OPTIMALISASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI SENTRALISASI NILAI KARAKTER RELIGIUS DALAM KURIKULUM 2013 Achmad Sultoni, M. Alfan, Ali Maksum Universitas Negeri Malang Email:
[email protected] Abstract: Pemerintah Indonesia mengimplementasikan Kurikulum 2013 untuk mengatasi persoalan karakter dan moral bangsa Indonesia. Implementasi dari Kurikulum 2013 tentunya menghadapi beberapa kendala. Salah satunya adalah masalah teoritis yang menempatkan karakter agama dan karakter sosial dalam posisi yang sama, dan juga aspek skill dan kognitif. Ini bertentangan dengan Islam yang menempatkan pembelajaran agama sebagai dasar bagi nilai-nilai sosial serta aspek skill dan kognitif. Sebagai hasilnya, permasalahan ini menjadikan rintangan bagi implementasi Kurikulum 2013 karena menghasilkan siswa-siswa yang sekuler. Oleh karena itu menjadi penting untuk memformulasikan konsep dan juga implementasi Kurikulum 2013 yang memusatkan pada nilai-nilai agama dalam rangka mengoptimalkan pendidikan karakter. Melalui pendekatan kualitatif dan juga metode penelitian pustaka dengan analisis deskriptif, maka temuan dalam penelitian ini adalah: 1) pemusatan nilai Kurikulum 2013 dilakukan melalui integrasi nilai-nilai agama dengan ilmu alam serta sosial dan sebaliknya yang keduanya berada dalam kurikulum dengan aktivitas yang lebih banyak, 2) ada beberapa cara untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 diantaranya adalah: mendesain KI-KD dan pokok pelajaran, pemilihan metode dan media, dan juga peran dari guru. Keywords: pemusatan, nilai agama, pendidikan karakter, Kurikulum 2013
PENDAHULUAN Persoalan moralitas dan karakter bangsa saat ini merupakan salah satu problem akut bangsa Indonesia. Persoalan-persoalan sosial budaya di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, pergaulan (seks) bebas, gaya hidup materialis, serta penyalahgunaan narkoba dan zat adiktif lainnya sepertinya tak kunjung bisa diatasi oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Kasus korupsi terjadi di berbagai lembaga pemerintahan, termasuk di departemen yang dipandang religius dan baik, yaitu departemen agama. DPR dan MPR, dua lembaga tinggi yang merupakan representasi wakil rakyat juga tidak luput dari tindak korupsi. Sebagai contoh, hanya dalam periode waktu sekitar dua tahun, terdapat tujuh anggota DPR RI periode 2014-2019 yang ditangkap dan dijadikan tersangka oleh KPK.1 Di lingkungan remaja, khususnya pelajar dan mahasiswa, persoalan moralitas dan karakter menampakkan keadaan yang memprihatinkan. Pergaulan (seks) bebas, gaya hidup hedonis, dan penyalahgunaan narkoba dan zat adiktif lainnya menjadi fenomena umum di masyarakat perkotaan, dan mulai menjalar di pedesaan. Padahal masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang beragama. Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan dan Pusat Pelatihan Bisnis Humaniora (LSC dan 1
http://nasional.kompas.com/read/2016/06/30/09330271/putu.sudiartana.anggota.dpr.ketujuh.yang.ja di.tersangka.kpk (diakses tanggal 17 Juli 2016).
127
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 127-140
K serta Pusbih) Yogyakarta yang dilakukan pada tanggal 16 Juli 1999 sampai 16 Juli 2002, menyebutkan bahwa 97,05% dari 1.660 responden di 16 Perguruan Tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta pernah melakukan aktivitas seksual pranikah.2 Di sisi lain, pelaksana Tugas Deputi Bidang Pencegahan BNN Gun Gun Siswadi, dalam suatu diskusi, menyatakan bahwa sebanyak 921.695 orang atau sekitar 4,7 persen dari total pelajar dan mahasiswa di tanah air tercatat sebagai pengguna narkoba.3 Persoalan moral dan karakter ini membuat pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memunculkan kurikulum berbasis karakter sebagai solusi. Kurikulum yang disebut juga Kurikulum 2013 dan mulai diterapkan secara terbatas pada tahun 2013 ini menekankan pada penanaman karakter dan budaya kepada siswa sejak usia dini.4 Karakter dan budaya tersebut diantaranya adalah nilai religius, jujur, toleran, cinta tanah air. Nilai religius merupakan salah satu nilai karakter penting yang dikembangkan dalam kurikulum 2013. Aspek penting nilai karakter religius tercermin dari deskripsi nilai ini dalam kurikulum 2013, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.5 Dari deskripsi ini dapat disimpulkan bahwa bila seseorang memiliki karakter religius, ia akan menjadi orang yang baik. Sebab orang yang religius bersikap taat dan patuh pada agama yang mengajarkan kebaikan. Dalam realitasnya, pelaksanaan pendidikan karakter melalui kurikulum 2013 ternyata menemui berbagai kendala. Secara teoritis, salah satu rintangan yang dihadapi bahkan berasal dari konsep kurikulum 2013 itu sendiri. Secara konseptual, kurikulum 2013 dipandang sejumlah ahli pendidikan Islam memiliki cacat, yaitu penempatan secara sejajar sikap religius dengan sikap sosial, pengetahuan, dan ketrampilan dalam kompetensi inti yang harus dicapai siswa. Ahmad Tafsir misalnya, seorang pakar pendidikan Islam dari UIN Gunung Jati Bandung, menyatakan bahwa nilai ketuhanan atau iman seharusnya menjadi dasar dan landasan pembentukan sikap moral, pengetahuan, maupun ketrampilan siswa; bukan diposisikan secara sejajar.6 Hal ini berarti nilai karakter religius seharusnya tidak setara dengan nilai karakter sosial, melainkan lebih tinggi. Dengan ungkapan lain, nilai karakter religius selayaknya menjadi inti pendidikan karakter, dan melandasi nilai karakter sosial serta pembelajaran pengetahuan dan ketrampilan. Ditinjau dari perspektif ajaran Islam, konsep memposisikan sikap religius secara setara dengan sikap sosial dalam kurikulum 2013 sesungguhnya juga tidak tepat. Nilai religius yang hampir sama dengan iman dalam ajaran Islam merupakan dasar dari setiap Iip Wijayanto, Sex in the Kost, (Yogyakarta: CV. Qalam, 2003), h. 23. http://news.okezone.com/read/2014/09/28/337/1045517/hasil-survei-921-695-pelajar-konsumsinarkoba (diakses tanggal 14 Juli 2016). 4 http://edukasi.kompas.com/read/2014/03/06/1934280/Kurikulum.2013.Menekankan.Pembangunan. Karakter.Anak (diakses tanggal 2 Maret 2016). 5 Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah . (Jakarta: t.p., 2009), 9-10. 6 Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islami. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), 129. 2 3
128
Optimalisasi Pendidikan Karakter (Sultoni, Alfan, Maksum)
prilaku manusia (Q.S. al-Ashr: 2). Hal ini berarti nilai religius seharusnya menjadi dasar atau pusat dari nilai-nilai karakter lainnya, bukan setara. Hal yang sama juga terjadi bila hal tersebut dikaji menurut falsafah bangsa Indonesia, Pancasila. Dalam Pancasila, sila ketuhanan (nilai religius) yang dilambangkan dengan bintang diposisikan di tengah empat sila yang lain. Peletakan ini bermakna bahwa agama atau keyakinan pada Tuhan merupakan dasar dari nilai-nilai atau sila-sila yang lain.7 Menimbang dan memperhatikan penjelasan diatas, pemosisian nilai karakter religius pada posisi yang sebenarnya, yaitu sebagai sentral dan inti dari nilai-nilai karakter yang lain dalam kurikulum 2013 dipandang amat urgen dan penting. Sebab selain secara teoritis hal ini adalah konsep yang benar, pengembalian posisi nilai religius ke posisi sentral juga memiliki implikasi praktis, yakni bermanfaat dalam mengoptimalkan pelaksanaan pendidikan karakter. Disamping itu, hal ini sesuai dengan kondisi penduduk Indonesia yang merupakan masyarakat yang religius. Selain secara konseptual tidak tepat, penempatan nilai karakter religius secara sejajar dengan nilai karakter sosial juga rentan menimbulkan cara pandang yang tidak tepat pada siswa terhadap prilaku dan agama yang ia anut. Siswa, bahkan mungkin guru, secara tidak sadar belajar bahwa agama yang ia yakini kebenarannya tidak berhubungan dengan perbuatan baik atau tindakan moral yang ia lakukan. Hal ini disebabkan kurikulum 2013 mengajarkan dua hal tersebut sebagai sesuatu yang terpisah dan tidak berhubungan secara langsung; ada nilai karakter yang bersifat religius, ada pula nilai karakter yang bersifat sosial. Nilai-nilai karakter tersebut satu sama lain belum tentu ada kaitannya. Terkait dengan khazanah studi tentang karakter siswa dan nilai religius, penelitian tentang hal tersebut telah banyak dilakukan di Indonesia. Misalnya penelitian yang dilakukan Hanni Juwaniah (2013) memfokuskan pada penerapan nilai-nilai religius pada siswa MIN Bawu, Jepara, dan Jumarudin (2014) yang mengkaji pengembangan pembelajaran humanis religius di sekolah dasar. Sementara di tingkat SMA, terdapat penelitian lapangan yang dilakukan Sultoni (2014) tentang implementasi Kurikulum 2013 bidang studi Biologi Kelas X dalam mengembangkan sikap religius siswa di MAN 3 Malang. Selain itu, terkait dengan penerapan pendidikan karakter dalam pembelajaran, Slamet Suyanto, dalam penelitiannya menyatakan bahwa pendidikan karakter akan efektif bila dilaksanakan melalui pembelajaran integral, yakni nilai karakter dikembangkan secara terpadu melalui semua pelajaran. Namun penelitian-penelitian tersebut tidak ada yang mengkaji atau lebih tepatnya mempermasalahkan konsep penyetaraan kompetensi sikap religius dengan kompetensi sikap sosial, pengetahuan, dan ketrampilan dalam kurikulum 2013. Berdasarkan latar belakang dan kerangka berfikir diatas, penelitian tentang urgensi posisi nilai karakter religius dan penempatan nilai karakter religius sebagai landasan dalam dalam pendidikan karakter dengan judul Optimalisasi Pendidikan Karakter Melalui 7
Ibid., 154.
129
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 127-140
Sentralisasi Peran Nilai Religius Dalam Kurikulum 2013 dipandang penting dan strategis dilakukan. Adapun permasalahan umum yang hendak dicari solusinya melalui penelitian ini adalah bagaimana mengoptimalkan Pendidikan Karakter Melalui Sentralisasi Peran Nilai Religius dalam Kurikulum 2013. Permasalahan umum ini dirinci menjadi dua rumusan masalah: pertama, bagaimana konsep sentralisasi peran nilai religius dalam kurikulum 2013 guna mengoptimalkan pendidikan karakter? kedua, bagaimana bentuk penerapan sentralisasi peran nilai religius dalam kurikulum 2013 guna mengoptimalkan pendidikan karakter? Merujuk pada persoalan penelitian, tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan konsep dan bentuk sentralisasi peran nilai religius dalam kurikulum 2013 guna mengoptimalkan pendidikan karakter. Sedangkan hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan penting bagi perbaikan kualitas pendidikan nasional, khususnya dalam hal upaya mewujudkan generasi yang religius dan berkarakter positif. Sumbangsih tersebut berupa perbaikan strategi pendidikan karakter dalam kurikulum 2013, yakni dengan cara memposisikan nilai karakter religius sebagai landasan atau inti dalam melaksanakan pendidikan karakter.
METODE PENELITIAN Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu merumuskan konsep dan penerapan sentralisasi peran nilai religius dalam kurikulum 2013 guna mengoptimalkan pendidikan karakter, maka penelitian ini termasuk dalam kategori kajian pustaka, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sebab tujuan dan fokus yang diteliti adalah menemukan ide atau gagasan rumusan konsep dan bentuk penerapan sentralisasi peran nilai religius dalam kurikulum 2013 guna mengoptimalkan pendidikan karakter. Adapun gagasan penerapan kurikulum integral ini diperoleh dari sumber pustaka berupa buku, jurnal, makalah, maupun sumber pustaka lain.8 Sedangkan data dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu: pertama, konsep kompetensi inti dan kompetensi dasar dalam kurikulum 2013, kedua, konsep sentralisasi nilai karakter religius atau keimanan dalam kurikulum/pendidikan. Data-data tersebut bersumber dari buku-buku yang membahas konsep pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 yang sebagian besar berasal dari pemerintah melalui lembaga pusat kurikulum. Selain itu, buku-buku karya ahli pendidikan Islam digunakan sebagai sumber informasi tentang konsep sentralisasi nilai karakter religius atau keimanan dalam kurikulum/pendidikan. Sementara itu, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi, sedangkan analisis data menggunakan teknik deskriptif kualitatif.
8
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian
(Malang: Universitas Negeri Malang, 2010), 36.
130
Optimalisasi Pendidikan Karakter (Sultoni, Alfan, Maksum)
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN Konsep sentralisasi peran nilai religius dalam kurikulum 2013 untuk mengoptimalkan pendidikan karakter Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sentralisasi peran nilai karakter religius dalam pendidikan karakter penting dilakukan demi mengefektifkan pendidikan karakter. Sebab dengan memberikan landasan religius pada setiap pengetahuan yang disajikan guru, siswa diharapkan memiliki kesadaran religius senantiasa merasa “dekat” atau “diawasi” Tuhan. Hal ini mengingat pentingnya fungsi agama yang sangat menentukan bagi manusia sebagai petunjuk jalan dalam berprilaku, baik terhadap sesama manusia, mupun terhadap alam sekitar dan Tuhannya.9 Pertanyaanya adalah bagaimana cara memosisikan nilai religius sebagai landasan pendidikan karakter dalam kurikulum, tepatnya kurikulum 2013. Salah satu cara yang dapat dipilih untuk melakukan sentralisasi nilai religius ke dalam kurikulum 2013 adalah melalui strategi kurikulum integral. Maksud kurikulum integral ini adalah mengkaji ilmu pengetahuan dengan cara mengkaitkan Allah, manusia, dan alam. Saat membahas ilmu tentang manusia atau alam, harus dihubungkan dengan Allah. Begitu juga sebaliknya, ketika mengkaji ilmu tentang Allah, harus dikaitkan dengan bahasan tentang manusia dan atau alam.10 Secara lebih operatif, hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan nilainilai religius ke dalam ilmu pengetahuan umum, dan mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dan kealaman ke dalam ilmu agama. Sehingga terciptalah ilmu pengetahuan yang integratif, berorientasi pada ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman. Sentralisasi nilai religius ke dalam kurikulum 2013 dengan strategi kurikulum integal dilakukan melalui kegiatan pembelajaran. Hal ini dilakukan karena pembelajaran merupakan bentuk nyata atau realisasi kurikulum sebagai dokumen tertulis di sekolah atau kelas. Dalam pelaksanaannya, rencana aktifitas pembelajaran yang relevan dirancang oleh guru untuk menjadikan nilai karakter religius sebagai sentral pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 tidak boleh dilepaskan dari ciri khas kurikulum 2013, sebagai contoh, adanya kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD). Dengan demikian konsep sentralisasi nilai religius dalam kurikulum 2013 selayaknya mengacu pada unsurunsur yang terdapat dalam kurikulum 2013. Hal ini berarti sentralisasi nilai religius tidak merubah struktur yang ada dalam kurikulum 2013, melainkan mengintegrasikan nilai karakter religius ke dalam kurikulum 2013. Secara konseptual, sentralisasi nilai karakter religius dalam pendidikan karakter di kurikulum 2013 ditempuh dengan cara mengintegrasikan atau memasukkan nilai ketuhanan atau nilai karakter religius ke seluruh materi pembelajaran yang tidak mengandung nilai karakter religius. Adapun untuk mata pelajaran yang telah memiliki 9
H.A.R. Tilaar. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), 231. 10 Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda Karya, 1995), 218.
131
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 127-140
nilai karakter religius, seperti mata pelajaran pendidikan agama (baik mata pelajaran agama Islam, Kristen, Hindu, atau Budha), tindakan yang dilakukan adalah mengintegrasikan nilai karakter sosial atau nilai peduli lingkungan ke dalam mata pelajaran tersebut. Implikasi praktis dari aktifitas integrasi sebagaimana dimaksud diatas adalah setiap mata pelajaran dalam kurikulum 2013 mengandung trilogi nilai, yaitu: nilai ketuhanan (religius), nilai sosial, dan nilai peduli alam. Secara lebih khusus, dalam setiap materi pelajaran dalam kurikulum 2013 –baik IPA, Matematika, maupun IPS– terkandung nilai karakter religius sebagai hasil proses integrasi tersebut. Sebaliknya, pada bidang studi keagamaan –yang umumnya dominan nilai karakter religiusnya– terdapat nilai karakter sosial dan peduli lingkungan. Sebagai ilustrasi, dalam mata pelajaran IPA tentang anatomi tubuh manusia, umumnya membahas macam-macam anatomi tubuh, fungsinya, dan cara memeliharanya. Dikaitkan dengan pendidikan karakter, nilai yang biasanya muncul untuk tema ini adalah nilai intelektual dan menghargai diri. Dari sudut pandang strategi integral, hal ini sangat disayangkan sebab menafikan Tuhan dari kajian tersebut. Sebagai solusinya, perlu diintegrasikan atau dimasukkan nilai religius didalam pembahasannya, berupa kajian tentang siapa pencipta anatomi tubuh manusia yang sedemikian kompleks, sehingga muncul pula nilai religius di dalamnya. Pandangan semacam ini senada dengan pendapat Yudianto (dalam Zubaedi, 2011) yang menyatakan bahwa dalam mata pelajaran IPA secara intrinsik terkandung lima nilai dasar, yakni nilai religi, nilai praktis, nilai intelektual, nilai sosial-politik, dan nilai pendidikan.11 Karena sentralisasi nilai religius dalam kurikulum 2013 dilakukan melalui pembelajaran, maka rancangan dan pelaksanaan pembelajaran kurikulum 2013 menjadi khas dan unik. Salah satu penyebabnya adalah selalu ada nilai karakter religius dalam pembelajaran, dan setidaknya bersama dengan satu nilai atau kompetensi yang lain, apakah nilai sosial, nilai kealaman, maupun kompetensi keterampilan atau kompetensi pengetahuan. Dampak selanjutnya dari hal tersebut adalah adanya “perubahan” pada isi sejumlah komponen pembelajaran, dan bukan pada komponen atau unsur pembelajaran kurikulum 2013. Oleh karena itu, dalam proses integrasi nilai karakter religius dalam kurikulum 2013, unsur-unsur pembelajaran dalam kurikulum 2013 seperti, KI,KD, materi, metode, evaluasi tetap dipertahankan, akan tetapi pada isi komponen-kompenen tersebut diintegrasikan nilai religius. Selain melalui kegiatan pembelajaran, sentralisasi nilai karakter religius juga ditempuh melalui pengintegrasian nilai religius ke dalam kegiatan ekstra kurikuler. Meski terdapat kecenderungan sejumlah siswa enggan mengikuti kegiatan ekstra kurikuler karena bukan sesuatu yang utama, manfaatnya sedikit, bahkan terkadang mengganggu
Zubaedi, Desain pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 331. 11
132
Optimalisasi Pendidikan Karakter (Sultoni, Alfan, Maksum)
konsentrasi belajar,12 akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi nilai strategis kegiatan ekstra kurikuler sebagai penopang integrasi nilai religius dalam kegiatan pembelajaran. Kekurangan seperti disebutkan di atas perlu segera diperbaiki oleh pengelola sekolah secara serius agar fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk membantu peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat peserta didik (Panduan, 2013: 9) dapat berjalan dengan semestinya. Misalnya dengan merancang kegiatan ekstra kurikuler yang menarik, terencana, dan terprogram. Kegiatan ekstra kurikuler seperti pramuka, Palang Merah Remaja (PMR), drumband, pencak silat sebenarnya banyak mengandung nilai karakter yang strategis ditanamkan kepada siswa, semisal kemandirian, percaya diri, disiplin, saling menghargai, ketrampilan menyelesaikan masalah, dan sebagainya. Sungguh luar biasa apabila karakterkarakter semacam ini dapat terinternalisasikan pada siswa dengan sarana kegiatan ekstra kurikuler. Untuk mendorong siswa memiliki nilai-nilai karakter tersebut, dalam pelaksanaan kegiatan ekstra kurikuler, guru pembimbing kegiatan ekstra kurikuler seharusnya menyampaikan urgensi nilai tersebut bagi siswa di masa depan, dan bahwa nilai-nilai tersebut adalah ajaran agama, dan Tuhan menyukai nilai-nilai tersebut. Disinilah integrasi nilai religius ke dalam kegiatan ekstra kurikuler terjadi. Selain melalui cara tersebut, untuk kegiatan ekstra kurikuler keagamaan, seperti kegiatan aksi sosial ke panti asuhan, sholat dhuha berjamaah, wisata religi, lomba keagamaan,13 guru pendamping selayaknya menyampaikan dampak sosial dari kegiatankegiatan ekstra tersebut kepada siswa. Bahwa setiap ibadah yang mereka lakukan seharusnya melahirkan sikap positif kepada sesama, misalnya: dampak sosial sholat dhuha adalah disiplin dan malu berbuat buruk. Sementara itu dampak wisata religi adalah peduli pada orang lain dan memperbanyak perbuatan baik karena maut bisa menjemput kapan saja. Bentuk sentralisasi peran nilai religius dalam kurikulum 2013 untuk mengoptimalkan pendidikan karakter Terkait dengan penerapan sentralisasi nilai religius atau integrasi nilai religius ke dalam kurikulum 2013 melalui kegiatan pembelajaran, secara praktis-aplikatif terdapat sejumlah bentuk memosisikan nilai karakter religius sebagai inti atau landasan pendidikan karakter dalam kurikulum 2013. Bentuk-bentuk tersebut adalah melalui: 1) desain kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD), 2) desain materi pembelajaran, 3) pemilihan metode, dan 4) peran guru. 1.
Melalui disain KI dan KD
Cara pertama yang dapat dilakukan untuk mengintegrasikan nilai karakter religius ke dalam mata pelajaran yang tidak mengandung nilai karakter religius adalah dengan 12
Ibid., 309.
13
Panduan Pembinaan Kegiatan Ekstrakurikuler Keagamaan Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah
(Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, 2013), 10-11.
133
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 127-140
mendisain KI-KD mata pelajaran tersebut. KI-KD dalam kurikulum 2013 adalah tujuan pembelajaran yang ingin dicapai melalui pembelajaran pada jenjang dan tingkat pendidikan tertentu. Sebagai salah satu komponen penting dalam aktifitas pembelajaran yang berfungsi mengarahkan kegiatan pembelajaran, tujuan14 atau KI-KD urgen dirancang sedemikian rupa agar tidak hanya mengandung aspek pengetahuan, ketrampilan, dan sosial saja, melainkan juga memiliki nilai religius. Sebab menurut aturan, materi, metode, alat, bahkan evaluasi pembelajaran harus dirancang dan dipilih berdasarkan tujuan atau KI-KD.15 Dengan demikian diharapkan agar di dalam KI-KD semua mata pelajaran dalam kurikulum 2013 selalu terdapat nilai karakter religius. Selanjutnya para guru disarankan merancang dan memilih materi pelajaran, metode, alat, dan evaluasi yang mengembangkan nilai karakter religius pula, karena mengacu pada KI-KD yang memiliki nilai karakter religius. Langkah pertama dalam mengintegrasikan nilai religius ke dalam KI dan KD adalah dengan melakukan analisis KI dan KD sebuah tema. Hal ini sesuai dengan ciri kurikulum 2013 yang mengutamakan tujuan, baru materi atau isi pelajaran. Artinya materi mengikuti tujuan, bukan sebaliknya.16 Dengan demikian orientasi tema atau bab tertentu dalam kurikulum 2013 sesungguhnya terdapat pada KI dan KD nya, yang selanjutnya dijabarkan dalam pemilihan materi. Analisis dimaksudkan untuk mengetahui apakah KI dan KD tema tersebut berorientasi pada aspek ketuhanan, kemanusiaan, atau kealaman. Berikut ini contoh analisis KI dan KD untuk sebuah tema atau bab, yakni bidang studi IPA kelas VII bab I: Obyek IPA dan Pengamatannya.17 Bab
Jenis KI KI1: Menghayati dan 1 mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
KI2: Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam
Rumusan KD Orientasi Tema KD1: Mengagumi keteraturan Ketuhanan dan kompleksitas ciptaan Tuhan tentang aspek fisik dan kimiawi, kehidupan dalam ekosistem, dan peranan manusia dalam lingkungan serta mewujudkannya dalam pengamalan ajaran agama yang dianutnya. KD2: Menunjukkan perilaku Kemanusiaan dan ilmiah (memiliki rasa ingin tahu; kealaman objektif; jujur; teliti; cermat; tekun; hati-hati; bertanggung jawab; terbuka; kritis; kreatif;
Hasan Langgulung. Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 13. Ahmad Tafsir. Metodologi Pengajaran Agama Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001),14. 16 Peraturan Menteri Pendidikan Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan, 6. 17 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan Alam: Buku Guru KelasVII (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013), 15-16. 14 15
134
Optimalisasi Pendidikan Karakter (Sultoni, Alfan, Maksum)
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya KI3: Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata. KI4: Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi,dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.
inovatif dan peduli lingkungan) dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud implementasi sikap dalam melakukan percobaan dan berdiskusi. KD3: Memahami konsep pengukuran berbagai besaran yang ada pada diri, makhluk hidup, dan lingkungan fisik sekitar sebagai bagian dari observasi, serta pentingnya perumusan satuan terstandar (baku) dalam pengukuran. KD4: Menyajikan hasil pengukuran terhadap besaranbesaran pada diri, makhluk hidup, dan lingkungan fisik dengan menggunakan satuan tak baku dan satuan baku.
Kemanusiaan dan kealaman
Kemanusiaan dan kealaman
Setelah dilakukan analisis orientasi tema tersebut yang tercermin dari KI dan KD nya, jika KI-KD tema tersebut mengandung orientasi pada ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman, maka KI-KD tersebut tidak perlu dirubah. Namun bila tidak terdapat orientasi ketuhanan pada tema tersebut, perlu ditambahkan KD baru, yakni KD nilai religius, untuk melengkapi orientasi yang ada agar bersifat integral, yaitu berorientasi pada aspek ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman secara terpadu. Mengacu pada fungsi KI-KD sebagai pemberi arah pembelajaran, desain terhadap KI-KD agar mengandung nilai religius -sekaligus nilai kemanusiaan dan kealamanseharusnya dilakukan di awal sebelum melakukan disain pada isi atau metode pembelajaran. Hal perlu dilakukan agar kegiatan pembelajaran menjadi sistematis dan terencana dengan baik. 2.
Melalui desain materi pembelajaran
Strategi kedua yang dapat dilakukan untuk mengembangkan karakter religius siswa melalui kurikulum integral adalah melalui rancangan materi pembelajaran yang integral. Maksudnya adalah materi pembelajaran dirancang sedemikian rupa agar mengandung sekaligus tiga orientasi, yakni ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman. Pemaduan ketiga orientasi tersebut dalam satu materi pembelajaran berguna untuk membangun pola pandang siswa bahwa segala sesuatu atau kejadian di alam semesta ini saling terkait, dan berhubungan dengan Tuhan, Sang Pengatur alam semesta. Dengan demikian, siswa yang memiliki pola pandang semacam ini akan memandang bahwa apa
135
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 127-140
yang ada pada dirinya, atau apa yang terjadi di sekitarnya bahkan di alam semesta tidak lepas dari rancangan dan kehendak Tuhan. Intinya segala sesuatu atau peristiwa terkait dengan Tuhan, mulai dari kejadian sepele sampai pada peristiwa besar yang terjadi di alam semesta. Cara pandang seperti inilah yang pada gilirannya membuat karakter religius siswa berkembang. Dampak lain dari pola pandang integral diatas adalah munculnya kesadaran sholeh ritual menuju sholeh sosial. Saat siswa melakukan suatu ibadah (seperti sholat, puasa), ia juga menyadari bahwa ibadah yang ia lakukan semestinya memiliki dampak positif pada orang-orang sekitarnya. Dalam bahasa lain, kesalehan ritual yang ia lakukan dalam bentuk rajin beribadah, membawa dan mendorong dia melakukan kesalehan sosial, berupa prilaku positif pada orang lain, seperti disiplin, jujur, menepati janji.18 Pemaduan atau integrasi 3 orientasi tersebut dalam sebuah materi pembelajaran dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap materi pelajaran sebuah tema yang akan diajarkan kepada siswa; apakah materi tersebut telah berorientasi pada aspek ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman sekaligus, atau hanya berorientasi pada salah satu dari tiga aspek tersebut. Jika setelah dilakukan analisis ditemukan terdapat materi suatu bab yang tidak berorientasi secara lengkap, maka tugas guru adalah menambahkan materi yang beorientasi pada aspek yang tidak ada tersebut. Sebagai contoh, bila tidak ditemukan adanya materi yang berorientasi ketuhanan, maka harus ditambahkan materi yang berorientasi pada pada ketuhanan. Secara garis besar proses integrasi nilai religius dalam bentuk disain materi dilakukan mengikuti dua alur mengacu pada sifat mata pelajaran yang akan diintegrasi. Pertama, untuk materi mata pelajaran yang bersifat “umum” atau non agama, seperti matematika, IPA, IPS, bahasa dan sastra, biasanya materi yang ber orientasi ketuhanan cenderung minim. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah menambahkan materi yang berorientasi pada ketuhanan. Kedua, pada materi mata pelajaran agama, seperti PAI, fiqh, umumnya padat dengan materi yang berorientasi pada ketuhanan, dan sebaliknya minim materi yang berorientasi kemanusiaan atau kealaman. Dengan demikian, langkah yang ditempuh untuk mendisain mata pelajaran semacam ini adalah menambahkan materi yang berorientasi pada pada kemanausiaan dan ketuhanan. Bila karena alasan tertentu integrasi nilai religius dalam materi pembelajaran sulit dilakukan, seperti materi tersebut sangat spesifik sehingga sulit dikaitkan dengan Tuhan, maka keterpaduan materi diupayakan melalui pemberian contoh atau ilustrasi. Misalnya seorang guru matematika yang mengajar muridnya tentang penambahan, perkalian, atau pengurangan, sehingga sulit mengkaitkan materi tersebut dengan Tuhan. Menghadapi masalah ini, guru bisa memberikan contoh dalam menjelaskan materi tersebut dengan
Tim Penulis. Pendidikan Islam Transformatif: Membentuk Pribadi Berkarakter . (Malang: Dreamlitera, 2014), 77. 18
136
Optimalisasi Pendidikan Karakter (Sultoni, Alfan, Maksum)
aktifitas sehari-hari yang terkait dengan agama, seperti jumlah rokaat sholat fardlu, jumlah nisab zakat, jumlah malaikat atau nabi dan rasul, dan sebagainya. 3.
Pemilihan metode, khususnya budaya religius
Metode pembelajaran memiliki peran strategis dalam menyukseskan proses pembelajaran dan pencapaian tujuannya. Dalam sebuah kaidah pendidikan disebutkan althoriiqoh ahammu min al-maaddah, metode lebih penting daripada materi pembelajaran. Oleh karena itu, pemilihan metode yang tepat mutlak diperhatikan oleh guru agar pembelajaran mencapai hasil yang optimal.19 Prinsip ini juga berlaku pada integrasi nilai religius melalui kegiatan pembelajaran. Secara umum, sentralisasi nilai religius melalui pemilihan metode pembelajaran dilakukan dengan pedoman bahwa metode tersebut dapat membantu upaya transformasi nilai dan penanaman moral dan pembentukan sikap peserta didik, salah satunya metode pembiasaan. Dalam konteks ini adalah pembiasaan aktifitas yang mendekatkan diri atau mengingatkan siswa kepada Tuhan. Secara mikro, metode pembiasaan dilaksanakan di ruang kelas saat guru mengajar. Pembiasaan yang perlu dilakukan adalah berdo’a di awal maupun di akhir pertemuan. Pada saat memimpin do’a, guru perlu menyampaikan kepada siswa bahwa semua ilmu, termasuk ilmu yang sedang mereka pelajari, bersumber dari Tuhan. Hal ini dimaksudkan untuk membangun kesadaran siswa bahwa ilmu yang diajarkan dalam mata pelajaran apapun berasal dari Tuhan, dan oleh karenanya harus dimanfaatkan untuk kebaikan. Dalam konteks ini, guru juga dapat menambahkan pembiasaan berupa mengakhiri pembelajaran dengan membaca surat pendek tertentu, sholawat, atau ayat tertentu seperti ayat kursi. Pembiasaan model ini menurut Tafsir dapat meningkatkan keimanan peserta didik.20 Disamping dua bentuk pembiasaan di atas, guru perlu membiasakan prilakuprilaku positif lain di kelas, seperti disiplin, tepat waktu, jujur, menghargai dan menghormati orang lain. Dalam sejumlah kesempatan, guru mengigatkan dan menyadarkan siswa bahwa semua prilaku positif tersebut adalah ajaran Tuhan, dan ciri orang beragama. Oleh karena itu harus diupayakan untuk dilakukan. Tindakan ini penting dilakukan guna menyadarkan siswa bahwa agama bukan hanya ibadah ritual seperti sholat, puasa, zakat, melainkan juga keseluruhan prilaku manusia yang sering disebut akhlak sebagai wujud dari keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan.21 Perlu diingat bahwa bermacam-macam metode pembiasaan tersebut wajib diterapkan oleh semua guru, tidak hanya guru agama atau PKn. Secara makro, pembiasaan dilakukan di tingkat sekolah sehingga diharapkan menjadi budaya sekolah. Hal ini berarti semua pihak di sekolah harus turut dan bersedia 19
Yasin, Fatah. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam (Malang: UIN Maliki Press, 2008), 130.
20
Tafsir, Filsafat, 232.
21
Nurcholish Madjid. Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina, 1997), 124.
137
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 127-140
terlibat untuk melakukan metode pembiasaan ini. Dalam konteks ini, manajemen sekolah perlu mengupayakan pembiasaan prilaku-prilaku positif dan aktifitas-aktifitas keagamaan di sekolah sehingga melahirkan budaya religius. Budaya religius dalam konteks ini adalah dalam makna luas, yakni segala sikap atau perbuatan positif yang selaras dengan agama. Dalam pandangan Islam, budaya religius tersebut adalah ibadah ritual dan akhlak, hubungan vertikal dan horizontal (Sahlan, 2010: 48).22 Kejujuran, keadilan, disiplin, menghormati orang lain, rendah hati, bekerja efisien, bermanfaat untuk orang lain, keseimbangan, visi ke depan merupakan sebagian contoh akhlak atau nilai karakter positif yang perlu dibiasakan manajemen sekolah di tingkat sekolah agar kelak menjadi budaya religius di sekolah. Pembiasaan hal positif ini dipadu dengan pembiasaan ibadah ritual di sekolah, seperti sholat berjamaah, puasa sunnah seninkamis, zikir dan istighotsah berjamaah, tadarrus al-Qur’an bersama. Untuk melakukan hal ini, menurut Muhaimin, ada empat pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan struktural, formal, organik, dan mekanik. 4.
Peran Guru
Dalam melaksanakan bentuk-bentuk sentralisasi nilai religius dalam kurikulum 2013, guru memiliki peran yang sangat strategis. Guru adalah ujung tombak pelaksanaan upaya tersebut. Sukses atau gagalnya upaya sentralisasi nilai religius banyak ditentukan oleh peran guru. Hal ini wajar mengingat upaya tersebut dilakukan di sekolah, dan guru adalah pihak yang langsung berinteraksi dengan siswa. Berkenaan dengan peran sentral guru sebagai pelaksana di “lapangan”, terdapat satu peran yang perlu diberi perhatian lebih oleh guru, yakni peran sebagai model atau teladan. Sebagai orang yang menjadi panutan siswa, terutama di sekolah, guru seharusnya tidak hanya meneladankan ibadah ritual, seperti shalat dhuha, puasa, zikir. Namun tidak kalah pentingnya menjadi pribadi yang menjadi teladan dalam hal kebersihan, kerapian, sifat sabar, kerajinan, kedisiplinan, kejujuran, kerja keras, senyum, mengucapkan salam, dan seterusnya yang mencakup semua gerak gerik dan prilaku dalam kehidupan seharihari sebagimana yang diatur oleh ajaran agama.23
Modelling atau pemberian teladan sangat penting bagi siswa karena menurut teori belajar sosial Albert Bandura, manusia belajar dengan cara mengamati dan meniru prilaku orang lain. Peniruan model merupakan sesuatu yang penting dalam belajar.24 Selain itu, karena ada sanksi sosial, yaitu seseorang akan merasa bersalah bila tidak meniru prilaku orang di sekitarnya,25 apalagi hal itu adalah prilaku orang yang dihormati.
22
Asmaun Sahlan. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah: Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 47-49. 23 Tafsir, Filsafat, 229-230. 24 Zubaedi. Desain pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013),174 . 25 Tafsir, Filsafat, 230.
138
Optimalisasi Pendidikan Karakter (Sultoni, Alfan, Maksum)
Teori peneladanan sangat cocok diterapkan pada anak-anak dan remaja. Sebab masa anak dan remaja merupakan usia mencari figur atau panutan dalam rangka pembentukan karakter atau jati diri manusia. Ironisnya, dalam kenyataan, anak-anak dan remaja lebih sering mengidolakan figur yang ada di acara televisi daripada guru atau orang tuanya. Padahal acara di televisi sering menampilkan tindakan agresi dan kekerasan.26 Oleh karena itu, sekolah dan guru hendaknya berupaya keras menjadi model atau teladan yang baik bagi siswa-siswinya.
PENUTUP Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan penelitian atas sentralisasi nilai religius dalam kurikulum 2013 dapat disimpulkan bahwa: pertama, secara konseptual, sentralisasi nilai religius dalam kurikulum 2013 guna mengoptimalkan pendidikan karakter dilakukan dengan strategi kurikulum integral, yaitu mengintegrasikan nilai-nilai religius ke dalam ilmu pengetahuan umum, dan mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dan kealaman ke dalam ilmu agama. Di sekolah, upaya ini dilakukan melalui pembelajaran di kelas dan kegiatan ekstra kurikuler; kedua, terdapat beragam bentuk sentralisasi nilai religius dalam kurikulum 2013 guna mengoptimalkan pendidikan karakter, yaitu melalui disain KI-KD, disain materi pembelajaran, pemilihan metode, dan peran guru. Adapun rekomendasi yang perlu dilakukan adalah Sentralisasi peran nilai religius dalam kurikulum 2013 perlu segera dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat bila masih terdapat keinginan kuat untuk memperbaiki bangsa Indonesia. Sebab metode ini adalah salah satu alternatif mengoptimalkan pendidikan karakter yang saat ini menemui banyak hambatan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. "Kerusakan Moral Mencemaskan". Kompas, edisi 20 Juni 2011, hal. 1. Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn & Bacon, Inc. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan Alam: Buku Guru Kelas VII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013. Lampiran peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor 68 tahun 2013 tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993. Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina, 1997. Muhaimin, dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya, 1995. 26
Zubaedi, Desain, 174.
139
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 127-140
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Panduan Pembinaan Kegiatan Ekstrakurikuler Keagamaan Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, 2013. Peraturan Menteri Pendidikan Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan. Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009. Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: t.p., 2009. Sahlan, Asmaun. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah: Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi. Malang: UIN Maliki Press, 2010. Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001. -------. Filsafat Pendidikan Islami. PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2010. Tilaar, H.A.R. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005. Tim Penulis. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Negeri Malang. Malang: UM Press, 2010. Tim Penulis. Pendidikan Islam Transformatif: Membentuk Pribadi Berkarakter. Malang: Dreamlitera, 2014. Tim Penulis. Pendidikan Islam Transformatif: Membentuk Pribadi Berkarakter. Malang: Dreamlitera, 2014. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Wijayanto, Iip. Sex in the Kost. Yogyakarta: CV. Qalam, 2003. Yasin, Fatah. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Maliki Press, 2008. Zubaedi, Desain pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. http://edukasi.kompas.com/read/2014/03/06/1934280/Kurikulum.2013.Menekankan.Pemb angunan. Karakter.Anak (diakses tanggal 2 Maret 2016). http://hukum.kompasiana.com/2011/11/29/survey-kpk-kementerian-agama-paling-korupdi-tanah-air-417275.html http://nasional.kompas.com/read/2016/06/30/09330271/putu.sudiartana.anggota.dpr.ketuj uh.yang.jadi.tersangka.kpk (diakses tanggal 17 Juli 2016). http://news.okezone.com/read/2014/09/28/337/1045517/hasil-survei-921-695-pelajarkonsumsi-narkoba (diakses tanggal 14 Juli 2016).
140