INDONESIA FOREST AND CLIMATE SUPPORT
Panduan Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi
In Collaboration with
This publication has been prepared for the United States Agency for International Development, under USAID Contract Number EPP-I-00-06-0008, Order Number AID-497TO-11-00002. This publication is made possible by the support of the American People through the United States Agency for International Development (USAID). The contents of this document are the sole responsibility of Tetra Tech ARD and do not necessarily reflect the views of USAID or the United States Government.
Tetra Tech ARD 159 Bank Street, Suite 300 Burlington, VT 05401 Tel: (802) 658-3890
Panduan Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi
Disusun oleh : Panel Teknis Jaringan Nilai Konservasi Tinggi Indonesia Aisyah Sileuw, Dwi R. Muhtaman, Dr Harnios Arief, Kresno Santoso, Dr. Lilik Budi Prasetyo, Pupung Nurwata, Dr. Irdika Mansyur, Sigit Setyanto, Wahyu F. Riva, Wibowo A. Djatmiko, Yana Suryadinata. Didukung oleh Didik Prasetyo dan Yokyok Hadiprakarsa dari IFACS-USAID dan Sutji Shinto dari Jaringan NKT Indonesia. Citasi : Jaringan NKT Indonesia. 2013. Panduan Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi. IFACS-USAID. Jakarta.
Kegiatan ini dibiayai oleh USAID melalui program IFACS (Indonesia Forest and Climate Support). Isi dari panduan ini bukan merupakan representasi dari USAID.
Hal | 3
Kata Pengantar Penerapan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) di Indonesia tidaklah selalu berjalan sesuai yang diharapkan. Banyak tantangan berkaitan dengan interpretasi, kualitas penilaian yang beragam dan masih lemahnya berbagi pengetahuan dan koordinasi antara pemangku kepentingan yang terlibat dengan perlindungan NKT. Saat ini sudah terdapat panduan identifikasi NKT di Indonesia yang dibuat hampir 10 tahun lalu, dan telah mengalami revisi untuk menyesuaikan kondisi lapangan. Dari Kondisi yang ada saat ini, terdapat beberapa catatan yang harus segera diperbaiki tentang pelaksanaan NKT di Indonesia, diantaranya adalah pemahaman dan interpertasi terhadap konsep NKT, metodologi identifikasi dan panduan yang memadai untuk penerapannya pada ekosistem yang berbeda (non-hutan). Pada saat konsep NKT dilaksanakan, satuan pengelola harus memikirkan bagaima NKT tersebut dikelola dan dipantau secara berkala, sehingga tujuan pengelolaan dapat tercapai dengan maksimal. Selain itu, seberapa besar para pihak termasuk para pembuat kebijakan terlibat dalam proses pengelolaan dan pemantauan NKT. Siapa yang akan bertanggung jawab mengelola NKT, terlebih apabila NKT yang teridentifikasi berada di dalam wilayah satuan pengelolaan dan di luar wilayah kelola yang diberikan. Melihat kondisi seperti ini, Jaringan Nilai Konservasi Tinggi Indonesia mengambil inisiatif untuk menyusun sebuah Panduan Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi untuk berbagai sektor usaha konsesi sumber daya alam, yaitu IUPHHK-HA (hutan alam), IUPHHK-HT (hutan tanaman), perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan usaha pertanian/perkebunan skala kecil. Seluruh panduan tersebut akan terhubung dengan pengelolaan dan pemantauan skala lansekap. Panduan ini bersifat sederhana dan melengkapi beberapa panduan yang sudah disusun oleh beberapa pihak, serta merujuk kepada beberapa panduan atau pedoman yang terkait dengan NKT seperti biodiversitas, ekosistem, jasa lingkungan dan sosial budaya. Panduan ini diharapkan bisa menjawab tentang perlunya pengelolaan untuk meningkatkan nilai konservasi tinggi yang tersebar luas di wilayah Indonesia, khususnya di kawasan budidaya. Semoga dengan adanya panduan ini dapat bermanfaat bagi para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.
Tim Penyusun
Hal | 4
Ucapan Terima Kasih Jaringan NKT Indonesia merupakan organisasi berbasis anggota yang mempunyai mandat untuk mendorong penggunaan NKT sebagai alat dalam meningkatkan dan memelihara nilainilai konservasi tinggi yang ada di wilayah Indonesia. Sebagian besar nilai ini tersebar luas di dalam wilayah kawasan yang diperuntukkan sebagai wilayah produksi pengelolaan sumberdaya alam. Jaringan NKT Indonesia menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada tim panel NKTNI yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan curahan pemikiran. Para ahli: Prof Lilik Budi Prasetyo, Yana Suryadinata, Wahyu Riva, Kresno Santoso, Dr Harnios Arief, Aisyah Sileuw, Pupung Nurwata, Sigit Setyanto, Wibowo A. Djatmiko, Dr. Irdika Mansyur memberi pengetahuan dan pengalamannya dalam menyusun panduan pengelolaan dan pemantauan NKT di Indonesia. Panduan ini merupakan diharapkan bisa melengkapi kebutuhan panduan tentang penerapan NKT di Indonesia. Jaringan NKT Indonesia juga mengucapkan banyak terima kasih kepada para anggota yang sudah banyak terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok dan hadir dalam workshopworkshop untuk menyusun panduan ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada USAID-IFACS yang telah mendukung proses penyusunan panduan ini, melalui workshop dan pertemuan-pertemuan regular dengan melibatkan para ahli. Kami sampaikan terima kasih kepada Tropenbos Indonesia yang juga mendukung kegiatan-kegiatan Jaringan termasuk dalam penyusunan dokumen ini. Jaringan NKT Indonesia menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas dukungan berbagai pihak baik untuk kelangsungan Jaringan maupun dalam menyusun dokumen penting ini. Semoga semua upaya bermanfaat bagi Indonesia yang lebih baik dan berkelanjutan.
Hal | 5
Daftar isi
Kata Pengantar ..................................................................................................................... 4 Ucapan Terima Kasih............................................................................................................ 5 Daftar isi................................................................................................................................ 6 Daftar Gambar ...................................................................................................................... 8 Daftar Tabel .......................................................................................................................... 8 Daftar Singkatan ................................................................................................................... 9 1.1.
Latar Belakang ................................................................................................... 10
1.2.
Ruang Lingkup .................................................................................................... 11
1.3.
Tujuan ................................................................................................................. 11
1.4.
Prasyarat ............................................................................................................ 11
1.5.
Struktur Panduan ini............................................................................................ 11
1.6.
Tim Penyusun ..................................................................................................... 12
1.7.
Proses Penyusunan Panduan Pengelolaan dan Pemantauan ............................ 13
2.1.
Sejarah Konsep Nilai Konservasi Tinggi.............................................................. 15
2.2. Pelaksanaan Konsep Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Sumber Daya Alam di Indonesia......................................................................................................................... 17 2.3.1.
Permasalahan Pengelolaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Hutan Alam (HPH) 18
2.3.2. (HTI)
Permasalahan Pengeloaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Hutan Tanaman 18
2.3.3.
Permasalahan Pengelolaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Pertambangan ... 19
Nilai Konservasi Tinggi di Konsep Tata Ruang.................................................................... 19 2.4.
Identifikasi, Pengelolaan dan Pemantaun Nilai Konservasi Tinggi....................... 20
2.5. Ragam Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Sumber Daya Alam di Indonesia ..................................................................................... 22 2.6.
Sumber untuk informasi tambahan ...................................................................... 22
3.1.
Definisi Pengelolaan ........................................................................................... 23
3.2.
Tujuan Pengelolaan ............................................................................................ 23
3.3.
Prinsip-prinsip Pengelolaan................................................................................. 23
3.4.
Skala Pengelolaan, dan Keluaran ....................................................................... 24
3.5.
Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Pemantauan NKT (RPP-NKT).. 24
Hal | 6
3.5.1.
Menentukan tujuan pengelolaan NKT ........................................................... 26
3.5.2.
Analisa ancaman-ancaman terhadap NKT ................................................... 28
3.5.3.
Mengidentifikasi intervensi untuk mitigasi ancaman terhadap NKT ............... 32
3.5.4.
Menyusun Rencana Pengelolaan NKT ......................................................... 32
3.5.5.
Dukungan Sumberdaya dalam Pengelolaan ................................................. 33
3.6.
Pengelolaan partisipatif. ...................................................................................... 33
3.7.
Sumber untuk informasi tambahan ...................................................................... 35
4.1.
Definisi Pemantauan ........................................................................................... 36
4.2.
Tujuan Pemantuan .............................................................................................. 36
4.3.
Prinsip-prinsip Pemantauan ................................................................................ 37
4.4.
Skala Pemantauan dan Keluaran ........................................................................ 37
4.5.
Metode Pemantauan NKT ................................................................................... 37
4.5.1.
Pemantauan Ekologis ......................................................................................... 37
4.5.2.
Pemantauan yang bersifat Partisipatif ................................................................. 38
4.6.
Penggunaan Hasil Pemantauan .......................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 42 Lampiran 1: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Hutan Alam ...................................... 45 Lampiran 2: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Hutan Tanaman ............................... 67 Lampiran 3: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Perkebunan Sawit.......................... 148 Lampiran 4: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Areal Tambang .............................. 167 Lampiran 6: Pengelolaan Lanskap NKT ........................................................................ 191
Hal | 7
Daftar Gambar Gambar 1: penerapan konsep NKT untuk berbagai tujuan. Sumber www.hcvnetwork.org . 17 Gambar 2. Contoh sederhana sebuah model konseptual untuk satu tujuan pengelolaan, ancaman dan intervensi. ..................................................................................................... 25 Gambar 3. Tahapan pembangunan pengelolaan dan pemantauan NKT - Adaptasi dari Good Practives guilnes for High Conservation Value assessments: A Practical guide for practitioners and auditors [3] ............................................................................................... 26 Gambar 4. Ilustrasi peta potensi ancaman secara spasial hasil analisa Multiple Criteria Evaluation (MCE) beserta hasil pemetaan ancaman secara partisiparif dengan Unit Pengelola ............................................................................................................................ 30 Gambar 5. Ilustrasi model konseptual untuk memetakan ancaman beserta intervensi untuk mengurangi/menghilangkan ancaman terhadap sasaran pengelolaan. ............................... 32
Daftar Tabel Tabel 1. Contoh beberapa tujuan pengelolaan NKT ........................................................... 27 Tabel 2. Parameter-parameter ancaman yang dipergunakan dalam mengidentifikasi potensi ancaman secara spasial ..................................................................................................... 28 Tabel 3. Empat kelompok tingkatan ancaman untuk membantu pengukuran tingkat ancaman (Di modifikasi dari WCS-LLP [5]) ......................................................................... 31 Tabel 4. Ilustrasi penentuan prioritas ancaman menggunakan system pembobotan dan kriteria ancaman (Adaptasi dari WCS-LLP[5]). .................................................................... 31
Hal | 8
Daftar Singkatan BMP
Best practise management
DAS
Daerah Aliran Sungai
FSC
Forest Stweardship Council
NKT
Nilai Konservasi Tinggi
NKTF
Nilai Konservasi Tinggi Forest
NKT-NI
Nilai Konservasi Tinggi Network Indonesia
LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat
MTCC
Malaysian Timber Certification Council
NGO
Non Govermental Organization
RSPO
Roundtable Sustainabel Palm Oil
SOP
Standard Operational Procedure
Hal | 9
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsep Hutan Bernilai Konservasi Tinggi pertama kali di perkenalkan oleh Forest Stewardship Council (FSC) untuk sektor kehutanan dalam kerangka sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan. Konsep ini merupakan bagian dari prinsip yang harus dipenuhi dalam skema sertifikasi pengelolaan hutan alam berkelanjutan yang dipergunakan oleh FSC. Prinsip ini terdapat dalam prinsip kesembilan dari kriteria dan indikator yang harus dipenuhi oleh pengelola hutan alam (http://www.fsc.org/pc.html). Berdasarkan standar FSC, pada prinsip 9, terdapat empat hal penting yang harus dilakukan berkaitan dengan NKT oleh setiap unit pengelolaan hutan dalam proses penilaian sertifikasi, yaitu: bahwa setiap unit pengelolaan hutan diwajibkan untuk: 1. Mengidentifikasi Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (NKT) yang ada di dalam kawasan konsesinya; 2. Konsultasi publik dalam proses sertifikasi harusmenekankan pada sifat-sifat konservasi yang teridentifikasi dan pilihan-pilihan pengelolaannya ; 3. Mengelola area hutan tersebut supaya dapat memelihara atau meningkatkan nilai-nilai yang teridentifikasi; 4. Memonitor keberhasilan pengelolaan kawasan hutan itu. Meskipun pada awalnya konsep NKT digunakan dalam konteks sertifikasi pengelolaan hutan, namun hingga saat ini berkembang dan dapat diterapkan untuk berbagai penggunaan termasuk misalnya pada perencanaan tataguna lahan, advokasi konservasi, perencanaan dan desain pembelian bahan baku yang bertanggungjawab serta kebijakankebijakan investasi. Dalam pelaksanaannya di lapangan masih banyak ditemukan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan interpretasi, metode pendekatan, analisa dan standar peloporan yang berbeda satu sama lain. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah kesulitan para pengelola sumberdaya alam dalam menindaklanjuti hasil identifikasi NKT yaitu adanya rencana pengelolaan untuk dapat memelihara atau meningkatkan NKT dan pemantauan terhadap NKT yang teridentifikasi di dalam masing-masing unit pengelolaan. Pemantauan ini untuk mengukur dan mengetahui tingkat keberhasilan pengelolaan NKT. Sampai saat ini belum ada panduan yang menjadi rujukan bagi para pengelola sumberdaya alam untuk mengelola dan memantau NKT yang sudah teridentifikasi. Tercatat lebih dari 10 unit pengelolaan hutan alam yang sudah mendapatkan sertifikat FSC di Indonesia,hanya sebagian kecil saja yang sudah melakukan pengelolaan dan pemantauan NKT dengan benar. Kondisi ini hampir sama di sektor perkebunan kelapa sawit, dimana sudah cukup banyak unit pengelolaan sudah mendapatkan sertifikat Roundtable Sustainable palm Oil (RSPO).
Hal | 10
Atas kondisi tersebut, Jaringan Nilai Konservasi Tinggi Indonesia/High Conservation ValueIndonesia Network mengembangkan panduan pengelolaan dan pemantuan NKT untuk berbagai sektor seperti Kehutanan (hak pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman), perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan produk pertanian skala kecil lainnya.
1.2. Ruang Lingkup Panduan ini disusun untuk pengelolaan dan pemantauan NKT di dalam kawasan konsesi secara umum, baik di dalam pengelolaan sumberdaya alam hutan, perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan pertanian skala kecil. Yang dimaksud pengelolaan sumberdaya alam pada sektor hutan, kelapa sawit dan pertambangan dalam dokumen ini adalah satuan usaha dengan skala besar. Sementara itu sektor pertanian yang dimaksud dalam dokumen ini adalah khusus untuk pertanian skala kecil (khusus untuk pertanian skala kecil sawit, kebun kopi, kebun coklat).
1.3. Tujuan Tujuan dari panduan ini adala memberi arahan dan panduan bagi para pengelola sumberdaya alam hutan, perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan pertanian skala kecil (sesuai dengan regulasi yang berlaku) dalam membuat rencana pengelolaan dan pemantauan wilayah-wilayah yang mempunyai kanduangan nilai konservasi tinggi.
1.4. Prasyarat Beberapa prasyarat yang harus terpenuhi untuk menyusun sebuah rencana rencana pengelolaan dan pemantauan NKT, antara lain : - Sudah tersedia dokumen hasil identifikasi kawasan bernilai konservasi tinggi untuk unit pengelolaan, yang berisi tentang nilai-nilai NKT yang ada di dalam kawasan unit pengelolaan. Dokumen hasil identifikasi ini harus masih relavan dan terkini dengan situasi dan kondisi di dalam wilayah unit pengelolaan1; - Tersedia data pendukung seperti peta-peta, laporan hasil kajian atau laporan lain yang mendukung tentang keberadaan NKT; - Tersedia divisi atau unit yang akan menjadi penanggung jawab dalam menyusun atau mengawal proses penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan.
1.5. Struktur Panduan ini Panduan ini disusun dalam beberapa bab yang berbeda dengan isi dan tujuan yang berbeda. Bab 1 berisi latar belakang, ruang lingkup, tujuan, prasyarat, dan struktur panduan. Dalam Bab ini juga dijelaskan mengenai tim penyusun dan proses penyusunan panduan pengelolaan dan pemantauan ini. Bab 2 berisi tentang konsep, sejarah dan pelaksanaan NKT di Inodnesia. Tantangan dalam penerapan NKT pada kawasan konsesi Hutan Alam. Hutan Tanaman Industri, Tambang dan penerapan NKT di konsep tata ruang juga didiskusikan dalam Bab ini. Bab ini juga 1
Dokumen hasil identifikasi untuk unit pengelolaan yang melakukan kegiatan konversi paling lambat 6 bulan sesudah melakukan kegiatan identifikasi harus segera menyusun rencana pengelolaan. Begitu juga dengan unit pengelolaan sumberdaya alam yang lainnya. Unit yang melakukan konversi di utamakan untuk segera membuat rencana pengelolaan karena laju kegiatan komversi akan sangat berdampak kepada kondisi dan situasi keberadaan NKT di wilayah tersebut.
Hal | 11
mejelaskan tentang bagaimana identifikasi, pengeloaan dan pemantauan NKT dilakukan, termasuk ragam pengelolaan dan pemantauan NKT pada kawasan konsesi hutan alam, hutan tanaman, tambang, perkebunan skala kecil (smallholders), dan pada tingkatan bentang alam/landscape. Bab 3 berisi tentang konsep pengelolaan, definisi, skala dan keluaran yang diharapkan. Selain itu juga dibahas tentang bagaimana menyusun rencana pengelolaan NKT sampai pelaksanaan dilapangan. Dalam bab ini juga secara terpisah akan di jelaskan beberapa hal khusus yang berhubungan dengan pengelolaan diberbagai sektor pengelolaan sumberdaya alam seperti pengelolaan hutan, perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan petani skala kecil, khususnya dalam konteks sertifikasi. Di dalam bab ini juga dibahas tentang konsep pengelolaan dalam konteks lanskap yang luas. Bab 4 berisi tentang konsep pemantauan, definisi, skala dan keluaran yang diharapkan. Selain itu juga dibahas tentang bagaimana menyusun pemantuan NKT sampai pelaksanaan di lapangan. Dalam bab ini dibahas tentang konsep pemantauan secara ekologis termasuk di dalamnya tahapan dalam pemantauan ekologis, protokol pemantauan ekologis, pengambilan data, dan ambang batas. Untuk konteks sosial dan budaya, konsep yang dipergunakan adalah pemantauan secara partisipatif termasuk di dalamnya adalah tahap pemantauan sosial dan budaya. Bagaimana cara menggunakan hasil pemantuan untuk perbaikan dalam pengelolaan dibahas dalam bab ini termasuk juga pemantauan dalam skala landskap. Bab 5 berisi tentang kesimpulan dari tahapan-tahapan dalam pengelolaan dan pemantauan NKT. Lampiran-Lampiran adalah panduan secara khusus bagaimana NKT dapat dikelola dan dipantau oleh satuan pengelola, di dalam lampiran terbagi menjadi: (1) Panduan Pengelolaan dan Pemantauan NKT untuk pengusahaan hutan alam (HPH), (2) Panduan Pengelolaan dan Pemantauan NKT untuk pengusahaan hutan tanaman (HTI), (3) Panduan Pengelolaan dan Pemantauan NKT untuk perkebunan kelapa sawit, (4) Panduan Pengelolaan dan Pemantauan NKT untuk pertambangan, dan (5) Panduan Pengelolaan dan Pemantauan NKT untuk pertanian skala kecil. Di dalam panduan ini dibahas bagaimana kegiatan konsesi dapat terintegrasi dengan pengelolaan dan pemantauan NKT. Panduan ini disusun dalam bentuk satu model utuh, sehingga pengguna atau pembaca diharapkan membaca secara keseluruhan bab mulai dari Bab 1, Bab 2, Bab 3, Bab 4, dan Bab 5 sampai dengan lampiran untuk mengetahui dan memahami tentang bagaimana penyusunan dan pelaksanaan pengelolaan serta pemantauan Nilai Konservasi Tinggi dapat dilakukan oleh satuan kelola konsesi sumberdaya alam.
1.6. Tim Penyusun Tim penyusun panduan ini terdiri beberapa orang yang merupakan praktisi dan ahli untuk masing-masing bidang/sektor usaha konsesi sumberdaya alam dan NKT yang relevan seperti, ekologi, sosial budaya dan lanskap. Tim bekerja secara individual dan kelompok melalui workshop dan Focus Group Discussion (FGD). Anggota tim panel adalah Prof Lilik Budi Prasetyo, Dr. Semiarto adji , Yana Suryadinata, Wahyu Riva, Kresno Santoso, Dr Harnios Arief, Aisyah Sileuw, Pupung Nurwata, Sigit Hal | 12
Setyanto, Wibowo A. Djatmiko, Dwi R. Muhtaman, Sutji Shinto dan didukung oleh Didik Prasetyo dan Yokyok Hadiprakarsa dari IFACS-USAID.
1.7. Proses Penyusunan Panduan Pengelolaan dan Pemantauan Panduan pengelolaan dan pemantauan NKT ini diinisiasi oleh USAID-IFACS dan JNKTI dan disusun oleh 11 orang yang tergabung dalam tim ahli yang dipilih berdasarkan pengalaman dan kemampuannya dalam kerja-kerja yang berkaitan dengan NKT. Proses dimulai pada bulan Mei 2012 sampai dengan sekarang melalui beberapa tahapan yaitu: 1. 29 Mei 2012 Kegiatan: IPB ICC Bogor. Expert meeting. Pertemuan awal dihadiri oleh tim ahli, USAID IFACS, JNKTI dan para Expert Panel yang bertujuan untuk berdiskusi bersama dengan tujuan terbentuk sebuah rancangan/outline yang akan menjadi pegangan bersama anggota panel dalam menyusun draft rencana pengelolaan dan pemantauan HCV di berbagai sektor atau komoditi. Tujuan: Pertemuan ini diharapkan tim ahli mendapat gambaran tentang maksud dan tujuan dari panduan pengelolaan dan pemantauan HCV. 2. 30 Mei 2012 Kegiatan: IPB ICC Bogor. Pre workshop Tujuan utama dari worksop ini adalah menyampaikan hasil-hasil dan proses pembelajaran dari kegiatan identifikasi, pengelolaan dan pemantauan HCV yang dilakukan di berbagai sektor/komoditi dengan segala prestasi dan permasalahannya. Pre workshop ini diisi dengan para pembicara dari berbagai sector dan diharapkan akan ada gambaran secara sektoral tentang prestasi dan permasalahan dalam melakukan proses identifikasi, pengelolaan dan pemantauan HCV. Para ahli mendapatkan gambaran prestasi/ permasalahanya dan bisa segara membuat sebuah draft panduan tentang pengelolaan dan pemantauan HCV di masing-masing sektor/komoditi. 3. 3 Juli 2012 Kegiatan: Tropenbos Indonesia. Expert meeting Pertemuan ini dihadiri oleh para expert untuk mengevaluasi draft awal panduan yang telah disusun. Draft panduan ini memang berapa kali mengalami bongkar pasang, untuk menjadi sebuah panduan yang lengkap dan sistimatis. 4. 12 Juli 2012 Kegiatan: IPB ICC Bogor. Workshop pengenalan draft Pengelolaan dan Pemantauan Tujuan utama dari workshop ini adalah untuk membuat dan mengembangkan pedoman pengelolaan dan pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada konsesi hutan alam dan tanaman, perkebunan kelapa sawit, pertambangan, petani skala kecil-menengah, dan lansekap di Indonesia. Hal | 13
Pada Workshop ini mulai dikenalkan draft awal yang telah tersusun. Peserta mencakup beberapa stakeholder dari lembaga pemerintah, praktisi, pengamat, LSM, akademisi, peneliti, petani dari UKM, dan perusahaan swasta, serta anggota jaringan NKT Indonesia. Diharapkan draft panduan mendapat banyak masukan melalui diskusidiskusi kelompok, sehingga tim ahli dapat lebih menyempurnakan panduan ini. 5. 13 Juli 2012 Kegiatan: Expert meeting Berdasarkan masukan-masukan dari peserta workshop sehari sebelumnya, para tim ahli kembali berdiskusi untuk menyempurnakan draft panduan. 6. 22 Oktober 2012 Kegiatan: Expert meeting Pertemuan ini adalah untuk finalisasai draft panduan pengelolaan dan pemantauan HCV. Dihadiri oleh tim ahli, dan diharapkan pada pertemuan ini dapat diperoleh draft final panduan pengelolaan dan pemantauan NKT. 7. November 2012 Kegiatan: Konsultasi publik Sebelum panduan ini di uji cobakan, akan diadakan konsultasi public di tingkat kabupaten, Aceh, Papua dan Kalimantan. 8. Februari 2013 Kegiatan: Uji Coba Draft Panduan akan di ujicobakan di beberapa perusahaan 9. Februari – Maret 2013 Kegiatan: Final draft Penyempurnaan draft panduan menjadi final draft 10. Maret 2013 Kegiatan: Workshop Workshop ini sebagai workshop penutup dari rangkaian penyusunan panduan. Sekaligus peluncuran Panduan Pengelolaan dan Pemantauan HCV Area.
Hal | 14
BAB 2 Konsep NKT Bab ini membahas tentang sejarah dari konsep Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dan hubungannya dengan sertifikasi. Kemudian penggunaan konsep tersebut dalam Konteks sertifikasi pengelolaan sumberdaya alam hutan dan pemakaian konsep ini diluar sertifikasi. Hal lain yang dibahas adalah komponen penting dalam penilaian NKT yaitu identifikasi, pengelolaan dan pemantauan. Di bahas juga sekilas tentang pentingnya NKT dalam Konteks bentang alam atau lanskap.
2.1. Sejarah Konsep Nilai Konservasi Tinggi Nilai Konservasi Tinggi (NKT) yang diperkenalkan oleh Forest Stewardship Council (FSC) pada tahun 1999 untuk sektor kehutanan dalam kerangka sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan. Konsep ini menjadi salah satu prinsip dalam standard FSC yang harus dipenuhi oleh pengelola hutan (http://www.fsc.org/pc.html). Nilai Konservasi Tinggi didefinisikan sebagai nilai biologi,ekologi, sosial atau budaya yang dianggap sangat penting pada skala nasional, regional dan global. Tabel berikut ini menjelaskan tonggak-tonggak penting dalam perkembangan konsep NKT. Tahun 1999
2003
Perkembangan konsep NKT FSC mulai mengembangkan konsep ini dengan istilah HCVF (High Conservation Value Forest). HCVF dijabarkan ke dalam empat nilai, sebagai berikut: i) Wilayah-wilayah keanekaragaman hayati yang penting di tingkat global, regional atau nasional. ii) Wilayah-wilayah yang memberikan jasa-jasa lingkungan yang sangat penting. iii) Wilayah-wilayah yang penting untuk memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat lokal iv) Wilayah-wilayah yang sangat penting untuk melestarikan identitas budaya dari masyarakat lokal. Proforest dan Rainforest Alliance mengembangkan global toolkit tentang mengidentifikasi, mengelola dan memantau Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi (HCVF). Toolkit ini menjelaskan bahwa HCVF memiliki enam nilai (HCVs) yang terdiri dari: HCV1. Wilayah hutan yang memiliki konsentrasi nilai keanekaragaman hayati yang penting secara global, regional atau nasional (misalnya, species endemik, terancam punah, refugia). HCV2. Wilayah hutan yang memiliki tingkat lanskap luas yang penting secara global, regional atau national, yang berada di dalam unit pengelolaan di mana populasi yang viabel dari spesies-spesies berada dalam pola-pola distribusi dan kelimpahan alami. HCV3. Wilayah hutan yang berada dalam ekosistem yang jarang, terancam dan hampir punah. HCV4. Wilayah hutan yang memberikan jasa lingkungan dalam situasi yang sangat penting. HCV5. Wilayah hutan yang sangat fundamental untuk memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat lokal. HCV6. Wilayah hutan yang sangat penting bagi identitas budaya Hal | 15
2003
2005 2006
2008
2009
2012
tradisional (wilayah yang memiliki nilai penting budaya, ekologi, ekonomi atau agama yang diidentifikasi bersama dengan masyarakat lokal). Toolkit global ini kemudian diikuti dengan pengembangan toolkit nasional di beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Vietnam, China, Polandia, Rumania, Bulgaria, Bolivia, Ecuador, Canada, Gabon, Ghana dan Kamerun. Toolkit-toolkit nasional ini juga berisi tentang identifikasi, pengelolaan dan pemantauan hutan dengan nilai konservasi tinggi. RSPO (Roundtable for Sustainable Palm Oil) mengadopsi NKT dalam Prinsip dan Kriterianya. Pada tanggal 30-31 January HCV Resource Network dikembangkan oleh Kelompok Advisory yang terdiri dari berbagai organization dengan minat dalam konsep NKT dan pengembangan HCV Resource Network. Revisi Toolkit NKT Indonesia. Pada bulan Juni 2008 para pihak di Indonesia meluncurkan Panduan Identifikasi Nilai Konservasi Tinggi di Indonesia. Konsep NKT diadopsi dalam standard komoditas lain seperti RTRS (Roundtable on Responsible Soy), Bon Sucro (sustainable sugarcane plantation) and RSB (roundtable for sustainable Biofuel) FSC menyepakati revisi Prinsip dan Kriteria untuk Pengelolaan Hutan yang bertanggungjawab, termasuk definisi NKT di dalamnya. NKT1. Keragaman Spesies. Konsentrasi keanekaragaman biologi yang meliputi spesies endemik, dan spesies jarang, terancam atau hampir punah, yang penting di tingkat global, regional dan nasional. NKT2. Ekosistem dan mosaic tingkat lanskap. Ekosistem tingkat lanskap yang luas dan mosaik ekosistem yang penting pada tingkat global, regional dan nasional, dan yang memiliki populasi yang viable dari spesies-spesies utama, atau spesies-spesies yang ada dalam pola-pola distribusi dan kelimpahan secara alami. NKT 3. Ekosistem dan habitat. Ekosistem, habitat atau refugia yang jarang, terancam atau hampir punah. NKT 4. Jasa ekosistem yang sangat penting. Jasa ekosistem dasar dalam situasi yang sangat penting, yang meliputi perlindungan daerah tangkapan air dan pengendalian erosi pada tanah-tanah dan kelerengan yang rentan. NKT 5. Kebutuhan masyarakat. Situs-situs dan sumberdaya yang fundamental untuk memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat lokal atau masyarakat adat (misalnya, mata pencaharian, kesehatan, gizi dan air), yang diidentifikasi bersama dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat. NKT 6. Nilai-nilai Budaya. Situs-situas, sumberdaya, habitat dan lanskap yang penting secara global atau nasional dari aspek arkaelogi atau sejarah, dan/atau penting secara budaya, ekologi, ekonomi atau agama/keramat untuk budaya tradisi masyarakat lokal atau masyarakat adat. Nilai-nilai ini diidentifikasi melalui pendekatan dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat.
Hal | 16
2.2. Pelaksanaan Konsep Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Sumber Daya Alam di Indonesia Dalam perjalanannya, konsep HCV ini diadopsi untuk berbagai tujuan, meskipun awalnya hanya digunakan dalam konteks sertifikasi pengelolaan hutan yang bertanggungjawab dalam standard FSC. Gambar berikut menunjukkan beragamnya penggunaan konsep HCV untuk berbagai tujuan.
Nilai Konservasi Tinggi
Pengelolaan Hutan
Rencana Tataguna Lahan
Kebijakan Komitmen
Advokasi Konservasi
Sertifikasi mandatori (PHAPL, ISPO, ISO, dll)
Rancangan Perkebunan
Pembelian bertanggungjawab
Melobi Pemerintah
Sertifikasi Voluntari (FSC, RSPO, dll)
Perluasan komoditi pertanian
Investasi
Kampanye Pasar
Gambar 1: penerapan konsep NKT untuk berbagai tujuan. Sumber www.hcvnetwork.org
2.3.
Permasalahan dalam penerapan NKT pada beberapa sektor pengelolaan sumberdaya alam
Permasalahan umum yang paling sering dihadapi dalam pengelolaan nilai konservasi tinggi di beberapa sektor adalah:
Tidak adanya dukungan legalitas pada kawasan NKT. Kurangnya data dan informasi, terutama data yang berhubungan dengan konteks spasial. Pemahaman tentang definisi operasional NKT, KBKT dan KPBKT, sehingga batas pengelolaan dan pemantauan menjadi tidak jelas. Khusus NKT 5 dan NKT 6 yang bersifat dinamis, sulit untuk membuat rencana pengelolaan jangka panjang. Kompatibilitas dengan proses-proses lain seperti AMDAL, dsb.
Sementara itu, permasalahan khusus yang dihadapi dalam mengelola NKT pada masingmasing sektor juga tidak kalah kompleksnya. Sebagai contoh, ketika unit pengelolaan kebun sawit menetapkan sebuah KPBKT, dia akan berhadapan dengan permasalahan tentang status hukum dari kawasan itu. Contoh lain, ketika sebuah IUPHHK menetapkan untuk menyisihkan 75,000 hektar sebagai kawasan NKT, apakah mereka masih
Hal | 17
berkewajiban membayar Dana Reboisasi dan PSDH dan pajak-pajak terkait atas areal ini yang tidak akan mereka eksploitasi? Permasalahan lain seperti ini dibahas secara lebih spesifik dalam dokumen sektor.
2.3.1. Permasalahan Pengelolaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Hutan Alam (HPH) Secara umum dalam pelaksanaan di lapangan, konsep NKT cukup sulit di lakukan oleh pihak unit pengelolaan baik dalam kegiatan identifikasi, pengelolaan dan pemantauan NKT karena berbagai hal, diantaranya : -
-
Karena bersifat sukarela dan tidak ada pengakuan secara legal dari pemerintah maka jarang sekali pihak unit pengelolaan hutan alam mau melakukan kegiatan ini; Pemahaman konsep NKT dan isu-isu konservasi di tingkat pemegang ijin pengelolaan hutan alam masih sangat terbatas: Para pemegang ijin pengelolaan hutan alam sangat tertarik apabila kegiatan ini secara langsung atau dalam jangka pendek dapat langsung dirasakan secara ekonomis (benefit dari kegiatan tersebut dapat langsung dirasakan) sedangkan isu yang berhubungan dengan NKT keuntungan atau benefitnya tidak dapat di rasakan dalam jangka pendek. Benefit dari melakukan konsep NKT secara tidak langsung di rasakan oleh berbagai pihak seperti kualitas air dan jasa lingkungan lainnya. Kegiatan ini akan bisa di rasakan dalam jangka waktu lama; Keterbatasan sumberdaya manusia dalam memahami dan melaksanakan konsep ini masih sangat terbatas; Keterbatasan panduan atau petunjuk yang mudah di pahami dan dilaksanakan oleh staf di tingkat lapangan
2.3.2. Permasalahan Pengeloaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Hutan Tanaman (HTI) Penilaian dan identifikasi kawasan NKT dalam hutan tanaman pada umumnya dilakukan oleh Unit Management guna memenuhi persyaratan sertifikasi FSC. Kendala dan isu-isu penting yang muncul dalam tahap penilaian adalah hilangnya areal-areal yang diindikasikan mengandung NKT sebagai akibat keterlanjuran dalam kegiatan pembukaan lahan. Hal ini terjadi karena kebutuhan penilaian NTK dilakukan pada saat kegiatan HTI sudah operasional. Implikasi dari keterlanjuran tersebut adalah terjadinya perubahan kawasan NKT menjadi areal tanaman pokok, tanaman unggulan dan tanaman kehidupan. Kondisi ini seringkali menimbulkan kekhawatiran dari pihak Unit Management khususnya dalam menghadapi proses audit. Isu lain yang merupakan isu penting adalah temuan jenis-jenis pohon dilindungi yang kondisinya menyebar dan soliter seperti ramin dan kempas, mengingat dalam konteks penilaian kawasan NKT harus menetapkan luas areal tersebut. Unit Management seringkali menghadapi kendala dalam melakukan pengelolaan dan pemantauan terhadap kawasan NKT, khususnya pada NKT yang sudah terlanjur hilang. Isu penting lainnya adalah pengelolaan dan pemantauan satwa liar yang sifatnya mobile dan dalam hal ini harus memerlukan kepakaran khusus. Seringkali Unit Mangement menganggap bahwa pengelolaan dan pemantauan terhadap kawasan NKT adalah berdiri sendiri sehingga akan menimbulkan beban baru bagi Unit Mangement khususnya dalam menyiapkan divisi baru. Pada hal, dalam konteks pengelolaan dan pemantauan NKT tersebut dapat diintegrasikan dengan kegiatan lain seperti Rencana Kelola Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan yang sudah disusun dalam dokumen AMDAL.
Hal | 18
2.3.3. Permasalahan Pengelolaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Pertambangan Usaha pertambangan merupakan usaha yang unik terkait dengan pengelolaan dan pemantauan NKT-nya yang tidak sama dengan pengusahaan hutan alam, hutan tanaman, maupun perkebunan. Keberadaan bahan tambang menyebar di bawah tanan dan bersifat tidak kontinyu, tidak seperti kayu dan produk perkebunan yang berada di permukaan tanah yang sebarannya pada umumnya kontinyu, juga tidak dapat diatur keberadaannya berdasar blok-blok sesuai keinginan pemangku kepentingan. Oleh karena itu tidak seluruh areal konsesi akan ditambang, tetapi hanya blok-blok dimana cadangan bahan tambang berada. Secara ringkas digambarkan kegiatan pertambangan terbuka dilakukan dengan menghilangkan seluruh vegetasi yang ada di permukaan tanah diikuti dengan pemindahan tanah dan batuan penutup. Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku seperti tersebut di atas, maka perusahaan pertambangan wajib untuk melakukan reklamasi dengan menata kembali muka bumi (lansekap); mengendalikan erosi dan sedimentasi dengan membuat saluran drainase, kolam sedimentasi, dan penanaman tanaman penutup tanah; dan melakukan revegetasi (untuk kawasan hutan). Lereng-lereng yang dihasilkan dari penumpukan material limbah dipantau stabilitasnya untuk mengantisipasi terjadinya longsor (Mansur, 2010). Dari gambaran di atas dapat diperhatikan bahwa bahan tambang dapat berada di mana saja, termasuk di bawah Kawasan NKT. Kegiatan pertambangan terbuka pasti mengganggu ekosistem, bahkan menghilangkan keanekaragaman flora yang ada di permukaan lahan di areal yang ditambang. Oleh karena itu, dalam beberapa kondisi gangguan terhadap obyek atau kawasan NKT tidak dapat dihindari. Khusus untuk usaha pertambangan, seharusnya identifikasi dan deliniasi obyek dan kawasan NKT di areal yang akan diajukan ijin untuk usaha pertambangan dilakukan pada saat pelaksanaan AMDAL dan ditegaskan apa rekomendasi untuk penanganannya. Jika obyek atau kawasan NKT memang dianggap sangat penting untuk dipertahankan, maka sebaiknya dikeluarkan dari areal yang akan diberikan ijin usaha pertambangan, atau tidak diberikan ijin untuk areal tersebut. Namun demikian, karena lokasi tambang terpisah-pisah dalam luasan-luasan yang relatif kecil, serta gangguannya bersifat sementara (tidak selamanya), maka beberapa obyek atau kawasan NKT masih dapat dikelola dengan baik dengan melakukan beberapa adaptasi.
Nilai Konservasi Tinggi di Konsep Tata Ruang Dewasa ini, pembangunan daerah semakin gencar seiring dengan perluasan pemanfaatan lahan untuk investasi di semua wilayah Indonesia. Akibatnya, kebutuhan akan ruang semakin meningkat, menuntut akan penataan ruang dengan beragam pertimbangan multi aspek antara sosial, ekologi dan ekonomi. Penataan ruang yang seimbang untuk semua kebutuhan merupakan faktor penentu terjaminnya ketersediaan sumber daya alam secara berkelanjutan yang akan berdampak terhadap kepaduan pembangunan pada tingkatan kabupaten dan propinsi. Dalam proses penataan ruang yang lebih baik dibutuhkan berbagai masukan informasi yang dapat mengakomodasi semua kebutuhan. Kerangka Nilai konservasi Tinggi (NKT) di rancang untuk menangkap semua nilai penting dalam aspek keruangan wilayah yang dirasakan menjadi alat bantu penting dalam proses penataan ruang wilayah. Melihat peluang ini pada tahun 2005-2006, WWF Indonesia melalui program Trans fly ecoregion membantu pemerintah daerah Kabupatan Merauke dalam melakukan revisi tata ruang dengan menggunakan kerangka NKT sebagai pamasukan data strategis. Hasil dari dari pendekatan ini sudah tertuang dalam Dokumen Peta Rencana Tata Ruang. Wilayah Kabupaten Merauke. Keberhasilan penggunakan kerangka NKT dalam proses penataan
Hal | 19
ruang di Kabupaten Merauke menjadikan tonggak awal peran penting kerangka NKT dalam penataan ruang di Indonesia. Pada tahun 2010, Fauna and Flora International – Indonesia Programme melakukan hal serupa untuk membantu pemerintah daerah Kabupaten Ketapang dalam melakukan revisi penataan ruangnya. Selain berpotensi sebagai alat bantu strategis dalam penataan ruang, kerangka NKT juga memiliki potensi kompatibiltas dengan proses Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang merupakan kelengkapan wajib setiap penataan ruang di Indonesia
2.4. Identifikasi, Pengelolaan dan Pemantaun Nilai Konservasi Tinggi Dalam pelaksanaan dilapangan, kegiatan NKT ini menggunakan dua tahap pendekatan, yaitu: 1. Mengidentifikasikan areal-areal di dalam atau di dekat suatu Unit Pengelolaan, pemanfaatan hasil hutan yang mengandung nilai-nilai sosial, budaya dan/atau ekologis yang luar biasa penting, dan 2. Menjalankan suatu sistem pengelolaan dan pemantauan untuk menjamin pemeliharaan dan atau peningkatan nilai-nilai tersebut. Untuk melakukan identifikasi NKT diperlukan suatu perangkat (toolkit 2) di dalam pelaksanaannya. Di Indonesia saat ini mempunyai sebuah alat sebagai panduan yaitu"Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Tinggi di Indonesia." Panduan tersebut diterbitkan pada tahun 2007 (2008). Panduan ini hingga sekarang menjadi rujukan utama dalam setiap identifikasi NKT di Indonesia baik untuk kehutanan maupun perkebunan sawit. Dalam panduan atau Interpretasi Nasional Indonesia 2003, di dalamnya tercantum proses dan tatacara melakukan identifikasi, pengelolaan dan pemantauan, sedangkan dalam panduan terbaru (tahun 2008, revisi kembali tahun 2010) tidak diketemukan lagi bagian pengelolaan dan pemantauan. Panduan terakhir yang masih jadi rujukan nasional saat ini di Indonesia adalah Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Tinggi di Indonesia, sehingga perlu adanya panduan khusus untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan NKT untuk berbagai sektor. Identifikasi, pengelolaan dan pemantuan merupakan kegiatan yang satu sama lain saling berhubungan dengan erat. Keberhasilan dalam melakukan identifikasi NKT akan memudahkan dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan. Hasil kegiatan pengelolaan dapat di ukur tingkat keberhasilannya melalui proses pemantauan. Hasil
2
Sebuah panduan global di susun oleh ProForest pada tahun 2003, sebuah panduan yang bisa digunakan di seluruh dunia. Panduan global ini mulai dimanfaatkan oleh beberapa negara seperti Vietnam, China, Kamerun, Bulgaria, PNG dan termasuk Indonesia. Mereka menginterpretasikan panduan global pada Konteks lokal masing-masing negara. Berdasarkan hasil interpretasi stakeholder lokal dibuatlah panduan interpretasi nasional. Di Indonesia pada tahun 2003 diterbitkan panduan Interpretasi Nasional Indonesia atas global toolkit. Berbagai kegiatan identifikasi NKT mulai dari tahun 2003 menggunakan rujukan Interpretasi Nasional Indonesia 2003. Dalam perjalanannya ternyata, dari 2003 hingga 2006 ada beberapa masalah khususnya yang berkaitan dengan interpertasi. Sehingga pada tahun 2006 sekelompok praktisi dan organisasi yang kerap menggunakan NKT sepakat untuk melakukan merevisi atas Panduan Interpretasi Nasional Indonesia 2003. Kemudian pada tahun 2007 beberapa praktisi dan stakeholder berkumpul untuk merevisi toolkit yang telah ada dengan memasukkan kriteria nilai-nilai spesifik, seperti ekonomi, ekologi, sosial dan budaya.
Hal | 20
pemantauan dapat dipakai kembali sebagai bagian dari revisi atau perbaikan-perbaikan untuk pengelolaan di masa yang akan datang.
Hal | 21
2.5.
Ragam Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Sumber Daya Alam di Indonesia
Pengelolaan dan pemantauan NKT di Indonesia beragam dan terus berkembang. Secara umum dan dalam kaitan penggunaan Buku Panduan ini, pengolaan dan pemantauan NKT dapat dibedakan sbb:
Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Hutan Alam (HPH) Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konsevasi Tinggi pada Konsesi Perkebunan Kelapa Sawit Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Pertambangan Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada perkebunan/pertanian skala menengah Pengeloaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada skala bentang alam/landscape
Sebagai referensi bagi pembaca, Panduan ini memuat Panduan Pengeloaan dan Pemantauan NKT yang lebih rinci dari masing-masing jenis konsesi di atas di atas, yang tercantum dalam Lampiran 1-6 yang disiapkan oleh Tim .
2.6. Sumber untuk informasi tambahan -
Principe and Criteria FSC http://www.fsc.org/principles-and-criteria.34.htm A Sourcebook for Landscape Analysis of Nilai Konservasi Tinggi Forests, http://www.NKTnetwork.org/resources. Managing Biodiversity in the Landscape. http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415. Practitioner Guide to Managing NKTF in Indonesia a case study from East Kalimantan. http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415.
Hal | 22
Bab III Pengelolaan NKT Bab ini membahas tentang definisi, tujuan, skala dan hasil dari pengelolaan Nilai Konservasi Tinggi (NKT), pentingnya menyusun rencana pengelolaan NKT serta bagaimana metode dalam menyusun rencana pengelolaan NKT. Perencanaan pengelolaan yang dimaksud dalam bab ini adalah perencanaan pengelolaan masing-masing nilai NKT yang teridentifikasi atau ditemukan dalam suatu kawasan pengelolaan perusahaan.
3.1. Definisi Pengelolaan Pengelolaan NKT adalah upaya yang dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan terhadap NKT yang teridentifikasi dalam suatu kawasan untuk mempertahankan atau meningkatkan NKT di dalam kawasan tersebut. Kunci utama dalam pengelolaan NKT adalah bahwa strategi-strategi yang dirancang harus mempertahankan atau meningkatkan nilai. Hal ini berarti akan ada perbedaan pengelolaan antara sektor ataupun konsesi tergantung dari nilai NKT yang teridentifikasi.
3.2. Tujuan Pengelolaan Tujuan utama dalam pengelolaan NKT adalah mempertahankan atau meningkatkan nilai– niai konservasi tinggi yang teridentifikasi atau ditemukan dalam suatu kawasan.
3.3. Prinsip-prinsip Pengelolaan Dalam Pengelolaan kawasan NKT, maka ada tiga prinsip dasar yang harus selalu dipertimbangkan dengan baik dan benar, yaitu: a) Prinsip Keutuhan (holistic); berarti bahwa penyelenggaraan pengelolaan NKT harus selalu mempertimbangkan seluruh komponen pembentuk ekosistem alami, baik komponen penyusun rantai makanan dan rantai energi maupun komponen biotik maupun abiotiknya. Prinsip keutuhan ini juga berkaitan dengan kondisi/karakter lingkungannya, baik ditinjau dari sisi biofisik, ekonomi, politik dan sosial budaya masyarakat. Prinsip ini memperhatikan dan dapat memenuhi kepentingan seluruh pihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap kawasan unit pengelolaan umumnya dan NKT khususnya serta mampu mendukung kehidupan mahluk hidup (selain manusia) dan keberlanjutan keberadaan alam semesta; b) Prinsip Keterpaduan (integrated); berarti bahwa penyelenggaraan pengelolaan NKT harus berlandaskan pada keselarasan interaksi antar komponen penyusun ekosistem serta keselarasan interaksi ekosistem dengan para pihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap NKT yang meliputi aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial-budaya; c) Prinsip partisipatif; berarti melibatkan masyarakat dan para pihak lain dalam mengidentifikasi, mengelola dan memantau NKT. Prinsip berlaku tidak hanya untuk HCV sosial tetapi juga bisa mencakup HCV ekologi.
Hal | 23
d) Prinsip Keberlanjutan/Kelestarian (sustainability); berarti bahwa fungsi dan manfaat ekosistem hutan dalam segala bentuknya harus dapat dinikmati oleh umat manusia dan seluruh kehidupan di muka bumi lintas generasi secara bekelanjutan dengan potensi dan kualitas yang sekurang-kurangnya sama (tidak menurun). Jadi tidak boleh terjadi pengorbanan (pengurangan) fungsi dan manfaat ekosistem hutan yang harus dipikul suatu generasi tertentu akibat keserakahan generasi sebelumnya.
3.4. Skala Pengelolaan, dan Keluaran Skala pengelolaan NKT pada panduan ini terfokus kepada pengelolaan NKT dalam unit-unit pengelolaan (contoh: unit pengelolaan hutan, pertanian skala kecil, kebun/estate, Kuasa Pertambangan) dengan melihat juga aspek bentang alam (lanskap). Namun pengelolaan suatu kawasan bernilai konservasi tinggi harus melihat dari semua aspek yang ada secara menyeluruh (holistik), dalam hal ini konsep bentang alam menjadi hal yang sangat penting. Di harapkan keluaran dari panduan pengelolaan ini adalah adanya arahan atau teknik dan metode dalam penyusunan rencana pengelolaan terhadap masing-masing NKT yang teridentifikasi atau diketemukan dalam suatu unit pengelolaan.
3.5. Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Pemantauan NKT (RPP-NKT) Penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan NKT (RPP-NKT) bertujuan untuk mengembangkan rencana aksi pengelolaan NKT yang adaftif bagi kawasan konsesi melalui proses pembangunan keterlibatan perwakilan dari para pihak. Dalam penyusunan RPP-NKT digunakan pendekatan pengelolaan berbasiskan wilayah, yaitu nilai-nilai konservasi tinggi yang teridentifikasi akan dibangun rencana pengelolaannya berdasarkan kerangka pengelolaan adaptif (adaptif collaborative management3). Untuk membantu pembangunan RPP-NKT, secara umum sebuah model konseptual Conceptual Model [2] akan di bangun secara partisipatif dari banyak pihak dalam unit pengelolaan untuk merunut rencana terperinci pengelolaan berdasarkan ancaman-ancaman yang sedang dan akan berlangsung di dalam dan di luar unit pengelolaan. Gambaran umum dari model konseptual dapat dilihat dalam ilustrasi sederhana di bawah ini (Gambar 2).
3
Pendekatan ACM adalah suatu proses yang bertujuan mendorong para pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam merencanakan, melaksana kan, mengamati, dan mengambil pelajaran dari pelaksanaan rencana mereka di masa lalu
Hal | 24
Gambar 2. Contoh sederhana sebuah model konseptual untuk satu tujuan pengelolaan, ancaman dan intervensi.
Prasyarat utama yang mengawali proses RPP-NKT adalah adanya hasil identifikasi yang sesuai dengan Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia (Konsorsium Revisi NKT Toolkit Indonesia, 2008). Kemudian untuk langkah selanjutnya bisa dilihat dalam diagram di bawah ini.
Hal | 25
Gambar 3. Tahapan pembangunan pengelolaan dan pemantauan NKT - Adaptasi dari Good Practives guilnes for High Conservation Value assessments: A Practical guide for practitioners and auditors [3]
3.5.1. Menentukan tujuan pengelolaan NKT Dalam prosesnya RP-NKT didasarkan pada tujuan-tujuan pengelolaan NKT di dalam atau sekitar kawasan yang ditentukan berdasarkan hasil identifikasi para pihak yang bertujuan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan ancaman terhadap NKT. RP-NKT memprioritaskan intervensi yang sesuai dengan tujuan perusahaan, mendapat dukungan dari pihak manajemen perusahaan, memiliki sumber dana lokal, dan berdampak langsung dalam mengurangi ancaman terhadap kelangsungan hidup NKT dan habitatnya pada sebuah periode tertentu. Langkah awal dalam memulai pengelolaan NKT adalah menentukan tujuan dari pengelolaan untuk masing-masing NKT yang telah diidentifikasi. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tujuan pengelolaan NKT diantaranya adalah: -
memperhatikan tingkat dan ambang batas yang akan dipertahankan berdasarkan ketersediaan informasi yang terbaik; penentuan tujuan pengelolaan dilakukan oleh kelompok yang mewakili para pihak yang terkait dengan pengelolaan NKT dalam sebuah unit pengelolaan; perwakilan dari para pihak diberikan informasi tambahan berdasarkan kondisi faktual, yang didasari atas ketersedian informasi terbaik dalam menentukan parameter-parameter atau ambang batas yang ingin dicapai dalam mengelola NKT.
Hal | 26
Tabel 1. Contoh beberapa tujuan pengelolaan NKT NKT
Nilai-nilai/Target pengelolaan
Tujuan pengelolaan
1.2
Ditemukan satwa orangutan (Pongo pygmaeus) yang tergolong Kritis (Critical Endangered)
2.1
Wilayah inti seluas 27,028.33 hektar yang ada di dalam areal unit pengelolaan.
Melindungi populasi satwa beserta habitatnya dari kepunahan lokal di dalam konsesi. Mempertahan bentangan hutan yang utuh di dalam unit pengelolaan yang tersambung dengan bentangan hutan yang lebih luas di sekitarnya Mempertahankan wilayah yang bisa menyediakan air bersih bagi masyarakat yang ada di bagian hilir unit pengelolaan. Melindungi wilayah-wilayah yang ada di dalam unit pengelolaan yang penting bagi identitas dan budaya masyarakat sekitar hutan. Melindungi spesies tertentu yang berhubungan dengan budaya masyarakat.
4.1 6
Hutan di tepi sungai/danau (riparian) yang tergenang secara teratur dan sub-DAS yang menyediakan air bersih untuk desa disekitarnya. Nilai budaya dan spiritual di beberapa lokasi spesifik yang berada di dekat desa.
Catatan Khusus : Dalam kasus tertentu parameter dapat berupa angka-angka yang bisa diperoleh sebagai bagian dari data kualitas dan kuantitas. Sebagai contoh dalam NKT 4.1 “ Hutan di tepi sungai/danau (riparian) yang tergenang secara teratur dan sub-DAS yang menyediakan air bersih untuk desa disekitarnya” parameter yang dapat diukur antara lain kualitas air, tingkat kekeruhan air, sedimentasi terlarut. Parameterparemater ini sewaktu dilakukan pemantauan dapat diukur dan diperoleh hasilnya. Pengukuran-pengukuran parameter dalam pengelolaan dan pemantauan NKT diperlukan adanya ambang batas atau persyaratan minimum yang harus dipenuhi, hal ini merupakan bagian penting dalam pengelolaan. Ambang batas diperlukan sebagai bagian dari nilai-nilai yang mesti dipertahankan, dipelihara atau ditingkatkan nilainya. Sebagai contoh untuk NKT 4.1 di atas yang berhubungan dengan riparian, ambang batas yang diperlukan di antaranya larangan penebangan di kiri-kanan sungai sejauh 100 meter, tidak menebang di kelerengan lebih dari 45 persen. Ambang batas ini bisa berhubungan dengan aturan-aturan pemerintah yang sudah ditetapkan. Ataupun juga secara ilmiah disepakati sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan. Contoh aturan tentang besarnya tingkat bahaya erosi.
Hal | 27
3.5.2. Analisa ancaman-ancaman terhadap NKT Tahapan ke-dua adalah menentukan ancaman terhadap masing-masing NKT yang ditemukan dalam konsesi, ancaman ini bisa datang dari dalam kegiatan konsesi ataupun dari luar konsesi (internal dan external), termasuk ancaman yang bersifat langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect). Unit manajemen tidak perlu melakukan identifikasi ancaman-ancaman NKT. Ancaman-ancaman NKT sudah diidentifikasi dalam laporan hasil identifikasi NKT. Ancaman-ancaman yang dianalisa dalam panduan ini didasarkan pada laporan hasil identifikasi NKT. Kecuali jika laporan hasil identifikasi dianggap tidak memadai maka unit manajemen harus melakukan analisa ancaman lagi. Analisa sumber ancaman dilakukan untuk masing-masing sasaran pengelolaan NKT dan habitatnya di dalam kawasan. Analisa ini diharapkan dapat menentukan ancaman utama dan paling mendesak untuk segera diatasi agar memungkinkan untuk memilih intervensi paling taktis dalam mengurangi atau menghilangkan sumber-sumber ancaman. Tanpa pemahaman yang jelas tentang ancaman, para pengelola atau pelaksana di lapangan mungkin hanya melakukan cara-cara pengelolaan yang tidak akan memberikan dampak bahkan mungkin akan menurunkan NKT itu sendiri. Dalam mengidentifikasi dan mengukur ancaman secara langsung terhadap NKT dilakukan secara konseptual untuk melihat runutan sebab akibat sebuah ancaman dan secara spasial untuk melihat lokasi potensi ancaman yang sudah terjadi maupun dimasa yang akan datang [2] . Saat ini terdapat berbagai pendekatan analisa ancaman dapat mempergunakan berbagai pendekatan yang bisa dipergunakan [4], salah satunya adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) dengan menggunakan konseptual model [2, 5]. Sebagai awalan, sumber-sumber ancaman terhadap NKT bisa menggunakan rujukan ilmiah terbaik yang tersedia untuk menentukan parameter dan batas tepi terhadapan ancaman. Selanjutnya, sumber-sumber ancaman dimasa lampau dan sedang berlangsung dapat diidentifikasi oleh para pihak unit pengelola berdasarkan informasi yang tersedia dan dibantu dengan pemetaan partisipatif. Selain identifikasi terhadap sumber-sumber ancaman, potensi ancaman secara spasial juga perlu diidentifikasi untuk membantu unit pengelola dalam mengarahkan pengelolaan dan pemantauan. Identifikasi potensi ancaman secara spasial menggunakan pendekatan Multicriteria Critieria Evaluation (MCE) beberapa parameter fisik yang merupakan pemicu perubahan terhadap ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati berdasarkan hasil beberapa penelitian [6-8]. Beberapa parameter spasial yang digunakan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 2. Parameter-parameter ancaman yang dipergunakan dalam mengidentifikasi potensi ancaman secara spasial Jenis ancaman
Asumsi ilmiah
Deforestasi
Hutan terdegradasi atau hilang yang di akibatkkan oleh aktivitas manusia memliki kecenderungan untuk terjadi di lokasi yang sama, umumnya terkait dengan factor aksesibilitas [7]
Pemukiman
Keberadaan pemukiman berasosiasi dengan akses menuju hutan. Ancaman ini semakin berkurang di saat semakin jauh jarak pemukiman Hal | 28
Jenis ancaman
Asumsi ilmiah tersebut ke kawasan hutan [9]
Jaringan jalan Kebakaran lahan
Tambang HPH/HTI
Status kawasan hutan
Jaringan jalan merupakan sumber utama akses menuju kawasan hutan. Ancaman ini semakin berkurang di saat semakin jauh jarak ke jaringan jalan tersebut ke kawasan hutan[8] Kebakaran lahan berdampak terhadap tutupan lahan secara drastis. Ancaman ini semakin berkurang di saat jauh dari riwayat kebakaran lahan Aktivitas tambang yang menggunakan open pit mining secara nyata merubah tutupan lahan secara drastic. Ancaman ini semakin berkurang di saat semakin jauh jarak areal pertambangan ke kawasan hutan Aktivitas penebangan pohon di dalam HPH merubah struktur vegetasi kawasan hutan. Ancaman ini semakin berkurang di saat semakin jauh jarak areal HPH/HTI ke kawasan hutan [10] Kawasan hutan yang sudah di tentukan sebagai Hak Produksi Terbatas (HPT) dan Areal Penggunaan Lain (APL) memberikan dampak terhadap degradasi habitat banyak satwa liar.
Selain penentuan sumber-sumber ancaman secara langsung, tingkatan ancaman juga perlu diidentifikasi untuk menentukan skala prioritas intervensi. Tingkatan ancaman dikelompokkan berdasarkan dampak yang dimunculkan, tingkatan ancaman dikelompokkan ke dalam 4 kelompok utama, yaitu: 1. Dampak, merupakan derajat, baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak terhadap keseluruhan NKT, 2. Trend, merupakan kecenderungan yang mungkin terjadi yang di akibatkan adanya perubahan terhadap proporsi area terkena dampak atau intervensi, 3. Proporsi area terkena dampak, merupakan luasan wilayah yang terkena dampak dari sebuah kegiatan, 4. Waktu pemulihan, merupakan satuan rentang waktu proses pemulihan dari yang terkena dampak.
Hal | 29
Gambar 4. Ilustrasi peta potensi ancaman secara spasial hasil analisa Multiple Criteria Evaluation (MCE) beserta hasil pemetaan ancaman secara partisiparif dengan Unit Pengelola
Hal | 30
Tabel 3. Empat kelompok tingkatan ancaman untuk membantu pengukuran tingkat ancaman (Di modifikasi dari WCS-LLP [5]) Proporsi area Waktu Dampak Skor Trend Skor terkena Skor Skor Pemulihan dampak Tidak akan terjadi Rendah 0 dalam 10 tahun 0 0 0 Cepat 0 kedepan? Dapat terjadi Pemulihan Sedang 1 dalam kurun 1 0-10% 1 dalam waktu 1- 1 waktu 3-10 tahun 10 tahun Dapat terjadi Pemulihan Tinggi 2 dalam kurun 2 11-25% 2 dalam waktu 11- 2 waktu 1-3 tahun 100 tahun Ancaman sedang Pemulihan lebih terjadi harus Fatal 3 3 26-50% 3 dari 100 tahun 3 segera dilakukan atau tidak pulih tindakan > 50% 4 Dengan mengacu ke-empat kelompok tingkatan ancaman pada tabel 3, penentuan prioritas ancaman dapat dilakukan dengan pemberian skor (scorring) untuk setiap komponen tingkat ancaman, kemudian nilai bobot tersebut akan dijumlahkan dengan perhitungan [(Trend + Waktu Pemulihan) x Dampak x Proporsi area terkena dampak] [5]. Kemudian jumlah akhir akan di urutkan, ancaman dengan peringkat pertama merupakan ancaman yang perlu mendapatkan perhatian. Sebagai contoh ilustrasi perhitungan penentuan prioritas ancaman bisa dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 4. Ilustrasi penentuan prioritas ancaman menggunakan system pembobotan dan kriteria ancaman (Adaptasi dari WCS-LLP[5]). Proporsi area Waktu Ancaman Dampak Trend terkena Total Ranking Pemulihan dampak Fragmentasi habitat Perburuan untuk peliharaan Perburuan untuk makanan
2
1
3
3
24
3
3
1
3
2
27
2
4
1
3
2
36
1
Hal | 31
3.5.3. Mengidentifikasi intervensi untuk mitigasi ancaman terhadap NKT
Tahapan ini menentukan intervensi-intervensi yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan sumber ancaman. Informasi yang didapatkan dari bagian-bagian sebelumnya akan sangat penting dalam analisa ini. Merupakan sebuah kerugian jika sebuah intervensi yang direncanakan akan menjadi tidak praktis untuk dilaksanakan, diakibatkan beberapa hal, seperti: masalah biaya, kekurangan dukungan masyarakat, ketidaksanggupan dalam menangani ancaman tidak langsung, sesuatu yang mengakibatkan ancaman muncul kembali ataupun akibat intervensi tersebut tidak efektif. 3.5.4. Menyusun Rencana Pengelolaan NKT
Sebagaimana yang digunakan di dalam analisa ancaman di atas, hanya ancaman yang bersifat langsung terhadap NKT yang akan dilakukan intervensi yang akan tertuang dalam rencana pengelolaan. Tidak semua ancaman dapat dilakukan intervensi, umumnya berupa ancaman tidak langsung, namun dengan memetakannya secara menyeluruh dapat memudahkan dalam mengembangkan rencana pengelolaan (Gambar 4). Prioritas ancaman yang memiliki peringkat sedang sampai tinggi perlu mendapatkan perhatian dan harus dituangkan dalam rencana pengelolaan.
Gambar 5. Ilustrasi model konseptual untuk memetakan ancaman beserta intervensi untuk mengurangi/menghilangkan ancaman terhadap sasaran pengelolaan.
Hal | 32
3.5.5. Dukungan Sumberdaya dalam Pengelolaan Pengelolaan NKT dan KBKT kawasan Bernilai Konservasi Tingg pada dasarnya memiliki tanggungjawab yang sangat besar agar kelestarian produksi, ekologi/lingkungan dan sosial budaya masyarakat dapat terjaga dalam jangka panjang. Kemudian kegiatan pengelolaan ini pun memiliki spektrum yang sangat luas dengan melibatkan banyak pihak sehingga untuk tercapainya tujuan pengelolaan NKT/KBKT setiap unit manajemen harus memiliki suatu badan/divisi khusus yang menangani NKT/KBKT. Kemudian badan/divisi ini harus didukung pula oleh sumberdaya manusia handal dan profesional (sekurang-kurang tiga tenaga ahli utama yang meliputi tenaga ahli ekologi/lingkungan, jasa lingkungan dan sosial budaya masyarakat), sarana prasarana dan sumber dana yang cukup. Badan/Divisi ini diberi mandat untuk dapat menjamin keberlangsungan kegiatan-kegiatan pengelolaan ekologi/lingkungan, jasa lingkungan dan sosial/budaya masyarak. Dalam proses untuk mencapai tujuan pengelolaan tersebut di atas badan/divisi ini harus melibatkan pihak-pihak terkait, terutama masyarakat lokal, sesuai dengan tingkat kepentingan pengelolaannya. Kriteria keberhasilan badan/divisi pengelolaan ekologi/lingkungan adalah terbangunnya suatu sistem manajemen yang adaptif, didasarkan data/informasi ilmiah yang terukur, serta diambil dengan metode yang baik dan benar. Manajemen adaptif adalah suatu proses yang terencana dan terukur untuk mendukung keputusan manajemen agar tercapainya sasaran manajemen yang lebih baik. Agar kapasitas pengelolaan NKT/KBKT dalam suatu unit manajemen dari waktu ke waktu terus meningkat maka divisi/badan pengelola sebaiknya menyusun standar-standar pengelolaan terbaik sehingga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi pengelolaan. standar-standar tersebut disusun berdasarkan azas transparansi, terukur (measurable) dan dapat dipertanggunggugatkan (accountable) sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat, kabupaten dan propinsi, Rencana Pengelolaan Unit Manajemen, kondisi lokal spesifik, kearifan tradisional, teknologi terkini, kesiapan sumberdaya manusia dan alokasi dana yang telah dikonsultasikan dengan pakar dibidangnya masing-masing serta telah disepakati oleh para pihak.
3.6. Pengelolaan partisipatif. Untuk melakukan pengelolaan NKT 5 dan NKT 6 (NKT Sosial) yang berhubungan dengan kebutuhan dasar, sosial dan budaya masyarakat setempat. Diperlukan pendekatan pengelolaan yang melibatkan masyarakat dalam pelaksanaannya. Pendekatan ini di sebut sebagai “pengelolaan partisipatif” Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah, data, analisis data, dan pelaksanaan kegiatan. Pengembangan partisipasi adalah sebuah taktik untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan Kontekss pengembangan masyarakat. Dalam Konteks pengelolaan pengelolaan secara partisipatif dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu.
pengumpulan dalam hal ini praktis dalam NKT Sosial,
1) Konsultasi dengan masyarakat, beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk melakukan konsultasi dengan masyarakat dalam merencanakan pengelolaan NKT Sosial secara partisipatif adalah : Hal | 33
a. Mengembangkan peta-peta yang menunjukkan sumberdaya alam yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Peta-peta ini harus dibuat sebelum ada kegiatan produksi di dalam suatu unit pengelolaan. Petapeta sumberdaya masyarakat harus menunjukkan kawasan-kawasan kunci yang diperlukan untuk menyediakan akses atau untuk melestarikan sumber-sumber daya alam yang kritis. b. Melaksanakan konsultasi-konsultasi dengan staf operasional lapangan, anggota masyarakat atau lembaga-lembaga lain yang relevan (misalnya lembaga akademik, badan-badan pemerintah, LSM) untuk mengevaluasi potensi dampak yang merusak dari kegiatan operasional terhadap sumberdaya yang ada. c. Membuat kesepakatan dengan masyarakat tentang kawasan-kawasan yang harus dikeluarkan dari kegiatan pengelolaan sumberdaya alam, karena mengandung sumberdaya yang tinggi bagi masyarakat. Strategi-strategi untuk mengontrol akses harus semaksimum mungkin konsisten dengan aturan-aturan dan kelembagaan adat. Jika memungkinkan, pemerintah lokal (daerah) harus diyakinkan untuk menyetujui penetapan-penetapan semacam itu sebagai suatu dukungan pemerintah dalam perlindungan kawasan-kawasan tersebut terhadap ancaman-ancaman lain. d. Mengembangkan SOP (Standard Operational Procedure) pengelolaan dan pemantauan NKT Sosial untuk memastikan bahwa staf yang bertanggungjawab dalam operasional sadar akan keputusan-keputusan secara prosedur dan tahu apa yang harus dilakukan untuk menerapkannya. 2) Pemetaan partisipatif, pemetaan partisipatif adalah pemetaan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat mengenai tempat/wilayah di mana mereka hidup . Pemetaan partisipatif merupakan satu metode pemetaan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku pemetaan wilayahnya, sekaligus juga akan menjadi penentu perencanaan pengembangan wilayah mereka sendiri. Pemetaan partisipatif juga dapat dilakukan sebelum adanya identifikasi NKT, atau pada saat identifikasi NKT atau untuk kebutuhan pengelolaan NKT yang telah teridentifikasi. Dalam Konteks pengelolaan NKT Sosial, beberapa tahapan yang dapat dilakukan adalah: a. Memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang pemetaan partisipatif. Dalam tahap ini dapat disampaikan pengertian, ciri-ciri dan manfaat dari pemetaan pertisipatif. b. Bersama-sama dengan masyarakat melakukan konfirmasi kembali terhadap lokasi-lokasi yang telah teridentifikasi NKT Sosial (untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan identitas budaya) untuk didiskusikan bersama, termasuk menyepakati kembali nilai-nilai yang terkandung didalam areal yang teridentifikasi NKT. c. Menggambarkan secara jelas (meskipun melalui sketsa), lokasi-lokasi yang diindikasikan sebagai NKT Sosial dan mendiskusikan bagaimana cara mengelolanya, siapa yang bertanggung jawab, dan kapan pengelolaan akan dilakukan. d. Menyepakati hasil diskusi dengan masyarakat dan dijadikan sebagai acuan atau panduan bagi perusahaan dalam pengelolaan NKT Sosial yang dilakukan secara partisipatif. 3) Pengelolaan konflik secara partisipatif. Rencana pengelolaan NKT Sosial juga harus mencakup mekanisme penyelesaian konflik, antara lain kasus-kasus dimana beberapa anggota masyarakat percaya bahwa sumberdaya alam telah dirusak, dan untuk kasuskasus dimana kawasan konservasi atau aturan-aturan yang disepakati bersama telah Hal | 34
dilanggar. Untuk itu dibutuhkan beberapa hal dalam pengelolaan konflik secara partisipatif adalah : a. Kesepakatan tentang perwakilan dari masyarakat dan perusahaan yang akan bertanggungjawab untuk menyelesaikan kasus konflik. b. Kesepakatan tentang prosedur kompensasi standar dan jumlah uang untuk tipetipe kerusakan yang mungkin terjadi (misalnya kerusakan pohon buah-buahan, pohon penghasil madu dan lain-lain). c. Kesepakatan ini harus didokumentasikan secara tertulis oleh perwakilan dari kedua belah pihak. Perusahaan harus menyimpan catatan tertulis dari semua konflik dan langkah-langkah yang telah diambil untuk menyelesaikannya. d. Aspek penting lain dari suatu rencana pengelolaan kolaborasi adalah mengidentifikasi kemungkinan konflik-konflik antara aspek ekologi dan sosial pada NKT dengan cara mendiskusikannya dengan masyarakat. Jika perlu, perusahaan dan masyarakat harus mengembangkan suatu strategi untuk menjamin partisipasi masyarakat di dalam konservasi aspek-aspek ekologi NKT. Situasinya akan sulit jika nilai-nilai ekologi dan sosial secara langsung berlawanan, misal menyangkut perburuan satwa langka. Dalam kasus-kasus semacam itu, perusahaan harus memulai suatu program pendidikan lingkungan dan sosialisasi sebelum menegosiasikan suatu kesepakatan dengan masyarakat untuk memodifikasi kebiasaan-kebiasaannya. Bantuan dari luar, misalnya dari badan-badan penegak hukum, LSM atau institusi akademik mungkin diperlukan.
3.7. Sumber untuk informasi tambahan -
Practitioner Guide to Managing NKT in Indonesia a case study from East Kalimantan. http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415. Assessment, management and monitoring of Nilai Konservasi Tinggi Forest,A practical guide for forest managers. http://www.NKTnetwork.org/resources/. Biodiversity Conservation, a guide for USAID staff and partners. The Conservation MeasuresPartnership. Open standart for the practice of conservation. Rujukan buku Participatory Conservation Planning Manual. The Nature Conservancy ,2004.
Hal | 35
Bab IV Pemantauan Tinggi
Nilai
Konservasi
Bab ini membahas tentang definisi, tujuan, skala dan hasil dari pemantauan Nilai Konservasi Tinggi (NKT), pentingnya menyusun pemantauan NKT serta bagaimana teknik atau metode dalam menyusun pemantauan NKT. Pemantauan NKT yang di maksud dalam bab ini adalah untuk melihat atau mengukur tingkat keberhasilan dari pelaksanaan pengelolaan masing-masing nilai – NKT yang teridentifikasi atau di ketemukan ada dalam suatu kawasan yang pengelolaan (NKT1 sampai NKT 6).
4.1. Definisi Pemantauan Pemantauan ( Monitoring) di definisikan sebagai sebuah kegiatan menyelidiki bagaimana keadaan-keadaan berubah dalam perjalanan waktu. Dengan kata kunci adalah pengumpulan dan evaluasi data secara periodi terhadap tujuan, sasaran dan kegiatan yang sudah ditetapkan4. Dalam Konteks NKT, pemantauan adalah proses pengontrolan terhadap tingkat keberhasilan pengelolaan NKT yang teridentifikasi dalam suatu kawasan, apakah NKT tersebut dapat dipertahankan atau meningkat di dalam kawasan tersebut. Kunci utama dalam pemantauan NKT adalah bahwa harus ada strategi-strategi yang dirancang untuk mengukur, menilai , efektivitas hasil dari pengelolaan NKT. Pemantuan sangat penting fungsinya untuk menilai keberhasilan kegiatan pengelolaan. Tanpa adanya proses pemantauan sangat sulit mengukur apakah kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan itu dapat dilaksanakan atau berhasil . Pemantaun dapat membantu para pelaksana dilapangan untuk melihat bagian-bagian mana yang sesuai dengan rencana dan bagian mana yang tidak berhasil. Oleh sebab itu pemantauan merupakan bagian intergral dari siklus pengelolaan adaptif5.
4.2. Tujuan Pemantuan Tujuan utama dari proses pemantuan NKT adalah menyelidiki bagaimana kondisi NKT terkini yang berubah dalam perjalanan waktu, dengan cara melakukan kegiatan pengumpulan dan evaluasi data secara periodik di hubungkan dengan tujuan, sasaran dan kegiatan-kegiatan pengelolaan yang sudah ditetapkan.
4
Margolui dan Salafsky,1998. Dikutip dari panduan bagi praktisi : mengelola hutan bernilai konservasi tinggi di Indonesia. The Nature Conservancy 2002. 5 Di dalam pengelolaan adaptif , pemantauan adalah suatu komponen yang sangat penting karena pemantuan menyediakan suatu landasan untuk mengevaluasi hasil dari suatu praktek pengelolaan dan mengidentifikasi perubahan-perubahan yang diperlukan untuk mencapai peningkatan di masa yang akan datang. Bentuk pengelolaan yang efektif yang di ketahui sebagai pengelolaan adaptif yaitu menyiapkan program-program kegiatan dan pemantuan sesuai sesuai dengan rancangan yang sudah ditentukan oleh para pengelola unit/ konsesi. Dari hal tersebut para pengelola banyak belajar tentang sistem yang dikelola dan mengevaluasi praktek pengelolaan mana yang paling efektif.
Hal | 36
4.3. Prinsip-prinsip Pemantauan Prinsip dari sebuah rencana pemantauan atau program pemantauan harus memiliki hal sebagai berikut : -
Memiliki sasaran pemantauan yang jelas; Di rencanakan sebelumnya dan merupakan bagian dari rencana-rencana tersebut; Pemantuan harus mengikuti metode-metode yang sudah baku; Dilaksanakan secara teratur dan sesuai dengan periode yang sudah di tentukan; Di dalamnya termasuk rencana rinci untuk analisis, interpretasi dan di integrasikan ke dalam rencana-rencana jangka panjang; Rencana pemantauan harus sedehana dan lugas.
4.4. Skala Pemantauan dan Keluaran Skala pemantauan NKT pada panduan ini terfokus kepada pemantauan NKT dalam unit-unit pengelolaan (contoh: unit pengelolaan hutan, pertanian skala kecil, kebun/estate, Kuasa Pertambangan) dengan melihat juga aspek bentang alam (lanskap). Pemantauan NKT akan sangat tergantung dengan pengelolaannya karena itu pemantauan NKT dalam dokumen ini mengikuti pengelolaannya. Pengelolaan dan pemantauan suatu kawasan bernilai konservasi tinggi harus melihat dari semua aspek yang ada secara menyeluruh (holistik), dalam hal ini konsep bentang alam menjadi hal yang sangat penting. Di harapkan keluaran dari panduan pemantauan ini adalah adanya arahan atau teknik dan metode dalam penyusunan rencana pengelolaan terhadap masing-masing NKT yang teridentifikasi atau diketemukan dalam suatu unit pengelolaan.
4.5. Metode Pemantauan NKT Pada dasarnya metode pemantauan NKT terbagi menjadi dua bagian besar yaitu: 1) Pemantauan secara ekologis untuk pemantuan NKT1, NKT 2, NKT3, NKT4 dan; 2) Pemantauan yang bersifat partisipatif yang berhubungan dengan masyarakat ( kebutuhan dasar dan budaya, NKT5 dan NKT).
4.5.1. Pemantauan Ekologis Pemantauan ekologis dipergunakan karena beberapa hal : 1) Hasil pemantauan dapat memberikan peringatan kepada unit pengelola dari perubahan ekologi yang tidak diinginkan yang terjadi di dalam konsesi; 2) Pemantauan ekologis merupakan kebutuhan obyektif untuk mengevaluasi apakah kegiatan pengelolaan NKT yang berhubungan dengan melestarikan keanekaragaman hayati sudah di capai atau belum; 3) Pemantauan ekologis adalah sebuah kebutuhan untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dari aktivitas manusia dan gangguan terhadap keanekaragaman hayati; 4) Pemantauan ekologis dapat memberikan wawasan kepada para pengelola di dalam sebuah unit pengelolaan tentang fungsi ekosistem yang kompleks.
Hal | 37
Beberapa metode yang disarankan dan biasa digunakan untuk pengumpulan data dan jenis data yang dikumpulkan untuk melakukan pemantauan ekologis6 antara lain : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Penginderaan jarak Jauh dan sistem informasi geografis7; Plot sample permanen ( vegetasi)8; Transek Satwaliar9; Spesies indikator10; Pengukuran erosi, sedimentasi dan kualitas Air11. Survey Temuan12; Kajian Perburuan di masyarakat13 Wawancara dengan masyarakat14.
4.5.2. Pemantauan yang bersifat Partisipatif Pemantuan yang bersifat partisipatif adalah kegiatan pemantauan yang melibatkan masyarakat di dalamnya. Metode ini utamanya digunakan dalam pendekatan pengelolaan dan pemantuan NKT 5 dan NKT 6. Belum ada metode baku di dalam melakukan pemantauan yang berhubungan dengan NKT ini. Unit pengelola di sarankan untuk mengembangkan metode-metode yang mungkin bisa melibatkan masyarakat dalam proses pemantauan ini. Ada beberapa hal yang harus ada di dalam komponen metode tersebut antara lain : -
Definisi dan parameter yang akan dipantau dengan mudah dipahami masyarakat; Indikator tersebut harus sederhana, bahasa yang dipakai mudah dan dimengerti masyarakat, aturan-aturan dalam metode tersebut gampang dipahami; Masyarakat sebagai bagian dari pengambil keputusan;
6
Diambil dari panduan bagi praktisi : mengelola hutan bernilai konservasi tinggi di Indonesia. The Nature Conservancy 2002. 7
Penginderaan jarak jauh menggunakan sarana citra satelit atau potret udara untuk memeriksa perubahan-perubahan yang terjadi pada vegetasi dan tutupan hutan. Sedangkan software untuk melakukan kegiatan tersebut ada dalam satu sistem pemetaan yang biasa di sebut sistem informasi geografis (SIG-Geografical information system). 8 Sample plot permanen adalah kegiatan untuk memantau pertumbuhan dan kematian pohon yang terdapat dalam suatu kawasan hutan. 9 Transek hidupan liar adalah jalur-jalur panjang yang terdapat dalam suatu unit pengelolaan khususnya hutan, tempat melakukan survey kehidupan liar yang menggunakan cara atau metode baku tentang kehidupan liar di tempat tersebut seperti jejak, kotoran, sarang, suara, bau dan sebagainya. 10 Spesies indikator sering di jadikan patokan dalam pemantauan. Beberapa spesies yang telah disarankan menjadi indikator-indikator ekologis antara lain burung-burung frugivora dan insektivora terestrial, owa, dan serangga atau spesies-spesies kunci atau spesies payung. 11 Pengukuran erosi, sedimentasi dan kualitas Air menjadi salah satu indikator yang penting dalam pemantuan NKT khususnya pemantauan lingkungan,hal ini berhubungan khususnya dengan NKT 4. 12 Metode ini melibatkan semua elemen di dalam perusahaan dalam membantu pemantuan satwa liar yang diketemukan dalam aktivitas harian, contoh: supir mobil angkutan yang menemukan satwaliar di dalam perjalanan dalam konsesi bisa melaporkan temuannya kepada petugas di divisi yang menangani tentang lingkungan, begitu juga staf-staf lain yang bisa melakukan hal yang sama. 13 Kajian perburuan di masyarakat dilakukan untuk memantau berapa banyak atau berapa intensitas perburuan terhadap satwaliar yang dilakukan oleh masyarakat dalam periode tertentu. 14 Kegiatan ini penting juga dengan melibatkan masyarakat setempat dalam mendapatkan informasi tentang kehidupan satwaliar yang ada di dalam dan sekitar unit pengelolaan. Kegiatannya berupa wawancara, qusioner dan diskusi kelompok.
Hal | 38
Dibawah ini di sampaikan beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk melakukan pemantauan NKT 5 & NKT 6 secara partisipatif adalah: 1. Sosialisasikan kepada masyarakat tentang NKT yang telah teridentifikasi sebelumya; 2. Diskusikan dengan masyarakat tentang perubahan apa saja yang sedang dan akan terjadi dan bagaimana kecenderungan kecenderungan ke depannya terkait dengan keberadaan NKT ini. 3. Kembangkan dan laksanakan rencana pemantauan secara partisipatif dengan mendiskusikan tentang indikator atau parameter apa saja yang akan dipantau, siapa yang akan memantau dan kapan akan dilakukan pemantauan. 4. Susunlah rencana pemantauan secara partisipatif ini sedetail mungkin dan sejelas mungkin agar masyarakat dapat memahami serta dapat berpartisipasi dalam kegiatan pemantauan. 5. Buatlah komitmen dan kesepakatan dengan masyarakat untuk mematuhi dan menaati rencana serta pelaksanaan dari pemantauan NKT ini. 6. Masukkan rencana pemantauan NKT ini ke dalam rencana pemantauan strategi konservasi perusahaan yang dapat disinergikan dengan rencana pemantauan aspek lainnya. 7. Integrasikan kegiatan ini kedalam kegiatan rutin masyarakat yang tidak mengganggu keseharian mereka.
4.6. Penggunaan Hasil Pemantauan Pemantauan ekologis ataupun partisipatif akan sangat berguna kalau di lakukakan analisa lebih lanjut, hasil-hasil kegiatan ini akan sangat bermanfaat dalam melakukan perbaikanperbaikan dalam sistem pengelolaan lebih lanjut. Sesuai dengan sistem pengelolaan adaptif yang diadopsi dalam panduan ini (lihat gambar 6).
Hal | 39
Struktur Minimum dok Pengelolaan dan Pemantauan Ringkasan Bab ini berisi tentang ihktisar dari rencana pengelolaan dan pemantauan NKT yang isinya antara lain latar belakang, tujuan dari pengelolaan dan pemantauan, cakupan, tim penyusun dan kegiatan dalam pengelolaan dan pemantauan NKT. Pendahuluan Bab pendahuluan berisi tentang latar belakang dari penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan NKT. Tujuan Bab tujuan menggambarkan tentang maksud dan tujuan adanya kegiatan pengelolaan dan pemantauan NKT Cakupan Bab cakupan berisi tentang cakupan dan ruang lingkup dari rencana pengelolaan dan pemantauan NKT Tim Penyusun Bab ini berisi tentang anggota tim yang menyusun rencana pengelolaan danpemantauan NKT, juga ringkasan keahlian dari masing-masing anggota tim. Kegiatan-kegiatan pengelolaan dan pemantauan (PIC, bujet, waktu, metode) Bab ini merupakan inti dari laporan pengelolaan dan pemantauan NKT, yang berisi tentang rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam proses pengelolaan dan pemantauan NKT, di dalam bab ini di juga di jelaskan tentang Tindakan yang harus diambil dalam pengelolaan dan pemantauan,Tujuan,Apa yang perlu di kelola dan diawasi,Bagaimana mengelola dan mengawasinya, siapa yang akan bertanggung jawab, Kapan mereka akan melakukannya,bagaimana orang yang bertanggung jawab akan melaporkan temuan mereka. Lampiran (peta, desain tehnis dll.) Bab ini berisi tentang lampira utama berupa data-data pendukung yang diperlukan di dalam kegiatan pengelolaan dan pemantauan NKT, seperti metode, peta-peta dan catatan lainnya.
Hal | 40
Bab V Penutup Keberhasilan dalam melakukan pengelolaan dan pemantauan NKT di berbagai sektor pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, sangat tergantung kepada komitmen dari para pemangku kepentingan di dalam menjaga dan meningkatkan nilai-nilai yang sangat penting ini. Komitmen ini juga harusnya di dukung oleh kebijakan dan regulasi-regulasi yang relavan. Komitmen dari pihak unit pengelola dalam hal ini harus juga di dukung oleh komitmen pemerintah setempat melalui regulasi dan kebijakan yang mendukung juga keterlibatan masyarakat sangat di perlukan. Karena mereka ini memiliki kontribusi yang menetukan berhasil tidaknya kegiatan pengelolaan NKT. Selain komitmen, perangkat lain yang penting adalah adanya bimbingan dan panduan yang memadai kepada para pemangku kepentingan di dalam menjalankan pengelolaan dan pemantauan NKT. Tugas ini salah satunya menjadi tanggung jawab pihak NKT-NI melalui anggotanya yang harus memberikan bimbingan secara teknis atau konsep. Keberadaan panduan menjadi sangat penting sekali karena bisa jadi adanya keterbatasan waktu atau tenaga bagi para anggota NKT-NI dalam melakukan pendampingan, panduan yang ada saat ini bukan lah merupakan panduan yang bersifat statis akan tetapi akan berkembang secara terus menerus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ditemukan di lapangan. Untuk itu pendekatan pengelolaan adaptif menjadi landasan utama dalam panduan yang ada saat ini. Karena dengan konsep ini, panduan yang ada saat ini di harapkan akan terus berkembang dan lebih baik lagi serta kredibel.
Hal | 41
DAFTAR PUSTAKA Anand, MO, J. Krishnaswamy, A. Kumar and A. Bali. 2010. Sustaining biodiversity conservation in human-modified landscapes in the Western Ghats: Remnant forests matter. Biological Conservation, 143 (2010) : 2363-2374 Blouin, M.S. dan E.F.Connor. 1985. Is there a best shape for Nature Reserve. Biological Conservation 32 (1985) : 277-288 Deshaye, Jean dan P. Morisset. 1989, Species-area Relationships and the SLOSS Effect in Subartic Archipheago. Biological Conservation 48 (1989) : 265-276 Diamon, J.M. 1975. The island dilemma: Lesson of modern biogeographics studies for the design of the natural reserves. Biol. Conserv. (1975) : 129 – 146. FSC (2000) FSC Principles and Criteria. Document 1.2. Forest Stewardship Council. Bonn, Germany. Forman & Godron. 1989. Landscape Ecology. Frohn, Robert C. 1998. Remote Sensing fro Landscape Ecology. Lewis Pub. Washington DC. 99 p Gascon, C, TE. Lovejoy, RO. Bierregaard Jr.,J R. Malcolm,PC. Stou€er, H L. Vasconcelos, WF. Laurance, B. Zimmerman, M.Tocher, and S. Borges.1999. Matrix habitat and species richness in tropical forest remnants. Biologi Conservation, 91 (1999) 223 229 Giambelluca, TW., A.D. Ziegler, M.. A. Nullet, D.M. Truong and L.T. Tran. 2003. Transpiration in a small tropical forest patch. Agric.and Forest Meteorology, 117 (2003): 1-22 Jarvie, J. Hiller, M., and A. Salim (2002) NKTF Guidelines for Forest Managers in Indonesia. Sponsored by The Nature Conservancy and The United States Forest Service. Jennings, S and J. Jarvie (2004) A Sourcebook for Landscape Analysis of Nilai Konservasi Tinggi Forests. ProForest. Oxford. UK. Jennings, S. Nussbaum, R., and T. Sysnnott (2002) A Toolkit for identifying and managing Nilai Konservasi Tinggi Forests: Review Draft 1. Prepared by ProForest. Oxford. UK Jennings, S. (2004). NKTF for Conservation Practitioners. ProForest. Oxford. UK Jennings, S. Nussbaum, R. Judd, N. and T Evans. (2003) The Nilai Konservasi Tinggi Forest Toolkit (Parts 1 – 3). ProForest. Oxford. Kunin, W.E. 1997. Sample shape, spatial scale & species counts:Implication for reserve design. Biological Conservation, 82 (1997): 369-377 Laurance, WF. 1991. Edge Effects in Tropical Forest Fragments: Application of a Model for the Design of Nature Reserves. Biological Conservation 57 (1991): 205-219 McGariga, K. 1994. Fragstat : Spatial pattern analysis program for quantifying landscape structure. Forest Science Department, Oregon State University, Corvallis,141pp
Hal | 42
McGariga, K., S.Tagil, and S.A. Cushman. 2009. Surface metrics: an alternative to patch metrics for the quantification of landscape structure. Landscape Ecology (2009) 24: 433-450 Meijaard, E., S. Stanley, E.H.B. Pollard, A. Gouyon & G. Paoli. 2006. Nilai Konservasi Tinggi Forest in East Kalimantan. A Guide for Practioners. The Nature Conservancy – East Kalimantan Program, Samarinda, Indonesia. Proforest/SmartWood (2003) Identifying, Managing and Monitoring Nilai Konservasi Tinggi Forests in Indonesia: A Toolkit for Forest Managers and other Stakeholders. SmartWood Asia Pacific Program. Salafsky, N., R. Margoluis, and K. Redford (2001) Adaptive Management : A tool for conservation practitioners. Biodiversity Support Program. Washington DC SmartWood (2003) Identifying, Managing and Monitoring Nilai Konservasi Tinggi Forests in Indonesia: A Toolkit for Forest Managers and other Stakeholders. SmartWood Asia Pacific Program. Saunders, S.C., J.Chen, T. D. Drummer and T. R. Crow. 1999. Modeling temperature gradients across edges over time in a managed landscape. Forest Ecology & Management, 117 (1999) : 17-31 Sharon Kingsland. 2002. Designing nature reserves: adapting ecology to real-world problems, Endeavour Vol. 26(1) 2002 Simberloff, D.S. dan L.G. Abele. 1975. Island Biogeography Theory and Conservation Practice. Science 191 : 285-286 Spittlehouse, R.S. Adams, and R.D. Winkler.2004. Forest, Edge, and Opening Microclimate at Sicamous Creek. Ministry of Forests Forest Science Program, British Columbia Stewart, C; P. George, T. Rayden and R. Nussbaum. 2008. Pedoman Pelaksanaan Penilaian Nilai Konservasi Tinggi. Edisi I-Mei 2008. Proforest. Tim Rayden. 2008 . Assessment, management and monitoring of Nilai Konservasi Tinggi Forest (NKTF).A practical guide for forest managers . ProForest, Oxford TNC - LLFO. (2002). Participatory Conservation Planning: A methodology for Community consultation. The Nature Conservancy. Palu, Indonesia. TNC (2000) The Five-S framework for site conservation : a practitioners handbook of Site Conservation Planning and measuring conservation success. The Nature Conservancy, Arlington VA, USA Tropenbos. 2008. Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia. Konsorsium Revisi NKT Toolkit Indonesia. Tropenbos International Indonesia Programme. Konsorsium Revisi, H.C.V.T.I., Panduan identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi TInggi di Indoneesia2008, Balikpapan, Indonesia: Tropenbos International Indonesia Programme. 125 Halaman-125 Halaman. Sanderson, E.W., et al., A conceptual model for conservation planning based on landscape species requirements. Landscape and urban planning, 2002. 58(1): p. 41-56.
Hal | 43
Good Practives guilnes for High Conservation Value assessments: A Practical guide for practitioners and auditors, ed. C. Stewart, et al.2008, Oxford, United Kingdom: ProForest. Rao, M., A. Johnson, and N. Bynum, Assessing Threats in Conservation Planning and Management. Lesson in Conservation, 2007(1): p. 44-71. WCS.
Living
Landscape
Program.
2007; http://www.wcslivinglandscapes.com/Home.aspx.
Available
from:
Laurance, W.F. and R.O. Bierregaard, Tropical Forest Remnants: Ecology, Management, and Conservation of Fragmented Communities1997: University of Chicago Press, Chicago. Kinnaird, M.F., et al., Deforestation Trends in a Tropical Landscape and Implications for Endangered Large Mammals. Conservation biology, 2003. 17(1): p. 245-257. Gaveau, D.L.A., H. Wandono, and F. Setiabudi, Three decades of deforestation in southwest Sumatra: Have protected areas halted forest loss and logging, and promoted regrowth? Biological Conservation, 2007. 134(4): p. 495-504. Linkie, M., R.J. Smith, and N. Leader-Williams, Mapping and predicting deforestation patterns in the lowlands of Sumatra. Biodiversity and Conservation, 2004. 13(10): p. 1809-1818. Wilson, K., et al., Conserving biodiversity in production landscapes. Ecological Applications, 2010. Ecological monitoring of forest management in the humid tropics: a guide for forest managers and certifiers with special reference to Nilai Konservasi Tinggi Forests. http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415. Nilai Konservasi Tinggis and Biodiversity: identification, management and monitoring. FSC Briefing Note, developed by ProForest. http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-0929.6584228415/NKT_briefing_note_high_res.pdf. Practical Toolkit for identifying and monitoring biodiversity within oil palm landscapes, ZSL September 2011. http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-0929.6584228415/ZSL. Assessment, Management & Monitoring of Nilai Konservasi Tinggis: A practical guide for forest managers, Tim Rayden: 2008, ProFores. http://www.NKTnetwork.org/resources/ Guidelines on Management and Monitoring Of Nilai Konservasi Tinggi For Sustainable Palm Oil Production In Indonesia, NKT RSPO Indonesian Working Group (NKT-RIWG). http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415.
Hal | 44
Lampiran 1: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Hutan Alam Oleh: Yana Suryadinata Wahyu Riva
1.
Pendahuluan
Konsep Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) muncul pertama kali pada tahun 1999 sebagai ‘Principle 9’ dari standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dikembangkan oleh Forest Stewardship Council (FSC). Konsep ini dirancang dengan tujuan untuk membantu para pengelola hutan alam dalam usaha usaha peningkatan keberlanjutan usahanya dengan tetap memperhatikan keberlangsungan kehidupan sosial dan lingkungan hidup di dalam dan sekitar areal konsesinya. Di dalam prinsip ke -9 standar FSC, terdapat empat hal penting yang harus dilakukan berkaitan dengan nilai konservasi tinggi (NKT) oleh setiap unit pengelolaan hutan alam dalam proses penilaian standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan, yaitu bahwa setiap unit pengelolaan hutan diwajibkan untuk: 5. Mengidentifikasi Hutan Bernilai Konservasi Tinggi yang ada di dalam kawasan konsesinya; 6. Konsultasi publik dalam proses sertifikasi harus menekankan pada sifat-sifat konservasi yang teridentifikasi dan pilihan-pilihan pengelolaannya ; 7. Mengelola area hutan tersebut supaya dapat memelihara atau meningkatkan nilai-nilai yang teridentifikasi; 8. Memonitor keberhasilan pengelolaan kawasan hutan itu. Pengelolaan dan pemantauan wilayah yang mempunyai NKT menjadi sangat penting karena salah satu prinsip dasar dari konsep KBKT adalah bahwa wilayah-wilayah dimana dijumpai atribut yang mempunyai NKT tidak selalu harus menjadi daerah dimana pengusahaan hasil hutan tidak boleh dilakukan. Sebaliknya, konsep NKT mensyaratkan agar pengusahaan hasil hutan dilaksanakan dengan cara yang menjamin pemeliharaan dan atau peningkatan NKT tersebut. Di Indonesia, saat ini banyak para pemegang ijin pengelolaan hutan alam yang mengikuti standar pengelolaan hutan alam lestari secara sukarela, salah satu tujuan dari keterlibatan para pemegang ijin adalah keinginan agar produk hasil hutan berupa kayu dapat di jual di pasar internasional dan produk mereka merupakan produk yang dihasilkan dari pengelolaan yang memperhatikan aspek lingkungan dan sosial budaya di sekitarnya. Ketersedian rencana pengelolaan dan pemantauan NKT menjadi salah satu kebutuhan utama bagi para pengelola hutan alam, sebagai panduan bagi para manager dan staf dilapangan dalam memelihara atau meningkatkan NKT-NKT yang terdapat di dalam konsesinya.
Hal | 45
2. Tahapan Operasional di pengelolaan Hutan Alam
Sistem pengelolaan hutan alam di Indonesia mewajibkan para pemegang ijin untuk melakukan kegiatan pengusahaan hutan di dalam konsesinya di dalam satu sistem silvikultur yang sudah di tetapkan dan sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan. Rencana Kehutanan dalam sistem pengelolaan alam terdiri dari Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam untuk jangka waktu 10 tahun dan rencana kerja tahunan usaha (RKT) untuk jangka waktu 1 tahunan. Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan, yang meliputi penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan tegakan hutan, guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Sedangkan TPTI adalah sistem silvikultur yang meliputi cara penebangan dengan batas diameter dan permudaan hutan. Untuk mencapai sasaran yang diharapkan dalam pelaksanaan TPTI, maka ditetapkan tahapan pelaksanaan TPTI dan tata waktu pelaksanaannya sebagai berikut: penataan areal kerja, inventarisasi tegakan sebelum penebangan, pembukaan wilayah hutan, penebangan, pembebasan, inventarisasi tegakan tinggal, pengadaan bibit, penanaman/pengayaan, pemeliharaan tahap pertama, pemeliharaan lanjutan, pembebasan, penjarangan, perlindungan dan penelitian. Tabel 1. Tahapan dalam pelaksanaan sistem TPTI No
Tahapan Kegiatan TPTI
Waktu pelaksanaan
1
Penataan Areal Kerja
Et-3
2
Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan
Et - 2
3
Pembukaan Wilayah Hutan
Et - 1
4
Penebangan
Et
5
Pembebasan
Et + 1
6
Inventarisasi Tegakan Tinggal
Et + 1
7
Pengadaan Bibit
Et + 2
8
Penanaman/Pengayaan
Et + 2
9
Pemeliharaan Tahap Pertama
Et + 3
10
Pemeliharaan Lanjutan ( pembebasan, penjarangan)
Et + 4, Et + 9, Et +14 ,Et +19
11
Perlindungan dan Penelitian Terus menerus
Keterangan: Et adalah simbol tahun penebangan.
Hal | 46
Semua aktivitas dalam sistem silvikultur ini memberikan dampak postif atau negatif terhadap lingkungan sekitarnya secara ekologi, sosial dan budaya. Kawasan yang bernilai konservasi tinggi yang di temukan di dalam konsesi sangat dipengaruhi oleh aktivitasaktivitas ini baik secara langsung ataupun tidak. Contoh kegiatan yang berpengaruh terhadap NKT antara lain pembukaan wilayah hutan, penebangan, kegiatan-kegiatan tersebut memberikan dampak terhadap satwaliar dengan terbukanya tajuk, hilangnya sumber pakan dan rusaknya habitat (NKT 1), timbulnya erosi dan sedimentasi (NKT4), dan berkurangnya sumber bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat ( NKT5). Kemungkinan dampak dari kegiatan pengelolaan kawasan hutan yang didalamnya mengandung NKT akan sangat tergantung pada tipologi, karakteristik, dan kondisi pada areal konsesi hutan alam. Perubahan-perubahan yang terjadi di lapangan dapat terjadi pada skala besar maupun dalam skala kecil dan pada tingkat ekosistem maupun bentang alam. Adanya kegiatan pengelolaan hutan yang kemungkinan dapat menurunkan kualitas dan kuantitas NKT dapat dipulihkan dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Setiap dampak negatif dari pengelolaan hutan yang terjadi pada suatu NKT dapat dikurangi melalui pengelolaan hutan yang baik. Salah satu contoh pengelolaan hutan yang baik untuk aspek produksi adalah dengan menerapkan teknik penebangan berdampak rendah (reduced impact logging/RIL). Penerapan RIL secara benar dan tepat dilapangan dapat mengurangi dampak negatif yang terjadi pada suatu areal yang diindikasikan didalamnya terdapat NKT. Untuk menentukan strategi pengelolaan yang sesuai maka diperlukan informasi mengenai bentuk-bentuk ancaman terhadap nilai yang melekat pada masing-masing NKT. Ancaman merupakan bentuk proses atau kegiatan yang dapat menyebabkan suatu nilai memberikan respon dalam bentuk perubahan nilai itu sendiri atau sebuah indikasi atau peringatan akan terjadinya kerusakan atau pengaruh negatif terhadap nilai. Nilai dari ancaman tersebut juga dapat diketahui apakah tinggi atau rendah. Juga perlu diidentifikasi sumber dari ancaman dan potensi dari ancaman tersebut. Informasi tentang ancaman ini penting untuk menentukan strategi pengelolaan NKT yang teridentifikasi. 3. Pengelolaan dan Pemantauan NKT
Kunci utama dalam pengelolaan NKT adalah bahwa strategi-strategi yang dirancang harus mempertahankan atau meningkatkan nilai. Hal ini berarti akan ada perbedaan pengelolaan antara konsesi satu dengan yang lainnya tergantung dari nilai NKT yang teridentifikasi atau ditemukan. Dalam standar pengelolaan hutan skema FSC, aspek pengelolaan NKT tercantum dalam prinsip 9.3 : “ 9.3. Rencana pengelolaan hendaknya meliputi dan mengimplementasikan tindakantindakan spesifik untuk menjamin pemeliharaan dan atau peningkatan sifat-sifat konservasi yang dapat di terapkan secara konsisten dengan pendekatan kehati-harian. Tindakantindakan ini hendaknya secara spesifik dimasukan dalam ringkasan rencana pengelolaan yang tersedia bagi publik”. Tahapan dalam pengembangan rencana pengelolaan NKT dilakukan terhadap atribut dari NKT yang teridentifikasi ada dalam kawasan konsesi pengelolaan hutan. Untuk menyusun Hal | 47
rencana ini menggunakan pendekatan kehati-hatian15 (precautionary approach) perlu dilakukan agar pengelolaan tepat sasaran. Pengelolaan NKT pada suatu areal konsesi hutan alam tidak harus dilakukan secara terpisah dengan kegiatan pengelolaan hutan lainnya. Pengelolaan NKT dapat diintegrasikan dengan kegiatan lainnya yang relevan. Misalnya, untuk NKT Mempertahankan wilayah yang bisa menyediakan air bersih bagi masyarakat yang ada di bagian hilir unit pengelolaan. Dengan merestorasi kawasankawasan yang sudah terdegradasi hutannya dengan penanaman kembali jenis-jenis lokal yang banyak ditebang, mempertahankan wilayah lindung khususnya kiri-kanan sungai, penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan dan di lakukan dengan benar ( NKT 4). Sementara itu, untuk NKT 5 dan NKT 6, kegiatan ini dapat diintegrasikan ke dalam program sosial yang telah disusun oleh unit manajemen, misalnya melalui program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan atau kelola sosial. Selain itu, kegiatan pengelolaan NKT dapat juga disinergikan dengan hasil penilaian dampak sosial dan pelaksanaan rencana Kelola dan rencana pemantauan untuk aspek sosial. Harapannya dengan diintegrasikan dan disinergikan pengelolaan NKT dengan kegiatan pengelolaan hutan lainnya, akan memudahkan bagi manager, staf, atau pekerja dilapangan dalam mengelola NKT di areal konsesi hutan alamnya. Untuk memudahkan pihak unit pengelola dalam melaksanakan pengelolaan NKT, maka disusun suatu matrik rencana pengelolaan NKT yang dapat dijadikan sebagai contoh panduan praktis bagi para pengelola, staf, dan pekerja unit pengelolaan hutan, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan di bidang ekologi, produksi, dan sosial.
15
Hal ini bisa terjadi apabila anda ragu dengan NKT, maka diasumsikan bahwa NKT ada dan perlu penyelidikan lanjut terhadap dampak kegiatan terhadap NKT. Dasar pemikiran dari penyusunan rencana pengelolaan terhadap NKT yang teridentifikasi adalah adanya keinginan untuk memelihara dan atau meningkatkan NKT yang ada serta rencana pengelolaan yang jelas dan terperinci.
Hal | 48
Tabel 2. Contoh Matrik Rencana Pengelolaan terhadap Nilai-nilai konservasi Tinggi di pengelolaan hutan alam
NKT
Nilai-Nilai
Ancaman
Kawasan yang di kelola
Strategi dan tindakan Pengelolaan
1.1
Kawasan lindung
Perladangan
Buffer zone hutan lindung dan kawasan lindung yang ada di dalam areal konsesi
Penyuluhan kepada masyarakat tentang larangan penebangan liar di dalam kawasan konsesi;
Penebangan liar Penambangan emas Rencana perkampungan
Pemasangan poster yang berhubungan dengan himbauan untuk tidak melakukan penebangan liar; Pengajuan keberatan tentang rencana tambang emas di dalam konsesi ;
Rencana kebun/sawit/karet/coklat
Tidak melakukan penebangan di wilayah tersebut (NKT1.1);
Penebangan tidak terencana
Upaya pengendalian perladangan; Melaksanakan sistem RIL dalam penebangan sesuai dengan SOPnya.
1.2
Tumbuhan/flora terancam punah
-
jenis-jenis Dipterocarpaceae (CR) -
Penebangan tidak terencana di dalam konsesi Penebangan liar
Seluruh areal konsesi khususnya hutan dataran rendah dan sub pegunungan
-
Kerjasama dengan aparat penegak hukum dalam penyuluhan tentang penebangan liar
-
Menyisakan pohon-pohon jenis CR (diameter lebih dari 60 cm) untuk tidak di tebang di setiap hektar petak tebang;
-
Melatih terus staf tentang pengenalan jenis pohon;
-
Merestorasi kembali hutan dengan menanami
Perladangan Pemukiman
Hal | 49
1.3
Semua jenis yang teridentifikasi dalam NKT 1.2 ditambah jenis lain yang dianggap langka, terancam (endangered), rentan (vulnerable), endemik atau dilindungi oleh Pemerintah Indonesia yang mampu bertahan hidup (viable
-
Penambangan emas
-
Rencana kebun sawit
-
Perburuan liar
-
Perdagangan satwa
-
Penebangan tidak terencana
-
Penebangan liar
-
Perladangan
-
Penambangan emas
-
Rencana kebun sawit
lahan rusak dan gundul dengan jenis-jenis CR;
Habitat Enam jenis mamalia dan satu jenis burung tergolong ke dalam kriteria di atas, yakni: Hylobates muelleri (owa kalawat), Manis javanica (trenggiling peusing), Felis planiceps (kucing tandang), Cynogale bennettii (musang air), Sundasciurus hippurus (bajing ekor kuda), Ratufa affinis (jelarang bilalang), dan burung Ciconia stormi (bangau storm). Jenis dari marga
-
Daerah konsentrasi sebaran jenis-jenis CR tersebut di atas perlu mendapat perhatian khusus, misalnya dijadikan areal konservasi genetik, sebagai sumber genetik bagi jenis-jenis vegetasi penting tersebut – sebagai bank gen jenis-jenis vegetasi;
-
Mengidentifikasi habitat dan kondisi habitat yang harus dilindungi sebelum penebangan dilakukan bersamaan dengan inventarisasi sebelum penebangan.
-
Membuat himbauan untuk masyarakat tentang pelarangan perburuan terhadap flora-fauna langka dan dilindungi ;
-
Perusahaan membuat aturan tentang perlindungan flora-fauna langka dan dilindungi di dalam unit pengelolaan ;
-
Bekerjasama dengan pihak universitas setempat atau LSM yang bergerak dalam pelestarian alam khususnya flora-fauna langka dan dilindungi;
-
Kampanye penyadartahuan tentang perlindungan flora-fauna langka dan dilindungi terhadap masyarakat sekitar konsesi dan karyawan ;
-
Pendidikan lingkungan mendorong masyarakat tidak berburu flora-fauna langka dan dilindungi ;
Hal | 50
population).
2.1
Wilayah inti seluas 74,000.03 dan wilayah penyangga seluas 120,000,05hektar yang ada di dalam areal konsesi
Dipterocarpaceae yang ditemukan di dalam areal PT. A
-
Penebangan
-
Konversi lahan
-
Fragmentasi
Wilayah inti seluas 74,000.03 hektar dan wilayah penyangga seluas 120,000.05 hektar yang ada di dalam areal konsesi
-
Mengidentifikasi saltlick (sepan-air mineral);
-
Membuat aturan pelarangan perburuan terhadap flora-fauna langka dan dilindungi bagi staf perusahaan;
-
Membuat SOP yang berhubungan dengan identifikasi satwaliar dengan mengintergrasikan dengan kegiatan ITSP;
-
Memperbaiki dan melaksanakan teknik RIL dengan benar di lapangan ;
-
Penanaman di tempat-tempat terbuka dengan menggunakan jenis lokal terutama yang terancam punah, langka dan dilindungi;
-
Membuat sample plot permanen ;
-
Membiakan jenis-jenis tumbuhan dari jenis langka dan hampir punah.
-
Penerapan sistem pemanenan kayu berdampak rendah (RIL) sangat penting untuk diterapkan dan dilakukan dengan benar ;
-
Pembuatan jalan angkutan tidak banyak dengan lebar cukup sesuai prosedur peraturan dan RIL;
-
Membuat aturan pelarangan berburu hidupan liar khusunya bagi staf perusahaan
-
Mempertahankan sebagai satu unit pengelolaan
Hal | 51
hutan
2.2
2.3
3
Kawasan Bentang alam yang memiliki rentang beda ketinggian dan zona ekokline pada ketinggian 500 meter
-
Penebangan
-
Konversi lahan
-
Fragmentasi
Jenis predator tingkat tinggi dan jenis indikator lain yang memerlukan ruang habitat luas tetapi berkepadatan rendah
Ekosistem Hutan Dipterocarpaceae
-
Penebangan tidak terencana;
-
Penebangan liar;
-
Perburuan;
-
Perdagangan satwa;
-
Perladangan;
-
Perubahan fungsi lahan
Perubahan fungsi lahan untuk sawit atau
Kawasan Bentang alam yang memiliki rentang beda ketinggian dan zona ekokline pada ketinggian 500 meter
Semua hutan dipterokarpa dataran rendah dan sub pegunungan didalam wilayah konsesi
Semua hutan dataran
-
Pemantauan perladangan dan pembukaan pemukiman baru
-
Penerapan sistem pemanenan kayu berdampak rendah (RIL) sangat penting untuk diterapkan dan dilakukan dengan benar;
-
Pembuatan jalan angkutan tidak banyak dengan lebar cukup sesuai prosedur ;
-
Konektivitas antara ekosistem hutan dengan lanskap yang lebih luas;
-
Membuat koridor satwa kalau diperlukan. -
Penerapan sistem RIL sangat penting untuk diterapkan dan dilakukan dengan benar;
-
Mencegah fragmentasi habitat dengan pembuatan jalan yang efektif, pemeliharaan kesinambungan tajuk dan kanopi hutan;
-
Mencegah perburuan terhadap satwaliar baik untuk staf maupun masyarakat.
-
Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah terdegradasi hutannya dengan penanaman Hal | 52
dataran rendah di dalam areal.
lading; -
-
4.1
4.2
rendah di dalam konsesi
kembali jenis-jenis lokal yang banyak ditebang;
Penebangan tidak terencana;
-
Penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan dan di lakukan dengan benar ;
-
Terdapat Kawasan-kawasan yang tidak ditebang dan merupakan representatif dari jenis ekosistem yang ada di dalam unit pengelolaan.
Penebangan liar
Hutan di tepi sungai/danau (riparian) yang tergenang secara teratur dan subDAS yang menyediakan air bersih untuk desa disekitarnya.
-
Perladangan
-
Hutan Riparian
-
Penebangan liar
-
Embung dan mata air
-
Kawasan mempunyai tingkat bahaya erosi berat sampai sangat berat di dalam areal.
-
-
Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah terdegradasi hutannya dengan penanaman kembali jenis-jenis lokal yang banyak ditebang;
Penambangan emas
-
Perubahan fungsi lahan
Mempertahankan wilayah lindung khususnya kirikanan sungai;
-
Penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan dan di lakukan dengan benar.
-
Penanaman areal terbuka pasca penebangan ( bekas Tpk dan TPN) ;
-
Menutup jalan logging , jalan cabang dan jalan sarad yang sudah tidak dipakai ( deactivasi);
-
Penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan dan di lakukan dengan benar.
Penebangan
-
Wilayah-wilayah yang mempunyai potensi TBE Berat menjadi wilayah yang perlu menjadi perhatian utama dengan tidak mengampingkan wilayah lain yang
Hal | 53
nilai TBE di bawahnya. . 4.3
5
6
Hutan dengan pepohonan tinggi dan lapisan bawah yang lembab dan wilayah yang dapat mencegah peluasan kebakaran
Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat di sekitar areal konsesi
Nilai budaya dan spiritual di beberapa lokasi
-
Perubahan fungsi kawasan hutan;
-
Perladangan, kebun sawit, tambang ;
-
Keberadaan illegal logging yang bila tidak tertanggulangi dapat merusak tipe-tipe ekosistem tertentu
-
Pembukaan wilayah hutan
-
Penebangan
-
Perburuan binatang yang dilindungi oleh masyarakat
-
Pembukaan wilayah hutan
-
-
Kawasan hutan yang berada dekat perkampungan dan ladang.
Daerah sekitar 20 nama sungai, anaksungai dan mata air yang mereka manfaatkan
-
Sebaran situs arkeologi
-
Melakukan sosialisasi bahaya kebakaran hutan buat masyarakat ;
-
Pengetatan/pengawasan akses keluar masuk kawasan konsesi buat pihak luar ;
-
Membuat larangan membakar lahan bagi karyawan perusahaan;
-
Pemasangan poster;
-
Patroli hutan.
-
Membuat kesepakatan bersama antara masyarakat dengan unit pengelola tentang wilayah-wilayah yang diperbolehkan masyarakat untuk mengambil hasil hutan non kayu dan produk lain selain kayu untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya;
-
Pembalakan ramah lingkungan (RIL) tampaknya sangat perlu dilakukan karena RIL akan mampu menekan potensi erosi yang akan memberikan dampak buruk pada aliran sungai, terutama sungai-sungai yang memiliki nilai vital bagi kehidupan masyarakat.
-
Melindungi kawasan-kawasan yang dianggap oleh masyarakat sebagai tempat ritual/budaya yang
Hal | 54
spesifik yang berada di dekat desa.
-
Penebangan
-
-
Sebaran kegiatan ritual Sebaran sumberdaya alam hayati untuk pemenuhan kebutuhan budaya
ada di dalam areal; -
Membuat kesepakatan bersama dengan masyarakat tentang lokasi-lokasi penting secara budaya dan tidak menebang di radius yang disepakati;
-
Membuat prosedur (SOP) untuk unit pengelola apabila menemukan wilayah-wilayah penting budaya sewaktu kegiatan inventarisasi atau kegiatan sebelum penebangan;
-
Membuat kesepakatan dengan masyarakat untuk memberikan akses masuk hutan untuk mendapatkan tumbuhan atau binatang untuk keperluan budaya;
-
Bekerjasama dengan universitas setempat untuk melakukan penelitian dan pendokumentasian tentang budaya masyarakat di dalam dan sekitar areal.
Hal | 55
Semua program pengelolaan akan di ikuti dengan adanya program pemantauan untuk melihat seberapa efektiv atau berhasilnya kegiatan pengelolaan adalah salah satu kunci dari prinsip 9 FSC sebagaimana tercantum dalam 9.4 “ Pemantauan tahunan akan dilakukan untuk menilai efektivitas langkah-langkah yang diterapkan untuk memelihara atau meningkatkan sifat-sifat konservasi yang dapat diterapkan “ Pemantauan merupakan bagian penting dalam konsep pengelolaan adaptif 16. Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam menyusun rencana pemantuan antara lain : -
Sederhana, dan mudah dipahami oleh staf lapangan
-
Memberikan aturan yang jelas kapan di mulai dan kapan berhenti;
-
Murah biayanya;
-
Memiliki sasaran yang jelas;
-
Di rencanakan sebelumnya dan melekat dengan rencana pengelolaan;
Pada dasarnya metode pemantauan dalam NKT di pengelolaan hutan alam terbagi menjadi dua bagian besar yaitu pemantauan secara ekologis untuk pemantuan NKT 1, NKT 2, NKT 3, dan pemantauan yang bersifat partisipatif yang berhubungan dengan kebutuhan dasar dan budaya. Untuk memudahkan pihak unit pengelola dalam melaksanakan pemantaun NKT, maka disusun suatu matrik rencana pemantuan NKT yang dapat dijadikan sebagai contoh panduan praktis bagi para pengelola, staf, dan pekerja unit pengelolaan hutan, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan di bidang ekologi, produksi, dan sosial
16
Lihat konsep Adaptif dalam panduan utama
Hal | 56
Hal | 57
Tabel 3. Contoh Matrik Rencana Pemantauan terhadap Nilai-nilai konservasi Tinggi di pengelolaan hutan alam
NKT
Nilai-Nilai
Tujuan
1.1
Kawasan lindung di dalam konsesi
-
Memastikan bahwa tidak ada penebangan di dalam kawasan lindung;
Pemantauan bisa dilakukan setelah penebangan selesai di setiap Rencana karya tahunan (RKT);
-
Memastikan ada proses penyadartahuan di masyarakat tentang kawasan ini;
-
Laporan periodik tetang proses penyadartahuan dan sosialisasi ;
-
Terdapat data tentang pengambilan Hasil Hutan Non Kayu oleh masyarakat
-
Pemantauan tutupan hutan
-
1.2
Tumbuhan/flora terancam punah
Adanya peraturan perusahaan tentang larangan perburuan dan pengambilan sumberdaya alam dari wilayah.
Strategi dan tindakan Pengawasan
-
Mepemantauan habitat tumbuhan terancam punah yang ada di dalam areal ;
-
Melakukan pemantauantumbuhan kategori CR melalui survey berkala bersamaan dengan ITSP;
-
Memperbaharui
-
Terdapat standar survey
jenis-jenis Dipterocarpaceae (CR)
Periode
Penanggung Jawab
-
Pertiga bulan/enam bulan
Perencanaan dan lingkungan, sosial.
-
Pertahun
Lingkungan Perencanaan, produksi
Hal | 58
data/up-date tentang spesies CR di dalam areal;
1.3
Semua jenis yang teridentifikasi dalam NKT 1.2 ditambah jenis lain yang dianggap langka, terancam (endangered), rentan (vulnerable), endemik atau dilindungi oleh Pemerintah Indonesia yang mampu bertahan hidup (viable population).
-
-
Memonitor berapa banyak jenis langka dan dilindungi secara global, nasional dan lokal yang ada di dalam areal;
tumbuhan terancam punah (CR) yang jelas; -
Peloporan tentang pelatihan;
-
Pelaporan penanaman lahan kosong dan rusak secara periodik;
-
Pelaporan tentang pelaksanaan RIL
-
Pemantauan dengan pengamatan reguler di petak/sample permanen plot ;
-
Membuat check list satwa liar yang dilindungi yang ditemui di lapangan untuk staf, driver logging, dll
Adanya upaya nyata dari pihak unit pengelola untuk mempertahankan jenis-jenis langka dan dilindungi secara global, nasional dan lokal yang ada di dalam areal.
-
Pertahun/ enam bulan/ tiga bulan
Lingkungan Perencanaan, produksi
Melakukan survey satwa liar di jalur-jalur atau sample plot permanen secara periodik ; Memplotkan hasil temua satwa liar dalam peta yang terintegrasi dengan sistem GIS;
Hal | 59
2.1
Wilayah inti seluas 74,000.03 hektar dan wilayah penyangga seluas 120,000.05 hektar yang ada di dalam areal.
-
Melibatkan masyarakat dalam melakukan pemantauan melalui pengawasan perburuan satwa liar di kampung;
-
Pelaporan tentang pelaksanaan RIL;
-
Pelaporan kegiatan penyadartahuan atau sosialisasi di kampung;
-
Ada database tentang kondisi satwaliar;
-
Penegakan aturan tentang larangan perburuan bagi staf perusahaan;
-
Laporan pertumbuhan tanaman yang di tanam di tempat-tempat terbuka dan rusak.
-
Memastikan sistem RIL di jalankan.
-
Laporan reguler tentang RIL;
-
Memastikan bahwa perubahan tutupan lahan dapat di pantau;
-
Laporan periodik tentang perburuan;
-
Pertahun
Lingkungan dan Perencanaan
Hal | 60
2.2
2.3
Kawasan Bentang alam yang memiliki rentang beda ketinggian dan zona ekokline pada ketinggian 500 meter
Jenis predator tingkat tinggi dan jenis indikator lain yang memerlukan ruang habitat luas tetapi berkepadatan rendah
-
Memastikan bahwa perluasan perladangan dapat dipantau;
-
Memastikan adanya pematauan perburuan
-
Memastikan bahwa praktek-praktek di lapangan sesuai dengan sistem RIL yang ada saat ini;
-
Pemantauan RIL bisa dilakukan setelah penebangan selesai di setiap Rencana Karya Tahunan (RKT);
-
Memastikan bahwa perubahan tutupan lahan dapat di monitor;
-
Pemantauan tutupan hutan;
-
Pemantauan perladangan.
-
Pemantauan bisa dilakukan setelah penebangan selesai di setiap Rencana Karya Tahunan (RKT) untuk RIL;
-
Pemantauan tutupan hutan;
-
Memastikan bahwa perluasan perladangan dapat dimonitor.
-
Memastikan tidak terjadinya konversi hutan di dalam areal;
-
RIL dilaksana di lapangan
-
Pertahun
Lingkungan dan Produksi
-
Pertahun
Lingkungan, Produksi dan sosial
Hal | 61
-
3
Ekosistem Hutan Dipterocarpaceae dataran rendah di dalam areal.
Memastikan fragmentasi habitat di tekan se efektif mungkin;
-
Pemantauan perladangan,
-
Pemantauan perburuan
-
Memastikan adanya upaya untuk mencegah perburuan terhadap satwaliar baik untuk staf maupun masyarakat.
-
Tutupan hutan terpantau secara periodik;
-
Laporan pemantauan pertumbuhan tanaman dan luas yang ditanami;
-
RIL dilaksanakan di lapangan;
-
-
Memastikan adanya kegiatan restorasi kawasan-kawasan yang sudah terdegradasi hutannya ;
Pemantauan RIL dilakukan setelah penebangan selesai di setiap Rencana Karya Tahunan (RKT);
-
Pemantauan kawasan yang merupakan representif dari ekosistem yang ada di areal.
-
-
Pertahun
Lingkungan Produksi, Perlindungan Hutan
Memastiakan adanya kawasan yang tidak ditebang dan merupakan representatif dari jenis ekosistem yang Hal | 62
ada di dalam unit pengelolaan. 4.1
4.2
Hutan di tepi sungai/danau (riparian) yang tergenang secara teratur dan sub-DAS yang menyediakan air bersih untuk desa disekitarnya.
Kawasan mempunyai tingkat bahaya erosi berat sampai sangat berat di dalam areal.
-
Memastikan adanya upaya untuk melakukan restorasi;
-
Sistem RIL dilaksanakan dengan benar dan sungguhsungguh;
-
Pelaporan berkala tentang kegiatan restorasi (pertumbuhan tanaman dan luas);
-
Laporan pemantauan pertumbuhan tanaman dan luas yang ditanami;
-
Memastikan mempertahankan wilayah lindung khususnya kiri-kanan sungai.
-
Pemantauan RIL dilakukan setelah penebangan selesai di setiap Rencana Karya Tahunan (RKT);
-
Memastikan sistem RIL dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh;
-
-
Memastikan tutupan hutan di monitor di seluruh areal;
Pemantauan RIL bisa dilakukan setelah penebangan selesai di setiap Rencana Karya Tahunan (RKT);
-
Menggunakan perangkat lunak GIS dan remote Sensing untuk pematauan tutupan hutan;
-
Laporan pemantauan sedimentasi dan erosi
-
Memastikan ada kegiatan pemantauan sedimentasi dan erosi
-
Pertahun
Lingkungan Produksi, Perencanaan
-
Pertahun
Lingkungan Perencanaan, produksi
Hal | 63
-
5
Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat di sekitar konsesi
Memastikan adanya Penanaman areal terbuka pasca penebangan ;
-
Memastikan adanya kegiatan menutup jalan logging , jalan cabang dan jalan sarad yang sudah tidak dipakai ( deactivasi)
-
Adanya upaya untuk
Membuat kesepakatan bersama antara masyarakat dengan unit pengelola tentang wilayah-wilayah yang diperbolehkan masyarakat untuk mengambil hasil hutan non kayu dan produk lain selain kayu untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya; -
-
Laporan penanaman
-
Laporan kegiatan deactivasi
-
Daftar kesepakatan antara pihak masyarakat dengan unit pengelola;
-
Laporan pemantauan perladangan;
-
Laporan tentang hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat
-
Perenam bulan
Bidang Sosial
Ada kepastian RIL dilakukan di dalam areal.
Hal | 64
6
Nilai budaya dan spiritual di beberapa lokasi spesifik yang berada di dekat desa.
-
-
-
Memastikan adanya upaya perlindungan situs atau tempattempat penting masyarakat yang ada di dalam a areal; Memastikan adanya kesepakatan tentang lokasi-lokasi penting secara budaya dan tidak menebang di radius yang disepakati;
-
Laporan kesepakatan antara unit pengelola dengan masyarakat;
-
Peta wilayah-wilayah budaya penting dalam peta kerja unit pengelola;
-
Dokumetasi tentang temuan baru yang berhubungan dengan budaya;
-
Laporan periodik tentang kegiatan yang berhubungan dengan budaya
-
Perenam bulan
Bidang Sosial
Memastikan adanya kesepakatan dengan masyarakat untuk memberikan akses masuk hutan untuk mendapatkan tumbuhan atau binatang untuk keperluan budaya.
Hal | 65
4. Kesimpulan
Pengelolaan dan pemantauan NKT merupakan tugas yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang sangat panjang juga biaya yang tidak sedikit. Tugas ini bukan hanya untuk kepentingan dalam kontek sertifikasi saja (FSC), hasil dari kegiatan ini akan dapat di rasakan dalam jangka panjang terutama berhubungan dengan kesehatan hutan, kelestarian atau keberlanjutan pengelolaan hutan juga jasa-jasa lain yang berasal dari hutan. Panduan pengelolaan dan pemantuan ini adalah salah satu sarana untuk membantu para pengelola hutan di dalam menjaga, memelihara dan meningkatkan nilai-nilai konservasi yang maha tinggi yang terdapat di dalam hutan yang ada di dalam unit pengelolaan. Panduan ini bersifat sangat dinamis karena temuan-temuan baru serta metode yang efektif akan memperkaya panduan ini untuk bisa membantu pengelolaan dan pemantauan NKT di masa yang akan datang.
5. Daftar Bacaan
Anonimous. 2010. Laporan Pengelolaan dan pemantauan NKT . tidak dipublikasikan. Meijaard, E., S. Stanley, E.H.B. Pollard, A. Gouyon & G. Paoli. 2006. High Conservation Value Forest in East Kalimantan. A Guide for Practioners. The Nature Conservancy – East Kalimantan Program, Samarinda, Indonesia. Meijaard E., Sheil D., Nasi R., Augeri D., Rosenbaum B., Iskandar D., Setyawati T., Lambert F. R. (1992) The consequences of selective logging for Bornean lowland forest birds. Philosophical Transactions of the Royal Society of London Series B 335, 443-457. The Nature Conservancy. 2003. The Five-S Framework for Site Conservation .A Practitioner’s Handbook for Site Conservation Planning and Measuring Conservation Success. The Nature Conservancy. 2004. Participatry ConservationPlanning Mannual. Conservation Training and Resource Center Applied. Tim Rayden. 2008 . Assessment, management and monitoring of High Conservation Value Forest (NKTF).A practical guide for forest managers . ProForest, Oxford WWF, 2007. Ecological Monitoring of Forestry Management in the Humid Tropics: A Guide for Forestry Operators and Certifiers with Emphasis on High Conservation Value Forests. Translated from Monitoreo Ecológico del Manejo Forestal en el Trópico Húmedo: Una Guía Para Operadores Forestales y Certificadores con Ènfasis en Bosques de Alto Valor Para la Conservación of WWF-Central America.
Hal | 66
Lampiran 2: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Hutan Tanaman Oleh: Harnios Arief dan Kresno Dwi Santosa 1. Pendahuluan 1.1.
Latar Belakang
Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang dominan dalam pemanfaatkan hasil hutan. Kebijakan pengelolaan hutan berbasis HPH beserta kebijakan pengembangan industrialisasi kehutanan secara ekonomi telah banyak memberikan kontribusi besar bagi proses pembangunan nasional. Selama kurang lebih tiga dekade, sektor kehutanan merupakan salah satu roda penggerak utama pembangunan nasional. Pengusahaan hutan alam melalui sistem Hak Pengusahaan Hutan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan dan jauh dari “kelestarian”. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas hutan serta penurunan produksi kayu bulat sebagai bahan baku industry perkayuan. Sehubungan dengan berkurangnya potensi hutan alam, sebagai upaya untuk merehabilitasi hutan dan lahan yang tidak produktif dan yang sudah terlanjur rusak, serta dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu untuk industri, maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1990 tentang Program Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Sejak tahun 1990 dimulailah Pola manajemen Hak Pengusaaan Hutan Tanaman Industir (HP-HTI), atau sering juga disebut Hutan Tanaman Industri (HTI). Kebijakan ini diharapkan sebagai jawaban kebutuhan bahan baku kayu untuk industry yang berkesinambungan. Hutan tanaman industri yang diharapkan dapat mengurangi beban hutan alam dalam memasok bahan baku industri masih jauh dari harapan baik luas maupun kualitasnya. Sejak dicanangkan program ini hanya mampu membuat hutan sekitar 2,5 juta ha, padahal target yang ditetapkan pemerintah sebesar satu juta ha per tahun. Sasaran pembangunan kehutanan menurut Rencana Strategis Departemen Kehutanan Tahun 2005 - 2009, antara lain bertambahnya Hutan Tanaman Industri minimal seluas 1 juta ha/tahun sebagai basis pengembangan ekonomi kehutanan. 1.2.
Pengertian
Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah usaha hutan tanaman untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya (satu atau lebih sistem silvikultur) dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan kayu maupun non kayu. 1.3.
Tujuan Pembangunan HTI
1. Meningkatkan produktivitas hutan produksi, dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan dan penyediaan lapangan usaha (pertumbuhan ekonomi/progrowth), penyediaan lapangan kerja (pro-job), pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan (pro-poor) dan perbaikan kualitas lingkungan hidup (pro-enviroment);
Hal | 67
2. Mendorong daya saing produk industri perkayuan (penggergajian, kayu lapis, pulp & paper, meubel dll) untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor 1.4.
Areal Pengusahaan HTI
Mengacu pada peraturan pemerintah yang sudah diterbitkan yaitu PP No 7 Tahun 1990 Pasal 5 ayat 1, hutan tanaman industry dibangun pada areal hutan produksi (HP) yang sudah tidak produktif berdasarkan criteria yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Kriteria Hutan Produksi tidak Produktif diatur dalam SK Menhut No. 200/Kpts-II/1994, yaitu : 1)
Pohon inti yang berdiameter > 20 cm, kurang dari 25 batang/ha.
2)
Pohon induk < 10 batang/ha.
3) Permudaan alamnya kurang, yaitu : semai < 1000 batang/ha, dan atau pancang < 240 batang/ha, dan atau tiang < 75 batang/ha. 1.5.
Sistem Silvikultur
Berdasarkan Permenhut No. P.11/Menhut-II/2009 bahwa istem silvikultur HTI harus sesuai dengan tapaknya (Tebang pilih, Tebang Habis, atau Tebang Jalur). 1.6.
Penataan Ruang HTI
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2008 tanggal 6 Februari 2008 tentang Deliniasi Areal Izin Usaha Pemanfaatan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri Dalam Hutan Tanaman,...bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan hutan tanaman wajib melaksanakan Deliniasi Makro terhadap areal kerjanya untuk mengetahui luas dan lokasi hutan alam (bekas tebangan), areal non hutan dan areal yang sudah ada tanaman. Terhadap areal yang masih berupa hutan alam (bekas tebangan) harus dilakukan Deliniasi Mikro untuk mengetahui luas dan lokasi huta alam yang harus dipertahankan karena mempunyai nilai konservasi tinggi dan yang dibuka untuk hutan tanaman. Hasil Deliniasi Mikro ini selanjutnya dijadikan dasar dalam penyusunan rencana percepatan pembangunan hutan tanaman yang sekaligus dijadikan sebagai arahan dan pedoman dalam penyusunan Rencana Kerja dan Rencana Kerja Tahunan UPHHK-HT. Kegiatan penilaian dan deliniasi bertujuan untuk menilai secara keseluruhan terhadap areal kerja IUPHHK-HT, sehingga dapat dilakukan deliniasi secara makro dalam satuan luas dan dikelompokkan menjadi : a.
Areal yang ditanami
b.
Areal lahan kosong, padang alang-alang dan semak belukar
c.
Areal hutan alam (bekas tebangan)
Hasil penilaian dan deliniasi makro selanjutnya dilanjutkan dengan deliniasi mikro khususnya terhadap areal-areal yang masih berhutan untuk dapat diketahui :
Areal hutan alam yang harus dipertahankan, dijaga dan dilindungi sebagai areal hutan produksi alam, dan atau kawasan lindung dan atau kawasan konservasi bernilai tinggi sesuai dengan kriteria yang berlaku.
Areal hutan alam yang layak dialokasikan sebagai areal pengembangan tanaman pokok, tanaman unggulan, areal pengembangan tanaman kehidupan dan areal Hal | 68
pembangunan sarana prasarana dengan perimbangan luas sesuai ketentuan tata ruang hutan tanaman yang berlaku. Penilaian dan deliniasi mikro terhadap areal hutan alam yang harus dipertahankan, dijaga dan dilindungi sebagai areal hutan alam produksi alam, dan atau kawasan lindung dan atau kawasan hutan bernilai konservasi tinggi dilakukan dengan cara mengukur, mencatat, memberi tanda, mendeliniasi dan memetakan areal hutan dimaksud kemudian dilanjutkan dengan melakukan penandaan batas tetap di lapangan oleh perusahaan. Kriteria yang dipergunakan dalam penataan ruang HTI ini adalah mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2008 tanggal 6 Februari 2008, dilakukan tahapan analisis 10 (sepuluh) kriteria sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 101/MenhutII/2004 tanggal 24 Maret 2004 jls Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 23/Menhut-II/2005 tanggal 25 Juli 2005 dan Nomor P.44/Menhut-II/2005 tanggal 26 Desember 2005 tentang Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Kayu. Kriteria tersebut adalah : 1.
Kawasan hutan yang mempunyai kelerangan, kepekaan jenis tanah dan intensitas hujan dengan skoring sama dengan dan/atau lebih besar dari 175 sesuai dengan Kep.Men. Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung.
Tabel 1 Kriteria Penetapan Hutan Lindung sesuai SK Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980. No
Nilai Tertimbang//Pembobotan*) 20 Leren g (%)
15
10
Uraian
Jenis Tanah
Uraian
Intensitas Hujan Uraian (mm/hari hujan)
Tidak peka
s/d 13,6
Sangat rendah
1
0-8
Datar
Aluvial, Glei, Planosol, Hidromorf, Kelabu, Laterita Air Tanah
2
8-15
Landai
Latosol
Agak peka
13,6-20,7
Rendah
3
15-25
Agak curam
Brown forest soil, mediteran, andosol, laterits non calcis brown,
Kurangp eka
20,7-27,7
Sedang
4
25-45
Curam
Grumusol, podsol, podsolik
Peka
27,7-34,8
Tinggi
5
> 45
Sanga t curam
Regosol, litosol, organosol, renzina
Sangat peka
34,8 ke atas
Sangat tinggi
Keterangan : *) Nilai tertimbang/pembobotan dari setiap faktor dikalikan dengan nilai kelasnya, kemudian nilai perkalian setiap faktor tersebut dijumlahkan. Bila hasil
Hal | 69
penjumlahan sama dengan atau lebih dari 175 menunjukkan bersangkutan perlu dijadikan, dibina, dan dipertahankan
bahwa wilayah yang sebagai hutan lindung.
2. Kawasan hutan dengan kelerangan lebih dari 40 % dan atau dengan kelerengan lebih dari 15 % untuk tanah yang sangat peka terhadap erosi. 3.
Kawasan hutan dengan ketinggian sama dengan atau lebih tinggi dari 2.000 mdpl
4. Kawasan hutan bergambut di hulu sungai dan rawa dengan ketebalan lebih dari 3 (tiga) meter. 5.
Kawasan hutan dengan radius dan jarak sampai dengan :
500 meter dari tepi waduk atau danau
200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa
100 meter dari tepi kiri kanan sungai
50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai
2 kali kedalaman juran dari tepi jurang
130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai
6. Buffer zone atau kawasan penyangga hutan lindung dan atau kawasan hutan konservasi 7.
Kawasan pelestarian plasma nutfah
8.
Kawasan perlindungan satwa liar
9.
Kawasan cagar budaya dan atau ilmu pengetahuan
10.
Kawasan rawan terhadap bencana alam.
1.7.
Implementasi Penilaian Nilai Konservasi Tinggi (NKT) di area HTI
Pembangunan Hutan Tanaman pada prinsipnya adalah untuk pemenuhan bahan baku industri primer hasil hutan kayu yang terdiri atas kegiatan atas kegiatan-kegiatan perencanaan, penyiapan lahan (land clearing) dan pemanfaatan kayu hasil land clearing, pembuatan jaringan jalan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan pada akhir daur dilakukan pemanenan. Didalam perencanaan pembangunan hutan tanaman, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan sudah mengatur mengenai deliniasi makro dan mikro yang harus dilaksanakan oleh para pemegang hak pengusahaan hutan tanaman untuk menetapkan tata ruang HTI guna memperoleh areal effektif bagi pengembangan tanaman pokok. Dalam pembangunan HTI di setiap unit usaha telah diatur tata penggunaan lahannya/tata ruangnya sebagai berikut : a. Areal Tanaman Pokok ± 70 % b. Areal Tanaman Unggulan ± 10 % c. Areal Tanaman Kehidupan ± 5 % Hal | 70
d. Kawasan Lindung ± 10 % e. Sarana Prasarana ± 5 % Berdasarkan dari alokasi yang sudah ditetapkan tersebut maka Deliniasi Makro dan Deliniasi Mikro difokuskan kepada alokasi ruang yang digunakan dalam mendukung operasional kegiatan pengusahaan hutan tanaman dan bukan sebagai best practices dalam mewujudkan pengelolaan hutan tanaman secara lestari. Sejalan dengan dikembangkannya Panduan Penilaian NKT Hutan Indonesia yang dimaksudkan sebagai suatu protokol standar dalam melakukan penilaian NKT yang dapat menjamin mutu, transparansi, dan integritas aplikasinya di Indonesia. Hal ini dilakukan terutama dengan menjelaskan tahap-tahap yang disyaratkan oleh proses penilaian NKT secara lebih jelas dan rinci, mendefinisikan hak dan kewajiban para pihak terkait, serta menyediakan Panduan dalam mengumpulkan data dan informasi yang memenuhi standar minimum rentang waktu dan mutu. Implementasi NKT pada hutan tanaman adalah melengkapi dari Deliniasi Makro dan Mikro yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penilaian NKT merupakan penilaian terhadap fungsi dan nilai konservasi tinggi yang terdapat pada suatu areal yang tidak dipisahkan oleh dimensi alokasi lahan atau tata ruang. Area NKTbisa ditemukan di areal tanaman pokok, areal tanaman unggulan, areal tanaman kehidupan, kawasan lindung dan sarana prasarana. Pembukaan hutan tanaman yang sudah mengacu pada Deliniasi Makro dan Mikro dimungkinkan masih berdampak terhadap hilangnya area NKT yang berada dalam Unit Manajemen tersebut. Oleh karena itu, penilaian NKT pada hutan tanaman merupakan implementasi pengelolaan berbasis pada prinsip kehati-hatian. Kegiatan pengusahaan hutan tanaman industri (HTI) merupakan salah satu kegiatan pengembangan kehutanan didalam kawasan budidaya kehutanan, dengan satu atau dua jenis tanaman saja. Kegiatan ini dilakukan dengan merubah kawasan hutan produksi dan atau hutan sekunder (log over forest) yang cenderung masih menyimpan keanekaragaman hayati tinggi menjadi kawasan hutan tanaman yang monokultur. Dengan demikian terjadi degradasi keanekaragaman jenis alamiah baik jenis-jenis flora maupun fauna. Apabila berdasarkan identifikasi ternyata didalam Unit Managemen (UM) HTI tersebut (i) mempunyai kawasan lindung atau konservasi didalamnya, (ii) diperkirakan memberikan fungsi pendukung kepada kawasan lindung atau konservasi, dan (iii) kegiatan UM HTI diperkirakan akan berdampak pada fungsi daerah lindung atau konservasi yang dekat dengannya, maka kondisi tersebut akan dianggap NKT. Kegiatan pengelolaan di dalam UP harus memastikan agar fungsi pendukung tersebut dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Kegiatan pengelolaan dikembangkan dengan perencanaan yang tepat dan berpegang pada prinsip kehati-hatian yang dapat menjamin keberlangsungan fungsi-fungsi kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi dengan tetap memperhatikan asek-aspek ekologi, sosialbudaya dan ekonomi. 1.8.
Pengelolaan dan Pemantauan NKT dalam HTI
Hutan tanaman industry didalam pembangunannya melalui beberapa tahapan kegiatan yaitu pembukaan lahan (land clearing), pemeliharaan dan pemanenan serta replanting (penanaman kembali) sesuai dengan daur jenis tanaman yang diusahakan (misalnya untuk jenis akasia daurnya 5 (lima) tahun). Terkait dengan kegiatan pengelolaan dan pemantauan area NKT, maka harus mempertimbangkan parameter-parameter yang rentang terhadap perubahan (biofisik, biologi dan sosial ekonomi budaya) dan posisi UM dalam Hal | 71
skala landscape. Kondisi ini tentunya akan berdampak pada tata cara pengelolaan dan pemantauan terhadap area NKT yang sudah ditetapkan. Selain itu, tata cara pengelolaan dan pemantauan NKT juga dipengaruhi oleh tipe ekosistem dari unit manajemen (tanah mineral dan lahan gambut). Pengelolaan dilakukan untuk meningkatkan fungsi dan kualitas dari area NKT, sedangkan pemantauan dilakukan untuk menilai indicator-indikator keberhasilan dari kegiatan pengelolaan. Salah satu contoh parameter lingkungan yang menjadi indicator keberhasilan pengelolaan NKT adalah ketersediaan air yang berfungsi penting dalam pengendalian banjir bagi daerah hilir (NKT 4.1.), dimana untuk tipe ekosistem tanah mineral dan lahan gambut menjadi isu penting dalam kegiatan pembangunan HTI. Dalam konteks pengelolaan, maka fokus kegiatan harus diarahkan pada upaya-upaya konservasi tanah dan air seperti pembuatan terasering, sediment trap dan penanaman penutup tanah pada tanah mineral serta penerapan tata air (water management) dengan teknologi eco hydro buffer, pengamatan water level untuk tipe ekosistem lahan gambut. 2. Pengelolaan Kawasan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi Pengelolaan adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan terhadap NKT yang teridentifikasi dalam suatu kawasan untuk mempertahankan atau meningkatkan NKT di dalam kawasan tersebut. Kunci utama dalam pengelolaan NKT adalah bahwa strategi-strategi yang dirancang harus mempertahankan atau meningkatkan nilai. Hal ini berarti akan ada perbedaan pengelolaan antara konsesi satu dengan yang lainnya tergantung dari nilai NKT yang teridentifikasi atau ditemukan. Dalam sertifikasi pengelolaan hutan skema FSC, aspek pengelolaan NKT tercantum dalam prinsip 9.3 : “ 9.3. Rencana pengelolaan hendaknya meliputi dan mengimplementasikan tindakantindakan spesifik untuk menjamin pemeliharaan dan atau peningkatan sifat-sifat konservasi yang dapat di terapkan secara konsisten dengan pendekatan kehati-harian. Tindakantindakan ini hendaknya secara spesifik dimasukan dalam ringkasan rencana pengelolaan yang tersedia bagi publik”. Tahapan dalam pengembangan rencana pengelolaan NKT dilakukan terhadap atribut dari NKT yang teridentikasi ada dalam kawasan konsesi pengelolaan hutan. Untuk menyusun rencana ini menggunakan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) perlu dilakukan agar pengelolaan tepat sasaran. Hal ini bisa terjadi apabila anda ragu dengan NKT, maka diasumsikan bahwa NKT ada dan perlu penyelidikan lanjut terhadap dampak kegiatan terhadap NKT. Dasar pemikiran dari penyusunan rencana pengelolaan terhadap NKT yang teridentifikasi adalah adanya keinginan untuk memelihara dan atau meningkatkan NKT yang ada serta rencana pengelolaan yang jelas dan terperinci. 2.1.
Konsep Dasar Pengelolaan NKT
Konsep pengelolaan Nilai Konservasi Tinggi di dalam suatu kawasan UP IUPHHK-HTI pada prinsipnya adalah konsep pengelolaan bagian ekosistem di dalam kawasan UP yang tidak dapat dipisahkan dengan ekosistem lanskap secara utuh, dimana kawasan UP berada, dan kondisi sosial budaya masyarakat di luar kawasan yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kawasan UP. Prinsip dasar pengelolaan ekosistem adalah: 1. Ekosistem adalah sistem ekologi yang bekerja di dalam bentang alam merupakan sistem yang sangat kompleks dan dinamis sesuai dengan perubahan waktu Hal | 72
sehingga sistem pengelolaannya harus bersifat adaptif dengan didasarkan data monitoring komponen ekologi dan sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang diukur, dianalisis dan disimpan dalam sistem informasi manajemen yang baik secara berkala. 2. Deskripsi kondisi ekosistem wilayah di dalam berbagai skala geografi harus diintegrasikan dalam dokumen perencanaan kawasan sehingga dinamika ekologi dan sosial budaya masyarakat di luar kawasan yang dapat mempengaruhi ekosistem di dalam kawasan dapat diantisipasi dengan baik. 3. Kelestarian ekosistem sangat tergantung pula dengan luasan ekosistem dan tingkat konektivitas ekosistemnya sehingga di dalam pengelolaannya dibutuhkan kerjasama/kolaborasi berbagai pihak. Agar konektivitas ekosistem tercapai maka dalam penyusunan tujuan dan program pengelolaannya harus melibatkan multipihak. 4. Pengelolaan ekosistem lestari menyebabkan terbukanya pemanfaatan produk dan jasa ekosistem guna mempertahankan keseimbangan ekologis. Pemanfaatan ini akan meningkat nilai ekonomis kawasan konservasi, baik untuk kepentingan pengelolaan kawasan maupun masyarakat, terutama masyarakat lokal. 5. Penelitian seharusnya diintegrasikan dengan pengelolaan sehingga kualitas pengelolaannya dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. Pengelolaan NKT di dalam kawasan unit pengelola (UP) khususnya dan pengelolaan ekosistem umumnya di Indonesia sangat erat hubungan dengan tanggungjawab UP sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Kemudian kegiatan pengelolaan ini juga sangat erat kaitannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung; Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/1995 jo Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 246/Kpts-II/1996 tentang Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri; Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Menurut UU No. 5 tahun 1990, ekosistem adalah “sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati, yang saling tergantung dan saling pengaruh mempengaruhi. Sedangkan Sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem di dalam kawasan UP tidak dapat dipisahkan dengan ekosistem dalam bentang alamnya. Paradigma pengelolaan bentang alam saat ini harus mengedepankan manfaat multiguna dari setiap kawasan UP Hutan Tanaman Industri sehingga keseimbangan ekosistem dan terakomodasikannya keinginan dan kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Oleh karena itu prinsip-prinsip pengelolaan tersebut harus tersirat di dalam setiap perencanaan kawasan IUPHHKT-HTI. Dengan kata lain pengelolaan ekosistem lestari harus selalu memperhatikan Hal | 73
keseimbangan nilai-nilai ekonomi kawasan yang didasarkan pada kemampuan/daya dukung ekosistem dan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Pemanfaatan multi guna disini tidak berarti seluruh komponen ekosistem dapat dimanfaatkan secara kontinyu, tetapi pemanfaatan disini dikaitkan dengan upaya untuk mempertahankan keseimbangan ekologis sehingga komponen-komponen yang telah melebihi daya dukung atau telah melebihi batas ambang minimumnya agar tetap dapat bertahan hidup saja yang dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu peningkatan nilai ekonomis jenis-jenis yang belum/sedikit dikenal harus dikembangkan sehingga mempunyai nilai yang berarti. Untuk mencapai tujuan pemanfaatan multiguna tersebut para pihak pengelola harus mengenal/memahami sistem ekologi kawasan yang dikelolanya dan nilai-nilai minimum komponen ekosistem agar dapat lestari yang hal ini harus dilakukan melalui sistem pengukuran, analisis dan penyimpanan data yang baik. Pengelolaan ekosistem lestari harus mengintegrasikan secara optimum keinginan dan kebutuhan sosial, landskap ekologi potensial, dan ekonomi yang mempertimbangkan teknologi. Langkah-langkah berikut menggambarkan bagaimana proses-proses evaluasi yang mungkin dapat digunakan untuk meningkatkan pengelolaan ekosistem : 1. Memetakan keinginan dan kebutuhan masyarakat yang berpengaruh terhadap pencapaian kelestarian unit usaha dan ekosistem. 2. Analisis potensi-potensi ekologis sehingga dapat dicari titik temu dengan kebutuhan masyarakat. Analisis ini harus mencakup pula daerah toleransi makhluk hidup untuk dapat bertahan hidup dalam jangka panjang, kondisi ekologis saat ini, dan kondisi lanskap ekologi yang seharusnya dibutuhkan oleh ekosistem sehingga sistem ekologi di dalam kawasan tersebut dapat bertahan dalam jangka panjang. 3. Jika kondisi lanskap ekologi kawasan IUPHHK-HTI lebih kecil dari yang seharusnya maka, maka hal ini harus disosialisasikan kepada masyarakat yang akan terkena pengaruh dari ketidakcukupan lanskap ekologi tersebut. Oleh karena itu kesadaran masyarakat terhadap sistem dan potensi ekologis kawasan merupakan hal penting di dalam pencapaian kelestarian ekosistemnya. 4. Untuk mencapai pengelolaan ekosistem lestari maka konsep pengelolaan harus diterima dan dipahami oleh masyarakat, kemudian baru dapat diterapkan teknologi tepat guna yang berguna untuk meningkatkan nilai-nilai ekonomis kawasan dan ekosistem. 5. Analisis kebutuhan manusia yang dapat dipenuhi dalam kaitannya dengan nilai-nilai ekonomi kawasan dan ekosistem. Jika sumberdaya (ekonomi dan teknologi) tidak tersedia untuk memenuhi kebutuhan lanskap ekologi yang seharusnya, maka sosialisasi kepada masyarakat masyarakat menjadi komponen penting dan secara bersama-sama (kolaborasi) mencari jalan penyelesaiannya. Poin 5 ini sangat penting dilakukan karena kebutuhankebutuhan ekonomi di Indonesia saat ini hanya bersifat untuk pemenuhan kebutuhan jangka pendek sehingga kepentingan ekologis yang akan sangat berpengaruh pada kualitas hidup manusia yang akan datang seringkali diabaikan. Langkah-langkah tersebut di atas merupakan suatu alternatif bentuk pemenuhan kebutuhan manusia yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekologi, teknologi, dan ekonomi. Langkah tersebut membutuhkan informasi yang baik dan hasilnya harus disampaikan kepada masyarakat sehingga setiap permasalahan yang mungkin timbul akibat ketidakseimbangan antara keinginan dan kebutuhan manusia dengan potensi ekologis kawasan dapat diselesaikan melalui mekanisme publik yang berlaku. Konsekuensi dasar Hal | 74
dari pengelolaan kawasan dan ekosistem lestari adalah harus tingginya pemahaman para pengelola terhadap potensi dan interaksi ekologi. Beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan konservasi dan ekosistem lestari disajikan di bawah ini. Pertimbangan Kemantapan Kawasan Kemantapan kawasan adalah faktor kunci yang harus di penuhi terlebihi dahulu agar pengelolaan IUPHHK-HTI dapat lestari. Pertimbangan kemantapan kawasan disini berarti kemantapan ditinjau dari aspek legal maupun pengakuan masyarakat sehingga di lapangan tidak ditemukan berbagai gangguan yang dapat berpengaruh terhadap kelestarian kawasan. Pengakuan dari masyarakat tentang penting kawasan harus berimplikasi pula terhadap perencanaan dan penggunaan lahan sehingga lanskap ekologi kawasan dapat terpenuhi atau membangun lanskap ekologi yang dapat mendukung sistem ekologi yang ada di dalam kawasan. Pencapaian kemantapan kawasan harus dilakukan melalui mekanisme pemberitahuan kepada masyarakat tanpa paksaan sehingga tidak menimbulkan konflik yang dapat mengganggu sistem ekologi di dalam kawasan. Kemantapan kawasan dapat dicapai melalui: 1. Sosialisasi batas kawasan dan penyelesaian batas melalui mekanisme masyarakat sehingga tercapai pengakuan kawasan secara legal dan para pihak. 2. tercapainya kesepakatan zona-zona di dalam kawasan oleh multi pihak yang didasarkan pada daya dukung ekologis dan keinginan serta kebutuhan masyarakat sehingga dapat mendukung tujuan pengelolaan kawasan konservasi dan terakomodasikannya kepentingan para pihak. 3. Terkendalikannya perambahan kawasan secara efektif 4. Luasan ekosistem alam yang berfungsi baik dalam perlindungan sistem penyangga kehidupan mamadai 5. Tersedianya sistem manajemen di bidang kemantapan kawasan.
6. Tersedianya tenaga profesional di bidang kemantapan kawasan 7. Kecukupan alokasi dana untuk mempertahankan kemantapan kawasan.
Pertimbangan Sosial Kebutuhan dan keinginan manusia yang dituangkan dalam bentuk kebijakan, rencana pengelolaan dan keputusan pelaksanaan kegiatan harus didefinisikan dan dimasukkan dalam setiap tujuan pengelolaan kawasan. Salah satu tantangan terbesar dalam pengelolaan ekosistem adalah menjamin kebutuhan publik sesuai dengan potensi ekosistem. Pengetahuan dan pengalaman ilmuwan dan para pengelola sumberdaya alam harus dimanfaatkan dalam memberikan pemahaman kepada publik dan pimpinan politik untuk dapat menghasilkan keputusan yang baik sesuai dengan daya dukung ekosistem,
Hal | 75
mengalokasikan dananya sesuai dengan kebutuhan dan konsekuensi-konsekuensi lainnya dalam pengelolaan kawasan. Sudut pandang dan alternatif tindakan yang diambil merupakan langkah penting yang dapat mempengaruhi kebutuhan publik dan langkah-langkah ini seharusnya dipertimbangkan dan dituangkan dalam setiap rencana pengelolaan. Adanya dinamika sistem ekologi yang juga sangat dipengaruhi oleh dinamika komponen penyusunnya, pengaruh gangguan dari luar sistem, intensitas dan lama gangguan, hilangnya/punahnya komponen penyusun sistem ekologi, berfluktuatifnya kebutuhan manusia sejalan dengan pertambahan penduduk dan kemajuan teknologi mengharuskan pihak pengelola menyusun suatu kebijakan yang bersifat fleksibel sehingga perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dapat diantisipasi sedini mungkin. Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam mendukung pengelolaan kawasan lestari merupakan faktor kunci keberhasilan pengelolaan ini. Paradigma dan pendekatan terbaru dalam implementasi pengelolaan kawasan i, seperti analisis sumberdaya terpadu, peningkatan pembagian informasi (informationsharing) dengan masyarakat terkait kondisi ekologi dan kecenderungan pengaruh kawasan terhadap masyarakat. Proses analisis sumberdaya terpadu harus digunakan juga guna meminimalkan konflik antara berbagai kelompok pengguna melalui pengembangan yang saling menguntung yang didasarkan kondisi ekologi dan kesesuaian kondisi lanskap ekologi pada masa yang akan datang. Sebagai tambahan, kolaborasi multipihak (sebagai contoh kerja bersama antar kelompokkelompok yang berbeda yang tidak berhubungan satu dengan lainnya yang dapat mempengaruhi isu-isu penting pada masa yang akan datang) seharusnya ditingkatkan guna mencegah terjadinya konflik sosial yang mungkin muncul akibat pengelolaan ekosistem. Kriteria pertimbangan sosial dalam pengelolaan kawasan lestari pada umumnya terdiri dari tiga kriteria, yaitu: 1) tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan pengelolaan sumberdaya alam di dalam kawasan; 2) terjaminnya ruang kelola masyarakat dan 3) terwujudnya kontribusi kawasan dalam pengembangan pendidikan dan pengetahuan baru tentang sumberdaya alam dan lingkungan. Indikator pencapaian kriterian tersebut adalah : 1. Kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan pengelolaan sumberdaya alam di dalam kawasan: a) terbukanya akses masyarakat untuk melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi; b) terkendalikannya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual; c) Terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal; d) Terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal; e) Terlindunginya spesies-spesies penting melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal; f) Berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam Berbasis kearifan lokal; g) Tersedianya sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan kawasan UP; h) Tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya; i) Tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya. 2. Kriteria terjaminnya ruang kelola masyarakat: a) Terbentuknya zona yang menyediakan ruang kelola masyarakat; b) Terkendalikannya konflik pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan; c) Berkembangnya pemanfaatan lestari di dalam ruang kelola masyarakat guna menopang kehidupan sehari-hari. 3. Kriteria terwujudnya kontribusi kawasan konservasi dalam pengembangan pendidikan dan pengetahuan baru tentang sumberdaya alam dan lingkungan: a) Hal | 76
Berkembangnya program pendidikan berbasis ekosistem alam yang terdapat di dalam kawasan; b) Berkembangnya program penelitian mengenai pengelolaan ekosistem alam lestari; c) Berkembangnya program pendidikan berbasis ekosistem unik dan spesies-spesies penting yang terdapat di dalam kawasan; d) Berkembangnya program penelitian mengenai pengelolaan spesies flora dan fauna secara lestari; e) Berkembangnya program penelitian untuk menggali potensi SDA yang ada di dalam kawasan; f) Terbangunnya sistem informasi sumberdaya alam di dalam kawasan yang menunjang pendidikan dan penelitian Pertimbangan Ekologi Kualitas interaksi antar komponen ekologi, baik interaksi antar komponen biotik maupun antar komponen biotik dan abiotik, dan kondisi setiap komponen penyusun ekosistem merupakan faktor kunci yang sangat menentukan keberhasilan pengelolaan kawasan dan ekosistemnya. Kesehatan ekosistem harus senantiasa terjaga sehingga dapat mendukung keinginan dan kebutuhan masyarakat yang dari waktu ke waktu terus meningkat. Ekosistem hutan hujan tropika Indonesia adalah salah satu paru-paru dunia yang keberadaan dan kualitas ekosistemnya terus menjadi pusat perhatian dunia, terutama dalam kaitannya dengan mempertahankan kualitas lingkungan hidup manusia dunia yang baik. Beberapa prinsip utama yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan pengelolaan ekosistem adalah : 1. Teori hirarki: teori ini didasarkan pada bentuk dan pola-pola lanskap (sebagai contoh komunitas vegetasi) yang harus dipahami oleh setiap pengelola kawasan, terutama dalam kaitannya dengan fenomena spasial dan temporal. Untuk dapat mempertahankan bentuk dan pola lanskap tersebut dalam kondisi yang seharusnya setiap manajer pengelola kawasan harus selalu melakukan monitoring pada berbagai tingkat sistem ekologi dalam jangka waktu tertentu. Dinamika ekologi sejalan dengan perubahan waktu (sebagai contoh : proses suksesi) merupakan salah satu komponen yang harus selalu di evaluasi sehingga dapat diambil tindakan yang cepat dan tepat apabila terjadi penyimpangan. Hal lain yang perlu di evaluasi adalah tingkat gangguan yang dapat mempengaruhi keseimbangan sistem ekologi kawasan, seperti kebakaran, banjir, penyebaran penyakit, perburuan liar, perambahan, penebangan liar, dll. 2. Strategi konservasi: Konservasi keragaman (sebagai contoh: jenis, proses ekosistem dan pola lanskap) adalah metoda utama untuk pemeliharaan daya lenting dan produktivitas sistem ekologi. Pendekatan tradisional konservasi keragaman adalah pendekatan spesies ke spesies dengan penekanannya pada pemeliharaan spesies langka, terancam punah dan spesies sensitif. Pendekatan konservasi jenis saat ini lebih ditekankan pada keanekaragaman hayati karena penekanan perlindungan dan pelestarian pada satu jenis saja telah terbukti menyebabkan gangguan keseimbangan ekosistem yang cukup signifikan yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya kualitas hidup jenis yang dikelola tersebut. Aplikasi dari konsep ini membutuhkan pemahaman tentang variabilitas dan dinamika sistem ekologi. Oleh karena itu pemahaman pengelolaan sistem ekologi sebagai suatu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipecah-pecah berdasarkan kepentingan manusia sesaat saja harus dipahami oleh para pihak pengelola kawasan dan ekosistem demi mencapai tujuan pengelolaan kawasan dan ekosistem lestari. Kriteria pertimbangan ekologi guna mencapai kelestarian ekologi/lingkungan lestari adalah: 1) tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan pengelolaan sumberdaya alam di dalam kawasan; 2) terjaminnya ruang kelola masyarakat dan 3) terwujudnya kontribusi Hal | 77
kawasan konservasi dalam pengembangan pendidikan dan pengetahuan baru tentang sumberdaya alam dan lingkungan. Indikator pencapaian kriterian tersebut adalah : a) Terbentuknya zona yang menjamin terpeliharanya proses-proses ekologis secara efektif.; b) terkendalikannya pemanfaatan haram terhadap sumberdaya alam secara efektif; c) terpeliharanya struktur dan fungsi ekosistem alam di dalam kawasan; d) terpeliharanya habitat spesies penciri (flagship species) taman nasional; e) Terpeliharanya fungsi hidroorologis kawasan; f) terpulihkannya fungsi ekosistem yang yang terdegradasi; g) terpeliharanya eksistensi ekosistem-ekosistem unik di dalam kawasan; h) terpeliharanya populasi “viable” spesies penting di dalam kawasan; i) terkendalikannya integritas ekosistem sumberdaya alam yang dimanfaatkan; j) tersedianya sistem manajemen di bidang kelestarian fungsi ekosistem; k) tersedianya tenaga profesional di bidang kelestarian spesies penting; dan l) kecukupan alokasi dana untuk menjamin kelestarian ekosistem, jenis dan genetik di dalam kawasan. Pertimbangan Ekonomi dan Teknologi Untuk meningkatkan manfaat dan nilai-nilai ekonomi sumberdaya alam hayati di dalam kawasan maka pengembangan penelitian terhadap jenis-jenis yang tidak dimanfaatkan dan atau sedikit diketahui serta pengembangan program-program pemanfaatan jasa lingkungan, terutama ekowisata, menjadi suatu keharusan apabila pihak pengelola dituntut untuk dapat memenuhi tujuan pelestarian kawasan dan ekosistem. Pengembangan nilai-nilai ekonomi sumberdaya alam di dalam kawasan- dapat dipercepat dengan cara membangun kolaborasi multi pihak, baik dengan masyarakat lokal yang kaya akan kearifan tradisional, ilmuwan, para praktisi, dll. Pengelolaan ekosistem yang bertujuan untuk meningkat nilai-nilai ekonomi di dalam suatu kawasan seharusnya difasilitasi oleh payung hukum yang kuat dan pelaku-pelaku konservasi dapat saja diberikan insentif untuk memacu pertumbuhan ekonomi kawasan konservasi. Kondisi tersebut di atas sangat dibutuhkan mengingat kebijakan lama yang berpihak pada perlindungan dan pelestarian saja telah terbukti tidak memberikan kontribusi ekonomi nyata bagi pemerintah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kebijakan tersebut menyebabkan terdegradasinya sebagian kawasan akibat gangguan manusia, seperti perambahan, penebangan liar, perburuan liar, dll. Untuk dapat mencapai kelestarian kawasan dan ekosistem didasarkan pertimbangan ekonomi dan teknologi ada tiga kriteria yang harus diperhatikan, yaitu : 1) Tersedianya akses manfaat ekonomi bagi pembangunan wilayah; 2) Tersedianya insentif ekonomi bagi pelaku konservasi; dan 3) Tersedianya akses pemanfaatan sumber plasma nutfah bagi budidaya. Ketiga kriteria tersebut dapat dicapai melalui beberapa indikator, seperti : 1) Tersedianya akses manfaat ekonomi bagi pembangunan wilayah: a) Terbentuknya zona yang secara jelas menyediakan akses pemanfaatan sumberdaya alam bagi pembangunan wilayah; b) Terkendalikannya konflik pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan; c) Terlindunginya ekosistem-ekosistem alam dari aktivitas ekonomi yang berorientasi pada pembangunan wilayah; d) Terlindunginya ekosistem-ekosistem unik dari akvititas ekonomi yang berorientasi dalam pambangunan wilayah; e) Terlindunginya spesies-spesies penting dari akvititas ekonomi yang berorientasi dalam pambangunan wilayah; f) Berkembangnya aktivitas ekonomi ramah lingungan yang memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan wilayah; g) Tersedianya sistem manajemen di bidang pemanfaatan sumberdaya alam dalam konteks pembangunan wilayah; h) Tersedianya tenaga profesional di bidang pemanfaatan sumberdaya alam; dan i) Tersedianya alokasi dana untuk Hal | 78
mengembangkan pemanfaatan sumberdaya alam dalam konteks pembangunan wilayah. 2) Tersedianya insentif ekonomi bagi pelaku konservasi; a) Tersedianya sistem insentif bagi masyarakat yang turut aktif dalam pengamanan kawasan; b) Tersedianya sistem insentif bagi masyarakat yang turut aktif dalam perlindungan sistem penyangga kehidupan; c) Tersedianya sistem insentif bagi masyarakat yang turut aktif dalam melindungi spesies-spesies penting di dalam dan sekitar kawasan; d) Tersedianya sistem insentif bagi masyarakat membudidayakan flora dan fauna di luar kawasan; e) Tersedianya alokasi dana untuk pengembangan sistem insentif bagi pelaku konservasi 3) Tersedianya akses pemanfaatan sumber plasma nutfah bagi budidaya: a) Terkendalikannya konflik pemanfaatan sumber plasma nutfah bagi budidaya; b) Terpeliharanya sumber plasma nutfah bagi budidaya yang bersumber dari spesiesspesies penting; c) Berkembangnya budidaya flora-fauna di luar kawasan yang menopang kelestarian populasi alamnya; d) Tersedianya sistem manajemen di bidang pemanfaatan sumber plasma nutfah bagi budidaya; e) Tersedianya tenaga profesional di bidang budidaya plasma nutfah; f) Tersedianya alokasi dana untuk mengembangkan budidaya plasma nutfah 2.2.
Prinsip Dasar Pengelolaan NKT
Dalam Pengelolaan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi berbasis ekosistem, maka ada tiga prinsip dasar yang harus selalu dipertimbangkan dengan baik dan benar, yaitu: a. Prinsip Keutuhan (holistic); berarti bahwa penyelenggaraan Pengelolaan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) harus selalu mempertimbangkan seluruh komponen pembentuk ekosistem alami, baik komponen penyusun rantai makanan dan rantai energi maupun komponen biotik maupun abiotiknya, serta kondisi/karakter lingkungannya, baik ditinjau dari sisi biofisik, ekonomi, politik dan sosial budaya masyarakat.) serta memperhatikan dan dapat memenuhi kepentingan seluruh pihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap Kawasan UP umumnya dan KBKT khususnya serta mampu mendukung kehidupan mahluk hidup (selain manusia) dan keberlanjutan keberadaan alam semesta. b. Prinsip Keterpaduan (integrated); berarti bahwa penyelenggaraan pengelolaan KBKT harus berlandaskan pada keselarasan interaksi antar komponen penyusun ekosistem serta keselarasan interaksi ekosistem dengan para pihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap KBKT yang meliputi aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial-budaya. c. Prinsip Keberlanjutan/Kelestarian (sustainability); berarti bahwa fungsi dan manfaat ekosistem hutan dalam segala bentuknya harus dapat dinikmati oleh umat manusia dan seluruh kehidupan di muka bumi lintas generasi secara bekelanjutan dengan potensi dan kualitas yang sekurang-kurangnya sama (tidak menurun). Jadi tidak boleh terjadi pengorbanan (pengurangan) fungsi dan manfaat ekosistem hutan yang harus dipikul suatu generasi tertentu akibat keserakahan generasi sebelumnya. Untuk mewujudkan prinsip-prinsip dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem di muka, diperlukan tiga komponen kegiatan dan/atau sikap utama, yaitu :
Hal | 79
a. Penataan ruang yang bersifat rasional dalam setiap kesatuan bentang alam ( landscape scenario) Kesatuan bentang alam yang dipergunakan harus merupakan kesatuan ekologis, bukan kesatuan politik atau administrasi pemerintahan. Untuk keperluan ini dapat dipergunakan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai kesatuan ekosistem. Selanjutnya setiap kesatuan lahan dalam ekosistem DAS tersebut ditetapkan fungsi penggunaannya sesuai dengan watak fisik lahannya, sedangkan pemanfaatan setiap kesatuan lahan ini tidak boleh melebihi daya dukung lahan tersebut. Proses ini hendaknya dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan dengan prinsip kebersamaan. Sesuai dengan karakteristik sebagian besar lahan dalam DAS serta tingkat aksesibilitasnya terhadap pusat pertumbuhan ekonomi wilayahnya, maka akan dapat ditentukan tujuan utama (skenario) pengelolaan sumberdaya alam dalam wilayah DAS. Setelah skenario pengelolaan DAS ditetapkan, maka pengelolaan setiap kesatuan ekosistem dalam DAS harus mendukung pencapaian tujuan utamanya. b.
Komitmen yang kuat terhadap tata ruang yang telah disepakati
Seluruh pihak yang berada dan terkait dengan penggunaan ruang dalam setiap kesatuan ekosistem (DAS) harus memiliki komitmen yang sama dan kuat untuk mempertahankan tata ruang yang sudah disepakati bersama secara konsisten. c. Kebersamaan dalam perumusan kebijakan dan penyelenggaraan program pengelolaan (colaborative management ) Kebijakan dan program yang akan dilakukan dalam rangka pengelolaan hutan dalam setiap ekosistem DAS hendaknya disusun dan dilaksanakan secara bersama dengan memperhatikan prinsip-prinsip hak dan kewajiban yang proporsional dan berkeadilan (sesuai undang-undang), keterbukaan, demokratis, dan bertanggunggugat. Untuk ini, maka pengembangan sistem pengelolaan kolaboratif (colabarative management) dalam pengelolaan hutan merupakan sebuah kewajiban. Mengingat sifat-sifat biofisik, keadaan ekonomi dan sosial-budaya masyarakat dalam setiap ekosistem DAS bersifat spesifik (berbeda satu sama lain), maka tujuan pengelolaan, rumusan macam-macam bentuk dan intensitas kegiatan pengelolaan harus ditetapkan untuk setiap kesatuan pengelolaannya dan sesuai dengan sifat-sifat biofisik, keadaan ekonomi dan sosial-budaya masyarakatnya (adaptive management ). 2.3.
Interaksi antara Hasil Identifikasi NKT dan Kebutuhan Pengelolaan
Temuan areal NKT hutan sebagai hasil kegiatan identifikasi merupakan tahap awal dari kegiatan pengelolaan dan pemantauan areal NKT disuatu UM-HTI. Temuan areal NKT yang dihasilkan dalam tahap identifikasi meliputi jenis NKT, lokasi detail dan luas areal yang mendukung nilai tersebut. Hubungan antara temuan hasil identifikasi NKT dengan pengelolaan terletak pada bentuk interaksi operasionalisasi manajemen hutan tanaman yang dilakukan dalam suatu UM-HTI dengan nilai bersangkutan. Interaksi UM-HTI dengan nilai NKT dapat terjadi secara internal (langsung) atau eksternal (tidak langsung). Interaksi internal dapat terjadi bila lokasi NKT berada di dalam areal UM-HTI sehingga praktekpraktek yang dilakukan secara langsung dapat memberikan dampak pada nilai tersebut. Sedangkan interaksi eksternal terjadi pada areal NKT yang berada diluar areal UM-HTI tetapi masih terkena dampak praktek-praktek dan manajemen perkebunan. Di samping lokasi NKT temuan lain yang akan menentukan pengelolaan NKT adalah kualitas dari nilai yang ada. Hal | 80
Nilai NKT yang terdapat dalam satu areal bisa ditemukan dalam bentuk tunggal, yaitu dimana dalam satu areal hanya mengandung satu nilai NKT, dan juga dapat ditemukan secara jamak yaitu dalam satu areal terdiri dari lebih dari satu nilai NKT yang saling tumpang tindih (overlapping). Keberadaan areal NKTF baik secara tunggal maupun jamak akan berdampak terhadap tata cara pengelolaan terhadap areal termaksud. Aral NKT yang saling overlapping memerlukan prioritas pengelolaan, dimana dalam konteks ini satu tindakan pengelolaan terhadap satu nilai NKT akan memberikan pengaruh terhadap nilai NKT lainnya. Penyusunan program pengelolaan NKT didasarkan pada interaksi UM-HTI dengan nilai dari NKT. Kajian interaksi tersebut akan menghasilkan semua kemungkinan ancaman yang dapat terjadi terhadap nilai NKT. Program pengelolaan areal NKT pada dasarnya adalah menyusun tindakan untuk meminimalkan dampak negatif dari ancaman tersebut atau kalau memungkinkan menghilangkannya serta meningkatkan nilai NKT. Dengan alur pikir tersebut disusun tabel pedoman pengelolaan NKT yang dapat menjadi panduan bagi perkebunan dalam menyusun program pengelolaan NKT. 2.4. Mengembangkan Strategi-Strategi Pengelolaan NKT Dalam menyusun rencana pengelolaan areal NKT, diperlukan strategi-strategi khusus agar pengelolaan NKT sesuai dengan sasaran yang sudah ditetapkan, dapat diukur, diverifikasi di lapangan dan ada indicator keberhasilan yang jelas. Oleh karena itu, pengetahuan terhadap tahapan-tahapan penhyusunan perencanaan pengelolaan NKT ini, harus diketahui. Pemahaman terhadap tahapan-tahapan tersebut diperlukan untuk dapat dipakai oleh para penyusun rencana pengelolaan NKT di tingkat lapangan, khusunya para manajer hutan tanaman. Tahapan –tahapan kunci dalam menyusun rencana pengelolaan NKT seperti di bawah ini :
1. Menentukan masing-masing tujuan pengelolaan untuk setiap NKT Tahapan pertama yang harus di lakukan adalah menentukan tujuan dari pengelolaan masing-masing nilai-nilai atau NKT yang diketemukan dalam areal UM-HTI. Pengelolaan masing-masing nilai NKT mempunyai tujuan yang spesifik, mengingat tiap-tiap NKT mempunyai keunikan atau kekhasan tersendiri, walaupun masih ada keterkaitan yang erat antar tiap-tiap nilai tersebut. Dalam Panduan Identifikasi Areal Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia 2008, sudah dicantumkan mengenai saran tindak pengelolaan, walaupun masih bersifat umum. Saran tindak pengelolaan tersebut dapat dijadikan dasar dalam membangun tujuan dari pengelolaan areal NKT yang sudah diidentifikasi. Tujuan pengelolaan harus disertai dengan target dalam hal ini adalah tingkat dan ambang batas yang akan dipertahankan dari kegiatan pengelolaan tersebut. Tingkat dan ambang batas tersebut harus dapat diukur dan diverifikasi di lapangan. Obyektif dan tujuan dari pengelolaan hendaknya didiskripsikan diawal, karena terkait dengan implementasi kegiatan yang akan dilakukan di lapangan. Selain itu, pihak pengelola harus menetapkan ambang batas dan parameter dari kegiatan pengelolaan yang bisa menunjukkan bahwa pengelolaan berjalan efektif atau tidak, dengan cara mengamati indicator dari parameter tersebut. Tujuan pengelolaan dari masing-masing NKT adalah sebagai berikut : Tabel 1.
Tujuan Pengelolaan areal NKT Hal | 81
NKT
Sub NKT
1
1.1.
Kawasan yang Mempunyai atau Memberikan Fungsi Pendukung Keanekaragam-an Hayati bagi Kawasan Lindung dan/atau Konservasi
Mempertahankan status kawasan dan fungsi pendukungnya sehingga tujuan ditetapkannya kawasan lindung tersebut dapat tercapai
1.2.
Spesies Hampir Punah
Mempertahan dan/atau meningkatkan spesies atau subspesies hampir punah yang teridentifikasi ada di dalam kawasan UM dan/atau di sekitar kawasan UM yang dianggap akan menga-lami dampak jarak jauh (off-site) dari kegiatan UM. Kegiatan penge-lolaan yang dilakukan dalam UP harus diusahakan agar ma-singmasing individu spesies tersebut dapat bertahan hidup.
1.3.
Kawasan yang Merupakan Habitat Bagi Populasi Spe-sies yang Terancam, Penye-baran Terbatas atau Dilin-dungi yang Mampu Bertahan Hidup (Viable Population)
Memelihara dan/atau meningkatkan populasi spesies yang mampu bertahan hidup (viable population) dalam habitat yang ada di dalam kawasan UM
1.4.
Kawasan yang Merupakan Habitat bagi Spesies atau Sekumpulan Spesies yang Digunakan Secara Temporer
Melindungi dan/ atau memelihara habitat kunci (keystone habitat) satwa-liar dalam sebuah lanse-kap di dalam kawasan UM dimana terdapat kumpulan individu atau spesies yang digunakan secara temporer.
2.1.
Kawasan Bentang Alam Luas yang Memiliki Kapasitas untuk Menjaga Proses dan Dinamika Ekologi Secara Alami
Melindungi areal ini dan zonal penyangga se-hingga fungsifungsi lansekap alami di mana proses ekosistem alami berlangsung dan berpo-tensi untuk tetap berjalan dalam jangka panjang di masa mendatang.
2.2.
Kawasan Alam yang Berisi Dua atau Lebih Ekosistem dengan Garis Batas yang Tidak Terputus (berkesinambungan
Melindungi, melestarikan dan/atau memelihara kawasan yang mengandung tingkat keanekaragaman hayati tinggi yang berada pada dua atau lebih Hal | 82
2
Tujuan Pengelolaan
NKT
Sub NKT
Tujuan Pengelolaan ekosistem alami dengan garis batas yang tidak terputus atau memelihara zona transisi (ekoton) di antara dua atau lebih ekosistem.
2.3.
Kawasan yang Berisi Populasi dari Perwakilan Spesies Alami yang Mampu Bertahan Hidup
Memelihara dan meelstarikan lansekap dengan potensi istimewa sehingga populasi dari perwakilan spesies alami dapat terpelihara dalam jangka panjang
Kawasan yang Mempunyai Ekosistem Langka atau Terancam Punah
Melindungi dan melestarikan ekosistem langka atau terancam punah
4.1.
Kawasan atau Ekosistem Penting untuk Penyedia Air dan Pengendali Banjir bagi Masyarakat Hilir
Menjaga dan memelihara hutan spesifik (berawan, karst, riparian, lahan basah, punggung gunung, rawa tawar, bakau, danau dan padang rumput) dalam kondisi baik agar dapat mengatur fungsi air di bagian hilir.
4.2.
Kawasan yang Penting bagi Pengendalian Erosi dan Sedimentasi
Menurunkan laju erosi dan sedimentasi sungai yang berakibat berku-rangnya kualitas ekosi-stem perair-an
4.3.
Kawasan yang berfungsi sebagai sekat alam untuk mencegah meluasnya kebakaran hutan dan lahan
Melindungi dan mempertahankan kawasan yang mempunyai karakterirstik khusus yang mampu melindung/ mencegah kebakaran lahan atau hutan dalam skala yang luas
5
Kawasan yang Mempunyai Fungsi Penting untuk Pemenuhan Kebutuh-an Dasar Masyarakat Lokal
menentukan dan/ atau melindungi dan/atau memelihara kawasan yang mempunyai fungsi penting sebagai sumber penghi-dupan bagi masyarakat lokal, baik untuk memenuhi kebutuhan
3
4
5
Hal | 83
NKT
Sub NKT
Tujuan Pengelolaan secara langsung (subsisten/dikonsumsi sen-diri) maupun secara tidak langsung (komersial), yaitu dengan cara menjual produk (hasil hutan atau sumberdaya alam lainnya) untuk mendapatkan uang tunai.
6
6
Kawasan yang berfungsi sebagai identitas budaya masyarakat lokal
Mempertahankan keberadaan kawasan yang berfungsi sebagai identitas budaya masyarakat lokal
Sumber : Rencana Kelola PT XX, 2010 Untuk penetapan kawasan lindung di areal UM-HTI, salah satu acuan yang bisa dipergunakan adalah Dokumen Deliniasi Makro-Deliniasi Mikro sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2008 tanggal 6 Februari 2008. Tata cara penetapan kawasan lindung dalam hutan tanaman industry adalah sebagai beriku : 1) Kawasan hutan yang mempunyai kelerangan, kepekaan jenis tanah dan intensitas hujan dengan skoring sama dengan dan/atau lebih besar dari 175 sesuai dengan Kep.Men. Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung.
Tabel 2 Kriteria Penetapan Hutan Lindung sesuai SK Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980. No
Nilai Tertimbang//Pembobotan*) 20
15
10
Uraian
Leren g (%)
Uraian
Jenis Tanah
Uraian
Intensitas Hujan (mm/hari hujan)
1
0-8
Datar
Aluvial, Glei, Planosol, Hidromorf, Kelabu, Laterita Air Tanah
Tidak peka
s/d 13,6
Sangat rendah
2
8-15
Landai
Latosol
Agak peka
13,6-20,7
Rendah
Agak curam
Brown forest soil, mediteran, andosol, laterits non calcis brown,
Kuran gpeka
20,7-27,7
Sedang
3
15-25
Hal | 84
4
5
25-45
Curam
Grumusol, podsol, podsolik
Peka
27,7-34,8
Tinggi
> 45
Sanga t curam
Regosol, litosol, organosol, renzina
Sanga t peka
34,8 ke atas
Sangat tinggi
Keterangan : *) Nilai tertimbang/pembobotan dari setiap faktor dikalikan dengan nilai kelasnya, kemudian nilai perkalian setiap faktor tersebut dijumlahkan. Bila hasil penjumlahan sama dengan atau lebih dari 175 menunjukkan bahwa wilayah yang bersangkutan perlu dijadikan, dibina, dan dipertahankan sebagai hutan lindung. 2. Kawasan hutan dengan kelerangan lebih dari 40 % dan atau dengan kelerangan lebih dari 15 % untuk tanah yang sangat peka terhadap erosi. 3.
Kawasan hutan dengan ketinggian sama dengan atau lebih tinggi dari 2.000 mdpl
4. Kawasan hutan bergambut di hulu sungai dan rawa dengan ketebalan lebih dari 3 (tiga) meter. 5.
Kawasan hutan dengan radius dan jarak sampai dengan :
500 meter dari tepi waduk atau danau
200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa
100 meter dari tepi kiri kanan sungai
50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai
2 kali kedalaman juran dari tepi jurang
130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai
11.
Buffer zone atau kawasan penyangga hutan lindung dan atau kawasan hutan konservasi
12.
Kawasan pelestarian plasma nutfah
13.
Kawasan perlindungan satwa liar
14.
Kawasan cagar budaya dan atau ilmu pengetahuan
15.
Kawasan rawan terhadap bencana alam.
Untuk mempermudah pengelola dalam menetapkan tujuan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu areal NKT, maka dapat dilihat pada contoh Tabel 3, berikut :
Hal | 85
Tabel 3.
Contoh Tujuan dari pengelolaan NKT
NKT
Nilai-Nilai
Tujuan Pengelolaan
1.1
Kawasan Lindung Gambut
Melindungi dan melestarikan kawasan lindung gambut beserta isinya dalam jangka panjang sehingga ciri-ciri khusus dan fungsinya (seperti fungsi-fungsi ekologis, keanekaragaman hayati, perlindungan sumber air, populasi hewan yang mampu bertahan hidup (viable population) maupun kombinasi dari unsur-unsur tersebut), dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
4.1
Sebagian dari areal HTI merupakan bagian dari Micro peat dome yang berfungsi sebagai penyedia air dan pengendali banjir. yaitu berupa kubah gambut kecil (micro peat dome)
Mempertahankan fungsi dan keberadaan micro peat dome sebagai areal penyedia air dan pengendali banjir bagi masyarakat pada bagian hilir
Sumber : Laporan Penilaian NKTF PT. XXX, 2010 Setelah menentukan objektif atau tujuan dari masing-masing NKT, hal yang perlu di perhatikan adalah menentukan parameter-parameter yang akan di pakai dalam pengelolaan. Parameter tersebut bisa berbentuk kaidah atau aturan-aturan yang ditetapkan atau dalam kasus tertentu parameter dapat berupa angka-angka yang bisa di peroleh sebagai bagian dari data kualitas dan kuantitas. Sebagai contoh dalam NKT 4.1 “ areal peatdome yang berfungsi sebagai penyedia air dan pengendalian bajir”, maka parameter yang dapat di ukur antara lain kedalaman air tanah pada musim kemarau, beda elevasi muka air sungai pada musim hujan dan musim kemarau dan kandungan TSS (Total Soved Solid) pada musim hujan dan musim kemarau. Parameter-paremater ini sewaktu diakukan pemantauan dapat di ukur dan di peroleh hasilnya. Pengukuran terhadap parameter dalam pengelolaan dan pemantauan NKT harus ditetapkan ambang batas atau persyaratan minimum yang harus dipenuhi, hal ini merupakan bagian penting dalam pengelolaan. Ambang batas diperlukan sebagai bagian dari nilai-nilai yang mesti di pertahankan, dipelihara atau di tingkatkan nilainya. Sebagai contoh untuk NKT 4.1 diatas yang berhubungan dengan kawasan lindung gambut, ambang batas yang di perlukan diantaranya adalah kedalaman air tanah maksimum pada musim kemarau 15 cm, beda elevasi muka air sungai pada musim hujan dan musim kemarau tidak melebihi pengukuran awal dan kandungan TSS tidak mengalami perubahan dari pengukuran awal. Ambang batas ini bisa berdasarkan pada aturan-aturan pemerintah yang sudah di tetapkan atau berdasarkan scientific approach yang disepakati sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Hal | 86
2. Mengukur dan mengidentifikasi ancaman-ancaman terhadap masing-masing NKT yang menjadi fokus pengelolaan. Pada dasarnya kegiatan pengelolaan areal NKT adalah menekan seminimal mungkin ancaman atau sumber ancaman yang muncul terhadap areal NKT tersebut. Mengingat keunikan dari tiap-tiap NKT yang terkandung dalam suatu areal, maka kegiatan yang berpotensi mengancam areal tersebut juga spesifik. Oleh karena itu, penentuan ancaman terhadap masing-masing NKT penting untuk dipetakan, baik ancaman yang bersifat internal maupun ancaman eksternal Pengelola harus memahami kegiatan-kegiatan yang berpotensi menjadi sumber ancaman, baik kegiatan dari luar maupun kegiatan dari dalam UM. Pemahaman yang jelas terhadap ancaman ataupun sumber ancaman oleh pihak pengelola, akan berdampak terhadap tata cara pengelolaan areal NKT di lapangan secara efektif, efisien dan meningkatnya kualitas dan kuantitas areal NKT. Sebaliknya, tanpa pemahaman yang jelas tentang ancaman, para pengelola atau pelaksana dilapangan mungkin hanya melakukan cara-cara pengelolaan yang tidak akan memberikan dampak bahkan mungkin akan menurunkan NKT itu sendiri. Panduan atau metode yang bisa diadopsi untuk mengukur dan mengidentifikasi ancaman antara lain dikembangkan oleh The Nature Conservancy17.
Secara konsep teori ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Sistem (system )
Tekanan (stresses)
Strategi (Strategies)
Gambar 1.
Sumber (Sources )
Pemangku kepentingan (stakeholders)
Konsep 3- S ( the Nature Conservancy, 2003)
Hal yang akan kita pergunakan dalam pendekatan untuk mengidentifikasi ancaman adalah bagian dari Tekanan (Stressess)18 , Sumber ( Sources)19 dan strategi (Strategies). Ilustrasi ancaman dapat di gambarkan sebagai berikut :
17
The Five-S Framework for Site Conservation .A Practitioner’s Handbook for Site Conservation Planning and Measuring Conservation Success. The Nature Conservancy (2003). 18 Ancaman adalah mengacu kepada perubahan-perubahan spesifik dalam suatu nilai /HCV. 19 Sumber adalah mengacu kepada proses-proses yang menyebabkan suatu tekanan.
Hal | 87
Tabel 5. Contoh Identifikasi Ancaman Sumber dan Strategi Pengelolaannya Tekanan (ancaman)
Sumber
Strategi
Turunnya kualitas perairan air sungai
Internal : Kegiatan PWH (pembukaan wilayah hutan atau landclearing)
Sosialisasi Penting Bufferzone Sungai Divisi Planning Pembukaan lahan pada musim kemarau.
External : penambangan pasir oleh masyarakat
Hilangnya fungsi daerah resapan air dan jenis-jenis vegetasi dilindungi
Sosialisasi pada para penambang dan pengaturan pengambilan pasir
Internal : Kegiatan PWH dan landclearing
Sosialisasi pada divis planning mengenai arealareal resapan air, agar tidak dilakukan landclearing.
Dari ilustrasi diatas, hal penting dalam menyelesaikan atau mencari jalan keluar dari ancaman adalah adanya perencanaan jangka pendek dan jangka panjang untuk mengatasi masalah yang di sebabkan oleh ancaman. Dari ilustrasi ini di harapkan para perencana di lapangan dapat mengidentifikasi ancaman , sumber serta strategi yang akan di pakai dalam menanggulanginya baik dalam jangka pendek atau dalam jangka panjang 20. Ancaman terhadap NKT bisa datang dari berbagai hal termasuk dari dalam aktivitas pengelolaan hutan itu sendiri. Ancaman Internal ( dari dalam unit pengelolaan), ancaman ini berasal dari aktivitas sehari-hari yang terjadi di dalam konsesi. Seperti kegiatan, pembukaan wilayah hutan ( landclearing). Pendekatan untuk ancaman dari dalam relatif lebih mudah untuk menekannya, beberapa aktivitas dapat dilakukan untuk menekan ancaman dari dalam seperti penggunaan best practise management (BMP), peningkatan kapasitas staf, pengembangan standar operasional kerja (SOP). Ancaman Eksternal ( dari luar unit pengelolaan), ancaman ini berasal dari luar konsesi, misalnya aktivitas yang berasal dari masyarakat yang ada di sekitar konsesi seperti perladangan, perburuan, perambahan lahan, pembakaran lahan pada waktu pembukaan ladang dan penambangan pasir. Pendekatan untuk menekan ancaman ini dilakukan dengan melakukan konsultasi dengan masyarakat atau penduduk lokal dan stakeholder kunci, kegiatan penyadartahuan. Tabel 6. Contoh ancaman yang berasal dari dalam dan luar konsesi NKT
Dampak
Sumber Ancaman
-
-
-
1 dan 3
Hilangnya jenis/ kepunahan
Land Clearing – PWH (Internal)
20
Untuk lebih jelas dapat langsung membaca The Five-S Framework for Site Conservation .A Practitioner’s Handbook for Site Conservation Planning and Measuring Conservation Success. The Nature Conservancy (2003). Di situ dijelaskan secara terperinci dan secara teknis.
Hal | 88
-
-
1,2,3,4
5
-
Perubahan kompisisi jenis
-
Kebakaran hutan dan lahan (external)
-
Hilangnya jenis/ kepunahan
-
Land clearing-PWH (Internal)
-
Perubahan kompisisi jenis
-
Kegiatan perladangan (external)
-
Fragmentasi
-
Perambahan (external)
-
Peningkatan erosi dan sedimentasi
-
Peningkatan debit air sungai
-
Meningkatnya resiko kebakaran
-
Turunnya kesuburan tanah
-
Berkurangnya ikan dan hewan buruan
-
-
Berkurangnya sayur dan buahan
Perubahan dari hutan sekunder menjadi hutan hutan tanaman yang monokultur
-
Berkurangnya hasil hutan non kayu
-
Berkurangnya bahan bangunan
Sumber : panduan bagi praktisi: mengelola NKTF di Indonesia (TNC, 2006) 3. Mengidentifikasi langkah-langkah mitigasi secara partisipatif. Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan oleh Pihak Pengelola adalah mengidentifikasi langkah-langkah mitigasi terhadap ancaman masing-masing NKT secara internal dengan melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan dan berkompeten. Pengelolaan NKT memerlukan sumberdaya manusia dan mempunyai keahlian di bidang biologi, jasa lingkungan dan sosial budaya. Untuk dapat melakukan mitigasi maka pihak UM-HTI harus melibatkan para pemangku kepentingan yang berkompeten. Kekhususan NKT yang dikandung pada suatu areal memerlukan bidang keahlian seperti ahli biologi dan konservasi keanekaragaman hayati untuk dapat memberikan masukan untuk pengelolaan NKT 1-3, ahli hidrologi atau ahli tanah untuk membantu memberikan masukan untuk pengelolaan NKT 5 dan ahli antropologi (NKT6) atau ahli lainnya. Selain itu, pelibatan para pemangku kepentingan di lokasi yaitu masyarakat yang berdiam di dalam atau sekitar konsesi (NKT5 dan NKT 6) menjadi prioritas dalam membangun pengelolaan partisipatif. 4. Menggunakan pendekatan pengelolaan pencegahan ( precautionary management ). Tahapan ke empat ini adalah salah satu bagian terpenting dalam pengelolaan NKT, dalam tahap ini para pengelola harus mengambil tindakan nyata terbaik berdasarkan informasi yang ada (termasuk dari tahap satu sampai tiga) dan pentingnya kegiatan pemantuan sebagai salah satu pusat informasi tentang efektif tidaknya kegiatan pengelolaan. Hal | 89
Jika ancaman yang ada dapat di identifikasi dan di tekan secara optimal dan rencana pengelolaan telah di susun maka pendekatan yang pakai untuk menindak lanjuti pengelolaan NKT adalah dengan apa yang disebut “manajemen pencegahan” (precautionary management) dalam hal ini konsep Pengelolaan Adaptif yang akan di sarankan. Tabel 4. Contoh rencana pengelolaan NKT dalam suatu konsesi pengelolaan hutan alam NKT
Nilai-Nilai
Tujuan Pengelolaan
Strategi dan tindakan Pengelolaan
1.2
Perlindungan
Melindungi dan menjaga keberadaan Harimau Sumatra agar tidak punah karena adanya rusaknya habitat dan konflik dengan manusia.
-
Memetakan daerah jelajah harimau dalam skala landscape.
-
Mengumpulkan informasi mengenai pertemuan, bekas tapak dan cakaran, serta hal-hal yang terkait dengan keberadaan harimau Sumatra, baik dengan karyawan atau masyarakat.
-
Sosialisasi kepada masyarakat dalam dan luar kawasan konsesi terkait Himbuan dan larangan berburu harimau Sumatra
-
Melakukan Deliniasi/batas di lapangan pada tempat yang merupakan daerah harimau Sumatra untuk mempermudah pengelolaan
-
Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah terdegradasi hutannya dengan penanaman kembali jenis-jenis lokal yang banyak ditebang;
-
Mempertahankan wilayah lindung khususnya kiri-kanan sungai;
Satwa Harimau Sumatra
4.1
Hutan di tepi sungai/danau yang tergenang secara teratur dan sub-DAS yang menyediakan air bersih untuk desa disekitarnya.
Mempertahankan wilayah yang bisa menyediakan air bersih bagi masyarakat yang ada di bagian hilir unit pengelolaan.
Sumber : Rekomendasi Pengelolaan NKT PT XXX (2010) 5. Mengembangkan Pengelolaan Adapatif. Pengelolaan adaptif adalah suatu proses sistematik untuk secara terus menerus meningkatkan praktek-praktek pengelolaan lewat belajar terus menerus dari hasil kegiatankegiatan terdahulu, dan kemudian memperbaiki praktek-praktek selanjutnya untuk masa depan. Komponen awalnya adalah adanya kegiatan identifikasi NKT, kemudian penyusunan rencana pengelolaan dari NKT tersebut kemudian penyusunan rencana pemantauan. Dokumen rencana pengelolaan terdiri dari:
Hal | 90
1. Rangkuman hasil identifikasi Nilai Konservasi Tinggi beserta peta Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi. 2. Hasil identifikasi ancaman, dimana di dalamnya terkandung jenis, sebaran, dan besaran ancaman. 3.
Teknologi pengendalian ancaman dan pengelolaan Nilai-Nilai Konservasi Tinggi
4.
Tata waktu pengelolaan
5.
Alokasi Anggaran
6.
Pihak-pihak yang terlibat dan
7.
Desain teknis, seperti desain papan informasi, terasering, dll.
Kemudian dokumen ini juga harus disampaikan kepada publik secara transparan. Implementasi dari kegiatan pengelolaan inipun sebaiknya harus melibatkan pihak-pihak terkait sehingga dapat berjalan dengan baik, efektifi dan efisien, terutama pengelolaan yang terkait dengan bentang alam. Rencana pemantauan merupakan salah satu perencanaan yang sangat penting dalam konteks ini, karena melalui kegiatan hasil pemantuan pratek-praktek pengelolaan dapat di perbaiki. tujuan dilakukan pemantauan adalah untuk mendapatkan gambaran apakah tindakan pengelolaan telah berlangsung sesuai dengan tujuan pengelolaannya. Kegiatannya berupa penilaian parameter setiap objek secara berkala dan apabila memungkinkan dapat melibatkan pihak-pihak terkait sehingga proses penilaiannya dapat lebih objektif. Kegiatan pemantauan ini harus direncanakan dengan baik, dimana komponen pemantauannya sedapat mungkin : 1) mudah dilaksanakan; 2) terukur; 3) transparan; dan 4) dilakukan secara berkala sesuai dengan karakter setiap parameter yang dipantau. Berapa pertanyaan berikut ini dapat membantu untuk menyusun dokumen pemantauan seperti :
Apa yang akan dipantau dan kenapa?
Bagaimana Anda akan melakukannya?
Siapa yang akan melakukannya, dan seberapa sering?
Dengan siapa Anda akan mendiskusikan hasil, dan bagaimana Anda akan menggunakannya?
Kemudian dari hasil-hasil penilaian parameter objek tersebut dilakukan analisis dan evaluasi. Tujuan dari evaluasi ini adalah merumuskan tindakan pengelolaan selanjutnya sehingga tujuan pengelolaan sesuai dengan yang telah ditentukan. Revisi rencana pengelolaan didasarkan data/informasi hasil evaluasi; adalah tindakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen adaptif, dimana tindakan pengelolaan sedapat mungkin disesuai dengan kondisi objek yang dikelola dan jenis ancamannya. Hal ini berarti apakah objek telah mengalami perubahan sehingga harus dilakukan perubahan tindakan pengelolaan atau kondisi tindakan pengelolaan sudah tidak sesuai lagi mengingat adanya perubahan-perubahan, baik perubahan teknologi pengelolaan maupun kondisi eksternal disekitar objek yang dikelola. Hal | 91
6. Mengembangkan rencana jangka panjang dalam melakukan pemantauan hasil pengelolaan untuk setiap nilai NKT. Tahap ini merupakan tahap terakhir dari serangkaian kegiatan pengelolaan , tahap ini akan di bahas secara khusus dalam bab pemantauan NKT.
NKT 1-3
NKT 4
ANCAMAN NKT 1 -3
NKT 5-6
ANCAMAN NKT 5 - 6
ANCAMAN NKT 4
HASIL IDENTIFIKASI ANCAMAN
HASIL IDENTIFIKASI
TUJUAN PENGELOLAAN
EVALUASI
PEMANTAUAN
RENCANA PENGELOLAAN
IMPLEMENTASI PROGRAM
Gambar Manajemen Adaptif Pengelolaan NKT
Hal | 92
Konsep pengelolaan adaptif Nilai-Nilai Konservasi Tinggi
Hal | 93
3. Pemantuan Kawasan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi Pemantauan adalah salah satu kunci dari prinsip 9 FSC sebagaimana tercantum dalam 9.4 “ Pemantauan tahunan akan dilakukan untuk menilai efektivitas langkah-langkah yang diterapkan untuk memelihara atau meningkatkan sifat-sifat konservasi yang dapat diterapkan “ Semua program pengelolaan akan di barengi dengan adanya program pemantauan untuk melihat seberapa efektiv atau berhasilnya kegiatan pengelolaan. Pemantauan adalah sebagai sebuah kegiatan menyelidiki bagaimana keadaan-keadaan berubah dalam perjalanan waktu. Dengan kata kunci adalah pengumpulan dan evaluasi data secara periodi terhadap tujuan, sasaran dan kegiatan yang sudah ditetapkan 21. Pemantauan adalah proses pengontrolan terhadap tingkat keberhasilan pengelolaan NKT yang teridentifikasi dalam suatu kawasan, apakah NKT tersebut dapat dipertahankan atau meningkat di dalam kawasan tersebut. Kunci utama dalam pemantauan NKT adalah bahwa harus ada strategistrategi yang dirancang untuk mengukur, menilai , efektivitas hasil dari pengelolaan NKT. Pemantuan sangat penting fungsinya untuk menilai keberhasilan kegiatan pengelolaan. Tanpa adanya proses pemantauan sangat sulit mengukur apakah kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan itu dapat dilaksanakan atau berhasil . Pemantauan dapat membantu para pelaksana dilapangan untuk melihat bagian-bagian mana yang sesuai dengan rencana dan bagian mana yang tidak berhasil. Pemantauan merupakan bagian penting dalam konsep pengelolaan adaptif (lihat gambar 2 di atas). Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam menyusun rencana pemantuan antara lain : -
Sederhana, dan mudah dipahami oleh staf lapangan
-
Memberikan aturan yang jelas kapan di mulai dan kapan berhenti;
-
Murah biayanya;
-
Memiliki sasaran yang jelas;
-
Di rencanakan sebelumnya dan melekat dengan rencana pengelolaan;
-
Mengikuti metode-metode baku
-
Dilakukan sesuai dengan jadwal tertentu;
-
Mempunyai alat analisi dan dapat di intergrasikan dengan kegiatan di masa yang akan datang.
Kebijakan Pemerintah Yang Relevan Dengan Pemantauan NKT 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
21
Margolui dan Salafsky,1998. Dikutip dari panduan bagi praktisi : mengelola hutan bernilai konservasi tinggi di Indonesia. The Nature Conservancy 2002.
Hal | 94
Definisi a. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. b. Pengelolaan Kawasan Lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung. c. Kawan Resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (aktifer) yang berguna sebagai sumber air. d. Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. e. Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi mata air. f.
Kawasan Rawan Bencana Alam, adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam.
Tujuan dan Sasaran a. Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. b. Sasaran pengelolaan fungsi lindung terhadap tanah air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa adalah : -
Mengingat fungsi lindung terhadap tanah air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa;
-
Memertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe esksistem, dan keunikan alam.
Pokok-Pokok Kebijaksanaan Kawasan Lindung a. Pasal 11 : Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediann kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang bersangkutan. b. Pasal 12 : Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi struktur tanah yang mudah meresapkan air dan bentuk geomofologi yang mampu meresapkan air hujan secara besarbesaran. c. Pasal 15 :
Hal | 95
Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat menganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai. d. Pasal 16 : Kriteria sempadan sungai adalah : -
Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman.
-
Untuk sungai di kawasan permukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 – 15 meter.
e. Pasal 19 : Perlindungan terhadap kawasan sekitar mata air dilakukan untuk melindungi mata air dari kegiatan budidaya yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitarnya. f.
Pasal 20 :
Kriteria kawasan sekitar mata air adalah sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 meter di sekitar mata air. g. Pasal 32 : Perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia. h. Pasal 33 : Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung, gempa bumi, dan tanah longsor. Penetapan Kawasan Lindung a. Pasal 34 : (1). Pemerintah Daerah Tingkat I menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sebagai kawasan lindung daerah masing-masing dalam suatu Peraturan Daerah Tingkat I, disertai dengan lampiran penjelasan dan peta dengan tingkat ketelitian minimal skala 1 : 250.000 serta memperhatikan kondisi wilayah yang bersangkutan. (2). Dalam menetapkan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (I), Pemerintah Daerah Tingkat I harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penetapan wilayah tertentu sebagai bagian dari kawasan lindung. (3). Pemerintah Daerah Tingkat I menjabarkan lebih lanjut kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) bagi daerahnya ke dalam peta dengan tingkat ketelitian minimal skala 1 : 100.000 dalam bentuk Peraturan Daerah Tingkat II. (4). Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terpadu dan lintas sektoral dengan mempertimbangkan masukan dari Pemerintah Daerah Tingkat II. Hal | 96
b. Pasal 35 : Apabila dalam penetapan wilayah tertentu terjadi perbenturan kepentingan antar sekotr, Pemerintah Daerah Tingkat I dapat mengajukan kepada Tim Pengelola Tata Ruang Nasional untuk memperoleh saran penyelesaian. c. Pasal 36 : (1). Pemerintah Daerah Tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat akan tanggung-jawabnya dalam pengelolaan kawasan lindung. (2). Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II mengumumkan kawasan-kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam apasal 34 kepada masyarkat. Pengendalian Kawasan Lindung a. Pasal 37 : (1). Di dalam kawasan suaka alam dan kawasan cagar budaya dilarang melakukan kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya dan tidak mengubah benteng alam, kondisi penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada. (2). Di dalam kawasan suaka alam dan kawasan cagar budaya dilarang melakukan kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya dan tidak mengubah benteng alam, kondisi penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada. (3). Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup dikenakan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Peraturan pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. (4). Apabila menurut Analisis mengenai Dampak Lingkungan kegiatan budidaya menganggu fungsi lindung harus dicegah perkembangannya, dan fungsi sebagai kawasan lindung dikembalikan secara bertahap. b. Pasal 38 : (1). Dengan tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan yang bersangkutan di dalam kawasan lindung dapat dilakukan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam. (2). Apabila ternyata di kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat indikasi adanya deposit mineral atau air tanah atau kekayaan alam lainnya yang bisa diusahakan dinilai amat berharga bagi Negara, maka kegiatan budidaya di kawasan lindung tersebut dapat dizinkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3). Pengelolaan kegiatan budidaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan tetap memelihara fungsi lindung kawasan yang bersangkutan. (4). Apabila penambangan bahan galian dilakukan penambang bahan galian tersebut wajib melaksanakan upaya perlindungan terhadap lingkungan hidup dan melaksanakan rehabilitasi daerah bekas penambangannya, sehingga kawasan lindung dapat berfungsi kembali. Hal | 97
(5). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), diatur lebih lanjut oleh Menteri yang berwenang setelah mendapat pertimbangan dari Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. c. Pasal 39 : (1). Pemerintah Daerah tingkat II wajib mengendalikan pemanfaatan ruang di kawasan lindung. (2). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan pemantauan, pengawasan dan penertiban. (3). Apabila Pemerintah Daerah Tingkat II tidak dapat menyelesaikan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), wajib diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk diproses langkah tindak lanjutnya. (4). Apabila Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak dapat menyelesaikan pengendalian pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), wajib diajukan kepada Tim koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Difinisi a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang selanjutnya disebut RTRWN adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara. b. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. c. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. d. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan Tata Ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. e. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan Tata Ruang. f.
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
g. Wilayah nasional adalah seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi berdasarkan peraturan perundang-undangan. h. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. i.
Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Hal | 98
j.
Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan denganfungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi danpotensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Nasional Pasal 4 Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional meliputi kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang. Pasal 6 Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi: a. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung; b. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budi daya; dan c. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strategis nasional. Pasal 7 (1) Kebijakan pengembangan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi: a. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan b. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. (2) Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup meliputi: a. menetapkan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut,dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; b. mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisiekosistemnya; dan c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budi daya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah. (3) Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi: a. menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup; b. melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
Hal | 99
c. melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya; d. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan; e. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; f.
mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumberdaya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya; dan
g. mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di kawasan rawan bencana Kawasan Lindung Nasional Pasal 51 Kawasan lindung nasional terdiri atas: a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasanbawahannya; b. kawasan perlindungan setempat; c. kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya; d. kawasan rawan bencana alam; e. kawasan lindung geologi; dan f.
kawasan lindung lainnya.
Pasal 52 (1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasanbawahannya terdiri atas: a. kawasan hutan lindung; b. kawasan bergambut; dan c. kawasan resapan air. (2) Kawasan perlindungan setempat terdiri atas: a. sempadan pantai; b. sempadan sungai; c. kawasan sekitar danau atau waduk; dan d. ruang terbuka hijau kota. (3) Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya,terdiri atas: a. kawasan suaka alam; b. kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya; c. suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut; d. cagar alam dan cagar alam laut; e. kawasan pantai berhutan bakau; f. taman nasional dan taman nasional laut; g. taman hutan raya; h. taman wisata alam dan taman wisata alam laut; dan i. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
Hal | 100
(4) Kawasan rawan bencana alam terdiri atas: a. kawasan rawan tanah longsor; b. kawasan rawan gelombang pasang; dan c. kawasan rawan banjir. (5) Kawasan lindung geologi terdiri atas: a. kawasan cagar alam geologi; b. kawasan rawan bencana alam geologi; dan c. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah. (6) Kawasan lindung lainnya terdiri atas: a. cagar biosfer; b. ramsar; c. taman buru; d. kawasan perlindungan plasma nutfah; e. kawasan pengungsian satwa; f. terumbu karang; dan g. kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi.
Pasal 53 (3) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf c terdiri atas: a. kawasan imbuhan air tanah; dan b. sempadan mata air. Kriteria Kawasan Lindung Nasional Pasal 55 (1) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih; b. kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh persen); atau c. kawasan hutan yang mempunyai ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) meter di atas permukaan laut. (3) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan kriteria kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan dan sebagai pengontrol tata air permukaan. Pasal 56 (2) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b ditetapkan dengan kriteria: a. daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebarpaling sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah luar;
Hal | 101
b. daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai; dan c. daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai. Pasal 58 (1) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) huruf a ditetapkan dengan kriteria kawasan berbentuk lereng yang rawan terhadap perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah,atau material campuran. Pasal 59 (5) Kawasan pengungsian satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf e ditetapkan dengan kriteria: a. merupakan tempat kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut; b. merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa; dan c. memiliki luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya proses hidup dan kehidupan serta berkembangbiaknya satwa. (7) Kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf g ditetapkan dengan kriteria: a. berupa kawasan memiliki ekosistem unik, biota endemik, atau proses-proses penunjang kehidupan; dan Pasal 62 (2) Kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan kriteria: a. daratan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan fungsi mata air; dan b. wilayah dengan jarak paling sedikit 200 (dua ratus) meter dari mata air. Penetapan Kawasan Strategis Nasional Pasal 80 Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup ditetapkan dengan kriteria: a. merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati; b. merupakan aset nasional berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora dan/atau fauna yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus dilindungi dan/atau dilestarikan; c. memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian negara; d. memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro; Hal | 102
e. menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan hidup; f.
rawan bencana alam nasional; atau
g. sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas terhadapkelangsungan kehidupan. Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Kawasan Lindung Nasional Pasal 99 (3) Peraturan zonasi untuk kawasan resapan air disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan; b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya. Pasal 100 (2) Peraturan zonasi untuk sempadan sungai dan kawasansekitar danau/waduk disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air; pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjangfungsi taman rekreasi; dan c. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 106 2) Peraturan zonasi untuk kawasan sempadan mata air disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; dan b. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Ketentuan Umum a. Pengawetan adalah upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah. b. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya adalah upaya menjaga keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa agar tidak punah. Hal | 103
c. Identifikasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengenal jenis, keadaan umum status populasi dan tempat hidupnya yang dilakukan di dalam habitatnya. d. Inventansasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengetahul kondisi dan status populasi secara lebih rinci serta daerah penyebarannya yang dilakukan di dalam dan di luar habitatnya maupun di lembaga konservasi. e. Jenis tumbuhan atau satwa adalah jenis yang secara ilmiah disebut species atau anakanak jenis yang secara ilmiah disebut sub-species baik di dalam maupun di luar habltatnya. f.
Populasi adalah kelompok individu dan jenis tertentu di tempat tertentu yang secara alami dan dalam jangka panjang mempunyai kecenderungan untuk mencapai keseimbangan populasi secara dinamis sesuai dengan kondisi habitat beserta lingkungannya.
Tujuan a. Menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dan bahaya kepunahan; b. Menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa; c. Memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan. Upaya Pengawetan a.
Penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
b.
Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;
c.
Pemeliharaan dan pengembangbiakan.
Pengelolaan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Habitatnya Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi arti ketentuan tentang pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Pengawetan Jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam habitatnya (in situ). Dalam mendukung kegiatan tersebut dapat dilakukan kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk menambah dan memulihkan populasi. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan : a.
Identifikasi:
b.
Inventarisasi;
c.
Pemantauan;
d.
Pembinaan habitat dan populasinya; Hal | 104
e.
Penyelamatan jenis;
f.
Pengkajian, penelitian dan pengembangan.
Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar babitatnya (ex-situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan : a.
Pemeliharaan;
b.
Pengembangbiakan;
c.
Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
d.
Rehabilitasi satwa;
e.
Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.
4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63/PRT/1993 tentang garis sempadan sungai, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai dan bekas sungai Ketentuan Umum a.
Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kana dan kirinya sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan;
b.
Garis sempadan sungai adalah garis batas luar pengamanan sungai;
c.
Daerah sempadan adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai termasuk sungai buatan, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai;
d.
Daerah manfaat sungai adalah mata air, palung sungai dan daerah sempadan yang telah dibebaskan;
e.
Daerah penguasaan sungai adalh dataran banjir, daerah retensi; bantaran atau daerah sempadan yang tidak dibebaskan;
f.
Bekas sungai adalah sungai yang tidak berfungsi lagi;
g.
Tepi sungai adalah batas luar palung sungai yang mempunyai variasi bentuk
h.
Tanggul adalah bangunan pengendali sungai yang dibangun dengan persyaratan teknis tertentu untuk melindungi daerah sekitar sungai terhadap limpasan air sungai;
i.
Banjir rencana adalah banjir yang kemungkinan terjadi dalam kurun waktu tertentu.
Maksud dan Tujuan a. Penetapan garis sempadan sungai dimaksudkan sebagai upaya agar kegiatan perlindungan, pengembangan, penggunaan dan Hal | 105
pengendalian atas sumber daya yang ada pada sungai termsuk danau dan waduk dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya. b. Penetapan garis sempadan sungai bertujuan: -
Agar fungsi sungai termasuk danau dan waduk tidak terganggu oleh aktifitas yang berkembang di sekitarnya;
-
Agar kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya yang ada di sungai dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjada fungsi sungai;
-
Agar daya rusak air terhadap sungai dan lingkungannya dapat dibatasi.
Tata Cara Penetapan a. Penetapan garis sempadan sungai dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: -
Untuk sungai-sungai yang menjadi kewenangan Menteri batas garis sempadan sungai ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan Direktur Jenderal;
-
Untuk sungai- sungai yang dilimpahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah, batas garis sempadan sungai ditetapkan dengan Peraturan Daerah berdasarkan usulan dari Dinas;
-
Untuk sungai-sungai yang dilimpahkan kewenangan pengelolaannya kepada Badan Hukum tertentu, batas garis sempadan sungai ditetaplan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan dari Badan Hukum tertentu yang bersangkutan.
b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut: -
Melakukan survei; -
Menentukan dimensi penampang sungai berdasarkan rencana pembinaan sungai yang bersangkutan
-
Penetapan batas garis sempadan sungai.
Kriteria Kriteria penetapan garis sempadan sungai terdiri dari: a. Sungai bertanggul : -
Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan, ditetapkan sekurang-kurangnya 5 (lima) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul.
-
Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan, ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul.
b. Sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan
Hal | 106
-
c.
Penetapan garis sempadan sungai tak bertanggul di luas kawasan perkotaan diperkotaan didasarkan pada kriteria:
Sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas 500 (lima ratus) Km2 atau lebih;
Sungai kecil yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas kuran dari 500 (lima ratus) Km2. -
Penetapan garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan pada sungai besar dilakukan ruas per ruas dengan mempertimbangkan luas daerah pengaliran sungai pada ruas yang bersangkutan.
-
Garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan pada sungai besar ditetapkan sekurang-kurangnya 100 meter, sedangkan pada sungai kecil sekurang-kurangnya 50 meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
Sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan.
-
Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 (tiga) meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
-
Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 (tiga) meter sampai dengan 20 (dua puluh) meter, garis sempadan ditetaplan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
-
Sungai yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20 (dua puluh) meter, garis sempadan sungai sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
Penetapan garis sempadan danau, waduk, mata air, dan sungai yang terpengaruh pasang surut air laut mengikuti kriteria yang telah ditetapkan dalam Keputusan RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, sebagai berikut: a. Untuk danau dan waduk, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 50(lima puluh) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. b. Untuk mata air, garis sempadan ditetapkan sekurang- kurangnya 200 (dura ratus) meter di sekitar mata air. c. Untuk sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter dari tepi sungai, dan berfungsi sebagai jalur hijau. Pemanfaatan Daerah Sempadan Pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kegiatankegiatan tertentu sebagai berikut: a.
Untuk budidaya pertanian, dengan jenis tanaman yang diizinkan;
b.
Untuk kegiatan niaga, penggalian, dan penimbunan; Hal | 107
h.
c.
Untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan , serta rambu-rambu pekerjaan;
d.
Untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon dan pipa air minum;
e.
Untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan baik umum maupun kereta api;
f.
Untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan kemasyarakatan yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan fungsi serta fisik sungai;
g.
Untuk pembangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan pembuangan air. Pasal 12
Pada daerah sempadan dilarang: a. Membuang sampah, limbah padat atau cair; b. Mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha.
Kebijakan lainnya 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air 3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 Tentang Sungai 4. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 376/Kpts-II/1998 Tentang Kriteria Penyediaan Hutan Untuk Perkebunan Budidaya Kelapa Sawit. Strategi Pemantauan NKT Pemantauan adalah salah satu bagian penting dari pengelolaan karena dari kegiatan ini dapat diketahui apakah tujuan manajemen dapat tercapai atau tidak. Keberadaan data/informasinya sangat bermanfaat apabila ada perubahan manajemen. Kegiatan pemantauan sangat penting guna mengelola ekologi/lingkungan karena sistem ekologi memiliki sifat dinamis terutama apabila ada tindakan pengelolaan di dalamnya sehingga pemantauan berguna untuk membatasi terjadinya penyimpangan dari tujuan pengelolaan. Kegiatan ini juga sangat penting guna terpeliharanya fungsi-fungsi sistem yang dibangun dalam rangka peningkatan produktivitas unit-unit pengelolaan dan kesejahteraan hidup manusia. Untuk tercapainya pemantauan yang efektif dan efisien berdasarkan role pada rencana pengelolaan, maka beberapa tahapan sebagai strategi dalam pemantauan yang harus dilakukan adalah
Hal | 108
1. Review dokumen Melakukan tinjauan (review) dokumen Hasil Identifikasi NKT dan Dokumen Perencanaan dan Pengelolaan NKT. Tujuan review ini untuk mengetahui : 1) Rekomendasi NKT harus dikelola sesuai hasil identifikasi NKT 2) Mengetahui rencana pengelolaan NKT sebagai tindak lanjut rekomendasi identifikasi NKT. Hasil review ini menjadi bahan Tim UP untuk melakukan review laporan atau rekaman hasil pengelolaan NKT. 2. Review laporan Berdasarkan hasil review dokumen diatas, maka UP perlu melakukan review terhadap laporanlaporan atau dokumen rekaman-rekaman hasil kegiatan pengelolaan NKT. Dalam tahap ini UP perlu melakukan pemeriksaan kelengkapan laporan, rekaman serta dokumendokumen (SOP) yang harus dipenuhi sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pedoman Pengelolaan NKT. Tujuan melakukan review laporan ini adalah untuk mendapatkan bahan-bahan sebelum UP melakukan pemantauan NKT di Lapangan. Dalam review ini beberapa hal yang ditemukan baik yang sesuai (Conform) maupun yang tidak sesuai (Non Conformance) sebaiknya diindentifikasi. 3. Periksa indikator keberhasilan pengelolaan Berdasarkan hasil review laporan pada tahap 2 diatas, Langkah selanjutnya UP harus melakukan pemeriksaan (Check) dilapangan (site) terhadap pemenuhan persyaratan Indikator Keberhasilan Pengelolaan sebagaimana yang tertulis dalam dokumen Pengelolaan NKT. Metode untuk proses pemeriksaan dilakukan dengan pengukuran atau pemeriksaan langsung dan wawancara kepada petugas lapangan atau masyarakat. Bilamana terdapat temuan ketidaksesuaian (Non Conformance) , maka sebaiknya UP mengidentifikasi dan mendokumentasikan temuan ini, agar dapat memudahkan untuk melakukan Tindakan Perbaikan (Corrective Action). 4. Susun rencana perbaikan terhadap temuan ketidaksesuaian tersebut. Berdasarkan hasil temuan dalam pemeriksaan indikator pengelolaan, maka UP harus membuat rencana tindakan perbaikan (Corrective action) yang terdokumentasi. Dokumen rencana tindakan perbaikan (Corrective action) ini sebaiknya dibuat secara lengkap, mencakup kegiatan yang akan dilakukan, target waktu penyelesaian, serta pihak yang akan melakukan verifikasi terhadap tindakan perbaikan. 5. Pelaksanaan perbaikan. Berdasarkan rencana tindakan perbaikan ( Corrective action ), maka UP melakukan tindakan perbaikan. Perbaikan seharusnya dilakukan sesuai dengan sesuai kegiatan yang direncanakan dan target waktu yang ditetapkan.
Hal | 109
6. Internal Audit. Tahap akhir dari kegiatan Pemantauan ini adalah Internal Audit, yang bertujuan untuk melalukan pemeriksaan terhadap hasil-hasil tindakan perbaikan. Dalam internal audit ini perlu diperiksa : 1) kelengkapan dokumen yang harus dipenuhi 2) kondisi lapangan 3) waktu penyelesaian apakah sesuai target yang ditetapkan. Dalam internal audit ini UP juga perlu menetapkan status tindakan perbaikan, apakah sudah selesai (closed) atau tindakan perbaikan masih belum selesai (open). Tim Internal Audit perlu mendokumentasikan hasil internal audit ini dan disebutkan hal –hal yang sudah closed dan masih Open. SISTEM PEMANTAUAN NKT Tindakan pengelolaan pada masing-masing NKT menghasilkan suatu indikator keberhasilan yang ditandai dengan tolok ukur dari keberhasilan tidakan pengelolaan tersebut. Oleh karena itu, teknik pemantauannya adalah: 1. membandingkan dokumen dengan fakta dilapangan; 2. melakukan wawancara dengan para pihak; 3. melakukan pengambilan contoh dilapangan atau jika dimungkinkan untuk dilakukan sensus; 4. uji statistic (jika diperlukan) 5. pada akhir pemantauan dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
Hal | 110
Rencana Kegiatan Pemantauan NKT 1. Pengukuhan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi 1.1. Indikator yang dipantau
Pelaksanaan tata batas
Kondisi dan peletakan pal batas/polet
1.2. Tujuan pemantauan Tujuan pemantauan adalah mengetahui apakah pengukuhan KBKT telah dilaksanakan dan telah sesuai dengan yang telah diatur dalam SOP pengukuhan kawasan baik lokasi maupun peletakkannnya, serta kondisi pal batas. 1.3. Pemantauan Alat dan bahan
:
Metode pengukuran
:
Metode analisis data
Lokasi pemantauan
Berita Aacara Tata Batas (BATB), Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, meteran (100 m), dan alat-alat tulis.
:
:
Koordinat peletakan pal batas/polet (sample)
Pengukuran jarak antar pal batas/polet (sample)
Kondisi pal batas/polet
Cross check dengan BATB dan peta kerja
Deskriptif kondisi pal batas/polet
Batas dan Pal batas/poletan KBKT
Periode Pemantauan :
1. Pemantauan pelaksanaan tatabatas dilakukan satu kali setelah dilakukan pengukuhan batas KBKT 2. Pemantauan kondisi pal batas/polet dilakukan setiap semester (6 bulan)
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana pemantauan adalah staf urusan informasi geografis.
2. Media Informasi 2.1. Indikator yang dipantau
Pemasangan/peletakaan papan informasi
Tingkat keberhasilan informasi pasif (papan informasi, poster/leaflet dan promosi/iklan)
2.2. Tujuan pemantauan Tujuan pemantauan adalah mengetahui apakah informasi atau sosialisasi pasif yang telah disampaikan tersebut informatif serta merubah persepsi negatif ke posistif dari masyarakat mengenai arti pentingnya menjaga lingkungan. Hal | 111
2.3. Pemantauan Alat dan bahan
:
Metode pengukuran
:
Metode analisis data
Lokasi pemantauan
:
:
Peta kerja, GPS, kamera dan alat-alat tulis.
Cross check peletakkan papan informasi dan kondisinya
Penyebaran kuesioner untuk mengetahui persepsi dan pemahaman masyarakat terhadap KBKT
Data yang diperoleh kemudian ditabulasikan dan dianalisis secara kualitatif maupun kuantitatif (persentase) Masyarakat, dunia pendidikan, Pemda
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan setiap semester (6 bulan)
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana pemantauan adalah staf lingkungan sosial.
3. Pengamanan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi 3.1. Indikator yang dipantau 3.2.
Tingkat keamanan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi
Tujuan pemantauan
Tujuan pemantauan adalah Terjaganya Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi dari kerusakan yang diakibatkan oleh berbagai bentuk gangguan keamanan, baik yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran maupun oleh bencana alam (banjir, longsor dan sebagainya).
Terjaganya keutuhan dan kelestarian Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi
Alat dan bahan
:
Metode pengukuran
:
Metode analisis data
Lokasi pemantauan
:
:
Peta kerja, GPS, kamera dan alat-alat tulis.
Pemantauan dilaksanakan secara bersamaan pada saat patroli
Mencatat jenis gangguan yang ditemukan kemudian dipetakan ke dalam peta kerja
Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitaif
Areal KBKT
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan setiap semester (6 bulan) maupun secara acak
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana pemantauan adalah tim keamanan dan berkoordinasi dengan staf lingkungan sosial dan aparat penegak hukum (kepolisian daerah).
Hal | 112
4. Kawasan Resapan Air 4.1. Indikator yang dipantau
Curah hujan
Rasio Debit maksimum dan minimum
Erosi dan sedimentasi
Kelembaban, kekerasan tanah dan infiltrasi air kedalam tanah
4.2.
Tujuan pemantauan
Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan terhadap fungsi resapan dan fungsi lainnya. Penilaian dampak ini sangat penting agar tujuan pemeliharaan dan pembangunan kawasan resapan air yang telah rancang dapat terwujud dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
4.3.
Metode Pemantauan
1) Curah hujan Alat dan bahan
:
Metode pengukuran
:
Alat penakar curah hujan dan alat tulis
Gambar 1. Teknik pemasangan Penakar Curah Hujan 1. Lakukan pemantauan dan pengukuran sedikitnya satu kali dalam 24 jam. 2. Waktu pengukuran pada pagi hari ± pukul 07.00 pagi. 3. Cara mengukur dilakukan dengan mengalirkan atau menuangkan air hujan yang ditampung alat dengan menggunakan gelas Hal | 113
ukur. 4. Pembacaan dilakukan dengan melihat tinggi muka air dengan skala yang tertulis pada gelas ukur. Pada saat pembacaan skala, posisi gelas ukur harus tegak lurus. 5. Data yang diperoleh dari hasil pemantauan dicatat, dengan ketentuan:
Hujan yang kurang dari 0,5 mm, ditulis 0 (nol).
Tidak ada hujan, ditandai (-)
Kondisi alat rusak, ditulis (R)
Hujan tidak teratur, ditulis (x) 6. Pastikan bahwa pelaksanaan pengukuran curah hujan sudah dijalankan dengan benar.
Metode analisis data
:
Data curah hujan diperoleh merupakan data curah hujan harian dan apabila dijadikan data bulanan tinggal dijumlahkan. Catatan : Untuk mengukur curah hujan dengan menggunakan gelas ukur yang tidak memiliki konversi jumlah curah hujan (gelas ukur standar) maka penghitungan curah hujan dilakukan dengan menggunakan rumus :
Tinggi Curah Hujan (mm) = volume tampungan / luas penampang penakar Curah Hujan Lokasi pemantauan
:
Stasiun pemantauan curah hujan
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan setelah hari hujan.
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik.
2) Rasio Debit Maksimum dan Minimum Alat dan bahan
:
Alat tulis dan hitung serta data hasil pengukuran debit dalam satu tahun
Metode pengukuran
:
Diperoleh dari hasil pengukuran debit air per kejadian hujan
Metode analisis data
:
Mengidentifikasi data debit yang paling tinggi (maksimum) dan data debit yang paling rendah (minimum) dalam satu tahun pengukuran debit. Kemudian dihitung rasio antara debit maksimum dan minimum. Indikatornya semakin kecil nilai rasio tersebut maka semakin baik fungsi area resapan Hal | 114
airnya.
Lokasi pemantauan
:
Kualitas
Qmak/Qmin
Sangat baik
< 50
Baik
50 - 150
Sedang
150 - 250
Buruk
250 - 500
Sangat buruk
> 500
Sungai/ Parit
Periode Pemantauan :
Perhitungan dilakukan setiap tahun sekali
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik
3) Erosi dan sedimentasi Alat dan bahan :
Bak erosi, Stick ukur, Botol sampel alat tulis menulis
Metode penguk uran :
1. Pengukuran Lapangan (Metode Bak Erosi)
Gambar 2. Bak erosi Setelah bak pengukur erosi terpasang, setelah hujan maka curah hujan yang jatuh pada petak ukur akan menimbulkan aliran permukaan dan mengangkut material tanah ke bak kontrol. Bila curah hujan tinggi maka aliran permukaan akan besar sehingga terjadi limpasan air dan keluar melalui lima lubang yang salah satunya dihubungkan dengan drum penampung. Drum penampung menampung limpasan air dan sedimen dari bak penampung melalui satu lubang. Hal | 115
Mengambil dan menimbang seluruh material yang terangkut pada bak kontrol. Mengambil sample sedimen sebanyak 600 ml. Mencatat data – data pendukung berupa :
% kemiringan lokasi
Penutupan tanah dalam petak kecil
Curah hujan harian, bulanan dan tahunan
Hari hujan bulanan dan tahunan
2. Pengukuran Lapangan (Metode Stik Pemantauan Erosi)
Merupakan sebuah tongkat pengukur perubahan tinggi muka lapisan tanah akibat adanya erosi permukaan (Gambar 3).
Gambar 3. Metode stik pemantauan erosi Metode Hal | 116
analisis data :
1000 1. TSS = ( A – B )
mg / L
ml sampel
2. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan dengan rona awal dan hasil pemantauan periode sebelumnya. Lokasi pemant auan :
Sempadan Sungai dan areal rawan erosi
Periode Pemant auan :
Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari hujan.
Institusi Pemant auan :
Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik
3) Kelembaban, kekerasan tanah dan infiltrasi air kedalam tanah Alat dan bahan
:
Hygrometer, soil pentrometer, permeameter infiltration dan tulis menulis
Metode pengukuran
:
Pengecekan terhadap kondisi tanah (sample) dengan penggunaan alat secara digital
Metode analisis data
:
Data ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif kualitatif maupun kuantitatif, kemudian dibandingkan dengan data hasil pemantauan pada rona awal
Lokasi pemantauan
:
Kawasan resapan air
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari hujan
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik
5. Pemantauan Sempadan Sungai 5.1. Indikator yang dipantau Hal | 117
Keanekaragaman flora,
Keanekaragaman fauna,
Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi,
Kualitas dan kuantitas perairan
Erosi dan sedimentasi
5.2.
Tujuan pemantauan
Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan terhadap fungsi sempadan dan fungsi lainnya. Penilaian dampak ini sangat penting agar tujuan pemeliharaan dan pembangunan sempadan yang telah ditetapkan dapat terwujud dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. 5.3.
Metode Pemantauan
1) Keanekaragaman Flora Alat dan bahan
:
Metode pengukuran
:
Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, meteran (50100 m), pita ukur, tambang plastik, kantong plastik besar, alkohol 70 %, sprayer, label, gunting stek dan alat-alat tulis.
Pengukuran keanekaragaman flora dilakukan dengan cara inventarisasi flora dengan metode garis berpetak di petak contoh permanen yang telah ditetapkan pada saat inventarisasi flora.
Gambar 3.4. Metode Garis Berpetak
Metode analisis data
:
Luas petak contoh 1 ha untuk tiap-tiap lokasi atau disesuaikan dengan kondisi area. Penentuan jumlah lokasi pemantauan, didekati dengan perbedaan tipe tutupan lahan (terbuka, semak belukar, tanaman)
Data dianalis untuk mengetahui kerapatan (K), frekuensi (F), Dominansi (D(untuk tingkat tumbuhan bawah dan semai tidak digunakan)), indeks nilai penting (INP), indeks keanekaragaman jenis (H’).
Jenis-jenis vegetasi yang ada dikelompokkan berdasarkan statusnya menurut IUCN, CITES dan PP Hal | 118
No. 7 Tahun 1999. Selain itu, diidentifikasi juga jenisjenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pakan satwaliar.
Lokasi pemantauan
:
Data dan informasi yang diperoleh dari setiap periode pengamatan dianalisis deskriptif kuantitatif maupun kualitatif dengan cara membandingkan dengan data awal atau pemantauan periode sebelumnya.
Sempadan sungai dan sungai
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan setiap enam bulan sekali
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana pemantauan adalah staf lingkungan biologi.
2) Keanekaragaman Fauna Alat dan bahan:
Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, meteran, tambang plastik, alat-alat tulis, gips, teropong, buku panduan identifikasi mamalia, avifauna, reptil dan herpetofauna. Contoh buku panduan satwa (jenis burung) dapat dilihat pada Gambar 6.
Metode pengukuran:
Pengukuran keanekaragaman satwaliar. Metode kombinasi ini digunakan sekaligus untuk pengamatan terhadap mamalia, reptilia dan aves, yakni pengamatan mamalia dengan menerapkan metode jalur sedangkan pengamatan reptilia dan burung dengan menerapkan metode titik.
• •
•
A
B •
P 2a r ma r l o n
• •
2 2 2 • 5m • c m
4 0 2 0 c m c
m Gambar 5. Metode kombinasi antara PA (point abundance) dengan transek jalur Metode analisis data:
Hasil data lapangan diolah untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan satwaliar pada kelompok mamalia, avifauna, reptilia dan herpetofauna.
Jenis-jenis satwaliar yang ada dikelompokkan berdasarkan statusnya menurut IUCN, CITES dan PP No. 7 Tahun 1999.
Data dan informasi yang diperoleh dari setiap periode Hal | 119
pengamatan dianalisis secara deskriptif kuantitatif maupun kualitatif dengan cara membandingkan dengan data awal atau pemantauan periode sebelumnya. Lokasi pemantauan
:
Sempadan sungai dan sungai
Periode Pemantauan :
Pemantauan keanekaragaman satwaliar dilakukan setiap 6 bulan sekali
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana pemantauan keanekaragaman satwaliar adalah staf lingkungan biologi.
Gambar 6. Contoh Buku Panduan Pengenalan Jenis Burung untuk Kegiatan Pemantauan Fauna 3) Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi Alat dan bahan
:
Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, hand counter, pita ukur/kaliper, meteran, dan alat-alat tulis.
Metode pengukuran
:
1. Parameter yang diamati: 1) Persentase tumbuh, 2) tinggi (cm) dan diameter (mm), 3) hama dan penyakit. 2. Persentase tumbuh
Dievaluasi 1 bulan setelah tanam, dan diulangi pada umur 6 dan 12 bulan setelah tanam. Survey harus dilakukan pada seluruh tanaman Hal | 120
Hitung dan catat jumlah seedling yang gagal tumbuh ( mati, stagnasi, kekuningan dan merana), dengan mengikuti seluruh strip planting, tiap luasan 1 ha.
Tancapkan ajir pada tanaman yang gagal hidup sebagai tanda untuk penyulaman.
Hitung prosentase seedling yang hidup, yaitu jumlah yang ditanam (PS)-jumlah yang gagal (FS) dibagi dengan jumlah yang ditanam x 100%
3. Pemberian label untuk monitoring pertumbuhan tanaman
Interval waktu 3,6,9 dan 12 bulan setelah tanam
Untuk tiap species pohon yang ditanam ambil sample 20 seedling secara acak dan pasang label yang memuat informasi tentang : nama jenis, waktu tanam dan treatment
Label harus permanent, tahan air dan cuaca, serta tidak menarik bagi masyarakat lokal.
Label kemungkinan hilang, untuk itu maka posisi tanaman yang berlabel perlu di petakan
4. Pengukuran tingi (cm) dan diameter (m)
Metode analisis data
:
Pada tanaman berlabel, berikan tanda, 5 cm diatas permukaan tanah dimana pengukuran tinggi dan diameter secara constant aka dilakukan
Pengukuran diameter (mm) dengan caliper dilakukan dua kali (d1 dan d2) pada posisi yang berbeda tepat pada posisi marker. Hasilnya berupa rata-rata (d1+d2/2) dicatat pada tally sheet.
Pengukuran tingi (cm) dilakukan dengan mistar dimula dari marker sampai titik paling ujung. Hasilnya dicatat pada tally sheet
1. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi, yang diarahkan terhadap beberapa parameter yaitu : (1) rata-rata tinggi dan diameter batang tanaman; (2) prosentase tumbuh; (3 prosentase kerusakan tanaman; (4) prosentase tanaman yang terkenan serangan hama dan penyakit. Data ditabulasikan dan dibuat dalam bentuk histogram atau grafik. 2. Untuk mengetahui perubahan atau kecenderungan (trend) keberhasilan tanaman dari satu periode ke periode berikutnya dilakukan analisis deskriptif Hal | 121
kuantitatif dan kualitatif. Lokasi pemantauan
:
Sempadan sungai dan sungai
Periode Pemantauan :
Pemantauan tingkat keberhasilan rehabilitasi tanaman dilakukan setiap semester
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana adalah staf lingkungan biologi.
4) Kualitas dan Kuantitas Perairan Alat dan bahan
:
Metode pengukuran
:
Flowmeter digital, cawan secy, botol sample, oven, timbangan, pH meter digital, peralatan tulis 1. Pengukuran debit air 2. Pengukuran padatan terlarut Pengambilan sampel air, kemudian diukur berapa pedatan yang terlarut ke dalam air tersebut 3. pH air; untuk mengetahui apakah perairan dalam kondisi normal, asam ataukah basa 4. Tingkat kekeruhan Pengukuran langsung dititik pengamatan berapa persen tingkat kekeruhan pada air.
Metode analisis data
:
1. Q = A * V ;
Q = m3/detik, A = m2, V = m/detik 1.000
2. TSS = ( A – B )
mg / L ml sampel
3. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan dengan rona awal dan hasil pemantauan periode sebelumnya. Lokasi pemantauan
:
Sempadan Sungai
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari hujan.
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik. Hal | 122
5) Tingkat Erosi dan sedimentasi Alat dan bahan
:
Bak erosi, Stick ukur, Peralatan tulis, Botol sampel alat tulis menulis
Metode pengukuran
:
1. Pengukuran Lapangan (Metode Bak Erosi) 3. Pengukuran Lapangan (Metode Stik Pemantauan Erosi)
Metode analisis data
: 1000 1. TSS = ( A – B )
mg / L
ml sampel
2. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan dengan rona awal dan hasil pemantauan periode sebelumnya. Lokasi pemantauan
:
Sempadan Sungai.
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari hujan.
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik
6. Sempadan Parit 6.1. Indikator yang dipantau
Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi,
Kualitas dan kuantitas perairan
Erosi dan sedimentasi
6.2.
Tujuan pemantauan
Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan terhadap fungsi sempadan dan fungsi lainnya. Penilaian dampak ini sangat penting agar tujuan pemeliharaan dan pembangunan sempadan yang telah ditetapkan dapat terwujud dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. 6.3.
Metode Pemantauan
1) Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi
Hal | 123
Alat dan bahan
:
Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, hand counter, pita ukur/kaliper, meteran, dan alat-alat tulis.
Metode pengukuran
:
1. Parameter yang diamati: 1) Persentase tumbuh, 2) tinggi (cm) dan diameter (mm), 3) hama dan penyakit. 2. Persentase tumbuh
Dievaluasi 1 bulan setelah tanam, dan diulangi pada umur 6 dan 12 bulan setelah tanam. Survey harus dilakukan pada seluruh tanaman
Hitung dan catat jumlah seedling yang gagal tumbuh ( mati, stagnasi, kekuningan dan merana), dengan mengikuti seluruh strip planting, tiap luasan 1 ha.
Tancapkan ajir pada tanaman yang gagal hidup sebagai tanda untuk penyulaman.
Hitung prosentase seedling yang hidup, yaitu jumlah yang ditanam (PS)-jumlah yang gagal (FS) dibagi dengan jumlah yang ditanam x 100%
3. Pemberian label untuk monitoring pertumbuhan tanaman
Interval waktu 3,6,9 dan 12 bulan setelah tanam
Untuk tiap species pohon yang ditanam ambil sample 20 seedling secara acak dan pasang label yang memuat informasi tentang : nama jenis, waktu tanam dan treatment
Label harus permanent, tahan air dan cuaca, serta tidak menarik bagi masyarakat lokal.
Label kemungkinan hilang, untuk itu maka posisi tanaman yang berlabel perlu di petakan
4. Pengukuran tingi (cm) dan diameter (m)
Metode analisis data
:
Pada tanaman berlabel, berikan tanda, 5 cm diatas permukaan tanah dimana pengukuran tinggi dan diameter secara constant aka dilakukan
Pengukuran diameter (mm) dengan caliper dilakukan dua kali (d1 dan d2) pada posisi yang berbeda tepat pada posisi marker. Hasilnya berupa rata-rata (d1+d2/2) dicatat pada tally sheet.
Pengukuran tingi (cm) dilakukan dengan mistar dimula dari marker sampai titik paling ujung. Hasilnya dicatat pada tally sheet
1. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi, yang diarahkan terhadap beberapa parameter yaitu : (1) rataHal | 124
rata tinggi dan diameter batang tanaman; (2) prosentase tumbuh; (3 prosentase kerusakan tanaman; (4) prosentase tanaman yang terkenan serangan hama dan penyakit. Data ditabulasikan dan dibuat dalam bentuk histogram atau grafik. 2. Untuk mengetahui perubahan atau kecenderungan (trend) keberhasilan tanaman dari satu periode ke periode berikutnya dilakukan analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Lokasi pemantauan
:
Sempadan parit
Periode Pemantauan :
Pemantauan tingkat keberhasilan rehabilitasi tanaman dilakukan setiap semester .
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana adalah staf lingkungan biologi.
2) Kualitas dan Kuantitas Perairan Alat dan bahan
:
Flowmeter digital, cawan secy, botol sample, oven, timbangan, pH meter digital, peralatan tulis
Metode pengukuran
:
1. Pengukuran debit air 2. Pengukuran padatan terlarut Pengambilan sampel air, kemudian diukur berapa pedatan yang terlarut ke dalam air tersebut 3. pH air; untuk mengetahui apakah perairan dalam kondisi normal, asam ataukah basa 4. Tingkat kekeruhan Pengukuran langsung dititik pengamatan berapa persen tingkat kekeruhan pada air.
Metode analisis data
:
1. Q = A * V ;
Q = m3/detik, A = m2, V = m/detik 1.000
2. TSS = ( A – B )
mg / L
ml sampel
3. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan dengan rona awal dan hasil pemantauan periode sebelumnya. Hal | 125
Lokasi pemantauan
:
Sempadan parit
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari hujan.
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik.
3) Tingkat Erosi dan sedimentasi Alat dan bahan
:
Bak erosi, Stick ukur, Peralatan tulis, Botol sampel alat tulis menulis
Metode pengukuran
:
1. Pengukuran Lapangan (Metode Bak Erosi) 2. Pengukuran Lapangan (Metode Stik Pemantauan Erosi)
Metode analisis data
: 1000 3. TSS = ( A – B )
mg / L
ml sampel
4. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan dengan rona awal dan hasil pemantauan periode sebelumnya. Lokasi pemantauan
:
Sempadan parit
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari hujan.
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik
7. Sempadan Waduk/ Embung air 7.1. Indikator yang dipantau
Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi,
Kualitas dan kuantitas perairan
7.2.
Tujuan pemantauan
Hal | 126
Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan terhadap fungsi sempadan dan fungsi lainnya. Penilaian dampak ini sangat penting agar tujuan pemeliharaan dan pembangunan sempadan yang telah ditetapkan dapat terwujud dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
7.3.
Metode Pemantauan
1) Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi Alat dan bahan
:
Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, hand counter, pita ukur/kaliper, meteran, dan alat-alat tulis.
Metode pengukuran
:
1. Parameter yang diamati: 1) Persentase tumbuh, 2) tinggi (cm) dan diameter (mm), 3) hama dan penyakit. 2. Persentase tumbuh
Dievaluasi 1 bulan setelah tanam, dan diulangi pada umur 6 dan 12 bulan setelah tanam. Survey harus dilakukan pada seluruh tanaman
Hitung dan catat jumlah seedling yang gagal tumbuh ( mati, stagnasi, kekuningan dan merana), dengan mengikuti seluruh strip planting, tiap luasan 1 ha.
Tancapkan ajir pada tanaman yang gagal hidup sebagai tanda untuk penyulaman.
Hitung prosentase seedling yang hidup, yaitu jumlah yang ditanam (PS)-jumlah yang gagal (FS) dibagi dengan jumlah yang ditanam x 100%
3. Pemberian label untuk monitoring pertumbuhan tanaman
Interval waktu 3,6,9 dan 12 bulan setelah tanam
Untuk tiap species pohon yang ditanam ambil sample 20 seedling secara acak dan pasang label yang memuat informasi tentang : nama jenis, waktu tanam dan treatment
Label harus permanent, tahan air dan cuaca, serta tidak menarik bagi masyarakat lokal.
Label kemungkinan hilang, untuk itu maka posisi tanaman yang berlabel perlu di petakan
4. Pengukuran tingi (cm) dan diameter (m)
Pada tanaman berlabel, berikan tanda, 5 cm diatas permukaan tanah dimana pengukuran tinggi dan diameter secara constant aka dilakukan
Pengukuran diameter (mm) dengan caliper Hal | 127
dilakukan dua kali (d1 dan d2) pada posisi yang berbeda tepat pada posisi marker. Hasilnya berupa rata-rata (d1+d2/2) dicatat pada tally sheet.
Metode analisis data
:
1. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi, yang diarahkan terhadap beberapa parameter yaitu : (1) ratarata tinggi dan diameter batang tanaman; (2) prosentase tumbuh; (3 prosentase kerusakan tanaman; (4) prosentase tanaman yang terkenan serangan hama dan penyakit. Data ditabulasikan dan dibuat dalam bentuk histogram atau grafik. 2.
Lokasi pemantauan
:
Pengukuran tingi (cm) dilakukan dengan mistar dimula dari marker sampai titik paling ujung. Hasilnya dicatat pada tally sheet
Untuk mengetahui perubahan atau kecenderungan (trend) keberhasilan tanaman dari satu periode ke periode berikutnya dilakukan analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif.
Sempadan waduk/embung
Periode Pemantauan :
Pemantauan tingkat keberhasilan rehabilitasi tanaman dilakukan setiap semester dimulai tahun 2012.
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana adalah staf lingkungan biologi.
2) Kualitas dan Kuantitas Perairan Alat dan bahan
:
Flowmeter digital, cawan secy, botol sample, oven, timbangan, pH meter digital, peralatan tulis
Metode pengukuran
:
1. Pengukuran debit air 2. Pengukuran padatan terlarut Pengambilan sampel air, kemudian diukur berapa pedatan yang terlarut ke dalam air tersebut 3. pH air; untuk mengetahui apakah perairan dalam kondisi normal, asam ataukah basa 4. Tingkat kekeruhan Pengukuran langsung dititik pengamatan berapa persen tingkat kekeruhan pada air.
Metode analisis data
:
1. Q = A * V ;
Q = m3/detik, A = m2, V = m/detik 1.000 Hal | 128
2. TSS = ( A – B )
mg / L
ml sampel
3. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan dengan rona awal dan hasil pemantauan periode sebelumnya. Lokasi pemantauan
:
Sempadan badan-badan air
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari hujan.
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik.
8.
Habitat Satwaliar
8.1.
Pengertian
Habitata adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu, dimana suatu spesies atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Habitat memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme. Kapasitas optimum habitat untuk mendukung populasi suatu organisme disebut 8.2.
Indikator dan Tujuan Pemantauan
8.2.1
Indikator yang dipantau
Kelimpahan, distribusi dan seks rasio populasi spesies satwaliar yang terancam punah/langka/dilindungi.
Habitat satwaliar terancam punah/langka/dilindungi
Efektivitas SOP
8.2.2. Tujuan pemantauan Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan UM terhadap kelestarian satwaliar 8.3.
Metode Pemantauan
8.3.1. Kelimpahan, distribusi dan seks rasio populasi spesies satwaliar yang terancam punah/langka/dilindungi. Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tallt sheet, meteran, teropong, gips, dan alat-alat tulis.
Hal | 129
Metode pengukuran : Pengukuran kelimpahan, distribusi dan seks rasio satwaliar yang dilakukan dalam petak contoh permanen, baik dalam jalur maupun metoda IPA yang telah ditetapkan sebelumnya pada tahun pertama dalam bentuk unit contoh permanen dan daerah-daerah konsentrasi satwa. Metode analisis data : Analisis kuantitatif dan pemetaan yang kemudian hasilnya dibandingkan dengan rona awal dan periode pemantauan sebelumnya. Lokasi pemantauan
:
Kawasan UM
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan enam bulan sekali
Institusi Pemantauan :
staf lingkungan biologi
8.3.2. Habitat Satwaliar Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tallt sheet, meteran, tambang plastik, pita ukur, kantong plastik, timbangan, gunting pohon, dan alat-alat tulis. Metode pengukuran : Pengukuran kualitas dan kuantitas habitat satwaliar yang meliputi kelimpahan pakan, cover, dan ketersediaan air minum yang dilakukan dengan cara inventarisasi kelimpahan pakan, cover dan ketersediaan air di di petak contoh permanen yang telah ditetapkan pada saat tahun pertama. Pada saat pengukuran dilakukan pula uji tingkat gangguan akibat aktivitas kebun khususnya dan kegiatan manusia lainnya di dalam kawasan UM. Metode analisis data : Analisis kualitatif dan kuantitatif kelimpahan pakan, cover dan ketersediaan air yang kemudian besarannya dibandingkan dengan rona awal dan periode pemantauan sebelumnya. Lokasi pemantauan
:
Seluruh kawasan UM
Periode Pemantauan : setahun.
Pemantauan kondisi habitat satwaliar dilakukan dua kali dalam
Institusi Pemantauan :
Staf Lingkungan Biologi.
8.3.3. Efektifitas SOP Pengelolaan Satwaliar Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tallt sheet, meteran, dokumen SOP dan alat-alat tulis. Metode pengukuran : Pengukuran tingkat implementasi SOP pengelolaan satwaliar yang dilakukan oleh unit manajemen Metode analisis data : Analisis kuantitaif uji kompetensi staf unit manajemen dan analisis kualitatif penerap SOP untuk setiap level staf dalam pelaksanaan kegiatannya di lapangan. Lokasi pemantauan
:
Seluruh staf unit manajemen
Hal | 130
Periode Pemantauan : Pemantauan dilakukan dua kali dalam setahun setelah sosialisasi SOP dilaksanakan Institusi Pemantauan :
9.
Dewan Direksi
Kawasan yang Memiliki Fungsi Penting Bagi MasyarakatLokal
Pemantauan dilakukan untuk melihat indikator kinerja pengelolaan. Pemantauan yang dilakukan meliputi: 1) Pemantauan terhadap kegiatan pemeliharaan dan perawatan kawasan yang memiliki fungsi penting bagi masyarakat lokal 2) Pemantauan terhadap perkembangan realisasi kegiatan pengelolaan kawasan yang memiliki fungsi penting bagi masyarakat lokal 3) Pemantauan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dan kemungkinan gangguan terhadap keberadaan kawasan yang memiliki fungsi penting bagi masyarakat lokal
10.
Situs Budaya
Pemantauan dilakukan untuk melihat indikator kinerja pengelolaan. Pemantauan yang dilakukan meliputi: 1) Pemantauan terhadap kegiatan pemeliharaan dan perawatan bukti historis Situs Budaya 2) Pemantauan terhadap perkembangan realisasi kegiatan pengelolaan Situs Budaya 3) Pemantauan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dan kemungkinan gangguan terhadap keberadaan Situs Budaya. 11.
Evaluasi Keberhasilan Pemantauan
11.1.
Pengertian
Evaluasi keberhasilan pemantauan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi perlu dilakukan agar dapat diketahui efektifitas kegiatan pemantauan yang telah berjalan. Kegiatan evaluasi dilakukan pada periode tertentu dari pelaksanaan program kegiatan (formative) dan di akhir program kegiatan (summative). Evaluasi keberhasilan pemantauan dilakukan 2 (dua) kali selama jangka pemantauan yaitu tahun ke 2 dan tahun ke 4 pada saat akan berakahirnya kegiatan. Hasil evaluasi bisa dipakai sebagai pedoman bagi Direksi untuk mengambil kebijakan selanjutnya. Kegiatan evaluasi menghasilkan butir-butir pembelajaran (lessons learned) atas keberhasilan dan kegagalan suatu program kegiatan dan umpan balik (feedback) untuk perbaikan strategi, rencana, dan implementasi program kegiatan pada masa-masa berikutnya. Pemantauan dan evaluasi sangat penting untuk memungkinkan terjadinya perbaikan terus-menerus (continuous improvement) dari pengelolaan Unit Manajemen.
Hal | 131
11.2.
Indikator dan Tujuan Evaluasi dari Kegiatan Pemantauan
A. Indikator yang dievaluasi dari kegiatan pemantauan
Implementasi dan capaian kegiatan pemantauan
Kualitas dan kompetensi SDM pemantau
Kualitas pelaporan kegiatan pemantauan
B. Tujuan evaluasi dari kegiatan pemantauan Kegiatan ini dimaksudkan untuk memeriksa kinerja program kegiatan pemantauan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi yang meliputi; capaian (achievements), dampak, efektivitas, efisiensi dan keberlanjutan. 11.3.
Kegiatan Evaluasi A. Implementasi dan Capaian Kegiatan Pemantauan
Alat dan bahan
:
Form (daftar isian), form BA, quisoner dan alat tulis menulis
Metode pengukuran
:
Pengamatan langsung di lapangan saat kegiatan pemantauan dilakukan dan wawancara dengan pihak-pihak terkait. Pengamatan lapang dimaksudkan untuk melihat secara langsung jalannya kegiatan pemantauan, apakah sudah sesuai dengan prosedur (SOP) dan atau target waktu yang telah ditetapkan atau belum. Wawancara dilakukan untuk manambah data dan informasi agar dihasilkan kesimpulan evaluasi yang benar.
Metode analisis data
:
Analisis kuantitatif/kualitatif dan deskriptif untuk seluruh kegiatan pemantauan KBKT yang nantinya dibandingkan dengan hasil evaluasi periode berikutnya.
Lokasi
:
Unit Manajemen Kebun
Periode
:
Dilakukan 2 (dua) kali selama jangka waktu kegiatan pemantauan, dimulai pada tahun ke 2 dan tahun ke 4.
Institusi Pelaksana
:
Institusi pelaksana evaluasi kegiatan pemantauan adalah staf urusan lingkungan fisik, biologi, sosial dan informasi B. Kualitas dan Kompetensi SDM Pemantau
Alat dan bahan :
Form (daftar isian), form BA, quisoner dan alat tulis menulis.
Metode pengukuran :
Uji tertulis, uji praktek dan wawancara
Metode analisis data :
Skoring
Lokasi :
Unit Manajemen
Periode :
Dilakukan 2 (dua) kali selama jangka waktu kegiatan Hal | 132
pemantauan, dimulai pada tahun ke 2 dan tahun ke 4. Institusi Pelaksana :
Institusi pelaksana evaluasi kegiatan pemantauan adalah staf urusan lingkungan fisik, biologi, sosial dan informasi C. Kualitas Pelaporan Kegiatan Pemantauan
Alat dan bahan :
Form (daftar isian), form BA, dokumen laporan kegiatan pemantauan dan alat tulis menulis.
Metode pengukuran :
Review dokumen laporan kegiatan
Metode analisis data :
Analisis kuantitatif dan kualitatif
Lokasi :
Unit Manajemen.
Periode :
Dilakukan 1 (satu) tahun sekali selama jangka waktu kegiatan pemantauan.
Institusi Pelaksana :
Institusi pelaksana evaluasi kegiatan pemantauan adalah staf urusan lingkungan fisik, biologi, sosial dan informasi
Mengembangkan Strategi-Strategi Pemantauan NKT Sampai saat ini belum ada metode yang baku dalam melakukan pemantauan NKT di hutan alam, hal ini juga belum adanya hasil-hasil penelitian yang mendukung seberapa efektif tentang pemantauan NKT. Pada dasarnya metode pemantauan dalam NKT terbagi menjadi dua bagian besar yaitu pemantauan secara ekologis untuk pemantuan NKT1, NKT 2, NKT3, dan pemantauan yang bersifat partisipatif yang berhubungan dengan masyarakat ( kebutuhan dasar dan budaya-NKT5 dan NKT 6). Pemantauan ekologis dipergunakan karena beberapa hal : (1)Hasil pemantauan dapat memberikan peringatan kepada unit pengelola dari perubahan ekologi yang tidak diinginkan yang terjadi di dalam konsesi; (2)pemantauan ekologis merupakan kebutuhan obyektif untuk mengevaluasi apakah kegiatan pengelolaan NKT yang berhubungan dengan melestarikan keanekaragaman hayati sudah di capai atau belum; (3) pemantauan ekologis adalah sebuah kebutuhan untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dari aktivitas manusia dan gangguan terhadap keanekaragaman hayati; (4) pemantauan ekologis dapat memberikan wawasan kepada para pengelola di dalam sebuah unit pengelolaan tentang fungsi ekosistem yang kompleks. Beberapa metode yang disarankan untuk pengumpulan data dan jenis data yang dikumpulkan untuk melakukan pemantauan ekologis 22 antara lain : (1) Penginderaan jarak Jauh dan sistem informasi geografis23, (2) plot sample permanen ( vegetasi)24, (3) Transek Satwaliar25, (4) Spesies indikator26, (5) pengukuran erosi, sedimentasi dan kualitas Air 27.
22
Diambil dari panduan bagi praktisi : mengelola hutan bernilai konservasi tinggi di Indonesia. The Nature Conservancy 2002. 23
Penginderaan jarak jauh menggunakan sarana citra satelit atau potret udara untuk memeriksa perubahan-perubahan yang terjadi pada vegetasi dan tutupan hutan. Sedangkan software untuk melakukan kegiatan tersebut ada dalam satu sistem pemetaan yang biasa di sebut sistem informasi geografis (SIG-Geografical information system).
Hal | 133
Contoh pengelolaan dan pemantauan NKT di dalam konsesi Hutan alam dapat dilihat dalam lampiran 1 dan lampiran 2. 4. Daftar Pustaka Anonimous. 2010. Laporan Pengelolaan dan pemantauan NKT PT. A . tidak dipublikasikan. Meijaard, E., S. Stanley, E.H.B. Pollard, A. Gouyon & G. Paoli. 2006. High Conservation Value Forest in East Kalimantan. A Guide for Practioners. The Nature Conservancy – East Kalimantan Program, Samarinda, Indonesia. Meijaard E., Sheil D., Nasi R., Augeri D., Rosenbaum B., Iskandar D., Setyawati T., Lambert F. R. (1992) The consequences of selective logging for Bornean lowland forest birds. Philosophical Transactions of the Royal Society of London Series B 335, 443-457. The Nature Conservancy. 2003. The Five-S Framework for Site Conservation .A Practitioner’s Handbook for Site Conservation Planning and Measuring Conservation Success. The Nature Conservancy. 2004. Participatry ConservationPlanning Mannual. Conservation Training and Resource Center Applied. Tim Rayden. 2008 . Assessment, management and monitoring of High Conservation Value Forest (NKTF).A practical guide for forest managers . ProForest, Oxford WWF, 2007. Ecological Monitoring of Forestry Management in the Humid Tropics: A Guide for Forestry Operators and Certifiers with Emphasis on High Conservation Value Forests. Translated from Monitoreo Ecológico del Manejo Forestal en el Trópico Húmedo: Una Guía Para Operadores Forestales y Certificadores con Ènfasis en Bosques de Alto Valor Para la Conservación of WWF-Central America.
24
Sample plot permanen adalah kegiatan untuk memantau pertumbuhan dan kematian pohon yang terdapat dalam suatu kawasan hutan. 25 Transek hidupan liar adalah jalur-jalur panjang yang terdapat dalam suatu unit pengelolaan khususnya hutan, tempat melakukan survey kehidupan liar yang menggunakan cara atau metode baku tentang kehidupan liar di tempat tersebut seperti jejak, kotoran, sarang, suara, bau dan sebagainya. 26 Spesies indikator sering di jadikan patokan dalam pemantauan. Beberapa spesies yang telah disarankan menjadi indikator-indikator ekologis antara lain burung-burung frugivora dan insektivora terestrial, owa, dan serangga. 27 Pengukuran erosi, sedimentasi dan kualitas Air menjadi salah satu indikator yang penting dalam pemantuan HCV khususnya pemantauan lingkungan,hal ini berhubungan khususnya dengan HCV 4.
Hal | 134
5. Strategi Pengelolaan terhadap Nilai-nilai konservasi Tinggi di PT.A
NKT
Nilai-Nilai
Ancaman
Kawasan yang di kelola
Strategi dan tindakan Pengelolaan
1.1
Kawasan lindung
Perladangan
Buffer zone hutan lindung dan kawasan lindung yang ada di dalam areal konsesi
Penyuluhan kepada masyarakat tentang larangan penebangan liar di dalam kawasan konsesi;
Penebangan liar Penambangan emas Rencana perkampungan
Pemasangan poster yang berhubungan dengan himbauan untuk tidak melakukan penebangan liar; Pengajuan keberatan tentang rencana tambang emas di dalam konsesi PT. A;
Rencana kebun/sawit/karet/coklat
Tidak melakukan penebangan di wilayah tersebut (NKT1.1);
Penebangan tidak terencana
Upaya pengendalian perladangan; Melaksanakan sistem RIL dalam penebangan sesuai dengan SOPnya.
1.2
Tumbuhan/flora terancam punah
-
jenis-jenis Dipterocarpaceae (CR) -
Penebangan tidak terencana di dalam konsesi Penebangan liar
Seluruh areal konsesi PT. A khususnya hutan dataran rendah dan sub pegunungan
-
Kerjasama dengan aparat penegak hukum dalam penyuluhan tentang penebangan liar
-
Menyisakan pohon-pohon jenis CR (diameter lebih dari 60 cm) untuk tidak di tebang di setiap hektar petak tebang;
-
Melatih terus staf PT. A tentang pengenalan jenis pohon;
Perladangan Pemukiman
135 | H a l
1.3
Semua jenis yang teridentifikasi dalam NKT 1.2 ditambah jenis lain yang dianggap langka, terancam (endangered), rentan (vulnerable), endemik atau dilindungi oleh Pemerintah Indonesia yang mampu bertahan
-
Penambangan emas
-
Rencana kebun sawit
-
Perburuan liar
-
Perdagangan satwa
-
Penebangan tidak terencana
-
Penebangan liar
-
Perladangan
-
Penambangan emas
-
Rencana kebun sawit
Habitat Enam jenis mamalia dan satu jenis burung tergolong ke dalam kriteria di atas, yakni: Hylobates muelleri (owa kalawat), Manis javanica (trenggiling peusing), Felis planiceps (kucing tandang), Cynogale bennettii (musang air), Sundasciurus hippurus (bajing ekor kuda), Ratufa affinis (jelarang bilalang), dan burung Ciconia stormi (bangau
-
Merestorasi kembali hutan dengan menanami lahan rusak dan gundul dengan jenis-jenis CR;
-
Daerah konsentrasi sebaran jenis-jenis CR tersebut di atas perlu mendapat perhatian khusus, misalnya dijadikan areal konservasi genetik, sebagai sumber genetik bagi jenis-jenis vegetasi penting tersebut – sebagai bank gen jenis-jenis vegetasi;
-
Mengidentifikasi habitat dan kondisi habitat yang harus dilindungi sebelum penebangan dilakukan bersamaan dengan inventarisasi sebelum penebangan.
-
Membuat himbauan untuk masyarakat tentang pelarangan perburuan terhadap flora-fauna langka dan dilindungi ;
-
Perusahaan membuat aturan tentang perlindungan flora-fauna langka dan dilindungi di dalam unit pengelolaan ;
-
Bekerjasama dengan pihak universitas setempat atau LSM yang bergerak dalam pelestarian alam khususnya flora-fauna langka dan dilindungi;
-
Kampanye penyadartahuan tentang perlindungan flora-fauna langka dan dilindungi terhadap masyarakat sekitar konsesi dan karyawan ;
-
Pendidikan lingkungan mendorong masyarakat
136 | H a l
hidup (viable population).
2.1
Wilayah inti seluas 74,743.93hektar dan wilayah penyangga seluas 120,366.07hektar yang ada di dalam areal PT.
storm). Jenis dari marga Dipterocarpaceae yang ditemukan di dalam areal PT. A
-
Penebangan
-
Konversi lahan
-
Fragmentasi
Wilayah inti seluas 74,743.93 hektar dan wilayah penyangga seluas 120,366.07 hektar yang ada di dalam areal PT. A
tidak berburu flora-fauna langka dan dilindungi ; -
Mengidentifikasi saltlick (sepan-air mineral);
-
Membuat aturan pelarangan perburuan terhadap flora-fauna langka dan dilindungi bagi staf perusahaan;
-
Membuat SOP yang berhubungan dengan identifikasi satwaliar dengan mengintergrasikan dengan kegiatan ITSP;
-
Memperbaiki dan melaksanakan teknik RIL dengan benar di lapangan ;
-
Penanaman di tempat-tempat terbuka dengan menggunakan jenis lokal terutama yang terancam punah, langka dan dilindungi;
-
Membuat sample plot permanen ;
-
Membiakan jenis-jenis tumbuhan dari jenis langka dan hampir punah.
-
Penerapan sistem pemanenan kayu berdampak rendah (RIL) sangat penting untuk diterapkan dan dilakukan dengan benar ;
-
Pembuatan jalan angkutan tidak banyak dengan lebar cukup sesuai prosedur peraturan dan RIL;
-
Membuat aturan pelarangan berburu hidupan liar khusunya bagi staf perusahaan
137 | H a l
A
2.2
2.3
Kawasan Bentang alam yang memiliki rentang beda ketinggian dan zona ekokline pada ketinggian 500 meter
Jenis predator tingkat tinggi dan jenis indikator lain yang memerlukan ruang habitat luas tetapi berkepadatan rendah
-
Penebangan
-
Konversi lahan
-
Fragmentasi
-
Penebangan tidak terencana;
-
Penebangan liar;
-
Perburuan;
-
Perdagangan satwa;
-
Perladangan;
-
Perubahan fungsi lahan
Kawasan Bentang alam yang memiliki rentang beda ketinggian dan zona ekokline pada ketinggian 500 meter
Semua hutan dipterokarpa dataran rendah dan sub pegunungan didalam wilayah konsesi
-
Mempertahankan PT. A sebagai satu unit pengelolaan hutan
-
Pemantauan perladangan dan pembukaan pemukiman baru
-
Penerapan sistem pemanenan kayu berdampak rendah (RIL) sangat penting untuk diterapkan dan dilakukan dengan benar;
-
Pembuatan jalan angkutan tidak banyak dengan lebar cukup sesuai prosedur ;
-
Konektivitas antara ekosistem hutan dengan lanskap yang lebih luas;
-
Membuat koridor satwa kalau diperlukan. -
Penerapan sistem RIL sangat penting untuk diterapkan dan dilakukan dengan benar;
-
Mencegah fragmentasi habitat dengan pembuatan jalan yang efektif, pemeliharaan kesinambungan tajuk dan kanopi hutan;
-
Mencegah perburuan terhadap satwaliar baik untuk staf maupun masyarakat.
138 | H a l
3
Ekosistem Hutan Dipterocarpaceae dataran rendah di dalam areal PT. A -
4.1
4.2
Perubahan fungsi lahan untuk sawit atau lading;
Semua hutan dataran rendah di dalam konsesi PT. A
Penebangan tidak terencana;
-
Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah terdegradasi hutannya dengan penanaman kembali jenis-jenis lokal yang banyak ditebang;
-
Penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan dan di lakukan dengan benar ;
-
Terdapat Kawasan-kawasan yang tidak ditebang dan merupakan representatif dari jenis ekosistem yang ada di dalam unit pengelolaan.
Penebangan liar
Hutan di tepi sungai/danau (riparian) yang tergenang secara teratur dan subDAS yang menyediakan air bersih untuk desa disekitarnya.
-
Perladangan
-
Hutan Riparian
-
Penebangan liar
-
Embung dan mata air
-
Kawasan mempunyai tingkat bahaya erosi berat sampai sangat berat di dalam areal PT. A
-
-
Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah terdegradasi hutannya dengan penanaman kembali jenis-jenis lokal yang banyak ditebang;
Penambangan emas
-
Perubahan fungsi lahan
Mempertahankan wilayah lindung khususnya kirikanan sungai;
-
Penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan dan di lakukan dengan benar.
-
Penanaman areal terbuka pasca penebangan ( bekas Tpk dan TPN) ;
-
Menutup jalan logging , jalan cabang dan jalan sarad yang sudah tidak dipakai ( deactivasi);
-
Penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan dan di lakukan dengan benar.
Penebangan
-
Wilayah-wilayah yang mempunyai potensi TBE Berat menjadi wilayah yang perlu menjadi perhatian utama dengan tidak
139 | H a l
mengampingkan wilayah lain yang nilai TBE di bawahnya. . 4.3
Hutan dengan pepohonan tinggi dan lapisan bawah yang lembab dan wilayah yang dapat mencegah peluasan kebakaran
-
Perubahan fungsi kawasan hutan;
-
Perladangan, kebun sawit, tambang ;
-
Keberadaan illegal logging yang bila tidak tertanggulangi dapat merusak tipe-tipe ekosistem tertentu
-
Kawasan hutan yang berada dekat perkampungan dan ladang.
-
Melakukan sosialisasi bahaya kebakaran hutan buat masyarakat ;
-
Pengetatan/pengawasan akses keluar masuk kawasan konsesi buat pihak luar ;
-
Membuat larangan membakar lahan bagi karyawan perusahaan;
-
Pemasangan poster;
-
Patroli hutan.
Strategi Pemantauan terhadap Nilai-nilai konservasi Tinggi di PT. A
NKT
Nilai-Nilai
Tujuan
1.1
Kawasan lindung di dalam konsesi PT. A
-
Strategi dan tindakan Pengawasan
Memastikan bahwa tidak ada penebangan di dalam kawasan lindung;
Pemantauan bisa dilakukan setelah penebangan selesai di setiap Rencana karya tahunan (RKT);
Periode
Penanggung Jawab
-
Perencanaan dan lingkungan, social.
Pertiga bulan/enam bulan
140 | H a l
-
-
1.2
Tumbuhan/flora terancam punah
Memastikan ada proses penyadartahuan di masyarakat tentang kawasan ini; Adanya peraturan perusahaan tentang larangan perburuan dan pengambilan sumberdaya alam dari wilayah PT. A.
-
Laporan periodik tetang proses penyadartahuan dan sosialisasi ;
-
Terdapat data tentang pengambilan Hasil Hutan Non Kayu oleh masyarakat
-
Pemantauan tutupan hutan
-
Mepemantauan habitat tumbuhan terancam punah yang ada di dalam areal PT. A;
-
Melakukan pemantauantumbuhan kategori CR melalui survey berkala bersamaan dengan ITSP;
-
Memperbaharui data/up-date tentang spesies CR di dalam areal PT. A;
-
Terdapat standar survey tumbuhan terancam punah (CR) yang jelas;
-
Peloporan tentang pelatihan;
-
Pelaporan penanaman lahan kosong dan rusak secara periodik;
-
Pelaporan tentang
jenis-jenis Dipterocarpaceae (CR)
-
Pertahun
Lingkungan Perencanaan, produksi
141 | H a l
pelaksanaan RIL 1.3
Semua jenis yang teridentifikasi dalam NKT 1.2 ditambah jenis lain yang dianggap langka, terancam (endangered), rentan (vulnerable), endemik atau dilindungi oleh Pemerintah Indonesia yang mampu bertahan hidup (viable population).
-
-
Memonitor berapa banyak jenis langka dan dilindungi secara global, nasional dan lokal yang ada di dalam areal PT. A;
-
Pemantauan dengan pengamatan reguler di petak/sample permanen plot ;
-
Membuat check list satwa liar yang dilindungi yang ditemui di lapangan untuk staf, driver logging, dll
Adanya upaya nyata dari pihak PT. A untuk mempertahankan jenis-jenis langka dan dilindungi secara global, nasional dan lokal yang ada di dalam areal PT. A.
-
Pertahun/ enam bulan/ tiga bulan
Lingkungan Perencanaan, produksi
Melakukan survey satwa liar di jalur-jalur atau sample plot permanen secara periodik ; Memplotkan hasil temua satwa liar dalam peta yang terintegrasi dengan sistem GIS;
-
Melibatkan masyarakat dalam melakukan pemantauan melalui pengawasan perburuan satwa liar di kampung;
-
Pelaporan tentang pelaksanaan RIL;
-
Pelaporan kegiatan
142 | H a l
penyadartahuan atau sosialisasi di kampung;
2.1
Wilayah inti seluas 74,743.93 hektar dan wilayah penyangga seluas 120,366.07 hektar yang ada di dalam areal PT. A
-
Ada database tentang kondisi satwaliar;
-
Penegakan aturan tentang larangan perburuan bagi staf perusahaan;
-
Laporan pertumbuhan tanaman yang di tanam di tempat-tempat terbuka dan rusak.
-
Memastikan sistem RIL di jalankan.
-
Laporan reguler tentang RIL;
-
Memastikan bahwa perubahan tutupan lahan dapat di pantau;
-
Laporan periodik tentang perburuan;
-
Memastikan bahwa perluasan perladangan dapat dipantau;
-
Memastikan adanya pematauan perburuan
-
Pertahun
Lingkungan dan Perencanaan
143 | H a l
2.2
2.3
Kawasan Bentang alam yang memiliki rentang beda ketinggian dan zona ekokline pada ketinggian 500 meter
Jenis predator tingkat tinggi dan jenis indikator lain yang memerlukan ruang habitat luas tetapi berkepadatan rendah
-
Memastikan bahwa praktek-praktek di lapangan sesuai dengan sistem RIL yang ada saat ini;
-
Pemantauan RIL bisa dilakukan setelah penebangan selesai di setiap Rencana Karya Tahunan (RKT);
-
Memastikan bahwa perubahan tutupan lahan dapat di monitor;
-
Pemantauan tutupan hutan;
-
Pemantauan perladangan.
-
Memastikan bahwa perluasan perladangan dapat dimonitor.
-
Memastikan tidak terjadinya konversi hutan di dalam areal PT. A;
-
Pemantauan bisa dilakukan setelah penebangan selesai di setiap Rencana Karya Tahunan (RKT) untuk RIL;
-
RIL dilaksana di lapangan
-
Pemantauan tutupan hutan;
-
Pemantauan perladangan,
-
Memastikan fragmentasi habitat di tekan se efektif mungkin;
-
Pemantauan perburuan
-
Memastikan adanya upaya untuk mencegah perburuan
-
Pertahun
Lingkungan dan Produksi
-
Pertahun
Lingkungan, Produksi dan sosial
144 | H a l
terhadap satwaliar baik untuk staf maupun masyarakat. 3
4.1
Ekosistem Hutan Dipterocarpaceae dataran rendah di dalam areal PT. A
Hutan di tepi sungai/danau (riparian) yang tergenang secara teratur dan sub-DAS yang menyediakan air bersih
-
Tutupan hutan terpantau secara periodik;
-
Laporan pemantauan pertumbuhan tanaman dan luas yang ditanami;
-
RIL dilaksanakan di lapangan;
-
-
Memastikan adanya kegiatan restorasi kawasan-kawasan yang sudah terdegradasi hutannya ;
Pemantauan RIL dilakukan setelah penebangan selesai di setiap Rencana Karya Tahunan (RKT);
-
Pemantauan kawasan yang merupakan representif dari ekosistem yang ada di areal PT. A
-
Pelaporan berkala tentang kegiatan restorasi (pertumbuhan tanaman dan luas);
-
Memastiakan adanya kawasan yang tidak ditebang dan merupakan representatif dari jenis ekosistem yang ada di dalam unit pengelolaan.
-
Memastikan adanya upaya untuk melakukan restorasi;
-
Sistem RIL
-
Pertahun
Lingkungan Produksi, Perlindungan Hutan
-
Pertahun
Lingkungan Produksi, Perencanaan
145 | H a l
dilaksanakan dengan benar dan sungguhsungguh;
-
Laporan pemantauan pertumbuhan tanaman dan luas yang ditanami;
-
Memastikan mempertahankan wilayah lindung khususnya kiri-kanan sungai.
-
Pemantauan RIL dilakukan setelah penebangan selesai di setiap Rencana Karya Tahunan (RKT);
-
Memastikan sistem RIL dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh;
-
-
Pemantauan RIL bisa dilakukan setelah penebangan selesai di setiap Rencana Karya Tahunan (RKT);
Memastikan tutupan hutan di monitor di seluruh areal PT. A;
-
Menggunakan perangkat lunak GIS dan remote Sensing untuk pematauan tutupan hutan;
-
Laporan pemantauan sedimentasi dan erosi
-
Laporan penanaman
-
Laporan kegiatan deactivasi
untuk desa disekitarnya.
4.2
Kawasan mempunyai tingkat bahaya erosi berat sampai sangat berat di dalam areal PT. A
-
-
-
Memastikan ada kegiatan pemantauan sedimentasi dan erosi Memastikan adanya Penanaman areal terbuka pasca penebangan ;
-
Pertahun
Lingkungan Perencanaan, produksi
Memastikan adanya kegiatan menutup jalan logging , jalan 146 | H a l
cabang dan jalan sarad yang sudah tidak dipakai ( deactivasi) 4.3
Hutan dengan pepohonan tinggi dan lapisan bawah yang lembab dan wilayah yang dapat mencegah peluasan kebakaran
-
Memantau kebakaran lahan dan hutan
-
Laporan penyuluhan tentang kebakaran hutan;
-
Laporan kebakaran hutan dan lahan di sekitar areal unit pengelolaan PT. A;
-
Laporan pemantauan perladangan.
-
Pemantauan dan Pengukuran Tingkat Bahaya Kebakaran menggunakan metode KBDI (Keetch-Byram Dryness Indeks);
-
Laporan curah Hujan.
-
Pertahun
Lingkungan Perencanaan.
147 | H a l
Lampiran 3: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Perkebunan Sawit Oleh: Aisyah Sileuw dan Pupung Firman Nurwatha Bogor Juli 2012 Pengantar Tidak diragukan lagi bahwa perkebunan sawit memiliki peran ekonomi yang penting dalam pembangunan Indonesia. Dengan jumlah ekspor CPO yang makin meningkat akan menjadikan peluang pemerintah mendapatkan pendapatan dari sektor ini. Selain itu, pembukaan lapangan pekerjaan, pembangunan daerah-daerah yang masih terisolasi merupakan hal-hal yang membanggakan. Namun cerita kelam tentang perkebunan sawit juga tak kalah banyaknya, mulai dari tingginya angka deforestasi, hilangnya spesies-spesies penting bagi sebuah ekosistem, konflik lahan dan berbagai masalah lingkungan dan sosial lainnya. Sektor Perkebunan Kelapa Sawit Minat terhadap pengembangan komoditi kelapa sawit terus meningkat, baik datangnya dari perusahaan maupun perorangan. Ketika minat itu direalisasikan, alih fungsi lahan menjadi kebun kelapa sawit tidak bisa dielakkan. Alih fungsi lahan tersebut tidak saja mengganti komoditi, misalnya dari karet menjadi kelapa sawit, tetapi terjadi juga dari lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Pemerintah telah mengatur penataan dan alih fungsi lahan untuk perkebunan. Secara garis besar ada tiga pihak yang berperan dalam penataan lahan untuk perkebunan. Pihak-pihak tersebut adalah Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah Kabupaten, dan Kementrian Kehutanan. Untuk melegalkan hak kelola atas lahan, mulai dari pemberiaan ijin lokasi sampai dengan terbitnya sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), Pemerintah Daerah mengatur lebih banyak tahapan daripada Badan Pertanahan Nasional mupun Kementerian Kehutanan. (PERLU DIGAMBARKAN DALAM GRAFIK) Operasional Unit Management Perusahaan perkebunan mendapat hak kelola legal atas lahan dalam bentuk Surat Izin Lokasi hingga sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Operasional kebun dalam wujud fisik dilapangan dimulai ketika sudah mengantongi Surat Izin lokasi. Secara ringkas, kegiatan fisik yang mengubah bentuk tutupan ruang (alih fungsi lahan) dikelompokkan menjadi tahapan yaitu penentuan areal tanam (plantable area) dan area tertanam (planted area. Dalam hal ini, plantable area dimulai sejak survey kelayakan, pembebasan lahan, pembersihan lahan (land clearing) termasuk pembuatan jalan kebun, hingga lahan siap tanam. Planted area adalah ketika areal-areal yang layak tanam sudah dipetakan dan sudah ditanami. Dalam banyak kejadian, pengelompokkan ini tidak betul-betul dapat dibedakan secara nyata. Namun untuk tujuan penggambaran secara ringkas proses operasional unit mangement dalam konteks pengelolaan HCV HCV, pengelompokkan tersebut dapat menunjukkan dimana pengelolaan dan pemantauan HCV diletakkan.
Hal | 148
Jika tahapan pembangunan perkebunan kelapa sawit dikaitkan dalam konteks HCV, maka kegiatan asessmen HCV harus sudah dilakukan di area pencadangan. Kajian ini bersifat penilaian resiko (risk assessmen) untuk memastikan area-area yang dikemudian hari akan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit adalah bukan area-area HCV atau area-area yang secara signifikan harus dikelola dengan benar karena akan berpengaruh terhadap area HCV. Kajian HCV secara menyeluruh (full assessment) dilakukan di dalam unit kelola yang sudah memiliki batas legal wilayah kelola yang jelas (Izin Lokasi, HGU). Hasil dari kajian HCV secara menyeluruh mulai dari level lansekap hingga kajian menyeluruh di dalam batas kelola legal, adalah terpetakannya area-area HCV didalam unit kelola kebun. Pengelolaan dan pemantauan HCV dimulai dan sejalan dengan proses pembangunan dan pengelolaan kebun, mulai dari tahapan pemilahan lahan (plantable area) dan perubahan tutupan lahan (planted area) (Gambar _____). Integrasi rencana pengelolaan dan pemantauan HCV ke dalam operasional perkebunan akan mengefektifkan sumberdaya dan hasil guna dari pengelolaan kebun secara keseluruhan.
Area pencadangan Ijin Lokasi Plantable area Planted area HGU
HCV risk assessment-level lansekap HCV full Assessment HCV area Pengelolaan dan Monitoring HCV
Peremajaan/Replant HCV re-assessment? ing Gambar Integrasi operasional kebun dengan pengelolaan dan pemantauan HCV Tantangan, dampak dan intensitas yang dihadapi oleh sektor Perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini terdiri dari kebun baru atau akan segera di bangun dan kebun yang sudah jadi yang banyak diantaranya segera akan melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit (replanting). Masing-masing kebun memiliki tantangan yang satu sama lain bisa berlainan dalam hal pengelolaan HCV. Namun tantangan utama dalam pengelolaan HCV di perkebunan kelapa sawit adalah berubahnya tutupan lahan hutan atau habitat alami flora fauna menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Selain itu, dalam konteks penguasaaan lahan, umumnya perkebunan kelapa sawit yang dibangun berada di areal-areal yang dikuasai dan dikontrol oleh masyarakat.
Hal | 149
Perubahan tutupan hutan atau habitat alami satwa menjadi sulit dikontrol sejak awal pembangunan kebun karena bebera hal: -
Waktu ijin lokasi yang terbatas. Ijin lokasi diberikan pemerintah selama tiga tahun. Pada rentang waktu tersebut, pihak perusahaan harus membuktikan ada lahan yang dibuka sesui dengan peruntukannya, sehingga penataan kebun berlomba dengan pembuktian luas areal bukaan untuk menjamin tidak dicabutnya ijin lokasi.
-
Waktu yang terbatas ini juga tidak memberi keleluasaan terhadap penilaian HCV sekaligus merancang pengelolaannya yang terintegrasi dengan pembangunan kebun.
-
Area kebun seringkali kehilangan konektifitas dengan hutan atau habitan alami yang ada di sekitar kebun, bahkan antar kantung habitat satwa di dalam kebun itu sendiri. Hal ini terjadi karena di sekitar kebun adalah lahan-lahan yang dikuasai dan dikelola oleh masyarakat (di luar otoritas dan jangkauan perusahaan). Ketika ada akses jalan yang lebih baik, maka lahan-lahan masyarakat tersebut akan semakin intensif digunakan. Akibatnya, koridor yang menghubungkan area-area HCV di dalam izin lokasi seringkali terputus, satwa terperangkap dalam pulau-pulau kecil
-
Tantangan lain adalah adanya Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). Seringkali area berhutan di dalam ijin lokasi menjadi target penebangan kayu secara legal atas nama IPK.
Ada area-area yang awalnya teridentifikasi sebagai areal HCV di dalam Ijin lokasi, tetapi pada saat hak legal pengelolaan lahan berubah menjadi HGU, maka rea HCV tersebut berada diluar kelola perusahaan. Tidak ada bukti yang kuat bahwa area-area HCV di luar wilaya kebun dan berada di lahan masyarakat akan bertahan lama, umumnya akan segera menghilang. Dalam hal ini, NPP (New Planting Prosedur) yang disaratkan oleh RSPO, nampak seperti sebuah cara ideal untuk segera mengamankan area HCV. Namun pada kenyataanya prosedur NPP lebih berguna sebagai alat bantu perusahaan untuk mengetahuai luas tanam efektif (area HCV bukan termasuk lahan produktif) yang akan dijadikan HGU. Jika sudah demikian, area HCV yang tersingkir jarang sekali ada yang memasukannya ke dalam HGU. Kebun yang sudah lama atau yang sudah jadi biasanya relatif stabil untuk luas lahan, jarang terjadi pengurangan. Namun demikian, secara ekosistem sudah mengalami degradasi sehingga kandungan nilai HCV cenderung rendah, elemen-elemen HCV telah banyak yang hilang. Konektifitas antar kantung habitat sangat jarang dijumpai, area-area HCV cendeung terfragmentasi dalam area-area kecil yang tersebar dan terpisah satu dengan lainnya. Kebun-kebun lama lebih memerlukan upaya rehabilitasi/restorasi habitat. Pengelolaan area HCV diperkebunan kelapa sawit Pengelolaan HCV dilakukan untuk melindungi, memelihara dan meningkatkan nilai-nilai penting yang ada di area HCV. Untuk itu, orientasi pengelolaan hCV adalah mencapai keadaan-keadaan ideal yang diinginkan untuk seluruh HCV. Untuk mencapai kondisi yang diharapkan, maka monitoring (pemantauan) dan evaluasi dilaksanaan sejalan dengan pengelolaan HCV.
Hal | 150
Pengelolaan HCV pada dasarnya terdiri dari dua hal, yaitu mengelola area dimana nilai penting ada dan area-area yang menjadi penunjang area HCV tersebut. Dengan kata lain, ada pengelolaan HCV set aside (area HCV) dan ada pula mengelola perlakuan terhadap area HCV dan pendukungnya (managing area). Dalam konteks HCV dengan nilai penting melekat pada biodiversity (HCV1, HCV2 dan HCV3), secara ringkas ada dua hal utama yang perlu dikelola, yaitu pengelolaan habitat (ruang) dan pengelolaan species isi (species). Pengelolaan species juga dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni species penting yang memiliki nilai keterancaman tinggi, dan species dengan tingkat keterancaman rendah dan mereka ada di area HCV. Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan dan Evaluasi adalah dua kegiatan pokok yang dilaksanakan sejalan dengan pelaksanaan pengelolaan HCV. Tujuan dari pemantauan adalah untuk memeriksa apakah kegiatan berjalan seperti yang direncanakan, apakah keluaran (output) yang telah ditetapkan dapat dicapai, dan apakah investasi sumberdaya (manusia, dana, waktu) sesuai rencana. Sedangkan tujuan dari evaluasi adalah untuk menilai capaian (achievements), efektivitas, efisiensi, dampak (impacts), dan keberlanjutan (sustainability) program kegiatan. Sementara tujuan Pemantauan dan evaluasi ditujukan pada seperangkat indikator (key performance indicators) dan dilaksanakan secara sistematis, konsisten, dan terdokumentasi. Pemantauan dilakukan secara berkala bergantung pada jenis kegiatan dan indikator yang dinilai. Evaluasi dilakukan pada akhir periode waktu rencana pengelolaan, yaitu pada akhir tahun setiap perioda pengelolaan yang ditetapkan (summative evaluation) dan pada setiap akhir tahun (formative evaluation). Hasil dari pemantauan pada intinya adalah berupa bahan masukan untuk perbaikan pelaksanaan kegiatan agar lebih efektif dan efisien menghasilkan keluaran (output). Hasil dari evaluasi adalah butir-butir pembelajaran (lessons learned), baik dari kegagalan atau ketidakberhasilan maupun dari keberhasilan (key success factors). Hasil dari pemantauan dan evaluasi adalah bahan masukan yang sangat penting untuk perbaikan ke depan (continuous improvement), baik perbaikan pelaksanaan kegiatan, perbaikan strategi, perbaikan substansi dan proses perencanaan, perbaikan kebijakan, maupun perbaikan alokasi sumberdaya untuk pengelolaan HCV perusahaan. Ada tiga langkah penting dalam pemantauan 1. Mengukur keluaran dari setiap program (objectives), oleh karenanya, indikator harus ditetapkan ketika menyusun program-program pengelolaan 2. Membandingkan keluaran dari tindakan-tindakan yang dilakukan dengan keluaran yang direncanakan, dan menentukan penyimpangan-penyimpangan apabila ada 3. Mengoreksi penyimpangan yang tidak menguntungkan dengan tindakan perbaikan korektif (corective actions)
Hal | 151
Merancang Pemantauan Setelah tujuan pemantauan ditetapkan dengan jelas, kemudian buatlah rancangan pelaksanaan. Dalam merancang pemantauan perlu dipertimbangkan mengenai metode, lokasi/tempat dan waktu (frekuensi dan durasi) pelaksanaan pemantauan. Misalnya, jika tujuan pengelolaan HCV1 mengenai habitat satwa, maka sedikitnya ada dua hal pokok yang akan dipantau, yaitu 1. 2.
perubahan ruang (habitat) untuk keberlanjutan kehidupan satwa dan kecenderung ragam spesies satwa yang menempati ruang yang telah disediakan tersebut
Perubahan ruang Data dasar/kondisi awal yang perlu diketahui diantaranya adalah (namun tidak terbatas pada): -
Lokasi (per estate): jumlah, letak/posisi, luas tiap area, tipe habitat, kondisi dan seterusnya yang penting untuk diketahui dan dikelola
-
Habitat buatan: jenis habitat, kepemilikan, bentuk kelola, rotasi/umur tanam, dan aspekaspek lainnya
-
Habitat alami: tipe habitat, vegetasi, kondisi, gangguan dan seterusnya.
Setiap komponen kondisi awal tersebut perlu digali dan dibuatkan perinciannya supaya perubahan-perubahan yang terjadi dapat dibaca dengan seksama. Misalnya, jika habitat satwa penting terdapat pada area yang dikelola masyarakat (enclave, hutan karet campuran), hal yang perlu dirinci adalah bagaimana kondisi habitatnya, bagaimana pengelolaan perkebunan karet itu berlangsung termasuk informasi mengenai daur ulang/peremajaan karet seperti apa yang terjadi dan kapan. Untuk merinci membuat data dasar tersebut jelas memerlukan survey lapangan termasuk berdialog dengan pemilik/pengelola kebun karet. Begitu juga dengan area-area lainnya perlu digali lebih dalam untuk memahami kondisi terkini. Setelah kondisi awal diketahui, dirinci dan didokumentasi dengan baik dalam bentuk data dasar, makan perlu ditetapkan bentuk pengelolaannya. Ragam pilihan pengelolaan terhadap kondisi awal tergantung pada tujuannya, apakah dari setiap kondisi awal tersebut hanya akan dipertahankan saja, diperbaiki atau ditingkatkan. Pilihan pengelolaan tersebut menjadi bahan untuk melakukan pemantauan perubahan. Misalnya untuk habitat hutan karet campuran tadi, dalam kurun waktu tertentu apakah telah terjadi perubahan umur tanaman karet, apakah pengelolaanya berubah dari tanaman karet campuran menjadi tanaman karet intensif, juga apakah telah terjadi perubahan kepemilikan. Tabel di bawah adalah contoh ringkas mengenai opsi/pilihan komponen pemantauan ruang (habitat).
Hal | 152
Contoh opsi/pilihan komponen pemantauan ruang/habitat untuk satwa Data dasar/kondisi awal Pengelolaan (?) (?)
Pemantauan perubahan (?)
lokasi (per estate)
lokasi (per estate)
lokasi (per estate)
-
jumlah
-
dipertahankan/ditambah
-
Berkurang/Tetap/Bertambah
-
posisi/letak
-
dipertahankan
-
Tetap/berubah
-
luas tiap area
-
dipertahankan/ditambah
-
Berkurang/Tetap/Bertambah
-
tipe habitat
-
dipertahankan
-
Tetap/Berubah
-
kondisi habitat
-
dipertahankan/diperbaiki -
Memburuk/Tetap/Membaik
-
dst.
-
dst.
dst.
Habitat buatan (tiap lokasi) -
Tutupan lahan
-
kepemilikan
-
bentuk kelola
-
rotasi/umur tanam
-
dst.
-
Habitat buatan
Habitat buatan
-
dipertahankan/dirubah
-
Tetap/Berubah
-
dipertahankan/dirubah
-
Tetap/Berubah
-
dipertahankan/dirubah
-
Tetap/Berubah
-
dipertahankan/dirubah
-
Tetap/Berubah
-
dst.
-
dst.
Habitat alami (tiap lokasi) Habitat alami
Habitat alami
-
tipe habitat
-
dipertahankan
-
Tetap/Berubah
-
vegetasi
-
dipertahankan/diperkaya -
Tetap/Berubah
-
kondisi
-
dipertahankan/diperbaiki -
Memburuk/Tetap/Membaik
-
ragam tingkat gangguan
-
dikurangi/dihilangkan
-
Meningkat/Tetap/Berkurang
-
dst.
-
dst.
-
dst.
Dst....
Dst....
Dst....
Setiap perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu segera didokumentasikan sebagai bahan untuk memperbaiki atau memperbaharui bentuk dan tindakan pengelolaan. Proses-prose perbaikan pengelolaan adalah hal penting untuk mencapai tujuan utama pengelolaan yaitu menyediakan ruang bagi satwa liar. Buatlah jadwal pemantauan habitat yang dapat mengimbangi kecepatan perubahan supaya hasil pemantauan habitat dapat berdaya guna. Hal | 153
Berikut ini adalah contoh lembar data untuk pemantauan perubahan habitat alami. Lembar data pemantauan habitat ini dapat diperbaharui sesuai kebutuhan.
LEMBAR DATA HABITAT
Tanggal:
Estate:
Observer:
Blok:
Diketahui oleh:
Tipe Habitat:
/Koordinat:
Catatan Tengah- Tinggi Sangat Rendah Tinggi Tajuk Tinngi 50Tinggi <20m <20-50m 100m >100m Kepadatan Tajuk
Terbuka Jarang <20% 20-50%
Tebal Tertutup 50>80% 80%
Kepadatan Strata Menengah (jarak pandang)
Terbuka Sedang >50m 10-50m
Tebal <10m
Penutup Tanah Seresah Daun
Jarang <20%
Sedang 20-50%
Tebal Sangat 50Tebal 80% >80%
Penutup Tanah Vegetasi <0.5m
Jarang <20%
Sedang 20-50%
Tebal Sangat 50Tebal 80% >80%
Kemiringan (derajat)
Lahan Datar <10
Agak Miring 10-25
Cura Sangat m Curam 25-45 >45
Kolam
Sung ai meng alir
Air Permukaan
Tidak ada
Dekat Sungai sekitar <500m
Hal | 154
Gangguan
Jalur Perburu Peneban lintas Gulma/ an gan an weeds Satwa pohon orang
Makanan Satwa
Tumbuh Tumbuh an an Berbung Berbuah a
Observasi lainnya:
Ragam spesies satwa Pada waktu identifikasi HCV dilaksanakan, telah berhasil diidentifikasi sejumlah spesies yang ada di wilayah perkebuan. Data awal tiap spesies yang telah diperoleh meliputi jenis, status, lokasi dan habitatnya. Dalam konteks HCV, status spesies yang dimaksud adalah nilai penting spesies merujuk pada ketentuan yang disepakati secara internasional (IUCN dan CITES). Data-data spesies yang telah ada perlu disusun sebagai data dasar. Untuk membuat data dasar yang lebih baik, hasil temuan tersebut masih perlu diperbaharui (update) dan diperkaya dengan melakukan penggalian informasi lebih lanjut. Untuk tujuan pengelolaan, berdasarkan statusnya, spesies satwa liar di setiap wilayah kebun dapat dikelompokkan menjadi dua , yaitu: spesies penting (redlist IUCN, CITES Appendix I) dan spesies umum (non-redlist IUCN atau CITES). Berikut ini adalah beberapa komponen yang dapat membantu dalam membuat data dasar untuk setiap spesies penting: • Nama spesies, status dan tipe umum (penjelajah atau residen), biasanya satwa berukuran besar cenderung penjelajah. • Tanggal perjumpaan atau pertemuan dengan suatu spesies; • Jumlah individu yang dijumpai atau dilaporkan dalam satu pertemuan; • Lokasi pertemuan, catat koordinatnya atau nama estate dan blok dimana sebuah spesies dijumpai atau dilaporkan; • Habitat, gunakan istilah tipe habitat yang telah disepakati; • Deteksi keberadaan, telihat/terdengar langsung, atau dari sisa aktifitas yang ditinggalkan, atau berupa berita dari masyarakat; • Aktivitas satwa ketika dijumpai, meliputi makan, istirahat, bergerak atau bersuara. Dalam satu waktu bisa terjadi dua atau aktifitas di temukan; • Gangguan yang terjadi, bisa berupa perburuan, perusakan habitat atau keduanya terjadi, atau gangguan lainnya terhadap kehidupan satwa;
Hal | 155
• Observer atau pengamat atau yang melaporkan pertemuan satwa perlu di cantumkan untuk verifikasi bila ada diperlukan; • Keterangan, hal yang perlu dijelaskan sehubungan dengan spesies yang dijumpai.
Contoh lembar data dasar untuk setiap spesies penting
Spesies : Status
: IUCN/CITES/UU
Tipe
: penjelajah/residen
Lokasi Tan J Habit ggal ml Est Bl at ate ok
Deteks Aktivitas i
Ganggua O n bs Ket. L T I P H La . M I G B D K N er ab in
Deteksi
: LD=lihat dengar; TK=tanda kehadiran; IN=informasi
Aktivitas
: M=Makan; I=Istirahat; G=Bergerak/Pindah; B=Bersuara/berbunyi
Gangguan
: Per=perburuan; Hab=habitat rusak; Lain=gangguan lainnya
Obs
: Observer
Hal | 156
Lembar data dasar harus selalu diperbaharui dengan menambahkan infromasi dari hasil survey lapangan, baik yang sengaja dilakukan ataupun yang berdasarkan kesempatan (opportunistic). Semakin banyak dan lengkap informasi yang ditambahkan akan semakin terlihat jelas potret satwa penting di wilayah perkebunan. Bila setiap catatan lokasi perjumpaan dipetakan akan terlihat sebarannya, juga bagi spesies penjelajah akan diketahui jalur lintasanya. Ragam habitat yang digunakan serta bagaimana mereka beraktifitas dalam habitat-habitat tersebut dapat diketahui. Catatn gangguang yang terkumpul dapat membantu merancang penanggulangannya. Jika melihat tujuan pemantauan satwa adalah melihat kecenderungan satwa apa saja yang menggunakan ruang yang telah disediakan, maka tahap awal pemantauan yang dilakukan untuk spesies penting adalah menambah pemahaman kita terhadap spesies tesebut. Berikut ini adalah contoh lembar pemantauan satwa penting. Contoh lembar data satwa species penting LEMBAR DATA SPESIES PENTING
Species:
Tanggal:
Estate:
Waktu: [pagi] [sore]; Lamanya:......... jam
Lokasi/Blok:
Observer:
Tipe Habitat:
Diketahui oleh:
Cuaca:
Observasi
Juml Arah Perilaku*) ah pindah**) Indvi M I G B U T S B du
Deteksi langsung Terlihat Terdengar Lainnya Tanda kehadiran Bekas tapak (footprint)
Hal | 157
Cakaran Sisa makan Sarang Kulit/sisik/selongsong Lainnya Informasi***) Sebelum 1 Minggu 1 - 4 minggu 4 - 12 minggu Terllihat Terdengar Jejak kehadiran Bekas tapak (footprint) Cakaran Sisa makan Sarang Kulit/sisik/selongsong Lainnya Gangguan/Ancaman Perburuan Kerusakan habitat Lainnya: Hasil observasi lainnya: (misalnya: makan buah pohon ara, dsb.) *)
: M=Makan; I=Istirahat; G=Bergerak/Pindah; B=Bersuara/berbunyi
**)
: U=Utara; T=Timur; S=Selatan; B=Barat
***)
: Setiap informan dicatat: nama, pekerjaan, alamat
Hal | 158
Spesies yang tidak termasuk kedalam redlist IUCN atau CITES Appendix I jumlahnya lebih banyak dan lebih sering di jumpai. Oleh karena itu data dasar dan model pemantauan yang digunakan dapat berbeda dengan sepesies penting. Untuk membuat data dasar spesies yang umum dapat dibuatkan daftar spesies berdasarkan kelompok kelasnya, serta memberi ruang untuk mencantumkan kehadiran atau ketidak hadirannya dalam setiap kegiatan pemantauan. Melakukan pemantauan untuk satwa yang umum membutuhkan persipan yang memadai. Metode pemantauan banyak/multi spesies satwa dalam tiap kelompok tidak cocok bila menggunakan cara pemantauan untuk spesies penting. Pemantauan multi spesies Untuk pemantauan multi spesies, pilih dan tetapkan lokasi-lokasi yang akan dijadikan petak contoh (sampel plot) permanen yang bisa mewakili setiap tipe habitat. Jika di dalam kawasan HGU terdapat tiga tipe habitat, maka petak contoh dibuat pada setiap tipe habitat tersebut. Biasanya area yang dicadangkan untuk satwa liar di wilayah HGU kebun sawit bukan merupakan area yang kompak, tetapi terpencar dalam petak-petak kecil. Beberapa pertimbangan untuk meletakkan plot permanen: -
Di habitat alami, buatlah petak contoh pada area yang menjadi wakil dari tipe sebuah habitat alami. Setiap tipe habitat minimal ada satu petak contoh perwakilan, tetapi bila habitat alami cukup luas, buatlah lebih dari satu petak contoh supaya bisa mewakili luas tipe habitat tesebut.
-
Di habitat buatan berupa kebun karet campuran (enclave), petak contoh bisa dibuat setelah mendapat ijin dari pemilik enclave. Bila pola tanam karet dan umur karet cukup beragam, ambil satu sampel dari setiap kondisi yang beragam tersebut.
-
Untuk Sawit, pertimbangkan tahun tanam, misalnya buat perwakilan petak contoh di area tanam pertiga tahun atau perlima tahun, atau yang sekiranya cukp berbeda dari segi keragaman hayati.
-
Petak contoh di kebun karet da kebun sawit hanya dilakukan untuk kegiatan pemantauan keragaman burung
Hal | 159
I.
Lampiran
Lampiran 1.Contoh ringkasan identifikasi dan rekomendas ipengelolaan HCV dan deliniasi HCVMA pada PT. Perkebunan Anak Negeri Pasaman (PANP), Kabupaten Landak, Kalimantan Barat (Daemeter, 2008). HCV
1.1
Temuan
Ada
HCVA
Tujuan Pengelolaan
Pola Spasial
Status Pemetaan
Diskrit namun terdistribusi secara luas
Sebagian (tidak semua sungai dan penyangga dapat dipetakan saat ini karena keterbatasa n data)
HCVMA Status Pemetaan
Untuk memelihara fungsi kawasan lindung, dalam hal ini (a) perlindungan zona penyangga di sepanjang sungai sebagaimana disyaratkan oleh hukum, dan (b) areal hutan lindung lokal
sebagian
Catatan
Hubungan dengan HCVMA lain
a. Zona riparian akan dipelihara, di mana lebar penyangga akan bervariasi menurut lebar sungai sebagai berikut:
<3m = 5m penyangga
3-8m = 10m penyangga
8-10m = 20m penyangga
30m = 50m penyangga
>30m = 100m penyangga
1.2, 1.3, 4.1, 5
Hal | 160
HCV
Temuan
HCVA Pola Spasial
Tujuan Pengelolaan Status Pemetaan
HCVMA Status Pemetaan
Catatan
Hubungan dengan HCVMA lain
(lebar penyangga untuk masingmasing tepi sungai).
Diakui bahwa penyangga riparian yang ditanami padi oleh masyarakat lokal mungkin tidak akan tersedia bagi PANP untuk pengelolaan dan/atau restorasi 1.2
1.3
Ada
Ada
Diskrit
Menyebar secara luas di seluruh estate
Selesai
Selesai
Untuk memaksimalkan kedayaberlangsungan jenis Critically Endangered yang jelas ada atau yang mungkin ada dalam wilayah hutan alam yang tersisa di estate tersebut
Selesai
Untuk mendeliniasi dan melindungi habitat dengan kualitas yang mencukupi untuk populasi HCV 1.3 yang ada dalam estate. Unsur-unsur utama dalam strategi untuk pengelolaan adalah (i) perlindungan wilayah hutan
Selesai
a. hutan alam yang tersisa
1.3, 3, 4.1, 4.2
b. Koridor (hutan sekunder yang masih ada)
a. hutan alam yang masih ada
1.1, 1.2, 3, 4.1, 4.2, 5 dan 6
b. koridor
Hal | 161
HCV
Temuan
HCVA Pola Spasial
Tujuan Pengelolaan Status Pemetaan
HCVMA Status Pemetaan
Catatan
Hubungan dengan HCVMA lain
alam yang masih ada dan (ii) memaksimalkan konektifitas hutan melalui koridor, zona riparian dan HCVMA yang lain (misal, zona perlindungan erosi) 1.4
Ada
Diskrit namun terdistribusi secara luas
Belum selesai
Untuk memelihara fungsi dan melindungi akses ke situs (gua) di mana konsentrasi temporal dari salah satu atau lebih spesies (kelelawar) berkumpul
Belum lengkap
Sehubungan dengan pemetaan partisipatif untuk HCV 5 dan 6 (lihat bagian bawah), lokasilokasi gua harus dipetakan dan penyangga selebar 50m harus ditandai dan dipelihara. Kelelawar dan hidupan liar yang tinggal di gua tidak boleh diganggu dan akses ke gua harus terpelihara
5
2.1
Tidak ada
-
-
-
-
-
-
2.2
Tidak ada
-
-
-
-
-
-
2.3
Tidak
-
-
-
-
-
-
Hal | 162
HCV
Temuan
HCVA
Tujuan Pengelolaan
Pola Spasial
Status Pemetaan
Diskrit
Selesai
HCVMA Status Pemetaan
Catatan
Hubungan dengan HCVMA lain
Selesai
Semua wilayah hutan alam yang tersisa ditunjuk sebagai ekosistem yang hampir punah dan harus mempertahankannya sebagai hutan alam
1.2, 1.3, 4.1, 4.2, 5, 6
ada 3
Ada
Untuk mempertahankan wilayah hutan alam yang masih ada dalam estate yang mewakili ekosistem jarang dan hampir punah
Semua wilayah hutan yang masih ada merupakan HCVMA untuk HCV3; sebagian besari diklasifikasikan sebagai Zona Perlindungan Aktif (Kategori 1), sementara yang lain sebagai Zona Perlindungan Pasif (Kategori 2)
Blok hutan utama akan dihubungkan satu sama lain dengan Blok Hutan Gunung Seboro ke bagian selatan PANP melalui koridor Hal | 163
HCV
Temuan
HCVA Pola Spasial
Tujuan Pengelolaan Status Pemetaan
HCVMA Status Pemetaan
Catatan
Hubungan dengan HCVMA lain
konservasi yang terdiri dari petak hutan yang lebih kecil, hutan sekunder dan wilayah rehabilitasi terbatas melalui penanaman pohon 4.1
Ada
Diskrit namun terdistribusi secara luas
Sebagian (tidak semua sungai dipetakan)
Untuk menjamin keberlangsungan ketersediaan air bersih bagi masyarakat lokal, khususnya dengan memelihara perlindungan penyangga riparian yang memadai dan pencegahan erosi
Sebagia n
Tiga elemen kunci dari usulan pengelolaan HCV 4.1 adalah (i) perlindungan zona penyangga hutan di sepanjang sungai dan (ii) praktek pengendalian erosi sebagaimana dijelaskan dalam HCV 4.2 serta (iii) perlindungan zona riparian akan memerlukan pengelolaan aktif dan pendekatan ke masyarakat untuk mencegah dibukanya hutan untuk ladang (hal ini tidak mungkin dilakukan di zona riparian yang sudah tertanam padi oleh masyarakat lokal). Lihar persyaratan luasan zona penyangga pada HCV 1.1
1.1, 1.3, 4.2, 5 dan 6
Hal | 164
HCV
Temuan
HCVA
Tujuan Pengelolaan
Pola Spasial
Status Pemetaan
HCVMA Status Pemetaan
Catatan
Hubungan dengan HCVMA lain
4.2
Ada
Diskrit namun terdistribusi secara luas
sebagian
Untuk mencegah erosi yang disebabkan oleh pembangunan perkebunan sawit, khususnya pada wilayah-wilayah tangkapan air yang penting
Sebagia n (meliputi wilayah indikatif dan definitif)
Usulan pengelolaan HCV 4.2 meliputi Kategori I dan Kategori 2 dengan pelaksanaan prosedur untuk menghindari wilayahwilayah yang tidak sesuai buat penanaman dan melakukan operasional dengan dampak rendah pada wilayah-wilayah yang rentan
1.2, 1.3, 1.4 dan 3
4.3
Tidak ada
-
-
-
-
-
-
5
Ada
Diskrit namun terdistribusi secara luas
Sebagian (peta sketsa dan titik GPS saja)
Untuk menjamin keberlangsungan ketersediaan kebutuhan dasar yang berasal dari hutan atau ekosistem alam lainnya
Sebagia n (peta sketsa dan titik GPS)
Pengelolaan HCV5 akan dicapai melalui (i) delineasi wilayah yang harus dilindungi dengan menggunakan metode pemetaan partisipatif dan (ii) pelaksanaan kegiatan pengendalian kualitas air dan erosi secara teliti sebagaimana yang dijelaskan dalam HCV 4.1 dan 4.2
1.1-1.3, 3, 4.1, 4.2, 6
6
Ada
Diskrit
Sebagian Untuk mengidentifikasi dan (peta sketsa melindungi wilayah yang
Sebagia n (peta
Pengelolaan HCV 6 sebagian besar akan dipenuhi dengan
5
Hal | 165
HCV
Temuan
HCVA Pola Spasial
Tujuan Pengelolaan Status Pemetaan
dan titik GPS saja)
dianggap penting bagi masyarakat lokal untuk pemeliharaan identitas budaya tradisional
HCVMA Status Pemetaan
Catatan
sketsa dan titik GPS saja)
delineasi wilayah yang harus dilindungi dengan menggunakan metode pemetaan partisipatif
Hubungan dengan HCVMA lain
Hal | 166
Lampiran 4: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Areal Tambang Oleh: Irdika Mansyur Latar Belakang Konsep Nilai Konservasi Tinggi masih belum dijadikan sebagai dasar acuan pengelolaan nilai-nilai konservasi pada konsesi pertambangan di Indonesia, bahkan di dunia. Secara eksplisit bentuk identifikasi dan pengelolaan serta pemantauan NKT belum tercantum di dalam rencana kelola perusahaan, walaupun telah banyak bentuk pengelolaan yang tersedia yang dibuat secara terpisah, seperti pengelolaan biodiversiti, pengelolaan sosial masyarakat, pengelolaan kesehatan masyarakat, dll. Bentuk pengelolaan tersebut pada umumnya didasarkan pada kemungkinan atau resiko dampak yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan secara langsung. Sedangkan untuk kawasan konsesi perusahaan yang tidak ditujukan sebagai kawasan produksi biasanya tidak dikelola secara intensif, padahal dimungkinan pada daerah tersebut memiliki nilai konservasi tinggi yang penting. Beberapa peraturan pemerintah Indonesia terkait pengelolaan pada konsesi pertambangan seperti Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral RI Nomor: 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor: 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Paskatambang, serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan. Pada peraturan-peraturan tersebut telah diatur perlindungan terhadap lingkungan, termasuk tata air, dan keanekaragaman hayati, serta memperhatikan nilai-nilai sosial budaya setempat. Konsep Nilai Konservasi Tinggi yang telah diaplikasikan pada usaha konsesi hutan dan perkebunan serta pertanian, sangat memungkinkan diterapkan pada konsesi pertambangan. Konsep ini membahas nilai konservasi tinggi pada tingkat lokal yaitu area kerja perusahaan dan tingkat regional atau global yaitu kawasan di sekitar perusahaan yang meliputi nilai ekologi, jasa lingkungan, sosial dan budaya. Dengan demikian panduan pengelolaan dan pemantauan Nilai Konservasi Tinggi dapat digunakan oleh unit kelola perusahaan pertambangan dalam mempertahankan nilai penting konservasi secara menyeluruh dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam panduan ini dijelaskan secara ringkas gambaran umum kegiatan pertambangan yang pada umumnya tersebar mengikuti keberadaan bahan tambangnya, serta bagaimana bentuk pengelolaan nilai konservasi tinggi dapat diterapkan. Kegiatan Umum Pertambangan Terbuka Kegiatan pertambangan terbuka secara umum dilakukan dalam 3 tahap utama, yaitu: 1. Tahap Pengembangan Proyek, yaitu tahap awal persiapan untuk mencari sumber mineral serta persiapan sarana dan prasarana. Pada tahap ini terdapat beberapa aktivitas yang akan dilakukan, yaitu: a. Eksplorasi, merupakan aktivitas untuk mengidentifikasi sumber bahan mineral tinggi yang berada di dalam area konsesi pertambangan. Beberapa aktivitas yang dilakukan di saat eksplorasi adalah survei geologi, analisa geokimia, dan analisa geo fisika. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi penentuan titik eksplorasi dapat Hal | 167
diketahui secara pasti, namun pengambilan sampel di lapangan masih diperlukan untuk memastikan tingkat kandungan mineralnya. Pada tahap pengambilan sampel pada umumnya akan mengganggu kondisi ekologi kawasan, dan mungkin kondisi sosial masyarakat. Oleh sebab itu rencana pengelolaan perlu dibuat untuk meminimalisasi dampak yang disebabkan. b. Uji kelayakan, adalah aktivitas untuk menentukan apakah hasil eksplorasi sesuai dengan perhitungan untung rugi usaha pertambangan yang akan dilakukan pada skala besar dan dalam jangka waktu yang lama. Pada kegiatan ini juga akan dihitung evaluasi ekonomi terhadap seluruh aktivitas pertambangan, seperti seberapa lengkap infrastruktur akan dibangun. Proses perencanaan yang berhubungan dengan nilai konservasi keanekaragaman hayati, jasa lingkungan, dan sosial selayaknya dapat dijadikan lampiran di dalam dokumen uji kelayakan. c. Pembangunan konstruksi tambang, meliputi berbagai pembangunan sarana dan prasarana pertambangan, seperti pembuatan akses/jalan, pembangunan infrastruktur, pembersihan lahan pertambangan, dan pemindahan kawasan penduduk apabila lokasi penambanngan berada pada tempat tinggal masyarakat. Integrasi pengelolaan NKT akan banyak dilakukan pada kegiatan ini. 2. Tahap Operasi, merupakan tahap penambangan bahan mineral. Apabila tahap pengembangan proyek dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, tahap operasi membutuhkan waktu yang sangat lama, tergantung dari cadangan mineral yang tersimpan dan seberapa sulit bahan mineral mentah tersebut diekstraksi. Terdapat beberapa kegiatan yang akan dilakukan pada tahap ini, yaitu: a. Pembangunan infrastruktur tambahan, dengan berjalannya proses penambangan, secara otomatis diperlukan tambahan infrastruktur pendukung. Kegiatan ini tentu akan merubah rencana kelola yang dibuat pada tahap persiapan, akan tetapi hal tersebut dapat didesain dan dipersiapkan sebelumnya. b. Ekstraksi dan pengolahan bahan mineral, pembongkaran tutupan permukaan, pengambilan bahan mineral mentah, serta proses pemisahan target mineral tambang akan menimbulkan dampak nilai konservasi tinggi baik secara ekologi maupun sosial. Proses pemisahan mineral tambang akan menyisakan bahan buangan yang biasa disebut tailing, keberadaaan tailing dalam jumlah yang sangat besar secara otomatis akan menimbulkan dampak keberadaan nilai konservasi ekologi dan sosial, sehingga perlu dibuat rencana kelola yang baik. 3. Tahap Penutupan, adalah tahap rehabilitasi lahan bekas tambang. Kegiatan yang sering dikenal oleh banyak pihak adalah reklamasi lahan paskatambang, yaitu kegiatan untuk mengembalikan dan merehabilitasi lahan bekas tambang untuk dapat kembali kepada kondisi yang mendekati keadaaan sebelum dilakukan proses penambangan.
Hal | 168
Kegiatan pertambangan pada umumnya, walaupun areal konsesi yang diperoleh sangat luas, namun kawasan pemanfaatannya adalah kecil dan terbagi dalam blok-blok kecil yang terpisah-pisah mengikuti keberadaan cadangan bahan tambangnya. Disamping luasan yang terganggu relatif kecil dibandingkan usaha konsesi lainnya, gangguan terhadap satu blok hanya bersifat sementara. Setelah bahan tambang diambil, areal operasi akan dikembalikan mendekati rona awal atau sesuai peruntukannya. Potensi Ancaman NKT pada sektor pertambangan Aktivitas penambangan secara langsung akan mengancam keberadaan NKT pada areal konsesi, karena banyak kegiatan yang menghilangkan lahan dalam tahap pengambilan bahan tambang. Namun bentuk ancaman yang berasal dari luar aktivitas penambangan juga dapat mungkin terjadi, kondisi ini merupakan dampak tidak langsung kehadiran konsesi tambang. Beberapa bentuk ancaman tersebut diantaranya:
Hal | 169
Rehabilitasi lahan
TAHAP PENUTUPAN
•
-
•
•
•
1.2
Spesies Hampir Punah
•
-
•
•
•
•
1.3
Kawasan yang berisi Habitat Layak untuk Populasi Spesies Langka, Endemik dan Dilindungi
•
-
•
•
•
•
1.4
Kawasan-kawasan sementara yang mendukung spesies atau kelompok spesies (spesies kunci) dipertahankan
•
-
•
•
•
•
2.1
Lanskap Alamiah Besar dengan kemampuan Menjaga Proses dan Dinamika Ekologi Alamiah
•
-
•
•
•
2.2
Lanskap Alamiah yang berisi dua atau Lebih Ekosistem Berkelanjutan
•
-
•
•
•
2.3
Kawasan yang berisi Perwakilan Populasi Spesies Paling Sering Muncul
•
-
•
•
•
•
3
Ekosistem Langka atau Terancam
•
-
•
•
•
•
Ekstraksi dan Pengolahan
Konstruksi
1.1
Kawasan yang berisi atau menyediakan Fungsi Dukungan Keanekaragaman Hayati untuk Kawasan Perlindungan atau Konservasi
Infrastruktur
Uji Kelayakan
TAHAP OPERASIONAL
Eksplorasi
TAHAP PERSIAPAN
NILAI KONSERVASI TINGGI
Hal | 170
4.1
Kawasan atau Ekosistem Penting untuk Penyediaan Air dan Pencegahan Banjir untuk Masyarakat Hilir
•
-
•
•
•
4.2
Kawasan Penting untuk Pencegahan Erosi dan Sedimentasi
•
-
•
•
•
4.3
Kawasan yang Berfungsi Sebagai Sekat Alam untuk Mencegah Meluasnya Kebakaran Hutan dan Lahan
•
-
•
•
•
5.a
Kawasan Alamiah Kritis untuk Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat Lokal
•
-
•
•
•
•
5.b
Kebutuhan dasar tapi tidak digunakan terus atau ada alternatifnya
•
-
•
•
•
•
6
Kawasan Kritis untuk Mempertahankan Identitas Budaya dari Komunitas Lokal
•
-
•
•
•
•
•
Hal | 171
Bentuk Kegiatan Pengelolaan
No.
Tahapan Kegiatan
Nilai Konservasi Tinggi
Kegiatan Pengelolaan
1.
Penebangan pohon dan pembersihan lahan
NKT 1.1, NKT 1.3, NKT 1.4, NKT 3, dan NKT 6
Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL
NKT 1.2
Identifikasi, kharakterisasi, pengumpulan benih dan anakan alam sebelum kegiatan penebangan pohon dan pembersihan lahan dilakukan, untuk diselamatkan dan diperbanyak secara vegetatif di persemaian, selanjutnya ditanam kembali di blok yang sama.
NKT 2.1 dan NKT 2.2
Identifikasi dan kharakterisasi, dapat dibuka untuk ditambang secara bertahap namun harus segera direklamasi untuk menjaga fungsi-fungsi ekologinya seperti semula
NKT 2.3
Identifikasi dan kharakterisasi, dapat dibuka untuk ditambang secara bertahap namun harus segera direklamasi untuk menjaga fungsifungsi ekologinya seperti semula.
Species pohon dan tanaman lain dapat diselamatkan dengan cara diambil benih dan bibit alaminya sebelum pembersihan lahan untuk diselamstkan dan diperbanyak di persemaian untuk nanti ditanam kembali.
Species satwa karena penambangan dilakukan secara bertahap, maka satwa akan mengungsi ke hutan sekitarnya.
Membuat aturan yang jelas agar karyawan dan masyarakat tidak mengambil atau menangkat flora dan fauna yang termasuk obyek NKT
Hal | 172
NKT 4.1
2.
3.
Pemindahan dan penyimpanan tanah
Pemindahan dan penyimpanan
Melakukan kajian untuk menyediakan alternatif pengganti fungsi penyedia air dan pengendali banjir sementara (misal dengan mengalihkan aliran sungai, mencegah pencemaran air bawah tanah, dan penggunaan bangunan sipil)
Setelah kawasan tersebut selesai ditambang harus segera dikembalikan fungsinya seperti semula.
NKT 4.2
Mengganti fungsi sementara dengan bangunan sipil dan teknik vegetatif.
NKT 4.3
Pembersihan lahan akan secara otomatis menjadi sekat bakar yang efektif.
NKT 5
Memberikan alternatif pengganti kepada masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan dasar/ dengan kompensasi.
Setelah penambangan berakhir harus segera direklamasi untuk mengembalikan fungsi semula.
NKT 1, NKT 3, dan NKT 6
Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL
NKT 2, NKT 4 dan NKT 5
Mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi yang dapat merusak obyek NKT.
Membuat saluran drainase dan kolam sedimentasi
Menjaga kualitas tanam selama dalam penyimpanan agar dapat digunakan sebagai media tumbuh obyek NKT dikemudian hari.
NKT 1, NKT 3, dan NKT 6
Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL
Hal | 173
overburden
4.
5.
6.
Pengambilan bahan tambang
NKT 2, NKT 4, dan NKT 5
Identifikasi dan kharakterisasi jenis batuan PAF dan NAF.
Mencegah terjadinya AAT
Memberikan perlakuan AAT yang terbentuk sebelum air dari lahan tambang dilepaskan ke perairan umum
NKT 1, NKT 3, dan NKT 6
Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL
NKT 2, NKT 4, dan NKT 5
Mencegah pencemaran udara oleh debu dari aktivitas alat berat kendaraan angkutan, kegiatan peledakan, serta dari stock pile bahan tambang, tanah, maupun overburden.
Mencegah pencemaran air oleh AAT, dengan membangun saluran drainase dan kolam sedimentasi.
Penataan lahan dengan mengembalikan overburden dan menebarkan tanah
NKT 1, NKT 3, dan NKT 6
Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL
NKT 2, NKT 4, dan NKT 5
Mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi, serta terbentuknya AAT yang keluar ke perairan umum
Penanaman tanaman penutup tanah
NKT 1, NKT 2, NKT 3, NKT 4, dan NKT 5
Pemilihan jenis tanaman penutup tanah yang tidak invasif, contohnya widelia dan asistasia.
Pengendalian pertumbuhan tanaman penutup tanah yang bersifat merambat dan melilit agar tidak mematikan pohon-pohon di sekitarnya.
Sedapat mungkin menggunakan jenis tanaman lokal.
NKT 6
Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL Hal | 174
7.
Penanaman pohon pionir dan pohon jenis daur panjang (klimaks)
NKT 1, NKT 2, NKT 4, dan NKT 5
Pemilihan jenis pohon pionir dan klimaks lokal dengan prioritas utama yang termasuk ke dalam obyek NKT
NKT 3 dan NKT 6
Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL
Hal | 175
Lampiran 5: Pengelolaan dan Pemantauan NKT Pada Petani Kecil (Smallholders)
Oleh: Wibowo Agung Djatmiko Sigit Budhi Styanto
1.
Pendahuluan
Para Petani Kecil / Smallholders punya karakter yang khas, terutama karena kecil -- luasan lahan kecil, modal kecil, tingkat kemampuan pengetahuannya juga masih kecil dan tingkat barganing-nya juga kecil -- letak lahannya terpecah serta kewenangannya tidak di satu tangan. 1.1.
Latar Belakang
Pembangunan dan pelestarian lingkungan sering dipandang sebagai sesuatu yang saling berseberangan, karena pembangunan pada satu sisi dapat mengancam lingkungan pada sisi yang lainnya. Pada kenyataannya pembangunan dan lingkungan adalah sesuatu yang saling erat berhubungan. Pembangunan yang berkelanjutan sulit untuk dicapai jika aspek lingkungan dan sosial gagal dikelola. Salah satu cara untuk menilai hubungan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan adalah dengan menggunakan konsep NKT atau HCV (High Conservation Value). Konsep NKT didesain dengan tujuan untuk membantu pengelola pembangunan dalam usahanya untuk meningkatkan keberlanjutan sosial dan lingkungan dalam setiap kegiatanya. Salah satu prinsip dasar konsep NKT adalah bahwa wilayah-wilayah yang mempunyai atau dijumpai atribut-atribut yang mempunyai nilai konservasi tinggi tidak selalu harus menjadi suatu kawasan yang tidak boleh ada pembangunan. Konsep NKT justru mensyaratkan agar pembangunan dapat dilaksanakan dengan cara menjamin pemeliharaan dan/atau meningkatkan nilai NKT tersebut. Sehingga, dengan konsep ini akan didapatkan suatu keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dan sosial dengan pembangunan ekonomi jangka panjang. Tahapan penting yang harus dilakukan berkaitan dengan NKT oleh setiap unit manajemen harus melakukan (1) Mengidentifikasi areal NKT didalam wilayah dikelolanya. (2) Konsultasi publik dengan para pihak dalam proses penetapan NKT yang teridentifikasi dengan pilihanpilihan pengelolaannya, (3) Mengelola agar dapat memelihara dan meningkatkan nilai-nilai yang teridentifikasi dan (4) Memonitor keberhasilan pengelolaan di wilayah kelolanya. Khusus untuk NKT pada smallholder -- tahapan awal merupakan hal yang sangat penting -mulai dari perencanaan, kesepakatan awal tentang areal wilayah yang akan dikelola dalam kawasan lansekap, unit manajemen kelola dan sosialisasi-sosialisasi para pihak kepada mereka yang berkepentingan agar konsisten mengikuti kesepakatan dan tatanan yang
Hal | 176
dibangun dan yang strategi kepada mereka yang tidak berkepentingan tetapi didalam wilayah kelola agar juga dapat berperan.
Gambar 1.1: Sosialisasi stakeholder (para pihak) yang terlibat hingga mereka mengerti tujuan dan manfaat kegiatan yang nantinya akan meningkatkan partisipasi mereka.
Gambar 1.2: Kegiatan Partisipatory mapping, (pemetaan partisipatif) salah satu kegiatan yang penting untuk dilakukan bersama masyarakat sebelum identifikasi dilakukan sebagai bahan referensi (kanan).
1.2.
Ruang Lingkup
Panduan ini dipergunakan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan NKT secara khusus dalam pengelolaan sumberdaya alam di dalam atau di sekitar kawasan bentang alam atau lansekap untuk petani kecil bidang pertanian, perkebunan atau hutan rakyat atau lainnya -- misalnya pertambangan rakyat -- yang relevan. 1.3.
Tujuan
Memberi arahan dan panduan bagi masyarakat dan para petani kecil untuk pengelola sumberdaya alam di dalam atau disekitar kawasan bentang alam atau lanskap dalam membuat rencana pengelolaan dan pemantauan di areal-areal yang mempunyai nilai konservasi tinggi.
Hal | 177
2. Karakter Pengelolaan Sumberdaya Alam oleh Smallholder Smallholder, para petani yang menanam komoditas pertanian yang kadang-kadang bersamaan dengan tanaman / komoditas lain sebagai mata pencaharian, yang sebagian besar pekerjanya adalah anggota keluarganya dan usaha budidaya tersebut menjadi sumber utama mata pencaharian dengan keterbatasan luas areal budidaya. Luasan umumnya kecil-kecil, smallholder merupakan golongan terbesar dalam kelompok petani di Indonesia -- khususnya di Pulau Jawa -- mengusahakan dalam tekanan lingkungan penduduk lokal yang meningkat. Sumberdayanya terbatas -- luasan sekitar 0,25 hektar lahan sawah di Jawa atau 0,5 hektar di luar Jawa, jika mempunyai lahan tegalan luasan sekitar 0,5 hektar di Jawa dan 1,0 hektar di luar Jawa -- sehingga menciptakan tingkat kesejahteraan hidup yang rendah. Bergantung pada produksi yang subsisten dan belum / kurang memperoleh pelayanan seperti kesehatan, pendidikan dan layanan lainnya (kekurangan modal dan tidak / memiliki tabungan terbatas, pengetahuan juga terbatas dan kurang dinamis.`
Gambar 2.1: Para petani istirahat makan siang setelah bergotong-royong mengolah sawahnya yang pemilikannya kecil-kecil (kiri), Lokasi kebun terpecah dan bermacammacam komoditas yang ditanam (kanan). (Photo by Aliansi Desa Sejahtera) Pengelolaan lahan, biasanya lakukan sendiri bersama keluarganya atau berkelompok dan mempunyai relasi dengan Perusahaan yang berbeda-beda, dari hasil pengamatan dilapangan secara umum dibedakan menjadi: a. Petani kecil Plasma, petani kecil yang sudah terikat suatu kesepakatan dengan suatu unit managemen (baik perusahaan, koperasi atau usaha bersama). Di kebun kelapa sawit dibedakan atas Plasma full management, dimana semua dibawah kendali perusahaan mulai dari pembukaan / pembangunan kebun, penanaman, perawatan, panen, pengangkutan dan sebagainya. Petani dapat bekerja sebagai karyawan yang terikat dengan peraturan perusahaan. Petani mendapatkan pendapatan secara kolektif dari hasil penjualan TBS yang telah dipotong biaya operasional termasuk cicilan biaya pembangunan kebun.
Hal | 178
Juga terdapat petani kecil yang masih terikat suatu kesepakatan dengan suatu unit managemen seperti Plasma full management tetapi sudah di konversi dimana perawatan, panen, pengangkutan dan sebagainya telah diserahkan kepada KUD atau kelompok tani karena cicilan biaya pembangunan kebun telah lunas. Petani tetap dapat bekerja sebagai pekerja harian yang dibayarkan sesuai kesepakatan tingkat kelompok. Petani mendapatkan pendapatan secara kolektif dari hasil penjualan TBS yang telah dipotong biaya operasional kebun yang semua administrasi tetap dikelola oleh koperasi.
b. Petani kecil Outgrowers, petani kecil yang tidak mempunyai ikatan langsung dengan perusahaan, sebagai contoh suplai TBS di kebun kelapa sawit biasanya lewat pengumpul TBS desa pengumpul besar (sebagai penyuplai beberapa PKS dengan melakukan sortasi sederhana suplier SPB sebagai pemegang kuota suplai TBS PKS perusahaan PKS).
Petani kecil outgrower ada juga karena merasa banyak kendala jika dikelola secara pribadi, maka sesama petani dengan jumlah antara 20 orang dalam satu hamparan kecil seluas sekitar 20-30 ha membentuk suatu usaha bersama secara gotong royong, dikelola bersamasama dengan pendapatan diatur proposional sesuai dengan luasan lahannya.
c. Petani kecil Independen, petani kecil yang secara tradisional bebas menanam dan mengelola secara pribadi, mandiri komoditas pertaniannya dan menjual hasil produksinya ke pasar / pengumpul tanpa ikatan. Letak dan posisi lahan dalam hamparan / sistem lansekap, sebagian besar terletak terpecah-pecah dengan luasan kecil dengan komoditas pertanian yang dibudidayakan multiproduk (bermacam dan bervariasi) dengan satu atau lebih komoditas utama dan komoditas lainnya. Keadaan ini juga menjadi salah satu kendala mengapa proses sosialisasi dengan kegiatan-kegiatan intensif sangat diperlukan untuk memberikan informasi yang cukup kepada petani Areal NKT, tidak menutup kemungkinan hasil dari identifikasi areal NKT nantinya akan terdapat di wilayah-wilayah tertentu seperti di lahan publik bagian dari wilayah desa atau tanah ulayat. Bahkan dimungkinkan juga terdapat di wilayah lahan multi-pemilik atau lahan pemilikan pribadi dengan beragam permasalahannya. Pengelolaan dan pemantauan merupakan langkah lanjutan dari hasil identifikasi NKT yang dapat dijaga dan kemungkinan ditingkatkan, termasuk distribusi dan lokasi dari NKT tersebut dalam upaya pengamanan kawasan di tingkat lansekap. Pendekatan pengelolaan dan pemantauan NKT dari sisi ancamannya juga menjadi bagian penting dalam penyusunan pedoman dan juga bergantung pada kondisi kawasan NKT, waktu dan anggaran yang tersedia. Identifikasi akan ancaman terhadap kawasan NKT juga merupakan hasil penilaian tim penilai NKT pada saat proses identifikasi. Berdasarkan temuan-temuan hasil penilaian, arah dan tujuan pengelolaan dan pemantauan akan menjadi lebih tegas dan jelas sehingga
Hal | 179
upaya untuk mencari solusi pengelolaan dari pihak pengelola menjadi lebih terarah dan terencana. Langkah penting dalam melakukan proses pengelolaan dan pemantauan berdasarkan temuan hasil penilaian NKT adalah melakukan identifikasi temuan dan ancaman serta mencari hubungan dengan kebutuhan pengelolaan NKT pada Unit Manajemen (UM) dan tanggung jawab pengelolaan dan pemantauannya. Temuan hasil identifikasi areal-areal NKT merupakan titik awal dari pengelolaan dan pemantauan NKT disuatu kawasan di tingkat lansekap. Temuan berupa jenis NKT dan lokasi areal luasannya yang mendukung nilai tersebut. Hubungan antara temuan hasil identifikasi NKT dengan pengelolaan dan pemantauan terletak pada interaksi operasional unit manajemen yang dilakukan.
Gambar 2.2: Contoh hasil partisipatory mapping tingkat Desa, dapat menjadi referensi dalam identifikasi NKT (Sumber: Halom Rimba) 3. Pendekatan Pengelolaan NKT pada Smallholders 3.1.
Pendekatan Lansekap
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penguasaan lahan oleh petani smallholder umumnya kecil-kecil dan gabungannya belum tentu membentuk suatu hamparan yang utuh. Padahal pola dan sebaran wilayah-wilayah dengan NKT (KBKT, kawasan bernilai konservasi tinggi) tidak mengikuti pola kepemilikan. Bisa jadi ditemukan adanya KBKT yang sebagian areanya, atau bahkan seluruhnya, berada di luar lahan milik petani smallholder. Contohnya adalah aliran sungai dan anak-anak sungai (beserta sempadannya) di wilayah petani Hal | 180
smallholder, yang pada umumnya dipandang sebagai area publik atau -- paling tidak -menjadi urusan administrasi kampung atau desa. Contoh lain adalah area-area perlindungan setempat seperti tutupan hutan kecil di sekitar mata air, atau di puncak-puncak perbukitan, atau di sekeliling tempat-tempat yang dikeramatkan, termasuk tutupan vegetasi yang rapat yang sering dijumpai di pekuburanpekuburan. Wilayah-wilayah ini, yang mungkin memiliki NKT jasa lingkungan, religi, dan atau perlindungan ragam hayati, umumnya tidak dimiliki perorangan dan di bawah penguasaan adat atau kampung. Para petani yang lahannya dilalui atau berbatasan dengan aliran sungai, misalnya, dapat saja dianggap bertanggungjawab dan dibebani urusan pengelolaan NKT di wilayahnya itu. Namun hal ini akan menjadi: (1) tidak adil, karena hanya sebagian petani yang akan menanggung urusan NKT -- yang seharusnya menjadi kepentingan semua orang yang hidup di lingkungan tersebut, dan (2) tidak efektif, jika pengelolaan NKT hanya dilakukan di sebagian area atau lahan yang dikuasai petani, sementara di luar wilayah itu dibiarkan tidak terkelola. Dengan demikian jelas konsep NKT baru akan relevan dan efektif dibicarakan dalam skala lansekap, satuan wilayah yang cukup luas. Mengingat sifat-sifat NKT sendiri yang tidak memandang pemilikan dan pemanfaatan lahan, serta yang menjadi kepentingan semua pihak di lingkungan terkait, pendekatan lansekap dalam pengelolaan NKT menjadi keniscayaan. Dalam lansekap ini akan tergabung bukan hanya area kelola petani smallholder, namun juga pola-pola penggunaan lahan lainnya termasuk pemukiman -- jika ada -- dalam satu kesatuan lahan. Pendekatan ini teristimewa akan menjadi sangat relevan apabila cukup banyak area kelola smallholder yang bergabung atau dapat digabungkan dalam wilayah lansekap tersebut. Untuk unit-unit kelola smallholder yang berbentuk area kompak yang cukup luas dan telah jelas batas-batasnya, misalnya area hutan desa atau hutan kemasyarakatan (HKm), pendekatan ini dapat saja tidak memasukkan area-area penggunaan lain yang berada di luar batas hutan desa atau hutan kemasyarakatan, dan membatasi diri pada wilayah kelola yang sudah ditetapkan Pemerintah. 3.2.
Unit Pengelola
Konsekuensi langsung dari pengelolaan NKT dengan pendekatan lansekap, ialah perlu adanya lembaga atau unit kelola wilayah, yang memiliki otoritas untuk menetapkan, menyusun dan menyelenggarakan pengelolaan dan pemantauan NKT ini. Bergantung pada kesepakatan setempat, unit kelola ini dapat saja dilekatkan pada lembaga administrasi wilayah setempat, semisal pemerintah desa atau kampung, atau dimandatkan sebagai tanggung jawab kelompok tani atau koperasi tani yang terkait. Memang benar bahwa tuntutan untuk melaksanakan identifikasi dan pengelolaan NKT saat ini lebih banyak didorong oleh kepentingan bisnis, ketimbang oleh kebutuhan pengelolaan lingkungan setempat. Meski demikian, tetap saja kedua-dua pertimbangan mengisyaratkan perlunya otoritas pengelolaan pada aras yang lebih tinggi daripada kelola rumahtangga petani.
Hal | 181
Tugas Unit Pengelola ini di antaranya adalah menyusun rencana kelola (dan pemantauan) KBKT, memastikan dan memperjelas batas-batasnya di lapangan, menyelenggarakan tindakan-tindakan pengelolaan selanjutnya, memastikan bahwa tujuan-tujuan pengelolaan NKT dapat tercapai, serta memantau dan mengevaluasi keberhasilan pengelolaan NKT. Sebagai dasar legitimasi Unit Pengelola, diperlukan adanya kesepakatan di antara stakeholder di tingkat lokal mengenai kewenangan, hak, dan kewajiban Unit Pengelola. Kesepakatan ini diperlukan terutama karena Unit Pengelola harus punya kewenangan untuk mengatur dan melakukan tindakan-tindakan pengelolaan di area-area KBKT, baik itu milik publik maupun pribadi. 3.3.
Alat Kelengkapan Pengelolaan
Terkait dengan karakter smallholder, yang umumnya bersifat sederhana, tradisional, banyak menyerap kebiasaan lokal, dan sangat bervariasi dari satu tempat ke lain tempat, pendekatan dalam penyusunan RK-RP (rencana kelola dan pantau) NKT pada smallholder lebih ditekankan pada aspek substansi ketimbang aspek format yang seragam. Yang lebih penting adalah bahwa hal-hal atau informasi dasar yang diperlukan bagi berlangsungnya suatu kegiatan pengelolaan dan pemantauan NKT tersedia untuk dibaca oleh semua pihak yang berkepentingan. Format penyampaian materi atau substansi pun boleh dikombinasikan dengan kebiasaan dan pengetahuan lokal. Secara substansial NKT, beberapa aturan adat lokal bisa jadi telah tersedia, untuk diadopsi ke dalam sistem perlindungan NKT yang relevan di suatu lokasi. Misalnya, adat atau kebiasaan orang-orang di sekitar Rinjani, Lombok, untuk melarang perburuan hewan-hewan di area HKm sengon-kopi (kecuali hewan yang menjadi hama kebun), bisa diadopsi untuk melindungi dan mengelola NKT 1 di wilayah itu. Kebiasaan orang-orang di pedesaan Jawa untuk melindungi mata-mata air dengan tidak menebang pohon di sekitar mata air tersebut, bisa diadopsi untuk melindungi NKT 4. Dan seterusnya. Jadi, konsep NKT dan perlindungannya bisa jadi tidak terlalu asing bagi komunitaskomunitas tertentu, dan jika benar demikian, situasi tersebut bisa dimanfaatkan untuk menopang perlindungan dan pengelolaan NKT yang diusulkan. Selanjutnya, pun dapat digunakan ‘alat-kelengkapan pengelolaan’ yang diadaptasikan dengan kondisi sederhana:
Kesepakatan atau norma sebagai ganti SOP. Contohnya awig-awig. Di kalangan masyarakat pedesaan pada umumnya, konsep SOP (standard operational procedures) hampir tidak dikenal. Akan tetapi kesepakatan menyangkut kebiasaan atau tindakan tertentu, yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan, biasa dijumpai di komunitas tradisional seperti itu. Pengelolaan NKT bisa menggunakan norma atau awig-awig untuk memastikan dipenuhinya suatu kondisi tertentu, ketimbang memaksakan diri menggunakan SOP atau aturan-aturan lain yang didatangkan dari luar.
Pencatatan pengetahuan lokal, untuk melengkapi informasi dasar (baseline info) yang diperlukan bagi penyusunan suatu rencana pengelolaan dan pemantauan. Termasuk pula penggunaan nama-nama lokal (belakangan dapat dicarikan nama ilmiahnya) untuk mencatat kekayaan ragamhayati setempat; pemanfaatan teknologi lokal untuk melakukan kegiatan pengelolaan NKT, dan lain-lain. Hal | 182
Adaptasi kebiasaan atau tradisi pengelolaan, untuk memperkuat RK-RP wilayahwilayah NKT. Adat kebiasaan tertentu, seperti pengelolaan ‘lubuk larangan’ di wilayah Jambi, atau ‘sasi laut’ di wilayah Maluku tengah, jika ada, sangat penting untuk diintegrasikan atau diadaptasi dalam rencana kelola. Penggunaan pranata adat lokal yang sesuai akan mempermudah pemahaman, yang selanjutnya diharapkan akan mempertinggi efektifitas rencana kelola yang disusun.
Demikian pula, penggunaan lembaga adat atau lembaga desa yang ada (misalnya ‘ulu-ulu’ pengelola air di Jawa) dapat dipertimbangkan pula di sini.
Format dokumen RK-RP NKT tidak perlu dibuat kaku, hanya saja sebaiknya mampu memenuhi minimum requirement. Dokumen harus jelas memuat nilai-nilai penting yang akan dikelola, lokasi-lokasinya (KBKT) dan luas masing-masing, kondisinya yang aktual atau terbaru –termasuk ancaman-ancaman terhadapnya, tujuan pengelolaan (dan pemantauan) NKT/KBKT, tindakan-tindakan atau rencana kegiatan untuk mencapai tujuan itu, serta unit yang bertanggung jawab. Lebih jauh lagi, dokumen harus bersifat operasional; yakni dapat dan memang digunakan oleh para petani smallholder untuk memandu kegiatan-kegiatan pengelolaan dan pemantauan NKT di lahan-lahan mereka. Mengenai kebutuhan informasi minimum ini diuraikan lebih mendalam di bagian berikutnya.
Hal | 183
4. Rencana Pengelolaan NKT 4.1.
Strategi Pengelolaan NKT
Tiga tujuan utama pengelolaan NKT terlukis dalam skema berikut:
Melindungi
Memelihara
Meningkatkan
Gambar 4.1. Skema strategi pengelolaan NKT Melindungi. Tujuan pertama dalam mengelola NKT adalah melindungi nilai penting itu dari kerusakan atau penurunan kualitas, baik karena degradasi lingkungan ataupun karena tekanan-tekanan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Termasuk ke dalam upaya melindungi adalah memperjelas batas-batas wilayah KBKT di lapangan, agar diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan; serta proses sosialisasi keberadaan dan tujuannya, agar memperoleh cukup dukungan yang diperlukan. Memelihara. Setelah terlindungi, upaya berikutnya adalah memelihara dan mempertahankan nilai-nilai penting yang ada sehingga dapat berlangsung selama mungkin, sepanjang masa pengelolaan produksi atau bahkan lebih. Bentuk-bentuk upaya pemeliharaan ini akan sangat bervariasi, bergantung kepada nilai penting atau NKT yang dikelola, status kondisi NKT pada saat pengelolaan, ancaman-ancaman yang ada, serta sumberdaya yang tersedia. Meningkatkan. Pada jangka panjang, tujuan pengelolaan NKT ialah sedapat mungkin meningkatkan nilai-nilai penting yang dipunyai oleh KBKT; agar manfaat dan nilainya dapat terus dinikmati oleh lingkungan. Upaya meningkatkan nilai ini bukanlah sesuatu hal yang mudah dikerjakan, akan tetapi selalu diperlukan untuk memberi arah bagi pengelolaan di masa depan. 4.2. Tahapan Kegiatan Sebagaimana telah diuraikan dengan lebih rinci dalam dokumen utama Panduan ini, tahaptahap penyusunan rencana kelola dan rencana pemantauan disarankan untuk mengikuti bagan pada Gambar 4.2. Inventarisasi Kondisi Aktual dan Identifikasi Ancaman. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memeriksa ulang dan memastikan kondisi aktual NKT/KBKT beserta ancaman-ancaman yang dihadapinya. Dalam dokumen kajian penetapan NKT, data awal mengenai kondisi NKT dan KBKT ini biasanya telah tersaji. Akan tetapi sering terdapat selang waktu yang cukup signifikan antara saat kajian awal dengan saat penyusunan Hal | 184
dokumen rencana pengelolaan; sehingga ada kemungkinan lingkungannya telah banyak berubah. Tahapan ini bermaksud untuk memastikan bahwa rencana pengelolaan dan pemantauan akan disusun berdasarkan situasi terbaru, baik kondisi potensi maupun ancaman, masing-masing NKT dan KBKT.
Inventarisasi kondisi aktual dan identifikasi ancaman-ancaman terhadap masing-masing NKT dan KBKT
Menentukan tujuan masing-masing pengelolaan untuk setiap NKT dan KBKT
Identifikasi langkah-langkah mitigasi ancaman HCV lebih lanjut.
Menggunakan pendekatan pengelolaan pencegahan (precautionary management)
Mengembangkan rencana jangka panjang dalam melakukan pemantauan hasil pengelolaan untuk setiap nilai HCV.
Gambar 4.2. Bagan penyusunan pengelolaan HCV Tujuan Pengelolaan. Tujuan pengelolaan ini harus dibuat untuk masing-masing NKT, dan dirinci untuk masing-masing KBKT. Tujuan pengelolaan NKT ini memuat kondisi tertentu yang ingin dicapai di masa depan, dalam jangka pendek atau jangka panjang, sebagai Hal | 185
akibat dari tindakan-tindakan pengelolaan yang direncanakan. Tujuan pengelolaan ditentukan dengan memperhatikan kondisi dan ancaman yang dihadapi NKT/KBKT. Sedapat mungkin, pengucapan tujuan ini juga memuat suatu tolok ukur bagi ketercapaiannya. Uraian-uraian yang lebih rinci mengenai setiap tahapan di atas telah termuat di dalam dokumen utama Panduan Pengelolaan dan Pemantauan NKT. 4.3.
Rencana Kelola NKT di Kawasan Smallholder
Sebagaimana telah didiskusikan pada bagian-bagian terdahulu, dokumen rencana kelola NKT (dan rencana pemantauannya) bisa jadi bentuknya sangat sederhana; akan tetapi diharapkan tidak meninggalkan beberapa hal pokok, seperti:
Deskripsi NKT/KBKT
Peta lokasi
Tujuan pengelolaan
Rincian aktivitas terkait
Waktu dan pelaksana kegiatan
Deskripsi NKT/KBKT. Deskripsi ini terutama berisi ringkasan kondisi terbaru, termasuk ancaman, sebagaimana tercatat dalam proses pemeriksaan ulang KBKT; dan luasnya. Peta lokasi. Jika tersedia peta-peta yang memenuhi standar kartografi, adalah lebih baik. Akan tetapi jika hanya tersedia denah atau sketsa lapangan, sebagaimana biasa dihasilkan dari proses PRA (Participatory Rural Appraisal), pun telah memadai. Yang penting, peta itu dapat menunjukkan lokasi-lokasi KBKT yang dikelola sesuai dengan kondisi lapangan; serta dapat digunakan sebagai panduan untuk memeriksa lokasi. Tujuan pengelolaan. Lihat uraian pada bagian sebelumnya. Rincian aktivitas. Untuk setiap tujuan, boleh jadi ada beberapa aktivitas yang perlu dirancang agar tujuan itu tercapai. Akan tetapi sebaliknya, bisa jadi ada satu aktivitas yang berkontribusi pada ketercapaian lebih dari satu tujuan. Misalnya, aktivitas penanaman pohon (rehabilitasi tutupan hutan) di suatu sempadan sungai bisa berdampak pada tujuan perlindungan aliran air dan tebing sungai, sementara di sisi lain membantu ketercapaian tujuan pemulihan habitat satwa (koridor) di wilayah riparian. Waktu dan pelaksana. Waktu pelaksanaan dan pelaksana (atau penanggung jawab) kegiatan perlu dimuat, setidaknya bagi kepentingan evaluasi dan pemantauan. Contoh tabulasi sederhana rencana kelola NKT tersedia pada Tabel 4.1 di bagian belakang.
Hal | 186
4.4.
Rencana Pemantauan NKT di Kawasan Smallholder
Format rencana pemantauan NKT bagi smallholder juga dapat dibuat sederhana, dan tidak perlu disajikan tersendiri, terpisah dari rencana pengelolaan. Dengan informasi dasar yang sama, rencana pemantauan dapat dibuat sangat ringkas dalam bentuk tabulasi. Contohnya dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.1. Contoh tabel rencana pengelolaan N o.
Nama Lokasi*
1.
Mata air “Telaga Biru”
2.
Sempad an sungai Keruh
Tujuan Pengelolaan
Rencana Kegiatan
1. Melindungi mata air dan sempadann ya, dengan radius 50 meter (NKT 4)
1. Memperjelas tata batas wilayah yang dilindungi di sekitar mata air. Panjang batas sekitar 350 m keliling
2. Melindungi habitat satwa penting, terutama sarang elang jawa (NKT 1)
2. Memulihkan tutupan vegetasi yang rusak di sebagian wilayah sempadan mata air (seluas sekitar 0,5 ha)
1. Melindungi dan memperbai ki fungsi sempadan sungai, dengan lebar ratarata 25 meter (NKT 4)
1. Menandai batas-batas sempadan sungai, sepanjang 4,3 km
2. Memulihkan fungsi sempadan sungai sebagai habitat
2. Menanami sempadan dengan jenisjenis pohon cepat tumbuh, jenis pakan satwa, serta beberapa jenis pohon lokal yang terancam kepunahan
Waktu 1. Bulan ke1
2. Bulan ke4 s/d ke6
1. Bulan ke1 hingga ke-3 2. Bulan ke5 s/d ke12
Pelaksan a Bagian Lingkunga n, berkoordi nasi dengan kelompok tani di dusun Telaga Biru
Bagian Lingkunga n, berkoordi nasi dengan kelompokkelompok tani di sepanjang aliran sungai
Hal | 187
satwa (NKT 1)
(lihat pada Lampiran)
3. Meningkatk an nilai sempadan sungai sebagai tempat pelestarian jenis-jenis pohon langka (NKT 1) 3.
Keramat “Bukit Batu”
1. Melindungi lingkungan tempat yang dikeramatka n masyarakat (NKT 6) 2. Melindungi wilayah bukit dari erosi yang berlebihan dan tanah longsor (NKT 4)
1. Menandai batas-batas wilayah yang dilindungi di kaki bukit 2. Mempertahank an tutupan vegetasi yang ada 3. Memperbaiki jalan naik menuju tempat keramat, serta jalan patroli hutan
1. Bulan ke6 hingga ke-9 2. Sepanjan g waktu 3. Bulan ke5 s/d ke12
Bagian Lingkunga n, berkoordi nasi dengan kelompok tani dusun Bukit Batu dan aparat Desa
3. Melindungi habitat satwa penting, terutama tempat hidup owaowa dan trenggiling (NKT 1) Catatan: *Uraian mengenai kondisi aktual KBKT, luasan, ancaman yang dihadapinya, dan lain-lain informasi yang penting, dimuat pada bagian lain rencana kelola dan tidak dimuat dalam tabel ringkas ini. Juga peta-peta yang terkait.
Hal | 188
Tabel 4.2. Contoh tabel rencana pemantauan No.
Nama Lokasi
1.
Mata air “Telaga Biru”
Tujuan Pemantauan 1. Memantau efektifitas perlindungan mata air dan sempadannya (NKT 4), dan 2. Efektifitas perlindungan habitat satwa penting, terutama sarang elang jawa (NKT 1)
2.
Sempadan sungai Keruh
Pemantauan fungsi dan kondisi sempadan sungai sebagai: 1. Pelindung aliran air dan badan sungai (NKT 4) 2. Habitat aneka jenis satwa (NKT 1) 3. Tempat pelestarian jenis-jenis pohon langka (NKT 1)
3.
Keramat “Bukit
Pemantauan fungsi lingkungan Bukit Batu
Rencana Kegiatan
Waktu
1. Pemeriksaan tata batas wilayah yang dilindungi di sekitar mata air 2. Pemantauan kondisi tutupan vegetasi di wilayah sempadan mata air 3. Pemantauan kondisi sarang elang jawa di pohon rasamala 1. Pemeriksaan tata batas sempadan sungai 2. Pemantauan pertumbuhan jenis-jenis pohon yang ditanam di sempadan sungai
Ketiga kegiatan pemantauan itu dilakukan dua kali setahun: pada bulan ke-4 dan ke-10
Pemantauan juga dilakukan sewaktuwaktu, jika ada kegiatan di lokasi
Pemeriksaan tata batas dilakukan dua kali setahun: pada bulan ke5 dan ke-11
Pemantauan jenis-jenis pohon dan satwa dilakukan 3x setahun: bulan ke-4, ke-8 dan ke12
Pemeriksaan tata batas dilakukan 2x setahun:
3. Pemantauan kehadiran jenis-jenis satwa di sempadan sungai
1. Pemeriksaan tata batas wilayah yang dilindungi di
Pelaksana Bagian Lingkungan, berkoordinasi dengan kelompok tani di dusun Telaga Biru
Bagian Lingkungan, berkoordinasi dengan kelompokkelompok tani di sepanjang aliran sungai
Bagian Lingkungan, Hal | 189
Batu”
sebagai: 1. Tempat yang dikeramatkan masyarakat (NKT 6) 2. Pelindung dari erosi yang berlebihan dan tanah longsor (NKT 4) 3. Habitat satwa penting, terutama tempat hidup owa-owa dan trenggiling (NKT 1)
kaki bukit
pada bulan ke-6 dan ke12
2. Pemantauan kondisi tempat keramat
3. Pencatatan pengunjung tempat keramat
Pencatatan pengunjung dilakukan setiap saat
Pemantauan kondisi tempat keramat, vegetasi dan satwa dilakukan 3x setahun: bulan ke-4, ke-8 dan ke12
4. Pemantauan kondisi tutupan vegetasi yang ada 5. Pemantauan keberadaan owa-owa dan trenggiling
berkoordinasi dengan kelompok tani dusun Bukit Batu dan aparat Desa
Hal | 190
Lampiran 6: Pengelolaan Lanskap NKT Oleh: Lilik Budi Prasetyo 1. Pendahuluan 1.1.
Pengertian Lanskap
Pengertian lanskap sangat beragam, tergantung dari disiplin ilmu dari orang yang mendefinisikan lanskap. Pada konteks pengelolaan NKT pengertian lanskap lebih cocok bila dipandang dari sudut disiplin ilmu ekologi lanskap, yaitu ilmu yang mempelajari struktur, fungsi dan perubahan lanskap (Forman & Godron, 1986). Zonneveld (1979) mengatakan bahwa lanskap adalah sebuah bagian dari permukaan bumi, yang berisi ekosistem yang kompleks, yang terbentuk dari aktivitas batuan, air, tanaman, binatang dan manusia. Dari sudut pandang lanskap ekologi, lanskap didefiisikan sebagai bentang lahan yang disusun dari berbagai elemen/unit pembentuk lanskap yang saling berinteraksi (Forman and Godron, 1986). Lebih jauh mereka membedakan struktur lanskap menjadi elemen berupa patch, matrix, dan corridor. Patch adalah area homogen yang dapat dibedakan dari daerah di sekelilingnya. Matrix adalah patch yang mendominasi lanskap, sedangkan corridor adalah patch yg berbentuk memanjang. Konsep patch dan matrix diinspirasi dari teori biogeografi pulau yang dikemukakan oleh McArthur & Wilson (1963). Patch disetarakan dengan small island, dan matrix disetarakan dengan lautan (ocean), yang membatasi pergerakan species di dalam lanskap. Teori Biogeografi menjelaskan bahwa keanekaragaman species tergantung dari luas pulau dan jarak dari mainland. Semakin dekat dengan mainland dan semakin luas,maka keanekaragaman species patch/island semakin tinggi. Mainland dalam teori ini disetarakan dengan patch yang berukuran las. Pendekatan ini telah diterima dan menjadi dasar kajian ekologi lanskap. 1.2.
Pembentukan dan Struktur Patch
Dilihat dari proses pembentukannya, patch dapat digolongkan menjadi 3, yaitu disturbance patch (patch yang terganggu), remnant patch dan environmental patch. Disturbance Patch adalah patch yang terbentuk karena adanya gangguan/disturbance dari aktivitas manusia. Environmental patch karena proses alami, sedangkan remnant patch adalah patch yang terbentuk karena gangguan pada totalitas matrix dan menyisakan patch alami yang tidak terganggu. Pada proses pembentukan Disturbance patch, struktur habitat asli mengalami gangguan sehingga fungsi habitat tersebut akan berubah. Komposisi species yang menempati habitat baru akan berbeda dengan sebelumnya. Species baru datang/berkolonisasi, sedangkan species yang tidak bisa beradaptasi dengan habitat baru akan keluar/beremigrasi ke habitat di sekitarnya dan dapat menyebabkan kelangkaan local (local extinction). Pembentukan environmental patch bisa terjadi secara mendadak (letusan Gunung berapi) atau perubahan seirama dengan pergantian musim, seperti perubahan savanna menjadi rawa (swamp) di Merauke, Papua. Proses yang bertahap dapat memberikan waktu bagi species untuk beremigrasi dan beradaptasi. Sebaliknya pembentukan patch pada saat letusan gunung berapi akan menyebabkan banyak kepunahan local species, namun kemudian ketika letusan berhenti proses suksesi primer berlangsung dan ekosistem baru terbentuk. Remnant
Hal | 191
patch terbentuk karena sebagian besar patch mengalami perubahan, dan menyisakan patch vegetasi asli. Patch terdiri dari bagian tepi (edge) dan interior (core/interior). Edge adalah bagian dari patch yang mendapat pengaruh iklim mikro (micro climate) dari dua patch yang berbeda. Thomas et al. (1979), mendefinisikan edge sebagai tempat pertemuan dua komunitas tumbuhan yang berbeda. Menurutnya edge mempunyai kelimpahan jenis dan species yang besar, karena efek aditif dari fauna karena adanya pertemuan patch/matriks yang berbeda. Namun Lovejoy et al. (1986) menemukan hal yang sebaliknya, terutama biodiversity fauna primata. Hal ini mungkin disebabkan primata membutuhkan tajuk yg rapat untuk berpindah dan jauh dari disturbance/ gangguan manusia. Respon fauna terhadap edge berbeda-beda. Pada prinsipnya dibagi dua, yaitu menyukai edge (edge exploiter) dan menghindari edge (edge avoider). Species yg menyukai edge maka kelimpahannya di edge lebih tinggi dari di interior, sedangkan yg menghindari edge kelimpahan species akan menurun. Efek tepi telah dikenal banyak diketahui para ahli, namun penentuan pengaruh edge masih dalam perdebatan. Edge dapat ditentukan dengan melihat factor biotik (penutupan tajuk), factor abiotic (iklim mikro), struktur (tinggi/kerapatan pohon) atau perbedaan fungsi (misal kecepatan dekomposisi). Pengukuran menggunaan factor yang berbeda tidak selalu mendapatkan lebar edge yang sama. Pengukuran dengan mengamati gradient suhu, Saunders, Chena, Drummer dan Crow (1999) menemukan lebar edge bervariasi dari 0-40 m. Penelitian ini berbeda dengan yang ditemukan oleh Laurance (1992), bahwa pengaruh edge akan dapat mencapai 400 meter dari batas hutan. Dalam terminologi lanskap ekologi Edge dapat diartikan sebagai tempat pertemuan patch ataupun matriks yang berbeda.. Lebih jauh Thomas mengatakan bahwa dilihat dari struktur lansekapnya, edge dapat dibedakan menjadi Inherent dan induced edge (Gambar 8). (a) Inherent edge : Edge yang terbentuk dari pertemuan dua komunitas berbeda atau komunitas yang berbeda tingkat suksesinya. (b) Induced edge : Edge yang terbentuk karena adanya disturbance, misalnya pembukaan lahan, logging, kebakaran, dll 1.3.
Daya dukung Patch/Fragment
Diamond (1975) menemukan hubungan antara luas area dan jumlah species. Semakin besar luas area, maka akan semakin tinggi jumlah species yang dapat ditampung. Sehingga Diamond menyarankan areal tunggal yang luas untuk tujuan konservasi species. Tidak semua ahli sepakat dengan pendapat Diamond (1975). Deshaye dan Morissset (1989) menemukan bahwa pada sebuah areal diatas 12 ha, tidak ada bedanya antara Single Large (SL) Or Several Small (SS) (SLOSS). Hal ini disebabkan (a) habitat cukup luas untuk menampung semua jenis species, (b) masih dapat menjamin kelangsungan species langka (rare). Debat species-area relationship ini masih terus berlangsung. Pada kenyataan di lapang, fragment NKT adalah fragment yang tidak begitu luas. Pada teori Biogeografi kekayaan species (daya tampung) akan meningkat dengan meningkatnya area yang dinyatakan dengan hubungan S = A z (S= keanekaragaman, A = Area, dan z konstanta, yang nilainya tergantung dari kondisi habitat). Berdasar hal itu maka daya tampung/daya dukung area akan meningkat apabila kondisi habitat diperbaiki.
Hal | 192
1.4.
Koridor (Corridor) dan pergerakan species
Koridor adalah patch yang memanjang, yang dapat terbentuk secara alamiah (natural) atau bentukan manusia (man made). Koridor selalu diasosiasikan dengan hutan, walaupun koridor dapat juga berupa penutupan lahan non hutan. Jaringan Sungai, jaringan jalan, jembatan, vegetasi di kanan kiri sungai, belukar, dan lahan pertanian dapat dikategorikan sebagai koridor Tipe penutupan lahan koridor menentukan fungsinya dalam ekologi. Koridor dapat berfungsi sebagai habitat, menghalangi pergerakan (barier), membantu pergerakan species (conduit), atau sebagai penyaring pergerakan satwa (filter). Koridor dapat berfungsi habitat apabila species dapat berkembang biak di dalam koridor, karena habitatnya sesuai. Sebaliknya koridor dapat berfungsi sebagai barier apabila tipe habitat koridor tidak cocok dengan kebutuhan hidup species tersebut. Koridor berupa hutan yang rapat, dapat memfasiltasi pergerakan beragam species, baik species edge hutan ataupun species interior hutan, apabila koridor tersebut cukup lebar. Untuk avifauna, koridor tidak selalu harus terkoneksi secara fisik, stepping stone koridor juga dapat membantu pergerakan species. 2. Pengelolaan dan Pemantauan Lanskap pada unit pengelolaan yang mempunyai NKT 2.1.
Pengelolaan Lanskap
Sebuah unit pengelolaan/managemen (baik berupa HTI, Perkebunan atau Tambang), dapat dipandang sebagai sebuah lanskap, yang mempunyai struktur, sehingga dapat dirinci elemen pembentuknya menjadi patch (edge dan interior), matriks dan koridor. Pada sebuah perkebunan kelapa sawit, hamparan sawit dapat dikategorikan sebagai matriks, sisa-sisa hutan sekunder/belukar (remnant vegetation), dan riparian/jaringan utilitas sebagai koridor. Demikian juga areal pertambangan , areal yang ditambang dapat dikategorikan sebagai matriks dan vegetasi yang tersisa sebagai patch. Perkebunan Sawit, dan Pertambangan adalah sebuah lanskap yang terfragmentasi, dimana patch (remnant forest/secondary forest/bush) yang berukuran kecil terpisah oleh matriks sawit yang sangat luas. Pada kurun waktu yang panjang, proses fragmentasi akan menyebabkan isolasi antar patch di dalam unit pengelolaan atau dengan kawasan di sekitarnya. Kondisi ini akan mendorong kepada kepunahan local species. Tindakan pengelolaan secara umum yang harus dilakukan adalah sbb: a) Mempertahankan / Meningkatkan Konektivitas Pada unit manajemen yang belum beroperasi, konektivitas antar patch NKT harus dipertahankan, sedangkan Unit Manajemen yg sudah beroperasi konektivitas harus ditingkatkan. Pengelolaan ditujukan untuk menjamin konektivitas lanskap fragment NKT di dalam unit manajemen. Apabila dimungkinkan konektivitas diusahakan dengan daerah di luar unit manajemen yang mempunyai habitat sama yang lebih luas, baik berupa unit manajemen sejenis atau kawasan konservasi. Konektivitas dapat berupa pembangunan fragment baru yang berdekatan (berfungsi sbg stepping stone corridor) atau koridor yang secara fisik tersambung dengan memanfaatkan kawasan lindung di kanan kiri sungai (riparian).
Hal | 193
b) Pengkayaan habitat (Habitat enrichment) Pengkayaan habitat pada fragment NKT akan meningkatkan keanekaragaman dan daya tapung, serta dapat mengikatkan fungsi fragment NKT sebagai koridor. Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan species pohon asli di unit manajemen. Perbaikan kualitas habitat NKT juga akan dapat menurunkan tingkat predasi, karena ketersediaan pelindung (cover) lebih baik. c) Mempertahanan Habitat Mikro Pada species herpetofauna, unit lanskap dapat bersifat sangat kecil. Genangan (embung) atau kubangan di dalam hamparan kebun sawit/HTI (tidak dapat terdeteksi dengan remote sensing), bagi herpetofauna adalah merupakan patch, habitat yang cocok untuk berkembang biak. Sehingga menjaga dan menambah patch tersebut akan mendukung upaya konservasi species tsb. 2.2.
Pemantauan Lanskap
a) Pemantauan struktur lanskap dengan menggunakan citra satelit Struktur lanskap dapat dipantau dengan menggunakan data citra satelit dengan berbagai pilihan tingkat ketelitian. Pemantauan struktur lanskap ditujukan pada keutuhan struktur secara periodik (2-3 tahun sekali). b) Pemantauan fungsi lanskap Fungsi lanskap tidak dapat dideteksi dengan menggunakan data citra, tetapi dengan melakukan inventarisasi keanekaragaman hayati di unit menagemen.
Hal | 194
Daftar Bacaan Deshaye, Jean dan P. Morisset. 1989, Species-area Relationships and the SLOSS Effect in Subartic Archipheago. Biological Conservation 48 (1989) : 265-276 Diamond (1975) Forman & Godron. 1989. Landscape Ecology. Laurance, WF. 1991. Edge Effects in Tropical Forest Fragments: Application of a Model for the Design of Nature Reserves. Biological Conservation 57 (1991): 205-219 Lovejoy et al. (1986) McArthur & Wilson (1963). Saunders, S.C., J.Chen, T. D. Drummer and T. R. Crow. 1999. Modeling temperature gradients across edges over time in a managed landscape. Forest Ecology & Management, 117 (1999) : 17-31
Hal | 195