Orasi Ilmiah
Biosecurity (Ketahanan Hayati): Perubahan Paradigma Perlindungan Tanaman untuk Menghadapi Tantangan Globalisasi
Oleh: Ir. I Wayan Mudita, M.Sc., Ph.D.
Disampaikan dengan Wibawa Rektor Universitas Nusa Cendana Prof. Ir. Fredrik L. Benu, MSi., Ph.D. Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Dies Natalis LII Undana Wisuda Magister, Profesi, dan Sarjana Periode September 2014
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Yth. Gubernur Nusa Tenggara Timur, Yth. Ketua DPRD NTT, Yth. Walikota Kupang dan Bupati Kupang, Yth. Pimpinan TNI dan Polri, Yth. Anggota Senat Universitas, Yth. Pimpinan Undana, Yth. Ketua APU Undana, Yth. Ketua Dharma Wanita Persatuan Undana, Yth. Rohaniawan, Yth. Wakil Alumni, Yth. Para Wisudawan/Wisudawati, Yth. Orang Tua Wisudawan/Wisudawati, singkatnya hadirin yg saya muliakan. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua, Assalamualaikum Wr. Wb., Om Swastiastu, Pertama-tama, pada kesempatan yang indah ini, perkenankan saya mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maka Kuasa atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis LII Undana serta Wisuda Magister, Sarjana, dan Ahli periode September 2014. Kesempatan ini adalah kesempatan kedua, setelah sebelumnya, pada Dies Natalis XXXVI saya menyampaikan orasi ilmiah mengenai invasi dan pengendalian gulma Chromolaena odorata, gulma penting khususnya pada agroekosistem padang rumput (Mudita, 1998). Orasi ilmiah yang saya sampaikan pada kesempatan kali ini masih terkait dengan orasi ilmiah sebelumnya dalam hal keduanya masih mengenai perlindungan tanaman. Namun kali ini saya ingin memfokuskan pada perubahan paradigma yang diperlukan untuk mewujudkan visi global sehingga orasi ini saya beri judul ‘Biosecurity (Ketahanan Hayati): Perubahan Paradigma Perlindungan Tanaman untuk Menghadapi Tantangan Globalisasi’. Hadirin yang saya hormati, Universitas kita telah menetapkan visi untuk menjadi universitas berwawasan global pada 2025. Makna yang terkandung dalam visi tersebut sesungguhnya tidaklah sesederhana dan seringkas kalimatnya. Visi berwawasan global tersebut perlu kita maknai dalam konteks proses globalisasi sebagai fenomena yang tidak terhindarkan dalam sejarah manusia. Globalisasi merupakan proses alami yang menjadikan jarak semakin dekat dalam dimensi pertukaran barang, informasi, pengetahuan, dan budaya. Bahkan dalam beberapa dasawarsa terakhir, kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, perhubungan, dan industri telah mendorong integrasi global yang semakin cepat dan semakin dramatis. Globalisasi merupakan katalis terhadap dan sekaligus dampak dari kemajuan umat manusia. Namun demikian, globalisasi yang berlangsung cepat juga memerlukan penyesuaian besar-besaran yang dapat menimbulkan berbagai masalah dan tantangan. Perubahan besar-besaran dan cepat yang ditimbulkan oleh globalisasi telah memicu perdebatan yang paling panas dalam beberapa 1
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 dasawarsa terakhir. Para pendukung globalisasi berdalih bahwa negara-negara yang membuka diri terhadap globalisasi dapat lebih cepat mengatasi masalah kemiskinan daripada negara-negara yang menutup diri. Pada pihak lain, para penentang globalisasi mengatakan sebaliknya, globalisasi memang menghasilkan manfaat, tetapi manfaatnya jauh lebih kecil daripada goncangan masif yang ditimbulkannya terhadap masyarakat lokal. Sesungguhnya perdebatan mengenai globalisasi bukan hanya menjadi arena bagi pakar ekonomi politik. Globalisasi menyentuh berbagai sektor kehidupan manusia, termasuk sektor pertanian, sektor yang masih menjadi andalan bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Perdagangan bebas yang merupakan prinsip dasar globalisasi telah menciptakan rejim pangan korporat (corporate food regime) yang mengancam kedaulatan pangan masyarakat di negaranegara sedang berkembang. Bukan hanya itu, jarak yang menjadi semakin pendek dalam dimensi waktu memungkinkan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dapat berpindah dengan lebih mudah antar tempat yang saling berjauhan. Perpindahan yang lebih cepat tersebut terutama difasilitasi oleh sarana transportasi masal dan cepat serta perpindahan barang dan orang menggunakan sarana tersebut. Hadirin yang saya hormati, OPT, yang terdiri atas organisme golongan binatang, penyebab penyakit (patogen), dan guma, mengganggu kehidupan manusia dengan berbagai cara. Namun di antara berbagai gangguan yang ditimbulkannya, yang terpenting adalah gangguan dalam bentuk kehilangan hasil tanaman (yield loss), baik kehilangan secara kuantitatif maupun kualitatif (Oerke, 2006). Kehilangan hasil tanaman terdiri atas kehilangan hasil potensial, yaitu kehilangan hasil tanpa perlindungan tanaman, dan kehilangan hasil aktual, yaitu kehilangan hasil yang masih tetap terjadi meskipun telah dilakukan tindakan perlindungan tanaman. Kehilangan hasil aktual ternyata masih cukup besar, yaitu 35%, meskipun tindakan pencegahan, pengendalian, dan eradikasi OPT telah berhasil menurunkan dari kehilangan hasil potensial sebesar 70% (Lampiran 1a), dan juga masih sangat bervariasi antar kawasan (Lampiran 1b). Pertanyaannya, bila teknologi perlindungan tanaman sudah relatif maju, apa yang kemudian menyebabkan perbedaan efikasi perlindungan tanaman yang begitu besar? Data estimasi kehilangan hasil tanaman belum tersedia untuk Indonesia. Namun demikian, penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) sejak awal dasawarsa 1980-an disebut sebagai berhasil menjadikan Indonesia berswasembada beras pada pertengahan dasawarsa tersebut. Keberhasilan penerapan PHT tersebut, yang berkembang dari PHT ambang ekonomi (PHTAE)(Norton, 1976, 1982) menjadi PHT sekolah lapang (PHT-SL)(Soedjitno, 1999; Winarto, 2004) dan terakhir PHT masyarakat (PHT-M)(FAO, 1997, 1998), telah pula diadopsi di banyak negara berkembang lainnya. Bila penerapan PHT memang sedemikian berhasil, Indonesia seharusnya berkontribusi besar terhadap penurunan kehilangan hasil di kawasan Asia Tenggara. Kenyataannya, kehilangan hasil di kawasan Asia Tenggara masih cukup tinggi, aktual sebesar 40% dan potensial sebesar 79% (Oerke, 2006). Kehilangan hasil di kawasan Asia Tenggara ini masih jauh lebih tinggi bila dibandingkan 2
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 misalnya dengan kehilangan hasil di Asia Timur, Eropa, dan Amerika Utara, di mana negara-negara maju terletak. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa kehilangan hasil tanaman tidak hanya ditentukan oleh teknologi perlindungan tanaman maupun sistem perlindungan tanaman yang digunakan, melainkan juga oleh faktor lain. Hadirin yang saya hormati, Keberhasilan Indonesia dalam menerapkan PHT sebagai sistem perlindungan tanaman memang banyak mendapat pujian (Soedjitno, 1999; Winarto, 2004). Namun bukan berarti penerapan PHT bebas dari kritik. Secara teknis, karena pengambilan keputusan didasarkan pada pemantauan agroekosistem (Dent, 1995; Pedigo et al., 1986; Radcliffe et al., 2009), PHT cenderung bersifat reaktif daripada preventif. Kritik tajam terutama datang dari kalangan pakar ilmu-ilmu sosial yang menyoroti PHT sebagai terlalu banyak menghabiskan waktu untuk OPT daripada untuk memecahkan kerumitan persoalan yang dihadapi oleh petani (Vayda, 2009). Melalui kritik itu, kalangan pakar ilmu-ilmu sosial bukan ingin mengatakan bahwa OPT tidak perlu diperhatikan, melainkan perhatian terhadap OPT perlu diberi perspektif permasalahan sosial yang dihadapi petani (Falk & Surata, 2007; Falk et al., 2008). Untuk mengetahui sejauh mana perlindungan tanaman di tingkat kabupaten dilaksanakan sesuai dengan prinsip PHT, saya telah melakukan penelitian terhadap OPT tanaman jeruk di Kabupaten TTS dan Kabupaten TTU (Mudita, 2009, 2011a, 2011b, 2012, 2014; Wallace et al., 2011). Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa jeruk keprok di kedua kabupaten tersebut telah ditetapkan sebagai varietas unggul nasional dengan nama Jeruk Keprok Soe (Citrus reticulata ‘Jeruk Keprok Soe’, lazim disingkat JKS). Sebagai tindak lanjut, pemerintah Kabupaten TTS melakukan pengembangan JKS secara besar-besaran (Muga, 2003; Nope, 2003a, 2003b). Namun pengembangan secara besar-besaran tersebut dilakukan tanpa mengantisipasi bahwa jeruk keprok merupakan tanaman yang di daerah lain telah dihancurkan oleh penyakit yang sangat merusak, yaitu CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) yang di kalangan internasional semula dikenal dengan nama citrus greening tetapi kini sebagai huanglongbing (HLB)(Bové, 2006; da Graça, 2008). Saya menduga bahwa meskipun telah dilakukan pengembangan secara besar-besaran, bukan tidak mungkin CVPD berperan sebagai kendala terhadap upaya menjadikan kedua kabupaten sebagai pusat produksi JKS. Alih-alih melakukan pemantauan ekosistem secara berkala untuk mendeteksi keberadaan CVPD, pemerintah daerah justru bersikukuh bahwa jeruk keprok soe bebas penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) (Mudita, 2011a,b; Natonis, 2010). Lebih ironis lagi, informasi mengenai penyakit tersebut yang sehariusnya diinformasikan dini kepada petani (Mudita, 2011a; Wallace et al., 2011), dengan alasan JKS bebas CVPD, ternyata tidak disampaikan. Demikian juga dengan informasi mengenai penularan penyakit ini, baik penularan dengan perantaraan kutu loncat jeruk asia Diaphorina citri sebagai vektor maupun dengan perantaraan mata tempel, tidak diinformasikan. Dengan alasan bahwa JKS masih bebas dari CVPD, pemerintah menetapkan pohon produksi yang tersebar lahan petani sebagai pohon induk populasi untuk 3
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 memperoleh mata tempel guna memproduksi bibit okulasi dan bibit okulasi yang dihasilkan, meskipun menunjukkan gejala terinfeksi, tetap disebarkan ke berbagai wilayah di dalam maupun laur kabupaten (Lampiran 2). Penyebaran dilakukan terutama untuk revitalisasi pusat-pusat produksi yang telah hancur maupun pengembangan pusat-pusat produksi baru (Muga, 2003; Nope, 2003a, 2003b). Sekalipun jeruk keprok memang benar masih bebas CVPD, pemerintah seharusnya sudah mewaspadai sejak jauh-jauh hari kemungkinan masuknya penyakit tersebut ke wilayah NTT. Pemerintah seharusnya sudah menyiapkan petani sehingga mereka dapat mengidentifikasi dan melaporkan keberadaan gejala dan tanda penyakit maupun vektornya kepada instansi yang berwenang. Namun itu tidak dilakukan, melainkan pemerintah justru bersikukuh dengan alasan bahwa peraturan daerah mengenai larangan pemasukan bibit okulasi dari luar provinsi (Peraturan Daerah No. 52, 2002) telah menutup kemungkinan masuknya penyakit tersebut ke NTT. Padahal, meskipun tidak benar-benar akurat, keberadaan CVPD dapat diindikasikan dari hasil pengamatan gejala dan tanda (Bové, 2006) serta dengan menggunakan uji sederhana semisal usi iodium (Etxeberria et al., 2007; Le & Nguyen, 2003). Alih-alih mewaspadai, hasil uji PCR (Polymerase Chain Reaction) yang menyatakan bahwa jeruk keprok telah tertular CVPD (Lampiran 3) justru dikatakan tidak sah karena tidak dilakukan di laboratorium yang direkomendasikan. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa gejala dan tanda penyakit CVPD tersebar luas dan kutu loncat jeruk asia tersebar sampai pada ketinggian sekitar 1.000 m dpl (Mudita, 2012). Meskipun demikian, produksi bibit tidak dilakukan dengan menggunakan pohon induk yang dipelihara di dalam screen house, melainkan tetap menggunakan pohon induk populasi. Ditemukannya pohon produksi positif CVPD pada ketinggian tempat 1.600 m dpl., di mana tidak ditemukan kutu loncat jeruk asia, mengindikasikan bahwa anakan okulasi berperan penting dalam penyebaran penyakit CVPD di dalam wilayah maupun keluar wilayah Kabupaten TTS dan Kabupaten TTU (Mudita, 2014). Meskipun demikian, sebagaimana diuraikan lebih lanjut oleh Mudita (2014), penyebaran bibit okulasi terus dilakukan karena menguntungkan pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam produksi dan pengadaan bibit. Pihak-pihak tertentu tersebut, demikian Mudita (2014), membeli bibit okulasi dengan harga murah dari penangkar liar untuk kemudian menitipkannya pada penangkar berijin teretentu untuk diberikan label, sebelum kemudian dijual dengan harga mahal pada saat pemerintah melakukan pengadaan bibit. Pemerintah memang telah melakukan tindakan perlindungan tanaman dengan menggunakan sistem PHT. Pemantauan agroekosistem memang telah dilakukan bersama dengan petani. Namun karena informasi mengenai CVPD dan vektornya tidak diberikan maka jangankan petani, PPL pun tidak mengetahui seperti apa gejala dan tanda CVPD dan seperti apa morfologi kutu loncat jeruk asia (Mudita, 2014). Gejala pucuk menguning sektoral, helai daun menguning asimetris, buah berbentuk asimetris, buah menguning terbalik, dan biji mengering di dalam buah yang merupakan gejala CVPD (Bové, 2006)(Lampiran 4) disebut sebagai gejala penyakit busuk diplodia dan busuk 4
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 phytophthora. Bahkan kutu loncat jeruk asia (Lampiran 5), karena ukuran dan bentuknya serupa, diidentifikasi sebagai semut (Mudita, 2014). Tindakan perlindungan tanaman dilakukan dengan pengendalian menggunakan bubur kalifornia, campuran belerang, kapur, dan air panas yang setelah didinginkan kemudian dioleskan pada batang (Lampiran 6). Namun penggunaan bubur kalifornia tersebut tidak efektif karena digunakan ibarat mengobati orang sakit perut dengan obat sakit kepala. Hadirin yang saya hormati, Di pusat-pusat produksi jeruk di negara-negara maju, perlindungan tanaman jeruk terhadap CVPD dilakukan dengan perencanaan yang jelas. Pemerintah pusat dan daerah akan segera menyusun rencana tanggap darurat (contingency plan) dan rencana strategis pengendalian begitu mengetahui ada tanaman jeruk terindikasi tertular CVPD (Barkley & Beattie, 2008; National Research Council, 2010; Technical Working Group, 2010), tanpa harus mempersoalkan siapa yang mengidentifikasi dan melaporkan indikasi tersebut. Petani akan diberikan informasi memadai untuk memungkinkan mereka berpartisipasi melakukan deteksi dini, sedangkan pemerintah akan menyiapkan infrastruktur reaksi cepat. Untuk melakukan itu semua, beberapa negara maju kini bahkan telah mengubah paradigma perlindungan tanaman mereka dari menunggu datangnya OPT menjadi aktif mencari informasi mengenai keberadaan OPT berbahaya di negara tetangga untuk kemudian bersamasama mencari upaya untuk menanggulanginya. Paradigma baru perlindungan tanaman dalam kontinuum pra-batas (preborder), batas (border), dan pasca-batas (post-border) tersebut dikenal sebagai biosecurity (ketahanan hayati). Berbeda dengan paradigma perlindungan tanaman sebelumnya, ketahanan hayati mencakup bukan hanya aspek hayati, tetapi juga aspek sosial sebagaimana tercermin dalam definisinya (FAO, 2007): ... pendekatan strategis dan terintegrasi yang mencakup aspek kebijakan dan perundang-undangan untuk menilai, mengelola, dan mengkomunikasikan risiko yang ditimbulkan oleh OPT terhadap kesehatan dan kehidupan tumbuhan, hewan, dan manusia serta risiko lanjutannya terhadap lingkungan hidup. Definisi di atas menyiratkan perbedaan ketahanan hayati dari paradigma perlindungan tanaman sebelumnya: 1) Penekanan pada dimenasi strategis dengan mengedepankan dimensi kebijakan dan perundang-undangan, 2) Penggunaan konsep risiko untuk mengintegrasikan penanganan gangguan yang terjadi pada tumbuhan, hewan, dan manusia, 3) Pengintegrasian penanganan gangguan pada tumbuhan, hewan, dan manusia dilakukan melalui langkah-langkah penilaian, pengelolaan, dan pengkomunikasian risiko, 4) Penggunaan konsep risiko mengharus penanganan ancaman OPT dilakukan dalam kontinuum pra-batas, batas, dan pasca-batas, 5) Pemberian ruang yang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat dalam menilai, mengelola, dan mengkomunikasikan risiko yang ditimbulkan oleh OPT.
5
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Menggunakan paradigma ketahanan hayati sebagai pendekatan dalam upaya memahami kemunduran JKS, saya memperoleh sejumlah temuan (Mudita, 2012; 2014): 1) Kehancuran JKS terjadi bukan semata-mata karena OPT, melainkan karena kebijakan yang cenderung menutup-nutupi keberadaan OPT berbahaya, dalam hal ini CVPD, 2) Kebijakan tidak tepat untuk menutup-nutupi keberadaan OPT berbahaya terjadi karena: (a) kekurangpahaman mengenai risiko OPT terhadap kesehatan dan kehidupan tanaman dan (b) kepentingan pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan politik dan finansial dari kebijakan yang diambil, 3) Masyarakat sebenarnya berusaha untuk memperoleh informasi mengenai permasalahan OPT yang dihadapi, tetapi usaha tersebut terjebak dalam hubungan kesalingbergantungan yang pada akhirnya menumbuhkan perilaku patuh kepada pihak pemegang kekuasaan, baik kekuasaan formal maupun informal, 4) Tindakan perlindungan tanaman diambil bukan dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan, melainkan lebih untuk menunjukkan bahwa pemegang kekuasaan peduli terhadap masyarakat, 5) Desentralisasi dan otonomi daerah yang memberikan kewenangan luas kepada pemerintah daerah dalam melaksanakan perlindungan tanaman berpotensi menimbulkan ancaman ketahanan hayati bila tidak disertai dengan upaya untuk peningkatan kapasitas perlindungan tanaman. Pelajaran berharga yang bisa kita peroleh dari kemunduran JKS bukanlah pengetahuan mengenai teknologi pengendalian OPT. Keberhasilan untuk bisa ikut menyumbang terhadap kemajuan teknologi pengendalian memang penting, tetapi sumbangan seperti itu tidak akan banyak bermanfaat untuk meningkatkan ketahanan hayati dalam menghadapi globalisasi bila pada akhirnya tidak tersedia celah untuk mengimplementasikannya di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa celah untuk mengimplementasikan teknologi perlindungan tanaman hanya akan tersedia bila kita mempunyai pemerintah yang bersedia mendengar masukan dan bersedia mengambil tindakan tepat untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan (Mudita, 2012). Untuk itu kita memerlukan bukan hanya government (pemerintah) melainkan juga governance (tatakelola pemerintahan)(Larson & Soto, 2008, McCawley (2005), baik participatory (Ostrom, 2009; Ostrom et al., 1992; Schneider, 1999) maupun adaptive (Holling & Meffe, 1996; Walker et al., 2006). Ketahanan hayati akan berhasil kita tingkatkan hanya apabila kita mempunyai kedua-duanya: teknologi perlindungan tanaman dan tatakelola ketahanan hayati (biosecurity governance)(Bowles & Gintis, 2000; Boxelaar et al., 2006). Hadirin yang saya hormati, Untuk memperkuat ketahanan hayati dalam menghadapi tantangan globalisasi tersebut, kita perlu belajar dari perubahan mendasar yang dilakukan di negaranegara maju. Di berbagai negara maju, ancaman OPT ditangani bukan sekedar melalui tindakan perlindungan tanaman secara teknis. Ancaman OPT tidak hanya dipandang sebagai ancaman terhadap produksi tanaman, melainkan terhadap penghidupan masyarakat dan bahkan terhadap ketahanan nasional 6
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 (national security). Sedemikian serius mereka memberikan perhatian terhadap ketahanan hayati sehingga tetangga dekat kita Australia, sampai kini masih bisa bebas dari invasi gulma Chromolaena odorata. Mereka melakukan ini dengan mengadopsi paradigma ketahanan hayati, menjaga padang rumput Australia tetap bebas dari Chromolaena odorata sejak sebelum gulma tersebut masuk (pra-batas) dan pada titik masuk (batas) dengan sangat ketat, sambil menyiapkan rencana tanggap darurat mengenai apa yang harus dilakukan bila karena satu dan lain hal gulma tersebut masuk (pasca-batas). Kita sungguh berbeda dalam hal ini, ingin mengembangkan ternak sapi tetapi tidak pernah mempedulikan apakah padang rumput kita memang masih ditumbuhi rumput atau sesungguhnya sudah menjadi padang Chromolaena odorata (Mudita, 1998). Kita ingin menjadi provinsi jagung tanpa memberikan perhatian yang cukup terhadap kumbang ‘fufuk’ Sitophilus spp. (Mudita et al., 2009). Jangan sampai, ketika masyarakat mulai mengeluh karena tanaman pisang mereka dihancurkan oleh penyakit darah dan penyakit layu fusarium, pemerintah kembali mengambil langkah yang sama dengan langkah dalam menghadapi kemunduran JKS. Bila langkah yang diambil tetap sama, bukan mustahil tidak lama lagi kita kehilangan kesempatan untuk menjadi pemasok pisang sebagai buah segar untuk kebutuhan upacara keagamaan dan kebutuhan pariwisata pulau Bali. Pun seharusnya kita tidak boleh lupa, bahwa bagi kita di NTT, pisang bukanlah sekedar buah segar, melainkan juga bahan pangan dan bahan pakan. Bagi kita di NTT, dengan lahan kering kepulauan (archipelagic drylands) sebagai jati diri (Benu, 2014a), ketahanan hayati seharusnya merupakan paradigma perlindungan tanaman yang tepat. Dengan melakukan penanganan ketika OPT masih di luar pulau (pra-batas) dan di titik-titik pelabuhan masuk dan keluar (batas) maka tanaman lokal di suatu pulau akan dapat diselamatkan, sekalipun tanaman yang sama di pulau lainnya sudah terancam. Dengan demikian, bila tanaman yang terancam OPT dari luar adalah tanaman pangan maka ketersediaan pangan di pulau yang lain masih dapat dijaga. Lebih dari itu, dengan menggunakan paradigma ketahanan hayati dapat diharapkan kedaulatan pangan (food sovereignty) provinsi kepulauan dalam menghadapi tantangan globalisasi, sebagaimana disampaikan oleh Rektor Undana dalam sambutannya (Benu, 2014b), lebih dapat dijaga dan bahkan diperkuat secara bersama-sama dengan masyarakat. Demikian orasi ilmiah saya sampaikan di hadapan hadirin yang saya muliakan, dengan harapan mudah-mudahan dapat menjadi bahan perenungan bagi kita semua. Seharusnya pengalaman tidak boleh hanya kita catat sebagai sejarah, melainkan kita jadikan pelajaran untuk bisa lebih baik pada waktu-waktu yang akan datang. Terima kasih atas perhatian yang telah berkenan diberikan, mohon maaf bila ada hal-hal yang kurang berkenan. Semoga Tuhan YME senantiasa memberikan terang kepada kita semua. Salom, Assalamualaikum Wr. Wb., Om Santi, Santi, Santi, Om
7
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Daftar Pustaka Barkley, P. B., & Beattie, G. A. C. (2008). Contingency plans for HLB (huanglongbing) and its vectors in Australia. Paper presented at the First International Workshop on Citrus Huanglongbing (Candidatus Liberibacter spp.) and the Asian citrus psyllid (Diaphorina citri), Sonora, México. http://www.senasica.gob.mx/ Benu, F.L. (2014a). Sambutan Rektor pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Magister, Profesi, dan Sarjana Periode September 2014 Hari Pertama 1 September 2014. Kupang: Universitas Nusa Cendana. Benu, F.L. (2014b). Sambutan Rektor pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Magister, Profesi, dan Sarjana Periode September 2014 Hari Kedua 2 September 2014. Kupang: Universitas Nusa Cendana. Bowles, S., & Gintis, H. (2000). Social capital and community governance. The Economic Journal, 112, F419–F436. Boxelaar, L., Paine, M., & Beilin, R. (2006). Community engagement and public administration: Of silos, overlays and technologies of government. Ausfraian Journal of Public Administration, 65(1), 113-126. Dent, D. (1995). Integrated Pest Management. London: Chapman & Hall. Etxeberria, E., Gonzalez, P., William-Dawson, W., & Spann, T. (2007). An iodine-based starch test to assist in selecting leaves for HLB testing. Retrieved from http://edis.ifas.ufl.edu Falk, I., & Surata, S. P. K. (2007). ‘Real’ social capital in Bali: Is it different from ‘The Literature’? Rural Society, 17(3), 308-323. Falk, I., Surata, S. P. K., Mudita, I. W., Martiningsih, E., & Myers, B. (2008). Community management of biosecurity: Overview of some Indonesian studies. Kritis-Learning Communities, Special Co-publication, 1-40. FAO. (1997). Community-Based IPM Case Studies (pp. 160). Manila: FAO Intercountry Programme Dev. IPM Rice South and Southeast Asia. FAO. (1998). Community IPM: Six Cases from Indonesia (pp. 260). Jakarta: FAO-Technical Assistance, Indonesian National IPM Program. FAO. (2007). FAO Biosecurity Toolkit. Diakses dari www.fao.org/biosecurity/ Holling, C. S., & Meffe, G. K. (1996). Command and control and the pathology of natural resource management. Conservation Biology, 10, 328-337. Larson, A. M., & Soto, F. (2008). Decentralization of natural resource governance regimes. Annual Revtew of Environment and Resources, 33, 213-239. Le, T. H., & Nguyen, N. T. (2003). Iodine reaction for quick detection of huanglongbing disease. Paper presented at the The 2003 Annual Workshop of JIRCAS Mekong Delta Project. McCawley, P. (2005). Governance in Indonesia: Some comments. Paper presented at the Seminar on Towards a New Indonesia, Faculty of Economics, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. Diakses dari http://www.adbi.org/ Mudita, I W. (1998). Invasi Chromolaena odorata di NTT: Menyikapi perubahan sebagai peluang menuju pengelolaan lingkungan semi-ringkai secara berkelanjutan. Orasi Ilmiah pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Dies
8
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Natalis XXXVI Undana dan Wisuda Magister, Profesi, dan Sarjana Periode September 1998. Kupang: Universitas Nusa Cendana. Mudita, I W. (2009). Crossing the community-government communication border in managing citrus biosecurity in West Timor, Indonesia. Presented at 2009 Science Exchange held in Sunshine Coast, Qld., Australia, on 22-24 Sep. 2009 Mudita, I W. (2011a). Biosecurity governance: negotiating citrus biosecurity with local governments and communities in West Timor, Indonesia. Presented at 2011 Science Exchange held by CRCNPB in The Vine Resort, Adelaide, SA, Australia, on 2011 Mudita, I. W. (2011b). Crossing the community-government border: The case of citrus biosecurity management in West Timor, Indonesia. In I. Falk, R. Wallace & M. L. Ndoen (Eds.), Managing Biosecurity Across Borders (pp. 65-92). Dordrect, Heidelberg, London, New York: Springer Science + Business Media. Mudita, I W. (2012). Revisiting disease triangle: the role of social environment in community biosecurity management. Presented at 2012 Science Exchange held by CRCNPB in The Vine Resort, Swan Valley, WA, Australia, on 23-25 March. 2012 Mudita, I W. (2014). Community Biosecurity in West Timor, Indonesia: The Role of local communities and governments in managing huanglongbing and other diseases and pests of citrus. Ph.D. Thesis. Darwin: Charles Darwin University. Mudita, I. W., Aspatria, U., & Surayasa, M. T. (2009). Kerusakan Jagung oleh Kumbang Bubuk pada Penyimpanan Secara Traditional di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi NTT. Laporan Penelitian Strategis Nasional. Kupang: Research Institute of Nusa Cendana University. Muga, P. (2003). Program pengembangan hortikultura di NTT. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Jeruk Keprok Soe. Diselenggarakan di Soe, Kabupaten TTS, pada 2-3 Juni 2003. National Research Council. (2010). Strategic Planning for the Florida Citrus Industry: Addressing Citrus Greening Disease. Retrieved from http://www.nap.edu/ Natonis, R. L. (2010). Menyelamatkan Jeruk Keprok Soe atau ...?, Pos Kupang 12 Maret 2012, p. 4. Ngongo, Y. (2010). Jeruk Juara Soe Sekarat dan Terabaikan, Pos Kupang, 5 March 2010, p. 4. Nope, W. (2003a). Kebijakan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam pengembangan Jeruk Keprok Soe Dipresentasikan pada Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Jeruk Keprok Soe. Diselenggarakan di Soe, Kabupaten TTS, pada 2-3 Juni 2003. Nope, W. (2003b). Program pengembangan sektor pertanian dan kontribusinya terhadap PAD Kabupaten TTS. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Jeruk Keprok Soe. Diselenggarakan di Soe, Kabupaten TTS, pada 2-3 Juni 2003. Norton, G. A. (1976). Analysis of decision-making in crop protection. AgroEcosystems, 3, 27-44. Norton, G. A. (1982). A decision-analysis approach to integrated pest control. Crop Protection, 1(2), 147-164. 9
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Oerke, E.-C. 2006. Crop Losses to pests. Journal of Agricultural Science, 144, 31-43. doi:10.1017/S0021859605005708 Ostrom, E. (2009). A general framework for analyzing sustainability of socialecological systems. Science, 325, 419-422. Ostrom, E., Walker, J., & Gardner, R. (1992). Covenants with and without a sword: Self-governance is possible. American Political Science Review, 86(2), 404-417. Pedigo, L. P., Hutchins, S. H., & Higley, L. G. (1986). Economic injury levels in theory and practice. Annual Review of Entomology, 31, 34-68. Peraturan Daerah No. 52. (2002). Pelarangan Pemasukan Bibit Jeruk Keprok dari Luar Provinsi NTT. Lembaran Daerah 2002 No. , Tambahan Lembaran Daerah No. Radcliffe, E. B., Hutchinson, W. D., & Cancelado, R. E. (2009). Integrated Pest Management: Concepts, Tactics, Strategies and Case Studies. Cambridge: Cambridge University Press. Schneider, H. (1999). Participatory governance for poverty reduction. Journal of International Development, 11, 521-534. Technical Working Group. (2010). National Surveillance Strategies for Asian Citrus Psyllid (Diaphorina citri) and Huanglongbing (associated with Candidatus Liberibacter spp.). Center for Plant Health Science and Technology (CPHST). Diakses dari http://www.aphis.usda.gov/ . Vayda, A. P. (2009). Explaining Human Actions and Environmental Changes. Lanham, New York, Toronto, Plymouth: Altamira. Walker, B. H., Gunderson, L. H., Kinzig, A. P., Folke, C., Carpenter, S. R., & Schultz, L. (2006). A handful of heuristics and some propositions for understanding resilience in social-ecological systems. Ecology and Society 11(1): 13. [online] Wallace, R., Mudita, I. W., & Natonis, R. L. (2011). Engaging biosecurity workforces through mobile learning and technologies in community management of biosecurity research. In I. Falk, R. Wallace & M. L. Ndoen (Eds.), Managing Biosecurity Across Borders (pp. 199-214). Dordrecht, Heidelberg, London, New York: Springer Science+Business Media. Winarto, Y. T. (2004). The evolutionary changes in rice-crop farming: Integrated pest management in Indonesia, Cambodia, and Vietnam. Southeast Asian Studies, 42(3), 241-272.
10
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Lampiran 1a. Estimasi kehilangan hasil potensial dan aktual (%) yang disebabkan oleh OPT golongan hama, patogen, virus, dan gulma pada 6 komoditas utama pertanian dunia Tanam- Produk Binatang Patogen Virus an si Ter- Hama capai P A P A P A (M t) Gandum 785 8.7 7.9 15.6 10.2 2.5 Padi 933.1 24.7 15.1 13.5 10.8 1.7 Jagung 890.8 15.9 9.6 9.4 8.5 2.9 Kentang 517.7 15.3 10.9 21.2 14.5 8.1 Kedelai 244.8 10.7 8.8 11.0 8.9 1.4 Kapas 78.5 36.8 12.3 8.5 7.2 0.8
Gulma P 2.4 1.4 2.7 6.6 1.2 0.7
Total A
23.0 37.1 40.3 30.2 37.0 35.9
P 7.7 10.2 10.5 8.3 7.5 8.6
A 49.8 77.0 68.5 74.8 60.1 82.0
28.2 37.5 31.3 40.3 26.4 28.8
Keterangan: P=kehilangan hasil potensial dan A=kehilangan hasil aktual Sumber: Oerke (2006) Lampiran 1b. Estimasi kehilangan hasil potensial dan aktual (%) yang disebabkan oleh OPT golongan hama, patogen, virus, dan gulma pada berbagai kawasan dunia Kawasan
Oceania Europa
Asia
Amerika
Afrika
Rerata
Sub-kawasan
Kehilangan Hasil dan Efikasi Sub-Kawasan (%) Potensial Aktual Efikasi Oseania 59 31 47 CIS Europe 66 45 32 Eropa Tenggara 69 13 81 Eropa Timur Laut 63 31 52 Eropa Selatan 72 27 63 Eropa Barat Laut 61 18 71 CIS Asia 69 38 45 Asia Timur 75 30 60 Asia Tenggara 79 40 49 Asia Selatan 75 44 42 Timur Dekat 72 32 55 Amerika Selatan 67 31 53 Bagian Selatan Amerika Selatan 76 39 49 Bagian Utara Amerika Tengah 76 38 49 Amerika Utara 65 23 64 Afrika Selatan 72 40 44 Afrika Timur 81 55 32 Afrika Barat 86 57 34 Afrika Utara 74 31 58 71 35 52
Kehilangan Hasil dan Efikasi Kawasan (%) Potensial Aktual Efikasi 59 31 47 66 27 60
74
37
50
71
33
54
78
46
42
Sumber: Oerke (2006)
11
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Lampiran 2. Pohon induk populasi dan bibit okulasi bergejala CVPD: (a) Pohon induk berpeneng dengan gejala CVPD di depan pohon induk berpenang yang masih sehat, (b) Foto jarak dekat pohon induk berpeneng dengan gejala CVPD, (c) Bibit okulasi JKS dengan gejala CVPD di penangkaran liar, (d) Foto jarak dekat bibit okulasi bergekala CVPD di penangkaran resmi, (e) Bibit okulasi jeruk keprok Hickson dengan gejala CVPD, dan (f) Bibit okulasi berlabel dengan gejala CVPD
Sumber: Mudita (2014)
12
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Lampiran 3. Sebaran pohon produksi, pohon induk populasi, dan penangkar dengan anakan positif CVPD
Keterangan: 1. Lingkaran merah: titik-titik sampel dengan uji PCR yang memberikan hasil positif CVPD 2. Lingkaran kuning: titik-titik sampel dengan uji PCR yang memberikan hasil positif CVPD Sumber: Mudita (2014).
13
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Lampiran 4a. Pohon jeruk keprok sehat dan bergejala penyakit CVPD: (a) Pohon sehat, (b) Pohon JKS dengan gejala menguning sektoral, (c) Pohon jeruk keprok Hickson dengan gejala menguning sektoral, (d) Ranting dengan daun menguning pada seluruh tajuk, (e) Pohon dengan gejala defoliasi parsial, dan (f) pohon dengan gejala defoliasi menyeluruh
Sumber: Mudita (2014)
14
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Lampiran 4b. Gejala CVPD pada daun menurut Bove (2006) dan menurut hasil pengamatan lapangan. Menurut Bove (2006): (a) Pada daun jeruk keprok, (b) pada daun jeruk manis, dan (c) pada daun jeruk RL. Menurut hasil pengamatan lapangan: (d) Menguning asimetrik pada daun JKS, (e) Menguning asimetrik pada daun jeruk manis, (f) Menguning pada daun jeruk RL, (g) Menguning tampak dari permukaan bawah daun, (h) Mengerupuk karena penebalan tulang daun tidak merata, dan (i) Mengerupuk pada daun jeruk keprok Hickson
Sumber: Mudita (2014)
15
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Lampiran 4c. Buah jeruk pada pohon sehat dan pohon bergejala CVPD: (a) Buah berbentuk bundar gepeng pada tanaman sehat, (b) Buah berbentuk bundar memanjang pada tanaman bergejala CVPD, (c) Buah berbentuk tidak simetrik, (d) Buah menguning dari bagian pangkal, bukan dari bagian ujung, (e) Buah gugur prematur, dan (f) Biji kisut dengan bercak coklat gelap
Sumber: Mudita (2014) Lampiran 5. Kutu loncat jeruk asia Diaphorina citri pada pucuk tunas JKS: (a) Telur, (b) Nimfa dengan semut pemelihara, dan (c) Serangga dewasa hinggap menungging
Sumber: Mudita (2014)
16
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Lampiran 6. Biodata Ringkas Penulis Data Pribadi Nama Tempat/Tanggal Lahir Jenis Kelamin Status Perkawinan Nama Istri
: Ir. I Wayan Mudita, M.Sc., Ph.D. : Bumbungan/21 Juli 1959
: Laki-laki : Menikah : 1. Ir. Supiahwati (meninggal dunia 1995) 2. Ida Ayu Lochana Dewi, SP, MSi. (menikah 2012) Anak : 1. Ni Wayan Diah Sucita Saraswati, SKM 2. Ni Nengah Diah Adiluh Kesumastiti 3. I Nyoman Mahadi Angga Widyastana Agama : Hindu Golongan/Pangkat : Pembina/IVb Jabatan Akademik : Lektor Kepala Perguruan Tinggi : Universitas Nusa Cendana Kantor : Jl. Adisucipto, Penfui, Kupang 85001, NTT Telp./Faks. : email :
[email protected] Facebook : https://www.facebook.com/pr4undana website : http://www.undana.ac.id http://pr4undana.blogspot.com Rumah : Jl. Seruni No. 2a, Kelurahan Naikoten Satu, Kecamatan Kota Raja, Kupang 85118, NTT Telp./Faks. : 0380 827503 Seluler : 081339339775 email :
[email protected] Facebook : https://www.facebook.com/gurukecil website : http://iwayanmudita.blogspot.com Pendidikan dan Pelatihan 1. S3, biosecurity (ketahanan hayati), Charles Darwin University, Darwin, NT, Australia, lulus 2014 2. Pelatihan Metodologi Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Universitas Tadulako, Palu, 21-25 Jul. 1997 3. Intensive Training Course on Environmental Assessment and Management (Amdal Tipe B), Aberdeen University, Scotland, UK, 10 Oct.-30 Nov. 1994 4. Kursus Dasar-dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL Tipe A), Institut Teknologi 10 November Surabaya, Surabaya, 15-28 Nov. 1993 5. Short Course on Integrated Pest Management, Udayana University, Denpasar, 5-31 Jul. 1993 6. Short Course on Farming System Research, Nusa Cendana University, Kupang, 27 Jul.-22 Aug. 1992 7. S2, plant pathology (ilmu penyakit tumbuhan), McGill University, Montreal, Quebec, Canada, lulus 1991 8. Agricultural Polytechnic Management Training, Lincoln University, New Zealand, 14 Mar.-13 May 1988
17
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 9. S1, ilmu hama dan penyakit tumbuhan, Universitas Mataram, Mataram, NTB, lulus 1984 Penelitian Myers, B., McWilliams, A., Fisher, R., Mudita, I W., Natonis, R.L., Taufik, Y., Pasolon, B. (2014, in progress). Environmental Impact Assessment of Artisanal Mining in West Timor and Southeastern Sulawesi, Indonesia. Collaboration between Charles Darwin University, Darwin, NT, and NTT Provincial Agency for Environment Management Myers, B., McWilliams, A., Fisher, R., Mudita, I W., & Natonis, R.L. (2013). Environmental Impact Assessment of Manganese Mining in West Timor, Indonesia. Collaboration between Charles Darwin University, Darwin, NT, and NTT Provincial Agency for Environment Management Mudita, I W., & Harini, T.S., (2012). Inventarisasi Organisme Penggangu Tanaman Perkebunan di Kabupaten Sumba Barat Daya. Kerjasama Fakultas Pertanian Undana dengan Dinas Perkebunan Kabupaten Sumba Barat Daya. Myers, B., McWilliams, A., Fisher, R., & Mudita, I W., (2012). Environmental Impact Assessment of Manganese Mining in West Timor, Indonesia. Collaboration between Charles Darwin University, Darwin, NT, and NTT Provincial Agency for Environment Management Benu, F.L., Pandie, D.B.W., Libbing, S., Muwardy, K., I W. Mudita, & Natonis, R.L., (2011). Kajian Pemekaran Kabupaten Pantar dalam Rangka Pembentukan Kabupaten Pantar. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Alor dengan Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana. Suek, J., Lalel, H.D.J., Surayasa, M.T., & Mudita, I W. (2011). Poverty Assessment Survey in West Timor, Indonesia, Multi-year Research, collaboration between The World Bank and Research Institute, Nusa Cendana University. Mudita, I.W., & Natonis, R.L. (2010). Development of community-based biosecurity management in Northern Australia and Eastern Indonesia 2008-2010, NTT Site: Community Biosecurity of Citrus in the Highlands of West Timor, Indonesia Suek, J., Lalel, H.D.J., Surayasa, M.T., Mudita, I W. (2010). Poverty Assessment Survey in West Timor, Indonesia, Multi-year Research, collaboration between The World Bank and Research Institute, Nusa Cendana University. Mudita, I.W., & Natonis, R.L. (2009). Development of community-based biosecurity management in Northern Australia and Eastern Indonesia 2008-2010, NTT Site: Community Biosecurity of Citrus in the Highlands of West Timor, Indonesia Mudita, I W., Surayasa, M.T. & Aspatria, U. (2009). Pengem-bangan Model Pengelolaan Ketahanan Hayati Penyimpanan Jagung Berbasis Masyarakat untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan di Wilayah Beriklim Kering. Program Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Suek, J., Lalel, H.D.J., Surayasa, M.T., Mudita, I W. (2009). Poverty Assessment Survey in West Timor, Indonesia, Multi-year Research, collaboration between The World Bank and Research Institute, Nusa Cendana University. 18
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Mukun, L., Mau, Y.S., Mudita, I W., Taek, P., Simamora, A.V., Harini, T.S., Nik, N. (2009). Bio-ecology of Migratory Locust (Locusta migratoria) in East Nusa Tenggara, Indonesia. Collaboration beetween FAO United Nations and Faculty of Agriculture, Nusa Cendana University Publikasi Buku dan Jurnal Ilmiah Mudita, I W. (2011). Crossing the Community – Government Border: The Case of Citrus Biosecurity Management in West Timor, Indonesia. In: Falk, I.; Wallace, R.; Ndoen, M.L. (Eds.). Managing Biosecurity Across Border. Pp. 65-92. Dordrecht, Heidelberg, London, New York: Springer Science+Business Media Wallace, R., Mudita, I W., Natonis, R.L. (2011). Engaging biosecurity workforces through mobile learning and technologies in community management of biosecurity research. In: Falk, I.; Wallace, R.; Ndoen, M.L. (Eds.). Managing Biosecurity Across Border. Pp. 199-213. Dordrecht, Heidelberg, London, New York: Springer Science+Business Media Falk, I., Wallace, R., Ndoen, M.L., Surata, S.P.K., Royce, P., Mudita, I W., Martiningsih, N.G.A.G.E., Litaay, T., Mampouw, H.G., Jayantini, I.G.A.S.R., Natonis, R.L. (2011). A Strategy for Managing Biosecurity across Borders. In: Falk, I.; Wallace, R.; Ndoen, M.L. (Eds.). Managing Biosecurity Across Border. Pp. 215-236. Mudita, I W., & Natonis, R.L. (2008). Identification of social capital for understanding and raising plant biosecurity aware-ness, knowledge, and actions. Joint Publication Kritis (ISSN 0215-4765 nationally accredited SK No. 55/DIKTI/KEP/2005) and Learning Communities (ISSN 1329-1440), special: 209-227 Falk, I., Surata, K., Mudita, I W., Martiningsih, E. & Myers, B. (2008). Community management of biosecurity: Overview of some Indonesian studies. Joint Publication Kritis (ISSN 0215-4765 nationally accredited SK No 55/DIKTI/KEP/2005) and Learning Communities (ISSN 1329-1440), special vol.: 1-40 Benu, F.L., Mudita, I W., Aspatria, U., Natonis, R.L. (2008). Model usahatani lahan kering berwawasan Lingkungan untuk mening-katkan ketahanan pangan eks-penungsi Timor Timur di Kabupa-ten Belu, Provinsi NTT. SOCA: Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (ISSN: 14117177), vol. 3(8). 251-328 Mudita, I W. (2005). Population dynamics of coconut scale in semi-arid East Nusa Tenggara: Is its decline realy because of the efficacy of chemical and biological control? Jurnal Informasi Pertanian Lahan Kering (ISSN 0215-9236), vol. 16: 39-50 Mudita, I W. & Naraheda, Z. (2003). Soil cover and weed suppression provided by squash-corn intercropping in shifting cultivation of West Timor: An observational study in Kelurahan Kolhua and Desa Ponain. Medita Exata: Journal of Science and Engineering (ISSN 1412-7717) vol. 4 (2): 306-316. Mudita, I W. (2005). The search for a better management of Chromolaena odorata in the drayland of West Timor: Is biological control Using Cecidochares connexa really promissing? Jurnal Informasi Pertanian Lahan Kering (ISSN 0215-9236), vol. 16:51-67
19
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Publikasi Seminar Ilmiah Mudita, I W. (2012). Revisiting disease triangle: the role of social environment in community biosecurity management. Presented at 2012 Science Exchange held by CRCNPB in The Vine Resort, Swan Valley, WA, Australia, on 23-25 March. 2012 Mudita, I W. (2011). Biosecurity governance: negotiating citrus biosecurity with local governments and communities in West Timor, Indonesia. Presented at 2011 Science Exchange held by CRCNPB in The Vine Resort, Adelaide, SA, Australia, on 2011 Mudita, I W. (2009). Crossing the community-government communication border in managing citrus biosecurity in West Timor, Indonesia. Presented at 2009 Science Exchange held in Sunshine Coast, Qld., Australia, on 2224 Sep. 2009 Mudita, I W., & Natonis, R.L. (2009). Community biosecurity management in West Timor: 2009 findings and future planning. Presented at Workshop on Community Management of Biosecurity in Northern Australia and Eastern Indonesia held in Kuta, Bali Province, on 6-7 Dec. 2009 Mudita, I.W. (2009). Tatakelola penyakit CVPD di Kabupaten TTS dan Kabupaten TTU, Prov. NTT. Dipresentasikan pada Expose Hasil Pemantauan Hama dan Penyakit Hewan Karantina dan Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina di Kupang pada 3 Nov. 2009 Mudita, I W., & Natonis, R.L. (2009). Community biosecurity management in West Timor: 2009 progress and future planning. Presented at Workshop on Community Management of Biosecurity in Northern Australia and Eastern Indonesia held in Salatiga, Central Java Province, on 16-21 Aug. 2009 Mudita, I W. (2009). Mengenali gejala dan vektor penyakit CPVD pada jeruk di lapangan. Dipresentasikan pada Lokakarya Koordinasi Pengawas Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura di Kupang pada 30 Jul. 2009 dan di Soe, Kab. TTS, pada 31 Juli 2009 Mudita, I W. (2009). Crossing the community-government border: The governance of citrus biosecurity in the Highlands of West Timor. Presented at Workshop on Community Management of Biosecurity in Northern Australia and Eastern Indonesia held in Soe, TTS District, NTT Province, on 24-27 May 2009 Mudita, I W., & Natonis, R.L. (2009). Community biosecurity management in West Timor: 2009 implementation planning. Discussion paper presented at Workshop on Community Management of Biosecurity in Northern Australia and Eastern Indonesia held in Kedaton, Tabanan District, Bali Province, on 24-25 Feb. 2009 Mudita, I W., & Natonis, R.L. (2008). Community biosecurity management in West Timor: 2008 findings and future planning. Presented at Workshop on Community Management of Biosecurity in Northern Australia and Eastern Indonesia held in Kedaton, Tabanan District, Bali Province, on 9-11 Sep. 2008 Falk, I., Mudita, I W., Knight, S. & Martiningsih, E. (2008). Community management of biosecurity: An overview of findings and future work. Presented at the 9th New Guinea Biology Conference, Jayapura, 24-26 July 2008 20
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Mudita, I W., & Natonis, R.L. (2008). Community biosecurity management in West Timor: 2008 progress. Presented at Workshop on Community Management of Biosecurity in Northern Australia and Eastern Indonesia held in Makassar, South Sulawesi Province, on 12 July 2008 Mudita, I W., (2008). Community biosecurity management in West Timor: 2007 findings and future planning. Presented at Workshop on AustralianIndonesian Community Management Systems for Food & Biosecurity held in Salatiga on 18-19 April 2008 Pengabdian pada Masyarakat 1. Penyuluhan Bioekologi dan Pengendalian Belalang Kembara, diselengarakan oleh Fakultas Pertanian bekerjasama dengan FAO pada 2527 Nov. 2009 di Kefamenanu dan Wini, Kabupaten TTU. 2. Pelatihan Enumerator dalam rangka Evaluasi Tahap I Survey Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten Kupang, TTS, TTU, dan Belu, Prov. NTT, diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian Undana dan Bank Dunia di Kupang pada 19-20 Nov. 2009 3. Penyadaran dan Pengembangan Dukungan Masyarakat Mengenai Ketahanan Hayati Jagung dalam Penyimpanan, diselengarakan di Soe, Kabupaten TTS, pada 10 Nov. 2009 4. Pelatihan Enumerator dalam rangka Survey III Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten Kupang, TTS, TTU, dan Belu, Prov. NTT, diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian Undana dan Bank Dunia pada 78 Nov. 2008 (Surat Keterangan No. 206a/H15.2/TU/2009) 5. Penguatan Ketahanan Pangan Masyarakat di Timor Barat, diselenggarakan pada 6 Jun. 2009 (Surat Keterangan No. 189a/H15.2/TU/2009) 6. Penguatan Ketahanan Pangan Masyarakat di Timor Barat, diselenggarakan pada 5 Jun. 2009 (Surat Keterangan No. 189a/H15.2/TU/2009) 7. Pelatihan Enumerator dalam rangka Survey II Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten Kupang, TTS, TTU, dan Belu, Prov. NTT, diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian Undana dan Bank Dunia pada 78 Nov. 2008 (Surat Keterangan No. 185/H15.2/TU/2008) 8. Pelatihan Enumerator dalam rangka Survey I Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten Kupang, TTS, TTU, dan Belu, Prov. NTT, diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian Undana dan Bank Dunia pada 34 Apr. 2008 (Surat Keterangan No 185/H15.2/TU/2008) 9. Pelatihan Pengenalan Pemanfaatan Tumbuhan Liar Berpotensi sebagai Pupuk Hijau dan Bahan Dasar Kompos Fermentasi kepada masyarakat di Desa Oesao, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian Undana pada 10 Nov. 2008 (Surat Keterangan No. 1306/H15.1.23/PM.08) Penghargaan 1. Dosen Berprestasi I Bidang Penelitian Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Tahun 2007 (SK Dekan Faperta Undana No. 17/SK/FAPERTA/2007 tgl. 5 Jun. 2007) 2. Dosen Berprestasi I Bidang Penelitian Universitas Nusa Cendana Tahun 2007 (SK Rektor Undana No. 116/KP/2007 tgl. 26 Jun. 2007)
21
©I W. Mudita (2014) Orasi Ilmiah Dies Natalis LII Undana dan Wisuda Periode II 2014 Tugas Tambahan 1. Kepala Pusat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arboretum (Puslitbang Arboretum), Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana (SK Rektor Undana No. 53/KP/2006 tgl. 1 Mar. 2006), 2006-2010 2. Kepala Pusat, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam (PPLHSA Undana), Lembaga Penelitian (SK Rektor Undana No. 53 Tahun 1997 tgl. 26-7-1997), 1997-2003 3. Sekretaris Pusat, Pusat Studi Lingkungan Undana (sekarang PPLHSA Lembaga Penelitian Undana), 1992-1995 Kompetensi Teknologi Informasi dan Komunikasi 1. Sistem Operasi: Windows, Linux, Android 2. Perkantoran: Word, Excel, PowerPoint, Visio, Access, 3. Analisis Data Berbasis Komputer: SAS, R, NVivo 4. Sistem Informasi Geografik: Google Earth, Google Maps, SAGA, QGIS 5. Pemrograman: HTML, XML, CSS
22