SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | DISKURSUS
Pandangan Lintas Budaya Terhadap Tempat-Tempat Suci Bersejarah (Historic Sacred Places) di Minahasa, Sulawesi Utara Cynthia E.V Wuisang(1), Dwight, M. Rondonuwu(1)
[email protected] (1)
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sam Ratulangi.
Abstrak Tulisan ini membahas eksistensi/keberadaan Tempat-tempat suci bersejarah yang ada di Sulawesi Utara, khususnya di Wilayah Minahasa sebagai tempat keagamaan yang terkait dengan makna budaya. Pertentangan antara penggunaan agama dan turisme akan dibahas dan implikasinya sebagai identitas tempat tempat bermakna keskralan, juga terhadap pelestarian sejarah dan perencanaannya. Tana Minahasa (Minahasa Land), salah satu wilayah di ujung utara Sulawesi memiliki berbagai tempat-tempat ibadah keagamaan dan tempat yang disakralkan, yang tersebar di kawasan perkotaan dan perdesaan; Gereja, Kelenteng, Pura dan Masjid atau tempat –tempat budaya yang diskralkan lainnya sebagai tempat-tempat religius yang mengisi ruang-ruang kota dan perdesaan berfungsi sebagai pelayanan spiritual masyarakat dan pusat-pusat pendidikan, dan lokasi wisata. Keindahan tempat-tempat sakral yang ada di Sulawesi Utara menarik untuk diwacanakan dengan pemikiran dan pemahaman yang dikaitkan dengan desain, fungsi, dan psikologi dari tempat suci bersejarah dan eksistensinya dalam kehidupan berbudaya masyarakat. Kata-kunci : identitas tempat, Lintas Budaya, sacredness, Tempat Suci bersejarah, Sulawesi Utara, wisata
Pemahaman dengan latar pemikiran budaya tentang bagaimana Sistem keagamaan berakulturasi dari animisme primitif ke agama modern seperti Kristen dan Budha sudah dilakukan oleh pemikirpemikir budayawan dan ahli sejarah (Jackson dan Henrie, 1983). Kesucian (Sacredness) digunakan sebagai faktor untuk menggambarkan berbagai jenis tempat (Chidester dan Linenthatl, 1995). Ruang-ruang sakral di negara maju banyak dibahas dalam literatur termasuk situs bersejarah dan monumen, medan perang, gereja, pemakaman, museum memorial, Taman Nasional dan kawasan alam lainnya, bahkan stadion olahraga; Namun, kebanyakan orang melihat situs agama sebagai tempat/ruang yang paling sakral/suci. Tempat-tempat suci bersejarah dapat memberikan makna dalam sebuah budaya tertentu yang berfokus untuk masyarakat dalam aktivitas dan kegiatan keagamaan (Bianca, 2001). Dalam mengidentifikasi tempat-tempat tersebut perlu dipahami apa yang penting untuk dijaga, terutama komponen penting pelestarian sejarah dan budaya. Disamping itu, tempat-tempat suci memiliki nilai ekonomi karena wisatawan dan masyarakat setempat menggunakannya dalam menunjang kehidupan mereka (Bremmer, 2006). Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 81
Pandangan Lintas Budaya Terhadap Tempat-Tempat Suci Bersejarah (Historic Sacred Places) di Minahasa Sulawesi Utara
Bagaminana melihat pertentangan antara penggunaan ritual keagamaan setempat dan pariwisata merupakan pemikiran utama dalam tulisan ini, untuk kemudian diperlukan solusi mengatasi pertentangn yang terjadi. Sebuah studi dilakukan terhadap beberapa bangunan gereja, kelenteng, dan tempat suci orang Minahasa (Watu Pinawetengan) dengan melakukan pengamatan fenomenologis, wawancara dengan turis dan pendeta, biarawan, dan pelaku budaya (Tona’as). Studi ini memungkinkan untuk mengembangkan perspektif lintas-budaya dari tempat-tempat suci dan implikasinya bagi perencana atau urban desainer. Pendahuluan Tempat-tempat suci/sakral (Sacred Places) sebagai tangible artefak didefinisikan sebagai fenomena pengalaman, pengaturan perilaku, dan sebuah aspek identitas tempat. Ketiga aspek ini dipakai secara bersama untuk memahami mengapa sebuah tempat dianggap suci (Sacred) dan mengembangkan pendekatan untuk melestarikan tempat-tempat suci. Pendekatan ini dikembangkan dari pandangan Budaya Kristen-Barat dalam perspektif antropologi. Belajar dari masyarakat Minahasa, memberi kesempatan untuk melihat tempat-tempat religi dalam perspektif alternatif. Pembauran berbagai denominasi Kristen juga mencakup keyakinan agama secara tradisional (Siwu, 1985). Di Indonesia, kedua sistem kepercayaan Katolik dan Kristen (Yang diakui dalam UndangUndang Keagamaan) secara umum hidup selaras dan berdampingan dan berdampak pada desain dan penggunaan tempat-tempat suci bersejarah.
Definisi Tempat Suci (Sacred Places) Ilmuwan sosial pada umumnya beranggapan bahwa kesucian adalah pengalaman yang timbul dari interaksi manusia dengan tempat (Carmichael, Hubert dan Reeves, 1994). Kesucian tidak ada dalam diri orang atau di lingkungan, melainkan dalam hubungan antara keduanya. Pengalaman kesucian hanya ada bagi mereka yang mampu melihat mengapa sebuah tempat dapat digambarkan/dianggap sakral/suci oleh budaya lokal (Shackley, 2001). Tempat-tempat suci dirancang untuk mempromosikan berbagai jenis pengalaman religius. Tempat-tempat suci Kristen dirancang untuk menciptakan pengalaman kagum, sementara tempat-tempat suci Buddha mendorong pengalaman hormat, ketenangan dan perendaman. Dalam tradisi Kristen, pengalaman kesucian muncul dari kombinasi kagum dan simbol agama yang membantu untuk menafsirkan maknanya. Perasaan kagum berhubungan dengan luas yang dirasakan dan ketidakmampuan untuk mengasimilasi pengalaman (Keltner & Haidt, 2003). Fitur lingkungan menakjubkan membanjiri pengamat dan menciptakan rasa menjadi bagian kecil dari yang lebih besar dalam sebuah sistim spiritual. Tempat-tempat suci (Sacred Places) dibuat dan ditata untuk mendorong pengalaman kagum; misalnya, mereka sering memiliki pusat yang meninjol, verticality kuat yang berorientasi ke langit, simetri yang menunjukkan tatanan dan harmoni, dan batas yang kuat antara tempat suci dan dunia luar (Brill, 1994). Dalam filsafat Buddha dan Kong Fu Chu, kesucian terutama adalah keadaan mental, tapi pengalaman dipengaruhi oleh karakteristik tempat. Bangunan biara atau Kelenteng dirancang untuk mendorong pengalaman rasa hormat kepada para Buddha / Bikhu dan ajaran-ajarannya, dan pengalaman ketenangan yang mendukung meditasi dan pengembangan spiritual. Pengalaman ketenangan didorong oleh ekspresi kedamaian pada gambar Buddha, yang secara fisiologis memicu 82 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Cynthia E.V Wuisang
respon relaksasi karena yang mencerminkan ekspresi emosi orang lain (Lacoboni, 2009). Dalam dekorasi kompleks kuil dibuat tampilan visual yang luar biasa yang perseptual untuk menarik perhatian dan respon manusia (Kaplan, 1995). Bangunan Pagoda dan Kelenteng yang ada di Indonesia mendorong pengalaman perendaman yang menggabungkan spiritualitas dengan perayaan, yang berkaitan dengan sikap mereka menghormati kekuatan spiritual.
Definisi Behaviour Setting Tempat Suci Tempat suci (sacred Places) adalah setting perilaku yang maknanya muncul dari perilaku yang terjadi di sana; penggunaan dan ritual keagamaan membuat tempat-tempat suci memberi makna, dukungan, dan konteks untuk melakukan kegiatan keagamaan (Rapoport, 1982). Kebermaknaan tempat muncul dari penggunaannya oleh orang-orang, sementara tempat membantu untuk struktur hubungan sosial dan kegiatan (Bremer, 2006). Dalam agama Kristen, setiap tempat di mana orang berkumpul untuk melakukan pelayanan keagamaan menjadi tempat suci selama kegiatan keagamaan (Alkitab, Matius 18:20). Dalam hal ini, gereja bukanlah bangunan, tetapi tempat di mana kegiatan keagamaan terjadi. Ide ini memberikan pemahaman bahwa kesucian didefinisikan dengan penggunaan tempat. Menurut hukum adat /setempat, daerah suci adalah tempat di mana penduduk asli secara tradisional melakukan kegiatan keagamaan sebagaimana ditemukan pada banyak daerah pedalaman di indonesia. Dari perspektif Kristen, perilaku menentukan sehingga gereja berperan dalam pendidikan dan pelayanan sosial, fungsi keagamaan seperti ibadah dan kegiatan keagamaan, dan tempattempat di mana para pendeta (komunitas para hamba Tuhan) melayani jemaat. Masyarakat menggunakan bangunan gereja dan para wisatawan yang berkunjung bahkan berpartisipasi dalam kegiatan yang dilakukan. Kesempatan untuk mengamati ritual ibadah dan anggota masyarakat terlibat dalam praktik keagamaan merupakan bagian penting dari pengalaman kesucian bagi wisatawan.
Aspek Sacredness dan Identitas Tempat “Sacredness” merupakan aspek identitas sebuah tempat sebagai sebuah makna dan perasaan yang mengikat individu atau sekelompok orang dengan sebuah tempat (Wuisang, 2014). Hal ini terkait dengan identitas tempat dalam berbagai cara; misalnya dilihat sebagai karakteristik yang melekat pada tempat karena kehadiran kekuatan spiritual: Faktor Keagamaan dapat menguduskan sebuah tempat; dan peristiwa bersejarah dan artefak peninggalan dapat menyebabkan sebuah tempat dipandang sebagai tempat sakral/suci. Banyak budaya tradisional percaya bahwa kesucian secara langsung melekat pada tempat (Bianca, 2001). Misalnya, pendeta percaya bahwa bumi secara keseluruhan adalah suci dan segala sesuatu yang ada merupakan bagian dari kesatuan yang saling berhubungan dengan yang ilahi (Levine, 2007). Pandangan ini dipegang oleh banyak budaya tradisional seperti penduduk asli di berbagai negara, agama non-teistik seperti Taoisme, bentukbentuk tertentu dari keagamaan lain dan filsafat lingkungan. Meskipun budaya tradisional mungkin melihat semua bumi sebagai suci, mereka mengakui tempat-tempat tertentu di mana kekuatan semangat memanifestasikan dirinya lebih jelas (Hubert, 1994), seperti pada dokumentasi di bawah ini:
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 83
Pandangan Lintas Budaya Terhadap Tempat-Tempat Suci Bersejarah (Historic Sacred Places) di Minahasa Sulawesi Utara
Gambar 1: Kawasan Watu Pinawetengan-Minahasa yang sudah ada sejak abad 600 M. Pusat kepercayaan agama spiritualisme yang dianut kelompok tertentu di Minahasa, dimana ditempat ini juga dijadikan tempat ibadah pemeluk agama lain. Sumber: Penulis
Gambar 2: Klenteng Ban Im Kiong, di Kawasan Pusat Kota Manado , yang dibangun sejak kedatangan Bangsa China di Abad 12. Tempat ibadah umat Kong Fu Chu dan Ritual keagamaan Cap Go Meh. Sumber: Penulis
84 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Cynthia E.V Wuisang
Agama Kristen pada umumnya menguduskan tempat suci keagamaan mereka. Otoritas keagamaan menguduskan tempat-tempat ini, dan mereka dapat didekonsentrasi melalui ritual jika tidak lagi digunakan. Kristen dan Budha mengakui bahwa situs religius bersejarah dapat menjadi sakral karena suatu peristiwa yang terjadi di sana, seperti mukjizat atau adanya relik suci dan ikon agama. Tempat dapat dilihat sebagai suci atau di ‘label’ karena simbol-simbol keagamaan atau spiritual yang disajikan oleh lingkungan (Brill, 1994). Simbol-simbol ini dapat ditentukan secara budaya (yaitu salib, gambar dll), atau mungkin ada simbol spiritual universal seperti pola-pola dasar atau fitur alam tertentu seperti pada dokumentasi berikut:
Gambar 3: Chapel of Mother Mary, Tomohon Sulawesi Utara. Tempat ibadah dan retreat; dan tempat wisata religi. Sumber: Penulis
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 85
Pandangan Lintas Budaya Terhadap Tempat-Tempat Suci Bersejarah (Historic Sacred Places) di Minahasa Sulawesi Utara
Gambar 4: Bukit Doa Pinaling, Amurang, Minahasa Selatan. Tempat beribadah pilgrimage umat Katolik yang bercirikan arsitektur Minahasa. Sumber: Penulis
Gambar 4: Gereja Protestan di Kakas, Minahasa (kiri) dan Gereja Centrum Schwarz, tempat pertama Zendling Jerman melakukan ibadah di Langowan, Minahasa 1831 (Kanan).Arsitektur bercirikan NeoVernakular Minahasa
Implikasi Analisis lintas budaya terhadap tempat suci bersejarah memiliki implikasi penting bagi perencana yang peduli pelestarian sejarah, pemeliharaan praktik keagamaan dan pelayanan terhadap masyarakat, dan mengelola pertentangan antara pariwisata dan masyarakat setempat. Perspektif pengalaman menunjukkan sejumlah pengalaman emosional yang berhubungan dengan tempat-tempat sakral. tempat-tempat sakral sebagai inspirasi yang menakjubkan; lingkungan tenang yang mendorong kontemplasi dan meditasi; dan tempat yang menciptakan sikap hormat terhadap nilai-nilai agama. Melestarikan rasa kagum di tempat-tempat suci bersejarah membutuhkan pengelolaan dalam penggunaannya oleh para wisatawan. Kepadatan penduduk dan perilaku wisatawan yang tidak pantas akan mengganggu pengalaman orang terhadap tempat yang dikunjungi. Menjaga ketenangan membutuhkan pembatasan terhadap gangguan yang disebabkan oleh wisatawan dan mengelola kebisingan dan gangguan dalam penggunaan yang berdekatan dengan situs/tempat. Penghormatan berkaitan dengan bagaimana tempat tersebut diinterpretasikan, apakah itu disajikan sebagai objek wisata, situs bersejarah, atau tempat keagamaan dan menginformasikan wisatawan tentang perilaku yang sesuai dengan budaya. 86 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Cynthia E.V Wuisang
Perspektif pengaturan perilaku menjelaskan akan pentingnya melestarikan struktur sejarah dan praktik keagamaan untuk menjaga kesucian sebuah tempat. Meskipun wisatawan sangat menghargai dan mampu mengamati dan berpartisipasi dalam praktik keagamaan, kehadiran mereka bisa mengganggu masyarakat setempat dan praktisi agama. Di beberapa tempat di Bali, wisatawan disarankan untuk menjauh atau tidak mengganggu kegiatan keagamaan yang tengah berlangsung (Personal exp. 2017), sebaliknya umat Buddha mendorong wisatawan lokal dan asing untuk mengamati dan berpartisipasi dalam ritual keagamaan. Melestarikan kesucian sebagai bagian dari identitas sebuah tempat berhubungan dengan praktek/ritual agama secara berkelanjutan dari sebuah situs/tempat. Ketika praktik keagamaan berhenti terjadi, identitas tempat bergeser dari ‘menjadi suci’ ke ‘tempat bersejarah’. Interpretasi wisatawan juga merupakan faktor, dimana di banyak tempat mereka menafsirkan sebagai situs bersejarah, bahkan ketika tempat tersebut masih digunakan untuk pelayanan keagamaan. Di Minahasa beberapa tempat keagamaan ditafsirkan sebagai situs dan dianggap suci/sakral dan wisatawan/pengunjung didorong untuk terlibat dalam kegiatan keagamaan (Siwu, 1985) Namun, dampak terbesar pada identitas tempat berkaitan dengan komersialisasi dalam dan di sekitar situs bersejarah. Terlalu banyak pembangunan komersial berorientasi wisata mengubah situs dari tempat suci bersejarah menjadi sebuah objek wisata. Kesimpulan Tempat bersejarah keagamaan adalah aset masyarakat yang penting, yang membantu untuk mendorong pertumbuhan rohani, memberikan titik fokus bagi masyarakat, yang juga merupakan aset ekonomi di bidang pariwisata. Sebuah perspektif lintas budaya menunjukkan berbagai pengalaman, perilaku, dan identitas yang menciptakan tempat-tempat suci. Perspektif ini membantu untuk mengidentifikasi beberapa tantangan perencana dalam melestarikan aset-aset masyarakat yang penting.
Referensi Bianca, S. (2001). Resources for sustaining cultural identity. In I. Serageldin, E. Shluger, & J. Martin-Brown (eds.) Historic and Sacred Sites (pp 18-21). Washington: World Bank. Bremer, T. (2006). Sacred spaces and tourist places. In D. Timothy & D. Olsen (eds.) Tourism, Religion and Spiritual Journeys (pp 25-35). New York: Routledge. Brill, M. (1994). Archetypes as a “natural language” for place making. In K. Franck & L. Schneekloth (eds.) Ordering Space: Types in Architecture and Design (pp. 61-78). New York: Van Nostrand Reinhold. Carmichael, D. Hubert, J. & Reeves, B. (1994). Introduction. In D. Carmichael, J. Hubert, B. Reeves, & A. Schanche (eds.) Sacred Sites, Sacred Places (pp 1-8). New York: Routledge Chidester, D. dan Linenthatl, E. 1995. American Sacred Space. Bloomington: Indiana University Press. Hague, C. (2005). Planning and place identity. In C. Hague and P. Jenkins (eds.) Place Identity, Participation, and Planning (pp 3-18). New York: Routledge. Hughes, D. & Swan, J. (1986). How much of the earth is sacred? Environmental Review 10 (4), 247-259. Jackson, R. & Henrie, R. (1983). Perceptions of sacred space. Journal of Cultural Geography 3, 94-107. Kaplan, S. 1995. The restorative benefits of nature: Toward an integrative framework. Journal of Environmental Psychology 11, 201-230. Keltner, D. & Haidt, J. (2003). Approaching awe: a moral, spiritual, and aesthetic emotion. Cognition and Emotion 17 (2), 297-314. Levi, D. & Kocher, S. (2008). Authenticity and the tourist experience of heritage religious sites. Journal of Human Sciences 9(2), 72-87. Levine, M. (2009). Pantheism. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. E. Zalta (ed.). Retrieved at http://plato. standford.edu/archives/win2009/entires/pantheism. Rapoport, A. (1982). Sacred places, sacred occasions and sacred environments. Architectural Digest 52 (9/10), 75-82. Shackley, M. (2001). Managing Sacred Sites. Padstow, UK: Thomson. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 87
Pandangan Lintas Budaya Terhadap Tempat-Tempat Suci Bersejarah (Historic Sacred Places) di Minahasa Sulawesi Utara Siwu, R.A.D (1985) Adat, Gospel dan Pancasila: A Study of the Minahasan Culture and Christianity in the Frame of Modernization in Indonesian Society, Thesis D.Min, Lexington Theological Seminary, 146p Vukonic, B. (2006). Sacred places and tourism in the Roman Catholic tradition. In D. Timothy & D. Olsen (eds.) Tourism, Religion and Spiritual Journeys (pp 237-253). New York: Routledge. Wuisang, C.E.V. (2014). Defining Genius Loci and Qualifying Cultural Landscape of The Minahasa Ethnic Community in the North Sulawesi, Indonesia. Disertasi, The University of Adelaide, Australia.
88 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017