PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA ISTERI NUSYUZ (Studi Pada Pengadilan Agama Serang) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: UWES HUJJATUL ISLAM NIM: 104044101449
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H/2009 M
PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA ISTERI NUSYUZ (Studi Pada Pengadilan Agama Serang) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: UWES HUJJATUL ISLAM NIM: 104044101449 Dibawah Bimbingan: Pembimbing
Kamarusdiana, S.Ag, M.H NIP. 150 285 972
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H/2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJUIAN Skripsi berjudul PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA ISTERI NUSYUZ (Studi pada Pengadilan Agama Serang) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 06 April 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal AlSyakhshiyah. Jakarta, 06 April 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP. 150 210 442
PANITIA UJIAN Ketua
: Drs. H. A. Basiq Jalil, SH., MA (…….……………) NIP. 150 169 102
Sekretaris
: Kamarusdiana, S.Ag., MH (.............................) NIP. 150 285 972
Pembimbing
: Kamarusdiana, S.Ag., MH (.............................) NIP. 150 285 972
Penguji 1
: Drs. H. A. Basiq Jalil, SH., MA (……….…………) NIP. 150 169 102
Penguji II
: Asmawi, M.Ag (…….……………) NIP. 150 282 934
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 Februari 2009
Uwes Hujjatul Islam
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin
dengan
segala
kerendahan
hati,
penulis
panjatkan puji dan syukur kehadirat allah SWT atas segala limpahan taufiq dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan Salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda nabi besar Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya yang tetap istiqomah menegakkan Agama Islam hingga akhir zaman. Skripsi ini berjudul “Penyelesaian Perceraian Karena Isteri Nusyuz (Studi Pada Pengadilan Agama Serang)”. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana hukum Islam (SHI), pada Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Ahwal Syakhshiyah, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada orang-orang yang telah memberikan kontribusinya dalam menyelesaikan skripsi ini, karena penulis sadar tanpa bantuan mereka semua, skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu sepantasnya penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Program Studi Peradilan Agama, Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. dan juga kepada Sekretaris Program Studi Peradilan Agama, Kamarusdiana, S.Ag., M.H. yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat membantu selama penulis menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Pembimbing skripsi penulis, Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan motivasi dalam penulisan skripsi serta tidak jera memberi masukan-masukan dalam penyelesaian skripsi ini dan juga bersedia meluangkan waktu kepada penulis di tengah kesibukannya. 4. Segenap bapak dan ibu dosen serta staf pengajar pada lingkungan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Segenap jajaran Staf dan Karyawan Akademika Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan penulis dalam menyusun skripsi. 6. Ketua Pengadilan Agama Serang dan seluruh Staf yang telah mengizinkan dan membantu penulis untuk dapat melakukan penelitian di Pengadilan Agama Serang guna penyelesaian skripsi ini. 7. Ayahanda Drs. M. Djurdjani dan Ibunda Anisah Zuhri, kakanda (Uyu Mu’awanah, S.Pd dan Yeti Fikriyati, S.Pdi), adinda (Ima Hikmawati dan Iman Izzurrohman), Kakek (Alm. KH. Zuhri Darda) serta Nenek dan semua keluarga yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang penulis hormati dan sayangi yang
senantiasa mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, serta memberikan dorongan moril dan materiil, serta nasehat dan do’a demi kesuksesan penulis, semoga hari-hari mereka selalu bahagia dan dilindungi Allah SWT. 8. Pamanku dan isteri (Drs. Abdul Basit Zuhri, MA. dan Nova Santika) yang selalu memberikan motivasinya kepada penulis, serta keponakan-keponakanku yang ganteng-ganteng dan cantik (Fajrul Falah, Miftah Ilmi Rabbani, Aisyah Lutfiah) 9. Zakaria, M. Yusuf, Fajar Abrilian, Azizah, Ulfah Fauziyah, Zuhairi Barata, Muhammad Isnaini, Indrawan, A. Bafaqih, dan kepada seluruh angkatan 2004 khususnya Peradilan Agama yang telah membantu dan mengisi hari-hari penulis selama menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 10. Pengasuh Pondok Pesantren Daar El-Hikam K.H. Bahruddin beserta keluarga, dan tidak lupa teman-teman di Pondok Pesantren Daar El-Hikam: Luthfi, Ade, Maki, Iwan, Hasan, Yayat, Aziz, Toni, Amri, Sani dan semua santri (mohon maaf tidak bisa sebutin satu-satu). 11. Keluarga besar Al-Barkah: Rohim, Domen, Nian, Aziz, Habib, Majid, dkk. Demikianlah skripsi ini penulis susun, semoga bermanfaat bagi semuanya khususnya bagi penulis sendiri dan dan bagi para pihak yang turut membantu semoga amal ibadahnya dibalas oleh Allah SWT. Amin Jakarta, 27 Februari 2009
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .....................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................
9
D. Metode Penelitian ............................................................................... 10 E. Sistematika Penulisan ......................................................................... 13 BAB II
SEKITAR MASALAH PERCERAIAN ISTERI NUSYUZ
A. Pengertian dan Dasar hukum Perceraian ............................................ 14 B. Sebab-sebab Terjadinya Perceraian .................................................... 18 C. Macam-macam perceraian .................................................................. 20 D. Prosedur Perceraian ............................................................................ 30 BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG NUSYUZ
A. Pengertian dan Dasar Hukum Nusyuz ................................................ 36 B. Faktor-faktor Isteri Nusyuz ................................................................. 40 C. Akibat Nusyuz .................................................................................... 44
BAB IV
PENYELESAIAN
PERCERAIAN
ISTERI
NUSYUZ
DI
PENGADILAN AGAMA SERANG A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Serang ................................... 48 B. Data Perceraian Isteri Nusyuz ........................................................... 53 C. Putusan Perceraian Isteri Nusyuz ...................................................... 56 D. Analisa Penulis terhadap Putusan Perceraian Isteri Nusyuz ......... 60 BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 67 B. Saran-saran ......................................................................................... 69 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 70 LAMPIRAN-LAMPIRAN A.
Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ............................. 73
B.
Mohon Data / Wawancara ................................................................ 74
C.
Wawancara ....................................................................................... 75
D.
Pedoman Wawancara ....................................................................... 76
E.
Hasil Wawancara .............................................................................. 77
F.
Laporan Perkara Yang di Putus Tahun 2006 .................................... 79
G.
Laporan Perkara Yang di Putus Tahun 2007 .................................... 80
H.
Putusan No. 58 / Pdt.G / 2006 / PA Srg ............................................ 81
I.
Putusan No. 30 / Pdt.G / 2007 / PA Srg ............................................ 87
J.
Putusan No. 214 / Pdt.G / 2008 / PA Srg .......................................... 93
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia yang hidup dimuka bumi ini pasti menginginkan kebahagiaan dan salah satu jalan untuk mencapai kebahagiaan itu adalah dengan cara melakukan perkawinan yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT. Aturan tersebut dibuat oleh Allah SWT secara sempurna sehingga manusia yang mengikutinya dapat memperoleh ketentraman dan kebahagiaan. Islam membangun kehidupan keluarga atas dasar dua tujuan: pertama, menjaga keluarga dari kesesatan. Kedua, untuk menciptakan wadah yang bersih sebagai tempat lahirnya sebuah generasi yang berdiri diatas landasan yang kokoh dan teratur tatanan sosialnya.1 Perkawinan merupakan sunnah Rasulullah SAW yang disyari’atkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya. Dalam perspektif Islam, perkawinan tidak hanya sebagai kebutuhan biologis seksualitas antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, akan tetapi Islam memandang sebuah perkawinan sebagai institusi untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
1
Abduttawal Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah: Poligami dalam Islam vs Monogami Barat, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet ke-1, h. 8-9.
Sebagaimana firman Allah SWT surat Al-Hujurat ayat 13:
$% !" "#
6748$9: ⌧345 01 &'( )*+%,-./ 8&>'A ;<'( )*=-.>.? 6 H I>=J .>K BCE F4G
.* ;&'(1MN: "L% PQR- A "L% 6 ;<'(4%+: UVW STF./ Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat: 13)
Allah SWT, menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat berhubungan satu sama lain. Sehingga mencintai, menghasilkan keturunan dan hidup dalam kedamaian sesuai dengan perintah Allah SWT dan petunjuk dari Rasul-Nya yaitu dengan perkawinan. Menurut hukum Islam yang dimaksud perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolongtolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.2 Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk hidup yang diciptakan Tuhan, baik pada diri manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
2
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1991), cet.I, h.2
Perkawinan adalah suatu hubungan istimewa yang tentunya berbeda dengan hubungan perdata lainnya, seperti: hukum kewarisan, hukum benda atau hukum kekayaan,3 artinya bahwa perkawinan tidak hanya menyangkut aspek lahiriyah saja tetapi juga aspek batiniyah dan hal inilah yang membedakan hukum perkawinan dengan hukum kebendaan atau hukum kewarisan. Selain itu hukum perkawinan juga mencakup aspek yuridis sosiologis yakni suatu hubungan interaksi yang memiliki norma-norma tersendiri. Perkawinan merupakan salah satu yang diplih Allah SWT sebagai jalan terbaik bagi manusia untuk menjalin kasih sayang antara seorang pria dengan seorang wanita setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya sebagai suami isteri. Hukum bukan hanya sekedar kumpulan peraturan tingkah laku belaka, akan tetapi merupakan sebuah manifestasi konsep-konsep, ide-ide dan cita-cita sosial mengenai pola ideal sistem pengaturan dan pengorganisasian kehidupan masyarakat. Hal ini tercermin dalam konsep atau cita-cita tentang keadilan sosial, kesejahteraan hidup bersama, ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan demikian untuk mencapai semua itu, peradilan yang merupakan bagian dari pranata
hukum
(Legal
Institution)
sangat
berperan
penting
terhadap
berlangsungnya keteraturan, kesejahteraan serta ketentraman dan sebagainya.
3
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indo, 1978), h. 7
Dalam pasal 38 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat terputus disebabkan karena: (1). Kematian; (2). Perceraian; (3). Atas Putusan Pengadilan4. Terutama pada kasus peceraian dapat terjadi karena adanya ikrar talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Dalam hadits shahih dikatakan:
َُیُْﻥ
ُْ َِْ
َ َ َ
َ ِ َْ أَِ هُ َیْ َ َة+َ#ْا ٌِ7ْ ُ ْْ َك%َ َ ی: َ2ََو روا
ُ:َ َْ@
)
ََل.ْأَ>َ َ َاو
ُْ َُْ اْ َازِي ُِْوَ َ َ ِ إِْ َا ه ٍ َ%ْ&َ' ِْا ِِْ"َ#َْ َ َ َ!ُْ ا ِْ َ َ"ُ َْ ،ٍَِ"ْ َانَ ِْ أَِ أَﻥ ْ َ ِ4َْ2َ َ0 ا12َ3 ِ0َلَ رَُْلَ ا. : ََل. َ<ْ ِ
َِ?َُ=ً ر2ُ>
َ<ْ ِ
َ:ِ َآ
ْإِن 5
Artinya:
9ً َ ِْ7ُ ( H2
:
Hadits Ibrohim ibn musa ar-Razi, hadits Isa ibn Yunus hadits Abdul Hamid ibn Ja’far dari Imron ibn Abi Annas, dari Umar ibn Hakam dari Abi Hurairah berkata: Bersabda Rasulullah SAW: Janganlah seorang mu’min laki-laki membenci seorang mu’min perempuan jika ia membenci sesuatu tingkah lakunya, tentu ada tingkah lakunya yang lain yang disenanginya. (HR.Muslim)
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai wafatnya salah seorang suami isteri, inilah sebenarnya yang dikehendaki dalam Islam. Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diharapkan oleh Islam, akad nikah diadakan adalah untuk selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga tempat berlindung, menikmati naungan, kasih sayang dan dapat memelihara anaknya dalam pertumbuhan yang baik.
4
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. Ke 6, h. 274-275. 5
Shahih Muslim, (Riyadh: Daarus Salam: 1998), Bab Radha, h. 626
Karena itu maka dikatakan bahwa ikatan antara suami isteri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh. Dan tidak ada sesuatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu, selain daripada itu Allah SWT sendiri menamakan ikatan perjanjian antara suami isteri dengan sebutan “Mitsaqon Ghalidzaa” (perjanjian yang kokoh)6. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisaa’/4 ayat 21:
]4G Z$'Y>\=4 . +Y⌧3 cd>& 6b,c% ;<_`_a>& 67^7+=: g% 4hY01 <_`#1 eY./: iUW #_Y-⌧P Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat” (An-Nisaa’/4:21)
Jika ikatan antara suami isteri itu demikian kokohnya, maka tidak sepatutnya dirusak dan disepelekan. Setiap usaha untuk penyepelekan hubungan perkawinan dan melemahkannya adalah dibenci Islam, karena ia merusakan kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami isteri. Nabi bersabda:
ِ َ, َْرَبِ ِْ دَ ر#ُ َْ, ْEِ3َْ ُ&ِْ فِ ِْ وَا, ٍَِ> ُْ ُ"َ#ُ َ َ َ, ٍَْ!ُ ُْ ُ ِْCََ َ َ آ ا:َقِ) روا2M ا0َِل اَِ ا2#َُْ اJَKَْأ: ََل. َّ2ََِ و4َْ2َ ُ0 ا2َ3 H1ِ! َِ ا, َ َ"ُ ِْا 7 (Artinya: Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: perbuatan داود yang halal akan tetapi dibenci oleh Allah Azza Wajalla ialah Thalaq. (HR Abu Daud).
6
Slamet Abidin & H. Aminuddin, Fiqh Munakahat II, (Bandung: Pustaka Setia, 1996) cet.ke-
2 h.9 7
Sunan Abi Daud (Beirut: Daru Ibn Hizam, 1998), Bab Thalaq, h.334
Namun dalam keadaan tertentu terdapat hak-hak yang menghendaki putusnya perkawinan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan maka kemudhorotan yang akan terjadi8. Meski diperbolehkan untuk bercerai tetapi hal itu suatu perbuatan yang paling dibenci oleh Islam karena akan menghilangkan kemaslahatan antara suami isteri. Namun demikian tidak jarang terjadi bahwa tujuan mulia tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan. Karena pada kenyataannya membina suatu perkawinan yang bahagia tidaklah mudah bahkan sering kehidupan perkawinan ditengah
jalan,
akibatnya
timbullah
perceraian.
Perceraian
kandas
merupakan
problematika dalam keluarga yang akan membawa kehancuran, terutama bagi anak-anak, tidak sedikit anak-anak yang menjadi korban karena orang tuanya berpisah. Saat masalah yang sudah ada tidak dapat diselesaikan dengan upaya perdamaian, maka Islam memberikan solusi dengan dibolehkannya perceraian, cerai atau putusnya perkawinan dapat terjadi atas kehendak suami ataupun kehendak isteri, hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian, sehingga proses perceraiannya pun berbeda, 9 perceraian atas kehendak suami disebut cerai talaq sedangkan perceraian atas kehendak isteri disebut cerai gugat. 8
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2003) cet ke-1, hal.124. 9
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet. Ke 1, h.206
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 114, menyatakan bahwa: putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. 10 Salah satu azas perkawinan yang ada adalah mempersulit terjadinya perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang baik, apabila terpaksa melepaskannya dengan cara yang baik pula. Pada dewasa ini dengan berjalannya waktu, perempuan atau isteri dengan isuisu gendernya mulai meminta haknya untuk disamakan dengan laki-laki, karena isteri sudah sibuk dengan pekerjaannya dan penghasilannya pun lebih tinggi dari penghasilan suami, sebagai isteri sudah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang isteri dan ibu rumah tangga yaitu berbakti kepada suami. Berbeda dengan sekarang tidak sedikit isteri yang berpenghasilan tinggi tidak mau diperintah oleh suaminya yang penghasilannya pas-pasan, sebagai isteri seharusnya ia menjalankan apa yang menjadi kewajibannya salah satunya memberikan nafkah batin kepada suaminya. Apabila hal ini terjadi maka ini merupakan persoalan yang sangat penting karena dapat menimbulkan permasalahan yang mengakibatkan putusnya perkawinan, dan tidak menutup kemungkinan banyak terjadinya perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pasangan, sehingga kehidupan keluarga tidak berjalan harmonis.
10
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), cet. Ke 4, h. 140
Berawal dari penjabaran latar belakang masalah inilah, penulis ingin sekali mengadakan penelitian yang berkenaan dengan “Penyelesaian Perceraian Isteri Nusyuz studi pada Pengadilan Agama Serang”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.
Pembatasan masalah Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan
masalah baru serta pelebaran secara meluas maka penulis memberi batasan pembahasan ini pada masalah perceraian Isteri Nusyuz di Pengadilan Agama Serang dengan Nomor Perkara 58/Pdt.G/2006/PA Srg, 30/Pdt.G/2007/PA Srg dan 214/Pdt.G/2008/PA Srg . 2.
Perumusan Masalah Pada dasarnya kewajiban seorang isteri adalah berbakti kepada suami lahir
dan batin sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 83 ayat 1 “Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam”. Akan tetapi pada kenyataannya banyak isteri yang acuh terhadap suaminya bahkan diajak ke tempat tidur dia menolak tanpa ada alasan yang jelas. Untuk memperjelas masalah dalam pembahasan ini maka dirumuskan masalah-masalah penelitian sebagai berikut: a.
Bagaimana majelis hakim Pengadilan Agama Serang dalam memproses perceraian karena Nusyuz?
b.
Bagaimana putusan majelis hakim di Pengadilan Agama Serang mengenai carai talak tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas hukum yang ada di
lingkungan Pengadilan Agama, khususnya dalam ruang lingkup perkara perceraian dengan alasan Isteri Nusyuz di Pengadilan Agama Serang. Seiring dengan pembatasan dan perumusan masalah tersebut, maka yang akan menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: a.
Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya Isteri Nusyuz?
b.
Memperoleh gambaran atas data dan informasi mengenai bentuk isteri nusyuz di Pengadilan Agama Serang.
c. 2.
Mengetahui prosedur penyelesaian perkara cerai isteri Nusyuz.
Manfaat Penelitian Manfaat dan hasil penelitian dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Agar penelitian ini akan menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi peningkatan kesadaran hukum kepada masyarakat khususnya mengenai tatacara perceraian di Pengadilan Agama b. Bagi masyarakat pembaca pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya, tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber bacaan yang dapat dipertimbangkan dalam memecahkan masalah yang relevan.
c. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum Islam yang menyangkut perkawinan dan perceraian. d. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan bagi pihak yang berwenang saat mengambil kebijakan dalam upaya peningkatan kesadaran hukum di masyarakat tentang perceraian di Pengadilan Agama. D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah penulis menggunakan pendekatan kualitatif, Kualitatif berasal dari konsep kualitas “mutu” atau bersifat mutu. Pendekatan kualitatif berarti upaya menemukan kebenaran dalam wilayahwilayah konsep mutu.11 yaitu dengan melakukan analisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan tersebut. Kemudian menghubungkannya dengan masalah yang diajukan, sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam penelitian ini. 2. Sumber Data a. Data Primer Didapatkan dari Pengadilan Agama berupa putusan cerai talak mengenai perceraian karena alasan Nusyuz yang terjadi di Pengadilan Agama Serang dengan Nomor Perkara 58/Pdt.G/2006/PA Srg, 30/Pdt.G/2007/PA Srg dan
11
Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), cet.I, h.37
214/Pdt.G/2008/PA Srg. Wawancara terhadap hakim, kemudian kedua data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadits, buku-buku ilmiah, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan. 3. Tekhnik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: a. Menganalisis terhadap putusan cerai talak karena isteri nusyuz pada Pengadilan Agama Serang dengan Nomor Perkara 58/Pdt.G/2006/PA Srg, 30/Pdt.G/2007/PA Srg dan 214/Pdt.G/2008/PA Srg. b. Wawancara (Interview) yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.12 Interview yang sering disebut juga wawancara atau kuesioner lisan, adalah sebuah
12
h.186
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),
dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewer).13 Dalam hal ini penulis mengadakan wawancara dengan responden yaitu: Hakim Pengadilan Agama Serang dan guna melengkapi data yang yang dilakukan, penulis akan melakukan wawancara dengan responden yaitu pihak-pihak yang terlibat langsung pada kasus yang bersangkutan, dalam hal ini adalah pemohon dan termohon. 4. Analisa Data Analisa data adalah proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik transkip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat dipresentasikan temuannya kepada orang lain. 14 Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan putusan perkara perceraian karena alasan isteri Nusyuz yaitu putusan dengan Nomor
Perkara
58/Pdt.G/2006/PA
Srg,
30/Pdt.G/2007/PA
Srg
dan
214/Pdt.G/2008/PA Srg. dan menghubungkan dengan hasil interview dari pihak yang terlibat langsung pada kasus ini dalam hal ini adalah hakim Pengadilan Agama Serang yang menangani kasus ini. Sehingga didapat suatu kesimpulan
13
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1996), cet.ke-10, h.
14
Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Bidang Ilmu-Ilmu sosial dan Keagamaan, h.77
144
yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini. E. Sistematika Penulisan Didalam melakukan penyusunan skripsi ini penulis memberikan gambaran guna mempermudah pembaca dalam menelaah skripsi ini, maka dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusunnya dalam lima bab. Isi dari skripsi ini secara singkat adalah sebagai berikut: Bab pertama: Berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian Serta Sistematika Penulisan. Bab kedua: Menguraikan Sekitar Masalah Perceraian Isteri Nusyuz: Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian, Sebab-sebab terjadinya Perceraian, Macam-macam Perceraian serta Prosedur Perceraian. Bab ketiga: Tinjauan Umum Tentang Nusyuz: Pengertian dan Dasar Hukum Nusyuz, Syarat-syarat Nusyuz serta Akibat dari Nusyuz. Bab keempat: Penyelesaian perceraian isteri nusyuz di Pengadilan Agama Serang, Gambaran umum tentang Pengadilan Agama Serang, sejarah, kedudukan, letak wilayah yuridiksi. data perceraian isteri nusyuz, penerapan perceraian isteri nusyuz, serta analisa penulis terhadap putusan perceraian isteri nusyuz. Bab kelima: Di bab lima ini terdapat kesimpulan dan saran-saran sehubungan dengan pelaksanaan prosedur perceraian, penulis juga melampirkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB II SEKITAR MASALAH PERCERAIAN ISTERI NUSYUZ A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian 1. Pengertian Perceraian Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam UndangUndang perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang selama ini hidup sebagai suami isteri.15 Perceraian dalam istilah fiqh disebut “talak” atau “Furqah” talak berarti “membuka ikatan”, “membatalkan Perjanjian”. Furqoh berarti “bercerai” lawan dari berkumpul. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh ahli fiqh yang berarti perceraian antara suami isteri.16 Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan, sedangkan menurut syara’ adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan antara suami isteri.17 Sedangkan talak menurut istilah adalah memutuskan tali perkawinan yang sah dari pihak suami dengan kata-kata yang khusus, atau dengan apa yang dapat menggantikan kata-kata tersebut.18
15
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h. 189 16
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), cet. ke-2, h.156 17
Djaman Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), cet. ke-1, h.134
18
S. Ziyad Abbas, Fiqh Wanita Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), h.43
Pengertian kata talak atau perceraian dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi bahasa dan istilah. Secara bahasa, perceraian berarti putusnya suatu hubungan sebagai suami isteri selagi hidup atau bahkan mati.19 Secara Istilah perceraian berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami yang telah ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang disebabkan meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan talak sebagai ikrar suami dihadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.20 Kompilasi Hukum Islam memberikan pernyataan yang hampir sama dengan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, dijelaskan pada bab XVI Pasal 115 yang berbunyi: “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”21 Prof. Subekti, S.H., menyatakan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.22
19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h.185 20
Kompilasi Hukum Islam Pasal 117
21
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 115
22
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1995), cet. ke-27, h.42
Penulis tidak menjumpai pengertian yang jelas tentang perceraian dalam hukum positif yang mengatur tentang perkawinan. Dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 38 dan KHI pasal 113, hanya menyebutkan sebab-sebab putusnya perkawinan, yaitu: a. Karena Kematian; b. Karena Perceraian; dan c. Karena Putusan Pengadilan.23 Jadi dari beberapa definisi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa talak merupakan pemutus hubungan suami dan isteri serta hilanglah pula hak dan kewajiban suami isteri. Meskipun dalam pengucapan talak menggunakan lafazlafaz tertentu, namun penekanannya dimaksudkan bertujuan yang sama yaitu untuk berpisah antara suami isteri dalam artian putusnya perkawinan. 2. Dasar Hukum Perceraian Pada prinsipnya suatu perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup dan kebahagiaan yang kekal abadi bagi pasangan suami isteri yang bersangkutan.24 Salah satu asas perkawinan yang disyariatkan ialah perkawinan untuk selamalamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang cinta mencintai, karena itu agama Islam mengharamkan perkawinan yang tujuannya untuk sementara dalam waktu-
23
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 38 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 113 24
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Studi suatu analisis dari UU No.1 Th.1974 dan KHI), (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996), cet.ke-1, h.98
waktu yang tertentu sekedar untuk melepaskan hawa nafsu saja, seperti nikah Mut’ah, nikah Muhalil, nikah Muwaqqat dan sebagainya. Untuk menjaga hubungan keluarga dan menghindari suatu pertengkaran yang terjadi terus menerus maka agama Islam mensyariatkan perceraian, akan tetapi bukan berarti bahwa agama Islam menyukai perceraian, agama Islam tetap memandang perceraian sebagai suatu yang musykil sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi karena bertentangan dengan asas-asas hukum Islam. 25 Adapun dasar hukum perceraian menurut hukum Islam terdapat dalam firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 229:
H WL 4m4n k ,-Al
: q rs>)t( oo ^+1p4= Bv ( ^]p& F⌧ T]u4 H 'Y>\=4 L: ;<_`4 JC4w {+Y⌧A u >y☺zs4 ' u☺1 .☺% |v: 4= 4 4w L: v% |v: Q'}+t~/ Lp4= H . B⌧4=
., Y% Y= .☺;T,- .. )*? , .F=- ( & ]<.K+=
1 6 .yK>4 B⌧4=
., u.>K L- A_ <>y .F 494= iiaW Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
25
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, , h.156
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukumhukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229)
Surat Al-Baqarah ayat 227 yang berbunyi:
k ,-Al
H 1 L% ii
W a- RRYt⌧ A "Lp4= Artinya: Jika mereka bercita-cita hendak menceraikannya maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 227)
B. Sebab-sebab Terjadinya Perceraian Suatu perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami isteri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang masa. Setiap pasangan suami isteri selalu mendambakan agar hubungan yang diikat oleh akad perkawinan itu semakin kokoh terpatri sepanjang hayat. Dalam UU No.1 Th 1974 tentang perkawinan pasal 38 disebutkan ada 3 (tiga) hal yang menjadi sebab putusnya perkawinan, yaitu:26 a. Karena Kematian; b. Karena Perceraian; dan c. Karena Putusan Hakim. Dalam hal ini, penulis akan menguraikannya secara gamblang. a. Karena Kematian
26
Undang-Undang No.1 Th.1974 pasal 38 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 113
Putusnya perkawinan karena kematian tidak menimbulkan banyak persoalan, karena dengan sendirinya ikatan perkawinan keduanya menjadi putus. Apabila pihak suami atau isteri yang masih hidup ingin menikah lagi maka bisa saja asalkan telah memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan dalam hukum Islam.27 b. Karena Perceraian Peraturan Pemerintah menggunakan kata perceraian ini dengan istilah “cerai talak” untuk membedakannya dengan pengertian perceraian atas keputusan pengadilan, perceraian atas putusan pengadilan menggunakan istilah “cerai gugat”.28 Sebagaimana ketentuan dari UU No.1 Th.1974 tentang perceraian pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa: “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak”.29 Menurut hemat penulis, maksud dihadapan sidang Pengadilan Agama ini dilakukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak suami isteri tersebut, sebagaimana hal tersebut dikaitkan dengan pasal 2 ayat 2 UU
27
Lili Rasidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h.194 28
Arso Sostroatmodjo, et.al., Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h.60 29
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 1
No.1 Th.1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perUndang-Undangan yang berlaku”. Maksudnya apabila perkawinan harus dicatatkan, begitu pula bila terjadi perceraian antara keduanya. Jadi, ketika menikah suami isteri tentu memiliki akta nikah sebagai bukti otentik perkawinannya dari Kantor Urusan Agama. Namun, apabila terjadi perceraian akta nikah diganti dengan akta cerai yang diberikan oleh Pengadilan Agama yang menangani kasus perceraian suami isteri yang bersangkutan. c. Karena Putusan Pengadilan Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa perceraian yang terjadi karena putusan pengadilan terjadi diluar kehendak suami atau isteri, yaitu apabila majlis hakim berpendapat atau menilai bahwa perkawinan keduanya tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, Bentuknya berupa fasakh (pembatalan perkawinan).30 Fasakh perkawinan adalah sesuatu yang merusak akad (perkawinan) dan bukan merupakan talak, fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada waktu akad nikah atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan dapat membatalkan kelangsungan perkawinan. 31 contoh fasakh
30
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 197
31
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah., h.268
adalah seperti baru diketahui bahwa pasangannya adalah saudara kandung maka perkawinan tersebut batal demi hukum. C. Macam-macam Perceraian Menurut hukum Islam putusnya hubungan perkawinan (perceraian) dapat terjadi karena talak, khulu’, syiqaq, fasakh, ta’lik talak, dzihar, ila’, li’an, tafwid dan riddah. Berikut akan penulis kemukakan secara ringkas macam-macam perceraian tersebut, yaitu: 1. Talak Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya melepaskan atau meninggalkan. Menurut istilah syara’ talak yaitu: melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri. Jadi talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu isteri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan artinya mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua talak lagi, dari dua menjadi satu talak dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i.32 2. Khulu’
32
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), cet.ke-2, h.192
Menurut bahasa, kata khulu’ berarti tebusan. Dan menurut istilah khulu’ berarti talak yang dicapkan isteri dengan mengembalikan mahar yang pernah dibayarkan suaminya. Artinya, tebusan itu dibayarkan oleh isteri kepada suami yang telah dibencinya, agar suaminya dapat menceraikannya. 33 Talak khulu’ atau talak tebus adalah bentuk perceraian atas persetujuan suami isteri, yang terjadi dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isterinya dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khulu’. Didalam khulu’ disyariatkan adanya ketidaksukaan isteri kepada suaminya. 34 Dasar pembolehan talak khulu’ terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat (229):
oo ^+1p4= H WL 4m4n k ,-Al
F⌧ T]u4 : q rs>)t( L: ;<_`4 JC4w Bv ( ^]p& u☺1 H 'Y>\=4 L: v% {+Y⌧A u >y☺zs4 ' . .☺% |v: 4= 4 4w |v: Q'}+t~/ Lp4= H
.. )*? B⌧4= ., Y% ]<.K+=
Y= .☺;T,- B⌧4= , .F=- ( & u.>K 1 6 .yK>4 <>y .F 494= ., iiaW L- A_
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
33
M. Abdul Ghoffar, EM, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2006), cet.ke-5, h.289
34
M. Jawad Mughryah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2006), cet.ke-17, h.456
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukumhukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229)
Khulu’ dapat dijatuhkan sewaktu-waktu baik isteri dalam keadaan suci ataupun tidak. Hal ini disebabkan karena khulu’ terjadi atas kehendak isteri. 3. Syiqaq Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami isteri sedemikian rupa, sehingga antara suami dan isteri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.35 Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih berarti perselisihan suami isteri yang diselesaikan dengan dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri.36 Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 35
4 4%A z+t~/ L% H >.>;& 4= Ws& h☺4(. : y: ] 01 h☺4(. . V L% .-y: ] 01
Wk= ☯4 ,-]% LG⌧3 A "L% ( .☺4+& VW #TF./ g☺- Artinya:
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
35
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat., h.241
36
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h. 187
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(An-Nisaa’ : 35)
4. Fasakh Fasakh berarti “mencabut” atau “menghapus” maksudnya adalah perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau isteri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami isteri dalam mencapai tujuannya.37 Diantara alasan-alasan yang dapat diajukan dalam perkara fasakh ialah: a. Cacat atau penyakit; b. Suami tidak memberi nafkah; c. Meninggalkan tempat kediaman bersama; d. Menganiaya berat; e. Murtad; f. Salah satu pasangan melakukan zina. 38 Jadi fasakh berarti diputuskannya hubungan perkawinan (atas permintaan salah satu pihak) oleh hakim agama karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan.39
37
Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam, h. 212
38
Ibid., h.195
39
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UIP, 1974), cet.ke-2, h.115
Perceraian dalam bentuk fasakh ini termasuk perceraian dengan proses pengadilan. Hakimlah yang memberi keputusan tentang kelangsungan perkawinan atau terjadinya perceraian, karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh ini haruslah mempunyai alat-alat bukti yang lengkap, yang dapat menimbulkan keyakinan bagi hakim yang mengadilinya. 5. Ta’lik Talak Arti ta’lik ialah “menggantungkan” dan jika dihubungkan dengan kata-kata talak menjadi “ta’lik talak” yang berarti suatu talak yang digantungkan jatuhnya kepada suatu hal yang memang mungkin terjadi, yang telah disebutkan lebih dahulu dalam suatu perjanjian atau telah diperjanjikan lebih dahulu.40 Ta’lik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah, yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.41 Ketentuan diperbolehkannya ta’lik talak ini tercantum dalam firman Allah Surat An-Nisa’ (4) ayat 128:
3 1 ]4=G4\ P):/m;n
WL% :
_$ .->& .. )*? B⌧4= #U \s]% .4- L: .☺;T,- 6 ☯4=- .☺#s& <T~]9: ( ST;./ ⌧=-m L% 6 u⌧b
☯_t$z\
40
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h. 106
41
Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 1 dan 2
ep4= H _%K4 H #~4> e>-.☺>4 .☺& eG⌧3 A
UiW #T`./ Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. An-Nisaa’ : 128)
Maksud diadakannya ta’lik talak adalah suatu usaha dan upaya untuk melindungi isteri dari tindakan sewanang-wenang suaminya, dengan adanya sistem ta’lik talak maka nasib dan kedudukan isteri dapat diperbaiki jika suami menyia-nyiakannya, sehingga isteri dapat mengadukan kepada hakim agar perkawinannya diputus. Dan hakim dapat mengabulkan permohonannya sesudah terbukti kebenaran pengaduannya tersebut. 6. Dzihar, Ila’ dan Li’an Tiga macam perbuatan hukum (Zihar, Ila’ dan Li’an), adalah perbuatan berupa kata atau sumpah yang tidak secara langsung berisi ungkapan yang menyatakan putusnya ikatan perkawinan tetapi oleh hukum dinyatakan berdampak memutuskannya. Zihar merupakan kebiasaan orang jahiliyah yang tidak lagi memfungsikan isteri sebagai isteri walaupun masih tetap diikat, seperti pernyataan “kamu seperti punggung ibuku” sambil memulai tidak menggaulinya lagi. Ketika Islam datang, Islam menyelamatkan kaum perempuan dari kezhaliman, zihar adalah perbuatan yang mungkar karena bukan berada pada tempatnya.
Sesungguhnya isteri bukanlah ibu sehingga isteri menjadi haram digauli seperti kedudukan ibu (haram dinikahi), Islam membatalkan hukum ini dan menjadikan zihar haram bagi perempuan sehingga suami yang mengucapkannya terkena kifarat.42 Firman Allah SWT surat Al-Mujadilah ayat (2):
01 <'(#1 L 4_ GA
>y "1 E ^ L% H z ."19: J A
|v% K ."19: ;<"% 6 $]4 / 01
8⌧`*1 L'_%Y4 A |e% 6 *J ;4%+
iW ⌦J_t⌧P _t.>4 Artinya: Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Q.S. Al-Mujadillah: 2)
Secara etimologi (bahasa), kata Ila’ berarti melarang diri dengan menggunakan sumpah. Sedangkan menurut istilah (terminologi), kata ila’ berarti sumpah untuk tidak mencampuri isteri dalam waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.43 Dr. Peunoh Daly dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam menyatakan bahwa: Ila’ adalah sumpah suami untuk tidak mencampuri isterinya lebih dari
42
Kasmuri Selamet, Pedoman Mengayuh Rumah Tangga (Panduan Perkawinan), (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), cet.ke-1, h.24 43
h.289
M. Abdul Ghoffar, EM., Fikih Keluarga, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), cet.ke-5,
empat bulan. Sumpah suami itu boleh dikaitkan dengan batas waktu empat bulan ataupun tidak dikaitkan dengan waktu yang seperti itu. Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 226:
1
L'4
W&4 Lp4=
H
GA ;<E ^
]:
.>&;J:
aYJ ⌦J_t⌧P A "Lp4= !' 4= iiW Artinya: Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah:226)
Adapun li’an adalah laknat, yaitu sumpah yang didalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Allah SWT, apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Dalam hukum perkawinan, li’an merupakan perceraian yang terjadi akibat sumpah suami bahwa isterinya telah melakukan zina sedangkan dia tidak mampu mendatangkan empat orang saksi.44 Sumpah li’an ini dapat mengakibatkan putusnya perkawinan antara suami dan isteri untuk selamalamanya. Bersumpah untuk tidak menggauli isteri itu merupakan kebiasaan orang Arab jahiliyah dan yang demikian dimaksudkan untuk memutus hubungan perkawinan. Kebiasaan tersebut dilanjutkan dalam Islam namun dalam bentuk dan cara yang
44
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 241
berbeda dengan yang berlaku sebelumnya. Dalam pandangan Islam Ila’ itu memang menyebabkan suami tidak boleh lagi menggauli isterinya, namun tidak dengan sendirinya memutus hubungan perkawinan.45 Firman Allah SWT surat An-Nuur ayat 6 dan 7 :
L1; GA ;<¢£ '( 4 ;<.?{+: ;<¤_t$: v% !' ._ R&;J: y,: '). .4= Z$% & ¥<{. ⌧A W ¦§G ¨
/ ☺4 ^#>4 "L: >^☺ 4 +© / 1 LG⌧3 L% +Y,-
W §&Y 4(+
Artinya: (6). Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (7). Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta
7. Tafwidh Tafwidh talak artinya menyerahkan talak. Yakni seorang suami memberikan hak talak kepada isterinya. Syarat-syaratnya ditentukan oleh keduanya secara sukarela, jadi bukan hak talak yang bersifat mutlak. Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan secara sukarela tersebut terpenuhi, maka isterinya mempunyai hak untuk menjatuhkan talak kepada suaminya, maka terjadilah talak. 46
45
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 276
Firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 28:
C>G m7c"#
e> u z#'3 L% .F~?{+\ Y$J
,)6.4+
¦§4 .>z4= .zª '(]T^9: u '(>,K19: iW ⌧4y G☯, T^ Artinya: Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan Aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. (Q.S. Al-Ahzab:28)
8. Riddah (murtad) Kata riddah merupakan isim masdar dari kata “ ”إرادyang berarti mundur, kembali ke belakang. Sedangkan dari segi istilah adalah keluar dari agama Islam menjadi kafir, baik dengan niat, perkataan maupun perbuatan yang menyebabkan orang yang bersangkutan dikategorikan kufur.47 Jadi riddah atau murtad ialah keluar dari agama Islam, baik pada agama lain ataupun tidak beragama. Di Indonesia, putusnya perkawinan karena murtadnya salah satu baik suami maupun isteri termasuk fasad atau batal demi hukum, dan pemutusannya dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama, oleh karena itu riddahnya seseorang yang dinyatakan bukan didepan sidang Pengadilan Agama dianggap tidak sah. 48 D. Prosedur Perceraian
46
Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), h.56
47
Muhammad Amin Suma, dkk., Pidana Islam Di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h.63 48
Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, h.72
Sebelum membahas perceraian karena isteri nusyuz secara khusus, terlebih dahulu penulis akan menggambarkan prosedur perceraian baik penerimaan perkara sampai jalannya persidangan secara global, mulai dari pendaftaran perkara dikepaniteraan pengadilan sampai perkara tersebut disidangkan. Awal surat gugatan atau permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan ke kepaniteraan Pengadilan Agama (surat gugatan diajukan pada sub kepaniteraan
gugatan
sedangkan
permohonan
pada
sub
kepaniteraan
permohonan). Undang-Undang membedakan antara perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian.49 Perceraian atas kehendak suami disebut dengan cerai talak dan perceraian atas kehendak isteri disebut cerai gugat. Menurut hukum Islam suamilah yang memegang tali perkawinan, oleh karenanya suamilah yang berhak melepaskan tali perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak. Permohonan cerai talak meskipun bentuknya adalah permohonan tetapi pada hakekatnya adalah kontentius (perkara gugatan). Sedangkan perceraian atas kehendak isteri disebut dengan cerai gugat.50 Sebelum perkara terdaftar dikepaniteraan, panitera melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap kelengkapan berkas perkara (penelitian terhadap bentuk dari isi gugatan permohonan) sudah dilakukan sebelum perkara didaftarkan.
49
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet.ke-4, h.206 50
Ibid., h.208
Misalnya dalam membuat surat gugatan, kepaniteraan dibolehkan memberikan arahan pada penggugat apabila dalam gugatan yang dibuat tidak sesuai. Apabila terjadi kesalahan dalam gugatan atau permohonan maka tidak boleh didaftarkan sebelum petita dan positanya jelas, seperti ada petita namun tidak didukung oleh posita berarti gugatan atau permohonan tidak jelas.51 Jika hal tersebut terjadi maka gugatan atau permohonan tersebut terlebih dahulu harus diperbaiki, Panitera sebagai pihak yang mempunyai otoritas dalam meneliti berkas gugatan atau permohonan sebaiknya melakukan penelitian tersebut disertai dengan membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara, lalu berkas perkara beserta resume tersebut diserahkan kepada Ketua Pengadilan (dengan buku ekspedisi lokal sebenarnya). Dengan disertai saran tidak misalnya berbunyi “syarat-syarat cukup dan siap untuk disidangkan”.52 Kemudian penggugat atau pemohon menghadap kemeja I untuk menaksir besarnya biaya perkara dan menulisnya pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan pasal 193 Rbg / pasal 182 ayat (1) HIR / pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No.3 tahun 2006 perubahan dari Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang meliputi: a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai.
51
52
Ibid., h.76
Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2001), ed.ke-2, cet.ke-8, h.129
b. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah. c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain. d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.53 Ketentuan diatas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan diizinkan untuk mengajukan gugatan perkara secara Prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuannya dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Setelah itu, penggugat atau pemohon menghadap ke meja II dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian surat gugatan/permohonan tersebut dimasukan dalam map berkas acara, kemudian menyerahkannya pada Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui panitera.54 Setelah terdaftar, gugatan diberi nomor perkara kemudian diajukan kepada Ketua Pengadilan, setelah Ketua Pengadilan menerima gugatan maka ia menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada prinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka ketua menunjuk seorang hakim sebagai ketua majelis dan dibantu dua orang hakim anggota.55
53
Pasal 90 ayat (1), Undang-Undang No.3Tahun 2006 Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h.74 54
M. Fauzan, Pokok-pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan mahkamah Syar’iyah Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), cet.ke-2, h.14
Setelah itu hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapannya dapat menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan, ketua majelis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam persidangan. Pasal 121 HIR,56 untuk membantu Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang dalam hal ini panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti.57 Tata cara pemanggilan dimana harus secara resmi dan patut, yaitu: a. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi yang dipanggil ditempat tinggalnya; b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada Kepala Desa dimana ia tinggal; c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli warisnya; d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah (tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil) kepada hakim yang akan memeriksa perkara yang bersangkutan; e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai. 58
55
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet.ke-6, h.39 56
M. Fauzan, Pokok-pokok Acara Peradilan Agama, h.13
57
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet.ke-1, h.214
58
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, h.40
Sedangkan proses pemeriksaan perkara didepan sidang dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata sebagaimana yang telah tertera dalam UU No.3 tahun 2006 perubahan dari UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 5459: “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”. Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum, dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini hanya bersifat cecking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada upaya perdamaian, inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim. Penggugat ataupun tergugat. Hakim harus sungguh-sungguh mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya perdamaian yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum dilanjutkan ketahap pemeriksaan, diawali dengan membaca surat gugatan.60 Selanjutnya pada tahap dari tergugat, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat melalui hakim. Pada tahap replik penggugat kembali menegaskan isi gugatannya yang dilakukan oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas sanggahan-
59
Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, h.202-203
60
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, h.41-42
sanggahan yang disangkal tergugat. Kemudian pada tahap duplik, tergugat dapat menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat.61 Tahap Replik dan Duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat memandang cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap pembuktian, penggugat dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang dimiliki untuk mendukung jawabannya (sanggahan), masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak lawannya. Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulkan dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa.62
61
Ibid., h.43
62
Ibid., h.45
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG NUSYUZ
A. Pengertian dan Dasar Hukum Nusyuz 1. Pengertian Nusyuz Nusyuz berarti meninggi atau terangkat. Kalau dikatakan isteri nusyuz terhadap suaminya berarti isteri merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban mematuhinya. Secara definitif nusyuz diartikan dengan: “kedurhakaan isteri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya.63 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nusyuz seorang berarti: “Perbuatan tidak taat dan membangkangnya seorang isteri terhadap suaminya (tanpa alasan) yang
tidak
dibenarkan
oleh
Hukum
Islam”. 64
Selanjutnya
dijelaskan
membangkang artinya: tidak mau menuruti (perintah), mendurhakai, menentang dan menyanggah.65 Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah penyelewengan
63
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, h.190-191
64
Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: balai Pustaka, 1998), h.619 65
Ibid., h.76
dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga. 66 Padahal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 83 ayat 1 menyebutkan: “Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam”. Nusyuz berarti durhaka, maksudnya seorang isteri melakukan perbuatan yang menentang suami tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’. Ia tidak mentaati suaminya atau menolak diajak ketempat tidur.67 Didalam kitab Fathul Mu’in disebutkan bahwa termasuk perbuatan nusyuz, jika isteri enggan bahkan tidak mau memenuhi ajakan suami sekalipun ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 84 Ayat 1 Isteri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat 1, kecuali dengan alasan yang sah. Ayat 2
Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat 4 huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. Ayat 3
Kewajiban suami tersebut pada ayat 2 diatas berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz.
66
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam diIndonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1 Th. 1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-3, h.209 67
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.185
Ayat 4
Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.68 Artinya jika suami melanggar hukum Islam seperti: berjudi, minum khamar (mabuk-mabukkan),
melakukan tindak kekerasan dan penganiayaan dan
sebagainya, maka isteri tidak dianggap nusyuz. Berdasarkan keterangan diatas, maka penulis dapat pula memberikan contoh nusyuznya seorang isteri seperti: tidak mau diajak tidur bersama, anak terlantar akibat isteri sering keluar malam bahkan sampai larut malam, isteri acuh setiap suami menyuruh mengambilkan sesuatu, meninggalkan rumah tanpa izin dari suami dan lain sebagainya.
2. Dasar Hukum Nusyuz Berkenaan dengan hal ini Allah SWT memberi tuntunan bagaimana mengatasi nusyuz isteri agar tidak terjadi perceraian. Firman Allah Surat AnNisaa’ : 34
b, e1{4G G. V
BC|a4= .☺& ' ^0*
cd>& 6b, Ba>& ] 1 H _%⌧t$: .☺& _ .4- ¨ 4= 6 ;<{+1: -+Y=- S 4_t . R K# 4G 6
⌧rt. .☺& 68
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 84
L>= 4 1 >y¤_>4= b
7Q A >y._> u >y_«y R~? Ba.☺+
Lp4= H u >y&T] H ';F4 B⌧4= ;<_`#>4: A "L% ( g⌧Y`. u ;T,- VW #T`BN v- eG⌧3 Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanitawanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu,
Maka
janganlah
kamu
mencari-cari
jalan
untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. An-Nisaa’: 34)
Dan firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa’ (4) ayat 128:
3 1 ]4=G4\ P):/m;n WL% :
_$ .->& .. )*? B⌧4= #U \s]% .4- L: .☺;T,- 6 ☯4=- .☺#s& <T~]9: ( ST;./ ⌧=-m L% 6 u⌧b
☯_t$z\
ep4= H _%K4 H #~4> e>-.☺>4 .☺& eG⌧3 A
UiW #T`./ Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q. S. An-Nisaa’ : 128)
Dalam sebuah hadits nabi SAW yang berbunyi:
ََ إِذَا د:ََل. َ2ََِ و4َْ2َ ُ0 ا2َ3 H1ِ! ُ َِ ا4ْ َ ُ0َ ا1ِ?َوََْ أَِ هُ َیْ َةَ ر Vَ ُ9َ+ِWَ2َ"ْْ<َ اVَ َ&َ ,َ<َْ2َ َْ!َنUَ@ ََ!َتP ِ4ِOْSَO َْ2َP ,ِ4ِQِ َاP َُِ إ4َOَُ إْ َأEُ' ا (2" ا:َ )رواYِ!ْXُO Artinya: Dari Abu Hurairah R.A. berkata, bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila seorang suami mengajak isterinya ketempat tidur, tetapi ia menolak untuk datang, lalu sang suami marah sepanjang marah, maka para malaikat melaknatnya (isteri) hingga datang pagi”. (H.R. Muslim)69
Dijelaskan pula dalam sebuah hadits nabi SAW:
ِىZوَا: ََل. َ2ََِ و4َْ2َ 0 ُ ا2َ3 H1ِ! ُ َِ ا4ْ َ ُ0َ ا1ِ?َوََْ أَِ هُ َیْ َةَ ر ِىZ إَِ آَنَ ا,ِ4َْ2َ َْSَVَP ,َ<ِQِ َاP َُِ إ4َOٍَ یَُْ إْ َأEُ'َ َ ِْ ر,ِ:َِِ ِْ%َﻥ (2" ا: یَ ْ?َ َ ْ<َ )رواVَ ,َ<َْ2َ ًMِ>َ ِِ ا"َءP Artinya: Dari Abu Hurairah R.A. berkata, bahwa nabi SAW bersabda: “Demi Dzat jiwaku ada dalam genggaman tangan-Nya, setiap lelaki (suami) yang mengajak isterinya ketempat tidur lalu sang isteri tidak mau, maka
69
Imam Abu Hasan Muslim bin Hijjaj Al-Qusyairi An-Naiaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif, t.th), juz II, h.585
yang ada dilangit akan terus murka kepadanya (isteri) hingga suami meridhoinya”. (H.R. Muslim)70
Berangkat dari surat An-Nisa’ ayat 34 al-Qur’an memberikan opsi sebagai berikut:71 a. Isteri diberi nasehat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar terhadap kekeliruan yang diperbuatnya. b. Bila dinasehati tidak berhasil, maka pisah ranjang (tempat tidur), cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi isteri dan dalam kesendiriannya tersebut, ia dapat melakukan koreksi diri terhadap kekeliruannya. c. Apabila kedua cara diatas tidak berhasil, langkah berikutnya adalah memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya, tetapi dengan pukulan yang tidak membahayakan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 80 Ayat 2 Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Ayat 4 Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: 70
Ibid., h.585
71
Nuruddin, Hukum Perdata Islam, h.209-210
a. Nafkah, Kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c. Biaya pendidikan bagi anak. Ayat 5 Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat 4 huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya. Ayat 7 Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat 2 gugur apabila isteri nusyuz.
Dan Undang-Undang No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama pasal 76 Ayat 1 Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan siqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang yang dekat dengan suami isteri. Ayat 2 Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masingmasing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.
Sedangkan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 2 menyatakan bahwa: “Kewajiban suami tersebut pada ayat 2 diatas berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz.
B. Faktor Isteri Nusyuz Terhadap Suami
Ada beberapa faktor mengapa isteri durhaka terhadap suami. Dibawah ini akan diuraikan secara terperinci sebagai berikut:
1. Faktor Ekonomi Persoalan ekonomi adalah suatu hal yang sangat urgen dalam rumah tangga. Sebagai kepala keluarga suami harus mampu mencukupi biaya hidup isteri, yakni belanja sandang dan papan, perhiasan, bahkan pada kebutuhan dandan. Dengan begitu, isteri dapat melakukan kewajibannya dalam mengurus rumah tangga. Namun terkadang isteri tidak mensyukuri atas penghasilan suami. Ketika suami telah berusaha maksimal, isteri tetap menuntut lebih dari kemampuan suaminya. Dengan melihat kondisi kemampuan suami terbatas, isteri tidak boleh membebaninya dengan menuntut yang berlebihan apalagi sampai bersikap acuh terhadap suami. 2. Faktor Seksual Salah satu penyebab isteri bersikap acuh terhadap suami ialah ketika isteri mengetahui bahwa suaminya menderita impotensi. Impotensi adalah cacat seksual yang mengakibatkan seorang suami tidak mempunyai potensi untuk melakukan hubungan seksual.72
72
Anang Zamroni dan Ma’ruf Asrori, Bimbingan Seks Islam, (Surabaya: Pustaka Anda, 1997), h.105
Adapun dengan kesibukan suami dalam bekerja, isteri tidak diperhatikan kebutuhan seksualnya. suami yang bekerja berlebihan mengakibatkan energi dan minat terhadap seks menjadi menurun, sebagai akibatnya kebutuhan libido isteri tidak terpenuhi yang dapat berdampak isteri mencari kepuasan diluar. 73 3. Faktor Cemburu yang Berlebihan Rasa cemburu yang datang dari pihak suami, seringkali suami terbakar api cemburu sebab dengan kemolekan wajah dan bentuk tubuh isterinya yang membuat laki-laki lain menggodanya. Hal yang alami, isteri merasa cemburu kepada suaminya, selama dilakukan dalam batas-batas yang logis serta masing-masing memaksudkannya untuk memelihara keutuhan rumah tangganya dan mendatangkan kebahagiaan. Akan tetapi rasa cemburu yang hingga mencapai batas keraguan dan kecurigaan, maka hal itulah yang salah. Dengan demikian, bahwa rasa cemburu itu ada yang mendatangkan kemaslahatan serta kesejahteraan dan ada juga yang mendatangkan kerusakan serta kehancuran dalam rumah tangga. Faktor cemburu yang berlebihan itulah yang menyebabkan isteri lepas kontrol dan dapat melakukan tindakan diluar akal sehat. Sehingga dengan kondisi yang demikian menjadikan isteri nusyuz. “Rasa cemburu yang didasari tanpa keraguan
73
Abu Al-Ghifari, Selingkuh Nikmat yang Terlaknat, (Bandung: Mujahid, 2003), h.28
akan mendorong seorang isteri melakukan perbuatan dosa dan berbuat maksiat, seperti: ghibah, adu domba, hasut, dengki dan lain-lain”. 74
4. Faktor Kejenuhan yang Menimbulkan Konflik Perkawinan yang penuh dengan kebahagiaan antara suami isteri selama membina rumah tangga, seiring waktu mengalami kejenuhan yang menimbulkan konflik. Kehidupan ibarat gelombang, pasang surut hal biasa. Begitu pula dalam membina rumah tangga, terutama saat cinta sebagai simbol kebahagiaan tengah memudar. Rumah tangga mulai mengalami gonjang-ganjing, seribu masalah datang menghantui. Rasa saling memiliki dan cinta sehidup semati hanya tinggal kenangan. Maka sabar hal yang sangat penting. 75 Pada saat terjadi konflik, terkadang isteri arogan namun hal ini tidak terlepas dari sifat wanita pada umumnya. Bahwa didalam diri seorang wanita terdapat suatu keganjilan dalam beberapa segi. Kenyataan ini bukanlah ditimbulkan karena adanya sikap fanatik, akan tetapi dia merupakan sebuah tabiat penciptaan Allah SWT yang diciptakan untuk wanita.
5. Fakrot Karier
74
Syekh Abdullah bin Abdurrahman Al-Mani’, Cemburu Terhadap Wanita, Penerjemah Zubaidah Barhan, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2004), h.118 75
Al-Ghifari, Selingkuh Nikmat Yang Terlaknat, h.15
Sesuai dengan perkembangan zaman, persamaan jender menjadi landasan bagi seorang wanita yaitu hak untuk dapat bekerja atau berkarier. Seiring dengan landasan hukum Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 31 ayat (1): “hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.76 Pakar hukum Islam Mesir, Abu Zahrah, menulis: Islam tidak menentang perempuan bekerja. Hanya saja, yang harus diperhatikan adalah bahwa pekerjaan pokoknya adalah membina rumah tangga dengan kasih sayang mereka. Perempuanlah yang mendidik anak-anak mereka. Cukup jelas bahwa hak isteri untuk bekerja tidak ada larangan baik menurut Undang-Undang maupun hukum Islam. Hanya saja tetap pada kewajibannya yaitu mengurus rumah tangga. Dan ini kerap diabaikan oleh isteri dengan mengutamakan pekerjaannya ketimbang mengurus suami dan anak-anaknya.
C. Akibat Nusyuz 1. Menggugurkan Nafkah Agama Islam mewajibkan suami untuk memberi nafkah kepada isterinya, baik nafkah lahir maupun batin. Oleh karena adanya ikatan perkawinan yang sah, seorang isteri menjadi terikat semata-mata pada suaminya dan tertahan sebagai
76
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 34 ayat 1
miliknya, karena itu ia berhak menikmatinya terus menerus. Isteri wajib taat kepada suami, tinggal dirumah dan mengatur rumah tangganya, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Sebaliknya bagi suami berkewajiban memenuhi kebutuhan isteri dan keluarganya dan memberi belanja selama ikatan perkawinan masih berjalan, dan isteri tidak durhaka atau karena ada hal-hal lain yang dapat menghalangi penerimaan belanja. 2. Menggugurkan Giliran Dasar hukum pembagian giliran tercantum dalam surat An-Nisa’ ayat (3):
H 'l~+%> |v: Q'}+t~/ L% H 4~($ 4= 6J KY+ b / 01 <'(4 /q 4 1 . ,-> 67)?1 ' ^0*
|v: z+t~/ Lp4= H .R &!J 1 : g).,{4= H '>4 .F{45 6 ;<'(* .☺ : ]4(,-1 VW H '>4 |v: b)®: Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Q. S. An-Nisaa’ : 3)
Yang dimaksud adil dalam ayat diatas adalah perlakuan adil dalam meladeni isteri-isterinya, seperti: pakaian, tempat tinggal, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Apabila suami khawatir terhadap dirinya untuk tidak dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya maka tidak dapat dibenarkan oleh agama Islam untuk berpoligami, karena akan berakibat kesengsaraan saja.
Jika isteri itu durhaka (nusyuz) yaitu tidak melaksanakan kewajibankewajiban sebagai seorang isteri, maka hak pembagian giliran menjadi gugur. Akan tetapi jika ia kembali mentaati suaminya, maka hak menerima giliran berlaku sebagaimana biasa.
BAB IV PENYELESAIAN PERCERAIAN ISTERI NUSYUZ DI PENGADILAN AGAMA SERANG A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Serang 1. Sejarah dan Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Serang Sejarah dan dasar hukum pembentukan Pengadilan Agama Serang sedikitnya dapat dibagi menjadi empat masa penting sebagai berikut : 1.
Masa Kesultanan Banten (1526-1816),
2.
Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1942),
3.
Masa Pendudukan Balatentara Jepang (1942-1945), dan
4.
Masa Kemerdekaan (1945-sekarang).77
A. Masa Kesultanan Banten (1526-1816) Sejalan dengan laju perkembangan umat Islam, Pengadilan Agama pun tumbuh dan berkembang menjadi lembaga yang tidak hanya mengurus perkaraperkara yang berhubungan dengan perkara pribadi saja (al-Ahwalusy Syahsiyah), akan tetapi hukum perdata dalam arti luas dan juga mengurus hukum pidana (jinayah). Tegasnya, Pengadilan Agama merupakan Peradilan Umum bagi Umat Islam pada waktu itu dan hukum Islam merupakan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.78
77
Data ini diambil dari Arsip Pengadilan Agama Serang pada tanggal 10 Januari 2009
78
Ibid
Sementara itu di Banten, Peradilan Agama muncul berbarengan dengan berdirinya Kesultanan Banten pada pertengahan paro pertama dalam abad XVI, atau tepatnya tahun 1526. Pada masa Maulana Hasanudin memegang kekuasaan (tahun 1552-1570), pengaruh hukum Hindu warisan Kerajaan Sunda Pajajaran dalam pemerintahan sudah tidak berbekas lagi, sebab di Banten hanya dikenal satu lembaga pengadilan (al-Qadha) yang dipimpin oleh Qadhi sebagai Hakim tunggal, atau menurut keterangan lain didampingi oleh ‘Alim ‘Ulama sebagai Anggota Majelis. Lembaga pengadilan itu dikenal juga sebagai “Pengadilan Surambi”. Disebut demikian, karena sidang-sidangnya dilakukan di serambi masjid.79 B. Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1942) Pemerintah Hindia Belanda dengan suatu Keputusan Raja Belanda (Konninklijk Besluit atau KB) yaitu Raja Willem III No. 24 tanggal 19 Januari 1882 yang dimuat dalam Staatsblaad 1882 No.152, membentuk Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (Bepaling Betreffende de Priesteraaden op Java en Madura). Badan peradilan ini disebut Priesteraaden yang kemudian lazim disebut “Raad Agama” atau “Rapat Agama” dan terakhir disebut “Pengadilan Agama”.80
79
Ibid
80
Ibid
C. Masa Pendudukan Balatentara Jepang (1942-1945) Pemerintah Balatentara Jepang mengeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1942 yang menetapkan bahwa susunan peradilan sipil di Jawa dan Madura masih tetap berlaku sebagaimana sebelumnya, hanya saja namanamanya disesuaikan dengan nama dan sebutan dalam bahasa Jepang untuk nama kedudukan para pejabat dan nama kantor, sementara fungsi dan wewenangnya tetap sama dengan masa kolonial Belanda. Dalam Pasal 3, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1942 itu menyebutkan bahwa untuk sementara waktu Gun Sei Hooin (Pengadilan Balatentara) terdiri atas : a. Tito Hooin (Pengadilan Negeri), b. Keizai Hooin (Hakim Polisi), c. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten), d. Gun Hooin ( Pengadilan Kewedanaan/Distrik), e. Kiaikoyo Kootoo Hooin ( Mahkamah Islam Tinggi), f. Sooryo Hooin (Rapat Agama).81 D. Masa Kemerdekaan (1945-sekarang) Dalam perkembangan berikutnya, untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, pada tahun 1964 Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dan disempurnakan
81
ibid
dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 itu menentukan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan, yaitu : a. Peradilan Umum, b. Peradilan Agama, c. Peradilan Militer, dan d. Peradilan Tata Usaha Negara.82 Kemudian pada tanggal 2 Januari 1974, Pemerintah mensahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur yuridiksi Pengadilan Agama. Adapun peraturan pelaksananya diundangkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 itu, dinyatakan bahwa yang dimaksud pengadilan dalam Undang-Undang ini adalah : a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, dan b. Pengadilan Umum bagi yang lainnya. 83
2. Letak Geografis dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Serang Pengadilan Agama Serang terhitung mulai tanggal 1 April 1998 sampai sekarang telah menempati gedung baru yang terletak di Jalan Raya Petir Km. 03 Cipocok
82
Ibid
83
Ibid
Jaya Serang, dengan Kabupaten Serang sebagai wilayah hukumnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang tahun 2002, Kabupaten Serang mempunyai luas wilayah 172.403,75 Ha atau 188.716 Km2, yang menurut penggunaannya dipakai untuk lahan pertanian seluas 135.162,65 Ha (78 %), perkantoran 4.058,25 Ha perumahan dan pemukiman seluas 22.670,50 Ha (13 %), Industri seluas 7.971,55 Ha (5 %), dan lain-lain seluas 2.540,80 Ha (4 %).84 Secara astronomis, Kabupaten Serang terletak antara 1050 7’-1060 22’ Bujur Timur dan 50 50’- 60 21’ Lintang Selatan, Sedangkan secara geografis, Kabupaten Serang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
: berbatasan dengan Laut Jawa,
Sebelah Timur
: berbatasan dengan Kabupaten Tangerang,
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Pandeglang, Sebelah Barat
: berbatasan dengan Kota Cilegon dan Selat Sunda.
Selain meliputi wilayah Kabupaten Serang, pada awalnya wilayah hukum Pengadilan Agama Serang juga meliputi wilayah Kota Cilegon. Namun sejak diresmikannya Pengadilan Agama Cilegon oleh Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji (BIPH) Departemen Agama RI pada tanggal 26 Maret 2003, berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 62. Tahun 2002 tentang Pembentukan 12 Pengadilan Agama (termasuk Pengadilan Agama Cilegon), maka kemudian wilayah hukum
84
Ibid
Pengadilan Agama Serang hanya mencakup wilayah Kabupaten Serang saja. Sedangkan wilayah Kota Cilegon menjadi wilayah hukum Pengadilan Agama Cilegon.85 B. Data Perceraian Istri Nusyuz Dalam penelitian yang penulis lakukan di Pengadilan Agama Serang bahwa perkara perdata (kekeluargaan) yang banyak ditangani adalah masalah perceraian dibandingkan dengan masalah perdata lain. Masalah perceraian yang banyak diajukan oleh para pencari keadilan dari tahun ketahun adalah perkara cerai gugat. Untuk mengetahui seberapa banyak kasus-kasus perceraian yang diajukan ke pengadilan Agama yang dalam hal ini lebih dikonsentrasikan dilingkungan Pengadilan Agama Serang. Penulis telah mengambil dari beberapa putusan perkara perceraian yang ada di Pengadilan Agama Serang mulai dari tahun 2006 sampai tahun 2008. Yang menjadi catatan disini adalah data yang diambil hanyalah perkara perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Serang dan tidak termasuk didalamnya perkara yang lainnya, seperti: waris, izin poligami, pembagian harta bersama, dan lain-lain. Mengenai banyaknya perkara perceraian yang masuk di pengadilan Agama Serang dalam rentang waktu dari tahun 2006 sampai tahun 2008 dapat dilihat tabel berikut ini.
85
Ibid
Tabel 1 DAFTAR PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SERANG TAHUN 200686 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah
Cerai Talak 8 9 10 12 6 13 4 5 12 7 88 7
Cerai Gugat 20 17 17 16 24 14 20 23 14 14 12 20
Jumlah 28 26 27 28 30 27 24 28 26 21 20 27
101
211
312
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa selama rentang waktu 1 (satu) tahun yaitu tahun 2006, permohonan cerai (cerai talak) yang masuk ke Pengadilan Agama Serang sebanyak 101 perkara, sedangkan gugatan cerai (cerai gugat) yang masuk sebanyak 211 perkara.87 Dalam penelitian ini, penulis ingin membandingkan tingkat kenaikan perkara gugatan cerai dan permohonan talak dari tahun ketahun yang masuk ke Pengadilan Agama Serang karena hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang penulis hanya mengambil perkara perceraian saja.
86
Data ini diambil dari arsip Pengadilan Agama Serang yang terjadi pada tahun 2006
87
Ibid
Tabel 2 DAFTAR PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SERANG TAHUN 200788 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah
Cerai Talak 11 14 16 12 11 19 14 13 9 9 14 9
Cerai Gugat 32 28 38 17 24 20 36 31 43 23 27 30
Jumlah 43 42 54 29 35 39 50 44 52 32 41 39
151
349
500
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2007 jumlah permohonan talak (cerai talak) yang masuk ke Pengadilan Agama Serang sebanyak 151 perkara, sedangkan perkara gugatan perceraian (cerai gugat) adalah sebanyak 349 perkara dan semua perkara tersebut telah diputus di Pengadilan Agama Serang serta telah berkekuatan hukum tetap.89 Seperti yang tercantum dalam tabel diatas bahwa perkara gugatan cerai pada tahun 2007 juga memang lebih banyak terjadi dibandingkan dengan permohonan talak sebagaimana perkara gugatan cerai yang terjadi pada tahun 2006.
88
Data ini diambil dari arsip Pengadilan Agama Serang yang terjadi pada tahun 2007
89
Ibid
Selain perbandingan gugatan cerai yang memang lebih banyak terjadi dari pada perkara cerai talak, kita juga dapat melihat perbandingan gugatan cerai dari tahun 2006 dan tahun 2007 yang mengalami peningkatan jumlah perkara gugatan cerai tahun 2006 sebanyak 101 perkara dan tahun 2007 sebanyak 151 perkara. Begitu juga permohonan talak mengalami peningkatan dari tahun 2006 sebanyak 211 perkara dan tahun 2007 sebanyak 349 perkara.90 C. Putusan perceraian Istri Nusyuz Setelah duduk perkara dan alasan-alasan dari masing-masing pihak tersebut diatas, ada beberapa hal yang hendak dipelajari melalui tulisan singkat ini. Menurut hemat penulis, bahwa diantara alasan-alasan yang diajukan seorang suami, yang paling prinsipil adalah tentang tingkah laku isteri yang dinilainya tidak lagi memperhatikan anak-anaknya, karena kesibukannya dan keluar malam tanpa izin suaminya sehingga anak-anak menjadi terlantar. Penulis akan mengurai beberapa putusan yang berkaitan dengan masalah Perceraian Isteri Nusyuz yang terjadi di Pengadilan Agama Serang, yaitu: Kasus Pertama Nomor: 58/Pdt.G/2006/PA.Srg. Pada tanggal 20 Juni 2002 Djamhari bin Marjuk (Pemohon) menikah dengan Sutiah Wati binti Safpiri (Termohon) di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Serang Kabupaten Serang dengan kutipan akta nikah nomor: 552/80/VI/2002.
90
Ibid
Sebelum menikah Pemohon (Djamhari bin Marjuk) bertempat tinggal di Jalan Tb. Bakri RT.01/04, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Serang, Kabupaten Serang, sedangkan Termohon (Sutiah Wati binti Safpiri) bertempat tinggal dilingkungan Cimuncang Cilik, Kelurahan Cimuncang, Kecamatan Serang, Kabupaten Serang.91 Setelah menikah mereka
(pemohon dan termohon) bertempat tinggal di
rumah pemohon, dan selama menikah mereka belum dikaruniai anak. Pada awalnya kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja akan tetapi sejak tahun 2002 kehidupan rumah tangga mulai goyah. Adapun sebab-sebab perselisihan tersebut adalah: 1. Termohon tidak terbuka yang berawal dari masalah perhiasan berupa kalung, gelang, dan anting yang dibelikan pemohon, ternyata oleh termohon, tidak pernah dipakai dan kalau ditanya pemohon marahmarah; 2. Setiap kali cekcok termohon pulang ke Cimuncang; 3. Pemohon berupaya mempertahankan rumah tangganya; 4. Bulan Desember 2004, termohon pulang ke Cimuncang yang sejak itu tidak pernah rukun kembali; 5. Bahkan Pemohon mendengar termohon sudah menikah lagi.
91
Ibid
Kasus Kedua Nomor: 30/Pdt.G/2007/PA.Srg Pada tanggal 05 Februari 2004 Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bojonegara, kabupaten Serang mencatatkan pernikahan antara Jalaluha bin Rebani (pemohon) dengan Sunaroh binti Semidin (termohon) dengan kutipan akta nikah nomor: 21/05/11/2004.92 Setelah menikah mereka bertempat tinggal di Kp. Sumur Wuluh RT.09/03 Desa Margasari, Kecamatan Pulo Ampel, Kabupaten Serang. Dan dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai seorang anak yang bernama Emilia Safitri (umur 2 tahun).93 Awalnya hubungan rumah tangga mereka baik-baik saja akan tetapi lama kelamaan mulai goyah (tidak harmonis) dan puncak ketidak harmonisan mereka terjadi pada tanggal 04 Januari 2007, pemohon menjatuhkan talak dibawah tangan terhadap termohon. Sebab perselisihan tersebut adalah pemohon merasa tidak diurus oleh termohon dan juga faktor ekonomi. Permohonan pemohon mohon dikabulkan, memberi izin kepada pemohon untuk mengucapkan ikrar talak terhadap termohon, membebankan biaya perkara menurut hukum dan apabila majlis hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.
92
Ibid
93
Ibid
Kasus Ketiga Nomor: 214/Pdt.G/2008/PA.Srg Tanggal 28 Februari 2006 Rathmad Bayu Abji bin Supomo (pemohon) bertempat tinggal di Komp. Bumi Agung Permai Blok. L4 No.16 RT.003 RW.012, Kelurahan Unyur, Kecamatan Serang, Kabupaten Serang, menikah dengan Rachmawati bin Supardi (termohon) bertempat tinggal di Lingk. Kebon Sayur RT.06 RW.02, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Serang, Kabupaten Serang.94 Setelah menikah mereka bertempat tinggal di kediaman pemohon, dari pernikahan tersebut telah dikaruniai seorang anak yang bernama Resa Oktaviani Putri umur 1,5 tahun. Pada awalnya keluarga mereka harmonis dengan seiringnya waktu keluarga mereka mulai goyah dan puncak ketidak harmonisan terjadi pada pada tanggal 04 Januari 2007. Pemohon menjatuhkan talak dibawah tangan. 95 Adapun sebab-sebab perselisihan tersebut adalah: 1. Termohon masih mempunyai sifat kekanak-kanakan, kalau ada masalah rumah tangga suka pulang dan mengadukan kepada ibunya. 2. Termohon mempunyai sifak keras, tidak menghargai pemohon (selaku suami), karena selama pernikahan berlangsung, termohon kalau sama teman-temannya suka mengaku janda, kalau dinasehati termohon marah.
94
Ibid
95
Ibid
3. Termohon
selingkuh dengan
laki-laki
lain
dan salah
seorang
selingkuhannya diketahui pemohon bernama Edo. 4. Sejak bulan maret 2008, pemohon dan termohon telah pisah tempat tinggal tetapi komunikasi masih berjalan baik demi anak. 5. pemohon telah berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan rumah tangga dengan termohon dengan cara meminta bantuan nasehat keluarga. D. Analisa Penulis terhadap Putusan Perceraian Istri Nusyuz Dalam bagian ini penulis akan menganalisa masalah perceraian isteri nusyuz yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Serang, ketiga kasus ini diperiksa oleh Pengadilan Agama Serang yang mengambil sumber hukum Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No.9 tahun 1975 serta instruksi Presiden No. 1991 Kompilasi hukum Islam (KHI). Dimana ketiga perUndang-Undangan ini adalah yang dipakai pada Pengadilan Agama seluruh Indonesia. Setiap orang yang memasuki pintu gerbang kehidupan keluarga pastilah harus melalui pintu perkawinan terlebih dahulu sehingga perkawinan merupakan bagian dari ibadah, maka menjadi kewajiban bagi pasangan suami isteri untuk menjaga kelestarian perkawinannya. Apabila kehidupan rumah tangga itu tidak lagi harmonis maka perkawinan tersebut bisa dipisahkan dengan perceraian, yang telah diatur menurut Undang-Undang yang berlaku. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 38 yaitu: “Perkawinan dapat putus karena: (a). Kematian, (b). Perceraian, dan (c).
Atas putusan pengadilan”.96 Begitu juga dengan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan keduanya”.97 Dalam kasus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud nusyuz ialah perbuatan tidak taat dan membangkangnya seorang isteri terhadap suaminya (tanpa alasan) yang tidak dibenarkan oleh hukum Islam.98 Selanjutnya dijelaskan membangkang artinya tidak mau menuruti (perintah), mendurhakai, menentang dan menyanggah.99 Perceraian karena isteri tidak patuh terhadap suami (nusyuz), maka isteri tersebut akhlaknya tidak ada karena telah durhaka kepada suaminya. Kepatuhan ini untuk keharmonisan semata dalam rumah tangga sehingga keluarga tersebut menjadi bahagia. Perasaan dan anggapan isteri bahwa ketaatannya terhadap suami adalah semacam perendahan terhadap martabatnya, merupakan pengaruh buruk dari tayangan-tanyangan televisi dan pola pikir orang-orang non-muslim bahwa wanita sama seperti laki-laki. Ini berarti tidak melebihkan kaum laki-laki, tetapi
96
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 38
97
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 115
98
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, h.619.
99
Ibid., h. 76
justru sebuah pembebanan terhadap kaum laki-laki sehingga kehidupan rumah tangga akan baik bila disertai ketaatan isteri terhadap suaminya.100 Padahal dalam Islam memberikan hak kepemimpinan kepada kaum laki-laki. Berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 228:
&T¯ __ 4%-4l☺+ :'t>G 44 ,- u ~_t$& / ]☺z( L: u ¢ JC4w Bv 6 Ib
k,-.\ 1 u 14 u '3 L% u 1G,;J: V~/z. °;Y+ & Jk.: u ☺4>& 6 L% .F{45 b u y& 6 ☯4 ,-]% H t J: GA
C1 u ¢ 6 ~ rs>$=° & u ;T,- u ;T,- .?V- PQR~(. P ± ( S.?J. iiW Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suamisuaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Baqarah ayat: 228).
Isteri harus mentaati suaminya dalam hal kebaikan, bukan dalam hal kemaksiatan kepada Allah SWT. Namun demikian, seorang suami hendaknya tidak memberatkan ataupun menyusahkan isterinya.101
100
Nabil Mahmud, Problematika Rumah Tangga dan Kunci penyelesaiannya, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h.48
Dalam pasal 83 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam yaitu “kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir batin kepada suaminya didalam batas-batas yang dibenarkan dalam hukum Islam”. Perceraian karena isteri nusyuz tidak akan terjadi kalau dilandasi saling menghormati diantara pasangan dan khususnya isteri harus hormat kepada suami. Perceraian karena isteri nusyuz ini berarti isteri telah melakukan perbuatan durhaka terhadap suaminya. Dalam hal ini suami harus banyak mengingat Allah SWT dan mengingatkan isteri mengenai siksa Allah SWT. Bahwa berpalingnya seorang isteri dari suaminya hanya akan menjadi bencana dan musibah bagi isteri didunia dan akhirat. Para Ahli Fiqh dari kelompok Hanafiyyah telah mengartikan nusyuz dengan “kebencian salah satu suami atau isteri terhadap pasangannya”. Sedangkan para ulama Malikiyyah memberikan arti “salah satu dari suami atau isteri telah melakukan permusuhan atas yang lainnya”.102 Menurut ulama Syafii’yyah “Nusyuz merupakan perselisihan yang terjadi diantara suami isteri”. Adapun ulama Hambaliyyah mengatakan bahwa nusyuz adalah “kebencian salah satu dari pasangan suami isteri dapat menyebabkan interaksi yang tidak baik terhadap pasangannya”.103
101
A. A Human Abdurrahman, Merajut Kehidupan Pasca Pernikahan, (Jakarta: Wahyu Press, 2003), cet.ke-1, h.52 102
Salih ibn Ghanim, Kesalahan-kesalahan Isteri, penerjemah Abdullah farid Mansur, (Jakarta: Pustaka Progresif, 2004), h.6
Syaikh Wahbah al-Zuhayliy memberikan definisi nusyuz yaitu “ketidak patuhan seorang isteri yang memandang rendah dan meremehkan kewajibankewajiban dan hak-hak suami isteri.104 Kemudian
dapat
disimpulkan
bahwa
nusyuz
adalah
segala
bentuk
kedurhakaan yang dilakukan oleh seorang isteri terhadap suaminya baik itu disengaja maupun tidak disengaja, hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga.105 Jika perhatikan, tujuan dari perkawinan pada mulanya adalah untuk menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)106 dan merupakan cita-cita setiap insan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Akan tetapi tidak semua orang akan dapat mencapai cita-cita tersebut dengan mudah, karena dalam perjalanannya sering kali bahtera rumah tangga kandas ditengah jalan. Dan tidak semudah dengan apa yang mereka bayangkan seperti membalikkan telapak tangan.
103
Salih ibn Ghanim, Nusyuz Konflik Suami Isteri dan Penyelesaiannya, Penerjemah. Muhammad Abdul Ghafar, (Jakarta: Pustaka kautsar, 1993), h.25 104
Wahbah al-Zuhayliy, Al-Fiqh al-Islam wa Adilatuh, vol.5 (Beirut: Daar al-Fikr, 1993),
105
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.209
106
Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3
h.56
Dari putusan yang penulis dapatkan, isteri nusyuz dijadikan alasan perceraian padahal dalam KHI serta PP No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan dari UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak menyebutkan nusyuz sebagai alasan perceraian. Tentu ada pertanyaan mengapa hakim membuat putusan demikian. Dan didalam putusan tersebut pemohon menyanggupi untuk membayar iwadh sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah), dengan persyaratan khulu yang pemohon ajukan di PA Serang akibat isteri nusyuz. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 2 menyebutkan “untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri”. Para ulama Mazhab sepakat bahwa isteri yang melakukan nusyuz tidak berhak atas nafkah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan nusyuz yang mengakibatkan gugurnya nafkah. Seluruh mazhab selain imam Hanafi, sepakat bahwa manakala isteri tidak memberi kesempatan kepada suami untuk menggauli dirinya dan berkhalwat dengannya tanpa alasan berdasarkan syara’ maupun rasio dia dipandang sebagai wanita yang nusyuz.107 Bahkan imam Syafi’i mengatakan bahwa: sekedar kesediaan digauli dan berkhalwat, sama sekali belum dipandang cukup kalau siisteri tidak menawarkan
107
Muhammad jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I dan hambali, (jakarta: Lentera, 2006), cet.ke-17, h.402
diri kepada suaminya seraya mengatakan dengan tegas “Aku menyerahkan diriku kepadamu”. Imam Hanafi berpendapat bahwa: “manakala isteri mengeram dirinya dalam rumah suaminya dan tidak keluar dari rumah tanpa izin suaminya, maka dia masih disebut patuh, sekalipun dia tidak bersedia dicampuri tanpa sadar syara’ yang benar.108 Ditinjau dari hukum positif, putusan Hakim tidak semena-mena untuk mengabulkan permohonan cerai yang diajukan suami karena Majelis Hakim telah melalui beberapa tahap agar suami isteri tersebut dapat memperbaiki rumah tangganya tetap hidup rukun dan damai sebagaimana tujuan perkawinan. Dengan demikian apabila melihat amar putusan tersebut berarti Pengadilan Agama Serang telah memberikan pengabulan permohonan kepada pemohon untuk menceraikan isterinya (termohon). Karena dalil yang telah diajukan pemohon dalam permohonannya adalah dalil yang benar, dan telah dilengkapi dengan alat bukti dan saksi yang sah menurut Undang-Undang.
108
Ibid., h.402
BAB V Penutup
A. Kesimpulan Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab terdahulu tentang Perceraian karena Isteri Nusyuz khususnya di Pengadilan Agama Serang, penulis dapat menyimpulkan, sebagai berikut: 1. Proses penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama Serang sudah sesuai dengan apa yang ditetapkan dan diatur oleh Undang-Undang yaitu mulai membuka persidangan dan terbuka untuk umum. kemudian dilanjutkan dengan usaha perdamaian, jika usaha perdamaian tersebut berhasil
maka
hakim
akan
membuatkan
penetapan
perdamaian
berdasarkan kesepakatan mereka, tetapi jika perdamaian yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak berhasil, sidang dilanjutkan ketahap pembacaan gugatan, kemudian jawaban tergugat, selanjutnya replik penggugat dan duplik tergugat, setelah itu masuk ketahap pembuktian, kesimpulan dan yang terakhir adalah pembacaan putusan hakim. 2. Pada dasarnya hukum Islam dan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan,
perceraian,
bahwa
mempunyai perceraian
pandangan adalah
yang
alternatif
sama terakhir
tentang untuk
menyelesaikan ketegangan rumah tangga yang sudah tidak dapat
diperbaiki lagi meskipun dengan berbagai cara untuk mendamaikan sudah ditempuh. 3. Sedangkan faktor-faktor isteri nusyuz yaitu: pertama masalah seksual, biasanya isteri bersikap acuh dengan alasan suaminya menderita impotensi, bahkan ada pula disebabkan suami terlalu sibuk bekerja sehingga isteri tidak terpenuhi kebutuhan seksnya. Kedua masalah ekonomi, hal ini biasanya karena isteri tidak mensyukuri dengan penghasilan suaminya yang minim, bahkan selalu menuntut agar kebutuhan isteri terpenuhi diluar kemampuan suami. Ketiga masalah isteri yang berkarir, terkadang isteri yang berkarier merasa telah mampu menghidupi dirinya sendiri sehingga isteri menjadi lebih tinggi dan bersikap sombong terhadap suaminya dan tidak mau menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Keempat kejenuhan yang menimbulkan konflik, hal ini sering terjadi dalam rumah tangga ketika mengalami titik kejenuhan dan sering timbul percekcokan, terkadang isteri bersikap arogan dan keras kepala bahkan selalu membantah nasehat suami. Dan Kelima masalah
cemburu,
faktor
cemburu
yang
berlebihan
itulah
yang
menyebabkan isteri lepas kendali (lepas kontrol) dan dapat melakukan tindakan diluar akal sehat.
B. Saran-saran Disamping beberapa kesimpulan diatas, penulis juga ingin memberikan beberapa saranyang berkaitan dengan Perceraian karena Isteri Nusyuz, saransaran tersebut adalah: 1. Hendaklah niat pernikahan yang dilakukan oleh sepasang suami isteri haruslah dilandasi dengan cinta dan kasih sayang. Pernikahan tersebut juga diniatkan untuk membentuk keluarga yang kekal dan abadi agar tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. 2. Memaksimalkan lagi fungsi dari lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pernikahan untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan tidak hanya bagi pasangan yang ingin menikah, tetapi juga bagi anak-anak muda agar mereka mengetahui peran mereka masing-masing setelah menikah dan juga agar mereka dapat mengantisipasi persoalan yang biasanya muncul pada saat mereka menikah nanti. 3. Apabila terjadi perselisihan antara suami dan isteri dalam pernikahan, maka upayakanlah perdamaian antara keduanya secara mandiri (personal). Apabila jalur perdamaian secara personal suami isteri tidak mampu diatasi, maka utuslah seorang hakam dari pihak suami atau isteri tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S. Ziyad. Fiqh Wanita Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991 Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.IV. Jakarta: Akademika Pressindo, 2004 Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqh Munakahat I. Bandung: Pustaka Setia, 1999. --------------, Fiqh Munakahat II. cet.II. Bandung: Pustaka Setia, 1996. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI Arto, Mukri. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Asqalani, al, Ibnu Hajar. Bulugh Al-Maram. Jakarta: Daar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2002. Basri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. cet.II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Daud, Sunan Abi. Bab Thalaq. Beirut: Daru Ibn Hizam, 1998 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998. Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006, cet.ke-1 Fauzan, M. Pokok-pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan mahkamah Syar’iyah Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005, cet.ke-2 Gautama, Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. cet.V. Bandung: Bina Cipta, 1987. Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqih Munakahat. cet.II. Jakarta: Kencana, 2003. Ghifari, AL, Abu. Selingkuh Nikmat yang Terlaknat. Bandung: Mujahid, 2003 Haikal, Abduttawal. Rahasia Perkawinan Rasulullah: Poligami dalam islam vs Monogami Barat. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP. cet.XII. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005. Latif, Jamil. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981 Mughryah, M. Jawad Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2006, cet.ke-17 Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. cet.II. Jakarta: Bulan Bintang, 1974. Moleong, Leky. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Muslim, Imam Abu Hasan bin Hijjaj Al-Qusyairi An-Naiaburi, Shahih Muslim, Beirut: Maktabah al-Ma’arif, t.th, juz II. Nur, Djaman. Fiqh Munakahat. Semarang: Dina Utama, 1993. Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam diIndonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1 Th. 1974 sampai KHI. cet.III. Jakarta: Kencana, 2006. Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam (Studi suatu analisis dari UU No.1 Th.1974 dan KHI). Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996, cet.ke-1. Rasidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991. Rasyid, Raihan A. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2001. ed.ke-2, cet.ke-8 Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. cet.VI. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah 8. cet.XIII. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997. --------------, Fiqh Sunnah Tarjamah. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996. Saleh, Wantjik, K. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indo, 1978. Selamet, Kasmuri. Pedoman Mengayuh Rumah Tangga (Panduan Perkawinan). Jakarta: Kalam Mulia, 1998, cet.ke-1
Soeroso, R. Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan. Jakarta: Sinar Grafika, 2004, cet.ke-6 Sosroatmodjo, Arso dan A. Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. cet.XXVII. Jakarta: PT. Intermasa, 1995. Suma, Muhammad Amin. dkk., Pidana Islam Di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001 Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2003. --------------, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan. cet.II. Jakarta: Kencana, 2006. Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. cet.XXVII. Jakarta: PT. Intermasa, 1995. T. Yanggo, Chuzaemah dan Anskary, Hafidz, A, A.Z, Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UIP, 1974, cet.ke-2 Zamroni, Anang dan Ma’ruf Asrori. Bimbingan Seks Islam. Surabaya: Pustaka Anda, 1997
HASIL WAWANCARA
1. Selama Bapak / Ibu bertugas di Pengadilan Agama Serang, apakah pernah Bapak / Ibu menangani perkara perceraian karena isteri nusyuz? Jawab: Pernah, namun pada waktu itu kedua belah pihak berdamai jadi persidangan tersebut dihentikan. 2. Apa tindakan Bapak / Ibu Hakim, agar mereka tidak bercerai? Jawab: Hakim berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan kedua belah pihak, kalau dahulu hanya cukup didalam persidangan saja, tetapi sekarang setelah ada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan. Jadi di Pengadilan ada tempat khusus untuk mediasi, kalau para pihak mau berdamai maka persidangan dihentikan akan tetapi jika tidak berhasil maka persidangan dilanjutkan ketahap berikutnya. 3. Bagaimana dasar hukum Hakim dalam memutuskan Perceraian karena Nusyuz? Jawab: Dasar hukumnya adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UndangUndang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, hakim selalu menggunakan kedua dasar hukum diatas dalam menyelesaikan perkara dipersidangan. 4. Apakah perceraian akibat isteri nusyuz masih banyak terjadi di Pengadilan Agama Serang? Jawab: Kasus isteri nusyuz di Pengadilan Agama Serang sangat sedikit, kebanyakan perceraian karena tidak tanggung jawabnya seorang suami. Ini berarti para wanita di Serang masih patuh pada suami, jadi pada intinya di Pengadilan Agama Serang lebih banyak cerai gugat dari pada cerai talak.
5. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya nusyuz (bagi isteri)? Jawab: Sejauh ini faktor nusyuz yang paling banyak di Pengadilan Agama Serang adalah karena faktor ekonomi, jadi faktor ekonomi itu sangat urgen bagi kelangsungan rumah tangga. 6. Dalam permohonan cerai talak, nusyuz apa saja yang dilakukan isteri terhadap suami? Jawab: Isteri membangkang, isteri keluar rumah tanpa izin suami, isteri tidak mau diajak tidur padahal dia tidak sibuk, isteri sering pulang malam, isteri tidak mau diperintah oleh suami, isteri boleh menolak jika perintah tersebut bertentangan dengan agama, pada intinya isteri tidak menjalankan hak-haknya sebagai isteri. 7. Apakah Hakim mengabulkan permohonan talak (cerai talak) suami karena isteri nusyuz? Jawab: Hakim tidak semena-mena mengabulkan permohonan tersebut, akan tetapi lihat dahulu bukti-buktinya, jika buktinya kuat hakim bisa mengabulkan
permohonan
tersebut
jika
tidak
terbukti
maka
permohonan tersebut ditolak. Jadi sebelum mengambil keputusan hakim melihat-melihat dahulu bukti-bukti tersebut.
Pewawancara
Uwes Hujjatul Islam
Terwawancara
(H. Ubaidillah, S.H) Hakim PA Serang