|i
o. id
ps .g
su lu t.b
://
ht tp
ii |
o. id
ps .g
su lu t.b
://
ht tp
|i
o. id
ps .g
su lu t.b
://
ht tp
PERKEMBANGAN TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA DEVELOPMENT OF SULAWESI UTARA POVERTY
71520.1708
Katalog BPS / BPS Catalogue
:
3205011.71
Ukuran Buku / Book Size
:
A4
Jumlah Halaman / Number of Page
:
v + 37 halaman / pages
Naskah / Manuscript
:
Seksi Statistik Ketahanan Sosial
Gambar Kulit/ Cover Design Diterbitkan oleh / Published by Dicetak oleh / Printed by
:
Seksi Statistik Ketahanan Sosial
:
BPS Provinsi Sulawesi Utara
su lu t.b
:
: "Designed by new7ducks / Freepik" &
ht tp
://
Gambar
o. id
Nomor Publikasi /Publication Number :
ps .g
2016
Pixabay.com
Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya. May be cited with refers to source.
ii |
KATA PENGANTAR
Publikasi Perkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi Sulawesi Utara 2016 merupakan publikasi keempat tentang kemiskinan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi (BPS) Sulawesi Utara. Publikasi ini diolah dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diselenggarakan oleh BPS Provinsi Sulawesi Utara pada periode 2014 – 2016. Publikasi ini menyajikan konsep definisi dan metodologi untuk
o. id
mendapatkan berbagai angka tentang kemiskinan. Data dan analisis yang
ps .g
disajikan dalam publikasi ini adalah keadaan Bulan Maret dan September dalam periode waktu 2014 – 2016.
:// ht tp
kasih.
su lu t.b
Kepada semua pihak yang telah membantu diucapkan terima
Manado, April 2017 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara
Moh. Edy Mahmud
| iii
DAFTAR ISI
Halaman
i
Daftar Isi ...........................................................................................
ii
Daftar Tabel .......................................................................................
iii
Daftar Gambar ...................................................................................
iv
I
Pendahuluan ...............................................................................
1
1. 1. Latar Belakang ....................................................... .............
1
o. id
Kata Pengantar ................................................................................
2 2
Metodologi Penghitungan Penduduk Miskin ...............................
3
2. 1. Metode Penghitungan Kemiskinan ......................................
3
2. 2. Indikator Kemiskinan ...........................................................
7
su lu t.b
1. 3. Sistematika Penulisan .........................................................
://
II
ps .g
1. 2. Ruang Lingkup dan Data yang Digunakan ........................ .
ht tp
2. 3. Distribusi dan Ketimpangan Pendapatan ............................ III Perkembangan Kemiskinan di Sulawesi Utara ...........................
8 13
3. 1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Sulawesi Utara, 2013 – 2015 ........................................................................
13
3. 2. Perkembangan Garis Kemiskinan .......................................
17
3. 3. Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan .............................
19
3. 4. Distribusi dan Ketimpangan Pengeluaran ...........................
21
IV Perbandingan Tingkat Kemiskinan Secara Nasional ..................
23
V
Karakteristik Rumah Tangga Miskin Sulawesi Utara ...................
27
VI Lampiran......................................................................................
32
Daftar Pustaka ...................................................................................
37
iv |
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Garis Kemiskinan Makanan dan Non Makanan Sulawesi Utara, 2016 .......................................................................... 19
Tabel 2 Persentase Rumah Tangga Miskin Sulawesi Utara menurut
id
Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga, 2016 .... 27
ps .g o.
Tabel 3 Persentase Rumah Tangga Miskin Sulawesi Utara menurut
t.b
Kondisi Sumber Air, Sanitasi, dan Sumber Penerangan, 2016 ............ 30
lu
Tabel 6.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
ht tp
://
su
Sulawesi Utara, 2013 – 2016 ............................................................... 33
Tabel 6.2. Garis Kemiskinan menurut Klasifikasi Daerah, 2013-2016........................................................................................... 34
Tabel 6.3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Klasifikasi Daerah di Sulawesi Utara, 2013 – 2016 ..................................................................................................... 35 Tabel 6.4. Inflasi Kota Manado, 2014 – 2016 ...................................... 36
|v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Utara, 2014 – 2016 ........................................................................................ 14
Gambar 2 Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Utara Menurut
ps .g o.
id
Klasifikasi Daerah, 2014 – 2016 ......................................................... 16
Gambar 3 Perkembangan Garis Kemiskinan Sulawesi Utara,
su
lu
t.b
2014 – 2016 (Rp/kapita/bulan) ............................................................ 17
://
Gambar 4 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Sulawesi Utara,
ht tp
2014 – 2016 ........................................................................................ 20
Gambar 5 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Sulawesi Utara, 2014 – 2016 ........................................................................................ 21
Gambar 6 Gini Ratio menurut Klasifikasi Daerah, Sulawesi Utara, 2016 ................................................................................................... 22
Gambar 7 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Indonesia, 2014 – 2016 ......................................................................................... 23
Gambar 8 Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi di Indonesia, September 2016 ............................................................ 24
vi |
Gambar 9 Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Utara dan Indonesia, 2014 – 2016 ...................................................................... 25
Gambar 10 Persentase Rumah Tangga Miskin Sulawesi Utara Menurut Jumlah Anggota Rumah Tangga, 2016 ................................. 28
Gambar 11 Persentase Rumah Tangga Miskin Sulawesi Utara menurut Status Kepemilikan Rumah, Jenis Atap, Dinding,
ht tp
://
su
lu
t.b
ps .g o.
id
dan Lantai terluas, 2016 ..................................................................... 29
| vii
id
ps .g o.
t.b
lu
su
://
ht tp
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di semua negara. Kompleksnya permasalahan kemiskinan membuatnya terus menjadi masalah serius dan penting di belahan dunia, termasuk Indonesia yang merupakan Negara
satu
ps .g o.
Salah
id
berkembang. aspek
penting
untuk
mendukung
Strategi
Penanggulangan Kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang
t.b
akurat dan tepat sasaran. Pengukuran kemiskinan yang dapat dipercaya
perhatian
pada
://
memfokuskan
su
lu
dapat menjadi instrumen tangguh bagi pengambil kebijakan dalam kondisi hidup
orang
miskin.
Data
ht tp
kemiskinan yang baik dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi mereka. Badan Pusat Statistik (BPS) pertama kali melakukan penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu, penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin mencakup periode 1976-1981 dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) modul konsumsi. Sejak itu, setiap tiga tahun sekali BPS secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase penduduk miskin yang disajikan menurut daerah perkotaan dan perdesaan. Sejak tahun 2003, BPS secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase penduduk miskin setiap tahun. Hal ini bisa terwujud karena sejak tahun 2003 BPS mengumpulkan data Susenas Panel Modul Konsumsi setiap bulan Maret. |1
1.2.
Ruang Lingkup dan Data yang Digunakan
Ruang lingkup publikasi ini mencakup tingkat kemiskinan Provinsi Sulawesi Utara menurut daerah perkotaan dan perdesaan pada kondisi September 2016. Disajikan juga data series mulai dari Maret 2014 untuk menampilkan perkembangan tingkat kemiskinan di Sulawesi Utara. Sumber data yang digunakan dalam berbagai analisa pada publikasi ini adalah data Susenas Kor dan Konsumsi/Pengeluaran.
1.3.
Sistematika Penulisan
id
Bab I menjelaskan latar belakang penulisan, ruang lingkup dan
ps .g o.
data yang digunakan serta sistematika penulisan.
Bab II menjelaskan tentang konsep kemiskinan yang digunakan,
t.b
metode penghitungan garis kemiskinan, profil kemiskinan, ukuran
lu
kedalaman kemiskinan, ukuran keparahan kemiskinan, dan ukuran
su
distribusi dan ketimpangan pendapatan.
ht tp
://
Bab III membahas tentang jumlah dan persentase penduduk miskin, garis kemiskinan, kedalaman kemiskinan, keparahan kemiskinan, distribusi dan ketimpangan pendapatan penduduk menurut daerah perkotaan dan perdesaan di Sulawesi Utara. Bab IV membahas perbandingan tingkat kemiskinan secara nasional. Bab V membahas tentang karakteristik rumah tangga penduduk miskin, yaitu keterangan demografi dan fasilitas perumahan.
2 |
BAB II METODOLOGI PENGHITUNGAN PENDUDUK MISKIN
2.1.
Metode Penghitungan Kemiskinan
A. Konsep Untuk
mengukur
kemiskinan,
BPS
menggunakan
konsep
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan
id
pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
t.b
yang diukur dari sisi pengeluaran.
ps .g o.
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan
lu
B. Sumber Data
://
su
Sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial
ht tp
Ekonomi Nasional (Susenas) Modul Konsumsi dan Kor yang dilaksanakan dalam periode triwulanan. Sebagai informasi tambahan, digunakan hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok non makanan.
C. Metode Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM), sebagai berikut:
GK= GKM + GKNM Penghitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk masing-masing provinsi daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk |3
miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi (kelompok pengeluaran) di perkotaan dan 47 jenis komoditi (kelompok pengeluaran)
id
di perdesaan.
ps .g o.
D. Teknik Penghitungan Garis Kemiskinan
Tahap pertama adalah menentukan penduduk referensi yaitu 20
t.b
persen penduduk yang berada di atas Garis Kemiskinan Sementara. Garis
su
lu
Kemiskinan Sementara yaitu Garis Kemiskinan periode lalu yang di-inflate
ht tp
GKM dan GKNM.
://
dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung
GKM adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Formula dasar dalam menghitung adalah:
GKMjp
=
Garis Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2100 kilokalori) provinsi p.
Pjkp
4 |
=
Harga komoditi k di daerah j dan provinsi p.
Qjkp
=
Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j di provinsi p.
Vjkp
=
Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j provinsi p.
j
=
Daerah (perkotaan atau perdesaan).
p
=
Provinsi ke-p.
Selanjutnya GKMj tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut
ps .g o.
id
daerah j dari penduduk referensi, sehingga:
=
Kalori dari komoditi k di daerah j provinsi p.
HKjp
=
Harga rata-rata kalori di daerah j provinsi p.
ht tp
://
su
lu
t.b
Kjkp
GKMjp
GKM
=
=
HKjp
x
2100
Kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang menghasilkan enerji setara dengan 2100 kilokalori/kapita/ hari
j
=
Daerah (perkotaan/perdesaan)
p
=
Provinsi p
GKNM merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi
non-makanan
terpilih
yang
meliputi
perumahan,
sandang, pendidikan, dan kesehatan. Nilai kebutuhan minimum per komoditi/subkelompok non-makanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok terhadap total pengeluaran komoditi/sub-kelompok yang
tercatat
dalam
data
Susenas modul |5
konsumsi. Rasio tersebut dihitung dari hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) 2004. SPKKD adalah sebuah survei yang dilakukan untuk menentukan jenis-jenis komoditi dasar non-makanan. Responden dalam survei ini adalah rumah tangga. Nilai kebutuhan minimum non-makanan secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut:
GKNMjp =
Pengeluaran minimum non-makanan atau garis kemiskinan non-makanan daerah j (kota/desa) dan provinsi p.
Vkjp
=
Nilai pengeluaran per komoditi/sub-kelompok non-makanan
rkj
=
ps .g o.
id
daerah j dan provinsi p (dari Susenas modul konsumsi). Rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok non-makanan k menurut daerah (hasil SPKKD 2004) dan daerah j
lu
t.b
(kota+desa). =
Jenis komoditi non-makanan terpilih.
j
=
Daerah (perkotaan atau perdesaan).
p
=
Provinsi (perkotaan atau perdesaan).
ht tp
://
su
k
Garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari GKM dan GKNM. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin (PM). Persentase penduduk miskin di suatu provinsi dihitung dengan:
%PMp
=
% Penduduk miskin di provinsi p.
PMp
=
Jumlah penduduk miskin di provinsi p.
Pp
=
Jumlah penduduk di provinsi p.
6 |
Sementara itu, penduduk miskin untuk level nasional merupakan jumlah dari penduduk miskin provinsi atau:
PMI
=
Penduduk miskin Indonesia.
PMp
=
Penduduk miskin provinsi p.
n
=
Jumlah provinsi.
ps .g o.
id
Persentase penduduk miskin nasional adalah:
=
Persentase penduduk miskin (secara nasional).
PMp
=
Jumlah penduduk miskin (secara nasional).
PI
=
Jumlah penduduk Indonesia.
2.2.
ht tp
://
su
lu
t.b
%PMI
Indikator Kemiskinan
Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, ada 3 indikator kemiskinan yang digunakan, yaitu:
Pertama, Head Count Index (HCI-P0), yaitu persentase penduduk miskin yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK).
Kedua, Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
|7
Ketiga, Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin.
Foster-Greer-Thorbecke (1984) telah merumuskan suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan yaitu:
α
=
0, 1, 2
z
=
Garis kemiskinan
yi
=
Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang
=
Banyaknya
penduduk
kemiskinan Jumlah penduduk
di
bawah
garis
t.b
=
berada
lu
n
yang
ps .g o.
q
id
berada di bawah garis kemiskinan (i=1,2,…,q), yi < z
su
Jika α =0, diperoleh Head Count Index (P0), jika α =1 diperoleh Indeks
ht tp
://
kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) dan jika α =2 disebut Indeks keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index-P2).
2.3.
Distribusi dan Ketimpangan Pendapatan
Pengukuran ketidakmerataan pendapatan sesungguhnya sudah dimulai jauh sebelum Simon Kuznets menyampaikan hipotesanya. Pareto (1897), setelah melakukan penelitian mengenai distribusi pendapatan di Eropa, mendapatkan bentuk kurvanya (untuk setiap negara) tidaklah mengikuti distibusi normal, tapi mengikuti perumusan sebagai berikut:
8 |
A
=
jumlah penduduk yang mempunyai pendapatan lebih besar daripada X
N
=
jumlah penduduk total dan
b
=
parameter yang nilainya antara 1 dan 2
Berdasarkan hasil tersebut, Pareto menyatakan bahwa akan selalu ditemui ketimpangan dalam setiap negara, dimana kelompok penduduk yang terkaya mendapatkan porsi yang terbanyak dari pendapatan nasional negaranya. Penemuannya ini selanjutnya dikenal sebagai Pareto Law, yang menyatakan bahwa 20 persen kelompok penduduk terkaya menikmati 80 persen dari pendapatan nasional negaranya. Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan
id
yang perlu dilihat karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan
ps .g o.
relatif. Oleh karena data pendapatan sulit diperoleh, pengukuran distribusi pendapatan selama ini didekati dengan menggunakan data pengeluaran. hal
ini
analisis
distribusi
pendapatan
dilakukan
dengan
t.b
Dalam
lu
menggunakan data total pengeluaran rumah tangga sebagai proksi
://
su
pendapatan yang bersumber dari Susenas. Dalam analisis ini akan
ht tp
digunakan ukuran koefisien Gini (Gini Ratio) untuk merefleksikan ketimpangan pendapatan.
Koefisien gini adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Rumus koefisien gini adalah sebagai berikut :
GR
=
Koefisien Gini (Gini Ratio)
fpi
=
frekuensi penduduk dalam kelas pengeluaran ke-i
Fci
=
frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke-i
Fci-1
=
frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke (i-1)
|9
Nilai indeks Gini ada diantara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai indeks Gini menunjukkan ketidakmerataan pendapatan yang semakin tinggi. Jika nilai indeks gini adalah nol maka artinya terdapat kemerataan sempurna pada distribusi pendapatan, sedangkan jika bernilai satu berarti terjadi ketidakmerataan pendapatan yang sempurna. Untuk publikasi resmi Indonesia oleh BPS, baik ukuran ketidakmerataan pendapatan versi Bank. Dunia maupun indeks Gini, penghitungannya menggunakan data
ht tp
://
su
lu
t.b
ps .g o.
id
pengeluaran.
Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Untuk membentuk koefisien Gini, grafik persentase kumulatif penduduk (dari termiskin hingga terkaya) digambar pada sumbu horisontal dan persentase kumulatif pengeluaran (pendapatan) digambar pada sumbu vertikal. Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1. Garis diagonal mewakili pemerataan sempurna. Koefisien Gini didefinisikan sebagai
10 |
A/(A+B), dimana A dan B seperti yang ditunjukkan pada grafik. Jika A=0 koefisien Gini bernilai 0 yang berarti pemerataan sempurna, sedangkan jika B=0 koefisien Gini akan bernilai 1 yang berarti ketimpangan sempurna. Namun pengukuran dengan menggunakan Koefisien Gini tidak sepenuhnya memuaskan. Daimon dan Thorbecke (1999:5) berpendapat bahwa penurunan ketimpangan (perbaikan distribusi pendapatan) selalu tidak konsisten dengan bertambahnya insiden kemiskinan kecuali jika terdapat dua aspek yang mendasari inkonsistensi tersebut.
Pertama, variasi distribusi pendapatan dari kelas terendah meningkat secara drastis sebagai akibat krisis.
Kedua, merupakan persoalan metodologi berkaitan dengan keraguan
id
dalam pengukuran kemiskinan dan indikator ketimpangan.
ps .g o.
Beberapa kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik misalnya:
Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence). Ini berarti
t.b
lu
bahwa jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran
://
Tidak
tergantung
pada
ht tp
su
ketimpangan tidak akan berubah. Koefisien Gini memenuhi syarat ini.
independence).
Jika
jumlah
penduduk
penduduk berubah,
(population
ukuran
size
ketimpangan
seharusnya tidak berubah, jika kondisi lain tetap (ceteris paribus). Koefisien Gini juga memenuhi syarat ini.
Simetris. Jika antar penduduk bertukar tempat tingkat pendapatannya, seharusnya tidak akan ada perubahan dalam ukuran ketimpangan. Koefisien Gini juga memenuhi hal ini.
Sensitivitas Transfer Pigou-Dalton. Dalam kriteria ini, transfer pandapatan dari si kaya ke si miskin akan menurunkan ketimpangan. Gini juga memenuhi kriteria ini.
Ukuran ketimpangan yang baik juga diharapkan mempunyai sifat:
Dapat didekomposisi. Hal ini berarti bahwa ketimpangan mungkin dapat didekomposisi (dipecah) menurut kelompok penduduk atau sumber pendapatan atau dalam dimensi lain. Indeks Gini tidak dapat
| 11
didekomposisi atau tidak bersifat aditif antar kelompok. Yakni nilai total koefisien Gini dari suatu masyarakat tidak sama dengan jumlah nilai indeks Gini dari sub-kelompok masyarakat (sub-group).
Dapat diuji secara statistik. Seseorang harus dapat menguji signifikansi perubahan indeks antar waktu. Hal ini sebelumnya menjadi masalah, tetapi dengan teknik bootstrap interval (selang)
ht tp
://
su
lu
t.b
ps .g o.
id
kepercayaan umumnya dapat dibentuk.
12 |
BAB III PERKEMBANGAN KEMISKINAN DI SULAWESI UTARA
3.1.
Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Sulawesi Utara, 2014 2016
Tingkat kemiskinan Sulawesi Utara mengalami penurunan pada periode Maret 2014 – September 2014, kemudian naik sebanyak dua kali
id
pada kondisi maret 2015 dan September 2015. Tingkat kemiskinan
ps .g o.
Sulawesi Utara kembali menunjukkan tanda posistif dengan mengalami penurunan pada Maret 2016 hingga September 2016. Semenjak Maret
t.b
2014, tingkat kemiskinan Sulawesi Utara stabil berada di atas angka 8
lu
persen dan hampir menyentuh angka 9 persen pada September 2015.
su
Secara umum kemiskinan Sulawesi Utara pada periode 2014 – 2016
ht tp
://
berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Pada rentang Maret 2014 - Maret 2015 angka kemiskinan Sulawesi Utara mengalami penurunan dari 8,75 persen menjadi 8,65 persen atau turun sebesar 0,10 persen. Secara absolut, jumlah penduduk miskin sedikit naik dari 208,23 ribu jiwa menjadi 208,54 ribu jiwa atau naik sekitar 0,31 ribu jiwa. Pada September 2014 sempat turun ke angka 8,26 persen atau turun sebesar 0,49 persen dibanding Maret 2014. Jumlah penduduk miskin pada periode ini turun dari 208,23 ribu jiwa menjadi 197,56 ribu jiwa atau turun sebanyak 10,67 ribu jiwa. Memasuki
tahun
2015
angka
kemiskinan
Sulawesi
Utara
mengalami pergerakan naik hingga September 2015. Pada Maret 2015 angka kemiskinan Sulawesi Utara naik sebesar 0,39 persen dibanding September 2014. Begitu juga pada September 2015 angka nya mengalami kenaikan sebesar 0,33 persen dibanding Maret 2015 dan 0,72
| 13
persen dibanding September 2014. Kenaikan ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya faktor inflasi atau kenaikan harga-harga barang merupakan salah satu pemicu naiknya angka kemiskinan di Sulawesi Utara. Apalagi jika kenaikan tingkat inflasi tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan per kapita yang berpengaruh terhadap daya beli masyarakat, sehingga terdapat sebagian penduduk yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan maupun non makanan. Tingkat inflasi Kota Manado Maret 2015 terhadap September 2014 terhitung cukup besar yaitu sebesar 6,52 persen yang berarti secara ratarata barang dan jasa pada rentang waktu tersebut mengalami kenaikan sebesar 6,52
persen.
Fenomena
yang sama
juga
terjadi
pada
penghitungan tingkat inflasi September 2015 terhadap Maret 2015, yaitu
id
harga barang dan jasa juga mengalami kenaikan secara rata-rata sebesar
ps .g o.
2,65 persen.
197,56
217,15
10 202,82
200,35 9,5 9
ribu jiwa
150 8,98
8,75
8,5
8,65
100 8,26
8,2
8,34
50
persen
200
208,54
ht tp
208,23
://
su
lu
t.b
Gambar 1 : Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Utara, 2014 - 2016
8 7,5
0
7 Maret 2014
September 2014
Maret 2015
Penduduk Miskin
September 2015
Maret 2016
September 2016
Persentase Kemiskinan
Bertolak belakang dengan periode September 2014 – September 2015, penurunan persentase kemiskinan yang besar terjadi pada tahun
14 |
2016. Bahkan, tingkat kemiskinan September 2016 merupakan titik terendah selama 3 tahun terakhir. Pada maret 2016, tingkat kemiskinan Sulawesi Utara menunjukkan angka 8,34 persen atau turun sebanyak 0,64 persen dibandingkan September 2015 yang merupakan titik tertinggi kemiskinan 3 tahun belakangan ini. Penurunan tingkat kemiskinan kembali terjadi pada September 2016, meskipun tidak setajam penurunan yang terjadi pada bulan maret 2016. Berdasarkan daerah atau wilayah, pada periode Maret 2014 September 2016 tercatat tingkat kemiskinan daerah perkotaan berada pada kisaran 5,22 – 5,57 persen sedangkan tingkat kemiskinan daerah perdesaan berada pada kisaran 10,47 – 12,10 persen. Dari angka ini terlihat bahwa tingkat kemiskinan daerah perdesaan selalu lebih tinggi
id
daripada daerah perkotaan.
ps .g o.
Pada gambar 2, yaitu pada tingkat kemiskinan menurut klasifikasi daerah periode Maret 2014 – September 2014, juga September 2015 –
t.b
Maret 2016, terlihat jarak kemiskinan daerah perkotaan dan perdesaan
lu
turun. Ini mengindikasikan menurunnya kesenjangan sosial antara
su
penduduk di perkotaan dan perdesaan. Kesenjangan paling tinggi antara
2015.
ht tp
://
tingkat kemiskinan perkotaan dan perdesaan terjadi pada September
Pergerakan naik turun angka kemiskinan pada setiap semester di perdesaan cenderung lebih besar dibandingkan di perkotaan. Range tingkat kemiskinan di perdesaan sebesar 1,63, sementara di perkotaan hanya sebesar 0,35. Sumber penghasilan utama penduduk sangat mempengaruhi tingkat pendapatannya. Di perdesaan sumber penghasilan utama penduduk adalah pertanian. Tingkat pendapatan penduduk dari pertanian sepertinya tidak dapat mengejar kenaikan harga-harga barang di daerah perdesaan.
| 15
Gambar 2 : Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Utara Menurut Klasifikasi Daerah, 2014 - 2016
Kota
11,41
5,51
11,27
10,47
5,57
5,52
Desa 12,1
5,26
10,97
10,82
5,34
5,22
id
Maret 2014 September Maret 2015 September Maret 2016 September 2014 2015 2016
ps .g o.
Upaya-upaya terus dilakukan oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan baik di perdesaan maupun di perkotaan. Akan tetapi terlihat
t.b
bahwa kemiskinan di perdesaan terkesan lebih sulit ditangani oleh
lu
pemerintah dibanding di perkotaan. Salah satu faktor penyebabnya
su
kemungkinan disebabkan oleh karena pendidikan penduduk di perdesaan
ht tp
://
yang masih tertinggal sehingga usaha pemerintah untuk membangun sumber daya manusia untuk mengentaskan kemiskinan di perdesaan agak terkendala dan pilihan membangun sarana dan fasilitas akan memakan biaya yang cukup besar. Pada Maret 2016 tercatat angka kemiskinan di perdesaan sebesar 10,97 persen dan angka ini mengalami penurunan yang cukup berarti dibandingkan September 2015 yang sebesar 12,10 persen. Pun demikian terjadi pada September 2016, tingkat kemiskinan di perdesaan kembali mengalami penurunan menjadi 10,82 persen. Pada periode yang sama angka kemiskinan di perkotaan sedikit turun yaitu 5,34 persen menjadi 5,22 persen. Berdasarkan polanya, tingkat kemiskinan di perdesaan memiliki pola yang sama dengan tingkat kemiskinan perdesaan+perkotaan selama periode maret 2014 – September 2016. Hal itu menunjukkan bahwa
16 |
tingkat kemiskinan daerah perdesaan lebih mempengaruhi tingkat kemiskinan Sulawesi Utara dibandingkan daerah perkotaan. Bagaimana tidak, kemiskinan daerah perkotaan Sulawesi Utara sudah menyentuh angka sekitar 5 persen, para ahli menyebutnya dengan istilah “kerak kemiskinan”. Untuk menurunkan tingkat kemiskinan menjadi kurang dari 5 persen tersebut dibutuhkan kerja yang sangat ekstra.
3.2.
Perkembangan Garis Kemiskinan
Harga-harga
barang
maupun
jasa
akan
terus
mengalami
perubahan dengan kecenderungan naik dari waktu ke waktu akibat inflasi. Ini mengakibatkan terjadi perubahan pula pada angka garis kemiskinan
id
dari waktu ke waktu dengan kecenderungan pola yang menunjukkan
ps .g o.
kenaikan.
lu
t.b
Gambar 3 : Perkembangan Garis Kemiskinan Sulawesi Utara, 2014 – 2016 (Rp/kapita/bulan) Desa
Kota+Desa
314.004 322.366 318.984
312.328 321.985 317.478
302.378 311.068 307.104
295.365
290.820 299.177
ht tp 269.212 264.321 266.528
265.093 257.845 261.117
://
su
Kota
Maret 2014 September Maret 2015 September Maret 2016 September 2014 2015 2016
Periode Maret 2014 - September 2016 garis kemiskinan Sulawesi Utara menunjukkan tren yang naik dengan tanjakan yang landai. Pada Maret 2014 garis kemiskinan tercatat sebesar Rp. 261.117 per kapita per | 17
bulan, naik menjadi Rp. 318984 per kapita per bulan pada September 2016. Sementara itu dari gambar 3 menunjukkan bahwa garis kemiskinan periode Maret 2014 hingga September 2014 di daerah perkotaan selalu lebih tinggi dibanding di daerah perdesaan. Tetapi kemudian polanya mengalami perubahan ketika memasuki Maret 2015 hingga kondisi September 2016 dimana garis kemiskinan di perdesaan lebih tinggi daripada perkotaan. Hal yang perlu diketahui mengenai Garis Kemiskinan adalah bahwa Garis Kemiskinan merupakan patokan di daerah tertentu saja. Sehingga, jika ada penduduk miskin di suatu daerah, belum tentu penduduk tersebut merupakan penduduk miskin di daerah lain. Begitu juga sebaliknya,
id
penduduk yang tidak miskin di suatu daerah belum tentu juga miskin di
ps .g o.
daerah yang lainnya. Misalnya, jika satu penduduk dikategorikan penduduk miskin di Manado, belum tentu penduduk tersebut juga
t.b
dikategorikan miskin di Bolaang Mongondow.
lu
Garis Kemiskinan Sulawesi Utara pada september 2016 sebesar
su
Rp. 318.914 per kapita per bulan. Artinya, jika ada satu rumah tangga
ht tp
://
terdiri dari ayah, ibu dan 2 anak, maka rumah tangga tersebut dikatakan miskin ketika pengeluaran konsumsinya kurang dari Rp. 1.275.936 dalam sebulan. Semua orang di dalam rumah tangga tersebut dikategorikan kedalam penduduk miskin. Sebaliknya, jika rumah tangga tersebut pengeluaran konsumsinya lebih besar dari Rp. 1.275.936 dalam sebulan, maka rumah tangga tersebut tidak dikatakan rumah tangga miskin. Semua orang di dalam rumah tangga tersebut tidak dikategorikan ke dalam penduduk miskin. Pengukuran garis kemiskinan terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM)
dan
Garis
Kemiskinan
Non Makanan (GKNM).
Pada September 2016 GKM Sulawesi Utara sebesar Rp. 246.173 per kapita per bulan sedangkan GKNM sebesar Rp. 72.811 per kapita per bulan. Sumbangan GKM terhadap GK sebesar 77,17 persen, hal ini menunjukkan bahwa konsumsi makanan menjadi hal yang utama bagi
18 |
pemenuhan kebutuhan penduduk miskin. Demikian juga dengan kondisi Maret 2016 sumbangan GKM terhadap GK sebesar 77,49 persen, masih jauh lebih besar dibandingkan dengan sumbangan GKNM terhadap GK.
Tabel 1 : Garis Kemiskinan Makanan dan Non Makanan Sulawesi Utara, 2016
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln) Daerah / Tahun Makanan
Non Makanan
Total
(2)
(3)
(4)
(1) Perkotaan
232.497
79.831
312.328
September 2016
234.016
79.988
314.004
ps .g o.
id
Maret 2016
Perdesaan
255.577
66.408
321.985
September 2016
255.908
66.457
322.366
246.007
71.471
317.478
246.173
72.811
318.984
://
ht tp
Maret 2016
su
Perkotaan + Perdesaan
September 2016
3.3.
lu
t.b
Maret 2016
Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan
Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil
jumlah
penduduk
miskin,
kebijakan
penanggulangan
kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman kemiskinan (Poverty Gap) dan keparahan kemiskinan (Poverty Severity).
| 19
Gambar 4 : Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Sulawesi Utara, 2014 - 2016
Kota
Desa
Kota+Desa 2,298
2,191 1,892
1,775 1,593
1,539
1,526 1,279
1,205
1,534
1,338
0,978
0,817
0,735
0,634
0,784
1,377 0,791
ps .g o.
id
Maret 2014 September Maret 2015 September Maret 2016 September 2014 2015 2016
Dari tahun 2014 – 2016 terlihat bahwa indeks kedalaman
t.b
kemiskinan Sulawesi Utara berfluktuasi naik turun. Indeks kedalaman
su
lu
kemiskinan di daerah perkotaan selalu berada di bawah daerah
://
perdesaan. Ini menggambarkan pada periode ini kondisi kemiskinan di
ht tp
daerah perdesaan lebih buruk dibandingkan di daerah perkotaan. Di daerah perdesaan rata-rata jarak pengeluaran perbulan penduduk miskin terhadap GK cukup lebar. Yang terlihat menarik adalah ketika angka P1 daerah perkotaan mengalami kenaikan pada Maret dan September 2016 justru daerah perdesaan mengalami penurunan. Pola ini mengindikasikan bahwa di saat penduduk miskin perdesaan semakin mampu untuk keluar dari garis kemiskinan sebaliknya penduduk miskin perkotaan malah semakin menjauh dari garis kemiskinan. Pada September 2016, P1 Sulawesi Utara, sebesar 1,377, lebih rendah dibandingkan maret 2016, sebesar 1,534. Hal tersebut berarti kondisi penduduk miskin semakin mendekati garis kemiskinan. Semakin kecil angka P1 semakin mudah pula bagi pemerintah untuk menekan angka kemiskinan.
20 |
Menurut penghitungan indeks keparahan kemiskinan (P2) terlihat bahwa pada tahun 2014 – 2016 angka Sulawesi Utara menunjukkan fluktuasi yang naik turun sama halnya dengan indeks kedalaman kemiskinan. Pola yang ditunjukkan pada gambar 5 adalah daerah perdesaan
selalu mengalami ketimpangan pengeluaran di antara
penduduk miskin yang lebih besar daripada perkotaan. Pola naik turun juga terjadi pada angka P2 di daerah perkotaan. Angka P2 September 2016 menunjukkan angka 0,336, lebih kecil dibandingkan angka Maret 2016 yang sebesar 0,456. Penurunan angka ini menunjukkan jarak antar penduduk miskin semakin mengecil atau dapat juga dikatakan bahwa dari segi pengeluaran, penduduk miskin Sulawesi Utara semakin homogen.
ps .g o.
id
Gambar 5 : Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Sulawesi Utara, 2014 - 2016
Desa
Kota+Desa
0,708
0,708
0,443
0,456
0,168
0,466
0,345 0,299 0,244
0,335
ht tp
0,330 0,257
://
su
lu
t.b
Kota
0,179
0,462 0,336
0,127
0,168
0,192
Maret 2014 September Maret 2015 September Maret 2016 September 2014 2015 2016
3.4.
Distribusi dan Ketimpangan Pengeluaran
Secara umum angka gini rasio Sulawesi Utara pada periode Maret September 2016 berada di bawah angka 0,4. Ini menunjukkan pemerataan pengeluaran penduduk berada pada kondisi hampir merata. Secara total pergerakan gini rasio dari Maret ke September 2016 terlihat
| 21
sedikit mengalami penurunan. Gini rasio Maret 2016 sebesar 0,386, sedangkan September 2016 tercatat 0,379. Ini menunjukkan bahwa ketimpangan pengeluaran penduduk Sulawesi Utara semakin mengecil. Jika melihat perbandingan gini rasio antara daerah perkotaan dan perdesaan tampak bahwa daerah perkotaan berada sedikit di atas daerah perdesaan. Hal ini memberi arti bahwa ketimpangan pengeluaran penduduk di daerah perkotaan lebih buruk dibandingkan dengan daerah perdesaan. Gambar 6 : Gini Ratio Menurut Klasifikasi Daerah Sulawesi Utara, 2016
Maret
September 0,386 0,379
t.b
ps .g o.
id
0,3860,388
0,35
ht tp
://
su
lu
0,355
Kota
22 |
Desa
Kota+Desa
BAB IV PERBANDINGAN TINGKAT KEMISKINAN SECARA NASIONAL
Selama periode tahun 2014 – 2016 penduduk miskin Indonesia berfluktuasi baik secara relatif maupun absolut. Pada Maret 2015 mengalami kenaikan dibandingkan September 2014. Sejak Maret 2015 jumlah penduduk miskin maupun tingkat kemiskinan Indonesia terus
id
mengalami penurunan hingga September 2016.
ps .g o.
Penduduk miskin pada Maret 2014 sebanyak 28.280,01 ribu jiwa dan persentasenya sebesar 11,25 persen. Secara absolut jumlah
t.b
penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 515,69 ribu jiwa menjadi
lu
27.764,32 ribu jiwa. Secara relatif tingkat kemiskinan Indonesia juga
://
ht tp
September 2016.
su
mengalami penurunan sebesar 0,55 persen menjadi 10,70 persen pada
Gambar 7 : Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Indonesia, 2013 – 2015
25.000,00
28.280,01 27.727,78 28.592,79 28.513,57 28.005,41 27.764,32
11,20
11,25
11,22
11,10 11,13
20.000,00
11,00 10,90
10,96
15.000,00
10,80
10,86
10.000,00
10,70 10,70 10,60
5.000,00 ribu jiwa
11,30
persen
30.000,00
10,50
0,00
10,40 Maret 2014
September 2014
Maret 2015
Penduduk Miskin
September 2015
Maret 2016
September 2016
Persentase Kemiskinan
| 23
Gambar 8 : Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi di Indonesia, September 2016
28,40
Papua
24,88
Papua Barat
22,01
Nusa Tenggara Timur
19,26
Maluku
17,63
Gorontalo
17,03
Bengkulu Aceh
16,43
Nusa Tenggara Barat
16,02
Sulawesi Tengah
14,09
Lampung
13,86 13,39
Jawa Tengah
13,19
DI Yogyakarta
13,10
id
Sumatera Selatan
ps .g o.
12,77
Sulawesi Tenggara
11,85
Jawa Timur
11,19
t.b
Sulawesi Barat Indonesia
su
9,24 8,77
://
Sulawesi Selatan
ht tp
Jawa Barat
24 |
10,27
lu
Sumatera Utara
10,70
Jambi
8,37
Sulawesi Utara
8,20
Kalimantan Barat
8,00
Riau
7,67
Sumatera Barat
7,14
Kalimantan Utara
6,99
Maluku Utara
6,41
Kalimantan Timur
6,00
Kepulauan Riau
5,84
Banten
5,36
Kalimantan Tengah
5,36
Bangka Belitung
5,04
Kalimantan Selatan
4,52
Bali
4,15
DKI Jakarta
3,75
Secara nasional tingkat kemiskinan Provinsi Sulawesi Utara berada pada posisi terendah ke-14 setelah Provinsi Kalimantan Barat, Riau, Sumatera Barat, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Kalimantan Timur, Kepulauan
Riau,
Banten,
Kalimantan
Tengah,
Bangka
Belitung,
Kalomantan Selatan, Bali, dan DKI Jakarta. Ketika membandingkan dengan provinsi – provinsi yang ada di Pulau Sulawesi tampak bahwa Sulawesi Utara berada pada posisi terbawah tingkat kemiskinannya. Sementara di wilayah Sulampua (Sulawesi, Maluku, Papua), Sulawesi Utara berada di peringkat kedua terendah setelah Maluku Utara. Dilihat dari persentase penduduk miskin yang ditampilkan pada gambar 8 menurut provinsi tampak bahwa persentase penduduk miskin
id
Sulawesi Utara pada periode September 2016 sebesar 8,20 persen,
ps .g o.
sementara persentase penduduk miskin Indonesia sebesar 10,70 persen. Hal ini menempatkan posisi tingkat kemiskinan Sulawesi Utara berada di
t.b
bawah angka Nasional. Menengok ke belakang ke tahun 2014 hingga
lu
2016, persentase penduduk miskin Sulawesi Utara juga selalu berada di
su
bawah persentase penduduk miskin Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan
ht tp
://
pada gambar 9.
Gambar 9 : Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Utara dan Indonesia, 2014 – 2016
Sulawesi Utara 11,25 8,75
Maret 2014
Indonesia
10,96
11,22
11,13
8,26
8,65
8,98
September 2014
Maret 2015
September 2015
10,86
10,70
8,34
8,20
Maret 2016
September 2016
| 25
26 |
id
ps .g o.
t.b
lu
su
://
ht tp
BAB V KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA MISKIN SULAWESI UTARA
5.1
Karakteristik Demografi Menggali sedikit kedalam terkait karakteristik umur kepala rumah
tangga miskin di Sulawesi Utara, muncul fakta bahwa sebagian besar rumah tangga miskin ber-Kepala Rumah Tangga dengan umur produktif
id
(usia 15-64 tahun). Kelompok umur ini masih dapat diberdayakan agar
ps .g o.
mampu mendapatkan pekerjaan yang “lebih” sehingga mampu untuk
t.b
mengeluarkan rumah tangganya dari jurang yang bernama kemiskinan.
://
su
lu
Tabel 2 : Persentase Rumah Tangga Miskin Sulawesi Utara menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga, 2016
ht tp
Kelompok Umur 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-75 75+ Total
Laki-laki
Perempuan
0.20 1.18 3.34 7.13 19.94 17.50 13.30 11.96 7.78 7.56 3.96 3.00 3.14 100.00
0.00 0.00 0.00 0.00 8.35 6.72 5.25 25.89 0.95 17.97 13.47 9.06 12.34 100.00
Laki-Laki + Perempuan 0.17 1.02 2.89 6.16 18.36 16.03 12.20 13.86 6.85 8.98 5.26 3.82 4.40 100.00
| 27
Dari data susenas Maret 2016, 86,52 persen kepala rumah tangga miskin berada pada umur yang produktif. Sedangkan sisanya merupakan kepala rumah tangga lansia (65 tahun ke atas). Persentase tertinggi berada pada kelompok umur 35-39 tahun, yaitu 18,36 persen. Kelompok umur tersebut masih tergolong relatif muda untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Tentunya, pemerintah harus campur tangan dalam penciptaan lapangan pekerjaan dan memberikan pelatihan keterampilan kerja. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 13,61 persen rumah tangga miskin dikepalai oleh perempuan dan 25,89 persennya berada pada kelompok umur 50-54 tahun. Persentase rumah tangga miskin yang dikepalai oleh perempuan lansia lebih banyak dibandingkan
ps .g o.
id
laki-laki.
lu
t.b
Gambar 10 : Persentase Rumah Tangga Miskin Sulawesi Utara menurut Jumlah Anggota Rumah Tangga, 2016
ht tp
://
su
66,87
17,80
13,74
1,59 1-3
4-6
7-9
10+
Dari gambar 10 terlihat bahwa rumah tangga miskin paling banyak mempunyai anggota rumah tangga sebanyak 4-6 orang, yaitu sebesar 66,87 persen. Dari rumah tangga yang beranggotakan 4-6 anggota
28 |
tersebut sebanyak 79,13 persen memiliki 1 keluarga. Artinya, 1 kepala keluarga mengurus 3-5 anggota keluarga.
5.2
Karakteristik Perumahan 83,61 persen rumah tangga miskin di Sulawesi Utara sudah
memiliki rumah sendiri. Permasalahan kepemilikan rumah sudah bukan merupakan permasalahan yang utama di Sulawesi Utara. Dari sisi jenis atap, sebagian besar rumah tangga miskin (89,75 persen) sudah menggunakan bahan asbes/seng. Dari sisi jenis dinding, terdapat 88,48 persen sudah menggunakan bahan tembok/kayu/batang kayu. Demikian juga jika dilihat dari jenis lantai, hanya sekitar 24 persen rumah tangga miskin
yang
menggunakan
bahan
bamboo/kayu
berkualitas
id
rendah/tanah/lainnya. Secara umum, ketahanan bangunan rumah yang
ps .g o.
ditinggali oleh penduduk miskin sudah cukup “tangguh”, meskipun masih ada sekitar 7,4 persen yang beratap jerami/ijuk/daun-daunan/ rumbia/
t.b
lainnya, 13, 48 persen yang menempati bangunan dengan cara bebas
ht tp
://
rendah/ tanah/ lainnya.
su
lu
sewa, dan 24 persen yang memiliki lantai bamboo/kayu berkualitas
Gambar 11 : Persentase Rumah Tangga Miskin Sulawesi Utara menurut Status Kepemilikan Rumah, Jenis Atap, Dinding, dan Lantai terluas, 2016
| 29
Membahas perumahan tidak hanya tentang jenis atap, lantai, dinding, maupun status kepemilikan rumah. Tetapi juga fasilitas perumahan pendukungnya, seperti sumber air, sumber penerangan, dan sanitasi. Sumber air dikatakan layak jika sumber air minum yang digunakan rumah tangga berasal dari leding, air terlindung (pompa/sumur bor, sumur terlindung, mata air terlindung) dengan jarak >= 10 m dari penampungan kotoran/limbah, dan air hujan. Dikombinasikan dengan penggunaan air mandi/cuci yang bersumber dari air terlindung (leding meteran, leding eceran, sumur bor/pompa, sumur terlindung, mata air terlindung, dan air hujan) bila sumber air minum utama menggunakan air kemasan/isi ulang dan air tidak terlindungi (air terlindungi dengan jarak < 10 m dan air tidak terlindung). Sanitasi dikatakan layak apabila rumah
id
tangga menggunakan fasilitas buang air besar (BAB) sendiri dan
ps .g o.
bersama, kloset leher angsa, dan tangki septik sebagai tempat
lu
t.b
pembuangan akhir kotoran/tinja (TPAT).
ht tp
://
su
Tabel 3 : Persentase Rumah Tangga Miskin Sulawesi Utara menurut kondisi sumber air, sanitasi, dan sumber penerangan, 2016
Keterangan
30 |
Persentase
Kota Air tidak layak Sanitasi tidak layak Listrik
36,06 31,88 2,90
Desa Air tidak layak Sanitasi tidak layak Listrik
57,37 50,34 3,00
Kota+Desa Air tidak layak Sanitasi tidak layak Listrik
51,43 45,20 2,97
Jika dilihat dari kelayakan sumber air, ternyata masih lebih dari separuh rumah tangga miskin menggunakan sumber air yang tidak layak, yaitu sekitar 51,43 persen. Persentase rumah tangga miskin di perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Di perkotaan, persentase rumah tangga miskin yang menggunakan sumber air tidak layak sebesar 36,06 persen, sedangkan diperdesaan sebesar 57,37 persen. Hal serupa juga ditunjukkan oleh angka sanitasi layak. Persentase rumah tangga miskin di Sulawesi Utara yang menggunakan sanitasi tidak layak masih tinggi, yaitu sebesar 45,20 persen. Persentase di perdesaan lebih besar dibandingkan perkotaan. Di perdesaan, persentase rumah tangga miskin yang menggunakan sanitasi tidak layak sebesar 50,34
ht tp
://
su
lu
t.b
ps .g o.
id
persen, sedangkan diperkotaan sebesar 31,88 persen.
| 31
id
ps .g o.
t.b
lu
su
://
ht tp
VI. LAMPIRAN
32 |
Tabel 6.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Sulawesi Utara, 2013 – 2016 Perkotaan
(4)
(6)
Jumlah (Ribu Jiwa) (7)
6,04
64,19
9,40
121,33
7,88
185,52
September 2013
6,12
65,36
10,45
135,73
8,50
201,09
Maret 2014
5,51
59,18
11,41
149,05
8,75
208,23
September 2014
5,57
60,08
10,47
137,48
8,26
197,56
Maret 2015
5,52
60,71
11,27
147,83
8,65
208,54
September 2015
5,26
58,00
159,14
8,98
217,15
Maret 2016
5,34
60,62
10,97
142,20
8,34
202,82
September 2016
5,22
10,82
140,62
8,20
200,35
t.b
12,10
%
lu
(1)
%
id
Maret 2013
Total
Jumlah (Ribu Jiwa) (5)
%
ps .g o.
(2)
Jumlah (Ribu Jiwa) (3)
Perdesaan
su
Bulan dan Tahun
ht tp
://
59,73
| 33
Tabel 6.2. Garis Kemiskinan Menurut Klasifikasi Daerah di Sulawesi Utara, 2013 – 2016 Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan) Bulan dan Tahun Perdesaan
Total
(2)
(3)
(4)
Maret 2013
242.840
233.415
237.672
September 2013
255.566
245.872
250.249
Maret 2014
265.093
257.845
261.117
September 2014
269.212
264.321
266.528
Maret 2015
290,820
299,177
295,365
September 2015
302,378
311,068
307,104
Maret 2016
312,328
321,985
317,478
322,266
318,984
su
314,004
ht tp
://
September 2016
lu
t.b
ps .g o.
(1)
34 |
id
Perkotaan
Tabel 6.3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Klasifikasi Daerah di Sulawesi Utara, 2013 – 2016 Perkotaan
Perdesaan
Total
P1
P2
P1
P2
P1
P2
(2)
(3)
(5)
(6)
(7)
(8)
Maret 2013
0,936
0,207
1,379
0,310
1,179
0,263
September 2013
0,958
0,221
1,317
0,331
1,155
0,281
Maret 2014
0,735
0,168
1,593
0,330
1,205
0,257
September 2014
0,978
0,244
1,526
0,345
1,279
0,299
Maret 2015
0,817
0,179
1,775
0,466
1,338
0,335
September 2015
0,634
0,127
2,298
0,708
1,539
0,443
Maret 2016
0,784
lu
Bulan dan Tahun
2,191
0,708
1,534
0,456
September 2016
0,791
1,892
0,462
1,377
0,336
t.b
ps .g o.
id
(1)
ht tp
://
su
0,168 0,192
| 35
Tabel 6.4. Inflasi Kota Manado, 2014 – 2016 Tahun 2015 (3)
2016 (4)
Januari
1,06
-0.71
-0,18
Februari
-0,23
-0.20
-0,82
Maret
0,31
0.50
-0,03
April
0,30
0.06
-0,87
Mei
-0,15
0.95
0,14
Juni
0,67
0.49
1,06
Juli
0,85
1.03
0,84
Agustus
-0,26
-0.53
-0,38
September
-0,03
0.62
-0,68
Oktober
1,42
1.49
0,01
1,56
-0.01
2,86
3,83
1.74
-1,52
9,67
5.56
0,43
ps .g o.
t.b
ht tp
://
su
November Desember Tahunan
36 |
id
(1)
2014 (2)
lu
Bulan
DAFTAR PUSTAKA
Badan
Pusat
Statistik
(BPS),
2012,
Penghitungan
dan
Analisis
Kemiskinan Makro Indonesia Tahun 2012, Jakarta : Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik (BPS), 2015, Data dan Informasi Kemiskinan
id
Kabupaten/Kota 2014, Jakarta : Badan Pusat Statistik.
ps .g o.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Utara, 2016, Berita Resmi Statistik Kemiskinan Provinsi Sulawesi Utara Maret 2016, Manado :
lu
t.b
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara.
su
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Utara, 2016, Berita Resmi
ht tp
://
Statistik Kemiskinan Provinsi Sulawesi Utara September 2016, Manado : Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara.
| 37
38 |
id
ps .g o.
t.b
lu
su
://
ht tp
| 39
id
ps .g o.
t.b
lu
su
://
ht tp
40 |
id
ps .g o.
t.b
lu
su
://
ht tp