MANAGEMENT POLICY ANALYSIS OF SIBERUT BIOSPHERE RESERVE MENTAWAI ARCHEPELAGO DISTRIC WEST SUMATERA PROVINCE ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN CAGAR BIOSFER SIBERUT KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI PROVINSI SUMATERA BARAT Oleh : Sahadi Didi Ismanto , Ardinis Arbain2) dan Helmi2) 1)
ABSTRACT This research executed in Siberut island which has been specified Unesco as Biosphere Reserve. Purpose of research is know policy which has been specified in Siberut, knows implementation of management, knows perception and participation of public and knows interaction of the parties involving in management Biosphere Reserve. Method applied is Inventory and contents analysis of policy, Indepth Interview with cross check, Open interview with descriptive qualitative and Inventory and Stakeholder analysis. Republic of Indonesia Government doesn't support expansion of Siberut Biosphere Reserve for all island. There is understanding difference and exploiting of Biosphere Reserve according to the Government with MAB-UNESCO so do with perception there are difference between publics Siberut with the Government. Local public assumes that forest Siberut is custom forest which its the domination stays at custom public according to custom Arat Sabulungan, where its the exploiting and management is done based on custom, but the Government considers to be state forest. Implementation of Siberut Biosphere Reserve Pledge based on Indicator Implementation released by Unesco, 1996 till now still uncommitting for overall of area Biosphere Reserve, except to of Core area (Siberut National Park). Implementation at core area based on Indicator Implementation ( Unesco, 1996) mostly has been executed, except for Indikator 5,6,8,9 and 16. Role and influence MAB and TNS in Siberut still be low for the reason need to be improved. Keyword : Cagar Biosfer Siberut, Siberut Biosphere Reserve
Pendahuluan Pulau Siberut adalah pulau terbesar yang luasnya 403.500 hektar pada gugusan kepulauan Mentawai. Pulau ini terpisah dari daratan Sumatera sejak jutaan tahun yang lalu, sehingga jenis tumbuhan dan binatang ada yang bersifat endemik Mentawai yaitu Bilou (Hylobates klosii), Bokkoi (Macaca pagensis), Joja (Presbytis potenziani) dan Simakobu (Simias concolor). Selanjutnya spesies primata telah dimasukan dalam primata yang terancam punah di Indonesia. Ket : 1) Alumni Program Studi Ilmu Lingkungan Pasca Sarjana Universitas Andalas 2) Dr.Ardinis Arbain dan Prof.Dr.Ir.Helmi,MSc sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing
1
Unesco pada tahun 1981 telah mendeklarasikan pulau Siberut sebagai Cagar Biosphere, dengan zona inti adalah Taman Nasional Siberut yang telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1993, dengan SK No. 407/Kpts-II/1993 seluas 190.500 hektar, terletak di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera Barat. Taman Nasional Siberut merupakan gabungan dari kawasan suaka alam (132.900 Ha), hutan lindung (3.500 ha), hutan produksi terbatas (36.600 Ha) dan hutan produksi tetap (36.600 Ha). Kenyataannya sejak dideklarasikannya Cagar Biosphere Siberut pada tahun 1981, kemudian dibentuknya Taman Nasional Siberut pada tahun 1993 dan pada tahun yang sama semua HPH yang ada di Siberut tidak diperpanjang lagi. Tetapi pada tahuntahun berikutnya banyak kebijakan yang tidak mendukung keberadaan Cagar Biosfer Siberut. Berdasarkan permasalahan yang ada, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: (1). Mengetahui kebijakan yang telah ditetapkan di Siberut dan hubungan kebijakan tersebut terhadap pengelolaan Cagar Biosfer serta peraturan perundangan yang terkait; (2). Mengetahui implementasi kebijakan yang sudah dilakukan pada Cagar Biosfer Siberut berdasarkan indikator implementasi Unesco, 1996; (3). Mengetahui persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Cagar Biosfer; dan (4). Mengetahui interaksi para pihak yang terlibat dalam pengelolaan Cagar Biosfer. Metodologi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2010 di Pulau Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai. Metodologi penelitian yang digunakan adalah seperti Tabel 1berikut. Tabel 1. Rekapitulasi Metodologi Penelitian yang Digunakan Meliputi Sampel dan Analisis Data yang Digunakan. Tujuan
Jenis Data
Variabel/ Indikator
Mengetahui kebijakan yang telah ditetapkan di Siberut dan hubungan kebijakan tersebut terhadap peraturan perundangan yang terkait.
Sekunder
Butir-butir kebijakan
Mengetahui implementtasi pengelolaan Cagar Biosfer Siberut berdasarkan indikator implementasi Unesco, 1996.
Primer
Indikator Implementasi pada tingkat cagar (Unesco, 1996)
Metode Pengumpulan
Pengambilan
Sumber Data
Metode Analisis
Inventarisasi kebijakan
Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten
Analisis Isi Kebijakan (Analysis Content)
Indepth Interview, koleksi data dari TNS, dan MAB
TNS,MABUnesco
Cross Check
2
Lanjutan Tabel 1. Tujuan Mengetahui persepsi dan partisipasi serta keberhasilan pengelolaan Cagar Biosfer terhadap sosial ekonomi masyarakat Mengetahui interaksi para pihak yang terlibat dalam pengelolaan Cagar Biosfer
Jenis Data
Variabel/ Indikator
Metode Pengumpulan
Sumber Data
Metode Analisis
Primer
Persepsi, partisipasi dan sosial ekonomi
Wawancara terbuka
Responden
Deskriptif Kualitatif
Primer
Peran dan interaksi masingmasing stake holder
Inventarisasi Stakeholder
Para Pihak yang terlibat
Analisis Stakeholder
Pengumpulan Data Sekunder yang meliputi dokumen kebijakan dan data sosial ekonomi diperoleh dengan cara mengumpulkan data dan informasi dari sumber-sumber tertulis. Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat asli yang mempunyai hak ulayat atas hutan yang berada di pulau Siberut yang terkena dampak langsung dari Cagar Biosfer Siberut. Informan dipilih secara purposive (sengaja dipilih atas pertimbangan peneliti, yaitu atas pertimbangan tingkat pengaruh kebijakan). Hasil dan Pembahasan A. Kebijakan Pengelolaan Cagar Biosfer Siberut Sejak Unesco mendeklarasikan Cagar Biofer Siberut pada tahun 1981, Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan kebijakan di Pulau Siberut sebagai berikut : a. 1982 : Cagar Alam Teitei Batti diperluas menjadi 132.900 ha (33 % luas Pulau Siberut). b. 1992 : Surat Presiden R.I menghentikan operasi HPH di Siberut bersamaan dengan dimulainya proyek Asian Development Bank (ADB)-Intregrated Protected Area System (IPAS). Tujuan proyek adalah meningkatkan pengelolaan Taman Nasional. Sementara itu, operasi HPH di lapangan baru efektif berhenti pada akhir tahun 1993. c. 1993 : Terbentuknya Taman Nasional Siberut dengan Surat Keputusan Mentri Kehutanan No. 407/Kpts-II/1993 tanggal 10 Agustus 1993 seluas 190.500 hektar, yang terdiri dari kawasan suaka alam (132.900 Ha), hutan lindung (3.500 ha), hutan produksi terbatas (17.500 Ha) dan hutan produksi tetap (36.600 Ha), yang terletak di Pulau Siberut Kabupaten Daerah Tingkat II Padang Pariaman, Propinsi Sumatera Barat. d. 1994 : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menganalisis ekologi Pulau Siberut dan menyimpulkan bahwa lebih dari 80 % kawasannya mengandung keanekaragaman hayati yang tinggi dan upaya pembangunannya harus sesuai dengan kondisi setempat. 3
e.
f.
g.
h.
i.
j.
1.
1999 : 1. Direktorat Jendral PHKA dan TN Siberut melaporkan ke Panitia Nasional MAB-LIPI bahwa Cagar Biosfer diperluas menjadi seluruh Pulau Siberut dan Zonasinya sesuai dengan yang didesain oleh proyek IPAS. 2. Keluar SK Mentri Kehutanan No.422/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Sumatera Barat, yang menjelaskan hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan produksi yang dapat dikonversi, hutan suaka alam dan wisata serta hutan lindung. 3. Keluarnnya UU No.9/1999 tentang pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai, memisahkan diri dari Kabupaten Padang Pariaman. 4. Beberapa perusahaan mulai memasukan 11 usulan konsesi HPH dan kebun sawit seluas 274.500 ha atau sekitar 68,1 % dari luas Pulau Siberut. Universitas Andalas mengajukan usulan untuk “Land Grant College” 2001 : Koperasi Andalas Madani memperoleh konsesi HPHA dengan SK No. 105/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 dengan luas 49.650 ha (11,3 % luas Pulau Siberut). IPK PT. Maharani Purucitra Lestari yang akan diperluas menjadi 17.500 ha (4,3 % luas Pulau Siberut), tetapi IPK PT.Maharani tidak dapat melaksanakan kegiatannya. PT. Salaki Suma Sejahtera Mendapatkan ijin persetujuan AMDAL seluas 49.440 ha (12,3 % luas Pulau Siberut). 2003 : Terbitnya ijin IPK KSU Kostam seluas 1,000 ha di Desa Taileleu Siberut Selatan, IPK PT. Alam Indah Lestari di Sirilogui, KUD Sikabaluan di Gurutna Desa Malancan. 2004 : 1. Terbitnya ijin Koperasi Mitra Sakato di Malancan Siberut Utara, KSU Puri Manuajat di Tiniti Siberut Utara dan KSU Bangun Jaya Siberut di Desa Pasakiat Taileleu Siberut Barat Daya. 2. Terbitnya ijin konsesi HPHA PT.Salaki Suma Sejahtera dengan SK No.413/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas 48.420 ha, tetapi mendapat penolakan dari LSM sehingga penyerahannya ditangguhkan. Penyerahan SK baru dilaksanakan pada tahun 2007 setelah dilakukan kajian oleh Tim Terpadu Dalam Rangka Pengkajian Pengelolaan Hutan Produksi di Pulau Siberut yang dibentuk Mentri Kehutanan dengan SK No.422/MenhutII/2006. 2005 : Keluarnya Inpres No.04/2005 tanggal 18 Maret 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, memaksa Bupati Kepualauan Mentawai mencabut semua IPK yang ada di Mentawai dengan SK Bupati No.41 Tahun 2005 tanggal 9 April 2005. 2008 : Pada tahun 2008 KAM menyerahkan kembali HPHA kepada Mentri Kehutanan dan pada tahun 2009 diterbitkan SK Pencabutan HPHA KAM dengan SK No. 130/Menhut-II/2009 tanggal 27 Maret 2009 Pada tahun 2009 terbit ijin lokasi perkebunan oleh Bupati dan persetujuan UKL dan UPL IUPHHK-RE oleh Gubernur, yaitu : (1). Pemberian Ijin Lokasi Perkebunan Sawit dan Industri CPO PT.Siberut Golden Plantation dengan SK Bupati No.188.45-I tahun 2009 seluas ± 14.500 ha. (2). Pemberian Ijin Lokasi Perkebunan Sawit dan Industri CPO kepada PT.Mentawai Golden Plantation Pratama dengan SK Bupati No.188.45-3 tahun 2009. (3). Persetujuan Dokumen UKL dan UPL IUPHHK-RE PT.Golden Green oleh Gubernur Provinsi Sumatera 4
k.
Barat dengan SK No.660-514-2009 tanggal 31 September 2009 seluas 79.795 hektar yang terletak di kawasan hutan produksi pulau Siberut. 2010 : 1. Perubahan Ijin Lokasi Perkebunan Sawit PT.Siberut Golden Plantation dengan SK Bupati No.188.45-60 tahun 2010 seluas ± 20.000 ha pada Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas ± 18.167 ha dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas ± 1.673 ha yang lokasinya di Kecamatan Siberut Barat, Siberut Utara dan Siberut Tengah. 2. Perubahan Ijin Lokasi Perkebunan Sawit PT.Mentawai Golden Plantation Pratama dengan SK Bupati No.188.45-61 tanggal 22 Maret tahun 2010 seluas ± 19.500 ha yang berlokasi di Kecamatan Siberut Barat, Siberut Utara dan Siberut Tengah. Kedua Perkebunan tersebut telah mendapatkan Rekomendasi Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat No.522.1/1978/INTAG/2008 tanggal 09 Juli 2008
Pelaporan Direktorat Jendral PHKA dan TN Siberut ke Panitia Nasional MABLIPI pada tahun 1999 bahwa Cagar Biosfer diperluas menjadi seluruh Pulau Siberut dan Zonasinya sesuai dengan yang didesain oleh proyek IPAS, tidak sejalan dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat Nomor 522.13-330-1996 tentang Pengesahan Hasil Pemaduserasian antara TGHK dengan RTRWP Dati I Sumatera Barat yang berlandaskan pada UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, Perda Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat No.7/1994 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Tingkat I Sumatera Barat dan Perda Propinsi Dati I Sumatera Barat No.13/1994 tentang RTRWP Dati I Sumatera Barat yang kemudian dikuatkan dengan Surat Keputusan Mentri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 422/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera barat Seluas 2.600.286 ha. Alokasi lahan berdasarkan kebijakan yang telah dikeluarkan di Siberut sampai dengan tahun 2010 disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 . Persentase Alokasi Penggunaan Lahan di Pulau Siberut Sampai Tahun 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Jumlah
Penggunaan Lahan Taman Nasional Siberut PT. Salaki Summa Sejahtera PT.Global Green Jumlah IPK Jumlah Perkebunan Penggunaan Lain
Luas Ha 190.500 48.420 79.795 5.050 39.500 36.735 400.000
% 47,63 12,11 19,95 1,26 9,88 9,18 100
Pada Tabel 2 terlihat bahwa pemanfaatan lahan di pulau Siberut terbesar adalah TNS dengan memanfaatkan ruang sebesar 47,63 % diikuti oleh IUPHHK-RE PT.Global 5
Green (Ex areal IUPHHK KAM ditambah HP di sekitarnya) yang merupakan konsorsium LSM untuk Restorasi Ekosistem sebesar 19,95 %, IUPHHK PT Salaki Suma Sejahtera 12,11 %. Penggunaan lain adalah penggunaan lahan untuk sarana dan prasarana ibu kota kecamatan, Desa/Dusun, pemukiman penduduk dan pertanian serta rawa-rawa hanya 9,18%. Pemanfaatan ruang untuk TNS yang hampir mendekati 50 % dari total luas pulau ditambah topografi yang berbukit serta hampir semua mata air sungai yang ada di Siberut berada di areal TNS sehingga dari segi konservasi luasan ini sudah memadai untuk berfungsi sebagai sistem peyangga kehidupan dan sebagai areal konservasi. Sedangkan areal yang dialokasi untuk IUPHHK PT.SSS dan IUPHHK-RE PT. Global Green sebanyak 32,06 % berfungsi sebagai areal hutan produksi untuk tujuan ekonomi dan perlu peremajaan terhadap hutannya. IUPHHK-RE adalah konsesi hak pengusaahaan hutan restorasi ekosistem, bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem dan kondisi hutan alam di hutan produksi. Retorasi, merupakan pemulihan melalui suatu reintroduksi secara aktif dengan spesies yang semula ada, sehingga mencapai struktur dan komposisi spesies seperti semula. Tujuannya untuk mengembalikan struktur, fungsi, keanekragaman dan dinamika suatu ekosistem yang dituju (Society for Ecological Restoration 1999 dalam Primack, R.B. dkk, 1998). Jumlah IPK secara resmi hanya 5.050 ha tetapi di lapangan melebihi dari yang sebenarnya dan berada di luar lokasi yang ditentukan. B. Peraturan Perundangan UUNo.5 tahun 1990 tentang Konsevasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 1 angka 12, Cagar Biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan. Sedangkan menurut Man and Biosphere Unesco (1972) Cagar Biosfer merupakan kawasan konservasi baik ekosistem daratan atau pesisir yang diakui oleh program MAB UNESCO untuk mempromosikan keseimbangan antara kegiatan manusia dan alam. Termasuk manusia di dalamnya dengan pola perilaku, adat istiadat dan kebudayaannya merupakan satu kesatuan ekosistem yang perlu dilestarikan keaslian dan keberadaaanya untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan. Berdasar pengertian tersebut terdapat perbedaan persepsi yang cukup mendasar dengan pengertian Cagar Biosfer menurut UU No.5 tahun 1990. Kedudukan manusia di dalam Cagar Biosfer versi Unesco hanya merupakan bagian dari ekosistem yang perkembangannya tergantung kepada alam. Sedangkan menurut UU No.5 tahun 1990 kedudukan manusia sebagai Pembina ekosistem, dengan pengertian masyarakat yang berada di dalam di dalam Cagar Biosfer mempunyai hak hidup lebih baik sesuai harkatnya. Penjelasan Pasal 18 Ayat (1): Adanya Cagar Biosfer dimaksudkan sebagai tempat penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan, serta mengamati dan mengevaluasi perubahan-perubahan yang terjadi pada kawasan yang bersangkutan. Dengan ditentukannya suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai 6
Cagar Biosfer, maka kawasan yang bersangkutan menjadi bagian daripada jaringan konservasi internasional. Namun, kewenangan penentuan kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta mengamati dan mengevaluasi perubahan-perubahan di dalam Cagar Biosfer sepenuhnya berada di tangan Pemerintah. UU No.26/2007 jo PP No.26/2008 Pasal 103 ayat (1) pemanfaatan secara terbatas di dalam Cagar Biosfer tetapi Pemerintah tetap menerbitkan ijin untuk HPH dan IPK. C. Implementasi Kebijakan Sejak tahun 1999 setelah Direktorat Jendral PHKA dan TN Siberut melaporkan ke Panitia Nasional MAB-LIPI bahwa Cagar Biosfer diperluas menjadi seluruh Pulau Siberut dan Zonasinya sesuai dengan yang didesain oleh proyek IPAS. Total areanya menjadi 405.070 ha yang meliputi core area (46.533 ha), buffer zone (314.145 ha termasuk traditional use zone 99.555 ha dan intensive use zone 20 ha), dan transition area (44.392 ha: park village zone), tidak pernah diketahui oleh pihak-pihak yang terkait di Pulau Siberut, yaitu Pemerintah Kabupaten maupun Pemerintah provinsi serta para pihak yang ada di Siberut seperti pengusaha dan masyarakat setempat yang merasa keberatan atas perluasan dari Taman Nasional menjadi Cagar Biofer yang meliputi seluruh pulau. Akibat dari kebijakan sepihak ini menyebabkan masyarakat setempat tidak dapat menerima kebijakan tersebut dengan alasan mengganggu kegiatan perekonomian masyarakat dan perubahan status lahan atau fungsi lahan tanpa persetujuan mereka, bahkan ada sebagian kelompok masyarakat yang menanyakan kapan kami memberikan tanah ini ke Mentri Kehutanan, sehingga implementasi kebijakan Cagar Biosfer seluruh pulau Siberut tidak dapat terlaksana, apalagi Pemerintah Kabupaten dan Provinsi sudah menetapkan kawasan hutan dalam Tata Guna Hutan Kesepakatan dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten tahun 2001 sampai 2010 serta Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi yang menetapkan kawasan hutan di luar kawasan Taman Nasional Siberut sebagai Kawasan Hutan Produksi (HP), Hutan Produsksi yang dapat dikonversi (HPK) dan Areal Penggunaan Lain (APL) yang dipertegas dengan SK Mentri Kehutanan Nomor 422/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Derah Tingkat I Sumatera Barat Seluas 2.600.286 ha. D. Implementasi Pengelolaan Cagar Biosfer Siberut Menurut Kepala Taman Nasional Siberut (2010) Implementasi Cagar Biosfer Siberut berdasarkan Indikator Implementasi yang dikeluarkan Unesco, 1996 sampai saat ini masih belum terlaksana untuk keseluruhan kawasan Cagar, kecuali pada Zona Inti (Taman Nasional Siberut). Implementasi pada zona inti berdasarkan Indikator Implementasi (Unesco, 1996) sebagian besar telah dilaksanakan, kecuali untuk Indikator 5 yaitu Rencana dipersiapkan untuk pembagian keuntungan yang adil, Indikator 6 yaitu Mekanisme dikembangkan untuk mengelola, mengkoordinasikan dan mengintegrasikan berbagai program dan kegiatan Cagar Biosfer, Indikator 8 yaitu 7
Lokasi-lokasi percontohan di wilayah regional dikembangkan, Indikator 9 yaitu Penelitian dan rencana pemantauan yang terkoordinasi diimplementasikan, dan Indikator 16 yaitu Cagar Biosfer dimanfaatkan sebagai kegiatan-kegiatan pelatihan lapangan. Menurut sumber MAB-LIPI (2009) langkah-langkah awal implementasi yang akan dikembangkan pada Cagar Biosfer siberut adalah : 1. Membentuk pengelola CB Pulau Siberut 2. Identifikasi semua “stakeholder” atau pemangku kepentingan 3. Membangun kesepahaman terhadap visi, misi, dan tujuan global pengelolaan Cagar Biosfer 4. Menyusun “management plan” pengelolaan kawasan Cagar Biosfer yang komprehensif dan terintegrasi untuk setiap zonasinya. 5. Pembentukan zonasi 6. Menyusun rencana aksi dan pilot project pengembangan zona penyangga dan area transisi sesuai dengan kondisi setempat 7. Sosialisasi, pendidikan dan pelatihan 8. Menjalin kerjasama dan networking (berbagai pihak termasuk private sektor). dan Trust Fund D. Kebijakan Pemerintah Pusat Setelah keluarnya SK No.422/Kpts-II/1999 ada 11 usulan untuk konsesi HPHA dan kebun Sawit seluas 274.500 ha atau 68,1 % dari luas pulau Siberut. Dari usulan tersebut 2 (dua) HPHA disetujui dan terealisasi pelaksanaannya dilapangan. Ada perbedaan pengelolaan antara IUPHHK (ijin dari Pemerintah Pusa) dengan IPK (ijin dari Pemerintah Kabupaten). Pada IUPHHK diwajibkan harus ada AMDAL sebelum dikeluarkan ijin dan harus ada pengelolaan lingkungan, selain ada kegiatan pokok TPTI sesuai tahapannya juga ada kelola sosial dan kegiatan penelitian yang diwajibkan untuk menunjang kegiatan pengelolaan hutan. Kegiatan IPK sebenarnya adalah kegiatan sekunder, dimana kegiatan utamanya adalah pembukaan lahan untuk perkebunan/ pertanian atau untuk kegiatan pemukiman, yang kayunya dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan. Berdasarkan evaluasi terhadap IPK yang telah dikeluarkan oleh Bupati ternyata tidak ada realisasi kebunnya hanya beberapa hektar saja yang dilakukan penanaman dengan coklat dan kelapa. Kedua HPHA tersebut disajikan pada Tabel 3 berikut:
8
Tabel 3. Pemberian Konsesi HPHA di Pulau Siberut dari Pemerintah Pusat (Kementrian Kehutanan R.I) No. Nama Legalitas Perusahaan 1.
Koperasi Andalas Madani
SK No.105/ Menhut-II / 2001tanggal 15 Maret 2001
2.
PT. Salaki Summa Sejahtera
No.SK.413/ Menhut-II/ 2004 tanggal 19 Oktober 2004
Total Luas
Tanggal Luas Lokasi Berakhirnya (ha) Ijin 15 Maret 49.650 Siberut 2020 SelatanSiberut Utara
19 Oktober 2049
48.420 Siberut BaratSibeut Utara
Keterangan
Tahun 2008 diserahkan kembali ke Menhut, dan sudah dicabut dengan SK No. 130/ MenhutII/2009 SK dise-rahkan tahun 2007 dan mulai operasi tahun 2007
98.070
Sumber : Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 105/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001dan Keputusan Mentri Kehutanan Nomor: 413/ Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004
Kebijakan pemberian konsesi HPHA oleh Pemerintah Pusat (Kementrian Kehutanan) dan pemberian ijin IPK oleh Pemerintah Kabupaten dalam hal kebijakan pengelolaan Cagar Biosfer menurut UU No.5/1990 pasal 1 angka 12, tidak bertentangan. Pemberian ijin didasarkan adanya SK Mentri Kehutanan No.422/MenhutII/2006 yang berpedoman pada Paduserasi RTRWP dengan TGHK Provinsi Sumatera Barat. Yang perlu diperhatikan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang RTRWN Pasal 103 ayat (1) pemanfaatan di dalam Cagar Biosfer tanpa mengubah bentang alam; dengan pembatasan pemanfaatan sumber daya alam; dan pengendalian kegiatan budi daya yang dapat merubah bentang alam dan ekosistem. E. Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai PP Nomor 25 tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, bahwa kewenangan pengelolaan hutan dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten yang pada pasal 2 ayat 3 angka 4 bahwa penyelenggaraan izin usaha pemanfaatan hasil hutan produksi. Sedangkan untuk kawasan non kehutanan menjadi hak dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sepenuhnya, oleh karenanya pemanfaatan areal hutan pada kawasan non kehutanan seperti Areal Penggunaan Lain (APL) untuk keperluan perkebunan dan lain-lain ijinnya diterbitkan oleh Bupati/Wali Kota. Seperti ijin IPK (ijin pemanfaatan kayu) pada areal penggunaan lain yang lahannya akan digunakan untuk perkebunan, transmigrasi, dan
9
lain-lain telah diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai pada Pulau Siberut disajikan pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Pemberian Ijin Pemanfaatan Kayu oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai di Pulau Siberut. No. 1. 2.
Nama Perusahaan PT.Maharani Puricitra Lestari KSU Kostam
3.
KUD Sikabaluan
4.
PT.Alam Indah Lestari
5.
KUD Mitra Sakato
6.
KSU Puri Manuajat
7.
KSU Bangun Jaya Siberut
Legalitas Perijinan Tidak ditemukan filenya 500/49/PEREK/ U-2003 tanggal 23 Mei 2003 53Tahun 2003 8 Agus-tus 2004 154 Tahun 2003 Tanggal 17 September 2003 91 Tahun 2004 Tanggal 15 Juli 2004 119 Tahun 2004 Tanggal 23 Agustus 2004 55 Tahun 2004 Tanggal 27 Mei 2004
Jumlah
Ijin Berakhir Tidak ada realisasi 23 Mei 2004
Luas (ha)
Produksi (m3) Nihil
1.000
47.459
8 Agustus 2004
1.000
87.751,06
17 September 2004
1.000
80.150
15 Juli 2005
800
78.152
23 Agustus 2005
700
43.144,50
27 Mei 2005
550
63.297,85
5.050
399.954,41
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar, 2010 dan Dinas Kehutanan Kabupaten Kep. Mentawai, 2010.
F. Persepsi Pemerintah Daerah Salah satu konflik yang timbul dari tata kelola konservasi adalah ketidaksamaan persepsi akan konservasi itu sendiri. Pendefinisian konservasi selama ini menunjukkan ketidakkonsistenan. Terjadi perbedaan penafsiran definisi yang terdapat pada berbagai peraturan, serta kurang jelasnya definisi tersebut. Pada sisi lain ada perbedaan cara pandang antara Negara (dalam hal ini: Pemerintah) dengan Masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar sumberdaya alam. Pemerintah memandang bahwa alam yang unik, khas dan utuh harus dilindungi sehingga penduduk sekitar merupakan ancaman. Alokasi, akses dan kontrol ditetapkan oleh negara dengan landasan ilmu pengetahuan modern. Sementara masyarakat memandang bahwa hutan adalah hasil konstruksi sosial antara masyarakat dan 10
ekosistem di sekitarnya, pengetahuan lokal masyarakat adalah landasan dalam mengalokasikan, mengakses dan mengontrol sumberdaya alam tersebut. Dari hasil diskusi dan wawancara secara mendalam terhadap pejabat penanggung jawab dibidang kehutanan baik propinsi dan kabupaten ada cara pandang yang sama terhadap kawasan hutan Siberut, yaitu prinsip dasar yang harus dipegang adalah yuridis formil (landasan hukum) yang berlaku. Sampai saat ini kebijakan yang berlaku di kawasan hutan Siberut adalah SK Mentri Kehutanan No. 407/Kpts-II/1993 tanggal 10 Agustus 1993 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan di Siberut Menjadi Taman Nasional Siberut seluas 190.500 hektar, dan S K Mentri Kehutanan No.422/ Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Sumatera Barat. Belum ada perubahan atas kedua Surat Keputusan Mentri Kehutanan tersebut dan belum ada kebijakan lain yang ditetapkan Pemerintah terhadap kawasan hutan pulau Siberut. G. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Wawancara secara terbuka dilakukan pada masayarakat di Siberut Utara dan Barat di Desa Sigapokna, Desa Malancan dan Simalegi terhadap 13 suku secara langsung pada ketua suku dan sebagian anggotanya. Suku-suku di pulau Siberut mempunyai hak ulayat terhadap hutan, dimana suku mempunyai hak mutlak terhadap hutan yang dimilikinya secara adat Arat sabulungan. Pengakuan tanah adat dan hak penduduk adat diakui oleh Negara dalam peraturan perundangan, yaitu UU RI No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang memuat tentang pengakuan penduduk adat dan hak penduduk adat, Peraturan Mentri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 tahun 1999 pasal 1 disebutkan bahwa : 1. Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh penduduk hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut utnuk kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara penduduk hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. 2. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu 3. Penduduk hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adat sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Semua suku yang diwawancara menyatakan ada tanah ulayatnya yang masuk Taman Nasional Siberut, sehingga pengetahuan tentang TNS diketahui oleh masyarakat dikarenakan ada hubungannya dengan tanah ulayat yang ada di TNS. Masyarakat mengatakan bahwa tanah yang masuk ke dalam TNS tidak dapat diolah atau diusahakan untuk keperluan perkebunan atau bercocok tanam (budidaya). Oleh karenanya masyarakat menyebutnya sebagai hutan lindung, sebagai tempat berlindungannya 11
monyet-monyet Mentawai. Monyet-monyet ini bagi masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang diperlukan dalam upacara adat dan digunakan untuk menambah gizi sehingga banyak diburu. Tetapi hampir semua masyarakat di Siberut Utara-Barat tidak mengetahui tentang Cagar Biosfer bahkan pada tingkat Pemerintahanpun demikian. Sebagian besar Masyarakat di luar areal TNS (zona penyangga dan transisi Cagar Biosfer) menolak untuk dijadikan areal konservasi dengan alasan ekonomi dan penghidupan mereka sangat tergantung dari hutan tersebut. Pengelolaan Taman Nasional saat ini tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan karena manusia dan alam bukan merupakan suatu kesatuan yang terpisah (Borrini-Feyerabend et.al. 2004), sehingga keberhasilan pengelolaan Taman Nasional sedikit banyak akan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat sekitarnya terhadap Taman Nasional. Hasil penelitian Harada (2003) dan Sugandhy (2006). Dalam penelitiannya di kawasan sekitar Taman Nasional Gunung Halimun di Jawa Barat, hasil penelitian Harada (2003) menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat (81%) mengetahui keberadaan Taman Nasional Gunung Halimun. Sebaliknya, Sugandhy (2006) menemukan bahwa sebagian besar (90%) masyarakat sekitar Taman Nasional Way Kambas di Lampung Timur tidak mengetahui mengenai keberadaan dan nilai-nilai fisik ekologis, sosial dan ekonomi dari Taman Nasional Way Kambas. Faktor pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang Taman Nasional secara nyata mempengaruhi sikap masyarakat terhadap TNS. Pengetahuan tentang perundangan yang mengatur pengelolaan Taman Nasional, seperti tidak diperbolehkannya menggarap lahan di kawasan Taman Nasional untuk pertanian dan batas kawasan, maupun persepsi bahwa Taman Nasional memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung secara dominan mempengaruhi sikap masyarakat terhadap konservasi dan TNS. Dengan demikian, rekayasa terhadap faktor-faktor yang dapat meningkatkan pengetahuan tentang ketentuan dalam pengelolaan Taman Nasional dan pembentukan persepsi manfaat Taman Nasional masih dapat dilakukan agar sikap masyarakat terhadap Taman Nasional menjadi lebih positif. Persepsi ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional (Rakhmat, 2005). David Krech dan Richard S. Cruthfield (1997:235) dalam Rakhmat (2005) menyebutnya faktor fungsional dan faktor struktural. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: 1) Faktor Fungsional: Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk dalam faktor-faktor personal. Persepsi tidak ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli tersebut. 2) Faktor Struktural: Faktor struktural berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Selain faktor kebutuhan di atas, Leavitt (1978) juga menyatakan bahwa cara individu melihat dunia adalah berasal dari kelompoknya serta keanggotaannya dalam 12
masyarakat. Artinya, terdapat pengaruh lingkungan terhadap cara individu melihat dunia yang dapat dikatakan sebagai tekanan-tekanan sosial. Berdasarkan beberapa teori di atas, dapat diketahui bahwa kebutuhan individu merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi persepi individu tersebut terhadap suatu obyek. Teori kebutuhan Maslow menyebutkan bahwa seseorang tidak akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan di atasnya apabila kebutuhan pada jenjang di bawahnya telah terpenuhi/terpuaskan (Mugniesyah, 2006). H. Peran Para Pihak di Siberut Dalam pengelolaan Cagar Biosfer Siberut ada beberapa pemangku kepentingan yang berperan dan berpengaruh terhadap kelangsungan pengelolaan hutan di Siberut. Jika dilihat dari tingkat peranannya di dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, dibagi menjadi Stakeholder utama dan sekunder. Pemangku kepentingan utama adalah yang mempunyai peran sangat menentukan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, yaitu Pemerintah Pusat (Kementrian Kehutanan RI), Pemerintah Daerah, Taman Nasional Siberut, MAB-LIPI, Pengusaha, Masyarakat, LSM dan Perguruan Tinggi. Pengusaha adalah kelompok pengusaha yang berusaha dibidang kehutanan (IUPHHK, IPK dan Perkebunan), masyarakat adalah masyarakat lokal yang mempunyai otoritas hak ulayat hutan serta LSM yang bergerak di bidang lingkungan. Masyarakat lokal mempunyai otoritas mutlak terhadap hutan dikarenakan struktur kepemilikan lahan di kepulauan Mentawai secara umum dapat dikategorikan sebagai berikut : 1. Polak Teteu yaitu tanah leluhur yang dimiliki secara komunal oleh salah satu Uma (kelompok suku) atau lebih, namun masih dalam satu garis kekerabatan (satu garis keturunan laki-laki). Tanah ini merupakan hasil dari temuan nenek moyang (Sinese teteu). 2. Sinaki Teteu yaitu tanah yang dibeli secara adat oleh nenek moyang dari satu suku yang lain. Tanah ini dibeli secara barter (menukarkan dengan barang) baik dengan ayam, babi, kebun sagu, parang (tegle), kampak, kuali dan sebagainya. 3. Alat Toga yaitu tanah yang didapatkan oleh nenek moyang dari mas kawin bagi anak perempuannya. 4. Pasailiat Mone yaitu tanah atau kebun yang didapatkan dengan menukar tanah kepada suku lain. 5. Tulou yaitu tanah yang didapatkan dari denda adat 6. Lulu yaitu tanah yang didapatkan dari ganti nyawa nenek moyang yang dibunuh oleh nenek moyang dari uma lain. 7. Tanah pribadi yaitu tanah yang dibeli oleh salah satu anggota uma, yang dijadikan milik pribadi dengan areal yang tidak begitu luas (antara 1 hingga 2 ha). 8. Sipasijago yaitu tanah salah satu uma yang digunakan oleh uma lain, untuk berladang, atau mendirikan rumah namun tanah tersebut tetap diakui sebagai milik uma yang bersangkutan, artinya pendatang hanya diberikan hak pakai. 13
Secara garis besar stake holder yang berperan di dalam Cagar Biosfer Siberut disajikan dalan Tabel 5 berikut, meliputi kepentingan, fungsi dan masalah utama. Tabel 5. Kelompok Stakeholder Cagar Biosfer Siberut Menurut Kepentingan, Fungsi, Peran dan Masalah Utama. Stakeholder
Subkelompok
Masyarakat
Masyarakat Lokal
Pemerintah
Kemenhut
Berusaha mendapatkan hak-hak sebagai pemilik ulayat secara adil dan menguntungkan Pemegang otoritas terhadap hutan di Siberut
Dinas Kehutanan Provinsi
Melaksanakan kebijakan Pemerintah Pusat sesuai UU dan melaksanakan kewenangan pengelolaan hutan di provinsi
Dinas Kehutanan Kabupaten
Melaksanakan kegiatan kewenangan sesuai otonomi yang diberikan
Pemda Kab.
Melaksankan kewenangan otonomi, pembangunan wilayah dan pemerintahan serta peningkatan pendapatan serta perekonomian Secara UU berperan untuk konservasi hutan
TNS
Pengusaha
Kepentingan utama
IUPHHK
Berusaha supaya bisnis kayu yang dijalankan lancar sehingga investasi yang ditanamkan dapat kembali dengan aman dan peningkatan pendapatan
Fungsi dan Peran Pemilik Ulayat dan menentukan penggunaan lahan hutan
Perlindungan, pengamanan dan pengawasan hutan dan pelayanan pada masyarakat Memberikan pertimbangan teknis ke Menhut, memberikan persetujuan RKT, melaksanakan kegiatan perencanaan dan monev kehutanan provinsi Memberikan pertimbangan ke Bupati dan Prov. ttg kebijakan kehutanan, perencanaan dan pengawasan kehutanan di Kabptn serta pelayanan masy. Pembangunan ekonomi dan wilayah serta Pemerintahan di Siberut, memberikan ijin usaha sesuai kewenangan otonomi dan memberikan pelayanan masy. Melindungi dan mengamankan kawasan TNS serta penelitian
Memberi kompensasi kayu dalam bentuk fee, Memberikan lapangan kerja,Memberikan bantuan pendidikan,kesehatan, Sarana prasarana, dll. Bantuan modal koperasi,Bintek dan ban-
Masalah utama Pendapatan masyarakat masih rendah dan bergan tung pada SDA, tingkat pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masih rendah belum fokus dan terpadu nya perencanaan, pelaksanaan pengembangan antar lembaga belum fokus dan terpadunya perencanaan, belum ada pelaksanaan dan pengembangan antar pemangku kepentingan di Siberut
Personil, sarana dan prasarana serta anggaran yang kurang, luas dan sulitnya pengawasan areal kerja
PAD yang masih minim, sarpras yang masih sangat minim, SDM juga minim
Personel dan sarana prasarana kurang, biaya operasional sangat minim, kurangnya dukungan masyarakat Belum jelasnya peraturan dan kepastian hukum tentang status kawasan hutan di Siberut, dan tingginya gangguan dari LSM sehubungan dengan fungsi kawasan sebagai Cagar Biosfer
14
Lanjutan Tabel 5. Stakeholder
Subkelompok
Perkebunan
Buyer
Kepentingan utama
Berusaha supaya bisnis kebun sawit yang dijalankan lancar sehingga investasi yang ditanamkan dapat kembali dengan aman Membeli kayu dari pengusaha hutan
Fungsi dan Peran tuan pertanian,Membeli hasil Kegiatan tanam sayur mayur dan Bantuan kebun coklat Membangun kebun sawit untuk plasma dan inti dan pengurusan skim kredit untuk plasma
Membeli kayu hasil tebangan hutan di Siberut dan juga tempat lain di Mentawai
Organisasi Nir Laba
LSM
Berusaha menjaga hutan tetap utuh, tidak ada penebangan
Advokasi,Ikut serta dalam perencanaan, Pengawasan kegiatan
Peneliti
MAB-LIPI
Berusaha menjadikan hutan Siberut sebagai areal konservasi
Otoritas Cagar Biosfer Siberut
Perguruan Tinggi
Melakukan penelitian secara ilmiah dan publikasi tentang perubahan ekologi dan satwa endemik Mentawai Secara UU berperan untuk menjaga keamanan Mengamankan pelayaran
Pengembangan iptek
Keamanan
Polri/TNI
Syahbandar
Masalah utama
Masih dalam tahap ijin lokasi
Loading kayu ke ka-pal di Siberut butuh waktu lebih lama karena ombak besar shg biaya lebih besar Belum mandiri dan cenderung bergantung pada lembaga donor, ada perbedaan kepentingan Peraturan dan perundangan masih belum mendukung dan perbedaan kepentingan dengan stake holder lainnya di Siberut, belum ada titik temu dengan Pemda tentang pengelolaan CB Siberut Belum ada program penelitian terpadu dan lembaga payung Penelitian, belum jelas pembagian minat berdasarkan keahlian
Mengamankan hutan dan mencegah ilegal logging
Kesulitan sarpras dan biaya operasional
Secara per-UU bertugas mengatur dan mengendalikan serta menjaga keselamatan pelayaran
Loading kayu di lakukan di logpond perusahaan shg perlu petugas khusus ke lokasi loading
15
Kesimpulan dan Saran Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kebijakan yang telah ditetapkan di pulau Siberut sejak Unesco mendeklarasikan Cagar Biofer Siberut pada tahun 1981, Pemerintah Republik Indonesia tidak mendukung pengembangan Cagar Biosfer Siberut untuk seluruh pulau. Ada inkonsistensi kebijakan antara Pemerintah dengan Unesco, dimana terdapat perbedaan yang sangat mendasar tentang pengertian Cagar Biosfer. Menurut Unesco didalam Cagar Biosfer tidak diperkenankan adanya ekploitasi hutan, sedangkan menurut Pemerintah dibolehkan, sehingga di Siberut dialokasikan kembali hutan produksi dan produksi terbatas. Kemudian kedudukan manusia di dalam Cagar Biosfer versi Unesco hanya merupakan bagian dari ekosistem yang perkembangannya tergantung kepada alam, sedangkan menurut Pemerintah kedudukan manusia sebagai pembina ekosistem dengan pengertian masyarakat yang berada di dalam Cagar Biosfer mempunyai hak hidup lebih baik. Perbedaan kebijakan ini mengakibatkan pengelolaan Cagar Biosfer tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. 2. Implementasi Cagar Biosfer Siberut berdasarkan Indikator Implementasi yang dikeluarkan Unesco, 1996 sampai saat ini masih belum terlaksana untuk keseluruhan kawasan Cagar, kecuali pada Zona Inti (Taman Nasional Siberut). Implementasi pada zona inti berdasarkan Indikator Implementasi (Unesco, 1996) sebagian besar telah dilaksanakan, kecuali untuk Indikator 5 yaitu pembagian keuntungan yang adil, Indikator 6 yaitu Mekanisme untuk mengelola, mengkoordinasikan dan mengintegrasikan berbagai program dan kegiatan Cagar Biosfer, Indikator 8 yaitu Lokasi-lokasi percontohan di wilayah regional dikembangkan, Indikator 9 yaitu Penelitian dan Rencana Pemantauan yang terkoordinasi, dan Indikator 16 yaitu pemanfaatan sebagai kegiatan-kegiatan pelatihan lapangan. 3. Ada perbedaan persepsi masyarakat Siberut dengan Pemerintah. Masyarakat lokal menganggap bahwa hutan Siberut adalah hutan adat yang penguasaannya berada pada masyarakat adat sesuai adat Arat Sabulungan, dimana pemanfaatan dan pengelolaannya dilakukan berdasarkan adat, tetapi Pemerintah menganggap sebagai hutan Negara. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan konservasi (TNS) sangat tinggi, hal ini ditunjukan dengan hampir seluruh responden mengetahui batas TNS yang merupakan batas partisipatif. Akan tetapi sebagian besar mereka menolak jika dilakukan tata batas dengan alasan tidak ingin terjadi pemindahan hak atas hutan adat mereka. 4. Ada 6 (enam) kelompok stakeholder yang berperan dan berpengaruh didalam pengelolaan hutan di Siberut. Stakeholder utama ada 5 kelompok yaitu Pemerintah (Kementrian Kehutanan RI, Pemerintah Daerah, Taman Nasional Siberut), Pengusaha (IUPHHK, Perkebunan dan Buyer), Masyarakat, Organisasi Nir Laba (LSM), Peneliti (MAB-LIPI, Perguruan Tinggi), dan Stakeholder sekunder adalah 16
Pihak keamanan (Polri, TNI-AL dan Syahbandar). Stakeholder yang mempunyai kekuatan, pengaruh dan interaksi yang kuat adalah Pemerintah (kecuali TNS), Masyarakat, LSM dan Pengusaha. Sedangkan yang mempunyai kekuatan dan pengaruh serta intersaksi yang lemah adalah TNS dan MAB. Saran 1. Perlu dukungan dan konsistensi Pemerintah Republik Indonesia dalam penerapan kebijakan pulau Siberut sebagai Cagar Biosfer yang sudah diakui dunia, dan perlu segera dibuat peraturan pelaksanaan Cagar Biofer (Peraturan Pemerintah) sebagai yang diamanatkan UU No.5 tahun 1990. 2. Untuk melaksanakan implementasi yang belum dapat dilaksanakan diperlukan pengelolaan melalui pengaturan koordinasi yaitu pembentukan forum stakeholder dan MOU antara Cagar Biosfer Siberut dengan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai, dan semua stakeholder yang ada di Pulau Siberut, membuat aturan main dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya, dan membuat aksi kegiatan kolaborasi strategis yang komprehensif dengan kerja sinergi stakeholders sesuai kapasitas dan kemampuannya berdasarkan prinsip-prinsip saling menghargai, saling mempercayai, saling bertanggung gugat, saling berbagi tanggung jawab dan berbagi keuntungan secara adil. 3. Perlu penyamaan persepsi tentang hutan Siberut antara masyarakat lokal dengan Pemerintah melalui pendekatan secara adat Arat Sabulungan yang dianut oleh masyarakat lokal Siberut, sebab salah satu kunci keberhasilan pengelolaan Cagar Biosfer adalah masyarakat lokal yang mempunyai otoritas terhadap hutan ulayat adat. 4. Untuk dapat melaksanakan pengelolaan Cagar Biosfer Siberut maka diperlukan peningkatan interaksi, kekuatan/power dan pengaruh dari peran MAB dan TNS sebagai pengelola Cagar Biosfer dengan stakeholder lainnya. 5. Oleh karena pengelolaan Cagar Biosfer Siberut tidak dapat dikelola berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan MAB-Unesco disebabkan tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia, maka yang paling relevan adalah pengelolaan bersama-sama dengan masyarakat lokal sebagai pemegang hak ulayat dengan memperhatikan kondisi sosial ekonominya yang masih perlu dikembangkan. Kemudian dengan masih adanya IUPHHK dan kegiatan budidaya di daerah penyangga dan transisi hendaknya perlu diatur tersendiri dengan memperhatikan pengelolaan konservasi dan pembatasan pemanfaatan yang bersifat tidak mendegradasi sumberdaya alam dan lingkungan.
Daftar Pustaka Borrini-Feyerabend, G., A.Kothari and G. Oviedo. 2004. Indigenous and local communities and protected areas: towards equity and enhanced conservation. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. 17
Harada, K. 2003. Attitudes of Local People Towards Conservation and Gunung Halimun National Park In West Jawa, Indonesia. Journal of Forest Resource 8:271-282. Keputusan Mentri Kehutanan Nomor 422/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Sumatera Barat. Leavitt, Harold J. 1978. Psikologi Manajemen. Penerbit Erlangga. Jakarta. Mugniesyah, Siti Sugiah Machfud. 2006. Penyuluhan Pertanian Bagian I. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom Primack, R.B., M. Indrawan dan J. Supriyatna, , 2007. Biologi Konservasi, Edisi Revisi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Purwanto, Y. 2009. Lokakarya Membangun Kesepahaman Menuju Kolaborasi Pengelolaan TN Siberut Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan di Pulau Siberut, Program MAB Indonesia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hotel Inna Muara Padang, 9-11 Desember 2009 Rakhmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung Sugandhy, A. 2006. Pengelolaan Taman Nasional Dalam Pembangunan Berkelanjutan: Studi Kasus Kawasan Taman Nasional Way Kambas, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Disertasi Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jakarta. Taman Nasional Siberut, 2008. Buletin Taman Nasional Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Padang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya UNESCO,1996. Biosphere Reserves: The Seville Strategy and the Statutory Framework of the World Network. Paris. 18