BAB 2 Landasan Teori
2.1 Teori Kebutuhan Manusia (Human Needs Theory) / りろん ;理論 理論
じこ じつげん ;自己 自己 ;実現 実現
Manusia memiliki tingkatan dalam kebutuhan atau motivasinya. Maslow dalam Kawase (2002:55) menyebutkan:
マスローは,人間の欲求を,生理的欲求,安全欲求,所属と愛 情の欲求,尊重の欲求,自己実現の欲求という五つの欲求に分 類し階層化した欲求階層論を主張している。
Diterjemahkan: Maslow berpendapat bahwa bahwa kebutuhan manusia dibagi menjadi lima tingkatan hierarki yang terdiri dari kebutuhan fisiologis atau kebutuhan dasar (physiological), kebutuhan akan rasa aman (safety), kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai (belonging/love), kebutuhan untuk dihargai (esteem), dan kebutuhan untuk aktualisasi diri (selfactualization).
Gambar Maslow’s Hiearchy of Needs Sumber: Organizational Behavior: Managing People and Organizations (2009) hal: 93
Maslow dalam Griffin (2009:87) menyusun teori motivasi manusia dan dalam teori tersebut variasi kebutuhan manusia dipandang tersusun dalam bentuk hirarki atau berjenjang. Setiap jenjang kebutuhan dapat dipenuhi hanya jenjang sebelumnya 7
8
telah (relatif) terpuaskan. Jenjang motivasi bersifat mengikat. Hal ini memiliki maksud yakni kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah harus relatif terpuaskan sebelum orang menyadari atau dimotivasi oleh kebutuhan yang jenjangnya lebih tinggi. Kawase (2002:55) juga menambahkan, jika dibandingkan kelima kebutuhan tersebut, maka bisa dicontohkan kebutuhan akan harga diri lebih kuat daripada kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan dimiliki dan dicintai lebih kuat daripada kebutuhan akan harga diri, dan seterusnya.
2.1.1
Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs) /
せいりてき よっきゅう ;生理的 生理的 ;欲求 欲求
Kawase (2002:55) mengatakan bahwa semakin bawah urutan pada hierarki kebutuhan manusia yang dikemukakan Abraham Maslow, maka semakin kuat kebutuhan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Maslow sendiri yang dikutip dalam Goble (2004:52) bahwa kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang paling kuat dan kebutuhan yang sudah pasti untuk semua manusia agar ia dapat bertahan secara fisik. Kebutuhan tersebut meliputi makanan, cairan, tempat tinggal, seks, dan oksigen. Jika ada seseorang yang kekurangan makanan, harga diri dan cinta, ia tentu saja akan memenuhi dulu kebutuhan makanan sampai ia puas dan menolak kebutuhan lain.
2.1.2
Kebutuhan Keamanan (Safety Needs) /
あんぜん よっきゅう ;安全 安全の ;欲求 欲求 安全の
Menurut Maslow dalam Goble (2004:54), ketika kebutuhan fisiologis sudah terpenuhi atau terpuaskan, Maslow mendeskripsikan bahwa kebutuhan selanjutnya adalah rasa aman. Rasa aman yang dimaksud adalah aman dari gangguan dan bahaya disekitarnya.
2.1.3 Kebutuhan Dimiliki dan Dicintai (Belonging/Love Needs) / あいじょう よっきゅう と ;愛情 愛情の ;欲求 欲求 愛情の
しょぞく ;所属 所属
Menurut Maslow dalam Goble (2004:54), ketika kebutuhan fisologis dan kebutuhan akan rasa aman sudah bertemu, maka akan muncul kebutuhan akan cinta dan rasa dimiliki. Rasa cinta menurut Maslow bukanlah ketertarikan akan seks, tetapi melibatkan hubungan
9
kasih sayang antara dua orang yang terdapat di dalamnya rasa saling percaya.
2.1.4
Kebutuhan Harga Diri (Self Esteem Needs) /
そんちょう よっきゅう そんちょう ;尊重 尊重の の ;欲求 欲求 尊重
Menurut Maslow dalam Goble (2004:56), ketika kebutuhan dimiliki dan mencintai sudah relatif terpuaskan, muncul kebutuhan akan harga diri. Menurut Maslow, ada dua jenis harga diri, yaitu menghargai diri sendiri (self respect) dan mendapat penghargaan dari orang lain (respect from other). Menghargai diri sendiri (self respect) meliputi kebutuhan kekuatan, penguasaan, kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. Mendapat penghargaan dari orang lain (respect from other) meliputi kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, menjadi orang penting, kehormatan, diterima dan apresiasi. Orang membutuhkan pengetahuan bahwa dirinya dikenal dengan baik dan dinilai dengan baik oleh orang lain.
2.1.5 Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization Needs) / じつげん よっきゅう ;実現 実現の ;欲求 欲求 実現の
じこ ;自己 自己
Menurut Maslow dalam Goble (2004:57), aktualisasi diri merupakan aspek terpenting dari teori motivasi manusia karena kebutuhan inilah manusia memiliki keinginan untuk menjadi lebih dan lebih, menjadi apapun yang mereka mampu. Manusia akan merasa mereka mampu melampaui
diri
mereka
yang
sekarang
sehingga
mereka
akan
mengaktualisasikan diri mereka lebih dari diri mereka yang sekarang.
2.2
しょうひ しゅぎ Teori Konsumerisme ( ;消費 消費 ;主義 主義) 主義 Sebelumnya kita perlu mengetahui pengertian dari konsumsi sebelum
mengetahui pengertian konsumerisme. Konsumsi yang dijelaskan oleh Suyanto (2013:111) merupakan sebuah sistem aksi dari manipulasi tanda, sehingga mengkonsumsi objek tertentu menandakan bahwa kita sama dengan orang lain yang
10
mengkonsumsi objek tersebut, dan di saat yang bersamaan kita berbeda dengan orang yang mengkonsumsi objek yang lain. Konsumerisme dijelaskan Holt dalam Terashima (2007:255) sebagai berikut:
『消費主義(consumerism)』とは、文化、アイデンテ ィティ、社会生活の構築において消費が中心的な位置 を占めるような態度、イデオロギー、消費財との特定 の関わりである Diterjemahkan: Konsumerisme di dalam struktur budaya, identitas dan kehidupan masyarakat; konsumsi itu sendiri menempati posisi sentral terhadap hubungan sikap, ideologi, dan barang-barang konsumsi. Jadi, konsumerisme adalah sikap yang menempatkan konsumsi sebagai pusat atau sentral dari struktur budaya, identitas dan kehidupan masyarakat yang artinya di dalam hubungan sikap dan ideologi, konsumsi memegang peran penting di dalamnya. Suyanto (2013:106) mengatakan bahwa ketika gengsi masyarakat lebih tinggi, maka berbelanja menjadi sebuah gaya hidup (life style) yang mengakibatkan berbagai fasilitas perbelanjaan makin pesat tumbuh. Hal ini mengakibatkan penggunaan kartu kredit makin masif yang memudahkan serta menggoda masyarakat untuk membeli apapun seketika tanpa khawatir tabungannya cukup atau tidak, sehingga hal ini yang menyebabkan lahirnya masyarakat konsumen. Suyanto (2013:108) juga menjelaskan dua hal yang menekan konsumen dalam hal konsumsi mereka. Pertama, mereka ditekan oleh kebutuhan terus-menerus untuk selalu berbelanja maupun untuk menunjukkan gaya hidup agar selalu tampak menyesuaikan zaman. Kedua, mereka ditekan oleh perusahaan-perusahaan atau kekuatan industri komersial yang selalu memproduksi dan sekaligus mendefinisikan bagaimana seseorang harus hidup dan tampil di tengah perkembangan zaman yang makin global dan post-moderen. Ada tiga perspektif utama budaya konsumen yang dijelaskan oleh Featherstone (2007:13) yaitu: 1.
Pandangan bahwa budaya konsumen muncul karena adanya ekspansi produksi komoditas kapitalis yang memunculkan akumulasi besar-besaran budaya dalam
11
bentuk barang-barang konsumsi dan tempat-tempat belanja dan konsumsi. Hal ini dapat menimbulkan tumbuhnya aktivitas bersenang-senang dan konsumsi. 2.
Ada pandangan yang lebih sosiologis bahwa kepuasan berasal dari benda-benda yang berhubungan dengan akses yang terstruktur secara sosial dalam suatu peristiwa yang sudah ditentukan di dalamnya kepuasan dan status tergantung pada penunjukan dan pemeliharaan perbedaan dalam kondisi inflasi. Hal yang dititikberatkan di dalam hal ini adalah bagaimana seseorang menggunakan benda-benda tersebut untuk mendapatkan status di dalam masyarakat sosialnya.
3.
Masalah kesenangan emosional untuk konsumsi, mimpi-mimpi dan keinginan yang ditampakkan dalam bentuk tamsil budaya konsumen dan tempat-tempat konsumsi tertentu yang secara beragam memunculkan kenikmatan jasmaniah langsung serta kesenangan estetis.
2.2.1
Pengertian Masyarakat Konsumen/Konsumer Campbell dalam Suyanto (2013:107) mengatakan, pada masyarakat
konsumen ini, implikasi mereka akan cenderung menyamakan level konsumsi yang tinggi dengan kesuksesan sosial dan kebahagiaan personal, yang berarti semakin banyak dia mengkonsumsi sesuatu, semakin sukses dan bahagianya dia. Akibatnya, mereka memilih konsumsi sebagai tujuan hidupnya. Masyarakat konsumen pasti akan merasa ketinggalan zaman dan minder ketika mereka tidak memiliki produk-produk terbaru yang dipersepsi sebagai bagian dari identitas atau simbol status masyarakat post-moderen. Suyanto melanjutkan, berbeda dengan masyarakat tradisional di mana orang-orang mengkonsumsi sesuatu karena didorong kebutuhan dan kelangsungan dan ketahanan hidupnya, di era kapitalisme, masyarakat mengkonsumsi sesuatu umumnya didorong faktor irasional atau tidak masuk akal, kebutuhan yang didasarkan gengsi dan bukan bagian dari kebutuhan untuk mempertahankan kebutuhan hidupnya. Alasan irasional ini lah yang disebutkan Baudrillard dalam Suyanto (2013:111) bahwa yang dikonsumsi oleh orang tersebut adalah tanda atau semacam citra, bukan kemanfaatan komoditas
yang
dibelinya
itu.
Orang
yang
konsumtif
cenderung
mengkonsumsi sesuatu bukan untuk nilai guna barang konsumsi yang dia beli tersebut, melainkan dia menginginkan sebuah penilaian sosial terhadap barang yang dia konsumsi tersebut.
12
2.2.2
Ciri-Ciri Masyarakat Konsumen/Konsumer Menurut Suyanto (2013:106), post-moderenisme merupakan sebuah
era ketika keinginan dan kebutuhan telah menjadi sesuatu yang tidak jelas dan makin sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Seseorang cenderung tidak mempertimbangkan bahwa barang yang dikonsumsi merupakan suatu keinginan atau kebutuhannya. Pada era post-moderenisme, hal tersebut sudah semakin jamak terjadi bahwa masyarakat membeli barang dan jasa bukan sekedar karena nilai kemanfaatannya atau karena didesak kebutuhan yang tidak bisa ditunda, melainkan karena gaya hidup (life style). Baudrillard dalam Suyanto (2013:109) mencirikan masyarakat konsumer sebagai masyarakat yang di dalamnya terjadi pergeseran logika dalam konsumsi, yaitu logika kebutuhan menuju logika hasrat atau keinginan, yaitu bagaimana konsumsi menjadi pemenuhan akan tanda dan disimpulkan oleh Pilang dalam Suyanto (2013:110), masyarakat konsumer tidak mengkonsumsi nilai guna produk, tetapi nilai tandanya. Nilai tanda dalam hal ini merupakan nilai yang dia ingin dapatkan dari tanggapan sosial sekitarnya mengenai barang yang dia konsumsi tersebut. Ditambah lagi, Featherstone (2007:84) juga mengatakan bahwa individu modern yang memiliki budaya konsumsi sadar bahwa mereka tidak hanya berbicara dengan pakaiannya, tetapi juga dengan rumahnya, perlengkapannya, dekorasi interior, mobil dan aktivitas lainnya yang dibaca dan diklasifikasikan di dalam keadaan ada maupun tidaknya selera. Mereka cenderung menilai, bahwa barang-barang yang mereka miliki tersebut menunjukkan status dan kesuksesan mereka. Suyanto (2013:112) menyimpulkan ada tiga hal yang dominan terlihat di masyarakat konsumen, yaitu pencarian status, materialisme dan hedonisme. Suyanto melanjutkan, masyarakat konsumsi tidak pernah akan terpuaskan dalam banyak hal dan tidak akan mampu memuaskan kebutuhan konsumsi mereka. Sikap konsumsi mereka akan diperparah oleh kemajuan zaman sehingga mereka bertindak seolah-olah “dituntut” oleh zaman untuk mengkonsumsi sesuatu barang konsumsi. Tujuan mereka adalah demi sebuah perbedaan. Perbedaan yang dimaksudkan adalah status sosial dan makna
13
sosial yang akan mereka terima. Di era post-moderenisme, masyarakat ketika memutuskan
membeli
dan
mengkonsumsi
sesuatu,
yang
menjadi
pertimbangan bukanlah akan bergunanya barang konsumsi yang mereka beli tersebut atau tidak, melainkan makna yang melekat pada sesuatu itu.
2.3
けいざい バブル ;経済 経済) Gelembung Ekonomi (Bubble Economy) di Jepang (バブル 経済 Yoshimoto (2008:21) menjelaskan, sebelum Jepang memasuki kekacauan dan
kebingungan ekonomi, pada awal November 1986 dan akhir Feburari 1991, perusahaan Jepang sangat menikmati pencapaian bisnis yang sangat subur selama 5 tahun selama gelembung ekonomi inflasi, ekpansi dan pembengkakan. Tidak hanya agen perumahan real estate, tetapi juga jangkauan luas meliputi industri pelayanan dan banyak sekali manufaktur yang memimpikan keuntungan yang terstruktur dan permanen kedepannya. Tetapi, di awal tahun 1990-an, gelembung ekonomi yang membesar itu akhirnya hancur secara struktural secara cepat. Fenomena tersebut muncul karena keruntuhan yang mungkin layak diekspresikan seolah-olah mereka tenggelam ke tempat yang tidak berdasar. Lembaga keuangan diberatkan oleh sejumlah kredit macet yang mencapai 10 kali lipat anggaran nasional. Sampai dekade terakhir, harga pasaran kotor area di tanah Jepang dilaporkan hampir mencapai harga pasaran di Amerika Serikat yang luas daerahnya 25 kali lebih luas daripada area di Jepang. Hal ini diduga bahwa fenomena yang disebut dengan バブル経済 atau bubble economy mungkin memiliki asal dari sejenis iklim bisnis historis dan geopolitik yang berakar dalam masyarakat industri Jepang. Menurut Haghirian (2010:3), di awal tahun 1970-an, generasi pertama pascaperang muncul, mereka menyebutnya 新人類 (baca: shinjinrui). Generasi tersebut menunjukkan tanda-tanda meningkatnya hedonisme pada pola konsumsi mereka dan mulai menunjukkan lebih menyukai produk barat dari pada produk Jepang, hal ini ditandai dengan meningkatnya manufaktur barat di Jepang dan menjadi daya tarik besar di pasaran Jepang. Tahun 1980-an didominasi oleh gelembung ekonomi (bubble economy) dan di masa ini, konsumsi menjadi gaya hidup. Menurut Schutte dan Ciarliante dalam Haghirian (2010:9), pada masa itu, terjadi pergeseran dari yang awalnya orang Jepang berorientasi pada konformis, kemudian menjadi berorientasi pada pencarian status. Kemudian Laserre dan Schutte dalam Haghirian (2010:9) melanjutkan, kategori baru yang berupa konsumer yang berorientasi pada gaya hidup
14
muncul pada orang-orang yang memiliki keinginan kuat untuk menonjolkan kebebasan mereka di tengah-tengah masyarakat. Pertumbuhan pesat konsumsi bisa dilihat dari kebiasaan orang Jepang pada masa itu yang suka makan di luar rumah, memiliki transportasi pribadi (misalnya mobil pribadi), pendidikan, pelayanan kesehatan, rekreasi dan hiburan. Menurut Partner dalam Haghirian (2010:9), di tahun 1980-an, ada tiga hal yang menunjukkan tanda kemakmuran yaitu “three Js” yang terdiri dari jewels, jet travel dan jutaku (kepemilikan rumah). Haghirian (2010:9) menggambarkan, ketika gelembung ekonomi ini meledak di tahun 1990-an, meningkat pula jumlah pengangguran, penurunan drastis jumlah perusahaan Jepang, kebangkrutan, dan sebagainya yang mengancam rasa aman nasional. Hal ini menyebabkan konsumer mulai melakukan lebih pada “bebas resiko” dan “orientasi pada harga” dalam menentukan pembelian mereka, keinginan mereka lebih kepada hal-hal tertentu. Konsumsi di tahun 1990-an ini disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu alasan menurunnya ekonomi dan regulasi ulang. Setelah ekonomi mulai pulih pada awal abad milenium, bersamaan dengan itu pula konsumsi juga makin bertambah. Krisis ekonomi yang terjadi sebelumnya membuat dampak baru kepada sikap membeli orang Jepang. Menurut Haghirian (2010:20), masyarakat Jepang kontemporer memiliki daya tarik tinggi kepada brand atau merek ketika mereka membeli sesuatu. Krisis ekonomi yang sempat melanda Jepang pasca runtuhnya gelembung ekonomi membuat tantangan marginal kepada sikap menyukai brand atau merek tersebut, tetapi meskipun demikian brand produk mahal menjadi tanda status dan suksesnya seseorang di masyarakat Jepang.