Yusuf Budianto 0906636075
BAB 7-BAB 12
Adanya rencana pembuangan para “tahanan” Indonesia ke Tanah Merah membuat reputasi Belanda memburuk. Hal ini juga menimbulkan protes keras dari orang Indonesia, apalagi setelah tersebarnya rencana bahwa pada 21 Agustus 1945 Belanda akan membuang orang-orang Indonesia yang aktif secara politik ke Tanah Merah. Sehingga mereka pun menggerakkan serikat buruh Australia untuk membantu. Bahkan Dewan Pekerjaan dan Perburuhan Queensland pun turut meminta agar orang-orang Indonesia ini diperbolehkan tinggal di Australia sampai mereka dipulangkan ke Indonesia dengan kemerdekaan politik penuh dan hak untuk membentuk serikat-serikat buruh mereka sendiri. Di Bundaberg sendiri telah terjadi pemaksaan dari orang-orang Belanda agar orang-orang Indonesia mau masuk ke dalam pesawat yang akan membawa mereka ke Tanah Merah. Dewan Pekerjaan dan Perburuhan Queensland yang datang di Bundaberg melaporkan bahwa 10 orang Indonesia yang menolak masuk ke pesawat dipukuli dengan pentungan, ditinju dan juga dipukul oleh provost Belanda. Pada 29 September 1945, Bundaberg News-Mail memberitahukan bahwa orang-orang RAAF berkata bahwa mereka tidak melakukan hal-hal yang kasar terhadap orang-orang Indonesia, dan mereka hanya sedikit melakukan pemaksaan saja. Sekilas memang tampak bahwa serikat buruh Bundaberg bersimpati dengan pemberontakan orang Indonesia ini. Tapi ada kalanya mereka pun bertentangan dengan Indonesia. Misalnya pada 12 November 1945 dimana mereka mengeluarkan pernyataan bahwa mereka adalah sekutu dari orang Belanda. Pada tanggal 1 September 1945, Komite Sentral dari Komite-komite Kemerdekaan Indonesia mengeluarkan sebuah manifesto:
“Pengenaan kembali kekuasaan Belanda yang tidak demokratis dan tak kenal belas kasihan kepada rakyat Indonesia tidak bisa dan tidak akan pernah diterima oleh rakyat kita”
Manifesto yang disebarkan di kapal-kapal, depot-depot angkatan laut, kamp-kamp militer, serikat-serikat buruh maritim dan kantor-kantor pelayaran di Australia itu menyerukan agar orang-orang Australia dan orang-orang buangan Indonesia dengan sukarela membantu Indonesia. Pada bulan September, Dewan Pekerjaan dan Perburuhan Queensland menyatakan bahwa para pelaut Indonesia telah menolak untuk menjadi awak pada sebuah kapal perang Belanda yang kembali ke Indonesia. Terjadi juga kerusuhan kecil di atas kapal. Di sisi lain, saat negara Poros dapat dikalahkan, pasukan-pasukan Indonesia di Australia merasa tidak lagi punya kewajiban terhadap Sekutu. Sehingga mereka pun merasa bahwa kewajiban mereka sekarang itu adalah terhadap negara, yaitu Indonesia. Mereka pun meminta agar dikembalikan ke Indonesia sebagai WNI. Para prajurit Indonesia di Casino meminta agar mereka di bebas tugaskan, dan diberikan hak sebagai warga sipil di Australia saat menunggu pemulangan. Sayangnya, Belanda menolak semua tuntutan orang-orang Indonesia itu. Bahkan Belanda menangkap 100 orang Indonesia, dan juga melucuti seluruh senjata orang-orang Indonesia itu. Pada 19 September, Dewan Perburuhan mengusulkan agar para orang Indonesia itu dipulangkan ke Indonesia atau untuk sementara dipekerjakan di Australia sebagai tenaga sipil. Para buruh tidak kuat menunggu agar mereka kembali menjadi sipil, akhirnya sebanyak 230 orang menyatakan secara terangterangan bahwa mereka mendukung RI. Dan pada 2 Oktober, dilaporkan bahwa ada 23 marinir dan 30 pelaut yang ditangkap karena dianggap memberontak. Pada saat itu, ada 480 orang Indonesia yang diinternir di Casino, 100 orang di Penjara Geelong, dan 240 orang di Kamp Lytton.
Pertumpahan Darah Pada tanggal 17 April 1946, 480 orang tawanan yang merupakan orang Indonesia memprotes tentang makanan yang tidak layak. Protes itu ditindak oleh sekitar 300 orang Belanda dan Ambon yang menyerang orang-orang yang melakukan protes itu. 1 orang tewas dan 1 orang lagi terluka dalam peristiwa ini. Tanggal 12 September 1946, kembali lagi terjadi keributan di Casno. Serdo terbunuh oleh 18 peluru dari senapan mesin ringan yang bersarang di tubuhnya. Menteri Imigrasi Calwell saat itu mencoba membebaskan orang-orang Indonesia di Casino itu dengan cara mengajukan persoalan itu kepada Belanda. Bahkan dengan keras sampai ancaman bahwa penguasa Australia akan mengambil tindakan untuk menyingkirkan pengawal-pengawal itu. Usaha Calwell berbuah hasil. Pada November 1946, ada 227 orang yang diangkut ke Brisbane untuk dipulangkan. Sedangkan sisanya yang berjumlah 335 orang menyusul diangkut menggunakan kapal untuk pulang ke Indonesia.
Pemboikotan Prakarsa-prakarsa dari orang Indonesia mendorong diambilnya Keputusan Partai Komunis Australia untuk mengerahkan dukungan serikat-serikat buruh transport maritim,
galangan kapal
dan darat
untuk
kepentingan
para
„pemberontak‟ Indonesia. Kuatnya partai ini, sampai pada 23 Agustus disebutkan bahwa Gerald Peel menulis tentang dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia. Pada 23 September, dua orang Indonesia yaitu Prowito dan Slamet bertemu dengan Michael Healy dan juga para pejabat-pejabat penting Brisbane dan dari Federasi Buruh Tepi Air dan Serikat Industri Buruh Bangunan. Mereka membicarakan tentang taktik yang akan dipakai oleh para pelaut Indonesia untuk meninggalkan kapal-kapal Belanda. Sedangkan di Sydney pada 20 September terjadi pula pertemuan yang serupa yang menghasilkan kesimpulan bahwa serikat buruh di sana menolak kolonialisme Belanda. Pertemuan ini mengambil resolusi yang menganjurkan
kepada kaum buruh tepi air agar melakukan embargo terhadap semua kapal yang membawa mesiu atau perbekalan perang lain yang digunakan untuk melawan pemerintah Indonesia. Dan juga resolusi ini menyerukan agar Dewan Perburuhan mendukung perjuangan ini dengan mengirim utusan kepada Konsul Belanda untuk menuntut agar rakyat Indonesia diberikan hak memilih dan memiliki pemerintahan sendiri. Mereka pun menyatakan bahwa “Membantu Belanda dengan cara apapun berarti membantu imperialisme Belanda yang tamak dan melawan demokrasi Indonesia”. Pemboikotan yang dilakukan oleh kaum buruh tepi air terhadap 7 buah kapal Belanda di Brisbane ini dengan cepat menjalar kemana-mana. Misalnya ke serikat-serikat buruh yang anggotanya melayani industri maritim seperti tukang mesin, tukang kayu, dan lain-lain. Di sisi lain, kaum buruh tepi air Melbourne yang tidak banyak mengenakan pemboikotan seperti di Brisnane memuatkan peti-peti berisi mata uang logam perak, tembaga, dan uang kertas rupiah bergambarkan Ratu Belanda. Uang ini sama bernilainya dengan senjata. Uang ini pun berhasil mendarat di Tanjung Priok, tapi gagal untuk kembali ditegakkan di dalam masyarakat. Pada 15 Maret 1946 dilaporkan bahwa koresponden Associated Press America memberitakan bahwa usaha-usaha Belanda untuk menegakkan kembali mata uangnya di Indonesia mengalami kegagalan. Pada tanggal 27 September, Dewan Pekerjaan dan Perburuhan New South Wales di Sydney memutuskan bahwa tuntutan-tuntutan kebebasan dan kemerdekaan orang-orang Indonesia ini sesuai dengan Piagam Atlantik. Sehingga dengan itu, Dewan mendukung pemboikotan terhadap kapal-kapal Belanda. Ia juga memberi tahu kepada Konsul Jenderal Belanda bahwa anggota serikat buruh New South Wales menentang kolonialisme. Di Sydney ini sebenarnya pemogokan dilakukan sebagai suatu demonstrasi demi RI yang berdasar kepada Piagam Atlantis. Pada 25 September sendiri sebenarnya kaum supir truk Sydney mengatakan bahwa mereka akan memboikot pelayaran dan kedinasan Belanda.
Hitam Dewan Pekerjaan dan Perburuhan New South Wales pada waktu itu adalah wakil dari sekitar 250.000 anggota serikat buruh dan cabang dari negara bagian yang paling berpengaruh dalam Dewan Serikat Buruh Australia. Lalu, tersebar sebuah brosur dari Frank Kelly (seorang pejabat sekretaris Dewan Pekerjaan dan Perburuhan dan anggota partai Buruh) yang berisikan:
“Lepaskan Indonesia! Berikan segala bantuan demi tuntutan kemerdekaan orang Indonesia! Berdirilah bersama Gerakan Serikat Buruh Indonesia!”
Dewan Pekerjaan dan Perburuhan juga mengeluarkan perintah kepada para anggota serikat buruh. Peraturan ini: 1. Para serdadu dan perwira Belanda tidak boleh menerima transport. 2. Tidak boleh ada mesiu Belanda yang disentuh. 3. Tidak boleh dilakukan servis pesawat dan kapal-kapal Belanda. 4. Tidak boleh menyediakan perbekalan untuk kapal-kapal, kantor-kantor, kantin, kantin, dan untuk para personal. 5. Perwira atau pelaut Belanda tidak boleh diantar ke kelapa atau dari kapal.
Hal ini terus terjadi. Dan seakan-akan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan Belanda itu “hitam”. Sebagai tambahan, ada sekitar lebih dari 30 serikat buruh yang diajak untuk mengambil tindakan-tindakan pemboikotan terhadap Belanda. Dan ternyata tidak hanya kapal yang di boikot. Pada tanggal 31 Oktober 1945, 16 pesawat terbang Catalina turut terkena boikot di pangkalan Rose Bay oleh Gabungan Serikat Teknik Mesin, Organisasi Ahli Mesin Australia, Serikat Buruh Listrik, Serikat Buruh Pelat Logam, dan Serikat Buruh Transpor.