BAB I PENDAHULUAN
Berbicara dari aspek sosial, manusia berada pada tempat yang sama, namun masing-masing mempunyai fungsi dan peran yang berbeda dalam kehidupan masyarakat. Dari aspek sosial dan hukum, sesungguhnya wanita secara kodrati, memiliki keterbatasan dalam melakukan kegiatan fisik. Namun dimasa sekarang, akibat tuntutan kehidupan ekonomi yang semakin berat, tidak ada lagi batasan bagi wanita untuk melakukan tugas-tugas fisik. Demikian pula dalam kegiatan non fisik seperti; politik, ekonomi dan perdagangan. Peran non fisik inilah yang sering dituntut oleh para kaum wanita masa kini dalam kesetaraan gender. Meski angka statistik yang mendata jumlah pekerja wanita relatif lebih kecil daripada pria, namun dari tahun ke tahun jumlah pekerja wanita di berbagai sektor semakin meningkat. Perkembangan tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh meningkatnya tingkat pendidikan dan bergesernya kebudayaan akibat faktor globalisasi. Pengalaman di lapang selama ini menunjukkan adanya perbedaan yang dapat diamati antara konsep gender dalam pembahasan para ahli berikut aplikasinya dengan konsep gender dalam kebijakan, program dan pelaksanaan pembangunan. Sebagai konstruksi sosial yang umumnya sudah disosialisasikan sejak dini, gender ternyata menyumbangkan ketidakadilan (inequalities) dan manifestasi ketidakadilan dapat terjadi pada proses penentuan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, mekanisme pengambilan keputusan, serta pelaksanaan maupun evaluasi proyek pembangunan di lapangan. Uraian tersebut di atas mengantarkan kita pada pemahaman bahwa gender sebagai suatu konsep yang tepat untuk dipergunakan dalam membahas permasalahan atau isu pembangunan. Kepedulian terhadap masalah gender akan menyebabkan kita berupaya menghilangkan atau mengurangi terjadinya ketimpangan gender, karena hal ini dapat merugikan perempuan maupun laki-laki. Dengan demikian diharapkan kalau tidak ada ketimpangan gender, seluruh potensi SDM dapat dioptmalkan dan manfaat pembangunan secara merata dapat dinikmati
1
oleh semua pihak. Seringkali dipermasalahkan apakah benar dalam mempersoalkan ketimpangan gender lebih banyak mempermasalahkan kerugian perempuan dan keuntungan laki-laki. Sebenarnya ketimpangan gender yang merugikan perempuan, secara
tidak
langsung
merupakan
kerugian
bagi
masyarakat
keseluruhan.
Ketertinggalan perempuan mengakibatkan mereka tidak dapat berperan dan menjadi mitra sejajar laki-laki, akibatnya hubungan kedua pihak menjadi timpang. Menurut pengamatan di masyarakat, sampai saat ini perempuanlah - karena jenis kelamin mereka - yang lebih banyak mengalami ketidakadilan gender. Hal ini terjadi karena nilai-nilai dan norma-norma masyarakat membatasi ruang gerak mereka dan memberi mereka peran dan tugas yang dianggap kurang penting dibanding jenis kelamin lainnya (laki-laki). Disamping itu, ketimpangan gender terjadi di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Misalnya, di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, keluarga, sosial/kemasyarakatan, hukum, adat dsb. (KPDTNT, 1996). Salah satu tantangan masa depan dalam pembangunan adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di semua aspek kehidupan. Salah satu strateginya dengan diterbitkannya Inpres No. 9 / 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional yang memperkuat kelembagaan PUG dan Anak serta jejaring pendukungnya. Selain itu di dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2005 disebutkan bahwa strategi pengarusutamaan gender diterapkan ke dalam proses dan tahapan pembangunan Nasional. Selanjutnya di dalam komitmen Internasional bahwa konsekuensi Indonesia yang ikut meratifikasi CEDAW dan sesuai kesepakatan pada Konferensi Wanita Se-dunia yang dirumuskan dalam Beijing Platform for Action yang mengikat semua negara peserta termasuk Indonesia yang hadir pada konferensi itu untuk mengimplementasikan Gender Mainstreaming atau Pengarusutamaan Gender di negara masing-masing. Indonesia juga mendukung konferensi tentang status perempuan di PBB yang dihadiri oleh pemimpin dunia dan organisasi perempuan untuk mereview 10 tahun pelaksanaan Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing (Beijing Platform For Action).
2
Wanita Indonesia yang berjumlah lebih dari separuh penduduk Indonesia, merupakan sumber daya insani yang potensial dalam pembangunan. Sekitar tahun 1990-an potensi kaum wanita yang relatif besar belum termanfaatkan, terutama dalam kegiatan-kegiatan produktif. Kegiatan produktif yang dimaksudkan disini adalah apa yang sering disebut dengan bekerja atau melakukan suatu kegiatan atau membantu dalam melakukan sesuatu kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan. Namun demikian sekarang kesempatan wanita untuk berkembang dan menduduki jabatan penting juga mulai terbuka lebar, seperti yang diungkapkan oleh MasterCard Worldwide Index of Women’s Advancement mengukur posisi sosioekonomi wanita terhadap pria dengan menggunakan empat indikator kunci: Pertama, dua indikator didapat berdasarkan data dari badan-badan statistik di negara masingmasing dan menunjukkan rasio antara wanita dan pria yang bekerja dan yang memperoleh pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Kedua, dua Indikator lainnya didapat dari hasil survei yang mengukur rasio antara wanita dan pria mengenai pendapat tentang apakah mereka memegang posisi manajerial dan memiliki pendapatan diatas median. Pendapat-pendapat subyektif tersebut memberi gambaran mengenai seberapa besar para responden merasa telah diberdayakan dan seberapa penting peran mereka di kantor. Angka-angka indeks yang didapat dari indikatorindikator tersebut menunjukkan kemajuan dalam persamaan peran sosio-ekonomi antara wanita dangan pria. Tahun ke lima MasterCard Worldwide Index of Women’s Advancement dirilis, sungguh menarik melihat perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam hal peran serta dalam dunia kerja, perolehan pendidikan tingkat perguruan tinggi, dan persepsi mengenai peran manajerial dan pendapatan yang diatas pendapatan median. Secara keseluruhan nilai indeks Indonesia turun dibanding tahun kemarin, sungguh menarik melihat bahwa lebih dari 50% wanita Indonesia menganggap diri mereka sebagai pembuat keputusan akhir bagi rumah tangga mereka, ini merupakan persentase yang lebih besar dibanding di Australia dan Singapura. (Georgette Tan, 2008)
3
Meningkatnya peluang kerja bagi wanita di sektor industri khususnya ditafsirkan : pertama, karena banyak industri yang menuntut ketelitian dan ketekunan serta sifat-sifat lain yang biasanya dimiliki oleh wanita , seperti misalnya industri rokok, pakaian jadi, tekstil, makanan dan minuman dan sebagainya. Kedua, kondisi yang dituntut oleh tenaga kerja wanita lebih ringan dari tenaga kerja pria sehingga memberikan keuntungan yang lebih besar bagi pengusaha. Kesimpulan kedua ini kurang menguntungkan bagi tenaga kerja wanita tetapi hal ini sering terjadi. Kehadiran industri besar dan sedang memberikan alternatif baru dalam membuka kesempatan kerja bagi wanita. Namun untuk dapat bekerja pada industri-industri ini diperlukan ketrampilan untuk memungkinkan penggunaan tenaga kerja wanita secara produktif dan efisien. Wanita dalam keputusannya untuk turut berpartisipasi dalam pasar kerja selain dipengaruhi oleh status perkawinan juga dipengaruhi oleh faktor usia, daerah tempat tinggalnya (kota/desa), pendapatan, agama, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan suami (bagi yang sudah kawin), pendidikan wanita itu sendiri serta tingkat pengangguran regional. Masalah utama dari pekerja wanita adalah latar belakang sosial yang rendah, sehingga mengharuskan wanita bekerja . (Etzioni, 1973) Konsep peran wanita yang semakin berkembang dimasyarakat seiring dengan peran wanita dalam ikut serta mensejahterakan keluarganya, yaitu mencari nafkah untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Namun banyak pula wanita bekerja hanya berdasarkan asumsi kesetaraan gender semata, dimana dianggap bahwa wanita juga berhak memperoleh pengakuan atas potensinya atau yang sering disebut sebagai karir. Wanita juga merasa perlu mengaktualisasikan dirinya kedalam lingkungan formal. Namun apa sebenarnya yang mendasari konsep orientasi wanita inilah yang ingin diteliti, dimana perbedaan ini diangkat dari orientasi wanita yang tradisional dengan wanita modern terhadap orientasi mereka dalam mendapatkan pengahasilan. Orientasi tradisional dan modern itu sendiri dibentuk oleh beberapa faktor dasar yang melingkupinya yaitu demografi, latar belakang pendidikan wanita itu sendiri, faktor lingkungan keluarga, dan faktor parental dalam hal ini adalah tingkat pendidikan suami dan orang tua, dimana faktor-faktor ini dapat membentuk orientasi wanita pada
4
orientasi tradisional dan modern. Dan juga apakah orientasi tradisional dan modern tersebut dimoderasi oleh komitmen kerja dalam orientasi mereka terhadap penghasilan.
5
BAB II PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara faktor demografi dilihat dari orientasi wanita tradisional atau modern terhadap orientasi penghasilan? b. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara faktor latar belakang pendidikan dilihat dari orientasi wanita tradisional atau modern terhadap orientasi penghasilan? c. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara faktor lingkungan keluarga dilihat dari orientasi wanita tradisional atau modern terhadap orientasi penghasilan? d. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara faktor karateristik parental dilihat dari orientasi wanita tradisional atau modern terhadap orientasi penghasilan? e. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara faktor komitmen kerja terhadap orientasi penghasilan?
6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Pengertian Gender dan Penggunaannya Gender yang dalam bahasa aslinya (bahasa Inggris) ditulis gender, tidak mempunyaipadanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Dahulu istilah gender hanya dikenal dan digunakan dalam kaitannya dengan studi bahasa. Di dalam kamus, pengertian antara kata sex dan gender tidak dibedakan secara jelas. Ketika gender dibicarakan sebagai konsep, maka muncul berbagai kerancuan, karena selama ini belum ada uraian yang mampu menjelaskan secara singkat dan jelas mengenai konsep gender dan mengapa konsep tersebut penting dalam memahami ketidakadilan sosial. Padahal pengertian gender harus dipahami karena konsep ini diperlukan untuk dapat membahas permasalahan perempuan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat satu ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain dikenal dengan konsep gender. Dengan kata lain, gender adalah suatu konsep yang mengacu pada tatanan dan hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga, masyarakat dan pembangunan yang ditetapkan bukan berdasarkan biologis tetapi konteks sosial, ekonomi dan politik (berdasarkan konstruksi sosial). Konsep gender sebagai suatu konstruksi sosial telah mengalokasikan peranan, hak, kewajiban serta tanggung jawab perempuan dan laki-laki dalam fungsi produksi maupun reproduksi. (Fakih, M. 1996) Dalam penelitian ini istilah “gender” akan dipakai untuk memberikan batasan yang jelas dan terpisahkan dari “sex”. Menurut Lips (dalam Stevenson, 1994) “sex” merupakan istilah bagi kondisi biologis seseorang, yaitu jantan dan betina, atau male dan female. Money (dalam Stevenson, 1994) menyebutkan bahwa fenomena biologis ini terkait erat dengan susunan kromosom, gen dan pengaruh hormon dalam tubuh manusia tersebut. Sedangkan menurut Deaux (dalam Stevenson, 1994) istilah “gender” mengacu pada kondisi psikologis atau kategori sosial yang diasosiasikan
7
dengan keadaan biologis seseorang. Hal senada juga disampaikan oleh Lips (dalam Stevenson, 1994) yang menyatakan bahwa gender adalah aspek non-fisiologis dari sex, harapan budaya terhadap femininitas dan maskulinitas.
3.2. Orientasi Peran Gender Orientasi peran gender oleh Tang & Tang (2001) didefinisikan sebagai kepemilikan seseorang atas sifat-sifat kepribadian stereotip maskulin dan feminin yang diharapkan masyarakat. Sementara menurut Raguz (1991) orientasi peran gender adalah persepsi seseorang tentang maskulinitas dan femininitas dalam dirinya. Menurut Constantinople (dalam Spence & Buckner, 1995), femininitas dan maskulinitas berada pada dua kutub yang berlawanan. Pemikiran ini kemudian melahirkan sejumlah pertanyaan akan validitas konsep, karena dirasakan banyak sifat yang berada dalam domain feminin dan domain maskulin tidak berhubungan satu dengan yang lainnya (sifat feminin bukan merupakan lawan dari sifat maskulin, dan sebaliknya). Spence & Buckner (1995) menegaskan bahwa sifat-sifat yang telah disebutkan tadi tidak berkorelasi sama sekali, sehingga sifat-sifat dalam domain feminin dan domain maskulin pun tidak perlu memiliki korelasi yang kuat satu dengan yang lainnya. Atas dasar kritikan tersebut, kemudian lahirlah dua alat ukur, yaitu Bem Sex Role Inventory (BSRI) dan Personal Attributes Questionnaire (PAQ) (Irving, Coleman & Cooper, 1997). Pada kedua alat ukur ini terdapat dua kelompok sifat-sifat yang diasumsikan ada pada manusia. Satu kelompok berisi karakteristik instrumental, yang kerap diasosiasikan dengan karakteristik laki-laki, dan disebut skala maskulinitas (M). Kelompok lainnya berisi karakteristik ekspresif, yang kerap diasosiasikan dengan karakteristik perempuan, dan disebut skala femininitas (F). Spence & Helmreich (dalam Robinson, 1991) menyatakan bahwa karakteristik instrumentality
sering
dikaitkan
dengan
maskulin,
sedangkan
karakteristik
expresiveness sering dikaitkan dengan feminin. Lebih lanjut lagi dijelaskan karakteristik maskulin antara lain mandiri, mudah membuat keputusan dan tidak
8
mudah menyerah, sedangkan karakteristik feminin antara lain adalah emosional, suka menolong orang lain serta memahami perasan orang lain.
3.3. Sosial Ekonomi. a. Pendidikan Tingkat pendidikan berkaitan erat dengan penguasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tingkat pendidikan yang tinggi memungkinkan penduduk mengolah sumber daya alam dengan baik. Disiamping itu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi memudahkan penduduk memenuhi berbagai kebutuhan hidup sehingga taraf hidupnya meningkat. Sedang tingkat pendidikan yang rendah dapat menyebabkan lambannya taraf hidup, dengan demikian kemajuan menjadi terhambat (Torop, 1993). Pendidikan merupakan kegiatan (usaha) yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan terencana dengan maksud mengubah tingkah laku yang diinginkan. Dalam undang-undang no 2/1989 tentang sistim pendidikan nasional pasal 4 berbunyi : Pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti lhur memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Pendidikan merupakan faktor penting dalam pengembangan sumber daya manusia, sebab pendidikan tidak saja menambah pengetahuan tetapi juga meningkatkan keterampilan kerja (Simanjuntak 1985). Pendidikan
adalah
1)
proses
dimana
seseorang
mengembangkan
kemampuannya, sikap dan bentuk tingkah laku lainnya didalam masyarakat dimana dia berada, 2) proses sosial dimana dia dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang dating dari wekolah), sehingga dapat diperoleh atau menalami perkembangan kemampuan individu yang optimum (Harbinson, 1964).
9
Berdasarkan Pokok pikiran diatas bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam pengembangan sumber daya manusia Fertilitas yang tinggi akan berpengaruh terhadap pengembangan pendidikan. Terutama sekali bagi keluarga atau penduduk yang mempunyai fertilitas tinggi atau mempunyai anak banyak yang berpenghasilan rendah. Maka pendidikan dalam keluarga tersebut sangat berat sekali untuk membiayainya dan sekaligus akan mempunyai dampak terhadap kehidupan ekonomi keluarga. b. Pendapatan Menurut kamus Bahasa Indonesia pendapatan itu adalah hasil usaha. Sedangkan Valeri yang dikutip oleh Singarimbun (1976) bahwa pendapatan adalah gambaran yang paling tepat tentang posisi ekonomi keluarga, yang merupakan jumlah seluruh pendapatan dan kejayaan keluarga (termasuk semua barang dan hewan peliharaan). Pendapatan adalah segala penghasilan yang sifatnya reguler, diterima biasanya sebagai balas jasa dari majikan, pendapatan bersih dari usaha sendiri dan pekerjaan bebas, penjualan barang, hasil investasi seperti bunga modal, jaminan serta keuntungan usaha. Pendapatan berupa barang adalah segala penghasilan yang sifatnya reguler akan tetapi tidak selalu berbentuk balas jasa dan diterima dalam bentuk barang dan jasa. Barang-barang dan jasa yang diperoleh dinilai dengan harga pasar sekalipun tidak disertai dengan transaksi uang oleh yang menikmati barang dan jasa tersebut (Sumardi, 1992).
3.3. Karateristik Demografi, Sosial dan Ekonomi terhadap Partisipasi Angkatan Kerja Wanita Menurut Bukit dan Bakir (1983), tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) dipengaruhi oleh berbagai faktor demografi, sosial dan ekonomis. Faktor-faktor ini antara lain umur, status perkawinan, tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal (daerah kota/pedesaaan), pendapatan dan agama. Pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap tingkat partisipasi laki-laki dalam angkatan kerja tidaklah begitu besar,
10
sebab pada umumnya laki-laki merupakan pencari nafkah utama dalam keluarga. Lain dengan wanita, karena fungsi pokok dari wanitaadalah sebagai istri dan ibu rumah tangga, melahirkan dan membesarkan anak. Karena itu partisipasi wanita dalam angkatan kerja sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya. Akibatnya TPAK wanita baik secara keseluruhan maupun berdasarkan kelompok umur sangat berbeda dari masa ke masa, dan antara negara/daerah yang satu dengan negara/daerah yang lain. Menurut Alatas & Trisilo (1990), peningkatan partisipasi wanita dalam kegiatan ekonomi karena : pertama, adanya perubahan pandangan dan sikap masyarakat tentang sama pentingnya pendidikan bagi kaum wanita dan pria, serta makin disadarinya perlunya kaum wanita ikut berpartisipasi dalam pembangunan, kedua, adanya kemauan wanita untuk bermandiri dalam bidang ekonomi yaitu berusaha membiayai kebutuhan hidupnya dan mungkin juga kebutuhan hidup dari orang-orang yang menjadi tanggungannya dengan penghasilan sendiri. Kemungkinan lain yang menyebabkan peningkatan partisipasi wanita dalam angkatan kerja adalah makin luasnya kesempatan kerja yang bisa menyerap pekerja wanita, misalnya munculnya kerajinan tangan dan industri ringan. Keterkaitan antara faktor-faktor rumah tangga dengan kesempatan kerja wanita antara lain ditunjukkan oleh adanya perbedaan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) wanita menurut umur dan perbedaan curahan waktu wanita menurut status kawin. Di Beberapa negara aktivitas wanita mencapai puncaknya pada umur 15-19 tahun, beberapa negara lainnya pada umur 20-24 tahun, ada pula yang mencapai puncaknya pada umur 50-54 tahun, dan beberapa negara memiliki dua puncak, yakni puncak yang pertama terjadi pada saat sebelum masa melahirkan dan puncak kedua terjadi pada saat sesudah masa melahirkan (Standing, 1978). Selain itu dari penelitian Hartmann (1981) dan Horgan ( 1978) yang dikutip oleh Andersen (1983) ditemukan bahwa curahan waktu untuk kegiatan-kegiatan rumah tangga dari wanita yang berstatus belum kawin (single ) lebih sedikit dari pada wanita yang berstatus kawin. Berkaitan dengan perbedaan posisi ekonomi setiap individu dalam suatu keluarga atau rumah tangga, Joseph Pleck
11
dalam stichter (1990) berpendapat senada : bahwa didalam interaksi keluargapekerjaan, perilaku individu dan kondisi psikologisnya dibentuk oleh peran-peran dan sekumpulan norma-norma yang merupakan lembaga-lembaga sosial. Seperangkat peran yang utama bagi individu yang menyangkut peran-peran pekerjaan dan peranperan keluarga ini disebut sebagai sistem peranan pekerjaan keluarga (work-family role system). Di negara-negara berpenghasilan rendah, salah satunya di Yugoslavia, ternyata berdasarkan hasil analisis data sensus tahun 1971 menunjukkan bahwa kehadiran seorang anak adalah faktor yang mengurangi kemungkinan wanita untuk aktif dalam kegiatan ekonomi. Dalam hal ini tampak bahwa jumlah anak dan tingkat partisipasi wanita menurut kelompok umur mempunyai hubungan negatif. Di Papua New Guinea berdasarkan hasil analisis data sensus tahun 1970 menunjukkan bahwa jumlah anak mempunyai hubungan negatif dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) wanita sedangkan umur dan anak mempunyai hubungan positif, namun tampak bahwa hubungannya lemah. Hal ini disebabkan karena wanita yang bekerja di sektor informal dan yang mempunyai kegiatan-kegiatan subsistem di daerah pedesaan dapat mengkombinasikan kegiatan-kegiatan ekonomi mereka dengan kegiatan perawatan anak (Standing 1978). Gambaran mengenai pembagian kerja rumah tangga berdasarkan jenis kelamin tersebut merupakan sebagian kecil bukti yang mencerminkan ketidak seimbangan peran produktif dan peran reproduktif antara wanita dan pria. Gambaran seperti ini banyak terdapat di berbagai masyarakat, dan keadaan seperti ini tampak kurang menguntungkan wanita dalam meraih kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan produktifnya. Hasil studi Internasional Labour Organisation (ILO) menunjukkan bahwa di beberapa negara (Syprus, El Savador, Greek, Irlandia Jepang, Korea Selatan dan Tanzania) pada tahun 1975 dan tahun 1982, upah pekerja wanita (per hari, per minggu, per bulan) di sektor manufaktur lebih rendah dari pada upah pekerja pria (Sticher, 1990).
12
3.4. Komitmen Kerja Menurut Spector (2000), secara umum, komitmen kerja melibatkan keterikatan individu terhadap pekerjaannya. Komitmen kerja merupakan sebuah variabel yang mencerminkan derajat hubungan yang dianggap dimiliki oleh individu terhadap pekerjaan tertentu dalam organisasi. Greenberg & Baron (1993) mengemukakan bahwa komitmen kerja merefleksikan tingkat identifikasi dan keterlibatan individu dalam pekerjaannya dan ketidaksediaannya untuk meninggalkan pekerjaan tersebut. Secara garis besar, Meyer, Allen & Smith (1993) menganggap komitmen sebagai sebuah keadaan psikologis yang mengkarakteristikkan hubungan karyawan dengan organisasi, dan memiliki implikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan keanggotaan dalam organisasi. Mowday, Steers dan Porter (dalam Spector, 2000) mengemukakan bahwa komitmen organisasi terdiri dari tiga komponen, yaitu penerimaan dan keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan-tujuan or-ganisasi, kesediaan individu untuk berusaha dengan sungguh-sungguh demi kepentingan organisasi serta keinginan yang kuat untuk mempertahankan keang-gotaannya di dalam organisasi tersebut. Menurut Meyer, Allen & Smith (dalam Spector, 1993), komitmen organisasi terdiri dari 3 komponen yaitu sebagai berikut : a. Komitmen kerja afektif (affective occupational commitment), yaitu komitmen sebagai
keterikatan
afektif/psikologis
karyawan
terhadap
pekerjaannya.
Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka menginginkannya. b. Komitmen kerja kontinuans (continuance occupational commitment), mengarah pada perhitungan untung-rugi dalam diri karyawan sehubungan dengan keinginannya untuk tetap mempertahankan atau meninggalkan pekerjaannya. Artinya, komitmen kerja di sini dianggap sebagai persepsi harga yang harus dibayar jika karyawan meninggalkan pekerjaannya. Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka membutuhkannya.
13
c. Komitmen kerja normatif (normative occupational commitment), yaitu komitmen sebagai kewajiban untuk bertahan dalam pekerjaan. Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka merasa wajib untuk melakukannya serta didasari pada adanya keyakinan tentang apa yang benar dan berkaitan dengan masalah moral.
Schultz & Schultz (1990) mengemukakan bahwa faktor personal dan faktor organisasi dapat meningkatkan komitmen terhadap pekerjaan. Greenberg & Baron (1993) menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan terhadap pekerjaan adalah karakteristik pekerjaan, kesempatan akan adanya pekerjaan lain, karakteristik individu serta perlakuan organisasi terhadap karyawan baru.
3.5. Hipotesis Hartmann (1981) dan Horgan (1978) yang dikutip oleh Andersen (1983) ditemukan bahwa curahan waktu untuk kegiatan-kegiatan rumah tangga dari wanita yang berstatus belum kawin (single ) lebih sedikit dari pada wanita yang berstatus kawin. H1
: Ada pengaruh yang signifikan antara faktor demografi dilihat dari
orientasi wanita tradisional atau modern terhadap orientasi penghasilan
Menurut Alatas & Trisilo (1990), peningkatan partisipasi wanita dalam kegiatan ekonomi karena : pertama, adanya perubahan pandangan dan sikap masyarakat tentang sama pentingnya pendidikan bagi kaum wanita dan pria, serta makin disadarinya perlunya kaum wanita ikut berpartisipasi dalam pembangunan, kedua, adanya kemauan wanita untuk bermandiri dalam bidang ekonomi yaitu berusaha membiayai kebutuhan hidupnya dan mungkin juga kebutuhan hidup dari orang-orang yang menjadi tanggungannya dengan penghasilan sendiri. H2
: Ada pengaruh yang signifikan antara faktor latar belakang pendidikan
dilihat dari orientasi wanita tradisional atau modern terhadap orientasi penghasilan
14
Joseph Pleck dalam stichter (1990) berpendapat senada : bahwa didalam interaksi keluarga-pekerjaan, perilaku individu dan kondisi psikologisnya dibentuk oleh peran-peran dan sekumpulan norma-norma yang merupakan lembaga-lembaga sosial. Seperangkat peran yang utama bagi individu yang menyangkut peran-peran pekerjaan dan peran-peran keluarga ini disebut sebagai sistem peranan pekerjaan keluarga (work-family role system) H3
: Ada pengaruh yang signifikan antara faktor lingkungan keluarga dilihat
dari orientasi wanita tradisional atau modern terhadap orientasi penghasilan
Koentjaraningrat (1967) mengemukakan bahwa dikalangan masyarakat Jawa, seorang suami adalah kepala keluarga, namun tidak berarti bahwa istri memiliki status lebih rendah karena ia bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarga. Akan tetapi seorang anak laki-laki umumnya memiliki peran yang lebih kuat dan jelas sebagaimana yang ditunjukkan dalam pengalihan tanggung jawab dari ayah kepada anak laki-laki seperti yang diteliti oleh Sievers (1974). Penelitian terdahulu menemukan kenyataan bahwa budaya, tipe agriekosistem, dan status sosial ekonomi rumah tangga berpengaruh terhadap kontribusi perempuan pada kegiatan produksi pertanian (Hastuti, et.al., 1998). H4
: Ada pengaruh yang signifikan antara faktor karateristik parental dilihat
dari orientasi wanita tradisional atau modern terhadap orientasi penghasilan
Devi & Anita (2007) Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan dalam hal komitmen kerja antara karyawan yang memiliki kecenderungan orientasi peran gender feminin dan maskulin pada karyawan yang bekerja di bidang kerja nontradisional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karyawan dengan kecenderungan orientasi peran gender maskulin memiliki tingkat komitmen yang lebih tinggi terhadap pekerjaannya (dalam hal ini jenis pekerjaan nontradisional) jika dibandingkan dengan karyawan yang memiliki kecenderungan orientasi peran gender feminin, yang berada pada taraf sedang.
15
H5
: Ada pengaruh yang signifikan antara faktor komitmen kerja terhadap
orientasi penghasilan
3.6. Kerangka Pikir
Faktor Orientasi Gender:
H5 : Komitmen Kerja
H1 : Demografi H2 : Latar Belakang Pendidikan
Orientasi Tradisional/Modern
Orientasi terhadap Penghasilan
H3 : Lingkungan Keluarga H4 : Karateristik Parental
16
BAB IV TUJUAN PENELITIAN
Terkait dengan permasalahan yang telah dikemukakan tersebut, maka yang menjadi tujuan dari penelitian adalah : a. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara faktor demografi dilihat dari orientasi wanita tradisional atau modern terhadap orientasi penghasilan. b. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara faktor latar belakang pendidikan dilihat dari orientasi wanita tradisional atau modern terhadap orientasi penghasilan. c. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara faktor lingkungan keluarga dilihat dari orientasi wanita tradisional atau modern terhadap orientasi penghasilan. d. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara faktor karateristik parental dilihat dari orientasi wanita tradisional atau modern terhadap orientasi penghasilan. e. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara faktor komitmen kerja terhadap orientasi penghasilan.
17
BAB V METODE PENELITIAN
5.1 Desain Penelitian Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda survei, yaitu metoda pengumpulan data primer melalui komunikasi tertulis dengan responden sebagai sampel individual yang representatif. Survei dilakukan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan secara cepat, tidak mahal, efisien dan akurat (Sekaran, 1992).
5.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten semarang dengan obyek adalah wanita yang bekerja di skala manajerial dan di skala pekerja. Dimana kabupaten semarang dipilih sebagai lokasi penelitian karena letaknya diantara daerah perkotaan, pinggiran dan pedesaan dimana masyarakatnya dalam hal ini wanita memiliki tingkat plurarisme yang tinggi. Dan kabupaten Semarang merupakan suatu daerah yang sebagian besar penduduknya di Industri, karena kabupaten Semarang merupakan salah satu daerah industri terbesar di jawa tengah.
5.3. Metode Pengumpulan Data Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey (Singarimbun Masri dan Sofyan Efendi (1985). Teknik pengambilan sampel dilakukan secara sampel purposive sampling bagi wanita yang bekerja pada manajerial level dan wanita yang bekerja di non manajerial level . Metode pengambilan data dilakukan sebagai berikut: Pengambilan data primer dilakukan melalui wawancara dengan responden sebagai sumber data yaitu yang berumur > 17 tahun secara indepth interview dengan berpedoman pada daftar pertanyaan (interview guide) dan juga dilakukan observasi serta focus discussion group (FGD).
18
Pengambilan data sekunder dalam upaya untuk melengkapi atau menunjang data primer, dilakukan melelui studi dokumentasi di Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Semarang, Kantor BPS Kabupaten Semarang. Dalam rangka untuk memperoleh gambar yang komperhensif dari peran wanita dalam proporsi tenaga kerja.
5.4. Teknik Analisis Data Setelah semua data yang diperlukan dalam kegiatan ini terkumpul, baik yang bersifat data primer maupun data sekunder, baik yang bersifat data kualitatif maupun kuantitatif, serta semua data yang mempunyai kaitan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan ini, akan dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif kuantitatif.
Data
yang
telah
terkumpul
dianalisis
secara
deskriptif
guna
menggambarkan orientasi tradisional ataupun modern terhadap orientasi penghasilan.
19
BAB 6 JADWAL PENELITIAN
Lama waktu penelitian direncanakan akan dilaksanakan selama : 5 (lima) bulan, dengan rincian jadwal kegiatan sebagai berikut : N o
Nama Kegiatan
Bulan ke 1
2
3
4
5
1 Persiapan 2 Pelaksanaan - Identifikasi Lapangan - Pencarian informasi dan data awal Responden - Penyebaran Quesioner dan FGD - Tabulasi Data Penelitian - Analisis Data Penelitian 3 Penyusunan Laporan Penelitian
20
BAB VII PERSONALIA PENELITIAN
1. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap
: Nila Tristiarini, SE.,MSi.
b. Jenis Kelamin
:P
c. NPP
:
d. Disiplin ilmu
: Ekonomi
e. Pangkat/Golongan
: III B
f. Jabatan fungsional/struktural
: Asisten Ahli / Ka Progdi Kewirausahaan DIII
g. Fakultas/Jurusan
: Ekonomi / Manajemen
h. Waktu penelitian
: 8 jam/minggu
2. Anggota Peneliti a. Nama Lengkap
: Ririh Dian Pratiwi,SE.
b. Jenis Kelamin
:P
c. NPP
:
d. Disiplin ilmu
: Ekonomi
e. Pangkat/Golongan
: III A
f. Jabatan fungsional/struktural
: Asisten Ahli / KaLab. Akuntansi dan Pajak
g. Fakultas/Jurusan
: Ekonomi / Akuntansi
h. Waktu penelitian
: 8 jam/minggu
3. Tenaga Laboran/Teknisi
: Joko Priyono, S.Kom.
4. Pekerja Lapangan/Pencacah
: Aries Murdiyanto Rizky Ardianto Nugroho
5. Tenaga Administrasi (1 orang)
: Rita Wulandari, Amd.
21