BAB II LANDASAN PENCIPTAAN
1.5 Sejarah Kamera Kamera merupakan alat yang berfungsi untuk menangkap dan mengabadikan gambar/image. Kamera pertama kali disebut sebagai camera obscura, yang berasal dari bahasa latin yang berarti “ruang gelap”. Camera obscura merupakan sebuah instrumen yang terdiri dari ruang gelap atau box, yang memantulkan cahaya melalui penggunaan 2 buah lensa konveks, kemudian meletakkan gambar objek eksternal tersebut pada sebuah kertas/film yang diletakkan pada pusat fokus dari lensa tersebut. Camera obscura pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan muslim yang bernama Alhazen seperti yang dijelaskan pada bukunya yang berjudul Books of Optics (1015-1021). Pada tahun 1660an ilmuwan Inggris Robert Boyle dan asistennya Robert Hooke menemukan portable camera obscura. Kamera pertama yang cukup praktis dan cukup kecil untuk dapat digunakan dalam bidang fotografi ditemukan pertama kali oleh Johann Zahn pada tahun 1685, nyaris lebih dari 150 tahun dari anggapan bahwa semua ini mungkin terjadi. Kamera fotografi pada awalnya banyak yang menerapkan prinsip model Zahn, dimana selalu menggunakan slide tambahan yang digunakan untuk memfokuskan objek. Caranya adalah dengan memberikan tambahan sebuah plat sensitif di depan lensa kamera tersebut setiap sebelum melakukan pengambilan gambar. Jacques Daguerre merupakan salah satu dari orang yang berperan dalam dunia perkembangan teknologi kamera sekaligus memberikan jasa pada perkembangan dunia fotogarfi kita. Daguerre dilahirkan tahun 1787 di kota Cormeilles di Perancis Utara. Waktu mudanya ia adalah seorang seniman. Pada umur pertengahan tiga puluhan ia merancang "diograma", barisan lukisan pemandangan yang mempesona bagusnya, dipertunjukkan dengan bantuan efek cahaya. Sementara ia menggarap pekerjaan itu, ia menjadi tertarik dengan pengembangan suatu mekanisme untuk secara otomatis melukiskan kembali pemandangan yang ada di dunia tanpa menggunakan kuas atau cat, yaitu: kamera! Di tahun 1827 ia bertemu dengan Joseph Nicephore Niepce yang juga sedang mencoba menciptakan kamera. Dua tahun kemudian mereka bekerjasama. Di tahun 1833 Niepce meninggal, tetapi Daguerre
www.stisitelkom.ac.id
tetap melanjutkan percobaannya. Menjelang tahun 1837 ia berhasil mengembangkan sebuah sistem praktis fotografi yang disebutnya "daguerreotype." Tahun 1839 Daguerre memberitahu publik secara terbuka tanpa mempatenkannya. Sebagai imbalan, pemerintah Perancis menghadiahkan pensiun seumur hidup kepada Daguerre maupun anak Niepce. Pengumuman penemuan Daguerre menimbulkan kegemparan penduduk pada saat itu dan ia menjadi seorang pahlawan yang ditaburi berbagai macam penghormatan serta penghargaan, sementara metode "daguerreotype" dengan cepat berkembang dan banyak digunakan oleh khalayak. Daguerre sendiri segera pensiun. Dia meninggal tahun 1851 di kota asalnya dekat Paris. Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan teknologi kamera semakin hari berkembang semakin pesat. Fungsi dan kebutuhan penggunaanya pun semakin luas dirasakan oleh berbagai pihak. Kamera tidak hanya digunakan sekedar untuk menangkap objek yang berfungsi sebagai kenang-kenangan semata, tetapi juga digunakan untuk menangkap objek yang sedang bergerak. Sebut saja perkembangannya kemudian seperti kamera video, kamera mikro, kamera sensor dan lain sebagainya. Perkembangannya pun telah meliputi berbagai bidang, seperti pada bidang sinematografi, pendidikan, kedokteran, dan bahkan sampai pada bidang sistem pertahanan dan keamanan pun tidak terlepas dari penggunaan teknologi kamera ini.
1.5.2 Sejarah Sinema
Sejarah awal sinema diawali dengan digunakannya Cinematographe milik Lumiere bersaudara yang merupakan modifikasi dari alat Kinetoscope ciptaaan Thomas Alfa Edison. Kalau sebelum nya menonton film dilakukan dengan cara mengintip gambar bergerak dari satu lobang secara bergantian, maka Cinematographe menandai dimulainya era pertunjukan film yang bisa dilihat untuk orang banyak. Pada tahun 1895 tepatnya tanggal 28 Desember untuk pertama kalinya puluhan orang berada didalam satu ruangan menonton film yang diproyeksikan ke sebuah layar lebar. Lumiere bersaudara menyewa sebuah ruang bilyard tua di bawah tanah di Boulevard des Capucines – Paris yang kemudian dikenal sebagai ruang bioskop pertama didunia. Tempat itu kemudian dinamakan Grand Cafe yang tiba-tiba menjadi begitu populer di Eropa. Ribuan orang berbondong-bondong ingin menonton film buatan Auguste dan Louis Lumiere. Saat itu pengalaman menonton film dalam sebuah ruangan adalah suatu hal yang sama sekali baru bagi orang-orang pada waktu itu.
www.stisitelkom.ac.id
Setelah itu ada banyak upaya untuk membuat film, tetapi masih kategori film bisu. Pada masa film bisu, pertunjukan film umumnya diiringi dengan musik secara langsung sebagai Ilustrasi musiknya. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, pada tahun 1927 seorang sutradara bernama Alan Crosland untuk pertama kalinya membuat film The Jazz Singer dengan menyajikan secara lengkap musik, nyanyian, serta dialog. Walau masih dalam format warna sederhana yaitu hitam putih. Perkembangan film di Indonesia yang menyajikan unsur gambar dan suara yang menjadi satu sendiri diawali dengan diproduksinya film berjudul Terpaksa Menikah, dengan sutradara,
Penata
Fotografi,
dan
Suara
oleh
G.
Krugers
pada
tahun
1932.
Pada waktu itu promosi film tersebut adalah “100% bicara, musik, dan nyanyi. Lebih terang, bagus, kocak. Tahun 1952 adalah awal sebuah produksi film berwarna pertama Indonesia yang berjudul Rodrigo de Villa (sutradara Gregorio Fernandez & Rempo Urip), Director Of Photography E. ROSALES, Composer Q. VELASCO. Dengan para pemain RD Mochtar, Netty Herawati, Rendra Karno, Darussalam, Sukarsih, Nana Mayo, Astaman, Awaludin, Djuriah, A. Hadi, H. Asby, dan Pete Elfonso. Seluruh produksi film tersebut dikerjakan di Studio LVN Manila – Filipina.Setelah itu mulai dari tahun 1968 barulah muncul film-film format warna dalam produksi perfilman Indonesia. 1.5.3 EraVideo Lebih dari seratus tahun kemudian teknologi perfilman telah berkembang pesat. Dengan ditemukannya Video yang unggul dari segi kemudahan. Video dapat merekam suara dan gambar dalam satu medium pada saat yang sama. Kelebihan lainnya bobot dari kamera video itu sendiri lebih ringan dan mudah dioperasikan.
www.stisitelkom.ac.id
1.5.4 Jenis Film Ada beberapa jenis film (genre) yaitu fiksi dan non fiksi. Yang termasuk dalam jenis film non fiksi adalah film dokumenter. Sedangkan untuk kelompok fiksi, dalam dunia perfileman kita mengenal jenisjenis film yang berupa drama, suspence atau action, science fiction, horror dan Film Musikal.
http://pti08.wordpress.com/2008/12/21/jenis-jenis-film/ Film dokumenter bisa berisi tentang alam dan manusia dengan cara hidupnya yang beragam. Sedangkan untuk jenis film fiksi mencakup drama, suspense atau action, science fiction, horo, dan film musikal. 1.5.5 Film Dokumenter (Documentary Films) Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama karya Lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang dibuat sekitar tahun 1890-an. Tiga puluh enam tahun kemudian, kata ‘dokumenter’ kembali digunakan oleh pembuat film dan kritikus film asal Inggris John Grierson untuk film Moana (1926) karya Robert Flaherty. Grierson berpendapat dokumenter merupakan cara kreatif merepresentasikan realitas (Susan Hayward, Key Concept in Cinema Studies, 1996, hal 72).Sekalipun Grierson mendapat tentangan dari berbagai pihak, pendapatnya tetap relevan sampai saat ini. Film dokumenter menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Namun harus diakui, film dokumenter tak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu. Intinya, film dokumenter tetap berpijak pada hal-hal senyata mungkin. Seiring dengan perjalanan waktu, muncul berbagai aliran dari film documenter misalnya dokudrama (docudrama). Dalam dokudrama, terjadi reduksi realita demi tujuantujuan estetis, agar gambar dan cerita menjadi lebih menarik. Sekalipun demikian, jarak antara kenyataan dan hasil yang tersaji lewat dokudrama biasanya tak berbeda jauh. Dalam dokudrama, realita tetap menjadi pegangan. Kini dokumenter menjadi sebuah tren tersendiri dalam perfilman dunia. Para pembuat film bisa bereksperimen dan belajar tentang banyak hal ketika terlibat dalam produksi film dokumenter. Tak hanya itu, film dokumenter juga dapat membawa keuntungan dalam jumlah yang cukup
www.stisitelkom.ac.id
memuaskan. Ini bisa dilihat dari banyaknya film dokumenter yang bisa kita saksikan melalui saluran televisi seperti program National
Geographic dan Animal Planet. Bahkan saluran televisi Discovery Channel pun mantap menasbih diri sebagai saluran televisi yang hanya menayangkan program documenter tentang keragaman alam dan budaya.
Selain untuk konsumsi televisi, film dokumenter juga lazim diikutsertakan dalam berbagai festival film di dalam dan luar negeri. Sampai akhir penyelenggaraannya tahun 1992, Festival Film Indonesia (FFI) memiliki kategori untuk penjurian jenis film dokumenter. Di Indonesia, produksi film dokumenter untuk televisi dipelopori oleh stasiun televisi pertama kita, Televisi Republik Indonesia (TVRI). Beragam film documenter tentang kebudayaan, flora dan fauna Indonesia telah banyak dihasilkan TVRI. Memasuki era televisi swasta tahun 1990, pembuatan film dokumenter untuk televisi tidak lagi dimonopoli TVRI. Semua televisi swasta menayangkan program film dokumenter, baik produksi sendiri maupun membelinya dari sejumlah rumah produksi. Salah satu gaya film dokumenter yang banyak dikenal orang, salah satunya karena ditayangkan secara serentak oleh lima stasiun swasta dan TVRI adalah Anak Seribu Pulau (Miles Production, 1995). Dokudrama ini ternyata disukai oleh banyak kalangan sehingga sekitar enam tahun kemudian program yang hampir sama dengan judul Pustaka Anak Nusantara (Yayasan SET, 2001) diproduksi untuk konsumsi televisi. Dokudrama juga mengilhami para pembuat film di Hollywood. Beberapa film terkenal juga mengambil gaya dokudrama seperti JFK (tentang presiden Kenedy), Malcom X, dan Schindler’s List. Dari segi durasi film bisa dikelompokkan menjadi film panjang dan pendek. Film panjang biasanya berdurasi 60 menit atau lebih. Sedangkan film pendek durasinya kurang dari 60 menit. 1.5.6 Film Cerita Pendek (Short Films) Durasi film cerita pendek biasanya di bawah 60 menit. Di banyak negara seperti Jerman, Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan juga Indonesia, film cerita pendek dijadikan laboratorium eksperimen dan batu loncatan bagi seseorang/sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang. Jenis film ini banyak dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film atau orang/kelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik.
www.stisitelkom.ac.id
Sekalipun demikian, ada juga yang memang mengkhususkan diri untuk memproduksi film pendek, umumnya hasil produksi ini dipasok ke rumah-rumah produksi atau saluran televisi.
1.5.7 Film Cerita Panjang (Feature-Length Films) Film dengan durasi lebih dari 60 menit lazimnya berdurasi 90-100 menit. Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok ini. Beberapa film, misalnya Dances With Wolves, bahkan berdurasi lebih 120 menit. Film-film produksi India rata-rata berdurasi hingga 180 menit. Bagi para pemula di bidang perfilman tentunya akan lebih mudah untuk berlatih dalam membuat sebuah film pendek terlebih dahulu. Sebagai contoh Rudi Soedjarwo dan timnya mengawali debutnya dengan membuat film pendek berjudul Bintang Jatuh dan Tragedi.
1.5.8 Sinema digital Sinema digital merujuk pada penggunaan teknologi digital untuk mendistribusikan dan menayangkan gambar bergerak. Sebuah film dapat didistribusikan lewat perangkat keras, piringan optik atau satelit serta ditayangkan menggunakan proyektor digital alih-alih proyektor film konvensional. Sinema digital berbeda dari HDTV atau televisi high definition. Sinema digital tidak bergantung pada penggunaan televisi atau standar HDTV, aspek rasio atau peringkat bingkai. Proyektor digital yang memiliki resolusi 2K mulai disebarkan pada tahun 2005, dan sejak tahun 2006 jangkauannya telah diakselerasi. Sinema digital dapat dibuat dengan media video yang untuk penayangannya dilakukan transfer dari format 35 milimeter (mm) ke format high definition (HD). Perbedaan sinema digital Sinema digital hanya berbeda dengan sinema konvensional dalam hal visualisasi dan suara. Visualisasi sinema digital berbentuk garis-garis, sementara sinema konvensional yang
www.stisitelkom.ac.id
menggunakan media pita seluloid, memiliki struktur visualisasi berupa titik-titik. Untuk kualitas suara, sinema digital hanya dapat memberi kualitas suara stereo. Sementara sinema konvensional, memiliki kualitas suara dolby surround.
Kamera untuk sinema digital Pada tahun 2007, medium pengalihan paling umum bagi fitur yang ditayangkan secara digital adalah pita film 35 mm yang dipindai dan diproses pada resolusi 2K (2048×1080) atau 4K (4096×2160) lewat penengah digital. Kebanyakan fitur digital saat ini sudah bisa merekam pada resolusi 1920x1080 menggunakan kamera seperti Sony CineAlta, Panavision Genesis atau Thomson Viper. Kamera-kamera baru seperti Arriflex D-20 dapat menangkap gambar dengan resolusi 2K, dan kamera bernama Red One keluaran perusahaan Red Digital Cinema Camera Company dapat merekam dengan resolusi 4K. Penggunaan proyeksi 2K pada sinema digital telah mencapai lebih dari 98 persen. Barubaru ini perusahaan Dalsa Corporations Origin mengembangkan kamera yang dapat merekam dengan resolusi 4K RAW. Selain itu, ada jenis kamera lain yang dapat merekam dengan resolusi 5K RAW seperti RED EPIC. Ada juga kamera yang dapat merekam dengan resolusi 3K RAW (untuk menyesuaikan dengan anggaran pembuat film ) seperti RED SCARLET. Proses pasca-produksi sinema digital Pada proses pasca produksi, negatif film pada kamera asli dipindai menjadi format digital pada pemindai resolusi tinggi. Dengan teknologi digital, data dari kamera gambar bergerak bisa diubah menjadi format berkas gambar yang enak untuk ditonton. Semua berkas gambar dapat dikoreksi agar cocok dengan daftar edit yang dibuat oleh editor film. Hasil akhir proses pasca produksi adalah penengah digital yang digunakan untuk memindahkan rekaman gambar bergerak pada film ke sinema digital. Semua suara, gambar, dan elemen data produksi yang telah dilengkapi dapat dipasang pada pusat distribusi sinema digital yang berisi semua material digital yang harus ditayangkan.
www.stisitelkom.ac.id
Gambar dan suara kemudian dimampatkan dan dikemas dalam bentuk kemasan sinema digital dalam bahasa inggris: Digital Cinema Package atau DCP.
Keuntungan ekonomi Sebelum teknologi digital muncul dalam pembuatan sinema, sinema harus dibuat dengan pita seluloid yang harganya amat mahal. Pita seluloid 35 mm satu rollnya berharga empat juta dan hanya mampu merekam sepanjang empat menit. Berarti untuk membuat sinema berdurasi 100 menit dibutuhkan dana sekitar 25 juta rupiah. Itu hanya untuk merekam gambar dan belum untuk mengedit dan memperbanyak gambar. Pada sinema seluloid, sinema harus melalui proses printing dan blow up yang bisa menghabiskan dana minimal 233 juta rupiah. Sedangkan biaya untuk membuat kopi sinema adalah 10 juta rupiah. Padahal untuk diputar di bioskop di seluruh Indonesia, sebuah sinema minimal harus memiliki 25 kopi. Artinya produser harus menyediakan dana 250 juta rupiah. Dengan menggunakan teknologi digital, biaya pembuatan sinema menjadi amat murah. Sinema digital dapat dibuat dengan menggunakan kamera Betacam SP yang kasetnya berharga 110 ribu rupiah dengan kemampuan merekam hingga 30 menit. Sinema digital juga bisa dibuat dengan Digital Video atau Digital Beta yang lebih murah lagi. Dengan biaya 400 ribu rupiah, Digital video mampu merekam gambar hingga 180 menit. Dibandingkan dengan sinema seluloid, pembuatan sinema dengan teknologi digital bisa menekan biaya hingga 500 juta rupiah. Karena sinema digital tidak perlu melalui proses printing atau blow up. Dengan menggunakan sinema digital, hanya diperlukan biaya untuk proses encoding sebesar 5 juta rupiah. Oleh karena itu, bagi para produser, sinema digital merupakan teknologi yang sangat murah. Teknologi ini dapat dijadikan alternatif untuk para pembuat film yang ingin berkarya dengan biaya seminim mungkin.
www.stisitelkom.ac.id
Penayangan sinema digital Walau sinema digital memiliki keuntungan dalam tahap produksi dan pascaproduksi namun penayangannya masih menjadi hambatan. Sebagian besar bioskop di Indonesia hanya memiliki alat untuk memutar sinema seluloid. Satunya-satunya cara agar sinema digital bisa diputar di bioskop hanyalah dengan mencetaknya kembali dalam pita seluloid. Sedangkan tidak semua sinema digital yang berformat video bisa ditransfer menjadi seluloid karena standar video adalah 625 garis atau 525 garis. Sedangkan, kualitas imaji seluloid 35 mm setara dengan 2.500
garis. Jadi kalau dari video digital ditransfer ke seluloid, hasilnya akan jauh dari memuaskan. Di Indonesia untuk saat ini hanya Blitzmegaplex yang mempunyai peralatan yang mampu menayangkan film dengan format digital. Sejarah Film & Bioskop di Indonesia
BULAN September 1926, Harian De Lecomotif menulis, "Inilah film yang merupakan tonggak pertama dalam industri sinema Hindia sendiri, patut disambut dengan penuh perhatian." Film yang dimaksud oleh De Locomotif itu adalah "Loetoeng Kasaroeng". Sebuah film lokal Indonesia yang diproduksi oleh NV Java Film Company pada tahun 1926. Sebelumnya, pada bulan Agustus di tahun yang sama, De Locomotif juga telah menulis, "Pemain-pemain pribumi dipilih dengan seksama dari golongan priayi yang berpendidikan. Pengambilan film dilakukan di suatu tempat yang dipilih dengan cermat, kira-kira dua kilometer sebelah Barat Kota Padalarang." Dan pada tanggal 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927 untuk pertama kalinya "Loetoeng Kasaroeng", film lokal pertama yang menjadi tonggak industri sinema di Indonesia itu, diputar di Bioskop Elite dan Majestic, Jalan Braga kota Bandung. Bioskop Majestic, pada masanya dibangun sebagai bagian yang terpisahkan dari kawasan Jalan Braga. Sebuah kawasan belanja bergengsi bagi para Meneer Belanda pemilik perkebunan. Bioskop ini, didirikan untuk keperluan memuaskan hasrat para Meneer itu akan sarana hiburan di samping sarana perbelanjaan.
Bioskop itu didirikan pada awal dekade tahun ’20-an dan selesai tahun 1925 dengan arsitek Prof. Ir. Wolf Schoemaker. Seorang arsitek terkenal yang jejak karyanya di Kota Bandung
www.stisitelkom.ac.id
masih berdiri dengan kukuh, sebutlah Gedung Asia-Afrika, Gedung PLN, Masjid Cipaganti, Preanger hingga Gereja Katedral di Jalan Merdeka. Tentang suasana tontonan di bioskop Majestic pada sekira periode tahun 1920-an itu, pemutaran film didahului oleh promosi yang menggunakan kereta kuda sewaan. Kereta itu berkeliling kota membawa poster film dan membagikan selebaran. Ketika itu kedatangan kereta
kuda itu sudah menjadi hiburan tersendiri, terutama bagi kalangan anak-anak. Pemutaran film dimulai pukul 19.30 dan 21.00 wib. Sebelum film diputar di pelataran bioskop Majestic sebuah orkes musik mini yang disewa pihak pengelola memainkan lagu-lagu gembira untuk menarik perhatian. Menjelang film akan mulai diputar, rombongan orkes mini ini pindah ke dalam bioskop untuk berfungsi sebagai musik latar dari film yang dimainkan. Pada pertengahan tahun 1920- an itu film masih merupakan film bisu. Pada masa itu, sopan santun dan etiket menonton sangat dijaga. Di bioskop majestic tempat duduk penonton terbagi dua, antara penonton laki-laki dan perempuan, deret kanan dan kiri. Kegemilangan Oriental Bioskop terus bertahan hingga masa kemerdekaan. Namun memasuki periode 1980-an, kejayaan bioskop yang menjadi bagian dari sejarah kelahiran film Indonesia ini mulai terasa surut. Munculnya konsep yang ditawarkan oleh bioskop cineplex, di mana penonton bisa memilih film yang ingin ditontonannya, adalah salah satu sebabnya.
Perfilman Indonesia Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-
www.stisitelkom.ac.id
bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Nike Ardilla, Paramitha Rusady. Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut. Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya
adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil. Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film Jelangkung yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Sherina (film oleh Joshua, Tina Toon), yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan, Tusuk Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan! oleh Nia Dinata. Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul Pasir Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang
www.stisitelkom.ac.id
kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun. Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.
HERRY ROCHWATI MA’MUN ( HEYI MA’MUN ) Terlahir sebagai seorang Seniman yang konsisten dan penggalian kekaryaan secara intens merupakan bagian dari kerja kreatifnya .Dilahirkan di Bandung 22 April 1952, memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB tahun 1981.Beralamat di Jalan Riau No.66 Bandung dan memiliki sebuah Galeri bernama GALERI R 66. Heyi Ma’mun aktif mengadakan pameran di dalam dan di luar negeri,diantaranya Malaysia, Singapura, Filipina, Hongkong, Korea, Taiwan, Jepang, Jordania, Italia, Belgia, Denmark, Jerman, Belanda. Pada tahun 1995 Heyi Ma’mun mendapatkan Special Award pada Pameran Seni CHEJU PRE BIENNALE di Cheju, Republik Korea Selatan.Hingga kini Heyi Ma’mun aktif berkarya,baik lukisan maupun penggarapan karya Elemen Estestis.
www.stisitelkom.ac.id
www.stisitelkom.ac.id