Spesifisitas & Sensitivitas Thyroglobulin dan Profil Protein Serum Tikus (Rattus norvegicus) Model Autoimmune Thyroiditis Hasil Induksi Natrium Iodida (Nai) Specificity & Sensitivity of Thyroglobulin and Serum Protein Profile of Autoimmune Thyroiditis Model Rat (Rattus norvegicus) Induced by Sodium Iodide 1
Rizky Pamwidya Aprilia1, Agung Pramana W.M1,2, Dyah Ayu Oktavianie A.P1 Program Studi Kedokteran Hewan, Program Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya 2 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya.
[email protected]
ABSTRAK Penyakit Autoimmune Thyroiditis (AITD) merupakan penyakit autoimun yang menyerang kelenjar thyroid. Prevalensi AITD mencapai 10% populasi manusia dan 0,2% pada anjing di dunia. Konsumsi iodin menjadi salah satu faktor lingkungan yang memicu perkembangan penyakit AITD. Induksi natrium iodida (NaI) dengan kandungan iodin berlebih mampu menyebabkan perubahan epitop tiroglobulin (Tg) sehingga mampu memicu sifat imunogenitas Tg dan mempengaruhi profil protein serum. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui spesifisitas dan sensitivitas Tg serta gambaran profil protein pada serum hewan model yang dinduksi NaI. Hewan model yang digunakan yakni tikus (Rattus norvegicus) betina strain wistar umur 8-12 bulan dengan berat badan 100-150 gram. Pembuatan hewan model AITD dengan induksi NaI dosis 0,05% (m/v) melalui air minum selama 8 minggu. Metode penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dibagi menjadi 5 kelompok, yakni kelompok kontrol dan kelompok tikus model AITD induksi NaI minggu ke 2, 4 6, dan 8. Hasil dari penelitian ini menunjukkan perbedaan profil protein serum tikus kontrol dan serum tikus model AITD yang ditunjukkan dengan adanya protein penanda inflamasi yang diduga adalah C-Reactive Protein dengan berat molekul 115 kDa dan Ceruloplasmin dengan berat molekul 132 kDa. Hasil dari Uji Dot blot diketahui tiroglobulin bersifat spesifik terhadap antibodi tiroglobulin dengan sensitivitas tiroglobulin pada serum hingga pengenceran 10 -6. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa induksi NaI dapat menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi serta tingginya kadar tiroglobulin pada serum sebagai marker penyakit Autoimmune Thyroiditis. Kata kunci : Autoimmune Thyroiditis, Natrium Iodida (NaI), Rattus norvegicus, Tiroglobulin, Spesifisitas, Sensitivitas, Imunogenitas, Dot Blot. ABSTRACT Autoimmune thyroiditis (AITD) is a spesific autoimmune disease of thyroid gland affected metabolic system. The prevalence of AITD reached 10% of the human population in the world and 0.2% in dogs. Iodine consumption as the one of environmental factors which is causing AITD. Sodium iodide induction was known as trigger immunogenicity thyroglobulin (Tg) from iodine excess effect which could changes the Tg epitopes and give an affect in serum protein profiles. The purpose of this study was to determine the specificity and sensitivity of Tg and serum protein profile in serum of animal model induced by sodium iodide. Animal models used the rat (Rattus norvegicus) female Wistar strain age of 8-12 months with a weight of 100-150 grams. Autoimmune thyroiditis induced with sodium iodide dose of 0.05% (m/v). Animals were divided into five groups, were A the control group then B, C, D, E were sodium iodide induced group for 2, 4, 6, 8 weeks, respectively. Results of this study showed differences in serum protein profiles between rat control group and induced rat shown protein markers presence of inflammation, there were C-reactive protein with a molecular weight of 115 kDa and Ceruloplasmin with a molecular weight of 132 kDa. Dot blot method showed specificity of thyroglobulin with sensitivity of thyroglobulin in protein serum until 10-6 dilution. The result of this research could be conclude sodium iodide induction played as trigger the inflamation reaction and lead high thyroglobulin levels as marker of autoimmune thyroiditis disease. Key words : Autoimmune Thyroiditis, Sodium Iodide, Thyroglobulin, Specificity, Sensitivity, Dot Blot. 1
terbentuknya beberapa protein penanda terjadinya inflamasi antara lain C-Reactive Protein (CRP) dan Ceruloplasmin yang diketahui melalui gambaran profil protein serum darah. Gambaran protein digunakan sebagai deteksi awal untuk diagnosa suatu penyakit (Zaias et al., 2009). Berdasarkan latar belakang penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesifisitas dan sensitivitas tiroglobulin serta gambaran profil protein pada serum hewan model AITD hasil induksi Natrium Iodida.
PENDAHULUAN Autoimmune thyroiditis (AITD) merupakan penyakit autoimun yang menyerang kelenjar tiroid. Autoimmune thyroiditis disebabkan oleh berbagai faktor seperti genetik, hormonal, dan faktor lingkungan. Konsumsi iodin yang berlebih merupakan salah satu faktor lingkungan yang memicu perkembangan penyakit AITD (Burek, 2009). Dilaporkan, angka prevalensi AITD mencapai 10% populasi manusia di dunia (Vanderpump et al., 2009; Canaris et al., 2000; Cooper et al., 2003) sedangkan pada anjing sebesar 0,2% (Panciera, 1998). Autoimmune thyroiditis biasa terjadi pada anjing breed Labrador, Golden Retriever, Dachshund, Cocker Spaniel, Boxer, Doberman, Pincher dan Greyhound (Nachreiner et al., 2002). Induksi natruim iodida (NaI) yang diberikan secara berkelanjutan mampu memicu reaksi autoimun dengan membentuk epitop imunogenik pada molekul tiroglobulin (Tg) sehingga Tg bersifat imunogenik kemudian terjadi respon autoreaktif. Autoimun tiroiditis ditandai dengan adanya peningkatan autoantibodi pada antigen spesifik tiroid yang meningkat. Dua antigen spesifik pada AITD antara lain tiroglobulin (Tg) dan tiroid peroksidase (TPO) (Burek, 2009). Tiroglobulin merupakan protein yang spesifik pada kelenjar tiroid dan merupakan prekusor dari sintesis hormon tiroid sehingga dimungkinkan untuk dijadikan marker status iodium dan tingginya tiroglobulin pada serum merupakan indikasi terjadinya tiroiditis (Knudsen, et al., 2001; Vejbjerg, et al., 2009; Anwar, 2005). Penelitian ini melakukan pengujian spesifisitas dan sensitivitas menggunakan antibodi poliklonal standar tiroglobulin yang mengenali epitop tiroglobulin yang bersifat imunogenik sehingga diketahui berapa banyak tiroglobulin yang terdeteksi pada serum tikus model AITD. Uji spesifisitas dan sensitivitas respon imun membantu sebagai dasar untuk reaksi serologi, dimana spesifisitas digunakan untuk determinasi suatu antigen atau antibodi secara kuantitatif maupun kualitatif serta sensitivitas digunakan untuk mengetahui batas kadar terendah kemampuan suatu antigen dapat terdeteksi (Suwarno, 2010; Richard, 2001). Selain memicu reaksi autoimun, induksi NaI secara berkelanjutan memicu
MATERI DAN METODE Persiapan Hewan Coba Hewan model menggunakan tikus (Rattus norvegicus) betina strain Wistar, diperoleh dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan umur 8-12 minggu dan berat badan antara 100-150 gram yang telah mendapatkan sertifikat Laik Etik dari Komisi Laik Etik UB No. 236-KEP-UB. Hewan coba dibagi menjadi 5 kelompok, antara lain kelompok A (kontrol), B induksi NaI selama 2 minggu, C induksi NaI selama 4 minggu, D induksi NaI selama 6 minggu, E induksi NaI selama 8 minggu. Preparasi NaI dan Induksi NaI Dosis NaI 0,05% dibuat dengan cara melarutkan 0,05 gram NaI dengan 100 ml aquades. Induksi Nai diberikan dalam air minum secara ad libitum selama 8 minggu. Isolasi Serum Pengambilan darah di tikus melalui vena coccygea pada bagian ekor tikus. Darah diambil sebanyak 5 ml diletakkan pada microtube kemudian didiamkan pada suhu ruang atau diinkubasi dalam inkubator bersuhu 37oC selama 30-60 menit. Dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4oC selama 10 menit. Supernatan (serum) diambil menggunakan mikropipet dipimicrotubndahkan ke microtube baru dan serum siap untuk digunakan, untuk penggunaan jangka lama disimpan pada suhu 20oC (Fatchiyah et al., 2013). Serum darah 200ml dalam microtube ditambahkan PBST-PMSF sebanyak 5 kali volume. Divortex hingga homogen. Homogenat disonikasi selama 10 menit, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit. Supernatan diambil kemudian ditambahkan etanol absolut 2
dingin dengan perbandingan 1 : 1. Didiamkan selama 24jam. Dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit. Etanol dibuang, kemudian dikering anginkan dan ditambah dengan larutan Tris-Cl 1 : 1. Sampel disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 20oC (Fatchiyah et al., 2011).
membran dicuci 3 kali dengan PBS Tween 20 x 0,05% masing-masing selama 3 menit. Membran diinkubasi dengan antibodi poliklonal standar thyroglobulin yang telah diencerkan PBS skim milk 5% selama 2 jam di shacker. Membran kembali dicuci dengan PBS Tween 20 x 0,05% masing-masing selama 3 menit dan diinkubasi kembali dengan antibodi sekunder (Anti Rabbit IgG conjugate AP) selama 1 jam. Membran kembali di cuci 3 kali dengan PBS-Tween 20 x 0,05% masingmasing selama 3 menit dan diinkubasi dengan substrat Western blue 30 menit dalam keadaan/ruang gelap dan dilakukan penghentian reaksi dengan aquades. Membran dikeringkan dan dilakukan pengamatan warna yang terbentuk (Fiqriyana, 2013). Didapatkan data kualitatif dengan warna yang terbentuk menunjukkan adanya spesifisitas antara ikatan antibodi dan protein Tg. Uji sensitivitas thyroglobulin dengan Metode Dot blot di kombinasikan dengan pengenceran serum secara bertingkat, dilakukan dengan serum tikus diencerkan dalam PBS-azida (NaN3) 1% (1:10-3, 1:10-4, 1:10-5, 1:10-6). Konfirmasi Perhitungan konsentrasi protein serum menggunakan Nanodrop Spektrofotometer. Dimasukkan sampel ID, Type, satuan konsentrasi (mg/ml, µg/ml, µg/µl) pada kolom yang tersedia (disisi kanan layar monitor). Diambil 4 µl sampel serum ke pedestal bagian bawah turunkan lengan pedestal dan klik Measure (disisi kiri layar monitor). Bersihkan pedestal bagian bawah dengan kertas tissue. Klik Reports pada bagian kiri bawah layar monitor untuk mengetahui hasil pengukuran. Klik Print pada bagian kiri atas layar monitor untuk cetak hasil.
Purifikasi Serum Purifikasi dilakukan untuk pemurnian protein yang terdapat pada serum hewan model AITD. Serum diambil sebanyak 100150 μl kemudian dimasukkan dalam microtube selanjutnya ditambahkan SAS 50% perbandingannya 1 : 1, divortex dan disimpan dalam kulkas 4oC selama 5 menit, disentrifuge 10 menit pada 10.000 rpm, dan dipisahkan antara endapan dan supernatannya, endapan ditambahkan SAS 50% sekitar 10x Volume selanjutnya di vortex dan kembali disimpan dalam kulkas sebentar, selanjutnya di sentrifugasi pada 10.000 rpm selama 10 menit dan selanjutnya didialisis. Dialisis pada buffer fosfat 0,1 M dengan pH 7, cairan dalam mikrotube berisi endapan dan supernatan dimasukkan dalam selofan kemudian diikat dan dimasukkan dalam gelas ukur yang telah berisi buffer fosfat yang digunakan untuk dialisis, selanjutnya dimasukkan stirrer, ditutup dengan alumunium foil dan di masukkan dalam box es dan diberikan es di sekeliling gelas ukur dan stirrer hingga 15 jam, selanjutnya cairan dalam masing – masing selofan dipindah dalam microtube ditambahkan etanol dingin perbandingan 1 : 1 dan selanjutnya di simpan dalam suhu 20 oC semalam, selanjutnya disentrifuge pada 10.000 rpm selama 15 menit dan dibuang etanolnya dan kemudian dikeringakan hingga etanolnya menghilang selanjutnya disimpan dalam lemari pendingin dan kemudian ditambahkan Tris HCL dan disimpan kembali pada suhu 20oC (Yuni, 2003).
Pengamatan Profil Protein Serum Profil protein serum dianalisis menggunakan metode SDS-PAGE. Terdiri atas beberapa tahapan, antara lain preparasi sampel, pembuatan gel pemisah (separating gel), pembuatan gel pengumpul (stacking gel), dan running gel. Sampel serum sebanyak 15 µl ditambah dengan 15 µl RSB (reducing sample buffer) didenaturasi pada air suhu 100oC selama 5 menit. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam sumuran masing-masing. Running dilakukan pada tegangan 200 volt selama 4560 menit. Gel kemudian dipindahkan pada wadah kemudian gel direndam dalam staining untuk proses pewarnaan selama 20 menit, gel
Uji Spesifisitas dan Sensitivitas Tiroglobulin Uji spesifisitas thyroglobulin dengan Metode Dot blotting. Protein thyroglobulin pada serum diencerkan dalam PBS-azida (NaN3) 1% (1 : 4). Suspensi diteteskan pada membran nitroselulosa yang telah dibasahi dengan PBS dan terangkai pada alat dot blotter. Blocking dengan PBS skim milk 5% selama satu jam dalam ditempatkan pada shacker. Setelah itu PBS skim milk dibuang, 3
direndam dalam destaining untuk proses pencucian 20 menit.
132 kDa ini diduga merupakan protein ceruloplasmin (Tabel 1). Sesuai dengan pendapat Brown, (2004) bahwa protein ceruloplasmin memiliki berat molekul sebesar 132 kDa. Ceruloplasmin adalah copperbinding-protein, merupakan protein yang disintesis dan dilepaskan oleh hati sebagai respon kerusakan jaringan dan inflamasi (Sirajwala et al., 2007). Pada penyakit autoimun rheumatoid arthritis juga ditemukan adanya peningkatan kadar ceruloplasmin dalam proses inflamasi (Strecker et al., 2013). Dalam keadaan inflamasi ceruloplasmin bertindak untuk menekan terjadinya stress oksidatif yang memicu terjadinya inflamasi (Sirajwala et al., 2007).
Analisis Data Analisa data semikuantitatif dari Profil Protein SDS-PAGE, analisa data deskriptif kualitatif dan kuantitatif dari metode Dot blot dan Nanodrop Spektrofotometer sebagai data spesifisitas dan sensitivitas thyroglobulin pada serum hewan model AITD. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Protein Serum Tikus dengan SDSPage Analisis profil protein serum pada hewan model tikus (Rattus norvegicus) AITD dilakukan untuk mengetahui pengaruh induksi NaI terhadap profil protein pada tikus model AITD. Berdasarkan hasil SDS-PAGE menunjukkan perbedaan dari profil protein serum tikus kontrol dengan tikus yang diinduksi NaI (Gambar 1). Profil protein yang terekspresi menunjukkan perbedaan pada tikus kelompok kontrol dan induksi NaI. Pada seluruh sampel tikus induksi NaI ditemukan adanya pita protein dengan berat molekul 115 kDa yang diduga merupakan protein C-Reactive Protein (C-RP) sebagai protein penanda inflamasi (Tabel 1). Berat molekul ini sesuai dengan pendapat Raila (2011), bahwa berat molekul C-RP sebesar 115 kDa. C-Reactive Protein merupakan protein yang diproduksi oleh hati yang terbentuk saat keadaan inflamasi akut (Mark, 2003). Respon inflamasi mengaktivasi sel inflamasi ke sirkulasi darah seperti sitokin pro-inflamasi antara lain IL-1, IL-6 dan TNF-α yang disekresikan oleh makrofag akan menuju ke sirkulasi darah dan menginduksi respon inflamasi salah satunya menginisiasi produksi CRP. Sebagian besar C-Reactive Protein dalam plasma darah diproduksi oleh sel hepatosit hati terutama dipengaruhi oleh Interleukin 6 (IL-6), Interleukin 1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF-α). Hal ini juga disampaikan oleh Szalai et al., (2002) bahwa C-RP merupakan marker inflamasi yang diproduksi dan dilepas ke darah oleh hati yang dipengaruhi sitokin seperti IL-6, IL-1, dan TNFα. C-Reactive Protein berfungsi untuk mengikat mengikat sistem komplemen dan meningkatkan fagositosis (Mark et al., 2003). Protein dengan berat molekul 132 kDa juga ditemukan pada seluruh serum tikus yang diinduksi NaI. Protein dengan berat molekul 4
kDa
M
K
I2
I2
I4
I4
I6
I6
I8
I8
250 130 95 72
132 kDa 115 kDa
55 36 28 17 10 Gambar 1. Profil Pita Protein Serum Hewan Model AITD M = marker; K = Kontrol; I2 = Induksi NaI 2 Minggu; I4 = Induksi NaI 4 Minggu; I6 = Induksi NaI 6 Minggu; I8 = Induksi NaI 8 Minggu C-Reactive Protein dan ceruloplasmin termasuk dalam golongan protein fase akut. Protein fase akut merupakan golongan protein yang kadarnya meningkat atau menurun dalam plasma sebagai respon dari sebuah proses inflamasi yang bersifat akut (Ladenvall et al., 2006). Induksi NaI yang diberikan terus menerus menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi kronis dimana antigen menetap. Antigen yang persisten menimbulkan aktivasi dan akumulasi makrofag yang terus menerus. Peningkatan kadar CRP dan ceruloplasmin juga terjadi hingga inflamasi kronik, yang meliputi penyakit inflamasi dan malignasi, pada reaksi infamasi kadarnya akan terus meningkat hingga 3 bulan (Yan et al., 2009). Induksi Ion Iodida yang diberikan dalam penelitian ini sebanyak 0,05% secara ad libitum merupakan jumlah yang lebih besar dari kebutuhan normal Ion Iodida dalam tubuh sejumlah 0,15 µg/hari (Anwar, 2005). Ion Iodida yang berlebih mampu memodifikasi proses pembentukan dan struktur peptida tyrosine hormogenic site yang terjadi saat pembentukan hormon tiroid dalam permukaan protein tiroglobulin. Modifikasi peptida ini mengakibatkan peptida ini dianggap sebagai antigen yang kemudian dikenali oleh molekul MHC (Carayanniotis, 2011). Hal ini memicu terjadianya reaksi autoimun yang disebabkan oleh peningkatan presentasi autoantigen pada APC yang dipresentasikan MHC II yang diikuti dengan pengenalan sel T CD4+ yang melakukan diferensiasi menjadi T-helper
(Th1) dan T-helper 2 (Th2). Sel Th1 menginduksi makrofag dan memproduksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-α). Sitokin proinflamasi ini memicu terjadinya proses inflamasi pada kelenjar tiroid yang merangsang sistem hematopoetik terutama sumsum tulang untuk melepaskan leukosit dan trombosit serta merangsang hepar untuk memproduksi acute phase protein antara lain C-Reactive Protein (CRP) dan protein ceruloplasmin (Eeden et al., 2005). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa induksi NaI mampu menginduksi ekspresi protein penanda autoimun dan inflamasi yakni C-Reactive Protein dan protein ceruloplasmin. Spesifisitas Tiroglobulin Menggunakan Metode Dot Blot Uji spesifitas bertujuan untuk membuktikan adanya protein tiroglobulin di dalam serum hewan model AITD yang induksi NaI sebagai penanda penyakit Autoimmune Thyroiditis. Uji spesifitas ini secara kualitatif menggunakan metode Dot blot dilakukan dengan mereaksikan sampel serum dengan antibodi poliklonal standar tiroglobulin. Pada uji Dot blot dihasilkan data berupa gambar visualisasi terjadinya reaksi spesifik antara antigen protein tiroglobulin dengan antibodi poliklonal standar tiroglobulin yang ditandai dengan adanya dot berwarna ungu. Adanya reaksi positif berupa dot berwarna biru keunguan menunjukkan bahwa di dalam serum 5
tikus terkandung protein tiroglobulin yang dapat dikenali dan berikatan dengan antibodi
poliklonal standar tiroglobulin (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Uji Spesifisitas Tiroglobulin pada Serum Tikus dengan Metode Dot Blot. Tiroglobulin hasil Induksi Natrium Iodida Minggu kePre-Imun I2 I4 I6 I8 Pengenceran Serum (Tiroglobulin) 1/1000 Keterangan : Pre-imun = Kontrol; I2 = Induksi NaI 2 Minggu; I4 = Induksi NaI 4; Minggu; I6 = Induksi NaI 6 Minggu; I8 = Induksi NaI 8 Minggu Hasil uji Dot blot pada sampel preimun tampak adanya dot berwarna keunguan dengan intensitas yang rendah (Tabel 2). Hal ini disebabkan karena pada sampel serum preimun, yaitu serum darah tikus normal terdapat Tg walaupun hanya dalam konsentrasi kecil sehingga pada serum pre-imun hanya terjadi sedikit ikatan antara tiroglobulin dan antibodi poliklonal standar tiroglobulin. Secara normal tiroglobulin terdapat pada aliran darah sekitar 1,5 - 35 ng/ml (Toubeau et al., 2004). Sampel serum tikus yang diinduksi NaI pada minggu ke 2 hingga minggu ke 8 menunjukkan perbedaan warna yang signifikan dibandingkan dengan sampel pre-imun. Minggu ke 2 memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan sampel serum lainnya dan pada minggu ke 4 mulai menunjukkan warna yang lebih terang hal ini menunjukkan adanya penurunan densitas warna yang dikonfimasi pada uji sensitivitas dengan perhitungan densitas menggunakan Adobe Photoshop CS6 (Tabel 3). Semakin gelap intensitas warna pada dot maka semakin tinggi kadar tiroglobulin pada serum yang menunjukkan adanya peningkatan reaksi antigen tiroglobulin dengan antibodi poliklonal tiroglobulin. Warna ungu yang terbentuk pada uji Dot blot menunjukkan spesifisitas tiroglobulin terhadap antibodi poliklonal tiroglobulin. Spesifisitas tiroglobulin ditunjukkan dengan adanya ikatan spesifik antara protein tiroglobulin yang memiliki epitop yang sesuai dengan antibodi tiroglobulin yang direaksikan pada metode Dot blot maka terbentuk ikatan antara protein (antigen) dan antibodi. Ion Iodida berlebih yang diinduksikan ke hewan model tikus (Rattus norvegicus) menyebabkan terjadinya peningkatan imunogenitas protein tiroglobulin yang
awalnya dikenali sebagai self antigen kemudian direspon nonself antigen akibat modifikasi oleh ion iodida. Tiroglobulin yang dikenali sebagai nonself antigen oleh APC yang dipresentasikan MHC II yang diikuti dengan pengenalan sel T CD4+ yang melakukan diferensiasi menjadi T-helper (Th1) dan T-helper 2 (Th2). Sel Th2 mengaktivasi sel B yang akan berdiferensiasi menjadi sel plasma untuk memproduksi autoantibodi yang kemudian terjadi reaksi autoimun. Reaksi autoimun akan menstimulus Th1 untuk mengaktifkan sel T sitotoksik yang berperan pada mekanisme apoptosis sel tiroid. Akumulasi hasil inflamasi dan serangan autoantibodi mengakibatkan destruksi jaringan tiroid (Wang and Baker, 2007). Menurut Inrya et al. (2013) induksi NaI pada tikus AITD menyebabkan reaksi autoimunitas dan inflamasi yang memicu perubahan bentuk dan struktur folikel pada kelenjar tiroid menjadi tidak beraturan, destruksi folikel ditandai dengan kerusakan sel folikel. Kerusakan sel folikel pada jaringan tiroid inilah yang menyebabkan adanya celah antar sel folikuler yang menyebabkan terjadinya pengeluaran protein tiroglobulin yang berada pada intratiroid menuju ke sirkulasi darah, sehingga terjadi peningkatan kadar tiroglobulin dalam darah. Tingginya konsentrasi tiroglobulin menunjukkan adanya peningkatan kadar Tg di dalam koloid dan adanya destruksi sel folikuler di dalam kelenjar thyroid (Hu, 2003). Sensitivitas Tiroglobulin Uji sensitivitas tiroglobulin ini digunakan untuk mengetahui seberapa banyak tiroglobulin pada serum yang mampu dikenali oleh antibodi tiroglobulin. Sampel yang digunakan adalah serum tikus induksi NaI yang telah dilakukan uji spesifisitas dengan 6
Dot blot dan diketahui terdapat ikatan antara antigen tiroglobulin dengan antibodi poliklonal standar tiroglobulin. Untuk mengetahui seberapa banyak kadar antigen tiroglobulin yang mampu dikenali oleh antibodi tiroglobulin dilakukan uji sensitivitas ini menggunakan metode Dot blot dengan pengenceran bertingkat kemudian dilakukan uji Nanodrop untuk mengetahui konsentrasi tiroglobulin dalam serum tikus yang diinduksi
NaI. Hasil dari Dot blot dengan pengenceran bertingkat didapatkan warna dot berwarna keunguan dengan gradien densitas yang menunjukkan banyaknya ikatan antara protein tiroglobulin dengan antibodi tiroglobulin. Hasil warna yang terbentuk dalam uji Dot blot diukur densitas warnanya dengan menggunakan Adobe Photoshop CS6 (Tabel 3).
Tabel 3. Densitas Tiroglobulin pada serum Tikus Waktu / 10-3(%) 10-4(%) 10-5(%) Pengenceran
10-6(%)
Kontrol
14
9
6,33
4,33
Minggu 2
52
44,67
39,33
30,33
Minggu 4
48
41,67
34,67
27,33
Minggu 6 Minggu 8
45 36,67
38,33 29,67 22,67 27,33 20,33 12,33 tiroglobulin memiliki sifat imunogenik yang memicu pembentukan autoantibodi tiroglobulin dimana autoantibodi menyerang tiroglobulin pada serum darah yang menyebabkan penurunan kadar tiroglobulin dalam darah. Reaksi warna pada uji Dot blot dari masing-masing sampel setara dengan ikatan antigen antibodi tiroglobulin yang terjadi di dalam sampel serum. Diduga semakin tinggi nilai densitas warna sampel yang diuji pada membran menunjukkan semakin tinggi jumlah tiroglobulin yang terkandung di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Densitas warna yang dihasilkan menunjukkan banyaknya tiroglobulin pada serum tikus. Untuk mengkonfirmasi penurunan densitas warna kemudian dilakukan pengukuran konsentrasi protein pada serum tikus yang mengandung tiroglobulin menggunakan Nanodrop (Tabel 4).
Analisis Dot blot, diketahui terdapat reaksi positif pengenalan antibodi poliklonal standar tiroglobulin. Hasil uji sensitivitas tiroglobulin terhadap antibodi tiroglobulin menunjukkan gradasi densitas warna pada noda dipengaruhi oleh variasi konsentrasi antigen protein tiroglobulin. Densitas warna pada Dot blot serum tikus yang diinduksi NaI pada minggu ke-2 menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol, data kuantitatif berdasarkan interpretasi melalui Adobe Photoshop CS6 menunjukkan densitas warna Dot blot sebesar 52% dan pada tikus kontrol bernilai 14%. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat tiroglobulin yang meningkat pada serum tikus yang diinduksi NaI. Perlakuan mulai minggu ke-4 hingga minggu ke-8 menunjukkan penurunan nilai densitas tiroglobulin (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya kadar Tabel 4. Rata-rata Konsentrasi Protein pada Serum Tikus Waktu / Pengenceran 10-3 (µg/µl) 10-4(µg/µl) 10-5(µg/µl) 10-6(µg/µl) Kontrol 2,4 0,24 0,024 0,0024 Minggu 2 12,2 1,22 0,122 0,0122 Minggu 4 11 1,1 0,11 0,011 Minggu 6 10 1 0,1 0,01 Minggu 8 11,5 1,15 0,115 0,0115 sebesar 12,2 µg/µl dibandingkan dengan Peningkatan konsentrasi protein pada konsentrasi protein kelompok kontrol sehat serum tikus terjadi pada kelompok tikus yang sebesar 2,4 µg/µl. Minggu ke-4 terjadi diinduksi NaI dimulai pada minggu ke-2 penurunan konsentrasi protein yakni sebesar 7
11 µg/µl hingga minggu ke-6 dengan konsentrasi protein sebesar 10 µg/µl dan mulai mengalami peningkatan konsentrasi protein pada serum tikus perlakuan minggu ke-8 sebesar 11,5% µg/µl (Tabel 4). Peningkatan konsentrasi yang dimulai pada minggu ke-2 disebabkan oleh adanya peningkatan kadar tiroglobulin pada serum hasil induksi NaI. Penurunan konsentarsi protein serum yang dimulai pada perlakuan minggu ke-4 hingga minggu ke-6 diduga disebabkan karena berkurangnya kadar tiroglobulin yang terjadi karena mulai terbentuknya autoantibodi tiroglobulin yang menyerang tiroglobulin. Peningkatan kadar tiroglobulin yang bersifat imunogenik telah mampu memicu terbentuknya autoantibodi. Penurunan konsentrasi protein serum yang dimulai pada minggu ke-4 hingga minggu ke-6 ini berkorelasi dengan hasil uji Dot blot dimana nilai densitas tiroglobulin mulai turun pada minggu ke-4. Namun terjadi peningkatan konsentrasi protein serum kembali terjadi pada minggu ke-8 diduga disebabkan oleh adanya peningkatan autoantibodi dan peningkatan protein di dalam serum yang akibat adanya peningkatan metabolisme protein. Menurut Kenneth (2001), protein dalam serum yang meningkat dalam keadaan Hipertiroiditisme antara lain Thyroxine, Thyroid Binding Protein, Thyroid Binding Pre-Albumin, CReactive Protein, Ceruloplasmin Protein, SexHormone-Binding Globulin, Feritinin Factor VIII Activity, Angiostensin-Converting Enzyme, Fibronectin. Induksi Natrium Iodida secara berlebih meningkatkan reaksi inflamasi, reaksi autoimun dan destruksi jaringan. Akumulasi hasil inflamasi dan serangan autoantibodi ini mengakibatkan kerusakan pada jaringan tiroid. Kerusakan tiroid ini memicu pengeluaran Tiroglobulin daram tiroid menuju ke sirkulasi darah. Kadar Tiroglobuin dalam sirkulasi darah semakin tinggi dan akan bersifat autoantigen yang mampu meningkatkan reaksi autoimun. Reaksi autoimun ini terus meningkat memicu produksi autoantibodi tiroglobulin. Peningkatan autoantibodi ini yang kemudian menyerang antigen tiroglobulin pada sirkulasi darah yang menyebabkan penurunan kadar tiroglobulin yang semakin menurun seiiring dengan lama waktu induksi NaI yang diberikan. Penurunan kadar tiroglobulin karena autoantibodi
tiroglobulin ini juga dijumpai pada penelitian (Cheol et al., 2013) Uji sensitivitas tiroglobulin dilakukan dengan melakukan pengenceran yang hasilnya menunjukkan terjadinya penurunan densitas warna tiroglobulin pada uji Dot blot dan penurunan konsentrasi protein serum pada uji Nanodrop. Perlakuan pengenceran menunjukkan penurunan konsentrasi protein dan nilai densitas tiroglobulin, hal ini menunjukkan bahwa pengenceran yang dilakukan mampu menurunkan konsentrasi. Dalam pengujian sensitivitas menunjukkan bahwa pada serum minggu ke 8 dengan pengenceran 10-6 terdapat protein tiroglobulin yang positif terdeteksi pada konsentrasi protein serum sebesar 0,0115 µg/µl (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa memiliki sensitivitas tiroglobulin masih terdeteksi tirglobulin pada protein serum tikus dengan konsentrasi terendah pada penelitian ini. Induksi Natrium Iodida yang diberikan dapat menyebabkan timbulnya inflamasi dan tingginya jumlah Tiroglobulin pada serum. Keberadaan Tiroglobulin pada serum mampu dikenali pada awal induksi hingga akhir induksi pada beberapa konsentrasi. Namun dengan masih besarnya nilai densitas yang terbentuk maka keberadaan Tiroglobulin memungkinkan untuk diteliti lebih lanjut dengan konsentrasi yang lebih kecil. Kesimpulan Hasil analisis profil protein menunjukkan terbentuknya C-Reactive Protein (CRP) dengan berat molekul 115 kDa dan Ceruloplasmin dengan berat molekul 132 kDa merupakan protein penanda terjadinya inflamasi dan autoimun yang didapatkan dari hasil isolasi serum tikus (Rattus norvegicus) model autoimun tiroiditis (AITD). Protein Tiroglobulin pada serum tikus bersifat spesifik terhadap antibodi Tiroglobulin berdasarkan analisa dengan metode Dot blot. Sensitivitas Protein Tiroglobulin mampu dikenali oleh antibodi Tiroglobulin hingga pengenceran 10-6. Saran Perlu dilakukan konfirmasi pada protein CReactive Protein dan Ceruloplasmin yang muncul pada keadaan Autoimun Tiroiditis dengan metode Western blotting. Perlu dilakukan pengenceran lebih tinggi untuk mengatahui batas terendah konsentrasi
8
dan Gambaran Histopatologi Jaringan Tiroid Tikus (Rattus Norvegicus)Model Autoimmune Thyroiditis (AITD) Hasil Induksi Natrium Iodida (NaI) [Skripsi]. Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya. Kenneth L., and Becker. 2001. Principles and Practice of Endocrinology and Metabolism. Third Edition. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia. USA. 334-335. Knudsen, N., I. Bülow, T. Jørgensen, H. Perrild, L. Ovesen, and P. Laurberg. 2001. Serum Tg a Sensitive Marker of Thyroid Abnormalities and Iodine Deficiency in Epidemiological Studies. J Clin Endocrinol Metab ; 86(8) : 3599-603. Ladenvall, C., K. Jood, C. Blomstrand, S. Nilsson, and C. Jern. 2006. Serum C-Reactive Protein Concentration and Genotype in Relation to Ischemic Stroke Subtype. Stroke; 37: 2018-23 Mark, B. P. and M. H. Gideon. 2003. C-reactive protein: a critical update. Centre for Amyloidosis and Acute Phase Proteins, Department of Medicine, Royal Free and University College Medical School, London, United Kingdom. J. Clin. Mark, B. P. and M. H. Gideon. 2003. C-reactive protein: a critical update. Centre for Amyloidosis and Acute Phase Proteins, Department of Medicine, Royal Free and University College Medical School, London, United Kingdom. J. Clin. Raila, J., J. Florian, Schweigert and B. Kohn. 2011. C-Reactive Protein Concentrations in serum of dog with naturally Occurring Renal Disease. Journal Veterinary Diagn Invest 23 : 710. Sirajwala, H. B., A, S. Dabhi., N, R. Malukar., R. B. Bhalgami., and T, P. Pandya. 2007. Serum Ceruloplasmin Level as an Extracellular Antioxidant in Acute Myocardial Infarction. Journal, Indiana Academy of Clinical Medicine. Strecker, D., Artur M., and R. Krystyna. 2013. Copper Levels In Patients with Rheumatoid Arthritis. Department of Paediatric Nursing. Pomeranian Medical University in Szczecin, Szczecin, Poland. Szalai, A. J., McCrory, M.A., Cooper, G.S., Wu, J., and Kimberly, R.P. 2002. Association Between Baseline Levels Of C-Reactive Protein (CRP) and A Dinucleotide Repeat Polymorphism in The Intron of The CRP Gene. Genes Immunology. 3:14–19. Toubeau, M., T. Claude, A. Patrick, C. Gilles, V. Genevie`ve, B. Alina, R. Jean-Marc, B. Christophe, C. Alexandre, and B.
tiroglobulin yang mampu dikenali untuk mengetahui sensitivitas tiroglobulin. Ucapan Terimakasih Terimakasih kepada supervisor dan staff Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Fisiologi Hewan Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya yang memfasilitasi pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Anwar, R. 2005. Fungsi dan Kelainan Kelenjara Tiroid. Universitas Padjajaran. Bandung. Brown, D. R. 2004. Role of The Prion Protein in Copper Turnover in Astrocytes. Neurobiol. Dis. 15: 534-543 Burek, C.L., and M. V. Talor. 2009. Environmental Trigger of Autoimmune Thyroiditis. Autoimmunity 33 (2009) : 183-189. Carayanniotis, G. 2011. Molecular Parameter Lingking Thyroglobulin Iodination with Autoimmune Thyroiditis. Endocrinology 10 (1) : 27-35. Cheol, B. A., K. L. Won, Y. L. Shin, W. L. Sang, and L. Jaetae. 2013. Estimation of True Serum Thyroglobulin Concentration Using Simultaneous Measurement of Serum Antithyroglobulin Antibody. International Journal of Endocrinology. International Journal of Endocrinology : 210639.
Eeden, V. S. F., A. Yeung, K. Quinlam. 2005. Systemic Response to Ambient Particulate Matter : Relevance to Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Proceedings of the American Thoracic Society 2, 61–7. Fatchiyah, Sriwidiyarti, L. A. Esti, dan R. Sri. 2011. Biologi Molekuer. Prinsip Dasar Analisis. Penerbit Erlangga. Jakarta. Fiqriyana, M. A. 2013. Studi Pengembangan Rapid Test Menggunakan Antibodi Poliklonal Hasil Induksi Autoantibodi TPO (Tiroid Peroksidase) dari Serum Pasien Autoimun Tiroiditis Dengan Metode Imunodot [Tesis]. Program Pascasarjana Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang. Hu, F. N., Y. Jin, W. P. Teng, F. Yang, X. C. Teng, T. S. Gao, W. B. Wang, X. G. Shi, and C. M. Tao. 2003. Correlation Between Serum Thyroglobulin and Thyroid Stimulating Hormone in Populations with Non-Toxic Goiter. Jun. (Abstr.) 10;83(11):936-9. Inrya, W. M., Agung P. W. M., dan Dyah A. O. 2013. Potensi Imunomodulator Yoghurt Susu Kambing Terhadap Ekspresi Inducible Nitric Oxide Synthase (INOS)
9
Francois. 2004. Predictive Value for Disease Progression of Serum Thyroglobulin Levels Measured in the Postoperative Period and After 131I Ablation Therapy in Patients with Differentiated Thyroid Cancer. J Nucl Med. Jun;45(6):988-94. Vanderpump, M. P., W. N. Turnbridge, J. M. French, D. Appleton, D. Bates, and F. Clark. 2009. The Incidence of Thyroid Disorders in The Community: A TwentyYear Follow-Up of The Whickham Survey. Clin Endocrinol (Oxf) ; 43: 55– 68. Vejbjerg. P., N. Knudsen, H. Perrild, P. Laurberg, A Carlé, and I. B. Pedersen. 2009. Thyroglobulin as a Marker of Iodine Nutrition Status in The General Population. Eur J Endocrinol ;161(3): 475-81 Wang, S. H. and J. R. Baker. 2007. The Role of Apoptosis in Thyroid Autoimmunity. Thyroid 17 (10) : 975-9. Yan, J., R. Hui, D. Wang. 2009. Elevated CReactive Protein Levels Predict Worsening Stroke. Arch Intern Med. 45: 1-8. Yuni, P. 2003. Studi Komparasi efek Imunisasi Pasif Anti bZP3 (Antibodi terhadap bZP3) pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus) dan Mencit (Mus musculus) [Tesis]. Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang.
10