BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penelitian Menurut kepala Data Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin (http://www.bps.go.id/),
berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) banyak yang menjadi pengganguran terbuka. Jumlah lulusan SMK yang menganggur mencapai 813.776 jiwa, atau 11,24 persen dari jumlah total pengangguran terbuka di Indonesia, yakni 7,24 juta jiwa. Setelah SMK, lulusan Sekolah Menengah Atas adalah yang tertinggi kedua sebagai pengangguran, yakni 9,55 persen. Berturut-turut Sekolah Menengah Pertama sebesar 7,15 persen, Diploma I/II/III sebesar 6,14 persen. Kontribusi lulusan SMK dalam total jumlah pengangguran terus meningkat. Pada Agustus 2013, lulusan SMK yang menganggur mencapai 11,21 persen terhadap tingkat pengangguran terbuka. Dalam rangka pelaksanaan AFTA 2015 dipastikan banyak tenaga kerja dari negaranegara ASEAN masuk ke Indonesia. Sedangkan Indonesia kebanyakan mengirim tenaga kerja keluar negeri bukan sebagai tenaga ahli, melainkan tenaga kerja seperti pembantu rumah tangga, sopir, dan pekerja kasar di pabrik-pabrik, perkebunan atau di rumah tangga. Sementara negara lain mengirim tenaga kerja yang terdidik dan terlatih sehingga dia bekerja pada posisi sebagai manajer atau tenaga ahli di Indonesia.
Fenomena yang kita lihat saat ini adalah banyaknya persaingan dalam dunia pekerjaan. Baik dari persaingan keterampilan maupun latar belakang pendidikan. Seperti pada hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan 6 siswa SMK SATRIA Jakarta bahwa mereka 1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
masih bingung bila dituntut untuk memilih dan merencanakan pekerjaan, ketidakmampuan siswa dalam membuat keputusan kemungkinan dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan siswa mengenai jenis-jenis pekerjaan yang tersedia dan ketidakmampuan mereka dalam menyelaraskan minat dengan kesempatan yang tersedia . Peserta didik juga belum memiliki arah dan tujuan setelah ia lulus dari SMK, apakah hendak bekerja atau kuliah. Hal ini mencerminkan bahwa kesiapan kerja yang dimiliki peserta didik belum sesuai dengan harapan. Sehingga dimungkinkan
bahwa hal ini menyebabkan
banyak lulusan SMK yang bekerja tidak sesuai dengan bidangnya bahkan menganggur. Dengan demikian siswa merasa kesulitan dan bingung dengan adanya berbagai macam pekerjaan yang belum diketahui prospeknya secara jelas. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK ) merupakan sekolah tingkat atas yang telah dipersiapkan khusus untuk para siswa yang siap memasuki dunia kerja. Menurut Marliyah, et. al (2004) Salah satu tujuan sekolah menengah kejuruan adalah menyiapkan siswa agar mampu memilih karir, mampu berkompetisi, dan mampu mengembangkan diri. Kurikulum SMK buku IIA tahun 1993, bahwa siswa SMK wajib melakukan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) melalui program Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Praktik kerja lapangan atau yang disingkat PKL, merupakan sebuah program kerja yang memberikan pengalaman kepada siswa untuk bekerja di dunia nyata selama kurang lebih dua hingga tiga bulan di sebuah unit kerja. Praktik kerja lapangan atau yang sering disebut praktik kerja industri (prakerin) dapat dijadikan support dalam kesiapan kerja. Kesiapan kerja siswa SMK sangatlah dipentingkan, karena tuntutan dunia kerja akan penguasaan sejumlah kompetensi kerja sangat dibutuhkan.
2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Terkait dengan dunia kerja pada saat ini terdapat banyak persaingan ketat dalam memperoleh pekerjaan. Hal ini dikarenakan lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan jumlah peningkatan sarjana/lulusan sekolah menengah setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), banyaknya pengangguran terbuka bagi lulusan SMK dan tiap tahun terus mengalami peningkatan, membuat para siswa SMK memiliki persepsi akan kesulitan dalam memasuki persaingan dunia kerja. Untuk itu dalam menghadapi permasalahan tersebut kesiapan individu terhadap perubahan harus dimiliki. Kesiapan menurut kamus psikologi adalah tingkat perkembangan dari kematangan atau kedewasaan yang menguntungkan untuk mempraktikkan sesuatu (Chaplin, 2006). Kesiapan individu untuk menghadapi perubahan akan memengaruhi pola pikir, perasaan, dan perhatian individu sebagaimana tercermin dalam sikap dan perilakunya. Kesediaan
individu untuk
berubah dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu dimensi kognitif, afektif, dan perhatian. Sebagaimana dikatakan Desplaces (2005) bahwa untuk terlibat dalam suatu perubahan, berpikir dan berpandangan positif terhadap perubahan saja tidak cukup. Lebih penting dari itu adalah apakah individu siap untuk terlibat dalam proses perubahan agar tercapainya tujuan. Untuk itu individu membuat strategi atau proses perubahan melalui tahapan perubahan ke tahap aksi dan pemeliharaan/ perbaikan. Dalam konteks ini Transtheoretical model of change yang merupakan model teoritis yang menjelaskan tahapan dan proses dari kesiapan dalam pembentukan perilaku yang disengaja (Prochaska, 1982). Dasar teori Transtheoretical Model of Change ini adalah perubahan perilaku yang merupakan suatu proses dan setiap orang berada pada tingkat yang berlainan berhubungan dengan motivasi dan kesiapan untuk berubah. Proses dari kesiapan dalam pembentukan perilaku dapat melalui lima tahapan melalui teori transtheoretical model of change. Diantaranya adalah
3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
precontemplation,
contemplation,
preparation,
action,
dan
maintenance.
Tahap
precontemplation adalah tahap di mana orang belum ingin berubah atau belum sadar akan perlunya perubahan. Tahap contemplation adalah tahap dimana orang mau untuk berubah tapi belum siap berubah. Tahap preparation adalah tahap di mana orang sadar untuk berubah dan sudah merencanakan tindakan untuk berubah. Tahap action adalah tahap dimana orang sudah melakukan perubahan yang berarti. Tahap maintenance adalah tahap dimana orang secara aktif menjaga agar mereka tidak kembali ke pola yang lama. Menurut teori transtheoretical model of change, individu yang paling mungkin sukses mengubah perilaku adalah individu yang melakukan usaha berdasarkan strategi yang sesuai dengan tahap kesiapan untuk berubah. Dalam melakukan tahapan-tahapan perubahan, sering mengalami hambatan atau kesulitan, baik itu kesulitan dari eksternal maupun internal. Kesulitan yang sering dialami adalah sikap individu ketika meghadapi kegagalan, bertahan dengan sikap optimis, bangkit kembali dan lakukan yang terbaik, munculnya keraguan bahkan pikiran-pikiran negatif yang membuat individu tidak berani melangkah. Oleh karena itu, siswa harus mampu mengatasi kesulitan yang sering dialami dalam melakukan perubahan. Kemampuan mengatasi kesulitan merupakan faktor penting dalam proses perubahan menuju kesiapan. adversity quotient merupakan indikasi atau petunjuk tentang seberapa kuat seseorang dalam menghadapi kesulitan dan bermanfaat untuk memperkirakan tentang seberapa besar kemampuan seseorang dalam menghadapi setiap kesulitan
dan
ketidakmampuannya dalam menghadapi kesulitan (Stoltz, 2000). Menurut Stoltz (2000) adversity quotient berakar pada bagaimana seseorang merasakan dan menghubungkan dengan tantangan-tantangan dalam hidup. Hal tersebut dapat diatasi dengan adversity quotient yang baik. Karena jika siswa memiliki adversity quotient yang tinggi akan
4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menjadikan siswa memiliki kegigihan dalam hidup dan tidak mudah menyerah, memiliki kekebalan atas ketidakmapuan dirinya menghadapai masalah dan tidak akan mudah terjebak dalam kondisi keputusasaan. Namun sebaliknya, jika siswa memiliki adversity quotient yang rendah maka siswa akan mudah rapuh dan menyerah pada keadaan. Pada penelitian ini, peneliti akan mencoba mengungkapkan apakah ada hubungan antara adversity quotient dengan kesiapan kerja pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas, maka pada penelitian ini rumusan permasalahan yang diajukan adalah “ Apakah terdapat hubungan antara adversity quotient dengan tahapan perubahan menuju kesiapan kerja pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) SATRIA ?"
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara adversity quotient dengan tahapan perubahan menuju kesiapan kerja siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) SATRIA.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat teoritis : Secara teoritis, penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi bagi penelitian mengenai kesiapan kerja siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) dalam menghadapi dunia kerja terutama mengenai hubungan antara adversity quotient dengan kesiapan kerja siswa sekolah menengah kejuruan.
5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
1.4.2. Manfaat praktis: Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
Sekolah, dari hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu bahan informasi sehingga
dapat mengembangkan program adversity quotient agar siswa mampu
menghadapi kesulitan dan tantangan terhadap kesiapan kerja siswa. 1.5.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan proposal ini terdiri atas 3 bab, yaitu Pendahuluan, Landasan Teori, Metode Penelitian. Pada Bab 1 akan dijelaskan mengenai latar belakang timbulnya masalah yang mendasari penelitian ini, mengapa penelitian
ini dilakukan, serta penjelasan mengenai tujuan dari
penelitian ini. Pada Bab 2 menjabarkan tinjauan kepustakaan yang menjelaskan berbagai teori-teori mengenai definisi kesiapan, kesiapan individu untuk berubah, Transtheoritical Model, adversity quotient, Peserta didik siswa SMK, kerangka berpikir, hipotesa penelitian. Bab 3 merupakan penjelasan mengenai metode penelitian kuantitatif yang digunakan, penjelasan mengenai seubjek penelitian, alasan pemilihan dan karakteristik subjek, juga diuraikan prosedur penelitian, instrumen penelitian dan teknik analisis data yang digunakan. Bab 4 merupakan hasil penelitian yang berisi gambaran umum partisipan, hasil pengolahan data, serta analisis dan interpretasi data penelitian. Bab 5 merupakan kesimpulan, diskusi mengenai hasil penelitian yang didapatkan, serta saran teoritis maupun praktis untuk penelitian selanjutnya.
6
http://digilib.mercubuana.ac.id/