OPTIMALISASI PENENTUAN JENIS KELAMIN EMBRIO PADA TAHAP MORULA DAN BLASTULA DENGAN MENGGUNAKAN PCR PADA SAPI PESISIR
ARTIKEL
Oleh TINDA AFRIANI BP. 07 301 017
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
OPTIMALISASI PENENTUAN JENIS KELAMIN EMBRIO PADA TAHAP MORULA DAN BLASTULA DENGAN MENGGUNAKAN PCR PADA SAPI PESISIR. TINDA AFRIANI Prof. Dr. Ir. Zaituni Udin , MSc ; Prof. Dr. Ir. Hj. Zesfin BP, MS ; Dr. Ir. Sarbaini Anwar, MSc ; Dr. Ir. H. Jaswandi, MS
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat viabilitas embrio sapi Pesisir yang dibiopsi dalam pelaksanaan sexing embrio (penentuan jenis kelamin embrio), dan untuk mengetahui efektifitas penentuan jenis kelamin embrio sapi Pesisir menggunakan PCR serta untuk mengetahui sex ratio embrio sapi Pesisir pada tahap morula dan blastula dengan menggunakan 1 dan 2 blastomer. Diharapkan penelitian ini memberikan kontribusi dalam pengembangan bioteknologi reproduksi ternak dengan kelahiran anak jantan atau betina secara seragam tergantung dari struktur populasi yang diharapkan. Penelitian ini dilakukan di kandang Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Fakultas Peternakan Universitas Andalas (Superovulasi ), Laboratorium Reproduksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas (Evaluasi embrio), dan Laboratorium Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor (Biopsi embrio dan penentuan jenis kelamin embrio). Penelitian dilaksanakan dari tanggal 1 Januari 2012 Sampai 30 September 2012 . Materi yang digunakan adalah embrio sapi Pesisir yang diperoleh dari hasil superovulasi induk sapi Pesisir dan sapi pejantan yang berumur lebih dari 3 tahun dengan bobot badan 140, 69± 5,51 kg . Embrio yang digunakan sebanyak 15 embrio yang diperoleh dari seekor sapi Pesisir yang di superovulasi dengan menggunakan CIDR dan hormon FSH. 15 embrio sapi Pesisir dibiopsi dengan microblade pada tahap morula dan blastula dengan mengambil 1 dan 2 blastomer . Variabel yang diukur adalah viabilitas embrio pada waktu 1,3,6 dan 12 jam setelah biopsi. Efektifias penentuan jenis kelamin dengan menggunakan PCR dengan primers BOV 97M dan sex ratio jenis kelamin pada embrio. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan Uji chi square dan uji Fisher. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa viabilitas embrio pada tahap morula dengan biopsi 1 sel dan 2 sel untuk 1 jam , 3 jam , 6 jam dan 12 jam adalah sama sedangkan viabilitas embrio dengan biopsi 1 sel dan 2 sel pada tahap blastula untuk 1 jam , 3 jam dan 12 jam adalah sama tetapi viabilitas embrio dengan biopsi 2 sel pada tahap blastula dimana 6 jam setelah biopsi perkembangan lebih baik bila dibandingkan dengan viabilitas embrio setelah biopsi baik pada tahap morula dengan biopsi 1 sel dan 2 sel maupun dengan biopsi 2 sel pada tahap blastula. Tetapi setelah dianalisis secara statistik dengan menggunakan Uji Fisher viabilitas embrio 6 jam setelah biopsi pada tahap morula dan blastula dengan 1 sel dan 2 sel adalah berbeda tidak nyata (P>0.05). Efektifitas penentuan jenis kelamin pada embrio tahap morula dengan menggunakan 1 sel dan 2 sel adalah sama yaitu 100 % . Pada embrio tahap blastula dengan menggunakan 1 sel efektivitasnya adalah 91,
67% dan dengan menggunakan 2 sel efektifitasnya adalah 100 %. Setelah diuji statistik dengan menggunakan Uji Fisher didapatkan bahwa efektifitas penentuan jenis kelamin pada tahap blastula dengan menggunakan 1 sel dan 2 sel adalah berbeda tidak nyata (P>0.05). Sex ratio embrio pada tahap morula dengan menggunakan 1 sel dan 2 sel adalah sama yaitu untuk embrio berjenis kelamin jantan adalah 66,67% dan berjenis kelamin betina adalah 33,33% sedangkan pada tahap blastula dengan menggunakan 1 blastomer sex ratio jantan adalah 41,67% sedangkan embrio berjenis kelamin betina adalah 50 %, dan dengan menggunakan 2 blastomer sex ratio berjenis kelamin jantan adalah 41,67% dan berjenis kelamin betina adalah 58,33 %. Sex ratio embrio pada tahap blastula dengan menggunakan 1 sel dan 2 sel setelah diuji statistik dengan menggunakan Uji Fisher hasilnya berbeda tidak nyata (P>0.05). Kata kunci : , Penentuan jenis kelamin embrio , morula , blastula ,PCR, sapi Pesisir
Optimizing Embryo Sex Determination In Morula And Blastula Phases Used PCR for Pesisir Cattle. ABSTRACT This study aimed to observe the embryos viability of Pesisir cattle were biopsied in the implementation of the embryo sexing (determining the sex of the embryo), and to determine the effectiveness of the determination of the sex of Pesisir cattle embryos using PCR and to investigate the sex ratio in morula and blastula phases using 1 and 2 blastomeres. It is expected that this research contributes to the development of reproductive biotechnology cattle which the born of male or female cattle have an uniformity depending on the expected population structure.This research was conducted in UPT of Animal Science Faculty University of Andalas (Superovulation), Laboratory of Animal Reproduction at Animal Science Faculty, Andalas University (embryo evaluation), and Laboratory of Embryology at Faculty of Veterinary Medicine IPB (embryo biopsy and determination of the sex of the embryo ). This research was done between 1st January 2012 and 30th September 2012.The materials were Pesisir cattle embryos obtained from the superovulation of cows and bulls that older than 3 years, and the body weight about 140.69 ± 5.51 kg. Used 15 embryos of Pesisir cattle that have superovulation using CIDR and FSH hormones, an then the embryos were biopsied with microblade the morula and blastula phases by taking 1 and 2 blastomeres. The variables were the embryo viability at 1,3,6 and 12 hours after the biopsy. The effectiveness of sex determination using PCR with primers BOV 97m and sex ratio of the embryo. Data were analyzed using the chi-square test and Fisher's test.The results of this study stated that the embryo viability at the morula phase used biopsy 1 cell and 2 cells for 1 hour, 3 hours, 6 hours and 12 hours was the same, whereas the embryo viability used biopsy 1 cell and 2 cells at the blastula phase for 1 hour, 3 hours and 12 hours of embryo viability was the same but with biopsy 2 cells at the blastula phase where the 6 hours after the biopsy that the progression was better when compared to both embryo viability after biopsy like biopsy 1 and 2 cells at the morula phase and biopsy 2 cells at the blastula phase. Meanwhile, the statistically analyzed using the Fisher test that the embryo viability for 6 hours after the biopsy at the morula and blastula phases with 1 cell and 2 cells was not significant (P > 0.05). The effectiveness of embryo sex determination in morula phase using 1 cell and 2 cells was same (100%), in blastula phase using 1 cell was 91.67% and using the 2 cells was 100%. After statistically tested using Fisher test showed that the effectiveness of sex determination in the blastula phase using 1 cell and 2 cell was not significant (P > 0.05). Sex ratio of embryos at the morula phase using 1 cell and 2 cells was the same that for the embryo male sex about 66.67% and embryo female sex about 33.33% while at the blastula using 1 blastomer showed the male sex ratio around 41.67% and the female sex embryo was 50%, using 2 blastomeres showed that male sex ratio was 41.67% and the female sex was 58.33%. Sex ratio of embryos at the blastula phase using 1 cell and 2 cell after statistically tested using Fisher test were not significantly (P > 0.05). Keywords: Determination of sex embryo, morula, blastula, PCR, Pesisir cattle
Idul Adha dan sapi Pesisir ini bahkan
PENDAHULUAN Sapi Pesisir merupakan salah satu
bangsa
sapi
yang
sapi Pesisir terhadap pendapatan
populasinya menyebar di Sumatera
mencapai 24 – 43% dari total
Barat dan sebagai plasma nutfah
pendapatan
Indonesia dan komoditas unggulan
populasinya mencapai 20% dari total
spesifik wilayah Kabupaten Pesisir
populasi sapi potong di Sumatera
Selatan,
Barat
Sumatera
lokal
sampai ke provinsi Riau. Sumbangan
Barat.
Dan
petani,
sedangkan
(Bamualim
et
al,
melalui SK Menteri Pertanian No.
2006).Keunggulan utama ternak ini
2908/Kpts/OT.140/6/2011 ternak ini
adalah tahan terhadap lingkungan
( sapi
yang
Pesisir)
telah ditetapkan
panas
dan
sebagai salah satu rumpun sapi lokal
memanfaatkan
Indonesia (Anwar, 2013).
jelek. Masyarakat Sumatera Barat
Pada tahun 2010 menunjukkan bahwa
populasi
ternak
sapi
di
pakan
mampu berkualitas
menyebut sapi Pesisir dengan nama lokal yaitu jawi ratuih atau bantiang
Kabupaten Pesisir Selatan tercatat
ratuih, yang artinya sapi
sebanyak 93.581 ekor, sementara
melahirkan banyak anak. Sapi Pesisir
pada tahun 2011 turun menjadi 77.
memegang peranan penting sebagai
383 ekor dengan populasi sapi
penghasil daging di Sumatera Barat
Pesisir diperkirakan sekitar 90 %.
khususnya Padang (Anwar , 2004).
Sapi Pesisir menjadi salah satu
Pertumbuhan populasi sapi Pesisir
sumber sapi potong (daging) bagi
selama 10 tahun terakhir relatife
masyarakat Sumatera Barat, dan
rendah rata-rata 1,17% per tahun
sebagai hewan qurban pada hari raya
(BPS, 2012).
Data
yang
tahun 2010
menunjukkan bahwa populasi ternak
ekor. Penurunan populasi diduga
sapi di Kabupaten Pesisir Selatan
berkaitan
tercatat
pemeliharaan yang bersifat ekstensif
sebanyak
93.581
ekor,
dengan
sistem
sementara pada tahun 2011 turun
tradisional,
menjadi 76.111 ekor dengan populasi
pemotongan
sapi pesisir adalah 49.375 ekor .
menyempitnya areal penggembalaan,
Pertumbuhan
sapi
dan kurang tersedianya pejantan,
tingginya
rendahnya upaya pembudidayaan,
Pesisir
populasi
lamban
akibat
permintaan untuk
dari
ternak potong
tingginya
tingginya ternak
angka
jumlah produktif,
ternak
keluar
dimana pada hari raya Idul Adha
daerah. Penurunan populasi sapi
untuk tahun 2012 adalah 4.793 ekor
Pesisir yang terus menerus tanpa
/tahun dan pemotongan komersial
diiringi dengan usaha peningkatan
tahun 2012 adalah 1.200 ekor /tahun
populasinya
dan penjualan ternak keluar daerah
dampak buruk bahkan kepunahan
tahun 2012 adalah 9.640 ekor/tahun.
bagi
Dinas
Peternakan
Provinsi
Sumatera Barat (2011) melaporkan
akan
keberadaan
Salah
satu
meningkatan
tahun
dilakukan
jauh
menurun
plama
nutfah
Sumatra Barat ini (BPS, 2012).
bahwa populasi sapi Pesisir pada 2011
mengakibatkan
usaha
populasi dengan
untuk dapat
bioteknologi
dibandingkan tahun 2004. Populasi
reproduksi seperti Inseminasi Buatan
sapi di Kabupaten Pesisir Selatan
(IB) dan Transfer Embrio (TE).
pada tahun 2011 tercatat 93.581
Bioteknologi reproduksi merupakan
ekor, dan jauh menurun dibanding
teknologi
tahun 2004 yang mencapai 104.109
reproduksi
unggul untuk
dalam
bidang
meningkatkan
produktivitas ternak. Perkembangan
bioteknologi modern sebagai science
bioteknologi sangat maju dengan
driven technology (Martojo, 2003).
pesat dan mempunyai peluang untuk
Teknologi Inseminasi buatan
diterapkan dalam membantu secara
(IB)
teknis peningkatan populasi ternak. ,
perkawinan
yang
bioteknologi
diterapkan
termasuk
dianggap
dapat
merupakan
teknologi telah pada
lama sapi
mengatasi tantangan dalam arti dapat
Pesisir, sedangkan teknologi TE
memenuhi peningkatan produktivitas
masih terbatas penggunaannya tetapi
tanpa merusak sumber hayati lokal
mempunyai efektifitas yang lebih
melalui upaya mengatasi kendala-
baik
kendala skala produksi yang kecil
meningkatkan populasi suatu bangsa
dari
ternak. Teknologi Transfer embrio
petani
atau
rendahnya
produktivitas ternak asli lokal. Perkembangan yang pesat dari bioteknologi
modern
(TE)
dibanding
selain
untuk
IB
untuk
mempercepat
peningkatan populasi ternak juga
termasuk
membuka peluang untuk manipulasi
bioteknologi reproduksi ternak dalam
embrio. Manipulasi embrio dengan
dua dekade di penghujung abad ke -
pengaturan jenis kelamin embrio
20 ini dipicu oleh perkembangan
berpotensi
dalam bidang molekuler dan biologi
jumlah keturunan untuk satu jenis
sel serta penemuan rekayasa genetik
kelamin dalam populasi. Embrio
melalui teknologi DNA rekombinan,
yang
sehingga biologi molekuler dianggap
kelaminnya dalam peternakan sapi
memberi ciri yang khusus kepada
potong lebih efektif dan sangat
telah
untuk
meningkatkan
ditentukan
jenis
membantu untuk mengelola sumber
daya
genetik
pemeliharaan
ternak. sapi
Usaha
harus
berada
pada
lebih
stadium morulla. Morula tersusun
dapat
lebih kurang 32 sel dengan blastomer
ditentukan jenis kelamin embrio
yang sulit dibedakan satu sama
sebelum kebuntingan ternak terjadi.
lainnya karena merupakan massa sel
Dengan demikian dapat dihindari
dan sel-sel morula adalah totipoten
hilangnya
waktu
dan pada hari ke 7 atau 8 berada
pemeliharaan anak sapi dengan jenis
pada stadium blastula (Udin. Z,
kelamin yang tidak dikehendaki.
2012).
menguntungkan
akan
diinseminasi
apabila
biaya
dan
Penggunaan penentuan jenis kelamin
Keberhasilan penentuan jenis
embrio dapat meningkatkan efisiensi
kelamin embrio dipengaruhi oleh
ekonomi dalam program transfer
beberapa faktor diantaranya adalah
embrio (Willett dan Hillers, 1994).
tingkat keberhasilan perkembangan
Jenis kelamin embrio dapat ditentukan
embrio ( umur embrio) dan jumlah
sebelumnya
dan
sel yang di biopsi . Embrio tahap
penentuan jenis kelamin
embrio
morula merupakan embrio dengan
(sexing embryo) dapat dilakukan
ciri-ciri tersusun lebih kurang 32 sel,
pada berbagai tahap perkembangan
morula
embrio baik pada tahap morula
pembelahan
maupun
keberadaan blastomer satu sama lain
kelamin
blastula.
terus
akibat menerus,
sangat rapat dan kompak sel pada
terjadinya pembuahan (Salisbury dan
tahap morula bersifat totipotency. Sel
Vandemark, 1985).
embrio
7
dimulai
sel
bulat
semenjak
dikoleksi
telah
Pembentukan
berbentuk
hari
Embrio yang setelah
donor
pada
tahap
pertama
pembelahan sel setelah pembuahan
adalah
satu-satunya
totipoten.Tahapan
morula
sel
yang
perkembangan
selanjutnya
berkembang
dilakukan penentuan jenis kelamin embrio.
Biopsi
mempengaruhi
embrio
viabilitas
dan
menjadi blastula. Pembelahan telah
perkembangannya
menghasilkan lebih dari 100 sel.
Kerusakan embrio sebagai hasil dari
Blastula
prosedur biopsi sangat kecil dan
biasanya
menyerupai
embrio.
lapisan bola sel yang mengelilingi
persentase hidup tertinggi
rongga berisi cairan. Pada blastula,
embrio setelah biopsi
sel-sel
akan
pada
atau
dibandingkan
bagian
dalam
membentuk
bakal
embrioblas
(inner
sedangkan
janin cell
bagian
mass), luarnya
membentuk trofoblas. Untuk
tahap
materi
yaitu pada
embrio
8
tingkat
sel awal
(Gianaroli, 2000). Penentuan embrio
memperoleh
pada
dapat
jenis
kelamin
dilakukan
melalui
beberapa cara yaitu Karyotyping,
genetik yang akan dideteksi melalui
deteksi
PCR
jenis
ikatan enzim X dan identifikasi yang
kelaminnya maka embrio dibiopsi
berdasarkan kepada kromosom Y
terlebih
seperti
dalam
penentuan
dahulu.
Optimalisasi
antigen
in
situ
H-Y,
penentuan
hibridisasi,
uji
keberhasilan penentuan jenis kelamin
kromatin, dan PCR (polymerase
(sexing embrio ) sangat ditentukan
chain reaction). Windsor et al.,
oleh teknik biopsi yang digunakan .
(1993) melakukan penentuan jenis
Biopsi dengan mikroblade adalah
kelamin
salah satu metoda biopsi dari embrio
kebuntingan dengan menggunakan
untuk mengambil blastomer sebelum
teknik analisis karyotipe. Dengan
embrio
sebelum
teknik
karyotyping
mempunyai
et al (2008) juga Zohir dan Allam
sensitivitas sangat tinggi dengan
(2010) menggunakan blastomer lebih
efisiensi sebesar 95% dan akurasi
dari 3 sel dimana embrio dibiopsi
98%. Dari semua metode penentuan
dengan microblade dan penentuan
jenis kelamin yang ada maka PCR
jenis
lebih baik dibandingkan metode
menggunakan PCR.
kelamin
embrio
satu
dengan
yang lain karena lebih simple, lebih
Salah
alternatif
untuk
akurat, cepat dan tidak mahal (Chen,
mengoptimalkan
Zi-rong and Song-dong, 2007).
keberhasilan sexing embrio adalah
tingkat
Peura et al, ( 1991); Faber et al,
dengan menggunakan umur embrio
(2003) dan Manna et al, (2003)
atau tahap perkembangan embrio
melaporkan
yang sempurna dan jumlah blastomer
bahwa keberhasilan penentuan jenis
yang lebih sedikit. Ini berkaitan
kelamin
dengan
ini
tergantung
pada
viabilitas
embrio
dan
amplifikasi Y- kromosom urutan
efektifitas dalam penentuan jenis
DNA
sebagai
indikator
khusus.
kelamin
Untuk
embrio
berjenis
kelamin
maka
embrio(sexing penulis
tertarik
untuk
jantan ditentukan oleh dua fragmen
melakukan
(XY) dan embrio berjenis kelamin
menggunakan 1 dan 2 sel dalam
betina ditentukan oleh satu fragmen
penentuan jenis kelamin embrio
(XX)
pada sapi Pesisir. Penentuan
jenis
penelitian
embrio).,
dengan
kelamin
Penelitian Ini Bertujuan Untuk ;
dengan menggunakan 3 sel, 4-6 sel
(1) Mengetahui viabilitas embrio
dan 7 sel telah dilakukan oleh Lacaze
sapi Pesisir yang dibiopsi dalam
pelaksanaan
sexing
embryo
(penentuan jenis kelamin embrio),
METODE PENELITIAN
(2) Mengetahui efektifitas penentuan
Embrio yang digunakan sebanyak
jenis kelamin embrio sapi Pesisir
15 embrio yang diperoleh dari seekor
melalui PCR, (3) Mengetahui sex
sapi Pesisir yang di superovulasi
ratio embrio sapi Pesisir pada tahap
dengan menggunakan CIDR dan
morula
hormon
dan
blastula
dengan
FSH.
Metode
menggunakan 1 dan 2 blastomer.
digunakan
Manfaat penelitian adalah untuk :
eksperimen, dengan menggunakan
Memberikan
15
kontribusi
pengembangan
dalam
embrio
adalah
yang
yang
metode
dibiopsi
dan
bioteknologi
penentuan jenis kelamin pada embrio
reproduksi ternak dengan kelahiran
dengan menggunakan PCR. Embrio
anak
secara
yang diperoleh dari panen embrio
seragam tergantung dari struktur
dibiopsi menggunakan microblade.
populasi yang diharapkan.
Untuk
Proses biopsi pada embrio sapi dapat
mendapatkan teknik penentuan jenis
dilihat pada gambar 1.Prose biopsi
kelamin
embrio dapt dilihat pada gambar 1
jantan
menggunakan
atau
betina
embrio PCR
menentukan jenis kelamin.
dengan dalam
Gambar 1. Embrio sapi Pesisir yang dibiopsi. A. Blatomer yg keluar setelah biopsi. B. Perusakan zona pellusida dengan microblade
Biopsi menggunakan Narishige
dan pencucian dengan larutan PBS
Micromanipulators
(Narishige
sebanyak 3 kali yang diletakkan pada
yang
petridish sebanyak 10 µl. Blastomer
Co,Ltd®,
Jepang)
dihubungkan dengan mikroskop
atau
Nomarsky
Optic
(IX71
kedalam pureTaq Ready To Go
Olympus®,
Jepang).
Embrio
(RTG) (Ready To Go mengandung
yang
dibiopsi
diamati
dNTP 200 µM dalam 10 mM Tris-
perkembangannya didalam media
HCL, pH 9 50 mM KCl dan 1.5 nM
kultur
jaringan
BlastAssist
MgCl2)
(Origio
Medicult
Media
doubledesrilation
telah
®,
2
blastomer
dimasukkan
yang water
diberi (ddH2O)
Denmark) dengan selang waktu
sebanyak 10 µl, sehingga volume
sesaat setelah biopsi, 3 jam , 6
dalam
jam dan 12 jam setelah biopsi.
Tambahkan primers BOV 97 M
Penentuan jenis kelamin embrio.
sebanyak 5 µl ke dalam RTG.
Blastomer yang telah keluar dari
BOV97M dengan 5‟ – GAT CAC
embrio diambil dengan pipet Pasteur
TAT ACA TAC ACC ACT – 3‟ dan
RTG
menjadi
25
µl.
5‟ – GCT ATG CTA ACA CAA
pada 72°C selama 7 menit. Lakukan
ATT CTG – 3 dan rangkaian primer
elektroforesis dengan agarose 2%
sapi menurut sequence bovine DNA
dengan pewarna ethidium bromide.
1.715 satellite dengan 5‟ – TGG
Masukkan sampel DNA kedalam
AAG CAA AGA ACC CCG CT – 3‟
sumur
dan 5‟
– TCG TCA GAA ACC
mikropipet. Sebagai penanda atau
GCA CAC TG – 3‟. Amplifikasi
marker digunakan 1 kb.Masukkan
spesifik dari jenis kelamin jantan
larutan buffer (TBE 1x) kedalam alat
ditandai dengan 141 bp dan dari
elektoforesis yang telah dimasukkan
amplifikasi spesifik berjenis kelamin
agarose yang berisi DNA. Lakukan
betina ditandai dengan 216 bp sesuai
elektoforesis selama 30-45 menit.
dengan yang dilakukan oleh Park et
Hasil
al,(2000). Lakukan PCR dengan
dengan
Amplification GeneAmp 2400 (PE
ultraviolet dimana embrio berjenis
Corporasion,
kelamin jantan akan terlihat dua band
Norwalk,
USA)
dengan
elektoforesis
menggunakan
dapat
menggunakan
dilihat sinar
sebanyak 33 cycles, dan temperatur
(XY) antara 141 bp
denaturasion adalah 95°C selama 30
sedangkan untuk embrio yang betina
detik, temperature annealing pada
terlihat satu band (XX) pada 216 bp
suhu 55 0C selama 30 detik dan
.Untuk melihat hasil elektroforesis
primer extension pada 72 0C selama
dengan menggunakan alat seperti
30 detik dan setelah selesai reaksi
Gambar 2.
sampel dibiarkan dalam mesin PCR
dan 141 bp
Gambar 2. Alat untuk melihat hasil elektroforesis dengan menggunakan sinar UV
BOV 97M dan penentu Y kromosom pada
sesuai dengan instruksi dari pabrik
Viabilitas
(Alves et al., 2003; Pierce et al.,
embrio adalah kemampuan embrio
2000). Hasil PCR dideteksi dengan
untuk dapat hidup yang ditandai
sinar UV(ultra violet) dalam agarose
dengan
pertumbuhan,
gel dengan ethidium bromida. Sex
2.Viabilitas embrio setelah dibiopsi
rasio embrio jantan dan betina yang
sesuai
dilihat dari pita PCR. Embrio jantan
Variabel
yang
penelitian
adalah:
adanya
dengan
diukur 1.
metode
dilakukan oleh Boediono
yang et
al
ditandai dengan adanya dua band
(2000), 3. efektifitas penentuan jenis
(kromosom XY) sedangkan embrio
kelamin embrio adalah seberapa
betina
banyak pita yang dapat dilihat pada
band(kromosom XX)..
hasil eleltroforesis pada penentuan
Prosedur
jenis kelamin pada sapi Pesisir.
kelamin embrio menurut prosedur
Penentuan jenis kelamin dilakukan
yang dilakukan oleh Sharma et al.
dengan polymerase chain reaction
2005.ini dapat dilihat pada gambar
(PCR ) dengan kit primer spesifik
ditandai
kerja
dengan
penentuan
satu
jenis
Gambar 3. Prosedur kerja penentuan jenis kelamin embrio dengan menggunakan 1 blastomer
Analisis Data. Data yang didapatkan dari hasil pengamatan akan dihitung baik untuk viabilitas embrio dan
HASIL PENELITIAN.
efektiitas penentuan jenis kelamin
Viabilitas Embrio Setelah Biopsi
dengan menggunakan
uji Fisher
(Steel dan Torrie, 1991)
Tingkat
viabilitas
embrio
dan data
pada sapi Pesisir setelah biopsi pada
olah dengan menggunakan program
tahap morula dan blastula yang
SAS. Model matematika Uji Fisher
diambil
menurut (Steel dan Torrie, 1991)
blastomer akan dilihat pada waktu 1
1
blastomer
atau
2
jam, 3 jam , 6 jam sampai 12 jam. Viabilitas embrio sapi Pesisir setelah Sedangkan
didefinisikan biopsi dapat dilihat pada Tabel 1 .
menurut n! = n(n – 1)…1
dan
0!=1 lambing n! dibaca sebagai n faktorial Tabel 1. Viabilitas Embrio Sapi Pesisir Setelah Biopsi No
1
2
Identifikasi
Morula
Blastula
Keterangan:
Biopsi Blastomer(sel)
Tingkat Viabilitas 1 jam
3 jam
6 jam
12 jam
1
-
+
++
+
2
-
+
++
+
1
-
+
+++
+
2
-
+
++
+
(-) embrio masih stress, (+) embrio mulai kembali normal (bundar), (++) embrio mulai berkembang, (+++) reekspansi blastosul
Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa
hasil penelitian yang dilakukan oleh
viabilitas embrio 1 jam, 3 jam, 6 jam
Imron
dan 12 jam setelah biopsi, diperoleh
bahwa kultur selama 3 jam setelah
hasil bahwa viabilitas embrio 1 jam
biopsi
cukup
untuk
setelah biopsi semua embrio yang
memastikan bahwa embrio
hidup
dibiopsi masih dalam kondisi stress
dan mulai berkembang
(embrio rentan, morfologi lonjong
hidup, dan siap di transfer ke resipien
dan masih terdapat luka akibat
begitu juga dengan
biopsi) hal ini
embrio
tingkat
adaptasi
berkaitan dengan embrio
setelah
(2005)
yang
dianggap
setelah
mengalami
menyatakan
normal ,
morfologi
3
jam
tidak
perubahan
biopsi . hasil penelitian ini sama
signifikan .
dengan
yang
dilanjutkan sampai 24 jam lebih sel-
dilakukan oleh Boediono et al (2000)
sel embrio akan menempel pada
yang melaporkan bahwa embrio
dasar petri kultur dan menyatu
yang
setelah
dengan sel-sel kumulus . Hasil
splitting bentuknya lonjong karena
penelitian ini sama dengan hasil
pengaruh tekanan pisau mikro pada
penelitian
yang
dilakukan
oleh
saat memotong embrio .Pada 3 jam
Boediono
et
(2000)
yang
setelah biopsi
viabilitas embrio
melaporkan bahwa embrio 3 jam
kembali ke kondisi normal (bundar)
setelah proses splitting embrio telah
dengan nilai (+)
viabiltas
mengalami
embrio 6 jam setelah biopsi embrio
morfologis.
mulai berkembang dengan nilai (++).
viabilitas embrio pada sapi Pesisir
Hasil penelitian ini sama dengan
juga dapat dilihat pada gambar 4
hasil
displitting
penelitian
sesaat
dan
Tetapi
yang
al
bila
kultur
perkembangan Hasil
penelitian
biopsi adalah sangat rendah dan biopsi embrio akan mempengaruhi viabilitas
dan
embrio,
tetapi
menyebabkan
perkembangann kecelakaan
kerusakan
yang embrio
sebagai hasil dari prosedur biopsi sangat kecil.. Viabilitas Gambar 4 ; Diagram
perkembangan
embrio
pada
penelitian ini terlihat bahwa embrio
embrio sapi pesisr setelah biopsi
setelah biopsi pada tahap morula Viabilitas
embrio
setelah didapatkan
viabilitas
sama
baik
biopsi adalah sangat penting karena viabilitas embrio dengan mengambil akan
mempengaruhi
keberhasilan 1 sel maupun 2 sel sedangkan pada
dari transfer embrio nantinya.
Hal tahap blastula yang lebih baik adalah
ini diperkuat oleh pendapat Shirazi viabilitas embrio et al (2010)
untuk bahwa
viabilitas
yang dibiopsi
yang mengatakan embrio
1
sel
blastomer
bila
setelah dibandingkan dengan biopsi dari 2
biopsi embrio adalah faktor penting, sel blastomer. Ini disebabkan karena yang
akan
mempengaruh sel pada tahap blastula lebih kecil
perkembangan embrio selanjutnya bila dibandingkan dengan
tahap
dan ini juga akan mempengaruhi morula sehingga kerusakan embrio tingkat keberhasilan dari Transfer setelah
biopsi
lebih
kecil
bila
Embrio. . dibandingkan dengan kerusakan pada Gianaroli (2000) mengatakan tahap morula. bahwa kerusakan embrio setelah
Teknik biopsi embrio sangat
mencapai 95,6 %. Embrio yang
penting terutama pada embrio yang
diproduksi secara in vitro lebih
akan menjalani kriopreservasi karena
sensitif dari pada yang diperoleh
sangat
secara in vivo, karena akumulasi
berpengaruh
terhadap
viabilitas. Cenariu et al (2012) menyatakan bahwa teknik dengan menggunakan
microblade
lipid selama fertilisasi. Hasil
penelitian
pada
sapi
lebih
Pesisir dimana viabilitas embrio 6
mudah bila dibandingkan dengan
jam setelah biopsi memperlihatkan
teknik jarum dan teknik aspirasi yang
bahwa
dianggap
Hasil
mengalami
penelitian ini sesuai dengan yang
morfologis
dilaporkan oleh Cenariu et al (2012).
reekspansi
Embrio
tingkat
embrio menjadi bulat kembali, hal
baik
ini sesuai dengan penelitian yang
paling
tahap
pemulihannya dibandingkan (Hafez,
sulit.
morula lebih dengan
2000).
Udy
blastula
embrio
telah
mulai
perkembangan yaitu
terjadinya
blastosoel selain itu
dilakukan oleh Boediono
et
al
(1987)
(2000). Perkembangan demi embrio
menyatakan bahwa splitting embrio
dapat berkembang 100% baik pada
disarankan
tahap morula maupun blastula. Hasil
menggunakan
embrio
tahap blastula dibandingkan pada
penelitian
ini
lebih
baik
tahap morula.
dibandingkan yang dilaporkan Lopes
Penelitian yang dilakukan oleh
et al (2001); Hasler et al (2002); .
Pereira et al (2008) pada embrio
Hasil penelitian dari . Li et al (2007)
yang
jam
diperoleh bahwa kelangsungan hidup
didapatkan bahwa viabilitas embrio
embrio yang telah dibiopsi untuk
dikultur
hingga
3,5
ditransfer dalam bentuk segar adalah sebesar
49
menggunakan
–
setelah beberapa siklus pembelahan
62%
dengan
sel,
berbagai
metoda
mengkhususkan. Inner cell mass,
biopsi.
sel-sel
totipoten
mulai
sumber sel induk embrionik, menjadi
Urszula
et
al
(1990)
pluripotent.
Dalam
biologi
sel,
menyatakan bahwa perkembangan
pluripotency (plurimus dari bahasa
embrio setelah biopsi pada embrio
Latin, yang berarti sangat banyak,
yang diproduksi secara in vitro
dan potens yang berarti memiliki
dipengaruhi secara signifikan oleh
kekuatan) yang mengacu pada sel
umur dan jumlah sel embrio pada
induk yang memiliki potensi untuk
saat dibiopsi. Perkembangan embrio
berdiferensiasi menjadi salah satu
untuk tahap blastosis yang embrio
dari
dibiopsi pada tahap 16 sel adalah
endoderm (lapisan perut interior,
lebih tinggi dari pada embrio yang
saluran
dibiopsi pada tahap 8 sel secara
mesoderm
signifikan (Shirazi et al., 2010).
urogenital), atau ektoderm (jaringan
Mitalipov dan Wolf (2009)
tiga
lapisan
pencernaan,
epidermal
(otot,
dan
germinal:
paru-paru),
tulang,
sistem
darah,
saraf)
menyatakan bahwa embrio telah
(Windhorst, 2009). Penelitian yang
mencapai tahap 16-sel, mempunyai
dilakukan oleh Sugimoto, (2011).
sel-sel
menunjukkan
totipoten
dari
morula
bahwa
sel
dapat
berdiferensiasi menjadi sel-sel yang
berdiferensiasi ke dalam sel totipoten
akhirnya akan menjadi massa sel
secara tidak sepenuhnya, melainkan
blastosis dengan trofoblas. Sekitar
menjadi "variasi selular kompleks"
empat hari setelah pembuahan dan
dari totipoten .
Viabilitas Embrio Pada Tahap
mulai berkembang . Begitu juga
Morula 1 sel dan 2 sel Setelah
dengan 12 jam biopsi turun kembali
Biopsi
dan ditandai dengan nilai plus satu
Hasil bahwa
penelitian
didapatkan
(+)., hal ini disebabkan
karena
viabilitas embrio tahap
kultur yang digunakan . Viabilitas
morula setelah biopsi 1 sel dan 2 sel
morula yang dibiopsi dan diambil 2
adalah sama
blastomernya
untuk kembali ke
juga
kembali
ke
kondisi normal setelah dibiarkan
kondisi normal setelah dibiarkan
selama 1 jam, 3 jam, 6 jam dan 12
selama 3-12 jam. Namun, dari
jam. Namun, dari pengamatan yang
pengamatan
dilakukan viabilitas embrio terbaik
viabilitas embrio terbaik dan paling
dan paling optimal berada 6 jam
optimal berada 6 jam (ditandai
(ditandai dengan ++ atau dengan
dengan ++) setelah biopsi. Viabilitas
nilai 2) setelah biopsi. Sedangkan
embrio pada tahap morula yang
viabilitas embrio setelah
dibiopsi
3 jam
yang
dengan
dilakukan
mengambil
1
masih rendah yang ditandai dengan
blastomer dan 2 blastomer dapat
nilai + atau satu (1), hal ini
dilihat pada Tabel 2.
disebabkan
karena
embrio baru
Tabel 2. Viabilitas Embrio Sapi Pesisir Setelah Biopsi Tahap Morula No
1
Identifikasi
Morula
Keterangan:
Biopsi Blastomer (sel)
Tingkat Viabilitas 1 jam
3 jam
6 jam
12 jam
1
-
+
++
+
2
-
+
++
+
(-) embrio masih stress, (+) embrio mulai kembali normal (bundar), (++) embrio mulai berkembang
Biopsi
embrio
adalah
Persentase
hidup
tertinggi
mengeluarkan 1 atau lebih sel dari
setelah biopsi pada saat tingkat 8 sel
embrio
sebelum
dibandingkan tingkat awal. Prosedur
biopsi
embrio
mempengaruhi
dan
perkembangann
viabilitas embrio
serta
implantasi
kecelakaan
menyebabkan
kerusakan
dan
yang embrio
biopsi
tidak
memiliki
pengaruh
berbahaya terhadap viabilitas embrio segar dan embrio yang telah dibiopsi kemudian
dibekukan
maka
sebagai hasil dari prosedur biopsi
perkembangan embrio tidak akan
sangat kecil . Nainiene et al (2007)
mempengaruhi
menyatakan bahwa embrio in vitro
ditransfer bila dibandingkan dengan
bila dibiopsi dengan
memotong
embrio utuh yang ditransfer setelah
memiliki pengaruh negatif yang
dibiopsi (Gustafsson et al, 1994;
lebih
Thibier dan Nibart; 1999; Shirazi et
besar
terhadap
viabilitas
embrio dibandingkan biopsi dengan pengisapan. Behr dan Shu, (2010)
embrio
untuk
al, 2010). .Teknik biopsi embrio
pada
mengatakan bahwa metode biopsi
tahap morula , tempat dimana zona
embrio
pellusida
sangatlah
penting
dan
akan
dibiopsi
tidaklah
berpengaruh sangat besar terhadap
penting karena itu perusakan zona
viabilitas
dan
pellusida dapat dilakukan di mana
kelangsungan hidup embrio yang
saja di lingkar embrio, dan semua
dikriopreservasi.
zona
teknik biopsi pun dapat digunakan
pellusida merupakan kunci dalam
(Bredbacka, 1991). Hal ini sesuai
kelangsungan hidup embrio.
dengan
embrio,
integritas
Integritas
yang
dikemukakan
oleh
Cenariu et al (2012) bahwa embrio
morula dibiopsi tempat dimana zona
blastomere. Biopsi dilakukan pada
pellusida dibuka tidaklah penting.
tahap 16 sel menghasilkan 94% dari
Karena itu, pembukaan bisa dibuat di
embrio
lingkar embrio manapun dan tidak
blastosis, yang secara signifikan
dipengaruhi oleh jenis teknik biopsi
lebih tinggi dibandingkan dengan
yang digunakan . Hal
ini sesuai
yang dibiopsi pada tahap 8- sel (64
dengan pendapat dari Mitalipov dan
%). Sedangkan embrio yang dibiopsi
Wolf (2009) menyatakan bahwa
pada hari ke-3 yaitu pada tahap 4 sel
embrio telah mencapai tahap 16-sel,
dan 8 sel menghasilkan embrio yang
mempunyai sel-sel totipoten. Sel
berkembang
totipoten dapat membentuk semua
sebesar 49% dan pada tahap 46%
jenis sel dalam tubuh, ditambah
pada dan pada hari ke yaitu pada
ekstraembrionik, atau plasenta . Sel
tahap 4 dan 8 sel menghasilkan
embrio setelah pembuahan akan
embrio
mengalami pembelahan sel sampai
blastokia setelah biopsi adalah 39%
pada tahap morula dan ini adalah
dan 33 % (Shirazi et al., 2010).
satu-satunya sel yang totipoten
berkembang
ke
tahap
berkembang
Menurut
ke
tahap
blastosis
ke
tahap
Tominaga
dan
Biopsi embrio sapi pada tahap
Hamada (2004) bahwa jumlah bahan
4-16 sel tidak memiliki efek buruk
genetik yang diperoleh dengan biopsi
pada
menggunakan
kemampuan
perkembangan
microblade
sedikit
embrio secara in vitro dan begitu
lebih tinggi dari pada yang diperoleh
juga dengan embrio tahap 16 sel,
oleh jarum atau aspirasi dan juga
dibiopsi pada hari ke-4 adalah tahap
akurasi
terbaik
untuk
menghilangkan
yang
lebih
tinggi
dari
penentuan jenis kelamin dengan
morfologi bundar , 6 jam setelah
metode biopsi microblade.
biopsi embrio mulai berkembang tetapi viabilitas embrio yang dibiopsi
Viabilitas Embrio Pada Tahap
dengan mengambil 1 blastomer pada
Blastula 1 sel dan 2 sel Setelah
tahap
biopsi
mempunyai nilai +++ atau terjadi
Viabilitas
embrio
tahap
blastula
lebih baik yaitu
reekspansi blastosul.
Sedangkan
blastula setelah biopsi terlihat bahwa
pada 12 jam setelah biopsi viabilitas
pada satu jam setelah biopsi embrio
embrio sama dengan 3jam setelah
masih mengalami stress , viabilitas
biopsi. Viabilitas embrio pada tahap
embrio 3jam setelah biopsi embrio
blastula dapat dilihat pada tabel 3.
telam mulai normal kembali dengan Tabel 3. Viabilitas embrio sapi pesisir setelah biopsi tahap blastula No
Identifikasi
1
Biopsi Blastomer(sel)
Blastula
Tingkat Viabilitas 1 jam
3 jam
6 jam
12 jam
1
-
+
+++
+
2
-
+
++
+
Keterangan: (-) embrio masih stress, (+) embrio mulai kembali normal (bundar), ( ++) embrio mulai berkembang; ( +++) reekspansi blastosul (Penelitian 2012)
Hasil
analisis
Uji
Fisher
jam, 3 jam, 6 jam dan 12 jam. Hal ini
viabilitas
embrio
terjadi karena kerusakan embrio
tahap blastula setelah biopsi 1 sel
saat biopsi pada blastula lebih kecil,
dan 2 sel berbeda tidak nyata
karena sel blastomer dari
(P>0,05) untuk kembali ke kondisi
tahap blastula lebih banyak dan
normal setelah dibiarkan selama 1
kecil. Jadi biopsi 1 sel ataupun 2 sel
memperlihatkan
embrio
dari
tahap
blastula
mempengaruhi
tidak
tingkat
akan
viabilitas
aspirasi
untuk
mengambil
satu
blastomere. Embrio dibiopsi adalah
embrio setelah biopsi. Pada
tahap
kemudian dibiakkan di SOFaaBSA
blastosis,
biopsi
co-kultur
sampai
dimana akan dilakukan perusakan
blastosit.
Dan
dari zona pellusida yaitu pada area
bahwa tidak ada perbedaan antara
dimana
trophectoderm
waktu terhadap viabilitas embrio
(Cenariu et al., 2012). Kecepatan dan
pada tahap yang berbeda dari embrio
kemudahan biopsi dengan metode
biopsi yaitu pada tahap morula.
semua
ada
sel
metode
microblade sudah direkomendasikan
perkembangan
didapatkan
hasil
Gustafsson et al, (1994) ;
sebagai teknik yang paling cocok
Thibier
untuk embrio yang akan ditransfer
melakukan penelitian pada embrio
tanpa kriopreservasi.
domba
Hasil
penelitian
Nibart , ( 1995 )
dan
didapatkan
sama
prosedur
dengan penelitian yang dilakukan
pengaruh
oleh Shirazi et al ( 2010) dimana
viabilitas embrio segar,
penelitian ini menggunakan embrio
mengembangkan
yang
dibiopsi
dihasilkan
ini
dan
dengan
panen
biopsi
berbahaya
dari
memiliki terhadap kapasitas embrio
untuk di transfer jauh
embrio pada hari 2, 3, dan 4 pasca-
berkurang
inseminasi dengan jumlah sel yang
cryopreserved .
berbeda (4 sampai 16-sel). Embrio
tidak
bahwa
Urszula
ketika
et bahwa
mereka
al,
(1990)
dibiopsi dengan setetes dari 100 ml
melaporkan
praimplantasi
H-SOF dan perusakan zona pellusida
embrio tikus
dengan pengeboran pronase dengan
tahap 4 sel, tahap 8-sel dan morula,
yang dibiopsi pada
biopsi
memiliki
perkembangan
dampak embrio
pada dan
blastokista..Hal ini diketahui bahwa vitrifikasi
dan prosedur thawing
berpotensi lebih baik secara in vitro
memiliki efek merusak yang lebih
dan in vivo bila dilakukan pada tahap
rendah pada tingkat kelangsungan
8-cell.
hidup embrio yg berhubung dgn
Umur dan jumlah sel embrio
domba . (Naitana et al, 1996;
pada saat biopsi tidak berpengaruh
Syirazi et al, 2010; Ali et al, 1993;
signifikan terhadap embrio blastosis
Szell
dan
Windsor,
1994).
setelah
Selanjutnya,
vitrifikasi
tidak
thawing.
Dan
secara
lebih tinggi
viabilitas
merugikan dan berpengaruh terhadap
embrio pada embrio yang dibiopsi
tingkat penetasan embrio dibiopsi
yang umur 2 hari yaitu pada tahap 4-
dibandingkan dengan tanpa dibiopsi
cell
dibandingkan dengan embrio
yang mana ini berbeda dengan apa
yang dibiopsi pada hari 2 (8-sell),
yang dilaporkan oleh Naitana et al
hari ke 3 ( stadium 8 sell), atau hari
(1993) yang berhubung dgn embrio
ke - 4 ( tahap 16 sell). Kesalahan
domba .
signifikan
biopsi
yang akan mempengaruhi
viabilitas embrio karena jumlah sel
Viabilitas Embrio Tahap Morula
(1 sampai 2 sel) kurang dari satu
dan Blastula Setelah Biopsi (1 sel)
persen (Shirazi et al, 2010).
Viabilitas embrio tahap morula
Pada sapi, biopsi pada tahap
dan blastula setelah dibiopsi dengan
morula tidak memiliki efek yang
mengeluarkan 1 sel dapat dilihat
merugikan
pada Tabel 4
pada
embrio selanjutnya
perkembangan sampai tahap
Tabel 4. Viabilitas embrio sapi pesisir tahap morula dan blastula (1 sel) No
Identifikasi
Biopsi Blastomer(sel)
Tingkat Viabilitas 1 jam
3 jam
6 jam 12 jam
1
Morula
1
-
+
++
+
2
Blastula
1
-
+
+++
+
Keterangan:
(-) embrio masih stress, (+) embrio mulai kembali normal (bundar), (++) embrio mulai berkembang; (+++) reekspansi blastosul (Penelitian 2012)
Pada Tabel 4 dapat dilihat viabilitas
embrio
tahap
blastula
embrio
tahap
blastula
(1
sel)
dibandingkan tahap morula (1 sel)
setelah biopsi dengan mengeluarkan
dapat
1 sel baik untuk 1 jam , 3 jam dan
blastomer blastula lebih kecil dan
12 jam setelah biopsi. adalah sama .
jumlah blastomernya lebih banyak
Viabilitas
dibandingkan
embrio 6 jam setelah
terjadi
karena
morula,
ukuran
sehingga
biopsi pada tahap blastula lebih cepat
kemampuan untuk memperbaiki diri
mengalami
kembali lebih optimal setelah terjadi
perkembangan
(reekspansi
blastosul).
Tetapi
perlukaan.
viabilitas embrio 6 jam setelah biopsi
Namun hasil penelitian ini
pada tahap morula dan blastula
berbeda dengan pernyataan Imron
setelah dianalisis dengan Uji Fisher
(2005)
hasilnya
embrio pada tahapan morula lebih
berbeda
tidak
nyata
(P>0.05).
yang mengatakan bahwa
rentan dibandingkan pada tahapan
Viabilitas
embrio
blastosis,
karena Imron (2005)
biopsi lebih baik pada tahap blastula
melakukan
splitting embrio pada
bila
tahap morula dan didapatkan bahwa
dibandingkan
morula
dengan
dengan
setelah
tahap
pengambilan
1
embrio tahap morula lebih rentan
blastomer. Tingginya nilai viabilitas
dibandingkan dengan embrio tahap
blastosis karena jumlah sel blastosis
blastosoel
lebih banyak dibandingkan dengan
kembali ICM dan tropoblas. Selain
embrio tahap morula
itu bentuk demi embrio menjadi
Macháty
et
al,
(1993)
dengan
membentuk
bulat kembali dan tidak lonjong .
melaporkan bahwa pengambilan satu
Demi
sel dari embrio sapi tahap 16-32 sel
degenerasi
embrio
tidak
dibedakan secara jelas dibandingkan
perkembangan
demi embrio yang hidup tiga jam
sampai
setelah splitting karena sel-sel pada
praimplantasi
mengubah embrio
in
vitro
tahap
embrio
yang
atau
mengalami
rusak
dapat
perkembangan blastokista. Herr dan
demi embrio yang rusak
Reed (1991), Thibier dan Nibart
akan saling terlepas dan menyebar di
(1992) melakukan
biopsi dengan
dasar cawan petri. Morfologi demi
memotong beberapa sel dari morulae
embrio setelah tiga jam tidak banyak
atau
mengalami perubahan jika kultur
blastosis
microblade
menggunakan
mendapatkan
hasil
dilanjutkan 3 sampai 24 jam. Jika
bahwa embrio dapat berkembang
kultur dilanjutkan lebih dari 24 jam,
sampai tahap blastokia.
sel-sel demi embrio akan menempel
Hasil penelitian ini berbeda dengan
hasil
dilakukan oleh
penelitian
yang
Imron dkk (2007)
pada dasar cawan petri kultur dan menyatu
lapisan
sel-sel
kumulus yang digunakan sebagai
dimana tiga jam setelah proses
kokultur
splitting,
dalam
media
kultur
embrio
telah
sehingga menyulitkan dalam proses
perkembangan
secara
pemindahan demi embrio. Hasil ini
morfologis yaitu terjadi reekspansi
menyarankan bahwa kultur selama 3
mengalami
demi
dengan
jam
dianggap
cukup
untuk
kemudian dikultur selama 48 jam
memastikan bahwa demi embrio
didapatkan
telah berkembang secara normal,
setelah
viabel dan siap untuk ditransfer ke
pemotongan dengan microblade dan
sapi resipien.
30% untuk
Boediono (2005)
viabilitasnya
embrio
biopsi adalah 20% untuk
embrio yang dibiopsi
melaporkan bahwa demi embrio
dengan dihisap dan akan mencapai
yang dihasilkan dalam splitting pada
tahap blastula dan berhasil menetas
embrio
kambing
dari
selama
3-24
setelah
jam
kultur
menunjukkan
ZP..
Karena
biopsi
yang
dilakukan setelah pencairan embrio
terbentuknya ICM dan tropoblas
memiliki
yang secara jelas dapat dibedakan.
terhadap perkembangan selanjutnya
Takeuchi
et
al
(
pengaruh
langsung
1992)
dan akan menurunkan perkembangan
menggunakan tiga metode untuk
embrio in vitro sebesar 15%. Embrio
biopsi , yaitu enukleasiaspirasi dan
yang dibekukan lalu dibiopsi maka
ekstrusi , dan menemukan hanya
tingkat kebuntingan pada sapi yang
sedikit
ditransfer adalah sekitar 30%
perbedaan
diantaraketiga terhadap
metoda
biopsi
perkembangan
embrio
yang
Viabilitas
embrio
penurunan
selanjutnya/ setelah biopsi..
dengan ataupun
lalu dibiopsi baik
pemotongan dihisap
tingkat kebuntingan dari embrio ditransfer sebesar
mengalami 15%
dibandingkan dengan embrio utuh
Viabilitas embrio beku yang telah dithawing
dan
(microblade)
(aspirasi)
dan
yang ditransfer. Viabilitas embrio beku setelah di thawing
dilanjutkan dengan
biopsi sangat berpengaruh terhadap
hasil kebuntingan. Hasil penelitian Li
metode biopsi: tingkat kebuntingan
et al (2007) mengamati tingkat
adalah
kebuntingan ternak lebih rendah
dibiopsi oleh jarum, 43% pada
(41,8%)
yang
embrio dibiopsi dengan aspirasi, dan
pembekuan , sedangkan
31% pada embrio dibiopsi oleh
terkena
dengan
implantasi
embrio
embrio
segar
setelah
dari
57%
pada
microblade. Metode biopsi embrio
biopsi tidak mempengaruhi tingkat
sangat
penting dan
kebuntingan (49,6%) .
sangat
besar
Tetapi
yang
berpengaruh
terhadap
viabilitas
telah
embrio, integritas dan kelangsungan
dilakukan
hidup embrio yang dikriopreservasi.
perkembangan
Integritas zona pellusida merupakan
embrio tidak akan mempengaruhi
kunci dalam kelangsungan hidup
embrio
embrio (Behr dan Shu, 2010).
dibiopsi
embrio
embrio
kemudian
pembekuan
maka
untuk
ditransfer
bila
dibandingkan dengan embrio utuh yang
ditransfer
setelah
Ketika embrio tahap morula
dibiopsi
yang dibiopsi, tidak menjadi masalah
(Gustafsson et al.,1994; Thibier dan
tempat dimana zona pellusida akan
Nibart, 1999; Shirazi et al., 2010).
dibiopsi, karena perusakan zona
Memilih biopsi yang memadai
pellusida dapat dilakukan dimana
sangat penting dalam embrio yang
saja pada lingkar embrio, dan dapat
akan
dilakukan
menjalani
berikutnya,
kriopreservasi
karena
sangat
berpengaruh terhadap viabilitas. Dari
dengan
semua
teknik
biopsi yang ada (Bredbacka, 1991). Sedangkan
embrio
tahap
penelitian ini didapatkan hasil yang
blastosis, semua metode biopsi akan
berbeda secara signifikan antara tiga
merusak zona pellusida di daerah
dimana hanya sel trofektoderm hadir
(2004) melaporkan akurasi yang
(Bredbacka, 1991). Ketiga teknik
lebih tinggi
biopsi mampu menyediakan cukup
embrio
sel dan DNA untuk penentuan jenis
microblade dalam penetuan jenis
kelamin embrio dengan PCR. Tetapi
kelamin .Viabilitas Pada Tahap
jumlah bahan genetik yang diperoleh
Morula
biopsi dengan microblade
Biopsi (2 sel)
sedikit
lebih tinggi daripada yang diperoleh
dengan menggunakan
yang
dibiopsi
dan
Viabilitas
Blastula
Setelah
embrio
setelah
oleh jarum atau aspirasi, teknik yang
biopsi
terakhir masih mampu menyediakan
blastula
sel-sel dan DNA yang cukup untuk
blastomer dapat dilihat pada Tabel
memungkinkan
5.
amplifikasi.
pada
dengan
tahap
morula
dan
dengan pengambilan
2
Selanjutnya Tominaga dan Hamada Tabel 5. Viabilitas Embrio Sapi Pesisir Tahap Morula Dan Blastula (2 Sel) No
Identifikasi
Biopsi Blastomer(sel)
Tingkat Viabilitas 1 jam
3 jam
6 jam
12 jam
1
Morula
2
-
+
++
+
2
Blastula
2
-
+
++
+
Keterangan: (-) embrio masih stress, (+) embrio mulai kembali normal (bundar), (++) embrio mulai berkembang, (+++) reekspansi blastosul (Penelitian 2012)
Hasil
penelitian
memperlihatkan
viabilitas
embrio
tahap morula dan blastula setelah biopsi
dengan
blastomer
mengambilan
adalah sama
2 baik
viabilitas embrio pada 1 jam, 3 jam, 6 jam dan 12 ja setelah biopsi „ Macháty et al , ( 1993) , melaporkan bahwa 53,3 % dari embrio
yang
manipulasi
dapat
berkembang sampai tahap blastokia.
Selain
itu
biospy
tidak
,
memiliki
perbedaan
jumlah
sel
embrio
efek
sebelum (embrio utuh)dan setelah
merugikan pada tingkat kehamilan
splitting (demi embrio). Sel-sel yang
dicapai
dihitung adalah sel yang mempunyai
menggunakan embrio yang dibiopsi
bentuk bulat atau lonjong dengan
untuk transfer . Tidak ada perbedaan
membran sel yang masih utuh . Sel-
yang
signifikan antara tingkat
sel embrio yang degenerasi/mati
kehamilan dicapai untuk embrio
akan hancur dan terlihat seperti
yang
debris (kotoran) dalam pewarnaan
dibiopsi
dengan embrio yang tidak dibopsi ( 52,6 % dan 54,1 %).
Giemsa (IMRON dkk, 2007) .
Beberapa penelitian terdahulu
Efekltifitas Penentuan Jenis
telah membuktikan bahwa kualitas
Kelamin
dan viabilitas embrio sapi yang
Efektifitas
diproduksi secara in vivo lebih baik
Kelamin pada Tahap Morula dan
dibandingkan dengan embrio yang
Blastula.
diproduksi secara in vitro (Crosier Et
Efektifitas
Penentuan
penentuan
Jenis
jenis
Al. 2000; Mcevoy Et Al. 2001; Greve
kelamin embrio pada sapi Pesisir
2002), sehingga embrio in vivo akan
dengan melihat jumlah pita hasil
lebih tahan dan memiliki daya hidup
elektroforesis
lebih
perlakuan
berjenis kelamin jantan dengan 2 pita
dengan
dan embrio berjenis kelamin betina
embrio in vitro. Penghitungan jumlah
dengan 1 band pita dan dapat dilihat
sel
pada Tabel 6.
tinggi
splitting
terhadap
dibandingkan
dilakukan
untuk mengetahui
dimana
embrio
Tabel 6. Jumlah pita embrio tahap morula dan blastula sapi pesisir Tahapan
Jumlah Sel
Morula
Blastula
Hasil
penelitian
Jumlah Pita (band) Betina (1 band)
Jantan(2 band)
1
1
2
2
1
2
1
6
5
2
7
5
pada
sapi
Untuk
melihat
uji
Pesisir terlihat bahwa semua embrio
elektroforesis pada tahap morula dan
tahap morula baik pengambilan 1 sel
efektifitas penentuan jenis kelamin
maupun
embrio dapat dilihat pada gambar 18.
2
sel
teridentifikasi
seluruhnya (100%), sedangkan pada
Embrio
tahap blastula pengambilan 1 sel
ditandai dengan 2 pita (kromosom
terdapat
tidak
XY) dan embrio berjenis kelamin
teridentifikasi ( 91,67%) sedangkan
betina dengan 1 pita (kromosom
pada tahap blastula pengambilan 2
XX).
sel
1
embrio
yang
semua embrio teridentifikasi
(100%).
marker
berjenis
kelamin
janta
250bp 216bp bp 114bp
Gambar 5. Foto elektroforesis penelitian. Embrio jantan ditandai dengan 2 band dan embrio betina dengan 1 band. Pada Gambar jenis
kelamin
5
ini terlihat
dari
3
sel.
betina
ditentukan
keseimbangan
Oleh telah
karena
itu,
ditemukan
dengan 1 pita (XX) dengan 216 bp
antara pengeluaran sejumlah besar
dan jenis kelamin jantan dengan 2
blastomer dan kerusakan embrio dan
pita (XY) dengan 141 bp.
pengeluaran satu/single blastomer
Penelitian ini sesuai dengan
dan resiko penurunan akurasi dalam
penelitian terdahulu (Zoheir and
penentuan jenis kelamin pada embrio
Allam,
(Cenariu, et al., 2012).
2010)
yang
telah
memperlihatkan bahwa biopsi dari satu
blastomer
cukup
Hasil penelitian ini berbeda
untuk
dengan yang didapatkan oleh Park et
penentuan jenis kelamin dan analisis
al (2000) dimana didapatkan bahwa
genotip lain pada embrio, keakuratan
penentuan jenis kelamin dengan
dari penentuan jenis kelamin 100%
menggunakan
telah dilaporkan ketika sejumlah
mendapatkan
blastomer diambil dari morula lebih
1
blastomer
effsiensinya
hanya
90% sedangkan untuk 8 sel baru
melaporkan bahwa
biopsi
didapatkan effisiensi 100%.
beberapa blastomer
sudah dapat
digunakan
untuk
dari
melakukan
Jenis
penentuan jenis kelamin (sexing) dan
Kelamin pada Tahap Morula (1
analisis genotip lainnya pada embrio
dan 2 sel)
dengan akurasinya bisa mencapai
Efektifitas
Penentuan
Efektifitas
penentuan
kelamin embrio
jenis
pada tahapan
100%.
Penelitian ini juga telah
dilakukan oleh
Zoheir dan Allam,
morula dengan menggunakan PCR
(2010).dengan
untuk
pada
sejumlah blastomer yang dipisahkan
embrio sapi Pesisir memperlihatkan
dari morula lebih dari 3 sel sudah
hasil yang sama yaitu efektifitasnya
dapat digunakan untuk menentukan
sampai 100%.
jenis kelamin embrio
1 dan 2 blastomer
Klimanskaya
et al
menggunakan
(2006)
Biopsi pada tahap morula untuk
mengatakan bahwa biopsi dengan
ditentukan jenis kelaminnya lebih
menggunakan
dapat
baik dibandingkan blastula. Hal ini
digunakan untuk penentuan jenis
dapat terjadi karena sel-sel pada
kelamin , adapun yang menjadi
morula
masalah
dibandingkan sel-sel pada blastula.
blastomer
adalah
integritas
dari
masih
Keuntungan
dibekukan atau dicairkan setelah
tahapan pertumbuhan embrio seperti
biopsi.
morula atau blastula, secara relatif
(2001);
Carneiro
et
al
(2011)
pada
jelas
zona pellusida pada waktu embrio
Park et al (2000); Chrenek et al
biopsi
terlihat
akhir
lebih banyak sel yang bisa dikoleksi dibandingkan dengan biopsi pada
awal
tahapan
Bagaimanapun,
perkembangan. tahapan
morula
Dari menggunakan
analisis
data
uji
yang
Fisher
mewakili lebih baik tahapan untuk
dilakukan pada tahapan blastula
biopsi embrio karena pemadatan
memperlihatkan nilai yang tidak
yang luas, yang muncul pada tahapan
berbeda antara perolehan embrio
16-32 sel embrio (Hardy et al., 1996
jantan dibandingkan embrio betina
dalam De vos et al., 2001).
dimana
Pada
embrio
(P>0.05),
Efektifitas
mencit
penentuan jenis kelamin embrio pada
ditunjukkan bahwa biopsi paling
tahap blastula dengan menggunakan
merusak
morula,
1 sel/1 blastomer adalah 91,67%
implantasi,
sedangkan dengan menggunakan 2
viabilitas fetus dan bobot badan fetus
blastomer efektifitasnya mencapai
secara signifikan (Krzyminska et al.,
100%.
pada
penurunan
tahapan
tingkat
1990 dalam De vos et al., 2001).
Perbedaan efektifitas penentuan
Namun Yu et al (2006) mengusulkan
jenis
bahwa sample yang besar lebih baik
menggunakan embrio tahap blastula
untuk penentuan jenis kelamin tetapi
yang dibiopsi
viabilitas dari perlakuan terhadap
berbeda yaitu 1 dan 2 blastomer
embrio bisa dikompromikan.
terlihat hasil yang berbeda walaupun setelah
kelamin
di
uji
embrio
dengan
jumlah sel
dengan
yang
statistik
Jenis
berbeda tidak nyata. Ini disebabkan
Kelamin Pada Tahap Blastula (1
karena sel yang terdapat pada embrio
dan 2 sel)
tahap blastula lebih kecil dan banyak
Efektifitas
Penentuan
dimana
jumlah
sel
pada
tahap
blastula
lebih
sel,
menambahkan bahwa embrio yang
kemungkinan waktu pengambilan
diproduksi secara in vitro lalu embrio
dan
atau
divitrifikasi dan setelah thawing
melekat pada dinding pipet pasteur
embrio dikultur selama 48 jam dan
atau pada dinding cup untuk PCR,
ditentukan jenis kelamin dengan
sehingga tidak dapat terdeteksi.
PCR. Embrio yang mencapai tahap
pencucian
dari
sel
100
hilang
Tominaga and Hamada (2004)
blastula pada embrio jantan memiliki
mengisolasi hanya dengan 1 atau 2
morfologi
sel dari blastomer embrio pada tahap
kemudian akan lahir dengan tingkat
8 – 16 sel dan dilakukan penentuan
yang lebih besar dari embrio betina.
jenis kelamin diperoleh efisiensinya
yang lebih baik
Dari
analisis
dan
data
sekitar 90%. Park et al (2000)
menggunakan uji
melaporkan bahwa efisiensinya baru
dilakukan pada tahapan blastula
mencapai
dengan menggunakan 2 blastomer
100%
dengan
Fisher
menggunakan 8 blastomer sedangkan
yang terlihat
dengan menggunakan 4, 2 dan 1
memperlihatkan nilai yang tidak
blastomer hasilnya hanya mencapai
berbeda
96,3 – 92,1%.
embrio jantan dibandingkan embrio
Penelitian ini berbeda dengan
betina
pada
yang
nyata
Lampiran
antara
dimana
8
perolehan
(P>0.05),
hasil penelitian yang dilakukan oleh
dimanawalaupun
King et al (1992 ) dan Gutierrez et al
jumlah embrio kelamin jantan lebih
(2001) menemukan bahwa embrio
sedikit
jantan
berkelamin betina di tahapan blastula
lebih
tahan
terhadap
manipulasi. Nedambale et al (2004)
dalam
dibandingkan
angka
embrio
yaitu 5 embrio jantan dan 7 embrio
metoda praktis yang dapat dilakukan
betina.
di lapangan. Cenariu et al (2012)
Hasil
penelitian
sapi
menyatakan
bahwa
dalam
Pesisir didapatkan persentase embrio
bioteknologi
reproduksi
ternak
berjenis
merekomendasikan
kelamin
pada
betina
sebesar
PCR
41,6% hasil penelitian ini bertolak
sebagai
belakang dengan penelitian Hasler et
kelamin yang lebih mudah, lebih
al (2002) yang menunjukkan bahwa
cepat dan lebih murah dimana untuk
rasio jenis kelamin dari blastula
hasil penelitian menunjukkan akurasi
secara
95,65%.
signifikan
condong
metode
bahwa penentuan
jenis
mendukung embrio betina (60,3%).
Sampling dengan biopsi telah
Hasler et al. (2002) lebih lanjut
diterapkan untuk IVP embrio untuk
membuktikan
keseluruhan
pada tahap 16-32-sel, morula, dan
yang diproduksi secara in vitro
blastula. Karena efisiensi sexing
persentase
menurun
bahwa
embrio
betina
secara
secara
signifikan
bila
signifikan lebih tinggi (53%) dari
kurang dari lima sel dalam penentuan
persentase
vivo
jenis kelamin dengan PCR, ukuran
menghasilkan embrio (49,2%) ini
sampel yang lebih besar (8 – 10 sel)
diperkuat karena karena embrio sapi
telah
Pesisir diproduksi secara in vivo.
keberhasilan penentuan jenis kelamin
jantan
in
Embrio yang dihasilkan secara in vivo yang dilakukan biopsi untuk
direkomendasikan
untuk
dengan PCR (Park et al., 2000). Namun,
pengembangan
penentuan jenis kelamin dengan
"ekstensi primer preamplification-
menggunakan PCR adalah suatu
PCR (PEP-PCR)" yang merupakan
divitro-sistem
untuk
memperkuat
akurasi diprediksi 100%.Ini sesuai
sebagian besar urutan DNA hadir
dengan yang dilaporkan oleh Zoheir
dalam
dan
sel
haploid
tunggal,
memungkinkan mengidentifikasi embrio
untuk jenis
menggunakan
kelamin
Allam
(2010)
dengan
menggunakan sejumlah blastomer yang
dipisahkan
dari
morula
blastomere
melebihi lebih dari tiga .Oleh karena
tunggal. Penerapan PEP-PCR untuk
itu, keseimbangan harus ditemukan
penentuan
antara mengambilan sejumlah besar
jenis
menghasilkan
kelamin 91%
sapi tingkat
identifikasi.
dan
merusak
embrio
karena akan meengurangi tingkat
Taman et al (2000); Chrenek et al (2001); Carneiro et al (2011) telah menunjukkan bahwa
blastomer
biopsi
kebuntingan. Untuk lebih jelasnya dapat
dari
dilihat hasil PCR untuk penentuan
blastomere tunggal sudah cukup
jenis kelamin pada embrio sapi
untuk penentuan jenis kelamin dan
Pesisir pada tahap Blastula pada
anlisis genotip pada embrio dengan
Gambar 6.
marker
Gambar 6.
Foto elektroforesis pada sapi Pesisir. Embrio jantan dengan 2 band (XY). Betina dengan 1 band (XX)
Pada Gambar 6 terlihat di urutan 1, 3, 4, 9, 10 dan 11 terlihat
dengan jelas ada 1 garis yang menandakan
tidak
mengandung
kromosom Y dan ini menjelaskan
Nedambale
et
al
(2004)
bahwa embrio ini berjenis kelamin
melakukan penelitian pada embrio in
betina, sedangkan urutan 2, 5, 6, 7
vitro yang telah dibekukan dan
dan 8 terlihat ada 2 garis yang
setelah dithawing dikultur selama 48
menandakan adanya kromosom Y
jam lalu ditentukan jenis kelamin
dan menjelaskan bahwa embrio ini
dengan
berjenis kelamin jantan.
embrio yang mencapai tahap blastula
PCR
didapatkan
bahwa
Menurut hasil penelitian yang
sebagian besar adalah jantan yang
dilakukan oleh Shea (1999) dan
memiliki morfologi yang lebih baik.
Lacaze et al (2008) melaporkan
Penelitian
bahwa 44 – 48% adalah berjenis
Tominaga (2004) bahwa penentuan
kelamin betina. Hasler et al (2002)
jenis kelamin dengan menggunakan
mendapatkan
embrio in vivo yang diperoleh pada
bahwa
rasio
jenis
ini
ke-7
dikuatkan
mendapatkan
oleh
kelamin blastula secara signifikan
hari
condong betina yaitu sekitar 60,3%.
berjenis
Persentase embrio yang diperoleh
perkembangannya lebih cepat bila
dari in vitro jantan secara signifikan
dibandingkan dengan embrio betina.
lebih tinggi (53%) dari persentase
Persentase penentuan jenis kelamin
embrio jantan yang diproduksi secara
di tahap morula lebih tinggi karena
in vivo yaitu 49,2%. Penelitian dari
ukuran blastomer pada morula lebih
King et al (1992) dan Gutierrez-
besar
Adan et al (2001) menemukan
hilangnya
bahwa embrio jantan lebih tahan
pencucian
terhadap manipulasi.
dibandingkan dengan blastomer pada
kelamin
dan
jantan
embrio dan
kemungkinan
untuk
blastomer
waktu
lebih
kecil
bila
tahap blastula sehingga penentuan
betina 1 embrio pada tahap morula
jenis kelaminnya lebih efektif.
dan 6 embrio pada tahap blastula. Hasil penelitian pada embrio Jenis
sapi Pesisir didukung oleh penelitian
Kelamin Pada Embrio Morula
yang dilakukan oleh Lopatarova et
Dan Blastula (1 sel)
al.
Efektifitas
Dari
Penentuan
mendapatkan
hasil
data
penelitiannya bahwa kualitas embrio
menggunakan uji chi square yang
yang tinggi diperoleh dari donor
dilakukan pada tahapan morula dan
disuperovulasi
blastula memperlihatkan nilai yang
dibiopsi dan sel-sel embrio (5-10)
tidak berbeda nyata antara perolehan
dianalisis dengan PCR menggunakan
embrio jantan pada tahap 1 sel
spesifik primer untuk penentu Y-
morula dibandingkan tahap 1 sel
kromosom. Penentuan jenis kelamin
blastula dengan nilai 1,286 (P>0.05),
didapatkan 91,3% untuk embrio
walaupun dalam angka sex ratio
segar (44% betina) dan 87,5% dari
jantan pada tahap morula 1 sel lebih
embrio beku (45,9% betina).
sedikit
analisis
(2010)
dibandingkan
kemudian
embrio
tahapan
blastula 1 sel yaitu 2 embrio pada morula dan 5 embrio pada blastula. Perolehan embrio betina pada tahap
Efektifitas Penentuan Jenis Kelamin Pada Embrio Morula dan Blastula (2 Sel) Dari
analisis
data
1 sel morula dibandingkan tahap 1
menggunakan uji chi square yang
sel blastula dengan nilai 3,572
dilakukan pada tahapan morula dan
(P>0,05). Dengan angka sex ratio
blastula memperlihatkan nilai yang tidak berbeda nyata antara perolehan
embrio jantan pada tahap 1 sel
tahap 1 sel blastula dengan nilai 6
morula dibandingkan tahap 1 sel
(P<0.05). Dengan angka sex ratio
blastula dengan nilai 1,286 (P>0.05),
betina 1 embrio pada tahap morula
walaupun dalam angka sex ratio
dan 7 embrio pada tahap blastula.
jantan pada tahap morula 1 sel lebih sedikit
dibandingkan
Pada penelitian ini didapat sex
tahapan
ratio sapi pesisir pada berbagai tahap
blastula 1 sel yaitu 2 embrio pada
perkembangan embrio morula dan
morula dan 5 embrio pada blastula.
blastula dengan blastomer 1 sel dan 2
Perolehan embrio betina pada
sel. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7
tahap 1 sel morula dibandingkan
dan Gambar 7.
Tabel 7. Jumlah sex ratio embrio sapi pesisir pada tahap morula dan blastula dengan blastomer 1 dan 2 sel. No
Identifikasi
Blastomer
Jantan
Betina
Persentase jantan
1
Morula
1
2
1
66,67
33,33
2
2
1
66,67
33,33
1
5
6
41,67
50,00
2
5
7
41,67
58,33
2
Blastula
Gambar 7.
Persentase betina
Jumlah sex ratio embrio sapi pesisir pada tahap morula dan blastula dengan blastomer 1 dan 2 sel.
Sex ratio Embrio Sapi Pesisir
blastomer dan 2 blastomer embrio
Dengan PCR
jantan 66,67% dan embrio betina
Pada
penelitian
juga
33,33%. Untuk tahap blastula 1
dari
blastomer embrio jantan 41,67% dan
embrio sapi pesisir tahap morula
embrio betina 50%, pada 2 blastomer
dengan blastula (Tabel 8 dan Gambar
embrio jantan 41,67% dan embrio
8). Dimana pada tahap morula 1
betina 58%.
memperlihatkan
sex
ratio
Tabel 8. Sex ratio embrio pada sapi pesisir No
1
2
Identifikasi
Blastomer
Morula
Blastula
Dari
analisis
Jenis Kelamin Jantan
Betina
1
2( 66.67%)
1(33,33 %)
2
2(66.67%)
1(33,33 %)
1
5 (41, 67%)
6 (50%)
2
5(41, 67%)
7 (58,33%)
data
walaupun
dalam
angka
jumlah
menggunakan uji 2 yang dilakukan
embrio kelamin jantan lebih banyak
pada tahapan morula 1 dan 2
dibandingkan
blastomer 8 memperlihatkan nilai
betina yaitu 2 embrio jantan dan 1
yang tidak berbeda antara perolehan
embrio betina. Hasil penelitian ini
embrio jantan dibandingkan embrio
sama dengan hasil penelitian yang
betina dengan nilai 0,334 (P>0,05),
didapatkan oleh Avery et al (1992)
embrio
berkelamin
dan Nedambale et al (2004) karena
perkembangan embrio jantan lebih
secara
keseluruhan
persentase
cepat dari embrio betina pada tahap
embrio yang diperoleh dari in vitro
morula.
jantan secara signifikan lebih tinggi
Pada tahap blastula sex ratio
(53%) dari persentase embrio jantan
embrio jantan lebih rendah dari
yang diproduksi secara in vivo yaitu
embrio betina yaitu pada 1 blastmer
49,2%. King et al (1992) dan
5 embrio jantan dan 6 embrio betina
Gutierrez-Adan
sementara itu untuk 2 blastomer 5
menemukan bahwa embrio jantan
embrio jantan dan 7 embrio betina.
lebih tahan terhadap manipulasi.
et
al
(2001)
Tetapi bila diuji dengan uji 2 baik
Pada Tabel 8 terlihat bahwa
pada 1 dan 2 blastomer hasilnya
penentuan jenis kelamin embrio pada
tidak berbeda nyata dengan nilai
sapi Pesisir yaitu pada tahap morula
0,167 pada 1 blastomer dan 0,334
adalah 100%, sedangkan pada tahap
pada 2 blastomer (P>0,05). Hal ini
blastula dengan menggunakan 1 sel
sesuai dengan penelitian Hasler et al.
efektifitasnya
(2002) yang mendapatkan rasio jenis
91,67%
kelamin blastula secara signifikan
menggunakan
condong betina yaitu sekitar 60,3%.
efektifitas penentuan jenis kelamin
hanya
mencapai
sedangkan
dengan
2
sel
blastomer
Menurut hasil penelitian yang
adalah 100%. Pada tahap morula
dilakukan oleh Shea (1999) dan
pengeluaran hanya 1 sel dari tahap
Lacaze et al. (2008) melaporkan
perkembangan embrio 16-32 sel
bahwa
berjenis
cukup untuk keberhasilan penentuan
kelamin betina. Hasler et al. (2002)
jenis kelamin menggunakan metode
lebih lanjut membuktikan bahwa
PCR. Penelitian ini sama dengan
44-48%
adalah
yang dilakukan oleh Machaty et al.,
Lacaze
(1993); Cherenek dan Bulla (2002).
mendapatkan
Hasil penelitian ini lebih tinggi dari
berbeda dengan penelitian ini dimana
hasil penelitian yang dilakukan oleh
dia mendapatkan bahwa penentuan
Lopatarova et al (2008) dengan
jenis kelamin embrio berbanding
menggunakan
dan
terbalik dengan jumlah sel embrio
jenis
yang terisolasi (≤ 3sel efisiensinya
92%.
85,5%, 4 – 6 sel efisiensinya 97,4%
yang
sedangkan dengan menggunakan ≥ 7
embrio
mendapatkan kelamin
penentuan
hanya
Sementara
splitt
hasil
89,4
–
penelitian
et
al
(2008)
hasil
efisiensinya
penelitian
dilakukan oleh Thibier dan Nibart
sel
100%).
Terlihat
(1995); Shea (1999); Li et al, (2007);
bahwa sex ratio pada tahapan morula
Yu et al (2007) sebesar 85 – 95%.
yang di-PCR dengan 1 sel pada
Jumlah embrio sapi pesisir
embrio sapi Pesisir memperlihatkan
pada tahap morula dan blastula serta
hasil berbeda tidak nyata (P>0,05)
sex
walaupun
ratio
yang
diperoleh
pada
dalam
penelitian ini dapat dilihat pada
kelamin
jantan
Gambar 9.
dibandingkan
angka
jumlah
lebih
banyak
embrio
berkelamin
betina. 12 10 8 6 4 2 0
Tetapi hasil penelitian pada embrio sapi Pesisir didukung oleh jml embrio jantan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
betina
morula
blastula
Gambar 9. Jumlah dan sex ratio pada embrio sapi pesisir
Lopatarova
et
mendapatkan
hasil
al.
(2010)
penelitiannya
bahwa kualitas embrio yang tinggi
diperoleh dari donor disuperovulasi
Biopsi embrio sapi pada tahap
kemudian embrio dibiopsi dan sel-sel
4-16 sel tidak memiliki efek buruk
embrio (5-10) dianalisis dengan PCR
pada
menggunakan spesifik primer untuk
embrio secara in vitro dan begitu
penentu
Penentuan
juga dengan embrio tahap 16 sel,
jenis kelamin didapatkan 91,3%
dibiopsi pada hari ke-4 adalah tahap
untuk embrio segar (44% betina) dan
terbaik
87,5% dari embrio beku (45,9%
blastomer. Biopsi dilakukan pada
betina).
tahap 16 sel menghasilkan 94% dari
Y-kromosom.
Dengan menggunakan jumlah
embrio
kemampuan
perkembangan
untuk
menghilangkan
berkembang
ke
tahap
sel dan DNA yang sangat kecil
blastula, yang secara signifikan lebih
dalam penetuan jenis kelamin juga
tinggi dibandingkan dengan yang
dilaporkan
al
dibiopsi pada tahap 8 sel (64 %).
(2001);
Sedangkan embrio yang dibiopsi
(2012).
pada hari ke-3 yaitu pada tahap 4 sel
Klimanskaya et al (2006) juga
dan 8 sel menghasilkan embrio yang
mengatakan
berkembang
(2001);
oleh Park
Kirkegaard
blastomer
Chrenek et
et
bahwa tunggal
al, al
et
biopsi cukup
dari
ke
tahap
blastokia
untuk
sebesar 49% dan pada tahap 46%
penentuan jenis kelamin dan yang
pada dan pada hari ke yaitu pada
menjadi masalah adalah integritas
tahap 4 dan 8 sel menghasilkan
dari zona pellusida pada waktu
embrio berkembang ke tahap blastula
embrio dibekukan atau dicairkan
setelah biopsi adalah 39% dan 33 %
setelah biopsi.
(Shirazi et al., 2010).
Nedambale
et
al
(2004)
melakukan penelitian pada embrio in
tahap blastula sehingga penentuan jenis kelaminnya lebih efektif.
vitro yang telah dibekukan dan setelah dithawing dikultur selama 48
KESIMPULAN
jam lalu ditentukan jenis kelamin
1.
Viabilitas embrio pada tahap
bahwa
morula dengan biopsi 1 sel
embrio yang mencapai tahap blastula
dan 2 sel untuk 1 jam , 3 jam
sebagian besar adalah jantan yang
, 6
memiliki morfologi yang lebih baik.
sama
dengan
PCR
didapatkan
Penelitian ini dikuatkan oleh
jam dan 12 jam adalah sedangkan
embrio
viabilitas
dengan biopsi 1 sel
Tominaga (2004) bahwa penentuan
dan 2 sel pada tahap blastula
jenis kelamin dengan menggunakan
untuk 1 jam , 3 jam dan 12
embrio in vivo yang diperoleh pada
jam
hari
viabilitas
ke-7
berjenis
mendapatkan kelamin
jantan
embrio dan
adalah
biopsi
sama
embrio
2
sel
pada
tetapi dengan tahap
perkembangannya lebih cepat bila
blastula dimana 6 jam setelah
dibandingkan dengan embrio betina.
biopsi
Persentase penentuan jenis
perkembangan
baik bila dibandingkan dengan
kelamin di tahap morula lebih tinggi
viabilitas
karena
biopsi
ukuran
blastomer
pada
lebih
embrio baik
pada
setelah tahap
morula lebih besar dan kemungkinan
morula dengan biopsi 1 sel
untuk hilangnya blastomer waktu
dan 2 sel maupun
pencucian
biopsi
lebih
kecil
bila
dibandingkan dengan blastomer pada
blastula.
dengan
2 sel pada tahap Tetapi
setelah
dianalisis dengan
2.
secara
statistik
3.
Sex ratio embrio pada tahap
viabilitas embrio 6
morula dengan menggunakan 1
jam setelah biopsi pada tahap
sel dan 2 sel adalah sama yaitu
morula dan blastula
untuk
dengan
embrio
berjenis
1 sel dan 2 sel adalah berbeda
kelamin
tidak nyata (P>0.05) .
66,67% dan berjenis kelamin
Efektifitas penentuan
jenis
jantan
betina
adalah
adalah
33,33%
kelamin embrio tahap morula
sedangkan
dengan
menggunakan 1
blastula dengan menggunakan
sel dan 2 sel adalah sama
1 blastomer sex ratio jantan
yaitu
100 % . Pada
embrio
adalah
tahap
blastula
dengan
embrio berjenis kelamin betina
menggunakan
1
sel
adalah
pada
41,67%
50 %,
tahap
sedangkan
dan dengan
efektivitasnya adalah 91, 67%
menggunakan 2 blastomer sex
dan dengan menggunakan 2 sel
ratio berjenis kelamin jantan
efektifitasnya
100 %.
adalah 41,67% dan berjenis
adalah
Setelah
dianalisis
dengan
kelamin betina adalah 58,33
statistik
didapatkan
bahwa
%.
efektifitas kelamin
penentuan
tahap
blastula
dengan
blastula
menggunakan 1 sel dan 2 sel
dengan menggunakan 1 sel dan
setelah diuji statistik hasilnya
2 sel adalah berbeda tidak nyata
berbeda tidak nyata (P>0.05).
(P>0.05).
pada tahap
jenis
Sex ratio embrio pada
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, S. 2013. Strategi Pemuliaan Untuk Peningkatan Produktivitas Sapi Pesisir Menuju Swasembada Daging Dan Kesejahteraan Peternak Di Sumatera Barat. Seminar Nasional Pengembangan Ternak Lokal. Padang ,20 November 2013 Anwar, S. 2004. Kajian Keragaman Karakteristik Eksternal dan DNA Mikrosatelit Sapi Pesisir Sumatera Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Avery, B., C. B. Jorgensen, V. Madison, and T. Greve. 1992. Morphological development and sex of bovine in vitro fertilized embryos. Mol. Reprod. Dev. 32: 265-270. Badan Pusat Statistik Kab. Pesisir Selatan. 2011. Pesisir Selatan Dalam Angka. BPS Kabupaten Pesisir Selatan. Painan. Badan Pusat Statistik Kab. Pesisir Selatan. 2012. Pesisir Selatan Dalam Angka. BPS Kabupaten Pesisir Selatan. Painan. Bamualim, A. dan Wirdahayati. 2006. Peran Teknologi dalam Pengembangan Sapi Lokal di Sumatera Barat. Prossiding. Seminar Nasional “Pengembangan Ternak di Sumbar”. Badan Litbang Pertanian BBP2TP, Bogor.
Behr,
B. and Y. Shu. 2010. “Cryopreservation of Pronuclear Stage Human Embryos,” in Fertility Cryopreservation. R. C. Chiang and P. Quinn, Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Boediono, A., Y. Rusiyantono, K. Mohamad, I. Djuwita, dan Herliatien. 2000. Perkembangan oosit kambing setelah maturasi, fertilisasi dan kultur in vitro. Media Veteriner. 7(4): 11-17. Boediono, A. 2005. Produksi embrio kembar identik melalui bedah mikro pada embrio kambing hasil in vitro. J. Vet.6: 39-46. Bondioli, K. R., S. B. Ellis, J. H. Pryor, M. W. Williams, and M. M. Harpold. 1989. The use of male-specific chromosomal DNA fragments to determine the sex of bovine preimplantation embryos. Theriogenology. 31: 95-104. BPS. 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Bredbacka, P. 1991. Biopsy of morulae and blastocysts. Reprod. Dom. Anim. 26: 8284. Bredbacka, P., A. Kankaanpaa, and J. Peippo. 1995. PCR-sexing of bovine embryos: a simplified protocol. Theriogenology. 44: 167-176. Bredbacka, P. 2001. Progress on methods of gene detection in
preimplantation embryos. Theriogenology. 55(1): 23-34. Carneiro, M. C., P. L. Takeuchi, A. Araujo, R. B. Lobo, F. P. Elias, R. A. Vila, C. L. MirandaFurtado, and E. S. Ramos. 2011. Sexing single bovine blastomeres using TSPY gene amplification. Genet. Mol. Res. 10: 3937-3941. Cenariu, M., P. Emoke, and I. Groza. 2012. Sexing bovine preimplantation embryos using the polymerase chain reaction: a model for human embryo sexing. African. J. Biotech. 11(19): 4455-4458. Chen, A-Q., X. Zi-rong, and Y. Song-dong. 2007. Sexing goat embryos by PCR amplification of x and y chromosome specific sequence of the amelogenin gene. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 20(11): 16891693 Chrenek, P., L. Boulanger, Y. Heyman, P. Uhrin, J. Laurincik, J. Bulla, and J. P. Renard. 2001. Sexing and multiple genotype analysis from a single cell of bovine embryo. Theriogenology. 55(5): 1071-1081. Crosier, A.E., P.W. Farin, M.J. Dykstra, J.E. Alexander and C.E. Farin. 2000. Ultrastructural morphometry of bovine compact morulae produced in vivo or in vitro. Biol. Reprod. 62: 1459–1465.. De Vos, A. and A. Van Steirteghem. 2001. Aspects of biopsy
procedures prior to preimplantation genetic diagnosis. Prenat. Diagn. 21: 767–80. Fu, Q., M. Zhang, W. S. Qin, Y. Q. Lu, H. Y. Zheng, B. Meng, S. S. Lu and K. H. Lu. 2007. Cloning the swamp buffalo SRY gene for embryo sexing with multiplex-nested PCR. Theriogenology. 68: 12111218. Gianaroli, L. 2000. Preimplantation genetic diagnosis: polar body and embryo biopsy. Hum. Reprod. 15(4): 69-75. Gustafsson, H., U. Jaakma, and M. Shamsuddin. 1994. Viability of fresh and frozen-thawed biopsied bovine embryos. Acta. Vet. Scand. 35(3): 217222. Gutierrez-Adan, A., P. Lonergan, D. Rizos, F. A. Ward, M. P. Boland, B. Pintado, and J. de la Fuente. 2001. Effect of the in vitro culture system on the kinetics of blastocyst development and sex ratio of bovine embryos. Theriogenology. 55: 11171126. Hafez, B. and E. S. E. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animal. 7th Ed. Lippincott Williams and Wilkins Press. Kiawah Island South Carolina, USA.
Hasler, J. F., E. Cardey, J. E. Stokes, and P. Bredbacka. 2002. Nonelectrophoretic PCRsexing of bovine embryos in a
commercial environment. Theriogenology. 58: 14571469.
Herr C. M dan Reed KC ( 1991 ) . Mikromanipulation bovine embryos to Sexing embryo. Theriogenology 35 45-54 GREVE, T. 2002. Cattle eggs in vitro and in vivo: What have we learned? Convention Proceedings. Quebec City,August 23-25, 2002. Canadian Embryo Transfer Association. Canada. pp. 2829. Gustafsson H, U. Jaakma , dan M. Shamsuddin . 1994. Viability of fresh and frozen-thawed biopsied bovine embryos.Acta Vet Scand 1994;35(3):217222. Imron, M. 2005. Viabilitas demi embrio in vitro hasil splitting embrio segar dan beku tahap blastosis pada sapi. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Imron . M ; A. Boediono dan I. Supriatna. 2007. Viabilitas Demi Embrio Sapi In Vitro Hasil Splitting Embrio Segar dan Beku. Balai Embrio Ternak Cipelang, PO Box 485 Bogor 16004 .Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. JITV Vol. 12 No. 2 Th. 2007
King, W. A., L. Picard, D. Bosquet, and A. K. Goff. 1992. Sex dependent loss of bisected bovine morulae after culture and freezing. J. Reprod. Fert. 96: 453-459. Kirkegaard, K., J. J. Hindkjaer and H. J. Ingerslev. 2012. Human embryonic development 356 after blastomere removal: a time-lapse analysis. Hum. Reprod. 27(1): 97-105. Klimanskaya, I., Y. Chung, S. Becker, S. J. Lu, and R. Lanza. 2006. Human embryonic stem cell lines derived from single blastomeres. Nature. 444: 481485. Lacaze, S., P. Humblot, and C. Ponsart. 2008. Sexing and direct transfer of bovine biopsied frozen-thawed embryos under on-farm conditions in a commercial program. Recherches Ruminants. 15eme Recontre, Paris, les 3 et 4 decembre. 387390. Lee, J. H., J. H. Park, E. J. Choi, J. T. Yoon, C. S. Park, and S. H. Lee. 2003. Frequency of sex chromosomal mosaicism in bovine embryos and its effects on sexing using a single blastomere by PCR. Zygote. 11: 87-93. Li, S., W. Yu, J. Fu, Y. Bai, F. Jin, and B. Shangguan. 2007. Factors influencing pregnancy rates following transfer of bovine in vivo embryos biopsied for sex determination. Reprod. Fert. Dev. 19: 297. Lopatarova, M., S. Krontorad, L.
Cech, Holy,
P. J.
Hlavicova, and R. Dolezel. 2010. Conception rate after sex determinationand cryopreservation of D7 bovine embryos. Vet. Med. 55(1): 1018. Lopes, R. F. F., F. Forell, A. T. D. Oliveira, and J. L. Rodrigues. 2001. Splitting and biopsy for bovine embryo sexing under field conditions. Theriogenology. 56: 13831392. Machaty, Z., A. Paldi, T. Csaki, Z. Varga, I. Kiss, Z. Barandi, and G. Vajta. 1993. Biopsy and sex determination by PCR of IVF bovine embryos. J. Reprod. Fertil. 98: 467-470. Manna, L., G. Neglia, M. Marino, B. Gasparrini, R. Di Palo, and L. Zicarelli. 2003. Sex determination of buffalo embryos (Bubalus bubalis) by polymerase chain reaction. Zygote. 11: 17-22.
Martojo, H. 2003. Indigenous Bali Cattle: The Best Suited Cattle Breed for Sustainable Small Farm in Indonesia. The Chinese Society of Animal Science. 112 Farm Road. Hsinhua. Tainan, Taiwan Mitalipov, S., D. P. Wolf. 2009. Totipotency, pluripotency and nuclear reprogramming. Adv. Biochem. Eng. Biotechnol. 114: 185-199. Nainiene, R., J. Kutra, A. Urbsys, V. Pileckas, and A. Siukscius. 2007. PCR-sexing gnotyping
and viability of bovine preimplantation embryos after freezing-thawing and biopsy. Proceedings of the 13th Baltic Animal Breeding Conference, Parnu, Estonia, 24-25 May 2007 pp.49-53. Naitana, S., P. Loi, S. Ledda, P. Cappai, M. Dattena, and L. Bogliolo. 1996. Effect of biopsy and vitrification on in vitro survival of ovine embryos at different stages of development. Theriogenology. 46(5): 813-824. Nedambale, T. L., A. Dinnyes, X. Z. Yank, and X. C. Tian. 2004. Bovine blastocyts development in vitro: timing, sex, and viability folloving vitrification. Biol. Reprod. 71: 1671-1676. Park, J. H., J. H. Lee, K. M. Choi, S. Y. Joung, J. Y. Kim, G. M. Chung, D. I. Jin, and K. S. Im. 2001. Rapid sexing of preimplantation bovine embryo using consecutive and multiplex PCR with biopsied single blastomere. Theriogenology. 55(9): 18431853. Pereira, R. M., I. Carvalhais, J. Pimenta, M. C. Baptista, M. I. Vasques, A. E. M. Horta, I. C. Santos, M. R. Marques, A. Reis, M. S. Pereira, and C. C. Marques. 2008. Biopsied and vitrified bovine embryos viability is improved by trans 10, cis12 conjugated linoleic acid supplementation during in vitro embryo culture. Anim. Reprod. Sci. 106: 322-332.
Peura, T., J. M. Hyttinen, M. Turunen, and J. Janne. 1991. A reliable sex determination assay for bovine preimplantation embryos using the polymerase chain reaction. Theriogenology. 35(3): 547555. Sharma. S, A. Bhardwaj, S. Jain and H. Yadav. 2005. Animal Genetics and Breeding Division, Animal Biochemistry Division, National Dairy Research Institute, Karnal132001, Haryana, India. $ College of Applied Education and Health Sciences, Meerut, U.P.
Sato, T., K. Nakada,Y. Uchiyama, Y. Kimura, N. Fujiwara, Y. Sato, M. Umeda, and T. Furukawa. 2005. The effect of pretreatment with different doses of GnRh to synchronize follicular wave on superstimulation of follicular growth in dairy cattle. J. Reprod. Dev. 51(5): 573-578. Salisbury, G. W., dan N. L. Vandemark. 1985. Fisiologi Reproduksi Dan Inseminasi Buatan Pada Sapi. Terjemaham R. Janur. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Schenk, J. L., T. K. Suh, and G. E. Seidel. 2006. Embryo production from superovulated cattle following insemination of sexed sperm. Theriogenology. 65: 299-307.
Schenk, J. L., D. G. Cran, R. W. Everett, and G. E. Seidel. 2009. Pregnancy rates in heifers and cows with cryopreserved sexed sperm: Effects of sperm numbers perinseminate, sorting pressure and sperm storage before sorting. Theriogenology. 71: 717-728. Schöler.H.R. (2007). "The Potential of Stem Cells: An Inventory". In Nikolaus Knoepffler, Dagmar Schipanski, and Stefan Lorenz Sorgner. Human biotechnology as Social Challenge. Ashgate Publishing, Ltd. p. 28. ISBN 978-0-75465755-2 Schroeder, V. 1941. Physicochemical methods of sex regulation of the progeny of mammals. Russian contributions 1939 Genetics Congr, Am. Documentations Inst, Doc, 1565. Abstr. In j. Hered. 32; 248. 1941
Shea, B. F. 1999. Determining the sex of bovine embryos using polymerase chain reaction results: a six-year retrospective study. Theriogenology. 51(4): 841-854. Shirazi, A. S., E. Borjian, Ahmadi, H. Nazari, and B. Heidari. 2010. The effect of biopsy during precompacted morula stage on post vitrification development of blastocyst derived bovine embryos. J. Avicenna. Med. Biotech. 2(2): 107-11.
Sugimoto, K., S. P. Gordon, and E. M. Meyerowitz. 2011. Regeneration in plants and animals: dedifferentiation, transdifferentiation, or just differentiation". Trend. Cell. Biol. 21(4): 212-218. Thibier, M. and M. Nibart. 1995. The sexing of bovine embryos in the field. Theriogenology. 43(1): 71-80. Tominaga, K. 2004. Cryopreservation and sexing of in vivo and in vitro-produced bovine embryos for their practical use. J. Reprod. Dev. 50: 29-38. Tominaga, K. and Y. Hamada. 2004. Efficient production of sexidentified and cryosurvived bovine in-vitro produced blastocysts. Theriogenology. 61(6): 1181-1191.
Udin, Z. 2012. Teknologi Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio pada Sapi. Penerbit Sukabina Press, Padang. Udy,
G. B. 1987. Commercial splitting of goat embryos. Theriogenology. 28: 837-842.
Urszula, B., K. J. Lutjen, C. O'Neill. 1990. Assessment of the viability and pregnancy potential of mouse embryos biopsied at different preimplantation stages of development. Hum. Reprod. 5(2): 203-208. Windhorst, U., M. D. Binder, and N. Hirokawa. 2009. Encyclopedia
of Neuroscience. Springer.
Berlin,
Wu, B. 1993. Amplification of the SRY gene allows identification of the sex of mouse preimplantation embryos. Theriogenology. 40: 441. Yamamoto, M., M. Ooe, M. Kawaguchi, and T. Suzuki. 1994. Superovulation in the cow with a single intramusculear injection of FSH dissolved in polyvinylpyrrolidone. Theriogenology. 41: 747-755. Yu, W., S. Li, J. Fang, X. Sun, L. Cui, J. Fu, Y. Bai, Y. Fang, and B. Shangguan. 2007. Field studies on the effectiveness of the YCD embryo sexing technique in bovine. Reprod. Fert. Dev. 19: 299-300. Zhang, M., K. H. Lu, and G. E. Seidel Jr. 2005. Blastocyst development of male and femal bovine embryos produced by IVF with flow cytometrically sorted sperm. Reprod. Fert. Dev. 17: 306-307. Zoheir, K. M. A. and A. A. Allam. 2011. A rapid improved method for sexing embryo of water buffalo. Theriogenology. 76: 83-87