PANDANGAN PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) TERHADAP HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM REFORMASI KETATANEGARAAN DI INDONESIA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: SUPARDI NIM: 106045201541
KONSENTERASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
PANDANGAN PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) TERHADAP HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM REFORMASI KETATANEGARAAN DI INDONESIA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: SUPARDI NIM: 106045201541
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Hj. Isnawati Rais, MA NIP. 195710271985032001
Iding Rasyidin,S.Ag.,M.S.i NIP. 197010132005011003
KONSENTERASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
LEMBARAN PERYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 April 2011
Supardi
بسم اهلل الرمحن الرحيم KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji sukur kehadiran Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah di berikan pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga tetap dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, rasul yang sangat berjasa besar pada umatnya semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan. Skripsi
yang berjudul
“PANDANGAN PARTAI KEBANGKITAN
BANGSA (PKB) TERHADAP HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM REFORMASI KETATANEGARAAN DI INDONESIA” penulis susun dalam rangka Syariah (S.Sy)
memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsenterasi Syiasah
Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam) fakultas syariah dan hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya penulis skripsi ini, tanpa adanya bantuan dari motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan yang berharga perkenankan penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih yang tulus pada yang terhormat:
i
1. Bapak Prof. Dr. K.H.M. Amin Suma, SH., MH., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, dan Bapak Afuan Faizin, MA Ketua dan Sekertaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syar’iah dan Hukum Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta. Terimakasih atas waktu dan solusinya selama ini. 3. Ibu Dr. Hj. Isnawati Rais, MA. Sebagai dosen pembimbing I penulis yang senantiasa selalu sabar membimbing dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan sekripsi ini. 4. Bapak Iding Rasyidin, S.Ag., M.Si., sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan beliau yang sangat berarti bagi penulis. 5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memeberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berat bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas perihal Islamic Legal Politics (Siyasah Wal Qanun). 6. Segenap pengelolah Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta atas pelayanan referensi buku-bukunya. 7. Sahabat- sahabat penulis yang tercinta, Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah Tahun Akademik 2006, Alif, Apri, Ade, Asriyah, Atiqoh, Bangkit, Bowo, Deni, Dinda, Dian, Eri, Esha, Eca, Mufti, Ridwan, Rifqoh, Yudha, Naziah,
ii
Lina, Lutfi, Imran, terima kasih penulis ucapkan pada sahabat semua baik yang disebutkan namanya maupun yang tidak disebutkan namanya telah berbagi ilmu ketika belajar di kampus tercinta dan bersejarah ini. 8. Kakakku Dr. Dania Ralid, SE, MM, Selvi, SH, Iryani, SE, adikku Derma Yanti dan Nur Komala Sari, terimakasih atas bantuan dan suportnya yang di berikan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 9. Ucapakan terima kasih pada abang ipar ku yang di PKB Haikal Ludin beserta para jajaran pengeurus PKB yang telah membantu penulis
menyelesaikan
tugas akhir kuliah. 10. Sahabat-sahabat dan Abang-abang ku HMI baik yang di Partai,,LBH, LSM. Atas support dan doanya. 11. Penulis memohon ampun pada Allah SWT lebih khusus untuk kedua orang tua penulis ayah Prof. Dr. H.Dasuki .SH. MM dan mamah ku tercinta Dr. Hj. ANISAH. SH terimakasih atas kasih sayangnya dan ketabahan sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah S1 di kampus bersejarah ini. Terakhir penulis berdo’a kepada Allah SWT semoga ilmu yang telah kita dapat di kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah SWT. Amin Jakarta, 16 April 2011 M Jumadil Awal 1432 H
Supardi
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah..........................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
9
D. Kerangka Teoritis ........................................................................ 10 E. Kerangka Konsepsional .............................................................. 10 F. Metode Penelitian........................................................................ 11 G. Review Studi Terdahulu .............................................................. 13 H. Sistematika Penulisan ................................................................. 16
BAB II
: PERKEMBANGAN
HUBUNGAN
EKSEKUTIF
DAN
LEGISLATIF DI INDONESIA A. Perkembangan Eksekutif dan Legislatif ..................................... 18 B. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Orde Lama ............ 21 C. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Orde Baru .............. 23 D. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Masa Orde Reformasi................................................................................. ... 26
iv
BAB III
: SKETSA TENTANG PARTAI KEBANGKITAN BANGSA A. Sejarah Berdirinya PKB .............................................................. 32 B. Visi dan Misi PKB ...................................................................... 38 C. Asas – Asas PKB ........................................................................ 41
BAB IV
: PANDANGAN
PARTAI
KEBANGKITAN
BANGSA
TERHADAP HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM
REFORMASI
KETATANEGARAAN
DI
INDONESIA A. Pandangan Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Hubungan Eksekutif dan Legislatif .............................................................. 43 B. Kewenangan
Lembaga
Eksekutif
dan
Legislatif
Pasca
Amandemen 1945 ....................................................................... 46 C. Peranan PKB terhadap reformasi ketatanegaraan di Indonesia .. 60 D. Analisa
pandangan
PKB
dalam
pelaksanaan
sistem
Presidensial di Indonesia ............................................................. 61
BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 68 B. Saran-Saran ................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 72 LAMPIRAN
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan perkembangan zaman maka untuk konsep kekuasaan saat ini di Negara-negara berkembang menerapkan konsep pembagian kekuasaan yang kita kenal dengan doktrin trias politica. Trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dalam tiga macam. Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang dalam peristilahan baru sering disebut rulemaking function. Kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang dalam peristilahan baru sering disebut rule application function. Ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan yang mengadili atas pelanggaran undang-undang dalam peristilahan baru sering disebut rule adjudication function. Trias politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.1 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut di atas, maka lembaga eksekutif dan legislatif mempunyai hubungan yang sangat erat agar terciptanya proses checks and balances dalam menjalankan roda pemerintahan.
Namun
dalam implementasinya, hakikat dan makna serta tujuan dan sasaran pelaksanaan 1
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1972) h. 54
1
2
pemerintahan masih sering terjadinya gesekan antara lembaga tinggi negara dan pembagian kekuasaan serta wewenang diri tiap-tiap lembaga tinggi belum dapat direalisasikan secara utuh. Peran dan Hubungan Antar-Lembaga Sistem politik Indonesia bercirikan lembaga eksekutif yang kuat yang disokong oleh lembaga legislatif yang lemah (yang di dalamnya termasuk anggota-anggota yang tidak dipilih dari kalangan militer dan kelompok-kelompok fungsional). Hal ini membuat kontrol institusi terhadap lembaga eksekutif berkurang. Hubungan antara eksekutif dan legislatif juga tak imbang karena budaya politik yang mendominasi hubungan antara struktur-struktur konstitusional.2 Ini bisa disebut sebagai budaya hierarki atau komando yang menghambat kontrol demokratis terhadap pemerintah dan yang bisa dihubungkan dengan, sebagian, absennya definisi peran legislatif dan eksekutif dan batas di antara mereka dalam UUD 1945. Untuk mengoreksi situasi ini, peran dan hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif perlu dipelajari secara kritis. Perdebatan mutakhir berpusat di sekitar bentuk komposisi lembaga legislatif yang paling memadai. Lembaga legislatif mendapatkan baik kekuasaan untuk membuat aturan hukum maupun memperdebatkan kinerja lembaga eksekutif dan institusi-institusi pemerintah lain. Namun tantanganya adalah menemukan keseimbangan di antara legislatif yang berdaya dan lembaga eksekutif yang efektif sebab bukanlah peran legislatif untuk memerintah. Legislatif juga berperan penting untuk mengajak atau mendorong 2
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 39
3
perdebatan ekstra-parlementer yang lebih luas. Untuk melakukannya. harus ada akses terhadap informasi dan suatu sistem komisi yang aktif. Periodisasi dari tarik-menarik dari lokus dan fokus kekuasaan dalam sejarah pemerintahan Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut: Periode
Orde
Lama
semangat
perjuangan
masih
mewarnai
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Para pelakunya masih kuat iman untuk berjuang demi negara dan persatuan bangsa. Bahkan tidak jarang diperlihatkan oleh kekuatan mayoritas menekan kepentingannya sendiri untuk menghargai kepentingan minoritas demi kesatuan dan persatuan bangsa dan negara proklamasi.3 Sebagai contoh, penyimpangan pertama dari Bung Karno terhadap UUD 1945 seperti disinggung di depan ialah diterimanya usulan Sahrir untuk tidak menggunakan kabinet presidensial dan diganti dengan kabinet parlementer. Sjahrir sendiri saat itu merupakan tokoh vokal dan amat disegani. Demi persatuan dan kesatuan, maka Bung Kamo menerima usulan itu. Selain itu Bung Karno juga menyadari bahwa KNIP belum mencerminkan kekuatan politik riil yang anggotanya (tidak dipilih akan tetapi ditunjuk) tidak mewakili kekuatan sosial politik nyata saat itu. Semangat primordial, walaupun ada, untuk sementara waktu kalah oleh semangat nasional. Satu-satunya organisasi politik primordial yang mengancam negara proklamasi adalah PKI yang melakukan pemberontakan dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara. Pada awal kemerdekaan ada
3
Sofyan Effendi, Mencari Sistem Pemerintahan Negara, dalam Makalah Orasi Ilmiah Pada Dies Natalies Ke-40 Universitas Pancasila pada tanggal 6 April 2008.
4
semacam kesepakatan bahwa lembaga pemerintahan merupakan merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup beralasan, karena lembaga ini mempunyai birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Namun dalam perjalanan sejarah nampak gejala semakin menguatnya aspirasi primordial dalam lembaga birokrasi pemerintah kita. Lembaga ini menjadi incaran kekuatan-kekuatan politik. Partai-partai politik mulai mengincar peluang untuk menguasai lembaga birokrasi pemerintahan ini. Gejala semakin derasnya kekuatan politik mengincar terhadap lembaga birokrasi pemerintah semakin hari semakin dirasakan. Pada tahun 1950 Indonesia menganut sistem demokrasi parlementer, pemerintah bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, saat itu menganut sistem banyak partai yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Pada periode ini diselenggarakan pemilihan umum pertama yang dikenal sangat demokratis. Kedudukan DPR saat itu sangat kuat sebaliknya lembaga pemerintah dapat dikatakan lemah posisinya, aparat pemerintah yang diharapkan netral juga sudah pandai bermain mata dengan kekuatan- kekuatan politik yang ada. Pada periode ini di sana-sini militer sudah mulai ikut memainkan peran dalam percaturan politik. Partisipasi politik militer mulai nampak ketika tentara menolak perjanjian KMB yang merupakan hasil perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan oleh politisi sipil melalui jalan diplomasi. Peran tentara ini kelak akan diwujudkan
5
dalam konsep duwi fungsi yang menekankan bahwa militer tidak hanya berperan di bidang keamanan dan pertahanan saja, melainkan juga di bidang sosial dan politik. Periode masa Orde Baru Hubungan dan kedudukan antara eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR) dalam sistem UUD 1945 sebenarnya telah diatur. Dimana kedudukan dua lembaga ini (Presiden dan DPR) adalah sama karena kedua lembaga ini adalah merupakan lembaga tinggi negara (Tap MPR No.III/MPR/1978).4 Namun dalam praktik ketatanegaraan dan proses jalannya pemerintahan pada masa rezim Orde Baru, kekuasaan eksekutif begitu dominan terhadap semua aspek kehidupan sistem kepemerintahan dalam negara kita, terhadap kekuasaan legislatif maupun terhadap kekuasaan yudikatif. Keadaan ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena pengaturan yang terdapat di dalam UUD 1945 memungkinkan terjadinya hal ini. Oleh sebab itu, tidak salah pula apabila terdapat pandangan yang menyatakan bahwa UUD 1945 menganut supremasi eksekutif. Dominasi kekuasaan eksekutif mendapat legitimasi konstitusionalnya, karena dalam Penjelasan Umum UUD 1945 pada bagian Sistem Pemerintahan dinyatakan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di bawah Majelis. Dalam sistem UUD 1945 (sebelum diamandemen), Presiden memiliki beberapa bidang kekuasaan. Selain sebagai pemegang kekuasaan
4
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1972) h. 38
6
pemerintahan (pasal 4 ayat 1), Presiden memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang ( pasal 5 ayat 1 ). Demikian juga Presiden memiliki kekuasaan diplomatik yang sangat besar, yaitu kekuasaan membuat berbagai macam perjanjian internasional dan mengangkat serta menerima duta dari negara lain (pasal 11 dan pasal 13). Sama halnya dalam bidang hukum (kekuasaan di bidang justisial) yang kemudian diwujudkan dalam pemberian garis rehabilitas, amnesti dan abolisi ( pasal 14 ).5 Sistem pemerintahan pada masa kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dipilih oleh penulis disebabkan oleh banyaknya bentuk-bentuk kebijakan yang dirasa oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sangat tidak lazim dan bertentangan dengan apa yang dinginkan oleh rakyatnya.6 Era pemerintahan orde reformasi ketika dibawah kepemimpinan Gus Dur berusaha mencoba menampilkan strategi demokratisasi yang khas yang dikenal sebagai “demokrasi bawah”, yaitu suatu demokrasi dan upaya demokratisasi Negara yang memprioritaskan upaya pemberdayaan dan keberdayaan masyarakat. Menurut Gus Dur upaya menciptakan demokrasi hampir identik dengan upaya pembangunan civil society. Melalui saluran komunikasi yang dimilikinya, ia mencoba memberikan satu kerangka kerja bagi petani, buruh, pedagang kecil, bahkan pegawai pemerintah untuk menyalurkan dan menata diri mereka masingmasing. 5 6
85
Moh. Mahfud MD, Politiki Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 64 Marwan Jafar, Merubah Sistem Politik Gus Dur di PKB, (Jakarta: Rajawali Press, 2008) h.
7
Kepemimpinan dengan pola transformasional, pola pemikir pemimpin ini lebih tertuju pada perubahan dari keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, kebutuhankebutuhan dan kemampuan pengikut. Ia mampu menyampaikan visi dan misi serta mampu membangkitkan motivasi para pengikut untuk menjadi seorang individu yang seutuhnya dan mampu mengaktualisasikan diri.7 Dari aspek intelektual, pemimpin transformasional tidak puas dengan pemecahan masalah yang bersifat parsial, menerima keadaan status quo, atau melakukan seperti apa yang biasa di lakukan, ia suka mencari cara-cara baru, dalam berfikir lebih proaktif, gagasannya lebih kreatif, inovatif ; di dalam ideologi lebih radikal dan reaksioner dibandingkan konservatif ; serta tidak mengalami hambatan berfikir dalam upaya mencari pemecahan masalah. Atribut-atribut diatas dapatlah di proyeksikan sebagai kepemimpinan yang ditetapkan oleh Gus Dur. Mengingat Gus Dur pemikirannya lebih demokratis, Proaktif dan inovatif. Namun pemimpin yang demikian harus diimbangi dengan para pembantu yang dimiliki daya persepsi tinggi, sebab apabila tidak maka sang pemimpin akan berjalan sendiri meninggalkan para pembantunya, sehingga para pembantunya tersebut akan berjalan ditempat atau menjadi bingung sendiri mengejar
pemimpinnya.
Yang
dikhawatirkan
adalah
akibat
kelebihan
intelektualitas sang pemimpin, maka ia akan melakukan sesuatu kebijakan yang tidak dapat dikendalikan (uncontrollable) yang dapat membahayakan rakyat, bangsa dan negara serta dirinya sendiri. 7
DPP PKB, 13 Agenda Kemandirian dan Kedaulatan Bangsa, Jakarta,2008 h.23
8
Presiden Gus Dur dengan kelebihan intelektualitasnya dan wisdomnya berjalan dengan sendiri jauh di depan para pembantunya sehingga mengeluarkan kebijakan-kebijakan atau pernyataan yang kontroversial di tengah-tengah masyarakat dan bahkan di sana-sini menimbulkan konflik kelembagaan sebagaimana yang ditampilkan oleh mekanisme kerja yang tidak serasi antar DPR dan pemerintah. Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis ingin mengetahui pandangan salah satu partai yang ada di Indonesia yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terhadap hubungan eksekutif dan legiselatif dikarenakan penulis merasa ada faktor-faktor politik yang tidak menunjang terjadiya hubungan yang harmonis antara eksekutif dan legiselatif, dan ini menarik untuk diteliti, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul; “PANDANGAN PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) TERHADAP HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM REFORMASI KETATANEGARAAN DI INDONESIA”.
B. Batasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis terfokus pada pandangan Partai Kebangkitan Bangsa terhadap hubungan lembaga Eksekutif dan Legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia.
9
2. Perumusan Masalah Melihat judul skripsi tersebut dan latar belakang permasalahan seperti terurai di atas, maka penulis perlu membuat rumusan masalah yang dianggap penting yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini. Diantara rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut: a. Bagaimanakah pandangan PKB terhadap hubungan eksekutif dan legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia? b. Bagaimana kebijakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia? c. Bagaimanakah konsep Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk mengatasi berbagai kendala yang menghambat upaya pelaksanaan reformasi ketatanegaraan di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap Secara lebih rinci tentang pandangan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengenai hubungan lembaga eksekutif dan legislative dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk: a.
Mengetahui pandangan PKB terhadap hubungan eksekutif dan legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia
b.
Mengetahui kebijakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia
10
c.
Mengetahui konsep Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk mengatasi berbagai kendala yang menghambat upaya pelaksanaan reformasi
2. Manfaat Penelitian Penulis berharap dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran dan pemahaman tentang Pandangan PKB terhadap hubungan eksekutif dan legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia.
D. Kerangka Teoritis Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut di berbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang.
E. Kerangka Konseptual 1. Pengertian Legislatif Legislatif berfungsi membuat undang-undang (legislate). Menurut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang berdaulat. Rakyat yang berdaulat ini mempunyai kemauan (Rousseau menyebutnya dengan Volonte Generale atau Generale Will). Rakyat memilih beberapa orang untuk duduk di lembaga
11
legislatif sebagai wakil rakyat guna merumuskan dan menyuarakan kemauan rakyat dalam bentuk kebijaksanaan umum (public policy). 2. Pengertian Eksekutif Lembaga penyelenggara kekuasaan negara berikutnya adalah lembaga eksekutif yang berfungsi menjalankan undang-undang. Di negara-negara demokratis, secara sempit lembaga eksekutif diartikan sebagai kekuasaan yang dipegang oleh raja atau presiden, beserta menteri-menterinya (kabinetnya). Dalam arti luas, lembaga eksekutif juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer.
F. Metode Penelitian Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan secara rinci tentang hal-hal yang terkait dengan metode penelitian dari skripsi ini, yaitu : 1. Jenis Penelitian Penulisan skripsi ini termasuk salah satu jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif dalam buku Suharsimi didefinisikan sebagai penggambaran situasi yang sebenarnya tentang suatu objek, gejala atau keadaan dari hasil temuan di lapangan serta memahaminya sehingga mendapatkan suatu gambaran atau informasi yang tepat berkaitan dengan masalah penelitian tersebut. Dalam pengertian bahwa metode yang digunakan untuk memahami masalah yang diteliti pada skripsi ini, tidak dengan melakukan pengukuran
12
secara statistik, melainkan dari hasil pemaparan pihak responden yang jelas dan rinci terhadap masalah yang diteliti sehingga memberikan pemahaman yang mendalam terhadap masalah yang diteliti tersebut. 2. Teknik Pengumpulan Data Sumber data yang yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini, yaitu: a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari pihak responden yang terdiri dari 1) Observasi Dalam hal ini penulis mengamati setiap kegiatan atau aktivitas yang berlangsung di DPP PKB Jakarta. 2) Wawancara Terstruktur Selain melakukan wawancara dengan pihak responden, penulis menyiapkan daftar pertanyaan yang sifatnya terbuka, agar wawancara bisa berjalan fokus dan terarah, serta bertujuan untuk memberikan pemahaman secara mendalam 3) Untuk Memperoleh data dilakukan dengan menggunakan Studi Dokumenter. yaitu dengan cara mengkaji yang terdapat dari berbagai macam literatur kepustakaan berupa buku-buku, majalah-majalah, website atau literatur lainnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk dikaji dan dicatat bagian-bagian yang penting yang nantinya
ada
benang merah
tentang
pandangan
Partai
Kebangkitan Bangsa hubungan eksekutif dan legiselatif dalam reformasi ketataegaraan di Indonesia.
13
b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber-sumber seperti arsip, atau dokumen yang mendukung penelitian ini. 1) Teknik Analisis Data Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis secara kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di lapangan sacara berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi data agar tercapai konsistensi di lapangan dengan langkah abstrkaksi-abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan, dengan mempertimbangkan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sangat memungkinkan dianggap mendasar dan universal. 2) Teknik Penulisan Untuk teknik penulisan, penulis berpedoman pada buku petunjuk “pedoman penulis skripsi “ yang di terbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
G. Review Studi Terdahulu Penulis menemukan judul skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang akan diteliti oleh penulis. Akan tetapi, setelah penulis membaca skripsinya tersebut ada perbedaan yang signifikan. Sehingga dalam tulisan skripsi ini nantinya tidak timbul kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan penulis kemukakan skripsi yang pernah di tulis yaitu:
14
1. Judul : “ Perdebatan dan Peraktek Sistem Pemerintahan Di Indonesia Pasca Soeharto” Penulis : Rico Candra /FISIP/2009 Skripsi ini membahas seputar sistem kepemerintahan pasca Soeharto yang menggunakan sistem presidensial yang tercampur baur dengan sistem parlementer. Fenomena yang menunjukkan bahwa sistem presidensial di Indonesia bercita rasa parlemen adalah pada tata kelola dan pelaksanaan sistem relasi antar lembaga negara, terutama pada lembaga eksekutif dan legislatif. Meskipun prsiden dan wakil presiden mendapat dukungan mayoritas dari rakyat namun itu tidak sejalan dengan dukungan parlemen. Dalam pemilihan umum presiden ( eksekutif ) sistem pemerintahan yang di anut di indonesia pasca kejatuhan rezim soeharto adalah presidensial. Salah satu yang mengindikasikan hal tersebut adalah presiden dan wakil presiden di pilih langsung oleh rakyat, bukan lagi oleh MPR. Konsekuensinya presiden bukan lagi mandataris oleh MPR lagi, kedudukan presiden dan MPR sejajar. Inilah inti dari presidensial yang di anut di indonesia pasca jatuhnya rezim Seharto adalah “Kuasi Presidensial” di sebabkan beberapa kebijakan yang seharusnya wewenang penuh presiden di ambil alih oleh DPR RI. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis terdapat pada cangkupan yang diteliti, jika penelitian yang dilakukan oleh rico chandra membahas semua sistem pemerintahan setelah kepemimpinan soeharto maka pada penelitian kali ini penulis lebih menekankan pada pembahasan
15
pandangan PKB terhdapa hubungan eksekutif dan legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia 2. Judul :” Reformasi Kewenangan Presiden Pasca Amandemen Suatu kajian Yuridis-Normatif dan Hukum Ketatanegaraan islam “ Penulis : Siti Atiqoh/FSH/2010 Skeripsi membahas tentang seputar eksekutif pasca amandemen, menjelaskan kewenangan presiden atau kepala Negara menurut ketatanegaraan islam, presiden atau lembaga eksekutif menurut ketatanegaraanislam adalah tugas melaksanakan Undang-Undang (al-Sulthah al-tanfidziyah). Dalam hal ini negara melakukan kebijaksanaan baik yang berhubungan dengan dalam negeri, maupun yang menyangkut dengan hubungan sesama negara (hubungan internasional). Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada pembahasan jika pada penelitian yang dilakukan oleh siti atiqoh reformasi kewenangan presiden sedangkan penelitian yang dilakukan penulis lebih menekankan pada pembahasan pandangan PKB terhadap hubungan eksekutif dan legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia. 3. Judul :” Studi Kompratif Antara AHL AL-HALL WA AL-AQD dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945” Penulis : Naziah/FSH/2010 Skripsi membahas tentang seputar AHLAL-HALL WA AL-AQD dan MPR Pasca Amandemen, menjelaskan kedudukan dan kewenangan MPR
16
pasca amandemen UUD1945, kedudukan dan wewenang ahl al-hall wa al-aqd sama dengan MPR sebelum UUD 1945 diamandemen namun, setelah UUD 1945 mengalami perubahan kedudukan dan wewenang MPR tidak lagi sama seperti ahl al-hall wa al-aqd, setelah amandemen tugas dan wewenang MPR terbatas dan di berikan lembaga tinggi Negara lainnya.berarti wewenang ahl al-hall wa al-aqd menyangkup tugas dan wewenang beberapa lembaga tinggi Negara di Indonesia setelah amandemen UUD 1945. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada pembahasan jika pada penelitian yang dilakukan oleh Naziah hanya membahas tentang kedudukan dan kewenangan MPR sedangkan penelitian yang dilakukan penulis lebih menekankan pada pembahasan pandangan PKB terhadap hubungan eksekutif dan legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia merupakan judul yang belum pernah ditulis dan dibahas sebelumnya
H. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai berikut : BAB I : Merupakan Pendahuluan, memuat ; latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kerangka teori manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
17
BAB II :
Perkembangan Hubungan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia, Perkembangan Eksekutif dan Legislatif, Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Orde Lama, Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Orde Baru, Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Masa Orde Reformasi.
BAB III : Sekilas tentang Partai Kebangkitan Bangsa, memuat: Sejarah berdirinya, Asas – asas, Visi dan misi partai. BAB IV : Pandangan partai kebangkitan bangsa terhadap hubungan Esekutif dan Legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia, Pandangan Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Hubungan Eksekutif dan Legislatif, Kewenangan Lembaga Eksekutif dan Legislatif Pasca Amandemen 1945, Peranan PKB terhadap reformasi ketatanegaraan di indonesia, Analisa pandangan PKB dalam pelaksanaan sistem presidensial di indonesia BAB V : Merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam penulisan skripsi yang berisi kesimpulan dan saran
BAB II PERKEMBANGAN HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DI INDONESIA
A. Perkembangan Eksekutif dan Legislatif DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan Eksekutif atau Presiden adalah lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, terlebih Indonesia yang memegang prinsip Pembagian Kekuasaan. Dalam hal ini, maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi. Dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekangesekan, begitu juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang merupakan wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak jauh dari kepentingan partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya. Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah konflik kepentingan antar partai yang ada. Peran dan Hubungan Antar-Lembaga Sistem politik Indonesia bercirikan lembaga eksekutif yang kuat yang disokong oleh lembaga legislatif yang lemah
18
19
(yang di dalamnya termasuk anggota-anggota yang tidak dipilih dari kalangan militer dan kelompok-kelompok fungsional). Hal ini membuat kontrol institusi terhadap lembaga eksekutif berkurang. Hubungan antara eksekutif dan legislatif juga tak imbang karena budaya politik yang mendominasi hubungan antara struktur-struktur konstitusional. Ini bisa disebut sebagai budaya hierarki atau komando yang menghambat kontrol demokratis terhadap pemerintah dan yang bisa dihubungkan dengan, sebagian, absennya definisi peran legislatif dan eksekutif dan batas di antara mereka dalam UUD 1945. Hubungan eksekutif dan legislatif pada masa sebelum amandemen UndangUndang Dasar 1945 atau dengan kata lain pada masa Orde Baru, adalah sangat baik. Bisa dikatakan demikian karena hampir tidak ada konflik antara Eksekutif dan Legislatif pada masa itu. Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI menghasilkan kehidupan politis yang stabil. DPR yang tentunya sebagian besar dari Fraksi Golongan Karya, selalu „manut‟ dengan apa yang ditentukan oleh Soeharto. Hal ini sangat berbeda dengan masa setelah Orba, yaitu pada masa reformasi. Legislatif tidak mau lagi hanya berdiam diri, menuruti segala apa yang dikatakan presiden. Bahkan cenderung kekuatan legislatif kini semakin kuat. Hal ini bisa dilihat ketika DPR menjatuhkan impeachment terhadap kepemimpinan Gus Dur. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemilihan eksekutif dalam hal ini presiden dan wakil presiden dan pemilihan legislatif yaitu anggota
20
DPR telah mengubah pola atau sistem dengan pemilihan langsung oleh rakyat. Perubahan sistem pemilihan ini ternyata juga berpengaruh terhadap relasi atau hubungan antara Presiden dengan anggota DPR itu sendiri. Pengaruh yang dimaksud disini adalah tentang relasi antara Presiden dan anggota DPR yang tidak kunjung membaik. Dengan pemilihan dari rakyat langsung, membuat Presiden dan anggota DPR merasa mempunyai legitimasi ataupun mempunyai hak bahwa dirinya adalah wakil dari rakyat langsung dan merasa punya dukungan penuh dari rakyat. Perasaan yang seperti ini, maka bisa jadi mendorong presiden menjadi kurang bertoleransi dengan kelompok oposisi. Hal ini membuat keegoisan antara Presiden dan anggota DPR menjadi semakin kuat. Hubungan atau relasi presiden dengan anggota DPR, bisa juga disebabkan oleh sistem presidensil pada pemerintahan Indonesia. Disini dapat dijelaskan bahwa sistem presidensil yang tidak mengenal adanya mosi tidak percaya, apabila suatu ketika ada konflik atau masalah dengan legislatif, eksekutif tidak perlu takut dengan adanya penggulingan kekuasaan, karena DPR tidak bisa memberikan mosi tidak percaya. Dari sinilah, maka perselisihan antara presiden dengan anggota DPR bisa terus berlanjut tanpa ada suatu „ketakutan‟ eksekutif akan kekuasaannya. Hubungan yang tidak sehat antara eksekutif dan legislatif memang selalu terjadi di setiap pemerintahan. Dulu semasa pemerintahan Orde Baru, ada Sri Bintang Pamungkas yang selalu bertentangan dengan kebijakan Soeharto, masa Gus Dur sangat terlihat karena dengan adanya impeachment terhadap Gus Dur,
21
dan pada masa SBY-JK, diantaranya adalah intepelasi DPR terhadap penggantian panglima TNI oleh Presiden SBY, soal impor beras pada masa SBY, tentang pemilihan Gubernur BI, tentang Iran, dan sebagainya.
B. Hubungan eksekutif dan legislatif Periode Orde Lama Semangat perjuangan masih mewamai penyelenggaraan pemerintahan kita. Para pelakunya masih kuat iman untuk berjuang demi negara dan persatuan bangsa. Bahkan tidak jarang diperlihatkan oleh kekuatan mayoritas menekan kepentingannya sendiri untuk menghargai kepentingan minoritas demi kesatuan dan persatuan bangsa dan negara proklamasi. Sebagai contoh, penyimpangan pertama dari Bung Kamo terhadap UUD 1945 seperti disinggung di depan ialah diterimanya usulan Sjahrir untuk tidak menggunakan kabinet presidensial dan diganti dengan kabinet parlementer. Sjahrir sendiri saat itu merupakan tokoh vokal dan amat disegani. Sebagai sebuah negara baru, Indonesia membutuhkan perangkat-perangkat yang dibutuhkan dalam menopang sistem negara moderen. Namun hal itu tidak di miliki bangsa Indonesia karena keterbatasan faktor dalam negeri yang tidak stabil pada sistem keamanannya. Atas inisiatif beberapa tokoh, dalam upayah melengkapi kelembagan negara sebagai syarat pengakuan maka pada tanggal 29 Agustus 1945 maka di bentuk lembaga Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).1
1
Delier Noer & Akbarsyah. KNIP: Komite Nasional Pusat Parlemen Indonesia 1945-1950, (Jakarta: Yayasan Risalah, 2005), h. 22
22
Demi persatuan dan kesatuan, maka Bung Kamo menerima usulan tersebut Selain itu Bung Kamo juga menyadari bahwa KNIP belum mencerminkan kekuatan politik riil yang anggotanya (tidak dipilih akan tetapi ditunjuk) tidak mewakili kekuatan sosial politik nyata saat itu. Semangat primordial untuk sementara waktu kalah oleh semangat nasional. Satu-satunya organisasi politik primordial yang mengancam negara proklamasi adalah PKI yang melakukan pemberontakan dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara. Pada awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan bahwa lembaga pemerintahan
merupakan
merupakan
sarana
politik
yang
baik
untuk
mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup beralasan, karena lembaga ini mempunyai birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Namun dalam perjalanan sejarah nampak gejala semakin menguatnya aspirasi primordial dalam lembaga birokrasi pemerintah kita. Lembaga ini menjadi incaran kekuatan-kekuatan politik. Partai-partai politik mulai mengincar peluang untuk menguasai lembaga birokrasi pemerintah ini. Gejala semakin derasnya kekuatan politik mengincar terhadap lembaga birokrasi pemerintah semakin hari semakin dirasakan. Pada tahun ini UUD Semen tara 1950 diperlakukan. Dalam UUD ini dianut sistem demokrasi parlementer, bahwa Pemerintah bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Akibat dari Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, kita menganut sistem banyak partai yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Pada periode ini
23
terselenggara Pemilihan Umum pertama yang dikenal sangat demokratis. Ketika itu semua partai politik yang memenangkan suara berkeinginan untuk menguasai beberapa kementerian. Bahkan tidak jarang terjadi kabinet pemerintah dibubarkan hanya karena pembagian kementerian yang tidak sesuai dengan tuntutan partaipartai politik. Mosi tidak percaya merupakan awal dari runtuhnya kabinet yang memimpin lembaga pemerintah. Pemerintah di bawah kepemimpinan partai politik yang anggotanya mendominasi DPR. Kedudukan DPR kuat. Sebaliknya lembaga pemerintah dapat dikatakan lemah posisinya. Sementara itu aparat pemerintah yang diharapkan netral juga sudah pandai bermain mata dengan kekuatan- kekuatan politik yang ada. Pada periode ini di sana-sini militer sudah mulai ikut memainkan peran dalam percaturan politik. Partisipasi politik militer mulai nampak ketika tentara menolak perjanjian KMB yang merupakan hasil perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan oleh politisi sipil melalui jalan diplomasi. Peran tentara ini kelak akan diwujudkan dalam konsep dwifungsi yang menekankan bahwa militer tidak hanya berperan di bidang keamanan dan pertahanan saja, melainkan juga di bidang sosial dan politik.
C. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Masa Orde Baru Peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru berdasarkan pada lahirnya surat perintah sebelas Maret adalah masa penggantian. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa kelahiran Orde Baru adalah bentuk koreksi
24
dari segala penyelewengan konstitusional yang terjadi pada masa rezim Soekarno. Begitulah pandangan awal yang datang dari Natsir di awal-awal kelahiran Orde Baru. Namun Natsir melihat terjadi pemusatan kekuasaan di tangan presiden Soeharto sebagai mana yang dilakukan pendahulunya. Sistem pemerintahan yang di jalankan menurut Natsir berupa pemusatan kekuasaan secara mutlak pada satu tangan yaitu kepala negara.2 Hubungan dan kedudukan antara eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR) dalam sistem UUD 1945 sebenarnya telah diatur. Dimana kedudukan dua lembaga ini (Presiden dan DPR) adalah sama karena kedua lembaga ini adalah merupakan lembaga tinggi negara (Tap MPR No.III/MPR/1978). Namun dalam praktik ketatanegaraan dan proses jalannya pemerintahan pada masa rezim Orde Baru, kekuasaan eksekutif begitu dominan terhadap semua aspek kehidupan berkepemerintahan dalam negara kita, terhadap kekuasaan legislatif maupun terhadap kekuasaan judikatif. Pada masa Orde Baru kekuasaan dikelola secara sentralistis, yakni berpusat dan dikuasai oleh satu institusi atau bahkan oleh satu orang penguasa.3 Berdasarkan realitas politik, tentu dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan yang dianut Indonesia pada era Orde Baru adalah sistem presidensial murni. Penyebutan dalam istilah ini barangkali dapat menjadi perdebatan, namun
2
Thohir Luth, M. Natsir Dakwa dan pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h.
112 3
TA. Legowo, Negara, Politik dan Keadilan. Dalam Al Andang, dkk (editor) Keadilan Sosial Upaya Kesejahteraan Bersama (Jakarta: Kompas, 2004), h.39
25
terminologi tersebut merujuk pola-pola pemerintahan yang menjadi sosok presiden yang amat berkuasa, dan melebihi lembaga-lembaga negara yang ada. Semua instrument negara, sumber-sumber kekuasaan Negara dan mekanisme pengambilan kebijakan berada di bawah tangan presiden. Keadaan ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena pengaturan yang terdapat di dalam UUD 1945 memungkinkan terjadinya hal ini. Oleh sebab itu, tidak salah pula apabila terdapat pandangan yang menyatakan bahwa UUD 1945 menganut
supremasi
eksekutif. Dominasi/supremasi
kekuasaan
eksekutif
mendapat legitimasi konstitusionalnya, karena dalam Penjelasan Umum UUD 1945 pada bagian Sistem Pemerintahan Negara Kunci Pokok IV sendiri dinyatakan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di bawah Majelis. Dalam sistem UUD 1945 (sebelum diamandemen), Presiden memiliki beberapa bidang kekuasaan. Selain sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (pasal 4 ayat 1), Presiden memiliki kekuasaan membentuk undangundang (pasal 5 ayat 1). Demikian juga Presiden memiliki kekuasaan diplomatik yang sangat besar, yaitu kekuasaan membuat berbagai macam perjanjian internasional dan mengangkat serta menerima duta dari negara lain (pasal 11 dan pasal 13). Sama halnya dalam bidang hukum (kekuasaan di bidang justisial) yang kemudian diwujudkan dalam pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi (pasal 14). Dominasi kekuasaan eksekutif semakin mendapat ruang geraknya ketika penguasa melakukan monopoli penafsiran terhadap pasal 7. Penafsiran ini
26
menimbulkan implikasi yang sangat luas karena menyebabkan Presiden dapat dipilih kembali untuk masa yang tidak terbatas. Begitu besarnya kekuasaan Presiden pada masa orde baru. Presiden juga memiliki kewenangan untuk menentukan keanggotaan MPR (pasal 1 ayat 4 huruf c UU No.16 Tahun 1969 UU No.2 Tahun 1985). Suatu hal yang sangat tidak pantas dan tidak pas dengan logika demokrasi. Sistem kepartaian yang menguntungkan Golkar, eksistensi ABRI yang lebih sebagai alat penguasa daripada alat negara, DPR dan pemerintah yang dikuasai partai mayoritas menyebabkan DPR menjadi tersubordinasi terhadap pemerintah. Hal ini pula yang menyebabkan fungsi pengawasan terhadap pemerintah (Eksekutif) yang seharusnya dilaksanakan oleh DPR/MPR (legislatif) menjadi tidak efektif.
D. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Masa Orde Reformasi Orde Reformasi ditandai dengan kejatuhan Soeharto dari singgasana kekuasaan presiden yang berkuasa hampir 32 tahun lebih yang merupakan model kekuasaan absolut, korup, menindas dan menekan. Kekuasaan yang bersifat absolut pada kekuasaan rezim Orde Baru tercerai berainya menjadi semacam kebebasan yang cenderung kebablasan. Pada masa Reformasi inilah demokrasi kian terbuka, kebebasan pers dijamin, demonstrasi dijamin oleh negara, dan orang bebas berekpresi dalam bentuk mendirikan partai politik, dan organisasi
27
kemasyarakatan, bagian terakhir yang kedua sulit di bayangkan bakal terealisasi pada era Soeharto.4 Penulis memilih era kepemimpinan pemerintahan KH. Abdurrahman karena disebabkan banyak bentuk-bentuk suatu kebijakan yang dirasa oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sangat tidak lazim dan bertentangan dengan apa yang dinginkan oleh rakyatnya. Dan ini adalah suatu fenomena yang sangat menarik sehingga membuat penulis tertarik juga untuk memasukkannya dalam tulisan ini. Era pemerintahan orde reformasi yang ketika dibawah kepemimpinan Gus Dur berusaha mencoba menampilkan strategi demokratisasi yang khas yang dikenal sebagai “demokrasi bawah”, yaitu suatu demokrasi dan upaya demokratisasi
Negara
yang
memprioritaskan
upaya
pemberdayaan
dan
keberdayaan masyarakat. Menurut Gus Dur upaya menciptakan demokrasi hamper identik dengan upaya pembangunan civil society, melalui saluran komunikasi yang dimilikinya, ia mencoba memberikan satu kerangka kerja bagi petani, buruh, pedagang kecil, bahkan pegawai pemerintah untuk menyalurkan dan menata diri mereka masing-masing. Kepemimpinan Gus Dur juga terkandung charisma hal ini karena eksistensinya dirinya, juga karena Gus Dur termasuk keluarga dari ulama yang sangat terkenal, baik dari orang tuanya maupun dari
4
Kari Mannheim. Freedom, Power and Democratic Planning. (London: Routledge & Keegan Paul Ltd, 1951), h. 51
28
mertuanya. Namun karena pemikirannya yang democrat, didalam praktek kepemimpinannya lebih cenderung ke arah transformasional. Kepemimpinan dengan pola transformasional, pola pemikir pemimpin ini lebih tertuju pada perubahan (shift) darikeyakinan – keyakinan, nilai-nilai, kebutuhan –kebutuhan dan kemampuan pengikut. Ia mampu menyampaikan visi dan misi serta mampu membangkitkan motivasi para pengikut untuk menjadi seorang individu yang seutuhnya dan mampu mengaktualisasikan diri. Dari aspek intelektual, pemimpin transformasional tidakpuas dengan pemecahan masalah yang bersifat parsial, meneriam keadaan status quo, atau melakukan seperti apa yang biasa di lakukan, ia sukamencari cara-carabaru, dalam berfikir lebih proaktif, gagasannya lebih kreatif, inovatif ; didalam ideology labih radikal dan reaksioner dibandingkan konservatif ; serta tidakmengalami hambatan berfikir dalam upaya mencari pemecahan masalah. Atribut-atribut diatas dapatlah di proyeksikan sebagai kepemimpinan yang ditetapkan oleh Gus Dur. Mengingat Gus Dur pemikirannya lebih democrat. Proactive dan inovatif. Namun pemimpin yang demikian harus diimbangi dengan para pembantu yang dimiliki daya persepsi tinggi, sebab apabila tidak maka sang pemimpin akan berjalan sendiri meninggalkan para pembantunya, sehingga para pembantunya tersebut akan berjalan ditempat atau menjadi bingung sendiri mengejar pemimpinnya. Yang dikhawatirkan adalah akibat kelebihan intelektualitas sang pemimpin, maka ia akan
melakukan
sesuatu
kebijakan
yang
“uncontrollable”
membahayakan rakyat, bangsa dan Negara serta dirinya sendiri.
yang
dapat
29
Terjadi apa yang menjadi kekhawatiran ini terjadi dengan sesungguhnya, dimana pada kenyataannya dilapangan, Presiden Gus Dur dengan kelebihan intelektualitasnya dan wisdomnya berjalan dengan sendiri jauh di depan para pembantunya sehingga menelorkan kebijakan-kebijakan atau pernyataan yang controversial di tengah-tengah masyarakat dan bahkan di sana-sini menimbulkan konflik kelembagaan sebagaimana yang ditampilkan oleh mekanisme kerja yang tidak serasi antar DPR dan pemerintah, demikian juga dalam perkara Bank kesemuanya ini menyebabkan pemerintahan dan kelembagaan negara tidak berjalan dengan efektif dan bahkan cenderung menghasilkan keruntuhan hidup berbangsa dan bernegara Kesatuan Republik Indonesia. Menjelang satu dekade konsolidasi demokrasi di Indonesia, hubungan politik kedua lembaga ini semakin menampakkan performa yang sebenarnya. Legislatif yang diwakili oleh orang-orang partai lebih banyak memainkan kepentingan partai politik ketimbang rakyat yang diwakilinya. Sementara presiden (eksekutif) yang juga representasi partai politik, meskipun dipilih langsung oleh rakyat sedikit banyak juga memiliki ikatan historis dengan partai politik yang ada di parlemen, juga memikirkan kepentingan partai politiknya. Akibatnya yang menonjol dari hubungan eksekutif dan legislatif tersebut adalah konflik kepentingan (conflict of interest) antarpartai politik yang ada. Kasus keluarnya surat yang ditulis sekretaris wakil presiden yang mencuat ke permukaan beberapa minggu terakhir ini adalah manifestasi konflik yang tersembunyi di antara keduanya.
30
Dalam sistem pemerintahan presidensial keberadaan lembaga eksekutif adalah sejajar dengan legislatif. Artinya, wewenang, tugas, dan kewajiban eksekutif baru akan dapat berjalan, jika yang diberi kekuatan hukum oleh lembaga legislatif. Dan dalam menjalankan wewenang, tugas dan kewajibannya tersebut selalu mendapatkan pengawasan oleh DPR sehingga sesuai dengan keinginan rakyat. Selain itu, implementasi wewenang, tugas, dan kewajiban pemerintah juga memerlukan pembiayaan yang disusun sesuai ketentuan yang berlaku yang harus melibatkan lembaga legislatif. Inilah makna mekanisme check and balances dalam sistem pemerintahan presidensial. Hubungan kedua lembaga tinggi negara tersebut sebenarnya mencerminkan adanya kemitraan yang serius dan saling membutuhkan. Jika salah satu lembaga tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka demokrasi berjalan pincang. Menurut penulis, hubungan eksekutif dan legislatif yang tidak menunjukkan sinyal positif disebabkan oleh keegoisan di masing-masing pihak dimana mereka sama-sama merasa mempunyai legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi. Seharusnya eksekutif dan legislatif selalu bekerjasama di mana yang satu menjadi pelaksana dan yang satu menjadi kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan. Hal ini tentunya akan lebih baik dibandingkan hubungan yang saling menjatuhkan dan ujungnya sebenarnya tidak berpihak kepada rakyat hanya kepentingan kelompok masingmasing saja. Namun, terlepas dari itu semua, hubungan antara eksekutif dan legislatif ini memang sedang mencari jati dirinya karena kita semua sedang
31
belajar tentang demokrasi. Justru hubungan yang mulai membaik antara kedua lembaga tinggi negara terjadi pada masa reformasi. Konsolidasi demokrasi yang berlangsung cepat terutama sejak mundurnya rezim Orde Baru memberikan suasana baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dan, yang menarik pada masa ini justru terjadi pergeseran dominasi dan determinasi kekuasaan yang selama ini ada di lembaga eksekutif ke lembaga legislatif. Penilaian anggota legislatif terhadap kegagalan Presiden Habibie menjalankan reformasi adalah awal perwujudan dominasi legislatif atas eksekutif. Sejarah juga mencatat dominasi lembaga legislatif atas eksekutif yang monumental adalah ketika Presiden Abdurrahman Wahid dimundurkan dari jabatannya tahun 2001.
BAB III SKETSA TENTANG PARTAI KEBANGKITAN BANGSA
A. Sejarah Lahirnya PKB Berbagai peristiwa mulai dari diskusi terbatas, unjuk rasa, unjuk keperihatinan, pembentukan kelompok, histigosah akbar dan lain sebagainya, mengantarkan bangsa dan negara Indonesia kepada peristiwa bersejarah. Pada tanggal 21 Mei 1998 soeharto yang telah memimpin bangsa dan negara lebih dari tiga puluh tahun mengatakan berhenti dari jabatanya. Maka berakhirlah era pembangunan. Bangsa dan negara Indonesia memasuki era baru yang sering di sebut adalah era reformasi.1 Era reformasi di tandai dengan upaya mewujudkan kehendak rakyat untuk mengubah tatanan semua aspek kehidupan, ideologi, politik, ekonomi, social, budaya dan pertahanan keamanan. Rakayat tidak menghendaki adanya yang mengatasnamakan kekuasaan kehidupan dan berbangsa harus dikembalikan pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Warga Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tak mau ketinggal dalam arus perubahan itu. Apa lagi jauh hari sebelum pihak dan kalangan lain meneriakkan perunya perubahan di semua aspek kehidupan, telah dengan gigih memeperjuangkannya. Hal itu bukan tanpa resiko yang di alami jamaah dan NU adalah di pinggirkan dalam kehidupan bangsa dan bernegara. 1
Abdurrahman Wahid. Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa (NU Jawa Timur, 2000) h.23
32
33
NU terus di upayakan untuk ditiyadakan NU dianggap tidak ada. Bagi NU ini dirasakan sungguh menyakitkan, NU tidak kecil jumlahnya pada pemilu yang pertama dalam kehidupan yang bersejarah bagi bangsa dan negara Indonesia, yakni pemilu 1955, NU memperoleh suara 18 persen lebih suara pemilihan. Demikian pula pada pemilu yang kedua atau dalam pemilu yang pertama pada masa orde baru yakni pemilu 1971 dalam suasana pelaksanaan yang penuh dengan intimidasih suara yang di proleh NU sedikit meningkat di banding suara pemilu yang pertama. Banyak yang berpendapat andai saja pemilu 1971 dilaksanakan dengan jujur dan adil, di pastikan NU memperoleh suara lebih besar lagi dengan perhitungan angka penambahan penduduk yang alami dengan hasil pemilu 1971 saja, saat ini diperkirakan warga NU mencapai 40 juta orang lebih. Oarganisasi yang sebesar itu dianggap tidak ada ini sungguh tidak dapat dipahami oleh warga NU. 2 Sehari setelah peristiwa bersejarah itu pengurus besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mulai kebanjiran usulan dari warga NU di seluruh pondok tanah air. Usulan yang masuk ke PBNU membentuk parpol, ada yang mengusulkan nama parpol. Tercatat ada 39 nama parpol yang di usulkan nama terbanyak yang
2
Ibid., h. 25
34
diusulkan adalah Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Umat dan Kebangkitan Bangsa.3 Ada juga yang mengusulkan lambang parpol. Unsur-unsur yang terbanyak yang diusulkan untuk lambing parpol adalah gambar bumi, bintang, sembilan dan warna hijau. Ada yang mengusulkan bentuk hubungan dengan NU, ada yang mengusulkan visi dan misi parpol, AD/ART parpol, nama-nama untuk menjadi pengurus parpol, ada yang mengusulkan semuanya. Diantara yang usulannya paling lengkap adalah Lajnah Sebelas Rembang yang diketuai KH.M Cholil Bisri dan PBNU Jawa Barat. Dalam menyikapi usulan yang masuk dari masyarakat Nahdiyin PBNU menaggapinya secara hati-hati. Ini didasarkan pada adanya kenyataan bahwa hasil muktamar NU ke-27 di Situbondo yang menetapkan bahwa secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis. Namun demikian, sikap yang di tunjukkan PBNU belum memuaskan warga NU. Banyak pihak dan kalangan NU dengan tidak sabar bahkan langsung menyatakan
berdirinya parpol untuk mewadahi aspirasi politik warga NU
setempat. Diantarnya yang sudah mendeklarasikan sebuah parpol adalah Partai Bintang Sembilan di Purwokerto dan Partai Kebangkitan Umat (perkanu) di Cirebon.
3
http://www. blogspot.com/sejarah Partai Kebangkitan Bangsa. Diakses Tgl 9/11/10
35
Akhirnya PBNU mengadakan Rapat Hariyan Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 3 Juni 1998 yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai KH. Ma’ruf Amin (Rais Suriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota, KH. Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Dr. KH. Said Agil Siradj, MA.(Wakil Katib Aam PBNU), HM Rozy Munir, SE.,M,Sc.(Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU). Untuk mengatasi hambatan organisatoris, Tim Lima di bekali dengan surat keputusan dari PBNU. Selanjutnya untuk memperkuat posisi dan memperkuat kerja Tim Lima seiring semakin derasnya usulan warga NU untuk menginginkan partai politik, maka pada Rapat Hariyan Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 20 Juni 1998 memberi Surat Tugas Kepada Tim Lima, selain itu juga dibentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh Arifin Junaidi (Wakil Sekjen PBNU) dengan anggota H. Nuhyiddin Arubusman, H.M Fachri Thaha Ma’ruf, Lc., Drs. H. Abdul Aziz, MA, Drs. Amin Said Husni DAN Muhaimin Iskandar. Tim Asistensi bertugas membantu Tim Lima dalam mengiventarisasi dan merangkul usaha yang ingin membentuk parpol baru, dan membantu warga NU dalam melahirkan parpol baru yang dapat mewadahi aspirasi warga NU. Pada tanggal 22 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat untuk mendefinisikan dan mengelaborisasikan tugas-tugasnya. Tanggal 2628 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan konsinyering di Villa La Citra, Cipanas untuk menyusun rancangan awal pembentukan parpol. Pertemuan
36
ini menghasilakan lima rancangan: Pokok-pokok pikiran NU Mengenai Reformasi Politik, Mabda Siyasiy, Hubungan partai politik dengan NU, AD/ART dan Naskah Deklarasi.4 Hal-hal pokok yang dirancang dalam pokok-pokok pikiran NU mengenai Reformasi politik adalah perlunya kehidupan yang demokrasi dan di kembalikannya kedaulatan pada rakyat. Mabda Siyasiy antara lain memuat visi dan strategi parpol. Hubungan partai politk dengan NU antara lain memuat hubungan historis, kultular dan aspiratif antara parpol dengan NU, sedangkan struktur dan lambang parpol di muat dalam rancangan AD/ART.5 Setelah dibahas dalam berbagai diskusi yang intensif, rancanganrancangan itu di bawa keforum Silaturrahmi Nasional Ulama dan Tokoh NU di Bandung, tanggal 4-5 Juli 1998 untuk memperoleh masukan silaturrahmi yang di hadiri peserta dari 22 PW NU, penggagasan, ulama dan para tokoh NU itu mengahsilkan banyak masukan pada Tim Lima dan Tim Asistensi, mengenai nama parpol, silaturrahmi memberikan masukkan tiga anternatif, yakni Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Umat dan Kebangkitan Bangsa. Untuk lima rancangan yang di siapkan oleh Tim Lima dan Tim Asistensi, silaturrahmi ini cukup banyak masukan. Namun silaturrahmi menyerahkan sepenuhnya pada Tim Lima dan Tim Asistensi untuk melakukan perumusan akhir.6
4 5 6
Abdurrahman Wahid. Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa (NU Jawa Timur, 2000) h.28 http://www. blogspot.com/sejarah Partai Kebangkitan Bangsa. Diakses Tgl 9/11/10 Abdurrahman Wahid. Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa (NU Jawa Timur, 2000) h. 31
37
Setelah melakukan diskusi verifikasi pada tanggal 30 Juni 1998 dan pertemuan finalisasi pada tanggal 17 Juli 1998, dan konsultasi dengan berbagai pihak Tim Lima dan Tim Asistensi menyerahkan hasil rancangan kepada Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU pada tanggal 22 Juli 1998. Rapat tersebut telah menerima rancangan yang telah disiapkan oleh Tim Lima dan Tim Asistensi untuk di serahkan pada pengurus parpol sebagai dokumen histories dan aturan main parpol. Sangat disadari bahwa apa yang disiapkan oleh Tim Lima dan Tim Asistensi masih jauh dari sempurna dan belum memuaskan semua pihak, meski telah diupayakan untuk menampung aspirasi semua pihak. Namun dengan kesadaran penuh pula bahwa sesuai aspirasi warga NU, PBNU hanya membidani lahirnya parpol, dan apa yang di rancang oleh Tim Lima DAN Tim Asistensi bersifat sementara maka bagi pihak-pihak belum puas dapat ikut aktif untuk menyempurnakannya setelah parpol lahir, melalui mekanisme yang telah di tetapkan dan di sepakati bersama. Akhirnya parpol yang diharapkan dapat menampung aspirasi warga NU pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa, pada tanggal 23 Juli 1998 di deklarasikan di kediaman H. Abdurrahman Wahid, Ciganjur Jakarta Selatan. Sesuai harapan warga NU dan bangsa Indonesia, Partai Kebangkitan Bangsa diharap dapt bersama komponen bangsa lainnya dalam membangun masyarakat, serta bangsa dan negara Indonesia untuk mencapai cita-cita.
38
B. Visi dan Misi Partai Kebangkitan Bangsa 1. Visi Partai Kebangkitan Bangsa a. Partai Kebangkitan Bangsa berpandangan bahwa tanah air Indonesia dan kemerdekaan bangsa Indonesia adalah rahmat dan amanat Allah SWT kepada seluruh rakyat Indonesia yang wajib dijaga dan dipelihara untuk dapat di manfatkan sebaik-baiknya bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali dan tanpa memandang asal-usul.7 b. Partai Kebangkitan Bangsa mencita-citakan memperjuangkan tegaknya kedaulatan rakyat, terwujudnya kehidupan Demokrasi secara nyata, tercapainya keadilan sosial, kemandirian dan kemajuan. c. Partai Kebangkitan Bangsa mencita-citakan terbentuknya masyarakat madani yang adil dan makmur, beradap dan sejahtera serta diridhai Allah SWT yang dapat mewujudkan: 1) Nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan, dan keterbukaan yang bersumber pada nurani (ash –shidqu) 2) Sikap bisa dipercaya, setia, menepati janjin, dan mampu memecahkan masalah sosial (al-amanah wal yaghfa bil-‘ahdi) 3) Sikap dan tindakan yang adil dalam segalah situasi (al-‘adalah) 4) Sikap tolong menolong dalam kebajikan (at-ta’awun) 5) Sikap
konsisten
dalam
menjalankan
ketentuan
yang
sepakatibersama (al-istiqomah) 7
Muhaimin Iskandar, Politik Partai Kebangkitan Bangsa (Jakarta: DPP PKB, 2005) h. 67
di
39
6) Demokrasi persamaan kedudukan di depan hukum (musyawarah) d. Partai Kebangkitan Bangsa mencita-citakan terwujudnya persatuan dan kesatuan di atas realitas kemajumukan bangsa, di hormatinya setiap perbedaan, serta berkembangnya solidaritas dan persaudaraan yang meliputi persaudaraan keagamaan (ukhuwah islamiyah) persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah). e. Partai Kebangkitan Bangsa mencita-citakan terwujudnya masyarakat bangsa Indonesia berdasarkan pancasila yang bersifat keagamaan (religius) yang memberikan tempat utama bagi keberadaan agama di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, srta menolak berkembangnya sekularisme di Indonesia. Partai Kebangkitan Bangsa mencita-citakan dan memperjuangkan proses penyadaran menuju pemahaman agama yang ingklusif dan pemahaman yang mengutamakan kesolehan sosial.8 f. Partai Kebangkitan Bangsa mencita-citakan dan memperjuangkan pemerataan
kesejahteraan
sosial
melalui
pembangunan
ekonomi
kerakyatan yang berbasis pada pembangunan pedesaan, penguatan sektor pertanian, serta pendayagunaan membayar pajak dan kewajiban agama, seperti zakat (bagi pemeluk agama Islam).
8
Muhaimin Iskandar, Politik Partai Kebangkitan Bangsa (Jakarta: DPP PKB, 2005) h. 68
40
2. Misi Partai Kebangkitan Bangsa Melaksanakan
kegiatan
dan
upayah
secara
maksimal
untuk
mewujudkan masyarakat ideal yang dicita-citakan sebagai mana tercantum dalam visi partai dengan memperhatikan dan menjamin terpenuhnya hak-hak dasar kemanusiaan yang meliputi: a. terpeliharanya jiwa dan terpenuhinya hak kemerdekaan, hak atas penghidupan/ pekerjaan, keselamatan, dan bebas dari penganiayaan (hifdzun nafs)9 b. terpeliharanya agama dan terjaminnya kebebasan beragama dan larangan adanya pemaksaan menganut ajaran suatu agama (hifdzuddin) c. terpeliharnya akal, terjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat (hifdzul aql) d. terpeliharanya keturunan, terjaminya perlindungan pekerjaan, dan masa depan keturunan atau generasi penerus (hifdzun nasl) e. terpeliharanya harta benda dan terjaminya pemilikan harta benda (hifdzul mal). Memperjuangkan pelaksanaan pembangunan perekonomian nasional yang menumbuh kembangkan potensi dan sentra-sentra perekonomian rakyat yang pernah berjaya di masa lalu. Mencegah terjadinya bentuk-bentuk pengembangan perekonomian yang menumbuhkan sektor tertentu tetapi berakibat matinya potensi dan sentra-sentra perekonomian rakyat. 9
Muhaimin Iskandar, Politik Partai Kebangkitan Bangsa (Jakarta: DPP PKB, 2005) h. 69
41
Memperjuangkan pelaksanaan otonomi daerah dengan warga daerah sebagai perilaku utama pembangunan di daerah yang sebenarnya adalah pembangunan oleh pemerintahan pusat dengan mengambil tempat di daerah. Memperjuangkan pelaksanaan pembangunan yang memperhatikan upaya menjaga alam Indonesia yang merupakan rahmat Allah SWT kepada bangsa Indonesia yang juga di pertanggung jawabkan oleh generasi penerusnya. Memperjuangkan terwujudnya birokrasi pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah yang efesien dan efektif, bersih, jujur, terbuka, serta tidak di kuasai menjadi alat dari kekuatan politik tertentu.10 Memperjuangkan terwujudnya negara hukum yang tercermin pada kuat dan kokohnya supermasih hukum dalam segala aspek kehidupan, sesuai dengan cita-cita dan seluruh gagasan sosial, politik, dan ekonomi yang terkandung dalam pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
C. Asas-Asas Partai Kebangkitan Bangsa 1. Partai Kebangkitan Bangsa beraqidah islam/berasas islam menganut faham ahlulsunnah wal jama’ah dan menurut faham dari salah satu imam mazhab empat: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii, Imam Hambali.11
10 11
2004), h. 2
Muhaimin Iskandar, Politik Partai Kebangkitan Bangsa (Jakarta: DPP PKB, 2005) h.70 Anggaran Dasar dan Rumah tangga Partai Kebangkitan Bangsa (Hasil Muktamar Ke-31,
42
2. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Partai Kebangkitan Bangsa berasas pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adail yang beradap, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikma kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia 3. Asas: Kelima Sila dalam Pancasila Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) muncul sebagai jawaban terhadap usulan warga Nahdlatul Ulama (NU) dari seluruh pelosok negeri yang menginginkan hadirnya satu wadah yang dapat menampung aspirasi politik kaum nahdliyin. Pengurus Besar NU (PBNU) lah yang kemudian membidani lahirnya PKB.12 4. Partai ini lahir melalui sebuah rangkaian proses pengkajian yang intensif. Partai ini adalah "Partainya orang NU" yang sekaligus juga menjadi partai yang bersifat kebangsaan, demokratis, dan terbuka bagi siapa saja dalam artian lintas agama, suku, ras, dan golongan. 5. PKB yang didukung sepenuhnya oleh KH Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU, berciri humanisme religius (insaniyah diniyah) dan amat peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan yang agamis dan berwawasan kebangsaan. Saat ini, perjuangan PKB bermuara pada pengembalian kedaulatan rakyat, keadilan, dan persatuan.
12
http://www. blogspot.com/Asas-Asas Partai Kebangkitan Bangsa. Diakses Tgl 15/11/10
BAB IV PANDANGAN PARTAI KEBANGKITAN BANGSA TERHADAP HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM REFORMASI KETATANEGARAAN DI INDONESIA
A. Pandangan PKB terhadap hubungan Eksekutif dan Legislatif DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan Eksekutif atau Presiden adalah lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, apalagi di Indonesia memegang prinsip Pembagian Kekuasaan. Dalam hal ini, maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi. Partai Kebangkitan Bangsa berpendapat bahwa dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekan-gesekan, begitu juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang merupakan wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak jauh dari kepentingan partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya. Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah konflik kepentingan antar partai yang ada.
43
44
Hubungan atau relasi presiden dengan anggota DPR, bisa juga disebabkan oleh sistem presidensil pada pemerintahan Indonesia. Disini dapat dijelaskan bahwa sistem presidensil yang tidak mengenal adanya mosi tidak percaya, apabila suatu ketika ada konflik atau masalah dengan legislatif, eksekutif tidak perlu takut dengan adanya penggulingan kekuasaan, karena DPR tidak bisa memberikan mosi tidak percaya. Dari sinilah, maka perselisihan antara presiden dengan anggota DPR bisa terus berlanjut tanpa ada suatu „ketakutan‟ eksekutif akan kekuasaannya.1 Relasi antara eksekutif dan legislatif pada masa pemerintahan Gusdur patut untuk dicermati. Gusdur banyak mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan DPR hal ini dilakukan karena Gusdur merasa banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh DPR tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan rakyat. Menurut penulis, hubungan eksekutif dan legislatif
yang tidak
menunjukkan sinyal positif disebabkan oleh keegoisan di masing-masing pihak dimana mereka sama-sama merasa mempunyai legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi. Seharusnya eksekutif dan legislatif selalu bekerjasama dimana yang satu menjadi pelaksana dan yang satu menjadi kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan. Hal ini tentunya akan lebih baik dibandingkan hubungan yang saling menjatuhkan dan ujungnya sebenarnya tidak berpihak kepada rakyat hanya kepentingan kelompok masingmasing saja. 1
www.WordPress.org file:///E:/Hubungan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia AB setitik ilmu yang kudapatkan.htm
45
Amandemen terhadap beberapa pasal yang membatasi kewenangan Presiden dinilai terlalu besar di dalam UUD 1945. Ketentuan yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dibalik menjadi kewenangan DPR. Namun Presiden tetap berhak mengajukan rancangan undang-undang untuk mendapat persetujuan DPR. Perubahan ini bertujuan untuk memberikan penguatan kepada DPR, walau tidak mengubah hakikat bahwa badan legislatif tidaklah hanya monopoli DPR. Badan ini memang memegang kekuasaan legislasi, namun tidak menyebabkan DPR menjadi badan legislatif, karena sebagian kewenangan legislasi tetap berada di tangan Presiden. Presiden tetap memegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR dan untuk beberapa hal sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 bersama-sama juga dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Partai Kebangkitan Bangsa merasa dengan adanya amandemen UUD 1945, kedudukan DPR telah diperkuat, bukan saja dalam kewenangan legislasi, namun juga dalam hal anggaran dan pengawasan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum secara berkala lima tahun sekali. Meskipun demikian, Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR. Inilah sesungguhnya inti dari sistem pemerintahan Presidensial yang di anut. Para menteri adalah pembantu Presiden, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan karena itu bertanggungjawab kepada Presiden. DPR memang memiliki wewenang melakukan pengawasan, namun tidak dapat “memanggil” para menteri yang dapat menimbulkan kesan
46
bahwa
yang satu
adalah bawahan dari
pertanggungjawabannya.
yang lain, apalagi
Pertanggungjawaban
akhir
meminta
penyelenggaraan
pemerintahan negara, sesungguhnya terletak di tangan Presiden. DPR juga tidak dapat mendesak Presiden untuk memberhentikan menteri, karena pengangkatan dan pemberhentiannya adalah kewenangan Presiden yang tidak dapat dicampuri oleh lembaga negara yang lain.
B. Kewenangaan Lembaga Eksekutif dan Legislatif Pasca Amandemen UUD 1945 1. Kewenangan Lembaga Eksekutif (Presiden) Pasca Amandemen UUD 1945 Dari sudut pandang akademis sebenarnya telah lama ditentukan bahwa amandemen atas UUD 1945 itu perlu di lakukan karena memuat sejumlah kelemahan yang menyebabkan tampilnya pemerintahan yang tidak demokratis. Hanya saja selalu berbenturan dengan realitas yang menolak bahkan mengancamnya. Selama Orde Lama dan Orde Baru pandangan akademis dan konstitusi selalu menghadapi ancaman bahkan di kait-kaitkan dengan tindakan yang diancam dengan hukuman berat, sehingga wacana ini hanya berkembang di lingkungan kampus dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pandangan akademis ini menyimpulkan bahwa perlunya amandemen atas UUD 1945 di sebabkan oleh adanya empat kelemahan UUD 1945,2 yaitu: Pertama UUD 2
Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), h. 154
47
1945 membangun sistem politik yang executive heavy dalam arti memberi porsi terbesar kekuasaan kepada presiden tanpa mekanisme cheks end balances yang memadai. Presiden menjadi penentu semua agenda politik nasional karena selain sebagai kepala negara dan kepala eksekutif secara praktis presiden juga kepala legiselatif. Kedua, UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting dengan UU maupun dengan peraturan pemerintah. Dalam mengatur hal penting dalam UU, presiden selalu berada lebih menentukan dari pada DPR sehingga banyak materi-materi yang bersumber pada presiden saja ketimbang materi yang di buat anggota DPR. Ketiga UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multi tafsir sehingga bisa di tafsirkan bermacam-macam tafsir, tetapi tafsir yang harus diterima tafsir yang di buat oleh presiden. Keempat, UUD 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggaraan dari pada sistem. Di dalam penjelasan yang kemudian dijadikan pedoman yang sekuat UUD itu sendiri di sebutkan bahwa yang penting adalah semangat penyelenggara, jika penyelenggara baik maka negara akan baik. Peryataan ini benar tetapi belum memuat semua yang benar sebab selain itu ada juga yang harus dinyatakan yakni bahwa sistem juga harus baik. Orang yang baik jika bekerja dalam sistem yang tidak baik maka dia akan rusak juga, tetapi sistem yang baik jika tidak di laksanakan oleh orang-orang yang baik bisa jelek juga. Oleh sebab itu adanya keseimbangan antara orang dan sistem. Karena kelemahan-kelemahan itulah selama menggunakan UUD 1945 Negara Indonesia maka tidak akan pernah terselenggara secara
48
demokratis. sistem politik yang otoriter yang dibangun oleh pemerintah melalui akumulasi kekuasaan secara terus menerus dengan menggunakan UUD 1945 itu telah melemahkan supermasi hukum yang telah ada.3 Adanya gerakan reformasi telah berhasil mengajak bangsa ini melakukan amandemen atau perubahan. Atas UUD 1945 karena sejumlah kelemahan yang melekat padanya telah menyebabkan otoriterisme kekuasaan yang pada gilirannya membawa bangsa ini krisis multidimensi karena banyak terjadinya pelanggaran HAM dan pelaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada bulan Agustus dan September 1999 beberapa partai politik besar telah bersepakat memperjuangkan amandemen pada SU MPR tahun 1999. Dan amandemen benar-benar terjadi SU MPR memutuskan perubahan atas Sembilan pasal UUD 1945,4 yaitu: Pasal 5 ayat (1) Semula berbunyi: presiden memegang kekuasaan membentuk undangundang dengan persetujuan DPR Setelah perubahan pertama berbunyi: presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR Pada perubahan pasal 5 tampak perimbangan kekuasaan hubungan antara Presiden dan DPR. Perubahan pada pasal ini agar Presiden di beri haknya untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. 3
Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), h. 154-156 4 Ibid. 157
49
Pasal 7 Semula berbunyi: presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Setelah perubahan pertama: presiden dan wakil presiden memegang jabatanya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatannya yang sama,hanya untuk satu kali masa jabatannya. Perubahan atas pasal ini dipandang sebagai langkah yang tepat untuk mengakhiri perdebatan tentang periodesasi jabatan presiden dan wakil presiden.5 Pasal 9 Semula berbunyi: sebelum memangku jabatannya Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majlis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah perubahan pertama berbunyi: sebelum memangku jabatan Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sunggu-sunggu di hadapan Majlis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. Jika Majlis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perawakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang. Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama dan berjanji dengan sungguh-sunggu di hadapan Majlis Permusyawaratan Rakyat dengan di saksikan oleh Mahkamah Agung. 5
h. 186
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2006),
50
Perubahan pada pasal ini ada penambahan lembaga peradilan negara yaitu Mahkamah Agung agar bisa sebagai saksi sebagai sumpah presiden. Pasal 13 Semula berbunyi: 1. Presiden dengan mengangkat duta dan konsul 2. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah perubahan pertama berbunyi: 1. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Prwakilan Rakyat. 2. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada perubahan pasal 13 tampak perimbangan kekuasaan hubungan antara Presiden dan DPR. Perubahan pada pasal ini dikatakan sebagai pengurangan atas kekuasaan presiden selama ini prerogative. Ini penting dalam menjaga obyektivitas terhadap kemampuan dan kecakapan seseorang pada jabatan itu, maka adanya pertimbangan dari DPR.6 Pasal 14 Semula berbunyi: 1. Presiden
memberikan
grasi
rehabilitas
dengan
memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung. 6
Ni‟ matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Gerafindo Persada, 2006), h. 187
51
2. Presiden memberikan amnesty dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Alasan perlunya presiden memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung adalah karena Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi yang paling tepat memberikan pertimbangan kepada presiden. Mengenai hal itu karena grasi menyangkut putusan hakim sedangkan rehabilitas tidak selalu terkait dengan ptusan hakim.7 Pasal 15 Semula berbunyi: presiden member gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan. Setelah perubahan pertama berbunyi: presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang. Perubahan pasal ini berdasarkan pertimbangan agar presiden memberikan tanda kehormatan kepada siapapun. Baik warga negara, orang asing, badan atau lembaga didasarkan pada undang-undang. Pasal 17 Semula berbunyi: 1. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden. 2. Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan.
7
Ni‟ matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Gerafindo Persada, 2006), h. 189
52
Setelah perubahan pertama berbunyi: 1. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 2. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Perubahan pada pasal ini agar setiap menteri mempunyai tanggung jawab dalam pemerintahan. Pasal 20 Semula berbunyi: Setiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 1. Jika sesuatau rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan dewan Perwakilan Rakyat. Maka rancangan tadi tidak boleh diajukan kembali dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Setelah perubahan pertama berbunyi: a. Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kekuasaan membentuk undangundang. b. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. c. Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. d. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
53
Pada perubahan pasal 20 tampak perimbangan kekuasaan hubungan antara Presiden dan DPR dalam mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk dijadikannya undang-undang. Pasal 21 Semula berbunyi: 1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang. 2. Jika rancangan itu meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Persamaan kekuasaan antara hubungan antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengajukan usulan rancangan undang-undangan. bahwa dari hasil amandemen atau perubahan pertama itu belum ada perubahan terhadap konstitusionalisme, kecuali menyangkut pembatasan masa jabatan Presiden yang tegas-tegas dipilih maksimal dua kali masa jabatan, dan sedikit perubahan yang begitu semantic dan belum menyentuh masalah-masalah penting sebagai upaya membendung pemerintahan yang otoriter.8 Perubahan UUD 1945 yang berimplikasi pada penyelenggaraan kekuasaan Negara yaitu mempertegas kekuasaan dan wewenang masingmasing lembaga negara seperti Kepresidenan. Dalam UUD 1945 Presiden
8
Moh, Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarata: PT. Rineka Cipta 2001) h. 160-164
54
Republik Indonesia adalah kepala pemerintahan Negara kesatuan Republik Indonesia. setelah adanya Amandemen UUD 1945, dalam pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, sebelum adanya perubahan Amandemen UUD 1945, Presiden dan wakil Presiden dipilih oleh MPR. Setelah adanya Amandemen UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggung jawab pada DPR, kedudukan antara Presiden dan MPR setara. Sesuai dengan prinsip UUD 1945 untuk mempertegas sistem Presidensial dan dianut pemisahan cabang-cabang kekuasaan Negara yang utama dengan prinsip Check and Balances, maka perubahan UUD 1945 berakibat pula perubahan di bidang eksekutif sebagai berikut:9 1. Memegang kekuasaan eksekutif menurut UUD 1945 (pasal 4 ayat (1)). 2. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan dipilih oleh rakyat. secara langsung, secara berpasangan dari calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan dengan partai poltik lain (pasal 6A). 3. Masa jabatan Presiden selama lima tahun secara tegas dibatasi untuk dua periode (pasal 7). 4. Ditentukannya syarat-syarat yang lebih rinci untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6).
9
Wawan Cara H. Marwan Ja‟far, Jabatan Ketua Fraksi PKB/DPR RI, Tempat Gedung DPR RI Jakarta, Tgl 26 Januari 2011, Waktu 12.00-13.00
55
5. Ditentukan mekanisme impeachment terhadap Presiden yang melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi dan DPR (pasal 7A dan 7B). 6. Penegasan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR (pasal 7C). 7. Pelaksanaan progratif (Presiden sebagai kepala negara harus dengan persetujuan atau pertimbangan DPR). 8. Pengangkatan pejabat-pejabat publik, seperti anggota BPK (pasal 23F), Hakim Agung (pasal 24A ayat (3)), anggota Komisi Yudisial (pasal24B ayat (3)) harus dengan persetujuan DPR. 9. Presiden berwenang membentuk DPA yang di hapuskan. 10. Dalam pembentukkan, pengubahan, dan pembubaran kementerian harus diatur dengan UU (pasal 17 ayat (4)), tidak bebas seperti sebelumnya.
2. Kewenangan lembaga Legiselatif (Dewan Perwakilan Rakyat) Pasca Amandemen UUD 1945 Setelah diamandemen yang selanjutnya kita sebut sebagai UUD Negara Republik Indonesia 1945. Dari perubahan – perubahan konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia tersebut, tentu berpengaruh pula pada sistem pemerintahan, kedudukan dan kewenangan lembaga negara, serta hubungan diantara lembaga Eksekutif dan Legiselatif tersebut. Lembaga negara adalah lembaga pemerintahan (Civilazated Organisation) yang dibuat oleh, dari, dan untuk negara. Lembaga negara bertujuan untuk membangun negara itu sendiri. Secara umum tugas lembaga negara antara lain menjaga stabilitas keamanan,
56
politik, hukum, HAM, dan budaya, menjadi bahan penghubung antara negara dan rakyatnya, serta yang paling penting adalah membantu menjalankan roda pemerintahan.10 Kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif. Salah satunya adalah diberikannya kekuasaan kepada DPR untuk membentuk UU, yang sebelumnya dipegang oleh presiden dan DPR hanya berhak memberi persetujuaan saja. Perubahan ini juga mempengaruhi hubungan antara DPR sebagai lembaga legislatif dan presiden sebagai lembaga eksekutif, yaitu dalam proses serta mekanisme pembentukan UU. Selain itu, amandemen UUD 1945 juga mempertegas fungsi kewenangan DPR yaitu: a. Membentuk Undang-Undang yang
dibahas
dengan
Presiden
untuk
mendapat persetujuan bersama b. Membahas
dan
memberikan
persetujuan
atau
tidak
memberikan
persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang c. Menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta membahas membahas rancangan undang-
10
Wawan Cara H. Marwan Ja‟far, Jabatan Ketua Fraksi PKB/DPR RI, Tempat Gedung DPR RI Jakarta, Tgl 26 Januari 2011, Waktu 12.00-13.00
57
undang tersebut bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden d. Membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. e. Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. f. Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. g. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN. h. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. i. Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat
58
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undangundang. j. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi. k. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain. l. Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD. m. Membahas
dan
menindaklanjuti
hasil
pemeriksaan
atas
pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK. n. Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota KY. o. Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. p. Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden. q. Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara.
59
r. Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain. s. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. t. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam undangundang. DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPR tersebut. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat yang melanggar ketentuan tersebut dikenakan panggilan paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal panggilan paksa tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 (lima belas) hari sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pejabat yang disandera habis masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya, yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum.
60
C. Peranan PKB terhadap reformasi ketatanegaraan di Indonesia Peran PKB dalam reformasi ketatanegaraan sebetulnya banyak yang telah dilakukan terutama ketika kepeminpinan Gusdur (KH Abdurrahman Wahid) yaitu pemisahan antara TNI dengan Polri yang saat itu merupakan suatu yang fundamental dan terlihat tidak mungkin untuk dilaksanakan, kemudian soal amandemen atau perubahan UUD 1945 pada saat itu PKB terlibat dalam perumusan Bab 2 UUD 1945 yaitu amandemen ke empat. Negara Indonesia mengharapkan dapat menjalankan sistem pemerintahan presidensial secara murni dan sesuai dengan karakteristik-karakterisitik sistem presidensial yang seharusnya. Akan tetapi pada kenyataannya, di Indonesia belum dapat menjalankan pemerintahan sistem presidensial secara murni karena dalam pelaksanaan pemerintahan di Indonesia sekarang ini dinilai masih cenderung menggunakan sistem pemerintahan parlementer, memang di dalam perubahan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memperkuat mengenai sistem presidensial yang berlaku dalam pemerintahan di Indonesia, akan tetapi didalamnya masih terdapat kerancuan yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda.11 PKB terlibat dan turut berperan dalam reformasi sistem ketatanegaraan yang ada di Indonesia salah satunya adalah permasalahan pembatasan masa kepemimpinan Presiden maksimal menjadi dua periode begitu juga dengan masa
11
Wawan Cara H. Marwan Ja‟far, Jabatan Ketua Fraksi PKB/DPR RI, Tempat Gedung DPR RI Jakarta, Tgl 26 Januari 2011, Waktu 12.00-13.00
61
jabatan kepala daerah dan itu merupakan wujud dari peran PKB bersama-sama komponen fraksi yang lain dalam melaksanakan fungsinya untuk melakukan perubahan dalam sistem ketatanegaraan yang telah ada di Indonesia, saat ini yang hangat menjadi topik dari pembahasan adalah RUU keistimewaan daerah istimewa Jogjakarta, PKB beserta fraksi lainnya masih mempermasalahkan sistem pemilihan dan kekuasaan gubernur dan sultan apakah ada dalam konstitusi yang sampai saat ini masih terus dikaji yaitu pasal 18A-18B, yang memang cukup banyak terjadi perubahan dalam maindstreem perubahan ketatanegaraan. Yang dipermasalahkan oleh PKB dan fraksi lain adalah daerah istimewa Jogjakarta silakan menetapkan Gubernur tanpa melalui pemilihan umum tetapi tidak partisan dia harus melepas baju partai sehingga tidak ada konflik interes disana.
D. Analisa pandangan PKB dalam pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia Hubungan lembaga tinggi negara eksekutif, legislatif dan yudikatif tersebut sebenarnya mencerminkan adanya kemitraan yang serius dan saling membutuhkan. Jika salah satu lembaga tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka demokrasi berjalan pincang. Mekanisme checks and balances merupakan suatu fenomena tersendiri dalam sistem presidensial, karena mekanisme tersebut menjadi inti bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi. Untuk itu, pengoptimalan mekanisme checks and balances dalam sistem pemerintahan yang ingin diterapkan secara maksimal di Negara kesatuan republik Indonesia yakni sistem presidensial adalah suatu hal yang harus
62
dilakukan, Mengoptimalisasikan Hubungan Checks and Balances antara Eksekuti dengan Legiselatif dalam Sistem Presidensial. Negara kita dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang di anut adalah sistem pemerintahan presidensial yang dalam pengertian presidensial itu sendiri adalah memisahkan secara tegas antar lembaga negara, legislatif, eksekutif, dan yudikatif.12 Hubungan antar lembaga diatur secara tegas dan tidak saling tumpang tindih dalam kewenangan kekuasaannya. Pemisahan kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif disini diartikan bahwa kekuasaan eksekutif itu dipegang oleh suatu badan atau organ yang ada di dalam menjalankan tugas eksekutifnya untuk tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat. Badan Perwakilan rakyat ini menurut idea Trias Politika Montesque memegang kekuasaan legislatif, jadi bertugas membuat dan menentukan peraturan-peraturan hukum.
Sehingga
dalam pelaksanaan wewenang harus ada checks and balances antar lembaga negara, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dalam menjalankan tugasnya agar pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Arti checks and balances itu sendiri adalah saling kontrol dan seimbang, maksudnya adalah antara lembaga negara harus saling mengontrol kekuasaan satu dengan kekuasaan yang lainnya agar tidak melampaui batas kekuasaan yang seharusnya tidak saling menjatuhkan.
12
Wawan Cara H. Marwan Ja‟far, Jabatan Ketua Fraksi PKB/DPR RI, Tempat Gedung DPR RI Jakarta, Tgl 26 Januari 2011, Waktu 12.00-13.00
63
Hal ini sangat penting agar dapat terciptanya kestabilan pemerintahan di dalam negara atau tidak terjadi campuraduk antar kekuasaan dan kesewenang – wenangan terhadap kekuasaan. Seperti dalam pembagian kekuasaan di negara Amerika Serikat yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial murni yang menggunakan prinsip check and balance dan penerapan dua partai menghasilkan pemerintahan yang stabil, karena kerja antar lembaga negara sangat profesional, tidak melampaui batas kekuasaan yang seharusnya dalam setiap lembaga negara. Negara Indonesia tidak keliru, apabila bila Undang – undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menginginkan pemerintahan yang kuat. Yang menjadi kelemahan akan tetapi juga menjadi kekuatan dari Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah bahwa kekuatan presiden sangat kuat, akan tetapi bukan berarti tanpa batas. Di dalam buku Gagasan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Suatu Rekomendasi memberikan contoh adanya kerancuan pada Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu pada Pasal 20 ayat (1), ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang – undang.” Sedangkan pada Pasal 5 ayat (1),” Presiden berhak mengajukan rancangan undang–undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Dalam pasal 20 ayat (1) terjadi pemisahan secara tegas, dan tugas dan kekuasaan DPR diatur jelas, akan tetapi pasal ini akan menjadi lemah dan rancu dengan rumusan Pasal 20 ayat (2), ”Setiap undang–undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.”
64
Rumusan pasal ini terdapat kerancuan, karena dapat ditafsirkan menjadi beberapa penafsiran, antara lain yang dimaksudkan dengan pasal diatas apakah pembahasan perundang –undangannya yang dilakukan secara bersama, karena untuk memperoleh persetujuan yang sama harus dilakukan pembahasan bersama, atau penafsiran lain adalah pembahasan dapat dilakukan bersama atau tidak bersama (sendiri–sendiri) akan tetapi yang terpenting adalah pembahasan tersebut mendapatkan persetujuan bersama. Sedang Pasal 20 ayat (5), ”Dalam rancangan undang–undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang –undang tersebut disetujui, rancangan undang – undang tersebut sah menjadi undang–undang dan wajib diundangkan”. Dalam rumusan tersebut diartikan bahwa presiden diharuskan mengesahkan undang–undang yang telah disepakati bersama, sehingga prinsip checks and balances antara presiden dengan DPR dalam bentuk hak Veto untuk tidak mengesahkan undang–undang yang telah disepakat bersama tidak dimungkinkan. Dari kontroversi pasal diatas merupakan contoh bagaimana kerancuan dan kelemahan sistem presidensial yang berlaku di Indonesia, yang dimana pemerintahan di Indonesia belum dapat menerapkan prinsip checks and balances yang terdapat pada pasal 20 ayat (5) mengenai hak Veto yang merupakan prinsip pokok dalam pelaksanaan prinsip check and balances. Fungsi hak veto itu sendiri adalah menjaga kekuasaan lembaga legislatif agar tidak melakukan abuse of power, begitupun sebaliknya agar Presiden tidak sewenang – wenang dalam
65
menjalankan hak Vetonya, DPR dapat menolak Veto dari Presiden. Akan tetapi kelemahan undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur secara tegas mengenai hak Veto tersebut. Checks and balances merupakan prinsip pemerintahan presidensial yang paling mendasar dimana dalam negara yang menganut sistem presidensial merupakan prinsip pokok agar pemerintahan dapat berjalan dengan stabil. Didalam prinsip checks and balances terdapat dua unsur yaitu unsur aturan dan unsur pihak – pihak yang berwenang. Untuk unsur aturan sudah diatur didalam Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana dalam unsur aturan didalam pemerintahan di Indonesia dinilai cukup baik dan namun dalam pelaksanaanya belum optimal, hal ini disebabkan karena para pihak – pihak yang tidak profesional dalam menjalankan wewenangnya. Seperti contoh, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama, partai yang mendukung adalah partai kecil, sehingga yang masuk di lembaga legislatif hanya sebagian kecil, dan sebagian besar ditempati oleh partai lain. Ketika Presiden mengajukan suatu kebijakan, DPR sering kali menolak kebijakan tersebut, hal itu disebabkan karena pihak DPR banyak yang tidak berpihak pada Presiden karena lebih mengutamakan kepentingan partainya dari pada profesionalisme dalam kewenangannya sebagai DPR. Hal ini menunjukan bahwa pihak – pihak yang memegang kewenanganlah yang sangat berperan dalam menentukan pemerintahan berjalan sesuai dengan prinsip checks and balances atau tidak, sehingga perlu adanya pengoptimalan
66
terhadap pelaksanaan prinsip checks and balances, karena checks and balances merupakan cerminan dari sistem presidensial, apabila checks and balances itu dapat berjalan sesuai dengan kaidah pengertiannya, maka sistem pemerintahan presidensial akan berjalan dengan stabil. Sistem checks and balances itu dapat dikatakan berjalan dengan lancar yaitu apabila checks kontrol yaitu, antar lembaga negara harus dapat saling mengontrol antar lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Adapun yang perlu diperhatikan agar checks and balances antara lembaga negara dapat berjalan dengan sesuai,13 antara lain: 1. Perlu adanya aturan yang tegas dan tidak rancu dalam konsep hubungan antara pemerintah sebagai pelaksana. pelaksana perundang–undangan dengan lembaga perwakilan rakyat yang berkuasa terhadap pembentukan perundang– undangan, agar tidak saling menghambat dalam melaksanakan perannya masing–masing. Inilah yang akan menjadi tugas bersama antar lembagalembaga negara yang telah mengemban kewenangan yang berasal dari Rakyat. 2. Merekonstruksi undang–undang yang tidak sesuai, agar tidak terjadi adanya undang–undang yang saling bertentangan. 3. Perlu adanya kesadaran oleh para pihak yang mempunyai kewenangan dalam lembaga negara hendaknya perlu memaknai rasa kepedulian terhadap bangsa dan menyadari bahwa semua yang dilakukan oleh mereka itu untuk rakyat.
13
Wawan Cara H. Marwan Ja‟far, Jabatan Ketua Fraksi PKB/DPR RI, Tempat Gedung DPR RI Jakarta, Tgl 26 Januari 2011, Waktu 12.00-13.00
67
4. Perlu ditanamkan pada diri pihak–pihak yang berwenang dilembaga negara untuk memiliki jiwa pengabdi pada masyarakat, sehingga yang lebih diutamakan adalah rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok (Partai) 5. Dan perlu adanya kesadaran dan tanggung jawab untuk dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan kekuasaannya tanpa ikut campur terhadap lembaga lain, atau bekerja melebihi batas kekuasaan. Selain checks and balances yang menjadi cerminan dari sistem pemerintahan presidensial, ada cerminan lain yang menjadi pokok dalam karakteristik presidensial yaitu adanya partai oposisi. Di Indonesia, hingga saat ini masih multipartai, padahal dalam sistem pemerintahan presidensial tidak mengenal adanya multipartai, yang ada hanya partai oposisi. Akan tetapi adanya Undang – undang Pemilu yang terbaru, diharapkan dapat berjalan dengan baik dan lancar, sehingga semakin lama partai di Indonesia akan semakin menyusut dan pada akhirnya hanya akan ada partai koalisi sehingga akan lebih menegaskan sistem presidensial yang ada di Indonesia mendatang. Maka dari itu hendaknya undang-undang terbaru tersebut dapat diterapkan sebaiknya.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pandangan partai kebangkitan bangsa (PKB) terhadap hubungan eksekutif dan legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di indonesia, maka terlihat bahwa terdapat hubungan antara lembaga tinggi negara yang mencerminkan adanya kemitraan yang serius dan saling membutuhkan. Jika salah satu lembaga tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka demokrasi berjalan pincang. Hubungan antar lembaga diatur secara tegas dan tidak saling tumpang tindih dalam kewenangan kekuasaannya. Perubahan UUD 1945 yang berimplikasi pada penyelenggaraan kekuasaan Negara yaitu mempertegas kekuasaan dan kewenangan masing-masing lembaga negara, dalam UUD 1945 Presiden Republik Indonesia adalah kepala pemerintahan Negara kesatuan Republik Indonesia.setelah adanya Amandemen UUD 1945, dalam pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, sebelum adanya perubahan Amandemen UUD 1945, Presiden dan wakil Presiden dipilih oleh MPR. Setelah adanya Amandemen UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggung jawab pada DPR, kedudukan antara Presiden dan MPR setara.
68
69
DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPR tersebut. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat yang melanggar ketentuan tersebut dikenakan panggilan paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. PKB terlibat dan turut berperan dalam reformasi sistem ketatanegaraan yang ada di Indonesia salah satunya adalah permasalahan pembatasan masa kepemimpinan Presiden maksimal menjadi dua periode begitu juga dengan masa jabatan kepala daerah dan itu merupakan wujud dari peran PKB bersama-sama komponen fraksi yang lain dalam melaksanakan fungsinya untuk melakukan perubahan dalam sistem ketatanegaraan yang telah ada di Indonesia, saat ini yang hangat menjadi topik dari pembahasan adalah RUU keistimewaan daerah istimewa Jogjakarta, PKB beserta fraksi lainnya masih mempermasalahkan sistem pemilihan dan kekuasaan gubernur dan sultan apakah ada dalam konstitusi yang sampai saat ini masih terus dikaji yaitu pasal 18A-18B, yang memang cukup banyak terjadi perubahan dalam maindstreem perubahan ketatanegaraan. Yang dipermasalahkan oleh PKB dan fraksi lain adalah daerah istimewa Jogjakarta silakan menetapkan Gubernur tanpa melalui pemilihan umum tetapi tidak partisan dia harus melepas baju partai sehingga tidak ada konflik interes disana.
70
B. Saran Melihat pandangan partai kebangkitan bangsa (PKB) terhadap hubungan eksekutif dan legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia maka hal-hal penting untuk dipahami bahwa pelaksanaan reformasi ketatanegaraan merupakan tanggungjawab bersama, lembaga eksekutif dan legislatif dituntut untuk benarbenar menjalankan amanat yang telah diberikan oleh rakyat terutama dalam menentukan kebijakan yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Adanya keselarasan dan kesamaan tujuan antara lembaga eksekutif dan legislatif agar tidak terjadi tumpang tindih dalam kewenangan dan kekuasaan. Adapun yang perlu diperhatikan agar terjadi keseimbangan antara lembaga eksekutif dan legislatif antara lain: 1. Adanya aturan yang tegas dan tidak rancu dalam konsep hubungan antara pemerintah sebagai pelaksana. pelaksana perundang–undangan dengan lembaga perwakilan rakyat yang berkuasa terhadap pembentukan perundang– undangan, agar tidak saling menghambat dalam melaksanakan perannya masing–masing. 2. Merekonstruksi undang–undang yang tidak sesuai, agar tidak ada undang– undang yang saling bertentangan. 3. Adanya kesadaran oleh para pihak yang mempunyai kewenangan dalam lembaga negara untuk menyadari bahwa semua yang dilakukan oleh mereka itu untuk rakyat.
71
4. Tanamkan pada diri pihak–pihak yang berwenang di lembaga negara untuk memiliki jiwa pengabdi pada masyarakat, sehingga yang lebih diutamakan adalah rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok (Partai) 5. Dan perlu adanya kesadaran dan tanggung jawab untuk dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan kekuasaannya tanpa ikut campur terhadap lembaga lain, atau bekerja melebihi batas kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Konsitusi Press, 2006.) Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) Asshiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH. UII Press, 2005) Asshiddiqie, Jimly. Hukum Konstitusi. (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1972) Djamali, R. Abdoel, pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2003) DPP PKB. 13 Agenda Kemandirian dan Kedaulatan Bangsa, Jakarta,2008 Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonersia. (Jakarta: PT. Raja Gerafindo Persada, 2006) Jafar, Marwan. Merubah Sistem Politik Gus Dur di PKB, (Jakarta: Rajawali Press, 2008) MD,Moh Mahfud. Perdebata Hukum Tatanegara, (Jakarta: LP3ES, 2007) Maliki, Zainuddin. Birokrasi dan Partai Politik dalam Negara Teransisi, (Yogyakarta: Galang Pres 2000) MD, Moh Mahfud. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: Rajawali Press, 2009) Mannheim Kari. Freedom, Power and Democratic Planning. (London: Routledge & Keegan Paul Ltd, 1951) Iskandar A.Muhaimin, Politik Partai Kebangkitan Bangsa (Jakarta: DPP PKB, 2005) Luth, Thohir , M. Natsir Dakwa dan pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999)
72
73
Legowo, TA. Negara, Politik dan Keadilan. Dalam Al Andang, dkk (editor) Keadilan Sosial Upaya Kesejahteraan Bersama (Jakarta: Kompas, 2004) Musanef. Sistem Pemerintahan di Indonesia, (Jakarata: Gunung Agung, 1983) MD, Moh Mahfud. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001) Nur Wahid, Hidayat. Mengelolah Masa Teransisi Menuju Masyarakat Madani, (Jakarta: Fikri Publishing,2004) Nasution. Sejarah Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: Geramedia Pustaka Utama, 2000) Rahman, Arifin. Sistem Politik Indonesia, (Surabaya: SIC, 1998) Suharsimi, Arikunto. Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005) Subekti, Singka Valina. Menyusun Konstitusi Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Rajawali Press, 2003)
INTERNET http://www. blogspot.com/sejarah Partai Kebangkitan Bangsa. Diakses Tgl 9/11/10 http://www. DPP/PKB.or.com. Diakses Tgl 13/11/10 http://www.Fraksi/PKB .org.co.id Diakses Tgl 09/01/11 http://www.WordPress.org file:///E:/Hubungan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia AB setitik ilmu yang kudapatkan. Diakses Tgl 05/03/11
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Hasil wawancara sekripsi
Nama Responden
: H. Marwan Ja’far
Jabatan
: Ketua Fraksi PKB/ DPR RI
Tanggal
: 26 Januari 2011
Waktu
: 12.00-13.00
Tempat
: Gedung DPR RI Jakarata
1. Kewenangaan Lembaga Eksekutif dan Legislatif Pasca Amandemen 1945? Jawab Sesuai dengan prinsip UUD 1945 untuk mempertegas sistem Presidensial dan dianut pemisahan cabang-cabang kekuasaan Negara yang utama dengan prinsip Check and Balances, maka perubahan UUD 1945 berakibat pula perubahan di bidang eksekutif sebagai berikut: a. Memegang kekuasaan eksekutif menurut UUD 1945 (pasal 4 ayat (1)). b. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan dipilih oleh rakyat. secara langsung, secara berpasangan dari calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan dengan partai poltik lain (pasal 6A). c. Masa jabatan Presiden selama lima tahun secara tegas dibatasi untuk dua periode (pasal 7). d. Ditentukannya syarat-syarat yang lebih rinci utnuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6). e. Ditentukan mekanisme impeachment terhadap Presiden yang melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi dan DPR (pasal 7A dan 7B). f. Penegasan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR (pasal 7C). g. Pelaksanaan
progratif
(Presiden
sebagai
denganpersetujuan atau pertimbangan DPR).
kepala
negara
harus
h. Pengangkatan pejabat-pejabat publik, seperti anggota BPK (pasal 23F), Hakim Agung (pasal 24A ayat (3)), anggota Komisi Yudisial (pasal24B ayat (3)) harus dengan persetujuan DPR. i. Presiden berwenang membentuk DPA yang di hapuskan. Dalam pembentukkan, pengubahan, dan pembubaran kementerian harus diatur dengan UU (pasal 17 ayat (4)), tidak bebas seperti sebelumnya. Setelah perubahan amandemen UUD 1945 juga mempertegas fungsi kewenangan DPR yaitu: a.
Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
b.
Membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang
c.
Menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta membahas membahas rancangan undangundang tersebut bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden
d.
Membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
e.
Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
f. Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. g. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN. h. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. i. Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. j. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi. k. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain. l. Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD. m. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK. n. Memberikan
persetujuan
kepada
Presiden
atas
pengangkatan
dan
pemberhentian anggota KY. o. Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. p. Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden. q. Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara. r. Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain. s. Menyerap,
menghimpun,
menampung
dan
menindaklanjuti
aspirasi
masyarakat. t. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam undang-undang. 2. Peranan PKB terhadap reformasi ketatanegaraan di indonesia? Jawab Peran PKB dalam reformasi ketatanegaraan sebetulnya banyak yang telah dilakukan terutama ketika kepeminpinan Gusdur (KH Abdurrahman Wahid) yaitu pemisahan antara TNI dengan Polri merupakan suatu yang fundamental, kemudian soal amandemen UUD terlibat di Bab 2 UUD 45 amandemen ke empat jadi ya (PKB) terlibat semua salah satunya adalah soal pembatasan presiden menjadi dua periode maksimal dan kepala daerah juga sama itu merupakan wujud dari peran PKB bersama-sama komponen fraksi yang lain, yang terbaru adalah soal RUU keistimewaan Jogja kita masih mempermasalahkan gubernur utama apakah ada dalam konstitusi, masih dikaji pasal 18A-18B, yang memang cukup banyak terjadi perubahan dalam maindstreem perubahan ketatanegaraan misalnya soal Jogja lagi silakan ditetapkan tetapi tidak partisan dia harus melepas baju partai sehingga tidak ada konflik interes disana, banyak reformasi ketatanegaraan lewat kompromi-kompromi politik nah ini yang harus di jaga. 3. Analisa pandangan PKB dalam pelaksanaan sistem presidensial di indonesia? Jawab Sistem presidensial merupakan hasil dari sebuah proses politik panjang sekali Indonesia pernah mencoba sistem parlementer namun jatuh bangun, nah presidensil merupakan yang terbaik, untuk Indonesia yang menarik sistem
presidensil adalah dibawah atau dilingkupi multi partai yang layak dikaji menjadi subtema tersendiri sistem presidensil dalam negara menuju partai yang baik. Kita masih mendukung sistem presiensil sampai hari ini, kita coba parlementer jatuh bangun dan menggambarkan tidak ada kestabilan pemerintahan keotoriteran, ekonomi terpuruk dan hidup hiruk pikuk sehingga rakyak terbengkalai karena tidak ada stabilitasi 4. Bagaimanakah konsep Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk mengatasi berbagai kendala yang menghambat upaya pelaksanaan reformasi ketatanegaraan di Indonesia? Jawab Ngga ada sekarang terbuka semua, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah berjalan sangat maksimal kita (PKB) praktis memang terus mendorong sistem reformasi sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi, dan PKB konsen terhadap itu dan tidak ada permasalahan.semua berjalan dengan baik 5. Bagaimanakah pandangan PKB terhadap hubungan eksekutif dan legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia? Jawab Harus sinergis antara hubungan eksekutif dan legislatif merupakan satu performance kinerja dengan termasuk juga penguasaan materi-materi tentang anaggaran, administrasi. Yang dari sudut kewarganegaraan memanag eksukutif, legislatif yudikatif tidak ada persoalan jika dikaitkan tetapi tidak menghilangkan fungsi-fungsi kontrol yang sudah ada dari legislatif. 6. Bagaimana kebijakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia? Jawab Untuk menjaga konstituen programnya eksekutif,legislatif dan yudikatif supaya sinergis itu menjaga konstituen yang ada di bawah maupun disamping juga
pengertian supaya mereka lebih terberdayakan tidak hanya linear dari pusat kedaerah tetapi secara horizontal juga harus baik dengan masyarakat harus terbangun dengan baik Tidak bisa dong karena sistem presidensil masih berlaku dan merupakan uforia saja dari reformasi kebablasan dan ini harus seimbang dan sistem kita buka distribion of power tapi ada sparasion of pw. Kekuasan itu tidak murni distribusion of power tetap sparation of power, sehingga antara ketiganya harusbesinergi dan mempunyai peran masing2 tidak campur baur. Sekarang DPR punya posisi seimbang dalam menjalankan tugas dan wewenang masing-masing.
Jakarta, Januari 2011 Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa
H. Marwan Ja’far