Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2017 2(2): 11–20
Karakteristik Morfologi Dasar Laut dan Hubungannya dengan Ketebalan Sedimen dan Kecepatan Arus di Selat Flores, Selat Lamakera, Selat Boling, dan Selat Alor Characteristics of Sea Bottom Morphology and Their Relationships with Sediment Thickness and Current Speed in the Straits of Flores, Lamakera, Boling, and Alor Muhammad Hasanudin Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Email:
[email protected] Submitted 31 May 2016. Reviewed 13 February 2017. Accepted 10 April 2017.
Abstrak Morfologi dasar laut suatu selat dapat memengaruhi deposit sedimen dan kecepatan arus di selat tersebut. Selat Flores, Selat Lamakera, Selat Boling, dan Selat Alor menghubungkan Laut Flores dan Laut Sawu di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi dasar laut dan hubungannya dengan ketebalan sedimen dan kecepatan arus di selat-selat tersebut. Single Beam Echosounder dan SubBottom Profiler digunakan untuk mengukur kedalaman perairan dan lapisan bawah permukaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar laut Selat Flores berbentuk cekungan pada kedalaman sekitar 250 m, sedangkan dasar laut pada sambungan antara Selat Boling, Selat Lamakera, dan Selat Alor berupa punggungan yang mengarah ke Laut Flores dan Laut Sawu dengan kedalaman hingga 3.000 m. Ketebalan endapan sedimen di Selat Flores mencapai 50 m, sedangkan di Selat Boling, Selat Lamakera, dan Selat Alor endapan sedimen tidak tampak. Di Selat Flores yang berciri selat sempit, kecepatan arus berkisar dari 0,3 hingga 3,8 m/s. Gambaran kondisi bawah permukaan di selat-selat ini dapat digunakan untuk navigasi pelayaran bagi kapal-kapal yang akan melintasi selat-selat tersebut, khususnya kapal yang lebih dari 2.000 ton. Morfologi selat yang sempit mengakibatkan massa air di daerah ini memiliki kecepatan arus yang besar, sehingga proses sedimentasi hanya terjadi di Selat Flores yang dasar lautnya berbentuk cekungan. Kata kunci: morfologi dasar laut, ketebalan sedimen, kecepatan arus, Selat Flores, Selat Lamakera, Selat Boling, Selat Alor.
Abstract The morphology of the seabed of a strait may affect sedimentary deposits and current speeds in the strait. The Straits of Flores, Lamakera, Boling, and Alor connect the Flores Sea and Savu Sea in East Nusa Tenggara Province. This study aimed to determine the characteristics of seabed morphology and its relation to sediment thickness and current speed in the straits. Single Beam Echosounder and SubBottom Profiler were used to measure depth of waters and subsurface. The results showed that the seabed of the Flores Strait was basin-shaped at a depth of about 250 m, while the seabed at the connections between the Straits of 11
Hasanudin
Boling, Lamakera, and Alor was a ridge leading to the Flores Sea and Savu Sea with depths up to 3,000 m. The thickness of the sedimentary sediments in the Flores Strait reached 50 m, while in the Straits of Boling, Lamakera, and Alor sedimentary deposits were not visible. In the Flores Strait which was characterized by narrow strait, the current speed ranged from 0.3 to 3.8 m/s. The descriptions of subsurface conditions in these straits can be used for navigation of ships that will cross the straits, especially vessels of more than 2,000 tons. The narrow strait morphology causes the mass of water in this region to have a high current speed. Therefore, the sedimentation occurs only in the Flores Strait due to its basin-shaped seabed. Keywords: sub-bottom profile, sediment thickness, current speed, Flores Strait, Lamakera Strait, Boling Strait, Alor Strait.
Pendahuluan Selat Flores, Selat Lamakera, Selat Boling, dan Selat Alor adalah selat-selat sempit yang menghubungkan Laut Flores dan Laut Sawu. Selat-selat ini diketahui mempunyai kecepatan arus yang tinggi (Anonim 2011). Selat Flores merupakan perairan yang relatif tertutup dengan mulut yang sempit, baik di bagian utara maupun bagian selatan. Selat Boling dan Selat Lamakera memiliki mulut yang sempit di bagian utara, namun melebar ke arah selatan, sedangkan Selat Alor relatif terbuka dengan mulut yang lebar, baik di utara maupun selatan. Perbedaan bentuk selatselat tersebut berpengaruh pada morfologi dasar lautnya, yang berimplikasi pada proses sedimentasi dan kecepatan arus di perairan ini. Naudts et al. (2006) menggunakan Echosounder dan SubBottom Profiler di Laut Hitam untuk mengetahui pengaruh morfologi dasar laut pada proses sedimentasi, kondisi struktur, dan perlapisan bawah permukaan dasar laut. Hasil penelitian itu bermanfaat untuk keselamatan pelayaran. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, manfaat yang bisa diambil, khususnya di perairan Nusa Tenggara Timur dengan bentuk selat relatif sempit, adalah dalam pengaturan keluar-masuk kapal. Hasil penelitian LPEM-FEUI (2010) menyatakan bahwa hanya kapal barang dengan tonase di bawah 2.000 ton yang diperbolehkan bersandar di pelabuhanpelabuhan NTT termasuk pelabuhan Larantuka, kecuali pelabuhan Tenau di Kupang yang dapat disandari kapal dengan tonase sampai 10.000 ton. Topografi dasar laut memengaruhi sirkulasi air laut melalui dua cara, yaitu mengarahkan sirkulasi aliran air laut dan mencegah perairan dalam untuk bercampur (Gille et al. 2004).
12
Morfologi dasar laut juga memengaruhi ketebalan endapan sedimen suatu perairan (Tyllman 2004). Morfologi dasar laut dengan bentuk cekungan cenderung memiliki deposit sedimen lebih tebal bila dibandingkan dengan dasar laut yang memiliki bentuk datar atau miring. Perairan Indonesia banyak memiliki aliran arus laut dengan kecepatan yang tinggi akibat melewati selat-selat sempit (Ramachandran 2015). Sebagai contoh, aliran arus yang bergerak di selatselat Kepulauan Sunda Kecil memiliki kecepatan 0,2–3,8 m/s (Wahyono et al. 2012). Pemetaan batimetri adalah metode yang dilakukan untuk mengetahui kedalaman laut dan morfologi dasar lautan, sedangkan pemetaan subbottom profiler dilakukan untuk mengetahui struktur bawah permukaan laut seperti ketebalan sedimen (Hasanudin 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik Selat Flores, Selat Lamakera, Selat Boling, dan Selat Alor berdasarkan morfologi dasar laut dan kondisi bawah permukaanya, serta ketebalan sedimen dan kecepatan arus.
Metodologi Penelitian mengenai morfologi dasar laut dan kondisi bawah permukaan laut merupakan salah satu aspek penelitian yang dilakukan pada Ekspedisi Lamalera 2011. Ekspedisi Lamalera dilakukan di perairan Nusa Tenggara Timur, yaitu di sekitar Pulau Flores, Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata, dan Pulau Pantar (Gambar 1). Penelitian ini dilaksanakan pada 20–30 Juli 2011.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2017 2(2): 11–20
Gambar 1. Lokasi survei. Figure 1. Survey location.
Gambar 2. Lintasan survei batimetri dan subbottom profiler. Figure 2. Bathimetric and subbottom profiler survey tracks.
Dalam penelitian ini dilakukan akuisisi data kedalaman dasar laut menggunakan Single beam echosounder SIMRAD EA 500 dan data lapisan bawah permukaan menggunakan subbottom profiler dengan tipe Datasonics CHIRP II CAP 6600. Perekaman data batimetri dan subbottom profile dilakukan secara simultan dan dilakukan di sepanjang lintasan survei yang sama (Gambar 2). Data kedalaman perairan direkam dengan perangkat lunak Navipac dan diproses menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Selanjutnya, untuk memperoleh diagram morfologi dasar lautnya data diproses menggunakan perangkat lunak CFLOOR. Data kondisi bawah permukaan direkam dan diolah dengan perangkat lunak CHIRP II. Untuk memperoleh data ketebalan sedimen dilakukan
penarikan horison (lapisan batuan) pada penampang seismik yang interpretasinya didasarkan pada kriteria Ringis (1986), yaitu bahwa semua lapisan batuan memiliki kecepatan rambat gelombang seismik 1.500 m/s (Hasanudin 2015). Debit air yang melalui sebuah kanal secara khusus dipengaruhi oleh luas area dan kecepatan air yang melaluinya (Pizzi 2010), secara matematis dinyatakan dengan persamaan berikut: Q = A V .................................................(1) dengan Q = Debit (m3/s) A = Luas penampang (m2) V = Kecepatan alir (m/s)
13
Hasanudin
Persamaan (1) bisa juga dinyatakan dalam persamaan
V=
Q A
...............................................(2)
Dari persamaan (2) terlihat bahwa kecepatan alir berbanding terbalik dengan luas penampang. Semakin besar luas penampang maka kecepatan alir semakin kecil, demikian juga sebaliknya.
Hasil Morfologi Dasar Laut Lintasan perekaman data batimetri dan subbottom profile diperlihatkan dalam Gambar 2. Selat Flores yang disebut juga dengan Selat Larantuka adalah perairan yang berada di antara Pulau Flores, Pulau Adonara, dan Pulau Solor (Gambar 1). Karakteristik selat ini relatif tertutup karena lebar mulutnya, baik yang di sebelah utara maupun di selatan relatif sempit dengan lebar mulut di sebelah utara sekitar 0,5 km dan sebelah selatan sekitar 3 km. Morfologi dasar laut Selat Flores dari profil kedalaman berorientasi arah timur laut–barat daya (Gambar 3) dengan bentuk cekungan. Dasar cekungan berada di tengah Selat Flores, sedangkan daerah dangkal berada di mulut-mulut selat. Kedalaman Selat Flores berkisar 20–250 m dengan bagian terdalam sebagai dasar cekungan selat ini diperlihatkan dalam Gambar 3. Selat Lamakera terletak di antara Pulau Solor dan Pulau Lembata, sedangkan Selat Boling terletak di antara Pulau Adonara dan Pulau Lembata. Kedua selat ini berhubungan langsung. Karakteristik kedua selat ini secara umum merupakan selat sempit di bagian utara (3 km) dan melebar di bagian selatan (11 km). Kedalaman Selat Lamakera dan Selat Boling berkisar dari 50 hingga 2.200 m (Gambar 4). Kedalaman bagian
14
tengah selat, berkisar 50–250 m, sedangkan kedalaman lebih dari 500 m berada di tengah hingga ke selatan Selat Lamakera. Morfologi sambungan dasar laut antara Selat Boling dan Selat Lamakera berdasarkan profil kedalaman mengarah ke timur laut–barat daya (Gambar 5) dan berbentuk punggungan. Kedalaman dasar laut di bagian tengah selat relatif dangkal, namun kedalamannya ke arah Laut Flores dan Laut Sawu meningkat. Profil dasar bagian selatan Selat Lamakera yang menghadap langsung ke Laut Sawu berbentuk lembah dan punggungan dengan orientasi arah timur laut–barat daya. Selat Alor secara umum memiliki karakteristik mulut selat yang relatif lebih lebar, baik ke arah utara maupun selatan dibandingkan selat-selat lain dengan lebar mulut selat di sebelah utara dan selatan masing-masing sekitar 13 km dan 24 km. Selat Alor memiliki kedalaman yang berkisar dari 50 hingga 3.000 m (Gambar 6) dengan kedalaman rata-rata 300 m. Kedalaman di daerah-daerah dekat pulau bervariasi antara 50 dan 200 m, sedangkan di bagian utara, berkisar antara 300 dan 1.000 m, dan di selatan berkisar antara 300 dan 3.000 m. Morfologi dasar laut Selat Alor berdasarkan profil kedalaman berorientasi arah timur laut– barat daya (Gambar 7) dengan bentuk punggungan yang relatif dangkal di bagian tengah selat, namun kedalamannya bertambah ke arah Laut Flores dan Laut Sawu. Morfologi bagian selatan selat yang menghadap Laut Sawu membentuk jajaran lembah dan punggungan dengan orientasi arah timur laut–barat daya, utara–selatan hingga barat laut–tenggara, sedangkan bagian utara yang berhadapan dengan Laut Flores juga memperlihatkan morfologi berupa lembah dan punggungan dengan orientasi arah utara–selatan.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2017 2(2): 11–20
Gambar 3. Profil kedalaman Selat Flores. Figure 3. Depth profile of Flores Strait.
Gambar 4. Batimetri Selat Lamakera dan Selat Boling. Figure 4. Bathimetry of Straits of Lamakera and Boling .
Gambar 5. Profil kedalaman Selat Lamakera dan Selat Boling. Figure 5. Depth profile of Straits of Lamakera and Boling.
15
Hasanudin
Gambar 6. Batimetri Selat Alor. Figure 6. Bathimetry of Alor Strait.
Gambar 7. Profil kedalaman Selat Alor. Figure 7. Depth profile of Alor Strait.
Sedimen Bawah Permukaan Kondisi bawah permukaan Selat Flores diperlihatkan dalam Gambar 8. Penampang subbottom profiler menunjukkan bahwa selat ini memiliki endapan sedimen yang tebal. Garis biru menunjukkan posisi permukaan dasar laut Selat Flores, sedangkan garis merah merupakan posisi lapisan dasar (basement) sebagai dasar lapisanlapisan sedimen yang berada di atasnya. Ketebalan sedimen adalah jarak antara posisi permukaan dasar laut (garis biru) dan posisi lapisan dasar (garis merah). Berdasarkan penghitungan dengan menggunakan kecepatan suara 1.500 m/s mengikuti Ringis (1986), maka ketebalan sedimen maksimum terukur di Selat Flores adalah sekitar 50 m.
16
Kondisi bawah permukaan Selat Boling, Selat Lamakera, dan Selat Alor ditampilkan dalam Gambar 9 dan Gambar 10. Dari kedua gambar ini terlihat bahwa lapisan sedimen di bawah permukaan dasar laut tidak ditemukan, sehingga permukaan dasar lautnya tampak berhimpitan dengan basement. Keberadaan lapisan-lapisan yang menyerupai sedimen (multiple) di bawah basement bukanlah lapisan sedimen nyata. Hal ini terjadi akibat gelombang suara yang dipancarkan transduser dipantulkan dua kali. Dari kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa bawah permukaan Selat Lamakera, Selat Boling, dan Selat Alor tersusun oleh lapisan batuan keras.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2017 2(2): 11–20
Gambar 8. Profil bawah permukaan Selat Flores. Figure 8. Subbottom profile of Flores Strait.
Gambar 9. Profil bawah permukaan Selat Boling–Selat Lamakera. Figure 9. Subbottom profile of Straits of Boling–Lamakera.
17
Hasanudin
Gambar 10. Profil bawah permukaan Selat Alor. Figure 10. Subbottom profile of Alor Strait.
Pembahasan Pulau-pulau Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur merupakan hasil pelipatan pada zaman Miosen, bersamaan dengan pembentukan geanticline Jawa Selatan (Umbgrove 1949). Bentuk topografi di Pulau Flores berupa bukit bergelombang, berelief kasar hingga sangat kasar, berorientasi arah relatif barat–timur seperti terlihat di Pulau Flores bagian barat (Hartono 2010). Kondisi dasar laut bergelombang ini sama dengan yang ditemukan di Selat Flores, Selat Lamakera, Selat Boling, dan Selat Alor, yaitu berupa cekungan dan punggungan. Selat Flores memiliki lapisan sedimen tebal hingga mencapai sekitar 50 m. Hal ini terjadi karena dasar laut Selat Flores berbentuk cekungan atau lembah yang menyerupai kolam karena bagian utara–selatan Selat Flores berupa celah 18
sempit dan dangkal. Dengan morfologi demikian, material sedimen yang lebih berat akan langsung terendapkan, sedangkan yang lebih ringan akan diendapkan secara perlahan di daerah cekungan atau lembah. Morfologi dasar laut Selat Lamakera, Selat Boling, dan Selat Alor memiliki bentuk hampir serupa, yaitu berupa punggungan di bagian tengah, sehingga perairan menjadi lebih dangkal, yang kemudian kedalaman terus bertambah ke arah timur laut dan barat daya. Hal tersebut menyebabkan material sedimen yang terbawa oleh arus tidak akan terendapkan di selat-selat ini akibat faktor kemiringan dasar laut yang berpengaruh pada gravitasi dan transportasi material sedimen ke perairan lebih dalam di luar selat. Kondisi serupa terlihat pula di perairan Kendari (Hasanudin 2015) yang memiliki morfologi cekungan atau lembah, dengan
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2017 2(2): 11–20
Tabel 1. Lebar mulut selat-selat di Kepulauan Sunda Kecil. Table 1. Straits width in Lesser Sunda Islands. No 1 2 3 4
Strait name Larantuka (Flores) Lamakera Boling Alor
Width at north (km) 0.5 11 3 13
Width at south (km) 3 9 5 24
Tabel 2. Kisaran kecepatan arus di selat-selat Kepulauan Sunda Kecil (Wahyono et al. 2012) Table 2. Range of current speed in Lesser Sunda Islands (Wahyono et al. 2012) No 1 2 3 4
Strait name Larantuka (Flores) Boling Lamakera Alor
Location Between Flores and Adonara Islands Between Adonara and Lembata Islands Between Solor and Lembata Islands Between Lembata and Pantar Islands
ketebalan sedimen yang lebih besar dibandingkan lereng punggungan. Hasil kajian Helfinalis et al. (2012) menunjukkan bahwa kandungan padatan tersuspensi total (TSS) di Selat Flores relatif lebih tinggi, yaitu berkisar 27,00–27,50 mg/l di permukaan dan 25,75 mg/l di lapisan termoklin dibandingkan dengan Selat Lamakera dan Selat Boling yang berkisar 21,00–23,00 mg/l di permukaan dan 23,50–26,00 mg/l di lapisan termoklin, dan di Selat Alor yang hanya berkisar 9,75–22,00 mg/l di permukaan dan 17,75–22,75 mg/l di lapisan termoklin. Hal ini turut mempercepat pasokan sedimen dan laju sedimentasi yang mengakibatkan lapisan sedimen di Selat Flores menjadi tebal, selain morfologi dasarnya yang berbentuk cekungan dan mulut selat yang relatif sempit dan dangkal (Gambar 3). Morfologi dasar merupakan faktor terbesar yang memengaruhi sirkulasi massa air (Gille et al. 2004). Terdapat banyak lokasi di Indonesia yang memiliki aliran arus laut yang terkonsentrasi akibat terhambat topografi; contohnya adalah selat yang berada di antara pulau-pulau. Keberadaan konsentrasi inilah yang menyebabkan sirkulasi massa air di selat-selat yang sempit memiliki kecepatan arus yang tinggi (Ramachandran 2015). Lebar mulut selat berpengaruh pada kecepatan arus laut rata-rata. Tabel 1 menunjukkan bahwa Selat Flores atau Selat Larantuka memiliki lebar mulut selat tersempit, yang disusul oleh Selat Boling, Selat Lamakera, dan Selat Alor. Selat-selat sempit tersebut mempunyai kecepatan arus yang kencang
Speed range (m/s) 0.3–3.8 0.3–3.6 0.3–3.2 0.3–3.2
(Anonim 2011). Berdasarkan Tabel 2 yang menunjukkan kisaran kecepatan arus selat-selat di Kepulauan Sunda Kecil, maka diketahui bahwa Selat Flores memiliki kisaran kecepatan arus yang paling tinggi, yaitu dari 0,3 hingga 3,8 m/s.
Kesimpulan Morfologi dasar laut Selat Flores berupa cekungan dengan sedimen cukup tebal, yaitu 50 m dan memiliki kecepatan arus 0,3 hingga 3,8 m/s. Selat Boling, Selat Lamakera, dan Selat Alor memiliki morfologi dasar laut berupa punggungan, sehingga endapan sedimen tidak ditemukan dan kecepatan arusnya lebih rendah dibandingkan Selat Flores. Gambaran kondisi bawah permukaan di selat-selat ini dapat digunakan untuk navigasi pelayaran bagi kapalkapal yang akan melintasi selat-selat tersebut terutama kapal-kapal dengan tonase lebih dari 2.000 ton. Selain itu, berdasarkan kondisi morfologi dasar laut yang berupa selat-selat sempit, maka sirkulasi massa air di daerah ini memiliki arus laut yang kuat. Di perairan Selat Flores yang berupa cekungan, material sedimen yang berat akan langsung diendapkan di dasar perairan, sedangkan material yang ringan akan terendapkan secara perlahan. Di selat-selat lain yang berbentuk punggungan, material sedimen yang terbawa oleh arus tidak akan terendapkan akibat faktor kemiringan dasar laut dan gravitasi, sehingga material sedimen terangkut ke perairan lebih dalam di luar selat-selat tersebut. 19
Hasanudin
Persantunan Ekspedisi Lamalera merupakan kerja sama penelitian antara Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional. Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan kegiatan ini secara teknis maupun nonteknis.
Daftar Pustaka Anonim. 2011. Wilayah Perairan Indonesia Simpan Potensi Energi Listrik Dari Arus Laut. http://www.esdm.go.id/news-archives/323energi-baru-dan-terbarukan/ 442-wilayahperairan-indonesia-simpan-potensi-energilistrik-dari-arus-laut.html. Gille, S. T., E. J. Metzger, dan R. Tokmakian. 2004. Seafloor topography and ocean circulation. Oceanography 17(1):47–54. Hartono, H. G. 2010. Penelitian awal gunung api purba di daerah Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Indonesia. Jurnal Ilmiah MTG 3(1):1–14. Hasanudin, M. 2009. Pemetaan dasar laut dengan menggunakan multibeam echosounder. Oseana 37(1):19–26. Hasanudin, M. 2015. Morfologi dasar laut dan ketebalan sedimen permukaan di Perairan Kendari. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 41(2):205–215. Helfinalis, Sultan, dan Rubiman. 2012. Padatan tersuspensi total di Perairan Selat Flores Boleng Alor dan Selatan Pulau Adonara Lembata Pantar. Jurnal Ilmu Kelautan 17(3):148–153. LPEM-FEUI. 2010. Transportation of Goods in East Nusa Tenggara: Problem and Cost. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat - Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI). Jakarta. Naudts, L., J. Greinert, Y. Artemov, P. Staelens, J. Poort, P. van Rensbergen, dan M. de Batist. 2006. Geological and morphological setting of 2778 methane seeps in the Dnepr paleo-delta, northwestern Black Sea. Marine Geology 227:177–199. Pizzi, N. G. 2010. Principles and practices of water supply operation - Basic science concepts and application, American Water Work Association. United Stated of America. Ringis, J. 1986. Seismic Stratigraphy in Very High Resolution Shallow Marine Seismic 20
Data. IPA Proceedings of the Joint ASCOPE/CCOP Workshop I:119–128. Wahyono, H., M. Firmansyah, B. S. Munir, Zamrisyaf, dan H. Indrawan. 2012, Matching Tidal Current Potential with Local Electricity Conditions at Larantuka-Adonara Island. PT PLN (Persero) Electric Power Reasearch and Development Centre. http://energyindonesia.com/03dge/0121025kaiyo.pdf, Ramachandran, R. 2015. Development of Marine current in Indonesia, Thesis of Graduate school of frontier sciences. The University of Tokyo. Tylmann, W. 2004. Estimating recent sedimentation rates using 210 Pb on the example of morphologically complex lake (upper Lake Radunskie, North Poland). Journal of Geochronometria 23:21–26. Umbgrove, J. H. F. 1949. Structural history of the East Indies. Cambridge University Press. Cambridge.