta merupakan individu-individu yang secara cerdas mengakomodir setiap norma maupun keyakinan yang plural. ”Islam bukanlah kelompok-kelompok yang justru rawan konflik. Tatkala Islam telah berada dalam sekat-sekat madzhab, maka dogma-dogma yang ada dalam Islam akan mengalami pergeseran pada nilai fungsionalnya. Islam justru akan ditafsir berdasarkan 173
“Dari Skandinavia ke Dunia Maya,” Tempo 20 April 2008, h.77. penulis dengan RPD pada 11 November 2007.
174Wawancara
kepentingan-kepentingan kelompok tertentu, Islam hanya akan menjadi media meraih kepentingan yang pragmatis dan materialis. Akhirnya ummat Islam hanya mengurusi kepentingan-kepentingan sekular.”175
Tentang tatacara berislam, manusia semesta akan mampu mengambil bentuk kepada hal yang paling personal dengan mempertimbangkan keadaan mental, psikologis dan intelektual dari individu itu sendiri. Sedangkan dalam lingkungan sosial, manusia semesta akan membentuk keberislaman sesuai dengan norma-norma dan adat yang berlaku dan yang menjadi kesepakatan antara individu maupun kelompok. Terkait dengan peradaban yang ada di sekitarnya, manusia semesta tidak akan mengambil tatacara berislam dari sebuah kultur yang pernamen atau berasal dari satu etnis, seperti Arab saja, melainkan bersandar kepada kultur lokal yang menjadi realitas mutakhir manusia itu berada. Keberislaman yang diterapkan oleh manusia semesta ini mampu mengeliminir persoalan-persoalan sara dan rasial. Para individu yang telah menjadi manusia semesta telah meyakini bahwa dalam wilayah sosial mereka tidak lagi mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai primordial yang menjadi asal-muasalnya, baik itu agama, etnis, strata sosial maupun ras. Landasan keberislaman manusia semesta, menurut RPD, akan melahirkan sikap saling menghormati antar penganut paham atau aliran dalam satu atau berbeda agama. Persoalan-persoalan yang dinilai sangat prinsip seperti kitab suci, kenabian dan aturan-aturan agama tidak akan mampu menghalangi manusia semesta untuk menghormati keyakinan yang dianut oleh manusia lainnya. Hal ini juga berhubungan dengan keyakinan manusia semesta bahwa sesungguhnya 175
Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007.
agama hanyalah sebuah perangkat formal yang berisikan tentang simbol-simbol kebudayaan yang tidak mesti dipertentangkan
dan apalagi dijadikan sebagai
pemicu berkonflik.176 Apa yang diusung oleh RPD tentang konsep manusia semesta tentu didorong oleh pemahaman RPD tentang universalisme Islam. Bahwa apa yang telah menjadi standar moral dan etika dalam Islam sebenarnya juga berlaku di mana-mana. Contohnya, konsep filantropi atau yang dalam Islam disebut dengan zakat, sedekah, wakaf dan lain-lain. Negeri Barat pun, kata RPD, menganut semangat filantropi itu untuk membantu saudara atau tetangga mereka yang tengah didera kesulitan hidup. Dan justru, menurut RPD yang pernah mengelilingi Eropa, semangat berderma lebih terlihat di negeri yang bukan mayoritas Muslim. ”Maksud universalisme adalah bahwa Islam itu adalah universal karena ia berlaku untuk semua. Dalam pengertian bahwa apa yang menjadi standar moral dan etika dalam Islam sebenarnya berlaku di mana-mana dan semua orang mengakui itu. Seperti berderma atau berzakat. Itu bukan sesuatu yang asing di mana-mana. Orang beribadah di masjid, memberi salam, menerima tamu dengan hangat, itu hal yang universal. Artinya, kalau kita mempratikkan Islam dengan sungguh-sungguh, kita tidak akan terasing.”177
Contoh lainnya adalah memberi salam dan menerima tamu dengan ramah merupakan nilai-nilai Islam yang juga dianut oleh masyarakat kebanyakan baik di Timur maupun di Barat. Artinya, kalau orang telah mempraktikkan Islam dengan sungguh-sungguh, maka ia tidak akan terasing di manapun, karena setiap adab yang baik (Islami) selalu ada di manapun juga.
176Wawancara 177
penulis dengan RPD pada 11 November 2007. Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007.
Menurut RPD, orang yang sering melakukan ritus-ritus formal keagamaan belum dapat dikatakan Islam, tetapi bagaimana perilaku dia setelah melakukan ritus formal itulah yang menjadi ukuran keislamannya.178 ”Orang yang banyak beribadah formal belum menunjukkan Islam. Tetapi, bagaimana perilaku dia setelah selesai melakukan shalat atau beribadah itu yang menjadi ukuran. Islam harus dinilai dari bagaimana perilaku mereka dalam keseharian. Sedangkan untuk ibadah adalah urusan pribadi masing-masing. Kekuatan ritus yang dijalankan seseorang tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali Tuhan dan manusianya. Yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai ritus itu diejawantahkan dalam kehidupan seharihari.”179
Konsep manusia semesta dalam konteks keberislaman merupakan cerminan RPD sebagai individu yang lingkungan kehidupannya selalu dikelilingi oleh masyarakat yang plural baik dari budaya, intelektual, suku dan agama. Sedari kecil hingga sekarang RPD memang cukup terbuka dalam pergaulan tanpa memilih dan memilah latarbelakangnya. RPD pun sangat enggan untuk mengidentifikasi dirinya ke dalam satu bentuk golongan, ras, dan suku yang rawan konflik yang pada akhirnya akan membawa dampak buruk terhadap perilaku dan pemikirannya, seperti kultus individu dan sakralisasi yang membabi buta terhadap suatu lembaga atau organisasi keagamaan. Untuk hal ini RPD menjelaskan dalam sebuah ungkapan, ”Dalam pergaulannya dengan penganut agama lain, manusia semesta akan mampu saling bertukar aura yang menciptakan respek antara satu penganut agama, suku atau ras dengan penganut lainnya. Pada tingkatan sosial, manusia semesta sudah tidak lagi terhalangi oleh hal-hal yang berbentuk sara yang justru memicu lahirnya konflik dan bisa membatasi potensi kemanusiaan yang dimilikinya, seperti kitab suci, nabi-nabi maupun simbol-simbol keagamaan hingga kesukuan. Jadi, manusia semesta akan selalu
178
Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007. Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007.
179
bergaul
dengan
tata
aturan yang berlaku
pada
lingkungannya,
tanpa
harus
180
mengidentifikasi dirinya kepada agama, etnis, ras dan strata sosial.”
Kehidupan yang dijalani RPD bersama dengan masyarakat yang plural itu membawa RPD kepada suatu pemikiran bahwa hendaknya setiap manusia dapat membumi dengan lingkungan ia berada dan konsep itu ada dalam pemikiran manusia semesta.
180
Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Secara historis, pergaulan Radhar Panca Dahana (RPD) dengan komunitas penggiat seni dan sastra merupakan titik awal penting bagi perjalanan pemikirannya dalam memandang segala hal, termasuk soal keberislaman. Sedangkan, secara intelektual, kegemaran RPD membaca buku-buku biografi, filsafat dan sastra di tambah latarbelakangnya yang berpendidikan sosiologi membawanya banyak bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran filosofis yang berpengaruh kepada setiap pemikirannya yang sangat kuat dalam setiap pengunaan kata-kata untuk melukiskan pandangannya. Terkadang kata-kata yang digunakan RPD mengandung banyak ambivalensi dan konotatif, sehingga sangat sulit untuk diterjemahkan dengan bahasa yang denotatif dan baku, terutama bila menyangkut pandangannya seputar keberislaman (Tuhan dan manusia). Pandangan RPD tentang Tuhan dan manusia sebagai satu gagasan kosmologis yang saling terkait, sangat memiliki watak inklusifisme di mana Tuhan merupakan sumber ontologis semua manusia, karenanya semua manusia adalah homo-religius atau manusia yang selalu menyadari pertautannya dengan Tuhan. Gagasan ini cenderung serupa dengan gagasan inklusifisme sebagai watak dasar gerakan neo-modernisme Islam di Indonesia yang menilai bahwa semua manusia senantiasa merindukan kebenaran abadi. Selain itu, pemahaman ketuhanan RPD juga sejalan dengan semangat kemanusiaan yang universal yang dianut oleh kelompok neo-modernisme, yang
hanya meyakini pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, yang kemudian mendesakralisasi pandangan terhadap selain Tuhan. Tuhan adalah penguasa mutlak bagi manusia, tetapi Tuhan telah sedari awal memberikan pilihan kepada ummat manusia untuk mengimani atau mengingkari. Kemutlakan hanyalah milik Tuhan dan itu hanya dalam konteks eksistensi keesaanNya, selain itu tidak ada hal yang perlu dimutlakkan atau dianggap sebagai kebenaran abadi. Sesuai dengan ciri-ciri yang melekat pada latarbelakang, maupun pemikirannya, paradigma keberislaman RPD memang cenderung kuat dapat digolongkan ke dalam kelompok Muslim substansialis. Dalam hal latarbelakang pendidikan, kelompok substansialis dihuni oleh individu Muslim yang tidak memiliki latarbelakang pendidikan tradisional keislaman maupun pendidikan keislaman modern. Gagasan-gagasan keislaman RPD dan substansialis juga memiliki beberapa kesamaan, antara lain memiliki keyakinan dan pandangan bahwa substansi keimanan dan praktik adalah lebih penting daripada bentuk dan setiap generasi Muslim dapat menafsir pesan al-Qur’ân dan Hadîst, baik secara langsung atau melalui terjemahan yang telah ada, sesuai dengan situasi masanya. Dalam aktivitas kesehariannya, antara para kelompok Muslim substansialis dengan RPD juga sama, yaitu individu-individu yang langsung terjun ke dalam masyarakat lewat organisasi kemasyarakatan. Dan RPD adalah salah satu penggiat seni dan budaya yang tergabung dalam kelompok Federasi Teater Indonesia (FTI). Jadi, penulis hampir tidak melihat perbedaan dengan ciri-ciri kelompok yang berorientasi teologis substansialis, sebagaimana yang dijabarkan oleh Fachry Ali dan William Liddle, dengan apa yang ada pada diri RPD, baik dalam latarbelakang pendidikan dan semangat dasar dalam melahirkan gagasan keislamannya.
Meskipun apa yang menjadi hasil pemikiran keislaman (teologis) RPD cenderung berorientasi kepada kelompok-kelompok teologi yang lain, seperti teologi rasional maupun neo-modernisme, namun secara ciriciri materialis, RPD adalah Muslim subaltern yang masuk ke dalam golongan teologi substansialis. Perbedaan antara RPD dengan kelompok neo-modernisme kemudian adalah soal metode pendekatan yang hanya mengandalkan keilmuan sekular dan melalui metode empiris yang bersifat personal. Namun semangat dasar gagasan keberislaman RPD, serupa dengan gagasan pembaharuan teologi yang digagas baik oleh kelompok modernis (rasional), neo-modernis, maupun kelompok teologis substansialis, yaitu gagasan teologis harus selalu kontekstual dengan perkembangan situasi modern dan setiap gagasan yang terlahir merupakan produk pemikiran yang sifatnya tentatif dan dinamis.
B. Saran-saran. Khazanah pemikiran kontemporer keislaman sebaiknya tidak hanya diramaikan oleh para pemikir arus utama saja, yang dalam hal ini adalah mereka para Muslim yang terdidik Barat yang dulu pernah menimba ilmu-ilmu Islam tradisional maupun mereka yang berasal dari pesantren dan perguruan tinggi Islam, tetapi juga oleh para intelektual sekular yang hanya berpendidikan keilmuan sekular. Manfaatnya adalah agar para intelektual berpendidikan sekular tersebut dapat memberikan kritik konstruktif terhadap pemahaman keagamaan yang cenderung membuntukan kemajuan bangsa di mana ‘posisi luar’ mereka dalam menelaah agama akan lebih cenderung objektif, karena biasanya para intelektual
itu lebih melihat agama sebagai sesuatu yang sifatnya personal dan bukan kesepakatan kelompok.
DAFTAR PUSTAKA Buku Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normatif atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Abdullah, Taufik, “Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam Kontemporer” dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, Bandung: Mizan, 1996 Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, cet. 3. Ali , Fachry dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986 Amal, Taufik Adnan, ed., Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1994, cet. vi Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi Islam di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999. ____, Jaringan Ulama Timur Tengah da Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia, Jakarta: Prenada, 2005, edisi revisi, cet. Ke-2. Barton, Greg Gagasan Islam Liberal: Pemikiran Neo-modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq Jakarta: Paramadina, 1999. Dahana, Radhar Panca, Kebenaran dan Dusta dalam Sastra, Yogyakarta: Lkis, 2004. ______, Menjadi Manusia Indonesia, Yogyakarta: LKis, 2003. ______, Dalam Sebotol Coklat Cair dan Sejumlah Esei-Esei, Depok: Koekoesan, 2008. ______, Jejak Postmodernisme: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia, Yogyakarta: PT Bintang Pustaka, 2004, cet. I.
______, Wawancara penulis dengan Radhar Panca Dahana pada tanggal 11 November 2007 pukul 19.00-22.00 WIB di kediamannya di perumahan Villa Pamulang, Tangerang, Banten. Derrida, Jacques, Dekonstruksi Spiritual: Merayakan Ragam Wajah Spiritual, terj. Firmansyah Agus, Yogyakarta: Jalasutra, 2002. Dhofier, Zamakhsyari, “Teologi Asy‘ari dan Pembangunan,” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta: LKPSM NU, 1989. Federspiel, Prof Howard M., dalam Kata Pengantar dalam Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta: 2004 Hafid, Abdul “Estetika Puitis al-Qur`ân: Studi Analisis tentang Dua Metode HB. Jassin Memahami al-Qur`an,” Skripsi, Jakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2005. Halim, Abdul, ed., Teologi Islam Rasional: Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution , Jakarta: Ciputat Press, 2005. Hanafi, Ahmad, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 2001, cet. 12. Jamhari, "Islam di Indonesia," dalam Taufiq Abdullah dkk., ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. V, Jakarta: Ichtiar Van Hoeve. Kleden, Ignas, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004, cet. I. Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan,
Kemanusiaan
dan
Kemodernenan
Jakarta:
Paramadina, 1992, cet. 2. _____, “Sekapur Sirih,” dalam Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001. Morewegde, Parviz, “Teologi” dalam John L. Espositto ed., Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, jil. 6, terj. Eva Y.N., dkk., Bandung: Mizan, 2001.
Mursyid, Hasbullah, “Aliran Khawarij dan Splinter Group” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta: LKPSM NU, 1989. Nasr, Seyyed Hossein dan Chittick, William C., Islam Intelektual: Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, terj. Tim Perenial, Depok: Perenial Press, 2001, cet. 2. Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI Press,1987. _______, Islam Ditinjua dari Segala Aspek Jilid 2, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987. _______, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Saiful Mujani, ed., Bandung: Mizan, 1995. _______, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta UI Press, 1972, cet. II. Nata, Abuddin, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2001. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982. Rajabi, Mahmud, Horison Manusia, terj. Yusuf Anas, Jakarta: al-Huda, 2006. Rahardjo, Dawam “Aliran Khawarij dan Teologi Sempalan,” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembaharuan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta: LKPSM NU, 1989). _______, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid”
dalam
Nurcholish
Madjid,
Islam
Kemodernan
dan
Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1999, cet. xii. Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung; Pustaka, 1994, cet. 2. Saleh, Fauzan, Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004. Sugiharto, I Bambang, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, Jakarta: Kanisius, 2006, cet. ke-6. Tjaya, Thomas Hidya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004.
Woodward, Mark R., “Pendahuluan: Indonesia, Islam, dan Orientalisme: Sebuah Wacana yang Melintas, dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, Bandung: Mizan, 1996.
Koran, Majalah dan Internet Azra, Azyumardi "Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltern," Gatra 6 Desember 2003. Alkisah, No. 4 / 1-14 September 2004, “Radhar Panca Dahana: ‘Saya adalah Karyawan Allah.’” Bali Post, 3 September 1995, “Radhar Panca Dahana, Perjalanan dari Kosong Menjadi Ada.” Jurnal Nasional, edisi 0131 Minggu IV-april 2007, “Pergulatan Hidup Radhar Panca Dahana.” Dahana,
Radhar
Panca,
“Seni
Oke,
Politik
Eko!,”
http://www.kompas.com/kompas
-
cetak/0509/15/humaniora/2049656.htm. artikel diakses pada tanggal 17 September 2007 jam 14.00. ______, “Keragaman yang Teperdaya,” Gatra 13 Oktober 2007 ______, “Jika Seni Menjadi Industri,” Republika, 16 Mei 1997. ______, “Presiden
Negeri
Simbol
http://www.kompas.com/kompas
cetak/0409/16/humaniora/1271939.htm. ,”
-
diakses pada tanggal 17
September jam 14.30. ______, “2008” Gatra 7 Januari 2008 ______, “Salam dari Derrida, Jacques,” Tempo, 24 Oktober 2004.
______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (1): Harga Kesenian yang Dihargai,” Media Indonesia, 19 April 1997, ______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (2): Mencari Manusia di Puncak Kapitalisme,” 26 April 1997, ______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (3): Dunia Kubus Seorang Frans Malschaert,” 10 Mei 1997, ______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (4): Boneka Menangis di Paris,” 17 Mei 1997 ______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (5): Menghalau Galau Para Perantau,” 24 Mei 1997. http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus 2007.“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi…’” Kompas 11 April 2003, "Di Panggung Radhar Terus Hidup." Playboy, edisi Juli 2006, “Dalam Maut dan Puisi.” Tempo, 20 April 2008, “Dari Skandinavia ke Dunia Maya.” Tempo 22 Juli 2007, "Bahasa 'Baru' Teater Radhar."