BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tablet Hancur di Mulut / Orally Disintegrating Tablet (ODT) 2.1.1 Pengertian Rute pemberian obat secara oral adalah rute paling umum dan nyaman digunakan oleh pasien. Tablet dan kapsul telah lama digunakan sebagai bentuk sediaan obat padat (solida) yang populer hingga saat ini, termasuk di dalamnya tablet konvensional dan pelepasan terkontrol, kapsul gelatin keras dan lunak (hard and soft gelatin capsules) (Sharma, et.al., 2005). Namun di antara penggunaan keduanya, tablet merupakan bentuk sediaan yang paling disukai karena mudah diproduksi, mudah pengemasan begitu juga penggunaannya (Rao, et.al., 2009). Adanya berbagai perubahan fungsi fisiologis terkait usia, termasuk kesulitan menelan tablet secara utuh, akan menurunkan tingkat kepatuhan dan efektifitas terapi. Kelompok pasien yang menjadi perhatian atas isu ini terutama adalah pediatri dan geriatri (Rao, et.al., 2009). Banyak penelitian yang kemudian dikembangkan untuk mengatasi masalah ini dan tablet hancur di mulut (orally disintegrating tablet) telah ditemukan sebagai salah satu bentuk sediaan paling bermanfaat (Koseki, et.al., 2008). Dikenal oleh FDA sebagai orally disintegrating tablet (ODT), bentuk sediaan ini disebut juga mouth-dissolving, fast-dissolving, rapid-melt, porous, orodispersible, quick-dissolving, atau rapidly disintegrating tablet (Kaushik, et.al., 2004). Istilah ODT diadaptasi oleh Komite Pelabelan dan Tatanama (Nomenclature and Labelling Committee) pada USP dan ODT adalah singkatan umum untuk
13
suatu tablet yang hancur (disintegrasi) dengan cepat atau serta-merta dalam rongga mulut dan partikel zat yang ditelan menunjukkan karakteristik pelepasan segera (immediate-release). Sementara itu, Farmakope Eropa (European Pharmacopoeia) mengadopsi istilah orodispersible tablet sebagai suatu tablet yang diletakkan di atas lidah dan akan terdispersi secara cepat sebelum ditelan (Kundu dan Sahoo, 2008). Tablet ini dimaksudkan agar cepat terdisintegrasi di mulut ketika kontak dengan air ludah atau saliva dalam waktu kurang dari 60 detik atau lebih disukai kurang dari 40 detik (Kundu dan Sahoo, 2008). Zat aktif kemudian akan melarut atau terdispersi ke dalam air ludah, lalu ditelan oleh pasien dan obat akan diabsorpsi seperti umumnya (Sharma, et.al., 2005). Untuk proses ini, jumlah air ludah yang sedikit telah mencukupi untuk memungkinkan terjadinya disintegrasi tablet. Oleh karena itu, tidak diperlukan air untuk menelan obat. (Koseki, et.al., 2008). Hal inilah yang akan mempermudah dan meningkatkan kepatuhan pasien pediatri ataupun geriatri dalam penggunaan obat. Selain itu, sejumlah bagian obat juga mungkin diabsorpsi di daerah pra-gastrik seperti mulut, faring, dan esofagus ketika air ludah turun ke lambung (Sharma, et.al., 2005) sehingga ketersediaan hayati obat akan meningkat dan pada akhirnya juga meningkatkan efektivitas terapi.
2.1.2 Karakteristik Ideal ODT Sediaan ODT berbeda dari tablet konvensional umumnya, maka sediaan ODT harus memiliki beberapa karakteristik yang ideal antara lain:
14
a. disintegrasi harus cepat. Secara umum, hal ini berarti bahwa tablet ODT harus terdisintegrasi dalam waktu kurang dari 1 menit. Namun demikian, akan lebih disukai bila disintegrasi terjadi secepat mungkin di dalam rongga mulut. Begitu juga ODT harus mengalami terdisintegrasi dengan sedikit atau tanpa meminum air sama sekali dan dimaksudkan untuk melarut dengan air ludah pasien sendiri. b. penutupan rasa (taste-masking) dari senyawa aktif. Hal ini dikarenakan obat ODT akan melarut atau mengalami disintegrasi di dalam mulut. Setelah melarut, sediaan diharapkan tidak atau sedikit meninggalkan residu serta rasa enak di mulut. Teknologi penutupan rasa yang ideal hendaknya mampu menghasilkan mouth-feel yang baik dan tidak memberikan sensasi berpasir (grittiness) di mulut. c. kekerasan dan porositas tablet yang optimal. Oleh karena ODT dirancang untuk memiliki waktu disintegrasi dan disolusi yang cepat maka dibutuhkan zat tambahan (excipient) dengan derajat keterbasahan (wettability) yang tinggi dan struktur tablet dengan porositas yang tinggi pula dimaksudkan untuk absorpsi air yang cepat ke dalam tablet. Kekerasan tablet berbanding terbalik dengan porositasnya maka adalah hal yang penting untuk mendapatkan porositas tablet dengan absorpsi air yang cepat tanpa mengurangi kekerasan tablet sehingga tidak mudah rusak selama pengemasan dan pendistribusian dalam blister atau botol tablet konvensional. d. sensitifitas yang rendah terhadap kelembapan. ODT seringkali sensitif terhadap kelembapan, hal ini disebabkan zat tambahan dengan kelarutan dalam air yang tinggi sehingga sangat rentan terhadap kelembapan. Untuk
15
mengatasi hal ini, diperlukan strategi pengemasan yang baik agar tablet terlindungi dari berbagai pengaruh lingkungan (Fu, et.al., 2004).
2.1.3 Kelebihan dan Kekurangan Formulasi ODT ODT memiliki semua kelebihan dari bentuk sediaan solida, antara lain stabilitasnya yang baik, ketepatan dosis, kemudahan produksi, ukuran pengemasan yang kecil, dan praktis dibawa bepergian. ODT juga memiliki kelebihan formulasi seperti kemudahan penggunaan obat, tidak ada resiko sesak nafas (tersedak) akibat obstruksi fisik bentuk solida di tenggorokan (Fu, et.al., 2004), kecepatan absorpsi dan onset obat yang cepat, serta ketersediaan hayati yang tinggi. Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, zat aktif dapat diabsorpsi baik di daerah bukal, faring maupun esofagus selama larutan obat turun ke lambung. Karena absorpsi pra-gastrik akan menghindarkan zat aktif dari metabolisme lintas pertama di hati, maka dosis obat juga dapat dikurangi bila sejumlah besar zat aktif mengalami metabolisme tersebut selama pemberian tablet konvensional (Fu, et.al., 2004). Oleh karena itu dalam kasus terapi tertentu, ODT merupakan obat pilihan untuk mendapatkan konsentrasi sistemik yang tinggi secara cepat atau high drug loading (Kundu dan Sahoo, 2008). ODT menawarkan kemudahan bagi pasien yang mengalami kesulitan menelan (dysphagia) terutama pasien pediatri dan geriatri serta untuk pasien yang sedang berlibur dan menempuh perjalanan jauh yang kemungkinan besar air minum mungkin sulit diperoleh (Verma dan Garg, 2001). Di samping berbagai kelebihan ODT seperti yang telah disebutkan di atas, sediaan ODT juga memiliki
16
kekurangan yaitu keterbatasan jumlah obat yang dapat diformulasi dalam setiap unit dosisnya. Selain itu, terkait sifat bentuk sediaan ODT yang rapuh (fragile), diperlukan pengemasan khusus dan ini tentu akan menambah biaya produksi (Ghost, et.al., 2005).
2.1.4 Metode Formulasi ODT Sifat ODT yang cepat larut (fast-dissolving) berasal dari jalan masuk air yang sangat singkat ke dalam matriks tablet sehingga mengakibatkan disintegrasi yang sangat cepat. Oleh karena itu, pendekatan mendasar dalam mengembangkan tablet jenis ini meliputi: a. memaksimalkan struktur berpori dari matriks tablet. b. menambahkan senyawa penghancur (disintegrant) yang tepat. c. menggunakan zat tambahan (excipient) yang sangat mudah larut air dalam formulasi. Sejauh ini, beberapa metode pembuatan ODT telah dikembangkan dengan berbagai prinsip dasar yang berbeda (Shukla, et.al., 2009). Formulasi ODT dapat dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu metode yang menggunakan proses pemanasan dan yang tidak menggunakan pemanasan. Menurut Goel, et.al. (2008), metode yang menggunakan proses pemanasan antara lain: proses gula kapas (cotton candy process), tekanan leburan (melt extrusion), pencetakan tablet (tablet molding), dan sublimasi (sublimation). Sementara itu, metode yang tidak menggunakan proses pemanasan meliputi pengeringan beku (freeze drying), cetak langsung (direct compression) dan sistem efervesen (effervescent system).
17
Metode formulasi ODT dengan menggunakan proses pemanasan, secara skematis diringkas dalam Gambar 2.1. Sedangkan metode formulasi ODT tanpa menggunakan proses pemanasan, secara skematis diringkas dalam Gambar 2.2.
Gambar 2.1
Skema metode pemanasan.
formulasi
ODT
menggunakan
proses
(Sumber: Goel, H., Rai, P., Rana, V. dan A.K. Tiwary, 2008, Orally Disintegrating Systems: Innovations in Formulation and Technology, Recent Pat. Drug Deliv. Formul. 2(3): 258-274)
18
Gambar 2.2
Skema metode formulasi ODT tanpa menggunakan proses pemanasan.
(Sumber: Goel, H., Rai, P., Rana, V. dan A.K. Tiwary, 2008, Orally Disintegrating Systems: Innovations in Formulation and Technology, Recent Pat. Drug Deliv. Formul. 2(3): 258-274)
Berdasarkan sudut pandang industri farmasi, metode cetak langsung (direct compression) merupakan metode pembuatan tablet yang paling mudah dan murah. Industri dapat menggunakan peralatan produksi konvensional, bahan-bahan tambahan yang umumnya telah tersedia, menempatkan dosis yang cukup tinggi dalam sediaan, dan prosedur kerja yang singkat (Kundu dan Sahoo, 2008). Metode ini juga merupakan pilihan utama untuk membuat tablet dengan
19
kandungan zat aktif yang termolabil dan sensitif terhadap kelembapan (Goel, et.al., 2008). Metode cetak langsung dapat digunakan untuk membuat sediaan ODT dengan cara memilih kombinasi bahan tambahan yang tepat sehingga dapat menghasilkan disintegrasi yang cepat tetapi memiliki daya tahan fisik tablet yang baik.
Bahan
tambahan
yang
dimaksudkan
adalah
bahan
penghancur
(disintegrant). Beberapa peneliti menggunakan bahan effervescent sebagai disintegrant, sementara yang lain mengkombinasi berbagai disintegrant yang ada (Fu, et.al., 2004). Menurut Dobetti (2000) beberapa non-effervescent disintegrant yang dapat digunakan antara lain: a. amilum dan amilum termodifikasi (modified amylum). Kelompok ini meliputi amilum alamiah (seperti amilum jagung dan amilum kentang), amilum cetak langsung
(seperti
starch
1500),
amilum
termodifikasi
(seperti
carboxymethylstarches dan natrium amilum glikolat/sodium starch glycolate) dan turunan amilum (seperti amilosa) b. polivinilpirolidon terkait silang (cross-linked polyvinyl pyrrolidone) c. selulosa termodifikasi seperti natrium CMC terkait silang (cross-linked sodium carboxymethylcellulose) d. asam alginat dan natrium alginat e. selulosa mikrokristal (microcrystalline cellulose) f. garam
kopolimer
asam
metakrilat-divinilbenzene
divinylbenzene copolymer salts)
20
(methacrylic
acid-
Selulosa termodifikasi (modified cellulose) merupakan bahan yang sangat penting dalam sistem disintegrasi oral karena bahan ini menghasilkan disintegrasi yang cepat sehingga disebut juga sebagai superdisintegrant (Goel, et.al., 2008). Natrium
kroskarmelosa
merupakan
garam
natrium
terkait
silang
dari
karboksimetil selulosa, yang memiliki kapasitas mengembang yang besar serta efektif digunakan pada kadar rendah yakni antara 0,5-2,0% (Goel, et.al., 2008). Krospovidon merupakan turunan polyvinyl pyrrolidone yang tak larut dalam air, cepat menyebar dan mengembang di dalam air, namun tidak akan membentuk gel bahkan dalam jangka waktu yang lama sekalipun di dalam air. Bahan ini merupakan disintegrant yang paling baik dan memiliki rasio luas permukaanvolume yang paling besar dibandingkan dengan yang lain. Konsentrasi efektifnya dicapai pada 1-3% (Goel, et.al., 2008). Pendekatan lain formulasi ODT dengan metode cetak langsung adalah dengan menggunakan zat tambahan berbahan dasar gula seperti dekstrosa, fruktosa, isomalt, laktitol, maltitol, maltosa, manitol, sorbitol, starch hydrolysate, polidekstrosa, dan xylitol (Shukla, et.al., 2009). Bahan tambahan berbahan dasar gula banyak digunakan dalam formulasi sediaan ODT sebagai bulking agent dengan alasan kelarutan yang tinggi dalam air dan pemberi rasa manis sehingga menghasilkan mouth-feel yang menyenangkan dan penyalutan rasa yang baik (Fu, et.al., 2004). Mizumoto, et.al. (1996) mengelompokkan bahan tambahan berbahan dasar gula yang dapat digunakan dalam formulasi ODT ke dalam 2 jenis berdasarkan tingkat kompresibilitas dan laju disolusinya yaitu:
21
a. sakarida jenis I (misalnya laktosa dan manitol). Jenis ini memiliki kompresibilitas yang rendah tetapi dengan laju disolusi yang tinggi, b. sakarida jenis II (misalnya maltosa dan maltitol). Jenis ini memiliki kompresibilitas yang tinggi namun laju disolusinya rendah. Adapun kelemahan metode cetak langsung dalam formulasi ODT ialah kapasitas disintegrasinya sangat tergantung pada ukuran dan tingkat kekerasan tablet (Dobetti, 2000).
2.2 Pengurangan Ukuran Partikel Senyawa Aktif Obat yang Sukar Larut Air dengan Nanoteknologi Nanoteknologi merupakan kemampuan untuk memproduksi dan memproses materi berukuran nano (nanosized) atau memanipulasi objek dalam skala nano (nanoscale). Nanoscale umumnya menyatakan rentang ukuran dari 1 hingga 100 nm. Akan tetapi, beberapa ilmuwan menganggap ukuran nanoscale adalah antara 1 hingga 200 nm, bahkan hingga 1000 nm (Jin, 2008). Nanoteknologi berkembang semakin pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan industri akan ukuran partikel yang semakin kecil. Dalam industri farmasi dan bioteknologi, nanoengineering telah mempengaruhi setiap segmen dan subspesialisasi yang ada. Pengurangan ukuran partikel ini menawarkan suatu kesempatan bermakna bagi perancang formula untuk mengatasi hambatan dalam pengembangan produk terkait senyawa aktif obat yang sukar larut dalam air (Lee, et.al., 2008). Kelarutan yang rendah merupakan masalah utama dalam pengembangan formulasi obat. Dalam banyak kasus, kelarutan yang rendah akan mengakibatkan rendahnya ketersediaan hayati. Selain itu, obat dengan kelarutan yang rendah 22
memiliki laju disolusi yang rendah pula. Pada dasarnya, obat dapat memiliki kelarutan yang rendah baik dalam air maupun pelarut organik. Bila zat aktif sukar larut dalam air, pendekatan formulasi yang dilakukan adalah dengan menggunakan solubilizing agent, chelating agent seperti siklodekstrin atau mengkombinasikan air dengan pelarut organik seperti air-etanol dan air-propilen glikol (Müller, et.al., 2000). Alternatif lain yang cukup penting adalah dengan mengurangi ukuran partikel. Mikronisasi digunakan untuk meningkatkan luas permukaan partikel sehingga akan meningkatkan laju disolusi dan absorpsi. Mikronisasi dimaksudkan untuk mengubah serbuk zat aktif menjadi kristal berukuran mikro (berkisar 2 hingga 5 μm) dengan menggunakan colloid mills atau jet mills (Möschwitzher dan Müller, 2007). Namun bila zat aktif tersebut praktis tidak larut atau mempunyai kelarutan yang sangat rendah, mikronisasi tidak akan memberikan efek bermakna. Untuk alasan ini, alternatif berikutnya adalah mengurangi ukuran partikel menjadi yang lebih kecil yaitu skala nano (Möschwitzher dan Müller, 2007). Ukuran nanopartikel berkisar 10 hingga 1000 nm dan kebanyakan metode menyarankan sebaiknya diameter partikel antara 200 dan 400 nm (Müller dan Keck, 2004). Menurut Müller dan Keck (2004), ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk memproduksi nanopartikel dengan bentuk dan ukuran yang diinginkan, yaitu: a. mudah dikerjakan, b. dapat diaplikasikan dalam pembuatan sebanyak mungkin jenis zat aktif obat atau dengan kata lain bersifat universal, c. memberikan hasil yang stabil secara fisik,
23
d. diformulasi dengan bahan-bahan tambahan yang inert dan telah disetujui oleh badan regulasi, e. dapat dikerjakan dalam skala besar, f. prosedur produksi hendaknya dapat divalidasi dan memenuhi ketentuan yang berlaku. Secara umum, metode pembuatan nanopartikel terbagi atas 3 prinsip utama
yaitu
metode
presipitasi,
penggilingan
(milling
methods),
dan
homogenisasi.
2.2.1 Metode Presipitasi Salah satu metode presipitasi yang pertama adalah teknologi pembuatan Hydrosol. Teknologi ini dikembangkan oleh Sucker dan merupakan hak cipta milik Sandoz (sekarang bernama Novartis). Teknologi ini sesungguhnya merupakan metode presipitasi klasik yang dikenal sebagai “via humida paratum”. Dalam metode ini, zat aktif dilarutkan ke dalam pelarut, lalu larutan tersebut dimasukkan ke dalam larutan lain yang bukan pelarut zat aktif tersebut sehingga menghasilkan presipitasi zat aktif yang halus. Kelemahan metode ini adalah nanopartikel yang terbentuk harus distabilisasi untuk mencegah timbulnya kristal berukuran mikro dan zat aktif yang hendak dibuat nanopartikelnya harus larut setidaknya dalam salah satu jenis pelarut, sementara diketahui bahwa banyak zat aktif memiliki kelarutan rendah baik di air maupun pelarut organik. Lyophilization harus dilakukan untuk mempertahankan ukuran nanopartikel tersebut. Metode presipitasi yang lain adalah pembuatan nanopartikel amorf. Teknologi ini digunakan dalam bidang farmasetika oleh perusahaan Soliqs (Ludwigshafen,
24
Jerman) dan dipasarkan dengan merek dagang NanoMorph® (Junghanns dan Müller, 2008).
2.2.2 Metode Penggilingan Penggilingan merupakan teknik standar yang telah digunakan dalam beragam bidang aplikasi industri untuk mengurangi ukuran partikel. Pengurangan ukuran partikel lewat penggilingan dapat dijelaskan oleh tiga mekanisme kunci yang saling mempengaruhi yakni gesekan antara dua permukaan karena tekanan yang dihasilkan melampaui kekuatan inheren partikel sehingga mengakibatkan frakturasi (patahan atau retakan), gaya gesek yang dihasilkan (shear force) mengakibatkan
pecahnya partikel menjadi beberapa bagian, dan deagregasi
terkait kolisi (tabrakan) antar agregat pada laju diferensial yang tinggi (Gour, 2010). Metode penggilingan dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara yaitu berdasarkan kondisi medium penggilingan atau berdasarkan mekanisme fraktur yang terjadi selama penggilingan berlangsung. Berdasarkan kondisi medium ketika partikel digiling, metode dibagi 2 yaitu metode penggilingan kering dan metode penggilingan basah (Burcham, et.al., 2009). Sedangkan berdasarkan mekanisme fraktur yang terjadi, metode dapat dibagi menjadi (cutting), kompresi (compression), impaksi (impaction), dan
pemotongan
erosi (attrition)
(Staniforth, 2002). Metode penggilingan kering (dry milling) merupakan suatu proses memperkecil ukuran partikel tanpa adanya larutan. Hal ini dicapai lewat penggilingan atau penggerusan dengan tenaga tinggi menggunakan suatu baut
25
(pin) atau pelatuk (hammer) yang berputar. Peralatan yang dapat digunakan antara lain hammer mill, universal/pin mill, dan jet mill (Burcham, et.al., 2009). Kelemahan utama metode ini adalah kemampuannya menghasilkan distribusi ukuran partikel yang luas berkisar beberapa ratus nanometer hingga 25 μm atau dengan kata lain, hanya beberapa persen produknya yang berupa nanopartikel (Müller, et.al., 2000). Metode berikutnya adalah metode penggilingan basah (wet atau slurry milling) yaitu proses penggilingan suatu zat padat yang disuspensikan dalam suatu larutan. Penggunaan penggilingan basah memiliki beberapa keuntungan dibandingkan penggilingan kering, di antaranya: a. penggillingan basah dapat dikerjakan bersamaan dengan tahapan isolasikristalisasi bahan aktif sehingga tidak menggunakan unit operasi yang terpisah-pisah seperti halnya penggilingan kering sehingga dapat mengurangi waktu penggilingan dan biaya produksi, b. dapat digunakan untuk zat aktif yang memperlihatkan perubahan sifat fisik atau fase pada suhu tinggi, seperti memiliki titik leleh yang rendah. Hal ini dikarenakan peningkatan kapasitas panas larutan pembawa yang akan menghasilkan fluktuasi suhu yang lebih rendah selama proses penggilingan. Beberapa jenis penggilingan basah yang umum digunakan dalam farmasetika yakni toothed-rotor-stator mill, colloid mill, dan media mill (Burcham, et.al., 2009).
Media mill merupakan metode yang paling umum
digunakan (Möschwitzher dan Müller, 2007). Media mill seringkali disebut juga pearl mill atau bead mill. Komponennya terdiri dari suatu ruang penggilingan (milling chamber), poros penggiling (milling
26
shaft), dan ruang resirkulasi produk (product recirculation chamber). Ruang ini berisi media penggiling berbentuk sferis (spherical milling media) yang berdiameter kurang dari 2 mm (Burcham, et.al., 2009). Media penggiling ini dapat dibuat dari bahan gelas, logam, keramik seperti zirkonium oksida, dan polimer seperti resin polistiren. Pemilihan media yang tepat merupakan hal yang penting diperhatikan berhubung erosi dari material media (umumnya gelas dan logam) dapat terjadi selama proses penggilingan sehingga meninggalkan residu pada bahan yang digiling (Burcham, et.al., 2009). Shaft dirancang untuk berputar pada kecepatan tinggi kurang lebih 20.000 rpm (Lee, et.al., 2008). Perputaran shaft akan menggerakkan media sehingga akan memberikan energi dan gesekan yang kuat kepada suspensi zat aktif yang dipompakan ke dalam ruang sehingga ukuran partikelnya berkurang. Dengan menggunakan media yang lebih kecil (kurang dari 100 μm) maka akan dapat diperoleh partikel yang berukuran nano (Burcham, et.al., 2009). Larutan medium yang digunakan untuk mensuspensi zat aktif dapat memiliki beberapa tujuan di antaranya untuk lubrikasi dan penyalutan partikel melalui berbagai interaksi fisikokimia (elektrostatik, hidrofobik, dan lain-lain) (Lee, et.al., 2008). Metode penggilingan basah (wet milling) merupakan teknologi pengecilan ukuran partikel yang mampu terus berkembang dan bertahan (viable). Keunggulannya telah dibuktikan dengan persetujuan registrasi 4 jenis produk obat yang menggunakan metode ini oleh FDA (Möschwitzher dan Müller, 2007). Dapat
ditambahkan,
perusahaan
bernama
NanoSystems
(Collegeville,
Pennsylvania, AS) menghasilkan nanopartikel obat juga dengan metode pearl mill ini dengan nama dagang NanoCrystals® (Müller, et.al., 2000).
27
Faktor-faktor yang mempengaruhi waktu penggilingan antara lain kekerasan zat aktif, kandungan surfaktan, temperatur, viskositas medium pendispersi, masukan energi spesifik, dan ukuran media penggiling. Waktu yang diperlukan dalam penggilingan ini berkisar antara 30 menit hingga beberapa hari (Möschwitzher dan Müller, 2007).
2.2.3 Metode Homogenisasi Homogenisasi bertekanan tinggi merupakan pendekatan lain untuk memperkecil ukuran partikel senyawa yang sukar larut. Ada 3 teknologi penting yang dikenal yaitu teknologi mikrofluidisasi (microfluidizer technology atau IDDPTM technology), homogenisasi di celah piston dalam air (piston gap homogenization in water atau Dissocubes® technology), dan di dalam campuran air atau media non-air (Nanopure® technology) (Junghanns dan Müller, 2008). Kelebihan dan kekurangan masing-masing metode ini dapat dilihat pada Tabel 2.1. Selain ketiga metode utama di atas, beragam metode kombinasi juga telah dikembangkan seperti Nanoedge® technology yang menggabungkan presipitasi dengan homogenisasi celah piston dan Nanopure® XP (Extended Performance) technology antara mikrofluidisasi dengan homogenisasi celah piston.
28
Tabel 2.1 Kelebihan dan Kekurangan 3 Metode Pembuatan Nanopartikel Teknologi Presipitasi
Kelebihan a. zat aktif terdispersi halus b. mudah mengendalikan ukuran partikel seperti yang diinginkan
a. b. c.
Penggilingan
a. membutuhkan energi a. yang rendah bila dibandingkan dengan metode homogenisasi b. b. telah diaplikasikan untuk 4 jenis obat yang telah disetujui oleh FDA c. d.
Homogenisasi
a. dapat diaplikasikan secara universal b. dapat diaplikasikan pada produksi berskala besar c. membutuhkan waktu relatif singkat (memungkinkan hanya beberapa menit) d. memungkinkan produksi dalam kondisi bebas air
a. b.
Kekurangan hasil nanopartikel harus distabilisasi adanya kemungkinan residu pelarut organik tidak dapat diaplikasikan secara universal, karena hanya dapat dilakukan pada zat aktif yang larut sedikitnya dalam 1 pelarut adanya kemungkinan residu dari media penggiling membutuhkan waktu cukup lama (beberapa hari) hasil nanopartikel perlu distabilisasi tidak dapat diaplikasikan pada produksi berskala besar karena terbatasnya ukuran ruang penggilingan membutuhkan energi besar membutuhkan pengalaman yang banyak dalam proses pembuatannya
(Sumber: Junghanns, J.U.A.H. dan R.H. Müller, 2008, Nanocrystal Technology, Drug Delivery and Clinical Applications, Int. J. Nanomedicine 3(3): 295-309)
2.3 Piroksikam sebagai Model ODT Beberapa faktor harus dipertimbangkan ketika memilih model senyawa obat yang akan diformulasi dalam bentuk sediaan ODT. Secara umum, sediaan ODT
29
obat sekurang-kurangnya harus bioekivalen dengan bentuk sediaan oral lainnya yang telah ada. Senyawa obat yang dianggap ideal untuk diformulasi sediaan ODT adalah yang dapat berdifusi dan berpenetrasi ke dalam epitelium saluran pencernaan atas (log P > 1 atau lebih disukai > 2) serta mampu berpermeasi ke dalam jaringan mukosa mulut. Senyawa obat dengan waktu paruh pendek, frekuensi pemberian dosis yang tinggi, memiliki rasa sangat pahit atau yang membutuhkan pelepasan terkontrol, bukanlah kandidat yang sesuai untuk dibuat sediaan ODT (Hirani, et.al., 2009). Para peneliti telah memformulasikan ODT dari berbagai kategori obat pada terapi untuk meningkatkan kadar puncak plasma yang cepat agar mendapatkan respon farmakologi yang diinginkan. Kategori itu termasuk di antaranya neuroleptik, obat kardiovaskular, analgesik, antialergi, ansiolitik, sedatif hipnotik, diuretik, anti-parkinson, antibakteri, dan obat yang digunakan untuk memperbaiki disfungsi ereksi (Hirani, et.al., 2009). Dalam penelitian ini, digunakan piroksikam sebagai model dalam formulasi ODT.
2.3.1
Sifat Fisikokimia Piroksikam Piroksikam (4-hidroksi-2-metil-N-2-piridil-2H-1,2-benzotiazin-3-karboksa–
mida 1,1-dioksida) berupa serbuk berwarna hampir putih atau coklat terang atau kuning terang dan tidak berbau, sedangkan bentuk monohidratnya berwarna kuning. Senyawa ini memiliki rumus molekul C15H13N3O4S dan berat molekul 331,35 dengan rumus bangun seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 (FI, 1995).
30
Gambar 2.3
Rumus bangun piroksikam.
Piroksikam sangat sukar larut dalam air, dalam asam encer dan sebagian besar pelarut organik; sukar larut dalam etanol dan dalam larutan alkali yang mengandung air (FI, 1995); larut dalam metilen klorida (BP, 2009) serta sedikit larut dalam etanol anhidrat. Senyawa ini memiliki titik leleh 198 hingga 200°C dengan pKa 6,3 dan log P (oktanol/air) 3,1 (Moffat, et.al., 2004). Piroksikam memiliki sifat asam dikarenakan adanya gugus substitusi dari asam 4-hidroksi enolat (ASHP, 2002).
2.3.2
Farmakokinetika Absorpsi. Piroksikam diabsorpsi dengan baik jika diberikan per oral. Kadar
obat akan muncul dalam waktu 15-30 menit setelah pemberian dosis oral tunggal 20 mg piroksikam dan kadar puncak plasma sekitar 1,5-2 μg/mL umumnya dicapai dalam waktu 3-5 jam. Aktivitas antiinflamasi yang optimum akan diperoleh pada kadar plasma sedikitnya 5 μg/mL (ASHP, 2002). Distribusi. Pada konsentrasi plasma 5-30 μg/mL, piroksikam akan terikat dengan protein plasma sebesar 99,3%. Pada manusia sehat, volume distribusi piroksikam dilaporkan berkisar 0,12 hingga 0,14 L/kg. Pada pemberian oral, piroksikam juga didistribusikan ke dalam air susu ibu dengan kadar 1-3% dari kadar plasma sang ibu (ASHP, 2002).
31
Metabolisme dan ekskresi. Waktu paruh plasma piroksikam dilaporkan berkisar antara 14 hingga 158 jam pada orang dewasa sehat, sementara produsen menyatakan rerata waktu paruhnya adalah 50 jam. Pada kondisi steady-state, 50% dosis piroksikam akan dimetabolisme di hati dengan cara proses hidroksilasi gugus samping piridinil pada posisi 5 dan konjugasi glukoronida dari metabolit hidroksi tersebut. Piroksikam dan metabolitnya diekskresikan melalui urin dan feses, ekskresi obat lewat urin berjumlah dua kali lipatnya dibandingkan lewat feses. Piroksikam diekskresikan dalam bentuk metabolitnya dan hanya 5% dari dosis yang diekskresikan dalam bentuk tidak berubah (ASHP, 2002).
2.3.3
Farmakodinamika Piroksikam memiliki efek farmakologi sama halnya obat antiinflamasi
nonsteroid lainnya. Senyawa ini memiliki aktivitas antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik. Obat ini bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin dalam jaringan tubuh yaitu dengan menghambat isoenzim siklooksigenase yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2) (juga dikenal sebagai prostaglandin G/H synthase-1 [PGHS-1] dan -2 [PGHS-2]). Enzim ini diketahui mengkatalisis pembentukan prostaglandin pada jalur asam arakidonat. Meskipun mekanisme yang sesungguhnya belum diketahui secara pasti, aktivitas antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik dari obat AINS secara mendasar merupakan efek penghambatan isoenzim COX-2, sedangkan efeknya dalam penghambatan COX-1 umumnya merupakan efek samping yang tak diinginkan pada terapi seperti iritasi mukosa gastrointestinal dan penghambatan agregasi platelet (ASHP, 2002).
32
2.3.4
Indikasi dan Dosis Terapi Terkait dengan efek farmakologinya sebagai antiinflamasi nonsteroid dan
analgesik, piroksikam digunakan dengan indikasi untuk terapi simptomatik pada rematoid artritis, osteoartritis, ankilosing spondilitis, gangguan muskuloskeletal akut, dan gout akut (IONI, 2008). Dosis awal terapi rematoid artritis, osteoartritis, dan ankilosing spondilitis adalah 20 mg sebagai dosis tunggal. Dosis pemeliharaan pada umumnya 20 mg sehari atau jika diperlukan dapat diberikan 10-30 mg dalam dosis tunggal atau terbagi. Dosis lebih dari 20 mg sehari akan meningkatkan efek samping gastrointestinal. Pada terapi gout akut, mula-mula diberikan 40 mg sehari sebagai dosis tunggal, diikuti 4-6 hari berikutnya 40 mg sehari dosis tunggal atau terbagi. Sedangkan pada gangguan muskuloskeletal akut, dosis awalnya 40 mg sehari sebagai dosis tunggal atau terbagi selama 2 hari, selanjutnya 20 mg sehari selama 7-14 hari (IONI, 2008).
33