KEWAJIBAN ADVOKAT MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM BAGI PENCARI KEADILAN YANG TIDAK MAMPU MENURUT UNDANG-UNDANG ADVOKAT DAN UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN: SUATU ANALISIS PERBANDINGAN1 Oleh: Ardiansah, Bahrun Azmi, dan Andrizal Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Pekanbaru Alamat Jl. Yos Sudarso Km 8 Rumbai, Pekanbaru
Abstrak
Undang-undang advokat dan undang-undang kekuasaan kehakiman mengatur kewajiban advokat memberikan bantuan hukum untuk kaum miskin. Kewajiban advokat memberikan bantuan hukum bukan hanya suatu kewajiban tetapi juga suatu tanggung jawab sosial. Kedua undangundang tersebut terdapat persamaan dan perbedaan. Penelitian ini bersifat penelitian hukum normatif. Metode yang dipergunakan dengan cara meneliti bahan pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewajiban advokat memberikan bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu diatur dalam Pasal 22 Ayat (1), (2) Undang-Undang Advokat dan Pasal 56, Pasal 57 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Persamaan kedua undang-undang tersebut adalah pemberian bantuan hukum, masyarakat yang tidak mampu berhak mendapatkan bantuan hukum, dan tata cara pemberian bantuan hukum. Adapun perbedaan kedua undang-undang itu adalah Undang-Undang Advokat menegaskan kewajiban advokat memberikan bantuan hukum, sedangkan undangundang kekuasaan kehakiman tidak menegaskan kewajiban advokat memberikan bantuan hukum, undang-undang advokat tidak menyatakan negara menanggung biaya perkara, sedangkan undang-undang kekuasaan kehakiman menyatakan negara menanggung biaya perkara, Undang–Undang Advokat menjabarkan pelaksanaan bantuan hukum dalam Peraturan Pemerintah, sedangkan undang-undang kekuasaan kehakiman tidak menjabarkan pelaksanaan bantuan hukum dalam Peraturan Pemerintah. Kedua undang-undang tersebut belum detail mengatur kewajiban advokat memberikan bantuan hukum. Oleh karena itu, perlu dibuat pengaturan yang menjabarkan teknis pelaksanaan bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Kata kunci: kewajiban advokat, bantuan hukum, undang-undang advokat dan undang kekuasaan kehakiman
Abstract Law on Advocates and the Law on Judicial Authority regulated the obligation of advocates providing legal assistance for the poor. The obligation of advocates provided legal assistance not only as legal duty but also a social responsibility. Both laws had similarities and differences. 1 Penelitian ini dibiayai oleh APB Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning berdasarkan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor 05/P3MFH-UNILAK/B.07/2014.
1
This study was legal research. The method was applied by library research. The results showed that the obligation to provide legal aid advocate for justice seekers who could not hire the service fee regulated in Article 22 Paragraph (1), (2) Law Advocates and Article 56, Article 57 of the Law of Judicial Authority. The second equation of the law: the right for every person to get legal assistant, the right for the people below the poverty line to get the legal aid, and the procedures for granting legal assistant. While the difference between the two laws, namely: Advocates Law stressed on the obligation of advocate to provide legal assistance, while the Judicial Power Law did not specify those obligations. Besides, Advocates Law did not state the country’s burden to pay the costs of the legal aid, while the Judicial Authority Law said that country burdened the costs of the legal aid. Advocate Law outlined legal assistant in the implementation of government regulation, whereas the Judicial Power Act did not define it. Both laws had not detail the obligations advocates to provide legal assistance. Therefore, the provision of this obligation needed to be made outlined in the implementation of legal assistance for justice seekers who can not afford. Keywords: liability advocate, legal aid, law advocates and law of judicial power Pendahuluan Pada dasarnya advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan.2 Demikian mulianya profesi advokat tersebut, sehingga advokat dijuluki sebagai officium nobile atau nobel profession, artinya profesi yang mulia atau terhormat. Hal ini karena advokat diwajibkan melakukan pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama, budaya, sosio-ekonomi, kaya atau miskin, keyakinan politik, gender, dan ideologi.3 Kewajiban membela dan memberikan bantuan hukum bagi orang atau kelompok miskin oleh profesi advokat sejalan dengan prinsip justice for all (keadilan untuk semua), equality before the law (persamaan di hadapan hukum), dan hak untuk didampingi oleh advokat tanpa kecuali. Pembelaan bagi orang atau kelompok miskin diperlukan dalam suasana sistem hukum pidana yang belum mencapai titik keperpaduan. Seringkali tersangka atau terdakwa yang miskin karena tidak tahu hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa disiksa, diperlakukan tidak adil, atau dihambat hak-haknya untuk didampingi advokat. Penegak hukum belum bekerja menerapkan due process law (proses hukum yang adil) yang memperhatikan hak-hak tersangka atau terdakwa.4 Sangat pentingnya due process law dan equality before the law dalam mewujudkan prinsip justice for all tersebut maka bantuan hukum merupakan hak mutlak atau hak asasi yang melekat pada setiap individu manusia, sehingga advokatlah yang sangat berperan, baik dari kompetensi maupun kewenangan dalam menjalankan fungsi bantuan huikum tersebut. Oleh karena perannya tersebut maka negara mewajibkan
2 Todung Mulya Lubis, Catatan Hukum Todung Mulya Lubis, Mengapa Saya Mencintai Negeri Ini? (Jakarta: Kompas Media NUsantara, 2008), hlm. 102. 3 Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000), hlm. 94. 4 Ibid., hlm. 97.
2
advokat untuk memberikan bantuan bagi orang atau kelompok miskin atau orang yang tidak mampu secara ekonomi.5 Pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin sebagai penegakan hak asasi manusia dan bukan belas kasihan, sehingga cara pandang yang keliru tersebut menjadi alasan mengapa proses pelembagaan bantuan hukum tersendat dan tak kunjung mendatangkan harapan untuk bisa menjadikannya sebagai gerakan kolektif. Jika cara pandangan tersebut digunakan, tanpa diiringi upaya mentransformasikannya sebagai komitmen perjuangan dan identitas bersama, maka akan berimplikasi langsung pada kesenjangan distribusi kesempatan, minimnya kualitas bantuan hukum karena dilakukan tanpa landasan idealisme yang memadai, dan semakin menjauhnya posisi advokat dari penerimaan dan dukungan publik.6 Dalam perkembangannya, pemberian bantuan hukum cuma-cuma memperlihatkan kendala dan kemunduran terutama biro bantuan hukum di perguruan tinggi, yaitu konsentrasi advokat yang terpecah, non profit oriented (tidak berorientasi pada keuntungan), kurangnya kepercayaan masyarakat, dan sebagainya.7 Selain hal tersebut dalam perkembangannya pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh advokat semakin tergerus karena etos perjuangan advokat Indonesia sudah lama hilang karena komersialisme dan konsumerisme. Keadilan menjadi komoditas yang harganya tergantung permintaan dan penawaran.8 Dalam perkembangannya bantuan hukum sudah mendekati industri hukum. Artinya, para advokat lebih menjalankan bisnis daripada bantuan terhadap orang yang ditimpa kesusahan. Bantuan hukum sudah berkembang menjadi sebuah korporasi besar yang melibatkan praktik dalam bentuk unit-unit yang besar dan jasa pelayanan hukum dilihat sebagai produk yang dijual, sehingga sudah seperti bisnis.9 Tidak semua advokat mengabaikan kewajibannya tersebut, karena masih ada dorongan kuat terhadap peran dan tanggung jawab advokat memenuhi kewajibannya untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma. Masih banyak terdapat advokat baik secara individual maupun secara kolektif dalam suatu lembaga hukum yang tetap gigih dalam menjalankan fungsi bantuan hukum secara cuma-cuma. Meski dengan kondisi keterbatasan pendanaan, keterbatasan sumberdaya, dan keberadaan advokat yang tersebar tidak merata di seluruh Indonesia, namun kondisi ini tidak memaksa harus ditanggung oleh advokat itu sendiri.10 Berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: bagaimanakah pengaturan kewajiban advokat memberikan bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu menurut undang-undang advokat dan undangundang kekuasaan kehakiman? apakah persamaan dan perbedaan kewajiban advokat memberikan bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu menurut undangundang advokat dan undang-undang kekuasaan kehakiman? apakah kewajiban advokat memberikan bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu menurut undangundang advokat dan undang-undang kekuasaan kehakiman sehingga bisa membantu penyelesaian perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu? Beberapa permasalahan tersebut ditelaah dalam pembahasan berikut ini.
5 Ade Irawan Taufik, Sinergitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma, Jurnal Rechts Vinding, Vol. 2, No. 2, 2013, hlm. 49. 6 Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum ….. Op.Cit.., hlm. 63. 7 Ibid., hlm. 51. 8 Todung Mulya Lubis, Catatan Hukum Todung Mulya Lubis ….. Op. Cit., hlm. 103. 9 Sajtipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 181. 10 Ade Irawan Taufik, Sinergitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat ….. Op. Cit., hlm. 51.
3
Bantuan Hukum Merupakan Hak Konstitusional Warga Negara Salah satu materi Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah jaminan terhadap hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara. Perubahan itu dapat dilihat sebagai wujud kesadaran tentang pentingnya perlindungan hak asasi dan hak konstitusional warga negara yang tumbuh dan menjadi ruh reformasi. Jaminan itu telah dirumuskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian isinya menjadi materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebelum akhirnya dituangkan dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 meliputi berbagai aspek kehidupan, baik sipil, politik, ekonomi maupun hukum. Hak konstitusional warga negara meliputi (a) hak kesamaan di hadapan hukum, sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; (b) hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D Ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; (c) hak perlindungan diri pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia.11 Hak kesamaan di hadapan hukum adalah hak konstitusional setiap warga negara. Perlakuan yang sama di hadapan hukum juga berarti tiap warga negara harus diakui sebagai subyek hukum penyandang hak dan kewajiban yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk melakukan perbuatan hukum. Hak sebagai pribadi hukum merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hal itu hanya dapat terwujud jika terdapat ruang, kesempatan, dan kekuatan yang sama untuk mengakses hukum dan lembaga-lembaga hukum. Demi terwujudnya persamaan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum maka bantuan hukum mutlak diperlukan. Tanpa adanya bantuan hukum, maka hak konstitusional warga negara itu tidak akan terpenuhi. Bahkan, keadilan yang menjadi tujuan hukum juga tidak akan dapat ditegakkan tanpa adanya bantuan hukum. Pada saat keadilan tidak dapat ditegakkan, pada saat itu pula tidak ada hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang dapat dilindungi dan dipenuhi.12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur hak memperoleh bantuan hukum ini secara tersirat dalam Pasal 28D Ayat (1) yang menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Sedangkan Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa negara sebagai pengemban kewajiban memberikan bantuan hukum, khususnya bantuan hukum untuk orang yang tidak mampu. Implementasi kedua pasal tersebut diatur lebih jelas dalam Pasal 35 sampai dengan 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal tersebut menyebutkan 11 M. Akil Mochtar, Bantuan Hukum Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara, Makalah disampaikan dalam Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU) LBH Jakarta, tanggal 30 Maret 2009, hlm. 5. 12 Ibid., hlm. 6-7.
4
bahwa setiap orang yang terkena perkara berhak untuk memperoleh bantuan hukum. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mewajibkan adanya bantuan hukum. Undang-undang ini menyatakan bahwa hak untuk memperoleh bantuan hukum untuk peradilan pidana, dalam keadaan tertentu dan bagi orang miskin, wajib diberikan oleh negara.13 Konstitusi menjamin bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Jaminan tersebut tidak hanya terbatas pada tanggung jawab ekonomi, namun juga jaminan sosial dan pemenuhan hak atas bantuan hukum fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagai Warga Negara Indonesia. Istilah bantuan Hukum sendiri dipergunakan sebagai terjemahan dari dua istilah yang berbeda, yaitu legal aid dan legal assistance. Istilah legal aid biasanya digunakan untuk pengertian bantuan hukum dalam arti sempit berupa pemberian jasa-jasa dibidang hukum kepada seseorang dalam suatu perkara secara cuma-cuma khususnya bagi mereka yang tidak mampu. Sementara legal assistence dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum kepada mereka yang tidak mampu maupun pemberian bantuan hukum oleh para advokat yang menggunakan honorarium.14 Meskipun tidak secara tegas, jaminan hak atas bantuan hukum bagi fakir miskin maupun masyarakat marginal tersirat dalam konstitusi. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa membedakan status sosial, budaya, ekonomi, maupun agama.15 Realisasinya kemudian, hak atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang berhadapan dengan hukum diatur untuk memastikan pemenuhan jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil (fair trial) dan persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Prinsip tersebut terdapat dalam International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diakomodir dalam konstitusi dan telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Hak atas bantuan hukum secara rinci diatur dalam Pasal 14 ayat 1 dan ayat 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internacional Hak Sipil dan Politik.16 Prinsip didalam ICCPR tersebut dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu Prinsip Dasar Fair Trial, Jaminan Prosedur Minimum, dan Ketentuan Lain. Prinsip-prinsip di dalam ICCPR tersebut kemudian diadopsi dalam beberapa ketentuan hukum seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.17 Jaminan hak atas bantuan hukum diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat sebagai regulasi pelaksana pemberian bantuan hukum yang menempatkan advokat sebagai subyek utama pemberi bantuan hukum. Selanjutnya diatur pula ketentuan mengenai pemberian bantuan hukum di Pengadilan yang diatur 13 Mardjono Reksodiputro, Hak-Hak Warga Negara (Civil Right), Makalah disampaikan di dalam sehari-hari tentang KUHAP, yang diselenggarakan FH UI, Jakarta, Maret 1992, hlm. 4. 14 Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Cendana Press, 1983), hlm. 17-18. 15 Lihat Pasal 27, Pasal 28D Ayat (1), Pasal 34 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 16 Lihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internacional Hak Sipil dan Politik 17 Arif Maulana, Pemenuhan Hak-Hak Atas Bantuan Hukum Untuk Memastikan Peradilan Berpihak Pada Keadilan Bagi Masyarakat Miskin dan Marginal. Lihat http://ar1fmaulana.blog.uns.ac.id/2012/10/17/pemenuhan-hak-atas-bantuan-hukum-untuk-memastikanperadilan-berpihak-pada-keadilan-bagi-masyarakat-miskin-dan-marginal/, diakses tanggal 13 Mei 2015.
5
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Setelah delapan tahun berlakunya Undang-Undang Advokat. Saat ini telah diterbitkan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum sebagai jaminan baru yang khusus mengatur pemenuhan hak atas bantuan hukum. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah dilengkapi dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang, yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Secara implisit makna persamaan kedudukan di hadapan hukum dapat ditemukan juga dalam Pasal 37 dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003 tentang Kekuasaan Kehakiman.18 Dalam undang-undang advokat, seorang advokat diwajibkan untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma sebagai bagian dari tanggung jawab profesi. Sementara dalam undang-undang kekuasaan kehakiman ditegaskan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum dan negaralah yang harus menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Untuk mengaplikasikannya pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum sebagai tempat rujukan bagi pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum. Pelayanan bantuan hukum melalui pos bantuan hukum ini pun dilaksanakan oleh Advokat. Oleh karena itu, jaminan pemenuhan hak atas bantuan hukum kepada masyarakat sudah cukup dijamin oleh undang-undang.19 Peran Advokat dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma Tidak dapat dielakkan bahwa aktor utama pemberian layanan hukum adalah advokat. Sejarah mencatat advokatlah yang menjadi pioneer untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Pemberian bantuan hukum kepada masyarakt miskin tersebut dikenal dengan konsep pro bono publico. Dalam perkembangannya, pro bono dikenal menjadi salah satu bentuk strategi gerakan pemberian bantuan hukum untuk membela kepentingan umum, selain legal aid. Adapun pengertian legal aid adalah a very
range of legal work that performed voluntarily and free of charge to underrepresented and vulnerable segments of society.20 M. Akil Mochtar menegaskan bahwa pemenuhan hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak atas pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum serta hak atas keadilan melalui bantuan hukum adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab menyediakan penasihat hukum (advokat) untuk perkara pidana yang ancaman hukumannya di atas lima tahun. Bahkan Pasal 37 undang-undang kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Selain itu, undang-undang advokat juga mewajibkan para advokat untuk menangani perkara pro bono, namun belum banyak advokat yang memiliki kesadaran dan kepedulian untuk melaksanakannya.21 Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan dan bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik
18 J. Djohansjah, Akses Menuju Keadilan, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hak Asasi Manusia Untuk Jejaring Komisi Yudisial RI, Bandung, 3 Juli 2010, hlm. 5-6. 19
Ibid.
20
PILnet: The Global Network for Public Interest Law, Probono Presentation, 2011. M. Akil Mochtar, Bantuan Hukum Sebagai Hak Konstitusional ….. Op. Cit., hlm. 7.
21
6
secara litigasi maupun non litigasi.22 Sejak dulu, keberadaan advokat selalu ada semacam ambivalensi. Tugas advokat mengabdikan dirinya kepada masyarakat, sehingga dituntut untuk selalu turut serta dalam penegakan hak asasi manusia. Dalam menjalankan profesinya, advokat bebas untuk membela siapapun, tidak terikat pada perintah klien dan tidak pandang bulu siapa lawan kliennya, apakah dari dari golongan kuat, penguasa, pejabat, atau masyarakat miskin. Dalam negara modern, fungsi advokat bukan hanya berperkara di pengadilan, tetapi juga mewakili warga negara dalam hubungannya dengan pemerintah. Mencermati fungsi advokat mengerti akan bentuk, lembaga dan aturan negara serta bertugas untuk mewakili warga negara jika bertentangan dengan negara atau warga negara lainnya. Dalam kondisi yang demikian, banyak advokat yang muncul dalam politik, urusan sosial, pendidikan, perjuangan perubahan politik atau ekonomi. Profesi advokat menonjol dalam sejarah negara modern sebagai sumber ide dan perjuangan modernisasi, keadilan, hak asasi manusia, konstitualisme, dan sejenis.23 Sejarah di Indonesia menunjukkan kontribusi signifikan dari advokat terhadap pelaksanaan bantuan hukum cuma-cuma. Lembaga-lembaga bantuan hukum yang kini tumbuh di Indonesia tidak lepas dari peran advokat bahkan organisasi advokat pun secara terbatas menjadi bantuan hukum cuma-cuma sebagai tolok ukur keberhasilan program pengabdiannya pada masyarakat. Namun, latar belakang bantuan hukum cumacuma yang mereka berikan, sebagian besar dilatarbelakangi oleh kedermawanan, yaitu atas dasar tanggung jawab moral dan kemanusiaan, sehingga hanya sedikit advokat yang mendasar kegiatannya tersebut pada tujuan yang lebih besar, yaitu fair trial. Hal ini yang menyebabkan proses pelembagaan bantuan hukum berjalan sedemikian tersendat dan tidak kunjung mendatangkan harapan untuk dapat menjadikannya sebagai gerakan kolektif serta rendahnya kualitas jasa hukum yang diberikan.24 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Dalam penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder.25 Penelitian hukum normatif dimaksudkan sebagai penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek teori, sejarah, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang serta bahasa hukum yang digunakan.26 Penelitian ini menggunakan pendekatan perbandingan (comparative approach). Pendekatan perbandingan bertujuan membanding-bandingkan sesuatu dengan yang lainnya, dalam hal ini di bidang hukum. Membandingkan itu berarti mencari persamaan dan perbedaan dari satu obyek atau lebih. Proses perbandingan dapat diibaratkan sebagai suatu kegiatan untuk mengadakan identifikasi terhadap persamaan dan perbedaan dua gejala tertentu atau lebih. 27 22
Ibid.
23
Teguh Adminto, Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum Mengenai Implementasi Penanganan Kasus Pro-bono (Prodeo). Lihat http://tittoarema.blogspot.com/2005/12/peran-masyarakat-dan-pemerintahdalam.html, akses tanggal 13 Mei 2015. 24 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Advokat Indonesia Mencari legitimasi, Studi tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: PSHK, 2001), hlm. 234-242. 25 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan XI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 24. 26 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 132. 27 Soenaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 6.
7
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini ialah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Pendekatan kualitatif bertujuan untuk memahami gejala yang diteliti.28 Teknik analisis data kualitatif adalah cara untuk menganalisis data dengan mengacu pada norma-norma, asas-asas serta hukum positif yang berlaku.29 Pengaturan Kewajiban Advokat Memberikan Bantuan Hukum Bagi Pencari Keadilan yang Tidak Mampu Menurut Undang-Undang Advokat dan UndangUndang Kekuasaan Kehakiman Pengaturan bantuan hukum tidak merupakan suatu sistem yang saling terkait antara satu peraturan dengan peraturan yang lain, sehingga tidak terciptanya suatu sinkronisasi dalam hal pemberian hukum. Pengaturan pemberian bantuan hukum di antaranya diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Konsep bantuan hukum yang diatur dalam keempat undang-undang tersebut dapat dikatakan masih bantuan hukum individual atau konvensional, yaitu pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu dalam bentuk pendampingan oleh advokat, yang semata-mata hanya dalam proses penyelesaian sengketa saja yang dihadapi dalam proses peradilan.30 Pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu dilakukan berdasarkan beberapa ketentuan. Pertama, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 34 Ayat (1). Kedua, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yakni Pasal 22 Ayat (1), dan Pasal 22 Ayat (2). Ketiga, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman: Pasal 56 Ayat (1), Pasal 56 Ayat (2), Pasal 57 Ayat (1), Pasal 57 Ayat (2), Pasal 57 Ayat (3). Keempat, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yakni Pasal 4 Ayat (1), dan Pasal 5 Ayat (1). Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, pengertian dari bantuan hukum belum menemukan defenisi yang jelas. Hal ini karena belum adanya pengaturan yang secara khusus mengatur tentang bantuan hukum itu sendiri walaupun pemberian bantuan hukum sudah lama berkembang di Indonesia.31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengatur pemberian bantuan hukum cuma–cuma kepada masyarakat yang wajib dilakukan oleh advokat. Dalam Undang–Undang Advokat, bantuan hukum cuma–cuma diatur dalam BAB VI, yaitu Pasal 22 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal 22 Ayat (1) menyebutkan bahwa advokad wajib memberikan bantuan hukum secara cuma–cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Sedangkan Pasal 22 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan bahwa ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma–cuma sebagaimana yang telah dimaksud pada Ayat (1) diatur lebih lanjut 28
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1984), hlm.
29
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 8-
252. 12. 30
Ade Irawan Taufik, Sinergitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat ….. Op. Cit., hlm. 56-57. Ramses Harry Doan Sinaga, Peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam Memberikan Bantuan Kepada Masyarakat di bidang Perdata (Studi di LBH Medan dan LBH Trisila Sumatera Utara, Jurnal USU, Vol. 1, 2013, hlm. 10, sebagaimana dikutip dalam jurnal.usu.ac.id/index.php/civil_law/article/view/1750, diakses tanggal 5 Mei 2015. 31
8
dengan Peraturan Pemerintah (PP). Dengan rumusan Pasal 22 Ayat (1) tersebut maka pengaturan mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam Undang–Undang tentang Advokat dijabarkan lebih jelas dalam Peraturan Pemerintah. Pada bagian lain, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur lebih rinci mengenai bantuan hukum dibandingkan UndangUndang tentang Kekuasaan Kehakiman yang lama. Walaupun dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru hanya terdapat dua pasal yang mengatur mengenai bantuan hukum. Namun, dalam undang–undang yang baru tersebut sudah menyinggung mengenai siapa atau pihak yang bertanggung jawab atas pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu. Pasal yang menjelaskan tentang bantuan hukum dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu Pasal 56 dan Pasal 57. Pasal 56 (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum, sedangkan Pasal (2) menyebutkan bahwa negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Di samping itu, menyebutkan bahwa Pasal 57 (1) pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum. Pasal (2) menyebutkan bahwa bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan Pasal (3) m e n y e b u t k a n b a h w a bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.32 Persamaan Kewajiban Advokat Memberikan Bantuan Hukum Bagi Pencari Keadilan yang Tidak Mampu Menurut Undang-Undang Advokat dan UndangUndang Kekuasaan Kehakiman Apabila dicermati secara intens mengenai kewajiban advokat memberikan bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu menurut undang-undang advokat dan undang-undang kekuasaan kehakiman, maka sebenarnya kedua undangundang tersebut terdapat persamaan dalam beberapa hal. Pertama, kedua undangundang tersebut sama-sama mengatur mengenai pemberian bantuan hukum. Ketentuan pemberian bantuan hukum diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Advokat, sedangkan ketentuan pemberian bantuan hukum diatur dalam Pasal 56 Ayat (1) Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kedua, kedua undang-undang tersebut sama-sama mengatur mengenai masyarakat yang tidak mampu berhak mendapatkan bantuan hukum. Ketentuan mengenai masyarakat yang tidak mampu berhak mendapatkan bantuan hukum diatur dalam Pasal 22 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sedangkan ketentuan mengenai masyarakat yang tidak mampu berhak mendapatkan bantuan hukum diatur dalam Pasal 56 Ayat (2) dan Pasal 57 Ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Ketiga, kedua undang-undang tersebut sama-sama mengatur mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma–cuma harus berdasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma–cuma diatur dalam Pasal 22 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sedangkan ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara 32 Bantuan hukum sebagai suatu perikatan yang bersifat cuma-cuma. http://repository.library.uksw.edu/handle/123456789/2669, diakses tanggal 13 Mei 2015.
Lihat
dalam
9
cuma–cuma diatur dalam Pasal 57 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perbedaan Kewajiban Advokat Memberikan Bantuan Hukum Bagi Pencari Keadilan yang Tidak Mampu Menurut Undang-Undang Advokat dan UndangUndang Kekuasaan Kehakiman Apabila dicermati secara intens mengenai kewajiban advokat memberikan bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu menurut undang-undang advokat dan undang-undang kekuasaan kehakiman, maka terdapat perbedaan dalam beberapa hal. Pertama, kedua undang-undang tersebut mengatur mengenai kewajiban pemberian bantuan hukum. Ketentuan mengenai kewajiban pemberian bantuan hukum diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sedangkan ketentuan mengenai kewajiban pemberian bantuan hukum tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat secara eksplisit menegaskan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma–cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu, sedangkan dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman tidak menegaskan advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma–cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Dalam kedudukannya sebagai suatu profesi yang mulia (officium nobile), pemberian bantuan hukum merupakan kewajiban yang melekat secara hukum kepada setiap advokat. Pemberian bantuan hukum oleh advokat bukan hanya dipandang sebagai suatu kewajiban an sich, namun harus dipandang pula sebagai bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial (social contribution and social liability) dalam kaitannya dengan peran dan fungsi sosial dari profesi advokat.33 Walaupun undang-undang tentang advokat telah menyatakan bahwa kewajiban pemberian bantuan hukum diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, namun hingga kini belum juga diterbitkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud. Hal ini akan muncul kekhawatiran adanya dissinkronisasi dan disharmonisasi peraturan pemerintah yang mengatur mengenai kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat dalam undang-undang tentang bantuan hukum. Selain itu, perihal sanksi maka Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah mengatur beberapa jenis sanksi mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 6 huruf (d) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat maka advokat yang tidak melaksanakan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban profesi sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Oleh karena itu, sanksi-sanksi sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dapat diberlakukan kepada advokat yang tidak melaksanakan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma. Selanjutnya, pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat tidak dapat dilepaskan dari peranan organisasi advokat itu sendiri. Hal dikarenakan alasan bahwa organisasi advokat berfungsi untuk melakukan pengawasan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menerangkan bahwa pengawasan terhadap advokat 33
Megayana Risky Kristiawan, Kewajiban Pemberian Bantuan Hukum Oleh Advokat Dalam Sebagai Officium Nobile, hlm. 4-5. Lihat http://www.academia.edu/3626309/KEWAJIBAN_PEMBERIAN_BANTUAN_HUKUM_OLEH_ADVOKAT_DALAM_ KEDUDUKANNYA_SEBAGAI_OFFICIUM_NOBILE_MEGA, diakses tanggal 13 Mei 2015.
Kedudukannya
10
dilakukan oleh Organisasi advokat. Sedangkan dalam Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menerangkan bahwa pengawasan tersebut dilakukan dengan tujuan agar advokat selalu menjunjung tinggi kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan tugasnya.34 Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terdapat satu bab yang khusus memuat ketentuan tentang bantuan hukum yang terdapat pada bab XI dan terdiri atas Pasal 36 sampai dengan Pasal 37. Meskipun bantuan hukum masih berupa hak, akan tetapi hak memperoleh bantuan hukum dalam perkara pidana telah dibenarkan memperoleh bantuan hukum sejak dilakukan penangkapan atau penahanan, Pasal 57 ayat 2. Sifat hak memperoleh bantuan hukum pada taraf penangkapan atau penahanan baru bersifat hak menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum dan bagaimana cara menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman belum secara jelas mengatur tentang bantuan hukum sebagaimana yang ditur dalam Pasal 36 dan 37 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sehingga diperlukan pengaturan lebih lanjut. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah diletakkan dasar-dasar bagi peradilan maupun hukum acara, khususnya acara pidana. Namun, Undang-undang tersebut hanya berisikan pokok-pokok yang masih memerlukan pengaturan di dalam bentuk peraturan pelaksanaan dan belum memuat aturan tata cara pelaksanaannya. Kedua, Undang-Undang tentang Advokat tidak menyatakan negara menanggung biaya perkara bagi masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu. Ketentuan mengenai negara menanggung biaya perkara bagi masyarakat pencari keadilan tidak diatur dalam Undang-Undang Advokat. Sedangkan dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan dengan tegas negara menanggung biaya perkara bagi bagi masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu. Ketentuan mengenai negara menanggung biaya perkara bagi masyarakat pencari keadilan diatur dalam Pasal 56 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mewajibkan advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam menangani perkara, dari awal hingga berakhirnya perkara. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman hanya mewajibkan advokat membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Tidak ada penjelasan mengenai membantu penyelesaian perkara. Advokat sebagai penegak hukum mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakan hukum dan keadilan. Dalam proses peradilan kewajiban untuk membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan tentunya mesti dibaca tak terlepas dari statusnya sebagai penegak hukum yang telahbersumpah dalam melaksanakan tugas profesinya akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan. Advokat tidak berada dalam sub ordinasi aparat penegak hukum lainnya karena advokat adalah profesi yang bebas dan mandiri.35 Ketiga, pelaksanaan bantuan hukum dalam Undang–Undang tentang Advokat dijabarkan lebih jelas dalam Peraturan Pemerintah. Ketentuan mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam Pasal 22 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 34
Setiyono, Kewajiban Pemberian Bantuan Hukum oleh Advokat dalam Kedudukannya sebagai Officium Nobile (Suatu Kajian Konseptual terhadap Peran dan Fungsi Sosial Profesi Advokat berdasarkan Kode Etik Advokat Indonesia juncto Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat). Lihat dalam http://aliranim.blogspot.com/2010/09/bantuan-hukum.html, diakses tanggal 5 Mei 2015. 35 A.A. Oka Mahendra, Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum, Jurnal Legislasi Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Depkum-HAM RI, Jakarta Selatan, Vo. 1, No. 4, Desember 2004.
11
Tahun 2003 tentang Advokat. Sedangkan pelaksanaan bantuan hukum UndangUndang tentang Kekuasaan Kehakiman tidak dijabarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, melainkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ketentuan mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dari ketentuan tersebut, pelaksanaan bantuan hukum menurut Undang- UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat secara detail dan teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sedangkan pelaksanaan bantuan hukum menurut diatur UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah, melainkan dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan bantuan hukum menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat seharusnya dapat mendorong advokat betulbetul dapat menangani perkara bagi masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu. Terkait hal ini, Amir Syamsudin saat menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mempertanyakan kurangnya kadar dedikasi para pengacara sukses di Indonesia untuk memberikan bantuan hukum probono. Seolah-olah muncul pemikiran bahwa perkara probono lebih pantas ditangani Lembaga Bantuan Humum (LBH) di bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Padahal memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan miskin ialah kewajiban setiap advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Kode Etik maupun aturan Internal organisasi advokat.36 Sementara itu, jika merujuk pada jaminan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memiliki keterbatasan. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman hanya menjamin hak atas bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu membayar jasa advokat karena persoalan kemiskinan, namun tidak menjamin hak atas bantuan hukum bagi masyarakat yang termarginalkan. Selain itu, pemenuhan hak atas bantuan hukum melalui Pos Bantuan Hukum di Pengadilan sebatas proses hukum di Pengadilan sementara hak atas bantuan hukum sendiri ada dan dijamin undang-undang sejak proses penyelidikan di kepolisian. Persoalannya, tidak adanya jaminan kualitas bantuan hukum yang diberikan, mengingat bantuan hukum diberikan baru saat di pengadilan, padahal penanganan sebuah kasus hukum membutuhkan keterlibatan seorang advokat sejak awal untuk mempersiapkan penanganan perkara dan pembelaan dengan baik. Konsep pemberian bantuan hukum seperti ini seolah menunjukkan bahwa hukum selalu netral dan berfungsi secara ideal. Padahal faktanya tidak demikian. Belum lagi mengenai keterbatasan anggaran pengadilan untuk menyediakan dana bantuan hukum juga ketersediaan pos bantuan hukum yang ada di pengadilan, belum disemua pengadilan ada pos bantuan hukum. Ini mengakibatkan akses bantuan hukum tidak memiliki jaminan kepastian dan keberlanjutan. Kewajiban Advokat Memberikan Bantuan Hukum Bagi Pencari Keadilan yang Tidak Mampu Menurut Undang-Undang Advokat dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dapat Membantu Penyelesaian Perkara Hukum Advokat sebagai salah satu profesi penegak hukum sudah seharusnya melaksanakan berbagai aturan dengan penuh tanggung jawab. Profesi advokat sebagai bagian atau subsistem dari sistem peradilan pidana harus sanggup menyediakan 36 Lihat dalam humumonline.com, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fa399b190322/dipertanyakan–dedikasi-pengacara-suksesuntuk-probono, diakses tanggal 7 Mei 2015,.
12
pembelaan (acces to legal counsel) bagi semua orang termasuk bagi orang miskin dengan ini dapat dilihat pentingnya bantuan hukum bagi masyarakat yang demokratis yang menghormati hak asasi manusia. Sesungguhnya, bantuan hukum dapat menjawab kecemburuan sosial fakir miskin terhadap orang kaya melalui pembelaan nasib mereka dalam bidang hukum. Orang yang kurang mampu menjadi puas dan secara tidak langsung menciptakan angkatan kerja yang lebih mampu dan produktif, yang pada akhirnya mencegah kecenderungan bersimpati pada komunisme. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa hak asasi manusia bagi orang yang kurang mampu harus dibela dan bantuan hukum adalah hak asasi setiap manusia. Bantuan hukum juga sering dianggap sebagai katub pengaman untuk mencegah pergolakan sosial yang mengurangi jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin selalu menjadi ancaman bagi keadilan sosial di Indonesia.37 Kebutuhan terhadap bantuan hukum seorang advokat bagi seseorang yang sedang menghadapi masalah hukum dirasa sangat penting. Bertolak dari asumsi atau pendapat ini, tugas seorang advokat dalam proses hukum ialah untuk membantu hakim dalam menemukan kebenaran hukum, maka kepentingan seorang klien dalam menggunakan jasa seorang advokat ialah upaya mencari perlindungan terhadap hakhaknya yang secara hukum harus dilindungi. Dalam upaya melindungi kepentingan atau hak seorang klien itulah, maka klien membutuhkan seorang advokat karena hampir bagian terbesar masyarakat merupakan komunitas yang awam atau buta hukum. Dalam realitas, keberadaan seorang advokat menjadi sangat penting. Idealnya, profesi advokat senantiasa membela kepentingan rakyat tanpa membeda-bedakan latar belakang, asalusul, agama, budaya, warna kulit, tempat tinggal, tingkat ekonomi, jender, dan lain sebagainya. Pembelaan terhadap semua orang termasuk juga kepada fakir miskin sebagai salah satu bentuk bantuan hukum merupakan wujud dari penghayatan advokat terhadap prinsip persamaan kedudukan dihadapan hukum dan perwujudan dari hak untuk didampingi advokat yang dimiliki oleh semua orang. Ketentuan tentang advokat diwajibkan untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (prodeo) masih harus ditingkatkan karena belum banyak diakses oleh kebanyakan orang miskin dan tidak mampu secara ekonomi. Padahal mereka ialah kelompok masyarakat marginal yang justru paling sering menjadi korban ketidakadilan (unjustice). Kondisi ini sangat ironis dengan predikat Indonesia sebagai negara hukum yang salah satu unsurnya menegaskan adanya perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif. Undng-undang sebenarnya telah mengatur secara tegas tentang hak warga negara terutama yang tidak mampu untuk mendapatkan bantuan hukum baik di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat maupun di dalam UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dari Pasal 56 hingga Pasal 57 mengatur tentang bantuan hukum bagi warga negara yang tidak mampu.38 Jika sungguh-sungguh dicermati ketentuan tersebut, seharusnya advokat konsisten berpegang teguh pada prinsip kesamaan di depan hukum dan tidak mengenal diskriminasi. Artinya bantuan hukum sebagai hak ditawarkan untuk dinikmati oleh siapa saja yang membutuhkan. Namun demikian, persoalan menjadi lain ketika melihatnya dari kajian sosiologi hukum, misalnya dapat disimak dari pasal-pasal tersebut bahwa bantuan
37 Ricko Mamahit, Kedudukan Dan Fungsi Lembaga Bantuan Hukum Dalam Memberikan Bantuan Hukum Kepada Masyarakat Yang Kurang Mampu, Lex Crimen, Vol. 2, No. 4, 2013, hlm. 76. Lihat
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/3090/2634, diakses tanggal 29 April 2015. 38 Agus Nurudin, Revitalisasi Keberpihakan Profesi Advokat Terhadap Klien Yang Tidak Mampu, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 41, No. 1, Januari 2012, hlm. 4.
13
hukum sebagai hak, artinya bantuan hukum merupakan sesuatu yang dapat dituntut/dinikmati. Pemenuhan hak tersebut merupakan suatu kewajiban.39 Yusriyadi menyatakan bahwa bagi yang mampu ekonominya, maka hak bantuan hukum mudah dimanfaatkan setelah memenuhi kewajiban membayar honorarium. Apabila ada orang miskin dan orang tidak mampu membayar honorarium penasihat hukum (advokat), maka bantuan hukum tetap sebagai hak yang tidak dapat dimanfaatkan. Ketika hal itu berlangsung terus-menerus, maka bantuan hukum dalam hukum positif tidak banyak kemanfaatannya. Relevan dengan hal itu, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum yang diciptakan dan tidak pernah dijalankan pada hakikatnya telah berhenti menjadi hukum.40 Dalam praktiknya, hak mendapatkan bantuan hukum apalagi dengan cuma-cuma, masih merupakan retorika para elit politik dan belum menukik ke tataran praktis di tengah-tengah masyarakat yang tidak mampu. Advokat sebagai profesi mulia (officium nobile) memiliki kebebasan dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diartikan bahwa advokat tidak terikat pada hierarki birokrasi. Selain itu, advokat juga bukan merupakan aparat negara sehingga advokat dihaapkan mampu berpihak kepada kepentingan masyarakat atau kepentingan publik. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka kedudukan sosial dari advokat yang demikian itu telah menimbulkan pula tanggung jawab moral bagi advokat yang bukan hanya bertindak sebagai pembela konstitusi, namun juga bertindak sebagai pembela hak asasi manusia, khusunya yang berkaitan dengan hak-hak publik.41 Berkaitan dengan tanggung jawab moral yang dimiliki oleh advokat dan dalam kedudukannya sebagai salah satu pilar atau penyangga dari pelaksanaan sistem peradilan yang adil dan berimbang (fair trial), maka Adnan Buyung Nasution berpendapat bahwa advokat memiliki peran bukan hanya sebagai pembela konstitusi, namun juga sebagai pembela hak asasi manusia. Oleh karena itu, advokat memiliki fungsi sosial dalam melaksanakan tugasnya. Salah satu fungsi sosial adalah memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma khususnya bagi kaum miskin dan buta hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh undang-undang. Daniel Panjaitan berpendapat bahwa pada dasarnya pelaksanaan kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma khususnya bagi kaum miskin dan buta hukum tersebut memiliki tujuan.42 Permasalahan bantuan hukum tidak dinyatakan secara tegas sebagai beban dan tanggung jawab dari negara. Namun, adanya prinsip-prinsip persamaan di hadapan hukum dan perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat merupakan petunjuk bahwa negara wajib memperhatikan masalah bantuan hukum bagi seluruh warga negara khususnya untuk kaum miskin dan buta huruf. Adanya ketidakseriusan dalam penyelenggaraan bantuan hukum oleh negara merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang juga diartikan telah bertentangan dengan hak konstitusional warga negaranya.43 Dalam beberapa hal, advokat juga dibolehkan menolak untuk melaksanakan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma atau probono. Adanya penolakan tersebut tentunya tidak akan diberlakukan sanksi yang tegas karena sifat dari 39
Yusriyadi, Tebaran Pemikiran Kritis Hukum dan Masyarakat, (Malang: Surya Pena Gemilang Publishing, 2010), hlm. 152. 40 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 69. 41 Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. 1. 42 Daniel Panjaitan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, dalam Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum ed. A. Patra Zein dan daniel Hutagalung, (Jakarta: YLBHI dan PSHK, 2007), hlm. 48-49. 43 Asfinawati, Bantuan Hukum Cuma-Cuma Versus Komersialisasi, dalam Bantuan Hukum: Akses
Masyarakat Marjinal Terhadap Keadilan: Tinjauan Sejarah: Konsep, Kebijakan, Penerapan, dan Perbandingan di Berbagai Negara ed. Gatot dan Virza Roy Hizal, (Jakarta: LBH Jakarta, 2007), hlm. 8.
14
pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma atau probono tersebut hanya merupakan kewajiban moral (moral obligation).Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dijelaskan bahwa 62.6% para advokat yang telah diwawancarai mengatakan pengadilan bersama dengan organisasi para advokat bertanggungjawab melaksanakan bantuan hukum di Indonesia dengan anggaran yang tentunya sudah dialokasikan oleh negara. Sisanya menjawab pengadilan dengan anggaran yang disediakan oleh negara. Ada juga yang menjawab advokat sendiri dengan cuma-cuma dengan distribusi oleh organisasi advokat tanpa mengandalkan anggaran dari negara. Dari semua advokat yang telah diwawancarai itu 82,8% diantaranya pernah menangani perkara bantuan hukum. Artinya hal itu memang sudah inheren dengan tanggung jawab profesinya.44 Fakta di masyarakat menunjukkan adanya jurang kesenjangan yang dalam antara jumlah masyarakat miskin yang membutuhkan bantuan hukum dan pemenuhannya. Hal ini mengakibatkan akses keadilan bagi masyarakat miskin dan marginal menjadi semakin menjauh. Pertama, ketidakseimbangan antara jumlah advokat dan masyarakat pencari Keadilan.45 Kedua, penyebaran advokat yang tidak merata. Konsentrasi ekonomi dan pembangunan di kota-kota besar berdampak pula terhadap persebaran advokat. Sebagian besar advokat berada di kota besar sehingga akses masyarakat didaerah terhadap advokat menjadi terbatas. Dua kondisi di atas, diperparah dengan trend komersialisasi profesi advokat. Walaupun dijuluki officium nobile, komersialisasi profesi advokat sejak proses pendidikannya berimbas pada pilihan kasus-kasus yang akan ditangani. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya jumlah advokat yang menjalankan kewajiban etiknya menangani kasus probono.46 Pelaksanaan bantuan hukum sangatlah diperlukan untuk menjamin dan mewujudkan persamaan dihadapan hukum bagi setiap orang terutama fakir miskin. Hal ini juga dimaksudkan guna terciptanya prinsip fair trial dimana bantuan hukum yang dilaksanakan oleh seorang advokat dalam rangka proses penyelesaian suatu perkara, baik dari tahap penyidikan maupun pada proses persidangan sangat penting untuk menjamin terlaksananya proses hukum yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam kenyataanya, pelaksanaan bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan oleh advokat tidaklah mudah dilakukan, banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh advokat ketika mereka memberikan bantuan hukum tersebut. Ada beberapa kendala yang dialami oleh advokat dalam menangani kasus probono. Pertama, kendala dana. Kondisi ekonomi klien yang tidak mampu menyebabkan advokat yang menangani perkaranya tersebut harus rela tidak mendapat uang jasa/transport dari klien, bahkan dia harus rela juga mengeluarkan uang pribadinya untuk membiayai perkara tersebut. Keadaan ini terjadi karena biaya prodeo dalam perkara pidana yang diberikan oleh pemerintah di Pengadilan Negeri rata-rata hanya sebesar Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per kasus sering tidak sampai kepada orang yang membutuhkan. Kalaupun dana prodeo tersebut turun, biasanya hanya setengahnya saja, itupun dengan prosedur pengurusan yang berbelitbelit di Pengadilan Negeri, sehingga banyak advokat lebih rela mengeluarkan dana pribadinya menangani perkara prodeo dari pada harus mengurus dana prodeo dari pemerintah di Pengadilan Negeri yang berbelit-belit.47 44
Megayana Risky Kristiawan, Kewajiban Pemberian Bantuan Hukum oleh Advokat dalam sebagai Officium Nobile. Lihat dalam http://www.academia.edu/3626309/KEWAJIBAN_PEMBERIAN_BANTUAN_HUKUM_OLEH_ADVOKAT_DALAM_ KEDUDUKANNYA_SEBAGAI_OFFICIUM_NOBILE_MEGA, diakses tanggal 7 Mei 2015. 45 Badan Pusat Statistik Berita Resma Statistik, Nomor 06/01/Th. XV, tanggal 2 Januari 2012. 46 Asfinawati, Undang-Undang Bantuan Hukum ….. Op. Cit., hlm. 90-91. 47 Teguh Adminto, Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum Mengenai Implementasi Penanganan Kasus Pro-bono (Prodeo). Lihat dalam http://tittoarema.blogspot.com/2005/12/peran-advokat-dalampenegakan-hukum.html, diakses tanggal 11 Mei 2015.
Kedudukannya
15
Kedua, kurangnya koordinasi dan dukungan dari aparat penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, dan hakim dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma. Hal ini dapat dilihat dari jarangnya permintaan kepada advokat oleh aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa untuk memberikan bantuan hukum ketika ada klien yang tidak mampu secara ekonomi dihadapkan dengan perkara pidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun lebih. Penyidik lebih suka tersangka tidak didampingi oleh advokat. Hal ini biasanya diligitimasi dengan pernyataan klien yang tidak mau didampingi oleh advokat ketika disidik. Kalaupun klien tersebut didampingi oleh advokat, biasanya aparat penegak hukumnya yang menunjukkan sikap kurang bersahabat dengan advokat yang mendampinginya. Adapun harapan advokat ke depan berkaitan dengan pemberian bantuan hukum cuma-cuma diharapkan perlu adanya peraturan atau undang-undang yang khusus mengatur tentang bantuan hukum cuma-cuma. Sekiranya diharapkan adanya dana dari pemerintah dalam hal penanganan perkara prodeo oleh advokat dan diharapkan adanya koordinasi antara advokat dengan aparat penegak hukum dalam pemberian bantuan hukum probono.48 Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada rakyat yang lemah dan tidak mampu, bisa terwujud jika dalam diri seorang advokat masih melekat idealisme yang diimplementasikan dalam bentuk keberpihakan kepada rakyat yang terpinggirkan saat ini sungguh memprihatinkan dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Peran keberpihakan itu dimungkinkan karena posisi advokat yang berada di tengah-tengah masyarakat. Sejatinya advokat berupaya menjalankan tugas-tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan (justisiabel), termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Sebab, advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum (supremacy of law) dan hak asasi manusia (human right).49 Penutup Kewajiban advokat memberikan bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Persamaan kedua undang-undang tersebut adalah dalam hal pemberian bantuan hukum, masyarakat yang tidak mampu berhak mendapatkan bantuan hukum, dan tata cara pemberian bantuan hukum harus berdasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku. Dalam pada itu, perbedaan kedua undang-undang tersebut adalah undangundang tentang advokat menegaskan kewajiban advokat memberikan bantuan hukum secara cuma–cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu, sedangkan dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman tidak menegaskan kewajiban advokat memberikan bantuan hukum secara cuma–cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu; Undang-Undang tentang Advokat tidak menyatakan negara menanggung biaya perkara bagi masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu, sedangkan dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman menyatakan dengan tegas negara menanggung biaya perkara bagi bagi masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu; kemudian undang–undang advokat menjabarkan detail pelaksanaan bantuan hukum dalam peraturan pemerintah, sedangkan undang-undang kekuasaan kehakiman 48
Kasus
Teguh Adminto, Peran Advokat dalam Penegakan Hukum Mengenai Implementasi Penanganan Pro-bono (Prodeo). Lihat dalam http://tittoarema.blogspot.com/2005/12/peran-advokat-dalam-
penegakan-hukum.html, diakses tanggal 11 Mei 2015. 49 Agus Nurudin, Revitalisasi Keberpihakan Profesi Advokat ….. Op. Cit., hlm. 3.
16
menjabarkan detail pelaksanaan bantuan hukum dalam peraturan perundangundangan. Adanya kewajiban advokat memberikan bantuan hukum menurut undang-undang advokat dan undang-undang kekuasaan kehakiman bisa membantu penyelesaian perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Seorang advokat bertugas membantu hakim menemukan kebenaran hukum. Oleh karena itu, kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu menggunakan jasa seorang advokat untuk mencari perlindungan terhadap hakhaknya yang secara hukum harus dilindungi. Perlu pengaturan secara detail dan konkrit mengenai kewajiban advokat memberikan bantuan hukum bagi masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu baik dalam undang-undang advokat maupun dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Apabila undang-undang tentang advokat menghendaki terbitnya peraturan pemerintah, maka peraturan pemerintah yang diterbitkan harus menjabarkan tentang teknis pelaksanaan bantuan hukum bagi masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu. Demikian pula, apabila undang-undang tentang kekuasaan kehakiman menghendaki terbitnya peraturan perundang-undangan, peraturan perundang-undangan yang diterbitkan harus menjabarkan tentang teknis pelaksanaan bantuan hukum bagi masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu.
Daftar Pustaka A.A. Oka Mahendra. 2014. Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum, Jurnal Legislasi Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Depkum-HAM RI, Jakarta Selatan, Vo. 1, No. 4, Desember. Abdul Kadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Abdurrahman. 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: Cendana Press, 1983. Ade Irawan Taufik. 2013. Sinergitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma, Jurnal Rechts Vinding, Vol. 2, No. 2. Adnan Buyung Nasution. 2007. Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Agus Nurudin. 2012. Revitalisasi Keberpihakan Profesi Advokat Terhadap Klien Yang Tidak Mampu, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 41 No. 1, Januari. Asfinawati. 2007. Bantuan Hukum Cuma-Cuma Versus Komersialisasi, dalam Bantuan
Hukum: Akses Masyarakat Marjinal Terhadap Keadilan: Tinjauan Sejarah: Konsep, Kebijakan, Penerapan, dan Perbandingan di Berbagai Negara. Jakarta: LBH Jakarta. Daniel Panjaitan. 2007. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, dalam Panduan Bantuan
Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta: YLBHI dan PSHK. Frans Hendra Winarta. 2000. Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan. Jakarta: Elex Media Komputindo. J. Djohansjah, Akses Menuju Keadilan, Makalah Disampaikan dalam Pelatihan Hak Asasi Manusia Untuk Jejaring Komisi Yudisial RI, Bandung, 3 Juli 2010. M. Akil Mochtar, Bantuan Hukum Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara, Makalah disampaikan dalam Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU) LBH Jakarta, tanggal 30 Maret 2009. Mardjono Reksodiputro, Hak-Hak Warga Negara (Civil Right), makalah disampaikan di dalam sehari-hari tentang KUHAP, yang diselenggarakan FH UI, Jakarta, Maret 1992.
17
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. 2001. Advokat Indonesia Mencari legitimasi, Studi tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: PSHK. Sajtipto Rahardjo. 2001. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas. _______. Hukum dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Genta Publishing. Soenaryati Hartono. 1986. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Bandung: Alumni. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cetakan XI. Jakarta: Raja Grafindo Persada. _______. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia. Todung Mulya Lubis. 2008. Catatan Hukum Todung Mulya Lubis, Mengapa Saya Mencintai Negeri Ini?. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Yudha Bhakti Ardhiwisastra. 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung: Alumni. Yusriyadi. 2010. Tebaran Pemikiran Kritis Hukum dan Masyarakat. Malang: Surya Pena Gemilang Publishing.
18