PENGARUH CINA TERHADAP TAIWAN TERKAIT PENERIMAAN PRINSIP SATU CINA OLEH TAIWAN TAHUN 2008 Oleh: Rangga Arif Mahadeli/070710419
Abstrak Penelitian ini menelaah upaya Cina dalam mempengaruhi Taiwan terkait penerimaan prinsip satu Cina yang dilakukan oleh Taiwan pada tahun 2008. Latar belakang pada penelitian ini didasarkan pada kesediaan pemerintah Taiwan untuk menerima prinsip satu Cina tahun 2008. Pemerintah Cina menggunakan prinsip satu Cina untuk mengklaim bahwa Taiwan merupakan bagian dari kedaulatannya. Pemerintah Taiwan yang sebelumnya menolak untuk menerima prinsip satu Cina, akhirnya bersedia menerima prinsip satu Cina pada tahun 2008. Berpijak dari fakta tersebut, maka permasalahan dalam penelitian deskriptif ini adalah bagaimana upaya Cina dalam mempengaruhi Taiwan hingga Taiwan bersedia menerima prinsip satu Cina pada tahun 2008. Dengan menggunakan dua konsep yaitu compellence dan insentif ekonomi, dapat ditarik jawaban sementara bahwa dalam hal compellence, Cina menggunakan ancaman militer agar Taiwan bersedia menerima prinsip satu Cina. Sedangkan dalam hal pemberian insentif ekonomi, Cina menjalin hubungan ekonomi yang erat dengan Taiwan. Instrumen compellence yang dijalankan oleh Cina terhadap Taiwan dapat disimak dari kapabilitas dan kredibilitas Cina dalam menjalankan instrumen compellence tersebut. Melalui studi kepustakaaan, ancaman Cina kepada Taiwan dapat ditemukan dalam buku putih yang diterbitkan tahun 2000 dan pengesahan Undang-Undang Anti-Pemisahan (Anti-Secession Law) oleh parlemen Cina pada tahun 2005. Cina juga memperkuat untuk kapabilitas militernya untuk mendukung instrumen compellence yang dijalankannya. Cina memberikan insentif ekonomi kepada Taiwan seperti pemberian jaminan keamanan dan perlindungan penuh terhadap modal asing yang ditanam oleh investor asal Taiwan di Cina, pemberian fasilitas preferential treatment, penyediaan dana talangan, dan berbagai fasilitas kemudahan dalam berinvestasi di Cina yang bertujuan untuk menarik simpati dan dukungan dari kalangan industri dan pengusaha Taiwan. Berdasarkan temuan hasil penelitian, diperoleh bukti bahwa insentif ekonomi yang diberikan oleh Cina berhasil menarik minat kalangan industri dan pengusaha Taiwan.
Kata Kunci: prinsip satu Cina, compellence, militer, insentif ekonomi, pengusaha.
Pada tahun 2008 pemerintah Taiwan menyatakan bersedia menerima prinsip satu Cina. Pernyataan ini disampaikan oleh Ma Ying-jeou ketika dirinya dilantik sebagai Presiden Taiwan pada bulan Mei 2008. Dalam pidato pada pelantikan dirinya, Ma Ying-jeou bersedia menerima prinsip satu Cina sebagai landasan untuk memulai perundingan antara Cina dan Taiwan (www.taiwan.gov.tw, diakses 30 Oktober 2012). Taiwan dan Cina selanjutnya sepakat untuk mengadakan pertemuan diantara keduanya. Pertemuan antara Cina dan Taiwan merupakan tindak lanjut dari kesediaan Taiwan untuk menerima prinsip satu Cina. Pada bulan Juni 2008, Straits Exchange Foundation (SEF) bertemu dengan Association for Relations Across the Taiwan Strait (ARATS) di Beijing untuk melakukan perundingan. SEF dan ARATS merupakan badan yang dibentuk oleh pemerintah Taiwan dan Cina untuk mewakili mereka dalam perundingan diantara keduanya. Pada perundingan tersebut, SEF dan ARATS mencapai kesepakatan mengenai beberapa hal diantaranya regulasi kunjungan turis Cina ke Taiwan, jadwal penerbangan mingguan, dan kesepakatan untuk menggelar pertemuan lanjutan pada bulan November 2008 (Gold 2009, 95). Dalam perundingan yang digelar bulan November 2008 di Taiwan, ada beberapa kesepakatan yang berhasil dicapai oleh SEF dan ARATS diantaranya regulasi mengenai dibukanya rute transportasi secara langsung yang menghubungkan antara Cina dengan Taiwan (http://www.mac.gov.tw, diakses 3 Mei 2012). Prinsip satu Cina adalah prinsip yang menyatakan bahwa Taiwan merupakan bagian dari kedaulatan Cina. Pemerintah Cina memegang teguh prinsip satu Cina dalam setiap urusan luar negeri jika hal tersebut menyangkut persoalan Taiwan. Pemerintah Cina menyebut bahwa sebagian besar negara-negara di dunia menerima prinsip satu Cina yang mengakui kedaulatan People's Republic of China (PRC) atas wilayah Taiwan. Pemerintah Cina juga menyatakan bahwa PRC adalah satu-satunya pemerintah Cina yang sah di dunia (State Council of the People’s Republic of China 1993). Pemerintah Cina menggunakan prinsip satu Cina untuk mengklaim Taiwan sebagai bagian dari kedaulatannya.
Kesediaan pemerintah Taiwan untuk menerima prinsip satu Cina menjadi menarik sebab sebelum era kepemimpinan Ma Ying-jeou berkuasa, pemerintah Taiwan menolak prinsip satu Cina dan lebih memilih solusi dua negara. Pemerintah Taiwan menolak prinsip satu Cina ketika era Presiden Lee Teng-hui berkuasa. Pada tahun 1999, Presiden Lee Teng-hui memberikan sebuah pernyataan untuk merespon klaim pemerintah Cina atas wilayah Taiwan. Presiden Lee Teng-hui mengatakan bahwa Cina tidak pernah memerintah Taiwan. Oleh karena itu, pemerintah Cina tidak berhak mengklaim Taiwan sebagai bagian dari kedaulatannya. Presiden Lee Teng-hui lebih memilih solusi dua negara daripada prinsip satu Cina sebab Taiwan merupakan sebuah negara yang berdaulat dan bukan bagian dari kedaulatan Cina (Lee Teng-hui 1999 dalam Kan 2009, 59). Selanjutnya pada tahun 2000, pemerintah Taiwan secara resmi merilis pernyataan mengenai solusi dua negara yang kemudian menjadi kebijakan yang dianut oleh Taiwan. Hal tersebut dilakukan untuk menegaskan sikap pemerintah Taiwan dalam memandang status quo di Taiwan. Pemerintah Taiwan menyatakan bahwa Taiwan adalah sebuah negara yang berdulat. Oleh karena itu, pemerintah Taiwan menegaskan bahwa Taiwan dan Cina merupakan dua negara yang masingmasing memiliki kedaulatan. Pernyataan resmi pemerintah Taiwan tersebut tertuang dalam tulisan yang berjudul “Statement on mainland China's White Paper” (www.mac.gov.tw, diakses 29 November 2012). Solusi dua negara tetap dipertahankan oleh pemerintah Taiwan dalam memandang kondisi status quo di Taiwan meski terjadi pergantian rezim pemerintahan. Presiden Chen Shui-bian mempertahankan sikap penolakan terhadap prinsip satu Cina seperti yang telah dilakukan sebelumnya oleh Presiden Lee Tenghui. Menurut Presiden Chen Shui-bian, Taiwan adalah sebuah negara yang berdaulat. Presiden Chen Shui-bian juga menyatakan bahwa Cina dan Taiwan merupakan dua negara yang masing-masing memiliki kedaulatan. Oleh karena itu, Presiden Chen Shui-bian secara tegas menolak prinsip satu Cina sebab Taiwan bukan bagian dari kedaulatan Cina (Chen Shui-bian 2002 dalam Kan 2009, 65-66).
Penolakan Taiwan terhadap prinsip satu Cina berakhir pada era pemerintahan Ma Ying-jeou tahun 2008 yang ditandai dengan kesediaan Taiwan untuk menerima prinsip satu Cina. Penerimaan prinsip satu Cina yang dilakukan oleh pemerintahan Ma Ying-jeou merujuk pada konsensus 1992. Konsensus 1992 merupakan kesepakatan lisan antara pemerintah Cina dan Taiwan mengenai prinsip satu Cina pada tahun 1992. Akan tetapi, kesepakatan lisan tersebut tidak berhasil menjadi sebuah kesepakatan formal setelah pemerintah Taiwan dan Cina gagal menemukan titik temu diantara keduanya (MAC 1992 dalam Kan 2009, 44-45). Perbedaan pandangan yang mendasar mengenai status Taiwan menjadi penyebab utama Taiwan dan Cina gagal menemukan titik temu diantara keduanya. Pemerintah Taiwan berpandangan bahwa Taiwan merupakan sebuah negara yang berdaulat dengan nama resmi Republic of China (ROC) (MAC 1992 dalam Kan 2009, 44-45). Sebaliknya, pemerintah Cina menegaskan bahwa eksistensi ROC telah berakhir sejak tahun 1949 yang selanjutnya digantikan oleh PRC. Oleh karena itu, pemerintah Cina menilai bahwa ROC tidak berhak mengklaim sebagai pemerintah yang sah di Taiwan. Menurut pemerintah Cina, Taiwan seharusnya menjadi bagian dari kedaulatan PRC. Pandangan pemerintah Cina tersebut disampaikan dalam buku putih yang diterbitkan pada tahun 2000 oleh pemerintah Cina (State Council of the People’s Republic of China 2000). Penolakan pemerintah Cina untuk mengakui kedaulatan ROC sebagai pemerintah yang sah di Taiwan menjadi sumber penyebab gagalnya kedua belah pihak menemukan titik temu. Pemerintah Taiwan bahkan menganggap Cina menggunakan prinsip satu Cina semata-mata hanya untuk menghapus eksistensi ROC dari kancah dunia internasional. Hal tersebut tertuang dalam laporan pemerintah Taiwan pada tahun 1997 yang berjudul “A Preliminary Analysis of Mainland China's One China Strategy” (www.mac.gov.tw, diakses 13 Oktober 2012.). Oleh karena itu, selama bertahun-tahun pemerintah Taiwan menolak prinsip satu Cina dan baru pada era pemerintahan Ma Ying-jeou, Taiwan bersedia menerima prinsip satu Cina. Tujuan pemerintahan Ma Ying-jeou menerima prinsip satu Cina adalah agar Cina bersedia melakukan perundingan dengan Taiwan. Menurut Presiden Ma Ying-
jeou, perundingan antara Taiwan dan Cina akan membawa dampak positif bagi perekonomian Taiwan. Selain itu, perdamaian di kawasan Selat Taiwan dapat terwujud jika Taiwan berhasil mengadakan dialog dengan Cina (www.taiwan.gov.tw, diakses 30 Oktober 2012). Cina mengajukan syarat mutlak kepada Taiwan yaitu Taiwan harus bersedia menerima prinsip satu Cina jika ingin melakukan perundingan dengan Cina. Menurut Cina, prinsip satu Cina harus menjadi dasar dan landasan bagi perundingan yang digelar antara Cina dan Taiwan (www.gwytb.gov.cn, diakses 6 Juni 2012). Cina menggunakan berbagai cara agar Taiwan bersedia menerima prinsip satu Cina dan salah satu cara tersebut adalah dengan menjadikan penerimaan prinsip satu Cina sebagai syarat mutlak sebelum dimulainya perundingan antara Cina dan Taiwan. Oleh karena itu, pemerintahan Ma Ying-jeou bersedia menerima prinsip satu Cina agar perundingan antara Taiwan dan Cina dapat terwujud. Pemerintah Cina menjalankan upaya compellence terhadap Taiwan dan memberikan insentif ekonomi kepada pengusaha dan sektor swasta Taiwan agar bersedia menerima prinsip satu Cina. Ancaman Cina Terhadap Taiwan Pada tahun 2000, pemerintah Cina menerbitkan buku putih yang secara khusus membahas mengenai prinsip satu Cina dan persoalan Taiwan. Pemerintah Cina mengancam akan menggunakan cara kekerasan jika Taiwan menolak prinsip satu Cina dan melakukan unifikasi dengan Cina (State Council of the People's Republic of China 2000). Manifestasi ancaman Cina terhadap Taiwan agar bersedia menerima prinsip satu Cina juga diwujudkan Cina secara legal formal. Pada tanggal 14 Maret 2005, parlemen Cina mengeluarkan Undang-Undang Anti-Pemisahan (Anti-Secession Law) yang memberikan kewenangan bagi militer Cina untuk menggunakan cara kekerasan dalam menyelesaikan persoalan Taiwan. UndangUndang Anti-Pemisahan menjadi landasan hukum bagi Cina untuk menggunakan cara kekerasan terhadap Taiwan (www.gwytb.gov.cn, diakses 27 September 2012).
Peningkatan Kapabilitas Militer Cina Pemerintah Cina berkomitmen meningkatkan kemampuan militernya untuk menghadapi kemungkinan terjadinya perang terbuka dengan Taiwan. Oleh karena itu, peningkatan kemampuan militer menjadi salah satu kepentingan nasional yang ingin dicapai oleh Cina. Dalam buku putihnya yang diterbitkan tahun 2002, pemerintah Cina mengungkapkan bahwa peningkatan kekuatan militer menjadi prioritas utama yang harus diwujudkan (State Council of the People's Republic of China 2002). Peningkatan kekuatan militer yang dapat diamati secara nyata adalah pengadaan sistem persenjataan modern yang dilakukan oleh Cina selama kurun waktu tertentu yaitu mulai tahun 2000 hingga 2007. Ada dua cara yang ditempuh oleh pemerintah Cina dalam hal pengadaan sistem persenjataan untuk meningkatkan kekuatan militer yang dimiliki. Cara pertama yaitu dengan memproduksi secara mandiri sistem persenjataan, lalu cara berikutnya adalah dengan membeli sistem persenjataan dari negara lain. Peningkatan kekuatan militer Cina dilakukan melalui pengadaan sistem persenjataan secara mandiri dengan cara menggandeng industri pertahanan domestik. Cina secara masif menambah armada kapal perang yang diproduksi oleh industri pertahanan domestik. Beberapa jenis kapal perang seperti kapal selam, destroyer, dan frigate menjadi komponen utama yang dimiliki Cina dalam memperkuat kapabilitas militernya (O’Rourke 2012). Posisi antara Cina dan Taiwan yang dipisahkan oleh Selat Taiwan menuntut Cina untuk memberikan perhatian serius pada peningkatan kekuatan armada lautnya. Cina juga membeli persenjataan canggih dari negara lain untuk menutupi kelemahan industri pertahanan domestik yang masih belum mampu memproduksi persenjataan berteknologi tinggi. Sebagian besar Cina membeli jet tempur canggih dari negara lain untuk memperkuat kapabilitas militernya. Cina memandang jet
tempur memiliki peran penting yaitu untuk memenangkan pertempuran udara apabila peperangan benar-benar terjadi dengan pihak Taiwan. Oleh karena itu, Cina membeli dalam jumlah besar jet tempur canggih dari Rusia antara kurun waktu tahun 2000 hingga 2007 (US Department of Defense 2008). Menurut Grimmett (2008), Cina menghabiskan dana sekitar 17 miliar dolar AS untuk pembelian berbagai alat persenjataan seperti ratusan unit jet tempur canggih Sukhoi dari Rusia antara tahun 2000 hingga 2007. Pembelian berbagai alat persenjataan yang dilakukan oleh Cina dari negara lain menempatkan Cina sebagai salah satu negara pengimpor senjata terbesar di dunia setelah India dan Arab Saudi (Grimmett 2008). Pemerintah Cina secara rutin meningkatkan anggaran pertahanan tiap tahun untuk menunjang peningkatan kapabilitas militernya, termasuk pembelian alat persenjataan dari negara lain. Berdasarkan buku putih yang diterbitkan oleh pemerintah Cina pada tahun 2000, anggaran pertahanan Cina sebesar 121,29 miliar yuan pada tahun 2000 (State Council of the People's Republic of China 2000). Namun pada tahun 2006, anggaran pertahanan Cina meningkat secara signifikan dibandingkan tahun 2000. Cina mengalokasikan dana sebesar 283,8 miliar yuan untuk anggaran pertahanannya pada tahun 2006 (State Council of the People's Republic of China 2006). Anggaran pertahanan Cina merupakan salah satu anggaran pertahanan yang terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 2007. Sedangkan pada tingkat kawasan, anggaran pertahanan Cina menempati urutan pertama di Asia pada tahun yang sama (SIPRI Yearbook 2008, 178). Kredibilitas Ancaman Cina. Cina menempatkan misilnya yang diarahkan menuju Taiwan sebagai upaya untuk menunjukkan kredibilitas ancamannya terhadap Taiwan. Menurut laporan Departemen Pertahanan AS kepada Kongres AS tahun 2007 menyebutkan bahwa Cina telah melakukan beberapa kali uji coba misil balistik. Dalam laporannya, Departemen Pertahanan AS juga menyebut bahwa pada tahun 2006, Cina menempatkan 900 misilnya yang diarahkan menuju Taiwan. Tipe misil Cina yang
diarahkan menuju Taiwan merupakan short range ballistic missile (SRBM) jenis Dong Feng-11 (DF-11) dan Dong Feng-15 (DF-15). Menurut Departemen Pertahanan AS (2007), misil DF-11 dan DF-15 buatan Cina mampu menjangkau seluruh wilayah Taiwan serta memiliki tingkat akurasi dan presisi yang cukup baik dalam mencapai sasaran yang diinginkan (US Department of Defense 2007, 17). Hal tersebut dapat disimak dari kapabilitas misil buatan Cina yang mampu menembak jatuh secara tepat satelit cuaca yang berada di orbit bumi pada uji coba yang dilakukan tahun 2007 (Chang 2012, 14). Misil DF-11 dan DF-15 merupakan misil Cina yang dapat digunakan untuk mengangkut hulu ledak nuklir, sehingga misil jenis tersebut dapat dijadikan sebagai senjata nuklir (Frieman 2001, 165). Cina juga cukup kompeten dalam melakukan misi peluncuran misil seperti yang terlihat dalam peluncuran wahana antariksa yang dilakukan oleh Cina. Pada bulan Oktober 2003, Cina sukses meluncurkan wahana antariksa dan mengirim astronotnya ke luar angkasa serta menjadikan Cina negara ketiga yang berhasil membawa awak manusia ke luar angkasa setelah Rusia dan AS. Pada tahun 2005, untuk kedua kalinya Cina kembali mengirim dua astronotnya ke luar angkasa selama lima hari sebelum akhirnya kembali ke bumi (Smith 2005, 2). Tiap tahun Cina terus menambah misilnya untuk ditempatkan dan diarahkan menuju Taiwan hingga mencapai seratus misil per tahun. Hal tersebut dapat disimak dari laporan Departemen Pertahanan AS tahun 2002 yang menyatakan bahwa ada sekitar 350 misil Cina yang diarahkan menuju Taiwan pada tahun 2001 (US Department of Defense 2002, 16). Namun pada tahun 2006, jumlah tersebut meningkat secara pesat menjadi sekitar 900 misil. Sebagian besar Cina menempatkan misilnya di Propinsi Nanjing dan Guangzhou yang berbatasan langsung dengan Selat Taiwan (US Department of Defense 2007, 42). Alat persenjataan canggih yang dimiliki oleh Cina juga ditempatkan di wilayah Cina bagian timur yang berdekatan dengan Taiwan. Menurut laporan Departemen Pertahanan AS yang disampaikan kepada Kongres AS tahun 2002, Cina menempatkan jet tempur Sukhoi Su-30 di bagian timur Cina yang berdekatan dengan
Taiwan (US Department of Defense 2002, 54). Militer Cina menempatkan jet tempur Su-30 di pangkalan udara Nanjing dan Guangzhou (Saunders & Quam 2007, 423). Armada kapal perang permukaan dan kapal selam milik Cina sebagian besar juga ditempatkan di pangkalan militer yang berdekatan dengan Taiwan. Menurut laporan Departemen Pertahanan AS yang ditujukan untuk Kongres AS pada tahun 2006, Cina menempatkan 40 armada kapal perang permukaan jenis frigate dan 28 armada kapal selam di pangkalan militer yang berdekatan dengan Taiwan (US Department of Defense 2006, 48). Upaya Cina Mengisolasi Taiwan Dari Dunia Internasional Cina secara aktif berusaha menghalangi upaya Taiwan untuk mendapat pengakuan internasional. Usaha tersebut dilakukan untuk mempertahankan pengakuan yang telah diberikan oleh sebagian besar negara di dunia kepada Cina bahwa Taiwan merupakan bagian dari kedaulatan Cina. Taiwan mengakui posisinya semakin terpinggirkan dalam kancah dunia internasional akibat upaya Cina yang gigih untuk terus mengikis pengakuan dunia internasional terhadap Taiwan sebagai sebuah negara yang berdaulat. Pemerintah Taiwan menyatakan bahwa setiap upaya Taiwan untuk berpartisipasi aktif dalam kancah dunia internasional selalu dihalangi oleh Cina (ROC Ministry of National Defence 2002). Menurut Jaw-ling Joanne Chang (2002), seorang peneliti dari Institute of European and American Studies Academia Sinica, lemahnya dukungan dunia internasional terhadap Taiwan berdampak pada lemahnya posisi tawar yang dimiliki oleh Taiwan ketika melakukan perundingan dengan Cina. Pengakuan sebagian besar negara-negara di dunia terhadap prinsip satu Cina menjadi salah satu penyebab utama lemahnya dukungan dunia internasional bagi Taiwan (Chang 2002, 80). Posisi tawar Cina yang lebih superior dibandingkan dengan Taiwan memungkinkan Cina untuk merumuskan dan mendesain proses perundingan antara Cina dan Taiwan sesuai dengan keinginan Cina seperti menetapkan syarat mutlak yaitu penerimaan prinsip satu Cina. Superioritas posisi tawar Cina dalam perundingan memperlihatkan bahwa
Cina menyadari pentingnya jalur perundingan bagi penyelesaian persoalan Taiwan. Jalur perundingan menjadi media bagi Cina untuk membuat Taiwan agar bersedia menerima prinsip satu Cina.
Insentif Ekonomi Cina Terhadap Taiwan Pemerintah Cina memberikan insentif ekonomi kepada kalangan pengusaha dan industri Taiwan untuk menarik minat mereka. Tujuan pemerintah Cina adalah agar semakin banyak kalangan pengusaha dan industri Taiwan yang menanamkan modalnya di Cina. Ada beberapa kebijakan insentif ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah Cina antara lain: 1. Pemberian jaminan keamanan dan perlindungan penuh terhadap modal asing yang ditanam oleh investor asal Taiwan di Cina. Pemerintah Cina menyatakan bahwa berbagai peraturan dan regulasi telah dibuat untuk memberi jaminan keamanan dan perlindungan bagi modal yang ditanam oleh investor asal Taiwan di Cina (State Council of the People’s Republic of China 2000). 2. Pemberian fasilitas preferential treatment bagi investor asal Taiwan untuk
menarik minat kalangan industri dan pengusaha Taiwan agar menanamkan modalnya di Cina (Ling 2005, 131). Fasilitas preferential treatment yang diberikan oleh pemerintah Cina seperti insentif pajak berupa corporate income tax rate yang rendah (Fung et al 2006, 11). Insentif pajak lainnya seperti tax holiday diberikan oleh pemerintah Cina agar investor asal Taiwan tertarik menanamkan modalnya di Cina (Zhang 2005, 296). 3. Penyediaan dana talangan bagi investor asal Taiwan. Pejabat Cina, Yang Yi,
menyatakan bahwa Bank Pembangunan Cina dan Bank Huaxia telah mengucurkan dana sebesar 8 miliar yuan atau sekitar 1 miliar dolar AS
khusus bagi investor asal Taiwan yang mengajukan pinjaman dana finansial pada tahun 2006 (http://www.gwytb.gov.cn, diakses 23 Januari 2013) . 4. Menawarkan lahan dengan harga sewa yang rendah kepada investor asal
Taiwan yang ingin mendirikan perusahaan di Cina (Lee 2010). 5. Memberikan fasilitas preferential treatment bagi produk pertanian Taiwan yang efektif berlaku sejak bulan Agustus 2005. Beberapa produk pertanian Taiwan yang menikmati fasilitas preferential treatment dari pemerintah Cina sebagian besar adalah jenis buah-buahan seperti mangga, nanas, jeruk, jambu biji, dan belimbing. Kebijakan preferential treatment yang diberikan oleh pemerintah Cina terhadap produk pertanian Taiwan seperti pembebasan hambatan tariff dan pajak impor (http://www.gwytb.gov.cn, diakses 23 Januari 2013). Kebijakan insentif ekonomi yang dijalankan oleh Cina membuat hubungan ekonomi antara Cina dan Taiwan menjadi semakin erat. Cina menjadi tempat favorit bagi kalangan industri dan pengusaha Taiwan untuk menanamkan modalnya. Pada tahun 2005, tercatat sebanyak 70% dari seluruh arus penanaman modal asing yang dilakukan oleh investor Taiwan memilih Cina sebagai tempat tujuan untuk menanamkan modalnya. Terdapat lebih dari 70.000 perusahaan milik investor asal Taiwan yang beroperasi di Cina pada tahun 2005 (Gareth et al 2006, 7). Menurut Zhang (2012), arus investasi Taiwan menuju Cina juga mengalami peningkatan dalam segi jumlah. Pada tahun 2001, arus investasi Taiwan menuju Cina hanya sebesar 2,784 miliar dolar AS, namun jumlah tersebut meningkat menjadi lebih dari 6 miliar dolar AS pada tahun 2005 (Zhang 2012, 54). Cina juga menjadi mitra dagang yang utama bagi Taiwan sejak 2003 (Chiang & Gerbier 2008, 5). Cina menjadi negara mitra dagang yang paling utama bagi Taiwan sebab surplus dan volume perdagangan dengan Cina jauh lebih besar jika dibandingkan dengan negara mitra dagang Taiwan lainnya. Ekspor Taiwan ke Cina merupakan yang terbesar dan mengambil porsi 39,8% dari seluruh aktivitas ekspor Taiwan pada tahun 2006 (BOFT 2007, 6).
Ketika hubungan ekonomi antara Taiwan dan Cina semakin intensif yang ditandai dengan derasnya arus investasi Taiwan menuju Cina dan besarnya volume perdagangan antara Cina dan Taiwan, maka jalur transportasi secara langsung yang menghubungkan antara Cina dan Taiwan menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi (Gareth et al 2006, 7). Aspirasi yang mendorong agar pemerintah Taiwan membuka jalur transportasi secara langsung dengan Cina mayoritas berasal dari kalangan industri dan pengusaha Taiwan (Liang 2004, 4). Namun proses pembukaan jalur transportasi secara langsung tidak berjalan lancar. Cina mengajukan syarat mutlak yaitu penerimaan prinsip satu Cina kepada Taiwan sebelum dimulainya proses perundingan
mengenai
pembukaan
jalur
transportasi
secara
langsung
(http://www.gwytb.gov.cn, diakses 23 Januari 2013). Pemerintah Taiwan menyadari pentingnya pembukaan jalur transportasi secara langsung dengan Cina, namun pemerintah Taiwan menolak apabila prinsip satu Cina menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh Taiwan. Pemerintah Taiwan menyatakan bahwa dengan menerima prinsip satu Cina, maka hal tersebut dapat membahayakan kedaulatan Taiwan. Selain itu, reputasi Taiwan di dunia internasional akan tercoreng jika Taiwan menerima prinsip satu Cina. Dengan demikian, kerugian yang akan diderita oleh rakyat Taiwan akan lebih besar jika Taiwan menerima prinsip satu Cina dibandingkan dengan apabila Taiwan menolak prinsip satu Cina (Mainland Affairs Council 2003, 42-43). Beberapa kali kalangan industri dan pengusaha meminta kepada pemerintah Taiwan untuk melakukan perundingan dengan Cina mengenai pembukaan jalur transportasi secara langsung (Tanner 2007, 63-64; Leng 2005, 77-78; Keng & Schubert 2010, 295). Menurut Kastner (2006) kalangan industri dan pengusaha Taiwan juga menggunakan momentum Pemilu dalam mengartikulasikan kepentingan mereka yaitu mewujudkan jalur transportasi secara langsung dengan Cina. Kalangan industri dan pengusaha Taiwan memberikan dukungannya kepada calon presiden dari partai Kuomintang (KMT) yang bersedia membuka jalur transportasi secara langsung dengan Cina pada pemilihan Presiden Taiwan tahun 2004 (Kastner 2006, 333). Kalangan industri dan pengusaha memiliki kepentingan yang sama dengan
pemerintah Cina yaitu mewujudkan jalur transportasi secara langsung antara Taiwan dan Cina. Akan tetapi keduanya memiliki motivasi yang berbeda mengenai pembukaan jalur transportasi secara langsung antara Taiwan dan Cina. Bagi kalangan industri dan pengusaha, pembukaan jalur transportasi secara langsung akan meningkatkan efisiensi, baik dari segi waktu maupun biaya. Sedangkan bagi pemerintah Cina, pembukaan jalur transportasi secara langsung akan mendorong Taiwan untuk menerima prinsip satu Cina. Pilihan politik kalangan industri dan pengusaha Taiwan kepada kandidat yang bersedia menerima prinsip satu Cina juga ditunjukkan pada pemilihan Presiden Taiwan tahun 2008. Menurut Zhong dan Xu (2008 dalam Zhang 2012, 77) menyatakan bahwa sebanyak 250.000 pengusaha Taiwan yang tinggal di Cina kembali ke Taiwan untuk memberikan dukungan kepada calon presiden Ma Yingjeou yang diusung oleh partai KMT pada pemilihan Presiden Taiwan tahun 2008. Pada bulan Mei 2008 pemerintah Taiwan akhirnya bersedia menerima prinsip satu Cina sebagai dasar dan landasan bagi dimulainya perundingan antara Cina dan Taiwan (www.taiwan.gov.tw, diakses 30 Oktober 2012). Selanjutnya pada bulan November 2008, pemerintah Taiwan dan Cina mencapai kesepakatan untuk membuka jalur transportasi secara langsung (http://www.mac.gov.tw, diakses 3 Mei 2012). Presiden Ma Ying-jeou mengakui bahwa kesediaan Taiwan untuk menerima prinsip satu Cina merupakan kebijakan yang pragmatis (www.taiwan.gov.tw, diakses 14 Maret 2013). Presiden Ma Ying-jeou menegaskan bahwa meski Taiwan menerima prinsip satu Cina, namun dirinya berjanji tidak akan ada perundingan yang menyangkut persoalan kedaulatan seperti unifikasi antara Cina dan Taiwan (http://english.president.gov.tw, diakses 14 Maret 2013). Dengan demikian Taiwan tetap menjadi sebuah negara yang berdaulat dengan nama resmi Republic of China. Perundingan antara Taiwan dan Cina hanya menyangkut bidang kerjasama ekonomi antara kedua belah pihak (www.taiwan.gov.tw, diakses 30 Oktober 2012).
Daftar Pustaka: BOFT. 2007. The Development of International Trade in the Republic of China 20072008 Table of Contents. Bureau of Foreign Trade. Ministry of Economic Affairs.
Republic
of
China.
Tersedia
di:
www.trade.gov.tw/App_Ashx/File.ashx?FilePath=../Files/TradeOldFile/18/73 /49/%e5%9c%8b%e9%9a%9b%e8%b2%bf%e6%98%93%e7%99%bc%e5% b1%95%e6%a6%82%e6%b3%8120072008%e8%8b%b1%e6%96%87_OUT.doc (diakses 28 September 2012). Chang, Amy. 2012. Indigenous Weapons Development in China’s Military Modernization. U.S.‐China Economic and Security Review Commission Staff Research Report. Chang, Jaw-ling Joanne. 2002. “Taiwan and China Cross-strait Negotiations: The International Connection”. International Journal of Business, Vol. 7, No. 3. hal 75-86. Chiang, Min-Hua & Gerbier, Bernard. 2008. Taiwan and the Transformation of AsiaUSA Economic Relationship: From the Triangular Trading Bloc to the FourCorner Structure. Centre d’Études sur l’intégration et la Mondialisation. Faculté de Science politique et de droit. Université du Quebec a Montreal. Montreal (Quebec). Canada. Department of Defense. 2002. Military Power of the People’s Republic of China 2002. Annual Report To Congress. Office of the Secretary of Defense. United States. Department of Defense. 2006. Military Power of the People’s Republic of China 2006. Annual Report To Congress. Office of the Secretary of Defense. United States. Department of Defense. 2007. Military Power of the People’s Republic of China 2007. Annual Report To Congress. Office of the Secretary of Defense. United States. Department of Defense. 2008. Military Power of the People’s Republic of China 2008. Annual Report To Congress. Office of the Secretary of Defense. United States.
Frieman, Wendy. 2001. The Arms Control and Ballistic Missile Defense Costs of a Chinese Conflict. Dalam: Andrew Scobell (ed). The Costs of Conflict: The Impact On China of A Future War. Strategic Studies Institute, U.S. Army War College. hal 163-185. Fung, K. C. et al. 2006. Hard or Soft? Institutional Reforms and Infrastructure Spending as Determinants of Foreign Direct Investment in China. Documentos de Trabajo. N.º 0616. Banco de España. Gareth, Banning et al. 2006. Taiwan In Search of a Strategic Consensus. Issue Brief. Asia Program. Washington D.C: The Atlantic Council of the United States. Gold, Thomas B. 2009. “Taiwan in 2008: My Kingdom for a Horse”. Asian Survey, Vol. 49, No. 1. hal. 88-97. University of California Press. Grimmett, Richard F. 2008. Conventional Arms Transfers to Developing Nations, 2000-2007. CRS Report for Congress. Congressional Research Service. Kan, Shirley A. 2009. China/Taiwan: Evolution of the “One China” Policy—Key Statements from Washington, Beijing, and Taipei. CRS Report for Congress. Congressional Research Service. Kastner, Scott L. 2006. “Does Economic Integration Across the Taiwan Strait Make Military Conflict Less Likely?” Journal of East Asian Studies Vol. 6. hal 319-346. Keng, Shu dan Schubert, Gunter. 2010. “Agents of Taiwan-China Unification? The Political Roles of Taiwanese Business People in the Process of Cross-Strait Integration”. Asian Survey, Vol. 50, No.2. hal 287–310. Lee, Chun-yi. 2010. “Between Dependency and Autonomy – Taiwanese Entrepreneurs and Local Chinese Governments”. Journal of Current Chinese Affairs, Vol. 39, No. 1. hal 37-71. GIGA German Institute of Global and Area Studies. Institute of Asian Studies. Leng, Tse-kang. 2005. “State and Business in the Era of Globalization: the Case of Cross-Strait Linkages in the Computer Industry”. The China Journal, No. 53. hal 63-79. Liang, Yung-ling. 2004. Confidence Building Measures across the Taiwan Strait. UNISCI Discussion Papers. Universidad Complutense de Madrid. España.
Ling, Jiuan-Jiuan. 2005. The investment behaviour of Taiwanese in mainland China. Tesis. Ph.D. Durham University. Ministry of National Defense. 2002. National Defense Report. Republic of China. Tersedia di: http://csis.org/files/media/csis/programs/taiwan/timeline/sums/timeline_docs/ CSI_20021209.pdf (diakses 2 September 2012). O'Rourke, Ronald. 2012. China Naval Modernization: Implications for U.S. Navy Capabilities—Background and Issues for Congress. CRS Report for Congress. Congressional Research Service. SIPRI Yearbook. 2008. Armaments, Disarmament and International Security: Military Spending And Armaments, 2007. Oxford: Oxford University Press. Smith, Marcia S. 2005. China’s Space Program: An Overview. CRS Report for Congress. Congressional Research Service. Saunders, Philip C. 2007. Future Force Structure of the Chinese Air Force. Dalam: Roy Kamphausen & Andrew Scobell (eds). Right Sizing the People’s Liberation Army: Exploring the Contours of China’s Military. Strategic Studies Institute. U.S. Army War College. Tanner, Murray Scot. 2007. Chinese economic coercion against Taiwan: a tricky weapon to use. Santa Monica: RAND Corporation. Zhang, Kevin Honglin. 2005. Why does so much FDI from Hong Kong and Taiwan go to Mainland China? China Economic Review. hal 293-307. Elsevier Inc. Zhang, Li. 2012. Cross-strait Economic Interdependence and the Prospects for Peace between Mainland China and Taiwan. Tesis. M.A. School of History, Philosophy, Political Science & International Relations. Victoria University of Wellington. Website China’s National Defense in 2000, Beijing: State Council Information Office, People’s Republic of China. (http://english.gov.cn/official/200507/27/content_17524.htm, diakses 13 Agustus 2012).
China’s National Defense in 2002, Beijing: State Council Information Office, People’s Republic of China. (http://english.gov.cn/official/200507/28/content_17780.htm, diakses 13 Agustus 2012). China’s National Defense in 2006, Beijing: State Council Information Office, People’s Republic of China. (http://www.china.org.cn/english/features/book/194421.htm, diakses 13 Agustus 2012). Mainland Affairs Council. 1997. A Preliminary Analysis of Mainland China's "One China Strategy". Executive Yuan. Republic of China (http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=68118&ctNode=5910&mp=3&xq_xC at=1997, diakses 13 Oktober 2012). Mainland Affairs Council. 2000. Statement on mainland China's White Paper. Executive Yuan. Republic of China (http://www.mac.gov.tw/fp.asp?fpage=cp&xItem=50914&ctNode=5913&mp =3&xq_xCat=2000, diakses 29 November 2012). Mainland Affairs Council. 2003. Assessment of the Impact of Direct Cross-Strait Transportation. The Executive Yuan. The Republic of China. Tersedia di: http://www.mac.gov.tw/public/MMO/mac/dlink01.pdf (diakses 17 Maret 2013). nd
Mainland Affairs Council. 2008. Outcome and Explanation of the 2 “Chiang-Chen Talks”, November 7, 2008. Minister Lai Shin-Yuan. Executive Yuan. Republic of China. (http://www.mac.gov.tw/public/Data/962917463671.pdf, diakses 3 Mei 2012). Office of the President Republic of China (Taiwan). 2008. Transcript of May 21, 2008 Presidential Press Conference with President Ma Ying-jeou and Vice President Vincent Siew (http://english.president.gov.tw/Default.aspx?tabid=491&itemid=19205&rmid =2355, diakses 14 Maret 2013). Republic of China (Taiwan) Government. 2008. President Ma's Inaugural Address (http://www.taiwan.gov.tw/print.asp?xItem=19098&ctNode=1933&mp=999, diakses 30 Oktober 2012). Republic of China (Taiwan) Government. 2008. Live up to spirit of "One World, One Dream"
(http://www.taiwan.gov.tw/ct.asp?xItem=20352&ctNode=1933&mp=999, diakses 14 Maret 2013). Taiwan Affairs Office. 2001. Cross-Strait Relations: One-China Principle Is the Focus. People’s Republic of China (http://www.gwytb.gov.cn/en/Special/OneChinaPrinciple/201103/t20110317_ 1790086.htm, diakses 6 Juni 2012). Taiwan Affairs Office. 2003. Full Text of the 'Three Direct Link' Policy. People’s Republic of China (http://www.gwytb.gov.cn/en/CrossstraitTrade/201103/t20110316_1788922.h tm, diakses 23 Januari 2013). Taiwan Affairs Office. 2005. Anti-Secession Law adopted by NPC (full text). People’s Republic of China (http://www.gwytb.gov.cn/en/Special/OneChinaPrinciple/201103/t20110317_ 1790121.htm, diakses, 27 Sepember 2012). Taiwan Affairs Office. 2007. 2 mainland banks provide $1 bln loans to Taiwanese firms. People’s Republic of China (http://www.gwytb.gov.cn/en/SpokespersonRemarks/201103/t20110316_178 8289.htm, diakses 23 Januari 2013). Taiwan Affairs Office. 2007. More than 3,000 tons of tariff-free Taiwanese fruit enter mainland market. People’s Republic of China (http://www.gwytb.gov.cn/en/CrossstraitTrade/201103/t20110316_1789092.h tm, diakses 23 Januari 2013). The Taiwan Question and Reunification of China. 1993. Beijing: State Council Information Office, People’s Republic of China (http://www.china.org.cn/e-white/taiwan/index.htm, diakses 13 Agustus 2012).
The One-China Principle and the Taiwan Issue. 2000. Beijing: State Council Information Office, People’s Republic of China (http://english.gov.cn/official/2005-07/27/content_17613.htm, diakses 13 Agustus 2012).