OPTIMASI PROSES EKSTRAKSI ANTOSIANIN PADA BUNGA TELENG (Clitoria ternatea L.) DENGAN METODE PERMUKAAN TANGGAP
ABDULLAH MUZI MARPAUNG
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRACT MARPAUNG AM. The Optimation of Anthocyanin Extraction From Butterfly Pea (Clitoria ternatea L.) Petal Using Response Surface Methodology. Under direction of NURI ANDARWULAN and ENDANG PRANGDIMURTI
The Box-Behnken experimental design with Response Surface Methodology has been used in optimation of extraction process of anthocyanin from butterfly pea (Clitoria ternatea L.) petal. The extraction process was conducted with no light by using water. The ratio of fresh petal to water-HCl (pH 4.5) was 1:4 (w/v). The optimum process was defined as a set of extraction factors by using highest extract volume, anthocyanin and total phenol content as the selected parameters. The three factors were blanching time (0 to 12 minutes), extraction temperature (30 to 60 oC) and extraction time (30 to 120 minutes). The research showed that all factors had significant effect to volume by following reduced 2-factor interaction model, while anthocyanin content and total phenol content was effected by following reduced quadratic model. Based on the models, the most efficient extraction process was 6 minutes for blanching time followed by 30 minutes of extraction time at 60oC. The antioxidant activity and stability during storage of the extract was also studied. The research showed that highest antioxidant activity of butterfly pea flower extract was reached at pH 1 (flavylium cation) followed by pH 4.5 (hemiketal form) and pH 7 (quinonoidal base). The study of stability showed that butterfly pea extract was very unstable at pH 12 to 14, both in room temperature and 4oC storage. The extracts with pH 1 to 11 at 4oC were much more stable compare to the room temperature. At room temperature, the highest stability showed by pH 1 and followed by pH 2. At 4 oC the extracts with pH 1 to 2 and 7 to 11 were stable during 28 days storage. Keywords: anthocyanin, Clitoria ternatea L, extraction, response surface methodology, antioxidant activity
RINGKASAN MARPAUNG AM. Optimasi Proses Ekstraksi Antosianin Bunga Teleng (Clitoria ternatea L) Dengan Metode Permukaan Tanggap Dibimbing oleh NURI ANDARWULAN dan ENDANG PRANGDIMURTI
Antosianin merupakan pigmen alami yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Pigmen ini dapat dijumpai pada berbagai jenis tanaman. Salah satunya yang potensial adalah bunga teleng (Clitoria ternatea L). Selain kadar yang relatif tinggi, bunga teleng memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan sumber antosianin lain. Di antaranya adalah tanaman ini mudah tumbuh dengan perawatan yang minimal serta menghasilkan bunga setiap hari sepanjang tahun sehingga dapat berperan sebagai sumber antosianin yang mudah dan murah bagi masyarakat. Selain itu antosianin bunga teleng memiliki aktivitas antioksidan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa jenis antosianin yang lain. Antosianin bunga teleng, sebagaimana antosianin dari sumber lainnya, bersifat tidak stabil akibat berbagai kondisi pengolahan dan penyimpanan, terutama karena panas. Oleh karena itu proses pengambilan antosianin pada bunga teleng, khususnya proses yang melibatkan panas, perlu dipelajari untuk mendapatkan hasil yang optimal. Optimasi proses ekstraksi yang dipelajari pada penelitian ini menggunakan metode permukaan tanggap dengan rancangan percobaan Box-Behnken. Rancangan Box-Behnken merupakan rancangan yang efisien untuk tujuan optimasi proses yang melibatkan tiga atau lebih faktor. Terdapat tiga faktor yang dipelajari pada penelitian ini yaitu lama blansir dengan taraf 0 sampai 12 menit, suhu ekstraksi dengan taraf 30 oC hingga 60oC serta lama ekstraksi dengan taraf 30 menit hingga 120 menit. Selain ketiga faktor tersebut kondisi proses ekstraksi diatur sebagai berikut. Ekstraksi dilakukan dalam keadaan gelap, rasio bunga segar dan pelarut adalah 1:4 (b/v). Pelarut yang digunakan adalah air-HCl dengan pH 4,5. Terdapat tiga respons atau tanggap yang diukur untuk mendapatkan parameter proses optimal, yaitu volum ekstrak, kadar antosianin dan kadar total fenol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua faktor yang dipelajari memberikan pengaruh signifikan terhadap semua respons. Secara umum dapat dikatakan bahwa paparan panas hingga taraf tertentu akan meningkatkan volum, kadar antosianin dan kadar total fenol dari ekstrak bunga teleng. Sementara itu paparan panas yang berlebihan cenderung menurunkan nilai semua respons. Pengaruh semua faktor terhadap volum ekstrak mengikuti model persamaan interaksi 2 faktor yang direduksi. Sedangkan hubungan semua faktor dengan kadar antosianin dan total fenol mengikuti model persamaan kuadratik yang direduksi. Berdasarkan ketiga model yang menghubungkan masing-masing respons dengan semua faktor, dapat disusun proses ekstraksi yang optimal yaitu lama blansir 6 menit, lama ekstraksi 30 menit pada suhu 60 oC. Verifikasi terhadap model dilakukan dengan 5 kali ulangan proses ekstraksi dengan parameter optimal, dan hasilnya menunjukkan bahwa model persamaan dapat diterima.
iv
Selain optimasi proses, pada penelitian ini juga dipelajari spektrum warna, aktivitas antioksidan dan kestabilan warna selama penyimpanan dari ekstrak bunga teleng yang diperoleh melalui proses ekstraksi optimal. Uji absorbansi pada ekstrak bunga teleng menunjukkan 2 panjang gelombang dengan serapan maksimal pada rentang cahaya tampak yaitu pada panjang gelombang 574 nm dan 619 nm. Panjang gelombang pertama menunjukkan absorbansi dari antosianin dengan bentuk basa kuinonoidal tautomer I dan panjang gelombang kedua menunjukkan absorbansi basa kuinonoidal tautomer II. Selain itu terdapat pula 1 bahu, yaitu pada panjang gelombang 539 nm yang merepresentasikan antosianin dengan bentuk kation flavilium. Uji absorbansi juga menunjukkan bahwa pita II (cincin A – sitem benzoil) pada ekstrak bunga teleng mucul pada panjang gelombang 264 – 287 nm, sedangkan pita I (cincin B-sistem sinamoil) muncul pada panjang gelombang 579-574 nm. Berdasarkan uji absorbansi juga dapat diperkirakan bahwa 41,6 % antosianin pada ekstrak bunga teleng berbentuk terpoliglikolisasi, dan perbandingan antara antosianin terpoliasilasi dengan yang tidak sebesar 416,8 %. Hasil ini sesuai dengan berbagai penelitian yang menyebutkan bahwa antosianin pada bunga teleng merupakan antosianin terpoliglikolisasi dan terpoliasilasi. Aktivitas antioksidan dari ekstrak bunga teleng yang dipelajari adalah pada pH 1, 4,5 dan 7. Masing-masing mewakili struktur antosianin yang berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak bunga teleng tertinggi dicapai pada pH 1 ketika antosianin berada dalam bentuk kation flavilium, diikuti pada pH 4,5 (bentuk hemiketal) dan pH 7 (bentuk basa kuinonoidal). Ini menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak bunga teleng memiliki karakteristik yang mirip dengan sebagian besar sumber antosianin lain, yaitu mencapai nilai yang semakin tinggi pada pH yang semakin rendah. Kestabilan warna ekstrak dipelajari selama 28 hari, dengan variasi pH ekstrak antara 1 hingga 14 dan dua suhu penyimpanan, yaitu suhu ruang dan 4 oC. Kestabilan warna ekstrak ditentukan dengan mengukur besar serapan cahaya atau absorbansi pada panjang gelombang maksimal dari masing-masing ekstrak setelah penyimpanan, dibagi absorbansi pada hari nol. Ekstrak pH 12 hingga 14 bersifat paling tidak stabil, baik pada suhu 4oC maupun pada suhu ruang. Setelah penyimpanan selama 1 hari ekstrak pH 12 hingga 14 tersebut telah mengalami kehilangan warna hingga 100 %. Pada penyimpanan di suhu ruang ekstrak bunga teleng relatif hanya stabil pada pH 1, yaitu dengan sisa absorbansi mencapai 86 % setelah 28 hari penyimpanan. Pada lama penyimpanan yang sama absorbansi ekstrak pH 2 hanya tersisa 4 %. Pada pH 3 dan yang lebih tinggi kestabilan warna bahkan semakin rendah, dengan kehilangan warna mencapai 100 % hanya dalam 14 hari penyimpanan. Secara keseluruhan kestabilan warna ekstrak yang disimpan pada suhu 4 oC jauh lebih baik. Ekstrak pH 1-2 dan pH 7-11 tetap stabil setelah penyimpanan 28 hari. Sementara ekstrak pH 3-6 memiliki pola kestabilan yang unik, yakni absorbansinya sempat turun pada periode awal penyimpanan dan kemudian naik kembali hingga mencapai absorbansi yang mendekati absorbansi hari nol. Fenomena turun lalu naiknya absorbansi ekstrak pada pH 3-6 ini masih belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Oleh karena itu dipandang perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut secara lebih mendalam dengan melakukan pengukuran absorbansi ekstrak bunga teleng selama
v
penyimpanan baik pada panjang gelombang maksimalnya maupun pada berbagai panjang gelombang lain yang mewakili karakteristik antosianin. Kata kunci: antosianin, Clitoria ternatea L, ekstraksi, metode permukaan tanggap, aktivitas antioksidan
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
OPTIMASI PROSES EKSTRAKSI ANTOSIANIN PADA BUNGA TELENG (Clitoria ternatea L.) DENGAN METODE PERMUKAAN TANGGAP
ABDULLAH MUZI MARPAUNG
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Nancy Dewi Yuliana, MSc
Judul Tugas Akhir
:
Nama NRP
: :
Optimasi Proses Ekstraksi Antosianin Bunga Teleng (Clitoria ternatea L.) dengan Metode Permukaan Tanggap Abdullah Muzi Marpaung F 252100105
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MS Ketua
Dr. Ir. Endang Prangdimurti, MS Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan
Dr.Ir. Lilis Nuraida, MSc
Tanggal Ujian : 14 Agustus 2012
Dekan Sekolah Pascasarjan
Dr.Ir Dahrul Syah, MSc. Agr.
Tanggal Lulus :
PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT semata atas segala sesuatu yang telah, sedang dan akan terjadi pada setiap detail kehidupan ini, khususnya atas perkenan Allah bagi terselesaikannya tugas akhir ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan MS dan Ibu Dr. Ir. Endang Prangdimurti MS selaku pembimbing, atas masukan dan diskusi yang inspiratif dan mendalam sehingga tugas akhir ini berkembang menjadi bentuknya yang sekarang. Terima kasih pula disampaikan kepada ayah, ibu, istri, anak dan keluarga besar atas doa, kasih sayang, kehangatan dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012 Abdullah Muzi Marpaung
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pulau Bintan Kepulauan Riau pada tanggal 23 Juni 1967 dari ayah Parlindungan Marpaung B.Ac dan Ibu Rahma Harahap. Penulis merupakan putera pertama dari enam bersaudara. Tahun 1990 penulis lulus dari Jurusan Pengolahan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Setelah selama sekitar 12 tahun berkarier sebagai profesional di industri makanan, tahun 2003 penulis memulai usahanya sendiri di bidang pembelajaran sains yang inovatif hingga sekarang. Sejak tahun 2006 penulis juga aktif menulis sejumlah buku eksperimen sains untuk anak-anak dan memberikan pelatihan pembelajaran sains berbasiskan eksperimen sains untuk guru. Mulai tahun 2007, penulis juga menjadi staf pengajar pada Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Ilmu-ilmu Hayati Universitas Swiss German Tangerang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................................
xix
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................
xxi
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................
xxiii
I. PENDAHULUAN .................................................................................................
1
A. Latar Belakang.................................................................................................. B. Tujuan...............................................................................................................
1 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................
3
Taksonomi dan Morfologi Bunga Teleng (Clitoria ternatea L.) ..................... Manfaat Kelopak Bunga Teleng....................................................................... Senyawa Fitokimia Pada Bunga Teleng dan Perannya Bagi Kesehatan .......... Antosianin Pada Bunga Teleng ........................................................................ Kestabilan Antosianin ...................................................................................... Ekstraksi Antosianin......................................................................................... Metode Permukaan Tanggap (Response Surface Methodology)......................
3 4 8 11 14 19 21
III. BAHAN DAN METODOLOGI ............................................................................
23
A. B. C. D. E. F. G. A. B. C. D.
Bahan dan Alat ................................................................................................. Metode Penelitian ............................................................................................. Rancangan Percobaan....................................................................................... Metode Analisis................................................................................................
23 24 26 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................
31
A. Optimasi Proses Ekstraksi dan Verifikasi Proses Optimal ............................... B. Karakterisasi Ekstrak Bunga Teleng ................................................................
31 39
V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................
55
A. Kesimpulan....................................................................................................... B. Saran .................................................................................................................
55 55
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................
57
LAMPIRAN ................................................................................................................
65
DAFTAR TABEL Halaman 1 Pemanfaatan bunga teleng untuk pengobatan secara tradisional di berbagai negara
6
2 Manfaat ekstrak bunga teleng bagi kesehatan menurut berbagai penelitian ............
7
3 Senyawa-senyawa flavonoid pada kelopak bunga teleng.........................................
9
4 Enam jenis antosianidin yang paling umum.............................................................. 12 5 Gugus R pada struktur kimia berbagai jenis ternatin ................................................ 14 6 Berbagai macam proses ekstraksi antosianin bunga teleng....................................... 20 7 Rancangan percobaan Box-Behnken untuk 3 faktor ................................................ 22 8 Faktor dan taraf yang dipelajari di dalam penelitian ................................................. 26 9 Rancangan percobaan dan respons yang diukur di dalam penelitian ........................ 27 10 Data hasil penelitian ekstraksi bunga teleng............................................................ 32 11 Model dan model persamaan yang menghubungkan antara respons dengan semua faktor yang dipelajari................................................................................... 32 12 Hasil uji korelasi antara volum ekstrak, kadar antosianin dan total fenol ............... 38 13 Hasil verifikasi proses ekstraksi pada kondisi optimum (lama blansir 6 menit, suhu ekstraksi 60oC dan lama ekstraksi 30 menit) dengan nilai yang diprediksi sesuai model............................................................................................................ 39 14 Absorbansi warna ekstrak bunga teleng pH 1 hingga 14 selama penyimpanan pada suhu ruang ..................................................................................................... 49 15 Absorbansi warna ekstrak bunga teleng pH 1 hingga 14 selama penyimpanan pada suhu 4oC ......................................................................................................... 52
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tanaman dan kelopak bunga teleng (Clitoria ternatea L.) ......................................
3
2 Struktur kimia antosianidin ......................................................................................
11
3 Struktur kimia enam jenis antosianidin terpenting ................................................... 12 4 Struktur kimia dari Ternatin ..................................................................................... 13 5 Diagram alir optimasi proses ekstraksi antosianin bunga teleng..............................
25
6 Permukaan tanggap (kiri) dan kontur (kanan) pengaruh lama blansir dan suhu ekstraksi terhadap volum ekstrak pada lama ekstraksi 120 menit ..........................
33
7 Permukaan respons (kiri) dan kontur (kanan) pengaruh lama blansir dan suhu ekstraksi terhadap kadar antosianin ekstrak pada lama ekstraksi 120 menit .......... 35 8 Permukaan respons (kiri) dan kontur (kanan) pengaruh lama blansir dan suhu ekstraksi terhadap kadar total fenol ekstrak pada lama ekstraksi 120 menit .......... 36 9 Oksidasi quercetin menjadi ortho-quinone...............................................................
37
10 Absorbansi ekstrak bunga teleng hasil proses ekstraksi optimal............................
40
11 Spektrum warna ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14. ................................... 42 12 Perubahan struktur antosianin pada berbagai pH ................................................... 42 13 Absorbansi ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 7............................................ 43 14 Absorbansi ekstrak bunga teleng pada pH 8 hingga 14.......................................... 44 15 Absorbansi ekstrak bunga teleng pada pH 1, 4,5 dan 7 (kiri) dan aktivitas antioksidannya (kanan) ...........................................................................................
46
16 Spektrum warna ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14 selama penyimpanan pada suhu ruang ...................................................................................................... 48 17 Degradasi warna ekstrak bunga teleng pH 1 dan 2 yang disimpan pada suhu ruang……………………………………………………………………………… 50 18 Spektrum warna ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14 selama penyimpanan pada suhu 4oC ......................................................................................................... 51 19 Degradasi warna ekstrak bunga teleng pH 3-6 yang disimpan pada suhu 4oC ..... 53
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data hasil panen kelopak bunga teleng ...................................................................
66
2 Kurva baku asam galat ............................................................................................
67
3 Data absorbansi untuk pengujian antosianin monomerik dan total fenol................
68
4 Hasil Sidik Ragam atau Analysis of Variance (ANOVA) ......................................
69
5 Statistika deskriptif kadar air kelopak bunga teleng................................................
74
6 Korelasi antar 2 Respons .........................................................................................
75
7 Kurva baku DPPH ...................................................................................................
77
8 Optimasi Proses Pada Software Design Expert 8.0.7.1 ...........................................
78
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Antosianin adalah kelompok pigmen larut air terbesar yang terdapat pada tumbuhan. Pigmen ini dijumpai pada berbagai bagian tumbuhan, seperti daun, bunga, buah, batang dan akar.
Hingga saat ini terdapat lebih dari 540 jenis antosianin yang
berhasil diidentifikasi (Anderson & Francis 2004, diacu dalam Wrolstad et al 2005). Jumlah ini kemungkinan akan terus bertambah oleh karena identifikasi jenis antosianin yang baru masih terus dilakukan. Manfaat antosianin bagi kesehatan tubuh telah banyak dilaporkan. Selain sebagai antioksidan yang berfungsi menangkap radikal bebas, antosianin juga berperan di dalam pemeliharaan jaringan mata (Ghosh & Konishi 2007), antidiabetes, anti inflamasi, menjaga sistem imun dan mencegah agregasi trombosit (Mukherjee et al. 2008). Sementara itu Morris (2009) menambahkan bahwa antosianin dapat berfungsi sebagai analgesik dan memiliki kemampuan mencegah kanker. Antosianin terdapat pada banyak jenis tanaman pangan, meliputi 27 keluarga (Gosh & Konishi 2007). Salah satu sumber antosianin yang potensial adalah kelopak bunga teleng (Clitoria ternatea L.) Penelitian yang dilakukan oleh Vankar & Srivastava (2010) terhadap 15 jenis bunga menunjukkan bahwa bunga teleng tergolong jenis bunga yang mengandung antosianin relatif tinggi, dengan kandungan sebesar 227,42 mg/kg bunga segar. Bunga teleng secara tradisional telah dimanfaatkan baik sebagai pewarna alami, sebagai bahan pangan yang berkhasiat, maupun obat. Masyarakat di wilayah Kerala, India dan Filipina terbiasa mengonsumsi bunga teleng segar (Lee et al. 2011). Sementara itu, di Thailand bunga teleng kering telah dijual secara komersial. Sedangkan ekstraknya telah diaplikasikan pada berbagai produk seperti sampo dan lotion. Sebagaimana kebanyakan pigmen alami, antosianin bersifat tidak stabil. Pada keadaan netral antosianin berwarna biru, pada keadaan asam berwarna ungu hingga merah dan pada keadaan basa berwarna hijau hingga kuning. Selain tidak stabil terhadap pengaruh pH, antosianin juga mudah rusak dikarenakan oleh panas, cahaya,
2
oksigen, enzim, dan gula (Rein 2005). Kestabilan antosianin juga dipengaruhi oleh konsentrasinya serta keberadaan senyawa lain seperti flavonoid, protein, dan mineral (Rein 2005). Penelitian terhadap ekstrak bunga teleng menunjukkan bahwa kandungan antosianin di dalam ekstrak bunga tersebut mengalami penurunan, baik selama proses pengolahan maupun selama penyimpanan. Kestabilan antosianin tersebut dipengaruhi oleh sejumlah faktor, di antaranya suhu proses (Lee et al. 2011), suhu penyimpanan (Tantituvanont et al. 2008, Wongsangta et al. 2009, Chaovanalikit et al. 2009, Lee et al. 2011), cahaya (Tantituvanont et al. 2008, Lee et al. 2011), pH (Tantituvanont et al. 2008, Chaovanalikit et al. 2009) dan keberadaan ion (Wongsangta et al. 2009). Sementara itu Lee et al. (2011) juga melaporkan bahwa kestabilan antosianin bunga teleng dapat ditingkatkan dengan penambahan asam benzoat. Berkenaan dengan sifatnya yang relatif tidak stabil tersebut, proses ekstraksi antosianin pada bunga teleng perlu diatur agar diperoleh hasil yang optimal, baik dalam jumlah maupun stabilitas antosianin yang dihasilkan. Penelitian Tulyathan et al. (1993) menunjukkan bahwa prosedur ekstraksi kelopak bunga teleng terbaik ialah pada pH 4,5, lama ekstraksi 70 menit dan rasio bunga kering terhadap pelarut (HCl 0,1 %) 3 : 120 disertai pengadukan. Untuk mendapatkan optimasi proses ekstraksi yang lebih spesifik, penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan menyertakan faktor-faktor baru yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap hasil ekstraksi, yaitu suhu dan perlakuan blansir. Metode permukaan tanggap digunakan sebagai upaya mendapatkan parameter proses ekstraksi yang spesifik.
B. Tujuan 1. Mempelajari pengaruh waktu blansir, suhu dan lama ekstraksi terhadap kandungan antosianin dan total fenol pada ekstrak bunga teleng 2. Optimasi prosedur ekstraksi dengan metode permukaan tanggap 3. Mempelajari hubungan struktur kimia antosianin bunga teleng terhadap aktivitas antioksidannya. 4. Mempelajari kestabilan warna ekstrak bunga teleng selama penyimpanan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi dan Morfologi Bunga Teleng (Clitoria ternatea L.) Bunga teleng atau disebut juga bunga telang (Clitoria ternatea L.) adalah sejenis tanaman merambat dari keluarga Fabaceae atau polong-polongan. Tanaman ini diperkirakan berasal dari Asia Tenggara, kemudian menyebar luas ke wilayah Amerika Tengah dan Selatan, India dan China. Nama ternatea sendiri berasal dari Ternate, sebuah pulau di wilayah Provinsi Maluku Utara, Indonesia. Di Indonesia tanaman ini juga disebut sebagai bunga biru, disebabkan oleh kelopak bunganya yang berwarna biru (Gambar 1).
Gambar 1 Tanaman dan kelopak bunga teleng (Clitoria ternatea L.)
4
Meski dikenal sebagai tanaman yang memiliki bunga berwarna biru, sesungguhnya terdapat satu lagi varietas bunga teleng, yakni varietas dengan bunga berwarna putih. Manfaat bagi kesehatan dari bunga teleng yang berwarna biru, lebih penting dibandingkan dengan bunga teleng yang berwarna putih (Solanki & Jain 2010). Nama Clitoria ternatea berasal dari Flos clitoridis ternatensibus yang diperkenalkan oleh Jacob Breyne pada tahun 1678 (Fantz 1991). Jacob Breyne adalah seorang ahli botani keturunan Jerman-Polandia yang pernah bekerja untuk VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada abad ke 17. Setelah sistem penamaan Linnaeus ditemukan dan digunakan secara internasional, nama bunga ini menjadi Clitoria ternatea L. Klasifikasi bunga teleng di dalam taksonomi adalah sebagai berikut. Kingdom Subkingdom Division Sub Division Class Subclass Order Family Genus Species
: Plantae : Tracheobionta : Spermatophyta : Magnoliphyta : Magnoliopsida : Rosidae : Fabales : Fabaceae : Clitoria : Clitoria ternatea L.
Tanaman ini biasanya ditanam di pekarangan sebagai tanaman hias. Bunganya sudah mulai bermunculan, sekitar usia 4 hingga 6 minggu setelah bertunas. Jika suhu sesuai dan kadar air di dalam tanah mencukupi, maka tanaman ini akan terus berbunga setiap hari di sepanjang tahun. Jika bunga dibiarkan maka akan menjadi buah. Buahnya berbentuk polong dengan panjang 5 – 7 cm. Masing-masing polong berisikan 6 hingga 10 biji.
B.
Manfaat Kelopak Bunga Teleng Bunga teleng adalah tanaman yang memiliki banyak manfaat. Seluruh bagian dari
tanaman ini memiliki kegunaan bagi kehidupan manusia, khususnya untuk kesehatan. Bagian akar, batang, daun dan kelopak bunga teleng merupakan salah satu komponen
5
utama pada pengobatan kuno India yang disebut dengan pengobatan ayurveda. Sistem pengobatan ini sudah dikenal sejak masa kitab Veda atau Weda ditulis yaitu sekitar tahun 1700 hingga 1100 sebelum masehi. Ayurveda sendiri bermakna Ilmu pengetahuan lengkap untuk hidup panjang. 1. Kelopak Bunga Teleng Sebagai Pewarna Alami Pemanfaatan bunga teleng secara tradisional baik sebagai pewarna pangan dan non pangan, maupun untuk tujuan kesehatan dapat ditelusuri hingga ke banyak negara. Sejak berabad lalu masyarakat di Pulau Ambon Indonesia memasak nasi dengan ditambahkan bunga teleng untuk menghasilkan nasi yang berwarna biru (Rumpf 1747 diacu dalam Fantz 1991). Di Malaysia ekstrak bunga teleng digunakan untuk mewarnai penganan yang terbuat dari nasi (Lee et al. 2011) yang dikenal dengan nama nasi kerabu (Eckhardt 2011). Penggunaan ekstrak bunga teleng sebagai pewarna makanan juga telah lama dilakukan di, Thailand dan Myanmar. Masyarakat di Lembah Manipur, India menggunakan ekstrak bunga teleng sebagai cat untuk melukis (Sharma et al. 2005). Di Thailand ekstrak bunga teleng digunakan untuk mewarnai rambut yang berwarna kelabu (Tantituvanont et al. 2008). Sementara itu masyarakat di wilayah Kerala, India dan Filipina mengonsumsi bunga teleng sebagai lalapan (Lee et al. 2011). Meskipun
telah
sering
digunakan
sebagai
pewarna
secara
tradisional,
komersialisasi antosianin bunga teleng sebagai pewarna alami makanan belum dilakukan. Hal ini disebabkan oleh sifat antosianin yang labil terhadap berbagai faktor (Tantituvanont et al. 2008). 2. Manfaat Kelopak Bunga Teleng Bagi Kesehatan Manfaat bunga teleng sebagai obat tradisional telah diakui sejak lama oleh banyak bangsa, khususnya India. Rangkuman manfaat bunga teleng tersebut dari berbagai referensi disajikan pada Tabel 1. Pemanfaatan tanaman bunga teleng yang luas di bidang pengobatan tradisional menarik minat kalangan peneliti di berbagai belahan dunia untuk mempelajarinya secara lebih mendalam dan spesifik untuk mengungkapkan potensi yang sesungguhnya dari bunga yang eksotik ini.
6
Tabel 1 Pemanfaatan bunga teleng untuk pengobatan secara tradisional di berbagai negara Manfaat
Negara
Referensi
Mengurangi perih akibat gigitan serangga Mengobati penyakit kulit
India
Penawar bisa ular
India
Penawar sengatan kalajengking Mengobati infeksi mata
India
Obat sakit kepala
Tamil- India
Mengobati gangguan pencernaan Obat cacar Obat gatal Obat kutil Obat cacing Obat sakit disentri
Tamil- India
Mengobati iritasi mata dan menjernihkan mata
Betawi, Indonesia
India
Tamil-India,
Tamil- India Tamil- India Tamil- India Tamil- India Kuba
Agrawal et al. (2007) diacu dalam Chahal et al. (2010) Agrawal et al. (2007) diacu dalam Chahal et al. (2010) Parrotta (2001) diacu dalam Patil & Patil (2011), Immanuel & Elisabeth (2009) Parrotta (2001) diacu dalam Patil & Patil (2011) Ragupathy & Newmaster (2009), Immanuel & Elisabeth (2009) Ragupathy & Newmaster (2009), Immanuel & Elisabeth (2009) Immanuel & Elisabeth (2009) Immanuel & Elisabeth (2009) Immanuel & Elisabeth (2009) Immanuel & Elisabeth (2009) Immanuel & Elisabeth (2009) Morton (1983) diacu dalam Fantz (1991)
Penelitian terhadap komposisi kimia kelopak bunga teleng menunjukkan bahwa bunga ini kaya akan senyawa fitokimia yang memiliki efek positif bagi kesehatan. Penelitian secara klinis juga membuktikan bahwa kelopak bunga teleng memiliki manfaat yang luas bagi kesehatan manusia, sebagaimana tersaji pada Tabel 2. Penelitian yang dilakukan oleh Uma et al. (2009) menunjukkan bahwa ekstrak air, metanol dan kloroform dari kelopak bunga teleng mampu menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri penghasil extended-spectrum beta-lactamase (ESBL), seperti Eschericia coli, enterotoxigenic E. Coli (ETEC), enteropathogenic E. Coli (EPEC), Klebsiella
pneumoniae
dan
Pseudomonas
aureginosa.
Hasil
penelitian
ini
7
mengungkapkan potensi ekstrak bunga teleng untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotika seperti penisilin. Tabel 2 Manfaat ekstrak bunga teleng bagi kesehatan menurut berbagai penelitian Jenis Pelarut
Manfaat
Air
Antioksidan
Etanol HCl-Metanol Air Etanol
Antioksidan Antioksidan Antidiabetes Menurunkan gula darah pada tikus Menurunkan kadar lemak tubuh Anti inflamasi Analgesik Analgesik Menjaga sistem imun tubuh Mencegah kanker Mengurangi infeksi saluran pernapasan atas Antimikrobia
Air Petroleum eter Petroleum eter Air Air Air Air Air, metanol atau kloroform
Referensi Zheng & Wang (2001) diacu dalam Chahal et al. (2010), Kamkaen & Wilkinson (2009) Rao et al. (2009) Kaisoon et al (2011) Kamkaen & Wilkinson (2009) Shankar & Srivastava (2010) Daisy & Rajathi (2009) Sharma & Majumdar (1990) diacu dalam Patil & Patil (2011) Daisy & Rajathi (2009) Shyamkumar dan Ishwar (2012) Shyamkumar dan Ishwar (2012) Morris (2009) Daisy & Rajathi (2009) Morris (2009) Morris (2009) Uma et al. (2009)
Daisy et al. (2009) melaporkan bahwa ekstrak kelopak dan daun bunga teleng menunjukkan kemampuan untuk menurunkan gula darah, hemoglobin terglikolasi, total kolesterol, trigliserida, urea, kreatinin, dan aktivitas enzim glukosa-6-fosfatase pada tikus yang diamati selama 84 hari. Pada saat yang sama juga terlihat peran kelopak dan daun bunga teleng untuk meningkatkan insulin darah, kolesterol HDL, protein, kandungan glikogen pada liver dan otot rangka serta aktivitas enzim glukokinase. Hasil ini menunjukkan potensi bunga teleng di dalam membantu penderita diabetes tipe I yang mengalami kerusakan kerja pankreas sehingga tidak dapat menghasilkan hormon insulin. Pada penelitian lain dilaporkan bahwa kelopak bunga teleng mampu meningkatkan jumlah sel darah putih, sel darah merah, T-limfosit dan B-limfosit pada tikus percobaan secara signifikan (Daisy et al. 2004 diacu dalam Chahal et al. 2010).
8
Hal ini mengindikasikan peran kelopak bunga teleng sebagai immunomodulator pada sistem imun tubuh.
C.
Senyawa Fitokimia Pada Bunga Teleng dan Perannya Bagi Kesehatan Fitokimia adalah semua senyawa alami pada tanaman yang memiliki efek
fisiologis yang positif bagi manusia. Di antara fitokimia yang terpenting adalah senyawa-senyawa fenol, khususnya dari golongan flavonoid atau polifenol. Senyawa flavonoid memiliki struktur kimia yang khas, yakni terdiri dari 15 atom karbon yang tersusun dalam kerangka C6-C3-C6. Berdasarkan perbedaan pada cincin furannya flavonoid dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu antosianin, flavanol, flavanon, flavon dan flavonol. Manfaat flavonoid bagi kesehatan telah sangat banyak diteliti. Salah satu yang paling utama adalah kemampuan senyawa-senyawa flavonoid berperan sebagai antioksidan yang efektif dan penangkap radikal bebas (Andersen & Markham 2006). Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa di dalam kelopak bunga teleng dijumpai beragam senyawa flavonoid, yang menjadikan bunga teleng memiliki potensi besar untuk berkontribusi di dalam pemeliharaan kesehatan manusia. Beberapa senyawa flavonoid
penting yang telah berhasil diidentifikasi pada kelopak bunga teleng
disajikan pada Tabel 3. Penelitian selama 8 tahun menunjukkan bahwa senyawa kaempferol, myricetin dan quercetin memiliki kemampuan mencegah kanker pankreas pada perokok (Nothlings et al. 2007). Sementara itu quercetin juga dilaporkan mampu mengurangi resiko terkena penyakit kardiovaskuler (Larson et al. 2010), infeksi saluran pernapasan atas (Nieman et al. 2007 diacu dalam Morris 2009) dan menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi (Edwards et al. 2007, Larson et al. 2010). Isoquercitrin, jika digunakan bersama senyawa flavonol lain, secara klinis terbukti mampu mengurangi sakit yang dialami oleh penderita
penyakit pembuluh darah vena atau
chronic
venntungous insufficiency (Schaefer et al. 2003 diacu dalam Morris 2009). Quercetin dan isoquercitrin merupakan substansi antiradang yang efektif dan memiliki potensi untuk melawan alergi (Rogerio et al. 2007 diacu dalam Morris 2009).
9
Delphinidin dilaporkan memiliki kemampuan untuk mencegah
kanker payudara
(Singletary et al. diacu dalam Morris 2009). Menurut Srivastava et al. (2007) yang diacu dalam Morris (2009) delphinidin dan malvidin mungkin melawan kanker dengan cara mendorong terjadinya apoptosis. Tabel 3 Senyawa-senyawa flavonoid pada kelopak bunga teleng Golongan Flavonol
Senyawa kaempferol kaempferol-3glucoside (astragalin) kaempferol-3-Orobinoside-7-Orhamnoside (robinin) kaempferol- 3rutinoside kaempferol-3neohesperidoside kaempferol-3orhamnosyl glucoside (clitorin) myricetin myricetin 3-O-glucoside quercetin quercetin 3-glucoside
Antosianidin
isoquercitrin rutin delphinidin petunidin malvidin
Antosianin
ternatin
Referensi Ranaganayaki & Singh (1979) diacu dalam Chahal et al. (2010), Kaisoon et al. (2011) Saito et al. 1985 diacu dalam Chahal et al. 2010, Kazuma et al. (2003) Saito et al. 1985 diacu dalam Chahal et al. 2010 Chauhan et al. (2012) Chauhan et al. (2012) Chauhan et al. (2012) Kaisoon et al. (2011) Kazuma et al. (2003)
Saito et al. (1985) diacu dalam Chahal et al. (2010) Saito et al. (1985) diacu dalam Chahal et al. (2010), Kazuma et al. (2003) Kaisoon et al. (2011) Anonim (2005) diacu dalam Chauhan et al. (2012) Morris (2009) Anonim (2005) diacu dalam Chauhan et al. (2012) Terahara et al. (1990) diacu dalam Chahal et al. (2010)
10
Delphinidin dan petunidin mampu mencegah pertumbuhan sel kanker masingmasing sebesar 66% dan 53 % (Zhang et al. 2005 diacu dalam Morris 2009). Ternatin dilaporkan menunjukkan kemampuan menurunkan berat badan lemak pada tikus (Shimokawa et al. 2007 diacu dalam Morris 2009). Sementara itu, robinin dilaporkan merupakan senyawa antioksidan yang potensial (Lau et al. 2005 diacu dalam Morris 2009). Pada penelitian lain dilaporkan bahwa astragalin mampu menghambat radang selular yang ditimbulkan oleh bakteri periodontal sehingga diperkirakan mampu mencegah periodontosis atau infeksi pada jaringan penyangga gigi (Kou et al. 2008 diacu dalam Morris 2009). Senyawa flavonoid lain, yaitu rutin, dilaporkan memberikan efek perlindungan
terhadap radang lambung pada tikus percobaan dengan cara
menangkap spesies oksigen reaktif yang dihasilkan oleh kerusakan pada lambung (Hussain et al. 2009) Selain senyawa-senyawa flavonoid, pada bunga teleng juga terdapat senyawa sitosterol yang dilaporkan mampu menginaktivasi virus HIV, influenza, herpes dan poxvirus (Kotwal 2007 diacu dalam Morris 2009). Dari sejumlah senyawa flavonoid yang terdapat pada bunga teleng, antosianin adalah yang paling utama. Antosianin adalah jenis flavonoid yang paling berlimpah terdapat pada buah dan sayur. Manfaatnya terhadap kesehatan manusia telah banyak dilaporkan.
Sejumlah peneliti melaporkan bahwa antosianin merupakan antioksidan
yang kuat (Rein 2005), disebabkan oleh kemampuannya untuk menyumbang hidrogen kepada radikal dan membantu mengakhiri reaksi radikal berantai (Rice-Evans et al. 1996). Aktivitas antioksidan ini bergantung kepada jumlah dan susunan gugus hidroksil dan gula terkonjugasi (Wang et al. 2006 diacu dalam Trost et al. 2009). Antosianin juga dilaporkan memiliki kemampuan untuk mencegah kanker (Wang & Stoner 2008), memperlambat penuaan, menghambat penyakit neurologis, inflamasi, diabetes dan infeksi bakteri (Mazza et al. 2002 diacu dalam Rhone & Basu 2008). Pada sejumlah penelitian disebutkan bahwa antosianin bunga teleng merupakan antioksidan yang potensial. Vankar & Srivastava (2010) melakukan penelitian terhadap aktivitas antioksidasi pigmen antosianin yang diekstrak dari 15 macam bunga. Hasilnya menunjukkan bahwa aktivitas antioksidasi antosianin bunga teleng merupakan nomor dua tertinggi setelah bunga jam 4 sore (Mirabilis jalapa) dengan kemampuan
11
menghambat radikal DPPH sebesar 86 %. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Rao et al. (2009) menunjukkan bahwa ekstrak bunga teleng memiliki kemampuan antioksidasi yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak urang-aring (Eclipta prostrata L.) Pigmen antosianin bunga teleng yang diekstraksi dengan pelarut yang berbeda memiliki aktivitas antioksidan yang berbeda. Hasil ekstraksi dengan air menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diekstraksi dengan etanol (Kamkaen & Wilkinson 2009).
D.
Antosianin Pada Bunga Teleng Antosianin merupakan pigmen warna yang terdiri dari banyak jenis, dengan
rentang warna yang luas meliputi warna merah, ungu, biru, kuning dan tak berwarna. Secara umum antosianin terdiri dari dua gugus, yaitu gugus antosianidin dan gugus glikosida. Gugus glikosida pada antosianin dapat berupa glukosa, ramnosa, silosa, galaktosa, arabinosa dan fruktosa, baik dalam bentuk monoglikosida, diglikosida dan terasilasi (Kahkonen & Heinonen 2003). Gugus glikosida tersebut umumnya terletak pada karbon ke 3 dan 5, sedangkan sebagian kecil pada karbon ke 7, 3′ and 5′ (Macheix et al. 1990 diacu dalam Kahkonen & Heinonen 2003). Sebagaimana halnya flavonoid yang lain, antosianidin tersusun oleh kerangka C 6C3-C6 seperti terlihat pada Gambar 2 (Nakajima et al. 2004). Menurut Rein (2005)
R1 OH HO
O
B
+
R2
A OH OH
Gambar 2 Struktur kimia antosianidin
12
terdapat 22 jenis antosianidin yang terjadi secara alami dan enam di antaranya ditemukan dalam jumlah paling banyak (Tabel 4). Struktur kimia dari keenam jenis antosianidin tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 (Rein 2005). Jenis antosianidin inilah yang menentukan warna dari antosianin. Semakin banyak gugus hidroksil pada antosianidin, warna akan semakin biru, sedangkan semakin banyak gugus metoksil, warna akan semakin merah (Nayak, 2011). Tabel 4 Enam jenis antosianidin yang paling umum Nama
Pola Substitusi
Warna
R1 R2 Cyanidin (Cy) OH H Delphinidin (Dp) OH OH Malvidin (Mv) OMe OMe Pelargonidin (Pg) H H Peonidin (Pn) OMe H Petunidin (Pt) OMe OH Sumber: Nakajima et al. (2004), Rein (2005)
jingga-merah biru-merah biru-merah Jingga jingga-merah biru-merah
Antosianidin amat jarang dijumpai di alam secara bebas. Umumnya senyawa ini berada dalam bentuk terglikosilasi sebagai antosianin (Rein 2005). Reaksi glikosilasi ini membuat antosianin lebih mudah larut dan stabil di dalam air dibandingkan antosianidin (Rein 2005). OH HO
O
OH
OCH3 OH
+
HO
O
+
OH HO
O
+
OH OH
OH
OH
OH
Pelargonidin
OH
Cyanidin
Peonidin
OH
OCH3
OH HO
O
OH
HO
O
OCH3
HO
O
+
OH OH
Delphinidin
OH
+
OH OH
OH OH
+
OCH3 OH
OH
Malvidin
Petunidin
Gambar 3 Struktur kimia enam jenis antosianidin terpenting
13
Pada bunga teleng antosianin yang paling banyak ditemukan adalah ternatin, yang terdiri dari delphinidin sebagai antosianidin aglikon dan gugus glikosida yang terpoliasilasi. Terpoliasilasi artinya gugus glikosida memiliki dua atau lebih gugus asil aromatik.. Secara umum antosianin terpoliasetiliasi memiliki kestabilan yang lebih baik pada berbagai kondisi dan memiliki intensitas warna biru lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak terpoliasetilasi (Suzuki et al. 2007).
Gambar 4 Struktur kimia dari Ternatin Hingga saat ini sudah ada 15 jenis senyawa ternatin yang diidentifikasi pada ekstrak bunga teleng. Ternatin A1, A2, B1, B2, D1 dan D2 berhasil diisolasi oleh Terahara et al. (1990) yang diacu dalam Wongcharee et al. (2006). Struktur kimia umum dari ternatin dapat dilihat pada Gambar 4 (Terahara et al. 1990 diacu dalam Wongcharee et al. 2006). Perbedaan antara jenis ternatin yang satu dengan yang lain ada pada gugus R (Tabel 5). Lima senyawa ternatin yang lain, yaitu ternatins A3, B4, B3, B2, and D2 berhasil diisolasi oleh Terahara et al. (1996). Selanjutnya identifikasi pada bunga teleng muda berhasil mendapatkan 8 macam senyawa antosianin, yaitu ternatin C1, C2, C3, C4, C5, and D3 and preternatins A3 and C4 (Terahara et al. 1998). Di antara beragam senyawa ternatin tersebut, ternatin A1 adalah yang paling berlimpah (Terahara et al. 1990 dalam Wongcharee et al. 2006).
14
Tabel 5 Gugus R pada struktur kimia berbagai jenis ternatin Jenis Ternatin Ternatin A1 Ternatin A2 Ternatin B1 Ternatin B2 Ternatin D1 Ternatin D2
Gugus R -CGCG or –CGCG -CGCG or –CG -CGCG or –CGC -CGC or –CG -CGC or CGC -CGC or -C
Keterangan C = asam p-kumarat, G = Glukosa Sumber : Terahara et al. (1990) diacu dalam Wongcharee et al. (2006)
E.
Kestabilan Antosianin Sebagaimana halnya dengan pewarna alami lain, antosianin bersifat tidak stabil
terhadap berbagai faktor. Secara umum kestabilan antosianin dipengaruhi oleh struktur kimianya. Secara alami antosianin terdapat dalam empat bentuk, yaitu kation flavilium yang berwarna merah, basa kuinonoidal yang berwarna biru, hemiketal dan chalcone yang tak berwarna. Bentuk kation flavilium adalah yang paling stabil. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kestabilan antosianin adalah jenis antosiainidin, konsentrasi, pH, suhu, cahaya, keberadaan kopigmentasi, ion logam, enzim, asam askorbat dan oksigen (Rein 2005). Kestabilan antosianin dapat ditingkatkan melalui kopigmentasi. Di dalam kopigmentasi
molekul antosianin bereaksi dengan komponen alamiah lain pada
tanaman secara langsung atau melalui interaksi yang lemah dan menghasilkan warna yang lebih kuat dan stabil (Darias-Martin et al. 2002 diacu dalam Rein 2005). 1. Pengaruh jenis antosianidin, gugus glikosil dan gugus asil Kestabilan antosianin dipengaruhi oleh jenis antosianidinnya. Secara umum antosianidin yang memiliki gugus hidroksil lebih banyak memiliki kestabilan yang lebih baik. Dengan demikian, delphinidin adalah yang paling stabil di antara jenis antosiandin yang lain. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan adanya pengecualianpengecualian. Di antaranya di dalam larutan buffer pH 3.1 kestabilan cyanidin-3glucoside yang memiliki 5 gugus hidroksil lebih baik dibandingkan delphinidin 3glucoside yang memiliki 6 gugus hidroksil. Begitu pula dengan peonidin-3-glucoside
15
yang memiliki 4 gugus hidroksil menunjukkan kestabilan lebih baik dibandingkan dengan petunidin-3-glucoside yang memiliki 5 gugus hidroksil (Cabrita et al. 2000 diacu dalam Rein 2005). Kehadiran gugus metoksil dilaporkan menurunkan kestabilan antosianin. Petunidin-3-glucoside yang memiliki gugus metoksil pada atom C-5’ (gugus R2 pada Gambar 2) memiliki kestabilan lebih rendah dibandingkan cyanidin-3glucoside yang memiliki gugus hidrogen, begitu juga halnya dengan peonidin-3glucoside yang lebih stabil dibandingkan malvidin-3-glucoside (Cabrita et al. 2000 diacu dalam Rein 2005). Kembali, terdapat pengecualian juga pada pola ini. Dilaporkan bahwa malvidin lebih stabil dibandingkan pelargonidin (Mulinacci et al. 2001 diacu dalam Rein 2005) sedangkan peonidin-3-glucoside lebih stabil dibandingkan pelargonidin-3-glucoside (Cabrita et al. 2000 diacu dalam Rein 2005). Keberadaan gugus glikosil meningkatkan kestabilan antosianin. Jadi, antosianin lebih stabil dibandingkan dengan bentuk aglikonnya yaitu antosianidin. Stabilitas warna cyanidin lebih baik dibandingkan dengan malvidin, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan malvidin-3-glukosida (Mazza dan Brouillard 1987 diacu dalam Rein 2005). Jenis gugus glikosil juga memberikan pengaruh terhadap kestabilan antosianin. Antosianin buah cranberry yang memiliki gugus glikosil galaktosa bersifat lebih stabil dibandingkan dengan yang memiliki gugus glikosil arabinosa (Starr & Francis 1968 diacu dalam Rein 2005). Antosianin yang memiliki gugus disakarida bersifat lebih stabil daripada yang memiliki gugus monosakarida (Broennum-Hansen & Flink 1985 diacu dalam Rein 2005). Gugus asil juga meningkatkan kestabilan antosianin. Antosianin bunga Tradescantia pallida, bersifat lebih stabil dibandingkan antosianin anggur concord dan kol ungu, diperkirakan karena pola asilasi yang beragam (Baublis et al. 1994 diacu dalam Rein 2005). Antosianin terpoliasilasi lebih stabil dibandingkan dengan yang termonoasilasi, baik pada pH asam maupun alkali (Asen 1976 diacu dalam Rein 2005). Ekstrak lobak merah yang mengandung antosianin terdiasilasi dilaporkan bersifat lebih stabil dibandingkan dengan ekstrak kentang kulit merah yang mengandung antosianin termonoasilasi (Rodriguez-Saona et al. 1999 diacu dalam Rein 2005). Antosianin dengan gugus asil-aromatik bersifat lebih stabil dibandingkan dengan yang memiliki gugus asil-alifatik (Stintzing & Carle 2004 diacu dalam Rein 2005). Sementara itu
16
metoksilasi pada gugus asil mampu meningkatkan kestabilan antosianin terhadap paparan panas (Sadilova et al. 2006 diacu dalam Nayak 2011). Mekanisme gugus asil di dalam menstabilkan antosianin diperkirakan karena gugus ini menghambat terjadinya reaksi hidrasi pada antosianin (Patras et al. 2010 diacu dalam Nayak 2011). 2. Pengaruh pH Pada pH rendah, struktur antosianin didominasi oleh bentuk kation flavilium. Sejalan dengan kenaikan pH terjadi perubahan menjadi basa kuinonoidal. Sementara itu reaksi dengan air akan mengubah kation flavilium menjadi hemiketal dan chalcone. Pada pH kurang dari 3, yakni ketika bentuk dominan
antosianin adalah kation
flavilium, pigmen ini bersifat lebih stabil terhadap kerusakan akibat oksidasi (Francis 1989 diacu dalam He, 2008). Pengaruh pH terhadap kestabilan antosianin juga dipengaruhi oleh jenis antosianin. Penelitian Fossen et al. (1998) terhadap petunin dan cyanidin-3-glucoside menunjukkan karakteristik yang berbeda di antara kedua jenis antosianin ini. Kestabilan cyanidin-3-glucoside menurun sejalan dengan kenaikan pH, dan mencapai kestabilan paling rendah pada pH 6 atau lebih besar. Petunin menunjukkan pola yang serupa hingga pH 6, akan tetapi kestabilannya meningkat mencapai maksimal pada pH 8.1. Penelitian terhadap ekstrak bunga teleng dengan ternatin sebagai jenis antosianin yang paling dominan menunjukkan hasil berbeda. Chaovanalikit et al. (2009) melaporkan bahwa kestabilan warna ekstrak bunga teleng pH 2-10 yang dipanaskan pada suhu 80 dan 90oC selama 2 jam hanya menurun secara signifikan pada ekstrak pH 8. 3. Pengaruh suhu Suhu adalah salah satu faktor utama penyebab kerusakan antosianin. Kecepatan degradasi antosianin meningkat sejalan dengan kenaikan suhu selama pengolahan dan penyimpanan (Palamadis & Markakis 1978 diacu dalam Rein 2005). Secara umum kenaikan suhu menyebabkan kenaikan degradasi antosianin secara logaritmik (Markakis 1982 diacu dalam Rein 2005).
17
Paparan suhu yang lebih tinggi menyebabkan kehilangan antosianin yang lebih banyak (Tantituvanont et al. 2008). Lee et al. (2011) melaporkan bahwa ekstrak bunga teleng yang disimpan pada suhu 5, 27, 37 dan 45oC mengalami penurunan warna biru secara signifikan. Meski demikian laju penurunannya tidak mengikuti kinetika reaksi orde 1. Penyimpanan pada suhu 5oC adalah yang paling stabil. Setelah 30 hari, intensitas warna biru pada ekstrak bunga teleng masih tersisa 85 %. Lee et al. (2011) juga mempelajari pengaruh suhu yang lebih tinggi terhadap kestabilan antosianin pada ekstrak bunga teleng. Baik suhu 70, 100 dan 160 sama-sama menyebabkan penurunan intensitas warna biru dengan mengikuti kinetika reaksi orde 1. Penurunan paling parah terjadi pada suhu 160 C. Setelah pemanasan 20 menit, intensitas warna telah hilang hingga 100 %. Penelitian yang dilakukan oleh Tantituvanont et al. (2008) menunjukkan bahwa ekstrak bunga teleng yang disimpan pada suhu 4oC lebih stabil dibandingkan yang disimpan pada suhu kamar dan 40oC. Ketidakstabilan warna semakin besar jika ekstrak disimpan pada pH 7 (netral). Mekanisme kerusakan antosianin akibat panas mungkin melewati beberapa cara, di antaranya melalui hidrolisis atau melalui perubahan terhadap kation flavilium. Kenaikan suhu pada pH 2-4 menyebabkan lepasnya gugus glikosil dari antosianin melalui hidrolisis ikatan glikosidik, sehingga antosianin berubah menjadi bentuk aglikonnya yang bersifat tidak stabil (Adams 1973 diacu dalam Rein, 2005). Sementara itu Francis (1989) diacu dalam He (2008) mengajukan hipotesis bahwa suhu yang lebih tinggi akan menyebabkan perubahan kation flavilium yang stabil menjadi chalcone yang tidak stabil, kemudian terbukanya cincin C pada chalcone akan menjadi jalan bagi proses degradasi lebih lanjut yang menghasilkan substansi berwarna coklat. Sejumlah peneliti merekomendasikan penyimpanan pada suhu rendah untuk meningkatkan kestabilan antosianin. Tantituvanont et al. (2008) menyarankan penyimpanan ekstrak bunga teleng pada suhu 4 oC. 4. Pengaruh oksigen dan oksidator Kerusakan antosianin akibat panas dapat dikurangi dengan meniadakan oksigen (Rein 2005). Sebaliknya dengan kehadiran oksigen kerusakan antosianin akibat panas
18
akan semakin parah. Kehadiran oksigen secara bersama-sama dengan suhu yang meningkat merupakan faktor penyebab paling utama dari kerusakan antosianin (Nebesky et al. 1949 diacu dalam Rein 2005). Akan tetapi pada penelitian lain dilaporkan bahwa keberadaan oksigen pada periode awal penyimpanan dingin dapat meningkatkan kandungan total fenol dan antosianin, sementara pada penyimpanan yang lebih lama menyebabkan penurunan keduanya (Zheng et al. 2007 diacu dalam Byrnes 2011). Sama halnya dengan oksigen, bahan pengoksidasi yang lain seperti peroksida dan Vitamin C dapat merusak antosianin. Iversen (1999) melaporkan bahwa keberadaan asam askorbat mempercepat terjadinya degradasi antosianin. Menurut Jurd 1972 (diacu dalam Byrnes 2011), mekanisme degradasi antosianin oleh asam askorbat adalah melalui kondensasi langsung dari asam askorbat pada posisi C4. Penggabungan ini mengakibatkan antosianin dan asam askorbat mengalami kehilangan warna. Mekanisme lain dari degradasi ini diusulkan oleh Iacobucci & Sweeny (1983) diacu dalam Byrnes (2011), yang menyebutkan bahwa asam askorbat berperan sebagai aktivator oksigen dan menghasilkan radikal bebas yang akan bereaksi dengan antosianin sehingga antosianin menjadi kehilangan warna. 5. Pengaruh cahaya Cahaya memiliki peran yang unik di dalam memberikan pengaruh terhadap eksistensi antosianin. Cahaya merupakan faktor yang esensial di dalam biosintesis antosianin, tetapi juga merupakan faktor yang mempercepat degradasi pigmen ini (Markakis 1982 diacu dalam Rein 2005).
Menurut Lee et al. (2011) cahaya
menyebabkan warna ekstrak bunga teleng semakin tidak stabil. Tantituvanont et al. (2008) melaporkan bawah warna antosianin lebih stabil dalam kondisi gelap dan paparan cahaya ultraviolet yang terbatas. 6. Pengaruh aktivitas air Penurunan aktivitas air (Aw) dapat meningkatkan kestabilan antosianin. Pigmen antosianin dalam bentuk kering menunjukkan kestabilan yang baik. Selain itu kehilangan warna dapat juga diminimalisasikan melalui penyimpanan pada suhu rendah, wadah yang gelap dan kemasan yang bebas oksigen.
19
7. Pengaruh faktor lain Pengaruh bahan pengapsul terhadap kestabilan tepung ekstrak bunga teleng dipelajari oleh Tantituvanont et al. (2008). Penelitian ini menunjukkan bahwa gelatin mampu memproteksi antosianin pada ekstrak terhadap sinar UV, sedangkan Hydroxylpropylmethyl Cellulose (HPMC) tidak. Baik gelatin maupun HPMC tidak menunjukkan proteksi yang signifikan terhadap degradasi warna akibat panas. Pengaruh bahan pengawet terhadap kestabilan antosianin telah pula dipelajari. Penambahan Asam benzoat 0.02 % mampu meningkatkan kestabilan ekstrak bunga teleng selama penyimpanan (Lee et al. 2011).
F.
Ekstraksi Antosianin Berbagai teknik ekstraksi antosianin pada bunga teleng telah banyak dilaporkan.
Ekstraksi antosianin tersebut ditujukan untuk penelitian lebih lanjut terhadap sifat fungsional antosianin bunga teleng, ataupun penelitian terhadap kestabilan antosianin selama penyimpanan. Tidak banyak penelitian yang melaporkan proses ekstraksi untuk tujuan mengoptimalkan jumlah ekstrak dan kandungan antosianin yang diperoleh. Umumnya ekstraksi tersebut dilakukan dengan menggunakan pelarut air. Hal ini disebabkan oleh sifat antosianin bunga teleng yang larut dalam air dengan sangat baik. Rangkuman cara ekstraksi antosianin pada bunga teleng disajikan pada Tabel 6. Tahapan blansir atau blansir pada proses pengolahan buah dan sayur dilakukan untuk berbagai tujuan, di antaranya untuk inaktivasi enzim dan perusakan dinding sel buah dan sayur sehingga mempermudah keluarnya bahan aktif dari matriks jaringan. Terdapat dua metode blansir yang umum dilakukan yaitu blansir air panas dan blansir uap air. Pengaruh perlakuan blansir sebelum proses ekstraksi pigmen antosianin pada berbagai sumber tanaman telah banyak dipelajari. Rossi et al. (2003) melaporkan bahwa perlakuan blansir uap dapat meningkatkan jumlah antosianin pada ekstrak buah highbush blueberries (Vaccinium coymbosum L.) beku. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fang et al. (2006) juga menunjukkan hasil yang sejalan. Perlakuan blansir dapat meningkatkan jumlah antosianin pada jus bayberry (Myrica rubra Sieb. Et Zucc.)
20
Tabel 6 Berbagai macam proses ekstraksi antosianin bunga teleng Proses Ekstraksi Bahan baku
Pelarut
Rasio pelarut : bunga (ml/g)
pH
Waktu
Suhu (oC)
Penghancuran
Pengadukan
Paparan Cahaya
Pemekatan
Tujuan Ekstraksi
Referensi
Kering
air
60
tidak diatur
-
ruang
X
X
V
X
Uji kestabilan
Lee et al. (2011)
Segar
air + methylparaben+prpoylp araben
40
tidak diatur
-
ruang
V
X
V
X
Uji kestabilan
Tantituvanont et al. (2008)
Kering
air, metanol, chloroform, petroleum ether, heksana
5
tidak diatur
3 hari
ruang
X
V
V
V
Uji sifat fungsional
Uma et al. (2009)
Segar
metanol
-
tidak diatur
2 hari
ruang
X
V
V
V
Uji sifat fungsional
Kering
Air
10
tidak diatur
-
100
X
X
V
V
Uji sifat fungsional
Kering
air- deionisasi
20
tidak diatur
30 menit
80
X
X
V
X
Uji kestabilan
Segar
0,1 % HCl dalam metanol
sampai larutan jernih
tidak diukur
2 - 3 jam
ruang
X
X
X
V
Identifikasi
Vankar & Srivastava (2010)
Kering
50% metanol + 0,1 % Na Borat, 50 % metanol + 0,2 M HCl + 0,1 % Na Borat
tidak diukur
1 jam
ruang
X
X
V
X
Uji kestabilan
Wongsangta et al. (2000)
Kering
Asam klorida
V
V
X
Optimasi proses
Tulyathan et al. (1993)
120:3
4,5
70 menit
-
Vadlapudi & Naidu (2010) Daisy et al. (2009) Sukkhamduang et al. (2011)
21
hingga 52-58 %. Heras-Ramirez et al. (2011) melaporkan bahwa perlakuan blansir secara signifikan dapat meningkatkan jumlah antosianin yang diekstrak dari kulit apel.
G. Metode Permukaan Tanggap (Response Surface Methodology) Metode permukaan tanggap adalah kumpulan teknik statistika dan matematika yang digunakan untuk memodelkan respons yang dipengaruhi oleh 2 atau lebih faktor (variabel bebas) dengan tujuan mengoptimalkan respons yang dimaksud. Kebanyakan rancangan
percobaan
empiris
mengasumsikan
bahwa
faktor-faktor
hanya
memberikanefek terhadap respons secara individual, dan tidak ada interaksi antara faktor-faktor tersebut. Metode permukaan tanggap mampu mengevaluasi adanya interaksi di antara faktor. Metode permukaan tanggap telah digunakan secara luas dibidang kimia, biologi dan pertanian terapan untuk memrediksikan kondisi optimum dari suatu sistem (Liyana-Pathirana & Shahidi 2005 diacu dalam Huang et al. 2010). Jika terdapat hubungan linear antara variabel bebas dengan respons, maka model ordo 1 dapat digunakan mengikuti persamaan sebagai berikut. = o+
βiXi + ε
Dengan Y adalah respons, X adalah variabel bebas, o adalah intersep dan i adalah koefisien linier dan adalah galat. Jika hubungan antara variabel bebas dan respons berbentuk kurva, maka model ordo 2 merupakan model yang sesuai dengan persamaan sebagai berikut. = o+
βiXi +
βiiX i +
βijXi Xj + ε
Dengan Y adalah respons, Xi dan Xj adalah variabel bebas, o adalah intersep dan i adalah koefisien linier, ii adalah koefisien kuadrat dan adalah galat. Metode disain yang sering digunakan pada Metode permukaan tanggap adalah Central Composite Design (CCD) dan Box-Behnken. Metode Box-Behnken hanya dapat digunakan jika jumlah faktor yang dipelajari minimal 3, sedangkan CCD dapat digunakan dengan jumlah faktor yang dipelajari 2 atau lebih. Pada penelitian ini akan digunakan metode Box-Behnken.
22
Dibandingkan dengan CCD, rancangan Box-Behnken lebih efisien dengan melibatkan lebih sedikit unit percobaan. Pada prinsipnya rancangan Box-Behnken merupakan kombinasi dari rancangan faktorial 2 taraf dengan rancangan blok tak lengkap dengan menambahkan center run pada rancangannya. Misalkan hendak dipelajari 3 faktor a, b dan c terhadap suatu respons, dan -1 mewakili taraf minimal dan 1 mewakili taraf maksimal dari setiap faktor, maka rancangan percobaan Box-Behnken akan tampak seperti pada Tabel 7. Tabel 7 Rancangan percobaan Box-Behnken untuk 3 faktor Ulangan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3
a -1 1 -1 1 -1 1 -1 1 0 0 0 0 0
b -1 -1 1 1 0 0 0 0 -1 1 -1 1 0
c 0 0 0 0 -1 -1 1 1 -1 -1 1 1 0
Kode 0 mewakili taraf tengah dari masing-masing faktor. Pada Tabel 7 tersebut terlihat bahwa untuk 3 faktor maka jumlah percobaan yang diperlukan adalah 15 percobaan. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik maka jumlah percobaan dapat ditambah dengan menambah jumlah ulangan perlakuan center point (0,0,0) menjadi lebih dari 3.
III. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Bunga teleng Bunga teleng diperoleh dari tanaman bunga teleng di pekarangan di Kantor Rumah Sains Ilma, Jalan TPU Parakan No. 148 Pamulang – Tangerang Selatan. Tanaman ini mulai ditanam pada tanggal 10 Maret 2011 pada lahan seluas 4 m 2. 2. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini: a.
HCl pekat (Brataco, Indonesia)
b.
1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (Merck, Germany)
c.
Metanol 96% (Brataco, Indonesia)
d.
Akuades
e.
Folin-Ciocalteau phenol reagent (Merck, Germany)
f.
Asam galat (Merck, Germany)
g.
Kalium klorida (Merck, Germany)
h.
Natrium asetat (Brataco, Indonesia)
i.
Natrium karbonat (AnalaR BDH, England)
3. Alat yang digunakan di dalam penelitian a.
Peralatan kaca laboratorium
b.
UV-Vis Spectrophotometer (Genesys 10uv Thermo Electron Corporation, USA)
c.
Moisture Analyzer Sartorius MA-35
d.
Water-bath shaker
e.
Hot plate
f.
Panci kukus
24
B. Metode Penelitian Penelitian ini terbagi menjadi dua tahap, yaitu optimasi proses ekstraksi antosianin bunga teleng dan karakterisasi sifat antosianin bunga teleng hasil optimasi. 1. Optimasi proses ekstraksi antosianin bunga teleng Untuk mendapatkan hasil panen per satuan luas berat hasil panen dibagi dengan luas lahan. Sebanyak 20 helai kelopak bunga diambil dan ditimbang beratnya satu ber satu. Rata-rata dan simpangan baku dari berat kelopak bunga dihitung. Setiap habis dipanen dilakukan pemisahan pangkal. Berat kelopak tanpa pangkal dihitung satu per satu untuk mengetahui sebaran berat kelopak tanpa pangkal. Rendemen dihitung dengan cara membagi berat kelopak tanpa pangkal dengan berat awal dikali 100 %. Kadar air kelopak bunga tanpa pangkal diukur. Sebanyak 10 gram kelopak bunga teleng tanpa pangkal dimasukkan ke plastik HDPE ukuran 250 mg. Plastik dikelim dengan menggunakan panas. Kelopak bunga diblansir dengan uap air suhu 100oC selama 0 – 12 menit. Sesudah itu bunga teleng didinginkan dengan cara direndam di dalam penangas es batu. Bunga dikeluarkan dari kantong plastik dan dimasukkan ke labu Erlenmeyer 250 ml yang dibungkus aluminium foil. Sisa bunga dibilas dengan 40 ml pelarut (air-HCl pH 4,5 dengan suhu yang sama dengan suhu ekstraksi, yaitu 30-60oC). Ekstraksi dilakukan pada water bath shaker dengan suhu 30 – 60oC, selama 30 – 120 menit. Hasil ekstraksi disaring dengan menggunakan kertas saring whatman 40 (8 M), dan ditampung di dalam erlenmeyer yang dibungkus aluminium foil. Sisa padatan diperas secara manual. Cairan yang terpisah dicampurkan dengan hasil penyaringan sebelumnya. Terhadap filtrat yang diperoleh dilakukan pengukuran volum, kadar antosianin
dan total fenol. Diagram alir optimasi proses ekstraksi disajikan pada
Gambar 5. 2. Karakterisasi sifat antosianin bunga teleng hasil optimasi Terhadap ekstrak hasil proses optimal dilakukan karakterisasi, yaitu profil serapan cahaya pada panjang gelombang antara 200 hingga 700 nm, yang mewakili wilayah serapan cahaya ultraviolet dan cahaya tampak, pengukuran absorbansi atau serapan
25
maksimal ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14, aktivitas antioksidan pada berbagai struktur antosianin dan kestabilan ekstrak bunga teleng pH 1 hingga 14 pada penyimpanan suhu ruang dan suhu 4oC Bunga teleng
Pemisahan Pangkal
Bunga tanpa pangkal Blansir
uap air 100o C t : 0 – 12 menit
Pendinginan Ekstraksi
pH 4,5, pelarut 4 ml/g bunga, gelap, pengadukan T : 30-60o C t : 30-120 menit
Penyaringan
Ekstrak bunga teleng
Gambar 5 Diagram alir optimasi proses ekstraksi antosianin bunga teleng . Aktivitas antioksidan yang dipelajari adalah aktivitas antioksidan ekstrak bunga teleng pada pH 1 yang mewakili struktur antosianin sebagai kation flavilium, pH 4,5 sebagai hemiketal atau pseudobase dan pH 7 sebagai basa kuinonoidal. Ekstrak bunga teleng dengna pH 1, 4,5 dan 7 dibuat dengan cara melarutkan 0,1 ml ekstrak dengan 0,9
26
ml larutan buffer. Untuk pH 1 digunakan larutan buffer KCl 0,02 M (sama dengan yang digunakan untuk analisis antosianin monomerik). Untuk pH 4,5 digunakan larutan buffer CH3COONa 0,4 M (sama dengan yang digunakan untuk analisis antosianin monomerik). Untuk pH 7 digunakan larutan buffer Merck yang terbuat dari kalium dihidrogen fosfat/dinatrium hidrogen fosfat. Kestabilan warna ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14 dipelajari dengan mengukur absorbansi maksimum pada masing-masing pH setiap 7 hari selama 28 hari. Larutan pH 1 hingga 14 dibuat dengan melarutkan HCl atau NaOH dalam akuades sehingga mencapai nilai pH yang diinginkan, yang diukur dengan pH meter. Sebanyak 10 ml sampel dicampurkan dengan 90 ml larutan pH 1 hingga 14, kemudian disimpan di dalam botol vial coklat pada suhu ruang dan suhu 4 oC (refrigerator). Untuk mendapatkan panjang gelombang absorbansi maksimal dari masing-masing ekstrak pH 1 hingga 14, sampel dipindai dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 400 nm hingga 700 nm. Setiap 7 hari absorbansi setiap sampel diuji pada panjang gelombang maksimalnya. Stabilitas warna dihitung dalam persen yang diperoleh dengan cara membagi absorbansi pada hari ke n dengan absorbansi pada hari ke 0.
C. Rancangan Percobaan 1. Optimasi proses ekstraksi antosianin bunga teleng Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan BoxBehnken dengan metode permukaan tanggap (response surface methodology). Faktor yang dipelajari dan masing-masing tarafnya disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Faktor dan taraf yang dipelajari di dalam penelitian Faktor Waktu Blansir Suhu Ekstraksi Lama Ekstraksi
Satuan Menit o C Menit
Batas bawah (-1) 0 30 30
Batas atas (1) 12 60 120
Jika ada 3 faktor yang dipelajari dengan menggunakan rancangan Box-Behnken, maka ada 13 variasi yang perlu dicobakan. Selain itu diperlukan minimal 3 kali ulangan
27
percobaan pada center point (0,0,0). Pada penelitian ini digunakan 5 center point, sehingga jumlah variasi percobaan menjadi 17 (Tabel 9). 2. Karakterisasi sifat antosianin bunga teleng Aktivitas antioksidan ekstrak bunga teleng pada pH 1, 4,5 dan 7 masing-masing diuji sebanyak 3 kali (triplo). Pengukuran serapan maksimal ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14 selama penyimpanan dilakukan sebanyak dua kali ulangan (duplo). Tabel 9 Rancangan percobaan dan respons yang diukur di dalam penelitian Std
Run
Waktu blansir (menit)
1 3 7 12 13 5 15 17 9 4 2 11 6 8 16 14 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
0 0 0 6 6 0 6 6 6 12 12 6 12 12 6 6 6
Suhu Ekstraksi (oC)
Lama Ekstraksi (Menit)
30 60 45 60 45 45 45 45 30 60 30 30 45 45 45 45 60
75 75 120 120 75 30 75 75 30 75 75 120 30 120 75 75 30
Volum Ekstrak (ml)
Kadar antosianin (mg/l)
Kadar Total Fenol (mg/ml)
D. Metode Analisis 1. Analisis Kadar Antosianin Monomerik (AOAC 2005) Kadar antosianin monomerik dinyatakan sebagai kadar cyanidin-3-glycoside yang diukur dengan metode pH Differential. Untuk pengukuran ini diperlukan larutan buffer
28
pH 1 dan 4,5. Larutan buffer pH 1dibuat dengan melarutkan 1,864 g kalium klorida (KCl) dalam 960 ml akuades. Larutan kemudian diukur dengan pH-meter dan pH diatur sehingga mencapai nilai 1 dengan menambahkan asam klorida (HCl) pekat. Larutan ini kemudian dipindahkan ke labu ukur 1 liter dan ditambahkan dengan akuades sampai total volum mencapai 1 liter, sehingga diperoleh larutan buffer KCl 0,025 M pH 1. Larutan buffer pH 4,5 dibuat dengan cara melarutkan 32,814 g natrium asetat (CH3COONa) dalam 960 ml akuades. Larutan kemudian diukur dengan pH-meter dan pH diatur sehingga mencapai 4,5 dengan menambahkan HCl pekat. Larutan kemudian dipindahkan ke labu ukur 1 liter dan ditambahkan dengan akuades sampai total volum sama dengan 1 liter, sehingga diperoleh larutan buffer CH3COONa 0,4 M pH 4,5. Sebanyak masing-masing 0,2 ml ekstrak diencerkan dengan 1,8 ml larutan buffer pH 1,0 dan larutan buffer 4,5. Absorbansi kedua sampel ini kemudian diukur pada panjang gelombang 510 nm dan 700 nm. Selisih absorbansi dihitung dengan rumus sebagai berikut : A = (A510 – A700)pH 1,0 – (A510 – A700)pH 4,5 Kadar antosianin monomerik (cyanidin-3-glucoside equivalents
dalam mg/L)
diperoleh dengan rumus sebagai berikut : (A × MW × DF × 1000)/(ε × l) MW adalah berat molekul cyanidin-3-glucoside (449,2 g/mol), DF adalah faktor pengenceran, ε adalah absorptivitas molar dari cyanidin-3-glucoside yang nilainya sama dengan 26 900, dan l adalah lebar kuvet (1 cm). 2. Analisis Total Fenol (Singleton & Rossi 1965 diacu dalam Kalt et al. 2000) Penentuan kandungan total fenol dilakukan dengan metode Folin-Ciocalteau dengan asam galat sebagai standar. Sebanyak 0,2 ml sampel direaksikan dengan 0,8 ml larutan Natrium karbonat 20 % dan 1 ml larutan Folin-Ciocalteau. Sampel didiamkan selama 1 jam, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 765 nm. Untuk membuat kurva kalibrasi sebanyak 0,2 ml larutan asam galat pada berbagai konsentrasi direaksikan dengan 0,8 ml larutan Natrium karbonat 20 % dan 1 ml larutan Folin-
29
Ciocalteau. Kandungan total fenol dihitung sebagai Ekuivalen Asam Galat (EAG) dengan persamaan sebagai berikut : Total kandungan fenol (mg/l EAG) = Abs/m + C Abs adalah Absorbance (A), m adalah kemiringan kurva standar asam galat dan C adalah konstanta (intersep). 3. Aktivitas antioksidan - DPPH radical-scavenging activity (Sanchez-Moreno 2002 diacu dalam Vankar & Srivastava 2010) Larutan kontrol dibuat dengan cara melarutkan 1,5 ml larutan DPPH dalam metanol dengan konsentrasi 0,001396 M dengan 0,5 ml metanol. Absorbansinya diukur pada panjang gelombang 517 nm. Sebanyak 0,1 ml ekstrak bunga teleng diencerkan dengan masing-masing 0,9 ml larutan buffer pH 1, pH 4,5 dan pH 7. Kemudian masingmasing sampel diambil sebanyak 0,1 ml dan ditambahkan dengan 1,5 ml larutan DPPH dan 0,4 ml metanol. Absorbansinya diukur pada panjang gelombang 517 nm. Aktivitas antioksidan dalam satuan Mol DPPH/100 ml ekstrak diperoleh dengan rumus sebagai berikut : (Akontrol – Asampel)/Akontrol X mol DPPH X 106 X DF Dengan DF adalah faktor pengenceran, Akontrol adalah absorbansi larutan kontrol dan Asampel adalah absorbansi larutan sampel 4. Analisis Permukaan Tanggap Untuk mempelajari pengaruh dari masing-masing faktor dalam bentuk permukaan respons (permukaan tanggap) data diolah dengan menggunakan software DesignExpert® Versi 8.0.7.1. Pada prinsipnya uji statistika yang dilakukan berdasarkan kepada analisis sidik ragam atau ANOVA. Taraf signifikan yang dipilih adalah 5 % ( = 0,05). Software akan menghitung nilai p (p-value) dari masing-masing faktor dan interaksi antar faktor. Jika nilainya lebih kecil daripada , maka pengaruh dari faktor tersebut adalah signifikan. Berdasarkan uji signifikansi tersebut, software akan memberikan model persamaan regresi yang menghubungkan antara respons tertentu dengan semua faktor.
30
Pada rancangan Box-Behnken interaksi antar faktor yang dapat disertakan di dalam persamaan hanya terbatas sampai interaksi antara 2 faktor. Berdasarkan model yang diusulkan untuk masing-masing respons software melakukan analisis untuk mendapatkan proses optimal sesuai dengan kriteria yang dibuat. Pada penelitian ini kriteria proses optimal adalah yang mampu menghasilkan ekstrak dengan kadar antosianin, total fenol dan volum yang maksimal. Urutan tingkat kepentingan (importance) yang perlu dipenuhi oleh proses yang optimal adalah kadar antosianin, total fenol dan volum. Untuk menguji kesahihan dari model persamaan yang diusulkan, dilakukan verifikasi. Verifikasi dilakukan dengan cara melakukan 5 ulangan proses ekstraksi dengan menggunakan parameter optimum. Jika nilai rata-rata dari kadar antosianin, total fenol dan volum berada di dalam rentang yang sesuai dengan model persamaan regresi, maka model tersebut dinyatakan sahih.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Optimasi Proses Ekstraksi dan Verifikasi Proses Optimal Berat rata-rata kelopak bunga teleng yang dipanen adalah sekitar 0,36 gram, kemudian berkurang menjadi sekitar 0,22 gram atau 59,51 % dari berat awal setelah pangkalnya dipisahkan. Data hasil pemanenan bunga teleng dapat dilihat pada Lampiran 1. Kelopak bunga teleng tanpa pangkal diekstraksi dalam keadaan segar. Tujuan dari proses ekstraksi adalah mengambil satu atau lebih bahan aktif dari matriks alamiahnya dengan menggunakan pelarut tertentu. Semakin besar konsentrasi bahan aktif yang berada dalam pelarut maka semakin baik proses ekstraksi yang dilakukan. Di dalam penelitian ini proses ekstraksi berjalan optimal jika volum ekstrak, kandungan antosianin dan total fenol di dalam ekstrak mencapai maksimal. Kandungan antosianin diukur sebagai monomerik antosianin, sedangkan total fenol dinyatakan dalam bentuk ekuivalen asam galat. Untuk menghitung total fenol ini kurva baku asam galat perlu terlebih dahulu ditetapkan (Lampiran 2). Analisis antosianin monomerik dan analisis total fenol berprinsipkan kepada pembacaan serapan cahaya atau absorbansi pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan spektrofotometer. Data absorbansi untuk penghitungan kadar antosianin dan total fenol dapat dilihat pada Lampiran 3. Data hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Terhadap data tersebut kemudian dilakukan Anayisis of Variance
(ANOVA) atau sidik ragam untuk
menemukan model persamaan yang sesuai yang menghubungkan volum ekstrak, kadar antosianin dan total fenol dengan lama blansir, suhu ekstraksi dan lama ekstraksi. Hasil analisis menunjukkan bahwa
volum ekstrak dipengaruhi oleh ketiga faktor yang
dipelajari dengan mengikuti model interaksi 2 faktor yang direduksi, sedangkan kadar antosianin dan total fenol mengikuti model kuadratik yang direduksi (Tabel 11). Uraian lebih lengkap dari uji statistika ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Selain dalam bentuk persamaan matematika, hubungan masing-masing respons dengan faktor dapat pula ditampilkan dalam bentuk grafik dua dimensi (kontur) maupun grafik 3 dimensi berupa permukaan tanggap atau response surface. Untuk mempermudah pembacaan,
32
permukaan kontur maupun permukaan tanggap diberi warna yang berbeda, mulai dari biru hingga merah. Nilai maksimum yang dapat diperoleh untuk suatu respons direpresentasikan oleh wilayah yang berwarna merah. Tabel 10 Data hasil penelitian ekstraksi bunga teleng Std Run 1 3 7 12 13 5 15 17 9 4 2 11 6 8 16 14 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Lama Blansir (menit) 0 0 0 6 6 0 6 6 6 12 12 6 12 12 6 6 6
Suhu Lama Ekstraksi Ekstraksi (oC) (menit) 30 60 45 60 45 45 45 45 30 60 30 30 45 45 45 45 60
75 75 120 120 75 30 75 75 30 75 75 120 30 120 75 75 30
Volum Ekstrak (ml)
Kadar Antosianin (mg/l)
Kadar Total fenol (mg/ml)
33,6 39,9 38,3 39,6 39,8 33,8 36,4 36,8 37,8 38,6 39 39 37,3 36,4 37,3 38,6 36,8
14,28 36,40 30,73 25,05 34,65 18,70 37,57 36,15 25,13 28,14 33,15 38,13 36,13 37,91 40,41 32,90 34,90
0,57 1,10 0,97 1,21 0,98 0,64 1,02 0,96 0,80 0,90 0,81 0,83 0,97 1,05 1,03 1,14 1,10
Tabel 11 Model dan model persamaan yang menghubungkan antara respons dengan semua faktor yang dipelajari Respons
Model
p-Value
Lack of Fit
Model persamaan
Interaksi 2 Y1 = 37,59 + 0,71A + 0,69B + 0,95C - 1,68AB faktor 0,0426 0,5266 1,35AC direduksi Kuadratik Y2 = 35,78 + 4,40A + 1,73B + 2,12C - 6,78AB Antosianin 0,0135 0,1567 direduksi 2,56AC - 5,71BC - 4,21A2 - 4,27B2 Total Kuadratik Y3 = 1,01 + 0,057A + 0,16B + 0,067C - 0,11AB 0,0018 0,3444 Fenol direduksi 0,063AC + 0,022BC - 0,13A2 A = lama blansir, B = suhu ekstraksi, C= lama ekstraksi, Y1 = volum ekstrak, Y2 = antosianin, Y3 = total fenol) Nilai A, B dan C dalam bentuk kode (dengan nilai mulai -1 hingga 1) Volum Ekstrak
33
1. Volum Ekstrak Dengan melihat koefisien dari masing-masing faktor pada model persamaan dapat diketahui faktor mana yang memberikan pengaruh paling besar. Untuk volum ekstrak terlihat bahwa interaksi antara lama blansir dengan suhu ekstraksi merupakan faktor yang paling berpengaruh, diikuti oleh interaksi antara lama blansir dengan lama ekstraksi. Interaksi baik antara lama blansir dengan suhu ekstraksi maupun antara lama blansir dengan lama ekstraksi memiliki koefisien negatif, artinya volum ekstrak akan maksimal jika salah satu dari faktor yang berinteraksi memiliki taraf maksimum sedangkan faktor yang satunya lagi bertaraf minimum. Sebaliknya volum ekstrak akan mencapai nilai rendah jika kedua faktor yang saling berinteraksi sama-sama memiliki taraf minimum atau maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa paparan panas, baik yang berasal dari proses blansir maupun dari proses ekstraksi, diperlukan untuk mendapatkan volum ekstrak yang tinggi. Akan tetapi jika paparan panas yang diperoleh terlalu banyak, maka volum ekstrak menjadi lebih rendah. Dengan kata lain volum ekstrak paling maksimal akan diperoleh jika proses dilakukan tanpa blansir dan diikuti oleh ekstraksi pada suhu tinggi (60oC) dan waktu lama (120 menit), atau blansir dengan waktu lama (12 menit), dan diikuti oleh ekstraksi pada suhu rendah (30oC) dan waktu singkat (30 menit),
Suhu ekstraksio C) (
sebagaimana yang terlihat pada Gambar 6.
Lama blansir (menit)
Gambar 6 Permukaan tanggap (kiri) dan kontur (kanan) pengaruh lama blansir dan suhu ekstraksi terhadap volum ekstrak pada lama ekstraksi 120 menit
34
Total volum ekstrak berasal dari pelarut dan air yang dikandung kelopak bunga teleng. Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa kelopak bunga teleng segar mengandung air sebesar 89,24% ± 0,54% (Lampiran 5). Pada setiap proses ekstraksi digunakan pelarut sebanyak 40 ml untuk 10 g bunga segar, sehingga secara teoritis total cairan yang terdapat pada bahan yang diekstraksi adalah sebanyak sekitar 49 ml. Ketika larutan ditambahkan kepada bunga segar, proses kapilaritas menyebabkan sebagian air diserap oleh kelopak bunga, sehingga menjadi tidak mudah untuk dipisahkan. Paparan panas yang bisa berasal dari proses blansir atau ekstraksi menyebabkan rusaknya struktur jaringan dan dinding sel sehingga cairan yang semula tersimpan rapi di antara sel dan di dalam sel mulai bergabung satu sama lain sehingga menjadi lebih mudah dipisahkan. Antosianin yang merupakan hasil dari metabolisme sekunder pada tanaman dan terakumulasi di dalam vakuola sel (Tanaka et al. 2008), juga keluar dari sel dan larut di dalam pelarut sehingga ekstrak berwarna biru dapat diperoleh. Apabila paparan panas yang diterima oleh kelopak bunga terlalu berlebihan maka struktur kelopak menjadi sangat lunak, dan menyebabkan terlepasnya pektin yang merupakan senyawa hidrokoloid paling utama yang terdapat pada dinding sel. Sebagaimana umumnya hidrokoloid, pectin bersifat mengikat akir
sehingga
menghambat pemisahan cairan ekstrak dari padatan. Akibatnya volum ekstrak yang dihasilkan menjadi sedikit berkurang. 2. Kadar Antosianin Model persamaan yang menghubungkan antara kadar antosianin dengan semua faktor yang dipelajari menunjukkan korelasi yang lebih kompleks dibandingkan dengan volum ekstrak. Yang paling menarik untuk dilihat pada persamaan yang direpresentasikan pula pada Gambar 7 tersebut adalah pentingnya peranan proses blansir terhadap kadar antosianin. Kadar antosianin yang tinggi tidak dapat dicapai tanpa proses blansir. Hal ini menunjukkan bahwa proses blansir tidak semata-mata berperan di dalam merusak dinding sel, melainkan berperan pula di dalam mekanisme lain yang membantu untuk mendapatkan antosianin dalam jumlah lebih tinggi.
35
Pada tanaman-tanaman sumber antosianin terdapat enzim-enzim yang diketahui memiliki karakteristik mendegradasi antosianin seperti peroksidase, fenoloksidase dan polifenoloksidase (Pifferi & Cultrera 1974 diacu dalam Rein 2005). Selain itu terdapat pula enzim glikosidase yang memecah antosianin menjadi antosianidin dan gula (Nayak
Suhu ekstraksio C) (
An t osiani n (mg /l )
2011). Antosianidin bersifat sangat tidak stabil dan terdegradasi dengan segera. Enzim-
Lama blansir (menit)
Gambar 7 Permukaan respons (kiri) dan kontur (kanan) pengaruh lama blansir dan suhu ekstraksi terhadap kadar antosianin ekstrak pada lama ekstraksi 30 menit enzim ini dapat diinaktifkan dengan perlakuan panas seperti blansir. Menurut Mizobutsi et al. (2010) enzim peroksidase pada perikarpium buah leci mengalami inaktivasi pada suhu
90oC selama 10 menit atau suhu 100oC selama 1 menit, sedangkan enzim
polifenoloksidase inaktif setelah 10 menit berada pada suhu 60 oC. Proses blansir yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uap air suhu 100 oC hingga 12 menit. Merujuk kepada referensi tadi, maka proses blansir ini sudah dapat merusak enzim-enzim yang mendegradasi antosianin. Rusaknya enzim inilah yang diperkirakan menjadi sebab mengapa kadar antosianin pada ekstrak yang mengalami tahapan blansir lebih tinggi. Hasil penelitian yang sejalan dilaporkan oleh Rossi et al. (2003), yang menunjukkan bahwa kadar antosianin jus blueberry yang diblansir dengan uap air selama 3 menit lebih tinggi 200 % dibandingkan dengan yang tidak diblansir. Kadar antosianin yang tinggi pada jus yang diblansir ini disebabkan oleh inaktifnya enzim polifenoloksidase yang mendegradasi antosianin (Rossi et al. 2003)
36
Meskipun diperlukan untuk pelunakan dinding sel dan inaktivasi enzim, panas juga menyebabkan degradasi antosianin (Lee et al. 2011, Tantituvanont et al. 2008, Wongsangta et al. 2009, Chaovanalikit et al. 2009). Pada penelitian ini kerusakan antosianin terlihat pada rendahnya kandungan antosianin pada ekstrak yang mengalami paparan panas maksimum selama proses blansir dan ekstraksi. 3. Kadar Total Fenol Jika proses blansir memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingginya kadar antosianin, tidak demikian halnya dengan total fenol. Merujuk kepada model persamaan yang diperoleh seperti direpresentasikan pada Gambar 8 terlihat bahwa total fenol tertinggi dapat diperoleh melalui proses ekstraksi pada suhu 60oC selama 120 menit tanpa didahului proses blansir. Tanpa proses blansir, maka enzim-enzim yang mengatalisis terjadinya proses oksidasi fenol masih bekerja aktif. Jika mengalami oksidasi maka fenol akan berubah menjadi senyawa kuinon, maka seharusnya kadar fenol menjadi lebih rendah. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan hasil yang
Suhu ekstraksio C) (
Tot al fenol (mg /ml )
berbeda.
Lama blansir (menit)
Gambar 8 Permukaan respons (kiri) dan kontur (kanan) pengaruh lama blansir dan suhu ekstraksi terhadap kadar total fenol ekstrak pada lama ekstraksi 120 menit Kemungkinan yang terjadi adalah sebagai berikut. Pada bunga teleng terdapat banyak macam senyawa fenol seperti antosianin dan antosianidin, quercetin, kaempferol dan myricetine. Kesemuanya merupakan senyawa fenol yang memiliki lebih dari satu gugus OH pada cincin benzene nya. Ketika mengalami oksidasi menjadi kuinon, tidak semua
37
gugus OH berubah menjadi gugus O, sehingga di dalam analisis masih dihitung sebagai fenol. Uji kadar total fenol pada penelitian ini dilakukan dengan metode Folin-Ciocalteu, yang berprinsip kepada reaksi antara reagen Folin-Ciocalteu dengan gugus OH pada fenol membentuk kompleks molibdenum yang berwarna biru. Contoh yang dapat diajukan untuk mendukung hipotesis ini adalah reaksi oksidasi yang terjadi pada quercetin. Menurut Timbola et al. (2006), senyawa quercetin teroksidasi menjadi senyawa ortho-quinone yang masih memiliki gugus OH pada cincin benzenanya (Gambar 9).
Gambar 9. Oksidasi quercetin menjadi ortho-quinone Berbeda dengan volum ekstrak dan kandungan antosianin, kandungan total fenol relatif stabil terhadap panas. Penelitian Xu et al. (2007) menunjukkan bahwa flavonon glikosida pada buah Citrus paradisi Changshanhuyou mengalami kerusakan jika dipanaskan pada suhu 120oC selama 90 menit atau suhu 150oC selama 30 menit. Sementara itu menurut Choi et al. (2011) pemanasan pada suhu 120oC selama 120 menit meningkatkan kadar total fenol dari ekstrak kulit jeruk. 4. Seleksi dan Verifikasi Proses Optimal Proses ekstraksi disebut optimal jika volum ekstrak, kadar antosinanin dan total fenol maksimal. Nilai maksimal ini akan dapat diperoleh jika model persamaan di antara ketiganya mirip dan atau ada korelasi di antara mereka. Model persamaan antara
38
volum ekstrak dengan kadar antosianin dan total fenol adalah berbeda. Volum ekstrak mengikuti model persamaan linear dengan interaksi 2 faktor, sedangkan kadar antosianin dan total fenol mengikuti persamaan kuadratik. Selanjutnya untuk memastikan ada atau tidak adanya hubungan antara dua respons, maka dilakukan uji korelasi (Lampiran 6), yang rangkumannya disajikan pada Tabel 12. Terlihat bahwa tidak ada korelasi yang kuat di antara respons. Tabel 12 Hasil uji korelasi antara volum ekstrak, kadar antosianin dan total fenol Respons yang diuji Volum ekstrak dengan kadar antosianin Volum ekstrak dengan total fenol Kadar antosianin dengan total fenol
Nilai Korelasi 0,271 0,596 0,624
Dengan tidak adanya korelasi yang tinggi di antara ketiga respons, maka nilai maksimum untuk ketiganya secara bersama-sama tidak dapat dicapai. Untuk itu maka perlu dilakukan penyusunan prioritas. Kadar antosianin yang paling tinggi dipilih sebagai yang terpenting, diikuti oleh total fenol dan volum (Lampiran 8). Berdasarkan prioritas ini diperoleh proses optimum yaitu blansir selama 6 menit, diikuti ekstraksi pada suhu 60oC selama 30 menit. Untuk memverifikasi kesesuaian hasil ekstraksi pada kondisi optimum model, dilakukan proses ekstraksi pada kondisi optimum tersebut sebanyak 5 ulangan. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa karakteristik ekstrak bunga teleng hasil ekstraksi pada kondisi optimum sesuai dengan nilai yang diprediksi oleh model (Tabel 13). Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan air pH 4,5 sebanyak 40 ml per 10 gram bunga segar. Nilai rata-rata kadar antosianin yang diperoleh melalui proses ekstraksi optimal ini adalah 40,58 mg/liter. Dengan volum ekstrak yang diperoleh yaitu 38 ml, maka kadar antosianin yang diperoleh dari 10 g bunga segar adalah 1,54 mg atau sama dengan 154 mg/kg bunga segar. Ekstraksi warna antosianin bunga teleng
yang
dilakukan oleh Vankar & Srivastava (2010) menggunakan pelarut methanol-HCl 1 % menunjukkan kadar antosianin sebesar 227,42 mg/kg. Jika dibandingkan dengan angka tersebut maka hasil unduhan antosianin melalui proses optimal dari penelitian ini adalah sebesar 67,8 %.
39
Tabel 13 Hasil verifikasi proses ekstraksi pada kondisi optimum (lama blansir 6 menit, suhu ekstraksi 60oC dan lama ekstraksi 30 menit) dengan nilai yang diprediksi sesuai model Ulangan
Volum (ml)
Antosianin (mg/L)
Total Fenol (mg/ml)
1
38,0
39,55
0,98
2
38,6
41,16
1,16
3
37,2
41,00
1,07
4
37,4
39,05
1,12
5
39,0
42,12
1,03
rata-rata
38,0
40,58
1,07
simpangan baku
0,7668
1,2536
0,0697
CV
2,02%
3,09%
6,50%
Standard error
0,34
0,56
0,03
Confidence interval 95%
0,95
1,56
0,09
Prediksi menurut model
37,32 ± 2,21
36,82 ± 8,78
1,08 ± 0,16
Pada metode yang dilakukan oleh Vankar & Srivastava (2010) kelopak bunga teleng mengalami proses maserasi berkali-kali sampai kelopak bunga tersebut berwarna putih, kemudian ekstrak yang diperoleh dipekatkan untuk selanjutnya dilakukan analisis kadar antosianin. Sedangkan proses ekstraksi yang dilakukan pada penelitian ini hanya dilakukan satu kali. Ampas yang dipisahkan dari ekstrak masih memiliki warna biru yang pekat, yang dapat dikembangkan menjadi produk lain. Misalkan jika dikeringkan maka dapat diperoleh produk semacam teh seduhan yang mengandung antosianin.
B. Karakterisasi Ekstrak Bunga Teleng 1. Spektrum warna ekstrak hasil proses optimal Spektrum warna ekstrak bunga teleng yang diekstraksi melalui proses optimum yang terpilih menunjukkan 4 panjang gelombang yang memiliki absorbansi maksimum dan 1 bahu (Gambar 10). Dua di antaranya berada di wilayah ultraviolet, yaitu panjang gelombang 264 nm dan 287 nm. Ini menunjukkan bahwa ekstrak bunga teleng memiliki kemampuan sebagai tabir surya atau pelindung kulit dari cahaya ultra violet. Dua panjang gelombang maksimal yang lain beserta 1 bahu berada di wilayah cahaya tampak, yaitu panjang gelombang 574 nm, 619 nm dan 539 nm.
40
Kekhasan struktur flavonoid dapat dikenal melalui adanya 2 pita serapan cahaya pada wilayah ultra violet hingga cahaya tampak, yang dikenal dengan sebutan Pita I dan Pita II. Pita II dengan serapan maksimum di antara panjang gelombang 240 – 285 nm merupakan representasi dari cincin A, sedangkan Pita I dengan serapan maksimum di antara 300 – 500 nm merupakan representasi dari cincin B (Mabry et al. 1970 diacu dalam Green 2007). Sementara itu untuk antosianin serapan maksimum untuk Pita II dan Pita I secara berturut-turut adalah 265 hingga 275 dan 465 hingga 560 (Robards & Antolovich 1997 diacu dalam Green 2007). Pada ekstrak bunga teleng Pita II kemungkinan besar ditunjukkan oleh panjang gelombang 264 dan 287 nm (cincin A – sistem benzoil) dan Pita I ditunjukkan oleh panjang gelombang 539 dan 574 nm (cincin B- sistem sinamoil).
264 nm 1
287 nm
Absorbansi
0,8
0,6
0,4
574 nm
619 nm
539 nm 0,2
0 200
250
300
350
400
450
500
550
600
650
Panjang gelombang (nm)
Gambar 10 Absorbansi ekstrak bunga teleng hasil proses ekstraksi optimal
700
41
Jenis antosianin terbesar yang terdapat pada ekstrak bunga teleng adalah ternatin A1. Jika pada umumnya antosianin satu molekul antosianidin berikatan dengan 1 hingga 3 monosakarida, maka pada ternatin A1 satu molekul delphinidin berikatan dengan 7 glukosa (Terahara et al. 1990 diacu dalam dalam Wongcharee et al. 2006). Antosianin yang bentuk aglikonnya berikatan dengan lebih dari satu molekul glukosa disebut dengan antosianin terpoliglikosilasi dan jumlahnya dapat diperkirakan dengan membagi nilai absorbansi pada panjang gelombang 440 nm dibagi dengan nilai absorbansi tertinggi pada cahaya tampak (Brouillard et al. 1982 diacu dalam Lee et al. 2011) yang dalam hal ini adalah 574 nm. Nilai absorbansi pada 440 nm adalah 0,079 sedangkan nilai absorbansi pada 574 nm adalah 0,19, sehingga persen antosianin terpoliglikosilasi adalah 41,6%, sedikit lebih kecil dibandingkan penelitian Lee et al. (2011) yang menghasilkan 43 %. Salah satu ciri khas antosianin bunga teleng adalah gugus glikosidanya berikatan dengan dua atau lebih asam aromatik, khususnya asam p-kumarat (Terahara et al. 1990 diacu dalam dalam Wongcharee et al. 2006). Rasio antara antosianin terpoliasilasi dengan yang tidak dapat diperkirakan dengan membagi absorbansi maksimal pada panjang gelombang 310 hingga 330 nm dengan absorbansi maksimal pada cahaya tampak. Ekstrak bunga teleng yang dihasilkan memiliki absorbansi tertinggi direntang panjang gelombang 310-330 nm sebesar 0,792. Jika dibagi dengan 0,19 yang merupakan nilai absorbansi pada panjang gelombang 574 nm, maka diperoleh 416,8 %, yang berarti rasio antara molekul antosianin yang terpoliasilasi dengan yang tidak sekitar 4,2 : 1. Ini jauh lebih besar dibandingkan hasil penelitian Lee et al. (2011) yang menghasilkan rasio 236 %. 2. Spektrum warna ekstrak pada pH 1 hingga 14 Ekstrak bunga teleng memiliki warna yang bervariasi mengikuti pHnya, mulai dari merah pada pH 1 hingga hijau kuning pada pH 14 (Gambar 11). Pada media air antosianin terdapat dalam empat struktur dengan komposisi tergantung pada pHnya (Gambar 12). Keempat struktur tersebut adalah kation flavilium yang berwarna merah dan muncul dominan pada pH 1, basa kuinonoidal yang berwarna biru, pseudo karbinol atau hemiketal dan chalchone. Dua yang terakhir tidak berwarna dan muncul dominan
42
pada pH 4,5. Menurut Figueiredo et al. (1994) basa kuinonoidal terdapat dalam dua bentuk tautomer, yang masing-masing muncul dominan pada pH 4 dan pH 7.
Gambar 11 Spektrum warna ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14.
R1
R1
OH O
O
O HO
R2 O
R2 O
+
-H
gly
gly Basa kuinonoidal (biru) pH = 7
gly
-H +
O
O
R1
O
gly
Basa kuinonoidal (biru) pH = 4
OH HO
O
+
R2 O
gly
O
Kation Flavilium (merah) pH = 1
R1
R1
gly
OH
OH OH HO
O
R2
H
O O
HO
O
O
gly
O
gly
Hemiketal (tak berwarna) pH = 4.5
R2
gly
O
gly
cis-Chalcone (tak berwarna) pH = 4.5
Gambar 12 Perubahan struktur antosianin pada berbagai pH Uji spektrofotometri ekstrak bunga teleng (Gambar 13 dan Gambar 14) menunjukkan bahwa pada pH 1 dan 2 terdapat 1 puncak absorbansi pada panjang gelombang 548 nm (kation flavilium). Pada pH 3 - 5 terdapat 2 puncak absorbansi yaitu
43 2,5
pH 1
2
pH 2 pH 3 pH 4
Absorbansi (A)
1,5
pH 5 pH 6 pH 7
1
0,5
0 280
340
400
460
520
580
Panjang gelombang (nm) Gambar 13 Absorbansi ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 7
640
700
44 2,5 pH 8 pH 9
2
pH 10
Absorbansi (A)
pH 11 pH 12
1,5
pH 13 pH 14
1
0,5
0 280
340
400
460
520
580
Panjang gelombang (nm) Gambar 14 Absorbansi ekstrak bunga teleng pada pH 8 hingga 14
640
700
45
pada panjang gelombang sekitar 574 nm dan 624 nm yang merepresentasikan dua tautomer basa kuinonoidal. Tautomer pertama mencapai maksimal pada pH 4. Pada pH 6 hingga 13 terdapat 1 puncak yang merepresentasikan tautomer kedua dari basa kuinonoidal. Tautomer kedua ini mencapai maksimal pada pH 7. Mulai pH 9 serapan pada panjang gelombang di sekitar 400 nm meningkat, menandakan perubahan warna sebagian antosianin dari biru menjadi kuning.
3. Aktivitas Antioksidan Untuk melihat pengaruh struktur antosianin terhadap aktivitas antioksidannya, dilakukan pengujian aktivitas antioksidan ekstrak bunga teleng pada pH 1, 4,5 dan 7. Aktivitas antioksidan dinyatakan sebagai jumlah DPPH yang berekasi dengan 100 g sampel yang diukur melalui penurunan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm. Untuk mendapatkan hubungan antara absorbansi dengan kadar DPPH, maka kurva baku DPPH perlu terlebih dulu ditetapkan (Lampiran 7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak bunga teleng pH 1, diikuti oleh pH 4,5 dan 7. Seperti terlihat pada Gambar 15, aktivitas antioksidan ekstrak bunga teleng terlihat berkorelasi positif dengan besarnya absorbansi warna pada panjang gelombang 500 – 550 nm, yang merupakan daerah serapan kation flavilium. Hasil ini sejalan dengan penelitian Kalt et al. (2000) yang menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak lowbush blueberry pada pH 1 lebih tinggi dibandingkan pada pH 4 dan 7. Uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode DPPH berprinsip kepada pengukuran perubahan warna dari DPPH radikal yang berwarna ungu menjadi DPPH non radikal yang berwarna kuning dengan menggunakan spektrofotometer. Secara umum reaksinya adalah sebagai berikut. (DPPH) + (H − A) → DPPH − H + (A) Ungu
kuning
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa DPPH radikal yang berwarna ungu memerlukan ion hidrogen atau proton untuk bereaksi menjadi DPPH non radikal.
46
2,5
140
pH 1
Ak tivitas antioksidan (mMo l DPPH/ 100 g)
2,0
phH 7
Ab sorbansi( A)
113,37 ± 11,86
120
pH 4.5
100
1,5 1,0 0,5
80
50,62 ± 9,99
60
39,77 ± 8,24
40 20
0,0 400
450
500
550
600
650
700
0
Panjang gelombang (nm)
1
4,5
7
pH ekstrak
Gambar 15 Absorbansi ekstrak bunga teleng pada pH 1, 4,5 dan 7 (kiri) dan aktivitas antioksidasinya (kanan) Semakin banyak suatu senyawa antioksidan memiliki ion hidrogen atau proton yang dapat disumbangkan kepada DPPH, maka semakin besar aktivitas antioksidannya. Pada pH 1 semua antosianin berada dalam bentuk kation flavilium yang memiliki 2 gugus hidroksil dan satu oksigen yang kelebihan proton (Gambar 12) yang kesemuanya dapat disumbangkan kepada DPPH sehingga diukur sebagai aktivitas antioksidan. Sejalan dengan kenaikan pH bentuk kation flavilium semakin berkurang dan diganti dengan bentuk basa kuinonoidal. Pada pH 7 semua antosianin berada dalam bentuk basa kuinonoidal. Dalam bentuk ini antosianin hanya memiliki satu gugus hidroksil, sehingga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih rendah. Pada pH 4,5 bentuk flavilium kation berubah menjadi hemiketal yang memiliki 3 gugus hidroksil, sehingga semestinya memiliki aktivitas antioksidan yang kira-kira setara dengan bentuk flavilium kation. Akan tetapi, perubahan flavilium kation menjadi hemiketal hanya spesifik terjadi pada antosianin monomerik, dan tidak terjadi pada antosianin polimerik (Wrolstad et al. 2005). Artinya, pada pH 4,5 tersebut sebagian antosianin polimerik tetap berada dalam bentuk basa kuinonoidal yang hanya memiliki satu gugus hidroksil. Aktivitas antioksidasi total dari ekstrak bunga teleng adalah gabungan dari aktivitas antosianin monomerik, antosianin polimerik serta senyawa fenol lainnya. Aktivitas antioksidan gabungan ini pada pH 4,5 lebih rendah dibandingkan dengan pada pH 1, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hasil penelitian.
47
Aktivitas antioksidan yang lebih tinggi pada pH 1 tidak selalu terjadi pada semua jenis antosianin. Penelitian yang dilakukan terhadap antosianin kulit buah leci menunjukkan bahwa aktivitas antioksidannya lebih tinggi pada pH 3-5 dibandingkan dengan pH 1 dan 7 (Ruenroengklin et al. 2008). Tampaknya ini berhubungan dengan konfigurasi kandungan antosianin polimerik dan monomerik yang berbeda-beda untuk setiap sumber antosianin. 4. Stabilitas Warna Ekstrak Selama Penyimpanan Untuk menguji kestabilan warna, ekstrak bunga teleng pH 1 hingga 14 dikemas dalam botol vial gelap dan disimpan pada suhu ruang dan suhu 4 oC selama 28 hari. Degradasi warna diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang yang sesuai dengan absorbansi maksimalnya. a. Stabilitas warna pada suhu ruang Ekstrak bunga teleng pH 1 hingga 14 yang disimpan pada suhu ruang (Gambar 16) memiliki kestabilan warna antosianin yang lebih rendah dibandingkan dengan yang disimpan pada suhu 4oC (Gambar 18). Pada sejumlah penelitian disebutkan bahwa suhu merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kestabilan antosianin pada bunga teleng (Tantituvanont et al. 2008, Wongsangta et al. 2009, Chaovanalikit et al. 2009, Lee et al. 2011), maupun pada tanaman lainnya (Rein 2005, Iversen 1999). Penelitian Vankar & Srivastava (2010) menunjukkan bahwa kestabilan warna berbagai ekstrak bunga yang disimpan pada suhu 30oC lebih rendah 7-20 % dibandingkan dengan yang disimpan pada suhu 25oC. Kenaikan suhu memicu terjadinya hidrolisis glikosidik sehingga gugus aglikon pada antosianin menjadi tidak stabil. Selain itu kenaikan suhu juga dapat merusak ion flavilium sehingga warna menjadi pudar.
48
Gambar 16 Spektrum warna ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14 selama penyimpanan pada suhu ruang Kestabilan warna juga dipengaruhi oleh pH. Ekstrak pH 12 hingga 14 mengalami degradasi warna total setelah satu hari penyimpanan (Gambar 16). Dalam kondisi alkalin tinggi antosianin bersifat sangat tidak stabil dan mudah terdegradasi (Rein, 2005). Sementara itu pada data absorbansi di Tabel 14 terlihat bahwa ekstrak pH 3 hingga 11 kehilangan warna secara total setelah penyimpanan selama 14 hari. Penelitian Chaovanalikit et al. (2009) menyebutkan bahwa warna ekstrak bunga teleng lebih stabil pada pH rendah.
49
Laleh et al. (2006) melaporkan bahwa kerusakan antosinain pada 4 jenis Berberis sp. yang diamati meningkat sejalan dengan kenaikan pH. Kenaikan pH tidak selalu diikuti dengan penurunan kestabilan antosianin. Penelitian Ozela et al. (2007) menunjukkan bahwa kestabilan antosianin buah Basella rubra pada pH 5 dan 6 lebih baik dibandingkan dengan pH 4, Sejalan dengan itu Fossen et al. (1998) menyebutkan bahwa kestabilan antosianin petunin mencapai puncaknya pada pH 8,1. Tabel 14 Absorbansi warna ekstrak bunga teleng pH 1 hingga 14 selama penyimpanan pada suhu ruang Absorbansi (A) pH 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
maks (nm) 548 548 566 572 620 624 624 628 628 598 594 594 594 594
0 1,07 0,96 1,01 1,33 1,57 1,72 1,75 1,86 1,86 1,15 1,11 0,07 0,07 0,06
7 1,03 0,86 0,12 0,19 0,10 0,08 0,08 0,08 0,11 0,16 0,15 0 0 0
Hari ke 14 1,01 0,65 0 0,05 0,03 0 0 0 0 0 0,02 0 0 0
21 0,98 0,14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
28 0,93 0,04 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Pengaruh pH terhadap kestabilan antosianin ekstrak bunga teleng pada penelitian ini tampaknya mengikuti pola yang umum terjadi pada antosianin, yaitu lebih stabil pada pH rendah. Setelah penyimpanan selama 28 hari intensitas warna ekstrak pH 2 telah berkurang menjadi tinggal 4 %, sedangkan warna ekstrak pH 1 pada lama penyimpanan yang sama masih tersisa 86 %. Pada pH 1 dan 2 antosianin berada dalam bentuk kation flavilium. Kation flavilium ini bersifat stabil pada kondisi yang sangat asam. Kenaikan pH membuatnya berubah menjadi basa kuinonoidal yang tidak stabil yang segera berikatan dengan air membentuk senyawa yang tak berwarna (Laleh et al.
50
2006). Laju degradasi warna baik ekstrak pH 1 maupun 2 mengikuti persamaan reaksi ordo 0 (Gambar 17). b. Stabilitas warna pada suhu 4oC Seperti terlihat pada Gambar 18, ekstrak bunga teleng yang disimpan pada suhu o
4 C memiliki kestabilan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan yang disimpan pada suhu ruang, dengan pengecualian ekstrak pH 12 hingga 14,
% Absorbansi yang tersisa
100 100% 80 80%
y = -0,032x + 1,031 R² = 0,974
60 60% pH 1
y = -0,267x + 1,352 R² = 0,936
40 40%
pH 2
20 20% 0 0% 0
7
14
21
28
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 17 Degradasi warna ekstrak bunga teleng pH 1 dan 2 yang disimpan pada suhu ruang. Grafik untuk pH 3-11 tidak ditampilkan karena kerusakan antosianin sudah mencapai hampir 100 % pada hari ke 7.
51
Gambar 18 Spektrum warna ekstrak bunga teleng pada pH 1 hingga 14 selama penyimpanan pada suhu 4oC Pada Tabel 15 terlihat bahwa ekstrak pH 1 dan pH 2 memiliki warna yang stabil selama 28 hari penyimpanan. Hasil ini menunjukkan bahwa pada penyimpanan suhu 4oC bentuk kation flavilium dari antosianin, baik pada pH 1 maupun 2, bersifat stabil. Sejalan dengan kenaikan pH, kation flavilium berubah menjadi 2 tautomer basa kuinonoidal. Basa kuinonoidal yang kedua mencapai jumlah yang maksimum pada pH
52
7. Terlihat pula bahwa ekstrak pH 7 hingga 11 juga relatif stabil selama penyimpanan. Ini menunjukkan pula bahwa dalam bentuk basa kuinonoidal kedua, antosianin bersifat stabil selama penyimpanan pada suhu 4 oC. Dengan demikian, terdapat dua bentuk antosianin yang stabil selama penyimpanan pada suhu 4 oC, yaitu bentuk flavilium kation dan basa kuinonoidal kedua. Karakteristik yang unik ditunjukkan oleh ekstrak pH 3, 4, 5, dan juga 6. Sampai hari ke 14 penyimpanan, ekstrak pH 3 dan 4 mengalami degradasi warna, kemudian mengalami peningkatan warna pada hari ke 21 dan 28. Sementara itu ekstrak pH 5 mengalami degradasi warna hingga lama penyimpanan 21 hari, baru kemudian mengalami peningkatan warna. Pengamatan hingga hari ke 28 menunjukkan bahwa ekstrak pH 6 sepertinya memiliki pola degradasi warna yang tidak sama dengan pH 3 hingga 5.
Akan tetapi pengamatan lanjutan yang dilakukan hingga hari ke 35
menunjukkan bahwa ekstrak pH 6 juga memiliki pola sejenis, yaitu mengalami kenaikan intensitas warna setelah lama penyimpanan 35 hari (Gambar 19). Tampaknya Tabel 15 Absorbansi warna ekstrak bunga teleng pH 1 hingga 14 selama penyimpanan pada suhu 4oC
pH 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Absorbansi (Å)
maks (nm) 548 548 566 572 620 624 624 628 628 598 594 594 594 594
0 1,07 0,96 1,01 1,33 1,57 1,72 1,79 1,86 1,86 1,15 1,11 0,07 0,07 0,06
7 0,99 0,98 0,81 1,05 1,46 1,45 1,78 1,90 1,82 1,15 1,09 0 0 0
Hari ke 14 1,03 0,89 0,86 0,98 1,31 1,38 1,70 1,80 1,71 1,14 1,08 0 0 0
21 1,05 0,99 0,93 1,02 0,83 1,36 1,76 1,81 1,73 1,12 1,09 0 0 0
28 1,04 0,95 1,07 1,30 1,44 1,35 1,76 1,81 1,70 1,11 1,06 0 0 0
53
pada periode awal penyimpanan basa kuinonoidal 1 dan 2 yang merupakan bentuk dominan dari antosianin pada rentang pH 3-6 mengalami perubahan menjadi bentuk hemiketal yang tidak berwarna. Sebagai hasilnya, warna ekstrak bunga menjadi lebih pundar atau nilai absorbansi pada spektrofotometer turun. Hal ini disebabkan oleh sifat basa kuinonoidal yang tidak stabil (Laleh et al. 2006). Akan tetapi, pada periode penyimpanan yang lebih lama hasil penelitian menunjukkan peningkatan nilai absorbansi. Peningkatan kembali intensitas warna sesudah mengalami penurunan ini menandakan terbentuknya kembali basa kuinonoidal dari hemiketal.
% Absorbansi yang tersisa
100% 80%
pH 3 pH 4
60%
pH 5 pH 6
40% 20% 0% 0
7
14
21
28
35
Hari
Gambar 19 Degradasi warna ekstrak bunga teleng pH 3-6 yang disimpan pada suhu 4oC. Grafik untuk pH 1-2 dan 7-11 tidak ditampilkan karena stabil selama penyimpanan.
54
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Paparan panas baik melalui proses blansir maupun ekstraksi diperlukan untuk mendapatkan volum ekstrak bunga teleng yang maksimal, dengan kadar antosianin dan total fenol yang maksimal pula. Akan tetapi, paparan panas yang berlebihan mengakibatkan turunnya volum, kadar antosianin dan total fenol pada ekstrak bunga teleng. Kondisi optimum untuk proses ekstraksi bunga teleng adalah blansir 6 menit, diikuti dengan ekstraksi pada suhu 60oC selama 30 menit. Struktur kimia antosianin bunga teleng berpengaruh terhadap aktivitas antioksidannya. Aktivitas antioksidan tertinggi ditunjukkan oleh struktur kation flavilium yang merupakan struktur dominan antosianin pada pH 1. Semakin rendah kadar kation flavilium yang sejalan dengan kenaikan pH ekstrak, semakin rendah pula aktivitas antioksidannya. Stabilitas warna ekstrak bunga teleng selama penyimpanan dipengaruhi baik oleh suhu penyimpanan maupun pH ekstrak. Warna ekstrak bunga teleng memiliki kestabilan yang jauh lebih baik jika disimpan pada suhu 4 oC dibandingkan dengan jika disimpan pada suhu ruang. Kestabilan tertinggi dari ekstrak yang disimpan pada suhu ruang ditunjukkan oleh ekstrak pH 1, diikuti oleh ekstrak pH 2. Ekstrak pH 3 atau lebih tinggi memiliki kestabilan warna yang rendah. Jika disimpan pada suhu 4 oC stabilitas warna ekstrak bunga teleng mencapai 100 persen pada dua rentang pH, yaitu 1-2 dan 7-11. Sementara itu pada pH 3-6 ekstrak mengalami degradasi warna pada periode awal penyimpanan, kemudian mengalami kenaikan intensitas warna pada periode akhir penyimpanan.
B. Saran Keunikan yang terjadi pada ekstrak pH 3 hingga 6 yang disimpan pada suhu 4 oC perlu dipelajari lebih jauh. Dugaan bahwa terjadi perubahan basa kuinonoidal yang berwarna biru menjadi bentuk hemiketal yang tak berwarna pada periode awal penyimpanan, dan pembentukan kembali basa kuinonoidal dari bentuk hemiketal pada
56
periode akhir penyimpanan perlu diuji melalui penelitian yang lebih mendalam. Pengukuran nilai serapan atau absorbansi perlu diperluas tidak hanya pada panjang gelombang maksimalnya, melainkan pada berbagai panjang gelombang baik di wilayah ultraviolet maupun cahaya tampak sehingga perubahan komposisi nilai absorbansi selama penyimpanan dengan lebih teliti dipelajari. Diharapkan dengan penelitian yang lebih mendalam ini penjelasan yang lebih lengkap terkait kestabilan warna ekstrak bunga teleng selama penyimpanan pada pH 3 hingga 6 pada suhu 4 oC dapat dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2005. The Wealth of India, Vol. II, New Delhi: Council of Scientific and Industrial Research:233-234. Adams JB. 1973. Thermal degradation of anthocyanins with particular reference to the 3-glycosides of cyanidin. I. in acidified aqueous solution at 100 deg. J. Sci. Food Agri. 24: 747-762. Agrawal P, Deshmukh S, Ali A, Patil S, Magdum CS, Mohite SK, Nandgude TD. 2007. Wild Flowers as Medicine. Int. J. Green Pharm. 1(1):12 Andersen OM, Markham KR. 2005. Flavonoid: chemistry, biochemistry and application. CRC Press. Boca Raton, FL Anderson OM, Francis GW. 2004. Techniques of pigment identification. Annual Plant Reviews—Plant Pigments and Their Manipulation. 14:293–341. AOAC. 2005. AOAC Official Method 2005.02. Total monomeric anthocyanin pigment content of fruit juices, beverages, natural colorants, and wines. pH Differential Method. Asen S, Stewart RN, Norris KH. 1972. Copigmentation of anthocyanins in plant tissues and its effect on color. Phytochemistry. 11:1139-1144. Baublis A, Spomer A, Berber-Jimenez MD. 1994. Anthocyanin pigments: comparison of extract stability. J. Food Sci. 59 : 1219-1221,1233. Broennum-Hansen K, Flink JM. 1985. Anthocyanin colorants from elderberry (Sambucus nigra L.).3. Storage stability of the freeze dried product. J. Food. Technol. 20:725:733. Brouillard R.1982. Chemical structure of anthocyanins. Di dalam: Markakis P, editor. Anthocyanins as Food Colors. Academic press, New York:1-38. Byrnes N. 2011. Evaluating the stability of purple corncob extract in tortilla chips. [Thesis]. Ohio:Graduate Program in Food Science and Technology. The Ohio State University. Cabrita L, Fossen T, Andersen OM. 2000. Colour and stability of the six common anthocyanin 3-glucosides in aqueous solutions. Food Chem. 68:101-107. Chaovanalikit A, Apichayaluk S, Kongtong S, Chuprathum S. 2009. Effect of pH and temperature on the stability and visual color of roselle and butterfly pea extracts. Agric. Sci. J. 40(3):5-8. Chaovanalikit A, Jaroenvong S, Cha-aim S. 2009. Effect of Pasteurization and pH on Anthocyanin Content and Shelf-Life of Butterfly pea Juice. Agric. Sci. J. 40(1):433-436. Chauhan N, Rajvaidhya S, Dubey BK. 2012. Pharmacognostical, Phytochemical and Pharmacological Review on Clitoria ternatea for Antiasthmatic Activity. Int. J. Pharm. Sci. Res. 3(2): 398-404
58
Choi MY, Chai C, Park JH, Lim J, Lee J, Kwon SW. 2011. Effects of storage period and heat treatment on phenolic compound composition in dried Citrus peels (Chenpi) and discrimination of Chenpi with different storage periods through targeted metabolomic study using HPLC-DAD analysis.[Abstrak]. J. Pharm. Biomed. Anal. 54(4):638-45. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21145683. [6 Juni 2012]. Daisy P, Priya N, Rajathi M. 2004. Immunomodulatory activity of Eugenia jambolana, Clitoria ternatea and Phyllanthus emblica on alloxan induced diabetic rats. J. Exp. Zool. Ind. 7:269-278. Daisy P, Rajathi M. 2009. Hypoglycemic Effects of Clitoria ternatea Linn. (Fabaceae) in Alloxan-induced Diabetes in Rats. Trop. J. Pharm. Res. 8 (5):393-398 Daisy P, Santosh K, Rajathi M. 2009. Antihyperglycemic and antihyperlipidemic effects of Clitoria ternatea Linn. in alloxan-induced diabetes rats. Afr. J. Microbiol. Res. 3(5):287-291 Darias-Martin J, Martin-Luis B, Carillo-Lopez M, Lamuela-Raventos R, Diaz-Romero C, Boulton R. 2002. Effect of cafeic acid on the color of red wine. J. Agric. Food Chem. 50:2062-2067. Eckhardt R. 2011. A breakfast to dye for. South China Morning Post. 29 Sep 2011. Edwards RL, Lyon T, Litwin SE, Rabovsky A, Symons JD, Jalili T. Quercetin reduces blood pressure in hypertensive subjects. 2007. J Nutr. 137:2405-2411 Fantz PR. 1991. Ethnobotany of Clitoria (Leguminosae). Economic Botany. 45(4):511520 Fang Z, Zhang M, Sun Y, Sun J. 2006. How to improve bayberry (Myrica rubra Sieb. et Zucc.) juice color quality: Effect of juice processing on bayberry anthocyanins and polyphenolics. J. Agric. Food Chem. 54:99−106. Francis FJ. 1989. Food colorants: antocyanins. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 28(4):273314. Ghosh D, Konishi T. 2007. Anthocyanins and anthocyanin-rich extracts: Role in diabetes and eye function. Asia Pac. J. Clin. Nutr. 16(2):200-208. Green RC. 2007. Physicochemical properties and phenolic composition of selected Saskatchewan fruit : bufalloberry, chokecerry and sea buckthorn. [Thesis]. Saskatoon: Department of Applied Microbiology and Food Science, University of Saskatchewan. Chahal J, Gupta GK, Bhatia M. 2010. Clitoria ternatea (L.) : Old and new aspects. J. Pharm. Res. 3(11):2610-2614. Figueiredo P, Lima JC, Santos H, Wigand MC, Brouillard R, Macanita AL, Pina F. 1994. Photochromism of the synthetic 4',7-dihydroxyflavylium chloride. J. Am. Chem. Soc. 166:1249-1254. Fossen T, Cabrita L, Andersen OM. 1998. Colour and stability of pure anthocyanins infuenced by pH including the alkaline region. Food Chem. 63(4):435-440
59
He J. 2008. Isolation of anthocyanin mixtures from vegetables and evaluation of their availability and biotransformation in the gastrointestinal tract. [Disertasi]. Ohio: Graduate School, The Ohio State University. Heras-Ramirez ME, Quitero-Ramos A, Camacho-Davila AA, Bernard J, TalamasAbbud R, Torrez-Munoz JV, Salas-Munoz E. 2011. Effect of blanching and drying temperature on polyphenolic compound stability and antioxidant capacity of apple pomace. Food Bioprocess Technol. DOI 10.1007/s11947-011-0583-x. Huang CL, Liao WC, Chan CF, Lai YC.2010. Optimization for the anthocyanin extraction from purple sweet potato roots, using response surface methodology. J. Taiwan Agric. Res. 59(3):143-150. Hussain MT, Verma AR, Vijayakumar M, Sharma A, Mathela CS, Rao CV. 2009. Rutin, a natural flavonoid, protects against gastric mucosal damage in experimental animals. Asian J. Trad. Med. 4(5):188-197. Immanuel RR, Elizabeth LL. 2009. Weeds in agroecosystems: A source of medicines for human healthcare. Int. J. Pharmtech Res.1(2):375-385. Iversen CK. 1999. Black Currant Nectar: Effect of processing and storage on anthocyanin and ascorbic acid content. J. Food Sci. 64(1):37-41. Kahkonen MP, Heinonen M. 2003. Antioxidant activity of anthocyanins and their aglycons. J. Agric. Food Chem.51(3):628-633. Kaisoon O, Siriamornpun S, Weerapreeyakul, Meeso N. 2011. Phenolic compounds and antioxidant activities of edible flowers from Thailand. J. Func. Food. 3:88-99. Kalt W, McDonald JE, Donner H. 2000. Anthocyanins, phenolics and antioxidant capacity of processed lowbush blueberry products. J. Food Sci. 65:390-393. Kamkaen N, Wilkinson JM. 2009. The antioxidant activity of Clitoria ternatea flower petal extracts and eye gel. [Abstrak]. Phytotherapy Res. 23(11):1624-1625. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19367668. [4 Agustus 2012]. Kong JM, Chia LS, Goh NK, Chia T, Brouillard R. 2003. Analysis and biological activities of anthocyanins. Phytochem. 64: 923-933. Kotwal GJ. 2007. Genetic diversity-independent neutralization of pandemic viruses (e.g. HIV), potentially pandemic (e.g. H5Nl strain of influenza) and carcinogenic (e.g. HBV and HCV) viruses and possible agents of bioterrorism (variola) by enveloped virus neutralizing compounds (EVNes). Vaccine. Online ahead of print. Kou Y, Inaba H, Kato T, Tagashira M, Honma D, Kanda T, Ohtake Y, Amano A. 2008. Inflammatory responses of gingival epithelial cells stimulated with porphyromenas gingivalis vesicles are inhibited by hop-associated polyphenols. J. Periodontol. 79:174-180. Laleh GH, Frydoonfar H, Heidary R, Jameei R, Zare S. 2006. The effect of light, temperature, pH and species on stability of anthocyanin pigments in four Berberis species. Pak. J. Nutr. 5 (1): 90-92
60
Larson A, Symons JD, Thunder J. 2010. Quercetin: a treatment for hypertension? A review of efficacy and mechanisms. Pharmaceuticals 3:237-250. Lee PM, Abdullah R, Lee KH. 2011. Thermal degradation of blue anthocyanin extracts of Clitoria ternatea flower. 2011 2nd International Conference on Biotechnology and Food Science IPCBEE. Vol 7. Liyana-Pathirana C, Shahidi F. 2005. Optimization of extraction of phenolic compounds from wheat using response surface methodology. Food Chem. 93:47-56. Mabry TJ, Markham KR, Thomas MB. 1970. The aglycone and sugar analysis of flavonoid glycosides. In The Systematic Identification of Flavonoids ; SpringerVerlag: New York, Macheix JJ, Fleuriet A, Billot J. 1990. Fruit Phenolics; CRC Press: Boca Raton, FL. Markakis P. 1982. Stability of anthocyanins in foods. di dalam: Anthocyanins as Food Colors. Markakis P (ed.). Academic Press Inc., New York. 163-178. Mazza G, Kay CD, Cottrell T, Holub BJ. 2002. Absorption of anthocyanins from blueberries and serum antioxidant status in human subjects J. Agric. Food Chem. 50:7731–7737. Mazza G, Brouillard R. 1987. Recent development in the stabilization of anthocyanins in food product. Food Chem. 25 : 207-225. Mizobutsi GP, Finger FL, Ribeiro RA, Puschmann R, de Melo Neves LL, da Mota WF. Effect of pH and temperature on peroxidase and polyphenoloxidase activities of litchi pericarp. Sci. Agric. (Piracicaba, Braz.). 67(2):213-217. Morris JB, Wang WL. 2007. Anthocyanin and potential therapeutic traits in Clitoria, Desmodium corchorus, Catharanthus, and Hibiscus Species. Acta Hortic: 381-388 Morris JB. 2009. Characterization of butterfly pea (Clitoria ternatea L.) Accessions for morphology, phenology, reproduction and Potential nutraceutical, pharmaceutical trait utilization. Genet. Resour. Crop Evol. 56:425-426. Morton JF. 1983. Atlas of medicinal plants of middle America, Bahamas to Yucatan. Charles C Thomas, Springfield, IL:303-304. Mukherjee PK, Kumar V, Kumar NS, Heinrich M. 2008. The Ayurvedic medicine Clitoria ternatea – From traditional use to scientific assessment. J. Ethnopharm. 120(3): 291-301. Mulinacci N, Romani A, Pinelli P, Gallori S, Giaccherini C, Vincieri FF. 2001. Stabilization of natural anthocyanins by micellar system. Int. J. Pharm. 216:23-31. Nakajima J, Tanaka I, Seo S, Yamazaki M, Saito K. 2004. LC/PDA/ESI-MS Profiling and radical scavenging activity of anthocyanins in various berries. J. Biomed. and Biotech.. 5:241-247. Nayak B. 2011. Effect of thermal processing on the phenolic antioxidants of colored potatoes. [Disertasi]. Washington: Department of Biological Systems Engineering, Washington State University.
61
Nebesky EA, Esselen WB, Jr, McConnell JEW, Fellers CR. 1949. Stability of color in fruit juices. Food Res. 14: 261-274. Nieman DC, Henson DA, Gross SJ, Jenkins DP, Davis JM, Murphy EA, Carmichael MD, Dumke CL, Utter AC, McAnulty SR, McAnulty LS, Mayer EP. 2007. Quercetin reduces illness but not immune perturbations after intensive exercise. Med. Sci. Sports Exerc. 39:1561-1569. Nothlings U, Murphy SP, Wilkens LR, Henderson BE, Kolonel LN. 2007. Flavonols and pancreatic cancer risk: the multiethnic cohort study. [Abstrak]. Am. J. Epidemiol. 166:924-931. http://aje.oxfordjournals.org/content/166/8/924.long. [4 Agustus 2012]. Ozela EF, Stringheta PC, Chauca MC. 2007. Stability of anthocyanin in spinach vine (Basella rubra) fruits. Cien. Inv. Agr. 34(2): 115-120. Palamidis N, Markakis P. 1978. Stability of grape anthocyanin in carbonated beverages. Semana Vitivinicola 33: 2633, 2635, 2637-2639. Parrotta JA. 2001. Healing plants of peninsular India. C.A.B.I. publication:382-383 Patil AP, Patil VR. 2011. Clitoria ternatea Lin : An overview. Int. J. Pharm. Res. 3(1):20-23. Patras A, Brunton NP, O’Donnel C, Tiwari BK. 2010. Effect of thermal processing on anthocyanin stability in foods; mechanism and kinetics of degradation. Trends in Food Sci. Technol.21:3-11. Pereira DM, Valentão P, Pereira JA, Andrade PB. 2009. Phenolics: From chemistry to biology. Molecules. 14:2202-2211. Pifferi PG, Cultrera R. 1974. Enzymic degradation of anthocyanins. Role of sweet cherry polyphenol oxidase. J. Food Sci. 39: 786-791. Ragupathy S, Newsmaster SG. 2009. Velorizing the ‘Irulas’ traditional knowledge of medicinal plants in Kodiakkarai Reserve Forest, India. J. Ethnobiol. & Ethnomed. 5(10). Rao DB, Kiran CR, Madhavi Y, Rao PK, Rao TR. 2009. Evaluation of antioxidant potential of Clitoria ternatea L. and Eclipta prostrate L. Ind. J. Biochem. & Biophysics. 46:247-252 Rein M. 2005. Copigmentation reactions and color stability of berry anthocyanins. [Disertasi]. Helsinki : Department of Applied Chemistry and Microbiology, University of Helsinki. Rhone M, Basu A. 2008. Phytochemicals and age-related eye diseases. Nutr. Rev. 66(8):465–472 Rice-Evans CA, Miller NJ, Paganga G. 1996. Structure - Antioxidant activity relationships of flavonoids and phenolic acids. Free Rad. & Med. 20(7):933-956. Robards K, Antolovich M. 1997. Analytical chemistry of fruit bioflavonoids. Analyst. 122: 11R - 34R.
62
Rodriguez-Saona LE, Giusti MM, Wrolstad RE. 1999. Color and pigment stability of red radish and red-fleshed potato anthocyanins in juice model system. J. Food Sci. 64:451-456. Rogerio AP, Kanashiro A, Fontanari C, da Silva EV, LucisanoValim YM, Soares EG, Faccioli LH. 2007. Anti-inflammatory activity of quercetin and isoquercitrin in experimental murine allergic asthma. Inflamm. Res. 56:402-408. Rossi M, Giussani E, Morelli R, Lo Scalzoc R, Nani RC, Torreggiani D. 2003. Effect of fruit blanching on phenolics and radical scavenging activity of highbush blueberry juice. Food Res. Int. 36:999–1005 Ruenroengklin N, Zhong J, Duan X, Yang B, Li J, Jiang Y. 2008. Effects of various temperatures and pH values on the extraction yield of phenolics from litchi fruit pericarp tissue and the antioxidant activity of the extracted anthocyanins. Int. J. Mol. Sci. 9:1333-1341. Sadilova E, Stintzing FC, Carle R (2006). Thermal degradation of acylated and nonacylated anthocyanins. J. Food Sci. 71:C504-C512. Saito N, Abe K, Honda T, Timberlake CF, Bridle P. 1985. Acylated Delphinidin Glucosides and flavonols from Clitoria ternatea. Phytochem. 24(7):1583-1586. Sanchez-Moreno C. 2002. Review: Methods used to evaluate the free radical scavenging activity in foods and biological systems. Food Sci. Technol. Int. 8:121– 137. Sarma AD, Sreelakshmi Y, Sharma R. 1997. Antioxidant ability of anthocyanins against ascorbic acid oxidation. Phytochem. 45(4):671-674. Schaefer E, Peil H, Ambrosetti L, Petrini O. 2003. Oedema protective properties of the red vine leaf extract AS 195 (Folia vitis viniferae) in the treatment of chronic venous insufficiency. A 6-week observational clinical trial. Arzneimittelforschung 53:243-246 Sharma HM, Devi AR, Sharma BM. 2005. Vegetable dyes used by the Meitei community of Manipur. Ind. J. Trad. Know. 4(1):39-46 Sharma AK, Majumdar M. 1990. Some observations on the effect of Clitoria ternatea Linn. on changes in serum sugar level and small intestinal mucosal carbohydrase activities in alloxan diabetes. Calcut. Med. J. 87:168-171. Shimokawa K, Yamada K, Kita M, Uemura D. 2007. Convergent synthesis and in vivo inhibitory effect on fat accumulation of (-)-tematin, a highly Nmethylated cyclic peptide. Bioorg. Med. Chern. Lett. 16:4447-4449S Shyamkumar, Ishwar B. 2012. Antiinflammatory, analgesic and phytochemical studies of Clitoria ternatea Linn flower extract. Intl. Res. J. Pharm. 3(3):208-210. Singletary KW, Jung KJ, Giusti M. 2007. Anthocyanin-rich grape extract blocks breast cell DNA damage. J. Med. Food 10:244-251. Singleton VL, Rossi JA. 1965. Colorimetry of total phenolics with phosphomolybdicphosphotungstic acid reagents. Am. J. Enol. Vitic. 16:144-158.
63
Solanki YB, Jain SM. 2010. Immunomodulatory activity of ayurvedic plant aparajita (Clitoria ternatea L.) in male albino rats. Global J. Sci. Front. Res. 10(3):2-8. Srivastava A, Akoh CC, Fisher J, Krewer G. 2007. Effect of anthocyanin fractions from selected cultivars of Georgiagrown blueberries on apoptosis and phase in enzymes. J. Agric. Food Chem. 55:3180-3185. Starr MS, Francis FJ. 1968. Oxygen and ascorbic acid effect on the relative stability of four anthocyanin pigments in cranberry juice. Food Tech. 22: 1293-1295. Stintzing FC, Carle R. 2004. Functional properties of anthocyanin and betalains in plants, food, and in human nutrition. Trends Food Sci. Technol. 15:19-38. Sukkhamduang W, Porasuphatana S, Damrongrungruang T, Priprem A. Permeation study of Clitoria ternatea Linn. extract. The 12th Graduate Research Conference. Khon Kaen University. Suzuki H, Nishino T, Nakayama T. Anthocyanin acyltransferase engineered for the synthesis of a novel polyacylated anthocyanin. Plant Biotech. 24:495-501 Tanaka Y, Sasaki N, Ohmiya A. 2008. Biosynthesis of plant pigments: anthocyanins, betalains and carotenoids. The Plant J. 54:733-749 Tantituvanont A, Werawatganone P, Jiamchaisri P, Manopakdee K. 2008. Preparation and stability of butterfly pea color extract loaded in microparticles prepared by spray drying. Thai. J. Pharm. Sci. 32:59-69 Terahara N, Saito N, Honda T, Toki K and Osajima Y. 1990. Acylated anthocyanins of Clitoria ternatea flowers and their acyl moieties, Phytochem. 29(3):949-953 Terahara N, Oda M, Matsui T, Osajima Y, Saito N, Toki K, Honda T. 1996. Five new anthocyanins, ternatins A3, B4, B3, B2, and D2, from Clitoria ternatea flowers.[Abstrak]. J. Nat. Prod. 1996 Feb; 59(2):139-44. http://www.ncbi.nlm.nih.gov-/pubmed/8991946. [6 Jul 2012]. Terahara N, Toki K, Saito N, Honda T, Matsui T, Osajima Y. 1998. Eight new anthocyanins, ternatins C1-C5 and D3 and preternatins A3 and C4 from young Citoria ternatea flowers. [Abstrak]. J. Nat. Prod. 61(11):1361-7. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed-/9834153 [6 Jul 2012]. Timbola AK. de Souza CD, Giacomelli C, Spinelli A. 2006. Electrochemical Oxidation of Quercetin in Hydro-Alcoholic Solution. J. Braz. Chem. Soc. 17(1):139-148. Trost K, Golc-Wondra, Prosek M.2009. Degradation of polyphenolic antioxidants in blueberry nectar aseptically filled in PET. Acta Chim. Slov. 56:494–502 Tulyathan V, Duangmal K, Thunpittayakul C. 1993. Anthocyanin extractive from blue pea flowers (Clitoria ternatea L.) [Abstrak]. Thai. J. of Agric. Sci. 26(2):171-183. Uma B, Prabhakar K, Rajendran S. 2009. Phytochemical analysis and antimicrobial activity of Clitoria ternatea Linn. against extended spectrum beta lactamase producing enteric and urinary pathogens. Asian J. Pharm. & Clin. Res. 2(4). Vadlapudi V, Naidu C. 2010. In vitro bioevaluation of some Indian medicinal plants. Drug Invent. Today. 2(1):65-68.
64
Vankar PS, Srivastava J. 2010. Evaluation of anthocyanin content in red and blue flowers. Int. J. Food Eng. 6(4). Wang L, Stoner GD. 2008. Anthocyanins and their role in cancer prevention. Cancer Lett. 269:281 – 290. Wang H, Cao G, Prior RL. 1996. Total antioxidant capacity of fruits. J. Agri. Food Chem. 44: 701-705. Wongcharee K, Meeyoo V, Chavadej S. 2006. Dye-sensitized solar cell using natural dyes extracted from rosella and blue pea flowers. Solar En. Mat. & Solar Cells. 91(7):551-658 Wongsangta N, Sukkhamduang W, Priprem A, Preeprame S, Nuankaew N. 2009. Effect of metal ion and temperature on amount of anthocyanins in aqueous solution. Wrolstad RE, Durst RW, Lee J. 2005. Tracking color and pigment changes in anthocyanin products. Trends in Food Sci. & Tech. 16: 423-428 Xu G, Ye X, Chen J, Liu D. 2007. Effect of heat treatment on the phenolic compounds and antioxidant capacity of citrus peel extract. [Abstrak]. J. Agric. & Food Chem. 55(2). http://lib.bioinfo.pl/paper:17227062. [6 Juni 2012]. Zhang Y, Vareed SK, Nair MG. 2005. Human tumor cell growth inhibition by nontoxic anthocyan ins the pigments in fruits and vegetables. Life Sci. 76:14651472. Zheng W, Wang SY. 2001. Antioxidant activity and phenolic compounds in selected herbal. J. Agric. & Food Chem. 49(11):5165:5170 Zheng Y, Wang CY, Wang SY, Zheng W. 2007. Changes in strawberry phenolics, anthocyanins, and antioxidant capacity in respose to high oxygen treatment.LWTFood Sci. Tech. 40:49.
LAMPIRAN
66
Lampiran 1 Data hasil panen kelopak bunga teleng Untuk keperluan penelitian ini bunga teleng diperoleh dari tanaman yang ditanam pada lahan seluas 4 m2. Tanaman ini ditanam pada tanggal 11 Maret 2011 dan digunakan untuk penelitian yang berlangsung antara Desember 2011 hingga Maret 2012. Selain karakteristik berat kelopak, dihitung pula hasil panen bunga teleng. Jumlah sampel untuk pengukuran berat adalah 40 helai kelopak bunga teleng, sedangkan hasil panen dihitung sebagai rata-rata dari 8 kali pemanenan. Data hasil pengukuran adalah sebagai berikut. Berat kelopak, g Dengan pangkal Tanpa pangkal Rendemen, % Kadar air, %
0,36 ± 0,01 0,22 ± 0,01 59,51 ± 1,33 89,24 ± 0,54
Hasil panen, g/m2 Dengan pangkal Tanpa pangkal
26,39 16,08
67
Lampiran 2 Kurva baku asam galat Kurva baku asam galat diperlukan untuk menghitungan kandungan total fenol pada sampel. Untuk membuat kurva baku ini disiapkan 4 larutan asam galat yang berbeda-beda, kemudian serapan cahayanya diukur pada panjang gelombang 765 nm. Kemudian dihitung persamaan regresi yang menghubungkan konsentrasi asam galat dengan absorbansinya. Tabel dan grafik pengukuran absorbansi asam galat serta persamaan liniernya adalah sebagai berikut : Konsentrasi (mg/l)
Absorbansi (A)
68 102 136 272
0,405 0,629 0,966 2,222
Absorbansi (A)
2.5
y = 0.009x - 0.254 R² = 0.998
2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0
50
100
150
200
Konsentrasi Asam Galat (mg/L)
250
300
68
Lampiran 3 Data absorbansi untuk pengujian antosianin monomerik dan total fenol Antosianin Monomerik Std Run 1 3 7 12 13 5 15 17 9 4 2 11 6 8 16 14 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
(510nm-700nma pH 1 pH 4,5 0,2385 0,1530 0,6510 0,4330 0,4860 0,3020 0,5755 0,4255 0,5545 0,3470 0,2975 0,1855 0,5965 0,3715 0,5625 0,3460 0,4035 0,2530 0,4690 0,3005 0,5190 0,3205 0,5237 0,2953 0,5587 0,3423 0,5855 0,3585 0,5855 0,3435 0,5517 0,3547 0,5993 0,3903
a = rata-rata dari 3 ulangan b = rata-rata dari 2 ulangan
Total Fenol
(5pH1-pH4,5
(5765nmb
0,0855 0,2180 0,1840 0,1500 0,2075 0,1120 0,2250 0,2165 0,1505 0,1685 0,1985 0,2283 0,2163 0,2270 0,2420 0,1970 0,2090
0,2580 0,7385 0,6150 0,8340 0,6310 0,3230 0,6595 0,6140 0,4680 0,5555 0,4765 0,4905 0,6230 0,6895 0,6745 0,7760 0,7315
69
Lampiran 4 Hasil Sidik Ragam atau Analysis of Variance (ANOVA) Berikut ini adalah hasil ANOVA untuk masing-masing respons sebagaimana yang disajikan oleh perangkat lunak Design Expert versi 8.0.7.1 Berdasarkan data hasil penelitian, perangkat lunak akan melakukan pengolahan dan menyarakankan model persamaan yang menghubungkan antara masing-masing respons dengan semua faktor yang dipelajari. Untuk rancangan percobaan Box-Behnken model tertinggi yang bisa diprediksi adalah model persamaan kuadratik. Sehingga model persamaan yang memungkinkan adalah mean (nilai respons sama di semua nilai faktor), linear, interaksi 2 faktor dan kuadratik. Langkah selanjutnya adalah memperhatikan nilai p atau p-value dari model yang disarankan dan lack of fit. Nilai p yang diharapkan untuk model adalah lebih kecil dari 0,05 yang menandakan bahwa persamaan tersebut signifikan atau bermakna, serta sama dengan atau lebih besar dari 0,05 untuk lack of fit yang menandakan bahwa model yang disarankan tepat. Jika lack of fit bermakna (nilai p lebih kecil dari 0,05) maka perlu dikembangkan model yang lain. Jika nilai p untuk model lebih besar daripada 0,05, maka nilainya dapat diturunkan dengan menghilangkan faktor-faktor yang tidak signifikan sehingga mencapai nilai lebih kecil dari 0,05. Selanjutnya perangkat lunak akan menghitung perkiraan koefisien (coefficient estimate) dari intersep dan masing-masing faktor dan menyusun persamaan matematika yang menghubungkan suatu respons dengan faktor yang dipelajari berdasarkan perkiraan estimasi tadi. Persamaan matematika disajikan dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk coded factor dan actual factor. Dalam bentuk coded factor berarti nilai faktor disajikan dalam bentuk nilai kode yang memiliki rentang antara -1 hingga 1. Nilai -1 adalah untuk nilai paling rendah dari faktor yang dipelajari, sedangkan nilai 1 adalah untuk nilai paling tinggi. Misalkan lama blansir yang dipelajari adalah antara 0 hingga 12 menit, maka -1 mewakili 0 dan 1 mewakili 12. Dengan persamaan ini maka nilai suatu respons pada setiap nilai faktor pada rentang yang dipelajari akan dapat diperkirakan. Persamaan ini juga dapat disajikan dalam bentuk grafik 2 dimensi dan 3 dimensi berupa permukaan tanggap (response surface).
70
1. ANOVA untuk Volum ekstrak Model yang disarankan adalah interaksi 2 faktor. Akan tetapi, nilai p adalah 0,0521 sehingga model persamaan dinilai tidak bermakna (not significant). Selanjutnya dilakukan penghilangan faktor yang tidak signifikan, dan yang dipilih untuk dihilangkan adalah faktor BC (interaksi antara suhu ekstraksi dengan lama ekstraksi) yang memiliki nilai p paling besar, dan nilai p untuk model menjadi lebih kecil dari 0,05 (bermakna). Sehingga model yang dipilih untuk volum ekstrak adalah interaksi 2 faktor yang direduksi (reduced 2 FI). Response Volum Ekstrak (ml) ANOVA for Response Surface Reduced 2FI Model Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Source
Sum of Squares
df
Mean Square
Model A-Lama blansir (menit)
33,58 4,06
5 1
6,72 4,06
B-Suhu ekstraksi (oC) C-Lama ekstraksi (menit) AB AC Residual Lack of Fit Pure Error Cor Total
3,78 7,22 11,22 7,29 21,78 13,93 7,85 55,36
1 1 1 1 11 7 4 16
3,78 7,22 11,22 7,29 1,98 1,99 1,96
Factor Intercept A-Lama blansir (menit) B-Suhu Ekstraksi (oC) C-Lama Ekstraksi (menit) AB AC
F Value
p-value Prob > F 3,3910 0,0426 2,0509 0,1799 1,9095 3,6460 5,6672 3,6814
significant
0,1944 0,0826 0,0365 0,0813
1,0146 0,5266
Not signficant
Coefficient Standard 95% CI 95% CI Estimate df Error Low High VIF 37,5882353 1 0,3413 36,8370 38,3394 0,7125 1 0,4975 -0,3825 1,8075 1 0,6875 1 0,4975 -0,4075 1,7825 1 0,95 1 0,4975 -0,1450 2,0450 1 -1,675 1 0,7036 -3,2236 -0,1264 1 -1,35 1 0,7036 -2,8986 0,1986 1
Persamaan dalam bentuk coded factor (dibulatkan menjadi 2 desimal):
71
Volum ekstrak = 37,59 + 0,71A + 0,69B + 0,95C - 1,675AB - 1,35AC Persamaan dalam bentuk actual factor (dibulatkan menjadi 2 desimal): Volume Ekstrak = 25,95 + 1,33A + 0,16B + 0,05C - 0,019AB - 0,005AC
2. ANOVA untuk kadar antosianin Model yang disarankan adalah kuadratik, dan nilai p untuk modelnya sudah lebih kecil daripada 0,05, yaitu 0,0291. Akan tetapi, pengamatan terhadap nilai p dari masingmasing faktor menunjukkan ada satu faktor kuadratik yang memiliki nilai p besar atau tidak bermakna, yaitu nilai kuadrat dari lama ekstraksi yang nilainya sebesar 0,5368 sehingga diputuskan untuk dihilangkan. Dengan demikian model yang dipilih untuk kadar antosianin adalah kuadratik yang direduksi (reduced quadratic). Response Kadar antosianin (mg/l) ANOVA for Response Surfacep Reduced Quadratic Model Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Squares
df
Mean Square
716,46 154,94
8 1
89,56 154,94
p-value Prob > F 5,46259 0,0135 9,45065 0,0153
23,82 35,91 184,09 26,22 130,53
1 1 1 1 1
23,82 35,91 184,09 26,22 130,53
1,4529 2,1904 11,2285 1,5996 7,9615
A2
74,88
1
74,88
4,5675 0,0651
2
77,13 131,16 98,32 32,84 847,6
1 8 4 4 16
77,13 16,39 24,58 8,21
4,7044 0,0619
Source Model A-Lama blansir (menit) B-Suhu ekstraksi (oC) C-Lama ekstraksi (menit) AB AC BC B Residual Lack of Fit Pure Error Cor Total
F Value
significant
0,2625 0,1771 0,0101 0,2416 0,0224
2,9938 0,1567
not significant
72
Coefficient Factor
Estimate
df
Standard
95% CI
95% CI
Error
Low
High
Intersep
35,77662819
1
1,608921
32,06645
39,48681
VIF
A-Lama blansir (menit)
4,400851921
1
1,431548
1,099696
7,702007
1
B-Suhu Ekstraksi (oC)
1,725551425
1
1,431548
-1,5756
5,026707
1
C-Lama Ekstraksi (menit)
2,118671004
1
1,431548
-1,18248
5,419827
1
AB
-6,783921933
1
2,024515
-11,4525
-2,11538
1
AC
-2,560495663
1
2,024515
-7,22903
2,108043
1
BC
-5,712410161
1
2,024515
-10,3809
-1,04387
1
2
-4,211341551
1
1,970518
-8,75536
0,332681
1,003096
2
-4,273962369
1
1,970518
-8,81798
0,27006
1,003096
A B
Persamaan dalam bentuk coded factor (dibulatkan menjadi 2 desimal): Antosianin = 35,78 + 4,40A + 1,73B + 2,12C - 6,78AB - 2,56AC - 5,71BC - 4,21A2 4,27B2 Persamaan dalam bentuk actual factor (dibulatkan menjadi 2 desimal): Antosianin = 0,02B2
-73,19 + 6,24A + 2,91B + 0,48C - 0,07AB - 0,01AC - 0,01BC - 0,12 A2 -
3. ANOVA untuk kadar total fenol Model yang disarankan adalah kuadratik, dan nilai p untuk modelnya sudah lebih kecil daripada 0,05, yaitu 0,0084. Akan tetapi, pengamatan terhadap nilai p dari masingmasing faktor menunjukkan ada dua faktor kuadratik yang memiliki nilai p besar atau tidak bermakna, yaitu nilai kuadrat dari suhu ekstraksi (p = 0,22) dan lama ekstraksi (p = 0,83) sehingga diputuskan untuk dihilangkan. Dengan demikian model yang dipilih untuk kadar total fenol adalah kuadratik yang direduksi (reduced quadratic).
73
Response Total Fenol (mg/ml) ANOVA for Response Surface Reduced Quadratic Model Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Source Model A-Lama Blansir (menit) B-Suhu Ekstraksi (oC) C-Lama Ekstraksi (menit) AB AC BC A2 Residual Lack of Fit Pure Error Cor Total
Factor Intersep A-Lama Blansir (menit) B-Suhu Ekstraksi (oC) C-Lama Ekstraksi (menit) AB AC BC A2
0,41 0,03
7 1
p-value F Value Prob > F 0,06 9,1057 0,0018 0,03 4,0069 0,0763
0,21 0,04 0,05 0,02 0,00
1 1 1 1 1
0,21 0,04 0,05 0,02 0,00
32,4345 5.5723 7,6849 2,4242 0,3051
0,07 0,06 0,04 0,02 0,47
1 9 5 4 16
0,07 0,01 0,01 0,00
11,3117 0,0083
Sum of Square
Mean Square
df
0,162013889 0,067152778 0,111527778 0,062638889 0,022222222 0,131496914
0,0003 0,0426 0,0217 0,1539 0,5941
1,5571 0,3444
Coefficient Standard 95% CI Estimate df Error Low 1,008024691 1 0,026821 0,947352 0,056944444 1 0,028448 -0,00741
significant
not significant
95% CI High VIF 1,068698 0,121298 1
1 1
0,028448 0,097661 0,226367 0,028448 0,002799 0,131506
1 1
1
0,040231
-0,20254
-0,02052
1
1 1
0,040231 0,040231
-0,15365 0,02837 -0,06879 0,113232
1 1
1
0,039098
-0,21994
1
-0,04305
Persamaan dalam bentuk coded factor (dibulatkan menjadi 2 desimal): Total Fenol = 1,00 + 0,06A + 0,16B + 0,07C - 0,11AB - 0,06AC + 0,022BC - 0,13A2 Persamaan dalam bentuk actual factor : Total Fenol = -0,11 + 0,13A + 0,02B + 0,001C - 0,001AB - 0,0002AC + 0,00003BC 0,004A2
74
Lampiran 5 Statistika deskriptif kadar air kelopak bunga teleng Sampel bunga teleng 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Mean Standard Error Median Mode Standard Deviation Sample Variance Kurtosis Skewness Range Minimum Maximum Sum Count Confidence Level(95,0%) a = rata-rata dari dua ulangan
Kadar air (%)a 88,89 88,78 90,65 89,30 90,82 88,75 87,33 88,67 90,41 90,74 88,93 89,49 88,89 87,75 89,07 89,36 89,24 0,25 89,00 88,89 1,01 0,01 -0,2527021 0,0727412 3,49 87,33 90,82 14,2783 16 0,54
75
Lampiran 6 Korelasi antar 2 Respons Korelasi adalah suatu teknik statistika yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel atau lebih secara kuantitatif. Nilai koefisien korelasi berkisar antara -1 hingga 1. Nilai -1 menunjukkan hubungan yang sempurna antara kedua variabel dengan arah yang berlawanan. Sementara nilai +1 menunjukkan hubungan yang sempurna secara satu arah (jika satu variabel meningkat maka variabel lain juga meningkat). Nilai 0 menandakan tidak adanya hubungan sama sekali antara satu variabel dengan variabel lainnya. Nilai korelasi lazimnya dinyatakan sebagai R atau r dan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
dengan n adalah jumlah sampel, x adalah nilai variabel x untuk sampel ke 1 hingga n, x̄ adalah nilai rata-rata variabel x, y adalah nilai variabel y untuk sampel ke 1 hingga n, ȳ adalah nilai rata-rata variabel y, Sxadalah simpangan baku variabel x dan Sy adalah simpangan baku variabel y. 1. Volum ekstrak – Kadar Antosianin Design-Expert® Software Correlation: 0.486 Color points by Run 17
V o lu m e E k s t r a k ( m l)
1
40 39 38 37 36 35 34 33 1 0 .0 0
2 0 .0 0
3 0 .0 0
a n to s ia n in ( m g /l)
4 0 .0 0
5 0 .0 0
76
2. Volum ekstrak – Total fenol Design-Expert® Software Correlation: 0.596 Color points by Run 17
V o lu m e E k s t r a k ( m l)
1
40 39 38 37 36 35 34 33 0 .4 0 0 0
0 .6 0 0 0
0 .8 0 0 0
1 .0 0 0 0
1 .2 0 0 0
1 .4 0 0 0
T o ta l F e n o l ( m g /m l)
3. Antosianin – Total fenol
Design-Expert® Software Correlation: 0.624 Color points by Run 17
T o t a l F e n o l ( m g / m l)
1
1 .4 0 0 0
1 .2 0 0 0
1 .0 0 0 0
0 .8 0 0 0
0 .6 0 0 0
0 .4 0 0 0 1 0 .0 0
2 0 .0 0
3 0 .0 0
a n to s ia n in ( m g /l)
4 0 .0 0
5 0 .0 0
77
Lampiran 7 Kurva baku DPPH Aktivitas antioksidan suatu sampel dapat dinyatakan dalam jumlah DPPH yang bereaksi dengan sampel. DPPH adalah senyawa radikal yang berwarna ungu. Intensitas warnanya berkorelasi dengan besarnya serapan cahaya pada panjang gelombang 517 nm. Untuk mendapatkan hubungan antara absorbansi dan kadar DPPH maka perlu dibuat kurva baku sebagai berikut. Sebanyak 4 larutan DPPH dalam metanol dengan konsentrasi berbeda-beda diukur serapan cahayanya dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang
517
nm.
Kemudian
menghubungkan konsentrasi DPPH
dihitung
persamaan
regresi
dengan absorbansinya. Tabel dan grafik
pengukuran absorbansi DPPH serta persamaan liniernya adalah sebagai berikut. Konsentrasi DPPH (mM) 0,186 0,1396 0,09307 0,0465 0,0233 2.5 2 Ab s or b(ans iA)
Absorbansi (A) 2,032 1,519 1,033 0,5 0,245
y = 10.92x R² = 0.999
1.5 1 0.5 0 0
0.05
yang
0.1 Konsentrasi DPPH (mM)
0.15
0.2
78
Lampiran 8 Optimasi Proses Pada Software Design Expert 8.0.7.1 Constraints Name A:Lama blansir (menit) B:Suhu Ekstraksi (oC) C:Lama Ekstraksi (menit) Volume Ekstrak (ml) antosianin (mg/l) Total Fenol (mg/ml)
Lower Limit
Upper Limit
is in range is in range
0 30
12 60
1 1
1 1
1 1
is in range maximize maximize maximize
30 33,6 14,28 0,57
120 39,9 40,41 1,21
1 1 10 10
1 1 1 1
1 1 5 3
Goal
Lower Upper Weight Weight Importance
Solutions Number
Lama Blansir (menit)
Suhu Ekstraksi (oC)
Lama Ekstraksi (menit)
Volume Ekstrak (ml)
antosianin (mg/l)
Total Fenol (mg/ml)
Desirability
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
6,44 6,40 6,33 6,04 7,81 5,92 9,28 6,17 6,06 5,96 6,17 6,09 6,09
45,71 45,91 46,08 46,79 42,84 50,03 38,77 60,00 60,00 60,00 60,00 59,79 59,60
120,00 120,00 120,00 120,00 120,00 120,00 120,00 30,00 30,00 30,00 30,38 30,00 30,00
38,5178 38,53 38,5459 38,6149 38,3194 38,7853 38,2845 37,3367 37,3297 37,3229 37,3444 37,3226 37,3142
37,79 37,72 37,65 37,37 38,85 36,08 40,10 36,82 36,82 36,82 36,79 36,84 36,85
1,0823 1,0849 1,0873 1,0970 1,0397 1,1376 0,9815 1,0808 1,0807 1,0806 1,0815 1,0789 1,0771
0,2593 0,2593 0,2592 0,2582 0,2472 0,2413 0,2097 0,1973 0,1972 0,1969 0,1968 0,1955 0,1939