BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Seorang muslim dan muslimah yang shalih, ketika membangun mahligai rumah tangga maka yang menjadi dambaan dan cita-citanya adalah agar kehidupan rumah tangganya kelak berjalan dengan baik, dipenuhi mawaddah wa rahmah, sarat dengan kebahagiaan, adanya saling ta′awun (tolong-menolong), saling memahami dan saling mengerti. Dia juga mendamba memiliki istri yang pandai memposisikan diri untuk menjadi naungan ketenangan bagi suami dan tempat beristirahat dari ruwetnya kehidupan di luar. Ia berharap dari rumah tangga itu kelak akan lahir anak turunannya yang shalih yang menjadi penyejuk mata baginya.1 Sebagaiman telah diketahui sesungguhnya pernikahan adalah langkah awal membentuk rumah tangga muslim. Untuk itu Rasulullah SAW. bersabda kepada orang-orang muslim semua, khususnya kepada pemuda. Sebab dialah yang akan menjalani pernikahan.
ﻳﺎ
ﻋﻠﻴﻪ
ﺻﻠﻰ ﻟﻠﺒﺼﺮ
" ﻓﺈﻧﻪ
ﻋﻨﻪ
ﻋﻦ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻦ ﻣﻌﺸﺮ 2 " ﻓﺈﻧﻪ ﻟﻪ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﻴﻪ
Dari Abdullah Ibnu Mas'ud RA. berkata: Rasulullah SAW bersabda pada kami: "Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang mempunyai kemampuan, maka hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan 1
2003 M.
Nesia Adriana, Menikalah, Bulletin KMII, Edisi 9 Th.1/4 Zulqaidah 1424 H/28 Desember
2
Al-Hāfizh ibn Hajar al-Asqalānīy, Bulūghu al-Marāmi min Adillati al-Ahkāmi (Surabaya: Dar al-′Alim, TT), hal.200.
1
pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikannya." Pada umumnya apabila telah dilaksanakan suatu perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan, pasti timbul suatu angan-angan didalam pikiran mereka untuk hidup berkeluarga dalam keadaan selalu rukun, bahagia, sejahtera selama-lamanya sampai mereka lanjut usia dan meninggal dunia. Dan pada prinsipnya keluarga kekal yang bahagia itulah yang akan dituju. Banyak perintah Allah dan Rasul yang bermaksud untuk ketenteraman keluarga dalam hidup tersebut.
3
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi kaum yang berpikir. Kedamaian hidup berumah tangga mesti diatur sejak awal perkenalan yaitu menyelidiki latar belakang pasangannya. Sekiranya pihak lelaki atau wanita mengikuti kriteria yang dianjurkan oleh Islam, akan ada kerukunan dalam perkawinan. Selain itu pasangan yang ingin menikah juga hendaklah memahami dengan sebenarnya apakah tujuan perkawinan tersebut. Apabila perkawinan itu sekedar memenuhi tuntutan nafsu dan melayani kehendak tanpa memikirkan tujuan yang sebenarnya, maka perkawinan tersebut akan lebih tertuju kepada kehancuran. Justru, dalam menjamin keharmonisan,
3
QS. Ar-Rûm: 21
2
sebuah keluarga Islam mestilah mempunyai kekuatan iman dan taqwa, pengetahuan dan aturan hidup serta akhlak yang mulia. Perkawinan adalah akad yang berdasarkan kesukarelaan kedua pihak yang akan menjadi suami isteri. Pihak ketiga tidak boleh memaksakan kemauannya untuk suatu perkawinan, jika yang bersangkutan sendiri tidak suka. Meskipun pihak ketiga itu ayah, abang, paman, dan sebagainya. Beberapa puluh tahun yang lampau banyak sekali gadis menjadi korban kawin paksa karena pihak pemaksa berlindung di balik perisai fatwa-fatwa ulama yang membolehkan ayah memaksa anak gadisnya kawin dengan laki-laki yang tidak disukainya, bahkan kadang-kadang sangat dibenci sang gadis. Banyak kemalangan telah terjadi disekitar soal ini, yang pada hakikatnya adalah suatu penzaliman yang tidak disengaja oleh orang tua terhadap anaknya. Pada dasarnya pernikahan itu harus seperti jual-beli, yaitu harus samasama ridha dan ikhlas dari kedua belah pihak, terutama kedua mempelai, tidak boleh ada paksaan / tekanan dari pihak manapun, termasuk orang tua, walaupun orang tua tersebut yakin bahwa calon menantunya itu baik dan dapat membahagiakan anaknya.4 Di kalangan masyarakat kita, terutama di daerah pedesaan, masih berlaku tradisi yang hampir mengambil hak kemerdekaan seorang gadis untuk memilih suaminya. Biasanya anak itu didikte untuk menikah dengan seseorang yang disenangi oleh ayah atau ibunya, sedangkan anak gadis itu,
4
Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah & Keluarga, (Jakarta: Gema insani, 2004), hal. 29.
3
dalam pembawaanya sebagai anak gadis yang pemalu, mestinya ia malu untuk menyatakan pendapatnya dalam hal itu. Dan juga karena suasana masyarakat tempat ia dibesarkan, yang tidak membolehkan anak itu membantah kehendak ayah atau walinya. Perkawinan yang demikian sering kali mengecewakan dan mengakibatkan kesusahan-kesusahan yang banyak. Rumah tangga yang sakinah tidaklah hanya identik dengan hubungan suami dan isteri. Keluarga sakinah juga mensyaratkan relasi yang harmonis antara orang tua dan anak sebagai elemen keluarga. Keharmonisan relasi ini telah digambarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW., dalam sabdanya: 5
Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak menyayangi yang muda dari kami serta tidak mengenal hak orang alim dari kami. Sedangkan dalam Pernikahan juga diperlukan keridhaan orang tua, sebagai bekal masa depan yang penuh berkah dari doa kedua orang tua. Dalam Kitab Bulugh al-Maram dijelaskan dalam sebuah hadis:
):
ﻋﻠﻴﻪ ،
ﺻﻠﻰ (
،-
، 6
Dari Abdullah Ibnu Amar al-'Ash RA. bahwa Nabi SAW. bersabda: "Keridaan Allah tergantung kepada keridaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua." Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim. Pernikahan yang dipaksakan berpotensi melahirkan ketidakstabilan emosional maupun pikiran. Apalagi nikah paksa yang dialami seorang anak. 5
Hadis Hasan, no.5443. Lihat di Kitab, Muhammad Nāshiruddīn al-Albāni, Shahīh alJāmi′ al-Shaghīr wa Ziyadātih (Beirut: Maktab al-Islāmī, Cet. III, 1408 H./1988 M.), Hal.957. 6 Al-Hāfizh ibn Hajar al-Asqalānīy, Op. Cit., hal..297.
4
Hal ini rentan menimbukan tekanan kejiwaan padanya. Jika kondisi ini yang terjadi, bisa saja si anak mengalami gangguan psikis yang begitu berat, yang berakibat pada munculnya ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Memaksa seorang anak untuk menikah dengan seseorang yang tidak disukai dan dicintainya merupakan awal berumah tangga yang tidak baik. Ini karena cinta tidak bisa dipaksakan dan rasa cinta itu sangat penting di dalam membangun rumah tangga.7 Memang, sebenarnya tidak ada ayat ataupun hadis yang dengan tegas melarang perbuatan ayah atau wali yang demikian, tetapi dalam beberapa madzhab ditetapkan bahwa ayah dapat memaksa anaknya yang masih gadis untuk menikah, tetapi sunnah baginya untuk mengikuti pendapat anaknya itu, dan pemaksaan itu sudah tidak boleh lagi, kalau anak itu sudah janda. Zaitunah Subhan8 mengatakan bahwa tindak kekerasan tehadap perempuan pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu kekerasan yang bersifat fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain berupa pelecehan seksual, seperti perabaan, colekan yang tidak diinginkan, pemukulan, penganiayaan, serta perkosaan. Termasuk dalam kategori ini adalah teror dan intimidasi, kawin paksa (kawin di bawah umur), incest, kawin di bawah tangan, pelacuran paksa, stigma negatif, ekspkloitasi tenaga kerja, dan pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi. Salah satu bentuk kasus kekerasan terhadap anak adalah perjodohan paksa. Efek tindakan ini dapat lebih parah ketimbang kekerasan fisik. 7
Miftah Faridl, Op. Cit., hal. 30. Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hal. 12. 8
5
Walaupun terkadang kawin paksa berakhir dengan kebahagiaan dalam menjalankan rumah tangga, namun tidak sedikit yang berimbas pada ketidakharmonisan atau perceraian. Itu semua akibat ikatan perkawinan yang tidak dilandasi cinta kasih, namun berangkat dari keterpaksaan semata. Banyak peristiwa di tengah masyarakat anak menderita karena dikawinkan dengan pasangan yang tidak dikehendaki atau pilihan yang sama sekali tidak tepat bagi dirinya. Sering kali yang mendorong orang tua berbuat demikian adalah kekeliruannya atau ketidakpatuhannya pada syari′at Allah. Akibat dari penyimpangan ini, yang menjadi korban pertama adalah anaknya dan selanjutnya adalah dirinya sendiri. Bilamana anak terlanjur menjadi korban dari langkah salah orang tua memaksakan kehendaknya
kepada
anaknya
dalam
memilih
pasangan,
maka
penyesalannya sulit diatasi. Penyesalan ini tidak hanya merugikan materi orang tua, tetapi lebih jauh adalah penderitaan batin anak. Bilamana ternyata anaknya dijodohkan dengan pasangan yang membekaskan penderitaan yang berat dalam kehidupannya, maka hal semacam ini akan menimbulkan traumatis
bagi
anaknya.
Padahal
sebenarnya
maksud
orang
tua
menjodohkan dengan pilihannya adalah untuk membahagiakan anakanaknya, tetapi yang diperoleh justru sebaliknya. Sebagaimana kita ketahui, di dalam umat Islam di Indonesia terdapat pernyataan tentang anggapan bahwa soal jodoh bagi anak lelaki adalah urusan Tuhan, dan bagi anak perempuan adalah urusan orang tua (ayah). Sudah jamak kaprah bila seorang gadis yang akan dikawinkan besok, hari
6
ini juga belum mengenal wajah bakal suaminya. Hak orang tua yang demikian dalam fiqih disebut hak ijbār, hak menentukan secara sepihak untuk anak gadisnya siapa bakal suaminya. Cerita Siti Nurbaya mengambarkan tradisi ijbār dari orang tua yang dimaksud. Akan tetapi, sebutlah modernisasi, hak ijbār itu kini mulai memudar. Tidak sedikit anak gadis yang berani menentukan sendiri pilihannya, atau bakal suaminya.9 Dalam tradisi masyarakat Madura, jika melihat raelitas kultural yang sangat ekstrim, biasanya masyarakat desa justru menjodohkan anaknya yang masih berumur di bawah lima tahun (balita) dengan anak dari anggota keluarga yang lain pada usia yang sama. Bahkan, ada pula sebagian dari mereka yang menjodohkan anak-anaknya ketika anak-anak itu masih berada dalam kandungan ibunya atau pada saat baru dilahirkan. Tidak mengherankan apabila terjadi banyak kasus kawin paksa. Tujuan menjodohkan menurut mereka10, adalah untuk menjaga kehormatan keluarga dari persaaan aib dan malu jika pada waktunya nanti anak perempuan mereka belum juga menemukan jodoh. Menurut pandangan orang madura, seorang perempuan seharusnya sudah menikah tidak lama setelah mengalami haid yang pertama atau pada umur antara 12 sampai 5 tahun. Apabila telah melebihi umur tersebut dan ternyata masih juga belum menikah, semua orang akan mencemoohnya sebagai perempuan tidak laku. Pada saat itulah kedua orang tuanya serta anak perempuan yang 9
Masdar F. Mas’udi, Islam Dan Hak-Hak Reproduksi: Dialog Fiqih Pemberdayaan, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 88. 10 Lihat bukunya A. Latief Wiyata, Carok – Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta: Lkis, 2006), hal. 59.
7
bersangkutan merasakan aib dan malu pada semua orang di lingkungan sosialnya. Wanita Islam bukanlah wanita barat yang terlalu bebas dan tak terkendalikan. Wanita Islam juga bukan wanita pingitan dan umpetan yang setiap hari waktunya dihabiskan untuk dikamar. Wanita Muslimah bukanlah wanita yang hanya memiliki tiga harakah yaitu dapur, kasur, dan sumur. Wanita Muslimah merupakan wanita tengah-tengah antara wanita Barat dengan wanita pingitan dan umpetan, sesuai dengan sebuah riwayat Nabi Muhammad SAW.: 11
ﺳﻄﻬﺎ
“Sebaik-baik perkara itu adalah yang ada di tengah-tengah”
Berbicara paksaan dalam menikah, maka penulis merujuk paksaan menikah itu pada kata ijbār. Hal ini sudah lazim dipelajari dalam fikih Munakahat, dan diantara semua itu terdapat korelasi antara ijbar, wali nikah, dan wali mujbir. Perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, sedangkan perempuan biasanya tunduk kepada perasaannya, karena itu ia tidak pandai memilih, sehingga tidak dapat mencapai tujuan perkawinan. Oleh sebab itu ia tidak boleh melakukan akad nikah secara langsung. Akad nikah harus dilakukan oleh walinya supaya tujuan perkawinan dapat tercapai secara sempurna. Islam memberikan kemerdekaan kepada wanita untuk menikah dan kemerdekaan untuk memiliki harta, tak seorangpun dapat memaksa wanita 11
Muhammad Nāshiruddīn al-Albānī, Silsilat al-Ahādīs al-Dha′īfat wa al-Maudhūat (Riyadh: Maktabat al-Ma′ārif liNasyar wa al-Tauzī, 1425 H, cet. II), hal. 1163.
8
untuk menikah dengan orang yang ia benci. Wanita dapat meninggalkan apa yang tidak ia ridhai dan ia benci. Nabi telah menghentikan kawin paksa bagi seorang gadis oleh ayahnya, yang tujuan ayah gadis tersebut adalah untuk kemaslahatan pribadi dalam pernikahan anaknyadengan anak saudaranya sendiri. Demikian juga halnya seperti masalah pernikahan, dalam hal harta benda dan mentasarufkan atau mendistribusikan. Tentang larangan kawin paksa di dalam hadis Nabi Muhammad SAW ;
12
Telah menceritakan kepada kami Muslim ibn Ibrahim, Telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi SAW., beliau bersabda: "Seorang janda tidak boleh dinikahkan hingga ia dimintai pertimbangan, dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali dengan seizinnya." Para sahabat bertanya; wahai Rasulullah, bagaimana izinya? Beliau bersabda: "Dengan cara diam." Dari semua permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis mencoba akan membahas perihal “Nikah Paksa Menurut Perspektif Hukum Fikih (Studi Perbandingan Antara Madzhab Hanafi dan Syafi′i), dengan mendasarkan pada sudut pandang fikih sebagai pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah serta sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya Muhammad SAW.
12
Abu Dawud Sulayman ibn al-Asy′as al-Sijistaniy, Sunan Abiy Dawud (Beirut: Dār Ibn Hazm, Juz II, cet. II, 1997 M/1418 H), hal.396. No. hadis: 2092
9
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan yang akan diteliti dan dibahas serta dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah hukum nikah paksa menurut madzhab Syafi'i dan Hanafi ? 2. Pendapat manakah yang lebih kuat (rājih) dari dua madzhab tersebut?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka peneliti melakukan penelitian dengan tujuan: 1. Untuk mengetahui hukum nikah paksa menurut madzhab Syafi'i. 2. Untuk mengetahui hukum nikah paksa menurut madzhab Hanafi. 3. Untuk mengetahui pendapat yang lebih kuat (rājih) dari dua madzhab tersebut.
D.
Manfaat Penelitian Pembahasan masalah ini mempunyai kegunaan sebagai bentuk reinterpretasi terhadap pemahaman umat Islam mengenai pernikahan. Sebuah bentuk pemahaman hukum Islam dari dua madzhab yang diperbandingkan, yaitu: Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi. Untuk lebih jelasnya kegunaan pembahasan dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Secara teoritis, penulisan ini diharapkan mampu memberikan sumbangan khasanah keilmuan dan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang perwalian.
10
2. Secara praktis, penulisan ini diharapkan mampu memberikan wawasan pengetahuan sebagai acuan pelaksanaan perkawinan di Indonesia yang berhubungan antara hak dan
kewajiban orang
tua dengan hak dan
kewajiban anak mengingat masih banyaknya pemahaman orang tua yang hanya didasarkan pada satu aturan fiqh tanpa memperhatikan nilai-nilai universal Islam. 3. Memahami sudut pandang, cara-cara ijtihad yang berlainan, dan dalildalil serta pemikiran-pemikiran umum atau khusus yang mendukungnya. (Madzhab Hanafi dan Syafi’i). E.
Definisi Operasional 1. Nikah Paksa Nikah dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi); perkawinan.13 Makna nikah dalam Bahasa Arab secara bahasa ialah pengabungan dan pencampuran. Sedangkan menurut syari′at, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.14 Paksa, dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan perbuatan yang harus dilakukan walaupun tidak mau; kekerasan; perkosaan.15
13
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal. 1003. 14 Hasan Ayub, Fiqh al-Usrah al-Muslimah, ter. M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka alKautsar, 2008). Hal. 29. 15 Kamus Bahasa Indonesia, Op. Cit., hal. 1035.
11
Kata paksa dalam Bahasa Arab adalah Ikrāh ( (
) dan
ijbār
).16 Al-Quran misalnya menyebutkan kata Ikrāh:
Tidak ada paksaan dalam agama.17
ﻻ
Pengertian Paksaan oleh para fuqaha18 yaitu suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang kepada orang lain, atas perbuatan tersebut hilang kerelaaanya19 atau tidak sempurna lagi pilihannya. Di dalam kamus al-Munawir kata ijbār ( pemaksaan, berasal dari kata
) yang artinya
padanan kalimatnya
yang artinya mewajibkan, memaksa agar mengerjakan.20 Adapun ijbār adalah suatu tindakan untuk melakukan sesuatu atas dasar tanggung jawab. Di dalam fiqh Islam, istilah ijbār dikenal dalam kaitannya dengan soal perkawinan.21 Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa nikah paksa adalah perkawinan tanpa persetujuan dari salah satu calon mempelai atas hak paksa dari seorang wali akad nikah dengan menafikan adanya unsur kerelaan.
16
Asad M. Alkali, Kamus Indonesia Arab (Jakarta: Bulan Ibntang, 1987), hal. 381. QS. Al-Baqarah: 256. 18 Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah (Kuwait, juz 6, 1410 H = 1990 M), hal. 98. 19 Maksudnya hilang kerelaan orang yang dipaksa () ﻜ ْ ﺮ َ ه, ُ ( ﻣdari penulis skripsi). 20 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), hal. 164 – 165. 21 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan – Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LkiS, 2001) hal. 79. 17
12
2. Hukum Fikih Hukum (
) secara etimologi/bahasa, bermakna al-Man'u (
yakni mencegah, seperti
)
mengandung
pengertian bahwa engkau mencegah melakukan sesuatu yang berlawanan itu. Hukum juga berarti qadha' ( seperti
(
)
) yang memiliki arti putusan,
mengandung pengertian bahwa engkau telah
memutuskan dan menyelesaikan kasus mereka.22 Pengertian hukum menurut terminologi/istilah adalah:
Firman Allah atau sabda Nabi yang mengenai segala pekerjaan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik titah itu mengandung tuntutan (suruhan dan larangan) ataupun semata-mata menerangkan kebolehan, atau menjadikan sesuatu sebab, atau syarat, atau pengahalang bagi sesuatu hukum.23 Fikih secara bahasa bahasa ialah paham/ tahu atau pemahaman yang mendalam, yang membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian ini dapat ditemukan dalam Qur’an yang berbunyi:
.
.
Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. supaya mereka mengerti perkataanku.24 Secara terminologi (istilah), fikih ialah: 25
ﻟﱠ ﺎ
Kumpulan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. 22
Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah (Kuwait, juz 18, 1410 H = 1990 M), hal. 65. 23 Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz XVII, Op. Cit., hal. hal. 65 24 QS. Thāhā (20): 27-28 25 Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm ushul al-Fiqh (al-Iskandariyyah: Maktabah al-Da’wah alIslamiyyah, 2002 M), hal. 11.
13
′Ala′uddin Abu Bakar ibn Mas′ud al-Kasani berkata:26
، ،
، ،
،
،
،
Bahwasanya tak ada ilmu yang lebih mulia sesudah ilmu tauhid, selain ilmu Fikih. Itulah ilmu yang dinamai ilmu halal haram syari’at dan ahkam. Untuknyalah dibangkitkan para Rasul, diturunkan Kitab karena tak ada jalan untuk mengetahui yang demikian itu dengan semata-mata akal, tanpa dibantu oleh pendengaran dan nukilan. T.M. Hasbi ash Shiddieqy dalam bukunya “Hukum-Hukum Fiqih Islam” menjelaskan bahwa hukum-hukum Fiqih Islamiy, didasarkan kepada dua dasar asasy, yang terpokok yaitu27 : 1. Al-Qur’an Al-Syarief (Ayat al-Ahkam) 2. Al-Sunnah al-Nabawiyah (Sunan al-Ahkam) Dan disendikan juga kepada dua dasar lagi yang bercabang dari dua dasar pokok, yaitu : 1. Al-Ijma′ (Putusan Permusyawaratan) 2. Ijtihad Ahli-ahli Fiqih (Istinbath dan Istidlal). F.
Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Bentuk penelitian ini adalah studi
kepustakaan (library
reseach),yang menyajikan secara sistematis, data yang berkenaan dengan
26
′Ala′uddin Abu Bakar ibn Mas′ud al-Kasani, Bada`i’ al-Shana`i’ fi Tartib al-Syara`i (Beirut: Dar al-Kutub al-′Ilmiyah, Juz I, 1406 H = 1986 M) hal. 2. 27 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fikih Islam (Jakarta: Bulan bntang, 1986), hal.4-5.
14
permasalahan yang diperoleh berdasarkan telaah terhadap kitab-kitab fikih dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. 2. Sumber Data Dalam penelitian ini sumber data terbagi dua yaitu: a. Data Primer Data primer adalah data yang diambil dari sumber data primer atau sumber pertama pustaka.28 Sumber primer, yakni tulisan ulama yang bersangkutan; atau tulisan yang dinisbahkan dengan ulama tersebut.29 Adapun data primer dalam penelitian perbandingan fikih ini adalah; 1. Al-Qur’an al-Karim 2. Al-Hadits dalam kitab induk sembilan kitab (Kutubu Tis’ah). 3. Kitab Fikih Madzhab Syafi′i
yaitu
Kitab Al-Umm oleh
Muhammad ibn Idris al-Syafi'i. 4. Kitab Fikih Madzhab Hanafi yaitu al-Hidāyat Syarh Bidāyat alMubtadī karya Al-Imām Burhānuddīn Abī Hasan Alī ibn Abī Bakar al-Marghīnānī al-Hanafi. 30
28
Dr. Burhan Bungin, Drs., M.Si., Metode Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, (Surabaya: Airlangga University Pers, 2001), hal. 128. 29 Cik Hasan Basri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam Dan Pranata Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers), hal. 309-310. 30 Profil ulama Madzhab Hanafi dapat dilihat pada Kitab Al-Jawahir al-Mudhiyyah fi Thabaqat al-Hanafiyah karya Muhyiddin Abdul Qadir ibn Abu al-Qafa al-Qurasyi al-Mishri dan At-Thabaqat as-Sunniyah fi Tarajim al-Hanafiyah karya Maula Taqiyuddin ibn Abdul Qadir atTamimi al-Mishri.
15
b. Data Sekunder Data sekunder adalah buku-buku penunjang berupa kitab Tafsir al-Qur’an, Syarah Hadis, Kitab-kitab Fikih dari Madhab Syafi’i dan Hanafi, Kitab Fikih Perbandingan Madzhab, dan segala refrensi yang mendukung pembahasan tersebut. 3. Teknik Analisa Data Data yang telah dikumpulkan dianalisa secara deskriptif kulitatif dan komparatif, yakni menyajikan atau menguraikan seluruh permasalahan yang ada dengan tegas dan jelas, baik persamaan maupun perbedaan konsep antara fikih Madzhab Hanafi dan Syafi′i, mengenai hukum nikah paksa. Kemudian dari paparan atau uraian tersebut ditarik suatu kesimpulan. G.
Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan hasil yang sistematis dan terarah sesuai dengan judul yang peneliti ambil, serta untuk memudahkan dalam memahami hasil penelitian ini, maka gambaran sistematika adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian,
dan
sistematika
penulisan
yang
keseluruhan
memberikan gambaran secara garis besar materi yang akan dibahas dalam penyusunan skripsi ini.
16
BAB II TINJAUAN TEORITIS Tinjauan teoritis merupakan hasil kajian pustaka yang membahas tentang definisi nikah menurut fikih Islam, rukun dan syarat nikah, kafa′ah dalam pernikahan serta masalah wali mujbir dan hak ijbar. BAB III HASIL PENELITIAN Dalam bab ini, penulis mengkaji permasalahan nikah paksa dari kedua madzhab. Pembahasan nikah paksa menurut Madzhab Hanafi yang meliputi permasalahan nikah paksa bagi gadis yang belum dewasa (masih kecil), gadis yang sudah dewasa, janda yang belum dewasa (masih kecil)
dan
janda
yang
dewasa.
Kemudian penulis membahas nikah paksa menurut Madzhab Syafi′i, yang meliputi permasalahan nikah paksa bagi gadis yang belum dewasa (masih kecil), gadis yang sudah dewasa,janda yang belum dewasa (masih kecil) dan janda yang dewasa. Setelah kedua madzhab dibahas, penulis memperbandingkan kedua madzhab tersebut dengan maksud mencari mana yang kuat dalam hal fikih nikah paksa, dan terakhir membahas tentang korelasi pendapat Madzhab Hanafi dan Syafi′i dengan hukum positif di indonesia tentang nikah paksa.
17
BAB IV PENUTUP Dalam bab terakhir ini sebagai bab penutup, penulis akan memberikan kesimpulan dan saran sebagai ringkasan dan gambaran dari keseluruhan penulisan skripsi ini. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
18