BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan sektor industri diharapkan mampu tumbuh dan berkembang dengan cepat, sehingga sektor ini mampu memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap laju pertumbuhan perekonomian nasional pada umumnya dan Provinsi Jawa Tengah pada khususnya. Sektor ini diharapkan
dapat memanfaatkan
seoptimal mungfuin
penggunaan sumber daya alam dan manusia, khususnya dapat menyerap tenaga kerja yang
terus bertambah sebagai
akibat terus bertambahnya
jumlah penduduk
di
Indonesia. Menurut Hasil Susenas 20M, penyediaan tenaga kerja di Jawa Tengah adalah
tenaga
kerja yang kurang
terampil (secara keseluruhan dari 14,93
juta
penduduk yang bekerja sebagian besar berpendidikan rendah, yaitu tidak/beltrm tarnat sekolah 9,7yo, idaklbelum tamat SD 18,870 dan tamat SD 39,2yo). Oleh sebab ittl perlu dikembangkan industri yang bersifat padat karya Pengembangan industri kecil merupakan salah satu alternatif untuk menunjang pembangunan regional. Diharapkan sub sektor industri kecil dapat meningkatkan peranannya dalarn panerataan dan perluasan
kesempatan
keda, perluasan
kesempatan
berusaha dan meningkatkan
pendapatan masyarakat. Menyadari akan semua itu, berikut akan diuraikan pengertian tetrtang industri kecil, tenaga kerja, kesempatan dan lapangan pekerjaan, teori-teori yang berkaitan dengan efisiensi penggunaan tenaga kerja serta perencanaan tenaga kerja.
2.1.Industri Kecil dan industri Rumah Tangga
2.1.1. Definisi krdustri Kecil Berbagai definisi indusfi kecil telah dikembangkan di Indonesia, yaitu: a. Berdasarkan Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, maka batasan industri kecil didefinisikan
sebagai kegiatan ekonomi
yang dilakukan oleh
perseorangan atau rumah tffigga maupun suatu badan, bertnjuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan seqlra komersial, yang mempunyai kekayaan
7
bersih paling banyak Rp200 juta, dan mernpunyai nilai penjualan per tahun sebesar Rpl milyar atau kurang. Ditambah lagi dengan b. criteria non fisik, yaitu macailr produknya cenderung ditentukan oleh keterampilan pengrajin, ciri kepemilikarnya atau administasinya
pada urnwnnya masih bersifat
sederhana, kurang teratur dan belurn berbadan hukum serta hubungan antaxa majikan dan bunrh bersifat kekeluargaan, menurut Juoro
( I 986: 15). Biro Pusat statistik
membuat penggolongan industri berdasarkan per cabang kegiatan dalam penggunaan tenaga kerja dengan klasifikasi sebagai berikut:
1) Industri Kerajinan Rumah rangga adalah usaha industri yang mempunyai pekerja antara l-4 orang. 2) Industri Kecil adalah perusahaan industri yang mempunyai pekerj a S-19 orang 3) Indusfi Sedang adalah perusahaan industri yang mempuuyai pekerja 20-99 orang. 4) krdustri Besar adalah perusahaan industri yang mempunyai pekerja 100 orang atau lebih.
Selain klasifikasi di atas, Departemen Perindusnian
RI mengelompokkan industri
berdasarkan misi dan teknologi yang digunakan menjadi tiga kelompok, yaitu Industri Dasar, Industri Hilir dan Industri kecil (Undang-undang No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian, Departemen Perindustrian, Repelita Keempat Sektor Industri, Buku I. Bab IV) (Departemen Perindustrian, t.th.). Industri dasar menpunyai dua misi, yaitu pertumbuhan ekonomi dan penguatan stnrktur industri. Sedangkan industri hilir mempunyai misi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dan industri kecil adalah industri yang mempunyai misi pemerataan. Dalam penggunaan teknologi, industri dasar merupakan industri yang menggunakan teknologi maju dan teruji, tidak bersifat padat karya dan mampu menumbuhkan kegiatan ekonomi lanjutan. Sedang industri hilir menggunakan teknologi maju, teruji atau
teknologi madi4 pada
pelaksanaan program ekspor merupakan andalan utarna dan
tahap awal
industri kecil
menggrrnakan teknologi madia atau sederhana dan bersifat padat karya. Berdasarkan jenis barang-barang yang dihasilkan, industri kecil dapat digolongkan menjadi empat bagian yaitu: 8
1) industi kecil yang mempunyai kaitan dengan industri menengah dan besar seperti industri-industri di bawah ini: (a) industri kecil yang menghasilkan barang-barang yang diperlukan oleh industri menengah dan besar. (b) industri kecil yang memerlukan produk-produk dari industri menengah dan besar baik bahan bakrq maupun sebagai bahan-bahan limbah dari industri menengah dan besar untuk dipergunakan sebagai bahan baku. lndustri kecil yang berdiri sendiri adalah industri kecil yang menghasilkan barangbarang langsung dipakai oleh konsumen (consumer's goods). Industri kecil ini tidak mempunyai kaitan dengan industri lain, misalkan indusfi kecil dibidang pembuatan kompor, pompa ar, kran saluran
air minum, tegel, genteng,
semen rakyat dan
sebagainya.
3) Industri kecil penghasil barang-barang seni adalah: (a) Industri yang menghasilkan barang-barang seni yang disebat Art product (pure art). Misalnya kegiatan yang menghasilkan lukisan" gamelan, patung, pembuatan keris dan lain sebagainya. (b) Industri kecil yang menghasilkan barang-barang atas dasar keterampilan yang berkembang dalam masyarakat yang disebut C raft Products, seperti industri kecil yang menghasilkan kain batik, tenun ikat, kerajinan perak, kuningan, batu tanduk, anyaman rotan, anyaman bambu, dan lain-lain. Industri kecil yang mempunyai pasaran lokal serta bersifat pedesaan adalah industri yang menghasilkan barang-barang yang jangkauan pemasarannya bersifat pedesaan dan masih terbatas, misalnya: (a)
Industri kecil di bidang
pada umumnya masih dalam rangka
pemenuhan
kebutuhan local, antara lain tahu, krupuk, roti dan sebagainya. (b)
Industri yang bersifat
pelayanan
di masyarakat
antara
lain pandai besi,
pertukangan ka5nr, dan lain sebagainya. Selain penggolongan industri berdasarkan jenis barang yang dihasilkan" dalam menentukan apakah industri itu termasuk dalam
9
industri kecil atau tidak, maka kriteria fisik industi maupun non fisik sebagaimana telah dijelaskan terdahulq sangat berperan.
Sedangkan industri kerajinan rumah tangga yang merupakan bagian dari pada indusri kecil, mempunyai kriteria sebagai berikut: (a) Investasi modal untuk mesin-mesin dan peralatan di bawah Rp.500.000,(b) Tidak mempunyai izin usaha. Bank Indonesia mendefinisikan indusfi kecil, yaitu suatu usaha yang mempunyai total asset maksimtrn Rp.600.000.000, tidak tennasuk rumah dan tanah yang ditempati @ank Indonesia,
1991:5). Demikian
pula dengan Departemen Keuangan
mendefinisikan usaha kecil adalah badan usaha atau perusahaan p€rorangan dengan asset atau aktiva setinggitingginya sebesar Rp.300.000.000 atau penjualan maupun omzet maksimal mencapai Rp.300.000.000 pertahm (Bank Indonesi4 l99l;s). Menurut M Safiie Idrus (1988:17), sub sektor industri kecil didefinisikan sebagai suatu usaha yang menggunakan tenaga ke{a antara 5-19 orang dengan asset bersih maksimtrn sebesar Rp.100.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan yang ditempati. Definisi tersebut merupakan definisi kombinasi antara Biro Pusat Statistik denpn Bank Indonesia.
Pengertian sub sektor indusfi kecil industri rumah tzrlrggb disebut pula sebagai suatu kegiatan keluarga yaitu sebagai unit-unit konsumtif dan produktif yang terdiri dari paling sedikit dua anggota rumah tangga yang sama, sama-sama menanggung pekerjaan, makanan dan tempat berlindung (Van Velzen, 1992.35-37). Pengertian rumah tangga dan keluarga dalam definisi tersebut dianggap mempunyai pengertian yang siuna meskipun secira teoritis berbeda dan bertekanan pada rasa bertanggungjawab dalam tugas-tugas produktif maupun reproduktif dalam proses produksi. Adapun ciri-ciri utama dalam kegiatan usaha keluarga berdasarkan hasil penelitian Anita Van Velzen (1992:36) di Jawa Barat adalah: a) Biasanya kegiatan usaha dimiliki oleh pasangan suami-istri dan merupakan
10
pekerjaan utama mereka. b) Kegiatanusaha diturunkan dari satu generasi ke generasi berikumya.
c) Selain anggota rumah tangga, beberapa buruh upahau dapat juga berpartisipasi dalam produksi. d) Anggota keluarga yang bukan anggota rumah tamrgp biasanya dibayar dengan upah yang sama dengan para pekerjayffig tidak mempunyai hubungan kekerabatan. e) Biasanya
tidak ada pemisahan yang jelas antara anggamn
rumah tangga dan
anggaran perusahaan. 0 Di antara anggota nlmah tangga terdapat alokasi tu&s, waktu dan uang agak fleksibel. g) Beberapa
tups
rumah tafrgga
dan
tugas produktif, waktu dan
ruang keda
digabungkan. h) Biasanya tidak ada peraturan waktu kerja yang ketat bagi anggota rumah tangga. Dari uraian-uraian mengenai industri kecil dan kerajianan rumah tangga tersebut, maka akan diperoleh garnbaran, bahwa pada dasamya industri kecil dan kerajianan rumah tangga sebagian besar mempunyai
ciri-ciri industn yang berdasarkan
pada
keterampilan yang bersifat turun-temurun dan tradisional. Bersifat padat karya.
2.1.2. Kebarkan dan Kelemahan Industri Kecil Dengan berdasarkan pada pembangunan yang berorientasi pada konsep pemerataan, maka sub sektor industri kecil dan merupakan potensi ekonomi masyarakat yang mendapatkan perhatian besar. Hal ini dikarenakan industri kecil mempunyai kebaikankebaikan yang kadang-kadang tidak terdapat pada indusfri sedang maupun besar. Secara umllm, kebaikan-kebaikan industri kecil dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Kebaikan: Kebaikan-kebaikan industri kecil: 1. Memiliki sejumlah fleksibilitas dan kemampuan adaptasi yang sulit dilalrukan oleh industri besar dan sedang.
11
2. Tidak tergantung pada sumber tenaga (energl) sehingga dapat menghindarkan dari dari akibat krisis energ. 3. Pemasaran barang-barang kerajinan tidak begitu terpengaruh resesi dunia dan menurunnya intensias perdagangan internasional. 4. Termasuk penyumbang devisa 5. Industri kecil dapat berahan berkat murahnya tenaga kerja yang digunakan. 6. Umumnya terletak di pedesaan sehingga dapat membantu kehidupan petani miskin di pedesaan.
b. Kelemahan: Selain kebaikan-kebaikan yang menguntundcan
tersebut, sub sektor
ini
juga
mempunyai beberapa kelemahan yang sukar untuk dihindari ataupun ditanggulangi. Adapun kelemahan adalah sebagai berikut: 1. Tingkat produksinya rendah, sehingga hanya sanggup memberi sumbangan yang kecil dalam nilai produksi total, nilai perkapia dan tingkat gaji pegawai atau tenaga kerja. 2. Kurang dapat menjangkau pemasaran yang lebih luas. 3. Kurang mampu menyerap teknologi baru yang lebih efisien 4. Mengalami kesulitan dalarn memperoleh kreditidana.
2.2.Tcnaga Kerja dan Kesempatan Kerja 2.2.1. Definisi Tenaga kerja Tenaga ke{a adalah setiap orang yang mampu melalokan peke{aan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebr.*uhan masyarakat (Soeroto, 1986: 10). Sedangkan definisi lain dari tenaga kerja menurut Payaman J. Simanjuntak (1985:10) adalah penduduk yang berumur l0 tahun atau lebih yang sudah atau sedang bekerja yang sedang mencari pekerjaan dan sedang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah danmengurus rumah tangga. Tiga golongan yang disebut terakhir, yaitu mencari kerja, bersekolah serta yang mengurus rumah tangga,
12
walaupun sedang tidak bekerja, mereka secara fisik mampu dan sewaktu-waktu dapat ikut bekerja. Tenaga kerja atau man-po,,ver iri terdiri dari angkatan ke{a dan bukan angkatan kerja. Adapun pengertian dari angkatan keqa "labor Force" mencakup orang yang beke{a dengnn maksud rmtuk memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan, punya pekerjaan tetapi tidak bekerja dan sedang mencari peke{aan (BPS, l99L :29-30). Dengan demikian, maka angkatan kerja yang sesungguhnya terdiri dari:
a. Golongan yang bekerja. b. Golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan. Angkatan kerja yang dapat digolongkan bekerja menurut Biro Pusat Statistik dari hasil sensus penduduk tahun 1990 tidakjauh berbeda dengan hasil sensus 1980, survei penduduk afrtara seilsus 1985 dan sensus penduduk tahun 1971 dalam mendefinisikan keda yang bekerja adalah: Mereka yang selama seminggu sebelum pencacahan melakukan suatu pekerjaan dengan maksud memperoleh
atau membantu
memmemperoleh penghasilan atau
keunhrngan dan lamanya bekerja paling sedikit dua hari. Mereka yang selama seminggu sebeltmr pencacahan tidak melakukan pekerjaan atau bekerja kurang dari 2 hari: a) Pekerja tetap, pegawai-pegawai pemerintah atau swasta yang sedang tidak masuk beke{a (karena cuti, sakit, mogok atalrpun perusahaannya menghentikan kegiatan sementara, misalnya karena kerusakan pada mesin). b) Petani yang mengusahakan tanah pertanian yang tidak bekerja karena menunggu panenan atau menunggu hujan untuk menggarap sawah. Orang-o rang yang beke{a di bidang keatrlian seperti dokter, tukang cukur, dalang dan sebagainya (BPS, l99l:,29). Sedangkan penduduk yang menganggur adalah mereka yang termasuk angkatan kerja tetapi tidak bekerja Penduduk
dan sedang mencari kerja menurut referensi waktu tertentu.
setengah menganggur
ialah mereka yang dimasukkan dalam kelmpok
bekerja tetapi sesungguhnya mereka adalah kaum penganggur ditinjau dari segi jam kerjanya beke{a kurang dari 35 jam serringgu (BPS, 1991:29-30).
13
Yang termasuk bukan angkatan kerja menurut Payaman J. Simanjuntak (1985:6) adalah baglan dari tenaga kerja yang tak beke{a ataupun mencari peke{aan. Mereka itu adalah bagian dari tenaga
kerja
yang sesungguhnya tidak terlibat atau tidak
berusaha untuk terlibat dalam kegiatan produktif yaitu memproduksi barang dan jasa. Kelompok ini terdiri dari: a) Sekolah, yaitu mereka yang kegiatannya hanya bersekolah. b) Mengurus rumah tangga, yaitu mereka yang kegiatannya hanya mengrus rumah tangga tanpa mendapat upah. c) Penerima pendapatan adalah mereka yang tidak melakukan suatu kegiatan tapi mereka memperoleh penghasilan misalnya pensiunan, bunga simpanan dan lainnya. d) Lain-lain, adalah mereka yang hidupnya tergantung pada orang lain karena usia lanjut, l.*puh dungu, dan sebagainya.
2.2.2. Kesempatan Kerja dan lapangan Pekerjaan Kesempatan kerja adalah banyaknya orang yang dapat tertampung untuk bekerja pada suatu perusahaan atau suatu instansi. Kesempatan kerja ini akan dapat menampung semua tenaga kerja yang tersedia, mencukupi atau seimbang dengan banyaknya tenaga kerja yang tersedia. Dengan ketentuan lapangan pekerjaan yang tersedia tersebut mencukupi atau seimbang dengan banyaknya tenaga kerja yang tersedia. Adapun yang dimaksud dengan lapangan pekerjaan adalah bidang kegiatan dari suatu usaha atau perusahaan atau instansi, dimana seorang pekerja atau perrah bekerja (BPS, 1982:3). Lapangan pekerjaan ini digolongkan dalam sepuluh kelompok, yaitu :
a. Pertanian, perburuharl kehutanan dan perikanan b. Pertambngan dan penggalian. c. Industri pengolahan. d. Listrik, gas dan air. e. Bangunan f. Perdagangan" rumahmakan dan hotel g. Angkutan" penyimpanan dan akomodasi 14
h. Keuangan, asuransi dan perdaganganbenda tak bergerak i. Jasa-jasa kemasyarakatan, sosial dan pribadi j. Kegiatan yang tidak atau belum jelas.
Dalam penciptaan kesempatan kerja pada umunnya dipengaruhi oleh dua faktor pokolq yaitu proses produksi dan pasar (Soeroto, 1986:31). Datam proses produksi diperlukan masukan/input
yang berupa bahan baku, modal, sumber daya manusia, alam dan
teknologi yang dikombinasikan untuk menghasilkan output yang berupa barang dan jasa atau investasi yang diperlukan oleh proses produksi yang menghasilkan bmang dan jasa. Selanjufrya diperlukan adanya pasar untuk mendistribusikan output kepada yang menggunakannya (konsumen) agar perusahaan memperoleh pendapatan. Disisi lain, diperlukan pula pasar untuk menyediakan
input bagi proses produksi. Dalam pelaksanaan
pembangunan
di
Indonesia, kebijaksanaan kesempatan kerja telah dirumuskan dalam empat macam kebijaksanaan (Soeroto, 1986:98-111), yaitu:
a. Kebijakan
kesempatan kerja tunum, yang bertujuan memberi
dorongan pada
perlrrasan kesempatan ke{a atau untuk menimbulkan iklim yarng menguntungkanbagr pengembangan dunia usaha untuk penciptaan serta perluasan
kesempatan
kerja.
Dorongan ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat kebijaksanaan ekonomi dan keuangan, seperti perkreditan" perpajakan, bea masuk, suku bung4 nilai tukar mata uang tingkat jarga, upfr, pasar kerja, teknologi, pendidikan dan latihan.
b. Kebijaksanaan kesempatan kerja sektoral, yang dilakukan dengan pembangunan sektoral, baik dilahkan dalam rangka pembangunan nasional, daerah rnaupun desa. Hal ini terutama diarahkan kepada penciptaan kesempatan kerja melalui pemilihan produk dan teknolog yang bersifat padat karya.
c. Kebijaksanaan
kesempatan ke{a khusus,
dimaksudkan
sebagai
program dan
langkah-langkah dalam kebijaksanaan yang direncanakan khusus untuk memperluas kesempatan ke{a dan penggunaan tenaga kerja serta unhrk mengurangi pengangguran 15
yang timbul sewaktu-waktu sebagai akibat musim, bencana alam atau serangan hama yang luas. Kebijaksanaan pembangunan daerah. Pembangunan daerah pada dasarnya mempunyai funpi dalam perluasan kesempatan kerja apabila dilihat dari pembangunan intern tiap-tiap daerah dan hubungan antar daerah. Pada hakekatnya tiap-tiap proyek pembangunan dilahrkan dalam suatu daerah dan kebijaksanaan
kesempatan kerja selalu mempunyai
implikasi daerah
dan
implementasinya pun harus menjadi komponen pembangunan daerah.
2.3 Teori Produksi 2.3.1. Produksi dan Fungsi Produksi Dalam penyelenggaraan usaha, setiap produsen (dalam penelitian ini adalah pengrajin atau pengusaha) akan berusaha untuk mencapai hasil yang
lebih tingg. Produsen
dalam usahanya akan memutuskan untuk meningkatkan pengguman faktor produksi apabila ia merasa yakin bahwa tambahan faktor produksi yang digunakan tersebut akan memberikan tambahan hasil yang lebih besar. Analisis perilaku produsen tersebut sehubungan dengan jenis dan penggunaan faktor produksi dibicarakan dalam teori produksi, khususnya melalui pendekatan fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan bentuk teknis hubungan antara faktor produksi yang disebut masukan (inpu0 dengan hasil produksi atau produk (Heady, dan John L. Dllon, 196l74; Miernylg l97l:171; Ferguson, dan JP Gould, L975:128-129; Henderson, 1980:66).
Faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output banyak sekali jenis atau ragamnya. Umumnya klasifikasi pembagian faktor produksi dikelompokkan 16
sebagai tenaga kerja, bahan baku dan modal. Dalam jan*a pendek faktor produksi tenaga kerja dianggap sebagar faktor produksi berubah (variabel). Penggunaan faktor produksi tetraga kefja berubah-ubah
sesuai dengan perubahan volume produksi.
Sedang faktor produksi yang lain 1{ar4 Faktor produksi modal (mesin, gedung tanah dan sebagainya) diaoggap sebagai fahor produksitetap. Fungsi produksi juga menggambarkan teknologi yang dipakai suatu perusahaan atau usah secara keseluruhan. Dalam jangka pendek (kurang lima tahun) teknologi dianggap tetap.
Suatu model fungsi produksi dalam keadaan tertentu, juga mengeambarkan metode produksi yang digunakan oleh perusahaan. Metode produksi dimaksud adalah metode produksi yang secara teknis eflsien. Artinya, adarrya penggrmaar kuantitas bahan, tenaga kerja dan barang-barang modal yang minimal. Pada umumnya metode produksi merupakan
suatu kombinasi
dari faktor-faktor produksi
yang dibutuhkan untuk
membuat satu satuan produk. Dalam menghasilkan satusatuan produk tersebut dapat digunakan lebih dari satu metode atau proses. Untuk menganalisis apakah kombinasi penggunaan faktor- faktor produksi secara teknis ekonomis efisien, digunakan analisis produk marjirnl (marginal produc,/. Produk marjinat merupakan tambahan produksi yang diperoleh dari penambahan kuaftitas faktor produksi yang digunakan (Heady dan john L. Dillon, 1961:74; Miernyk, l97l:l7l; Ferguson, dan JP Gould, 1975:128-129; Henderson, 1980:66). Besar kecilnya produk marjinal t€rgantung pada besar kecilnya tambahan kuantitas faktor produksi, sehingga dapat dirumuskan sebagai perbandingan antar tarnbahan produk dan tambahan ftktor produksi. Melalui produk marjinal dapat diketahui tingkat produktivitas penggunarm faktor produksi yang bersangkutan dalam kerjasamanya dengan faktor produksi yang lain (Soedarsono, I 984: I 03- I 07). Seperti dikernukakan terdahulq hubungan afrtara faktor-faktor produksi dan hasit produksi dalam teori produksi disebut sebagai fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan gambaran atau pehrnjuk mengenai hubungan antafi faktor-faktor produksi dan hasil produksi. Secara rasional akan mengelola usaha terbatas pada produktivitas & yang merurun. Berarti, setiap penambahan satu unit ftktor produksi sedang faktor produksi yang lain dalam keadaan tetap, akan memberikan 17
kenaikan hasil yang menuruL Dengan kaa lain, faktor produksi diandaikan tunduk pada hokum kenaikan hasil yang berkurang (law of Diminishing retum) (Heady dan john L. Dillon, l%l:74;Mierny( L97l:t7l; Ferguson, dan JP Goul(1975:128-129; Henderson,
1980:66). Demikian ptrla pengusaha/pengrajin
secara rasional akan
berpegang pada hokum tersebut. Apabila
faktor produlsi yang digtrnakan
dalam suatu perusahaan secara umum
diklasifikasikan pada faktor produksi tenaga kerja, balxan dan modal, maka secara matematis dapat dirumuskan dalam frrngsi sebagai berikut;
Sehubgngan
dengan kombinasi
penggunaan faktor produksi dalam menghasilkan
produksi di satu pihak dan tingftat produktivitas
dari
faktor produksi
yang
bersangkutan dalam kerjasamanya dengan faktor produksi yang lain. dipihak lain, maka dapat digambarkan sebagai berikut (Heady dan john L. Dillon" 196l:74; Miernyk, l97l:.l7l; Ferguson" dan JP Gould, 1975:128-129; Henderson, 1980:66) 18
19
Datam gqibar 2.1 produksi iata.rata persahnn falt6 produksi terlihat dtri titik asal m€.truju ke titik kurw produtsi 1ang dihasilkan oleh kuantitas t€rterffir dari faktor produksi png bersangkutan. Huburgan ailara produk marjinal (PtO dan produk rutarata(PR) pada beftagai tingkat pemakaian faktor produksi dapat digarnbarkan sebagai berikut:
20
Berdasarkan hubungan faktor produksi dengan hasil produksinya yang tercermin pada Gambar 2.L dan 2.2, dapat dijelaskan kemungkinan pengguman faktor produksi tenaga kerja, maupun
faktor produksi
lainnya secara ekonomis sebagai berikut:
pengrajin atau produsen yang bertindak sebagai pimpinan dalam usahnya, akan menggunakan faktor produksi tenaga kerja sebelum TK2. Karena penggunaan faktor produksi tenaga kerja sebelum TK2 tingkat produktivitas tenaga kerja terus menerus naik. Sebab makin banyak telnagil kerja digunakan, makin besar kemungftinannya diadakan spesialisasi, sehingga setiap orangmampu memberikan hasil yang lebih besar kemudian pertambahan hasil produksi yang makin besar. Apabila penambahan ftktor 21
produksi teflaga kerja diteruskan, misalnya lebih besar dari TK2, manfaat spesialisasi semakin berkurang karena jumlah tenaga kerja semakin besar. Sehingga produktivitas per tenap ke{amenjadi semakin memrun (misalnya faktor produksi modal adalah tetap). Pada penggrmium rni, penambahan hasil produksi akan semakin berkurang apabila penambahan faktor produksi tenaga kerja diteruskan, maka produktivitas faktor produksi tenaga kerja akan menjadi nol. Terlalu banyak orang yang bekerja misalnya melayani satu mesin akan berakibat kurang efektif. Oleh karena itu, akan lebih mcnguntungkan apabila penambahan ternaga kerja diteruskan, akan tetapi proses penambahannya tidak boleh terlalu jauh sehingga melewati TK3. Sebab nada TK3, penambahan
faktor produksi
tenaga kerja menuju
TK3 tidak akan menambah
produksi sama sekali, jika diteruskan kuantitas produksi akan menurun. Dengan demikian, penggunaatr faktor produksi tenaga kerja yang mempunyai arti penting bagi produsen adalah TK2 dan TK3 yang disebut sebagai fase ekonomis (Heady dan John L. Dillon, 196174; Miernyk, 1971:l7l; Ferguson dan JP Gould, 1975:128-129; Henderson, 1980:66). Dalam hubungannya denagn produksi rata-ratapersahrao dilakukan penggunaan
faktor produksi, apabila
faktor produksi tenaga ke{a yang semakin b*yuh maka
produksi rata-rata persatuan tenaga ke{a akan semakin tingg. Kenaikan produksi rata-rata
ini akan mencapai
puncaknya pada
saat
lereng
kurva produksi
bersinggungan dengan garis sinar (pada saat faktor produksi tenap kerja digunakan sebesar TK2) (Gambx 2.2). keadaan tersebut menunjukkan produksi rata-rataper satuan faktor produksi ]ang tertinggi. Apabila penggunaan tenaga kerja lebih kecil dari TK2, maka lereng garis sinar lebih rendah dari lereng kurva produksi total, sehingga kurva produksi marjinal terletak disebelah atas dari kurva produksi rataqata. Demikian pul4 apabila
faklor produksi ter:m;ga ke{a digunakan
lebih besar dmi TK2, maka
akanmernberikar tambahan produksi yang lebih rendah daripada produksi rata-rata. Karena
lereng
garis sinar selalu lebih tinggi daripada
kedudukan kurva produksi rata-rata selalu lebih
lereng kurva produksi,
itrggi daripada
kurva produksi
marjinal. Dapat dikatakan dimana tambahan produksi lebih besar daripada produksi rata-ratfl,, kurva produksi
rata-rata
pasti naik atau produksi rata-rata pasti lebih 22
daripada
5ssglrrmnya
dan dimana
tambahannya
lebih rendah dari rata-ratanya,
produksi fita-rataloya akan menurun. Dengan menerapkan konsep-konsep tersebut di atas, maka kombinasi penggunaan faktorproduksi dalam menghasilkan produk akan diketahui tingkat penggunaanya semra efisien dalam fimpi produksi.
2.3.2 Bentuk Fungsi Produksi Berdasarkan bentuk hubungan antara p€nggunaan faktor-faktor produksi dan hasil produ*si, maka terdapat beberapa bentuk model fimgsi produksi, yaitu:
a. Fungsi produksi Cobb Douglas Dalam menjelaskan efisiensi penggunaim faktor produksi dapat pula digunakan firngsi produksi tipe Cobb Douglas yang diajukan oleh C.W Cobb dan P.H Douglas dari Amerika Serikat pada tahun 1928 (American Economic Review (AER), Volurne XVI[; No. 1 page: 139-165, March, 1928; Heady dan John L. Dillon, 196175; Soekartawi, l990.2l) dalam model sebagai berikut:
23
24
25
Parameter
bo merupakan
indek eflsiensi
yang mencerrninkan
hubungan antara
kuantitas produksi Y pada satu pihak dihadapkan pada faktor produksi modal dan tenaga kerja
bersama-sama
pada
lain pihak. Tinggi
rendahnya
indek tersebut
menggambarkan berapa banyak faltor produksi dibutuhkan untuk memproduksikan Y. Makh besar indek tersebut, makin efisien pula proses produksinya.
Sedangkan parameter bl dan b2 menggambarkan hubungan antar faktor produksi modat dan tenaga kerja. Apabila b1>b2, maka firngsi produksinya bersifat padat modal dan b1
1. Contoh atau sample
perusahaan
yang dipakai
diambil smara acak. Terjadi
persaingan sempurna di antara masing-masing sample sehingga bertindak sebagai price takers di mana baik Y maupur X diperoleh secara bersaing pada harga yang bervariasi. Masing-masing
variable
yang dipakai mempunyai nilai yang bervariasi diantara
masing-masing sample. Tiap kelompok sample tertentu dihadapkan pada tingkat teknologi yang berbeda dan karenanya tidak selalu constont retum to scale Karena fimgsi produksi Cobb Douglas lebih mudah diselesaikan dengan fungsi logaritma, maka tidak boleh terjadi pengamatan atau data yang bernilai nolPendugaan pararneter yang dilakukan harus menggunakan Ordinary Least Squore yalrg memenuhi persyaratan "BLUE" ataa best linier unbiased estimator (Soekartawi, 1990: 16 1 -162). Dengan anggapan bahwa asurnsi-asumsi tersebut dipatuhi, malca dapat disusun beberapa variable bebas (faktor-faktor produksi) yang dianggap berpengaruh pada hasil produksi (variable tidak bebas) ke dalam model penduga firngsi produksi yang sesuai.
26
Apabila asumsi-asumsi tersebrtr tidak dapat dipenuhi, maka bentuk hubungan antara faktor-faktor produksi dengan hasil produksi dapat diestimasi dalarn bentuk hubungan firngsi power, yaitu :
Dengan asumsi etastisitas adalah konstan dan produk marjinal bertanda negative atau positif, koefisien regresi untuk b1 dan b2 merupakan koefisien elastisitas produksi secara parsial (Heady dan John L. Dillon, 1961:83). b. Fungsi produksi CES Sehubungan dengan asumsi-asumsi yang hanrs dipatuhi dalam penggunaan model firngsi produksi Cobb Douglas dan hasil penelitian Solow pada tahun 1961 tidak terbukti dalam
pengujian empiris (Soewito, 1987:50),
maka
dalam men-
generalisasikan penggunaan funsi terebut dapat digunakan Fungsi
27
Produksi CES (Constant Elasticity
of
Substitution) yang pertama kati
diperkenalkan Arrow, Chenery, Mnhas dan Solow dalam Review of Economics Statistics (August 1961.p225-250) dalam bentuk sebagai berikut:
(tz) q = alil<-o + Q -
a
ilI;eTYP
Keterangan:
a A 6 K L p
= Hasil Produksi = Parameter efisiensi (a > 0) = Parameterdisfribusi (0 <, <1) = Kapital /modal = inputtenaga kerja = Parameter substitusi (p > -1)
Oleh Fletcher dan Lu,
funpi
CES tersebut dimodifikasi dengan frrngsi VES
{Variabel Elasticity of Substitution) dengan bentuk sebagai berikut (Lu dan Fletcher, 1969:M9452).
(13)
q
= a!-o + e - fie(/i,)-to * dI;'Y''
Keterangan:
q A 6 p € C
= = = = = =
Hasil Produksi Parameter efisiensi Parameter distribusi Parameter substitusi eta dan
konstanta
Menurut hubungan fungsional (12), produktivitas tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi besarnya tergantung pada intensitas rasio antara modal dengan tenagakerja, besarnya
(14) o=
d,d. Sedang*an elastisitas substitusi besanrya:
.lt+p
Dengan demikian dapat diperoleh kemungkinan besamya
o
adalah:
l)1
l 2)p=0,makao=1 .11
LT
3)0< p<@,makao
Dengan perluasan dari fimgsi produksi CES adalah fungsi produksi VES
(Variable Elasticity of Substitufion). Fungsi produksi
ini besamya
berubah
mengikuti perubahan proporsi firngsi produksi (rasio masukan) yang digunakan dalam proses produksi.
Sejumlah hubungan dapat ditaksir dengan membuat regresi logaritrna masukan per tenaga kerja baik dengan upah
riit
maupun rasio modal dengan
tenaga kerja (Lu dan Flechter;1969:M9452).
Yang dimaksud dengan elastisitas substitusi dalam bentuk hubungan ftngsi
produksi CES adalah alat pengukur untuk mengetahui mudah tidaknya berbagai faktor produksi saling menggantikan satu sama
tin. Apabila, berarti
produksi tidak terbatas, sedangkan apabila o, maka salah satu faktor produksi bertambah dan faktor produksi lain diusahakan konstan dan produksi akan mencapai batas maksimum.
Apabila
o > 1, maka
faktor-faktor produksi dapat saling menggantikan
sehingga apabila salah satu faktor produksi relative tumbuh lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan faktor produksi yang lain, teknologi produksi
memungkinkan faktor produksi
yang relatif tumbuh lebih cepat mudah
mensubstitusi faktor produksi yang tumbuh lambat, sehingga produksi akan meningkat cepat pula.
Apabila
o ( 1, maka faktor produksi yang
relative tumbuh cepat sukar
mensubstitusi faktor produksi yang laju pertumbuhannya lambat, sehingga
laju pertumbuhan produksi dihambat oleh faktor produksi yang tumbuh lambat.
Dalam menentukan model pertumbuhan jangka panjang perekonomian suatu negara, Profesor
RM Solow (Jhingan, 1990.344) telah menggunakan bentuk
fungsi produksi CES dengan bertekanan pada rasio modal dengan tenaga ke{a dan menggunakan asumsi sebagai berikut:
28
a) Terdapat satu komoditi gabungan yang diproduksi. b) Yang dimaksut output adalah output netto, iaitu sesudah dikurangi biaya pen5nrsutan modal.
c)
Retum to scale bersifat konstan atau f,rngsi produksi adalah homogen pada derajat sama.
d)
Dua faktor produksi yang digunakaa yaitu tenaga kerja dan modal dibayar sesuai dengan produktivitas fisik marginal mereka.
e)
Flarga dan upah fleksibel.
0
Tenaga ke{a terpekerjakan secara penuh.
g) h)
Stok modal yang ada juga terpeke{akan secara penuh.
i)
Kemajuan teknik bersifat nefial.
Tenaga kerja dan modal dapat disubstitusikan secara penuh.
Dengan asumsi tersebut, Solow menunjukkan dalam modelnya bahwa koefisien teknik yang bersifat variablg rasio terLaga kerja modal akan cenderung menyesuaikan dirinya dalam perjalanan waktu menuju kearah rasio keseimbangan. Apabila rasio sebelumnya antaru modal terhadap tenaga kerja lebih besar, modal dan output akan ttrmbuh lebih lamban daripada tenaga kerja dan sebaliknya. Analisis tersebut berakhir pada
jalur keseimbangan (keadaan
mantap) yang berangkat dari sembarang rasio modal tenaga ke{a.
c.
Fungsi Produksi Trancendental Fungsi Produksi Trancendental untuk pertama kali diperkenalkan oleh Halter dkk, yang menggambarkan kondisi produksi marginal dapat naik dan menurun
dalam kondisi negative (negative marginal product) dan apabila salah satu
variable bebas bemilai nol, maka
funpi
Dalam kondisi tertentu frrngsi produksi
tersebut tidak dapat diselesaikan.
ini akan
menjadi firngsi Cobb-
Douglas. Bentuk umum dari fungsi Transendental tersebut adalah (Halter, Carter dan Hocking 1957:966-974\:
(15) f =1{f,BtsctxrYrbzsczxz ]-1, Dimana: 29
Y Xi A
B,
:output
:input
C : parameter yang akan diduga
e u d.
:bilangan konstan
:
Ealat
(disturbance term)
Ftrngsi produksi Translog Fungsi produksi Translag dapat dinrliskan dalam bentu (Soekartawi, 1990:2324). 1
6) log
Y:
log A+b 1logX1+$1ogX2+b3(logXllo$Q)+u
di mana
Y X
:output
: input b1,b2,b3 : parameter yang diduga : intersep A :galat (disturbance term) U
Fungsi produksi Translog terse-but dapat benrbah bentuknya menjadi
funpi
produksi Cobb-Douglass apabila pararneter b tidak berbeda nyata dengan nol.
2.4.
Teori Efuiensi Dalam fungsi produksi dirumuskan bahwa untuk menghasilkan produk
(ou@ut) mutlak diperlukan faktor produksi (rnpu!. Banyak sedikitnya kuantitas
faktor produksi secara ekonomis yang akan dipakai menghasilkan produk akan menentukan pula keadaan efisiensi proses produksi. Efisiensi produksi dimaksud menggambarkan besanrya biaya atau beban atau pengorbanan yang harus dibayar
atau ditanggung dalam menghasilkan produk. Umurnnya pengertian efisiensi dibedakan dalam dua kategori yang berbeda, yaitu efisiensi teknis (operasinal) dan
efisiensi harga (ekonomr$ (Abdul Kadir Hamid, 1972:16-17, Soewito, 1987:55).
Efisiensi operasional/teknis adalah sebagai usaha atau kegiatan yang bertujuan mengurangi biaya dari input dengan anggapan bahwa outptfi pada saat
itu tetap
tidak berubah. Sedangkan pada pengertian efisiensi ekonomis sudah tennasuk
30
dalam efisiensi produksi sehubungan usaha produsen dalam
upayanya
memaksimalkan keuntungan. Secara mate,matis efisiensi penggunium faktor produksi (misalnya tenaga
kerja) dapat digrmakan tingkat elastisitas produksi. Elastisitas produksi adalah suatu koefisian yang menjelaskan pengaruh perubahan jumlah hasil produksi
(ouQut) yang dihasilkan akibat adanya perubahan jumlah faktor-faktor produksi (inpuQ yang digunakan (Heady dan Ferguson dan JP Gould,
john L Diloq 196l74, Miernyk, l97l.171,
1975:128-l2t Henderson, 1980:66).
dY
(t7)
Ep =
#,
atau
xr AY
(LB)
Ep:
&
atuu.
xl
dY (19) Er: ,il,Y *X'
Apabila dilihat kembali melihat rumus
(6,7
dan
8) maka berdasarkan
rumusan tersebrfr akan ditentukan besar elastisitas produksi berdasarkan hubungan
marjinal (PM) dan produk rata-rata (PR) sebagai berikut:
(20) Ep = Ptlx*
atar_
PR
(2t)
Ep =
ry PR
Keterangan:
Ep : elastisitas produksi Dy : perubahan hasil produksi Dxl :
perubahan peggunaan faktor produksi tenaga kerja
PM :
produk marjinal (tenaga
Y :hasilproduksi Xl : faktor produksi tenaga kerja
PR : produk rata-rata(tenaga
ke{a): MPPXI ke{a
):
APPxI
31
Efisiensi penggunaan tenaga ke{a secara teknis tercapai pada saat PR maksimrrm
atau PR berpotongan/sama dengan PM sehingga elastisitas produksi (Ep)
: I
(Abdul Choliq, 1985:15) Dalam konsep efisiensi ekonomi unttrk meneirtukan tinglot produksi maksimum, hubungan fisik frktor produksi belurrlah cukup. Syarat yang harus terpenuhi adalah mene,ntukan suatu indikator pilihan Indikator pilihan tersebut
dicerminkan oleh perbandingan antara harga faktor produksi dengan harga produksi ( outpu$.
Apabila keuntungan didefinisikan sebagai selisih antara nilai produksi
frktor produksi tidak teap yang digunakaq maka model keuntungan
dengan nilai
and
(22)
r:
pf
(X,........,r,)-fU-x,
Keterangan:
tt p
adalahhargaoutputperunitdan
Hxi
adalah harga faktor produksi tidak tetap per
X
adalah faktor produksi tidak tetap dan
adalahkeuntungan jangka pendek
i:
unit
1,..,n
Syarat untuk tercapainya keuntungan maksimum adalah turunan pertama
funpi
keuntungan sama dengan nol, sehingga nilai produk ma{inal sama dengan
harga input. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
@)#='*?P-Hx:o (24)
tr -MPP.. -Hr' x,Aip
32
Dengan menggandakan produk fisik ma{inal (MPPxi) terhadap harga output atau p, akan memperoleh nilai produk marjinal untuk input
xi
(I.{PMxi)
yang sama dengan harga input yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
(25)
NPMo:Ho atau NPMil;Ho:!
Dengan demikian" keuntungan maksimurn seorang pengusaha akan dicapai bila jumlah input/faktor produksi yang digunakan ,"rLspbinasi sedemikian rupa sehingga
nilai marjinal dari input tersebut
sama besarnya dengan harga satuan
input yang bersangkutan.
2.5.
Efisiensi Penggunaan Tenaga kerja Pengertian industri
sffira umum dapat didefinisikan
sebagai kegiatan
ekonomi yilng mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi dan
jadi menjadi barang-barang dengan nilai yang jauh lebih trngg penggunaannya (Undang-undang Nomor 5 tahtur 1984, Bab I, Pasal I). Ffasil
atau barang
proses atau kegiatan ekonomi tersebut lazimnya disebut sebagai ou@ut atau
keluaran atau produk atau hasil produksi. Dalam upaya menghasilkan produk/output pengusaha (dalam penelitian ini adalah pengelol4 produsen) akan menggunakan faktor-faktor produksi atau input produksi dalam penggunaan yang
berbeda. Pada umr,mnya pengusaha dalam kegiatannya akan berusaha untuk memutuskan peningkatan penggunan faktor produksi apabila tambahan faktor produksi yang diberikan tersebut akan memberikan tambahan hasil yang lebih besar.
Faktor produksi yang digunakan dalam menghasilkan output banyak sekali
jenis dan ragamnya, tetapi lebih cenderung dikelompokkan pada karakteristik faktor produksi tenaga kerja, bahan dan modal. Dengan demikian faktor produksi
adalah mutlak diperlukan dalam menghasilkan output. Sedangkan banyak sedikiurya kombinasi penggunaan faktor produksi secara ekonomis dan teknis akan sangat berpengaruh pada efisiensi proses produksi.
Pengertian efisiensi sangat relative, diartikan sebagai upaya penggunaan
input (faktor produksi) sekecil-kecilnya untuk mendapatkan output
produksi) yang sebesar-besarnya (Abdul Kadir
Hami{
(hasil
1972:16;
Soekartawi,l990:41). Seperti yang telah dikemukakan terdahulu eflsiensi dalam
aa
-r-'t
menghasilkan produk disebut sebagai eflsiensi produksi, yaitu efisiensi yang menggambarkan besamya biaya atau beban atau pengorbanan yang dibayar atau
ditanggung dalam menghasilkan produk. Situsi demikian akan terjadi apabila pengusaha mampu membuat suatu upaya
jika nilai produk madinal (NPM) untuk
suatu input akan sama denean harga input (P), atau dapat dihrliskan sebagai
NPMx
:k
atau NPIvIx/Px
: l.
Demikian halnya dengro tenaga kerja yang merupakan salah satu input
(faktor produksi) tingkat efisiensinya dapat diukur dengan menggunakan formula di atas. Tetapi kenyataan sering menunjukkan bahwa Nilai Produk Marjinal faktor
produksi tenaga ke{a tidak selalu sama dengan harga input tefragil kerja per satuan. Artinya, terjadi kondisi belun dan tidak efisien atau dapat dirumuskan sebagai:
1. NPMtk/ftk > I ; artinya penggunaan input tenaga kerja
belum efisien dan
untuk meningkatkan tingkat efisiensimaka input tenaga kerja perl ditambah.
2.
NPMtk/Ptk
<
I
; artinya pengguoaan input
tenaga keda menunjukkan tidak
efisien; agar mencapai tingkat efisiensi, maka pengggunaan input tenaga kerja
perlu dikurangi. Keadaan tersebut di atas disebut efisiensi harga Allocative efficiency. Apabila efisiensi harga dipergunakan
atau
sebagai
pengukuran tingkat efisiensi produksi, maka perlu diperhatikan beberapa hal
yang berhubungan dengan variable harga yaitu tingkat transfonnasi antara
input dengan output dalam penggunaan firngsi produksi dan perbandingan (nisbah) antara harga input dan harga output sebagai upaya untuk mencapa
indikator efisiensi. Kemudian penggunaan input (faktor produksi) dapat pula dipergunakan dengan pengukuran tingkat elastisitas produksi.
2.6.
Perencanaan Tenaga Kerja Perencanaan tenaga
ke{a adalah proses penyusunan progftm penyediaan
tenaga memenuhi kebutuhan untuk melaksanakan usaha atau kegiatan pembangunan yang direncanakan dan program pendayagunaan sumberdaya manusia secara optimal untuk suatu periode tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan proses perencanimn tenaga kerja dapat
digolongkan dalam enam tahap yang saling berkaitan, yaitu:
34
1.
Perkiraan keseurpatan kerja.
2. Petkiraan penyediaan tenaga kerja. 3. Perkiraan kekurangan dan kelebihan tenaga untuk
setiap
jenis dan tingkatan
pendidikan.
4. Perencanaan pendidikan 5. Perencanaan latihan. 6. Penyesuaian rencana. (Simanjunah 1985:128-129; Departemen Tenaga Kerja RI, 1995.3; Swasono dan Endang Sulistyaningsih, 1987:33; Torrington, Derek dan Tan Chwee Hwat, 1994:88-89).
Sesuai dengan ruang lingkupnya, perencanaan tenaga kerja bersifat makro
dan mikro. Perencanaan tenagl kerja makro mencakup perencaniuro secara nasional, meliputi seluruh sektor ekonomi. Yang digolongkan dalam perencanaan tenaga kerja mikro mencakup tingkat penrsahaan atau industri, organisasi atau departemen. Perencanaan tenaga ke{a makro dan mikro mempunyai prinsip yang sama,
yaitu penyusunan perkiraan kebutuhan dan penyediaarltenaga untuk waktu
perencanaan.
Sejalan dengan srategi pembangunan yang bernrjuan untuk perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha pada sub sektor industri kecil, maka peranan tenaga kerja dan penggunaan tenaga kerja harus dapat ditingkatkan dalam upaya
pertumbuhan ekonomi dan sosial. Secara ekonomi, lebih jauh dapat dijelaskan
bahwa sebenarnya tenaga kerja memprmyai kedudukan yang rangkap, yaitu sebagai tenaga kerja yang menjalankan segala kegiatan pembangunan dan sebagai
penghasil pendapatan bagi rumah tangga yang akan menimbulkan permintaan
efektif dan pasar yang akan membeli barang dan jasa yang dihasilkan dalam pembangunan. Oleh karena itrq dengan dapat ditentukannya efisiensi pengunaan tenaga kerja, maka kesempatan tenaga kerja dapat diperkirakan dan akfiimya dapat disusun pola perencaftIan tsnagakerja di masa yang akan datang. Dengan
demikian maka perencanium kebutuhan tenaga kerja merupakan komponen yang harus ada dalam perencaniurn pembanguan di samping perencaftmn masukan dan
keluaran yang lain.
35
Depnaker te,naga kerja
RI
sebagai lembaga yang bertugas m€nyusun perencanaan
strara mal
pola pere,ncanaan tenap kerja sebagaimea gambar/skema (2.2, 2.3, 2.4) ( Depirtemen Tenaga kerja
RI,
1987/1988:15
; hqtepen
Tenaga
Koja
TI,
l9 fl5:8-24).
36
|-
Targ€t Perturnbuhan Ekonomi Nacianal / Sektnral
Model- model kebutuhan tenasa leria
Pe*iraan kesempatan kerja rnenurut sdGor dan jabatan (IOM)
Ferkiraan kesempatan kerja nenurut selCor dan pendidikan (IEM)
SKEMA
PERE\|O{NAAN
2.2
TEMGA KER]A
Sumber : Depafternen Tenagp Kerja RI; Dirjen Binapenb Proyek Ferencanaan dan Pengerahan Tenaga kerja. 19821988
37
Target pertumbuhan
produksi & PDB NasionaVSektoral
Elastisitas TK dan
atauKoefisienTK
SKEMA 2.3 IMPUI(ASI PERENOINA/{}I TENAGA KER,A
Sumber : Depaftemen Tenaga Kerja RI; Dirjen Binapenta Proyek krencanaan dan Pengemhan Tenaga kerja. 19871988
38
RINGKASAI.I METODOLOGI PERHITLJNGAN PROYEKSI KEBUTUHAN KESEMPATAN KERJA
SKEMA 2.4 RINGKASAN METODOLOGI PERHMJNGAN PROYEIGI KEzuTUHAN KESEMPATAN KER'A
Sumber
2.7.
:
Departemen Tenaga Kerja RI; Drjen Binapenta Proyek Perencanaan dan Pengerahan Tenaga Kerja, 19871988
Pendekatan-pendekatan Perencanaan Tenaga Kerja 39
Terdapat enam pendekatan yang dapat diterapkan dalarn membuat perencanaan
tetagt kerja
di Indonesia. Pendekatan-pendekatan
tersebut ialah
(Swasono, 198215; Swasono dan Endang Sulistyaningsih,l9ST :33-232)
2.7.1.
The
:
Mediterronian Regronat Proiect technigrrc (MRP), yaitu suatu teknik
atau metodologi yang dipelopori oleh Bapak Man Power Planning School
(Bapak Pames). Dengan asumsi bahwa ada hubungan afrtarapertumbuhan
ekonomi dan ou@ut dari suatu sistern pendidikan dalam perbandingan yang tetap. 2.7
.2.
Rate of Return Approach, yaitu konsep yang dibuat berdasarkan pemikiran
bahwa biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pendidikan dan latihan
merupakan suatu investasi. Konsep
ini
tenrtarna digunakan untuk
pengambilan keputusan investasi di bidang pendidikan dan latihan.
2.7.3. Pendekatan Input Outpul, pendekatan ini terutama berdasarkan table input-output dari pendapatan nasional Indonesia, kfiususnya koefisien tenaga kerja dan estimasi kebutuhan tenaga kerja menurut
jenis industri
yang padat karya.
2.7.4. Pendekatan Fungsi Produksi/ Kesempatan Kerja, yaitu suatu pendekatan perencanaan tenaga kerja yang menggunakan metode model f,rngsi produksi dengan maksud untuk mengetahui tingkat produktivitas tenaga
kerja pada berbagai penggunimn. Secara sederhana hubungan hasil produksi merupakan firngsi penggunaan modal dan tanaga kerja satu sama
lain melalui flrngsi tertentu. Salah satu yang dikenal adalah
fungsi
produksi Cobb Douglass sebagaimana dijelaskan terdahulu. Dalam hal ini pengaruh kemajuan teknotogi dianggap merupakan
funpi
eksponen dari
waktu, yang dapat dibedakan berbagai tenaga kerja menurut jenis jabatan
atau sektor. Perhitungan yang sederhana dalam fungsi tersebut adalah dargan menggunakan kondisi Constant returns to scole atau koefisien parameter tenaga kerja dan modal
:
l.
2.7.5. Social Demand Approach (SDA), yaitu pendekatan yang menganggap bahwa pendidikan dan latihan terraga kerja tidak hanya bertujuan untuk memrnjang pembangunan ekonomi, tetapi untuk memenuhi permintaan
40
masyarakat terhadap pendidikan dan latihan tenaga kerja atau lebih menekankan pada aspek konsurnsi pendidikan (dari masyarakat) dari aspek investasi.
2.7-6. I
Persediaa tenaga kerj4 pendekaran yang dilakukan dengan menjumlahkan beberapa aspek yang berkaitan dengan:
a.
Jumlah tenagil kefa (bekeda dan menganggur) pa{a jenis jabatan
I
b.
Jumlah tenaga kerja yang banr masuk pasar ke{a pada jenis jabatan
I
dari system latihan formal dan infonnal.
c.
Jumlah tfrnaga kerja pindah dari jenis jabatan
di
masa yang akan
datang.
dikurang dengan:
d. Perkiraan kematian di masa yang akan datang untuk jenis jabaran i. e. Keluar dari angkatan kerja di masa yang akan datang dari jenis jabatan i.
f.
Migrasi netto dari jenis jabaan i.
g.
Jumlah tenaga ke{a keluar dari jenis jabatan I oleh karena alasan lain seperti : perkawinan, cacat dan lain-lain.
Berdasarkan tujuan pustaka yang telah dijelaskan terdahulu, maka dalam
pembahasan lebih laqiut ditekankan pada pendekatan
firnpi
produksi dan
kesempatan ke{a.
4t
BAB TTT TUJUAII DAI\ MANFAAT PEI\-ELMIAN
3.1.
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian terdahulu, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut'.
l.
Tujuan Umum
Menganalisis penyediaan lapngan ke{a dan efisiensi penggunaan tenaga kerja yang dapat digunakan sebagai dasar dalam penyusunan perencaniurn tenagake{a sub sektor industri kecil di Jawa Tengah.
2.
Tujuan Khusus
a. Menganalisis apakah sub sektor industri kecil di Jawa Tengah dapat menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.
b.
Menganalisis pengaruh penggunaan faktor-faktor produksi terhadap hasil produksi, yaitu mengetahui pengaruh penggunaan faktor produksi berupa
:
bahan (baku, tambahan dan kemasan), tenaga k".ju, modal (modal awal dan modal ke{a), kebutuhan energi dan peralatan produksi, penggunaan
teknologi, pendidikan pengusaha, pengalaman usaha,
besarnya
pengeluaran untuk upah terhadap hasil produksi.
c.
Menganalisis efisiensi penggunaan tenaga kerja, khususnya mengevaluasi
tingkat efisiensi alokasi dari faktor produksi tenaga kerja.
d.
Menganalisis substitusi tenaga kerja dengan model kerja dengan maksud untuk menunjukkan apakah kombinasi faktor produksi lebih bersifat padat
karya atau untuk menganalisis berapa banyak substitusi modal kerja tambahan yang dibutuhkan untuk dapat menciptakan lapangan peke{aan
tambahan serta untuk menganalisis sejauh mana elastisitas substitusi penggunaan faktor produksi tenaga kerja dengan faktor produksi modal.
e.
Untuk menentukan model fungsi produksi perencanaan tenaga kerja yang tepat dan dapat digunakan sebagai model proyeksi kebutuhan kesempatan
l'-i
kerja di tingkat regional dengan maksud sebagai dasar perencanaan tenaga kerja nasional.
*'i
3.2.
ManfaatPenelitian
r.
Lfaoil penelitian maali+ioi-i diharapkan lilo-^Lot Aaat *o*Lo-iLoini daptmemberikan Ilasil
lrnanfaa;t ooL--i sebagal L-;l-r'+. berikut: -o-foaa
:xHffi,#ffiT#,#:H,;:ffi'ffffiJil teori efisiensi dalam penggunaan faktor-faktor produksi.
2.
Bahan pertimbangan bagi pengelola industri kecil dalam mengelola usahanya
3
untuk memperoleh hasil pro&rksi yang diharapkan.
:HHffi"ffi:ffi"hl:H#tri
basi
pihak'pihak
43
BAB TV METODE PENELITIAN
4.1.
Rancangan Penelitian.
Penelitian mengenai analisis kesempatan kerja dan efisiensi penggunaan tenaga kerja pada industri kecil dilaksanakan di daerah Jawa Tengatr, karena daerah
Jawa Tengah merupakan daerah konsentrasi beberapa industri kecil yang dapat diandalkan dalam pertumbuhan industri kecil nasional dengan jumlah penduduk sebagai sumber daya manusia/tenaga kerja yang besar. Sedangkan obyek yang dikaji
dalam penelitian
ini
adalah pengusaha industri kecil yang berfungsi sebagai
pengelola/produsen maupun sebagai pemilik yang melakukan usaha dan tergabung dalam lima cabang pembinaan berdasarkan jenis produk yang dihasilkan sebagaimana penjelasan terdahulu.
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada teori ekonomi produksi dan perencaruum tenaga
kerj4 khususnya menyangkut kondisi usaha, kesempatan ke{a,
efisiensi dan produktifitas faktor produksi (input). Sesuai dengan tujuan penelitian, maka metode penelitian yang digunakan
adalah ex post facto yang eksplanatori. Hal
mencapai tujuan pengembangan
ilmu
ini
sesuai dengan usaha peneliti untuk
pengetahuan yang diantaranya adalah
menerangkan atau menjelaskan tentang faktor-faktor produksi yang dominan dan
signifikan yang mempengaruhi hasil produksi dengan menggunakan teknik-teknik statistik rale_liata (rerata), perbedaan regresi linier berganda sederhana dan korelasi.
4.2.
Teknik Penarikan Sampel. Dalam penelitian yang merupakan unit analisis adalah sub sektor industri
kecil dan sebagai unit sampling adalah pengusaha unit usaha industri kecil yang ada
di
daerah Jawa Tengah berdasarkan jenis produk yang dihasilkan (ienis usaha
berdasarkan kode ISIC 5 digit, hasil sensus ekonomi 1996, sensus penduduk 2004
dan Departemen Perindustrian Jawa Tengah 2004). Teknik penarikan
sampel
dilakukan dengan metode stratified purposive sampling yang dialokasikan secara
proporsional atau metode stratified proporsional purposive sampling (Cochraa 199 I
:
101) melalui tahap-tahap sebagai berikut:
Tahapl:
penentuan lokasi penelitian yang dilakukan dengan cwa purposive
sampling berdasar ruang lingkup penelitian yang telah dijelaskan terdahulu (daerah Jawa Tengah).
Talwp2
penentuan sampel penelitian (unit usaha industri kecil) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
a.
Mengelompokkan industri kecil berdasarkan Klasifikasi Industri Kecil
dan Kerajinan Rumahtangga dengan Kode ISIC-2 digit
yang
(Statisitk Indonesia 2004.25$:
3l
Industri makanan, minuman dan tembakau (Manufacture of food, beverages and tobacco)
32 Industri tekstil, pakaian jadi dan
ktlit
{Monufacture of textiles,
clothing and leather)
33 Industri kayu dan barang-barang dari
kapl termasuk perabot
rumah tangga (Manufacture ofwood and wood products. Including
furniture) 34 Industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan {Mondacture of paper ond paper products, printing and publishing)
35 In
36 Industri barang galian bukan logam, kecuali mrnyak bumi dan batu
bara (Alanufacture of non-metalic mineral products, except petroleum and coal products)
37 Industri logam dasar (Manafacture of basic metals) 38 Industri barang dari logam, mesin dan peralatannya (Manufacture offabricated metal products, machinery and equipments) 45
39 Industri pengolahan lainnya (Other manufacturing industries) Pengelompokan
ini
dimaksudkan untuk menentukan sampel yang
relatif homogen berdasarkan jenis komoditi yang dihasilkan sebagai kerangka sampling.
b. Dari masing-masing kolompok berdasar
klasifikasi industri tersebut
ditentukan kelompok industri kecil sebagai sub kelompok yang terdiri atas unit-unit usaha berdasar jenis komoditi produk yang dihasilkan (kode 2 Digtt ISIC). Kemudian ditentukan:
a)
Sampel (unit usaha) dengan memperhatikan konsentrasi industri (sentra industri) di masing-masing daerah (Kabupaten dan Kota)
yang menunjukan tingkat penyerapan tenaga kerja tinggr. Akhirnya, pengelompokan dilakukan berdasarkan klasifikasi jumlah tenaga kerja yang digunakan, yaitu 5-19 tenaga ke{a (metode teknik berstrata) sebagai pembagran skala usaha.
b)
Dalam upaya memperoleh penduga yang terbaik dan berusaha mengelompokkan karakteristik sampel dalam keadaan relatif homogen, dalam jenis hasil produksi, penggunaan tenaga kerja, besamya rnodal, kebutuhan energi, pengelolaan dan penggunaan
teknologi dalam menghasilkan produksi, maka alokasi sampel yang dilakukan secara proporsional dari seluruh kelompok sampel cabang pembinaan. Jumlah sampel yang diambil sebesar 180 unit usaha. FIal
ini dilalrukan denganmemperhatikan tingkat persebaran
industri kecil di daerah penelitian, tingkat presisi dan keterbatasan beberapa aspek penelitian. Karena daftar isian data dalam daftar pertanyaan tidak dapat menunjang analisis data selanjutnya (data
tidak lengkap, ketimpangan antara pertanyaan satu dengan yang
lain, dan sebagainya). Sehingga daftar alokasi jumlah sampel untuk masing-masing cabang pembinaan berdasar lampiran daWt disusun tabel berikut:
46
4.3. Definisi Operasional Variabel Dengan harapan arah analisis penelitian ini dapat dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian" maka diperlukan definisi operasional variabel. Adapun definisi operasional variabel penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. a. Industri kecil adalah industri kecil sesuai dengan definisi yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) yang dicobakan di Departemen
Perindustrian
(Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah 2002-2004, Buku I, Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI Q002.1) dan Jawa Tengah dalam Angka 2005, 2006.315), khususnya perusahaan dengan tenaga kerja 5 orang sampai dengan 19 orang. Industri kecil yang dimaksud tergabung dalam klasifikasi 2DigitISIC berdasarkan jenis komoditi yang dihasilkan seperti telah dikemukakan sebelumnya.
47
b. Hasil produksi : produk: output (Y) adalah nilai/trasil kotor dari proses produksi yang dihasilkan rata-rata selama sebulan yang dinilai dengan satuan rupiah fiumlah produk X harga jual persatuan). Faktor-faktor produksi (x) adalah faktor-faktor yang digunakan dalam menghasilkan hasil produksi, seperti bahan baku (pokok, tambahan dan kemasan), tenaga ke{a, uptr, modal (awal dan kerja), kebutuhan energi, penggunaan teknologi dan pengelolaan/manajemen (pendidikan pengelola dan pengalaman usaha).
1) Faktor produksi bahan baku (Xt) dapat digolongkan pada 3 kategori, yaitu bahan baku pokok, bahan baku tambahan/pembantu dan bahan kemasan. Bahan baku pokok adalah bahan baku yang penggunaannya mempunyai peranan utama dalam menghasilkan produk. Sedangkan bahan
pembantu adalah
bahan
yang berfungsi sebagai
tambahan/pelengkap dan bahan
kemasan adalah bahan yang berfungsi sebagai kemasan/pelindung dari produk jadi. Semua bahan tersebut diukur dalam jumlah kebutuhan rata-rata selama sebulan, dalambentuk rupiah (iumlah kebutuhan X harga beli persatuan).
2) Faktor produksi tenaga kerja (Xz) adalah semua tenaga kerja langsung yang diperlukan dan bekerja selam proses produksi, baik tenaga ke{a laki-laki, wanita, dewasa dan anak-anak, yang berasal dari keluarga sendiri (pekerja keluarga yang tidak diberi upah) maupun tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga. Dalam analisis, pengukuran dilakukan terhadap jumlah tenaga kerja yang ada (fisik) pada saat penelitian dilaksanakan.
3) Modal (X:) adalah sejumlah dana yang digunakan untuk membiayai rencana investasi (modal awal) dan proses produksi (modal
kerja) dengan maksud untuk mendapatkan
keuntungan. Satuan pengukuran yang digunakan adlah besarnya pengeluaran modal rupiah per bulan. Yang termasuk klasif,rkasi modal dalam penelitian ini adalah modal kerja dan biaya penyusutan dari modal awal. Untuk pengukuran parameter modal kerja digunakan proksi faktor produksi rata-rata kebutuhan selama sebulan dalam satuan rupiah.
4) Kebutuhan energl dan peralatan produksi (X+) adalah
kebutuhan
dana untuk energr
(pendukung proses produksi) dan faktor-faktor yang mempunyai kegunaan dalam jangka pendek 48
(satu tahun) segera diganti dan tidak mempunyai sifat permanent. Satuan yang digunakan adalah rupiah dalam kebutuhan r ata-r ata satu bulan.
5) Penggunaan teknologi (Xs) adalah metode dalam melaksanakan aktivitas proses produksi yang diklasifikasi dalam: a) Tidak mengunakan mesin (skor 1) b) Mengunakan mesin tanpa motor penggerak (skor 2) c) Mengunakan mesin dengan motor penggerak (skor 3) d) Lain-lain (skor4)
6) Pendidikan pengusaha (Xo) dimaksudkan sebagai tingkat pendidikan (formal) yang telah ditemputr/ditamatkan oleh pengusaha. Pengukurannya dilakukan dengan menghitung lama waktu (tahun) pendidikan yang telah dilaksanakan sampai akhir pendidikan.
7) Pengalaman usaha (Xz) adalah lama waktu berusaha dalam bidang usah a industri kecil, baik langsung maupun tidak langsung pada saat penelitian dilaksanakan dan masih ditekuni sebagai kegiatan usaha atau sebagai sumber penghasilan utama. Pengukuran dilakukan dengan satuan waktr:/tahun pada saat penelitian.
8) Harga tenaga kerja keseluruhan atau besarnya pengeluaran untuk upah (Xs) adalah jumlah pengeluaran untuk upah yang dikeluarkan rata-rata selama sebulan dalam satuan rupiah per tenaga kerja (umlah tenaga ke{a x upah rata--rataper tenaga ke{a) atau berdasarkan hari ke{a oranglHKO.
9) Pengelola/produsen/pemilik atau pengusaha industri kecil dan adalah orang (aki-laki atau wanita) yang berusaha (pengusaha) dalam pembuatan produk, sebagai pemilik dengan tujuan untuk dijual (mendapatkan penghasilan). Dalam usahanya dibantu oleh tenaga kerja/peke4a dan keluarganya dan tidak dilakukan sendiri.
l0)Tingkat efisiensi penggunaan input tenaga kerjadimaksudkan sebagai upaya penggunaan input tenaga ke{a sekecil-kecilnya untuk mendapatkan output yang sebesar-besarnya, beban 49
atau pengorbanan yang harus dibayar atau ditanggung dalam menghasilkan produk (efisiensi produksi dan ekonomi) atau pendekatan elastisitas
produksi
tenaga
kerja dalam upaya
pengoptimalkan keuntungan pengusaha (pengrajin). Suatu upaya apabila nilai produk marjinal untuk suatu inputfaklor produksi akan sama dengan harga input faktor produksi.
1l)Intensitas penggunaan faktor produksi tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam proses produksi per satuan keluaran atau per unit investasi. Pengukurannya dilakukan melalui rasio besamya pengeluaran modal dengan tenaga ke{a.
l2)Pola perencanruln tenaga kerja adalah pola proses penyusunan program penyediaan tenaga kerja yang memenuhi kebutuhan untuk melaksanakan usaha atau kegiatan pembangunan yang direncanakan dan program pendayagunaan sumber Mya secara optimal pda periode penelitian. Perencanaan tenaga kerja dalam
penelitian
ini bersifat mikro-sektoral
yang mencakup
perkiraan-perkiraan tentang: kesempatan kerja, penyediaan ternaga kerja, kekurangan dan kelebihan tenaga kerja dalam implikasinya dengan perencaftBn pendidikan, latihan dan penyesuaian rencana pembangunan.
4.4. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Sumber data utama adalah responden (pengelola/produsen/pengusaha/pemilik industri kecil), ditunjang dari tokoh-tokoh masyarakat
desa, pamong
desa, lembaga-lembaga atau
instansijnstansi serta publikasi lainnya yang bertrubungan dengan penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. umber data primer adalah pengelola unit usaha/produser/pengusaha/pemilik industri kecil, terdiri atas: a. Data tentang kondisi usaha beserta beberapa aspek yang berhubungan dengan lingkungan usaha intem dan eksterq dengan unsur-unsurnya yaitu: 1. Perkembanganhistories 2. Kegiatan usaha: modal, biayq proses produksi, pemasaran, pendapatan, pembagan kerja, upah tenaga kerja, pendidikan tenaga kerja/pengelola dan pengalaman usaha a) Organisasi intern b) Berbagai kebijaksanaan pengembangan 50
b. Data tentang hasil produksi dan faktor-faktor produksi yaitu: 1. Itusil produksi 2. Bahan pokok, tambaharL pembantu dan kemasan 3. Tenaga kerja langsung 4. Modal awal dan kerja 5. Kebutuhan energr dan peralatan produksi 6. Penggunaan teknologi 7. Pendidikan pengusaha 8. Pengalaman usaha
Sedang data sekunder berasal dari BPS pusat dan daerah, antara lain hasil sensus penduduk 2004, SUPAS, SAKARNAS, sensus ekonomi, Pemda Tingkat I Jawa Tengah, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Tenaga Kerja di Daerah Tingkat Jawa Tengah, yaitu data pendukung seperti: 1. Kependudukan 2. Ketenagakerjaan 3. Industri 4. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkaitan dengan topik penelitian Pengumpulan data primer dan daa sekunder dilakukan dengan metode survey dengan melalui wawancaftI dan pengisian daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu serta observasi pada daerah penelitian terpilih dalam menganalisis kondisi usaha.
4.5. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan sejak bulan Pebruari sampai dengan Oktober 2006 pada daerah-daerah sampel di Jawa Tengah (Kota Semarang, Kabupaten Pati, Kabupaten Batang,
Kabupaten
Kudus, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Temanggung)
4.6. Te}mik Analisis Data Pengujian hipotesis potensi penyediaan lapangan kerja pada sub sektor industri kecil dilalarkan dengan inventarisasi data tentang kondisi usaha (pada aspek-aspek jumlah penggulaan tenaga 51
kerja, modal, tingkat pendidikan, jumlah pendapatan/trasil produksi) yang terlebih dahulu data ditabulasikan dalam tabel distribusi frekuensi dan dilakukan pengukuran statistika deskriptif rata-rata serta perbedaan (parameter statistik) untuk masing-masing aspek kondisi usaha. Kemudian dilakukan uji hipotesis statistik untuk masinymasing parameter dan dilanjutkan dengan analisis deskriptif terhadap data-data yang telah ditabulasikan tersebut, yaitu dengan menjabarkan aspek-aspek yang telah ditetapkan atau unsur-unsur yang terperinci (kine{a ekonomi) yang berhubungan dengan kondisi usaha atau lingkunagan usaha intern dan ekstern dalam kajian parameter statistik yang dimaksud adalah sebagai deskripsi kondisi usaha untuk menentukan perspektif usaha sub sektor industri kecil dalam menciptakan lapangan kerja. Pengujian hipotesis pengaruh penggunaan faktor-fuktor produksi terhadap hasil produksi yang telah dikemukakan,
digunakan model penduga
fungsi produksi dengan maksud untuk
menentukan model penduga fungsi produksi secara umum dan berdasarkan jenis usaha maupun kelompok analisis data. Terdapat beberapa model penduga
fungsi produksi
yang dapat
digunakan tetapi sehubungan dengan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam penggunaan model fungsi produksi, misalnya yang diajukan oleh Cobb Douglas (1928), maka pada analisis data selanjutnya secara umum akan digunakan model penduga Fungsi Produksi Power dengan menganut asumsi-asumsi yang tidak terlalu berat sebagaimana asumsi pada fungsi produksi Cobb Douglas. Penentuan variabel yang disertakan ke dalam model didasarkan pada teori produksi yang telah disesuaikan permasalahan serta yang harus diteliti. Model penduga yang dimaksud adalah:
52
Disamping itu, analisis dilanjutkan dengan melakukan pemilihan bentuk model pemilihan masing-masing strata yang sesuai dengan karakteristik hasil penelitian dengan memperhatikan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi (secara ekonometrika) dalam menentukan model penduga fungsi produksi melalui pendekatan keseluruhan dat Step Wise Regression vntt*.. kemudian membandingkan karakteristik tersebut pada objek penelitian. Selanjutnya pengujian hipotesis dilakukan apabila hubungan antara variabel telah disusun dalam persamaan Regresi (Kleinbaum/Kupper, (1976:37-244); Wonnacott dan Ronald J, (1988. 357-512)) dengan maksud untuk mengetahui variabel bebas mana yang paling berpengaruh, maka dipergunakan teknik mencari regresi yang terbaik melalui uji regresi simultan (uji F) dan uji statistik t-student untuk masing-masing koefisien regresi. Dari model fungsi produksi di atas dapat diperoleh analisis efisiensi melalui pengukuran elastisitas produksi yalg menunjukkan adanya
peningkatan hasil produksi yang makin
berkurang sebagai proses pengujian hipotesis ketiga. Dari elastisitas produksi tersebut dapat diperoleh produk maqinal dan nilai produk marjinal, sehingga tingkat efisiensi penggunaan tenagakerja dapat diketahui dengan jelas.
53
Penentuan elastisitas subtitusi penggunaan tenaga kerja terhadap modal digunakan model penduga
fungsi produksi CES dalam bentuk yang disajikan berikut ini melalui uji linier
berganda.
Penentuan pola perencanaan tenaga kerja dapat dilakukan dengan menenfukan rasio antara fuktor produksi tenaga ke{a dan modal (sebagai rasio intensitas tenaga kerja dengan kebutuhan dan penyediaan tenega kerja berdasarkan pola perencalaan tenaga kerja Depnaker R[.
4.7. Pengujian llipotesis Pengujian
hipotesis
yang diajukan dapat dljelaskan sebagai berikut.a. Pengujian hipotesis
pertma. untuk data kondisi usaha emelalui indikator rata-rab jumlah tenaga kerja, modal, tingkat pendidikan pengusaha dan pendapatan yang mempunyai skala pengukuran interval akan dilakukan pengukuran tentang rata-rata dan perbedaaan (prameter statistik). Kemudian masing-masing indikator dilakukan pengujian dengan hipotesis statistik sebagai berikut:
54
Pengujian dilanjutkan dengan
penentuan daerah kritis, yaitu untuk menentukan apakah
hipotesis berbeda nyata atau tidak dengan ketentuan sebagai berikut:
b. Pengujian hipotesis kedua dan ketiga, dilakukan dengan pengujian terhadap model penduga fungsi produksi dengan maksud untuk mengetahui apakah model tersebut telah sesuai sebagai model penduga parameter-parameter yang telah disusun dalam persamuum regresi sebagai berikut:
55
Apabila Ho ditolak berarti model tersebut dapat digunakan sebagai model penduga fungsi produksi. Untuk pengujian
terhadap penduga parameter
mengetahui salah satu variabel bebas
tersebut dimaksudkan
untuk
yang berpengaruh nyata(signifikan) dan dominan
terhadap variabel tidak bebas, pengujian dilanjutkan dengan hipotesis statistik sebagai berikut:
56
57
Jika F6i6,* 2 F,uur(rq n-k-l)r makaHo ditolak Ho ditolak berarti variabel bebas tersebut berhubungan
secara nyata (signifikan)
terhadap
variabel
tidak bebasnya dengan batas
toleransi sebesar ct.
c. Pengujian hipoesis keempat dilanjutkan dengan mengunakan model penduga fungsi produksi CES sebagai berikut: Y :y ( S Xr-P + (1 - E) Xr-01*rt' Dimana: Y :pendapatan y : parameter efisiensi (y > -l) 6 : distribusi parameter(0 < 6 <-1) X3 : modal (modal awal dan modal kerja) dalam rupiah Xz : jumlah tenaga kerja (orang) p : parameter subtitusi (p > -1) Melalui uji regresi secara intrinsik dan uji statistik F untuk menentukan layak tidaknya model, kemudian dilanjutkan dengan uji statistik t untuk menentukan ny ata tidaknya koefi sien regresi. Analisis dilanjutkan dengan menghitung dan menentukan besarnya koefisien elastisitas subtitusi (a=lfl+p) yang diperoleh dari parameter model penduga fungsi produksi CES (p ), apakah tergolong elastis atau inelastis. ), apakah tergolong elastis atau inelastis.
d. Pengujian hipotesis kelima, dilakukan dengan mengunakan model penduga fungsi produksi Power (dalam persamaan regresi linear berganda ln) dan fungsi produksi CES (persamaan regresi berganda
secara
intrinsik) untuk variabel jumlah penggunaan
tenagakerja
(X2)
danjumlah modal usaha Q(3). Untuk keperluan analisis, data variable tenaga ke{a (X2) danjumlah modal usaha (X3) dibuat tabulasi silang yang menunjukkan intensitas modal dengan jumlah tenaga kerja (modalltenagakerja) dalam tabel sebagai berikut:
58
Catatan: Sesuai Keputusan Menteri Perindusfian R[ Nomor: l33lskl8/1979 besarnya investasi per tenaga kerja tidak lebih dari Rp625.000,00 dan usaha industri kecil menurut biro pusat statistik maksimum mempunyai 19 tenaga kerja. Apabila jumlah tenaga kerja dinilai dalam bentuk investasi (modal) sebesar 19 x Rp625.000,00 : Rp11.875.000 dan modal/investasi dalarn bentuk mesin-mesin dinilai tidak lebih dari Rp70.000.000,00.
59
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5,1.1. Deskripsi Ketenagakerjaan di Jawa Tengah Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004,jumlah penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar
32.397.431jiwa
atau sekitar 15 persen
dari jumlah penduduk
Indonesia. Dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2000 sebanyak 3A.775.846 jiwa, maka selama periode 2000-2004 tersebut telah terjadi kenaikan penduduk di Jawa Tengah sebesar 5,00o/o atau secara
rata-rata
l,25Yo prtahun (Jawa Tengah dalam Angka
2A05,2005:54). Dari seluruh jumlah penduduk yang ada, pada tahun 2004 sebanyak 15.974.670 jiwa adalah angkatan keda dan merupakan l0,86yo dari total angkatan kerja di Indonesia. Jumlah tersebut tergolong pada angkatan
yang benar-benar bekerja sebesar 14.%0.A97
jiwa di berbagai
cabang kegiatan dan sisanya 1.044.573 jiwa adalah mereka yang mencari peke{aan atau menunggu
peke{aan
yang
layak. Adanya ketidakseimbargan
dalam
tingkat kepadatan
penduduk (rata-rata : 996 jiwa per kn2;, laju pertumbuhan penduduk per tahun dan masalah kesempatan kerja merupakan masalah besar yang dihadapi oleh Jawa Tengah. Langkah-langkah yang sistematik dan operasional untuk penanganan masalah ketenagakerjaan harus didukung dengan berbagai kebijakan dan usaha-usaha penciptaan kesempatan kerja melalui kegiatan pembangunan yang beriorientasi pada kegiatan ekonomi yang padat karya. Secara rinci, berikut ini akan dijelaskan kondisi ketenagak e1aal di Jawa Tengah dari beberapa aspek, yaitu:
a. Keadaan Persediaan Tenaga Kerja selama Tahun 2004 F{asil pendataan Departemen Tenaga Kerja RI Wilayah Jawa Tengah dan Biro Pusat Statistik 2005, pada akhir tahun 2004 jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah sebanyak 15.974.670 jiwa, sedangkan jumlah penduduk mencapai 32.397.431 jiwa. Dengan demikian terdapat 49,31o/o penduduk di Jawa Tengah yang berstatus
sebagai angkatan ke{a. Dari angka penduduk
angkatan ke4'atersebut, sebesar 93,460/0 telah bekerja dan persentase jumlah angkatan kerja 60
yang beke{a dari jumlah penduduk angkatan kerja merupakan tingkat kesempatan dan sisanya 6,540/0 tergolong sebagai angkatan ke{a yang belum bekerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) sebagai suatu rasio yang menunjukkan
perbandingan antara jumlah angkatan kerja dengan jumlah penduduk dalam usia ke{a di Jawa Tengah tercatat sebesar 5g,gg persen, sedangkan angkapengangguran terbuka relatif kecil, yaitu sebesar 6,53 persen. Adapun menurut status pekerjaan utamanya, sebagian besar atau sebanyak 27,54 persen sebagai buruh/karyawan, 19,65 persen yang berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap, t9,68 persen berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain, 3,00 persen berusaha sendiri dibantu buruh tetap dan 30,13 persen merupakan pekerja tak dibayar. Jawa Tengah dalam Angka 2005,2005:51). Berdasarkan penjelasan di atas, berbagai usaha dalam menumbuhkan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha perlu diupayakan dalam menanggulangi pemngkatan angkatan
ke{a
sebagai sumber daya yang belum sepenuhnya didayagunakan. Data angkatan kerja berdasarkan struktur umur, tingkat pendidikan dan jenis kelamin dapatdijelaskan sebagai berikut:
1). Angkatan Kerja Berdasarkan Struktur Umur Jumlah angkatan ke{a berdasarkan struktur umur pada tafum 20A2 sampai dengan 2004 dapat dilihat pada Tabel 5.1. Persentase angkatan kerja dengan struktur usia muda {10-24 tahun) memrun, pada tahun 2002 dari 6,620/0 menjadi 6,32yo dari total angkatan kerja pada akhir tahun 2004. Penurunan persentase tersebut diperkirakan karena pengaruh tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seperti program wajib belajar yang dicanangkan sejak tahun 2002 htngga tahun 2004 dan aktivitas-aktivitas pendidikan formal lainnya. Sedangkan angkatan keda produktif(usia 25-64 tahun) persentasenya sebesar 24,44o/o dari total angkatan ke{a pada tahun 2002 dur- persentase tersebut naik menjadi 25,23yo pada akhir tahun 2004 dai total angkatan kerja pada akhir diperkirakan
karena pengaruh
lapangan
tahun
2004- Kenaikan
kerja yang belum mengalami
prosentase kenaikan
ini sejak
tedadinya krisis ekonomi hingga akhir tahun 2004.
61
2) Tingkat Pendidikan Angkatan Kerja Kondisi tingkat pendidikan angkatan ke{a di Jawa Tengah pada tahun 2002 maslh banyak didominasi latar pendidikan SD ke bawah yaitu sebesar 66,99oh dari seluruh total angkatan kerja. Persentase tersebut tidak banyak berubah pada akhir 2A04 yaitu sebesar 64,330/o. Ketimpangan proporsi persentase
tingkat pendidikan
tersebut
sangat berarti apabila
dibandingkan dengan persentase tingkat pendidikan angkatan ke{a SLTA dan perguruan tinggi. Berdasarkan tabel di bawah dapat dikatakan kualitas angkatan kerja di Jawa Tengah seca"ra rata-rata masih rendah. Hal ini disebabkan sebagian besar angkatan kerja dimaksud banyak terkonsentrasi di level pendidikan SD ke bawah dan lebih banyak berusaha di sektor pertanian, sebagaimana telah dijelaskan pdalatar belakang penelitian ini. Secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut:
62
3). Jenis Kelamin Angkatan Kerja Pada
tahun 2000-2004
besarnya persediaan
ini kesempatan kerja bagr waruta masih dibuka peluang sebesar-
dalam upaya berpartisipasi di dalam pembangunan. Demikian angkatan
ke{a,
jumlah angkatan
halnya dari sisi
kerja wanita yang memasuki pasar kerja
meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan angkatan kerja laki-laki. Pertumbuhan angkatan kerja wanita sebesar 2,72o/o sedangkan pertumbuhan angkatan kerja laki-laki hanya l,47yo. Meski demikian, proporsi jumlah angkatan kerja laki-laki masih sebesar 1,5 kali lebih besar dari proporsi jumlah angkatan kefa wanita, apabila dilihat dari tingkat pertumbuhan angkatan kerja wanita yafig meningkat. Hal ini menunjukkan peran serta wanita dalam pembangunan sudah terlihat meskipun harus menjalankan'peran ganda'nya sebagai ibu rumah tangga (wanita yang memasuki sektor domestik) dan sebagai wanita karir (wanita yang memasuki sektor publik) turut mengemban tugas sebagai anggota masyarakat yang sedang membangun. Perbedaan proporsi juntlah angkatan kerja antara laki-laki dan wanita dalam hal ini adalah wajar, karena tidak semua wanita dapat berperan ganda dan banyak yang lebih mengutamakan melepas keinginan untuk memasuki pasar kerja untuk berkonsentrasi mengurus kegiatan rumah tangga. Untuk lebih jelasnya gambaran proporsi jumlah angkatan kerja wanita dan laki-laki berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada tabel berikut:
63
b. Keadaan Kebutuhan Tenaga Kerja tahun 2002-20A4 1) Keadaan Kesempatan Kerja Sekloral Dalam rangka menghitung kesempatan kerja selama tahun 2002- 2004, Kanwil Departemen Tenaga Ke{a Jawa Tengah menggunakan pendekatan
elastisitas tingkat pertumbuhan
kesempatan ke{a terhadap PDRB pada masing-masing sektor selama tahun 2002-20A4 dan sebagai dasar perhitungan menggunakan data histories hasil sensus tahun 2000. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2000, secara riil jumlah orang yang benar- benar bekerja di JawaTengah sebanyak 14.491.222 orang. Sedangkan hasil Susenas tahun 2A04 orang yang bekerja meningkat menjadi 14.%A.A97 orang. Dengan demikian te{adi peningkatan jumlah orang yang beke{a sebanyak 438.875 orang selama 5 tahun atau dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 0,61 persen per tahun. untuk lebih jelasnya, tingkat pertumbuhan kesempatan kerja per sektor dapat dilihat pada tabel berikut:
64
Berdasarkan
tabel di atas,
tampak
tingkat pertumbuhan kesempatan
ke{a pada sektor
lapangan usaha industri pengolahan (termasuk di dalamnya industri kecil) mempunyai angka lebih tinggi yaitu sebesar l,02Yo dibandingkan dengan sektor lapangan usaha pertanian (0,35%). Dengan demikian sektor industri pengolahan secara regional di Jawa Tengah ternyata lebih produktif dalam membuka kesempatan kerja dan berusaha bagi angkatan kerja di Jawa Tengah.
2) Keadaan Pengangguran selama Tahun 2000-2004 Pengangguran adalah angkatan kerja atau "labor force" yang menganggur ataa sedang mencari peke{aan. Pengangguran dapat dibedakan menjadi pengangguran
penuh atau tak penuh/setengah pengangguran. Menurut Biro Pusat
Statistik pada sensus penduduk
tahun 2000
(BPS,200l),
penduduk
yang
termasuk
pengangguran adalah mereka yang termasuk angkatan ke{a tetapi sedang tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan menunrt referensi waktu tertentq setiap saat siap memasuki pasar ke{a. Penduduk yang termasuk setengah pengangguran adalah mereka yang tergolong dalam kelompok k"rju, tetapi mereka bekerja kurang dari 35 jamrata-rata per minggu. Sedangkan pengangguran penuh adalah orang yang tidak beke{a sama sekali
(open unemployed)
hnberusaha mencari pekerjaan. Adapun keadaan jumlah pengangguran penuh pada tahun 2000 dan 2004 daptdilihat pada tabel berikut:
65
Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa pertambahan kesempatan ke{a pada kurun waktu 2000-2004 adalah l,l2o/o, sedangkan pertumbuhan angkatan kerja pada kurun waktu yang sama sebesar
0,6lyo. Dampak dari keadaan tersebut adalah terdapatnya
jumlah sebesar
1.044.573 orang angkatan kerja yang dikategorikan sebagai pengangguran pnuh. Dengan demikian
apabila
dibandingkan dengan jumlah pengangguran
penuh tahun 2000, maka
terdapat kenaikan rab-rata sebesar 12,7506 dengan tingkat pengangguran pada tahun 2000 sebesar 6,54Yo. Selama periode tahun 2000 - 20M jumlah pengangguran penuh di Jawa Tengah menunjukkan adanya kenaikan. Sampai pada akhir tahun 2004 jumlahnya mencapai l044.573 orang. Namun jika ditinjau dari periode 2A03 - 2004, maka pertumbuhan rata-rata pengangguran penuh pada periode ini mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Keadaan yang demikian ini dapat dilihat padatabel berikut:
66
Pada tabel di atas diketahui bahwa perfumbuhan jumlah pengangguran selama tahun 20A3-20A4 adalah l4,47oh per tahun, hingga pada akhir tahun 2004 jumlah pengangguran tersebut menjadi La44.573 orang. Keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat pengangguran pada akhir tahun 2004 adalah 6,54yo. Dan bila dibandingkan dengan tingkat pengangguran pada tahun 2003 menunjukkan adanya kenaikan. Dilihat pada tingkat pendidikan penganggur, maka proporsi yang terbanyak adalah tingkat pendidikan SMTA. Proporsinya juga mengalami penurunan seperti pada perguruan tinggr dan akademi, tingkat pendidikan SD ke bawah dan SMTP. Hal ini disadari, pada umumnya pengangguran dengan pendidikan sekolah lanjutan dan pendidikan tinggi pada saat
ini banyak
yang
(idealisme) dalam memasuki
tidak menggunakan
pertimbangan-pertimbangan
pasar ke{a, walaupun sementara
itu juga terdapat
permintaan teraga kerja yang ada tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan.
Jumlah setengah penganggur menurut lapangan usaha pada tahun 2002 dan 2AA4 dapat dilihat pada Tabel 5.9. Pada
tabel ini dapat dilihat bahwa jumlah setengah
pengangguran pada akhir tahun 2004 sebesar 5.394.865 orang. Hal ini menunjukkan adanya kenaikan dari tahun 2002 sebesar 44.452 orang. Dengan demikian pertumbuhan setengah pengangguran selama tahun 2002-20A4 tersebut rata-rata
adalah 0,28yo
(Kanwil Departemen Tenaga Kerj a Jawa Tengah, 2005).
67
Dilihat dari masing-masing sektor lapangan usaha, jumlah setengah penganggur yang terbanyak terdapat di selctor pertanian. Hal ini disebabkan sektor pertanian lebih mudah dalam menampung angkatan ke{a yang lebih banyak terkonsentrasi di daerah pedesaan. Berbeda dengan sektor-sektor lain yang masih lebih banyak membutuhkan kemampuan keahlian yang tinggi. Tingkat pendidikan angkatan kerja yang paling banyak adalah lulusan sekolah dasar, sedangkan ditinjau dari angkatan kerja yang mencari keda yang paling banyak adalah lulusan SLTA. Untuk itu diperlukan pengembangan kualitas sumber daya manusia sebagai angkatan kerja yang potensial melalui peningkatan pendidikan dan keterampilan keahlian agar dapat memasuki pasar ke{a sektor yang lain sebagai proses penanggulangan ketimpangan pasar kerja yang ada.
5.1.2. Deskripsi Subsektor Industri Kecil di Jawa Tengah a. Satuan Wilayah Pembangunan Industri Dalam Kebijakan Pembangunan Industri Nasional yang disusun oleh Departemen bekerjasama dengan KADIN, pelaku industri dan pakar dari beberapa perguruan tinggi (lvlaret 2005), yng dimaksud dengan industri pengolaharlmanufaktur adalah semua kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang bukan tergolong produk primer. Produk primer adalah produk-produk yang tergolong bahan mentah, yang dihasilkan oleh kegiatan eksploitasi
sumber daya alan hasil pertanian, kehutanarq
kelautan dan pertambanagan, dengan kemungkinan mencakup produk pengolahanawal sampai dengan
bentuk dan spesifikasi
teknis yang standar dan lazim
diperdagangkan sebagai produk primer (termasuk produk-produk pengolahan pasca68
panen dan produk-produk pembersihan bijih mineral industri (ore dres s rng). Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang dimaksud industri kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang atauoun jasa untuk diperniagakan secara komersial, yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp200 juta, dan mempunyai nilai penjualan per tahun sebesar Rpl miliar atau kurang. Bank Indonesia cenderung untuk menggunakan kriteria ini, antara lain ketika menuliskan kriteria industri dalam Peraturan Bank tndonesia yang berkaitan dengan Pemberian Kredit Usaha Kecil (PBI No. 312PF.A2001). Batasan mengenai skala usaha menurut BPS, yaitu berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja- adalah: tndustri dan Dagang Mikro (ID-Mikro) Industri dan Dagang Kecil (ID-Kecil) Industri dan Dagang Menengah (ID-Menengah) : 20 - 99 orang Industri dan Dagang Besar (ID-Besar) : 100 orangke atas.
Salah satu arahan GBHN tahun 1999-2004 mencantumkan bahwa pengembangan sektor industri pengolahan/manufaktur yang mengacu kepada arahan pembangunan ekonomi, khususnya yang berkaitan
dengan pembangunan
sektor industri dan
perdagangan adalah memberdayakan UKM agar lebih efisien, produktif dan berdaya saing dengan meningkatkan peoguasaan Iptek, dan melakukan secara proaktif negosiasi dan kerjasama ekonomi bilateral dan multilateral dalam rangka peningkatan ekspor. Jawa Tengah dalam rangka pengembangan industri
pelaksanaan program-program
pembinaan dan
kecil telah menetapkan periode waktu tahun 2A00-2004
dengan tujuan pokok adalah perluasan lapangan kerja dan pemerataan kesempatan kerja, peningkatan
pendapatan
masyarakat (terutama pedesaan),
terwujudnya
pembinaan dan pengembangan industri kecil dan kerajinan secara terpadu dan krsifat lintas sektoral. untuk mewujudkan tujuan pokok tersebut, pembangunan sektor industri (industri kecil) di Jawa Tengah digunakan dasar konsepsi wilayah
69
Pusat Pertumbuhan
Industri (WPPD, yaitu konsepsi memuat kebijaksanaan
pengembangan wilayah dengan orientasi pertumbuhan ekonomi pada zona-zona industri yang berpangkal pembangunan
sektor
tolak dari pembangunan
industri dasar (kunci). Dalam
industri yang menggunakan
konsepsi WPPL sekaligus
mencerminkan keterpaduan dan keterkaitan antara cabang industri dan jenis industri sertia antara sektor bertumpu
industri dengan
pada potensi sumber
sektor-sektor ekonomi yang lainnya
yang
daya alam dan energl dan sumber pembangunan
lainnya unfuk pendalaman dan penguatan struktur industri nasional. Dalam rangka pembinaan dan pengembangan industri kecil jangka menengah 2004-2009, industri kecil digolongkan berdasarkan jenis pengolahan atau cabang industri. Berikut ini adalah Klasifikasi tndustri menurut Statistik Indonesia 2004 (BPS), yaitu:
Berdasarkan
penggunaan bahan bakq cabang industri pengolahan pangan pada
umumnya menggunakan pengembangan
bahan baku yang berasal
lebih lanjut dapat mendukung
dari sektor pertanian dan
peningkatan nilai
tambah
sektor
pertanian. cabang kimia dan bahan bangunan seringkali menggunakan bahan baku dari sektor pertanian (mebel kayo, rotan dan lain- lain) dan dari sektor bahan galian (kapur, batu bata merah/putih,
genteng marmer, dan
lain-lain). cabang kerajinan
umum menggunakan bahan baku yang berasal dari sektor pertanian untuk produksi anyaman bamboo, tikar, ukir kayu dan lain-lain. Cabang sandang dan kulit, bahan bakunya diperoleh dari hasil industri lain, yaitu industri dari sub sektor peternakan dan 70
prkebunan. Sedang cabang logam, banyak memproduks i alat-alatpertanian dan industri yang lain dengan bahan baku tergantung dari hasil industri logam lainnya. Untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan industri kecil di Jawa Tengah, telah dibangun beberapa fasilitas teknis yang dapat membantu para pengusaha industri kecil terutama di sentra-sentra industri dengan penyebaran fasilitas pelayanan teknis berada di masing-masing satuan wilayah Pembangunan menurut cabang industrinya. Adapun penyebaran sentra-sentra produksi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sentra Produksi Mebel tersebar di Kota semarang, Kabupaten lepara, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Rembang, Kabupaten Blora, Kabupaten Batang dan Kabupaten Sragen. b. Sentra Produksi Batik tersebar di Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Kota Surakarta dan Kabupaten Sragen. c. sentra Produksi Tekstil tersebar di Kota Semarang, Kota salatiga, Kabupaten Batang Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Semarang, Kabupaten Pemalang,
Kabupaten
Karanganyar, Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali. d. Sentra Produksi Pakaian Jadi tersebar di Kota pekalongan, Kota Surakarta, Kota Semarang, Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Semarang. e. Sentra Produksi
Teh tersebar di Kabupaten wonosobo, Kabupaten Tegal dan
Kabupaten Batang. f. Sentra Produksi Penghasil Kayu olahan tersebar di Kabupaten Kendal, Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Kebumen. g. Sentra Industri Kecil cor Logam tersebar di Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Klaten dan Kabupaten Kendal. h. Sentra Produksi Salak di Kabupaten Banjarnegara. i. Sentra Produksi Rokok tersebar di Kota Semarang Kabupaten Semarang, Kota Surakarta, Kabupaten Surakarta, Kabupaten Kudus dan Kabupaten Karanganyar. j. Sentra Produksi Kertas tersebar di Kabupaten Magelang dan Kabupaten Kudus. k. Sentra Produksi Kacang Asin (Olahan) berada di Kabupaten pati.
71
l. Sentra Produksi Jamu dapat dfrumpai di Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Pemalang. m. Sentra Produksi
Ikan Asin tersebar di Kota Semarang, Kabupaten Semarang
Kabupaten Kendal, Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Demak dan Kabupaten Brebes. n. Sentra Produksi Kerajinan Kuningan
terdapat di Kabupaten Pati, Kabupaten
Rembang dan Kabupaten Tegal.
Perkembangan Pembangunan Industri Kecil Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei 2006 sampai dengan September 2006 dan data perkembangan
pembangunan
subsektor
industri kecil dan menengah
yang
diperoleh dari Kanwil Departemen Perindustrian Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah dari Tahun 20001004 dapt dilihat pada Tabel 5.11. Berdasarkan Tabel 5.11, selama satu tahun 2A$-2AA4 perkembangan sub sektor industri dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Pada tahun 2004 terdapat sebanyak 643.712 unit usaha ID-Kecil dan ID-Menengah atau meningkat relatif kecil dibandingkan jumlah perusahaan tahun 2003. Hal ini memberikan makna bahwa jumlah pengembangan yalg lamban apabila dibandingkan dengaq rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah (+ dua persen) dan masih perlu ditingkatkan dalam pembinaan dan pengembangan sub sektor industri kecil di Jawa Tengah pada periode 20A4-2009.
72
b) Pertambahan tenaga kerja sebesar 61.366 orang atau sebesar 2,39 persen. Jumlah tersebut lebih besar dari pertumbuhan lapangan kerja Jawa Tengah (12,3 persen per tahun). Dengan demikian selama satu tahun sub seklor industri kecil dapat menyerap tetagakerja yang banyak dan sub sektor industri kecil di Jawa Tengah memang sub seklor yang mempunyai kesempatan kerja tingg dalam penanganan masalah ketenagake{aan.
c) Pertambahan nilai produksi sebesar Rp8.707.000.000,00 atau sebesar 0,17 persen dalam satu tahun. Kenaikan nilai produksi tersebut belum akan dapat mendorong tumbuhnya
industri lain untuk memasok bahan dan keperluan produksi
lain.
Perkembangan industri tentu akan d) memberikan
dampak
terhadap peningkatan bahan
lokal yang pada umunnya
diperoleh dari hasil lokal (desa). Pertambahan investasi sebesar Rp13.895.000.000,00 atau sebesar l,16 persen. Flal ini mengisyaratkan untuk peningkatan investasi di sektor tersebut. Pertambahan ekspor sebesar US$194.138.000.000,00 atau 30 persen, pertambahan yang paling besar dibandingkan dengan usur-unsur perkembangan industri lain. walaupun peranan sub sektor industri kecil dalam pembangunan diarahkan dengan misi pemerutaant dan perluasan lapangan kerja, namun pda kenyataannya berbagai produk hasil olahan sub sektor industri kecil telah mampu menembus pasaran ekspor. Peningkatan yang tinggr tersebut secara tidak langsung turut memberikan sumbangan terhadap nilai tambah sektor industri secara keseluruhan dan pada akhirnya dapatmemberikan sumbangan/dukungan terhadap perrumbuhan ekonomi daerah. Dalam tahun 2000-2A04
prioritas pembinaan dan pengembangan industri di Jawa
Tengah ditentukan dengan kriteria sebagai berikut: a) Industri yang mempunyai potensi dan dapat menimbulkan dampak pembangunan strategis dalam ekonomi (nilai tambah, devisa penggerak arus investasi, pemerataan dan teknologi). b) Industri yang mempunyai potensi tumbuh dengan daya saing tinggi. c) Industri yang mempunyai prospek peluang dan daya tumbuh namun mengalami hambatan dan masalah. Berdasarkan permasalahan utama yang dihadapi Jawa Tengah 73
yaitu masalah ketenagakerjaan dan masih adanya desa-desa atau daerah-daerah yang perlu prioritas penanganan, maka prioritas program pembinaan dan pengembangan industri di daerah diarahkan untuk pemerataan pembangunan, perluasan lapangan ke{a dan pengendalian perencanaan lingkungan industri. Pengembangan
sub sektor industri kecil sebagai wujud pemerataan pembangunan
dengan langkah-langkah operasional yang dilaksanakan di Jawa Tengah adalah pengembangan sub sektor industri kecil dengan pendekatan komoditi dan tersedianJa pasar, baik pasar dalam negeri maupun ekspor. Dengan dem ikian, pengembangan diprioritaskan pada sentra-sentra industri melalui: a) Peningkatan kualitas produksi dan produktivitas serta diversifikasi produk. b) Mendorong kemandirian pengusaha dan kemampuan usahanya. c) Mendorong pengusaha untuk berkoperasi. d) Peningkatan perangkat pembina lapangan. e) Perlt asan jaringan informasi. f) Mendorong terjadinya kerjasama keterkaitan dengan sistem Bapak Angkat. g) Menciptakan iklim usaha dan investasi. h) Peningkatan kerjasama terpadu antar departemen.
Masalah ketenagakerjaan di Jawa Tengah hingga akhir tahin 2004 masih merupakan masalah yang dominan. Sehubungan dengan itu, pembinaan dan pengembangan sub sektor industri kecil dan kerajinan masih mendapat perhatian utama pada program pembinaan dan pengembangan pada 2A04-2009, agar mnmpu menyerap tenaga ke{a yang cukup serta mempunyai daya saing yang kuat sehingga mampu memasuki pasar global.
5.1.3 Deskripsi Sub Sektor Industri Kecil Sampet a. Jumlah unit usaha sampel dan Pengelompokkan Berdasarkan Jenis Komoditi Berdasarkan prosedur penentuan sampel penelitian (unit usaha sub sektor industri kecil), maka Kota Semarang Kabupaten pati, Kabupaten Batang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten
Jepara, Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten 74
Temanggung, terpilih sebagai daeralr/lokasi penelitian dengan mempertimbangkan sentra induski dan tingkat penyerapan tenaga ke{a. Dengan demikian, penelitian ini hampir mewakili satuan wilayah Pembangunan (SWp) di Jawa Tengah. Jumlah unit usaha sampel yang dapat dianalisis dan sesuai dengan teknik penentuan sampel dalam penelitian ini adalah 180 unit usaha dengan pemilik/pengusaha sebagai responden. sesuai dengan penggolongan sub seklor industri kecil berdasarkan klasifikasi industri kecil, maka jumlah unit usaha dalam penelitian ini terdiri dari: a) Industri makanan, minuman dan tembakau sebanyak s9 unit usaha atau 32,89 persen, yaitu sub sektor industri kecil pengolahan kedelai, emping mlinjo, kerupulq roti, limun/sirup, pengolahan ikan dan rokok. b) Industri tekstil, pakaian jadi dan kulit sebanyak 20 unit usaha atau ll,3g persen meliputi sub sektor industri kecil konveksi, pengolahan kulit, tas dan alas kaki. c) Industri kayu dan barang-barang dari kayu, termasuk perabotan rumah tangga sebanyak 40 unit usaha atau22,O9 persen terdiri dari sub sektor industri mebel, penggergajian kayu, barang dari kayu dan komponen bahan bangunan dari kayu. d) Industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan sebanyak 6 unit usaha atau 3,10 persen terdiri dari sub sektor industri percetakan, sablon dan penerbit. e) Industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia, minyak bumi, batu bara, karet dan plastik sebanyak 8 unit usaha atau 4,57 persen dengan jenis komoditi minyak cat, bahan cat dasar, sabun dan barang-barang dari plastik. 0 Industri barang galian bukan logam, kecuali minyak bumi dan batubara sebanyak 13 unit usaha atau 6,98 persen dengan jenis komoditi kapur tohor, genteng dar' bata merah. g) Industri logam dasar sebanyak I unit usaha ataul,5l persen dengan jenis komoditi timah patri/batangan atau cor logam. h) Industri barang dari logam, mesin dan peralatannya sebanyak l0 unit usaha atau 5,67 persen dengan jenis komoditi pengolahan logam, alumunium, kuningan dan besi untuk
jenis-jenis produk peralatan, mebel, aksesoris mobiUsepeda motor
dan
keperluan/peralatan industri lainnya
75
i)Industri pengolahan lainnya sebanyak 23 wit usaha atau 12,73 persen dengan jenis komoditi jasa pelayanan perbaikan kendaraan bermotor dan elektronika, bengkel las, btingkel bubut, kerajinan tembikar, industri dengan bahan kapuk dan peralatan angkutan.
5.1.2. Deskripsi Subsektor Industri Kecil di Jawa Tengah a. Satuan Wilayah Pembangunan lndustri Dalam Kebijakan Pembangunan
Industri Nasional yang disusun oleh Departemen
bekerjasama dengan KADIN, pelaku industri dan pakar dari beberapa perglruan tinggi (Maret 2005), yang dimaksud dengan industri pengolahan/manufaktur adalah semua kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang bukan tergolong produk primer Produk primer adalah produk-produk yang tergolong bahan mentalq yang dihasilkan oleh kegiatan eksploitasi sumber daya alam hasil pertanian, kehutanan, kelautan dan pertambangan, dengan kemungkinan mencakup produk pengolahan-awal sampai dengan benfirk dan spesifrkasi teknis yang standar dan lazim diperdagangkan sebagai produk primer (termasuk produk-produk pengolahan pasca-panen dan produkproduk pembersihan bijih minerat industri (ore dres s ing)). Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang dimaksud industri kecil adalah
kegiatan ekonomi yang dilakukan perseorangan atau rumah
tangga maupun suatu badarL bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial, yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp200 juta, dan mempunyai nilai penjualan per tahun sebesar Rpl miliar atau kurang. Bank Indonesia cenderung untuk menggunakan kriteria ini, antara lain ketika menuliskan kriteria industri dalam Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan Pemberian Kredit usaha Kecil (PBI No. 3l2lpBr/2001). Batasan mengenai skala usaha menurut BPS, -yaitu berdasarkan kriteria jurnlah tenaga ke{a- adalah:
Industri dan Dagang Mikro (ID-Mikro) Industri .{an Dagang Kecil (ID-Kecil) Industri dan Dagang Menengah (ID-Menengah) : 20 - 99 orang 76
Industri dan Dagang Besar (ID-Besar) : 100 orang ke atas.
Salah satu arahan GBHN tahun 1999-2004 mencantumkan bahwa pengembangan sektor industri pengolahan/manufaktur yang mengacu kepada arahan pembangunan ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan
sektor
industri dan
perdagangan adalah memberdayakan UKM agar lebih efisien, produktif dan berdaya saing
dengan meningkatkan penguasaan Iptek, dan melakukan
secara proaktif
negosiasi dan kerjasama ekonomi bilateral dan multilateral dalam rangka peningkatan ekspor. Jawa Tengah dalam rangka pelaksanaan program-program pembinaan dan pengembangan
industri kecil telah menetapkan periode waktu
tahun 20A0-2004
dengan tujuan pokok adalah perluasan lapangan kerja dan pemerataan kesempatan kerj a, peningkatan
pendapatan masyarakat (terutama pedesaan),
terwujudnya
pembinaan dan pengembangan industri kecil dan kerajinan secara terpadu dan bersifat lintas sektoral. Untuk mewujudkan tujuan pokok tersebut, pembangunan sektor industri (industri kecil) di Jawa Tengah digunakan dasar konsepsi wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPD, yaitu konsepsi memuat kebijaksanaan pengembangan wilayah dengan orientasi pertumbuhan ekonomi pada zona- zona industri yang berpangkal tolak dari pembangunan industri dasar (kunci). Dalam pembangunan seLtor industri yang menggunakan konsepsi WPPI, sekaligus mencerminkan keterpaduan dan keterkaitan arttara cabang industri dan jenis industri serta antara sektor industri dengan sektorsektor ekonomi yang lainnya yang bertumpu pada potensi sumber daya alam dan energi dan sumber pembangunan lainnya untuk pendalaman dan penguatan struktur industri nasional.
Dalam rangka pembinaan dan pengembangan industri kecil jangka menengah 20M2A09, industri kecil digolongkan berdasarkan jenis pengolahan atau cabang industri. Berikut ini adalah Klasifikasi Industri menurut Statistik hrdonesia 2004 (BPS), yaitu:
77
Berdasarkan
penggunaan
umumnya menggunakan pengembangan
lebih
bahan baku, cabang industri pengolahan pangan pada bahan
baku yang berasal dari sektor pertanian dan
lanjut dapat mendukung
peningkatan nilai tambah
sektor
pertanian. Cabang kimia dan bahan bangunan seringkali menggunakan bahan baku dari sektor pertanian (mebel k yu, rotan dan lain-lain) dan dari sektor bahan galian (kapur, batu bata merah/putih, genteng, marmer, dan lain-lain). Cabang kerajinan umum menggunakan bahan baku yang berasal dari sektor pertanian untuk produksi anyaman bambu, tikaq ukir kayu dan lainlain- Cabang sandang dan kulit, bahan bakunya diperoleh dari hasil industri laiq yaitu industri dari sub sektor peternakan dan perkebunan. Sedang cabang logam, banyak memproduksi alat-alat pertanian dan industri yang lain dengan bahan baku tergantung dari hasil industri Iogam lainnya. untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan industri kecil di Jawa Tengah, telah dibangun beberapa fasilitas teknis yang dapat membantu para pengusaha industri kecil terutama di sentra-sentra industri dengan penyebaran fasilitas pelayanan teknis berada di masing-masing Satuan wilayah Pembangunan menurut cabang industrinya. Adapun penyebaran sentra-sentra produksi tersebut adalah sebagai berikut:
78
a) Sentra Produksi Mebel tersebar di Kota Semarang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Rembang Kabupaten Blora, Kabupaten Batang dan Kabupaten Sragen. b) Sentra Produksi Batik tersebar di Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Kota Surakarta dan Kabupaten Sragen. c)
Sentra Produksi Tekstil tersebar di Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten
Batang, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Semarang, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali. d) Sentra Produksi Pakaian Jadi tersebar di Kota Pekalongan, Kota Surakarta, Kota Semarang, Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Semarang. e) Sentra Produksi Teh tersebar di'Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Batang. 0 Sentra Produksi Penghasil Kayu Olahan tersebar di Kabupaten Kendal, Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Kebumen. g)
Sentra Industri Kecil Cor Logam
tersebar di Kota Tegal, Kabupaten Tegal,
Kabupaten Klaten dan KabupatenKendal. h) Sentra Produksi Salak di Kabupaten Badarnegara. i) Sentra Produksi Rokok tersebar di Kota Semarang, Kabupaten Semarang Kota Surakarta, Kabupaten Surakarta, Kabupaten Kudus dan Kabupaten Karanganyar. j)Sentra Produksi Kertas tersebar di Kabupaten lrdagelang dan Kabupaten Kudus. k)Sentra Produksi Kacang Asin (Olahan) berada di Kabupaten Pati. l)Sentra Produksi Jamu dapat dijumpai di Kota Semarang, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri,
Kabupaten Semarang,
Kabupaten Cilacap dan Kabupaten
Pemalang. m) Sentra Produksi
Ikan Asin tersebar di Kota Semarang, Kabupaten Semarang,
Kabupaten Kendal, Kota Pekalongarq Kabupaten Pekalongan, Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Demak dan Kabupaten Brebes. n) Sentra Produksi Kerajinan Kuningan terdapat di Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang dan Kabupaten Tegal.
79
b. Perkembangan Pembangunan Industri Kecil Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei 2006 sampai dengan September 2A06 dan data perkembangan
pembangunan subsektor industri kecil dan menengah
yang
diperoleh dari Kanwil Departemen Perindustrian Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah dari Tahun 2000-2A04 dapat dilihat pada Tabel 5.11. Berdasarkan Tabel 5.11, selama satu tahun 20A3-2004 perkembangan sub sektor industri dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Pada tahun 2004 terdapat sebanyak 643.712 unit usaha ID-Kecil dan ID-Menengah atau meningkat relatif kecil dibandingkan jumlah perusahaan tahun 2A03. Ilal ini memberikan makna bahwa jumlah pengembangan yang lamban apabila dibandingkan dengan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah (1 dua persen) dan masih perlu ditingkatkan dalam pembinaan dan pengembangan sub sektor industri kecil di Jawa Tengah pada periode 2004-2009.
Pertambahan ter.aga kerja sebesar 61.366 orang atau sebesar 2,39 persen. Jumlah tersebut lebih besar dari pertumbuhan lapangan ke JaJawa Tengah (+ 2,3 persen per tahun). Dengan demikian selama satu tahun sub sektor industri kecil dapat menyerap tenagakerja yang banyak dan sub sektor industri kecil di Jawa Tengah memang sub sektor yang mempunyai
kesempatan kerja tinggi dalam penanganan
masalah
ketenagakedaan. 80
Pertambahan nilai produksi sebesar Rp8.707.000.000,00 atau sebesar 0,17 persen dalam satu tahun. Kenaikan nilai produksi tersebut belum akan dapat mendorong tumbuhnya
industri lain untuk memasok bahan dan keperluan produksi
lain.
perkembangan industri tentu akan memberikan dampak terhadap peningkatan bahan lokal yang pada umumnya diperoleh dari hasil lokal (desa). Pertambahan investasi sebesar RpI3.895.000.000,00 atau sebes ar l,16 persen. Fful ini mengisyaratkan untuk peningkatan investasi di sektor tersebut. Pertambahan ekspor sebesar us$194.138.000.000,00 atau 30 persen, pertambahan
yang paling besar
dibandingkan dengan unsur-unsur perkembangan industri lain. walaupun peranan sub sektor industri kecil dalam pembangunan diarahkan dengan misi pemerataan dan perluasan lapangan kedu, namun pada kenyataannya berbagai produk hasil orahan sub seklor industri kecil telah mampu menembus pasaran ekspor. Peningkatan sumbangan
yang tinggi tersebut
secara
terhadap nilai tambah sektor
tidak industri
langsung
turut memberikan
secara keseluruhan dan pada
akhirnya dapat memberikan sumbangan/dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam tahun 2000-20a4 prioritas pembinaan dan pengembangan industri di Jawa Tengah ditentukan dengan kriteria sebagai berikut:
a) Industri yang mempunyai potensi dan dapat menimbulkan dampak pembangunan strategis dalam ekonomi (nilai tambah, devisa penggerak arus investasi, pemerataan dan teknologi). b) lndustri yang mempunyai potensi tumbuh dengan daya saing tinggi. c) Industri yang mempunyai prospek peluang dan daya tumbuh namun mengalami hambatan dan masalah.
Berdasarkan permasalahan
utama yang dihadapi
Jawa Tengah yaitu masalah
ketenagakerjaan dan masih adanya desa-desa atau daerahdaerah yang perlu prioritas penangarum, maka prioritas program pembinaan dan pengembangan industri di daerah diarahkan untuk pemerataan pembangunarq perluasan lapangan kerja dan pengendalian perencafturn lingkungan industri.
81
Pengembangan sub sektor industri kecil sebagai wujud pemerataan pembangunan dengan langkah-langkah
operasional
yang dilaksanakan
di Jawa Tengah adalah
pengembangan sub sektor industri kecil dengan pendekatan komoditi dan tersedianya pasar, baik pasar dalam negeri maupun ekspor. Dengan demikiarq pengembangan diprioritaskan pada sentra-sentra industri melalui:
a) Peningkatan kualitas produksi dan produktivitas serta diversifikasi produk. b) Mendorong kemandirian pengusaha dan kemampuan usahanya. c) Mendorong pengusaha untuk berkoperasi. d) Peningkatan perangkat pembina lapangan. e) Perluasan j aringan informasi. f) Mendorong tedadinya kerjasama keterkaitan dengan sistem bapak angkat. g) Mencipakan iklim usaha dan investasi. h) Peningkatan kerjasama terpadu antardepartemen Masalah ketenagakerjaan di Jawa Tengah hingga akhir tahun 2004 masih merupkan masalah yang dominan. Sehubungan dengan itu, pembinaan dan pengembangan sub selIor industri kecil dan kerajinan masih mendapat perhatian utama pada program pembinaan dan pengembangan pada 2004-2009, agar mampu menyerap tenaga kerja yang cukup serta mempunyai daya saing yang kuat sehingga mampu memasuki pasar global.
Deskripsi Sub Sektor Industri Kecil Sampel b. Jumlah Unit Usaha Sampel dan Pengelompokkan Berdasarkan Jenis Komoditi Berdasarkan prosedur penentuan sampel penelitian (unit usaha sub sektor industri kecil), maka Kota Semarang, Kabupaten Pati, Kabupaten Batang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Temanggung
terpilih
sebagai daerah/lokasi penelitian dengan mempertimbangkan
sentra industri dan tingkat penyerapan tenaga kerja. Dengan demikiarg penelitian ini hampir mewakili Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) di Jawa Tengah. Jumlah unit usaha sampel yang dapat dianalisis dan sesuai dengan teknik penentuan sampel dalam penelitian ini adalah 180 unit usaha dengan
82
5.1.3 pemilik/pengusaha sebagai responden. Sesuai dengan penggolongan sub sektor industri kecil berdasarkan klasifikasi industri kecil, maka jumlah unit usaha dalam penelitian ini terdiri dari: 1) Industri makanan, minuman dan tembakau sebanyak 59 unit usaha atau 32,89 persen, yaitu sub sektor industri kecil pengolahan kedelai, emping mlinjo, kerupulg roti kering, limun/sirup, pengolahan ikan dan rokok. 2) Industri tekstil, pakaian jadi dan kulit sebanyak20 unit usaha atau 11,39 persen meliputi sub sektor industri kecil konveksi, pengolahan kulit, tas dan alas kaki. 3) tndustri kayu dan barang-barang dari loy.,, termasuk perabotan rumah tangga sebanyak 40 unit usaha atat22,A9 persen terdiri dari sub sektor industri mebel, penggergajian kayu, barang dari kayu dan komponen bahan bangunan dari kayu. 4) Industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan sebanyak 6 unit usaha atau 3,10 persen terdiri dari sub seklor industri percetakaq sablorq dan penerbit. 5) lndustri kimia dan barang-barang dari bahan kimia, minyak bumi, batu bar4 karet dan plastik sebanyak 8 unit usaha atau 4,57 Frsen dengan jenis komoditi minyak cat, bahan cat dasar, sabun dan barang-barang dari plastik. 6) Industri barang galian bukan logam, kecuali minyak bumi dan batubara sebanyak 13 unit usaha atau 6,98 persen dengan jenis komoditi kapur tohor, genteng dan bata merah. 7) Industri logam dasar sebanyak I unit usaha atau 0,57 persen dengan jenis komoditi timah patrilbatangan atau cor logam8) Industri barang dari logam, mesin dan peralatannya sebanyak 10 unit usaha atat5,67 persen dengan jenis komoditi pengolahan logam, alumunium, kuningan dan besi urfuk jenis-jenis
produk
peralatzn, mebel, aksesoris mobilisepeda motor dan
keperluan/peralatan industri lairxrya 9) Industri pengolahan lainnya sebanyak 23 unit usaha atau 12,73 persen dengan jenis komoditi jasa pelayanan perbaikan kendaraan bermotor dan elektronika, bengkel las, bengkel bubut, kerajrnan
tembikar,
industri dengan bahan kapuk dan peralatan
angkutan.
83
84
Dalam penelitian pengelola/produsen,
ini yang dimaksud
dengan
responden
baik laki-laki maupun perempuan
adalah pemilik usaha/ yang berusaha dalam
pembuatan produk pada unit usaha sampel. Sedangkan karakteristik responden dalam penjelasan lebih lanjut meliputi ciri khas yang dimiliki responden yang membedakan responden
tersebut dari responden lainnya, yang terdiri dari jenis kelamitL umur,
jumlah penggunaan bahan (pokok, kemasan dan bahan pembantu), jumlah penggunaan tenaga kerja, besarnya modal yang digunakan, jumlah pengeluaran untuk energi dan peralatan produksi yang digunakan habis dalam masa satu tahun, jenis penggunaan teknologi, tingkat pendidikan, pengalaman usaha, jumlah pengeluaran upah dan hasil produksi. Karakteristik responden tersebut pada umumnya merupakan variabel yang dianalisis dalam pembahasan lebih lanjut.
a) JenisKelaminResponden Berdasarkan lampiran jenis kelamin responden pada kelompok analisis data gabungan (n: 180) untuk laki-laki sebanyak
149 orang laki-laki (82,78%) dan perempuan
sebanyak 31 orang (17,22o/o). Dari penjelasan
87
b) tersebut, terlihat responden laki-laki lebih banyak daripada responden wanita. Jadi, produsen atau pengusaha banyak didominasi kaum lelaki, terutama pada kelompok sub sektor industri
kimia dan bangunan
(genteng
dan mebel) dan pengusaha
perempuan paling banyak pada kelompok sub sektor industri kecil sandang dan kulit (khususnya konveksi dan bordir). Ternyata jenis komoditi yang dihasilkan pada kelompok industri kecil secara spesifik berkaitan dengan karakteristik Jenis kelamin pengusaha. Umur Responden Rata-rata umur responden pada kelompok analisis data adalah rata-rata berumur 43 tahun, minimal 26 tahun dan paling fin72 tahun-Dari penjelasan tersebut, secara ratarata responden berada pada usia produktif. Dengan usia yang lebih muda dan produktif dianggap memiliki kemampuan bekerja lebih giat dan dapat lebih tanggap dalam memecahkan persoalan yang dihadapi serta lebih inovatif dalam menerima perubahan teknologi, apabila dibandingkan dengan responden yang lebih tua. Jumlah Penggunaan Bahan (x1) c) Jumlah penggunaan bahan secara rata-rata Rp6.3S6.452,78 pu bulan, minimal Rp175.000,00 per bulan dan maksimal Rp70.500.000,00 per bulan. Apabila dilihat dari jenis komoditi yang dihasilkan, kelompok sub sektor industri pengolahan
lainnya adalah kelompok yang paling kecil
kecil
jumlah penggunaan atau
pengeluaran untuk pembelian bahan (industri kecil tembikar), sedangkan yang paling besar adatah kelompok industri sandang dan kulit (industri kecil konveksi).
d) Jumlah Penggunaan Tenaga Kerja (x2) Pada kelompok analisis data, rata-rata sebanyak 9 orang dan paling banyak 19 orang sebagaimana
pembagian kelompok
analisis datadalam penelitian
ini. Jumlah
penggunaan tenaga kerja sebagimana telah dijelaskan, ternyata sub sektor industri kecil merupakan sub sektor yang potensial dalam penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan klasifikasi, industri kecil menurut BPS adalah suatu usaha yang minimal mempunyai tenaga kerja 5 orang dan paling banyak 19 orang.
88
e) Jumlah Modal (modal awal dan modal ke{a)(x3) Pada kelompok analisis data secara rata-rata
sebesar
Rp22.585.756,1A, minimal
Rp19.875,00 dan maksimal Rp229.000.000,00. Industri kecil menurut kriteria Bank Indonesia adalah suatu usaha
yang rnempunyai total assetlkekayaan
maksimum
Rp600.000.000,00 tidak termasuk bangunan dan tanah yang ditempati. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian
ini, mata jenis usaha yang diteliti adalahjenis usaha industri kecil
sebagaimana kriteria Bank Indonesia
dan dari hasil-hasil penelitian
terdahulu
menyatakan bahwa nilai maksimum modal lebih kecil dari Rff00.000.000,00 dan investasi modal untuk mesin dan peralatan di bawah Rp500.000,00 (minimum modal usaha dalam penelitian sebesar Rp 1 9. 875,00).
f) Jumlah Kebutuhan Energr dan Peralatan Produksi (xa) Jumlah kebutuhan energi dan peralatan produksi dalam penelitian ini adalahjumlah biaya yang dikeluarkan untuk energi pendukung proses produksi seperti pembelian bahan bakar minyak, listrik, transportasi dan peralatan produksi yang mempunyai kegunaan dalam waktu satu tahun harus diganti.
g) Penggunaan Teknologi (xs) Penggunaan
teknologi dalam penelitian
ini adalah metode dalam melaksanakan
aktivitas proses produksi yang diklasifikasikan berdasarkan kriteria tidak menggunakan mesin, menggunakan mesin tanpaldengan motor penggerak dan
lain-lain Hasil
penelitian, pada umunnya menggunakan teknologi mesin dengan motor penggerak yang tergolong masih sederhana. Pada kelompok cabang industri bahan galian seperti usaha produksi genteng dan batu bata, beberapa pengusaha tahu dan tempe serta pengusaha gula merah yang menggunakan mesin tanpn h) motor penggerak (diesel maupun energt listrik), bahkan tanpa menggunakan mesin. Dengan demikian, sub sektor industri kecil memang merupakan sub sektor yang banyak menggunakan sumber daya manusia.
89
i) Tingkat Pendidikan Responden (x6) Ditihat dari tingkat pendidikan responderq secara rata-rata adalah sekolah menengah tingkat atas, paling tinggr adalah tingkat perguruan tinggi dan minimum hanya sampai kelas empat sekolah dasar. Berdasarkan tingkat pendidikan yang telah diselesaikan, ternyata secara rata-rata masih tergolong cukup rendah yaitu sampai dengan sekolah menengah tingkat. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam pengelolaan usaha, karena secara tidak langsung tingkat pendidikan akan mempengaruhi sikap dan perilaku dalam pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan usaha. Hal ini juga memperkuat
penelitian-penelitian terdahulu tentang
industri
kecil yang pada umumnya
pengelola/pemilik usaha berpendidikan kurang tinggr.
Pengalaman Usaha Responden (x7) Hasil penelitian
yang menunjukkan
rata-rata pengalaman usaha bagi pengusaha
industri kecil adalah 10 tahun, minimal 2 tahun, dan paling lama selama 30 tahun. Dilihat dari segi pengalaman usaha, secara rata- rata responden telah berpengalaman dalam mengelola usaha, yaitu lebih ciari 10 tahun.
Jumlah Pengeluaran untuk Upah (a) Jumlah pengeluaran unfuk upah secara rata
90
5.2. Analisis 5.2.1. Analisis Potensi Penyediaan Lapangan Kerja Pada hipotesis pertama telah diajukan bahwa sub sektor Industri Kecil mempunyai potensi dalam penyediaan lapangan kerja. Untuk proses pengujian tersebut digunakan variabel dalam aspek-aspek yang berhubungan dengan kondisi usaha melalui pengukuran indikator-indikator rata-rata. jumlah tenaga kerja (x2), modal (x:), tingkat pendidikan (xe) dan pendapatan pengusaha (Y). Sebagai perbandingan pengukuran parameter populasi untuk masing-masing
indikator pengukuran statistik
sampel
digunakan pa.rameter hasil penelitian terdahulu maupun pendapat/otoritas/keputusan dari
lembaga
yang terkait dalam pengukuran parameter populasi
(Departemen
Perindustrian dan BPS).
Hasil pengujian hipotesis pertama melalui pengujian masing-masing indikator untuk variabel kondisi usaha (rata-rata. jumlah tenaga keda, modal, tingkat pendidikan dan pendapatan pengusaha) dengan pengujian statistik uji t untuk jumlah tenaga ke{a 5-19 orang menunjukkan hasil pengujian yang sangat berbeda nyatalhighly significant (o:0,01) (Tabel 5.13 dan Lampiran). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dijelaskan proses pengujian hipotesis masing-masing indikator, yaitu:
91
a. Rata-rata Jumlah Tenaga Kerja OL) Berdasarkan klasifikasi penggunaan tenaga kerja, Bps menggolongkan Industri Kecil adalah kelompok industri yang menggunakan tenaga kerja minimal sebanyak 5 orang dan maksimal 19 orang dalam setiap perusahaan t{asil penelitian menunjukkan bahwa industri kecil sampel rata-rata memiliki 9 orang tenaga kerja (pmbulatan 9,08 tenaga ke{a) dengan standar deviasi 4,00. Melalui uji hipotesis statistik t diperoleh nilai t hitong sebesar 13,661 lebih besar dari nilai t hitung yang ada dalam tabel distribusi t (0,01; 179) :2,35. Sehingga menghasilkan pengujian hipotesis yang sangat berbeda nyata (cr:0,01). Dengan demikian proses pengujian indikator kondisi usaha melalui pengukuran rata-ratajumlah tenaga kerja yang bekerja pada setiap perusahaan (unit usaha) sampel, telah teruji sangat berbeda nyata dengan o : 0,01 (rata-rata lebih dari 5 tenaga kerja dan kurang dari 19 tenaga kerja). Berdasarkan pengujian tersebuf maka indikator pengukuran kondisi usaha melalui rata-rata jumlah tenaga kerja telah teruji dengan jumlah tenaga kerja pada
setiap unit sama dengan pendapat BPS. Pada
umunnya industri kecil mempunyai potensi dalam penggunaan tenaga ke-a.
b. Rata-rata Modal Usaha (Modal Awal dan Modal Kerja )L) Industri Kecil sebagaimana Keputusan Menteri Perindustrian Nomor: 133/lv1/SKi8/79 adalah industri yang mempunyai investasi modal untuk mesin-mesin tidak lebih dari Rp. 70.000.000 atau investasi per tenaga kerja tidak lebih dari Rp. 625.000. Hasil pengamatan Bank Indonesia (1991) mengemukakan bahwa industri kecil merupakan suatu usaha yang memiliki total asset maksimum sebesar Rp. 600.000.000,
tidak
termasuk rumah dan tanah yang digunakan untuk usaha. Hasil penelitian menunjukkan secara
rata-rata modal usaha
yang digunakan untuk berusaha sebesar Rp.
22.728.533,89 dengan standar deviasi Rp.33.240.914,60. Melalui proses pengujian hipotesis statistik t telah teruji bahwa rata-rata modal usaha memang sangat signifikan (o : 0,01) kurang dari Rp. 70.000.000 dengan t hitung sebesar -79,079 yang lebih kecil dari nilai t dalam tabel (to,or.rzg) sebesar -2,35. Jadi dengan proses pengujian statistik, modal usaha industri kecil sampel melalui uji statistik t menunjukkan bahwa rata-rata modal
usaha sub sektor industri
kecil memang tidak
lebih dari Rp.
70.000.000 sebagaimana Keputusan Menteri Perindustrian di atas. 92
c. Rata-rata Trngkat Pendidikan Pengusaha Qft) Kondisi usaha dalam hubungannya dengan penyediaan kesempatan kerja apabila dilihat dari aspek
rata-rata
tingkat pendidikan
pengusaha,
ternyata
rata-rata
berpendidikan sekolah menengah tingkat atas. Hasil analisis menunjukkan rata-rata tingkat pendidikan pengusaha adalah 12,A2 tahun (dalam pengukuran ini tingkat pendidikan
dihitung berdasarkan lamanya
waktu yang
telah dilakukan
dalam
melaksanakan pendidikan/sekolah dengan p".agukuran: Sekolah Dasar sama dengan 6 tahun, SLTP sama dengan 9 tahun, SLTA sama dengan 12
tahun dan Tingkat
Pendidikan Tinggi sama dengan 17 tahun). Dengan melalui proses pengujian statistik t dan standar deviasi sebesar 2,466 menghasilkan perhitungan statistik t hitung sebesar 32,728 yang lebih besar dari nilai t yang ada dalam tabel (tabel rzs) : 2,35. Dengan demikian variabel tingkat pendidikan
pengusaha
merupakan variabel yang
signifikan/berbedanyata di dalam pengukuran kondisi usaha yang dapat mencerminkan potensi
dalam penyediaan kesempatan
berusaha
bagi masyarakat yang rata-rata
berpendidikan lulus sekolah menengah tingkat atas.
Dengan demikian
variabel tingkat pendidikan pengusaha
sebagai
indikator
pengukuran kondisi usaha yang dapat mencerminkan potensi penyediaan kesempatan kerja dan berusaha pada saat
ini secara
rata-rata tingkat
pendidikan pengusaha
industri kecil berpendidikan lulus sekolah menengah tingkat atas, tidak sebagaimana pengamatan Departemen Perindustrian, Departemen Tenaga Kerja dan para peneliti terdahulu. Rata-rata Pendapatan Pengusaha Hasil penelitian Anita van Velzen (Van Velzen, 1992:35-37) mengemukakan bahwa industri kecil sebagai usaha kecil adalah badan usaha
atau perusahaan perseorangan dengan
asset aktiva setinggi-tinggnya
sebesar Rp. 300.000.000 atau penjualan maupun omzet penjualan maksimal mencapai Rp. 300.000.000 per tahun. Pendapat ini diperkuat oleh Departemen Keuangan dalam mendefinisikan hasil produksilpenerimaan industri yang tergolong industri kecilBerdasarkan batasan di atas dalam menggolongkan industri kecil, maka pengujian hipotesis yang berhubungan dengan kondisi usaha yang dianggap mempunyai potensi
93
kesempatan keda dan berusaha melalui indikator variabel
rata-rata hasil produksi
sebagai pengukuran pendapatan pengusaha dilakukan pada penelitian ini. Hasil analisis data menunjukkan bahwa rata-rata hasil produksi setiap bulan sebesar Rp. 10.394.755,56 atau sebesar Rp. 124.737.A66,70 per tahun dengan standar deviasi sebesar Rp. 8.846.371,659 merupakan jumlah yang kurang dari Rp. 300.000.000 per tahun. Dalam proses pengujian statistik t menghasilkan perhitungan sebesar -22,L50 yang menunjukkan
proses
pengujian sangat berbeda nyata/sangatsignifikan
apabiladibandingkan dengan nilai t dalam tabel (topr,rzq) : -2,35Dengan demikian input disimpulkan bahwa dalam proses pengujian statistik untuk pengujian kondisi usaha sebagai kondisi yang dapat membuka kesempatan ke{a dan berusaha melalui indikator pengukuran variabel hasil produksi telah teruji sangat signifikan.
5.2.2 Analisis Model Penduga Fungsi Produksi: Pengujian Hipotesia Kedua a. Analis Model Penduga Fungsi Produksi Power:
Amlisis model penduga hipotesis ke dua yaitu terdapat faktor produksi dominan dan signifikan yang mempengaruhi hasil produksi sub sektor industri kecil. Penelaahan hipotesis ini dilalrukan melalui uji regresi berganda sebagai tahap pembentukan model penduga fungsi produksi (ltower). Untuk menentukan model penduga fungsi produksi terbaik dilahrkan melalui pendekatan keseluruhan dan bertahap (Step Wise Regression).
94
Catatan: - Cetak miring: nilai t hitung - *) Pengujian Hipotesis berbeda tyatalsigntficant (a:5 Yo) - **) Pengujian Hipotesis berbeda sangat nyatilhighly significant (a: I Yo)
95
Catatan: - Cetak miring: nilai t hitung - **) Pengujian Hipotesis sangat berbeda nyata/highly significanr (u: I o/o) - *) Pengujian Hipotesis berbeda nyata/significant (a: 5 %)
a) HasilAnalisisdenganPendekatanKeseluruhan Dalam analisis ini sebanyak 180 responden yang dapat dianalisis datanya. Hasil proses pengujian regresi berganda (ln) untuk pendugaan fungsi produksi Qtower) melalui pendekatan secarzr keseluruhan menghasilkan hasil perhitungan F sebesar 23,891dan x-2 sebesar 52,80yo dengan proses pengujian F yang sangat berbeda nyata, karena nilai F hitung lebih besar dari nilai yang ada dalam tabel (Fo,os,s,rzr) : 1,99. Dengan demikian,
persamaan
regresi yang ada dapat digunakan
sebagai model
penduga fungsi produksi Qtower) yang menjelaskan peranan antara variabel-variabel 96
bebas (Y). Secara bersama-sama variabel tidak bebas Y: hasil produksi pengusaha dipengaruhi oleh variabel-variabel: bahan (X1), jumlah tenaga kerja 0(z), modal awal dan modal kerja (X3), kebutuhan energi dan peralatan ()Q), penggunaan teknologi Q(), tingkat pendidikan pengusaha (&), pengalaman berusaha (Xz) dan jumlah pengeluaran upah ()fu). Apabila dilihat berdasarkan
besarnya koefisien
regresi berganda dan
koefisien korelasi ternyata hanya variabel bebas: kebutuhan energt dan peralatan, tingkat
penggunaan
teknologi, tingkat pendidikan
pengusaha
dan pengalaman
berusaha merupakan variabel-variabel bebas yang tidak signifikan di dalam proses pengujian statistik t. Karena hasil uji statistik t untuk kedua variabel tersebut berada pada dasar peneriman hipotesis statistik nol.
Nilai koefisien korelasi untuk variabel penggunaan energr darr peralatan sebesar 0,287; tingkat penggunaan teknologi sebesar 0,251, tingkat pendidikan sebesar 0,101 dan untuk variabel pengalaman berusaha sebesar 0,187. Hal ini menunjukkan proses pengujian tidak signifikan dengan koefisien korelasi mendekati
angka nol atau
hubungan variabel-variabel terhadap hasil produksi adalah lemah sekali atau hampir tidak ada hubungan. Untuk variabei-variabei: bahan (X1), jumlah tenaga keda (Xz), modal (awal dan modal ke{a) (Xr), dan besarnya pengeluaran upah Qfu), ternyata variabel- variabel tersebut merupakan variabel yang dominan dan berpengaruh sangat nyata dalam proses pengujian statistik t terhadap
perubahan
variabel Y (hasil
produksi). Sebab hasil pengujian t hitung nilainya lebih besar dibandingkan dengan nilai t tabel (t4,61.12g). Untuk variabel bebas jumlah modal (X3) dan jumlah upah ()k), terlihat berpengaruh nyata dalam proses pengujian statistik t dengan taraf nyata (o) sebesar 5yo. }{aL ini dapat dilihat dari nilai t hitung sebesar 2,195 untuk variabel bebas jumlah modal ()L) dan 2,190 untuk variabel bebas jumlah upah ()Q) yang hanya dapat disesuaikan taraf nyata (o) sebesar 5%.
b) Hasil Analisis dengan Pendekatan Step Wise Dalam proses pengujian hipotetis untuk menentukan model penduga regresi berganda terbaik melalui
pendekatan (Step Wse), pada penelitian
ini dilakukan
proses
97
pembentukan persafluurn regresi berganda (1n) untuk model penduga fungsi produksi power dilakukan sampai dengan empat tahap. Pentahapan tersebut dimakudkan untuk mengurangi variabel- variabel bebas yang mempunyai hubungan lemah dan tidak signifikan terhadap perubahan variabel bebas (Y). Akhirnya terbentuk model penduga fungsi prodti/rsi power:
Variabel-variabel bebas: bahan baku, jumlah tenaga keda, modal dan jumlah upah merupakan variabel-variabel yang dominan dan berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Y) atau hasil produksi. Karena berdasarkan hasil pengujian statistik t untuk nilai koefisien regresi berganda menunjukkan nilai-nilai yang lebih besar dari nilai t yang ada dalam tabel (to.os,r;s).
b. Analisis Model Penduga Fungsi Produksi CES (Constant Elosticity of Sub s t itut iorz): Penguj ian Hipotesis Ketiga dan Keempat Pada hipotesis kedua bagian a secara rinci telah dinyatakan bahwa elastistas substitusi factor produksi jumlah tenaga keqa (X2) terhadap modal (X3) adalah in-elastis. Untuk menguji pernyataan tersebut dilakukan dengan model penduga fungsi produksi CES dalam bentuk:
98
Proses pengujian model penduga fungsi produksi CES melalui analisis regresi linier berganda secara intrinsik (Tabel5.16) menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar 33,48 yang lebih besar dari nilai F dalam
tabel (F6.61,2;r77),
namun perolehan
besarnya koefisien determinasi t*-'l hanya sebesar 27A0 o/o. Dengan demikian persamailn regresi yang mencerminkan model penduga fungsi produksi CES dapat digunakan sebagai alat penafsiran dalam membuat kesimpulan mengenai pertautan antara variabel yang terlibat di dalamnya, kendati hanya sebesar 27,40yo
variabel-variabel tersebut dapat menjelaskan model yang didapat.
Ilasil
statistik t untuk koefisien jumlah tsnaga kerja diperoleh nilai sebesar 6,852 dan untuk koefisien modal sebesar 2,848 ternyata nilai-nilai tersebut lebih besar dari nilai t hitung dalam tabel (to. 0r; r7e) : 2,35.
99
Dengan demikian variabel jumlah tenaga kerja (X3) adalah variabel-variabel yang dominan dan berpengaruh
sangat nyata/signifikan
terhadap hasil produksi
(Y)
pengusaha industri kecil. Jadi hasil analisis data dan hipotesis
yang telah diajukan telah
teruji, sehingga
besarnya parameter substitusi (p) yang ada dalam model penduga fungsi produksi CES dapat digunakan
untuk menghitung
besarnya
elastisitas substitusi
(o). Hasil
perhitungan o dengan menggunakan dasar perhitungan parameter substitusi (p:0,3) menunjukkan 0,7693 atau lebih kecil dari satu (o < l), yaitu menuqiukkan kondisi elastisitas substitusi yang inelastis sebagaimana pemyakan hipotesis yang telah diaj ukan. Guna menganalisis efisiensi penggunaan tenaga kerja, pengujian pernyataan hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa alokasi penggunaan faktor produksi tenaga kerja belum berada pada tingkat optimal pada keadaan hasil produksi dari penggunaan faktor-faktor
produksi
saat penelitian,
dilakukan dengan menggunakan
hasil
pengujian statistik untuk model penduga fungsi produksi CES yang telah teruji sebagai model penduga fungsi produksi terbaik. Pada analisis data terdahulu telah teruji model penduga fungsi produksi CES dapat digunakan sebagai alat penafsiran dan pembuat kesimpulan bagt pengukuran-pengukuran parameter yang berkaitan di dalamnya. Ukuran efisiensi dalam hipotesis tersebut diuji melalui pengukuran parameter efisiensi 6 (gamma) pada model penduga fungsi produksi CES melalui besarnya koefisien regresi linier berganda variabel jumlah tenaga keqa (X2) pada model penduga fungsi produksi power dan CES sebagai pengukuran produk marjinal dan nilai produk ma{inal atau sebagai nilai keluaran (ouput/hasi1) masing-masing faktor produksi persatuan. Pada pengujian statistik untuk model penduga fungsi produksi CES, pengukuran tingkat efisiensi penggunaan tenaga kerja dapat diketahui dari pengukuran nilai parameter efisiensi (a) yang telah teruji sangat signifikan. Sehingga besarnya tingkat pengguiraan tenaga kerja 3,4507 sesuai dengan asumsi pembentukan model yaitu lebih besar dari nol. Jadi secara statistik pengujian hipotesis di atas telah teruji secara sangat nyata/signifikan pada analisis regresi linier berganda sebagai model penduga fungsi produksi CES. 100
5.2.3 Analisis Regresi Berganda (ln) untuk model penduga fungsi produksi Power dan Analisis Regresi Berganda secara intrisik untuk model penduga fungsi produksi CES dalam pengukuran skala usaha intensitas tenaga ke{a hasil tabulasi silang. Pada pengujian hipotesis ke lima, data dikelompokkan pada dua bentuk tabulasi silang yang menjelaskan pengukuran intensitas tenaga kerja dengan modal. Bentuk tabulasi silang I dimaksud memuat unsur pembagian skala usaha: jumlah tsnaga kerja Q(z) dengan klasifikasi unsur modal usaha (Xr) < Rp. 11.875.000 dan > Rp. 11.875.000. Tabulasi silang II, memuat unsur pembagian skala usaha jumlah tetraga kerja ()b) yang sama dengan bentuk tabulasi silang I, tetapi untuk skala usaha jumlah modal (X:) diklasifikasikan dalam jumlah modal (X:) < Rp. 70.000.000 dan lebih dari Rp.70.000.000 dan lebih dari Rp. 70.000.000 sebagaimana klasifikasi modal usaha industn
kecil menurut
keputusan Departemen Perindustrian. Hasil penggolongan
analisis data berdasarkan ketentuan skala usaha, ternyata data empirik yang dapat dianalisis berdasarkan
asumsi-asumsi statistika
dan ekonometrika
hanya dapat
dianalisis kelompok-kelompok tabulasi silang yaitu :
a. Industri kecil sampel yang mempunyai jumlah tenaga kerja 5-19 tenaga kerja dengan modal usaha kurang dari Rp. 11.875.000 dengan jumlah observasi: 87 unit usaha. b. Industri kecil sampel yang mempunyai jumlah tenaga kerja sebanyak 5-19 teraga ke{a dengan modal usaha kurang dari Rp. 70.000.000, dengan jumlah observasi 168 unit usaha. Kedua pembagian tabulasi silang skala usaha jumlah tenaga ke{a dengan modal dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda (ln) untuk model penduga fungsi produksi
Power dan analisis regresi berganda secara intrisik untuk model
penduga fungsi produksi CES. IIasil analisis regresi berganda (1n) untuk model penduga fungsi produksi Power dapat dilihat pada tabel berikut:
101
102
Berdasarkan tabel 5.18, hasil analisis regresi berganda (ln) untuk pendugaan fungsi produksi Power dengan batasan
skala usaha
intensitas tenaga kerja dan modal
diperoleh keterangan besarnya nilai F hitung masing-masing skala usaha dan nilai R2 (koefisien determinasi linier) menunjukkan nilai F yang besar apabila dibandingkan degan nilai F tabel. Berdasarkan nilai F hitung dan R2 maka model fungsi produksi Power dengan batasan skala usaha intensitas tenaga kerja dapat digunakan sebagai model penduga fungsi produksi karena model peduga tersebut sangat berbeda nya,r- (highly significant). Dengan metode Stepwise, ternyata hanya faklor produksi penggunaan teknologi (X5), tingkat pendidikan pengusaha ()G) dan besarnya pengeluaran upah QQ) merupakan faktor-faktor produksi dominan yang menentukan hasil produksi (Y) pada skala usaha jumlah tenaga kerja 5-19 tenaga kerja dan besar modal < Rp. 11.875.000. Karena hasil uji statistik t hitung uniuk tiga variabel tersebut menunjukkan sangat signifikan. Untuk skala usahajumlah tenaga kerja 5-19 tenaga kerja dan jumlah modal usaha kurang dari Rp. 70.000.000, variabel bahan baku (X1), jumlah tenaga kerja (X2) dan modal usaha (X3) merupakan variabet dominan. Sebagai analisis selanjutnya pada pengujian hipotesis kelima adalah analisis kelima adalah analisis pengujian regresi berganda secara instrinsik untuk model penduga fungsi produksi cES, yang dapat dilihat pada tabel 5.19. Pada analisis model penduga fungsi produksi CES melalui regresi berganda secara intrinsik, kelompok analisis data hanya dapat dilaksanakan pada pembagian skala usaha tabulasi silang intensitas ternga kerja - modal untuk industri kecil sampel yang mempunyai jumlah tenaga kerja (X2) sebanyak 5-19 tenaga ke{a dengan modal usaha (&) kurang dari Rp.11.875.000, yaitu sebanyak 87 unit usaha dan jumlah modal usaha kurang dari Rp.70.000.000, yaitu sebanyak 167 unit usaha. Sedang kelompok skala usaha yang lain tidak dapat dianalisis karena tidak memenuhi asumsi-asumsi analisis statistika maupun ekonometrika. tlasil analisis menunjukkan 2 {&n) kelompok skala usaha diatas, model penduga fungsi produksi CES dapat digunakan sebagai model penduga fungsi produksi. Oleh
103
karena itu nilai F hitung dan 2 kelompok analisis data lebih besar dari nilai F tabel dan sangat berbeda nyatapenguj iannya.
Faktor produksi tenaga kerla (X2) dan modal (X3) merupakan faktor produksi dominan,
karena nilai
t hitung > t tabel. Apabila dilihat dari proses
pengujian
selanjutnya, selain sebagai model penduga fungsi produksi CES, pada analisis ini dapat diketahui nilai-nilai parameter substitusi, efisiensi
dan kondisi elastisitas
penggunaan tenaga kerja. Hasil proses pengujian inilah yang membedakan penggunaan model penduga fungsi produksi Power dengan CES. Untuk kelompok analisis data dengan skala usaha terwgake{a 5-19 tenaga kerja dan jumlah modal kurang dari Rp. 1 1.875.000 dan jumlah modal kurang dari Rp.70.000.000, menunjukkan pengukuran parameter yang besarnya relatif sama, yaitu:
104
a. Koefisien elastisitas substitusi (o), masing-masing kurang dari satu (or : 0,66 dan o2: A,12) sebagai kondisi yang inelastis. b. Koefisien efisiensi (d) besamya relatif sama, tetapi lebih efisien bagi skala usaha yang mempunyai modal kurang dari Rp.70.000.000. c. Koefisien delta (6), besarnya menunjukkan hasil perhitungan yang sama. Dengan dernikian pada proses pengujian model penduga fungsi produksi CES melalui regresi berganda intrinsik lebih tepat digunakan sebagai model penduga fungsi produksi untuk
perencanaan
tenaga
kerja. Oleh karena itu dalam model tersebut daqt
dikembangkan bentuk-bentuk pengukuran ekonomi yang lain. Tidak hanya menguji keberartian model melainkan dapat menafsirkan
kondisi ekonomi:
skala
usaha
tertentu, substifusi, efisiensi dan dominan tidaknya faktor pembentuk model. Jadi hipotesis kelimat dapat teruji melalui proses penguj ian tersebut.
5.3. Pembahasan Pembahasan ini berpangkal tolak dari perangkat tinjauan mikro untuk menganalisis atau menilai kondisi sub sektor industri kecil serta peluangnya dalam penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat dengan menggunakan pendekatan atau telaah teori produksi,
sehingga
menganalisis
implikasi dari keseluruhantukidan pada pokoknya bertujuan
kesempatan keda dan efisiensi penggunaan tenaga
kerja yang
dapatdigqnaka sebagai dasar dalam penyusunan perencanaantenagakerja pada sub sektor industri kecil. Pengujian data deskriptif tentang kondisi usaha sub seklor industri kecil, model penduga fungsi produksi
power dan
fungsi produksi
cES, perhitungan efisiensi
penggunaan tenaga kerja tingkat intesitas tenaga keda intensitas modal, subtutusi tenaga ke{a terhadap modal serta proyeksi kebutuhan tenaga kerja dalam funsi produksi power dan CES yang menggunakan skala usaha intensitas tenaga kerja dalam tabulasi silang, sebagai
temuan-temuan
penelitian, dalam penelitian
ini
digunakan sebagai dasar dan dibahas secara umum sesuai dengan tujuan penelitian yang diajukan.
105
5.3.1. Kondisi Usaha Sub Sektor Industri
Kecil dalam Analisis Ketenagakerjaan
Sebagaimana dapat dikatakan bahwa dalam pembahasan ini setiap kegiatan prouksi yang melibatkan sejumlah tenaga kerja pada kenyataannya mempunyai variasi dan perbedaan atas berbagai aspek pokok yang berkaitan dengan kondisi usaha seperti :penggunaan bahan baku, pola penyerapan tenaga kerja, jumlah modal, pengguuan teknologi, orientasi pasar, kegiatan usaha (pengalaman) serta persyaratan-persyaratan lokasi. Berkaitan dengan hal tersebut maka permasalahan yang sering timbul dalam pengkajian kondisi usaha, dalam penggunaan dengan kriteria yang berbeda serta sudut pandang maupun kepentingan yang berbeda. Dalam penelaahan ini penetapan konsep skala usaha didasarkan pada jumlah tetaga kerja per unit usaha sebagai fokus Inalisis data sebagai ketetapan BPS dan penelitian M Syafii Idrus (1988), dalam penelitian ini berpegang pada alasan bahwa
106
I (1) Variabel jumlah tenaga ke{a per unit usaha pada umumnya mempunyai korelasi yang sangat erat dengan parameter-parameter nilai hasil produksi atau output, tingkat
penggunaan modal, ukuran kapasitas produksi maupun penggunaan energi. (2)
Jumlah tenaga kerja per unit usaha sejauh
ini
merupakan satu-satunya dimensi
permasalahan pengkajian dan didukung oleh data-data rincian (data sekunder) yang konsisten baik ditingkat daerah maupun nasional. Selain itu, komitmen pemerintah
dalam upaya pengembangan industri kecil pada pokoknya merupakan bagian dari
langkah nyata untuk menjawab ketimpangan-ketimpangan dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Ketimpangan tessebut terlihat dari sisi tingkat perkembangan tenaga
ke{a
yang demikian cepat tanpa diimbangi oleh lapangan kerja yang ada, yang
pada gilirannya menjadikan pengembangan industri kecil sebagai suatu alternatif yang harus dilaksanakan.
Kesempatan kerja secara asasi merupakan landasan pengembangan terpenting bagi industri kecil. Dalam hubungan ini pembahasan berkisar pada upaya mendeteksi dan memahami kontribusi dari sub sektor industri kecil terhadap penyerapan tenaga kerja, seperti tujuan khusus bagran pertama penelaahan ini, yaitu menganalisis apakah industi kecil di Jawa Tengah dapat menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Pembahasan yang dilandaskan hasil penelitian industri
kecil sampel dengan
menggunakan batasan skala usaha sebagaimana penjelasan terdahulu diperkuat
dengan batasan-batasan yang ditetapkan oleh Departemen Perindustrian, Bank Indonesia dan hasil-hasil penelitian terdahulu Pembahasan yang berhubungan dengan aspek permodalan pada sub sektor
industri kecil menunjukkan bahwa sub sektor industri kecil rata-rata mempunyai modal kurang dari Rp. 70.000.000,00 atau investasi per tenaga kerja kurang dari Rp. 625.000 sebagaimana keputusan menteii perindqstrian. Hal ini menunjukkan indikasi
bahwa sub seklor industri kecil lebih bersifat padat tarya dan dapat memberikan kesempatan kerja bagi angkatan kerja.
Apabila disimak dari dimensi tingkat pendidikarL hasil
penelitian
menunjukkan sub sektor industri kecil sampel memberi kesan bahwa sebagian tenaga
kerja maupun pengusaha berpendidikan cukup rendah (rata-rata lulus sekolah t07
menengah tingkat atas). Hal
ini
mengisyaratkan bahwa sub seklor industri kecil
adalah sub sektor yang dapat menampung angkatan kerja yang tidak berpendidikan
tinggi, apalagi yang berdomisili di pedesaan. Selain itu sub sektor industri kecil juga sebagai alternatif pilihan yang tepat bagi angkatan kerja sebagai ajang usaha bagi
pemilik modal yang tidak berpendidikan tinggr.
Dari aspek pendapatan usaha, sebagai indikator pengukuran kondisi
usaha
menunjukkan hasil yang nyata sebagai suatu kesempatan berusaha atau sebagai sumber pendapatan masyarakat yang telah teruji secara statistika, sehingga sub sektor
ini merupakan sumber perekonomian masyarakat.
5.3.2. Modet Fungsi Produksi Power sebagai Metode Proyeksi Kebutuhan Kesempatan Kerja dalam Perencanaan Tenaga Kerja.
Secara teoritis pendekatan fungsi produksi adalah suatu metode dalam perencaruurn tenaga
ke{a dengan maksud unfuk mengetahui kesempatan kerja
melalui pengukuran tingkat produktivitas tenaga kerja dalam berbagai penggunzum.
Fungsi penggunaan faktor-faktor produksi dan hasil produksi tercermin
pada
hubungan fungsi produksi.
Pada pendekatan model penduga fungsi produksi power, variabel-variabel
faktor produksi (umlah penggunaan bahan baku, jumlah pengeluaran untuk
upah,
modal usaha, kebutuhan energr dan peralatan produksi, tingkat pendidikarq pengalaman usaha dan jumlah pengeluaran untuk upah) dalam berbagai skala usaha, pada penelitian ini menunjukkan pengaruh yang sangat nyataterhadap hasil produksi.
Kondisi ini menenjukkan adanya dukungan pada teori-teori terdahulu (Heady dan John L.Dillon, 1961; Miernylq l97l.. Fergusoan
e
JP Gould, 1975 ; dan Henderson
Ricard, 1985) dan penemuan-penemuan sebelurirnya (Soewito, 1987; Van Velzen, 1992) sebagai hubungan antara faklor produksi yang disebut sebagai masukan dan hasil produksinya atau produk sebagai keluaran. Sedangkan penelaahan dominasi faktor-faktor produksi apabila disimak dari
masing-masing skala usaha memperlihatkan perbedaan. Secara garis besar apabila telaah tidak membedakan ukuran skala usaha, variabel-variabel bebas dominan yang 108
menentukan variabel
tidak bebas jumlah/jenisnya lebih banyak
(dengan
menggunakan metode keseluruhan) dan hanya variabel tingkat pendidikan saja yang
bukan variabel menentukan perubahan tingkat penghasilan pengusaha sub sektor industri kecil. Hal
ini
sesuai dengan penelitian terdahulu bahwa tingkat pendidikan
pengusaha tidak berpengaruh nyata dengan pendapatan pengusaha.
Apabila sub sektor industri kecil benar-benar terklasifikasi skala usaha "kecil", ternyata variabel-variabel faktor produksi bahan baku, jumlah tenaga kerja, jumlah modal usaha dan jumlah pengeluaran untuk upah merupakan variabel yang
berperan dalam menentukan perubahan hasil produksi (melalui pendekatan keseluruhan maupun stepwise). Keterangan
ini memberikan variasi terhadap
penelitian sebelurirnya (Soewito, 1987 Van Velzen, lgg2) yang menunjukkan gambaran 87 persen dari biaya produksi keseluruhan semata-mata untuk komponen bahan baku dan kebutuhan untuk energi dan peralatan produksi. Cabang industri
pengolahan makanan, sandang dan
kulit serta industri perkayuan pada umumnya
merupakan cabang-cabang yang mempunyai daya serap tenaga kerja yang tinggi.
Variabel jumlah tenaga ke{a dalam peneletian
ini teruji
sebagai variabel
bebas yang berpengaruh nyata dalam pengujian melalui pendekatan keseluruhan
maupun stepwise. Hal
ini
mendukung ketentuan BPS atas pengklasifikasian jenis
industri. Dalam kerangka teoritis, indikasi
ini
memberikan suatu konsekuensi
pemahaman bahwa faktor produksi tenaga kerja merupakan faktor produksi dominan dan berperan dibanding dengan faktor produksi yang lain khususnya faktor produksi
jumlah modal usaha yang berarti terdapat suatu kecenderungan yang tajam b4gi industri kecil untuk semakin bersifat padat modal (faktor produksi modal diperlukan dalam peningkatan skala usaha).
Berdasarkan perhitungan tingkat efisiensi penggunaan faklor produksi tenaga
kerja dalam penelitian ini, ternyata mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa alokasi penggunaan faktor produksi tenaga kerja belum berada pada tingkat optimal pada saat penelitian dilaksanakan. Dimana
nilai produk marjinal penggunaan tenaga
kerja besarnya tidak sama dengan upah rata-rata yang diterima per tenaga kerja dan besarnya elastisitas produksi penggunaan
ktagakerja besamya lebih
besar dari satu.
109
Dengan kata lain, hal
ini
mendukung kondisi tahapan proses produksi yang
increasing rate (pro&k rata-rata pada posisi naik
di
daerah pertama dalam kuva
fungsi produksi), artinya pengusaha sub sektor industri kecil masih mampu memperoleh sejumlah hasil yang menguntungkan apabila faktor produksi tenaga
kerja ditambahkan. Pernyataan tersebut mendukung teori-teori produksi maupun penelitian-penelitian sebelumnya yarrg menggambarkan metode produksi yarLg digunakan oleh pengusaha sub sektor industri kecil dalam mengkombinaskan faktor produksi yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk secara teknis dan ekonomis efi sien (pengkaj ian produk
ma{inal).
Variabel tingkat pendidikan pada penelaahan berbagai skala usaha dalam penelitian ini tidak menunjukkan indikasi pengaruh nyata. Dengan kata lain pada sub seklor industri kecil tidak diperlukan kemampuan akademik melainkan ketrampilan
dan pengalaman berusaha. Kenyataan menunjukkan rata-rata tingkat pendidikan secara deskriptif untuk pengusaha adalah sekolah menengah tingkat atas. Kondisi tersebut antara lain yang menjadikan tidak berpengaruhnya tingkat pendidikan dan kemampuan menghasilkan produk dan pendapatan.
Penggunaan model fungsi produksi Cobb-Douglas secara empirik dapat dilaksanakan dengan ketentuan telaah harus berlandaskan pada asumsi-asumsi secara
metodologis. Dalam penelitian
ini asumsi-asumsi dimaksud tidak dapat
terpenuhi
secara keseluruhan (yaitu asumsi sampel perusahaan yang diteliti menggunakan
teknik sampling yang random, tidak terjadinya persaingan sempurna dalam mempeioleh faktor-faktor produksi dan adanya perbedaan lokasi keberadaan sampel perusahaan). Dengan demikian digunakan model penduga fungsi power/pangkat dengan asumsi elastisitas adalah konstan dan apabila dalam pengujian koefisien
regresi pangkat dan variabel-variabel bebasnya apabila dijumlahkan sama dengan
satu maka model penduga fungsi power tersebut adalah fungsi produksi CobbDouglas. Kenyataan adalah sulit untuk mematuhi asumsi-asumsi fungsi produksi Cobb-Douglas secara metodologis, baik teknik sampling yang random maupun teknik perhitungan statistik (penduga yang tidak bias dan tingkat teknologi yang digunakan
pada kondisi yang Constant Return
to Scale atau kenaikan produksi
sebanding
110
terhadap skala usaha). Dalam penelitian ini jenis skala usaha sampel memang berbeda
dan kenyataan menunjukkan koefisien faktor produksi tenaga ke{a pada analisis
skala usaha juga teruji berbeda. Jadi dalam penggunaan model penduga fungsi
produksi untuk proyeksi kebutuhan tenaga kerja, apabila menggunakan model penduga fungsi produksi Cobb-Douglas perlu penekanan dan kepatuhan dengan penggunaan model dan asumsi-asumsi metodologis, karena kondisi empiris sering
tidak mendukung asumsi teoritis dan kemungkinan penggunaan model fungsi produksi power adalah sesuai dengan teori produksi dengan memperhatikan dan membandingkan hasil analisis apakah sesuai atau tidak dengan asumsi-asumsi dalam penggunaan model fungsi produksi Cobb-Douglas.
5.3.3. Model Fungsi Produksi CES Tenaga Kerja
-
sebagai
Model Pengukuran Elastisitas Subtitusi
Modal
Dalam penelitian ini digunakan model fungsi produksi CES untuk mendekati fungsi produksi. Oleh karena asumsi-asumsi model fungsi produksi Cobb-Douglas tidak dapat terpenuhi dan fungsi produksi CES lebih tepat dari fungsi produksi CobbDouglas
(o
:
1). Fungsi Produksi CES merupakan pelengkap atau pengganti untuk
menentukan pengukuran elastisitas subtitusi tenaga kerja terhadap modat (dalam
model fungsi produksi Cobb-Douglas besarnya sama dengan satu atau sumbangan
relatif modal dengan tenaga kerja adalah konstan untuk setiap perubahan jumlah modal dan tenaga keq'a pengukurannya tidak dapat langsung dihitung, sedang dalam model fungsi produksi CES, parameter pengukuran subtitusi, efisien dan elastisitas subtitusi dapat diketahui). Hal ini sesuai dan mendukung teori-teori terdahulu (Arrow, 1960; Cheneri, Minhas dan solow; 196l- Yudo Swasono, 1987) dimana besarnya elastisitas subtitusi (o) antara tenaga kerja dengan modal tidak sama dengan satu dan besarnya konstanta adalah 0 <
o
dan asumsi-asumsi yang dikemukakan adalah
adanya upaya meminimumkan biaya, fungsi produksi agregat mempunyai sifat tidak
menyatu, tidak ada bias dalam variabel serta tidak ada waktu penyesuaian antara rasio
111
jumlah produksi dengan jumlah tenaga ke{a maupun rasio tingkat upah dan jumlah tenaga kerja.
Elastisitas subtitusi merupakan alat pengukur mudah tidaknya berbagai faktor produksi saling menggantikan satu dengan yang lain (dalam penelaahan penelitian ini adalah faktor produksi tenaga kerja dengan modal). Hasil perhitungan efisien dan elastisitas subtitusi (o) yang diperoleh dari parameter subtitusi menunjukkan hasil o
<
1, maka faktor produksi tenaga kerja terhadap modal adalah inelastis sebagaimana hipotesis yang diajukan. Berarti apabila faktor produksi tenaga ke{a bertambah maka
faktor produksi modal diupayakan konstan agar batas produksi mencapai
batas
maksimum. Fful ini diperkuat dengan pengujian hipotesis untuk fungsi produksi CES melalui analisis regresi berganda secara intrinsik yang menunjukkan intensitas tenaga
ke{a terhadap modal sangat kuat pada industri kecil sampel yang mempunyaitenaga kerja 5 -19 orang. Dengan kata lain, faktor produksi yang relatif berubah atau tumbuh lebih cepat akan
sukar mensubtitusi faktor produksi yang pertumbuhannya lambat. Pengetahuan tentang elastisitas subtitusi
di sektor indusri
dapat digunakan sebagai dasar dalam
pembuatan kebijakan yang mengarah pada penyerapan tenaga ke{a yang lebih besar,
yaitu apabila subtitusi tenaga kerja terhadap modal adalah mudah sedang faktor produksi modal melimpah dan perusahaan dapat didorong untuk menambah tenaga
kerja dengan cara menaikkan suku bunga modal relatif lebih besar dari kenaikan upah. Sebaliknya, apabila subtitusi
terga kerja
terhadap modal adalah sulit (angka
elastisitas subtitusi kecil) sebagaimana dalam penelitian ini, maka sub sektor industri
kecil sampel sebaiknya menambah atau menyerap modal apabila tingkat suku bunga
twun atau tingkat upah meningkat relatif lebih besar. Jadi, hal ini dapat dikatakan bahwa kenaikan upah dapat memperkecil laju pertumbuhan kesempatan keda tergantung pada perubahan relatif tingkat upah terhadap harga modal dan besarnya
tingkat elastisitas subtitusinya. Kondisi tersebut dapat terjadi
jika
asumsi-asumsi
penggunaan model fungsi produksi CES dapat dipenuhi yaitu adanya (1) tekanan
pada perluasan skala usaha dan perubahan teknologi yang dapat mengubah keluasannya, (2) perubahan parameter dalam fungsi produksi CES bukan disebabkan
t12
oleh perubahan proporsi fakfor-faklor produksi melainkan oleh metode perhitungan, seperti hasil perhitungan secara statistik (pendugaan regresi linear berganda dengan metode intrinsik) dalam penelaahan model fungsi produksi CES dalam penelitian ini.
i
5.3.4. Proyeksi Kebutuhan Tenaga Kerja melalui Pendekatan Regresi Linear Berganda (1n) untuk Fungsi Produksi Power dan Analisis Regresi secara hrtrintik untuk Fungsi Produksi CES yang Menggunakan Batas Skala Usaha (lntensitas Tenaga Kerja terhadap Modal)
Varibel intensitas tsnaga kerja terhadap modal sebagai salah satu kinerja ekonomi sebagaimana penelitian Van Velzen {1992) pada usaha-usaha kecil secara otomatis membawa pengaruh terhadap kebutuhan tanaga ke{a yang dipekerjakan. Dalam penelitian ini, proyeksi kebutuhan tenaga kerja sebagai indikator penentuan pada perencanaan tenaga kerja memang dipengaruhi secara signifikan (walaupun
tidak besar) o\eh intensitas tenaga keqa terhadap moda\ (da\arn ana\isis tabu\asi silang). Industri kecil yang berskala usaha jumlah tenaga ke{a 5-19 tenaga kerja
dengan modal usaha minimum
Rp. 11.875.000 dan maksimum
sebesar Rp.
70.000.000 adalah industri kecil sampel yang sesuai dengan klasifikasi Departemen Perindustrian. Pada kondisi skala usaha tersebut faktor-faktor produksi bahan baku,
jumlah tettaga ke{a, modal usaha, dan upah sangat menentukan hasil produksi industri kecil. Hal
ini
sesuai dengan pengujian statistik yang menunjukkan
signifikansi. Kondisi di lapangan mendukung keadaan tersebut karena industri kecil
lebih bersifat padat karya dengan intuisi untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dengan cara apapun sehingga besar kecilnya upah yang diberikan juga mempengaruhi
kemampuan produksi tenaga kerja/produktifitasnya. Namun variable faktor produksi
penggunaan teknologi dan peraltan hasil pengujian statistik menunjukkan tanda
negatif, berarti pada kondisi skala usaha demikian makin banyak penggunaiul teknologi mesin berpenggerak akan menurunkan tingkat produksinya. Sebab jenis
teknologi yang digunakan pada industri kecil pada umumnya lebih banyak menggunakan energl mesin tanpa penggerak sehingga akan banyak membutuhkan
modal usaha. Hal ini mendukung penelitian terdahulu, karena pada sektor-sektor lain,
diluar unit analisis peelitian ini seringkali terjadi tenaga kerja digantikan
mesin. 113
I
Sedangkan dalam sub sektor industri
kecil sampel investasi untuk peralatan industri
jangka panjang dan teknologi pengolahan yang canggih jarang te{adi. Sebagian besar menggunakan teknologi produksi mesin tanpa motor penggerak yang dirancang sendiri sedemikian rupa sehingga kebutuhan investasi relatif rendah.
5.3.5. Keterbatasan Penelitian Telaah dalam penelitian ini ditekankan pada hubungan dan pengaruh faktor-
faktor produksi terhadap hasil produksi dalam pendekatan teori produksi dengan pembatasan pada konsep-konsep
faktor produksi yang digunakan.
Konsep
penggunaan faktor produksi dibatasi pada faktor-faktor produksi jumlah penggunaan
bahan (baku, pokok, tambahan dan kemasan), jumlah penggunaan tenaga kerja,
jumlah pengeluaran untuk kebutuhan energi dan peralatan produksi yang digunakan maksimum satu tahun, jenis teknologi, tingkat pendidikan, pengalaman usaha dan
jumlah pengeluaran pada berbagai skala usaha yang berbeda. Penggunaan skala usaha sebagai kelompok analisis data yang berbeda dan dengan pendekatan pengujian statistik yang berbeda telah membawa dampak yang
berbeda-beda pula ditinjau dari berbagai komponen yang menjadi pengamatan penelitian ini. Konsep kesempatan kerja, efisiensi penggunaan tenaga kerja, elastisitas
subtitusi tenaga kerja dan intensitas tenaga kerja terhadap modal diturunkan dari konsepkonsep yang telah teruji dan model penduga fungsi produksi power dan fungsi produksi CES, dengan metode, alat ukur dan waktu sebagaimana dilaksanakan dalam penelitian ini.
Karena luasnya konsep perencanaan tenaga kerja, maka dimensi pembahasan ditekankan pada pendekatan perencanaan tenaga kerja melalui fungsi produksi untuk
memproyeksikan kebutuhan tenaga kerja dengan tidak memasukkan beberapa variabel faktor produksi lain dalam model yang dikembangkan seperti lingkungan usaha, persaingan, mentalitas bisnis, kebfiakan pemerintah yang berkaitan dengan mekanisasi dan politik.
t14
5.3.6. Validitas Hal-hal yang dapat dijelaskan sehubungan dengan validitas penelitian dalam penulisan laporan ini adalah:
5.3,.6.1. Validitas Internal
a.
Dalam pengumpulan data digunakan daftar pertanyaan sebagai alat utama proses pengumpulan data dengan berdasarkan kemauan dan kemampuan
responden dalam me4jawab
dan memberikan informasi yang MWt
mendukung pelaksanaan penelitian.
b. Daftar
pertanyaaan sebagai alat pengumpulan data telah
sebelum penelitian
ini
diuji
cobal
terlaksana, tetapi tidak dilakukan kontrol atas
jawaban yang disampaikan responden sewaktu pelaksanaan penelitian, karena daftar pertanyaan telah teruji dapat memberikan validitas isi dan informatif.
c.
Data yang telah terkumpul sebelum dianalisis diadakan validitas normal untuk bahan perhitungan.
5.3.6.2. Validitas Eksternal
a. Terbatasnya hasil penelitian sejenis, maka menyulitkan
untuk
dilaksanakannya validitas eksternal.
b.
Obyek penelitian sub sektor industri kecil merupakan obyek yang luas dan dapat ditelaah dalam berbagai dimensi, maka generalisasi untuk obyek yang
berbeda dalam penelitian
ini akan memungkinkan hasil yang
berbeda.
Sehingga generalisasi yang obyektif perlu dilakukan dalam penelitianpenelitian lebih lanjut dengan obyek yang lebih luas dan latar belakang yang berbeda.
115
_w
BAB KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpuian Pada dasarnya peneiitian
ini
secara umum bertujuan untuk menganalisis
kesempatan kerja dan efisiensi penggunaan tenagake{a pa
cii Jawa Tengah yang ciapat
utn tenaga kerja. Untuk mencapai tujuan dimalsuci diiakukan
riengan
penciekatan atau tinjauan teori prociuksi meiaiui penetapan konsep, hubungan dan
pengaruh antar konsep (hipotesis) sesuai dengan kesimpuian teori
Terdapat dua mo
memproyeksikan kebutuhan tenaga keqa untuk perencanaan tenaga kerya, yaitu
fungsi produksi Power dan fungsi produksi CES. Dengan penggunaan model tungsi produksi yang sama unfuk analisis kondisi usaha yang menggunakan sasaran skala usaha
(umlah tenaga kerja masing-masing usaha) yang lrcrbeda, teiah membawa
dampak yang berbeda puia ditinjau cian berbagar komponen yang menladi fbkus pengamatan penelitian ini.
'['u1uan umum
ini
secara keseiuruhan teiah
terpenuhi meiaiui pengujian iripotesis ststistiig sehingga sesuai ciengan tujuan penelitian yaitu sebagai penelitian ex post-facto yangexplanatori. Pengkajian kon
kinerja-'irinerja ekonomi yang dapat menciukung terciptanya kesempatan ke{a baik secara teoritis maupun secara empirik.
Penggunaan mo
fiumlah penggunaan bahan bai
usaha,
kebutuhan untuk energi dan peralatan produksi, tingkat pendidikan pengusaha dan
pengaiaman berusaha dan jumtah pengeiuaran untuk upah) dalam berbagai skaia
usaha ciaiam penelitian
ini
merupakan variabel-variabei yang sangat signifikan
mempengaruhi perubahan varia'oei ticiak bebas yakni hasii produksi, baik meiaiui pen
st epw is e.
Y-ariabei tingkat pendidikan pengusaha daiam pengkajian secara parsial pada semua skaia usaha ti
sektor inciustri kecii secara nyata. Karena fakror tingkrat penciiciikan tiriak mengutamakan sebagai faktor produksi sub "sektor industri cian faiitor ketrampiian sangat menentukan hasil produksi. Sedangkan variabel jumiah mocial dan upah,
ternyata dapat berperan sebagai variabei yang mempengaruhi perubahan hasii prociuksi apabrla taraf nyata (o) ciapat drionggarkan sampai dengan 15 persen pada skala usaha yang tergolong sub seklor industn kecil. Penggunaan model fungsi produksi Cobb-Dougias daiam metocie penentuan
kebutuhan tenaga kerja sektoral hanya ciapat diiaksanakan apabila asumst-asumsi penggunaan modei secara metocioiogis dapat ciipenuhi sepenuirnya. Kenyataannya sangat suiit ciiiaksanai
di
lapangan karena keterbatasan dana, tenaga rian waictu.
Modei fungsi produksi Power sebagai temuan model fungsi produksi daiam penelitian
ini
a
yang iebih ionggar. Secara teoritis
dari hasii anaiisis modei. Variabel hasii produksi daiam penggunaan model fungsi produksi CES, ternyata dipengaruhi secara sangat signifikan oleh variabel jumlah modai yang digunakan cian vanabel lumlah tenaga kerja yang ada. Koetisien elastisitas subtitusr dapat drketahui besarnya berdasarkan parameter subtitusi yang terdapat pada modei fungsi produksr CES dengan hasil inelastis sebagaimana lupotesrs yang dialukan.
ii7
Efisiensi penggrrnaan fairtor proriuksi tenaga kerja menunjui
pro
6.2. Saran-Saran
a.
Beberapa impiiirasi teoritis yang teiah ciikemuicaican, terutama berkaitan
.
ciengan kesesuaian-kesesuaian maupun penyimpangan-penyimpangan hasii
anaiisis empirik
pihak-pihak yang berkaitan dengan pengembangan sub seictor in
tepat ciengan memperhatikan syarat-syarat dan asumsi-asumsi penggunaan mociei serta variabei-variabei yang
ini. Kebijakan bagi perencana ketenagakedaan sehubungan
b.
Kebijakan bagr pengeioia dan pengusaha sub sektor in
penelitian ini yang menur4ukkan peranan secara parsiai aciaiah penggunailn bahan baim/pokoi
k rju, besar mo
usaha dan kebutuhan energl, peraiatan prociu-ksi serta penggunaan metocie
produiilsi
It6
atau kuaiitas baharu ketrampiian atau kemampuan pekerja, kebijakan pemerintah
Perbaikan sistem pengeioiaan hendalnya diikuti riengan kegiatan perbaikan atau peningkatan kemampuan pekeda daiam usaha menguasai penggunaan
iekrroiogi yang baru. Oieh ir:arena itu, arah dan mutu pembinaan pekerja periu
anizra iain meiaiui kemitraan
,tup
pengeioia dengan semua unsur yang terkait. Lembaga pemerintah ciesa sangat pnting peranannya
Variabei mociai usaira dalam peneiitian iru untuk sicaia usaha sub seictor industri kecii ciengan kiasifikasi jumiah tenaga kerja sebagaimana ketentuan -beium BPS, masih memenuhi batas maksimai atau reiatif kecii apabiia
senciiri. Sebab terciapat kecencierungan taicut menghariapi resiko apabiia memperoieh mo
iebih riitingkatkan meiaiui
kemudahan-kemuciahan atau iasiiitas
upaya memperoieh mo
ini
secara empirik
menunjukican bahwa mo
hasii bagi para pengusaha yang mempunyai tenaga kerja iebih dari i9 orang.
Keiompok pengusaha sub seklor industri kecil periu
angkat maupun
tida(
seiringga riapat menampung kepentingan bersama
ciaiam menghaciapi masaiah yang ciihaciapi pengusaha
puia sebagai pemersatu, penyebar cian inovator praictek prociuksi.
tlv
Diperlukan adanya sistem pengawasan atau pengendaiian kemitraan usaha
rii
antara pengelola usaha indrstri keii-menengah yang tepat meiaiui
perencanan pengendalian sebelum kebijakan pemerintah berubah.
Dalarn upaya perencanaan sub seltor industri kecil dan penentuan poia perencanaan rcnaga kerja sektoral (indusui), perlu ada peneiitian lebih ianjut
baik dari kaiangan pemerintah (Departemen Tenaga Kerja, Depatemen Perindustrian, Biro Pusat Statistik dan Departemen Koperasi dan UKM),
swastq LSM maupun akademisi phingga diperoleh sumbang pemikiran
bagi perencana, pengambil keputusan maupun unsur-unsur yang terkait E
dalam menetapkan kebijakan pengembangan industri kecil khususnya dan perencaftBn tenaga kerj a pada umumnya.
I i
\3
t
ltt
DAFTAR PUSTAI(A
Biro Pusat Statistik. 20A2. Jawa Tengah dalam Angka 2001. Semarang. Biro Pusat Statistik. 2003. Jawa Tengah dalam Angka 2002. Semarang. Biro Pusat Statistik. 20A4. Jawa Tengah dalam Angka 2003. Semarang. Biro Pusat Statistik. 2005. Jawa Tengah dalam Angka 2004. Semarang.
... ..
20A2. Statistik lndonesia ZO0t. lakarta.
... 2043. Statistik lndonesia 2002. Jakarta. ... 2044. Statistik Indonesia 2003. Jakarta.
..
... 2005. Statistik Indonesia 2004. Jakarta.
Cochrarq W.G. 1991. Teknik Penarikan Sampel. Terjemahan: Rudiansyah. Penerbit
Universitas lndonesia.
J
ah,arta-
Departemen Perindustrian R[. 2005. Kebijakan Pengembangan Industri Nasional Tahun 2005 -2009. Jakarta. Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI. 2002. Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah 2002-2004, Buku I, Kebijakan dan Strategi Umum Pengembangan Industri Kecil Menengah. Jakarta. Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI. 2002. Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah 2A02-2004, Buku II, Program Pengembangan Industri Kecil Menengah . I akartaFerguson, C.E. And Gould, J.P. 1975. Micro Economic Theory. Facsimile Editionn. Yale University. Chicago.
Halter, A.N., Carts H.O.,and Hocking, J.G. 1957 " A Note on the Trancendental Production Function. Joumal of Farms Economics. Hamid, A.K. 1972. Tataniaga Pertanian. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor. Heady, E.O. and DillorU J.L. 1961. Agricultural Production Function. Facsimile Edition. Iowa State University Press. Henderson, James and Richard. 1980. Micro Economic Theory Approach. McGraw-Hill Book Company Inc., Singapore. Inpres
a Mathematical
No. 10/1999 tentang Usaha Menengah.
Jhingan, M.L. 1990. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Terjemahan:d. Guritno. CV. Rajawali. Jakarta. Juoro,
U. 1986. Industri Kecil
dan Sektor [nformal. Penerbit LP3ES. Jakarta.
Kleinbaum/Kupper. 1976. Applied Regression Analysis and other Multivariable Methods. Washington, DC.
t2t
Lu, Y. and Fletcher, L.B. 1960. A Generalization of the CES Production Function. Review of Economics and Statistic.
Manning, C. 1987. Rural Economic Change and Labor Mobility a Case Study from West Java. Journal of International Economics Studies. Miemyk, W.H. 1971. Economics. Random House,Inc. New York. Peraturan Bank Indonesia No. 3/2/P8A2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil.
Rachbini, D.J. 1988. Kelebihan Tenaga Kerja Sektor Pertanian dan Kehendak Lepas Landas. Penerbit Harian Jawa Pos. Surabaya. Saleh" Irsan
A.
1986. Industri Kecil: Sebuah Tinjauan dan Perbandingan. LP3ES.
Jakarta
Simanjuntak, P. 1985. Lingkup dan Sasaran Perencanaan Tenaga Kerja. Direktorat Binapenta Departemen Tenaga Ke{a Ri. Jaka(a. Sudarsono. 1984. Teori Ekonomi Mikro. LP3ES. Jakarta.
Soekartawi. 1990. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. CV. Rajawali. I akarta. Soeroto. 1986. Strategi Pembangunan dan Perencanaarr Tenaga Kerja. Gajah Mada Universit5r Press. Y o gy akarta. Sudjana. 1989. Metode Statistika. Penerbit Tarsito. Bandung. Swasono, Y. 1982. Berbagai Pendekatan atas Perencanaan Tenaga Kerja di Indonesia (Proceeding): "Sumber DayaManusia, Kesempatan Kerja dan Pembangunan Ekonomi"- LPFE Universitas [ndonesia . I akarta.
E. 1987. Metode Perencanaan
Tenaga Kerja Tingkat Nasional, Regional dan Perusahaan. Penerbit BPFE. Yogyakarta.
dan Sulistyaningsih,
Torrington, Derk and Hwat, T.C. 1994. Human Resource Management for SouthEast Asia. Prentice Hall. New York. Undang-undang No. 9 I 199 5 tentang Usaha Kecil dan Menengah.
Van Velzen, Anita. 1992. Keglatan Usaha Industri Pengolahan Makanan Berskala Kecil di JawaBarat: Potensi dan Kendala. A,katiga Foundation, Center for Social Analysis. Bandung.
Wonnacott, T.H. and Warmacott, R.J. 1988. Introductory Statistics. John Wiley and Sons, Inc. New York.
122