KEWAJIBAN NEGARA TERHADAP PEMENUHAN HAK ATAS KECUKUPAN PANGAN YANG LAYAK DI INDONESIA (Suatu Tinjauan Terhadap Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) Oleh : Dr. Iin Karita Sakharina, S.H., M.A. Editor : Kadarudin Layout : Ahmad Rizal Ali Samad Gambar sampul diambil dari : http://www. bkpp.jogjaprov.go.id http://www. kadin-indonesia.or.id Diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Indonesia, oleh : Pustaka Pena Press Anggota IKAPI Sul-Sel Jl. Kejayaan Selatan Blok K, No. 85 BTP, Makassar 90245 Telp. 08124130091, E-mail:
[email protected] Cetakan Kesatu, Juni 2016 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia ISBN: 978-602-6332-02-8 xiv + 341 hlm Hak Cipta@2016, ada pada penulis Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. All right reserved Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh Isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit ii
Iin Karita Sakharina
KEWAJIBAN NEGARA TERHADAP PEMENUHAN HAK ATAS KECUKUPAN PANGAN YANG LAYAK DI INDONESIA (Suatu Tinjauan Terhadap Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)
DR. IIN KARITA SAKHARINA, S.H., M.A.
Penerbit Pustaka Pena Press, Makassar, 2016 Iin Karita Sakharina
iii
UNDANG-UNDANG RI NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA Pasal 8 Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan. Pasal 9 1. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: (a) penerbitan Ciptaan; (b) Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; (c) penerjemahan Ciptaan; (d) pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; (e) Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; (f) pertunjukan Ciptaan; (g) Pengumuman Ciptaan; (h) Komunikasi Ciptaan; dan (i) penyewaan Ciptaan. 2. Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. 3. Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
SANKSI PELANGGARAN 1.
2.
3.
4.
Pasal 113 Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100. 000.000 (seratus juta rupiah). Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
iv
Iin Karita Sakharina
KATA PENGANTAR Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesempatan baik yang telah diberikan sehingga Buku dengan judul “Kewajiban Negara terhadap Pemenuhan Hak atas Kecukupan Pangan yang Layak di Indonesia (Suatu Tinjauan terhadap Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)” ini dapat hadir di tengah-tengah kita semua. Kehadiran buku ini sangat penting khususnya bagi para mahasiswa program sarjana (S1), magister (S2), dan mahasiswa program Doktor (S3) yang ingin mendalami masalah hak asasi manusia khususnya dibidang pangan. Tidak hanya bagi para mahasiswa, buku ini juga sangat cocok dibaca oleh para praktisi hak asasi manusia yang bergerak dibidang ketahanan pangan warga, birokrat, dan bagi para peneliti serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kerjakerja sosialnya membantu warga dan para petani dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara. Buku ini merupakan pengembangan dari Disertasi Doktor penulis, dimana dalam perjalanan studinya penulis sangat intens melakukan kajian-kajian mengenai ketahanan pangan sehingga dalam buku ini cukup komprehensif dalam membahasa mengenai hak atas kecukupan pangan yang layak di Indonesia. Saya selaku Ketua Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin menyambut baik akan kehadiran buku ini dan semoga buku ini dapat bermanfaat
Iin Karita Sakharina
v
dalam pengembangan hak asasi manusia internasional, khususnya dibidang hak atas pangan.
Makassar, 15 Mei 2016
Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.
vi
Iin Karita Sakharina
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.
v
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN
vii ix xi
BAB I PENDAHULUAN
1
BAB II NEGARA KESEJAHTERAAN & HAM A. Negara Kesejahteraan B. Konsep Hak Asasi Manusia
15 15 22
BAB III KEWAJIBAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA PIHAK DARI KOVENAN INTERNASIONAL HAK EKOSOB A. Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya B. Proses Ratifikasi Kovenan oleh Indonesia C. Kewajiban Negara Pihak D. Implementasi Kovenan dalam Hukum Nasional E. Laporan Negara Pihak kepada Komite F. Pelanggaran terhadap Hak Ekosob G. Hak Ekosob sebagai Justiciable Rights
69 70 86 107 113 117 131 139
Iin Karita Sakharina
vii
BAB IV KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH BERKENAAN DENGAN HAK ATAS KECUKUPAN PANGAN A. Politik Pangan Pemerintah Indonesia B. Kebijaksanaan Pemerintah Pusat C. Kebijaksanaan Pemerintah Daerah
149 150 158 187
BAB V KEMAJUAN PEMENUHAN HAK ATAS PANGAN YANG LAYAK DI INDONESIA A. Kemajuan Implementasi Kovenan Pasca Ratifikasi B. Implementasi di Daerah
217 217 250
BAB VI PENDEKATAN APPROPRIATE PEMERINTAH DALAM MEMENUHI KEWAJIBAN BAGI WARGA A. Hubungan Pemerintah dan Masyarakat B. Rencana Pemerintah C. Program Pemerintah D. Pola Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak atas Kecukupan Pangan oleh Pemerintah BAB VII PENUTUP DAFTAR PUSTAKA TENTANG PENULIS TENTANG EDITOR
viii
Iin Karita Sakharina
269 271 274 278 315
321 327
DAFTAR TABEL Tabel 1 : Jadwal Acara Pembahasan RUU Pengesahan Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekosob
98
Tabel 2 : Kebutuhan Kalori Tahun 2002 – 2008
129
Tabel 3 : Peraturan Bidang Pangan Sebelum Ratifikasi
182
Tabel 4 : Peraturan Bidang Pangan Setelah Ratifikasi
183
Tabel 5 : Peraturan dan Keputusan Bidang Pangan Setelah Ratifikasi
185
Tabel 6 : Peraturan dan Keputusan Bidang Pangan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan
193
Tabel 7 : Kewajiban Negara Pihak untuk Mengakui dan Menjamin HAM dalam Kovenan Hak Ekosob
220
Tabel 8 : Pengaturan Pelaporan Pelaksanaan Kovenan Hak Ekosob
230
Tabel 9 : Penggunaan Lahan di Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2005
281
Iin Karita Sakharina
ix
x
Iin Karita Sakharina
DAFTAR SINGKATAN ABG AKG AKPN APBN APBD ARAM AS BKPD BOP BPP BPPS BPS BTM BULOG BUMN CEDAW
: Akademisi, Bisnis, Government : Angka Kecukupan Gizi : Adi Karya Pangan Nusantara : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah : Angka Ramalan : Amerika Serikat : Badan Ketahanan Pangan Daerah : Balance of Payment : Balai Penyuluhan Pertanian : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi : Badan Pusat Statistik : Bahan Tambahan Makanan : Badan Urusan Logistik : Badan Usaha Milik Negara : Convention on the Elimination on All Forms of Discrimination Against Woman CPPD : Cadangan Pangan Pemerintah Desa DPR : Dewan Perwakilan Rakyat DUHAM : Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia EKOSOB : Ekonomi, Sosial, dan Budaya FAO : Food and Agriculture Organization FEATI : Farmer Endeaforing Agriculture Technology and Information FIA : Food Insecurity Atlas FGD : Focuss Group Discussion FMA : Farmer Managed Activities GAPOKTAN : Gabungan Kelompok Tani HAM : Hak Asasi Manusia HPP : Harga Pokok Pembelian ICCPR : International Covenant on Civil and Political Rights ICESCR : International Covenant on Economic, Social, and Cultur Rights ILC : International Law Commission INPRES : Instruksi Presiden Iin Karita Sakharina
xi
IR : Instruction Register KEPGUB : Keputusan Gubernur KEPMEN : Keputusan Menteri KEPPRES : Keputusan Presiden KG : Kilo Gram KK : Kartu Keluarga KOMNAS : Komisi Nasional KPPKP : Kebiajkan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan KTNA : Kontak Tani Nelayan Andalan KUAT : Kawasan Usaha Agropolitan Terpadu LAKU : Latihan dan Kunjungan LHP : Lanjut Hasil Pemeriksaan LKPJ : Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LPPD : Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat LQ : Liquid MPR : Majelis Permusyawatan Rakyat MOU : Memorandum of Understanding NGO : Non Governmental Organization NTT : Nusa Tenggara Timur OKD : Organisasi Keamanan Desa OKKPD : Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah ORBA : Orde Baru PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa PDB : Produk Domestik Bruto PERBUP : Peraturan Bupati PERDA : Peraturan Daerah PERGUB : Peraturan Gubernur PERMEN : Peraturan Menteri PERMENDAGRI : Peraturan Menteri Dalam Negeri PERPRES : Peraturan Presiden PERUM : Perusahaan Umum PLPB : Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan PNS : Pegawai Negeri Sipil POM : Pengawas Obat-Obatan dan Makanan PP : Peraturan Pemerintah PPH : Pola Pangan Harapan
xii
Iin Karita Sakharina
PPP PT PTPN P3TIP
: Penyelenggaraan Pendidikan Pertanian : Perseroan Terbatas : Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara : Program Pemberdayaan Petani Melalui Teknologi dan Informasi Pertanian PUAP : Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan PUEP : Pengembangan Usaha Ekonomi Pedesaan PUGS : Pedoman Umum Gizi Seimbang PUSKESMAS : Pusat Kesehatan Masyarakat RANHAM : Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia RASKIN : Beras Bagi Keluarga Miskin RDK : Rencana Definitif Kelompok RDKK : Rencana Definitif Kebutuhan Pokok RFG : Right to Food Guideline RI : Republik Indonesia RMP : Rice Milling Plant RP : Rupiah RRC : Republik Rakyat Cina RTRWP : Rencana Struktur Tata Ruang Wilayah Provinsi RUB : Rencana Usaha Bersama SAW : Sallallahu Alaihi Wasallam SDL : Sumber Daya Lokal SEKJEN : Sekertaris Jenderal SI : Sidang Istimewa SK : Surat Keputusan SKMB : Surat Keputusan Menteri Bersama SKP : Surat Keputusan Menteri SKPG : Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi SIPOL : Sipil dan Politik SM : Sebelum Masehi SUSENAS : Survei Sosial Ekonomi Nasional SWT : Subhanahu Wa Taala TGHK : Tata Guna Hutan Kesepakatan UDHR : Universal Declaration of Human Rights UPTB : Unit Pelaksana Teknis Badan UN : United Nations USSR : Union of Soviet Socialist Republics Iin Karita Sakharina
xiii
UU : Undang-Undang UUD NRI 1945 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 WFP : World Food Programme
xiv
Iin Karita Sakharina
BAB I PENDAHULUAN
Hak atas pangan merupakan hak dasar yang menjadi suatu kebutuhan bagi setiap manusia yang harus dipenuhi, dan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM). Hak atas pangan menjadi penting artinya dalam rangka pemenuhan hak-hak asasi lainnya karena hak atas pangan atau the right not to be hungry memiliki hakekat yang paling urgen diantara hak-hak asasi lainnya seperti hak hidup, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan kehidupan dan pekerjaan yang layak, dan hak kesejahteraan karena jika hak atas pangan seseorang dapat terpenuhi maka dia akan bebas untuk melakukan hal-hal lain yang berguna bagi dirinya termasuk dalam memperjuangkan hak-hak asasinya. HAM dimiliki oleh setiap orang sejak ia dilahirkan dan merupakan anugerah atau pemberian dari Tuhan kepada setiap umat-Nya sehingga tidak ada seorangpun yang berhak merampasnya. HAM berlaku secara universal bagi setiap orang, individu maupun kelompok yang ada di bumi ini. Setiap orang berhak menikmati hak asasinya baik dia perempuan, laki-laki,
Iin Karita Sakharina
1
anak-anak, orang tua dalam keadaan sehat maupun cacat secara mental dan psikis. Sebagaimana dimuat dalam Piagam HAM1 secara kodrati, universal dan abadi meliputi hak hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan yang oleh karena itu tidak boleh dirampas oleh siapapun. Dalam hukum HAM, negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali berdasarkan hukum yang sah (legitimate). Sebagai contoh, negara tidak melakukan intervensi terhadap hak pilih warga saat pemilihan umum. Kewajiban ini harus diterapkan pada semua hak, baik hak hidup, integritas personal, privasi. Kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk
Lihat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998. 1
2
Iin Karita Sakharina
menjamin
pelaksanaan
HAM.
Kewajiban
negara
untuk
melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban yang paling dasar dan bukan hanya melindungi hak asasi dari pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak asasi tersebut. Menurut Antonio Cessae bahwa The principle at issue does not impose on State the obligation to abide by specific regulations on human rights. Rather it requires States to refrain from seriously and repeatedly infringing a basic rights (for example, the right not to be subjected to torture; or the right to a fair trial; or freedom from arbitrary arrest), and from trampling upon a whole series of rights (for instance, the fundamental civil and political rights, or social, economic, rights, and cultural rights).2 Maksud dari pernyataan Antonio Cessae adalah bahwa prinsip ini tidak membuat negara berdiam diri pada aturan-aturan khusus dari HAM, dimana lebih meminta
negara
untuk
menetapkan
ulang
pelanggaran-
pelanggaran serius HAM, misalnya hak untuk tidak disiksa; atau hak untuk mendapatkan proses pengadilan yang adil atau bebas dari penangkapan yang sewenang-wenang dan peneka-
Lihat Antonio Cessase, International Law, 2nd Edition, (New York: Oxford University Press, 2005), hlm. 59 2
Iin Karita Sakharina
3
nan terhadap seperangkat serial HAM, misalnya hak dasar dibidang sipil dan politik atau ekonomi, sosial dan budaya. Negara selaku pemegang otoritas tertinggi wajib menjamin, melindungi dan memenuhi hak dari setiap warganya termasuk Indonesia. Sebagaimana yang termaktub dalam rumusan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, bahwa: “HAM adalah seperangkat hak yang melekat dan keberadaan setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Selain itu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945), hasil amandemen telah mengatur mengenai HAM khususnya hak kesejahteraan yang termasuk didalamnya adalah hak atas pangan, yang diatur dalam :
4
Pasal 28A, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28C ayat (1), “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
Iin Karita Sakharina
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 28H ayat (2), “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Pasal 28H ayat (3), “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.
Berdasarkan pengaturan yang ada dalam UUD NRI 1945 khususnya Pasal 28 hasil amandemen jelaslah bahwa negara menjamin perlindungan dan penghormatan terhadap terlaksananya HAM bagi warga negaranya khususnya dibidang hak-hak sosial, dimana jika di hubungkan antara Pasal 28 A dengan hak untuk hidup (the right to life) yang menjadi bagian dari hak-hak sipil adalah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, the right to life dapat juga diartikan bahwa setiap orang berhak atas hidupnya dan untuk meneruskan hidupnya tentunya harus ditunjang dengan kesejahteraan, dimana dapat diartikan bahwa setiap orang dapat memenuhi kebutuhan yang paling mendasar dalam hidupnya yaitu dengan mendapatkan hak atas pangan yang layak. Iin Karita Sakharina
5
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (selanjutnya disebut Hak Ekosob) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hukum HAM. Hak-hak itu merupakan pokok masalah dari suatu kewajiban negara terhadap suatu perjanjian di berbagai instrumen internasional, terutama pada Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob. Hak ekonomi meliputi, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak untuk mendapatkan upah yang seimbang dengan pekerjaan, tidak boleh ada pemaksaan tenaga kerja, hak untuk melakukan negosiasi, hak untuk menggunakan waktu istirahat, hak untuk mendapatkan standar hidup yang seimbang, hak untuk mendapatkan makanan, hak untuk mendapatkan kesehatan, hak untuk mendapatkan perumahan, hak untuk mendapatkan pendidikan. Sementara hak dibidang budaya, meliputi: hak untuk mengambil bagian dalam kehidupan budaya, hak untuk menikmati/memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan, perlindungan terhadap kebebasan mengarang dan hak cipta, kebebasan dalam meneliti ilmu pengetahuan dan berkreasi. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR atau Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekosob pada bulan September tahun 2005 melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005. Ratifikasi ini telah menandai babak baru keseriusan 6
Iin Karita Sakharina
pemerintah Indonesia dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonomi warganya. Dengan diratifikasinya kovenan internasional ini membuat Indonesia terikat secara hukum pada perjanjian internasional mengenai Hak Ekosob dan telah menjadi kewajiban bagi Indonesia dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang kuasa eksekutif untuk memenuhi dan melaksanakannya. Salah satu kasus yang sering mencuat dan menjadi bahan perbincangan setiap tahunnya dalam wacana terhadap pemenuhan Hak Ekosob ini adalah kasus rawan pangan. Hak atas pangan dapat juga di istilahkan rights not to be hungry. Pemerintah dituntut untuk serius menyikapi masalah kasus rawan pangan dalam hubungannya dengan tanggung jawab terhadap pemenuhan hak atas pangan yang layak dalam konteks perlindungan terhadap HAM. UUD 1945 pada Pasal 27 ayat (2) secara tegas juga mengatur bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Secara tekstual, pasal ini mengandung arti bahwa negara dituntut secara aktif menyediakan kebutuhan pokok bagi warganya. Yang dimaksud dengan hak atas pangan disini adalah hak untuk mendapatkan akses yang teratur, tetap dan bebas, baik secara langsung atau dengan membeli pangan yang memadai dan cukup, baik secara kualititatif dan kuantitatif yang
Iin Karita Sakharina
7
berhubungan secara langsung pada masyarakat dimana konsumsi itu berasal. Sebagai anti tesanya, secara terminologi dapat di definisikan sebagai suatu
kondisi ketidakmampuan individu atau
kelompok individu untuk memenuhi kebutuhan pangan minimal untuk hidup sehat dan aktif3. Berbagai kondisi, selain kekurangan pangan, seperti kurangnya nutrisi, buta huruf, tiadanya kebebasan sipil dan hak-hak berdemokrasi, diskriminasi, pengidapan penyakit, dan berbagai bentuk perampasan hak-hak milik (entitlement) pribadi, adalah bentuk-bentuk kemiskinan yang menciptakan penderitaan.4 PBB mencatat dari enam milliar penduduk dunia terdapat 1,2 milliar jiwa yang hidup dibawah garis kemiskinan atau hidup dengan biaya kurang dari 1 dollar AS (Rp. 9000/hari). Jika indikator kemiskinan dinaikkan menajdi 2 dollar AS/hari, maka jumlah kaum papa mencapai 2 milliar orang.5 Kemiskinan masih menjadi masalah utama di Indonesia, pada beberapa media di Indonesia baik elektronik maupun cetak Lihat Kaman Nainggolan, Pengaturan & Realisasi Pemenuhan Hak Atas Pangan Yang Layak, (Jakarta: Komnas HAM, 2006), hlm. 3 3
Lihat Amartya Sen, Masih adakah harapan Bagi kaum Miskin ?, (Bandung: Mizan Pustaka, 2001), hlm. xiv 4
Lihat Witoro, Pengurangan Kelaparan dan Kemiskinan Sebagai Agenda Utama (www.forumdesa.org). Diakses Pada Hari Jumat, 7 Oktober 2011, Pukul: 19:00 5
8
Iin Karita Sakharina
sering sekali memuat mengenai kasus-kasus kemiskinan yang menyebabkan terjadinya busung lapar dan juga gizi buruk. Pada awal tahun 2011, pemberitaan media massa ramai-ramai memuat mengenai kasus dari satu keluarga yang ke-enam anaknya tewas setelah keracunan tiwul untuk mengganti nasi yang sudah tidak dapat terbeli, pada kasus lain pasangan suami isteri
yang nekat bunuh diri dan tega meninggalkan anak-
anaknya karena tidak mampu menanggung biaya hidup.6 Kelaparan dalam hal yang paling fundamental yaitu tidak terpenuhinya atau tersedianya kebutuhan makanan dasar sebagai bahan pokok untuk kehidupan manusia, misalnya masyarakat yang kesehariannya mengonsumsi nasi sebagai bahan pokok, dalam situasi rawan pangan akan mengalami kesulitan mendapatkan beras, begitu juga dengan masyarakat yang mengonsumsi beragam bahan pokok lainnya. Untuk sampai pada kondisi kelaparan, suatu daerah sebelumnya tentu telah dimulai dengan gejala rawan pangan, yang dimaksud dengan rawan pangan disini adalah suatu kondisi ketidakmampuan individu atau kelompok dalam suatu wilayah untuk mendapatkan pangan sedikit diatas minimum yang cukup dan sesuai demi mencapai hidup sehat dan aktif.7 6
Harian Kompas, edisi Senin, 10 Januari 2011.
7
Witoro, Loc. Cit. Iin Karita Sakharina
9
Bahkan dalam konteks global, isu rawan pangan telah menjadi masalah serius ditiap negara, utamanya negara-negara yang masuk kategori miskin dan berkembang. Sebagai bagian dari HAM, khususnya Hak Ekosob, sudah cukup banyak instrumen dan mekanisme HAM internasional dan nasional yang bisa dijadikan acuan (guideline). Diluar instrumen utama HAM
internasional,
yaitu
Deklarasi
Umum
Hak
Asasi
Manusia/DUHAM (Universal Declaration of Human Rights/UD HR), dan Konvensi Internasional Hak Ekosob, World Food Summit, dalam konteks mekanisme HAM internasional, Special Rapporteur on Rights to Food yang dibentuk Komisi HAM PBB, telah menawarkan kerangka acuan bagi perlindungan hak atas pangan dan mengeluarkan rekomendasi bahwa tanpa reformasi dibidang agraria, maka kelaparan dan kemiskinan tidak bisa diatasi, khusus dalam Kovenan ICESCR/Ekosob, yakni Pasal 11 ayat (2) yang mengatur bahwa negara-negara pihak telah mengakui bahwa hak dasar setiap orang untuk bebas dari kelaparan, maka kewajiban negara-negara yang turut meratifikasi dinyatakan bahwa : “Negara-negara peserta perjanjian, . . akan mengambil berbagai tindakan, baik secara individual maupun melalui kerjasama internasional, termasuk program-program khusus yang diperlukan bagi perbaikan terhadap metode-metode produksi, konservasi, dan distribusi pangan 10
Iin Karita Sakharina
dengan menggunakan secara penuh pengetahuan ilmiah dan teknis, dengan penyebaran pengetahuan tentang prinsip-prinsip nutrisi dan dengan mengembangkan atau memperbaharui sistem-sistem agraria (reforming agrarian system) sedemikian rupa sehingga mampu mencapai pengembangan dan penggunaan berbagai macam sumberdaya alam dengan sangat efisien…” Selain itu kaidah-kaidah Limburg (Limburg Principles) tentang pelaksanaan kovenan internasional mengenai Hak Ekosob juga mengatur bahwa kewajiban negara untuk secara bertahap mencapai realisasi sepenuhnya hak-hak tersebut, dimana mengharuskan bagi negara peserta untuk bergerak secepat mungkin kearah terwujudnya hak-hak tersebut. Semua negara peserta mempunyai kewajiban untuk segera mulai mengambil langkah-langkah dalam memenuhi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan kovenan. Maraknya kasus gizi buruk dan kelaparan yang terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun yang tidak jarang menyebabkan kematian secara aktual telah terjadi seperti kasus yang terjadi pada bulan April 2008 di Kota Makassar.8 Selain itu, peta kerawanan pangan di Indonesia yang dibuat oleh Badan Ketahanan Pangan dan World Food Programme tahun 2005 Lihat harian Fajar edisi April 2008: Memberitakan kematian seorang ibu bernama Dg. Besse yang tengah hamil sekitar 7 bulan bersama putera sulungnya Bahri, dan juga kematian Darmawati di bulan Maret 2008 8
Iin Karita Sakharina
11
menunjukkan bahwa dari 265 kabupaten yang ada di Indonesia terdapat 100 kabupaten yang termasuk rawan pangan. 30 kabupaten atau 11,32 persen termasuk daerah yang rawan pangan dan daerah yang sangat rawan pangan juga berjumlah sama, yaitu 30 kabupaten atau 11,32 persen.9 Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampak pelaksanaan dari ratifikasi atas kovenan internasional mengenai Hak Ekosob khususnya pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak cenderung tidak optimal sehingga kasus gizi buruk, kelaparan dan rawan pangan masih banyak terjadi hampir diseluruh Indonesia, dan jika hal ini dibiarkan maka bukan saja negara gagal mewujudkan kesejahteraan bagi setiap warga negaranya namun negara juga akan gagal mewujudkan pemenuhan HAM khususnya dibidang ekonomi bagi rakyatnya. Berdasarkan fenomena yang terjadi sebagaimana di uraikan di atas, maka telah menimbulkan isu bahwa Pemerintah Republik Indonesia sebagai representasi dari negara diduga belum secara optimal melaksanakan kewajiban terhadap hak atas kecukupan pangan yang layak, oleh karena itu isu hukum yang hendak diteliti adalah menyangkut kewajiban negara terhadap pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak di Indonesia (suatu tinjauan terhadap kovenan internasional hak ekonomi, sosial, dan 9
12
Witoro, Loc. Cit. Iin Karita Sakharina
budaya) bagi setiap warga negara sebagai salah satu bentuk pelaksanaan dari kovenan internasional mengenai Hak Ekosob yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka secara lebih konkret dalam buku ini akan mengulas tentang hal-hal berikut: Pertama, Sejauhmanakah kewajiban Indonesia sebagai negara pihak dari kovenan internasional hak ekosob dapat memenuhi hak warga negara Indonesia atas kecukupan pangan yang layak ? Kedua, Sejauhmanakah kebijaksanaan yang ditetapkan oleh negara berkenaan dengan hak atas kecukupan pangan yang layak di Indonesia ? Ketiga, Bagaimanakah pendekatan appropriate yang dapat dilakukan pemerintah dalam memenuhi kewajiban konstitusional bagi warganya khususnya hak atas pangan ? Indonesia dalam kajian buku ini hanya mengambil sampel dan memfokuskan hasil penelitian pada Provinsi Sulawesi Selatan (Kabupaten Sinjai, Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros dan Kota Makassar) dan sebagai bahan perbandingan maka penulis menyertakan hasil penelitian dari Komnas HAM tentang ketahanan pangan di Kabupaten Kubu Raya (Provinsi Kalimantan Barat). Selain itu, dalam Bab V dijelaskan pula mengenai kemajuan pemenuhan hak atas pangan yang layak di Indonesia, dalam materi tersebut adalah merupakan hasil Iin Karita Sakharina
13
penelitian postdoctoral tim peneliti yang didanai oleh Direktorat Perguruan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 2014, dan diketuai oleh penulis sendiri.10
Adapun anggota peneliti pada penelitian postdoctoral tersebut adalah Prof. Dr. S.M., Noor, S.H., M.H., Trifenny Widayanti, S.H., M.H., dan Kadarudin, S.H., M.H. 10
14
Iin Karita Sakharina
BAB II NEGARA KESEJAHTERAAN & HAM
A. Negara Kesejahteraan Sebagaimana yang dikemukakan Neville Haris bahwa The social security system a key element of the complex and higly regulated network of conditional support provided by the state to citizens who lack the financial or physical means to meet their basic needs. This overall network of support has traditionally formed the basic, primary, role of the welfare state. In fact, the “welfare State” concept is sometimes used to describe part of the character of the particular state itself in addition to indicating the approach taken by a national state towards the delivery of welfare provision.11 (Penulis terjemahkan secara bebas: bahwa sistem jaminan sosial adalah merupakan elemen kunci dari sebuah regulasi yang kompleks dan memiliki jaringan yang kuat dimana secara kondisional, negara akan mendukung atau menyediakan kebutuhan bagi warga negaranya yang kurang secara finansial atau secara fisik untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Jaringan ini secara keseluruhan
membantu
pembentukan
dasar,
aturan
dan
keutamaan dari negara kesejahteraan. Dalam kenyataannya, Lihat Neville Harris & Parts., Social Law Security, Law in Context, (New York: Oxford University Press, 2000), hlm. 1-2 11
Iin Karita Sakharina
15
konsep “Negara Kesejahteraan” juga kadang di gunakan untuk menjelaskan bagian-bagian dari karakter negara itu sendiri untuk menunjukkan pendekatan yang dapat di gunakan oleh suatu negara dalam menjalankan penegakan undang-undang kesejahteraan). Sementara R. Mishra mengatakan An accurate and perhaps more all embracing definition of a welfare state today than Brigss’s is Mishra simpler dual conceptualization: the state accepts responsibility for welfare and (via legislation and other constitutional means) provides mechanisms institutions and procedures for the delivery of the services and other forms of provisions required to meet basic need.12 Maksud dari konsep Mishra ini adalah sebuah konsep mengenai definisi dari negara kesejahteraan saat ini, dikemukakan oleh Mishra sebagai dua konsep bahwa negara menerima tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyatnya melalui undang-undang dan aturan lainnya yang dibentuk, mengatur mekanisme dan prosedur untuk menjalankan pelayanan ini sehingga kebutuhan dasar mereka dapat terpenuhi. Ajaran negara hukum yang kini dianut oleh negaranegara di dunia, khususnya setelah perang dunia kedua adalah negara kesejahteraan (welfare state). Konsep negara ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state atau negara 12
16
Lihat R. Mishra dalam Neville Harris & Parts., Ibid., hlm. 5 Iin Karita Sakharina
penjaga malam. Dalam konsep legal state ini terdapat pada prinsip staatsonthouding atau pembatasan peranan negara dan pemerintah dalam bidang politik yang bertumpu pada dalil “the least government is the best government” dan terdapat prinsip “laissez faire laissez aller” dalam bidang ekonomi yang melarang negara dan pemerintah mencampuri kehidupan ekonomi masyarakatnya.13 Akibat pembatasan ini pemerintah atau administrasi negara menjadi pasif, sehingga sering disebut sebagai negara penjaga malam. Adanya pembatasan negara dan pemerintah ini dalam praktiknya ternyata berakibat menyengsarakan warga negara, yang kemudian memunculkan reaksi dan kerusuhan sosial. Dengan kata lain konsep negara sebagai penjaga malam telah gagal dalam implementasinya. Kegagalan implementasi negara penjaga malam ini kemudian memunculkan gagasan yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya yaitu Welfare State. Ciri utama negara ini adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi rakyatnya.14
Lihat Marwati Riza, Perlindungan Hukum Pekerja Migran Indonesia di luar Negeri (Makassar: AS Publishing, 2009), hlm. 5. 13
14
Lihat Ridwan HR. dalam Marwati Riza, Ibid., hlm. 68 Iin Karita Sakharina
17
Sejak turut campurnya negara dalam pergaulan kemasyarakatan, maka E. Utrecht menyatakan bahwa pekerjaan pemerintah makin lama makin luas, administrasi diberikannya tugas “Bestuurszorg” ini maka membawa konsekuensi yang khusus bagi administrasi negara agar dapat menjalankan tugas penyelenggaraan pengajaran bagi semua warga negara secara baik, bagi administrasi negara memerlukan kemerdekaan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri terutama dalam penyelesaian soal genting yang timbul dan peraturan penyelenggaraannya ada yaitu dibuat oleh badan-badan kenegaraan yang diserahi fungsi legislatif.15 Campur tangan negara oleh pemerintah adalah setiap aktifitas pemerintah yang bertujuan untuk mempengaruhi proses interaksi dalam masyarakat atau komunitas tertentu dalam masyarakat. Perbuatan pemerintah dapat juga dikatakan campur tangan, apabila pemerintah memenuhi wilayah yang bukan merupakan bagian dari fungsi atau lingkungan yang sebenarnya.16 Tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam alinea ke empat pembukaan UUD NRI 1945 yakni: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
15
Marwati Riza. Ibid., hlm. 68
Lihat Muh Guntur, Pengaturan Hukum dan Pelaksanaan Tata Niaga Produk Pertanian (Disertasi), (Surabaya: Universitas Airlangga, 2002), hlm. 25 16
18
Iin Karita Sakharina
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Makna dari tujuan negara Indonesia menunjukkan bahwa negara Indonesia sebagai negara yang bercirikan “welfare state” karena itu dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, Pemerintah Indonesia harus campur tangan dalam kehidupan sosial ekonomi rakyatnya.17 Menurut Mishra bahwa the two chief models of welfare system are conceptualised as the residualist and institutional models (Terdapat 2 model utama dari sistem kesejateraan ini yaitu sebagai model residu dan model institusi). Lebih lanjut Mishra berpendapat bahwa Below there is discussion of welfare state is premised on the nation that welfare provision is a normal and primary function of a modern industrial society. The ideal on which the institutional model is based is that the welfare state should aim to maintain a reasonable standard of living for all, with a guarantee of more or less unconditional citizenship rights. The institutional model is associated with redistributive function of welfare, in the sense that public welfare provision aims to redistribute resources in favour of those who derive the least advantage from the chief mechanism for wealth distribution the market-based economic system.18 Bahwa dis17
Marwati Riza. Op. Cit., hlm. 78
18
Lihat R. Mishra dalam Neville Harris. Op. Cit., hlm. 6 Iin Karita Sakharina
19
kusi mengenai konsep negara kesejahteraan adalah berpusat pada anggapan bahwa negara kesejahteraan memiliki fungsi utama dalam sebuah kelompok industri modern. Konsep yang ideal berdasarkan pada model bahwa negara kesejahteraan harus memiliki tujuan untuk menentukan standar kehidupan yang layak bagi semua orang dengan jaminan lebih atau kurangnya dari kondisi warga negaranya. Model institusional ini adalah berasosiasi dengan fungsi distributif dari negara kesejahteraan, dalam konteks kesejateraan umum yang bertujuan untuk membagi-bagi atau mendistrubusikan sumber daya tersebut kepada mereka yang memperoleh keuntungan yang paling sedikit dari mekanisme pembagian kesejahteraan yang berpusat pada sistem ekonomi pasar.19 “Rule of Law” diartikan dengan “justice” (keadilan) meskipun keadilan bukanlah sesuatu yang absolut. Namun demikian, Friedmann memfokuskan pada aspek terbatas dari “rule of law” yaitu fungsinya dalam masyarakat bukan totaliter yang memiliki sistem ekonomi campuran (mixed economy), yang mendasarkan pada kapitalisme dan “free enterprise”.20 Menurut Fried-
19
Ibid.
Lihat W. Friedman, The State and The Rule of Law in a Mixed Economy dalam FX. Joko Priyono, Negara dan Rule of Law Dalam Sistem Ekonomi Campuran, (Makalah), (Semarang: Bagian Hukum Internasional Universitas Diponegoro, 2002), hlm.1 20
20
Iin Karita Sakharina
mann, terdapat empat fungsi negara dalam sistem ekonomi campuran,21 yaitu : i.
ii.
iii.
iv.
21
Negara sebagai “provider” (penyedia) Fungsi ini berkaitan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare state). Dalam kapasitas ini, negara bertanggung jawab untuk menyediakan dan memberikan pelayanan-pelayanan sosial untuk memberikan jaminan standar hidup minimal dan memberikan kelonggaran atau kebebasan kekuatan-kekuatan ekonomi. Fungsi negara sebagai “regulator” (pengaruh) Negara menggunakan berbagai pengaruh kontrol khususnya kekuasaan untuk mengatur investasi dalam pembangunan industri, volume dan jenis ekspor dan impor, melalui cara-cara seperti kontrol kurs (exchange control) dan pengadilan lisensi impor dan industri. Fungsi negara sebagai “enterpreneur” (wirausaha) Fungsi ini merupakan fungsi yang terpenting dalam ekonomi campuran. Keterlibatan negara dalam kegiatan ekonomi dapat di lakukan melalui departemen pemerintah semi otonomi maupun melalui korporasikorporasi yang dimiliki negara. Keterlibatan negara dalam fungsi sebagai wirausaha dapat berbentuk publik dan privat. Fungsi negara sebagai “umpire” (wasit) Negara dapat menjalankan fungsi sebagai wasit karena negara memiliki kekuasaan legislatif, administratif dan yudisil. Dalam hal ini, negara harus mengembangkan standar keadilan seperti sektor ekonomi umum yang di Ibid., hlm. 1-2 Iin Karita Sakharina
21
lakukan oleh perusahaan negara. Oleh karena itu, negara harus membedakan antara fungsinya sebagai wasit dengan fungsinya sebagai wirausaha. B. Konsep Hak Asasi Manusia 1. Pengertian HAM Fortman menjelaskan bahwa Human Right reflect a determined effort to protect the dignity of each and every human being against abuse of power trough fundamental rights. The spiritual source of this endeavour lies in the crucial belief that the protection of universal human dignity is a responsibility of society at all its different layers and levels. This principle should generally limit and govern any use of power over human beings. Its starting point is acknowledgement of every person’s right to exist. People count and in principle no individual counts more, or less, than any other. No one, in other words, is to be excluded from the typical human rights term everyone.22 Maksudnya bahwa refleksi dari HAM diartikan sebagai sebuah dampak yang menentukan terhadap perlindungan martabat setiap manusia dari kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan melalui hak yang paling mendasar. Semangat ini bersumber dari suatu kepercayaan bahwa perlindungan derajat dan martabat manusia adalah bersifat universal dan menjadi tanggung jawab semua masyarakat di berbagai lapisan dan tingkatan. Prinsip ini Lihat Bas de Gaay Fortman, Political Economy of Human Rights (Rights, Realities and Realization), (Routldge, 2011), hlm. 5 22
22
Iin Karita Sakharina
secara umum dibatasi dan diatur dari penggunaan kekuasaan yang berlebihan. Dimulai dari menghargai keberadaan dari setiap manusia, dengan kata lain, tidak seorangpun yang berada diluar perlindungan HAM. Lebih lanjut Fortman menyebutkan bahwa notably, in the global political idea of human rights that emerged after the Second World War, two genealogies converged: a. The fight for universal recognition and equal protection of the dignity of each and every human being; and b. Struggle for fundamental rights as way to protect citizens against abuse of power, in particular by their own sovereign (the State).23 Pada masa-masa awal diasumsikan, sesuai teori status dari George Jellinek (status negatives = hak-hak liberal untuk tidak dicampur tangani, status activus = hak-hak partisipasi demokrasi, status positivus = hak-hak sosial yang menuntut aksi positif dari negara) dan teori 3 generasi HAM, bahwa berkaitan dengan hak-hak sipil, negara berkewajiban untuk tidak melakukan intervensi, sedangkan berkaitan dengan hak-hak ekosob, negara berkewajiban memberikan layanan-layanan positif saja.24 Sebelum lebih lanjut membahas mengenai kewajiban negara dalam hal pemenuhan HAM, maka terlebih dahulu dibahas apa 23
Bas De Gaay Fortman, Ibid., hlm. 5-6
24
Lihat Manfred Nowak, Op. Cit, hlm. 50 Iin Karita Sakharina
23
yang dimaksud dengan HAM. Beberapa ahli juga cukup kesulitan memberikan definisi mengenai HAM, namun secara umum HAM dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan hal yang paling mendasar dan melekat dalam hidup karena dia adalah manusia25. Menurut Donelly, HAM adalah hak dari setiap orang karena ia adalah manusia26 tanpa ada tuntutan apa-apa yang harus diikutinya. Dalam bukunya, Donelly berpendapat bahwa Human rights are literally the rights one has simply because one is a human being-droits de l’ home, Menschenrechtie, “the rights of man”.27 Sementara menurut Kovenan Hak Ekosob : “HAM adalah hak yang mendasar, tidak dapat dihilangkan dan mengikat secara universal pada setiap individu dan dibawah situasi tertentu, dari sekelompok individu dan suatu komunitas. HAM itu adalah hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia.28
Sebagaimana dikatakan oleh Manisuli Ssenyonjo : “Human Rights are difficult to define, but in general terms, they are regarded as fundamental and inalienable claims or entitlements which are essential for life as a human being” dalam bukunya yang berjudul Economic, Social and Cultural Rights in International Law, (Oxford: Oregon, 2009), hlm. 9 25
26
Ibid., hlm. 9
Lihat Jack Donnelly, Universal Human Rights in The Theory & Practice, (London: Cornell University Press, 1989), hlm. 9 27
Lihat dalam Kovenan Ekosob, General Comment Nomor 17 juga Pasal 15 Paragrap 1 (C) dari Kovenan Ekosob. 28
24
Iin Karita Sakharina
HAM menurut Mark Gibney29 adalah Human Rights are core set of rights that human beings posses by simple virtue of their humanity. (HAM adalah inti dari seperangkat hak yang dimiliki manusia sebagai suatu kebaikan dari sisi kemanusiaan mereka) These rights are best spelled out in a number of international human rights instrumens, most notably, the so called International Bill of Rights consisting of the Universal Declaration of Human Rights (UDHR), the international Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, (Economic Covenant), and the international covenant on Civil and Political Rights (Political Covenant). Without attempting to provide an exhaustive list, human rights include the following : (a) The rights to life, liberty, and security of the person (UDHR, Art. 3); (b) The right to be free from torture or to cruel, inhuman, or degrading treatment or punishment (UDHR Art. 5); (c) The right to an effective remedy by the competent national tribunal for violations of human rights (UDHR, Art. 8); (d)The rights to work (UDHR, Art. 23); (e) The right to education (UDHR, Art. 26); (f) The right to social security (UDHR, Art. 22). Human rights are universal that is every person has human rights. What does not matter is person’s nationality, where a person resides, how much money a person has (or does not have), or even Lihat Mark Gibney, International Human Rights Law, Returning to Universal Principles, (UK: Rowman & Little Field Publiseher Inc, 2008), hlm. 3 29
Iin Karita Sakharina
25
whether one’s government has become a state party to any particular human rights treaty or not.30 Maksudnya adalah HAM bersifat universal, dimana setiap orang tanpa melihat kebangsaannya, dimana dia berada, berapa banyak uang yang dia punya atau tidak memilki uang sekalipun atau walaupun negaranya telah menjadi atau tidak menjadi anggota dari suatu perjanjian HAM internasional, seseorang tetap memiliki HAM yang sama dimuka bumi ini. Human rights are not complicated, nor should they be made to be complicated. Human rights are sometimes derived for being utopian wish list of human desires; however, the exact opposite is true. Human rights are not about luxuries, and they are certainly not about mere desire either. Rather, human rights are better thought of as basic minimum that each individual has to have in order to live in a human (rather than an
inhuman) existence. Even with these modest and
achievable aims, and despite the repeated promise in every single international human rights treaty that human rights are to be enjoyed by “everyone” and denied to “no one”, vast number of people are left without human rights protection.31 (HAM bukanlah suatu hal yang komplikatif dan seharusnya tidak dibuat komplikatif. HAM bukanlah sesuatu yang luar biasa atau barang mewah dan
26
30
Ibid., hlm. 4
31
Ibid. Iin Karita Sakharina
bukan saja sesuatu yang susah untuk didapatkan walaupun tujuan yang ingin dicapai HAM sangat luas dan besar, yaitu mewajibkan setiap perjanjian HAM internasional untuk mengatur bahwa HAM harus dinikmati oleh setiap orang dan tidak boleh ada seorangpun hidup dengan tidak menikmati HAM).
2. Sejarah dan Perkembangan HAM 2. 1. Sejarah HAM Perkembangan HAM jika kita perhatikan sama dengan sejarah peradaban manusia, dimana HAM awalnya merupakan norma atau kaidah kemasyarakatan yang harus dihormati dan harus dilindungi. HAM bersifat universal dan tidak hanya sebagai norma tetapi juga menjadi aturan atau hukum yang tertulis. Awal lahirnya konsep HAM berasal dari keinsafan terhadap harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya, karena sesungguhnya HAM itu dikodratkan lahir didunia yang dapat ditemukan pada setiap kebudayaan dan peradaban, agama dan tradisi. Pada Tahun 2000 Sebelum Masehi (SM) di Babylonia dikenal adanya hukum “Hamurabi” yang merupakan hukum untuk menjamin peradilan bagi warga negara atau masyarakatnya, yang merupakan jaminan terhadap HAM. Di Athena pada tahun 600 SM, Solon mengadakan pembaruan Iin Karita Sakharina
27
dengan menyusun perundang-undangan yang memberikan perlindungan keadilan. Menganjurkan warga negara yang diperbudak karena kemiskinan dimerdekakan. Solon dianggap sebagai bapak ajaran demokrasi yang kemudian membentuk Mahkamah Keadilan yang disebut “Heliaea”, sedangkan masyarakatnya disebut “Ecclesia”32. Filosof Yunani seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM) meletakkan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya HAM. Konsepnya menganjurkan masyarakat melakukan kontrol sosial kepada penguasa yang tidak mengakui nilainilai keadilan dan kebenaran. Pada ajaran Aristoteles (348-322 SM), pemerintah berdasarkan kekuasaannya memenuhi kemauan dan kehendak warga negaranya. Sedangkan dalam ajaran kitab suci Al-Qur’an (lebih kurang 1400 tahun yang lalu), yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW, mengajarkan dalam firmanNya “Tidak ada paksaan dalam beragama” (Laa Iqraha Fiddien), yang merupakan cerminan nilai-nilai asasi bagi manusia.33
Lihat Aswanto, Penegakan HAM sebagai Perwujudan Demokrasi, (Makalah, 2007), hlm. 8 32
33
28
Ibid. Iin Karita Sakharina
Lebih jauh kita bisa melihat perkembangan konsep dan sejarah HAM yang dapat dijumpai pada revolusi Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18. (a)Pengalaman Inggris Seperti yang selama ini kita kira, bahwa piagam Magna Charta adalah sumber dari adanya perkembangan HAM di Inggris yaitu dimulainya kebebasan warga negara Inggris, ternyata keliru karena sesungguhnya piagam Magna Charta ini hanyalah kompromi pembagian kekuasaan antara Raja John dan para bangsawannya dan setelah itu muncul ketentuan baru yang disebut Bill of Rights tahun 1689, yang mengatur mengenai perlindungan terhadap hak-hak atau kebebasan individu.34 Namun perkembangan inipun harus dilihat dalam konteksnya, Bill of Rights, sebagaimana yang tertuang dalam judul aslinya “An Act Declaring The Rights and Liberties of The Subject and Setting the Succession of the Crown” yang merupakan hasil perjuangan Parlemen melawan pemerintahan raja-raja yang sewenangwenang pada abad ke- 17. Bill of Rights ini disahkan setelah Raja James II dipaksa turun tahta dan William III serta Mary II naik ke singgasana menyusul adanya revolusi gemilang tahun 1688.35 Bill of Rights, yang menyatakan dirinya sebagai deklarasi undang-undang yang ada dan bukan merupakan LIhat Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, (terjemahan), (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994), hlm. 2 34
35
Ibid., hlm. 2 Iin Karita Sakharina
29
undang-undang baru, menundukkan monarki dibawah kekuasaan parlemen, dengan menyatakan bahwa kekuasaan raja untuk membekukan dan memberlakukan seperti yang diklaim oleh raja adalah illegal. Undang-undang ini juga melarang pemungutan pajak dan pemeliharaan pasukan tetap pada masa damai oleh raja tanpa persetujuan parlemen.36 Salah satu yang diatur dalam Bill of Rights ini adalah uang jaminan tidak bisa terlalu tinggi atau mahal, begitu pula jika ada denda, tidak boleh terlalu tinggi, serta hukuman yang kejam dan tidak manusiawi juga harus dihapuskan, sementara jika dilihat dari unsur hak asasinya sebenarnya sangat sedikit dan cenderung tidak seimbang karena hanya menguntungkan sebagian dari warga negara tersebut. Namun mengapa Bill of Rights ini tetap dianggap penting karena dengan adanya undang-undang ini telah menggugurkan kekuasaan raja yang absolute dan sewenang-wenang, selain itu dengan adanya revolusi gemilang ini menunjukkan bahwa penguasa dapat saja diturunkan oleh rakyat jika terbukti gagal melaksanakan aturan yang ada dalam konstitusi.37 (b) Pengalaman Amerika Serikat Perkembangan HAM di Amerika serikat ditandai dengan adanya pemberotakan dari pemimpin-pemimpin koloni Inggris di Amerika Utara pada pertengahan
30
36
Ibid., hlm. 3
37
Ibid. Iin Karita Sakharina
abad ke 18. Usaha untuk melepaskan koloni-koloni itu dari kekuasaan-kekuasaan Inggris karena disebabkan adanya pungutan pajak yang sangat besar serta tidak adanya perwakilan yang duduk dalam parlemen Inggris, maka para pendiri Amerika Serikat ini kemudian mencari suatu pembenaran seperti yang tercantum dalam teori kontrak sosial dan hak-hak kodrati dari Locke dan para filsuf Perancis. Kemudian dengan dasar tersebut lahirlah Deklarasi Kemerdekaan Amerika tahun 1776 yang disusun oleh Thomas Jefferson, dengan gagasan-gagasan yang diungkapkan secara tepat dan jelas38 : “Kami menganggap kebenaran-kebenaran (berikut) ini sudah jelas dengan sendirinya: bahwa semua manusia diciptakan sama; penciptanya telah menganugerahi mereka hak-hak tertentu yang tidak dapat dicabut; bahwa diantara hakhak ini adalah hak untuk hidup, bebas dan mengejar kebahagiaan, bahwa untuk menjamin hakhak ini, orang-orang mendirikan pemerintahan, yang memperoleh kekuasaannya yang benar berdasarkan persetujuan (kawula) yang diperintahnya. Bahwa kapan saja suatu bentuk pemerintahan merusak tujuan-tujuan ini, rakyat berhak untuk mengubah atau menyingkirkannya”. 39
38
Ibid, hlm. 4
39
Ibid. Iin Karita Sakharina
31
Namun setelah itu masih ada lagi Deklarasi Hak Asasi Virginia (the Virginia Declaration of Rights) yang disusun oleh George Mason sebulan sebelum deklarasi kemerdekaan, yang mencantumkan hak-hak spesifik yang harus dilindungi dari campur tangan negara. Walaupun para penyusun naskah Undang-Undang Dasar Amerika Serikat memasukkan perlindungan hak-hak minimum kedalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat karena terpengaruh oleh Deklarasi Virginia ini, namun baru pada tahun 1791, Amerika Serikat mengadopsi Bill of Rights yang memuat semua daftar hak-hak individu yang dijaminnya.40 (c) Pengalaman Perancis Meskipun Revolusi Perancis dan perjuangan kemerdekaan Amerika Serikat mempunyai banyak ciri yang sama, namun ada satu perbedaan yang penting. Jika koloni-koloni yang memberontak di Amerika Serikat semata-mata berusaha menjadi suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, kaum revolusioner Perancis bertujuan menghancurkan suatu sistem pemerintahan yang abosulut dan sudah tua serta mendirikan suatu orde yang demokratis.41 Kemudian perkembangan HAM di Perancis ini dimulai setelah pecahnya revolusi Perancis dimana mencerminkan teori kontrak sosial serta hak-hak kodrati dari Locke dan para Filsuf Perancis, Montesquie dan
32
40
Ibid., hlm. 5
41
Ibid., hlm. 5-6 Iin Karita Sakharina
Rosseau. Babak baru HAM ditandai dengan dikeluarkannya deklarasi HAM dan warga negara tahun 1789 yang memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa pemerintah adalah suatu hal yang tidak menyenangkan yang diperlukan dan tidak diinginkan. Deklarasi mengatakan bahwa kebahagiaan yang sejati haruslah dicari dalam kebebasan individu yang merupakan hakhak manusia yang suci, tak dapat dicabut dan bersifat kodrati.42 Terdapat persamaan konsep antara Bill of Rights dari ketiga negara tersebut dalam memperjuangkan HAM yaitu bahwa hak-hak tersebut adalah secara kodrati berhubungan satu sama lain, saling melengkapi, bersifat umum dan tidak dapat dicabut karena hak itu dimiliki oleh individu semata-mata karena ia adalah manusia dan bukan kawula hukum suatu negara. Kedua bahwa perlindungan terbaik hak-hak itu terdapat dalam kerangka yang demokratis. Ketiga bahwa batasbatas pelaksanaan hak hanya dapat ditetapkan atau dicabut oleh undang-undang. Hal ini dapat dilihat sebagai bagian dari konsep the rule of law yang mensyaratkan bahwa hak harus dilindungi oleh undangundang, dan bahwa ketika mencabut atau mengurangi hak-hak individu, pemerintah wajib mematuhi persyaratan hukum yang konstitusional.43 Namun seperti
42
Ibid., hlm. 6
43
Ibid., hlm. 6-7 Iin Karita Sakharina
33
yang dikatakan oleh Macklem dan Jack Donelly44 dan disetujui oleh semua ahli hukum bahwa hukum HAM internasional baru masuk kedalam hukum internasional setelah pecah perang dunia ke dua. 2. 2. Perkembangan HAM Nasional Perkembangan HAM di Indonesia dapat dilihat dalam aturan atau perundang-undangan diawali dengan : a. Perdebatan Pertama Tahun 1945 Pada tahun 1945 dalam proses pembuatan UUD 1945, tokoh Nasional Mochammad Hatta dan Mochammad Yamin sangat gigih memperjuangkan masuknya HAM dalam UUD 1945, akan tetapi pada akhirnya yang tercapai adalah sejumlah kompromi, yang cenderung merugikan wawasan HAM. Dimana ketika proses pembahasan rancangan UUD tanggal 15 Juli 1945, terdapat dua kubu pendapat tentang keberadaan HAM dalam rancangan UUD tersebut, satu kubu yaitu Soekarno dan Soepomo dan kubu lainnya adalah pihak Mochammad Yamin dan Mochammad Hatta. Pihak pertama menolak memasukkan HAM, terutama yang individual, ke dalam UUD karena menurut mereka Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluargaan, sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu Lihat Azizur Rahman Chowdhury & J.H. Bhuiyan (ed), An Introduction to International Human Rights Law, (Leiden-Boston: Martinus Nijhoff Publisher, 2010), hlm.1 44
34
Iin Karita Sakharina
memuat masalah-masalah HAM secara eksplisit.45 Namun akhirnya pada tanggal 16 Juli 1945 perdebatan di dalam BPUPKI ini menghasilkan sebuah kompromi sehingga diterimanya beberapa ketentuan dalam UUD. Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agutus 1945. PPKI segera menggelar sidang pertamanya dan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam keputusannya mengesahkan UUD yang telah dirancang (RUUD) oleh BPUPKI dengan beberapa perubahan tambahan.46 b. Perdebatan Kedua Tahun 1949 (Konstitusi RIS) Meskipun Indonesia telah menyatakan kemerdekannya pada 17 Agustus 1945, namun tidaklah berarti kondisi sosial politik Indonesia semakin kondusif. Era 1945-1949, pasca kekalahan Jepang tanpa syarat atas sekutu memberikan implikasi politik bagi Indonesia. Belanda dengan segala caranya berupaya menancapkan kembali politik kolonialismenya atas Indonesia.47 Akibat Peperangan yang terus bergejolak, pemerintah Belanda kemudian mengambil langkah strategis baru untuk memecah belah dengan politiknya yang terkanal devide et empera negara kesatuan Indonesia sebagai Republik Indonesia Serikat yang Lihat lebih jauh dalam Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 70 45
46
Ibid., hlm. 71
47
Ibid., hlm. 73 Iin Karita Sakharina
35
terdiri atas beberapa negara bagian. Rekayasa ini ditujukan untuk menciptakan ketergantungan Indonesia sekaligus menjamin kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia.48 PBB akhirnya turun tangan dan mendesak agar diselesaikan malalui sebuah jalan damai, yakni konferensi antara Indonesia dan Belanda dengan melibatkan pihak ketiga BFO (Byeenkoomst voor Federal Overleg/Federal Consultative assembly) yakni sebuah ikatan negara-negara bagian hasil bentukan Belanda. Konferensi tersebut berlangsung di Den Haag dengan nama konferensi Meja Bundar pada tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 Nopember 1949. Akhirnya setelah penyerahan kedaulatan yang menjadi dasar berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat, maka direncanakanlah sebuah Undang-Undang Dasar yang direncanakan oleh delegasi Republik Indonesia dengan BFO. Rancangan UUD itu diberi nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS).49 Secara anatomic, Konstitusi RIS terdiri atas dua bagian, yakni Pembukaan dan Batang Tubuh. Berbeda dengan jumlah-jumlah pasal dalam UUD 1945, Konstutusi RIS memuatnya jauh lebih banyak, yakni 6 Bab dan 197 Pasal, namun demikian Konstitusi RIS hanya dimaksudkan bersifat sementara.
36
48
Ibid.,
49
Ibid., hlm. 75 Iin Karita Sakharina
c. Perdebatan Ketiga Tahun 1950-1959 UUDS 1950 adalah bukti historis kembalinya Indonesia kepada negara kesatuan, Hal tersebut, tentunya tidaklah muncul dengan sendirinya, momentum peringatan hari ulang tahun kelima RI tanggal 17 Agustus 1950 menandakan sebuah era baru bagi iklim ketatanegaraan Indonesia.50Pada saat itu, akhirnya Konstitusi RIS berubah menjadi UUD sementara (UUDS) 1950 yang menjadikan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.51 Era 1950-1959 merupakan periode demokrasi konstitusional, meskipun dalam kurun waktu itu Indonesia hanya bersandar dibawah UUDS 1950. Menurut Todung Mulya Lubis, setelah Pemilihan Umum Tahun 1955, di dalam tubuh konstituante terjadi kembali perdebatan sengit mengenai HAM. Risalah Konstituante, khususnya dari komisi HAM, dengan sangat lengkap merekam pikiran-pikiran yang berkembang tentang HAM. Perdebatan mengenai
hak-hak asasi manusia
pada periode ini akhirnya terhenti tanpa kelanjutan.
50
W.F.Wertheim, dalam Majda El-Muhtaj, Ibid., hlm. 76
51
M.C.Ricklefts dalam Majda El-Muhtaj, Ibid. Iin Karita Sakharina
37
d. Perdebatan Keempat Tahun 1966-1998 Awal bangkitnya Orde Baru, dengan komitmen akan melaksanakan Undang-undang Dasar Republik Indonesia dengan murni dan konsekuen, maka perdebatan mengenai HAM begitu intens dan melibatkan semua pihak, pemerintah dan masyarakat, sehingga ada yang berpendapat adanya kebangkitan kembali (Revival) terhadap perlindungan dan penghormatan HAM. Peraturan-peraturan yang terkait dengan perlindungan HAM yang lahir dalam periode Orde Baru (1959-1998) : 1. Ketetapan MPR Nomor I Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai acuan mendasar dalam perlindungan HAM di Indonesia. 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman. (diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kehakiman) 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, (The Convention On The Elimination On All Forms Of Discrimination Againts Women/ CEDAW). 5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.
38
Iin Karita Sakharina
6. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional hak asasi manusia (disingkat Komnas HAM) Pada akhir kekuasaan Orde Baru ditandai dengan munculnya pelanggaran berat HAM yang terjadi di Propinsi Aceh, Maluku, Irian Jaya dan tempat-tempat lain di Indonesia, dan terjadi pergantian pimpinan pada 21 Mei 1998 (Presiden B.J. Habibie).
e. Perdebatan Kelima Mulai tahun 1999 hingga 2003 (Era Reformasi) Dalam era reformasi, pembangunan HAM di Indonesia memperoleh landasan hukum yang signifikan semenjak diberlakukannya Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1998 tentang ”Rencana Aksi Nasional HakHak Asasi Manusia atau lebih dikenal dengan istilah RAN HAM, yang di tetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1998. Di mana dalam Keppres tersebut ditegaskan 4 pilar utama pembangunan HAM di Indonesia, yaitu : 1. Persiapan pengesahan perangkat-perangkat internasional HAM 2. Diseminasi dan pendidikan HAM 3. Pelaksanaan HAM yang ditetapkan sebagai prioritas
Iin Karita Sakharina
39
4. Pelaksanaan isi atau ketentuan-ketentuan berbagai perangkat internasional HAM yang telah disahkan Indonesia52 Kemudian diterbitkannya instruksi Presiden (Inpres) Nomor 26 tahun 1998 tentang ”Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam semua Perumusan dan Penyelenggaran Kegiatan Penyelenggaraan
Pemerintahan”53
Selanjutnya pada tanggal 9 Oktober 1998, Presiden BJ Habibie juga mengeluarkan Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tentang ”Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan”. Keppres ini dikeluarkan dalam rangka pencegahan dan penanggulan masalah kekerasan terhadap perempuan, dimana dalam Keppres tersebut ditegaskan bahwa Komisi ini bersifat independen54 Perkembangan HAM di era reformasi ini, ditandai pula dengan penetapan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Nomor XVII/MPR/1998 tentang Dikutip dalam Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 6 52
Instruksi Prsedien Republik Indonesia, tentang Penghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan, Inpres Nomor 25 tahun 1998, dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 16 September 1998 53
54
40
Satya Arinanto, Op., Cit. hlm. 7 Iin Karita Sakharina
”Hak Asasi Manusia”, yang ditetapkan dalam Sidang Istimewa (SI) MPR pada tanggal 13 November 199855 Pada era reformasi Peraturan atau Undang-undang yang lahir di Indonesia yang berkaitan dengan perlindungan HAM, yaitu : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Kovensi Anti Penyiksaan. 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum. 3. Kepres Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Ras dan Diskriminasi. 5. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (termasuk tugas-tugas Komnas HAM). 6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 8. Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (RanHAM) Tahun 2004-2009. 9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Ketetapan- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1998), hlm. 81-96; lihat Juga Satya Arinanto, Op., Cit., hlm. 7 55
Iin Karita Sakharina
41
10. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak Sipil dan Politik. 2. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948 HAM sering dilihat sebagai sesuatu yang universal, sebenarnya dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat dan budaya telah dipraktekkan oleh bangsa-bangsa di dunia melalui cerita tentang sejarah mereka. Dalam setiap budaya masyarakat sebenarnya telah lama menganut konsep HAM, hal ini dapat ditemukan dalam berbagai buku atau literatur-literatur sejarah kehidupan setiap masyarakat di dunia, sehingga konsep HAM ini tidak bisa dikatakan hanyalah konsep dari barat saja. Referensi HAM dapat ditemukan dalam piagam PBB, yaitu terdapat dalam pembukaannya dan pada Pasal 1, 13, 55, 56, 62, 68, dan 76 yang mengatur elaborasi berdasarkan isi dari standar dan mekanisme untuk implementasi HAM.56 Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah deklarasi umum HAM melalui Resolusi Nomor 217 (III). Melalui pemungutan suara (voting) sebanyak 48 negara yang mendukung terbentuknya deklarasi umum mengenai HAM ini, satu negara menentang dan delapan negara memilih abstain, negara-negara tersebut yaitu Byelorussian, Czechoslovakia, Poland, Saudi Arabia, Ukraina, U.S.S.R., Union of South Africa, 56
42
Lihat Rhona K.M. Smith, hlm. 122-128 Iin Karita Sakharina
dan Yugoslavia. Deklarasi ini bukanlah instrumen yang mengikat secara hukum melainkan hanya berupa imbauan atau seruan moral bagi negara-negara untuk menghormati HAM. Namun demikian, beberapa pasal di dalamnya adalah mengatur mengenai prinsip umum dari hukum, seperti halnya Statuta Mahkamah Internasional Pasal 38 ayat (1) bagian C, dan yang lebih penting adalah deklarasi ini di gunakan sebagai acuan umum untuk menginterpretasikan Piagam PBB karena merupakan produk dari Majelis Umum, dan kapasitas dari deklarasi ini juga memiliki pengaruh hukum secara tidak langsung seperti yang sering di gunakan oleh majelis dan juga para ahli hukum sebagai bagian dari hukum PBB. The Declaration has its own importance and cannot be regarded as having merely a historical significance. In particular, many States are not yet parties to the International Covenants (see below). The Universal Declaration is also given Prominence in among others, the Proclamation of Teheran, adopted by the United Nations Conference on Human Rights : see the Final Act of the International Conference on Human Rights, 22 April-13 May 1968 : UN doc. A / Conf. 32 / 41; the Vienna Declaration and Programme of Action, adopted by the World Conference on Human Rights on 25 June 1993; UN doc. A / Conf. 157 / 23, 12 July 1993 (below p.151); and the Beijing Declaration and Platform of Action adopted by Fourth UN World Conference Iin Karita Sakharina
43
on Women Beijing 4-15 September 1995; UN doc. A / Conf. 177 / 20, 17 October 1995 (below p.211). See also the General Assembly‘s Declaration on the Sixtieth Anniversary of the UDHR, 2008, (below p.303).57 Selanjutnya pada ulang tahun yang ke-60 dari DUHAM tahun 2008, dikeluarkan lagi sebuah deklarasi untuk memperingati 60 tahun adanya DUHAM, yang dikenal dengan nama: Declaration on the Sixtieth Anniversary of the Universal Declaration of Human Rights, 2008 (Deklarasi memperingati 60 tahun DUHAM).58 Isi dari deklarasi ini hanyalah memuat pernyataanpernyataan yang menegaskan penghormatan, martabat, kebebasan dan juga prinsip persamaan yang berlaku bagi semua manusia di dunia seperti yang tertuang dalam paragrap dua dari deklarasi ini : “the UDHR calls upon to recognize and respect the dignity, freedom and equality of all human beings. We applaud the efforts undertaken by the states to promote and protect all human right for all. We must strive to enhance international cooperation and the dialogue among peoples and nations on the basis of mutual respect and understanding towards this goal. (Bahwa keberadaan DUHAM selama ini untuk mengakui Lihat Ian Brownlie & Guy S. Goodwin-Gill, Brownlie’s Documents On Human Rights, 6th Edition, (New York: Oxford University Press, 2010), hlm. 39 57
This Declaration was adopted by General Assembly Resolution 63 / 116 on 10 December 2008, without a vote, tulisan ini juga ada pada buku Brownlie, edisi ke-6, hlm. 304 58
44
Iin Karita Sakharina
dan menghormati setiap martabat manusia, kebebasan dan persamaan-persamaan yang ada pada setiap manusia, dimana kita semua menyerukan pada negara-negara untuk mempromosikan dan melindungi semua hak-hak manusia. Kita harus menjalin kerjasama internasional dan dialog antar bangsa berdasarkan prinsip saling menghormati dan mengerti satu sama lain untuk tercapainya tujuan ini)”. Namun deklarasi ini hanyalah deklarasi untuk memperingati dan menghormati 60 tahun lahirnya UDHR sejak tahun 1948, sehingga hanya berupa pernyataan umum saja dan berupa penegasan-penegasan secara umum, namun tidak memuat pasal-pasal atau pun mengubah ketentuan dalam UDHR 1948. 3. Teori Kewajiban Negara Terhadap Hukum HAM Internasional. Kewajiban untuk menghormati HAM mengacu pada kewajiban untuk menghindari tindakan intervensi oleh negara, ini mensyaratkan bahwa yang disebutkan terakhir tadi tidak dapat diterima berdasarkan klausul-klausul tentang keterbatasan dan kondisi hukum yang relevan. Intervensi-intervensi yang tidak dapat dijustifikasi dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM. Oleh karena itu hak untuk hidup berkorespondensi dengan kewajiban negara untuk tidak melakukan Iin Karita Sakharina
45
pembunuhan. Sementara hak untuk mendapatkan pekerjaan berkorespondensi
dengan
kewajiban
negara
untuk
tidak
menyingkirkan orang lain secara sewenang-wenang dari sistem tenaga kerja, dan sebagainya. Kewajiban untuk memenuhi HAM mengacu pada kewajiban negara untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, peradilan dan praktis yang diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak yang diperhatikan dilaksanakan sebesar mungkin.59 Kewajiban untuk melindungi HAM juga menuntut aksi negara yang positif namun berbeda dari kewajiban-kewajiban untuk memenuhi yang disebutkan diatas untuk menghindari pelanggaran HAM oleh orang sebagai pribadi. Meskipun pada prinsipnya diakui cakupan sesungguhnya dari perlindungan negara terhadap orang-orang sebagai pribadi sangatlah kontroversial dan tidak jelas baik dalam teori maupun praktiknya. Wenche Barth Eide dan Uwe Kracht dalam bukunya menjelaskan bahwa The ultimate responsibility for the realization of human rights with states parties to the various treaties. This responsibility must not be misinterpreted as a straightforward welfare
59
46
Manfred Nowak. Op., Cit., hlm. 51 Iin Karita Sakharina
function on the state vis a vis the citizens its jurisdiction.60 Kewajiban untuk merealisasikan HAM oleh negara-negara anggota pada berbagai perjanjian HAM yang telah ada. Tanggung jawab ini tidak bisa disalah artikan sebagai fungsi langsung negara terhadap kesejahteraan terhadap warga negaranya dalam yurisdiksinya. Ada 3 (tiga) tingkatan kewajiban negara dalam hukum HAM internasional, yaitu : i.
ii.
iii.
Menghormati (to respect) yaitu negara diminta untuk berulang kali melakukan intervensi langsung ataupun tidak langsung dalam halam menikmati hak-hak tersebut. Melindungi (to protect) yaitu negara diminta untuk mengambil tindakan yang tepat sehingga dapat mencegah pihak luar dari anggota untuk melakukan intervensi dalam hal menikmati hak-hak tersebut. Untuk memenuhi (to fulfill), untuk menfasilitasi (to facilitate) dan untuk menyediakan (to provide), yaitu negara diminta untuk memasukkan secara tepat kedalam sistem hukum, administrasi, keuangan, proses hukum, promosi dan tindakan lain yang dapat mendukung terpenuhinya hak-hak tersebut, sementara untuk penyediaan yaitu negara diminta secara langsung
Lihat Wenche Barth Eide & Uwe Kracht (eds), 2005, Food And Human Rights In Development, Volume 1, Legal institution Dimensions And Selected topic, (Oxford: Intersentia, 2005), hlm. 106 60
Iin Karita Sakharina
47
untuk menyediakan pendampingan atau pelayanan guna terealisasinya hak-hak tersebut.61 Eide dan Kracht menjelaskan bahwa How state (and society as a whole) meet their obligation and responsibility will vary significantly from country to country, and states will have a margin of discretion in choosing their approaches. But essentially states, and in particular states parties to the ICESCR need to act on four fronts (bagaimana negara dan masyarakat secara keseluruhan memenuhi kewajiban dan tanggung jawab mereka adalah berbeda dari satu negara ke negara lainnya, dan setiap negara mempunyai standar masing-masing untuk memilih pendekatan yang di lakukannnya, walaupun demikian tetap ada standar yang ditetapkan oleh kovenan internasional hak ekosob bagi negaranegara yang telah menjadi anggota di dalam kovenan tersebut, yaitu62 : - Adopt a national strategy to ensure food and nutrition security for all, compliant with human rights principles (mengadopsi strategi nasional untuk memastikan ketersediaan bahan makanan dan gizi yang seimbang untuk semua berdasarkan prinsip-prinsip HAM);
Lihat Oliver De Schuttler, International Human Rights Law, (New York: Cambridge University Press, 2010), hlm. 242; lihat juga Manisuli Ssenjoyo, hlm. 23-25 61
62
48
Wenche Barth Eide & Uwe Kracht (eds), Op. Cit., hlm. 108 Iin Karita Sakharina
- Set verifiable targets and benchmark for subsequent monitoring and accountability evaluation (mengatur sasaran variabel dan jumlah untuk kepentingan monitoring dan evaluasi); - Adopt framework legislation and corresponding accountability and remedy mechanism as key instrumens in the implementation of the national strategy (mengadopsi kerangka hukum dan akuntabilitas serta mekanisme perbaikan sebagai kunci utama dalam melaksanakan strategi nasional); - Develop and maintain monitoring mechanism to gauge progress towards target and benchmark and compliance with obligations, and facilitate corrective legislation and administration measures. (membangun dan menentukan mekanisme monitoring untuk perkembangan kedepan dengan kewajiban dan ukuran fasilitas hukum dan administrasi yang benar). Di dalam Piagam PBB di atur bahwa The state also has obligation at international level. This is enshrined in several human rights instrumen. The UN Charter, in its preamble, article 1 and chapter IX, commits the organization and its member states to international cooperation in promoting economic and social advancement.63 Sedangkan Deklarasi tentang hak atas pembangunan dijelaskan bahwa The declaration on the right to development recognize a collective international obligation to promote development. It requires United Nations (1945): Charter of the United Nations, United Nations Conference on International Organization, 26 June, San Francisco. 63
Iin Karita Sakharina
49
states to cooperate with each other ensuring development and eliminating and obstacles to development64. Maksudnya adalah bahwa negara memiliki kewajiban pada level internasional, Hal ini termuat dalam beberapa instrumen dalam pembukaan piagam PBB Pasal 1 pada bagian IX, memuat komitmen Internasional untuk bekerjasama diantara negara-negara anggota untuk memajukan ekonomi dan sosial. Deklarasi hak-hak untuk kemajuan diakui sebagai kewajiban internasional bersama untuk memajukan pembangunan. Negara-negara di minta untuk saling bekerja sama dalam hal menghapuskan dan menghilangkan rintangan yang ada untuk pembangunan. Ida Eline Engh dalam bukunya menjelaskan bahwa state parties to the ICESR are obliged to recognize the essential role of international cooperation. Futrthermore, the state should comply with its commitments to achive the full realization of the right to adequate food and it should consider the development of further international legal instrumens regarding the right to adequate food. States should also refrain, at all times, from food embargoes or similar measures that endanger condition for food production and access to food in other countries, and should never use food as an instrumen of political and
Declaration on the Right to Development, General Assembly, New York dalam Ida-Eline Engh, Developing Capacity to Realise Socio-Economic Rights, (Portland: Intersentia, 2008), hlm. 147. 64
50
Iin Karita Sakharina
economic pressure65. Negara-negara anggota ICESCR wajib untuk menyadari pentingnya kerjasama internasional. Lebih jauh, negara-negara peserta harus memiliki komitmen untuk meningkatkan realisasi penuh dari hak atas pangan dan hal ini harus berdasarkan pada pembangunan jangka panjang dari instrumen internasional yang mengikat secara hukum yang mengatur mengenai hak atas pangan. Negara harus selalu menghindari adanya pemberhentian suplai bahan makanan atau yang dapat dikategorikan hal tersebut bahwa bahan makanan yang berbahaya untuk suatu produksi dan juga akses terhadap makanan dibeberapa Negara, selain itu tidak boleh menggunakan makanan sebagai alat untuk menekan ekonomi dan politik suatu negara. Dalam pemenuhan Hak Ekosob, negara juga memiliki kewajiban untuk menyediakan atau memenuhi hak-hak tersebut ketika individu atau kelompok tidak dapat memenuhinya sendiri, pada alasan yang paling mendasar adalah diluar dari kontrol mereka, yang berarti mereka akan merusaknya. Hal ini terjadi terutama pada kasus yang menimpa orang-orang yang kurang beruntung atau rentan seperti orang miskin.66 Oleh
65
Ibid., hlm. 147
Lihat Komentar Umum No.19 dari Kovenan Ekosob, Paragragh 48; Juga lihat Manusuli Ssenjoyo, Op. Cit., hlm. 25 66
Iin Karita Sakharina
51
karena itu kewajiban negara pihak berdasarkan Kovenan Internasional Hak Ekosob secara spesifik harus memenuhi 2 (dua) hal, yaitu : i.
ii.
Obligation of Conduct yaitu kewajiban bagi negara peratifikasi untuk mengambil tindakan, kewajiban mengenai tindakan membutuhkan tindakan yang diperhitungkan dengan cermat untuk melaksanakan dipenuhinya suatu hak tertentu. Obligation of Result yaitu kewajiban bagi negara peratifikasi mengenai hasil, kewajiban mengenai hasil mengharuskan negara untuk mencapai target tertentu guna memenuhi standar substantif terinci.67
4. Hak Atas Pangan yang Layak Hak atas bahan pangan yang layak diakui dalam beberapa instrumen hukum internasional, dimana kovenan internasional hak ekosob mengatur mengenai hak ini secara lebih komprehensif dibandingkan instrumen-instrumen lain. Hak atas pangan yang layak ini merupakan hak fundamental atas kebebasan dari kelaparan dan kekurangan gizi. “The right to food is an exclusive right, it is not a simply a right to a minimum ration of calories, proteins and other specific nutrient. It is a rights to all nutrients elements that a person needs to live a healthy and active life and to the means to access them”. Bahwa hak atas pangan adalah Ifdhal Kasim dkk (editor), Hak ekonomi, Sosial, Budaya, Esai-Esai Pilihan, (Jakarta: Elsam, 2001), hlm. 375-376 67
52
Iin Karita Sakharina
hak yang ekslusif, tidak hanya sebatas pada hak untuk kalori minimum, protein atau nutrisi khusus lainnya. Hak atas pangan adalah termasuk juga hak untuk semua elemen nutrisi yang diperlukan manusia untuk hidup sehat dan beraktifitas dan juga bagaiamana mereka dapat mengakses hak atas pangan tersebut. Hak atas bahan pangan yang layak dapat terwujud ketika setiap laki-laki, perempuan dan anak-anak, sendiri atau dalam komunitas, mempunyai akses fisik dan ekonomis sepanjang waktu terhadap bahan pangan yang layak atau cara mendapatkannya. Oleh karena itu, hak atas bahan pangan yang layak tidak bisa diartikan dalam artian yang sempit dan terbatas yang menyamakannya dengan paket minimum kalori, protein serta nutriennutrien spesifik lainnya. Hak atas bahan pangan yang layak haruslah diwujudkan secara progresif. Meski demikian, negaranegara mempunyai kewajiban inti untuk mengambil tindakantindakan yang diperlukan untuk mengurangi dan meringankan kelaparan seperti diatur dalam Paragraf 2 pada Pasal 11, bahkan dikala bencana alam atau lainnya.68 Sementara hak atas pangan yang layak menurut pelapor khusus PBB mengenai hak atas pangan adalah : “The right to have regular, permanent and free access, either directly or by means of financial purchases, to quantitaively and 68
Komentar Umum Nomor 12 Mengenai Hak Ekosob. Iin Karita Sakharina
53
qualitatively adequate and sufficient food corresponding to the cultural traditions of people to which the consumer belongs, and which ensure a phisical and mental, individual and collective fulfilling and diginified life free of fear”.69 Maksudnya adalah bahwa hak atas pangan adalah hak yang dimiliki secara permanen, regular dan bebas akses baik secara langsung atau yang diartikan dengan pembelian terhadap jumlah maupun kualitas dari kecukupan kelayakan makanan yang berhubungan dengan tradisi budaya yang dimiliki setiap orang dan termasuk di dalamnya secara fisik dan mental, secara individu dan kelompok dengan jaminan terbebas dari rasa takut akan kelaparan. Konsep kelayakan mempunyai hal yang signifikan dalam kaitan hak secara khusus jika dikaitkan dengan hak atas bahan pangan karena hal ini biasa di gunakan untuk menegaskan banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah suatu bahan pangan atau makanan tertentu yang bisa didapatkan dapat dianggap yang paling layak dalam suatu keadaan tertentu sesuai Pasal 11 kovenan internasional.70 Pangan yang layak pada gilirannya dapat diuraikan menjadi beberapa elemen: kelayakan pasok pangan berarti bahwa jenisjenis bahan pangan yang tersedia (secara nasional, di pasarLihat United Nations, Human Rights, The Right to Food, Fact Sheet No. 34, (Geneva: FAO, 1945), hlm. 2 69
70
54
Komentar Umum Nomor 12 Hak Ekosob. Iin Karita Sakharina
pasar lokal hingga level rumah tangga) harus dapat diterima secara kultural (sesuai dengan kultur pangan atau pantang makanan yang berlaku), selain dari itu, tersedianya pasok pangan harus memenuhi tuntutan gizi secara kuantitas (energy) dan kualitas (dimana tersedianya semua gizi utama, termasuk mikronutrisi seperti vitamin dan iodine) dan tak kalah pentingnya, aman (bebas dari faktor berbahaya dan tercemar) serta bagus kualitasnya (misalnya rasa dan bentuknya).71 Komite hak ekosob beranggapan bahwa inti dari hak atas bahan pangan yang layak72 adalah : 1. Ketersediaan (availability) Ketersediaan bahan pangan dalam kualitas dan kuantitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makanan individu, bebas dari subtansi yang merugikan serta bisa diterima dalam budaya setempat. 2. Akses (accessibility) Aksesibilitas bahan pagan itu berkesinambungan dan tidak mengganggu pemenuhan HAM lainnya.73 Akses pangan juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu yang dapat diolahnya menjadi bahan makanan. Stabilitas pasok pangan dan akses pangan mengandaikan adanya 71
Lihat Asbjorn Eide dalam Ifdhal Kasim. Op. Cit., hlm. 102
72
Ibid.
73
Lihat Komentar Umum Nomor 12 Hak Ekosob. Iin Karita Sakharina
55
lingkungan yang lestari, yang berarti bahwa terdapat kebijaksanaan publik dan manajemen komuniti atas sumber daya alam yang telah mendukung persediaan pangan, dan juga ketahanan ekonomi dan sosial dalam hal kondisi dan mekanisme untuk mengamankan akses pangan.74 Keberlangsungan ekonomi dan sosial menuntut pembagian pendapatan yang adil dan pasar yang efektif, termasuk dukungan informal berbagai masyarakat dan jaringan pengaman. Dukungan itu bisa berupa skim jaminan pengaman sosial masyarakat dan juga berbagai bentuk transaksi masyarakat, kegiatan-kegiatan swadaya dan jaringan solidaritas.75 Sekertaris Jenderal (Sekjen) PBB dalam General Assembly pada bulan Agustus 2002 menyatakan bahwa76 perdagangan bebas dan bioteknologi untuk dirinya sendiri juga sulit untuk memecahkan masalah kelaparan dunia, dan dapat seringkali menciptakan rintangan bagi realisasi hak atas pangan, sebagaimana pelapor khusus PBB telah menjelaskan dalam laporan sebelumnya. Kemudian Sekjen PBB menyatakan, bahwa Special Rappoteur on the right to food, percaya bahwa akses ke tanah adalah elemen kunci yang penting untuk menghapus kelaparan di dunia. Hal ini berarti bahwa pilihan kebijaksanaan seperti reforma agraria harus memainkan peranan 74 75
Lihat Asborn Eide dalam Ifdhal Kasim. Op. Cit., hlm. 102 Ibid.
Taufiqul Mujib, Hak Atas Pangan sebagai Hak Konstitusional, (http//taufiqul mujib.wordpress.com/2001/09/30). Diakses Pada Hari Jumat, 7 Oktober 2011, Pukul: 21:45 76
56
Iin Karita Sakharina
penting dalam suatu strategi suatu negara dalam hal keamanan pangan, di mana akses atas tanah adalah mendasar. Seringkali reforma agraria dinyatakan sebagai pilihan yang ketinggalan jaman dan tidak efektif, tetapi bukti tidaklah mendukung pernyataan itu.77 Rakyat harus mempunyai akses untuk membebaskan dirinya dari kebodohan, ketertinggalan, ketertindasan, sempitnya ruang gerak kehidupan, ketergantungan, dan rasa takut. Untuk itu, rakyat harus punya aset yang bisa dikelola dan punya akses untuk memberdayakannya. Petani harus punya tanah dan punya akses terhadap modal, teknologi, pasar, manajemen dan seterusnya. Petani harus punya alat-alat produksi, punya kapasitas dan kemampuan untuk menyuarakan kepentingan-kepentingannya, punya akses untuk melahirkan inovasi-inovasi sosial yang menjadi prasyarat lahirnya perubahan sosial di pedesaan. 3. Penerimaan (acceptability) Seluruh sarana produksi pangan harus menghormati nilai dan budaya setempat. Penerimaan budaya dan konsumen berarti bahwa juga harus dipertimbangkan, sebisa mungkin unsur-unsur yang non nutrien yang terkandung dalam makanan. Juga menginformasikan pendapat konsumen tentang sifat dari suplai bahan makanan yang bisa diakses.
77
Ibid. Iin Karita Sakharina
57
4. Kualitas (quality) Selain ketiadaan akses seperti telah disebutkan di atas, persoalan pangan juga tidak terlepas dari fenomena banjir makanan yang tidak sehat. Sebagian besar masyarakat acapkali dihadapkan pada pilihan pangan murah tidak sehat, di mana di dalamnya mengandung bahan tambahan makanan (BTM) dan bahan pengawet seperti boraks, formalin, sulfit, berbagai pewarna yang disebarkan bukan hanya oleh pedagang kecil melainkan juga oleh pabrik-pabrik besar. Prinsip umum dari hak atas pangan adalah yang pertama bahwa pemenuhan hak atas pangan rakyat adalah tanggung jawab negara, kedua ketahanan pangan hanya bisa dicapai jika ada kecukupan lahan bagi produksi pangan, distribusi yang baik, produksi pangan dan ketersediaan pangan yang dikonsumsi. Sementara ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik mutu dan jumlahnya, aman, merata dan terjangkau.78 Hak atas pangan yang layak juga diatur dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Pasal 25 ayat (1) menyatakan bahwa : “Everyone has the right to a standard of living adequate for health and well being of himself and of his family, including 78
58
Kaman Naiggolan, Op. Cit., hlm. 4 Iin Karita Sakharina
food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control.79 (setiap orang berhak atas taraf hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya termasuk hak atas pangan…” Kemudian pada Pasal 11 Kovenan ICESCR yang mengatakan : “The state parties to the present covenant recognize the right of everyone to an adequate standard living for himself and his family, including adequate food, clothing and housing to continuos improvement living conditions. The state parties will take appropriate steps to ensure the realization of this right, recognizing to this effect, the essential importance of international cooperations based on free consent”.80 (negara penandatangan kovenan mengakui hak setiap orang atas standar hidup yang layak untuk drinya dan keluarganya, negara pihak akan mengambil langkah-langkah untuk memastikan terealisasinya hak ini, mengakui efek dan kerjasama yang penting dengan berdasar pada kepentingan yang bebas). Pasal 27 Konvensi Hak-Hak Anak (International Convention on the Right of The Children) “Negara penandatangan menga-
79
Lihat Ian Brownlie & Guy S. Goodwin-Gill, Op. Cit., hlm. 43
80
Ibid., hlm. 374 Iin Karita Sakharina
59
kui hak setiap anak atas standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosialisai anak”. Dalam hal ini walaupun istilah standar hidup yang layak belum di berikan definisi yang yang lebih tepat dalam intrumeninstrumen tersebut diatas, namun menurut Asbjorn Eide,81 dapat diartikan secara lebih luas dengan pemahaman bahwa yang dimaksud dengan “kesehatan dan kesejahteraan yang layak” disini adalah pangan, perumahan dan perawatan medis dan pelayanan sosial bila diperlukan. Kelayakan pangan menjadi utama demi tercapainya suatu kesejahteraan bagi setiap orang karena pangan adalah hak yang paling fundamental yang harus dipenuhi karena dia bisa menjadi sumber kehidupan yang utama. Orang tidak akan bisa melakukan apa-apa jika dalam keadaan lapar. Konsep kelayakan mempunyai signifikansi secara khusus dalam kaitan hak atas bahan pangan karena ini bisa dipergunakan untuk menegaskan banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah suatu bahan pangan atau makanan tertentu yang didapatkan bisa dianggap yang paling layak dalam suatu keadaan tertentu sesuai Pasal 11 kovenan. Gagasan mengenai kesinambungan secara intrinsik berkaitan dengan gagasan mengenai bahan pangan yang layak atau 81
60
Lihat Ifdhal Kasim dkk, Op., Cit. hlm. 100 Iin Karita Sakharina
jaminan bahan pangan, dimaksudkan bahwa bahan pangan bisa didapatkan baik untuk generasi saat ini maupun yang akan datang. Arti sesungguhnya dari “kelayakan” secara luas ditentukan oleh keadaan sosial, ekonomi, budaya, iklim, ekologis dan lain-lain yang terjadi saat ini, sedangkan “kesinambungan” berkaitan dengan gagasan persediaan dan aksesibilitas jangka panjang.82 Lebih lanjut dikatakan bahwa manusia memerlukan lebih dari sekedar kebutuhan dasar pangan, pakaian dan perumahan agar bisa menjalani kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Kelayakan standar hidup dapat diartikan sebagai cara mempertahankan tingkat kehidupan diatas garis kemiskinan. Dimana realisasi HAM ini adalah penuntutatan atas dihapuskannya kemiskinan di seluruh dunia, seperti yang digambarkan dalam Four Freedom Address pada tahun 1941 yang akhirnya menjadi salah satu inspirasi dari DUHAM 1948 serta instrumen HAM lainnya83. Sementara dalam peraturan hukum nasional sendiri, hakhak atas pangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, dimana undang-undang tersebut menyatakan bahwa pangan adalah kebutuhan dasar yang pemenu82
Lihat Komentar Umum Nomor 12 Hak Ekosob.
83
Ifdhal Kasim, Op. Cit., hlm. 100-101 Iin Karita Sakharina
61
hannya menjadi hak asasi bagi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Pelanggaran terhadap hak atas pangan dapat terjadi jika negara gagal memuaskan, hal yang paling kecil adalah pada kebutuhan ditingkatan level minimum untuk bebas dari rasa lapar. Dalam menentukan suatu tindakan atau jumlah pembiaran mengenai hak atas pangan, hal yang penting untuk membedakan ketidakmampuan dari ketidaksungguhan suatu negara untuk menyetujuinya. Apakah sudah seharusnya negara pihak mendesak sumber yang paling dekat untuk membuat suatu hal yang mustahil dalam hal penyediaan makanan bagi mereka yang tidak mampu untuk mengakses, negara harus menunjukkan bahwa hasil yang telah dibuat, di gunakan untuk semua sumber yang dapat menghasilkan sebuah kepuasan sebagai prioritas utama.84 Selain itu pemerintah Indonesia juga sudah mengeluarkan undang-undang mengenai ketahanan pangan pada tahun 2002. Definisi ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, me-
84
62
Wenche Bart Eide. Op. Cit., hlm. 107 Iin Karita Sakharina
rata dan terjangkau.85 Dalam undang–undang ini juga membahas pengertian pangan, bahwa yang dimaksud dengan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang di gunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman86. Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan pemenuhan syarat gizi, masih menjadi masalah bagi masyarakat miskin di Indonesia. Bila kerawanan pangan diukur dari kriteria kebutuhan konsumsi minimum 2.100 Kkal/hari, maka pada tahun 2011, 60 persen penduduk Indonesia yang berpenghasilan rendah mengalami rawan pangan, jumlah anak yang menderita busung lapar dan gizi buruk akan terus meningkat. 5. Hubungan antara Hak Atas Pangan dengan HAM lainnya HAM memiliki hubungan saling ketergantungan satu dengan lainya, tidak terpisahkan dan saling berhungan. Hal ini berarti bahwa melanggar hak atas pangan juga dapat merusak Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. 85
Lihat Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. 86
Iin Karita Sakharina
63
HAM-HAM lainnya, seperti hak atas kesehatan, pendidikan dan lainnya. Menurut Catatan FAO,87 ada 10 komponen HAM yang berhubungan dengan hak atas pangan, yaitu : 1. Hak atas Kesehatan Nutrisi adalah sebuah komponen baik pada hak atas pangan dan juga hak atas kesehatan, ketika seorang ibu hamil atau ibu menyusui tidak mendapatkan akses pada makanan, maka dia dan bayinya akan kekurangan gisi walaupun dia mendapatkan perawatan sebelum dan setelah melahirkan. Ketika anak-anak menderita diare namun tidak mendapatkan akses untuk perawatan kesehatan, juga tidak bisa menikmati nutrisi yang layak walaupun anak tersebut memiliki akses terhadap makanan. 2. Hak atas Kehidupan Ketika orang tidak bisa mendapatkan makanan maka resiko yang dihadapinya adalah kematian akibat kelaparan, gizi buruk atau gangguan penyakit lainnya, maka hak mereka untuk hidup menjadi terancam. 3. Hak atas Air Hak atas pangan tidak dapat terealisasi jika orang kekurangan akses untuk mendapatkan air bersih baik untuk penggunaan secara individu, kebutuhan rumah FAO, Voluntary Guidelines; to Support the Progressive Realization of the Right to Adequate Food in the Context of National Food Security, (Rome: Adopted by the Session of the FAO Council, 2004), hlm. 5-6 87
64
Iin Karita Sakharina
tangga yang biasanya di gunakan untuk mencuci pakaian, memasak dan untuk kebutuhan lainnya. 4. Hak atas Perumahan yang Layak Ketika seseorang memiliki fasilitas (ruangan) di dalam rumahnya yang tidak layak di gunakan untuk memasak atau menyimpan makanan misalnya, maka hak atas pangan dapat terganggu begitupun jika harga perumahan sangat mahal maka orang akan memangkas pengeluarannya untuk membeli makanan yang bergisi tinggi. 5. Hak atas Pendidikan Kelaparan dan kekurangan gizi dapat merusak kemampuan anak-anak untuk belajar dan dapat memaksa mereka untuk berhenti sekolah dan akhirnya memilih untuk bekerja diusia dini. Hal ini tentu mengganggu pada hak untuk menikmati pendidikan. Bagaimanapun untuk bebas dari rasa lapar dan kekurangan gizi, setiap orang harus mengetahui bagaimana mengatur nutrisi yang ada dan harus memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menghasilkan makanan bagi kehidupan sehar-harinya. Akses terhadap pendidikan, termasuk pendidikan kejuruan adalah penting untuk menikmati hak atas pangan. 6. Hak atas Pekerjaan dan Jaminan Sosial Pekerjaan dan jaminan sosial juga kadang sangat menentukan untuk memperoleh makanan, dengan kata lain, upah minimum dan jaminan sosial kadang Iin Karita Sakharina
65
menjadi acuan dalam menentukan harga-harga bahan dasar pangan di pasaran. 7. Hak atas Kebebasan untuk Berkumpul dan Mengambil Peran di Depan Publik Hak ini juga penting untuk kelompok marginal dan orang-orang pinggiran untuk membuat suara mereka didengar di depan publik terutama mengenai kebijakan yang berkaitan dengan hak atas pangan sehingga hak atas pangan mereka akan terlindungi. 8. Hak atas Informasi Informasi adalah suatu hal yang juga krusial pada hak atas pangan, dimana membuat individu mengetahui tentang makanan dan nutrisinya, pasar dan alokasi sumberdayanya. Hal ini diperkuat dengan adanya partisipasi publik dan kebebasan kostumer untuk memilih. perlindungan dan promosi mengenai hak untuk mencari, menerima dan mengetahui informasi untuk menikmati hak atas pangan. 9. Hak atas Kebebasan dari Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak Anak-anak dan orang tua yang menderita kelaparan dan gizi buruk kadang lebih rentan untuk direkrut pada bentuk-bentuk terburuk dari pekerjaan anak untuk dapat bertahan hidup seperti tentara anak dan prostitusi anak.
66
Iin Karita Sakharina
10. Hak untuk Bebas dari Penyiksaan, Penganiayaan dan Perlakuan yang Tidak Berperikemanusian Kekurangan akses terhadap bahan makanan yang layak bagi para narapidana di penjara dapat mengarah adanya kekerasan atau perlakuan yang tidak manusiawi.
Iin Karita Sakharina
67
68
Iin Karita Sakharina
BAB III KEWAJIBAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA PIHAK DARI KOVENAN INTERNASIONAL HAK EKOSOB
Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari anggota masyarakat internasional, sehingga Indonesia juga seharusnya tunduk pada hukum dan kebiasa5an internasional yang ada. Salah satu bentuk perwujudan negara untuk menghormati kaidah-kaidah dalam hukum internasional yang berlaku adalah dengan cara consent to be bound by international treaty yaitu setuju untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional yang ada. Setuju untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional tentunya dengan segala konsekuensi yaitu tunduk dan menghormati aturan-aturan yang ada dalam suatu hukum internasional mengenai suatu hal atau masalah. Seperti yang dikaji penulis dalam tulisan ini yaitu kovenan internasional mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Adapun cara untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian internasional yaitu melalui ratifikasi. Selain itu dalam melihat konteks hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional yaitu dengan adanya dua paham yang berkemIin Karita Sakharina
69
bang. Pertama adalah paham monisme, yaitu antara hukum internasional dan hukum nasional dipandang sebagai satu hukum yang sama dengan memandang hukum internasional sebagai primat yang utama, sementara paham dualisme adalah memandang antara hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua aliran hukum yang berbeda. Negara Republik Indonesia menganut paham dualisme sehingga untuk terikat dalam sebuah intrumen hukum internasional maka harus melalui proses ratifkasi, karena dengan diratifikasinya suatu perjanjian internasional maka suatu negara secara sukarela akan tunduk pada hukum internasional yang berlaku mengenai suatu masalah tertertu. Seperti halnya dengan kovenan internasional mengenai hak ekosob ini. A. Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Kovenan Internasional Hak Ekosob secara umum merujuk pada elaborasi poin-poin penting dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, khususnya kodifikasi yang lebih mendalam pada tingkatan internasional dan domestik.88 Hak ekosob adalah hak yang tidak terpisahkan dari hukum HAM internasional, kovenan internasional ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1966, bersamaan dengan kovenan internasional hak 88
Lihat Azizur Rahman Chowdhury & Jahid Hossain Bhuiyan, Op. Cit.,
hlm. 131
70
Iin Karita Sakharina
sipol dan berlaku pada tahun 1976.89 Perjanjian ini adalah bersifat legally binding (mengikat secara hukum) dan menjadi kewajiban bagi negara peserta. Kovenan hak ekosob merupakan perjanjian internasional yang paling penting untuk dikodifikasi “generasi kedua” HAM dan memuat hak-hak ekonomi yang penting antara lain hak untuk bekerja, hak untuk kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, kemudian hak-hak sosial ini antara lain, hak atas standar kehidupan yang layak, meliputi hak atas atas pangan, sandang, dan papan, hak atas perlindungan keluarga, dsb. Kemudian hak budaya, antara lain hak-hak atas atas pendidikan, perlindungan kekayaan intelektual. Berdasarkan perkembangan historis di atas, Karel Vasak90 membagi HAM ke dalam tiga generasi, yakni: (a) Generasi pertama, hak-hak sipil dan politik (liberté); (b) Generasi kedua, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (egalité); (c) Generasi ketiga, hak-hak solidaritas.
This appears in the annex to General Assembly Resolution 2200 A (XXI) of 16 December 1966; for the text in various languages, see 993 UNTS 3. The covenant entered into force on 3 January 1976, in accordance with article 27. The Committee on Economic, Social and Cultural Rights was established under Ecosoc Resolution 1985 / 17, 28 May 1985, to carry out the monitoring functions assigned to Ecosoc in Part IV of the Covenant. See http:www2.ohcr.org/English/bodies/cescr/index.htm. Diakses Pada Hari Jumat, 7 Oktober 2011, Pukul: 20:00 89
Lihat Satya Arinanto, Op., Cit., hlm. 78; Lihat juga Irene Hadi Prayitno, Hazard or Right, (Portland: Intersentia, 2009), hlm. 31 90
Iin Karita Sakharina
71
Generasi pertama yang sering disebut hak sipol berasal dari teori-teori kaum reformis di awal abad ke-17 dan 18 yang berkaitan dengan revolusi di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Generasi ini dipengaruhi filsafat individualisme liberal dan doktrin sosial-ekonomi laissez-faire (filsufnya seperti Hobbes dan Locke). Generasi ini meletakkan posisi HAM lebih pada terminologi yang negatif (“bebas dari”) daripada terminologi yang positif (“hak dari”). Dalam konsepsi ini, ketiadaan intervensi pemerintah dalam pencarian martabat manusia lebih dihargai. Termasuk generasi ini adalah hak-hak yang dirumuskan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 21 Deklarasi HAM PBB.91 Generasi kedua ialah yang tergolong pada hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang berakar pada tradisi sosialis seperti Saint Simonians pada awal abad ke-19 di Perancis. Generasi ini timbul sebagai bagian dari kritik terhadap perkembangan kapitalisme yang mengeksploitasi kelas pekerja dan masyarakat kolonial. Ini diadopsi oleh Pasal 22-27 Deklarasi HAM PBB.92 Generasi ketiga yang mencakup hak-hak solidaritas
Lihat Satya Arinanto dalam buku R. Muhammad Mihradi, Pengantar Memahami Hak Ekosob, (Uni Eropa: Pusat Telaah dan Informasi Regional bekerja sama dengan European Initiative for Democracy and Human Rights / EIDHR, 2005), hlm.5 91
92
72
Ibid. Iin Karita Sakharina
merupakan rekonseptualisasi dari kedua generasi HAM sebelumnya. Ia dapat dipahami dengan cara terbaik sebagai suatu produk, sekalipun sebagian masuk dalam proses pembentukan dari kebangkitan dan kejatuhan negara dan bangsa dalam paruh kedua dari abad ke-20. Tercantum dalam Pasal 28 Deklarasi HAM PBB, ia mencakup enam hak sekaligus. Tiga di antaranya merefleksikan bangkitnya nasionalisme negara dunia ketiga dan keinginan untuk mendistribusikan kembali kekuatan, kekayaan, dan nilai-nilai lain yang penting.93 Hak ekosob dapat dirumuskan berdasarkan berbagai ketentuan internasional, khususnya kovenan internasional hakhak ekosob (ICESR), sebagai hak dasar manusia di bidang ekonomi, sosial dan budaya yang harus dilindungi dan dipenuhi agar manusia terlindungi martabat dan kesejahteraannya. Kovenan Internasional hak-hak ekosob itu sendiri diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2005 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. Hak ekosob secara penuh diakui masyarakat internasional dan hukum internasional mengenai HAM. Meskipun ketika itu hak ini mendapat perhatian lebih sedikit dibandingkan hak sipol, namun kini hak ekosob memperoleh perha93
Ibid. Iin Karita Sakharina
73
tian yang jauh lebih serius daripada sebelumnya. Apalagi di dalam praktik, khususnya di negara-negara dunia ketiga, hak ekosob biasanya terabaikan. Indonesia, dalam konteks ini, merupakan salah satu bagian dari negara yang belum memaksimalkan diri menjamin hak ekosob94. Kewajiban dan tanggung jawab negara untuk memenuhi hak ekosob bagi warga negaranya didasarkan atas komitmen internasional yang terkandung dalam perjanjian internasional tentang hak Ekosob. Negara Republik Indonesia berkewajiban memenuhi hak-hak ekosob bagi warga negara Indonesia. Kendati sama-sama sebagai HAM maupun satu sama lain tidak dapat dipisahkan, tetapi pemenuhan atau pelaksanaan hak ekosob berbeda dengan pelaksanaan hak sipol. Perbedaan terletak pada peran negara dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya.95 Pelaksanaan hak sipol akan menjadi optimal jika peran atau campur tangan negara sangat minimamal. Jika negara mencampuri kebebasan setiap orang, maka hak atas kebebasan pasti terancam. Peran negara cukup menjamin pelaksanaan hakhak ini melalui konstitusi dan Undang-Undang. Berbeda dengan 94
R Muhammad Mihradi, Ibid., hlm. 6
Lihat Hendardi, Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Sebagai Hak Legal, Jurnal Dinamika HAM, Volume 3 Nomor 3, Oktober 2003, PusHAM Ubaya, hlm. 217 95
74
Iin Karita Sakharina
hak sipol, maka hak ekosob membutuhkan peran kekuasaan negara yang lebih besar. Dasarnya, sumber-sumber ekonomi dan sosial bagi pemenuhan kebutuhan manusia selalu bersifat terbatas, sehingga ada sejumlah yang menganggur, kekurangan pangan bahkan sama sekali tidak dapat menikmati hak atas perumahan, karena itu dalam pemenuhan hak ekosob, peranan pemerintah harus lebih besar. Pemerintah harus mengeluarkan sejumlah peraturan kebijaksanaan96 yang berorientasi pada kepentingan umum agar distribusi hasil-hasil pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial lebih merata. Pemerintah perlu mengatur langkah-langkah kebijaksanaannya agar pengelolaan sumber-sumber ekonomi dan sosial tak terkonsentrasi pada tangan segelintir orang.97 Hak Ekosob dibuat dengan tujuan menjamin perlindungan terhadap manusia berrdasarkan pemahaman bahwa setiap Istilah kebijaksanaan hampir serupa dengan istilah kebijakan, namun menurut Girindo Priggodigdo, dalam Abdul Razak ;memberikan penjelasan bahwa ada perbedaan antara istilah kebijaksanaan (policy beleid) dan kebijakan (wisdom wisjheid). Menurut Pringgodigdo, kebijksanaan adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang direncanakan dibidang hukum untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki. Orientasinya pada pembentukan dan penegakan hukum masa kini dan masa depan. Adapun kebijakan adalah tindakan atau kegiatan seketika (instant decision) melihat urgensi serta siatuasi/ kondisi yang dihadapi, berupa pengambilan keputusan di bidang huku bersifat pengaturan yang dapat bersifat penaguturan (tertulis) dan/atau keputusan tertulis atau lisan yang antara lain berdasarkan kewenangan/kekuasaan diskresi (discretionary power/freies Ermessen), Abdul Razak, Peraturan Kebijakan (Beleidsregels), (Yogyakarta: Republik dan Rangkang Education, 2013), hlm. 24 96
97
Ibid., hlm. 218 Iin Karita Sakharina
75
orang berhak untuk menikmati hak, kebebebasan dan keadilan sosial secara bersama-sama98 Isi dari Kovenan Hak Ekosob ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu : 1. Bagian I: memuat hak setiap penduduk untuk menentukan nasib sendiri dalam hal status politik yang bebas serta pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. 2. Bagian II: memuat kewajiban atau obligasi negara pihak untuk melakukan semua langkah yang diperlukan dengan berdasar pada sumber daya yang ada untuk mengimplementasikan kovenan dengan caracara yang efektif, termasuk mengadopsi kebijakan yang diperlukan. 3. Bagian III: memuat jaminan hak-hak warga negara: a. Hak atas pekerjaan b. Hak mendapatkan program-program pelatihan teknis dan vokasional ; c. Hak untuk mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik d. Hak untuk membentuk serikat buruh e. Hak untuk menikmati jaminan sosial termasuk asuransi sosial f. Hak untuk menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan g. hak atas standar hidup yang layak, termasuk pangan, sandang, pakaian dan perumahan 98
76
Lihat R Muhammad Mihradi, Op. Cit., hlm. 6 Iin Karita Sakharina
h. hak untuk terbebas dari kelaparan i. hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi j. hak atas pend, idikan, termasuk pendidikan dasar secara cuma-cuma Melihat isi dari kovenan Ekosob tersebut, jelas bahwa pengaturan mengenai hak atas pangan adalah termasuk dari pemenuhan hak ekosob bagi setiap invidu oleh negara, sebagaimana yang dikatan Eide99 bahwa adalah kewajiban negara sebagai konsekuensinya menjadi bagian dari masyarakat internasional dan tunduk di dalam instrumen HAM internasional untuk menjalankannya dengan itikad baik100. Hal ini telah menjadi aturan standar dalam semua sistem HAM internasional. Merujuk pada Pasal 26 Konvensi Wina tentang Perjanjian internasional 1969 bahwa: “every treaty in force is binding upon the parties to the treaty and must be performed by them in good faith” (Setiap perjanjian telah mengikat para pihak dan wajib dilaksanakan dengan itikad baik).
Lihat Asbjorn Eide, Economi, Social Culture Rights, at Text Book Second Revised Edition, (Martinus Nijhoff Publisher, 2001), hlm. 9 99
Obligation undertaken by states, and consequently by international community, under international human rights instrumens shall be implemented in good faith. 100
Iin Karita Sakharina
77
Menurut F. Viljoen bahwa The inclusion of socio-economic right in constitution comes in two forms; the rights may be part of a Bill of rights and consequently directly enforceable in courts, or they may be Directive Principles and mere guides to policy and law making or interpretation of other provision and laws. 101 Kovenan juga mengatur adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam hal pemenuhan hak ekosobnya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, yaitu: “Negara Pihak Kovenan ini akan menjamin hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menikmati seluruh hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini”. Perempuan sering menderita kesulitan besar dan tidak sebanding dalam mempertahankan hak asasinya, termasuk hak ekosob. Pasal 3 memberikan jaminan bahwa laki laki dan perempuan memiliki hak hukum yang sama atas hak sebagaimana dicantumkan dalam Kovenan, dan bahwa, apabila diperlukan, upaya-upaya khusus akan di lakukan oleh Negara Pihak untuk menjamin tercapainya kedudukan yang sama ini. Kovenan ini memberi kerangka kerja untuk menganjurkan langkah-langkah bertahap dan yang segera mungkin sehingga perempuan dapat menikmati hak yang sama yang seringkali tidak mereka dapatkan. Sebagai contoh, ketentuan 101
78
Lihat F. Viljoen dalam buku Ida-Eline Engh. Op. Cit., hlm. 199
Iin Karita Sakharina
tentang hak atas perumahan pada Pasal 11 ayat (1) Kovenan, diberlakukan secara sama pada laki laki maupun perempuan sehingga dengan demikian, perempuan mempunyai hak yang sama atas pewarisan rumah, suatu yang tidak terjadi pada beberapa Negara. Dengan demikian, Pasal 3 dan Pasal 2 ayat (2) secara bersama-sama memberikan perlindungan hukum yang signifikan terhadap segala bentuk diskriminasi dalam mengejar hak ekonomi, sosial, dan budaya. Selain mengatur tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, kovenan internasional ini juga memuat beberapa pembatasan-pembatasan untuk negara yang telah dan akan menjadi negara pihak pada kovenan ini. Pembatasan-pembatasan tersebut diatur di dalam beberapa pasal yang ada dalam kovenan ini. Pasal 4 Negara Pihak Kovenan ini mengakui bahwa, kalau pemenuhan hak yang dijamin oleh Negara sesuai dengan Kovenan ini, Negara hanya dapat mengenakan pembatasan terhadap hak tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang sesuai dengan sifat hak tersebut, dan semata-mata di lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pasal 5 1. Kovenan ini tidak boleh ditafsirkan sebagai memberikan hak kepada suatu negara, perorangan atau Iin Karita Sakharina
79
kelompok, untuk terlibat dalam suatu kegiatan apapun atau melaksanakan suatu tindakan apapun, yang bertujuan merusak hak atau kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk membatasi hak tersebut dalam tingkat yang lebih besar dari pada yang tercantum dalam Kovenan ini. 2. Tidak ada pembatasan atau pengurangan apapun terhadap HAM yang diakui atau terdapat di suatu negara berdasarkan hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, dapat diterima dengan alasan bahwa kovenan ini tidak mengakui hak itu atau mengakuinya pada tingkat yang lebih rendah. Perancang Kovenan tidak bermaksud agar negara dapat secara bebas menggunakan Pasal 4 dan 5 untuk melakukan pembatasan terhadap hak yang diberikan, melainkan, ketentuan-ketentuan ini dirumuskan sedemikian rupa untuk melindungi hak individu. Pasal-pasal itu juga tidak dirancang untuk mengajukan pembatasan atas hak yang dapat mempengaruhi penghidupan atau kelangsungan hidup individu atau integritas seseorang. Bila suatu Negara Pihak merasa perlu untuk menggunakan ketentuan pasal ini, negara itu hanya dapat melakukannya bilamana dilandasi hukum dan hanya bila langkahlangkah itu sejalan dengan Kovenan. Langkah-langkah itu tidak dapat diterapkan sewenang-wenang, tanpa alasan yang layak 80
Iin Karita Sakharina
ataupun dengan cara yang diskriminatif. Lagipula, individuindividu harus diberi jaminan hukum dan ganti rugi yang layak menghadapi penerapan pembatasan yang melawan hukum ataupun yang melanggar hak ekonomi, sosial, dan budaya. Istilah “masyarakat demokratis” (Pasal 4) lebih jauh membatasi pemberlakuan suatu batasan berdasarkan kovenan, dan karenanya menjadi kewajiban negara untuk membuktikan bahwa pembatasan yang ada tidak merugikan fungsi demokrasi dalam masyarakat. Tidak satupun ketentuan dalam hukum yang berhubungan dengan pembatasan dapat diartikan untuk meniadakan suatu hak atau kebebasan yang diakui kovenan. Maksud utama Pasal 5 ayat (2) adalah memberi jaminan agar ketentuanketentuan dalam Kovenan ini tidak diberi tafsiran yang merugikan ketentuan hukum dalam negeri ataupun instrumeninstrumen hukum lain yang telah berlaku atau yang akan berlaku yang menjanjikan perlakuan yang lebih baik pada orangorang yang dilindungi. Hak ekosob mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum HAM internasional, hak ekosob menjadi acuan pencapaian bersama dalam pemajuan ekonomi, sosial, dan
Iin Karita Sakharina
81
budaya.102 Paling tidak ada 3 (tiga) alasan kenapa hak ekonomi, sosial, dan budaya mempunyai arti yang sangat penting : 1. Hak ekosob mencakup berbagai masalah paling utama yang dialami manusia sehari-hari : makanan yang cukup, pelayanan kesehatan, dan perumahan yang layak adalah yang diantara kebutuhan pokok (basic necessities) bagi seluruh umat manusia; 2. Hak ekosob tidak bisa dipisahkan dengan HAM yang lainnya; interdependensi HAM adalah realitas yang tidak bisa dihindari saat ini. Misalnya saja, hak untuk memilih dan kebebasan mengeluarkan pendapat akan tidak banyak artinya bagi mereka yang berpendidikan rendah karena pendapatan mereka tidak cukup untuk membiayai sekolah; 3. Hak ekosob mengubah kebutuhan menjadi hak : seperti yang telah diulas di atas, atas dasar keadilan dan martabat manusia, hak ekosob memungkinkan masyarakat menjadikan kebutuhan pokok mereka sebagai sebuah hak yang harus di klaim (rights to claim) dan bukannya sumbangan yang didapat (charity to receive).103 Kovenan seringkali disalahartikan bahwa pemenuhan hak ekosob akan terwujud setelah atau apabila suatu negara Lihat Ifdhal Kasim dalam El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. xxv 102
El Muhtaj, Tanggung Jawab Negara Dalam Hal Pemenuhan Hak Ekosob, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 2 103
82
Iin Karita Sakharina
telah mencapai tingkat perkembangan ekonomi tertentu. Padahal yang dimaksudkan dengan rumusan tersebut adalah mewajibkan semua negara peserta untuk mewujudkan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, terlepas dari tingkat perkembangan ekonominya atau tingkat kekayaan nasionalnya.104 1. Komite Hak Ekosob Pembentukan dan komposisi komite tidak seperti lima badan perjanjian HAM lainnya, Komite Hak Ekosob tidak berdiri atas kesepakatan instrumennya. Tetapi Dewan Ekonomi dan Sosial membentuk Komite, akibat hasil kerja yang tidak memuaskan dari dua dewan sebelumnya, yang dipercaya untuk mengawasi kovenan. Komite didirikan 1985, bertemu pertama kali pada 1987 dan sampai sekarang telah menyelenggarakan 14 kali persidangan. Pertemuan di lakukan tahunan, saat ini komite melakukan pertemuan dua kali dalam setahun, melaksanakan sidang selama dua sampai tiga minggu, umumnya pada Mei dan November/Desember. Seluruh pertemuan ini dilaksanakan di kantor PBB di Jenewa. Komite beranggotakan 18 orang yang merupakan para ahli dengan kemampuan yang telah diakui dalam bidang HAM. Anggota Komite adalah orang-orang yang independen dan 104
Ibid., hlm. 3 Iin Karita Sakharina
83
mengabdi berdasarkan kemampuannya masing-masing, bukan merupakan perwakilan dari pemerintahnya. Saat ini komite terdiri dari 13 (tiga belas) orang laki-laki dan 5 (lima) orang perempuan. Komite memilih sendiri ketuanya, tiga wakil ketua dan pelapor. Anggota komite dipilih oleh Dewan Ekonomi dan Sosial untuk masa empat tahun dan dapat dipilih kembali bila yang bersangkutan masuk nominasi lagi. Jadi Komite merupakan bagian dari Dewan Ekonomi dan Sosial dan kewenangan resminya berasal dari dewan tersebut. Pemilihan di lakukan melalui pemilihan suara rahasia berdasarkan daftar nama calon yang diajukan Negara Pihak kovenan. Negara yang belum meratifikasi kovenan tidak dapat mencalonkan warganya untuk menduduki jabatan dalam komite. Prinsip persamaan berdasarkan penyebaran wilayah, dan perwakilan dari semua sistem sosial dan hukum menjadi pedoman proses pemilihan. Komite dilayani oleh Pusat Hak Asasi Manusia PBB. 2. Tugas Komite Hak Ekosob Fungsi utama Komite adalah memantau penerapan kovenan oleh negara pihak. Komite berusaha membangun komunikasi yang baik dengan negara pihak dan berusaha menentukan melalui berbagai macam masukan yang didapat, apakah pera84
Iin Karita Sakharina
turan dalam kovenan telah diterapkan dengan memadai oleh negara pihak serta bagaimana pelaksanaan dan kebijaksanaan dapat ditingkatkan sehingga semua orang yang berhak atas hak yang tercantum dalam kovenan dapat benar-benar menikmati sepenuhnya. Berdasarkan keahlian dan pengalaman hukum dari anggotanya, komite dapat pula membantu pemerintah untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan kovenan dengan memberikan masukan yang spesifik tentang peraturan, kebijaksanaan atau usulan dan rekomendasi lainnya seperti rekomendasi agar dapat lebih menjamin hak ekosob. Oleh karena itu indikator yang di gunakan dalam pelaksanaan kovenan hak ekosob menggunakan (1) Indikator struktural (mencerminkan ratifikasi dan adopsi instrumen-instrumen hukum dan keberadaan mekanisme institusional dasar yang dianggap perlu untuk memfasilitasi perwujudan hak asasi manusia yang bersangkutan), (2) Indikator proses (mengaitkan instrumen-instrumen kebijakan negara dengan tonggak-tonggak dikumpulkan menjadi hasil setelah periode waktu tertentu), serta (3) Indikator hasil (menangkap pencapaian, individu dan kolektif, yang menggambarkan status perwujudan hak asasi manusia dalam konteks yang diberikan).
Iin Karita Sakharina
85
B. Proses Ratifikasi Kovenan oleh Indonesia Salah Satu bentuk kesepakatan untuk mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian internasional seperti yang telah disebutkan pada halaman sebelumnya adalah ratifikasi. Sebagaimana Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekosob melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Kata ratifikasi tidak hanya diartikan sebagai pengesahan atau penandatanganan, tetapi
ada beberapa arti dari ratifikasi menurut
para ahli hukum internasional. Lord Mac Nair105 menjelaskan bahwa “The word ‘ratification’ is used in several different sense, of which the following must be mentioned”. Namun demikian akar ratifikasi diperoleh secara bersama bahwa kata ini berasal dari kata “ratifficare” dalam Bahasa Latin artinya pengesahan (confirmation) atau persetujuan (approval). Selanjutnya dalam Bahasa Latin Klasik ratifikasi sering pula dinyatakan dengan “ratum habere”, “ratum ducere”, “ratum facere”, dan “ratum alicui case”, yang kesemuanya berarti persetujuan.106 Selanjutnya jika melihat ratificare di dalam Bahasa Latin maka ratificare mempunyai dua arti, yaitu:
Lihat Lord Mac Nair, The Law of Treaties (London: Oxford Clorendon Press, 1967), hlm. 215 105
Lihat Eddy Damian, Beberapa Pokok Materi Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Jurnal Hukum Internasional Universitas Indonesia, Volume 2 Nomor 3, Desember 2003, hlm. 25 106
86
Iin Karita Sakharina
a. Ratum habere dan ratum ducere b. Ratum facere dan ratum alicui case. Ratum habere dan ratum ducere mempunyai arti persetujuan yang memandang berlakunya suatu akta. Jadi bila dihubungkan dengan perjanjian, penetapan berlakunya suatu perjanjian itu secara formil, karena tandatangannya wakil berkuasa penuh telah menyebabkan negara yang diwakili terikat pada perjanjian yang bersangkutan. Ratifikasi dalam arti ini lebih bersifat deklaratif, karena hanya mengesahkan yang telah disetujui wakil-wakil, sedangkan ratum facere dan ratum alicul esse di lain pihak menunjuk pada berlakunya suatu akta. Persetujuan mana umumnya akan meningkatkan suatu rencana perjanjian menjadi perjanjian yang berlaku dan mengikat negara peserta. Ratifikasi menurut pengertian ini lebih bersifat konstitutif, karena merupakan pengesahan semua ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam perjanjian.107 Jadi dari pengertian latin tersebut ratifikasi mempunyai arti: a. Persetujuan formal terhadap perjanjian;
Lihat Priyatna Abdurrasyid, Instrumen Hukum Nasional bagi Peratifikasian Perjanjian Internasional, Majalah Hukum Nasional, Nomor 1, (Jakarta: BPHN, 1991), hlm. 29 107
Iin Karita Sakharina
87
b. Persetujuan peningkatan rencana perjanjian menjadi perjanjian yang berlaku dan mengikat bagi negara peserta.108 Ratum habere dan ratum ducere di satu pihak mengandung pengertian “persetujuan yang memandang berlakunya suatu akta”, Jika dihubungkan dengan perjanjian, maka penetapan berlakunya perjanjian itu adalah secara formal, karena tandatangan wakil-wakil berkuasa penuh telah menjadi negara yang diwakili terikat pada isi perjanjian tadi. Edy Suryono mengatakan ratifikasi menurut arti tersebut lebih bersifat deklarasi karena hanya mengesahkan tanda tangan wakil berkuasa. Dalam hal ini seakan-akan dipandang bahwa suatu ratifikasi hanya bisa berwujud dalam bentuk penandatanganan dari materi atau isi perjanjian yang di lakukan secara tertulis. Perjanjian dalam bentuk naskah tertulis memiliki keabsahan yang lebih valid. Dari segi ini dapat dipersoalkan, apakah layak perjanjian internasional tak tertulis (unwritten agreement) diterima keabsahannya setara dengan perjanjian intemasional tertulis. Sesungguhnya mengingat sifatnya, persetujuan antara negara dengan negara yang bersifat lisan tidak jelas dan sama permanennya seperti halnya perjanjian tertulis, serta apapun kedudukannya, secara lisan sudah dapat mengikatkan diri 108
88
Eddy Damian, Op., Cit.
Iin Karita Sakharina
dalam suatu ikatan persetujuan, yang berarti tindakan dua orang tersebut mengikat jutaan warga negaranya tanpa campur tangan atau keturut sertaan dari badan yang berwenang dari negara tersebut, sekalipun mengalami praktek tak lazim, unwritten agreement agaknya sukar dipakai sebagai dasar pembuktian dalam sengketa perjanjian, demikian pula halnya jika ditarik dalam artian ratifikasi sederhana bagaimanapun sifatnya, karena yang diperlukan dalam ratifikasi adalah bentuk naskah tertulis dan ditandatangan serta dicap.109 Definisi ratifikasi berdasarkan hukum positif internasional adalah sebagaimana yang dicantumkan dalam Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 sebagai berikut : "Ratification means in each case the international act so named whereby a state establishes on the international plans its consent to be bound by a treaty".110 Ratifikasi merupakan tindakan internasional dengan cara mana suatu negara pada taraf internasional, memberikan persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional. Sehingga pada dasarnya Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 menekankan pada persetujuan yang akan meningkatkan rencana perjanjian menjadi perjanjian yang berlaku mengikat bagi negara-negara peserta atau dalam bahasa Latin
1969
109
Ibid.
110
Lihat Pasal 1 ayat (2) huruf b Vienna Convention on the Law of Treaties Iin Karita Sakharina
89
Klasik disebut "ratum facere" dan "ratum alicui case" sebagaimana disebutkan di atas.111 Ratifikasi berasal dari konsepsi hukum perjanjian internasional yang diartikan sebagai tindakan konfirmasi dari suatu negara terhadap perbuatan hukum utusan atau wakilnya yang telah menandatangani suatu perjanjian sebagai tanda persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu. Konfirmasi ini dibutuhkan karena pada era permulaan berkembangnya perjanjian internasional, masalah komunikasi serta jarak geografis antar negara merupakan faktor yang mengharuskan adanya ruang bagi setiap negara untuk mengkonfirmasi setiap perjanjian yang telah ditandatangani oleh utusannya.112 Pengesahan tandatangan yang di lakukan oleh wakil negara yang turut serta dalam perundingan berasal dari zaman dahulu ketika kepala negara perlu meyakinkan dirinya bahwa utusan yang telah diberi kuasa penuh olehnya tidak melampaui batas wewenangnya. Pada masa itu kepala negara atau pemerintah yang bersangkutan tidak dapat terus-menerus mengikuti langkah utusan yang dikirimnya, menyebabkan bahwa ratifikasi 111
Eddy Damian, Op., Cit.
Lihat Damos Dumoli Agusman, Arti Pengesahan / Ratifikasi Perjanjian Internasional, Status Perjanjian Internasional dalam Tata Perundangundangan Nasional: Kompilasi Permasalahan, (Jakarta: Direktorat Perjanjian Ekonomi Sosial dan Budaya, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri RI, 2008), hlm. 1 112
90
Iin Karita Sakharina
dirasakan perlu sebelum kepala negara dapat mengikat dirinya dengan perjanjian yang bersangkutan. Oppenheim mendefinisikan ratifikasi sebagai konfirmasi akhir (the final confirmation) dari para pihak atau negara peserta atas perjanjian internasional yang sudah disepakati atau ditandatangani oleh para utusannya dan pada umumnya disertai dengan pertukaran dokumen sebagai perwujudan ungkapan konfirmasi tersebut. 113 Berdasarkan pernyataan di atas, walaupun ratifikasi dianggap sebagai sekedar konfirmasi suatu negara atas tindakan para utusannya dalam pembuatan perjanjian internasional, namun tindakan konfirmasi ini sangat menentukan ketentuan mengikatnya suatu perjanjian internasional. Pada dasarnya fungsi ratifikasi itu sendiri adalah untuk mengikatkan suatu negara peserta pada suatu perjanjian internasional. Sepanjang ratifikasi belum diberikan oleh suatu negara maka perjanjian internasional tersebut walaupun sudah disepakati oleh para wakil negara peserta, belum sempurna sebagai instrumen hukum yang mengikat negara yang bersangkutan sehingga kekuatan hukumnya pun belum sempurna. Sebagai suatu tindakan konfirmasi, ratifikasi juga diartikan sebagai tindakan yang bersifat formalitas, namun bukan berarti formalitas yang tidak
Lihat Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hlm. 130 113
Iin Karita Sakharina
91
penting. Sebagaimana dikemukakan oleh Lard Stowell, ratifikasi walaupun dapat dianggap sebagai formalitas, namun formalitas yang sangat esensial. Ratifikasi merupakan syarat esensial dan konfirmasi kuat karena wewenang para utusan negara yang memiliki kuasa penuh (full powers) untuk melakukan pembuatan perjanjian internasional dibatasi oleh adanya syarat ratifikasi tersebut.114 Dalam praktik modern, ratifikasi diartikan bukan hanya sekedar tindakan konfirmasi suatu negara untuk membenarkan atau menguatkan apa yang sudah di lakukan utusannya dalam pembuatan perjanjian internasional, melainkan sekaligus sebagai pernyataan resmi suatu negara tentang persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional.115 Berkaitan dengan ini, T.O. Elias menyatakan bahwa sebelumnya ratifikasi merupakan tindakan konfirmasi yang diberikan oleh suatu negara atas tindakan wakilnya yang memiliki kuasa penuh dalam pembuatan perjanjian internasional. Ratifikasi bukan merupakan persetujuan atas perjanjian itu sendiri melainkan merupakan tindakan konfirmasi yang diberikan oleh suatu negara, sebagai the treaty-making power body, bahwa utusan
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmaja, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2007), hlm. 601 114
115
92
Ibid.
Iin Karita Sakharina
negara yang bersangkutan telah memiliki kewenangan yang sah untuk melakukan perundingan dan telah melaksanakan tugas sebagaimana mestinya sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.116 Dalam perkembangan selanjutnya, pada umumnya ratifikasi tidak lagi dipandang sebagai sekedar konfirmasi melainkan lebih diartikan sebagai penyerahan kekuasaan lembaga eksekutif dalam pembentukan perjanjian internasional (the treatymaking power) kepada lembaga perwakilan (parlemen) untuk melakukan pengawasan. Lembaga perwakilan bukan sekedar memberikan konfirmasi atas tindakan wakil negara dalam pembuatan perjanjian tetapi juga memberikan persetujuan atas perjanjian internasional yang sudah disepakati. Dengan demikian, doktrin ratifikasi mengalami perubahan yang mendasar, yaitu bukan sekedar konfirmasi suatu negara atas tindakan wakil/utusannya melainkan juga sebagai tindakan persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional.117 Berkaitan dengan ini, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa suatu negara mengikatkan dirinya pada suatu
Taslim Olawale Elias, The Modern Law of Treaties, (New York: Oceana Publications Inc., 1974), hlm. 24 116
117
Ibid. Iin Karita Sakharina
93
perjanjian internasional dengan syarat bahwa persetujuan yang demikian harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Penandatangan perjanjian oleh wakil atau utusan negara hanya bersifat sementara dan masih harus disahkan. Pengesahan oleh badan yang berwenang tersebut dinamakan dengan ratifikasi.118 Bertolak dari praktik yang demikian, persoalan ratifikasi bukan hanya merupakan persoalan hukum perjanjian internasional melainkan juga merupakan persoalan hukum tata negara. Hukum internasional sekedar mengatur dalam hal apa saja persetujuan yang diberikan suatu negara pada satu perjanjian memerlukan ratifikasi. Adapun cara ratifikasi itu di lakukan semata-mata merupakan persoalan intern menurut ketentuan hukum tata negara masing-masing negara.119 Pandangan ini sejalan dengan pemikiran bahwa ratifikasi mencakup dua prosedur yang terpisah namun saling terkait satu sama lain, yaitu prosedur eksternal (berdasarkan hukum internasional) dan prosedur internal (berdasarkan hukum nasional).120 Komisi Hukum Internasional menyadari adanya perbedaan ini dan bahkan mengakui bahwa kedua perspektif ini selalu membingungkan. Proses ratifikasi adalah pertukaran atau
94
118
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op., Cit., hlm. 131
119
Ibid.
120
Damos Dumoli Agusman, Op. Cit., hlm. 2
Iin Karita Sakharina
penyerahan instrumen ratifikasi. Dalam perjanjian bilateral, biasanya ini di lakukan dengan pertukaran instrumen yang dibutuhkan antara dua negara yang bersangkutan, sedangkan dalam perjanjian multilateral, biasanya ditunjuk satu pihak yang mengumpulkan instrumen ratifikasi dari semua negara dan memberitahukan kepada semua pihak mengenai keadaan itu. Misalnya, Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan bertindak sebagai penyimpan (depositary) instrumen ratifikasi.121 berkaitan dengan hal ini Anthony Aust menyatakan bahwa: “Ratification consists of (1) the execution of an instrumen of ratification by the executive and (2) either its exchange for the instrumen of ratification of the other state (bilateral treaty) or its lodging with the depositary (multilateral treaty)".122 Selanjutnya, hal yang juga perlu digarisbawahi dalam pembahasan mengenai ratifikasi adalah bahwa walaupun negara telah menandatangani suatu perjanjian melalui utusannya, negara tersebut tidak dapat diwajibkan untuk meratifikasi perjanjian tersebut. Negara yang sudah menandatangani suatu
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: PT. Tata Nusa, 2008), hlm. 59 121
122
Taslim Olawale Elias, Op. Cit., hlm. 107 Iin Karita Sakharina
95
perjanjian internasional melalui utusannya tetap memiliki hak untuk menolak meratifikasi perjanjian tersebut.123 Dalam hal hak menolak ratifikasi diterapkan dalam hubungan yang normal di antara para negara-negara. Dalam hubungan antar negara yang sifatnya khusus, seperti hubungan antara negara anggota Dewan Eropa (Council of Europe), ratifikasi suatu konvensi ditingkatkan menjadi suatu keharusan. Misalnya, European Convention on Human Rights diharuskan untuk diratifikasi oleh negara anggota Dewan Eropa. Statuta Dewan Eropa memang tidak menyatakan secara tegas keharusan untuk meratifikasi konvensi tersebut, namun meratifikasi konvensi tersebut merupakan kewajiban moral dan politik yang sangat kuat. Kewajiban ini dikuatkan kembali melalui "Resolution 1013 Parliamentary Assembly, 14 April 1994" yang menyatakan "accesion to the Council of Europe must go together with becoming a party to the European Convention on Human Rights".124 Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Negara Republik Indonesia telah meratifikasi 2 (dua) kovenan utama internasional HAM, bersama dengan Duham sering disebut Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm. 119 123
Anna-Lenna Svensson-Mc Carthy, The International law of Human Rights and States of Exception: With Special Reference to The Travaux Preparatoires and Case-Law of the International Monitoring Organs, (The Hague: Martinus Nijhoff Publishing, 1998), hlm. 121 124
96
Iin Karita Sakharina
sebagai bill of rights yaitu Kovenan Internasional mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 dan Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 pada tanggal 28 Oktober 2005 dan didaftarkan pada Majelis Umum PBB di New York pada tanggal 23 Februari 2006. Sebelum meratifikasi kedua kovenan internasional ini, Pemerintah Indonesia telah mendapat banyak desakan baik dari dalam negeri maupun juga dari masyarakat internasional. Dari dalam negeri sendiri banyak sekali aktivis HAM yang mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi dua kovenan utama HAM tersebut, baik dari organisasi lembaga Non Pemerintah yang bergerak di bidang HAM, tidak terkecuali para aktivis yang bergerak pada perlindungan hak-hak perempuan sampai lembaga pemerintah seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan. Karena banyaknya desakan dari dalam dan luar negeri sehingga akhirnya Pemerintah Indonesia dengan melalui beberapa pertimbangan seperti sosialisasi jajak pendapat pada diskusi-diskusi yang dilakukan di berbagai ibukota Provinsi diantaranya Kota Makassar dengan dihadiri beberapa elemen masyarakat, mulai wakil dari aktivis HAM, akademisi dan tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk mendengar secara langsung pertimbangan-pertimbangan mengenai perlunya meratifikasi dua kovenan utama ini. Iin Karita Sakharina
97
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan diatas, maka DPR RI mengagendakan rapat pembahasan Rancangan UndangUndang tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipol dan Kovenan Internasional Hak Ekosob selama 8 (delapan) hari kerja dengan mengundang beberapa elemen yang dianggap bisa memberikan pertimbangan yang penting menuju proses pengesahan dua buah kovenan internasional ini. Rapat pembahasan RUU pengesahan kovenan internasional yang dimaksud, selengkapnya digambarkan dalam tabel di bawah ini : Tabel 1 Jadwal Acara Pembahasan RUU Pengesahan Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekosob NO. 1.
98
HARI/ TANGGAL Jum’at, 9 September 2005
Iin Karita Sakharina
WAKTU
KEGIATAN
ACARA
TEMPAT
09.00
RDPU dengan Direktur HAM, Kemanusiaan dan Sosial Budaya Departemen Luar Negeri dan Prof. Hikmahanto, S.H., LL.M., Ph.D (Guru Besar Fakultas
Mencari masukanmasukan terhadap RUU Pengesahan Konvensi Internasioan al tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Konvensi
Ruang Rapat Komisi I
Hukum Universitas Indonesia)
2.
Kamis, 15 September 2005
09.00
RDPU Komisi 1 DPR RI dengan Para Pakar dan Lembaga Swadaya Masyarakat
3.
Jumat, 16 September 2005
09.00
Rapat Intern Poksi
Internasional tentang Hakhak Ekonomi, Sosial dan Budaya Mencari masukanmasukan terhadap RUU Pengesahan Konvensi Internasioan al tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Konvensi Internasional tentang Hakhak Ekonomi, Sosial dan Budaya Mempersiap kan Pemandanga n Umum Fraksi-fraksi terhadap RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Hakhak Sipil dan
Ruang Rapat Komisi I
Ruang Rapat Komisi I
Iin Karita Sakharina
99
4.
100
Senin, 19 September 2005
Iin Karita Sakharina
09.00
Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Menlu
Politik dan Konvensi Internasional tentang Hakhak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1. Pembuk Ruang aan oleh Rapat Ketua Komisi I Rapat 2. Pengesa han jadwal kegiatan dan mekanis me pembah asan 3. Pemand angan Umum Fraksifraksi 4. Jawaban Pemerint ah terhadap Pemand angan Umum Fraksifraksi 5. Pembah asan
Materi 5.
6.
7.
Senin, 20 September 2005
Rabu, 21 September 2005 Jumat, 16 September 2005
09.00
Rapat Paripurna DPR RI
19.00
Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Menlu (lanjutan)
09.00
Rapat Panja
Rapat Intern Poksi
Ruang Rapat Paripurn a 1. Pembahasan Materi RUU 2. Pembahasan Panja Pembahasan Materi Panja Mempersiap kan Pandangan Akhir Fraksi-Fraksi terhadap RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Hakhak Sipil dan Politik dan Konvensi Internasional tentang Hakhak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Ruang Rapat Komisi I Ruang Rapat Komisi I
Iin Karita Sakharina
101
8.
Senin, 19 September 2005
09.00
Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Menlu
1. Pembuk Ruang aan oleh Rapat Ketua Komisi I Rapat 2. Laporan Panja 3. Pendapa t Akhir Fraksifraksi DPR-RI 4. Pengam bilan Keputus an terhadap RUU 5. Penanda tanganan Naskah RUU 6. Sambuta n Pemerint ah 7. Penutup an oleh Ketua Rapat
Mereka yang diundang memberikan paparannya adalah perwakilan Pemerintah, perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dibidang pendampingan untuk pemajuan dan perlindungan HAM, Para Pakar dibidang Hukum Interna102
Iin Karita Sakharina
sional dan HAM, serta Komnas HAM. Dalam rapat dengar pendapat antara DPR dengan Pemerintah dari Kementerian Luar Negeri125 yang diwakili oleh I Gusti Agung Wesaka Puja126 pada rapat dengar pendapat umum dengan Komisi I DPR RI pada tanggal 9 September 2005127 menyampaikan beberapa pertimbangan penting yang mendasari sehingga Pemerintah Indonesia perlu untuk meratifikasi kedua kovenan internasional utama tersebut. Makalah yang disampaikan oleh wakil dari Kementrian Luar negeri ini, diantaranya adalah; Isi pokok dari ICCPR dan ICESCR, isu-isu penting dan kontroversial dalam ICCPR dan ICESCR, yaitu self determination dan hukuman badan, pertimbangan-pertimbangan mengapa Indonesia perlu menjadi pihak pada ICCPR dan ICESCR, konsekuensi bila meratifikasi kedua kovenan tersebut serta implikasi dari ratifikasi itu sendiri.128
125
Ketika itu masih menggunakan penamaan Departemen Luar Negeri
Pada saat itu menjabat sebagai Direktur HAM, Kemanusiaan dan Sosial Budaya Departemen Luar Negeri 126
DPR RI, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2005). 127
I Gusti Agung Wesak Puja, Pentingnya Indonesia Mengesahkan International Covenant on Civil and Political rights (ICCPR) dan International Covenant On Economic, Social, and Cultural Rights (ICECSR),Papaaran Disampaikan Pada Rapat Dengar Pendapat. 128
Iin Karita Sakharina
103
Adapun pertimbangan-pertimbangan penting yang dikemukakan oleh pemerintah Indonesia, antara lain bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjujung tinggi HAM. Selain itu gerakan reformasi yang dimulai tahun 1997 telah membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk melakukan koreksi terhadap sistem dan praktik-praktik masa lalu, terutama untuk menjunjung tinggi dan menegakkan kembali penghormatan HAM. Langkah maju pertama kali diambil oleh Indonesia segera setelah bergulirnya gerakan reformasi adalah pencanangan Rencana Aksi Nasional di Bidang HAM tahun 1898-2003 (melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia/Keppres RI Nomor 129 Tahun 1998) serta keputusaan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yaitu mengesahkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/ MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang lampirannya memuat ”Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia” dan ”Piagam Asasi Manusia”, pada tanggal 13 November 1998. Selain itu dipaparkan juga bahwa dengan meratifikasi kedua kovenan utama HAM ini, kiranya dapat meningkatkan citra Indonesia dimata masyarakat internasional
104
Iin Karita Sakharina
tentang kesungguhan Indonesia dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM.129 Kemudian keinginan dari Pemerintah ini disambut baik oleh Komnas HAM yang memang sudah sangat lama mendesak Pemerintah dan DPR untuk secepatnya memproses pengesahan dari Kovenan ICCPR dan ICECSR bahkan Optional Protokolnya. Bahkan
untuk membantu mempercepat proses pengesahan
kedua Kovenan Utama HAM tersebut, pada hari selasa, tanggal 31 Mei 2005, dengan nomor surat 142/TUA/V/2005, Komnas HAM telah menyampaikan kepada Pemerintah dan DPR draf rancangan undang-undang tentang pengesahan ketiga instrumen HAM internasional, lengkap dengan draf penjelasannya, serta terjemahan instrumen-instrumen yang bersangkutan, sehingga Komnas
HAM sangat gembira ketika memperoleh
undangan DPR dalam acara rapat Dengar Pendapat Umum Sidang guna membahas masalah tersebut.130 Proses ratifikasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tentunya sangat menggembirakan tidak saja bagi warga negara Indonesia, tetapi juga masyarakat internasional, Lihat lebih lanjut pada Pertimbangan-Pertimbangan Mengapa Indonesia Perlu Menjadi Pihak Pada ICCPR dan ICECSR dalam I Gusti Agung Wesak Puja, Op. Cit., hlm. 15-19 129
Baca lebih lanjut pada penjelasan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, untuk disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi I DPR RI, tanggal 15, September 2005. 130
Iin Karita Sakharina
105
karena seperti yang telah dipahami dan juga ikut menjadi salah satu pertimbangan Pemerintah Republik Indonesia pada saat memaparkan alasan-alasan penting perlunya meratifikasi dua buah kovenan ini adalah untuk dapat meningkatkan citra Negara Republik Indonesia sebagai negara yang juga ikut menghormati, melindungi dan memenuhi kewajibannyanya sebagai negara dibidang HAM. Sehingga proses ratifikasi dari kovenan utama HAM ini tentunya membawa dampak yang sangat positif bagi penegakan HAM di Indonesia, karena kedua kovenan ini memuat hak-hak asasi dari setiap orang atau warga negara untuk dihormati, dilindungi dan dipenuhi termasuk hak ekonomi warganya khususnya dalam hal pemenuhan kecukupan pangan yang layak. Dengan adanya peratifikasian dari kovenan utama ini maka dapat menjadi acuan bagi pemerintah dan elemen masayarakat terkait untuk menjadikannnya sebagai acuan dalam standar atau indikator dari terpenuhinya suatu hak. Indikator pertama
yang digunakan untuk mengukur
pemenuhan HAM dibidang hak ekosob yaitu dengan menggunakan indikator struktural yaitu merefleksikan proses ratifikasi/ penetapan dari instrumen-instrumen hukum serta eksistensi dari mekanisme-mekanisme kelembagaan dasar yang dianggap perlu untuk memfasilitasi realisasi dari hak-hak asasi manusia 106
Iin Karita Sakharina
terkait. Sehingga proses ratifikasi dari kovenan internasional mengenai hak ekosob ini dinilai adalah langkah yang paling tepat yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk memenuhi kewajibannya dalam hal pemenuhan hak-hak warga negara dibidang ekonomi, sosial, dan budaya khususnya dalam pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak bagi warga negaranya. C. Kewajiban Negara Pihak Sifat-sifat kewajiban negara pihak (anggota) diatur dalam komentar umum nomor 3131 untuk kovenan internasional hakhak ekosob dengan merujuk pada Pasal 2 ayat (1) bahwa: “Setiap negara Pihak Kovenan ini berjanji mengambil langkah-langkah, baik sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional terutama bantuan teknik dan ekonomi dan sejauh dimungkinkan sumber daya yang ada guna mencapai secara progresif realisasi sepenuhnya hak-hak yang diakui dalam kovenan ini dengan menggunakan semua upaya-upaya yang memadai, termasuk pembentukan langkah-langkah legislatif”. Menurut Komite, Pasal 2 mempunyai nilai penting bagi pemahaman Kovenan secara utuh dan mempunyai kaitan satu Lihat Komentar Umum Nomor 3, Sifat-Sifat Kewajiban Negara Anggota, Komite Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Hak-hak ekonomi, Sosial dan Budaya, HRI/GEN/1/REV.1 at 45 (1994) 131
Iin Karita Sakharina
107
sama lain, pasal ini menjelaskan sifat-sifat kewajiban hukum umum yang harus di laksanakan oleh negara-negara penandatanganan kovenan. Kewajiban-kewajiban itu termasuk apa yang didefinisikan sesuai dengan hasil kerja Komisi Hukum Internasional sebagai kewajiban perilaku (to conduct) dan kewajiban atas hasil (to result), dimana kovenan juga membebankan beberapa kewajiban yang harus di laksanakan secepatnya.132 Selanjutnya Komite juga mengatur bahwa cara-cara yang digunakan untuk memenuhi kewajiban “mengambil langkah-langkah” seperti yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu “semua cara yang dianggap layak, termasuk didalamnya pengambilan tindakan-tindakan legislatif”. Komite berpendapat bahwa untuk pelaksanaan hak-hak di negara pihak, maka peraturan perundang-undangan sangat dibutuhkan.133 Dalam hal pemenuhan kewajiban oleh negara-negara pihak maka komite juga menyadari bahwa kewajiban atas hasil sebagaimana yang diwajibkan oleh kovenan (obligation to conduct) tidak dapat dicapai dalam waktu singkat, perlu sebuah proses karena itu maka dikatakan bahwa negara pihak perlu mengambil langkah-langkah yang bertujuan mencapai secara progresif perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui. Dalam
108
132
Lihat Komentar Umum Nomor 3, Ibid., Paragraf 1
133
Lihat Komentar Umum Nomor 3, Ibid., Paragraf 3
Iin Karita Sakharina
hal ini, Kovenan memberikan kesempatan kepada negaranegara pihak untuk melakukan tindakan secara bertahap dalam hal perwujudan hak-hak ekosob, namum ditegaskan oleh Komite bahwa negara tetap harus bertindak secara cepat dan efektif untuk mencapai tujuan tersebut. Lebih lanjut komite juga berpendapat bahwa negara tidak bisa menjadikan alasan keterbatasan sumber daya sebagai alasan tidak melakukan upaya menuju pemenuhan hak-hak ekosob ini, sehingga ketika suatu negara dianggap gagal untuk memenuhi kewajiban minimum pokoknya dalam hal pemenuhan hak ekosob maka negara tidak bisa beralasan tentang keterbatasan sumber daya di negara itu. Untuk itu komite juga menegaskan bahwa seandainya negara anggota berada dalam keadaan keterbatasan yang bersifat gawat, apakah disebabkan oleh suatu proses penyesuaian, resesi ekonomi atau oleh faktor-faktor lain, kelompok-kelompok rentan dalam komunitas tetap bisa atau lebih tepatnya harus dilindungi dengan pelaksanaan program yang secara relatif tidak membutuhkan banyak biaya, selain itu komite juga menganjurkan dalam upaya pemenuhan hak ekosob, maka negara anggota dimungkinkan untuk mendapatkan bantuan dan kerjasama internasional.134
134
Lihat Komentar Umum Nomor 3, Op. Cit., Paragraf 10, 11, 12, dan 13 Iin Karita Sakharina
109
Bantuan kerjasama internasional dimungkinkan dalam hal pemenuhan hak-hak ekonomi sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam Pasal 55 dan 56 Piagam PBB, yang diakui sebagai prinsip-prinsip dalam hukum internasional, ketentuanketentuan yang ada dalam Kovenan, kerjasama Internasional untuk pembangunan dan oleh karena perwujudan hak ekosob adalah kewajiban dari segala bangsa, khususnya dibebankan kepada negara-negara yang mampu memberikan bantuan kepada negara lain sebagaimana yang tercantum dalam Deklarasi Hak atas Pembangunan yang telah diadopsi oleh Sidang Umum PBB dalam resolusinya nomor 41/28 tanggal 4 Desember 1986.135 Berkaitan dengan kewajiban Indonesia terhadap hak atas pangan, sebagaimana topik dalam tulisan ini, maka Indonesia sebagai negara peratifikasi harus menempuh langkah-langkah sebagai kewajiban utamanya untuk secara progresif mewujudkan secara penuh hak atas bahan pangan yang layak, seperti halnya yang termuat dalam komentar umum nomor 12 paragraf (14)136, bahwa setiap negara diwajibkan untuk menjamin semua orang di wilayahnya dapat mengakses bahan makanan pokok yang memadai, layak dan aman secara gizi, untuk menjamin 135
Lihat Komnetar Umum Nomor 3, Op. Cit., Paragraf 14
Lihat Komentar Umum Nomor 12, Hak Atas Bahan Pangan Yang Layak, Komite Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, E/C.12/1999/5 136
110
Iin Karita Sakharina
mereka bebas dari rasa lapar. Dalam komentar umum, diatur juga bahwa meskipun hanya negara yang ikut menandatangani namun yang berkewajiban untuk mematuhi kovenan adalah seluruh anggota masyarakat-individu, keluarga, komunitas lokal, organisasi non pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan juga badan usaha swasta, semua bertanggung jawab dalam hal perwujudan hak atas bahan pangan yang layak, dimana negara harus menyediakan suatu lingkungan yang memfasilitasi implementasi dari tanggung jawab ini. Badan usaha swasta nasional atau transnasional harus melakukan aktifitasnya dalam kerangka pedoman perilaku yang kondusif bagi penghormatan atas bahan pangan yang layak.137 Tentu saja setiap negara pihak memiliki cara yang berbeda-beda dalam hal mewujudkan pemenuhan hak atas bahan pangan yang layak, termasuk juga Indonesia, hal ini dibenarkan oleh kovenan, hanya saja kovenan tetap menekankan bahwa setiap negara pihak harus mengambil tindakan apapun untuk menjamin setiap orang bebas dari rasa lapar dan dapat menikmati hak atas bahan pangan yang layak, tentunya hal ini menentukan strategi nasional untuk menjamin jaminan pangan dan gizi bagi semua orang, dimana negara dituntut untuk mengidentifikasi sumberdaya yang dimilikinya untuk mencapai 137
Lihat Komentar Umum Nomor 3, Op. Cit., Paragraf 20 Iin Karita Sakharina
111
tujuan tersebut serta memilih cara paling murah yang dapat digunakan.138 Selain itu komite juga mengatur bahwa dalam hal pemenuhan kewajiban internasional atas hak atas pangan yang layak, merujuk pada Pasal 56 Piagam PBB, ketentuan khusus yang dimuat dalam Pasal 11 dan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 23 dari Kovenan Ekosob, serta Deklarasi Roma dalam pertemuan pangan sedunia, dimana negara pihak harus mengakui peran penting kerjasama internasional serta bekerja sesuai dengan komitmen mereka untuk bertindak, sendiri-sendiri atau bersama-sama, untuk mencapai perwujudan penuh dari hak atas bahan pangan yang layak. Dalam mengimplementasikan komitmen ini, Negara pihak harus mengambil langkah-langkah untuk menghormati pemenuhan hak atas pangan di negara lain, melindungi hak tersebut, memfasilitasi akses kepada bahan pangan serta memberikan bantuan yang diperlukan bila diminta. Negara pihak harus, disetiap perjanjian internasional yang relevan, memastikan bahwa hak atas bahan pangan yang layak memperoleh perhatian yang memadai serta mempertimbangkan perkembangan instrumen hukum internasional menuju kearah itu,139 Selain itu komite juga menekankan bahwa
112
138
Lihat Komentar Umum Nomor 3, Op. Cit., Paragraf 21
139
Lihat Komentar Umum Nomor 12, Op. Cit., Paragraf 36
Iin Karita Sakharina
negara pihak harus menghentikan embargo bahan pangan atau tindakan-tindakan serupa yang membahayakan produksi bahan pangan dan akses kepada bahan pangan di negara lain. Bahan pangan seharusnya tidak boleh dipergunakan sebagai alat penekan politis dan ekonomis.140 Jadi Pemerintah Indonesia dalam hal ini bertindak sebagai wakil negara dalam hal melaksanakan kewajiban sebagai negara pihak dan diatur dalam kovenan wajib mengambil langkah-langkah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) , sehingga untuk mencapai realisasi penuh dari hak-hak yang termuat dalam kovenan internasional ekosob khususnya hak atas kecukupan pangan yang layak, maka langkah-langkah yang harus di ambil oleh Pemerintah Indonesia juga harus mencakup langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia yang dapat menyebabkan kelaparan, meningkatkan standar gizi pangan bagi warganya serta menjamin adanya keamanan pangan dan ketersediaan bahan pangan serta adanya aksesibilitas terhadap bahan pangan yang layak. D. Implementasi Kovenan dalam Hukum Nasional Komite Hak Ekosob dapat membantu penerapan kovenan melalui perspektif internasional, namun efektivitas utama ins140
Lihat Komentar Umum Nomor 12, Op. Cit., Paragraf 37 Iin Karita Sakharina
113
trumen ini tergantung pada upaya-upaya yang diambil pemerintah untuk mengaktifkan secara nyata kewajiban hukum internasional mereka. Dalam hal ini komite telah mengakui betapa pentingnya bagi negara untuk menetapkan upaya-upaya legislatif yang tepat dan ketentuan mengenai penyelesaian melalui pengadilan, yang menunjukkan sifat hukum yang sangat nyata terhadap hak ekosob. Pentingnya menerapkan ketentuan-ketentuan kovenan melalui perundang-undangan dalam negeri sejalan dengan Pasal 27 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional tahun 1969, yang menyatakan bahwa : “suatu pihak tidak dapat menggunakan ketentuan hukum dalam negerinya sebagai pembenaran dari kelalaiannya dalam mematuhi suatu perjanjian”. Bahkan, kovenan sering meminta agar dilakukan langkah-langkah legislatif kalau perundang-undangan yang ada ternyata melanggar kewajiban yang disebut dalam Kovenan. Prinsip Limburg mengenai penerapan Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob menekankan bahwa “negara-negara pihak harus menyediakan upaya-upaya penyelesaian yang efektif termasuk, bila memungkinkan, penyelesaian melalui pengadilan” (Prinsip 19). Karena sampai saaat ini belum ada prosedur pengaduan oleh perorangan yang diatur berdasarkan kovenan. 114
Iin Karita Sakharina
Penerapan sepenuhnya atas hak yang terdapat dalam instrumen ini menjadi semakin tergantung pada ketentuan-ketentuan hukum yang tepat dan upaya-upaya penyelesaian pada tingkat nasional. Setidaknya, penegak hukum di tingkat nasional dan lokal dari negara-negara pihak harus mempertimbangkan hukum internasional tentang HAM seperti kovenan sebagai bantuan interpretatif pada hukum dalam negeri dan menjamin bahwa hukum dalam negeri diterjemahkan dan diterapkan sesuai dengan ketentuan instrumen internasional tentang HAM yang telah diratifikasi oleh negara tersebut. Dari perspektif hukum internasional, prinsip dasarnya adalah bahwa pengadilan harus menghindari agar tidak menempatkan pemerintahnya dalam suatu posisi yang dapat melanggar perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Mengenai dapat diajukannya hak yang dicantumkan dalam Kovenan ke pengadilan, yakni kemungkinan hak itu menjalani judicial review, dalam Komentar Umum Nomor 3 mengenai Hak Ekosob tahun 1990, Komite telah menyatakan sebagai berikut: “... di antara langkah-langkah yang mungkin dianggap tepat, selain adanya peraturan perundang-undangan, adalah ketentuan tentang upaya penyelesaian hukum yang berkenaan dengan penghormatan atas hak dianggap Iin Karita Sakharina
115
dapat diajukan ke pengadilan menurut sistem hukum nasional yang bersangkutan…” (ayat 5). Dalam hal ini, Komite telah menunjukkan bahwa beberapa pasal dalam Kovenan dapat segera diterapkan, termasuk Pasal 3, Pasal 7 sub ayat (a) (I), Pasal 8, Pasal 10 ayat (3), Pasal 13 ayat (2) (a), 3 dan 4, Pasal 15 ayat (3). Ketentuan Komite menekankan pula, sehubungan dengan penghormatan pada hak memperoleh perumahan yang layak, misalnya, bahwa “kasuskasus pengusiran dengan paksa prima facie tidak sesuai dengan kehendak kovenan, dan hanya dapat dibenarkan dalam keadaan yang sangat luar biasa, dan sesuai dengan ketentuan yang relevan berdasarkan hukum internasional”. Jika kita merujuk pada konsep hubungan hukum internasional dengan hukum nasional, dimana dalam paham monisme dan paham dualisme ada 3 (tiga) teori aplikasi yang berkembang atau dapat dipakai dalam hal memasukkan hukum internasional kedalam hukum nasional, salah satu diantaranya adalah teori transformasi: jika hukum internasional menjadi bagian hukum nasional maka hukum internasional harus ditransformasikan. Misalnya; di Indonesia, hukum internasional berupa perjanjian-perjanjian internasional ditransformasikan menjadi undang-undang. Artinya bahwa instrumen internasional mengenai hak-hak ekosob yang telah diratifikasi oleh 116
Iin Karita Sakharina
pemerintah Indonesia kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 telah di implementasikan kedalam hukum nasional Indonesia dalam bentuk undang-undang. Sehingga dalam rangka melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut betul-betul telah diterapkan di dalam negeri, maka pengadilan nasional harus benar-benar memainkan peran penting dalam memastikan penghormatan terhadap hak-hak tersebut. E. Laporan Negara Pihak Kepada Komite Konsekuensi dari peratifikasian atau menjadi anggota dari kovenan internasional mengenai hak ekosob ini, adalah menurut ketentuan yang diatur dalam kovenan ini, maka semua negara pihak wajib melaporkan kepada komite secara berkala, hal-hal apa saja yang telah dicapai dalam realisasi dari pemenuhan atas hak-hak yang diatur dalam kovenan tersebut. Hal ini diperlukan untuk melihat seberapa jauh keseriusan negara pihak setelah ratifikasi, bagaimana suatu negara dapat memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap pemenuhan hak-hak ekosob warga negaranya,kemajuan yang telah dilakukan oleh negara pihak dalam hal pemehuhan hak-hak warga negaranya dibidang ekosob, serta kendala-kendala yang dihadapi oleh negara pihak dalam hal melaksanakan kewajibannya terhadap pemenuhan hak terhadap warganya juga kewajiban negara Iin Karita Sakharina
117
pihak sebagai negara yang telah meratifikasi kovenan ini.Untuk itu maka ada beberapa mekanisme yang ditetapkan oleh komite dalam hal pembuatan laporan bagi semua negara pihak. Mekanisme tersebut diuraikan sebagai berikut. a. Mekanisme Pelaporan Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 Kovenan, negara pihak berjanji untuk menyampaikan laporan berkala kepada komite dalam waktu dua tahun sejak kovenan diterapkan di negara itu dan setelah itu satu kali dalam lima tahun untuk menguraikan peraturan, hukum dan upaya lain yang telah dilakukan untuk menjamin pemenuhan hak yang tercantum dalam kovenan. Negara pihak juga diminta untuk memberikan data rinci mengenai sejauh mana hak tersebut telah diterapkan dan wilayah di mana dijumpai kesulitan terhadap penghormatan atas hak ini. Komite telah membantu negara pihak dalam mempersiapkan laporan dengan membagi buku pedoman laporan, 22 halaman, berisi spesifikasi informasi yang dibutuhkan Komite dalam rangka memantau pelaksanaan Kovenan secara efektif. Kewajiban membuat laporan ini bukan merupakan formalitas belaka. Walaupun dalam proses pembuatan laporan ditemukan banyak kesulitan, termasuk banyak negara pihak yang tidak menyerahkan laporan dan masalah yang berhubungan dengan minimnya sumberdaya yang dihadapi negara pihak, mekanisme 118
Iin Karita Sakharina
ini mempunyai banyak fungsi penting di antaranya fungsi pemeriksaan awal, fungsi pengawasan, fungsi perumusan kebijaksanaan, fungsi penelitian masyarakat, fungsi evaluasi, fungsi pemahaman masalah, dan fungsi pertukaran informasi. Komite telah menekankan bahwa kewajiban membuat laporan berdasarkan Kovenan berisi tujuh tujuan utama. Dalam Komentar Umum Nomor 1 tahun 1989, komite menyatakan tujuan-tujuan ini adalah sebagai berikut : a) Memastikan bahwa Negara Pihak melaksanakan pengujian komprehensif terhadap perundang-undangan nasional, aturan, prosedur dan praktik penyelenggaraan negara dalam rangka menyamakan sebisa mungkin dengan kovenan; b) Memastikan bahwa Negara Pihak secara berkala memantau situasi yang sebenarnya dengan menghormati setiap hak yang disebutkan dalam Kovenan dalam rangka mengukur sejauh mana hak tersebut telah dapat dinikmati oleh semua individu dalam Negara tersebut; c) Memberi dasar bagi uraian pemerintah mengenai kebijaksanaan yang dinyatakan dengan jelas dan ditargetkan secara hati-hati dalam menerapkan Kovenan; d) Memfasilitasi penelitian masyarakat mengenai kebijaksanaan pemerintah menyangkut penerapan Kovenan, dan mendorong keterlibatan semua bagian masyarakat dalam merumuskan, menerapkan dan melakukan pe-
Iin Karita Sakharina
119
ngujian terhadap relevansi suatu peraturan kebijaksanaan; e) Memberikan dasar agar baik Negara Pihak maupun Komite dapat mengevaluasi secara efektif kemajuan ke arah perwujudan atas kewajiban yang terdapat dalam kovenan; f) Memberi kesempatan kepada Negara Pihak untuk mengembangkan pengertian yang lebih baik mengenai masalah dan krisis yang mengancam pelaksanaan hak ekonomi, sosial dan budaya; g) Memfasilitasi pertukaran informasi di antara Negara Pihak dan membantu mengembangkan pengertian lengkap atas persoalan bersama dan jalan keluar yang mungkin dilakukan dalam penerapan setiap hak yang terdapat dalam kovenan. Komite biasanya membahas lima atau enam laporan dari Negara Pihak setiap sidang. Bila Negara Pihak yang telah menyampaikan laporan yang telah dijadwalkan akan dibahas Komite pada saat sidang meminta penundaan presentasi laporan itu pada menit-menit terakhir, Komite tidak akan mengabulkannya dan tetap memberi pertimbangan walaupun tanpa kehadiran wakil negara yang bersangkutan. Komite juga harus bergulat dengan masalah yang berhubungan dengan tidak masuknya laporan dan laporan yang diserahkan melampaui batas waktu. Menanggapi situasi tersebut, komite memberitahu Negara Pihak yang belum menyerahkan laporan niat Komite 120
Iin Karita Sakharina
untuk menunda pembahasan laporan persidangan berikut yang ditentukan. Bila laporan tidak juga masuk, Komite lalu meneruskan pertimbangan dengan memperhatikan keadaan hak ekonomi, sosial, dan budaya dalam Negara tersebut melalui semua informasi yang tersedia. 1. Penyerahan Laporan dan Kelompok Kerja Pra Sidang Ketika Negara Pihak menyerahkan laporan, komite membahasnya berdasarkan prosedur standar. Begitu diterima, diproses dan diterjemahkan oleh sekretariat, laporan Negara Pihak diperiksa oleh kelompok kerja prasidang Komite yang terdiri dari lima orang, yang bertemu enam bulan sebelum laporan diberi pertimbangan oleh seluruh anggota Komite. Kelompok kerja prasidang memberikan pertimbangan awal terhadap laporan, menunjuk salah satu anggota untuk memberi pertimbangan penting pada setiap laporan, dan membuat daftar pertanyaan tertulis berdasarkan temuan yang berbeda dalam laporan yang disampaikan Negara yang bersangkutan. Negara Pihak kemudian diminta menjawab secara tertulis pertanyaanpertanyaan ini sebelum presentasi mereka di depan Komite.
Iin Karita Sakharina
121
2. Presentasi Laporan Wakil dari negara yang menyerahkan laporan sangat dianjurkan untuk hadir saat sidang Komite membahas laporannya. Terlihat bahwa delegasi-delegasi selalu hadir saat hal ini diproses, yang umumnya berlangsung selama dua hari. Pertama-tama, delegasi memberikan keterangan pembuka dan tanggapan atas pertanyaan tertulis dari kelompok kerja pra sidang. Hal ini diikuti dengan pemberian informasi oleh badan khusus PBB yang relevan dengan laporan yang sedang dibahas. Anggota Komite lalu membuat pertanyaan dan tinjauan terhadap kehadiran Negara Pihak sebelumnya, setelah itu wakil Negara Pihak diberi kesempatan memberikan tanggapan, biasanya tidak pada hari yang sama dengan saat pertanyaan dan pandangan disampaikan pada mereka, secermat mungkin. Bila pertanyaan tidak terjawab dengan memadai, biasanya Komite meminta informasi tambahan dari Negara Pihak untuk dipertimbangkan pada sidang yang akan datang. 3. Pandangan Akhir : Komite Memberikan Keputusan Saat Komite menyempurnakan analisa atas laporan dan kehadiran negara anggota, Komite menyimpulkan pembahasan terhadap laporan Negara Pihak dengan menyampaikan “pandangan akhir” yang mensahkan keputusan Komite berdasarkan 122
Iin Karita Sakharina
kedudukan Kovenan dalam Negara Pihak. Pandangan akhir dibagi dalam lima bagian: a) Pembukaan; b) Aspek positif; c) Faktor dan kesulitan yang membahayakan penerapan Kovenan; d) Perhatian atas masalah prinsip; dan e) Saran dan rekomendasi. Pandangan akhir ditetapkan dalam sidang tertutup dan diumumkan kepada masyarakat pada hari terakhir setiap masa persidangan. Dalam sejumlah kesempatan Komite menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Kovenan, dan berulang kali mendesak Negara Pihak untuk menghentikan tindakan pelanggaran yang lebih jauh atas hak tersebut. 4. Laporan Negara Republik Indonesia Sebagai Negara Pihak Kepada Komite. Negara Republik Indonesia sebagai salah satu dari negara pihak terhadap kovenan internasional mengenai hak ekosob ini tentunya juga harus mengirimkan laporannya mengenai hal-hal yang telah dicapai. Langkah-langkah kongkret yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam hal memenuhi kewajibannya di bidang pemenuhan hak ekosob bagi warga negaranya. Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh Pemerintah IndoIin Karita Sakharina
123
nesia setelah meratifikasi perjanjian internasional mengenai hak ekosob ini, kendala-kendala apa saja yang dialami oleh pemerintah Indonesia dalam menjalankan kewajibannya dalam hal pemenuhan hak-hak ekosob bagi warga negaranya khususnya hak atas kecukupan pangan yang layak. Dibawah ini penulis akan menguraikan mengenai laporan pemerintah Indonesia terhadap komite hak ekosob. Termasuk capaian-capaian yang telah dihasilkan oleh Pemerintah Indonesia dalam hal pemenuhan hak-hak ekosob. Namun karena bahasan penulis mengenai hak-hak ekosob ini terbatas pada hak atas kecukupan pangan yang layak saja, sehingga capaian-capaian yang telah dihasilkan oleh Pemerintah Indonesia dalam laporannya terhadap komite hak ekosob, penulis batasi hanya dengan laporan mengenai hak atas kecukupan pangan yang layak saja. Laporan Indonesia sebagai negara pihak dari kovenan mengenai pelaksanaan hak-hak ekosob dan implementasinya dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia tahun 2011 dan telah dikirim kepada komite hak ekosob.141 Dimana pada hal pen-
Laporan ini telah dimasukkan oleh negara pihak sebagai laporan periodik kepada komite hak asasi manusia (E/C.12/2008/2) Lihat : The Report of The Government of The Republic Indonesia On the Implementation Of International Covenant On Economic, Social, And Cultural Rights, Initial And First Periodic Report, Government Of The Republic Of Indonesia, 2011 141
124
Iin Karita Sakharina
dahuluan disebutkan bahwa walaupun pemerintah Indonesia baru menjadi anggota terhadap kovenan (state parties) sejak tanggal 23 Mei tahun 2006,142 namun berkomitmen untuk mengimplementasikan secara sungguh-sungguh upaya-upaya terhadap promosi dan perlindungan HAM sebagaimana yang tercantum dalam kovenan, dimana hak-hak yang terdapat dalam kovenan juga telah menjadi bagian penting dari semangat proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945, juga sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD NRI 1945 serta salah satu sila yang terdapat dalam Pancasila yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang juga menjadi dasar dalam pembangunan nasional bagi rakyat dan bangsa. Pemerintah Indonesia juga melaporkan dalam laporan pertamanya mengenai kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam hal pelaksanaan hak-hak ekosob dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat, seperti hak untuk menentukan nasib sendiri, yang antara lain ditafsirkan oleh Pemerintah Indonesia, seperti halnya ketika Bangsa Indonesia memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka dan bebas dari segala bentuk
Walaupun Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekosob pada tanggal 28 bulan Oktober tahun 2005 melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005, namun baru memasukkan dokumen ratifikasi pada Majelis Umum di New York pada tanggal 23 Februari tahun 2006. 142
Iin Karita Sakharina
125
penjajahan pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana ketika itu, seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bersatu untuk membangun bangsa yaitu Indonesia. Selain itu disebutkan juga bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri diwujudkan oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Otonomi Daerah yang dibuat bahkan sebelum ratifikasi kovenan yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang kemudian diubah kedalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 dan kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.143 Menurut Staf Direktorat Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI : “Indonesia memberikan laporan secara continue kepada Komite, sebagai konsekuensi dari diratifikasinya ICESCR, laporan ini berupa keadaan-keadaan real Indonesia yang terkait dengan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya warga. Oleh karena itu, Kementerian Luar Negeri bekerjasama dengan kementerian-kementerian lain (yang terkait) khususnya Kementerian Hukum dan HAM dalam menyusun laporan Indonesia. Secara garis besar Indonesia melaporkan hal-hal yang urgen untuk dilaporkan, beberapa diantaranya, yaitu : Reformasi Pemerintahan dan Birokrasi; Pendidikan; Kesehatan; Keamanan Pangan; Infrastruktur; Perubahan iklim bisnis dan investasi; InoLihat laporan periodik Indonesia kepada Komite Hak Asasi Manusia Tahun 2011 143
126
Iin Karita Sakharina
vasi; Serta yang paling essensial untuk dilaporkan adalah komitmen pemerintah untuk memenuhi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya warga Negara Indonesia”. 144 Pemerintah Indonesia juga melaporkan adanya kebijaksanaan yang dibuat dalam hal pembangunan tanpa adanya dikriminasi dan prioritas pembangunan bagi kelompok-kelompok rentan, persamaan gender, hak untuk bekerja, kebebasan untuk medirikan serikat pekerja, asuransi-asuransi sosial, hak untuk membina keluarga, hak untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang layak, hak atas pangan, hak atas air dan sanitasi, hak atas perumahan yang layak, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak menikmati kebudayaan sampai terhadap pembatasan-pembatasan hak ekosob yang diterapkan terhadap orang asing, seperti dalam hal pemilikan hak milik atas tanah dan bangunan di Indonesia.145 Sehubungan dengan topik yang dibahas dalam tulisan ini, maka penulis tidak akan membahas kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh Pemerintah Indonesia dalam laporan periodiknya seperti yang disebut diatas kecuali kemajuan-
Hasil korespondensi penulis melalui email dengan Staf pada Direktorat Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI pada hari Senin, 05 November 2012. 144
Lihat laporan periodik Indonesia kepada Komite Hak Asasi Manusia Tahun 2011 145
Iin Karita Sakharina
127
kemajuan yang telah dicapai oleh Pemerintah Indonesia dalam pemenuhan hak atas pangan, antara lain, bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memastikan ketersediaan bahan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi, baik ditingkat pusat maupun daerah, terutama mengurangi adanya perbedaan antar daerah, komitmen ini, ditunjukkan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, yang mensyaratkan pemerintah untuk memasukkan dasar pangan yang dibutuhkan dalam hal pemenuhan kualitas dan kuantitas. Kemajuan yang dibuat melalui beberapa program dibidang produksi hasil-hasil pertanian, distribusi, akses dan sistem yang biasa menyelesaikan masalah dibidang pangan sebagaimana halnya dengan pendampingan terhadap provinsiprovinsi yang masuk dalam kategori miskin dengan kasus tingkat kelaparan yang tinggi.146 Kemudian juga disebutkan bahwa proporsi dari populasi penduduk yang mengkonsumsi lebih dari 2000 kalori masih tinggi. Berdasarkan pada rata-rata konsumsi energi yang dibutuhkan setiap harinya perkapita, terlihat peningkatan yang cukup signifikan dalam hal pengurangan kekurangan gizi di Indonesia. Data dari Sensus Nasional Tahun 2002-2008 menunLihat Right to Food, Laporan Nomor 156 Laporan Periodik Hak ekosob Pemerintah Indonesia, mengenai Hak atas Pangan, dimana penulis menterjemahkan sesuai dengan bahasa yang penulis pahami. 146
128
Iin Karita Sakharina
jukkan bahwa rata-rata kebutuhan kalori yang dikeluarkan pada tahun 2002 adalah sebesar 1,986 kcal perkapita perhari dimana masih dibawah dari ketentuan minimum yaitu 2000 kcal per kapita per hari. Namun telah mengalami peningkatan menjadi 2,038 kcal per kapita perhari pada tahun 2008 sebagaimana yang diperlihatkan pada tabel berikut ini147 : Tabel 2 Kebutuhan Kalori Tahun 2002 – 2008
Laporan Nomor 157 tentang Right to Food, Ibid. Source: Ministry of National development Planning/National Development Planning Agency of the Republic of Indonesia, The Roadmap to Accelerate Achievement of the MDGs in Indonesia, 2010. 147
Iin Karita Sakharina
129
Dari tabel diatas, terlihat ada peningkatan yang signifikan terhadap kebutuhan kalori yang dikeluarkan sejak tahun 2002 sampai pada tahun 2008. Grafik pada tabel menunjukkaan adanya peningkatan kalori yang dikeluarkan mengalami peningkatan tiap dua tahunnya. Hal ini tentunya memperlihatkan bahwa ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal pemenuhan kalori warganya sejak tahun 2002, yang belum memenuhi standar minimum pemenuhan kebutuhan kcal perkapita sampai pada tahun 2008 yang telah menjadi 2,038 kcal peracpita dari standar kebutuhan sebesar 2000 kcal perkapita. Kemudian ada beberapa peraturan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah berkaitan dengan implementasi dari hak-hak ekosob khususnya dibidang pangan, seperti Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 yang mensyaratkan Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk Pangan dan Nutrisi yang mencakup pelaksanaan di daerah dan Provinsi-Provinsi. RAN Pangan dan Nutrisi untuk tahun 2011-2016, terdiri dari 5 pilar : 1. 2. 3. 4. 5.
148
130
upaya untuk meningkatkan kelompok nutrisi meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan meningkatkan kuality kontrol dan ketahanan pangan menigkatkan kebersihan dan gaya hidup sehat penguatan terhadap lembaga yang bergerak dibidang pangan dan nutrisi.148
Laporan Nomor 167 tentang Right to Food, Ibid.
Iin Karita Sakharina
Selain itu dalam laporannya, pemerintah Indonesia memasukkan juga kebijaksanaan kunci untuk meningkatkan nutrisi bagi anak-anak (Key Policies to Improve Nutrition for Children), Strategi dan program umum untuk promosi dan perlindungan hak atas pangan (General Strategies and Programs to Promote and Protect The Right to Food), seperti, subsidi beras untuk masyarakat miskin, peningkatan teknologi dibidang pertanian, proses pengolahan bahan makanan, dan penganekaragaman bahan makanan. F. Pelanggaran terhadap Hak Ekosob Suatu Kegagalan oleh Negara Pihak untuk memenuhi suatu kewajiban yang tercantum dalam kovenan, berdasarkan Hukum Internasional adalah suatu pelanggaran terhadap Kovenan. Dalam menentukan apa yang merupakan suatu kegagalan untuk memenuhi, harus diingat bahwa Kovenan memberikan kepada suatu Negara Pihak suatu keleluasaan kebijaksanaan untuk memilih sarana guna melaksanakan tujuannya, dan bahwa faktor-faktor yang masuk akal berada diluar kuasa dari suatu negara, sebaliknya dapat membawa pengaruh yang
Iin Karita Sakharina
131
merugikan bagi kemampuannya untuk melaksanakan hak-hak khusus.149 Kemudian Prinsip Limburg juga menetapkan bahwa Negara Pihak dikatakan akan melanggar kovenan, antara lain jika : a) Gagal mengambil langkah yang dikehendaki oleh Kovenan; b) Gagal menghilangkan hambatan dengan cepat padahal merupakan kewajiban negara untuk menghapuskannya agar hak dapat dipenuhi dengan segera; c) Gagal menerapkan hak tanpa penundaan, yang Kovenan wajibkan agar diberikan segera; d) Sengaja tidak mencapai prestasi minimum yang diterima umum, yang sebenarnya dapat dicapai; e) Menerapkan pembatasan terhadap hak yang diakui Kovenan dengan cara yang tidak sesuai dengan Kovenan; f) Sengaja menghambat kemajuan pelaksanaan suatu hak, kecuali dilakukan dalam batasan yang diizinkan Kovenan atau yang terjadi karena kekurangan sumber daya; dan g) Gagal menyerahkan laporan yang diminta sesuai Kovenan.
Lihat Pelanggaran-Pelanggaran terhadap Hak-Hak Ekosob, Prinsip Limburg tentang Pelaksanaan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tahun 1986. 149
132
Iin Karita Sakharina
Selanjutnya pada peringatan ulang tahun ke-10 Prinsip Limburg tentang pelaksanaan kovenan internasional untuk hakhak ekosob, sekelompok ahli yang terdiri lebih dari 30 orang bertemu di Maastrich pada tanggal 22-26 Januari 1997 dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh Komisi Internasional Ahli Hukum (Jenewa, Swiss), Lembaga HAM Urban Morgan (Cincinnati, Ohio, AS) dan Pusat Studi HAM (PUSHAM) Fakultas Hukum Universitas Maastricht (Belanda), dengan tujuan untuk menguraikan Kaidah Limburg, mengingat sifat dan ruang lingkup pelanggaran hak-hak ekosob serta tanggapan dan penanganan yang tepat.150 Pada pertemuan ini seluruh peserta menyetujui untuk mengikuti pedoman yang mereka pahami sebagai refleksi evolusi hukum internasional sejak 1968. Pedoman Maastrich inilah yang dirancang untuk mengatur pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak ekosob serta penyediaan penanganan lanjutan dalam hal pengawasan dan keputusan tertentu dari badan-badan ditingkat nasional, regional dan internasional. Dalam Pedoman Maastricht ini diatur bahwa pelanggaran terhadap hak ekosob yang dilakukan oleh negara pihak dalam hal kebijaksanaan negara adalah jika suatu pelanggaran terha-
Lihat Pedoman Maastricht tentang Pelanggaran Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya, 1997 150
Iin Karita Sakharina
133
dap hak-hak ekosob terjadi ketika negara menempuh lewat perbuatan atau tidak melakukan perbuatan, suatu kebijaksanaan atau praktek yang secara sengaja bertentangan atau mengabaikan kewajiban yang ada dalam kovenan, atau gagal untuk mencapai standar pelaksanaan atau hasil yang diwajibkan, juga termasuk didalamnya adalah diskriminasi yang dilakukan oleh negara berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau paham lain asal bangsa atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lain dengan tujuan atau pengaruh yang menghapus atau menghalangi pemenuhan atau pelaksanaan hak-hak ekosob.151 Sementara pelanggaran negara pihak dalam hal ketidakmampuan memenuhi adalah dalam menentukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan mana yang termasuk pelanggaran terhadap hak-hak ekosob, penting membedakan antara ketidakmampuan dan keengganan negara pihak untuk melaksanakan kewajiban dalam perjanjian. Negara yang menyatakan dirinya tidak sanggup melaksanakan kewajibannya karena alasan-alasan diluar kekuasaannya mempunyai beban untuk membuktikan bahwa memang hal itu benar adanya. Penutupan sementara lembaga pendidikan karena gempa bumi, sebagai contoh keadaan diluar kendali negara, sementara penghapusan rencana 151
134
Lihat Pedoman Maastrich, Paragraf 11
Iin Karita Sakharina
keamanan sosial tanpa program pengganti yang memadai dapat menjadi contoh dari keenganan negara itu untuk memenuhi kewajibannya.152 Kemudian Pelanggaran melalui tindak perbuatan terhadap obligation to conduct adalah jika pelanggaran hak ekosob terjadi melalui tindakan langsung negara atau pihak lain yang tidak diatur secara memadai oleh negara. Contoh pelanggaran ini termasuk : a) Penghapusan secara formal atau penundaan undangundang yang penting bagi kelanjutan pemenuhan hak ekosob yang dinikmati saat ini; b) Pengingkaran aktif atas hak tersebut bagi individu atau kelompok tertentu, entah melalui diskriminasi undangundang ataupun paksaan; c) Dukungan aktif atas tindakan yang diambil pihak ketiga yang tidak sejalan dengan hak-hak ekosob; d) Pemberlakuan undang-undang atau peraturan kebijaksanaan yang jelas-jelas tidak sejalan dengan kewajiban hukum yang sudah ada sebelumnya sehubungan dengan hak-hak ini, kecuali jika hal ini dilakukan dengan tujuan dan akibat yang meningkatkan persamaan dan memperbaiki pelaksanaan hak-hak ekosob bagi kelompok rentan; e) Pelaksanaan tindakan yang berlaku surut secara sengaja yang menurunkan tingkat dimana setiap hak tersebut dijamin; 152
Lihat Pedoman Maastricht, Paragraf 13 Iin Karita Sakharina
135
f) Hambatan yang diperhitungkan, atau penghentian terhadap kemajuan pelaksanaan secara bertahap atas hak-hak yang dilindungi kovenan, kecuali jika negara bertindak dalam batasan yang dijinkan oleh kovenan atau negara bertindak begitu karena kekurangan sumber daya atau keadaan diluar kendali; dan g) Pengurangan atau pengalihan pengeluaran publik khusus, ketika pengurangan atau pengalihan tersebut berakibat pada tidak dipenuhinya hak tersebut dan tidak dibarengi oleh tindakan yang cukup untuk menjamin penghasilan minimum bagi setiap orang.153 Sementara pelanggaran oleh negara pihak karena tidak bertindak adalah pelanggaran terhadap hak ekosob yang dapat terjadi karena negara tidak melakukan suatu tindakan atau kegagalan negara untuk mengambil tindakan lebih lanjut yang perlu atas kewajiban hukum. Contoh dari pelanggaran
ini
termasuk : a) Kegagalan untuk mengambil langkah tepat seperti yang disyaratkan oleh kovenan; b) Kegagalan untuk mengubah atau mencabut undangundang yang jelas-jelas tidak sesuai dengan kewajiban negara terhadap kovenan; c) Kegagalan untuk memberlakukan undang-undang atau melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dirancang untuk melaksanakan ketetapan dalam kovenan; 153
136
Lihat Pedoman Maastricht, Paragraf 14
Iin Karita Sakharina
d) Kegagalan untuk mengatur kegiatan dari perorangan atau kelompok sehingga mencegah mereka agar tidak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak ekosob; e) Kegagalan memanfaatkan pemaksimalan sumber daya yang tersedia kearah pelaksanaan penuh dari kovenan; f) Kegagalan memantau pelaksanaan hak-hak ekosob termasuk perkembangan dan penerapan kriteria dan indikator untuk menilai kepatuhan terhadap pelaksanaannya; g) Kegagalan untuk menghilangkan dengan segera hambatan dimana negara yang bersangkutan berkewajiban untuk menghilangkannya, sehingga memungkinkan dipenuhinya dengan segera hak-hak yang dijamin oleh kovenan; h) Kegagalan untuk melaksanakan tanpa ditunda-tunda lagi hak yang dikehendaki oleh kovenan untuk segera di laksanakan; i) Kegagalan untuk memenuhi standar minimum pencapaian yang diterima dunia internasional secara umum yang berada dalam kekuasaan negara untuk memenuhinya; dan j) Kegagalan suatu negara untuk memperhitungkan kewajiban hukum internasionalnya dalam bidang hak ekosob ketika mengadakan perjanjian bilateral dan multirateral dengan negara lain, organisasi internasional atau perusahaan multinasional.154
154
Lihat Pedoman Maastricht, Paragraf 15 Iin Karita Sakharina
137
Dari pemaparan diatas akan terlihat sangat jelas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi atau yang dilakukan negara pihak terhadap kewajiban-kewajibannya untuk melakasanakan pemenuhan hak-hak ekosob bagi warga negara. Negara Indonesia sebagai negara pihak juga dapat dikatakan melakukan pelanggaran jika dengan sengaja tidak melakukan salah satu ketentuan yang ditetapkan oleh kovenan internasional hak ekosob dalam rangka mewujudkan pemenuhan hak bagi warga negaranya. Jika kita merujuk pada indikator struktural dalam rangka pemenuhan hak-hak ekosob warga negaranya maka indikator struktural harus berfokus pada hukum domestik yang relevan dengan kebijaksanaan terhadap pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak misalnya. Indikator-indikator
struktural
juga diperlukan untuk melihat pada kerangka-kerangka kebijaksanaan dan strategi-strategi yang terindikasi dari negara yang relevan dengan hak-hak yang bersangkutan,155 misalnya hak atas kecukupan pangan yang layak. Salah satu contoh indikatorindikator struktural adalah jangka waktu pelaksanaan dan pelaporan di media tentang pernyataan kebijaksanaan nasional
Komnas HAM, Pelatihan dan Diskusi Terfokus dalam Rangka Penyusunan Human Rights Index, (Jakarta: Komnas HAM, 2008), hlm. 6 155
138
Iin Karita Sakharina
tentang keamanan pangan dan perlindungan konsumen berkaitan dengan hak atas pangan yang layak. Pemerintah Indonesia dapat dikatakan melakukan pelanggaran, dalam konteks negara dapat dinilai gagal bertindak menurut kovenan adalah jika adanya kasus kelaparan atau kematian warga yang disebabkan kelaparan, maka pemerintah dapat dianggap gagal untuk melakukan tindakan menurut aturan yang ditetapkan oleh kovenan dan membiarkan warganya meninggal akibat kelaparan. G. Hak Ekosob Sebagai Justiciable Rights Banyak pakar berpendapat bahwa perbedaan antara hak ekosob dan hak sipol adalah pada mekanisme penyelesaian pelanggaran terhadap kedua hak tersebut. Hak Sipol sering dikatakan sebagai negative rights dimana, Pemerintah dituntut untuk tidak melakukan intervensi terlalu jauh kedalam pemenuhan hak tersebut, namun jika terjadi pelanggaran didalam pelaksanaan dan pemenuhannya maka bisa menempuh mekanisme hukum dan mengajukan tuntutan ke pengadilan baik oleh individu atau kelompok, sementara Hak ekosob, sering disebut sebagai positive rights, dimana negara dituntut untuk melakukan intervensi dalam pelaksanaan hak tersebut guna terwujudnya pemenuhan dari hak-hak ekosob ini, namum jika terjadi pelangIin Karita Sakharina
139
garan di dalamnya maka tidak bisa dituntut
ke pengadilan
untuk proses tuntutan terhadap pelanggaran yang terjadi dan karena itu hak ini sering dipandang sebagai hak non justiciable. Dalam kovenan memang tercantum ketentuan bahwa pelaksanaan pemenuhan hak ekosob dilakukan secara bertahap. Selain itu mekanisme monitoring hak ekosob di tingkat internasional juga masih lemah karena belum ada mekanisme pengaduan terhadap pelanggaran hak ekosob. Namun walaupun kovenan tidak menyediakan atau mengatur mekanisme hukum jika terjadi pelanggaran terhadap hak ekosob tersebut namun jika melihat dari General Comment No. 3156 dimana negara pihak diberi kebebasan untuk memilih cara untuk melaksanakan kovenan diwilayah mereka masing-masing dibawah yurisdiksi suatu negara. Sehingga seharusnya negara dapat mengatur berdasarkan hukum yang berlaku dinegaranya mengenai mekanisme penuntutan hukum dipengadilan jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak ekosob tersebut. Namun tentunya untuk menerapkan mekanisme tuntutan hukum dipengadilan, maka sosialisasi akan hak-hak ekosob menjadi penting, agar mereka mengetahui hak-hak apa saja yang
dimiliki masyarakat dan
Lihat Komentar Umum Nomor 3, Pelaksanaan di Tingkat Nasional (sesi ketiga belas, 1981), Kompilasi Komentar Umum dan Rekomendasi Umum yang Diadopsi oleh badan-badan Perjanjian Hak Asasi Manusia, UN.DOC>HR/ GEN/1/Rev.1at 4 (1994). 156
140
Iin Karita Sakharina
dijamin oleh hukum di negaranya terkait dalam pemenuhan hak ekosob bagi masyarakat. Selain itu para Hakim dan penegak hukum lainnya juga harus mengetahui mengenai ratifikasi dari hak-hak ekosob tersebut sehingga dapat memutuskan hak-hak apa saja dalam pemenuhan hak ekosob yang bisa diselesaikan melalui jalur hukum atau melalui jalur non hukum. Di beberapa negara, mekanisme penyelesaian pelanggaran hak ekosob sudah ada yang diselesaikan melalui jalur pengadilan. Contoh kasus terhadap pelanggaran hak atas pangan yang terjadi di Afrika Selatan yang dikenal dengan kasus Kenneth George and others vs Minister of Environmental affairs & tourism, 2007, dimana pada kasus tersebut Kenneth George (seorang nelayan tradisional) dari kelompok nelayan tradisional kehilangan akses ke laut sehubungan dengan adanya peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Afrika Selatan yang berhubungan dengan sumber daya laut, sehingga dia dan teman-temannya mengajukan keberatan ke Pengadilan Tinggi Afrika Selatan atas hilangnya hak akses ke laut dimana Kenneth menafsirkan kehilangan akses kelaut sebagai pelanggaran terhadap kewajiban untuk menghormati hak seseorang atas bahan makanan yang harus dipenuhi oleh negaranya sebagai negara pihak dari kovenan. Akhirnya pengadilan memutuskan tertanggal 27 Mei 2007, bahwa kelompok nelayan tradisional tersebut dapat Iin Karita Sakharina
141
sesegera mungkin mendapatkan haknya terhadap akses ke laut, kemudian pemerintah juga membuat suatu rancangan undangundang yang baru, dimana para nelayan tradisional ikut ambil bagian didalamnya untuk memastikan adanya penghormatan terhadap hak atas pangan bagi warga negaranya.157 Begitu pula di negara-negara Eropa, hak-hak ekosob telah menjadi justiciable rights, dimana dibeberapa kasus yang terjadi di Eropa mengenai pelanggaran hak ekosob, Pengadilan HAM Eropa menetapkan bahwa kewajiban untuk melindungi hak-hak ekosob ini adalah fully justiciable.158 Sama halnya yang terjadi di India, bahwa Mahkamah Agung India telah menetapkan putusan untuk melindung hak-hak kelompok nelayan tradisional terhadap hak akses atas laut, tanah dan air dari kegiatankegiatan industri yang juga memanfaatkan sumber daya laut untuk mencari keuntungan secari pribadi seperti terlihat dalam keputusan Mahkamah Agung India yaitu: The Supreme Court of India, protected the sea, land, and water rights of traditional fishing communities against the activities of the shrimping industry and the
Afrika Selatan, Pengadilan Tinggi, kasus Kenneth George dan rekan Versus Kementrian Lingkungan Hidup dan Pariwisata, 2007, Paragraph 1-7,10 dalam Cristopher Golay, The Right to food and Access to Justice (Examples, at National, Regional and International Levels), Food And Agriculture Organization Of The United Nations, Rome, 2009), hlm. 22 157
158
142
Ibid., hlm. 23
Iin Karita Sakharina
subsistence activities of tribal populations against State concessions granted to private enterprises.159 Adanya akses hukum terhadap pemenuhan hak atas pangan membuat hak ini lebih efektif dan terasa. Seperti yang diungkapkan oleh Eleanor Roosevelt bahwa : “Acces to justice makes the right to food more effective and tangible. By calling the responsible parties to account and enabling victims to claims their rights, access to justice shines a light on is commonly identified as the primary obstacle to the realization of the right to food and the strunggle against hunger the lack of political will”.160 Dalam Right to Food Guideline (panduan hak atas pangan), negara pihak diminta untuk memasukkan hak atas pangan kedalam hukum nasionalnya, termasuk kedalam konstitusi mereka dan menyediakan sistem kelayakan, efektif dan penyelesaian yang memuaskan jika terjadi kasus pelanggaran terhadap hak atas pangan, terutama untuk masyarakat yang rentan.161 Dapat disimpulkan bahwa hak ekosob, termasuk di dalamnya hak atas pangan yang layak dapat dimasukkan
159
Ibid.
160
Lihat Eleanoor Roosevelt dalam Cristopher Golay, Ibid., hlm. 29
Lihat Right to Food Guideline, 7.1 and 7.3; Lihat juga : Cristopher Golay, Ibid., hlm. 29 161
Iin Karita Sakharina
143
sebagai hak yang dapat diajukan secara hukum seperti yang dikatakan Golay dalam tulisannya bahwa : “in all legal system in which access to justice is ensured in cases of violations of the right to food, in India, South Afrika, argentina, Colombia, Switzerland, The African and American continents, and at the international level, the right to food is enshrined legal remedies are available, and judicial and quasi judicial bodies recognize the justiciability of the right to food”.162 Berdasarkan pemaparan di atas tentang perdebatan apakah hak ekosob sama dengan hak sipol sebagai justiciable rights, dapat dijelaskan bahwa dalam hal pemenuhan, hak ekosob sama halnya dengan hak sipol yaitu dapat bersifat justiciable dimana jika terjadi pelanggaran terhadap hak tersebut maka dapat mengajukan tuntutan untuk pemenuhan dan perlindungannya di pengadilan. Hal ini tentu saja dapat berlaku di Indonesia, sehingga Pemerintah Indonesia harus menyiapkan peraturan sendiri serta mekanisme pengaduan atas pelanggaran hak ekosob di pengadilan. Selain itu sosialisasi mengenai hakhak ekosob sangat diperlukan agar masyarakat khususnya masyarakat rentan menjadi lebih paham dan tahu mengenai hak-hak ekosobnya. Selain itu pemahaman para hakim terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekosob 162
144
Ibid., hlm. 29-30
Iin Karita Sakharina
juga menjadi penting didalam memutuskan kasus-kasus pelanggaran terhadap hak ekosob yang diajukan ke pengadilan. Dimana pada prinsipnya pengadilan harus menjadi institusi negara yang dapat menghindarkan negaranya melakukan pelanggaran terhadap perjanjian yang telah diratifikasi. Walaupun di Indonesia sangat sering kita mendengar mengenai adanya kasus kelaparan atau gizi buruk yang terjadi,baik melalui media cetak atau elektronik, bahkan kasus kelaparan yang pernah terjadi di kota Makassar pada tahun 2008 yang menyebabkan kematian ibu hamil dan ramai diberitakan oleh media cetak dan elektronik beberapa waktu yang lalu, namun sampai sekarang belum pernah ada gugatan yang masuk dipengadilan mengenai pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak. Hal ini mungkin disebabkan karena pemahaman masyarakat mengenai pemenuhan haknya dibidang kecukupan pangan masih sangat kurang. Belum adanya sosialisasi mengenai dimungkinkannya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pemenuhan hak ekosob diajukan kepengadilan.Ataupun masih kurangnya lembaga-lembaga non pemerintah yang bergerak pada pendampingan masyarakat di bidang hak kecukupan pangan, sehingga walaupun seringkali terdengar adanya kasus gizi buruk atau kelaparan yang terjadi di Indonesia, namun belum pernah ada gugatan yang dilakukan oleh kelomIin Karita Sakharina
145
pok masyarakat atau lembaga non pemerintah yang bergerak pada pendampingan masyarakat di bidang hak atas kecukupan pangan yang layak. Selain itu karena negara belum meratifikasi protokol tambahan dari kovenan internasional hak-hak ekosob yaitu Optional Protocol to the International Covenant on Economic, Social and Culutral Rights yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 2008 sehingga mekanisme pengaduan individu dalam hukum internasional belum bisa digunakan untuk menggugat pemerintah jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak ekosob khususnya mengenai pemenuhan hak atas pangan yang layak. Dalam undang-undang Pangan yang baru, yaitu UndangUndang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, sudah diatur mekanisme hukum jika terjadi pelanggaran di bidang pangan163, berarti dalam hal ini,
jika terjadi pelanggaran-pelanggaran
dalam pemenuhan hak atas pangan yang dapat merugikan warga masyarakat maka sudah bisa mengajukan tuntutan berdasarkan apa yang diatur di dalam uu ini. Walaupun sebenarnya UU Pangan sebelumnya yaitu UU No.7 Tahun 1996 tentang pangan juga sudah memasukkan ketentuan tindak pidana bagi pelanggaran di bidang pangan, namun dalam
lihat Bab XV, Ketentuan Pidana Pasal 133 sampai 148, UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan 163
146
Iin Karita Sakharina
undang-undang pangan yang baru ini juga mengatur sanksi kepada pejabat atau penyelenggara negara yang membantu terjadinya tindak pidana164
Setiap pejabat atau penyelenggara negara yang melakukan atau membantu tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dala Pasal 133 sampai Pasal 145 dikenai pidana dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana masing-masing. 164
Iin Karita Sakharina
147
148
Iin Karita Sakharina
BAB IV KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH BERKENAAN DENGAN HAK ATAS KECUKUPAN PANGAN
Berkenan dengan kebijaksanaan yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia khususnya dalam hal pemenuhan terhadap hak atas kecukupan pangan yang layak, maka ada 2 (dua) kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu : 1. Kebijaksanaan di bidang Politik Pangan 2. Kebijaksanaan di bidang Hukum Berikut ini adalah uraian mengenai dua kebijaksanaan tersebut yang penulis coba uraikan secara panjang lebar untuk melihat bagaimana keterkaitan antara dua kebijaksanaan ini yaitu kebijaksanaan di bidang politik pangan dan kebijaksanaan dibidang hukum dalam mengukur proses yang telah dilakukan oleh pemerintah terhadap adanya kewajiban yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi dari ratifikasi kovenan internasional mengenai hak ekosob. Sebagaiamana indikator dari pemenuhan HAM yaitu indikator proses yang mengaitkan instrumeninstrumen kebijaksanaan negara dengan tonggak-tonggak yang Iin Karita Sakharina
149
dikumpulkan menjadi hasil
setelah periode waktu tertentu.
Dimana dalam hal ini, jika dikaitkan dengan pemenuhan HAM, maka instrumen-instrumen kebijaksanaan negara akan merujuk pada semua langkah, termasuk program-program publik dan intervensi-intervensi khusus yang dapat dilakukan bahwa suatu negara bersedia melakukan guna memberi dampak pada komitmen dan penerimaannya terhadap standar-standar HAM untuk mencapai hasil-hasil yang diidentifikasikan dengan perwujudan HAM khususnya dibidang hak atas kecukupan pangan yang layak. A. Politik Pangan Pemerintah Indonesia Politik Pangan merupakan komitmen pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional yang berbasis Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Pangan. Kedaulatan Pangan mencerminkan hak menentukan kebijaksanaan secara mandiri, menjamin hak atas pangan bagi rakyat, dan memberi hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem usaha sesuai dengan potensi sumber daya dalam negeri. Sedangkan Kemandirian Pangan merupakan wujud kemampuan negara memproduksi pangan di dalam negeri secara bermartabat. Terwujudnya ketahanan pangan hanyalah ultimate goal, karena
150
Iin Karita Sakharina
sejatinya pencapaian akhir yang diharapkan dari kondisi tersebut adalah ketahanan nasional yang tangguh.165 Politik Pangan ini penting karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang paling dasar, sehingga semua bangsa berupaya untuk mencukupi kebutuhan pangan seluruh warga negaranya dan menyimpan sebagian untuk cadangan pangan nasional. Indonesia memerlukan politik pangan berbasis kedaulatan dan kemandiran pangan didasarkan atas pertimbangan kondisi lingkungan internal dan eksternal serta analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang dihadapi Indonesia. Indonesia tetap konsisten di jalurnya. Sektor pertanian/pangan menjadi prioritas dalam pembangunan. Produksi pangan dalam negeri terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat yang terus tumbuh baik jumlah maupun keragaman jenis pangannya.166 Golongan menengah di Indonesia juga meningkat, ini berarti konsumsi bahan pangan lebih banyak lagi. Saat ini Indonesia memiliki 45 juta pangsa klas konsumen dan pada tahun 2030, akan tumbuh menjadi 135 juta. Demikian pula market opportunities dari 0,5 miliar menjadi 1,8 miliar di tahun Jusuf, Politik Pangan Indonesia: Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian, http://www.setkab.go.id/artikel-6833-.html, Diakses pada hari Kamis, 20 September 2012. 165
166
Ibid. Iin Karita Sakharina
151
2030. Sistem logistik dan distribusi pangan menjadi perhatian pemerintah dalam politik pangan nasional untuk memastikan bahwa ketahanan pangan dinikmati oleh setiap orang di Indonesia hingga ke pulau terdepan dan di daerah yang sulit terjangkau sekalipun. Untuk menghubungkan antar wilayah dan mempersingkat waktu tempuh bahan pangan, pemerintah memfokuskan pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas antar wilayah Indonesia.167 Indonesia diuntungkan oleh demografi, dengan tingginya jumlah angkatan muda dan mulai dirasakan pengaruhnya pada perekonomian nasional. Arus urbanisasi menyebabkan partumbuhan daerah perkotaan sehingga menambah pangsa kelas konsumen. Indonesia juga terbukti mampu mengendalikan laju inflasi, menurunkan tingkat kemiskinan dan angka pengangguran. Untuk mengimbanginya, maka pemenuhan pangan harus dilakukan dengan cara meningkatkan produksi dan produktivitasnya melalui intensifikasi (bukan ekstensifikasi), diversifykasi konsumsi melalui pengembangan pangan lokal, peningkatan daya saing, dan menurunkan kehilangan paska panen dan value-chain.168
152
167
Ibid.
168
Ibid.
Iin Karita Sakharina
Pangan lokal dikembangkan karena Indonesia memiliki keragaman hayati yang sangat kaya dan belum dimanfaatkan secara optimal. Keanekaragaman tersebut mencakup tingkat ekosistem, tingkat jenis, dan tingkat genetik, yang melibatkan makhluk hidup beserta interaksi dengan lingkungannya. Produsen pangan nasional sudah saatnya menghidupkan kembali sumber-sumber pangan lokal untuk menghentikan kemerosotan keragaman varietas jenis pangan yang dibudidayakan oleh petani. Apabila kondisi ini terus dikembangkan di seluruh wilayah nusantara, maka kemampuan nasional untuk meningkatkan produksi pangan pasti akan meningkat sekaligus menghindarkan ketergantungan terhadap jenis pangan tertentu.169 Kekuatan lain yang dimiliki oleh Indonesia adalah konsumen domestik yang besar menjadi pasar dalam negeri yang potensial untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Disamping itu pemerintah telah berhasil dalam melakukan pengendalian tingkat inflasi, penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Di sisi lain, situasi dunia akibat perubahan iklim dan faktor-faktor yang lain, seringkali menyebabkan supply pangan global terganggu sehingga menimbulkan fluktuasi harga secara cepat. Perdagangan bebas dan Free Trade Area akan menciptakan global economic connectivity dan borderless state. Asia menjadi 169
Ibid. Iin Karita Sakharina
153
pusat pertumbuhan ekonomi di dunia sehingga posisi Indonesia yang strategis akan mendapatkan keuntungan. Dependency ratio negara maju meningkat seiring dengan majunya pertumbuhan ekonomi negara Asia. Situasi ini mengharuskan Indonesia memenuhi kecukupan pangannya diutamakan dari produksi dalam negeri. Potensi sumber pangan yang beragam dan letak geografis Indonesia di jalur khatulistiwa menyebabkan Indonesia relatif aman dari dampak global climate change, merupakan opportunity yang tidak boleh dilewatkan. Diperkuat dengan meningkatnya kesadaran terhadap green economy memberikan peluang Indonesia khususnya sebagai negara penyuplai pangan dunia (feed the world).170 Kemampuan memproduksi pangan nasional diimbangi dengan keberadaan lembaga pemerintah yang menjalankan fungsi sebagai stabilisator harga pangan strategis di pasar dalam negeri sekaligus mengelola sistem logistik pangan pemerintah. Pemerintah saat ini telah menetapkan Perum Bulog menjalankan fungsi tersebut, agar harga pangan tidak berfluktuasi dan cadangan pangan untuk kondisi darurat tetap terjaga. Bulog diharapkan mampu menjaga harga pangan di pasar lokal sehingga petani menerima harga jual yang tetap memberikan keuntungan bagi usaha taninya dan konsumen dapat membeli 170
154
Ibid.
Iin Karita Sakharina
pangan dengan harga terjangkau. Setidaknya untuk beberapa produk pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi dan minyak goreng.171 Indonesia juga saat ini tengah menjalankan 4 strategi politik pangan172, yaitu : Pertama, Regulasi. Harmonisasi implementasi Peraturan dan Undang-Undang antar kementerian lembaga/legislatif dan antara pusat/daerah; Sinergitas program Kementerian/Lembaga, fokus pada sektor pertanian dalam arti luas (mencakup pertanian tanaman pangan, peternakan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan kehutanan) ; Alokasi anggaran APBD untuk pembangunan sektor pertanian yang signifikan; Penguatan Kelembagaan yang terkait dengan pertanian, seperti R & D, Perbankan dan penyuluhan; dan Sinergitas Akademisi, Bisnis, Government (ABG) dan LSM untuk peningkatan inovasi dan produktivitas. Kedua, Ketersediaan. Kesungguhan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan potensi pangan lokal di wilayah masing-masing; Revitalisasi BUMN pangan guna meningkatkan produksi untuk mendapatkan economy of scale sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan; dan dukungan pemerintah 171
Ibid.
172
Ibid. Iin Karita Sakharina
155
untuk pengembangan sistem perbenihan dan perbibitan melalui pemanfaatan hasil riset baik oleh lembaga pemerintah, perguruan tinggi, swasta, maupun masyarakat. Ketiga, Keterjangkauan. Melakukan penataan sistem logistik melalui perbaikan infrastruktur jalan, perhubungan dan pergudangan agar dapat menurunkan biaya logistik untuk meningkatkan daya saing; Memperpendek supply chain pangan melalui peningkatan peran Bulog untuk stabilisasi harga komoditas pangan strategis dan menekan pasar yang bersifat oligopoli; dan Membangun Sistem Pengawasan terhadap distribusi pangan dan berbagai subsidi input produksi. Keempat, Ketercukupan Gizi. Perbaikan gizi masyarakat melalui peningkatan konsumsi protein dan menurunkan konsumsi karbohidrat sesuai dengan Pola Pangan Harapan; Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan lokal melalui pengembangan dan pemanfaatan sumber pangan di masing-masing wilayahnya; Modernisasi industri pangan lokal mulai dari pengolahan hingga pengemasan sehingga dapat menjadi kebanggaan dan sumber pendapatan baru bagi masyarakat daerah; Peningkatan keamanan pangan untuk menjamin keselamatan konsumen melalui pemberdayaan Badan POM dan Laboratorium Universitas di masing-masing daerah.
156
Iin Karita Sakharina
Jadi jika kita merujuk pada indikator pemenuhan pangan yang layak, dapat dikatakan bahwa pemerintah sebagai penyelenggara negara telah menetapkan dalam strategi politik pangannya yaitu ketersediaan dengan melihat kesungguhan dari pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi pangan lokal di wilayah masing-masing hal ini juga berkaitan dengan penerimaan, yaitu penyediaan pangan juga harus menghormati nilai-nilai dan budaya dari warga masyarakat setempat dengan menghasilkan pangan yang sesuai dengan pangan yang biasanya dikonsumsi oleh warga setempat tanpa mengabaikan nutrisi yang ada, serta hak akses terhadap pangan melakukan penataan pada sistem logistik agar masyarakat dapat mengakses pangan lebih mudah begitupula dengan kualitas dari pangan yang dihasilkan yaitu dengan memperhatikan ketercukupan gizi yang terkandung dalam makanannya utamanya untuk anakanak sebagai generasi masa depan, penerus kehidupan bangsa sehingga dengan menyediakan gizi yang berkualitas baik bagi anak- anak akan menghasilkan pula sumber daya-sumber daya manusia yang sehat, cerdas dan berkualitas untuk meneruskan pembangunan untuk memajukan negara Indonesia. Selain itu dalam undang-undang pangan yang baru yaitu UU Nomor 18 tahun 2012, juga diatur mengenai ketersediaan pangan, dalam Pasal 12 bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertangIin Karita Sakharina
157
gung jawab atas ketersediaan pangan. Kemudian dalam hal keterjangkauan pangan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam mewujudkan keterjangkauan pangan bagi masyarakat, rumah tangga dan perseorangan.173 Sementara untuk distribusi pangan sebagaimana yang diatur oleh undang-undang pangan bahwa distribusi pangan dilakukan untuk memenuhi pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara berkelanjutan.174 Selain itu Pemerintah juga menetapkan mengenai Gizi dan perbaikan gizi di masyarakat jika terjadi laporan adanya kasus kekurangan gizi di dalam masyarakat.175 B. Kebijaksanaan Pemerintah Pusat Negara Indonesia seringkali mengalami krisis pangan, seperti terjadi pada tahun 2007 sampai tahun 2008. Krisis pangan itu melahirkan satu pemahaman umum di banyak kalangan masyarakat dunia bahwa “agriculture should be the main agenda in economic development”.176 Dalam rangka pembangunan 173
Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan
174
Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
175
Pasal 59 – Pasal 66 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI, Penerapan Kebijakan Ketahanan Pangan Bagi Pencapaian Kedaulatan Pangan, (Makalah yang disampaikan pada kongres KIPNAS). Hlm.1 176
158
Iin Karita Sakharina
ekonomi itu, pertanian haruslah menjadi agenda utama yang digarap, karena terkait dengan pemenuhan ketahanan pangan nasional. Pemenuhan kebutuhan pangan nasional terus mengalami peningkatan karena adanya pertumbuhan konsumsi pangan dan pertambahan penduduk (saat ini sudah mencapai 237,641 juta jiwa).177 Sampai saat ini, beras merupakan komoditas yang menduduki posisi strategis dalam proses pembangunan pertanian, karena beras telah menjadi komoditas politik dan menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Masyarakat telah menjadikan beras sebagai makanan pokok, sehingga beras menjelma menjadi sektor ekonomi strategis bagi perekonomian dan juga ketahanan pangan nasional.178 Indikator makro sektor pertanian Indonesia berdasarkan data statistik menunjukkan gambaran yang cukup baik. Dalam hal mana, produksi padi menurut Angka Ramalan (ARAM) II akan mencapai 68,061 juta ton. Dan target produksi padi sebesar 70,6 juta ton pada tahun 2011 rasanya ini akan sulit dicapai walau sudah mengalami kenaikan sekitar 2,4 persen dibandingkan produksi tahun 2010.179 177
Ibid.
178
Ibid., hlm. 2
179
Ibid. Iin Karita Sakharina
159
Namun sayangnya, gambaran makro sektor pertanian tersebut tidak diikuti dengan kondisi ketahanan pangan yang semakin baik. Hal ini misalnya, dapat dilihat dari kecenderungan kenaikan harga pangan pokok dan volume impor pangan yang tidak lagi sekedar impor daging, gandum dan kedelai tetapi juga meliputi impor komoditi pangan ikan, beras dan garam yang sebelumnya dianggap cukup melimpah di dalam negeri. Oleh karena itu, banyak kalangan yang menyatakan bahwa indikator makro tidak lagi mencerminkan gambaran riil kemampuan Indonesia dalam menyediakan kecukupan pangan yang berasal dari potensi pangan dalam negeri. Terlebih lagi, pada saat perubahan iklim, akan berakibat pada kekeringan dan kegagalan panen di sebagian besar wilayah lumbung pangan nasional, kondisi ini akan menjadi ancaman atas produksi pangan. Kita harus memiliki sikap kritis dalam memahami penyajian data statistik karena berimplikasi terhadap persoalan paradox di sektor pertanian Indonesia. Anggaplah perhitungan produktivitas telah cukup akurat jika dilakukan dengan melakukan pendataan langsung di beberapa lokasi panen.180 Persoalan yang kemudian muncul adalah, bahwa sejak tahun 2008 BPS tidak pernah lagi memunculkan data luasan 180
160
Ibid.
Iin Karita Sakharina
lahan sawah. Walaupun, data tentang luasan lahan panen tersaji dan selalu menunjukkan perluasan lahan panen yang cukup signifikan. Misalnya, dari luasan lahan panen 12,347 juta hektar (ha) pada tahun 2008 menjadi 13,566 juta ha di tahun 2011. Paradoxal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan dari sebagian kalangan yang menyakini bahwa tingkat konversi lahan pertanian terjadi secara massive di wilayah lumbung pangan di Jawa, akibat desakan permintaan lahan untuk permukiman dan kawasan
Industri.
Kementerian
Pertanian
memang
telah
menargetkan tambahan lahan sawah baru sebesar 100.000 ha per tahunnya, akan tetapi Ketua KTNA, Winarno Tohir menyatakan bahwa laju konversi lahan mencapai 110.000 ha per tahun atau terjadi setidaknya defiit 10.000 ha per tahun. Terlepas dari data mana yang lebih layak dipercaya, akumulasi perhitungan produksi dari hasil estimasi tingkat produktivitas, luasan lahan produktif dan luasan panen jika diagregasi secara makro dapat menimbulkan bias data yang semakin besar.181 Untuk mengetahui kemampuan produksi dalam menopang kebutuhan pangan masyarakat, harus dilihat dari data peningkatan produksi padi dibandingkan dengan data konsumsi pangan. Namun, persoalan lagi-lagi muncul dalam proses pendataan konsumsi pangan. Paparan data menunjukkan, 181
Harian Kompas, edisi Jumat, 14 Oktober 2011 Iin Karita Sakharina
161
terjadi peningkatan produksi namun tidak diikuti dengan peningkatan konsumsi pada level yang sama, maka seharusnya ada selisih data berupa supply dan demand yang besar dalam konteks penyediaan stok pangan ataupun surplus pangan. Tetapi terjadi inkonsistensi dari data yang ditampilkan, karena peningkatan produksi lebih tinggi dari peningkatan konsumsi, sementara surplus stok pangan relatif tidak banyak mengalami perubahan.182 Hal ini dapat dilihat dari stabilitas harga dan komposisi impor pangannya. Dari pembacaan data yang inkonsisten tersebut, kesan yang muncul adalah adanya situasi dimana “mau tidak mau” konsumsi pangan juga harus naik agar menjaga keseimbangan data stok pangan. Hal ini terbukti dari adanya data konsumsi beras yang sempat dihitung mencapai 139 kg per kapita, atau berarti terdapat kebutuhan 32,943 juta ton beras bagi sekitar 237 juta penduduk Indonesia. Kebutuhan ini sebetulnya dapat tercukupi oleh konversi 68,061 juta ton padi atau sebanyak 40,837 juta ton beras (60 persen dari produksi padi). Berarti, stok pangan masih dalam kondisi surplus sebanyak 7,894 juta ton beras. Namun kemudian, data konsumsi ini mengalami proses penghitungan ulang sehingga diperki-
182
162
Ibid.
Iin Karita Sakharina
rakan konsumsi pangan beras menurun menjadi 113 kg per kapita183. Dengan data konsumsi pangan yang baru, maka total konsumsi beras nasional turun menjadi 26,781 juta ton atau berarti terdapat tambahan surplus beras dari 6,162 juta ton menjadi 14,056 juta ton beras pada tahun 2011 ini. Surplus beras sebesar 14,056 juta ton merupakan surplus yang cukup besar, karena berarti tingkat stok pangan beras mencapai 52,5 persen dari total kebutuhan pangan beras nasional. Over supply yang begitu besar tersebut tidak menghalangi niat pemerintah untuk tetap melakukan rencana impor beras yang mencapai 1,6 juta ton184. Alasan yang dibuat pemerintah, karena impor beras merupakan bentuk dari upaya pemerintah untuk membangun kepercayaan terhadap stok pangan yang cukup, alasan itu sulit diterima karena stok beras yang berlimpah. Terlebih-lebih jika pemerintah juga akan melakukan kenaikan harga pangan pada saat kondisi stok melimpah. Pemerintah bisa saja berdalih bahwa distribusi, biaya transportasi, dan ulah pedagang spekulan yang mempengaruhi kenaikan harga pangan. Dalam hal ini, ada persoalan akurasi data produksi dan konsumsi 183
Ibid.
184
Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI. Op. Cit., hlm. 3 Iin Karita Sakharina
163
pangan yang menyebabkan adanya bias data produksi pertanian. Data peningkatan harga komoditi beras kualitas medium (IR 64) secara nasional juga menunjukkan kecenderungan peningkatan dari Rp 7139/kg pada 3 Januari 2008 meningkat menjadi Rp 7600/kg, dan untuk beras kualitas medium per 20 Oktober 2011 terjadi peningkatan yang lebih besar dari perkiraan laju inflasi sepanjang tahun 2011. Pembentukan harga beras di tahun 2011 merupakan akumulasi kenaikan harga beras yang selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, misalnya untuk beras kualitas medium harganya Rp. 4360/kg pada tahun 2006, lalu meningkat menjadi Rp. 5444/kg pada tahun 2008 dan mencapai Rp. 6507/kg pada tahun 2010.185 Selain terjadi bias data produksi dan konsumsi, ada data peningkatan produksi beras namun tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani selaku produsen pangan. Hal ini menunjukkan, tidak adanya korelasi positif antara peningkatan produksi pangan dengan tingkat kesejahteraan petani dan adanya kesenjangan yang tinggi di sektor pertanian yang berpotensi sebagai ancaman bagi penurunan daya tarik sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memperburuk kemampuan Indonesia dalam memproduksi pangan. Selain itu, kenaikan harga 185
164
Ibid., hlm. 4
Iin Karita Sakharina
komoditi pangan seharusnya menguntungkan petani selaku produsen, namun ternyata marjin keuntungan usaha tani masih kalah dengan marjin keuntungan yang dinikmati oleh pedagang komoditi sehingga menggambarkan adanya persoalan di sisi hulu dan hilir pertanian.186 Pemerintah telah menetapkan harga pokok pembelian (HPP) untuk komoditi pangan beras, namun penetapan ini ternyata tidak efektif dalam menyerap komoditi pangan karena tidak mampu bersaing dengan harga pasar komoditi pangan. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2011 tentang Kebijakan Pengamanan Cadangan Beras Yang Dikelola Oleh Pemerintah Dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim memberikan keleluasaan kepada Perum Bulog (selaku pihak yang diberi kewenangan untuk dapat melakukan pembelian gabah/beras petani) untuk membeli gabah / beras pada harga pasar yang lebih tinggi dari HPP dengan memperhatikan harga pasar yang dicatat oleh BPS dalam kondisi iklim yang ekstrim. HPP terakhir yang dikeluarkan pemerintah melalui Inpres Nomor 7 tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan adalah sebesar Rp. 2.685/kg, sehingga dengan adanya ketentuan Inpres Nomor 8 nomor 2011 seharusnya Bulog bisa membeli Gabah lebih tinggi dari HPP
186
Ibid. Iin Karita Sakharina
165
(yang pada bulan Juli 2011 sudah mencapai Rp 4067/kg untuk gabah kering giling di tingkat harga penggilingan).187 Oleh karena itu, selama institusi BPS belum mencatat adanya kenaikan harga gabah dan tidak dalam kondisi cuaca ekstrim, maka Bulog tak akan punya dasar dalam menaikkan tawarannya atas komoditi gabah/beras tersebut yang tentu saja berdampak pada daya serap Bulog dalam mempertahankan stok pangan. Selain itu, pembelian gabah/beras oleh Bulog tidak dilakukan secara langsung kepada petani produsen tetapi melalui mitra kerja Bulog yang umumnya merupakan pedagang atau pemilik penggilingan gabah skala besar sehingga petani sama sekali tidak menikmati keuntungan.188 Peran pemerintah dalam pembangunan pertanian menuju kepada penguatan ketahanan pangan sudah cukup banyak. Berbagai peraturan kebijaksanaan dan program di sektor pertanian sudah dilakukan dalam upaya meningkatkan hasil produksi pertanian, seperti pemanfaatan benih unggul, penyediaan pupuk dan obat-obatan hingga pengolahan lahan pertanian. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah merealisasikan anggaran belanja dalam kurun waktu 2005-2010 yang terus meningkat rata-rata 25,1 persen per tahun, yaitu dari Rp 2,7
166
187
Ibid.
188
Ibid.
Iin Karita Sakharina
dalam tahun 2005 dan menjadi Rp 8,2 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dalam tahun 2010. Porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian terhadap total belanja Kementerian/ Lembaga Pemerintah Indonesia, meningkat sebesar 0,1 persen, yaitu dari 2,2 persen dalam tahun 2005 menjadi sebesar 2,3 persen dalam tahun 2010.189 Perkembangan
realisasi
subsidi
di
bidang
pangan
meliputi subsidi beras miskin (raskin) yang meningkat dari Rp 6,4 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 13,0 triliun pada tahun 2009 atau sebesar 0,2% dari PDB. Subsidi pupuk juga terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 48,8% dari sebesar Rp. 2,5 triliun menjadi Rp. 18,3 triliun pada periode tahun 20052010. Demikian juga, terdapat peningkatan alokasi subsidi benih yang cukup besar yaitu dari Rp. 0,1 triliun menjadi Rp. 1,6 triliun pada periode tahun 2005-2009 atau alokasi subsidi benih tumbuh rata-rata 72,7% per tahun.190 Peningkatan porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian selama kurun waktu 2005-2010, masih tetap berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. yaitu dalam bentuk penciptaan lapangan kerja terutama di pedesaan, dan
Data Kementerian Keuangan, Nota Keuangan dan RUU APBN 2011, (Jakarta: Kementerian Keuangan, 2011). 189
190
Ibid. Iin Karita Sakharina
167
pertumbuhan ekonomi serta mewujudkan ketahanan pangan nasional. Tingkat ketersediaan pangan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik, hal ini untuk mengamankan kemandirian pangan. Akan tetapi, persoalan pertanian tidak sebatas pada aktivitas budidaya semata. Persoalan yang paling mendasar adalah ketersediaan lahan dan infrastruktur pertanian. Dari sisi infrastruktur pertanian, diketahui bahwa sebagian besar jaringan irigasi dalam kondisi yang kurang baik. Padahal pada tahun 2011, alokasi anggaran untuk pengelolaan sumberdaya air mencapai Rp. 6,3 triliun, sedangkan program penyediaan dan pengembangan sarana dan prasarana pertanian sebesar Rp. 2,7 triliun. Meskipun, jaringan irigasi terus mengalami peningkatan dari tahun 2005-2009, namun menurut Nainggolan masih ada sekitar 22,4 persen jaringan irigasi yang rusak. Kondisi ini tentu saja mengurangi kapasitas sektor pertanian dalam meningkatkan hasil produksi. Disamping ketersediaan lahan, infrastruktur usaha tani merupakan isu penting untuk meningkatkan produktivitas pertanian.191 Persoalan lain yang selalu menjadi masalah klasik di sektor pertanian, adalah kondisi kemiskinan di tingkat petani pedesaan masih cukup tinggi. Data statistik menunjukkan dari
Kaman Nainggolan. Isu-Isu Kemiskinan dan Penguatan Ketahanan Pangan Dalam Mengatasi Krisis Global. (Jakarta: LIPI, 2009), hlm. 28 191
168
Iin Karita Sakharina
jumlah 30,018 juta penduduk miskin Indonesia pada tahun 2011, sebanyak 18,900 juta di antaranya adalah penduduk miskin yang tinggal pedesaan. Penurunan laju penduduk miskin di pedesaan juga lebih lambat daripada di perkotaan, dimana persentase penduduk miskin di perkotaan hanya ada 9,23%, sedangkan di pedesaan ada sebesar 15,72% penduduk miskin. Padahal, sektor pertanian masih menjadi mata pencaharian utama bagi sekitar 41.611.840 penduduk yang tinggal di pedesaan, dan sektor pertanian ini telah memberikan kontribusi sebesar 39,68% dari total 104.870.663 penduduk yang bekerja. Apabila upaya peningkatan pembangunan sektor pertanian tidak menyentuh persoalan peningkatan kesejahteraan masyarakat, tidak akan merubah kondisi kemiskinan di pedesaan.192 Sehingga, penduduk miskin di pedesaan yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian akan tetap menjadi kaum marginal dan seringkali terabaikan oleh intervensi program dan bantuan penanggulangan kemiskinan. Padahal, kondisi kemiskinan dapat mempengaruhi ketahanan pangan apabila dikaitkan dengan kemampuan daya beli masyarakat miskin dalam mengakses kebutuhan pangannya. Karena, konsumsi pangan secara umum merupakan pengeluaran terbesar dari
192
Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI. Op. Cit., hlm. 5 Iin Karita Sakharina
169
rumah tangga di wilayah pedesaan yang rata-rata mencapai 58,57% dari total pengeluaran rumah tangga.193 Khususnya untuk konsumsi padi-padian, rumah tangga di pedesaan harus menyediakan 13,25% dari total pendapatannya untuk membeli komoditi pangan ini. Kondisi demikian menunjukkan terjadinya ketergantungan yang tinggi terhadap konsumsi pangan padi-padian telah menyebabkan besarnya alokasi pendapatan rumah tangga. Pada tingkat nasionalpun negara Indonesia sangat tergantung kepada sumber pangan karbohidrat seperti beras dan gandum/tepung terigu. Kondisi itu dibuktikan dengan upaya melakukan impor pangan karbohidrat beras secara berkesinambungan yang melebihi kuota yang ditetapkan pemerintah, yakni lebih dari 62%. Ketergantungan negara akan pangan beras ini, merupakan cerminan dari pola konsumsi pangan masyarakat (foodhabits) yang cenderung ke beras, padahal sumber pangan non beras masih melimpah ruah, seperti ketela, ubi jalar, jagung, kedele dan umbi-umbi lainnya. Menyikapi kondisi demikian, pemerintah berupaya mendorong diversifikasi pangan untuk mengurangi beban konsumsi pangan karbohidrat kepada komoditi pangan lain yang lebih murah dan terjangkau.194
170
193
Ibid., hlm. 6
194
Ibid.
Iin Karita Sakharina
Ketergantungan terhadap beras tidak hanya dialami oleh Indonesia, seperti disinyalir oleh Food and Agriculture Organisation (FAO), beras adalah salah satu pangan kunci di dunia dan dimakan oleh sekitar 3 miliar orang setiap harinya. Sedangkan di Asia, beras merupakan makanan pokok untuk sekitar 600 juta penduduk.195 Lebih dari 60 persen penduduk dunia atau satu milyar orang yang tinggal di Asia tergantung pada beras sebagai makanan pokok dan hidup dalam kemiskinan serta kekurangan gizi.196 Oleh karena itu, jika terjadi penurunan produksi padi, maka berarti akan lebih banyak orang tergelincir ke dalam jurang kemiskinan dan kelaparan. Jika Indonesia mampu melakukan diversifikasi pangan tentu akan mengurangi konsumsi beras antara 90 sampai 100 kilogram per kapita per tahun. Selama ini, konsumsi beras rata-rata mencapai 139 kilogram per kapita per tahun. Thailand produksi beras sebanyak 20 juta ton, namun konsumsi beras hanya 70 kilogram per kapita per tahun. Begitu pula negara Vietnam produksi beras sebanyak 17 ton,
Ahmad Taufiqurrakhman. Beras Adalah Salah Satu Pangan Kunci Di Dunia (www.okezone.com) Diakses pada hari Kamis, 20 September 2012 195
Ruddabby. Orang Asia Tergantung Pada Beras Sebagai Makanan Pokok (Ruddabby.files.wordpress.com/2010/8.) Diakses pada hari Kamis, 20 September 2012 196
Iin Karita Sakharina
171
namun kebutuhan konsumsi hanya 90 kilogram per kapita pertahun.197 Tuntutan atas pemerataan dan keadilan dalam bidang pangan, merupakan HAM yang harus ditingkatkan dalam perdagangan domestik dan internasional yang transparan. Selain itu, penanganan rawan pangan harus diatasi dengan cepat. Pembangunan ketahanan pangan kedepan nanti pun akan menghadapi berbagai tantangan baik itu disebabkan oleh pengaruh alam seperti adanya perubahan iklim, hama penyakit, dan perubahan kebijaksanaan pangan dari beberapa negara penghasil
pangan
seperti
Brazil
dan
Uni
Eropa
yang
mengeluarkan kebijaksanaan untuk melarang ekspor pangan ke negara lain karena dipergunakan sebagai bahan bakar (biofuel).198 UUD NRI 1945 yang menjadi dasar berdirinya negara Republik Indonesia menyatakan, antara lain, bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27, Ayat 2); bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33, Ayat( 3)); bahwa fakir miskin dan anak-anak
197
Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI. Op. Cit., hlm. 6
BPPT. 2012, Ketahanan Pangan Perlu didukung Sentuhan IPTEK, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 198
172
Iin Karita Sakharina
yang terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34 Ayat (1)). Kemudian Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pangan menyatakan bahwa
(a) bahwa pangan merupakan
kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari HAM yang dijamin dalam UUD NRI tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.; (b) bahwa
negara
berkewajiban untuk mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya kelembagaan, dan budaya lokal ; (c) bahwa sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar dan sisi lain memiliki sumber daya alam dan sumber pangan yang beragam, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara berdaulat dan mandiri. Dengan adanya pernyataan yang jelas di dalam UU atas pangan yang baru dan juga dengan melihat pada pasal-pasal dalam UUD NRI yang mengatur mengenai hak setiap warga untuk hidup yang layak dan sejahtera maka dapat dikatakan bahwa ini adalah jaminan negara terhadap seluruh rakyat Indonesia khususnya dalam hak atas kecukupan pangan. Iin Karita Sakharina
173
Undang-undang pangan yang baru ini menggantikan Undang- Undang pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan kondisi eksternal dan internal demokrasi, desentralisasi, globalisasi, penegakan hukum, dan beberapa peraturan perundangan lain yang dihasilkan kemudian sehingga perlu diganti dengan UU Pangan yang lebih lengkap yaitu Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan. Tentunya UU ini diharapkan lebih lengkap dan UU sebelumnya baik dalam pengaturan, penyelenggaran, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Untuk memberikan jaminan bagi persediaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan, telah dilakukan revisi terhadap Instruksi Presiden (Inpres) RI Nomor 9 tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan dengan Inpres RI Nomor 2 tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan. Dalam Inpres tersebut ditegaskan kembali bahwa pemerintah memberikan jaminan bagi persediaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin dan bagi daerah yang mengalami rawan pangan. Sistem perberasan kemudian menjadi penentu sistem pangan 174
Iin Karita Sakharina
nasional, pemenuhan hak pangan dan kelangsungan hidup rakyat. Sistem perberasan juga merupakan bagian penting kebudayaan serta penentu stabilitas ekonomi dan politik Indonesia sehingga disebut sebagai komoditas “strategis.” Hampir semua pemerintah di dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju, selalu melakukan kontrol dan intervensi terhadap komoditas pangan strategis seperti beras untuk ketahanan pangan dan stabilitas politik.199 Untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat miskin, terus dilanjutkan upaya penyediaan beras bersubsidi yang ditujukan untuk membantu kelompok masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan pokok pangan. Beras bagi keluarga miskin (raskin) bertujuan untuk menyediakan beras bersubsidi kepada keluarga miskin sebagai upaya meringankan beban mereka dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok. Pada tahun 2005, raskin di laksanakan dengan menyalurkan sebesar 1.992.000 ton beras untuk 8.3 juta KK (Kartu Keluarga). Realisasinya di seluruh Indonesia sampai Juli 2005 telah mencapai 1.152.306 ton atau 57.85 persen dari rencana setahun. Selain itu, juga disepakati pengembangan teknologi hibrida (bibit unggul) untuk meningkatkan produksi pertanian melalui kerja sama
Witoro. Kebijakan Perberasan Nasional dan Pemenuhan Hak Pangan. Majalah Asasi Edisi September – Oktober 2008, hlm. 8 199
Iin Karita Sakharina
175
dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Kelangsungan usaha padi yang dilakukan para petani sangat ditentukan oleh akses dan kontrol mereka terhadap sumber-sumber produksi padi, terutama lahan, air, benih, dan pupuk. Akses terhadap sumber produksi pangan, khususnya tanah yang cukup merupakan elemen kunci terpenuhinya hak pangan.200 Poerwo Soedarmo pada tahun 1950 menciptakan slogan "Empat Sehat Lima Sempurna", yaitu: (1) makanan pokok, (2) lauk-pauk, (3) sayur-sayuran, (4) buah-buahan, dan (5) susu. Logo berbentuk lingkaran menempatkan kelompok makanan 1 sampai dengan 4 di sisi dalam lingkaran mengelilingi kelompok ke-5, yaitu susu, di bagian tengah. Selanjutnya, Direktorat Bina Gizi
Masyarakat
dari
Departemen
Kesehatan
menyusun
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) pada tahun 2002. Sesuai dengan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998, dibuat satu logo PUGS yang berbentuk kerucut atau “tumpeng” yang terdiri dari empat tingkat. Secara berturut-turut, tingkat dasar menggambarkan kelompok makanan sumber zat tenaga atau energi, yaitu padi-padian, umbi-umbian dan tepungtepungan; tingkat kedua berisi kelompok makanan sumber zat pengatur, yaitu sayur-sayuran dan buah-buahan; tingkat ketiga berisi kelompok makanan sumber zat pembangun, yaitu 200
176
Ibid., hlm. 10
Iin Karita Sakharina
makanan hewani (termasuk susu) dan nabati; dan tingkat tertinggi berisi minyak dan lemak.201 Pada tahun 2005, Menteri Kesehatan202 mengeluarkan tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk rakyat Indonesia. Tabel itu mencantumkan unsur-unsur dalam satuan jumlah yang ideal untuk dikonsumsi rakyat Indonesia per hari : Enerji, Protein, Vit A, Vit D, Vit E, Vit K, Thiamin, Riboflavin, Niacin, Asam Folat, Piridoksin, Vit B12, Vit C, Kalsium, Fosfor, Magnesium, Besi, Yodium, Seng, Selenium dan Mangan.203 Walaupun nama unsur-unsur dan angka dalam tabel tersebut tidak banyak artinya bagi awam, namun keputusan tersebut menunjukkan bahwa otoritas kesehatan di negara ini mengakui bahwa kecukupan pangan bukanlah sekedar terisinya perut rakyat dengan “sesuatu.” Ada kandungan komposisi unsur-unsur tertentu dan dalam satuan jumlah tertentu untuk dapat menyatakan bahwa “sesuatu” dapat disebut sebagai pangan yang bermutu dan bergizi. Salah satu bentuk sederhana adalah semangkuk bubur dari tanaman lokal seperti singkong, tapioka, 201
Ibid.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1593/ Menkes/SK/XI/2005 tentang Angka Kecukupan Gizi Bagi Bangsa Indonesia. 202
Keputusan tersebut secara khusus menyatakan bahwa rata-rata kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia per hari per kapita masing-masing adalah 2000 Kal dan 52 g pada tingkat konsumsi, dan 2200 Kal dan 57 g pada tingkat penyediaan. 203
Iin Karita Sakharina
177
ubi, sukun, sagu, jagung atau beras (kalau ada) dicampur dua genggam sayuran daun hijau ditambah sepotong ikan, telur, tahu atau tempe serta seiris buah seperti manga, pepaya atau segelas jus buah jambu biji. Untuk sekarang ini, rumusan PUGS memberi pegangan tentang apa saja yang harus diperhatikan ketika membahas Kebijaksanaan Pangan Nasional.204 Berdasarkan PUGS, sumber zat tenaga atau enerji adalah berbagai jenis tanaman dalam kelompok padi-padian, umbiumbian dan tepung-tepungan. Akan tetapi, ketika ada pernyataan internasional tentang kerawanan pangan yang hebat di seluruh dunia pada tahun 1960-1970, Pemerintah Indonesia mencanangkan program swasembada beras pada tahun 1980-an. Ketika pulau Jawa tidak mampu menyangga beban produksi pangan akibat industrialisasi pada tahun 1990-an, lahir kebijaksanaan pembukaan sawah sejuta hektar di Kalimantan. Setelah tahun 1990-an, ketika masyarakat miskin dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan, muncul program raskin.205 Tiga contoh kebijaksanaan nasional itu menunjukkan bahwa pemerintah menerjemahkan pangan = beras. Persamaan-
204
Lefidus Malau. Op. Cit., hlm. 5
Sisparyadi. 2005. Desa Rawan Pangan dan Program Raskin. Warta Pedesaan PSPK UGM Nomor 05/XXIII/Mei 2005. 205
178
Iin Karita Sakharina
nya, rawan pangan = rawan beras. Semua itu menjelaskan mengapa seluruh potensi, strategi dan peraturan kebijaksanaan pangan nasional diarahkan untuk meningkatkan produksi beras dan / atau import beras. Akibatnya, diversifikasi produksi dan konsumsi bahan sumber zat tenaga lambat-laun menghilang dari kelompok-kelompok masyarakat Indonesia.206 Bagaimana perhatian pemerintah terhadap tingkat kedua tumpeng PUGS yang berisi kelompok makanan sumber zat pengatur, yaitu sayur-sayuran dan buah-buahan. Survei Pemantauan Status Gizi dan Kesehatan oleh Helen Keller Foundation selama 1998-2002 menunjukkan kenyataan tentang 10 juta anak balita, setengah dari populasi anak balita di Indonesia pada masa itu menanggung resiko kekurangan Vitamin A. Disebutkan, makanan sehari-hari anak-anak tersebut berada di bawah angka kecukupan Vitamin A yang ditetapkan untuk anak balita, yaitu 350-460 Retino Ekivalen per hari. Tragedi ini tidak akan menimpa jutaan balita di Indonesia bila sayuran daun hijau menjadi bagian makanan sehari-hari. Padahal, sehelai daun singkong mengandung cukup karoten untuk keperluan seorang anak perhari.207
206
Lefidus Malau. Op. Cit., hlm. 6
207
Ibid. Iin Karita Sakharina
179
Tragedi di negara dengan wilayah membentang sepanjang garis khatulistiwa dengan iklim yang cocok untuk menanam segala jenis sayuran hijau dan buah-buahan tropis sepanjang tahun, ada 10 juta bayi menanggung resiko kekurangan Vitamin A. Sementara, pemerintah daerah di era otonomi lebih tertarik mengerahkan segala potensi untuk mengembangkan tanaman cokelat, kopi, kacang mede, rami, karet dan kelapa sawit di tanah yang mestinya ditumbuhi tanaman pangan.208 Selanjutnya tentang kecukupan kelompok makanan sumber zat pembangun (protein). Sejak awal, pembicaraan mengenai pangan masih bertumpu pada sumber daya alam di daratan. Padahal, sebagai negara dengan potensi garis pantai sepanjang 81.000 km dengan ekosistem perairan laut semi tertutup (semi-closed waters) yang cukup banyak dan kekayaan sumber daya hayati laut terbesar kedua di dunia, sumber daya ikan (fin fish dan shell fish) dan budidaya kelautan (marikultur) seharusnya dapat menjadi salah satu tumpuan penyedia pangan nasional. Pada tahun 2003, total produksi ikan Indonesia mencapai 5,92 juta ton (FAO, 2006) dan produksi perikanan budidaya sampai tahun 2005 mencapai 1.295.300 ton. Dengan garis pantai sepanjang itu, luas potensial perairan laut untuk marikultur bisa mencapai 24 juta hektar. Dengan produktivitas 2 208
180
Ibid.
Iin Karita Sakharina
ton per ha per tahun, produksi potensial marikultur laut bisa mencapai 48 juta ton per tahun.209 Dengan potensi sebesar ini, kecukupan protein bagi penduduk Indonesia per hari perkapita sebesar 52 g pada tingkat konsumsi dan 57 g pada tingkat penyediaan seharusnya bisa dipenuhi. Akan tetapi, walaupun Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan telah diganti dengan UndangUndang Nomor 31 tahun 2004, ketersediaan ikan sebagai sumber protein nabati tetap saja masih belum dapat dipenuhi. Ironisnya, salah satu kelompok penduduk miskin yang rentan rawan pangan adalah para nelayan.210 Peraturan Kebijaksanaan pemerintah guna menunjang ketahanan pangan nasional yang dibuat dalam bentuk peraturan perundang-undangan diuraikan dalam tabel sebagai berikut211 :
209
Ibid.
210
Ibid.
Kementerian Pertanian. Kompendum / Kodifikasi Hukum Bidang Pangan. (Jakarta: Jaringan Komunikasi dan Informasi Hukum, Biro Hukum dan Humas, 2010), hlm. ix 211
Iin Karita Sakharina
181
Tabel 3 Peraturan Bidang Pangan Sebelum Ratifikasi No. Uraian 1. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 2.
3.
4. 5.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004
Materi Budidaya Tanaman
Pangan
Ketahanan Pangan
Perkebunan Keamanan Mutu dan Gizi Pangan
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebelum adanya ratifikasi kovenan hak ekosob, dalam bidang pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang yang telah, telah ada beberapa kebijaksanaan hukum yang dibuat oleh Pemerintah, khususnya dalam bidang ketahanan pangan yang dapat menunjang ketecukupan pangan di Indonesia, serta menjamin mutu dan gizi dari suatu produk pangan.
182
Iin Karita Sakharina
Tabel 4 Peraturan Bidang Pangan Setelah Ratifikasi No. Uraian Materi 1. Undang-Undang Pengesahan Kovenan Republik Indonesia Internasional Hak Nomor 11 Tahun 2005 Ekonomi, Sosial, dan Budaya 2. Peraturan Presiden Dewan Ketahanan Pangan Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2006 3. Peraturan Pemerintah Pembagian Urusan Nomor 38 Tahun 2007 Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 4. Undang-Undang Perlindungan Lahan Nomor 41 Tahun 2009 Pertanian Berkelanjutan
5.
6.
7.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009
Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal Peraturan Pemerintah Penertiban dan Nomor 11 Tahun 2010 Pendayagunaan Tanah Terlantar Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 Iin Karita Sakharina
183
Dari tabel diatas terlihat bahwa setelah ratifikasi kovenan internasional mengenai hak ekosob ini, terlihat adanya peraturan yang di keluarkan oleh Pemerintah, berkaitan dengan pemenuhan hak atas kecukupan pangan yaitu adanya peraturan mengenai kebijaksanaan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, adanya penertiban dan penyagunaan tanah terlantar, adanya pengaturan dibidang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, adanya peraturan mengenai pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota, dibentuknya dewan ketahanan pangan, dimana untuk pusat diketuai langsung oleh Presiden, untuk tingkat provinsi oleh Gubernur dan untuk tingkat kabupatenoleh bupati. Dari adanya sejumlah kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah setelah adanya ratifikasi memperlihatkan adanya sejumlah kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sehubungan dengan pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak ini. Selain itu sejumlah aturan pemerintah yang dibuat guna menunjang ketahanan pangan nasional dalam bentuk diluar peraturan perundang-undangan, adalah sebagai berikut212 :
212
184
Ibid.
Iin Karita Sakharina
Tabel 5 Peraturan dan Keputusan Bidang Pangan Setelah Ratifikasi No. Jenis Peraturan 1. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 58 / Permentan / OT. 140 / 8 / 2007 2. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 30 Tahun 2008 3. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51 / Permentan / OT. 140 / 10 / 2008 4. Inpres Nomor 7 tahun 2009 5.
6.
7.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2009 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 27 / Permentan / PP. 340 / 5 / 2009 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 / Permentan /
Tentang Pelaksanaan Sistem Standarisasi Nasional Di Bidang Pertanian; Cadangan Pangan Pemerintah Desa
Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pangan Segar Asal Tumbuhan Kebijakan Perberasan
Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Pangan berbasis sumber daya local Pengawasan Keamanan Pangan Terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan Perubahan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 27/Permentan/PP.340/5/2009 Iin Karita Sakharina
185
PP. 340 / 2009
8.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 / Permentan / OT. 140 / 10 / 2009
9.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 / Permentan / OT. 140 / 7 / 2010 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20 / Permentan / OT. 140 / 2 / 2010 Inpres Nomor 8 nomor 2011
10.
11.
tentang Pengawasan Keamanan Pangan Terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian
Kebijakan Pengamanan Cadangan Beras Yang Dikelola Oleh Pemerintah Dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim
Tabel diatas menunjukkan ada 11 kebijaksanaan hukum yang dikeluarkan pemerintah pusat berupa peraturan-peraturan diluar perundang-undangan namun untuk menunujang ketahanan pangan yang sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, khususnya setelah ratifikasi dari kovenan. 186
Iin Karita Sakharina
Sehinggga Jika kita melihat pada tabel-tabel kebijaksanaan hukum yang ada diatas, terlihat bahwa adanya beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat setelah ratifikasi Kovenan hak ekosob ini, khususnya peraturan-peraturan dibidang Pangan. Hal ini menunjukkan adanya proses yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pemenuhan hak atas kecupukan pangan yang layak bagi warganya yaitu dengan mengeluarkan sejumlah peraturan yang nantinya dapat dijadikan acuan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya dalam rangka pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam kovenan internasional hak ekosob. C. Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kebijaksanaan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sendiri terkait dengan hak atas kecukupan pangan yang layak bagi warga miskin di Sulawesi Selatan adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pangan. Kondisi ketahanan pangan di Provinsi Sulawesi Selatan yang tercermin dari 3 pilar ketahanan pangan yaitu Ketersediaan, Distribusi, serta Konsumsi dan Keamanan Pangan yang dinilai berhasil berkat diraihnya Penghargaan
Iin Karita Sakharina
187
tertinggi dalam bidang pangan yaitu penghargaan Adi Karya Pangan Nusantara pada tahun 2011.213 Ketahanan pangan sebagai salah satu strategi pembangunan pertanian daerah Sulawesi Selatan diarahkan pada upaya menjamin tersedianya pangan yang cukup dan terjangkau oleh masyarakat, baik melalui diversifikasi pangan, intensifikasi, pemberdayaan masyarakat, dan kinerja lain yang dapat meningkatkan kinerja produksi pangan di daerah Sulawesi Selatan, serta mengakhiri ketergantungan pangan masyarakat terhadap satu jenis komoditi seperti beras dan menekankan pada kebutuhan gizi bagi setiap orang.214 Untuk mencapai pemenuhan pangan dan gizi di tingkat rumah tangga, Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan yang biasa juga disebut BKPD SulSel dalam menyusun program kerja ketahanan pangan dirancang secara holistik yang berdasarkan pada 6 dimensi yaitu: a) Dimensi fisik yaitu peningkatan produksi (penyediaan), b) Dimensi ekonomi yang berorientasi pasar dan harga (daya beli), c) Dimensi pemenuhan kebutuhan yaitu kecukupan standar (gizi), 213
Harian Tempo. Loc. Cit.
Hasil wawancara penulis dengan Hasnawati Habibie (Kepala UPTB OKKPD Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan). 214
188
Iin Karita Sakharina
d) Dimensi pola konsumsi yaitu cara dan kebiasaan (budaya), e) Dimensi keamanan yaitu aman dan baik (sehat), halal dari segi agama, f) Dimensi waktu yaitu tersedia sepanjang tahun (berkesinambungan).215 Dalam upaya pelaksanaan hal tersebut di atas, diperlukan kinerja dan kebijaksanaan dalam bidang ketahanan pangan yang sinergik dengan sektor lainnya hal ini telah terwujud dalam tugas dan fungsi Badan Ketahanan Pangan Daerah Sulawesi Selatan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan daerah Sulawesi Selatan dengan cara sebaik-baiknya dalam menunjang kebutuhan nasional dalam 5 tahun mendatang, dibutuhkan 3 syarat utama yaitu:
Dari waktu-kewaktu jumlah total pangan yang tersedia secara umum seimbang dengan jumlah total yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Harga pangan (selain beras) harus tejangkau dan cukup stabil. Daya beli untuk memperoleh pangan harus tersebar merata di antara penduduk sehingga akses terhadap suplai pangan merata.216
215
Ibid.
216
Ibid. Iin Karita Sakharina
189
Adapun Kebijaksanaan umum ketahanan pangan Provinsi Sulawesi Selatan mencakup: 1) ketersediaan pangan dan cadangan pangan yang cukup; 2) kemudahan dan kemampuan mengakses pangan; dan 3) konsumsi pangan Sementara kebijaksanaan Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan217 adalah : 1. Pembangunan ketahanan pangan dalam penyediaan pangan dan cadangan pangan: a. Menjamin ketersediaan pangan terutama produksi dalam negeri dalam jumlah dan keragaman yang cukup untuk mendukung konsumsi pangan sesuai dengan kaidah kesehatan dan gizi seimbang. b. Mengembangkan kemampuan dalam peningkatan dan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat. c. Meningkatkan kapasitas produksi pangan daerah untuk mendukung pangan nasional melalui penetapan lahan abadi untuk produksi pangan dalam rencana tata ruang wilayah dan meningkatkan kualitas lingkungan serta sumberdaya lahan dan air. 2. Peningkatan kemampuan dan kemudahan mengakses pangan: a. Meningkatkan daya beli dan mengurangi kemiskinan.
Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Rencana Strategik (RENSTRA) Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 – 2013, (Makassar: Satuan Kerja Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008), hlm. 60-63 217
190
Iin Karita Sakharina
b. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi distribusi pangan dan perdagangan pangan melalui pengembangan sarana dan prasaranan distribusi serta menghilangkan hambatan distribusi pangan antar daerah. c. Mengembangkan teknologi dan kelembagaan pengolahan dan pemasaran pangan untuk menjaga kualitas produk pangan dan mendorong peningkatan nilai tambah. d. Meningkatkan dan memperbaiki infrastruktur dan kelembagaan ekonomi pedesaan dalam rangka mengembangkan skema distribusi pangan kepada kelompok masyarakat tertentu yang mengalami kerawanan pangan. 3. Penganekaragaman konsumsi pangan dalam memenuhi kuantitas dan kualitas gizi yang seimbang: a. Menjamin pemenuhan asupan pangan bagi setiap anggota rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang memadai, aman dan halal dikonsumsi serta bergizi seimbang. b. Mendorong, mengembangkan dan membangun serta memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pemenuhan pangan. c. Mengembangkan program perbaikan gizi yang cost efective, diantaranya melalui peningkatan dan penguatan program fortifikasi pangan dan program suplementasi zat gizi mikro khususnya zat besi dan vitamin A. d. Mengembangkan jaringan antar lembaga masyarakat untuk pemenuhan hak atas pangan dan gizi.
Iin Karita Sakharina
191
e. Meningkatakan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan bersubsidi kepada masyarakat golongan miskin terutama anak-anak dan ibu hamil yang bergizi kurang. 4. Peningkatan mutu dan keamanan pangan: a. Meningkatkan pengawasan keamanan pangan. b. Melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang mutu dan keamanan pangan. c. Meningkatkan kesadaran produsen, importir, distributor dan ritel terhadap keamanan pangan. d. Meningkatkan kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan. e. Mengembangkan teknologi pengawet dan pewarna makanan yang aman dan memenuhi syarat kesehatan serta terjangkau oleh usaha kecil dan menengah produsen makanan dan jajanan. 5. Pemantapan Koordinasi Perencanaan dan Pengendalian Ketahanan Pangan: a. Meningkatkan kualitas koordinasi antar lintas sektor dalam kegiatan perencanaan dan pengendalian ketahanan pangan. b. Meningkatkan kapasitas sumberdaya aparatur yang berkualitas. c. Meningkatkan kualitas saran dan prasarana perkantoran. Implementasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Sulawesi Selatan terkait dengan pemenuhan 192
Iin Karita Sakharina
hak atas pangan yang layak di Sulawesi Selatan adalah dengan menjalankan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pangan, implementasi yang dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan dinilai sukses dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dari hasil penelitian penulis ditetapkan 3 (tiga) Kabupaten (Kabupaten Sinjai, Kabupaten Gowa dan Kabupaten Maros) dan 1 (satu) kota (Kota Makassar) di Sulawesi Selatan sebagai sampel dalam menilai hasil yang telah dicapai oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan warganya terkait dengan sistem ketahanan pangan nasional. Dalam lingkup Pemerintahan Daerah (Pemda), Pemda Provinsi Sulawesi Selatan guna menunjang ketahanan pangan daerah provinsi membuat sejumlah regulasi sebagai berikut : Tabel 6 Peraturan dan Keputusan Bidang Pangan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan No. Uraian 1. Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 42 tahun 2010
Materi Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Iin Karita Sakharina
193
2.
3.
4.
Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 2 tahun 2011 Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 36 tahun 2011
Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 1313 / V / Tahun 2012
Pengelolaan Pangan
erubahan Atas Peraturan gubernur Sulawesi Selatan Nomor 96 Tahun 2009 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Badan (UPTB) Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKPD) Pada Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Pembentukan Kelompok Kerja Dan Sekretariat Tim Koordinasi Jejaring Keamanan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan
Jika kita melihat tabel diatas, bahwa dari sejumlah peraturan kebijkasanaan hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan dalam bentuk peraturanperaturan dan keputusan, dapat terlihat bahwa peraturanperaturan dan keputusan yang dikeluarkan adalah peraturan dan keputusan antara tahun 2010 dan tahun 2012, hal ini menunjukan bahwa peraturan dan keputusan yang dikeluarkan oleh Pemda Provinsi Sulawesi Selatan adalah setelah adanya 194
Iin Karita Sakharina
ratifikasi dari kovenan internasional mengenai hak ekosob hal ini tentunya merujuk pada kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat mengenai keterkaitannya dengan Kebijaksanaan Pangan Nasional mengenai pemenuhan hak atas kecukupan pangan, sehingga dapat dikatakan bahwa Pemda Provinsi Sulawesi Selatan mau bersinergi dengan Pemerintah Pusat untuk menjalankan kewajibannya sesuai yang diamanatkan oleh kovenan khususnya dalam pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak. Agar dapat bersinergi antara pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota maka dibutuhkan kesamaan peraturan kebijaksanaan secara terstruktur, dan kebijaksanaan beberapa daerah di kabupaten/kota yang ada di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan mengenai ketahanan pangan daerahnya, dijelaskan sebagai berikut : 1. Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kabupaten Sinjai Masalah kebijaksanaan ketahanan pangan yang di tetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sinjai tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sinjai Nomor 2 Tahun 2009 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten Sinjai, dalam Pasal 3 diatur bahwa ada 31 urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Iin Karita Sakharina
195
Daerah Kabupaten Sinjai, diantaranya pada nomor 26 yaitu bidang pertanian dan ketahanan pangan.218 Selain Perda Nomor 2 Tahun 2009, Pemerintah Daerah Kabupaten Sinjai juga sebelumnya telah mengeluarkan Perda Nomor 21 Tahun 2002 tentang Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Sinjai yang mengatur fungsi Badan Ketahanan Pangan Daerah Kabupaten Sinjai, yakni : a. Perumusan kebijakan teknis di bidang ketahanan pangan; b. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian di bidang ketahanan pangan yang menjadi kewenangannya; c. Pengendalian penanganan pangan dan gizi; d. Perumusan kebijaksanaan pengadaan, pengelolaan distribusi dan peganeka ragaman konsumsi pangan; e. Perhitungan persediaan kebutuhan pangan penduduk; f. Pemetaan potensi pengadaan dan kebutuhan antar waktu serta antar daerah untuk menanggulangi kerawanan pangan; g. Pendataan dan analisis harga pangan strategis; h. Pelayanan teknis dan administrasi kepada instansi terkait dalam rangka peningkatan ketahanan pangan; i. Pelaksanaan tugas-tugas pembantuan dan tugas-tugas dekonstrasi yang diberikan oleh pemerintah dan atau pemerrintah provinsi; j. Pengelolaan administrasi umum dan ketatalaksanaan;
218Hasil
Wawancara dengan Aparat Desa Gunung Perak, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai Pada hari Rabu, 22 Agustus 2012.
196
Iin Karita Sakharina
k. Pelaksanaan dan pembinaan pengelolaan hutan dan kawasan pantai; l. Pembinaan dan pengembangan kelembagaan pangan; m. Pelaksanaan koordinasi dalam arti membina hubungan kerjasama dengan dinas/lembaga teknis daerah lainnya atau dengan pihak ketiga dalam rangka pengembangan di bidang ketahanan pangan.219 Dari hasil penelitian dilapangan, tepatnya di Desa Gunung Perak Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai diperoleh data penduduk sebanyak 425 (empat ratus dua puluh lima) Keluarga, 71 (tujuh puluh satu) keluarga diantaranya tergolong masyarakat tidak mampu (miskin), implementasi kebijaksanan pemerintah lokal terkait dengan ketahanan pangan masyarakat desa diwujudkan dalam bentuk bantuan dari aparat desa guna menanggulangi masyarakatnya yang tidak mampu tersebut dengan memberikan bantuan berupa beras miskin (raskin), bibit padi, bibit jagung dan bibit kopi.220 Selain bantuan dari aparat desa, didapatkan pula data yang menunjukkan bahwa masyarakat Desa Gunung Perak Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai merupakan salah satu Kabupaten penghasil beras di Sulawesi Selatan, oleh karena itu
219Ibid.
Lihat juga Peraturan Daerah Kabupaten Sinjai Nomor 21 Tahun 2002 tentang Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Sinjai. 220Ibid.
Iin Karita Sakharina
197
98% (sembilan puluh delapan persen) masyarakatnya mengonsumsi nasi sebagai bahan makanan pokok, selain itu pula guna memenuhi gizi masyarakatnya, aparat desa juga bekerjasama dengan dinas kesehatan setempat untuk memberikan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan secara rutin (2X / bulan) kepada masyarakat baik itu dibalai desa maupun di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) pembantu yang berada di setiap pelosok desa.221 Namun untuk makanan 4 sehat 5 sempurna belum dapat dipenuhi oleh masyarakat desa secara keseluruhan, selain terkendala dalam memenuhi kebutuhan akan buah-buahan, masyarakat juga tidak semua dapat membeli susu akibat pendapatan sebagian masyarakat desa yang tidak menentu, karena 65% (enam puluh lima persen) masyarakat Desa Gunung Perak bekerja sebagai petani.222. 2. Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa Masalah kebijaksanaan ketahanan pangan yang di tetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa yaitu mengacu kepada Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 221Ibid.
Hasil survey dengan menyebarkan kuisioner penulis kepada masyarakat Desa Gunung Perak, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, pada tanggal 22 sampai dengan 27 Agustus 2012. 222
198
Iin Karita Sakharina
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pangan, belum adanya instrumen hukum yang dibuat dalam bentuk peraturan daerah membuat Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa masih mengacu kepada perda Provinsi, khususnya yang terdapat pada Pasal 2 yang mengatur bahwa tujuan Pengelolaan Pangan adalah untuk: a. tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia; b. terciptanya sistem produksi dan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab; c. terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat; d. terciptanya perlindungan produk pangan lokal dari pangan inport; e. terciptanya perlindungan atas varietas pangan lokal; f. terciptanya ketahanan pangan.223 Selain Pasal 2, Pasal 4 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan juga dijadikan acuan Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa dalam hal acuan kebijaksanaan terkait dengan ketahanan pangan warga Kabupaten Gowa, Pasal 4 ayat (1) mengatur bahwa Kegiatan Pengelolaan Pangan meliputi :
223Hasil
Wawancara dengan Bapak Abd. Hafid, S.Sos. (Sekertaris Desa Borong Pa’la’la, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa) Pada hari Kamis, 30 Agustus 2012. Lihat juga Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pangan. Iin Karita Sakharina
199
a. b. c. d. e. f.
Budidaya; Proses produksi; Penyimpanan; Pengangkutan; Ritel pangan; Pemasukan pangan ke wilayah Sulawesi Selatan (Kabupaten Gowa); dan g. Pengeluaran pangan dari wilayah Sulawesi Selatan (Kabupaten Gowa). Dari hasil penelitian dilapangan, tepatnya di Desa Borong Pa’la’la Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa diperoleh data penduduk sebanyak 398 (tiga ratus sembilan puluh delapan) Keluarga, 197 (seratus sembilan puluh tujuh) keluarga diantaranya tergolong masyarakat tidak mampu (miskin), angka ini sangat mengejutkan karena 50% (lima puluh persen) warga Desa Borong Pa’la’la
tergolong masyarakat tidak mampu,224
implementasi kebijaksanaan pemerintah lokal terkait dengan ketahanan pangan masyarakat desa diwujudkan dalam bentuk bantuan dari aparat desa guna menanggulangi masyarakatnya yang tidak mampu tersebut dengan memberikan bantuan berupa beras miskin (raskin) dan uang santunan yang diambil
Hasil survey dengan menyebarkan kuisioner penulis kepada masyarakat Desa Borong Pa’la’la, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa, pada tanggal 30 Agustus sampai dengan 6 September 2012. 224
200
Iin Karita Sakharina
dari kas desa yang berasal dari bantuan Pemerintah Kabupaten Gowa melalui setiap kecamatan.225 Selain bantuan dari aparat desa, didapatkan pula data yang menunjukkan bahwa masyarakat Desa Borong Pa’la’la Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa merupakan salah satu Kabupaten penghasil beras di Sulawesi Selatan, oleh karena itu 95% (sembilan puluh lima persen) masyarakatnya mengonsumsi nasi sebagai bahan makanan pokok dan sisanya (5%) warga khususnya masyarakat tidak mampu hanya mengonsumsi singkong dan jagung sebagai makanan pokok, selain itu pula guna memenuhi gizi masyarakatnya, aparat desa juga bekerjasama dengan dinas kesehatan setempat untuk memberikan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan secara rutin (2X/bulan) kepada masyarakat baik itu dibalai desa maupun di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) pembantu yang berada di setiap pelosok desa.226 Namun untuk makanan 4 sehat 5 sempurna belum dapat dipenuhi oleh masyarakat desa secara keseluruhan, selain terkendala dalam memenuhi kebutuhan akan buah-buahan, daging dan ikan, masyarakat juga tidak semua dapat membeli Hasil Wawancara dengan Bapak Abd. Hafid, S.Sos. (Sekertaris Desa Borong Pa’la’la, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa) Pada hari Kamis, 30 Agustus 2012. 225
226
Ibid. Iin Karita Sakharina
201
susu akibat pendapatan sebagian masyarakat desa yang tidak menentu, karena 75% (tujuh puluh lima persen) masyarakat Desa Borong Pa’la’la bekerja sebagai petani dan buruh bangunan.227 3. Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kabupaten Maros Masalah kebijaksanaan ketahanan pangan yang di tetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Maros tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Pertanian Kabupaten Maros, dalam Pasal 4 diatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan memiliki fungsi sebagai berikut : 1. Melakukan sebagian kewenangan Pemerintah Kabupaten Maros di Bidang Pengelolaan penyediaan, pengusahaan lapangan usaha pelayanan umum di bidang pengelolaan pertanian; 2. Menyiapkan bahan untuk perumusan kebijakan umum Pemerintah Kabupaten Maros dibidang pengelolaan pertanian. 3. Pelaksanaan fungsi ekonomi dengan tidak mengabaikan fungsi sosial.228
Hasil survey dengan menyebarkan kuisioner penulis kepada masyarakat Desa Borong Pa’la’la, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa, pada tanggal 30 Agustus sampai dengan 6 September 2012. 227
Hasil Wawancara dengan Bapak Bakri Saleh (Kepala Desa Marumpa, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros) Pada hari Senin, 10 September 2012. 228
202
Iin Karita Sakharina
Selain Perda Nomor 6 Tahun 2011, Pemerintah Daerah Kabupaten Maros juga sebelumnya telah mengeluarkan Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan dan Sumber Daya Pertanian Kabupaten Maros, Pasal 2 mengatur bahwa kedudukan badan ini adalah : 1. Dengan Peraturan Daerah ini dibentuk Badan Ketahanan Pangan Sumber Daya Pertanian Kabupaten Maros; 2. Badan berkedudukan sebagai unsur pelaksana tugas Pemerintah Daerah sesuai dengan bidang tugasnya; 3. Dinas dipimpin oleh seorang Kepala Badan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah; 4. Badan adalah bagian Perangkat Daerah;229 Selain Pasal 2, Pasal 3 Perda Nomor 7 Tahun 2003 juga dijadikan acuan Pemerintah Daerah Kabupaten Maros dalam hal acuan kebijaksanaan terkait dengan ketahanan pangan warga Kabupaten Maros, Pasal 3 mengatur bahwa “Badan mempunyai tugas pokok membantu Bupati melaksanakan sebagian keweLihat juga Pasal 4 Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Pertanian Kabupaten Maros. Ibid. Lihat juga Pasal 2 Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan dan Sumber Daya Pertanian Kabupaten Maros. 229
Iin Karita Sakharina
203
nangan Pemerintah Daerah di Badan Ketahanan Pangan Sumber Daya Pertanian serta tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah yang menjadi tanggung jawabnya”.230 Dari hasil penelitian dilapangan, tepatnya di Desa Marumpa Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros diperoleh data penduduk sebanyak 410 (empat ratus sepuluh) Keluarga, 51 (lima puluh satu) keluarga diantaranya tergolong masyarakat tidak mampu (miskin), implementasi kebijaksanaan pemerintah lokal terkait dengan ketahanan pangan masyarakat desa diwujudkan dalam bentuk bantuan dari aparat desa guna menanggulangi masyarakatnya yang tidak mampu tersebut dengan memberikan bantuan berupa beras miskin (raskin) dan beberapa kebutuhan dapur (minyak sayur, telur dan mie instant).231 Selain bantuan dari aparat desa, didapatkan pula data yang menunjukkan bahwa masyarakat Desa Marumpa Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros merupakan pengrajin (baik itu dalam bidang alat-alat rumah tangga maupun dalam bidang
Pasal 3 Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan dan Sumber Daya Pertanian Kabupaten Maros. 230
Hasil Wawancara dengan Bapak Bakri Saleh (Kepala Desa Marumpa, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros) Pada hari Senin, 10 September 2012. 231
204
Iin Karita Sakharina
kuliner),232 selain itu 99% (sembilan puluh sembilan persen) masyarakatnya mengonsumsi nasi sebagai bahan makanan pokok, selain itu pula guna memenuhi gizi masyarakatnya, aparat desa juga bekerjasama dengan dinas kesehatan setempat untuk memberikan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan secara rutin (1X / bulan) kepada masyarakat baik itu dibalai desa maupun di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di Desa Marumpa.233 Untuk makanan 4 sehat 5 sempurna sudah dapat dipenuhi oleh masyarakat desa secara keseluruhan, karena mampu memenuhi kebutuhan akan buah-buahan, daging, ikan dan susu akibat pendapatan sebagian masyarakat desa diatas rata-rata, karena 80% (delapan puluh persen) masyarakat Desa Borong Marusu bekerja sebagai pengrajin.234
Hasil survey dengan menyebarkan kuisioner penulis kepada masyarakat Desa Marumpa, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, pada tanggal 11 sampai dengan 16 September 2012. 232
Hasil Wawancara dengan Bapak Bakri Saleh (Kepala Desa Marumpa, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros) Pada hari Senin, 10 September 2012. 233
Hasil survey dengan menyebarkan kuisioner penulis kepada masyarakat Desa Marumpa, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, pada tanggal 11 sampai dengan 16 September 2012. 234
Iin Karita Sakharina
205
4. Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kota Makassar Masalah kebijaksanaan ketahanan pangan yang di tetapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Makassar tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota Makassar, yang didalamnya diatur tentang Badan Ketahanan Kota Makassar.235 Dari hasil penelitian dilapangan, tepatnya di Kelurahan Bangkala Kecamatan Manggala, Kota Makassar diperoleh data penduduk sebanyak 448 (empat ratus empat puluh delapan) Keluarga, 112 (seratus dua belas) keluarga diantaranya tergolong masyarakat tidak mampu (miskin), implementasi kebijaksanaan pemerintah lokal terkait dengan ketahanan pangan masyarakat kota diwujudkan dalam bentuk bantuan dari pegawai kelurahan guna menanggulangi masyarakatnya yang tidak mampu tersebut dengan memberikan bantuan berupa beras miskin (raskin).236 Selain bantuan dari aparat desa, didapatkan pula data yang menunjukkan bahwa masyarakat Kelurahan Bangkala Kecamatan Manggala, Kota Makassar 98% (sembilan puluh Hasil Wawancara dengan Ibu Andi Dahniar (Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar) Pada hari Rabu, 19 September 2012. 235
236
206
Ibid.
Iin Karita Sakharina
delapan persen) masyarakatnya mengonsumsi nasi sebagai bahan makanan pokok, selain itu pula guna memenuhi gizi masyarakatnya, pegawai kelurahan juga bekerjasama dengan dinas kesehatan kota dan Provinsi untuk memberikan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan secara rutin (1X/bulan) kepada masyarakat baik itu di dinas kesehatan maupun di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang berada di Kelurahan Bangkala.237 Untuk makanan 4 sehat 5 sempurna sudah dapat dipenuhi oleh masyarakat Kelurahan Bangkala secara keseluruhan, selain itu masyarakat juga sudah dapat memenuhi kebutuhan akan buah-buahan, daging sayur dan susu akibat pendapatan sebagian masyarakat desa yang tidak menentu, karena 70% (tujuh puluh persen) masyarakat Kelurahan Bangkala adalah wiraswasta.238 Dari hasil penelitian lapangan yang telah dilakukan penulis dengan cara menyebarkan kuisioner di 4 wilayah dalam Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan, terlihat dengan jelas bahwa latar belakang pekerjaan berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat untuk mengakses bahan pangan yang cukup.Seperti yang tergambar bahwa untuk rata237
Ibid.
Hasil survey dengan menyebarkan kuisioner penulis kepada masyarakat Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, pada tanggal 20 sampai dengan 25 September 2012. 238
Iin Karita Sakharina
207
rata masyarakat yang tinggal di desa Gunung Perak kabupaten Sinjai adalah bekerja sebagai petani
sehingga walaupun tidak
pernah terjadi kasus kelaparan di desa tersebut, namun sebagian masyarakatnya tergolong tidak mampu dan masih mengandalkan bantuan dari pemerintah daerah setempat dalam hal konsumsi pangan. Hal ini tentu saja terlihat ironis karena dari data yang ada, diketahui Kabupaten Sinjai merupakan salah satu kabupaten Penghasil beras di Sulawesi Selatan, namun dengan masih adanya masyarakat sinjai yang hidup dalam kemiskinan sehingga dapat dikatakan bahwa dari tingkat perekonomian yang ada belum merata sehingga memang peran pemerintah daerah dalam hak pemenuhan kecukupan pangan di Kabupaten Sinjai masih sangat diperlukan. Begitupula yang terjadi di Kabupaten Maros dan kota Makassar. Dari Desa dan kelurahan yang dipilih oleh penulis untuk diambil sampelnya memperlihatkan bahwa untuk kabupaten Gowa sendiri, di Desa Borong Pa’lala yang telah dipilih oleh penulis, ditemukan bahwa 50% (lima puluh persen) penduduk di desa tersebut tergolong tidak mampu sehingga masih mengandalkan bantuan pangan berupa pasokan beras miskin (raskin)
dan juga uang santunan dari
Pemda Gowa untuk masyarakat yang tidak mampu dan tidak bisa mengakses bahan pangan sendiri karena ketidakmampuan daya beli. Latar belakang pekerjaan dari penduduk di Desa 208
Iin Karita Sakharina
Borong Pa’Lala ini adalah petani dan buruh bangunan. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan petani di Indonesia pada saat ini sebagian masih sangat memprihatinkan terutama jika dia bekerja hanya sebagai penggarap dan bukan pemilik sawah atau lahan. Sementara Keadaan penduduk di Kota Makassar juga tidak jauh berbeda, dari kelurahan yang dipilih oleh penulis menunjukkan setengah dari jumlah penduduk yang tinggal di kelurahan tersebut adalah masayarakat yang tidak mampun dan hanya mengandalkan bantuan pemerintah kota dalam hal pemenuhan terhadap hak atas pangannya. Kota Makassar termasuk salah satu ibukota provinsi di Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup besar dan terdiri dari masyarakat yang homogen. Pada tahun 2010 dikota Makassar pernah terjadi kasus kelaparan dan gizi buruk yang menyebabkan seorang ibu dan bayinya meninggal dunia karena ketidakmampuannya untuk membeli makanan namun namun pemerintah kota terus berbenah diri dan mengupayakan agar kejadian tersebut tidak terulang kembali di masa yang akan datang.239 Untuk melihat sejauh mana Pemda Provinsi Sulawesi Selatan melakukan tindakan dalam hal membuat atau menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam rangka pemenuhan hak Hasil Wawancara dengan Ibu Andi Dahniar (Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar) Pada hari Rabu, 19 September 2012. 239
Iin Karita Sakharina
209
atas kecukupan pangan di daerahnya setalah bersinergi dengan langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintah pusat dalam hal penetapan kebijaksanaan di bidang ketahanan pangan nasional dalam rangka pemenuhan hak-hak ekosob warga negaranya khususnya dibidang kecukupan pangan yang layak, maka penulis mengambil sampel Provinsi Kalimantan Barat, kabupaten Kubu Raya240 sebagai perbandingan dalam hal melihat kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Pemda masing-masing berkenan dengan pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak. Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Komnas HAM
mengenai pemenuhan hak atas kecukupan pangan di
salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut. Di tingkat daerah, Pemerintah Kabupaten Kubu Raya (sebagai kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Pontianak pada 2008) mencoba menerapkan ketentuan di tingkat nasional, dengan melakukan inisiatif pengaturan di tingkat kabupaten, berupa Peraturan Bupati Kubu Raya Nomor 60 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Hasil Produksi Beras Lokal bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Pemerintahan Kabupaten Kubu Raya. Ketentuan ini sebagai sebuah upaya agar produk lokal dapat terserap oleh konsumsi di tingkat Kabupaten
Sampel ini adalah hasil penelitian Komnas HAM yang dilakukan untuk melihat Kerangka Konsep Indikator Hak Asasi Manusia tahun 2012 240
210
Iin Karita Sakharina
Kubu Raya itu sendiri. Selanjutnya, saat ini tengah diupayakan agar pembagian beras miskin (raskin) di Kabupaten Kubu Raya dapat menyerap (menggunakan) beras lokal.241 Ketentuan perundang-undangan nasional menjadi sentral bagi upaya pemenuhan hak atas pangan bagi masyarakat. Beberapa ketentuan perundang-undangan yang menjadi acuan, adalah sebagai berikut: 1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman; 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; 3) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan; 4) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; 5) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 30 Tahun 2008 tentang Cadangan Pangan Pemerintah Desa; 6) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan; 7) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Pangan berbasis sumber daya lokal; dan 8) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. 241
Lihat Laporan Komnas Komnas HAM, Op. Cit., hlm. 42 Iin Karita Sakharina
211
Pengaturan mengenai pangan diarahkan untuk mewujudkan ketahanan pangan yang mencakup ketersediaan, cadangan pangan, dan keterjangkauan konsumsi. Untuk mewujudkan ketahanan pangan, maka pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyelenggarakan pelayanan (Pasal 7 ayat (2) huruf m Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota).242 Perwujudan dari pelaksanaan kewajiban tersebut belum direalisasikan sama sekali dalam bentuk peraturan daerah oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, baik itu terkait dengan ketersediaan, cadangan, maupun keterjangkauan pangan yang juga menjadi indikator dalam General Comment Nomor 12 Kovenan Hak Ekosob.243 Sedangkan untuk Kabupaten Kubu Raya, perwujudan terkait ketersediaan pangan telah diatur dalam Peraturan Bupati Kubu Raya Nomor 60 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Hasil Produksi Beras Lokal Bagi PNS. Pada peraturan tersebut, para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Kubu Raya diharuskan
242
Ibid.
Di Kabupaten Kapuas Hulu juga telah dilakukan hal yang sama (konsumsi beras bagi PNS dari produksi beras Kapuas Hulu). 243
212
Iin Karita Sakharina
membeli dan mengkonsumsi beras lokal, pada Pasal 1 huruf h dijelaskan bahwa, “Beras lokal adalah beras yang diproduksi dari hasil budidaya
masyarakat
tani/petani di wilayah
Kabupaten Kubu Raya”.244 Kabupaten Kubu Raya merupakan daerah lumbung gabah atau beras di Kalimantan Barat, akan tetapi untuk keperluan sehari-hari banyak yang didatangkan oleh para pedagang dari Pulau Jawa. Termasuk juga Raskin, pemerintah (Bulog) tidak menggunakan beras lokal (Kubu Raya). Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya peraturan bupati tersebut. Pada Pasal 3 dan Pasal 4, disebutkan maksud dan tujuan dari kebijaksanaan bupati (Muda Mahendrawan), yaitu: Pasal 3; “Maksud pemanfaatan beras lokal bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya para petani di wilayah Kabupaten Kubu Raya, meliputi: 1. Pemberian sertifikasi benih/padi yang akan digunakan untuk dikembangkan dan atau dibudidayakan dengan tujuan ekonomis; 2. Memberikan dukungan peningkatan produksi, produktivitas, dan kualitas secara komprehensif dan terkonsentrasi mulai dari sistem budidaya, panen, dan pasca panen sampai dengan pemasaran.” 244
Lihat Laporan Komnas Komnas HAM, Op. Cit., hlm. 43 - 44 Iin Karita Sakharina
213
Pasal 4; “Tujuan pemanfaatan hasil produksi beras lokal bagi PNS adalah: 1. Meningkatkan pendapatan pelaku usaha, baik bagi para petani maupun pengusaha, PPK dan koperasi; 2. Meningkatkan ketersediaan aneka ragam pangan segar dan olahan melalui pengembangan bisnis dan industri; 3. Penguatan dan peningkatan partisipasi dalam pengembangan dan pelaksanaan program ketahanan pangan berbasis sumber daya lokal.”245 Adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam hal pemenuhan hak atas pangan yang layak dengan memenuhi indikator-indikator pada pemenuhan hak atas pangan yang layak, yaitu mengatur ketersediaan bahan pangan dan makanan yang cukup bagi warga masyarakatnya, mengatur adanya aksesibilitas dan keterjangkauan terhadap pangan dan bahan pangan yang layak sehingga mudah di jangkau oleh masyarakat sekitar termasuk pengaturan mengenai harga pokok bahan pangan, berikut pengaturan mengenai pengembangan bahan pangan lokal yang disesuaikan dengan kebiasaan atau makanan apa saja yang biasa dikonsumsi masyarakat setempat sampai dengan perbaikan kualitas dari pangan dan bahan itu sendiri dengan memenuhi unsur gizi 245
214
Ibid.
Iin Karita Sakharina
yang ditetapkan secara nasional melalui beberapa peraturan dan kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah telah menunjukkan bahwa adanya langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah Daerah untuk bersinergi dengan Pemerintah Pusat dalam rangka melaksanakan kewajibannya dalam pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak bagi warganya.
Iin Karita Sakharina
215
216
Iin Karita Sakharina
BAB V KEMAJUAN PEMENUHAN HAK ATAS PANGAN YANG LAYAK DI INDONESIA
Sebagaimana telah penulis singgung pada bagian akhir Bab 1 dalam buku ini, bahwa pada Bab V ini adalah merupakan hasil penelitian postdoctoral tim peneliti yang didanai oleh Direktorat Perguruan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 2014. A. Kemajuan Implementasi Kovenan Pasca Ratifikasi 1. Pengaturan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Sebagaimana telah kita ketahui bersama, dan penulis telah singgung pada bab-bab sebelumnya, bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 2005 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005. Dengan diratifikasinya kovenan internasional tersebut, Pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk melaksanakan isi dari kovenan internasional dimaksud dan melaporkan pelaksanaannya kepada Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya secara berkala. Hal ini merupakan kewajiban dan konsekuensi bagi setiap negara yang meratifikasi Iin Karita Sakharina
217
Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kewajiban negara dalam hal melaksanakan isi dari kovenan internasional ini dapat dilihat dari beberapa peraturan kebijaksanaan atau aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat sampai Pemerintah daerah sebagai satu kesatuan perangkat eksekusi bagi negara. Adanya peraturan-peraturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah dapat dianggap sebagai adanya upaya atau itikad baik dari pemerintah Indonesia untuk melaksanakan isi kovenan utama HAM ini dibidang ekosob dan juga turut serta memajukan hak-hak tersebut, sehingga setiap warga negara berhak menikmati hak-hak yang diatur dalam hak ekosob dengan nyaman. Selain daripada itu pelaksanaan di lapangan juga sangat di perlukan, bagaimana Pemerintah mengimplementasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang sudah diambil atau peraturan-peraturan yang sudah dikeluarkan dalam bentuk nyata di lapangan, sehingga setiap warga negara dapat merasakan betul maanfaat dari peratifikasian hak-hak ekosob mereka dengan dapat mengakses serta menikmati hak tersebut dengan rasa aman tanpa rasa gangguan apapun. Seperti pengadaan beras murah bagi warga negara yang tidak mampu atau pendapatan perkapita perbulannya sangat kurang, memudahkan akses untuk mendapatkan beras murah tersebut bagi 218
Iin Karita Sakharina
setiap masyarakat tanpa terkecuali, memastikan bahwa perangkat kerja satuan pemerintah dalam hal ini lurah, camat mengadakan pengontrolan dengan baik terhadap pendistribusian beras murah di setiap kelurahan, kecamatan atau bahkan di pedesaan, agar dalam pendistribusiannya tidak ada unsur kecurangan atau diskriminasi terhadap warga masyarakat yang seharusnya memang memiliki hak untuk mendapatkan beras murah, selain itu memastikan beras murah didistribusikan dengan baik sehingga tidak ada penyembunyian beras di gudang-gudang kelurahan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab seperti yang biasanya sering di beritakan di media cetak maupun elektronik. Di dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, kewajiban Negara Pihak untuk mengakui dan menjamin hakhak asasi termuat pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 15, seperti hak atas pekerjaan, hak untuk jaminan sosial dan asuransi sosial, hak atas perlindungan dan bantuan seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak dan orang muda, hak atas standar kehidupan yang memadai dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya, hak atas standar kesehatan fisik dan mental serta hak atas pendidikan.246 Hak-hak tersebut merupakan cerminan dari
Laporan Pelaksanaan Rapat Koordinasi Dalam Rangka Implementasi Instrumen HAM yang Telah Diratifikasi Indonesia (Kovenan Hak Ekonomi, 246
Iin Karita Sakharina
219
kebutuhan dasar bagi setiap manusia yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Berikut tabel uraian lengkap dari pasal-pasal tersebut : Tabel 7 Kewajiban Negara Pihak untuk Mengakui dan Menjamin HAM dalam Kovenan Hak Ekosob Pasal 6
1. Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak semua orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang memadai guna melindungi hak ini. 2. Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi juga bimbingan teknis dan kejuruan serrta program-program pelatihan, kebijakan, dan teknik-teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, sosial dan budaya yang mantap serta lapangan kerja yang penuh dan produktif, dengan kondisi-kondisi yang menjamin kebebasan politik dan ekonomi yang mendasar bagi perorangan. Pasal 7 Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati kondisi kerja yang Sosial, dan Budaya), Penyempurnaan Hasil Implementasi Tahun Anggaran 2010, (Jakarta: Direktorat Kerja HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI, 2004), hlm. 1
220
Iin Karita Sakharina
adil dan menguntungkan, dan khususnya menjamin: (a)Bayaran yang memberikan semua pekerja, sekurang-kurangnya : 1. Upah yang adil dan imbalan yang sesuai dengan pekerjaan yang senilai tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, khususnya bagi perempuan yang harus dijamin kondisi kerja yang tidak lebih rendah daripada yang dinikmati laki-laki dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. 2. Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka, sesuai dengan ketentuanketentuan Kovenan ini; (b) Kondisi kerja yang aman dan sehat; (c) Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi, tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan. (d) Istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja yang wajar, dan liburan berkala dengan gaji maupun imbalan-imbalan lain pada hari libur umum. Pasal 8 1. Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin: a) Hak setiap orang untuk membentuk serikat pekerja dan bergabung dalam serikat pekerja pilihannya sendiri, berdasarkan peraturan organisasi yang bersangkutan, demi memajukan Iin Karita Sakharina
221
dan melindungi kepentingan ekonomi dan sosialnya. Pembatasan dalam pelaksanaan hak ini tidak diperbolehkan kecuali yang ditentukan hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau untuk perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain; b) Hak setiap pekerja untuk membentuk federasi-federasi atau konfederasi-konfederasi nasional dan hak konfederasi nasional untuk membentuk atau bergabung dengan organisasi serikat pekerja internasional; c) Hak serikat pekerja untuk bertindak secara bebas, yang tidak dapat dikenai pembatasanpembatasan apapun selain yang ditentukan oleh hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau untuk perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain; d) Hak untuk melakukan pemogokan, asalkan pelaksanaannya sesuai dengan hukum negara yang bersangkutan; 2. Pasal ini tidak menghalangi dikenakannya pembatasan-pembatasan yang sah dalam pelaksanaan hak-hak tersebut di atas, oleh anggota-anggota angkatan bersenjata atau kepolisian atau penyelenggara suatu Negara. 3. Tidak ada satupun dalam Pasal ini yang memberi 222
Iin Karita Sakharina
kewenangan pada Negara-Negara Pihak dalam "Konvensi Internasional Organisasi Perburuhan Internasional tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat" untuk mengambil langkah legislatif atau menerapkan hukum apapun sedemikian rupa yang akan mengurangi jaminan-jaminan yang telah diberikan Konvensi itu. Pasal 9 Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial. Pasal Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui bahwa: 10 1. Perlindungan atas bantuan seluas mungkin harus diberikan kepada keluarga yang merupakan kelompok alamiah dan mendasar dari satuan masyarakat, terutama terhadap pembentukannya, dan sementara itu keluarga bertanggung jawab atas perawatan dan pendidikan anak-anak yang masih dalam tanggungan. Perkawinan harus dilangsungkan berdasarkan persetujuan yang sukarela dari calon mempelai. 2. Perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan. Selama jangka waktu itu para ibu yang bekerja harus diberrikan cuti dengan gaji atau cuti dengan jaminan sosial yang memadai. 3. Langkah-langkah khusus untuk perlindungan dan bantuan harus diberikan untuk kepentingan semua anak dan remaja, tanpa diskriminasi apaIin Karita Sakharina
223
Pasal 11
224
pun berdasarkan keturunan atau keadaan-keadaan lain. Anak-anak dan remaja harus dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan sosial. Pemanfaatan mereka dalam pekerjaan yang merrugikan moral atau kesehatan, atau yang membahayakan kehidupan mereka, atau yang sangat mungkin menghambat perkembangan mereka secara wajar, harus dikenai sanksi hukum. Negaranegara juga harus menetapkan batas umur di mana mempekerjakan anak di bawah umur tersebut dengan imbalan, harus dilarang dan dikenai sanksi hukum. 1. Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela. 2. Negara Pihak pada Kovenan ini, dengan mengakui hak mendasar dari setiap orang untuk bebas dari kelaparan, baik secara individual maupun melalui kerjasama internasional, harus mengambil langkah-langkah termasuk programprogram khusus yang diperlukan untuk; a) Meningkatkan cara-cara produksi, konservasi dan distribusi pangan, dengan sepenuhnya memanfaatkan pengetahuan teknik
Iin Karita Sakharina
Pasal 12
dan ilmu pengetahuan, melalui penyebarluasan pengetahuan tentang asas-asas ilmu gizi, dan dengan mengembangkan atau memperbaiki sistem pertanian sedemikian rupa, sehingga mencapai suatu perkembangan dan pemanfaatan sumber daya alam yang efisien; b) Memastikan distribusi pasokan pangan dunia yang adil yang sesuai kebutuhan, dengan memperhitungkan masalah-masalah Negara-negara pengimpor dan pengekspor pangan. 1. Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental. 2. Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini guna mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan: a) Ketentuan-ketentuan untuk pengurangan tingkat kelahiran-mati dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat; b) Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri; c) Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan; d) Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal Iin Karita Sakharina
225
Pasal 13
226
sakitnya seseorang. 1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Mereka selanjutnya setuju bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian. 2. Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh: a) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang; b) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap; c) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi
Iin Karita Sakharina
semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap; d) Pendidikan mendasar harus sedapat mungkin didorong atau ditingkatkan bagi orang-orang yang belum mendapatkan atau belum menyelesaikan pendidikan dasar mereka; e) Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus secara aktif diupayakan, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk dan kondisi-kondisi materiil staf pengajar harus terus menerus diperbaiki. 3. Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan wali yang sah, bila ada, untuk memilih sekolah bagi anakanak mereka selain yang didirikan oleh lembaga pemerintah, sepanjang memenuhi standar minimal pendidkan sebagaimana ditetapkan atau disetujui oleh negara yang bersangkutan, dan untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka. 4. Tidak satupun ketentuan dalam Pasal ini yang dapat ditafsirkan sebagai pembenaran untuk mencampuri kebebasan individu dan badanbadan untuk mendirikan dan mengurus lembagalembaga pendidikan sepanjang prinsip-prinsip Iin Karita Sakharina
227
Pasal 14
Pasal 15
228
yang dikemukakan ayat (1) Pasal ini selalu diindahkan, dan dengan syarat bahwa pendidikan yang diberikan dalam lembaga-lembaga itu memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh Negara. Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini yang pada saat menjadi Pihak belum mampu menyelenggarakan wajib belajar tingkat dasar secara cumacuma di wilayah perkotaan atau wilayah lain di bawah yurisdiksinya, harus berusaha dalam jangka waktu dua tahun, untuk menyusun dan menetapkan rencana kegiatan rinci untuk diterapkan secara progresif, dan dalam beberapa tahun yang layak harus melaksanakan prinsip wajib belajar dengan cuma-cuma bagi semua orang, yang harus dimasukkan dalam rencana kegiatan tersebut. 1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang: a) Untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya; b) Untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya; c) Untuk memperoleh manfaat dari perlindungan atas kepentingan moral dan material yang timbul dari karya ilmiah, sastra atau seni yang telah diciptakannya. 2. Langkah-langkah yang harus diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai perwujudan sepenuhnya dari hak ini, harus meliputi pula langkah-langkah yang diperlukan guna
Iin Karita Sakharina
melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. 3. Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan yang mutlak diperlukan untuk penelitian ilmiah dan kegiatan yang kreatif. 4. Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui manfaat yang akan diperoleh dari pemajuan dan pengembangan hubungan dan kerjasama internasional di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Sifat dari pelaksanaan hak-hak dalam Kovenan Ekonomi, Sosial, dan Budaya adalah kesetaraan dan non diskriminasi. Sedangkan ketentuan yang mengatur masalah pelaporan pelaksanaannya terdapat pada Pasal 16 sampai dengan Pasal 20. Dalam pelaksanaan kovenan tersebut, maka yang bertanggung jawab atas hak-hak
tersebut
secara
keseluruhan
adalah
Pemerintah Indonesia, yang secara substansi ditangani oleh Kementerian/ Lembaga yang terkait, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan. Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menjelaskan bahwa kewajiban negara peserta meliputi kewajiban untuk melakukan maupun kewajiban melaporkan hasilnya. Ini diperlukan untuk mengetahui sampai sejauhmana instrumen HAM yang telah diratifikasi tersebut
Iin Karita Sakharina
229
sudah dilaksanakan247 oleh negara, sehingga dapat diketahui dengan
mudah
ketika
dianalisis,
apakah
suatu
negara
melaksanakan kewajibannya (baik kewajiban untuk melakukan/ melaksanakan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, maupun kewajiban untuk melaporkan hasil/capaian dari pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tersebut). Terkait dengan kewajiban suatu negara untuk melaporkan hasil/capaian dari pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, maka pengaturan terhadap pelaporan tersebut secara lengkap akan dijabarkan dalam tabel sebagai berikut : Tabel 8 Pengaturan Pelaporan Pelaksanaan Kovenan Hak Ekosob Pasal 16
247
230
1. Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji, sesuai dengan bagian dari Kovenan ini, untuk menyampaikan laporan mengenai langkah-langkah yang telah diambil, dan kemajuan yang telah dicapai dalam pematuhan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini. a) Semua laporan harus disampaikan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa yang akan menyampaikan salinan kepada Dewan Ekonomi dan Sosial, untuk dipertimbangkan sesuai ketentuan Kove-
Laporan Direktorat Kerja HAM, Ibid. hlm. 1
Iin Karita Sakharina
Pasal 17
nan ini; b) Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa juga harus menyampaikan salinan laporan atau bagian laporan yang relevan dari Negara-negara Pihak kovenan ini yang juga adalah anggota dari Badan Khusus, kepada Badan-Badan Khusus tersebut sepanjang laporan-laporan tersebut atau bagian darinya berhubungan dengan masalah-masalah yang menjadi kewenangan dari Badan Khusus tersebut sesuai dengan instrumen konstitusinya. 1. Negara Pihak pada Kovenan ini harus memberikan laporan mereka secara bertahap, sesuai dengan program yang ditetapkan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial dalam jangka waktu satu tahun sejak Kovenan ini mulai berlaku, setelah berkonsultasi dengan Negara Pihak dan Badan Khusus yang bersangkutan. 2. Laporan demikian dapat menunjukkan faktorfaktor dan kesulitan-kesulitan yang mempengaruhi tingkat pemenuhan kewajiban-kewajiban dalam Kovenan ini. 3. Apabila sebelumnya telah diberikan informasi yang relevan kepada Perserikatan BangsaBangsa atau pada suatu Badan Khusus oleh Negara Pihak pada Kovenan ini, maka informasi tersebut tidak lagi perrlu diberikan, tetapi cukup dengan merujuk secara jelas pada informasi yang pernah diberikannya tersebut. Iin Karita Sakharina
231
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 20
232
Sesuai dengan tanggung jawabnya menurut Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa di bidang hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar, Dewan Ekonomi dan Sosial bersama- sama dengan Badanbadan Khusus dapat menyusun laporan tentang kemajuan yang dicapai dalam mematuhi ketentuanketentuan dalam Kovenan ini dalam hal-hal yang termasuk dalam ruang lingkup kegiatan mereka. Laporan-laporan ini dapat mencakup hal-hal khusus dari keputusan dan rekomendasi terhadap penerapan tersebut yang telah disetujui oleh organorgan yang berwenang. Dewan Ekonomi dan Sosial dapat menyampaikan pada Komisi Hak Asasi Manusia, laporan- laporan mengenai hak asasi manusia yang disampaikan oleh Negara-negara Pihak sesuai dengan Pasal 16 dan 17, dan laporan-laporan mengenai hak asasi manusia yang disampaikan oleh Badan-Badan Khusus sesuai dengan Pasal 18, untuk dipelajari dan diberikan rekomendasi umum, atau sekedar untuk informasi belaka. Negara Pihak pada Kovenan ini dan Badan-badan Khusus yang terkait, dapat menyampaikan tanggapan-tanggapan kepada Dewan Ekonomi dan Sosial tentang rekomendasi sesuai dengan Pasal 19, atau mengenai rujukan terhadap rekomendasi umum tersebut, dalam setiap laporan Komisi Hak Asasi Manusia atau dokumen yang dirujuk di dalamnya.
Iin Karita Sakharina
Dengan melihat kewajiban-kewajiban negara peserta, khususnya negara peratifikasi kovenan hak ekosob ini, untuk dilaksanakan kepada warganya, serta pengaturan tentang pelaporan pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya oleh negara bagi warganya, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengakui bahwa hak-hak tersebut berasal dari martabat yang melekat pada manusia, dan keadaan ideal dari manusia yang bebas dari rasa ketakutan akan kemiskinan hanya dapat dicapai apabila tercipta salah satu kondisi, dimana semua manusia dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial, dan budayanya. Pengaruh dari kebanyakan warga terhadap kebijaksanaan pemerintah bersifat tidak langsung, sedangkan jalan dari pembentukan keputusan politik kepada warga perseorangan melalui jalan hirarki dan birokrasi pemerintah dapat digambarkan sebagai suatu proses yang panjang dan memakan waktu lama. Dalam bidang pemerintah, masalah pelayanan menjadi sangat penting karena menyangkut kepentingan umum bahkan kepentingan rakyat secara keseluruhan karena peranan pelayanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah melibatkan seluruh aparat pegawai negeri dalam rangka peningkatan kesadaran bernegara danbermasyarakat, sehingga pelayanan kepada Iin Karita Sakharina
233
masyarakat menjadi suatu hak, yaitu hak atas pelayanan (termasuk diantaranya hak masyarakat untuk mendapatkan pangan yang layak dan tercukupi).248 Dalam pelaksanaan pelayanan umum terdapat beberapa faktor pendukung yang penting, diantaranya faktor kesadaran para pejabat serta petugas yang terkait dalam pelayanan umum, faktor aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan, faktor organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan, faktor pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum, faktor keterampilan petugas, dan faktor sarana dalam pelaksanaan tugas pelayanan. Keenam faktor itu masing-masing mempunyai peranan yang berbeda tapi saling berpengaruh dan secara bersama-sama akan mewujudkan pelaksanaan pelayanan secara baik, berupa pelayanan verbal, pelayanan tulisan atau pelayanan dalam bentuk gerakan/tindakan dengan atau tanpa peralatan.249 Pentingnya peran aparat birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan menunjang keberhasilan pembangunan telah mendorong berbagai upaya ke arah langkah penyempurnaan. Berkaitan dengan masalah ini, birokrasi dalam melak-
234
248
Ibid.
249
Ibid.
Iin Karita Sakharina
sanakan perannya menghadapi tugas ganda yakni di satu pihak birokrasi harus mampu melakukan kiat-kiat strategis dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat (outward looking), di lain pihak birokrasi juga harus mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam lingkungannya (inward looking).250 2. Kemajuan Implementasi di Indonesia Pasca Ratifikasi Pada sesi ke 52 sidang komite Hak ekosob PBB yang dilaksanakan pada tanggal 28 April 2014 dan telah berakhir tanggal 23 Mei 2014, dikantor PBB di Jenewa, Swiss. Laporan Pemerintah Indonesia telah diserahkan pada tahun 2012. Pada tahun 2013, komite hak ekosob mmeberikan list of issues yang merupakan pertanyaan-pertanyaan lanjutan atas beberapa isu yang ada dalam laporan Pemerintah. Pada bulan Maret 2014, Pemerintah Indonesia memberikan respon atas beberapa pertanyaan dalam list of issue yang kemudian diserahkan kepada komite Sebagaimana yang dilaporkan oleh Yuni Asrriyanti dalam Siaran Pers Komnas Perempuan mengenai pemantauan dan memastikan implementasi kovenan hak ekosob251pada sesi
250
Ibid.
Yuni Asriyanti (Koordinator Gugus Kerja Pekerja Migran) per 23 Juli www.komnasperempuan.or.id/2014/07-memantau dan memastikan 251
2014,
Iin Karita Sakharina
235
sidang tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara yang ditinjau atas hasil pelaksanaan dari ratifikasi kovenan hak ekosob tersebut. Ini adalah laporan pertamakali dari Pemerintah Indonesia pasca ratifikasi kovenan internasional mengenai hak ekosob ini. Pada sesi siding ke 52 dari kovenan hak-hak ekosob ini, delegasi Pemerintah Indonesia
yang hadir berjumlah 28
orang, dimana merupakan perwakilan dari beberapa lembaga kementerian antara lain; Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, BAPPENAS, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Kesehatan, Kementrian Tenaga Kerja, Kementerian Dalam Negeri, Kementrian Pendidikan, BNPP, Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4AB), Perwakilan tetap RI di Jenewa.252 Pada sidang sesi ke 52 ini oleh komite Hak-hak ekosob PBB, dilakukan peninjauan oleh komite hak ekosob yang beranggotakan 18 orang, terdiri dari para ahli dibidang-bidang terkait isu hak ekosob. Pada simpulan observasi (concluding observation) dari laporan dan dialog dengan negara, lembagalembaga HAM nasional yaitu Komnas HAM dan Komnas
implementasi kovenan-internasional hak-hak November 2014, pukul. 19.00. WITA 252
Ibid
236
Iin Karita Sakharina
ekosob,
diakses tanggal 1
Perempuan, sejumlah CSO maupun dokumen relvan lainnya.253 Dalam siaran Pers komnas Perempuan juga menyatakan bahwa komite memberikan apresiasi kepada Indonesia atas kemajuan yang dicapai setelah peratifikasin kovenan internasional hak-hak ekosob ini. Kemajuan yang dicapai, diantaranya adalah diratifikasinya beberapa konvensi internasional yaitu konvensi 1990 tentang perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan keluarganya; konvensi hak-hak penyandang disabilities dan protocol opsional hak-hak anak mengenai keterlibatan anakanak dalam konflik bersenjata, prostitusi anak dan pornografi anak, serta kebijakan lainnya.254 Selain itu, dalam siaran pers komnas perempuan juga memaparkan bahwa komite juga menyampaikan beberapa catatan diantaranya minimnya informasi dalam laporan tentang akses keadilan ekonomi, sosial dan budaya secara khusus dipengadila. Serta ada beberapa catatan yang digaris bawahi dan didesak kepada kepala negara untuk di implementasikan seperti beberapa issu dibawah ini255 : Siaran Pers Komnas Perempuan Mengenai Desakan Komite Hak-hak Ekosob PBB yang harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia, Per 6 Juni 2014, www.komnasperempuan.or.id/2014/06, diakses tanggal 1 November 2014, Pukul 20.00 Wita 253
254
Siaran Pers Komnas Perempuan, Ibid
255
Ibid Iin Karita Sakharina
237
1. Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Pekerja Migran; Pengakuan dan perlindungan hak PRT sama seperti pekerja lainnya yaitu mendapatkan hak untuk mendapatkan kerja dan pengupahan yang layak, perlindungan dari pemecatan yang tidak adil, kesehatan dan keselamatan kerja, jam istirahat dan libut. Pembatasan jam kerja dan jaminan sosial. PRT memerlukan perlindungan khusus mengingat kerentanannya terhadap kerja paksa, kekerasan dan pelecehan seksual. Penyediaan mekanisme efektif untuk melaporkan tindakan kekerasan dan eksploitasi yang dialami oleh PRT dan perlunya pemerintah untuk memonitor konidisi kerja PRT. Terkait PRT migrant, persoalan peran agen dan kerentanan eksploitasi PRT oleh agen juga mendapat perhatian. Pengawasan terhadap agen dan mengatur biaya penempatan. Ada upaya membangun kesepakatan dengan negara tujuan kerja harus terus dilanjutkan dengan menempatkan prinsip menentang eksploitasi dan kekerasan serta memastikan pemenuhan hak-hak ekosob PRT migran. Komite juga merekomendasikan pemerintah Republik Indonesia untuk meratifikasi konvensi ILO 189 tentang Kerja yang Layak bagi PRT. 2. Kekerasan terhadap perempuan dan kematian ibu. Komite member perhatian pada praktek impunitas dan penanganan kekerasa terhadap perempuan. Penigkatan kesadaran diantara para penegak hukum dan aparat tentang pola tindak pindah terhadap kekerasan terhadap perempuan, serta pada masyarakat. Lebih luas melalui kampanye “zero tolerance” untuk keke238
Iin Karita Sakharina
rasan terhadap perempuan. Penguatan legislasi kekerasan terhadap perempuan, termasuk pemidanaan segala bentuk kekerasan terhadap seksual. Sedangkan mengenai kematian ibu melahirkan, Komite meminta Pemerintah mengatasi soal disparitas ketersediaan layanan kesehatan bagi ibu melahirkan yang berkualitas, memastikan akses atas layanan kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan baik yang belum menikah, remaja puteri dan perempuan yang sudah menikah tanpa perlu persetujuan dari pasangannya untuk perlindungan hidupnya. 3. Hak ekosob di Papua dan daerah terpencil. Komite meminta akselerasi penyediaan layanan publik di Papua dan daerah terpencil lain, dengan mengalokasikan sumber daya manusia dan sumber dan. Memastikan layanan tersebut dinikmati oleh masyarakat, Komite juga meminta Pemerintah mengumpulkan informasi mengenai situasi hak ekosob dari suku-suku di pegunungan, daerah terpencil dan perbatasan berkerjasama dengan lembaga HAM Nasional dan Organisasi Masyarakat Sipil. 4. Lembaga HAM Nasional, dimana Komite secara tegas meminta Pemerintah untuk mendengar dan menindaklanjuti rekomendasi dan hasil investigasi lembaga HAM Nasional dalam hal ini Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Pemerintah juga diminta untuk memberikan Komnas Perempuan Independensi administrasi dalam pengelolaan sumber daya manusia sejalan dengan Paris Principle.
Iin Karita Sakharina
239
Terlepas dari beberapa catatan yang telah diberikan oleh Komite Hak Ekosob PBB di Jenewa pada sidang sesi 52, mengenai pembahasan dan tinjauan laporan pelaksanaan Hakhak ekosob di Indonesia pasca ratifikasi, penulis tetap melihat ada beberapa kemajuan yang signifikan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia pasca meratifikasi kovenan hak ekosob kedalam Undang-Undang No.11 tahun 2005. Hal ini dapat dilihat dari dikeluarkannya sejumlah peraturan baru dan kebijaksanaan-kebijaksanaan baru untuk beberapa hak yang dianggap penting untuk dilaksanakan guna memenuhi kewajiban negara dalam hal penghormatan, pemenuhan, perlindungan hak-hak tersebut secepatnya. Penulis menemukan 3 (tiga) kemajuan penting, kemajuan-kemajuan tersebut dijelaskan sebagai berikut : Pertama, khusus dibidang regulasi pangan. Regulasi mengenai pengaturan tentang pangan ini telah di ubah dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 (yang dirasa sudah tidak dapat mengakomodasi kebutuhan warga masyarakat) menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 (yang lebih pro terhadap rakyat), dimana perubahan dalam regulasi tersebut mengatur tentang Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, 240
Iin Karita Sakharina
merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan (Pasal 3 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012), yang sebelumnya hal tersebut hanya mengatur tentang pembangunan pangan, dan bukan penyelenggaraan pangan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996, Pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat, dari hal tersebut saja sudah tidak menggambarkan jangkauan regulasi dibidang pangan dalam jangka panjang bagi warganya, karena tidak sampai pada tahap Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan. Dari hal tersebut diatas barulah salah satu pasal saja yang dikemukakan dalam undang-undang pangan yang baru, namun begitu komprehensifnya pengaturan yang diatur dalam undangundang tersebut, ini dapat menandakan bahwa adanya kemauan negara, dalam hal ini diwakili pemerintah untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan bagi warganya dari sisi regulasi dengan mengubah undang-undang pangan yang lama. Dari sisi regulasi itulah kemudian pemerintah dapat menjabarkan dan mengimIin Karita Sakharina
241
plementasikan hal-hal yang dianggap ideal dalam mensejahterakan warganya dari sektor pangan. Walaupun dalam implementasi ke depan dikarenakan undang-undang ini masih tergolong baru, maka belum diketahui apakah hal ini berjalan dengan lancar atau tidak, akan tetapi dalam sisi regulasi inilah yang paling penting, karena regulasi ini yang dijadikan dasar hukum bagi negara dalam melaksanakan setiap kebijaksanaannya agar sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh undangundang. Undang-Undang Pangan tahun 2012 ini pula yang dapat dijadikan acuan bagi warga negara dalam menuntut hak-hak yang seharusnya ia dapatkan sesuai apa yang diatur dalam aturan tersebut. Sehingga negara tidak bisa sewenang-wenang dalam menjalankan setiap kebijaksanaannya terhadap masyarakat di sektor pangan, dan sebagai Negara Hukum, maka Indonesia dari sisi ini sudah mengupayakan terlaksananya pemenuhan hak atas pangan warganya sebagai bagian dari pelaksanaan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dari sisi regulasi. Bahkan di dalam Pasal 5 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 mengatur bahwa Lingkup pengaturan Penyelenggaraan Pangan meliputi dimana pada undang-undang sebelumnya yaitu UndangUndang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 hal ini tidak 242
Iin Karita Sakharina
diatur sama sekali. Adapun Lingkup Penyelenggaraan Pangan meliputi :
perencanaan Pangan; Ketersediaan Pangan; keterjangkauan Pangan; konsumsi Pangan dan Gizi; Keamanan Pangan; label dan iklan Pangan; pengawasan; sistem informasi Pangan; penelitian dan pengembangan Pangan; kelembagaan Pangan; peran serta masyarakat; dan penyidikan.
Selain itu cakupan UU Nomor 18 Tahun 2012 tersebut juga meliputi lingkup penyelenggaraan pangan dan ketahanan pangan, struktur UU pangan, beberapa pengaturan penting dalam UU pangan, kewajiban daerah sesuai UU Nomor 18 tahun 2012, tindak lanjut UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, dan peran strategis daerah dalam ketahanan pangan. Kedua, khusus regulasi dibidang kesehatan. Regulasi mengenai pengaturan tentang kesehatan ini telah diubah dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992, yang dirasa sudah tidak dapat mengatur jaminan kesehatan warga masyarakat, menjadi Undang-Undang Republik IndoIin Karita Sakharina
243
nesia Nomor 36 Tahun 2009 yang diharapkan lebih mengedepankan kesehatan sebagai bagian hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara, perubahan dalam regulasi tersebut mengatur tentang Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan non-diskriminatif dan norma-norma agama, dan Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis yaitu terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009, dimana
Undang-Undang
sebelumnya yaitu UU RI Nomor 23 Tahun 1992, Pasal 3 hanya mengatur tentang pembangunan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Jika dilihat dari konsideran terbentuknya UndangUndang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 menggatikan peran dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
244
Iin Karita Sakharina
Tahun 1992, maka paling tidak ada 5 (lima) hal pokok yang dipertimbangkan, yakni : 1. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional; 3. Setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara; 4. Setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat; dan 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu dicabut dan diganti dengan UndangUndang tentang Kesehatan yang baru. Iin Karita Sakharina
245
Tidak bisa dipungkiri bahwa undang-undang kesehatan yang baru, sangat menjunjung tinggi hak-hak warganegara yang harus dipenuhi oleh negara, selain itu, hal ini juga dapat menandakan bahwa adanya kemauan negara dalam mewujudkan keterjangkauan atas akses kesehatan bagi semua warganya tanpa adanya diskriminasi dari sisi regulasi dengan mengubah undang-undang kesehatan yang lama, dimana undang-undang tersebut sudah tidak dapat memenuhi tuntutan hak kesehatan bagi warganya dimana diatur di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dari sisi regulasi itulah kemudian pemerintah dapat menjabarkan dan mengimplementasikan hal-hal yang dianggap ideal dalam memenuhi hak-hak warganya dibidang kesehatan. Walaupun dalam implementasi belum begitu terlihat secara signifikan, namun dengan adanya kebijakan-kebijakan tentang jaminan kesehatan yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia melalui instansi yang terkait (salah satunya dengan menjalankan program BPJS bagi semua lapisan masyarakat). Dilihat sisi regulasi inilah yang paling penting, karena regulasi ini yang dijadikan dasar hukum bagi negara dalam melaksanakan setiap kebijaksanaannya agar sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh undang-undang kesehatan. UndangUndang Kesehatan tahun 2009 ini pula yang dapat dijadikan 246
Iin Karita Sakharina
acuan bagi warganegara dalam menuntut hak-hak yang seharusnya ia dapatkan sesuai apa yang diatur dalam aturan tersebut. Sehingga negara tidak bisa sewenang-wenang dalam menjalankan setiap kebijakannya terhadap masyarakat dibidang kesehatan. Carut-marutnya program kesehatan gratis, pelaksanaan BPJS yang kurang optimal, kurangnya kerjasama beberapa rumah sakit swasta dengan pihak pemerintah, membuat terhambatnya pelaksanaan
Kovenan Internasional Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya dari sisi implementasi. Walaupun dalam hal kematian ibu melahirkan, komite HAM PBB untuk hak-hak ekosob masih memberikan catatan mengenai tingkat kejadiaan yang dianggap masih cukup tinggi, dimana komite masih meminta pemerintah untuk mengatasi soal disparitas ketersediaan layanan kesehatan bagi ibu melahirkan yang berkualitas untuk mengurangi ataupun mencegah kematian ibu melahirkan. Namun sebagai Negara Hukum, maka Indonesia dari sisi ini sudah mengupayakan terlaksananya pemenuhan hak atas akses kesehatan dan pemenuhan hak-hak kesehatan bagi warganya,sebagai bagian dari pelaksanaan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Ketiga, program strategis yang selama ini dijalankan oleh Badan Ketahanan Pangan Nasional di Indonesia. Berdasarkan kondisi Indonesia secara umum pasca ratifikasi Kovenan Iin Karita Sakharina
247
Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada tahun 2005 yang lalu, kondisi ketahanan pangan nasional tahun 20052009 cenderung semakin baik dan kondusif, walaupun kualitas konsumsi
pangan
masyarakat
berdasarkan
Pola
Pangan
Harapan (PPH) pada tahun 2009 mengalami penurunan. Kondisi ketahanan pangan yang cenderung semakin baik, ditunjukkan oleh beberapa indikator ketahanan pangan berikut:256 a. Beberapa produksi komoditas pangan penting mengalami pertumbuhan positif dari tahun 2005, dan khusus beras mulai tahun 2008 sudah mencapai swasembada; b. Harga-harga pangan lebih stabil, baik secara umum maupun pada saat menjelang hari-hari besar nasional pada saat Puasa, Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru; c. Pendapatan masyarakat meningkat, yang diukur dari nilai upah buruh tani dan upah pekerja informal di sektor industri; d. Peran serta masyarakat dan pemerintah daerah meningkat, yang ditunjukkan oleh semakin meningkatnya kreativitas dan dukungan pemerintah daerah dan masyarakat dalam pemantapan ketahanan pangan; e. Proporsi penduduk miskin dan rawan pangan semakin menurun. Peran serta Badan Ketahanan Pangan dalam mendorong pemantapan ketahanan pangan tersebut, dilakukan melalui 256
Revisi Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010-2014,
hlm. 1
248
Iin Karita Sakharina
pelaksanaan koordinasi perumusan kebijakan dan langkahlangkah implementasi pemantapan ketahanan pangan masyarakat, melalui pengembangan desa mandiri pangan, penanganan daerah rawan pangan, pemberdayaan lumbung pangan masyarakat, penguatan lembaga ekonomi pedesaan (LUEP), penguatan lembaga distribusi pangan masyarakat (LDPM), percepatan penganeka-ragaman/diversifikasi konsumsi pangan serta dukungan pemerintah daerah dalam penyediaan anggaran pembangunan serta berkembangnya peran kelembagaan ketahanan pangan yang mengelola kegiatan-kegiatan ketahanan pangan baik melalui dukungan APBN (dana Dekonsentrasi di Provinsi, dan Tugas Pembantuan di Provinsi dan Kabupaten/ Kota) maupun dukungan APBD semakin meningkat.257 Badan Ketahanan Pangan pada periode tahun 2005-2009 telah melaksanakan koordinasi dan sinergi kebijakan dan program ketersediaan pangan, meliputi: peningkatan kualitas sumberdaya aparat pusat dan daerah dalam menyiapkan bahan rumusan program dan kebijakan, menyajikan data dan informasi ketersediaan pangan sebagai bahan evaluasi dan penyusunan kebijakan, memantau ketersediaan pangan pada hari-hari besar nasional dan keagamaan, melakukan prognosa ketersediaan pangan pokok, serta mengkoordinasikan kegiatan 257
Ibid., hlm. 2 Iin Karita Sakharina
249
pengelolaan cadangan pangan. Selain itu, Badan Ketahanan Pangan pusat juga melaksanakan advokasi dan sosialisasi ke daerah dalam rangka peningkatan kualitas hasil analisis ketersediaan pangan, merumuskan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat terutama di daerah rawan pangan, dan memfasilitasi penyusunan Neraca Bahan Makanan provinsi dan kabupaten/kota, analisis pola distribusi produksi, serta perencanaan dan evaluasi ketersediaan pangan berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) dan Angka Kecukupan Gizi (AKG).258 B. Implementasi di Daerah. 1. Implementasi di Kabupaten Barru dan Bone Berdasarkan data dari masyarakat Desa Lompo Tengah (yang penulis jadikan sampel penelitian untuk wilayah Sulawesi Selatan), Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru dari hasil penyebaran kuisioner menunjukan hasil bahwa masyarakat di wilayah tersebut umumnya merasa tercukupi atas ketersediaan pangan dan akses pangan yang ada. Hal ini tidak mengherankan, karena Kabupaten Barru juga merupakan wilayah yang memiliki lahan pertanian yang cukup luas, selain itu juga pekerjaan mayoritas warga di wilayah ini adalah sebagai petani. Bantuan pemerintah terkait dengan program bantuan beras 258
250
Ibid., hlm. 6
Iin Karita Sakharina
miskin kepada warganya tidak begitu dibutuhkan oleh warga, oleh karena itu khusus kepada beberapa masyarakat yang Desa Lompo Tengah yang tergolong kurang mampu, pemerintah menyiapkan program-program unggulan, salah satu diantaranya adalah bantuan untuk memelihara sapi pemerintah. Menurut Jamaluddin : “warga Desa Lompo Tengah disini umumnya tercukupi masalah beras, oleh karena itu pemerintah setempat mensiasati program yang dirasa bermanfaat oleh warga dengan memberikan program bagi warga yang kurang mampu untuk memelihara sapi pemerintah, yang nantinya jika sapi tersebut sudah besar dan di jual maka hasil penjualannya dibagi dua (antara pemerintah dengan warga yang memelihara sapi pemerintah tersebut), bantuan tersebut sangat diminati warga di wilayah ini, karena sangat membantu perekonomian mereka yang tidak memiliki lahan persawahan dan tidak memiliki keterampilan yang mumpuni untuk bekerja di profesi lain”259 Program Pemerintah Kabupaten Barru ini tergolong sukses karena manfaatnya sangat dirasakan oleh warga Barru pada umumnya dan bagi warga masyarakat Desa Lompo Tengah pada khususnya. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya warga yang berminat ketika program pemerintah terkait Hasil wawancara dengan Bapak Jamaluddin (salah satu Staf di Kantor Desa Lompo Tengah, Kecamatan tanete Riaja, Kabupaten Barru). 259
Iin Karita Sakharina
251
dengan pemeliharaan sapi ini setiap kali mulai dicanangkan. Selain program tersebut, pemerintah juga memberikan bantuan Sembilan bahan pokok (sembako murah) kepada warga yang secara ekonomi tergolong tidak mampu, cara mendistribusikan agar program ini tepat sasaran, maka pemerintah melakukan penyebaran kupon ke rumah-rumah yang terdata kurang mampu melalui data yang dimiliki oleh Kantor Desa Lompo Tengah. Selain itu juga sosialisasi terhadap perlunya ketercukupan gizi serta akses pangan warga menjadi perhatian khusus yang terus dijalankan pemerintah setempat secara berkelanjutan, hal tersebut menjadikan program-program Pemerintah Kabupaten Barru khususnya yang terkait dengan ketersediaan dan ketercukupan pangan sangat di apresisasi oleh warga setempat. Sejalan dengan apa yang terjadi di Kabupaten Barru, di Kabupaten Bone, juga sebagai salah satu wilayah yang dijadikan sampel penelitian, tepatnya di Desa Unra, Kecamatan Awangbone. Di wilayah tersebut walaupun lahan pertanian tidak seluas dengan apa yang ada di Kabupaten Barru namun akses terhadap pangan warga relatif mudah, ini dikarenakan adanya program-program bantuan pangan, ketersediaan pangan baik yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bone maupun
252
Iin Karita Sakharina
Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan melalui Badan Ketahanan Pangan. Berdasarkan data dari masyarakat Desa Unra, Kecamatan Awangbone dari hasil penyebaran kuisioner menunjukan hasil bahwa masyarakat di wilayah tersebut umumnya merasa tercukupi atas ketersediaan pangan dan akses pangan yang ada. Selain adanya pasar murah, dan sembako murah, Pemerintah juga senantiasa memberikan bantuan beras miskin dan program bantuan langsung tunai kepada warga yang secara perekonomian tergolong tidak mampu. Menurut Muhammad Yusuf : “Koordinasi pemerintah kabupaten, aparat kecamatan, dan aparat desa berjalan dengan baik, atas dasar koordinasi yang baik itulah sehingga program-program pemerintah yang dijalankan selama ini merata di setiap desa, sehingga masyarakat pada umumnya merasakan setiap kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah Kabupaten Bone, beberapa diantaranya ialah pasar murah, penjualan sembako murah, bantuan beras miskin dan bantuan langsung tunai yang langsung diberikan kepada masyarakat desa sesuai dengan peruntukkan sebagaimana data yang tertera di kantor desa”.260 Namun dari pemaparan di atas, adalah perlu kiranya pemerintah setempat terus mengupayakan inovasi dari progHasil wawancara dengan Bapak Muhammad Yusuf (Kepala Desa Unra, Kecamatan Awangbone, Kabupaten Bone). 260
Iin Karita Sakharina
253
ram-program yang sudah ada dan berjalan saat ini, selain mempertahankan program yang dirasakan langsung dan dinilai positif oleh warga, pemerintah juga harus terus berupaya memonitoring setiap program bantuan kepada masyarakat, agar program-program tersebut dapat tepat sasaran bagi yang memang membutuhkan, dan juga agar program tersebut tidak disalahgunakan oleh oknum-oknum aparat pemerintahan yang tidak bertanggungjawab. 2. Implementasi di Propinsi Banten Perangkat daerah mempunyai kewajiban dalam penyiapan rencana kerja untuk jangka waktu lima tahunan, sebagaimana amanat dalam UU No. 32 Tahun 2004 pada Pasal 151 Ayat 1 bahwa : “Satuan Kerja Perangkat Daerah menyusun rencana strategis yang selanjutnya disebut Renstra SKPD memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsinya, berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan bersifat indikatif”. Sedangkan dalam UU No. 25 Tahun 2004 pada Pasal 1 Ayat 7 ditetapkan ketentuan umum mengenai “Renstra SKPD sebagai dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 5 (lima) tahun”.261 Data Dokumen Badan Ketahanan Pangan & Penyuluhan (BKPP) Propinsi Banten 261
254
Iin Karita Sakharina
Berdasarkan kerangka tersebut, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan sebagai salah satu SKPD di Propinsi Banten, sesuai tugas dan fungsinya untuk melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang ketahanan pangan. Rencana Strategis (Renstra) 2012-2017 Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Propinsi Banten bersama-sama instansi terkait lainnya mempunyai peran strategis dalam mendorong perwujudan ketahanan pangan daerah termasuk dalam mengurangi angka kemiskinan dan kerawanan pangan serta berjalannya tugas dan fungsi koordinasi penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan.262 Dalam
rangka
memelihara
kesinambungan
proses
pembangunan dan melanjutkan berbagai pencapaian pembangunan yang telah dilaksanakan serta sebagai upaya untuk mewujudkan kondisi yang diharapkan oleh Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Propinsi Banten pada masa mendatang maka diperlukan Renstra Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Propinsi Banten Tahun 2012-2017. Penyusunan Renstra Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Propinsi Banten Tahun 2012-2017 juga diharapkan mampu mendukung dan mewujudkan pencapaian pembangunan Propinsi Banten
262
Ibid. Iin Karita Sakharina
255
tahun 2007-2012 (sebagaimana yang tertuang dalam RPJMD Propinsi Banten Tahun 2007-2012). Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Propinsi Banten merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Banten Nomor 3 Tahun 2012. Tugas pokok Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Propinsi Banten melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang ketahanan pangan dan penyuluhan (Pasal 101 Perda Nomor 3 Tahun 2012). Bidang ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam pembangunan daerah karena : i. akses terhadap pangan dengan gizi yang cukup merupakan hak paling mendasar bagi manusia; ii. kualitas pangan dan gizi yang dikonsumsi merupakan unsur penting dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas; dan iii. ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama yang menopang ketahanan nasional yang berkelanjutan. Sedangkan peran strategis dari koordinasi penyuluhan adalah bahwa : (1) penyuluhan sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum merupakan hak asasi warga negara; (2) pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang berkelanjutan merupakan suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan 256
Iin Karita Sakharina
pangan, papan, dan bahan baku industri; memperluas lapangan kerja dan lapangan berusaha; meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di sekitar
kawasan
hutan;
mengentaskan
masyarakat
dari
kemiskinan khususnya di perdesaan; meningkatkan pendapatan nasional; serta menjaga kelestarian lingkungan; dan (3) untuk lebih meningkatkan peran sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga pelaku pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu berperan serta dalam melestarikan hutan dan lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Badan Ketahananan Pangan dan Penyuluhan Propinsi Banten menyiapkan dan menyusun Rencana Strategis sebagai acuan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi tugas dan fungsinya dalam jangka waktu lima tahunan, juga sebagai bentuk implementasi untuk melaksanakan amanat peraturan perundangan dan pelaksanaan visi dan misi Kepala Daerah Propinsi Banten untuk periode 2007-2012. Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Propinsi Iin Karita Sakharina
257
Banten Tahun 2012-2017 adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun yang memuat visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program, dan indikasi kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsinya serta berpedoman kepada RPJMD Propinsi Banten Tahun 20072012 dan bersifat indikatif. Kelurahan Rempoa (yang dijadikan salah satu sampel penelitian) merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Propinsi Banten dengan luas wilayah 219,50 Ha. Kelurahan Rempoa terdiri dari 12 RW, 72 RT, dan 7.185 Kepala Keluarga (KK). Tri Sulistyaningsih menjelaskan bahwa : “Kelurahan Rempoa merupakan salah satu kelurahan yang dijadikan percontohan bagi wilayah-wilayah di Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, ini dikarenakan persawahan yang ada di Keluarahan Rempoa masih mencukupi untuk menghidupi para warganya. Namun demikian, bantuan pemerintah tetap terus diberikan kepada warga di Kelurahan Rempoa khususnya bagi warga yang tergolong tidak mampu”.263 Setiap
tahunnya,
fungsi
lahan
pertanian
di
Kota
Tangerang Selatan terus menerus berkurang seiring perkembangan zaman. Sawah-sawah sudah banyak berubah menjadi Hasil Wawancara dengan Ibu Tri Sulistyaningsih (salah satu Staf di Kantor Kelurahan Rempoa, Kecamatan Ciputat Timur). 263
258
Iin Karita Sakharina
ruko, apartemen, dan sebagainya. Berdasarkan data tahun 2012, total luas sawah yang ada di Kota Tangerang Selatan tercatat ada 170 hektar. Jumlah tersebut terus berkurang hingga saat ini. Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan (Dadang Raharja) menyatakan bahwa "Tahun 2013 lalu, luasnya tinggal 150 hektar. Tahun ini sangat mungkin akan kembali berkurang sekian hektar. Tak menutup kemungkinan lama-lama akan hilang sama sekali". Berdasarkan data dari masyarakat Kelurahan Rempoa, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan dari hasil penyebaran kuisioner menunjukan hasil bahwa masyarakat di wilayah tersebut umumnya merasa tercukupi atas ketersediaan pangan dan akses pangan yang ada. Bantuan pemerintah yang secara berkala terus diberikan kepada beberapa masyarakat yang tergolong kurang mampu, menjadikan wilayah Kelurahan Rempoa tidak pernah diberitakan terjadi kasus busung lapar. Pemerintah Kota Tangerang Selatan terus berupaya melakukan inovasi-inovasi terkait dengan ketahanan pangan, akses pangan, serta keamanan pangan yang tersedia di wilayah Tangerang Selatan, salah satu upaya inovasi tersebut adalah dengan membuat program Neraca Bahan Makanan (NBM). Pemerintah Kota Tangerang Selatan melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) segera membuat neraca bahan Iin Karita Sakharina
259
makanan (NBM). Neraca ini dibuat untuk mengetahui sejauh mana
ketersediaan
dan
kebutuhan
pangan
bagi
warga
Tangerang Selatan. Kepala DPKP Kota Tangerang Selatan (Dadang Rahardja) mengatakan saat ini belum diketahui ada berapa jenis pangan yang
dikonsumsi
secara
reguler
oleh
masyarakat
Kota
Tangerang Selatan. Maka itu, dengan dibuatnya neraca bahan makanan itu bakal diketahui apa saja kebutuhan masyarakat, stok bahan yang dikonsumsi dan daerah penyuplainya. Menurutnya : “Melalui neraca bahan makanan ini, nanti akan diketahui kebutuhan pangan yang sudah terdata itu terpenuhi atau tidak. Nantinya, akan ada tim analisis yang mengecek. Kami juga melibatkan statistik (Badan Pusat Statistik), Litbang dan Bulog.”264 Dadang mengaku, tim analisis neraca bahan makanan sudah terbentuk melalui Dewan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan yang diketuai Walikota. Hasil analisis tim tersebut menyatakan bahwa hal itu menjadi embrio untuk dibahas dalam rapat koordinasi Badan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan. Dadang juga mengungkapkan bahwa “Kami juga melibatkan beberapa SKPD (Satuan Kerja Perangkat
264
260
Website resmi Kota Tangerang Selatan
Iin Karita Sakharina
Daerah) yang terkait, selain itu pegawai kecamatan dan kelurahan. Nantinya, mereka akan membantu menginformasikan kepada masyarakat,” Senada dengan hal tersebut, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan mengatakan neraca bahan makanan sangat penting bagi suatu daerah. Pasalnya, hal ini untuk mengetahui stok ketersediaan pangan di suatu daerah. “Sangat penting. Nanti akan diketahui, berapa yang dikonsumsi. Cukup atau tidak, kalau tidak cukup, ada langkah lanjutan,” menurutnya. Oleh karena itu disarankan agar analisis bahan makanan harus melingkupi semua bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat Kota Tangerang Selatan. Jangan sampai, bahan makanan yang tidak dikonsumsi dimasukan juga dalam neraca bahan makanan, sebagai contoh beras, berapa ton yang dibutuhkan untuk 1,4 juta masyarakat Tangerang Selatan. Cukup atau tidak. Jadi peran NBM ini nantinya mencari sentra produksi padi, jika Bulog tidak sanggup memenuhi stok persediaan beras bagi masyarakat.265 Oleh karena itu program-program Pemerintah Kabupaten Tangerang Selatan terkait dengan pangan warga dirasa efektif oleh masyarakat Tangerang Selatan (umumnya) dan masyarakat di wilayah Rempoa (khususnya), hal tersebut berbanding lurus (sejalan) dengan angka kemiskinan di Kota Tangerang Selatan 265
Ibid. Iin Karita Sakharina
261
yang terus menurun setiap tahunnya. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan diperoleh data dengan persentase sejumlah 1,67% penduduk miskin di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2010, namun angka ini turun menjadi 1,50% di tahun selanjutnya (2011), dan terus mengalami penurunan hinga berjumlah 1,33% persentase jumlah penduduk miskin di Kota Tangerang Selatan. Hal ini tentu menjadi kegembiraan tersendiri bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan menjadi penyemangat dalam menjalankan roda pemerintahan selanjutnya. Lain halnya dengan yang terjadi di wilayah Propinsi Banten lainnya (yang penulis juga jadikan salah satu sampel penelitian), yakni Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidmar, Kabupaten Rangkas. Wilayah tersebut merupakan wilayah yang sangat kekurangan beras. Sebenarnya pekerjaan sebagian besar masyarakat Desa Kanekes adalah berkebun, namun lahan pertanian yang kalah luas dengan lahan perkebunan menyebabkan desa ini kekurangan bahan makanan pokok seperti beras. Namun untuk jenis pangan lainnya umumnya tercukupi karena masyarakat Desa Kanekes lebih banyak bekerja di perkebunan, baik itu kebun jagung, kacang-kacangan, dan sayur-mayur.
262
Iin Karita Sakharina
Berdasarkan
data
dari
masyarakat
Desa
Kanekes,
Kecamatan Leuwidmar, Kabupaten Rangkas, dari hasil penyebaran kuisioner menunjukan hasil bahwa masyarakat di wilayah tersebut umumnya merasa sangat kekurangan atas ketersediaan pangan (utamanya beras), oleh karena itu, masyarakat Desa Kanekes sangat bergantung pada bantuan Pemerintah Kabupaten Rangkas. Jaro Daenah menjelaskan bahwa : “Masyarakat Desa Kanekes umumnya berkebun, dan hasil perkebunannya mereka jual ke pasar untuk membeli beras dan ikan, karena di wilayah ini sangat kurang atas ketersediaan beras yang ada, ini dikarenakan susahnya alih fungsi lahan perkebunan menjadi lahan pertanian di wilayah ini, selain susahnya pengairan, letak geografis Desa Kanekes yang berupa perbukitan juga menyebabkan kurangnya lahan pertanian di wilayah ini”.266 Masyarakat Desa Kanekes sangat bergantung pada program
bantuan
beras
miskin
yang
dicanagkan
oleh
Pemerintah Kabupaten Rangkas. Oleh karena itu peran pemerintah setempat sangat dibutuhkan oleh warga Kanekes. Namun tidak hanya program bantuan beras miskin saja yang dicanagkan oleh Pemerintah Kabupaten Rangkas, bantuan Sembilan bahan pokok (sembako) murah dan survey di beberapa pasar yang ada di wilayah ini guna memastikan Hasil Wawancara dengan Bapak Jaro Daenah (Kepala Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidmar, Kabupaten Rangkas). 266
Iin Karita Sakharina
263
ketersediaan pangan pokok menjadi program utama Pemerintah Kabupaten Rangkas. Akses terhadap pangan juga tetap dijaga oleh Pemerintah Kabupaten Rangkas, hal ini dilakukan dengan cara terus mendatangi tempat-tempat berkumpul warga (saung masyarakat) untuk melakukan sosialisasi, guna masyarakat Rangkas pada umumnya dan masyarakat Kanekes pada khususnya mengetahui tentang pentingnya makanan sehat dan dibutuhkannya gizi yang cukup agar kelangsungan hidup masyarakat dapat berjalan dengan baik. Dilihat dari pemaparan data-data imlementasi pemenuhan hak atas pangan, baik itu di Propinsi Sulawesi Selatan maupun di Propinsi Banten, maka jika di sinkronkan, maka ada korelasi yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dengan aparat kecamatan dan aparat desa (sebagai manifestasi pemerintah di tingkat yang paling bawah), sehingga program-program, baik itu yang diamanatkan di dalam undang-undang maupun yang tercermin dari kebijakan-kebijakan nasional dan daerah yang dijalankan selama ini dapat terlaksana dengan cukup baik, walaupun masih terdapat beberapa kekurangan. Namun dengan seiring dengan telah diratifikasinya Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya berarti ini 264
Iin Karita Sakharina
menunjukkan adanya keseriusan dan kemauan pemerintah dalam mewujudkan pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia (salah satunya di sektor pangan). Kondisi umum mengenai ketahanan pangan yang ada pasca ratifikasi menunjukkan tren yang baik, berdasarkan laporan badan ketahanan pangan yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, sehingga ini menandakan bahwa terjadi kemajuan-kemajuan penting di sektor pangan, khususnya dibidang ketahanan pangan dan pemenuhan hak atas pangan bagi warganegara Indonesia. dikirimnya laporan Indonesia kepada Dewan Ekonomi, Sosial, dan Budaya, menunjukkan juga adanya komitmen Indonesia terhadap pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang diatur dalam kovenan. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan dalam bab V ini, maka dapat ditarik 2 (dua) kesimpulan sebagai berikut : 1. Kemajuan implementasi pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya pasca ratifikasi kovenan ekosob, maka kemajuan yang dialami oleh Indonesia dari tahun 2005 hingga saat ini, terdapat 3 (tiga) kemajuan penting. Pertama, dari sisi regulasi tentang pangan, dengan lahirnya Undang-Undang Pangan yang baru yaitu Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2012, menunjukkan bahwa adanya kemauan negara dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan bagi warganya. Iin Karita Sakharina
265
Kedua, lahirnya Undang-Undang Kesehatan yang baru yaitu Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2009. Dimana undang-undang kesehatan yang baru ini, sangat menjunjung tinggi hak-hak warganegara yang harus dipenuhi oleh negara, khususnya dalam mewujudkan keterjangkauan atas akses kesehatan bagi semua warganya tanpa adanya diskriminasi. Ketiga, program strategis yang selama ini dijalankan oleh Badan Ketahanan Pangan Nasional. Berdasarkan kondisi Indonesia secara umum pasca ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada tahun 2005 yang lalu, kondisi ketahanan pangan nasional 2005-2009 cenderung semakin baik dan kondusif. Walaupun di sektor-sektor lain masih terdapat kekurangan. 2. Imlementasi pemenuhan hak atas pangan yang layak di Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Banten, ada korelasi yang baik antara pemerintah daerah propinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dengan aparat kecamatan dan aparat desa, sehingga programprogram, baik itu yang diamanatkan di dalam undang-undang maupun yang tercermin dari kebijaksanaan-kebijaksanaan daerah yang dijalankan selama ini dapat terlaksana dengan cukup baik, walaupun masih terdapat beberapa kekurangan. Dari 2 (dua) kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa rekomendasi sebagai berikut :
266
Iin Karita Sakharina
1.
2.
Agar Pemerintah Pusat dapat mengontrol kebijaksanaan-kebijaksanaan yang selama ini telah dijalankan sesuai amanat Kovenan Internasional tentang HakHak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, agar kebijaksanaan tersebut dapat tepat sasaran. Agar pemerintah daerah melalui badan ketahanan pangan daerah dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai yang diamanatkan oleh UndangUndang Pangan dan Peraturan Daerah yang terkait dengan pembentukan badan ketahanan pangan daerah.
Iin Karita Sakharina
267
268
Iin Karita Sakharina
BAB VI PENDEKATAN APPROPRIATE PEMERINTAH DALAM MEMENUHI KEWAJIBAN BAGI WARGA
Dalam konsep Welfare State (Negara Kesejahteraan) yang berkembang saat ini terdapat dua model dari sistem kesejahteraan yaitu model residu dan model institusi, dimana model institusional ini adalah berasosiasi dengan fungsi distributif dari negara kesejahteraan, dalam sistem ini, negara berperan untuk membagi-bagi atau mendistribusikan sumber daya tersebut kepada mereka yang memperoleh keuntungan yang paling sedikit dari mekanisme pembagian kesejahteraan yang berpusat pada sistem ekonomi pasar. Keterlibatan negara dalam hal ini Indonesia dalam konsep Welfare State adalah bagaimana negara melibatkan diri dalam memenuhi kewajibannya atas hak-hak ekosob warga negaranya khususnya dibidang pangan, dimana justifikasi dari peratifikasian instrumen hukum internasional ke dalam hukum nasional yang mengatur mengenai hak atas kecukupan pangan merupakan manifestasi dari perwujudan negara kesejahteraan, yang mana dalam hal ini keutamaan dari
Iin Karita Sakharina
269
konsep negara kesejahteraan adalah kewajiban negara untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Dalam konteks pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak bagi warga negaranya, maka pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagaian wewenangnya kepada pemerintah daerah dan pihak swasta. Selain itu untuk melihat adanya pencapaian atas hasil yang telah dicapai oleh negara dalam hal pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak maka penulis menggunakan indikator hasil yaitu dengan menangkap pencapaian, individu dan kolektif, yang menggambarkan status perwujudan HAM yang diberikan.Hal ini tidak hanya sekedar langkah-langkah langsung untuk mewujudkan suatu HAM, namun hal tersebut juga mencerminkan pentingnya indikator dalam hal mengevaluasi penikmatan hak teserbut. Hal ini dikarenakan indikator hasil mengumpulkan dampak berbagai proses-proses dasar dalam jangka waktu tertentu, dimana suatu indikator hasil seringkali merupakan indikator yang bergerak lambat, kurang sensitif dalam menggambarkan suatu perubahan ketimbang indikator proses.267 Untuk melihat adanya capaian yang dihasilkan pemerintah dalam hal pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak berdasarkan indikator hasil yang ditetapkan oleh Human Rights indicators in Development, maka 267
270
Komnas Ham (2012), Op.Cit.
Iin Karita Sakharina
pertama-tama kita melihat dari adanya pola hubungan yang terbentuk antara pemerintah dan masyarakatnya, bagaimana bentuk hubungan yang ada antara pemerintah dan masyarakat dalam kaitannya dengan pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak, kemudian rencana dan program yang dilakukan pemerintah berkenaan dengan pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak dan juga bentuk pemenuhan seperti apa yang telah dilakukan oleh pemerintah , sebagaimana yang akan diuraikan dalam pemaparan dibawah ini. A. Hubungan Pemerintah dengan Masyarakat Hubungan antara pemerintah dengan masyarakat secara konkret dapat dilihat dalam proses pembuatan kebijaksanaan pemerintah sebab dalam proses ini, kedua belah pihak dapat saling bertemu serta mendiskusikandan memutuskan tindakan yang harus diambil untuk kebaikan bersama. Untuk sebagian besar masyarakat, pengaruh terhadap formulasi dan pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah berbentuk pengaruh yang tidak langsung, yaitu melalui perwakilan. Ketidaklangsungan hubungan antarawarga dengan pemerintah dapat disebut sebagai
Iin Karita Sakharina
271
jarak yang merupakanciri khas pokok dari suatu sistem politik yang muncul pada berbagaitahap dari proses kebijaksanaan.268 Pengaruh dari kebanyakan warga terhadap kebijaksanaan pemerintah bersifat tidak langsung, sedangkan jalan dari pembentukan keputusan politik kepada warga perseorangan melalui jalan hirarki dan birokrasi pemerintah dapat digambarkan sebagai suatu proses yang panjang dan memakan waktu lama. Dalam bidang pemerintah, masalah pelayanan menjadi sangat penting karena menyangkut kepentingan umum bahkan kepentingan rakyat secara keseluruhan karena peranan pelayanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah melibatkan seluruh aparat pegawai negeri dalam rangka peningkatan kesadaran bernegara dan bermasyarakat, sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi suatu hak, yaitu hak atas pelayanan (termasuk diantaranya hak masyarakat untuk mendapatkan pangan yang layak dan tercukupi).269 Dalam pelaksanaan pelayanan umum terdapat beberapa faktor pendukung yang penting, diantaranya faktor kesadaran para pejabat serta petugas yang terkait dalam pelayanan umum, faktor aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan, faktor Anonim, Hubungan Pemerintah dan Masyarakat http://massofa. wordpress.com/2008/03/04/hubungan-pemerintah-dan-masyarakat/, Diakses Pada Hari Jumat, 7 Oktober 2011, Pukul: 19:00. 268
269
272
Ibid.
Iin Karita Sakharina
organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan, faktor pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum, faktor keterampilan petugas, dan faktor sarana dalam pelaksanaan tugas pelayanan. Keenam faktor itu masing-masing mempunyai peranan yang berbeda tapi saling berpengaruh dan secara bersama-sama akan mewujudkan pelaksanaan pelayanan secara baik, berupa pelayanan verbal, pelayanan tulisan atau pelayanan dalam bentuk gerakan/tindakan dengan atau tanpa peralatan.270 Pentingnya peran aparat birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan menunjang keberhasilan pembangunan telah mendorong berbagai upaya ke arah langkah penyempurnaan. Berkaitan dengan masalah ini, birokrasi dalam melaksanakan perannya menghadapi tugas ganda yakni di satu pihak birokrasi harus mampu melakukan kiat-kiat strategis dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat (outward looking), di lain pihak birokrasi juga harus mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam lingkungannya (inward looking). 271
270
Ibid.
271
Ibid. Iin Karita Sakharina
273
B. Rencana Pemerintah Hak atas pangan (right to food) merupakan sesuatu yang sangat penting bagi perkembangan suatu negara. Hak atas pangan dapat dimaknai sebagai hak bagi tiap orang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat, wilayah atau negara untuk mendapatkan kecukupan makanan yang dibutuhkan, bagi keperluan menjalankan aktivitas hidupnya dalam batasbatas yang memenuhi ukuran kesehatan. Makanan yang dibutuhkan bagi masyarakat harus dapat dipenuhi dan makanan yang dimaksud merupakan makanan yang aman dan sehat. Oleh karena itu, maka diperlukan suatu rencana program agar makanan (aman dan sehat) yang dibutuhkan bagi masyarakat dapat dipenuhi. seperti rencana program yang akan diuraikan, sebagai berikut : B.1 Rencana Program Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan Rencana program Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan yaitu : 1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas ketersediaan pangan di Sulawesi Selatan; 2. Meningkatkan kualitas distribusi dan akses masyarakat Sulsel terhadap pangan; 3. Meningkatkan kualitas pemanfaatan pangan oleh masyarakat Sulsel dan menjamin setiap individu 274
Iin Karita Sakharina
memperoleh asupan zat gizi dalam jumlah dan keseimbangan yang cukup serta aman; 4. Meningkatkan kapasitas lembaga dan kualitas koordinasi antar lembaga/stakeholder. Pendekatan yang digunakan untuk melihat apakah suatu kelompok masyarakat sudah mampu mencukupi pangannya adalah pendekatan hak (right-based) berarti bahwa pemerintah wajib untuk menghormati, melindungi dan memenuhi atau memfasilitasi dan menyediakan pangan yang cukup. Pendekatan right-based mengandung arti/makna sebagai berikut : 1) Menghormati berarti pemerintah tidak boleh menghilangkan akses masyarakat terhadap pangan yang cukup. 2) Melindungi berarti bahwa pemerintah harus melindungi masyarakat dari kehilangan akses. 3) Pada masyarakat yang tidak tercukupi kebutuhan pangannya, pemerintah secara proaktif harus menciptakan lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk dapat mandiri, apabila masyarakat belum mampu malakukannya, maka pemerintah harus menjamin ketersediaan pangannya. Strategi untuk mewujudkan ketahanan pangan akan di laksanakan melalui strategi jalur ganda (twin track strategy) yaitu:
Iin Karita Sakharina
275
1) Membangun ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan yang menyediakan lapangan kerja dan pendapatan; dan 2) Memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui pemberian bantuan langsung agar tidak terpuruk, serta pemberdayaan agar mereka semakin mampu mewujudkan ketahanan pangannya secara mandiri. Kedua strategi tersebut dijalankan dengan menggerakkan seluruh komponen bangsa yaitu pemerintah, masyarakat termasuk LSM, organisasi profesi, organisasi massa, koperasi, organisasi sosial serta pelaku usaha untuk melaksanakan kewajiban sosialnya serta membantu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat miskin, rawan pangan dan gizi, golongan usia lanjut dan cacat ganda. Sementara itu, Rencana Program Badan Ketahanan Pangan Provinsi Kalimantan Barat. Kesinambungan pangan adalah pemenuhan hak atas pangan dari ketersediaan, aksesibilitas yang berlangsung terus-menerus yang dalam jangka panjang dapat terpenuhi. Beberapa program yang dibuat oleh Badan Ketahanan Pangan Provinsi Kalimantan Barat dalam mengupayakan program-program ketahanan pangan yang berbasis pada kemandirian pangan, direncanakan dalam bentuk:
276
Iin Karita Sakharina
1. Kebijaksanaan keanekaragaman pangan, dengan upaya sosialisasi kepada masyarakat mengenai keanekaragaman pangan, yaitu dengan mempopulerkan pangan non beras dan non gandum. Selain itu juga dibuat lomba cipta membuat panganan non beras dan non gandum; 2. Kebijaksanaan sosialisasi pemanfaatan pekarangan rumah untuk ditanami tanaman pangan yang dapat dikonsumsi oleh keluarga (berbasis pada kebutuhan keluarga, tidak untuk diperdagangkan). Akan dilakukan bantuan benih, tenaga penyuluh; 3. Kebijaksanaan untuk menggalakan kembali keberadaan lumbung desa, mengingat letak geografis antar wilayah di Kalimantan Barat yang berjauhan dan kondisi infrastruktur penghubung (jalan, jembatan) yang kurang baik. Untuk itu dengan ketersediaan lumbung desa, setiap desa diharapkan memiliki ketahanan pangan pada saat terjadi kondisi yang tidak diinginkan (bencana, paceklik, dan lain sebagainya).272 Dalam hal melaksanakan kewajibannya terhadap pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak, maka baik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat sama- sama membuat rencana program kerja melalui kantor Badan Ketahanan Pangan masing-masing provinsi dengan tujuan agar makanan yang sehat, dalam hal ini tercukupi standar gizi yang telah ditentukan dan aman sesuai 272
Lihat Laporan Komnas HAM, Op. Cit., hlm. 45 Iin Karita Sakharina
277
yang dengan kebutuhan warga masyarakat dapat dipenuhi. Terdapat perbedaan diantara kedua provinsi tersebut dalam menyusun rencana program dalam pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak. Jika Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan lebih menekankan pada peningkatan kualitas dan kuantitas dalam hal ketersediaan pangan, distribusi dan pemanfaatan pangan dan adanya hubungan antar lembaga terkait sementara Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menekankan pada adanya kebijaksanaan diversifikasi pangan serta kegiatan untuk memanfaatkan pekarangan rumah dengan tanaman yang dapat dikonsumsi oleh keluarga, serta kebijak-sanaan untuk menggalakkan kembali keberadaan lumbung desa. C. Program Pemerintah Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 45.751, 91 km², penggunaan lahan dalam jumlah yang terbesar adalah hutan negara yang luasnya mencapai 28,45% dari total wilayah atau mencapai 13.014,56 km², kemudian lahan sawah yang secara keseluruhan luasnya mencapai 5.983,89 km² atau 13,08% dari total luas lahan di Provinsi Sulawesi Selatan yang terdiri dari lahan sawah seluas 5.983,89 km² dan lahan bukan sawah seluas 39.768,91 km². Penggunaan lahan lain yang cukup signifikan adalah kebun/tegalan yang luasnya mencapai 12,10% 278
Iin Karita Sakharina
dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan secara keseluruhan yaitu seluas 5.534,24 km². Penggunaan lahan terendah yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan adalah kolam/empang yang hanya sebesar 145,79 km² (0,32%) dan rawa seluas 194,12 km² (0,42%).273 Penggunaan lahan sebagai hutan negara terluas terdapat di Kabupaten Luwu Utara yang mencapai 3.732,79 km² atau 28,68% dari total luas hutan negara yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan. Selain Kabupaten Luwu Utara, daerah yang memiliki hutan negara yang relatif luas adalah Kabupaten Luwu Timur 2.311,25 km² atau 17,75% dari total luas hutan negara dan Kabupaten Bone yang memiliki hutan seluas 1.489,71 km² atau 11,45% dari total luas hutan negara di Provinsi Sulawesi Selatan. Terdapat dua kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang tidak memiliki hutan negara yaitu Kota Makassar dan Kabupaten Takalar.274 Penggunaan lahan sebagai sawah terbesar terdapat di Kabupaten Bone dan Kabupaten Wajo. Luas lahan sawah di Kabupaten Bone mencapai 983,46 km² atau 16,44% dari total luas sawah sedangkan luas lahan sawah di Kabupaten Wajo
Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Rencana Program Jangka Menengah Daerah, (Makassar: Tahun Anggaran 2012), hlm. 1 273
274
Ibid. Iin Karita Sakharina
279
mencapai 861,42 km² atau 14,40% dari total luas sawah di Provinsi Sulawesi Selatan. Dari keseluruhan luas sawah di kedua kabupaten tersebut, sebagian besar berupa sawah tadah hujan yang luasnya mencapai 641,95 km² di Kabupaten Bone dan 657,80 km² di Kabupaten Wajo. Penggunaan lahan sebagai sawah yang menggunakan irigasi teknis terbesar terdapat di Kabupaten
Pinrang
dan
Kabupaten
Sidenreng
Rappang.
Penggunaan lahan sawah irigasi mencapai 375,75 km² di Kabupaten Pinrang dan 298,90 km² di Kabupaten Sidenreng Ranppang. Penggunaan lahan sawah terendah terdapat di Kota Parepare yang lahan sawahnya haya mencapai 9,33 km². Selain Kota Parepare, daerah yang memiliki lahan sawah yang relatif sedikit adalah Kabupaten Selayar, Kota Palopo, dan Kota Makassar. Luas areal sawah di ketiga wilayah tersebut masingmasing 26,18 km² di Kabupaten Selayar, 29,84 km² di Kota Palopo, dan 30,33 km² di Kota Makassar.275 Selengkapnya akan diuraikan pada tabel di bawah ini :
275
280
Ibid.
Iin Karita Sakharina
Tabel 9 Penggunaan Lahan di Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2005 No. Kabupaten / Kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Parepare
Lahan Sawah 26,18 240,56 72,53 168,98 163,14 343,68 138,36 257,21 161,67 134,16 983,46 250,75 861,42 469,85 466,15 88,19 362,51 271,26 247,82 206,51 30,33 9,33
Lahan Bukan Sawah 877,17 914,11 323,30 580,81 403,37 1.539,65 681,60 1.361,94 950,62 1.040,55 3.575,54 1.249,25 1.644,77 1.413,40 1.495,62 1.697,82 2.637,74 2.934,51 7.254,76 6.738,37 145,44 90,00
Jumlah
903,35 1.154,67 395,83 749,79 566,51 1.883,33 819,96 1.619,15 1.112,29 1.174,71 4.559,00 1,500,00 2.506,19 1.883,25 1.961,77 1.786,01 3.000,25 3.205,77 7.502,58 6.944,88 175,77 99,33
Iin Karita Sakharina
281
23
Palopo 29,84 217,68 247,52 Jumlah 5.983,89 37.768,02 45.751,91 Sumber : BPS Sulawesi Selatan 2006 & BPS KabupatenKabupaten di Sulawesi Selatan (dalam Buku Rencana Strategik Badan Ketahanan Pangan Daerah Sulawesi Selatan Tahun 2008 -2013). Tabel diatas menunjukkan penggunaan lahan baik lahan yang berupa sawah dan juga lahan yang bukan merupakan sawah di 23 ( dua puluh tiga) kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan, pada tahun 2006 dengan merujuk pada data yang dikeluarkan oleh BPS, Baik BPS Sulawesi Selatan, maupun BPS pada Kabupaten-Kabupaten yang ada di Sulwesi Selatan. Sulawesi selatan sebagai salah satu daerah sektor pertanian yang cukup luas dan selama ini sangat banyak potensi sumber daya alamnya tentunya dikenal sebagai daerah yang sangat mengandalkan sektor pertaniannya dalam pembangunan dan dari sektor ini pulalah Sulawesi Selatan dikenal sebagai daerah pertanian selain Kalimantan dan Jawa. hal inilah yang kemudian menjadikan pertimbangan pemerintah untuk selalu menjaga ketahanan pangan di Sulawesi Selatan.276
Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 23, Nomor 1, Juni 2005, hlm. 5 276
282
Iin Karita Sakharina
Tantangan besar yang dihadapi saat ini khususnya negara-negara sedang berkembang adalah persoalan kekurangan pangan dan kerusakan lingkungan hidup. Kekurangan pangan bukan hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi manusia yang tidak seimbang sebagaimana teori Malthus tentang kependudukan “Manusia untuk hidup memerlukan bahan makanan, sedangkan laju pertumbuhan makanan jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk”. tetapi persoalan degradasi lahan dan hutan yang berdampak pada menurun dan terbatasnya produksi pangan. Sektor pertanian sebagai salah satu sektor andalan penghasil devisa negara mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional secara keseluruhan. Salah satu manfaat yang diharapkan dapat diberikan dari proses pembangunan pertanian adalah tersedianya kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk Sulawesi Selatan pada umumnya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun.277 Masalah utama dalam menghadapi globalisasi berkaitan dengan tantangan terbesar bagi negara dengan lebih 200 juta jiwa adalah masalah pangan. Sejak pembangunan ekonomi dicanangkan awal orde baru (orba) hingga pasca orba hari ini, 277
Ibid. Iin Karita Sakharina
283
masalah pangan ternyata masih membayang-bayangi program di sektor pertanian. dengan jumlah penduduk 205 juta kita memerlukan beras paling tidak 30 juta ton per tahun,jumlah yang luar biasa besarnya, namun bukan tidak mungkin dipenuhi sendiri. perkuatan basis penyediaan pangan dari dalam negeri sendiri merupakan agenda utama menegakkan kemandirian.278 Untuk itu menyongsong era globalisasi Provinsi Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai lumbung pangan nasional sangat perlu mengembangkan potensi agribisnisnya termasuk komoditi beras. meskipun dilihat dari proporsinya persawahan Sulawesi Selatan hanya 10% dari total wilayah seluas 6.248.254 ha atau sekitar 645.381 ha namun mampu menghasilkan gabah-rata-rata sebanyak 4,6 juta ton atau sekitar 2,5 juta ton setahun. karena untuk kebutuhan 8.162.816 jiwa penduduknya cukup dipenuhi sekitar 1,08 juta ton beras, maka setiap tahunnya Provinsi Sulawesi Selatan ini mengalami surplus beras sekitar 1,42 juta ton.279 Sebagai salah satu lumbung pangan nasional, Sulawesi Selatan mempunyai potensi untuk pengembangan pangan lokal yang ditunjang oleh iklim dan agroekosistem yang memadai. Disisi lain, banyak bahan pangan alternatif di daerah yang
284
278
Ibid.
279
Ibid.
Iin Karita Sakharina
belum mendapatkan sentuhan teknologi, baik teknologi budidaya, maupun teknologi pengolahan pangan. Terkait hal ini, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sepakat untuk bekerjasama dalam mewujudkan teknologi budidaya dan pengolahan pangan.280 Bicara mengenai ketahanan pangan tidak hanya mencakup ketersediaan pangan saja, yang penting adalah kemampuan untuk mengakses (membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Oleh sebab itu, diperlukannya diversifikasi pola konsumsi pangan untuk meminimalisir ketergantungan pangan terhadap produk tertentu. Penganekaragaman konsumsi pangan merupakan salah satu langkah didalam meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga dan nasional. Proses pengembangan konsumsi pangan perlu diarahkan agar kita tidak tergantung kepada satu jenis pangan saja, tetapi memanfaatkan bermacam-macam bahan pangan. Banyak bahan pangan lokal di Sulawesi Selatan yang dapat dijadikan pangan alternatif, antara lain seperti sukun, sagu, ubi jalar, ubi kayu, dan talas.281
280
BPPT. Op.Cit.
281
Ibid. Iin Karita Sakharina
285
Penandatangan kerjasama yang dilakukan BPPT ini pun sangat penting untuk menunjang kemandirian pangan di Sulawesi Selatan, dalam menunjang kemandirian pangan di Sulawesi Selatan dalam upaya mendukung ketahanan pangan nasional. Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) ini didasari dari program kerjasama antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan BPPT yang telah berjalan sebelumnya. Kerjasama ini adalah dalam rangka pembangunan pertanian terpadu yang ramah lingkungan, yang berfokus pada pengolahan limbah pertanian yang ramah lingkungan sehingga menjadi hal yang bermanfaat bagi sistem pertanian terpadu.282 Pengembangan pangan lokal seperti sukun di Kabupaten Bone merupakan langkah awal kerjasama antara BPPT dengan Sulawesi Selatan, kedepan nanti diharapkan bisa berlanjut dengan perekayasaan teknologi lain dan dikerjasamakan dengan kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan. Selain di bidang TIK, BPPT telah banyak menghasilkan perekayasaan lainnya, sebut saja pengembangan pupuk organik dan bio fertilizer, teknologi listrik arus laut, pembangkit listrik tenaga surya, biofuel, biodiesel, pengembangan obat herbal, dan berbagai bidang lainnya. Banyak potensi dan kerjasama yang bisa di laksanakan. Sebagai tindak lanjut dari MoU ini diharapkan diadakan sebuah 282
286
Ibid.
Iin Karita Sakharina
pertemuan untuk membahas kerjasama lainnya yang mungkin bisa dilakukan, dan semoga MoU ini bisa segera ditindaklanjuti dengan kegiatan nyata.283 Namun satu hal yang menggembirakan bagi ketahanan pangan di Sulawesi Selatan yakni Badan Ketahanan Pangan Sulawesi Selatan memperoleh penghargaan Adi Karya Pangan Nusantara. Penghargaan tertinggi dalam bidang pangan ini diberikan pada tanggal 6 Desember 2011 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.284 Kepala Badan Ketahanan Pangan Sulawesi Selatan Asri Pananrang mengungkapkan "Penghargaan ini diberikan kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam prestasinya yang dianggap
mampu
mempertahankan
ketersediaan
pangan
nasional". Selain itu Sulawesi Selatan dianggap mampu mempertahankan ketersediaan pangan selama 3 tahun terakhir. "Sejak 2009 hingga 2010, Sulawesi Selatan berhasil meningkatkan produksi pangan dari 3 sektor yang menjadi penilaian dalam
283
Ibid.
Harian Tempo On Line, Sulawesi Selatan Raih Penghargaan Tertinggi Bidang Pangan (http://www.tempo.co/read/news/2011/12/04/090369823/ Sulawesi-Selatan-Raih-Penghargaan-Tertinggi-Bidang-Pangan). Diakses pada hari Selasa, 18 September 2012. 284
Iin Karita Sakharina
287
pemberian penghargaan ini, yakni pertanian, peternakan, dan perikanan.285 Sulawesi Selatan selama 3 tahun terakhir selalu mengalami peningkatan produksi beras. Tahun 2010, Sul-Sel mengalami over stok produksi sebesar 2 juta ton. kestabilan pangan di Sulawesi Selatan juga didukung pengembangan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Sejauh ini, jumlah Gapoktan di Sulawesi Selatan mencapai 58 unit dan setiap Gapoktan memiliki lumbung padi dalam bentuk gudang penyimpanan. Pengadaan
gudang
ini
untuk
mencegah
ketergantungan
terhadap tengkulak. Sejauh ini, jumlah lumbung yang ada di Sulawesi Selatan mencapai 106 unit yang tersebar di 106 desa, setiap desa memiliki 1 lumbung.286 Ada 3 jenis pangan yang menjadi kriteria penilaian, yakni beras, jagung, dan kedelai. Sulawesi Selatan juga dianggap konsisten dalam hal penganekaragaman konsumsi pangan. Selain itu, masalah pendistribusian pangan di Sulawesi Selatan juga dinilai berhasil. Kalaupun ada kendala distribusi, kadang kala hanya disebabkan oleh cuaca. Sedangkan dari segi skor pola pangan harapan (PPH), secara nasional, Sulawesi Selatan menempati urutan pertama dengan skor 84,4, dari skor tertinggi
288
285
Ibid.
286
Ibid.
Iin Karita Sakharina
100. Angka ini mengalami perbaikan dibandingkan tahun lalu. Selain produktivitas pangan, Sulawesi Selatan juga dianggap sebagai pelopor inovasi teknologi pertanian.287 Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu Provinsi penyangga pangan di Indonesia dan mensuplai kebutuhan beras untuk konsumsi Timur Indonesia. Setiap tahun Sulawesi Selatan mengantar pulaukan beras di Provinsi lain seperti Kalimantan Timur, NTT, Maluku, Papua dan Pulau Jawa. Situasi ketersediaan pangan menggambarkan apakah produksi pangan yang dihasilkan mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduk Sulawesi Selatan. Secara umum produksi beberapa komunitas pangan Tahun 2010 pertumbuhan produksi pangan, sumber pangan nabati mengalami peningkatan.288 Hasil analisis ketersediaan pangan Tahun 2010 menunjukkan bahwa beras dengan tingkat kebutuhan konsumsi sebesar 109,7 kg/kapita/tahun atau 881,415 ton, dapat dicapai surplus sebesar 1.582.035 ton atau mencapai 1,88 persen bila dibanding tahun 2009 yang mencapai 1.552.708 ton. Daerah yang memberikan kontribusi cukup besar adalah daerah sentra produksi seperti Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, dan Pinrang. 287
Ibid.
Badan Ketahanan Pangan Daerah, Laporan Evaluasi Program / Kegiatan Ketahanan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011, (Makassar: Tahun Anggaran 2012), hlm. 1 288
Iin Karita Sakharina
289
Sedang untuk wilayah perkotaan seperti Makassar, Parepare dan Palopo mengalami defisit karena lahan pertaniannya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Selain itu, Kabupaten Selayar juga mengalami defisit karena wilayah ini sebagian besar daerahnya merupakan pulau-pulau sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harus mendatangkan dari daerah lainnya.289 Pertanaman jagung di Sulawesi Selatan tahun 2010 mencapai 303.375 Ha, dimana potensi pertanam jagung cukup besar berada di Kabupaten Gowa, Jeneponto, Bone dan Bantaeng. Walaupun luas tanam tahun 2010 ini mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2009 sebesar 299.669 Ha atau 1,24 persen. Untuk tahun 2009 produksi mencapai 1.395,744 ton turun menjadi 1.343.043 ton tahun 2010 atau 3,78 persen. Berdasarkan
Susenas
2010
konsumsi
jagung
mengalami
penurunan cukup tajam yaitu hanya 2,3 kg/kapita/tahun bila dibandingkan dengan Susenas tahun 2009 yang jumlahnya mencapai 3,36 kg/kapita/tahun, sehingga kebutuhan konsumsi hanya sekitar 18.480 ton. Hal tersebut memperhatikan bahwa Sulawesi Selatan mengalami surplus cukup besar mencapai 1.170.761 ton.290
290
289
Ibid., hlm. 2
290
Ibid.
Iin Karita Sakharina
Luas pertanaman ubi jalar di Sulawesi Selatan dalam 3 tahun terakhir ini (2008-2010) memperlihatkan penurunan. Pada tahun 2008 luas pertanaman sebesar 5.966 Ha, kemudian tahun 2009 menurun menjadi 5.370 Ha dan tahun 2010 ini menurun lagi menjadi 5.058 Ha. Walaupun demikian, produksi yang dicapai mengalami kenaikan sebesar 66.547 ton pada tahun 2008, kemudian tahun 2009 sebesar 68.372 ton dan tahun 2010 menurun menjadi 57.513 ton. Daerah yang merupakan potensi pertanaman ubi jalar adalah Gowa, Tana Toraja, Bone, Takalar, Enrekang, dan Luwu Utara. Komoditi ini umumnya diusahakan di lahan kering. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan kebutuhan konsumsi sebesar 1,5 kg/kapita/tahun atau 12.052 ton, Sulawesi Selatan masih terdapat surplus sebesar 38.599 ton, sedangkan pada tingkat kabupaten daerah yang mengalami defisit adalah kota Makassar, Parepare, Pinrang dan Kabupaten Soppeng.291 Kedelai merupakan komoditi pangan yang banyak mengandung protein nabati. Kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk tempe, tahu, tauco, kecap, minyak goreng, susu dan lain-lain. Sentra pengembangan kedelai terbesar berada di Kabupaten Bone, Wajo, Soppeng, Jeneponto dan Maros. Luas pertanaman kedelai tahun 2010 juga mengalami penurunan 291
Ibid. Iin Karita Sakharina
291
dibanding tahun 2009 dari 25.792 Ha menjadi 23.641 Ha atau 8,3%, akan tetapi produksi yang dicapai mengalami penurunan yang cukup signifikan, dari 41.278 ton menjadi 35.710 ton turun 15,6%. Turunya produksi tersebut disebabkan oleh menurunnya produktifitas sebesar 0.6 ton/Ha. Hasil analisis menunjukkan dengan jumlah kebutuhan sebesar 16.873 ton diperoleh surplus sebesar 15.984 ton.292 Tanaman kacang tanah selain diusahakan di lahan kering, juga sering di tanam di lahan sawah, biasanya setelah pertanaman padi. Produksi kacang tanah yang cukup besar di Sulawesi Selatan terdapat di Kabupaten Bone, Bulukumba dan Sinjai. Adapun produksi yang dicapai tahun 2010 adalah 41.889 ton naik dibanding tahun 2009 sebesar 32.330 ton atau naik 29,57%. Berdasarkan hasil analisis tahun 2010 surplus kacang tanah mencapai 28.522 ton sedangkan tahun 2009 sebesar 23.548 ton atau 21,12%. Meningkatnya surplus tersebut disebabkan karena konsumsi kacang tanah mengalami kenaikan dari 0,65 kg/kapita/tahun
menjadi
1,1
kg/kapita/tahun
(Susenas
2010).293 Walaupun secara wilayah masing mengalami surplus, masih terdapat daerah yang mengalami kekurangan akan
292
292
Ibid., hlm. 4
293
Ibid.
Iin Karita Sakharina
kacang tanah, yaitu Takalar 159 ton, Pinrang 308 ton, Luwu 111 ton, Toraja Utara 74 ton, Luwu Utara 113 ton, Luwu Timur 101 ton, Palopo 163 ton dan Makassar 1.469 ton. Luas pertanaman kacang hijau di Sulawesi Selatan mencapai 21.009 Ha hanya mengalami kenaikan dibanding tahun 2009 yang mencapai 17.966 Ha. Produksi yang dicapai pada tahun 2009 berjumlah 23.299 ton dan tahun 2010 yang berjumlah 26.457 ton atau 13,55%. Dengan memperhitungkan kebutuhan konsumsi sebesar 0,7 kg/kapita/tahun diperoleh kebutuhan konsumsi sebesar 5.624 ton sehingga terjadi surplus sebesar 18.455 ton atau 15,07% untuk tahun 2009 surplus mencapai 16,038 ton.294 Daerah yang surplus kacang hijau terbesar adalah Kabupaten Wajo 10.506 ton, Gowa 1.062 ton, Jeneponto 5.321 ton, Takalar 432 ton, dan Bone 2.789 ton. Sedangkan daerah yang mengalami defisit Sinjai, Barru, Pinrang, Erekang, Tana Toraja, Luwu serta 3 Kota di Sulawesi Selatan. Sentra penghasil buahbuahan yang cukup besar di Sulawesi Selatan adalah Pinrang 34.336,51 ton, Gowa 17.814,94 ton, Jeneponto 21.140,56 ton, Bone 17.772,73 ton dan Enrekang 28.972,68 ton. Hasil analisis menunjukkan dengan kebutuhan konsumsi sebesar 387.276 ton, masih terdapat surplus yang cukup besar yaitu 51.273 ton. Jenis sayuran yang cukup banyak diproduksi di Sulawesi Selatan 294
Ibid., hlm. 5 Iin Karita Sakharina
293
adalah kubis, kentang, tomat, kangkung, bayam, cabai, kacang panjang, dan berbagai jenis lainnya. Potensi pertanaman sayuran cukup besar terdapat di Kabupaten Enrekang, Gowa, Bantaeng dan Tana Toraja yang diusahakan di daerah dataran tinggi. Produksi yang dicapai tahun 2009 mencapai 205.261 ton, dan pada tahun 2010 mencapai 257.088 ton mengalami kanaikan sebesar 2,5%.295 Hasil analisis sayuran menunjukkan dengan tingkat kebutuhan sebesar 391.294 ton (48,7 kg/kapita/tahun, susenas 2010) terjadi kekurangan sebesar 159.984 ton. Jika ditelusuri sampai ditingkat kabupaten, hampir seluruh kabupaten mengalami defisit kecuali Bantaeng, Takalar, Gowa dan Enrekang yang merupakan sentra produksi sayur-sayuran. Perkembangan produksi telur dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan. Pada tahun 2009 produksi telur sebesar 68.932 ton, menjadi 69.930 ton pada tahun 2010 terjadi peningkatan sebesar 1,5%. Terjadinya kenaikan produksi ini berasal dari meningkatnya produksi telur utamanya telur ayam ras di daerah sentra produksi seperti Kabupaten Sidrap, Pinrang dan Maros dan Kota Parepare. 296
294
295
Ibid.
296
Ibid., hlm. 6
Iin Karita Sakharina
Daging ruminansia berasal dari ternak besar seperti sapi, kerbau, kambing, domba, kuda dan babi. Produksi daging tahun 2010 mencapai 14.158 ton meningkat dibanding tahun 2009 yaitu 13.089 ton naik menjadi tinggi yakni 8,12%. Produksi daging diperoleh dari produksi daging menurut pemotongan tercatat di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan di luar RPH per kabupaten/kota se Sulawesi Selatan tahun 2010. Hasil analisis menunjukkan bahwa surplus daging tahun 2010 yaitu 7.366 ton mengalami kenaikan dari tahun 2009 yaitu 7.023 ton atau 4,88%. Adapun penyebabnya adalah meningkatnya konsumsi penduduk dari 0,88 kg/kapita/tahun menjadi 1,00 kg/kapita/tahun sehingga kebutuhan konsumsi menjadi cukup besar yaitu 22.497 ton. Walaupun secara wilayah mengalami kelebihan, tetapi apabila ditelusuri sampai ke tingkat kabupaten beberapa daerah masih kekurangan seperti Jeneponto, Takalar, Soppeng, Pinrang, Luwu Utara dan Luwu Timur. 297 Daging unggas terdiri dari ayam buras, ayam ras dan itik, perkembangan daging unggas dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan walaupun tidak terlalu besar yakni 18.101 ton, tahun 2010 sedangkan produksi tahun 2009 sebesar 19.672 ton. Daerah yang merupakan sentra pengembangan unggas terutama ayam ras terdapat di kabupaten Maros, Sidrap, Palopo dan 297
Ibid. Iin Karita Sakharina
295
Parepare. Hasil analisis menunjukkan bahwa surplus yang dicapai tahun 2010 mengalami penurunan dibanding tahun 2010 yaitu 2.733 ton sedangkan tahun 2009 sebesar 2.295 ton. Kebutuhan konsumsi tahun 2010, 1,8 kg/kapita/tahun turun dibanding kebutuhan konsumsi tahun 2009 yaitu 2.07 kg/kapita /tahun. Kebutuhan konsumsi menjadi lebih kecil dibanding tahun 2009. Hampir seluruh daerah di Sulawesi Selatan masalahnya mengalami kekurangan produksi, kecuali beberapa kabupaten seperti Selayar, Bantaeng, Gowa, Sinjai, Pangkep dan Barru, itupun surplusnya tidak terlalu signifikan.298 Potensi produksi perikanan di Sulawesi Selatan cukup besar karena terdiri dari laut, perairan umum, dan tambak/air payau. Produksi ikan tahun 2010 memperlihatkan hasil yang cukup besar yaitu 1.629.078 ton tahun 2010 sedangkan tahun 2009 sebesar 1.142.366 ton meningkat 42,61%. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan kebutuhan konsumsi 34,2 kg/kapita /tahun terdapat surplus sebesar 1.109.928 ton. Walaupun demikian masih terdapat daerah yang masih kekurangan seperti Gowa, Maros, Barru, Soppeng, Tana Toraja, Enrekang dan Toraja Utara, hal tersebut disebabkan wilayah ini merupakan
298
296
Ibid., hlm. 7
Iin Karita Sakharina
wilayah yang tidak mempunyai laut, sehingga konsumsi ikan hanya mengandalkan dari perairan umum dan tambak saja.299 Gula pasir merupakan produksi turunan dari tebu. Produksi tebu di Sulawesi Selatan hanya diusahakan di Kabupaten Bone, Gowa, Wajo serta Kabupaten Takalar dan sekitarnya tempat berdirinya pabrik gula (PTPN). Perkembangan produksi gula pasir tahun 2010, mencapai 31.128 ton naik dibanding tahun 2009 yang berjumlah 29.774 ton. Bila dibandingkan dengan kebutuhan penduduk yang relatif tinggi yaitu sekitar 8.034.776 ton pertahun (susenas 9,2 kg/kapita/tahun) maka Sulawesi Selatan masih kekurangan gula pasir sekitar 42.792 ton yang harus didatangkan dari luar Sulawesi Selatan. Minyak sawit atau lebih dikenal sebagai minyak goreng merupakan kebutuhan utama dalam rumah tangga terutama dalam masakmemasak. Minyak sawit merupakan produksi turunan dari kelapa sawit menghasilkan produksi sekitar 16.542 ton (konversi 20%) tahun 2010. Bila dibandingkan dengan kebutuhan 23.301 ton, maka kekurangan yang cukup besar sekitar 7.015 ton. Daerah penghasil utama kelapa sawit hanya diusahakan di daerah Luwu meliputi Kabupaten Luwu Utara, Luwu Timur, Luwu dan Sidrap.300 299
Ibid.
300
Ibid. Iin Karita Sakharina
297
Adapun Program Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan terkait dengan ketahanan daerah Provinsi didelegasikan kepada Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi. Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan telah mengidentifikasi 17 (tujuh belas) program utama301, yaitu: Meningkatkan kuantitas dan kualitas ketersediaan pangan di Sulsel 1. Peningkatan ketersediaan dan cadangan pangan serta penanganan kerawanan pangan; 2. Pemberdayaan petani melalui teknologi informasi; 3. Pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP); 4. Pengembangan usaha ekonomi pedesaan (PUEP); 5. Pengembangan produk unggulan pangan lokal/makanan tradisional; 6. Pemberdayaan penyuluhan pertanian. Meningkatkan kualitas distribusi dan akses pangan masyarakat terhadap pangan 7. Pengembangan desa mandiri pangan; 8. Peningkatan distribusi dan akses pangan; 9. Peningkatan koordinasi kelembagaan dan program ketahanan pangan. Meningkatakan kualitas pemanfaatan pangan oleh masyarakat dan menjamin setiap individu memperoleh
301
Badan Ketahanan Pangan Daerah Sulawesi Selatan, Op. Cit., hlm. 63-
64
298
Iin Karita Sakharina
asupan zat gizi dengan jumlah dan keseimbangan yang cukup serta aman 10. Percepatan diversifikasi konsumsi pangan melalui pengembangan pangan lokal; 11. Peningkatan mutu dan kemanan pangan; 12. Pengembangan otoritas kompeten keamanan pangan daerah. Meningkatakan kapasitas lembaga dan kualitas koordinasi antar stakeholder / lembaga 13. Peningkatan kualitas dan pengembangan sistem laporan kinerja dan keuangan; 14. Peningkatan kapasitas sumberdaya aparatur; 15. Peningkatan disiplin aparatur; 16. Peningkatan kualitas dan relevansi sarana prasarana; 17. Peningkatan kualitas pelayanan administrasi perkantoran. Secara rinci, tujuan maupun kegiatan pendukung pada masing-masing program utama302 diuraikan berikut ini. Meningkatkan kuantitas dan kualitas ketersediaan pangan di Sulsel 1. Peningkatan ketersediaan dan cadangan pangan serta penanganan kerawan pangan Tujuan dari program ini adalah: a) tersedianya pangan yang cukup, merata dan aman sebagai energi; b) terbentuknya lumbung sebagai cadangan pangan masyarakat pada wilayah-wilayah rawan pangan; c) 302
Ibid., hlm. 67-74 Iin Karita Sakharina
299
terjaganya situasi pangan dan gizi di kabupaten/ kota. Untuk mencapai tujuan ini, program didesain sehingga mencakup kegiatan-kegiatan: pemantauan situasi ketersediaan dan keragaman pangan, analisis ketersediaan pangan dan penyusunan neraca bahan makanan, pembinaan cadangan pangan masyarakat, koordinasi pencegahan dan pengendalian masalah pangan, pembinaan dan analisis sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG), penyusunan peta rawan pangan (FIA), pengendalian daerah rawan pangan. 2. Pemberdayaan petani melalui pemanfaatan teknologi informasi Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas petani sehingga memiliki kontribusi yang relevan untuk mencukupi dalam rangka mendukung ketersediaan pangan di Sulawesi Selatan. Kegiatan yang memungkinkan tercapainya tujuan ini adalah: a) pendampingan FEATI; b) pelatihan manajemen agribisnis bagi penyuluh pertanian; c) memfasilitasi pembentukan asosiasi petani/pelaku usaha agribisnis; d) membangun perencanaan tahunan kegiatan P3TIP/FEATI; e) penyelenggaraan kampanye penyuluhan strategis; f) pemberian bantuan langsung hibah FMA; g) monitoring dan pengawasan pelaksanaan program kegiatan. 3. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Program ini dimaksudkan untuk mengubah pola pikir petani sehingga seluruh kegiatan usaha taninya 300
Iin Karita Sakharina
dikelola secara efisien dan sejalan prinsip bisnis. Untuk mencapai hal ini, program ini akan diikuti dengan aktivitas mulai dari sosialisasi program, pelatihan bagi Gapoktan penerima dana PUAP sampai pada pembinaan, monitoring evaluasi dan pelaporan. 4. Pengembangan Usaha Ekonomi Pedesaan (PUEP) Sejalan dengan peningkatan pemahaman petani atas kegiatan agribisnis, program usaha ekonomi pedesaan akan diintroduksi sehingga pertumbuhan ekonomi pedesaan semakin tinggi. Untuk mendorong program ini, kegiatan-kegiatan yang akan diprioritaskan adalah penguatan modal usaha kelompok dan pembinaan tentang pemahaman distribusi harga pangan. Untuk menjamin implementasi kegiatan ini, maka monitoring dan evaluasi akan dilakukan secara periodik. 5. Pengembangan produk unggulan pangan lokal/ makanan tradisional Untuk menjamin peningkatan ketersediaan pangan, maka pengembangan produk-produk makanan lokal akan semakin strategis, dari program ini diharapkan kuantitas dan kualitas produk unggulan semakin meningkat. Untuk itu, diperlukan usaha-usaha antara lain: a) inventarisasi produk unggulan pangan lokal/makanan tradisional; b) kajian teknologi olahan pangan yang berorientasi pasar; c) intensifikasi koordinasi dan pembinaan peningkatan citra pangan lokal/makanan tradisional; d) mengintensifkan lomba cipta menu berbasis potensi wilayah; e) Iin Karita Sakharina
301
sosialisasi, apresiasi pengembangan pangan lokal/ makanan tradisional; f) intensifikasi pameran dan promosi produk unggulan pangan lokal/makanan tradisional; g) memfasilitasi pengembangan pasar tani; dan h) pembuatan outlet ketahanan pangan untuk produk unggulan. 6. Pemberdayaan Penyuluhan Pertanian Peran penyuluhan pertanian untuk membantu dan membangun kapasitas petani sehingga pelaksanaan kegiatan usaha tani menjadi lebih efisien dan efektif serta memberikan nilai tambah yan signifikan sangat penting dalam membangun ketahanan pangan. Untuk itu, program ini harus diikuti dengan kegiatankegiatan yang relevan dan berkualitas, paling tidak meliputi: pemberian dukungan operasional terhadap Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, penyusunan program penyuluhan pertanian yang berkualitas dan relevan, pembinaan penyuluhan dan musyawarah tudang sipulung, menginventarisasi kelompok tani dan gabungan kelompok tani, melaksanakan gerakan penyusunan RDK/RDKK sebagai basis penyusunan Rencana Usaha Bersama, sosialisasi dan advokasi program pembangunan ketahanan pangan bagi penyuluh dan stakeholder terkait, membangun dan mengefektifkan forum komunikasi pertanian, perikanan dan kehutanan di tingkat Provinsi dan kabupaten/kota, mengintensifkan gerakan pemasaran hasil pertanian melalui kemitraan usaha dan pengembangan poktan dan gapoktan, pengembangan sistem kerja LAKU, penyebaran informasi 302
Iin Karita Sakharina
pertanian perikanan dan kehutanan, pengadaan biaya operasional penyuluh (non impassing), Pembinaan dan penyelenggaraan penyuluh pertanian (BOP, BPP Model, Surat Kabar Sinar Tani, Monev) dan penyelenggaraan pendidikan pertanian (3 SPP Daerah). Meningkatkan kualitas distribusi dan akses masyarakat terhadap pangan 7. Pengembangan desa mandiri pangan Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan jumlah desa yang mampu mandiri dari sisi ketersediaan pangan. Untuk itu langkah yang harus dilakukan paling tidak meliputi: a) penetapan lokasi desa mandiri pangan; b) sosialisasi program desa mandiri pangan; c) pembinaan dan pengembangan program desa mandiri pangan; dan d) monitoring dan evaluasi kinerja desa mandiri pangan. 8. Peningkatan koordinasi kelembagaan dan program ketahanan pangan Tujuan dari program ini adalah terlaksananya koordinasi kelembagaan ketahanan pangan pusat dan daerah, sinkronnya program ketahanan pangan antara pusat dan daerah, tersedianya rumusan kebijaksanaan ketahanan pangan melalui Dewan Ketahanan Pangan, tersedianya informasi tingkat ketahanan pangan, dan terlaksanannya operasional Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian. Meningkatkan kualitas pemanfaatan pangan oleh masyarakat dan menjamin setiap individu memperoleh Iin Karita Sakharina
303
asupan zat gizi dengan jumlah dan keseimbangan yang cukup serta aman 9. Percepatan diversifikasi konsumsi pangan melalui pengembangan pangan lokal. Program ini memiliki target untuk menurunkan konsumsi beras sebesar 3,8 kg/kapita/tahun, meningkatkan skor mutu konsumsi pangan yang sesuai dengan Pola Pangan Harapan (PPH), dan meningkatnya konsumsi pangan hewani, sayur-sayuran, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Hal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan program ini adalah: a) pemberdayaan ekonomi dan gizi rumah tangga melalui pemanfaatan pekarangan, b) penyusunan pola menu berdasarkan potensi wilayah, c) analisis perkembangan konsumsi pangan, d) koordinasi dan pembinaan percepatan diversifikasi konsumsi pangan, e) gerakan makan beragam, bergizi seimbang dan aman, dan f) sosialisasi, promosi, pameran pangan beragam, bergizi seimbang dan aman. 10. Peningkatan mutu dan keamanan pangan Dua tujuan pokok dari program ini, yaitu menurunnya jumlah kasus keracunan makanan di masyarakat dan meningkatnya jumlah produk pangan segar (sayur dan buah) yang tersertifikasi dan terlabel. Program ini akan di laksanakan dalam beberapa kegiatan seperti: pembinaan, pemantauan dan pengawasan keamanan pangan, pengembangan dan pembinaan warung sekolah sehat di kabupaten/ kota, pembinaan dan pemantauan preferensi 304
Iin Karita Sakharina
pangan masyarakat, koordinasi, sosialisasi dan apresiasi mutu pangan dan gizi serta pengembangan sistem informasi mutu pangan dan gizi. 11. Pengembangan otoritas kompeten keamanan pangan daerah Tujuan dari program ini adalah terbentuknya lembaga yang memiliki otoritas dan kompeten dalam hal keamanan pangan di daerah. Kegiatannya akan meliputi: sertifikasi dan pelabelan produk pangan segar (sayur dan buah), peningkatan uji residu pestisida, pembinaan kelompok tani dalam penerapan prima 3, pelatihan inspektor, auditor, fasilitator dan petugas pengambil contoh, memfasilitasi produsen pangan segar dalam penerapan prima 3 melalui magang, dan intensifikasi pemanfaatan organisasi OKD. Meningkatkan kapasitas lembaga dan kualitas koordinasi antar stakeholder/lembaga 12. Peningkatan kualitas dan pengembangan sistem laporan kinerja keuangan. program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas sistem keuangan lembaga. Kegiatannya akan meliputi: penyusunan laporan evaluasi kinerja, laporan pertanggungjawaban pemerintah daerah (LPPD), penyusunan laporan keterangan pertanggujawaban gubernur (LKPJ) dan laporan tahunan, sinkronisasi pengelolaan keuangan, monitoring tindak lanjut hasil pemeriksaan (LHP), dan penyusunan laporan keuangan. 13. Peningkatan kapasitas sumberdaya aparatur. Iin Karita Sakharina
305
Tujuan dari program ini adalah untuk membangun kapasitas aparatur sehingga mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional. Kegiatan yang akan dilakukan dalam program ini akan terfokus pada kegiatan pendidikan baik yang bergelar maupun yang tidak bergelar bagi staf yang relevan. 14. Peningkatan disiplin aparatur. Tujuannya adalah membangun kedisiplinan aparatur sehingga menjadi tauladan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Kegiatan yang terkait dengan program ini akan lebih banyak ditekankan pada ketaatan pegawai menjalankan aturan-aturan yang ada, termasuk ketaatan memakai pakaian dinas atau pakaian lainnya yang diatur oleh lembaga ini. 15. Peningkatan kualitas dan relevansi sarana prasarana. Program ini dimaksudkan agar sarana dan prasarana pada lembaga ini selalu dapat dijamin kualitas dan relevansinya dalam mendukung usaha-usaha lembaga ini membangun ketahanan pangan Provinsi Sulawesi Selatan. Kegiatan investasi yang akan dimasukkan dalam program ini adalah: pengadaan sarana dan prasarana aparat BKPD, pembangunan dan pemeliharaan/operasional gedung di Benteng Somba Opu, dan penunjang pemeliharaan rutin/ berkala gedung kantor dan kendaraan operasional BKPD. 16. Peningkatan kualitas pelayanan administrasi perkantoran.
306
Iin Karita Sakharina
Sejalan dengan keinginan memberikan pelayanan yang berkualitas, lembaga ini diharapkan akan memiliki sistem pelayanan administrasi yang efisien dan efektif. Untuk mencapai hal ini dukungan fasilitas dan pendanaan harus mencukupi. Sementara untuk Program Pemerintah KalimantanBarat dalam hal pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang ditetapkan oleh Badan Ketahanan Pangan Kalimantan Barat adalah dengan menekankan pada 7 program, diantaranya Program Peningkatan Ketahanan Pangan Pertanian, Pemasaran Hasil Produksi Pertanian, Penerapan Teknologi Pertanian, Peningkatan Produksi Pertanian, Pencegahan dan penanggulangan Penyakit Ternak, Peningkatan Produksi Hasil Peternakan, dan Penerapan Teknologi Peternakan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan pada program Peningkatan Ketahanan Pangan Pertanian dan program Peningkatan Produksi Pertanian di Kabupaten Kubu Raya303, diantaranya: 1. Pembagian benih padi unggul jenis Ciherang pada 12.000 Ha untuk mengganti varietas yang selama ini digunakan; Tanaman padi di Kecamatan Sungai Kakap terdiri dari berbagai jenis varietas, selain Ciherang yang merupakan varietas nasional, ada juga Simpang, Siam Malaysia, Pance, Ketumbar, Getek, Bulan Berayun, Sirendah, 303
Ibid., hlm. 52-54 Iin Karita Sakharina
307
2. 3.
4.
5.
308
Syngenta, dan lain-lain. Hal itu tidak lepas di wilayahnya tersebut banyak ditemukan lahan percontohan benih yang dikembangkan perusahaan yang nantinya dijual ke petani (promosi), petani bisa melihat benih padi yang dibudidayakan perusahaan misalnya Syngenta, mulai dari penanaman sampai dengan hasil panennya. Saat ini Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kubu Raya sedang mengujicobakan benih padi jenis Inparah (padi musim rendengan), sebagai substitusi jenis Ciherang di masa depan. Pembuatan sumur air tanah dalam (sumur pantek) sebanyak 20 unit; Pengadaan alat mesin pengolahan tanah sebanyak 20 unit; Saat ini di Kecamatan Sungai Kakap sudah terdapat 58 buah hand tractor, tapi jumlahnya dirasa kurang karena banyak yang rusak atau tidak terawat (tidak adanya rasa memiliki, ketika sudah dipakai dibiarkan begitu saja/disimpan di ruang terbuka). Pengadaan 20 unit pompa air; Di Kecamatan Sungai Kakap sudah ada 23 buah mesin air. Pengadaan 40 unit Power Threser Power Threser atau mesin perontok padi menjadi gabah dirasa sangat kurang pula di Kecamatan Sungai Kakap, saat ini hanya terdapat 60 buah. Untuk 1 ton, mereka dibebankan biaya sebesar Rp. 170.000,00- (Seratus Tujuh Puluh Ribu Rupiah), uang tersebut dibayarkan kepada kelompok tani (Poktan) yang nantinya digunakan untuk biaya operasional dan biaya pemeliharaan.
Iin Karita Sakharina
6. Pengadaan 12 unit Dryer Box; Setelah padi dirontokan menjadi gabah, gabah tersebut harus dikeringkan untuk bisa dijual dan mendapatkan harga yang tinggi (standar kadar air maksimal gabah kering panen sebesar 25 % dan gabah kering giling = 14 %). 7. Pengadaan 9 unit Corn Seller; 8. Pengadaan 1 unit Rice Milling Plant, di Kecamatan Sungai Kakap sendiri telah ada 53 unit penggilingan padi. Hal ini di sebabkan karena isu mengenai pangan selalu terkait dengan ketersediaan pangan dan atau ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan. Ketersediaan pangan diidentikan dengan penyediaan beras karena ketahanan pangan masih bertumpu pada beras yang menjadi prioritas utama dari kebijaksanaan pemerintah dan tradisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang menempatkan beras sebagai bahan pangan sumber karbohidrat. Padahal banyak bahan pangan alternatif lain yang tidak kalah nilai gizinya dari beras, seperti; jagung, sagu, umbi-umbian, dan kacang-kacangan.304 Ketersediaan pangan yang cukup akan menentukan pelaksanaan pembangunan suatu daerah. Dengan semakin meningkatnya produksi di sub sektor ini, diharapkan adanya ketahanan pangan yang baik dan nantinya daerah tersebut
304
Laporan Komnas HAM. Op. Cit., hlm. 46 Iin Karita Sakharina
309
mampu menjadi swasembada pangan. Akan tetapi tantangan didalam penyediaan bahan pangan terasa semakin sulit dengan gencarnya pembangunan sektor industri yang menyebabkan pengalihfungsian lahan pertanian terutama di Pulau Jawa. Akibatnya keberlanjutan konsumsi bahan pangan masyarakat Indonesia menjadi penting untuk dihasilkan di daerah lain di luar Pulau Jawa, salah satunya Kecamatan Sungai Kakap. Kabupaten Kubu Raya, daerahnya terkenal sebagai sentra produksi pertanian yang cukup besar di Provinsi Kalimantan Barat, bahkan telah diusulkan menjadi Kawasan Usaha Agropolitan Terpadu (KUAT) dengan daya dukung lahan yang memadai.305 Fenomena produksi, perdagangan, dan konsumsi pangan menuntut peran pemerintah untuk melindungi produsen dan konsumen domestik. pemerintah diharapkan dapat menjaga stabilitas harga pangan sehingga dapat mengurangi ketidakpastian petani dalam pemasaran komoditas pertanian dan menjamin konsumen memperoleh pangan dengan harga yang wajar. Tingginya harga pangan yang dikeluhkan konsumen, tidak serta merta dapat dinikmati petani, justru para spekulan (pedagang dan penggilingan) mengambil untung, saat produksi berlebih atau panen raya, mereka bisa leluasa menentukan harga (alasan 305
310
Ibid., hlm. 46-47
Iin Karita Sakharina
kadar air dari gabah). Di sinilah dibutuhkan peran pemerintah yang harus mau memikirkan kesejahteraan petani dengan meningkatkan harga pembelian. Jika tidak seharusnya dibuat suatu pemberdayaan dan fasilitas gratis yang dikhususkan kepada para petani.306 Dalam hal ini tentulah pemerintah sebagai pemangku kewajiban harus berperan penting dalam hal pemerataan kesejahteraan bagi warganya. Lahan merupakan aset utama bagi masyarakat. Berdasarkan data dari Kantor Pertanahan Kabupaten Kubu Raya, sebagian besar penggunaan lahan/tanah di Kabupaten Kubu Raya didominasi oleh hutan belukar seluas 247.565,02 Ha (28,09 % dari luas Kabupaten Kubu Raya), sedangkan perkebunan rakyat seluas 110. 628,54 Ha (12,55 %), dan untuk luas areal sawah sekitar 29.787,69 Ha (3,38 %) dan ladang 38.473,03 Ha. Lahan pertanian di Kabupaten Kubu Raya merupakan tadah hujan (16.700 Ha) dan pasang surut (48.250 Ha), hanya 1.900 Ha yang dialiri irigasi sederhana. Berbeda dengan sistem pertanian di Pulau Jawa, saluran irigasi di Kabupaten Kubu Raya khususnya di Kecamatan Sungai Kakap dibuat sederhana, airnya berasal dari Sungai Kakap dan Sungai Kapuas. Rata-rata penguasaan lahannya sekitar 0,89 Ha/KK.50 Sedangkan di Kecamatan Sungai Kakap, terdapat 4.765 Ha lahan tadah hujan dan 6.333 Ha 306
Ibid., hlm. 47 Iin Karita Sakharina
311
adalah lahan pasang surut.51 Berdasarkan hasil in depth interview dengan petani di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Sungai Kakap terungkap bahwa sebagian dari petani di kecamatan ini merupakan petani penggarap, mereka harus menyewa lahan kepada pemilik lahan, dengan biaya sewa ± Rp. 1.000.000/tahun. rata-rata penguasaan para petani atas lahan (padi) sekitar 1 hektar.307 Jika melihat luas areal tanam, lahan pertanian di Kecamatan Sungai Kakap didominasi untuk tanaman padi sawah, selebihnya 1.209 Ha adalah tanaman jagung, 29 Ha ubi kayu, dan 35 Ha ditanami ubi jalar. Dari Tabel 3.3, dapat kita ambil suatu kesimpulan awal bahwa daerah sentra penghasil komoditas sektor pertanian (bahan makanan pokok) selain Kecamatan Sungai Kakap, adalah Kecamatan Terentang, Kecamatan Batu Ampar, Kecamatan Rasau Raya, Kecamatan Kubu, dan Kecamatan Teluk Pakedai. Wilayah Kecamatan Sungai Kakap terdiri dari wilayah pertanian dan non pertanian. Sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah pertanian. Wilayah tersebut meliputi; Desa Sungai Kakap, Desa Sungai Itik, Desa Sungai Belida, Desa Kalimas, Desa Sungai Rengas, Desa Sungai Kupa, Desa Pal 9, Desa Punggur Besar, dan Desa Punggur Kecil. Wila-
307
312
Ibid., hlm. 49
Iin Karita Sakharina
yah non pertanian (nelayan, ternak, penggarap kebun) meliputi; Desa Sepuk Laut dan Desa Tanjung Saleh.308 Lahan-lahan yang digarap para petani di Kubu Raya khususnya di Kecamatan Sungai Kakap, rawan dari tindak penyerobotan, terutama dari para pengusaha perkebunan. Oleh sebab itu, pemerintah daerah setempat berupaya untuk melindungi lahan pangan baik dari pengusaha perkebunan karet, jarak / kelapa sawit maupun pengalihan menjadi lahan perumahan. Menurut hasil Focuss Group Discussion (FGD) dengan kelompok tani di BPP Kecamatan Sungai Kakap, Pemkab Kubu Raya memulai sosialisasi kepada para notaris untuk lebih berhati-hati dalam membuat akta tanah untuk mencegah penyerobotan lahan pertanian.309 Selain itu Pemerintah Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat sudah mengupayakan pemenuhan anggaran untuk produksi masyarakat penyedia pangan skala kecil dan menengah. Berdasarkan temuan lapangan, Pemerintah Kabupaten Kubu Raya mengalokasikan belanja langsung sebesar 70,89 %. Untuk mendukung produksi padi, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kubu Raya memfokuskan perhatian kepada pemenuhan kebutuhan pupuk petani melalui program 308
Ibid., hlm. 50
309
Ibid. Iin Karita Sakharina
313
subsidi pupuk kepada petani, mendorong penggunaan pupuk organik yang lebih murah, dan membangun fasilitas penunjang kawasan sentra pangan di tujuh lokasi yaitu: Kuala Mador A, Sungai Asam, Teluk Empening, Teluk Nangka, Sungai Nibung, Mengkalang, dan Punggur Besar.310 Akses petani terhadap sarana pertanian setidaknya sama penting dengan kebutuhan atau konsumsi masyarakat akan bahan pangan. Pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan hak asasi paling mendasar ini dengan memberikan akses agar setidaknya petani dapat menyediakan sendiri makanannya. Petani khususnya petani padi sebagai konsumen utama produk pupuk, selalu dihadapkan pada kelangkaan pupuk setiap akan mulai tanam, sehingga harga melambung dan akibatnya berpengaruh pada turunnya kualitas dan kuantitas padi yang dihasilkan. Dalam kondisi ini jelas sulit bagi petani untuk meningkatkan produktivitas lahan. Kelangkaan ini terjadi selain karena faktor penyelewengan, tetapi juga karena prakiraan yang keliru atas kebutuhan pupuk (kuota) yang sering dibuat secara agregat dengan memperhitungkan luas tanam dan takaran pupuk secara umum saja (Kuota pupuk yang ditetapkan SK. Bupati sebagai patokan penyaluran oleh produsen pupuk).311
314
310
Ibid., hlm. 51
311
Ibid.
Iin Karita Sakharina
Kenyataannya, takaran penggunaan pupuk bervariasi, tergantung pada luas lahan maupun tingkat kesadaran petani terhadap manfaat pupuk. Akibatnya, kebutuhan riil dengan ketersediaan pupuk sering berbeda sehingga ada daerah yang kelebihan dan banyak yang kekurangan. Pupuk yang beredar di Kabupaten Kubu Raya khususnya Kecamatan Sungai Kakap berasal dari Pupuk Sriwijaya (Pusri). Guna mengantisipasi kekurangan tersebut, pemerintah daerah telah memfasilitasi dalam pemberian pupuk kepada petani (subsidi pupuk).312 Dari total anggaran APBD Kabupaten Kubu Raya, sekitar 1,39 % atau Rp. 6.379.040.000,- dialokasikan untuk anggaran Dinas Pertanian dan Peternakan. Dari jumlah tersebut, Rp. 1.856.851.000,- (29,11 %) digunakan untuk belanja tidak langsung, sedangkan 70,89 % atau sebesar Rp. 4.522.189.000,- (70,89 %) digunakan untuk belanja langsung. D. Pola Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak atas Kecukupan Pangan oleh Pemerintah Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ada 3 tingkatan kewajiban negara dalam hukum HAM internasional, terkait dengan ketahanan pangan, maka implementasi yang dilakukan pemerintah yaitu : 312
Ibid., hlm. 52 Iin Karita Sakharina
315
1. Menghormati (to respect) yaitu negara diminta untuk berulang kali melakukan intervensi langsung ataupun tidak langsung dalam hal hak-hak pangan warga, ini dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan sejumlah regulasi untuk menjamin ketahanan pangan warga, sejalan dengan hal tersebut, pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan dan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat, telah mengeluarkan beberapa regulasi salah satunya dalam bentuk peraturan daerah agar ketahanan pangan warga dapat terjaga dan berlangsung secara berkesinambungan. 2. Melindungi (to protect) yaitu negara diminta untuk mengambil tindakan yang tepat sehingga dapat mencegah pihak luar dari anggota untuk melakukan intervensi dalam hal hak-hak pangan warga, hal ini dilakukan baik oleh pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah daerah
Provinsi Kalimantan Barat dengan
membuat membuat beberapa rencana program dan program yang telah dijalankan melalui badan ketahanan pangan daerah agar ketahanan pangan warga dapat terjamin. 3. Untuk memenuhi (to fulfill), untuk menfasilitasi (to facilitate) dan untuk menyediakan (to provide), ini dilakukan pemerintah 316
daerah
Iin Karita Sakharina
Provinsi
Sulawesi
Selatan
dan
pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat yang dijadikan dengan menjalankan sejumlah program yang bertujuan untuk memberikan kualitas dan terjaminnya keamanan pangan, meningkatkan partisipasi masyarakat dan investasi swasta dalam pengembangan bisnis pangan, tersedianya akses pangan bagi warga miskin dan pemutakhiran data daerah rawan pangan, serta memfasilitasi para petani agar tidak kesulitan dalam mengelola hasil pertaniannya.
Menurut
Staf
Direktorat
Hukum
dan
Perjanjian
Internasional Kementerian Luar Negeri RI, secara umum implementasi pemerintah Indonesia adalah : “Pemerintah dalam memenuhi kewajiban konstitusionalnya dilakukan dengan bentuk penghormatan (to respect) dengan dikeluarkannya beberapa regulasi baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk peraturan lainnya (diluar peraturan perundangundangan sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011) agar ketahanan pangan warga dapat terjaga dan berlangsung secara berkesinambungan, perlindungan (to protect) yang dilakukan pemerintah dengan membuat membuat beberapa rencana program jangka menengah dan rencana program jangka panjang yang telah dijalankan melalui badan-badan terkait agar ketahanan pangan warga dapat terjamin, dan Iin Karita Sakharina
317
pemenuhan (to fullfil) hak atas kecukupan pangan warga yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dilakukan dengan menjalankan sejumlah program yang bertujuan untuk memberikan kualitas dan terjaminnya keamanan pangan nasional”.313 Ia menambahkan : “Karena ratifikasi merupakan tindakan internasional dengan cara mana suatu negara pada taraf internasional, memberikan persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, oleh sebab itu kewajiban negara secara Internasional pasca ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya adalah Pemerintah Indonesia merealisasikan isi kovenan terhadap warganya (Indonesia), hanya saja realisasi ini sejauh dengan kemampuan yang Indonesia miliki, hal-hal yang masih banyak kekurangan disana-sini namun itu semua jangan dijadikan hal negatif bagi pemenuhan pemerintah terhadap isi kovenan. Pemerintah terus mengupayakan semaksimal mungkin guna terpenuhinya kebutuhan warga akan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya”.314 Selain kewajiban Indonesia terhadap hukum HAM yang telah
diuraikan
diatas, kewajiban
Indonesia
berdasarkan
Kovenan Internasional Hak Ekosob dilakukan dengan : Hasil korespondensi penulis melalui email dengan Staf pada Direktorat Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI pada hari Senin, 05 November 2012. 313
314
318
Ibid.
Iin Karita Sakharina
1. Obligation of Conduct yaitu kewajiban bagi negara peratifikasi untuk mengambil tindakan, hal ini telah dilakukan oleh Indonesia dengan membuat sejumlah peraturan dan juga telah menjalankan 4 strategi politik pangan (regulasi, ketersediaan, keterjangkauan, dan ketercukupan gizi) agar ketahanan pangan warga dapat terjaga dan berlangsung secara berkesinambungan. 2. Obligation of Result yaitu kewajiban bagi negara peratifikasi mengenai hasil, hal ini telah dilakukan pemerintah, khususnya pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam prestasinya yang mampu mempertahankan ketersediaan pangan nasional, walaupun secara keseluruhan implementasinya dilapangan khususnya dibidang pendistribusian pangan, serta kemampuan masyarakat untuk mengakses pangan dalam hal ini kemampuan terhadap daya beli belum memuaskan dan terdapat masih banyak kekurangan, dimana kasus-kasus gizi buruk dan kelaparan masih sering terjadi di beberapa daerah dan umumnya menimpa anak-anak. Jadi jika kita melihat pada konsep yaitu adanya peran sosial negara yang besar serta tanggung jawab yang besar pula untuk menyediakan kebutuhan sosial dasar serta mendistribusikan ulang sumber daya ekonomi kepada warga negaranya tanpa mengecualikan status ekonomi dan sosial dari warganya, tentunya model ini sangat bergantung pada peran besar dan
Iin Karita Sakharina
319
kemampuan negara untuk mengelola ekonomi nasional.315 Tentunya dalam konteks negara Kesejahteraan di Indonesia kita bisa merujuk pada alinea ke 4 pembukaan UUD NRI 1945 bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, serta sejalan dengan Pasal 27 ayat (2) bahwa tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan serta Pasal 28 H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, maka dapat dikatakan bahwa peran negara dalam konsep negara kesejahteraan adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya dalam mewujudkan pemenuhan hak asasi warga negaranya termasuk hak atas kecukupan pangan yang layak.
Nanang Indra Kurniawan, Globalisaasi Dan Negara Kesejahteraan (Perspektif Institusionalisme), (Yogyakarta: UGM, 2009), hlm. 2 315
320
Iin Karita Sakharina
BAB VII PENUTUP
Sebagai peutup dalam buku ini, penulis menyimpulkan pokok-pokok pikiran yang menjadi inti dari tulisan ini, yakni Pertama, Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari anggota masyarakat internasional, sehingga Indonesia juga seharusnya tunduk pada hukum dan kebiasaan internasional yang ada. Salah satu bentuk perwujudan negara untuk menghormati kaidah-kaidah dalam hukum internasional yang berlaku adalah dengan cara consent to be bound by international treaty yaitu setuju untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional yang ada. Peratifikasian kovenan internasional hak-hak ekosob oleh Pemerintah Indonesia berarti Indonesia telah terikat secara hukum pada kovenan interna-sional tersebut, dimana keterikatan ini melahirkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia dalam hal penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekosob bagi warga negaranya. Jika negara gagal melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan menurut kovenan dalam rangka pemenuhan hak-hak ekosob warga negaranya maka akan melahirkan tanggung jawab negara, dimana hak ekosob ini juga dapat bersifat Iin Karita Sakharina
321
justiciable rights yatu jika terjadi pelanggaran terhadap hak tersebut maka dapat mengajukan tuntutan untuk pemenuhan dan perlindungannya di pengadilan. Kedua, Berdasarkan indikator proses yang ada dalam indikator pembangunan HAM, maka Kebijaksanaan Pemerintah Indonesia berkenaan dengan hak atas kecukupan pangan yang layak di Indonesia, dimasukkan dalam kategori proses yaitu langkah-langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah terhadap adanya kewajiban yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi dari ratifikasi kovenan internasional mengenai hak ekosob. Berkenaan dengan kebijaksanaan yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia khususnya dalam hal pemenuhan terhadap hak atas kecukupan pangan yang layak, maka ada 2 (dua) kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu : (a) Kebijaksanaan dibidang Politik Pangan yaitu merupakan komitmen pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional yang berbasis Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Pangan. Politik Pangan ini penting karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang paling dasar, sehingga semua bangsa berupaya untuk mencukupi kebutuhan pangan seluruh warga negaranya dan menyimpan sebagian untuk cadangan pangan nasional. Seperti halnya dibidang sistem logistik, distribusi pangan dan juga diversifikasi pangan; (b) 322
Iin Karita Sakharina
Kebijaksanaan
dibidang
Hukum
yaitu
menyelenggarakan
pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat, serta memberikan jaminan bagi persediaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan, hal itu didasarkan pada sejumlah peraturan daerah propinsi maupun peraturan daerah kabupaten / kota yang secara garis besar mengatur tentang ketahanan pangan warga daerahnya masing-masing. Ketiga, Pendekatan appropriate pemerintah dalam memenuhi kewajiban konstitusionalnya adalah dengan melihat bahwa dalam konsep Welfare State (Negara Kesejahteraan) yang berkembang saat ini terdapat dua model dari sistem kesejahteraan yaitu model residu dan model institusi, dimana model institusional ini adalah berasosiasi dengan fungsi distributif dari negara kesejahteraan, dalam sistem ini, negara berperan untuk membagi-bagi atau mendistribusikan sumber daya tersebut kepada mereka yang memperoleh keuntungan yang paling sedikit dari mekanisme pembagian kesejahteraan yang berpusat pada sistem ekonomi pasar. Keterlibatan negara dalam hal ini Indonesia dalam konsep Welfare State adalah bagaimana negara melibatkan diri dalam memenuhi kewajibannya atas hak-hak Iin Karita Sakharina
323
ekosob warga negaranya khususnya dibidang pangan, dimana justifikasi dari peratifikasian instrumen hukum internasional ke dalam hukum nasional
yang mengatur mengenai hak atas
kecukupan pangan merupakan manifestasi dari perwujudan negara kesejahteraan, yang mana dalam hal ini keutamaan dari konsep negara kesejahteraan adalah kewajiban negara untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Dalam konteks pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak bagi warga negaranya, maka pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagaian wewenangnya kepada pemerintah daerah dan pihak swasta. Selain itu untuk melihat adanya pencapaian atas hasil yang telah dicapai oleh negara dalam hal pemenuhan hak atas kecukupan pangan yang layak maka penulis menggunakan indikator hasil yaitu dengan menangkap pencapaian, individu dan kolektif, yang menggambarkan status perwujudan HAM yang diberikan. Hal ini tidak hanya sekedar langkah-langkah langsung untuk mewujudkan suatu HAM, namun hal tersebut juga mencerminkan pentingnya indikator dalam hal mengevaluasi penikmatan hak tesebut. Hal ini dikarenakan indikator hasil mengumpulkan dampak berbagai proses-proses dasar dalam jangka waktu tertentu, dimana suatu indikator hasil seringkali merupakan indikator yang bergerak lambat, kurang
324
Iin Karita Sakharina
sensitif dalam menggambarkan suatu perubahan ketimbang indikator proses. Berdasarkan hal tersebut, maka sudah seharusnyalah Pemerintah Indonesia menyiapkan peraturan sendiri serta mekanisme pengaduan atas pelanggaran hak ekosob di pengadilan dan sosialisasi mengenai hak-hak ekosob sangat diperlukan agar masyarakat rentan menjadi lebih paham dan tahu mengenai hak-hak ekosobnya. Selain itu pemahaman para hakim terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekosob juga menjadi penting didalam memutuskan kasus-kasus pelanggaran terhadap hak ekosob yang diajukan ke pengadilan. Dimana pada prinsipnya pengadilan harus menjadi institusi negara yang dapat menghindarkan negaranya melakukan pelanggaran terhadap perjanjian yang telah diratifikasi. Untuk mengoptimalkan pemenuhan hak-hak ekosob khususnya dibidang hak atas kecukupan pangan yang layak maka Pemerintah seyogiyanya mempertimbangkan untuk meratifikasi optional protocol mengenai hak-hak ekosob ini. Pemerintah pusat seyogyanya bersinergi dengan pemerintah daerah untuk
meng-
optimalkan rencana program-program badan ketahanan pangan yang dirasa sudah cukup baik pada tataran regulasi, namun implementasi dilapangan yang harus dimaksimalkan agar rencana program tersebut dapat berjalan dengan baik, terutama Iin Karita Sakharina
325
pada hal akses pangan terhadap warga miskin di daerah-daerah yang dikenal dengan daerah rawan pangan. Pemerintah seyogyanya berupaya untuk memaksimalkan bentuk penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kecukupan pangan bagi warga negaranya, utamanya dengan menekan laju pengalihfungsian lahan yang saat ini marak terjadi di beberapa daerah di Indonesia, khususnya lahan pertanian yang kini sudah semakin minim sehingga dalam rangka memenuhi hak atas kecukupan pangan yang layak bagi warga negaranya, Pemerintah dapat memaksimalkan lahan-lahan yang ada untuk dimanfaatkan dalam hal menghasilkan macam-macam pangan yang ada untuk memenuhi kebutuhan warga negara dalam hal pangan sehingga impor beras dan bahan pangan lainnya, dapat ditekan jika perlu dihentikan.
326
Iin Karita Sakharina
DAFTAR PUSTAKA A. Buku, artikel, dan karangan lainnya Abdurrasyid, Priyatna, Instrumen Hukum Nasional bagi Peratifikasian Perjanjian Internasional, Majalah Hukum Nasional, Nomor 1, Jakarta: BPHN, 1991. Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional Jakarta: CV. Rajawali. Agusman, Damos Dumoli, Arti Pengesahan / Ratifikasi Perjanjian Internasional, Status Perjanjian Internasional dalam Tata Perundang-undangan Nasional: Kompilasi Permasalahan, (Jakarta: Direktorat Perjanjian Ekonomi Sosial dan Budaya, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri RI, 2008. Amarta, Ragil dkk, Kedaulatan Pangan dan Hak-Hak Petani, Jurnal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Edisi III November 2007. Ardhiwisastra, Yudha Bakti, Hukum Internasional (Bunga Rampai), Bandung: PT Alumni, 2003. Arinanto, Satya, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Aswanto, Penegakan HAM sebagai Perwujudan Demokrasi, Makalah, 2007. Budigusdian, Sam, Keunggulan Komoditas Pangan Dalam Perspektif Ketahanan Nasional Dapat Meningkatkan
Iin Karita Sakharina
327
Kemandirian Pangan, Artikel, Ambon: Fakultas Hukum Universitas Pattimura, 2012. Badan Ketahanan Pangan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan, Rencana Strategik (RENSTRA) Badan Ketahanan Pangan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 – 2013, Makassar: Satuan Kerja Badan Ketahanan Pangan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008. ___________________________________________________, Laporan Evaluasi Program / Kegiatan Ketahanan Pangan Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011, Makassar: Tahun Anggaran 2012, BPPT. 2012, Ketahanan Pangan Perlu didukung Sentuhan IPTEK, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Brownlie, Ian & Guy S. Goodwin-Gill, Brownlie’s Documents On Human Rights, 6th Edition, New York: Oxford University Press, 2010. Carthy, Anna-Lenna Svensson-Mc, The International law of Human Rights and States of Exception: With Special Reference to The Travaux Preparatoires and Case-Law of the International Monitoring Organs, The Hague: Martinus Nijhoff Publishing, 1998. Chowdhury, Azizur Rahman & Jahid Hossain Bhuiyan (ed), An Introduction to International Human Rights Law, Ledisen: Martinus Nijhoff Publishers, 2010. Cessase, Antonio, International Law, 2nd Edition, New York: Oxford University Press, 2005. Dammian, Eddy, Beberapa Pokok Materi Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Jurnal Hukum Internasional, Volume 2 Nomor 3, Desember 2003. 328
Iin Karita Sakharina
Data Dokumen Badan Ketahanan Pangan & Penyuluhan (BKPP) Propinsi Banten Davidson, Scott, Hak Asasi Manusia, (terjemahan), Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994. Dixon, Martin, International Law, 5th Edition, New York: Oxford University Press, 2005. Donnelly, Jack, Universal Human Rights in The Theory & Practice, London: Cornell University Press, 1989. DPR RI, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2005. Edi, Kebijakan Ketahanan Pangan, Makalah disampaikan pada Lokakarya Kedaulatan Pangan dengan Tema “Mensukseskan Terwujudnya Desa Mandiri Pangan”, Jawa Tengan 20 Mei 2006. Eide, Asbjorn, Economi, Social Culture Rights, at Text Book Second Revised Edition, Martinus Nijhoff Publisher, 2001. Eide, Wenche Barth & Uwe Kracht (eds), 2005, Food And Human Rights In Development, Volume 1, Legal institution Dimensions And Selected topic, Oxford: Intersentia, 2005. Elias, Taslim Olawale, The Modern Law of Treaties, New York: Oceana Publications Inc., 1974. Engh, Ida-Eline, Developing Capacity to Realise SocioEconomic Rights, Portland: Intersentia, 2008. FAO, Voluntary Guidelines; to Support the Progressive Realization of the Right to Adequate Food in the
Iin Karita Sakharina
329
Context of National Food Security, Rome: Adopted by the Session of the FAO Council, 2004. Fitzmaurice, Malgosia & Olufemi Elias, Contemporary Issues in the Law of Treaties, Utrecht: Eleven International Publishing, 2005. Fortman, Bas de Gaay, Political Economy of Human Rights (Rights, Realities and Realization), Routldge, 2011. Gibney, Mark, International Human Rights Law, Returning to Universal Principles, UK: Rowman & Little Field Publiseher Inc, 2008. Golay, Cristopher, The Right to food and Access to Justice (Examples, at National, Regional and International Levels), Food And Agriculture Organization Of The United Nations, Rome, 2009. Gunawan, Realisasi Progresif Perlindungan Hak Atas Pangan dan Hak Petani, E. Artikel “Desa Sejahtera”, Februari 2012. Guntur, Muh., Pengaturan Hukum dan Pelaksanaan Tata Niaga Produk Pertanian (Disertasi), Surabaya: Universitas Airlangga, 2002. Harris, Neville & Parts., Social Law Security, Law in Context, New York: Oxford University Press, 2000. Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Alumni, 1994. Hendardi, Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Sebagai Hak Legal, Jurnal Dinamika HAM, Volume 3 Nomor 3, Oktober 2003, PusHAM Ubaya. Irawan, B., 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 23, Nomor 1, Juni 2005. 330
Iin Karita Sakharina
Kasim, Ifdhal dkk. (editor), Hak ekonomi, Sosial, Budaya, EsaiEsai Pilihan, Jakarta: Elsam, 2001. Kementerian Keuangan, Nota Keuangan dan RUU APBN 2011, Jakarta: Kementerian Keuangan. Kementerian Pertanian. Kompendum / Kodifikasi Hukum Bidang Pangan. Jakarta: Jaringan Komunikasi dan Informasi Hukum, Biro Hukum dan Humas, 2010. Komnas HAM, Pelatihan dan Diskusi Terfokus dalam Rangka Penyusunan Human Rights Index, Jakarta: Komnas HAM, 2008. ____________, Laporan Kerangka Konsep Indikator Hak Asasi Manusia, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2012. Komentar Umum Kovenan Hak Sipil dan Politik-Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Cetakan Pertama (Terjemahan), Jakarta: Komnas HAM, 2009. Kurniawan, Nanang Indra, Globalisaasi Dan Negara Kesejahteraan (Perspektif Institusionalisme), Yogyakarta: UGM, 2009. Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: PT. Alumni, 2003. Laporan Pelaksanaan Rapat Koordinasi Dalam Rangka Implementasi Instrumen HAM yang Telah Diratifikasi Indonesia (Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), Penyempurnaan Hasil Implementasi Tahun Anggaran 2010, Jakarta: Direktorat Kerja HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI, 2004.
Iin Karita Sakharina
331
Laporan Periodik Hak Ekosob Pemerintah Indonesia, mengenai Hak atas Pangan, Right to Food, Laporan Nomor 156, 2011. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998 Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1998. Malau, Lefidus, Sistem Pangan Nasional, Majalah Asasi Edisi September – Oktober 2008. Muhtaj, El, Tanggung Jawab Negara Dalam Hal Pemenuhan Hak Ekosob, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008. _________, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008. Mujib, Taufiqul, Hak Atas Pangan Sebagai Hak Konstitusional, Jurnal AGRICOLA, volume 2 / Agustus 2011, diterbitkan oleh Yayasan Bina Desa Sadajiwa. Nainggolan, Kaman, Pengaturan & Realisasi Pemenuhan Hak Atas Pangan Yang Layak, Jakarta: Komnas HAM, 2006. ________________, Isu-Isu Kemiskinan dan Penguatan Ketahanan Pangan Dalam Mengatasi Krisis Global. Jakarta: LIPI, 2009. Nair, Lord Mac, The Law of Treaties, London: Oxford Clorendon Press, 1967. Nowak, Manfred, Pengantar Pada Rezim HAM Internasional (Terjemahan), Jakarta: Raoul Wallenberg Institute Kerjasama DepkumHAM, 2003. Riza, Marwati, Perlindungan Hukum Pekerja Migran Indonesia di luar Negeri, Makassar: AS Publishing, 2009.
332
Iin Karita Sakharina
Mauna, Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT. Alumni, 2008. Mihradi, R. Muhammad, Pengantar Memahami Hak Ekosob, Uni Eropa: Pusat Telaah dan Informasi Regional bekerja sama dengan European Initiative for Democracy and Human Rights / EIDHR, 2005. Parthiana, I. Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1990. ________________, Hukum Perjanian Internasional Bagian 1, Bandung: Mandar Maju, 2002. Paryadi, Erfan, Reforma Agraria Merupakan Prasyarat Mendasar Bagi Berlangsungnya Kedaulatan Pangan, Jurnal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Edisi III November 2007. Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Selatan, Rencana Program Jangka Menengah Daerah, Makassar: Tahun Anggaran 2012. Prayitno, Irene Hadi, Hazard or Right, Portland: Intersentia, 2009 Priyono, FX. Joko, Negara dan Rule of Law Dalam Sistem Ekonomi Campuran, Semarang: Bagian Hukum Internasional Universitas Diponegoro, 2002. Puja, I. Gusti Agung Wesak, Pentingnya Indonesia Mengesahkan International Covenant on Civil and Political rights (ICCPR) dan International Covenant On Economic, Social, and Cultural Rights (ICECSR), Paparan Disampaikan Pada Rapat Dengar Pendapat.
Iin Karita Sakharina
333
Rahayu, Kewajiban Negara Indonesia Mengimplementasikan Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Makalah, 2010. Razak, Abdul, Peraturan Kebijakan (Beleidsregels), Yogyakarta: Republik dan Rangkang Education, 2013, Revisi Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Tahun 20102014, Schuttler, Oliver De, International Human Rights Law, New York: Cambridge University Press, 2010. Sefriani, Hukum Internasional (Suatu Pengantar), Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Sen, Amartya, Masih adakah harapan Bagi kaum Miskin ?, Bandung: Mizan Pustaka, 2001. Sisparyadi. 2005. Desa Rawan Pangan dan Program Raskin. Warta Pedesaan PSPK UGM No. 05/XXIII/Mei 2005. Smith, Rhona K.M. dkk, Hukum HAM, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Pusham UII, 2008. Soekamto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali, 1995. Ssenyonjo, Manisuli, Economic, Social and Cultural Rights in International Law, Oxford: Oregon, 2009. Starke, J.G., An Introduction to International Law, 8th ed, London: Butterworths, 1984. __________, J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional ‘1’ (Terjemahan), Edisi Kesepuluh, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. __________, Pengantar Hukum Internasional 2, (terjemahan Bambang Iriana Djajaatmaja), Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2007.
334
Iin Karita Sakharina
Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: PT. Tata Nusa, 2008. The Report of The Government of The Republic Indonesia On the Implementation Of International Covenant On Economic, Social, And Cultural Rights, Initial And First Periodic Report, Government Of The Republic Of Indonesia, 2011 Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI, Penerapan Kebijakan Ketahanan Pangan Bagi Pencapaian Kedaulatan Pangan, Makalah yang disampaikan pada kongres KIPNAS. United Nations, Human Rights, The Right to Food, Fact Sheet No. 34, Geneva: FAO, 1945. Widijantoro, J., Hak Atas Pangan Sehat dan Aman, E. Jurnal “Logo LKY”, Agustus 2012. Witoro. Kebijakan Perberasan Nasional dan Pemenuhan Hak Pangan. Majalah Asasi Edisi September – Oktober 2008. Zchwarzenberger, Georg, International Law and Order, London: Steven & Sons Ltd., 1971. ____________________, A Manual of International Law, Fourth Edition, London: Steven & Sons Ltd., 1960. B. Perjanjian Internasional, Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan terkait lainnya. Universal Declaration of Human Rights, 1948 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966 Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969 Limburg Principle, 1986 Maastricht Guidelines, 1997
Iin Karita Sakharina
335
United Nations (1945): Charter of the United Nations, United Nations Conference on International Organization, 26 June, San Francisco. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman. Surat Keputusan Menteri Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan Nomor 881/MENKES/SKB/VII/1986 dan Nomor 711/Kpts/TP.120/8/1996 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian Batas Maksimum Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1593/Menkes/SK/XI/2005 tentang Angka Kecukupan Gizi Bagi Bangsa Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. 336
Iin Karita Sakharina
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 58 / Permentan / OT. 140 / 8 / 2007 tentang Pelaksanaan Sistem Standarisasi Nasional Di Bidang Pertanian. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 30 Tahun 2008 tentang Cadangan Pangan Pemerintah Desa. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51 / Permentan / OT. 140 / 10 / 2008 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pangan Segar Asal Tumbuhan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Inpres Nomor 7 tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 27 / Permentan / PP. 340 / 5 / 2009 tentang Pengawasan Keamanan Pangan Terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Segar Asal. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 / Permentan / PP. 340 / 2009 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 27/Permentan/PP.340/5/2009 tentang Pengawasan Keamanan Pangan Terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 / Permentan / OT. 140 / 10 / 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Peraturan Bupati Kubu Raya Nomor 60 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Hasil Produksi Beras Lokal Bagi PNS. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Iin Karita Sakharina
337
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20 / Permentan / OT. 140 / 2 / 2010 tentang Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 / Permentan / OT. 140 / 7 / 2010 tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 yang mensyaratkan Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk Pangan dan Nutrisi. Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 42 tahun 2010 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Inpres Nomor 8 nomor 2011 tentang Kebijakan Pengamanan Cadangan Beras Yang Dikelola Oleh Pemerintah Dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim. Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 2 tahun 2011 tentang Pengelolaan Pangan. Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 36 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan gubernur Sulawesi Selatan Nomor 96 Tahun 2009 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Badan (UPTB) Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKPD) Pada Badan Ketahanan Pangan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan. Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 1313 / V / Tahun 2012 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Dan Sekretariat Tim Koordinasi Jejaring Keamanan Pangan Propinsi Sulawesi Selatan.
338
Iin Karita Sakharina
C. Media Massa / Internet Anonim, Hubungan Pemerintah dengan Masyarakat http://massofa .wordpress.com/2008/03/04/hubunganpemerintah-dan-masyarak at/, Diakses Pada Hari Jumat, 7 Oktober 2011, Pukul: 19:00. Adrian, Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional (http://perjanjian internasional.blogspot.com/html.) Diakses pada hari Jumat, 21 September 2012. Ahmad Taufiqurrakhman. Beras Adalah Salah Satu Pangan Kunci Di Dunia (www.okezone.com) Diakses pada hari Kamis, 20 September 2012. Appears in the annex to General Assembly Resolution 2200 A (XXI) of 16 December 1966; for the text in various languages, see 993 UNTS 3. The covenant entered into force on 3 January 1976, in accordance with article 27. The Committee on Economic, Social and Cultural Rights was established under Ecosoc Resolution 1985 / 17, 28 May 1985, to carry out the monitoring functions assigned to Ecosoc in Part IV of the Covenant. See http:www2.ohcr.org /English/bodies/cescr/index.htm. Diakses Pada Hari Jumat, 7 Oktober 2011, Pukul: 20:00. Erlangga Djumena, ADB: 2012 Pertumbuhan Indonesia 6,4 Persen, (Harian Kompas). Harian Fajar edisi April 2008: Memberitakan tentang kematian seorang ibu bernama dg. Besse yang tengah hamil sekitar 7 bulan bersama putera sulungnya Bahri, dan juga kematian Darmawati di bulan Maret 2008. Harian Kompas, edisi Senin, 10 Januari 2011. Iin Karita Sakharina
339
Harian Kompas, edisi Jumat, 14 Oktober 2011. Harian Tempo On Line, Sulawesi Selatan Raih Penghargaan Tertinggi Bidang Pangan (http://www.tempo.co/read /news/2011/12/04/0903 69823/Sulawesi-Selatan-RaihPenghargaan-Tertinggi-Bidang-Pangan). Diakses pada hari Selasa, 18 September 2012. Jusuf, Politik Pangan Indonesia: Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian, http://www.setkab. go.id/artikel-6833-.html, Diakses pada hari Kamis, 20 September 2012. Ruddabby. Orang Asia Tergantung Pada Beras Sebagai Makanan Pokok (Ruddabby.files.wordpress.com/2010 /8.) Diakses pada hari Kamis, 20 September 2012. Siaran Pers Komnas Perempuan Mengenai Desakan Komite Hak-hak Ekosob PBB yang harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia, Per 6 Juni 2014, www.komnas perempuan.or.id/2014/06, diakses tanggal 1 November 2014, Pukul 20.00 Wita Taufiqul Mujib, Hak Atas Pangan sebagai Hak Konstitusional, (http//taufiqulmujib.wordpress.com/2001/09/30). Diakses Pada Hari Jumat, 7 Oktober 2011, Pukul: 21:45. The Report of the International Law Commision, on its fiftythird Session; 23 April - 1 June and 2 July - August (001), Chapter IV, “State Responsibility”, at 126 General Assembly, Official Records, Fifty-Fifth Session, Suplement No. 10 (UN Doc. A / 56 / 10) see (http://www.un.org/ law/ilc/report.htm). Diakses Pada Hari Jumat, 7 Oktober 2011, Pukul: 19:30. Website resmi Kota Tangerang Selatan www.tangsel.go.id
340
Iin Karita Sakharina
Witoro, Pengurangan Kelaparan dan Kemiskinan Sebagai Agenda Utama (www.forumdesa.org). Diakses Pada Hari Jumat, 7 Oktober 2011, Pukul: 19:00. Yuni Asriyanti (Koordinator Gugus Kerja Pekerja Migran) per 23 Juli 2014, www.komnasperempuan.or.id/2014/07memantau dan memastikan implementasi kovenaninternasional hak-hak ekosob, diakses tanggal 1 November 2014, pukul. 19.00. WITA
Iin Karita Sakharina
341
342
Iin Karita Sakharina
PENULIS Dr. Iin Karita Sakharina, S.H., M.A., lahir di Ujung Pandang, 20 Januari 1977, adalah Dosen di Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Pengajar pada program Strata Satu (S1) di Fakultas Hukum Unhas, dan Program Strata Dua (S2) di Pascasarjana Unhas. Saat ini menjabat sebagai Sekertaris Departemen Hukum Internasional pada almamater yang sama. Selain mengajar di Fakultas Hukum juga mengajar untuk matakuliah pengantar hukum, hukum internasional, dan hukum diplomatik Jurusan Hubungan Internasional Universitas Fajar (Unifa) Makassar. Banyak menulis pada beberapa jurnal, seperti Jurnal Amanna Gappa, Jurnal Jurishdictionary, dan Jurnah Hukum Internasional FH Unhas. Tamat Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Unhas (2010) dengan mengambil jurusan hukum internasional, Master of Art (M.A) di Postgraduate Oslo University, Norwegia (2003), specialised in Theory and Practice of International Human Rights Law, dan Doktor (Dr.) Ilmu Hukum di Pascasarjana Unhas (2013). Pengalaman internasionalnya adalah Siswa Pertukaran Pelajar (AFS) di Kaikohe, New Zealand (1994-1995), Post Graduate Students Work Experienced in United Office, Geneva, Switzertland, (May, 2003), Peserta Sandwich Like Program Beasiswa Dikti, di Utrecht University, Belanda (SeptemberDecember 2011). Iin Karita Sakharina
343
Aktif menjadi pembicara pada seminar nasional dan konferensi internasional. Penulis Dapat dihubungi melalui Email :
[email protected]
344
Iin Karita Sakharina
EDITOR Kadarudin, Lahir di Ujung Pandang, 14 Mei 1989. Menyelesaikan studi Strata Satu (S1) dan meraih gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada bulan Januari 2010 dengan predikat lulusan Cum Laude. Magister Ilmu Hukum (M.H). pada tahun 2012 dari Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang di danai oleh Bakrie Centre Foundation (Beasiswa dari Yayasan Bakrie). Lulus Pelatihan Mediator Bersertifikat Mahkamah Agung (Tahun 2015), saat ini dalam tahap penyelesaian studi Program Doktor/Strata Tiga (S3) Ilmu Hukum Pada Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Dapat dihubungi melalui Email: kadarudin.
[email protected].
Iin Karita Sakharina
345
346
Iin Karita Sakharina