Tinjauan Hukum International Publik Terhadap Pembunuhan Massal tahun 656566 Oleh : Tristam Moeliono
Pengantar: Pembunuhan massal tahun 1965 di sejumlah daerah di Indonesia merupakan awal dari rezim pemerintahan Orde Baru dan juga melandasi politik teror yang masih berlangsung sampai dengan sekarang. Namun dari awal saya harus katakan saya bukan pelaku sejarah (umur saya tidak cukup untuk itu) dan apa yang saya ketahui tentang pembunuhan massal tahun 1965 hanyalah serpihan-serpihan data sekunder dan potongan keluhan dari mereka yang mendapat stigma terlibat atau terpengaruh PKI. Namun sebagai awalan di bawah ini adalah gambaran ringkas dari apa yang bisa kita ketahui dari pelajaran sejarah resmi yang disampaikan pemerintah lewat penataran P4 atau film G-30-S/PKI yang dahulu wajib diputar ulang di siaran televisi Indonesia tiap tanggal 30 september. Apa yang saya ketahui adalah bahwa peristiwa G-30-S, penculikan sejumlah jenderal angkatan darat oleh pasukan pengawal presiden (cakrabirawa), menjadi awal dari pendiskreditan PKI, satu partai politik yang mengaku memiliki pengikut terbesar dibanding partai-partai lain yang ada pada waktu itu. Proses ini ternyata panjang, meski dalam film wajib di atas dibuat begitu ringkas. Mereka yang menyebut diri Angkatan 66 (KAMI, KASI, KAPPI) membanggakan kelahiran TriTuRa (10 januari 1966), salah satunya tuntutan agar pemerintah membubarkan PKI yang dianggap mendalangi peristiwa G-30-S. Tuntutan ini kemudian diakomodir pemerintah melalui Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966) yang memberikan kewenangan kepada (May. Jen) Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keadaan negeri. Berdasarkan itu, Soeharto membubarkan PKI (12 Maret 1966). Untuk selanjutnya kewenangan yang dilandaskan pada Supersemar diterjemahkan sebagai kewajiban Orde Baru untuk membersihkan Negara secara terkendali dan sistematis dari segala anasir PKI maupun pemikiran komunisme/marxisme. Generasi pasca '65 mengenal ini dalam bentuk proses screening keterpengaruhan: bersih diri dan bersih lingkungan, yakni bila mereka ingin bekerja sebagai advokat, dokter, dosen di perguruan tinggi negeri atau menempati posisi penting dalam pemerintahan atau militer. Proses "pembersihan" di atas didahului dan merupakan lanjutan dari operasi pembunuhan massal terhadap para anggota PKI atau simpatisan PKI di jawa-tengah (oktober '65) dan jawa timur (november '65), bali (desember '65) dan juga di Aceh (tahun 65). Dalam peristiwa tersebut sejumlah besar rakyat Indonesia yang dituduh terlibat atau sekadar bersimpati pada PKI dibunuh, tanpa melalui proses hukum. Keputusan politik (TriTuRa dan Supersemar '66; dikukuhkan melalui TAP MPRS) telah ex ante mengukuhkan kesalahan mereka. Artinya dengan mendahului dan mengabaikan keharusan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum pasti yang memutus secara final apakah para anggota atau simpatisan PKI ini bersalah melakukan makar atau tidak, hukuman mati dijatuhkan. Ada pandangan yang mencoba menjustifikasi proses de-humanisasi para korban pembantaian ini dengan mengatakan bahwa pembunuhan tersebut adalah buah cipta pengadilan rakyat dan
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
1
ikhwalnya adalah pilihan simalakama membunuh atau dibunuh. Lantas juga diskriminasi terhadap anggota keluarga eks tapol PKI dijustifikasi dengan mengajukan alasan keharusan waspada terhadap bahaya laten PKI. Saya tidak akan mengajukan analisis sejarah terhadap sejumlah klaim yang saling bertentangan perihal apa yang sesungguhnya terjadi. Ada sekian banyak bingkai cerita, mulai dari versi resmi pemerintah yang kebanyakan dari kita, generasi muda, harus terima di bangku sekolah sampai dengan analisis politik international canggih yang menempatkan peristiwa tersebut dalam konteks global perang dingin. Kacamata yang akan saya pergunakan semata-mata kajian hukum publik internasional yang sekarang ini menunjukkan perkembangan pesat dalam bidang hukum tentang hak asasi dan hukum pidana internasional. Untuk kedua tinjauan ini, fakta yang relevan adalah bahwa pada tahun 1965, terjadi apa yang dinamakan extra-judicial killings atas sejumlah besar rakyat Indonesia. Kejahatan ini kemudian mengawali jejak panjang pemerintah Orde Baru dalam meniadakan hak asasi dari siapapun yang diduga terlibat, juga bila sekadar karena hubungan darah atau karena perkawinan, dengan anggota PKI atau simpatisan PKI.
Penghormatan terhadap Hak Asasi sebagai Asas Universal: Satu ajaran penting dalam dunia hukum (tata negara) Indonesia menyoal kesatuan Negara dengan rakyat. Menurut Penjelasan resmi UUD, Negara Kesatuan Indonesia tidak mengenal pemisahan kekuasaan versi Montesquieu. Satu pandangan mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dilandaskan pada rasa tidak percaya pada Negara. Sebaliknya kesatuan Negara dan Bangsa adalah alternatif yang lebih baik. Paham integralistik dalam kehidupan bernegara mengasumsikan negara kesatuan Republik Indonesia sebagai patron yang dengan sendirinya mengayomi klien, rakyat Indonesia. Patron yang akan berperilaku sebagai bapak tentu tidak akan memberi ular pada anak-anaknya (rakyat) bila mereka meminta nasi. Dalam pandangan ini, maka perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi yang dituntut negara-negara barat sebagai unsur tidak terpisahkan dari demokrasi dan cita negara hukum adalah suatu yang berlebihan dan tidak perlu. Konsep hak asasi dianggap sebagai nilai budaya barat yang lebih menekankan individualisme ketimbang kepentingan bangsa dan negara sebagai komunitas. Budaya timur yang adiluhung tidak memerlukan hak asasi versi barat ini. Tahun 1980-90, Indonesia masih berkilah bahwa kalaupun ada hak asasi, maka budaya timur sudah mengakomodasinya dengan lebih baik ketimbang bangsa barat yang sibuk menuding Indonesia sebagai pelanggar hak asasi. Disertasi karangan Adnan Buyung Nasution1 membongkar pengandaian di atas dan mengajukan tesa bahwa sejak awal, partai-partai politik dari ragam aliran, yang bersidang dalam Dewan Konstituante tahun 1950'an, sudah berpikir tentang hak asasi yang dilandaskan bukan pada perkembangan pemikiran di barat, tapi pada pemikiran sendiri. Tokoh-tokoh politik pada zaman itu kiranya bersepakat bahwa bagaimanapun juga rakyat harus mendapat perlindungan hukum dalam bentuk pengakuan hak asasi (di dalam undang-undang dasar) dan sebaliknya Negara memiliki kewajiban untuk menghormati hak asasi tersebut. Kita tahu bahwa Konstituante ini kemudian dibubarkan melalui Dekrit Presiden dan kita kembali memberlakukan UUD 1945. Konstitusi yang hanya secara 1
Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959, doctoral dissertation Utrecht University, 1992.
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
2
sumir mencantumkan sejumlah hak-hak dasar dan itupun selalu dengan klausul akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Dan undang-undang ini kalaupun kunjung ada dapat dengan semena-mena meniadakan hak dasar, misalnya melalui instrumen pembredelan untuk membunuh kemerdekaan mengungkapkan pikiran secara lisan dan tulisan. Atau dipangkas melalui TAP MPR(S) yang melarang rakyat Indonesia menyebarkan, memiliki, membaca bahkan berpikir tentang ajaran marxime/komunisme, juga bila itu dicurigai muncul dalam novel-novel sejarah karangan Pramoedya Ananta Toer. Sejarah juga menunjukkan bahwa tiadanya jaminan konstitusional atas hak-hak dasar ini memberikan diskresi begitu luas bagi pemerintah untuk memberlakukan kebijakan bersih diri/bersih lingkungan yang pada asasnya meniadakan hak dasar bagi rakyat Indonesia untuk menikmati hidup di bumi Indonesia tanpa dicekam ketakutan. Satu dan lain, ancaman terlibat PKI yang begitu kerap dipergunakan pemerintah terhadap lawan politik atau rakyat biasa yang melawan program pembangunan versi pemerintah juga menggeremus hak dasar lain yang penting dalam membangun demokrasi, yakni hak untuk berbeda pendapat dan menentang kebijakan resmi pemerintah. Kerentanan seluruh rakyat Indonesia terhadap ancaman 'terlibat PKI' dan kematian perdata yang kerap mengikutinya menggarisbawahi argumen lain perihal universalitas nilai-nilai kemanusiaan yang patut dilindungi hukum. Hak asasi harus dijamin di dalam dan melalui hukum karena kita semua, di luar salah sendiri, setiap saat bisa menjadi korban dari pelanggaran hak asasi. Jumlah korban pembunuhan massal tahun 65 dan penderitaan tiada berujung dari anggota keluarga, baik darah maupun perkawinan, dari para bekas tahanan politik (PKI) maupun ekstrim kanan-kiri lainnya, cukup bukti betapa mudahnya pelanggaran hak asasi menjadi kebijakan sistematis yang terus mengukuhkan kesewenang-wenangan. Kekuasaan negara yang tidak berbatas hukum, bahkan proses hukum yang dijalankan serampangan selalu dapat mengakibatkan pelanggaran hak asasi siapapun tanpa kecuali. Abdullahi A. AnNa'im, seorang peneliti di lembaga kajian hak asasi di Universitas Utrecht menulis bahwa2: "the universality of human rights must be premised on a shared consciousness of vulnerability in the sense that all human beings should endeavour to achieve the universal acceptance and practical implementation of international standards of human rights simply because we all need their protection as potential, if not actual, victims of violations of our rights". Kerentanan tiap orang yang mengaku bangsa Indonesia terhadap penindasan dan pelanggaran hak paling asasi (hak hidup maupun hak untuk menyatakan pendapat sebagai manusia mandiri) jelas tampak dalam peristiwa pembunuhan massal 1965 maupun kebijakan bersih-diri/bersih lingkungan yang mengikutinya. Siapa yang dapat mengatakan dengan pasti bahwa, seandainyapun benar PKI bersalah melakukan makar terhadap Negara, mereka yang dibunuh (semua tanpa kecuali!) betul-betul ikut bersalah, benar-benar berkehendak dan mengetahui bahwa mereka melibatkan diri dalam tindak pidana melawan negara yang pantas diancam dengan hukuman mati? Tidak pernah ada dan dibuktikan menurut hukum bahwa sekian banyak rakyat yang 2
Abdullahi A. An-Na'im, "The Position of Islamic States Regarding the Universal Declaration of Human Rights" in Peter Baehr, Cees Flinterman, Mignon Senders (ed.), Innovations and Inspirations: Fifty Years of the Universal Declaration of Human Rights (Amsterdam: Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschapen, 1999)
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
3
dibantai pada peristiwa 1965 benar terlibat pada dosa politik yang dituduhkan pada PKI. Artinya sekian banyak orang (berapa jumlah mereka?) mungkin saja sebenarnya mati sia-sia sekadar karena kebetulan dibenci orang, atau semata karena kebetulan berperilaku tidak simpatik atau terdaftar sebagai 'onderbouw' partai politik yang sudah diputuskan harus dibasmi sampai ke-akar-akarnya. Lagipula, apakah dosa politik ini bisa terus diwariskan turun-temurun, sehingga patut keturunan anggota PKI baik yang mati terbantai maupun yang masih hidup, kehilangan hak-hak mereka sebagai warga negara? Begitu mudah untuk menjatuhkan vonis bersalah, lebih lagi ketika pada saat sama kita tahu bahwa kita tidak perlu mempertanggungjawabkannya dihadapan hukum maupun Tuhan (yang tentu saja tidak berpihak pada anggota/simpatisan PKI yang serta merta disamakan dengan ateis). Dari bacaan sejarah dan juga dari informasi yang disajikan Museum ABRI di Jl. Gatot Subroto, Jakarta, kita juga tahu bahwa pembantaian massal 1965 itu disponsori oleh tentara, alat kekuasaan Negara, yang menurut Sapta-Marga wajib melindungi rakyat dan menjunjung tinggi hukum Negara. Salah satu hukum Negara yang relevan di sini ialah hukum acara pidana yang dalam kaitan dengan perlindungan hak asasi menyatakan bahwa seseorang hanya boleh dihukum jika ia melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap telah dinyatakan bersalah. Selanjutnya juga bahwa kesalahan tersebut jika betul terbukti tidak dapat diwariskan pada keturunan mereka. Pembantaian massal terhadap warganegara, anggota PKI atau simpatisan atau mereka yang diduga terlibat PKI dan kebijakan bersih-diri/bersih lingkungan jelas menyalahi kedua asas ini. Jika Negara cq. tentara, tidak menghormati hak paling dasar, hak untuk hidup, dari warga negara, sebagaimana tampak dari pembunuhan massal 65, malah berbangga karena itu, maka Negara harus dipandang bukan lagi sebagai patron yang punya keinginan mengayomi rakyat. Negara Indonesia justru menjadi harimau yang selalu siap menggerkah rakyatnya sendiri. Politik teror, melalui ancaman terlibat PKI atau komunis, baik terhadap sisa-sisa PKI sampai tujuh turunan maupun lawan politik Orde Baru ialah gambaran nyata bagaimana pemerintah Orde Baru dan/atau Militer memandang rakyat. Singkat kata dari kacamata perkembangan pemahaman hak asasi kita dapat katakan bahwa pembunuhan massal dan/atau kebijakan bersih-diri-bersih lingkungan (yang melandasi politik teror) menggaris-bawahi kenyataan bahwa Negara cq. pemerintah cq. ABRI, sebagai pemegang kekuasaan, telah bersalah melanggar hak asasi, bukan saja dari sekian banyak rakyat yang dibunuh atau sampai dengan sekarang masih mederita, tapi dari seluruh rakyat Indonesia. Kepercayaan rakyat yang dititipkan pada mereka telah dikhianati. Ini membawa kita pada pokok soal berikut perihal pertanggungjawaban negara dan/atau pelaku terhadap pembunuhan massal tersebut dari kacamata hukum pidana internasional.
Kejahatan Melawan Kemanusiaan dan Pertanggungjawaban Individu: Pembantaian massal 1965, menurut sejumlah pustaka, dilakukan dengan sepengetahuan tentara, khususnya angkatan darat, dan melibatkan warga biasa. Jika kita terima bahwa pembantaian massal 1965 adalah pelanggaran hak asasi dalam skala besar dilihat dari kadar kekejiannya, maka semakin penting bagi kita untuk menelaah siapa yang harus dan dapat diminta pertanggungjawaban hukum. Bahkan untuk kejahatan biasapun ini ialah kewajaran. Bila ada yang terbunuh, tentu ada yang membunuh. Tentu pula harus dimintakan pertanggungjawaban hukum, satu dan lain, agar pembunuhan tidak berkembang menjadi hal yang terus ditenggang masyarakat.
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
4
Ini tetap berlaku, juga bila soalnya adalah membunuh karena upaya bela-diri, relevan dalam menelaah kesahihan argumen jika PKI tidak kita bunuh, maka kita yang akan terbunuh. Argumen ini kerap diajukan, tapi belum pernah diuji kebenaranya di hadapan pengadilan. Benarkah ada kepentingan yang memaksa orang untuk mengambil keputusan melakukan pre-emptive strike dalam rangka bela-diri? Lantas mengapa yang terjadi adalah pembantaian massal yang didalangi tentara dan pun tidak terjadi di seluruh pelosok negeri? Seandainyapun betul, pembantaian ini sebagai reaksi bela-diri, tetaplah berlaku bahwa hanyalah pengadilan yang wenang melepas pihak (-pihak) yang diduga dan kemudian terbukti melakukan pembunuhan dari segala tuntutan hukum, dengan mempertimbangkan, antara lain, kesepadanan atau proportionalitas tindakan bela-diri dengan ancaman yang memaksakan upaya beladiri. Namun, dalam hal inipun, pengadilan tetap harus menegaskan bahwa membunuh adalah suatu hal yang salah berlandaskan keharusan etis untuk menghormati dan menjaga nilai nyawa manusia. Artinya, kalau benar dapat dibuktikan dihadapan pengadilan bahwa tiada pilihan lain kecuali membunuh (untuk bela-diri) dan tindakan bela-diri tersebut sepadan dengan ancaman yang ada, maka pengadilan sedianya akan mempertimbangkan dan memutus adanya alasan pemaaf yang melepas pelaku pembunuhan dari keharusan mempertanggungjawabkan pembunuhan tersebut dihadapan hukum Negara, mesti tidak otomatis dihadapan Tuhan. Masih menjadi pertanyaan adalah apakah betul ada alasan pemaaf seperti itu? Karena soalnya bukanlah satu-dua orang yang terbunuh tapi sekian banyak dari sesama rakyat yang jumlah apalagi nama mereka satu per-satu tidak ada yang betul peduli untuk mengingat. Ikhwalnya menjadi lebih rumit dalam hal pelanggaran asasi yang dilakukan dalam jangka waktu begitu lama, seperti dalam pemberlakuan kebijakan bersih diri atau bersih lingkungan. Namun gejala ini menunjukkan pula bahwa hukum tidak otomatis mengandung keadilan. Hukum yang dijalankan pemerintahan yang melandasi kekuasaan atas teror, dalam dirinya sendiri mengandung dan membenarkan penindasan. Terlepas dari soal ini fungsi hukum, berhadapan dengan pelanggaran hak asasi, pada dasarnya, ialah menuntut pertanggungjawaban. Ini dilakukan dengan tujuan utama melindungi, menjaga dan melestarikan nilai-nilai kemanusiaan. Singkat kata menjaga keadaban manusia. Pada analisis terakhir hukum harus bereaksi terhadap pelanggaran hukum karena yang dipertaruhkan adalah keutuhan ikatan masyarakat. Masyarakat yang dibiarkan dan dibiasakan menenggang pembunuhan atau ketidak-adilan dalam jangka panjang akan hilang kepercayaan terhadap manusia lain dan akhirnya akan berubah menjadi serigala bagi sesama. Masalah menuntut pertanggungjawaban hukum atas pembunuhan massal 1965 ini memang sangat peka. Bahkan permintaan maaf dari Presiden Gus Dur dan upaya merehabilitasi mereka yang dinyatakan terpengaruh PKI membangkitkan reaksi sengit dari banyak orang yang merasa bahwa para korban memang pantas menanggung penderitaan, baik karena anti-Tuhan atau karena alasan lain. Lagipula amandemen keII UUD 45 menyatakan dengan tegas bahwa asas retroaktif tidak berlaku bagi penuntutan pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi di Indonesia. Dalam bahasa awam, tuntutan pertanggungjawaban terhadap mereka yang diduga bersalah melakukan pelanggaran hak asasi hanya bisa dilakukan terhadap apa yang terjadi di masa depan. Pembantaian massal 1965 karena terjadi di masa lampau, dianggap daluarsa dan dari para pelaku tidak lagi dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum. Lepas dari upaya penghindaran pertanggungjawaban hukum atas kejadian masa lampau yang tampaknya dibenarkan MPR di atas, fakta telah terjadi
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
5
pembunuhan massal 1965, khususnya dari kacamata hukum publik internasional, sebenarnya sudah cukup alasan untuk menuntut pertanggungjawaban pidana dari para pelaku, baik actor intellectual (mereka yang merancang dan membiayai pelaksanaan rencana jahat ini) maupun mereka yang terlibat langsung. Pertanggungjawaban pidana ini sifatnya individual bukan massal dan tidak dapat ditimpakan pada lembaga resmi. Jadi kita tidak dapat mengatakan TNI atau Angkatan Darat bersalah. Kita hanya mungkin mengatakan bahwa si A atau si B, sebagai manusia mandiri, bersalah atau tidak bersalah. Manusia harus diandaikan memiliki kebebasan memilih dan kemampuan menganut nilai-nilai etis atau moral. Sebab itu pula, jika ia disangka terlibat kejahatan, hukum negara akan menuntut pertanggungjawaban secara perseorangan. Setiap orang harus diandaikan memiliki hati nurani. Jika ia kemudian melibatkan diri dalam kejahatan skala besar, seperti pembunuhan massal atau pelaksanaan kebijakan bersih-diri/bersih lingkungan, maka ia tidak dapat berlindung dibalik alasan adanya perintah atasan yang tidak dapat dilawan, justru karena menuruti perintah tidak bermoral sudah menunjukkan kesetujuan atas perintah tersebut. Dan bila kejahatan demikian dilakukan atas nama Negara, maka tentu dari hukum nasional tidak dapat diharapkan muncul keadilan. Dalam hal demikian, maka pelanggaran hak asasi tersebut dikualifikasikan sebagai pelanggaran hak asasi yang pantas diajukan kehadapan pengadilan internasional. Dianggap bahwa masyarakat internasional memiliki kewajiban untuk memberikan keadilan dan pemerintah negara tersebut tidak dapat berlindung dibalik kedaulatan teritorial dan supremasi hukum nasional. Argumen dan asas-asas inilah yang menjadi dasar penuntutan para penjahat perang dunia ke-II baik dari pihak Jerman maupun Jepang di Nürnberg dan Tokyo3. Mereka yang bertindak baik sebagai individu maupun sebagai anggota suatu organisasi (militer maupun sipil) yang melakukan: crimes against peace; war crimes and crimes against humanity (murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhuman acts committed against any civilian population) diajukan ke hadapan Mahkamah Internasional dan dimintakan pertanggungjawabannya secara individu. Pengadilan Internasional inilah, sekalipun dikritik sebagai the victor's tribunal, kemudian mengawali perkembangan pengadilan serupa untuk menuntut pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran hak asasi yang dilakukan Negara terhadap rakyatnya sendiri, sebagaimana terakhir muncul dalam Ad Hoc International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (1993) dan Rwanda (1994), keduanya dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB. Perkembangan terakhir di bidang ini ialah pembentukan International Criminal Tribunals (ICC) permanen (berdasarkan Statuta Roma) dengan kewenangan memeriksa perseorangan yang disangka melakukan: "the most serious crimes of international concern (genocide, crimes against humanity, war crimes)". Sifat pengadilan internasional ini, harus ditambahkan, komplementer bagi peradilan nasional. Pembunuhan massal tahun 1965, mungkin sebanding dengan 'the killing fields' kreasi rezim Khmer Merah di Cambodia atau Perang VietNam, faktual adalah genocida dalam artian jumlah korban, tingkat kekejian dan pelibatan aparat negara di dalamnya. Namun dua peristiwa pembanding di atas, tidak memunculkan kebijakan bersih diri/bersih lingkungan yang sebenarnya adalah juga kejahatan sistematis terhadap kemanusiaan dalam skala yang sama besarnya. Kejahatan pembantaian massal 1965 dan penindasan terhadap anggota keluarga bekas tapol PKI, sekalipun 3
DJ Harris, Cases and Materials on International Law, (London: Sweet & Maxwell, 1998), pp.738 et seq.
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
6
dari sudut kualifikasi hukum the Genocida Convention 1948 tidak termasuk genocide (intent to destroy in whole or in part, national, ethnical, racial or religious groups), qua substansi tetap dapat kita kualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Kepentingan negara yang diajukan untuk membenarkan pembunuhan massal 1965 dan kebijakan turunannya, sebagaimana dilakukan selama ini, pada prinsipnya tidak meniadakan sifat bersalah atau a-moral dari tindakan tersebut. Bahkan, pada tataran teori4, Negara demikian juga dianggap harus bertanggungjawab menurut hukum internasional terhadap masyarakat internasional apabila melakukan bahkan membenarkan kejahatan pembunuhan massal dan menyelenggarakan kebijakan resmi untuk meniadakan hak-hak dasar lain. Negara cq. pemerintah yang tidak dapat dimintakan atau bahkan memberi pertanggungjawaban hukum harus dianggap sebagai negara cq. pemerintah yang gagal memenuhi mandatnya (failed state) dan tidak pantas duduk sebagai wakil bangsa-bangsa beradab di forum internasional.
Penutup: Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa pembantaian massal tahun 1965 dan penafikan hak asasi secara sistematis melalui kebijakan bersih diri/bersih lingkungan, dari sudut pandang hukum publik internasional, khususnya perkembangan terakhir di bidang hukum hak asasi dan hukum pidana internasional, harus kita kualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, sekalipun tidak sebagai genocida. Sekian ratus ribu atau juta dari bangsa kita sendiri dibunuh dan anggota keluarga mereka terus didera hukuman politik dan dijauhi masyarakat karena stigma PKI. Mungkin kita sendiri adalah korban, atau kita kenali mereka sebagai tetangga, bahkan bisa jadi calon istri/suami atau besan. Kejahatan itu masih ada di antara kita dan ternyata tidak bisa kita abaikan dengan dalih sejarah sudah selesai. Masa lalu yang ditindas lagipula hanya akan menimbulkan penyakit lain yang lebih buruk dan tidak mungkin kita antisipasi sebelumnya. Penghindaran pertanggungjawaban, apalagi penghapusan sejarah kelam ini dari ingatan bangsa, adalah pengkhianatan terhadap hati nurani.
4
Draft Articles on State Responsibility, text as provisionally adopted by the Drafting Committee of the International Law Commission on the first reading (1996), as amended on the second reading (1998).
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
7