PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG PELAKSANAAN PENATAAN KAWASAN JALAN PANGERAN ANTASARI KOTA BANDAR LAMPUNG
OLEH : FARDI NANSYAH
PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG PELAKSANAAN PENATAAN KAWASAN JALAN PANGERAN ANTASARI KOTA BANDAR LAMPUNG
FARDI NANSYAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Perdesaan
PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
ABSTRAK FARDI NANSYAH. Pandangan Masyarakat tentang Pelaksanaan Penataan Kawasan Jalan Pangeran Antasari Kota Bandar Lampung. Dibimbing oleh AFFENDI ANWAR, ERNAN RUSTIADI, dan LALA KOLOPAKING. Pemerintah Kota Bandar Lampung melaksanakan penataan kawasan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Penataan kawasan berdampak pada perubahan pola penggunaan lahan dan sarana/prasarana pelayanan kota sesuai perencanaan yang tertuang dalam RTRWK. Dampak tersebut berlanjut pada perubahan distribusi penduduk, sistem perangkutan, dan kondisi lingkungan hidup Kinerja aparatur pemerintah dipandang memiliki kelemahan, baik jika dikaitkan dengan good governance maupun secara kelembagaan. Beberapa permasalahan terkait dengan kinerja aparatur pemerintah antara lain : proses pelayanan terhadap masyarakat terlalu berbelit-belit dan memakan banyak energi serta biaya, lemahnya penegakan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta ketaatan terhadap aturan, sumber daya manusia tak memadai, baik dari segi jumlah maupun kualitas, koordinasi antar instansi yang kurang baik, kurangnya pemahaman akan tugas dan fungsi aparatur pemerintah daerah, dan terlalu banyak program yang harus dilaksanakan tanpa diikuti oleh petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan. Masyarakat memiliki pandangan sendiri tentang penataan kawasan yang dilakukan. Proses penataan kawasan yang menekankan pengutamaan penegakkan hukum dinilai penting oleh masyarakat. Penegakkan hukum yang sempat terabaikan dituntut kembali oleh masyarakat agar terdapat suatu kepastian tindak dan perilaku berbangsa, dan bernegara yang mampu mendorong terwujudnya pembangunan berkesinambungan. Sedangkan dalam mengukur keberhasilan suatu pembangunan, masyarakat mengutamakan pembangunan sarana dan prasarana pelayanan kota. Masyarakat melihat bahwa penataan kawasan yang seharusnya sesuai dengan perencanaan kurang terlaksana. Fokus perhatian masyarakat - umumnya - intensitas penggunaan lahan dan ketepatan fungsi kawasan. Keberadaan bangunan-bangunan baru dipandang semrawut dan pada saat bersamaan tidak dilaksanakannya pengendalian tata ruang oleh aparatur pemerintahan yang berakibat terjadinya penyimpangan dalam pemanfaatan lahan.
Judul
: Pandangan Masyarakat tentang Pelaksanaan Penataan Kawasan Jalan Pangeran Antasari Kota Bandar Lampung
Nama
: Fardi Nansyah
NRP
: P 15500013
Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan 1. Komisi Pembimbing Ketua
Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, MSc. Anggota
Anggota
Dr. Ir. Ernan Rustiadi. M. Agr.
Dr. Ir. Lala Kolopaking. Msi
2. Ketua Program Studi
3. Dekan
Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah.
Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto. M.Sc.
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Januari 1968 sebagai anak ketiga dari pasangan Mubarok Rahimmudin dan Ratna Umaydi. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UI, lulus pada tahun 1994. Pada tahun 2000, memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Perdesaan pada program Pascasarjana IPB. Bea siswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BAPPENAS. Penulis bekerja pada Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Lampung (merupakan penggabungan Direktorat Sosial Politik Provinsi Lampung dengan Markas Wilayah Pertahanan Sipil Provinsi Lampung pada tahun 2000) sejak tahun 1996. Tahun 1996-1998, penulis bekerja di Seksi Perijinan, dengan lingkup pekerjaan pengolahan data dan penerbitan perijinan penyelenggaraan keramaian, penelitian dan studi lapangan. Tahun 1998, ditempatkan di Seksi Hubungan antar Lembaga dan DPRD dengan lingkup kerja menangani masalah koordinasi antar lembaga di Provinsi Lampung dengan penekanan pada produk hukum, masalah sosial politik yang terkait dengan keamanan daerah, dan DPRD. Pendidikan kedinasan yang pernah diikuti adalah pendidikan Administrasi Umum (ADUM) tahun 1999 dan pendidikan Administrasi Umum Lanjutan (ADUMLA) tahun 2000. Kursus yang pernah diikuti dan terkait dengan bidang tugas penulis antara lain adalah Kursus Penyelesaian Sengketa Hukum tahun 1998, Kursus Analisa Jabatan tahun 1998, Penataran Penelitian Khusus tahun 1999.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, berkat inayah dan karunia-Nya, tesis yang berjudul “Pandangan Masyarakat tentang Pelaksanaan Penataan Kawasan Jalan Pangeran Antasari Kota Bandar Lampung” dapat diselesaikan. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2003 samapai dengan Januari 2004. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, MSc., Dr. Ir. Ernan Rustiadi. M. Agr., dan Dr. Ir. Lala Kolopaking. Msi. yang telah memberikan bimbingan, komentar, dan kritik dalam proses penyusunan tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ismail AM, Bapak Chamim Musyahro dan Bapak Efan Tolani dari DPRD Kota Bandar Lampung, Bapak Freddy dari Bappeda Provinsi Lampung dan Sdr Ari yang telah membantu selama pengumpukan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada papi, mami, istri, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2005 Fardi Nansyah
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................................vii DAFTAR GAMBAR .................................................................................................viii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ix I.
PENDAHULUAN................................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1 1.2 Ruang Lingkup Masalah ...............................................................................9 1.3 Tujuan, dan Manfaat Penelitian...................................................................11
II.
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 12 2.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan..........................................................12 2.2 Arti Penting Rencana Tata Ruang Wilayah.................................................15 2.3 Kepentingan/Kebutuhan Masyarakat ..........................................................23
III.
KERANGKA PEMIKIRAN dan ANALISIS .................................................... 27 3.1 Kerangka Pemikiran ....................................................................................27 3.2 Hipotesis ......................................................................................................37
IV. METODE PENELITIAN ................................................................................... 41 4.1 Lokasi, dan Waktu Penelitian......................................................................41 4.2 Metode Pengambilan Data ..........................................................................42 4.3 Karakteristik Responden .............................................................................44 4.4 Metode analisis............................................................................................46 V.
DAMPAK PENATAAN KAWASAN JALAN PANGERAN ANTASARI ..... 57 5.1 Perubahan Pola Penggunaan Lahan ............................................................57 5.2 Perubahan Distribusi Penduduk ..................................................................59 5.3 Perubahan Sistem Perangkutan ...................................................................60 5.4 Perubahan Sarana/Prasarana Pelayanan Kota .............................................62 5.5 Perubahan Kondisi Lingkungan Hidup .......................................................65 5.6 Ikhtisar.........................................................................................................67
VI. PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG KINERJA APARATUR PEMERINTAH .................................................................................................. 68 6.1 Kelembagaan Pemerintah Kota dan Kepegawaian......................................68 6.2 Peran Lembaga Legislatif dan Aspirasi Masyarakat ...................................74 6.3 Kinerja Aparatur Pemerintah.......................................................................78 6.4 Analisis Konflik Kepentingan .....................................................................86 6.5 Ikhtisar.........................................................................................................89
VII. PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG PENATAAN KAWASAN...... 90 7.1 Good Governance dalam Penataan Kawasan..............................................90 7.2 Dampak Penataan Kawasan bagi Masyarakat.............................................95 7.3 Kepastian Hukum dalam Pelaksanaan Penataan Kawasan .......................100 7.4 Ikhtisar.......................................................................................................102 VIII. KESIMPULAN ................................................................................................ 103 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 106 LAMPIRAN .............................................................................................................. 109
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Halaman Jenis, Sumber, dan Cara Pengumpulan Data/Informasi Penelitian .................... 44 Karakteristik Reponden ...................................................................................... 45 Format Data Dasar Analisis Kuantifikasi Hayashi II ......................................... 48 Bobot Perbandingan Kriteria Pemilihan Skala Prioritas .................................... 52 Perubahan Penggunaan Lahan (Ha) Kawasan Jalan Pangeran Antasari Tahun 1990-2000. .............................................................................................. 58 Tingkat Kerapatan Bangunan (Perumahan) di Kawasan Jalan Pangeran Antasari .............................................................................................................. 59 Jumlah Penduduk Kawasan Jalan Pangeran Antasari ........................................ 60 Perubahan Fungsi Jalan di Kawasan Jalan Pangeran Antasari........................... 61 Fasilitas Pelayanan Kota di Kawasan Jalan Pangeran Antasari Tahun 2002..... 63 Pandangan Masyarakat tentang Kinerja Aparatur Pemerintah........................... 85 Matrik Pay off Penataan Kawasan Jl. Pangeran Antasari .................................. 86 Pandangan Masyarakat tentang Pelaksanaan Penataan Kawasan ...................... 92 Pandangan Masyarakat tentang Dampak Pelaksanaan Penataan Kawasan........ 97
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
Alur Pikir Pelaksanaan Penelitian ...................................................................... 39 Peta Jalan Pangeran Antasari.............................................................................. 41 Struktur Hirarki Pembangunan di Kawasan Antasari ........................................ 53
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Struktur Organisasi Badan, Kantor dan Dinas Pemerintah Kota Bandar Lampung........................................................................................................... 110 Crosstabs Antar Variabel ................................................................................. 111 Daftar Pertanyaan ............................................................................................. 114
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya pembangunan daerah perlu dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan yang lebih terpadu dan terarah, agar sumberdaya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Salah satu upaya untuk mencapainya adalah melalui keserasian pembangunan dalam matra ruang yang tertata secara baik. Untuk kebutuhan tersebut, penyiapan rencana tata ruang wilayah diharapkan dapat mengakomodasikan berbagai perubahan dan perkembangan di kota. Pembangunan Kota Bandar Lampung yang digerakkan oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dalam kerangka tersebut telah ditetapkan visi Kota Bandar Lampung 2020 sebagai Kota Berbudaya, Nyaman, dan Berkelanjutan. Berbudaya mengandung pengertian suatu kondisi dan sikap masyarakat yang menjunjung tinggi nilai agama, moral/etika, hukum, dan budaya yang didukung oleh imtaq dan iptek; Nyaman bermakna suatu kondisi di mana masyarakat merasa aman, tertib, dan sejahtera; dan Berkelanjutan memiliki arti suatu kondisi yang menjamin kontinuitas pengelolaan sumber daya manusia dan sumber daya alam secara bertanggung jawab. Pembangunan di Kota Bandar Lampung berusaha untuk sejalan dengan visi kota yang telah dicanangkan. Untuk itu pemerintah kota berusaha melakukan pembangunan di segala bidang dengan harapan akan mewujudkan visi kota serta memberikan dorongan pada kehidupan perekonomian dengan tetap memperhatikan masyarakat.
2
Kota Bandar Lampung merupakan daerah perkotaan yang terus berkembang dari daerah tengah ke daerah pinggiran kota yang ditunjang fasilitas perhubungan dan penerangan. Pengembangan kota ditandai dengan tumbuhnya kawasan pemukiman, namun demikian daerah pinggiran belum terlihat jelas ciri perkotaannya. Kota Bandar Lampung (1982) semula luasnya kurang lebih hanya 4.800 ha, dan saat ini telah berkembang menjadi seluas 192,2 km2, sedangkan penduduk Kota Bandar Lampung berdasarkan sensus penduduk tahun 1990 adalah 636.706 orang dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 743.109 jiwa. Perkembangan fisik yang pesat membawa dampak spatial yang pesat di daerah dalam bentuk terjadinya perubahan pola pemanfaatan ruang. Perubahan pemanfaatan ruang yang dimaksud meliputi perubahan fungsi kawasan lindung, perubahan fungsi dan sebaran kawasan produktif dan kawasan industri, perubahan pola/sistem permukiman, perubahan sistem transportasi, serta perubahan kualitas dan kuantitas sistem prasarana/infrastruktur wilayah. Perubahan pola pemanfaatan ruang pada akhirnya dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan fungsi kawasan. Pemerintah Kota Bandar Lampung berusaha melakukan penataan kota dengan menyediakan ruang kota untuk mewadahi dinamika perkotaan, sehingga penyediaan ruang sesuai dengan potensi serta masalah yang berkembang dinamis (Nurmandi, 1999). Dengan memperhatikan beberapa kondisi nyata yang ada, Pemerintah Kota Bandar Lampung menetapkan arahan pembangunan yang harus
3
dipedomani dalam pelaksanaannya sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung. Pembangunan sarana dan prasarana pelayanan kota dilakukan secara berkesinambungan sehingga tidak terjadi tumpang tindih antar program. Begitu juga dengan sarana perangkutan diarahkan guna mendukung mobilitas penduduk dan barang sehingga akan menciptakan kondisi ideal percepatan pertumbuhan perekonomian. Untuk kawasan tertentu diarahkan untuk mendukung tumbuhnya kawasan perkantoran, jasa dan perdagangan. Dengan kebijakan ini diharapkan sebaran kepadatan penduduk akan merata dan sekaligus menciptakan pusat pertumbuhan baru. Pembangunan sarana pendidikan dilakukan dengan menambah jumlah lokal kelas pada sekolah yang sudah ada, karena untuk membangun sekolah baru terhambat dengan masalah lahan yang sulit didapat dan walaupun ada letaknya tidak strategis. Pembangunan sarana kesehatan dilakukan dengan mendirikan puskesmas pembantu, serta meningkatkan puskesmas pembantu yang ada menjadi puskesmas. Terhitung tahun 2000, sarana kesehatan yang ada di Bandar Lampung terdiri dari 1 Rumah Sakit Umum Daerah, 22 Puskesmas, dan 55 Puskesmas Pembantu. Untuk tenaga medis setiap tahun dilakukan penambahan bagi puskesmas yang ada, diharapkan dengan adanya penambahan tenaga medis akan mampu melayani masyarakat (BPS, 2000). Guna menunjang mobilitas penduduk dilakukan penambahan dan perbaikan ruas jalan secara terus menerus dengan harapan akan mempermudah akses terhadap
4
suatu lokasi. Sejak tahun 1995 hingga 2000 telah dilakukan pembangunan jalan baru sepanjang 285,009 Km, terdiri dari jalan aspal sepanjang 75,949 Km, jalan kerikil 207,609 Km dan jalan tanah 53,821 Km. Pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung ternyata juga mengundang pertanyaan dari masyarakat, terutama mengenai ketidakjelasan arah pembangunan kota, seperti tercermin dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) 2001, sebagaimana yang dipertanyakan oleh 36 elemen masyarakat Lampung. APBD dinilai lebih banyak untuk kantong pegawai, terutama jajaran pejabat dan kepentingan rakyat jelata diabaikan. Dana yang diperoleh lebih banyak dipakai untuk belanja rutin atau belanja pegawai. Padahal sebenarnya, porsi anggaran dan belanja itu harus lebih besar untuk pembangunan fisik yang terkait dengan pembangunan ekonomi kerakyatan, perbaikan taraf atau kesejahteraan ekonomi rakyat (Saju, 3 Juli 2001). Program kesehatan yang sebelumnya cukup mampu melayani masyarakat ternyata sekarang Pemerintah Kota Bandar Lampung melaksanakan pengoperasian puskesmas dengan sistem swadana. Dengan sistem ini tarif puskesmas disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan untuk mengoperasikan puskesmas dengan baik, tanpa bantuan dari pemda, kecuali untuk gaji staf. Untuk itu tarif puskesmas dinaikkan dari Rp 1.000 menjadi Rp 5.000. Sistem swadana diujicobakan pada tahun 2003 di beberapa puskesmas terpilih. Asumsinya, puskesmas swadana akan berusaha meningkatkan pelayanan agar mendapat sebanyak mungkin pasien, karena seluruh biaya pengelolaan puskesmas sepenuhnya menjadi tanggung jawab puskesmas.
5
Namun, di pihak lain kenaikan tarif ini juga dikhawatirkan akan mengurangi kesempatan orang miskin untuk berobat ke puskesmas. Masyarakat secara umum juga belum melihat adanya perubahan dalam pelayanan pendidikan, walaupun terjadi perubahannya bahkan membingungkan. Sektor pendidikan
yang seharusnya menjadi prioritas pembangunan tidak
memperoleh alokasi dana yang cukup dalam APBD, bahkan jumlah dana yang dialokasikan berkurang dibandingkan tahun sebelumnya. Beberapa anggota masyarakat berpendapat bahwa penggunaan dana juga tetap tidak mencerminkan keadilan karena sekolah yang biasa menerima dana pembangunan terus menerima dana, sementara yang tidak pernah menerima tidak berubah keadaannya. Hal itu dilatarbelakangi oleh adanya beberapa pejabat dinas yang mempunyai hubungan tertentu dengan sekolah-sekolah tertentu. Jadi pendekatan KKN masih berjalan, termasuk dalam hal pengangkatan guru dan tender proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang. Dalam penunjukan kepala dinas dan kepala sekolah di beberapa kabupaten/kota, akhir-akhir ini terlihat kecenderungan lebih memberi prioritas kepada “putra daerah” (SMERU, September 2002). Masalah pekerjaan fisik dalam pembangunan di Bandar Lampung mendapat perhatian yang cukup besar, masyarakat umumnya mempertanyakan masalah buruknya kualitas pekerjaan fisik seperti jalan yang rusak meskipun baru selesai dibangun (Uni., 7 April 2004). Hal ini tentu memunculkan kecurigaan masyarakat kemungkinan terjadinya pengaturan dalam pelaksanaan proyek pembangunan, karena
6
sudah seharusnya pemerintah kota sebagai pemilik proyek pembangunan melakukan klaim perbaikan. Kawasan Wilayah Pembangunan (KWP) Tanjung Karang merupakan kawasan terpadat dengan 111 jiwa per hektar. Keadaan ini menimbulkan persoalan tersendiri terhadap kemungkinan penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK) Bandar Lampung yang telah ditetapkan, tentu di samping distribusi penduduk yang cukup padat, kondisi sistem perangkutan jalan, dan pola penggunaan lahan menjadi suatu masalah yang harus dipikirkan secara cermat. Untuk itu dilakukan arahan perbaikan dalam RTRWK Bandar Lampung pada tahun 1994/1995 yang merupakan perbaikan dari Rencana Induk Kota Bandar Lampung 1984-2004. Arahan pengembangan tata ruang Kota Bandar Lampung berdasarkan pendekatan perencanaan pembangunan spasial (perwilayahan pembangunan) mengarahkan Kawasan Wilayah Pembangunan (KWP) Tanjungkarang untuk kegiatan perdagangan eceran, jasa umum, dan perumahan fungsi ganda (ruko) (BAPPEDA, 1995). Arahan kawasan ini dilakukan dalam rangka pemerataan pertumbuhan kawasan perkotaan dengan mendorong kawasan-kawasan potensial untuk cepat dapat tumbuh dan berkembang. Faktor-faktor batas wilayah administrasi, fungsi, kesamaan, partisipasi masyarakat, dan swasta, dan orientasi ekonomi akan merupakan tantangan, kendala, dan peluang yang berpengaruh terhadap fungsi, dan peran pusat pertumbuhan yang direncanakan. Pada RTRWK Bandar Lampung, KWP Tanjung Karang diarahkan pada fungsi perdagangan barang sekunder dan tersier serta pusat kegiatan jasa yang
7
diharapkan mampu menjadi salah satu pusat kegiatan utama yang menyokong keberadaan kawasan pendukung yang lebih diarahkan sebagai pusat lingkungan wilayah kota pendukung. Untuk itu dilakukan beberapa arahan guna mendukung struktur tata ruang kota, antara lain distribusi penduduk, sistem perangkutan, dan pemanfaatan ruang kota. Sistem perangkutan jalan yang dikembangkan diharapkan mampu untuk menampung mobilitas penduduk yang bermukim di KWP Tanjung Karang maupun wilayah kota pendukung. Secara garis besar sistem jaringan jalan disesuaikan dengan perundangan yang berlaku (PP No. 26 Thn 1985 tentang Jalan), yaitu melakukan penataan hirarki jalan pada ruas-ruas tertentu, dan merubah fungsi jaringan-jaringan jalan. Hal ini dilakukan melalui usaha peningkatan kualitas badan pelebaran jalan, dan menambah fasilitas jembatan penyeberangan pada daerah tertentu serta mengupayakan pemindahan lintasan jalan kereta api kesebelah timur yang sejajar dengan jalan Soekarno Hatta. Kecenderungan perkembangan pembangunan wilayah sekitar ternyata membawa dampak terhadap pembangunan KWP Tanjung Karang, terutama terkait dengan intensitas penggunaan lahan, dan masalah sistem jaringan jalan yang menghubungkan antar kawasan wilayah pembangunan. Selain dari hal tersebut juga terdapat tiga pusat lingkungan wilayah kota pendukung yang menimbulkan bangkitan lalu lintas yang cukup tinggi dan kompleks. Aspek lainnya adalah adanya lokasi pemukiman baru yang berada di pinggiran kota, dan menimbulkan bangkitan lalu lintas baru. Bangkitan lalu lintas yang ada sekarang menjadi masalah manakala pada
8
jalan-jalan sibuk, dan hal itu juga membawa konsekuensi logis pada kondisi perkembangan tata ruang yang ada menjadi tidak tertata karena mengikuti kecenderungan sistem jaringan jalan yang ada. Kesemrawutan lalu lintas kota, munculnya pemukiman kumuh, pelayanan air bersih yang masih minim dan mahal, keterbatasan fasilitas sosial dan fasilitas umum misalnya, merupakan kondisi nyata yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Hal ini mencerminkan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah ternyata belum mampu mengatasi hal tersebut (Mukhlis, 2003). Pola jaringan jalan yang mengikuti pola campuran antara pola grid radial yang menghubungkan antar pusat dari wilayah bagian kota, dan pusat kota dengan jalanan lingkungan yang dilayani oleh jalan lokal ternyata tidak memberikan alternatif pemakaian jalan. Kondisi ini terjadi karena jalan yang ada lebih merupakan hasil peningkatan kelas jalan sehingga sulit untuk melakukan mobilisasi secara leluasa. Pada Jalan Pangeran Antasari yang terletak di KWP Tanjung Karang dilakukan penataan kawasan agar dapat melaksanakan fungsinya yang baru sebagai kawasan jasa dan perdagangan. Pelaksanaan penataan kawasan telah dilakukan dan perubahan yang diharapkan telah mulai mewujud walaupun terdapat hambatan. Perubahan yang terjadi ternyata memiliki dampak kepada masyarakat. Perubahan yang paling terasa adalah terjadinya peningkatan jumlah penduduk di sekitar kawasan, perubahan sistem perangkutan, dan pola penggunaan lahan. Perubahan yang terjadi bukannya tanpa perencanaan, Pemerintah Kota Bandar Lampung telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
9
sehingga tujuan dari penataan kawasan dapat terpenuhi. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di sekitar kawasan dianggap Pemerintah Kota Bandar Lampung sebagai satu indikator berhasilnya pembangunan yang dilaksanakan. 1.2 Ruang Lingkup Masalah Pemerintah Kota Bandar Lampung berusaha melaksanakan pembangunan dengan menitik-beratkan pada efisiensi penggunaan sumber daya dan efektifitas dalam mencapai target, sasaran berbagai kebijaksanaan, dan programnya. Dengan tetap mengedepankan kepentingan masyarakat, pembangunan yang dilaksanakan dalam pandangan pemerintah- telah menerapkan prinsip-prinsip good governance guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan sehingga berdampak positif terhadap kinerja
pembangunan.
Penerapan
prinsip-prinsip
good
governance
pada
pembangunan sarana dan prasarana pelayanan jalan, pengarahan distribusi penduduk, penataan sistem perangkutan, dan penataan penggunaan lahan diharapkan akan menghasilkan pembangunan yang berpihak kepada masyarakat. Pembangunan sarana dan prasarana pelayanan jalan, pengarahan distribusi penduduk, penataan sistem perangkutan, dan penataan penggunaan lahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah telah menghasilkan suatu bangkitan lalu lintas yang signifikan, pertambahan penduduk, dan ditambah dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi kawasan. Kondisi ini menurut sudut pandang pemerintah daerah merupakan suatu keuntungan yang memang sudah diperkirakan sebelumnya.
10
Tindakan melakukan pelebaran Jalan Pangeran Antasari dalam pandangan Pemerintah Kota Bandar Lampung mampu mendukung perkembangan pembangunan Kawasan
Wilayah
Pembangunan
Tanjung Karang dan
Kawasan
Wilayah
Pembangunan Sukarame. Pelaksanaan pelebaran Jalan Pangeran Antasari diarahkan untuk berfungsi sebagai arteri sekunder dengan fungsi peruntukkan lahan untuk kegiatan jasa dan perdagangan/ruko untuk pelayanan lingkungan. Perubahan fungsi peruntukkan lahan dilakukan pada tahun 1990 melalui SK Walikota Daerah No. 51.A/TATA KOTA/HK/1990 dengan melihat adanya perubahan fungsi jalan yang sebelumnya sebagai kolektor sekunder. Dengan adanya perubahan peruntukkan lahan tersebut maka terjadi pembangunan yang cukup pesat. Kawasan ini masih memungkinkan ditata secara baik karena sebelum adanya perubahan peruntukkan lahan dan fungsi jalan, kawasan ini lebih dikenal sebagai daerah pemukiman dan perkebunan. Pembangunan di kawasan ini cukup pesat dan maju, sehingga arahan sebagai kawasan jasa dan perdagangan memang tepat dan mampu sebagai alternatif bagi masyarakat sebagai pusat jasa dan perdagangan. Kawasan Wilayah Pembangunan Sukarame-pun mengalami kemudahan dengan tumbuhnya kawasan Jalan Pangeran Antasari sebagai pusat perdagangan dan jasa. Bangkitan lalu lintas di kawasan jalan ini cenderung padat walaupun belum menimbulkan kemacetan, akan tetapi bila melihat kondisi Jalan Pangeran Antasari dan kawasan jasa dan perdagangan sekitarnya (Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada) maka terlihat tidak adanya
11
koordinasi yang baik, karena jalan yang ada ternyata belum mampu menampung bangkitan lalu lintas yang cukup padat. Dengan memperhatikan secara fisik kawasan penelitian memang terlihat adanya peningkatan dan atau pertumbuhan yang cukup pesat. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan dari pembangunan tersebut adalah : Bagaimana dampak yang terjadi akibat dilaksanakannya penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari? Bagaimana pandangan masyarakat tentang kinerja aparatur pemerintahdalam penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari? Bagaimana pandangan masyarakat tentang pelaksanaan penataan kawasan yang dilakukan?. 1.3 Tujuan, dan Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan di atas tujuan dari penulisan ini adalah : 1.
Mengkaji dampak pelaksanaan penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari Kota Bandar Lampung.
2.
Mengidentifikasi pandangan masyarakat tentang kinerja aparatur pemerintah dalam pelaksanaan penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari Kota Bandar Lampung.
3.
Mengkaji pandangan masyarakat tentang pelaksanaan penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari Kota Bandar Lampung.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan merupakan upaya yang terkoordinasi untuk menciptakan keadaan yang lebih baik bagi setiap warga negara untuk mencapai kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi. Paling tidak terdapat tiga komponen dasar atau nilai inti yang harus dijadikan basis konseptual dan pedoman praktis untuk memahami pembangunan yang paling hakiki, yaitu kecukupan (sustenance), jati diri (self esteem), serta kebebasan (freedom) (Todaro, 2000). Ketiga hal inilah yang merupakan tujuan pokok pembangunan yang harus digapai oleh setiap manusia dan masyarakat melalui pembangunan. Pemahaman tentang pembangunan berkelanjutan menjadi penting seiring dengan adanya pengalaman pada dekade 1950-an dan 1960-an yang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan memperbaiki taraf hidup sebagian besar penduduk. Sehingga memasuki dekade 1970-an pembangunan mengalami redefinisi dengan apa yang dikenal sebagai pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development). Strategi pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) ini belajar dari pengalaman pelaksanaan pembangunan sebelumnya dengan munculnya konsep tata ekonomi dunia baru sebagai upaya perbaikan sosial ekonomi negara berkembang. Pada dasawarsa ini pusat perhatian proses pembangunan berkaitan dengan masalah kependudukan yang meningkat pesat (population boom), urbanisasi, kemiskinan, kebodohan, partisipasi masyarakat, organisasi sosial politik, kerusakan lingkungan,
13
dan masyarakat pedesaan. Dalam dasawarsa ini masih menghadapi masalah yakni pelaksanaan pembangunan tidak berdimensi pada pembangunan manusia, sehingga pada gilirannya berpengaruh pada timbulnya masalah ketidakadilan, kelangsungan hidup, dan ketidak terpaduan pembangunan. Belajar dari pengalaman maka pada awal 1980-an di negara berkembang penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) didukung dengan pendekatan pembangunan manusia (human development) yang ditandai dengan pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada pelayanan sosial melalui pemenuhan kebutuhan pokok berupa pelayanan sosial di sektor kesehatan, perbaikan gizi, sanitasi, pendidikan, dan pendapatan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat (Surjadi, 2003). Di samping itu juga diarahkan pada upaya mewujudkan keadilan, pemerataan, peningkatan budaya, kedamaian serta pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development) dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat (public empowerment) agar dapat menjadi aktor pembangunan
sehingga
dapat
menumbuhkan
partisipasi
masyarakat
dalam
pembangunan, kemandirian, dan etos kerja. Fokus perhatian dari paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia ini (people centered development paradigm) adalah perkembangan manusia (humangrowth),
kesejahteraan
(well-being),
keadilan
(equity),
dan
berkelanjutan
(sustainability). Dominasi pemikiran dalam paradigma ini adalah keseimbangan ekologi manusia (balanced human ecology), sumber pembangunannya adalah informasi, dan prakarsa yang kreatif dengan tujuan utama adalah aktualisasi optimal
14
dari potensi manusia (Tjokrowinoto, 1999). Dalam paradigma pembangunan manusia yang mendapatkan perhatian dalam proses pembangunan adalah (Suryono, 2001) : a.
Pelayanan sosial (social service);
b.
Pembelajaran sosial (social learning);
c.
Pemberdayaan (empowerment);
d.
Kemampuan (capacity);
e.
Kelembagaan (institutional building). Tujuan utama pembangunan yang semula diarahkan pada peningkatan
“GNP” sebagai indikator tunggal atas terciptanya kemakmuran dan kriteria kinerja pembangunan, diubah menjadi penghapusan dan atau pengurangan kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang. Seiring dengan perubahan paradigma tersebut konsep pembangunan diarahkan pada pembangunan berkelanjutan dan berkesinambungan dalam memperjelas hakekat keseimbangan pembangunan yang paling diinginkan, yaitu pertumbuhan ekonomi disatu sisi dan pelestarian lingkungan hidup dan atau sumber daya alam di sisi lainnya. Sumber daya alam memiliki keterbatasan yang begitu rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, sehingga acapkali tingkat kerusakan yang dialami berjalan lebih cepat dibandingkan dengan usaha rehabilitasi yang dilakukan. Dengan menyadari kondisi demikian haruslah dibuat acuan yang mampu untuk menghindari degradasi sumber daya alam (Anwar, 2001).
15
Pembangunan
berkelanjutan
memiliki
pengertian
adanya
maksimasi
keuntungan bersih dari pembangunan ekonomi dengan tepat memperhatikan tercapainya jasa serta kualitas sumber daya alam sepanjang waktu. Jasa dan kualitas sumber daya alam sepanjang waktu tersebut dicapai dengan; (1) Pemakaian sumber daya terbarukan dalam tingkat yang lebih rendah atau sama dengan tingkat pembaruan sumber daya alam tersebut; (2) Mengoptimalkan efisiensi dalam pemakaian sumber daya alam tidak terbarukan dengan memperhatikan substitusi antara sumber daya alam dengan kemajuan teknik (Pearce and Turner, 1990). 2.2 Arti Penting Rencana Tata Ruang Wilayah Rencana Tata Ruang Wilayah merupakan salah satu bentuk perencanaan yang disusun oleh manusia dalam rangka optimalisasi pemanfaatan atau alokasi ruang guna mendukung peningkatan kesejahteraannya. Sekalipun perencanaan dibuat ringkas dan padat namun harus mencakup pengelolaan sumber daya manusia, modal, dan alam yang dibutuhkan organisasi serta dengan perencanaan memungkinkan kepada setiap anggota organisasi untuk dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan tujuan dan memungkinkan pula adanya kemajuan kearah tujuan yang dapat diamati dan diukur, sehingga tindakan pengendalian dapat diambil apabila tidak ada kemajuan organisasi. Dewasa ini perencanaan ruang lebih diarahkan selain optimalisasi pemanfaatan ruang juga untuk meredam terjadinya peluang konflik berbasis ruang di dalam masyarakat (Batley, 1994). Dengan demikian perencanaan ruang yang sebelumnya semata-mata dinilai dari kriteria fisik pemanfaatan ruang (purely physical
16
land-use criteria) menjadi harus dinilai dari dimensi yang lebih luas, yang meliputi kriteria ekonomi, sosial, politik, dan keruangan (spasial) itu sendiri, baik pada penyusunan rencana strategi serta struktur pemanfaatan ruang. Ini berarti bahwa pemanfaatan ruang oleh orang atau kelompok tertentu harus dihindari dari kemungkinan akan mengakibatkan dampak negatif terhadap orang atau kelompok lainnya. Dengan demikian perencanaan ruang harus mampu menjadi instrumen yang mendorong dan melestarikan terjadinya berbagai bentuk keseimbangan dalam kehidupan di suatu wilayah, apakah keseimbangan lingkungan (ekosistem), keseimbangan sosial, atau keseimbangan lainnya, dan gagasan terakhir tidak dapat dielakkan akan mempersyaratkan eksistensi partisipasi sosial dalam rangkaian penyusunan perencanaan ruang serta dalam penerapannya. Di negeri ini sendiri (Indonesia) sebagai sebuah terminologi, sebenarnya perencanaan ruang telah cukup lama mengakomodir konsep partisipasi sosial, dimana secara formal hal tersebut dapat dibaca dalam berbagai produk-produk hukum yang mengatur tentang perencanaan tata ruang wilayah, baik di level nasional maupun daerah. Sebagai bukti dapat disebutkan antara lain adalah UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang, Peraturan Mendagri No. 8 tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, dan Permendagri No. 9 tahun 1998 tentang Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah. Persoalannya adalah apakah sampai disitu kita bisa mengklaim bahwa
17
sesungguhnya proses perencanaan tata ruang telah mengakomodir peranserta (aspirasi) seluruh lapisan masyarakat di wilayah bersangkutan atau bahkan masyarakat wilayah lain (the adjacent area/region) yang memiliki linkage dengan dinamika pemanfaatan ruang yang terjadi di wilayah yang sedang disusun rencananya. Penataan ruang secara berkesinambungan yang berlandaskan pada keberpihakan masyarakat tentu merupakan suatu harapan masyarakat (Aryani, 2002). Akan tetapi di lain pihak terdapat suatu tarik menarik antara kepentingan/kebutuhan masyarakat dengan suatu sistem tata ruang yang mampu mencerminkan dinamika kehidupan yang bernuansa keramahan tanpa mengabaikan fungsi wilayah sebagai suatu arena sistem budaya, sosial, agama, politik, dan ekonomi. Kondisi ini seringkali membuat Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah dibuat dituding tidak memiliki keberpihakan (Setiarin, 2002). Dalam perkembangannya rencana yang telah begitu baik dilakukan ternyata tidak dapat dilaksanakan dengan baik pula di lapangan. Kekuatan-kekuatan politik, ataupun kelompok-kelompok kepentingan mempunyai kepentingan ekonomi dan atau politik. Mereka dengan segala upaya melakukan lobi terhadap pengambil keputusan di pemerintah. Dalam kacamata ilmu politik, ruang wilayah adalah suatu arena perebutan antara berbagai kelompok masyarakat. Kelompok mapan berusaha untuk memperoleh lahan di tempat-tempat strategis sedangkan dilain pihak kelompok marjinal berusaha memperoleh lahan di sekitar pusat-pusat pertumbuhan untuk memudahkan mereka memperoleh pendapatan yang memadai (Hoover and
18
Giarratani, 1985). Tujuan yang sama ini menghasilkan kondisi tarik menarik yang kuat antara kedua kelompok masyarakat. Sifat kemajemukan masyarakat ini tidak hanya terbagi menjadi dua kelompok saja melainkan berbagai ragam kelompok. Kondisi ini mengarahkan disiplin perencanaan wilayah ke arah yang lebih luas guna mengontrol konsekuensikonsekuensi
tindakan
yang
diambil,
dengan
memperhatikandan
atau
mempertimbangkan semua faktor fisik, tata guna lahan, ekonomi, politik, administratif, dan sosial yang mempengaruhi wilayah. Berdasarkan
disiplin
ilmu
perencanaan
wilayah,
maka pemerintah
melakukan intervensi untuk mengalokasikan sumber-sumber daya ekonomi terutama tanah, atau lahan secara adil kepada masyarakat untuk mencapai tujuan keadilan, kesejahteraan, kenyamanan, dengan alat-alat, atau metode yang cocok untuk mencapai tujuan tersebut (Nurmandi, 1999). Perencanaan wilayah akan menjadi lebih efektif apabila rencana tersebut sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan didukung dengan mekanisme pelaksanaan, baik yang menyangkut kekuatan hukum maupun mekanisme pengendalian rencana itu sendiri, anggaran, penyiapan personel, pembangunan prasarana, dan sebagainya. Di samping itu, perencanaan bukan hanya merupakan perencanaan fisik tetapi juga perencanaan yang melibatkan aspek sosialbudaya, ekonomi, dan politik. Dengan demikian Rencana Tata Ruang Wilayah secara jelas merupakan suatu mekanisme bagi pengalokasian sumber daya yang ada di suatu wilayah yang memiliki dimensi waktu dan ruang.
19
Meskipun usaha untuk melakukan penataan ruang telah begitu giat dilakukan, akan tetapi persoalan mengenai tata ruang ternyata masih begitu besar dan tak hanya cukup dengan melakukan pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah. Menurut Budiharjo ( 1995), isu pokok yang berkaitan dengan tata ruang dan pembangunan daerah, dan yang paling penting adalah adanya keterpaduan masalah perencanaan, baik dalam arah vertikal (sesuai hirarki perencanaan mulai dari skala nasional, daerah sampai perencanaan lokal) maupun arah horizontal (antar instansi yang berbeda) nampak adanya kecenderungan perencanaan tata ruang yang disusun sendiri-sendiri berdasarkan persepsi masing-masing pihak. Secara tegas juga terlihat bahwa belum ada kesepakatan mengenai siapa pemilik kewenangan penataan ruang ?. Dengan kondisi demikian tentu setiap pihak yang terlibat dalam penyusunan penataan ruang akan menggunakan visi masingmasing, sehingga penataan ruang yang dilakukan pihak-pihak tersebut akan saling tumpang tindih. Kondisi ini seringkali menyulitkan pelaksanaan RTRW yang telah dibuat. Pelaksanaan yang sebenarnya harus merupakan suatu gerakan yang terpadu, terkoordinasi dan berkesinambungan cenderung menjadi bagian-bagian terpisah yang bedakan berdasarkan persepsi masing-masing pihak. Perebutan ruang yang paling kompleks adalah justru terjadi secara vertikal yang melibatkan pihak pemerintah/eksekutif dengan masyarakat. Untuk kasus Lampung, konflik ini tidak hanya melibatkan pihak pemerintah akan tetapi juga pihak investor/swasta (Surbakti, 1996). Memang disadari sepenuhnya bahwa telah dilakukan upaya-upaya untuk mencari kebenaran dari berbagai macam kasus tersebut,
20
akan tetapi alangkah baiknya bila kita membuat suatu penataan ruang yang sesuai dengan aspirasi dan kondisi masyarakat tanpa menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Dalam pengambilan keputusan secara politik dan ekonomi, konflik timbul dari terjadinya perbedaan antar kelompok. Keputusan-keputusan perencanaan acapkali menimbulkan pertentangan karena keputusan tentang perencanaan mendistribusikan kembali sumber daya dan mengubah pengendalian politik (Elliot, 2003). Konflik yang terjadi pada ruang publik memiliki sifat yang kurang dapat diramalkan. Hal ini terkait erat dengan permasalahan yang menjadi sumber konflik. Ketika konflik yang ada memiliki persinggungan dengan publik, maka sesuai dengan tradisi demokrasi memungkinkan banyak pihak untuk turut serta memberikan tanggapan atas keputusan perencanaan tersebut. Akan tetapi perencanaan yang ada selama ini ternyata memiliki karakteristik (Beauregard, 1980) ; pertama, adanya ketergantungan pada kontrol pemerintah dan terpusat baik terhadap rancangan penyelesaian perencanaan komprehensif maupun dalam implementasinya oleh elit politik; kedua, adanya kesamaan dalam memberikan definisi kepentingan umum; ketiga, memberikan kepercayaan penuh kepada efektifitas analisa teknik dan penalaran ilmiah dalam menyelesaikan pertikaian politik; keempat, adanya praanggapan bahwa analisa komprehensif terhadap tujuan program dan penyelesaian yang mungkin dilakukan akan mengarah kepada rencana tindakan yang optimal dan dapat diimplementasikan. Keempat karakteristik ini akan menyulitkan penerapan suatu perencanaan karena kurangnya pemahaman yang mendalam mengenai
21
kepentingan umum, keahlian yang terbatas dari perencana, adanya pengabaian politik, besarnya ketergantungan terhadap pusat. Perencanaan yang ada tersebut jika diterapkan akan menimbulkan birokrasi yang sentralistis, spesialisasi, situasi yang tidak manusiawi, sangat prosedural, kurang mengakomodasi banyak kepentingan, dan distorsi komunikasi (Hadi, 2001). Salah satu karakteristik direfleksikan dalam peran perencana yang dipandang sebagai birokrat tehnis yang memberikan nasehat kepada para politisi yang berperan sebagai pengambil keputusan. Batasan ini memiliki konsekuensi bahwa perencana adalah tehnisi yang mengabaikan kepentingan publik. Pendekatan di atas sering kali disebut sebagai pendekatan perencanaan komprehensif dengan segala kelebihan dan kekurangannya model perencanaan ini banyak ditentang. Dalam perkembangannnya muncul perencanaan inkremental yang berusaha memperbaiki kekurangan pendekatan komprehensif. Jika perencanaan komprehensif berusaha mengembangkan semua kemungkinan alternatif, pendekatan inkremental menuntut pengambil keputusan dengan hanya mengembangkan beberapa strategi yang paling mungkin, serta memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk terus-menerus dibuat dan diperbaharui. Perencanaan merupakan suatu proses yang terus menerus berubah dan memerlukan penyesuaian-penyesuaian dari kebijakan sebelumnya. Asumsi yang dikembangkan dalam perencanaan inkremental adalah pengambil keputusan tidak mencoba untuk mengklarifikasi nilai dan tujuan dalam mengkaji kebijakan, karena hal tersebut akan saling berbenturan dan asumsi lainnya
22
adalah para pengambil keputusan dalam perencanaan senantiasa mempertimbangkan bukan nilai (value) yang menyeluruh tetapi nilai yang inkremental, atau marginal (Hadi, 2001). Beberapa kritik terhadap pendekatan ini diajukan. Pertama, pendekatan inkremental dipandang sebagai sesuatu yang sulit dilaksanakan, kecuali dalam setting dimana persaingan bebas berlaku; kedua, menurut pendekatan ini konflik-konflik akan mendapat tempat dan akan dicapai suatu konsensus. Pada kenyataannya konflik belum tentu mencapai konsensus karena sifat sebaran masalah konflik yang begitu melebar. Ketidakpuasan akan pendekatan perencanaan yang ada memunculkan suatu pendekatan yang berusaha untuk membumi dengan memberikan perhatian lebih pada situasi keseharian masyarakat. Dalam konteks ini perencanaan harus dilakukan melalui kontak langsung dengan masyarakat yang terpengaruh melalui dialog personal. Menurut Burchel (Hadi, 2001) pendekatan transaktif merupakan suatu media untuk mengeliminasi kontradiksi antara apa yang diketahui dengan bagaimana harus dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan pengetahuan (teori) dalam praktek dan teori selalu diperkaya dari pelajaran dilapangan. Tujuan dari dilakukannya dialog adalah untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat, nilai, prilaku, kapasitas untuk tumbuh melalui kerjasama, dan semangat saling berbagi pengetahuan, serta pengalaman. Perencana dan masyarakat terlibat dalam dialog yang tidak formal, atau non-hirarchical. Dengan demikian perencanaan transaktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menjembatani communication gap antara pengetahuan teknik dari para perencana dengan pengetahuan keseharian dari masyarakat (Friedman, 1973).
23
Pendekatan transaktif merupakan suatu pendekatan yang memberikan perhatian kepada peranserta masyarakat sebagai bagian dari suatu kebijakan, tanpa memberikan tekanan-tekanan pada arahan tertentu. Pada perencanaan transaktif ini masyarakat memegang peran penting karena dianggap sebagai pihak yang bersinggungan langsung dengan hasil perencanaan yang akan dilaksanakan. 2.3 Kepentingan/Kebutuhan Masyarakat Masyarakat adalah sekelompok manusia yang memiliki tujuan tertentu dalam bersosialisasi dan kelompok tersebut harus mampu berada lebih lama dibandingkan dengan masa hidup seseorang, memiliki kemampuan untuk merekrut, bersatu dengan memberikan kesetiaannya kepada suatu kompleks sistem tindakan utama bersama, dan sistem tindakan tersebut harus swasembada (Inkeles, 1985). Sedangkan sistem tindakan itu sendiri mengandung pengertian sebagai seluruh perangkat kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, dan cara bertindak yang baku yang biasanya diwujudkan oleh suatu kelompok yang mempunyai hubungan sosial timbal balik yang relatif langgeng. Sistem-sistem tindakan dapat bersifat relatif terbatas dan cukup sederhana. Sistem tindakan “swasembada” kalau peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan, dan teknologi suatu kelompok tertentu memberikan sarana, pengetahuan, dan kekuasaan sah yang biasanya muncul di dalam kehidupan sosial (Lay, 2000). Nilai-nilai keutamaan dalam pembangunan adalah nilai-nilai keutamaan masyarakat setempat dengan berbagai tatanan yang telah ada dalam masyarakat. Oleh karena nilai-nilai keutamaan bersifat normatif maka akan terdapat perbedaan
24
berdasarkan ruang waktu dan tempat. Nilai-nilai keutamaan dibangun secara empiris dan bukanlah suatu hasil yang mewujud dalam sekejap, tetapi lebih merupakan hasil suatu proses berkesinambungan sebuah kelompok/masyarakat untuk mencapai kepentingan bersama guna menggapai kehidupan yang lebih nyaman sehingga menghasilkan apa yang disebut budaya. Dengan demikian nilai-nilai keutamaan suatu kelompok masyarakat lebih merupakan suatu hasil usaha mengambil intisari kehidupan yang ada dalam ruang lingkupnya guna memperoleh suatu kehidupan dan penghidupan yang lebih baik. Definisi nilai-nilai keutamaan dalam konteks pembangunan wilayah dan pedesaan adalah “berbagai nilai-nilai keutamaan yang ada di dalam suatu masyarakat, dan diyakini keberadaannya guna sebagai dasar untuk mencapai kepentingan bersama dalam mencapai kehidupan yang lebih baik dan menekankan pada aspek moral” Dengan mendasarkan pada nilai-nilai keutamaan, diharapkan dapat mencapai arah dan tujuan yang diinginkan. Nilai-nilai keutamaan menjadi sandaran yang penting mengingat akan keterkaitannya dengan local need yang ada pada suatu daerah. Suatu usaha pemajuan yang diinginkan ternyata acap kali mengalami hambatan-hambatan yang berarti, dalam pengertian inilah maka perlu dicermati dan disikapi keberadaanya karena sifatnya yang inheren dalam suatu masyarakat. Pembangunan yang diinginkan oleh setiap daerah tentu memiliki muatan-muatan lokal dan aspirasi masyarakat yang menjiwainya, sehingga masalah teralienasikannya masyarakat dari pembangunan dapat dihindari.
25
Kepentingan masyarakat merupakan suatu kumpulan nilai-nilai yang ada dan memiliki “arti” sebagai suatu sarana/prasarana guna mewujudkan eksistensi kehidupan. Berdasarkan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat maka setidaknya dapat terlihat adanya kepentingan/kebutuhan yang diinginkan. Terlalu sulit bagi kita untuk mendefinisikan tentang kepentingan/kebutuhan masyarakat secara jelas, karena kepentingan/kebutuhan suatu masyarakat yang secara nyata telah ditetapkan mungkin bukan kepentingan/kebutuhan bagian minoritas masyarakat yang sama. Kondisi ini menimbulkan adanya kesimpangsiuran pemahaman akan hakekat dari kepentingan/ kebutuhan masyarakat. Akan tetapi kita masih mungkin untuk merangkai kepentingan/kebutuhan masyarakat secara umum, yaitu (Nurmandi, 1999): •
Kesehatan dan keselamatan penduduk. Secara geologis seluruh lahan areal perkotaan memiliki karakteristik yang berlainan. Dengan demikian suatu penataan ruang akan memerlukan studi-studi pendahuluan untuk memberikan masukan bagi perencana untuk mengalokasikan zona-zona yang aman bagi pemukiman.
•
Kenyamanan. Adanya pertimbangan yang yang matang dalam mengalokasikan wilayah kota atas kawasan industri, kawasan pemukiman,kawasan perkantoran, kawasan pertokoan,kawasan fasilitas sosial, kawasan rekreasi, dan sebagainya.
•
Efisiensi. Dalam perencanaan tata ruang, prinsip pengeluaran yang minimal dari masyarakat dan pemerintah haruslah menjadi pertimbangan utama. Distribusi kawasan pertokoan dan fasilitas sosial sebagai contoh haruslah mempertimbangkan aspek aksesibilitas penduduk dari kawasan pemukiman tertentu.
26
•
Kualitas Lingkungan. Kualitas lingkungan menjadi pertimbangan penting pula dalam perencanaan tata guna lahan. Dampak lingkungan yang ditimbulkan dari adanya suatu kawasan industri menjadi pertimbangan penting sebelum ditentukan suatu kawasan menjadi kawasan industri, atau tidak. Studi-studi hidrogeologi dan lingkungan merupakan studi yang harus dilakukan.
•
Keadilan. Aspek keadilan mengandung pengertian sebagai pemerataan bagi semua golongan masyarakat yang memanfaatkan ruang yang ada. Yang perlu ditekankan adalah adanya penyusunan tata ruang yang demokratis yaitu pelibatan sebanyak mungkin kalangan masyarakat untuk membahas rencana penentuan fungsi tanah (dan juga air) di perkotaan. Dengan demikian kepentingan sebanyak mungkin pihak tertampung dan rencana tata ruang yang ditetapkan juga akan lebih baik.
•
Ketenangan. Pelaksanaan penataan ruang hendaknya mempertimbangkan segala aspek, sehingga tercipta suatu kondisi yang baik dalam masyarakat guna memanfaatkan ruang yang telah ditetapkan. Keenam kepentingan/kebutuhan masyarakat ini merupakan hal yang
seringkali dianggap umum dan sepele, padahal bila dicermati secara mendalam terlihat bahwa usaha untuk mewujudkannnya bukanlah suatu hal yang mudah. Sudah merupakan suatu keharusan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah yang dibuat mencerminkan eksistensi kepentingan/ kebutuhan yang ada.
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN ANALISIS 3.1 Kerangka Pemikiran Kebijakan dasar pengembangan Kota Bandar Lampung merupakan landasan dalam menyusun konsep rencana kota dalam bentuk Tata Ruang Kota. Dokumen rencana tata ruang termutakhir yang dimiliki Kota Bandar adalah dokumen tata ruang tahun 1994/1995 yang dituangkan dalam Perda No.6 Tahun 1997. Pemutakhiran tata ruang kini sedang dilakukan dan belum menjadi dokumen resmi atau diperdakan. Dalam RTRWK Bandar Lampung tersebut secara gamblang memaparkan tujuan dan sasaran perencanaan yang dikehendaki guna mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan masyarakat kota, dan sekaligus menjawab masalah dan tuntutan pembangunan kota serta rumusan maupun kebijaksanaan yang dibutuhkan pada masa datang. RTRWK Bandar Lampung seharusnya mampu untuk menjawab tantangan pembangunan sehingga akan memberikan dampak positif kepada seluruh masyarakat. Permasalahan utama dalam suatu RTRW adalah penerapannya atau pelaksanaan dari rencana yang telah dibuat. Proses menyeimbangkan antara rencana, dan pelaksanaan merupakan suatu tantangan tersendiri. Pelaksanaan RTRW yang konsekuen berarti suatu usaha yang optimal untuk menyeimbangkan kepentingan dari berbagai kelompok atau golongan yang ada dimasyarakat. Pelaksanaan dari Rencana Tata Ruang Wilayah merupakan suatu hal yang terlalu sulit dikarenakan sangat bermuatan ekonomi-politis dari berbagai pihak yang menginginkan sumber daya lahan yang ada.
28
Perizinan yang merupakan suatu metode kontrol yang paling efektif untuk mengalokasikan sumber daya untuk kepentingan masyarakat ternyata hanya merupakan suatu pijakan legal formal yang mampu diintervensi oleh segelintir anggota masyarakat. Beberapa macam izin seperti Ijin Prinsip, Ijin Perencanaan, Ijin UUG/HO, AMDAL, Ijin Tetap, Ijin Usaha, Ijin Tempat Usaha (SITU). Ijin Lokasi, Ijin Perencanaan, dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), sedang ijin dan atau pertimbangan kelayakan lingkungan adalah melalui Ijin Undang-undang Gangguan (IUUG/HO) dan atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebenarnya sudah cukup untuk menjadi suatu sarana kontrol pelaksanaan RTRW yang efektif. Akan tetapi kenyataan lapangan membuat perencanaan yang telah dibuat ternyata menemui hambatan. Untuk membuat suatu perencanaan dapat berjalan sebagaimana mestinya hendaknya diperhatikan keberadaan dari implementasi. Implementasi mungkin dapat dipandang sebagai sebuah proses interaksi antara seperangkat tujuan dan tindakan yang mampu untuk meraihnya dan lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa implementasi program adalah kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab-akibat yang menghubungkan tindakan dengan tujuan (Pressman and Wildavsky, 1979). Dalam
kenyataannya,
tujuan-tujuan
program
mungkin
akan
mengungkapkannya atau secara substansial mengubah proses penerapannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan
29
untuk mengoperasikan suatu program. Tiga kegiatan berikut ini adalah pilar-pilarnya (Jones, 1991) : 1.
Kelembagaan. Pembentukan atau penataan kembali sumberdaya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan
2.
Interpretasi. Menafsirkan agar program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat, dan dapat diterima serta dilaksanakan.
3.
Penerapan. Ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program. Kelembagaan menjadi bagian pembahasan konsep birokrasi serta bentuk-
bentuknya. Kebijakan umum jarang berjalan swalaksana (self executing), dengan demikian
kelembagaan
diperlukan
agar
“pekerjaan
dapat
dilaksanakan”.
Kelembagaan dalam pemerintahan telah identik dengan istilah birokrasi dan atau menurut istilah Lembaga Administrasi Negara sebagai sistem administrasi negara (mencakup pemahaman tentang birokrasi, dan aparatur pemerintahan). Interpretasi merupakan suatu kebutuhan utama bagi keefektifan pelaksanaan suatu kebijakan. Jika kebijakan ingin dilaksanakan dengan tepat, arahan serta petunjuk pelaksanaan tidak hanya diterima tetapi juga harus jelas, dan jika hal ini tidak jelas para pelaksana akan kebingungan tentang apa yang seharusnya mereka lakukan, akhirnya mereka akan mempunyai kebijakan tersendiri dalam memandang penerapan kebijakan tersebut. Pada akhirnya pandangan pelaksana seringkali berbeda dengan pandangan atasan mereka (Edwards, 1980).
30
Penerapan mengacu pada pelaksanaan pekerjaan yang meliputi “penyediaan barang, dan jasa” dan untuk melaksanakannya dibutuhkan suatu seni tersendiri sehingga tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam suatu kebijakan terlaksana. Seringkali dalam penerapannya suatu kebijakan mengalami persinggungan dengan sesuatu sehingga tujuan yang telah ditetapkan akan terpengaruh atau yang paling parah mengalami kegagalan. Untuk itu penyesuaian dalam organisasi maupun penafsiran selama penerapan program tidaklah terlalu luar biasa. Suatu penafsiran politis dari yang berwenang mungkin tak akan dapat dipraktekkan di lapangan dan sebaliknya penerapan seringkali merupakan merupakan suatu proses dinamis dimana para pelaksananya ataupun para petugas diarahkan oleh pedoman program maupun patokan-patokannya, ataupun secara khusus diarahkan oleh kondisi yang aktual. Tuntutan untuk menciptakan sistem administrasi negara (Birokrasi dan atau aparatur pemerintahan) sering dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, serta menjunjung tinggi hukum dalam arti yang sebenarnya. Administrasi negara dapat diartikan sebagai apa yang dilakukan pemerintah atau oleh instansi, mulai dari perencanaan hingga tahap evaluasi, demikian seterusnya. Kegiatan administrasi negara ini juga termasuk kegiatan menyerap aspirasi masyarakat, mengolah data/informasi, dan menyampaikannya kepada policy makers, serta mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijaksanaan publik. Luasnya cakupan administasi negara dapat dilihat dari keterkaitan antara administrasi negara dengan disiplin ilmu lainnya seperti ilmu ekonomi, politik, sosiologi, hukum,
31
psikologi, pelayanan sosial, enjinering, dan kesehatan (Shafritz and Russel, 1996). Demikian pentingnya administrasi negara, sehingga muncul anggapan bahwa baik buruknya kinerja pemerintah atau suatu instansi pemerintah dapat dilihat pertama kali dengan
melihat
bagaimana
pemerintah
atau
instansi
pemerintah
tersebut
mengadministrasikan (dalam arti yang luas seperti mengelola sumber daya, dan bukan arti yang sempit yaitu pekerjaan kesekretariatan) kegiatan pemerintahan umum dan pembangunan yang diembannya. Korupsi sangat terkait erat dengan lemahnya sistem administrasi negara, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Bahkan keterkaitan korupsi tidak hanya dengan berbagai elemen yang ada dalam sistem administrasi negara itu sendiri, tetapi juga terkait erat dengan sistem lain diluarnya, misalnya sistem politik, sistem hukum, dan sistem sosial masyarakat. Tingkat korupsi yang sudah sangat merisaukan mungkin juga dapat mencerminkan tingkat sakitnya sistem politik, sistem hukum, dan sistem sosial masyarakat. Korupsi tidak saja dalam bentuk materi (finansial), tetapi juga kewenangan, tugas pokok dan fungsi, waktu kerja, dan sebagainya. Kritik yang dilontarkan kepada aparatur pemerintah tentang suatu kebijakan sering kurang diperhatikan, atau kalaupun
diperhatikan
cenderung
tidak/enggan
ditindak
lanjuti.
Anggapan
diperhatikan ini sering dijadikan sebagai justifikasi bahwa aparatur pemerintah telah melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijaksanaan tertentu. Akibatnya, cepat atau lambat kebijaksanaan tersebut sering tidak mencapai sasarannya. Berbagai kebijaksanaan yang diputuskan sendiri tanpa atau dengan
32
formalitas melibatkan masyarakat dapat dijumpai pada birokrasi pemerintahan kita. Hal seperti ini sama saja dengan menyimpan bom waktu yang pada suatu saat akan meledak. Ini terbukti dengan munculnya fenomena krisis kepercayaan masyarakat kepada aparatur pemerintah, mulai dari kelurahan/desa hingga departemen, dalam beberapa terakhir ini yang ditandai dengan maraknya berbagai tuntutan masyarakat terhadap para birokrat atau pimpinan birokrasi pemerintahan. Menurut Heady dan Wallis, sistem administrasi negara atau birokrasi pemerintahan di negara-negara berkembang ditandai dengan beberapa kelemahan yang juga merupakan ciri utamanya (Kartasasmita, 1997). Kelemahan atau ciri-ciri tersebut nampaknya relevan dengan kondisi birokrasi pemerintahan kita selama ini. Heady (1984) menyebutkan ada lima ciri, yaitu : Pertama, pola dasar (basic pattern) sistem administrasi negaranya merupakan tiruan atau jiplakan dari sistem administrasi kolonial yang dikembangkan negara penjajah khusus untuk negara yang dijajahnya. Biasanya, pola administrasi negara yang diterapkan negara penjajah di negara yang dijajah bersifat elitis, otoriter dan cenderung terpisah (sebagai menara gading) dari masyarakat, dan lingkungannya. Selain sifat-sifat di atas, dalam birokrasi kita juga dapat dijumpai nilai patron–client yang menempatkan aparatur sebagai pihak yang dilayani dan masyarakat sebagai pihak yang melayani. Ciri Kedua, birokrasi pemerintahan kekurangan sumberdaya manusia yang berkualitas baik dari segi kepemimpinan, manajemen, kemampuan, dan keterampilan teknis yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Ketiga, birokrasi cenderung mengutamakan atau berorientasi pada kepentingan pribadi atau kelompok dari pada
33
kepentingan masyarakat atau pencapaian sasaran yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Keempat, apa yang dinyatakan baik tertulis maupun lisan oleh birokrasi sering tidak sesuai dengan realitas. Kelima, birokrasi cenderung bersifat otonom dalam arti lepas dari proses politik, dan pengawasan masyarakat. Ciri ini erat kaitannya dengan ciri pertama di atas. Dalam hal ini, birokrasi seakan-akan menjadi menara gading yang tidak tersentuh. Ia bisa memutuskan apa saja tanpa merasa perlu memperhatikan dan mengajak pihak lain (stake holders) untuk merumuskannnya. Akibatnya sikap peka, responsif, dan proaktif terhadap permasalahan pembangunan yang seharusnya dimiliki aparatur pemerintahan menjadi tumpul dan digantikan dengan sikap mengutamakan diri sendiri atau kelompoknya (selfish), reaktif, dan lamban. Dua ciri lainnya ditambahkan oleh Wallis (1986). Pertama, administrasi di banyak negara berkembang sangat lamban dan menjadi semakin birokratik. Kondisi ini erat kaitannya dengan kesejahteraan (gaji) mereka yang relatif kecil, sehingga mempengaruhi semangat pegawainya untuk bekerja secara baik. Bahkan, juga tanpa sadar mendorong mereka untuk menciptakan tambahan kesejahteraan antara lain melalui pelaksanaan kewenangan/tugasnya sebagai pegawai. Kedua, aspek-aspek yang non-birokratik (administratif) sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya, hubungan keluarga, hubungan primordial (suku, agama, keturunan, dan sebagainya), golongan atau keterkaitan politik. Keadaan seperti ini cenderung mempersulit birokrasi pemerintahan untuk bertindak dan bekerja secara objektif, rasional, dan menurut aturan hukum yang berlaku.
34
Aparatur atau birokrasi pemerintahan yang profesional antara lain memiliki kinerja yang efisien dalam penggunaan sumberdaya, efektif dalam mencapai target, sasaran berbagai kebijaksanaan, dan programnya, yang kesemuanya itu ditujukan untuk kepentingan, kesejahteraan, kemakmuran bangsa, dan negara. Kata profesional tersebut juga secara langsung menggiring kepada suatu pengertian bahwa birokrasi atau aparatur tersebut bekerja dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya. Kewibawaan aparatur pemerintah (aparatur pemerintah yang berwibawa) akan muncul dengan sendirinya bila ia telah dapat bekerja dan menghasilkan kinerjanya yang efisien dan efektif. Usaha mewujudkan sistem pemerintahan yang baik dilakukan dengan harapan akan mampu menciptakan suatu kondisi pembangunan melalui peranserta masyarakat yang aktif dengan mengedepankan demokratisasi, hak asasi manusia dan penegakkan hukum. Peranserta masyarakat dalam pembangunan merupakan hal yang utama, sedangkan aparatur pemerintah lebih cenderung sebagai agen pembaharuan, pelayan dan pemberdaya masyarakat. Oleh karena itu, fungsi pengaturan dan pengendalian yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan adalah perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang berfungsi sebagai motivator dan fasilitator guna tercapainya swakarsa dan swadaya masyarakat. Situasi ini seiring dengan adanya tuntutan penegakan demokrasi, hak asasi manusia serta pelestarian lingkungan dan ditambah dengan terjadinya krisis moneter yang diikuti dengan krisis sosial dan ekonomi yang hingga kini belum dapat teratasi.
35
Hal tersebut di atas, menuntut kebijakan publik yang mampu mendorong masyarakat untuk mempertahankan eksistensi, pertumbuhan, dan perkembangan sistem kehidupan yang dapat diwujudkan melalui mekanisme sistem pemerintahan yang baik (Good Governance). Good Governance mengandung pengertian sebagai serangkaian proses dari pengambilan keputusan yang dilaksanakan maupun yang tidak yang dilaksanakan secara baik (UN_ESCAP, 2004). Ada lima ciri atau prinsip utama yang harus dipenuhi oleh suatu birokrasi atau aparatur pemerintahan untuk dapat disebut sebagai good public governance atau good public government, yaitu (Hardijanto, 2000) : (1) akuntabilitas (accountability, banyak yang mengartikannya sebagai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan); (2) keterbukaan dan transparansi (openness and transparency); serta (3) ketaatan pada aturan hukum (World_Bank, 1994). Ciri lainnya adalah, (4) komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa, dan negara, dan bukan pada kelompok atau pribadi; dan (5) komitmen untuk mengikutsertakan, dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kelima prinsip tersebut saling mengisi. Akuntabilitas mengandung pengertian aparatur pemerintah harus mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan di bidang tugas dan fungsinya. Dalam hubungan ini, dengan prinsip akuntabilitas tersebut aparatur pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan, program, dan kegiatannya yang dilaksanakan atau dikeluarkannya termasuk pula yang terkait erat
36
dengan pendayagunaan ketiga komponen dalam birokrasi pemerintahan yaitu kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan, dan sumberdaya manusianya. Prinsip akuntabilitas “mensyaratkan” adanya perhitungan cost and benefit analysis (tidak terbatas dari segi ekonomi, tetapi juga sosial dan sebagainya tergantung bidang kebi-jaksanaan atau kegiatannya) dalam berbagai kebijaksanaan dan tindakan aparatur pemerintah. Selain itu, akuntabilitas juga berkaitan erat dengan pertanggung-jawaban terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian sasaran atau target kebijaksanaan atau program. Dengan demikian tidak ada satu kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan yang dapat lepas dari prinsip ini. Keterbukaan, dan transparan (openness and transparency), artinya masyarakat dan sesama aparatur pemerintah dapat mengetahui dan memperoleh data dan informasi dengan mudah tentang kebijaksanaan, program, dan kegiatan aparatur pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah, atau data dan informasi lainnya yang tidak dilarang menurut peraturan perundang-undangan yang disepakati bersama. Keterbukaan dan transparan juga dalam arti masyarakat atau sesama aparatur dapat mengetahui atau dilibatkan dalam perumusan atau perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dengan pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan publik yang terkait dengan dirinya. Ketaatan pada aturan hukum artinya aparatur pemerintahan menjunjung tinggi dan mendasarkan setiap tindakannya pada aturan hukum, baik yang berkaitan dengan lingkungan eksternal (masyarakat luas) maupun yang berlaku terbatas di
37
lingkungan internalnya, misalnya aturan kepegawaian dan aturan pengawasan fungsional. Prinsip ini juga mensyaratkan terbukanya kesempatan kepada masyarakat luas untuk terlibat dan berpartisipasi dalam perumusan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan masyarakat. Prinsip keempat, komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa dan negara, dan bukan pada kelompok, pribadi atau partai yang menjadi idolanya, merupakan hal yang mutlak dimiliki oleh aparatur pemerintahan. Hal ini sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintah, sebagai pembina, pengarah, dan penyelenggara pemerintahan umum, dan pembangunan (dalam batas-batas tertentu). Terakhir, komitmen untuk mengikutsertakan, dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Hal ini penting, sebab tanpa komitmen ini maka yang timbul bukan partisipasi masyarakat tetapi antipati dan ketidaksukaan dalam diri masyarakat terhadap perilaku dan kebijaksanaan aparatur pemerintah. Pada saat yang sama, dalam diri aparatur atau birokrasi pemerintahan akan tumbuh secara perlahan tetapi pasti sikap mendominasi, anggapan atau perasaan paling tahu, paling bisa, paling berkuasa, dan cenderung tidak mau tahu kondisi dan pendapat orang lain, yang pada akhirnya menimbulkan arogansi birokrasi pemerintah. 3.2 Hipotesis •
Pelaksanaan penataan kawasan berdampak terhadap kondisi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup masyarakat.
38
•
Kinerja aparatur pemerintah dalam pandangan masyarakat baik.
•
Pelaksanaan penataan kawasan Kota Bandar Lampung dinilai positif oleh masyarakat karena dilaksanakan sesuai harapan. Alur pikir yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian (sebagaimana
terlihat pada Gambar 1) melihat bahwa pembangunan berkelanjutan menginginkan adanya suatu keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi di satu sisi dengan pelestarian lingkungan hidup dan atau sumber daya alam di sisi lainnya. Sumberdaya alam memiliki keterbatasan yang begitu rentan terhapan perubahan yang terjadi, sehingga acapkali tingkat kerusakan yang dialami berjalan lebih cepat dibandingkan dengan usaha rehabilitasi yang dilakukan. Menyadari kondisi ini, Pemerintah Kota Bandar Lampung berusaha untuk melakukan pembangunan yang sejalan dengan kondisi sumber daya alam yang ada. Kondisi Kota Bandar Lampung tentulah khas dimana hal ini dapat dijadikan sebagai “keuntungan” yang mampu mendorong tingkat pembangunan yang diharapkan terjadi. Situasi budaya, sosial dan politik lokal merupakan suatu muatan yang harus diperhatikan dalam suatu pembangunan. Dengan memberikan perhatian pada yang lebih pada ketiga hal tersebut akan memberikan kemudahan bagi perencanaan dan penerapan suatu program pembangunan sehingga dapat tercapai tujuan pembangunan yang berkeadilan dan tepat sasaran.
39
Gambar 1. Alur Pikir Pelaksanaan Penelitian
Perencanaan tata ruang suatu kawasan memiliki tujuan agar kesinambungan antara pembangunan dengan dinamika masyarakat dapat terjalin dengan baik dan mampu untuk menjembatani kebutuhan masyarakat dengan tujuan pemerintah kota. Untuk itu dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung 1984-2004, Pemerintah Kota Bandar Lampung secara sadar mencantumkan upaya penataan
40
kawasan Jalan Pangeran Antasari dalam rangka menunjang pertumbuhan kawasan timur Kota Bandar Lampung, sehingga sebaran pertumbuhan perekonomian dapat menyebar dan tidak terpusat pada kawasan tertentu saja seperti sebelumnya. Rendahnya jumlah penduduk, belum tertatanya sistem perangkutan secara baik, rendahnya sarana/prasarana pelayanan kota dan pola penggunaan lahan merupakan suatu tantangan tersendiri dalam penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari. Usaha untuk melaksanakan good governance dalam pelaksanaan penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari dalam persepsi Pemerintah Kota Bandar Lampung telah terjadi dan telah mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan. Begitu pula dengan aparatur pemerintah telah berusaha untuk melaksanakan penataan kawasan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Dengan adanya penerapan prinsip-prinsip good governance diharapkan kriteria pembangunan yang ada akan terwujud sesuai dengan arahan yang hendak dicapai. Masyarakat yang merasakan dampak dari pelaksanaan penataan ruang berusaha untuk melihat kinerja aparatur pemerintah serta perubahan-perubahan yang terjadi dengan dilaksanakannya pembangunan. Masyarakat memiliki kecenderungan untuk memperhatikan dan menyakini bahwa kepastian hukum dalam kerangka pembangunan yang berkesinambungan merupakan suatu hambatan dalam mencegah moral hazard yang terjadi.
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi, dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian yang dipilih diharapkan dapat mencerminkan penataan kawasan Bandar Lampung secara keseluruhan, dan sebagai sampel dilakukan di sekitar lokasi Jalan Pangeran Antasari Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2003 sampai dengan Januari 2004.
Utara⇑ Legenda : - Skala 1 : 25.000
==
- === -•
Jalan Kota Besar Jalan Kota Besar Sungai Bukit
Gambar 2. Peta Jalan Pangeran Antasari
Kawasan Jalan Pangeran Antasari dalam penelitian ini mengandung pengertian kawasan yang berada di sekitar Jalan Pangeran Antasari dalam hal ini
42
untuk mempermudah digunakan daerah administrasi kelurahan yang bersinggungan langsung dengan kawasan penelitian dan mempunyai interaksi yang cukup besar (lihat Gambar 2). Kelurahan yang berada di kawasan Jalan Pangeran Antasari adalah : Kelurahan Kota Baru, Tanjung Agung, Kebun Jeruk, Sawah Lama, Sawah Brebes, Jagabaya I, dan Kedamaian yang termasuk dalam Kecamatan Tanjung Karang Timur dan Kelurahan Jagabaya II yang masuk dalam Kecamatan Sukarame. 4.2 Metode Pengambilan Data Pengambilan sampel dilakukan dengan cara Disproportional Stratified Sampling, yaitu cara penentuan sampel dengan membagi populasi ke dalam beberapa sub kelompok atau strata dan dari masing-masing kelompok tersebut dipilih sampel dan dapat dipilih secara acak jumlah yang sama dari masing-masing sub kelompok. Tujuan dari Disproportional Stratified Sampling adalah untuk memastikan diri bahwa semua strata tercakup/terwakili dalam sampel. Untuk memperoleh hasil penelitian yang mampu menjelaskan secara detail pelaksanaan penataan ruang Kota Bandar Lampung pada lokasi Jalan Pangeran Antasari, maka responden yang dipilih haruslah bersinggungan langsung dengan lokasi penelitian. Ini didasari oleh asas manfaat dan dampak dari ditetapkannya Jalan Pangeran Antasari sebagai kawasan jasa dan perdagangan serta adanya peningkatan fungsi/kelas jalan menjadi arteri sekunder dengan status jalan nasional. Dengan demikian maka responden tersebut haruslah yang berdomisili dan atau berusaha dan atau bekerja dan atau aparatur birokrasi yang bekerja dikawasan Jalan Pangeran Antasari yang masuk dalam KWP Tanjung Karang.
43
Terkait dengan batasan responden tersebut maka sub kelompok yang dijadikan acuan adalah penduduk, pengusaha, pekerja, dan aparatur pemerintah. Penduduk merupakan individu yang bermukim dan atau bertempat tinggal di lokasi penelitian dalam waktu lebih dari 3 (tiga) bulan dan tidak bekerja dan atau berusaha di sekitar lokasi penelitian. Pengusaha adalah individu yang berusaha di lokasi penelitian, akan tetapi tidak bermukim di lokasi penelitian. Pemilik toko/ruko yang tidak melaksanakan usaha di bidang perdagangan dan jasa tidak dimasukkan dalam sub kelompok pengusaha. Pekerja adalah individu yang bekerja di sekitar lokasi penelitian dalam waktu lebih dari 3 (tiga) bulan dan tidak bermukim di lokasi penelitian. Pekerja yang dimaksudkan disini meliputi pegawai dan atau karyawan dan atau tenaga kerja suatu usaha perdagangan/jasa, dimana pekerja tersebut tidak bermukim di lokasi penelitian. Aparatur pemerintah adalah individu yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada kantor kecamatan dan kelurahan di lokasi penelitian dalam waktu lebih dari 3 (tiga) bulan dan tidak bermukim di lokasi penelitian. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 60 responden dengan masing-masing sub kelompok sebanyak 15 responden. Langkah selanjutnya adalah memperoleh data dari individu – dalam hal ini responden - yang telah ditetapkan. Guna memperoleh data tersebut dilakukan dengan pengumpulan data melalui metode wawancara. Pengertian dari wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh pengumpul data kepada responden dan jawaban-jawaban responden dicatat dan atau direkam dengan alat perekam. Teknik wawancara dapat digunakan pada penelitian ini dengan
44
pemikiran, agar jika ada pertanyaan yang belum dipahami oleh Responden maka pewawancara dapat menjelaskan maksud pertanyaan tersebut, sehingga jawaban yang diperoleh akan sesuai. Di samping itu wawancara dapat mengecek kebenaran jawaban responden dengan mengajukan pertanyaan pembanding. Tabel 1. Jenis, Sumber, dan Cara Pengumpulan Data/Informasi Penelitian No Jenis\Data 1
2 3 4 5
Sumber Data
Pandangan masyarakat tentang 60 Responden pelaksanaan, dan dampak pembangunan KWP Tanjung Karang serta pandangan masyarakat tentang aparatur pemerintah yang terkait dengan masalah pembangunan di sekitar Jalan Pangeran Antasari Kondisi Fisik Kawasan Jalan Dinas Tata Kota Pangeran Antasari BPN Kota Tokoh Masyarakat Perencanaan Kota Bandar Lampung BAPPEDA Kota Dinas Tata Kota Kondisi Perekonomian, Penduduk, BAPPEDA Kota Perangkutan, Sarana/Prasarana BPS Kota Pelayanan Kota. Angkutan Umum dan Jumlah Dinas Perhubungan Kendaraan Kota Bandar Lampung
Cara Pengumpulan Data Wawancara terstruktur dengan menggunakan questioner
Studi Data Sekunder Pengamatan Wawancara Studi Data Sekunder Studi Data Sekunder Studi Data Sekunder
Guna mendukung data yang diperoleh dari hasil wawancara maka metode studi dokumentasi juga digunakan (lihat Tabel 1). Hal ini dilakukan data sekunder yang memiliki nilai keakuratan yang baik, serta memiliki hubungan yang erat dengan penelitian yang dilakukan. 4.3 Karakteristik Responden Responden yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 60 responden dengan pembagian masing-masing sub kelompok sebanyak 15 responden. Adapun karakteristik
45
responden, sebagaimana terlihat pada Tabel 2, terbagi menjadi Jenis kelamin, Usia, Pekerjaan, Pendidikan, Penghasilan perbulan, Jarak tempat tinggal, Waktu tempuh, dan Intensitas dengan kawasan Pangeran Antasari. Tabel 2. Karakteristik Reponden
1 2 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Jenis Kelamin Pria Wanita Umur 21-30 Tahun 31-40 Tahun 41-50 Tahun 51-60 Tahun Pendidikan SMP SMA Diploma SARJANA Penghasilan < Rp. 500.000.Rp 500.000-1.000.000 Rp1.000.001-1.500.000 Rp. 1.500.001-2.000.000 > 2.000.000 Jarak Tempat Tinggal dengan Jl. P. Antasari <250m 251-500m 501m-1km 1-2km >2km Waktu Tempuh menuju Jl. P. Antasari >10' 11-20' 21-30' 31-40' >40' Intensitas Mengunjungi Jl. P. Antasari 1 2-3kali 4-5kali 6-8kali >8kali
Frekuensi 35 25 Frekuensi 9 13 26 12 Frekuensi 3 32 19 6 Frekuensi 7 31 9 8 5 12 13 11 17 7 Frekuensi 4 3 12 18 23 Frekuensi 11 14 16 5 14
46
4.4 Metode analisis Metode analisis yang dilakukan dalam penelitian ini disesuaikan dengan skala pengukuran data yang sebagian besar terdiri dari skala nominal, dan ordinal. 4.4.1
Analisis Deskriptif Untuk mengetahui, dan mengkaji kelembagaan pembangunan serta kinerja
aparatur pemerintah di kawasan wilayah pembangunan Tanjung Karang Kota Bandar Lampung pada lokasi Jalan Pangeran Antasari dilakukan dengan analisis deskriptif. Pemaparan kelembagaan Pemerintah Kota Bandar Lampung dilakukan dengan pemaparan bentuk dan struktur organisasi disertai dengan kondisi kepegawaian yang ada. Analisa deskriptif juga dilakukan pada peran lembaga legislatif dan aspirasi masyarakat. Dalam pemaparan, diulas tentang peran dan aspirasi masyarakat serta hubungannnya dengan lembaga legislatif. Kinerja aparatur pemerintah dianalisa secara deskriptif melalui pemaparan kondisi pemerintahan Kota Bandar Lampung dikaitkan dengan prinsip-prinsip good governance. 4.4.2
Metode Analisis Kuantifikasi Hayashi 2 Untuk mengkaji pandangan masyarakat tentang aparatur pemerintahan
dilakukan dengan model analisis Kuantifikasi Hayashi 2. Dengan model ini akan dilihat variabel penjelas mana yang paling mempengaruhi pandangan masyarakat tentang kinerja aparatur pemerintahan. Pemilihan model analisis ini didasarkan pada kemampuan model terhadap hasil penelitian yang memiliki banyak variabel penjelas, sedangkan jika menggunakan analisis Log Linier dengan variabel penjelas yang
47
banyak mengalami kesulitan pada proses penghitungan, walaupun dapat dilakukan menggunakan analisis loglinier hirarki. Prinsip dasar, dan tujuan dari Analisis Kuantifikasi Hayashi II (Saefulhakim, 1996) yakni menduga parameter keterkaitan antara variabel-variabel penjelas dengan satu tujuan tertentu yang bersifat pengelompokkan. Selanjutnya hasil uji nyata terhadap nilai penduga parameter koefisien keterkaitan ini menunjukkan variabelvariabel penjelas mana saja yang paling nyata (Significant) kaitannya dengan variabel pengelompokkan tersebut. Format dasar untuk Analisis Kuantifikasi Hayashi II dapat diilustrasikan seperti pada Tabel 3. Tabel ilustratif ini menyajikan data dengan karakteristik sebagai berikut : 1.
Ada n buah sampel secara keseluruhan
2.
Ada K buah kelompok, dimana masing-masing kelompok ke-g terdapat ng buah sampel (g=1,2,...,K).
3.
Ada R buah Variabel Penjelas (X1, X2,...,XR)
4.
Masing-masing Variabel Penjelas diukur dalam data yang bersifat kategorikal (nominal dan atau ordinal). Untuk Variabel Penjelas X1 terdapat sebanyak C1 kategori, untuk Variabel Penjelas X2 terdapat sebanyak C2 kategori,..., untuk Variabel Penjelas XR terdapat sebanyak CR kategori.
5.
Untuk setiap Variabel Penjelas diukur berdasarkan prinsip matching antara karakteristik sampel terhadap kategori-kategori yang ada pada masing-masing
48
Variabel Penjelas. Jika match dinyatakan dengan 1, jika tidak match dinyatakan dengan 0. 6.
Kategori pada setiap Variabel Penjelas bersifat eksklusif, sehingga untuk satu sampel tertentu, dan Variabel Penjelas tertentu, kategori yang berangka 1 hanya satu kategori saja.
Tabel 3. Format Data Dasar Analisis Kuantifikasi Hayashi II Variabel Penjelas X1 X2
1
2
...
K
1
2
...
C1 1
2
...
C2 1
2
...
CR
1 ... 1 0 ... 0 0 0 0
0 0 0 1 ... 1 0 0 0
... ... ... ... ... ... ... ... ...
0 ... ... 0 ... 0 1 1 1
0 1 0 ... ... ... ... ... ...
1 ... 1 ... ... ... ... ... ...
0 ... ... ... ... ... ... ... ...
0 ... 1 ... ... ... ... ... ...
0 0 0 ... ... ... ... ... ...
... ... ... ... ... ... ... ... ...
0 0 1 ... ... ... ... ... ...
0 1 0 ... ... ... ... ... ...
... ... ... ... ... ... ... ... ...
1 0 0 ... ... ... ... ... ...
Sampel Keseluruhan (i) Kelompok (g) Sampel Kelompok (a)
Variabel Tujuan Kelompok (g)
1 ... ... ... ... ... ... ... N
1 1 ... Ng 1 ... ... Ng K 1 ... Ng
1 1 0 ... ... ... ... ... ...
XR
0 0 1 ... ... ... ... ... ...
Model Hayashi 2 dapat dituliskan sebagai berikut : Y = X1 + X 2 + X 3 + X 4 + X 5 + X 6 + X 7 + X 8 Terkait dengan tujuan penelitian ini maka variabel yang digunakan adalah : Y = Variabel Kinerja Pemerintah dengan kategori : 1. Buruk 2. Sedang 3. Baik X1 = Jenis kelamin dengan kategori : 1. Pria 2. Wanita
49
X2 = Variabel Usia dengan kategori : 1. 21-30 Tahun 2. 31-40 Tahun 3. 41-50 Tahun 4. 51-60 Tahun X3 = Pendidikan terakhir dengan kategori : 1. SMP 2. SMA 3. Diploma 4. SARJANA X4 = Penghasilan perbulan dengan kategori : 1. < Rp. 500.000.2. Rp 500.000-1.000.000 3. Rp1.000.001-1.500.000 4. Rp. 1.500.001-2.000.000 5. > 2.000.000 X5 = Jarak tempat tinggal dengan kawasan Pangeran Antasari dengan kategori : 1. <250m 2. 251-500m 3. 501m-1km 4. 1-2km 5. >2km X6 = Waktu tempuh ke kawasan Pangeran Antasari dengan kategori : 1. >10' 2. 11-20' 3. 21-30' 4. 31-40' 5. >40' X7 = Intensitas dengan kawasan Pangeran Antasari dengan kategori : 1. 1 2. 2-3kali 3. 4-5kali 4. 6-8kali 5. >8kali
50
4.4.3
Metode Analisis Konflik Keinginan Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk melaksanakan
pembangunan Jalan Pangeran Antasari didasari oleh adanya keinginan baik agar pembangunan kewilayahan
yang telah dirancang dapat memperoleh hasil sesuai
dengan sasaran yang akan dituju. Di sisi lain masyarakat memiliki perhitungan sendiri mengenai pembangunan yang dilaksanakan tersebut. Pada situasi seperti ini, maka interaksi akan terjadi antara Pemerintah Kota Bandar Lampung dengan masyarakat. Untuk mengetahui interaksi antara masyarakat di sekitar kawasan Jalan Pangeran Antasari dengan pemerintah kota digunakan teori permainan (games theory) dimana akan terlihat interaksi antara para pengambil keputusan secara bebas dan rasional. Misalkan ada dalam kasus ini terjadi konflik ataupun interaksi antara masyarakat dan pemerintah tentang manfaat ekonomi dari penataan kawasan dan masing-masing mempunyai strategi seperti keputusan untuk menolak atau tidak, yang kemudian dibuat matriks pay off dimana mengharapkan hasil (pay off) yaitu mendapatkan keuntungan bagi kelompoknya. Dari matrik tersebut dicari solusi dengan strategi murni melalui aplikasi kriteria maksimin untuk kelompok baris dan minimaks untuk kelompok kolom, dan jika ada titik ekuilibrium, maka saddle point telah diperoleh. Namun jika tidak ada, maka digunakan aturan dominan dimana strategi yang satu mendominasi strategi lainnya sehingga strategi yang didominasi dapat dihilangkan dari matriks pay-off karena kelompok tidak akan pernah memilihnya. Kemudian dilihat apakah matriks
51
tersebut berordo 2 x 2 atau tidak. Jika berordo 2 x 2, maka kelompok akan memilih mixed strategy. Metode mixed strategy menganggap bahwa karena tidak ada kelompok yang tahu strategi apa yang akan dipilih kelompok lain, setiap kelompok akan berusaha merumuskan suatu strategi yang berakibat sama saja terhadap strategi yang dipilih lawan. Ini dapat dicapai dengan memilih secara random beberapa strategi. Pemilihan ini menghasilkan pemilihan setiap strategi sejumlah persen tertentu, sehingga keuntungan dan kerugian kelompok adalah sama tanpa memperdulikan strategi lawan. Pemilihan strategi sejumlah persen tertentu dari waktu ke waktu berarti pemilihan suatu strategi dengan suatu probabilitas tertentu. 4.4.4
Metode Analisis Analytic Hierarchy Process (AHP) Untuk melakukan analisis data dilakukan dengan Analytic Hierarchy
Process (AHP) karena data yang diperoleh bersifat kategori. Kekuatan dari Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah kemampuannya untuk menjaga prinsip konsistensi dalam pengolahan data. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pandangan masyarakat mengenai pelaksanaan penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari. Menurut Saaty (Mahi, 1990/1991), dikemukakan bahwa dalam menggunakan metode ini diperlukan langkah-langkah sebagai berikut : a.
Dekomposisi. Suatu permasalahan yang hendak dipecahkan, dibentuk dalam suatu struktur berjenjang atau yang disebut hirarki dari persoalan, dengan memperhitungkan ‘ketergantungan’ dari setiap elemen, baik dalam hubungan satu level maupun antar level. Melalui proses dekomposisi ini persoalan yang
52
utuh dipecah menjadi unsur-unsur yang terpecah-pecah, dan diperoleh beberapa tingkatan masalah yang disebut hirarki. Pembuatan hirarki dimulai dengan pembuatan ‘tujuan utama’, selanjutnya pada level kedua dibuat ‘kriteria’, dan level selanjutnya disebut ‘sub-kriteria’, dan pada tingkatan terakhir dibuat ‘alternatif/tindakan/harapan’. b.
Comparative Judgment. Dalam proses ini dilakukan ‘perbandingan berpasangan’ (pair-wise comparison) antar berbagai kriteria pilihan. Ada dua tahap penting, yaitu [1] menentukan mana diantara dua yang dianggap penting/disukai/ mungkin
terjadi/lain-lain;
[2]
menentukan
seberapa
kali
lebih
penting/disukai/mungkin terjadi/lain-lain. Prioritas dari sederetan kriteria atau alternatif tersebut ditentukan dengan membandingkan satu sama lain secara berpasangan yang diberi bobot berupa skala terendah hingga tertinggi, yaitu dari 1 sampai 9. Bobot perbandingan tersebut terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Bobot Perbandingan Kriteria Pemilihan Skala Prioritas BOBOT 1 3 5 7 9 2,4,6,8
ARTI Sama pentingnya Sedikit lebih penting Agak lebih penting Jauh lebih penting Mutlak lebih penting Nilai antara angka di atas
Selanjutnya dari hasil pengisian perbandingan berpasangan tersebut disusun dalam bentuk vektor ’eigen’ (eigen vector), dan nilai ‘eigen’ (eigen value), serta perhitungan konsistensi yang akan menentukan prioritas pilihan.
53
Struktur hirarki yang akan dianalisa sebagaimana tujuan penelitian seperti diuraikan sebelumnya, ditunjukkan dalam Gambar 3. PROSES
K R IT E R IA PRASARANA PELAYANAN KOTA
A K U N T A B IL IT A S
PELAKSANAAN PEN ATAAN KAW ASAN JA L A N PANGERAN ANTASARI Y A N G B A IK
D IS T R IB U S I PENDUDUK
PEN G UTAM AAN MASYARAKAT
S O S IA L BUDAYA
PELAKU
PENDUDUK
SARANA PELAYANAN KOTA
KETERBUKAAN DAN TRANSAPAR AN SI
PEN G UTAM AAN PENEGAKKAN HUKUM
DAMPAK
PENGUSAHA L IN G K U N G A N H ID U P P E K E R JA
S IS T IM P E R A N G K U TA N PO LA PENGGUNAAN LA H AN
EKONOMI
APARATUR P E M E R IN T A H
Gambar 3. Struktur Hirarki Pembangunan di Kawasan Antasari
Proses merupakan suatu rangkaian tindakan yang harus dilakukan dalam pelaksanaan pembangunan agar berhasil guna dan berdaya guna serta mencapai sasaran/ tujuan yang telah ditetapkan. Bagian dari proses tersebut adalah : pertama, Akuntabilitas, memiliki pengertian kebertanggungjawaban aparatur pemerintah terhadap pelaksanaan kewenangan yang diberikan di bidang tugas, dan fungsinya, kebijaksanaan, program, dan kegiatannya yang dilaksanakan atau dikeluarkannya termasuk pula yang terkait erat dengan pendayagunaan kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan,
dan
sumberdaya
manusianya;
kedua,
Keterbukaan
dan
transparansi, mengandung pengertian sebagai suatu kemudahan mengetahui, dan memperoleh data, dan informasi tentang kebijaksanaan, program, dan kegiatan aparatur pemerintahan atau data, dan informasi lainnya yang tidak dilarang menurut peraturan
perundang-undangan
yang
disepakati
bersama.
Serta
kemudahan
54
mengetahui atau dilibatkan dalam perumusan atau perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dengan pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan publik yang terkait dengan dirinya. Ketiga, Pengutamaan penegakkan hukum. Aparatur pemerintahan menjunjung tinggi, dan mendasarkan setiap tindakannya pada aturan hukum, baik yang berkaitan dengan lingkungan eksternal (masyarakat luas) maupun yang berlaku terbatas di lingkungan internalnya. Prinsip ini juga mensyaratkan terbukanya kesempatan kepada masyarakat luas untuk terlibat, dan berpartisipasi dalam perumusan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masyarakat; keempat, Pengutamaan Masyarakat, komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa, dan negara, dan bukan pada kelompok, pribadi atau partai yang menjadi idolanya. Hal ini sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintah, sebagai pembina, pengarah, dan penyelenggara pemerintahan umum dan pembangunan (dalam batas-batas tertentu) dan yang terpenting adalah komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kriteria merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah yang dijadikan acuan pembangunan suatu kawasan. Kriteria pembangunan terdiri dari : (1) Sarana Pelayanan Kota meliputi sarana pemerintahan dan pelayanan umum, sarana perdagangan dan jasa, sarana kesehatan, pendidikan, ruang terbuka hijau, sarana transportasi, peribadatan, dan perumahan; (2) Prasarana pelayanan Kota. Sarana pendukung yang searah dengan pembangunan, meIiputi jaringan telepon, air bersih,
55
drainase, listrik, persampahan; (3) Distribusi penduduk, terkait erat dengan usaha penyebaran penduduk pada setiap kawasan. Ini dilakukan dengan memperhatikan kepadatan penduduk dan ketersediaan lapangan pekerjaan; (4) Pola penggunaan lahan, suatu rancangan pemanfaatan lahan berdasarkan kepadatan penduduk dan bangunan, kondisi lingkungan, karakteristik lahan, dan berdasarkan perkiraan daya tampung maksimumnya. Pola penggunaan lahan meliputi intensitas penggunaan lahan, kemudahan perubahan fungsi, hubungan fungsional antar kawasan, dan kepadatan bangunan; (5) Sistem perangkutan. Sistem transportasi suatu kawasan yang terkait erat dengan jaringan jalan raya, meliputi jaringan jalan, terminal angkutan umum, dan jaringan angkutan umum. Dampak merupakan pengaruh dari pembangunan dan tidak dibatasi oleh positif atau negatifnya pengaruhnya. Dampak dibagi menjadi tiga, yaitu : (1) Dampak Sosial budaya merupakan perubahan yang terjadi, dirasakan, dan dialami di bidang sosial budaya akibat adanya pembangunan; (2) Dampak Lingkungan hidup, perubahan yang terjadi, dirasakan, dan dialami oleh masyarakat, akibat adanya pembangunan; (3) Dampak Ekonomi, yaitu perubahan yang terjadi, dirasakan, dan dialami di bidang ekonomi akibat adanya pembangunan. Pelaku adalah individu yang terlibat, merasakan dan mengalami proses pembangunan Jalan Pangeran Antasari. Pelaku dalam penulisan tesis ini dibagi menjadi empat sub kelompok, yaitu : (1) Penduduk merupakan individu yang bermukim dan atau bertempat tinggal di lokasi penelitian dalam waktu lebih dari 3 (tiga) bulan dan tidak bekerja dan atau berusaha di sekitar lokasi penelitian; (2)
56
Pengusaha adalah individu yang berusaha di lokasi penelitian, akan tetapi tidak bermukim di lokasi penelitian. Pemilik toko/ruko yang tidak melaksanakan usaha di bidang perdagangan dan jasa tidak dimasukkan dalam sub kelompok pengusaha.; (3) Pekerja adalah individu yang bekerja di sekitar lokasi penelitian dalam waktu lebih dari 3 (tiga) bulan dan tidak bermukim di lokasi penelitian. Pekerja yang dimaksudkan disini meliputi pegawai dan atau karyawan dan atau tenaga kerja suatu usaha perdagangan/jasa, dimana pekerja tersebut tidak bermukim di lokasi penelitian; (4) Aparatur pemerintah adalah individu yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada kantor Kecamatan dan Kelurahan di lokasi penelitian dalam waktu lebih dari 3 (tiga) bulan dan tidak bermukim di lokasi penelitian.
V. DAMPAK PENATAAN KAWASAN JALAN PANGERAN ANTASARI Pelaksanaan penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari memiliki pengaruh terhadap kawasan bersangkutan. Perubahan yang terjadi di sekitar kawasan disadari oleh pemerintah kota sebagai konsekuensi logis adanya pelaksanaan penataan kawasan.
Perubahan
pola
penggunaan
lahan,
distribusi
penduduk,
sistem
perangkutan, sarana/prasarana pelayanan kota dan perubahan kondisi lingkungan hidup merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Penataan kawasan yang dilakukan telah mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi, sehingga dapat memperkecil penyimpangan tujuan pelaksanaan penataan kawasan. 5.1 Perubahan Pola Penggunaan Lahan Kawasan Jalan Pangeran Antasari memiliki luas kurang lebih 759 Ha, berdasarkan hasil inventarisasi penggunaan lahan selama 10 tahun (1990-2000) terdiri dari perumahan, jasa/jalan, perusahaan/perdagangan, pertanian, rawa-rawa, dan tanah kosong/lain-lain. Penggunaan lahan hingga saat ini didominasi oleh sektor perumahan yaitu mencapai 398 Ha, diikuti oleh lahan untuk pertanian sebesar 132 Ha, lahan kosong sebesar 96,3 Ha, perusahaan/perdagangan sebesar 89,12 Ha, jasa, sarana/prasarana pelayanan kota dan rawa-rawa masing-masing sebesar 19,81 Ha, 19,75 Ha dan 4 Ha. Untuk lebih jelasnya penggunaan lahan selama 10 tahun (19902000) dapat dilihat pada Tabel 5.
58
Tabel 5.
Perubahan Penggunaan Lahan (Ha) Kawasan Jalan Pangeran Antasari Tahun 1990-2000.
No
Jenis Penggunaan
1 2 4 5 6 7 8
Perumahan/Pemukiman Jalan/Jasa Jalan Perusahaan/Perdagangan Pertanian Rawa-Rawa Tanah Kosong Sarana/Prasarana Pelayanan Kota
Tahun/Luas Ha 1990 2000 216 398 2,47 19,81 15,75 89,12 454,64 132 12 4 52,58 96,3 5,65 19,75
% perubahan 84,26% 702,02% 465,84% -70,97% -66,67% 83,15% 249,56%
Sumber: - Neraca Sumber Daya Alam (NSDA) Bandar Lampung, Tahun 2001 - Data diolah
Perubahan penggunaan lahan terbesar adalah untuk penggunaan jasa. Ini dimungkinkan dengan adanya pelebaran Jalan Pangeran Antasari dari lebar 6 meter menjadi 18 meter, dan juga pelebaran jalan pendukung yang menghubungkan Jalan Pangeran Antasari dengan kawasan pemukiman dan perdagangan. Konsekuensi logis diubahnya peruntukkan kawasan menjadi pusat perdagangan dan jasa adalah berkembangnya kawasan menjadi pusat perdagangan. Jika pada tahun 1990, penggunaan lahan untuk perdagangan/perusahaan hanya 15,75 Ha, maka memasuki tahun 2000 telah mencapai 89,12 Ha. Lahan perdagangan/perusahaan umumnya terletak di pinggir Jalan Pangeran Antasari. Peningkatan yang cukup menggembirakan adalah adanya pertambahan yang cukup besar untuk sarana/prasarana pelayanan kota. Ini setidaknya mengindikasikan adanya perhatian yang cukup dari Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk memberikan pemerataan pelayanan pada masyarakat. Usaha pemerintah kota untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sebenarnya tidak hanya terindikasi dari
59
pembangunan fisik sarana/prasarana pelayanan kota saja, tetapi penekanan yang paling penting adalah pelayanan aparatur pemerintah terhadap masyarakat. Tabel 6.
1 2 3 4 5 6 7 8
Tingkat Kerapatan Bangunan (Perumahan) di Kawasan Jalan Pangeran Antasari
Kota Baru Tanjung Agung Kebun Jeruk Sawah Lama Sawah Brebes Jagabaya I Kedamaian Jagabaya II
luas (Ha) 123 27 25 12 30 17 318 207
1990 13,65 42,62 35,1 59,67 45,46 23,5 4,1 12,45
Sumber : - Bandar Lampung dalam Angka, Tahun 2000 - Data diolah
2002 15,8 49 46,6 80,3 58,4 32,7 5,63 16,2
% Perubahan 15,75% 14,97% 32,76% 34,57% 28,46% 39,15% 37,32% 30,12%
Untuk pemukiman hanya mengalami peningkatan sebesar 84,26% dari 216 Ha menjadi 398 Ha. Jika melihat dari perubahan tersebut memang terlihat kecil akan tetapi jika dikaitkan dengan tingkat kerapatan bangunan akan terlihat bahwa terjadi peningkatan kerapatan bangunan (perumahan) yang cukup signifikan sebagaimana ditunjukkan Tabel 6. 5.2 Perubahan Distribusi Penduduk Pelaksanaan penataan kawasan yang dilakukan pada Jalan Pangeran Antasari membawa perubahan yang cukup mencolok. Untuk distribusi penduduk berdasarkan pada data kelurahan yang melingkupinya terjadi peningkatan jumlah penduduk yang cukup signifikan (Tabel 7). Peningkatan yang terjadi ternyata melebihi rata-rata perubahan jumlah penduduk kelurahan lain yang berada di Kota Bandar Lampung yang hanya berkisar antara 1,56%-1,78% per tahun.
60
Tabel 7. Jumlah Penduduk Kawasan Jalan Pangeran Antasari 1 2 3 4 5 6 7 8
Kota Baru Tanjung Agung Kebun Jeruk Sawah Lama Sawah Brebes Jagabaya I Kedamaian Jagabaya II
1990 11.965 6.834 5.947 5.910 8.191 3.647 7.162 6.329 55.985
2002 16.579 8.973 8.633 8.748 11.924 5.293 11.936 11.830 83.916
Sumber : - Bandar Lampung Dalam Angka, Tahun 2000 - Data diolah
% Peningkatan 38,56% 31,30% 45,17% 48,02% 45,57% 45,13% 66,66% 86,92% 49,89%
Peningkatan jumlah penduduk yang tercantum dalam Tabel 7 menunjukkan angka yang sangat tinggi, hal ini didorong oleh masih rendahnya harga tanah di kawasan tersebut serta ketersediaan lahan yang cukup luas. Di samping itu di kawasan Jalan Pangeran Antasari bermunculan komplek perumahan/pemukiman yang terletak di Kelurahan Kedamaian dan Jagabaya II, sehingga mendorong peningkatan jumlah penduduk. 5.3 Perubahan Sistem Perangkutan Sistem perangkutan mengandung pengertian sistem transportasi suatu kawasan yang terkait erat dengan jaringan jalan raya, meliputi jaringan jalan, terminal angkutan umum dan jaringan angkutan umum. Sebagaimana diketahui jaringan jalan di Kota Bandar Lampung memiliki pola radial yang menghubungkan suatu kawasan dengan kawasan lain secara berkesinambungan. Untuk Jalan Pangeran Antasari, pola itupun sebenarnya digunakan dengan melakukan perubahan fungsi jalan Ridwan Rais dari lokal sekunder (lebar daerah milik jalan 5 M) menjadi kolektor sekunder (lebar
61
daerah milik jalan 12 M). Perubahan fungsi jalan di sekitar kawasan Jalan Pangeran Antasari dilakukan secara berkesinambungan dan terus menerus sehingga jaringan jalan yang ada diharapkan mampu memperlancar mobilitas masyarakat. Beberapa perubahan fungsi jalan di sekitar Jalan Pangeran Antasari dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perubahan Fungsi Jalan di Kawasan Jalan Pangeran Antasari No 1 2 3 4 5 6
Nama Jalan Hayam Wuruk Gajah Mada Ridwan Rais Arif Rahman Hakim Dasamuka Pulau Morotai
Fungsi Semula Kolektor Sekunder Kolektor Sekunder Lokal Sekunder Lokal Sekunder Lokal Sekunder Lokal Sekunder
Ket : - Arteri primer Damija 20 M - Kolektor Primer Damija 20 M - Arteri Sekunder Damija 20 M - Kolektor Sekunder Damija 12 M - Lokal Primer Damija 8 M - Lokal Sekunder Damija 5 M Sumber : Data diolah
Fungsi Ubahan Kolektor Primer Kolektor Primer Kolektor Sekunder Kolektor Sekunder Lokal Primer Lokal Primer
Kondisi jaringan jalan pada umumnya dalam keadaan baik, dan paling banyak terbuat dari aspal. Beberapa jalan lokal memerlukan pembangunan lebih lanjut, seperti perbaikan, dan peningkatan menjadi aspal. Jalan lokal ini masih berupa jalan tanah, dan lapisan batu gravel. Angkutan kota yang melintasi kawasan Jalan Pangeran Antasari mengalami peningkatan jumlah. Jika pada tahun 1988, angkutan umum rute Tanjung KarangSukarame hanya tersedia 50 mobil maka pada tahun 2000 telah menjadi 250 mobil (Dis_Hub_Bandar_Lampung, Maret 2000), walaupun kenyataan lapangan jumlah angkutan kota dengan rute Tanjung Karang-Sukarame hampir mendekati angka 400 mobil. Dengan adanya peningkatan jumlah angkutan umum masyarakat akan lebih
62
diuntungkan karena tidak lagi tergantung dengan moda angkutan umum lainnya. Sebelum adanya penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari, masyarakat sering menggunakan angkutan umum becak/ojek dengan biaya yang cukup mahal. Kondisi ini menguntungkan masyarakat yang mengharapkan adanya angkutan umum yang murah dan cepat. 5.4 Perubahan Sarana/Prasarana Pelayanan Kota Penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari secara signifikan dapat meningkatkan distribusi penduduk secara pesat. Peningkatan jumlah penduduk menuntut adanya penambahan sarana/prasarana pelayanan kota. Penambahan sarana/prasarana pelayanan kota sejak tahun 1990 hingga 2002 dirasakan telah mencukupi, walaupun masih ada kekurangan, akan tetapi secara umum telah terjadi peningkatan. Untuk pendidikan, jumlah sekolah yang ada dipandang mencukupi begitu pula dengan ruang kelas yang ada. Ditambah lagi keberadaan sekolah swasta yang penyebarannya cenderung merata di kawasan Jalan Pangeran Antasari. Meningkatnya jumlah sekolah negeri yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung didasari oleh pemikiran bahwa pendidikan merupakan suatu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna mendukung pembangunan. Fasilitas pelayanan kota yang ada di sekitar kawasan Jalan Pangeran Antasari, cukup mengalami peningkatan sebagaimana yang terlihat pada Tabel 9. Pos polisi yang sebelumnya hanya berjumlah 1 meningkat menjadi 4, penambahan pos polisi ini diharapkan mampu menjaga ketertiban dan keamanan kawasan secara lebih maksimal dibandingkan dengan kondisi sebelum penataan kawasan yang hanya
63
memiliki 1 pos polisi. Kantor pos pembantu juga didirikan di Jalan Pangeran Antasari guna memudahkan masyarakat berkomunikasi dengan surat. Untuk keberadaan taman dan lapangan olahraga, pada kenyataannya taman hampir bisa dikatakan tidak ada, walaupun ada sebenarnya hanya sebidang kecil tanah kosong yang ditanami seadanya dan tidak terawat sehingga keberadaannya luput dari perhatian masyarakat. Penambahan 5 lapangan olahraga yang sama sekali baru tentu menggembirakan walaupun yang dimaksud dengan lapangan olahraga adalah lapangan bulu tangkis yang umumnya terletak di lahan kantor kelurahan. Tabel 9.
Fasilitas Pelayanan Kota di Kawasan Jalan Pangeran Antasari Tahun 2002
No
Fasilitas
1
Pemerintahan dan Pelayanan Umum - Pos Polisi - Kantor Pos Pembantu - Taman dan Lapangan Olahraga Peribadatan - Masjid - Langgar - Mushola - Gereja Pelayanan Kesehatan - Puskesmas - Puskesmas Pembantu - Rumah Bersalin - Posyandu
2
3
Sumber : - Bandar Lampung Dalam Angka, Tahun 2000 - Data diolah
1990
Jumlah 2002
1 1 2
4 1 7
23 54 7 1
35 65 12 2
1 1 102
1 3 3 142
Fasilitas peribadatan bagi masyarakat dianggap cukup memadai, walaupun beberapa anggota masyarakat menanyakan ketiadaan Masjid yang memiliki kapasitas menampung jemaah yang banyak. Akan tetapi jika dilihat dari segi jumlah cukup menggembirakan, masjid mengalami peningkatan dari 23 masjid menjadi 35 masjid,
64
langgar dari 54 menjadi 65, dan mushola dari 7 menjadi 12. Untuk masjid, penambahan jumlah memang benar-benar terjadi atau dengan kata lain bukan hasil renovasi langgar/mushola. Sedangkan untuk langgar penambahan 11 langgar tersebut merupakan hasil renovasi mushola sehingga menjadi langgar. Keberadaan gereja memang telah ada sebelum terjadi penataan kawasan, walaupun hanya berupa bangunan sederhana. Seiring dengan semakin banyaknya penduduk yang membutuhkan keberadaan gereja maka dilakukan renovasi terhadap bangunan yang ada. Sedangkan penambahan gereja yang baru merupakan hasil pindahan dari kawasan lain. Pelayanan kesehatan agaknya menjadi perhatian serius pemerintah Bandar Lampung, dengan adanya penambahan 2 puskesmas pembantu dan 1 puskesmas diharapkan akan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang memadai bagi masyarakat sekitar. Keberadaan sarana pelayanan kesehatan sangat membantu masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang murah dan dekat, walaupun untuk jasa pelayanannya acapkali kurang memuaskan. Beberapa anggota masyarakat mengeluhkan lambannya pelayanan dan setelah siang hari tenaga medis di fasilitas pelayanan kesehatan ini seringkali tidak ada. Dengan demikian sebenarnya bukan hanya bangunan fisik untuk sarana pelayanan yang diperbanyak tetapi profesionalisme aparat yang bertugas, sehingga fungsi pelayanan masyarakat dapat berlangsung dengan baik.
65
5.5 Perubahan Kondisi Lingkungan Hidup Dampak penataan kawasan pada lingkungan hidup terasa pada ketersediaan sarana persampahan dan drainase. Jumlah penduduk yang mendiami sekitar kawasan meningkat tajam, kondisi ini tidak diiringi oleh ketersediaan sarana persampahan yang tertata baik. Akibatnya masyarakat sering kali mengeluhkan adanya timbunan sampah yang bertumpuk di beberapa bahu jalan. Dinas Kebersihan mengelola pengangkutan sampah di jalan protokol yang meliputi sampah usaha perdagangan dan industri, sedangkan untuk sampah di pasarpasar umum pengangkutannya dilakukan oleh Dinas Pasar. Sementara untuk sampah di lingkungan pemukiman di organisir oleh kecamatan dan kelurahan melalui Satuan Organisasi
Kebersihan
Lingkungan
(SOKLI).
Untuk
pemukiman
kondisi
persampahan agak memprihatinkan, dengan terbatasnya petugas SOKLI dan renumerasi mengakibatkan tidak sempurnanya pelayanan persampahan. Untuk air limbah Kota Bandar Lampung sampai saat ini belum memiliki sistem jaringan air limbah untuk menampung dan menyalurkan limbah perkotaan. Pada umumnya air limbah dari kamar mandi dan dapur dialirkan secara terpisah dari buangan manusia. Secara keseluruhan 57% air limbah kamar mandi dan dapur (limbah rumah tangga) dialirkan ke saluran atau alur drainase dan 40% lainnya dialirkan ke lubang rembesan. Pemerintah Kota Bandar Lampung sampai saat ini belum memiliki peraturan dan belum melaksanakan pengawasan terhadap dimensi atau standar ukuran septic tank dan sistem rembesan setempat. Oleh sebab itu, saluran drainase kota yang pada umumnya berupa alur sungai menjadi tempat pembuangan
66
dari septic tank dan air limbah rumah tangga. Alur sungai yang digunakan sebagai jaringan drainase primer adalah Way Kedamaian beserta alur sungainya. Badan sungai dan jaringan drainase di Kota Bandar Lampung selain berfungsi menerima dan mengalirkan limpahan air permukaan juga berfungsi sebagai tempat pembuangan limbah domestik, industri maupun aktivitas perkotaan lainnya. Sungai-sungai yang ada di Kota Bandar Lampung merupakan jenis sungai yang bercabang, ruas-ruas sungai/anak sungai yang menyusun alur aliran yang terbesar, dan terpanjang diklasifikasikan sebagai saluran drainase primer. Sedangkan anak sungai/cabang sungai yang bermuara ke alur tersebut disebut saluran drainase sekunder dan seterusnya sebagai aliran drainase tersier dan kuarter. Kondisi bantaran sungai Way Kedamaian cenderung memprihatinkan akibat pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, sehingga dapat berakibat fatal bagi sungai itu sendiri maupun masyarakat sekitarnya. Pembelokan alur sungai untuk kepentingan sesaat akan menimbulkan perubahan aliran sungai pada badan sungai, dan akan menyebabkan gerusan pada sisi sungai tersebut, sehingga aliran akan berubah dan sedimen yang terangkut juga akan mengalami perubahan ke arah yang tidak baik dan pada akhirnya akan terjadi banjir. Tingkat kebisingan yang dirasakan masyarakat sekarang ini memang cukup mengganggu, untuk Jalan Pangeran Antasari setiap hari dilewati oleh 6.329 kendaraan jauh di atas data tahun 1981 yang hanya dilewati oleh 347 kendaraan perhari (Dis_Hub_Bandar_Lampung, Maret 2000). Banyaknya kendaraan yang
67
melewati kawasan ini tentu saja akan meningkatkan polusi udara dan suara, sehingga kualitas lingkungan hidup akan menurun. 5.6 Ikhtisar Perubahan akibat penataan kawasan terjadi secara nyata. Perubahan distribusi penduduk mempengaruhi pola penggunaan lahan dengan adanya peningkatan luasan pemukiman/perumahan. Begitu pula dengan tingkat kerapatan yang meningkat pesat bila dibandingkan dengan data tahun 1990, kerapatan bangunan merupakan satu indikasi terjadinya peningkatan jumlah penduduk. Sistem perangkutan mengalami peningkatan dengan semakin meningkatnya panjang dan luas jalan yang terbangun. Kemudahan angkutan umum merupakan suatu kondisi yang secara jelas menguntungkan masyarakat dengan pengadaan moda angkutan yang murah dan terjangkau. Untuk sarana/prasarana pelayanan kota terjadi peningkatan jumlah yang tidak diiringi dengan peningkatan kualitas pelayanan. Masyarakat melihat peningkatan sarana/prasarana pelayanan kota seharusnya diiringi dengan peningkatan kinerja aparatur pemerintah. Kinerja aparatur pemerintah merupakan fokus perhatian masyarakat terkait dengan dampak penataan kawasan.
VI. PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG KINERJA APARATUR PEMERINTAH Pemerintah Kota Bandar Lampung berusaha melaksanakan penataan kawasan dengan memperhatikan prinsip-prinsip good governance. Dengan tetap memperhatikan masyarakat sebagai subyek pembangunan, diharapkan penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta mendorong pertumbuhan kota. Kesiapan pemerintah kota dapat terlihat dari kelembagaan dan aparatur yang menanganinya. Secara umum, Pemerintah Kota Bandar Lampung memiliki perangkat yang cukup lengkap dalam menangani permasalahan kota secara efektif dan efisien dan kondisi ini ditambah lagi dengan jumlah aparatur yang banyak. Aspirasi dan peranserta masyarakat memiliki peluang untuk didengar oleh pemerintah kota melalui lembaga legislatif dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sehingga masyarakat memiliki ikatan dengan pembangunan yang dilakukan. Keberadaan lembaga pemerintah kota dan saluran aspirasi secara nyata memang diakui, lain halnya jika dipertanyakan tentang kinerjanya. 6.1 Kelembagaan Pemerintah Kota dan Kepegawaian Perangkat Pemerintah Kota Bandar Lampung saat ini terdiri dari 3 asisten (tata praja, administrasi pembangunan, dan administrasi), 4 badan, 18 dinas, 1 kantor, serta 13 kecamatan dan 98 kelurahan. Semua dinas memiliki wakil kepala dinas. Badan Pengawas Kota (Bawasko) adalah satu-satunya badan yang memiliki wakil
69
kepala badan. Dalam menyusun perangkat daerahnya, pemerintah kota telah “berusaha” mempertimbangkan efisiensi dalam rangka penyederhanaan atau perampingan organisasi pemda. Upaya tersebut antara lain tampak dengan menggabung Bagian Hukum dan Bagian Organisasi, mengingat selama ini output dari kedua bagian tersebut sama, yaitu berupa produk hukum. Sebaliknya pemerintah kota juga membentuk beberapa instansi baru mengingat urusan dan kewenangan yang harus ditangani telah bertambah, seperti pembentukan Badan Kepegawaian Daerah yang merupakan pengembangan dari Bagian Kepegawaian. Pengembangan ini dilakukan karena sejak pelaksanaan otonomi daerah jumlah pegawai yang diurus Pemerintah Kota Bandar Lampung meningkat dari 2.844 orang (per Oktober 2000) menjadi 10.630 orang pegawai (per April 2002) dengan rincian 6.337 orang guru dan 4.293 non-guru. Saat ini, jumlah jabatan struktural ada 1.189, terdiri dari eselon: IIA (1 orang), IIB (24 orang), IIIA (138 orang), IIIB (13 orang), IVA (621 orang), dan IVB (392 orang) (BPS, 2000). Secara keseluruhan pelaksanaan beberapa bidang kewenangan dirasakan masih sering terjadi tumpang-tindih kegiatan dan tanggung jawab antar institusi yang ada, sehingga kinerja pemerintah kota masih belum efektif. Oleh karena itu, meskipun struktur kelembagaan pemerintah kota tergolong relatif baru diberlakukan, tetapi Bagian Hukum dan Ortala sudah diminta oleh Walikota (Surat Keputusan/SK Walikota tentang pembentukan tim evaluasi sudah dibuat dan tim diketuai oleh wakil walikota) untuk melakukan evaluasi terhadap tugas pokok dan fungsi semua kelembagaan pemerintah kota.
70
Bentuk dan struktur organisasi tetap akan dipertahankan, karena jika diubah dikhawatirkan akan berimplikasi pada penempatan pejabat yang akan meresahkan pegawai secara keseluruhan. Diakui bahwa penamaan sub-dinas atau sub-bagian dalam suatu instansi juga masih perlu disesuaikan dengan kondisi lapangan. Di masa mendatang, tidak tertutup kemungkinan harus melakukan perubahan terhadap struktur organisasi yang ada apabila hasil evaluasi mengharuskan adanya penggabungan atau pemecahan suatu instansi. Selain itu, keberadaan wakil kepala dinas juga dinilai banyak pihak kurang bermanfaat atau tidak efektif. Masalah ini merupakan salah satu aspek yang akan dievaluasi untuk kemudian dipertimbangkan akan dihilangkan. Sebenarnya sudah lama jumlah pegawai struktural organisasi pemerintah dinilai oleh banyak pengamat berlebih. Hal ini terjadi selain karena selama ini lapangan kerja di pemerintahan berperan sebagai “katup pengaman” pengangguran, juga disebabkan adanya kecenderungan penerimaan pegawai yang bernuansa KKN. Dengan latar belakang seperti itu hampir tidak mungkin bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan perampingan organisasi yang berarti pengurangan pegawai. Jangankan pemutusan hubungan kerja pegawai, sekarang ini mekanisme mutasi pegawai pun, baik antara propinsi dan kabupaten/kota maupun antar kabupaten/kota makin sulit dilakukan. Mutasi pegawai adalah masalah yang dianggap pelik saat ini, khususnya berkaitan dengan masalah gaji yang sudah termasuk dalam Dana Alokasi Umum (DAU). Cukup banyak pegawai dari luar yang ingin menjadi pegawai pemerintah kota. Umumnya pegawai yang mutasi ke pemerintah kota adalah mereka yang pindah
71
karena alasan ikut dinas suami/pasangan. Mengenai gaji mereka, pemerintah kota selalu menekankan adanya kesepakatan bahwa gaji pegawai tersebut tetap dibayar hingga akhir anggaran berjalan oleh pemda dimana pegawai bersangkutan berasal. Demikian pula apabila ada mutasi ke luar, pemerintah kota juga menyepakati hal yang sama. Pemerintah kota sebenarnya bisa menerima pindahan pegawai dari propinsi, namun dalam prakteknya hal itu sulit terjadi, karena pegawai pemerintah kota belum siap bersaing. Ada usulan bahwa kewenangan mutasi tetap dipegang oleh daerah, namun urusan penggajian tetap dipegang oleh pihak pusat. Sebaliknya, proses kenaikan pangkat pegawai pemda setelah otonomi daerah berlangsung lebih mudah dan cepat karena birokrasinya lebih pendek. Beberapa pihak, khususnya di tingkat propinsi, termasuk DPRD, menilai perangkat hukum perundangan yang mengatur hal tersebut terlalu longgar. Banyak penempatan pejabat terutama di tingkat pemerintah kota dan pemerintah kabupaten tidak sesuai dengan keahlian, tingkat pendidikan dan pengalamannya. Persyaratan-persyaratan tersebut setelah otonomi daerah berlangsung tidak lagi dijadikan syarat penempatan seseorang untuk menjadi pejabat di daerah. Untuk itu diperlukan peraturan yang tegas agar kualitas SDM selalu menjadi pertimbangan utama. Sebelum UU No. 22, 1999 efektif diberlakukan pemerintah telah mengeluarkan enam PP tentang kepegawaian, yaitu PP No. 96 Tahun 2000 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, PP No. 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil, PP No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, PP No, 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan
72
Pangkat Pegawai Negeri Sipil, PP No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural, dan PP No. 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Ketika PP tersebut dilaksanakan ternyata beberapa peraturan di antaranya dinilai berdampak negatif terhadap pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Misalnya, terjadi praktek penunjukan pejabat yang tidak memenuhi persyaratan minimal dengan cara menaikkan pangkat/golongan yang bersangkutan beberapa tingkat dalam waktu singkat. Akibatnya, jabatan publik dipegang oleh mereka yang kemampuannya tidak memadai. Persoalan lain adalah penghapusan pejabat Eselon V yang membuat banyak pegawai kehilangan jabatan dan sulit menempatkannya. Sementara itu, karena alasan sosial dan kondisi ekonomi, maka perampingan jumlah pegawai dapat dikatakan tidak atau belum mungkin dilakukan. Kinerja aparat pemerintah kota tentu saja mengalami perubahan, hal ini dapat tercermin dari struktur kepegawaian yang mendadak membengkak dengan begitu besarnya, sehingga struktur organisasi baru yang diharapkan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien tidak terjadi. Konsep “miskin struktural kaya fungsi” setelah pelimpahan kepegawaian semakin jauh dari kenyataan.
Untuk
penempatan
pegawaipun
menimbulkan
masalah,
karena
terdapatnya pemikiran akan bidang pekerjaan yang “basah dan kering”. Dengan demikian penempatan aparaturpun bukan ditentukan oleh kemampuan pelaksanaan tugas, akan tetapi tergantung dengan “niat” dan “tarikan-tarikan” yang terdapat di dalam struktur organisasi kepemerintahan.
73
Situasi yang memerosotkan kinerja aparatur pemerintah antara lain masih adanya perilaku yang tidak konsisten dan konsekuen dari pimpinan tingkat atas sampai tingkat bawah, kurangnya disiplin, kurang profesional, baik menyangkut keterampilan, keahlian, dan tingkat pengetahuannya maupun kurangnya kesejahteraan berupa penghasilan yang masih di bawah standar, serta kurangnya motivasi kerja; dan kurangnya keterbukaan. Akibat yang dirasakan pada pelaksanaan penataan kawasan Kota Bandar Lampung adalah terjadinya penurunan fungsi pengawasan, penertiban dan perijinan. Pengawasan yang seharusnya dilaksanakan untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan ternyata kurang dijalankan dan institusi yang seharusnya bertindak sebagai pengendali cenderung bersikap diam jika tidak terjadi gejolak yang cukup tajam di masyarakat. Institusi pengendalian pemanfaatan ruang melalui aparaturnya harus melaksanakan tugas dengan baik, sehingga RTRW Kota Bandar Lampung yang telah ditetapkan dapat diterapkan secara baik. Pada dasarnya, seluruh stakeholders pembangunan dapat dilibatkan dalam kegiatan pengawasan, sehingga saling mengisi kekosongan pengawasan yang mungkin terjadi. Tetapi pada kenyataannya laporan-laporan yang dilakukan oleh masyarakat memiliki kecenderungan untuk didiamkan atau walaupun ditindaklanjuti hanya bersifat administrasi dan prosedural saja. Masyarakat memiliki kecenderungan untuk mendiamkan kondisi yang ada karena selalu menghadapi kelambanan aparatur pemerintah menanggapi permasalahan.
74
Untuk penertiban, pada pertengahan bulan April 2004 memang telah dilakukan penertiban bangunan yang tidak memiliki IMB pada ruas Jalan Pangeran Antasari, akan tetapi sebagai suatu bentuk pengendalian pemanfaatan ruang agaknya kurang mengenai sasaran yang tepat, karena pada kenyataannya masih banyak bangunan yang melanggar ketentuan tidak dilakukan tindakan. Pelanggaran yang paling banyak adalah tidak tersedianya lapangan parkir bagi pertokoan, sehingga yang dijadikan tempat parkir adalah bahu jalan. Perlulah diingat bahwa usaha penertiban seringkali lambat dilakukan karena adanya hambatan internal dikalangan pemerintah, antara lain : birokrasi yang cukup berbelit, keterbatasan dana, dan skala prioritas. Masalah perijinan merupakan hal yang paling menarik, karena secara umum lebih menunjukkan kinerja aparatur pemerintah secara gamblang. Dinas Tata Kota telah meletakkan papan pengumuman yang menyebutkan berapa tarif dari perijinan serta jangka waktu penyelesaiannya yang diiringi himbauan untuk menghindari praktek percaloan. Akan tetapi pada kenyataannya sangat sulit untuk mengurus perijinan tanpa memberikan uang lelah kepada aparat yang bertugas. 6.2 Peran Lembaga Legislatif dan Aspirasi Masyarakat Proses pembuatan RTRW Kota Bandar Lampung dilakukan dengan pendekatan
yang cenderung mengecilkan peranserta masyarakat, walaupun
sebenarnya telah ada Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan
75
Ruang yang memungkinkan masyarakat untuk memberikan masukan kepada pemerintah kota terhadap perencanaan yang sedang dilakukan. Pola untuk mengetahui kepentingan dan aspirasi masyarakat dilakukan dengan cara mengundang DPRD, tokoh masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam suatu pertemuan, dan perencana (pihak Bappeda Kota Bandar Lampung) memaparkan rencana tata ruang yang akan dilakukan. Ketika draft RTRW Kota Bandar Lampung telah siap, maka diajukan ke DPRD untuk pengesahannya. Umumnya yang dibahas adalah masalah anggaran sebagai konsekuensi dari pengesahan RTRW tersebut, walaupun ada pertanyaan yang terlontar dari anggota DPRD Kota Bandar Lampung cenderung tidak mengenai substansi masalah. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung ditetapkan dengan Perda No. 6 Tahun 1997 oleh DPRD periode 1992-1997. Seperti sama kita ketahui, pada saat itu DPRD hanya sebagai “penyeimbang” kekuatan eksekutif, sehingga tugas sebagai pemberi stempel bagi kebijakan eksekutif lebih menonjol bila dibandingkan dengan penyuara aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Kondisi yang sama juga terjadi pada era 1997-1999 dimana DPRD kurang begitu berperan dalam melaksanakan fungsinya. Sudah selayaknya lembaga ini melakukan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan RTRW Kota Bandar Lampung yang telah disahkan. Akan tetapi kenyataannya keberadaan RTRW Kota Bandar Lampung kurang mendapat perhatian sehingga pembangunan yang dilakukan (terutama di kawasan Jalan Pangeran Antasari) cenderung memberikan masalah baru.
76
Semangat Reformasi yang tercermin dengan dilaksanakannya pemilihan umum yang lebih demokratis dan otonomi daerah memberikan kesempatan bagi terwujudnya pemberdayaan masyarakat sehingga kontrol lembaga legislatif dan kontrol sosial dapat berjalan dengan baik. Otonomi daerah dikumandangkan dengan beberapa tujuan, yaitu : pertama, peningkatan ekonomi masyarakat setempat; kedua, meningkatkan pelayanan masyarakat; ketiga, meningkatkan sosial budaya setempat; dan keempat, untuk demokratisasi (Maskun, 1995). Akan tetapi sebagai gugusan pemahaman maka otonomi daerah haruslah dipahami dalam berbagai dimensi, yaitu : pertama, otonomi harus dikaitkan dengan peningkatan kapasitas atau demokratisasi kehidupan politik; kedua, otonomi dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah daerah; ketiga, otonomi dalam rangka mendukung satu negara-bangsa Indonesia (Gaffar, 1995). Dari paparan tersebut, terlihat bahwa peran dari legislatif dalam pembangunan daerah memegang peran penting, dengan adanya kesejajaran politis antara eksekutif dengan legislatif. Kesejajaran tersebut penting dalam demokratisasi guna mendorong suatu atmosfir kehidupan yang mengarah kepada terciptanya masyarakat madani. Kedudukan legislatif yang kuat ini tidak banyak dimanfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Kekuatan legislatif sekarang dinilai masih terlalu banyak mengedepankan kepentingannya sendiri. Salah satu indikasinya adalah DPRD selalu menuntut “kenaikan upah”. Gaji DPRD yang meningkat tajam tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai hal yang
77
kontroversial, karena pada saat yang sama rakyat masih tenggelam dalam keterpurukan kehidupan sosial ekonomi. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, pasal 22 ayat e yang berbunyi “memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya”, maka DPRD mempunyai kewajiban untuk memperhatikan aspirasi masyarakat. Upaya dewan menjaring aspirasi masyarakat belum efektif, karena masih dilakukan dengan cara biasa. Selain terlibat saat proses perumusan program, upaya penjaringan aspirasi hanya dilakukan dengan menghadiri berbagai undangan seminar, terutama yang diselenggarakan LSM, menanggapi surat masuk, dan menerima berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan melalui unjuk rasa. Peran anggota dewan melakukan kontrol dinilai masih lemah, karena dalam beberapa kasus bersikap diskriminatif. Misalnya, saat Bappeda mempresentasikan konsep-konsep pembangunan, para anggota dewan kurang memberikan tanggapan. Namun jika berkaitan dengan kepentingan politis dan masalah anggaran, mereka menanggapinya dengan antusias. Beberapa anggota masyarakat menyatakan bahwa anggota dewan cenderung bersikap serius terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kekuasaan dan uang. Salah satu bentuk dari peranserta masyarakat dalam pembangunan sebenarnya dapat dilakukan melalui debat publik. Hal ini bertolak dari keyakinan bahwa jika masyarakat dilibatkan dalam pengambilan keputusan mereka cenderung bisa memahami perencanaan pembangunan baik dalam bentuk kebijaksanaan,
78
program atau proyek (Hadi, 2001). Jika pengambilan keputusan dilakukan dengan fair akan mengeliminasi segala bentuk kejutan yang ditimbulkan perencanaan pembangunan. Untuk Kota Bandar Lampung, debat publik bisa saja dilakukan di tingkat kecamatan dengan melibatkan kalangan eksekutif, legislatif, LSM, akademisi dan masyarakat, sebagaimana yang terjadi pada proses pengambilan kebijakan Strategi Pembangunan Kota Bandar Lampung yang sudah menghasilkan rumusan visi dan misi kota 2020. 6.3 Kinerja Aparatur Pemerintah Peningkatan jumlah aparatur Pemerintah Kota Bandar Lampung sudah seharusnya diiringi dengan meningkatnya pelayanan kepada masyarakat. Untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat secara baik setiap aparatur pemerintah perlu senantiasa mengembangkan rasa kepekaan terhadap kepentingan masyarakat maupun masalah-masalah masyarakat yang harus dipecahkan, bertanggungjawab dalam pelaksanaan tugas pekerjaan apapun pada level manapun dan representatif dalam pelaksanaan tugas yang berarti tidak menyalahgunakan wewenang ataupun melampaui wewenang yang dimiliki baik ditinjau dari berbagai peraturan yang berlaku maupun dari nilai-nilai etika pemerintahan. Masyarakat
memiliki
penilaian
sendiri
mengenai
kinerja
aparatur
pemerintah. Masyarakat memandang bahwa proses pelayanan terhadap masyarakat dirasakan warga masih terlalu berbelit-belit dan memakan banyak energi serta biaya. Untuk pengurusan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) yang seharusnya dapat diperoleh dalam hitungan hari (paling lama 1 minggu) ternyata tidak semudah itu
79
memperolehnya. Jalur administrasi yang harus dilewati memberikan peluang aparatur pemerintah untuk mengambil kesempatan memperoleh keuntungan, sehingga memungkinkan untuk melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya pengawasan pada kawasan sehingga pelanggaran pola penggunaan lahan selalu terjadi. Lemahnya penegakan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta ketaatan terhadap aturan memungkinkan kawasan yang telah ditata dengan baik berubah fungsi. Institusi pengendalian pemanfaatan ruang yang diatur secara apik ternyata kurang menunjukkan tugas dan fungsinya. Pengawasan dan penertiban yang sebenarnya harus rutin dilakukan ternyata kurang terlaksana. Untuk perijinan yang sebenarnya
bagian
tak
terpisahkan
dari
pengawasan
cenderung
mudah
mengabaikannya. Untuk penegakkan hukum, masyarakat melihat bahwa terdapat kesan pilih kasih dalam konteks penataan kawasan. Terdapatnya bangunan ruko di sekitar Jalan Pangeran Antasari yang melanggar Garis Sempadan Bangunan (GSB) dan lahan parkir kurang memadai, merupakan indikasi bahwa penegakkan hukum kurang terlaksana. Aparatur pemerintah yang seharusnya melaksanakan pengawasan ternyata memiliki kecenderungan untuk mendiamkan saja, karena ketika bangunan yang melanggar tadi mengajukan Izin Mendirikan Bangunan, aparatur pemerintahan yang bertugas di sekitar kawasan kurang dilibatkan sehingga perijinan yang keluar cenderung tanpa sepengetahuan mereka.
80
Alasan klasik yang sering diungkapkan perihal pelayanan yang kurang terhadap masyarakat adalah ketersediaan dana yang kurang, sumber daya manusia tak mencukupi dan kordinasi antar instansi yang kurang baik. Alasan dana umumnya dikemukakan
ketika
dipertanyakan
mengenai
kurangnya
pengawasan
atau
melaksanakan pelayanan yang berhubungan dengan masyarakat. Dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), sesuai peraturan dibutuhkan biaya Rp 4.800, akan tetapi pada kenyataannya aparat pemerintah yang berkaitan dengan pembuatan KTP mengemukakan berbagai alasan sehingga biaya yang dikeluarkan lebih dari yang ditetapkan. Sumber daya manusia yang tak memadai sehingga ada tugas dan fungsi yang kurang berjalan sebenarnya bisa dihindari dengan melakukan pelatihan kedinasan baik berupa pendidikan, latihan dan kursus, sehingga sumber daya manusia yang ada dapat ditingkatkan kualitasnya. Untuk Kota Bandar Lampung, sumber daya manusia dalam segi jumlah mungkin tidak ada masalah, akan tetapi bila melihat kualitas cenderung memprihatinkan. Terkait dengan konteks penataan kawasan, sumber daya manusia yang dibutuhkan hendaknya memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebijakan dan program yang terkait dengannya. Aparatur pemerintah yang memahami kesemuanya itu sulit ditemukan terutama yang bertugas di sekitar kawasan. Umumnya mereka hanya memahami sebagian saja, baik itu peraturan, kebijakan maupun program. Kurangnya pemahaman akan tugas dan fungsi seringkali berakibat fatal ketika menghadapi permasalahan di lapangan. Umumnya yang digunakan untuk
81
memecahkan suatu masalah di lapangan adalah rangkaian peraturan yang begitu banyak tanpa pemahaman yang mendalam, sehingga aparatur pemerintah/birokrasi terkesan kaku dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Banyaknya program yang harus dilaksanakan seringkali membingungkan aparatur pemerintah. Program-program tersebut seringkali tanpa diikuti oleh petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan, sehingga seringkali terdapat pemahaman yang berbeda antar aparatur pemerintah. Aparatur pemerintah di tingkat kelurahan seringkali dibebani oleh begitu banyak program yang mengakibatkan timbul kegamangan dalam pelaksanaan. Kordinasi antar instansi merupakan masalah yang selalu ada dalam birokrasi. Instansi Dinas Tata Kota terkadang tidak mengkordinasikan pemberian IMB dengan kantor kelurahan dan kecamatan bersangkutan. Sehingga menyulitkan aparatur kelurahan dan kecamatan untuk mengetahui secara pasti perijinan bangunan tersebut sudah sesuai atau belum. Untuk pengadaan sarana dan prasarana pelayanan kota ditemui beberapa permasalahan yang terkait dengan kordinasi. Ketika dilaksanakan penataan kawasan telah ditetapkan bahwa ketersediaan air bersih akan dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah kota dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Way Rilau, tetapi seiring dengan waktu ternyata rancangan pelayanan air bersih untuk kawasan Jalan Pangeran Antasari kurang mewujud. Untuk pemasangan instalasi air bersih baru menemui hambatan karena jaringan distribusi baru ke pemukiman tidak ada.
82
Masyarakat dalam pelaksanaan penataan kawasan kurang dilibatkan secara aktif dalam perumusan atau perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dengan pengendalian pelaksanaan. Mereka hanya diberitahukan secara sekilas bahwa Jalan Pangeran Antasari akan diperbesar sehingga membutuhkan lahan di sebelah kanan dan kiri jalan. Untuk itu dimintakan kesediaan masyarakat untuk memberikan lahan dengan ganti rugi yang memadai. Keterlibatan masyarakat terhenti hanya sampai taraf pembebasan lahan, sedangkan tahap selanjutnya tidak dilibatkan lagi. Hasil penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari memang menunjukkan adanya pertumbuhan kawasan yang pesat. Perubahan yang begitu besar terjadi di Jalan Pangeran Antasari, bila sebelumnya lebar jalan hanya 7 meter maka dengan adanya penataan kawasan lebar jalan menjadi 20 meter, hal ini tentu memudahkan bagi masyarakat untuk mencapai pusat kota dengan cepat. Perubahan yang terjadi secara kasat mata juga terlihat dengan bermunculannya usaha perdagangan dan jasa di kiri kanan jalan. Jalan Pangeran Antasari memang menghubungkan kawasan Sukarame dengan pusat kota, sehingga diharapkan dengan tumbuhnya pusat perdagangan dan jasa di kawasan ini akan menjadi alternatif bagi bagi masyarakat sekitar dan Sukarame, Arahan ini juga ditujukan bagi masyarakat yang bermukim di kawasan Sri Bawono dan Tanjung Bintang. Masyarakat yang sering melintasi jalan ini akan melihat adanya pembangunan, sehingga memiliki kecenderungan untuk memberikan penilaian bahwa hasil pelaksanaan penataan kawasan dapat dikatakan telah terjadi dengan baik. Akan tetapi yang menarik adalah pendapat masyarakat yang mengunjungi kawasan tersebut
83
dan tidak hanya melintas. Umumnya masyarakat yang sering mengunjungi kawasan ini dengan berkendaraan roda empat mengeluhkan ketiadaan areal parkir yang memadai. Areal parkir yang ada di kawasan jalan ini sebenarnya bahu jalan yang digunakan untuk parkir kendaraan, sehingga dari segi keamanan dan kenyamanan cukup
mengganggu.
Situasi
areal
parkir
hanya
salah
satu
contoh
dari
ketidaknyamanan mengunjungi kawasan, selain ketiadaan penerangan jalan dan rambu lalu lintas yang memadai. Untuk yang jarang mengunjungi kawasan ini mungkin kondisi tadi tidak terlalu menjadi perhatian, sehingga luput dari pengamatan. Kondisi yang sama terjadi pada masyarakat yang berdomisili jauh dari kawasan Jalan Pangeran Antasari dengan intensitas mengunjungi kawasan sedikit sehingga memiliki kecenderungan untuk memberikan penilaian baik terhadap hasil penataan kawasan yang dilakukan Pemerintah Kota Bandar Lampung. Waktu tempuh yang
terlalu
lama
menuju
kawasan
Jalan
Pangeran
Antasari,
seringkali
mengakibatkan intensitas mengunjungi kawasan semakin jarang. Letak Jalan Pangeran Antasari sebenarnya tidak terlalu jauh dari pusat kota dengan jarak sekitar 1 km. Dengan demikian masyarakat yang waktu tempuh lama dan terlalu jauh dari kawasan, memiliki alternatif lain untuk dikunjungi. Sehingga jika ditanyakan tentang pembangunan di kawasan Jalan Pangeran Antasari cenderung memberikan penilaian baik pada kinerja aparatur pemerintah.
84
Untuk kalangan remaja, kawasan Jalan Pangeran Antasari merupakan salah satu alternatif bagi mereka untuk berkumpul/jalan-jalan. Lokasi yang diambil biasanya berada di sekitar tempat warung makan dan depan bioskop Sinar. Mereka umumnya senang berkumpul di sini karena alternatif makanan yang dijajakan cenderung bervariasi serta murah. Mereka memiliki pandangan baik tentang kinerja aparatur pemerintah, akan tetapi jika dilihat dari intensitas mengunjungi kawasan terlihat bahwa mereka intensitas mengunjungi kawasan ini cenderung jarang. Dengan demikian intensitas mengunjungi kawasan sangatlah penting untuk memberikan penilaian kinerja aparatur pemerintah (untuk jelasnya lihat Lampiran 2). Secara singkat bisa dikatakan bahwa semakin jarang mengunjungi kawasan Jalan Pangeran Antasari akan semakin baik penilaiannya terhadap kinerja aparatur pemerintah. Begitu pula sebaliknya semakin sering mengunjungi kawasan Jalan Pangeran Antasari akan semakin buruk penilaiannya terhadap kinerja aparatur pemerintah. Berdasarkan hasil perhitungan Hayashi 2, sebagaimana tercantum dalam Tabel 10, memang terlihat bahwa semakin jarang mengunjungi kawasan Jalan Pangeran Antasari, semakin jauh domisili masyarakat dan semakin lama waktu menuju kawasan akan menunjukkan adanya kecenderungan menilai baik bagi kinerja aparatur pemerintah.
85
Tabel 10. Pandangan Masyarakat tentang Kinerja Aparatur Pemerintah Item 1 Jenis Kelamin 1 Pria 2 Wanita Item 2 Umur 1 21-30 Tahun 2 31-40 Tahun 3 41-50 Tahun 4 51-60 Tahun Item No. 3 Pendidikan 1 SMP 2 SMA 3 Diploma 4 SARJANA Item No. 4 Penghasilan 1 < Rp. 500.000.2 Rp 500.000-1.000.000 3 Rp1.000.001-1.500.000 4 Rp. 1.500.001-2.000.000 5 > 2.000.000 Item No. 5 Jarak 1 <250m 2 251-500m 3 501m-1km 4 1-2km 5 >2km Item No. 6 Waktu Tempuh 1 >10' 2 11-20' 3 21-30' 4 31-40' 5 >40' Item No. 7 Intensitas 1 1 2 2-3kali 3 4-5kali 4 6-8kali 5 >8kali Outside Variable Kinerja Aparat Pemerintah 1 Buruk 2 Sedang 3 Baik
Freq. 35 25
Cat.Score -0.08580 0.12012
Range 0.20592
Partial Corr 0.08642
Freq. 9 13 26 12
Cat.Score 1,29311 -0.77736 -0.00632 -0.11400
Range 2,07047
Partial Corr 0.46968
Freq. 3 32 19 6
Cat.Score -0.94973 0.07527 -0.06092 0.26635
Range 1,21608
Partial Corr 0.19423
Freq. 7 31 9 8 5
Cat.Score 0.63422 -0.00284 0.05139 -0.40278 -0.31837
Range 1,03700
Partial Corr 0.22434
Freq 12 13 11 17 7
Cat.Score 0.08498 -0.61270 0.90816 -0.44319 0.64142
Range 1,52087
Partial Corr 0.42467
Freq. 4 3 12 18 23
Cat.Score -0.49289 -0.43205 0.27636 0.21284 -0.16869
Range 0.76925
Partial Corr 0.21207
Freq. 11 14 16 5 14
Cat.Score 0.24943 0.80781 -0.01114 0.49445 -1.16765
Range 1,97546
Partial Corr 0.47417
Freq. 27 23 10
Cat.score -0.59640 0.15304 1,25830
86
Untuk melihat signifikansi variabel maka digunakan taraf nyata 5%, dan 10%. Dengan jumlah data (n) = 60 maka df = n –variabel -1 = 52, jika digunakan taraf nyata 5% t
tabel
= 1,67 maka r = 0.225616 jika taraf nyata 10% t
tabel
= 1,296
maka r = 0.176889. Variabel-variabel yang tidak signifikan dengan taraf nyata 5%, dan 10% adalah variabel Pendidikan, Penghasilan, Waktu tempuh, dan jenis kelamin. Sedangkan variabel yang signifikan mempengaruhi pandangan masyarakat tentang kinerja aparatur pemerintahan adalah Umur, Jarak, dan Intensitas. 6.4 Analisis Konflik Kepentingan Hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak Game Theory menunjukkan bahwa interaksi antara Pemerintah Kota Bandar Lampung dengan masyarakat terkait dengan penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari menunjukkan adanya perbedaan pandangan. Untuk Pemerintah Kota Bandar Lampung pilihan strategi yang paling “menguntungkan” adalah strategi 2 yaitu tidak melaksanakan penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari, dan dilain pihak masyarakat memilih untuk menyetujui pelaksanaan penataan kawasan dengan skor optimal yang berada pada nilai Rp 13.794.277.600 (lihat Tabel 11). Tabel 11. Matrik Pay off Penataan Kawasan Jl. Pangeran Antasari
Pemerintah
Strategi 1 Strategi 2
Masyarakat Strategi 1 Rp 12.801.094.580 Rp 13.794.277.600
Strategi 2 Rp 48.042.722.778 Rp 49.035.905.798
87
Pilihan strategi pemerintah untuk tidak melaksanakan penataan ruang kawasan ternyata secara sadar tidak dipilih. Apapun strategi yang pemerintah ambil ternyata menunjukkan pay off yang negatif, dengan kata lain pemerintah tidak akan diuntungkan secara langsung. Tindakan pemerintah jika tidak menyetujui pelaksanaan penataan kawasan akan memperlihatkan pay off negatif sebesar - Rp 1.247.397.400, sedangkan jika menyetujui maka pay off-nya sebesar - Rp 2.240.580.420. Meningkatnya pay off pemerintah jika memilih strategi melaksanakan penataan kawasan didorong oleh meningkatnya pengeluaran untuk pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana jalan, pembebasan lahan, sarana kesehatan, sarana peribadatan, drainase dan persampahan, sedangkan untuk pendapatan meningkat tajam dari sebelumnya yang hanya Rp. 184.724.500 menjadi Rp. 1.673.952.000. Peningkatan perolehan pemerintah didapat dari meningkatnya pajak daerah, retribusi daerah dan penerimaan lain-lain. Bersamaan dengan itu, Pemerintah melihat bahwa dengan dilaksanakannya pembangunan maka secara kontinyu akan terjadi pertumbuhan peningkatan pendapatan sebagaimana ditunjukkan oleh meningginya pay off yang diperoleh masyarakat. Strategi setuju adanya penataan kawasan ternyata secara jelas meningkatkan pay off masyarakat menjadi Rp. 50.283.303.198 dibandingkan dengan strategi tidak setuju adanya penataan kawasan yang pay off nya sebesar Rp 15.041.675.000. Besarnya pay off dari masyarakat jika menyetujui penataan kawasan diperoleh dari kenaikan harga jual tanah, kemudahan transportasi, sarana pendidikan dan sarana kesehatan.
88
Pemerintah menyadari bahwa tindakan melaksanakan penataan kawasan sejalan dengan kebijakan yang tertulis di dalam Rencana Tata Ruang Kota Bandar Lampung dengan tujuan utama mensejahterakan masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan. Kerugian yang ditunjukkan oleh pay off sebenarnya merupakan bagian dari tugas pemerintah yang lebih memperhatikan kesinambungan pembangunan kota. Kerugian tersebut sebenarnya bersifat jangka pendek dan lokal. Jangka pendek mengandung pengertian bahwa untuk waktu sekarang terdapat nilai kerugian yang cukup besar akan tetapi jika dihitung untuk waktu yang akan datang menunjukkan penurunan kerugian yang diakibatkan oleh pelaksanaan penataan kawasan. Pelaksanaan penataan kawasan yang dilakukan pemerintah Kota Bandar Lampung memiliki dampak tidak hanya di kawasan terkait, kawasan Sukarame dan Sri Bawono merupakan daerah yang paling terpengaruh dengan penataan kawasan. Perhitungan pay off yang dilakukan tidak memasukkan perhitungan untuk kawasan tersebut. Dengan tidak dimasukkan perhitungan untuk dua kawasan tadi, maka perolehan pemerintah menjadi menurun. Penataan kawasan yang dilakukan Pemerintah Kota Bandar Lampung diharapkan mampu mengakomodasi perkembangan industri dan perdagangan, maupun dinamika perkembangan ekonomi, serta memiliki “nilai jual” sehingga akan mendorong pertumbuhan kota secara keseluruhan. Sasaran pemerintah yang terkandung dalam rencana tata ruang wilayah mengindikasikan bahwa secara jangka panjang dan tak langsung akan meningkatkan besaran ‘keuntungan’ kemungkinan diperoleh.
yang
89
6.5 Ikhtisar Pandangan masyarakat tentang kinerja aparatur pemerintah memiliki kecenderungan yang kurang baik, walaupun dengan menggunakan hasil penghitungan Hayashi 2 menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Perbedaan ini terjadi karena pada analisa deskriptif dilakukan dengan pengamatan kinerja aparatur pemerintah dikaitkan dengan prinsip-prinsip good governance, sedangkan pada Hayashi 2 dilakukan dengan pengambilan pendapat masyarakat secara umum. Pada Hayashi 2 yang dipakai sebagai faktor yang mempengaruhi penilaian masyarakat akan kinerja aparatur pemerintah adalah jenis kelamin, umur, pendidikan, penghasilan, waktu tempuh, jarak, dan intensitas. Sehingga hasil yang diperoleh lebih merupakan cerminan karakteristik masyarakat yang menilai kinerja aparatur pemerintah. Pemerintah kota secara sadar melaksanakan penataan kawasan dengan mempertimbangkan kemungkinan pertumbuhan kawasan yang mampu menopang dinamika kota. Masalah pertumbuhan perekonomian dan kewilayahan merupakan arahan yang ingin dicapai tanpa mengorbankan masyarakat, walaupun terdapat dampak
negatif lebih
merupakan
simpangan
dalam
pembangunan.
Fokus
pengutamaan masyarakat terlihat pada upaya pemerintah untuk tetap melaksanakan penataan kawasan walaupun pay off yang diterima bernilai negatif.
VII. PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG PENATAAN KAWASAN Pelaksanaan penataan kawasan yang mengedepankan prinsip-prinsip good governance guna mendukung perubahan selalu dikaitkan dengan arahan perencanaan. Masyarakat memiliki pandangan tentang penerapan prinsip-prinsip good governance dan dampak dari penataan kawasan. Pandangan ini lebih merupakan sesuatu yang terkait dengan kinerja aparatur pemerintah dan perubahan yang diakibatkan penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari. Masalah kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang harus segera ditangani, masyarakat melihat dari sudut pandangnya bahwa kepastian hukum merupakan suatu keharusan dalam penataan kawasan. Ketidakpastian hukum memiliki kecenderungan untuk menciptakan peluang penyimpangan bagi pelaksanaan penataan kawasan. 7.1 Good Governance dalam Penataan Kawasan Secara keseluruhan masyarakat yang ada cenderung untuk memperhatikan usaha-usaha penerapan good governance yang menekankan adanya pengutamaan penegakkan hukum (0.317) yang terlihat dalam Tabel 12. Ini bisa dimaklumi seiring dengan adanya reformasi yang diarahkan pada keinginan kepastian hukum yang lebih baik. Penegakkan hukum dipandang sebagai suatu keharusan mengingat selama ini ketidakpastian hukum acapkali mengakibatkan adanya keresahan di dalam masyarakat. Akuntabilitas dan keterbukaan, dan transparansi juga merupakan suatu hal yang dipandang penting dalam proses pelaksanaan penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari. Dengan masing-masing persentase sebesar 0.291 dan 0.268
91
terlihat bahwa kebertanggungjawaban dan keterbukaan, dan transparansi yang merupakan keharusan dalam pembangunan dipandang penting oleh masyarakat. Untuk pengutamaan masyarakat ternyata menempati peringkat terakhir dengan 0.125, ini bisa dipahami dengan kenyataan bahwa masyarakat cenderung untuk kurang memperhatikan pembangunan sebagai suatu kebutuhan masyarakat dan cenderung bersikap diam dalam proses pembangunan itu sendiri. Akan tetapi bila kita melihat konteks keberadaan aparatur birokrasi dalam penataan kawasan yang seharusnya mengutamakan masyarakat maka dapat dikatakan bahwa pengutamaan masyarakat tidaklah memperoleh perhatian secara memadai. Akuntabilitas dalam sarana pelayanan kota menunjukkan skor yang tinggi (0.277) dan diikuti dengan distribusi penduduk (0.210) hal ini dapat diartikan ketersediaan sarana pelayanan kota yang memadai dan terjadinya penyebaran penduduk merupakan hal penting dalam pelaksanaan penataan kawasan. Masyarakat memandang kebertanggung jawaban Pemerintah Kota Bandar Lampung terhadap pelaksanaan kewenangan selaku perencana, pelaksana dan pemantau memiliki peran dominan terhadap sarana pelayanan kota dan pendistribusian penduduk. Sedangkan yang terkecil skornya adalah prasarana pelayanan kota dan pola penggunaan lahan (0.164 dan 0.172). Masyarakat melihat bahwa prasarana pelayanan kota dan pola penggunaan lahan untuk sementara tidaklah memiliki “tingkat penting” yang cukup untuk diperhatikan.
92
Tabel 12. Pandangan Masyarakat tentang Pelaksanaan Penataan Kawasan Good Governance Akuntabilitas Keterbukaan Dan Transparansi Pengutamaan Penegakkan Hukum Pengutamaan Masyarakat Cr Sasaran Penataan Kawasan Prasarana Pelayanan Kota Sarana Pelayanan Kota Distribusi Penduduk Sistim Perangkutan Pola Penggunaan Lahan Akuntabilitas Prasarana Pelayanan Kota Sarana Pelayanan Kota Distribusi Penduduk Sistim Perangkutan Pola Penggunaan Lahan Cr Keterbukaan Dan Transparansi Prasarana Pelayanan Kota Sarana Pelayanan Kota Distribusi Penduduk Sistim Perangkutan Pola Penggunaan Lahan Cr Pengutamaan Penegakkan Hukum Prasarana Pelayanan Kota Sarana Pelayanan Kota Distribusi Penduduk Sistim Perangkutan Pola Penggunaan Lahan Cr Pengutamaan Masyarakat Prasarana Pelayanan Kota Sarana Pelayanan Kota Distribusi Penduduk Sistim Perangkutan Pola Penggunaan Lahan Cr
Skor 0,291 0,268 0,317 0,125 0,017 0,220 0,222 0,244 0,160 0,152 0,164 0,277 0,210 0,185 0,172 0,016 0,227 0,269 0,174 0,200 0,129 0,017 0,208 0,222 0,250 0,163 0,157 0,015 0,203 0,205 0,243 0,156 0,194 0,019
93
Keterbukaan dan transparansi yang terjadi di sekitar kawasan menunjukkan adanya hal positif terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana pelayanan kota dan sistim perangkutan (0.269, 0.227 dan 0.200). Masyarakat memandang bahwa keterbukaan dan transparansi kurang penting pada pola penggunaan lahan dan distribusi penduduk (0.129 dan 0.174). Kemudahan masyarakat memperoleh informasi tentang sarana dan prasarana pelayanan kota dan sistim perangkutan ternyata tercermin pada tingginya skor yang diperoleh, dan sebaliknya yang terjadi pada pola penggunaan lahan dan distribusi penduduk. Masyarakat dalam mengetahui, memperoleh data dan informasi tentang pola penggunaan lahan dan distribusi penduduk memang tidak dipersulit akan tetapi dalam perumusan atau perencanaan pola penggunaan lahan bisa dikatakan tidak dilibatkan sama sekali. Pengutamaan penegakkan hukum yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung memperoleh skor tertinggi (0.317). Masyarakat memandang bahwa prasarana pelayanan kota (0,208), sarana pelayanan kota (0,222)
dan
distribusi
penduduk (0,250) merupakan kriteria yang penting. Akan tetapi untuk sistim perangkutan (0,163) dan pola penggunaan lahan 0,157) pentingnya usaha penegakkan hukum cenderung kecil. Masyarakat melihat bahwa untuk sistim perangkutan menunjukkan lemahnya usaha penegakkan hukum secara nyata di lapangan. Mereka umumnya mengkaitkan lemahnya penegakkan hukum dalam sistim perangkutan dengan kesemrawutan lalu lintas dan ketidaktaatan pengemudi kendaraan bermotor terhadap rambu lalu lintas. Kondisi yang sama juga terjadi pada pola penggunaan lahan yang dipandang memiliki ketidakjelasan pengawasan.
94
Masyarakat
memandang
penting
pengutamaan
masyarakat
dalam
pelaksanaan penataan kawasan pada distribusi penduduk (0.243), sedangkan untuk prasarana dan sarana pelayanan kota (0.203 dan 0.205) dan pola penggunaan lahan (0.194) memiliki kecenderungan rata-rata. Untuk sistim perangkutan, pengutamaan masyarakat kurang menunjukkan wujudnya dengan skor 0.156. Pentingnya pengutamaan masyarakat dalam distribusi penduduk mencerminkan adanya keinginan untuk meletakkan masyarakat sebagai subyek dalam hal pendistribusian penduduk. Terkait dengan itu sebenarnya Pemerintah Kota Bandar Lampung sudah seharusnya memahami situasi yang ada dengan memberikan arahan-arahan yang berupa kebijakan yang sejalan dengan tujuan penataan kawasan. Pelaksanaan penataan kawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa distribusi penduduk dan sarana dan prasarana pelayanan kota (0.244, 0.222 dan 0.220) merupakan fokus masyarakat dalam menanggapi pelaksanaan penataan kawasan. Dalam pandangan masyarakat jika distribusi penduduk dan sarana dan prasarana pelayanan kota telah mencukupi maka penataan kawasan yang baik telah dapat dikatakan terpenuhi. Sedangkan untuk yang bersifat jangka panjang seperti sistem perangkutan dan pola penggunaan lahan memiliki persentase dibawah 20%. Sasaran pelaksanaan penataan kawasan yang ada memang memungkinkan masyarakat untuk memberikan penilaian berdasarkan kondisi “kekinian” dan mengakibatkan pilihan-pilihan yang merupakan sifatnya baru akan terasa dikemudian hari kurang mendapat kajian. Masyarakat melihat bahwa telah terjadi penataan kawasan jika dilihat dari pertambahan penduduk dan
95
ketersediaan lapangan kerja, akan tetapi jika dilihat dari segi keamanan mengalami penurunan. 7.2 Dampak Penataan Kawasan bagi Masyarakat Pelaksanaan penataan kawasan ternyata memberikan dampak yang besar terhadap kawasan. Hasil penghitungan AHP ternyata menunjukkan bahwa yang masyarakat memandang penting dampak pelaksanaan penataan kawasan pada bidang lingkungan hidup (0.393) dikuti dengan bidang ekonomi sebesar 0.328 dan sosial budaya sebesar 0.278 (Tabel 13). Tingginya skor yang diperoleh bidang lingkungan hidup dipengaruhi oleh pengutamaan penegakkan hukum dengan skor 0.126 yang mengindikasikan bahwa masyarakat memandang penting penegakkan hukum dalam bidang lingkungan hidup. Akuntabilitas dan keterbukaan dan transparansi (0.114 dan 0.114) memiliki “tingkat penting” yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan penegakkan hukum, sedangkan yang terendah adalah pengutamaan masyarakat dengan skor 0.050. Kondisi pengutamaan masyarakat cenderung memiliki “keanehan”, dengan skor yang kecil ternyata pengutamaan masyarakat dipandang kurang penting dalam bidang lingkungan hidup. Masyarakat memiliki kecenderungan untuk memberikan penekanan pada penegakkan hukum untuk bidang lingkungan hidup. Dampak yang terjadi pada bidang lingkungan hidup akan mampu dieliminir tingkat kerusakkannya melalui usaha penegakkan hukum yang berkesinambungan. Akan tetapi untuk penegakkan hukum itu sendiri didalamnya terkandung peranserta masyarakat secara
96
aktif dan tidak hanya mengandalkan aparatur pemerintah saja. Sehingga sudah seharusnya pengutamaan masyarakat menjadi penting. Skor pengutamaan masyarakat yang rendah memperlihatkan adanya sikap masyarakat yang memandang kurang pentingnya pengutamaan masyarakat. Kondisi ini dimungkinkan dengan belum terbiasanya masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif jika dikaitkan dengan paradigma lama Pemerintah Kota Bandar lampung dan atau komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang seharusnya dimiliki dan dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan cenderung tidak tercermin.. Hal ini penting, sebab tanpa komitmen maka yang timbul bukan partisipasi masyarakat tetapi antipati dan ketidaksukaan dalam diri masyarakat terhadap perilaku dan kebijaksanaan aparatur pemerintah. Pengaruh sasaran penataan kawasan terhadap bidang lingkungan hidup menunjukkan
bahwa
ketersediaan
sarana
pelayanan
kota
merupakan
hal
dominan/penting dalam lingkungan hidup. Distribusi penduduk dipandang sebagai hal yang cukup dominan mempengaruhi lingkungan hidup (0.097). Masyarakat melihat dengan adanya distribusi penduduk terkait dengan penataan kawasan maka akan terjadi peningkatan jumlah penduduk yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas lingkungan hidup pada kawasan Jalan Pangeran Antasari. Untuk prasarana pelayanan kota, sistim perangkutan dan pola penggunaan lahan dengan skor 0.064, 0.071 dan 0.060 ternyata memberikan pengaruh kecil dalam lingkungan hidup.
97
Tabel 13.
Pandangan Masyarakat tentang Dampak Pelaksanaan Penataan Kawasan Dampak Penataan Kawasan Lingkungan Hidup Ekonomi Sosial Budaya Lingkungan Hidup Akuntabilitas Keterbukaan Dan Transparansi Pengutamaan Penegakkan Hukum Pengutamaan Masyarakat Lingkungan Hidup Prasarana Pelayanan Kota Sarana Pelayanan Kota Distribusi Penduduk Sistim Perangkutan Pola Penggunaan Lahan Ekonomi Akuntabilitas Keterbukaan Dan Transparansi Pengutamaan Penegakkan Hukum Pengutamaan Masyarakat Ekonomi Prasarana Pelayanan Kota Sarana Pelayanan Kota Distribusi Penduduk Sistim Perangkutan Pola Penggunaan Lahan Sosial Budaya Akuntabilitas Keterbukaan Dan Transparansi Pengutamaan Penegakkan Hukum Pengutamaan Masyarakat Sosial Budaya Prasarana Pelayanan Kota Sarana Pelayanan Kota Distribusi Penduduk Sistim Perangkutan Pola Penggunaan Lahan
Skor 0,393 0,328 0,278 0,114 0,114 0,126 0,050 0,064 0,101 0,097 0,071 0,060 0,083 0,088 0,118 0,042 0,082 0,072 0,081 0,055 0,039 0,094 0,066 0,086 0,033 0,074 0,049 0,068 0,034 0,057
Dampak penataan kawasan terhadap bidang ekonomi menunjukkan adanya pemahaman masyarakat akan pentingnya penegakkan hukum sebagaimana yang ditunjukkan dengan skor 0.118. Membaiknya upaya pengutamaan penegakkan hukum
98
menurut masyarakat akan mampu meningkatkan secara positif bidang ekonomi. Jika dikaitkan dengan situasi kawasan yang baru dilakukan penataan maka untuk menjamin adanya kepastian, diperlukan penegakkan hukum yang berkesinambungan dan sejalan dengan tujuan penataan kawasan tersebut. Keterbukaan dan akuntabilitas (0.088 dan 0.083) memiliki peranan yang cukup baik, masyarakat memandang bahwa kedua hal ini cukup penting sehingga tidak dapat begitu saja dibaikan. Pemerintah Kota Bandar Lampung diharapkan meningkatkan keterbukaan dan akuntabilitas sehingga mampu memberikan dorongan positif terhadap kawasan. Masyarakat justru menganggap pengutamaan masyarakat kurang penting sebagaimana ditunjukkan oleh kontribusi terkecil bagi dampak dibidang ekonomi dengan skor 0.042. Kecilnya skor pengutamaan masyarakat mengindikasikan adanya kesenjangan antara Pemerintah Kota Bandar Lampung dengan masyarakat dalam memandang penataan kawasan. Masyarakat menuntut adanya orientasi pembangunan yang memiliki keberpihakan pada masyarakat sedang dilain pihak Pemerintah Kota Bandar Lampung beranggapan bahwa keinginan masyarakat telah mereka ketahui. Prasarana pelayanan kota (0,082), sarana pelayanan kota (0,072)
dan
distribusi penduduk (0,081) memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap bidang ekonomi. Masyarakat memandang bahwa ketiga hal tersebut di atas merupakan suatu keharusan dalam upaya peningkatan kehidupan perkeonomian tanpa meninggalkan aspek manusiawi. Untuk sistim perangkutan (0,055) dan pola penggunaan lahan (0,039) ternyata sesuai hasil analisis program AHP memberikan kontribusi yang rendah bagi bidang ekonomi.
99
Bidang sosial budaya yang merupakan bidang dengan skor terendah menunjukkan situasi yang menarik. Akuntabilitas Pemerintah Kota Bandar Lampung (0.094) dan pengutamaan penegakkan hukum (0.086) merupakan faktor penting dalam memberikan pengaruh pada bidang sosial budaya. Keterbukaan dan transparansi (0.066) memberikan kontribusi pada bidang sosial budaya hanya sedikit dibawah skor rata-rata. Pengutamaan masyarakat memberikan kecenderungan kontribusi kecil pada bidang sosial budaya, kecilnya skor ini memberikan pengaruh pada skor bidang sosial budaya. Dengan skor 0.033 yang jauh dibawah skor rata-rata mengakibatkan skor bidang sosial budaya menjadi rendah. Rendahnya skor pengutamaan masyarakat setidaknya menyiratkan bahwa masyarakat cenderung untuk tidak diikutsertakan dan atau apatis sehingga keikut-sertaan berpartisipasi dalam proses pelaksanaan penataan kawasan dipandang tak penting. Membaiknya prasarana pelayanan kota (0,074), distribusi penduduk (0,068), pola penggunaan lahan (0,057) memberikan dorongan positif bagi dampak sosial budaya, skor yang berada di atas rata-rata memberikan pandangan bahwa masyarakat memberikan perhatian terhadap ketersediaan prasarana pelayanan kota, distribusi penduduk dan pola penggunaan lahan yang baik akan memberikan dorongan yang positif bagi dampak sosial budaya. Untuk sarana pelayanan kota (0,049) dan sistim perangkutan (0,034) dengan skor yang berada di bawah rata-rata kurang mendukung besaran skor dampak sosial budaya. Rendahnya skor sarana pelayanan kota dan sistim perangkutan mencerminkan pandangan masyarakat yang melihat bahwa ketersediaan sarana pelayanan kota dan sistim perangkutan yang dilakukan oleh
100
Pemerintah Kota Bandar Lampung kurang memiliki dampak pada bidang sosial budaya. 7.3 Kepastian Hukum dalam Pelaksanaan Penataan Kawasan Pelaksanaan penataan kawasan di Jalan Pangeran Antasari mengakibatkan adanya ubahan-ubahan yang harus diperhatikan secara seksama baik oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung maupun masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan. Untuk itu dalam penataan kawasan diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka prinsip perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang adalah untuk : •
Melaksanakan kebijaksanaan pokok pemanfaatan dan pengendalian ruang dan Rencana Tata Ruang yang lebih tinggi.
•
Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah serta keserasian pembangunan antar sektor.
•
Menetapkan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan/atau masyarakat.
•
Menyusun rencana tata ruang yang lebih rinci di wilayah yang bersangkutan.
•
Melaksanakan pembangunan dan perijinan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan. Penataan kawasan yang merupakan serangkaian proses dan prosedur yang
diikuti secara konsisten sebagai satu kesatuan, yaitu kegiatan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Juga memerlukan kegiatan peninjauan kembali secara berkala dengan memanfaatkan informasi yang diperoleh
101
dari proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas perijinan, pengawasan (pelaporan, pemantauan, dan evaluasi) dan penertiban. Pengendalian seharusnya dilakukan secara rutin, baik oleh perangkat Pemerintah Kota Bandar Lampung, masyarakat dan atau keduanya. Pengendalian pemanfaatan ruang didasarkan pada pada prinsip-prinsip pendekatan yang didasarkan pada ketentuan perundang-undangan (legalistic approach) dengan menerapkan pendekatan yang lebih luwes dimana prinsip keberlanjutan (sustainability) merupakan acuan utama. Dokumen tentang rencana tata ruang tahun 1994/1995 yang dituangkan dalam Perda No. 6 Tahun 1997 merupakan instrumen pengendalian dalam penataan kawasan. Terkait dengan pelaksanaan penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari, pengendalian pemanfaatan ruang mengandung pengertian dilakukannya tindakan pengawasan, penertiban dan perijinan. Pada pelaksanaan tindakan pengawasan, penertiban dan perijinan seringkali ditemui adanya kejanggalan-kejanggalan, baik berupa penyimpangan maupun pelanggaran yang disengaja maupun tak disengaja akibat kurangnya sosialisasi oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung. Pengawasan sebagai upaya pelaporan, pemantauan, dan evaluasi untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung, seringkali menemui hambatan adalam pelaksanaan di lapangan. Acapkali ditemui di kawasan Jalan Pangeran Antasari tidak dipatuhinya batas Garis Sempadan Bangunan (GSB) maupun berdirinya ruko (rumah toko) yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sudah seharusnya aparatur Pemerintah Kota
102
Bandar Lampung dapat melakukan tindakan penertiban. Ketika masyarakat melihat bahwa pertokoan, ruko dan bangunan lainnya yang secara kasat mata melanggar peraturan dan didiamkan saja, akan menimbulkan tanda tanya besar dan akhirnya masyarakat akan mencontoh apa yang salah. Masyarakat memandang penting penegakkan hukum yang dilakukan dalam pelaksanaan penataan kawasan, sehingga hendaknya seluruh pihak yang terkait hendaknya menggunakan pandangan masyarakat sebagai acuan. Pemahaman masyarakat tentang penegakkan hukum secara gamblang menyangkut masalahmasalah keamanan, ketertiban dan kepastian hukum itu sendiri. Untuk penataan kawasan, masyarakat memandang aparatur pemerintah acapkali menutup mata untuk masalah-masalah pola penggunaan lahan. 7.4 Ikhtisar Masyarakat menyatakan pentingnya penegakkan hukum dalam pelaksanaan penataan kawasan. Selain itu prinsip-prinsip good governance juga dianggap penting. Masyarakat memandang bahwa dengan adanya penegakkan hukum maka penataan kawasan akan berjalan dengan baik dan tepat tujuan. Dampak terhadap lingkungan hidup dari pelaksanaan penataan kawasan hendaknya menjadi suatu pertimbangan, sehingga aspek lingkungan hidup dapat dijaga. Masyarakat berpendapat bahwa perubahan distribusi penduduk, sarana/prasarana pelayanan kota berpengaruh pada kondisi perubahan lingkungan hidup.
VIII. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
Penataan kawasan berdampak pada perubahan pola penggunaan lahan dan sarana/prasarana pelayanan kota sesuai perencanaan yang tertuang dalam RTRWK. Dampak tersebut berlanjut pada perubahan distribusi penduduk, sistem perangkutan, dan kondisi lingkungan hidup
2.
Kinerja aparatur pemerintah dinilai masyarakat sudah cukup baik, mekipun masih memiliki kelemahan, keadaaan ini berkaitan dengan penerapan good governance. Beberapa permasalahan yang dinilai masyarakat berkenaan dengan kinerja aparatur pemerintah, dalam hal ini : •
Berbelit-belitnya proses pelayanan terhadap masyarakat, sehingga memakan banyak waktu dan biaya.
•
Lemahnya penegakan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta ketaatan terhadap aturan.
•
Kuantitas dan kualitas
sumber daya manusia tak memadai, sehingga
pemahaman aparatur pemerintah daerah akan tugas dan fungsi kurang maksimal. • 3.
Koordinasi antar instansi terkait yang kurang baik.
Masyarakat mementingkan proses penataan kawasan yang menekankan pada pengutamaan penegakkan hukum. Pembangunan sarana dan prasarana pelayanan kota merupakan salah satu faktor masyarakat menilai keberhasilan suatu
104
pembangunan. Jika sarana dan prasarana pelayanan kota telah mencukupi maka pembangunan telah dapat dikatakan terlaksana. Sedangkan untuk fasilitas lainnya yang bersifat jangka panjang kurang diperhatikan seperti sistem perangkutan dan pola penggunaan lahan. Masyarakat melihat bahwa penataan kawasan yang seharusnya sesuai dengan perencanaan kurang terlaksana. Fokus perhatian masyarakat - umumnya – pada intensitas penggunaan lahan dan ketepatan fungsi kawasan. Keberadaan bangunan-bangunan baru dipandang semrawut dan pada saat bersamaan tidak dilaksanakannya pengendalian tata ruang oleh aparatur pemerintahan yang berakibat terjadinya penyimpangan dalam pemanfaatan lahan. 4.
Penataan kawasan mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan hidup. Perubahan tersebut disebabkan oleh peningkatan jumlah kendaraan yang melintasi kawasan, peningkatan jumlah penduduk dan perubahan pola penggunaan lahan. Masyarakat memandang penting perubahan kondisi lingkungan hidup karena terjadi penurunan kualitas lingkungan yang ditandai oleh adanya polusi udara, polusi suara dan menurunnya kebersihan lingkungan. Pelaksanaan penataan kawasan Jalan Pangeran Antasari membawa beberapa
implikasi kebijakan yang harus disadari bersama, yaitu : 1. Penataan kawasan sebaiknya tidak mengabaikan peranserta masyarakat. Peranserta masyarakat tidak hanya dalam tahap pelaksanaan saja, melainkan dimulai sejak tahap perencanaan. Pengecilan peranserta masyarakat membawa
105
penataan kawasan pada kondisi yang cenderung terpisah dari dinamika masyarakat. 2. Penerapan good governance merupakan suatu keharusan dalam pelaksanaan penataan kawasan. Sehingga koordinasi antar lembaga pemerintah berjalan dengan baik dan dapat berperan aktif mendukung arahan pembangunan yang telah disepakati bersama.
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60. Anwar, A. (2001). Usaha Membangun Aset-Aset Alami dan Lingkungan Hidup. Diskusi Serial di Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), Bogor, 15 Agustus 2001. Aryani, Y. (2002). Politik Pertanahan Tak Berpihak Kepada http://www.lampungonline.com/lpopeople/people110502. 2002.
Rakyat,
Bandar_Lampung, D. P. K. (Maret 2000). Data Angkutan Kota Bandar Lampung. Bandar Lampung, Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung. BAPPEDA (1995). Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung. Bandar Lampung, Pemda Bandar Lampung. Batley, R. (1994). Political Control of Urban Planning and Management. Managing Fast Growing Cities. N. Devas and R. Rakodi. London, London Scientific & Technical. Beauregard, R. (1980). "Teaching Planning Theory : Dilemmas Beyond the Rational Model." The Bulletin of The Association of Collegiate School of Planning Spring. BPS (2000). Bandar Lampung dalam Angka. Bandar Lampung, BPS. Budiharjo, E. (1995). Pendekatan Sistim dalam Tata Ruang Pembangunan Daerah untuk meningkatkan Ketahanan Nasional. Yogyakarta, Gajahmada University Press. Dis_Hub_Bandar_Lampung (Maret 2000). Data Angkutan Kota Bandar Lampung. Bandar Lampung, Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung. Edwards, G. C. (1980). Implementing Public Policy. Washington DC, Congressional Quarterly Inc. Elliot, M. L. P. (2003). Penyelesaian Konflik. Perencanaan Kota. A. J. Catanese and J. C. Snyder. Jakarta, Erlangga. Friedman, J. (1973). Retracking America : A Theory of Transactive Planning. New York, Anchor Book.
107
Gaffar, A. (1995). "Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan." Prisma April: 60. Hadi, S. P. (2001). Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Hardijanto (2000). Pendayagunaan Aparatur Negara Menuju Good Governance. TOT OPengadaan Barang/Jasa Menuju Good Governance, Jakarta. Hoover, E. M. and F. Giarratani (1985). An Introduction Regional Economics. New York, Alfred A. Knopf. Inkeles, A. (1985). Masyarakat. Pengantar Sosiologi : Sebuah Bunga Rampai. K. Sunanto. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia: 205-207. Jones, C. O. (1991). Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta, Rajawali Press. Kartasasmita, G. (1997). Administrasi Pembangunan : Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta, LP3ES. Lay, C. (2000). Tantangan Domestik dan Internasional DPRD. Orientasi Anggota DPRD Se-Eks Karesidenan Banyumas, Baturaden, 19-20 Januari 2000. Mahi, R. (1990/1991). Proses Analisa Hierarchy. Depok, PAU-Studi Ekonomi UI. Maskun, H. S. (1995). "Otonomi Daerah adalah Program Pemerintah." Prisma 4 April: 43. Mukhlis, M. (2003). Nasib Ibukota Bernama Bandar Lampung, CDS. 2003. Nurmandi, A. (1999). Manajemen Perkotaan. Yogyakarta, Lingkaran Bangsa. Pearce, D. W. and R. K. Turner (1990). Economics of Ntural Resources and The Environment. Baltimore, The John Hopkins University Press. Pressman, J. L. and A. Wildavsky (1979). Implementation. Berkeley, Unersity California Press. Saefulhakim, S. (1996). Kumpulan Bahan Kuliah. Tidak dipublikasikan, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Program Pascasarjana. Saju, P. S. B. (3 Juli 2001). Rakyat Miskin Tambah Banyak. Kompas. Jakarta.
108
Setiarin (2002). Lampung Belum Miliki Tataruang Laut, http://www.lampungonline.com/lpopeople/people080402-nelayan.html. 2002. Shafritz, J. M. and E. W. Russel (1996). Introducing Public Administration, Addision-Wesley Publishing Company. SMERU, L. P. (September 2002). Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah Atas Kinerja Pelayanan Publik : Kasus Kota Bandar Lampung, Propinsi Lampung. Surbakti, R. (1996). "Perebutan Ruang di Perkotaan dan Pembenarannya." Prisma 9 September. Surjadi (2003). Paradigma Pembangunan dan Kapabilitas Aparatur. 2004. Suryono, A. (2001). Teori dan Isu Pembangunan. Malang, UM-Press. Tjokrowinoto, M. (1999). Pembangunan : Dilema dan Tantangan. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset. Todaro, M. (2000). Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta, Erlangga. UN_ESCAP (2004). What is Good Governance?, UN ESCAP. 2004. Uni. (7 April 2004). Dewan Soroti Pasar dan Kualitas Proyek. Lampung Post. Bandar Lampung. World_Bank (1994). Development in Practice, Governance : The World Bank Experience. Washington D.C., World Bank Publication.
LAMPIRAN
Lampiran 1.
Struktur Organisasi Badan, Kantor dan Dinas Pemerintah Kota Bandar Lampung
Badan dan Kantor Nama Badan dan Kantor 1 Badan Pengawas Kota (Bawasko) 2 Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) 3 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) 4 Badan Kepegawaian Daerah (BKD) 5 Kantor Kesatuan Polisi Pamong Praja
Jumlah Bidang 5 5
Jumlah Sub Bidang per Bidang 2 3
Jumlah Seksi 4 4
3
4
-
3 -
3 -
4 3
Sumber: Bagian Hukum dan Ortala Pemerintah Kota Bandar Lampung. Keterangan: - Setiap Badan dipimpin seorang Kepala Badan. Khususnya Bawasko dibantu Wakil Kepala Badan. Sekretariat yang membawahi 3-4 Sub Bagian, serta Kelompok Jabatan Fungsional. - Kantor Pol. PP dipimpin seorang Kapala Kantor dilengkapi Sub Bagian Tata Usaha, serta Kelompok Jabatan Fungsional.
Dinas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Nama Dinas Dinas Pertanian dan Peternakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Dinas Koperasi PKM dan Penanaman Modal Dinas Tenaga Kerja Dinas Pendidikan dan Perpustakaan Dinas Kesehatan Dinas Pertanahan Dinas Bina Marga dan Pemukiman Dinas Perhubungan Dinas Tata Kota Dinas Kependudukan Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan Dinas Perikanan dan Kelautan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Dinas Pendapatan Daerah Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Dinas Pasar
Jumlah Sub Dinas 5 5 4 4 5 5 5 3 3 4 5 5 4 3 5 5 5
Jumlah Seksi per Sub Dinas 3-4 4 2-3 3 3-4 4 2-3 3-4 2-4 4 2-3 2-3 3 2-3 2-3 2-4 3-4
4
2-4
Sumber: Bagian Hukum dan Ortala Pemerintah Kota Bandar Lampung. Keterangan: - Setiap Dinas Daerah dipimpin seorang Kepala Dinas yang dibantu oleh seorang Wakil Kepala Dinas. Di samping itu, terdapat Bagian Tata Usaha yang membawahi 3-4 Sub Bagian, Unit Pelaksana Teknis (UPT), Cabang Dinas, serta Kelompok Jabatan Fungsional.
Lampiran 2.
Crosstabs Antar Variabel Intensitas * Umur * Kinerja Crosstabulation
Count Kinerja Buruk
Sedang
Baik
Intensitas
Total Intensitas
Total Intensitas
1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan 1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan 1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan
Total
21-30 tahun
1 1 1 1 1
Umur 31-40 tahun 41-50 tahun 4 2 1 4 2 3 2 8 10 3 2 4 2 3
1 4 1 1 1
51-60 tahun 2 2 4 8
1 2
2 12 2 2
4
3
1 1
1 4
1
4
1
Intensitas * P/W * Kinerja Crosstabulation Count P/W Kinerja Buruk
Intensitas
Sedang
Total Intensitas
Baik
Total Intensitas
Total
1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan 1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan 1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan
Pria
Wanita 3 3 4 2 6 18 3 4 2 1 10 3 2 1 1 7
Total 1 1 3
4 9 1 3 5 2 2 13 1 1 1 3
4 4 7 2 10 27 4 7 7 2 3 23 3 3 2 1 1 10
Total 4 4 7 2 10 27 4 7 7 2 3 23 3 3 2 1 1 10
112 Intensitas * Pendidikan * Kinerja Crosstabulation Count Kinerja Buruk
Sedang
Baik
Intensitas
Total Intensitas
Total Intensitas
SMP
1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan
2 2
1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan
1
1 1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan
Pendidikan SMA D3 2 2 3 2 3 12 3 4 4 2 1 14 1 2 2 1
Total
S1 2 1 4 5 12 1 2 1 1 5 1
1 2
6
Total 4 4 7 2 10 27 4 7 7 2 3 23 3 3 2 1 1 10
1
1
2 1 3 1 1
2
Intensitas * Penghasilan * Kinerja Crosstabulation Count
Kinerja Buruk
Sedang
Baik
Intensitas
Total Intensitas
Total Intensitas
Total
1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan 1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan 1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan
< Rp. 500.000
1 2 3 1
1 2 1
Rp. 500.000 - 1.000.000 2 1 4 1 3 11 1 4 6 2 1 14 1 3
1
2
Penghasilan Rp. 1.000.001 - 1.500.000
> Rp. 1.500.000
Total 2
3 2 4 6
1 1 4 2
1 1
2
1
3 2
1 3 1
1 1 1 6
5
1
2
4 4 7 2 10 27 4 7 7 2 3 23 3 3 2 1 1 10
113 Intensitas * Jarak * Kinerja Crosstabulation Count
Kinerja Buruk
Sedang
Baik
Intensitas
Total Intensitas
Total Intensitas
1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan 1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan 1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan
Total
< 250 meter 1 1
5 7
2 1 3 1 1
Jarak 501 meter 1 kilometer 1 1 1
251-500 meter 1 4
1-2 kilometer 2 1 2 2 1 8 2 3 3 1
1 4 1
5 1 4 1
1 1 3 2 1
6 1 1
> 2 kilometer
Total 4 4 7 2 10 27 4 7 7 2 3 23 3 3 2 1 1 10
3 3
1 1 2
9
1 1
2
2
1 2
4
Intensitas * Waktu * Kinerja Crosstabulation Count Kinerja Buruk
Sedang
Baik
Intensitas
Total Intensitas
Total Intensitas
Total
1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan 1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan 1 kali sebulan 2-3 kali sebulan 4-5 kali sebulan 6-7 kali sebulan lebih dari 7 kali sebulan
< 11 menit 1 1
11-20 menit 1 1
2
2
1
1
1 1
1
Waktu 21-30 menit 2 1
31-40 menit 1 2
1 4 1 1 2
5 8
1 5 1 1 1
1 7
4 2
> 40 menit 1 1 3 2 4 11 3 2 1 2 1 9 1
2 1 1
1
3
3
1 3
Total 4 4 7 2 10 27 4 7 7 2 3 23 3 3 2 1 1 10
Lampiran 3.
Daftar Pertanyaan
DAFTAR PERTANYAAN
PEMBANGUNAN KOTA BANDAR LAMPUNG STUDI KASUS JALAN PANGERAN ANTASARI Identitas Responden (tidak untuk dipublikasikan) 1. 2. 3. 4.
N a m a Jenis kelamin Tempat tanggal lahir Status Perkawinan
:....................................................................…....……… : ( ) Pria( ) Wanita : ..................................................................….…..…….. : ( ) Menikah ( ) Belum Menikah ( ) Lain-lain. Sebutkan ………...............……............. 5. A l a m a t : ..................................................................................... Rt/Rw..................Kel.......................Kec ..........…......... 6. Pendidikan Terakhir : ( ) SD ( ) SMU ( ) D2 ( ) S1 ( ) S3 ( ) SLTP ( ) D1 ( ) D3 ( ) S2 ( ) lain-lain 7. P e k e r j a a n : ............................…...................….............................. 8. Penghasilan perbulan : ( ) Kurang dari Rp 500.000 ( ) Rp 1.500.001 s/d 2.000.000 ( ) Rp 500.000 s/d 1.000.000 ( ) Rp 2.000.001 s/d 2.500.000 ( ) Rp 1.000.001 s/d 1.500.000 ( ) Lebih dari Rp 2.500.000 9. Kepemilikan Kendaraan : ( ) Tidak ada. ( ) Mobil ( ) Sepeda Motor 10. Bagaimana kinerja aparatur pemerintah ? a. Baik b. Sedang c. Buruk 11. Berapa jarak tempat tinggal anda dengan kawasan Jalan Pangeran Antasari ? a. Kurang dari 250 meter b. 251 – 500 meter c. 501 meter – 1 kilometer d. 1 - 2 kilometer e. Lebih dari 2 kilometer 12. Berapa lama waktu yang anda butuhkan untuk mencapai kawasan Jalan
Pangeran Antasari ? a. kurang dari 10 menit b. 11 - 20 menit c. 21 - 30 menit d. 31 – 40 menit e. lebih dari 40 menit
115 13. Berapa kali dalam sebulan anda mengunjungi kawasan Jalan Pangeran
Antasari, selain untuk urusan pekerjaan ? a. 1 kali sebulan b. 2 - 3 kali sebulan c. 4 - 5 kali sebulan d. 6 - 7 kali sebulan e. lebih dari 8 kali sebulan
Pelaksanaan Penataan Kawasan Jalan Pangeran Antasari Petunjuk Pengisian Pengisian kuesioner untuk Bagian 1.2. Pelaksanaan Pembangunan di Kawasan Jalan Pangeran Antasari dilakukan dengan cara mengurutkan dari yang dianggap paling penting ke yang kurang penting. Kemudian beri skor antara 1-9. Adapun skala nilai/skor adalah sebagai berikut : SKOR PENILAIAN PENJELASAN 1 Sama pentingnya Baris pertama sama penting dengan baris berikutnya 3 Sedikit lebih penting Baris pertama sedikit lebih penting dari baris berikutnya 5 Agak lebih penting Baris pertama agak lebih penting dari baris berikutnya 7 Jauh lebih penting Baris pertama jauh lebih penting dari baris berikutnya 9 Mutlak lebih penting Baris pertama mutlak lebih penting dari baris berikutnya Nilai antara angka di 2,4,6,8 atas Contoh : Terdapat empat hal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, yaitu : a. Terpenuhinya pendidikan c. Terpenuhinya rumah/papan b. Terpenuhinya pakaian/sandang d. Terpenuhinya makan/pangan Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan pertimbangan Anda, urutkan mulai dari yang dianggap paling penting. Bandingkan baris pertama dengan baris berikutnya dan beri skor : Cara Pengisian : 1.
Urutkan mulai dari yang dianggap paling penting ke yang kurang penting. No Uraian Skor 1 D Terpenuhinya makan/pangan 2 B Terpenuhinya pakaian/sandang 3 A Terpenuhinya pendidikan 4 C Terpenuhinya rumah/papan
2.
Bandingkan baris pertama dengan baris kedua dan beri skor berdasarkan skala penilaian 1-9 seperti yang ditunjukan di paling bawah halaman. No Uraian Skor 1 D Terpenuhinya makan/pangan 2 B Terpenuhinya pakaian/sandang 3 Artinya, makan/pangan sedikit lebih penting (3) daripada pakaian/sandang
3.
Bandingkan baris pertama dengan baris ketiga dan beri skor berdasarkan skala penilaian 1-9 seperti yang ditunjukan di paling bawah halaman.
Skala Penilaian / Skor : 1 Sama pentingnya
2
3 Sedikit lebih penting
4
5 Agak lebih penting
6
7 Jauh lebih penting
8
9 Mutlak lebih penting
116 No Kode Uraian 1 D Terpenuhinya makan/pangan 2 B Terpenuhinya pakaian/sandang 3 A Terpenuhinya pendidikan Artinya, makan/pangan jauh lebih penting (7) daripada pendidikan 4.
Skor 3 7
Bandingkan baris pertama dengan baris berikutnya dan beri skor berdasarkan skala penilaian 1-9 seperti yang ditunjukan di paling bawah halaman. No Kode Uraian Skor 1 D Terpenuhinya makan/pangan 2 B Terpenuhinya pakaian/sandang 3 3 A Terpenuhinya pendidikan 7 4 C Terpenuhinya rumah/papan 9 Artinya, makan/pangan mutlak lebih penting (9) daripada rumah/papan
Pelaksanaan Penataan Kawasan Jalan Pangeran Antasari 14. Dalam pelaksanaan/implementasi pembangunan suatu wilayah terdapat 4
(empat) prinsip yang harus ada yaitu : a. Akuntabilitas b. Keterbukaan dan transparansi c. Pengutamaan penegakkan hukum d. Pengutamaan masyarakat Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan pertimbangan Anda, urutkan mulai dari yang dianggap paling penting. Bandingkan baris pertama dengan baris berikut dan beri skor : No. Urut Kode Uraian Skor 1 2 3 4
15. Dalam pelaksanaan/implementasi pembangunan, aparatur pemerintah harus
mampu mempertanggung jawabkan kebijaksanaan, program dan kegiatannya dalam pembangunan : a. Prasarana pelayanan kota b. Sarana pelayanan kota c. Distribusi penduduk d. Sistim perangkutan e. Pola penggunaan lahan Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan pertimbangan Anda, urutkan mulai dari yang dianggap paling penting. Bandingkan baris pertama dengan baris berikut dan beri skor : No. Urut Kode Uraian Skor 1 2 3 4 5
Skala Penilaian / Skor : 1 Sama pentingnya
2
3 Sedikit lebih penting
4
5 Agak lebih penting
6
7 Jauh lebih penting
8
9 Mutlak lebih penting
117 16. Masyarakat dan aparatur pemerintah dapat mengetahui dan memperoleh data
dan informasi tentang kebijaksanaan, program, dan kegiatan aparatur, serta dapat mengetahui atau dilibatkan dalam perumusan atau perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dengan pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan publik dalam pelaksanaan/implementasi pembangunan : a. Prasarana pelayanan kota b. Sarana pelayanan kota c. Distribusi penduduk d. Sistim perangkutan e. Pola penggunaan lahan Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan pertimbangan Anda, urutkan mulai dari yang dianggap paling penting. Bandingkan baris pertama dengan baris berikut dan beri skor : No. Urut Kode Uraian Skor 1 2 3 4 5
17. Aparatur pemerintahan harus menjunjung tinggi dan mendasarkan setiap
tindakannya pada aturan hukum dan mensyaratkan terbukanya kesempatan kepada masyarakat luas untuk terlibat dan berpartisipasi dalam perumusan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan/implementasi pembangunan : a. Prasarana pelayanan kota b. Sarana pelayanan kota c. Distribusi penduduk d. Sistim perangkutan e. Pola penggunaan lahan Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan pertimbangan Anda, urutkan mulai dari yang dianggap paling penting. Bandingkan baris pertama dengan baris berikut dan beri skor : No. Urut Kode Uraian Skor 1 2 3 4 5
18. Dalam pelaksanaan/implementasi pembangunan, terdapat komitmen untuk
mengikutsertakan dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan : a. Prasarana pelayanan kota b. Sarana pelayanan kota c. Distribusi penduduk d. Sistim perangkutan e. Pola penggunaan lahan
Skala Penilaian / Skor : 1 Sama pentingnya
2
3 Sedikit lebih penting
4
5 Agak lebih penting
6
7 Jauh lebih penting
8
9 Mutlak lebih penting
118 Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan pertimbangan Anda, urutkan mulai dari yang dianggap paling penting. Bandingkan baris pertama dengan baris berikut dan beri skor : No. Urut Kode Uraian Skor 1 2 3 4 5 19. Pelaksanaan/implementasi
pembangunan prasarana pelayanan kota di kawasan Jalan Pangeran Antasari berdampak terhadap bidang : a. Sosial Budaya b. Lingkungan hidup c. Ekonomi Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan pertimbangan Anda, urutkan mulai dari yang dianggap paling penting. Bandingkan baris pertama dengan baris berikut dan beri skor : No. Urut Kode Uraian Skor 1 2 3
20. Pelaksanaan/implementasi pembangunan sarana pelayanan kota memiliki
dampak terhadap bidang : a. Sosial Budaya b. Lingkungan hidup c. Ekonomi Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan pertimbangan Anda, urutkan mulai dari yang dianggap paling penting. Bandingkan baris pertama dengan baris berikut dan beri skor : No. Urut Kode Uraian Skor 1 2 3
21. Pelaksanaan perencanaan distribusi Penduduk memiliki dampak terhadap
bidang : a. Sosial Budaya b. Lingkungan hidup c. Ekonomi Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan pertimbangan Anda, urutkan mulai dari yang dianggap paling penting. Bandingkan baris pertama dengan baris berikut dan beri skor : No. Urut Kode Uraian Skor 1 2 3
Skala Penilaian / Skor : 1 Sama pentingnya
2
3 Sedikit lebih penting
4
5 Agak lebih penting
6
7 Jauh lebih penting
8
9 Mutlak lebih penting
119 22. Pelaksanaan/implementasi pembangunan Pembangunan sistim perangkutan
memiliki dampak terhadap bidang : a. Sosial Budaya b. Lingkungan hidup c. Ekonomi Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan pertimbangan Anda, urutkan mulai dari yang dianggap paling penting. Bandingkan baris pertama dengan baris berikut dan beri skor : No. Urut Kode Uraian Skor 1 2 3
23. Pelaksanaan perencanaan pola penggunaan lahan memiliki dampak terhadap
bidang : a. Sosial Budaya b. Lingkungan hidup c. Ekonomi Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan pertimbangan Anda, urutkan mulai dari yang dianggap paling penting. Bandingkan baris pertama dengan baris berikut dan beri skor : No. Urut Kode Uraian Skor 1 2 3
Skala Penilaian / Skor : 1 Sama pentingnya
2
3 Sedikit lebih penting
4
5 Agak lebih penting
6
7 Jauh lebih penting
8
9 Mutlak lebih penting