Bab II Tinjauan Pustaka BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Bendungan Bendungan adalah bangunan air yang dimaksudkan untuk menampung air. Potensi air yang ditampung dalam bendungan selanjutnya dapat dipergunakan untuk berbagai kepentingan, diantaranya :sumber air irigasi, pembangkit tenaga listrik perikanan, dan pariwisata. Tubuh bendungan utama, bendungan pengelak, terowongan pengelak, dan spillway adalah komponen-komponen bangunan yang biasanya terdapat dalam suatu bendungan.bendungan dapat dikelompokan menjadi 2, yaitu : bendungan beton dan bendungan urugan. Bendungan beton adalah bendungan yang bahan konstruksi tubuh bendungan utamanya adalah beton. Bentuk bendungan beton dapat dibagi lagi menjadi beberapa jenis yaitu bendungan gaya berat, bendungan busur, dan bendungan berpenopang. Bendungan urugan adalah bendungan yang bahan konstruksi tubuh bendungan utamanya adalah timbunan batu dan tanah. Jadi satu bendungan dapat dipandang dari beberapa segi yang masingmasing menghasilkan tipe yang berbeda-beda pula. Maka pembagian tipe bendungan dapat dipandang dari 4 keadaan, yaitu : berdasarkan ukurannya, tujuan pembangunannya, jalannya air, Penggunaannya dan konstruksinya.
II-1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tipe Bendungan Berdasarkan Ukurannya 1. Bendungan Besar (Large Dams) Menurut Permen PUPERA RI 27/PRT/M/2015 definisi bendungan besar adalah : Pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. Bendungan dengan tinggi 15 (lima belas) meter atau lebih diukur dari dasar fondasi terdalam; b. Bendungan dengan tinggi 10 (sepuluh) meter sampai dengan 15 (lima belas) meter diukur dari dasar fondasi terdalam dengan ketentuan : Panjang puncak bendungan paling sedikit 500 (lima ratus) meter; Daya tampung waduk paling sedikit 500.000 (lima ratus ribu) meter kubik; atau Debit banjir maksimal yang diperhitungkan paling sedikit 1.000 (seribu) meter kubik per detik; atau c. Bendungan yang mempunyai kesulitan khusus pada fondasi atau bendungan yang didesain menggunakan teknologi baru dan/atau bendungan yang mempunyai kelas bahaya tinggi. 2. Bendungan Kecil (Small Dams, Weir, Bendung) Semua bendungan yang tidak memenuhi syarat sebagai bendungan besar disebut bendungan kecil.
II - 2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.1.2 Tipe Bendungan Berdasarkan Jalannya Air 1. Bendungan Untuk Dilewati Air (Overflow Dam) Bendungan yang dibangun untuk dilimpasi air, misalnya pada bangunan pelimpah. 2. Bendungan Untuk Menahan Air (Non Overflow Dam) Bendungan yang sama sekali tidak boleh dilewati air. Kedua tipe ini biasanya dibangun berbatasan dan dibuat dari beton, pasangan batu bata. (Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
2.1.3 Tipe Bendungan Berdasarkan Konstruksinya 1. Bendungan urugan (fill dam, embankment dam) Menurut ICOLD definisinya adalah bendungan yang dibangun dari hasil penggalian bahan (material) tanpa tambahan bahan lain yang bersifat campuran secara kimia, jadi betul-betul bahan pembentuk bendungan asli. Bendungan urugan dibagi menjadi 3, yaitu : a. Bendungan urugan serbasama (homogeneous dam) Bendungan urugan yang lapisannya sama. Contoh : Bendungan Saguling, Bendungan Parangjoho dan Bendungan Ir. H. Pangeran Noor. b. Bendungan urugan berlapis-lapis (zone dam, rockfill dam) Bendungan urugan yang terdiri atas beberapa lapisan yaitu lapisan kedap air (water tight layer), lapisan batu (rock zones, shell), lapisan batu teratur (rip-rap) dan lapisan pengering (filter zones). Contoh : Bendungan Ir. H. Juanda, Bendungan Shin Takasegawa (Jepang).
II - 3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka c. Bendungan urugan batu dengan lapisan kedap air di muka (impermeable face rockfill dams, dekced rockfill dams) Bendungan urugan batu berlapis-lapis yang lapisan kedap airnya diletakkan di sebelah hulu bendungan. Lapisan kedap air yang sering dipakai adalah aspal dan beton bertulang. Contoh : Bendungan Numappora (Jepang), Bendungan Marchlyn (Inggris Raya). 2. Bendungan Beton Bendungan yang dibuat dari konstruksi beton baik dengan tulangan maupun tidak. Bendungan beton dibagi menjadi 4, yaitu : a. Bendungan beton berdasarkan berat sendiri (concrete gravity dams) Bendungan beton yang didesain untuk menahan beban dan gaya yang bekerja padanya hanya dengan berat sendiri saja. Contoh : Bendungan Menjer, Bendungan Vinca (Perancis) dan Bendungan Niagara (Amerika Serikat). b. Bendungan beton dengan penyangga (concrete buttress dams) Bendungan beton yang mempunyai penyangga untuk menyalurkan gaya-gaya yang bekerja padanya. Banyak digunakan apabila sungainya sangat lebar sedangkan keadaan geologinya baik. Contoh : Bendungan Ratan (Swedia), Bendungan Roseires (Sudan).
II - 4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka c. Bendungan beton berbentuk lengkung (beton berbentuk busur atau concrete arch dams) Bendungan beton yang didesain untuk menyalurkan gaya-gaya yang bekerja padanya lewat abutmen kiri dan abutmen kanan bendungan. Contoh : Bendungan Nagawado (Jepang), Bendungan Victoria (Sri Lanka). d. Bendungan beton kombinasi (combination concrete dams, mixed type concrete dams) Kombinasi antara lebih dari satu tipe. Contoh : Bendungan Ngebel, Bendungan Itaipu (Brazil). (Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
2.2
Bangunan Pelimpah (Spillway) Bangunan beserta instalasinya untuk mengalirkan air banjir yang masuk kedalam waduk agar tidak membahayakan keamanan bendungan. Apabila terjadi kecepatan aliran air yang besar akan terjadi olakan (turbulensi) yang dapat mengganggu jalannya air sehingga mengakibatkan berkurangnya aliran air yang masuk kedalam bangunan pelimpah. Maka kecepatan aliran air harus dibatasi, yaitu tidak melebihi kecepatan kritisnya. Sebagai bangunan pelengkap dam yang berfungsi mengalirkan debit banjir dari hulu ke hilir dam sehingga air di hulu dam tidak melebihi tinggi tertentu yang berbahaya terhadap mercu dan tubuh dam.
II - 5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Pelimpah terdiri dari : Bangunan control yang berfungsi sebagai pengatur debit pelimpahan. Saluran pengarah yang berfungsi mengalirkan air dari bangunan control ke sungai di hilir. Bangunan akhir yang berfungsi meredam aliran air. (Sumber : Irigasi Dan Bangunan Air – Ir. Hadi Susilo, MM)
2.2.1 Bagian-Bagian Yang Penting Dari Bangunan Pelimpah. 1. Saluran Pengarah Digunakan untuk mengarahkan dan mengatur aliran air agar kecepatan alirannya kecil tetapi debit airnya besar.
Gambar 2.1 : Bangunan pelimpah (Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
II - 6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2. Pengatur Aliran (Controle Structures) Kapasitas debit air sangat dipengaruhi oleh bentuk ambang. Terdapat 3 ambang, yaitu : ambang bebas, ambang berbentuk bendung pelimpah dan ambang berbentuk bendung pelimpah menggantung. a. Type Ambang Bebas (Flowing Into Canal Type) Digunakan untuk debit air yang kecil dengan bentuk sederhana. Bagian depan dapat berbentuk tegak atau miring (1 tegak : 1 horizontal, 1 tegak : 1 horizontal atau 2 tegak : 1 horizontal), kemudian horizontal dan akhirnya berbentuk lengkung.
Gambar 2.2 : Saluran Pengatur dengan Ambang Bebas pada Bangunan Pelimpah (Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
Apabila berbentuk tegak selalu diikuti dengan lingkaran jari-jari diambil ½ h2. Untuk menentukan lebar ambang biasanya digunakan rumus : Q = 1,704 x b x c x (h1)3/2 ................................................
(2.1)
(Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
Keterangan : Q = debit air (m/detik). b = panjang ambang (m). h1 = kedalaman air tertinggi di sebelah hulu ambang (m). c = angka koeffisien untuk bentuk persegi panjang = 0,82.
II - 7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka b. Type Ambang Berbentuk Bendung Pelimpah (Overflow Wier Type)
Gambar 2.3 : Saluran Pengatur dengan Ambang Berbentuk Pelimpah Menggantung (Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
Digunakan untuk debit yang besar. permukaan bendung berbentuk lengkung disesuaikan dengan aliran air, agar tidak ada air yang lepas dari dasar bendung. Hal ini untuk mencegah terjadinya kerusakan pada permukaan beton yang di lewati aliran air. Karena kecepatan aliran air yang terjadi biasanya besar maka bangunan pelimpah selalu dibuat dari beton bertulang. Rumus untuk bendung pelimpah menurut JANCOLD adalah : Q = c . (L – KHN) . H3/2 ..................................................
(2.2)
Keterangan : Q = debit air (m/detik). L = panjang bendung (m). K = koefisien kontraksi. C = angka koefisien. H = angka air tertinggi di sebelah hulu bendung (m).
II - 8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka c. Type
Ambang
Berbentuk
Bendung
Pelimpah
Menggantung
(Overhang Weir)
Gambar 2.4 : Saluran Pengatur dengan Ambang Berbentuk Bendung Pelimpah Menggantung (Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
Hampir sama dengan ambang berbentuk pelimpah dan banyak digunakan untuk bendungan beton, terutama yang berbentuk lengkung. Pada bendungan beton berbentuk lengkung ukuran tebalnya relatif tipis, sedang bangunan pelimpah dapat disatukan dengan dinding bendungannya. Agar supaya ukuran ambang bangunan pelimpah sesuai dengan aliran air yang tejadi maka tebalnya harus ditambah
sehingga
terjadi
bagian
yang
sedikit
maju
dan
menggantungg. Rumus yang dipakai sama juga dengan ambang berbentuk bendung. 2. Saluran Pengangkut Debit Air (Saluran Peluncur, Chute, Discherge Carrier, Flood Way) Makin tinggi bendungan, makin besar perbedaan antara permukaan air tertinggi di dalam waduk dengan permukaan air sungai di sebelah hilir bendungan. Apabila kemiringan saluran pengangkut debit air dibuat kecil, maka ukurannya akan sangat panjang dan berakibat bangunan menjadi
II - 9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka mahal. Oleh karena itu kemiringannya terpaksa dibuat besar, dengan sendirinya disesuaikan dengan keadaan topografi setempat. Untuk menentukan kecepatan aliran air biasanya digunakan rumus : v = k. R.2/3 i.1/2 ...............................................................................
(2.3)
(Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
Keterangan : V = kecepatan aliran air (m/detik). k = koefisien kekasaran saluran. R = jari-jari basah yang merupakan perbandingan antara luas basah dengan keliling basah. i = kemiringan saluran. Apabila kemiringan (i) besar, bahwa kemungkinan kecepatannya menjadi sangat besar, mendekati kecepatan kritis atau bahkan kecepatan super kritis. Untuk menentukan batas kecepatan ini digunakan angka Froude menurut rumus : Fr =
..............................................................................
.
(2.5)
(Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
Keterangan : Fr = angka Froude. v = kecepatan aliran air (m/detik). g = percepatan gravitasi bumi, m/detik (≅ 9,8). l = panjang karakteristik (feet). Untuk aliran terbuka, maka L = D, tinggi hidraulik yaitu perbandingan antara luas penampang normal basah dibagi dengan permukaan bebas.
II - 10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Untuk nilai Fr = 1, disebut kecepatan kritis. Untuk nilai Fr > 1, disebut kecepatan super kritis. Untuk nilai Fr < 1, disebut kecepatan sub kritis. Yang berbahaya adalah kecepatan kritis dan super kritis. Karena air dapat berapa lepas dari dasar saluran yang menyebabkan terjadinya olakan (turbulensi). Dasar saluran seakan-akan mendapat tarikan dari luar dan rusak. Peristiwa ini disebut kavitasi dan dengan sendirinya harus dihindarkan. Ada 3 cara untuk menghindarkannya, yaitu : - Mengurangi kecepatan aliran air, agar masih dalam batas kecepatan sub kritis dan menggunakan konstruksi beton bertulang. - Apabila kecepatan airnya tidak dapat dikurangi, maka harus ditambah udara dari samping (artificial aeraction). - Permukaan beton dilapis dengan baja tahan karat (stainless steel) yang dengan sendirinya sangat mahal. Oleh karena itu cara ini hanya dipakai, apabila cara lainnya sudah tidak dapat digunakan. 3. Bangunan Peredam Energi (Energi Dissipator) Digunakan untuk menghilangkan atau setidak-setidaknya mengurangi energi air agar tidak merusak tebing, jembatan, jalan, bangunan dan instalasi lain di sebelah hilir bangunan pelimpah. Pada rencana teknis detail peredam energi perlu pula diketahui perkiraan jarak loncatan air serta posisi jatuhnya kembali di atas permukaan air sungai di hilirnya dan bentuk loncatan air yang meninggalkan ujung hilir peredam energi dapat diperoleh dengan rumus :
II - 11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka -
= sin 2ϕ + sin 2ϕ + 4 cos ϕ x η ................................
(2.4)
(Sumber : Dr. Suyono Sosrodarsono, 2003)
=
Keterangan : -
=
-
H1 = total tinggi tekanan pada titik ujung hilir peredam energi.
-
ϕ = sudut kemiringan dasar ujung hilir peredam energi.
-
yo = perbedaan antara elevasi titik ujung hilir peredam energi dan elevasi permukaan air sungai.
-
Agar memperoleh
yang terbesar, maka untuk rumus (2.4), harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut : -
cos
= 1 +
.............................................................
(2.5)
2.2.2 Pembagian Tipe Bangunan Pelimpah Berdasar Penggunaannya (Fungsi). 1. Bangunan Pelimpah Utama (main spillway). Bangunan pelimpah yang digunakan untuk melewatkan air banjir sesuai dengan periode ulang yang sudah direncanakan. Kapasitas bangunan pelimpah bendungan utama biasa diambil dengan periode ulang 100 tahun ditambah angka keamanan 20% untuk bendungan beton dan 200 tahun ditambah angka keamanan 20% untuk bendungan urugan. 2. Bangunan Pelimpah Pembantu (auxiliary spillway, fase plug spillway). Bangunan pelimpah tambahan yang beroperasi apabila terjadi banjir luar biasa diatas kapasitas bangunan pelimpah utama. 3. Bangunan Pelimpah Darurat (emergency spillway) Bangunan pelimpah tambahan yang beroperasi apabila terjadi banjir luar biasa sedangkan pintu air bangunan pelimpah utama atau pintu air II - 12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka bangunan pengeluaran tidak dapat dibuka atau tidak dapat beroperasi secara penuh. Kadang-kadang bangunan pelimpah pembantu dijadikan satu dengan bangunan pelimpah darurat dengan ukuran yang lebih besar sehingga menjadi lebih ekonomis, dengan sendirinya apabila keadaan topografinya memungkinkan. (Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
2.2.3 Pembagian Tipe Bangunan Pelimpah Berdasar Cara Operasinya. 1. Bangunan Pelimpah Tanpa Alat Control (Bangunan Pelimpah Tanpa Pintu Air, Uncontrolled Spillway, Ungated Spillway). Tidak mempunyai resiko terhadap macetnya pembukaan pintu air akan tetapi tipe ini hanya dapat dipakai untuk kapasitas debit banjir yang relative kecil,. 2. Bangunan Pelimpah Dengan Pintu Air (Controlled Spillway, Gated Spillway). Banyak digunakan untuk kapsitas debit air yang besar, kadang-kadang dengan risiko tidak dapat dibuka dan sangat membahayakn, oleh karena itu harus diupayakan cara pembukaan lebih dari satu seperti tekah diuraikan. 2.2.4
Pintu air Digunakan untuk membuka, mengatur dan menutup aliran air di saluran baik terbuka maupun tertutup penggunaannya harus disesuaikan dengan debit air dan tinggi tekanan (selisih tinggi air) yang akan dilayaninya. Kebanyakan berbentuk persegi panjang, kecuali pintu cincin dan pintu silinder yang berbentuk lingkaran atau trapesium, harus dibuat saluran peralihan yang berbentuk empat persegi panjang.
II - 13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 1. Pembagian Pintu Air Berdasar Bentuknya a. Pintu Air Geser (Slide Gate, Sliding Gate, Sluice Gate) Bentuknya sangat sederhana. Untuk membuka daun pintu dilakukan dengan menggeser keatas sedang untuk menutupnya dengan menggeser ke bawah. Banyak digunakan untuk debit air kecil. b. Pintu Air Dengan Roda (Roller Gate, Fixed Wheel Gate) Berbentuk persegi panjang dan dibantu dengan beberapa roda agar mudah, baik membuka dan menutupnya. Banyak digunakan untuk debit air yang lebih besar disbanding pintu geser. c. Pintu Air Stoney (Stoney Gate) Hampir sama dengan pintu air dengan roda, hanya saja rodanya lebih kecil tetapi banyak. d. Pintu Air Catterpillar (Roller Mounted Gate) Cara bergeraknya dibantu dengan roda-roda kecil yang jumlahnya banyak dan mengelilingi daun pintu, karena daun pintunya sangat berat. Banyak digunakan untuk bangunan air dengan debit air besar dan tekanan tinggi. e. Pintu Air Radial (Radial Gate, Tainter Gate) Berbentuk lengkung yang berputar pada titik pusatnya. Banyak digunakan untuk bangunan pelimpah yang apabila debit airnya melebihi batas, akan membuka sendiri secara otomatis. f. Pintu Air Papan Flash (Flash Board Gate) Berbentuk papan yang ditahan engsel dengan kabel. Pada waktu menutup, kedudukan pintu miring keatas dan pada waktu terbuka II - 14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka kedudukan pintu miring kearah bawah. Banyak digunakan untuk bangunan pengambilan g. Pintu Air Drum (Drum Gate) Berbentuk lengkung yang berputar pada engselnya. Banyak digunakan pada bangunan pelimpah yang apabila debit airnya melebihi batas tertentu akan membuka sendiri. h. Pembagian Pintu Air Berdasar Fungsinya a. Pintu Air Darurat(Emergency Gate) Pintu air cadangan digunakan apabila pintu air biasa rusak. b. Pintu Air Pengatur (Regulating Gate) Pintu air yang dioperasikan pada tekanan penuh untuk menahan air. c. Pintu Air Penjaga Pintu air yang dioperasikan secara membuka penuh atau menutup penuh dan tidak dapat dioperasikan sebagian. d. Pintu Air Sekat Pintu air yang digunakan untuk menutup sementara suatu saluran agar memungkinkan diadakannya pemriksaan dan pemeliharaan. e. Pintu Air Pengeluaran Pintu air untuk membuka, mengatur dan menutup aliran air yang keluar dari waduk. (Sumber : Ir. Soedibyo 2003) 2.2.5 Tipe Pelimpah Secara Umum 1. Bangunan pelimpah dengan saluran peluncur yang terletak di sisi bendungan (side overlow chute spillway). 2. Bangunan pelimpah berbentuk menara (tower spillway) II - 15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 3. Bangunan pelimpah dengan ambang di tengah dan saluran pengangkat airnya dipermukaan bendungan (centre overflow dam surface spillway) 4. Bangunan pelimpah dengan peredam energy jatuh bebas (free overfall spillway) 5. Bangunan pelimpah morning glory (morning glory tunnel spillway) 6. Bangunan pelimpah dengan pintu air (controlled spillway, gated spillway) 7. Bangunan pelimpah berbentuk siphon (siphon spillway). (Sumber : Ir. Soedibyo, 2003)
2.2.6 Bangunan Pelimpah Dengan Saluran Peluncur Yang Terletak Di Sisi Bendungan (Side Overlow Chute Spillway). Suatu
bangunan
pelimpah
yang
saluran
peluncuran
berposisi
menyamping terhadap saluran pengatur aliran di udiknya disebut bangunan pelimpah samping (side spillway). Biasanya saluran pengatur alirannya disebut saluran pengatur aliran type pelimpah samping (regulating part of sideward over flor type) dilengkapi dengan suatu bendung pengatur dan kadang-kadang bahkan dipasang pimtu-pintu. Persyaratan yang perlu diperhatikan pada bangunan pelimpah type ini adalah agar debit banjir yang melintasinya, tidak menyebabkan aliran yang menenggelamkan bendung pada saluran pengatur, karenanya agar saluran samping dibuat cukup rendah terhadap bendung tersebut. Untuk dapat memenuhi persyaratan tersebut, maka bangunan pelimpah direncakanan sedemikian rupa, agar pada saat mengalirkan debit banjir abnormal, perbedaan elevasi permukaan air di udik dan di hilir bendung pengatur tidak kurang dari 2/3 kali tinggi di atas mercu bendung tersebut. II - 16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Dan sangatlah ideal kiranya, apabila dapat diusahakan agar pada saat bangunan pelimpah melewati debit banjir-rencana, elevasi permukaan air di hilir bendung pengatur hampir sama dengan elevasi mercu bendung tersebut. Akan tetapi kondisi-kondisi topografi yang akan di hadapi pada pelaksanaan pembuatannya serta pertimbangan-pertimbangan ekonomis lainnya, mengakibtakan persyaratan-persyaratan tersebut tidak selalu dapat dicapai secara sempurna dan biasanya perbedaan-perbedaan sebesar 10 s/d 15%, masih dapat diizinkan. Didasarkan pada pertimbangan stabilitas serta untuk lebih memudahkan pelaksanaan konstruksinya, maka disarankan agar lebar dasar saluran samping diambil sekecil mungkin. Dengan lebar dasar yang sempit, maka volume penggalian akan berkurang dan akan mempunyai efek peredam energy yang tinggi. Pada bangunan pelimpah yang kecil, biasanya lebar dasar sepanjang dasar saluran samping dibuat seragam. Akan tetapi untuk saluran samping pada bangunan pelimpah yang besar-besar biasanya lebar dasar kolam akan semakin besar ke hilir, sedemikian rupa sehingga pada saat melewati debit banjir-rencana, permukaan air di dalam kolam tersebut membentuk bidang yang hampir datar dengan penampang basah paling efektif. Rumus yang biasa digunakan : 1. Rumus dasar dari I.Hinds, adalah sebagai berikut : Qx = q x….........................................................................….
(2.6)
v = a . xn...................................................................………...
(2.7) II - 17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka y=
hv................................................................................
(2.8)
Keterangan : Qx = debit pada titik x (m3/dt) q = debit per unit lebar yang melintasi bendung pengatur (m3/dt) x = jarak antara tepi udik bendung dengan suatu titik pada mercu bendung tersebut (m). v = kecepatan rata-rata aliran air di dalam saluran samping pada suatu titik tertentu (m/dt) a = koeffisien yang berhubungan dengan kecepatan aliran air di dalam saluran samping. n = eksponen untuk kecepatan aliran air di dalam saluran samping (antara 0,4-0,8) y = perbedaan elevasi antara mercu bendung dengan permukaan air di dalam saluran samping pada bidang Ax yang melalui titik tersebut di atas. hv = tinggi tekanan kecepatan aliran (hv = v2/2g). Secara teoritis dapat dianggap bahwa energy dapat di redusir secara sempurna dalam arah melintang terhadap saluran samping, sehingga komponen energy ke arah yang sejajar dengan penampang memanjang saluran tersebut dapat diabaikan. Dengan demikian air yang mengalir keluar dari saluran samping dan mulai memasuki saluran peluncur dimulai dengan energi yang mendekati harga nol. Aliran yang searah dengan penampang memanjang saluran, diusahakan agar selalu dalam kondisi aliran sub-kritis,
II - 18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka yang biasanya dapat dicapai dengan pembuatan bentuk ambang tertentu di ujung hilir saluran samping tersebut. (Sumber : Dr. Suyono Sosrodarsono, 2002) 2.2.7
Mercu Bangunan Pelimpah
Tahap-tahap dalam merencanakan penampang mercu pelimpah adalah : 1. Menentukan Kedalaman Saluran Pengarah Saluran pengarah aliran dimaksudkan agar aliran air senantiasa dalam kodisi hidrolika yang baik dengan mengatur kecepatan alirannya tidak melebihi 4 m/det dengan lebar semakin mengecil ke arah hilir. Apabila kecepatan aliran melebihi 4 m/det, maka aliran akan bersifat helisoidal dan kapasitas alirannya akan menurun. Disamping itu aliran helisoidal tersebut akan mengakibatkan peningkatan beban hidrodinamis pada bangunan pelimpah tersebut. W>
. H
.............................................................................
(2.9)
(Sumber :Suyono Sosrodarsono, 1993)
2. Penampang Mercu Pelimpah Untuk merencanakan permukaan ambang ogee dipakai metode yang dikembangkan oleh Civil Engineering Department U.S. Army atau biasa disebut rumus lengkung Harold. X1,85 = 2 x ha0,85 x Y ...............................................................
(2.10)
.
Y=
,
......................................................................
(2.11)
Keterangan : X
= Jarak horizontal dari titik tertinggi mercu bendung ketitik II - 19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka dipermukaan mercu disebelah hilir . Y
= Jarak vertical dari titik tertinggi mercu bendung ketitik dipermukaan mercu disebelah hilir.
Hd 2.2.8
= Tinggi tekanan rencana.
Kapasitas Rencana Bangunan Pelimpah Kapasitas pelimpah ditentukan terutama berdasarkan debit banjir yang diperhitungkan akan melalui dam. Kapasitas pelimpah harus cukup untuk mengalirkan debit banjir rancangan tanpa membahayakan dam dan pelimpah. Kapasitas pelimpah ditentukan oleh tinggi energi diatas mercu dan panjang yang dinyatakan dengan persamaan berikut : Q = C L Hm.............................................................................
(2.12)
(Sumber : Irigasi Dan Bangunan Air – Ir. Hadi Susilo, MM)
Keterangan : Q = Debit melalui pelimpah C = Koefisien debit L = Panjang mercu H = Tinggi energi diatas mercu m = konstanta
II - 20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.3
Analisa Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang mempelajarai siklus kejadian air yang berada diatas tanah, dipermukaan tanah dan didalam tanah.
\
Gambar 2.5 : Siklus Hidrologi (Sumber : Google)
Penjelasan sedikit mengenai siklus hidrologi yaitu air laut karena adanya penyinaran oleh matahari terjadi penguapan (evaporation). Uap air tersebut oleh desakan angina berkumpul menjadi awan. Awan yang terdiri dari kumpulan butir-butir uap air karena adanya proses desakan dan kondensasi menjadi tetestetes air dank arena pengaruh gravitasi jatuh mejadi hujan (dapat berbentuk air, salju atau butiran es tergantung pada suhu). Hujan yang jatuh ke bumi, sebagian air hujan ditahan oleh tumbuh-tumbuhan atau intersepsi, sebagian meresap kedalam tanah, sebagian melimpas dipermukaan tanah berkumpul di sungai atau meneruskan perjalanan menuju ke tumbuhan sebagai makanan, sisanya melalui batang-cabang-ranting dan daun serta diuapkan. Sebagian air ada juga karena pengaruh pori-pori batuan (tanah) ditahan oleh tenaga kapiler. Demikian seterusnya terjadi suatu siklus hidrologi terjadi 5 proses, yaitu : II - 21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 1. Evaporasi 2. Persipitasi 3. Infiltrasi 4. Perkolasi (run off dalam tanah) 5. Limpasan permukaan tanah. Adapun langkah-langkah dalam analisis hidrologi adalah sebagai berikut : 1. Menentukan Daerah Aliran Sungai (DAS) beserta luasnya. 2. Menganalisis distribusi curah hujan dengan periode ulang T tahun. 3. Menganalisis frekuensi curah hujan. 4. Mengukur dispersi 2.4
Daerah Aliran Sungai
Gambar 2.6 :Daerah Aliran Sungai (Sumber : Google)
DAS atau Daerah Aliran Sungai (catchment, basin, watershed) merupakan daerah di mana semua airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksudkan. Daerah ini umumnya dibatasi oleh batas topografi, yang berarti ditetapkan berdasar aliran air permukaan. Batas ini tidak ditetapkan berdasar air II - 22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka bawah tanah karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat kegiatan pemakaian. Nama sebuah DAS ditandai dengan nama sungai yang bersangkutan dan dibatasi oleh titik kontrol, yang umumnya merupakan stasiun hidrometri. Memperhatikan hal tersebut berarti sebuah DAS dapat merupakan bagian dari DAS lain (Sri Harto, 1993).
2.5
Penentuan Rata-Rata Hujan Suatu Daerah Stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik dimana stasiun tersebut berada ; sehingga hujan suatu luasan harus di perkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari titik pengukuran yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang tercatat di masingmasing stasiun dapat tidak sama. Dalam analisis hidrologi sering diperlukan untuk menentukan hujan rerata pada suatu daerah tersebut, yang dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu metode rerata aritmatik, metode poligon Thiessen, dan metode isohyet.
2.5.1
Metode Rerata Aritmatik (Aljabar) Metode ini adalah yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata pada suatu daerah. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada di dalam DAS, tetapi di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan.
II - 23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Metode rerata aljabar memberikan hasil yang baik apabila : 1. Stasiun hujan tersebar secara merata di DAS. 2. Distribusi hujan relative merata pada seluruh DAS. Hujan rerata pada seluruh DAS diberikan oleh bentuk berikut: ..
P=
..............................................................................
(2.13)
(Sumber : Bambang Triadmojo 2008)
Keterangan :
2.5.2
P
: Curah hujan rata-rata
P1...P2
: Besarnya hujan pada masing-masing stasiun hujan (mm)
n
: Banyaknya stasiun hujan.
Metode Polygon Thiessen Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Hitunglah curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari setiap stasiun. Pembentukan polygon Thiessen adalah sebagai berikut : 1.
Stasiun pencatat hujan digambarkan pada peta DAS yang ditinjau, termasuk stasiun hujan di luar DAS yang berdekatan.
2.
Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis lurus (garis putus) sehingga membentuk segitiga-segitiga, yang sebaiknya mempunyai sisi dengan panjang yang kira-kira sama. II - 24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 3.
Dibuat garis berat pada sisi-sisi segitiga seperti ditunjukkan dengan garis penuh.
4.
Garis-garis berat tersebut membentuk poligon yang mengelilingi tiap stasiun. Tiap stasiun mewakili luasan yang dibentuk oleh poligon. Untuk stasiun yang berada di dekat batas DAS, garis besar DAS membentuk batas tertutup dari polygon.
5.
Luas tiap poligon diukur dan kemudian dikalikan dengan kedalaman hujan di stasiun yang berada di dalam poligon.
6.
Jumlah dari hitungan pada butir e untuk semua stasiun dibagi dengan luas daerah yang ditinjau menghasilkan hujan rerata daerah tersebut, yang di dalam bentuk matematik mempunyai bentuk berikut :
Cara perhitungannya adalah sebagai berikut P=
⋯
⋯
:
.......................................................
(2.14)
(sumber :Bambang Triatmodjo, 2008)
Keterangan : P
: Tinggi curah hujan rata-rata areal
P1, P2, P3, … Pn : Hujan pada stasiun 1, 2, 3, n A1, A2, A3, … An : Luas daerah pengaruh pos 1, 2, 3, n
Gambar 2.7 : Pembagian daerah dengan cara Thiessen Sumber : Bambang Triadmojo,2008
II - 25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.5.3 Metode Isohyet Garis isohiet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dalam suatu DAS yang mempunyai kedalaman hujan yang sama. Peta isohiet digambar pada peta topografi dengan perbedaan (interval) 10 sampai 20 mm berdasarkan data curah hujan pada titik-titik pengamatan di dalam dan di sekitar daerah yang dimaksud. Luas bagian daerah antara dua garis isohiet yang berdekatan diukur dengan planimeter. Demikian dengan harga rata-rata dari garis-garis isohiet yang berdekatan yang termasuk bagian-bagian daerah itu dapat dihitung. =
… …
...............................................
(2.15)
Keterangan : = curah hujan daerah. A1, A2, . . . An = luas bagian-bagian antara garis-garis isohiet. R1, R2, . . . Rn = curah hujan rata-rata pada bagian-bagian A1, A2, . . . An. Cara ini adalah cara rasionil yang terbaik jika garis-garis isohiet dapat digambar dengan teliti.
Gambar 2.8 : Gambar Garis Isohiet (Sumber : Ir. Suyono Sosrodarsono 1993)
II - 26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2.6
Analisa Frekuensi Curah Hujan Tujuan dari analisis frekuensi data hidrologi adalah mencari hubungan antara besarnya kejadian ekstrim terhadap frekuensi kejadian dengan menggunakan
distribusi
probabilitas.
Dengan
analisis
frekuensi
akan
diperkirakan besarnya banjir dengan interval kejadian tertentu seperti 10 tahunan, 100 tahunan atau 1000 tahunan, dan berapakah frekuensi banjir dengan besar tertentu yang mungkin terjadi selama satu periode waktu, misalnya 100 tahun. Analisis frekuensi dapat diterapkan untuk data debit sungai atau data hujan. Data yang digunakan adalah data debit atau data hujan maksimum tahunan, yaitu data terbesar yang terjadi selama satu tahun, yang terukur selama beberapa tahun. Untuk mendapatkan curah hujan rancangan (Rt) dilakukan melalui analisa frekuensi. Tabel 2.1 : Persyaratan Parameter Statistik Suatu Distribusi No.
Distribusi
1
Gumbel
Persyaratan Cs = 1,14 Ck = 5,4
2
Normal
Cs ≈ 0 Ck ≈ 3
3
Log Normal
Cs = Cv3 + 3Cv Ck = Cv8 + 6Cv6 + 16Cv2 + 3
4
Log Pearson III
Selain dari nilai diatas
(Sumber : Bambang Triadmojo, 2008)
II - 27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Macam-macam pengukuran disperse antara lain : Koe`fisien Skewness (Cs) C = ∑
(X − X)
.....................................................
(2.16)
(n − 1)(n − 2) S Koefisien Kurtosis (Ck) C = n
(X − X) ............................................
(2.17)
(n − 1)(n − 2)(n − 3) S Rata-rata/mean (Xrt) X = ∑
X n
...............................................................................
(2.18)
Standar Deviasi (S)
..................................................................
(2.19)
...........................................................................……….
(2.20)
Koefisien Variasi (Cv) X =
Xi = data hujan atau data debit ke-i n = jumlah data. 2.6.1
Perhitungan Tinggi Curah Hujan Rencana Ada berbagai cara untuk menentukan besarnya curah hujan rencana, antara lain :
II - 28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 1.
Metode Distribusi Gumbel Jika data hujan yang dipergunakan dalam perhitungan adalah berupa sampel (populasi terbatas), maka perhitungan hujan rencana berdasarkan Metode Distribusi Gumbel dilakukan dengan rumus-rumus berikut : XT = X + S X K
........................................................................
(2.21)
(Sumber : I Made Kamiana, 2011)
Keterangan : XT
= hujan rencana dengan periode ulang T tahun.
X
= nilai rata-rata dari data hujan (X) mm.
S
= standart deviasi dari data hujan (X) mm.
K
= Faktor frekuensi Gumbel : =
2. Metode Distribusi Normal Distribusi normal atau kurva normal disebut juga distribusi Gauss.
…………………………………………… (2.22) Keterangan: XT
: Besarnya curah hujan yang terjadi dengan kala ulang T tahun
X
: Rata-rata hitung variat
Sx
: Standard deviasi
k
: Faktor frekuensi (nilai variabel reduksi Gauss).
II - 29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Tabel 2.2. Nilai Reduksi Gauss
(Sumber : C.D. Soemarto)
3. Metode Distribusi Log Normal Distribusi log normal adalah transformasi distribusi normal, yang mengubah variabel x terhadap logaritma x. Untuk parameter log metode normal persamaan transformasi dinyatakan sebagai:
keterangan: X
= Nilai variat pengamatan
S log X
= Standart deviasi dari logaritma
n
= Jumlah data II - 30
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
X log
= Logaritma rata-rata
K
= Karakteristik dari distribusi log normal.
Nilai K dapat diperoleh dari tabel yang merupakan fungsi dari periode ulang dan nilai koefisien variasinya (Cv). Dimana: Cv = Sx/x Tabel 2.3. Faktor Frekuensi K Metode Distribusi Log Normal.
(Sumber : C.D. Soemarto)
4. Metode Distribusi Frekuensi Log Person Type III Metode yang dianjurkan dalam pemakaian distribusi Log Person Type III adalah dengan mengkonversikan rangkaian datanya menjadi bentuk logaritmis. logX = Log X + K x S Log X ..................................................
(2.23)
(Sumber : I Made Kamiana, 2011)
II - 31
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Keterangan : log XT
= nilai logaritmis hujan rencana dengan periode ulang T.
log X
= nilai rata-rata dari log
S log X
= deviasi standar dari log X.
S log X
=
KT
= variable standar, besarnya tergantung koefisien kemencengan (Cs atau G)
2.7
Penentuan Debit Banjir Rencana dengan Metode Unit Hydrograph Karakteristik bentuk hidrograf yang merupakan dasar dari konsep hidrograf satuan adalah sebagai berikut : 1. Hidrograf menggambarkan semua kombinasi dari karakteristik fisik DAS (bentuk, ukuran, kemiringan, sifat tanah) dan karakteristik hujan (pola, intensitas, dan durasi) 2. Mengingat sifat DAS tidak berubah dari hujan yang satu dengan hujan yang lain, maka hidrograf yang di hasilkan oleh hujan dengan durasi dan pola serupa memberikan bentuk dan waktu dasar yang serupa pula. Dengan demikian dapat dilakukan superposisi dari hidrograf satuan waktu tertentu, hidrograf yang terjadi akan mepunyai bentuk yang sama dengan hidrograf hujan efektif 1 mm dengan durasi yang sama, kecuali bahwa ordinatnya adalah dua kali lebih besar (Gambar 2.10.b). Demikian juga, apabila hujan efektif 1 mm terjadi dalam dua satuan durasi yang berurutan, hidrograf yang dihasilkan adalah jumlah dari dua hidrograf 1 mm, dengan hidrograf kedua mulai dengan keterlambatan satu satuan waktu ( Gambar 2.10.c)
II - 32
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 3. Variasi sifat hujan mempunyai pengaruh signifikan pada bentuk hidrograf, yang meliputi a. durasi hujan, b. intesitas hujan dan c. distribusi hujan pada DAS
Gambar 2.9 : Prinsip hidrograf satuan (Sumber : Triadmojo, 2008)
2.7.1 Metode HSS Gama 1
Gambar 2.10 : Hidrograf Satuan Sintetik Gama I (Sumber : Triadmojo, 2008)
II - 33
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Hidrograf satuan sintetis Gama I dikembangkan oleh Sri Harto (1993,2000) berdasarkan perilaku hidrlogis 30 DAS di Pulau Jawa. Meskipun diturunkan dari data DAS di Pulau Jawa, ternyata hidrograf satuan sintetis Gama I berfungsi baik untuk berbagai daerah lain di Indonesia. HSS Gama I terdiri dari tiga bagian pokok yaitu sisi naik (rising limb), puncak (crest) dan sisi turun/resesi (recession limb). Gambar 2.10 menunjukkan HSS Gama I. Dalam gambar tersebut tampak ada patahan dalam sisi turun. Hal ini disebabkan sisi resesi mengikuti persamaan eksponensial, yang tidak memungkinkan debit sama dengan nol. Meskipun pengaruhnya sangat kecil namun harus diperhitungkan mengingat bahawa volume hidrograf satuan harus tetap satu. HSS Gama I terdiri dari empat variabel pokok yaitu waktu naik (time of rise – TR), debit puncak (Qp), waktu dasar (TB), dan sisi resesi yang di tentukan oleh nilai koefisien tampungan (K) yang mengikuti persamaan berikut : Qt = Qp.e -t/K
...................................................................................
(2.24)
Keterangan : Qt
: Debit yang diukur pada jam ke t sesudah debit puncak dalam m3/det
Qp
: Debit puncak dalam m3 /det.
t
: Waktu yang diukur dari saat terjadinya debit puncak dalam jam.
K
: Koefisien tampungan dalam jam
Persamaan-persamaan yang digunakan dalam HSS Gama I adalah : 1. Waktu puncak HSS Gama I (TR) TR = 0,43 (
)3 +1,0665 SIM+1,2775 ...............................................
(2.25)
II - 34
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2. Debit puncak banjir (QP) QP = 0,1836 A0,5886 TP-0,4008JN-0,2381 ........................................
(2.26)
3. Waktu dasar (TB) .................
(2.27)
............................
(2.28)
TB = 27,4132 TP0,1457 S-0,0986 SN0,7344 RUA0,2574 4. Koefisien resesi (K) K = 0,5617 A0,1798 S-0,1446 SF-1,0897 D0,0452 5. Aliran Dasar (QB) QB = 0,4715 A0,6444 D0,9430
...................................................
(2.29)
Parameter yang diperlukan dalam analisis menggunakan HSS Gama 1 antara lain : 1. A
: Luas DAS (km2)
2. L
: Panjang alur sungai utama ( km)
3. K
: Koefisien tampungan (jam)
4. S
: Kemiringan dasar sungai
5. SF
: Faktor sumber, perbandingan antara jumlah pangsa sungai tingkat satu dengan jumlah panjang sungai semua tingkat
6. WF
: Faktor lebar, perbandingan antara lebar DAS yang diukur di titik sungai berjarak 0,75 L dengan lebar DAS yang iukur di sungai berjarak 0,25 L dari stasiun hidrometri ( Gambar 2.11 )
7. JN
: Jumlah pertemuan sungai
8. SIM
: Faktor simteri, hasil kali antara factor lebar (WF) dengan luas DAS sebelah hulu ( RUA)
II - 35
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 9. RUA
: Luas DAS sebelah hulu, perbandingan antara luas DAS yang di ukur di hulu garis yang ditarik tegal lurus garis hubung antara stasiun hidrometri dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DAS, melalui titik tersebut (Gambar 2.12)
10. D
: Kerapatan jaringan kuras, jumlah panjang sungai semua tingkat tiap satuan luas DAS.
Gambar 2.11 : Sketsa Penetapan WF (Sumber : Triadmojo, 2008)
Gambar 2.12 : Sketsa Penetapan RUA (Sumber : Triadmojo, 2008)
II - 36
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Persamaan tambahan yang terkait dengan HSS Gama I adalah indeks infiltrasi atau ɸ indeks. Besarnya ɸ indeks dapat dihitung dengan persamaan berikut : ɸ = 10,4903 – 3,859.10-6 A2 + 1,6985.10-13( )4 Keterangan : ɸ indeks
: Indeks infiltrasi
A
: Luas DAS (km2)
SN
: Frekuensi sumber
(Sumber : Bambang Triadmojo 2008)
2.7.2 Metode Nakayasu Nakayasu (1950) telah menyelidiki hidrograf satuan di jepang dan memberikan seperangkat persamaan untuk membentuk suatu hidrograf satuan sebgai berikut : 1. Waktu kelambatan (time lag, tg), rumusnya tg = 0,4 + 0,058 x L ;
untuk L > 15 km ....................
(2.30)
tg = 0,21 x L0,7
untuk L < 15 km ....................
(2.31)
2. Waktu puncak dan debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan sebagai berikut : tp = tg + 0,8 Tr
.........................................................
(2.32)
3. Waktu saar debit sama dengan 0,3 kali debit puncak : = α x tg ........................................................
T0,3
(2.33)
4. Debit puncak hidrograf sintetis dirumuskan sebagai berikut : Qp =
,
(
,
,
) .......................................................
(2.34)
II - 37
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka Keterangan rumus (2.31) s/d (2.36) : tg = waktu konsentrasi (jam). L = panjang sungai utama (km). t0,3 = waktu dari puncak banjir sampai 0,3 kali debit puncak (jam). α = koefisien karakteristik DAS biasanya diambil 2. Tp = waktu dari permulaan banjir sampai puncak hidrograf (jam). Qp = debit puncak banjir (m3/detik). A = luas DAS (km2). Tr = satuan waktu dari curah hujan (jam).
Re = curah hujan efektif (1mm). Bentuk hidrograf satuan diberikan oleh persamaan berikut : 1. Pada kurva naik (0 < t < Tp) Qt = Qp ( )2,4 ……………………………………………….
(2.35)
Gambar 2.13 : Hidrograf satuan sintesis Nakayasu (Sumber : Triadmojo, 2008)
II - 38
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka 2. Pada kurva turun (Tp < t < Tp + T0,3) Qr = Qp x 0,3 (t-Tp)/ T0,3 ……………………………………….
(2.36)
3. Pada kurva turun ( Tp + T0,3 < t < Tp + T0,3 + 1,5T0,3 ) Qt = Qp x 0,3((t- Tp) + (0,5T0,3))/(1,5T0,3) .........................................
(2.37)
4. Pada kurva turun (t < Tp + T0,3 + 1,5T0,3 ) Qt = Qp x 0,3 ( (t-Tp)(1,5T0,3))/(2T0,3) …………………………….
(2.38)
Keterangan : Q = debit sebelum mencapai debit puncak (m3/detik). t 2.8
= waktu (jam)
Ruting Banjir Di Dalam Waduk (Flood Routing) Salah satu manfaat dari pembangunan bendungan dengan waduknya adalah untuk pengendalian banjir suatu sungai. Ini dapat terjadi karena air banjir ditampung didalam waduk yang volumenya relative besar, sehingga air yang keluar dari hulu debitnya sudah mengecil. Makin besar volume waduk akan makin besar pula manfaat pengendalian banjirnya. Apabila terjadi banjir, maka permukaan air dalam waduk naik sedikit demi sedikit dan dari beberapa kali banjir waduk akan penuh air dan mencapai ambang bangunan pelimpah. Kemudian air mulai melimpah melewati bangunan pelimpah. Apabila banjirnya belum reda, maka permukaan air dalam waduk masih akan naik sedikit sampai permukaan air waduk mencapai maksimal. Jadi sebagian dari air banjir mengalir lewat bangunan pelimpah, sedang sisanya menyebabkan naiknya permukaan air didalam waduk. Tinggi permukaan air waduk maksimal ini harus dapat dihitung dengan teliti dengan melakukan ruting banjir. Dengan mengetahui tinggi permukaan air waduk maksimal ini dapat dicari tinggi bendungan yang paling II - 39
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka menguntungkan (optimal) yang masih dalam keadaan aman terhadap resiko banjir. Salah satu cara yang akan diuraikan disini adalah dengan cara tahap demi tahap (step by step). Sedang cara lain dapat dipelajari dari buku-buku hidrologi. Rumus dasarnya adalah : I – O =
………………………………………………………… (2.39)
Keterangan : I = inflow, debit air yang masuk ke dalam waduk (m3/detik), untuk suatu sungai dapat ditentukan. O = outflow, debit air yang keluar dari waduk (m3/detik) lewat bangunan pelimpah dapat ditentukan. = debit air yang tertahan di d alam waduk untuk jangka waktu yang pendek.
Gambar 2.14 : Sketch waduk Hidrograph inflow
Hidrograph outflow
Gambar 2.15 : Flood Routing (Sumber : google)
II - 40
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Apabila ditulis dalam bentuk integral menjadi : ʃ I . dt - ʃ O . dt = S2 – S1…………………………………………..
(2.40)
ʃ I . dt dan ʃ O . dt adalah debit x waktu untuk jangka yang pendek dan merupakan volume air. Apabila diambil jangka waktu t yang cukup pendek, maka ʃ .dt dapat disamakan dengan harga rata-rata dari 2 inflow yang berurutan (I1 dan I2). Jangka waktu t di sesuaikan dengan hidrograf sungai yang ada. Untuk hidrograf yang waktunya diambil harian, maka t diambil harian, maka t dapat diambil 12 jam atau 6 jam. Untuk hidrograf yang waktunya diambil jam, maka agar teliti jangka waktu t diambil 2 atau 3 jam. I. dt =
I₁ + I₂ 2
Dengan cara yang sama maka O.dt = Jadi
₁
₂
.t -
₁
₂
₁
₂
.t = S2 – S1 ………………………………………....
(2.41)
Keterangan :
₁
₂
₁
= rata-rata inflow setiap tahap (m3/detik) ₂
= rata-rata outflow setiap tahap (m3/detik)
t
= jangka waktu (periode) dalam detik
S2 – S1
= tambahan
air yang tertampung di dalam waduk (m)
Besaran-besaran yang sudah diketahui (I1, I2, t dan S1 ) diletakan disebelah kiri,sedang yang masih harus dicari (O2 dan S2) diletakan disebelah kanan ₁
₂
.t - . O1 .t = S2 – S1
II - 41
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka ₁
₂
.t + (S1 - . O1 .t) = S2 + O2 .t ……………………………………….(2.42)
Mula-mula diperkirakan tinggi kenaikan permukaan air waduk, misalnya h1 (diatas ambang bangunan pelimpah). Dapat dihitung volume (S2 – S1) di dalam waduk. Karena I1, I2,t dan O1sudah tertentu, maka dapat dicari O2. Kemudian masuk di dalam perhitungan tahap berikutnyasehingga dapat dicari tinggi permukan air waduk. Apabila angka ini berbeda (biasanya memang demikian) lalu diadakan perhitungan berikutnya. (Sumber : Ir. Soedibyo 2003) 2.9
Kriteria Banjir Rencana Sesuai SNI 03-3432-1994 Kriteria banjir rencana diperlukan sebagai acuan dan pegangan di dalam menetapkan banjir desain, tampungan banjir pada bendungan dan menetapkan kapasitas pelimpah. Besarnya banjir desain ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam tabel “Patokan Banjir Desain dan Kapasitas Pelimpah untuk Bendungan”. Tabel 2.4. Patokan Banjir Desain dan Kapasitas Pelimpah untuk Bendungan.
(sumber : SNI 03-3432-1994)
II - 42
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka * Q1000
= Banjir dengan kala ulang 1000 tahun
** BMB
= Banjir maksimum boleh jadi
*** Q100
=Debit
puncak
banjir
dengan
kala
ulang
100
tahun
II - 43
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
II-44
http://digilib.mercubuana.ac.id/