KONVERSI HUTANG PIUTANG UANG MENJADI DAGING SAPI PADA MASYARAKAT DESA BICORONG KECAMATAN PAKONG KABUPATEN PAMEKASAN MADURA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Oleh : Wasilul Chair, S.H.I., M.S.I. Staf pengajar Universitas Madura (UNIRA) pada Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen
ABSTRAK Hutang piutang merupakan kegiatan mu’amalah yang melibatkan ke dua belah pihak (kreditur dan debitur) yang mempunyai nilai-nilai sosial yang sangat tinggi tanpa ada unsur komersil, sehingga dapat diartikan bahwa hutang piutang adalah kegiatan transaksi pinjammeminjam sejumlah uang antara kreditur dan debitur yang akan dikembalikan lagi barang yang sama atau barang yang semisal atau pada nilai riil saat pengembalian. maka dalam penelitian ini ini berkenaan dengan pelaksanaan hutang piutang pada masyarakat desa Bicorong kecamatan Pakong kabupaten Pamekasan Madura. Penelitian ini menarik di lakukakan karena dalam pelaksanaan akad tersebut, kreditur mengkonversikan hutang uang menjadi daging sapi. metode yang digunakan adalah metode penelitian lapangan (field research). Sifat penelitian ini adalah perskriptif, maka untuk memecahkan masalah yang dihadapi digunakan pendekatan normatif hukum Islam. Berdasarkan penelitian mendapatkan beberapa kesimpulan bahwa hukum Islam membolehkan konversi hutang uang menjadi daging sapi, hal ini bukan untuk mendapatkan tambahan dari pinjaman pokok tetapi agar nilai harga (nilai beli) uang tetap, karena nilai uang tidak lagi sama ketika debitur meminjam uang dengan waktu debitur mengembalikan hutangnya, begitu juga dengan harga daging sapi. Hal ini merupakan interpretasi dari ayatayat suci al-Qur’an dan tuntutan syari’at Islam. Pokok pinjaman dapat dinilai sempurna jika diukur berdasarkan nilai riilnya agar antara kreditur dan debitur dalam transaksi hutang piutang yang dikonversikan ke daging sapi tidak ada yang saling menzalimi serta tidak ada pihak yang dirugikan.
Kata kunci : hutang piutang, kreditur dan debitur, konversi dan daging sapi. I.
Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Manusia tidak akan bisa hidup sendirian dalam kehidupannya. Manusia tetap memerlukan adanya manusia lain yang bersama-sama hidup dalam masyarakat. Untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Pergaulan hidup setiap orang melakukan
1
perbuatannya dalam hubungannya dengan orang lain disebut mu’amalah. Dalam pergaulan hidup ini tiap-tiap orang mempunyai kepentingan terhadap orang lain. Timbulah dalam pergaulan hidup ini hubungan hak dan kewajiban. 1 Misalnya jual beli, sewa menyewa dan hutang piutang. Hutang piutang merupakan salah satu bentuk transaksi yang sering dilakukan oleh manusia dan ini berlaku pada seluruh jenis tingkatan masyarakat manusia baik pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, maka dapat diperkirakan bahwa transaksi hutang piutang merupakan transaksi yang telah dikenal sejak manusia ada di muka bumi ini ketika mereka mulai berinteraksi satu sama lain. Dampak krisis moneter menyentuh segala sektor dan seluruh lapisan masyarakat ikut merasakan baik masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan. Keadaan demikian biasanya disebut dengan inflasi yaitu kemerosotan nilai uang kertas karena terlalu banyak beredar, sehingga menyebabkan harga barang membumbung tinggi. 2 Untuk mengatasi keadaan ini pemerintah mengadakan tindakan devaluasi yaitu penurunan nilai mata uang atas uang luar negeri yang sengaja dilakukan untuk memperbaiki ekonomi. 3 Akibatnya pemerintah mengeluarkan jumlah rupiah yang lebih besar.4 Karena akibat inflasi dan devaluasi membuat makin mahal dan membumbung tinggi harga barang dan pemuasan kebutuhan, sehingga manusia selalu
1
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu’amalah (Hukum Perdata Islam), edisi Revisi ( Yogyakarta : UII Press, 2000), hlm. 11. 2 Muchdarsyah Sinungan, Uang dan Bank, cet 3, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) hlm, 49. Menurut JS. Badudu dan Sutan Mohd. Zain pengertian dari inflasi adalah kemerosotan nilai uang kertas karena terlalu banyak beredar, sehingga menyebabkan harga barang membumbung tinggi. Lihat : kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 533. 3
Ibid., hlm. 338.
4
M. Dawan Raharjo, Perekonomian Indonesia Pertumbuhan dan Krisis, ( Jakarta : LP3ES, 1987 ),
hlm. 252.
2
cenderung membutuhkan bantuan orang lain dalam rangka menutupi segala macam kekurangannya, diantaranya adalah transaksi hutang piutang. Hutang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama pula. 5 Bukanlah merupakan suatu persoalan apabila pinjam-meminjam tersebut berupa barang atau pun benda. Misalnya; Pinjam uang Rp. 100.000,- kembali uang Rp. 100.000,-, emas 5 gram kembali emas 5 gram, daging sapi 1 kuintal kembali daging sapi 1 kuintal pula dan sebagainya, sesuai dengan jumlah, macam dan ukurannya, sebab barang atau benda akan dapat seperti semula atau paling tidak akan mendekati seperti semula, Islam membolehkan hutang piutang atau pinjam meminjam sesuai syari’at Islam dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an maupun as-Sunnah. Pada masa dahulu para fuqaha berpendapat, bahwa hutang piutang wajib dikembalikan sesuai dengan jumlah penerimaan sewaktu mengadakan akad tanpa menambah atau menguranginya,6 karena tambahan atau memberikan biaya tertentu yang dibebankan kepada debitur dapat memancing pernyataan adanya riba, 7 sedangkan riba diharamkan dalam al-Qur’an. Pengharamannya juga telah disepakati oleh para as-salafs shalih dan para ulama mujtahid sesudahnya.89 Persoalannya, apabila hutang piutang uang dikonversikan ke daging sapi. Apakah hal ini diperbolehkan dalalm Islam. Praktek hutang piutang seperti ini terjadi di desa
5
Chairuman P. dan Suhrawardi KL. Hukum Perjanjian Dalam Islam, ( Jakarta : Sinar Grafika, 1994),
6
Kamil Musa, Ahkam al-Mu’āmalah, (Bairut: ar-Risalah, 1415 H/1994 M), hlm. 273.
hlm.136.
7
Riba menurut bahasa berarti tambahan, yaitu tambahan yang berasal dari usaha haram yang merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi. Lihat dalam Abū Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hlm. 125. 9
As-Sayyid Abul A’la Al-Maududi, Bicara Tentang Bunga dan Riba, alih bahasa Isnando, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Qalami, 2003), hlm. 128.
3
Bicorong kecamatan Pakong kabupaten Pamekasan Madura. Dalam penelitian ini penyusun memfokuskan pada hutang piutang yang dikonversikan ke daging sapi di desa tersebut. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa Bicorong berhutang uang dikonversikan ke benda lain dan biasanya masyarakat setempat berhutang pada keluarga terdekat, tetangga dan orang kaya setempat karena pada umumnya mereka telah saling mengenal satu sama lain, dan prosesnya tidak berjalan alot karena tidak membutuhkan syarat-syarat administratif yang begitu rumit seperti berhutang pada bank-bank konvensional dan lain-lain. Dalam transaksi hutang piutang di desa Bicorong pihak kreditur memberikan sejumlah uang kepada debitur. Kemudian kreditur dan debitur sama-sama sepakat terhadap hutang tersebut untuk dikonversikan ke daging sapi. Pada umumnya masyarakat desa Bicorong dalam transaksi hutang piutang uang dikonversikan ke daging sapi jarang sekali membuat suatu perjanjian tertulis, baik jumlah yang besar maupun kecil, oleh karena kedua belah pihak sudah saling percaya. Sehingga jika terjadi perselisihan terhadap hutang piutang yang mereka lakukan tidak ada bukti tertulis (otentik) dan mengikat perjanjian tersebut, tetapi mereka menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan. 9 Dalam penelitian ini penyusun mengungkapkan pada kasus hutang piutang yang terjadi di desa Bicorong di mana kreditur memberi pinjaman uang kepada debitur, karena sistem tersebut sudah menjadi kebiasaan (urf) masyarakat setempat, maka perjanjian hutang uang tersebut dikonversikan pada daging sapi dan batas waktu pengembalian hutang tidak ditentukan. Bisanya hutang piutang dengan jumlah besar yang dikonversikan ke daging sapi dengan jangka waktu yang sangat lama, mereka 9
Hasil wawancara dengan bapak Sihabuddin (kreditur) di rumahnya desa Bicorong pada tanggal 27 Februari 2005.
4
beranggapan bahwa uang yang telah dipinjam oleh debitur dengan waktu yang lalma tidak akan sama lagi nilai harga dengan waktu pengembalian. Untuk mengetahui harga daging sapi, maka para pihak pergi ke pasar daging sapi menanyakan harga daging sapi pada waktu itu. Ketika pihak debitur mengembalikan hutang, maka ia harus mengembalikan uang senilai harga daging sapi pada saat pengembalian bukan pada nilai uang yang telah dihutang dan barang jaminan berupa tanah tersebut dikembalikan lagi kepada debitur. Praktek hutang piutang seperti ini tentu saja ada salah satu pihak yang akan dirugikan, kalau harga daging sapi naik, maka debitur akan mengembalikan pinjaman uang tersebut dengan nilai harga daging sapi pada saat pengembalian. Sedangkan pihak kreditur selain mendapatkan nilai uang lebih dari uang yang telah dipinjamkan karena naiknya nilai harga daging sapi. Akan tetapi jika harga daging sapi turun, maka yang dirugikan adalah kreditur dengan menerima uang lebih kecil dari pinjaman semula. Persolan ini perlu penyelesaian agar para pihak (kreditur dan debitur) tidak ada yang dirugikan dan dirasa adil bagi kedua belah pihak. Karena itulah penyusun merasa perlu untuk meneliti bagaimana pemecahan persoalan tersebut sesuai hukum Islam. 1.2. Permaslahan
Berangkat dari latar belakang di atas, maka dapat ditarik pokok permasalahan dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut: 1.
Apakah konversi hutang uang menjadi daging sapi dibenarkan dalam Islam?
1.3.Tujuan
5
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan boleh tidaknya konversi hutang uang menjadi daging sapi dalam hukum Islam.
1.4. Metodologi Penelitian Untuk memperoleh data yang komprehensif, sistematis dan terarah, maka penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut: 1.4.1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang penyusun gunakan adalah penelitian lapangan (field reseach) yaitu penelitian dengan mencoba mencari dan mengumpulkan data secara langsung ke daerah yang menjadi obyek penelitian yaitu di desa Bicorong kecamatan Pakong kabupaten Pamekasan Madura. 1.4.2. Sifat Penelitian Penelitian ini termasuk pada penelitian yang bersifat perskriptif,10 yaitu penelitian yang bertujuan untuk menilai dan menggambarkan keadaan atau fenomena sosial, yang dalam hal ini adalah pendeskripsian pelaksanaan akad hutang piutang uang dikonversikan ke daging sapi pada masyarakat desa Bicorong kecamatan Pakong kabupaten Pamekasan Madura Perspektif Hukum Islam. Data tersebut kemudian dianalisis dari sudut pandang hukum Islam. 1.4.3. Metode Pengumpulan Data
10
Perskriptif merupakan suatu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tertentu. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 10. Dalam kamus Inggris-Indonesia mempunyai arti: memberikan petunjuk, ketentuan-ketentuan, bersifat menentukan. John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, cet. XXIII, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1996), hlm. 444.
6
Karena penelitian ini adalah penelitian lapangan, maka sumber datanya adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat desa Bicorong, meliputi Kepala Desa, Ulama (kyai), serta beberapa orang yang pernah melakukan konversi hutang uang menjadi daging sapi atau disebut juga data utama (primer). Sedangkan sumber bantuan atau tambahan (sekunder) yaitu berupa gambaran atau deskripsi wilayah penelitian serta data-data yang mendukung analisis dalam penelitian. 1.4.4. Pendekatan Masalah Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah normatif, yaitu pendekatan terhadap masalah yang diteliti dengan berdasarkan kepada hukum Islam baik yang berdasarkan nash maupun hasil pemikiran (ijtihād) fuqoha. Disamping itu penyusun juga menggunakan pendekatan sosiologis yaitu dengan membaca segi-segi sosial kehidupan para kreditur maupun debitur. 1.4.5. Analisa Data Metode analisa data yang digunakan untuk menganalisa data adalah metode analisis data kualitatif, yaitu cara menganalisis data yang berupa data kualitatif kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan pola pikir induktif yaitu cara berpikir yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa kongkrit dari hasil riset, kemudian ditarik generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat umum. 11 Proses pemikiran ini digunakan untuk memecahkan permasalahan yang terjadi di desa Bicorong yaitu pelaksanaan konversi hutang
11
Sutrisno Hadi, Metodologi Research 2, (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1984), hlm. 42.
7
uang menjadi daging sapi disertai dengan adanya barang jaminan yang dapat dimanfaatkan olek kreditur.
II.
Landasan Teori Pada dasarnya Islam tidak menolak adanya suatu perubahan zaman yang senantiasa berkembang dan menuntut adanya kemajuan dalam segala aspek baik hukum, ekonomi maupun budaya dengan tidak menyimpang syariat Islam. Banyak sekali realitas yang terjadi di masyarakat tidak ada pada nash al-Qur’an maupun hadits Nabi, akan tetapi hal itu sudah menjadi adat kebiasaan (urf) yaitu sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan.12 Adat kebiasaan mempunyai peranan yang sangat penting sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Dalam kaidah hukum Islam disebutkan: العادة مح ّكمة13 Dengan demikian suatu adat kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat bisa menjadi hukum, yaitu adat yang selaras dengan tujuan syar’i. Para ulama ahli ushul mengungkapkan suatu hukum yang tidak ada pada nash dengan beberapa masalah yang terjadi di masyarakat yaitu masalah: d{arūriyah, hajiyah, dan tahsiniyah. Masalah d{aruriyah yaitu hal-hal yang menjadi kebutuhan pokok bagi kelangsungan hidup manusia, sering juga dalam ilmu ekonomi disebut kebutuhan primer. Hal-hal yang bersifat d{aruriyah ada lima macam yaitu : agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta. Masalah hajiyah yaitu sesuatu yang diperlukan manusia agar meringankan kesulitan dalam kehidupan
12
Kamil Muchtar, dkk. Ushūl Fiqh, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), jil. 1. hlm. 146.
13
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, cet. 1, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), hlm. 35.
8
manusia, sering juga disebut kebutuhan sekunder. Masalah yang ketiga adalah tahsiniyah yaitu sesuatu untuk menuju kearah kelengkapan, ini disebut kebutuhan tersier.1417 Pada dasarnya praktek hutang piutang merupakan bagian dari kegiatan bermuamalah yang mengandung unsur-unsur sosial yang sangat tinggi dan tidak ada nilai komersilnya, sesuai firman Allah : وتعا ونوا على الب ّروالتّقوى والتعاونواعلى اإلثم والعدوان15 Salah satu bagian dari d{aruriyah yang boleh dilakukan oleh setiap manusia dengan tidak melanggar aturan-aturan yang ada dalam nash al-Qur’an maupun Sunnah rasul, hal ini berarti bahwa untuk mengembangkan hartanya harus bebas dari unsur-unsur riba dan juga harus di dasarkan pada prinsip-prinsip muamalah yaitu: Pada dasarnya, segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul Muamalah dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur-unsur paksaan Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan, mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam kehidupan masyarakat Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan menghindari unsurunsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan. 16 Dalam transaksi hutang piutang yang terjadi di desa Bicorong merupakan kasus yang menarik untuk dibahas akan boleh dan tidaknya konversi hutang uang 17
Abdul Wahāb Khalāf, Ilmu Ushūl Fiqh, alih bahasa KH. Masdar Helmy, cet. 7, (Bandung : Gema Risalah Press, 1996), hlm. 357-358. 15
16
Al-Māidah (5) : 2.
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu’amalah (Hukum Perdata Islam),edisi revisi, (Yogyakarta, UII Press, 2000), hlm. 15-16.
9
menjadi daging sapi, dan juga barang jaminan berupa tanah yang dapat dimanfaatkan oleh kreditur. apakah hal tersebut sesuai dengan hukum Islam, yang pada dasarnya hutang harus dikembalikan dalam jumlah yang sama. Islam telah memberikan petunjuk kepada setiap ummat-Nya dengan peraturanperaturan yang terkandung di dalamnya, dalam transaksi hutang piutang akad sangatlah penting sehingga memunculkan adanya komitmen tertentu, sehingga semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat akad, semakin kecil kemungkinan adanya konflik dan pertentangan kedua belah pihak (kreditur dan debitur dan haruslah mempunyai rasa tanggung jawab untuk memenuhinya. Firman Allah Swt: يأيهاالذين ءامنوا أوفوا بالعقود17 Hendaknya dalam setiap akad diiringi dengan rasa tanggung jawab, moral untuk saling memenuhi dan melaksanakannya dengan menanggung segala resiko yang akan muncul, sehingga tidak terjadi konflik antara kedua belah pihak. Sedangkan dalam kegiatan hutang piutang, Islam telah memberikan ketentuanketentuan secara jelas dan tegas, baik dalam al-Qur’an maupun hadis. Firman Allah Swt: من ذاالّذى يقرض هللا قرضاحسنافيضعفه له أضعافا كثيرةوهللا يقبض ويبصط وإليه ترجعون18 Ayat di atas menjelaskan akan arti penting dari memberikan pinjaman atau hutangan pada orang yang membutuhkan pertolongan. Akan tetapi Allah juga melarang memakan harta atas sesamanya dengan jalan batil sesuai firman Allah Swt:
17
18
10
Al-Māidah (5) : 1. Al-Baqarah (2) : 245.
يأيهاالذين أمنواالتأكلواأمولكم بينكم بالباطل إال أن تكون تجرةعن تراض منكم19 Juga dalam kaedah fiqh disebutkan berbunyi : الضرروالضرار20 Dalam kaidah di atas diterangkan bahwa
tidak diperbolehkan membuat
kemadaratan (kerugian) baik kemadaratan kepada diri sendiri maupun kemadaratan kepada orang lain.
III.
Gambaran Umum tentang Konversi Hutang Piutang menjadi Daging Sapi
Manusia tidak akan bisa hidup sendirian dalam kehidupannya. Manusia dituntut untuk selalu berinteraksi antara sesamanya, sehingga akan tercipta sebuah lingkungan yang saling tolong menolong dalam berbagai hal, misalnya: untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Sesuai kodratnya manusia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa adanya orang lain dalam kehidupannya. Dalam pergaulan hidup ini tiap-tiap orang mempunyai kepentingan terhadap orang lain. Timbulah dalam pergaulan hidup ini hubungan hak dan kewajiban. 21 Misalnya hutang piutang. Mengenai hutang piutang sangatlah berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Tidak dapat di pungkiri lagi bahwa manusia dalam kehidupannya pernah melakukan transaksi hutang piutang, baik masyarakat desa maupun masyarakat kota, hal ini sesuai dengan keberadaan individu yang kadang tidak mencukupi dengan harta yang dimilikinya, karena kebutuhan di luar kemampuan hartanya,
19
An-Nisā’ (4) : 29.
20
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-qaidah., hlm. 85.
21
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu’amalah (Hukum Perdata Islam), edisi Revisi ( Yogyakarta : UII Press, 2000), hlm. 11.
11
apalagi pada saat sekarang ini yang sedang menghadapi krisis moneter berkepanjangan sehingga kebutuhan hidup selalu tidak mencukupi. Perkenomian masyarakat desa Bicorong sangat tergantung pada sektor pertanian yang mayoritas penduduk desa Bicorong adalah petani, tetapi yang dapat diandalkan dalam mengembangkan perekonomiannya adalah tanaman tembakau, namun ketika dalam keadaan sangat mendesak membutuhkan uang dengan jumlah besar, maka mereka terpaksa mencari hutangan. Adapun sumber dana atau pihak berpiutang biasanya diperoleh dari keluarga, tetangga atau orang kaya terdekat selain mereka sudah saling percaya dan saling mengenal satu sama lain dan prosesnya pun berjalan cepat dan lancar, hanya saja ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu hutang uang tersebut harus dikonversikan ke daging sapi. Transaksi hutang piutang seperti ini biasanya dengan jumlah besar yaitu berkisar Rp. 1.000.000,- keatas.22 Hutang piutang di desa Bicorong adalah perjanjian antara dua belah pihak yaitu pihak kreditur (pihak yang berpiutang) dan pihak debitur (pihak yang mempunyai hutang), untuk melakukan transaksi hutang piutang berupa uang dengan maksud akan mengembalikan uang di kemudian hari sesuai dengan syarat-syarat dan jangka waktu yang telah di sepakati kedua belah pihak. Dari perjanjian tersebut dapatlah diketahui bahwa masalah hutang piutang sangatlah berhubungan dengan faktor keuangan di mana pihak debitur (yang berhutang) disebut kekurangan dalam hal keuangan apabila terjadi kesenjangan antara penghasilan yang diperoleh dengan jumlah pengeluaran yang digunakan
22
Hasil wawancara dengan bapak Samoin (kreditur) selaku warga desa Bicorong pada tanggal 9 Februari 2005.
12
untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhannya, dan di pihak lain (kreditur) sebagai pihak berpiutang (yang memberikan solusi dengan meminjami uang). Jadi proses hutang piutang ini melibatkan dua belah pihak yaitu pihak berhutang dan pihak yang menghutangi, yang secara umum disebut dengan kreditur dan debitur. Hal tersebut sesuai dengan yang terdapat dalam isi buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai hukum perutangan, di mana pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau kreditur sedangkan pihak yang berhutang disebut debitur. Masyarakat desa Bicorong menyebut hutang tersebut dengan nama Otang Cuko’, yaitu transaksi pinjaman sejumlah uang dan pinjaman tersebut dikonversikan ke daging sapi. Masalah akad hutang piutang sangatlah dibutuhkan mengingat akan sahnya dalam suatu perjanjian, sehingga perjanjian dapat dikatakan sah apabila adanya akad antara kreditur dan debitur. Akad dalam perjanjian hutang piutang yang terjadi di desa Bicorong adalah di mana kreditur dan debitur sama-sama sepakat terhadap uang yang akan dipinjam oleh debitur dikonversikan ke daging sapi. Biasanya masyarakat desa Bicorong dalam hal hutang piutang yang dikonversikan ke benda lain dengan jumlah besar. Konversi hutang uang menjadi daging sapi dilakukan karena pada tahun 1965 di mana kreditur tidak mau memberi pinjaman uang kepada debitur kecuali debitur sepakat hutang tersebut dikonversikan ke daging sapi, hal ini disebabkan karena tidak tetapnya nilai uang rupiah (inflasi ). Pengkonversian hutang piutang tidak hanya berfokus kepada daging sapi, akan tetapi hutang dapat dikonversikan ke benda lain, misalnya; emas dan pupuk. Tetapi kebanyakan masyarakat desa Bicorong dalam hutang piutangnya
13
dikonversikan ke daging sapi, mereka beranggapan bahwa harga daging sapi selalu stabil dan mengikuti harga nilai uang (rupiah). 23 Adapun pelaksanaan waktu pembayaran hutang piutang di desa Bicorong berdasarkan hasil wawancara adalah tergantung pada isi perjanjian yang telah di sepakati kedua belah pihak yaitu debitur harus mengembalikan sejumlah uang dengan harga daging sapi pada saat pengembalian dan tanah yang dijadikan jaminan harus dikembalikan lagi pada debitur, akan tetapi menurut debitur, bahwa kadang-kadang walaupun tempo pembayaran telah tiba dan si debitur belum mampu membayar hutangnya, ia masih minta tenggang waktu pada kreditur dan hutang tersebut terus berlanjut hingga ia dapat mengembalikan hutangnya dan tanah tersebut masih berada pada kreditur dan masih dapat dimanfaatkan oleh kreditur.24 Adapun mengenai pembayaran hutang tersebut, kreditur tidak memungut atau mengambil bunga dan tidak pula memungut biaya tambahan dalam hal penundaan pembayaran, karena pinjam meminjam uang ini didasarkan atas kekeluargaan, saling tolong menolong dan bersifat sukarela, prinsip-prinsip non ekonomis lebih mempengaruhi dalam perjanjian hutang piutang ini. Mereka beranggapan bahwa hutang piutang dengan mengambil bunga atau tambahan dalam pinjaman pokok termasuk riba. Sedangkan mengenai pengkonversian ke benda lain agar nilai harga (nilai beli) uang tetap, misalnya dulu waktu
23
Hasil wawancara dengan bapak Nawar Rafi’iy (debitur) di rumahnya desa Bicorong pada tanggal 28 Februari 2005. ia sedang menerima tanggungan hutang uang dari ayah beliau Rafi’iy (Alm) dengan bapak H. Sirut sebanyak tujuh kuintal daging sapi dan di sertai jaminan tanah mulai tahun 1965 hingga sekarang, beliau belum bisa mengembalikan hutangnya hingga sekarang sehingga tanah jaminan tersebut tetap berada pada kreditur. 24
Hasil wawancara dengan bapak Nijum (debitur) di rumahnya desa Bicorong pada tanggal 12 Februari 2005.
14
peminjaman dapat 1 kuintal ketika pengembalian, maka harus dapat 1 kuintal juga. 25 Berdasarkan hasil wawancara penyusun dengan beberapa pelaku hutang piutang yang dikonversikan ke daging sapi dan disertai barang jaminan tanah bahwa yang menyebabkan mereka berhutang adalah karena kebutuhan yang mendesak seperti; biaya pendidikan anaknya, pernikahan, kematian, biaya pendaftaran calon pegawai negeri, biaya pemberangkatan ke negara lain dan lain-lain. 26 Dalam praktek hutang piutang di desa Bicorong inisiatifnya berasal dari debitur sebagai pihak yang berkepentingan. Debitur ini mencari salah satu tetangganya yang dianggap mampu (baca : punya uang) untuk memberikan pinjaman uang, kemudian debitur mengungkapkan maksudnya untuk meminjam uang sebesar Rp. 3.000.000,- untuk biaya pendidikan anaknya melanjutkan kuliah, kemudian hutang tersebut dikurskan (dikonversikan) ke daging sapi oleh kedua belah pihak (kreditur dan debitur), harga daging sapi pada waktu itu Rp. 30.000,- /Kg sehingga dalam uang sejumlah Rp. 3.000.000,- mendapatkan 1 kuintal daging sapi. Untuk mengetahui harga daging sapi para pihak pergi ke pasar menanyakan harga daging sapi kepada pedagang daging sapi, dan transaksi berlangsung di pasar. Unsur-unsur hutang piutang yang ada di desa Bicorong adalah pihak kreditur, debitur dan obyek hutang piutang itu sendiri. Pihak kreditur maupun debiturnya adalah orang yang cakap dalam melakukan tindakan hukum yaitu telah dewasa, berakal dan atas kemauan sendiri. 25
Hasil wawancara dengan ustadz M. Syuhud, AB (Kiai) di rumahnya Akkor, Palengaan, Pamekasan pada tanggal 10 Februari 2005. 26
Hasil wawancara dengan bapak Abdul (Kepala Desa Bicorong) di rumahnya pada tanggal 08 Februari 2005.
15
Dalam transaksi hutang piutang di desa Bicorong biasanya tidak disertai dengan bukti tertulis dan tidak adanya saksi dari kedua belah pihak hanya saja yang menjadi saksi adalah pedagang daging sapi di pasar, tetapi mereka sudah saling percaya dan saling mengenal. Walaupun dalam perjanjian hutang piutang tersebut tidak tertulis dan juga tidak ada saksi yang hadir dari kedua belah pihak, perjanjian tersebut tetap mengikat kepada kedua belah pihak, karena kedua belah pihak telah sepakat dalam membuat akad atau perjanjian hutang piutang. Menurut Prof. Subekti. SH, bahwa suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak, dan perjanjian tersebut sah jika memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikat. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. 3. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan. 4. Suatu sebab yang halal artinya tidak dilarang. 27 Dalam perjanjian hutang piutang yang dikonversikan ke daging sapi yang terjadi di desa Bicorong hingga sekarang belum ada konflik antara kreditur dan debitur karena mereka menggunakan asas kekeluargaan. Jadi kalau misalnya debitur melakukan wanprestasi (ingkar janji) terhadap kreditur dalam hal belum dapat mengembalikan hutangnya, maka para pihak menyelesaikannya
dengan cara
kekeluargaan.
IV.
Analisa Hukum Islam tentang Konversi Hutang Piutang Menjadi Daging Sapi
Manusia adalah makhluk sosial yang dilahirkan di muka bumi dan selalu berinteraksi, mengadakan pertalian, kontak dan perhubungan timbal balik antara 27
16
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. 24, (Jakarta: Inter Masa, 1993), hlm. 134.
manusia yang satu dengan manusia yang lain, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa dalam kehidupan manusia sehari-hari membutuhkan pertolongan dari orang yang ada disekitarnya, guna melengkapi kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang tidak dapat dilakukannya sendiri. Dalam syari’at Islam dianjurkan untuk selalu saling tolong menolong dalam hal kebaikan, yang kaya menolong yang miskin, yang kuat menolong yang lemah. Bentuk dari pertolongan tersebut dapat berupa pemberian atau dapat juga pinjaman (hutangan). Hutang piutang merupakan salah satu bentuk transaksi yang sering dilakukan oleh setiap manusia di muka bumi ini, baik kalangan kaya atau pun miskin dan transaksi ini dapat diperkirakan telah di kenal sejak zaman dulu, seorang filosof Inggris tersohor Bertrand Russel mengatakan bahwa : “Sangat sukar menghindarkan diri dari hutang, tetapi barang siapa dapat melakukan sesuatu yang sukar itu, ia akan menikmati kemenangan yang besar dan gemilang”.28 Mengenai hutang piutang ini tidak bisa lepas dari kreditur (pihak yang berpiutang) dan debitur (pihak yang mempunyai hutang), di mana debitur memanfaatkan untuk mengatasi kesulitan di bidang keuangan dan untuk memenuhi kebutuhannya, sedangkan kreditur yang memberikan solusinya atas kesulitan di bidang keuangan yaitu dengan meminjamkan sejumlah uang. Akan tetapi debitur mempunyai nilai tanggung jawab untuk mengganti di kemudian hari sebab kreditur dalam memberikan hutang, sifatnya sukarela dan tolong menolong tanpa memperoleh imbalan keuntungan dari perbuatan ini tetapi
28
Dikutip oleh Kartowibowo, dalam majalahnya “Hutang (Ditinjau dari Pandangan Moral),” Mawas Diri, Th. 1985. hlm. 32.
17
pada saat yang sama dia mempunyai hak untuk meminta kembali dari debitur bila waktunya tiba. Perjanjian hutang piutang ini dapat dikatakan sebagai transaksi yang bersifat sukarela, tolong menolong dalam hal kebaikan antar sesama sehingga mempererat hubungan silaturrahim dan dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan sesama warga, sesuai Firman Allah Swt: وتعاونواعلى الب ّروالتّقواى والتعاونوعلى اإل ثم والعدوان29 Dalam hadis Nabi Saw juga disebutkan bahwa hutang piutang merupakan transaksi yang mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi tanpa adanya nilai komersialnya dan unsur kemanusiaan. Nabi Saw bersabda: 30
مامن مسلم يقرض مسلما قرضا م ّرتين إالّكان كصدقتهام ّرة
Hutang-piutang merupakan pemberian milik dari pihak berpiutang kepada pihak berutang dengan ketentuan akan dibayarkan kembali pada waktu yang ditentukan. 31 Oleh karena itu hutang piutang merupakan hal yang kadang-kadang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, maka Islam memberikan peraturanperaturan tentang masalah hutang piutang. Sebelum terjadinya hutang piutang uang, terlebih dahulu adanya akad atau transaksi. Akad merupakan kegiatan muamalah, akad akan di pandang sah apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam dan telah memenuhi beberapa rukun dan
29
Al-Māidah (5) : 2
30
Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Mājah, ٍ)Semarang: Toha Putra, t. t), II: 812. Hadis nomor 2430 hadis Muhammad bin Halfi al-Asqalani sanan ya’la, sanan Sulaiman bin Yusairi dari Qais bin Rumiy. 31
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Hutang Piutang dan Gadai, cet. 2, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1983), hlm. 41.
18
syarat-syarat hutang piutang, rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut sebagai berikut: a. Adanya orang yang berpiutang, yang disyaratkan harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum. 32 b. Adanya orang yang berhutang 33 Yang disyaratkan harus orang yang cakap melakukannya, maka seorang wali anak yatim tidak boleh menghutangkan harta anak yatim dan pengurus wakaf tidak boleh menghutangkan barang wakaf. 34 Dalam hal ini yang dimaksud dengan orang yang berhutang dan berpiutang adalah telah dewasa, baligh, berakal dan tidak terpaksa. c. Obyek atau barang yang dihutangkan, disyaratkan berbentuk barang yang dapat diukur atau diketahui jumlah maupun nilainya. Di syaratkannya hal ini agar pada waktu pembayarannya tidak menyulitkan, sebab harus sama jumlahnya atau nilainya dengan jumlah atau nilai barang yang diterima. 35 d. Lafaz atau sighat akad, yaitu adanya pernyataan baik dari pihak yang mengutangkan maupun dari pihak yang berhutang. 36 Pernyataan ini disebut dengan ijab dan kabul. Mengenai ijab dan kabul, berdasarkan hasil wawancara yang telah penyusun lakukan dengan para pihak yang melakukan transaksi hutang piutang (kreditur
32
Chairuman P. dan Suhrawardi KL. Hukum Perjanjian Dalam Islam, ( Jakarta : Sinar Grafika, 1994),
33
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, hlm. 307.
34
Abū Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank.,hlm. 129.
35
Chairuman P. dan Suhrawardi KL. Hukum Perjanjian .,hlm. 137.
36
Ibid.,
hlm.137.
19
dan debitur), bahwa lafaz yang digunakan dalam hutang piutang yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat adalah sebagai berikut: Debitur : Saya membutuhkan sejumlah uang, bolehkah saya meminjam uang kepadamu dan tanah sebagai barang jaminan dapat kamu pakai. Kreditur : Saya dapat meminjamkan sejumlah uang kepadamu dengan syarat uang tersebut harus dikonversikan ke daging sapi. 37 Mengenai perjanjian hutang piutang di perbolehkannya diadakan persyaratan dalam akadnya apabila tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam. 38 Syarat-syarat tersebut menjadi sah apabila memenuhi : 1. Tidak menyalahi hukum syari’ah yang disepakati adanya. 2. Harus sama ridha dan ada pilihan. 3. Harus jelas dan gamblang.39 Zahrī Hamid memberi batasan akad lebih jelas dan terperinci, sebagai berikut: Akad atau perikatan ialah suatu ikatan antara dua pihak atau lebih tentang suatu urusan tertentu yang di mulai dengan kehendak salah satu pihak kemudian di setujui oleh pihak lain sehingga merupakan kesepakatan semua pihak yang bersangkutan dan mereka terikat karenanya. 40 Ahli fiqh menemukan bahwa tidaklah mudarat jika hal ini disetujui oleh kedua belah pihak, bahwa hutang akan di bayar dengan cek dan draf atau akan di bayar di negara lain atas persetujuan kedua belah pihak. Ibnu Zubair, misalnya,
37
Hasil wawancara dengan bapak Moh. Sakli (kreditur) di rumahnya desa Bicorong pada tanggal 09 Februari 2005. 38
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam .,hlm. 39.
39
Chairuman P. dan Suhrawardi KL. Hukum Perjanjian .,hlm. 2.
40
Zahri Hamid, Asas-asas Mu’amalat Tentang Fungsi Akad Dalam Masyarakat, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, t. t), hlm. 13.
20
menerima sejumlah uang dari penduduk Mekkah untuk dibayarkan di Iraq melalui draf yang diambil dari saudaranya Musab yang tinggal di Iraq, dalam masalah ini, Ibnu Abbas dan Saidina Ali, yaitu sahabat dan sepupu Nabi Saw, tidak melakukan penolakan.41 Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw: 42
والمسلمون على شروطهم االشرطاحرم حالال أوأحل حراما....
Hadits tersebut menerangkan bahwa diperbolehkannya dalam perjanjian hutang piutang mengadakan syarat. Misalnya bila seseorang berutang uang dengan syarat dibayarkan kembali berupa cincin seharga utang tersebut, maka syarat itu harus dipenuhi oleh masing-masing pihak, karena syarat tersebut tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. 43 Allah berfirman dalam al-Qur’an : 44
يأيّهاالّذين ءامنوا أوفوا بالعقود
Hendaknya dalam setiap akad diiringi dengan rasa tanggung jawab, moral untuk saling memenuhi dan melaksanakannya dengan menanggung segala resiko yang akan muncul, sehingga tidak terjadi konflik antara kedua belah pihak. Para ulama berbeda pendapat tentang akad yang disyaratkan. Ulama Hanabilah membolehkan akad dengan syarat, ia mengatakan bahwa pinjaman itu bukan harta mislī, maka bagi peminjam wajib mengembalikan hartanya. Jika pengembalian dengan bentuknya kepada orang yang mempunyai harta, maka orang yang meminjam tidak wajib menerimanya. 45
Ulama Malikiyah
41
Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, alih bahasa. Aswin Simamora, cet. II, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 74. 42 Imām at-Tirmidzī, Sunan at-Turmudzī, “Kitāb al-Ahkām Ar-Rasūlillāh” Bāb al Sulh baina an-Nās, (Beirut : Dār al-Fikr, 1978) III, hlm. 635. Hadis nomor 1352. hadīs dari Hasan bin Alī al-Khallah dari Abū Amr’ al ‘Aqodī dari Kasir bin ‘Abdillāh bin ‘Auf al-Muzannī dari bapaknya dari kakeknya. 43
44
45
21
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang., hlm. 39. Al-Māidah (5) : 1. Abd. Rahman al-Jaziri, Kitāb al-fiqh ‘alā al-Mazāhib al-arba’ah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1972), II: 344.
mengatakan bahwa pengembalian pinjaman baik itu harta mislī maupun bukan mislī haruslah dikembalikan dengan syarat tidak berubah baik menambah maupun mengurangi. Jika berubah, maka hukumnya wajib mengembalikan yang sesuai. 46 Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa di perbolehkakn meminjamkan harta mislī dan harta qimy, pada harta mislī bagi orang yang meminjamkan, hendaknya mengembalikan yang sepadan dengan harta tersebut, baik itu emas, perak, dan lain-lainnya. 47 Transaksi hutang piutang yang terjadi di desa Bicorong di mana dalam akadnya antara kreditur dan debitur tersebut dikonversikan ke daging sapi. Seandainya debitur meminjam uang sejumlah Rp. 3.000.000,- kepada kreditur, jika kedua belah pihak sama-sama sepakat, maka hutang uang tersebut dikonversikan ke daging sapi, harga daging sapi pada waktu itu Rp. 30.000,- /kg sehingga mendapatkan 1 kuintal daging sapi. Apabila debitur dapat mengembalikan hutangnya, maka ia harus mengembalikan uang seharga 1 kuintal daging sapi yang telah dihutangnya pada waktu akad.48 Mengenai pinjaman yang berupa barang atau benda yang ditakar dan ditimbang, maka pengembaliannya wajib sama. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw: فمن زاد فهو, والذهب با لذهب وزنا بوزن مثال بمثل,الفضة با لفضة مثال بم ثل وزنا بوزن 49
والتباع ثمرة حتى يبدو صالحها,ربا
46
Ibid., hlm. 343.
47
Ibid., hlm. 342.
48
Hasil wawancara dengan Bapak Sayyali Suryadi (debitur) di rumahnya desa Bicorong pada tanggal 20 Februari 2005. 49
Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imām Ahmad ibn Hambal, (Bairut : Dār al Ihya’ al-Turas al-Arabī, 1993), II: 515. hadis nomor 7505, hadis dari Abdullah dari Abi dari Rubai bin Ibrāhim dari Abdurahman yakni Ibnu Ishaq dari said dari Abi Hurairah
22
Namun dalam hal peminjaman uang (qard) yaitu perjanjian sesuatu kepada orang lain dalam bentuk pinjaman yang akan dibayar dengan nilai yang sama atau membeli sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus dikembalikan semisal. 50 Semisal di sini mengandung dua pengertian yaitu bisa sama persis dengan bendanya yang dalam hal ini berupa uang yang berarti sama dengan nilai nominalnya atau sama dalam arti kekuatan daya beli dari uang. Mengenai akad yang merupakan syarat dari qarad yaitu perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih (muqrid dan muqtarid) berdasarkan keridaan dari masing-masing pihak yang menimbulkan beberapa hukum. 51 Dalam mengadakan akad harus ada unsur sukarela dari kedua belah pihak dalam hal hutang piutang kaitannya dengan perubahan harga daging sapi, dimana dalam akad itu disyaratkan apabila terjadi kenaikan harga daging sapi maka debitur harus mengembalikan pinjaman dengan jumlah yang lebih banyak dari yang dipinjam semula, akan tetapi jika terjadi penurunan harga kreditur harus rela menerima jumlah nominal yang lebih sedikit atau kurang dari jumlah yang dipinjamnya semula. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt: 52
……إالّ أن تكون تجارةعن تراض ّمنكم
Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan: 53
األصل فى العقدرضى المتعاقدين ونتيجته ماإلتزماه بالتّعاقد
50
Moh. Anwar, Fiqh Islam, Mu’amalah, Munakahat, Fara’id, Dan Jinayah,(Hukum Perdata Islam) Beserta Kaedah-kaedah Hukumnya, cet. II, (Bandung: al-Ma’arif, 1988), hlm. 52. 51
52
53
23
Hasbi ash-Shiddieqi, Pengantar .,hlm. 200. AN-Nisā’ (4) : 29. Asjmuni A. Rahman, Qaidah .,hlm. 44.
Dengan demikian kasus hutang piutang yang terjadi di desa Bicorong dalam hutang tersebut terdapat syarat-syarat, dimana dalam hutang piutang tersebut salah satu syaratnya adalah hutang harus dikonversikan menjadi daging sapi. Jika terjadi kenaikan harga daging sapi pada saat pengembalian, maka debitur harus mengembalikan sejumlah uang sesuai dengan harga daging sapi pada saat pengembalian, bukan pada uang yang telah dipinjami semula, begitu pula sebaliknya, jika terjadi penurunan harga daging sapi, debitur mengembalikan sejumlah uang lebih rendah dari pinjaman semula. Syarat-syarat seperti ini bukanlah salah satu bentuk dari riba, karena dalam perjanjiannya, debitur tidak diharuskan mengembalikan sejumlah uang dengan memberi tambahan prosentase tertentu. Riba adalah transaksi yang diharamkan oleh Allah sesuai firman-Nya: 54
يأيّهاالّذ ين ءامنوااتّقواهللا وذروامابقي من ال ّربوا إن كنتم مؤمنين
Juga di pertegas dalam hadis Nabi Saw tentang orang yang melakukan perbuatan dengan jalan riba: 55
لعن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أكل الرباوموكله وكاتبه وشاهديه
Riba menurut pengertian bahasa berarti “( ”زيادهtambahan), yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan yang diperoleh oleh kreditur dari debitur sebagai pengganti tangguhan.56 As-Sayyid Sabiq membagi riba menjadi dua macam yaitu :
54
Al-Baqarah (2) : 278.
55
Imām Muslim, Sahīh Muslim, “22 kitab al-Musaqāt, 19.” Bab La’ana akila ar Ribā wa Mukīlahu, I, hlm. 697, hadits dari Abu Zubair dari Jabir. 56
24
As-Sayyid Abul A’la Al-Maudūdī, Bicara Tentang.hlm. 128.
1. Riba Nasi’ah yaitu tambahan bersyarat yang diperoleh orang yang menghutang dari orang yang berhutang lantaran penangguhan. 2. Riba Fadl yaitu jenis jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan barang yang ada tambahan. 57 Abu Zahrah dalam kitab Buhūsu fi al-Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba bahwa riba adalah: سواءكان القرض لالستهالك أم كان القرض لالستغالل أى سواء كان القرض,كل زيادة فى نظير األجل لمال ينفعه فى شؤنه من غيراتجاه إلى تنميته واستغالله أم كان القرض للتنمية 58
واالستغال ل ألن النص عام
Dengan demikian transaksi hutang piutang dapat dikatagorikan riba apabila mengandung unsur-unsur: 1. Kelebihan dari pokok pinjaman 2. Kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran 3. Jumlah yang disyaratkan dalam transaksi. 59 Mengenai hutang piutang yang terjadi di desa Bicorong dimana dalam hutang piutang tersebut dikonversikan ke daging sapi, mereka ber-asumsi dan menjadi realita pada saat ini bahwa nilai uang selalu berubah-ubah (fluktuatif) artinya merosotnya nilai uang (inflasi), agar nilai harga (nilai beli) uang selalu tetap, maka hutang tersebut dikonversikan ke daging sapi, mereka beranggapan bahwa harga daging selalu stabil dan mengikuti harga nilai uang (rupiah). Hal ini pernah
57
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hlm. 133-134.
58
Muhammad Abū Zahrah, Buhūsu fi al-Ribā, cet.1, (Bairut: Dār al-Buhus al-Ilmīyah, 1399 H/ 1980 M), hlm. 38-39. 59
25
Abū Sura’i, Bunga Bank.,hlm. 23.
terjadi pada tahun 1965 dimana kreditur tidak mau memberi hutang kepada debitur jika hutang tersebut tidak dikonversikan ke daging sapi. 60 Transaksi seperti ini wajar bilamana kreditur tidak ingin dirugikan dengan pengembalian uang yang tidak mempunyai nilai. Oleh karena itu tidak dapat disalahkan apabila kreditur menuntut untuk menerima kembali uangnya sesuai nilai riilnya atau nilai pada saat pengembalian. Mengenai perjanjian hutang piutang seperti ini dipertegas dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata (BW) dalam pasal 1756 dikatakan: Hutang yang terjadi karena peminjaman atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jika sebelum saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan dihitung menurut harganya yang berlaku pada saat itu. 61 Menurut penyusun, alasan kebolehan atas konversi hutang uang menjadi daging sapi adalah agar nilai harga (nilai beli) uang tetap dan transaksi perjanjian ini bukan bagian dari transaksi hutang piutang ribawi yang diharamkan oleh hukum Islam, sesuai firman Allah SWT: 62
وإن تبتم فلكم رءوس أموالكم التظلمون والتظلمون
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa kreditur dilarang menganiaya debitur dengan mengambil tambahan dan juga pula kreditur dianiaya oleh debitur dengan mengurangi sesuatu dari modal, tetapi diperintahkan untuk mengambil pinjaman itu secara sempurna. Korelasinya dengan hutang uang yang dikonversikan ke 60
Hasil wawancara dengan bapak Nawar Rafi’iy (debitur) di rumahnya desa Bicorong pada tanggal 28 Februari 2005. yang melakukan transaksi konversi hutang uang menjadi daging sapi pada tahun 1965 adalah bapak dari Nawar Rafi’iy yaitu Rafi’iy karena beliau wafat maka hutang tersebut diwariskan ke anaknya hingga sekarang. 61
R. Subekti dan R. Tjiptosudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Edisi Revisi, cet. 27, ( Jakarta : Pradnya Paramita, 1995 ), hlm. 451. 62
26
Al-Baqarah (2) : 279.
daging sapi yaitu dimana debitur harus mengembalikan uang sesuai harga daging sapi pada saat pengembalian hutang tersebut bukan pada waktu peminjaman, sehingga nilai beli dari uang tersebut tetap. Hal ini merupakan interpretasi dari ayat diatas dan tuntunan dari syari’at Islam karena nilai uang tidak lagi sama ketika debitur meminjam uang dengan waktu debitur mengembalikan hutang tersebut, begitu juga dengan harga daging sapi. Hal ini bukan termasuk transaksi ribawi yang diharamkan oleh hukum Islam, pokok pinjaman tersebut dapat dinilai sempurna jika diukur berdasarkan nilai riilnya. Hal ini agar antara debitur dan kreditur dalam transaksi hutang piutang tidak ada yang saling menzalimi serta tidak ada pihak yang menderita kerugian. Kaidah fiqhiyah mengatakan: 63
الضرروالضرار
Dalam hal pembayaran, debitur hendaknya mengembalikan dengan yang lebih baik tanpa adanya syarat berbunga dan tidak pula merugikan kreditur, sebagaimana dalam hadis Nabi Saw: كان لرجل على النبى صلى هللا عليه وسلم سن من اإلبل فجاءه يتقاضاه فقال النبى صلى هللا عليه وسلم أعطوه فطلبوا سنه فلم يجدوا له االسنافوقهافقال أعطوه فقال اوفيتني وفى هللا بك قال النبى صلى هللا 64
عليه وسلم إن خياركم أحسنكم قضاء
Hadis diatas menerangkan bahwa Nabi sendiri pernah berhutang seekor unta muda tetapi beliau mengembalikan unta yang lebih tua dari unta yang dipinjami semula, hal ini menunjukkan bahwa orang yang paling baik adalah orang yang mengembalikan hutang.
63
64
Asjmuni A. Rahman, Qaidah., hlm. 85.
Imām al-Bukhāri, Sahih al-Bukhāri, kitāb “ fi al-Istiqrād wa Adai ad-Duyūn” “bāb Husni al-Qadai”, hlm. 83. Hadīs dari Abū Nu’aim dari Sufyān dari Salamah dari Abi Salamah dari AbūHurairah.
27
V.
Penutup V.I. Kesimpulan Pelaksanaan akad hutang piutang yang dikonversikan ke daging sapi diperbolehkan dalam hukum Islam, karena dalam akadnya para pihak sama-sama sepakat untuk dikonversikan ke daging sapi. Hal ini bukanlah untuk menganiaya debitur tetapi merupakan interpretasi dari ayat-ayat al-Qur’an dan tuntunan dari syari’at Islam karena nilai uang tidak lagi sama ketika debitur meminjam uang dengan waktu debitur mengembalikan hutang tersebut, begitu juga dengan harga daging sapi. Hal ini bukan termasuk transaksi ribawi yang diharamkan oleh hukum Islam, pokok pinjaman dapat dinilai sempurna jika diukur berdasarkan nilai riilnya. Hal ini agar antara kreditur dan debitur dalam transaksi hutang piutang yang dikonversikan ke daging sapi tidak ada yang saling menzalimi serta tidak ada pihak yang dirugikan. V.II. Saran-saran 1. Dalam praktek hutang piutang hendaklah ditulis dan disertai saksi dari para pihak, agar memperkuat transaksi tersebut jika salah satu pihak melakukan wanprestasi dapat menunjukkan bukti tertulisnya. 2. Mengenai pembayaran hendaklah diberi batas waktu, agar debitur tidak menundanunda waktu dan mempunyai kewajiban untuk cepat-cepat membayar sehingga jika terjadi kenaikan harga daging sapi tidak terlalu membengkak.
VI.
Daftar Pustaka
Abdul Hadi, Abu Sura'i, Al-Riba wa al-Qardu fi al-Fiqhi al-Islami, Riyad: Dar al-I'tizam, t.t Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank syari'ah: dari Teori ke Praktek, cet.I, Jakarta: Gema Insani Press, 2001 Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syari'ah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, cet. I, Jakarta: Tazkia Institute, 1999
28
Badudu, JS dan Sutan Mohd. Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994 Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam Tentang Riba, Hutang Piutang dan Gadai, cet. 2, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1983 al-Bukhāri, Imam, Sahih al-Bukhāri, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1981 M, 4 Juz Chapra, Umar, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000 Departemen Agama R.I, al-Qur'an dan Terjemahannya, Yayasan Penterjemahan al-Qur'an, Semarang: CV. Toha Putra, 1989
Penyelenggara
Hanafi, Mamduh M, Manajemen Keuangan, cet.I, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004 Hanafi, Syafiq Mahmadah, Time Value of Money dan Implikasi Ekonomi dalam Ekonomi Islam, Jurnal EKBIS Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 1, No. 1, Desember 2006 Imām Abī Bakar Ahmad bin Husain bin Ali al-Baihaqi, As-Sunani al-Kubrā, cet. I, Beirut: Dar Shadar, 1352 H al-Jaziri, Abd ar-Rahman, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah, Beirut: Dar al-Fikr, 1972 Khan, Muhammad Akram, Time Value of Money, edited by Sheikh Ghazali dalam, An Introduction to Islamic Finance, Kuala Lumpur: Quill Publisher, 1992 Kartowibowo, dalam majalah “Hutang (Ditinjau dari Pandangan Moral),” Mawas Diri, Th. 1985. Majah, Ibn, Sunan Ibn Majah, Kitab as-Sadaqat, bab inzar al-Mui'sir, Semarang: Toha Putra, t.t Muslehuddin, Muhammad, Sistem Perbankan Dalam Islam, alih bahasa. Aswin Simamora, cet. II, Jakarta: Rineka Cipta, 1994 Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi KL. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1994 Qureshi, Anwar Iqbal, Islam and the Theory of Interest, Lahore: SH. Muhammad A Shraf, 1991 Raharjo, M. Dawan, Perekonomian Indonesia Pertumbuhan dan Krisis, Jakarta : LP3ES, 1987
29
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, jilid III, terj. Soeroyo, Nastangin, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995 Sinungan, Muchdarsyah, Uang dan Bank, cet 3, Jakarta: Rineka Cipta, 1991 at-Tirmidzī, Imam, Kitāb al-Ahkām Ar-Rasūlillāh, Beirut : Dār al-Fikr, 1978
30