BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Resiliensi 2.1.1 Definisi Resiliensi Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan (Grotberg, 1995) Portzky, Wagnild, Bacquer & Audenart (2010), membahas resiliensi sebagai karakteristik personal yang dapat meringankan dampak negatif dan mendorong adaptasi positif terhadap stres yang sedang dihadapi. Walsh (2006) resiliensi sebagai kemampuan untuk pulih dari krisis dan mengatasi tantangan hidup. Menurutnya, seseorang dikatakan resilien jika orang tersebut mampu untuk pulih dari luka yang sangat menyakitkan, mampu mengontrol dirinya, dan meneruskan hidupnya dengan lebih baik. Dalam resiliensi diperlukan lebih dari sekedar bertahan, melewati, atau hanya melepaskan diri dari sebuah krisis. Seseorang yang resilien berjuang dengan baik dalam menghadapi krisis. Ia mengalami penderitaan sekaligus keberanian utntuk keluar dari penderitaan tersebut. Selain itu, ia juga tetap dapat berfungsi efektif ketika melalui kesulitan yang sifatnya internal maupun interpersonal (Higgins, 1994 dalam Walsh, 2006). 7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
Wagnild (2009) menambahkan resiliensi sebagai kemampuan individu untuk dapat berhasil mengatasi kemalangan dan perubahan dalam hidup. Wagnild (2009) juga menambahkan bahwa hampir semua manusia mengalami kesulitan dan jatuh dalam perjalanan hidup, namun mereka memiliki ketahanan untuk bangkit dan melanjutkan hidupnya. Kemampuan untuk bangkit dan terus melanjutkan hidup ini adalah yang disebut dengan resiliensi. Penelitian Wagnild (2009) menemukan bahwa resiliensi dapat menjadi faktor protektif dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan, perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya sehingga memiliki potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin muncul. Dari definisi-definisi yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan kapasitas atau kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu dimana dengan kapasitas tersebut, individu mampu bertahan dan berkembang secara baik dan menjalani hidup secara positif dalam situasi yang dirasa berat atau dalam kondisi yang penuh tekanan. 2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Menurut Ahern (2006), resiliensi merupakan interaksi antara faktor protektif dengan faktor risiko. Berikut penjelasan mengenai kedua faktor tersebut: A. Faktor Protektif Merupakan pengaruh, karakteristik, kondisi yang dapat menahan atau mengurangi pengaruh faktor risiko. Ahern (2006) secara umum menyebutkan bahwa faktor protektif merupakan prediktor yang sangat kuat bagi resilensi dan berperan penting dalam proses yang melibatkan respon individu saat dihadapkan pada situasi yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
berisiko tinggi. Secara umum, para peneliti menemukan tiga faktor protektif yang umumnya dimiliki oleh individu yang resilien, yaitu faktor personal, faktor keluarga, dan faktor sosial.
Faktor Personal Faktor personal yang turut andil dalam mendukung resiliensi individu
antara lain personal traits (seperti opennes, extraversion, dan agreeableness), internal locus of control, self-efficacy, self-esteem, dan cognitive appraisal. Selain itu, ada juga hal-hal yang diasosiasikan berhubungan dengan resiliensi, yaitu fungsi intelektual, fleksibilitas kognitif, hubungan sosial, konsep diri yang positif, regulasi emosi, emosi positif, spiritualitas, active coping, optimisme, harapan, sumber daya, dan adaptabilitas (Herman, dkk, 2011).
Faktor Keluarga Karakteristik keluarga yang paling sering muncul pada seseorang yang
resilien antara lain kemampuan komunikasi yang baik antar anggota keluarga, dukungan keluarga dan role modeling yang baik (Zalskoski & Bullock, 2011). Zalskoski & Bullock mengatakan bahwa keluarga memiliki pengaruh yang langsung terhadap resiliensi dan merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi kepribadian dan ketahanan terhadap stres.
Faktor Sosial Dalam level makro, faktor-faktor dalam cakupan komunitaslah yang
dianggap berpengaruh terhadap resiliensi diantaranya termasuk sekolah yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
baik, pekerjaan yang baik, pelayanan komunitas, kesempatan berolahraga dan berkreasi, faktor budaya, spiritualitas dan agama, serta tekanan yang minim terhadap kekerasan (Herman, dkk, 2011). B. Faktor Risiko Faktor risiko merupakan peristiwa, kondisi, atau pengalaman yang dapat meningkatkan kemungkinan dibentuknya, dipertahankan, atau diperburuknya suatu masalah (Fraser & Terzian, 2005 dalam Jenson & Frazer, 2010). Beberapa hal yang termasuk faktor risiko diantaranya, yaitu:
Status sosial ekonomi Garmezy (dalam Machuaca, 2010) telah mengidentifikasi faktor risiko
yang terkait dengan dilahirkan dan hidup dalam kondisi kemiskinan. Secara khusus, Gramezy disebutkan kekurangan gizi, tingkat stres yang tinggi,dan kemungkinan lebih rendah untuk perawatan diri.
Masalah yang terkait dengan perkembangan (development issues) Santrock (2002) mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk
bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis dan terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya. Kenniston (dalam Santrock, 2002) mengatakan pada masa ini terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu yang disertai berkurangnya kemampuan reproduktif, merupakan masa dimana individu tidak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis, maupun psikologis pada orang tuanya, masa untuk bekerja, dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
terlibat dalam hubungan masyarakat, serta menjalin hubungan dengan lawan jenis. Adanya perubahan-perubahan ini seringkali menjadikan kelompok dewasa awal sebagai kelompok dengan risiko tinggi.
Gender Faktor risiko menurut jenis kelamin mungkin berbeda pada setiap tahap
kehidupan individu (Machuca, 2010) menyatakan bahwa secara umum pria lebih rentan dalam dekade pertama kehidupan sedangkan wanita lebih rentan dalam dekade kedua. Selama dekade pertama pria lebih rentan secara fisik dan emosional dibandingkan dengan wanita. Rutter (dalam Machuaca, 2010) melakukan penelitian mengenai perbedaan kelomok antara anak laki-laki dan anak perempuan saat terkena faktor risiko seperti disfungsi keluarga. Rutter menemukan bahwa anak lakilaki rentan mengalami masalah emosional dan perilaku dari anak perempuan di keluarga yang sama (Machuaca, 2010). 2.1.3 Karakteristik Resiliensi Dari banyak tokoh yang mengajukan definisi resiliensi hanya Wagnild yang membagi resiliensi ke dalam lima karakteristik yang menjadi dasar konseptual untuk skala resiliensi. Sebelumnya, Wagnild telah melakukan bebagai penelitian dan menemukan bahwa resiliensi meliputi lima karakteristik dasar, yaitu perseverance, equanimity, meaningfulness, self-reliance, dan existential aloneness (Wagnild, 2009).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
Karakteristik pertama, perseverance atau tindakan yang menunjukan ketekunan meskipun menghadapi kesulitan atau peristiwa yang membuat putus asa, mengandung kerelaan untuk melanjutkan perjuangan demi merekonstruksi kehidupan kembali. Perseverance adalah kemampuan untuk terus menjalani hidup meskipun mengalami kemunduran. Komponen ini mengandung kesediaan untuk terus berjuang hingga akhir. Pengalaman kegagalan, penolakan, atau situasi sulit yang berulang dapat menjadi hambatan bagi individu untuk mencapai tujuan hidupnya. Namun, bagi individu yang resilien akan ccenderung terus berjuang sekalipun mengalami berbagai situasi yang menghambat baginya. Kedua, equanimity atau keseimbangan batin adalah perspektif kehidupan dan pengalaman yang seimbang, mampu belajar dari pengalaman semasa hidup dan dapat mengambil hal baru di masa yang datang, sehingga mampu merespon secara layak dalam menghadapi kesulitan. Individu mampu untuk meluaskan sudut pandang sehingga membuatnya lebih fokus kepada hal-hal yang lebih positif daripada hal-hal negatif dari situasi sulit yang sedang ia alami. Individu yang resilien terlihat sebagai orang yang optimis karena mampu untuk tetap memiliki harapan sekalipun sedang berada dalam situasi yang sangat menyulitkan. Individu yang memiliki equanimity sering juga memiliki rasa humor. Ia mampu menertawai diri sendiri atau pengalaman apapun yang sedang ia hadapi dan tidak terpaku untuk mengasihi diri sendiri atau keadaan sulit yang sedang menimpanya. Ketiga, meaningfulness yang merupakan karakteristik yang paling penting dan menjadi landasan bagi keempat karakteristik lainnya. Meaningfulness atau
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
kebermaknaan adalah sebuah realisasi bahwa hidup memiliki tujuan sehingga diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Hidup tanpa tujuan sama dengan hidup dalam kesia-siaan karena tidak memiliki arah tujuan yang jelas. Akan tetapi, dengan memiliki tujuan yang ingin dicapai, maka hal tersebut dapat membuat individu terus berusaha melakukan sesuatu selama ia hidup. Tujuan merupakan motivasi intrinsik yang dimiliki oleh individu yang menuntunnya pada makna dari kehidupan yang dijalaninya. Penelitian yang dilakukan oleh National Longitudinal Study
of
Adolescent
Health
(1999),
diacu
dalam
Austin,
dkk,
(2010)
mengidentifikasikan bahwa individu yang memiliki tujuan dan aspirasi akan membangun hubungan mendalam (deep connectedness) yang merupakan sebuah kekuatan pelindung dari perilaku negatif. Karakteristik berikutnya yaitu self-reliance atau kepercayaan diri. Individu yang percaya diri dapat mengenali dan mengandalkan kekuatan dan kemampuan pribadi, mampu memanfaatkan kesuksesan pada masa lalu untuk mendukung dan mungkin memandu tindakan mereka dimasa depan, dan mengenal keterbatasan yang mereka miliki. Kemudian karakteristik yang terakhir yaitu existential aloneness yang merupakan kesadaran bahwa setiap individu adalah unik dan juga merupakan kesadaran bahwa terdapat sebagian pengalaman yang dapat dibagi kepada orang lain, namun pada sebagian lain pengalaman tersebut harus dihadapi seorang diri. Dengan adanya existential aloneness memunculkan rasa keunikan dan mungkin kebebasan (Wagnild & Young, 1990 dalam Wagnild, 2009).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
2.2 Keluarga 2.2.1 Pengertian Keluarga Keluarga merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional, dimana masing-masing mempunyai peran didalamnya (Friedman, Browden, & Jones, 2010). Menurut Harnilawati (2013) keluarga adalah bagian dari masyarakat yang perannya sangat penting untuk membentuk kebudayaan yang sehat. Dari keluarga inilah akan tercipta tatanan masyarakat yang baik, sehingga untuk membangun suatu kebudayaan maka seyogyanya dimulai dari keluarga. Keluarga dijadikan sebagai unit pelayanan karena masalah kesehatan keluarga saling berkaitan dan saling mempengaruhi pula keluarga-keluarga yang ada di sekitarnya atau masyarakat sekitarnya atau dalam konteks yang luas berpengaruh terhadap negara (Harnilawati, 2013). Pernyataan ini juga didukung oleh Duvall dan Logan (1986, dalam Friedman, Briwden, & Jones, 2010), yang menyatakan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup dalam satu rumah karena ikatan perkawinan,
kelahiran,
adopsi,
yang
mana bertujuan
untuk
menciptakan,
mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari setiap anggota keluarga. Pengertian keluarga akan berbeda yang satu dengan yang lainnya, hal ini bergantung kepada orientas dan cara pandang yang digunakan seseorang dalam mendefiniskan keluarga tersebut (Harnilawati, 2013). Dari berbagai macam pengertian diatas dapat disimpulkan keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang tinggal bersama dalam satu atap rumah yang saling
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
memiliki keterikatan emosional karena dibentuk berdasarkan ikatan yang berbeda dan masing-masing anggotanya memiliki peran, tugas dan fungsi yang berbeda. 2.2.2 Tugas Keluarga Menurut Bailon & Maglaya (1998, dalam Harnilawati, 2013), keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan yang meliputi : a. Mengenal masalah kesehatan keluarga Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian orang tua atau keluarga. b. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat dan sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. c. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan Keluarga hendaknya mampu memerankan tugasnya untuk merawat salah satu anggota keluarga yang mengalami gangguan dirumah. Faktor lingkungan dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
dukungan keluarga yang positif sangat mendukung untuk proses kesembuhan seseorang. d. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga Keluarga harus berupaya menciptakan suasan yang nyaman untuk setiap anggota keluarga. Lingkungan yang kondusif akan menciptakan kondisi mental yang sehat bagi anggota keluarga dan sekaligus meningkatkan daya tahan keluarga terhadap kritis. e. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga Keluarga dapat merujuk salah satu anggota keluarga yang sakit ke pusat pelayanan kesehatan terdekat dan juga dapat memeriksakan secara rutin jika terdapat gejala-gejala kekambuhan. 2.2.3 Dukungan Keluarga Menurut Cohen & Smet (dalam Harnilawati, 2013) Dukungan keluarga adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat diperaya, sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai, dan mencintainya. Menurut Friedman, Bowden, & Jones (2010) dukungan keluarga adalah suatu bentuk perilaku pelayanan yang dilakukan oleh keluarga, yaitu dukungan internal, seperti dukungan dari istri, suami, atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan orang tua. Dan dukungan keluarga eksternal diluar keluarga inti. Dukungan keluarga pada umumnya akan menggambarkan mengenai peran atau pengaruh serta bantuan yang diberikan oleh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
orang yang berarti seperti anggota keluarga, teman, saudara, dan rekan kerja. Menurut Friedman (1998, dalam Harnilawati, 2013) studi-studi tentang dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sosial sebagai koping keluarga, baik dukungandukungan yang bersifat eksternal maupun internal dan terbukti sangat bermanfaat. Dukungan keluarga yang bersifat eksternal antara lain sahabat, pekerjaan, tetangga, sekolah, keluarga besar, kelompok sosial, kelompok rekreasi, tempat ibadah dan praktisi kesehatan. Dukungan keluarga internal antara lain dukungan dari suami atau istri, dari saudara kandung atau dukungan dari anak Dukungan keluarga yang diberikan bagi sesama anggota keluarga lainnya dapat berupa informasi verbal maupun non verbal, seperti halnya saran, motivasi, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang dekat di dalam lingkungan sosialnya, atau berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional ataupun pengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga adalah suatu bentuk perilaku melayani sebagai suatu sistem pendukung yang bersumber dari sekumpulan individu yang tinggal bersama dalam satu atap rumah yang terikat karena suatu hal dengan maksud memberikan bantuan kepada individu lainnya. 2.3 Dewasa awal 2.2.1 Definisi Dewasa Awal Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
dewasa. Masa dewasa (adulthood) biasanya dimulai dari usia 20-an hingga usia tua atau hingga meninggal (Ciccarelli & Meyer, 2006). Tentunya, untuk menentukan awal periode masa dewasa bukanlah perkara yang mudah, karena itu terdapat beberapa ahli yang memelikipendapat berbeda. Namun, hal ini bukanlah merupakan perbedaan yang substansial tetapi sebagai langkah awal untuk mengkaji mengenai pekembangan manusia khususnya pada masa dewasa. Papalia, Olds, dan Feldman (2001) mengungkapkan bahwa kelompok dewasa awal (young adulthood) berkisar antara usia 20-40 tahun, dimana pada masa ini terjadi pelepasan peran sebagai remaja ke peran baru sebagai dewasa awal. Namun, di Indonesia, awal bata usia dewasa awal dimulai dari 25 tahun hingga 40 tahun, karena menurut Sarwono (2006) batasan remaja untuk masyarakat Indonesia berakhir pada usia 24 tahun dan dinyatakan belum menikah. Santrock (2002) mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya. Kenniston (dalam Santrock, 2002) mengemukakan masa muda (youth) adalah periode kesementaraan ekonomi dan pribadi, dan perjuangan antara ketertarikan pada kemandirian dan menjadi terlibat secara social. Dua kriteria yang diajukan untuk menunjukkan akhir masa remaja dan permulaan dari masa dewasa awal adalah kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan. Mungkin yang paling luas diakui sebagai tanda memasuki masa dewasa adalah ketika seseorang mendapatkan pekerjaan penuh waktu yang kurang lebih tetap (Santrock, 2002). Pada masa ini terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
disertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Merupakan masa dimana individu tidak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis, maupun psikologis pada orang tuanya, masa untuk bekerja, dan terlibat dalam hubungan masyarakat, serta menjalin hubungan dengan lawan jenis. 2.2.2 Perkembangan Dewasa Awal 1. Perkembangan Kognitif Kemampuan kognitif yang menonjol pada dewasa awal, menurut Piaget (dalam Santrock, 1995) ditandai dengan masa operasi formal (formal operation), mereka telah mampu berpikir abstrak, menghubungkan konsep-konsep, membuat kesimpulan secara logis-sistematis. 2. Perkembangan Psikososial Pada tahap perkembangan psikososial ini, individu berada dalam sebuah situasi dimana kehidupan rumah tangga, membangun keluarga, dan pekerjaan menjadi wacana-wacana yang penting. Menurut Erikson (dalam Reza Indragiri, 2008) baru pada usia dewasa inilah individu faktanya memiliki kesiapan dari dalam dirinya sendiri (genuine readiness) untuk menjalin keintiman social dengan individu lain. Seorang ahli psikoanalisis, Erikson (dalam Papalia, 2008) menyatakan bahwa krisis utama yang terjadi pada perkembangan dewasa awal adalah intimacy versus isolation, yaitu masa dimana tugas utama perkembangan mereka adalah menemukan mate atau pasangan. Mereka mencoba mengembangkan hubungan yang berarti dengan orang lain, membagi perasaan, pengalaman maupun gagasan-gagasan guna mencapai kehidupan yang intim, hangat dan menyenangkan. Sebaliknya, bila
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
seseorang tidak mampu mewujudkan tujuan tersebut, menurut Erikson, maka ia akan menemui pengalaman isolasi yaitu suatu krisis yang ditandai dengan perasaan keterpisahan seseorang dengan lingkungan sosialnya. Pada masa dewasa awal, perubahan-perubahan yang juga akan terjadi adalah mengenai cara berpikir orang dewasa awal yang mulai berbeda dengan remaja (Santrock, 2002). Individu yang berada pada tahap dewasa awal mulai menyadari perbedaan pendapat dan berbagai pespektif yang dipegang oleh orang lain. Pada masa dewasa awal, individu akan mulai berubah dari mencari pengetahuan, menerapkan apa yang diketahui untuk mengejar karir dan membentuk keluarga. Berikut ada beberapa fase yang akan dilewati setiap individu ketika memasuki masa dewasa awal (Santrock, 2002), yaitu: a.
Fase Mencapai Prestasi Fase ini adalah fase dimana dewasa awal melibatatkan penerapan
intelektualitas pada situasi yang memiliki konsekuensi besar dalam mencapai tujuan jangka panjang, seperti pencapaian karir dan pengetahuan. Para individu yang mulai memasuki dewasa awal akan mampu menguasai kemampuan kognitif yang dimiliki, sehingga memperoleh kebebasan yang cukup. b.
Fase Tanggung Jawab Memasuki fase tanggung jawab, dimana fase ini terjadi ketika keluarga
terbentuk dan perhatian diberikan pada keperluan-keperluan pasangan dan keturunan. Perluasan kemampuan kognitif yang sama diperlukan pada saat karir
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
individu meningkat dan tanggung jawab kepada orang lain akan muncul dalam pekerjaan dan komunitas. c.
Fase Eksekutif Fase ini terjadi ketika individu mulai memasuki masa dewasa tengah, dimana
seorang individu mulai bertanggung jawab kepada sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial. Pada fase ini, individu mulai membangun pemahaman tentang bagaimana organisasi sosial bekerja dan berbagai hubungan kompleks yang terlibat didalamnya. d.
Fase Reintegratif Fase reintegratif adalah fase yang akan terjadi di akhir masa dewasa, dimana
orang dewasa yang lebih tua memilih untuk memfokuskan tenaga mereka pada tugas dan kegiatan yang bermakna. 2.4 Narkoba 2.3.1 Definisi Narkoba Narkoba merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya (KBBI, dalam Balai Pustaka, 2008). Dalam istilah lain yang diterangkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia adalah napza yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Ghoodse (2002) membahas narkoba sebagai zat kimia yang dibutuhkan untuk merawat kesehatan, ketika zat tersebut masuk kedalam organ tubuh maka terjadi satu atau lebih perubahan fungsi yang akan terjadi di dalam tubuh, lalu dilanjutkan pada titik dimana terjadi ketergantungan secara fisik maupun psikis. Sehingga bila zat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
tersebut dihentikan pengkonsumsiannya maka akan terjadi gangguan secara fisik dan psikis. Narkoba adalah obat untuk menenangkan saraf, menghilangkan rasa sakit, dan menidurkan (dapat memabukkan, sehingga dilarang dijual untuk umum). Narkoba mempunyai banyak macam, bentuk, warna, dan pengaruh terhadap tubuh. Akan tetapi dari sekian banyak macam dan bentuknya, narkoba mempunyai banyak persamaan, diantaranya adalah sifat adiksi (ketagihan), daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi. Ketiga sifat inilah yang menyebabkan pemakai narkoba tidak dapat lepas dari cengkramannya. (Partodiharjo, 2010). 2.5 Jenis-Jenis Narkoba 2.4.1 Narkotika Secara etimologis narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkam yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Narkotika berasal dari perkataan narcotic yang artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius (Partodiharjo, 2010). Sedangkan dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini (Partodiharjo, 2010). Jenis-jenis narkotika secara umum dapat dibagi menjadi opium, ganja, dan kokain (Sasangka, 2003). 1. Candu Candu atau opium berasal dari getah tanaman papaver somniferum yang belum masak. Kline (Sasangka, 2003) menjelaskan gejala putus obat (withdrawal) dari opium adalah gugup, cemas, gelisah, pupil mengecil, bulu roma berdiri, sering menguap, mata dan hidung berair, berkeringat, badan panas dingin, kaki dan punggung terasa sakit, diare, muntah-muntah, berat badan dan nafsu makan berkurang, tidak bisa tidur, pernafasan semakin kencang, temperatur dan tekanan darah bertambah, dan perasaan putus asa. Jenis narkotika lain yang berasal dari candu adalah morfin, heroin, dan putaw. 2. Ganja Ganja berasal dari tanaman Cannabis yang mempunyai family Cannabis Sativa, Canabis Indica, dan Cannabis Americana. Menurut Bergel (Sasangka, 2003) penggunaan ganja meliputi efek fisik maupun psikis. Efek pemakaian ganja secara fisik dapat menimbulkan ataxia yaitu hilangnya koordinasi kerja otot dengan saraf sentral, hilang atau kurangnya kedipan mata, gerak refleks tertekan, menyebabkan kadar gula darah turun naik, nafsu makan bertambah, mata menyala dan merah.Sedangkan efek pemakaian ganja secara psikis dapat menyebabkan sensasi psikis, gembira, tertawa tanpa sebab, lalai, malas, senang dan banyak bicara,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
terganggunya daya sensasi dan persepsi, khususnya terhadap ruang dan waktu, lemahnya daya pikir dan daya ingatan, cemas dan sensitif, bicaranya ngelantur. Bahaya pemakaian ganja secara sosial adalah motivational syndrome yaitu menarik diri dari aktivitas sosial, dan perhatian terhadap sekolah, pekerjaan, dan pencapaian tujuan menurun. 3. Cocaine (Kokain) Kokain berasal dari daun erithroxylon coca L. Efek penggunaan kokain dapat menyebabkan euforia, suka bercakap-cakap, aktivitas motorik meningkat, mencegah kelelahan, perilaku stereotip (berulang-ulang), bertambah cepat denyut nadi dan pernafasan, bertambah aktifnya kerja mental. Apabila kokain digunakan sebagai obat perangsang secara kronis, maka akan menyebabkan halusinasi, tidak bisa tidur, tidak bergairah bekerja, bekerja dan berpikir tanpa tujuan, tidak nafsu makan, dan tidak punya ambisi. Akan tetapi, efek sistemik yang paling mencolok yang ditimbulkan dari penggunaan kokain adalah rangsangan terhadap susunan saraf pusat (SSP). 2.4.2 Psikotropika Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1997, psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Partodiharjo, 2010). Dalam United Nation Conference for Adoption of Protocol on Psychotropic Substance disebutkan batasan-batasan zat psikotropika yaitu bahan yang dapat mengakibatkan keadaan ketergantungan, depresi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
dan stimulan SSP, menyebabkan halusinasi, menyebabkan gangguan fungsi motorik atau persepsi. Menurut Sasangka (2003) secara umum Psikotropika terbagi menjadi 3 macam, yaitu: 1. Stimulansia Obat-obatan yang digolongkan stimulansia adalah obat-obat yang mengandung zat-zat yang merangsang terhadap otak dan saraf. Obat-obat yang termasuk golongan stimulansia adalah amfetamin beserta turunannya. Obat-obat tersebut digunakan untuk meningkatkan konsentrasi dan aktivitas mental serta fisik. Obat yang dimasukkan ke dalam golongan stimulansia adalah amfetamin beserta turunan turunannya. a. Amfetamin Pemakaian amfetamin secara terus menerus dalam waktu yang cukup lama akan menimbulkan ketergantungan terhadap zat tersebut secara fisik dan psikis. Selain itu juga akan mengakibatkan toleransi dan bila dihentikan akan menimbulkan gejala putus obat (withdrawal). Amfetamin dalam dosis tinggi akan menimbulkan delusi, halusinasi, dan perasaan ingin menyakiti diri sendiri. Terkadang berlanjut ke arah gangguan jiwa. Efek-efek penggunaan amfetamin dalam jangka panjang adalah timbulnya paranoid, mudah panik, malnutrisi, mudah terkena infeksi, rusaknya sel-sel otak, dan menjadi gila. b. Ekstasi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
Ekstasi bukan merupakan nama obat yang dikenal dalam ilmu kedokteran, karena tidak digunakan sebagai obat, serta tidak terdaftar baik di Indonesia maupun diluar negeri. Karena ekstasi dibuat dengan bahan dasar amfetamin, maka efek yang ditimbulkan juga mirip dengan amfetamin. Bila pemakaiannya diputus akan mengakibatkan kelelahan, tidur panjang, dan depresi berat. Bila over dosis pecandu akan mengalami gejala gemetar, tidak dapat tidur, halusinasi, muntah, kejang, diare, dan meninggal dunia. c. Shabu-shabu Shabu-shabu berbentuk seperti bumbu masak, yakni kristal kecil-kecil berwarna putih, tidak berbau serta mudah larut di dalam air alkohol (Mardani, 2008). Nama shabu adalah julukan terhadap zat metamfetamin yang mempunyai sifat stimulansia lebih kuat dari amfetamin yang lainnya. Kendati tidak menimbulkan gejala putus zat saat penghentian pemakaian shabu, tetapi gejala-gejala seperti depresi, nyeri, lemah seluruh badan, agresif, dan hasrat untuk menggunakan shabu dapat terjadi. Penggunaan shabu dalam jangka panjang akan menimbulkan gangguan serius pada kejiwaan dan mental, denyut jantung tidak teratur, pembuluh darah rusak, rusaknya ujung saraf dan otot, turun berat badan secara drastis, terjadi radang hati.
2. Depresiva
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
Depresiva adalah obat-obatan yang bekerja mempengaruhi otak dan system saraf pusat yang didalam pemakaiannya dapat menyebabkan timbulnya depresi pada si pemakai. Jadi, depresiva di dalam bekerjanya mempunyai efek mengurangi kegiatan dari susunan saraf pusat, sehingga dipergunakanuntuk menenangkan saraf atau membuat seseorang mudah tidur. Efek yang dicari dalam penggunaan depresiva adalah rasa susah hilang, ada rasa tenang, dan nyaman yang kemudian membuat seseorang tidur. Psikotropika golongan depresiva dalam istilah populer di masyarakat dikenal sebagai obat tidur atau obat penenang. 3. Halusinogen Halusinogen adalah obat-obatan yang dapat menimbulkan daya khayal (halusinasi) yang kuat, yang menyebabkan salah persepsi tentang lingkungan dan dirinya baik yang berkaitan dengan pendengaran, penglihatan, maupun perasaan. Dengan kata lain obat-obatan dengan jenis halusinogen memutar balikkan daya tangkap kenyataan objektif. Halusinasi atau khayalan adalah merupakan penghayatan semu, sehingga apa yang dilihat tidaklah sesuai dengan bentuk dan ruang yang sebenarnya. Bahaya yang biasanya terjadi karena pemakaian obat-obatan ini adalah penilaian yang salah dan mengakibatkan orang akan memberikan keputusan yang salah dan gegabah sehingga menyebabkan kecelakaan misalnya. Efek-efek setelah pemakaian halusinogen adalah rasa khawatir yang akut, gelisah dan tidak bisa tidur, biji mata yang membesar, suhu badan meningkat, tekanan darah meningkat, gangguan jiwa berat. Setelah pemakaian seseorang akan merasa tenang dan damai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
dalam sesaat sesudah itu menjadi murung, ketakutan atau gembira berlebihan. Kondisi tersebut bisa berlangsung singkat dan bisa pula berlangsung berbulan-bulan. 2.4.3 Bahan Adiktif Lainnya Zat adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis, (Pasal 1 angka 12 UU 23. /Th. 1992). Zat-zat lainnya yang termasuk dalam narkoba adalah alkhohol dan zat pelarut (Sasangka, 2003). 1. Alkohol Alkhohol adalah etanol atau etilalkhohol yang dapat diminum secara terbatas tanpa akibat yang merusak. Alkhohol merupakan cairan bening yang mudah menguap dan mudah bergerak, tidak berwarna, berbau khas, rasa panas, mudah terbakar, dan nyala berwarna biru tidak berasap. Alkhohol merupakan popular recreational drug yang dalam pengetahuan penyalahgunaana obat-obatan disebut dalam golongan depresan. Efek dari penggunaan alkohol secara berlebihan dalam waktu yang lama dapat menimbulkan ketergantungan. Gejala yang muncul seperti gelisah, denyut jantung meningkat, halusinasi, kejang-kejang bahkan disorientasi. 2. Pelarut Selain obat-obatan narkotika, psikotropika, dan alkhohol ada obat- obat bebas dan bahan
lain
yang
dapat
disalahgunakan
pemakainnya
yaitu:
obat
CTM,
Dextromethorphan HBr, dan bahan pelarut (solvent). Pada umumnya yang disebut pelarut adalah pelarut organik dan bersifat mudah menguap, seperti pelarut dalam lem, penghapus cat kuku, bensin, dan sebagainya. Kebiasaan menghirup uap zat-zat pelarut dapat menimbulkan reaksi yang sama seperti seseorang yang meminum
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
minuman keras. Tentu saja kebiasaan menghirup uap zat-zat pelarut, dilihat dari segi biaya adalah yang paling murah. Di dalam pemakaian, seseorang harus meningkatkan konsentrasi gas atau mengeluarkan udara atau bisa kedua-duanya. Cara yang biasa dilakukan adalah dengan jalan menghisap uap zat-zat beracun dalam kantong plastik yang ditutupkan kepala. 2.6 Rehabilitasi Rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, yang berarti hanya orangorang tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat memasuki area ini. Rehabilitasi narkoba adalah tempat yang memberikan pelatihan, keterampilan, dan pengetahuan untuk menghindarkan diri dari narkoba (Soeparman, 2003). Menurut UU RI No. 35 Tahun 2009, ada dua jenis rehabilitasi, yaitu: 1. Rehabilitasi Medis, adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk mendetoksifikasi zat-zat narkotika dari tubuh pecandu, dan juga membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. 2. Rehabilitasi Sosial, adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial, agar mantan pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Menurut Hawari (2009) pusat atau Lembaga Rehabilitasi yang baik haruslah memenuhi persyaratan, antara lain: 1. Sarana dan prasarana yang memadai termasuk gedung, akomodasi, kamar mandi/WC yang higienis, makanan dan minuman yang halal dan bergizi, ruang kelas, ruang rekreasi, ruang konsultasi individual maupun kelompok,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
ruang konsultasi keluarga, ruang ibadah, ruang keluarga, ruang olahraga, ruang keterampilan, dan lain sebagainya. 2. Tenaga yang professional (psikiater, dokter umum, psikolog, pekerja social, perawat, agamawan/rohaniawan dan tenaga ahli lainnya/instruktur). Tenaga professional ini untuk menjalankan program yang terkait. 3. Manajemen yang baik. 4. Kurikulum/program rehabilitasi yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan. 5. Peraturan dan tata tertib yang ketat agar tidak terjadi pelanggaran ataupun kekerasan. 6. Keamanan (security) yang ketat agar tidak memungkinakan peredaran NAZA di dalam pusat rehabilitasi (termasuk rokok dan minuman keras)
http://digilib.mercubuana.ac.id/