Ka p i t a Se l e k t a
BAGIAN I
HUKUM DAN PERMASALAHANNYA DI BIDANG EKONOMI
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
1
Ka p i t a Se l e k t a
2
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
1 EKSISTENSI PERUSAHAAN DALAM KEGIATAN PEREKONOMIAN DI INDONESIA Pendahuluan Keberadaan suatu perusahaan memiliki peran yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup masyarakat karena memberi sumbangan yang besar terhadap kebutuhan hidup masyarakat. Kajian terhadap perusahaan mempunyai arti yang penting dalam berbagai hal di antaranya adalah:1 Pertama, berhubungan dengan keberadaan atau eksistensi perusahaan di dalam masyarakat merupakan suatu hal yang mutlak karena sifat ketergantungan antara keduanya sangat besar. Masyarakat merupakan pemasok semua sumber daya perusahaan dan sekaligus merupakan pengguna atau konsumen hasil perusahaan. Sedangkan perusahaan merupakan produsen barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kedua, posisi perusahaan dalam kegiatan ekonomi makro baik lokal, nasional, maupun internasional/global akan mempunyai posisi sentral.
1
Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, (Bandung : Mandar Maju, 2000), hal 27.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
3
Ka p i t a Se l e k t a
Ketiga, posisi perusahaan di dalam masa transisi dari pelaku ekonomi lokal atau nasional menuju sebagai pelaku ekonomi global. Posisi transisi ini merupakan titik sentral mengenai berbagai masalah yang timbul atau berkembang yang sifatnya sangat kompleks, yang selalu akan timbul sampai dua dekade mendatang antara lain mengenai hak milik intelektual, alih teknologi, investasi dan perdagangan bebas. Keempat, setiap kegiatan dan perilaku perusahaan apapun bentuknya selalu mempunyai pengaruh dan mempengaruhi masyarakat dan pihak-pihak ketiganya. Perilaku dan kegiatan perusahaan pada dasarnya berpengaruh sangat besar bagi perekonomian lokal maupun nasional bahkan internasional karena pada dasarnya perusahaan merupakan pelaku ekonomi yang aktif. Keberadaan badan-badan usaha sebagai pelaku ekonomi dalam kegiatan perekonomian di Indonesia Kegiatan ekonomi secara umum dapat disebut sebagai kegiatan usaha yang diekspresikan sebagai suatu urusan atau kegiatan dagang. Secara makro kegiatan ekonomi ini diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dilakukan oleh orang atau badan secara teratur dan terus menerus yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa maupun fasilitasfasilitas untuk diperjualbelikan atau disewakan dengan tujuan untuk mendapat keuntungan.2 Dengan demikian kegiatan ekonomi dapat dibedakan dalam tiga bidang yaitu: 2
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, (Jakarta :Rineka Cipta, 1996), halaman 1. 4
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
1. Usaha dalam arti kegiatan perdagangan, yaitu keseluruhan kegiatan jual beli yang dilakukan orangorang maupun badan-badan baik di dalam dan di luar negeri maupun antar negara untuk tujuan memperoleh keuntungan. 2. Usaha dalam arti kegiatan industri yaitu kegiatan dalam memproduksi atau menghasilkan barang-barang yang nilainya lebih berguna dari asalnya. 3. Usaha dalam arti kegiatan jasa yaitu kegiatan yang menyediakan jasa-jasa yang dilakukan baik oleh orang maupun badan. Tujuan dari suatu kegiatan perusahaan adalah untuk memperoleh keuntungan, oleh karena itu kegiatan ekonomi selalu akan menekankan pada tindakan efisiensi dan produktivitas. perusahaan melakukan berbagai upaya untuk mencapai tujuan tersebut antara lain melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia, menambah modal usaha, memperbaiki kualitas hasil usaha dan sebagainya. Semua upaya tersebut dilakukan dengan tidak mengabaikan legalitas usaha, etika moral usaha, kualitas produksi maupun layanan usaha dan perlindungan konsumen. Menurut Molengraaf, pengertian perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar untuk mendapatkan penghasilan dengan cara memperniagakan barangbarang atau mengadakan perjanjian perdagangan. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa unsur perusahaan meliputi:3 bentuk usaha, baik yang dijalankan secara orang perseorangan maupun badan usaha, melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dan tujuannya adalah untuk mencari keuntungan atau laba. 3
Ridwan Khairandy, dkk., Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, (Yogyakarta :Pusat Studi Hukum FH UII dan Gama Media, 1999), halaman 7.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
5
Ka p i t a Se l e k t a
Menurut Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, maka di dalam perusahaan terdapat dua unsur pokok yaitu: 1. bentuk usaha yang berupa organisasi atau badan usaha yang didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Indonesia 2. jenis usaha yang berupa kegiatan bidang perekonomian (perdagangan, perindustrian, dan jasa) yang dijalankan oleh badan usaha secara terus menerus. Abdul Kadir Mohammad menyebutkan bahwa unsur-unsur perusahaan adalah sebagai berikut:4 1. berbentuk badan usaha yaitu badan yang menjalankan kegiatan dalam bidang perekonomian dan mempunyai bentuk hukum tertentu seperti perusahaan dagang, firma, PT, koperasi dan sebagainya. 2. Melakukan kegiatan dalam bidang perekonomian yang meliputi bidang kegiatan perdagangan, perindustrian, dan jasa 3. Dilakukan secara terus menerus 4. Bersifat tetap artinya tidak berubah atau berganti dalam waktu singkat 5. Terang-terangan, artinya adanya perusahaan itu ditujukan dan diketahui oleh umum, bebas berhubungan dengan pihak lain, diakui dan dibenarkan oleh Pemerintah berdasarkan undang-undang. 6. Bertujuan memperoleh keuntungan atau laba. 7. Pembukuan, adalah merupakan catatan mengenai hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan usaha suatu perusahaan. Perusahaan sebagai suatu organisasi usaha atau badan usaha yang menjadi wadah penggerak setiap jenis usaha sebagaimana yang diatur dalam perundang4
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), halaman 10-12 6
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
undangan dapat bersifat perusahaan perseorangan, misalnya perusahaan otobis, perusahaan dagang. Bentuk perusahaan perseorangan belum ada pengaturannya dalam Undang-Undang, melainkan keberadaannya berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bentuk hukum perusahaan persekutuan dan badan hukum sudah diatur dengan Undang-Undang, misalnya firma, CV diatur dalam KUHD, PT diatur dalam UU No 1/1995, perum dan persero diatur dalam UU 9/1969, koperasi diatur dalam UU 6/1992 tentang Perkoperasian. Kegiatan ekonomi di samping dapat dilakukan perseorangan umumnya dilakukan dengan suatu badan usaha yang merupakan suatu perkumpulan baik yang bukan badan hukum maupun yang berbentuk badan hukum. Dikatakan perkumpulan karena terdiri dari beberapa orang, yang mempunyai empat unsur yaitu adanya unsur kepentingan yang sama, kehendak bersama, tujuan bersama dan kerjasama yang jelas. Keempat unsur ini selalu ada dalam perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun yang bukan badan hukum. Perbedaan antara bentuk badan usaha yang berbadan hukum dengan yang tidak berbadan hukum adalah terletak pada prosedur pendirian badan usaha tersebut. Pada bentuk badan usaha yang tidak berbadan hukum, syarat adanya pengesahan akta pendiriannya oleh Pemerintah tidak diperlukan. Misalnya untuk mendirikan suatu persekutuan pedata, tidak memerlukan formalitas, cukup dengan adanya kesepakatan para pihak, tanpa adanya pendaftaran dan tanpa perlu adanya pengumuman. Sedangkan untuk mendirikan suatu perusahaan yang berbadan hukum mutlak diperlukan pengesahan dari Pemerintah. Perusahaan perseorangan merupakan perusahaan yang dilakukan oleh satu orang pengusaha. Di dalam An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
7
Ka p i t a Se l e k t a
perusahaan perseorangan ini yang menjadi pengusaha hanya satu orang. Dengan demikian modal perusahaan itu hanya dimiliki oleh satu orang pula. Jika dalam perusahaan itu banyak orang bekerja, mereka hanyalah pembantu pengusaha dalam perusahaan berdasarkan perjanjian kerja atau pemberian kuasa. Bentuk badan usaha dibedakan atas perusahaan yang berbadan hukum dan perusahaan yang tidak berbadan hukum. Perusahaan yang berbadan hukum meliputi PT, Persero, dan Koperasi. Sedangkan perusahaan yang tidak berbadan hukum meliputi bentuk perusahaan persekutuan perdata, persekutuan firma dan persekutuan komanditer (CV). Khusus untuk badan usaha yang dimiliki oleh BUMN berdasarkan UU 9/1969 diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk perusahaan yaitu Perusahaan jawatan (perjan), perusahaan umum (perum) dan perusahaan persero (persero). Untuk mendapatkan keuntungan yang memadai, suatu perusahaan memerlukan manajemen yang sehat. Suatu perusahaan tidak selamanya statis atau seperti sebagaimana awal usahanya didirikan, sudah barang tentu dengan kemajuan iptek serta semakin ketatnya persaingan di dalam bisnis menuntut suatu perusahaan berbenah diri dalam menghadapi persaingan tersebut. Pembenahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui restrukturisasi dan ekspansi bidang usaha maupun memperluas jaringan usaha. Untuk mengembangkan usaha tersebut perusahaan memerlukan beberapa aspek yang merupakan faktor penentu keberhasilan usahanya. Pengembangan perusahaan pada umumnya dipengaruhi beberapa faktor yaitu: 1. Faktor Modal Untuk meningkatkan daya saing serta keperluan ekspansi suatu perusahaan yang menjadi faktor utama 8
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
adalah modal, karena akan sangat sulit bagi suatu perusahaan yang kekurangan modal untuk mengembangkan usahanya. Kekurangan modal bagi suatu perusahaan akan menjadi faktor penghambat bagi pengembangan suatu perusahaan, sehingga akan sulit untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Semakin tinggi sumber modal suatu perusahaan, maka akan semakin besar pula potensi untuk mengembangkan dirinya, di samping itu dengan modal yang besar suatu perusahaan dapat menguasai pasar untuk pemasaran hasil produksi perusahaannya di masyarakat. Modal dalam pengertian yang sempit adalah sejumlah uang yang digunakan sebagai pokok untuk menjalankan suatu usaha dengan tujuan untuk memperoleh laba atau nilai lebih. Modal dalam arti sempit ini lazim disebut sebagai modal dasar. Dalam arti yang luas, modal adalah kekayaan baik berupa uang, benda, maupun jasa yang digunakan untuk menjalankan suatu usaha dengan tujuan memperoleh atau menghasilkan keuntungan dan atau laba yang menambah kekayaan. Dengan demikian, modal dalam arti yang sempit hanya berupa sejumlah uang, sedangkan modal dalam arti luas merupakan faktor produksi yang terdiri dari uang, benda dan jasa yang menghasilkan kekayaan.5 Sri Redjeki Hartono menyatakan bahwa modal merupakan satu hal yang sangat penting artinya bagi eksistensi, kelangsungan kehidupan maupun pengembangan suatu perseroan terbatas sebagai organisasi ekonomi.6 5
Ibid, hal 263
6
Sri Redjeki Hartono, Op-Cit, hal 5
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
9
Ka p i t a Se l e k t a
Fenomena penggabungan, pengambilalihan dan konsolidasi perusahaan-perusahaan lainnya dalam menghadapi persaingan merupakan salah satu faktor yang menunjukkan kurangnya modal perusahaan untuk mengadakan ekspansi. Adanya modal bersama setelah terjadi penggabungan, peleburan, dan konsolidasi perusahaan diharapkan mencukupi dan memenuhi kebutuhan modal untuk mengembangkan suatu usaha perbankan. 2. Faktor Teknologi Pada era globalisasi dan pasar bebas, peranan teknologi menjadi sangat penting bagi suatu perusahaan. perusahaan yang tidak mampu memanfaatkan teknologi dapat dipastikan mengalami ketertinggalan akibat ketatnya persaingan dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang menguasai teknologi. 3. Manajemen Manajemen perusahaan yang baik merupakan faktor yang menentukan berkembangnya suatu perusahaan. Secara khusus manajemen perusahaan meliputi mengutamakan prinsip kehati-hatian, profesional, efektif dan efisien. Tanpa adanya manajemen pengelolaan yang baik dan tepat, perencanaan yang matang serta strategi yang terarah akan sulit untuk bersaing dan berkompetisi dengan perusahaan lainnya. 4. Sumber Daya Manusia Asas manajemen yang sehat dapat diterapkan apabila bank mempunyai sumber daya manusia yang sehat, baik mengenai pendidikan dan moralnya. Setiap bank mempunyai kewajiban untuk meningkatkan mutu 10
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
sumber daya manusianya antara lain melalui penyelenggaraan program pelatihan secara berkesinambungan. Selain segi legalitas, keempat faktor di atas sangat mempengaruhi eksistensi perusahaan di Indonesia. Tanpa keempat faktor tersebut, eksistensi perusahaan hanya terbatas pada akta saja tanpa adanya aktivitas kegiatan usaha untuk memperoleh keuntungan yang selalu menjadi tujuan pendirian badan usaha. Penutup Selain legalitas, faktor modal, teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia memiliki peran dan pengaruh yang sangat penting dalam eksistensi perusahaan dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Jika salah satu faktor tersebut tidak ada, maka eksistensi perusahaan terancam tidak ada. _Ω_ DAFTAR PUSTAKA Faktullah, Zudan Arif, Hadi Wuryan, Hukum Ekonomi, Karya Abdi Utama, Surabaya, 1997. Hartono, Sri Redjeki, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Mandar Maju, Bandung, 2000. -------------------, Materi Kuliah Hukum Perusahaan, Materi Kuliah Hukum Perusahaan, Magister Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2002/2003 ---------------------, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Mandar Maju, Bandung, 2000. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
11
Ka p i t a Se l e k t a
Richard Burton Simatupang,Aspek Hukum dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta 1996. Ridwan Khairandy, dkk., Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Pusat Studi Hukum FH UII dan Gama Media, Yogyakarta, 1999.
12
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
2 DILEMA PENEGAKAN HAKI DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI USAHA KECIL DAN MENENGAH A.Pendahuluan Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa secara substantif “globalisasi” telah merambah hampir ke semua aspek kehidupan manusia, baik sosial, budaya, ekonomi, politik, teknologi dan lingkungan. Dalam bidang ekonomi misalnya, kini rasanya sudah sulit dibendung pengaruh yang ditimbulkan oleh globalisasi. Di bidang investasi dan perdagangan sudah mulai tampak pengaruh yang sangat nyata, bahkan dari tahun ke tahun pertumbuhannya sangat pesat karena melibatkan hubungan-hubungan global. Bagi Indonesia, dinamika kehidupan ekonomi global tersebut semakin menunjukkan posisinya yang semakin kuat ketika Indonesia “memproklamirkan” dirinya sebagai anggota WTO (World Trade Organization), dan ASEAN, dan dengan demikian Indonesia ikut bermain dalam dinamika pasar global seperti AFTA, NAFTA, APEC, (Thoha, 2002: 215-216). Dinamika pasar global dengan tuntutan yang demikian itu tidak hanya berdampak terhadap kehidupan ekonomi makro, melainkan juga terhadap pertumbuhan An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
13
Ka p i t a Se l e k t a
ekonomi mikro yang beraneka ragam bentuk, jenis, misi maupun 'aturan main' atau etika bisnisnya (Soejatman, 2000:1). Tidak hanya bidang-bidang usaha yang berskala besar saja yang diperhadapkan pada tuntutan-tuntutan pasar global, melainkan sektor usaha kecil dan menengah (UKM) juga mau tidak mau harus mengikuti irama dan tuntutan serupa. Jiwa Sarana (dalam Thoha, 2002:216) memprediksikan bahwa kemungkinan besar sektor UKM yang merupakan salah satu bagian dari industri nasional akan terkena damapak negatif dari adanya globalisasi. Hal ini disebabkan karena UKM yang ada di Indonesia, terutama industri kecil, sebagian besar kurang efisien, masih mengandalkan teknologi tradisonal, dan masih lemah manajemennya. Pola hubungan perekonomian yang mengglobal tersebut telah membuat perekonomian nasional semakin relevan dan mendesak untuk dibenahi mengikuti tuntutantuntutan global, seperti demokratisasi, hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, penggunaan strandar internasional dan hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Sebagai bentuk respon atas tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan HaKI7 misalnya, Indonesia pada tahun 1994 telah menyetujui dan menandatangaini TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights). Kesepakatan itulah yang membuat Indonesia terikat untuk meratifikasi konvensi-konvensi penting tentang HaKI, yaitu Konvensi Paris tentang hak paten, Konvensi Bern tentang hak cipta, konvensi Roma, Treaty on Intelectual, Property ini Respect on Intergrated Circuits (1989) dan lain sebagainya. 7
Secara substantif HaKI dimaknakan sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Karya-karya intelektuan tersebut termasuk dalam bidang ilmu pengetahauan, seni, sastra ataupun teknologi, dilahirkan dengan pengorbanan tenaga, waktu dan bahkan biaya (Diejen Industri dan dagang Kecil, Menengah Deprindag RI, sumber: http://idekm.deprin.go.id/index.php?multiweb&id= HaKI&box=1&show=1) 14
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Dalam menghadapi tuntutan tersebut sektor UKM justru yang paling dikawatirkan kemampuan dan keeksisannya dalam menghadapi tuntutan-tuntutan global (Sarana dalam Thoha, 2002:216). Atas dasar itu pula, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mulai menghimbau para pelaku UKM untuk mendaftarkan hak cipta dan merek dagang produknya guna meningkatkan daya saing produk nasional (dalam negeri) di pasar internasional. Menurut presiden, merek dagang yang terdaftar secara internasional merupakan strategi bisnis yang efektif, dan bahkan dari sisi lain, merek dagang juga merupakan investasi bisnis untuk mempermudah pemasaran produk nasional ke pasar asing kendati membangun merek tidak mudah dan membutuhkan biaya. (Harian Bisnis Indonesia, 20 April 2006). 8 Presiden juga mengingatkan para pelaku UKM untuk mengubah pola produksi yang terbiasa menunggu pesanan. Langkah yang demikian justru tidak berdampak positif terhadap kelangsungan bisnis yang dijalankan oleh para pelaku UKM. Sangat disayangkan kebiasaan menunggu pesanan merek dari luar negeri untuk dipasangkan pada hasil produksinya. Strategi “jalan pintas” yang demikian itu sebagai pertanda bahwa hak kekayaan intelektual (HAKI), merek dagang, maupun paten hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal oleh UKM. Menurut Sofyan Tan, keengganan itu lebih disebabkan oleh birokrasi pengurusan yang rumit dan memerlukan biaya yang cukup besar, yakni berkisar antara Rp 75.000- Rp 450.000 (Harian Bisnis Indonesia, 2006; juga dalam Harian Kompas, 26 Mei 2003).
8
Himbauan Presiden tersebut disampaikan dalam sambutannya saat membuka Pameran Kerajinan Nasional Inacraft ke-8 di Jakarta pada tanggal 19 April 2006 yang diselenggarakan oleh Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas), Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) dan asosiasi terkait.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
15
Ka p i t a Se l e k t a
Bertolak dari realitas yang demikian itu, maka persoalannya sekarang ialah mungkinkah penegakan HAKI itu bisa terwujud dalam rangka perlindungan hukum bagi karya intelektual yang dimiliki oleh para pelaku UKM? Selain pola perilaku para pelaku bisnis UKM yang kurang responsif terhadap pengurusan HAKI, apakah perangkat hukum yang dimiliki oleh Indonesia mampu meredam pelanggaran HAKI, baik yang dimiliki oleh Indonesia sendiri maupun milik negara-negara lain? Uraian selanjutnya dari makalah ini akan bertumpu pada kedua persoalan mendasar tersebut, yakni berkaitan dengan tatanan hukum yang mengatur tentang HAKI, dan masalah penegakan dan penanggulangan pelanggaran HAKI. B. Substansi dan Kategorisasi HAKI Secara umum terdapat empat jenis utama dari HAKI yang bisa dimiliki oleh para pelaku UKM (dan tentunya juga oleh perusahaan-perusaan besar) adalah: (1) hak cipta (copyright), (2) paten (patent), (3) merk dagang (trademark), dan (4) rahasia dagang (trade secret). Berikut adalah penjelasan mendetail mengenai empat jenis HAKI tersebut.9 Pertama, hak cipta (copyright)10 adalah hak dari pembuat sebuah ciptaan terhadap ciptaannya dan salinannya. Pembuat sebuah ciptaan memiliki hak penuh terhadap ciptaannya tersebut serta salinan dari ciptaannya tersebut. Hak-hak tersebut misalnya adalah hak-hak untuk membuat salinan dari ciptaannya tersebut, 9
Priyadi’s Place, “Jenis-jenis Hak Kekayaan Intelektual”, Maret 2005, (sumber: http:// priyadi. net/archives/2005/03/06/jenis-jenis-hak-kekayaanintelektual). 10
Baca juga uraian yang dikemukakan oleh Suyud Margono, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta. Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2003. 16
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
hak untuk membuat produk derivatif, dan hak-hak untuk menyerahkan hak-hak tersebut ke pihak lain. Hak cipta berlaku seketika setelah ciptaan tersebut dibuat. Hak cipta tidak perlu didaftarkan terlebih dahulu. Sebagai contoh, Microsoft membuat sebuah perangkat lunak Windows. Yang berhak untuk membuat salinan dari Windows adalah hanya Microsoft sendiri. Kepemilikan hak cipta dapat diserahkan secara sepenuhnya atau sebagian ke pihak lain. Sebagai contoh Microsoft menjual produknya ke publik dengan mekanisme lisensi. Artinya Microsoft memberi hak kepada seseorang yang membeli Windows untuk memakai perangkat lunak tersebut. Orang tersebut tidak diperkenankan untuk membuat salinan Windows untuk kemudian dijual kembali, karena hak tersebut tidak diberikan oleh Microsoft. Walaupun demikian seseorang tersebut berhak untuk membuat salinan jika salinan tersebut digunakan untuk keperluan sendiri, misalnya untuk keperluan backup. Contoh lain, musisi pop pada umumnya menyerahkan seluruh kepemilikan dari ciptaannya kepada perusahaan label dengan imbalanimbalan tertentu. Misalnya Michael Jackson membuat sebuah album, kemudian menyerahkan hak cipta secara penuh ke perusahaan label Sony. Setelah itu yang memiliki hak cipta atas album tersebut bukanlah Michael Jackson tetapi Sony. Kebalikan dari hak cipta adalah public domain. Ciptaan dalam public domain dapat digunakan sekehendaknya oleh pihak lain. Sebuah karya adalah public domain jika pemilik hak ciptanya menghendaki demikian. Selain itu, hak cipta memiliki waktu kadaluwarsa. Sebuah karya yang memiliki hak cipta akan memasuki public domain setelah jangka waktu tertentu. Sebagai contoh, lagu-lagu klasik sebagian besar adalah public domain karena sudah melewati jangka waktu An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
17
Ka p i t a Se l e k t a
kadaluwarsa hak cipta. Lingkup sebuah hak cipta adalah negara-negara yang menjadi anggota WIPO. Sebuah karya yang diciptakan di sebuah negara anggota WIPO secara otomatis berlaku di negara-negara anggota WIPO lainnya. Kedua, paten (patent) pada prinsipnya paten melindungi sebuah ide, bukan ekspresi dari ide tersebut. Pada hak cipta, seseorang lain berhak membuat karya lain yang fungsinya sama asalkan tidak dibuat berdasarkan karya orang lain yang memiliki hak cipta. Sedangkan pada paten, seseorang tidak berhak untuk membuat sebuah karya yang cara bekerjanya sama dengan sebuah ide yang dipatenkan. Sekedar contoh misalnya “algoritma Pagerank” yang dipatenkan oleh Google di kantor paten Amerika Serikat. Itu berarti, pihak lain di Amerika Serikat tidak dapat membuat sebuah karya berdasarkan “algoritma Pagerank”, kecuali jika ada perjanjian dengan Google. Sebuah ide yang dipatenkan haruslah ide yang orisinil dan belum pernah ada ide yang sama sebelumnya. Jika suatu saat ditemukan bahwa sudah ada yang menemukan ide tersebut sebelumnya, maka hak paten tersebut dapat dibatalkan. Sama seperti hak cipta, kepemilikan paten dapat ditransfer ke pihak lain, baik sepenuhnya maupun sebagian. Pada industri perangkat lunak, sangat umum bila perusahaan besar memiliki portfolio paten yang berjumlah ratusan, bahkan ribuan. Sebagian besar perusahaanperusahaan ini memiliki perjanjian cross-licensing, artinya “Saya izinkan anda menggunakan paten saya asalkan saya boleh menggunakan paten anda”. Akibatnya, hukum paten pada industri perangkat lunak sangat merugikan perusahaan-perusahaan kecil yang cenderung tidak memiliki paten. Namun demikian, ada juga perusahaan kecil yang menyalahgunakan hal ini, misalnya Eolas yang mematenkan teknologi plug-in pada web browser. Untuk 18
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
kasus ini, Microsoft tidak dapat ‘menyerang’ balik Eolas, karena Eolas sama sekali tidak membutuhkan paten yang dimiliki oleh Microsoft. Eolas, bahkan sama sekali tidak memiliki produk atau layanan. Satu-satunya hal yang dimiliki oleh Eolas hanyalah paten tersebut. Oleh karena itu, banyak pihak tidak setuju terhadap paten perangkat lunak karena sangat merugikan industri perangkat lunak. Ketiga, merk dagang (trademark)11 digunakan oleh pebisnis untuk mengidentifikasikan sebuah produk atau layanan. Merk dagang meliputi nama produk atau layanan, beserta logo, simbol, gambar yang menyertai produk atau layanan tersebut. Yang disebut merk dagang adalah urut-urutan kata-kata tersebut beserta variasinya, dan logo dari produk tersebut. Jika ada produk lain yang sama atau mirip dengan produk tersebut, maka itu adalah termasuk sebuah pelanggaran merk dagang. Berbeda dengan HAKI lainnya, merk dagang dapat digunakan oleh pihak lain selain pemilik merk dagang tersebut, selama merk dagang tersebut digunakan untuk mereferensikan layanan atau produk yang bersangkutan. Merk dagang diberlakukan setelah untuk pertama kali merk dagang tersebut digunakan atau setelah registrasi. Merk dagang tersebut berlaku pada negara di mana untuk pertama kali merk dagang tersebut digunakan atau didaftarkan, namun ada beberapa perjanjian yang memfasilitasi penggunaan merk dagang di negara lain. Sama seperti HaKI lainnya, merk dagang dapat diserahkan kepada pihak lain, baik sebagian atau seluruhnya. Keempat, rahasia dagang (trade secret)12 tidak dipublikasikan ke publik atau bersifat rahasia. Rahasia dagang dilindungi selama informasi tersebut tidak 11
Priyadi’s, Op Cit., 2005.
12
Priyadi’s, Ibid., 2005.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
19
Ka p i t a Se l e k t a
‘dibocorkan’ oleh pemilik rahasia dagang tersebut. Misalnya, resep minuman Coca Cola, hanya Coca Cola yang memiliki informasi resep tersebut. Perusahaan lain tidak berhak untuk mendapatkan resep tersebut. Cara yang legal untuk mendapatkan resep tersebut adalah dengan cara melakukan “rekayasa balik” (reverse engineering), misalnya dilakukan oleh kompetitor Coca Cola dengan menganalisis kandungan dari minuman Coca Cola. Langkah yang demikian itu dipandang masih legal dan dibenarkan oleh hukum. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau dewasa ini ada minuman yang rasanya mirip dengan Coca Cola, seperti Pepsi atau RC Cola, dan lain sebagainaya. C. Landasan Hukum HaKI Dalam tatanan hukum di Indonesia terdapat sejumlah produk hukum yang mengatur secara khusus tentang HAKI, antara lain: (1) Undang-undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta; (2) Undang-undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten; (3) Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek; (4) Undang-undang No. 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman; (5) Undang-undang No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang; (6) Undang-undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri; dan (7) Undang-undang No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Sedangkan di tingkat internasional, tercatat setidaknya ada 22 perjanjian multilateral di bidang HaKI, yang dikenal dengan konvensi, traktat dan persetujuan yang dikelola oleh WIPO maupun yang tidak dikelola WIPO (misalnya Universal Copyright Convention dikelola UNESCO). Ada pula perjanjian internasional yang tidak secara khusus mengatur HaKI tetapi menjadikan HaKI sebagai salah satu isinya, misalnya konvensi tentang 20
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
keanekaragaman hayati (biodiversity convention) yang dikelola oleh Komisi PBB untuk masalah lingkungan (UNCED). Persetujuan yang terbaru adalah mengenai Aspekaspek Dagang dari HaKI (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights including Trade in Counterfeit Goods atau TRIP’s), termasuk Perdagangan Barangbarang Tiruan yang dikelola oleh WTO. Indonesia adalah salah satu penandatang perjanjian tersebut, dan oleh karena itu harus tunduk pada seluruh ketentuan di dalamnya yang berkaitan dengan HaKI. Disamping itu, ada 5 konvensi internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, yaitu: 1. Paris Convention for The Protection of Industrial Property and Convenstion Establishing the World Intellectual Property Organization, melalui Keputusan Presiden RI No. 15 tahun 1997. 2. Patent Convention Treaty (PCT) and Regulatin under the PCT, melalui Keputusan Presiden RI No. 16 tahun 1997. 3. Trademarks Law Treaty, melalui Keputusan Presiden RI No. 17 tahun 1997. 4. Bern Convention for Protection of Leterary and Artistic Work, melalui Keputusan Presiden RI No. 18 tahun 1997. 5. WIPO Copyright Treaty, melalui Keputusan Presiden RI No. 19 tahun 1997. Rangkaian kebijakan hukum tersebut di atas mengisyaratkan bahwa dalam pelaksanaan HaKI, baik secara perorangan ataupun Badan Hukum, semestinya mendapat perlindungan sesuai ketentuan yang diatur dalam berbagai konvensi international dan perundangundangan yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia sebagai berikut : An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
21
Ka p i t a Se l e k t a
1. Konvensi Paris tentang Paten, Merek, desain industri dan indikasi geografis. 2. Konvensi Bern tentang Hak Cipta dibidang karya tulis, pekerjaan artistik. 3. Konvensi Roma tentang pemain sandiwara, program, penyiaran/rekaman suara, VCD. 4. Konvensi Washington tentang integrated circuit. 5. Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. 6. Undang-undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 7. Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 1997 Tentang Paten Yang telah diperbaharui dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten 8. Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 1997 tentang Merek Yang telah diperbaharui dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek. 9. Undang-undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman. 10. Undang-undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang. 11. Undang-undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. 12. Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. 13. Keppres No. 15/1997 Tentang Pengesahan Paris Convention For The Protection Of Industrial Property and Convention Estabilishing The WIPO. 14. Keppres No. 16/1997 Tentang Pengesahan Paten Cooperation Treaty (PCT) and Regulation Under The PCT. 22
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
15. Keppres No. 17/1997 Tentang Pengesahan Trade Mark Law Treaty 16. Keppres No. 18/1997 Tentang Pengesahan Bern Convention For The Protection Of Literary and Artistic Works. D. Dilema Perlindungan HAKI Perlindungan HaKI sama pentingnya dengan perlindungan kepentingan ekonomi, terutama dalam perdagangan internasional. Pertikaian HaKI sudah tidak lagi menjadi masalah teknis hukum semata, tetapi juga merupakan pertikaian dagang. Bilamana kepentingan dagang suatu Negara terganggu, maka perselisihan politik tinggal soal waktu saja. Pertikaian antara Republik Rakyat China (RRC) dengan Amerika Serikat (AS) misalnya, bermula dari sengketa di bidang hak cipta, yaitu permintaan AS agar RRC dengan tegas memberi perlindungan terhadap program komputer. Ketidakpuasan AS terhadap RRC yang dinilai tidak sungguh-sungguh dalam masalah ini, telah mendorong AS mengeluarkan ancaman sanksi berupa pencabutan preferensi dagang atas produk ekspor bernilai US$ 200 juta pertahun yang dinikmati oleh RCC karena pemberian status Most Favoured Nation (MFN) yang selama ini dinikmati. Ancaman ini pada gilirannya telah menyulut ketegangan politik diantara kedua Negara tersebut.13 Harus diakui bahwa banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAKI, khususnya Hak Cipta telah menjadi salah satu alasan bagi terganggunya hubungan ekonomi dan perdagangan antar Negara. Di bidang politik, gangguan juga dirasakan terutama dengan semakin 13
Baca juga misalnya “bantahan Tionkok atas Tuduhan AS Mengenai Kurang Kuatnya Perlindungan HAKI di Tiongkok”, dalam Cina Radio Internasional (CRI) Online, Siaran Bahasa Indonesia, 22 April 2006 (http://id.chinabroadcast.cn/I/2006/12/
[email protected])
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
23
Ka p i t a Se l e k t a
seringnya pihak-pihak asing yang dirugikan kemudian melakukan tekanan-tekanan melalui jalur diplomatik. Meluasnya pelanggaran HaKI tersebut juga telah menghadirkan ancaman bagi ketertiban tatanan perekonomian, hukum dan bahkan sosial budaya. Indonesia juga pernah pula mengalami bagaimana beberapa Negara atau kelompok Negara pernah mengancam untuk menghentikan fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) yang diberikan terhadap beberapa komoditi ekspor Indonesia. Dalam berbagai forum, telah banyak diungkapkan penilaian negatif terhadap Indonesia dalam hal penegakan hukum di bidang HaKI ini. Diantaranya, Indonesia telah dinilai sebagai gudang atau sumber pembajakan hak cipta. Atas Dasar penilaian AS yang negatif tersebut, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu kemudian mengingatkan, bahwa AS kini sedang menilai keseriusan Indonesia dalam upaya penanggulangan masalah pembajakan HaKI. Apa lagi dari sejumlah razia yang dilakukan pemerintah RI telah berhasil menyita sejumlah disket bajakan, namun langkah tersebut belum dapat menghentikan kegiatan pembajakan HaKI di Indonesia.14 Bilamana hal ini dikaitkan dengan upaya untuk meningkatkan ekspor non-migas, dan upaya pertumbuhan industri di dalam negeri, maka dampak pelanggaran HaKI khususnya pembajakan hak cipta di Indonesia akan secara langsung memukul sektor industri nasional. Pemanfaatan GSP yang diberikan AS kepada Indonesia memang masih relatif kecil (US$ 29 juta-60 juta) pada pertengahan dasawarsa 80-an. Namun, kalau dilihat kemampuan Negara-negara Asia seperti Thailand, Taiwan dan India memanfaatkan fasilitas tersebut hingga mencapai rata-rata US$ 600 juta per-tahun jelas 14
ANTARA NEWS, “AS Perlu Lihat Keseriusan Indonesia Soal HAKI”, April 2004 (http://www. antara.co.id/seenews/id=31169). 24
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
merupakan peluang yang sangat besar bagi pengembangan industri di Indonesia. Begitu pula ancaman Masyarakat Eropa (European Community) untuk mencabut fasilitas GSP yang mereka berikan kepada Indonesia. Dalam tahun 1987, fasilitas GSP yang dinikmati sektor industri tekstil dari ekspor mereka ke Eropa mencapai nilai + US$ 600 juta. Dari angka-angka sektor perdagangan internasional itu dapat dilihat betapa besar dampak pembajakan hak cipta atas kaset/CD lagu-lagu barat/asing atau hak cipta pada umumnya, terhadap pertumbuhan ekonomi secara nasional. Menyadari akan dampak negatif yang demikian itu, maka tidaklah mengherankan kalau pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini telah ditandatangani Keputusan Presiden No. 04 tahun 2006 mengenai pembentukan tim nasional penanggulangan pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) pada tanggal 27 Maret 2005 lalu. Tujuan dari pembentukan tim tersebut adalah untuk meningkatkan penanggulangan HaKI di Indonesia, merumuskan kebijakan nasional untuk penangulangan pelanggaran HaKI, dan menetapkan langkah-langkah nasional dalam rangka penanggulangan pelanggaran HaKI. Selain itu, tim tersebut juga bertugas mengkaji dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian masalah dan melakukan koordinasi, sosialisasi dan pendidikan di bidang HaKI serta meningkatkan kerjasama 15 internasional. E. Dilema Penanggulangan Pelanggaran HaKI: Beberapa Pertanyaan Kritis 15
ANTARA NEWS, “Presiden Bentuk Timnas Penanggulangan Pelanggaran HaKI”, 22 April 2006 (http://www.antara.co.id/seenws/ id = 30900).
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
25
Ka p i t a Se l e k t a
Sebagai sebuah negara yang masih merangkak dalam mengejar ketertinggalan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi pertanyaan yang mendasar untuk dijawab adalah di mana kira-kira posisi teknologi negara ini dalam percaturan HaKI, yang sudah menjadi “cetak biru” (blue print) negara-negara maju? Sebagai sebuah hak yang diakui oleh dunia internasional melalui Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), tentunya tidak mudah bagi negara berkembang untuk bisa bersaing di dalamnya. Tudingan kepada China sebagai negara utama penjiplak kekayaan intelektual negara lain di era 90-an menjadi catatan penting, karena saat itu dengan mudahnya China mendompleng produk luar negeri untuk diproduksi secara massal tanpa harus minta ijin (lisensi) dari negara asalnya. Sebaliknya, menjadi catatan penting pula ketika sudah sedemikian lamanya, kita (Indonesia) dengan mudah terus menggunakan cap ‘Made in China’ untuk setiap produk yang dihasilkan oleh para pelaku industri (pengrajin) di Indonesia. Lalu bagaimana kita seharusnya mendudukkan HaKI dalam percaturan industri ini? Haruskah kita ikut dalam permainan besar yang mungkin sudah diciptakan oleh negara industri pemula, sehingga kita hanya akan menjadi makmum (pengikut) saja, atau kita coba berontak dengan aturan main yang tidak benar itu dengan cara menyimpangi sedemikian rupa seperti layaknya negara China, meskipun dengan resiko mendapatkan embargo internasional? Pendapat kalangan akademisi, terutama para yurist (ahli hukum) kita masih terbelah menjadi dua antara yang pro dan kontra HaKI. Bagi yang pro HaKI, alasan yang seringkali muncul adalah bagaimana mendidik bangsa ini menjadi bangsa yang lebih beradab dan kreatif, dengan cara terus berupaya menciptakan dan menemukan ilmu 26
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
pengetahuan dan teknologi baru yang tidak hanya menjiplak milik orang lain, atau lebih gampangnya, tidak terus-terusan menjadi bangsa ‘plagiator’. Karena, hal ini pernah terjadi ketika di awal tahun 50-an, pemerintah secara terang-terangan memberi kelonggaran untuk menjiplak produk luar negeri dengan dalih transfer ilmu pengetahuan dan teknologi (transfer of knowledge and technology). Dengan dibukanya kesempatan untuk meniru produk orang (negara) lain, maka tidak pernah ada satu langkah yang diayunkan untuk segera memulai menjadi bangsa yang mandiri. Dengan alasan tersebut, lahirlah beberapa undang-undang HaKI (ada 6 UndangUndang) yang kesemuanya mengandung semangat inovasi dan proteksi terhadap karya-karya intelektual (Samboro, 2004). Di lain pihak, bagi yang kontra HaKI mengatakan bahwa HaKI tidak lebih dari sebuah penjajahan model baru (neo-kolonialisme) yang dibungkus dengan semangat neo-liberal. Negara ini sudah terjebak dalam perangkap internasional dengan telah di-ratifikasi-nya perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing World Trade Organisation/ WTO), yang lebih khusus lagi berkait dengan perjanjian HaKI dalam Agreement on Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights/TRIP’s. Dalam perjanjian tersebut dengan tegas disebutkan bahwa setiap negara yang telah ikut dalam organisasi perdagangan dunia maka mau tidak mau, siap tidak siap, harus menghormati keberadaan HaKI (stelsel minimalis). Konsekuensi yang timbul adalah negara yang industrinya terlahir kemudian hanya akan menjadi bahan olokan, kalau perlu dikejar-kejar layaknya pencopet karena hanya mampu menjiplak (Samboro, 2004). Fenomena tersebut membangkitkan kesadaran baru bahwa perangkat hukum yang diciptakan untuk An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
27
Ka p i t a Se l e k t a
melindungi HaKI tidak lebih dari sebuah upaya pe-ngebirian seseorang. Bahkan, kalanagan ini berpendapat bahwa HaKI tidak lebih dari upaya pembodohan manusia dengan cara memanipulasi sebuah temuan. Bukankah temuan seseorang tidak berdiri sendiri, sehingga menumbuhkan kewajiban moral bagi penemunya untuk juga menghitung biaya sosial (social cost) yang harus dikeluarkan bagi kepentingan masyarakat luas. Ada sebuah harga sosial yang juga harus dibayarkan oleh orang pandai terhadap orang yang kurang beruntung. Kalau memang benar bahwa kehadiran Undangundang tentang HaKI bermaksud untuk melindungi jerih payah seseorang, dan sekaligus untuk merangsang iklim usaha yang menciptakan orang-orang kreatif, maka sebenarnya potret diri kita berada di mana? Tidak dapat dipungkiri bahwa Negara China yang beberapa tahun menyandang rekor sebagai negara yang paling banyak melanggar HaKI, bahkan sampai saat ini, sehingga harus mendapatkan embargo dari negara-negara industri maju (G-8), tapi masih kelihatan tidak peduli dengan peringatan tersebut. Bahkan, dengan keluarnya beberapa hasil produksi yang mirip dengan produk Jepang dan Korea, misalnya sepeda motor, hand tractor, dst, menunjukkan bahwa HaKI tidak begitu penting untuk diperhatikan. Berbicara mengenai China memang sangat menarik. Banyak orang yang seringkali menganggap enteng bahwa skala/kuantitas biasanya tidak terlalu menentukan bahwa negara tersebut bisa menjadi besar. China yang berpenduduk sekitar 1,3 milyar telah menunjukkan bahwa kuantitas dapat menjadikan negara menjadi diperhitungkan oleh pihak lain. Fakta yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia, yang mempunyai penduduk + 200 juta lebih. Saat ini harus diakui bahwa China menjadi salah satu calon negara adidaya baru yang layak untuk ditakuti oleh negara lain, termasuk negara 28
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
tetangganya, Jepang. Padahal beberapa waktu yang lalu masih di cap sebagai negara pendompleng kelas satu. Bagaimana dengan Indonesia? Saat itu Indonesia bertekad untuk tidak mengindahkan kesepakatan internasional yang berkaitan dengan HaKI, karena dengan satu alasan logis bahwa Indonesia belum mampu untuk bersaing dengan negara maju, sehingga harus diberi kesempatan untuk menyamai kemampuan negara maju tersebut. Setelah sekian lama kita menafikan etika internasional tersebut, ternyata tidak juga membawa kesadaran baru bahwa yang namanya proses transfer ilmu pengetahuan itu ada batas akhirnya. Sebuah batas akhir sampai kita benar-benar mampu memodifikasi hasil domplengan kita menjadi sebuah karya baru yang layak untuk diberi hak kekayaan intelektual. Kita masih juga menjadi bangsa pemimpi akibat dari kebanggaan yang berlebihan bahwa bangsa ini sudah sedemikian besar dengan kandungan kekayaan alamnya yang melimpah ruah. Pada akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa kekayaan intelektual memang jatah (bagian) para intelektual untuk memperbincangkannya. Masih belum hilang dari ingatan kita bahwa Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), salah satu dari proyek mercusuar Indonesia telah mampu menjawab kegamangan luar negeri atas prestasi negeri ini dalam bidang hi-tech. Terlepas dari tudingan KKN terhadap proyek tersebut, Indonesia dipandang beberapa langkah lebih maju dibandingkan dengan negara tetangganya dalam bidang kedirgantaraan. Namun, kebanggaan tersebut hampir tidak berbekas ketika ekspor pesawat IPTN ke negeri tetangga, Thailand, tidak dibayar dengan dollar melainkan hanya diganti dengan beras ketan (ketan ireng). Sebuah pengalaman ironis bagi sebuah negara swasembada beras, Indonesia. Selain itu, ditambah lagi dengan An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
29
Ka p i t a Se l e k t a
keterkejutan kita beberapa saat yang lalu dengan berita bahwa klaim (pemegang) paten untuk produk tempe ternyata telah dimiliki oleh seorang warga Jepang. Siapapun tidak bisa membantah bahwa yang namanya tempe identik dengan Indonesia. Paten tersebut bisa dimiliki oleh warga Jepang hanya karena Indonesia “terlambat” mendaftarkan hak paten tempe di dunia internasional. E. Catatan Penutup Seluruh uraian terdahulu telah memberikan wawasan kepada kita tentang tuntutan pasar global yang tidak hanya berdampak terhadap kehidupan ekonomi makro, melainkan juga terhadap pertumbuhan ekonomi mikro yang beraneka ragam bentuk, jenis, misi maupun 'aturan main' atau etika bisnisnya. Tidak hanya bidangbidang usaha yang berskala besar saja yang diperhadapkan pada tuntutan-tuntutan pasar global, melainkan sektor usaha kecil dan menengah (UKM) juga mau tidak mau harus mengikuti irama dan tuntutan serupa. Berkaitan dengan tuntutan global yang menghendaki perlindungan HaKI, Indonesia pada prinsipnya mengikuti tuntutan global dengan menyetujui dan menandatangaini TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights). Kesepakatan itulah yang membuat Indonesia terikat untuk meratifikasi konvensi-konvensi penting tentang HaKI, yaitu Konvensi Paris tentang hak paten, Konvensi Bern tentang hak cipta, konvensi Roma, Treaty on Intelectual, Property ini Respect on Intregated Circuits (1989) dan lain sebagainya. Berbagai produk hukum yang berkaitan dengan pengaturan HaKI pun dikeluarkan untuk mendukung kesepakatan internasional tersebut. Kebijakan hukum yang demikian, di satu sisi dapat membantu Sektor UKM mendaftarkan berbagai kekayaan 30
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
intelektualnya agar dapat terhindar dari pembajakan. Sementara di sisi yang lain dengan adanya kesepakatan internasional tersebut sektor UKM justru semakin sulit untuk mendapatkan akses kekayaan intelektual milik pihak lain (termasuk pihak negara maju) kecuali melalui proses perijinan dan dengan mengeluarkan beban biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkannya. Pandangan yang serba dilematis tersebut secara tidak langsung membuat langkah-langkah penanggulangan pelanggaran HaKI pun menjadi tidak menentu pula. Memang menurut prosedur yuridis-normatif, pihak yang berwajib seperti aparat penegak hukum (penyidik POLRI, jaksa dan hakim) sudah memiliki dasar untuk bertindak menangkap dan memproses lebih jauh siapa saja yang melanggar HaKI. Namun secara sosiologis, langkah-langkah penanggulangan tersebut menjadi dilematis, karena faktor keterbukaan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi pemicu timbulnya tindakan-tindakan yang melanggar HaKI. Realitas yang demikian perlu disadari sungguhsungguh oleh kalangan penegak hukum dan aparat pemerintahan pada umumnya untuk mulai memikirkan langkah-langkah strategis di luar penanggulangan melalui penerapan hukum. Salah satu langkah yang barang kali mungkin bisa membantu adalah negara perlu memfasilitasi dan membiayai riset-riset dasar sebanyak mungkin sehingga yang memungkinkan lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang bisa dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan nasional. Selain itu, tentunya melakukan alih teknologi tapi langkah ini pun membutuhkan dana yang besar. Langkah-langkah nonyuridis itu itu harus pula diimbangi dengan lengkahlangkah penegakan hukum secara konsekuen dan terarah untuk menindak para pelaku penggaran HaKI di Indonesia. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
31
Ka p i t a Se l e k t a
oo00oo
32
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
DAFTAR PUSTAKA Antara News, “Presiden Bentuk Timnas Penanggulangan Pelanaggaran HAKI”, 22 April 2006 (http://www.antara.co.id/seenws/?id=30900). ANTARA NEWS, “AS Perlu Lihat Keseriusan Indonesia Soal HAKI”, April 2004 (http://www. antara.co.id/ seenews/id=31169). Badruzaman, MD, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Cetakan 1, Jakarta, 1994. Bintang, Sanusi Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis. Citra Adytia Bakti, Bandung, 2000. Cina Radio Internasional (CRI) Online, Siaran Bahasa Indonesia, “Bantahan Tionkok atas Tuduhan AS Mengenai Kurang Kuatnya Perlindungan HAKI di Tiongkok”, 22 April 2006, (http://id.chinabroadcast. cn/I/2006/12/1@41586. htm). Diejen Industri dan dagang Kecil, Menengah Deprindag RI, “Sejarah HaKI”, sumber: http://idekm.deprin.go. id/index.php?multiweb&id=HaKI&box=1&show=1). Fuady, Munir, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Gautama, Sudargo, Masalah-masalah Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata Internasional dan Hak Milik Intelektual, PT Citra Adytia Bakti, Bandung, 1992.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
33
Ka p i t a Se l e k t a
Gautama, Sudargo & Winata, Rizawanto, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI), Citra Aditya, Bandung, 2000. Hartono, Sri Redjeki dalam Syawali Husni & Imanliaty, Neni Sri, Kepita Selekta Hukum Ekonomi. Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2000. Hernanda, Aprika R., “Presiden: Daftarkan Haki UKM”, Harian Bisnis Indonesia, 20 April 2005. Jiwa, Sarana. “Strategi Pengembangan Industri Kecil dalam Menghadapi Globalisasi”, dalam Thoha Mahmud (Ed). Globalisasi dan Krisis Ekonomi: Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan. Penerbit Pustaka Quantum, Jakarta, 2002. Kartasaputra, G, dan Kartasaputra, Rien, Konvensikonvensi Intemasional Tentang Paten, CV. Pinor Jaya, Bandung Intelektual (HAKI), Citra Adytia Bakti, Bandung, 1991. Margono, Suyud, Hukum & Perlindungan Hak Cipta, CV Novindo Pustaka Mandiri, 2003. N.N., Tanya Jawab UU No. 15/2001 Tentang Merek, Dahara Prize, Cetakan Pertama, Semarang Mandiri, Jakarta, 2004, N.N., Undang-undang HAKI - Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, 2003. N.N., Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta,Dahara Prize, Semarang, 2002. N.N., Undang-undang No. 212002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, CV Eko Jaya, Jakarta Tahun 2004, N.N., Tanya Jawab UU No. 14/2001 Tentang Paten, Dahara Prize, Cetakan Pertama, Semarang, 2003. 34
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
N.N., Tanya Jawab UU No. 1912002 Tentang Hak Cipta, Dahara Prize, Semarang, 2002. Priyadi’s Place, “Jenis-jenis Hak Kekayaan Intelektual”, Maret 2005, (sumber: http://priyadi.net/archives/ 2005/03/06/jenis-jenis-hak-kekayaan-intelektual). Samboro (Webmaster), “Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI): Sebuah Dilema Kaum Intelektual”, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UBASYA, 2 Juni 2004. Sembiring, Sentosa, Prosedur dan Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Intelektual Di Bidang Hak Cipta, Paten Dan Merek, CV Yrama Widya, Bandung, 2001. Soesanto, I.S. Kriminolog, FHJ Undip, Semarang, 1990. Soejatman, Cartono, “Hukum yang Populis”, Majalah Angkasa, No. 1, Oktober 2000, Tahunn I. Suyud, Margono, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta. Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2003. Tunggai, IS & Tunggal AR, 2001, Peraturan Perundangundangan Hak Cipta, Paten & Merek, Edisi Revisi, Harvarindo, Jakarta. Thoha, Mahmud (Ed.). Globalisasi dan Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan. Penerbit Pustaka Quantum, Jakarta, 2002 Artikel dari Berbagai media (Bisnis Indonesia, Jakarta Kompas, Republika, Suara Pembaruan, dll.).
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
35
Ka p i t a Se l e k t a
3 KEGIATAN PERBANKAN DALAM PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA KEPADA MASYARAKAT Pendahuluan Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Berdasarkan rumusan tersebut, terdapat tiga unsur utama dari bank, yaitu: 1. bank sebagai badan usaha yang kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, maka tujuan utamanya adalah mencari keuntungan 2. menghimpun dana dan menyalurkan dana, mengandung makna bank sebagai lembaga perantara yang memberi jasa 3. meningkatkan taraf hidup rakyat mengandung arti bahwa bank sebagai lembaga yang bisnis utamanya pemberian kredit akan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat peminjam dana. Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian negara. Nilai strategis itu terwujud dalam peran perbankan melalui kegiatan usahanya di bidang 36
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
jasa, melalui kegiatan utama perbankan yaitu menyerap dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat. Hal ini terkait dengan fungsi utama bank sebagai perantara pihak-pihak kelebihan dana dan pihak yang memerlukan dana. Undang-Undang Perbankan memberikan kesempatan luas kepada perbankan untuk melakukan berbagai kegiatan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Di dalam menjalankan fungsi perbankan, terdapat hubungan hukum antara bank dan nasabah yang terjadi karena bertemunya dua kepentingan, yaitu kepentingan bank dan kepentingan nasabah. Hubungan tersebut tidak mungkin terjadi jika bank sebagai badan usaha tidak memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan, di samping itu untuk melakukan kegiatan usaha bank membutuhkan modal dan organisasi/manajemen. Bentuk-bentuk kegiatan usaha perbankan Ketentuan perbankan Indonesia menentukan usaha bank harus sesuai dengan jenis banknya. Menurut Undang-Undang Perbankan, kegiatan bank dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu: kegiatan Bank Umum (BU) dan kegiatan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kegiatan pokok dari suatu bank umum adalah sebagai berikut: 1. menarik dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan bentukbentuk lain. 2. Menyalurkan dana lewat pemberian kredit. 3. Menerbitkan surat pengakuan hutang 4. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri atau atas kepentingan dan atau nasabah, yakni terhadap suatu surat berharga berupa surat-surat An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
37
Ka p i t a Se l e k t a
wesel, surat pengakuan hutang atau kertas dagang lainnya, kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), obligasi, surat dagang berjangka waktu maksimum 1 tahun dan surat-surat berharga lainnya dengan jangka waktu maksimum 1 tahun 5. Memindahkan uang baik untuk kepentingan bank sendiri ataupun untuk kepentingan nasabah 6. Menempatkan dana, meminjam dana atau meminjamkan dana kepada atau dari bank lain, dengan menggunakan instrumen berupa surat, telekomunikasi wesel atas tunjuk, cek atau instrumeninstrumen lainnya. 7. Menerima pembayaran atas tagihan surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga 8. Menyediakan tempat (safe deposit box) untuk menyimpan barang dan surat berharga 9. Melakukan kegiatan penelitian untuk kepentingan pihak lain yang diadministrasikan secara terpisah dengan harta bank (berdasarkan kontrak) 10. Melakukan penempatan dana dari nasabah yang satu kepada nasabah yang lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat pada bursa efek. 11. Membeli barang agunan debiturnya melalui pelelangan dengan syarat agar agunan yang dibeli tersebut secepatnya dicairkan 12. Melakukan kegiatan factoring, usaha kartu kredit dan wali amanat 13. Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah 14. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh suatu bank (seperti bank garansi, bertindak sebagai bank persepsi, swap, bunga, trust dan lain-lain) 38
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Di samping kegiatan utama tersebut, menurut undang-undang, bank memiliki kegiatan tambahan, yaitu: 1. melakukan kegiatan dalam valuta asing 2. melakukan penyertaan modal pada bank, perusahaan lain dalam bidang keuangan (seperti perusahaan leasing, modal ventura, perusahaan efek, asuransi) atau lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan 3. melakukan kegiatan penyertaan sementara pada perusahan yang gagal mengembalikan kredit 4. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun Semua kegiatan perbankan tersebut pada prinsipnya dapat digolongkan sebagai kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat, kegiatan penarikan dana pada masyarakat dan kegiatan pemberian jasa tertentu yang dapat menghasilkan fee based income. Kegiatan penyaluran dana oleh suatu bank dilakukan dalam beberapa bentuk sebagai berikut: 1. pemberian kredit dalam berbagai bentuk dan dengan berbagai konsekuensinya seperti kredit macet, pemasangan agunan dan sebagainya 2. penanaman modal ke dalam surat-surat berharga 3. penyertaan equity ke dalam perusahaan-perusahaan tertentu 4. penanaman modal ke dalam real estate dalam hal-hal tertentu Pada prinsipnya bank merupakan lembaga intermediary, maka di samping kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat, maka bank tersebut juga mempunyai kegiatan berupa penarikan dana dari masyarakat. Jadi dana yang ditarik dari masyarakat tersebut kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat. Untuk itu bank memperoleh keuntungan berupa spread dari perbedaan suku bunga di antara kegiatan penyaluran dan penarikan dana tersebut. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
39
Ka p i t a Se l e k t a
Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah Bank sebagai suatu badan usaha, dalam menjalankan kegiatan usahanya selalu melakukan hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut diatur dalam KUH Perdata dan peraturan perundang-undangan perbankan. Secara teori hubungan hukum terjadi karena adanya perikatan. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur (si berpiutang) sedang pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut debitur (si berhutang).16 Hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitur terjadi berdasarkan perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjammeminjam yang diatur dalam pasal 1754 sampai dengan 1769 KUH Perdata. Oleh karena itu pembuatan perjanjian kredit dapat didasarkan pada ketentuan KUH Perdata sebagai lex generalis dan peraturan perundangundangan di bidang perbankan sebagai lex spesialis.17 Dasar hukum bagi bank mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit terdapat dalam Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain.
16
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1979), hal 1.
17
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung :Citra Aditya Bakti,, 1996), hal 20. 40
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Secara khusus perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi yaitu:18 1. perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, yaitu sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian penjaminan kredit 2. perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur 3. perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit Pada praktiknya bentuk dan isi perjanjian kredit saat ini masih berbeda-beda antara satu bank dengan bank lainnya. Namun pada dasarnya suatu perjanjian kredit harus memenuhi enam syarat minimal yaitu: jumlah hutang, besarnya bunga, waktu pelunasan, cara pembayaran, klausula opeisbaarheid dan barang jaminan. Bank sebagai badan usaha yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dan menyalurkan dana pada masyarakat (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perbankan). Dalam menjalankan usahanya, bank melakukan hubungan hukum dengan nasabah. Nasabah yang melakukan hubungan hukum dengan bank adalah nasabah penyimpan dana/kreditur dan nasabah penerima kredit.19 Hubungan hukum antara bank dengan kreditur dituangkan dalam bentuk peraturan bank yang bersangkutan, yang berisi syarat-syarat umum yang harus disetujui oleh nasabah penyimpan dana atau kreditur. 18
CH Gatot Wardoyo dalam Hasansudin Rahman, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hal 151. 19
Sutan Remy Syahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hal 127.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
41
Ka p i t a Se l e k t a
Bank sebagai badan usaha yang bergerak dalam bidang jasa keuangan perlu mendapat dukungan dari masyarakat sebagai pengguna jasa bank. Dukungan tersebut diwujudkan dalam bentuk kepercayaan masyarakat untuk menabung dan menyimpan uang pada bank yang bersangkutan. Dalam rangka menjaga kerpercayaan tersebut diperlukan ketentuan hukum yang dapat memberi kepastian dan melindungi kepentingan para pihak yang terkait dalam kegiatan usaha bank. Perlindungan hukum terhadap nasabah pada dasarnya sudah diberikan secara preventif dan represif melalui penyediaan perangkat hukum untuk mengatur pendirian dan operasionalisasi usaha bank yang aman bagi semua pihak. Selanjutnya perlindungan nasabah diberikan terhadap tindakan bank selama melakukan kegiatan usaha, yaitu bahwa bank harus melaksanakan kegiatan sesuai dengan ketentuan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Dalam hal ini BI bertindak selaku pengawas dan pembina kegiatan usaha perbankan serta secara teknis ikut secara langsung dalam mekanisme lalu lintas pembayaran antara lain dengan kliring.20 Arti penting perlindungan hukum bagi nasabah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan yang menyatakan bahwa perbankan di Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehatihatian. Perlindungan hukum yang diperlukan oleh nasabah penyimpan dana atau kreditur, secara umum adalah perlindungan atas kepentingan. Kepentingan nasabah penyimpan dana, pada dasarnya dapat dibedakan 20
Sri Redjek Hartono, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Jasa Perbankan, (Semarang : Majalah Masalah-Masalah Hukum No. 6 Tahun 1993, FH Undip), hal 33-34. 42
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
menjadi dua, yaitu kepentingan fisik dan kepentingan sosial ekonominya. Kepentingan fisik nasabah penyimpan dana dikaitkan dengan keamanan atas dana yang disimpan di bank, sedangkan kepentingan sosial ekonomi dikaitkan dengan keuntungan yang akan diterima terhadap dana yang disimpan di bank. Berdasarkan kode etik perbankan, seorang bankir harus mamtuhi ketentuan undang-undang yang berlaku dan harus menjaga kerahasiaan nasabah dan banknya. Pasal 1 ayat (18) menyatakan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank, yang menurut kelaziman bank wajib dirahasiakan. Bagi anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak terafiliasi, yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan, diancam dengan hukuman penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak dua juta rupiah. Pasal 37 Undang-Undang Perbankan, mengatur ketentuan tentang pembinaan dan pengawasan bank yang ditetapkan oleh undang-undang, merupakan ramburambu yang dapat dikatakan sebagai suatu ketentuan yang mengatur perlindungan nasabah bank secara umum adalah sebagai berikut: 1. dalam memberikan kredit dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank 2. untuk kepentingan nasabah, bank menyediakan informasi kemungkinan risiko kerugian bagi transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. Penutup
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
43
Ka p i t a Se l e k t a
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan perbankan secara umum digolongkan sebagai kegiatan untuk menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat melalui kredit. Undang-Undang Perbankan telah mengatur mengenai bentuk-bentuk kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum dan BPR Hubungan hukum yang timbul antara bank dengan nasabah adalah hubungan hukum perdata yang lahir melalui perjanjian, sehingga berlaku ketentuan Hukum Perdata dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perbankan. Dalam kegiatan usahanya, bank selalu berusaha memberikan perlindungan hukum pada nasabah secara preventif dan represif, meliputi perlindungan kepentingan fisik dan ekonomis nasabah.
oo_oo
DAFTAR PUSTAKA Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979. Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Rahman, Hasansudin, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995 Syahdeni, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993 44
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Hartono, Sri Redjeki, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Jasa Perbankan, Majalah MasalahMasalah Hukum No. 6 Tahun 1993, FH Undip, Semarang,
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
45
Ka p i t a Se l e k t a
4 PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN USAHA YANG BERBADAN HUKUM Pendahuluan Pengaturan mengenai Perseroan Terbatas pada awalnya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Selanjutnya pada tanggal 7 Maret 1995 telah disahkan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT). Kelahiran Undang-Undang Nomor 1/1995 telah menjadi sejarah baru bagi Perseroan Terbatas dalam memasuki era baru globalisasi ekonomi yang sedang menggejala dalam sektor bisnis. Langkah perubahan Undang-Undang Perseroan Terbatas ini telah menjadi cermin pelaksanaan reformasi pembangunan ekonomi nasional terutama di bidang hukum dan ekonomi yang berpengaruh besar pada masyarakat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 menjadi momentum baru bagi perkembangan perusahaan di Indonesia karena selama ini pengaturannya berdasarkan pada KUHD yang merupakan peninggalan jaman Kolonial Belanda yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Mei 1947.21 21
Soedjono, Kata Pendahuluan Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995, (Jakarta, Rineka Cipta, 1997), hal 2. 46 An e k a Pe r s o a l a n d i Bi d a n g Hu k u m
E k o n o mi
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Mengingat peran penting Perseroan Terbatas dalam tata ekonomi nasional tersebut, dalam makalah ini akan dibahas dan dijelaskan tentang Perseroan Terbatas sebagai badan usaha yang berbadan hukum di Indonesia. Prosedur Pendirian Perseroan Terbatas Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan pengertian PT sebagai berikut: ”Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.” Kata perseroan menunjuk pada modal persekutuan yang terbagi dalam sero (saham) sedangkan kata terbatas menunjuk kepada tanggungjawab sekutu pemegang saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang dimilikinya.22 Setiap perseroan (PT) adalah badan hukum, artinya badan yang memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung kewajiban dan hak, antara lain memiliki harta kekayaan sedniri terpisah dari kekayaan pendiri atau pengurusnya.23 Perseroan Terbatas dapat dibedakan antara PT tertutup dan PT terbuka. PT Tertutup adalah PT yang didirikan dengan tiada maksud menjual sahamnya pada masyarakat luas (saham). Bentuk PT tertutup disebut juga PT keluarga karena sahamnya terbatas hanya 22
Abdulkadir Mohamad, Hukum Perusahaan (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996), hal 7.
Perseroan
Indonesia,
23
Ibid, hal 6
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
47
Ka p i t a Se l e k t a
dimiliki kalangan keluarga.24 Adapun PT terbuka adalah suatu PT yang sahamnya dijual ke masyarakat luas melalui pasar modal dalam rangka memupuk modal untuk investasi usaha (go public). Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan secara khusus bahwa Perseroan Terbatas merupakan perseroan yang memiliki jumlah pemegang saham yang memenuhi kirteria tertentu atau perseroan yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang pasar modal. PT terbuka menurut Undang-Undang Pasar Modal merupakan emiten yang melaksanakan penawaran umum di bursa. Untuk perusahaan publik diberi pengertian sebagai PT yang sahamnya moinimal dimiliki 300 pemegang saham dan memiliki modal setor Rp 3 milyar atau suatu jumlah tertentu yang ditetapkan Bapepam.25 Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dapat diuraikan bahwa suatu PT harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:26 1. Badan hukum Dalam KUHD, tidak ada satu pasal pun yang mengatakan bahwa perseroran sebagai badan hukum, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 secara tegas dinyatakan kalau perseroan adalah badan hukum, artinya badan hukum yang memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung hak dan kewajiban, antara lain memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dengan kekayaan pendiri atau pengurusnya. 24
Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1995), hal 123. 25
Nindyo Pramono, Perkembangan Perseroan Terbatas dalam Dimensi UUPT, Jakarta, Makalah 1995, hal 4. 26
Abdulkadir Mohamad, 1996, Opcit, hal 5.
48
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
2. Didirikan berdasarkan perjanjian. Setiap perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, artinya harus ada minimal dua orang atau lebih sebagai pemegang saham yang sepakat bersama-sama mendirikan suatu perseroan yang dibuktikan secara tertulis tersusun dalam bentuk anggaran dasar, kemudian dimuat dalam akta pendirian yang dibuat di muka notaris dan setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada perseroan yang didirikan. 3. Melakukan kegiatan usaha Setiap persero melakukan kegiatan usaha yaitu kegiatan dalam bidang ekonomi (industri, dagang, jasa) yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan atau laba. Supaya kegiatan usaha itu sah harus memperoleh ijin usaha dari pihak yang berwenang. Melakukan kegiatan usaha artinya menjalankan perusahan yang sudah tentu memerlukan modal, selanjutnya modal persuahaan terbagi dalam saham. 4. Memiliki modal dasar. Pendirian perseroan harus mempunyai modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Modal dasar disebut juga modal statuter. Modal dasar merupakan harta kekayaan perseroan dalam arti badan hukum yang terpisah dari kekayaan pribadi pendiri, organ perseroan dan pemegang saham. 5. Memenuhi persyaratan undang-undang. Setiap perseroan harus memenuhi persyaratan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dan peraturan pelaksanaannya. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Undang-Undang perseroan menganut sistem tertutup. Persyaratan yang wajib dipenuhi mulai dari pendiriannya, beroperasinya dan berakhirnya. Di antara syarat mutlak yang wajib dipenuhi pendiri An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
49
Ka p i t a Se l e k t a
adalah adanya akta pendirian yang harus dibuat di muka notaris dan harus memperoleh pengesahan dari menteri kehakiman. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang PT, menentukan beberapa syarat utama yang harus dipenuhi oleh pendiri perseroan, yaitu: 1. harus didirikan menurut perjanjian Perseroan didirikan oleh dua orang atau lebih (pasal 7 ayat (1) UUPT), yang dimaksud dengan orang adalah orang per seorangan atau badan hukum. 2. dibuat dengan akta notaris Pasal 7 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa perjanjian pendirian perseroan harus dibuat dengan akta otentik di muka notaris dalam bahasa Indonesia. Perjanjian tersebut merupakan akta pendirian perseroan ytang sekaligus memuat angaran dasar yang telah disepakati. Sejak akta pendirian ditandatangani oleh para pendiri maka perseroan resmi berdiri dan hubungan antara para pendiri dikuasai oleh hubungan kontrak. Hubungan kontrak tersebut belum menciptakan status badan hukum. Dengan demikian segala akibat yang timbul adalah masih merupakan tanggungjawab para pendiri secara pribadi. 3. modal dasar Modal dasar perseroan paling sedikit Rp 20 juta, tetapi peraturan pelaksanaan yang mengatur bidang usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal dasar perseroan yang melebihi Rp 20 juta (misalnya perbankan, asuransi dan lain-lain). Menurut pasal 26 UUPT, pada saat pendirian perseroan paling sedikit 25% dari modal dasar telah ditempatkan dan telah disetor paling sedikit 50% dari nominal dari setiap saham yang dikeluarkan. Dengan 50
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
demikian pada saat penandatanganan perjanjian paling sedikit modal dasar yang telah ditetapkan sebesar Rp 5 juta dan dari jumlah tersebut yang sudah disetor dalam kas paling sedikit Rp 2,5 juta. 4. pengambilan saham pada saat perseroan didirikan. Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan (pasal 7 ayat (2) UUPT). Ketentuan pasal ini merupakan wujud pernyataan kehendak pendiri ketika membuat perjanjian pendirian perseroan dan juga sebagai pemenuhan syarat ketentuan pasal 26 UUPT tentang permodalan. Pengambilan bagian saham tersebut berupa penyetoran modal oleh setiap pendiri yang jumlah semuanya paling sedikit Rp 2,5 juta. Setiap persyaratan materiil pendirian perseroan dipenuhi maka untuk selanjutnya pendirian perseroan harus mengikuti prosedur yang ditentukan oleh UUPT. Prosedur pendirian perseroan sebagai syarat formal pendiriannya adalah sebagai berikut: 1. pembuatan perjanjian tertulis Perjanjian tersebut berisi antara lain susunan dan penyertaan modal, susunan saham, penunjukan direksi dan komisaris, perbuatan hukum dengan pihak ke tiga, yang selanjutnya disusun dalam bentuk anggaran dasar perseroan. Perjanjian tersebut juga harus memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata tentang sahnya perjanjian, di samping itu dalam anggaran dasar perseroan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan, ketertiban umum, dan atau kesusilaan (Pasal 2 UUPT) 2. pembuatan akta pendirian di muka notaris Para pendiri yang membuat perjanjian tersebut menghadap ke notaris untuk meminta dibuatkan akta An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
51
Ka p i t a Se l e k t a
pendirian perseroan. Sejak akta pendirian ditandatangani oleh para pendiri maka perseroan resmi berdiri dan hubungan antara para pendiri dikuasai oleh hubungan kontrak. 3. pengesahan oleh menteri kehakiman. Untuk memperoleh pengesahan, para pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan tertulis kepada menteri kehakiman dengan melampirkan akta pendirian perseroan. Pengesahan akta pendirian diberikan dalam waktu paling lama 60 hari setelah permohonan diterima. Pasal 7 ayat (6) menyebutkan bahwa perseroan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian disahkan oleh menteri kehakiman. Sejak pengesahan, perseroan adalah badan hukum mandiri, sehingga menurut ketentuan pasal 3 ayat (1) pendiri sebagai pemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan yang melebihi nilai saham yang telah diambilnya. 4. pendaftaran Perseroan. Direksi Perseroan wajib mendaftarkan perseroan dalam daftar perseroan, akta pendirian beserta surat pengesahan menteri kehakiman. Pendaftaran wajib dilakukan dalam waktu paling lambat 30 hari setelah pengesahan diberikan (Pasal 21 UUPT). 5. pengumuman dalam tambahan lembaran negara. Berdasarkan ketentuan pasal 22 UUPT perseroan yang telah didaftarkan diumumkan dalam tambahan berita negara RI. Permohonan pengumuman ditujukan kepada meneri kehakiman kemudian menteri kehakiman menerbitkan berita negara. tambahan berita negara yang dimuat dalam akta pendirian dan surat pengesahan perseroan. Karakteristik yang menonjol dalam perseroan adalah tanggungjawab pemegang saham hanya terbatas pada 52
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
nilai saham yang dimilikinya dan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan (pasal 3 ayat 1 UUPT). Karakteristik yang demikian telah menjadikan salah satu alasan mengapa banyak orang mendirikan badan usaha dalam bentuk perseroan, karena dengan konstruksi ini seseorang dapat memperkecil risiko kerugian yang timbul. Untuk selanjutnya, perkembangan suatu perusahaan perseroan dalam menghadapai persaingan dengan perusahan lainnya sangat tergantung pada kekuatan modal dari perusahaan tersebut, sehingga peran modal sangat vital bagi berlangsungnya operasional suatu perusahaan dalam masyarakat. Perseroan Terbatas Berbadan Hukum
Sebagai
Badan
Usaha
Perseroan terbatas sebagai institusi berkedudukan sebagai badan hukum, sehingga ia adalah subyek hukum, pelaku kegiatan ekonomi yang mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan organisasi ekonomi lainnya.27 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PT mempunyai nilai-nilai lebih, baik ditinjau dari aspek ekonomi maupun aspek yuridisnya. Kedua aspek tersebut adalah saling mengisi antara yang satu dengan yang lainnya. Aspek hukumnya memberikan rambu-rambu pengaman serta mengatur keseimbangan semua pihak dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya dalam rangka menjalankan kegiatan ekonomi. Jadi apabila dikaji lebih mendalam, maka dapat dimengerti dan dipahami mengapa PT sangat diminati oleh masyarakat. Menurut Sri Redjeki Hartono ada beberapa alasan praktis sehingga bentuk PT yang berstatus badan hukum 27
Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, (Bandung :Mandar Maju, 2000), hal 3-4.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
53
Ka p i t a Se l e k t a
lebih digemari oleh pengusaha antara lain setiap jenis usaha yang mempunyai jangkauan relatif luas, pada ijin operasional selalu dinyatakan bahwa perusahaan yang bersangkutan harus berbadan hukum. Lebih lanjut Sri Redjeki Hartono menyatakan bahwa PT sebagai organisasi ekonomi mempunyai kemampuan lebih besar untuk mengembangkan diri karena PT mempunyai kemampuan menghimpun dana lebih dibandingkan dengan bentuk usaha lainnya, tanpa mengganggu eksistensinya. PT mampu melakukan kerjasama antara perusahaan dengan tetap mempertahankan jati dirinya termasuk siapa saja sebagai pendukungnya. Tanpa memperdebatkan aspek hukum mengenai berdirinya maupun keberadaannya sebagai badan hukum, PT dapat dimanfaatkan maksimal untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Perseroan Terbatas merupakan suatu badan usaha yang sempurna baik sebagai kesatuan ekonomi maupun kesatuan hukum. Sebagai kesatuan ekonomi ditata oleh pranata hukum. Sebaliknya sebagai kesatuan hukum mempunyai kedudukan sebagai badan hukum yaitu sebagai subyek hukum yang mampu melakukan perbuatan hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Penutup Prosedur pendirian PT telah diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, meliputi persyaratan materiil dan formil sehingga PT sah berdiri sebagai badan hukum, yaitu pengemban hak dan kewajiban dalam masyarakat Institusi PT sebagai badan usaha yang berbadan hukum memiliki keunggulan dan kelebihan baik ditinjau dari aspek hukum maupun aspek ekonomi dibandingkan 54
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
dengan badan usaha lain yang merupakan organisasi ekonomi. Keunggulan dari aspek hukum misalnya berlakunya ketentuan perlindungan pemegang saham minoritas yang memberikan rambu-rambu pengaman serta mengatur agar terjadi keseimbangan antara para pihak yang terlibat dalam PT. Keunggulan dari aspek ekonomi mempunyai jangkauan usaha yang lebih luas, berpeluang usaha di pasar modal, memiliki kemampuan menghimpun dana yang lebih besar sehingga lebih mudah mengembangkan diri. ___
DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Mohamad, Hukum Perseroan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. ----------------------, Hukum Perusahaan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Munir Fuadi, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Mandar Maju, Bandung, 2000. -----------------------, Catatan Kuliah Hukum Perusahaan, Magister Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2002/2003. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
55
Ka p i t a Se l e k t a
5 PENGEMBANGAN PERUSAHAAN PERBANKAN MELALUI PENAMBAHAN MODAL Pendahuluan Fungsi utama bank adalah sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien. Untuk menjalankan fungsi tersebut, bank melakukan berbagai kegiatan dalam bidang usahanya. Dalam menjalankan usahanya, bank biasanya selalu mengalami pasang surut. Ketika perusahaan mengalami peningkatan, keinginan perusahaan untuk mengembangkan perusahaan sangat besar dan beralasan karena untuk memperoleh keuntungan yang optimal. Keuntungan yang besar dapat diperoleh dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas produk serta peningkatan pasar bagi produk-produk usahanya. Namun ada kalanya keinginan tersebut tidak selalu berjalan dengan lancar karena mengalami berbagai kendala seperti misalnya permodalan, manajemen, kualitas sumber daya manusia, dan lain-lain. Modal merupakan faktor utama yang dapat menentukan keberhasilan dalam memperoleh keuntungan atau laba. Makin besar jumlah yang digunakan maka makin luas jangkauan usaha yang dapat 56
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
dijalankan, berarti makin besar pula keuntungan yang akan diperoleh perusahaan. Jika jumlah modal investasi cukup layak, maka yang diutamakan adalah pengelolaan yang efektif dan efisien untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi. Berkaitan dengan pengembangan dalam suatu usaha, maka modal antara lain ditujukan untuk peningkatan sumber daya manusia, peningkatan teknologi, peningkatan kualitas produksi, inovasi produksi dan manajemen.28 Oleh karena itu apabila hendak mengembangkan perusahaan maka peningkatan modal adalah sesuatu yang mutlak diperlukan demikian dalam pengembangan perusahaan perbankan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perusahaan perbankan Kegiatan utama dari perbankan adalah menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat. Hal ini terkait dengan fungsi bank sebagai perantara antara pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana. Bank merupakan alat Pemerintah dalam membangun perekonomian bangsa melalui pembiayaan semua jenis usaha pembangunan. Suatu perusahaan perbankan tidak selamanya statis atau seperti sebagaimana awal usahanya didirikan, sudah barang tentu dengan kemajuan iptek serta semakin ketatnya persaingan di dalam bisnis perbankan menuntut suatu perusahaan berbenah diri dalam menghadapi persaingan tersebut. Pembenahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui restrukturisasi dan ekspansi bidang usaha maupun 28
Sri Redjeki Hartono, Materi Kuliah Hukum Perusahaan, Materi Kuliah Hukum Perusahaan, Magister Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2002/2003.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
57
Ka p i t a Se l e k t a
memperluas jaringan usaha. Untuk mengembangkan usaha tersebut perusahaan perbankan memerlukan beberapa aspek yang merupakan faktor penentu keberhasilan usahanya. Pengembangan perusahaan perbankan pada umumnya dipengaruhi beberapa faktor yaitu: 1. Faktor Modal Untuk meningkatkan daya saing serta keperluan ekspansi suatu perusahaan yang menjadi faktor utama adalah modal, karena akan sangat sulit bagi suatu perusahaan yang kekurangan modal untuk mengembangkan usahanya. Kekurangan modal bagi suatu perusahaan akan menjadi faktor penghambat bagi pengembangan suatu perusahaan, sehingga akan sulit untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Semakin tinggi sumber modal suatu perusahaan, maka akan semakin besar pula potensi untuk mengembangkan dirinya, di samping itu dengan modal yang besar suatu perusahaan dapat menguasai pasar untuk pemasaran hasil produksi perusahaannya di masyarakat. Modal dalam pengertian yang sempit adalah sejumlah uang yang digunakan sebagai pokok untuk menjalankan suatu usaha dengan tujuan untuk memperoleh laba atau nilai lebih. Modal dalam arti sempit ini lazim disebut sebagai modal dasar. Dalam arti yang luas, modal adalah kekayaan baik berupa uang, benda, maupun jasa yang digunakan untuk menjalankan suatu usaha dengan tujuan memperoleh atau menghasilkan keuntungan dan atau laba yang menambah kekyaan. Dengan demikian, modal dalam arti yang sempit hanya berupa sejumlah uang, sedangkan modal dalam arti luas
58
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
merupakan faktor produksi yang terdiri dari uang, benda dan jasa yang menghasilkan kekayaan.29 Menurut ketentuan hukum di Indonesia, sumber modal dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu modal dalam negeri dan modal luar negeri. Pasal 1 UndangUndang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”modal dalam negeri” adalah bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda-benda yang dimiliki oleh negara dan swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia yang disediakan guna menjalankan suatu usaha, sepanjang tidak diatur oleh Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri dapat terdiri dari perseorangan atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang dimaksud dengan modal asing adalah: a. alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan Pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan Indonesia; b. alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuanpenemuan baru milik orang asing dan bahan-bahan yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa Indonesia; c. bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan Undang-Undang ini diperkenankan ditransfer, tetapi digunakan untuk membiayai perusahaan Indonesia.
29
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hal 263.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
59
Ka p i t a Se l e k t a
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikategorikan bahwa modal yang dimaksud hanya meliputi sejumlah uang, barang dan hak yang dipergunakan untuk menjalankan dan membiayai perusahaan dan tidak dikenal modal yang berupa jasa. Padahal jasa konsultan juga dapat dimasukkan dalam faktor modal yang dapat menghasilkan keuntungan dan atau laba.30 Sri Redjeki Hartono menyatakan bahwa modal merupakan satu hal yang sangat penting artinya bagi eksistensi, kelangsungan kehidupan maupun pengembangan suatu perseroan terbatas sebagai organisasi ekonomi.31 Suatu perusahaan perseroan ingin memperoleh modal tambahan untuk mengembangkan usahanya, biasanya akan berhubungan dengan pihak pemberi kredit, dalam hal ini lembaga perbankan. Setiap pengusaha akan selalu berhubungan dengan bank yang merupakan mitra usaha yang membantu dalam soal jasa keuangan, baik menerima maupun membayar kepada pihak ketiga maupun menyimpan dana pengusaha dalam rekening gironya pada bank yang bersangkutan untuk setiap waktu dapat digunakan. Sebagai nasabah bank, maka pengusahapun selalu berkoordinasi dengan pihak bank apabila ia memerlukan modal dan melakukan transaksi lainnya. Di samping melalui kredit perbankan penambahan modal untuk pengembangan suatu perusahaan dapat dilakukan melalui penambahan saham perseroan, baik melalui modal eksternal maupun internal. Fenomena penggabungan, pengambilalihan dan konsolidasi perusahaan perbankan dengan bank-bank lainnya dalam menghadapi persaingan merupakan salah 30
Abdul Kadir Muhammad, Ibid, hal 234.
31
Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, (Bandung :Mandar Maju, 2000), hal 5. 60
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
satu faktor yang menunjukkan kurangnya modal perusahaan untuk mengadakan ekspansi. Adanya modal bersama setelah terjadi penggabungan, peleburan, dan konsolidasi perusahaan diharapkan mencukupi dan memenuhi kebutuhan modal untuk mengembangkan suatu usaha perbankan.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
61
Ka p i t a Se l e k t a
2. Teknologi Pada era globalisasi dan pasar bebas, peranan teknologi menjadi sangat penting bagi suatu perusahaan. perusahaan yang tidak mampu memanfaatkan teknologi dapat dipastikan mengalami ketertinggalan akibat ketatnya persaingan dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang menguasai teknologi. Pemilikan modal yang besar oleh bank yang tidak diikuti dengan pemanfaatan teknologi yang dibutuhkan bagi pengembangan perbankan mengakibatkan kesulitan dalam bersaing di tingkat lokal, nasional dan internasional. Teknologi adalah penerapan ilmu pengetahuan dalam memecahkan masalah praktis baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak, yaitu berupa metode atau teknik pemecahan masalah. Jadi teknologi itu meliputi ruang lingkup baik perangkat keras maupun perangkat lunak.32 The Liang Gie33 membagi unsur-unsur teknologi dalam bidang-bidang sebagai berikut: A. teknologi konversi dan pemanfaatan tenaga meliputi jenis terpenting tenaga untuk manusia; alat dan teknik untuk pemanfaatan tenaga; alat untuk pemusatan dan pengawasan tenaga; serta untuk produksi tak terbatas B. teknologi alat-alat dan mesin alat-alat tangan meliputi mesin dan komponen mesin, serta alat-alat mesin. C. Teknologi pengukuran meliputi observasi dan kontrol D. Teknologi yang terlibat dalam pengambilan dan konversi bahan mentah industri E. Teknologi proses-proses produksi industri 3. Manajemen 32
Zudan Arif Faktullah Dan Hadi Wuryan, Hukum Ekonomi, (Surabaya : Karya Abdi Utama, 1997), hal 9. 33
Ibid, hal 9-10
62
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Manajemen perusahaan yang baik merupakan faktor yang menentukan berkembangnya suatu perusahaan. Secara khusus manajemen perusahaan meliputi mangutamakan prinsip kehati-hatian, profesional, efektif dan efisien. Tanpa adanya manajemen pengelolaan yang baik dan tepat, perencanaan yang matang serta strategi yang terarah akan sulit bagi bank untuk bersaing dan berkompetisi dengan lembaga perbankan lainnya. Pada saat ini persaingan antar bank cukup ketat mengingat jumlah bank sangat banyak baik bank swasta maupun bank Pemerintah. Adanya manajemen yang baik akan memudahkan penentuan pilihan segmen masyarakat mana yang akan ditarik sebagai nasabah, sehingga tidak terjadi rebutan nasabah. Pengembangan produk perusahaan perbankan memerlukan manajemen yang jitu untuk memilih produk dan jasa yang akan dipasarkan atau ditawarkan kepada nasabah sehingga mereka tertarik dengan lembaga perbankan. 4. Sumber Daya Manusia Faktor keahlian sangat terkait erat dengan kualitas sumber daya manusia yang mengelola lembaga perbankan. Keberhasilan perusahaan perbankan untuk berkembang dalam masyarakat tidak bisa terwujud hanya dengan mengandalkan modal yang besar. Modal yang besar akan bermanfaat dan mempunyai arti apabila ada sumber daya manusia yang menjadi motor usaha perbankan memiliki kualitas, keahlian dan profesionalisme yang cukup memadai. Penguasaan teknologi perbankan juga ditentukan oleh sumber daya manusia yang handal. Tidak tersedianya sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan menguasai teknologi mengakibatkan teknologi yang ada tidak berarti. Hal ini terjadi karena teknologi baru An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
63
Ka p i t a Se l e k t a
dapat berfungsi apabila ada sumber daya manusia yang menggerakkan atau mengoperasikan. Asas manajemen yang sehat dapat diterapkan apabila bank mempunyai sumber daya manusia yang sehat, baik mengenai pendidikan dan moralnya. Setiap bank mempunyai kewajiban untuk meningkatkan mutu sumber daya manusianya antara lain melalui penyelenggaraan program pelatihan secara berkesinambungan. Hal yang perlu diperhatikan dan tidak kalah pentingnya untuk meningkatkan moral staf perbankan bahwa mereka harus mendapat gaji atau imbalan yang sesuai dengan situasi pasar sehingga mereka tidak silau menghadapi pesaing dari bank lain. Di antara keempat faktor di atas ditinjau dari aspek ekonomi faktor modal menjadi faktor yang paling besar pengaruhnya bagi pengembangan suatu perusahaan. Akan tetapi, ketersediaan modal saja belum cukup bagi suatu perusahaan perbankan untuk bisa berkembang dengan baik. Karena itu faktor manajemen, teknologi, dan sumber daya manusia harus saling terkait dan saling mengisi karena kekurangan pada salah satu faktor akan berpengaruh pada faktor-faktor yang lain. Selain keempat faktor di atas, faktor lain yang ikut berpengaruh dalam usaha pengembangan perusahaan perbankan adalah kepercayaan masyarakat. Perusahaan perbankan merupakan perusahaan jasa yang bisnisnya berorientasi pada keuntungan. Guna mencapai keuntungan tersebut, maka faktor yang perlu diperhatikan adalah adanya keterikatan dan kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. Regulasi Pemerintah yang kondusif merupakan faktor yang juga sangat berpengaruh pada pengembangan perusahaan perbankan. Tanpa adanya kebijakan yang mendukung sebagai pengaman dalam usaha pengembangan tersebut maka perbankan akan 64
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
merasa ragu untuk mengadakan ekspansi. Oleh karena itu regulasi dari Pemerintah merupakan faktor yang penting dalam pengembangan perusahaan perbankan.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
65
Ka p i t a Se l e k t a
Penutup Akhirnya dapat disimpulkan bahwa usaha pengembangan perusahaan perbankan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu jumlah modal, teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia. Di samping itu terdapat faktor lain yang juga sangat berpengaruh yaitu adanya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan dan adanya regulasi atau kebijakan Pemerintah yang kondusif bagi pengembangan usaha. Faktor modal, teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia memiliki peran dan pengaruh yang sangat penting dalam upaya mengembangkan perusahaan perbankan. Semua faktor harus saling berkait dan saling mengisi karena kekurangan pada salah satu faktor akan berpengaruh pada faktor yang lain. -br-
DAFTAR PUSTAKA Faktullah, Zudan Arif, Hadi Wuryan, Hukum Ekonomi, Karya Abdi Utama, Surabaya, 1997. Hartono, Sri Redjeki, Materi Kuliah Hukum Perusahaan, Materi Kuliah Hukum Perusahaan, Magister Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2002/2003 ---------------------, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Mandar Maju, Bandung, 2000. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. 66
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
6 MERGER SEBAGAI TINDAKAN RESTRUKTURISASI PERUSAHAAN Pendahuluan Perjalanan hidup perusahaan atau badan usaha dengan bentuk apapun, termasuk perseroan terbatas selalu mengalami pasang surut. perusahaan yang sedang mengalami pasang naik tidak jarang melakukan tindakan untuk pengembangan lebih lanjut. Sebaliknya suatu perusahaan yang berada dalam keadaan sulit juga memerlukan tindakan penyelamatan. Restrukturisasi merupakan salah satu pilihan yang dapat diambil atas dasar pemikiran dan pertimbangan untuk mencapai tujuan ekonomi dan manajerial.34 Perusahaan melakukan restrukturisasi karena dihadapkan pada beberapa permasalahan yang dapat menimbulkan kesulitan bagi perusahaan. Sumber masalah tersebut antara lain kuantitas dan kualitas biaya, minimnya modal untuk usaha perusahaan, struktur perusahaan yang tidak tepat, perusahaan terlalu berorientasi pada pasar domestik, pimpinan perusahaan cenderung mempertahankan status quo dan lingkungan bisnis yang berubah cepat. 34
Sri Redjek Hartono, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, (Bandung : Mandar Maju, 2000, hal 88-89.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
67
Ka p i t a Se l e k t a
Kegiatan restrukturisasi perusahaan pada umumnya dilakukan untuk mendapatkan kinerja yang lebih baik bagi perusahaan. Dengan restrukturisasi ini dapat mengakibatkan suatu perusahaan menjadi mengembang dan menyempit, diperluas atau dirampingkan, seirama dengan perkembangan kegiatan usaha masing-masing perusahaan tersebut. Penyebab dari adanya merger dan pengaruhnya bagi perusahaan Restrukturisasi perusahaan adalah proses terencana untuk mengubah pola perusahaan dalam melaksanakan kegiatannya untuk mencapai tujuan dengan lebih baik. Perubahan yang dilakukan dapat berupa perubahan manajemen usaha dan organisasi perusahaan, termasuk sumber daya manusia maupun sumber daya keuangan dan teknologi. Restrukturisasi perusahaan pada umumnya dilakukan karena perusahaan dihadapkan pada beberapa masalah sehingga apabila tidak segera dilakukan restrukturisasi, perusahaan akan mengalami kesulitan. Alasan tersebut dapat berupa alasan ekonomis maupun manajerial. Tujuan restrukturisasi pada umumnya dimaksudkan untuk mendapatkan kinerja yang lebih baik bagi perusahaan. Dengan restrukturisasi perusahaan dapat saja menjadi mengembang, menyempit, diperluas, atau dirampingkan strukturnya. Restrukturisasi perusahaan memiliki dampak positif maupun negatif. Restrukturisasi dapat dilakukan dalam rangka pegembangan perusahaan atau dalam rangka kesulitan perusahaan. Oleh karena itu restrukturisasi perusahaan tidak selamanya berkonotasi negatif artinya perusahaan yang sedang melakukan restrukturisasi tidak selalu berarti bahwa perusahaan tersebut sedang 68
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
mengalami kesulitan yang sedang mengancam kelangsungan usahanya. restrukturisasi juga dapat dilakukan dalam rangka pengembangan perusahaan. Ada beberapa aspek dari restrukturisasi perusahaan antara lain: 1. restrukturisasi bisnis, dalam restrukturisasi ini perusahaan melakukan penataan terhadap seluruh mata rantai perusahaan dengan tujuan meningkatkan daya saing dan kompetisi, sebagai contoh merger dan akuisisi. 2. restrukturisasi keuangan, tujuannya adalah untuk menyehatkan kinerja keuangan perusahaan. 3. restrukrisasi manajemen sebagai upaya penataan kembali sistem manajemen perusahaan untuk meningkatkan daya saing. 4. restrukrisasi organisasi sebagai upaya pembenahan internal organisasi perusahaan ke dalam. 5. restrukrisasi di bidang hukum, restrukturisasi ini dalam rangka meningkatkan status hukum badan usaha dan peraturan yang membatasi lingkup kegiatan usaha. Restrukturisasi perusahaan hanya dapat dilakukan oleh badan usaha dengan status badan hukum (perseroan terbatas). Beberapa ketentuan yang mengatur restrukturisasi perusahaan adalah: 1. UU No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas 2. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas. Kedua peraturan tersebut memberikan kemungkinan tiga bentuk restrukturisasi perusahaan yang dapat dilakukan yaitu melalui penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi). Istilah merger dimaksudkan sebagai suatu fusi atau absorbsi dari suatu benda atau hak kepada benda atau
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
69
Ka p i t a Se l e k t a
hak lainnya. UU PT menggunakan istilah penggabungan untuk pengertian merger.35 Merger menjadi tren dalam suatu grup usaha konglomerat yang ingin memperluas jaringan usahanya, terutama bagi kelompok usaha yang ingin berkembang cepat dalam waktu yang relatif singkat. Sebab dengan metode merger ini suatu kelompok usaha tidak perlu membesarkan suatu perusahaan dari kecil menjadi besar, tetapi cukup membeli perusahaan yang sudah besar atau sedang berjalan. Menurut peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lainnya yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar. Merger sebenarnya hanyalah salah satu metode untuk melakukan restrukturisasi perusahaan di samping bentuk-bentuk lainnya. Penggabungan ini dapat dilakukan sebagai strategi perusahaan untuk maju. Misalnya saja penggabungan dua perusahaan yang dilakukan karena untuk memenuhi tuntutan modal perusahaan. Jika perusahaan tersebut bergabung maka hanya dengan jumlah permodalan yang ada tersebut telah dapat berjalan. Penggabungan ini juga dapat dilakukan antara dua perusahaan yang berbeda produk misalnya satu perusahaan memiliki kelebihan dalam bidang produk A yang berkualitas tinggi tetapi tidak memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang distribusi, sedangkan perusahaan lain mempunyai sumber daya distribusi. Maka penggabungan dua perusahaan tersebut menghasilkan sinergi yang bagus. 35
Munif Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998, Buku Kesatu, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hal 36. 70
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Cara penggabungan dapat dilakukan melalui penjualan tunai dan penjualan saham perusahaan. Perbuatan hukum penggabungan dan pengambilalihan perseroan tersebut harus memperhatikan beberapa hal di antaranya: 1. kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas dan karyawan perseroan. 2. kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha karena seringkali penggabungan perusahaan dilakukan bukan untuk meningkatkan efisiensi, tetapi hanya untuk menguasai pasar; 3. penggabungan perseroan tidak mengurangi pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga yang wajar. Menurut Munir Fuady, jika sebuah perusahaan ingin melakukan merger dengan perusahaan lain, sebelum merger dilakukan ada beberapa faktor minimal yang mesti dipertimbangkan dan diinvestigasikan, yaitu: 36 1. faktor produksi; 2. faktor akuntansi dan finansial; 3. faktor pajak; 4. faktor hukum; 5. faktor pemasaran; 6. faktor sumber daya manusia; 7. beberapa faktor lainnya. Rencana penggabungan perseroan dibuat masingmasing direksi yang di antaranya memuat nama perseroan yang akan melakukan penggabungan, alasan dan penjelasan direksi tentang tindakan tersebut, tata cara pemindahan saham, rancangan perubahan anggaran dasar dan lain-lain. Rencana yang dibuat oleh direksi harus disetujui oleh RUPD masing-masing perseroan. Karena adanya 36
Munif Fuady, Hukum tentang Merger, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hal 31.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
71
Ka p i t a Se l e k t a
kemungkinan ada beberapa pemegang saham yang menyetujui penggabungan maka diatur tata cara konversi saham dan juga perbandingan penukaran saham termasuk penentuan jumlah pembayaran uang kepada para pemegang saham dari perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri. Pembayaran uang kepada pemegang saham dari perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri adalah merupakan ganti rugi kepada pemegang saham yang tidak menghendaki penggabungan atau peleburan tersebut. Dalam hal dilakukan pembayaran kepada pemegang saham tersebut dengan uang, agar diperhitungkan harga sahamnya menurut nilai yang wajar. Keputusan RUPS tentang penggabungan perseroan sah apabila diambil berdasarkan manfaat atau suara terbanyak. Setelah itu direksi perseroan mengumumkan dalam dua surat kabar harian mengenai rencana penggabungan, peleburan ataupun akuisisi. Rancangan yang telah disetujui RUPS tersebut dilampirkan dalam permohonan perubahan anggaran dasar perusahaan agar disetujui oleh menteri. Dalam hal terjadi penggabungan maka perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar. Pembubaran tersebut dapat dilakukan dengan atau tanpa terlebih dahulu melakukan likuidasi dengan hasil: 1. aktiva dan pasiva perseroan yang digabungkan karena hukum kepada perseroan hasil penggabungan. 2. pemegang saham perseroan yang digabungkan menjadi pemegang saham hasil penggabungan. Setelah penggabungan selesai maka direksi hasil penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan tersebut dalam dua surat kabar harian paling lambat 30 hari setelah selesai penggabungan. pengumuman ini 72
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
dimaksudkan agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui bahwa telah dilakukan penggabungan. Menurut banyak pengamat operasional penggabungan perusahaan memiliki beberapa efek negatif, di antaranya adalah adanya keuntungan yang terlalu besar yang dinikmati oleh perusahaan dalam jangka panjang, kemungkinan adanya ketidakefisienan produksi, adanya eksploitasi terhadap konsumen ataupun karyawan. Meskipun Pemerintah mensyaratkan agar tiap perusahaan yang ingin melakukan strategi penggabungan harus mengedepankan kepentingan para pemegang saham dan karyawan, tetapi yang paling sering terjadi adalah sebaliknya. Tindakan penggabungan perusahaan seringkali mengkhawatirkan dan merugikan posisi karyawan. Seringkali pemilik perusahaan yang baru melakukan perombakan struktur perusahaan dan bahkan ada yang cendrung ekstrim sampai mengurangi atau bahkan memangkas jumlah tenaga kerja secara besar-besaran. Penutup Merger atau penggabungan biasanya dilakukan oleh perusahaan yang ingin memperluas jaringannya. Merger atau penggabungan terutama dilakukan bagi kelompok usaha yang ingin berkembang cepat dalam waktu relatif singkat. Tindakan penggabungan merupakan salah satu bentuk pengembangan usaha yang dapat dilakukan secara nasional maupun internasional. Dengan melakukan merger atau penggabungan, maka salah satu perusahaan yang bergabung akan bubar demi hukum, dimana harta kekayaan dan kewajiban perusahaan yang bubar dialihkan ke perusahaan lainnya yang tetap eksis. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
73
Ka p i t a Se l e k t a
__oo__
74
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
DAFTAR PUSTAKA
Hartono, Sri Redjeki, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Mandar Maju, Bandung, 2000. Fuady, Munif, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998, Buku Kesatu,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. ----------------, Hukum tentang Merger, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
75
Ka p i t a Se l e k t a
BAGIAN II
HUKUM DAN PERSOALAANYA DI BIDANG HUKUM PIDANA KHUSUS
76
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
77
Ka p i t a Se l e k t a
1 KOORDINASI DAN PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Pada era globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan tehnologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang, dan atau jasa melintas batas-batas wilayah suatu negara. Dengan demikian barang dan atau jasa yang ditawarkan semakin bervariasi baik berasal dari luar maupun dalam negeri. Fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen Indonesia yang selama ini berada pada posisi yang lemah terkesan hanya akan menjadi obyek pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Lemahnya posisi konsumen, disebabkan antara lain masih rendahnya kesadaran konsumen akan hak-haknya. Sementara lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hingga sekarang belum berjalan maksimal, karena kurangnya sosialisasi pada masyarakat. Undang-undang perlindungan konsumen tersebut dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum bagi upaya pemberdayaan konsumen dan diharapkan dapat 78
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
mengantarkan konsumen Indonesia menjadi konsumen yang mandiri, meningkat harkat dan martabatnya, mengetahui hak dan kewajibannya sehingga pada gilirannya mendorong iklim usaha yang sehat. Sementara itu dengan memenuhi kewajiban yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dapat menempatkan konsumen tidak hanya sekedar sebagai target pasar melainkan mempertimbangkan konsumen menjadi jaminan pasar dalam jangka panjang. Sehingga pelaku usaha didorong untuk menjadi profesional, tangguh, jujur, bertanggunjawab dan mampu menciptakan produk berkualitas yang mampu bersaing dengan produk barang/jasa dari luar negeri. Salah satu upaya untuk menyelenggarakan perlindungan konsumen sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah melalui pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen. Pembinaan perlindungan konsumen diselenggarakan oleh Pemerintah dalam upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban masing-masing. Sedangkan pengawasan perlindungan konsumen dilakukan secara bersama oleh Pemerintah, masyarakat dan LPKSM, mengingat banyak ragam dan jenis barang dan atau jasa yang beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia.37 Pembinaan terhadap pelaku usaha dan pengawasan terhadap barang dan atau jasa yang beredar di pasar tidak semata-mata ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen tetapi sekaligus bermanfaat bagi pelaku usaha dalam upaya meningkatkan daya saing barang dan atau jasa di pasar global. Di samping itu, 37
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
79
Ka p i t a Se l e k t a
diharapkan pula tumbuhnya hubungan usaha yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen, yang pada gilirannya dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif. Sekilas Tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen adalah upaya yang terorganisir yang didalamnya terdapat unsur-unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab untuk meningkatkan hak-hak konsumen. Dalam undang-undang perlindungan konsumen dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen”. Tujuan yang ingin dicapai dari perlindungan konsumen ini adalah : 1. Untuk memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan atau jasa kebutuhannya dan menuntut hak-haknya. 2. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan informasi. 3. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggungjawab. Kepastian hukum yang dijamin dalam perlindungan konsumen ini adalah segala proses pemenuhan kebutuhan konsumen yaitu sejak benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan pemakaman, dan segala kebutuhan diantara kedua masa itu. Dalam hal ini pemberdayaan konsumen untuk memiliki kesadaran, kemampuan, dan kemandirian melindungi diri sendiri dari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan, dan pemanfaatan barang dan atau jasa kebutuhannya. 80
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Pemberdayaan konsumen juga ditujukan agar konsumen memiliki daya tawar yang seimbang dengan pelaku usaha. Konsumen sendiri dalam pengertian hukum perlindungan konsumen memiliki beberapa pengertian yaitu konsumen umum (pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan atau jasa untuk kebutuhan tertentu), konsumen antara (pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan atau jasa untuk memperdagangkannya, dengan tujuan komersial), dan konsumen akhir (pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri atau rumah tangganya dengan tujuan tidak untuk memperdagangkan kembali). Konsumen dalam terminologi konsumen akhir inilah yang dilindungi dalam undang-undang perlindungan konsumen. Sedangkan konsumen antara adalah dipersamakan dengan pelaku usaha. Faktor Penegakan Hukum Tindak Dibidang Perlindungan Konsumen
Pidana
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tindak pidana dibidang perlindungan konsumen antara lain: 1. Faktor hukumnya sendiri, yakni peraturan perundangundangan yang mengatur tentang perlindungan konsumen; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum (pemerintah dan aparat penegak hukum). 3. Faktor sarana dan prasarana yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Dalam hal ini adalah An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
81
Ka p i t a Se l e k t a
mencakup masyarakat konsumen dan masyarakat produsen. 5. Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang di dasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.38 Kelima faktor tersebut di atas, saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta merupakan tolak ukur dari efektifitas penegakan hukum sesuai dengan teori proses penegakan hukum menurut Chamblies dan Seidman. Faktor hukumnya sendiri, dalam konteks ini adalah hukum perlindungan konsumen, secara terus menerus harus dilakukan sosialisasi agar masyarakat betul-betul memahami keberadaan Undang-Undang perlindungan konsumen dan melaksanakannya dalam pergaulan hidup bersama. Undang-Undang perlindungan konsumen yang dilahirkan dalam suasana reformasi diharapkan mempunyai daya responsibilitas yang tinggi, dalam arti mempunyai dampak yang positif, mencapai tujuannya secara efektif. Kemudian faktor penegak hukum, yang menjalankan norma-norma dalam perundang-undangan senantiasa konsisten, konsekuen dan mempunyai komitmen yang tinggi untuk menjalankan fungsinya sebagai aparat hukum dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, aparat penegak hukum akan mampu bersikap "mulat saliro" atau "mawas diri". Hal mana nampak pada perilakunya yang merupakan pelaksanaan dari peranan aktualnya. Visualisasi dari bekerjanya hukum dalam masyarakat khususnya antara produsen - konsumen dapat digambarkan sebagai berikut: 38
Soedono Soekanto, Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, halaman 5. 82
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Faktor Sosial dan Personal Lainnya
Faktor Sosial dan Personal Lainnya Agar aparat penegak hukum mampu untuk mawas diri hendaknya mempunyai filosofi bertindak antara lain 1. Sabenere (logis), yakni dapat membuktikan apa atau mana yang benar dan mana yang salah. 2. Samestine (ethis), yaitu bersikap tindak maton atau berpatokan dan tidak waton sehingga asal saja sembrono atau ngawur. Ukuran waton itu ialah: (1) "Sabutuhe" yang maksudnya tidak serakah.", (2) Sacukupe yaitu mampu tidak berkekurangan tetapi juga tidak berkelebihan, dan (3) Saperlune artinya lugu, lugas tidak bertele-tele tanpa ujung pangkal. 3. Sakepenake (estetis) yang harus diartikan: mencari yang enak tanpa menyebabkan tidak enak pada pribadi lain.39 Jika aparat penegak hukum betul-betul dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai role occupant dengan sebaik-baiknya sesuai dengan peranan 39
Purnadi Purbacaraka dalam Soerjono Soekanto, Ibid, hal. 21.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
83
Ka p i t a Se l e k t a
yang ideal (ideal role), yang seharusnya (expected role), peranan yang mengukur pada kemampuan diri sendiri (perceived role) dan peranan yang seharusnya dilakukan (actual role), maka tujuan untuk tercapainya keadilan dan kepastian hukum dibidang perlindungan konsumen akan lebih nyata bukan hanya otopis belaka. Amandemen Undang-Undang Perlindungan Konsumen Hukum Pidana termasuk dalam kategori hukum publik. Dalam kategori ini termasuk pula hukum administasi negara, hukum acara, dan. hukum intemasional. Di antara semua aspek hukum publik itu, yang paling banyak menyangkut perlindungan konsumen adalah hukum pidana, dan hukum administrasi negara. Khusus mengenai hukum pidana kata konsumen tidak disebutkan secara ekplisit, namun hanya secara implisit yang dalam hal ini dapat dikemukakan beberapa pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, antara lain: Pasal 204 KUHP: "Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun." Pasal 205 KUHP: 84
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
"Barang siapa karena kealfaannya menyebabkan bahwa barang¬barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau yang memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurungan paling lama satu tahun. Barang-barang itu dapat disita." Pasal 359 KUHP: "Barang siapa karena kealfaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam 'dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun." Pasal 360 KUHP: "Barang siapa karena kealfaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun." "Barang siapa karena kealfaannya menyebabkan orang lain-luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah." Pasal 382 KUHP: "Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu dipalsu, dan menyembunyikan hal itu, An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
85
Ka p i t a Se l e k t a
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun." Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsu, jika nilainya atau faedahnya menjadi kurang karena dicampur dengan sesuatu bahan lain. Pasal 382 bis: "Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu diancam, jika karenanya dapat timbul kerugian bagi konkiren-konkirennya atau konkiren-konkiren orang lain itu, karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah." Pasal 383 KUHP: "Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli : (1) karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenai jenis keadaan atas banyaknya barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat." Pasal 390 KUHP: "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyiarkan kabar bohong yang menyebabkan harga barang-barang dagangan, danadana atas surat-surat berharga menjadi turun atau naik, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.". Kemajuan teknologi industri telah mengakibatkan perubahan sosial yang sangat drastis dalam kehidupan manusia. Kejahatan merupakan produk dari masyarakat 86
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
dan masyarakat pun menghasilkan kejahatan. Bahkan kejahatan yang selalu ada dalam sebuah masyarakat senantiasa mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Hal ini sesuai dengan ungkapan "ubi socius ubi crimen" (Dalam setiap masyarakat selalu ada kejahatan) adalah senantiasa relevan dengan realitas dalam masyarakat. Ketentuan hukum pidana yang mengatur hubungan antara negara dengan rakyat, yang diapresiasikan sebagai mewakili kepentingan umum, sebagaimana telah diuraikan di atas, norma-normanya diatur dalam pasalpasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan sebagian yang lain terdapat dalam peraturan perundangundangan organik seperti Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang No. 10 tahun 1961 tentang Barang, Undang-Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992 dan lain-lain. Tujuan utamanya dari perundang-undangan tersebut adalah melindungi kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan masyarakat konsumen dari perbuatan-perbuatan (tindak pidana berbentuk kejahatan atau pelanggaran) yang merugikan, baik harta benda; kesehatan tubuh maupun ancaman terhadap jiwa mereka. Meski telah hampir tujuh tahun diberlakukan, Undang-Udang Perlindungan Konsumen (UU PK) masih kurang terdengar gaungnya. Sebab, Undang-Undang tersebut dinilai masih banyak kekurangan sehingga perlu diamandemen. Beberapa poin di UU PK yang perlu diamandemen antara lain kontroversi penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Berdasarkan UU PK, putusan dari BPSK tidak bisa dieksekusi bila tidak mendapat penetapan dari pengadilan. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
87
Ka p i t a Se l e k t a
Padahal, apabila sudah ada penyelesaian dari BPSK, maka pengadilan tidak boleh ikut campur. Agar BPSK menjadi tidak sia-sia. Karena penyelesaian di dalam dan di luar pengadilan berdiri sama tinggi, tidak ada yang menjadi subordinat BPSK memang perlu dibenahi karena SDM-nya masih kacau. Kalau anggota dari BPSK yang terdiri dari unsur pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen tidak bermutu, tentu hasil putusannya tidak bisa diharapkan. Masalahnya ternyata juga terletak pada dana yang tidak mencukupi. Karena itu, pada amandemen UU diharapkan akan ada anggaran tersendiri untuk BPSK yang bersumber dari APBN atau APBD. Sebab selama ini biaya operasional berasal dari kocek anggota BPSK sendiri. Dan dana tersebut juga diharapkan untuk dapat memperbaiki kantor 28 BPSK yang tersebar di tingkat kabupaten/kota. Dimana dari 28 kantor hanya 8 yang tergolong masih berfungsi antara lain : Semarang, Makasar, Palembang, Medan, Malang, Bogor, Yogyakarta, Bandung. Dari 8 BPSK yang masih berfungsi tersebut salah satunya adalah BPSK Kota Semarang dan data yang masuk ada 20 pengaduan dari konsumen, sementara dari hasil pengamatan, konsumenlah yang sangat aktif dalam upaya penyelesaian kasusnya dan pihak Disperindag terkesan sangat pasif dan hanya menunggu laporan saja dari konsumen atau pihak lain yang telah dirugikan UU PK juga perlu dibenahi cakupannya. Selama ini yang menjadi subjek adalah pelaku usaha, sementara profesi lain seperti dokter, pengacara, dan dosen tidak bisa dijangkau. Padahal bidang kerja mereka adalah jasa yang juga menjadi objek materil pada UU PK selain barang. Bila ada konsumen dari dokter atau pengacara atau dosen yang tidak puas, hal itu tetap bisa diakomodasi. 88
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Bila ada konsumen yang merasa dirugikan tetap bisa menuntut berdasarkan UU PK karena mereka tetap sebagai pihak yang memberikan pelayanan jasa.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
89
Ka p i t a Se l e k t a
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Pelaku Usaha Cara penyelesaian di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dapat ditempuh melalui Pengadilan atau diluar Pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Alternatif cara penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dapat melalui Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase. Namun apabila para pihak telah memilih salah satu cara penyelesaian sengketa yang telah disepakati, dan selama belum ada keputusan maka para pihak dapat menggunakan cara lain sesuai dengan kesepakatan batas waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja harus telah selesai. Apabila para pihak telah memilih salah satu bentuk cara penyelesaian sengketa dan telah ada keputusan BPSK, maka pengajuan keberatannya hanya dapat diajukan ke Pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan yang dilakukan di BPSK didasarkan atas kesepakatan para pihak yang bersengketa, dan proses penyelesaian sengketa diserahkan sepenuhnya kepada konsumen dan pelaku usaha, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi. Proses persidangan secara Mediasi dilakukan sendiri dengan fasilitasi BPSK oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh Majelis yang bertindak pasif sebagai mediator. Proses Persidangan secara Konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan 90
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
didampingi oleh Majelis yang bertindak sebagai fasilitator pasif sebagai konsiliator. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase adalah merupakan alternatif penyelesaian sengketa konsumen di luar Pengadilan yang keputusannya mempunyai kekuatan Eksekutorial setelah memperoleh penguatan dari Pengadilan Negeri setempat. Keputusan sengketa konsumen melalui arbitrase lebih menjamin rasa objektivitas, keterbukaan, profesional, mengingat proses tersebut ditangani oleh para ahli dibidangnya dan memberikan rasa keadilan yang berkembang didalam masyarakat, maka dalam amar putusan Arbitrase wajib mencantumkan kalimat ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang tertuang dalam Kepala Keputusan. Cara Penyelesaian Menurut Hukum Acara Pidana
Penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha dengan mendasarkan pada pelanggaran ketentuan hukum pidana berbeda dengan kasus-kasus dari aspek hukum perdata. Karena hukum pidana pijakan dalam bertindaknya adalah melindungi kepentingan umum/ negara dan aparat penegak hukumnya bertindak atas nama negara. Dalam kaitan ini, maka jika konsumen dirugikan dari unsur pidana dalam hal pemakaian suatu An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
91
Ka p i t a Se l e k t a
produk, maka konsumen hendaknya segera melaporkan kepada polisi (aparat penegak hukum). Dengan istilah lain konsumen dapat menyatakan bahwa hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 19 ayat 4 telah dilanggar oleh pelaku usaha. Polisi akan segera membuat penyelidikan lebih lanjut atas kasus yang dilaporkan oleh masyarakat tersebut, jika dirasa sudah cukup bukti atas pengaduan tersebut, polisi akan melimpahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut umum untuk dilakukan penuntutan. Dan untuk selanjutnya jaksa akan melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk disidangkan (demikian cuplikan proses penyelesaian perkara pidana menurut Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dalam rangka mewujudkan fungsi perlindungan dalam kacamata hukum pidana, maka peranan polisi menempati tempat yang utama, setidak-tidaknya kecepatan polisi untuk merespon dan menindaklanjuti laporan konsumen/masyarakat dalam hal terjadinya kerugian masyarakat karena pemakaian suatu produk Oleh karenanya, peranan polisi dalam upaya merespon keluhan/pengaduan konsumen dengan mengambil langkah-langkah cepat dan demi melindungi kepentingan umum atas nama negara mengambil tindakan atas laporan/pengaduan konsumen tersebut.
92
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Cara Penyelesaian melalui Pengadilan Umum/Hukum Administrasi Negara
Adapun mekanisme penyelesaian sengketa konsumen - pelaku usaha melalui ketentuan hukum acara peradilan tata usaha negara, dapat melalui tahapan sebagai berikut: Konsumen yang menderita kerugian akibat pemakaian produk dan telah menempuh cara-cara sebagaimana diuraikan di atas baik melalui masyarakat, penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dan non litigasi tetap tidak berhasil atau mungkin tidak ada respon untuk itu, maka konsumen dapat mengadukan keluhannya atas pemakaian produk tersebut melalui lembaga negara baik itu pemerintah daerah dan atau instansi/dinas terkait yang mempunyai kewenangan secara administratif terhadap pelaku usaha terutama menyangkut izin usaha dari pelaku usaha tersebut, yakni konsumen memohon kepada instansi/dinas/ pemerintah untuk mencabut izin usaha dari pelaku usaha mengingat bahaya dari produk yang telah dihasilkan oleh pelaku usaha tersebut, semuanya semata-mata mempertimbangkan aspek kepentingan umum/ keselamatan orang banyak. Putusan administrasi hendaknya diambil sebagai langkah yang paling akhir jika upaya-upaya yang lain An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
93
Ka p i t a Se l e k t a
sebagaimana diuraikan di atas tidak tercapai, sementara korban masyarakat semakin banyak dan pelaku usaha tetap bandel. Upaya POLRI dalam Rangka Penegakan Hukum Tindak Pidana Dibidang Perlindungan Konsumen dengan Berkoordinasi dan Kerjasama dengan Disperindag Dalam rangka memberikan perlindungan kepada konsumen dan melakukan pembinaan terhadap pelaku industri, sangatlah diperlukan koordinasi dan kerjasama antara Disperindag dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen atau PPNSPK. Seperti yang pernah dilakukan oleh Disperindag Provinsi Jawa Tengah (Desember 2005) yang telah mengerahkan 41 penyidik yang tergabung dalam PPNSPK untuk melakukan pengawasan terhadap pedagang atau pelaku industri yang menggunakan formalin. Tetapi pihak Disperindag dalam melakukan koordinasi dengan beberapa instansi terkait untuk mengawasi berbagai makanan yang mengandung formalin seperti pada mie basah, tahu, ikan segar dan ikan asin tersebut muncul setelah ada pemberitaan di berbagai media mengenai adanya kasus formalin. Dari pengalaman tersebut meninggalkan kesan bahwa Disperindag belum sepenuhnya aktif dalam upaya perlindungan konsumen dan pembinaan terhadap pelaku usaha. Dari pengalaman tersebut kiranya sangat diperlukan koordinasi yang lebih mantap dari Disperindag dan PPNSPK untuk menciptakan iklim usaha dan menumbuhkan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen. 94
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Disamping itu juga sangat diperlukan kerjasama dengan aparat kepolisian, seperti yang telah diungkapkan oleh Kepala Divisi Humas Mabes POLRI Irjen Pol Paulus Purwoko, dalam menghadapi kasus di atas, sejumlah Polda di seluruh Indonesia bersama instansi terkait mulai mengambil sampel makanan yang diduga kuat mengandung formalin. Pihak kepolisian, dalam hal ini Polda seluruh Indonesia, telah mengadakan rapat koordinasi dengan instansi terkait untuk menyikapinya. Dari pengalaman ini jelas telah memperlihatkan bahwa pihak kepolisian telah berinisiatif dan lebih aktif melakukan koordinasi. Diharapkan Disperindag juga lebih aktif lagi untuk melakukan upaya-upaya perlindungan terhadap konsumen, karena hal tersebut merupakan wewenang Disperindag. Seperti yang ada dalam Kep. Menperindag No. 634/MPP/Kep/9/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan atau jasa Yang Beredar di Pasar yang mengatur bahwa wewenang Disperindag Provinsi terbatas pada pelaksanaan koordinasi pengawasan barang beredar dan jasa, sedangkan pengawasannya dilakukan oleh Disperindag kabupaten/ kota. Dalam konsep penyempurnaan memberikan wewenang kepada Disperindag Provinsi untuk melakukan pengawasan dalam rangka membantu kabupaten/kota di wilayah kerjanya dan mengkoordinasikan pelaksanaannya.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
95
Ka p i t a Se l e k t a
2 KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM KASUS TINDAK PIDANA ANAK Pendahuluan Penahanan seorang anak dibawah umur dan penjatuhan pidana penjara terhadapnya selalu menimbulkan kritik secara tajam dan luas dari berbagai lapisan masyarakat, khususnya komunitas hukum. Komunitas hukum yang mendalami hukum pidana sampai pada dasar hakekat dari pada pidana (penjara) dan juga kondisi serta situasi yang ada pada setiap Lembaga Pemasyarakatan, yang selalu mengkhawatirkan suatu degradasi moral, stigmatisasi dan prisonisasi “sebagai virus”, yang menghancurkan kehidupan seorang anak dimasa yang akan datang, tidak menyejahterakan anak untuk masa depan. Dari berbagai hal yang telah diuraikan diatas, maka kiranya amat perlu untuk menelusuri kembali peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana terhadap seorang anak yang melakukan tindak pidana. Disamping itu perlu pula secara garis besar, dibahas konvensi-konvensi Internasional yang telah dihasilkan Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai ketentuan yang merupakan perlindungan hukum terhadap seorang anak yang melakukan tindak pidana. Hal tersebut perlu, oleh karena Indonesia adalah anggota 96
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Perserikatan Bangsa Bangsa, bagian dari masyarakat Internasional yang harus memperhatikan perkembangan dan kemajuan pemikiran mengenai perlindungan hukum terhadap seorang anak, jika tidak mau terkucil dari pergaulan dunia. Pembatasan Permasalahan Kebijakan hukum pidana (Penal Policy) secara umum dapat diartikan sebagai usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan (Sudarto, 1981:38). Secara rinci kebijakan hukum pidana memiliki tiga arti (Sudarto, 1981:113-114), yaitu : 1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; 2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan Polisi. 3. Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui per undang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.40 Ditinjau dari kerangka kebijakan sosial, sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan kriminal disamping kebijakan non penal. Berdasarkan pada kerangka pemikiran tersebut, maka kebijakan hukum pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana merupakan bagian integral dari kebijakan sosial yaitu mencapai kesejahteraan, dan perlindungan terhadap anak. 40
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 : 1.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
97
Ka p i t a Se l e k t a
Untuk makalah ini, pembatasan permasalahan mendasarkan pada tahapan di atas dianalisa secara kritis, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dengan kata lain apakah upaya mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak telah termuat dalam Undang-Undang tersebut. A. Perkembangan Internasional Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang melakukan Tindak Pidana Berdasarkan pertimbangan dan pemikiran, bahwa masyarakat dunia sekarang ini, perhatian terhadap anak yang memiliki predikat sebagai generasi penerus amat besar, khususnya terhadap anak yang melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai : “Juvenile delinquency”: atau dalam arti sempit, yaitu anak yang melakukan tindak pidana. Perhatian tersebut dimulai pada tahun 1924 dengan ditetapkannya : ”Declaration of the Right of The Child” (Deklarasi Hak-Hak Anak), Genewa, yang diakui dalam : Universal Declaration of Human Right: pada tahun 1948. Kemudian pada tanggal 20 Nopember 1958 Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of the rights of the child (Deklarasi hak-hak anak). Sementara itu masalah anak terus dibicarakan dalam konggres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of offenders. Pada Konggres I di Genewa tahun 1955 dibicarakan topik Prevention of Juvenile Delinquency, pada Konggres II tahun 1960 di London dibicarakan masalah New form of Juvenile Delinquency dan Special Services for the Prevention of
98
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Juvenile Delinquency ini masih juga dibicarakan pada Konggres ke III tahun 1965 di Stockholm.41 Berdasarkan prinsip kedua tersebut, maka pembicaraan dan perhatian terhadap perlindungan anak hampir selalu mendapat tempat dalam setiap konggres PBB mengenai “The prevention of Crime and The Treatment of offenders”. Konggres PBB keenam di Caracas, Venezuela, 1980 dengan topik Juvenile Justice : Before and after the onset of Delinquency menghasilkan resolusi mengenai “Development of Minimum Standard of Juvenile Justice” (Resolusi No. 4). Resolusi ini meletakkan prinsip-prinsip dasar mengenai penyelenggaraan peradilan pidana terhadap anak. Berdasarkan Resolusi No. 4 tersebut PBB kemudian mengembangkan “Standards Minimum Rules For The Administration of Juvenile Justice” (SMR-JJ). Draft SMR-JJ ini kemudian dibicarakan di Beijing, 1984, sebagai bahan untuk Konggres PBB VII dihasilkan United Nation Standards Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (dikenal dengan Beijing Rules) dan dikukuhkan pada tanggal 29 Nopember 1985 oleh Majelis Umum PBB sebagai Resolusi No. 40/33. Resolusi PBB yang tertuang dalam Resolusi 40/33, yaitu tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) menetapkan batas anak, dalam konteks pertanggungjawaban pidana 7 – 18 tahun – Commentary Rule 2-2.42 Di dalam Draft Resolusi No. A/Con./169/L.5 pada Konggres IX di Kairo, 1995 dapat dijumpai tiga instrumen 41
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992 : 108–109. 42
Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency; Pemahaman dan Penanggulangannya, Dibiayai Dana DIP UNDIP TA 1995-1996, Ex Kerjasama Indonesia-Belanda Bidang Hukum, Semarang, 1996 : 8-9.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
99
Ka p i t a Se l e k t a
Internasional yang dipandang penting untuk diperhatikan dalam kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap anak bermasalah, termasuk Juvenile Delinquency. Tiga instrumen internasional tersebut yaitu : 43 1. The United Nation Guidelines for The Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines, Resolusi No. 45/112). 2. The U.N. Standards Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules, Resolusi No. 40/33). 3. The U.N. Rules for Protection of Juvenile Deprived Of Liberty (Resolusi 45/113). Ketiga instrumen internasional tersebut sama-sama mengembangkan prinsip-prinsip dasar yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan dan menetapkan proses peradilan terhadap anak yang terlibat tindak pidana atau terhadap anak yang bermasalah. Pengembangan prinsip-prinsip dasar tersebut diorientasikan pada pengutamaan kesejahteraan anak sebagai bagian upaya integral kesejahteraan sosial. Persamaan kedudukan, ketiga Resolusi tersebut mengutamakan tindakan Preventif, baik dengan mendayagunakan Undang-Undang maupun aktivitasaktivitas sosial. Persamaan ketiga Resolusi-resolusi tersebut menekankan pada minimalisasi penggunaan Institusi peradilan dan pemidanaan. Artinya, pendekatan represif terhadap anak bermasalah atau anak yang terlibat tindak pidana dilakukan sebagai “ultimum remedium”. Dengan demikian apabila anak melakukan atau terlibat tindak pidana, maka penanganannya harus menggunakan upaya-upaya lain yang lebih menjamin keselamatan dan kesejahteraan anak dimasa depan, dari pada menggunakan institusi pidana. Persamaan terhadap Resolusi (No. 45/112 dan No. 40/33) menghendaki 43
Ibid. : 115.
100
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
terlibatnya lembaga independen, baik dengan digunakannya upaya penal maupun non penal dalam menangani anak bermasalah atau yang terlibat tindak pidana. Kewajiban aparat penegak hukum untuk memperhatikan hak-hak anak semakin mendapatkan urgensinya dengan diratifikasinya “Declaration of the Right of the Child” dengan Keppres No. 36/1990. Sehubungan dengan hal tersebut, UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tujuannya dan dasar pemikiran untuk mengutamakan kesejahteraan anak ditegaskan pula dalam SMR-JJ 1985 (Beijing Rules). Dalam Rule 5.1. mengenai “Aims of Justice” ditegaskan44: “The juvenile justice system shall emphasize the well being of the juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both the offender and the offence”. Dari tujuan peradilan pidana tersebut, maka terdapat dua hal yang menjadi sasaran, yaitu :45 1. memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile) dan 2. prinsip proporsionalitas (the principle of proportionality). Kesimpulan, UU No. 3 Tahun 1997 dapat dipahami sebagai upaya perlindungan dan kesejahteraan bagi Anak Nakal meskipun di sana-sini masih ada disamakan penanganannya dengan orang dewasa. Rekomendasi, dituntut semangat dan moral penegak hukum dalam melaksanakan UU ini, agar tujuan besarnya tercapai. Hendaknya diingat, anak merupakan masa depan bangsa. 44
Muladi dan Barda, 1992 : 112.
45
Muladi dan Barda, 1992 : 113.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
101
Ka p i t a Se l e k t a
Perhatian masyarakat internasional atas perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah atau anak yang terlibat tindak pidana amat besar. Ini terbukti, bahwa pada setiap Konggres PBB, khususnya pada komite “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders”, masalah perlindungan anak tersebut hampir selalu diagendakan. Bagaimanakah halnya dengan di Indonesia ? Dari segi kebijakan hukum pidana telah dilakukan upaya-upaya untuk melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan hukum terhadap anak yang terlibat tindak pidana, baik dari aspek akademis, konseptual maupun perumusan undang-undang baik material maupun formal. Pemikiran yang berkembang pada kegiatan-kegiatan ilmiah melengkapi prinsip-prinsip yang menjadi dasar peradilan anak. Berkembangnya pemikiran-pemikiran mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang terlibat tindak pidana tidak terlepas dari pengaruh berbagai resolusi yang dihasilkan PBB. Meskipun demikian, sebetulnya kita juga telah mempunyai beberapa undang-undang yang mengatur tentang anak, Misalnya Undang-Undang No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang, No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668) dan disahkan pada tanggal 3 Januari 1997, undang-undang yang ada ternyata tidak tentu dapat menjamin terwujudnya hak-hak anak yang mendasar yang pada hakikatnya hak tersebut bersifat “inheren”. B. Kebijakan Hukum Pidana dalam Rumusan yang Berkaitan dengan Perlindungan dan Kesejahteraan Anak UU No. 3 Tahun 1997 102
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Berikut ini diuraikan mengenai kebijakan hukum pidana dalam Undang-Undang No. 3/1997 : Kita lihat ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa tanggung jawab kriminal adalah delapan tahun, padahal “United Nation Standard Minimum Rules For The Administration of Juvenile Justice 1985” tidak ada batas minimal yang pasti. Dengan adanya rumusan pasal 67 Undang-Undang No.3/1997 bahwa : dengan berlakunya Undang-Undang ini maka pasal 45, 46, 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku. Upaya menyejahterakan dan perlindungan hukum terhadap anak dalam UU No. 3/1997 dirumuskan dalam pasal 60 sampai dengan pasal 66. Sebenarnya hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat sebagaimana diatur didalam Pasal 14 a KUHP yaitu: apabila pidana penjara yang akan dijatuhkan hakim itu paling lama 1 tahun. Dengan demikian, apabila didalam pikiran hakim itu atas perbuatan terdakwa akan dijatuhkan pidana penjara paling lama 1 tahun, maka hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat. Dengan pidana bersyarat, maka anak akan terhindar dari proses stigmatisasi dan prisonisasi46. Ketentuan-ketentuan Peradilan Anak Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, berdasarkan penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman47 dan Pasal 8 Undang-undang No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pengkhususan Pengadilan Anak berada di lingkungan Peradilan Umum dan dibentuk dengan Undang-Undang.
46
R. Susilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentarkomentarnya, Politea, Bogor, 1996: 39. 47
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
103
Ka p i t a Se l e k t a
“Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan anak, adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”. Pasal 4 : “ayat (1). Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”. “ayat (2). Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan Sidang Pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak”. Pasal 5” “ayat (1). Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik”. “ayat (2). Apabila menurut hasil Pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya”. “ayat (3). Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, 104
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan”. Pasal 8 : “ayat (1). Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup”.
Pasal 23: (1). “Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.” (2). Pidana pokok yang boleh dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a. Pidana penjara. b. Pidana kurungan. c. Pidana denda. d. Pidana pengawasan. Pasal 24: (1). Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a. mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; b. menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; Pasal 31; (1). Anak Nakal yang oleh Hakim diputus untuk diserahkan kepada negara, ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara. (2). Demi kepentingan anak, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat mengajukan ijin kepada Menteri Kehakiman agar Anak Negara sebagaimana An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
105
Ka p i t a Se l e k t a
dimaksud dalam ayat (1) ditempatkan dilembaga pendidikan anak yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau swasta.48 BAB V Acara Pengadilan Anak, Pasal 42: (1). Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan. (2). Dalam melakukan Penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing Kemasyarakatan dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. (3). Proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan. Pasal 9 : Hakim ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi. Pasal 10 : Syarat sebagai hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 adalah : a. Telah berpengalaman sebagai hakim di Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Pasal 11 : “ayat (1). Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal”. 48
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997. 106
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Paragraf 2, Penangkapan dan Penahanan Pasal 43 (1). Penangkapan Anak Nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (2). Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari. Pasal 44 (1). Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. (2). Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari. (3). Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang, untuk paling lama 10 (sepuluh) hari. (4). Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan Kepada Penuntut Umum. (5). Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. (6). Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
107
Ka p i t a Se l e k t a
Pasal 45 (1).Penahanan dilakukan setelah dengan sungguhsungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. (2).Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. (3).Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa. (4).Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.
108
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Pasal 46 (1).Untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. (2).Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 10 (sepuluh) hari. (3).Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan yang belum selesai, atas permintaan Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk paling lama 15 (lima belas) hari. (4).Dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) hari, Penuntut Umum harus melimpahkan berkas perkara anak kepada Pengadilan Negeri. (5).Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 47 (1).Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa. (2).Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima belas) hari. (3).Jangka waktu sebagaimana di maksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari. (4).Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
109
Ka p i t a Se l e k t a
Pasal 48 (1).Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Banding di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa. (2).Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima belas) hari. (3).Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari. (4).Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim Banding belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 49 (1).Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa. (2).Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 25 (dua puluh lima) hari. (3).Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari. (4).Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim Kasasi belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 50 110
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
(1).Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 dan Pasal 49, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. (2).Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 15 (lima belas) hari, dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 15 (lima belas) hari. (3).Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan oleh : a. Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat penyidikan dan penuntutan; b. Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri; c. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan banding dan kasasi. (4).Penggunaan kewenangan perpanjangan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab (5).Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. (6).Terhadap perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan kepada: a. Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat penyidikan dan penuntutan; An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
111
Ka p i t a Se l e k t a
b. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding. Pasal 51 (1).Setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasehat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. (2).Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali atau orang tua asuh, mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3).Setiap Anak Nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan Penasehat Hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang. Pasal 52 Dalam memberikan bantuan hukum kepada anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 ayat (1), Penasihat Hukum berkewajiban memperhatikan kepentingan anak dan kepentingan umum serta berusaha agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan berjalan lancar. 49) Kesimpulan 1. Apabila hukum dipahami sebagai suatu totalitas dan bagian integral dari kebijakan sosial, maka akan tampak garis kebijakan hukum pidana dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang 49
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, tentang Pengadilan Anak.
112
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
mengutamakan kesejahteraan anak dengan menempatkan anak sebagai Sumber Daya Manusia yang pertumbuhan dan perkembangannya dilindungi dari kondisi-kondisi yang merugikannya, termasuk proses stigmatisasi dan prisonisasi sebagai akibat pemidanaan yang tidak bijaksana. 2. Falsafah, asas atau prinsip yang mengutamakan perlindungan hukum terhadap kesejahteraan anak, baik terhadap anak yang bermasalah maupun terhadap anak yang terlibat perkara pidana telah mendapatkan dasar legalitimasinya di dalam UndangUndang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, Kepres Nomor 36/1990 yang meratifikasi “Declaration of the Right of the Child”. 3. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan diratifikasinya “Declaration of the right of the Child” dengan Kepres No. 36/1990, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk menyamakan persepsi diantara para penegak hukum yang terkait langsung dengan sistem peradilan pidana (Criminal Justice System). 4. Berdasarkan keseluruhan uraian di atas dengan melihat kenyataan yang ada di lapangan, kemudian melihat berbagai instrumen yang tersedia di Indonesia khususnya yang mengenai anak bermasalah “juvenile delinquency”. Selain itu juga melihat kembali apa yang menjadi kesimpulan Komite Hak Anak atas tanggapan dan laporan yang dikemukakan oleh Pemerintah Indonesia tentang Pelaksanaan dari Konvensi Hak Anak, dapat disimpulkan bahwa dalam kebijakan hukum pidana terhadap anak belum ada political will yang baik dari Pemerintah untuk melindungi warga negaranya terutama anak-anak. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
113
Ka p i t a Se l e k t a
_br_
114
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
DAFTAR PUSTAKA Arief Barda Nawawi dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992. Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Arief
Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
Center
for Human Right, UN, A Compilation of International Instruments, Volume I (First Part) Universal Instruments, United Nation, New York, 1993.
Hadisuprapto, Paulus, Juvenile Delinquency; Pemahaman dan Penanggulangannya, Dibiayai Dana DIP UNDIP TA 1995-1996, Ex Kerjasama Indonesia-Belanda Bidang Hukum, Semarang, 1996. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, CV Eko Jaya, Jakarta, 1997. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Disusun Menurut Engelbrecht, PT. Intermasa, Jakarta, 1989. Joni Muhammad dan Tanamas Z. Zulchaina, Aspek Hukum Perlindungan Anak – Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
115
Ka p i t a Se l e k t a
KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Hak-Hak Anak (Declaration of the Right of The Child). Nusantara G. Abdul Hakim, Pangaribuan MP. Luhut, Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Djambatan, Jakarta, 1986. Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1983, tentang Peraturan Pelaksanaan KUHAP. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Tahun, Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1999/2000. Sudarto, Kapita Selekta Bandung, 1986.
Hukum
Pidana,
Alumni,
Susilo.R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1996. Shanty Delyana, Wanita dan Anak dimata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 4 Kesejahteraan Anak.
116
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Tahun
1979
tentang
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
3 STRATEGI POLRI DALAM PENEGAKAN HUKUM SECARA PROFESIONAL, TRANSPARAN DAN AKUNTABEL Latar Belakang Masalah Korps kepolisian hingga saat ini tidak pernah lepas dari kritikan-kritikan dari berbagai kalangan, karena pencitraan positif yang dibangun sebagai komitmen menuju profesionalisme polisi ternyata sering 'dikotori' oleh ulah oknum-oknum polisi yang tidak bertanggung jawab. Fenomena ini tampaknya tetap akan menjadi siklus yang abadi dalam tubuh POLRI (Kepolisian Negara Republik Indonesia), andaikata komitmen profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas tidak diwujudnyatakan dalam sikap dan tindakan aparat kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sehari-hari.50
50
Fenomena yang demikian itu sebagaimana pernah diungkapkan oleh Budayawan Jaya Suprana dalam sebuah Seminar Nasional Polisi di Semarang, bahwa “Nyaris tidak ada Surat Kabar yang tidak memuat artikel mengkritik polisi, mulai dari yang beralasan ilmiah sampai emosional pribadi. Tidak ada mulut yang tidak mengomeli polisi” (Jaya Suprana, “Polisi dan Pelayanan Masyarakat”, Makalah Seminar Nasional Polisi I, diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian UNDIP, 1995, halaman 1).
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
117
Ka p i t a Se l e k t a
Pencitraan polisi yang bersifat negatif itu bukan hanya dilontarkan oleh orang luar, melainkan juga oleh para pejabat teras di tubuh POLRI sendiri. Ketika POLRI masih berada di dalam tubuh ABRI, mantan Pangab Jenderal TNI Feisal Tanjung juga sudah pernah mengingatkan, bahwa profesionalisme polisi – baik dalam pembinaan sumber daya manusia (personil) maupun sumber data - masih perlu ditingkatkan.51 Demikian pula mantan KAPOLRI Jenderal (Pol) Banurusman juga secara jujur mengakui, bahwa profesionalisme polisi memang belum optimal. Namun, bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya maka secara kualitas sudah semakin meningkat.52 Bahkan, secara agak transparan Jenderal (Pol) Drs. Hugeng Imam Santoso – yang juga adalah mantan KAPOLRI – mengatakan bahwa polisi sekarang payah, gampang disogok, banyak terlibat dengan cukong-cukong dan kurang membantu masyarakat yang membutuhkan perlindungan dan bantuan keamanan.53 Kritikan yang dilontarkan tersebut bukan sekedar ilusi semata, tetapi didasarkan pada fakta lapangan yang memang membuktikan bahwa citra polisi belum optimal dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Harus diakui bahwa ada sejumlah kasus yang berindikasi penyalahgunaan wewenang, penganiayaan, pelecehan seksual, perbuatan tidak menyenangkan, persekongkolan jahat, penyalahgunaan senjata api, dan lain sebagainya yang melibatkan oknum kepolisian.54 Kasus Polisi salah 51
Baca misalnya dalam Sarlito Wirawan Sarwono, “Citra Polisi dalam Teori Psikologi Sosial”, Artikel Harian KOMPAS, 1 Juli 1995, halaman IV). 52
N.N., “KaPOLRI: Profesionalisme Polisi Belum Optimal”, Berita Harian KOMPAS, 1 Juli 1995. 53
Kf. Tabloid Mingguan Detik, 21 Agustus s/d 14 September 1993.
54
Bambang Pujiyono, “Strategi Mengangkat Kembali Citra POLRI”, Artikel Harian Suara Karya, 1 Juli 2005 (Kf. Suara Karya Online, 23 Januari 2007, http://www.suarakarya-online.com/news.html? id=113664). 118
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
tembak di Malang yang menewaskan dua warga sipil,55 kekerasan polisi terhadap warga Bojong yang melakukan penolakan atas rencana peresmian TPST Bojong,56 penyiksaan terhadap warga desa di Sumatera Selatan yang terlibat dalam transaksi jual beli sapi,57 penembakan dan penyiksaan terhadap masyarakat petani kopi di Manggarai – Flores58 adalah beberapa dari deretan kasus brutalitas yang dilakukan oleh oknum kepolisian di seluruh Indonesia yang tidak diungkapkan secara detail dalam tulisan ini. Deretan kasus yang demikian itu telah mengakibatkan masyarakat sudah mulai meragukan peran yang dimainkan oleh POLRI selama ini. Memang tidak dapat dipungkiri pula, bahwa selain kasus-kasus tersebut terdapat pula banyak hal positif dari yang dihasilkan dan diperjuangkan oleh korps kepolisian, dan itu berarti masih banyak aparat kepolisian yang berpredikat baik dan berkualitas. Namun, semua yang baik dan positif itu seolah tenggelam berseiringan dengan munculnya kasus-kasus brutalitas yang mencoreng wajah POLRI, dan sekaligus menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap cara-cara kerja yang dimainkan oleh POLRI. Persoalan dasar yang menjadi penyebab munculnya keraguan masyarakat itu adalah terletak pada masalah 55
Kf. N.N., “Polisi Salah Tembak”, Berita Harian Radar Malang, 10 Januari 10 Januari 2007. 56
Dikutip dari Surat Pernyataan Bersama WALHI, KONTRAS, YLBHI, PBHI, IMPARSIAL, AGRA, LS ADI, KAU tentang Kekerasan Polisi terhadap Warga Bojong (Sumber: WALHI, http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/sampah/ 041123_kekeraspol_bojong_ps). 57
Asian Human Rights Comussion-Indonesia, “Penyiksaan terhadap 2 penduduk desa oleh polisi di Sumatera Selatan berkaitan dengan surat jual beli pembelian sapi, 12 Januari 2006 (Sumber: http://indonesia.ahrchk.net/news/ mainfile.php/ua2006/43). 58
Kf. Laporan WALHI, 2003, dan pemberitaan dalam TempoInteraktif, 03 Desember 2003.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
119
Ka p i t a Se l e k t a
profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas POLRI dalam menjalankan tugasnya, termasuk dalam bidang penegakan hukum. Oleh karena itu, diperlukan pemikiran yang jernih dan konstruktif untuk mencarikan jalan keluar dalam mengatasi masalah profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas POLRI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Mengingat luasnya cakupan bidang tugas dan wewenang POLRI, maka dalam makalah singkat ini akan difokuskan kajian pada masalah peran POLRI dalam bidang yudisial atau penegakan hukum yang dipercaya masyarakat. Permasalahan Pokok Bertolak dari uraian terdahulu, maka permasalahan pokok yang menjadi fokus dari kajian ini adalah “Bagaimana strategi POLRI dalam melakukan penegakan hukum secara profesional, transparan, dan akuntabel agar semakin dipercayai oleh masyarakat?”. Permasalahan pokok ini tampaknya sangat urgen untuk dipecahkan atau dicarikan jalan keluarnya agar citra POLRI semakin baik dan ditingkatkan. Fokus kajian yang demikian itu tidak mengandaikan, bahwa cara kerja POLRI selama ini buruk, melainkan selalu dalam penglihatan yang seimbang, dan tidak dilakukan secara sepihak. Fokus Pembahasan Sebelum mengkaji lebih jauh tentang strategi POLRI dalam melakukan penegakan hukum secara profesional, transparan dan akuntabilitas, alangkah baiknya diuraikan terlebih dahulu masalah tugas dan wewenang POLRI secara umum, dan masalah keterpurukan citra POLRI 120
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Setelah itu, barulah dibuatkan analisis untuk menemukan strategi yang paling prospektif untuk membangun citra POLRI ke arah yang lebih baik dalam peran penegakan hukum secara profesional, transparan dan akuntabel. 1. Sepintas tentang Tugas dan Wewenang POLRI Mengenai tugas dan wewenang POLRI, secara yuridis telah diatur dalam konstitusi dan berbagai produk peraturan perundang-undangan. Arahan yuridis sebagaimana termuat dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945, misalnya, secara tegas mengatur, bahwa “POLRI sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum”. Hal senada diatur pula dalam Pasal 6 Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI, “POLRI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Arahan yuridis tentang peran POLRI yang demikian itu, kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI, terutama dalam Pasal 5 dan Pasal 13. Dari arahan yuridis tersebut tampak, bahwa lembaga kepolisian di Indonesia tidak hanya berperan sebagai bagian dari penegakan hukum yang terpola dalam sistem peradilan pidana (SPP), melainkan lebih jauh dari itu berperan juga sebagai lembaga penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.59 Karakteristik peran yang 59
Menurut Paul M. Whisenand & James L. Cline sebagaimana dikutip oleh Erlyn Indarti, polisi bekerja dalam tiga kategori fungsional peran, yakni: (1) penegakkan hukum (pemberantasan kejahatan); (2) pemeliharaan ketertiban (penjaga ketenangan); dan (3) pelayanan masyarakat (bantuan masyarakat) 121 An e k a Pe r s o a l a n d i Bi d a n g Hu k u m
E k o n o mi
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
dimainkan oleh lembaga kepolisian itu ternyata jauh lebih luas dalam melakukan kontrol sosial bagi masyarakat, baik yang bersifat pre-emptif, preventif maupun represif.60 Ketika lembaga kepolisian menjadi bagian dari sistem peradilan pidana, maka tindakannya pun harus dapat dikembalikan ke dalam konteks sistem besar tersebut. Apa yang dapat dilakukan dan seberapa jauh aparat kepolisian dapat bertindak selalu ditentukan oleh tempatnya di dalam sistem tersebut. Singkat kata, aparat kepolisian harus bertanggung jawab terhadap proses bekerjanya hukum melalui sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). Pada dasarnya tugas dan wewenang POLRI sebagaimana ditetapkan secara yuridis dalam UndangUndang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002 itu bukan sesuatu yang baru, melainkan sudah pernah diatur dalam produk hukum sebelumnya yang sudah tidak berlaku lagi, terutama Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997.61 Tugas POLRI yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebagai berikut: 2. Tugas POLRI sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat antara lain: Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; membina masyarakat untuk [Erlyn Indarti, Diskresi Polisi. Semarang: Lembaga Penerbit Universitas Diponegoro, 2000, halaman 46]. 60
Dalam tradisi Perancis, peran lembaga kepolisian yang demikian itu kurang lebih sama dengan “la police administration” (Satjipto Rahardjo, Op Cit; 2002, halaman 26). 61
Kf. Pasal 13, 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997.
122
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.62 3. Tugas POLRI sebagai penegak hukum antara lain: Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk keamanan swakarsa; melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian.63 4. Tugas POLRI sebagai pengayom dan pelayan masyarakat antara lain: Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang; memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian.64
62
Kf. Pasal 14 ayat 1 huruf a, b dan c Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002. 63
Kf. Pasal 14 ayat 1 huruf d, e, f, g, dan h Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 64
Kf. Pasal 14 ayat 1 huruf I, j dan k Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
123
Ka p i t a Se l e k t a
Untuk dapat melaksanakan tugas sebagaimana diuraikan di atas (baik sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, maupun perlindungan, pengayom dan pelayan masyarakat), POLRI diberi wewenang sebagai berikut: (a) menerima laporan dan atau pengaduan; (b) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; (c) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakitpenyakit masyarakat; (d) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; (e) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; (f) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; (g) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; (h) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; (i) mencari keterangan dan barang bukti; (j) menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional; (k) mengeluarkan surat izin dan atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; (l) memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; dan (m) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.65 Secara khusus untuk menjalankan tugas dalam bidang proses pidana atau proses penegakan hukum, POLRI diberi wewenang sebagai berikut: (1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; (2) membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka 65
Kf. Pasal 15 Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002.
124
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
penyidikan; (3) menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (4) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (5) mengadakan penghentian penyidikan; (6) menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; (7) memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pengawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan (8) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 66 Sedangkan untuk dapat melaksanakan tugastugas lain menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, POLRI diberi wewenang sebagai berikut: (1) Memberi izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; (2) menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; (3) memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; (4) menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; (5) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; (6) memberikan izin operasional dan 66
Kewenangan POLRI dalam proses hukum atau proses penegakan hukum tersebut diatur dan dijabarkan secara lebih komprehensif dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terutama dalam Pasal 5 Ayat (1). Yang dimaksud dengan “penyakit masyarakat” antara lain pengemisan, pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pe-mabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar (kf. Lihat penjelasan Pasal 15 Ayat 1 huruf c Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002).
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
125
Ka p i t a Se l e k t a
melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; (7) memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; (8) melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; (9) melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; (10) mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; (11) melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.67 Sekalipun sudah ada arahan yuridis yang mengatur secara tegas tentang peran-peran yang harus dimainkan oleh kepolisian, namun tidak tertutup kemungkinan bagi mereka untuk bertindak di luar arahan yuridis tersebut. Bahkan, Pasal 18 Ayat (1) Undang-undang Kepolisian justeru memberikan peluang bagi aparat kepolisian untuk bertindak seperti itu. Penegasan Pasal 18 Ayat (1) undang-undang Kepolisian sebagai berikut: “Untuk kepentingan umum pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.68 Namun, 67
Kf. Pasal 14 ayat 1 huruf l yo Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002. Kegiatan politik yang memerlukan pemberitahuan kepada POLRI adalah kegiatan politik sebagaimana diatur dalam perundang-undangan di bidang politik, antara lain kegiatan kampanye pemilihan umum (Pemilu), pawai politik, penyebaran pamflet, dan penampilan gambar/lukisan bermuatan politik yang disebarkan kepada umum [kf. Penjelasan Pasal 15 Ayat 2 huruf d Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002]. 68
Yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian dengan memper-timbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepen-tingan umum [kf. Penjelasan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Kepolisian]. 126
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
peluang seperti itu “hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia” (kf. Pasal 18 Ayat 2 Undang-Undang Kepolisian). Penegasan yang demikian itu hendak mengisyaratkan bahwa secara yuridis polisi diperbolehkan untuk melakukan diskresi. Diskresi di sini dimaknakan sebagai “kemerdekaan dan atau kewenangan dalam membuat keputusan untuk mengambil tindakan yang dianggap tepat atau sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang 69 memungkinkan”. Secara lebih spesifik, Thomas J. Aaron mendefinisikan “diskresi kepolisian” sebagai “suatu wewenang bertindak yang diberikan kepada polisi untuk mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan sendiri dan dalam situasi tertentu mengenai masalah moral, serta terletak dalam garis batas antara hukum dan moral”.70 Harus diakui bahwa sebenarnya diskresi terjadi pada ketiga peran yang dimainkan oleh kepolisian, baik dalam pemeliharaan ketertiban dan keamanan, penegakan hukum maupun dalam tugas pengayoman, perlindungan dan pelayanan masyarakat. Keterpurukan Citra POLRI dalam Menjalankan Tugas dan Kewenangannya Gambaran tentang keterpurukan citra Polisi sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, seakan 69
Untuk memahami lebih jauh pengertian diskresi, baca misalnya ulasan Erlyn Indarti, Op Cit., 2000, halaman 11-17. 70
Pendapat Thomas J. Aaron tersebut sebagaimana dielaborasi oleh Erlyn Indarti, Diskresi Polisi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000, halaman 15.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
127
Ka p i t a Se l e k t a
membuka peluang terjadinya penyimpanganpenyimpangan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sehari-hari. Sebuah analisis dari seorang pakar kriminologi Amerika Serikat, Suttherland, dalam bukunya berjudul “Criminal Homicide, A Study of Culture and Conflict” yang diterbitkan tahun 1960 di California, membahas berbagai kasus perilaku menyimpang yang dilakukan oleh penegak hukum, terutama polisi. Munurut Suttherland, tugas dan pekerjaan polisi sehari-hari terlampau sering bergaul dengan dunia kejahatan dan penjahat, sehingga secara tidak disadari polisi menjadi sangat akrab dan tak asing lagi dengan kejahatan. Dampak negatif yang sering tak dimengerti adalah polisi telah berada dalam lintasan kritis, seakan-akan ia tengah berdiri pada sebuah perbatasan yang sangat rawan antara tugasnya sebagai penegak hukum dan terhadap kejahatan yang tengah ditanganinya.71 Perilaku menyimpang yang demikian itu secara tidak langsung menggambarkan bahwa administrasi peradilan pidana serta perilaku para penyelenggaranya belum menunjukkan hasil yang maksimal yang diharapakan. Bahkan, sebaliknya penyelenggaraan peradilan pidana secara potensial menampakkan aspek-aspek yang bersifat kriminogen. Steven Box dalam tulisannya berjudul Power, Crime and Mystication mengidentifikasi bermacam-macam bentuk kebrutalan (kejahatan) polisi dalam proses penyelesaian perkara pidana antara lain: (1) membunuh atau menyiksa tersangka, (2) mengancam, menahan, mengintimidasi dan membuat “catatan hitam” 71
Sekurang-kurangnya ada empat hal menurut Suttherland yang mempengaruhi mengapa oknum penegak hukum seperti polisi berperilaku menyimpang, yakni: (1) adanya tekanan mental yang tidak seimbang pada dirinya; (2) kurangnya perasaan bersalah; (3) keberanian mengambil resiko; dan (4) sulitnya untuk mendapatkan keteladanan dari lingkungannya (kf. Anton Tabah, Menatap dengan Mata Hati Polisi Indonesia; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991, halaman 151-153. 128
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
bagi orang-orang yang tidak bersalah, dan (3) melakukan korupsi, antara lain dengan cara menerima suap supaya tidak melakukan atau menjalankan hukum, dan memalsukan data atau fakta atau keterangan dan menghentikan pengusutan perkara pidana baik secara langsung atau tidak langsung guna mendapatkan sesuatu keuntungan.72 Senada dengan Steven Box, dalam buku pedoman pelatihan untuk anggota POLRI disebutkan pula, bahwa tindakan menutup-nutupi kejahatan dan melakukan korupsi dan menerima suap, tidak saja merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius, tetapi juga berarti melakukan tindakan melanggar hukum. Dengan demikian, ketika warga masyarakat mengetahui tindakan polisi yang melanggar hukum tersebut akan melihat polisi sebagai pelanggar hukum dan bukan sebagai penegak hukum.73 Perilaku polisi yang mengarah kepada perbuatan jahat dalam menjalankan tugasnya itu setidak-tidaknya merupakan tindakan pengebirian etika jabatan. Menurut Abdul Wahid, tindakan yang demikian itu sebagai akibat dari kondisi psikologis atau kepribadian yang sedang dikolonisasi oleh ideologi Machiavelis yang dipopulerkan melalui prinsip “serba menghalalkan segala cara”. Prinsip ini mengandung pengertian bahwa kebenaran yang berada di depan mata dan sebagai manifestasi kewajiban untuk ditegakkan, direkayasa dan dianggap sebagai penghalang cita-cita. Sementara itu, kenaifan, kebejatan dan kejahatan dianggap sebagai terobosan logis untuk
72
Stevan Box., “Police Crime” dalam Power, Crime and Mystification. London & New York: Tavistok Publications, 1983, halaman 81-82. 73
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perpolisian Masyarakat, Buku Pedoman Pelatihan untuk Anggota POLRI. Jakarta: 2006, halaman 71.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
129
Ka p i t a Se l e k t a
memperkaya diri, membangun kejayaan atau menarik kedudukan yang terhormat di mata publik.74 Orientasi penegakan hukum yang demikian itu, menurut Satjipto Rahardjo, dapat saja didorong masuk ke jalur lambat, dan dalam keadaan yang serba lambat seperti itu memberikan ruang yang luas untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelompok dan sekaligus menjadi lahan bisnis yang subur bagi kalangan tertentu. Keadaan seperti itu tak mustahil memunculkan pertanyaan dari masyarakat, bahwa apakah hukum kita ini memang diarahkan untuk menghasilkan keadilan ataukah sedang bekerja untuk menutup-nutupi sesuatu (cover-up)?.75 Gambaran yang dikemukakan di atas bukan mau menunjukkan bahwa seluruh pekerjaan yang dijalankan oleh polisi adalah buruk, melainkan hanyalah sekedar mengingatkan bahwa praktik-praktik “kotor” seperti itu selalu saja ada dalam lingkaran pekerjaan polisi. Oleh sebab itu, adalah suatu kebohongan belaka bila POLRI kemudian menilai dirinya sebagai institusi yang tak bercacat dan selalu berhasil dalam segala gerak langkahnya. Begitu pula adalah tidak terlalu benar apabila kita menilai bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dan diandalkan oleh POLRI, karena seakan-akan POLRI selama ini hanya berdiam diri saja.76 Jend. Pol. (Purn) Drs. Kunarto mengingatkan pula, bahwa tindakan, perbuatan, karya, hasil kerja polisi yang baik itu masih sangat besar ketimbang yang bernilai negatif. Bukti dari 74
Abdul Wahid. Modus-Modus kejahatan Modern. Bandung: PT. Tarsito, 1993, halaman 34. 75
Satjipto Rahardjo dalam Karolus Kopong Medan dan Frans J. Rengka (Ed), Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003, halaman 173-177 & 168-172. 76
Pandangan yang demikian sebagaimana diungkapkan pula oleh A. Kamil Razak, dalam artikelnya berjudul “Profesionalisme, Perwujudan Paradigma Baru POLRI”, Harian Pikiran Rakyat, 3 Juli 2006. 130
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
pernyataan itu adalah bahwa pembangunan yang berhasil dijalankan dewasa ini mustahil dapat dicapai tanpa kondisi aman, dan yang menjadi pilar utama dari kondisi aman tersebut adalah POLRI.77 Profesionalisasi POLRI dalam Penegakan hukum Profesionalisme Polisi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya merupakan dambaan semua bangsa di dunia, termasuk Indonesia, karena peran yang dimainkannya sangat komprehensif mencakup perannya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, pengayom dan pelayan masyarakat, dan sebagai penegak hukum.78 Sebagai seorang profesional, POLRI dipersyaratkan harus mempunyai keahlian khusus yang diperoleh melalui “pengalaman latihan” untuk berpraktik sebagai seorang polisi profesional, dan latihan tersebut harus sejalan dengan kompetensi intelektualnya. Persyaratan lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa seorang polisi profesional harus memiliki kesadaran untuk mengabdikan segala kemampuan tersebut untuk pelayanan masyarakat. Karakteristik yang menjadi ukuran profesionalisme sesungguhnya sangat banyak (puluhan), namun menurut Charles H. Lavine (1977:33 dst.) sebagaimana dikutip oleh Muladi, terdapat beberapa karakteristik dasar seperti: (1) skill based on theoretical knowledge; (2) 77
Kunarto, “Peran Serta Masyarakat dalam Menjaga Agar Tugas dan Tanggung Jawa Polisi Tidak Menjurus Kepada Tindakan Negatip”, Makalah Seminar Nasional Polisi II tentang Pertanggungjawaban Polisi, Diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum Undip di Semarang pada 15 Juli 1996, halaman 7. 78
Selain polisi, yang tercakup pula sebagai seorang profesional adalah dokter, notaris, wartawan, dosen, insinyiur, pengacara, psikolog, dan lain sebagainya. Dari sekian profesi tersebut, ada yang memiliki klien secara personal, tetapi ada pula yang tidak memiliki klien secara pribadi dan ditugasi di suatu korporasi.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
131
Ka p i t a Se l e k t a
required educational and training; (3) testing of competence (via exam, etc); (4) organization (into a professional association); (5) adherence to a code of conduct; and (6) altruistic service.79 Secara lebih spesifik menurut M. Karyadi (Komisaris Besar Polisi Purnawirawan), bahwa dalam pengabdiannya kepada masyarakat yang bercita-citakan kehidupan yang tertib, aman sentosa dan sejahtera sesuai dengan amanat para leluhur untuk menciptakan masyarakat yang “tata-tentrem-kertaraharja”, maka lahirlah dalam jiwa POLRI keinsyafan akan pedoman hidup yang tertuang dalam “TRIBRATA”, yaitu asas-asas yang menyatakan: (1) Polisi itu: Abdi utama dari Nusa dan bangsa (“Rastrasewakotama”); (2) Polisi itu: warga negara utama dari negara (“Nagarayanotama”); dan (3) Polisi itu: wajib menjaga ketertiban pribadi pada rakyat (“Yanaanusasanadharma”). Ketiga asas tersebut dapat disimpulkan sebagai “bhakti – dharma – waspada” diharapkan dapat diterapkan di dalam tugas profesional seorang anggota polisi.80 Menyadari akan prinsip-prinsip dasar profesionalisme polisi tersebut, maka Muladi berpendapat bahwa kredo yang sebaiknya dikembangkan adalah “menjadikan polisi bukan sebagai pelanggar HAM, tetapi berada di garis terdepan dalam memperjuangkan HAM”. Kredo ini merupakan kunci yang sangat menentukan efektivitas lembaga kepolisian, yang dampak positifnya akan segera dapat diukur dan dirasakan, seperti meningkatnya kepercayaan dan sikap kooperatif 79
Menurut Charles H. Lavine (1977:33 dst.) sebagaimana dikutip oleh Muladi, bahwa yang menjadi karakteristik professional antara lain: (1) skill based on theoretical knowledge; (2) required educational and training; (3) testing of competence (via exam, etc); (4) organization (into a professional association); (5) adherence to a code of conduct; and (6) altruistic service (kf. Muladi, “Kejahatan Lingkungan Profesional” dalam Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan penerbit Undip, 1995. 80
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum: Norma-norma Bagi Penegak Hukum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995, halaman 160-164. 132
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
masyarakat, penyelesaian konflik secara damai, dan proses yuridis ke pengadilan dapat berhasil dengan baik. Dengan demikian, citra positif dari polisi pun akan melekat di benak masyarakat, seperti polisi sebagai pengaman dan penertib yang bijaksana, sebagai penegak hukum yang jujur dan adil, sebagai tokoh panutan dalam menghargai hukum, dan sebagai aparat yang proaktif dalam menghadapi persoalan di masyarakat.81 Menyadari akan prinsip-prinsip profesionalisme polisi sebagaimana diuraikan di atas, maka POLRI dalam menjalankan profesinya mau tidak mau harus mampu memadukan secara seimbang dua doktrin polisi yang memiliki tekanan berbeda, yakni doktrin the strong hand of society (tangan yang keras/kuat bagi masyarakat = pelayan yang keras bagi masyarakat) dan the soft hand of society (tangan yang lembek/lembut = pelayan yang lembut bagi masyarakat). Doktrin the strong hand of society adalah doktrin kekuasaan, yang menunjukkan posisi polisi dalam jenjang vertikal ketika berhadapan dengan rakyat, karena ia diberi sejumlah kewenangan yang tidak diberikan kepada lembaga lain dalam masyarakat, seperti: menangkap, menggeledah, menahan, menyuruh berhenti, melarang meninggalkan tempat, dan sebagainya. Dalam konteks yang demikian itu, hubungan antara polisi dan rakyat bersifat “atasbawah” atau “hirarkhis, di mana polisi ada pada
81
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002, halaman 276. Menurut Achmad Ali, citra polisi di mata masyarakat, sebenarnya juga tidak terlepas dari persepsi keliru warga masyarakat terhadap karakteristik pekerjaan polisi. Ketika polisi melakukan kekerasan dalam melaksanakan tugasnya menghadapi penjahat misalnya, masyarakat dan pers terlalu cepat mempersalahkan mereka, tanpa memahami bagaimana karakteristik pekerjaan polisi yang sebenarnya (Achmad Ali, “Polisi dan Efektivitas Hukum dalam Penanggulangan Kriminalitas” dalam Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. Jakarta: PT.Yasrif Watampone, 1998, halaman 221).
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
133
Ka p i t a Se l e k t a
kedudukan memaksa sedangkan rakyat wajib 82 mematuhi. Sementara doktrin the soft hand of society adalah “kemitraan” dan “kesejajaran”, di mana polisi dan rakyat berada pada posisi yang sama dengan hubungan yang bersifat “horisontal”. Tugas yang diberikan kepada polisi di sini adalah untuk mengayomi, melindungi, membimbing dan melayani rakyat. Contoh dari tugas yang demikian itu antara lain: membantu menyelesaikan perselisihan antara warga masyarakat, membina ketertiban, mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat, memelihara keselamatan jiwa raga, harta benda, dan sebagainya. Dengan demikian, sesungguhnya peran yang dimainkan oleh kepolisian itu tidak hanya bersifat represif. Dalam kenyataannya, secara prosentase pekerjaan polisi yang bersifat represif itu lebih kecil jika dibandingkan dengan yang bersifat preventif, dan bahkan jauh lebih kecil lagi bila dibandingkan dengan pekerjaan yang bersifat pre-emtif.83 Perpaduan peran POLRI yang demikian itu mengisyaratkan bahwa cara kerja POLRI bukan seperti “pemadam kebakaran” yang bekerja setelah kejadian, melainkan harus selalu mendahului munculnya kejadian dengan mengedepankan tindakan prefentif dan pre-emtif ketimbang represif. Mengingat peran yang dimainkan oleh POLRI secara komprehensif seperti itu (represif-preventif-preemtif), maka model peradilan yang cocok dikembangkan 82
Satjipto Rahardjo, “Membangun Polisi Indonesia Baru: POLRI dalam Era Pasca-ABRI”, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum UNDIP Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998, halaman 5. 83
Satjipto Rahardjo, Ibid, 1998, halaman 5-6. Awaloedin Djamin dalam makalahnya berjudul “Beberapa Masalah dalam Kepolisian Negara republik Indonesia” (1986) menggunakan istilah “pembinaan masyarakat” (Bimmas) untuk menunjuk tugas-tugas kepolisian yang bersifat pre-emptif). 134
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
oleh POLRI (dan tentunya juga oleh perangkat penegakan hukum yang lain) dalam menangani berbagai kasus kriminal adalah Restorative Justice (peradilan restoratif). Model peradilan yang demikian itu lebih mengutamakan upaya “pemulihan keadaan” sehingga dapat meningkatkan trust dari masyarakat pencari keadilan. Peran POLRI dalam model peradilan restoratif adalah sebagai “fasilitator” dan bukan semata sebagai “penghukum” (penegak hukum) yang menjurus ke tindakan represif. Dengan demikian, hasil yang diharapkan dari proses peradilan restoratif adalah menggalang terwujudnya “perdamaian” antara para pihak melalui upaya win-win solution.84 Model peradilan restoratif yang semula dikembangkan pada masyarakat Jepang ini tampaknya cocok untuk dikembangkan di Indonesia, karena dari kultur masyarakat Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi oleh “budaya harmonisasi”. Budaya harmonisasi ini pulalah yang memiliki andil yang sangat besar dalam penataan pola-pola penyelesaian kasus-kasus kriminal (juga kasus-kasus sengketa yang lain) pada masyarakat lokal di Indonesia. Masyarakat Lamaholot di Flores-Nusa Tenggara Timur, misalnya, berkembang sebuah tradisi peradilan yang lebih populer disebut dengan “peradilan mela sareka” atau “peradilan tapan holo” (peradilan rekonsiliatif), yakni peradilan yang lebih berupaya untuk membangun kembali relasi sosial para pihak yang bertikai.85 Tradisi peradilan yang demikian itu pun identik 84
Kf. Naskah Akademik Grand Strategi POLRI 2005-2025 point 1.2.2 tentang “Restorasi Sistem Keadilan: Restorative Justice”. Uraian lebih lanjut mengenai Restorative Justice yang semula digagas oleh John Braitwite ini dapat dibaca dalam Paulus Hadisaputro, “Pemberian Malu Reintegratif sebagai Sarana Nonpenal Pananggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan Surakarta). Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum. Semarang: PDIH Undip, 2003, halaman 36-37 & 143-155. 85
Karolus Kopong Medan, “Peradilan Rekonsiliatif: Konstruksi Penyelesaian Kasus Kriminal Menurut Tradisi Masyarakat Lamaholot di Flores, A n e k a P e r s o a l a n d i B i d a n g H u k u m 135
E k o n o mi
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
dengan “peradilan padu” atau “peradilan pepadun” yang berkembang cukup efektif pada jaman kerajaan maupun jaman penjajahan Belanda.86 Selain strategi pemantapan cara pandang dan cara kerja POLRI dalam melakukan penegakan hukum, juga dikembangkan strategi pemantapan dan peningkatan kualitas sumber daya POLRI melalui penyelenggaraan pendidikan/pelatihan di lingkungan POLRI yang terprogram secara baik. Program pendidikan/ pelatihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan wawasan dan pengembangan kemampuan umum/manajerial maupun spesialisasi bagi anggota POLRI. Strategi yang demikian itu dapat dilakukan melalui penyelenggaraan kerjasama pendidikan/pelatihan dalam dan luar negeri yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi POLRI, dan program berlatih sambil bekerja yang melekat pada setiap satuan organisasi, maupun dengan memanfaatkan teknologi pendidikan.87 Sekalipun arah pengembangan SDM POLRI yang demikian, tidak berarti bahwa seorang POLRI yang ideal tidak hanya peduli pada persoalan kemampuan profesional teknis semata, tetapi juga menitikberatkan pada rancang bangun komunikasi yang alamiah dengan masyarakat dalam upaya untuk menangani berbagai kasus kriminal yang terjadi. Hanya dengan modal yang demikian itu, POLRI dapat mengajak masyarakat untuk peduli dan peka terhadap setiap bentuk perilaku menyimpang atau kejahatan yang terjadi dalam lingkungannya. Pola pengembangan SDM POLRI yang Nusa Tenggara Timur”, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Semarang: PDIH Undip, 2006. 86
Baca H. Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia. Jakarta: CV. Miswar, 1989. 87
Keputusan KaPOLRI No. Pol. : KEP/200/IX/2005, tanggal 7 September 2005 tentang Rencana Strategis POLRI 2005-2009 (Renstra POLRI), halaman 26. 136
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
demikian itu akan mampu menopang model perpolisian yang merupakan gabungan antara perpolisian reaktif (reactive police) dengan perpolisian yang didasarkan pada kedekatan dengan masyarakat (community policing).88 Transparansi dan Akuntabilitas POLRI dalam Penegakan Hukum Strategi lain yang dipandang tepat untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap POLRI adalah dengan mengupayakan transparansi dan akuntabilitas dalam melakukan penegakan hukum. Transparansi penegakan hukum berorientasi pada masalah keterbukaan (openness), kepercayaan (trust), menghargai keragaman dan perbedaan (diversity) serta tidak diskriminatif. Sedangkan, masalah akuntabilitas (accountable) POLRI dalam melakukan penegakan hukum lebih berorientasi pada sistem yang dapat ditelusuri jalurnya secara logis (traceable), dan dapat diaudit dan diperbaiki (auditable) mulai dari tingkat individu sampai institusi POLRI.89 Berbagai upaya yang telah diprogramkan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas POLRI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, antara lain: (1) menggalang komitmen POLRI di semua tingkatan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya secara transparan, akuntabel dan profesional. Penegasan komitmen tersebut secara tidak langsung merupakan bentuk kontrak sosial (social contract) antara POLRI 88
Kf. Suparmin, “Lembaga Kepolisian dalam Penyelesaian Konflik Pendukung Antar Partai di Kabupaten Jepara: Studi Kasus di Desa Dongos Kecamatan Kedung”, Tesis Program Magister Ilmu Hukum. Semarang: Undip, 2000, halaman 138-139. 89
Keputusan KaPOLRI No. Pol. : KEP/200/IX/2005, tanggal 7 September 2005 tentang Rencana Strategis POLRI 2005-2009 (Renstra POLRI), halaman 11.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
137
Ka p i t a Se l e k t a
dengan publik; (2) membuat laporan kinerja (“rapor”) yang disampaikan secara rutin kepada lembaga publik (DPRD); (3) membuat open house secara rutin agar warga masyarakat dapat memberikan masukan demi perbaikan kinerja dan cara kerja POLRI; (4) memenuhi laporan kekayaan pejabat POLRI ke KPKN; (5) membuat sistem pengaduan (complaint management) yang baik dapat diakses, menciptakan sistem komunikasi secara efektif dengan warga, membuat komisi kepolisian di tingkat daerah, dan lain sebagainya.90 Persoalan krusial yang cenderung memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum pada umumnya (termasuk POLRI) adalah adanya kesan seolah-olah POLRI bertindak diskriminatif dalam melakukan penegakan hukum. Salah satu indikator yang sering dipakai oleh warga masyarakat untuk menilai tindakan diskriminatif aparat penegak hukum adalah tentang perlakuan terhadap warga masyarakat biasa dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan (power) yang diduga melakukan tindak kriminal. Warga masyarakat sering mempertanyakan, mengapa orangorang yang memiliki power yang besar itu begitu sulit dijamah oleh hukum, sementara orang-orang kecil yang melakukan tindak kejahatan akan dengan mudah digelandang ke hadapan penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya? Selain itu, adanya kewenangan yang demikian besar bagi POLRI untuk melakukan diskresi, juga dapat menjadi bumerang bagi POLRI untuk tidak dipercaya oleh masyarakat. Situasi ketidakpercayaan itu bisa muncul andaikata tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari pihak POLRI itu sendiri. Apalagi kalau kewenangan tersebut justru dimanfaatkan untuk menutup-nutupi 90
Surat Keputusan KaPOLRI No. Pol : SKEP/360/VI/2005 tanggal 10 Juni 2005 tentang Grand Strategis POLRI Menuju 2005-2025. 138
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
kasus-kasus kriminal tertentu demi melindungi orang atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, masyarakat juga berhak tahu mengapa dalam kasus kriminal tersebut dilakukan diskresi dan kalau perlu masyarakat juga diberikan kesempatan untuk menelusuri kebenaran dari diskresi tersebut. Tidak bisa diingkari bahwa penggunaan kekuasaan secara diskresi seperti itu memiliki kecenderungan yang sangat kuat dan peka dari penilaian-penilaian dan prasangka-prasangka yang negatif terhadap kepolisian. Oleh karena diskresi yang dilakukan oleh polisi itu lebih mengandalkan pertimbangan dan keputusan pribadi, maka tak mustahil akan muncul pertanyaan tentang apakah diskresi yang diambil itu tergolong “sah” atau “legitimate”, ataukah tergolong diskresi yang “tidak adil” dan “diskriminatif”.91 Sekalipun ada nada-nada sumbang yang meragukan praktik-praktik diskresi yang dilakukan oleh POLRI, namun Satjipto Rahardjo mengingatkan, bahwa oleh karena hukum itu dirumuskan secara umum dan abstrak sementara pemolisian bukanlah pekerjaan yang abstrak, sehingga wajar bila Polisi kemudian diberi kewenangan untuk membuat penafsiran dan pilihan-pilihan hukum in optima forma. Salah satu institusi untuk mewadahi perilaku memilih tersebut adalah kekuasaan untuk melakukan diskresi (discrecionary power).92 Namun demikian, langkah yang ditempuh oleh polisi tersebut harus ditunjang oleh adanya transparansi dan akuntabilitas agar tidak menyimpang menjadi sesuatu yang “tidak adil” atau diskriminatif. 91
Erlyn Indarti, Ibid, 2000, halaman 61.
92
Satjipto Rahardjo, “Pertanggungjawaban Polisi Berkaitan dengan Tugasnya: Penjelajahan terhadap Peta Permasalahan”, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia II, diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakulttas Hukum Undip, 15 Juli 1995, halaman 9-10.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
139
Ka p i t a Se l e k t a
Simpulan dan Rekomendasi Dari seluruh uraian yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu maka dapatlah ditarik beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Korps kepolisian hingga saat ini tidak pernah lepas dari kritikan-kritikan dari berbagai kalangan, karena pencitraan positif yang dibangun sebagai komitmen menuju profesionalisme polisi ternyata sering dirusak oleh perilaku menyimpang dan tidak bertanggung jawab dari oknum kepolisian. 2. Keterpurukan citra POLRI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya itu lebih disebabkan oleh masalah profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas yang kurang memadai. 3. Profesionalisme yang dikembangkan di dalam tubuh POLRI semestinya tidak dikonsentrasikan pada masalah profesionalisme teknis, tetapi juga diorientasikan untuk memungkinkan terbangunnya komunikasi yang baik dan transparan dengan warga masyarakat. 4. Transparansi dan akuntabilitas POLRI dalam melakukan penegakan hukum dan dalam menjalankan peran-peran non-yustisial merupakan faktor yang penting untuk meminimalisasi penyimpangan-penyimpangan dalam penegakan hukum yang akhirnya merugikan masyarakat pencari keadilan. Simpulan-simpulan yang ditarik dari seluruh uraian di atas, mengisyaratkan perlu adanya rekomendasi untuk memperbaiki kualitas penegakan hukum yang dikerjakan oleh POLRI sebagai penjaga pintu gerbang peradilan. Rekomendasi yang ditawarkan di sini, antara lain: Perlu ditumbuhkan semangat profesionalisme, akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan peradilan kepada aparat kepolisian sampai kepada 140
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
level yang paling bawah, karena tindakan-tindakan diskresi dan berbagai pilihan-pilihan hukum yang lain paling banyak dilakukan oleh aparat kepolisian di lapis yang paling bawah. Peradilan restoratif yang diagendakan untuk dikembangkan di lingkungan POLRI perlu dimaksimalkan pemanfaatannya, karena model peradilan yang demikian cocok dan sejalan dengan semangat harmonisasi yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Partisipasi masyarakat perlu ditumbuhkan untuk mengontrol secara aktif berbagai praktik penegakan hukum yang dilakukan oleh POLRI agar tidak terjadi kesewenang-wenangan yang pada akhirnya merugikan masyarakat pencari keadilan. ____
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
141
Ka p i t a Se l e k t a
DAFTAR RUJUKAN A.
Kamil Razak, “Profesionalisme, Perwujudan Paradigma Baru POLRI”, Harian Pikiran Rakyat, 3 Juli 2006.
Abdul Wahid. Modus-Modus kejahatan Modern. Bandung: PT. Tarsito, 1993. Achmad Ali, “Polisi dan Efektivitas Hukum dalam Penanggulangan Kriminalitas” dalam Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. Jakarta: PT.Yasrif Watampone, 1998. Anton
Tabah, Menatap dengan Mata Hati Polisi Indonesia; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Asian Human Rights Comussion-Indonesia, “Penyiksaan terhadap 2 penduduk desa oleh polisi di Sumatera Selatan berkaitan dengan surat jual beli pembelian sapi, 12 Januari 2006 (Sumber: http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/ ua2006/43). Awaloedin Djamin, “Beberapa Masalah dalam Kepolisian Negara republik Indonesia” (1986) menggunakan istilah “pembinaan masyarakat” (Bimas) untuk menunjuk tugas-tugas kepolisian yang bersifat pre-emptif. Baca
H. Hilman Hadikusuma, Peradilan Indonesia. Jakarta: CV. Miswar, 1989.
Adat
di
Bambang Pujiyono, “Strategi Mengangkat Kembali Citra POLRI”, Artikel Harian Suara Karya, 1 Juli 2005 (Kf. Suara Karya Online, 23 Januari 2007, http://www.suarakarya-online.com/news.html? id=113664). 142
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum: Norma-norma Bagi Penegak Hukum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995. Erlyn
Indarti, Diskresi Polisi. Semarang: Lembaga Penerbit Universitas Diponegoro, 2000.
Jaya Suprana, “Polisi dan Pelayanan Masyarakat”, Makalah Seminar Nasional Polisi I, diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian UNDIP, 1995. Karolus Kopong Medan, “Peradilan Rekonsiliatif: Konstruksi Penyelesaian Kasus Kriminal Menurut Tradisi Masyarakat lamaholot di Flores, Nusa Tenggara Timur”, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Semarang: PDIH Undip, 2006. Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perpolisian Masyarakat, Buku Pedoman Pelatihan untuk Anggota POLRI. Jakarta: 2006. Keputusan KAPOLRI No. Pol. : KEP/200/IX/2005, tanggal 7 September 2005 tentang Rencana Strategis POLRI 2005-2009 (Renstra POLRI). Keputusan KAPOLRI No. Pol. : KEP/200/IX/2005, tanggal 7 September 2005 tentang Rencana Strategis POLRI 2005-2009 (Renstra POLRI). Kunarto, “Peran Serta Masyarakat dalam Menjaga Agar Tugas dan Tanggung Jawa Polisi Tidak Menjurus Kepada Tindakan Negatip”, Makalah Seminar Nasional Polisi II tentang Pertanggungjawaban Polisi, Diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum Undip di Semarang pada 15 Juli 1996. Laporan WALHI, 2003, dan pemberitaan TempoInteraktif, 03 Desember 2003. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
dalam
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
143
Ka p i t a Se l e k t a
Mardjono Reksodiputro, “Ilmu Kepolisian dan perkembangannya di Indonesia”, Makalah Seminar Ilmu Kepolisian dan profesionalisme POLRI dalam Rangka Sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, 2 September 2004. Muladi, “Kejahatan Lingkungan Profesional” dalam Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan penerbit Undip, 1995. Muladi,
Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002
N.N., “KAPOLRI: Profesionalisme Polisi Belum Optimal”, Berita Harian KOMPAS, 1 Juli 1995. N.N., “Polisi Salah Tembak”, Berita Harian Radar Malang, 10 Januari 10 Januari 2007. Naskah Akademik Grand Strategi POLRI 2005-2025 point 1.2.2 tentang “Restorasi Sistem Keadilan: Restorative Justice”. Paulus
Hadisaputro, “Pem,berian Malu Reintegratif sebagai Sarana Nonpenal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan Surakarta). Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum. Semarang: PDIH Undip, 2003.
Sarlito Wirawan Sarwono, “Citra Polisi dalam Teori Psikologi Sosial”, Artikel Harian KOMPAS, 1 Juli 1995. Satjipto Rahardjo dalam Hasyim Asy’ari (Ed), Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
144
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Satjipto Rahardjo dalam Karolus Kopong Medan dan Frans J. Rengka (Ed), Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. Satjipto Rahardjo, “Membangun Polisi Indonesia Baru: POLRI dalam Era Pasca-ABRI”, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum UNDIP Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998. Stevan Box., “Police Crime” dalam Power, Crime and Mystification. London & New York: Tavistok Publications, 1983. Suparmin, “Lembaga Kepolisian dalam Penyelesaian Konflik Pendukung Antar Partai di Kabupaten Jepara: Studi Kasus di Desa Dongos Kecamatan Kedung”, Tesis Program Magister Ilmu Hukum. Semarang: Undip, 2000. Surat Keputusan KAPOLRI No. Pol : SKEP/360/VI/2005 tanggal 10 Juni 2005 tentang Grand Strategis POLRI Menuju 2005-2025. Surat Keputusan KaPOLRI No. Pol : SKEP/360/VI/2005 tanggal 10 Juni 2005 tentang Grand Strategis POLRI Menuju 2005-2025. Tabloid Mingguan Detik, 21 Agustus s/d 14 September 1993. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). WALHI, “Kekerasan Polisi terhadap Warga Bojong” (Sumber: WALHI, http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/sampah/0 41123_kekeraspol_bojong.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
145
Ka p i t a Se l e k t a
4 KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA KHUSUS DAN MANAJEMEN DALAM TEORI PEMBUKTIAN Pendahuluan Masalah manajemen dalam penegakan hukum menjadi mengemuka, mengingat apa yang dilakukan POLRI dalam penegakan hukum akan selalu berkaitan dengan POLRI sebagai suatu organisasi, yang memiliki tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility: The mangerial abilgaation to take action that protects and improve both the welfare of society as a whole and the interests of the organization).93 Yang juga perlu diingat adalah bahwa para ahli sosial budaya seringkali mengatakan bahwa kualitas sistem peradilan termasuk kualitas penegakan hukum merupakan salah satu indikator kualitas peradaban (the level of civilization) suatu bangsa, yang pada dasarnya merupakan totalitas dari “human and national capabilities”. Kualitas peradaban manusia sangat berarti dalam hubungan antar bangsa, karena didalamnya terkandung unsur “predictability”. Sebagai contoh adalah Disampaikan dalam rangka perkuliahan di STIE Anindyaguna Semarang, 200793 Certo, Samuel.C & Certo, S. Trevis, Modern Management 10e, International Edition, Pearson Education International, Prentice Hall, 2006,p.50 146
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
bahwa penanaman modal asing (PMDA) sulit diundang apabila diperkirakan kredibilitas supremasi hukum dan ketertiban umum di Indonesia diragukan.94 Supremasi hukum secara sistematis dan gradual telah mulai diaktualisasikan oleh Bangsa Indonesia sejak awal tahun 1998 melalui pendekatan Evolusi Yang Dipercepat (Accelerated Evolution).95 Setelah mengadakan evaluasi mendalam, khususnya melalui TAP MPR No. X/MPR Tahun 1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan Dan Normalisasi Sebagai Haluan Negara, antara lain adalah Prinsip Konstitusionalisme (Constitutionalism), yang dapat menjaga “checks and balances principles” antara cabang-cabang pemerintahan legislatif, eksekutif dan yudikatif, tanpa ada dominasi satu terhadap yang lain. Hal ini telah didemonstrasikan melalui proses amandemen terhadap UUD 1945 sampai empat tahapan.96 Harapan yang terlintas dalam forum diskusi yang hampir sebagian besar pembicara menghendaki agar POLRI pisah dari ABRI kini sudah menjadi kenyataan. Sejak ditetapkannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan 94
Muladi Pengaruh Demokratisasi Dalam Pengembangan Manajemen Penegakan Hukum, Pidato Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis Ke-60 PTIK Dan Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan 42, 43 Dan 44, Markas Besar Negara Republik Indonesia, Jakarta, 17 Juni 2006 : 2-3). 95
Istilah Evolusi Yang Dipercepat (Accelerated Evolution) dikembangkan oleh Presiden RI ketiga B.J. Habibie, sebagai lawan dari pendekatan revolusi yang penuh risiko ketidakpastian dan “potentially victimizing”. 96
Amandemen UUD 1945 pada dasarnya mengandung 3 (tiga) pendekatan (approaches) : (1) meningkatkan (to enhance) kredibilitas dan efektivitas pelbagai lembaga publik; (2) memperkuat (to strengthen) demokrasi dan “public engagement” melalui pengambilan keputusan; dan (3) menambah (to increase) kepercayaan dan akuntabilitas badan-badan publik.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
147
Ka p i t a Se l e k t a
POLRI dan Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI, dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (1) TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 “Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat” dan dalam pelaksanaan tugas dan peran POLRI telah di atur Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindunan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”; sedangkan kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia juga telah di atur dalam Kepres Nomor 89 Tahun 2000 di nyatakan “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok menegakkan hukum, ketertiban umum dan memelihara keamanan dalam negeri “ (cf. Ps. 1 Kepres No 89/2000); yang merupakan bukti yuridis, menjadi tonggak awal lahirnya lembaga kepolisian yang mandiri terlepas dari lingkaran kekuasaan ABRI. Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia langsung di bawah Presiden (cf. Psal 2 Ayat (1) Kepres No. 89/2000); Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada Presiden (cf. Pasal 2 Ayat (2) Kepres No. 89/2000) ; dan Kepolisian Negara Republik Indonesia berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam urusan yustitial dan dengan Departemen Dalam Negeri dalam urusan ketentraman dan ketertiban umum (cf. Pasal 2 ayat (3) Keppres No. 89/2000). 148
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Pemisahan tugas dan wewenang TNI dan POLRI ini pun sudah secara tegas dinyatakan dalam Pasal 30 ayat (3) dan (4) UUD 1945 dengan Perubahannya yang Kedua sebagai berikut: memberi amanat kepada TNI dan POLRI sebagai : (3) Tentara Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara; (4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.97 Pelaksanaan peran POLRI diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kepolisian Negara RI No. 2 Tahun 2002 dengan tegas dinyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri; dan tanggung jawabnya diatur pasal 8 ayat (1) bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas pokoknya bertugas “melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak 97
Pasal UUD 1945 tentang pembagian tugas dan wewenang TNI dan POLRI ini merupakan hasil amandemen kedua yang disahkan pada 18 Agustus 2000. Penambahan ketentuan ini dalam UUD 1945 sebagai bentuk respon terhadap Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 dan No. VII/MPR/Tahun 2000.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
149
Ka p i t a Se l e k t a
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”; dan “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri” (cf ps. 18 ayat (1) UU Kepolisian). Sedangkan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Pasal 4 KUHAP; penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. Kewenangan penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia karena kewajibannya mempunyai wewenang : (a) menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana, (b) melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian; (c) menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; (d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) mengambil sidik jari dan memotret seseorang; memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (h) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.; (i) mengadakan penghentian penyidikan; (j) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (cf Pasal 7 ayat (1) Hukum Acara Pidana).98 98
Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Santoso, KUHAP dan Peraturan-Peraturan Pelaksana, Penerbit Djambatan, Percetakan Anem Kosong Anem, ISBN 9794280054, Anggota IKAPI, Jakarta, 1986:9-10) Penjelasan yang dimaksud “tindakan lain” dalam pasal 5 ayat (1) angka 4 adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat : (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; (b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukan tindakan jabatan; (c) tindakan itu harus patut dan masuk akal termasuk dalam lingkungan 150 An e k a Pe r s o a l a n d i Bi d a n g Hu k u m
E k o n o mi
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Ditegaskan Prof. DR. Muladi, SH. Selaku Gubernur Lemhanas, yang menilai upaya kedudukan POLRI dibawah Departemen Teknis, misalnya Departemen Dalam Negeri sangat tidak tepat, karena situasi di Negeri ini masih belum memungkinkan untuk meniru sistem di negara-negara maju.99 Dilihat dari opini yang berkembang saat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa ada sekelompok atau segelintir orang/instansi yang tidak menyukai dengan kemandirian POLRI, sehingga melemparkan wacana maupun opini kepada publik agar POLRI berada dibawah suatu Departemen. Bahwa pembangunan hukum nasional dibidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban umum serta kepastian hukum demi terselengaranya negara berdasarkan hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Dengan Perubahannya.100 jabatannnya; (d) atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; (e) menghormati hak asasi manusia. 99
Muladi, National News, tanggal 11 Januari 2007, hal : 1 : Penerangan Kesatuan diterbitkan oleh Divhumas POLRI, Simak Opini Yang Berkembang Tentang POLRI, No. :06/I/2007/Pensat tanggal 26 Maret 2007; Sudah seharusnya selaku anggota POLRI yang bertugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dan menegakkan hukum untuk menarik simpati masyarakat yang nota bene adalah merupakan tugas pokok POLRI, sehingga masyarakat dengan sendirinya akan menentang rancangan undang-undang yang dibuat oleh Departemen Pertahanan, yang mengusulkan POLRI dibawah Departemen. 100
KUHAP Dan KUHP Dilengkapi Undang-Undang No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara, Penerbit Sinar Grafika, Sg, 02.56.0104, ISBN 979-8061-79-9, Cetakan Keempat, Jakarta, 2000 : 1999.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
151
Ka p i t a Se l e k t a
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku sekarang ini untuk dilaksanakan tatacara peradilan umum pada semua tingkat peradilan (cf.ps 2 hukum acara pidana). Dasar peradilan diatur dalam Bab III Pasal 3 Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dalam pembuktian banyak perundang-undangan yang bersifat sektoral yang diberikan ketentuan seolaholah terdapat pembuktian yang bersifat khusus. Atau terjadi pengecualian (lex sepesialis derogat lex generalis) sehingga tidak sesuai lagi dengan asas umum dalam hukum pembuktian. Sulit kiranya dalam keadaan tumpang tindihnya perundang-undangan yang ada untuk dengan tegas memilih untuk menerapkan suatu ketentuan hukum. Inilah hal yang harus menjadi suatu kesepakatan bersama agar dilakukan peninjauan kembali terhadap undang-undang yang ada dalam khasanah hukum Indonesia.101
101
Loeby Luqman, (2000) Penafsiran dan Pembuktian Dalam Hukum Pidana, Dalam Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Jakarta 2003 :21-25. Dalam praktek tidak dapat dihindari akan adanya penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan. Yang terjadi justru setiap pengguna akan melakukan penafsiaran seperti yang dibutuhkan dalam kepentingannya. 152
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
BAGIAN PERTAMA KETERTIBAN UMUM DAN PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA A. Menjaga Ketertiban Umum dan sebagai Pengayom Menurut Tuntunan Hukum Islam Memberi “Tarbiyah” memberi contoh dan bimbingan (Surat An-Nahl (16) :125 yang artinya :
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” Surat An-Nisa ‘. 92; “Tidaklah boleh bagi orang mu’min untuk membunuh orang mu’min kecuali karena tidak sengaja. Barangsiapa membunuh orang mu’min karena tidak sengaja, maka atasnya membebaskan seorang hamba mu’min dan diyat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali kalau mereka memberikannya”. Surat Al-Maidah ayat (2) ; “Bertolong-tolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.102 Kejahatan (keburukan) diketahui karena nampak nyata, bukan karena dihasilkan oleh pengintaian, karena pengintaian itu sendiri dilarang (baca Al-Hujuraat ayat (13) dan karena rumah dan tiap jaminan keamanan yang tidak boleh dilanggar sebelum nampaknya ma’siat,
102
Ahmad Toha Putra, Al Qur’an dan Terjemahannya (Revisi terbaru) Departemen Agama RI, Dengan Transliterasi Arab-Latin (RUMY), CV. Asy-Syifa, Surat Al-Maidah (Hidangan) ayat (2) Juz 6, Semarang, 2000: hal 226.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
153
Ka p i t a Se l e k t a
seperti yang dikatakan Nabi saw kepada Muawiyah r.a. sebagai berikut : “Jika engkau mencari-cari kesalahan orang maka engkau akan merusakkan mereka, atau hampir merusakkan mereka.” Hak-hak penguasa Firman Allah SWT sebagai berikut: ”Wahai orang-orang yang beriman. Ta’atilah Allah
Rasul serta orang-orang yang mempunyai tampuk pimpinan (Ulil Amri) diantara kamu. Jika kamu mempersengketakan sesuatu, maka kembalikan perkara tersebut kepada Allah dan Rasul-Nya.” (An-Nisa 59)103. Menurut teori Al-Asy’ari dalam teori Kasb (al-kasb, acquisition, perolehan) “Menurut teori itu perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keterpaksaan.” Ini diungkapkan secara singkat dalam nadham Jawharot al-Tawhid antara lain demikian : “Fa laysa majburan wa la‘khtiyara walaysa kullan yaf’alu ‘khtiyara” artinya “Jadi manusia bukanlah
terpaksa dan pula bebas, namun tidak seorangpun mampu berbuat sekehendaknya.” Nabi sendiripun diperintahkan Allah untuk bermusyawarah dengan para sahabat beliau mengenai hal-hal kemasyarakatan (bukan hal-hal keagamaan yang telah menjadi wewenang beliau sebagai Nabi dan Rasul):
”dan bermusyawarahlah dengan mereka segala perkara; dan bila kamu telah ambil keputusan, bertawakallah kepada Allah…” (Q.,s. Ali Imran /3:159. Demikian pula orangorang beriman berpegang teguh pada prinsip mayawarah dalam segala urusan mereka: ”… Dan segala
perkara mereka (diputuskan) melalui musyawarah sesama mereka …” Shura/42:38) 103
Opcit, Ahmad Toha Putra, Al Qur’an dan Terjemahannya (Revisi terbaru) Departemen Agama RI, Dengan Transliterasi Arab-Latin (RUMY), CV. Asy-Syifa, (Hidangan) ayat, Semarang, 2000 : 186 surat ke 4 An Nisa` ayat 59. 154
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Penegasan Yusuf Ali bahwa Nabi S.A.W selalu melaksanakan musyawarah dalam segala perkara (selain perkara keadaan murni, tentu saja) itu sejalan dengan gambaran Thaha Hasayn: “Adapun beliau (Nabi) bermusyawarah dengan mereka (para sahabat) dalam suatu perkara yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an, dan yang Nabi sendiri tidak mendapat perintah (langsung) dari atas, maka hak mereka (para sahabat) itu untuk memberi pendapat dan juga untuk mengajukan usul diluar hal yang Nabi sendiri telah pasti akan melakukannya. Menurut Nurcholis Madjid ”Sebab partisipasi sosial politik itu sesungguhnya adalah wujud lain ajaran tentang musyawarah atau syura”, sebagaimana menjadi gambaran ideal dalam Kitab suci tentang masyarakat kaum yang beriman. Dan Segala perkara mereka (diselesaikan melalui sistem) musyawarah antara sesama mereka. “Musyawarah” inilah kata-kata kunci dalam surah ini, dan menunjukkan cara ideal yang harus ditempuh oleh seorang yang baik dalam berbagai urusannya, sehingga, disatu pihak, kiranya ia tidak menjadi terlalu egoistis, dan dipihak lain, kiranya ia tidak dengan mudah meninggalkan tanggung jawab yang dibebankan atas dirinya sebagai pribadi yang perkembangannya diperhatikan dalam pandangan Tuhan. Prinsip ini sepenuhnya dilaksanakan oleh Nabi dalam kehidupan beliau baik sebagai pribadi maupun umum, dan sepenuhnya diikuti oleh para penguasa Islam masa awal. Pemerintah perwakilan moderen adalah suatu percobaan – yang tidak bisa disebut sempurna – untuk melaksanakan prinsip itu dalam urusan Negara. B. Pembagian bentuk dalam hukum Pidana Di negara kita dalam perundang-undangan dan penerapannya hukum pidana ada dua bentuk, maka perbuatan tindak pidana dibagi atas dua kelompok. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
155
Ka p i t a Se l e k t a
1. Tindak Pidana Umum Pengaturannya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mencakup mengenai kejahatan dan pelanggaran. Tindak Pidana Khusus : yang pengaturannya diluar KUHP mencakup : 1). Tindak pidana Terorisme; 2). Tindak Pidana Ekonomi; 3). Tindak Pidana Korupsi; 4). Tindak Pidana Perpajakan, 5). Tindak pidana Kepabeanan; 6). Tindak Pidana Militer, 7). Tindak pidana Perikanan, 8). Tindak Pidana Dibidang Perbankan, dan lain-lain. 2. Tugas dan Wewenang Penyidik Wewenang penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang diatur secara khusus oleh undang-undang tertentu dilakukan oleh penyidik, jaksa, dan pajabat penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. Bagi penyidik dalam Perairan Indonesia, Zona tambahan, landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, penyidikan dilakukan oleh perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan pejabat penyidik lainnya yang ditentukan oleh undangundang yang mengaturnya (cf. ps. 17 PP Nomor 27 Tahun 1983).104 3. Penyidik yang berwenang menyelesaikan tindak pidana. 104
Sejalan dengan pasal 14 huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan seluruh tindak pidana berdasarkan hukum acara pidana dan peraturan –perundang-undangan lainnya. 156
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
1). Pejabat polisi negara Republik Indonesia (pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP “Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia”; 2). Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. Pasal 6 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.105 3). Perwira Tentara Nasional Angkatan Laut dalam Perairan Indonesia Zona tambahan, landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 73 Penyidikan tindak pidana dibidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.106 4). Kejaksaan dalam hal Tindak Pidana Korupsi (Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 204 tentang Kejaksaan Republik Indonesia melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang)107. 5). Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 38 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 105
Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Santoso, KUHAP dan Peraturan-Peraturan Pelaksana, Penerbit Djambatan, Percetakan Anem Kosong Anem, ISBN 9794280054, Anggota IKAPI, Jakarta, 1986:99 yang dimaksud dengan “penyidik dalam ayat ini” adalah misalnya pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. 106
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dilengkapi Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan Beserta Penjelasannya, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2005 : 38. 107
Marwan Effendy, Kejaksaan Posisi Dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Anggota IKAPI, Jakarta, 2005 : 201.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
157
Ka p i t a Se l e k t a
“Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 6). Polisi Militer dalam hal Tindak pidana dilakukan oleh militer. Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Yang berhubungan dengan Pasal 284 ayat (2) KUHAP Terhadap waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Yang dimaksud dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu” ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut, antara lain: termasuk Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana ekonomi UndangUndang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 (cf. penjelasan pasal 284.KUHAP). C. Syarat Kepangkatan Penyidik
dan
Pengangkatan
Usul pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil oleh departemen yang membawahi pegawai negeri tersebut, diajukan kepada menteri dengan tembusan 158
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
kepada Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia guna kepentingan pembuatan rekomendasi. Bab II Pasal 2 PP Nomor 27 Tahun 1983 Ayat (1) Penyidik adalah : a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi; b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurangkurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau lebih yang disamakan dengan itu. Ayat (2). Dalam hal disuatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik. Ayat (3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (4) Wewenang penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (5) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diangkat oleh Menteri atas usul dari Departemen yang membawahkan pegawai negeri tersebut. Menteri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
159
Ka p i t a Se l e k t a
Ayat (6) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. 108 Departemen, instansi dan atau Pemerintah yang oleh atau atas kuasa undang-undang (peraturan perundang-undangan) diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian dibidang teknisnya masing-masing. Wewenang bersifat khusus dan terbatas dalam “lingkungan kuasa soal-soal” (zaken gebied) yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya109. Ayat (1) Pengemban fungsi Kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh: kepolisian khusus; penyidik pegawai negeri sipil; dan atau bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1983 tanggal 11 Nopember 1983 tentang Berakhirnya Masa Peralihan Pasal 284 KUHAP; Berdasarkan ketentuan peralihan pasal 284 KUHAP, maka pada tanggal 1 Januari 1984 yang akan datang KUHAP akan diberlakukan penuh terhadap semua perkara pidana, kecuali terhadap apa yang disebut tindak pidana-tindak pidana khusus. D. Dasar Penyelidikan, Penuntutan
Penyidikan
dan
108
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 36 Tahun 1983, Kehakiman. Tindak Pidana. KUHAP Warga negara. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258). Penjelasan Pasal 2 ayat (4) PP No. 27 Tahun 1983 kewenangan penunjukan termasuk kewenangan untuk pembebasan. 109
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168 sejalan dengan Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang POLRI. 160
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Aparat penegak hukum yang berwenang menyelesaikan tindak pidana, tugas pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang merupakan instansi pertama dan satu-satunya untuk melakukan penyelidikan yang meliputi 4 (empat) jalur, yaitu : 1. Adanya Informasi masyarakat tentang suatu tindak pidana melalui media masa dan sebagainya; 2. Adanya Laporan dari orang-orang yang mengetahui tentang terjadinya suatu tindak pidana; 3. Adanya pengaduan dari orang-orang yang menjadi korban atau calon korban dari suatu tindak pidana; dan 4. Tertangkap tangan dalam arti khusus. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda tangani oleh pelapor atau pengadu (cf. Pasal 108 ayat (4) Hukum Acara Pidana). Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditanda tangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.110 Selanjutnya penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan (cf. Pasal 106 Hukum Acara Pidana). Demi menjaga obyektivitas dari pemeriksaan dan menjamin kebenaran yang memungkinkan melakukan tindak lanjut dari suatu laporan dengan ini digariskan agar
110
Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Santoso, KUHAP dan Peraturan-Peraturan Pelaksana, Penerbit Djambatan, Percetakan Anem Kosong Anem, ISBN 9794280054, Anggota IKAPI, Jakarta, 1986 39-40; Pasal 108 ayat 6 Hukum Acara Pidana ditegaskan ”Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan”.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
161
Ka p i t a Se l e k t a
pelapor juga didengar keterangannya untuk klarifikasi atau memperoleh bukti-bukti yang diperlukan111. Kemudian dari Penyelidikan (sebagai tindakan penyaringan) dapat meningkat ke fase Penyidikan (sebagai penyaji) yang menjadi kompetensi Kepolisian Negara Republik Indonesia, melalui pembuatan Berita Acara Pemeriksaan sampai dengan Pembuatan Berkas Perkara. Apabila pihak Penyidik berpendapat bahwa kasus tersebut memenuhi persyaratan untuk proses selanjutnya, maka Penyidik melimpahkan kasus tersebut kepada Kejaksaan Negeri. Kemudian Kepala Kejaksaan Negeri menunjuk Jaksa Penuntut Umum untuk menuntut perkara tersebut didepan Pengadilan berdasarkan berkas perkara yang diterimanya dari Penyidik dan bertugas menyusun Surat Dakwaan Pasal 143 ayat (2) KUHAP yang memenuhi 2 (dua) syarat. 1. Syarat Formil, yaitu mengenai identitas tersangka mencakup : Nama : Umur : Tempat dan tanggal lahir : Agama : Jenis kelamin : Tempat Tinggal : Pekerjan : Kebangsaan/Suku bangsa : 2. Syarat Materiil, yaitu : b.1. Uraian yang jelas mengenai tindak pidana yang dilakukan tersangka; 111
Bagir Manan, Penerbit CV. Citra Mandiri, Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung RI, Nomor 6 tahun 2001, tentang Mendengar Pengaduan pelapor, Nomor MA/Kumdil/212/IX/K/2001, Jakarta, 13 September 2001 hal :1005 Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap laporan tentang perilaku hakim yang tidak atau penyelah gunaan kekuasaan oleh Hakim atau Pejabat Pengadilan lainnya, sepanjang pengamatan Mahkamah Agung pemeriksaannya baru dilakukan sepihak, yaitu hanya mendengar keterangan hakim atau Pejabat Pengadilan lainnya yang dilaporkan. 162
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
b.2. Tempat dan waku tindak pidana itu dilakukan; b.3. Hal-hal yang melatar belakangi perbuatan tersangka tersebut, mencakup hal-hal yang memberatkan dan juga yang meringankan (Omstandingheiden).112 Pasal 143 Ayat (1) KUHAP ; ”Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan”.113 Surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan materiil seperti yang ditegaskan dalam pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP batal demi hukum, sedangkan pasal 143 ayat (4) KUHAP menegaskan “Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut kepengadilan negeri. Pasal 144 KUHAP ayat (1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya; ayat (2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambatlambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai; ayat (3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau 112
H. Wildan Suyuthi, Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Pusdiklat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2003 : hal 30-31. 113
Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Santoso, KUHAP dan Peraturan Peraturan-Peraturan Pelaksana, Penerbit Djambatan, Percetakan Anem Kosong Anem, ISBN 9794280054, Anggota IKAPI, Jakarta, 1986 : 49 & 116). Dijelaskan pasal 143 yang dimaksud dengan “surat pelimpahan perkara” adalah surat pelimpahan perkara itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas perkara.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
163
Ka p i t a Se l e k t a
penasihat hukum dan penyidik. Apabila pengadilan sudah menetapkan hari sidang, Jaksa Penuntut Umum tidak dibenarkan untuk mengubah surat dakwaan tanpa memberi tembusan terhadap tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. Waktu penyerahan perubahan berkas perkara mengalami pengubahan dakwaan setelah ditetapkannya hari sidang secara formil melanggar ketentuan Pasal 144 KUHAP. Dalam pemeriksaan biasa saksi dipanggil kedalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penuntut umum. Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi114. Menurut Lamintang115, tindakan atau perbuatan pelaku (tersangka/terdakwa) karena suatu keadaankeadaan, meskipun melanggar hukum, menjadi tidak bersifat melanggar hukum. Rumusan keadaan tertentu yang menyebabkan tindakan/perbuatan pelaku menjadi tidak bersifat melawan hukum, antara lain : karena keadaan memaksa; karena pembelaan diri, kehormatan atau benda kepunyaan sendiri atau orang lain; melaksanakan perintah jabatan; dan lain-lain.116 114
Pasal 162 ayat (1) Hukum Acara Pidana; Jika saksi sesudah memberikan keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir disidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tampat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan. 115
Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru Bandung, 1984 hal 368 dalam bukunya Laden Marpaung, Jakarta 1986 :8-9 116
Laden Marpaung, Proses tuntutan Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi Dalam Hukum Pidana, Mananjemen PT Raja Grafindo Persada, ISBN 979-421621-6, Cetakan Pertama, Jakarta, 1997: 6-8 Karena tindakan pelaku menjadi tidak bersifat melawan hukum, hakim perlu mempertimbangkan dengan seksama. Seyogyanya rumusan tersebut membuat putusan bahwa hakim tidak 164 An e k a Pe r s o a l a n d i Bi d a n g Hu k u m
E k o n o mi
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
E. Tempat mengadili (locus delicti) Wewenang Pengadilan Negeri pasal 84 ayat (1) KUHAP; “Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”; Disini diletakkan prinsip teritorial yang berbuat dalam wilayah Indonesia, ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia melakukan sesuatu perbuatan yang boleh dihukum (cf. Pasal 2 Hukum Pidana). (a) Teori perbuatan materiil (leer de lichamelijke daad). Menurut teori ini yang menjadi locus delicti ialah tempat dimana melakukan segala yang kemudian dapat mengakibatkan delict yang bersangkutan; (b) Teori alat yang dipergunakan (leer van het instrument) delik dilakukan dimana alat yang dipergunakan itu menyelesaikannya, dengan lain perkataan yang menjadi locus delicti ialah tempat dimana ada “uitwaking” alat yang dipergunakan; (c) Teori akibat (leer van het gevolg). Kadang-kadang juga teori alat yang dipergunakannya tidak dapat memberi penyelesaian yang dikehendaki, karena tidak semua peristiwa pidana dilakukan dengan alat.117 Ayat (2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.118 menjatuhkan hukuman atau membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. 117
Ibid R. Soesilo 1996,: 30-31
118
kf. Penjelasan pasal 86 KUHAP; Dengan maksud agar jalannya peradilan terhadap perkara pidana dapat berjalan lancar, Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana kita menganut asas personalitas dan asas A n e k a P e r s o a l a n d i B i d a n g H u k u m 165
E k o n o mi
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
F. Pedoman dalam Penyidikan Tindak Pidana 1. Pembuktian dengan Alat Bukti dan Barang Bukti (1) Pasal 183 Pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya119. Alat bukti dan barang bukti dalam penyelesaian tindak pidana, ada dua lembaga menurut KUHAP menjadi pegangan dalam penyelesaian proses peradilan tindak pidana mulai dari Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan dan Penyidangan Perkara Pidana harus disajikan berbarengan dalam pembuatan satu berkas perkara. (2) Pasal 184 ayat (1) KUHAP alat bukti yang sah ialah : (i) Keterangan saksi; (ii) Keterangan ahli; (iii) Surat; (iv) Petunjuk; (v) Keterangan terdakwa. Pasal 184 ayat (2) KUHAP Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan lagi. 2. Barang Bukti Pasal 39 KUHAP. Ayat (1) yang dapat dikenakan penyitaan adalah : personalitas pasif, yang membuka kemungkinan tindak pidana yang dilakukan diluar negeripun dapat diadili menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia 119
Penjelasan pasal 183 KUHAP Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepatian hukum bagi seseorang. 166
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. Benda yang dipergunakan untuk menghalanghalangi penyelidikan tindak pidana; d. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Ayat (2). Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1)120. G. Batas Berlakunya Undang-Undang dan Asasasas Hukum Pidana 1. Asas Legalitas Pedoman pokok dalam menjatuhkan pidana kepada orang yang melakukan perbuatan pidana ada norma yang tidak tertulis “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” (geenstraf zonder schuld). Bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana, dapat dihukum apabila orang tersebut 120
B.Z. Koemolontang, Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003 : 29 - 31; Penuntut Umum dalam dakwaan harus memenuhi dua syarat: a). Formil dan b) Materiel, sedangkan antara alat bukti dan barang bukti harus maju bersama-sama saling terkait dan mendukung, sehingga ”barang bukti” dengan ”alat bukti”, atau antara ”alat bukti” dengan ”barang bukti” yang diajukan kepersidangan dapat menjadi kekuatan pembuktian dalam penyidangan perkara pidana).
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
167
Ka p i t a Se l e k t a
berbuat kesalahan, jadi mengenai pertanggungjawaban pidana suatu perbuatan dari seseorang.121 Dalam perundang-undangan batas-batas berlakunya aturan pidana berdasarkan asas legalitas Pasal 1 ayat (1) KUHP “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuanketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. sedangkan ayat (2) pasal 1 KUHP “ Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.122 Dalam buku karangan Anseln Van Feuerbach Sarjana Hukum Pidana Jerman yang berjudul “Lehrbuck des Pinlichen Recht” (1801) yang berbunyi “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevie Lege Poenali”, yang artinya “Tiada satu perbuatan dapat pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Dasar perumusan asas legalitas itu sebagai realisasi dari teorinya yang terkenal dengan nama “Theori Van Psychlogische zwang” yang menganjurkan agar supaya dalam menemukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam dalam peraturan, bukan saja tentang macamnya pidana yang tercantumkan. Sebelum asas legalitas ditulis oleh A.V. Feuerbach, pada tahun 1748 Moentesquieu telah menulis dalam bukunya berjudul “L’esprit des Lois” 121
Soeharto, Hukum Pidana Materiil Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan, Sinar Grafika, ISBN 979-8061-51-9, Dicetak Oleh Radar Jaya Offset, Cetakan Pertama Pebruari, Jakarta, 1983 :14-15 122
MA No. 97 K/Kr 1974 tanggal 28 Oktober 1975 “Surat Keputusan Menteri Keuangan tidak dianggap sebagai perubahan perundang-undangan menurut pasal 1 ayat (2) KUHP”. 168
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
dan pada tahun 1762 telah ditulis oleh Rousseau dalam bukunya “Du Contract Social”. Buku ini dimaksud untuk melindungi individu dari penegakan hukum dalam pemerintahan yang absolut dimana para Raja Eropa yang bertindak sewenang-wenang. Menurut Profesor Moelyatno, Asas legalitas mengandung 3 maksud : (i) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau perbuatan itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. (ii) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. (iii) Aturan-aturan pidana tidak berlaku mundur. Bahwa adanya perbuatan dapat dipidana ditentukan dengan tegas apabila sudah ada aturan undang-undang terlebih dahulu ada. Hal ini jelas diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. “Yurisprudensi : “ Tidak terjadi suatu perubahan dalam perundang-undangan, apabila suatu ketentuan untuk pelaksana suatu undag-undang dalam keadaankeadaan yang khusus, tidak berlaku lagi, umpamanya apabila setelah terjadi perbuatan: Penunjukan barang-barang tertentu, yang termasuk dilarang untuk diekspor, telah dihapus atau dicabut. HR. 6 April 1915. Suatu peraturan yang ditetapkan berdasarkan undang-undang Distribusi diganti dengan suatu peraturan lain berdasarkan undang-undang itu juga. HR. 27 Agustus 19150 An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
169
Ka p i t a Se l e k t a
2. Perbarengan Perbuatan Pidana Pasal 65 KUHP: (1). Dalam hal berbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana. (2). Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga. 3. Aturan mengenai perbarengan mengenai 4 (empat) sistem dalam menentukan berat dan ringannya pidana a. Sistem Absorpsi yang dipertajam menentukan bahwa hanya ketentuan pidana yang terberat yang diterapkan dengan ditambah 1/3 dari pidana maksimum. b. Sistem Absorpsi ialah yang dipertajam, bahwa ketentuan pidana yang terberat yang diterapkan dengan ditambah 1/3 dari pidana maksimum. 4. Sistem kumulasi murni adalah sistem yang untuk tiap-tiap perbuatan pidana dijatuhkan pidana sendiri-sendiri dan ini hanya berlaku terhadap pelanggaran Sistem Kumulasi terbatas, apabila dijatuhkan pidana untuk tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya
170
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.123 Dalam pemeriksaan biasa “pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang menentukan lain; sedangkan dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam suatu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada” (cf Pasal 196 ayat (1) & ayat (2) Hukum Acara Pidana. Sedangkan dalam Pasal 38 ayat (1) UndangUndang RI No 31 Tahun 1999 yang telah dirubah Dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir disidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan “diputus tanpa kehadiran terdakwa”. Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak (cf. ps 153 ayat (3) Hukum Acara Pidana). Tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. H. Seseorang yang dapat Dijatuhi Pidana Asas legalitas; suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada. Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. (kf pasal 1 123
Soeharto, RM, Hukum Pidana Materiil Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan, Sinar Grafika, ISBN 979-8061-51-9, Dicetak Oleh Radar Jaya Offset, Cetakan Pertama Pebruari, Jakarta 47-48.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
171
Ka p i t a Se l e k t a
KUHP) Dasar peradilan; peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (kf pasal 3 KUHAP). Seorang dapat dijatuhi pidana sekurang-kurangnya: 1. Memenuhi rumusan delik, ini berarti belum tentu semua yang memenuhi rumusan delik dapat dijatuhkan pidana, untuk itu diperlukan dua syarat : perbuatan itu bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Dengan demikian rumusan pengertian ”perbuatan pidana” menjadi jelas : suatu perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ”ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum,” dan dapat dicela. 2. Perbuatan manusia : bukan mempunyai keyakinan atau niat, tetapi hanya melakukan atau tidak melakukan dapat dipidana. Yang juga dianggap sebagai perbuatan manusia adalah juga termasuk perbuatan badan hukum. Dalam ruang lingkup rumusan delik yang tertulis harus dipenuhi. 3. Bersifat melawan hukum; suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur rumusan delik yang tertulis (misalnya, sengaja membunuh orang lain) tidak dapat dipidana kalau tidak bersifat melawan hukum (misalnya, sengaja membunuh tentara musuh oleh seorang tentara dalam perang). 4. Dapat dicela : Suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat dipidana kalau tidak dapat dicela pelakunya. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dicela itu merupakan syarat umum untuk dapat dipidananya perbuatan, sekalipun tidak disebut dalam rumusan delik. Ini yang dinamakan unsur diluar undang-undang; jadi ada yang tidak tertulis. 172
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Bagan 1. Terbukti dan Dapat Dipidana 124 Perumusan Delik
Sifat Melawan Hukum
Dapat Dicela
Dipidana
Pembentuk undang-undang bertolak dari kejadian normal waktu membuat rumusan delik. Apa yang sudah jelas dengan sendirinya tidak perlu dengan tegas disebut dalam rumusan delik dan kemudian dituduhkan lalu dibuktikan. Misalnya : barang siapa merampas nyawa orang lain pada umumnya berbuat secara melawan hukum dan perbuatan itu dapat dicela. Hanya dalam keadaan luar biasa hal itu tidak demikian; sipembuat sendiri dapat mengajukan tidak adanya sifat melawan hukum dan dapat dicela perbuatannya. Misalnya, kalau dia mengadakan pembelaan terpaksa, barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana (kf. Pasal 48 KUHP) (Hukum acara pidana Belanda menetapkan bahwa hakim harus memeriksa alasan itu). Barangsiapa melukai orang dihukum karena penganiayaan (pasal 351 KUHP) ; akan tetapi apabila perbuatan itu dilakukan tidak bersifat melawan hukum dan dapat dicela maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Contoh dokter yang melakukan operasi untuk kepentingan medis, maka perbuatannya tidak dihukum. Kemudian rumusan delik terpenuhi, bersifat melawan hukum terpenuhi namun tidak dapat dicela, tindak dipidana: contoh dengan sengaja merusak (kf Pasal 406 KUHP), dalam hal yang terjadi sehari-hari misalnya dalam hal pembongkaran rumah untuk diperbaiki, pelakunya juga tidak dapat dipidana. 124
D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Editor Penerjemahan : J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P&K, Penerbit Liberty Yogyakarta, Edisi Pertama Cetakan Kesatu, 1995: hal 26-27.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
173
Ka p i t a Se l e k t a
Perbuatan pidana memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan ada sifat tercela kalau perbuatan itu sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada sipembuat. Dalam hal demikian pembentuk undangundang menyediakan terhadap orang yang karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana (kf Pasal 44 KUHP). Kadang-kadang perbuatan orang normalpun juga tidak dapat dicela. Contoh yang jelas adalah kesesatan yang dapat dimaafkan: karena perbarengan keadaan, seorang terdakwa tidak dapat melihat tanda lalu lintas. Disini tidak terdapat unsur dapat dicela; jadi tidak dapat dijatuhkan pidana, sekalipun unsur delik itu ada. Memang sudah merupakan asas hukum acara pidana bahwa tidak seorangpun dapat dipaksakan membuktikan bahwa dia tidak bersalah (asas praduga tak bersalah). ”Syarat tertulis untuk dapat dipidana harus dituduhkan dan dibuktikan, syarat umum tidak tertulis untuk dapat dipidana tidak usah dituduhkan dan dibuktikan, tetapi dapat dianggap ada kecuali kalau diingkari secara nalar”.125 Pedoman pokok dalam menjatuhkan pidana kepada orang yang melakukan perbuatan pidana ada norma yang tidak tertulis “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” (geenstraf zonder schuld). Bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana, dapat dihukum apabila orang tersebut berbuat kesalahan, jadi mengenai pertanggungjawaban pidana suatu perbuatan dari seseorang. Untuk mengatasi perbedaan pendapat, apabila kita melihat sifat melawan hukum itu adalah merupakan unsur mutlak di tiap delik dan sifat melawan hukum itu
125
Sahetapy; Ibid, hal 26-28.
174
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
dipandang secara materiil, maka ada kelakuan yang berbentuk negatif yang dilarang I. Menghalangi Pemeriksaan Dihukum Menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang dihukum; 1. Pasal 216 KUHP Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja tidak menurut perintah atau perminaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya demikian pula yang diberikuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja menghalanghalangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Ayat (2) Disamakan dengan pejabat tersebut di atas, setiap orang yang menurut ketentuan undang-undang terus menerus atau untuk sementara waktu diserahi tugas menjalankan jabatan umum. Ayat (3) Jika pada waktu menjalankan kejahatan belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka pidananya dapat ditambah sepertiga. 2. Pasal 224 KUHP dan Pasal 522 KUHP Pasal 224 Barangsiapa yang dipanggil menurut undang-undang akan menjadi saksi, ahli atau jurubahasa, dengan sengaja tidak memenuhi sesuatu kewajiban yang sepanjang undang-undang harus dipenuhi dalam jabatan tersebut, dihukum : An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
175
Ka p i t a Se l e k t a
1e. dalam perkara pidana, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan; (KUHP 522) 2. dalam perkara lain, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam bulan; (KUHP 522) Pasal 522 Barangsiapa dengan melawan hak tidak datang sesudah dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau jurubahasa, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (KUHP; 165, 244) 3. Pasal 161 KUHAP Ayat (1) Dalam hal saksi atau saksi ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 KUHAP ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari. Ayat (2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
176
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
4. Pasal 88 KUHP yo Pasal 164 KUHP Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan.126 5. Pasal 164 KUHP yo Pasal 88 KUHP Tidak melaporkan kepada instansi yang berwajib apabila diketahui suatu permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal itu pada saat masih ada waktu untuk mencegah terjadinya kejahatan. J. KUHP yang Berkaitan dengan Pertanahan dan Perumahan Adapun Pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berhubungan dengan kejahatan pertanahan dan pemukiman adalah sebagai berikut. 1. Kejahatan terhadap penyerobotan tanah diatur dalam Pasal 167 KUHP. 2. Kejahatan terhadap pemalsuan surat-surat masingmasing diatur dalam : a. Pasal 263 KUHP; Ancaman hukuman paling lama 6 (enam) tahun penjara, b. Pasal 264 KUHP; Ancaman hukuman paling lama 8 (delapan) tahun penjara, c. Pasal 266 KUHP; Ancaman hukuman paling lama 7 (tujuh) tahun penjara, dan d. Pasal 274 KUHP: Pemalsuan surat keterangan seorang pejabat selaku penguasa yang sah ancaman hukuman paling lama 2 (dua) tahun penjara. 126
Menurut Soeharto RM, dalam bukunya Hukum Pidana Materiil, Jakarta, (1991), hal: 174 Perbuatan ini dapat terkandung maksud dengan sengaja bahwa pengertian dengan sengaja artinya mempunyai maksud dan tujuan pada terwujudnya suatu perbuatan oleh si palaku.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
177
Ka p i t a Se l e k t a
e. Pasal 385 KUHP; Kejahatan penggelapan terhadap hak atas barang tidak bergerak seperti tanah, rumah, sawah. Kejahatan ini biasa disebut dengan kejahatan stellionaat, diancam dengan hukuman paling lama 4 (empat) tahun penjara. f. Pasal 167 KUHP; Perkara masuk rumah atau pekarangan tertutup milik orang lain dengan melawan hukum diancam hukuman paling lama 9 (sembilan) bulan penjara. g. Pasal 416 KUHP; Kejahatan pejabat yang menghancurkan, menggelapkan, menghilangkan, atau memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi diancam dengan hukuman paling lama 4 (empat) tahun penjara. h. Pasal 417 KUHP; Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan menghilangkan, menghancurkan, menggelap-kan, merusakkan atau membikin tidak dapat dipakai sesuai peruntukkannya diancam hukuman paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan penjara. K. Penyebar Kebencian/Haartzaai-artikelen 1. Pasal 154 KUHP Barangsiapa dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap kepada Pemerintah Negara Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,- (KUHP 155 s, 207). 2. Pasal 154a KUHP Barangsiapa menodai bendera Kebangsaan Republik Indonesia dan Lembang Negara Republik Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 3.000,-. 178
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
3. Pasal 155 KUHP (1) Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan surat atau gambar, yang isinya menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Negara Indonesia, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu diketahui oleh orang banyak, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun dan enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,(2) Jika si tersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dan pada waktu melakukan itu belum lagi lalu dua tahun sejak keputusan hukumannya yang dahulu lantaran kejahatan serupa itu juga telah mendapat ketetapan, maka dapat ia dipecat dari jabatan itu. (KUHP 154, 156 s, 208, 483 s) 4. Pasal 156 KUHP Barangsiapa dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,(KUHP 154 s). Yang dimaksud golongan dalam pasal ini dan pasal yang berikut, ialah tiap-tiap bahagian dari penduduk Negara Indonesia, yang berbedaan dengan sesuatu atau beberapa bahagian dari penduduk itu lantaran bangsanya (ras), agamanya, tempat asalnya, keturunannya, kebangsaannya atau keadaan hukum negaranya. 5. Pasal 156a KUHP Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
179
Ka p i t a Se l e k t a
a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. 6. Pasal 157 KUHP (1) Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan surat atau gambar, yang isinya menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantaranya atau terhadap golongan-golongan penduduk Negara Indonesia, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu diketahui oleh orang banyak, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,(2) Jika sitersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dan pada waktu melakukan kejahatan itu belum lagi liwat lima tahun sejak keputusan hukumannya yang dahulu lantaran kejahatan serupa itu juga telah mendapat ketetapan, maka dapat ia dipecat dari jabatannya itu. (KUHP 154 s, 483 s) L. Tindak Pidana Keturunan
Terhadap
Perkawinan/
Penggelapan/pemalsuan asal usul pasal 277, 278, 279 KUHP; Pasal 277 ayat (1) KUHP Barangsiapa dengan suatu perbuatan sengaja menggelapkan asal-usul seseorang, diancam karena penggelapan asal-usul dengan pidana penjara maksimum enam tahun; delik ini delik sengaja yang berarti disadari dan dikehendak penggelapan status keluarga seseorang itu. Ini memang 180
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
mungkin telah terjadi tindak pidana berbarengan yaitu pemalsuan surat (pasal 263, 264KUHP) dan delik pasal 277 KUHP. Karena dalam hukum ini harus “menggelapkan status keluarga”, maka yang lebih tepat diterapkan adalah pasal 277 KUHP tanpa diconcursuskan dengan tindak pidana pemalsuan surat-surat tersebut. Perlu diketahui, bagi mereka yang berlaku KUH Perdata maka penuntutan perkara penggelapan asal-usul hanya dapat dilakukan jika sudah ada putusan akhir dari hakim perdata tentang permasalahan asal-usul tersebut (pasal 268 KUH Perdata “Tuntutan pidana karena menggelapkan kedudukan, tak dapat dilancarkan, sebelum keputusan terakhir dalam persengketaan mengenai kedudukan diucapkan” jo pasal 265 KUH Perdata “Bukti permulaan dengan tulisan dapat disimpulkan dari suratsurat kekeluargaan, dari register-register dan catatancatatan kerumahtanggaan si bapak atau si itu, dari aktaakta notaris atau dibawah tangan, bersasal dari pihakpihak yang terlibat dalam persengketaan atau dari mereka yang, andaikata masih hidup, sedianya berkepentingan dalam persengketaan itu”).127 Pasal 529 KUHP Barangsiapa tidak memenuhi kewajibannya menurut undang-undang untuk melaporkan kepada pegawai Catatan Sipil atau perantaranya tentang kelahiran, kematian, diancam dengan pidana denda maksimum seratus rupiah. Pasal 297 KUHP; Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara maksimum enam tahun. 128 127
S.R. Sianturi,Tindak Pidana Di Kitab KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit : Alumni AHM-PTHM, Jakarta,1983 :208-209. Suatu perbuatan mengangkat anak atau mengadopsi anak menurut ketentuan hukum yang berlaku bukanlah perbuatan menggelapkan asal-usul. Kata dengan maksud disini adalah berfungsi sebagai kesengajaan dan seagai tujuan. 128
S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit : Alumni AHM-PTHM, Jakarta,1983 : 249-250) Pasal ini hanya menyebutkan dua 181 An e k a Pe r s o a l a n d i Bi d a n g Hu k u m
E k o n o mi
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Pasal 506 KUHP Barangsiapa sebagai (mucikari/ souteneur) menarik keuntungan dari perbuatan cabul dari seseorang wanita, diancam dengan pidana kurungan maksimum satu tahun, pasal 506 KUHP walaupun ancaman hukumannya kurang dari lima tahun namun dapat dikenakan penahanan.129
oo00oo
nama delik saja yaitu : (a) perdagangan wanita, dan (b) perdagangan anak lakilaki yang belum dewasa. 129
Abdul Hakim G Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Santoso, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan Peraturan Pelaksana, Penerbit Jambatan, Percetakan Anem Kosong Anem, ISBN 9794280054, Anggota IKAPI, Jakarta, 1986, Hal 13-14. 182
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
BAGIAN KEDUA DUA LEMBAGA BUKTI DALAM PROSES PENYELESAIAN TINDAK PIDANA Dalam penyelesesaian tindak pidana, maka ada dua lembaga menurut KUHAP menjadi pegangan dalam proses penyelesaian tindak pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan Penyidangan perkara pidana yaitu dengan alat bukti dan barang bukti.130 Di negara Indonesia beban pembuktian ada pada Jaksa Penuntut Umum, dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak akan sangat sulit dalam proses pembuktian yang dapat meyakinkan hakim bahwa benar pelakunya adalah terdakwa, sedangkan di Amerika Serikat untuk “beban pembuktian berimbang” yaitu baik Jaksa Penuntut Umum maupun terdakwa dan Pembela serentak memberikan bukti yang menyatakan fakta yang sesungguhnya pada kedudukan masing-masing). A.Jenis-jenis Alat Bukti dan Barang Bukti 1. Alat bukti (Pasal 184 ayat (1) KUHAP) a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan Terdakwa; 130
B.Z. Koemolontang, Proses Pembuktian Perkara-Perkara Pidana Termasuk Tindak Pidana Perbankan, (2000), Penerbit Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003 : 29 - 31.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
183
Ka p i t a Se l e k t a
Sedangkan alat bukti dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undangundang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 – 10 – 2002 Pasal 27. Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: 1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; 2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan atau 3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : tulisan, suara, atau gambar; peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. 2. Alat bukti menurut Hukum Perdata Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau pasal 164 RIB (pasal 283 RDS) alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas : bukti dengan surat bukti dengan saksi-saksi; persangkaan-persangkaan; pengakuan; dan sumpah.131 131
R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Politea Bogor, Cetak Ulang 1995 : 121. 184 An e k a Pe r s o a l a n d i Bi d a n g Hu k u m
E k o n o mi
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
3. Bandingkan dengan alat bukti Pasal 100 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN; ayat (1)” Surat atau tulisan; Keterangan Ahli; Keterangan Saksi; Pengakuan Para Pihak; Pengetahuan Hakim”132 4. Sedangkan alat bukti Pasal 42 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dinyatakan “ Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat dan Dokumen; Petunjuk; Keterangan Pelaku Usaha”.)133 5. Barang bukti (Pasal 39 ayat (1) KUHAP) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah : Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; Benda yang dipergunakan untuk menghalanghalangi penyidikan tindak pidana; Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; 132
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986, Pasal 100 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara atau Peradilan Administrasi Negara. 133
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
185
Ka p i t a Se l e k t a
Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.134 B.Tentang Pembuktian Ketentuan untuk kepentingan pembuktian dan putusan dalam pemeriksaan biasa disidang pengadilan negeri, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu perkara tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang telah melakukannya” (cf Pasal 183 Hukum Acara Pidana). Dan dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi untuk memperoleh kebenaran, hakim harus sungguhsungguh memperhatikan (a) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain; (b) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; (c) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu; (d) cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Sedangkan keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya (cf. Pasal.185 ayat (5) Hukum Acara Pidana).135 134
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 76. 1981 Pasal 39 ayat (2) KUHAP yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan pasal 39 ayat (1) KUHAP. 135
Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Santoso, KUHAP dan Peraturan-Peraturan Pelaksana, Penerbit Djambatan, Percetakan Anem Kosong Anem, ISBN 9794280054, Anggota IKAPI, Jakarta, 186 An e k a Pe r s o a l a n d i Bi d a n g Hu k u m
E k o n o mi
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Kalau dibandingkan dengan pemeriksaan perkara pidana, keyakinan hakim mempunyai peranan yang penting, sedangkan dalam pembuktian perkara perdata keyakinan hakim tidak begitu berperan, tanpa didukung dengan tulisan/fakta. Dari alat bukti yang disebutkan diatas, dapat dilihat, bahwa dalam suatu perkara perdata alat bukti (sebagai alat pembuktian/”fakta”) yang utama adalah tulisan, sedangkan dalam perkara pidana kesaksian. Dalam perkara pidana tidak ada sumpah yang dibebankan kepada seorang terdakwa. Karena jika terdakwa dibolehkan bersumpah, ia akan terlalu mudah meluputkan diri dari penghukuman. Sedangkan dalam perkara perdata, sumpah yang oleh Hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu pihak (pasal 1929 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Sumpah pemutus (decissoir) dapat diperintahkan tentang segala persengketaan yang berupa apapun juga.136 Keadaan demikian dapat dimengerti, bahwa seseorang yang melakukan suatu tindak pidana selalu menyingkiri adanya bukti sehingga alat bukti harus dicari dari keterangan orang-orang yang secara kebetulan melihat atau mengalami kejadian-kejadian yang merupakan tindak pidana tersebut. Dengan terjadinya transaksi dalam masyarakat yang sudah maju, dengan sendirinya, tanda-tanda atau bukti-bukti yang paling tepat memanglah tulisan.137
1986 :62-63 Penjelasan pasal 185 ayat (5) dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu) 136
R. Subekti, 1995, Ibid, hal: 59
137
R. Subekti, Mantan Ketua Mahkamah Agung Guru Besar Hukum Perdata, Cetakan Kesebelas, Hukum Pembuktian, PT. Paradnya Paramita, Jakarta, 1995 : Hal 19-20
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
187
Ka p i t a Se l e k t a
C.Penggabungan Kerugian
Perkara
Gugatan
Ganti
Maksud dari pengabungan gugatan dalam perkara pidana adalah supaya perkara gugatan tersebut pada sutau ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Yang dimaksud kerugian bagi orang lain “ termasuk kerugian dari pihak korban. Dalam bebas bagi pelaku, dalam hukum acara pidana diatur tentang “ganti kerugian” yang mana istilah ini tidak dirumuskan dalam hukum pidana materiil. Hal ini muncul pada hukum pidana formil yakni pada Pasal 95 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Istilah “ganti kerugian” merupakan istilah hukum perdata yang timbul akibat “Wanprestasi” dalam perikatan, atau tindakan lain baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Dalam hal ini, ganti kerugian karena undang-undang dimaksudkan dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang bunyinya sebagai berikut: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian, mengganti kerugian tersebut”.138 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 9 ayat (1) Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b 138
Laden Marpaung, Proses tuntutan Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi Dalam Hukum Pidana, Mananjemen PT Raja Grafindo Persada, ISBN 979-421621-6, Cetakan Pertama, Jakarta, 1997: 3-4. Ditegaskan Pasal 48 KUHP daya paksa (overmacht) sejalan dengan pasal 49 ayat (2) KUHP/noodweer (“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana. 188
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp1.000.000,- (satu juta rupiah). Pasal 9 ayat (2) Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp3.000.000,- (tiga juta rupiah). Untuk keadaan darurat disyaratkan, bahwa kerugian yang dapat timbul jika perbuatan menurut delik tidak dilakukan, tidak dengan cara lain daripada dengan melakukan perbuatan itu dapat dihindarkan. Alasan adanya daya paksa tidak dapat diterima, jika keadaan yang memaksa yang diajukan oleh pembentuk undang-undang sudah diperhitungkan terlebih dahulu. Membalas suatu serangan dengan suatu serangan balasan bukan merupakan tindakan membela diri.139 D.Peraturan Pembuktian
Mahkamah
Agung
dalam
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1956 ditegaskan “Pasal 1 Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu perkara perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan 139
Soenarto Soerodibroto, KUHP&KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung Dan Hoge Raad, Edisi Keempat, Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada, Cetakan Ketujuh, ISBN 979-421-288-1, Jakarta, 2002 : hal 41-44.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
189
Ka p i t a Se l e k t a
pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata”. Dan Pasal 2 “Pertangguhan dalam pemeriksaan perkara pidana, ini dapat sewaktu-waktu dihentikan, apabila dianggap tidak perlu lagi”; dan Pasal 3 Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi”.140 Sesudah terjadi perubahan atas Pasal 23 Peraturan Bea Materai dengan Lembaran Negara (Staablad) 1948 No. 135 dan 154, maka yang dikenakan bea materai umum dari Rp3,00 adalah hanya surat-surat yang ditandatangani dan yang dibuat sebagai pembuktian tentang tindakan-tindakan, kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang bersifat hukum keperdataan dan hal-hal yang disebut pada Pasal 23 ke-3 (dengan memperhatikan ketentuan tersebut dalam Pasal 27 dibawah c). Sejak tanggal 1 Juli 1948 jadinya telah dihapuslah bea materai umum dari Rp3.00 bagi semua pembuktian yang bersifat hukum publik yang tidak disebut pada tempat lain dan surat-surat permohonan yang dahulu disebut pada pasal 23 ke 2. (cf. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1952). Dalam praktek perkara pidana masih sering terjadi pemahaman yang tidak sesuai dengan ketentuan perihal “Cek sebagai barang bukti” Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 20 tahun 1969 tanggal 17 140
R.S. Kartanegara, Mahkamah Agung Wakil Ketua Atas Perintah Majelis Panitera Ttd Mr. Ranoe Atmaja Jakarta 23 Mei 1956. dalam Himpunan Edaran Dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia 1951-2005, Dilengkapi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Penerbit Citra Mandiri, Jakarta 2005 :35-36 190
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Nopember 1969 sehubungan dengan surat Team koordinasi Pelaksana Undang-undang Nomor 17 Tahun 1964 kepada Mahkamah Agung tanggal 13 Agustus 1969 Nomor 129/Team U2.17/1969, yang isinya antara lain :” Agar cek kosong yang dijadikan barang bukti persidangan, tidak perlu diajukan dan cukup dibuktikan dengan Penolakan cek kosong oleh Bank yang menolaknya, dengan alasan bilamana Hakim yang memerintahkan pemusnahan barang bukti sangat mengkawatirkan kepentingan kegunaan cek tersebut sebagai barang bukti perkara perdata, karena cek dimaksud adalah juga merupakan barang bukti dalam suatu gugatan Perdata oleh si pemegang terakhir141. E.Berbagai Bentuk Pemberantasannya
Tindak
Pidana
dan
1. Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Terorisme pada Peledakan Bom di Bali: Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat Internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat, mengacaukan kehidupan umat 141
Himpunan Edaran Dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia 1951-2005, Dilengkapi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Penerbit Citra Mandiri, Jakarta 2005 : 252.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
191
Ka p i t a Se l e k t a
manusia, perekonomian negara, sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Untuk mencapai tujuan itu Pemerintah wajib memelihara dan menegakkan kedaulatan dan melindungi setiap warganegaranya dari setiap ancaman atau tindakan destruktif baik dari segi dalam negeri maupun dari luar negeri.142 Ketentuan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan, sedangkan dalam proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam mendapatkan bukti permulaan yang cukup dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari; dan Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7x24 jam (tujuh kali dua puluh empat) jam. (cf. ps. 25 ayat (2) & pasal 26 ayat (3) dan pasal 28 Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Setelah dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 2002, maka Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan DPR RI kembali mensahkan UndangUndang No 15 Tahun 2003 dan Undang-Undang No 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan tentang Tindak Pidana 142
Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Bom Di Bali tanggal 12 Oktober 2002, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2003 : 61-62. 192
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002. Pemberantasan tindak pidana terorisme dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk memperkuat ketertiban masyarakat, dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antar golongan. Bab III pasal 6 tentang Tindak Pidana Terorisme “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Bab III Pasal 7 tentang Tindak Pidana Terorisme “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
193
Ka p i t a Se l e k t a
internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup. Bab III Pasal 10 tentang Tindak Pidana Terorisme “Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, senjata radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap seorang secara meluas, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional. Bab III Pasal 18 tentang Tindak Pidana Terorisme. (1). Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus ditempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor; (2). Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana denda paling banyak Rp1.000.000.000.000,- (satu tiliun rupiah); 3) Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dilakukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang. Ketentuan Pemerintah Pengganti undangundang ini tidak berlaku bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes, maupun kegiatan yang bersifat advokasi. Apabila dalam kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut terjadi tindakan yang mengandung unsur pidana, maka diberlakukan 194
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan ketentuan peraturan perundang-undangan diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ayat (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Mengenai kompensasi dan rehabilitasi setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi (cf. pasal 36 ayat (1) Tentang Terorisme); dan pasal 37 ayat (1) Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau putus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan kerja sama internasional dengan negara lain dibidang intelijen, kepolisian dan kerjasama teknis lainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan sejalan dengan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1373 (2001) yang menyerukan semua negara untuk bekerjasama mendukung dan membantu Pemerintah Indonesia untuk mengungkap pelaku yang terkait dengan tindak pidana terorisme dan membawanya ke pengadilan. 2. Tindak Pidana di Bidang Perbankan (TIPIBANK) An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
195
Ka p i t a Se l e k t a
Sebagaimana diketahui, bank sebagai lembaga yang bekerja berdasarkan kepercayaan masyarakat dengan prinsip kehati-hatian, khususnya terhadap masyarakat penyimpan dana, mempunyai peranan dan posisi yang strategis dalam pembangunan ekonomi. Deregulasi sektor perbankan telah membawa dampak berupa perkembangan yang pesat dalam industri perbankan, baik dari segi jumlah bank dan kantornya maupun volume kegiatan usahanya. Dengan semakin bertambahnya jumlah bank dan jumlah kantor bank, maka setiap bank dituntut untuk mampu bersaing dalam menghimpun dana masyarakat. Berbagai jasa perbankan dan produk jasa perbankan dikeluarkan guna menarik nasabah sebanyak mungkin. Bahkan masing-masing bank juga bersaing dalam memberikan tingkat bunga simpanan yang cukup tinggi dan intensif bagi nasabah penyimpan dana, baik berupa hadiah, kemudahan serta penggunaan teknologi canggih untuk menunjang berbagai kegiatan tersebut. Sejalan dengan pesatnya perkembangan kegiatan transaksi perbankan, besarnya jumlah dana masyarakat yang berhasil dihimpun dan disalurkan serta penggunaan teknologi yang semakin canggih, maka peluang terjadinya penyimpangan dibidang perbankan, baik yang bersifat administratif, perdata mapun pidana juga semakin terbuka lebar. Dalam hubungan ini, upaya perlindungan atas keamanan dana masyarakat perlu ditingkatkan. Perlindungan terhadap dana masyarakat yang disimpan pada bank dapat ditempuh melalui berbagai upaya antara lain dengan memberikan pedoman kepada bankbank untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudential regulation). 196
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Mengingat pentingnya peran serta perbankan dalam pembangunan ekonomi, maka keberadaan lembaga perbankan memerlukan landasan hukum dan ketentuan yang menjadi pedoman dalam kegiatan operasional perbankan. Ketetuan yang mengatur dan berlaku dibidang perbankan tersebut merupakan ketentuan hukum yang harus dipatuhi oleh bank dalam melaksanakan kegiatan usahanya sehari-hari. Selain itu, diperlukan juga ketentuanketentuan yang dimaksudkan sebagai rambu agar perbankan dikelola dengan sebaik-baiknya, sehingga kepercayaan masyarakat dapat terpelihara dan semakin meningkat. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, menegaskan kedudukan Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan dengan tugas dan kewenangan antara lain : Memberikan dan mencabut izin usaha perbankan; Menetapkan peraturan dalam bidang perbankan; Melakukan pengawasan terhadap bank; Mengenakan sanksi terhadap bank yang melanggar ketentuan perbankan. Hubungan Bank Indonesia dengan pemerintah Bab VIII Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Bank Indonesia bertindak sebagai pemegang kas Pemerintah. Ditegaskan sebagai pemegang kas Pemerintah, Bank Indonesia pada dasarnya menatausahakan seluruh rekening Pemerintah. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
197
Ka p i t a Se l e k t a
Pelaksanaan penatausahaan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan Bank Indonesia bersama Pemerintah. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah laporan pada Pasal 61 ayat (1) selesai disusun, Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan tersebut kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk dimulai pemeriksaan. (cf. Pasal 61 ayat (2) tentang Bank Indonesia).143 Sedangkan dalam rangka melaksanakan tugas mengatur Bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian. (cf. Pasal 25 ayat (1) tentang Bank Indonesia). Dijelaskan dalam hal ini, pengaturan dan pengawasan Bank mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Ketentuanketentuan perbankan yang memuat prinsip kehatihatian bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan, guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Mengingat pentingnya tujuan mewujudkan sistem perbankan yang sehat, maka peraturanperaturan dibidang perbankan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia harus didukung dengan sanksisanksi yang adil. Pengaturan Bank berdasarkan prinsip kehati-hatian tersebut disesuaikan pula
143
Rowita Roza, Bank Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 23 Tahun 1999 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843, Penjelasan Undang-Undang Nomr 3 Tahun 2004 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357, penjelasan Pasal 61 ayat (2) halaman : 108. Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan tugasnya memeriksa laporan keuangan Bank Indonesia dapat menggunakan jasa kantor akuntan publik yang memiliki reputasi internasional. 198
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
dengan standar yang berlaku secara 144 internasional. Dalam rangka menegakkan hukum di lingkungan perbankan Indonesia, menjaga kewibawaan serta citra aparatur negara, dan mengamankan dana masyarakat yang ada pada bank serta kekayaan negara, dipandang perlu untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana dibidang perbankan, khususnya dengan yang ditemukan oleh Bank Indonesia. Untuk keperluan tersebut telah dilakukan kerjasama antara Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Bank Indonesia yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI dan Gubernur Bank Indonesia:KEP-126/JA/11/1997, KEP/10/XI/ 1997 dan 30/6/KEP/GBI Tanggal 6 Nopember 1997 tentang Kerjasama Penanganan Kasus Tindak Pidana di Bidang Perbankan, dan ditindaklanjuti dengan Petunjuk Pelaksanaan yang telah ditanda tangani pada tanggal 01 September 1999 oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Komandan Korps Reserse Markas Besar POLRI dan Deputi Gubernur Bank Indonesia. Untuk membantu memperlancar proses penyidikan dugaan penyimpangan dibidang perbankan yang mengandung unsur pidana, berdasarkan SK DIR. BI No. 31/181/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998, Bank Indonesia membentuk Tim Investigasi Penyimpangan di Bidang Investigasi dugaan penyimpangan dibidang 144
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Pengesahan dan pengundangan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7 tentang Bank Indonesia.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
199
Ka p i t a Se l e k t a
perbankan yang dilakukan oleh pengurus bank, pemegang saham bank, karyawan bank, dan atau pihak lain yang menjadikan bank sebagai sarana atau obyek untuk melakukan tindak pidana.145 Bahwa untuk memperlancar, mempercepat dan mengoptimalkan penanganan tindak pidana dibidang perbankan, dipandang perlu untuk meningkatkan kerjasama antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Bank Indonesia. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia NO. KEP126/JA/11/1997, KEP/10/XI/1997, 30/6/KEP/GBI tanggal 6 November 1997 perlu diganti dengan Surat Keputusan Bersama yang baru tentang Kerjasama penanganan Tindak Pidana di Bidang Perbankan, dengan Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Gubernur Bank Indonesia dengan masing-masing S K No. No. KEP902/A/J.A./12/2004, No. POL:SKep/924/XII/2004, dan No. 6/91/KEP.GBI/204 Tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perbankan. dengan Petunjuk Pelaksanaan No. KEP01/E/EJP/12/2004, No. KEP-001/F/FJP/12/2004, No. POL:KEP/69/XII/2004 dan No. 6/34/KEP.DGS/2004 Tentang Cara Kerjasama Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perbankan. Dalam penanganan penyimpangan perbankan yang ada indikasi tindak pidana dibidang perbankan 145
Wildan Suyuthi, Kapusdiklat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, 2003 hal 37-40 disampaikan dalam Seminar Perbankan di Era Reformasi“ yang diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum (LPLIH) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 6 Nopember 2000. 200
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Bank Indonesia membentuk Tim Kerja dan Tim Pleno, untuk membahas bersama tentang adanya informasi terjadinya penyimpangan dibidang usaha yang berkaitan dengan perbankan.146 a. Tindak Pidana Dibidang Perbankan menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Pengaturan mengenai ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 192 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tidak secara tegas menyebutkan jenis-jenis tindak pidana dibidang perbankan. Ketentuan Pasal 46 sampai dengan Pasal 50 A Undang-undang dimaksud, secara garis besar mengelompokkan jenis-jenis tindak pidana dibidang perbankansebagai berikut : - Tindak pidana berkaitan dengan perizinan; - Tindak pidana berkaitan dengan kegiatan usaha; - Tindak pidana berkaitan dengan rahasia Bank - Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan bank oleh Bank Indonesia; - Tindak pidana berkaitan dengan pihak terafiliasi Berkenaan dengan pasal-pasal mengenai tindak pidana dibidang perbankan (TIPIBANK) yang cukup signifikan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah mengenai 146
Da’i Bachtiar, KAPOLRI, Abdul Rahman Saleh Jaksa Agung RI, Burhanuddin Abdullah Gubernur Bank Indonesia tanggal 20 Desember 2004, Direktorat Investigasi Dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia, Jakarta, 20 November 2006.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
201
Ka p i t a Se l e k t a
pengenaan sanksi yang jauh lebih berat dan ditetapkan minimum dan maksimum dalam hal terjadi tindak pidana dibidang perbankan. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan mengenai masing-masing tindak pidana tersebut, sebagai berikut : 1) Tindak pidana berkaitan dengan perizinan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengatur bahwa “barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus milyar rupiah); “Selanjutnya dalam Pasal 46 ayat (2) dinyatakan bahwa “dalam hal kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat tanpa izin Pimpinan Bank Indonesia tersebut dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka tuntutan pidana terhadap badan-badan dimaksud dilakukan terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu, atau terhadap yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduaduanya.” Keharusan adanya izin Pimpinan Bank Indonesia bagi kegiatan penghimpunan dana masyarakat tersebut erat kaitannya dengan 202
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
masalah pengawasan kegiatan tersebut oleh Bank Indonesia. Latar belakang ketentuan dimaksud adalah bahwa kegiatan menghimpun dana masyarakat oleh siapapun pada dasarnya perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut. Sebagai contoh kasus penghimpunan dana masyarakat tanpa izin, yang dalam masyarakat sering disebut praktek bank gelap, adalah kasus penghimpunan dana masyarakat oleh Yayasan Keluarga Adil Makmur (YKAM) yang terjadi pada tahun 1998 di Jakarta. Kasus lain yang terjadi setelah berlakunya Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 adalah praktek bank gelap oleh Wijaya Bank di Jakarta pada tahun 1992. Selain itu, yang perlu mendapat perhatian yang serius adalah kegiatan koperasi simpan pinjam, seperti KOSPIN di Sulawesi Selatan dan MLM Sumatera Utara, Koperasi Sembilan Sejati (KSS) yang kegiatannya cenderung menyerupai bank, yaitu menerima simpanan dalam jumlah yang besar dengan memberikan imbalan bunga yang relatif besar. Model penanaman Investasi atau penanaman modal dalam bentuk pengumpulan dana masyarakat dan memberikan bunga yang besar tanpa izin Pimpinan Bank Indonesia seperti Wahana Bersama Globalindo di Jakarta, Surabaya, dan di Semarang juga diproses dan tersangkanya/ terdakwanya diajukan ke Pengadilan dengan sangkaan/dakwaan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan segaiamna diubah dengan An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 203
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Kegiatan seperti KOSPIN, Koperasi Sembilan Sejati, Wahana Bersama Globalindo dan MLM tersebut dapat menimbulkan distorsi dalam sistem perbankan nasional. 2) Tindak pidana berkaitan dengan usaha Bank dapat melakukan berbagai kegiatan usaha yang meliputi penghimpunan dana, penyaluran dana dan kegiatan lain seperti : menerbitkan surat pengakuan hutang; membeli, menjual atau menjamin surat-surat berharga; memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun nasabahnya; melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak (custodian); melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat; melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang 147 ditetapkan Bank Indonesia. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Thaun 1998, ketentuan pidana yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank diatur dalam Pasal 49 ayat (1) dengan ancaman pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda 147
Wildan Suyuthi, Kapusdiklat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, 2003 :44 -55. 204
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus milyar rupah) dan Pasal 49 ayat (2) yang mengancam pidana sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) di atas bersifat umum, dengan kata lain dapat terjadi dalam seluruh kegiatan usaha bank, baik dalam rangka penghimpunan dana, penyaluran dana, maupun dalam kegiatan usaha bank lainnya. Tindak pidana tersebut antara lain berupa membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan bank atau menghilangkan pencatatan dalam pembukuan bank. Sedangkan dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a, khusus ditujukan bagi tindak pidana yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank berupa penyaluran dana, misalnya meminta dan atau menerima imbalan dari nasabah yang memperoleh fasilitas dari bank. Contoh kasus dalam tindak pidana Pasal 49 dimaksud antara lain Kasus tindak pidana Bank Citra. Tindak pidana dimaskud berupa penarikan dana secara tidak sah dan merekayasa transaksi obligasi, deposito dan Surat Berharga Pasar Uang (SPBU), dimana uang tersebut tidak dimasukkan kedalam rekening Bank Citra, namun yang berjumlah An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 205
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
puluhan milyar itu dimasukkan kedalam rekening pribadi para terdakwa. Majelis Hakim dalam putusannya telah menyatakan bahwa para terdakwa terbukti bersalah dan dihukum penjara 3 (tiga) bulan serta denda masing-masing sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya meminta hakim menjatuhkan pidana 6 (enam) bulan. Apabila putusan diatas dikaji, maka dikhawatirkan hukuman yang relatif tidak berat dapat menjadi reseden buruk dan tidak membuat jera para bankir nakal untuk melakukan tindak pidana perbankan. Untuk itu maka dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diatur ancaman pidana minimum dan maksimum yang cukup berat. Contoh lain dalam tindak pidana Pasal 49 adalah kasus PT. Bank Bali. Modus operandi tindak pidana dibidang perbankan dimaksud adalah pengalihan tagihan Bank Bali terhadap PT. Bank Dagang Nasional Indonesia dan PT. Bank Umum Nasional sebesar Rp798.000.000.000,00 (tujuh ratus sembilan puluh delapan milyar rupiah) kepada PT. Er Giat Prima, yang tidak dicatat dalam pembukuan bank dan tidak dilaporkan kepada Bank Indonesia. Berkas perkara tindak pidana tersebut saat ini sedang dalam proses di Kejaksaan yang segera dilimpahkan kepada Pengadilan. Proses peradilan kasus tersebut menjadi lebih rumit setelah terdakwa Djoko S. Chandra divonis bebas oleh Majelis Hakim, dengan alasan transaksi cessie yang 206
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
menyebabkan/mengakibatkan mengalirnya dana negara kedalam rekening PT. EGP adalah transaksi perdata. Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia non aktif didakwa melakukan tindak pidana korupsi, sedangkan pelaku utama yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut sampai sekarang tidak jelas. 3) Tindak pidana berkaitan dengan ketentuan rahasia bank Ketentuan pidana berkaitan dengan rahasia bank diatur dalam ketentuan Pasal 47 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Ketentuan tersebut merupakan pemaksa (law enforcement) dari ketentuan rahasia bank sebagaimana diatur dalam Pasal 40 sampa dengan Pasal 44A. Dalam ketentuan lama, yakni Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (sebelum diubah) diatur bahwa cakupan rahasia bank meliputi segala keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan. Ketentuan rahasia bank seperti diatur dalam Undang-Undang Nor 7 Tahun 1992 tersebut memang bersifat dilematis, mengingat disatu pihak rahasia bank diperlukan untuk menjaga kepercayaan masyarakat untuk menjamin usaha kelangsungan usaha bank sehingga cakupannya perlu diatur seluasluasnya, namun dilain pihak cakupan yang luas dimaksud dapat digunakan sebagai tameng An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 207
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
oleh pihak-pihak tertentu yang beritikad tidak baik, misalnya debitur nakal yang memiliki kredit macet di perbankan. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; cakupan rahasia bank tersebut dipersempit yaitu hanya meliputi data tentang nasabah penyimpan dan simpanannya, sehingga Pasal 40 berbunyi sebagai berkut: “ Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.” Dengan demikian keterangan mengenai nasabah pengguna jasa bank selain sebagai nasabah penyimpan bukan lagi merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank. Disamping itu pengecualian atas ketentuan rahasia bank dimaksud diperluas, sehingga meliputi : kepentingan perpajakan, atas perintah tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia; kepentingan penagihan piutang bank oleh BUPLN/PUPN, atas izin Pimpinan Bank Indonesia. Kepentingan peradilan perkara pidana, atas izin Pimpinan Bank Indonesia; Kepentingan perkara perdata; Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank; Permintaan atau persetujuan tertulis nasabah; 208
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Kepentingan nasabah.
ahli
waris
yang
sah
dari
Ancaman pidana berkaitan dengan rahasia bank ini dikenakan terhadap: pihak yang dengan sengaja memaksa bank untuk memberikan keterangan rahasia bank; direksi, komisaris, pegawai bank yang dengan sengaja mrmbuka keterangan rahasia bank; direksi, komisaris, pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan rahasia bank yang wajib dipenuhi. 4) Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan bank oleh Bank Indonesia Dalam rangka pembinaan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia, bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya, memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada pada bank serta menyampaikan laporan-laporan dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu : (1). Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 209
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp5.000.000.00,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah). (2). Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak 2 (dua) milyar rupiah.
210
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
5) Tindak pidana yang berkaitan dengan pihak terafiliasi Pihak terafiliasi menurut ketentuan Pasal 1 Undag-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan terdiri atas : Anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank; Anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat, atau karyawa bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Pihak yang memberikan jasanya kepada bank, atara lain, akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya; Pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan Bank, antara lain, pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus. Aturan mengenai ancaman hukuman pidana terhadap pihak terafiliasi tersebut diatas ditetapkan dalam ketentuan Pasal 50 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
211
Ka p i t a Se l e k t a
lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah)” Tindak pidana dan ancaman hukuman bagi pihak terafiliasi tersebut diatas sama dengan tindak pidana dan ancaman bagi anggota dewan komsiaris, direksi atau pegawai bank sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b. Khusus bagi pemegang saham yang selama ini tidak tersentuh ancaman pidana, dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 diatur suatu ketentuan pidana baru dalam Pasal 50A, yang pada dasarnya mengatur mengenai ancaman pemegang saham/pemilik suatu bank, sebagai berikut: “Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan Direksi, Direksi atau pegawai Bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus milyar rupiah).” Dari 11 tindak pidana yang ada dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, dalam Pasal 51 diatur bahwa 10 jenis tindak pidana 212
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47A, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, dan Pasal 50, Pasal 50A digolongkan sebagai kejahatan, berarti bahwa terhadap perbuatan-perbuatan dimaksud akan dikenakan ancaman hukuman yang lebih berat dibandingkan apabila hanya sebagai pelanggaran. Hal ini mengingat bahwa bank adalah lembaga yang menyimpan dana yang dipercayakan masyarakat kepadanya, sehingga perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya kepercayaan masyarakat kepada Bank, yang pada dasarnya juga akan merugikan bank maupun masyarakat, perlu selalu dicegah. Sedangkan satu jenis tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Psal 48 ayat (2) digolongkan sebagai pelanggaran yang sanksi pidananya lebih ringan daripada tindak pidana yang digolongkan sebagai kejahatan. F. Peranan Bank Indonesia dalam Penegakan Hukum di Bidang Perbankan Berdasarkan ketentuan Pasal 29 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Perbankan serta Pasal 24 sampai dengan Pasal 35 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank-bank. Dalam kedudukan sebagai pembina dan pengawas bank, melalui laporan-laporan bank dan terhadap bank yang bersangkutan, Bank Indonesia dapat mengetahui berbagai hal menyangkut keadaan bank, termasuk kemungkinan apabila pada bank tersebut terjadi suatu tindak pidana dibidang perbankan. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
213
Ka p i t a Se l e k t a
Apabila pada suatu bank terjadi suatu peristiwa yang mengandung indikasi tindak pidana dibidang perbankan, maka dalam rangka memproses tindak pidana dimaksud Bank Indonesia dapat bertindak sebagai : 1. Pelapor Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengawasan Bank Indonesia atau informasi dari pihak lain, diketahui bahwa pada suatu bank diduga telah terjadi tindak pidana perbankan, maka untuk membantu mengungkapkan dugaan tindak pidana dimaksud, Bank Indonesia melalui UKIP melakukan investigasi. Dalam investigasi tersebut diupayakan untuk memperoleh bukti-bkti awal yang cukup, mengidentifikasi pelaku yang diduga terlibat, dan memberikan informasi awal mengenai ketentuan pidana yang tepat untuk menjerat pelaku. Selanjutnya, hasil investigasi dimaksud akan dibahas bersama aparat penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) untuk memastikan adanya unsur pidana. Apabila dalam pembahasan tersebut diperoleh keyakinan bahwa penyimpangan dimaksud mengandung unsur pidana, maka hasil pembahasan akan diteruskan/dilaporkan kepada Kepolisian dan Kejaksaan untuk ditindaklanjuti. Tugas dari saksi pelapor adalah melaporkan adanya dugaan tindak pidana dibidang perbankan kepada pihak penyidik, untuk selanjutnya oleh pihak penyidik ditindak lanjuti melalui proses penyelidikan dan penyidikan, sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. 2. Saksi Dalam proses penyidikan dan persidangan tindak pidana dibidang perbankan, biasanya Bank 214
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Indonesia akan diminta oleh pihak berwajib atau pengadilan sebagai saksi, karena pengawas Bank Indonesia menemukan/mengetahui penyimpangan atas tindak pidana yang terjadi. Tugas dari; Saksi adalah memperkuat adanya dugaan adanya tindak pidana dibidang perbankan yang telah dilaporkan kepada penyidik antara lain memberikan keterangan mengenai tindak pidana yang dilakukan, modus operandi, tersangka, tugas dan wewenang saksi dihubungkan dengan dugaan tindak pidana perbankan yang dilakukan. 3. Saksi Ahli Apabila dalam suatu proses perkara pidana yang menyangkut bank diperlukan keterangan ahi dibidang perbankan, maka Bank Indonesia yang karena keahliannya dianggap sebagai pihak yang mengetahui berbagai hal dan ketentuan yang berkaitan dengan tindak pidana yang terjadi, biasanya akan diminta memberikan keterangan ahli. Tugas saksi ahli adalah memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya dihubungkan dengan dugaan tindak pidana dibidang perbankan yang dilakukan. Dalam hal Bank Indonesia akan bertindak sebagai saksi pelapor, saksi, dan saksi ahli dalam proses perkara pidana dibidang perbankan, Pimpinan Bank Indonesia akan menguasakan tindakan tersebut kepada pejabat Bank Indonesia yang ditunjuk sebagai saksi pelapor dan saksi ahli, untuk bertindak sebagai saksi dapat ditunjuk pejabat dan atau staf sesuai kebutuhannya. Kepada saksi pelapor, saksi, dan saksi ahli sebelum melakukan tugasnya terlebih dahulu diberikan surat kuasa khusus untuk maksud tersebut. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
215
Ka p i t a Se l e k t a
Bagi bank-bank yang bersangkutan, apabila diketahui dalam banknya terjadi tindak pidana, bank tersebut dapat segera melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 108 KUHAP ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut: “Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan”. Sedangkan petugas dari Bank Indonesia sebagai pegawai negeri dalam rangka tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa penyimpangan di bank-bank yang merupakan suatu peristiwa tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik, yang mana laporan yang diajukan harus secara tertulis dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu, yang oleh Pimpinan Bank Indonesia diberi surat kuasa khusus”. Perlu dikemukakan bahwa menurut Pasal 51 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, tindak pidana dibidang perbankan yang diatur dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A adalah merupakan kejahatan. Dalam ketentuan tersebut tidak ditegaskan mengenai adanya keharusan pengaduan terlebih dahulu. Dengan demikian tindak pidana tersebut bukan merupakan delik aduan, sehingga apabila Kepolisian mengetahui atau mendapat laporan dari masyarakat bahwa telah terjadi tindak pidana dibidang perbankan, maka Kepolisian harus segera melakukan penyelidikan dan penyidikan. 216
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
G.Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dalam Tindak Pidana di Bidang Perbankan Terhadap tindak pidana dibidang perbankan, selain berlaku ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perbankan serta Undangundang Tindak Pidana Korupsi, berlaku juga beberapa ketentuan dalam KUHPidana. Dalam hal tindak pidana di bank tidak dapat dijaring dengan ketentuan Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-undang Perbankan atau ketentuan dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, maka tindak pidana dimaksud dapat dijaring dengan ketentuan KUHPPidana. Sebagai contoh, dalam hal tindak pidana tersebut berkaitan dengan tindakan pemalsuan dokumen atau warkat, maka dapat diberlakukan Pasal 263 KUHPidana dan atau Pasal 264 KUHPidana yang mengatur tentang pemalsuan surat. Selanjutnya, apabila tindakan yang dilakukan adalah tindakan penggelapan dapat dikenakan ketentuan Pasal 372 KUHPidana yang mengatur mengenai penggelapan, sedangkan apabila tindakan yang dilakukan adalah penipuan, maka dapat dikenakan ketentuan Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Demikian pula halnya apabila secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau kebohongan, menggerakkan orang lain supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, dikenakan ketentuan Pasal 378 KUHPidana mengenai perbuatan curang (penipuan). Contoh kasus perbankan yang dijaring dengan ketentuan KUHPidana adalah pembobolan Kantor Perwakilan PT Bank Negara Indonesia New York yang dilakukan oleh Rudy Demsy dengan modus operandi mentransfer dana dari bank tersebut melalui An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
217
Ka p i t a Se l e k t a
personal computer yang dilengkapi dengan modem. Kasus tersebut digolongkan sebagai tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHPidana).148 H. Beberapa Kendala dalam Penerapan Ketentuan Pidana Undang-Undang Perbankan Sebagaimana telah diuraikan di atas, untuk menjerat pelaku tindak pidana dibidang perbankan dapat digunakan berbagai ketentuan pidana yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun demikian, terdapat beberapa penyimpangan praktek perbankan yang pada dasarnya apabila dilihat dari modus operandinya telah merugikan bank namun sulit untuk dijerat dengan ketentuan pidana, baik Undang-undang Perbankan, Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, maupun KUHPidana; Adapun modus operandi penyimpangan dimaksud antara lain adalah : 1. Bank memberikan kredit kepada sebuah perusahaan dimana komisaris perusahaan dimaksud juga menjabat sebagai direktur pada bank pemberi kredit. Secara langsung, pemberian kredit tersebut dapat dikategorikan sebagai pemberian kredit kepada pihak terkait, karena komisaris perusahaan penerima kredit juga merupakan direktur bank pemberi kredit, sehingga seharusnya dilaporkan dalam laporan BMPK, tetapi Bank justru tidak melaporkannya. Sebelum kredit tersebut disalurkan, perusahaan penerima kredit melakukan perubahan kepengurusan dimana direktur bank pemberi kredit tidak menjabat lagi sebagai komisaris pada perusahaan penerima kredit. Perubahan tersebut diduga dilakukan dengan tanggal mundur yang 148
Wildan Suyuthi, Kapusdiklat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, 2003 : 56-58 218
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
bertujuan untuk menghindari agar perusahaan penerima kredit tidak dikategorikan sebagai perusahaan terkait. 2. Bank memberikan kredit kepada seorang debitur yang berdasarkan perjanjian kredit bertujuan untuk membiayai pembangunan pabrik sepatu milik debitur. Namun demikian, dalam kenyataannya kredit tersebut digunakan untuk tujuan yang lain yaitu ditransfer keluar negeri untuk membiayai kepentingan debitur yang bersangkutan diluar negeri. 3. Bank telah menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang memutuskan: a. Bank akan melakukan merger dengan bank lain yang diperkirakan akan efektif dilaksanakan pada tanggal 10 Juni 1998; b. Terhitung sejak dilakukan merger, seluruh anggota direksi dan dewan komisaris bank diberhentikan dengan hormat; c. Memberikan/membayar pesangon kepada seluruh anggota direksi dan dewan komisaris bank terhitung pada tanggal efektif merger. Berdasarkan keputusan RUPS tersebut, pada tanggal 10 Juni 1998 bank membayar uang pesangon kepada seluruh anggota direksi dan dewan komisaris, walaupun bank belum melakukan merger secara efektif. Pada kenyataannya, bank yang bersangkutan memang tidak pernah melakukan merger dengan bank lain. Seluruh penyimpangan tersebut di atas, secara langsung telah merugikan keuangan bank, khususnya nasabah penyimpan dana, namun sulit untuk dijerat dengan ketentuan pidana. Kesulitan tersebut merupakan kendala yang seyogyanya dapat segera diatasi, agar para pelaku penyimpangan praktek perbankan dalam bentuk apapun yang nyata-nyata An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
219
Ka p i t a Se l e k t a
merugikan bank dapat dikenakan sanksi pidana. Selain itu, penyelesaian kendala tersebut dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat penyimpan dana pada bank karena kemungkinan penyalahgunaan dananya oleh oknum bank dapat diperkecil. Kesimpulan 1. Hukum dibidang perbankan hingga saat ini masih terus berkembang mengikuti perkembangan perbankan, kebutuhan masyarakat dan kondisi perekonomian yang terjadi. 2. Sejalan dengan perkembangan perbankan, tindak pidana dibidang perbankan yang merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi, cenderung semakin meningkat sehingga mengancam sistem perbankan dan berkurangnya kepercayaan masyarakat pada bank. 3. Bank Indonesia harus berupaya menegakkan hukum dibidang perbankan, khususnya hukum pidana dibidang perbankan. Salah satu upaya penegakan hukum tersebut adalah melakukan kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait dalam penanganan dan pemeriksaan tindak pidana dibidang perbankan, yaitu Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Mahkamah Agung. 4. Upaya lain yang dapat dilakukan dalam rangka menghadapi tindak pidana dibidang perbankan adalah ditindak dan dihukumnya para bankir nakal dengan hukuman yang cukup berat, sehingga selain dapat membuat jera pelakunya juga dapat mengurangi terjadinya tindak pidana dibidang perbankan. 5. Perlu segera diambil langkah-langkah yang tepat untuk merumuskan suatu ketentuan pidana dimana seluruh pelaku penyimpangan praktek perbankan, terutama yang perbuatannya dapat merugikan bank 220
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
dan nasabah penyimpan dana, dapat dijerat dengan sanksi pidana. I. Penegakan Permukiman
Hukum
Perumahan
dan
Persoalan tentang tanah, perumahan dan permukiman dalam pembangunan nasional sangat membutuhkan tanah, tetapi kebutuhan tersebut tidak terlalu mudah untuk dipenuhi. Hal yang demikian sudah ditegaskan oleh pemerintah dan dalam konsiderans Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksana pembangunan bagi kepentingan umum, yang menyatakan : 1. Bahwa pembangunan nasional, khususnya pembangunan fasilitas untuk kepentingan umum, memerlukan bidang tanah yang cukup dan untuk itu pengadaannya perlu dilakukan dengan sebaikbaiknya; 2. Bahwa pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah; 3. Bahwa atas pertimbangan tersebut pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan cara musyawarah langsung dengan pemegang hak atas tanah. Tanah sebagai komoditas dan umumnya berada dan dikuasai serta dimiliki oleh perorangan yang belum tentu sepenuhnya bersedia menyerahkan tanahnya kepada pemerintah atau orang lain yang akan membangun suatu proyek tertentu atau permukiman di An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
221
Ka p i t a Se l e k t a
atas tanah yang bersangkutan. Memaksakan orang untuk menyerahkan tanahnya pada dasarnya adalah sebuah perkosaan hak yang selain dilarang oleh Hukum Adat, juga tidak seharusnya terjadi dalam negara hukum149 J. Ketentuan Pidana Bab VII Pasal 36 Undangundang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat didalam Undang-Undang Dasar 1945 dilaksanakan pembangunan nasional, yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriyah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila. Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya dan menampakkan jati diri. Untuk menjamin kepastian dan keteriban umum dalam pembangunan dan pemilikan, setiap pembangunan rumah hanya dilakukan diatas tanah yang dimiliki 149
Muhadar, Viktimisasi Kejahatan di Bidang Pertanahan, Editor Retnoningsih, diterbitkan LaksBang PRESSindo, Produksi Lamsuri, ISBN:97999912-5-0, Cetakan I, Yogyakarta, 2006 : 1-3. 222
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembangunan dibidang perumahan dan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta. Di samping usaha peningkatan pembangunan perumahan dan permukiman perlu adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan dan pengelolaannya. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah memberikan landasan bagi pembangunan perumahan dan permukiman yang pada hakikatnya sangat kompleks dan bersifat multi dimensional serta multi sektoral, perlu ditangani secara terpadu melalui koordinasi yang berjenjang di setiap tingkat pemerintahan serta harus sesuai dengan tata ruang. Di samping itu, Undangundang Nomor 5 Tahun 1974 juga memberikan landasan bagi pembinaan perangkat kelembagaan di daerah dalam rangka penyerahan urusan pemerintahan didarah dengan pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada daerah tingkat II. Guna menjawab tuntutan kebutuhan perumahan dan pemukiman pada masa kini dan masa yang akan datang, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomer 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2611) sudah tidak sesuai. Sehubungan dengan itu untuk kepastian hukum maka dipandang perlu untuk mengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
223
Ka p i t a Se l e k t a
tersebut dengan udang-undang baru tentang Perumahan dan Permukiman. Pasal 36 Ayat (1) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24 dan Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 36 Ayat (2) Setiap orang karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Ayat (3) Setiap badan karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24, Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan setinggi-tingginya 1(satu) tahun dan atau denda setinggi-tinggginya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Ayat (4) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara setinggi-tingginya 2 tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Pasal 7 Ayat :(1) Setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib : a. Mengikuti persyaratan teknis, ekologis, dan administratif, b. Melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan. Penjelasan Pasal 7 ayat (1) : 224
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Yang dimaksud dengan membangun rumah atau perumahan termasuk membangun baru, memugar, memperluas rumah atau perumahan, dengan mempertimbangkan faktor-faktor setempat mengenai keadaan fisik, ekonomi, sosial, dan budaya serta keterjangkauan masyarakat, baik didaerah perkotaan maupun daerah perdesaan. Pengertian setiap orang atau badan adalah warganegara Indonesia serta warganegara asing penduduk Indonesia dan badan asing yang berkedudukan di Indonesia, yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku telah dibenarkan untuk membangun rumah atau perumahan. Untuk mewujudkan rumah layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur, maka pembangunan rumah atau perumahan wajib mengikuti persyaratan teknis, ekologis, dan administratif serta wajib melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan. Persyaratan teknis berkaitan dengan keselamatan dan kenyamanan bangunan, dan keandalan sarana serta prasarana lingkungannya. Persyaratan ekologis berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan, baik antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan lingkungan sosial budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Persyaratan administratif berkaitan dengan pemberian izin usaha, izin lokasi, dan izin mendirikan bangunan serta pemberian hak atas tanah. Pemantauan lingkungan bertujuan untuk mengetahui dampak negatif yang terjadi selama pelaksanaan pembangunan rumah atau perumahan, sedangkan pengelolaan lingkungan bertujuan untuk dapat mengambil tindakan koreksi bila terjadi dampak negatif dari pembangunan rumah atau perumahan. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
225
Ka p i t a Se l e k t a
Rencana pemantauan dan pengelolaan lingkungan disusun dan dilaksanakan dengan mempertimbangkan tingkatan dampak yang timbul sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
226
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Pasal 7 ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 12 ayat (1) Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik. Penjelasan Pasal 12 ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghunian rumah tanpa persetujuan atau izin pemilik, dalam rangka mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum. Pasal 24 Dalam membangun lingkungan siap bangun selain memenuhi ketentuan Pasal 7, badan usaha dibidang pembangunan perumahan wajib: a. melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan pengusahaan tanah, dan penataan pemilikan tanah dalam rangka penyediaan kavling tanah matang; b. membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah, memelihara dan mengelolanya sampai dengan pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah; c. mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum;150 d. membantu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan hak atas tanah didalam
150
Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelola (2000), Dilengkapi Peraturan Pemerintah tentang Pembayaran Pajak Peghasilan dari Pengalihan Hak atas tanah dan Bangunan, CV. Myda, Jakarta, 2000 : 337; Utilitas umum adalah sarana penunjang untuk pelayanan umum.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
227
Ka p i t a Se l e k t a
atau disekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah; e. menyediakan tanah untuk sarana lingkungan; f. membangun rumah. Pasal 26 ayat (1) Badan usaha dibidang pembangunan yang membangun lingkungan siap bangun dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah. Penjelasan Pasal 26 ayat (1) Dengan ketentuan ini, pada dasarnya badan usaha dibidang pembangunan perumahan dalam melakukan usahanya harus menjual kaveling beserta rumahnya. K. PP Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri Bahwa untuk memenuhi kebutuhan perumahan siap bangun dan permukiman dalam jangka pendek, menengah dan panjang perlu diusahakan pembangunan kawasan pemukiman skala besar melalui penyediaan tanah siap bangun dan keveling tanah matang yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Daerah Kabupaten dan Daerha Kota yang berencana secara menyeluruh dan terpadu. Hal tersebut harus meliputi penyelenggaraan siap bangun dan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri, dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 19 dan Pasal 32 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang berdiri sendiri. Dijelaskan, bahwa penetapan kawasan siap bangun dimaksud agar pada jangka waktu tertentu mendapat perhatian sesuai dengan skala prioritas 228
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
dalam pelaksanaan impestasi prasarana dan sarana lingkungan permukiman. Jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan terdiri atas jaringan jalan untuk memperlancar hubungan antar lingkungan, saluran pembangunan air hujan untuk melakukan pematusan (drainase), dan saluran pembuangan air limbah untuk kesehatan lingkungan, dalam kawasan siap bangun. Penyediaan tanah untuk perumahan dan permukiman melalui penggunaan tanah milik negara, selain ditujukan untuk penyediaan kaveling tanah matang dengan penerapan subsidi silang, juga disediakan sebagai modal untuk cadangan tanah negara secara berkelanjutan. Penerimaan hasil pengusahaan tanah negara dalam jumlah yang memadai untuk pembangunan perumahan dan permukiman pada waktu yang akan datang.151 Pasal 19 UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Ayat (1) Untuk mewujudkan kawasan pemukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, pemerintah daerah menetapkan salah satu bagian atau lebih dari bagian permukiman menurut rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan yang telah memenuhi persyaratan kawasan siap bangun. Ayat (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi : rencana tata ruang yang rinci; data mengenai luas, batas dan pemilikan tanah; jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan.
151
Seri Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia 1985-1992, P.T. Wikrama Waskitha, ISBN 979-8438-00-0, Cetakan Pertama, Jakarta, 1993 :345-349).
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 229
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Ayat (3) Program pembangunan daerah dan program pembangunan sektor mengenai prasarana, sarana lingkungan dan utilitas umum sebagian diarahkan untuk mendukung terwujudnya kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Ayat (4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 32 UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Ayat (1) Penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman diselenggarakan dengan : a). penggunaan tanah yang langsung dikuasai negara; b). konsolidasi tanah oleh pemilik tanah; c). pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (2) Tatacara penggunaan tanah yang langsung dikuasai Negara dan tatacara konsolidasi tanah oleh pemilik tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir a dan b diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kawasan siap bangun yang biasa disebut Kasiba adalah sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dan memenuhi persyaratan 230
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
pembakuan pelayanan prasarana dan sarana lingkungan.152 Pasal 24 PP Nomor 80 Tahun 1999 Ayat (1) Perolehan tanah dengan cara pelepasan hak dilakukan dengan penggantian yang layak kepada pemegang hak atau pemakai tanah, sehingga tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara yang dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada Badan Pengelola atau penyelenggara Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang berdiri sendiri. Ayat (2) Penggantian yang layak dalam rangka penyediaan tanah untuk perumahan dan permukiman diberikan kepada pemegang hak atas tanah; nadzir bagi tanah wakaf; orang atau badan hukum pemakai tanah negara yang memenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 19; orang atau badan hukum yang berhak atas bangunan dan atau tanaman dan atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan. Ayat (3) Penggantian yang layak sebagaimana dimaksud ayat (2) diberikan untuk : a). hak atas tanah; b). pemakaian tanah sebagaimana yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b; c). bangunan dan atau tanaman dan atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang secara sah ada diatas atau didalam tanah yang bersangkutan.
152
Seri Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia 1985-1992, P.T. Wikrama Waskitha, ISBN 979-8438-00-0, Cetakan Pertama, Jakarta, 1993 :345-349).
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
231
Ka p i t a Se l e k t a
Ayat (4) Bentuk penggantian yang layak sebagaimana dmaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat berupa uang; tanah pengganti; permukiman kembali; gabungan dari 2 (dua) atau lebih dari bentuk penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c. Demikian juga apabila belum ada sesuatu hak atas tanah yang bersangkutan (masih tanah negara) akan tetapi sudah dipakai oleh orang lain, maka Badan Pengelola Kasiba harus memberikan ganti kerugian kepada pemakai yang memenuhi syarat tertentu sehingga tanah yang bersangkutan dapat diberikan kepada badan Pengelola Kasiba. Bentuk penggantian dapat diterima oleh yang berhak dalam bentuk uang atau tanah pengganti atau pemukiman kembali saja atau dapat juga merupakan gabungan dari bentuk tersebut. Yang dimaksud dengan penggantian berupa bentuk lain misalnya inbreng, kerja sama dan lain-lain. Benda-benda lain misalnya benda-benda yang mempunyai nilai sejarah atau purbakala, kabel telepon, kabel listrik, pipa gas, pipa air, gorong-gorong dan lainlain153. L. Pemberantasan (TIPIKOR)
Tindak
Pidana
Korupsi
Sekilas tentang Gerakan Pemberantasan Korupsi Oleh karena sifatnya yang endemik, sistemik, dan berdampak luas, maka tidaklah mengherankan kalau kemudian muncul pemikiran untuk menjadikan tindak 153
Op. cit. Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelola (2000), Dilengkapi Peraturan Pemeintah tentang Pembayaran Pajak Peghasilan dari Pengalihan Hak atas tanah dan Bangunan, CV. Myda, Jakarta, 2000 :390-391). 232
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
pidana korupsi sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime), sehingga upaya pemberantasannya pun dilakukan secara luar biasa pula. Bahkan dalam berbagai seminar dan pendapat para ahli ada usulan pula agar korupsi tidak hanya dilihat sebagai white collar crime, tetapi perlu diangkat menjadi corruption as state crime karena karakteristiknya sudah melibatkan kerja sama antara pejabat negara dan pengusaha untuk tujuan pembiayaan kepentingan berkaitan dengan kekuasaan (corruption as means to organizational goal), adanya tindakan yang cenderung memaafkan bahkan tanpa disadari telah mendorong terjadinya korupsi (tolerated corruption), serta tindakan yang dilakukan secara sistematis melalui kebijakankebijakan yang memberikan keuntungan bagi penguasa dan organisasi tertentu (kleptocracy).154 Demikian pula dalam sidang Asia Regional Conference ICPO Interpol ke-19 pada bulan April 2006 telah diusulkan dan diterima bahwa korupsi sebagai kejahatan transnasional menjadi salah satu bidang kerja sama antara sesama anggota Interpol. Kesepakatan kerja sama tersebut ditindaklanjuti dengan mendirikan Akademi Anti Korupsi di Wina Austria. Akademi Anti Korupsi tersebut akan bekerja sama dengan Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC). Issu tentang korupsi sebagai kejahatan transnasional diangkat pula pada The Sixth ASEAN Senior Officials Meeting on Transnational Crime (SOMTC) di Bali pada tanggal 7 s/d 8 Juni 2006, dan akan ditindaklanjuti pembahasannya pada SOMTC tahun 2007 di Hanoi. 154
Mabes POLRI, “Mengefektifkan POLRI dalam Pemberantasan Korupsi di Tingkat Nasional dan Daerah”, Makalah Seminar Sehari “Governance Reform dan Pemberantasan Korupsi, Peran Masyarakat dan Pemerintah”, di Jakarta, 28 Juni 2006, halaman 2-3.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
233
Ka p i t a Se l e k t a
Berbagai kebijakan untuk memberantas korupsi memang telah ditempuh oleh pemerintah Indonesia sejak lama. Pada masa pemerintahan Orde Lama, terutama pada masa-masa menjelang Soekarno jatuh dari kursi kekuasaannya, sempat dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 No. Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu pertimbangan ditetapkan peraturan tersebut adalah karena tidak adanya kelancaran dalam usahausaha pemberantasan perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara (korupsi).155 Atas dasar Peraturan Penguasa Militer tersebut, pihak militer pada waktu itu mulai melancarkan "Operasi Budhi", khususnya untuk mengusut anggota ABRI yang dikaryakan pada BUMNBUMN yang semula adalah perusahaan-perusahaan Belanda yang diambilalih oleh pemerintah Indonesia.156 Selang setahun kemudian dibentuk pula tim yang secara khusus memberantas korupsi, yang dikukuhkan dengan Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No. Prt/Perpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Perpu tersebut kemudian ditingkatkan statusnya menjadi UU No.24/PrP/1960. Langkah yang sama dilanjutkan oleh rezim Orde Baru di bawah kendali Soeharto. Bahkan, rezim Orde Baru pada masa awal pemerintahannya tergolong sangat gencar melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi. Catatan penting tentang apa 155
Perhatikan diktum menimbang Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 (Kf. Yudi Kristiani, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, halaman 1; Juga dalam Ramelan. “Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” dalam Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi. Jakarta Pusdiklat Mahkamah Agung, 2003, halaman 92). 156
Kf. Emerson Yudho, Op Cit., 2005, halaman 2).
234
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
yang pernah dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 2 Desember 1967 adalah dengan membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dengan Kepres No. 228/1967.157 Sebagai kelanjutan dari gerakan itu Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970 untuk memberikan "penilaian obyektif” terhadap langkah yang telah diambil pemerintah, dan memberikan "pertimbangan mengenai langkah yang lebih efektif untuk memberantas korupsi". Selain Komisi Empat, pemerintahan Orde Baru juga pernah mendirikan Komisi Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970 beranggotakan sejumlah aktivis mahasiswa eksponen 66.158 Kemudian pada tanggal 29 Maret 1971 dibuatlah UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menyempurnakan UU sebelumnya (UU No. 24/PrP/1960). Kalau dalam UU yang lama membedakan unsur delik korupsi menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran”, maka dalam UU Korupsi 1971 unsur delik tersebut disatukan menjadi “melawan hukum”. Ancaman hukumannya pun diperberat menjadi “hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 30.000.000”.159 Selama periode 1970-1977 tercatat hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena korupsi, yaitu 157
Ramelan, Op.Cit., 2003, halaman 93; dan Emerson Yudho, Loc Cit., 2005, halaman 2. 158
Mantan Wakil Presiden M. Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi Empat dengan beranggotakan mantan Perdana Menteri Wilopo, I.J. Kasimo, Prof. Johannes, Anwar Tjokroaminoto, dan Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono menjadi sekretaris. Sedangkan, Komisi Anti Korupsi (KAK) beranggotakan Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan, dan lain-lain. Namun, belum terlihat hasil yang telah dicapai, karena baru bekerja dua bulan lamanya KAK ini kemudian dibubarkan pada 15 Agustus 1970 (Emerson Yudho, Ibid., 2005, halaman 2-3). 159
Ramelan, Op Cit., 2003, halaman 94.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
235
Ka p i t a Se l e k t a
Deputi KAPOLRI Letjen Pol. Siswadji yang divonis 8 tahun penjara pada tahun 1977. Pegawai negeri yang diganjar hukuman paling berat pada waktu itu adalah Kepala Depot Logistik Kalimantan Timur, yang divonis penjara seumur hidup tapi hukumannya kemudian dirubah menjadi 20 tahun penjara setelah mendapat grasi dari Presiden.160 Langkah-langkah pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru ternyata tidak berhenti di situ. Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 1977 pemerintah lalu membentuk Tim Gabungan – yang terdiri dari unsur polisi, kejaksaan, militer, dan aparat Kementerian Pedayagunaan Aparatur Negara – untuk melancarkan Operasi Penertiban (Opstib) guna menyelamatkan uang negara. Dalam empat tahun (1977-1981) Opstib telah berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp.200 milyar dan menindak 6.000 pegawai negeri yang diduga melakukan penyimpangan keuangan negara tersebut. Kemudian pada tahun 1982 dibentuk Tim Pemberantas Korupsi (TPK) yang beranggotakan Menpan, Pangkopkamtib, Ketua MA, Menteri Kehakiman, Kepala Kejaksaan Agung, dan KaPOLRI, namun tidak dapat bekerja karena Kepres mengenai TPK tidak pernah diterbitkan oleh presiden.161 Catatan di atas memperlihatkan bahwa pada rezim Orde Baru memang muncul banyak kebijakan pemberantasan korupsi dengan menggunakan hukum 160
Menurut catatan Emerson Yudho, Koruptor yang dihukum adalah Kepala Depot Logistik Kali-mantan Timur itu menilep uang negara Rp. 7,6 milyar -- jumlah yang kala itu menggemparkan. Selebihnya yang dihukum adalah para koruptor lapis kedua dan rendahan, bahkan sedikit sekali pelaku tindak pidana korupsi yang diajukan di pengadilan. Banyak kasus yang dipetieskan atau tidak diketahui kelanjutannya secara jelas (Emerson Yudho, Ibid., 2005, halaman 3). 161
Emerson Yudho, Ibid., 2005, halaman 3-4.
236
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
(UU, Kepres, Inpres dan lain sebagainya) sebagai payung hukumnya. Namun sangat disayangkan bahwa rezim yang berkuasa selama lebih dari tiga puluhan tahun itu pun akhirnya terperangkap juga ke dalam lingkaran korupsi. Menurut Bank Dunia, situasi Indonesia pada waktu itu dan selepas turunnya Presiden Soeharto menampilkan praktik-praktik korupsi di semua lini serta pada berbagai level golongan pegawai negeri sipil, militer, politisi, dan bahkan sudah melanda ke sejumlah kelembagaan negara yang seharusnya bertugas untuk memberantas korupsi.162 Reformasi nasional tahun 1998 yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Soeharto pada bulan Mei 1998 ternyata juga tidak serta-merta mengeliminasi korupsi, walaupun presiden berikutnya setelah era Soeharto berjanji untuk memerangi korupsi tetapi hanya sedikit sekali kemajuan yang dicapai. Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden misalnya, dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGP-TPK). Tim ini berada di bawah koordinasi Jaksa Agung sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan amanat UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi. TGPTPK yang beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari masyarakat ini tidak mendapat dukungan sehingga akhirnya dibubarkan pada tahun 2001 ketika gugatan judicial review tiga orang Hakim Agung yang pernah diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah Agung. 163
162
Kf. Harian Kompas, 21 November 2005, http://www.kompas.com.
163
Sebuah ironi yang bisa kita tangkap dari kehadiran TGPTPK ini adalah bahwa Jaksa Agung yang adalah anggota dari tim ini justru menolak permintaan TGPTPK untuk mengusut kasus BLBI yang banyak macet prosesnya (Kf. Emerson Yudho, Op Cit., 2005, halaman 5).
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
237
Ka p i t a Se l e k t a
Pada tahun 1999 juga pernah dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Komisi ini bertugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara.164 Pada era Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden juga pernah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Belum genap satu tahun berdiri, KPK telah menerima 1.452 laporan masyarakat mengenai praktik korupsi. Sepuluh kasus di antaranya ditindaklanjuti dalam proses penyidikan dan dua kasus korupsi yang berhasil dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor (Abdullah Puteh dan Harun Let Let dan keduanya telah divonis). Kasus korupsi besar yang saat ini masih ditangani adalah korupsi yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum, dan beberapa diantaranya telah mendapatkan vonnis hakim.165 Setelah Megawati digantikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), melalui program 100 hari pemerintahannya pun ditandai dengan pembentukan Tim Pemburu Koruptor yang bertugas memburu terpidana dan tersangka kasus korupsi yang melarikan diri keluar negeri. Meskipun belum terlihat hasil yang memadai, Tim Pemburu Koruptor ini sudah 164
Sejumlah pejabat pernah dilaporkan oleh KPKPN, namun banyak kasus yang tidak ditindaklanjuti, seperti kasus kepemilikan rumah dan tanah yang tidak dilaporkan milik Jaksa Agung MA Rachman. Upaya untuk tetap mempertahankan KPKPN melalui permohonan Judicial Review, namun tidak dapat terwujud karena permohonannya ditolak oleh Mahakamah Konstitusi. (Kf. Emerson Yudho, Ibid., 2005, halaman 5-6). 165
Tim KPK yang dibentuk pada tanggal 16 Desember 2003 yang memiliki 5 tugas dan 29 wewenang ini dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana Harjapamengkas, Tumpak Hatorang (Kf. Emerson Yudho, Ibid., 2005, halaman 6. Lihat juga dalam Kompas, 17 Desember 2003). 238
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
menurunkan tim ke lima negara, yaitu Singapura, Amerika Serikat, Hongkong, Cina dan Australia. Selain itu, Tim ini telah mengidentifikasi jumlah aset yang terparkir di luar negeri sebanyak Rp 6-7 triliun. Untuk memaksimalkan kerja tim ini, maka pemerintah Indonesia telah melakukan pendekatan komparatif dengan negara lain, seperti dengan Hongkong melalui Independence Commission Anti Corruption, Malaysia dengan Anti Corruption Agency, Singapura dengan Singapore’s Corruption Prevention and Investigation Bureau, dan Muangthai melalui Thailand’s National Counter Corruption Commission.166 Tim pemberantasan korupsi yang terakhir dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada tanggal 2 Mei 2005. adalah Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Tidak lama setelah berdiri, tim ini sudah disibukkan dengan penyelesaian kasus korupsi yang terjadi di 16 Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 4 Departemen, 3 Perusahaan Swasta, dan sejumlah koruptor yang melarikan diri.167 Demikian sepintas kisah perjuangan pemberantasan korupsi di Indonesia dari periode kepemimpinan yang satu ke periode kepemimpinan 166
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian. Jakarta: Oemar Seno Adji & Rekan, 2006, 5. 167
Ada dua tugas utama dari Timtas Tipikor yang diketuai oleh Hendarman Supandji yang juga Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung RI, yakni (1) melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan atau indikasi tindak pidana korupsi; dan (2) mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara optimal. Masa tugas Tim yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden ini terdiri dari 48 orang anggota dan berasal dari unsur kepolisian, kejaksaan dan BPKP adalah dua tahun dan dapat diperpanjang (Kf. Emerson Yudho, Op Cit, 2005, halaman 6-7).
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
239
Ka p i t a Se l e k t a
yang lain. Suatu hal yang pasti adalah bahwa para koruptor pun pasti tidak tinggal diam, mereka pun pasti secara licik dan diam-diam terus berusaha untuk mencari celah hukum dan atau memasang strategi untuk “menjinakkan” tim atau komisi yang ditugaskan khusus untuk mengungkap dan memberantas korupsi di Indonesia. Realitas menunjukkan bahwa masih banyak pejabat negara yang diduga terlibat dalam skandal korupsi yang perlu diusut tuntas termasuk para pejabat tinggi negara, petinggi Parpol, dan lain sebagainya. Adanya korupsi dimana-mana telah mengakibatkan timbulnya perasaan jengkel warga masyarakat, karena keadilan dan kesejahteraan yang dinantikan tidak kunjung tiba dan matinya kesejahteraan rakyat. Sebuah catatan hitam yang patut diungkapkan di sini adalah bahwa akibat luapan emosi massa memprotes ketidakadilan dalam mengungkap kasus korupsi menyebabkan sejumlah sarana penegakan hukum (Kantor Pengadilan Negeri dan Kantor Kejaksaan Negeri) di Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dibakar massa pada tanggal 15 Nopember 2003 lalu. Pembakaran itu terjadi sesaat setelah hakim menjatuhkan hukuman terhadap seorang aktivis kemanusiaan yang dinyatakan telah melakukan tindak pidana “pencemaran nama baik Bupati Flores Timur” hanya lantaran membongkar kasus dugaan KKN di lingkungan Pemda setempat.168 M. Rumusan Tindak Pidana Korupsi 168
Karolus Kopong Medan, Gerakan Pembaruan Hukum: Potret Gerakan Hukum Kritis di NTT, Kupang: YKBH Justitia, 2006, halaman 116-122. Baca juga dalam Eman J. Embu & Amatus Wei (ed). Tolak Bungkam: Suara Teolog Pembebasan. Yogyakarta: Penerbit Ledalero & INSIST Press, 2003, halaman 7691. 240
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Sebagai delik Formil, dengan penegasan bahwa tindak pidana korupsi pasal 2 ayat (1) merupakan delik formil yang berarti bahwa yang penting adalah pembuktian kelakuan dan bukan akibat dari perbuatan. Maka untuk membuktikan adanya tindak pidana korupsi cukup dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan dalam undang-undang, tidak perlu dibuktikan timbulnya akibat. Oleh karena itu, apabila ternyata hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap dapat dilajukan ke Pengadilan dan tetap dipidana. Tindak pidana korupsi dianggap telah selesai (voltoid) dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan pidana sebagaimana dirumuskan dalam pasal-pasal yang didakwakan. Ketentuan ini akan “menghapuskan keraguraguan“ dalam praktek, dimana selama ini praktek peradilan masih terbagi 2 (dua) pendapat yaitu apabila kerugian keuangan negara telah dikembalikan ada yang menganggap salah satu unsur tidak terpenuhi dan karenanya terdakwa dibebaskan dari dakwaan. Sementara itu ada juga praktek peradilan yang benpendapat bahwa sekalipun kerugian keuangan negara telah dikembalikan namun hal itu tidak menghapuskan unsur melawan hukum, tetapi hanya menjadi faktor yang meringankan hukuman pidana. Dalam menanggulangi tindak pidana korupsi khususnya pengembalian dan pemulihan kekayaan negara bukan saja dilakukan dengan menggunakan instrumen pidana saja, tetapi dalam hal-hal tertentu dapat juga digunakan instrumen keperdataan untuk memenuhi rasa keadilan, sedangkan peran kejaksaan
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
241
Ka p i t a Se l e k t a
dibidang keperdataan sebagai Jaksa Pengacara Negara.169 Beberapa Ketentuan Penting Dalam TIPIKOR antara lain: Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) UndangUndang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “korporasi adalah kumpulan orang-orang dan atau kekayaan yang berorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Bab II Pasal 2 Tindak Pidana Korupsi ayat (1) “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Penjelasannya yang dimaksud “secara melawan hukum“ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan 169
Wildan Suyuti, Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, (2003) : hal 113-115). 242
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Pasal 2 ayat (2) “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan. Penjelasan ayat (2) Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Pasal 3 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); penjelasannya kata “dapat” dalam ketentuan ini diartikan sama dengan penjelasan Pasal 2. Pasal 4 Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Penjelasan Pasal 4 “ Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 243
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan. N.Perbandingan KUHPidana dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pasal 53 KUHP dan Pasal 88 KUHP ancaman hukuman dikurangi sepertiga, sedangkan; Pasal 15 Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Ketentuan ini merupakan aturan khusus, karena berbeda dengan ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana umum dikurangi 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidanaya. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 416 KUHP dinyatakan “ Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara waktu, yang sengaja membuat secara palsu atau memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Pasal 416 KUHP diubah menjadi Pasal 9 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang 244
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “ Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri tau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Pasal 10 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 10 UU No. 31 Tahun 1999 perubahan dari Pasal 417 KUHP dinyatakan “Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara waktu, yang sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barangbarang yang diperuntukkan guna meyakinkan atau membuktikan dimuka penguasa yang berwenang, aktaakta, surat-surat atau daftar-daftar yang dikuasainya karena jabatannya, atau membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membikin tak dapat dipakai melakukan perbuatan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 245
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Diubah menjadi Pasal 10 Undan-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi”: 1. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau 2. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, atau merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau 3. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: 246
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Pasal 12 B ayat 2 “Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sesingkat-singkatnya 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta) rupiah dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar) rupiah. O. Tinjauan Empiris Kendala Dan Praktek Penegakan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Oleh karena sifatnya yang endemik, sistemik, dan berdampak luas, maka tidaklah mengherankan kalau kemudian muncul pemikiran untuk menjadikan tindak pidana korupsi sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime), sehingga upaya pemberantasannya pun dilakukan secara luar biasa pula. Bahkan dalam berbagai seminar dan pendapat para ahli ada usulan pula agar korupsi tidak hanya dilihat sebagai white collar crime, tetapi perlu diangkat menjadi corruption as state crime karena karakteristiknya sudah melibatkan kerja sama antara pejabat negara dan pengusaha untuk tujuan pembiayaan kepentingan berkaitan dengan kekuasaan (corruption as means to organizational goal), adanya tindakan yang cenderung memaafkan bahkan tanpa disadari telah mendorong An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 247
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
terjadinya korupsi (tolerated corruption), serta tindakan yang dilakukan secara sistematis melalui kebijakankebijakan yang memberikan keuntungan bagi penguasa dan organisasi tertentu (kleptocracy).170 Demikian pula dalam sidang Asia Regional Conference ICPO Interpol ke-19 pada bulan April 2006 telah diusulkan dan diterima bahwa korupsi sebagai kejahatan transnasional menjadi salah satu bidang kerja sama antara sesama anggota Interpol. Kesepakatan kerja sama tersebut ditindaklanjuti dengan mendirikan Akademi Anti Korupsi di Wina Austria. Akademi Anti Korupsi tersebut akan bekerja sama dengan Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC). Issu tentang korupsi sebagai kejahatan transnasional diangkat pula pada The Sixth ASEAN Senior Officials Meeting on Transnational Crime (SOMTC) di Bali pada tanggal 7 s/d 8 Juni 2006, dan akan ditindaklanjuti pembahasannya pada SOMTC tahun 2007 di Hanoi. Berbagai kebijakan untuk memberantas korupsi memang telah ditempuh oleh pemerintah Indonesia sejak lama. Pada masa pemerintahan Orde Lama, terutama pada masa-masa menjelang Soekarno jatuh dari kursi kekuasaannya, sempat dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 No. Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu pertimbangan ditetapkan peraturan tersebut adalah karena tidak adanya kelancaran dalam usahausaha pemberantasan perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara
170
Mabes Polri, “Mengefetifkan Polri dalam Pemberantasan Korupsi di Tingkat Nasional dan Daerah”, Makalah Seminar Sehari “Governance Reform dan Pemberantasan Korupsi, Peran Masyarakat dan Pemerintah”, di Jakarta, 28 Juni 2006, halaman 2-3. 248
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
(korupsi).171 Atas dasar Peraturan Penguasa Militer tersebut, pihak militer pada waktu itu mulai melancarkan "Operasi Budhi", khususnya untuk mengusut anggota ABRI yang dikaryakan pada BUMNBUMN yang semula adalah perusahaan-perusahaan Belanda yang diambilalih oleh pemerintah Indonesia.172 Selang setahun kemudian dibentuk pula tim yang secara khusus memberantas korupsi, yang dikukuhkan dengan Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No. Prt/Perpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Perpu tersebut kemudian ditingkatkan statusnya menjadi UU No.24/PrP/1960. Langkah yang sama dilanjutkan oleh rezim Orde Baru di bawah kendali Soeharto. Bahkan, rezim Orde Baru pada masa awal pemerintahannya tergolong sangat gencar melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi. Catatan penting tentang apa yang pernah dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 2 Desember 1967 adalah dengan membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dengan Kepres No. 228/1967.173 Sebagai kelanjutan dari gerakan itu Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970 untuk memberikan "penilaian obyektif” terhadap langkah yang telah diambil pemerintah, dan memberikan "pertimbangan mengenai langkah yang 171
Perhatikan diktum menimbang Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 (Kf. Yudi Kristiani, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, halaman 1; Juga dalam Ramelan. “Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” dalam Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi. Jakarta Pusdiklat Mahkamah Agung, 2003, halaman 92.). 172
Kf. Emerson Yudho, Op Cit., 2005, halaman 2).
173
Ramelan, Op.Cit., 2003, halaman 93; dan Emerson Yudho, Loc Cit., 2005, halaman 2.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 249
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
lebih efektif untuk memberantas korupsi". Selain Komisi Empat, pemerintahan Orde Baru juga pernah mendirikan Komisi Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970 beranggotakan sejumlah aktivis mahasiswa eksponen 66.174 Kemudian pada tanggal 29 Maret 1971 dibuatlah UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menyempurnakan UU sebelumnya (UU No. 24/PrP/1960). Kalau dalam UU yang lama membedakan unsur delik korupsi menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran”, maka dalam UU Korupsi 1971 unsur delik tersebut disatukan menjadi “melawan hukum”. Ancaman hukumannya pun diperberat menjadi “hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 30.000.000”.175 Selama periode 1970-1977 tercatat hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena korupsi, yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol. Siswadji yang divonis 8 tahun penjara pada tahun 1977. Pegawai negeri yang diganjar hukuman paling berat pada waktu itu adalah Kepala Depot Logistik Kalimantan Timur, yang divonis penjara seumur hidup tapi hukumannya kemudian dirubah menjadi 20 tahun penjara setelah mendapat grasi dari Presiden.176 Langkah-langkah 174
Mantan Wakil Presiden M. Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi Empat dengan beranggotakan mantan Perdana Menteri Wilopo, I.J. Kasimo, Prof. Johannes, Anwar Tjokroaminoto, dan Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono menjadi sekretaris. Sedangkan, Komisi Anti Korupsi (KAK) beranggotakan Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan, dan lain-lain. Namun, belum terlihat hasil yang telah dicapai, karena baru bekerja dua bulan lamanya KAK ini kemudian dibubarkan pada 15 Agustus 1970 (Emerson Yudho, Ibid., 2005, halaman 2-3). 175
Ramelan, Op Cit., 2003, halaman 94.
176
Menurut catatan Emerson Yudho, Koruptor yang dihukum adalah Kepala Depot Logistik Kali-mantan Timur itu menilep uang negara Rp. 7,6 milyar -- jumlah yang kala itu menggemparkan. Selebihnya yang dihukum adalah para koruptor lapis kedua dan rendahan, bahkan sedikit sekali pelaku tindak pidana korupsi yang diajukan di pengadilan. Banyak kasus yang 250 An e k a Pe r s o a l a n d i Bi d a n g Hu k u m
E k o n o mi
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru ternyata tidak berhenti di situ. Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 1977 pemerintah lalu membentuk Tim Gabungan – yang terdiri dari unsur polisi, kejaksaan, militer, dan aparat Kementerian Pedayagunaan Aparatur Negara – untuk melancarkan Operasi Penertiban (Opstib) guna menyelamatkan uang negara. Dalam empat tahun (1977-1981) Opstib telah berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp.200 milyar dan menindak 6.000 pegawai negeri yang diduga melakukan penyimpangan keuangan negara tersebut. Kemudian pada tahun 1982 dibentuk Tim Pemberantas Korupsi (TPK) yang beranggotakan Menpan, Pangkopkamtib, Ketua MA, Menteri Kehakiman, Kepala Kejaksaan Agung, dan Kapolri, namun tidak dapat bekerja karena Kepres mengenai TPK tidak pernah diterbitkan oleh presiden. 177 Catatan di atas memperlihatkan bahwa pada rezim Orde Baru memang muncul banyak kebijakan pemberantasan korupsi dengan menggunakan hukum (UU, Kepres, Inpres dan lain sebagainya) sebagai payung hukumnya. Namun sangat disayangkan bahwa rezim yang berkuasa selama lebih dari tiga puluhan tahun itu pun akhirnya terperangkap juga ke dalam lingkaran korupsi. Menurut Bank Dunia, situasi Indonesia pada waktu itu dan selepas turunnya Presiden Soeharto menampilkan praktik-praktik korupsi di semua lini serta pada berbagai level golongan pegawai negeri sipil, militer, politisi, dan bahkan sudah melanda ke sejumlah kelembagaan negara yang seharusnya bertugas untuk memberantas korupsi.178 dipetieskan atau tidak diketahui kelanjutannya secara jelas (Emerson Yudho, Ibid., 2005, halaman 3). 177
Emerson Yudho, Ibid., 2005, halaman 3-4.
178
Kf. Harian Kompas, 21 November 2005, http://www.kompas.com.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
251
Ka p i t a Se l e k t a
Reformasi nasional tahun 1998 yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Soeharto pada bulan Mei 1998 ternyata juga tidak serta-merta mengeliminasi korupsi, walaupun presiden berikutnya setelah era Soeharto berjanji untuk memerangi korupsi tetapi hanya sedikit sekali kemajuan yang dicapai. Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden misalnya, dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGP-TPK). Tim ini berada di bawah koordinasi Jaksa Agung sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan amanat UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi. TGPTPK yang beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari masyarakat ini tidak mendapat dukungan sehingga akhirnya dibubarkan pada tahun 2001 ketika gugatan judicial review tiga orang Hakim Agung yang pernah diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah Agung. 179 Pada tahun 1999 juga pernah dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Komisi ini bertugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara.180 Pada era Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden juga pernah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 179
Sebuah ironi yang bisa kita tangkap dari kehadiran TGPTPK ini adalah bahwa Jaksa Agung yang adalah anggota dari tim ini justru menolak permintaan TGPTPK untuk mengusut kasus BLBI yang banyak macet prosesnya (Kf. Emerson Yudho, Op Cit., 2005, halaman 5). 180
Sejumlah pejabat pernah dilaporkan oleh KPKPN, namun banyak kasus yang tidak ditindaklanjuti, seperti kasus kepemilikan rumah dan tanah yang tidak dilaporkan milik Jaksa Agung MA Rachman. Upaya untuk tetap mempertahankan KPKPN melalui permohonan Judicial Review, namun tidak dapat terwujud karena permohonannya ditolak oleh Mahakamah Konstitusi. (Kf. Emerson Yudho, Ibid., 2005, halaman 5-6). 252
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Belum genap satu tahun berdiri, KPK telah menerima 1.452 laporan masyarakat mengenai praktik korupsi. Sepuluh kasus di antaranya ditindaklanjuti dalam proses penyidikan dan dua kasus korupsi yang berhasil dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor (Abdullah Puteh dan Harun Let Let dan keduanya telah divonis). Kasus korupsi besar yang saat ini masih ditangani adalah korupsi yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum, dan beberapa didantaranya telah mendapatkan vonnis hakim.181 Setelah Megawati digantikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), melalui program 100 hari pemerintahannya pun ditandai dengan pembentukan Tim Pemburu Koruptor yang bertugas memburu terpidana dan tersangka kasus korupsi yang melarikan diri keluar negeri. Meskipun belum terlihat hasil yang memadai, Tim Pemburu Koruptor ini sudah menurunkan tim ke lima negara, yaitu Singapura, Amerika Serikat, Hongkong, Cina dan Australia. Selain itu, Tim ini telah mengidentifikasi jumlah aset yang terparkir di luar negeri sebanyak Rp 6-7 triliun. Untuk memaksimalkan kerja tim ini, maka pemerintah Indonesia telah melakukan pendekatan komparatif dengan negara lain, seperti dengan Hongkong melalui Independence Commission Anti Corruption, Malaysia dengan Anti Corruption Agency, Singapura dengan Singapore’s Corruption Prevention and Investigation Bureau, dan Muangthai melalui Thailand’s National Counter Corruption Commission.182 181
Tim KPK yang dibentuk pada tanggal 16 Desember 2003 yang memiliki 5 tugas dan 29 wewenang ini dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana Harjapamengkas, Tumpak Hatorang (Kf. Emerson Yudho, Ibid., 2005, halaman 6. Lihat juga dalam Kompas, 17 Desember 2003). 182
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian. Jakarta: Oemar Seno Adji & Rekan, 2006, 5.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
253
Ka p i t a Se l e k t a
Tim pemberantasan korupsi yang terakhir dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada tanggal 2 Mei 2005. adalah Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Tidak lama setelah berdiri, tim ini sudah disibukkan dengan penyelesaian kasus korupsi yang terjadi di 16 Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 4 Departemen, 3 Perusahaan Swasta, dan sejumlah koruptor yang melarikan diri.183 Demikian sepintas kisah perjuangan pemberantasan korupsi di Indonesia dari periode kepemimpinan yang satu ke periode kepemimpinan yang lain. Suatu hal yang pasti adalah bahwa para koruptor pun pasti tidak tinggal diam, mereka pun pasti secara licik dan diam-diam terus berusaha untuk mencari celah hukum dan atau memasang strategi untuk “menjinakkan” tim atau komisi yang ditugaskan khusus untuk mengungkap dan memberantas korupsi di Indonesia. Realitas menunjukkan bahwa masih banyak pejabat negara yang diduga terlibat dalam skandal korupsi yang perlu diusut tuntas termasuk para pejabat tinggi negara, petinggi Parpol, dan lain sebagainya. Adanya korupsi dimana-mana telah mengakibatkan timbulnya perasaan jengkel warga masyarakat, karena keadilan dan kesejahteraan yang dinantikan tidak kunjung tiba. 183
Ada dua tugas utama dari tim yang diketuai oleh Hendarman Supandji yang juga Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung RI, yakni (1) melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan atau indikasi tindak pidana korupsi; dan (2) mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara optimal. Masa tugas Tim yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden ini terdiri dari 48 orang anggota dan berasal dari unsur kepolisian, kejaksaan dan BPKP adalah dua tahun dan dapat diperpanjang (Kf. Emerson Yudho, Op Cit, 2005, halaman 6-7). 254
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
1. Kendala Dalam Masalah Pembuktian Dalam rangka pembuktian disidang pengadilan diketemukan kendala antara lain sebagai berikut: a. Saksi di depan persidangan menarik seluruh atau sebagian keterangan yang telah diberikan pada waktu pemeriksaan di Penyidikan, pada umumnya keterangan yang diberikan dipersidangan tersebut menguntungkan bagi terdakwa. Saksi yang biasanya menarik keterangan yang diberikan dipersidangan adalah berasal dari satu instansi yang umumnya ingin melindungi rekan, bawahan, atau atasannya. Dalam hal demikian diserahkan kepada Hakim untuk menilai kebenarannya. b. Saksi Ahli menerangkan sesuai dengan pengetahuannya atau keahliannya dan dalam perkara tindak pidana korupsi diperlukan untuk bukti dalam menghitung kerugian negara. Sering terjadi problematik antara pendekatan hukum dengan penghitungan kerugian negara. Dalam pandangan Jaksa Penuntut Umum apabila sudah terbukti memenuhi unsur delik yang telah dinyatakan selesai; sekalipun kemudian kerugian negara dikembalikan, Jaksa Penuntut Umum berpendapat tetap terbukti kerugian negara, pengembalian keuangan negara dinilai sebagai hal yang meringankan hukuman. Akan tetapi sering terjadi ahli berpendapat setelah kerugian negara dibayar kembali maka tidak ada lagi kerugian negara, sehingga hal ini dapat membebaskan terdakwa sebab salah satu unsur tidak terbukti. c. Surat yang diperlukan dalam rangka pembuktian diperlukan surat asli bukan fotocopy namun surat asli tersebut tidak dapat diketemukan lagi An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
255
Ka p i t a Se l e k t a
kemungkinan besar telah dimusnahkan namun tidak diketahui siapa yang melakukannya, sehingga tidak diketemukan surat asli tersebut hal ini dapat mempengaruhi pembuktian dalam perkara tersebut.184 KPK dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Polri dalam Pemberantasan Korupsi Harus diakui bahwa menangani tindak pidana korupsi bukan pekerjaan mudah sebagaimana orang membalikkan telapak tangan. Penyidikan tindak pidana korupsi sangat kompleks dan relatif lebih sulit karena melibatkan berbagai pihak yang mempunyai posisi penting sebagai pejabat publik. Di samping itu, proses penyidikan pun harus berlangsung dalam jalinan kerja sama dengan 184
Ramelan, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Pusdiklat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2003: 116-117 penjelasan pasal 26 UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretaping). 256
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
instansi dalam lingkup sistem peradilan pidana (SPP) maupun dengan instansi lain yang terkait dengan kasus korupsi, seperti BPKP, perbankan, dan lain sebagainya. Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi peran Polri dalam menangani kasus korupsi, ada sejumlah faktor yang dipandang cukup krusial dan sangat mengganggu proses kerja Polri. Pertama, interaksi internal antar penyidik Polri dengan Jaksa Penuntut Umum dalam lingkaran sistem peradilan pidana yang terkadang berjalan tidak efektif dan efisien. Penyidik Polri memang merupakan salah satu sub sistem dari sistem peradilan secara keseluruhan : Kepolisian – Kejaksaan – Pengadilan – Lembaga Pemasyarakatan. Keunggulannya adalah bahwa di antara sub-sistem bisa saling mengontrol aliran proses penanganan perkara dan saling bekerja sama untuk menghasilkan out put putusan yang diharapkan bersama. Namun, dalam praktiknya proses itu tidak berjalan sebagaimana yang di harapkan, karena corporate culture185 (budaya kerja sama dalam kelompok) di antara sub-sistem itu kadang tidak berfungsi dengan baik. Andaikata corporate culture di antara Penyidik Polri dengan Jaksa Penuntut Umum berkembang dengan baik, maka “proses bolak-balik berkas perkara” dengan alasan belum lengkap datanya 185
Satjpto Rahardjo mengusulkan agar di Indonesia perlu diciptakan suatu corporate culture dalam pengadilan atau peradilan Indonesia agar penyidik, kejaksaan, hakim, dan penuntut umum tidak berhadapan satu sama lain dalam “suasana liberal” (suasana saling bertentangan), melainkan mereka harus bisa bersama-sama (bersatu) untuk melahirkan sebuah BAP, Penuntutan, dan putusan pengadilan yang mampu menangkap sekalian kegelisahan, penderitaan dan cita-cita yang disebut dengan hati nurani masyarakat (Satjipto Rahardjo, “Keadilan Hukum, Keadilan Sosial dan Keadilan Moral” dalam Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung, 2003, halaman 5-9).
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
257
Ka p i t a Se l e k t a
(kena P19) tidak akan mungkin berlangsung berlarut-larut. Demikian pula tidak akan muncul kesan bahwa seolah-olah institusi yang pertama (penyidik Polri) tampil sebagai “sub-sistem yang dinilai” sementara Sub-sistem kedua (Kejaksaan) sebagai “sub-sistem penilai”. Proses bolak-balik berkas perkara yang berlarut-larut itu akan membuka ruang yang semakin luas untuk bagi munculnya “black box” (faktor X) dalam sebuah proses hukum sebagaimana yang dikhawatirkan oleh David Easton,186 karena dapat mempengaruhi out put putusan (produk hukum) yang jauh dari harapan bersama. Untuk mengurangi hambatan yang demikian itulah POLRI melkukan kerja sama dengan Kejaksaan Agung yang telah disepakati beberapa hal, di antaranya kesediaan untuk saling memberi data dan informasi tentang penyelidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan dan upaya pengembangan Basis Data dan Informasi tindak pidana korupsi baik yang ada di Pusat Informatika Kriminal (PIK) milik Polri maupun Sistem Informasi Management Kejaksaan RI (SIMKARI) milik Kejaksaan. Dalam hal Polri dan Kejaksaan menemukan adanya indikasi korupsi dan untuk itu telah diperintahkan kepada penyelidik untuk melakukan penyelidikan, maka Polri dan Kejaksaan saling memberikan data/informasi, untuk menghindari terjadinya duplikasi penyelidikan. 186
Pandangan David tentang “black box” tersebut memang lebih dikaitkan dengan proses pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan, namun idenya bisa diangkat untuk menjelaskan alur bekerjanya faktor X dalam proses interaksi antara penyidik dan kejaksaan dalam pembuatan berkas penyidikan perkara (kf. Esmi Warassih dalam oleh Karolus Kopong Medan & Mahmutarom HR (ed), Pranata hukum, Sebuah telaah Sosiologis, Semarang : PT Suryandaru, 2005, 48-51). 258
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Dalam hal Polri dan Kejaksaan melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi atas perkara yang sama, untuk menghindari duplikasi dalam penyelidikan, maka penentuan Instansi penyelidik yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikannya dilihat dari tanggal dimulainya penyelidikan. Instansi penyelidik yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan atas perkara tindak pidana korupsi tersebut sampai tuntas. Hasil penyelidikan oleh instansi yang tidak melanjutkan penyelidikan lagi, agar menyerahkan hasil penyelidikannya kepada instansi yang mempunyai kewajiban melakukan penyelidikan, guna mempercepat proses 187 penyelidikan selanjutnya. Kedua, soal sarana dan prasarana penyidikan perkara pidana, terutama mengenai dana operasional penyidikan bagi penyidik di tingkat Polda yang tidak terlalu memadai, di mana satu (1) kasus hanya disiapkan dana penyidikan sebesar Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Rasanya agak sulit untuk mengharapkan suatu kerja maksimal dalam melakukan penyidikan dengan dukungan dana seperti itu. Nilai dana yang demikian kecil itu akan tidak ada artinya bila dibandingkan dengan dana operasional yang disiapkan untuk MABES Polri sekitar Rp 14 juta, dan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi sebesar Rp 250 juta, bahkan biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 187
Pasal 5 dan 6 Peraturan Bersama KAPOLRI dan Jaksa Agung RI No. POL : 2 Tahun 2006, No. Kep-019/A/JA/03/2006 tentang Optimalisasi Koordinasi dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 259
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Perbandingan yang begitu jauh itu juga dapat menimbulkan kecemburuan sosial, dan tentunya akan berdampak buruk dalam gerakan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, kewenangan Polri dalam proses penyidikan sangat terbatas sebagaimana yang telah kami sampaikan jika dibandingkan dengan kewenangan yang diberikan kepada KPK sangat luas antara lain memiliki anggaran penyidikan Unlimited juga berwenang mengambil alih penyidikan, penuntutan, penyitaan tanpa ijin pengadilan dan untuk pemanggilan Eksekutif, Legislatif tanpa ijin Presiden sebagaimana diatur oleh UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas KPK dibebankan kepada APBN [cf. Ps 64 UU KPK]. Penyidik KPK dapat melakukan penyitaan tanpa ijin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya [cf. Ps 47 UU KPK]. Penyidik KPK dapat memerintahkan kepada Bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka atau pihak lain tanpa ijin Bank Indonesia [cf. Ps 12 UU KPK]. KPK dapat mengambil alih penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi, Kepolisian atau Kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan [cf. Ps 8 dan 9 UU KPK]. Dalam hal pejabat negara sejak ditetapkan sebagai tersangka, prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain tidak berlaku berdasarkan UU KPK [cf. Ps 46 UU KPK]. 260
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Keempat, tentang mekanisme pemeriksaan pejabat publik (gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, anggota dewan, dan lain sebagainya) atas persetujuan tertulis dari 188 presiden. Ketentuan yang demikian terkesan “diskriminatif”, dan terkadang prosesnya 189 dibelokkan ke “jalur lambat” dengan menghambat proses terbitnya izin atau persetujuan tertulis dari Presiden, sekalipun dalam UU (misalnya Pasal 36 ayat (2) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah) dinyatakan secara tegas bahwa : “apabila persetujuan tertulis itu tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu selambat-lambatnya 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, maka proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan”. Sedangkan Pasal 53 ayat (1) UU No: 32/2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan “Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi anggota DPRD provinsi dan dari Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD kabupaten/ kota“. Namun dalam praktik, peluang yang diberikan oleh UU Pemerintahan Daerah itu sulit untuk diterapkan, karena pejabat publik tetap menolak untuk diperiksa
188
Khusus mengenai tindakan penyelidikan dan penyidikan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik (kf. Pasal 36 Ayat (1) UUNo. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) 189
Pemikiran mengenai “penegakan hukum didorong ke jalur lambat” dilontarkan oleh Satjipto Rahardjo dalam Karolus Kopong Medan & Frans J. Rengka (ed), Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003, halaman 165-172.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
261
Ka p i t a Se l e k t a
atau dimintai keterangannya sebagai tersangka atau saksi tanpa ada persetujuan tertulis dari Presiden. Memang perlu ada semacam “sekat pengaman” seperti itu menjaga wibawa seorang pimpinan publik, tapi apabila dikaitkan dengan asas “persamaan di mata hukum”, maka kebijakan hukum yang demikian itu perlu dipertimbangkan kembali. Kalau memang tetap dipertahankan dalam hukum acara pidana, maka perlu dilandasi oleh prinsipprinsip yang memungkinan “sekat pengaman” itu bisa berfungsi dengan baik. Dengan demikian, “sekat pengaman” tersebut dapat menjalankan berfungsi gandanya secara seimbang, yakni di samping berfungsi untuk melindungi wibawa dan kehormatan pejabat publik, tapi di sisi yang lain tidak mengganggu proses hukum yang sedang berjalan. Banyak kasus yang bisa kita pakai untuk menjelaskan bahwa betapa kebijakan ini bisa menjadi “penghambat yang utama”, salah satunya adalah kasus pemeriksaan Bupati Kendal yang terhenti sekitar enam (6) bulan lebih, karena harus menunggu surat persetujuan tertulis dari Presiden. Keterlambatan yang demikian itu sangat mengganggu pekerjaan penyidik, karena kasuskasus yang lain pun sedang menunggu untuk secepatnya ditangani. Kelima, interaksi penyidik dengan instansi di luar sistem peradilan pidana, seperti dengan BPKP dan pihak perbankan dalam mengungkap kasus dugaan korupsi terkadang tidak berjalan dengan baik dan cepat sebagaimana diharapkan. Berkaitan dengan penanganan tindak pidana korupsi, penyidik dalam hal-hal tertentu sangat tergantung pada instansi BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) berkaitan dengan masalah audit 262
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
investigasi untuk menentukan besarnya kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Pasal 32 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, bahwa “jumlah kerugian keuangan negara dihitung berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”. Atas dasar ketentuan itu maka mau tidak mau penyidik tindak pidana korupsi harus menunggu dulu hasil audit investigasi dari BPKP selaku instansi yang berwenang menentukan ada tidaknya kerugian negara yang ditimbulkan oleh perbuatan orang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi (kf. Pasal 12 Keputusan Bersama Kapolri dan Kepala BPKP No. Pol. Kep/12/IV/2002/No. Kep.04.02.00219/K/2002 tanggal 29 April 2002).190 Untuk mendapatkan hasil audit investigasi dari BPKP tersebut penyidik harus membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya yang mahal. Oleh karena itu, pihak penyidik sering merasa kesulitan, karena dana operasional yang disiapkan oleh negara untuk melakukan penyidikan setiap kasus relatif kecil, terutama bagi penyidik tindak pidana korupsi tingkat Polda yang hanya sebesar Rp 2,5 juta. Demikian pula interaksi antara penyidik dengan pihak perbankan juga sering terhambat oleh aspek kerahasiaan bank, sekalipun Pasal 29 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 secara tegas menyatakan, bahwa “untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta 190
Mengenai pedoman dan tata cara audit investigasi keuangan negara dapat dicermati ketentuannya dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 59/PMK. 06/2005 tentang Sistem Akuntansi dan pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
263
Ka p i t a Se l e k t a
keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa”. Namun, kewenangan penyidik dalam hal ini terkadang terhambat, terutama bagi penyidik di daerah, karena harus membutuhkan waktu untuk menunggu persetujuan dari Gubernur Bank Indonesia (Pasal 29 ayat (2). Memang harus diakui bahwa masalah kemacetan atau keterlambatan dalam mendapat informasi dari bank itu tidak dikehendaki oleh UU No. 20 Tahun 2001 ini, karena di dalam Pasal 29 Ayat (3) secara tegas dinyatakan, bahwa “Gubernur bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan penyidik, penuntut umum dan hakim tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap”. Kesimpulan 1. Korupsi merupakan Tindak Kejahatan yang sangat Luar biasa (Extra Ordinary Crime). Tidak hanya sekedar sebagai White Collar Crime tetapi perlu diangkat menjadi Corruption as State Crime karena karakteristiknya sudah melibatkan pejabat negara, pengusaha dan organisasi-organisasi tertentu yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. 2. Mengingat korupsi sudah menjadi hal yang membudaya bagi bangsa Indonesia, maka pendekatannya pun tidak hanya melalui pendekatan hukum semata, tetapi perlu dikaji dan difahami secara mulitidisiplin, menyeluruh dan komprehensip supaya dapat ditemukan upaya pencegahan dan penanggulangan yang lebih tepat guna dan berdaya guna. 264
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
3. Polri senantiasa berupaya meningkatkan kemampuan penyidik Tindak Pidana Korupsi untuk memiliki keahlian dan ketrampilan secara profesional dalam rangka pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menurut ketentuan hukum yang berlaku dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keadilan dan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. 4. Meningkatkan budaya kerja sama (Corporate Culture) antar penegak hukum dibidang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi agar antara Subsistem dapat berfungsi dengan baik, saling mengisi dan saling melengkapi, dan yang tidak kalah pentingnya adalah adanya dukungan dari masyarakat luas. 5. Fungsi pengawasan dari semua komponen masyarakat seperti pers, LSM, serta lembaga perwakilan rakyat lainnya sebagai fungsi kontrol (Social Control) dan sebagai dukungan agar proses pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat berjalan dengan lebih baik, bukan bersifat Intervensi. 6. Menyatakan Visi dan Misi aparat penegak hukum dan masyarakat secara konsisten untuk meningkatkan upaya pemberantasan dan perang terhadap tindak pidana korupsi dari mulai hal yang terkecil, dari diri sendiri dan mulai saat ini untuk : “SAY NO TO CORRUPTION”. P. Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor: 105 Tahun 2000 sebagai pedoman pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang bersifat umum dan lebih menekankan pada hal yang bersifat prinsip, norma, asas, dan landasan umum dalam pengelolaan Keuangan Daerah. Sementara itu sistem dan prosedur An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 265
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
pengelolaan keuangan secara rinci ditetapkan oleh masing-masing Daerah. Kebhinekaan dimungkinkan terjadi sepanjang hal tersebut masih sejalan atau tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Untuk itu semangat desentralisasi, demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses penyelenggaraan pemerintah pada umumnya dan proses Keuangan Daerah pada khususnya, antara lain memberikan keleluasaan dalam penetapan produk pengaturan sebagai berikut: (1) Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan Peraturan Daerah; (2) Sistem dan prosedur pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan Surat Keputusan Kepala Daerah; (3) Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD mengenai pengelolaan Keuangan Daerah dan kinerja Keuangan Daerah dari segi efisiensi dan efektivitas keuangan; (4) Laporan pertanggungjawaban Keuangan Daerah merupakan dokumen Daerah sehingga dapat diketahui oleh masyarakat.191 Pejabat Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 2 ayat (1) Kepala Daerah adalah Pemegang Kekuasaan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah. Ayat (2) Selaku pejabat Pemegang Kekuasaan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepala Daerah mendelegasikan sebagaian atau seluruh kewenangan kepada Sekertaris Daerah dan atau Perangkat Pengelolaan Keuangan Daerah. Yang dimaksud Pengelolaan Daerah meliputi perencanaan, 191
Penjelasan PP Nomor 105 Tahun 2000.
266
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
penentuan kebutuhan, penganggaran, penyimpanan dan penyaluran, pemeliharaan, penhapusan dan pengendalian. Pencatatannya berdasarkan standar akuntansi pemerintah daerah yang maksud dan tujuannya untuk dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Asas umum pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan. Semua Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah dicatat dan dikelola oleh APBD (cf pasal 7 ayat (1) PP. No. 105/2000), sedangkan “Semua transaksi Keuangan Daerah baik Penerimaan Daerah maupun Pengeluaran Daerah dilaksanakan melalui Kas Daerah (cf. Pasal 11 PP No. 105/2000). Semua manfaat yang bernilai uang dibukukan sebagai Pendapatan Daerah dan dianggarkan dalam APBD. “Setiap penbebanan APBD harus didukung oleh bukt-bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih”. Bukti dimaksud antara lain kuitansi, faktur, surat penerimaan barang, perjanjian pengadaan barang dan jasa.(cf. pasal 27 ayat (1). Surat Perintah membayar merupakan dokumen APBD yang menjadi dasar untuk melakukan pembayaran atas beban APBD. Surat Perintah Membayar ditetapkan oleh Bendahara Umum Daerah atau pejabat yang ditetapkan oleh Bendahara Umum Daerah. “Setiap orang yang diberi wewenang menandatangani dan atau mengesahkan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBD bertanggungjawab atas kebenaran dan akibat dari penggunaan tersebut “.(cf. pasal 27 ayat (2) PP. No. 105/2000). An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
267
Ka p i t a Se l e k t a
Apabila Pemerintah Daerah dalam rangka pembangunan fasilitas pelayanan publik tidak memiliki dana ataupaun dana yang ada tidak mencukupi, maka Daerah dapat mencari alternatif sumber-sumber pembiayaan jangka panjang melalui kerja sama dengan pihak lain termasuk masyarakat. (cf. penjelasan pasal 19 ayat (2) PP. No. 105/2000). Penerimaan dan Pengeluaran APBD “wajib” dilaksanakan oleh setiap Perangkat Daerah yang mempunyai tugas memungut atau menerima Pendapatan Daerah wajib melaksanakan intensifikasi pemungutan pendapatan tersebut. “Semua manfaat yang bernilai uang komisi, rabat, potongan, bunga atau nama lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan jasa dari penyimpanan dan atau penempatan uang Daerah merupakan “Pendapatan Daerah”.(cf. pasal 24 ayat (1) & ayat (2) PP No. 105/2000) Pasal 24 ayat (3) Pendapatan Daerah disetor sepenuhnya tepat pada waktunya ke Kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.192 Pasal 24 ayat (3) Tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah. Pasal 27 ayat (1) Setiap pembebanan APBD harus didukung oelh pihak yang menagih. Pasal 27 ayat (2) Setiap orang yang diberi wewenang menandatangani dan atau mengesahkan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBD bertanggungjawab atas kebenaran akibat dari penggunaan bukti tersebut. 192
Abdurrahman Wahid, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 202. 268
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Pengawasan Internal pengelolaan keuangan daerah selain melakukan pangawasan atas urusan kas/uang, memperhatikan pula tatalaksan penyelenggaraan program, kegiatan dan menejemen oleh Pemerintah daerah dari segi efisiensi dan efektivitasnya, yang dapat mempengaruhi kekuatan dan daya guna Keuangan daerah. Kerugian daerah yang dimaksud dalam ayat ini adalah yang nyata dan pasti jumlahnya, termasuk dalam kerugian daerah adalah pembayaran dari daerah kepada orang atau badan yang tidak berhak. Oleh karena itu, setiap orang atau badan yang menerima pembayaran demikian itu tergolong dalam melakukan “perbuatan yang melawan hukum”193. Setiap kerugian daerah yang langsung maupun tidak langsung sebagai akibat perbuatan melanggar hukum atau kelalaian, harus diganti oleh yang bersalah dan atau lalai (cf pasal 44 ayat (1) PP. No. 105 tahun 2000). Yang pada prinsipnya keluar masuk keuangan, penggunaan keuangan daerah yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD), harus di putuskan dalam rapat paripurna dengan DPRD. Q. Koordinasi Pidana
Penyidik
dalam
Proses
Perkara
Koordinasi penyidik dan penuntut umum diatur : 1. Pasal 2 ayat (3) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia ditegaskan “Kepolisian Negara Republik Indonesia berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam 193
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4002
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 269
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
urusan yustisial dan dengan Departemen Dalam Negeri dalam urusan ketentraman dan ketertiban umum”. 2. Instruksi Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia Dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: INSTR-006/JA/1981 dan No. POL:INS/17/ 1981 tentang Peningkatan Usaha Pengamanan dan Kelancaran Penyidangan Perkara-Perkara Pidana, Jaksa Agung Republik Indonesia Dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tanggal 6 Oktober 1981 yang ditanda tangani oleh Jendral Polisi Drs. Awaloedin Djamin dan Ismail Saleh, SH. 3. Hubungan Fungsional dan Instansional antara Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum a. Mulainya penyidikan dan kewajiban pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum pasal 109 ayat (1) KUHAP. b. Perpanjangan penahanan untuk kepentingan penyelesaian penyidikan pasal 24 ayat (2) KUHAP. c. Penghentian penyidikan yang diberitahukan kepada jaksa penuntut umum pasal 109 ayat (2) KUHAP d. Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum pasal 110 ayat (1) KUHAP e. Penyidikan tambahan dalam hal berdasarkan petunjuk penuntut umum dalam hal berkas perkara dikembalikan kepada penyidik karena kurang lengkap. f. Penyampaian surat turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan dari jaksa penuntut umum kepada tersangka atau penasehat hukumnya dan penyidik (pasal 143 ayat (4) KUHAP. 270
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
4. Koordinasi Penyidik dengan pengadilan antara lain: a. Penggeledahan rumah (pasal 33 KUHAP) b. Penyitaan (pasal 38 KUHAP) c. Pemeriksaan dokumen (pasal 43 KUHAP. d. Pemeriksaan surat (pasal 47 KUHAP) e. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan (pasal 205 KUHAP) f. Cara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan (pasal 211 s/d 216 KUHAP). 5. Koordinasi Penyidik dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu antara lain tentang : a. Koordinasi dan pengawasan (pasal 7 ayat (2) KUHAP); b. Pemberian petunjuk dan bantuan, laporan dimulainya penyidikan dan penghentian penyidikan serta penyerahan hasil penyidikan (pasal 107 s/d 109 ayat (3) KUHAP. c. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. 14.04 PW.07.03 Tahun 1984 tentang wewenang melakukan penyidikan, dan tidak berwenang melakukan penangkapan dan penahanan194. 6. Koordinasi Kerjasama Penanganan Kasus Tindak Pidana di Bidang Perbankan, dan ditindaklanjuti dengan Petunjuk Pelaksanaan yang telah ditandatangani pada tanggal 01 September 1999 oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Jaksa Agung Tindak Pidana Umum, Komandan Korps Reserse Markas Besar POLRI dan Deputi Bank Indonesia (KEP-126/JA/11/1997 _ KEP/10/XI/1997 _ 30/6/KEP/GBI), untuk membantu kelancaran proses penyidikan dugaan penyimpangan dibidang perbankan yang diduga mengandung unsur pidana,
194
Abdul Hakim G.Nusantara, Jakarta, 1986: ibid hal. 185
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
271
Ka p i t a Se l e k t a
berdasarkan SK DIR. BI No. 31/181/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998.195
195
hal 40 272
Wildan Suyuthi, Kapusdiklat Mahkamah Agung RI Jakarta, 2003: Ibid
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
R.Tatacara Tindakan Upaya Paksa 1. Tatacara Pemanggilan Pemanggilan diatur dalam pasal 112 ayat (1) KUHAP Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Ayat (2) orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya. Pemanggilan tersebut harus dilakukan dengan surat panggilan yang sah, artinya, surat panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang, dengan diberi tenggang waktu yang wajar 3 (tiga) hari kerja. Sangsi, barangsiapa dengan sengaja tidak menurut perintah atau tuntutan, yang dilakukan menurut peraturan undang-undang oleh pegawai negeri yang diwajibkan atau yang dikuasakan untuk menyelidiki atau memeriksa perbuatan yang dapat dihukum, demikian juga barangsiapa dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh salah seorang pegawai negeri itu, dalam menjalankan sesuatu peraturan undang-undang, dihukum penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda setinggi-tinginya sembilan ratus rupiah.196 196
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetak Ulang, Penerbit Politea, Bogor, 1996 : 170 yang disamakan dengan pegawai negeri yang A n e k a P e r s o a l a n d i B i d a n g H u k u m 273
E k o n o mi
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Dalam hal saksi atau saksi ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera ditempat rumah tahanan negara paling lama 14 (empat belas) hari; Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan dibawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang diucapkan disidang. Pemanggilan Notaris dan pengambilan minota akta, untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD), dapat : a. mengambil fotokopi minuta akta dan atau suratsurat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan b. memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang di buatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris. c. penyerahan fotokopi minuta akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud huruf a di buat berita acara penyerahan.197 Sedangkan pemanggilan terhadap saksi ahli, untuk mendapatkan keterangan ahli yang berhubungan dengan keahliannya, selain surat panggilan juga sebaiknya dengan surat permohonan/permintaan kepada organisasi, badan dimaksudkan dalam segala orang ialah yang menurut peraturan undang-undang selalu atau sementara diwajibkan menjalankan sesuatu pekerjaan umum. 197
Bab VIII Pengambilan minuta akta dan memanggil notaris Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 274
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
hukum atau departemen yang bersangkutan, serta dilampiri daftar pertanyaan yang berkaitan dengan perkara yang ditangani, disebutkan nama yang menangani dan nomor telpon yang mudah dihubungi oleh saksi ahli tersebut untuk kepentingan memudahkan koordinasi. Dalam tindakan penyidikan tindak pidana terhadap anggota DPRD, dalam memanggil terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dilaksanakan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri atas nama Presiden Republik Indonesia bagi DPRD Provinsi, dan dari Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia bagi anggota DPRD Kabupaten/Kota yang diajukan oleh KAPOLDA serta melengkapi persyaratan sebagai berikut : 1). Laporan Polisi. 2). Surat Perintah Penyidikan. 3). Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). 4). Resume atau Laporan Kemajuan. 5). Laporan hasil gelar perkara. 6). Syarat pengantar ditandatangani oleh KAPOLDA/ WAKA.198 2. Perintah Penangkapan Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (cf ps 17 KUHAP). Upaya paksa harus dengan surat perintah 198
KABA RESKRIM POLRI, Jakarta, 12 Desember 2007 mengacu Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
275
Ka p i t a Se l e k t a
tertulis yang memuat penjelasan singkat (a) nama lengkap, tempat tinggal/alamat, umur dan atau tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pekerjaan tersangka; (b) uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang disangkakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan. Tembusan surat perintah penangkapan atau surat perintah penahanan “wajib” diberikan kepada tersangka dan keluarga tersangka. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat; sedangkan dalam hal tertangkap tangan seorang berhak untuk melakukan penangkapan, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik (cf pasal 18 ayat (2) yo cf. pasal 111 ayat (1) KUHAP). Sedangkan perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Kf pasal 17 KUHAP) yang menurut hasil dari kesepakatan Mahkehjapol I/1984 dan Mahkehjapol II/1992 angka 4199. Bukti permulaan yang cukup adalah “yang terdiri dari laporan polisi ditambah sekurang-kurangnya satu alat bukti yang sah 199
Pemantapan Keterpaduan Sesama Aparatur Penegak Hukum (Mahkehjapol II Jakarta 1992 : 4 Penangkapan berdasar Bukti permulaan yang cukup, seyogyanya minimal laporan polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya seperti BAP di TKP, atau keterangan saksi/saksi ahli atau barang bukti dan lain-lain. 276
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
ditambah berita acara TKP atau hasil penyelidikan” bahwa seseorang patut diduga keras telah melakukan perbuatan tindak pidana. Untuk dapat melakukan penahanan, disamping didasarkan pada pertimbangan kepentingan penyidikan harus pula diletakkan pada dasar penahanan sebagai diuraikan dalam pasal 21 ayat 4 KUHAP. Pada pasal tersebut ditekankan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana, atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih; b. Tindak pidana tertentu sebagaimana diuraikan satu persatu dalam pasal 21 ayat 4 huruf b KUHAP. Pasal 21 ayat 1 dan pasal 21 ayat 4 KUHAP sama-sama mengatur dalam hal apa tersangka atau terdakwa dapat ditahan untuk mempermudah pembeda kedua ketentuan itu, baik dalam literatur maupun dalam praktek dibedakan: Ketentuan yang diatur dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP disebut sebagai dasar keperluan atau kepentingan untuk melakukan penahanan. Ketentuan yang diatur dalam pasal 21 ayat 4 KUHAP disebut sebagai dasar sahnya penahanan. Dasar kepentingan penahanan sebagaimana dimaksud pasal 21 ayat 1 tersebut bersifat fakultatif, tetapi dasar untuk sahnya penahanan sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat 4 bersifat imperatif. Apabila dasar ini tidak terpenuhi maka penahanan yang bersangkutan adalah tidak sah. 3. Perintah Penahanan An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
277
Ka p i t a Se l e k t a
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti yang cukup”, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana lagi (cf ps 21 ayat (1) KUHAP). Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : (a) tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; (b) tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1) KUHP (penganiayaan), pasal 353 ayat (3) KUHP (penganiayaan dengan rencana), pasal 372 KUHP (penggelapan), pasal 379 a (karena kebiasaannya meminjam/membeli barang tidak dibayar lunas), pasal 453 KUHP(nakhoda kapal menarik diri), Pasal 454 KUHP (kelasi desersi), pasal 455 KUHP (anak buah kapal desersi) pasal 459 KUHP (penumpang kapal menyerang nakhoda), pasal 480 KUHP (penadahan/sekongkol), dan Pasal 506 KUHP (mucikari/soeteneur), Pasal 24 dan Pasal 25 pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). 278
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Untuk dapat melakukan penahanan, disamping didasarkan pada pertimbangan kepentingan penyidikan harus pula diletakkan pada dasar penahanan sebagai diuraikan dalam pasal 21 ayat 4 KUHAP. Pada pasal tersebut ditekankan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana, atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih; b. Tindak pidana tertentu sebagaimana diuraikan satu persatu dalam pasal 21 ayat 4 huruf b KUHAP. Pasal 21 ayat 1 dan pasal 21 ayat 4 KUHAP sama-sama mengatur dalam hal apa tersangka atau terdakwa dapat ditahan untuk mempermudah pembeda kedua ketentuan itu, baik dalam literatur maupun dalam praktek dibedakan: Ketentuan yang diatur dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP disebut sebagai dasar keperluan atau kepentingan untuk melakukan penahanan. Ketentuan yang diatur dalam pasal 21 ayat 4 KUHAP disebut sebagai dasar sahnya penahanan. Dasar kepentingan penahanan sebagaimana dimaksud pasal 21 ayat 1 tersebut bersifat fakultatif, tetapi dasar untuk sahnya penahanan sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat 4 bersifat imperatif. Apabila dasar ini tidak terpenuhi maka penahanan yang bersangkutan adalah tidak sah. Selain harus memenuhi ketentuan pasal 21 ayat (4) huruf a dan huruf b, harus ada standar bukti yang cukup seorang dapat diajukan keperadilan pidana, jika didukung “bukti yang cukup” yang menurut penulis “sekurang-kurangnya dua alat bukti An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
279
Ka p i t a Se l e k t a
yang sah, yang menurut penilaian penyidik benarbenar telah terjadi tindak pidana, dan menunjukkan bahwa tersangkalah yang telah melakukannya“200. Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, dengan pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa dipengadilan negeri “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah telah melakukannya”, hingga betul-betul ptusannya dapat di rasakan kepastian hukum dan keadilannya, serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. 4. Perintah Penggeledahan Pasal 33 KUHAP : (1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan. (2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah. (3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya. 200
Menurut pendapat Suparmin (penulis) bahwa tindak pidana “terbukti” apabila sangkaan telah memenuhi “bukti yang cukup” sehingga Berkas Perkaranya diterima oleh Jaksa Penuntut Umum hingga dapat diajukan kepersidangan, telah sejalan dengan Pasal 183 KUHAP, Penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia hal ini berkenaan dengan faktor mental, yang pada dasarnya Hukum Acara Pidana sendiri merupakan sarana pembinaan bagi para penegak hukum untuk mengadakan perubahan mental yang mengarah kepada pengakuan dan penghormatan “human digniy”. 280
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
(4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir. (5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan. Pasal 104 KUHAP : Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda pengenalnya. Pasal 125 KUHAP : Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 KUHAP. 5. Perintah Penyitaan Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyelidik atau penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat; sedangkan penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain (cf. pasal 43 hukum acara pidana). Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila: An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
281
Ka p i t a Se l e k t a
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana201. Penetapan mengenai penyerahan barang tersebut misalnya sangat diperlukan untuk mencari nafkah, seperti kendaraan, alat pertanian dan lainlain. Penyerahan barang bukti tersebut dapat dilakukan meskipun putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, akan tetapi harus disertai dengan syarat tertentu, antara lain barang tersebut setiap waktu dapat dihadapkan kepengadilan dalam keadaan utuh.202 Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat yang dipalsu atau yang dipalsukan, penyidik dengan surat ijin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan perbandingan. Dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan dalam surat permintaan, tanpa 201
sejalan dengan pasal 194 ayat 2 &3 KUHAP kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti diserahkan segera sesudah sidang selesai; perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai sesuatu syarat apapun kecuali dalam hal putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap. 202
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209. Kehakiman. Tindak Pidana Warganegara. Hukum Acara Pidana (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76: pasal 194 KUHAP). 282
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
alasan yang sah, penyidik berwenang mengambilnya. Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam pasal ini dibebankan pada dan sebagai biaya perkara (cf Pasal 132 Hukum Acara Pidana).
An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
283
Ka p i t a Se l e k t a
6. Tindakan pertama di tempat kejadian Dalam praktek tindakan pertama di tempat kejadian tersebut dikenal dengan istilah tindakan pertama di TKP (tempat kejadian perkara). Menurut PAF. Lamintang yang dimaksud dengan tempat kejadian itu ialah tempat dimana telah dilakukan sesuatu tindak pidana. Yang dimaksud tindakan pertama di tempat kejadian melakukan segala macam tindakan yang oleh penyidik telah dipandang perlu untuk : a. menyelamatkan nyawa korban; b. menangkap pelaku tersebut masih berada dalam jangkauan penyidik untuk segera ditangkap; c. menutup tempat kejadian bagi siapapun yang kehadirannya disitu tidak diperlukan untuk menyelamatkan korban, untuk menyelamatkan harta kekayaan orang atau untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan dengan maksud agar tempat kejadian itu tetap berada dalam keadaan yang asli untuk memudahkan penyelidikan dan penyidikan; d. Menemukan, menyelamatkan, mengumpulkan dan mengambil barang-barang bukti serta bekasbekas yang dapat membantu penyidik untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk tentang identitas pelaku, tentang cara-cara dan alat-alat yang telah dipergunakan oleh para pelakunya dan untuk melemahkan alibi yang mungkin saja akan dikemukakan oleh seseorang tersangka apabila ia kemudian berhasil ditangkap; e. menemukan saksi-saksi yang diharapkan dapat membantu penyidik untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi, dan memisahkan saksisaksi tersebut agar mereka itu tidak dapat berbicara satu dengan yang lain dan lain-lain. 284
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Lebih lanjut beliau menyatakan pula bahwa dalam melakukan tindakan pertama di tempat kejadian itu penyidik perlu menyadari akan pentingnya beberapa hal berikut ini: a. Bahwa bukti-bukti dan bekas-bekas di tempat kejadian itu sangat mudah hilang dan rusak, karena terinjak ke dalam tanah, tertendang oleh kaki ke tempat-tempat yang tidak disangkasangka, tersentuh oleh tangan atau benda-benda lain; b. Bahwa sudah dapat dipastikan para pelaku sesuatu tindak pidana itu akan meninggalkan bukti-bukti atau bekas-bekas di tempat kejadian, karena mereka itu tidak mungkin dapat menghilangkan semua bekas yang telah mereka buat di tempat kejadian karena ingin lekas-lekas meninggalkan tempat tersebut, kecuali apabila tindak pidana yang mereka lakukan itu telah direncanakan secara sempurna sekali; c. Bahwa tidak ada satupun barang bukti atau bekas yang terdapat di tempat kejadian itu yang tidak berguna untuk mengungkapkan peristiwa yang telah terjadi dan untuk menyelidiki siapa pelakunya; d. Bahwa berhasil tidaknya seorang penyidik mengungkap peristiwa yang telah terjadi atau dapat mengetahui siapa pelaku tindak pidana yang telah terjadi itu tergantung pada berhasil tidaknya penyidik tersebut menemukan, mengumpulkan dan mengamankan barangbarang bukti atau bekas yang telah ditinggalkan oleh pelakunya di tempat kejadian; e. Bahwa harus dijaga agar tidak satupun benda yang terdapat di tempat kejadian itu disentuh, dipindahkan atau diangkat dari tempatnya yang An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 285
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
semula oleh siapapun sebelum benda-benda tersebut dipotret, digambar dalam satu sketsa mengenai tempat dimana-mana benda tersebut dijumpai, dicatat mengenai tempat ditemukannya benda-benda tersebut, letaknya, keadaannya dan lain-lain untuk memudahkan pembuatan berita acara mengenai penemuan-penemuannya itu sendiri; f. Bahwa pada semua benda yang ditemukan di tempat kejadian itu harus diberikan tanda-tanda tertentu dan pemberian tanda-tanda itu harus dicatat oleh penyidik, dan diusahakan agar pemberian tanda-tanda itu jangan sampai merusak tanda-tanda atau bekas-bekas yang telah ada pada benda-benda tersebut. (PAF. Lamintang, 1984:76-78). Mengingat sedemikian pentingnya penanganan TKP bagi usaha untuk mengungkapkan suatu tindak pidana melalui kegiatan penyidikan, M. Karjadi menyusun table tindakan dan kewajiban pertama di TKP sebagai berikut di bawah ini : a. Pertolongan pertama kepada si korban, mencatat dan menemukan ciri-ciri korban: P3K (pertolongan pertama pada korban); mengurus pengangkutan korban ke rumah sakit; mencatat, menentukan ciri-ciri korban jika ia mati; b. Pemberitahuan: Dokter, pos PMI, pos P3K, poliklinik, jawatan kesehatan; Kantor polisi yang terdekat, pegawai polisi/ pengusut yang berwenang; keluarga korban (jikalau perlu juga pendeta, imam dan sebagainya); c. Membatasi, menutup dan menjaga : 286
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
lapangan ditutup atau dijaga atau diperintahkan menjaga; keadaan tempat harus dipertahankan agar jangan berobah; d. Menahan, menangkap dan sebagainya: mencari tersangka di sekitar TKP; berusaha menahan dan menangkap orang yang tersangka; e. Mengumpulkan bukti-bukti: Bekas-bekas mati pada tempat dan pada tersangka; Saksi-saksi: mencatat nama-nama, jika korban berbahaya jiwanya dengarlah dengan pendek, adakan adu muka pilihan dengan tersangka, diawasi jangan berkumpul satu sama lain, bersikap sopan santun tetapi tegas dan bijaksana; Tersangka: digeledah, di jaga (kalau perlu diborgol-diikat), diawasi, dicatat nama dan sebagainya; f. Mengamankan bekas-bekas: Sebanyak mungkin mencegah rusaknya bekasbekas, maka tempat harus dipertahankan; Karena cuaca buruk, bekas-bekas yang ada di diluar harus dilindungi, barang-barang yang dapat dipindahkan harus diangkat dengan bijaksana, tempat bekas-bekas yang dipindahkan harus diganti dengan tanda. g. Membuat proses perbal pendapatan: Membuat catatan-catatan (bagaimana peristiwa diketahui, keadaan tempat, orang-orang yang terdapat di tempat itu, tindakan-tindakan yang dilakukan, perubahan-perubahan yang dibuat keterangan-keterangan lainnya). Membuat gambar skets. (M. Karjadi, 1959:21) An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
287
Ka p i t a Se l e k t a
Tempat kejadian perkara adalah tempat dimana bersumber data dan fakta (benda-benda, keterangan maupun orang-orang yang diperlukan) yang menjadi pokok pangkal usaha pengungkapan suatu tindak pidana adalah sangat penting. Oleh karena itu A. Hamzah mengingatkan sebagai berikut: ”Penyidik waktu melakukan pemeriksaan pertama kali di tempat kejadian sedapat mungkin tidak mengubah, merusak keariaan di tempat kejadian agar bukti-bukti tidak hilang atau menjadi kabur. Hal ini terutama dimaksudkan agar sidik jari begitu pula bukti-bukti yang lain seperti jejak kaki, bercak darah, air mani, rambut dan sebagainya tidak hapus atau hilang (A. Hamzah, 1985:128). Sebagai contoh perubahan di tempat kejadian perkara merugikan usaha penyidik, beliau mengemukakan kejadian sebagai berikut: Suatu kejadian yang menggemparkan terjadi di Jakarta, yaitu pembunuhan nyonya Sari Dewi Hadiati di siang hari di hotel Sahid Jaya pada tanggal 4 April 1983. Pemeriksaan di tempat kejadian kurang membawa titik terang terungkapnya pembunuhan itu karena petugas keamanan hotel tersebut telah memindahkan bahan-bahan bukti (bewijs materiaal), sehingga sidik jari pelaku telah terhapus (A. Hamzah, ibid). Mengingat pentingnya penanganan tempat kejadian perkara, tindakan tersebut menuntut, ketelitian, kecermatan serta pengetahuan/ pengalaman dan keterampilan tehnis penyidik, maka dalam praktek pemeriksaan di tempat kejadian 288
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
perkara pada umumnya dipimpin oleh perwira reserse yang dipandang cakap untuk menangani tugas tersebut. Dalam praktek biasanya penanganan tempat kejadian perkara melibatkan team yang terdiri dari unsur-unsur: Sabhara, Reserse, Dokumentasi/ Fotografi dan Dactiloscopy. Bahkan terkadang kala melibatkan pula unsur di luar kepolisian seperti dokter dan para medis. Dalam rangka usaha mencari dan menangkap tersangka pelaku tindak pidana yang dimulai dari tempat kejadian perkara, digunakan pula anjing pelacak dari satu Satwa Polri. Sebagaimana kita ketahui bahwa cukup banyak pelaku tindak pidana yang dapat ditangkap dengan bantuan ajing pelacak dengan cara pelacakan yang dimulai dari tempat kejadian perkara. Pelacakan dengan bantuan anjing pelacak dipimpin oleh seorang pawang ajing pelacak yang atas pelaksanaan tugas pelacakan tersebut membuat Berita Acara Pelacakan. Berita Acara Pelacakan tersebut harus diuraikan secara rinci segala hal yang telah dilakukan baik oleh anjing pelacak maupun pawangnya sejak dari tempat kejadian perkara sampai diketemukannya tersangka pelaku tindak pidana itu. Untuk memperkuat pembuktian akan kebenaran bahwa tersangka pelaku yang ditangkap atas bantuan ajing pelacak tersebut, hasil pemeriksaan dalam perkara tersebut dilengkapi pula dengan hasil pengolahan sidik jari yang ditemukan di An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 289
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
tempat kejadian perkara yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan laboratoris kriminalistik. Bahwa pada suatu tempat kejadian/perkara pasti tertinggal sidik jari pelaku, karena pelaku tersebut dalam melakukan perbuatannya pasti menggunakan tangan untuk memegang bendabenda yang berada di tempat kejadian perkara. Pada benda-benda yang dipegang pelaku tersebut akan tertinggal sidik jari, kecuali pelakunya menggunakan alas tangan (kertas, kain atau sarung tangan). Betapa pentingnya peranan sidik jari dalam usaha mengungkapkan suatu tindak pidana dan menangkap pelakunya telah dikemukakan oleh M. Karyadi sebagai berikut: ”Pengetahuan tentang sidik jari bagi tiap-tiap pegawai polisi dari bawahan sampai atasan, sebenarnya suatu keharusan yang harus dimiliki, sebab bukti-bukti sudah cukup banyak, bahwa prosentase yang paling besar penjahatnya tertangkap karena pembuktian sidik jari. Sidik jari di samping ciri-ciri manusia lainnya adalah alat yang ampuh untuk mencari dan mengenal penjahat. Maka hati-hatilah dengan tiap-tiap cap jari yang ditemukan di tempat kejadian perkara, sebab cap-cap jari ini dapat dikumpulkan dan kemudian dicocokkan dengan sidik jari penjahat-penjahat yang pernah tertangkap”. (M. Karyadi, 1959:51). Penggunaan sidik jari dalam penyidikan, bermula dari hasil penelitian Dr. Scheneikert antara tahun 1914 dan 1920, sewaktu ia menjadi Kepala Kantor Pusat Dactiloscopy di Berlin. Bahwa cap-cap 290
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
jari yang didapat dari tempat kejadian itu, setelah diperiksa dan kemudian dicocokkan dengan kumpulan cap-cap jari dari penjahat-penjahat yang pernah ditangkap, mendapatkan hasil yang memuaskan dan bahkan sebagian besar tertangkap karena cap-cap jari itu. Pengetahuan tentang sidik jari itu sendiri dirintis oleh Edward Henry seorang Inspektur Jenderal Inggris di Benggala India yang memperlajari sistem penggunaan sidik jari tersebut dari Herschel, yang kemudian disempurnakan dan dikenal dengan nama sistim Henry atau sistem Anglo Saxon. Apabila seseorang memegang suatu benda, maka pada benda itu akan tertinggal sidik jarinya. Hal ini disebabkan oleh proses pembakaran dalam tubuh manusia yang menyebabkan timbulnya keringat pada kulit manusia (termasuk kulit pada telapak tangan). Keringat itu sendiri terdiri dari air biasa dengan campuran beberapa zat antara lain garam dapur (NaCI) dan zat gemuk. Di bawah kulit terutama di bawah kulit telapak tangan terdapat jaringan syaraf peraba yang berfungsi sebagai sarana pengenalan atau penghayatan akan sesuatu benda yang kita pegang. Karena adanya jaringan syaraf peraba itulah, maka orang sering mengenali dan menghayati suatu benda dengan cara meraba benda tersebut dengan jari-jari tangannya. Apabila kita memegang sesuatu benda dengan jari-jari tangan, maka pada benda itu akan tertinggal suatu lapisan yang disebabkan adanya keringat An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
291
Ka p i t a Se l e k t a
yang terdapat pada kulit telapak tangan. Bekas keringat yang tertinggal pada benda tadi karena penguapan akan kering, dan setelah kering tertinggalah lapisan garan dan zat gemuk yang berbentuk cap jari pada permukaan benda yang dipegang tadi. Apabila benda yang dipegang tersebut berupa benda padat dan permukaannya licin, maka cap jari tersebut akan nampak lebih jelas (umpamanya gelas, besi dan sebagainya). Cap-cap jari yang tertinggal pada benda yang dipegang itulah yang disebut sidik jari. Berdasarkan hasil penelitian, terungkaplah rahasia sidik jari yaitu: Bahwa tidak pernah ada dua orang yang mempunyai sidik jari yang sama; bahwa alur-alur sidik jari pada tangan seseorang bersifat tetap sepanjang hidupnya. Berawal pada terungkapnya rahasia sidik jari itulah merupakan asal mula dipergunakannya sidik jari sebagai sarana untuk mengungkapkan suatu tindak pidana dan upaya untuk menemukan pelakunya.
oobroo
292
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Santoso, KUHAP dan PeraturanPeraturan Pelaksana, Penerbit Djambatan, Percetakan Anem Kosong Anem, ISBN 9794280054, Anggota IKAPI, Jakarta, 1986. Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999. ____________________, Hukum Perusahaan Perseroan Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996. Ahmad Toha Putra, Al Qur’an dan Terjemahannya (Revisi terbaru) Departemen Agama RI, Dengan Transliterasi Arab-Latin (RUMY), CV. Asy-Syifa, Surat Al-Maidah (Hidangan) ayat (2) Juz 6, Semarang, 2000. Antara News, Presiden Bentuk Timnas Penanggulangan Pelanaggaran HAK”, 22 April 2006 (http://www.antara.co.id/seenws/ id = 30900). ___________, AS Perlu Lihat Keseriusan Indonesia Soal HAKI, April 2004 (http://www. antara.co.id/ seenews/id=31169). B.Z. Koemolontang, Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003 ____________, Proses Pembuktian Perkara-Perkara Pidana Termasuk Tindak Pidana Perbankan, An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
293
Ka p i t a Se l e k t a
Penerbit Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003. Bagir Manan, Penerbit CV. Citra Mandiri, Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung RI, Nomor 6 tahun 2001. Bambang Pujiyono, “Strategi Mengangkat Kembali Citra POLRI”, Artikel Harian Suara Karya, 1 Juli 2005 (Kf. Suara Karya Online, 23 Januari 2007, http://www.suarakarya-online.com/news.html? id=113664). Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992. _________________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Certo, Samuel.C & Certo, S. Trevis, Modern Management 10e, International Edition, Pearson Education International, Prentice Hall, 2006. CH Gatot Wardoyo dalam Hasansudin Rahman, Aspekaspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995. Cina Radio Internasional (CRI) Online, Siaran Bahasa Indonesia, 22 April 2006 (http://id.chinabroadcast.cn/I/2006/12/
[email protected] m) D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Editor Penerjemahan : J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P&K, Penerbit Liberty Yogyakarta, Edisi Pertama Cetakan Kesatu, 1995. Da’i Bachtiar, KAPOLRI, Abdul Rahman Saleh Jaksa Agung RI, Burhanuddin Abdullah Gubernur Bank Indonesia tanggal 20 Desember 2004, Direktorat 294
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Investigasi Dan Mediasi Perbankan Indonesia, Jakarta, 20 November 2006.
Bank
H. Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia. Jakarta: CV. Miswar, 1989. Harian
Kompas, 21 http://www.kompas.com.
November
2005,
Himpunan Edaran Dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia 1951-2005, Dilengkapi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Penerbit Citra Mandiri, Jakarta 2005. http://idekm.deprin.go.id/index.php?multiweb&id= HaKI&box=1&show=1) Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian. Jakarta: Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2006. Jaya
Suprana, Polisi dan Pelayanan Masyarakat, Makalah Seminar Nasional Polisi I, diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian UNDIP, 1995.
Karolus Kopong Medan, Gerakan Pembaruan Hukum: Potret Gerakan Hukum Kritis di NTT, Kupang: YKBH Justitia, 2006, halaman 116-122. Baca juga dalam Eman J. Embu & Amatus Wei (ed). Tolak Bungkam: Suara Teolog Pembebasan. Yogyakarta: Penerbit Ledalero & INSIST Press, 2003. ____________________, Peradilan Rekonsiliatif: Konstruksi Penyelesaian Kasus Kriminal Menurut An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 295
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Tradisi Masyarakat Lamaholot di Flores, Nusa Tenggara Timur, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Semarang: PDIH Undip, 2006. Keputusan KAPOLRI No. Pol : SKEP/360/VI/2005 tanggal 10 Juni 2005 tentang Grand Strategis POLRI Menuju 2005-2025. Keputusan KAPOLRI No. Pol. : KEP/200/IX/2005, tanggal 7 September 2005 tentang Rencana Strategis POLRI 2005-2009 (Renstra POLRI). Kompas; “KAPOLRI : Profesionalisme Polisi Belum Optimal”, Juli 1995. Laden Marpaung, Proses tuntutan Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi Dalam Hukum Pidana, Manajemen PT Raja Grafindo Persada, ISBN 979-421-621-6, Cetakan Pertama, Jakarta, 1997. Mabes
POLRI, Mengefektifkan POLRI dalam Pemberantasan Korupsi di Tingkat Nasional dan Daerah, Makalah Seminar Sehari “Governance Reform dan Pemberantasan Korupsi, Peran Masyarakat dan Pemerintah”, di Jakarta, 28 Juni 2006.
Marwan Effendy, Kejaksaan Posisi Dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Anggota IKAPI, Jakarta, 2005. Muhadar, Viktimisasi Kejahatan di Bidang Pertanahan, Editor Retnoningsih, diterbitkan LaksBang PRESSindo, Produksi Lamsuri, ISBN:979-999125-0, Cetakan I, Yogyakarta, 2006. Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Bandung :Citra Aditya Bakti, 1996. Muladi, Pengaruh Demokratisasi Dalam Pengembangan Manajemen Penegakan Hukum, Pidato Ilmiah 296
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Dalam Rangka Dies Natalis Ke-60 PTIK Dan Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan 42, 43 Dan 44, Markas Besar Negara Republik Indonesia, Jakarta, 17 Juni 2006. Munif Fuady, Hukum tentang Merger, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999. __________, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998, Buku Kesatu, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000. Nindyo Pramono, Perkembangan Perseroan Terbatas dalam Dimensi UUPT, Jakarta, Makalah 1995, Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Bandung :Mandar Maju, 2000. Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency; Pemahaman dan Penanggulangannya, Ex Kerjasama Indonesia-Belanda Bidang Hukum, Semarang. Priyadi’s Place, Jenis-jenis Hak Kekayaan Intelektual, Maret 2005, (sumber: http:// priyadi. net/archives/2005/03/06/jenis-jenis-hak-kekayaanintelektual). R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Politea Bogor, Cetak Ulang 1995. R. Subekti, Mantan Ketua Mahkamah Agung Guru Besar Hukum Perdata, Cetakan Kesebelas, Hukum Pembuktian, PT. Paradnya Paramita, Jakarta, 1995. R. Susilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya, Politea, Bogor, 1996. Ramelan, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Pusdiklat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2003. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
297
Ka p i t a Se l e k t a
R.S. Kartanegara, Mahkamah Agung Wakil Ketua Atas Perintah Majelis Panitera Ttd Mr. Ranoe Atmaja Jakarta 23 Mei 1956. dalam Himpunan Edaran Dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia 1951-2005, Dilengkapi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Penerbit Citra Mandiri, Jakarta, 2005. Remy
Syahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993.
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, Jakarta :Rineka Cipta, 1996. Ridwan Khairandy, dkk., Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Yogyakarta :Pusat Studi Hukum FH UII dan Gama Media, 1999. Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1995. S.R. Sianturi, Tindak Pidana di Kitab KUHP Berikut Uraiannya, Penerbit : Alumni AHM-PTHM, Jakarta,1983. Sarlito Wirawan Sarwono, Citra Polisi dalam Teori Psikologi Sosial, Artikel Harian KOMPAS, 1 Juli 1995. Satjipto Rahardjo, Pertanggungjawaban Polisi Berkaitan dengan Tugasnya: Penjelajahan terhadap Peta Permasalahan, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia II, diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakulttas Hukum Undip, 15 Juli 1995. 298
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Seri Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia 1985-1992, P.T. Wikrama Waskitha, ISBN 9798438-00-0, Cetakan Pertama, Jakarta, 1993 :345349). Soedono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983. Soeharto, Hukum Pidana Materiil Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan, Sinar Grafika, ISBN 979-8061-51-9, Dicetak Oleh Radar Jaya Offset, Cetakan Pertama Pebruari, Jakarta, 1983. Soenarto Soerodibroto, KUHP&KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung Dan Hoge Raad, Edisi Keempat, Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada, Cetakan Ketujuh, ISBN 979-421-288-1, Jakarta, 2002. Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Bandung : Mandar Maju, 2000. ________________, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Jasa Perbankan, (Semarang : Majalah Masalah-Masalah Hukum No. 6 Tahun 1993, FH Undip), Soedjono, Kata Pendahuluan UndangUndang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995. ________________, Materi Kuliah Hukum Perusahaan, Materi Kuliah Hukum Perusahaan, Magister Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2002/2003. Suparmin, Lembaga Kepolisian dalam Penyelesaian Konflik Pendukung Antar Partai di Kabupaten Jepara: Studi Kasus di Desa Dongos Kecamatan Kedung, Tesis Program Magister Ilmu Hukum. Semarang: Undip, 2000. An e k a Pe r s o a l a n d i E k o n o mi
B i d a n g H u k u m 299
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s
Ka p i t a Se l e k t a
Suyud Margono, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta. Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2003. Undang-Undang No.14 Tahun 1970 Tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, tentang Pengadilan Anak. Wildan Suyuthi, Kapusdiklat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, 2003 disampaikan dalam Seminar Perbankan di Era Reformasi“ yang diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum (LPLIH) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 6 Nopember 2000. ____________, Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Pusdiklat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2003 Zudan Arif Faktullah Dan Hadi Wuryan, Hukum Ekonomi, (Surabaya : Karya Abdi Utama, 1997).
– be_er –
300
An e k a Pe r s o a l a n d i
E k o n o mi
Bi d a n g Hu k u m
d a n Hu k u m Pi d a n a Kh u s u s