PENILAIAN PENGUASAAN KOMPETENSI PEDAGOGIK DAN PENILAIAN TERHADAP KURIKULUM 2013 SEBAGAI PREDIKTOR BAGI STRES DALAM PELAKSANAAN KURIKULUM 2013 PADA GURU DI SMP NEGERI 1 JAYAPURA, PAPUA
OLEH INDAH PUSPA SAPTIANTI 802010040 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
PENILAIAN PENGUASAAN KOMPETENSI PEDAGOGIK DAN PENILAIAN TERHADAP KURIKULUM 2013 SEBAGAI PREDIKTOR BAGI STRES DALAM PELAKSANAAN KURIKULUM 2013 PADA GURU DI SMP NEGERI 1 JAYAPURA, PAPUA
Indah Puspa Saptianti Berta Esti Ari Prasetya
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
Abstrak Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat apakah penilaian penguasaan kompetensi Pedagogik dan penilaian terhadap Kurikulum 2013 dapat menjadi prediktor bagi stres dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru di SMP Negeri 1 Jayapura, Papua. Teknik pengambilan sampel jenuh digunakan dalam penelitian ini dengan mengambil guru yang melaksanakan Kurikulum 2013 sebanyak 31 orang sebagai responden. Alat ukur yang digunakan adalah Skala Penilaian Penguasaan Kompetensi Pedagogik, Skala Penilaian terhadap Kurikulum 2013 dan Teacher Stress Inventory. Analisis regresi
dilakukan
sebagai teknik analisis data. Hasil menunjukkan bahwa penilaian penguasaan kompetensi Pedagogik tidak berkorelasi dengan stres guru dengan r = -0,177 dan signifikansi 0,171 (p>0,05), sedangkan penilaian terhadap Kurikulum 2013 juga tidak berkorelasi dengan stres r = 0,016 dan signifikansi 0,465 (p>0,05). Hasil korelasi tersebut membuat analisis regresi tidak dapat dilakukan . Dengan demikian
penilaian penguasaan kompetensi
Pedagogik dan penilaian terhadap Kurikulum 2013 tidak dapat menjadi prediktor bagi stres dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru di SMP Negeri 1 Jayapura, Papua. Kata Kunci : Penilaian, Kompetensi Pedagogik, Kurikulum 2013, Stres Guru
i
Abstract In this study, researcher wanted to investigate whether
the appraisal of mastery
Pedagogic competency and the appraisal of Kurikulum 2013 can be the predictors for stres in the implementation of Kurikulum 2013 at teacher in SMP Negeri 1 Jayapura, Papua. Saturated sampling technique is used in this study by taking 31 teacher who implement Kurikulum 2013 as respondents. Measuring instruments of this study are the Penilaian Penguasaan Kompetensi Pedagogik Scale, Penilaian terhadap Kurikulum 2013 Scale, and Teacher Stress Inventory. Regression analysis is done as data analysis technique. The result shows there is no correlation between the appraisal of mastery Pedagogic competency and teacher stress with r = -0,177 and significance 0,171 (p>0,05), while the appraisal of Kurikulum 2013 also not related to teacher stress with r = 0,016 and signifcance 0,465 (p>0,05). Therefore, the regression analysis can not be done. Finally, the result suggest that whether
the appraisal of mastery Pedagogic
competency and appraisal of Kurikulum 2013 cannot be the predictors for stres in the implementation of Kurikulum 2013 at teacher in SMP Negeri 1 Jayapura, Papua. Keyword : Appraisal, Pedagogic Competency, Kurikulum 2013, Teacher Stress
ii
1
PENDAHULUAN Stres merupakan hal yang sering terjadi pada setiap orang, termasuk guru. Holroyd & Lazarus (dalam Dewe, O’Driscoll, & Cooper, 2012) menyebutkan bahwa stres sebagai sesuatu yang timbul dari penilaian bahwa tuntutan lingkungan tertentu melebihi sumber daya individu, sehingga mengancam kesejahteraannya. Munculnya stres pada guru tentu saja membawa dampak bukan hanya bagi guru itu sendiri, tetapi juga rekan, peserta didik dan juga sekolah. Blase dan Poornima (dalam Reddy & Anuradha, 2013) menyebutkan bahwa stres pada guru seringkali memengaruhi kemampuan guru untuk berfungsi secara efektif. Brown dan Ralph (dalam Reddy & Anuradha, 2013) menyebutkan stres guru juga menyebabkan adanya penurunan kinerja dan output; ketidakmampuan untuk mengatur waktu atau delegasi; perasaan terasing dan tidak mampu; hilangnya kepercayaan diri dan motivasi; meningkatkan introversi; iritabilitas dengan rekan-rekan; keengganan untuk bekerja sama; sering terjadi konflik irasional di tempat kerja; penarikan diri dari hubungan yang mendukung; humor sinis yang tidak pantas; pikiran negatif yang terus-menerus; penyalahgunaan zat yang meningkat; kehilangan nafsu makan; sering mengalami infeksi; dan rawan kecelakaan. Stres kerja guru dapat mempengaruhi fisiologis, kesejahteraan psikologis dan perilaku guru, sekolah sebagai organisasi, kesejahteraan murid, pencapaian tujuan pendidikan, dan kualitas pendidikan secara umum (Milbourne; Black; Weidner dalam Oztruk, 2011). Oztruk (2011) menyebutkan salah satu hal yang menyebabkan stres pada guru adalah perubahan kebijakan pendidikan, seperti perubahan kurikulum. Kurikulum baru yang saat ini tengah dijalankan oleh pemerintah Indonesia adalah Kurikulum 2013, yang telah diuji coba sejak tahun 2013. Namun pada tahun 2015 beberapa sekolah di
2
Indonesia yang dianggap memenuhi persyaratan telah resmi menjalankan kurikulum tersebut ( Latief, 2013). Kemendikbud (2013) memaparkan bahwa ada 4 perubahan besar dalam Kurikulum 2013 yaitu 1) Konsep kurikulum, dimana dalam Kurikulum 2013 ini berusaha menyeimbangkan antara hardskill dan softskill, dimulai dari Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian, 2) Buku yang dipakai merupakan buku yang berbasis kegiatan dan tematik terpadu, 3) Proses pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik melalui mengamati, menanya, manalar, dan mencoba serta guru bertugasuntuk menuntun siswa untuk mencari tahu, bukan diberi tahu,
4) Proses penilaian difokuskan bukan pada hasil kerja siswa
melainkan proses kerja siswa, selain itu penilaian otentik pada aspek kompetensi sikap, pengetahuan,
dan
keterampilan
dilakukan
dengan
menggunakan
portofolio
pembelajaran siswa. Berbagai masalahpun timbul akibat perubahan tersebut, seperti yang dipaparkan oleh salah satu guru di SMP Negeri 1 Jayapura, Papua dalam wawancara yang dilakukan sekitar bulan November 2014 lalu antara lain a) Proses penilaian dalam kurikulum 2013 dinilai menyulitkan guru karena guru dituntut untuk dapat menilai bukan saja tentang pengetahuan dan keterampilan anak, tetapi juga sikap, yang kemudian dibuat dalam portofolio. Masalah utamanya adalah guru tersebut bukan hanya menilai 10 atau 20 anak, tetapi 70 hingga 200 anak. Hal ini menghambat guru dalam memaksimalkan proses belajar mengajar dan menyebabkan guru seringkali menilai dengan tidak obyektif atau sembarangan, b) ketersediaan buku pegangan siswa dan guru yang masih terbatas, c) siswa yang kurang proaktif. Hampir 80% siswa sulit untuk aktif bertanya, melakukan diskusi kelompok dan mempresentasikan di depan kelas, meskipun sudah di motivasi dengan penambahan nilai bagi siswa yang aktif dan berani. Hal ini
3
mengakibatkan prestasi siswa menjadi menurun, d) banyak guru yang kesulitan dalam mengintegrasikan materi mata pelajarannya dengan materi mata pelajaran lain dan kehidupan sehari-hari, e) guru kesulitan dalam mengintegrasikan TIK dengan mata pelajarannya karena keterbatasan fasilitas seperti internet dan komputer, selain itu masih ada guru yang belum menguasai TIK. Dalam wawancara tersebut, guru juga mengeluhkan mengalami stres karena Kurikulum 2013 tersebut mensyaratkan banyak tugas sehingga guru harus mampu membagi waktu untuk dapat tetap menjalankan tanggung jawab dalam keluarga. Hal tersebut tentu saja menyebabkan kelelahan pada guru. Selain itu guru menjadi sering memarahi siswanya yang dianggap sulit diatur dan enggan untuk melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin. Menurut Kyriacou dan Sutcliffe (dalam Vaezi & Fallah, 2012) perasaan negatif seperti kemarahan merupakan sindrom respon dari stres. Lazarus dan Folkman (dalam Edgey & Ivey, 2012) menyebutkan bahwa proses dari penilaian kognitif dari stres meliputi dua level yaitu penilaian primer dan penilaian sekunder. Level pertama yaitu penilaian primer yang muncul ketika seseorang diperhadapkan dengan stresor dan mengeveluasinya sebagai sesuatu yang negatif, positif, atau tidak relevan – tantangan (challenge) sebagai penilaian positif, ancaman (threat), kerugian atau kehilangan (harm or loss) sebagai penilaian negatif (Weinstein, Brown, & Ryan, 2009). Sesuatu akan dinilai positif atau negatif hanya jika hal tersebut mengkonfrontasi tujuan dari individu, sehingga ia menjadi rentan terhadap hal tersebut. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penilaian kognitif terhadap stresor merupakan bagian yang paling penting dalam timbulnya respon stres (Dewe, 1991; Edge & Ivey, 2012; Harvey, Nathen, Bandiera, & LeBlanc, 2010), hal ini berarti apakah seseorang
4
menilai stresor sebagai sesuatu yang positif (tantangan) atau negatif (ancaman atau kerugian) akan menentukan kondisi stresnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Harvey dan rekannya (2010) ditemukan bahwa orang-orang yang menilai stresor atau situasi sebagai ancaman cenderung memperlihatkan respon stres yang lebih tinggi yang ditandai dengan adanya pelepasan kortisol dibandingkan dengan mereka yang yang menilai stresor sebagai tantangan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa perubahan kurikulum, dalam kasus ini adalah Kurikulum 2013, merupakan stresor bagi guru dan karena penilaian terhadap stresor merupakan hal yang penting dalam proses munculnya stres, maka penilaian guru terhadap Kurikulum 2013 akan memengaruhi munculnya stres pada guru. Jika Kurikulum 2013 dianggap sebagai sesuatu yang negatif yaitu sebagai ancaman atau kerugian maka guru menjadi rentan terhadap stres. Sebaliknya jika Kurikulum 2013 dianggap sebagai tantangan, maka guru akan termotivasi untuk menghadapinya Jika stresor dirasakan berpengaruh bagi individu maka individu tersebut akan mengevaluasi kemampuan dirinya (Lazarus & Folkman, 1987). Ini merupakan level kedua dari penilaian kognitif yaitu penilaian sekunder. Menurut Lazarus dan Folkman (1987) penilaian sekunder merupakan suplemen krusial untuk penilaian primer sebab kerugian, tantangan, dan ancaman juga tergantung dari bagaimana seseorang yakin mampu mengendalikan hasil. Kemampuan untuk mencapai hasil yang diinginkan inilah yang disebut dengan kompetensi (Guillen & Saris, 2013; Trinder, 2008). Kompetensi juga memampukan seseorang untuk melakukan kegiatan dalam suatu pekerjaan, untuk dapat berfungsi seperti yang diharapkan dalam pekerjaan tersebut dan untuk melakukan pekerjaan dibawah berbagai kondisi, termasuk mengatasi segala kemungkinan yang mungkin terjadi (Trinder, 2008).
5
Dalam penelitiannya, Yperen (2007) menemukan bahwa penilaian yang tinggi terhadap kompetensi diri dapat mengatasi efek negatif dari situasi terevaluasi. Selain itu Tram dan Cole (2000) menemukan bahwa penilaian terhadap kompetensi diri dapat memprediksi perubahan pada gejala depresi. Salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi Pedagogik. Kompetensi Pedagogik merupakan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi
pemahaman
terhadap
peserta
didik,
perancangan
dan
pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya (Standar Nasional Pendidikan Pasal 28 ayat (3) butir a dalam Musfah, 2011). Berdasarkan penguraian diatas, maka dapat ditarik sebuah logika bahwa Kurikulum 2013 dapat menjadi pemicu stres jika guru menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif yaitu sebagai ancaman atau kerugian dan hal tersebut disebabkan oleh penilaian bahwa ia tidak atau kurang menguasai kompetensi pedagogik sebagai salah satu sumber daya personalnya untuk mengatasi hambatan tesebut, sehingga tuntutan yang diberikan dalam Kurikulum 2013
dianggap melebihi kapasitasnya. Sebaliknya, guru akan
termotivasi untuk menghadapi hambatan tersebut jika guru menilai hal tersebut sebagai tantangan yang harus ditaklukan dan hal tersebut disebabkan oleh penilaian bahwa ia yakin telah menguasai kompetensi pedagogik sebagai sumber daya personal untuk mengatasi setiap hambatan yang muncul akibat perubahan kurikulum tersebut.
6
Melihat pemaparan tersebut, maka peneliti tertarik untuk melihat a)
Apakah penilaian penguasaan kompetensi Pedagogik secara mandiri dan signifikan dapat menjadi prediktor terhadap stres dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru di SMP Negeri 1 Jayapura, Papua.
b) Apakah penilaian terhadap Kurkulum 2013 secara mandiri dan signifikan dapat menjadi prediktor terhadap stres dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru di SMP Negeri 1 Jayapura, Papua. c)
Apakah penilaian penguasaan kompetensi Pedagogik dan penilaian terhadap Kurikulum 2013 secara bersama-sama dapat menjadi prediktor terhadap stres dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru di SMP Negeri 1 Jayapura, Papua.
TINJAUAN PUSTAKA A. Kurikulum 2013 1. Definisi Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta tata cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (dikutip dari PERMENDIKBUD Nomor 68 Tahun 2013). Lebih lanjut, dalam PERMENDIKBUD tersebut disebutkan bahwa Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang memenuhi definisi tersebut dan diberlakukan mulai tahun 2013/2014.
7
2. Tujuan Kurikulum 2013 Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki
kemampuan
hidup
sebagai
pribadi
dan
warga
negara
yang
beriman,produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
B. Stres Dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013 Pada Guru 1. Definisi Stres Holroyd & Lazarus (dalam Dewe, dkk, 2012) mendefinisikan stres sebagai sesuatu yang timbul dari penilaian bahwa tuntutan lingkungan tertentu melebihi sumber daya individu, sehingga mengancam kesejahteraannya. Senada dengan pendapat tersebut, US National Institute of Occupational Safety and Health (dalam Dollard, Winefield & Winefield, 2003) mendefinisikan stres sebagai respon fisik dan emosional berbahaya yang terjadi ketika tuntutan pekerjaan tidak sesuai dengan kemampuan, sumber daya dan kebutuhan seseorang. Berdasarkan definisi di atas, maka stres akibat stresor pada guru dapat diartikan sebagai sebagai respon yang timbul, baik secara fisik maupun emosional, dari penilaian guru bahwa tuntutan yang ada dalam Kurikulum 2013 melebihi kemampuan guru dalam penguasaan kompetensi Pedagogik.
2. Faktor yang Memengaruhi Dalam penelitiannya, Oztruk (2011) mengkategorikan faktor penyebab stres pada guru menjadi 9 kategori yaitu :
8
a. Lingkungan fisik dan sumber daya Lingkungan sekolah seperti kebisingan, lingkungan yang ramai, jumlah siswa di kelas, kondisi fisik (cahaya, kebersihan, ventilasi dan lain-lain), sumber daya sekolah (laboratorium, komputer dan lain-lain), dan bahan ajar dapat menimbulkan stres pada guru. b. Beban kerja dan tekanan waktu Hal ini meliputi terlalu banyaknya pekerjaan, membawa pekerjaan sekolah ke rumah, kurangnya waktu, dokumen dan komputer kerja, jumlah guru, perubahan kebijakan pendidikan dan tanggung jawab baru, banyak hal yang perlu diingat dan fokus pada banyak hal. c. Perubahan kebijakan pendidikan Faktor ini meliputi terlalu banyak kertas kerja, hal-hal administratif, pekerjaan dengan menggunakan komputer, tanggung jawab baru dan tekanan serta tuntutan yang lebih tinggi, pendidikan yang berpusat pada siswa, kurikulum baru dan banyak topik yang harus diselesaikan, dalam masa pelatihan, terlalu banyak pertemuan dan konferensi, tanggung jawab yang lebih besar dari orang tua, lebih bertanggung jawab untuk kesejahteraan sosial dan psikologis siswa, meningkatnya jam kerja, tujuan nasional, desentralisasi, dan status mengajar. d. Siswa Hal ini meliputi hubungan dengan siswa, psikologis dan kesejahteraan sosial siswa, masalah perilaku, tingkat motivasi, masalah disiplin di kelas, tingkat kemampuan, penghargaan dan hukuman, dampak perubahan dalam masyarakat, sikap dan minat siswa, serta tuntutan orang tua pada anak-anak mereka.
9
e. Orang tua Faktor orang tua yang dapat menyebabkan stres pada guru antara lain hubungan dan kerjasama, tuntutan dan tekanan pada guru, orang tua tidak peduli dan tidak tertarik, sikap terhadap guru, hubungan dengan dan sikap terhadap anak mereka f. Penghargaan Kurangnya penghargaan terhadap guru seperti rendahnya gaji, status dan pengenalan serta kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesionalitas menjadi faktor penyebab stres pada guru. g. Hubungan dengan rekan kerja dan kepala sekolah Hubungan, kerjasama dan sikap kepala sekolah seperti pertimbanganpertimbangan, tingkat dukungan, tuntutan dan tekanan dari kepala sekolah serta bekerja dalam tim dengan kolega merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan stres pada guru. h. Konflik peran Konflik peran yang dapat mendatangkan stres pada guru antara lain menjadi role model dan mempunyai peran yang lain sekaligus seperti sebagai orang tua, saudara atau teman. i. Struktur dan manajemen sekolah. Tekanan pada guru, jadwal, kompetisi untuk pelajar, masalah anggaran, dan memiliki waktu istirahat yang berbeda, kekurangan guru dan perubahan kelas untuk setiap pelajaran menjadi faktor penyebab stres pada guru.
10
3. Manifestasi Stres Fimian (dalam Hanif, 2004) menyebutkan bahwa manifestasi stres terdiri atas level emosional, fisikologis dan perilaku, yang kemudian dibagi menjadi: a. Manifestasi emosional, yaitu perasaan tidak aman, perasaan rentan mendapat serangan atau kritikan, depresi, cemas, dan perasaan tidak mampu dalam mengatasi masalah b. Manifestasi kelelahan, yaitu lebih banyak tidur dari biasanya, menjadi lelah dalam waktu singkat, menunda-nunda pekerjaan, tubuh merasa lelah, dan tubuh merasa lemah c. Manifestasi kardiovaskular, yaitu perasaan adanya peningkatan tekanan darah, merasa berdebar-debar, dan bernafas dengan cepat d. Manifestasi gastronomik, yaitu nyeri di perut dalam waktu lama, kram di perut, asam lambung meningkat e. Manifestasi perilaku, yaitu Pemakaian obat-obatan secara berlebihan, penggunaan obat-obatan yang direkomendasikan, mengkonsumsi alkohol, meminta ijin dengan alasan sakit
C. Penilaian terhadap Kurikulum 2013 1. Definisi Penilaian terhadap Kurikulum 2013 terkait dengan penilaian terhadap stresor yang dibagi menjadi tiga kategori (Weinstein, dkk, 2009) yaitu a. Negatif, yaitu penilaian dimana stresor dianggap sebagai ancaman atau kerugian b. Positif, yaitu penilaian dimana stresor dianggap sebagai tantangan
11
c. Tidak relevan, yaitu penilaian dimana stresor tidak berdampak atau tidak memiliki pengaruh bagi seseorang Dengan demikian penilaian terhadap Kurikulum 2013 dapat diartikan sebagai evaluasi guru terhadap Kurikulum 2013 apakah sebagai sesuatu
yang positif
(tantangan), negatif (ancaman atau kerugian) atau tidak relevan. Adapun Kurikulum 2013 telah dijelaskan sebelumnya. 2. Terbentuknya Penilaian Terhadap Stresor Lazarus & Folkman (dalam Frisancho, 1997) menyebutkan bahwa penilaian terhadap stresor dibentuk dari faktor individu dan situasi, seperti keyakinan dan komitmen. Keyakinan merupakan gagasan awal tentang realita yang memberikan pandangan perseptual, keyakinan menunjukkan bagaimana sesuatu memberikan hubungan antara individu dengan lingkungannya. Sedangkan komitmen merujuk pada apa yang penting dan memiliki arti bagi individu. Komitmen menunjukkan hal-hal yang dipertaruhkan dalam menghadapi hambatan yang spesifik. Berbagai pengalaman yang melibatkan komitmen yang kuat akan dinilai sebagai sesuatu yang berarti bagi seseorang dan apabila perkiraan hasil mengancam atau membahayakan komitmen tersebut maka ia akan menjadi rentan. D. Penilaian Penguasaan Kompetensi Pedagogik 1. Definisi Kompetensi Pedagogik menurut Standar Nasional Pendidikan Pasal 28 ayat (3) butir a (dalam Musfah, 2011) merupakan
kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
12
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara detail, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru menyebutkan kompetensi pedagogik tersebut meliputi : a. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual b. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik c. Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu d. Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik e. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran f. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki g. Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan peserta didik h. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar i. Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran j. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran Dengan demikian penilaian penguasaan kompetensi Pedagogik dapat diartikan sebagai sejauh mana seorang guru mengevaluasi dirinya bahwa ia telah menguasai kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
13
E. Hipotesis a. Penilaian penguasaan kompetensi Pedagogik secara mandiri dan signifikan dapat menjadi prediktor terhadap stres dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru di SMP Negeri 1 Jayapura, Papua b. Penilaian terhadap Kurkulum 2013 secara mandiri dan signifikan dapat menjadi prediktor terhadap stres dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru di SMP Negeri 1 Jayapura, Papua c. Penilaian penguasaan kompetensi Pedagogik dan penilaian terhadap Kurikulum 2013 secara bersama-sama dapat menjadi prediktor terhadap stres dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru di SMP Negeri 1 Jayapura, Papua.
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk melihat apakah variabel independen dapat menjadi prediktor bagi variabel dependen. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Variabel Dependen
: Stres dalam PelaksanaanKurikulum 2013
Variabel Independen 1
: Penilaian terhadap Kurikulum 2013
Variabel Independen 2
: Penilaian penguasaan kompetensi Pedagogik
B. Populasi danSampel Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri dari objek/subjek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu (Sugiyono, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah 49 guru di SMP Negeri 1 Jayapura, Papua. Sedangkan sampel
14
merupakan jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2010). Sampel dalam penelitian ini merupakan 31 guru mata pelajaran yang sedang menjalankan Kurikulum 2013 dan tidak terlibat dalam jabatan tertentu seperti Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Tata Usaha dan Pengawas.
C. Alat Ukur Penelitian Dalam penelitian ini akan digunakan skala psikologis sebagai alat pengambilan data dengan menggunakan metode tryout terpakai, dimana pengambilan data hanya dilakukan satu kali saja, sehingga subjek yang dikenakan sebagai data uji coba akan digunakan sebagai data penelitian. Sebelum skala diberikan kepada subjek, terlebih dahulu dilakukan uji bahasa terhadap 3 guru untuk memastikan guru memahami setiap item dalam skala. Skala psikologis yang akan diberikan terdiri dari tiga skala yaitu : a. Skala Penilaian Penguasaan Kompetensi Pedagogik Skala ini mengukur persepsi guru tentang penguasaan kompetensi Pedagogiknya dan berisi 10 aspek kompetensi Pedagogik yang disusun oleh peneliti berdasarkan atas indikator kompetensi pedagogik yang dimuat dalam PERMENDIKNAS Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Kesepuluh aspek ini akan diturunkan menjadi 41 item. Skala ini merupakan Skala Likert yang terdiri dari 5 poin yaitu Sangat Tidak Sesuai (1), Sedikit Sesuai (2), Cukup Sesuai (3), Sesuai (4), Sangat Sesuai (5). Uji item dilakukan sebanyak 2 kali untuk memastikan tidak ada item yang gugur. Hasil uji reliabilitas skala ini menunjukkan bahwa dari 41 item tidak ada item yang gugur dan reliabilitas skala ini sebesar 0,755
15
b. Skala Penilaian terhadap Kurikulum 2013 Skala Penilaian terhadap Kurikulum 2013 dimodifikasi oleh peneliti dengan mengacu pada The Cognitive Appraisal of Health Scale yang dikembangkan oleh Kessler. Dalam penelitian ini peneliti memodifikasi item-item penilaian primer dalam CAHS dengan mengganti keterangan “masalah kesehatan (health problem) menjadi “Kurikulum 2013” sebagai contoh “ saya mengalami banyak kerugian akibat masalah kesehatan (I have a lot to lose because of this health problem)” menjadi “saya mengalami banyak kerugian karena Kurikulum 2013 ini” dan menyeleksi item-item yang tidak relevan serta menambahkan item yang relevan, sehingga diperoleh 19 item. Perkiraan konsistensi internal dari skala penilaian utama lebih besar dari .70 (Carpenter, 2008). Skala ini dinilai dalam 5 poin skala Likert yang terdiri dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Uji item skala dilakukan sebanyak 2 kali untuk memastikan tidak ada lagi item yang gugur. Hasil item gugur sebanyak 2 item dan item terpakai sebanyak 17 item. Nilai reliabiltas pada skala ini sebesar 0,614. c. Teacher Stress Inventory Skala ini diadaptasi dari Teacher Stress Inentory yang dikembangkan oleh Fimian (1988). Pada penelitian ini peneliti mengambil kategori manifestasi stres untuk mengukur stres yang dialami oleh guru. Kategori ini terdiri dari beberapa faktor yaitu yang berisi 5 faktor yaitu 1) manifestasi emosional, 2)manifestasi kelelahan, 3) manifestasi kardiovaskular, 4) manifestasi gastronomi, dan 5) manifestasi perilaku. Teacher Stress Inventory akan diadministrasikan dalam bentuk skala likert dengan 5 alternatif jawaban: (1) tidak sesuai, (2) sedikit sesuai, (3) cukup sesuai, (4) sesuai, (5) Sangat Sesuai. Konsistensi internal untuk
16
pendidikan reguler manifestasi emosional adalah .84, manifestasi kelelahan adalah .70, manifestasi kardiovaskular adalah .78, manifestasi gastronomik adalah .76, dan manifestasi perilaku adalah .82 (Fimian, 1988). Uji item dilakukan sebanyak 2 kali dan dari 20 item dihasilkan item gugur sebanyak 2 item sehingga banyaknya item terpakai sebayak 18 item. Reliabilitas skala ini sebesar 0,745.
D. Teknik Analisis Data Uji analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua tahap yaitu a. Analisis korelasi product moment untuk melihat hubungan antara Penilaian Penguasaan Kompetensi Pedagogik dan Penilaian terhadap Kurikulum 2013 secara mandiri dengan Stres dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru b. Jika terdapat korelasi antarvariabel diatas, maka dilanjutkan dengan analisis regresi berganda untuk melihat apakah
Penilaian Penguasaan Kompetensi
Pedagogik dan Penilaian terhadap Kurikulum 2013 secara bersama-sama dapat menjadi prediktor bagi Stres dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru. HASIL Uji Normalitas Berdasarkan uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogrov-Smirnov, maka ditemukan bahwa ketiga variabel berdistribusi normal, yaitu variabel Penilaian terhadap Kompetensi Pedagogik dengan K-S Z 0,962 yang memiliki signifikansi sebesar 0,313 dimana (p>0,05), sedangkan variabel Penilaian terhadap Kurikulum 2013 memiliki K-S Z sebesar 0,468 serta signifikansi sebesar 0,983 dimana (p>0,005) dan variabel Stres
17
dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013 memiliki K-S Z sebesar 0,667 serta signifikansi sebesar 0,766 (p>0,05). Uji Linearitas Hasil uji linearitas antara variabel penilaian kompetensi Pedagogik dan stres dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 memperlihatkan adanya hubungan linear (F= 1,204) dengan signifikansi 0,414 (p>0,05). Sedangkan untuk hubungan antara penilaian terhadap Kurikulum 2013 dengan stres pada guru juga memperlihatkan adanya hubungan linear (F = 0,762) dengan signifikansi 0,962 (p>0,05) Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas menghasilkan nilai Tolerance kedua variabel bebas sebesar o,824 (p>0,10)dan nilai VIF sebesar 1,214 (p<10,00). Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya multikolinearitas. Analisis Data Deskriptif Setelah dilakukan uji normalitas selanjutnya peneliti menguji statistik deskriptif setiap variabel, dan diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 1 Kategorisasi Skala Penilaian terhadap Kompetensi Pedagogik Kategorisasi Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Keterangan : x =
Rentang Nilai 172,2 < x < 205 139,4 < x < 172,2 106,6 < x < 139,4 73,8 < x < 106,6 41 < x < 73,8 skor subjek
Frekuensi 6 19 6 0 0
Persentase 19,3% 61,2% 19,3%
Mean
SD
160,19
19,503
18
Berdasarkan hasil diatas maka dapat dikatakan bahwa dari 31 subjek mayoritas subjek yaitu sebanyak 19 orang atau 61,2% memiliki penilaian yang tinggi terhadap Kompetensi Pedagogiknya, sedangkan yang menilai memiliki Kompetensi Pedagogik yang tinggi sebanyak 6 orang atau 19,3%, hal ini seimbang dengan subjek yang menilai memiliki kompetensi Pedagogik yang sedang. Sedangkan tidak ada yang menilai rendah dan sangat rendah pada Kompetensi Pedagogiknya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rata-rata subjek menilai dirinya memiliki Kompetensi Pedagogik yang tinggi dengan mean sebesar 160,19 dan standar deviasi 19,503. Tabel 2 Kategorisasi Skala Penilaian terhadap Kurikulum 2013 Kategorisasi Rentang Nilai Sangat positif 71,4 < x < 85 Positif 57,8 < x < 71,4 Biasa saja 44,2 < x < 57,8 Negatif 30,6 < x < 44,2 Sangat Negatif 17 < x < 30,6 Keterangan : x = skor subjek
Frekuensi 7 21 3 0 0
Persentase 22,5% 67,7% 9,6%
Mean
SD
66,94
6,797
Berdasarkan hasil diatas maka dapat dikatakan bahwa dari 31 subjek sebanyak 7 orang atau 22,5% memberikan penilaian sangat positif pada Kurikulum 2013, 21 orang atau 67,7% menilai positif terhadap Kurikulum 2013, 3 orang menilai biasa saja terhadap Kurikulum 2013 sedangkan 0 pada nilai negatif dan sangat negatif. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa rata-rata guru menilai bahwa Kurikulum 2013 merupakan hal yang positif dengan mean 66,94 dan standar deviasi sebesar 6,797 Tabel 3 Kategorisasi Skala Stres dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013 Kategorisasi Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah
Rentang Nilai 75,6 < x < 90 61,2 < x < 75,6 46,8 < x < 61,2 32,4 < x < 46,8
Frekuensi 0 0 1 10
Persentase
3,2% 32,2%
Mean
SD
19
Sangat Rendah 18 < x < 32,4 Keterangan : x = skor subjek
20
64,5%
30,13
8,`102
Berdasarkan hasil diatas, maka dapat dikatakan bahwa dari 31 subjek sebanyak 20 subjek atau sebesar 64,5% memiliki stres yang sangat rendah, 10 subjek atau sebesar 32,2% memiliki stres yang rendah dan 1 subjek atau sebesar 3,2% memiliki stres tergolong sedang serta tidak ada subjek yang memiliki stres dalam kategori tinggi dan sangat tinggi. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa rata-rata subjek memiliki stres yang tergolong sangat rendah dengan mean 30,13 dan standar deviasi sebesar 8,102. Uji Korelasi Berdasarkan uji korelasi berganda dengan menggunakan pearson correlation maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Correlations kompetensi
Kurikulum
stres
**
-.177
.009
.171
N 31 31 ** Kurikulum Pearson .420 1 Correlation Sig. (1-tailed) .009 N 31 31 Stress Pearson -.177 .016 Correlation Sig. (1-tailed) .171 .465 N 31 31 **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
31 .016
kompetensi
Pearson Correlation Sig. (1-tailed)
1
.420
.465 31 1
31
1. Besarnya hubungan antara penilaian penguasaan Kompetensi Pedagogik dengan stres pada guru sebesar r = -0,177 dengan signifikansi 0,171 (p>0,05). Hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara kedua variabel tersebut.
20
2. Besarnya hubungan antara penilaian terhadap Kurikulum 2013 dengan stres pada guru sebesar r = 0,016 dengan signifikansi 0,465 (p>0,05). Hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara kedua variabel tersebut Dikarenakan uji korelasi tidak menunjukkan adanya hubungan baik antara penilaian penguasaan kompetensi Pedagogik dengan stres dan antara penilaian terhadap Kurikulum 2013 dengan stres maka analisis regresi berganda tidak dapat dilakukan. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian penguasaan kompetensi Pedagogik tidak berkorelasi dengan stres pada guru dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 dengan r = -0,177 dengan signifikansi 0,171 (p>0,05). Dengan demikian penilaian penguasaan kompetensi Pedagogik tidak dapat menjadi prediktor bagi stres dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru. Hasil ini tentu saja bertentangan dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa penilaian terhadap kompetensi diri memiliki hubungan negatif terhadap stres (Yperen, 2007; Tram & Cole, 2000). Tidak terdapatnya hubungan antara kedua variabel tersebut mungkin dikarenakan oleh ada atau tidaknya autonomous motivation atau tindakan yang didasarkan atas keinginan sendiri dari guru tersebut (Gagne’ dan Deci dalam Tre ´panier, Fernet, Austin, 2012). Jika seorang guru merasa memiliki kompetensi yang baik, namun dalam melaksanakan tugasnya ia merasa hal tersebut bukan atas kesadarannya sendiri, maka hal tersebut dapat memicu stres pada guru. Tre ´panier, Fernet, Austin ( 2012) menemukan bahwa mereka yang memiliki autonomous motivation yang tinggi mengalami distress yang rendah saat menghadapi tuntutan
21
pekerjaan dibandingkan mereka yang memiliki autonomous motivation yang rendah. Berdasarkan keterangan dari beberapa guru, masih ada guru yang menerima tugas dari kepala sekolah dengan mengeluh sehingga merasa tugas tersebut menjadi beban bagi dirinya. Dengan begitu penilaian terhadap kompetensi Pedagogik diri tidak memberikan kontribusi apa-apa, karena entah seorang guru merasa berkompeten atau tidak, jika tidak didukung dengan adanya autonomous motivation maka bisa memungkinkan tingkat stres yang dialaminya lebih tinggi dibandingkan mereka yang memiliki autonomous motivation. Selain itu dukungan sosial dari rekan guru mungkin juga dapat memengaruhinya (Hamaideh, 2012). Dalam Kurikulum 2013 ini guru dituntut untuk dapat menggunakan teknologi dengan baik dalam proses belajar mengajar, namun berdasarkan keterangan yang peneliti peroleh masih ada guru yang belum menguasai teknologi. Hal ini dapat memicu stres pada guru jika tidak ada bantuan dari rekan guru yang lebih mampu. Selain itu, meskipun guru merasa berkompeten, namun banyak hal yang tentu saja tidak bisa dilakukan oleh guru itu sendiri dan tanpa adanya dukungan dari rekan guru, hal tersebut mungkin dapat menimbulkan stres. Oleh karena itu tinggi rendahnya kompetensi guru mungkin tidak berpengaruh pada tingkat stres guru, karena kehadiran dukungan sosial dari rekan guru mungkin saja lebih berpengaruh pada tingkat stres guru. Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa penilaian terhadap Kurikulum 2013 juga tidak berkorelasi dengan stres (r = 0,016, p>0,05). Dengan demikian penilaian terhadap Kurikulum 2013 tidak dapat menjadi prediktor bagi stres dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru .Hasil ini juga bertentangan dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa penilaian kognitif terhadap stresor merupakan bagian
22
yang paling penting dalam timbulnya respon stres (Dewe, 1991; Edge & Ivey, 2012; Harvey, Nathen, Bandiera, & LeBlanc, 2010). Hal ini mungkin disebabkan karena meskipun penilaian terhadap Kurikulum 2013 positif tetapi setiap guru mengajar mata pelajaran yang berbeda dengan tingkat kesulitan yang berbeda di setiap jenjang kelas, hal ini mungkin bisa memengaruhi tingkat stres pada guru. Penilaian yang diberikan guru terhadap Kurikulum 2013 merupakan penilaian secara umum, namun dalam menjalankan Kurikulum tersebut masing-masing guru mungkin memiliki kesulitannya masing-masing mengingat masing-masing guru mengampu mata pelajaran yang berbeda-beda, selain itu jenjang kelas yang diampu juga berbeda-beda, belum lagi jika guru juga memikul tanggung jawab sebagai wali kelas. Beban tanggung jawab inilah yang mungkin saja bisa berdampak pada stres guru. Jika guru tidak mampu meregulasi dirinya, tanggung jawab tersebut dapat meningkatkan stres guru. Dengan begitu, penilaian terhadap Kurikulum 2013 tidak memberi pengaruh pada tingkat stres guru karena bagaimana guru mampu meregulasi dirinya dalam menghadapi tugas-tugas tersebut mungkin dapat memengaruhi stres. Disamping itu, dalam dunia pendidikan, guru seringkali harus mengalami pergantian kurikulum, oleh karena itu bagi beberapa guru mungkin tidak akan sulit untuk bisa beradaptasi dengan perubahan yang ada. Selain itu, sebelum memulai Kurikulum 2013 ini beberapa guru telah mengikuti pelatihan terlebih dahulu. Pelatihan inilah yang mungkin saja memengaruhi tingkat stres guru, bukan penilaian mereka terhadap Kurikulum 2013. Berdasarkan analisis deskriptif, penilaian guru terhadap kompetensi pedagogik mereka tergolong tinggi (mean =160,19). Hal ini mungkin dikarenakan beberapa hal seperti pelatihan yang guru jalani. Aziz dan Akhtar (2014) menemukan bahwa guru yang terlatih memiliki kompetensi pedagogik yang lebih baik dibandingkan dengan
23
guru yang tidak terlatih. Berdasarkan keterangan dari beberapa guru, selama mereka menjadi guru sering diadakan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pengembangan kompetensi guru. Selain itu orientasi tujuan juga berhubungan dengan bagaimana seseorang menilai kompetensinya, menentukan kesuksesan atau kegagalan, serta terlibat dan bertindak dalam situasi keberhasilan (Nicholls; Duda; Roberts dalam Brunel, 1999). Sedangkan penilaian terhadap stresor tergolong positif (mean=66,94). Hal ini mungkin dikarenakan adanya proses adaptasi guru terhadap perubahan Kurikulum, selain itu pemahaman lebih dalam terhadap Kurikulum 2013 mungkin dapat memengaruhi penilaian terhadap Kurikulum 2013 ini. Ketersediaan fasilitas mungkin juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi penilaian tersebut. Sebaik apapun Kurikulum 2013 diterapkan dalam sekolah tersebut, namun jika fasilitas yang tersedia tidak mendukung, guru akan mengalami kesulitan dan merasa bahwa Kurikulum 2013 hanya menambah beban mereka dan menurut pendapat beberapa guru fasilitas di sekolah tersebut tergolong baik sehingga membantu proses belajar mengajar (Oztruck, 2011). Tingkat stres guru berada pada kategori sangat rendah (mean = 30,13). Hal ini mungkin dikarenakan pihak sekolah telah memperhitungkan kesejahteraan guru, baik secara materi berupa insentif, maupun moral berupa bantuan-bantuan yang diperlukan oleh guru. Selain itu dukungan sosial yang diterima dari rekan kerja mungkin juga memengaruhi tingkat stres guru. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari beberapa guru, kekeluargaan di SMP Negeri 1 sangat baik jika dibandingkan dengan sekolah lain di Jayapura. Kayastha dan Kayastha (2012) menemukan bahwa kepuasan kerja seperti gaji, rekan kerja, supervisi, dan pekerjaan secara umum berkorelasi negatif terhadap munculnya stres.
24
KESIMPULAN Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa a. Penilaian penguasaan kompetensi Pedagogik secara mandiri dan signifikan tidak dapat menjadi prediktor terhadap stres dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru di SMP Negeri 1 Jayapura, Papua b. Penilaian terhadap Kurkulum 2013 secara mandiri dan signifikan tidak dapat menjadi predktor terhadap stres dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru di SMP Negeri 1 Jayapura, Papua c.
Penilaian penguasaan kompetensi Pedagogik dan penilaian terhadap Kurikulum 2013 secara bersama-sama tidak dapat menjadi prediktor terhadap stres dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 pada guru di SMP Negeri 1 Jayapura, Papua. SARAN
Kepala Sekolah Meskipun guru menilai dirinya berkompeten dan stres yang dialaminya rendah, namun hal tersebut belum tentu menjamin bahwa guru tidak mengalami stres. Oleh karena itu Kepala Sekolah diharapkan selalu memantau kondisi guru lewat evaluasi rutin sehingga dapat mencegah guru mengalami stres yang tinggi. Hal ini nantinya juga dapat berguna bagi perkembangan sekolah. Selain itu Kepala Sekolah juga diharapkan memberikan kegiatan-kegiatan rutin seperti training untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan kompetensi dan kualitas guru, khususnya dalam keterampilan menggunakan teknologi dimana dalam Kurikulum 2013 ini guru dituntut untuk dapat menguasai teknologi dan informasi. Guru
25
Guru diharapkan untuk dapat terus melakukan upaya dalam meningkatkan kualitas kompetensi sebagai guru melalui kegiatan-kegiatan pengembangan diri seperti pelatihan bagi guru-guru. Hal ini juga berguna bagi guru dalam mempersiapkan diri menghadapi masalah yang mungkin akan muncul akibat pelaksanaan Kurikulum 2013, mengingat bahwa meskipun penilaian guru terhadap Kurikulum 2013 cenderung positif namun hal tersebut belum tentu menjamin guru tidak mengalami stres. Penelitian Selanjutnya Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian kualitatif untuk dapat melihat secara keseluruhan gejala-gejala stres yang dialami oleh guru dalam menjalankan tugasnya. Mengingat bahwa ada faktor lain yang mungkin menyebabkan tidak terjadinya hubungan antara ketiga variabel dalam penelitian ini, maka bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti kaitan ketiga variabel tersebut dengan faktorfaktor tersebut. Selain itu penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperbesar kuantitas subjek sehingga nantinya dapat digeneralisasi.
26
DAFTAR PUSTAKA Aswar, S. (2015). Penyusunan skala psikologi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta Aziz, F., & Akhtar, M.M.S. (2014). Impact of training on teacher competence at higher eduction level in pakistan. Journal of Arts, Science & Commerce Vol. V, 121-128 Brunel, P.C. (1999). Relationship between achievement goal orientation and perceived motivational climate on intrinsic motiation. Scandinavian Journal of Medicine &Science in Sports, 9, 365-374 Carpenter, R.D. (2008). Cognitive appraisal of perceived threat of diabetes and adherence to self-management behaviors. Dissertation. School of Nursing, West Virginia University Dewe,P. (1991). Primary appraisal, secondary appraisal and coping: their role in stressful work encounter. Journal of Ocupaional Psychology, 64,331-351 Dewe,P.J., O’Driscoll, M.P., & Cooper, C.L. (2012). Handbook of Occupational Health and Wellness. Gatchel,R.J., & Schultz,L.Z (ed). Handbooks in Health, Work, and Disability, DOI 10.1007/978-1-4614-4839-6_2. Springer Science+Business Media New York Dollard, M.F., Winefiled, A.H., & Winefield, H.R. (2003). Occupational stress in the service professions. Taylor & Francis: London Edge,H. J.M., Ivey, G.W. (2012). Mediation of cognitive appraisal on combat exprosure and psychological distress. Military Psychology,24:71-85 Fimian, M.J., (1988). Teacher stress inventory. Clinical Psychology Publishing Co., Inc. Frisancho, S. (1997). The relationship between the primary appraisal of stress, dialecticalthinking and moral dilemmasthat threaten the self. , 122 Guillen,L., & Saris,W.E. (2013). Competencies,personality traits, and organizational rewards of middle managers: a motive-based approach.Human Performance, 26:66-92 Hamaideh, S.H. (2012). Occupational stress, social support, and quality of life among jordanian mental health nurses. Issues in Mental Health Nursing, 33:15–23 Hanif, R. (2004). Teacher stress, job performance and self-efficacy of women school teacher. Disertation. National Institute of Psychology. Quaid-i-Azam University: Islamabad. (diunduh dari http://prr.hec.gov.pk/Thesis/2352.pdf) Harvey,A., Nathens,A.B., Bandiera,G., & LeBlanc,V.B. (2010). Threat and challenge: cognitive appraisal and stress responses in simulated trauma resuscitations. Medical Education, 44: 587-594
27
Kayastha, D.P., & Kayastha, R. (2012). A study occupational stress on job satisfaction among teacher with particular reference to corporate, higher secondary school of nepal: empirical study. Asian Journal of Management Sciences and Education, Vol. 1, No.2, 52-62 Kemendikbud. (2013). Implementasi kurikulum 2013 dan relevansinya dengan kebutuhan kualifikasi kompetensi lulusan.Paparan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan. (diunduh dari http://pps.unnes.ac.id/wpcontent/uploads/2013/09/Musliar-Kasim.pdf) Latief (ed). (4 Desember 2014). Tim evaluasi kurikulum 2013 temui mendikbud. Harian Kompas.http://edukasi.kompas.com/read/2014/12/04/19414341/Tim.Evaluasi.Kurik ulum.2013.Temui.Mendikbud. (diunduh tanggal 11 Maret 2015) Lazaruz,R.S., & Folkman,S. (1987). Transactional theory and research on emotion and coping. European Journal of Personality, Vol. 1, 141-169 Musfah,J. (2011). Peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan dan sumber belajar teori dan praktik. Kencana: Jakarta Ozturk,G. (2011). Public primary school teachers’ perceptions of their working conditions and job stress, cases from Istanbul and Stockholm. Department of Education,Institute of International Education. (diunduh darihttp://www.edu.su.se/polopoly_fs/1.142107.1375791744!/menu/standard/file/P ublic_Primary_School_Teachers.pdf) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013. Diunduh dari http://biologi.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2013/08/PDK-2013-68-KerangkaDasar-Kurikulum-Kompetensi-SMP.pdf PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2007 (diunduh darihttp://luk.staff.ugm.ac.id/atur/Permen162007KompetensiGuru.pdf) Reddy, G.L., & Anuradha, R.V. (2013). Occupational stress of higher secondary teachers working in vellore district. International Journal of Educational Planning & Administration, Volume 3, Number 1, 9-24 Sugiyono. (2010). Metode Penelitian kuantitatif kualitatif dan r&d. Alfabeta: Bandung Tram, J.M., & Cole, D.A. (2000). Self-perceived competence and the relation between life events and depressive symptoms in adolescence: mediator or moderator?.Journal of Abnormal Psychology Vol.109,No.4,753-760 Tre ´panier, S.G., Fernet, C., & Austin, S. (2013). The moderating role of autonomous motivation in the job demands-strain relation: a two sample study. Motiv Emot 37:93–105. Trinder. J.C. (2008). Competency standards – a measure of the quality of a workforce. The International Archieves of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial
28
Information Science. Vol.XXXVII. Part B6a. Beijing(dunduh dari http://www.isprs.org/proceedings/XXXVII/congress/6a_pdf/5_WG-VI-5/01.pdf) Vaezi,S., & Fallah, N. (2011). The relationship between self-efficacy and stress among Iranian ELF teachers. Journal of Language Theaching and Research, Vol. 2, No.5, 1168-1174 Weinstein,N., Brown,K.W., & Ryan, R.M. (2009). A multi-method examination of the effects of mindfulness on stress atribution, coping, and emotional well-being. Journal of Research in Personality, 43, 374-385 Yperen, N.W.V. (2007). Performing well in an evaluative situation: the roles of perceived competence and task-irrelevant interfering thoughts. Anxiety, Stress, & Coping, 20(4): 409-419