BELAJAR DARI PERILAKU (Sebuah resensi terhadap buku berjudul: Learning from behavior: how to understand and help “challenging” children in school written by: James E. Levine) Oleh: Zidniyati Abstract This writing is a review of a book entitled ‘Learning from behavior: how to understand and help “challenging” children in school. In the book written by James E. Levine which was published in 2007 by Praeger Publisher, Westport, London, explained about the connection between understanding behavior of ‘challenging’ children in school and developing creative interventions for changing it. This book is based on an accumulation of many years of clinical practise, observation, thinking, and discourse. It is intended to add to the ongoing anaklogue about what will help children amid the combined challenges of developmental, family, and cultural change. The hope is that as it core, this book which is written in 118 pages, will add another voice that augments James E. Levine’s repertoire of best practices and, at the same time, offers a new way to frame the discussion on child’s needs, one that is based on the recognized importance of meaningful relationships and an enhanced understanding of childhood behavior. It is intended for a wide range of clinical practitioners, especially those who work in school settings as well as guidance staff, special educators, regular education teachers, alternatives classroom staff, school administrators, graduate students in the mental health disciplines, and notably, parents who are invested in reflecting on the kinds of behavioral and preventive strategies that can thoughtfully be employed in the service of children’s needs everywhere, included in Indonesia. In addition, Indonesia as a developing country has lots in common cases with some countries from which Levine took as examples of other developing countries with their “challenging’ children’s setting. The deep understanding of this book will offer lots of advantageous contribution to people concerning in “challenging” children and to policy makers in Indonesia as one of developing country which has been running on to its inclusive educational system amid the various problem to be solved. Keywords : behavior, ‘challenging’ children, alternatives strategies
92
Ar-Risalah, Vol.XVII No. 2 April 2016
Zidniyati
Belajar dari Perilaku
Pendahuluan Tulisan ini berisi hasil review terhadap buku yang ditulis oleh James E. Levine yang diterbitkan tahun 2007 yang berjudul “Learning from behavior:how to understand and help ‘challenging’ children in school”. Levine merupakan seorang pendiri dan direktur Levine & Associates, P.C., sebuah perusahaan konsultan dan psikoterapi multidisiplin di dua wilayah di Massachusetts, yang khusus menangani orang-orang berbagai usia dengan kesulitan perkembangan psikologis dan perilaku. Di samping itu, dalam rangka memperkaya praktik klinis keilmuannya, Levine melakukan konsultasi pada sejumlah sekolah dan agen-agen kesehatan mental dan juga melalukan pembelajaran di sekolah-sekolah pekerja sosial Program Pasca di Simon College dan Smith College. Dr Levine tinggal di Massachussetts bersama istri dan dua anak mereka. Tujuan review buku ini adalah untuk memberikan sumbangan ilmiah terutama pada bulan International of Mental Health 2016 guna memperkaya khasanah dan wacana yang dapat diterapkan dalam pendidikan untuk pengembangan perilaku dan mental yang baik di Indonesia. Buku ini berisi sebuah cara pandang alternatif yang akan bermanfaat untuk mengatasi perilaku-perilaku bermasalah yang anaklami oleh anak-anak usia sekolah. Tujuan penulisan buku ini, sebagaimana yang tersirat dalam judul buku, adalah untuk memahami makna dari setiap gejala yang dimiliki setiap anak dengan permasalahan perilaku dan untuk menempatkan anak sebagai kolaborator dalam berbagai treatment/ perlakuan yang dilakukan untuknya. Pada bagian pertama buku ini dibahas mengenai gagasan untuk menyimak/mendengarkan dan mempelajari sekaligus memahami perilaku. Untuk itu ada berbagai teori terapan intervensi secara klinis yang diuraikan di bab 3. Pada bab 2 diuraikan mengenai serangkaian anakgnosa kesehatan mental dan karakteristiknya terkait dengan anakanak yang mengalami gangguan perilaku. Pada bab 4 diberikan penjelasan tambahan mengenai berbagai nilai yang pada hakikatnya digunakan untuk menyiapkan intervensi-intervensi perilaku secara formal dan menawarkan gagasan rasional baik secara klinis maupun teoretis guna menciptakan sebuah model yang konsisten. Pada bab selanjutnya digambarkan hasil penerapan model dan refleksi di sebuah sekolah. Pada bab 6 diberikan penjelasan penerapan model tersebut terkait beeberapa studi kasus, dan yang memanfaatkan berbagai strategi yang telah digambarkan di buku ini. Pada bab kesimpulan dijelaskan serangkaian gagasan dan rekomendasi yang dapat dilakukan.
Pokok Bahasan Pada bagian pertama bukunya, Levine mengawali dengan pertanyaan dasar yang menjadi jantung dari buku ini, “Seperti apakah pemahaman kita mengenai perilaku anak?” Pertanyaan tersebut terkait dengan berbagai pendekatan untuk melakukan asesmen, intervensi, follow-up, dan berbagai strategi lain yang ditawarkan dalam buku ini untuk membantu anak-anak yang mengalami permasalahan. Untuk menjawab 93
Ar-Risalah, Vol.XVII No. 2 April 2016
Zidniyati
Belajar dari Perilaku
pertanyaan utama dalam buku ini, pada bagian pembukaan ini, Levine memberikan contoh tiga anak yang mengalami permasalahan. Yang pertama bernama Alex berusia 11 tahun dan yang kedua bernama Sarah berusia 12 tahun, dan yang ketiga bernama Tim berusia 9 tahun. Levine memberikan juga berbagai latar belakang yang turut menyumbangkan munculnya perilaku bermasalah pada dua anak tersebut berdasarkan observasi dan penelusuran yang telah dilakukan secara mendalam. Levine menegaskan bahwa memahami perilaku bermasalah serta kemuanakn mencari solusi dari permasalahan tersebut merupakan sebuah pembelajaran tersendiri yang harus dilakukan oleh seorang guru pendamping. Pembelajaran ini dilakukan dengan cara mendengarkan secara seksama dan memunculkan berbagai pertanyaan dugaan yang melatarbelakangi timbulnya perilaku yang anaknggap bermasalah, dan hal ini merupakan sebuah seni. Seni untuk mencari tahu secara seksama berbagai hal yang memungkinkan kemunculan perilaku untuk kemuanakn menemukan solusi. Seni ini harus dikembangkan oleh seorang guru pendamping maupun orangtua atau bahkan siapa saja yang terlibat dalam keajuan anak dengan perilaku bermasalah. Kata ‘perilaku’ memunculkan berbagai makna dan implikasi yang berbeda, sedikit yang bernada positif. Jika kata perilaku anakcukan dalam konteks membahas anak-anak, maka perilaku akan menyiratkan adanya sebuah permasalahan yang harus ditaklukkan. Akan muncul asumsi penurunan, keterkaitan, dan managemen perilaku. Bahkan Levine menegaskan bahwa kita seringkali tidak mengerti apa makna perilaku tertentu bagi anak yang menunjukkannya dan apa representasi dari perilaku tersebut. Apakah itu merepresentasikan kebutuhan akan sebuah perhatian, penolakan tugas, ataukah manifestasi dari permasalahan medis? Ataukah hal ini merepresentasikan regulasi sensori ataukah masalah komunikasi? Ataukah anak ini meminta konsistensi dan batasan yang jelas? Apakah ada orang-orang dewasa, atau hanya satu orang saja, yang harus memberikan hubungan yang baik yang dibutuhkan anak-anak yang secara bersamaan membutuhkankan resiko intelegensi dan harus menunggu tenang? Levine menyebutkan bahwa berbagai implikasi dari pertanyaan tersebut akan menimbulkan berbagai pendekatan yang berbeda untuk melakukan intervensi. Levine menegaskan juga apakah seseorang pernah menanyakan apa maksud dari perilaku tersebut (pada anak-anak yang memunculkan perilaku bermasalah)? Karena, menurut Levine, pendekatan yang ditawarkan dalam buku ini adalah pendekatan dengan perspektif yang melibatkan peran serta anak-anak untuk turut memahami sendiri apa makna sesungguhnya perilaku yang mereka munculkan. Jika anak-anak tidak memiliki wawasan dalam hal perilaku yang mereka munculkan, apakah akan ada sense (pada diri anak-anak) untuk membantu memahami perilaku mereka? Padahal kita membutuhkan keterangan anak-anak untuk memahami perilaku mereka. Melibatkan anak-anak dalam memahami perilaku mereka sendiri memiliki peran sangat penting bagi orang dewasa untuk menentukan langkah selanjutnya. Sebagaiman tujuan dari buku ini adalah untuk meningkatkan keterkaitan antara pemahaman perilaku dan 94
Ar-Risalah, Vol.XVII No. 2 April 2016
Zidniyati
Belajar dari Perilaku
pengembangan intervensi kreatif dalam rangka mengubah perilaku kearah positif. Levine menegaskan bahwa dalam memahami perilaku yang dimunculkan oleh anak-anak, maka langkah pertama adalah menyimak pemahaman anak-anak mengenai perilaku yang mereka munculkan (memahami perilaku dari perspektif anak-anak terlebih dahulu), sebelum mengimplementasikan intervensi perilaku. Levine menekankan bahwa dalam rangka memahami perilaku anak-anak juga harus memperhatikan dari perpektif biopsikososial. Pendekatan biopsikososial, secara singkat, memperhitungkan factorfaktor yang cukup luas yang berpengaruh pada kehidupan seseorang, termasuk perlakuan biologis individu, tingkat serta kualitas dukungan sosial, dan kesehatan psikologis individu. Selanjutnya ditegaskan kembali bahwa intervensi perilaku dalam bentuk-bentuk yang berbeda-beda hanya akan berhasil manakala setidaknya ada penentuan satu derajat keterkaitan sosial terlebih dahulu. Dengan kata lain, kerjasama yang baik antara seluruh orang atau tenaga professional yang akan turut memberikan intervensi perilaku, seperti terapis klinis, konsultan sekolah, maupun seorang manager program anak-anak dari lembaga perlindungan anak-anak, dengan pihak sekolah, dan orangtua juga harus tetap dilakuan untuk mengubah perilaku yang bermasalah menjadi perilaku yang lebih positif.
BAB SATU: Berhenti, Melihat, dan Mendengarkan: memahami perilaku dan makna hubungan Pada bab satu ini, Levine menjelaskan mengenai gagasan untuk melihat dan memahami perilaku anak-anak. Pada saat seorang anak menunjukkan perilaku menyimpang, maka seorang guru harus mencari tahu apa yang melatarbelakangi perilaku tersebut muncul dan guru atau orang yang mendampingi harus siap melakukan perubahan atau menggeser intervensi manakala intervensi awal tidak berhasil. Pertanyaan: Why do we need to understand the meaning of a child’s behavior? menurut Levine harus menginspirasi cara kita untuk mencari dan mengembangkan metode dalam bekerja bersama anak-anak. Levine memberikan contoh kasus Clarence seorang anak laki-laki kelas 4 yang sering berbohong atau lebih tepatnya mengarang cerita fiktif. Perilaku ini juga terjadi berdasarkan sesuatu yang tidak konsisten tanpa tujuan yang jelas. Orangtuanya di rumah berusaha keras untuk menghilangkan perilaku ini. Keluarga di rumah memberlakukan konsekuensi sesuai tingkat perilaku, jika anak melakukan perilaku yang bermasalah besar, maka konsekuensi juga semakin berat, begitu juga sebaliknya. Tapi hal ini tidak berhasil. Keluarga menghilangkan hak-hak istimewa anak, seperti waktu bermain game dan menonton televisi, dan akan muncul peningkatan waktu konsekuensi yang cukup dramatis (pencabutan hak bermain game dan menonton televisi) manakala Clarence berbohong. Dalam hal ini, Levine melihat bahwa pemberlakuan konsekuensi menyiratkan makna: Lakukan saja perilaku berbohong, maka konsekuensi akan semakin berat. Hal ini menyebabkan Clarence 95
Ar-Risalah, Vol.XVII No. 2 April 2016
Zidniyati
Belajar dari Perilaku
semakin depresi dan mendorong anak untuk melakukan kebohongan di sekolah untuk menolak melakukan tugas yang anak pikir anak tak mampu lakukan. Dalam hal ini, Levine menyatakan bahwa situasi tersebut yang terjadi pada Clarence membantu menjelaskan bahwa Clarence adalah seorang anak yang perfeksionis dan sering menyesali diri pada saat gagal melakukan sesuatu, hal ini bermakna bahwa harga dirinya terancam. Tindakan berbohong dapat memiliki tujuan lain, maka pengembangan hipotesis didasarkan pada keterangan guru dan orang tua. Intervensi yang dibutuhkan berdasarkan teori ini, termasuk rekomendasi untuk evaluasi untuk anak dengan gangguan depresi. Di sekolah, Clarence ditawari untuk membaca di hadapan anak-anak TK, memberikan kesempatan padanya untuk tampil dengan sedikit tekanan. Sebuah kejutan manakala Clarence menerima tawaran ini. Gurunya juga bertanya pada Clarence jika pada saat membacakan atau bercerita di hadapan anak TK, tampak bahwa Clarence menceritakan sebuah cerita fiksi, apakah ini merupakan ‘kebenaran’ ataukah hanya sebuah ‘harapan’ dalam rangka menghindarkan Clarence berbuat bohong. Akhirnya orangtuanya setuju dengan treatmen seperti ini. Dan orangtuanya juga meminta Clarence untuk ‘memikirkan hal ini’ dan membiarkan mereka mengetahui jika ada cara lain untuk menjelaskan sebuah cerita atau tindakan. Sebagai kombinasinya, intervensi semacam ini memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada penurunan tindakan berbohongnya Clarence. Hasil anakgnosa depresi secara formal menunjukkan bahwa kasus ini sebagai dysthymia, sebuah derajat yang rendah tapi munculnya secara regular. Intinya adalah, dibutuhkan teori secara menyeluruh mengenai apa yang melatarbelakangi perilaku anak, dengan diikuti intervensi yang hati-hati yang dipertimbangkan secara logis sejak asumsi awal. Tidak kalah pentingnya, kita harus berkenan untuk menerima tantangan dan mengubah asumsi kita, dan untuk itu terjadi pergeseran intervensi jika diperlukan, misalkan jika intervensi awal tidak berhasil. Selanjutnya Levine menjelaskan mengenai: 1. Intervensi behavioral Extinction merupakan salah satu bentuk intervensi behavioral (intervensi perilaku). Extinction merupakan proses yang dikembangkan dalam buku ini. Ada berbagai cara untuk mengkonstruk intervensi behavioral. Yang paling sering dilakukan adalah intervensi behavioral yang fokus pada perilaku personal, seringkali disebut dengan istilah target behavior, dengan target mengurangi atau menghilangkan perilaku tertentu, dalam terminology behavioral, proses ini dikenal dengan extinction. Pada buku ini, intervensi behavioral diperlakukan lebih kepada perspektif membantu anak-anak untuk terlibat, untuk mempelajari perilaku mereka dan mencoba pendekatan-pendekatan baru untuk menyikapi persoalan. Jadi intervensi behavioral dalam pandangan Levine bukan sekedar mind-set yang menekankan pada kebutuhan yang diperlukan anak-anak untuk menjadi berperilaku lebih baik atau termotivasi sesuai cara orang dewasa mendefinisikan. Beberapa intervensi behavioral yang telah 96
Ar-Risalah, Vol.XVII No. 2 April 2016
Zidniyati
2.
3.
4.
5. 6.
Belajar dari Perilaku
berhasil, memberi berpengaruh pada anak-anak sehingga mampu belajar. Namun, praktik yang sering terjadi di sekolah selama ini adalah pihak sekolah tidak menyadari atau menolak menerapkan intervensi behavioral semacam ini. Yang sering terjadi adalah pemberlakuan ‘insentif’ atau ‘konsekuensi natural’. Misalkan, pemberian rewards jika anak tidak melakukan perilaku menyimpang, dan sebaliknya. Sebatas itu, tidak sampai pada pencapaian target dimana anak mampu memahami sesungguhnya perilakunya yang menyimpang itu bermakna apa dan bagaimana cara mengendalikannya secara mandiri. Functional Behavioral Assessment (FBA). FBA merupakan sebuah model yang digunakan untuk menilai perilaku. Proses yang dilakukan menggunakan FBA adalah metode pengumpulan informasi mengenai letak sebuah peristiwa yang diperkirakan dan memelihara sebuah perilaku yang bermasalah. Di dalam FBA terdapat serangkaian pedoman baru yang digunakan untuk pendidikan khusus dan terdapat penempatan setting, oleh karenanya sering digunakan di sekolah. Cognitive Behavior Therapy (CBT). CBT merupakan sebuah metode terapi yang digunakan psikoterapis yang menekankan pada kapasitas anak-anak dalam memaknai pengalamannya. Tujuan digunakannya CBT adalah untuk meningkatkan kemampuan anak-anak dalam menginterpretasi. CBT merupakan intervensi perilaku pada tingkat perilaku kognitif untuk mempengaruhi pola pemikiran, perasaan, tindakan dan reaksi badani. Pentingnya pengembangan hubungan. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan anak yang memiliki perilaku bermasalah dengan orang yang terlibat dalam melakukan intervensi. Anakntaranya adalah hubungan antara terapis dengan klien (anak yang berperilaku bermasalah), hubungan yang terjalin antara guru dan murid, hubungan antara klinisian/tenaga klinis dengan pendidik. Kualitas hubungan yang terjalin sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan intervensi perlaku. Pelibatan orangtua di sekolah. Pelibatan orangtua di sekolah menjadi bagian yang penting dalam intervensi perilaku. Peran penyelenggara kesehatan mental. Dukungan dari penyelenggara kesehatan mental sangat diperlukan oleh pihak sekolah dalam intervensi perilaku. Dalam hal ini, intervensi kesehatan mental dapat dilakukan oleh dokter, psikiater, atau pun terapis.
BAB 2. Diagnosa Kesehatan Mental Secara Umum: Bagaimana Mereka Mempengaruhi Anak-Anak Dalam bab kedua ini, Levine memberikan hasil anakgnosa menggunakan DSM-IV (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder), sebuah panduan yang digunakan untuk mendiakgnosa gangguan mental, dari 6 macam kasus perilaku bermasalah. Levine memberikan hasil anakgonas 97
Ar-Risalah, Vol.XVII No. 2 April 2016
Zidniyati
Belajar dari Perilaku
Asperger syndrome, anxiety (kegelisahan), ADHD (gangguan perilaku pada perhatian, hiperaktivitas), Posttraumatic stress disorder (gangguan perilaku karena tekanan paskatrauma), depresi, gangguan perilaku dan tindakan yang selalu menentang arus. Hasil diagnosa 6 jenis gangguan perilaku tersebut membantu untuk menentukan intervensi. a. Asperger’s Syndrome (AS). Asperger Syndrome atau gangguan asperger merupakan suatu gejala kelainan perkembangan syaraf otak. Biasanya anak-anak yang mengalami AS memiliki tingkat intelejensi dan perkembangan bahasa yang normal, namun memperlihatkan perilaku yang mirip autism, serta mengalami kekurangan dalam hubungan sosial dan kecakapan komunikasi. Seseorang yang mengalami AS dapat memperlihatkan kekurangan dalam bersosialisasi, mengalami kesulitan jika terjadi perubahan, dan selalu melakukan hal-hal yang sama berulang-ulang. Seringkali mereka terobsesi oleh rutinitas dan menyibukkan diri dengan sesuatu aktivitas yang menarik perhatian mereka. Mereka selalu mengalami kesulitan dalam membaca ab-aba (bahasa tubuh) dan kesulitan dalam menentukan dengan baik posisi badan dalam ruang (orientasi ruang dan bentuk). b. ADHD (Attention Deficit Hyperactivy Disorder). ADHD merupakan gangguan pada perkembangan otak yang menyebabkan penderitanya menjadi hiperaktif, impulsive serta sulit memusatkan perhatian. Gejala yang ditunjukkan biasanya hiperaktif, tampak seperti: (a) kelebihan energi, selalu aktif, tidak bisa anakm. (b) Kesulitan memperhatikan sesuatu (c) Impulsif atau seringkali bertindak spontan tanpa berfikir (kesulitan menunggu giliran, menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan selesai diutarakan, berlari di tengah acara formal) (d) Sulit bersosialisasi dengan orang lain, cepat bosan, gelisah, terburuburu. c. Anxiety (kegelisahan). Gangguan kegelisan merupakan gangguan mental yang serius, dimana ditunjukkan dengan kegelisahan yang berlebihan. d. Posttraumatic Stress Disorder (PTSD). PTSD merupakan salah satu dari gangguan kegelisahan. Bisanya orang dengan PTSD pernah mengalami trauma atau peristiwa sangat mengerikan seperti pelecehan seksual atau fisik, kematian tak terduga orang yang dicintai, atau bencana alam. Anak yang memiliki gejala PTSD sering memiliki kenangan dan pikiran yang abadi dan cenderung takut akan kejaanakn tersebut. Biasanya mereka cenderung matirasa secara emosional. e. Depresi. Depresi merupakan gangguan mental yang biasanya ditunjukkan dengan hampir sepanjang hari merasa: putus asa terutama di pagi hari, kelelahan atau hilang energi, ragu-ragu, insomnia (kesulitan tidur), hipersomnia (tidur berlebihan), kehilangan minat pada kegiatan sehari-hari, 98
Ar-Risalah, Vol.XVII No. 2 April 2016
Zidniyati
Belajar dari Perilaku
berulangkali memikirkan tentang kematian dan bunuh diri, gelisah berlebihan, dan berat badan turun drastic. f. Oppositional Defiant Disorder and Conduct Disorder. Oppositional Defiant Disorder and Conduct Disorder merupakan gangguan mental yang ditunjukkan dengan pola berkelanjutan ketidaktaatan, kemarahan, perilaku suka menentang terhadap figur otoritas secara berlebihan atau melampaui batas perilaku anak normal, dan bahkan seringkali membahayakan. BAB 3. Menerjemahkan Gagasan Mengenai Memaknai Dan Menjalin Hubungan: Beberapa Strategi Yang Membantu Dalam Tindakan Pada bab 3 ini Levine mendiskusikan berbagai strategi yang dapat diterapkan untuk menyikapi anak dengan gangguan perilaku, dan sifat strategi ini fleksibel dan penerapannya disesuaikan dengan kondisi dan karakter pembawaan individual anak. 1. Kenali perilakunya; 2. Mengenali kemungkinan penumpukan kecemasan; 3. Mengenali bahwa beberapa anak memiliki sebuah ambang batas yang menurun dalam hal toleransi frustasi; 4. Menyadari bahwa beberapa anak berdasarkan aturan tidak mampu menjangkau atau menghadapi perubahan dari rutinitas kesehariannya; 5. Mengajari anak strategi menenangkan diri; 6. Menggambarkan kapan seorang dewasa akan kembali; 7. Jangan menekankan pada kesempurnaan; 8. Hindari pemanfaatan intervensi menggunakan rewards; 9. Mengenali kurva pembelajaran alternatif dan kebutuhan dari anak-anak dengan ketidakmampuan belajar dan gangguan perkembangan; 10. Untuk anak-anak dengan ketidakmampuan belajar maupun persoalan belajar secara umum, mengenali bahwa kemampuan penguasaan tugas biasanya lebih penting dibandingkan dengan kemandirian; 11. Batasi penggunaan Time-Out; 12. Menawarkan pilihan-pilihan pengganti; 13. Memanfaatkan isyarat visual; 14. Memilih waktu yang tepat untuk melakukan proses pada anak-anak dalam rangka memahami perilakunya; 15. Mengikuti gagasan mengenai memaknai perilaku anak lebih dari sekedar menuntut pengakuan; 16. Hindari penerapan punishment yang sifatnya menjauhkan dari anak-anak; 17. Menyeanakkan waktu secara khusus bagi anak-anak yang depresi, gelisah, atau yang trauma; 18. Mewarkan pengaturan waktu bagi anak-anak dengan ADHD maupun dengan anak-anak lain yang membutuhkan; 99
Ar-Risalah, Vol.XVII No. 2 April 2016
Zidniyati
Belajar dari Perilaku
19. Menerapkan sebuah perspektif perkembangan untuk memahami perilaku anak-anak; 20. Mengajari anak mengenai limit setting; 21. Merespon secara efektif perilaku ‘anak selalu membutuhkan kata terakhir’; 22. Mendampingi anak-anak dengan penurunan keterampilan sosial dengan cara keterampilan pragmatis, termasuk strategi-strategi inisiatif mereka; 23. Ajari anak-anak bagaimana cara mengidentifikasi persoalan dan bagaimana cara memecahkannya; 24. Berikan anak-anak pertanyaan, bukan permintaan; 25. Mengenali lingkungan dan budaya yang memberi pengaruh pada anak-anak di sekolah; 26. Ajari anak-anak untuk tidak putus asa. BAB 4. Merumuskan Intervensi Behavioral: Mengapa Kita Memerlukan Lebih Dari Sekedar Pola? Pada bab 4 ini Levine memberikan prinsip-prinsip perencanaan intervensi behavioral. Tujuan utama dari pemanfaatan sebuah intervensi perilaku adalah untuk membantu anak-anak memahami, mengurutkan dan mengantisipasi lingkungan mereka agar mereka mampu memahami perilaku mereka. Berikut adalah 10 prinsip penentuan rencana perilaku agar berhasil dan mampu memberi feedback dan membantu anak-anak mempelajari perilaku mereka sendiri. 1. Intervensi behavioral harus positif. 2. Konsisten dengan kebutuhan perkembangan anak-anak akan penentuan dan otonomi diri, anak-anak harus diizinkan untuk ikut serta dalam memikirkan/merencanakan intervensi-inervensi perilaku yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka di sekolah. 3. Makanan tidak boleh dimasukkan sebagai rewards. 4. Rencana-rencana perilaku harus ditulis secara jelas dan dimasukkan dalam schedule/ jadwal keseharian anak. 5. Konsekuensi sebaiknya diterapkan di sekolah, bukan oleh orangtua di rumah. 6. Rencana perilaku sebaiknya tidak terus-menerus menyatakan perilaku baik dan perilaku buruk. 7. Harus ada masa tenggang waktu dari rencana perilaku. Anak-anak harus mengerti apa tujuan intervensi dilakukan, sehingga ada target yang mereka harus ketahui. Bilamana target tercapai, maka akan ada kesempatan mereview progress yang muncul, dan hal ini bermakna kesuksesan yang telah dicapai oleh anak-anak. 8. Anak-anak harus dipisahkan dari rencana behavioral. Pada saat yang tepat, ada beberapa perubahan rencana intervensi, misalkan anak mengalami tekanan yang tinggi karena rencana intervensi. 9. Rencana behavioral hanya salah satu komponen dari sebuah pengadaan pendekatan untuk membantu anak-anak. Hal ini sebagaiman diterapkan di 100
Ar-Risalah, Vol.XVII No. 2 April 2016
Zidniyati
Belajar dari Perilaku
buku ini bahwa intervensi behavioral akan lebih efektif jika diterapkan dalam konteks kepedulian, hubungan yang saling menghargai di sebuah lingkungan dimana anak berada. 10. Prinsip terakhir adalah intervensi behavioral tidak selalu berhasil. Ada berbagai faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan ini. Misalkan, adanya target terlalu tinggi atau di luar kemungkinan kemampuan anak. Di sisi lain mungkin, satu rencana intervensi behavioral ternyata belum cukup untuk mencapai keberhasilan, karena mungkin masih membutuhkan intervensi behavioral lainnya.
BAB 5. Mengembangkan, Mengenalkan, Dan Mengimplementasikan Model Behavioral Levine memberikan contoh kasus bagaimana mengembangkan, mengenalkan, dan mengimplementasikan model behavioral pada beberapa anak dengan kasus gangguan perilaku. Kembali Levine menegaskan bahwa sangat penting untuk mengenali sebuah perilaku dengan cara memahami konteks menyeluruh yang melatari munculnya sebuah perilaku. Orang dewasa yang ingin mengeanali perilaku, tentunya harus memiliki hubungan yang baik dengan anak yang mengalami gangguan perilaku. Pada bab 5 lima ini, contoh yang dilakukan Levine anakntaranya adalah memanfaatkan child study team (tim yang akan menangani anak) guna mempertimbangkan beberapa strategi sebelum merekomendasikan sebuah rencana behavior secara formal. Yang dilakukan dalam hal ini anakntaranya adalah dalam bentuk pengabaian perilaku tertentu, memodifikasi kerja akademis anak, mengajukan anak untuk melakukan konseling, serta/atau mempersiapkan ekspektasi-ekspektasi dan batasan yang jelas. Ada sebuah forum guru yang didengarkan untuk memberikan keterangan mengenai kesulitan mereka mengelola kelas. Hal ini diperlukan untuk membantu guru bekerjasama dengan para konselor, berbagai spesialis di berbagai bidang, administrator, maupun terapis okupasi yang nantinya akan terlibat. Model yang akan diterapkan melibatkan komponen ekstensif preteaching, artinya rencana tidak akan dimulai sebelum anak yang akan diintervensi telah duduk bersama orang-orang yang terlibat dalam tim dan memahami bagaimana rencana akan dilaksanakan. Harapannya, anak akan mampu menjelaskan segala hal terkait perilaku-perilaku mendatang kepada orang-orang yang terlibat dalam perencanaan penerapan intervensi secara jelas, atau setidaknya anak memahami perilakunya, bila anak tidak mau menceritakan, dan, anak juga mengerti apa yang harus dilakukannya untuk mendapatkan rewards, jika anakdakan pemerolehan rewards. Diharapkan anak mampu menjelaskan proses, pada saat anak bertemu gurunya untuk mereview perilakunya, apa yang mereka bicarakan, bagaimana percakapan tersebut akan berlangsung, dll. Sekali lagi, Levine menegaskan bahwa anak-anak sudah harus dilibatkan dalam penentuan tujuan maupun pilihan-pilihan rewards. Anak sudah harus anakjari cara melakukan intervensi dan sudah harus diberi kesempatan beranaklog dengan orang dewasa, karena kesempatan seperti ini justru 101
Ar-Risalah, Vol.XVII No. 2 April 2016
Zidniyati
Belajar dari Perilaku
memberikan hasil yang positif untuk beberapa anak. Memang tidak akan sama keadaannya untuk semua anak. Hal ini harus mempertimbangkan temperamen anak dan persoalan yang dihadapi anak. Apakah anak tersebut defensif (cenderung mempertahankan diri)? Terbuka untuk mempelajari dirinya sendiri? Depresi? Dalam kesulitan hukum? Berbagai pertimbangan semacam ini menentukan pada saat akan melakukan upaya melibatkan anak pada sebuah diskusi intervensi behavioral. Ada beberapa anak yang memerlukan waktu untuk mau terbuka dan jujur melihat perilakunya sendiri. Langkah selanjutnya adalah merumuskan kapan waktu aktivitas dimulai, berlangsung, dan anakkhiri, serta mencatat tujuan. Contohnya seperti berikut: Rabu
Kegiatan
8.40-9.15 9.15-9.45 9.45-10.30
Morning routine Morning meeting Reading workshop Resource room
Awal
Sedang berlangsung
akhir
Tujuan
10.3011.15 11.15Writing workshop 11.50 11.50Hand washing 12.00 12.00Lunch 12.30 12.30Recess 13.00 13.00Read aloud 13.15 13.15Math 14.30 14.30Library 15.00 15.00Dismissal 15.15 Tujuan saya hari ini: 1. ________________________________ 2. ________________________________ Rewards saya hari ini: 1. ________________________________ 2. ________________________________ Model yang dicontohkan oleh Levine hanya dilakukan selama 3 minggu saja untuk dilihat tingkat keberhasilannya dan kemuanakn dilakukan modifikasi jika diperlukan. Sebagaimana yang diutarakan pada bab sebelumnya bahwa pemberlakuan intervensi formal memiliki batas waktu untuk kemuanakn melihat feedback. 102
Ar-Risalah, Vol.XVII No. 2 April 2016
Zidniyati
Belajar dari Perilaku
FEEDBACK Umpan balik untuk anak diberikan pada akhir setiap periode tertentu. Levine memberikan anjuran 2-3 minggu saja jika ternyata tidak produktif. Guru akan menyisihkan waktu untuk duduk bersana murid dengan gangguan perilaku untuk mendiskusikan segala hal yang terjadi selama penerapan intervensi. Menurut Levine, ini juga akan meningkatkan keterikatan relasi yang baik antara guru dan murid. Hal penting untuk dilakukan juga menurut Levine adalah mencari tahu apa arti penerapan feedback bagi anak/murid. Sesuatu yang untuk dilakukan selanjutnya adalah pengakuan orang dewasa pada keberhasilan. Seorang anak yang telah lama anakjak untuk menerapkan intervensi untuk mengatasi perilakunya yang bermasalah, biasanya akan mendapatkan ceramah yang panjang untuk kesalahan tersebut, dan sebaliknya, jika anak berhasil menjalankan intervensi, hanya sedikit waktu dan kata yang didapatkannya, misalkan ungkapan ‘kerja yang bagus’, dan ini sangat tidak cukup bagi seorang anak denagna gangguan perilaku yang telah berjuang keras mengendalikan perilakunya. Pada Bab 6, Levine memberikan contoh studi kasus pada beberapa anak dengan gangguan perilaku. Terdapat 2 macam rencana intervensi yang diutarakan Levine pada bab ini. Pertama adalah rencana perilaku kelas. Dalam rencana perilaku untuk program seluruh kelas biasanya guru menggunakan stiker untuk rewards, atau pesta kecil di akhir bulan untuk merayakan keberhasilan bersama satu kelas. Akan tetapi, perencanaan perilaku berdasarkan kelas ini belum tentu sesuai untuk semua kasus, sehingga kita harus menyesuaikan dengan perilaku dan karakteristik anak. Kedua, perencanaan behavioral individual. Untuk perencanaan individual ini juga perlu penyesuaian pada siapa ditujukan. Selanjutnya, Levine menyebutkan bentuk intervensi behavioral yang lain adalah tingkat sistem. Sistem tingkat atau level system ini dimaksudkan pada derajat keberhasilan. Artinya, target keberhasilan ditentukan berdasarkan tingkatan. Di samping itu, Levine juga menjelaskan perlunya bentuk intervensi behavioral lainnya terutama untuk anak-anak dengan gangguan kemarahan berlebihan sehingga kemungkinan menyebabkan cedera parah pada orang lain bilamana anak sedang mengalami kemarahan. Aspek intervensi behavioral ini disebut dengan Safety Plans. Upaya yang dilakukan oleh tim di sekolah biasanya pada penerapan Safety Plans adalah berhubungan semua unsur yang tergabung dalam student’s crisis team. Pengembangan Safety Plans bisanya melibatkan persetujuan orangtua, polisi, dan berbagai tenaga mental health. Pada bab terakhir, yakni pada bab 7, Levine memberikan penjelasan lanjutan yang dapat dilakukan untuk penerapan pengembangan perencanaan lanjutan. Pertama, Levine menjelaskan tentang sebuah pendekatan untuk menyikapi perilaku negative, yakni restitution atau pemulihan. Untuk bentuk intervensi yang diberikan seorang anak yang melakukan perilaku menyimpang, harus memperhatikan safety dan respectful behavior. Artinya, setiap bentuk intervensi harus memperhatikan keamanan semua warga sekolah, dan dalam rangka penerapan intervensi behavioral juga harus memperhatikan nilai menghargai terutama pada diri anak yang melakukan perilaku menyimpang. 103
Ar-Risalah, Vol.XVII No. 2 April 2016
Zidniyati
Belajar dari Perilaku
Misalkan, bentuk intervensinya adalah pemberian konsekuensi yang harus dilakukan oleh pelaku perilaku menyimpang, maka konsekuensinya juga harus memperhatikan perasaan anak tersebut dan ditekankan agar anak tersebut dapat melihat dan mempelajari perilakunya, dengan tujuan, setelah anak memahami perilakunya yang tidak sesuai aturan, maka anak ini diharapkan akan mengerti dan mampu mengendalikan dirinya untuk tidak melakukan perilaku yang menyimpang. Kedua, Levine mengajukan Tahap-Tahap Perubahan Model. Dalam hal ini, bentuk pelaksanaan intervensi dapat dilakukan perubahan berdasarkan pada kesiapan lingkungan dimana anak berada. Misalkan, sebelum intervensi dilakukan, maka pihak sekolah harus bekerjasama dengan orangtua dan semua orang di lingkungan rumah si anak. Hal ini untuk melihat kesiapan penerapan bentuk intervensi. Bila, dari pihak keluarga mengalami beberapa kendala, padahal di awal sudah siap, maka, perlu dilakukan modifikasi tahap perubahan model. Ketiga, Levin menjelaskan tentang penerapan pelatihan keterampilan sosial. Levin mengatakan bahwa ada beberapa anak dengan gangguan perilaku yang dapat diberi pelatihan keterampilan sosial. Misalkan untuk anak-anak yang sulit berinteraksi dengan teman sekelas. Dalam situasi ini, guru perlu menerapkan rencana behavioral kelas, dimana guru dapat bekerjasama dengan seluruh anggota kelas untuk menyikapi anak yang sulit berinteraksi. Ada dua model yang anakjukan Levin, yakni Classroom Responsive dan Second Step. Situasi yang diharapkan muncul untuk penerapan ini adalah inklusif. Dimana anak dengan gangguan perilaku berada di antara anak-anak biasa yang tidak mengalami gangguan perilaku. Penutup Berdasarkan isi dari diskusi buku, sajian studi kasus, dan saran-saran yang diutarakan oleh Levine sejak di bagian pertama sampai bab terakhir, sebagaiman tujuan dari buku ini yang difokuskan untuk meningkatkan keterkaitan antara pemahaman perilaku dan pengembangan intervensi kreatif dalam rangka mengubah perilaku kearah positif, bahwa dalam memahami perilaku yang dimunculkan oleh anak-anak, maka langkah pertama adalah menyimak pemahaman anak-anak mengenai perilaku yang mereka munculkan (memahami perilaku dari perspektif anak-anak terlebih dahulu), sebelum mengimplementasikan intervensi perilaku. Dengan kata lain disimpulkan bahwa untuk mengatasi anak-anak dengan gangguan perilaku adalah dengan cara memahami dahulu setting yang melatarbelakangi munculnya perilaku. Dengan menggunakan pertanyaan pendukung misalnya seperti: kapan perilaku biasanya muncul? Dimana perilaku biasanya muncul? Hal penting untuk dilakukan juga adalah melibatkan anak tersebut sejak dari pengembangan intervensi behavioral. Harapannya, anak memahami: apa sesungguhnya perilaku yang ditampakkannya; bagaimana cara mengendalikan perilaku menyimpang yang dilakukannya; apa target yang hendak dicapai. Pelibatan ini perlu dilakukan karena anak dengan gangguan perilaku diharapkan mampu mengerti dan mengendalikan perilakunya sendiri, hal ini juga supaya anak tidak tergantung pada siapapun atau lembaga apa pun untuk memperbaiki perilakunya. 104
Ar-Risalah, Vol.XVII No. 2 April 2016
Zidniyati
Belajar dari Perilaku
Ditekankan pula, bahwa semua model intervensi untuk mengatasi perilaku menyimpang belum tentu mencapai keberhasilan, karena akan muncul kemungkinan hal-hal yang di luar dugaan yang muncul di sepanjang proses penerapan intervensi. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa model penerapan intervensi untuk mengatasi gangguan behavioral sebaiknya dilakukan secara konsisten, fleksibel, dan luwes mengikuti kondisi anak yang mengalami gangguan perilaku. DAFTAR PUSTAKA Levine, James E. 2007. Learning from behavior:how to understand and help “challenging” children in school. London : Praeger Publishers, an imprint of Greenwood Publishing Group, Inc.
105
Ar-Risalah, Vol.XVII No. 2 April 2016