Pada zaman Cina Kuno, semasa kekuasaan Dinasti I (an. Pingseorang gadis budakmenyelamatkan seekor naga dan melarikan diri dari tuannya yang jahat. Si gadis dan naga menempuh perjalanan panjang melintasi Cina dengan membawa batu misterius yang harus dilindungi dari kejaran pemburu naga yang kejam. Dalam perjuangan untuk menunaikan tugas berat ini. si gadis budak mendapatkan banyak pelajaran berhargabelajar untuk percaya diri. memahami makna sejati keberanian… dan menghargai nilai persahabatan. “Sebuah buku yang menarik.” - Majalah Hai ‘Buku ini akan membawa kita kembali ke masa lalu dan menikmati pengalaman menarik di masa Cina Kuno. Mengharukan dan mengajarkan banyak hal tentang arti persahabatan.” - Majalah Kawanku Penghargaan: Australia Book of the Year Award (2004) Queensland Premier’s Literary Award (2004) * Winner Aurcalis Award for Young Adults (2003) FIKSI
CAROLE WILKINSON ‘Perjalanan yang sungguh luar biasa. Saya sangat menyukai setiap gigi cakar, dan sisik naga di dalamnya.” - Gary Crew Dragonkeeper Colore Wilkinson CopyrightŠ Carole Wilkinson 2DD3 All rights reserved Hak terjemahan ada pada Penerbit Matahati Diterbitkan oleh Penerbit Matahati email:
[email protected] website: www.penerbitmatahati.com Penerjemah: Claudia Penyunting: Nadya Cetakan pertama: Februari 2DD8 Distributor Tunggal: Yasmin Agency Telp: 021-7514452 email:
[email protected] Daftar Isi 1 Dipinggir Wilayah Kekaisaran 9 2 Malam yang Mengerikan 23 3 Perjamuan Kekaisaran 31 4 Pelarian S3
5 Takut Terbang 61
6 Di Balik Gerbang Pengalaman 79 | 7 Menyisir dan Menghitung 95 8 Kota Kedamaian Abadi 113 9 Teman Lama 131 10 Sihir di Tengah Malam 151 11 Persembahan 169 12 Awan Gelap 185 13 Sayap yang Luka 197 14 Perjalanan Cepat 203 15 Dalam BayangBayang Gunung Api 217 16 Yang Hilang dan Ditemukan 237 17 Kekuatan dan Kelemahan 251 18 Pertemuan Kebetulan 265 19 Perjamuan Kekaisaran Lagi 281 2D Taman Keselarasan Tersembunyi 297 21 Setengah Jalan ke Surga 321 22 Pertumpahan Darah Di Tai San 341
23 Samudra 353 24 Barangkali Tak Ada Akhir 365 Daftar Istilah 371 1 Mangkuk bambu itu melayang ke arah kepala si gadis budak. Seketika ia menunduk. Dia sudah berpengalaman menghindari bendabenda yang dilemparkan ke arahnya, mulai dari batu tinta hingga tulang ayam. Tuannya kembali mengempaskan diri ke tempat tidur, kehabisan tenaga karena berusaha melempar mangkuk tadi. “Beri makan binatang-binatang itu, anak sialan.” “Ya, Master Lan,” sahut si gadis. Lan merengut dan menatapnya dengan ekspresi muak, seakan dia melihat sesuatu yang menjijikkan. Lan hanya tersenyum kalau sedang menertawakan ketololan si gadis budak. “Jangan lama-lama.” “Tidak, Master Lan.” Si gadis menyelinap ke luar rumah tepat ketika sebuah guci anggur kosong melayang ke arah pintu. Hari itu udara terasa dingin menusuk tulang. Si gadis budak pun bergegas menuju kandang-kandang binatang. Kelihatannya tak lama lagi bakal
DI PINGGIR WILAYAH KEKAISARAN turun hujan salju, karena langit tampak mendung. Si gadis memakai celana panjang yang kependekan, dan pada bagian lututnya penuh tambalan. Tuniknya pun sudah lusuh dan banyak tisikannya. Pakaiannya itu tidak dapat menghentikan angin dingin yang langsung menembus ke kulitnya. Si gadis tidak mempunyai seumur hidup dia tinggal lalu, Lan mengatai bahwa tahun. Karena hanya bisa usianya sekarang.
nama; dia pun tidak tahu berapa usianya. Rasanya sudah di Istana Huangling. Pernah pada musim panas tahun dia terlalu bodoh untuk ukuran gadis berumur sepuluh menghitung sampai sepuluh, dia tidak tahu sudah berapa
Gunung Huangling termasuk dalam serangkaian pebukitan gersang yang menandai perbatasan sebelah barat kekaisaran Han. Sepanjang musim dingin, wilayah tersebut terkubur salju hingga sepinggang, dan di terpa angin dingin membekukan. Sebaliknya pada musim panas hawanya begitu membakar sehingga rasanya seperti bernapas dalam kobaran api. Ayah sang Kaisar sengaja membangun istana di tempat terpencil ini untuk menunjukkan kepada dunia betapa luas wilayah kekaisarannya. Tapi saking jauhnya lokasi istana ini dari mana-mana, hanya sedikit sekali orang yang pernah melihatnya. Tempat kediaman Kaisar luasnya lebih dari tiga perempat keseluruhan lahan istana yang dikelilingi tembok tinggi. Kandang, gudang, dan pondok pelayan dibangun berdesakan di seperempat bagian tanah yang tersisa. Selama si gadis budak di Huangling, belum sekali pun Kaisar datang ke istana itu. Para budak tidak diperkenankan masuk ke dalam istana. Master Lan mengancam akan memukul kalau si gadis budak berani masuk ke sana. Kadang-kadang Master Lan pergi ke istana itu, dan biasanya dia pulang dalam keadaan marah. Dia terus menggerutu tentang ruangan yang terbuang sia-sia serta perabot yang hanya diselubungi kain, sementara dia harus tidur di rumah yang berkamar satu dan beratap bocor. Dibandingkan sudut kandang lembu, tempat si gadis budak tidur yang beralaskan jerami, rumah Master Lan tampak sangat mewah. Lantai tanahnya dilapisi karpet, dan ada lukisan naga di atas bentangan sutra biru di temboknya. Perapian terus dinyalakan sepanjang musim dingin, begitu juga sistem pipa yang dipasang untuk menghangatkan tempat tidurnya. Bahkan jika disamakan dengan tempat tinggal si gadis budak, kandang kambing tampak lebih bagus. Tapi bukan kambing itu yang akan diberi makan oleh si gadis. Juga bukan lembu, babi atau ayam. Di sudut terjauh di istana itu, ada sebuah “kandang” lain. “Kandang” itu berupa lubang di dalam tanah, sumur batu karang Huangling yang dipahat dengan kasar. Satu-satunya jalan masuk ke lubang ini berupa pintu berjeruji, bukan terbuat dari bambu seperti kandang binatang lainnya, melainkan dari perunggu, Ketika melongok ke dalam lubang, dia tak bisa melihat apa pun karena sangat gelap. Lantas dia membuka gembok, mengangkat pintu berjeruji, dan menuruni anakanak tangga yang juga dipahat di batu karang. Setiap kali masuk ke tempat itu dia merasa gelisah, seakan ada sesuatu yang menunggunya dalam kegelapan, sesuatu yang berbahaya dan me nakutkan. Tapi bukan penghuni lubang itu yang membuatnya gelisah. Dia tidak takut pada makhluk-makhluk itu, meskipun mereka bertubuh besar, bergigi dan bercakar tajam. Mereka adalah naga. Lubang itu gelap dan berbau menyengat, cam puran antara bau pesing dan jerami busuk. Sudah lama sekali lubang itu tidak dibersihkan. Dia maju pelan-pelan ke dalam kegelapan seraya berharap dapat membawa lampu. Tetapi Master Lan melarang memboroskan minyak lampu. Akhirnya lama-kelamaan si gadis pun terbiasa melihat
dalam kegelapan. Naga-naga itu tidur di sudut lubang yang paling gelap, Seingatnya dulu ada empat naga tapi sekarang hanya tersisa dua ekor. Lao Ma, perempuan tua yang bertugas membersihkan istana, pernah bercerita ketika ia masih muda, ada sekitar dua belas naga yang didatangkan. Si gadis budak ingin tahu apa yang terjadi pada naga-naga itu. Makhlukmakhluk itu tak bergerak saat didekati. Selama ini mereka tidak pernah mencoba menyakiti si gadis, tapi si gadis merasa mereka me nyem bunyikan sifat mereka yang sesungguhnya. Lukisan naga di rumah Master Lan memperlihatkan seekor naga emas yang menakjubkan, meliuk dan gemerlapan di antara awan. Kedua naga ini jauh berbeda. Sepanjang hari tubuh mereka yang panjang bersisik, kusam dan kelabu, tergeletak meringkuk seperti gulungan tali tebal di atas jerami yang kotor. Master Lan adalah Pengurus Naga Kaisar. Stempel jabatannya yang terbuat dari batu giok putih berbentuk persegi panjang, dengan ukiran huruf-huruf di satu ujungnya, dan ukiran naga di ujung lainnya digantungkan di pinggangnya dengan seutas pita kotor berminyak. Master Lan-lah yang seharusnya bertugas memberi makan dan merawat naga-naga Kaisar. Sementara si gadis hanya bertugas memberi makan hewan ternak dan mengurus keperluan pribadi Master Lan. Tapi karena sangat pemalas, Master Lan lalu mengalihkan tugas-tugasnya pada anak itu. Lantas dia sendiri melewatkan hari-harinya dengan bersantai di tempat tidur, makan, minum anggur, juga mengeluh. Semua itu salah Kaisar, kata Master Lan. Ia mengeluh setiap hari bahwa seharusnya dia berada di Chang’an. Naga-naga Kaisar seharusnya ditempatkan di istana kekaisaran di sana. Begitulah kebiasaannya selama ribuan tahun. Seorang peramal akan memeriksa mereka setiap hari, meramalkan masa depan Kaisar berdasarkan perilaku naga-naga tersebut. Bila mereka bermain dengan gembira di taman, itu pertanda bagus untuk kekaisaran. Tetapi kalau mereka murung dan tak mau makan, berarti akan terjadi yang sebaliknya. Bertahun-tahun silam, seekor naga menggigit Kaisar yang masih kecil, ayah dari kaisar yang sekarang. Kejadian itu membuat Kaisar menjadi takut sekali pada naga. Begitu berkuasa, dia nenyingkirkan naga-naga itu jauh-jauh, ke Gunung Huangling. Si gadis budak meletakkan mangkuk berisi taro [sejenis talas atau keladi] lumat dan bubur gandum yang telah disiapkannya untuk kedua naga. “Waktunya makan malam,” katanya. Salah seekor naga bergerak. Naga itu mengangkat moncongnya untuk mengendus makanan, kemudian memalingkan kepala. “Binatang tidak tahu terima kasih,” gerutu si gadis. Mangkuk makanan yang ditinggalkannya tadi pagi masih utuh, meskipun bagian tepinya sudah digerogoti tikus. Berbeda dengan hewan peliharaan lainnya, yang gaduh setiap dia membawakan makanan, kedua naga ini tidak menoleh sedikit pun kepadanya. “Tadinya aku akan mengganti jerami kalian,” omel gadis itu. “Kalau begini nanti saja deh.” Diambilnya kembali mangkuk yang baru diletakkannya itu. Percuma membuang-buang makanan untuk binatang menyebalkan ini. Biar mereka habiskan dulu makanan tadi pagi. Terdengar bunyi gemeresik di dalam jerami, lalu menyembul sebuah hidung dengan dua gigi kuning besar di bawahnya. Mengendus-endus. Kemudian muncul kepala
kelabu, tubuh gendut berbulu, dan pada akhirnya ekor panjang. Si gadis yang semula mengerutkan kening kini tersenyum. “Kaukah itu, Hua?” Si gadis mengangkat dan memeluk tikus besar lalu dia dekatkan ke wajahnya. “Malam ini kita bakal makan enak,” katanya pada si tikus, seraya menggosokgosokkan bulu tikus yang halus itu ke pipinya. “Aku punya taro dan bubur gandum, dan kalau aku bisa mencuri sepotong saja jahe dari makan malam Master Lan, kita bakal makan besar.” Si tikus melirik takut-takut pada kedua naga. “Tak usah takut pada mereka,” kata si gadis. “Mereka tidak bakal menyakitimu.” Si gadis pun bergegas naik menapaki undakan dari batu sambil mengantongi Hua di dalam tuniknya, di dekat kalung yang terbuat dari potongan bambu bujur sangkar. Kata Lao Ma, si gadis sudah memakai kalung itu sejak hari pertama dia tiba di Huangling. Terdapat sebuah huruf lusuh yang diukir di potongan bambu itu. Si gadis tidak tahu arti huruf itu karena dia tidak bisa membaca, begitu pula Lao Ma. Si gadis sedang memasak makan malam untuk tuannya ketika ada yang mengejutkannya dari belakang. “Aku menemukan kotoran tikus di tempat tidur,” teriak si Pengurus Naga. “Kan sudah kusuruh kau membunuh tikus itu.” “Sudah saya lakukan, Master Lan,” sahut si gadis, seraya berharap Hua tetap bersembunyi di balik tuniknya. “Seperti yang Tuan perintahkan.” “Bohong,” bentak majikannya. “Kalau sampai aku temukan tikus itu, akan kurebus dia hidup-hidup.” Master Lan mengambil mangkuk yang berisi lentil [sejenis kacang-kacangan] yang sedang direndam untuk makan malam si gadis, lalu melemparnya ke pekarangan sehingga lentil itu berserakan di salju. Master Lan mengendus-endus masakan si gadis. “Kalau tidak ada bawang dalam makan malamku, akan kuhajar kau!” Si gadis belum memasukkan bawang ke dalam masakan karena tidak ada persediaan bawang lagi di gudang makanan Lao Ma. Maka si gadis budak lari ke gerbang. Bukan gerbang utama di sebelah timur tembok yang selalu digembok, melainkan gerbang kecil dari bambu di belakang kandang kambing. Di luar tembok istana ada kebun buah (beberapa pohon apel cebol dan pohon ceri yang hanya setengah hidup) dan kebun sayur. Sebagian besar kebun itu tertutup salju, tapi ada satu sudut yang saljunya selalu dibersihkan oleh si tukang kebun. Di bawah setumpuk jerami, si gadis menemukan beberapa tanaman bawang yang sudah beku, mencuat dari dalam tanah. Ia mencungkil tanah beku itu dengan pisau, tapi sia-sia karena tanahnya sekeras batu. Akhirnya dia memutuskan untuk memotong beberapa helai daun yang layu sambil berharap itu cukup sebagai penambah rasa. Lalu dia berjongkok sambil memandang bulatan Jingga gelap di kaki langit. Di balik awan, matahari sedang tenggelam, Si gadis bertanya-tanya, kira-kira apa yang sedang dia lakukan sekarang, seandainya dia tidak dijual sebagai budak. Apakah dia akan bahagia? Apakah dia akan duduk di
rumah yang nyaman bersama kedua orangtuanya? Dan saudara-saudarinya? Apakah perutnya akan kenyang? Pernah terpikir olehnya untuk kabur dari Huangling. Berkali-kali malah. Pergi dari tempat ini tidaklah sulit. Tapi ke mana dia akan pergi? Dia memandang ke segala arah. Yang tampak hanyalah pegunungan berselimut salju yang lambat laun memudar dari putih menjadi kelabu dalam cahaya senja. Tak ada desa, bahkan tak ada sebatang pohon pun terlihat. Sambil memandangi seekor burung elang salju yang terbang di kejauhan, dia sampai pada kesimpulan yang sama setiap kali dia berpikir untuk kabur. Dia terpaksa tetap di Huangling kecuali kalau dia punya sayap. Maka dia bangkit dan pulang untuk meneruskan memasak makan malam bagi majikannya. Setelah menghidangkan makan malam Master Lan, si gadis memunguti makan malamnya sendiri dari atas salju. Lama dia berlutut dalam hawa dingin dan kegelapan untuk menemukan setengah dari lentil yang dibuang. Dia bersyukur tadi telah mencuri makanan naga. Tanpa taro dan bubur gandum itu, ia akan kelaparan. Kemu dian dimasukkannya lentil tersebut ke dalam sepanci air mendidih. Sebuah kantong kulit dipasang pada seutas tali rami yang sudah terburai ? menggantung di pinggangnya. Selain pisau yang sudah berkarat, kan tong itu berisi harta rahasianya, sebuah jepit rambut pemberian lakilaki yang biasa mengantar kebutuhan rumah tangga istana dua kali setahun, sepotong kayu lusuh berbentuk ikan, dan sehelai bulu burung elang putih. Dia mengeluarkan pisaunya dan merajang potongan jahe yang diambilnya dari makan malam tuannya. Ditambahkannya jahe itu ke dalam panci berisi taro dan bubur gandum. Kemudian dia pergi membereskan piring kotor di rumah Master Lan. Saat itu Master Lan sedang men dengkur di tempat tidurnya. Selain mengambil mangkuk dan cangkir anggur, si gadis juga mengambil lampu perunggu dari samping tempat tidur majikannya yang terlelap. Sekembalinya ke dapur, diambilnya sebuah guci kecil yang penuh terisi minyak lampu dari belakang tungku. Si gadis pun mengisi lampu miliknya sendiri. Dia pasti akan dipukuli habis-habisan kalau ketahuan selalu menyisihkan sedikit minyak untuk dirinya sendiri. “Ayo, Hua,” kata si gadis budak, seraya mengangkat dan memasukkan tikus itu ke dalam tuniknya. “Sambil menunggu makan malam kita matang, ayo kita keluar menjelajahi dunia.” Di luar dia melindungi lampu itu dengan tuniknya, untuk berjaga-jaga kalau ada petugas istana di sekitar situ. Walaupun kemungkinannya kecil sekali karena semua petugas itu sudah setua Lao Ma, dan mereka lebih suka tidur awal. Si gadis menunduk memasuki lubang di tengah belitan sulur-sulur tanaman yang membatasi istana itu dengan bangunan lainnya. Sulur-sulur itu juga menyembunyikan setiap kunjungan rahasianya ke istana dari pelayan lain. Si gadis mendongak ke langit yang gelap. Dia berharap awan akan melindunginya dari para dewa. Dia melangkah melintasi taman-taman yang gelap dan membuka pintu Balairung Bunga Zamrud. Si gadis menyusuri sebuah koridor gelap hanya dengan bantuan cahaya lampu yang menimbulkan bulatan terang kecil di lantai. Inilah kegiatan rahasia yang disukainya, menjelajahi istana sementara orang-orang lain tertidur. Master Lan selalu berkata bahwa Huangling kecil sekali jika dibandingkan Istanaistana di Chang’an, tapi bagi si gadis budak istana ini luar biasa luas. Dia memasuki ruangan yang berbeda setiap kali dia melakukan penjelajahan rahasia. Pernah dia masuk ke kamar Kaisar. Dia bahkan berani duduk di tempat tidur Kaisar yang seluas ladang gandum. Kali ini dia masuk ke sebuah balairung kecil tempat wanita-wanita istana, seandainya ada, menghabiskan hari-hari mereka. Ini salah satu ruangan favoritnya. Ketika dia mengangkat lampu, lingkaran cahaya berpindah ke dinding, menerangi lukisan gunung dengan sebuah bangunan sangat kecil di puncaknya. Gunung itu menjulang tinggi, di mana di setiap lerengnya terdapat
pepohonan kecil yang bungkuk dan berbonggol-bonggol, namun tetap terlihat indah. Si gadis mengangkat tikusnya supaya binatang itu bisa ikut melihat lukisan tersebut. “Menurutmu seperti itukah pemandangan dunia ini, Hua?” bisiknya. Si tikus menggerak-gerakkan kumisnya. Si gadis budak mengangkat lampunya lebih jauh sepanjang dinding, dan cahayanya menerangi sebuah hiasan gantung dari sutra. Hiasan itu bergambar pemandangan taman dengan danau dan jembatan berkelokkelok di atasnya, yang dipenuhi dengan bunga beraneka warna yang belum pernah dia lihat sebelumnya. “Apakah menurutmu bunga seperti itu benarbenar ada?” Si gadis ingin membayangkan bahwa di suatu tempat di dunia ini ada bunga-bunga seperti itu, tapi dia ragu bunga secerah dan secantik itu benarbenar ada. Pada musim panas, beberapa kuntum bunga peoni berbunga dengan susah payah di tamantaman Huangling yang tidak terawat, namun bunga-bunga di sini tampak lemas dan pucat dibandingkan bunga-bunga yang sangat indah di dalam lukisan taman. “Seperti itulah para pelukis membayangkan dunia ini,” dia berbisik kepada si tikus. “Tempat seperti itu tidak benarbenar ada.” Perutnya berkeruyuk. “Yuk kita pulang dan makan,” katanya. Sekembalinya ke dapur, si gadis memastikan minyak di dalam lampu tingginya masih sama seperti sebelumnya. Master Lan punya kebiasaan memeriksanya. Sambil membawa makan malam, dia berjingkat-jingkat masuk ke rumah tuannya, untuk duduk di dekat perapian. Hua keluar dari tempat persembunyiannya di balik tunik si gadis. “Ini, Hua, makanlah,” kata si gadis, seraya menaruh mangkuk makanan yang lebih kecil di dekat perapian. Tikus itu makan dengan rakus. Gadis itu ingat ketika pertama kali bertemu. Ketika itu dia begitu marah melihat tikus itu mencuri sepotong kaki ayam (yang dicuri si gadis dari Master Lan). Dia lalu membuat perangkap dari bambu, tapi setelah berhasil menangkap tikus itu, dia tak sampai hati membunuhnya. Tikus itu cukup manis dengan bulunya yang kelabu mengilap, sepasang kuping merah muda, dan ekor lancip. Maka dinamainya tikus itu Hua, yang berarti kuncup bunga. Ketika dia latih, tikus itu memberi respons yang sangat bagus. Lalu tak lama kemudian binatang itu menjadi sangat jinak dan merupakan satu-satunya sahabat karib si gadis. Ketika Master Lan mengetahui gadis budaknya mempunyai tikus peliharaan, dia menyuruh gadis itu membunuhnya. Sejak saat itu si gadis terpaksa menyembunyikan Hua di dalam lipatan tuniknya, agar tidak terlihat majikannya. Si gadis duduk di dekat perapian untuk menikmati makanan serta kehangatan api dalam damai. Inilah saat-saat yang paling disukainya. “Hidup kita lumayan enak kan, Hua?” Si tikus berbaring nyaman di depan perapian. “Kita sudah keluar melihat-lihat dunia, perut kita kenyang, dan kita bisa menghangatkan kaki di dekat perapian.” Tikus itu berguling telentang supaya si gadis bisa menggaruk perutnya dengan leluasa. “Dan kita saling menyayangi.”
Malam yang Mengerikan Keesokan harinya si gadis budak merasa bersalah karena mengambil jatah makanan kedua naga. Dia terseok-seok menembus salju, menuju gudang tempat Lao Ma baru saja selesai memerah susu kambing. Perempuan tua itu sudah rabun. Dia sama sekali tidak memerhatikan ketika si gadis mencelupkan mangkuk ke dalam ember berisi susu hangat. Si gadis turun ke lubang dan meletakkan mangkuk berisi susu di hadapan kedua naga yang sedang bergelung. Naga yang lebih besar mengangkat kepalanya. Sepasang mata kuning menatap ke arahnya. Baru pertama kali ini dia melihat si naga dari jarak sangat dekat. Naga itu menjilat sedikit susu, lalu menurunkan kepalanya lagi. Ketika si gadis budak hendak pergi, salah seekor naga melolong. Si gadis belum pernah mendengar kedua naga itu bersuara. Suaranya mengerikan, seperti suara orang mendencing-dencingkan dua mangkuk tembaga. “Kesepian,” sebuah kata tiba-tiba muncul begitu saja di benak si gadis budak, meski dia tidak tahu sebabnya. Dia menutupi telinga dengan tangan, mencoba memblokir suara menyedihkan itu. “Penderitaan.” Naga itu masih terus melolong. Hua memanjat keluar dari tunik si gadis dan kabur sambil men cicit. “Putus asa.” Kata itu bergema di dalam benak si gadis, meski dia tidak tahu persis apa artinya. Secercah cahaya muncul di puncak tangga. Master Lan turun tertatih-tatih, sementara Hua melesat di antara kedua kakinya. Lao Ma tidak mau ikut turun karena takut pada naga-naga itu. “Kauapakan mereka, anak nakal?” Lan berteriak. “Tidak saya apa-apakan,” sahut si gadis. “Saya memberi mereka makan semalam, seperti biasa,” katanya, dan dia menyesal telah berbohong. Master Lan mendekati kedua naga itu dengan takut-takut. Satu tangannya memegang lampu, satunya lagi memegang tongkat bambu untuk berjaga-jaga. Selop sutranya yang sudah lusuh berdecit ketika menginjak kotoran naga. Binatang itu melolong lagi, suaranya membuat si gadis ingin bergelung seperti bola dan menangis. “Itu pertanda buruk,” Lao Ma mengerang dari puncak anak tangga. “Mungkin dunia akan kiamat.” Dalam cahaya lampu, si gadis budak bisa melihat naga bermata kuning itu mendongak ke atap lubang sambil melolong. Naga satunya tak bergerak. Master Lan menyodoknya dengan tongkat bambu, tapi naga itu tetap bergeming. “Dia mati,” kata Master Lan. Naga itu melolong semakin nyaring. Lao Ma ikut meratap. “Ini salahmu,” Lan menempeleng kepala si gadis. “Kau tidak mengurus naga-naga ini.” Master Lan mengamati bangkai naga itu. “Sayang sekali. Binatang itu bisa dijual lima ribu jin pada pembeli yang tepat.” “Saya sudah berusaha sebisanya, Tuan,” kata si gadis, meski dia tahu sebenarnya dia bisa berbuat lebih banyak.
“Kau memang tak berguna. Jangan cuma berdiri di situ,” teriak Lan. “Bantu aku menyeret bangkai ini.” Si gadis budak ketakutan mendengar suara nyaring si naga, tapi dia lebih takut kepada majikannya. Pelan-pelan dia mendekati hewan yang sudah mati. Seketika hatinya dipenuhi kesedihan -juga rasa bersalah. Mestinya dia sudah menyadari kalau makhluk itu sakit. Master Lan mencengkeram ekor naga sementara si gadis memegangi salah satu kakinya yang bercakar. Itulah pertama kalinya dia menyentuh kulit bersisik seekor naga. Rasanya kasar dan kering seperti kulit yang dijemur terlalu lama. Kini, setelah naga itu terbaring membujur, ternyata dia lebih besar daripada yang dikira si gadis. Mereka dapat menyeret binatang itu ke kaki tangga, tapi mereka gagal mengangkatnya ke atas. “Panggil yang lainnya,” perintah Lan. Si gadis pergi untuk mengumpulkan staf istana lainnya. Hanya ada tiga orang, yaitu tukang kebun, tukang kayu, dan si tukang cat. Keempat lakilaki itu kemudian mengikatkan seutas tali di leher naga yang mati, dan menggeretnya naik. Bunyi tubuh mati yang terantuk-antuk batu membuat mual si gadis. Naga satunya melolong setiap kali mendengar bunyi benturan. Meski udara dingin, keempat orang itu terengah-engah dan berkeringat saat mengerahkan tenaga untuk menyeret bangkai naga itu melewati anak tangga, Belum pernah si gadis melihat majikannya mengeluarkan tenaga seperti itu. Meski sudah berusaha mati-matian, mereka tidak dapat menyeret naga itu sampai ke puncak tangga. Akhirnya si tukang kayu terpaksa membuat alat pengerek dengan roda dan tali. Dengan bantuan katrol ini, keempat orang itu mengerek binatang mati tersebut hingga pekarangan. Siang yang kelabu itu beranjak menjadi senja yang lebih gelap. Begitu juga hujan rintik-rintik berubah menjadi hujan es. Butir-butir dingin menyengat wajah dan tangan gadis itu, bagaikan jarum-jarum jahit. Butuh waktu seharian untuk mengeluarkan naga mati itu dari dalam lubang. Selama itu pula naga satunya masih terus memperdengarkan suara dencing seperti logam yang membuat gigi-gigi gadis itu bergemeletuk. Dia mulai berpikir dirinya harus mendengarkan suara yang menjengkelkan itu sepanjang sisa hidupnya. “Nyalakan api,” teriak si Pengurus Naga. “Apa yang akan Tuan lakukan?” tanya si gadis. “Jangan tanya!” hardik Lan, jubahnya berkibar-kibar tertiup angin. Lan beralih pada Lao Ma. “Ambil panci yang paling besar.” Si gadis sama sekali tidak mengerti apa yang akan dilakukan majikannya. Tapi Lao Ma sepertinya tahu. Dia menggelenggeleng dan memanjatkan doa memohon pengampunan. “Ada apa ini?” tanya si gadis seraya memandangi tuannya yang memerintahkan orang-orang mengambil kayu dan batu bara dari perapian. Tak lama kemudian, meski mulai turun hujan salju, api menyala berkobar-kobar di pekarangan. Orang-orang itu me naruh panci masak yang sangat besar di atas api dan mengisinya dengan salju. Naga satunya masih terus melolong dari dalam lubang. Suaranya menusuk-nusuk hingga ke tulang, melebihi dinginnya angin dan salju. Si gadis ingin merangkak pergi dan bersembunyi dalam gelap, tapi kejadian selanjutnya lebih buruk lagi. Bahkan jauh lebih buruk. Master Lan menyuruh si gadis mengambil kapak sementara lidah api semakin berkobar. Lan mengayunkan kapak ke naga itu. Darah ungu kental mengalir keluar. Kemudian Lan memotong jantung dan hati naga itu lalu menaruhnya di dalam mangkuk. Dari dalam lubang, lolongan naga satunya semakin nyaring. Si gadis budak menutupi kedua telinganya dan memanjatkan doa bagi roh sang naga.
“Bawakan aku bawang putih dan cuka,” teriak Lan. “Juga terong dan labu.” Lao Ma menggelengkan kepala. Lan menggeram seperti binatang. “Cepat lakukan.” Dicekalnya perempuan tua itu lalu didorongnya ke arah gudang makanan. “Kau ikut dengannya, anaktikus,” teriaknya. “Kalian berdua mesti patuh atau kubuat kalian jadi acar juga.” “Acar?” Si gadis tidak mengerti apa yang sedang terjadi. “Kenapa dia membuat acar?” tanyanya pada Lao Ma ketika mereka bergegas pergi ke gudang makanan. “Apa dia sudah sinting?” Lao Ma menyodorkan serenceng bawang putih dan sestoples cuka. “Dia ingin menyingkirkan bukti. Tanah masih terlalu keras untuk menguburkan mayat naga itu. Dia bisa menjual jantung, hati, serta tulang-tulang naga, tapi selebihnya mesti dimusnahkan. Kaisar tak menyukai naga, tapi kalau beliau sampai tahu bahwa Lan telah lalai menjalankan tugasnya sebagai pengurus naga, dia akan dihukum mati seperti ayahnya.” “Tapi kenapa dia tidak…” “Lakukan saja perintahnya, Nak.” Mereka cepat-cepat kembali dengan membawa apa yang diminta tadi. Awan tebal menyembunyikan bulan, dan si gadis merasa lega. Itu berarti tak banyak yang bisa dilihatnya pada saat pemusnahan bangkai naga itu. Sambil memotong, si Pengurus Naga terkekeh seakan sudah lama tidak melakukan kegiatan mengasyikkan seperti ini. Dilemparnya potongan daging dan darah naga yang mengental ke dalam panci mendidih. Kemudian disuruhnya si gadis memotong-motong sayuran berikut cuka dan bawang putih lalu memasukkannya ke dalam campuran mengerikan itu. Jemari si gadis terasa kaku dan canggung karena kedinginan. Dicobanya memusatkan pikiran pada butir-butir salju yang mendarat di lengan bajunya. Butir-butir indah itu sejenak terlihat seperti bintang yang sempurna, masing-masing berbeda, sebelum panas api melumerkan mereka. Namun butir-butir salju itu tak bisa mengalihkan perhatian si gadis dari pemandangan mengerikan ketika Lan membantai daging naga itu. Baunya yang pedas membuat perut kosongnya keroncongan, tapi membayangkan makan daging itu membuatnya mual. Keadaan di Huangling takkan pernah bisa sama seperti semula. Binatang-binatang liar di luar tembok istana melolong menyertai naga di dalam lubang dalam suatu paduan suara yang mengerikan. Lidah api menjilat di sekitar panci, menerangi wajah Lan yang berlepotan darah dan memantulkan matanya yang menatap nyalang. Ketika sedang mengaduk isi panci, dia tampak seperti setan. Kalau mereka tidak dihukum mati karena berkhianat, si gadis yakin mereka semua akan masuk ke neraka yang paling mengerikan karena telah memotong-motong naga Kaisar. Malam ini Huangling lebih mengerikan daripada neraka. 3 Si gadis membuka mata. Semalaman dia telah menantikan petir menyambar dari Langit atau pengawal Kaisar datang menyerbu. Tapi ternyata tidak terjadi apa pun. Awalnya dia mengira dirinya takkan hidup untuk melihat esok pagi, tapi bulatan matahari yang merah darah di langit timur membuktikan bahwa dugaannya keliru. Semalam dia tertidur di dekat api, yang kini hanya berupa sisa-sisa abu berasap. Dia merasa sangat kedinginan. Pakaiannya kaku karena es. Dilihatnya panci masak terguling miring dan kosong. Di sampingnya ada sebuah bentuk tak beraturan yang tertutup salju. Dalam cahaya subuh yang remang-remang si gadis tak bisa memastikan benda apa itu. Dia pun bangkit. Ketika langit semakin cerah, baru disadarinya bahwa yang dilihatnya tadi adalah setumpuk tulang berlumuran darah yang sudah hancur. Syukurlah naga satunya sudah berhenti melolong.
Hari itu si gadis memanjatkan doa kepada dewa-dewa, memohon pengampunan, dan berjanji akan merawat naga yang tinggal seekor itu dengan Perjamuan Kekaisaran baik. Master Lan sudah pergi turun gunung dengan membawa jantung dan hati naga dalam stoples, sedangkan tulangnya dimasukkan ke dalam karung. Stoples acar pun disembunyikan di dapur. Bahkan keesokan harinya masih tetap tak ada hukuman apa pun dari Langit atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Sedikitnya si gadis mengira akan dipukuli Master Lan, seperti biasa. Tapi ketika majikannya itu pulang, dia tidak menyebut-nyebut tentang malam ketika mereka membuat acar naga, “Mestinya aku lebih berhatihati waktu membelimu, anak tikus,” Lan berkata sambil memerhati kan si gadis budak membereskan guci-guci anggur kosong yang bertebaran di sekitar tempat tidurnya. Rambut majikannya, yang mestinya diikat erat di puncak kepalanya, terurai menutupi mata. Jubahnya kotor oleh anggur yang tumpah. “Aku tidak menyadari kau ini dikutuk.” Si gadis mencoba memunguti guci-guci itu dengan tangan kanannya. “Orangtuamu yang payah itu seharusnya bilang padaku bahwa kau kidal.” Mendengar orangtuanya disebut-sebut, si gadis menjadi gugup. Guci di tangannya jatuh dan pecah berkeping-keping. “Dasar tolol,” hardik Lan. “Pantas saja hargamu murah sekali. Sejak kau datang kemari, aku selalu bernasib sial.” Si gadis mencoba meyakinkan diri, tapi perasaan itu tak mau hilang - perasaan bahwa dirinyalah penyebab kematian naga itu. Dia tidak mengurus kedua naga itu sebaik dia mengurus binatang lainnya. Naga-naga itu selalu saja membuatnya tidak nyaman. Tapi dia berjanji pada dewa-dewa, dia akan lebih ramah pada naga yang tinggal satu itu. Pertama-tama, dia membersihkan lubang tempat tinggal sang naga. Dia harus bolakbalik mengeluarkan jerami yang sudah bau dan membawa ber-ember-ember air panas untuk menggosok lantai. Naga itu tampaknya tidak terlalu peduli, sampai si gadis mencapai pojok paling jauh di lubang itu. Tiba-tiba sang naga menjadi sangat gelisah, atau setidaknya si gadis mengira naga itu gelisah, karena dia memperdengar kan suara seperti orang memukul gong dengan cepat. Si gadis telah menyelundupkan lampu minyak ke dalam lubang, agar bisa bersih-bersih dengan tuntas. Lampu itu hanya memberikan satu titik cahaya, karena sinar nya terisap oleh batu-batu hitam yang kusam. Karena itulah si gadis terkejut saat melihat pantulan samar di sudut belakang lubang. Didekatkannya lampu untuk menyelidiki. Naga itu semakin cepat memperdengarkan suara berdencing-dencing. Terjepit di sebuah ceruk di bagian belakang lubang ada sesuatu berbentuk oval, seukuran buah melon, dan berlepotan kotoran naga. Si gadis mengambilnya. Rasanya dingin. Dibersihkannya benda itu sedikit dengan lengan baju lalu didekatkannya ke cahaya. Dia terkesiap. Benda itu indah sekali. Sebentuk batu besar berwarna ungu, dengan gurat-gurat halus putih susu yang menghilang hingga ke kedalamannya. Sebuah citra terbentuk di benak si gadis bentangan biru mahaluas. Entah apa itu. Citra itu datang dan pergi secepat kilat. Sebuah suara mengejutkannya. Suara gemuruh berat seperti orang menggebuk genderang dari logam tempa. “Jangan sentuh batu!” Dia memandang sekelilingnya, tapi suara itu sepertinya berasal dari dalam kepalanya, seperti pada malam pembantaian naga itu. Kali ini nadanya tidak sedih, melainkan marah.
Si gadis membalikkan badan. Di belakangnya sesosok monster mengerikan berdiri pada kaki-kaki belakangnya. Sepasang mata yang kuning menyipit hingga tinggal berupa garis. Gigi-giginya yang besar di pamerkan. Untuk pertama kalinya, si gadis merasa takut pada naga itu. Dikembalikannya batu itu ke dalam ceruk. “Aku tidak bermaksud mengambilnya,” dia terbata-bata, meski tidak tahu berbicara pada siapa. “Batu itu tidak berguna buatku.” Naga itu kembali berdiri di atas empat kakinya dan pergi ke tempat tidur jeraminya yang baru. Si gadis duduk diam, sementara debar jantungnya kini sudah lebih tenang dan kedua tangannya tidak gemetaran lagi. Lao Ma pernah menceritakan padanya berbagai kisah naga yang menjaga timbunan emas dan permata. Mungkin batu itu satu-satunya sisa harta sang naga. Dia mencoba mengingat-ingat citra yang tadi melintas dalam benaknya. Tapi semakin dia berusaha, semakin pudar citra itu jadinya, dan akhirnya dia sama sekali tak bisa mengingatnya. “Menurutmu naga suka makan apa, Hua?” malam itu si gadis bertanya kepada tikusnya. Dia sudah mencoba berbagai kombinasi sayur-sayuran supaya naga itu mau makan lebih banyak. Tetapi tetap saja naga itu cuma makan sedikit. Hua sedang menggerumiti sepotong tulang ayam temuannya. “Kau benar!” seru si gadis. “Dia mungkin berbeda dari binatang-binatang lain. Mungkin dia suka makan daging seperti kau.” Maka si gadis membawakan semangkuk bubur ayam miliknya sendiri untuk naga itu. Si naga tidak segera memakannya, tapi ketika si gadis kembali keesokan paginya, mangkuk itu sudah kosong. Setelahnya, dia membawakan daging kapan pun bisa, dan mencuri susu sesering yang berani dia lakukan. Dalam keadaan yang remang-remang itu, sulit melihat perkembangannya, tapi si gadis merasa keadaan naga itu mulai membaik. Dengan waktu dan kesabaran, mungkin naga itu akan memercayai dan menanti kedatangannya, seperti hewan peliharaan yang lain. M, Minggu demi minggu pun berlalu. Hujan salju sudah berkurang dan sesekali tampak sepetak langit biru pucat di antara awan. “Yang benarbenar dibutuhkan naga itu adalah udara segar,” si gadis budak berkata pada Hua suatu pagi. “Tapi semoga saja dia tidak mencoba kabur.” Saat Master Lan tidur siang, Lao Ma bekerja di dalam istana, dan pekerja lainnya pergi berburu, si gadis turun ke dalam lubang. Dia mengikatkan seutas tali di leher naga itu dan dengan lembut menuntunnya ke tangga batu. Kaki makhluk itu kaku karena jarang digunakan. Setiap langkah tampaknya membuat dia kesakitan. Si gadis membujuknya agar mau maju pelan-pelan, dan akhirnya mereka sampai juga di pekarangan. Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah-celah selimut awan, seperti air merembes dari ember yang retak. Naga itu menutupi mata dengan satu kaki depan. Baru beberapa saat kemudian matanya terbiasa dengan cahaya siang. Perlahan si gadis menuntun naga itu memutari pekarangan. Ayam-ayam yang terkejut berkotek dan berkepak menghindar. Ketika tampak celah yang lebih besar di awan dan cahaya matahari menerangi sepetak pekarangan, naga itu melangkah untuk berdiri di dalamnya. “Pasti sudah lama sekali kau tidak merasakan hangatnya matahari,” kata si gadis seraya menepuk-nepuk leher naga yang bersisik. Untuk pertama kalinya dia bisa melihat naga itu dengan jelas, dan mau tak mau dia terperangah. Naga itu lebih besar daripada yang dibayangkannya. Mulai dari hidung sampai ke ekor, panjangnya
seukuran tiga lakilaki, tapi tubuhnya melekuk dan melingkar seperti tubuh ular, sehingga dia bisa kelihatan jauh lebih kecil kalau dia mau. Tingginya tidak lebih dari tinggi seekor lembu muda. Ketika mengangkat kepala hingga mencapai tinggi maksimum, ternyata matanya sejajar dengan mata gadis itu. Dalam cahaya matahari, sisik-sisiknya berwarna biru-kehijauan, warna air di anak sungai yang dalam. Di kepalanya mencuat dua tanduk panjang berlekuk dengan ujung-ujung setajam jarum. Kumisnya panjang, bukan berupa rambut, melainkan helai-helai liat yang menjuntai di kedua sisi hidungnya yang bulat. Tubuhnya menyempit menjadi ekor berbentuk seperti ular. Beberapa jumput rambut panjang tumbuh dari belakang lututnya. Keempat kakinya yang kekar mempunyai telapak seperti kaki kucing yang besar, dengan bantalan empuk di bawahnya. Masingmasing kaki mempunyai empat cakar panjang yang tajam. Tidak seperti cakar kucing, cakar naga ini tidak ditarik ke dalam, melainkan selalu di luar dan tampak berbahaya. Gigi-giginya juga besar dan menakutkan, tapi bibirnya yang merah dan lembut itu membuat dia lebih terlihat seperti tersenyum daripada menyeringai kalau dia membuka mulut. Si gadis membawa naga itu ke pekarangan setiap hari. Setelah seminggu, dibiarkannya naga itu jalan-jalan tanpa tali leher. Dia juga jadi tahu bahwa naga itu senang kalau digaruk di bagian bawah dagunya yang lunak dan tidak bersisik. Dia akan memperdengarkan suara-suara berdencing pelan seperti logam, sama dengan suara yang diperdengarkannya kalau si gadis membawakannya susu. Suara itu seperti bunyi genta angin yang digantung di luar aula masuk istana untuk mengusir roh-roh jahat. Suara yang melankolis, tapi si gadis menganggap itu berarti sang naga senang. Kedamaian pekarangan itu dipecahkan oleh sebuah suara serak. “Di mana kau, anak sialan?” Master Lan sudah bangun rupanya. “Kau boleh tetap di luar sini sebentar kalau kau mau,” kata gadis itu kepada sang naga, Diikatnya naga itu ke sebuah palungan air, lalu dia lari menemui sebelum tuannya datang mencarinya. “Aku mau makan babi malam ini,” si Pengurus Naga berkata ketika si gadis datang terengah-engah. Waktu itu baru tengah hari, tapi di lantai sudah bertebaran guci-guci anggur. “Sekalian dengan acar lezat yang kubuat beberapa minggu yang lalu. Seka rang ini rasanya pasti sudah meresap sekali.” Itulah pertama kalinya Master Lan menyebut tentang acar itu. Sepertinya dia menganggap omongannya lucu sekali, sebab dia tertawa terbahak-bahak sampai jatuh dari tempat tidur. “Ambilkan anggur,” perintahnya sambil merangkak naik ke tempat tidur. “Tidak ada anggur lagi,” sahut si gadis. “Tuan sudah menghabiskan semuanya. Tuan harus menunggu sampai persediaan musim semi diantarkan.” “Aku butuh anggur lagi sekarang juga!” teriak si Pengurus Naga. “Ambil dari gudang Kaisar. Nenek tua itu akan memberitahukan tempatnya kepadamu.” “Tapi saya tak diperbolehkan masuk ke istana.” “Kau kuizinkan masuk ke sana.” “Saya tidak berani!” si gadis terkesiap. “Mencuri dari Kaisar bisa dijatuhi hukuman mati!” “Aku takkan bilang-bilang kalau kau juga tutup mulut.” Si Pengurus Naga terkekeh-kekeh bangga atas kecerdikannya sendiri. “Lakukan perintahku, atau kupukuli kau.”
Sang Kaisar adalah putra Langit, hanya selangkah lagi dia akan menjadi dewa. Si gadis yakin Kaisar pasti mengetahui segalanya, tentang kunjungan-kunjungan rahasianya ke istana pada malam hari, tentang saat dia duduk di tempat tidur Kaisar, juga tentang acar naga. Kaisar telah memutuskan untuk tidak menghukumnya atas kejahatan-kejahatannya yang sebelumnya, tapi menambahkan satu kejahatan lagi bisa-bisa dianggap menantang kesabaran Kaisar. Tapi dia tak punya pilihan. Lan adalah tuannya. Dia harus mematuhi Lan. “Ayo, anak sialan,” teriak Lan dan melempar batu tinta ke arahnya. Lemparannya meleset. Si gadis sudah berkali-kali masuk ke istana, tapi tidak pernah pada siang hari. Ketika dia mendekati istana itu, bisa dirasakannya sepasang mata memandanginya mata Langit. Si gadis menunduk memasuki celah di antara sulur tanaman wisteria. Setiap musim semi, selama suatu periode singkat, tanaman wisteria itu penuh dengan bunga berwarna ungu, namun selebihnya tanaman itu hanya berupa belitan kusut ranting-ranting tak berdaun. Ada jalan setapak yang mengarah ke Balairung Bunga Zamrud. Genta angin berkelintingan dalam embusan angin sepoi-sepoi, bunyinya seperti suara naga itu kalau sedang bahagia. Si gadis merasa sebaliknya. Tampak olehnya pintu-pintu istana yang dihiasi lu kisan dua dewa pintu. Pintu sebelah kiri diberi lukisan wajah pucat Yu Lei yang tampan; sementara di sebelah kanan adalah wajah saudaranya, Shen Tu, yang merah dan galak, dengan mata melotot. Pintu bergambar Shen Tu sudah setengah terlepas dari engselnya. Si gadis budak mendorong pintu sebelah kiri dan melangkah masuk. Cahaya matahari siang menyelinap melalui teralis rumit di jendela-jendela yang bersisi enam. Istana itu tampak kumuh dan tidak terawat dalam cahaya terang. Lentera besar berdebu menggantung di langit-langit kayu berukir. Meja-meja sempit yang disandarkan ke tembok memamerkan hiasan berukir halus yang seluruhnya terbuat dari batu zamrud hijau dan diselubungi banyak sarang labalaba. Tanaman-tanaman pot yang sudah layu berjajar di lantai batu. Si tikus menyembulkan hidungnya dari dalam tu-nik si gadis, mengendus-endus udara. “Aku senang kau ada di sini menemaniku, Hua.” Si gadis melintasi aula, menuju pintu di sisi se berang. Pintu itu mengarah ke sebuah kebun yang luas. Yang tampak di sana hanyalah dua pohon gundul dan sebuah kolam berair gelap dan beku. Selebihnya kebun itu tertutup salju. Ada sebuah paviliun merah hijau yang catnya sudah pudar dan mengelupas. Di tepi pekarangan ada jalan setapak beratap yang membuka ke pekarangan di sisi lainnya. Pilar-pilarnya dihiasi ukiran awan, dan sudah perlu dipoles cat baru. Si gadis berjalan sepanjang koridor sebelah barat. Bangunan utama istana menjulang di hadapannya, sehingga dia merasa bagaikan seekor jangkrik yang kecil. Atap rumah Master Lan begitu rendah dan hampirhampir bisa disentuhnya, sedangkan atap istana itu serasa menjulang sampai ke langit. Sudut-sudutnya menekuk ke atas dalam bentuk yang anggun. Di kedua ujung tulang atap terdapat ukiran kepala naga yang menyeringai. Kemudian ia melihat pintu yang dipoles dan dihiasi ukiran burung bangau, sebesar satu dinding penuh di rumah Master Lan. Si gadis tidak melewati pintu tersebut. Dia yakin anggur milik Kaisar tidak ada di situ. Dia memutari bangunan utama dan menapaki jalan setapak lain yang tertutup. Di sebelah kanannya ada jalan masuk menuju ke sebuah lorong. Pada salah satu kunjungannya kemari sebelum ini, secara tidak sengaja dia telah menemukan dapurdapur istana yang gelap. Rasanya di sanalah tempat yang tepat untuk mendapatkan anggur. Ke mana pun si gadis menoleh, yang tampak hanyalah tandatanda rumah yang
tidak terawat. Lao Ma sudah berusaha menjaga istana itu tetap bersih, tapi pekerjaan itu terlalu berat untuk seorang perempuan tua. Dia tak pernah lalai membersihkan, tapi begitu dia meninggalkan satu ruangan yang sudah bersih, debunya mengendap lagi. Lao Ma membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membersihkan keseluruhan istana, sampai ke titik tempat dia memulai. Penglihatan perempuan tua itu juga sudah semakin payah. Dia tak bisa melihat sarang labalaba yang menyelubungi lentera atau debu yang mengumpul di sudut ruangan. Tukang kebun, tukang cat, dan tukang kayu tidak serajin Lao Ma. Mereka sudah lama bertindak masa bodoh terhadap pekerjaan mereka. Si gadis pun berbelok di satu sudut, lalu berbelok lagi. Dia berdiri diam karena sama sekali tidak ingat di mana dapur berada. Ketika si gadis budak mulai berpikir bahwa dia lebih suka dipukuli majikannya daripada membuat Langit murka, Lao Ma muncul di ujung lain koridor itu. Dia melambaikan kedua tangannya seraya berseru nyaring dalam dialek khas desa asalnya. Si gadis budak tidak mengerti apa yang diucapkannya. Lalu perempuan tua itu menghilang di salah satu pintu. Tiba-tiba saja sekelompok lelaki muncul dari sudut. Si gadis budak tertegun. Gerombolan itu jumlahnya lebih dari sepuluh orang, Dia bertanya-tanya apakah dia sedang bermimpi. Siapa orang-orang itu? Dari mana mereka datang? Dua orang yang paling depan adalah pengawal yang memakai tunik merah pendek, celana panjang, dan rompi kulit. Mereka membawa tombak berpisau ganda. Satu pisaunya terpasang pada ujung tombak, satu lagi mencuat di sebelah kanan batang tombak. Pria-pria lainnya mengenakan jubah sutra berlengan lebar. Pita panjang berwarnawarni berkibar dari pinggang mereka. Mereka juga memakai hiasan kepala. Begitu mereka melangkah ke arah si gadis, salah satunya memukul gong. Si gadis menyadari mereka ini pasti orang-orang yang sangat penting. “Membungkuklah di hadapan Kaisar-mu,” teriak lakilaki yang memukul gong. Si gadis budak masih tertegun. Lakilaki yang membawa gong itu sekarang sudah cukup dekat se hingga dia bisa melihat jenggot panjang, serta sepasang alis orang itu yang menjungkit tajam. “Cepat membungkuk atau kau akan dipancung, budak,” teriaknya. Si gadis menjatuhkan diri ke lantai, bertiarap pada perutnya. Ketika rombongan itu berbaris melewati nya, langkah kaki mereka menerbangkan debu ke dalam matanya. Dia menunggu mereka lewat, tapi justru mendengar lebih banyak suara langkah mendekat. Dikerjap-kerjapkan matanya yang kemasukan debu, dan sekilas dilihatnya sebuah kaki berselop serta pinggiran jubah paling mewah. Bahannya dari satin hitam mengilap. Berbagai karakter serta gambar naga-naga disulamkan dengan benang-benang emas. Naga-naga itu agak timbul, seakanakan yang dijahitkan ke bahan itu adalah naga-naga kecil sungguhan. Selop sutranya disulam juga dalam benang-benang emas, berupa pola-pola spiral yang mengingatkan si gadis pada awan tipis di langit. Jantungnya berdebar begitu keras sampaisampai serasa akan meledak keluar dari dadanya. Pinggiran jubah indah serta selop cantik itu ternyata milik sang Kaisar sendiri. Rupanya dia mengetahui segala perbuatan jahat para pelayannya di Huangling. Itu sebabnya dia datang untuk menyaksikan mereka dihukum. Si gadis budak bangkit berdiri lalu lari sepanjang koridor, mencoba menemukan jalan keluar. Istana itu tiba-tiba saja menjadi hidup, seperti binatang yang terbangun dari tidur musim dinginnya. Sekarang dia malah berhasil menemukan dapur yang kini dipenuhi orang tak dikenal yang berteriak-teriak. Buah dan sayur-mayur ditumpuk di bangku-bangku. Daging ayam dan burung puyuh digantung. Belum pernah si gadis melihat makanan sebanyak itu. Para juru masak mengeluarkan alat-alat dapur dari laci panjang. Sementara para pelayan dapur menyalakan tungku dan mengangkat panci-panci ke atasnya. “Minggir, bocah.” Seorang lelaki bertubuh besar yang membawa sebongkah daging
sapi menabrak si gadis dan nyaris membuatnya terjatuh. Ada yang mulai menggeliat di bagian depan tunik si gadis. “Jangan bergerak,” bisiknya kepada si tikus. “Di sini memang baunya enak, tapi kita mesti keluar.” Si gadis mencoba kembali ke koridor, tapi seorang perempuan yang membawa golok mendorongnya ke samping, supaya ada ruang untuk memotong enam ekor ayam. Si gadis didorong dan ditabrak, disikut dan disenggol, hingga akhirnya dia terdesak keluar ke ruangan lain. Ruangan ini dua kali lebih besar daripada Balairung Bunga Zamrud, dan jauh lebih tenang daripada dapur. Tidak ada siapa pun di situ, kecuali seorang pelayan yang sedang menyapu lantai. Perabot yang ada pun hanyalah beberapa karpet berpola, sejumlah bantalan sofa berbordir, dan kisi-kisi lipat yang dipernis. Si gadis berdiri memandangi hiasan kisi-kisi itu. Bagian bawahnya bertatahkan mutiara yang disusun menjadi gambaran sebuah taman. Bagian teralis di puncak kisi-kisi diukir berbentuk burung dan kuncup bunga di ranting yang sangat halus, hingga sedikit sentuhan pun rasanya akan membuatnya patah. Dia mendengar langkahlangkah kaki dari arah lain, serta suara gong yang makin lama makin dekat. Si pelayan cepat-cepat keluar dari ruangan itu. Kedua kaki si gadis langsung gemetar. Hanya ada dua pintu di situ. Satu menuju dapur yang ramai. Dan dia yakin sebentar lagi Kaisar akan muncul dari pintu satunya. Hanya ada satu tempat untuk bersembunyi. Akhirnya dia berhasil juga menggerakkan kedua kakinya yang lemas, dan ber sembunyi di balik kisi-kisi berukir itu. Si gadis mengintip melalui celah-celah di ukiran teralis dan ketakutannya ternyata terbukti. Kedua pengawal berderap masuk dan berdiri tegap di kedua sisi pintu, Sang Kaisar dan para menterinya memasuki balairung. Si gadis mencoba tidak menatap wajah Kaisar, sebab dia tahu itu terlarang, namun dia tidak dapat menahannya. Kaisar ternyata lakilaki berwajah masam, mulutnya menekuk ke bawah dan sepasang matanya sangat kecil dengan daging tebal keriput di sekelilingnya. Wajahnya gemuk, dan tubuhnya besar sekali. Pikiran-pikiran seperti itu memang bisa membuat si gadis dipenggal, tapi dia tak bisa menghentikannya. Salah satu menteri, yang pitanya lebih banyak dan memiliki stempel jabatan dari emas, sedang berbicara kepada Kaisar dengan kepala ditundukkan. Dengan bantuan dua menteri lain, Kaisar duduk di atas tumpukan bantalan kursi berbordir. Sementara semua menteri mengambil tempat di belakang Kaisar. Sekonyong-konyong si gadis merasa takut dan perutnya mulas. Dua orang lain masuk. Salah satunya seorang perempuan kurus berbusana mewah seperti Kaisar, dengan lengan baju yang sangat lebar hampir menyentuh lantai. Dia duduk di samping Kaisar. Si gadis menduga perempuan itu pastilah Ratu. Orang satunya adalah lakilaki yang tampak kotor, dengan kulit gelap keriput khas orang yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di alam terbuka. Rambutnya kusut, terurai sampai ke bahu. Dia memakai kalung terbuat dari gigi-gigi binatang, dan pakaiannya dari kulit binatang yang disamak kasar. Bau badannya membuat si gadis ingin muntah. Orang itu membawa senjata dan di ikat pinggangnya menjuntai seutas rantai. Penampilannya seperti petani kasar, namun dia duduk berhadapan dengan Kaisar, seakanakan dia tamu terhormat, dan para menteri membungkuk ke padanya. Para pelayan masuk dari dapur dengan membawa nampan perak berkaki, berikut mangkuk berlapis emas dan sumpit gading mengilap. Dengan kepala di tundukkan mereka meletakkan nampan-nampan itu di samping Kaisar dan Ratu juga di antara para menteri. Tamu asing itu diberi nampan sendiri, seperti Kaisar. Lebih banyak lagi pelayan masuk membawa bermangkuk-mangkuk makanan panas mengepul serta berguciguci anggur. Semua orang harus menunggu sampai Kaisar makan hidangan pertama, barulah mereka boleh mulai makan. Mereka tak perlu menunggu lama karena Kaisar memasukkan makanan dengan cepat ke dalam mulutnya. Selanjutnya tiga pemusik masuk ke dalam ruangan itu dengan kepala tertunduk hormat. Salah satu pe musik membawa alat musik petik yang besar, menaruh alatnya
di lantai dan mulai memainkannya. Si gadis menduga alat musik itu sitar. Kedua pemusik lainnya mengiringi dengan lonceng-lonceng dan tetabuhan sementara semakin banyak makanan dibawa dari dapur. Si gadis menelan ludah ketika menghirup aroma semua makanan itu. Hidungnya mencium harum ikan, jahe, kecap, dan aroma sedap yang tidak dia kenali. Sudah lama sekali sejak dia makan bubur gandum waktu tengah hari tadi. Aroma itu saja sudah cukup untuk mengisi perutnya dan membuatnya tersenyum. Detak jantungnya menjadi lebih pelan. Segalanya akan baikbaik saja. Dia hanya perlu bersembunyi sampai Kaisar pergi. Lalu dia bisa kembali ke tempatnya sendiri. “Apakah Tuanku puas dengan singa-singa yang hamba kirim ke Chang’an?” lakilaki berpenampilan kotor itu bertanya. Menteri dengan stempel emas dipinggangnya beringsut maju sambil berlutut, dahinya menyentuh lantai di hadapan Kaisar. Kaisar pun membisikkan beberapa patah kata padanya. “Kaisar yang mulia merasa sangat senang, Tuan Diao,” menteri itu menjawab. “Singa-singa itu objek perburuan yang mengasyikkan, walaupun salah satunya menyeret seorang menteri sampai mati sebelum Kaisar yang mulia berhasil menombaknya.” Kaisar berbisik lagi. “Kaisar yang mulia ingin mendengar tentang ekspedisi Anda di negeri-negeri barbar.” “Hamba berkelana ke negeri-negeri di barat untuk mencari naga.” Di balik kisi-kisi, senyum si gadis memudar. “Sayangnya hamba tidak berhasil menemukan seekor pun, tapi hamba membunuh seekor binatang besar berbulu kelabu dengan dua tanduk putih yang meliuk sampai ke kedua sisi moncongnya yang panjang. Hamba membawa tanduk-tanduk itu kalau Yang Mulia ingin melihatnya.” Lalu lakilaki itu diam seraya memakan tiga mangkuk sup buntut sapi. Setelah itu dia menyeka mulut dengan lengan baju, dan dia kembali bicara pada sang menteri. “Apakah Kaisar sudah mempertimbangkan usulan hamba, Penasihat Agung?” Menteri itu kembali beringsut-ingsut maju untuk mendengar jawaban Kaisar. Kemudian dia berbalik dan membungkuk kepada tamu itu. “Kaisar yang mulia telah mempertimbangkan usulmu, Diao.” Penasihat Agung berusaha tersenyum pada lelaki yang tidak enak dilihat itu, tapi justru menampilkan ekspresi muak. “Beliau tidak bersedia menerima kurang dari empat ribu jin untuk setiap makhluk.” Diao mendengus dan meludah di lantai. “Jumlah yang sangat besar, Penasihat Tian,” jawabnya, “tapi saya hanyalah orang rendahan, dan kehendak Kaisar berarti kehendak Langit.” “Bagus,” kata Penasihat Agung, “Kami akan terbebas dari binatang-binatang jelek itu.” “Kaisar tidak menyukai naga?” tanya Diao. “Kaisar yang mulia tidak berminat pada naga,” sang menteri menjawab ketus tanpa bertanya dulu kepada Kaisar. “Tapi beliau percaya naga-naga itu akan lebih
berguna di tanganmu.” “Begitu.” Senyum merekah di wajah kejam Diao, memperlihatkan giginya yang keropos. “Otak naga bisa menyembuhkan hidung mimisan dan bisul. Hatinya bagus untuk disentri, terutama kalau dipotong langsung dari naga yang masih hidup. Air liur naga digunakan untuk membuat parfum.” Diao mengorek-ngorek giginya dengan sepotong tulang ikan. “Mereka binatang yang berguna.” “Pengetahuanmu tentang naga sangat luas, Diao,” komentar Penasihat Tian. “Saya ini pemburu naga, Sudah seharusnya saya tahu segalanya tentang mereka.” Si gadis tidak memercayai apa yang dia dengar. Kaisar akan menjual naga kepada si pemburu. Bagaimana nanti kalau sampai Kaisar tahu naganya tinggal satu ekor? “Tentunya sudah tidak banyak naga lagi di dunia ini,” kata sang Ratu. “Sejak dulu memang tidak pernah banyak,” sahut Diao. “Dan sekarang jumlahnya sangat sedikit. Naga liar pintar bersembunyi dari manusia.” “Cobalah ini, Tuanku,” sang Ratu berkata kepada Kaisar. Aroma yang kemudian melayang ke arah si gadis budak membuatnya terkesiap, karena dia mengenalinya. Aroma tajam pedas yang takkan dilu pakannya seumur hidup. Acar naga. Dengan ngeri dia memandangi Kaisar mencampur acar itu dengan ikan rebus, lalu mengambil sejumput dengan sumpitnya. Si gadis tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi dia yakin pasti akan gawat sekali. “Ini acar paling aneh yang pernah kumakan,” sang Ratu meneruskan. Kemudian dia menoleh ke Pe nasihat Agung, “Tian Fen, coba cari tahu, bahan apa saja yang menimbulkan rasa yang aneh itu,” Si gadis menahan napas. Inilah saatnya. Langit akan menghukumnya dan istana itu akan runtuh. Kaisar mengunyah ikan itu, lalu mengangkat bahu. Si gadis menghembuskan napas lega. Dia masih hidup. Istana ini juga masih berdiri. Si gadis menggumamkan doa syukur tanpa suara dan memeluk Hua kuat-kuat. Si tikus yang kaget menggigit jarinya. Gadis itu terpekik nyaring. Ruangan seketika hening. Para menteri menoleh ke kiri-kanan untuk mencari pengacau itu dan tatapan mereka jatuh pada pelayan yang sedang membawa setumpuk mangkuk kotor ke dapur. Pelayan yang ketakutan itu menggelengkan kepala dan menunjuk ke kisi-kisi. Kedua pengawal berderap ke arah tersebut dan menemukan tempat persembunyian si gadis. Si gadis budak merasa setiap pasang mata di ruangan itu terarah kepadanya, termasuk mata Kaisar. Kedua pengawal mengarahkan tombak kepadanya, seakan dia penjahat berbahaya. Sang Ratu menatap jijik pada gadis kampung kotor yang muncul begitu saja di ruang makan kekaisaran. Hidung Hua menyembul ke luar, mengendusendus udara yang berbau harum. Melihat si tikus, sang Ratu menjerit. Si Tikus pun terkejut, binatang itu menggeliat keluar dari tunik si gadis dan kabur ke seberang ruangan. Para pengawal lupa tentang gadis itu dan lari mengejar si tikus. Hua menghilang ke dalam lubang di bawah tembok. Melihat kesempatan ini, si gadis pun lari ke pintu, namun para pengawal sudah begitu dekat di belakangnya. Dia bisa merasakan tombak mereka menyodok punggungnya. Maka dia berhenti sambil mengangkat dua tangan lalu membalikkan badan. Ujung-ujung tombak itu berkilauan dalam cahaya redup matahari. Para pengawal mencengkeram kedua lengan si gadis sambil melotot, siap menombak kalau dia berani bergerak. Betapa bodohnya dia, mengira Langit tidak akan bertindak atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Kaisar adalah dewa di Bumi; dia mahatahu dan maha melihat. Selama ini dia pasti sudah tahu tentang
kematian naga itu. Si gadis berlutut. “Bukan salah saya hingga naga itu mati,” dia memohon. “Saya memberi makan dan mengganti jeraminya. Memang saya membantu membuatnya menjadi acar, tapi saya tidak punya pilihan. Kalau tidak membantu, Master Lan akan memukuli saya.” “Mati?” tanya Penasihat Agung. “Acar?” kata salah seorang menteri. “Tian Fen, bawa Master Lan ke hadapanku,” kata sebuah suara berat yang belum didengar si gadis. Ternyata suara Kaisar. Suara itu membuat si gadis sangat ketakutan. Entah bagaimana, dia menemukan kekuatan untuk melepaskan diri dari cengkeraman para pengawal. Dia pun berhasil kabur ke pintu sebelum mereka sempat menangkapnya lagi dan berhasil menemukan jalan di koridor-koridor istana tanpa tersesat. Dia sama sekali tidak menoleh untuk melihat apakah ada yang mengejar. Dia terus saja berlari. Pelarian Sambil berlari, berbagai pikiran berkelebat di benaknya, mulai dari perasaan takut bahwa dirinya akan mati, sampai kekhawatiran karena dia belum mencuci piring bekas makan tuannya. Semua pikiran itu campur aduk menjadi satu lalu hilang begitu saja. Namun ada satu pikiran utama dan tetap jernih di tengah segala kebingungannya. Dia harus menyelamatkan naga itu. Maka dia lari ke pekarangan tempat naga masih tertambat. “Cepat!” teriak si gadis seraya melepaskan ikatan tali dengan gugup. “Kau mesti kabur. Ada pemburu naga datang ke Huangling.” Naga itu tidak beranjak. “Cepat! Kau bebas sekarang. Para pengawal istana sebentar lagi pasti kemari.” Dia berhenti sejenak untuk menghela napas. “Si pemburu naga akan memotong hatimu dan mengambil jantungmu.” Ditariknya tali yang masih melingkari leher naga itu. “Kau Cuma punya waktu sedikit untuk melarikan diri.” Tapi binatang itu tetap tidak bergerak. Dia sama sekali tak mengerti ucapan gadis itu. “Jalan, binatang bodoh!” teriak si gadis; disabetnya pantat naga itu dengan ujung tali. Naga itu memperdengarkan suara gelisah, seperti orang memukul gong cepat-cepat. “Batu.” Kata-kata itu muncul tanpa diminta di benak si gadis. “Batu naga.” Entah bagaimana, si gadis yakin sekali bahwa naga itu menginginkan batu ungunya. “Jangan pikirkan batu itu,” teriaknya, mencoba menarik binatang keras kepala itu ke arah gerbang. “Selamatkan dirimu.” Si gadis tak sanggup membayangkan naga ini juga akan mati, tapi makhluk besar itu menolak mematuhinya. Naga itu bertahan meski ditarik, malah dia menarik balik ke arah lubang. Si gadis menyerah untuk membuat naga itu bergerak. Dia harus memikirkan keselamatannya sendiri dan men cari tempat bersembunyi, setidaknya sampai Kaisar dan para pengawalnya meninggalkan istana. Maka di lepaskannya ujung tali itu lalu dia berlari ke arah ger bang, tapi tiba-tiba dia teringat Hua. Dia tidak mau pergi tanpa Hua. Memang Hua hanyalah seekor tikus, tapi tikus itu sahabatnya, sahabat satu-satunya. Dan dia tikus yang pintar. Setiap kali si Pengurus Naga memergoki dan mengejarnya dengan besi pengorek api, dia akan bersembunyi di tempat yang tak pernah dimasuki Lan, di lubang naga itu.
Si gadis lari kembali ke lubang dan menuruni undakan. Matahari senja menyorotkan sinar redup pada sepetak kecil tanah di bawah tutup lubang yang berjeruji. Namun hanya itu. Akhirnya sambil tersandung-sandung, dia meraba dalam kegelapan, memanggil-manggil Hua. Bisa didengarnya suara mencicit pelan, jauh di kedalaman lubang, Dia menyentuh tembok lubang. Saat itu jemarinya merasakan sesuatu yang sejuk dan bulat. Batu naga. Pada waktu hamper bersamaan cakar-cakar kecil tajam menembus bahan tipis celana panjangnya, menusuk kulitnya. Si gadis tersenyum sendiri ketika Hua menyuruk masuk ke dalam lipatan-lipatan tuniknya. Dia lari kembali ke cahaya dan melompati dua anak tangga sekaligus sambil memegang batu yang terasa sejuk tadi. Ketika dia muncul dari dalam lubang, enam pengawal istana, lari masuk ke pekarangan dan mengepung naga itu. Beberapa membawa tombak, yang lainnya menghunus pedang. Terdengar pekik melengking sang naga. Si pemburu naga menyusul tak jauh di belakang para pengawal. Pelan-pelan dia maju menghampiri, dan si gadis bisa melihat ekspresi serakah di wajah jelek si pemburu yang sedang mengira-ngira nilai jualnya. Kemudian dia mengarahkan crossbow* pada naga itu. “Jangan!” teriak si gadis. “Jangan sakiti dia.” Si pemburu naga tertawa. Suara tawanya kasar dan tidak menyenangkan. Dia mendekati naga itu, sambil meletakkan Crossbow dan menarik seutas rantai besi dari sabuknya. “Besi itu panas,” tiba-tiba si gadis berpikir begi* Crossbow (dalam bahasa Cina: Zhugv-nu atau chu-ko-nij) adalah busur silang yang diberi nama sesuai ahli strategi china yaitu Zhuge Liang (181 - 234 M). tu, meski dia tahu pasti bahwa ini tidak benar. Diao melilitkan rantai pada kaki depan sang naga untuk membuatnya pincang. Pekikan naga itu jadi semakin keras, cepat, dan semakin melengking, hingga terdengar seperti logam robek. Suaranya membahana di sekeliling pekarangan. Si gadis menjatuhkan batu naga lalu menutupi telinganya, tapi sia-sia. Jeritan yang memenuhi benaknya jauh lebih buruk. Samar-samar dia menyadari batu itu bergulir di pekarangan berdebu hingga berhenti setelah menabrak palungan air. Jerit kesedihan di benaknya yang semula tak punya arti, kini mulai terbentuk menjadi kata-kata. “Batu naga. Selamatkan batu.” Kata-kata itu muncul di benaknya, tapi dia yakin sekali bahwa yang mengucapkan itu adalah naga itu. Rantai si pemburu menekan masuk ke dalam kulit naga yang bersisik, membuatnya berdarah. Diao melihat batu itu tergeletak di tengah debu. Dia berpaling kepada para pengawal. “Kencangkan rantai-rantai ini,” perintahnya. Sejenak para pengawal ragu, tidak tahu apakah mereka harus mematuhi perintah seorang pemburu rendahan. “Lakukan perintahku,” teriak Diao. “Naga Kaisar mesti diamankan.” Para pengawal seketika mematuhinya, sebab yang mereka lakukan ini untuk Kaisar. Si pemburu naga beranjak untuk mengambil batu naga itu. Ekspresi wajahnya penuh kemenangan, seperti orang serakah yang mendapatkan hasil melebihi yang selayaknya dia terima. Tapi si gadis budak lebih gesit. Dia lari ke arah batu itu dan memungut nya dengan tangan kiri sebelum batu itu sempat diambil. Sang naga berdiri di atas kedua kaki belakang dan mengibaskan rantai yang masih coba dipasangkan dengan susah payah oleh para pengawal. Diao ragu-ragu, sesaat kelihatannya dia tak bisa memutuskan mana yang lebih penting batu atau naga itu.
Akhirnya dia menyambar crossbow ketika si gadis melesat melintasi pekarangan. “Rantai naga itu!” teriak Diao, lalu lari mengejar gadis itu. Si pemburu dengan membawa crossbow berhasil menyusul si gadis da lam tiga langkah panjang. Dia mencengkeram lengan gadis itu dengan kekuatan yang bisa mema tahkan tulang. Sang naga mengeluarkan suara gemuruh marah dan merangsek dengan kaku ke seberang pekarangan, menginjak dua pengawal. Ketika sepertinya hendak menabrak dinding kandang lembu, dua sayap bagaikan sayap kelelawar raksasa, membuka dari punggung naga itu. Para pengawal melongo takjub ketika naga itu mengangkat dirinya ke udara dan terbang di atas mereka. Sekarang giliran Diao yang berteriak marah ketika melihat buruannya yang berharga itu lolos. Naga itu terbang ke angkasa dan menukik balik ke pekarangan. Para pengawal melompat menghindar, tapi si gadis hanya melongo terheran-heran. Selama ini dia tak pernah memerhatikan sepasang sayap naga yang dilipat begitu rapat. Diao melepaskan si gadis dan membidik si naga dengan crossbow. Sebatang anak panah menancap di bahu naga itu, membuat gerakannya sempoyongan. Dia terbang lebih rendah, menukik di atas kepala gadis itu. Si gadis mengira naga itu akan kandas di pekarangan, lalu dia merasakan sesuatu yang tajam menyodok tuniknya, menembus ke punggungnya. Tiba-tiba tanah di bawahnya lenyap dan kedua kaki nya menyapu atap kandang lembu. Dia melihat Master Lan di luar rumah nya, menengadah sambil mengacung-acungkan tinju sementara para pengawal Kaisar berusaha menangkapnya. Dia melontarkan caci maki yang tidak sampai ke telinga si gadis. Lan dan para pengawal itu menciut hingga tinggal seukuran patung-patung kecil, kandang pun kelihatan seperti kotak. Atap hitam istana tampak seperti cangkang kumbang hitam mengi lap. Si gadis budak merasa mual. “Turunkan aku, naga,” teriaknya, masih mencengkeram batu naga itu erat-erat. “Aku ingin berada di tanah lagi.” Naga itu membuat belokan tajam dan jantung si gadis serasa berpindah tempat. “Aku mau muntah,” teriaknya setelah mereka meninggalkan istana. Puncak Gunung Huangling di bawah sana terlewati sudah. Naga itu mengikuti tepian gunung. Lalu tiba-tiba saja gunung itu seperti menukik dan bergoyang-goyang ketika sang naga memilih tempat untuk mendarat. Si gadis menjerit dan memejamkan mata, “Aku akan mati,” katanya pada diri sendiri. “Tidak,” sahut sebuah suara di dalam benaknya. Naga itu mulai menggerakkan kaki dan mendarat sambil berlari. Dengan lembut diturunkannya si gadis di atas setumpuk salju halus. Sementara sang naga ter sungkur ke depan dan meluncur sampai berhenti pada hidungnya. Ketika kakinya telah kembali menginjak tanah si gadis merasa lega. Jemarinya yang kaku kedinginan masih memegang erat-erat batu naga itu. Namun kemudian dibiarkannya batu itu jatuh ke salju dan dia mencengkeram tuniknya, seakanakan dia mendadak merasa kesakitan. Apakah Hua terjatuh selama mereka terbang tadi? Apakah tikus itu tergencet sampai mati ketika mereka mendarat? Disentakkan leher tuniknya hingga terbuka. Tikus itu masih di sana. Kelihatannya bingung, tapi keadaannya baikbaik saja. Si gadis menatap naga yang sedang berusaha bangkit. “Gara-gara kau, aku bisa mati tadi… dan Hua juga!” teriak si gadis. Dengan kaki depan yang kanan, sang naga mencabut anak panah yang masih mencuat di bahu kiri nya. Dia melangkah dengan terhuyung-huyung.
“Kau mau ke mana?” tanya si gadis. Naga itu memperdengarkan suara berdencing-dencingnya yang aneh. Sebuah kata terbentuk di benak si gadis. “Gua,” Salju mulai turun. Karena tak punya pilihan, si gadis mengikuti naga itu. Mereka berjalan tersaruk-saruk di salju sampai akhirnya naga itu menemukan gua yang dicarinya. Begitu berada di dalam gua, sang naga ambruk kelelahan. Pakaian yang basah kuyup membuat si gadis menggigil hebat, kepalanya berdenyut-denyut dan gigi nya bergemeletuk. Dia merangkak menghampiri naga. Badan naga yang bersisik terasa keras dan kasar. Dalam jarak sedekat ini, baunya agak tidak enak, se perti campuran buah plum yang terlalu matang dan ikan asin, tapi tetap saja dia memberi sedikit kehangatan.
5 Takut Terbang Ketika bangun, si gadis budak mendapati dirinya terbaring di setumpuk lumut kering yang hangat. Dia berusaha berdiri, dan kaget karena kakinya sangat goyah. Tidak ada tandatanda keberadaan naga itu. Tapi di lantai gua tergeletak tiga ekor burung mati yang dijajarkan dengan rapi, sejumput rumput sereal, beberapa buah jamur, serta seikat rumput kering dan ranting. Si gadis melangkahi semua itu lalu pergi ke mulut gua. Naga itu terlihat sedang duduk di bawah matahari, sambil memeriksa apakah ada luka di sayap-sayapnya. Dia menoleh ke arah si gadis. Kedua matanya kini tampak berwarna cokelat gelap. Suara berdencingdencing menggemuruh jauh dari dalam dadanya. Telinga si gadis mendengarnya, bersamaan dengan itu, di pikirannya juga terdengar suara. “Api. Butuh api.” Si gadis mungkin saja tak mengerti apa yang terjadi padanya sejak kemarin, tapi menyalakan api dan menyiapkan makanan sudah biasa dia lakukan. Tugas itu membuatnya tenang. Dia ambil dua batang kayu dan sejumput rumput kering, lalu berlutut untuk membuat api. Setelah mencabuti bulunya, burung-burung itu dia tusuk dengan sebatang ranting dan dipanggangnya di atas api. Dia memetiki bulir-bulir gandum dari batang-batangnya dan memanggangnya dalam abu, berikut jamur-jamur. Dua burung dia berikan kepada sang naga. Mereka memang tidak berada di istana, tapi dia masih tetap berkewajiban memberi makan naga itu. “Terima kasih,” kata suara di dalam benaknya. Mereka makan dalam diam, kemudian memuaskan rasa haus dari kolam di dekat mulut gua, yang berisi salju cair yang telah mengumpul dalam sebuah cekungan kecil di batu-batunya. Namun si gadis tak bisa memusatkan perhatiannya pada segala kegiatan yang sudah biasa ini. Ingatannya lagi-lagi kembali pada berbagai peristiwa luar biasa yang terjadi kemarin. “Sejak malam pembantaian itu, aku terus mendengar suara-suara di dalam kepalaku,” katanya. “Kaukah yang bicara?” Naga itu memiringkan kepala. Dia mengamati si gadis dengan saksama, menimbangnimbang reaksinya.
“Kenapa selama ini aku tidak mendengar kau bicara?” “Tidak pernah bicara.” Si gadis mengamati sang naga yang dengan hatihati mengambil sebutir jamur. Cakar-cakar bagian dalam pada masing-masing kaki depannya bisa dibengkokkan hingga merapat, persis seperti jari telunjuk dan ibu jari. Sang naga memasukkan jamur itu ke dalam mulutnya. “Apakah kau punya nama, naga?” Makhluk itu memperdengarkan suara berdencing-dencing lagi. Dalam benaknya, si gadis mendengar suara naga itu. “Setiap orang punya nama.” Hua datang setelah mencari makanan, tertarik oleh harum daging panggang. Dia berhenti dan tertegun ketika melihat naga itu menatap ke arahnya. “Bahkan tikus pun punya nama.” “Aku tidak punya,” sahut si gadis. “Punya.” Kata itu berkumandang di dalam benak si gadis. Hua memanjat naik ke pakaian si gadis dan menghilang ke dalam tuniknya. Gadis itu menatap mata sang naga lekatlekat. “Bagaimana kau tahu?” Binatang itu mengulurkan satu kaki depannya ke arah leher si gadis. Si gadis mundur ketakutan. Hua bersembunyi di bawah ketiaknya. Kuku naga itu setajam pisau dan bisa memotong lehernya semudah juru masak istana mengiris daging sapi. “Jangan takut,” kata naga itu. Cakar naga itu menjentik kalung bambu yang dipakai si gadis di lehernya. Si gadis menatap huruf yang diukir pada bambu. Nyaris tidak kelihatan saking pudarnya. “Apa arti huruf itu?” suaranya hanya berupa bisikan. “Ping,” kata suara naga itu. “Itukah namaku?” Sang naga lagi-lagi memiri