STUDI ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK NO. 768/Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. TENTANG HAK HADHANAH BAGI ANAK YANG BELUM MUMAYIZ. SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : ASMUNI NIM. 2102116
JURUSAN AKHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2008 ix
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARIAH SEMARANG Jl. Raya Ngalian Boja KM. 03 Semarang Telp. (024) 7601291 PENGESAHAN Skripsi Saudara
: Asmuni
Nomor Induk
: 2102116
Judul
: Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/ Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. Tentang Hak Hadhanah Bagi Anak yang Belum Mumayiz
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri
Walisongo
Semarang,
dan
dinyatakan
lulus
dengan
predikat
Cumlaude/ Baik/ Cukup, pada tanggal : 23 Januari 2008 Dan dapat diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S-1) tahun akademik 2008. Semarang, 23 Januari 2008 Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Drs. Rokhmadi, M.Ag NIP. 150 267 747
Drs, Saekhu, M.H. NIP. 150 268 217
Penguji I
Penguji II
Hj. Rr. Sugiharti, S.H, M.H NIP. 150 104 180
Drs. Miftah, M.Ag NIP. 150 218 256
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Eman Sulaeman, M.H. NIP. 150 254 348
Drs. Saekhu, M.H. NIP. 150 268 217
ix
ABSTRAK
Mengasuh dan memelihara anak merupakan kewajiban dan tanggung jawab kedua orang tua hal itu telah dijelaskan dalam pasal 45 Undang-undang Perkawinan begitu juga dalam hukum Islam menegaskan bahwa menjaga keturunan merupakan salah satu tujuan syariat Islam. Ketika orang tua masih dalam satu ikatan perkawinan, pengasuhan anak dapat dilaksanakan secara bersama-sama namun bila terjadi perceraian antara kedua belah pihak maka sering kali anaklah yang menjadi korbannya, untuk itu Undang-undang maupun hukum Islam telah memberikan aturan tentang hak hadhanah anak ketika terjadi perceraian. Dalam pasal 105 huruf (a) dan (c) serta pasal 156 huruf (a) sampai (d) menerangkan bahwa anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hak hadhanah dari ibunya serta semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuan sampai anak tersebut dewasa. Begitu juga dalam pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa kewajiban orang tua dalam mendidik anak berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Dalam hal keterkaitannya dengan masalah putusan No. 768/Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. Tentang Hak Hadhanah Bagi Anak yang Belum Mumayiz, majelis hakim mempunyai pandangan yang berbeda bahwa Majlis Hakim memutuskan hak hadhanah anak yang belum mumayiz jatuh kepada ayahnya bukan kepada ibunya. Jenis penelitian yang kami gunakan adalah Field Research (penelitian lapangan), dan pengumpulan datanya melalui dokumentasi dan wawancara (interview) serta didukung dengan buku-buku dan semua literatur yang relevan dengan persoalan yang dibahas dalam skirpsi ini. Penelitian yang kami peroleh bahwa Majlis Hakim mendasarkan putusannya tidak berdasarkan pada Undang-undang yang ada namun mereka lebih condong kepada kenyataan yang muncul dalam persidangan yaitu dikaitkan terhadap sikap dari pihak ibu yang selalu menghalang-halangi ayah untuk bertemu anaknya serta ketidak mampuan seorang ibu memberikan nafkah karena ibu tidak bekerja. Putusan Majlis Hakim memberikan hak hadhanah kepada ayahnya sebenarnya sudah tepat namun ada yang tidak diperhatikan oleh Majlis Hakim bahwa segala putusan selain memuat alasan-alasan dan dasar juga memuat pasal-pasal dari peraturan yang berlaku sebagaimana pasal 62 ayat (1) No. 7 Tahun 1989.
ix
MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO
ﻋ َﻠ ْﻴﻬَﺎ ﻣَﻼ َِﺋ َﻜ ٌﺔ َ ﺤﺠَﺎ َر ُة ِ س وَا ْﻟ ُ ﺴ ُﻜ ْﻢ َوَا ْه ِﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻧَﺎرًا َو ُﻗ ْﻮ ُدهَﺎ اﻟﻨﱠﺎ َ ﻦ َأ َﻣ ُﻨﻮْا ُﻗﻮْا َا ْﻧ ُﻔ َ ﻳَﺎ َا ﱡﻳﻬَﺎ ﱠاﻟ ِﺬ ْﻳ (٦ : ن )اﻟﺘﺤﺮﻳﻢ َ َﻣ ُﺮ ْو Artinya
ن ﻣَﺎ ُﻳ ْﺆ َ ﷲ ﻣَﺎ َا َﻣ َﺮ ُه ْﻢ َو َﻳ ْﻔ َﻌُﻠ ْﻮ َ نا َ ﺼ ْﻮ ُ ﺷﺪَا ٌد َﻻ َﻳ ْﻌ ِ ظ ٌﻼ َﻏ ِ
: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka san selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim : 6)
PERSEMBAHAN Tiada hal yang paling indah dan berharga kecuali rasa syukurku kepadaMu Ya Rabbi. Skripsi ini penulis persembahkan untuk : Bapak dan ibu penulis serta saudarasauda penulis yang telah memberikan bimbingan dan semangat untuk sahabat-sahabat dan teman-teman penulis seperjuangan yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Terima kasih untuk semuanya …
ix
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 8 Januari 2008 Diklarator
ASMUNI NIM. 2102116
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah
SWT. Yang senantiasa menerima taubat hamba-
hambanya yang ingin kebijakan, kedamaian, dan kesejahteraan hidup didunia dan akhirat. Sesungguhnya tiada kasih yang melebihi kasih Allah. Tiada perhatian yang mengungguli perhatian Allah. Adalah hamba yang bodoh bila tak tahu berterima kasih atas segala kemurahan dan karuniaNya. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah untuk Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya. Merupakan kegemberiaan dan kebahagiaan tersendiri bagi penulis dengan diberikannya kesempatan bagi penulis oleh Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang untuk menulis sebuah karya ilmiah (skripsi) khususny yang berkaityan materi “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. Tentang Hak Hadhanah Bagi Anak yang Belum Mumayiz”. Guna memenuhi tugas dan melengkapi syarat untuk memperoleh gelar sarjana S-1 dalam ilmu Syari’ah, terutama jurusan AS (Akhwal Al-Syakhsiyah). Ketika penulis masih dalam proses penulisan skripsi ini, banyak bantuan dan sumbangsih dari berbagai pihak hingga terselesainya skripsi ini, tanpa mengurangi maksud jasa dan keikhlasan mereka, perkenankanlah pada kesempatan ini penulis mengungkapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, atas kebijaksanaannya dalam memimpin dan membina Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Drs. H. Eman Sulaiman, M.H, yang bertindak sebagai pembimbing satu, serta Bapak Drs. Saekhu, M.H, yang banyak memberikan pandangan dan pengarahan yang amat bermanfaat bagi penulis. 3. Bapak Ibu dan saudara-saudara serta teman-teman yang telah banyak berkorban baik moral maupun material sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di IAIN Walisongo Semarang.
ix
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ..........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ...........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................
iii
HALAMAN ABSTRAKSI ................................................................................
iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................
v
HALAMAN DEKLARASI ................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................
vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................
viii
BAB
BAB
I
II
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................
1
B. Rumusan Masalah ..........................................................
7
C. Tujuan Penulisan Skripsi.................................................
7
D. Telaah Pustaka ...............................................................
8
E. Metode Penulisan Skripsi................................................
10
F. Sistematika Penulisan Skripsi .........................................
12
: TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH A. Pengertian Hadhanah .....................................................
14
B. Dasar Hukum Hadhanah ................................................
16
C. Syarat-syarat Hadhanah .................................................
19
D. Urutan Orang yang Melakukan Hadhanah .....................
22
E. Masa dan Upah Hadhanah .............................................
24
ix
BAB
III
: PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK NO. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. TENTANG HAK HADHANAH BAGI ANAK YANG BELUM MUMAYIZ. A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Demak ..................
29
B. Proses penyelesaian No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Di Pengadilan Agama Demak .............................................
34
C. Pertimbangan Pengadilan Agama Demak No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. ........................................................
46
D. Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Demak dalam Perkara No. 768/Pdt.g/ 2003/ PA. Demak .. ...................
BAB
IV
50
: ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK NO. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. TENTANG HAK HADHANAH BAGI ANAK YANG BELUM MUMAYIZ. A. Analisa
Terhadap
Proses
Penyelesaian
Perkara
No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk ................................... B. Analisis
Terhadap
Pertimbangan
Hukum
53
Hakim
Pengadilan Agama Demak No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk ................................................................................
60
C. Analisis Terhadap Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Demak No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk ..........
BAB
V
69
: PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................
74
B. Saran ...............................................................................
75
C. Penutup ...........................................................................
76
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu sunah dari beberapa sunatullah yang ditetapkan pada hamba-Nya1 untuk mengatur hubungan suami istri yang baik, pernikahan juga media untuk menjaga kehormatan, keturunan serta kehidupan yang kekal, jika suami istri mau melaksanakan dan memenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Adapun perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam diartikan suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqhan ghalidhon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.2 Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam melaksanakan Undang-undang ini, suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material, adapun tujuan perkawinan menurut agama Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, bahagia dan sejahtera, artinya terciptanya hubungan 1 2
Sayid Sabiq, Fiqih Sunah, Bandung : Al Ma’arif, 1980, Jilid 6, hlm. 7. Kompilasi Hukum Islam, Bandung : Fokus Media, 2005, hlm. 7.
1
2
lahir dan batin, sehingga timbul kebahagiaan dan kasih sayang antara anggota keluarga. Disamping itu perkawinan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia di dunia ini berlanjut dengan melalui perkjawinan akan mendapatkan anak serta mengemabngkan keturunan secara sah dan memenuhi naluri kebapakan dan keibuan yang dimiliki seseorang dalam rangka melimpahkan kasih sayangnya. Sebagai mana firman Allah dalam surat An Nahl ayat 72 :
ﻦ َ ﺣ َﻔ َﺪ ًة َو َر َز َﻗ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َ ﻦ َو َ ﺟ ُﻜ ْﻢ َﺑ ِﻨ ْﻴ ِ ﻦ َا ْز َو ْ ﺟ َﻌ َﻞ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َ ﺟﺎ َو ً ﺴ ُﻜ ْﻢ َا ْز َوا َِ ﻦ َا ْﻧ ُﻔ ْ ﺟ َﻌ َﻞ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َ ﷲ ُ َوا ﻻ
ط
ِ ﻄ ِّﻴ َﺒﺎ اﻟ ﱠ (٧٢ : ن )اﻟﻨﺤﻞ َ ﷲ ُه ْﻢ َﻳ ْﻜ ُﻔ ُﺮ ْو ِ ﺖا ِ ن َو ِﺑ ِﻨ ْﻌ َﻤ َ ﻃ ِﻞ ُﻳ ْﺆ ِﻣ ُﻨ ْﻮ ِ ت َا َﻓﺒِﺎ ْﻟﺒَﺎ Artinya : “ Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rizki dari yang baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?” (An Nahl : 72)3 Dari uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa perkawinan tidak hanya untuk mengembangkan keturunan secara sah akan tetapi harus disertai dengan tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anaknya. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak.4 Pada dasarnya pemeliharaan anak (hadhanah) merupakan tanggung jawab kedua orang tuanya, namun dalam konsep Islam membedakan bahwa mengenai
3
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemah, Jakarta : 1993,
hlm. 412. 4
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, cet. 3,
hlm. 235.
2
3
tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut, karena itu suami dan istri dalam memelihara anak dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa. Sebagaimana dalam kompilasi hukum Islam pasal 98 ayat 1, menjelaskan bahwa batas usia anak yang mempu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawianan. Namun bila terjadi perceraian suami istri, dan mempunyai anak yang belum mumayyiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya)5 maka istrilah yang berhak mendidik dan merawat anak itu, karena ia lebih berpengalaman dan lebih sabar dalam hal tersebut.6 Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Amr dikatakan :
ن ﺳ ْﻮ ُل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠّﻢ ِا ﱠ ُ َﻳﺎ َر: ﺖ ْ ن ا ْﻣ َﺮَا ًة َﻗﺎ َﻟ ﻋ ْﻤ ٍﺮ َا ﱠ َ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﷲ ﺑﻦ َ ﻦ ْﻋ َ َ ﺳ َﻘﺎ ًء َو َز ِ ﺣ َﻮا ًء َو َﺛ ْﺪ ِﻳﻰ َﻟ ُﻪ ِ ﺠ ِﺮي َﻟ ُﻪ ْﺣ ِ ﻋﺎ ًء َو َ ﻄ ِﻨﻰ َﻟ ُﻪ ِو ْ ن َﺑ َ ا ْﺑ ِﻨﻰ َه َﺬا َآﺎ ﻋ َﻢ َا ُﺑ ْﻮ ُﻩ َا ﱠﻧ ُﻪ ِ ﻖ ِﺑ ِﻪ َﻣﺎ َﻟ ْﻢ َﺗ ْﻨ ِﻜ ﺣﱞ َ ﺖ َا ِ ﻰ َﻓ َﻘﺎ َل َا ْﻧ ِّ ﻋ ُﻪ ِﻣﻨ َ َﻳ ْﻨ َﺰ )واﺣﺮج اﺣﻤﺪ واﺑﻮ داود واﻟﺒﻴﻬﻘﻰ واﻟﺤﻜﻢ.ﺤﻰ (ﺻﺤﺤﻪ Artinya : “Dari Abdullah bin Amr, bahwa seseorang perempuan bertanya : “Ya Rasulullah, sesungguhnya bagi anak laki-lakiku ini perutkulah yang menjadi bejananya, lambungku yang menjadi pelindungnyadan rusukku yang menjadi minumannya tetapi tiba-tiba ayahnya merasa 5
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung, Sinar Baru Al Gensindo, 1994, cet. 27,
hlm 423. 6 Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta, Pustaka Al Khautsar, 1998, cet. 1, hlm.454.
3
4
berhak untuk mengambil dariku”. Maka sabda-nya “Engkau lebih berhak terhadanya selama engakau belum kawin dengan orang lain”.7 (HR. Ahmad Abdullah Baihaqi dan Hakim dan dia mensahkannya) Hal itu sejalan dengan pendapat Sayyid Sabiq, bahwa jika terjadi perpisahan antara ibu dan ayah sedang mereka ini punya anak maka ibulah yang lebih berhak terhadap anak itu dari pada ayahnya selama tidak ada suatu alasan yang mencegah ibu melakukan pekerjaan hadhanah tersebut, atau karena anak telah mampu memilih apakah mau ikut ibu atau bapak.8 Atas dasar inilah bahwa ibulah yang lebih berhak untuk memelihara anaknya, selama ibunya itu tidak menikah lagi dengan laki-laki lain. Apabila ibunya menikah maka praktis hak hadhanah tersebut beralih kepada ayahnya, sebab ibu anak terseut menikah, maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru, dan atau bahkan mengorbankan anak kandungnya sendiri.9 Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 41 yang menyatakan bahwa : akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan
mengenai
penguasaan
anak-anak,
pengadilan
keputusannya.
7
Abu Dawud, Sunah Abu Dawud, bairut, Libanon, Dar al Fukri, 1996. 252. 8 Sayyid Sabiq, Op cit, Jilid 8, hlm. 175. 9 Ahmad Rofiq, Op cit, hlm. 251
4
memberi
5
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.10 Kaitannya dengan kewenangan pengadilan agama mengenai perkara hadhanah tersebut, telah ditentukan dalam Undang-undang No. 3 tahun 2006 pasal 78 huruf (b) yang menyatakan bahwa : selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat pengadilan dapat (b) menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak. Dan hal ini pun telah dipertegas dalam KHI pasal 156 huruf (a) dan (c) bahwa : (a) anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya digantikan oleh wanita garis lurus ke atas dari ibu, ayah, wanita harus lurus ke atas ayah, saudara perempuan dari ayah, dan (c) apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keslamatan dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. Dengan adanya KHI ini yang merupakan penegasan ulang atas ketentuanketentuan UU Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975, maka ketentuanketentuan UU tersebut akan terbawa ke dalam ruang lingkup yang bernafaskan 10
Subekti, et al, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradya Paramita, 2001, cet. 31, hlm. 549 – 550.
5
6
syari’at Islam, dengan demikian dapat dikatakan selain tetap berpedoman pada UU Nomor 1 tahun 1974, kompilasi hukum Islam merupakan aturan dan hukum khusus yang akan diperlakukan secara khusus bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam.11 Kaitannya dengan putusan Nomor 768/ pdt. G/ 2003 PA. Dmk, tentang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz, dimana majlis hakim menetapkan hak hadhanah anak diberikan kepada bapaknya (dalam hal ini sebagai tergugat) bukan kepada ibunya (penggugat) yang sebenarnya lebih berhak untuk mendapatkan hak tersebut. Ternyata majlis hakim dalam mengambil keputusan tak hanya berdasarkan pada hukum Islam dan peraturan yang berlaku tetapi lebih kepada kemaslahatan yang ditimbulkan dari putusannya dan juga kenyataan yang ada dalam hal ini dikaitkan dengan fakta yang terungkap dalam persidangan terutama sikap penggugat dan keluarganya yang ternyata ada indikasi pemutusan silaturahmi antara anak dan bapaknya maka hal ini akan mengganggu stabilitas emosi dan akan berpengaruh bagi perkembangan jiwa anak tersebut dimasa yang akan datang, dan juga akan halnya ketidak mampuan penggugat mencukupi nafkah lahir anak tersebut, maka kesejahteraan jasmani anak tersebut secara tidak langsung akan terbengkelai. Berangkat dari uraian di atas penulis tertarik mengangkat kasus tentang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz. 11
Abdul Rahmad Budiono, Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia, Malang, Bayu Media, 2003, hlm. 63.
6
7
Untuk lebih jelasnya penulis ingin membuat dalam bentuk skripsi dengan judul Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/ pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. Tentang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz.
B. Rumusan Masalah Agar pembahasan skripsi ini terfokus pada pokok permasalahan, maka penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan yang perlu mendapatkan pembahasan dalam skripsi ini adalah : 1. Apakah putusan perkara No. 768/ Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. tentang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz sesuai dengan hukum Acara Perdata. 2. Apa dasar dan pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan perkara No. 768/ Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. tentang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz
C. Tujuan Penulisan Skripsi Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui kesesuaian putusan perkara No. 768/ Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. tentang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz dengan hukum Acara Perdata.
7
8
2. Untuk mengkaji dan menganalisa dasar dan pertimbangan hukum yang digunakan Pengadilan Agama Demak dalam penyelesaian perkara No. 768/ Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. tentang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz.
D. Telaah Pustaka Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah menelaah beberapa buku seputar masalah perdata dan praktek-praktek perdata khususnya masalah hadhanah hingga pada putusan yang sangat membantu dalam penyusunan skripsi. Diantara buku-buku tersebut adalah buku yang berjudul Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia oleh Abdul Rohman Budiono, dalam buku ini diterangkan tentang hak antara suami dan istri yang seimbang dalam hukum, maka keduanya dapat mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama.12 Kemudian Ahmad Rofiq dalam bukunya, Hukum Islam di Indonesia, memaparkan bahwa pemeliharaan anak merupakan tanggung jawab kedua orang tuanya, untuk itu dibutuhkan adanya kerja sama dan tolong-menolong antara suami istri dalam memelihara anak, dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa, namun jika terjadi perceraian, maka ibu mendapatkan prioritas utama untuk mengasuh anak selama anak tersebut belum mumayyiz, seperti yang dimaksud oleh pasal 105 kompilasi.13
12 13
Ibid, hlm. 65. Ahmad Rofiq, op, cit, hlm. 250
8
9
Selanjutnya A. Muktiarto dalam bukunya Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, ia menjelaskan bahwa hal-hal yang melekat menjadi kewajiban suami yang merupakan hak istri di antaranya adalah pemberian biaya hadhanah bagi anak-anak yang belum dewasa, yang semuanya itu menurut ketentuan yang berlaku dan berdasarkan keputusan.14 Demikian pula Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah dalam bukunya, Fiqih Wanita, ia mengemukakan bahwa upah hadhanah sama seperti upah radha’ah (penyusuan), seorang ibu yang masih bersuami dengan bapak anak yang diasuhnya, maka ia tidak berhak pendapatkan upah dari sang suami, begitu juga dengan wanita yang sedang menjalani masa iadah karena ia masih mendapatkan nafkah dari keluarga (suami), sedangkan setelah selesai menjalani masa idah maka ia berhak mendapatkan upah sebagai mana ia berhak mendapatkan upah radha’ah (penyusuan).15 Begitu pula Sulaiman Rasyid dalam bukunya, Fiqih Islam, ia menjelaskan tentang syarat-syarat menjadi pendidik (hadin) bagi anak dan urutan yang berhak mempunyai hak hadhanah.16 Kemudian dalam buku Ilmu Fiqih yang ditulis oleh Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, dijelaskan bahwa hadhanah berbeda dengan tarbiyah, dalam hadhanah disamping terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani juga terkandung pengertian pendidikan bagi anak, dan masa hadhanah 14
A. Mukriarto, Praktek-praktek Perkara pada Pengadilan Agama, Yogyakarta, 2005. Cet. VI. Hlm. 219. 15 Kamil Muhammad Uwaidah, Op, Cit. hlm. 455. 16 Sulaiman Rasyid, Op, Cit. hlm. 427.
9
10
anak baik laki-laki maupun perempuan sampai meraka telah mencapai usia baligh.17 Selain buku-buku tersebut di atas sebenarnya masih banyak lagi bukubuku yang lain yang
membahas mengenai seputar hadhanah, berdasarkan
literatur di atas sejauh pengetahuan penulis belum ada tulisan yang mengangkat tema tentang hak hadhanah bagi anak yang belum ada tulisan mengangkat tema tentang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz.
E. Metode Penulisan Skripsi 1. Jenis penelitian Penulisan skripsi ini berdasarkan kepada penelitian lapangan (field research) di Pengadilan Agama Demak disamping itu juga melalui library research yang mempunyai relefansi dengan masalah hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz. 2. Sumber data Dalam penelitian ini penulis mengambil dua sumber data yaitu : a. Data primer berupa putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/ Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. b. Data skunder berupa buku-buku serta literatur yang relevan dengan persoalan yang dibahas dalam skripsi ini.
17
Departemen agama, Ilmu Fiqih, Jakarta, Dirjen Pembinaan Kelembagaan agama Islam, 1985. hlm. 217.
10
11
3. Metode pengumpulan data a. Dokumentasi Yakni dengan pengumpulan data yang ada pada dokumentasi, obyekobyek penelitian terkait serta catatan-catatan lainnya yang terdapat di Pengadilan Demak,18 diantaranya berkas perkara putusan Pengadilan Agama No. 768/ pdt.G/ 2003/PA.Dmk. sebagai data primernya. b. Wawancara (interview) Yakni salah satu cara memperoleh informasi dengan jalan bertanya langsung kepada pihak-pihak yang diwawancarai atau pihak ke dua,19 wawancara ini dilakukan
di Pengadilan Agama Demak dengan para
responden yang terdiri dari hakim penitera, dan pihak-pihak yang berperkara. 4. Metode analisis data Setelah data terkumpul, kemudian penulis melakukan analisis dengan menggunakan metode diskriptif normatif. Metode diskriptif normatif yaitu metode yang digunakan untuk mendiskripsikan norma-norma yang menjadi dasar para hakim dalam menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara di Pengadilan.20
18
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hlm. 234. 19 Hadari, Nawawi, Metode-metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Gajah Media Univgercity Press, 1993, Cet. V, hlm. 63. 20
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Serasin, 1989,
hlm. 68-69
11
12
F. Sistematika Penulisan Skripsi Dalam penyusunan skripsi ini penulis akan membagi ke dalam lima bab, di antara di suatu bab dengan bab lain merupakan rangkaian (kesatuan) yang berkaitan. Adapun bab tersebut meliputi sub bab yaitu : Bab I
Pendahuluan Dalam
bab
ini
penulis
akan
mengemukakan
latar
belakang
permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi. Bab II
Tinjauan Umum tentang Hadhanah Dalam bab ini merupakan landasan teori yang berisikan antara lain pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, syarat-syarat hadhanah, tujuan dan hikmah hadhanah.
Bab III
Putusan Pengadilan No. 768/ pdt.G/ 2003/PA.Dmk. tentang Hak Hadhanah bagi Anak yang Belum Mumayyiz. Pada bab ini
akan disajikan hasil penelitian yang didahului oleh
gambaran umum profil Pengadilan Agama Demak, kedudukan dan kewenangan Pengadilan Agama Demak dan proses putusan Pengadilan Demak No. 768/ pdt.G/ 2003/PA.Dmk. tentang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz.
12
13
Bab IV Analisis tentang Putusan Pengadilan Demak No. 768/ Pdt.G/ 2003/ PA.Dmk. tentang Hak Proses Hadhanah bagi Anak yang Belum Mumayyiz. Pada bab ini akan berisi tentang analisis terhadap putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/ Pdt.G/ 2003/ PA.Dmk. tentang hak proses hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz. dan analisa hukum formil dan analisis hukum materiil terhadap putusan Pengadilan Agam Demak No. 768/ Pdt.G/ 2003/ PA.Dmk. tentang hak proses hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz. Bab V
Penutup Bab ini merupakan bab ujung yang berisi kesimpulan dari seluruh rangkaian penulisan tugas skripsi dilanjutkan saran-saran seperlunya bagi penyusunan skripsi ini dan diakhiri penutup.
13
14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH
A. Pengertian Hadhanah Hadhanah berasal dari kata ﻨﺎ ًﻀ ْ ﺣ َِ – ﻦ ُﻀ ُ ﺤ ْ ﻦ – َﻳ َﻀ َ ﺣ َ yang berarti اﻟﺠﻨﺐ
1
(lambung, rusuk) erat atau dekat, jadi hadhanah ialah “meletakkan sesuatu dekat dengan tulang rusuk atau di pangkuan”. Seperti kata, hadhanah ath-thoairu baidhahu artinya burung itu menghimpit (mengeram) telur di bawah sayapnya. Demikian juga jika seorang ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan dipangkuannya seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya. Sehingga lebih tepatnya hadhanah secara bahasa ialah memelihara anak dengan meliputi biaya dan pendidikannya.2 Para ahli fiqih mendefinisikan hadhanah adalah : melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.3
1
Ahmad Warson Munawar, Almunawir, Kamus Arab - Indonesia, Surabaya : Pustaka Progresif , 1997, hlm. 212. 2 Abdur Rahman Al Jaziri, Kitabul fiqih ala Madzahibul Arba’ah, Bairut : Darul Fikri, t.th. hlm. 594. 3 Sayid Sabiq, Fiqih Sunah,, Bandung : Al Ma’arif, hlm. 173.
14
15
Hadhanah merupakan kewenangan untuk merawat dan mendidik orang yang belum mumayiz atau yang kehilangan kecerdasannya karena mereka tidak bisa mengerjakan keperluan diri sendiri. Kewenangan seperti itu lebih tepat dimiliki kaum wanita karena naluri kewaniataan yang ia miliki dan kesabarannya dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibanding laki-laki.4 Istilah hadhanah hanya dapat dijumpai dalam pasal 1565 kompilasi hukum Islam (instruksi presiden nomor 1 tahun 1990). Namun kalau dilihat dari pengertiannya bahwa hadhanah ialah memelihara dan mendidik anak, maka hal ini diatur juga dalam pasal 45 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Hadhanah berbeda maksudnya dengan pendidikan (tarbiyah). Dalam hadhanah terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani disamping terkandung pula pengertian pendidikan terhadap anak. Hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak yang merupakan hak dari hadin (pengasuh) tetapi kalau tarbiyah bisa dilaksanakan oleh keluarga atau bukan dan ini merupakan pekerjaan profesional, pendidikan belum tentu merupakan hak dari pendidik.6 Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil definisi yang pokok bahwa hadhanah adalah :
4
Abdul Azis Dahlan, et al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Intermasa, 1996, hlm. 415 Kompilasi Hukum Islam, Bandung, Fokus Media, 2005, hlm. 50. 6 Departemen Agama, Ilmu Fiqih, Jakarta, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985, hal. 207. 5
15
16
1. Pemeliharaan terhadap anak-anak yang belum dewasa, dengan meliputi biaya dan pendidikannya. 2. Hadhanah dilakukan oleh orang tua.
B. Dasar Hukum Hadhanah Kewajiban orang tua kepada anaknya meliputi berbagai aspek, namun jika disederhanakan aspek tersebut terdiri atas dua yaitu, kewajiban moril dan meteriil.7 Dalam Islam kewajiban tersebut merupakan kewajiban bersama, jadi tidak hanya ditujukan kepada ayah, namun ibu juga harus membantu dalam memikul dan berusaha melakukan yang terbaik bagi anak-anaknya. Ketika kedua orang tua masih hidup dalam satu ikatan perkawinan, pemeliharaan anak dapat dilakukan bersama-sama namun jika terjadi perceraian antar keduanya, maka hak pengasuhan jatuh kepada ibu, tetapi ayah juga masih bertanggung jawab terhadap biaya pemeliharaannya, tanggung jawab seorang ayah tidak hilang karena terjadi perceraian, kewajiban memlihara (hadhanah) didasarkan pada al Qur’an dan hadits. 1. Al Qur’an
ﻋ َﻠ ْﻴﻬَﺎ َ ﺤﺠَﺎ َر ُة ِ س وَا ْﻟ ُ ﺴ ُﻜ ْﻢ َوَا ْه ِﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻧَﺎرًا َو ُﻗ ْﻮ ُدهَﺎ اﻟﻨﱠﺎ َ ﻦ َأ َﻣ ُﻨﻮْا ُﻗﻮْا َا ْﻧ ُﻔ َ ﻳَﺎ َا ﱡﻳﻬَﺎ ﱠاﻟ ِﺬ ْﻳ َ َﻣ ُﺮ ْو (٦ : ن )اﻟﺘﺤﺮﻳﻢ Artinya
7
ن ﻣَﺎ ُﻳ ْﺆ َ ﷲ ﻣَﺎ َا َﻣ َﺮ ُه ْﻢ َو َﻳ ْﻔ َﻌُﻠ ْﻮ َ نا َ ﺼ ْﻮ ُ ﺷﺪَا ٌد َﻻ َﻳ ْﻌ ِ ظ ٌﻼ َﻏ ِ ﻣَﻼ َِﺋ َﻜ ٌﺔ
: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
Rahmad Hakim, Perkawinan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2000, hlm. 224.
16
17
diperintahkanNya kepada mereka san selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim : 6)8 Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada orang tua untuk memelihara anaknya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menghentikan larangan Allah termasuk dalam anggota keluarga dalam ayat ini ialah, anak.
ﻰ َ ﻋﻠ َ ﻋ َﺔط َو َ ﺿﺎ َ ن ُﻳ ِﺘ ﱠﻢ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َا َر َد َا ْ ﻦ ِﻟ َﻤ ِ ﻦ َآﺎ ِﻣ َﻠ ْﻴ ِ ﺣ ْﻮ َﻟ ْﻴ َ ﻦ ﻦ َا ْو َﻻ َد ُه ﱠ َ ﺿ ْﻌ ِ ت ُﻳ ْﺮ ُ َوا ْﻟ َﻮ ِﻟ َﺪا ِ ﻦ ِﺑﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮ ْو ﺴ َﻮ ُﺗ ُﻬ ﱠ ْ ﻦ َو ِآ ْاﻟ َﻤ ْﻮُﻟ ْﻮ ِد َﻟ ُﻪ ِر ْز ُﻗ ُﻬ ﱠ ﻀﺎ ﱠر َ ﺳ َﻌ َﻬﺎج َﻻ ُﺗ ْ ﺲ ِا ﱠﻻ ُو ٌ ﻒ َﻧ ْﻔ ُ فط َﻟﺎ ُﺗ َﻜﱠﻠ َ ث ِﻣ ْﺜ ُﻞ َذ ِﻟ ِ ﻰ ْاﻟ َﻮا ِر َ ﻋﻠ َ َوا ِﻟ َﺪ ٌة ِﺑ َﻮ َﻟ ِﺪ َهﺎ َو َﻻ َﻣ ْﻮُﻟ ْﻮ ٌد َﻟ ُﻪ ِﺑ َﻮ َﻟ ِﺪ ِﻩ َو ﺼﺎ ًﻻ َ ن َا َرا َدا ِﻓ ْ ﻚظ َﻓ ِﺎ ﺿ ُﻌﻮا ِ ﺴ َﺘ ْﺮ ْ ن َﺗ ْ ن َا َر ْد ُﺗ ْﻢ َا ْ َوِا
ط
ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻬ َﻤﺎ َ ح َ ﺟ َﻨﺎ ُ ﻼ َ ﺸﺎ ُو ٍر َﻓ َ ض ِﻣ ْﻨ ُﻬ َﻤﺎ َو َﺗ ٍ ﻦ َﺗ َﺮا ْﻋ َ
ِ ﺳ َﻠ ْﻤ ُﺘ ْﻢ َﻣﺎ َا َﺗ ْﻴ ُﺘ ْﻢ ِﺑﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌ ُﺮ ْو َ ﻋ َﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِا َذا َ ح َ ﺟ َﻨﺎ ُﻼ َ َا ْو َﻻ َد ُآ ْﻢ َﻓ ن ﻋ َﻠ ُﻤ ْﻮا َا ﱠ ْ ﷲ َوا َ فط َوا ﱠﺗ ُﻘ ْﻮ ا ٌ ﺼ ْﻴ ِ َﺑ (٢٣٣ : )اﻟﺒﻘﺮﻩ.ﺮ Artinya
ن َ ﷲ ِﺑ َﻤﺎ َﺗ ْﻌ َﻤُﻠ ْﻮ َ ا
: “Para ibu hendaknya menyusukan anak-anak selama dua tahun, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf, seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya, janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya dan waris pun berkewajiban demikian, apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya, dan jika kamu ingin disusukan orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut, bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Al Baqarah 2 : 233)9
8 Departemen Agama Republik Indonesia, AlQur’an dan Terjemah, Surabaya, 1993, hlm. 951. 9 Ibid , hlm. 57.
17
18
Dalam ayat di atas secara eksplisit tidak menegaskan bahwa tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban yang harus di penuhi suami sebagai ayah, namun pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada ibu melekat di dalamnya, tanggung jawab pemeliharaan anak. Hal ini diperkuat lagi dengan ilustrasi, apabila anak tersebut disusukan oleh wanita lain yang bukan ibunya sendiri, maka ayah bertanggung jawab untuk membayar perempuan yang menyusuinya.10 2. Al Hadis
ن ﺳ ْﻮ ُل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠّﻢ ِا ﱠ ُ ﻳَﺎ َر: ﺖ ْ ن ا ْﻣ َﺮَا ًة ﻗَﺎ َﻟ ﻋ ْﻤ ٍﺮ َا ﱠ َ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﷲ ﺑﻦ َ ﻦ ْﻋ َ ﻋ َﻢ َا ُﺑ ْﻮ ُﻩ َ ﺳﻘَﺎ ًء َو َز ِ ﺣﻮَا ًء َو َﺛ ْﺪﻳِﻰ َﻟ ُﻪ ِ ﺠﺮِي َﻟ ُﻪ ْﺣ ِ ﻄﻨِﻰ َﻟ ُﻪ ِوﻋَﺎ ًء َو ْ ن َﺑ َ ا ْﺑﻨِﻰ َهﺬَا آَﺎ )واﺣﺮج اﺣﻤﺪ واﺑﻮ داود.ﻣَﺎ َﻟ ْﻢ َﺗ ْﻨ ِﻜﺤِﻰ
ﻖ ِﺑ ِﻪ ﺣﱞ َ ﺖ َا ِ ﻰ َﻓﻘَﺎ َل َا ْﻧ ِّ ﻋ ُﻪ ﻣِﻨ َ َاﻧﱠ ُﻪ َﻳ ْﻨ َﺰ (واﻟﺒﻴﻬﻘﻰ واﻟﺤﻜﻢ ﺻﺤﺤﻪ
Artinya
: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, bahwa perempuan bertanya : “Ya Rasullulah, sesungguhnya bagi anak laki-lakiku ini perutkulah yang menjadi bejananya, lambungku yang menjadi pelindungnya dan usukku yang menjadi minumannya, tetapi taba-tiba ayahnya merasa berhak untuk mengambil dariku, maka sabdanya “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum kawin dengan orang lain.11
Kemudian dasar pertimbangan hukum berikutnya :
ﺳ ْﻮ ِل ُ ت ِا َﻟﻰ َر ْ ﺟﺎ َء َ ﺖ ِا ْﻣ َﺮَا ًة ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ َاﱠﻟﻠ ُﻬ ﱠﻢ ِا ﱢﻧﻰ َﻻَا ُﻗ ْﻮ ُل َه َﺬا ِا ﱠﻻِا ﱢﻧﻰ: ﻗﺎل اﺑﻮ هﺮﻳﺮة ْ ﻰ ُﻳ ِﺮ ْﻳ ُﺪ َا ْﺟ ِ ن َز ْو ﺳ ْﻮ َل اﷲ ِا ﱠ ُ ﻳ َﺎ َر: ﻋ ْﻨ َﺪ ُﻩ ﻓﻘﺎﻟﺖ ِ ﻋ ٌﺪ ِ ﷲ َوَاﻧ َﺎ َﻗﺎ ِ ا ﻰ َو َﻗ ْﺪ ِ ﺐ ِﺑﺎ ْﺑﻨ َ ن َﻳ َﺬ َه ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ ﻓﻘﺎل َ ﺷ َﻬ ﱠﻤﺎ ْ ِا: ﻋ َﻨ َﺒ َﺔ َو َﻗ ْﺪ َﻧ َﻔ َﻌ ِﻨﻰ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ ِ ﻦ ِﺑ ْﺌ ِﺮ اﺑﻰ ْ ﻰ ِﻣ ِ ﺳ َﻘﺎﻧ َ 10
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, cet. 3.
hlm. 237. 11
Abu Daud, Sunah Abu Daud, Bairut, Dar Alfikri, 1996, hlm. 525.
18
19
ﺨ ْﺬ ِﺑ َﻴ ِﺪ َا ِّﻳ ِﻬ َﻤﺎ ُ ﻚ َﻓ َ ك َو َه ِﺬ ِﻩ ُا ﱡﻣ َ َه َﺬا َا ُﺑﻮ: ق ِﻓﻰ َو َﻟ ِﺪى ﻓﻘﺎل اﻟ ّﻨﺒﻰ َ ﺤﺎ َ ﻦ ُﻳ ْ ﺟ َﻬﺎ َﻣ ُ َز ْو 12
Artinya
.ﺖ ِﺑ ِﻪ ْ ﻄ َﻠ َﻘ َ ﺧ َﺬ ِﺑ َﻴ ِﺪ ُا ِّﻣ ِﻪ َﻓﺎ ْﻧ َ ﺖ َﻓ َﺎ َ ﺷ ْﺌ ِ
: "Ya Allah sesungguhnya saya tidak akan mengatakan ini kecuali saya dengar perempuan datang kepada Rasulullah dan saya duduk disampingnya, maka wanita itu berkata, "Ya Rasulullah sesungguhnya suamiku mau membawa anakku pergi padahal dialah yang mengambil air untukku dari sumur Abi Ubah dan dia pun berguna sekali bagiku". Maka Rasulullah berkata : "Ini ayahmu dan ini ibumu,, pilihlah mana yang engkau sukai." Lalu anak tersebut memilih ibunya. Lalu ibunya pergi membawa anaknya.
Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 ketentuan pemeliharaan anak dimaksukkan dalam bab X, tentang hak dan kewajiban orang tua dan anak, pasal 45 – 49, sedang dalam kompilasi hukum Islam, hal yang sama dimasukkan bab XIV tentang pemeliharaan anak yaitu pasal 98 – 99, kemudian bagian ke tiga yang membahas akibat perceraian, yang terdiri atas pasal 156 beserta ayat-ayatnya.
C. Syarat-syarat Hadhanah Seorang hadhin (pengasuh anak) yang menangani dan menyelenggarakan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya. Syaratsyaratnya itu adalah : 1. Berakal, tidak terganggu ingatannya 12
Abu Abdillah Abdussalam, Ibanatul Ahkam, Juz 3, Bairut, Darul Fikri, t. t, hlm. 465.
19
20
Sebab hadhanah merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab oleh sebab itu seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah.13 2. Dewasa Sebab abak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia tetap membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya karena itu dia tidak boleh menangani urusan orang lain.14 3. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik makhdun (anak yang diasuh), dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar. 4. Amanah dan berbudi Orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan tidak dapat dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan baik, orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena itu ia tidak layak melaksanakan tugas ini. Namun Syayid Sabiq berpendapat bahwa persyaratan seperti ini sangatlah sukar dipenuhi dan memberatkan seorang hadhin sehingga banyak anak-anak yang terlantar akibat sedikitnya hadhin yang bisa memenuhi syarat ini, Islam tidak pernah mencabut anak dari asuhan ibu bapaknya atau salah seorang dari mereka ini, karena kedurhakaan (kecurangannya). Tidak pernah Nabi dan para 13
Moh. Rifai, et. Al, Terjemah kholashah Kifayatul Akhyar, Semarang: CV Toha Putra,
hlm. 352.
14
Wahbah Zuhaili, Al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu, Juz 7, Bairut: Darul Fikri, t.th.
hlm. 726.
20
21
sahabatnya pun melarang seorang durhaka mendidik dan mengasuh anaknya atau mengawinkan orang yang berada dalam perwaliannya.15 5. Islam Seorang non muslim tidak berhak dan tidak boleh di tunjuk sebagai pengasuh. Tugas mengasuh termasuk ke dalamnya usaha mendidik anak menjadi muslim yang baik, dan hal itu jadi kewajiban mutlak atas kedua orang tua. Hadhanah juga merupakan masalah perwalian sedangkan Allah tidak membolehkan orang mukmin di bawah perwalian orang kafir. Allah berfirman : (141 : )اﻟﻨﺴﺎء Artinya
..... ﻼ ً ﺳ ِﺒ ْﻴ َ ﻦ َ ﻋ َﻠﻰ اﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِﻨ ْﻴ َ ﻦ َ ﷲ ِﻟ ْﻠ َﻜﺎ ِﻓ ِﺮ ْﻳ ُ ﺠ َﻌ ِﻞ ا ْ ﻦ َﻳ ْ َو َﻟ.....
: ... dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir menguasai orang-orang mukmin ..... (An – Nisa' : 141)
6. Belum kawin lagi, jika yang melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang diasuhnya. Dasarnya adalah penjelasan Rasulullah bahwa seorang ibu hanya punya hak hadhanah bagi anaknya selama belum menikah dengan lakilaki lain (HR. Abu Dawud). Namun ahli-ahli fiqih tidak menggugurkan hak hadhanah pada ibu jika ia menikah dengan kerabat dekat si anak yang memperlihatkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.16 7. Merdeka, karena seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan degan tuannya sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.
15
Syayid Sabiq, Op cit. hlm. 180. Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta, Prenada Media, 2004, cet. 1, hlm. 172. 16
21
22
D. Urutan Orang yang Melakukan Hadhanah Sebagaiman orang yang berhak mengasuh anak adalah ibu, maka para fuqoha’ menyimpulkan, keluarga ibu dari seorang anak lebih berhak dari pada keluarga bapak. Urutan mereka yang berhak mengasuh anak adalah sebgai berikut : 1. Ibu 2. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas 3. Nenek dari pihak ayah 4. Saudara kandung perempuan anak tersebut 5. Saudara perempuan se ibu 6. Saudara perempuan se ayah 7. Anak perempuan ibu yang sekandungnya 8. Anak perempuan ibu yang seayah 9. Saudara perempuan ibu yang sekandungnya 10. Saudara perempuan ibu yang se ibu (bibi) 11. Saudara perempuan ibu yang se ayah (paman) 12. Anak perempuan dari saudara perempuan se ayah 13. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung 14. Anak perempuan dari saudara lai-laki se ibu 15. Anak perempuan dari saudara laki-laki se ayah 16. Saudara perempuan ayah yang sekandung 17. Saudara perempuan ayah yang seibu
22
23
18. Saudara perempuan ayah yang se ayah 19. Bibinya ibu dri pihak ibunya 20. Bibinya ayah dari pihak ibunya 21. Bibinya ibu dari pihak ayahnya 22. Bibinya ayah dari pihak ayahnya, nomor 19 sampai dengan 22 dengan mengutamakan yang sekandung pada masing-masingnya. 17 Jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan muhrim diatas, atau ada juga tetapi tidak mengasuhnya, maka pengasuhan anak tersebut beralih kepada kerabat laki-laki yang masih muhrimnya atau berhubungan darah (nasab) dengannya sesuai dengan urutan masing-masing dalam persoalan waris, yaitu pengasuhan anak beralih kepada. 1. Ayah anak tersebut 2. Kakek dari pihak ayah tersebut dan seterusnya ke atas 3. Saudara laki-laki sekandung 4. Saudara laki-laki se ayah 5. Anak laki-laki dari anak laki-laki sekandung 6. Anak lakilaki- dari anak laki-laki se ayah 7. Paman yang sekandung dengan ayah 8. Paman yang seayah dengan ayah 9. Pamannya ayah yang sekandung 10. Pamannya ayah yang searah dengan ayah 17
Kamil Muhamad Uwaidah (terjemah) Abdul Gofur, Fiqih Wanita, Jakarta, Al Kautsar, 2006, hlm. 456.
23
24
Jika tidak ada seorang pun kerabat dari muhrim laki-laki tersebut, atau ada tetapi tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih kepada muhrim-muhrimnya yang laki-laki selain kerabat dekat, yaitu : 1. Ayahnya ibu (kakek) 2. Saudara laki-laki se ibu 3. Saudara laki-laki dari saudara laki-laki se ibu 4. Paman yang seibu dengan ayah 5. Paman yang sekandung dengan ibu 6. Paman yang seayah dengan ibu Dan selanjutnya, jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat sama sekali, maka hakim yang akan menunjuk seoarang wanita yang sanggup dan patut untuk mengasuh dan mendidiknya.18
E. Masa dan Upah Hadhanah Pada prinsipnya masa hadhanah akan berakhir tatkala tidak membutuhkan lagi pemeliharaan, atau dia sudah bisa berdiri sendiri, bagi wanita jika ia sudah menikah, namun bagi laki-laki jika ia sudah bekerja, menurut Hanafiyah, berakhirnya masa mengasuh anak setelah anak berusia 7 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi anak perempuan,19sedang menurut Imam Syafi’i, tak ada batasan yang jelas dalam mengasuh anak ini, tetapi bila anak itu telah sampai usia 7 atau 8
18
Ibid, hlm. 457. 19 Sa’id Thalib Hamdani (terjemah) Agus Salim, Risalatun Nikah, Jakarta, Pustaka Amani, 1989, hlm. 264.
24
25
tahun atau anak itu sudah dianggap baliqh, dia disuruh memilih antara ibu dan ayahnya, namun bila si anak memilih ibunya, maka tetap dipikul ayahnya.20 Dalam kompilasi hukum Islam pasal 98 ayat 1, dikatakan bahwa, Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa dalam 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melakukan perkawinan.21 Perkembangan anak dalam mencapai tingkat kedewasaan dapat ditempuh melalui dua fase yaitu : 1. Fase pemeliharaan yaitu waktu si anak itu memerlukan penjagaan dan bantuan yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan. 2. Fase beralihnya si anak ke tangan walinya, yaitu waktu si anak itu sangat memerlukan bantuan orang yang melaksanakan pendidikan dan pengajaran. Menurut Imam Hanafi bahwa anak yang ada pada tahap ini harus pindah ke tangan ayah atau orang yang menyertainya dari kalangan ashabah.22 Hadits sebagai pedoman tentang masa hadhanah di antaranya. a. Sabda Rasulullah kepada wanita yang mengadukan kepada Rasulullah bahwa anaknya yang masih kecil diambil ayahnya (mantan suaminya) lalu beliau bersabda :
ﺤﻰ ِ ﻖ ِﺑ ِﻪ َﻣﺎ َﻟ ْﻢ َﺗ ْﻨ ِﻜ ﺣﱞ َ ﺖ َا ِ َا ْﻧ
20
Rahmad Hakim, Op cit, hlm. 225. Kompilasi Hukum Islam, Op cit, hlm.34. 22 Mu'amal Hamidi, Perkawinan dan Persoalannya, Bagaimana Pencegahannya dalam Islam, Surabaya, Bina Ilmu, 1978, hlm. 161. 21
25
26
“Engkau lebih berhak terhadap anakmu ini selama engkau belum menikah (dengan laki-laki lain).23 b. Peristiwa Umar bin Khatab yang memperebutkan anaknya dengan mertuanya, mertuanya meminta agar anak diasuh ibunya (mantan istri Umar), kemudian khalifah Abu Bakar memutuskan anak itu diserahkan kepada ibunya.24 c. Hadits yang berhubungan dengan anjuran Rasulullah SAW, agar orang tua mengasuh anak-anaknya yang telah berumur 6 sampai 7 tahun untuk mengerjakan shalat, jika anak tersebut umur 9 tahun enggan melaksanakan shalat maka boleh dipaksa kalau perlu dipukul.25 Mengenai biaya hadhanah sama seperti upah rodhoah, ibu tak berhak atas upah hadhanah selama ia masih menjadi istri dari ayah anak itu, atau selama idahnya, karena dalam keadaan tersebut si istri masih mempunyai hak nafkah.26 Namun jika terjadi perceraian maka seorang istri yang dicerai berhak atas upah hadhanah seperti halnya upah radha’ah sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 223 dan surat At Talaq ayat 6. Bedanya hanyalah nafkah langsung untuk keperluan anak, tetapi biaya hadhanah diberikan secara tidak langsung, karena diberikan kepada hadhin atau hadhinah.27
23
Abu Daud, Op cit, hlm. 525. Depag, Ilmu Fiqih, Op cit. hlm. 216. 25 Ibid. 26 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Kakarta, Midas Surya Grafinda, 1988, hlm. 409. 27 Depag, Op cit, hlm. 217. 24
26
27
Jika ibu tak sanggup melakukan hadhanah, maka hak hadhanah dapat dipindahkan ke pihak lain, dengan biaya yang ditanggung oleh ayah (suami), namun dalam hadhanah diutamakan kerabat yang ada hubungan muhrim, mengingat keamanan si anak, sedang pada radha’ah boleh dilakukan oleh selain kerabat karena tujuan radha’ah ialah memberi makan anak dengan makanan yang sesuai dengan umurnya yaitu air susu, sedang tujuan hadhanah ialah memelihara dan mendidik anak.28 Jika ibu enggan mengasuh kecuali dengan upah sedangkan di antara keluarga (mahram) anak itu ada yang bersedia mengasuhnya dengan sukarela maka hal itu harus dipertimbangkan sebagai berikut : a. Jika bapak itu orang yang mampu maka ia harus memberikan upah mengasuh itu kepada ibunya, anak itu tidak boleh diasuh oleh keluarganya yang lain meskipun dengan sukarela, karena pengasuh seorang ibu kepada anaknya lebih maslahat bagi anak itu sendiri, apabila bapak mempu membayarnya. b. Jika bapaknya orang yang tak mampu, atau upah mengasuh akan diambil dari harta anak itu sendiri, maka anak itu boleh diasuh oleh wanita keluarga yang mengasuh dengan sukarela. Hal ini atas pertimbangan supaya harta anak itu selamat dan dapat dipelihara untuk kepentingan hari depannya.29
28 29
Ibid, hlm. 218. Peunoh Daly, Op. cit, hlm. 409 – 410.
27
28
28
29
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK NOMOR 768 /Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk TENTANG HAK HADHANAH BAGI ANAK YANG BELUM MUMAYIZ
A. Sekilas Tentang Pengadilan Demak 1. Sejarah Pengadilan Agama Demak Berdasarkan bukti sejarah yang tertulis dalam buku-buku sejarah, dikertahui bahwa Pengadilan Agama di Indonesia telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam memerintah di Indonesia, seperti kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Demak dan lain sebagainya. Menurut para ahli sejarah, Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia dan Sultan Malik Al Salih adalah raja pertamanya. Dalam hal ini sangat dimungkinkan di Samudera Pasai juga terdapat Peradilan Agama pertama di Indonesia. Sedangkan untuk wilayah Jawa, para ahli sejarah sepakat bahwa Kesulatanan Demak adalah kerajaan Islam pertama yang berdiri di Jawa, dimana Sultan Patah adalah sultan pertamanya. Sebagaimana halnya dengan Samudera Pasai, di Kesultanan Demak pun sangat dumungkinkan adanya Peradilan Agama pertama di Jawa.1 Berdasarkan cerita yang ada, Peradilan Agama di Demak sudah ada sejak pemerintahan Sultan Patah. Dalam menjalankan sistem Peradilan 1
Interview dengan Bpk. Abdurrahman, SH Panitera Pengadilan Agama Demak pada tanggal 1 November 2007.
29
30
Agama di Demak adalah para wali sembilan, khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga. Pengadilan Agama ini wilayah kekuasaannya tidak hanya meliputi masalah-masalah perdata saja, melainkan juga masalah pidana. Hal ini terbukti dengan meluas dan populernya cerita tentang Sunan Kalijaga dan Syeh Siti Jenar. Dalam kisah tersebut bahwa Syeh Siti Jenar di dakwa telah menyebarkan ajaran sesat yang kemudian di vonis hukuman mati oleh para wali. Dan Sunan Kalijaga bertindak sebagai eksekutornya. Meskupun cerita tersebut sudah sangat populer dan mengindikasikan adanya Peradilan Agama, akan tetapi mengenai asal mula sejarah berdirinya Pengadilan Agama di Demak sampai sekarang ini belum diketahui secara pasti mengenai hari dan tanggalnya.2 Setelah Kesulatanan Demak tidak ada lagi dan wilayah Indonesia didasarkan pada Koninklijk Besluit nomor 24 (dalam staablad nomor 152/ 1882 yang berlaku sejak 1 Agustus 1882) yang mengatur tentang pembentukan Bepaling Betreffende de Priesteraaden op Java en Madoera (sering disingkat Priesteraad saja). Keputusan ratu Belanda ini lebih bersifat administratif dan prosedural, walaupun dalam pelaksanaannya mengalami berbagai kendala finansial dan administratif. Selebihnya, kebijakan ini masih menguntungkan hukum Islam diterapkan sebagai hukum bagi pemeluk agama Islam.
2
Interview dengan hakim PA Demak. Drs. Abdul Ghofur pada tanggal 1 November
2007.
30
31
Kebijakan yang berasal dari teori receptio in compiexu van den Berg ini kemudian ditentang oleh teori receptie snouck hurgronje, bahwa hukum Islam beru berlaku jika sudah diterima oleh hukum adat. Maka keluarlah staatbland 1909 nomor 128 dan staatblad nomor 232. dalam ketentuan ini tidak ada lembaga banding, dan keputusan Pengadilan Agama harus dimintakan executoir verklaring dari landraad sehingga menimbulkan dualisme penerapan hukum. Berbagai keberatan terhadap ketentuan ini memaksa munculnya staatblad 1931 nomor 53 yang mengatur pembentukan Mahkamah Islam Tinggi sebagai lembaga banding Peradilan Agama. Dalam ketentuan ini, kompetensi Peradilan Agama hanya terbatas pada masalah nikah, talak dan rujuk. Kebijakan ini makin kukuh dengan pemberlakuan staatblad 1937 nomor 116 dan 610. kebijakan ini tetap berlangsung hingga masa pendudukan Jepang dan baru mengalami perubahan bertahap setelah Indonesia merdeka. Peradilan Agama di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat berarti ketika diundangkan dan diberlakukannya UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Dan mencapai puncaknya ketika UU No. 7/1989 diundangkan dan diberlakukan UU No. 14/1970 memberikan tempat kepada Pengadilan Agama sebagai salah satu Pengadilan Negara dalam melaksanakan kekuasan kehakiman. UU No. 1/1974 memperbesar kekuasaan peradilan
31
32
agama dibidang perkawinan. Dan UU No 7/1989 memperkokoh kedudukan Pengadilan Agama Dukungan dan diberlakukannya UU No. 7/1989, merupakan peristiwa penting dalam perkembangan Peradilan Agama di Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya beberapa perubahan yang meliputi : a. Dasar penyelenggaraan Peradilan Agama di Indonesia yang seragam, b. Kedudukan Peradilan Agama yang sejajar dengan peradilan lainnya, c. Kedudukan hakim yang semakin kokoh, d. Pemulihan kembali kekuasaan Pengadilan Agama, e. Hukum acara yang lebih jelas dan tertulis, f. Administrasi peradilan yang lebih proposional, dan g. Perlindungan terhadap kaum wanita.3 2. Tugas dan Wewenag Pengadilan Agama Demak Sebagaimana diketahui bersma bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksnakan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, yang berpuncak pada mahkamah agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Peradilan pada keempat lingkungan peradilan itu memiliki cakupan dan batasan kekuasaan masing-masing. Adapun tugas dan wewenang Pengadilan Agama Demak ini meliputi wewenang absolut dan wewenang relatif : 3
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1998, hlm. 127 et, seq.
32
33
a. Wewenang absolut Sesuai dengan pasal 49 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989, secara umum tugas Pengadilan Agama Demak adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama, antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, serta wakaf dan sadaqoh yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.4 Di dalam UU No. 3 tahun 2006 wewenang Pengadilan Agama bukan hanya meliputi hal-hal tersebut, tetapi sudah ditambah untuk dapat menyelesaikan permasalahan ekonomi syari'ah. b. Wewenang relatif Wewenang relatif adalah wewenang dalam mengadili perkara berdasarkan wilayah atau tempat domisili, dimana setiap perkara yang diajukan harus berdasarkan wilayah hukum masing-masing sehingga pengadilan tidak diperkenankan mengadili perkara di luar wilayah hukumnya.5 Adapun wewenang relatif Pengadilan Agama Demak meliputi 14 kecamatan, yaitu : 1. Demak 2. Bonang 3. Wonosalam
4
M. Yahya Harahab, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta : Sinar Grafika, Cet II, 2003, hlm. 202 – 203. 5 Ibid, hlm. 212 – 213.
33
34
4. Dempet 5. Kebonagung 6. Karangtengah 7. Guntur 8. Sayung 9. Mijen 10. Karanganyar 11. Wedung 12. Gajah 13. Mranggen 14. Karangawen.6
B. Proses Penyelesaian Perkara No. 768/ Pdt. G/ PA. Dmk di Pengadilan Agama Demak Proses penyelesaian perkara di PA Demak, pada dasarnya adalah sebagaimana yang dipakai dalam proses penyelesaian perkara di peradilan umum, hal ini telah dijelaskan dalam pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 yaitu : Bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam UU No. 7 tahun 1989 yang berlaku sejak tanggal 29 Desember 1989.
6
Data statistik Pengadilan Agama Demak, tahun 2006.
34
35
Menurut pasal di atas, hukum Acara Peradilan Agama sekarang bersumber pada : 1. UU Nomor 7 tahun 1989 yang telah dirubah menjadi UU nomor 3 tahun 2006. 2. UU yang berlaku di lingkungan peradilan umum.7 Adapun proses persidangan yang telah ditetapkan majlis hakim dalam persidangan di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut : 1. Pemeriksaan 2. Perdamaian 3. Replik (tanggapan penggugat terhadap jawaban tergugat) 4. Duplik (tanggapan tergugat) 5. Pembuktian dari penggugat 6. Pembuktian dari tergugat 7. Kesimpulan putusan Dalam penyelesaian perkara No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Pengadilan Agama Demak secara garis besar telah melalui semua tahapan tersebut mulai dari pemeriksaan sampai pelaskanaan putusan. 1. Tahap Peneriamaan Perkara Pengadilan Agama mempunyai tugas untuk menerima, memeriksa dan mengadili semua perkara yang di ajukan kepadanya. Bagi seorang yang akan mengajukan permohonan/ gugatan, maka pihak pemohon/ penggugat dapat
7
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 20 – 21.
35
36
mengajukan permohonannya/ gugatannya ke pengadilan, baik secara lisan maupun tertulis. Gugatan yang diputus oleh Pengadilan Agama Demak dengan nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ Pa. Dmk, termasuk gugatan yang dilakukan secara tertulis. Kasus hak hadhanah No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk, berawal dari gugatan yang diajukan oleh Tri Dewi Setyoningrum binti Soemar'ah yang selanjutnya disebut sebagai penggugat terhadap Nur Chandik bin Sukandar yang selanjutnya sebagai tergugat. Adapun mengenai duduk perkaranya adalah sebagai berikut : Bahwa penggugat telah mengajukan gugatan cerai tanggal 23 Oktober 2003 yang didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Agama Demak dalam register nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Dasar penggugat mengajukan surat gugatan cerai adalah : bahwa penggugat dan tergugat adalah suami isteri yang sah berdasarkan ikatan perkawinan menurut kutipan Akta Nikah nomor K-09/ PW.01/ 120/ 2003 dari KUA Kecamatan Karangtengah Demak tertanggal 25 April 2002. a. Bahwa setelah menikah tergugat tinggal di rumah penggugat selama 5 hari, kemudian penggugat tinggal di tempat tergugat selama 11 bulan dan telah dikaruniai seorang
anak bernama Risa Agustias Maharani
umur 1 tahun. b. Bahwa antara penggugat dan tergugat terjadi pertengkaran dan perselisihan yang disebabkan tergugat tidak mau diajak pergi ke orang tua
36
37
penggugat, akhirnya penggugat terpaksa pergi ke orang tuanya tanpa pamit, setelah penggugat pulang dari orang tua sampai di rumah tergugat marah-marah. c. Bahwa karena tergugat sering marah-marah, penggugat merasa tak kuat lagi untuk hidup bersama dengan tergugat, akhirnya tanggal 15 Maret 2003 penggugat pulang kerumah orang tuanya. d. Bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah + 7 bulan lamanya. e. Bahwa selama 7 bulan tersebut tergugat tidak pernah memberi nafkah wajib dan membiarkan / tidak memperdulikan kepada penggugat. f. Bahwa dengan demikian tergugat telah melanggar shigat ta'lik talak oleh karenanya sigat ta'lik talak terpenuhi. Disebabkan karena adanya perselisihan dan pertengkaran yang tajam dan terus menerus sehingga rumah tangga antara penggugat dan tergugat telah pecah dan sudah tak ada harapan untuk hidup rukun kembali dalam satu rumah tangga. Bahwa berdasarkan kelakuan tergugat tersebut, maka penggugat tidak rela dan bersedia membayar uang iwadl yang telah ditentukan, mohon kepada ketua Pengadilan Agama Demak agar berkenan memanggil kedua belah pihak untuk memeriksanya dimuka persidangan serta menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut : a. Mengabulkan gugatan penggugat; b. Menyatakan syarat ta'lik talak telah terpenuhi;
37
38
c. Menetapkan jatuh talak satu kali tergugat terhadap penggugat dengan iwad Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah); d. Menetapkan biaya perkara ini beserta pembebanannya menurut ketentuan hukum yang berlaku.8 2. Proses Persidangan Setelah penggugat memasukkan gugatannya dalam daftar pada kepaniteraan dan telah pula melunasi biaya perkara, kemudian ditetapkan majlis hakim yang akan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk; adapun majlis hakim yang menangani perkara tersebut adalah : a. Drs. Mamat S, MH sebagai hakim ketua b. Drs. Radi Yusuf sebagai tim anggota I dan c. Dra. Hj. Farida sebagai tim anggota II serta d. Abdur Rahman, SH sebagai panitera pengganti. Selanjutnya pada hari sidang yang telah ditentukan, penggugat dan tergugat datang menghadap sendiri di persidangan. Kemudian majlis hakim dalam persidangan yang terbuka untuk umum telah berusaha merukunkan dan mendamaikan serta memberi nasehat agar keduanya bersabar dan membina rumah tangganya kembali dengan baik. Akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil, maka dilanjutkan dengan membacakan gugatan penggugat yang
8
Putusan PA Demak.
38
39
isinya tetap dipertahankan oleh penggugat, lalu dilanjutkan dengan penyampaian tanggapan secara lisan oleh tergugat yang isinya : a. Membenarkan posita penggugat point 1 dan 2.; b. Bahwa dalam posita 3 yang benar adalah tergugat selalu bersedia diajak ketempat orang tua penggugat; c. Membenarkan posita 4 dan 5; d. Bahwa walaupun penggugat pergi tanpa pamit tergugat masih tetap menengok dan memberi serta mengirim nafkah untuk penggugat dan anaknya; e. Tergugat masih ingin membina rumah tangga dengan baik dan tergugat memohon kepada majlis pemeriksa perkara ini untuk menolak gugatan penggugat karena gugatan tersebut bukan berasal dari hati nurani penggugat sendiri melainkan di provokasi oleh pihak lain; f. Apabila penggugat minta cerai kepada tergugat, maka tergugat mengajukan khuluk sebesar Rp 100.000.000 (serarus juta rupiah). g. Mengenai hadhanah anak yang bernama Risa Agustias Maharani walaupun baru perumur 16 bulan oleh karena ada indikasi tidak baik dari pihak penggugat untuk memutuskan tali silaturahmi antara anak dan orang tua. Hal ini diserahkan sendiri oleh tergugat. Sejak kepulangan penggugat ke rumah orang tuanya, tergugat sudah berulang kali menemui penggugat dan anaknya, akan tetapi tidak pernah berhasil, karena selalu dihalanghalangi oleh keluarga penggugat dan juga oleh karena penggugat tidak
39
40
bekerja dan penggugat juga pernah meninggalkan anak tersebut selama 2 minggu sedangkan tergugat telah berkerja dan hidup mandiri maka mohon kepada majlis hakim agar anak diserahkan hak hadhanahnya dari penggugat kepada tergugat, serta tergugat bersedia untuk menjaga tali silaturahmi kepada penggugat dan keluarganya. Terhadap tanggapan tergugat tersebut penggugat menyampaikan tanggapan lisan yang pada pokoknya tanggapan tersebut tidak benar dan penggugat tetap mempertahankan pokok gugatannya dan mengenai hak hadhanah anak, penggugat sanggup untuk mengasuh dan memelihara anak walaupun pembiayaannya minta kepada orang tua. Oleh karenanya mohon agar majlis hakim menetapkan anak tetap berada di tangan penggugat, mengenai khuluk yang diminta oleh tergugat, penggugat menyanggupinya sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Walaupun pada awalnya tergugat keberatan oleh karena sikap penggugat yang sudah tidak bersedia rukun kembali, maka akhirnya tergugat diam dan tidak memberi tanggapan. Untuk memperjelas keadaan rumah tangga antara penggugat dan tergugat, sesuai dengan pasal 22 ayat (2) PP No. 9/ 1975, serta untuk meneguhkan dalil-dalil gugatannya, penggugat mengajukan alat-alat bukti berupa :
40
41
a. Foto copy duplikat kutipan Akta Nikah Nomor : K.09/ PW.01/ 120/ 2003, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangtengah Tergugat Demak tanggal 25 April 2003. b. Surat Keterangan nomor 474.2/86/10/ 2003 tanggal 23 Oktober 2003 yang dikeluarkan oleh Lurah Desa Pulosari Kecamatan Karangtengah Tergugat Demak. c. Surat Keterangan nomor 474.2/86/10/ 2003 tanggal 16 Oktober 2003 yang dikeluarkan oleh Lurah Desa Pulosari Kecamatan Karangtengah. Kemudian dilanjutkan dengan tanggapan tergugat terhadap alat-alat bukti tertulis yang disampikan penggugat tersebut. Bahwa tergugat tidak keberatan alat bukti Nomor 1 dan 2 namun pada alat bukti ketiga tergugat mengatakan keberatan yang intinya tergugat tidak pernah menganiaya penggugat, dan tergugat pernah dianiaya ayah penggugat sendiri, akibat dari usaha kekluargaan yang ditempuh tergugat tidak berhasil, bukan dari niat tidak baik dari tegugat sendiri untuk memperkuat sanggahannya penggugat menyampaikan bukti tertulis : a. Poto copy kutipan Akta Kelahiran nomor 7193/ TP/ 2003, tanggal 12 September 2003, oleh kantor catatan sipil Tergugat Demak. b. Poto copy Kartu Keluarga nomor : 1854, tanggal 12 September 2003, yang dikeluarkan oleh Camat Demak Tergugat Demak. c. Poto copy Buku Tamu Rt 02/ Rw 01 Desa Pulosari Kecamatan Karangtengah Tergugat Demak.
41
42
d. Surat Undangan yang disampikan KUA Kecamatan Karangtengah, tanggal 26 Mei 2003 tentang undangan untuk penggugat agar hadir dalam penegakan putusan PA nomor 235/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk., tanggal 19 dan 21 Mei 2003 di KUA Kecamatan Karangtengah Tergugat Demak. e. Poto copy pos wesel yang dikirimkan tergugat tanggal 27 Mei, 5 Juli, 2 Agustus dan tanggal 15 Oktober 2003 ditujukan kepada tergugat keseluruhannya berjumlah Rp 450.000,- (empat ratus lima puluh ribu rupiah). f. Surat Keterangan nomor : 045.2/ 401/ III/ 2003, tanggal 30 Oktober 2003 yang dikeluarkan oleh Kepala Kelurahan Mangunjiwan Kecamatan Demak Tergugat Demak. Bahwa terhadap alat bukti yang dikemukana tergugat, penggugat menanggapinya dengan menyatakan : alat bukti No. 1 dan 2 mengakuiya dan alat bukti No. 5 hanya menerima sekali. Selebihnya tidak menerimanya dan alat bukti yang lain menyatakan tidak mengetahuinya. Pada tahap selanjutnya, baik penggugat maupun tergugat dimohon untuk menghadirkan saksi-saksi keluarga masing-masing untuk memberikan keterangan di persidangan. 1. Saksi keluarga penggugat Yaitu, Sumaroh bin Rahmat, umur 56 tahun, Kepala Desa Pulosari. Memberi keterangan di bawah sumpahnya sebagai berikut : a. Saksi mengaku sebagai ayah kandung penggugat.
42
43
b. Bahwa saksi mengetahui penggugat dan tergugat, adalah suami istri yang sah dan menikah 1 tahun 6 bulan yang lalu. c. Bahwa setelah menikah tergugat tinggal di tempat penggugat selama sekitar 1 minggu kemudian penggugat di tempat tergugat sekitar 1 tahun, sudah mempunyai 1 orang anak bernama Risa Agustias Maharani. d. Bahwa sekarang ini antara penggugat dan tergugat sudah hidup berpisah selama sekitar 7 bulan. e. Mengenai sebab perpisahan saksi tidak mengetahuinya hanya menurut keterangan yang dikonfirmasikan oleh saksi, tergugat mengakui pernah menganiaya penggugat dan selama berpisah tergugat hanya pernah datang ke tempat penggugat satu kali tanggal 20 Agustus 2003, setelah itu tergugat membiarkan dan tak memperdulikan penggugat. f. Saksi mengaku sudah tidak berhasil lagi untuk mendamaikan keduanya dan kelakuan tergugat juga tidak baik kepada saksi, karena tergugat pernah melaporkan saksi ke pengadilan negeri sehingga saksi mendapat hukuman percobaan selama 10 bulan, sehingga saksi keberatan untuk bermantukan tergugat. 2. Saksi keluarga tergugat Yaitu, H. Sukandar bin Paryadi, umur 47 tahun, (pedagang) memberikan keterangan dibawah sumpahnya sebagai berikut : a. Saksi mengaku sebagai ayah kandung tergugat.
43
44
b. Bahwa mengenai sebab terjadi perpisahan, saksi mengetahuinya yaitu penggugat pulang sendiri kerumah orang tuanya tanpa pamit tergugat, selama berpisah tergugat berkali-kali datang bersama isteri saksi ketempat penggugat untuk menengok dan memberi nafkah kepada penggugat dan anaknya. Akan tetapi penggugat dan orang tuanya tidak menerimanya dengan baik kedatangan tergugat, akhirnya tergugat mengirim nafkah lewat pos wesel. c. Bahwa ayah penggugat pernah meneriakan maling kepada tergugat sehingga tergugat dikerumuni orang banyak namun tidak terjadi halhal yang tidak diinginkan, dan ayah penggugat pernah memukul tergugat yang akhirnya berakibat berperkara di pengadilan negeri dengan hukuman 10 bulan percobaan. d. Bahwa melihat sikap orang tua penggugat yang demikian saksi sudah tidak sanggup lagi untuk merukunkan keduanya. Setelah mendengar keterangan dari para saksi baik penggugat maupun terggugat tidak lagi mengajukan alat-alat bukti tambahan lainya dan selanjutnya penggugat menyatakan danggup membayar uang tebusan sebesar Rp 1.000.000,- kepada tergugat dan tergugat pun menerimanya, kemudian keduanya memohon kepada majlis hakim untuk memberikan putusannya. 3. Tahap Pelaksanaan Putusan Setelah Pengadilan Agama Demak menerima dan memeriksa perkara cerai gugat, maka pengadilan tersebut menetapkan :
44
45
a. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. b. Menyatakan penggugat telah menyerahkan kesepakatan antara penggugat dan tergugat tentang besarnya uang iwad/ tebusan Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). c. Menyatakan penggugat telah menyerahkan uang iwad sebesar tebusan Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada tergugat dan tergugat telah menerimanya. d. Menetapkan
memberi
ijin
kepada
tergugat
(Nur
Candik
bin
H. Sukandar), untuk mengucapkan ikrar talaknya terhadap penggugat (Tri Dewi Setyaningrum) di depan didang Pengadilan Agama Demak. e. Menetapkan hak hadhanah anak yang bernama Risa Agustias Maharani binti Nur Chandik diberikan kepda tergugat. f. Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam permohonan ini sebesar Rp 156.000,- (seratus enam puluh enam ribu rupiah). Demikian putusan ini dijatuhkan di Demak pada hari senin tanggal 5 Januari 2004 atau pertepatan dengan tanggal 19 Dzulqa'dah 1424, oleh Drs. Mamat S, MH sebagai hakim ketua majlis, serta Drs. Radi yusuf dan Dra. Hj. Farida, MH, masing-masing sebagai hakim anggota, putusan mana hari itu juga diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh majlis tersebut yang di hadiri Abdur Rahman, SH sebagai panitera pengganti serta penggugat dan tergugat.
45
46
C. Pertimbangan Hukum Pengadilan Agama Demak Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Dalam peradilan perdata, tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijke Rechtsorde), menetapkan apa yang di tentukan oleh hukum dalam suatu perkara. Berhubung dengan tugas tersebut, oleh para ahli hukum dipersoalkan, beberapa jauh hakim harus mengejar kebenaran (waarheid) di dalam proses.9 Dalam hal memnberikan keputusan seoarang hakim tidak boleh memihak kepada salah satu antara orang yang berperkara, bersifat bebeas dan tidak pula terpengaruh oleh pemerintah. Disamping itu seorang hakim wajib pula menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam agama, dan masyarakat, apabila di Pengadilan Agama yang menangani tentang kasuskasus perdata, maka dalam hal ini hakim wajib dituntut utnuk menerapkan asas hukum yang sebenarnya, sebab kesalahan hakim adalah merupakan petaka bagi hakim sendiri maupun pihak yang telah dirugikannya, yang pada akhirnya harus dipertanggung jawabkan, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam memberikan pertimbangan hukum suatu putusan harus memuat : 1. Gambaran tentang bagaimana hakim mengkwalifikasir fakta/ kejadian. 2. Penilaian fakta-fakta yang diajukan. 3. Pertimbangan hakim secara kronologis dan rinci setiap item, baik dari pihak tergugat maupun penggugat. 9
R. Soepomo, Hukum Acara Perdata PengadilanNegeri Jakarta, Jakarta : Pradya paramita, Cet. Ke 14, 2000, hlm. 13.
46
47
4. Dasar-dasar hukum yang digunakan hakim dalam menilai fakta dan memutus perkara baik hukum tertulis maupun taktertulis.10 Adapun pertimbangan hukum hakim Demak adalah : a. Menimbang bahwa berdasarkan pengakuan penggugat yang dituntut dengan kutipan Akta Nikah nomor 454/ 30/ VI/ 2001 tanggal 16 Juni 2001 oleh KUA Karangtengah antara penggugat dan tergugat telah terikat dalam suatu perkawinan yang sah dan belum pernah bercerai. b. Menimbang bahwa hubungan antara penggugat dan tergugat sudah tidak harmonis lagi, bahwa ketidak harmonisan tersebut sudah berimbas kepada besan kedua belah pihak, hal ini berdasarkan Surat Keterangan nomor 474.2/ 86/ 10/ 03, tanggal 16 Oktober 2003. c. Menimbang bahwa terhadap gugatan penggugat, tergugat bersedia untuk diminta cerai oleh penggugat dengan membayar chuluk berupa uang tebusan sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan uang tersebut telah diserahkan dan diterima oleh tergugat. d. Menimbang bahwa berdasarkan pasal 148 ayat (4) kompilasi hukum Islam menyebutkan bahwa setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan
10
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 1996, hlm. 263
47
48
Agama dan inipun sesuai dengan dalil hukum Islam dalam kitab Subulus Salam Juz II halaman 252 yang berbunyi :
ﻦ ِ ﺟ ْﻴ َ ﻦ اﻟ ﱠﺰ ْو َ ض َﺑ ْﻴ ِ ﺨ ْﻠ ُﻊ َﻣ َﻊ اﻟ ﱠﺘ َﺮا ُ ﺢ اﻟ ُﺼ ِ َﻳ Artinya
: Sahnya chuluk apabila dengan kerelaan kedua belah pihak.
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka majlis hakim menetapkan memberikan izin kepada tergugat untuk mengucapkan ikrar talaknya pada penggugat di depan sidang Pengadilan Agama. f. Bahwa mengenai pemeliharaan anak pasal 45 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, kemudian dalam pasal 105 huruf a dan c KHI, dinyatakan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh bapaknya. Sedang dalam pasal 156 huruf a sampai d, menerangkan bahwa anak yang belum mumayyiz berhak mendapat hak hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya meninggal dunia, dan jika pemegang hak hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya hadhanah telah dicukupi maka hak ini dapat pindah kepada kerabat lain dan semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungjawab ayah menurut kemampuan sampai anak tersebut dewasa (21) tahun. g. Bahwa berdsasarkan pasal-pasal di atas anak yang bernama Risa Agustias Maharani baru berumur 1 tahun 4 bulan, maka yang berhak memelihara anak tersebut ialah ibunya dengan catatan ibunya (penggugat) dapat 48
49
menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak dengan biaya yang ditanggung ayahnya (tergugat), namun jika jaminan tersebut tidak ada maka Pengadilan Agama dapat memindahkan hak tersebut kepada pihak lain. h. Bahwa dikaitkan dengan kenyataan yang terungkap dalam persidangan terutama sikap penggugat dan keluarganya, ternyata ada indikasi pemutusan hubungan tali silaturrahmi antara anak dengan bapaknya, maka hal ini akan mengganggu stabilitas emosi anak tersebut dan akan berpengaruh negatif bagi perkembangan jiwa anak dimasa yang akan datang, dan ketidak mampuan penggugat mencukupi kebutuhan nafkah lahir anak karena penggugat tidak bekerja, maka kesejahteraan jasmani anak tersebut secara tidak langsung akan terbengkelai. i. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka majlis hakim berpendapat guna menjamin terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin anak tersebut, maka akan lebih maslahat apabila hak hadhanah tersebut dipindahkan dari penggugat kepada tergugat, serta membebankan biaya perkara kepada penggugat berdasarkan pasal 89 ayat (1) UU No. 1 tahun 1989.11
D. Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Demak dalam Perkara Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. 11
Departemen Agama, Bahan Penyuluhan Hukum, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999, hlm. 75.
49
50
Dasar hukum setiap putusan berisi tentang dasar hukum hakim dalam memutus perkara, karena Pengadilan Agama dalam pangadilan khusus, maka dasar untuk memperkuat putusan adalah segala peraturan perundang-undangan negara yang berlaku, relevan disusun menurut urutan derajatnya dan urutan tahun terbitnya, lalu dasar hukum Islamnya atau hukum taktertulis lainya. Untuk lebih konkritnya penulis kemukakan dasar hukum yang dipakai oleh hukum dalam memutus perkara nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk tentang hak hadhanah anak yang belum mumayyiz jatuh kepada ayahnya. Dasar hukum hakim dalam memutus perkara tersebut adalah pasal 45 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu : 1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya. 2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.12 Kemudian dasar pertimbangan berikutnya adalah sebagai masa pasal 105 huruf a, b dan c kompilasi Islam sebagai berikut : 1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. 2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
12
Ibid, hlm. 103.
50
51
3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.13 Dasar hukum berikutnya adalah pasal 156 huruf a sampia d kompilasi Islam yaitu : a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh : 1) Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu. 2) Ayah. 3) Wanita-wanita dalam garis lurus dari ayah. 4) Saudara-saudara perempuan dari anak yang bersangkutan. 5) Wanita-wanita kerabat menurut garis samping ibu. 6) Wanita-wanita kerabat menurut garis samping ayah. b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat yang memepunyai hak hadhanah. d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
13
Lihat, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 35 – 36.
51
52
Demikianlah putusan Pengadilan Agama Demak beserta pertimbangan dan dasar hukumnya. Putusan tersebut dijatuhkan pada hari senin tanggal 5 Januari 2004 M bertepatan dengan tanggal 19 Dzulqa'dah 1424 H, hukim yang mengadili perkara tersebut yaitu Drs. Mamat S, MH sebagai hakim ketua sedangkan hakim anggotanya adalah Drs. Hadi Yusuf dan Dra. Hj. Farida, MH. Dan putusan tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
oleh
ketua
majlis,
serta
Abdurrahman, SH.
52
sebagai
pemitera
pengganti
adalah
53
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK NOMOR 768 / Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. TENTANG HAK HADHANAH BAGI ANAK YANG BELUM MUMAYIZ
A. Analisis Terhdap Proses Penyelesaian Perkara Nomor 768 / Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Proses penyelesaian perkara di Pengadilan Agama Demak, pada dasarnya adalah menggunakan tata cara sebagaimana yang dipakai di dalam hukum acara yang berlaku di dalam lingkungan pengadilan umum, yaitu menurut tahap-tahap penerimaan perkara. 1. Pemeriksaan 2. Perdamaian 3. Replik (tanggapan penggugat terhadap jawaban tergugat) 4. Duplik (tanggapan tergugat) 5. Pembuktian dari tergugat 6. Kesimpulan 7. Putusan Proses di atas telah sesuai dengan ketentuan hukum yang ditentukan dalam pasal 54 UU No. 7 tahun 1989, yang berbunyi sebagai berikut : "Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah,
53
54
hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini". Menurut pasal di atas hukum acara Peradilan Agama sekarang bersumber (garis besarnya) pada 2 peraturan, yaitu : (1) yang terdapat dalam UU No. 7 tahun 1989 yang diamandemen UU No.3 tahun 2006, dan (2) yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum. Oleh sebab itu mengenai Putusan Nomor 768 /Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk, dimana hakim dalam melaksanakan proses penyelesaian perkara telah sesuai dengan koridor-koridor hukum yang ada di Indonesia, sebab pada dasarnya dapatlah dikatakan bahwa di Indonesia terdapat tiga sistem hukum yaitu : sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum barat, yang dalam perkembangan sistem hukum ini telah menjadi bahan baku dalam hukum Indonesia.1 Kaitannya dengan perkara Nomor 768 /Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Pengadilan Agama Demak dalam hal ini telah melalui beberapa tahap yaitu : 1. Tahap penerimaan perkara 2. Tahap pemeriksaan hingga upaya pembuktian 3. Tahap putusan Mengenai tahap-tahap tersebut lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut : 1. Tahap Penerimaan Perkara
1
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 21.
54
55
Dalam tahap ini melalui beberapa meja, yaitu meja I, meja II dan meja III, meja tersebut merupakan kelompok pelaksanaan teknis yang harus dilalui oleh suatu perkara di Pengadilan Agama, mulai dari pemeriksan sampai perkara tersebut diselesaikan.2 Dalam penerimaan perkara ini secara garis besar adalah meliputi : a. Menerima gugatan. b. Membuat surat kuasa untuk membayar (SKUM) dan menyerahkannya kepada calon pemohon/ penggugat. c. Menyerahkan kembali kepada calon penggugat/ pemohon. d. Kemudian menaksir biaya perkara sebagaimana pasal 121 HIR. Penerimaan perkara di Pengadilan Agama secara keseluruhan garis besarnya meliputi : a. Perkara permohonan. b. Perkara gugatan. c. Perkara banding. d. Perkara kasasi. e. Perkara PK. Selanjutnya yang perlu diperhatikan dalam penerimaan perkara tersebut di atas adalah memberi penjelasan-penjelasan yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan, begitu pula dalam memberi
2
Abdul Manan dkk, Proses Penyelesaian Perkara di PA, Jakarta : CV Mita Sarana, 1996, hlm. 5.
55
56
penjelasan, hendaknya dihindarkan dialog-dialog yang tidak perlu di dalam meja.3 2. Tahap Pemeriksaan Hingga Upaya Pembuktian. Setelah surat gugatan di daftarkan pada tanggal 23 Oktober 2003; dan ditetapkan hari sidangnya, Pengadilan Agama Demak mulai memeriksa Perkara Nomor 768 /Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Setelah persidangan dibuka, majlis hakim menyatakan persidangan ini terbuka untuk umum, para pihak yang berperkara yaitu penggugat yang bernama Tri Dewi Setyaningsih dan tergugat Nur Chandik. Masing-masing hadir di persidangan, maka majlis hakim
menganjurkan
damai
antara
pihak
yang
berperkara,
sebab
bagaimanapun juga bahwa anjuran damai pada permulaan sidang adalah bersifat mutlak atau wajib dilakukan. Akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil, maka kemudian sidang dinyatakan tertutup untuk umum dan dilanjutkan dengan membacakan syarat penggugat yang isinya dipertahankan oleh penggugat, kemudian majlis hakim mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada penggugat yang pada intinya diminta untuk menjelaskan perkara yang diajukan tersebut. Sidang berikutnya, dilanjutkan dengan tanggapan tergugat secara lisan yang isinya antara lain membenarkan sebagaian posita penggugat dan tidak membenarkan sebagian yang lain serta adanya permohonan mengenai hadhanah anak yang bernama Risa Agustias Maharani, untuk diberikan 3
Ibid. hlm. 6.
56
57
kepadanya. Karena ada indikasi tidak baik dari pihak keluarga penggugat untuk memutuskan silaturahmi antara anak dan tergugat, hal ini dirasakan sendiri oleh tergugat, setiap ingin menemui penggugat dan anaknya tidak pernah berhasil. Hal ini sesuai dengan pasal 78 UU No. 7 tahun 1989 Jo pasal 24 UU No. 9 tahun 1975, pada saat pemeriksaan perkara perceraian dapat dimohonkan mengenai hal : a. Penentuan nafkah. b. Penentuan mengenai pemeliharaan anak. c. Penentuan hal-hal untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak suami dan isteri.4 Kemudian dilanjutkan dengan tanggapan penggugat atas jawaban tergugat, yang intinya penggugat tetap mempertahankan pokok gugatannya serta memohon kepada majlis hakim agar menetapkan anak berada di tangan penggugat, mengenai khulu' penggugat hanya menyanggupi uang iwad sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), walaupun tergugat awalnya keberatan karena ia meminta Rp 100.000.000,- (seratus juta rupuah) namun ia akhirnya diam dan tak memberi tanggapan. Sidang berikutnya dilanjutkan dengan pembuktian baik dari penggugat dan tanggapan tergugat terhadap bukti-bukti serta dihadirkan saksi-saksi keluarga dari masing-masing pihak, mengenai hal ini secara teknis telah 4
Yahya harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta : Garuda Metropolitan, 1990, hlm. 282.
57
58
penulis paparkan pada bab III, proses ini telah sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi :
. ﻦ َا ْﻧ َﻜ َﺮ ْ ﻋ َﻠﻰ َﻣ َ ﻦ ُ ﻋﻰ َو ْاﻟ َﻴ ِﻤ ْﻴ ِ ﻋ َﻠﻰ اﻟ َﻤ ﱠﺪ َ َا ْﻟ َﺒ ِّﻴ َﻨ ُﺔ Artinya
: "Keterangan (bukti) itu atas penggugat, sedangkan sumpah atas orang yang mengingkari".5
Dalam perkara ini hakim senantiasa memberikan penerangan serta berusaha mendamaikan kedua belah pihak untuk tidak bercerai, usaha mendamaikan ini tak hanya pada sidang pertama namun terus dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan sebagaimana pasal 31 UU No. 1 tahun 1974. akan tetapi penggugat bersikeras untuk tetap mempertahankan gugatannya, sehingga pada tahap selanjutnya diteruskan dengan putusan hakim. 3. Tahap Pelaksanaan Putusan Setelah majlis hakim menerima dan memeriksa perkara gugat cerai dan hak hadhanah, maka majlis hakim bermusyawarah serta memutuskan bahwa, memberikan ijin kepada tergugat (Nur Chandik bin H. Sukandar) untuk mengucapkan ikrar talak terhadap penggugat (Tri Dewi Setyaningrum binti Soemaroch), menetapkan hak hadhanah anak yang bernama Risa Agustias Maharani bin Nur Chandik, diberikan kepada tergugat, dan membebankan
biaya
perkara
kepada
penggugat
yang
hingga
kini
diperhitungkan sebesar Rp 156.000,- (seratus lima puluh enam ribu rupiah).
5
Ibnu Hajar Al Asqalany, Bulughul Maram, Manadillah Al Ahkam, Bandung : al-Ma'arif , t.t, hlm. 291.
58
59
Putusan Perkara Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ Pa. Dmk, adalah tepat dan sejalan dengan proses hukum yang berlaku. Putusan perkara ini adalah putusan akhir yang mempunyai kekuatan eksekutorial, dan bersifat contradiktoir, artinya bahwa dalam pemeriksaan ini dilalui dengan cara jawab menjawab secara timbal balik dengan kata lain bahwa dalam pemeriksaan ini terjadi dialog langsung dalam bentuk replik dan duplik. Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim adalah kepala putusan yang berbunyi : "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" Putusan ini mengabulkan gugatan untuk sebagian dan menolak selebihnya, dengan mengabulkan untuk gugat cerai namun menolak hak hadhanah untuk diberikan kepada penggugat dan putusan ini merupakan putusan akhir.6 Sesuai dengan pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama Demak. Dalam sejarah peradilan Islam seperti dimasa Rasulullah dan para sahabatpun, pemeriksaan perkara juga dilakukan oleh majlis hakim sebab hal itu akan lebih menjamin kecermatan dan wujudnya keadilan.7 Oleh karena itu, setelah dirasa cukup dalam proses pemeriksaan dalam Perkara Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk, maka hakim wajib menjatuhkan putusannya dengan segera
6
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada PA, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 259. 7 Roihan dan A. Rasyid, op cit, hlm. 121.
59
60
dan tidak dibenarkan menunda-nunda putusan tersebut tanpa alasan yang dibenarkan Undang-undang. Dalam perkara ini hakim telah menerapkan putusan dengan sebenarbenarnya dan tidak menyalahi aturan perUndang-undangan yang berlaku.
B. Analisis terhadap Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Demak Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Alasan yang dijadikan pertimbangan suatu putusan adalah memuat pertimbangan hakim yang merupakan alasan pemutusan perkara, yang di timbang secara kronologis dan korelasi terhadap segala macam dalil atau keterangan yang diajukan oleh pihak yang berperkara. Berikut ini penyusun akan menganalisis pertimbangan hukum hakim dalam Perkara Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk, sebagai berikut: Pertama, berdasarkan pasal 148 ayat (4) kompilasi hukum Islam menyebutkan bahwa setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwad atau tebusan, maka pengadilan agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya adi depan sidang pengadilan Demak. Hakim memerintahkan suami untuk mengikrarkan talak di depan sidang, adalah sudah sesuai dengan keadan yang ada karena hubungan antara suami istri tidak harmonis, serta kesepakatan antara keduanya dalam masalah iwad atau tebusan sebagaimana dalil hukum Islam :
60
61
. ﺟ ْﻴﻨِﻰ َ ﻦ اﻟ ﱠﺰ ْو َ ض َﺑ ْﻴ ِ ﻦ اﻟ ﱠﺘ َﺮ َ ﺨُﻠ ُﻊ ِﻣ ُ ﺢ اﻟ ُﺼ ِ َو َﻳ : "Sahnya khuluk apabila dengan kerelaan kedua belah pihak".8
Artinya
Kedua, mengenai hak hadhanah anak yang bernama Risa Agustias Maharani, hakim mendasarkan putusan dengan 3 pasal yaitu : 1. Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974, menyatakan bahwa : kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 2. Pasal 105 huruf a dan c kompilasi hukum Islam menyatakan bahwa pemeliharan anak yang belum mumayiz atau belum berumut 12 tahun adalah hak ibunya dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh bapaknya. 3. Pasal 156 huruf a sampai d Kompilasi Hukum Islam menyatakan : a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya meninggl dunia, dapat dipindahkan kepada pihak lain. b. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rahani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mendapat hak hadhanah pula. c. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekeluarga sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21) tahun.
8
Al-San’ani, Subulus Salam, Bairut : Darul Fikrit,t.th, hlm. 319.
61
62
d. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf a sampai d. Dasar hukum yang dipakai majelis hakim untuk memutuskan perkara ini adalah sangat tepat, namun hakim memberi putusan tidak sesuai dengan pasalpasal tersebut karena hakim beranggapan bahwa kalau anak diberikan kepada ibunya maka tidak mencerminkan keadilan. Suatu putusan harus memuat 3 macam : 1. Mencerminkan keadilan. 2. Mencerminkan kemanfaatan. 3. Mencerminkan kepastian hukum. Dalam hal ini majlis hakim beranggapan bahwa jika anak diberikan kepada ibunya sebagaimana pasal di atas, maka ayahnya tidak bisa menemui anak tersebut, karena setiap ayah ingin menjenguknya selalu dihalang-halangi oleh pihak ibu, hal ini pun diakui oleh pihak ibu sendiri.9 Pertimbangan hukum yang ketiga, bahwa hakim melihat kenyataan yang terungkap dalam persidangan, terutama sikap penggugat dan keluarganya yang ternyata ada indikasi pemutusan hubungan silaturahmi antara anak dan bapaknya, maka hal ini akan mengganggu emosi anak dan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa anak dimasa yang akan datang. Pertimbangan hakim yang dipakai dalam memutus perkara ini memang sangat tepat, hakim mendasarkan putusannya dengan melihat kenyataan yang 9
Wawancara dengan Bapak. Drs. Rady Yusuf, Salah Satu Hakim yang Menangani Kasustersebut pada tanggal 5 November 2007.
62
63
terungkap dalam persidangan bahwa penggugat mempunyai sikap ingin memutus hubungan antara anak dengan ayah karena setiap ayah ingin menemui anak tersebut selalu dihalang-halangi oleh keluarga penggugat (ibunya). Syarat orang yang melaksanakan hadhanah itu diantaranya harus amanah dan berlaku baik, jika anak diasuh oleh orang yang berkelakuan jelek dikhawatirkan sifat seorang anak akan meniru sifat tersebut. Sehingga akan berdampak negatif dalam kehidupannya.10 Melihat dari berbagai proses pertimbangan yang berlangsung maka wajar jika majlis hakim berpendapat bahwa penggugat mempunyai kelakuan yang tidak baik terhadap pihak tergugat dengan tidak menginginkan tergugat untuk bertemu anaknya, namun satu hal yang kurang diperhatikan oleh majlis hakim, bahwa majlis hakim mengabaikan pasal UU yang ada , dengan hanya bersandar kepada fakta yang muncul dalam persidangan sebagaimana dalam pasal 62 ayat 1 UU Nomor 7 tahun 1989, bahwa segala penetapan dan putusan pengadilan, selalu harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dari pasal tersebut jelas bahwa putusan disamping memuat alasan-alasan harus juga disertai dasar Undang-undang yang mendukungnya ataupun sumber hukum tak tertulis lainnya.
10
Abdul Manan, Penerapan Hakim Acara Perdata Dilingkungan PA, Jakarta : Prenada media, 2005, hlm. 426.
63
64
Dalam pasal 105 menerangkan bahwa anak yang belum mumayiz jika terjadi perceraian hak hadhanah jatuh kepada ibunya, karena seorang ibu lebiuh bersabar dan lebih mampu untuk mengasuhnya dari pada ayah. Apalagi anak yang bernama Risa Agustias maharani, baru berumur 1 tahun 4 bulan, tentunya masih sangat membutuhkan kasih sayang dan belaian seorang ibu,dilihat dari kemaslahatan anak walaupun ibu memiliki kelakuan yang kurang baik terhadap ayah (suaminya) dengan tidak mengijinkannya untuk bertemu dengan anak tersebut, seharusnya kebutuhan untuk saat ini harus diutamakan seperti kaidah fiqih :
.ﻰ ْﺧ ِ ﻰ اﻟ ﱠﺘﺮَا َ ﺳّ ُﻊ َواْﻟ َﻔ ْﻮ ُر ﻋَﻠ ِ ﻰ اْﻟ ُﻤ َﻮ َ ﻖ ﻋَﻠ ُ ﻀ ِّﻴ َ ق ُﻗ ِّﺪ َم ِﻣ ْﻨﻬَﺎ اﻟ ُﻤ ُ ﺤ ُﻘ ْﻮ ُ ض اْﻟ َ ِاذَا َﺗﻌَﺎ َر Artinya
: “Apabila saling bertentangan ketentuan hukum, maka didahulukan yang waktu sempit dari pada yang longgar dan dilakukan yang menghendaki segera dari pada yang ditunda”.11
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233 :
..... ﻦ ِ ﻦ ِآَﺎ ِﻣ َﻠ ْﻴ ْ ﺣﻮْﻟ َﻴ َ ﻦ ﻦ َا ْو َﻻ َد ُه ﱠ َ ﺿ ُﻌ ِ ت ُﻳ ْﺮ ُ َواْﻟﻮَا ِﻟﺪَا Artinya
: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh”. (Al-Baqarah : 233)12 Dari ayat ini bahwa pada masa-masa kurang dua tahun kebutuhan anak
terhadap ibu lebih tinggi daripada ayahnya, karena anak masih membutuhkan air susu dari ibu dan kasih sayangnya.
11
Imam Musbikin, Aziz Mustofa, Qowaid Al-Fiqhiyah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 76. 12 Depag, Al-Quran dan Terjemah, Surabaya : Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 57.
64
65
Hal ini diperjelas dalam KHI pasal 156 bahwa anak yang belum mumayiz adalah hak ibunya, namun ketika anak itu sudah bisa berdiri sendiri maka anak tersebut berhak untuk memilih sendiri mau ikut ayah atau ibunya. Di dalam kitab Fathul Mu'in diterangkan
bahwa orang yang berhak
melakukan hadhanah anak yang belum mumayiz, adalah ibu dari anak yang bersangkutan selama ibu belum kawin dengan laki-laki lain kemudian nenek sibayi lalu nenek dari ayah dan seterusnya.13 Hal ini pernah terjadi pada masa Rasulullah "Ya rasul anakku ini adalah duri kandunganku, pangkuanku merupakan tempatnya berlindung dan dari susuku ia mendapat muniman, bapaknya telah menceraikan aku dan ia hendak mengambil anak ini dariku" Rasul bersabda :"Engkau lebih berhak terhadap anak ini selama engkau belum kawin lagi".14 Hal ini ini pun diperkuat sabda Nabi :
ﻮ َم اﻟ ِﻘ َﻴﺎ َﻣ ِﺔ )اﺧﺮﺟﻪ اﻟﺘﺮﻣﺬ ْ ﺣ ﱠﺒ ِﺘ ِﻪ َﻳ ِ ﻦ َا َ ﷲ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻪ َو َﺑ ْﻴ ُ قا َ ﻦ َوا ِﻟ َﺪ ِة َو َو َﻟ ِﺪ َهﺎ َﻓ ﱠﺮ َ ق َﺑ ْﻴ َ ﻦ َﻓ ِّﺮ ْ َﻣ (واﺑﻰ ﻣﺎﺟﻪ Artinya
: "Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya maka Allah akan memisahkan antara dia dan kekasihnya pada hari kiamat" (HR. Tirmidzi & Ibnu Majah)15
Pertimbangan hukum yang keempat bahwa dikaitkan dengan ketidak mampuan penggugat untuk mencukupi kebutuhan anak maka hakim berpendapat
13
Moch Anwar, et al, Terjemahan Fathul Mu'in, Bandung : Sinar baru Al Gensindo, Jilid 2, hlm. 1502. 14 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Midas Surya Grafindo, 1988, hlm. 400. 15 Ibnu Rusyd, Imam Ghazali Said (terjemah) et. al, Bidayatul Mustand, Jakarta : Pustaka Amani, 2002, hlm. 526.
65
66
bahwa kesejahteraan jarmani anak tersebut secara tidak langsung akan terbengkelai. Mengenai hal ini hakim kurang tepat dalam menjadikannya sebagai pertimbangan hukum. Karena hal ini sudah diatur dalam pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo pasal 105 dan 156 kompilasi hukum islam bahwa apabila terjadi perceraian antara suami dan isteri maka biaya hadhanah dan nafkah menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya. Sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri, sedangkan ibu hanya berhak untuk mengurus anak sampai usia mumayiz (12 tahun). Firman Allah :
( ٢٣٣ : )اﻟﺒﻘﺮة.... ف ِ ﻦ ِﺑﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌ ُﺮ ْو ﺴ َﻮ ُﺗ ُﻬ ﱠ ْ ﻦ َو ِآ ﻰ ْاﻟ َﻤ ْﻮُﻟ ِﺪ َﻟ ُﻪ ِر ْز ُﻗ ُﻬ ﱠ َ ﻋﻠ َ … َو. Artinya
: “…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaiankepada para ibu dengan cara ma’ruf …16
FirmanNya lagi :
ﻦ ن ُآ ﱠ ْ ﻦ َوِا ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻬ ﱠ َ ﻀ ْﻴ ُﻘ ْﻮا ِ ﻦ ِﻟ ُﺘ ﻀﺎ ﱠر ْو َه ﱠ َ ﺟ ِﺪ ُآ ْﻢ َو َﻻ ُﺗ ْ ﻦ ُو ْ ﺳ َﻜ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ِﻣ َ ﺚ ُ ﺣ ْﻴ َ ﻦ ْ ﻦ ِﻣ ﺳ ِﻜ ُﻨ ْﻮ ُه ﱠ ْ َا ْ ﻦ َﻓ ِﺎ ﺣ ْﻤ َﻠ ُﻬ ﱠ َ ﻦ َ ﻀ ْﻌ َ ﻰ َﻳ ﻦ ﺣ َﺘ ﱠ ﻋ َﻠ ِﻴ ِﻬ ﱠ َ ﺣ ْﻤ ٍﻞ َﻓ َﺄ ْﻧ ِﻔ ُﻘ ْﻮ َ ت ُ ُا ْو َﻻ ﻦ ﺟ ْﻮ َر ُه ﱠ ُ ﻦ ُا ﻦ َﻟ ُﻜ ْﻢ َﻓ ْﺄ ُﺗ ْﻮ ُه ﱠ َ ﺿ ْﻌ َ ن َا ْر ْ ﺿ ْﻴ ُﻊ َﻟ ُﻪ ُا ِ ﺴ ُﺘ ْﺮ َ ﺳ ْﺮ ُﺗ ْﻢ َﻓ َ ن َﺗ َﻌﺎ ْ ف َوِا ٍ َو ْأ َﺗ ْﻤ ِﺮ ُوا َﺑ ِﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ِﺑ َﻤ ْﻌ ُﺮ ْو (٦ : ﺧ َﺮى )اﻟﻄﻼق Artinya
: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu 16
Q.S. Al-Baqarah. hlm. 57.
66
67
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Dari kedua ayat tersebut jelas bahwa suami wajib memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya, jika mereka telah bercerai suami masih berkewajiban memberikan biaya hadhanah dan nafkah kepada anak-anaknya sampai mereka dewasa. Orang tua wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya dengan beberapa syarat : 1. Kedua orang tua mempunyai kelonggaran rizki. 2. Anak tidak mempunyai harta dan pekerjaan.17 Kewajiban suami bukan hanya memberikan biaya kepada anaknya namun juga harus memnerikan upah kepada isterinya yang memelihara anaknya. Upah memelihara sama halnya nafkah menyusui, yaitu harus dibayar oleh ayah apabila si anak kecil itu tidak mempunyai harta, dan jika dia punya harta sendiri, maka upahnya diambilkan dari harta anak tersebut. Namun harus juga diperhatikan bahwa jika ibu yang memelihara anak itu maka masih berhak menerima upah pemeliharaan, begitu juga perempuan yang ditalak raj’i, selama dia masih dalam iddah, karena menerima nafkah sebagai isteri dan nafkah iddah.18 Selanjutnya kembali pada pokok permasalahan dalam perkara Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Terlepas dari tepat dan kurang tepatnya pertimbangan 17
Imam Taqiyudin Abu Bakar Al Husaiani, Ahmad Zaidun (terjemah), Kifayatul Akhyar, Surabaya : Bina Ilmu, 1997, hlm. 620. 18 Mu’amal Hamidy, Perkawinan dan Persoalannya, Bagaimana Pemecahannya dalam Islam, Surabaya : Bina Ilmu, 1978, hlm. 160.
67
68
hakim dalam perkara ini, namun melihat dari seluruh proses pertimbangan yang dilaksanakan oleh majlis hakim di Peradilan Agama Demak, dimana adanya indikasi dari pihak ibu untuk memutus silaturahmi anak terhadap bapaknya serta ketidak mampuan ibu dalam mencukupi kebutuhan anak karena ibu tak bekerja. Maka sangatlah beralasan bila hukum Pengadilan Agama Demak memutuskan bahwa hak hadhanah diberikan kepada ayahnya. Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, menyatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Dilanjutkan ayat (2) bahwa kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlalu sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.19 Menurut pasal ini memelihara dan mendidik anak adalah kewajiban orang tua meskipun keduanya sudah bercerai, selama anak itu belum mencpai usia 18 tahun atau sampai anak itu kawin kewajiban orng tua memelihara anak meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani). Pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu kebutuhan primer dan skunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial ekonomi orang tua anak.20 Dalam perkara ini selanjutnya majlis hakim mengadili bahwa berdasarkan pasal 89 UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka biaya perkara dibebankan kepada penggugat yang hingga kini diperhitungkan sebesar 19 20
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo, 2003, hlm. 245. Abdul Manan, op cit, hlm. 429.
68
69
Rp 156.000,- (seratus lima puluh enam ribu rupiah) serta menyatakan bahwa jatuhnya talak dan hak hadhanah jatuh kepada tergugat (ayahnya).
C. Analisis Terhadap Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Demak Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Dalam setiap putusan landasan yang digunakan majlis hakim harus sesuai dengan dasar hukum dalam perUndang-undangan. Berikut ini penyusun akan menganalisis putusan Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk, tentang hak hadhanah anak yang belum mumayiz jatuh kepada ayahnya. Dasar hukum yang dipakai hakim Pengadilan Agama dalam perkara tersebut adalah pasal 45 UU Nomor 1 tahun 1974 Jo pasal 105 huruf a dan c serta 156 huruf a sampai d. kompilasi hukum Islam. Sesuai dengan ketentuan yng berlaku, dasar hukum untuk memutus perkara ini adalah peraturan perUndang-undangan negara yang berlaku disusun menurut urutan derajatnya. Beberapa sumber hukum yang digunakan di dalam lingkungan Peradilan Agama adalah : 1. Kitab UU hukum perdata (Burgerlijk Wetbock Voor Indonesia) disingkat BW. 2. Reglemen Indonesia yang dibaharui (Het Helziene Indonesia Reglement) yang lebih dikenal dengan singkatan HIR atau RIB.
69
70
3. Reglemen acara daerah luar Jawa dan Madura (Reglement Tot Regiling Van Het Rechwezen In De Gewesten Bulten Java En Madura), atau disingkat RBG. 4. UU No. 7 tahun 1989 5. UU No. 14 tahun 1970 6. UU No. 14 tahun 1985 7. UU no. 1 tahun 1974 Jo PP No. 9 tahun 1975 8. UU No. 20 tahun 1947 9. Inpres No. 1 tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam) 10. Peraturan Mahkamah Agung 11. Surat edaran Mahkamah Agung RI 12. Peraturan Menteri Agama dan Keputusan Menteri Agama 13. Kitab-kitab Fiqih Islam dan sumber hukum tidak tertulis lainnya. 14. Yurisprudensi Mahkamah Agung.21 Dalam perkara ini, hakim menggunakan UU Nomor 1 tahun 1974 kemudian dikuatkan pasal 105 dan 156 huruf a sampai d Kompilasi Hukum Islam, berarti secara urutan derajat adalah sudah tepat namun ada beberapa hal yang kurang mendapat perhatian dari hakim : Pertama, dasar hukum yang digunakan oleh hakim yaitu pasal 105 dan 156 kompilasi hukum islam ternyata tidak sesuai dengan alasan yang menjadi pertimbangan hukum hakim, alangkah baiknya jika hakim menguatkannya 21
Mukti Arto, op cit, hlm. 12.
70
71
dengan undang-undang atau kitab-kitab islam yang menjadi rujukan bagi Pengadilan Agama sebagaimana pasal 62 ayat (1) No. 3 Tahun 2006. Dalam kitab Kifayatul Akhyar diterangkan bahwa syarat-syarat orang berhak mengasuh anak setelah perceraian di antaranya menjauhkan dari hal-hal yang tidak baik dan dapat dipercaya, karena mengasuh anak berarti menguasai anak tersebut jika yang memelihara anak bersifat kurang baik maka dikhawatirkan anak akan tumbuh dewasa meniru cara hidup pengasuh tersebut. Lebih lanjut Imam Nawawi menfatwakan bahwa kelayakan ibu dalam mengasuh anak harus ditetapkan didepan hakim, kalau ayah atau yang lainnya yang mempunyai hak asuh menyangkal kelayakan ibu dalam mengasuh anak.22 Kedua, hakim hanya mendasarkan pada fakta yang terjadi dalam persidangan namun alasan tersebut tidak disertai dengan dasar-dasar hukum yang dapat menguatkannya. Dari pertimbangan-pertimbangan hukum yang dipakai oleh majlis hakim ternyata hakim hanya mendasarkan pada kenyataan yang terungkap dalam persidangan namun tidak disertai dengan dasar hukum yang menguatkan putusannya, dalam hal ini hakim memaparkan pasal 105 dan 156 KHI yang isinya bahwa hadhanah anak kecil adalah hak seorang ibu. Lebih-lebih dalam perkara hadhanah, ditinjau dari kebutuhan anak yang masih kecil dan belum mandiri, hadhanah merupakan kewajiban bagi orang tua, ketika orng tua masih dalam hubungan perkawinan. Hadhanah bisa dilaksanakan 22
Imam Taqiyudin Abu Bakar al Husaini, op cit. hlm. 647.
71
72
bersama-sama namun jika terjadi perceraian tidak sedikit anak yang menanggung akibat perceraian itu. Prinsip perceraian dalam Islam adalah dilarang, hal ini dapat dilihat pada isyarat Rasulullah SAW, bahwa talak adalah perbuatan yang paling dibenci Allah, sabda Rasulullah SAW :
ﺾ ُ ﺳﱠﻠ ْﻢ َا ْﺑ َﻐ َ ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻ َﻠﻰ ا َ ﷲ ِ ﺳ ْﻮ ُل ا ُ َﻗﺎ َل َر: ﻋ َﻤ َﺮ رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل ُ ﻋﻦ اﺑﻰ (ق )رواﻩ اﺑﻮ داود واﺑﻰ ﻣﺎﺟﻪ واﻟﺤﺎآﻢ ُ ﻼ َﻄ َ ﷲ اﻟ ِ ﻰا َ ﻼ ِل ا ِﻟ َﺤ َ اﻟ Artinya
: "Diriwayatkan dari ibn Umar r.a. katanya : Rasulullah pernah bersabda " perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak / perceraian"23.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternatif terakhir, sebagai "pintu darurat" yang boleh ditempuh manakala bahwa kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhannya dan kesinambungannya.24 Kalau memang ternyata harus dilakukan perceraian maka kepentingan anak harus di pikirkan misalnya siapa yang harus memelihara, hak apa saja yang harus diberikan orang tua kepada anaknya, termasuk juga tuntutan hak pernguasaan anak.25 Untuk itu hakim yang memeriksa dan mengadili hadhanah haruslah bersikap hati-hati, harus mempertimbangakan dari berbagai aspek kehidupan dan hakim wajib memberikan putusan seadil-adilnya, dalam hal ini hakim harus memiliki 2 pengetahuan, yaitu : pengetahuan tentang hukum dan pengetahuan 23
Abu Dawud, Sunah Abu Dawud, Bairut : Dar al Fikr, 1996, hlm. 120. Ahmad Rafiq, op cit, hlm. 268. 25 Abdul Manan, op cit, hlm. 424. 24
72
73
mengenai peristiwa hukum yang terjadi, lalu mengkualifikasirnya dan selanjutnya menerapkan hukum yang semestinya pada peristiwa itu.26 Maka dari itu, bagi para hakim di Pengadilan Agama dituntut harus aktif dalam menemukan pokok permasalahan yang dihadapi para pihak yang berperkara, sehinga dalam putusan tersebut, hakim akan terhindar dari kesalahan fatal, yang akan menjerumuskan masa depan anak.
26
Ibnu Qoyim Al Jauziah Adnan Qohar, anshoruddin(terjemah), Hukum Acara Peradilan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 2.
73
74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Putusan perkara Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Berawal dari gugatan yang diajukan oleh Tri Dewi Setyaningrum terhadap tergugat Nur Chandik bin H. Sukandar, yang berisi tentang tuntutan untuk mengajukan talak khul’i. Namun dalam persidangan diajukan pula hak hadhanah anak yang bernama Risa Agustias Maharani yang pada saat itu berumur 1 tahun 4 bulan, ternyata telah sesuai dengan Hukum Acara Perdata. Secara garis besar dalam prosesnya melalui beberapa tahap yaitu, tahap penerimaan perkara, tahap pemeriksaan hingga pembuktian dan tahap pelaksanaan putusan. 2. Pertimbangan hukum yang digunakan Majelis hakim dalam memutus perkara Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk tentang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayiz, adalah bahwa hakim melihat kenyataan yang muncul dalam persidangan yaitu adanya indikasi dari pihak ibu untuk memutus hubungan tali silaturahmi antara anak dan ayahnya, karena pihak ibu selalu menghalanghalangi ayah setiap kali ingin menemui anaknya serta di kaitkan ibu tidak bekerja, maka kebutuhan hidup anak secara tidak langsung akan terbengkelai, sehingga majlis hakim menetapkan hak hadhanah jatuh kepada ayahnya namun hal ini tidak sesuai dengan pasal 105 dan 156 KHI yang dijadikan
74
75
dasar hukum oleh majlis hakim tersebut, karena pasal itu menerangkan bahwa yang wajib membiayai kebutuhan hidup anak adalah ayah. 3. Dasar hukum yang digunakan majelis hakim dalam memutus yaitu pasal 45 ayat 1 UU tahun 1974 jo 105 dan 156 KHI belum cukup kuat untuk mendukung alasan-alasan hakim, alangkah baiknya jika hakim menguatkan putusanya dengan kitab-kitab fiqih islam dan sumber hukum tidak tertulis lainnya yang dapat menguatkan putusannya. B. Saran-saran Dari hasil penelitian dan pembahasan yang penulis lakukan, ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan : 1. Para hakim di Pengadilan Agama Demak dalam mengambil pertimbangan hukum untuk perkara yang sama dengan perkara Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk, hendaknya sesuai dengan pasal-pasal yang dijadikan dasar hukumnya. Pertimbangan hukum majlis hakim dalam hal ini adalah adanya kenyataan bahwa ibu tidak bekerja, sehingga tidak bisa menjamin kebutuhan anak padahal pasal 41 UU nomor 1 tahun 1974 Jo pasal 105 dan 156 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah sampai anak itu dewasa. 2. Para hakim di Pengadilan Agama Demak dalam mengambil dasar hukum yang sama dengan perkara nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk jangan hanya mengacu pada pasal 45 UU Nomor 1 tahun 1975 Jo pasal 105 dan 156 Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi dalil yang digunakan dalam mengambil
75
76
putusan tersebut, seharusnya juga menyertakan kitab-kitab fiqih islam dan sumber
hukum
tidak
tertulis
lainnya,
sehingga
kredibilitas
hakim
dimasyarakat akan terjaga.
C. Penutup Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya, hanya karena Anugerah dan Pertolongan-Nyalah penulis dapat mengatasi segala hambatan dan rintangan yang mengusik selama proses penyelesaian karya ilmiah ini hingga pada akhirnya penulis dapat berhasil menyelesaikannya. Seluruh kemampuan dan usaha telah penulis coba demi sebuah hasil yang baik dan maksimal, akan tetapi kami sadari dan akui akan keterbatasan pengetahuan, kemampuan serta pengalaman yang ada dalam diri kami, dari itulah penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan skripsi ini. Kepada semua pihak yang turut membantu baik langsung maupun tidak langsung hingga kami berhasil menyelesaikan skripsi ini, dengan segala kemurahan hati penulis haturkan terima kasih, seiring do’a semoha Allah SWT, memberikan balasan yang lebih baik. Akhirnya dengan mengharap Ridla dan Kemurahan-Nya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya. Wallahu al-Muwafiq ila Aqwami al-Thariq
76
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, dkk, Proses Penyelesaian Perkara di PA, Jakarta: CV Mita Sarana, 1996 Abdussalam, Abu Abdillah, Hibanatul Ahkam, Bairut: Darul Fikri, t,th, Juz III. A. Muktiarto, Praktek-praktek Perkara pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: 2005, Cet. VI. Ansorudin, (terjem), Hukum Acara Peradilan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Al-Asqolani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Manadillah Al Ahkam, Bandung: Al Ma’arif, t.th. Al-Husaini, Imam Taqiyudin Abu Bakar, Ahmad Zaedun (terjem), Kifayatul Akhyar, Surabaya: Bina Ilmu, 1997. Al-Jaziri, Abdurrohman, Kitabul Fiqih Ala Madzahibil Arba’ah, Bairut: Darul Fikri, t, th. Al-San’ani, Subul Al-Salam, Juz III, Lebanon – Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiah, 1988. A. Rasyid, Roehan, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Arikunto, Suharsini, Prosedut Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Budiono, Abdul Rahmat, Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia, Malang: Bayu Media, 2003. Dahlan, Abdul Aziz, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, Jakarta: Ikhtiyar Baru, Van Hoefe, 1996, Cet 1. Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan islam, Jakarta: Midas Surya Grafinda, 1988.
Dawud, Abu, Sunan Abu Dawud, Bairut – Lebanon: Dar Al-Fikr, 1996. Depag, Al-Quran Dan Terjemah, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993. ________, Ilmu Fiqih, Jakarta : Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985. ________, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Agama Islam, 1999
Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Efendi, Satria, Probematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Prenada Media, 2004 Hakim, Rahmad, Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000. Hamdani, Said Thalib, Agus Salim (terjem), Risalatun Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, 1989. Hamidi Muamal, Perkawinan dan Persoalannya Bagaimana Pencegahannya dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1978. Harahab, M. Yahya, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. II, 2003 Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Islam, Cet. 1, 2005. Mannan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan PA, Jakarta: Prenada Media, Cet. 3, 2005. Moh Anwar, dkk, Terjemahan Falkhul Mu’in, Bandung: Sinar Baru Al Gensindo, Jilid 2. Moh Rifai, dkk, Terjemah Khulashoh Khifayatul Akhyar, Semarang: CV Toha Putra. Muhadjir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Serasin, 1989. Munawar, Ahmad Warson, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997 Musbikin, Imam, Quwaid Al Fiqhiyah, Jakarta: Raja Drafindo Persada, 2001. Nawawi, Hadari, Metode-metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Gajah Media University Press, 1993. Putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk.
Rasyid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Al Gensindo, 1994, Cet. 27. R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri Jakarta, Jakarta: Pradya Paramita, Cet. 14, 2000 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Graf indo Persada, 1998 Said, Imam Ghozali, dkk, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2002 Subekti, dkk, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradya Pramita, 2001 Syabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, Jilid 6, Bandung: Al-Ma’arif, 1980 Uwaidah, Kamil Muhammad, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998. Wahbah Zuhaili, Al Fiqhu al Islami wa Adilatuhu, Bairut: Darul Fikri,t.th.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Asmuni
Tempat, Tanggal Lahir
: Demak, 20 April 1982
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Desa Krandon Rt. 11 Rw. III Kecamatan Guntur Kabuapten Demak
Pendidikan
: 1. Madrasah Ibtidaiyah Tholibin Krandon Tamat Tahun 1995. 2. Madrasah Tsanawiyah Hidayatus Syuban Genuk Tamat Tahun 1998. 3. Madrasah Aliyah Fuhiyyah 1 Mranggen Tamat Tahun 2002. 4. Fakultas Syariah Jurusan Ahkwal Sakhsyiah IAIN Walisongo Semarang.
BIO DATA PENULIS
Nama
: Asmuni
Tempat, Tanggal Lahir
: Demak, 20 April 1982
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Desa Krandon Rt. 11 Rw. III Kecamatan Guntur Kabuapten Demak.
Nama Orang Tua a. Ayah
: Mat Thohir
Pekerjaan
: Petani
Agama
: Islam
Alamat
: Desa Krandon Rt. 11 Rw. III Kecamatan Guntur Kabuapten Demak.
b. Ibu
: Al Fiyah
Pekerjaan
: Petani
Agama
: Islam
Alamat
: Desa Krandon Rt. 11 Rw. III Kecamatan Guntur Kabuapten Demak.
Drs. H. Eman Sulaeman, M.H Tugurejo A.3 Rt. 02 Rw. 01 Tugu Semarang PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp
: 5 (tiga) eksemplar
Hal
: Naskah Skripsi
Semarang, 14 Januari 2008
a.n. Sdr / a
Kepada Yth.
Asmuni
Bapak Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb Setelah saya mengadakan korelasi dan perbaikan seperlunya, maka bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara :
Nama
: Asmuni
NIM
: 2102116
Jurusan
: Ahwal Al-Syakhiyah
Judul skripsi : Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/Pdt.G/ 2003/ Pa. Demak. Tentang Hak Hadhanah bagi Anak yang Belum Mumayiz.
Dengan ini saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat di munaqosahkan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Eman Sulaeman, M.H NIP. 150 254 348
Drs. Saekhu NIP. 150 268 217
Semarang, 14 Januari 2008 Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb Setelah kami selesai memberikan bimbingan penulisan skripsi saudara : Nama
: Asmuni
NIM
: 2102116
Jurusan
: Ahwal Al-Syakhiyah
Judul skripsi : Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/Pdt.G/ 2003/ Pa. Demak. Tentang Hak Hadhanah bagi Anak yang Belum Mumayiz. Maka kami memberikan nilai sebagai berikut : 1. Proses bimbingan
:
..................................................
:
..................................................
:
..................................................
2. Kemampuan penulisan (metode & materi) Nilai rata-rata
Demikian harap menjadikan maklum, dan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Pembimbing
Drs. H. Eman Sulaeman, M.H NIP. 150254348
Semarang, 7 Januari 2008 Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb Setelah kami selesai memberikan bimbingan penulisan skripsi saudara : Nama
: Asmuni
NIM
: 2102116
Jurusan
: Ahwal Al-Syakhiyah
Judul skripsi : Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/Pdt.G/ 2003/ Pa. Demak. Tentang Hak Hadhanah bagi Anak yang Belum Mumayiz. Maka kami memberikan nilai sebagai berikut : 1. Proses bimbingan
:
..................................................
:
..................................................
:
..................................................
2. Kemampuan penulisan (metode & materi) Nilai rata-rata
Demikian harap menjadikan maklum, dan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Pembimbing
Drs. Saekhu NIP. 150268217