KAJIAN KETERSEDIAAN OKSIGEN DAN KAITANNYA DENGAN BEBAN ORGANIK DI PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE
SIGID HARIYADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul: “KAJIAN KETERSEDIAAN OKSIGEN DAN KAITANNYA DENGAN BEBAN ORGANIK DI PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE” adalah benar merupakan tulisan disertasi berdasarkan hasil penelitian saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Agustus 2011
Sigid Hariyadi Nrp. C161040021
ABSTRACT SIGID HARIYADI. A study on dissolved oxygen and its relation to organic matter load in the Cisadane River estuary. Under the supervision of ENAN M. ADIWILAGA, TRI PRARTONO, SOEDODO HARDJOAMIDJOJO, and ARIO DAMAR. The Cisadane River estuary might be polluted by organic wastes from various anthropogenic activities in the catchment area, which may significantly increase its organic matter load, and eventually cause depletion of dissolved oxygen (DO). This research is intended to obtain information concerning DO and its relation to organic matter (BOD, COD, organic N) conditions in the Cisadane River estuary, in particular during the dry season when the river flow is limited, and to obtain information where the potential critical estuarine zone due to decreased DO. Dissolved oxygen, BOD, COD, Total Kjeldhal Nitrogen (to determine organic N) , salinity, temperature, pH, water transparency, and microbial content were studied at four stations, each representing riverine zone, mixing zone, and marine zone, from surface and bottom layers, during low and high tides. Observations were conducted in 2007 (September-October) and 2008 (June, July, August). BOD was determined by three days incubation at 30 ºC. BOD rate constant (k) was also determined using least-squares analysis. Primary productivity (photosynthetic oxygen production) of the estuary were studied at two stations in the mixing zone. Sediment oxygen demand from the mixing zone stations, were also studied in the laboratory (Nested design experiment). Dissolved oxygen in the estuary ranged between 0.0-7.6 mg/L with the maxima average of 2.58 ± 2.23 mg/L in the riverine and mixing zones, and the average values of 6.37 ± 0.80 mg/L in the marine zone. The DO in the riverine and mixing zones were classified as hypoxia (< 3 mg/L), and even anoxic at several observations in these two zones. The BOD ranged from 0.52 to 13.49 mg/L, the highest was in the riverine zone (5.0 ± 3.5 mg/L), followed by the mixing zone (4.1 ± 2.2 mg/L), and marine zone (2.5 ± 1.0 mg/L). The BOD/COD ratio varied between 0.005-0.95, with the highest fluctuation in the marine zone. The BOD rate constant also varied between 0.01-0.89 per day, meanings that the estuary’s degradation rate in decomposing organic matter varied from very slow to very fast. On the average, oxygen utilization rate per hour was highest in the riverine zone, followed by mixing zone. Oxygen utilization at the riverine and mixing zone were about 0.14-0.56 mg/L per hour, and these values were considerably high compared to the DO values available. There is no certain relation between DO and organic matter (BOD) at the estuary zone of the Cisadane River. The budget oxygen approach indicated that oxygen loads from reaeration and photosynthesis were not sufficient for the water column decomposition and respiration, and also for the sediment oxygen demand. Oxygen input carried by the ocean tide plays a more important role in supplying oxygen to the mixing zone compared to the oxygen carried by the river flow. Keywords: Dissolved oxygen, BOD, estuary, Cisadane River, hypoxia
RINGKASAN SIGID HARIYADI. Kajian ketersediaan oksigen dan kaitannya dengan beban organik di perairan estuari sungai cisadane. Dibimbing oleh ENAN M. ADIWILAGA, TRI PRARTONO, SOEDODO HARDJOAMIDJOJO, dan ARIO DAMAR. Estuari Cisadane adalah muara dari S. Cisadane, salah satu sungai besar di Jawa, yang alirannya melintasi daerah pemukiman yang luas dengan beragam kegiatan, yaitu kota Bogor dan Tangerang. Limbah dari berbagai kegiatan perkotaan tersebut, diduga telah menyebabkan meningkatnya beban limbah organik mudah urai (biodegradable organic wastes) sehingga berakibat pada penurunan kualitas air, antara lain kondisi hypoxia (kadar oksigen terlarut ≤ 3 mg/L), di estuari. Kondisi hypoxia di estuari dapat terjadi sehubungan dengan penggunaan oksigen yang tinggi terutama untuk dekomposisi bahan organik. Tingginya beban bahan organik ini terutama akibat limbah berbagai kegiatan manusia (antropogenik) di sepanjang aliran sungai, yang terbawa aliran dan tertahan oleh arus pasang-surut laut, khususnya di musim kemarau saat debit aliran sungai rendah, sehingga dapat terakumulasi pada zona tertentu di estuari. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai kandungan oksigen terlarut (DO, Dissolved Oxygen) di perairan estuari dan kaitannya dengan beban masukan bahan organik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan neraca DO di perairan estuari muara S. Cisadane; menentukan zona di estuari yang potensial kritis; dan memprediksi kebutuhan oksigen minimal yang dibutuhkan agar perairan estuari cukup layak secara ekologis, khususnya di musim kemarau saat debit sungai rendah. Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau pada dua periode, yakni pada bulan Juli – Oktober 2007 dan dilanjutkan pada bulan Juni – Agustus 2008. Penelitian dilakukan di estuari muara S. Cisadane, di Tanjung Burung, Kabupaten Tangerang. Berdasarkan kondisi hidrooseanografi, dan pendekatan box model, pengamatan dan pengambilan contoh dilakukan pada empat stasiun, St. 1 di zona sungai, St. 2 dan St. 3 di zona percampuran (payau), dan St. 4 di zona laut. Pengamatan dilakukan pada saat pasang dan surut, pada bagian permukaan dan dasar perairan. Parameter yang diamati meliputi kandungan DO, bahan organik (BOD3, Total Kjeldahl Nitrogen – TKN untuk mendapatkan total organik nitrogen, dan COD), salinitas, temperatur, pH, kecerahan, kekeruhan dan potensial redoks sedimen. Pengamatan produktivitas primer (produksi oksigen dari fotosintesis) dilakukan pada kedua stasiun di zona percampuran. Kandungan mikroba pada sampel dari keempat stasiun juga diamati untuk mendapatkan gambaran mikroba yang terlibat dalam dekomposisi bahan organik. Analisis kualitas air dan penelitian laboratorium penentuan laju reaksi BOD serta penelitian penggunaan oksigen sedimen, dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor. Analisis mikrobiologi dilakukan di Laboratorium Bakteriologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor. Pengamatan BOD3 dilakukan dengan inkubasi 3 hari pada 30oC. Analisis laju konstanta reaksi BOD (k) dengan menggunakan analisis kuadrat terkecil (least square analysis). Pendekatan neraca oksigen adalah bahwa muatan (load) oksigen aktual (MOak) hasil pengukuran setara dengan muatan oksigen dari reaerasi (MOdif) ditambah muatan oksigen hasil fotosintesis (MOfo) ditambah muatan oksigen bawaan sungai dan laut (MOsL) dikurangi muatan oksigen dekomposisi kolom air
(MOde) dikurangi muatan oksigen kebutuhan sedimen (MOsed), dengan asumsi muatan oksigen untuk respirasi biota makro dianggap rendah (tidak signifikan) mengingat hampir tidak adanya ikan ataupun biota air makro lainnya. Dengan demikian persamaan neraca oksigen tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: MOak = MOdif + MOfo + MOsL - MOde - MOsed. Masukan dari reaerasi dihitung dengan pendekatan koefisien reaerasi berdasarkan kecepatan arus dan flux difusi oksigen. Masukan dari proses fotosintesis melalui pengukuran produktivitas primer perairan dan penentuan kedalaman kompensasi berdasarkan nilai kecerahan, Penggunaan oksigen di kolom air melalui perhitungan berdasarkan konstanta laju reaksi BOD (k), dan penggunaan oksigen oleh sedimen berdasarkan percobaan degradasi bahan organik sedimen di laboratorium. Penghitungan beban atau muatan (load) didasarkan atas volume ruas perairan. Hasil pengamatan hidrooseanografi menunjukkan bahwa pada umumnya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari, tetapi pada saat pasang purnama bisa terjadi dua kali pasang dan surut dalam sehari, sehingga bertipe pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide, prevailing diurnal). Pola pasang-surut yang terjadi hampir sama dengan pola pasang surut ramalan Jawatan Hidro-oseanografi TNI AL untuk Pelabuhan Tanjung Priok. Perbedaannya terletak pada kejadian pasang dan surut di muara Cisadane terjadi 3-4 jam lebih awal. Berdasarkan stratifikasi salinitas, estuari Cisadane tergolong estuari tercampur sebagian (partly mixed estuary) atau sedikit terstratifikasi (a slightly stratified estuary). Sebaran salinitas estuari Cisadane di musim kemarau mencapai sekitar 12 km ruas sungai Cisadane di muara. Lebar sungai rata-rata adalah 51,1 m dengan kedalaman yang bervariasi antara 1-8 m dengan rata-rata kedalaman 5,3 m. Kandungan DO di estuari berkisar 0,0–7,6 mg/L dengan rata-rata 0,98 ± 1,03 mg/L di zona sungai, 1,60 ± 1,38 mg/L di zona percampuran, dan rata-rata 6,37 ± 0,80 mg/L di zona laut. Konsentrasi DO di zona sungai dan zona percampuran digolongkan sebagai hipoksia, yakni kondisi kekurangan oksigen dengan konsentrasi kurang dari 3 mg/L. Bahkan pada beberapa kali pengamatan teramati kondisi anoksia atau kadar oksigen nol, baik di zona sungai maupun di zona percampuran. Secara umum dapat dikatakan bahwa DO di zona sungai relatif lebih rendah daripada DO di zona percampuran. DO di bagian dasar cenderung lebih rendah daripada bagian permukaan di semua stasiun, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata (p<0,05). DO pada saat pasang dan saat surut juga tidak berbeda nyata (p<0,05), walaupun nampak cenderung lebih rendah pada saat surut. Nilai BOD3 (Biochemical Oxygen Demand) berkisar 0,52–13,49 mg/L, rata-rata tertinggi adalah di zona sungai (5,0 ± 3.5 mg/L), tergolong tinggi di zona percampuran (4.1 ± 2.2 mg/L), dan rendah di zona laut (2.5 ± 1.0 mg/L). Dari data tersebut nampak bahwa sumber beban BOD atau bahan organik terutama berasal dari sungai. Rasio BOD/COD bervariasi antara 0,005-0,95 dengan variasi tertinggi di zona laut. Rasio tersebut memberikan gambaran bahwa bahan organik mudah urai, yang terkait juga dengan kemampuan perairan mendegradasi, bervariasi dari sangat rendah (0,5%) hingga sangat tinggi (95%) terhadap total bahan organik yang ada. Total N-organik perairan tergolong rendah dibanding nilai BOD. Di zona sungai dan zona estuari, proporsi Norganik rata-rata hanya sekitar 0,27 dan 0,21 dari bahan organik yang dinyatakan dengan nilai BOD3. Tidak terlihat adanya pola hubungan tertentu antara BOD dan DO di estuari, nilai korelasi antara DO dan BOD juga sangat rendah, berkisar 0,39
(positif) hingga -0,58 (negatif). Konstanta laju reaksi BOD (k) juga bervariasi antara 0,01–0,89 per hari. Ini berarti laju degradasi estuari dalam mendekomposisi bahan organik bervariasi dari lambat hingga sangat cepat. Laju penggunaan oksigen per jam tertinggi terjadi di zona sungai, kemudian zona percampuran dan zona laut. Rata-rata penggunaan oksigen di zona sungai dan zona percampuran adalah sekitar 0,14–0,56 mg/L/jam, dan ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan kadar DO yang ada. Rata-rata laju penggunaan oksigen per jam berdasarkan nilai konstanta laju reaksi BOD ini, mengindikasikan penggunaan oksigen yang tinggi untuk keperluan dekomposisi. Hasil penelitian penggunaan oksigen oleh sedimen perairan di laboratorium menunjukkan bahwa antara sedimen yang diaduk dan sedimen yang tidak diaduk, menghasilkan kebutuhan oksigen yang tidak berbeda nyata. Kebutuhan oksigen sedimen dari dua stasiun pengamatan di estuari Cisadane berkisar 1,77–2,43 mg/L dalam sehari atau setara 0,53 – 0,73 g/m2/hari, dengan rata-rata 0,63 g/m2/hari. Hasil ini dapat dikatakan tergolong rendah bila dibandingkan dengan kebutuhan oksigen sedimen di berbagai perairan estuari lainnya. Tekstur sedimen tergolong tipe liat dan liat berdebu, berwarna hitam, dengan nilai potensial redoks berkisar -204 mV hingga -352 mV. Nilai potensial redoks dengan nilai negatif yang tinggi ini, dapat dengan segera menyerap oksigen. Pengamatan produksi oksigen dari fotosintesis menunjukkan hasil dengan nilai kisaran yang sedang, yakni 0,58 – 3,37 mgO2/L/4jam atau setara 45,31 – 263,28 mgC/m3/jam. Hasil ini tidak terlalu berbeda dengan produktivitas primer perairan estuari lainnya di Indonesia, seperti estuari Muara Jaya, Teluk Jakarta, estuari Boa dan estuari Pinrang di Teluk Bone, dan Teluk Hurun, Lampung. Berdasarkan produktivitas primer ini, proses fotosintesis menyumbang pasokan oksigen terlarut sekitar 2,24 mgO2/L/hari. Walaupun demikian, karena kecerahan perairan yang relatif rendah, pasokan oksigen dari proses fotosintesis ini hanya sampai kedalaman sekitar 1 m saja dari kedalaman ratarata perairan yang sekitar 5,3 m. Hasil perhitungan neraca oksigen menunjukkan bahwa muatan masukan oksigen dari reaerasi di tambah muatan masukan dari fotosintesis tidak cukup bagi keperluan dekomposisi dan respirasi kolom air maupun sedimen, sehingga terjadi defisit. Dengan masih adanya oksigen yang terukur di perairan, menunjukkan bahwa masih ada oksigen yang tersisa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masukan oksigen bawaan sungai/laut berperanan penting dalam memasok oksigen di zona percampuran. Karena oksigen di zona sungai sangat rendah dan bahkan kadang-kadang tanpa oksigen (anoksia), maka pasokan oksigen ke zona percampuran terutama berasal dari laut yang kandungan oksigennya relatif tinggi. Dengan pendekatan model perhitungan neraca oksigen ini, dengan anggapan bahwa bawaan oksigen dari pasang air laut sudah cukup memadai, dapat dihitung besaran oksigen bawaan aliran sungai yang diharapkan, yakni sedikitnya sebesar 5,8 mg/L, agar kandungan oksigen terlarut di zona percampuran estuari ini tidak kurang dari 3 mg/L. Dengan demikian untuk memperbaiki kondisi perairan estuari, maka kandungan oksigen di zona sungai yang harus diperbaiki atau ditingkatkan, antara lain dengan mengurangi dan membatasi bahan organik yang masuk sungai sehingga kebutuhan oksigen untuk dekomposisi berkurang. Kata kunci: oksigen terlarut, BOD, estuari, Sungai Cisadane, hipoksia
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN KETERSEDIAAN OKSIGEN DAN KAITANNYA DENGAN BEBAN ORGANIK DI PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE
SIGID HARIYADI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada: Ujian Tertutup:
1. Dr.Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA. (Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian, IPB) 2. Dr.Ir. Kukuh Nirmala, MSc. (Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB)
Ujian Terbuka:
1. Dr.Ir. A. Hasanudin, ME. (Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, Bandung) 2. Prof.Dr.Ir. D. Djokosetyanto (Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB)
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang, karena atas segala karuniaNYA penulisan disertasi berjudul “Kajian Ketersediaan Oksigen dan Kaitannya dengan Beban Organik di Perairan Estuari Sungai Cisadane” ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Tri Prartono, MSc, Bapak Prof.Dr.Ir. Soedodo Hardjoamidjojo, MSc, dan Bapak Dr.Ir. Ario Damar, MS selaku anggota komisi pembimbing. 2. Ibu Dr.Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA, Dr.Ir. Kukuh Nirmala, Dr.Ir. A. Hasanudin, ME, dan Prof.Dr.Ir. D. Djokosetyanto selaku dosen penguji. 3. Dirjen DIKTI Kementerian Pendidikan Nasional, atas bantuan dana pendidikan BPPS. 4. Laboratorium ProLing, Departemen MSP, Fak. Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB atas bantuan dana dan fasilitas penelitian. 5. Mahasiswa-mahasiswa Departemen MSP, FPIK IPB yang telah menjadi sarjana perikanan: Muhamad Faiz, Henry Kasmanhadi S., Mulyoko, Mira Kasmayati, Fajar Renita S., Riyan Hadinafta, dan Dewi Mustika, atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian. 6. Pak Unan beserta Keluarga dan Pak Nasin di Tanjung Burung, Tangerang atas bantuan perahu dan akomodasi di lapangan. 7. Ketua Program Studi Ilmu Perairan beserta seluruh staf pengajar. 8. Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), FPIK IPB dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. 9. Bapak Dr. Chaerul Muluk beserta Ibu, dan Bapak Dr.Ir. Kardiyo Praptokardiyo atas segala bantuan dan saran. 10. Ibunda penulis di Sidoarjo, Jawa Timur, dan keluarga besar di Sidoardjo, Malang, Bandung, Bojonegoro. 11. Untuk Andrie, Gita dan Dani, istri dan anak-anak tercinta, atas segala dukungannya. 12. Rekan-rekan kolega di FPIK IPB dan semua pihak yang telah ikut berperan dalam proses penyelesaian disertasi ini. Penulis menyadari penelitian ini masih belum sempurna, oleh karena itu saran untuk perbaikan sangat penulis hargai. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat. Bogor, Agustus 2011 Sigid Hariyadi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 18 November 1959 di Malang, Jawa Timur dari ayah bernama Sastroatmodjo Goenadi (almarhum) dan ibu bernama Supijati, sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara. Penulis memulai sekolah dasar di SD Negeri Sempol, Perkebunan (kopi) Kalisat/Jampit, Bondowoso, Jawa Timur pada tahun 1966. Kemudian pada tahun 1970 pindah ke SD Negeri Dabasah I Bondowoso dan lulus pada tahun 1971. Pada tahun 1974 penulis lulus dari SMP Negeri I Bondowoso, dan pada tahun 1977 lulus dari SMPP Negeri Bondowoso. Penulis masuk Institut Pertanian Bogor pada tahun 1978, dan lulus dari bidang keahlian Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan IPB pada tahun 1983 . Pada tahun 1984, penulis bekerja sebagai CIDA-Researcher Counterpart di Solo pada Fisheries and Aquatic Environment Feasibility Study, bagian dari Proyek Pengembangan Bengawan Solo Hilir. Pada tahun 1985, penulis diterima bekerja sebagai Staf Pengajar di Fakultas Perikanan IPB. Pada Maret 1989, penulis mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Republik Indonesia/USAID untuk melanjutkan studi S2 pada Department of Fisheries and Allied Aquacultures, Auburn University, Auburn, Alabama, USA dengan penelitian mengenai manajemen kualitas air dan lulus tahun 1991. Penulis melanjutkan pendidikan S3 sejak Agustus 2004 pada Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa BPPS. Pada 1 November 2008 hingga 24 Februari 2009 penulis berkesempatan mengikuti Program “Sandwich” Ditjen Pendidikan Tinggi kembali ke Auburn University, USA pada departemen yang sama. Sebuah artikel telah diterbitkan pada Jurnal LIMNOTEK (Vol. 17, No. 1, 2010) (Pusat Penelitian Limnologi LIPI) dengan judul “Produktivitas Primer Estuari Sungai Cisadane pada Musim Kemarau”. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor sampai sekarang. Menikah dengan Ir. Hartati Wulandari, penulis dikarunia dua orang anak, seorang putri: Annisa Gita Rahmadianti dan seorang putra: Afriyadi Yanuar Rahmadani.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xviii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
xx
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN...........................................................
xxii
1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 1.4. Kebaruan Penelitian .................................................................... 1.5. Kerangka Pemikiran ....................................................................
1 1 2 3 4 5
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2.1. Karakteristik perairan estuari ....................................................... 2.2. Oksigen terlarut di perairan........................................................... 2.3. Konsepsi BOD ............................................................................. 2.4. Peranan Nitrogen dalam dekomposisi ......................................... 2.5. Kapasitas asimilasi perairan ........................................................ 2.6. Box model .................................................................................... 2.7. Perkembangan penelitian oksigen terlarut di estuari .................... 2.8. Perairan estuari muara Cisadane .................................................
9 9 10 13 15 16 16 18 25
3. METODE PENELITIAN ........................................................................... 3.1. Waktu dan Tempat ....................................................................... 3.2. Bahan dan Metode ...................................................................... 3.2.1. Bahan dan Alat ......................................................................... 3.2.2. Metode Penelitian ..................................................................... 3.2.2.1. Pendekatan penelitian ......................................................... 3.2.2.2. Pendekatan model .............................................................. 3.2.2.3. Penelitian awal .................................................................... 3.2.2.4. Penelitian Lapangan ........................................................... 3.2.2.5. Penelitian Laboratorium ...................................................... 3.2.3. Analisis Data ........................................................................... 3.2.3.1. Analisis Deskriptif ................................................................ 3.2.3.2. Uji t dan Korelasi ................................................................. 3.2.3.3. Analisis Metode Kuadrat Terkecil ......................................... 3.2.3.4. Analisis Rancangan Acak Bersarang .................................. 3.2.3.5. Analisis Muatan ...................................................................
27 27 27 27 28 28 29 31 31 34 37 37 37 38 38 38
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 4.1. Hidro-oseanografi Estuari Cisadane ................................................ 4.1.1. Pola pasang surut .................................................................. 4.1.2. Stratifikasi salinitas dan temperatur ........................................ 4.1.3. Kecepatan arus ...................................................................... 4.1.4. Profil dasar longitudinal estuari Cisadane .............................. 4.2. Oksigen Terlarut ..............................................................................
45 45 45 47 51 52 53
xv
4.3. Kebutuhan Oksigen Biokimia Perairan (BOD3) ................................. 4.4. BOD3 dan Kandungan Oksigen ........................................................ 4.5. Laju Reaksi BOD (k) dan Penggunaan Oksigen .............................. 4.6. Penggunaan Oksigen Sedimen Perairan ......................................... 4.7. Peranan Produktivitas Primer dalam Penyediaan Oksigen .............. 4.8. BOD3, COD dan N ........................................................................... 4.9. BOD dan Bakteri .............................................................................. 4.10. Beban Organik ............................................................................... 4.11. Neraca Oksigen ............................................................................. 4.12. Pembahasan Umum ......................................................................
60 63 64 66 69 72 74 76 78 82
5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 5.2. Saran ...............................................................................................
89 89 90
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
91
LAMPIRAN ..................................................................................................
101
xvi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1. Titik koordinat stasiun pengamatan di estuari S. Cisadane............ Tabel 3.2. Parameter hidrooseanografi dan kualitas air yang diamati dan alat atau metode pengukurannya.................................................... Tabel 4.1. Kecepatan arus rata-rata dan perkiraan debit estuari Cisadane..... Tabel 4.2. Hasil pengukuran kecepatan arus estuari Cisadane ...................... Tabel 4.3. Titik pengamatan (lokasi dan bagian) dan kondisi pasang/ surut pada pengamatan-pengamatan ketika kandungan oksigen terlarut teramati anoksia (0 mg/L) ..................................... Tabel 4.4. Koefisien korelasi r antara kandungan oksigen (DO) dan nilai BOD di tiap stasiun pada ketiga bagian estuari Cisadane saat pasang dan surut............................................................................. Tabel 4.5. Konstanta laju reaksi BOD3 (k-BOD) dan BOD ultimate di zona sungai (St. 1), zona percampuran (St. 2 dan St. 3) dan di zona laut (St. 4) di estuari Cisadane (n= 6) ................................ Tabel 4.6 Nilai pengurangan oksigen untuk proses BOD setelah 1 hari (BOD1) dan setelah 1 jam (BOD1jam) di tiap stasiun pengamatan di estuari Cisadane ......................................................................... Tabel 4.7. Kebutuhan oksigen (mg/L) pada perlakuan yang berbeda terhadap waktu pengamatan dan oksigen (DO) tersisa.................. Tabel 4.8. Hasil pengukuran potensial redoks sedimen St. 2 dan St. 3 di estuari Cisadane ......................................................................... Tabel 4.9. Produktivitas primer di estuari Sungai Cisadane (zona percampuran) pada Juni-Agustus 2008 ............................................... Tabel 4.10. Nilai rasio BOD-COD di estuari Cisadane (untuk St. 1 dan St. 4 n =12, untuk St. 2 dan St. 3 n=24) ......................…................ Tabel 4.11. Kandungan nitrogen (N-organik, DIN, dan amonia total) di estuari Cisadane ......................................................................... Tabel 4.12. Beban organik setara kebutuhan oksigen (BOD3) di zona estuari (payau) muara Cisadane pada musim kemarau ................. Tabel 4.13. Beban organik setara COD di zona percampuran (payau) estuari Cisadane pada musim kemarau ......................................... Tabel 4.14. Muatan oksigen terlarut (kg/½hari untuk pasang atau surut, kg/hari untuk harian) di zona estuari (percampuran) muara Cisadane pada musim kemarau ..................................................... Tabel 4.15. Muatan oksigen terlarut bawaan dari sungai/laut per volume estuari dan konsentrasi DO dari zona sungai yang diharapkan agar DO di estuari Cisadane tidak kurang dari 3 mg/L di musim kemarau .............................................................................. Tabel 4.16. Muatan oksigen dari fotosintesis dan reaerasi dan peranannya dalam memasok oksigen estuari Cisadane .................................... Tabel 4.17. Defisit oksigen di zona sungai dan zona percampuran (estuari) Cisadane ...........................................................................
xvii
32 35 51 52 58 64 65 66 67 69 70 73 74 77 78 80
81 84 85
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1. Gambar 2.1.
Diagram alir kajian keterkaitan oksigen terlarut di estuari ....... Rezim oksigen terlarut (DO) di estuari (modifikasi dari James, 1984) ........................................................................... Gambar 2.2. Perubahan bahan organik selama berlangsungnya oksidasi biologis di perairan pada kondisi aerobik (Metcalf & Eddy, 1991) .............................................................................. Gambar 2.3. Pengaruh konstanta laju reaksi (k) pada BOD untuk nilai Lt tertentu (Metcalf & Eddy, 1991) ............................................... Gambar 2.4. Sungai Cisadane, yang mengalir dari Bogor hingga Tangerang dan bermuara di daerah Tanjung Burung, Kabupaten Tangerang (sumber: PUSARPEDAL 2010)................... Gambar 3.1. Skematik “box model” pada estuari yang terstratifikasi (Sumber: dimodifikasi dari Peirson et al. 2002) ............................... Gambar 3.2. Lokasi titik-titik pengamatan (St. 2, St. 3 dan St. 4) di Estuari Cisadane, Tanjung Burung, Kabupaten Tangerang ............... Gambar 3.3. Perlakuan-perlakuan pada penelitian degradasi bahan organik sedimen ...................................................................... Gambar 3.4. Letak stasiun pengamatan di estuari S. Cisadane secara longitudinal dan pembagian ruas yang diwakili oleh St. 2 dan St. 3 ................................................................................... Gambar 4.1. Pasang surut di Muara Cisadane (garis berlekuk) dan Tanjung Priok (garis putus) pada tanggal 17–19 Juli 2007 .................... Gambar 4.2. Pasang surut perairan muara Cisadane (Tanjung Burung) Juli – Oktober 2007 .................................................................. Gambar 4.3. Pasang surut perairan muara Cisadane (Tanjung Burung) Juni – Agustus 2008 ................................................................. Gambar 4.4. Peta lokasi pengamatan salinitas dan temperatur dengan CTD pada tanggal 2 Agustus 2007 .......................................... Gambar 4.5. Sebaran menegak salinitas pada kondisi surut (2 Agt 2007) di estuari Cisadane, hasil pengamatan dengan CTD ............... Gambar 4.6. Sebaran salinitas di muara S. Cisadane pada saat pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 26 September 2007..... Gambar 4.7. Sebaran suhu secara vertikal hasil pengamatan CTD pada kondisi surut (2 Agustus 2007) di S. Cisadane ......................... Gambar 4.8. Sebaran suhu secara vertikal pada kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 6 Oktober 2007 ............................ Gambar 4.9. Sebaran suhu secara vertikal pada kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 19 Juli 2008 ................................. Gambar 4.10. Profil dasar estuari S. Cisadane pada ruas 9 km dari muara ke arah hulu, ruas 0 - 3 km dari muara (atas), ruas 3-6 km (tengah) dan ruas 6-9 km (bawah) ........................................... Gambar 4.11. Kadar oksigen terlarut (DO) di zona sungai (St. 1), zona percampuran (St. 2 dan St. 3), dan di zona laut (St. 4) di Estuari Cisadane, pada saat pasang dan surut (Garis tegak I menggambarkan SD= standard deviasi, n= 7) ........................
xviii
7 11 14 15 26 28 33 37 39 45 46 46 47 48 49 49 50 50 53
54
Gambar 4.12. Kadar oksigen terlarut (DO) di setiap stasiun (A: St. 1 zona sungai, B: St. 2 dan C: St. 3 - zona percampuran, dan D: St. 4 - zona laut) di Estuari Cisadane, pada saat pasang dan surut ( - - - : batas nilai hipoksia) ...................................... Gambar 4.13. Kadar oksigen terlarut (DO) di zona percampuran (St. 2 dan St. 3) Estuari Cisadane, pada saat pasang, peralihan surut, surut dan peralihan pasang (6 Okt. dan 20-21 Okt. 2007)....... Gambar 4.14. Nilai BOD3 di zona sungai (St. 1), zona percampuran (St. 2 dan St. 3), dan di zona laut (St. 4) di Estuari Cisadane, pada saat pasang dan surut (Garis tegak I menggambarkan SD= standard deviasi, n= 7) ............................................................. Gambar 4.15. Nilai BOD3 di setiap stasiun (A: St. 1 - zona sungai, B: St. 2 dan C: St. 3 - zona percampuran, dan D: St. 4 - zona laut) di Estuari Cisadane, pada saat pasang dan surut ....................... Gambar 4.16. Nilai BOD di zona percampuran (St. 2 dan St. 3) Estuari Cisadane, pada saat pasang, peralihan surut, surut dan peralihan pasang (6 Okt. dan 20-21 Okt. 2007)........................ Gambar 4.17. Produktivitas primer bersih pada dua stasiun pengamatan di estuari Cisadane ................................................................... Gambar 4.18. Kandungan total mikroba aerobik di zona sungai (St.1) di zona percampuran (St. 2 dan St. 3) dan di zona laut (St. 4) di estuari Cisadane)........................................................ Gambar 4.19. Kandungan mikroba Pseudomonas aeruginosa (kiri) dan Bacillus sp. (kanan) di zona sungai (St. 1), zona percampuran (St. 2 dan St. 3) dan di zona laut (St. 4) di estuari Cisadane)..................................................................................
xix
55 57
60 62 63 71 75
75
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8.
Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14.
Lampiran 15. Lampiran 16.
Sebaran salinitas di muara S. Cisadane pada saat pasang (atas) dan surut (bawah) pada musim kemarau 2007 dan 2008 ........................................................................................ Sebaran suhu di muara S. Cisadane berdasarkan pengamatan di keempat stasiun pada saat pasang dan surut pada musim kemarau 2007 dan 2008 ................................... Debit S. Cisadane bagian hilir pada musim kemarau tahun 2007 (kiri, Agustus, September, Oktober) dan musim kemarau 2008 (kanan, Juni, Juli, Agustus) ................................ Kandungan oksigen (DO) di tiap stasiun pengamatan pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan) di bagian permukaan (atas) dan dasar (bawah) di estuari S. Cisadane ................... Nilai BOD3 tiap stasiun pengamatan pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan) di bagian permukaan (atas) dan dasar (bawah) di estuari S. Cisadane .................................... Nilai BOD3 dan kandungan oksigen (DO) tiap pengamatan pada ketiga bagian estuari, St. 1 (sungai), St. 2 & St. 3 (percampuran), dan St. 4 (laut) di muara Cisadane ............... Laju reaksi BOD3 (k-BOD) dan BOD ultimate di bagian sungai (St. 1), bagian percampuran (St. 2 dan St. 3) dan di bagian laut (St. 4) di estuari Cisadane ............................... Hasil pengamatan degradasi sedimen di laboratorium, kandungan oksigen terlarut (DO) pada setiap waktu pengamatan pada sampel air dan sampel sedimen + air di akuarium yang berasal dari St. 2 dan St. 3 di estuari Cisadane ............ Tabel sidik ragam percobaan degradasi bahan organik sedimen dengan Rancangan Acak Bersarang (Nested design) dan uji lanjut BNT ..................................................... Tekstur (atas) dan tipe (bawah) sedimen zona percampuran (St. 2 dan St. 3) estuari Cisadane........................................... Kondisi kualitas air estuari Cisadane pada saat pengamatan produktivitas primer (2008) .................................................... Nilai BOD dan nilai COD tiap pengamatan pada ketiga bagian estuari, St. 1 (sungai), St. 2 & St. 3 (percampuran), dan St. 4 (laut) di muara Cisadane ........................................ Nilai pH perairan tiap pengamatan pada ketiga bagian estuari, St. 1 (sungai), St. 2 & St. 3 (payau), dan St. 4 (laut) di estuari Cisadane ................................................................ Kandungan N-organik, nitrogen terlarut (DIN) dan amonia total tiap pengamatan pada ketiga bagian estuari, St. 1 (sungai), St. 2 & St. 3 (percampuran), dan St. 4 (laut) di muara Cisadane .................................................................... Nilai BOD dan kandungan nitrogen organik (N-org) tiap pengamatan pada ketiga bagian estuari, St. 1 (sungai), St. 2 & St. 3 (payau), dan St. 4 (laut) di muara Cisadane ............... Beban organik total (kg COD/hari) dari zona sungai (St. 1) di estuari Cisadane pada beberapa kondisi debit sungai di musim kemarau...................................................................... xx
103 106 109 110 111 112 113
114 115 116 117 118 119
120 121 122
Lampiran 17. Perhitungan neraca oksigen: Penentuan muatan oksigen terlarut dari fotosintesis (MOfo)............................................... Lampiran 18. Perhitungan neraca oksigen: Penentuan konsentrasi dan muatan oksigen terlarut dari reaerasi atau difusi (MOdif) ........ Lampiran 19. Perhitungan neraca oksigen: Penentuan muatan oksigen terlarut untuk dekomposisi kolom air (MOde) .......................... Lampiran 20. Perhitungan neraca oksigen: Penentuan muatan oksigen terlarut untuk dekomposisi sedimen (MOsed) ......................... Lampiran 21. Perhitungan neraca oksigen: Penentuan muatan oksigen terlarut aktual di perairan (MOak)............................................
xxi
123 124 127 129 130
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN Allochtonous: bahan yang berasal dari luar. Anoxia
: anoksia atau anoksik, kondisi tanpa oksigen atau kandungan oksigen nol.
BDOC
: Biodegradable Dissolved Organic Carbon, karbon organik terlarut yang dapat diurai secara biologi.
Bloom
: pertumbuhan atau perkembangan yang cepat.
BOD
: Biochemical (atau Biological) Oxygen Demand, kebutuhan oksigen biokimia (biologi).
BOD3
: BOD dengan inkubasi pada 30°C selama 3 hari.
BODu
: Ultimate BOD, BOD hingga akhir proses, BOD keseluruhan.
BPLH
: Badan Pengendalian Lingkungan Hidup.
BPSDA
: Balai Pengelolaan Sumber Daya Air, misal BPSDA Ciliwung – Cisadane.
cfu
: colony form unit, satuan untuk analisis mikrobiologi dengan metode penumbuhan koloni
CBOD
: carbonaceus BOD, pengukuran BOD antara lain dengan penambahan inhibitor nitrifikasi.
CR
: community respiration, respirasi komunitas.
COD
: Chemical Oxygen Demand, kebutuhan oksigen kimia.
CTD
: Conductivity-Temperature-Depth, alat ukur.
DO
: Dissolved Oxygen, oksigen terlarut.
DOC
: Dissolved Organic Carbon, karbon organik terlarut.
GPP
: Gross Primary Production, produksi primer kotor (GPP).
GPS
: Global Positioning System.
Hypoxia
: hipoksia, kandungan oksigen yang sangat rendah di perairan, ≤ 3 mg/L.
Janhidros
: Jawatan Hidro-oseanografi TNI AL.
Mesohalin
: perairan (estuari) dengan salinitas berkisar 5 – 18 %0 (psu).
NBOD
: Nitrogeneus BOD, proses BOD untuk nitrifikasi.
NEP
: net ecosystem production, produksi bersih ekosistem.
NOAA
: National Oceanic and Atmospheric Administration, USA.
xxii
ORP
: oxidation and reduction potential, potensial redoks, potensial untuk mengambil oksigen (kehilangan elektron), atau untuk melepaskan oksigen (mengambil elektron).
POC
: Particulate Organic Carbon, partikel karbon organik.
PON
: Particulate Organic Nitrogen, partikel nitrogen organik.
PPLH UNDIP
: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro.
PUSARPEDAL : Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup. psu
: practical salinity unit, satuan salinitas, setara ppt atau %0.
Redoks
: reduksi oksidasi. Lihat ORP. Potensial redoks menunjukkan proporsi antara bahan-bahan yang teroksidasi terhadap yang tereduksi. Bila potensial redoks positif berarti lingkungan berada pada kondisi teroksidasi, bila negatif berada pada kondisi tereduksi.
SOD
: Sediment Oxygen Demand, kebutuhan oksigen sedimen.
SCT
: Salinity-Conductivity-Temperature, alat ukur.
TKN
: Total Kjeldahl Nitrogen, kandungan nitrogen organik dan amonia.
TOC
: Total Organic Carbon, karbon organik total.
TSS
: Total Suspended Solids, padatan tersuspensi total.
xxiii
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pencemaran sungai dan estuari pada umumnya terjadi karena masuknya berbagai jenis limbah yang berasal dari berbagai kegiatan di daratan maupun di sepanjang sungai. Sebagian besar dari limbah tersebut adalah limbah organik yang terutama berasal dari kegiatan domestik atau pemukiman dan pertanian. Pencemaran bahan organik ini, terutama bahan organik mudah urai,
akan
meningkatkan kebutuhan oksigen perairan. Proses dekomposisi bahan organik yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen tersebut dapat berakibat pada menurunnya kandungan oksigen (DO, dissolved oxygen) perairan, sehingga kandungannya menjadi sangat rendah (hypoxia) (Borsuk et al., 2001; Yin et al., 2004) atau sampai dalam kondisi tanpa oksigen (anoxia) hingga menyebabkan kematian biota air. Estuari sebagai muara sungai akan menerima dampak paling besar bila terjadi pencemaran di sungai. Di sisi lain, estuari pada umumnya merupakan tempat hidup dan berkembangnya larva serta anak-anak ikan berkenaan dengan salah satu fungsinya sebagai daerah asuhan (nursery ground).
Kondisi ini
mungkin tidak lagi dijumpai di estuari sungai-sungai besar yang telah tercemar oleh berbagai sumber pencemaran, termasuk pemukiman.
Estuari Cisadane
adalah muara dari S. Cisadane, salah satu sungai besar di Jawa, yang aliran sungainya melintasi daerah pemukiman padat dan luas dengan beragam kegiatan, yaitu kota Bogor dan kota Tangerang. Limbah dari berbagai kegiatan perkotaan tersebut, termasuk limbah industri yang banyak terdapat di Kota Tangerang, diduga telah menyebabkan meningkatnya muatan limbah organik mudah urai (biodegradable organic wastes) (BPLH Kota Tangerang, 2010) sehingga berakibat pada penurunan kualitas air, antara lain kondisi hipoksia (kadar DO ≤ 3 mg/L) di estuari. Kondisi ini kemungkinan sering terjadi di musim kemarau, pada saat debit aliran sungai rendah. Kekurangan kandungan oksigen sering terjadi dan merupakan masalah yang serius di berbagai perairan estuari (Talke et al., 2009). Akibat kandungan oksigen yang rendah (hipoksia) atau bahkan tanpa oksigen (anoksia) tersebut di antaranya adalah terhadap tingkah laku, laju pertumbuhan, keberhasilan reproduksi, proses jejaring makanan, dan bahkan mortalitas pada produksi perikanan (Breitburg, 2002). Walaupun beberapa faktor lain juga berperan,
2
seperti frekuensi percampuran, stratifikasi vertikal perairan, dan pertukaran oksigen dengan lapisan permukaan (Borsuk et al., 2001), kekurangan oksigen di estuari terutama terkait dengan dekomposisi bakterial bahan organik di kolom air maupun sedimen (Borsuk et al., 2001; Yin et al., 2004). Selain COD dan TOC, BOD adalah salah satu parameter pencemaran organik karena merupakan salah satu cara untuk mengukur kandungan bahan organik perairan (Metcalf & Eddy, 1991).
Pendekatan BOD juga merupakan
salah satu konsep dasar dalam pengolahan air limbah (Baird & Smith, 2002) dalam kaitannya dengan jumlah oksigen yang diperlukan untuk menstabilkan bahan organik yang ada secara biologi (Metcalf & Eddy, 1991). Di sisi lain, dengan memperhatikan prinsip metode penentuannya dan dengan berbagai keterbatasannya,
sebenarnya
teknik
BOD
dapat
digunakan
untuk
menggambarkan potensi tingkat kemampuan perairan, dengan kondisinya yang ada, dalam mendegradasi bahan organik, yang dinyatakan dalam jumlah oksigen yang diperlukan untuk proses tersebut selama waktu inkubasi. Sehubungan dengan pemikiran di atas, maka suatu kajian mengenai neraca kandungan oksigen dan kemudian kaitannya dengan muatan bahan organik, dalam hal ini BOD dan COD, di suatu perairan estuari diharapkan akan menghasilkan suatu model yang dapat dipergunakan untuk memprediksi daya tampung atau kapasitas assimilasi perairan dalam menunjang ekosistemnya.
1.2. Perumusan Masalah Permasalahan yang dapat terjadi di perairan estuari adalah terjadi kondisi “hypoxia”
(kandungan oksigen rendah, ≤ 3 mg/L) di suatu zona tertentu,
sehingga kualitas air menjadi tidak layak bagi kehidupan biota air.
Padahal,
estuari pada umumnya merupakan daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan juvenil biota perairan.
Defisit oksigen di zona tersebut dapat terjadi
sehubungan dengan tingginya kadar bahan organik. Tingginya bahan organik ini terutama akibat limbah berbagai kegiatan manusia (antropogenik) di sepanjang aliran sungai, yang terbawa aliran sungai dan tertahan oleh arus pasang-surut laut, khususnya di musim kemarau saat debit aliran sungai rendah, sehingga pada keseimbangan tertentu terakumulasi pada zona tertentu di estuari. Sebagaimana pada sungai-sungai lain pada umumnya, belum banyak yang dilakukan terkait dengan pengelolaan lingkungan Sungai Cisadane. Program kali bersih (Prokasih) yang merupakan program pemerintah, baru
3
terbatas pada pembatasan buangan limbah industri dan pemantauan kualitas air sungai.
Pemantauan kualitas air Sungai Cisadane melalui koordinasi oleh
PUSARPEDAL telah dilaksanakan dengan melibatkan beberapa instansi terkait, seperti BPSDA Ciliwung - Cisadane dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup tingkat propinsi maupun kabupaten/kota sejak 2004 (Pusarpedal, 2010). Sementara pembatasan dan pengawasan buangan dari kegiatan lainnya, seperti kegiatan pemukiman, domestik, pertanian, peternakan, termasuk industri rumahan, belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan baik. Kegiatan kajian daya tampung dan daya dukung Sungai Cisadane dan pembangunan sarana pengolahan limbah cair oleh pemerintah daerah baru direncanakan untuk kegiatan tahun 2010 dan 2011 (BPLH Kota Tangerang, 2010). Dengan demikian, Sungai Cisadane masih berpotensi mengalami pencemaran dari berbagai kegiatan yang ada di sekitarnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai neraca kandungan oksigen di perairan estuari dan kaitannya dengan beban masukan bahan organik untuk dijadikan dasar: (1) Prediksi beban masukan bahan organik yang diangkut sungai, yang menyebabkan keberadaan bahan organik dan oksigen di zona tertentu menjadi tidak layak; (2) Penentuan area zona perairan di estuari yang potensial kritis sehubungan dengan perubahan beban masukan bahan organik.
1.3. Tujuan dan manfaat penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
menentukan neraca kandungan oksigen terlarut (DO) di perairan estuari muara S. Cisadane, khususnya di musim kemarau saat debit aliran rendah;
menentukan lokasi atau zona
di estuari muara S.
Cisadane yang
potensial kritis di musim kemarau sehubungan dengan perubahan beban masukan bahan organik;
memprediksi kebutuhan oksigen minimal yang dibutuhkan agar perairan estuari cukup layak secara ekologis, berdasarkan model perhitungan neraca oksigen perairan. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen minimal tersebut, diupayakan melalui organik yang setara.
pengurangan beban masukan bahan
4
Manfaat dari penelitian ini adalah:
prediksi kemampuan perairan dalam menerima beban bahan organik dengan pendekatan neraca oksigen, dapat menjadi dasar bagi upaya perbaikan lingkungan perairan melalui pengendalian pencemaran limbah organik ke perairan, khususnya pencemaran ke perairan sungai dan estuari Cisadane.
1.4. Kebaruan Penelitian Kandungan oksigen rendah (hypoxia) terjadi di banyak estuari, baik di Asia (Daoji et al., 2002; Yin et al., 2004), Eropa (Kerner, 2000; Garnier et al., 2001; Talke et al., 2009), maupun di Amerika (Welsh & Eller, 1991; D’Avanzo & Kremer, 1994; Rowe, 2001; Lehman et al., 2004; Gilbert et al., 2005; Sharp, 2010). Penelitian mengenai kandungan oksigen rendah di estuari yang telah dilakukan adalah kaitan kandungan oksigen dengan faktor stratifikasi perairan (Schroeder & Wiseman, 1988; Welsh & Eller, 1991; Lin et al., 2006; Lee & Lwiza, 2008), faktor muatan nutrien dan respirasi biota dasar yang tinggi (D’Avanzo & Kremer, 1994), interaksi antara defisiensi oksigen dan proses mikrobial heterotropik (Kerner, 2000), faktor tingginya konsentrasi partikel organik karbon dan partikel organik nitrogen sehubungan dengan produksi organik karbon yang meningkat karena nutrien dan bahan organik dari sungai (Daoji et al., 2002), kebutuhan oksigen yang sangat tinggi dari proses nitrifikasi sehubungan dengan tingginya amonia di perairan (Lehman et al., 2004), konsumsi oksigen oleh benthos dan adanya flux dari air beroksigen rendah pada antarmuka sedimen-air (Yin et al., 2004), dan faktor perubahan pola arus yang membawa massa air yang hangat dan miskin oksigen, serta faktor meningkatnya kebutuhan oksigen sedimen (Gilbert et al., 2005). Penelitian lainnya berhubungan dengan pengembangan model fisika tiga dimensi dan model kualitas air yang melibatkan tidak kurang dari 50 parameter dan konstanta hasil kajian beberapa peneliti maupun berdasarkan persamaan baku yang telah ada (Zheng et al., 2004), penggunaan model adveksi-dispersi yang dikombinasikan dengan pengukuran DO (Vallino et al., 2005), penggunaan model rata-rata pasang surut ideal untuk mengkaji pengaruh debit air tawar, kedalaman, dan sedimen tersuspensi terhadap penurunan oksigen di estuari yang keruh (Talke et al., 2009), serta evaluasi berbagai pendekatan pemodelan
5
yang digunakan dalam kajian tentang hipoksia di perairan pantai, dari mulai box model sederhana hingga model sirkulasi tiga dimensi (Pena et al., 2010). Kebaruan dari penelitian yang dilakukan di estuari Sungai Cisadane ini terletak pada pendekatan yang digunakan, yakni kajian kandungan oksigen dengan pendekatan box model untuk perhitungan neraca oksigen. Pendekatan box model berupa pembagian perairan estuari menjadi tiga bagian, yaitu zona sungai, zona percampuran (zona estuari) dan zona laut yang didasarkan atas pengamatan pada bagian permukaan dan bagian dasar, pada saat pasang dan surut.
Sementara untuk perhitungan neraca oksigen di zona percampuran
didasarkan atas persamaan kesetimbangan massa antara faktor-faktor pemasok oksigen (fotosintesis, reaerasi, bawaan dari sungai dan laut) dan faktor-faktor pengguna oksigen (dekomposisi dan respirasi kolom air, kebutuhan oksigen sedimen). Garnier et al. (2001) memang telah melakukan studi mengenai neraca oksigen pada saat debit rendah di bagian hilir sungai dan estuari Sungai Seine, Perancis, tetapi menggunakan pendekatan perhitungan neraca oksigen yang agak berbeda, antara lain dengan tidak melibatkan faktor reaerasi dari permukaan. Hal lain adalah bahwa sampai saat ini pendekatan penelitian yang penulis lakukan ini, sejauh yang penulis ketahui, belum pernah dilakukan di estuari di Indonesia.
1.5. Kerangka Pemikiran Selain dari laut dan internal estuari, ataupun dari catchment area sekitar estuari, bahan organik di estuari terutama berasal dari limbah antropogenik (limbah berbagai kegiatan manusia) yang terjadi di daerah aliran sungai (DAS) Cisadane, di sepanjang sungai sejak bagian hulu hingga hilir, yang masuk keperairan estuari melalui sungai. Bahan organik ini dengan kondisi sistem pasang surut yang terjadi, di lokasi dan waktu tertentu di estuari, khususnya di musim kemarau ketika debit aliran sungai rendah, bisa jadi akan terakumulasi. Akumulasi bahan organik tersebut akan terdekomposisi dan menyebabkan tingkat kebutuhan oksigen yang cukup tinggi sehingga mengurangi sediaan oksigen terlarut (DO) yang ada. Oksigen terlarut bawaan dari sungai, yang juga dipengaruhi oleh kondisi perairan akibat limbah antropogenik tersebut, juga ikut berperan dalam menentukan nilai DO aktual yang terukur di zona percampuran estuari.
6
Sementara itu, melalui mekanisme pasang surut, DO bawaan dari laut juga mempengaruhi besaran DO aktual. Faktor lain yang berkontribusi pada kandungan oksigen di perairan adalah adanya reaerasi, yakni masuknya oksigen dari udara secara difusi melalui permukaan perairan. Peranan reaerasi ini dipengaruhi oleh pergerakan air yang berkaitan dengan kecepatan arus dan kedalaman perairan, dan tingkat saturasi oksigen. Tingkat saturasi oksigen dipengaruhi oleh salinitas dan temperatur. Di estuari juga terdapat algae atau fitoplankton. Proses produksi primer dari fitoplankton melalui fotosintesis akan menghasilkan biomass fitoplankton, dan tambahan DO.
Oksigen terlarut ini merupakan hasil samping dari proses
fotosintesis
setelah
dikurangi
(sebagian
dimanfaatkan)
untuk
respirasi
fitoplankton.
Peranan fotosintesis dalam menambah DO perairan dipengaruhi
oleh jumlah dan jenis fitoplankton, serta intensitas cahaya yang masuk ke perairan. Selain untuk kebutuhan dekomposisi dan respirasi biota mikro di kolom air sebagaimana telah disebutkan di atas, DO di perairan diperlukan terutama untuk respirasi biota makro, termasuk ikan, udang, dan kerang-kerangan. Selanjutnya, di bagian dasar juga terdapat kebutuhan oksigen sedimen yang diperlukan untuk proses respirasi biota dasar (benthos) dan dekomposisi sedimen.
Bilamana
semua masukan oksigen yang berupa bawaan dari sungai dan dari laut, reaerasi, dan fotosintesis cukup memadai, maka setelah digunakan untuk respirasi, dekomposisi kolom air dan dekomposisi sedimen, akan tersisa sejumlah DO yang terukur di perairan berupa DO aktual. Sehubungan dengan kedalaman perairan, dan reaerasi serta fotosintesis yang umumnya terjadi di bagian permukaan hingga kedalaman tertentu, maka bisa jadi kandungan DO aktual di bagian permukaan berbeda dengan di bagian dasar.
Pada umumnya para peneliti
sependapat bahwa kadar oksigen terendah di perairan yang masih dapat dikatakan layak secara ekologi adalah 3 mg/L. Dengan demikian, bila kadar DO kurang dari nilai tersebut telah terjadi penurunan kualitas lingkungan perairan, sehingga perlu diupayakan perbaikan melalui pengurangan dampak kegiatan antropogenik. Dengan peneraan DO dan parameter kualitas air lainnya di lapisan atas dan lapisan dasar secara periodik, akan diketahui apakah tersedia cukup DO cadangan
di setiap strata maupun di perairan pada umumnya.
Bila DO
cadangan cukup, berarti perairan masih berada pada kondisi ekosistem yang
7
layak. Bila DO cadangan terlalu rendah maka berarti telah terjadi pencemaran perairan, sehingga perlu pembatasan pada masukan beban limbah akibat kegiatan manusia (antropogenik). Secara skematik, kerangka pemikiran atau pendekatan studi disajikan berupa diagram alir pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Diagram alir kajian oksigen terlarut di estuari
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik perairan estuari Estuari bisa mempunyai arti yang luas dalam oseanografi.
Definisi
sederhananya adalah daerah pasang surut di muara sungai besar (Millero & Sohn, 1992). Ward & Montague (1996) berdasarkan definisi berbagai penulis meringkaskan bahwa estuari pada umumnya mencakup pengertian-pengertian perairan pantai, semi tertutup, berhubungan bebas dengan laut terbuka, influks air laut (mengandung salinitas laut), influks air tawar (pengenceran air laut oleh air tawar), dan berukuran kecil sampai sedang. Berdasarkan distribusi sifat-sifat perairan, dalam hal ini terkait dengan sifat percampurannya dengan air tawar dari sungai, estuari diklasifikasikan sebagai estuari yang tercampur secara vertikal (a vertically mixed estuary), sedikit terstratifikasi (a slightly stratified estuary), sangat terstratifikasi (a highly stratified estuary), dan estuari baji (atau lidah) garam (the salt wedge estuary) (Dyer, 1973; De Santo, 1978; Millero & Sohn, 1992; Ji, 2008). Debit air tawar dari sungai berperan dalam pola salinitas di estuari. Debit sungai ini menyebabkan gradien salinitas sepanjang estuari, dari nol di bagian sungai hingga salinitas air laut di bagian estuari ke arah laut.
Gradien ini dapat menjadi curam, datar atau
bergeser karena variasi dari debit sungai (Ward & Montague, 1996).
Estuari
terstratifikasi terjadi karena adanya intrusi dari air laut yang lebih berat (salt wedge, baji garam) di bagian bawah dari aliran air sungai yang lebih rendah salinitasnya dan lebih ringan. Pada kondisi ini, di estuari yang relatif dalam, dapat terjadi pola aliran yang berlawanan yang berakibat pada transpor ke luar (arah laut) dari biota dan muatan permukaan, dan transport ke dalam (arah pantai) dari biota dan muatan dasar. Pada estuari terstratifikasi, salinitas di bagian yang lebih dalam lebih besar daripada di permukaan (Clark, 1974). Estuari mempunyai kelebihan nilai alami berupa beberapa karakteristik fisik yang secara sendiri-sendiri ataupun berkombinasi satu sama lain menghasilkan suatu fungsi khas. Karakteristik tersebut adalah: lingkungan yang relatif terlindung dari ombak, kedangkalan dalam hubungannya dengan tumbuhan litoral dan biota dasar, salinitas yang khas sehubungan dengan masukan air tawar, sirkulasi air yang dinamis dan pasang-surut dalam kaitannya dengan transport nutrien dan pembilasan limbah, peranannya dalam tingkah laku makan dan reproduksi biota, serta adanya mekanisme perangkap yang menjadikan
10
estuari sebagai gudang nutrien (nutrien storage) (Clark, 1974; Clark, 1996). Pasang-surut seringkali merupakan kekuatan dominan dalam pergerakan air di estuari (Clark, 1996; Ward & Montague, 1996).
Pergerakan air sangat
dipengaruhi oleh bentuk dan luasan perairan, bahkan juga oleh material dasar perairan.
Kekuatan sirkulasi cenderung berkurang dengan laju pembilasan
rendah bila amplitudo pasut kecil dan perairan berbentuk cekungan yang dalam dan panjang (Clark, 1996). Salinitas dan temperatur perairan estuari sangat berfluktuasi bila dibanding-kan dengan laut terbuka.
Fluktuasi bisa terjadi musiman maupun
harian akibat pengaruh pasang surut (De Santo, 1978). Pasang-surut, angin, ombak dan aliran sungai adalah kekuatan yang mengendalikan arus pantai (longshore currents dan prevailing longshore currents) penaikan air dasar (coastal upwelling), dan berbagai aliran seperti arus eddie dan tiderips (Clark, 1974). Sebagai daerah yang tingkat produktivitasnya tinggi, estuari berperan penting secara ekologis, yakni antara lain sebagai habitat bagi jenis-jenis ikan ekonomis penting (secara komersial maupun rekreasional), dan sebagai habitat tempat pemijahan ikan (spawning ground) maupun tempat pembesaran (nursery ground) anak-anak ikan (Clark, 1996).
2.2. Oksigen terlarut di perairan Oksigen adalah gas terlarut, yang keberadaannya dalam perairan dipengaruhi oleh tekanan gas atau atmosfer, temperatur dan salinitas atau ionic strength dari perairan sebagaimana penjabaran dari Hukum Henry mengenai kelarutan gas dalam cairan (Millero & Sohn, 1992).
Kelarutan oksigen menurun
dengan meningkatnya temperatur dan salinitas perairan. Hal ini berarti bahwa pada perairan dengan temperatur dan salinitas yang lebih rendah mempunyai tingkat saturasi oksigen yang lebih tinggi. Nilai kelarutan oksigen pada berbagai temperatur dan salinitas disajikan oleh beberapa penulis, antara lain oleh Colt 1984 (in Metcalf & Eddy, 1991) dan Millero & Sohn (1992). Kelarutan oksigen pada temperatur 30 oC dan tekanan udara 1 atm, pada salinitas 0, 10 dan 25 ppt berturut-turut adalah 7,54 mg/L, 7,14 mg/L dan 6,57 mg/L. Pada temperatur yang lebih rendah, yakni 25 oC, pada tekanan dan salinitas yang sama berturut-turut adalah 8,24 mg/L, 7,79 mg/L dan 7,15 mg/L (in Metcalf & Eddy, 1991). Reaerasi permukaan adalah salah satu sumber oksigen di perairan. Sumber oksigen lainnya adalah hasil proses fotosintesis dari fitoplankton dan
11
tumbuhan air lainnya.
Sedangkan kehilangan oksigen disebabkan oleh
penggunaannya untuk respirasi biota, oksidasi bahan organik (BOD) dan oksidasi sedimen (SOD) (Metcalf & Eddy, 1991). Secara skematik, sistem DO di estuari disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Rezim oksigen terlarut (DO) di estuari (modifikasi dari James 1984) Reaerasi
terjadi
melalui
permukaan
air
untuk
menyeimbangkan
kandungan DO perairan pada tingkat saturasi. Proses alami seperti angin dan gelombang atau riak air akan meningkatkan laju transfer oksigen.
Pada
12
umumnya, oksigen dari atmosfer ditransfer masuk ke perairan, karena biasanya kandungan DO di perairan alami berada di bawah tingkat saturasi. Pada kondisi tersebut terjadi difusi oksigen dari atmosfer ke dalam perairan. Secara umum, laju reaerasi di perairan bergantung pada kecepatan aliran air dan kecepatan angin, temperatur dan salinitas air, dan kedalaman perairan (Ji, 2008). Fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya merupakan sumber oksigen perairan, walaupun hanya terjadi siang hari.
Biasanya
kandungan oksigen maksimum harian terjadi pada sore hari sebagai akibat dari akumulasi produksi fotosintesis, sedangkan kandungan oksigen terendah terjadi pada awal pagi hari sebagai akibat dari proses respirasi dan dekomposisi, sementara fotosintesis tidak terjadi (Ji, 2008). Dengan demikian sumber utama oksigen terlarut perairan adalah reaerasi, fotosintesis dan masukan dari luar (external loads). Kemudian pengguna utama atau penyebab utama hilangnya (sink) oksigen adalah dekomposisi atau oksidasi bahan organik, nitrifikasi, respirasi, kebutuhan oksigen sedimen (SOD, sediment oxygen demand), dan COD dari bahan-bahan tereduksi yang keluar dari sedimen dasar (Ji, 2008). Pada umumnya konsentrasi oksigen di sungai-sungai seluruh dunia dilapor-kan antara 3 – 9 mg/L, walaupun hasil pengamatan ada yang teramati 0 mg/L (kondisi anoksia) hingga 19 mg/L (kondisi supersaturasi). Kondisi supersaturasi disebabkan oleh bloom algae dan biasanya terjadi sore hari pada musim panas di daerah beriklim sedang (Malina, 1996).
Hasil pemantauan
kandungan oksigen di estuari Delaware, USA pada tahun 1997, di bagian sungainya pernah mengalami kandungan oksigen di dekat dasar yang rendah yaitu berkisar 2-5 mg/L, sementara di estuari Chesapeake Bay, USA kandungan oksigen dekat dasar, baik di bagian pantai (teluk) maupun di bagian sungai dari beberapa sungai yang bermuara di teluk ini, bahkan mencapai tingkat hipoksia, yakni dengan kadar oksigen 2 mg/L (Ji, 2008). Kondisi hipoksia juga terjadi di estuari Sungai Neuse, North Carolina, USA, yakni kadar oksigen 2 mg/L di dekat dasar, yang umumnya terjadi pada musim panas dimana suhu perairan lebih dari 20 oC hingga 30 oC (Buzzelli et al., 2002). Mengenai
istilah
hipoksia
(hypoxia),
sebagian
besar
penulis
mendefinisikan sebagai kandungan oksigen rendah 2 mg/L sebagaimana referensi di atas serta beberapa penulis lainnya (Lowery, 1998; Vaquer-Sunyer & Duarte, 2008; Talke et al., 2009). Tetapi penulis atau referensi lain menyatakan
13
sebagai kandungan oksigen di bawah 2 – 3 mg/L (NOAA, 1998; US EPA, 1998; ESA, 2002; Lee & Lwiza, 2008), dan ada juga yang menyatakan sebagai kandungan oksigen terlarut kurang dari 3 mg/L (Welsh & Eller, 1991; Garnier et
al. 2001; Dai et al. 2006). Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini yang dimaksud dengan hipoksia adalah kandungan oksigen 3 mg/L atau lebih rendah ( 3 mg/L). Kandungan oksigen yang rendah juga dijumpai di beberapa estuari di Indonesia. Pengamatan Kaban et al. (2010) pada tahun 2009 di beberapa estuari di Pantai Timur Sumatera (Batanghari, Indragiri, Siak, Kampar, Rokan dan Musi) mendapati bahwa kadar oksigen yang paling rendah adalah di estuari (muara) Sungai Siak yakni sekitar 1,56 mg/L.
Sedangkan di estuari Kaligarang,
Semarang, kadar oksigen terlarutnya juga tergolong rendah yakni berkisar 2,46 – 3,26 mg/L (PPLH UNDIP, 2001 dalam Darwati, 2003). Di muara Cengkareng Drain, Teluk Jakarta, hasil pengamatan bulan Agustus 1996 yang terendah mencapai 2,2 mg/L, sedangkan pengamatan Desember 1996 bahkan lebih rendah lagi hingga 1,4 mg/L (Rochyatun & Susana, 1998). Berdasarkan hasil penelitian tahun 1992/1993 kandungan oksigen terendah di muara Bengawan Solo tercatat mencapai 1,45 mg/L, sedangkan di muara Kali Porong mencapai 1,41 mg/L dan sekitar 1,79 mg/L di pengamatan tahun berikutnya (Rochyatun, 1994; Rochyatun, 1996).
2.3. Konsepsi BOD Biological atau Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah suatu ukuran yang menggambarkan jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam air untuk mengoksidasi secara biokimia bahan organik yang ada (Metcalf & Eddy, 1991; Malina, 1996). Berdasarkan National Water Council, Inggris (1978, in Wood & Sheldon, 1980), batasan nilai BOD untuk sungai kelas 1A, yakni sungai yang kualitas airnya paling baik dan dapat digunakan untuk bahan baku air minum, adalah tidak lebih dari 3 mg/L. Sedangkan untuk sungai kelas 2 yang berkualitas sedang dan hanya dapat digunakan untuk air minum setelah mengalami pengolahan tingkat lanjut, batasan nilai BOD sungai adalah tidak lebih dari 9 mg/L, dengan nilai rata-rata kurang dari 5 mg/L. Pada sungai kelas 3 yang dianggap telah terpolusi dan tidak ada ikan, batasan nilai BOD sungai adalah tidak lebih dari 17 mg/L.
14
Konsepsi kinetika BOD dimulai dari studi yang dilakukan oleh Streeter dan Phelps pada tahun 1925 dan Theriault pada tahun 1927. Persamaan proses oksidasi didasarkan atas reaksi kimia orde pertama sederhana dan tidak bolakbalik, dengan asumsi bahwa kecepatan penguraian sebanding dengan bahan organik yang ada
(Mara, 1976; France & Thornley, 1984).
Jika L (mg/L)
menyatakan BOD pada waktu t (hari) dan k merupakan konstanta kecepatan reaksi atau konstanta degradasi (hari-1), maka model matematikanya dapat dituliskan sebagai berikut (Mara, 1976; France & Thornley, 1984; Jorgensen, 1988; McGhee, 1991; Metcalf & Eddy, 1991; Ji, 2008): dL dt
= -k L
....................................................................... (1.1)
Integrasi antara limit dari t = 0 dan t = t akan menghasilkan persamaan: Lt = L . e- k.t ......................................................................... (1.2) Lt adalah nilai BOD yang tersisa di perairan pada waktu t, dan L adalah BOD yang tersisa pada waktu t = 0 atau sama dengan nilai BOD secara keseluruhan (ultimate BOD, BODu). Bila selisih antara L dan Lt adalah nilai BOD yang terjadi selama selang waktu t, yang dilambangkan sebagai Yt, maka persamaan (1.2) tersebut dapat dituliskan menjadi: Yt = L - Lt = L (1- e- k.t) ......................................................... (1.3) Jumlah bahan organik tersisa terhadap waktu bila diplot pada grafik akan menghasilkan kurva parabola. Kurva parabola yang berlawanan akan diperoleh bila jumlah bahan organik yang dioksidasi dibuatkan grafiknya terhadap waktu, seperti pada Gambar 2.2 (Umaly & Cuvin, 1988; Metcalf & Eddy, 1991).
Waktu, t Gambar 2.2. Perubahan bahan organik selama berlangsungnya oksidasi biologis di perairan pada kondisi aerobik (Metcalf & Eddy, 1991)
15
Konstanta laju reaksi
k dapat bervariasi sehubungan dengan macam
bahan organik yang ada dan suhu inkubasi yang digunakan. Pada nilai BOD total yang sama, penggunaan oksigen akan bervariasi terhadap waktu dan dengan nilai k yang berbeda, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.3 (Metcalf & Eddy, 1991). Hasil penelitian Polii (1994) menunjukkan bahwa nilai k pada suhu inkubasi 30oC hampir dua kali nilai k pada suhu 20oC. Bila hanya BOD sampai hari tertentu atau BODt yang bisa diukur, penentuan laju reaksi k dan nilai BOD keseluruhan L (ultimate BOD) dapat dilakukan dengan antara lain pendekatan metode kuadrat terkecil (least-squares method) atau metode Fujimoto (Metcalf & Eddy, 1991).
Gambar 2.3. Pengaruh konstanta laju reaksi (k) pada BOD untuk nilai Lt tertentu (Metcalf & Eddy, 1991)
2.4. Peranan Nitrogen dalam dekomposisi Nitrogen (N) adalah faktor utama dalam dekomposisi bahan organik, semakin besar persentase N dalam bahan organik semakin cepat bahan organik terdekomposisi
(Boyd,
1990;
Web-1).
berlangsung bila tidak ada nitrogen.
Proses
dekomposisi
tidak
dapat
Laju dekomposisi akan menjadi sangat
lambat dalam sistem yang defisiensi N. Agar cukup untuk mendukung proses dekomposisi. Maka kandungan nitrogen dalam bahan organik setidaknya harus lebih besar dari 1,5 %.
Bila kurang dari persentase tersebut, maka proses
dekomposisi akan menggunakan nitrogen yang ada di lingkungan.
Cara lain
yang sering digunakan dalam menyatakan kandungan nitrogen dalam bahan organik adalah dengan perbandingan C/N (C:N ratio) (Boyd, 1990; Web-1).
16
Dengan demikian, semakin tinggi C:N ratio berarti semakin rendah persentase nitrogennya. Di estuari, C:N ratio digunakan untuk identifikasi sumber karbon organik maupun distribusi serta proses degradasinya, melalui analisis C:N ratio dari sedimen (Mishima et al., 1999; Rojas & Silva, 2005) maupun C:N ratio dari seston atau bahan tersuspensi (Kerner & Edelkraut, 1995; Veritya, 2002; Amon & Meon, 2004), atau melalui analisis C:N ratio dari bahan tersuspensi maupun sedimen (Matson & Brinson, 1990; Martinotti et al., 1997; Middelburg & Niewenhuize, 1998;). Hasil
penelitian Helland et al. (2003) berdasarkan data pemantauan
sepuluh sungai di Norwegia selama 1990 – 1998, menunjukkan bahwa kandungan bahan organik sungai mencakup 40-80% dari bahan tersuspensi total. Sebagian besar dari bahan organik tersebut adalah karbon organik terlarut (DOC) dengan mole rasio C/N >25. Lebih lanjut hasil penelitian laboratoriumnya juga menunjukkan bahwa lebih dari 90% DOC masih tetap terlarut dalam air atau tidak mengendap, meskipun salinitas meningkat sampai 30%o. 2.5. Kapasitas asimilasi perairan Kapasitas asimilasi perairan didefinisikan sebagai kemampuan perairan dalam menerima limbah organik (dapat dinyatakan dalam nilai BOD) untuk diasimilasi tanpa mengganggu kualitas air pada umumnya – dalam hal ini, tingkat kadar oksigen perairan masih dalam batas kelayakan ekologis (Metcalf & Eddy, 1991; http://www.webref.org/agriculture/a/assimilative_capacity.htm). Lafont (2001) menyebut kapasitas asimilasi sebagai bagian dari “pertahanan ekosistem” (“ecosystem deffense”, ED) bersama-sama dengan semua proses penyimpanan (storage) dan kemampuan pulih diri (sef-purification) perairan. Faktor ED tersebut sangat penting bagi pengkajian dampak dari pencemaran dan bagi penyusunan suatu aturan pengelolaan dalam kerangka konservasi dan restorasi ekologi.
2.6. Box model “Box model” adalah suatu model khusus, yang merupakan suatu pemecahan perkiraan-terbatas (finite-approximation) untuk persamaan kesetimbangan massa pada model transport (Ward & Montague, 1996). Selanjutnya disebutkan bahwa
17
kelebihan “box model” dibanding model transport numerik yang lebih canggih adalah:
“Box model” sederhana secara konseptual, oleh karena itu pertimbangan intuisi diperlukan;
Dapat diformulasikan sebagai neraca akuntansi, sehingga memberikan kerangka yang lebih mudah untuk mendeliniasi besaran dan distribusi dari beban (muatan) dan konsentrasi yang tinggi, dan untuk menilai kecukupan data lapangan;
Perhitungan dalam “box model” lebih sederhana, cukup dengan menggunakan kalkulator atau spreadsheet software.
Sedangkan kekurangan “box model” di antaranya adalah:
sifat dan implikasi dari penyederhanaan asumsi bisa saja hilang (seperti kondisi long-term steady state, atau perkiraan yang berbeda yang digunakan dalam perhitungan transport); dan
mungkin saja akan memberikan gambaran mengenai ketepatan yang nampaknya masuk akal tetapi sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Menurut
Peirson et al. (2002), “box model” adalah suatu pendekatan
kajian estuari dengan pembagian estuari dalam beberapa segmen. Untuk estuari yang tercampur sempurna (well-mixed estuary), diasumsikan selalu terjadi percampuran air setiap saat dalam segmen. Untuk estuari yang terstratifikasi, pembagian segmen didasarkan pada stratifikasi hasil observasi. Estuari dibagi menjadi beberapa segmen. Pada estuari yang tidak terstratifikasi, satu seri kompartemen ditetapkan berdasarkan volume (V) pada saat pasang dan saat surut.
Pada tiap kompartemen disusun persamaan
kesetimbangan garam dengan pertimbangan pengaruh aliran air tawar di bagian hulu estuari dan laut sebagai batas hilirnya. Sebaran salinitas dapat diperkirakan berdasarkan laju percampuran dalam estuari yang telah ditetapkan (Peirson et al. 2002). Pada estuari terstratifikasi, untuk setiap kompartemen, persamaan kesetimbangan garam dapat dikembangkan sehingga memungkinkan laju pergantian dan percampuran antara kompartemen yang berdekatan dapat ditentukan (Peirson et al., 2002).
18
2.7. Perkembangan penelitian oksigen terlarut di estuari Telah cukup banyak penelitian terkait dengan kandungan oksigen yang rendah (hipoksia) di perairan estuari.
Welsh & Eller (1991) mengamati
mekanisme yang mengendalikan kondisi rendah oksigen pada musim panas di Selat Long Island Bagian Barat, New York. Penelitian dilakukan dengan pengukuran profil fisik perairan (kedalaman, temperatur, salinitas, densitas dan profil oksigen), serta pengukuran profil produksi biota dan penggunaan oksigen melalui inkubasi botol terang – botol gelap di beberapa kedalaman perairan selama 8 jam dan 24 jam.
Periode kandungan oksigen rendah terutama
berkaitan dengan stratifikasi termal perairan yang bertahan dari pengaruh pasut maupun angin sepanjang musim panas. Sementara di estuari lainnya seperti Chesapeake Bay, Mobile Bay, dan Teluk Meksiko, stratifikasi sangat didominasi oleh perbedaan salinitas secara vertikal dengan sedikit peran dari perbedaan temperatur (Schroeder & Wiseman, 1988). D’Avanzo & Kremer (1994) meneliti mengenai dinamika harian oksigen dan kondisi anoksia (tanpa oksigen) di Waquoit Bay, Massachusetts, suatu estuari yang eutrofik. Hasil penelitiannya di estuari sungai yang menerima beban nutrien dari sistem septik perumahan padat ini menunjukkan terjadinya fuktuasi harian oksigen yang cukup tajam di musim panas, dari 1-3 mg/L hingga 10-15 mg/L di bagian dasar perairan.
Selain itu juga terjadi beberapa kali kondisi
anoksia yang sangat berkaitan dengan tingginya respirasi biota dasar (benthic seaweed dan benthos lainnya) yang tidak dibarengi dengan penambahan oksigen dari fotosintesis karena keterbatasan cahaya akibat cuaca mendung, ditambah dengan faktor relatif tingginya temperatur air dan rendahnya angin yang tidak cukup kuat mencampurkan kolom air akibat stratifikasi densitas yang terjadi. Kerner (2000) mengamati interaksi antara defisiensi oksigen dan proses mikrobial heterotropik di estuari Elbe, Jerman berdasarkan data oksigen terlarut, BOD, biomas fitoplankton dari tahun 1982 hingga 1994. Selain itu juga dilakukan observasi tahun 1994 dan 1995 untuk mendapatkan data bahan partikel tersuspensi, pengamatan proses mikrobial heterotrofik (respirasi dan produksi bahan organik terlarut) di laboratorium; kelimpahan bakteri dan komposisi fitoplankton. Hasil menunjukkan bahwa kandungan oksigen pada musim-musim hangat dikendalikan oleh konsumsi oksigen mikrobial dan degradasi bahan organik dari bagian hulu yang terutama berupa fitoplankton. Hasil pengamatan
19
laboratorium menunjukkan bahwa pembentukan agregat seston meningkatkan konsumsi oksigen hingga 1000 kali lipat.
Kemudian disimpulkan bahwa
penurunan kadar oksigen di estuari Elbe menyebabkan peningkatan prosesproses heterotropik dalam bahan-bahan seston yang kemudian menyebabkan penurunan lebih lanjut kandungan oksigen perairan. Garnier et al. (2001) melakukan studi mengenai neraca (budget) oksigen dan karbon pada saat debit rendah di bagian hilir sungai dan estuari Sungai Seine. Estuari sungai yang melalui kota Paris ini meliputi hilir sungai sepanjang sekitar 27 km di bagian muara, dan terjadi defisit oksigen (hipoksia) setiap musim panas.
Pendekatan perhitungan neraca oksigen didasarkan atas perbedaan
antara jumlah oksigen yang mengalir masuk (inflow) ke suatu wilayah perairan dan perubahan (flux) pada bagian yang keluar, dengan tidak melibatkan reaerasi dari permukaan. Oksigen inflow adalah jumlah dari flux di bagian inlet, termasuk anak-anak sungai dan buangan air limbah yang masuk, dan reaerasi pada dam atau pintu air berdasarkan formula perbedaan kadar oksigen sebelum dan sesudah pintu air. Neraca karbon didasarkan atas rasio produksi autotrof (P) dan respirasi (gross respiration, R) dari bahan organik. P dihitung dari jumlah produksi primer bersih fitoplankton dan produksi autotrof dari bakteri nitifikasi. R dihitung dari produksi biomassa bakteri dibagi hasil pertumbuhan, dan konsumsi oksigen oleh benthos heterotrof (pengukuran langsung pada tabung yang dipasang di dasar perairan). Parameter yang diamati meliputi oksigen, fosfat, silika, amonium, nitrat, TSS (total suspended solids), POC (particulate organic carbon), DOC (dissolved organic carbon), biodegradable DOC (BDOC), klorofil a, fotosintesis, koefisien peredupan (k), produksi dan kelimpahan bakteri, dan nitrifikasi. Hasil studi menyimpulkan, bahwa yang berpengaruh besar pada Neraca oksigen di estuari Seine bukannya stratifikasi ataupun dekomposisi bahan organik sebagaimana di banyak estuari lain, tetapi terutama dipengaruhi oleh proses nitrifikasi maupun respirasi (bakteri, benthos, fitoplankton). Faktor nitrifikasi yang berperan besar terkait dengan dampak dari buangan domestik maupun industri pada wilayah dengan jumlah penduduk yang padat. Borsuk et al. (2001) mengkaji pemodelan dinamika oksigen di estuari yang terstratifikasi secara sesaat-sesaat (intermittent), yaitu estuari Sungai Neuse di North Carolina. Pemodelan dengan GAM (generalized additive model) dilakukan berdasarkan data pemantauan mingguan/dua mingguan selama 10 tahun, terutama DO, temperatur, salinitas di bagian permukaan dan dasar perairan.
20
Model dapat menjelaskan sekitar 79% dari variasi DO baik secara spasial maupun periodik. Temperatur perairan yang rendah (15oC atau lebih) hanya akan menyebabkan kadar oksigen kurang dari 4 mg/L, sedangkan bila temperatur perairan mencapai 20oC atau lebih maka dapat diperkirakan kadar oksigen akan tinggal 2 mg/L atau kurang. Model juga dapat memprediksi jumlah hari lamanya kondisi masing-masing hipoksia tersebut. Daoji et al. (2002) menyajikan hasil penelitiannya di estuari Changjiang di depan muara S. Yangtze, Laut China Timur yang zona hipoksianya mencapai luasan 13700 km2 setebal sekitar 20 m di dasar perairan. Dalam dua dekade terakhir, nilai DO minimum di wilayah beroksigen rendah di estuari ini telah menurun dari 2,88 mg/L menjadi 1 mg/L. Di zona hipoksia, penggunaan oksigen yang nampak (apparent oxygen utilization, AOU) mencapai 5,8 mg/L. Kondisi haloklin di atas lapisan zona hipoksia sebagai akibat dari percampuran air dari Changjiang dan arus hangat Taiwan (Taiwan Warm Current), serta tingginya konsentrasi partikel karbon organik (POC) dan partikel nitrogen organik (PON) diduga
merupakan
faktor
utama
penyebab
terjadinya
zona
hipoksia.
Berdasarkan rasio POC:PON dan sebaran konsentrasi nutrien di zona hipoksia, dapat disimpulkan bahwa defisiensi oksigen di bagian dasar selama musim panas di Laut China Timur sekitar muara Chanjiang ini sebagai akibat dari produksi organik karbon yang meningkat karena nutrien dan bahan organik dari sungai, yang diikuti oleh perubahan regenerasi nutrien di Laut China Timur. Breitburg et al. (2003) mengamati pola dan pengaruh DO rendah terhadap toleransi biota dan larva ikan di Sungai Patuxent, estuari di Chesapeake Bay yang mengalami hipoksia musiman. Perairan dasar di banyak area mesohalin di S. Patuxent pada umumnya mengandung DO kurang dari 50% tingkat saturasinya selama musim panas.
Konsentrasi DO sangat bervariasi secara
spasial maupun temporal, dan kondisi hipoksia yang hebat dan meluas, sudah cukup untuk dapat mengubah pola sebaran organisme dan interaksi trofik di perairan.
Zooplankton bergelatin adalah biota yang paling toleran terhadap
hipoksia, sementara kebanyakan ikan-ikan yang penting secara ekologi dan ekonomi adalah yang paling sensitif. Data lapangan, percobaan di laboratorium, dan pemodelan menunjukkan bahwa DO yang rendah di estuari S. Patuxent menyebabkan kondisi heterogen secara temporal dan spasial pada habitat, mengurangi luasan dan kesesuaian habitat bagi ikan dan avertebrata, mengubah
21
interaksi jejaring makanan, dan berpengaruh pada kelangsungan hidup dari telur hingga larva ikan dari jenis-jenis ikan yang penting secara ekologi. Radwan et al. (2003) mengkaji pemodelan konseptual sederhana DO dan BOD di sungai di Flanders, Belgia untuk tujuan pengelolaan yang dibandingkan dengan model detail berdasarkan proses fisik perairan Mike 11 (suatu perangkat lunak pemodelan sungai dari DHI Water & Environment).
Dengan mem-
pertimbangkan sumber-sumber BOD dari kegiatan pertanian dan domestik, konsentrasi DO dan nilai BOD di sungai dimodelkan dalam Mike 11. Model memperhitungkan proses adveksi dan dispersi, serta proses-proses biologi dan kimia penting utama. Kalibrasi model dilakukan berdasarkan data kualitas air yang ada. Kalibrasi dari model yang lebih sederhana terhadap model detail Mike 11 ini dimaksudkan untuk mendapatkan hasil simulasi jangka panjang yang lebih mudah yang dapat digunakan dalam analisis statistik. Akurasi dan kecepatan model juga diperhatikan. Model konseptual sederhana ini 1800 kali lebih cepat daripada model Mike 11, sementara akurasi kedua model hampir sama. Bagaimanapun, pembuatan model sederhana ini hanya dapat dilakukan dengan menggunakan simulasi dengan model detail. Oleh karena itu, model detail dan model sederhana harus digunakan secara komplementer (saling melengkapi). Lehman et al. (2004) meneliti tentang sumber-sumber yang menggunakan oksigen di bagian hilir sungai San Joaquin, California.
Pendekatan yang
dilakukan adalah dengan pengukuran berbagai parameter kualitas air termasuk DO, BOD (10 hari), CBOD (carbonaceus BOD, dengan penambahan inhibitor nitrifikasi), NBOD (Nitrogeneus BOD), amonifikasi dari fitoplankton melalui pengukuran klorofil a, amonia dan DO secara periodik pada sampel yang diinkubasi dalam kondisi gelap selama 30 hari (20oC), dan inkubasi botol gelap botol terang selama 24 jam untuk produksi primer plankton, serta pendekatan model kesetimbangan massa untuk perhitungan muatan amonia. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kondisi oksigen rendah yang berkepanjangan di bagian sungai yang telah dipengaruhi pasang surut dan diperdalam untuk keperluan pelayaran tersebut bukan disebabkan oleh adanya stratifikasi fisik, tetapi terutama oleh kebutuhan oksigen untuk proses nitrifikasi baru kemudian oleh kebutuhan oksigen untuk dekomposisi karbon (CBOD). Nitrifikasi tersebut berkaitan dengan tingginya amonia terlarut yang berasal dari instalasi pengolahan air limbah dan berbagai sumber tersebar (nonpoint sources) lainnya yang ada di bagian lebih hulu.
22
Yin et al. (2004) menyajikan penelitiannya mengenai sebaran spasial dan temporal oksigen terlarut di estuari S. Pearl, Hong Kong dan perairan pantai sekitarnya. Berdasarkan data DO tahun 1980an dan data dari tahun 1990-2000, diketahui bahwa kadar DO di perairan pantai pernah mencapai 3–<4 mg/L, sedangkan di estuari S. Pearl nilai DO terendah mencapai <2,5 mg/L tetapi skala besar hipoksia (<2 mg/L) tidak pernah terjadi. Sebaran spasial oksigen mungkin dikendalikan oleh sirkulasi estuari, karena DO berkorelasi secara signifikan dengan salinitas. Lebih lanjut, nampaknya sebaran oksigen di lapisan dasar berkaitan dengan konsumsi oleh benthos dan adanya flux dari air beroksigen rendah pada antarmuka sedimen-air yang tersuspensi kembali oleh proses percampuran. Selain itu, adanya keterbatasan fosfor (PO4) diduga ikut berperan dalam membatasi luasan zona hipoksia perairan. Diduga keterbataan fosfor juga merupakan faktor pembatas bagi dekomposisi bakteri yang berperan penting dalam konsumsi total oksigen di kolom air dan sedimen. Zheng et al. (2004) mengembangkan model fisika tiga dimensi dan model kualitas air untuk estuari Sungai Satilla, Georgia. Model ini melibatkan tidak kurang dari 50 parameter dan konstanta hasil kajian beberapa peneliti maupun berdasarkan persamaan baku yang telah ada, antara lain meliputi laju reaerasi, laju deoksigenasi, laju nitrifikasi, denitrifikasi, laju respirasi fitoplankton, bakteri, laju pertumbuhan, laju kematian fitoplankton, laju mineralisasi N, P, SOD (sediment oxygen demand),
penyesuaian temperatur untuk berbagai proses,
setengah konsentrasi saturasi untuk keterbatasan oksigen pada proses oksidasi BOD, nitrifikasi, denitrifikasi, kecepatan pengendapan berbagai partikel, fraksifraksi organik, rasio unsur, fluks N P di dasar, koefisien peredupan, intensitas cahaya dan kedalaman lapisan benthos. Model dapat memprediksi konsentrasi nutrien anorganik, klorofil a dan DO dengan baik. Hasil studi juga menunjukkan bahwa rendahnya DO di estuari rawa payau ini terutama disebabkan oleh tingginya kebutuhan oksigen sedimen (SOD) yang merupakan sifat alami dan tidak terkait dengan kegiatan antropogenik.
Selain proses nitrifikasi, proses
resuspensi sedimen akibat pasang-surut berperan penting dalam penyediaan nutrien di kolom air. Vallino et al. (2005) menduga produksi primer kotor (GPP), respirasi komunitas (CR), dan produksi bersih ekosistem (NEP) di estuari dengan percampuran sempurna (well mixed estuary) Sungai Parker, Pulm Island Sound, Massachusetts,
dengan
menggunakan
model
adveksi-dispersi
yang
23
dikombinasikan dengan pengukuran DO pada saat subuh dan petang. Hasil penelitian menunjukkan nilai NEP yang negatif.
Analisis neraca karbon
menunjukkan bahwa sekitar 71% input C berasal dari rawa-rawa pasang-surut, 27% berasal dari laut dan sisanya sekitar 2% berasal dari input daratan. Gilbert et al. (2005) mengamati kandungan oksigen terlarut di bagian dasar estuari St. Lawrence Hilir, yang pada periode 1984-2003 berkurang dari 125 umol/L (4 mg/L) menjadi 65 umol/L (2,08 mg/L), dan pada Juli 2003 sekitar 1300 km2 dasar laut estuari ini mengalami hipoksia (<62,5 umol/L). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa berkurangnya jumlah massa air yang lebih dingin dan kaya oksigen dari arus Labrador (Labrador Current Water) – sementara massa air dari arus Atlantik Utara bagian tengah (North Atlantic Central Water) yang hangat dan miskin oksigen jadi lebih besar, dan meningkatnya kebutuhan oksigen sedimen (SOD), merupakan faktor utama penyebab menurunnya kandungan oksigen. Lin et al. (2006) mengamati startifikasi vertikal DO di estuari tercampur sebagian (partially-mixed estuary) yaitu di Cape Fear River Estuary (CFRE) dan di Pamlico River Estuary (PRE), di North Carolina, berdasarkan dua parameter utama yakni (1) kekuatan dari sirkulasi gravitasional estuari, dan (2) tingkat kepentingan relatif antara BOD dan difusivitas vertikal. Hasil menunjukkan bahwa di CFRE, meskipun terdapat stratifikai salinitas yang kuat, pada umumnya konsentrasi DO cukup merata, hal ini terutama karena relatif lebih kuatnya sirkulasi gravitasional estuari dan lebih tingginya inflow air tawar yang terjadi. Sedangkan di PRE, stratifikasi vertikal DO berhubungan erat dengan stratifikasi salinitas.
Sirkulasi gravitasional dan aliran sungai di PRE seringkali sangat
lemah, dan stratifikasi DO sangat sensitif terhadap konsumsi BOD yang relatif cepat dan diffusivitas vertikal yang dipengaruhi oleh stratifikasi salinitas. Lee & Lwiza (2008) menganalisa variabilitas DO dasar di selat Long Island, New York berdasarkan monitoring dari tahun 1995 hingga 2004, dalam kaitannya dengan stratifikasi temperatur dan densitas.
Faktor utama yang
mengendalikan DO dasar berubah secara spasial maupun temporal. Pada musim-musim selain musim panas, tingkat DO di dasar sangat berkaitan dengan temperatur, yang berarti keberadaan DO dikendalikan oleh kelarutan. Selama musim panas, stratifikasi meningkat pada kondisi angin yang lemah dan DO dasar menurun. Pada bagian paling barat yang sempit dan dangkal (<15 m), DO dasar berkorelasi dengan stratifikasi densitas, di bagian ini DO terus menurun
24
selama musim panas sampai tingkat minimum ketika temperatur bagian dasar sekitar 19-20 oC, sedangkan di bagian yang dalam (>20 m) hubungan antara penurunan oksigen dengan stratifikasi tidak signifikan. Volume perairan yang mengalami hipoksia berkorelasi lemah dengan kecepatan angin, total nitrogen musim semi, klorofil a musim semi, dan debit sungai maksimum. Bloom yang terjadi pada musim semi sepertinya menjadi sumber penting dari karbon organik yang selanjutnya ini berkaitan dengan meningkatnya penggunaan oksigen untuk proses biologi. Sementara Talke et al. (2009) melakukan studi mengenai pengaruh debit air tawar, kedalaman, dan sedimen tersuspensi terhadap penurunan oksigen di estuari yang keruh (Ems estuary, Jerman) dengan menggunakan model rata-rata pasang surut ideal (idealized model) berdasarkan penyederhanaan prosesproses geometri, fisik dan biologi yang terjadi. Hasil studi menunjukkan bahwa peningkatan kedalaman di perairan, penurunan debit air tawar, dan penurunan percampuran, menggeser zona keruh ke arah hulu, meningkatkan sedimen tersuspensi dan menurunkan DO. Pena et al. (2010) mengevaluasi berbagai pendekatan pemodelan yang digunakan dalam berbagai kajian tentang hipoksia di perairan pantai, dari mulai box model sederhana hingga model sirkulasi tiga dimensi, baik model hipoksia untuk sistem bentik maupun pelagik. Dalam sepuluh tahun terakhir, pemodelan semi empiris lebih sering digunakan daripada pemodelan mekanistik (turbulensi, stratifikasi) dalam mengkaji pengkayaan nutrien dan hubungannya dengan hipoksia. Kemajuan dalam pemodelan gabungan fisik-ekologi-biogeokimia tigadimensi telah dapat merepresentasikan interaksi fisika-biologi dalam sistem yang lebih baik.
Model ekologi generik (generic ecological model, GEM) yang
digunakan oleh Blauw et al. (2009) lebih dapat diaplikasikan pada berbagai situasi perairan pantai dibanding pendekatan model lainnya yang pada umumnya hanya baik bagi wilayah penelitian yang bersangkutan. Analisis Sharp (2010) terhadap data 30 tahun hasil upaya riset laboratoriumnya dan 40 tahun data monitoring dari berbagai lembaga mengenai oksigen di Estuari Delaware, estuari yang sering mengalami hipoksia dan anoksia sebelumnya, menghasilkan gambaran jangka panjang dari penurunan dan peningkatan DO di wilayah urban dari estuari.
Penyebab utama dari
penurunan DO sepertinya adalah masukan atau bahan-bahan allochtonous yang berasal dari kegiatan perkotaan. Selain karena tingginya konsentrasi nutrien,
25
produksi alga yang berlebihan tidak berpengaruh pada DO baik dibagian tawar maupun di bagian asin dari Estuari Delaware yang tercampur sempurna, dan itu terjadi sampai sekarang. Muatan nutrien ke Estuari Delaware sangat tinggi, meskipun tanda-tanda eutrofikasi tidak nampak jelas.
Berdasarkan model
penggunaan oksigen yang nampak (apparent oxygen utilization, AOU), Teluk Delaware rupanya pernah menghasilkan produksi primer yang tinggi lima puluh tahun yang lalu, pada saat ketika konsentrasi nutrien setinggi atau lebih tinggi dari sekarang, produksi kerang-kerangan dan ikan sepertinya juga lebih tinggi, dan kandungan DO mendekati nilai saturasi. Penyebab memburuknya kualitas estuari tidak hanya karena peningkatan muatan nutrien semata, tetapi berkombinasi dengan faktor lainnya seperti perubahan atau perusakan habitat, hilangnya tingkat trofik yang lebih tinggi, dan adanya kontaminan lain yang menjadi penghambat dalam perkembangan ekosistem estuari.
2.8. Perairan estuari muara Cisadane Sungai Cisadane adalah salah satu sungai besar di Jawa Barat yang mengalir dari kaki Gunung Salak dan Gunung Pangrango di Kabupaten Bogor melalui kota Bogor dan Tangerang sejauh sekitar 80 km dan bermuara di pantai utara Jawa di daerah Tanjung Burung, Kabupaten Tangerang (Gambar 2.4). Daerah aliran sungainya seluas 1100 km2, yang mencakup dua propinsi yakni Jawa Barat dan Banten. Debit aliran sungainya sangat berfluktuasi. Berdasarkan data hasil pengukuran Stasiun Observasi Serpong dari tahun 1971 hingga 1997, debit aliran terendah tercatat sebesar 2,93 m3/detik pada tahun 1991 dan debit aliran tertinggi adalah sebesar 973,35 m3/detik pada tahun 1997. Dari data debit aliran bulanan yang diamati dari tahun 1981 hingga 1997, debit aliran terendah terjadi antara bulan Juli – September dengan debit aliran rata-rata kurang dari 25 m3/detik (TKCM, 2005). Beberapa penelitian di estuari Cisadane dilakukan oleh LIPI pada periode 2003-2005 dengan hanya satu titik di bagian badan sungai di muara, satu titik tepat di muara, dua titik di depan muara, dan 14 titik selebihnya di bagian pantai/laut sekitarnya (Ruyitno et al., 2008).
Kandungan klorofil-a di bagian
muara tergolong sedang dengan konsentrasi mencapai 20,23 mg/m3 (Afdal & Riyono, 2008), kandungan total padatan tersuspensi (pengamatan Juni 2003) berkisar 26-79 mg/L (Helfinalis, 2008), kekeruhan (pengamatan Juli dan Nopem-
26
ber 2005) berkisar 11,3 – 34,12 NTU (Nurhayati & Suyarso, 2008), pH berkisar 7,4 – 7,57, kadar fosfat 0,09 – 7,22 µg/L dan kadar nitrat 0,13 – 3,35 µg/L (Muchtar & Simanjuntak, 2008).
Sementara itu, kandungan total bakteri
produktivitas pada pengamatan Mei 2004, Juni 2003, dan September 2003 adalah 24,4 x 106 sel/ml, 46,96 x 106 sel/ml, dan 34,66 x 106 sel/ml (Kunarso et al., 2008).
Gambar 2.4. Sungai Cisadane, yang mengalir dari Bogor hingga Tangerang dan bermuara di daerah Tanjung Burung, Kabupaten Tangerang (sumber: PUSARPEDAL, 2010)
3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau pada dua periode, yakni pada bulan Juli – Oktober 2007 dan dilanjutkan pada bulan Juni – Agustus 2008. Penelitian dilakukan pada musim kemarau karena pada musim tersebut debit aliran sungai rendah, bila muatan limbah organik yang masuk perairan hampir sama maka diperkirakan kondisi kualitas air menurun dibanding musim lainnya. Pengamatan dan pengambilan contoh dilakukan di estuari muara S. Cisadane, di Tanjung Burung, Kabupaten Tangerang.
Analisis kualitas air
dan penelitian
laboratorium dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor. Analisis mikrobiologi dilakukan di Laboratorium Bakteriologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor.
3.2. Bahan dan Metode 3.2.1. Bahan dan Alat Bahan penelitian adalah sampel air dan sampel sedimen dari estuari S. Cisadane dan bahan-bahan untuk analisis parameter kimia dan fisika kualitas air (DO, BOD, COD, TKN, amonia, nitrat, dan nitrit), serta bahan-bahan untuk analisis mikrobiologi. Alat atau instrumen penelitian yang digunakan adalah instrumen penelitian standard untuk pengamatan di lapangan dan pengambilan contoh, dan untuk pengamatan dan analisis di laboratorium. Peralatan lapangan meliputi papan ber-skala pengukur tinggi muka air, perahu bermotor, CTD (Conductivity Temperature Depth) instrument, GPSmap 198C Sounder, GPS, SCT (SalinityConductivity-Temperature) meter, OSK 3203 HIROI'S electric current meter, stopwatch, pH meter, DO meter, ORP (Oxidation Reduction Potential) meter (TOA RM-10P), Van Dorn water sampler, wadah sampel berupa botol gelas maupun plastik (polyethylene, PE) dan boks pendingin sampel. Peralatan laboratorium meliputi berbagai peralatan gelas, timbangan analitik, oven, inkubator, spektrofotometer, akuarium yang dilengkapi dengan plastik hitam penutup, dan termometer maksimum-minimum.
28
3.2.2. Metode Penelitian 3.2.2.1. Pendekatan penelitian Penelitian ini adalah penelitian survei lapangan dengan penelitian laboratorium sebagai penunjang. Penelitian dilakukan di perairan estuari Muara Sungai Cisadane, Tangerang. Penelitian meliputi pengamatan dan pengambilan contoh di lapangan, analisis laboratorium dan penelitian laboratorium sebagai pelengkap. Penelitian lapangan menggunakan pendekatan “box model” (Peirson et al., 2002) yakni pembagian estuari dalam beberapa segmen. Dalam hal ini, estuari dibagi menjadi empat segmen atau kompartemen secara seri (longitudinal), dan dibedakan secara vertikal (bagian atas dan bawah) seperti yang disajikan secara skematik pada Gambar 3.1. Satu seri kompartemen ditetapkan berdasarkan volume (V) pada saat pasang dan saat surut. Keempat kompartemen tersebut masing-masing mewakili segmen atau zona sungai (tawar), zona percampuran 1 dan 2 (payau), dan zona laut.
Gambar 3.1. Skematik “box model” pada estuari yang terstratifikasi (Sumber: dimodifikasi dari Peirson et al. 2002) Untuk mengetahui tipe estuari, dilakukan pengamatan awal yang meliputi pengamatan hidrooseanografi (kecepatan arus, profil dasar sungai/estuari, salinitas, temperatur, pengamatan level muka air untuk penentuan tipe pasang-
29
surut).
Pengamatan awal dilakukan pada beberapa titik (9-13 titik) secara
gradual, mulai dari batas estuari di sungai hingga titik tertentu di laut (muara). Untuk keperluan penelitian utama, pengamatan dilakukan beberapa kali selama musim kemarau, meliputi bagian permukaan (bagian atas) dan dekat dasar (bagian bawah) perairan, baik pada saat pasang maupun pada saat surut, pada ketiga zona utama, yakni zona sungai, zona estuari/percampuran/payau, dan zona laut. Pengamatan dan pengambilan contoh dilakukan pada 4 stasiun pengamatan yang mewakili ketiga segmen atau zona tersebut yakni, St. 1 mewakili zona sungai, St. 2 dan St. 3 mewakili zona percampuran (payau), dan St. 4 mewakili zona laut. Pada setiap stasiun, pengamatan dilakukan pada dua kedalaman (dekat permukaan dan dekat dasar) dengan pendekatan “box model” sebagaimana telah disebutkan. Parameter yang diamati pada keempat stasiun tersebut adalah kandungan oksigen terlarut (DO), bahan organik (BOD, TKN untuk mendapatkan total organik nitrogen, dan COD), serta salinitas,
temperatur, dan pH.
Pengamatan produktivitas primer dilakukan pada kedua stasiun di zona percampuran.
Kandungan mikroba pada sampel dari keempat stasiun juga
diamati untuk mendapatkan gambaran mikroba yang terlibat dalam dekomposisi bahan organik. 3.2.2.2. Pendekatan model Pendekatan neraca (budget) oksigen di segmen zona percampuran pada saat surut mengikuti model sebagai berikut:
MOsL + MOdif + MOfo = MOak + MOde + MORm + MOsed
.......... (3.1)
Keterangan:
MO sL MOdif MOfo
MOak MOde MORm
: muatan (load) oksigen dari sungai dan dari laut : muatan oksigen akibat difusi (reaerasi) : muatan oksigen hasil fotosintesis : muatan oksigen aktual (hasil pengukuran) : muatan oksigen terpakai untuk dekomposisi bahan organik dan respirasi biota air mikro (botol gelap) : muatan oksigen terpakai untuk respirasi biota air makro
MO sed : muatan oksigen terpakai untuk dekomposisi sedimen
30
Muatan (load) oksigen di zona percampuran adalah muatan oksigen yang berasal dari sungai dan laut (MOsL) ditambah muatan masukan oksigen dari atmosfer melalui difusi (MOdif) dan tambahan oksigen akibat proses fotosintesis tumbuhan air, terutama fitoplankton (MOfo).
Muatan oksigen tersebut pada
dasarnya setara dengan muatan oksigen yang terukur secara aktual (MOak) ditambah dengan muatan oksigen yang telah digunakan untuk proses dekomposisi (termasuk respirasi) bahan organik mikro di kolom air (MOde), ditambah muatan oksigen untuk respirasi biota air makro, seperti ikan dan organisme nekton lainnya (MORm), dan muatan oksigen yang digunakan dalam proses dekomposisi dan respirasi sedimen (MOsed). Di antara beberapa parameter tersebut, MOsL dapat ditentukan berdasarkan hasil pengukuran oksigen aktual di zona sungai dan zona laut dengan memperhitungkan volume masukan dari sungai dan volume masukan dari laut pada saat pasang, MOfo ditentukan berdasarkan pengukuran produktivitas primer botol gelap – botol terang di zona percampuran, MOak dari hasil pengukuran DO, MOde ditentukan dengan inkubasi botol gelap dan MOsed dengan penelitian degradasi sedimen.
Yang sulit penentuannya adalah
parameter difusi (MOdif), dan respirasi biota air makro (MORm). Respirasi biota air makro menyangkut berbagai jenis biota air yang sulit diperkirakan jenis dan jumlahnya masing-masing, belum lagi untuk ikan-ikan yang mobilitasnya dapat melewati batas zona yang ditetapkan. Difusi oksigen dari atmosfer dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni kecepatan angin, riak atau turbulensi air di permukaan, temperatur dan salinitas. Kecepatan angin, temperatur dan salinitas masih mungkin untuk diukur, akan tetapi turbulensi atau riak air permukaan di estuari akibat pengaruh arus sungai, arus pasut maupun angin sangat sulit untuk diukur. Pendekatan yang mungkin dilakukan adalah dengan menggunakan formula yang dikemukakan Ji, 2008:
Kr (20 ºC) = A
VB D
C
........................................................ (3.2)
Keterangan: Kr (20 ºC) : koefisien reaerasi pada suhu 20 ºC (per hari) V : kecepatan arus pasut (m/s) D : kedalaman perairan (m) A, B, C : parameter empiris, dalam hal ini digunakan nilai untuk perairan dengan arus lambat dan dalam menurut O’Connor & Dobbins (1958) yakni A= 3,93 ; B= 0,50 ; C= 1,50.
31
Penyesuaian Kr pada suhu aktual perairan (T ºC), dengan menggunakan formula (Ji, 2008):
Kr = Kr (20 ºC)●1,024 (T-20) ................................................ (3.3) Menurut Ward & Montague (1996), formula O’Connor & Dobbins tersebut semula diusulkan untuk aliran sungai, tetapi dapat diaplikasikan di estuari, khususnya estuari yang bertipe morfologi mirip dengan sungai-sungai besar. Kecepatan arus V adalah kecepatan arus yang dominan di estuari yang merupakan kecepatan arus rata-rata dari arus pasang surut yang ada. 3.2.2.3. Penelitian awal Pengamatan awal dilakukan pada 9-13 titik pengamatan, dari muara hingga batas estuari di sungai (salinitas mendekati 0 psu), secara lateral dan longitudinal.
Pengamatan ini dilakukan pada tanggal 1-2 Agustus 2007
(kemarau), dengan menggunakan CTD instrument dan GPSmap 198C Sounder untuk mendapatkan profil sebaran salinitas dan temperatur (dengan CTD pada 9 titik pengamatan) dan profil kedalaman atau dasar sungai (dengan sounder sepanjang sekitar 9 km estuari). Pengamatan sebaran salinitas dan temperatur juga dilakukan dengan menggunakan SCT meter pada tanggal 7-9 September 2007 (dan pada tiap kali pengamatan berikutnya), pada saat pasang dan pada saat surut pada tiap meter kedalaman di setiap titik. Pengukuran kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan alat pengukur arus OSK 3203 HIROI'S electric current meter pada tiga stasiun di sungai pada kedalaman 20% dan 80% pada beberapa titik menyeberang sungai.
Pengamatan level muka air setiap jam
selama 45 jam untuk penentuan pasang surut, dilakukan di satu titik di pantai pada koordinat S 06'01'49.3" dan E 106'38'00.6" pada tanggal 17-19 Juli 2007. 3.2.2.4. Penelitian lapangan Penelitian lapangan bertujuan untuk mendapatkan data DO, bahan organik (BOD, N organik, COD) dan data kualitas air lainnya dari beberapa titik pengamatan di estuari selama/mewakili musim kemarau. 3.2.2.4.1. Pengamatan dan pengambilan contoh Lokasi penelitian adalah di bagian muara Sungai Cisadane, di daerah Tanjung Burung, Kabupaten Tangerang.
Hasil pengamatan pendahuluan
32
menunjukkan bahwa bagian muara sungai ini mencakup ruas sungai sepanjang sekitar 12.5 km dari titik muara. Sepanjang muara ini pada umumnya merupakan pemukiman penduduk di sisi barat maupun timur sungai, juga terdapat beberapa industri galangan kapal, usaha peternakan sapi, dan usaha penggalian pasir. Lebar sungai pada ruas sungai bagian muara ini berkisar 40 – 80 m. Pengamatan dan pengambilan contoh pada penelitian lapangan ini dilakukan pada empat (4) stasiun pengamatan terpilih yang meliputi zona sungai (St.1), zona percampuran (St. 2 dan St. 3) dan zona laut (St. 4), berdasarkan pertimbangan tipe estuari (Gambar 3.2). Stasiun 1 (St. 1) merupakan titik lokasi paling hulu, yakni pada titik sekitar 12,6 km dari muara sungai yang mewakili bagian tawar atau zona sungai dari estuari Cisadane. Pengaruh pasang-surut hanya berpengaruh pada ketinggian muka air atau kedalaman di St. 1, tidak sampai menyebabkan perairan menjadi payau. Kedalaman di St. 1 ini mencapai 4,5 m. Stasiun 2 (St. 2) berjarak sekitar 6,5 km dari St. 1 ke arah hilir, berada tidak jauh dari kegiatan peternakan sapi yang berada di sisi timur sungai (Desa Tanjung Burung). Di sekitar St. 2 ini juga terdapat kegiatan pembuatan dan perbaikan kapal. Stasiun 3 (St. 3) berada sejauh 3,6 km ke arah hilir dari St. 2, atau sekitar 2,5 km dari muara yang berbatasan dengan pantai. St. 3 berada di sekitar batas paling hilir dari pemukiman penduduk.
St. 2 dan St. 3 adalah
stasiun pengamatan yang mewakili bagian payau atau zona percampuran dari estuari Cisadane. Di sisi sungai antara St. 3 hingga muara merupakan kawasan pertambakan yang sebagian besar tidak aktif. digunakan sebagai tempat penggalian pasir
Sebagian dari tambak ini
yang berproduksi setiap hari.
Sebagian tambak yang lain digunakan sebagai areal wisata pemancingan. Stasiun 4 (St. 4) merupakan stasiun pengamatan yang mewakili titik muara atau zona laut dari estuari Cisadane, berjarak sekitar 500 – 800 m dari garis pantai (Gambar 3.2). Titik koordinat setiap stasiun disajikan dalam Tabel 3.1. Tabel 3.1. Titik koordinat stasiun pengamatan di estuari S. Cisadane Lokasi
Lintang Selatan (LS)
Koordinat Bujur Timur (BT)
St. 1
S 06º 05' 46.7"
E 106º 38' 03.3"
St. 2
S 06º 02' 58.5"
E 106º 38' 04.5"
St. 3
S 06º 01' 08.7"
E 106º 37' 53.8"
St. 4
S 05 59' 38.2"
o
o
E 106 38' 32.7"
33
Gambar 3.2. Lokasi titik-titik pengamatan (St. 1, St. 2, St. 3 dan St. 4) di Estuari Cisadane, Tanjung Burung, Kabupaten Tangerang Pengamatan pada tahap penelitian ini dilakukan pada saat
pasang
(menjelang pasang tertinggi) dan pada saat surut (menjelang surut terendah). Pengambilan contoh air dilakukan pada dua strata kedalaman, yakni pada lapisan atas (sekitar 20% kedalaman), selanjutnya disebut permukaan, dan pada lapisan dasar (sekitar 80% kedalaman), selanjutnya disebut dasar. Pengukuran dan analisis parameter kualitas air dilakukan secara duplo. Pengamatan dan pengambilan contoh dilakukan pada dua periode musim kemarau, yakni empat kali selama periode September – Oktober 2007 dan tiga kali selama periode Juni-Juli-Agustus 2008. Setiap kali pengamatan dilakukan pada saat pasang dan pada saat surut. 3.2.2.4.2. Pengamatan produktivitas primer Pengamatan fotosintesis (produksi primer) dilakukan tiga kali pada bulan Juni, Juli dan Agustus 2008, pada kedua stasiun di zona percampuran, yakni di St. 2 dan St. 3. Produktivitas primer diamati dengan metode oksigen (botol gelap – botol terang) dengan inkubasi di kolom air selama 4 jam (APHA 2005) dimulai dari pukul 09:00 dan 10:00. Botol gelap dan botol terang (duplo) yang telah diisi sampel air, diinkubasikan kembali kedalam kolom air dengan mengikatkan pada
34
struktur bambu, pada kedalaman 20% dan kedalaman 100% dari kedalaman Secchi pada saat
pengamatan di setiap stasiun. Sampel air di tiap stasiun
berasal dari titik kedalaman inkubasi masing-masing. 3.2.2.4.3. Metode pengukuran Pengukuran salinitas dan temperatur dengan alat SCT meter (YSI, Model 33), pengukuran pH dengan pH meter (Orion, Model 250A), dan pengukuran DO dengan DO meter (TOA DO-20A) pada dua kedalaman sebagaimana telah disebutkan (permukaan dan dekat dasar). Alat-alat yang digunakan adalah alatalat yang telah dikalibrasi. Pengukuran kandungan oksigen terlarut (DO) juga dilakukan dengan cara titrasi di lapangan dengan bahan dan peralatan titrasi yang telah dikalibrasi. Sampel air untuk analisis kualitas air lainnya (BOD, COD, TKN) diambil pada kedalaman yang sama dan dipreservasi dengan penambahan pengawet dan pendinginan, untuk kemudian dianalisis di laboratorium. Pengambilan contoh (preservasi) dan analisis laboratorium mengikuti prosedur standard (APHA 2005). Pengukuran BOD menggunakan suhu inkubasi sesuai suhu perairan (30oC) dan diinkubasi selama 3 hari (Polii 1994), mengingat yang ingin diketahui adalah kemampuan perairan dalam mendekomposisi bahan organik. Hasil penelitian Polii (1994) juga menunjukkan bahwa nilai BOD3 (30 oC) setara dengan BOD5 (20oC) yang umum
dilakukan.
Parameter dan cara
pengukurannya disajikan pada Tabel 3.2.
3.2.2.5. Penelitian Laboratorium 3.2.2.5.1. Penentuan konstanta laju reaksi BOD Penelitian ini adalah penelitian di laboratorium untuk mendapatkan nilai konstanta k (laju reaksi) dari persamaan BOD ( Lt = L . e- k.t ) agar dapat dihitung BOD secara total (ultimate BOD). Penelitian dilakukan di laboratorium dengan menginkubasi sampel yang di-ambil dari keempat stasiun untuk diamati kadar oksigennya pada awal (sebelum inkubasi), kemudian setiap 1 hari atau setiap 1,5 hari setelah inkubasi, hingga hari keenam atau kesembilan, sehingga keseluruhan terdapat tujuh kali pengamatan secara berurutan (Metcalf & Eddy, 1991). Inkubasi sampel pada botol gelap dalam inkubator dengan suhu 30oC. Peneraan kadar oksigen (DO) dengan metode standard Winkler secara duplo. Sebelum pengukuran, sampel dipersiapkan dengan aerasi dan pengenceran. Pengenceran dilakukan dengan air suling (akuades) untuk sampel dari St. 1
35
Tabel 3.2. Parameter hidrooseanografi dan kualitas air yang diamati dan alat atau metode pengukurannya No. Parameter
Satuan
Alat/Metode
1. Temperatur
o
Thermistor (SCT meter) / elektrofisika
2. Kecerahan
cm
Secchi disk / visual
3. Kekeruhan
NTU
Turbidity meter / optik-elektronik (nephelometri)
4. Salinitas
psu
SCT meter / elektrofisika Refraktometer (distandarisasi) / optik
5. pH
C
-
pH meter / elektrokimia
6. Oksigen terlarut (DO)
mg/L
DO meter / elektrokimia
7. BOD
mg/L
Botol BOD, inkubator / Inkubasi, iodometri (Winkler)
8. COD
mg/L
Peralatan gelas / Reflux, titrimetri K2Cr2O7
9. TKN
mg/L
Spektrofotometer / Analisis Kjeldahl
µg/L
Spektrofotometer / ekstraksi aseton & spektroskopi
10. Klorofil-a 11.
Fotosintesis (Produktivitas Primer)
12. Mikrobiologi
(Total aerob microbial count – TPC, Bacillus sp, Pseudomonas aeruginosa)
mgO2/L Metode botol terang - botol gelap per hari cfu/ml
Metode penumbuhan koloni pada media (pour plate) dan identifikasi
(tawar), dan dengan air bersalinitas buatan sesuai salinitas masing-masing air sampel untuk sampel dari St. 2, St. 3 dan St. 4. Air bersalinitas buatan dibuat dengan menggunakan akuades yang ditambahkan bahan-bahan berikut secara proporsional sehingga dicapai salinitas yang diinginkan: NaCl, MgCl2, MgSO4, K2SO4, CaCO3, KBr, dan H3BO3 (Kalle in Riley & Skirrow, 1975).
Penelitian
dilakukan pada sampel yang diambil pada pengamatan Juni, Juli dan Agustus 2008. 3.2.2.5.2. Penelitian degradasi bahan organik sedimen Penelitian ini adalah penelitian laboratorium untuk menentukan seberapa besar degradasi bahan organik sedimen perairan (nilai kebutuhan oksigen) pada kondisi oksigen “normal” dan berapa lama waktu diperlukan untuk mengurai bahan organik biodegradable yang ada hingga kandungan oksigen habis.
36
Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel air dan sedimen dari kedua stasiun di
bagian percampuran (St. 2 dan St. 3) di estuari untuk
ditempatkan di akuarium pada kondisi gelap di laboratorium. Contoh air diambil dari kedalaman sekitar 20 cm dekat dasar dengan menggunakan pompa isap yang dilengkapi selang, sebanyak 100 liter dari tiap stasiun sesuai kebutuhan perlakuan dan ditempatkan dalam jerigen plastik. Sebelum digunakan, contoh air dipanaskan sampai mendidih sehingga air terbebas dari biota mikro dan pada kondisi yang sama (terekualisasi), dan dibiarkan dingin. Contoh sedimen diambil dengan menggunakan Van Veen Grab (26 cm x 13 cm, ketebalan sedimen sampai 13 cm) sebanyak sekitar 41000 cm3 dari tiap stasiun, ditempatkan dalam kantung plastik hitam kemudian dimasukkan dalam boks pendingin. Sebelum digunakan, contoh sedimen diaklimatisasi pada suhu ruang. Sampel sedimen dari kedua stasiun juga dianalisis teksturnya di laboratorium. Untuk melengkapi bahasan mengenai penggunaan oksigen oleh sedimen, dilakukan pengukuran potensial redoks sedimen di St. 2 dan St. 3. Pengukuran in situ dilakukan dengan menggunakan ORP (Oxidation Reduction Potential) meter (TOA RM-10P). Terdapat 3 perlakuan, yakni (1) akuarium dengan sampel air saja, (2) akuarium dengan sampel air dan sampel sedimen tanpa diaduk, dan (3) air sampel dan sampel sedimen dengan diaduk. Masing-masing perlakuan dengan 3 ulangan. Disain penelitian adalah Rancangan Acak Bersarang (Nested design) (Krebs 1990) dengan 3 anak contoh. Untuk perlakuan 1, contoh air dimasukkan ke dalam 3 akuarium hingga setinggi 20 cm. Pada 3 akuarium untuk perlakuan 2, setelah akuarium diisi sedimen setinggi 5 cm dan sedimen ditutup dengan plastik, baru dimasukkan air contoh secara perlahan hingga setinggi 20 cm. Selanjutnya plastik diangkat perlahan dan diupayakan air dan sedimen tidak teraduk. Untuk perlakuan 3, pada ketiga akuarium terlebih dahulu diisi contoh sedimen setinggi 5 cm kemudian diisi dengan air sampel sampai setinggi 20 cm dan diaduk hingga sedimen dan air tercampur (Gambar 3.3). Pengamatan kandungan oksigen terlarut (DO) dilakukan pada saat awal, kemudian setiap 24 jam sampai hari ketiga, selanjutnya setiap 3 jam hingga nilai DO nol atau sampai jam ke 96. Pengukuran DO dilakukan dengan DO meter yang terkalibrasi dan distandarisasi dengan metode titrasi Winkler (Gray 2004). Juga dilakukan pengamatan suhu setiap hari dengan menggunakan termometer
37
minimum-maksimum yang terpasang pada akuarium, dan pengamatan BOD pada awal dan akhir penelitian.
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3
Gambar 3.3. Perlakuan-perlakuan pada penelitian degradasi bahan organik sedimen 3.3. Analisis Data 3.3.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan terhadap data yang telah ditabulasi ataupun diplot berupa grafik. Analisis deskriptif dilakukan terhadap data berikut:
Data pengamatan level muka air untuk menentukan tipe pola pasang surut.
Data salinitas dan temperatur untuk menentukan tipe estuari berdasarkan tipe stratifikasi salinitas dan temperatur.
Data kualitas air yang diplot pada grafik berdasarkan posisi dan kondisi pasang/surut terhadap waktu pengamatan.
Data DO – BOD, untuk melihat kecenderungan (trend) atau pola distribusi antara kedua variabel.
Data BOD – COD dan BOD – N organik, dalam kaitannya dengan pendugaan kandungan (“jenis”) bahan organik.
3.3.2. Uji t dan Korelasi Uji t atau uji nilai tengah dilakukan terhadap data hasil pengamatan lapangan, yakni DO, BOD, COD, dan N-organik, untuk melihat apakah terdapat perbedaan nyata antara permukaan dan dasar dan antara pasang dan surut.
38
Analisis secara statistik korelasi terhadap data DO dan BOD dilakukan untuk melihat seberapa besar korelasi antara kedua variabel. 3.3.3. Analisis Metode Kuadrat Terkecil Analisis
metode
kuadrat
terkecil
dilakukan
terhadap
data
hasil
pengamatan laboratorium untuk penentuan konstanta laju reaksi BOD (k). Dari data DOt dan DOi pada tiap kali pengamatan akan diperoleh nilai BODt (BOD1, BOD2, ..., BOD6 atau BOD1½, BOD3,...., BOD9). Selanjutnya berdasarkan data t dan BODt dianalisis dengan metode kuadrat terkecil atau least-squares method (Metcalf & Eddy, 1991) untuk mendapatkan nilai k. 3.3.4. Analisis Rancangan Acak Bersarang Pengamatan degradasi bahan organik dilaboratorium didasarkan pada Rancangan Acak Bersarang (Nested design).
Dengan demikian, data yang
diperoleh akan diuji secara statistik dengan model Rancangan Acak Bersarang (Nested design) dengan 3 perlakuan induk dan anak perlakuan berupa waktu pengamatan (Krebs, 1990):
Yijk = + i + j(i) + ijk
....................................................... (3.4)
Keterangan: Yijk
= respon DO pada perlakuan ke-i, waktu ke-j;
i
= perlakuan ke-i (i = 1,2,3);
j(i)
= anak perlakuan (waktu pengamatan) ke-j dalam perlakuan induk ke-i (j = 1,2,3,4);
ijk
= sisa.
3.3.5. Analisis Muatan Perhitungan muatan organik estuari didasarkan atas hasil pengamatan BOD3 dan COD di St. 2 (ruas I) dan St. 3 (ruas II) untuk volume masing-masing ruas yang bersangkutan. Berdasarkan hasil pengamatan, dimensi zona estuari Cisadane pada musim kemarau adalah dengan panjang sekitar 12 km (12000 m), lebar sungai rata-rata 51,1 m dan kedalaman rata-rata 5,3 m. St. 2 terletak pada km ke-6,1 dan St. 3 pada km ke-2,5 dari muara.
Dengan
mempertimbangkan letak kedua stasiun tersebut serta St. 1 yang terletak di km 12,6 dari muara dan St. 4 di muara, maka St. 2 mewakili ruas I zona estuari
39
bagian hulu sepanjang sekitar 5,05 km (5050 m) dari km 4,3 hingga km 9,35, dan St. 3 mewakili ruas II zona estuari sepanjang sekitar 4,3 km (4300 m) dari titik nol sejajar garis pantai di muara, dengan rata-rata lebar sungai dan kedalaman yang sama (Gambar 3.4). Perhi-tungan perbedaan volume segmen atau ruas antara pasang dan surut didasarkan atas pendekatan model prisma pasang, yakni perbedaan volume air antara pasang dan surut mengikuti bentuk prisma dengan tinggi pasut, misalnya, 1 m di titik muara kemudian akan berkurang secara gradual ke arah hulu hingga mencapai titik nol di titik paling hulu dari estuari (sekitar 12000 m dari titik muara), maka dapat diestimasi volume rata-rata saat pasang maupun saat surut di masing-masing ruas. Berdasarkan pengamatan, perbedaan kedalaman perairan di titik muara pada saat pasut tertinggi dengan surut terendah adalah 1 m, sedangkan pada saat pasut terendah perbedaan kedalaman antara pasang dan surut di muara adalah 0,2 m.
pemukiman pembuatan/perbaikan kapal peternakan sapi pengumpulan & transport pasir
pertanian pemukiman bandara
6.5
pemukiman pengumpulan & transport pasir pertambakan/pemancingan
6.1
12.6 9.35
3.3
3.6
Ruas I
4.3 Jarak dari muara (km)
5050 m
0.8
2.5 Ruas II
0
muara
4300 m
Gambar 3.4. Letak stasiun pengamatan di estuari S. Cisadane secara longitudinal dan pembagian ruas yang diwakili oleh St. 2 dan St. 3
Untuk perhitungan muatan atau neraca oksigen terlarut di zona estuari adalah sebagaimana sudah disampaikan pada sub-bab Pendekatan Model di awal bab ini, yakni dengan persamaan 3.1 yang dapat dituliskan kembali menjadi: ..... (3.5) Asumsi yang digunakan pada persamaan 3.5 ini adalah:
40
-
Muatan oksigen untuk respirasi biota makro (MORm) dianggap sangat rendah (tidak signifikan) mengingat hampir tidak adanya ikan ataupun biota air makro lainnya akibat kondisi sungai yang terpolusi; sehingga tidak diperhitungkan dalam persamaan.
-
Perbedaan salinitas yang ada sepanjang zona estuari tidak berpengaruh secara signifikan pada kandungan oksigen di kolom air. Faktor salinitas terhadap kandungan oksigen diwakili oleh hasil pengukuran oksigen pada lapisan permukaan dan dasar, dan pada saat perhitungan reaerasi.
-
Reaerasi yang terjadi bersifat penambahan oksigen sehubungan dengan kandungan oksigen yang rendah di perairan, jauh dibawah tingkat saturasi . MOsL pada dasarnya adalah muatan masukan baik dari sungai maupun
dari laut yang terbawa air pasang.
Dari persamaan tersebut akan dapat
diketahui peranan masukan oksigen yang terbawa aliran sungai dan masukan air laut akibat pasang surut. Muatan masukan akibat reaerasi atau difusi (MOdif) diduga dengan pendekatan koeffisien reaerasi, Kr formula O’Connor-Dobbins (in Ji, 2008): K r ( 2 0 º C ) = 3 .9 3
V
0 .5
D
1 .5
sebagaimana telah disebutkan, berikut penyesuaiannya dengan suhu aktual perairan,
Kr = Kr (20 ºC) ●1,024 (T-20) .
Kecepatan arus V yang digunakan adalah kecepatan arus rata-rata hasil pengukuran (0,12 m/s pada saat pasang, 0,25 m/s pada saat surut), D adalah kedalaman perairan rata-rata (=5,3 m atau 5,6 m pada saat pasang tertinggi dan 5 m pada saat surut terendah) dan suhu aktual perairan (T) rata-rata pada saat pasang dan surut masing-masing adalah 30 ºC dan 29 ºC . Selanjutnya, dengan formulasi (Streeter & Phelps in Ji, 2008):
Kr (DOs - DO) .......................................................................... (3.6) akan diperoleh besaran masukan DO dari proses reaerasi, dalam mg/L/hari (DOs= DO pada tingkat saturasi sesuai suhu dan salinitas, DO= DO yang terkandung dalam perairan hasil pengukuran).
Untuk menentukan sampai
seberapa dalam reaerasi yang terjadi, digunakan pendekatan perhitungan flux difusi, yang merupakan penyederhanaan dari hukum Fick tentang difusi, yakni flux sebanding dengan koeffisien difusi dikalikan delta konsentrasi dibagi delta kedalaman (Ji, 2008), menjadi:
41
F = Df
Ca – Cb z
............................................................. (3.7)
F : flux difusi oksigen (mg/L per meter per detik); Df : difusivitas molekular oksigen di air (m2/s) = 2,1 x 10-9 m2s-1; Ca : konsentrasi oksigen (DO) di lapisan atas; Cb : konsentrasi oksigen (DO) di lapisan bawahnya. Berdasarkan data DO hasil pengamatan di St. 2 dan St. 3 pada permukaan dan pada kedalaman 1 m, diperoleh nilai flux difusi oksigen F untuk masing-masing stasiun.
Selanjutnya nilai F ini digunakan untuk menentukan
distribusi vertikal oksigen tiap lapis kedalaman 0,05 m dari permukaan berdasarkan konsentrasi DO reaerasi sebagai Ca dengan z = 0,05 m sehingga dapat dihitung DO pada kedalaman 0,05 m (Cbi) dan seterusnya, sampai kedalaman zn dimana nilai DO (Cbn) sama dengan nol. Kedalaman zn tersebut merupakan kedalaman reaerasi. Dengan DO reaerasi rata-rata di setiap lapisan dan volume tiap ruas di lapisan tersebut, dapat dihitung muatan DO setiap lapisan, dan selanjutnya muatan total reaerasi dari permukaan hingga kedalaman reaerasi (MOdif) tiap ruas dapat dihitung. Berdasarkan data hasil pengamatan, diketahui bahwa kandungan oksigen terlarut (DO) di kedua stasiun estuari (St. 2 dan St. 3) pada umumnya rendah dan tidak pernah lebih dari tingkat saturasi (tingkat saturasi berkisar 7,2 – 7,9 mg/L), sehingga tidak terjadi pelepasan oksigen ke atmosfer, yang terjadi adalah pemasukan oksigen dari atmosfer (reaerasi). Muatan masukan dari proses fotosintesis (MOfo) diperoleh berdasarkan pengukuran produktivitas primer kolom air (fitoplankton) dengan metode botol gelap – botol terang yang menghasilkan jumlah oksigen hasil proses fotosintesis selama 4 jam pengamatan pada saat intensitas cahaya matahari tinggi (pk. 10:00 – 14:00). Berdasarkan data penyinaran matahari dari Badan Meteorologi dan Geofisika (2008) untuk kawasan Tangerang Utara (terdekat dengan lokasi penelitian), dapat disimpulkan bahwa rata-rata radiasi matahari antara pk. 06:00 – 10:00 sekitar 35%, antara pk. 10:00 – 14:00 radiasi matahari 100%, dan antara pk. 14:00 – 18:00 sekitar 40%. Berdasarkan pendekatan radiasi matahari ratarata tersebut, dengan asumsi hasil fotosintesis sebanding dengan intensitas radiasi matahari, dapat dihitung atau dikonversi hasil pengamatan fotosintesis yang diperoleh pada saat radiasi matahari 100% (dalam satuan mg/L oksigen per 4 jam) menjadi muatan masukan oksigen hasil fotosintesis per hari, yakni selama
42
4 jam pagi (35% hasil pengamatan) ditambah 4 jam siang (100% hasil pengamatan) ditambah 4 jam sore (40% hasil pengamatan), total selama 12 jam yang dianggap sebagai waktu efektif fotosintesis yang menghasilkan oksigen terlarut ke perairan per hari.
Selanjutnya, untuk memperoleh nilai muatan
masukan dari proses fotosintesis (MOfo), nilai tersebut dikalikan dengan volume perairan tiap ruas sampai kedalaman kompensasi.
Kedalaman kompensasi
diduga dari kedalaman Secchi disk hasil pengamatan. Pada kedalaman Secchi (zSd) intensitas cahaya (Iz) setara dengan 10% dari cahaya di permukaan (I0) (http://limnology.wisc.edu/). Dengan menggunakan persamaan hukum BeerLambert (Day et al., 1989):
Iz = I0.e-Kdz ........................................................................... (3.8) dapat dihitung koeffisien peredupan Kd, sehingga kedalaman kompensasi (z1%) dapat ditentukan. Dari perhitungan diperoleh rata-rata kedalaman kompensasi adalah sebesar 1,03 m. Muatan aktual (MOak) didasarkan atas nilai oksigen terlarut (DO) di masing-masing titik pengamatan yang mewakili ruas I dan ruas II pada zona estuari (St. 2 dan St. 3) dikalikan dengan volume masing-masing ruas pada saat pasang dan surut sehingga diperoleh muatan oksigen per volume masing-masing ruas per periode pasang atau surut. Perhitungan volume masing-masing ruas per periode pasang atau surut adalah sebagaimana diuraikan pada perhitungan muatan organik di awal sub-bab ini. Untuk menentukan muatan oksigen bagi keperluan dekomposisi termasuk respirasi biota mikro (MOde), digunakan nilai laju reaksi BOD (k) dan nilai BOD keseluruhan (ultimate BOD, BODu) hasil penelitian. Berdasarkan data tersebut dapat dihitung nilai BOD dalam sehari (BOD1) dan BOD dalam setengah hari (BOD0.5) atau per periode pasang atau surut. Karena pada umumnya terjadi satu periode pasang dan satu periode surut dalam satu hari, maka diasumsikan satu periode pasang atau surut setara dengan setengah hari. Selanjutnya, nilai BOD1 atau BOD0.5 ini dikalikan dengan volume masing-masing ruas perairan untuk mendapatkan besaran muatan oksigen bagi keperluan dekomposisi kolom air (MOde). Muatan oksigen yang diperlukan untuk dekomposisi sedimen (MOsed) dihitung
berdasarkan
hasil
penelitian
kebutuhan
oksigen
sedimen
di
laboratorium, yakni berdasarkan data kebutuhan oksigen sedimen setelah 24 jam
43
(satu hari) dalam satuan mg/L. Data kebutuhan oksigen air sampel digunakan sebagai koreksi. Selanjutnya satuan mg/L/hari dikonversi menjadi mg/m2/hari berdasarkan jumlah dan luasan sampel sedimen yang digunakan. Kedalaman atau ketebalan sedimen yang digunakan dalam percobaan ini adalah sekitar 13 cm. Luasan sampel sedimen per alat pengambil sedimen yang digunakan (van Veen grab) adalah 26 x 13 cm2. Untuk perhitungan muatan per periode pasang atau surut, yang masing-masing
berlangsung rata-rata setengah hari
(sebagaimana asumsi pada perhitungan muatan dekomposisi kolom air di atas), maka nilai kebutuhan oksigen sedimen dalam mg/m2/hari tersebut dikalikan setengah dan dikalikan dengan luas dasar perairan masing-masing ruas estuari. Pendekatan penghitungan neraca oksigen (Persamaan 3.5) dapat digunakan untuk memprediksi jumlah muatan oksigen terlarut bawaan dari sungai dan laut (MOsL), bila konsentrasi oksigen terlarut aktual di zona percampuran ditetapkan sebesar nilai tertentu, dengan asumsi kondisi variabel lainnya tetap atau sama.
Selanjutnya, berdasarkan volume estuari dapat
diprediksi kebutuhan oksigen yang diharapkan terbawa dari sungai-laut.
Bila
pasokan kandungan oksigen terlarut bawaan dari laut diasumsikan tetap cukup baik (≥ 4 mg/L), maka nilai DO harapan tersebut dapat dianggap sebagai kandungan oksigen minimal yang seharusnya (yang diharapkan) ada pada air sungai yang masuk ke estuari. Pendekatan formulasinya adalah sebagai berikut: (1) MOaktual-diharapkan + MOdefisit = MOsungai-Laut
.......................................... (3.9).
(2) MOsungai-Laut ÷ volume estuari ≈ DO harapan (mg/L) dari sungai dan laut ≈ DO harapan (mg/L) dari sungai ........ (3.10).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hidro-oseanografi estuari Cisadane Hasil pengamatan hidrooseanografi estuari Sungai Cisadane yang meliputi pengamatan tinggi muka air, pangamatan sebaran salinitas, suhu, kedalaman dan lebar sungai, serta kecepatan arus diuraikan dalam beberapa sub-bab berikut ini. 4.1.1. Pola pasang surut Hasil pengamatan tinggi muka air pada titik pengamatan tepat di muara Sungai Cisadane selama dua kali 24 jam pada tanggal 17 dan 19 Juli 2007, disajikan pada Gambar 4.1 (garis berlekuk).
Bila dibandingkan dengan plot
ramalan pasut di Pelabuhan Tanjung Priok (garis putus-putus pada Gambar 4.1) pada hari yang sama berdasarkan Daftar Pasang Surut Kepulauan Indonesia Tahun 2007 (Janhidros, 2007), maka terlihat adanya pola pasang surut yang dapat dikatakan sama antara pola pasang surut di muara Cisadane dengan di Tanjung Priok. Yang berbeda adalah kondisi pasang dan surut di muara Cisadane terjadi lebih cepat atau lebih dulu sekitar 3 sampai 4 jam sebelum kondisi pasang atau surut di Tanjung Priok.
Pola pasang surut yang terjadi
umumnya adalah satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, tetapi pada saat pasang purnama bisa terjadi dua kali pasang dan surut dalam sehari. Wyrtki (1961) menggolongkan pasang surut di pantai utara Jawa bagian barat ini sebagai pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide, prevailing diurnal).
Gambar 4.1. Pasang surut di Muara Cisadane (garis berlekuk) dan Tanjung Priok (garis putus) pada tanggal 17–19 Juli 2007
46
Berdasarkan temuan ini, maka untuk selanjutnya data ramalan pasang surut Janhidros untuk lokasi Tanjung Priok digunakan sebagai acuan prediksi pasang dan surut di muara Cisadane dengan menggeser plot 3 jam lebih awal. Berdasarkan ramalan pasang surut Janhidros untuk Perairan Tanjung Priok sebagaimana telah disebutkan (Janhidros 2007; Janhidros 2008), maka dapat digambarkan grafik pasang surut muara Cisadane (Tanjung Burung) pada musim kemarau tahun 2007 (Gambar 4.2) dan musim kemarau tahun 2008 (Gambar 4.3).
Perbedaan muka air antara pasang dan surut di titik muara
berkisar antara 0,2 m (terendah) hingga 1,0 m (tertinggi) pada kedua musim kemarau tersebut. P a s a n g S u ru t P e ra ira n T a n ju n g B u ru n g , C is a d a n e - J u li 2 0 0 7
m
0 .8 0 .6 0 .4 0 .2 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
-0 .2 -0 .4 -0 .6 -0 .8
Ta n g g a l (J u li 2 0 0 7 )
Pasang Surut Perairan Tanjung Burung, Cisadane - Sep 2007
m
Pasang Surut Perairan Tanjung Burung, Cisadane - Okt 2007
m
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
0
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1
-0.2
-0.2
-0.4
-0.4
-0.6
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
-0.6
Tanggal (September 2007)
Tanggal (Oktober 2007)
Gambar 4.2. Pasang surut perairan muara Cisadane (Tanjung Burung) Juli – Oktober 2007 Pasang Surut Perairan Tanjung Priok, Jkt - Juni 2008
m
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0 -0.1
30 31 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
0
-0.2
-0.1
-0.3
-0.2
-0.4 -0.5
Pasang Surut Perairan Tanjung Burung, Cisadane - Juli 2008
m
0.5
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 1
-0.3 -0.4
Tanggal (Juni 2008)
Tanggal (Juli 2008)
P asan g S u ru t P erairan Tan ju ng B u ru ng , C isad ane - A g u stu s 2008
m 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 -0.1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
-0.2 -0.3 -0.4
Tan ggal (A gu stu s 2008)
Gambar 4.3. Pasang surut perairan muara Cisadane (Tanjung Burung) Juni – Agustust 2008
47
4.1.2. Stratifikasi salinitas dan temperatur Pengamatan sebaran salinitas dan temperatur atau suhu di muara Cisadane pada musim kemarau tahun 2007 (2 Agustus 2007) dilakukan pada sembilan (9) titik pengamatan yang tersebar sepanjang muara sungai sepanjang sekitar 7,25 km (Gambar 4.4) dengan menggunakan CTD (Conductivity Temperature Depth) instrument. Pengamatan dilakukan pada saat surut antara pukul 07:26 sampai dengan pukul 09:43.
Hasil pengamatan menunjukkan
sebaran salinitas berkisar 5–11 psu (5-11%o) di permukaan dan berkisar antara 20–24 psu di kedalaman (Gambar 4.5). Hasil tersebut memberikan gambaran bahwa pengaruh pasang air laut masuk ke daratan cukup jauh, sedikitnya sampai sejauh 7,25 km ke arah hulu dari muara pada saat pengamatan. Hasil juga menunjukkan bahwa terjadi pelapisan (perbedaan) salinitas dari permukaan ke dasar perairan.
Secara horizontal, terlihat adanya air yang bersalinitas lebih
tinggi (di bagian dasar) dan yang bersalinitas lebih rendah (di kolom air) yang “terpe-rangkap” di bagian tengah ruas sungai ini (pada km ke-4, Gambar 4.5). Hal ini memberikan gambaran, bahwa pada saat debit aliran sungai rendah, pada saat surut massa air masih tertahan di bagian ruas ini, tidak seluruhnya
-6.005
terbilas ke laut.
Sungai Cisadane (Tangerang)
-6.035 -6.055
-6.045
Lintang Selatan
-6.025
-6.015
Lokasi CTD 7 CTD 6 CTD 5
Keterangan :
Benthos 4
: Darat
CTD 4
: Stasiun CTD : Stasiun Benthos CTD 3
Muara - Jembatan : 7.25 km
Lebar Sungai : 40 - 80 meter 02/08/2007 CTD 2
07.26 - 09.43 WIB
Jembatan
CTD 1 -6.065
Laut Jawa
Muara
CTD 9 CTD 8
0 km 106.61
106.62
106.63
106.64
1 km
2 km
106.65
Bujur Timur
Gambar 4.4. Peta lokasi pengamatan salinitas dan temperatur dengan CTD pada tanggal 2 Agustus 2007
48
Gambar 4.5. Sebaran menegak salinitas pada kondisi surut (2 Agustus 2007) di estuari Cisadane, hasil pengamatan dengan CTD Hasil pengamatan salinitas secara manual dengan alat SCT-meter pada keempat stasiun pengamatan dari bagian paling hulu (St. 1) hingga St. 4 di muara, menghasilkan profil salinitas estuari Cisadane sebagaimana disajikan pada Gambar 4.6 dan Lampiran 1.
Pola stratifikasi salinitas umumnya
menunjukkan salinitas yang rendah atau nol di bagian permukaan dan meningkat secara gradual hingga ke dasar. Profil salinitas seperti ini adalah gambaran dari estuari tercampur sebagian dalam klasifikasi estuari (Dyer, 1973; Webster et al. 2010). Pergeseran sebaran vertikal salinitas yang lebih ke arah muara seperti terlihat pada Gambar 4.6 dan yang lebih ke arah hulu seperti pada Lampiran 1(F), menggambarkan pengaruh aliran sungai berubah-ubah atau dinamis terhadap kondisi pasang-surut air laut. Berdasarkan pengamatan dengan CTD, sebaran suhu di perairan sepanjang ruas estuari sungai Cisadane ini (Gambar 4.7) juga menunjukkan sebaran dengan pola yang tidak jauh berbeda dengan sebaran salinitas (Gambar 4.5). Suhu berkisar 28,3 – 28,5 oC di permukaan (di titik muara, km-7, suhu sedikit lebih rendah, yakni 27,5 oC), dan berkisar 29,4 – 29,7 oC di bagian dalam (Gambar 4.7). Terlihat adanya stratifikasi suhu dari permukaan hingga ke bagian dasar.
Sementara itu, hasil pengamatan secara manual di tiap stasiun dengan
menggunakan SCT-meter,
menunjukkan
pola
sebaran
yang berbeda (Gambar 4.8, Gambar 4.9, Lampiran 2).
suhu
perairan
Pada umumnya pola
sebaran suhu perairan ini tidak selalu sejalan dengan pola sebaran salinitas yang ada.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suatu saat massa air dengan
suhu yang lebih rendah nampak ”terperangkap” di bagian dasar perairan
49
Gambar 4.6. Sebaran salinitas di muara S. Cisadane pada saat pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 26 September 2007
Gambar 4.7. Sebaran suhu secara vertikal hasil pengamatan CTD pada kondisi surut (2 Agustus 2007) di S. Cisadane. (Gambar 4.8), tetapi di saat yang lain massa air yang terperangkap adalah yang bersuhu lebih tinggi (Gambar 4.9, atas). Sepertinya peranan salinitas lebih besar daripada peranan suhu terhadap densitas air, sehingga yang berada di lapisan bawah adalah massa air yang bersalinitas lebih tinggi walaupun suhunya tidak selalu lebih rendah.
50
Gambar 4.8. Sebaran suhu secara vertikal pada kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 6 Oktober 2007
Gambar 4.9. Sebaran suhu secara vertikal pada kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 19 Juli 2008
51
4.1.3. Kecepatan arus Kecepatan arus sungai Cisadane bagian hilir (estuari) hasil beberapa kali pengukuran pada bulan September 2007, Oktober 2007 dan Agustus 2008 menunjukkan bahwa kecepatan arus sangat bervariasi, pada saat pasang maupun surut. Kecepatan arus rata-rata berkisar 0,016 m/dt pada saat pasang hingga 0,675 m/dt pada saat surut (Tabel 4.1).
Terdapat kecenderungan
kecepatan arus rata-rata pada saat pasang lebih rendah daripada pada saat surut. Hal ini nampak jelas pada pengamatan pada tanggal 4 Agustus 2008, dimana pengaruh pasang air laut
menyebabkan
kecepatan
arus di bagian
bawah (80% kedalaman) dianggap nol karena tidak terukur oleh alat (Tabel 4.2). Hal ini juga menunjukkan bahwa adanya pasang air laut menghambat atau memperlambat kecepatan arus. Pada Tabel 4.2 juga terlihat bahwa kecepatan arus bagian bawah pada umumnya lebih rendah daripada di bagian atas (20% kedalaman), terutama pada saat pasang dan demikian juga pada saat surut. Data kecepatan arus ini diperlukan dalam penentuan muatan oksigen akibat reaerasi. Kecepatan arus yang bervariasi terkait dengan debit sungai yang bervariasi dari bagian hulu, terutama berhubungan dengan adanya dam pembagi air di Bendung Pasar Baru, Tangerang. Berdasarkan data pemantauan dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA, 2007-2008) Wilayah Sungai Cidurian– Cisadane, Dinas Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi Banten, maka limpasan dam yang menjadi debit S. Cisadane bagian hilir hingga muara adalah sebagaimana di sajikan berupa grafik pada Lampiran 3. Debit yang kebanyakan sangat rendah (0,5 m3/dt, 0,65 m3/dt, bahkan 0,0 m3/dt), disebabkan aliran air dialihkan hampir seluruhnya ke saluran irigasi, sehingga yang sampai ke muara
Tabel 4.1. Kecepatan arus rata-rata dan perkiraan debit estuari Cisadane Tanggal
Lokasi
8 Sep 07 9 Sep 07 27 Sep 07 7 Okt 07 20 Okt 07 21 Okt 07 4 Agt 08 4 Agt 08
St. 1 St. 3 St. 2 Jembatan St. 3 St. 3 St. 2 St. 3
Kecepatan arus (m/dt) 0,141 0,675 0,035 0,055 0,228 0,136 0,016 0,091
Debit (m3/dt) 24 219 15 10 65 39 7 26
Keterangan surut surut pasang surut pasang surut pasang surut
52
Tabel 4.2. Hasil pengukuran kecepatan arus estuari Cisadane Tanggal
Lokasi
8-Sep-07
St. 1
9-Sep-07 27-Sep-07 7 Okt 07 20-Okt-07 21-Okt-07 4-Agt-08 4-Agt-08
Kecepatan arus (m/dt)
atas bawah St. 3 atas bawah St. 2 atas bawah Jembatan atas bawah St. 3 atas bawah St. 3 atas bawah St. 2 atas bawah St. 3 atas bawah
0.177 0.133 0.702 0.666 0.040 0.022 0.078 0.057 0.293 0.164 0.192 0.080 0.032 0.00 0.099 0.083
Cisadane adalah limpasan atau bocoran dari pintu air.
Keterangan surut surut surut surut pasang pasang surut surut pasang pasang surut surut pasang pasang surut surut
Pada Lampiran 3 terli-
hat bahwa sekali hingga beberapa kali dalam sebulan debit aliran sungai relatif tinggi dibandingkan debit harian pada umumnya. Hal ini terjadi karena walaupun periode penelitian termasuk dalam musim kemarau, tetapi sesekali masih terjadi hujan, terutama di bagian hulu (wilayah Bogor) sehingga debit air meningkat. Kecepatan arus yang tinggi pada pengamatan tanggal 9 September 2007 (Tabel 4.1) terkait dengan debit sungai yang juga tinggi pada tanggal tersebut yakni sebesar 235,53 m3/dt berdasar data BPSDA (Lampiran 3). Kecepatan arus yang rendah pada tanggal 4 Agustus 2008 pada Tabel 4.1 juga berhubungan dengan debit sungai yang kecil pada tanggal tersebut, yakni 0,54 m3/dt (data BPSDA 2008, Lampiran 3). Berdasarkan data BPSDA tersebut, pada umumnya, debit aliran sungai Cisadane hilir selama kemarau adalah minimum (sekitar 0,5 m3/dt atau kurang), kecuali terjadi hujan di bagian hulunya.
4.1.4. Profil dasar longitudinal estuari Cisadane Gambaran profil dasar sungai Cisadane sepanjang estuari adalah sebagaimana ilustrasi pada Gambar 4.10, yang merupakan hasil pengamatan dengan echosounder sepanjang sekitar 9 km ruas sungai di muara pada tanggal 2-3 Agustus 2007.
Terdapatnya cekungan-cekungan di bagian dasar dapat
53
berakibat pada tertahannya sebagian massa air untuk tidak ikut terbilas ke laut pada saat surut, terutama ketika kecepatan arus sangat rendah. Walaupun tidak nampak pada profil ini, tetapi berdasarkan pengamatan selama penelitian lapangan, terjadi pendangkalan di mulut muara (pada sekitar km 0) hingga kedalamannya tinggal sekitar 1,2 m pada saat surut.
Gambar 4.10. Profil dasar estuari S. Cisadane pada ruas 9 km dari muara ke arah hulu, ruas 0-3 km dari muara (atas), ruas 3-6 km (tengah) dan ruas 6-9 km (bawah)
4.2. Oksigen Terlarut Kadar oksigen terlarut (DO) di estuari Cisadane berada pada kisaran yang sangat lebar, yaitu antara 0.06 mg/L sampai 7.24 mg/L pada saat pasang dan 0.00 mg/L sampai 7.60 mg/L pada saat surut. Kadar oksigen yang tinggi adalah di St. 4 (laut, 500 – 800 m sekitar muara) yang berkisar antara 5.53 mg/L sampai 7.24 mg/L pada saat pasang, dan 4.10 mg/L sampai 7.60 mg/L pada saat surut. Sedangkan kadar oksigen yang rendah, bahkan tidak terdeteksi atau nol, teramati baik pada zona percampuran (St. 2 dan St. 3) maupun pada stasiun sungai (St. 1), baik di bagian dasar maupun di bagian permukaan, dengan rata-rata kurang dari 3 mg/L (Gambar 4.11). Kondisi kadar oksigen terlarut nol (anoksia) teramati beberapa kali pada St. 1 bagian dasar baik pada pengamatan pasang maupun surut, St. 2 bagian dasar, pada saat pasang maupun surut, dan bagian
54
permukaan pada saat pasang (6 Oktober 2007), dan St. 3 bagian permukaan pada saat surut (Gambar 4.11, Gambar 4.12, Lampiran 4).
7,0
DO (mg/L)
6,0 5,0
8,0
Pasang
7,0
Permukaan
6,0
Dasar DO (mg/L)
8,0
4,0 3,0
5,0
1,0
1,0
0,0
0,0
St. 3
Dasar
3,0 2,0
St. 2
Permukaan
4,0
2,0
St. 1
Surut
St. 4
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
Gambar 4.11. Kadar oksigen terlarut (DO) di zona sungai (St. 1), zona percampuran (St. 2 dan St. 3), dan di zona laut (St. 4) di Estuari Cisadane, pada saat pasang dan surut (Garis tegak I menggambarkan SD = standard deviasi, n= 7) Pada umumnya kandungan oksigen di St. 1 (zona sungai, sekitar 12,6 km dari muara) sangat rendah. Rata-rata kadar oksigen terlarut di St. 1 ini adalah 1.19 mg/L (permukaan) dan 0.94 (dasar) pada saat pasang, dan 0.92 mg/L (permukaan) dan 0.87 mg/L (dasar) pada saat surut.
Kandungan oksigen
tertinggi teramati pada tanggal 26-27 September 2007 yakni sebesar 2.43 mg/L dan 2.46 mg/L pada saat pasang, dan 2.86 dan 3.24 mg/L pada saat surut. Perbedaan antara pengamatan pasang dan surut pada umumnya tidak melebihi 1 mg/L, kecuali pada pengamatan tanggal 20-21 Oktober 2007 perbedaan antara pengamatan pasang dan surut sedikit lebih tinggi, yakni mencapai 1,25 – 1,6 mg/L (Gambar 4.12 A). Adanya perbedaan kandungan oksigen terlarut antara periode pasang dan surut ini diduga terjadi karena adanya dinamika kandungan oksigen dari bagian yang lebih hulu. Kandungan oksigen pada saat pasang tidak selalu lebih tinggi atau lebih rendah daripada saat surut.
Secara statistik, tidak
berbeda nyata antara bagian permukaan dan bagian dasar (p< 0,05), hanya saja di bagian dekat dasar (0,4 - 1 m dari dasar) beberapa kali teramati kondisi anoksia (kandungan oksigen nol), baik pada saat pasang maupun pada saat surut. Kandungan oksigen di dekat dasar juga beberapa kali teramati sedikit lebih tinggi daripada di bagian permukaan. Secara umum, kandungan oksigen di St. 1 sudah tergolong hipoksia, yakni kandungan oksigen yang rendah, lebih kecil dari 3 mg/L (Welsh & Eller, 1991; Garnier et al. 2001; Dai et al. 2006), dengan beberapa kali kondisi anoksia di bagian dasar.
55
PASANG mg/L 5,0
SURUT mg/L
St. 1 permk
4,0
St. 1 dasar
5,0
3,0
3,0
2,0
2,0
1,0
1,0
0,0
0,0
1
A
2
3
4
5
6
7
1
St. 2 permk
4,0
5,0
St. 2 dasar
3,0
2,0
2,0
1,0
1,0
0,0
0,0
1
2
3
4
5
mg/L 8,0
6
1
7
St. 3 permk
6,0
St. 3 dasar
5
6
7
2,0
2,0
0,0
0,0
1
2
3
4
5
6
mg/L
2
3
St. 2 dasar
4
5
1
7
6
7
St. 3 permk St. 3 dasar
6,0 4,0
2
3
4
5
6
7
mg/L
8,0
8,0
6,0
6,0
4,0
4,0
0,0
4
mg/L 8,0
4,0
2,0
3
St. 2 permk
4,0
3,0
C
2
St. 1 dasar
mg/L
mg/L
5,0
B
St. 1 permk
4,0
St. 4 permk
St. 4 dasar
2,0 0,0
St. 4 permk
St. 4 dasar
D Gambar 4.12. Kadar oksigen terlarut (DO) di setiap stasiun (A: St. 1 - zona sungai, B: St. 2 dan C: St. 3 - zona percampuran, D: St. 4 - zona laut) di Estuari Cisadane, pada saat pasang dan surut ( - - - : batas nilai hipoksia)
56
Kandungan oksigen di St. 2 juga tergolong rendah. Rata-rata kandungan oksigen di St. 2 ini adalah 1,85 mg/L (pasang) dan 1,34 mg/L (surut) di bagian permukaan,
dan 0,75 mg/L (pasang) dan 0,41 mg/L (surut) di bagian dasar.
Kondisi anoksia (kandungan oksigen nol) juga teramati beberapa kali di bagian dasar, baik pada saat pasang maupun surut.
Bahkan pada pengamatan 6
Oktober 2007, kondisi anoksia terjadi baik di bagian permukaan maupun dasar. Kandungan oksigen tertinggi teramati pada tanggal 6-7 Agustus 2008 yakni sebesar 4,06 mg/L dan 4,27 mg/L pada saat pasang dan surut di bagian permukaan, sementara pada saat yang sama, kandungan oksigen di bagian dasarnya adalah 0,64 mg/L dan nol (Gambar 4.12 B). Pada pengamatan saat kondisi pasang, kemudian peralihan pasang ke surut, dan saat surut
pada
tanggal 6 Oktober 2007, kandungan oksigen terlarut perairan memang sangat rendah, yakni hanya berkisar 0,06 mg/l hingga 0,56 mg/L.
Pada dasarnya
kandungan oksigen terlarut pada saat pasang, kemudian saat peralihan ke surut dan saat surut tidak berbeda, hanya di bagian permukaan pada saat surut terjadi sedikit peningkatan kandungan oksigen (Gambar 4.13 A).
Pada pengamatan
tanggal 20-21 Oktober 2007, kandungan oksigen agak berbeda antara bagian permukaan dan dasar pada saat peralihan pasang, kemudian perbedaan kandungannya semakin berkurang pada saat pasang, peralihan surut hingga surut (Gambar 4.13 C). Kandungan oksigen di St. 3 juga tergolong rendah, walaupun teramati kandungan oksigen yang tergolong sedang sampai tinggi pada tanggal 2021 Oktober 2007. Rata-rata kandungan oksigen di St. 3 ini adalah 2,58 mg/L (pasang) dan 1,20 mg/L (surut) di bagian permukaan, serta 2,49 mg/L (pasang) dan 2.14 mg/L (surut) di bagian dasar.
Yang menarik adalah pada kondisi
surut, kandungan oksigen terlarut di bagian permukaan St. 3 ini lebih rendah daripada di bagian dasar. Bahkan pada pengamatan pertama dan kedua kandungan oksigen terlarutnya nol.
Pada kondisi pasang juga teramati
kandungan oksigen di bagian permukaan yang lebih rendah daripada bagian dasar, yakni pada pengamatan ketiga dan kelima (Gambar 4.12 C).
Hal ini
diduga berkaitan dengan pengaruh pasang surut air laut dan juga debit aliran sungai, sebagaimana tampak dari sebaran salinitas (Lampiran 1). Pada saat pasang air laut yang mengandung oksigen lebih tinggi masuk kearah sungai di bagian dasar hingga mendekati St. 2, sementara di bagian permukaan masih mengalir air sungai yang mengandung oksigen lebih rendah. Pada saat surut,
57
A. DO - St. 2, 6 Okt 2007
B. DO - St. 3, 6 Okt 2007
3,0
3,0
2,5
2,5
mg/L
1,5
2,0 mg/L
permk dasar
2,0
1,5
1,0
1,0
0,5
0,5
0,0
0,0
pasang
prl-sur
surut
pasang
prl-sur
surut
prl-pas
D. DO - St. 3, 20-21 Okt 2007
C. DO - St. 2, 20-21 Okt 2007 3,0
8,0
permk dasar
2,5
6,0 mg/L
1,5 1,0
permk dasar
7,0
2,0 mg/L
permk dasar
5,0 4,0 3,0 2,0
0,5
1,0 0,0
0,0
prl-pas
pasang
prl-sur
surut
prl-pas
pasang
prl-sur
surut
Gambar 4.13. Kadar oksigen terlarut (DO, mg/L) di zona percampuran (St. 2 dan St. 3) Estuari Cisadane, pada saat pasang, peralihan surut, surut dan peralihan pasang (6 Okt. dan 20-21 Okt. 2007) kondisi oksigen di bagian dasar masih lebih tinggi, karena pada dasarnya massa air di bagian dasar yang masih berkadar oksigen lebih tinggi terbawa arus surut kembali ke St. 3, bersamaan dengan itu di bagian permukaan mengalir air sungai yang mengandung oksigen rendah dari bagian lebih hulu. Hal yang hampir sama teramati di St. 2 pada pengamatan kelima, sementara pada beberapa pengamatan lainnya di St. 2 kandungan oksigen di bagian permukaan dan dasar hampir sama (Gambar 4.12 B).
Pengaruh pasang-surut terhadap distribusi
kandungan oksigen terlarut ini tidak nampak dengan cukup jelas pada penelitian ini, diduga berkaitan dengan waktu pengamatan yang berselang cukup lama antar pengamatan. Diperkirakan bila pengamatan dilakukan secara berturut-turut setiap pasang dan surut setiap hari selama satu periode pasang-surut dalam satu bulan, akan lebih terlihat jelas bagaimana pengaruh pola pasang surut yang ada terhadap fluktuasi kandungan oksigen terlarut perairan. Kadar oksigen nol terjadi pada beberapa kali pengamatan, terutama di St. 1 (zona sungai) dan St. 2 (zona payau), serta di St. 3 (zona payau) (Tabel 4.3). Umumnya kondisi anoksia (kadar oksigen terlarut nol) terjadi di bagian dasar, baik saat pasang maupun surut.
Kondisi tanpa oksigen yang terjadi di zona
sungai (St.1), umumnya berpengaruh hingga zona payau di St. 2, bahkan sampai
58
St. 3 seperti pada pengamatan pertama. Selain itu, kondisi anoksia yang terjadi di kolom air (permukaan dan dasar) St. 2 diduga juga dipengaruhi oleh buangan dari kegiatan sekitar, seperti kegiatan peternakan sapi yang menghasilkan buangan organik mudah urai atau BOD. Kondisi anoksia di bagian permukaan St. 3, kemungkinan terjadi karena kondisi anoksia yang terjadi di bagian lebih hulu mengalir ke hilir di bagian permukaan, sementara di bagian dasar kadar oksigen lebih tinggi karena telah tercampur dengan air laut pasang yang kandungan oksigennya lebih tinggi. Data pengamatan pada saat pasang – peralihan surut – surut – peralihan pasang di St. 3 pada tanggal 6 Oktober 2007 menunjukkan bahwa kandungan oksigen di bagian permukaan dalam satu siklus pasang surut pada hari itu memang selalu rendah dan lebih rendah daripada di bagian dasarnya (Gambar 4.13 B).
Demikian juga pada pengamatan 20-21 Oktober 2007, kandungan
oksigen di bagian permukaan St. 3 lebih rendah daripada bagian dasarnya, kecuali pada saat pasang (Gambar 4.13 D). Tabel 4.3. Titik pengamatan (lokasi dan bagian) dan kondisi pasang/surut pada pengamatan-pengamatan ketika kandungan oksigen terlarut teramati anoksia (0 mg/L) Lokasi St. 1
St. 2
St. 3
Bagian
Kondisi
permukaan
-
-
dasar
pasang
-
dasar
pasang
surut
1 3
dasar
pasang
surut
7
permukaan
Pasang
-
3
permukaan dasar dasar dasar dasar permukaan permukaan
Pasang Pasang Pasang Pasang
-
surut surut surut
6 1 3 6 7 1 2
-
-
dasar St. 4
permukaan dasar
-
Pengamatan
surut surut
-
-
Keterangan
-
sebelum puncak pasang saat puncak saat puncak puncak pasang (slack) saat puncak pasang saat puncak saat puncak saat puncak pasang saat puncak surut saat puncak surut saat puncak surut
-
Di St. 4 yang merupakan bagian muara atau zona laut dari sistem estuari Cisadane ini, kandungan oksigen dapat dikatakan cukup baik yakni sekitar 6 – 7
59
mg/L pada kondisi pasang dan sedikit lebih rendah sekitar 6 mg/L pada kondisi surut.
Pada kondisi surut pada pengamatan tanggal 26 Juni 2008 teramati
kandungan oksigen terendah sebesar
4.1 mg/L. Hal ini karena pada saat itu
kandungan oksigen di bagian sungai (St.1, juga St. 2, dan 3) memang sangat rendah, sehingga mempengaruhi kandungan oksigen di muara (Gambar 4.12 D). Salinitas dan temperatur berpengaruh pada tingkat saturasi oksigen di perairan (Boyd, 2000; Ji, 2008).
Adanya perbedaan salinitas dan temperatur
menyebabkan prosentase (%) kandungan oksigen terhadap tingkat saturasinya akan berbeda walaupun pada konsentrasi (mg/L) yang sama. Dalam penelitian ini, kajian lebih ditekankan pada konsentrasi oksigen terlarut karena jumlah oksigen dalam bentuk konsentrasi yang menjadi acuan dalam kaitannya dengan kebutuhan minimal bagi kehidupan biota perairan atau kelayakan ekologis pada umumnya.
Salinitas dan temperatur tetap akan diperhitungkan dalam menen-
tukan tingkat saturasi kandungan oksigen bagi keperluan perhitungan neraca oksigen, khususnya dalam penentuan muatan (load) dari reaerasi. Kekurangan kandungan oksigen banyak terjadi dan merupakan masalah yang serius di berbagai estuari, baik di Asia, Amerika Utara, maupun Eropa (Talke et al. 2009). Berdasarkan hasil monitoring tahun 1950 – 1964, kondisi anoksia juga terjadi di estuari sungai Delaware, USA pada bagian sungai yang cukup jauh dari muara (sekitar 140 km), dekat kota Philadelphia (Sharp, 2010). Di estuari Elbe, Jerman, kondisi anoksia teramati beberapa kali sejak tahun 1982 sampai 1986 dan tahun 1989 di titik pengamatan sekitar 100 km dari muara, tidak terlalu jauh dari kota Hamburg (Kerner, 2000). Sebagaimana telah disebutkan, bahwa pada kebanyakan estuari, kekurangan oksigen terkait dengan dekomposisi bakterial bahan organik di kolom air maupun di sedimen (Borsuk et al., 2001; Yin et al., 2004) yang dibarengi dengan faktor fisik perairan seperti stratifikasi vertikal perairan dan pertukaran oksigen dengan lapisan permukaan (Borsuk et al., 2001). Hal ini sepertinya juga terjadi di estuari S. Cisadane. Debit aliran sungai yang rendah di musim kemarau dengan masukan bahan organik dari kegiatan perkotaan di bagian hulu estuari, serta terjadinya stratifikasi salinitas, adalah faktor-faktor yang ikut berperan pada rendahnya kandungan oksigen di estuari Cisadane.
Hal yang tidak banyak
berbeda juga dijumpai di estuari Delaware (Sharp, 2010), estuari sungai Pamlico (Lin et al., 2006), estuari sungai Patuxent (Breitburg et al., 2003), dan estuari
60
sungai Neuse (Borsuk et al., 2001). tersebut
dan
hasil
penelitian
ini
Hasil pengamatan dari beberapa studi memberikan
indikasi
bahwa
kegiatan
perkotaan/pemukiman berkaitan erat dengan kondisi anoksia ataupun hipoksia perairan.
4.3. Kebutuhan Oksigen Biokimia Perairan (BOD3) Sebagaimana disebutkan dalam metode, nilai kebutuhan oksigen biokimia perairan yang diamati adalah nilai BOD dengan inkubasi pada 30 oC selama tiga hari (Polii, 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai BOD3 (selanjutnya disebut BOD) estuari Cisadane berada pada kisaran yang cukup lebar, yakni antara 0,52 mg/L sampai 13,49 mg/L pada saat pasang, dan 0,81 mg/L – 10,32 mg/L pada saat surut. Rata-rata BOD tertinggi teramati pada St. 1 walaupun ratarata BOD di bagian permukaan tidak cukup berbeda antara St. 1, St. 2 dan St. 3. Rata-rata BOD terendah di St. 4 (Gambar 4.14, Lampiran 5). 14,0
14,0
Pasang
12,0
Permukaan
Dasar
Permukaan
10,0
BOD (mg/L)
10,0
BOD (mg/L)
Surut
12,0
8,0 6,0
Dasar
8,0 6,0
4,0
4,0
2,0
2,0 0,0
0,0
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
Gambar 4.14. Nilai BOD3 di zona sungai (St. 1), zona percampuran (St. 2 dan St. 3), dan di zona laut (St. 4) di Estuari Cisadane, pada saat pasang dan surut (Garis tegak I menggambarkan SD= standard deviasi, n= 7) Nilai BOD di St. 1 (zona sungai) pada umumnya tergolong tinggi dibanding di stasiun-stasiun lainnya. Selain hasil pengamatan tertinggi didapat di St. 1, nilai rata-rata BOD di stasiun ini selama pengamatan juga yang paling tinggi yakni sekitar 4,86 mg/L dan 5,16 mg/L pada saat surut serta 5,01 mg/L dan 5,03 mg/L pada saat pasang (Gambar 4.15 A). Kisaran nilai pengamatan yang sangat lebar antara 0,52 mg/L sampai 13,49 mg/L BOD di St.1 ini juga memberikan indikasi bahwa kandungan bahan organik mudah urai yang dapat didekomposisi, yang berasal dari sungai (bagian hulu) sangat berfluktuasi.
Tidak terlihat perbedaan
61
yang nyata (p<0,05) antara bagian permukaan dan dasar maupun antara saat pasang dan surut.
Perbedaan yang nampak antara saat pasang dan surut,
diduga bukan diakibatkan oleh pasang air laut tetapi lebih kepada perubahan kualitas air masukan dari bagian lebih hulu. Hal ini karena pasang air laut tidak sampai ke stasiun ini. Nilai BOD di St. 2 dan St. 3 (zona percampuran) juga nampak sangat berfluktuasi, dengan rata-rata 2,92 mg/L – 4,96 mg/L (St. 2, surut) dan 3,05 mg/L – 4,91 mg/L (St. 3, surut). Kisaran hasil pengamatan adalah 0,90 mg/L – 9,11 mg/L di St. 2 (surut) dan 0,81 mg/L – 10,32 mg/L di St. 3 (surut). Nampak adanya perbedaan antara bagian permukaan dan dasar (Gambar 4.15 B-C), terkait dengan kondisi perairan yang terstratifikasi di kedua stasiun tersebut. Bagian dasar perairan di zona percampuran ini bersalinitas lebih tinggi daripada bagian atasnya sehubungan dengan pengaruh pasang surut air laut. Nilai BOD pada saat pasang, peralihan ke surut, kemudian pada saat surut di St. 2, menunjukkan nilai yang berfluktuasi, suatu saat tidak jauh berbeda antara bagian permukaan dan dasar, tetapi di saat lain cenderung berbeda (Gambar 4.16, A dan C). Sementara di St. 3 pada pengamatan 6 Oktober 2007 menunjukkan pola perubahan nilai BOD yang hampir sama di bagian permukaan dan dasar pada saat pasang – peralihan surut – surut – peralihan pasang (Gambar 4.16 B), tetapi pada pengamatan berikutnya pola perubahan nilai BOD dalam satu siklus pasang surut agak berbeda (Gambar 4.16 D). Nampaknya perbedaan debit aliran sungai dan perbedaan kondisi pasang surut air laut mempengaruhi pola fluktuasi nilai BOD tersebut. Di St. 4 (bagian laut), nilai BOD berkisar 0,81 mg/L – 3,60 mg/L pada saat pasang dan 0,81 mg/L – 4,01 mg/L pada saat surut. Nilai BOD di bagian permukaan dan dasar tidak terlalu berbeda. Nilai BOD yang relatif rendah pada beberapa pengamatan diduga karena
besarnya pengaruh pengenceran air laut
yang relatif mengandung bahan organik mudah urai lebih rendah (Gambar 4.15 D). Indikasi terjadinya pengenceran tersebut terlihat dari nilai salinitas perairan di St. 4 ini yang umumnya mendekati salinitas air laut, yakni 25%0 atau lebih (Lampiran 1).
62
PASANG
SURUT
mg/L
mg/L
15,0
15,0
St. 1 permk St. 1 dasar
10,0
10,0
5,0
5,0
0,0
0,0
1
A
2
3
4
5
6
7
mg/L
1
5
6
7
St. 2 permk St. 2 dasar
5,0
0,0
0,0
1
2
3
4
5
6
7
mg/L
1
2
3
4
5
6
7
mg/L
15,0
St. 3 permk St. 3 dasar
10,0
15,0
5,0
0,0
0,0
1
2
3
4
5
6
7
mg/L
St. 3 permk St. 3 dasar
10,0
5,0
8,0
4
10,0
5,0
12,0
3
15,0
St. 2 permk St. 2 dasar
10,0
C
2
mg/L
15,0
B
St. 1 permk St. 1 dasar
1
2
3
4
5
6
7
mg/L
St. 4 permk St. 4 dasar
12,0
8,0
4,0
4,0
0,0
0,0
St. 4 permk St. 4 dasar
D Gambar 4.15. Nilai BOD3 di setiap stasiun (A: St. 1 - zona sungai, B: St. 2 dan C: St. 3 - zona percampuran, dan D: St. 4 - zona laut) di Estuari Cisadane, pada saat pasang dan surut.
63
10,0 9,0 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0
mg/L
B. BOD - St. 3, 6 Okt 2007
10,0 9,0 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0
mg/L
A. BOD - St. 2, 6 Okt 2007
permk dasar pasang
prl-sur
surut
prl-sur
surut
5,0
permk dasar
4,0
prl-pas
3,0 2,0 1,0
permk dasar
4,0 mg/L
mg/L
pasang
D. BOD - St. 3, 20-21 Okt 2007
C. BOD - St. 2, 20-21 Okt 2007 5,0
permk dasar
3,0 2,0 1,0 0,0
0,0
pasang
prl-sur
surut
prl-pas
pasang
prl-sur
surut
Gambar 4.16. Nilai BOD3 (mg/L) di zona percampuran (St. 2 dan St. 3) Estuari Cisadane, pada saat pasang, peralihan surut, surut dan peralihan pasang (6 Okt. dan 20-21 Okt. 2007)
4.4. BOD3 dan Kandungan Oksigen Plot hasil pengamatan nilai BOD dan kandungan oksigen terlarut (DO) di ketiga bagian estuari, di zona sungai (St. 1), di zona payau atau percampuran (St. 2 dan St. 3) dan di zona laut (St. 4), baik pada kondisi pasang maupun surut, tidak memperlihatkan adanya suatu pola hubungan tertentu yang teratur (Lampiran 6). Korelasi antara DO dan BOD juga sangat rendah dan berubahubah, yakni terkadang positif sampai 0,39 dan terkadang negatif hingga 0,58 (Tabel 4.4). Ini berarti rendahnya DO paling tinggi hanya sampai 58% berkorelasi dengan tingginya BOD, tetapi di saat yang lain rendahnya DO berkorelasi sampai sekitar 39% dengan rendahnya BOD. Di St. 4 (zona laut) korelasi DO – BOD juga sangat bervariasi, yakni negatif sebesar -0,03 saat surut dan positif 0,39 saat pasang. Diduga sejak di bagian sungai yang lebih hulu dari St. 1 kandungan oksigen (DO) sudah cukup rendah, sehingga pada saat sampai di St. 1 kandungan oksigen tetap rendah (yakni rata-rata < 1,2 mg/L), bahkan nol atau anoksia.
Nilai BOD yang kadang-kadang rendah (<2 mg/L), yang berarti
penggunaan untuk dekomposisi rendah, hanya berdampak pada sedikit peningkatan kandungan oksigen (sampai sekitar 3 mg/L) saja. Hal ini lebih lanjut
64
memberikan gambaran bahwa pasokan oksigen dari proses difusi atau reaerasi dan fotosintesis juga rendah. Tabel 4.4. Koefisien korelasi r antara kandungan oksigen (DO) dan nilai BOD di tiap stasiun pada ketiga bagian estuari Cisadane saat pasang dan surut Lokasi St. 1 ( sungai ) St. 2 ( payau ) St. 3 ( payau ) St. 4 ( laut ) St. 2-3 ( payau )
Korelasi DO – BOD (r) Pasang Surut -0.58 -0.43 -0.37 0.39 -0.36
-0.37 0.01 -0.26 -0.03 -0.14
4.5. Laju Reaksi BOD (k) dan Penggunaan Oksigen Berdasarkan konsepsi kinetik BOD, Yt = L (1- e-kt) (Mara, 1976; France & Thornley, 1984; Metcalf & Eddy, 1991; McGhee, 1991), maka dapat diduga besaran nilai BOD total (L, ultimate BOD) dan konstanta laju reaksi BOD (k, rate of BOD removal). Penentuan konstanta laju reaksi BOD (k) dan BOD total (L) yang didasarkan atas satu seri pengukuran BOD secara periodik ini dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, satu di antaranya adalah dengan metode kuadrat terkecil (least square method, Metcalf & Eddy, 1991). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa laju reaksi BOD (k) sangat bervariasi, baik antar lokasi atau stasiun pengamatan, antara bagian permukaan dan dasar, maupun antara kondisi pasang dan surut (Tabel 4.5, Lampiran 7). Laju reaksi BOD berkisar antara 0,01 – 0,89 per hari di St. 1 yang menggambarkan bahwa bahan organik yang berasal dari bagian sungai sangat bervariasi dari yang mudah atau cepat didegradasi (nilai k tinggi) hingga yang relatif sulit atau lambat didegradasi (nilai k rendah). Sebagai perbandingan, Konstanta laju reaksi BOD dari limbah domestik di Ife-ife, Nigeria adalah berkisar 0,24 – 0,40 per hari (Oke et al., 2006). Hasil pengamatan Abdelrasoul (2001) juga menunjukkan bahwa konstanta laju reaksi BOD untuk sampel limbah domestik dan limbah industri pulp berturut-turut adalah sebesar 0,22 dan 0,32 per hari. Kisaran nilai konstanta laju reaksi BOD (k-BOD) di S. Cisadane tersebut hampir sama dengan kisaran hasil penelitian Singh (2004) terhadap k-BOD limbah perkotaan di salah satu kota di India yang berkisar 0,044 – 0,475.
65
Tabel 4.5. Konstanta laju reaksi BOD3 (k-BOD) dan BOD ultimate (BODu) di zona sungai (St. 1), zona percampuran (St. 2 dan St. 3) dan di zona laut (St. 4) di estuari Cisadane (n= 6) Lokasi Pasang St. 1 St. 2 St. 3 St. 4
Surut St. 1 St. 2 St. 3 St. 4
Kisaran k-BOD (per hari)
k-BOD rata-rata
Kisaran BODu (mg/L)
BODu (mg/L)
0,10 - 0,48 0,07 - 0,43 0,02 - 0,41 0,08 - 0,50
0,20 ± 0,14 0,24 ± 0,14 0,24 ± 0,14 0,21 ± 0,15
7,8 - 52,2 3,2 - 30,6 4,4 - 54,8 1,6 - 18,6
24,6 ± 16,7 15,2 ± 9,7 16,9 ± 19,0 8,9 ± 6,2
0,01 - 0,89 0,05 - 0,48 0,02 - 0,56 0,21 - 0,59
0,42 ± 0,43 0,21 ± 0,16 0,19 ± 0,22 0,40 ± 0,15
5,4 - 105,5 9,9 - 61,4 5,9 -54,4 6,0 - 25,8
39,0 ± 47,2 23,0 ± 20,0 32,6 ± 20,6 9,8 ± 7,8
Kisaran konstanta laju reaksi (k) BOD yang lebar, juga diikuti oleh kisaran nilai BOD keseluruhan (BODu, BOD ultimate) yang lebar pula, yakni berkisar 5 – 105 mg/L di St. 1 - zona sungai, berkisar 3 – 61 mg/L di St. 2 dan St. 3 (zona percampuran) dan berkisar 1,6 – 25,8 mg/L di St. 4 - zona laut (Tabel 4.6). Nampak bahwa variasi nilai BOD di zona sungai menjadi menurun variasinya setelah bercampur dengan air laut di zona percampuran, dan semakin berkurang lagi setelah sampai di zona laut. Berdasarkan nilai BOD ultimate ini dapat diduga berkurangnya oksigen yang diperlukan untuk proses BOD di masing-masing segmen per hari atau per jam, dengan asumsi tidak ada penambahan atau pengenceran bahan organik maupun mikroorganisme selama waktu tersebut.
Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa laju penggunaan oksigen di tiap segmen berbeda, yang terbesar adalah di segmen sungai (St.1) dengan rata-rata 0,18 mg/L/jam
(pasang)
dan
0,56
mg/L/jam
(surut),
sedangkan
di
segmen
percampuran (St. 2 dan St. 3) juga relatif cukup besar yakni rata-rata 0,14 dan 0,15 mg/L/jam (pasang) dan 0,18 dan 0,24 mg/L/jam (surut), dan terendah adalah di segmen laut (St. 4) dengan rata-rata 0,07 mg/L/jam (pasang) dan 0,14 mg/L/jam (surut) (Tabel 4.6, Lampiran 7). Berdasarkan data ini secara umum dapat dikatakan, bahwa laju degradasi bahan organik di zona sungai dan di zona percampuran sama-sama tergolong tinggi bila dibandingkan dengan laju degradasi di zona laut.
66
Tabel 4.6. Nilai pengurangan oksigen untuk proses BOD dalam 1 hari (BOD1) dan dalam 1 jam (BOD1jam) di tiap stasiun pengamatan di estuari Cisadane k-BOD rata2 (/hr)
rata2 BODu (mg/L)
BODu max (mg/L)
St. 1 St. 2 St. 3 St. 4
0.20 0.24 0.24 0.21
24.6 15.2 16.9 8.9
St. 1 St. 2 St. 3 St. 4
0.42 0.21 0.19 0.40
39.0 23.0 32.6 9.8
Lokasi
BOD1 (mg/L)
BOD1 max (mg/L)
BOD1jam (mg/L)
BOD1jam max (mg/L)
52.2 30.6 54.8 18.6
4.4 3.2 3.6 1.7
9.4 6.5 11.8 3.5
0.18 0.14 0.15 0.07
0.39 0.27 0.49 0.15
105.5 61.4 54.4 25.8
13.5 4.3 5.8 3.2
36.4 11.4 9.6 8.6
0.56 0.18 0.24 0.14
1.52 0.47 0.40 0.36
Pasang
Surut
Ket.: k-BOD: konstanta laju reaksi BOD BODu : BOD keseluruhan (BOD ultimate)
BOD1 : BOD dalam 1 hari BOD1jam: BOD dalam 1 jam
4.6. Penggunaan Oksigen Sedimen Perairan Penelitian degradasi bahan organik dilakukan di laboratorium terhadap sampel air dan sedimen dari St. 2 dan St. 3 (zona percampuran) dalam empat perlakuan, yakni (1) akuarium berisi air sampel saja, (2) akuarium berisi air sampel dan sedimen tanpa diaduk, dan (3) akuarium berisi sampel dan sedimen yang diaduk atau dicampur. Akuarium ditutup dan ditempatkan pada ruang gelap sehingga tidak ada cahaya untuk proses fotosintesis, dan proses yang terjadi adalah proses dekomposisi. Selanjutnya diamati kandungan oksigennya setiap 24 jam, 6 jam dan 3 jam hingga kandungan oksigen nol. Hasil menunjukkan bahwa sampai 96 jam (hari ke-4), pada air sampel dari St. 2 masih tersisa oksigen terlarut sebesar 2,63 mg/L, dan pada air sampel dari St. 3 tersisa oksigen sebesar 2,87 mg/L (perlakuan 1: air sampel saja), sementara pada perlakuan lainnya (air sampel + sedimen yang diaduk ataupun yang tidak) sudah tidak ada lagi oksigen yang tersisa atau kandungan oksigennya nol (Tabel 4.7 dan gambar Lampiran 8).
Kandungan oksigen terlarut awal dari masing-
masing perlakuan berkisar 6,4 – 7,5 mg/L. Nilai kebutuhan oksigen air sampel dari St. 2 dengan air sampel dari St. 3 tidak nampak berbeda nyata (Lampiran 8). Sedangkan kebutuhan oksigen sedimen adalah sekitar 7,00 – 7,03 mg/L pada
67
sampel sedimen St. 2 dan 6,73 – 6,80 mg/L pada sampel sedimen St. 3. Secara keseluruhan, tidak berbeda nyata kebutuhan oksigen antara perlakuan 2 (sedimen dan air sampel yang diaduk) dengan perlakuan 3 (sedimen dan air sampel yang tidak diaduk) (Tabel 4.7). Masih tingginya kebutuhan oksigen pada air sampel (perlakuan 1) menunjukkan bahwa pada air sampel yang sudah dipanaskan sampai 100 oC masih terjadi proses dekomposisi, yang berarti masih mengandung bahan organik dan mikroorganisme dekomposer. Tabel 4.7. Kebutuhan oksigen (mg/L) pada perlakuan yang berbeda terhadap waktu pengamatan dan oksigen (DO) tersisa. Perlakuan*
Stasiun 2 Jam ke48 72 1,53 2,60 5,13 5,83 4,23 5,40
DO tersisa 2,63 0,00 0,00
Stasiun 3 Jam ke48 72 1,60 2,53 4,43 5,60 4,13 5,43
DO tersisa
24 96 24 96 1 0,87 4,53 1,03 4,27 2,87 2 3,47 7,00 2,73 6,73 0,00 3 3,13 7,03 2,87 6,80 0.00 Keterangan: Rata-rata dari perlakuan 2 dan 3 dalam 24 jam, St. 2: 3,30 mg/L dan St. 3: 2,80 mg/L Kebutuhan oksigen sedimen saja (tanpa air sampel) dalam sehari: St. 2: 3,30 - 0,87 = 2,43 mg/L ; St. 3: 2,80 - 1,03 = 1,77 mg/L * Perlakuan 1 = Akuarium berisi air sampel saja Perlakuan 2 = Akuarium berisi air sampel dan sedimen tanpa diaduk Perlakuan 3 = Akuarium berisi air sampel dan sedimen yang diaduk
Uji statistik rancangan acak bersarang (Nested design) menunjukkan adanya pengaruh nyata dari setiap anak perlakuan terhadap penurunan kadar oksigen pada waktu pengamatan yang berbeda di setiap stasiun yang berbeda (P<0,1), tetapi perlakuan induk (beda antar stasiun) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf P<0,1 (Lampiran 9).
Hal ini menunjukkan
bahwa pada dasarnya kebutuhan oksigen sedimen di St. 2 dapat dikatakan hampir sama dengan kebutuhan oksigen di St. 3. Uji lanjut dengan menggunakan BNT (Beda Nilai Terkecil) terhadap anak perlakuan (yakni perlakuan 1, perlakuan 2, dan perlakuan 3) pada selang kepercayaan 90%, menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan 1 dengan perlakuan 2 dan 3, tetapi tidak berbeda nyata untuk masing-masing perlakuan 2 dan perlakuan 3 (Lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa antara perlakuan sedimen yang tanpa diaduk dan perlakuan sedimen yang diaduk atau
68
dicampur dengan air sampel, tidak menunjukkan perbedaan kebutuhan oksigen. Perlakuan 2 (tanpa diaduk) dengan perlakuan 3 (diaduk) dilakukan untuk meniru kondisi sedimen di alam, yang suatu saat teraduk pada saat arus cukup deras dan di saat yang lain ketika arus lambat mungkin tidak teraduk. Untuk keperluan perhitungan neraca oksigen, yang diperlukan adalah besaran kebutuhan oksigen sedimen dalam sehari, dan hanya kebutuhan oksigen oleh sedimen saja, tidak bercampur dengan air sampel. Untuk mendapatkan data kebutuhan oksigen dalam sehari, maka yang akan digunakan adalah data kebutuhan oksigen dalam 24 jam. Karena antara perlakuan sedimen yang tanpa diaduk dan yang diaduk memberikan hasil yang tidak berbeda, maka kebutuhan oksigen sedimen dalam 24 jam dari kedua perlakuan ini dapat dirata-ratakan, yang hasilnya adalah 3,30 mg/L untuk St. 2 dan 2,80 mg/L untuk St. 3 (Tabel 4.7). Selanjutnya, karena hasil dalam perlakuan pada dasarnya adalah hasil kebutuhan oksigen sedimen dan air sampel, maka untuk mendapatkan kebutuhan oksigen oleh sedimen saja, perlu dikoreksi dengan kebutuhan oksigen air sampel (perlakuan 1).
Perhitungan ini menghasilkan kebutuhan oksigen
sedimen
untuk St. 2 adalah 2,43 mg/L dan untuk St. 3 adalah 1,77 mg/L dalam sehari (Tabel 4.7). Dengan demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sedimen di dasar estuari berkontribusi dalam memanfaatkan oksigen yang terkandung dalam perairan, sebesar 1,77 – 2,43 mg/L dalam sehari atau setara dengan 0,53 – 0,73 g/m2/hari (rata-rata 0,63 g/m2/hari) untuk ketebalan sediment rata-rata sekitar 13 cm. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian di estuari Ofunato, Jepang, yakni kebutuhan oksigen sedimen setebal 15 cm sekitar
0,54 g/m2/hari
(Hayakawa et al., 1999). Tetapi hasil ini lebih rendah dari hasil penelitian Haag et al., (2006) di Sungai Neckar, Jerman dengan sedimen lempung berdebu (siltyloam) yang berkisar 1,4 – 1,7 g/m2/hari. Sementara itu, nilai kebutuhan oksigen sedimen (SOD) di Sungai Skudai dan S. Melana di Malaysia dengan sedimen pasir halus dan lempung halus masing-masing berkisar 0,73-2,24 g/m2/hari dan 0,87-4,35 g/m2/hari (Mohamed, 2003). Di beberapa estuari di Amerika Serikat, yakni Neuse, Potomac, Patuxent, Narragansett Bay, dan Atchafalaya-Fourleague Bay nilai kebutuhan oksigen sedimen berada pada kisaran yang cukup lebar yakni berturut-turut 0,12-1,66 g/m2/hari, 0,72-2,5 g/m2/hari, 0,5-4,1 g/m2/hari, 0,24-3,6 g/m2/hari, dan 0-3,4 g/m2/hari (Teague et al., 1988).
Sementara
69
konsumsi oksigen sedimen di Chesapeake Bay juga tergolong rendah yakni berkisar 0,05-0,86 g/m2/hari (Cowan & Boynton, 1996). Demikian juga di estuari Ria de Aveiro, Portugal, kebutuhan konsumsi oksigen sedimen berkisar 0,12 – 0,53 g/m2/hari (Cunha et al., 1999). Hasil analisis fraksi sedimen menunjukkan bahwa sedimen estuari Cisadane bertipe liat (clay, St. 2) dan liat berdebu (silty clay, St. 3) dengan komposisi yang sebagian besar terdiri atas fraksi liat dan debu, serta sedikit pasir (Lampiran 10). Baik di St. 2 maupun di St. 3, sedimen perairan secara visual berupa lumpur yang berwarna hitam, yang menunjukkan kondisi sedimen yang anaerob (Boyd, 1998). Penggunaan
oksigen
oleh
sedimen
dapat
terjadi
secara
kimia
sehubungan dengan kondisi sedimen yang anoksik, yang menyebabkan sedimen mengandung bahan-bahan yang tereduksi atau mempunyai nilai potensial redoks (reduksi-oksidasi) negatif.
Pada perairan dekat dasar dan sedimen yang
anaerobik, potensial redoks menjadi sangat rendah, pernah teramati hingga kurang dari -250 mV (Boyd, 2000). Hasil pengamatan potensial redoks sedimen St. 2 dan St. 3 disajikan pada Tabel 4.8. Potensial redoks sedimen di St. 2 dan St. 3 estuari Cisadane berkisar antara -204 mV hingga -352 mV, dengan ratarata -214 mV (St. 2) dan -312 mV (St. 3). Nilai potensial redoks sedimen ini tergolong nilai potensial redoks negatif yang tinggi, yang dapat dengan segera menyerap oksigen (Boyd, 2000). Tabel 4.8. Hasil pengukuran potensial redoks sedimen St. 2 dan St. 3 di estuari Cisadane Pengukuran 1 2 3 Rata-rata
Potensial Redoks (mV) St. 2 St. 3 -204 -352 -229 -350 -208 -234 -214 -312
4.7. Peranan Produktivitas Primer dalam Penyediaan Oksigen Nilai produktivitas primer perairan yang diamati pada kisaran kedalaman 10-20 cm dan 45-80 cm adalah berkisar 0.58 – 3.37 mgO2/L/4 jam (Tabel 4.9). Kisaran yang cukup lebar disebabkan adanya perbedaan titik kedalaman penga-
70
matan dan kekeruhan perairan.
Nampak bahwa di bagian yang lebih dalam,
dalam hal ini adalah pada kedalaman Secchi, produktivitas primer perairan lebih rendah daripada di bagian permukaan (Gambar 4.17). Perbedaan kekeruhan dan kecerahan antar pengamatan juga berpengaruh pada produktivitas primer. Pada pengamatan Juli 2008, perairan sangat keruh (sampai 48 NTU) dengan kecerahan
yang
sangat
rendah
(12 – 17 cm) (Lampiran 11),
produktivitas
primernya adalah yang paling rendah dibandingkan dengan pengamatan lainnya dengan kondisi kekeruhan perairan yang lebih rendah. Tabel 4.9. Produktivitas primer di estuari S. Cisadane pada Juni-Agustus 2008 Lokasi St. 2 St. 3
Kedalaman (cm)
Produktivitas Primer Bersih (NPP) (mgO2/L/4 jam) (mgC/m3/jam) Juni Juli Agst Juni Juli Agst Rata-rata
d1: 10-15
1,22
0,58
1,00
95,31 45,31
d2: 45-70
0,63
-
0,74
49,22
d1: 10-20
0,94
0,64
3,37
73,44 50,00 263,28
d2: 70-80
0,63
-
1,68
49,22
-
78,13
72,92 ± 25
57,81
53,52 ± 6
131,25
128,91 ± 117 90,24 ± 58
Tingkat produktivitas primer estuari Cisadane ini tidak terlalu berbeda dengan produktivitas primer estuari lainnya yang juga mengalami tekanan ekologis berupa pencemaran bahan organik. Hasil penelitian Madubun (2008) pada bulan Juli dan Agustus 2007 di stasiun muara Muara Jaya, Teluk Jakarta (Bekasi), menunjukkan nilai produktivitas primer pada kisaran yang hampir sama, yakni 39,57-96,89
mgC/m3/jam.
Demikian juga produktivitas primer perairan
estuari Boa dan estuari Ponrang, Teluk Bone, Sulawesi yang berkisar 15,6374,22 mgC/m3/jam (Andriani, 2004).
Tingkat produktivitas primer estuari
Cisadane juga tidak banyak berbeda dengan produktivitas primer Teluk Jakarta yang berkisar 59,41-75,69 mgC/m3/jam (Nontji, 1984) dan Teluk Hurun, Lampung (Tambaru, 2000 dan Sunarto, 2001) yang berkisar 36,72-69,40 mgC/m3/jam. Bahkan pada saat tertentu produktivitas primer estuari Cisadane tergolong sangat tinggi, khususnya di St. 3 (pengamatan Agustus 2008).
71
St. 2
St. 3
Gambar 4.17. Produktivitas primer bersih pada dua stasiun pengamatan di estuari Cisadane, St. 2 (atas) dan St. 3 (bawah) Walaupun tingkat produktivitas primer estuari Cisadane berada pada kisaran yang tergolong tidak rendah, tetapi sehubungan dengan kondisi kekeruhan perairan yang tergolong tinggi maka ketebalan lapisan kolom air yang produktif menjadi sangat terbatas.
Pada kondisi tertentu, kecerahan hanya
sampai belasan cm saja, ini berarti lapisan produktif hanya sekitar 30-40 cm saja dilapisan permukaan atau hanya sekitar 6-7% saja dari kedalaman rata-rata perairan yang sebesar 5,3 m. Kondisi pencemaran bahan organik yang terjadi, sebagaimana digambarkan oleh nilai BOD dan COD yang relatif tinggi (Gambar 4.15, Lampiran 11), menyebabkan proses produksi primer di lapisan permukaan tidak cukup besar memberikan pasokan oksigen terlarut bagi keperluan dekomposisi dan respirasi biota. Hal ini terlihat dari kandungan oksigen terlarut perairan yang tergolong rendah selama pengamatan, yakni rata-rata kurang dari 3 mg/L (Gambar 4.11, Lampiran 11).
72
4.8. BOD3, COD dan N Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai COD sangat berfluktuasi selama pengamatan, baik di zona sungai (St. 1), zona payau (St. 2 dan St. 3) maupun di zona laut (St. 4) pada kisaran 3,93 – 159,54 mg/L (Lampiran 12). Bila dianggap bahwa nilai COD menggambarkan total karbon organik yang ada dalam air (Orhon & Cokgor, 1997 diacu dalam Baird & Smith, 2002), maka akan terlihat bahwa pada umumnya rasio BOD/COD juga sangat bervariasi dari 0.005 hingga 0.95 (Tabel 4.10). Ini berarti bahwa bahan organik yang mudah terurai (easily biodegradable
organic
matter)
berkaitan
dengan
kondisi
perairan
dan
dekomposer yang ada, yang dalam hal ini ditunjukkan oleh nilai BOD3, berada pada kisaran yang sangat rendah yakni 0,5 % hingga sangat tinggi yaitu 95% dari total bahan organik yang ada. Menurut Mangkoedihardjo (2006) rasio BOD/COD yang lebih rendah dari 0,1 menunjukkan keberadaan baik bahan organik yang sangat sulit dibiodegradasi maupun keberadaan bahan toksik yang menghambat aktivitas mikrobial. Selanjutnya juga dikatakan bahwa air limbah industri tidak terolah pada umumnya mempunyai rasio BOD/COD yang rendah.
Rasio
BOD/COD yang rendah di estuari Cisadane ini kemungkinan juga berhubungan dengan pengaruh masukan limbah industri termasuk limbah farmasi dan keberadaan bahan-bahan penghambat biodegradasi oleh mikroba. Kondisi pH perairan dapat ikut berperanan pada rendahnya nilai BOD (Baird & Smith, 2002; Umaly & Cuvin, 1988). Tetapi hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai pH perairan pada umumnya berada pada kisaran yang normal, yakni sedikit diatas 6 hingga kurang dari 8, kecuali pada pengamatan pertama di St.1 (zona sungai) dan di St. 2 serta St. 3 (pasang) yang nilai pH-nya < 6 (Lampiran 13). Dari data pada Tabel 4.10 nampak juga bahwa rasio BOD/COD di zona sungai, khususnya pada saat surut, relatif lebih rendah dibanding pada bagian estuari lainnya. Rata-rata rasio BOD/COD di zona sungai adalah 0,22 saat pasang dan 0,14 saat surut. Hal ini terutama terkait dengan nilai COD yang relatif lebih tinggi di bagian sungai tersebut. Disisi lain, rasio BOD/COD yang tinggi (> 40 %) pada umumnya terkait dengan nilai COD yang rendah (< 10 mg/L). Ini berarti pada saat total bahan organik rendah, dalam proporsi yang cukup besar berupa bahan organik yang mudah diuraikan oleh dekomposer yang ada. Sebagai pembanding, rasio BOD/COD limbah domestik sebelum diolah hasil pengamatan Papadopoulos et al. (2001) di Yunani adalah sekitar 0,48.
73
Sementara itu rasio BOD/COD di kolam payau sekitar Kairo, Mesir berkisar 0,24 – 0,93 (Abdo, 2005). Menurut Metcalf & Eddy (1991) rasio BOD/COD dari limbah domestik tak terolah pada umumnya bervariasi pada kisaran 0,4 – 0,8. Tabel 4.10. Nilai rasio BOD-COD di estuari Cisadane (untuk St. 1 dan St. 4 n=12, untuk St. 2 dan St. 3 n= 24)
Lokasi/ zona St. 1 sungai St. 2 dan St. 3 payau St. 4 laut
BOD/COD BOD COD Kisaran % Rata-rata SD (mg/L) (mg/L) pasang 0,52 - 13,49 6,0 - 103,9 0,22 0,18 0,005 - 0,61 0,5 - 61 % surut 1,00 - 10,32 18,1 - 159,5 0,14 0,08 0,01 - 0,25 1 - 25 % pasang 1,37 - 8,71 4,7 - 89,6 0,24 0,22 0,02 - 0,95 2 - 95 % surut 1,01 - 10,32 6,8 - 105,7 0,21 0,18 0,02 - 0,66 2 - 66 % pasang 0,84 - 3,60 3,9 - 84,5 0,24 0,28 0,03 - 0,81 3 - 81 % surut 0,81 - 4,01 6,8 - 105,8 0,16 0,16 0,01 - 0,43 1 - 43 %
Kondisi
Ket.: SD = Standar deviasi Di bagian sungai dan di bagian payau, kandungan nitrogen organik hampir selalu lebih rendah daripada nilai DIN (dissolved inorganic nitrogen) yang merupakan jumlah dari kandungan amonia, nitrat dan nitrit.
Kandungan N-
organik juga hampir selalu lebih rendah dari kandungan amonia.
Hal ini
menunjukkan bahwa proporsi N-organik tergolong rendah bila dibandingkan dengan total N terlarut, bahkan juga terhadap amonia.
Sementara, amonia
berada dalam proporsi yang cukup besar diantara N terlarut yang ada. Di bagian laut, kandungan N-organik, DIN dan amonia pada umumnya lebih rendah daripada yang terdapat di bagian sungai dan payau (Lampiran 14). Hal ini juga menunjukkan bahwa air sungai Cisadane terutama mengandung amonia, dan N terlarut lainnya (nitrat dan nitrit), dalam jumlah yang cukup besar yang diduga merupakan kontribusi dari masukan limbah domestik, pertanian, maupun industri di bagian yang lebih hulu. Kisaran kandungan nitrogen di estuari Cisadane pada musim kemarau dapat dilihat pada Tabel 4.11. Plot kandungan N-organik dan nilai BOD pada tiap pengamatan pada umumnya memperlihatkan proporsi kandungan nitrogen yang rendah terhadap nilai BOD. Hanya pada beberapa pengamatan, baik di bagian sungai, payau, maupun laut, pada saat nilai BOD rendah (< 1.40 mg/L), proporsi kadar N-organik nampak sebanding atau hampir sama dengan nilai BOD (Lampiran 15). Secara umum dapat dikatakan bahwa pada bahan organik mudah urai di perairan, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai BOD, hanya sebagian kecil saja berupa N
74
organik, sebagian besar lainnya berupa C organik atau organik karbon. Di zona sungai dan di zona payau (percampuran) estuari Cisadane, proporsi N organik rata-rata hanya sekitar 0,27 (27%) dan 0,21 (21%) dari bahan organik yang dinyatakan dengan BOD. Tabel 4.11. Kandungan nitrogen (N-organik, DIN, dan amonia total) di estuari Cisadane
pasang surut pasang
N-organik (mg/L) 0.30 - 1.60 0.33 - 1.50 0.03 - 2.04
DIN (mg/L) 1.45 - 3.26 0.65 - 4.16 0.36 - 3.74
amonia (mg/L) 0.81 - 2.38 0.17 - 2.37 0.35 - 3.44
surut
0.01 - 1.36
0.40 - 3.42
0.38 - 2.63
pasang
0.005 - 0.85
0.016 - 0.59
0.006 - 0.57
surut
0.005 - 0.64
0.10 - 0.78
0.10 - 0.72
Lokasi
Segmen Kondisi
St. 1
sungai
St. 2 dan St. 3
payau
St. 4
laut
4.9. BOD dan bakteri Hasil pengamatan terhadap bakteri aerobik menunjukkan bahwa kandungan total mikroba aerobik di bagian sungai (St. 1) mencapai 625 000 cfu/ml di bagian dasar (Gambar 4.18). Jumlah yang sama juga dijumpai di St. 3 (bagian percampuran) di bagian dasar. Baik di bagian sungai (St. 1) maupun di bagian percampuran estuari (St. 2 dan St. 3), pada umumnya jumlah bakteri aerobik cukup besar jumlahnya dibandingkan dengan di bagian laut (St. 4). Hal ini sejalan dengan nilai BOD3 yang juga lebih besar di ketiga stasiun pertama tersebut dibandingkan dengan nilai BOD3 di bagian laut (Gambar 4.14).
Berdasarkan
data ini, dapat dikatakan bahwa keberadaan bakteri yang relatif tinggi tersebut mendukung bagi terjadinya proses dekomposisi bahan organik sebagaimana ditunjukkan oleh relatif tingginya kebutuhan oksigen (BOD) perairan. Data kandungan bakteri Pseudomonas aeruginosa, sepertinya juga menunjukkan pola yang hampir sama, walaupun dengan jumlah yang jauh lebih rendah (Gambar 4.19).
Jumlah mikroba ini relatif lebih tinggi pada stasiun
pengamatan di bagian sungai dan percampuran, terutama di St. 3 dibandingkan dengan di stasiun laut. Hal yang agak berbeda terjadi pada Bacillus sp., dimana jumlahnya nampak jauh lebih besar di stasiun laut dibandingkan ketiga stasiun lainnya (Gambar 4.19).
75
x 1000 cfu/ml 700
Permukaan Dasar
600 500 400 300 200 100 0
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
Gambar 4.18. Kandungan total mikroba aerobik di zona sungai (St. 1), di zona percampuran (St. 2 dan St. 3) dan di zona laut (St. 4) di estuari Cisadane cfu/ml 2500
Permukaan
cfu/ml 500
Dasar
2000
400
1500
300
1000
200
500
100
0
0
Permukaan
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
St. 1
St. 2
Dasar
St. 3
St. 4
Gambar 4.19. Kandungan mikroba Pseudomonas aeruginosa (kiri) dan Bacillus sp. (kanan) di zona sungai (St. 1), zona percampuran (St. 2 dan St. 3) dan di zona laut (St. 4) di estuari Cisadane Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. tergolong bakteri pengurai organik yang bersifat aerobik dan fakultatif anaerobik (Berthoux & Rudd in Gray, 2004). Lebih lanjut Gray (2004) menyebutkan bahwa Pseudomonas adalah salah satu genus bakteri utama yang umumnya dijumpai pada sistem pengolahan aerobik. Genera bakteri utama lainnya adalah Zoogloea, Chromobacter, Achromobacter, Alcaligenes, dan Flavobacterium.
Spesies Pseudomonas aeroginosa
kali dijumpai dalam jumlah besar dalam air limbah.
sering-
Spesies ini tergolong
bakteri patogen yang dapat menyebabkan infeksi pada luka, infeksi saluran telinga, saluran urine, dan infeksi pernapasan (Feacham et al. in Gray, 2004). Sementara itu, Bacillus adalah genus bakteri yang ada dimana-mana, substrat atau sumber makanannya berupa sisa tumbuhan atau hewan (bahan organik), berperan dalam memecah molekul bahan organik menjadi lebih kecil dan lebih mudah larut sebagai awal dari proses penguraian (Calfarme, 2000). Lebih lanjut
76
disebutkan, bahwa perubahan fisik-kimia air, seperti salinitas, dapat menurunkan pertum-buhannya. Diduga kondisi salinitas tinggi yang lebih stabil di stasiun laut (St. 4), lebih sesuai bagi populasi jenis Bacillus yang teramati ini, sehingga jumlahnya jauh lebih tinggi daripada di stasiun payau ataupun tawar.
4.10. Beban Organik Berdasarkan nilai BOD3 hasil pengamatan di St. 2 dan St. 3 dan perhitungan volume zona estuari ruas I (St. 2) sepanjang 5050 m dan zona estuari ruas II (St. 3, lebih hilir) sepanjang 4300 m dengan lebar sungai rata-rata 51,1 m dan kedalaman rata-rata sungai 5,3 m, maka diperoleh estimasi beban bahan organik mudah urai (BOD) di zona estuari Cisadane pada musim kemarau adalah seperti disajikan dalam Tabel 4.12. Beda pasang dan surut di muara Cisadane terendah adalah 0,2 m dan tertinggi 1 m, kebanyakan beda pasang surut adalah sekitar 0,7 m.
Beda pasut tersebut menyebabkan terdapat
perbedaan volume perairan yang lebih lanjut menyebabkan perbedaan beban, terutama antara pasang dan surut.
Hal ini karena nilai BOD rata-rata antara
pasang dan surut pada dasarnya tidak berbeda nyata. Tetapi penyebab utama adanya perbedaan beban BOD antara bagian atas dan bawah perairan adalah karena adanya perbedaan nilai rata-rata BOD, di bagian atas nilai BOD rata-rata lebih tinggi daripada di bagian bawah, sehingga beban BOD di bagian atas, baik saat pasang maupun surut selalu lebih besar daripada di bagian bawah. Beban organik di estuari Cisadane pada musim kemarau berkisar 8874 kg BOD3 pada saat surut terendah hingga sekitar 11617 kg BOD3 pada saat pasang tertinggi (Tabel 4.12). Beban organik berdasarkan nilai BOD3 sebagaimana disajikan pada Tabel 4.12 nampak terlalu kecil bila mempertimbangkan sumber-sumber bahan organik yang ada di DAS Cisadane. Hal ini terjadi, karena pada dasarnya nilai BOD yang digunakan
(BOD3)
lebih
menggambarkan
kemampuan
perairan
dalam
mendegradasi bahan organik daripada sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai. Karena diinkubasi pada suhu 30oC yang kurang lebih sama dengan suhu alami perairan, dengan kondisi sampel air tanpa penambahan bakteri ataupun nutrien,
tanpa perbaikan
kondisi sampel
terhadap kemungkinan
adanya bahan toksik, sehingga bakteri pengurai yang ada tidaklah optimal, maka
77
Tabel 4.12. Beban organik setara kebutuhan oksigen (BOD3) di zona estuari (payau) muara Cisadane pada musim kemarau Beda pasut
Kondisi
0,2 m
Pasang Surut
0,7 m
Pasang Surut
1m
Pasang Surut
Beban organik (kg BOD3) permukaan dasar permukaan dasar permukaan dasar permukaan dasar permukaan dasar permukaan dasar
5865 4792 6111 3689 6196 5061 5752 3470 6394 5222 5536 3338
Beban organik (kg BOD3) Pasang/Surut 10656 9800 11256 9222 11617 8874
nilai BOD pada penelitian ini tidak menggambarkan jumlah bahan organik mudah urai yang seharusnya ada.
Oleh karena itu, penggunaan nilai COD untuk
perhitungan beban organik mungkin dapat memberikan gambaran yang lebih baik, walaupun bukan lagi sebagai gambaran bahan organik mudah urai, tetapi berupa gambaran bahan organik total, termasuk yang sulit urai. Berdasarkan nilai COD, maka beban organik di zona percampuran estuari S. Cisadane adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 4.13.
Beban organik
total di estuari Cisadane pada musim kemarau berkisar 86154 kg COD pada saat surut terendah hingga sekitar 97951 kg COD pada saat pasang tertinggi. Nilai COD di bagian sungai (St. 1) berkisar 6,03 – 159,54 mg/L dengan rata-rata 51,79 mg/L (Lampiran 16).
Pada debit sungai yang rendah yang
umumnya terjadi saat musim kemarau (tidak terjadi hujan) yang sebesar 0.54 m3/dt (Lampiran 3) maka beban masukan COD tertinggi adalah sekitar 7443 kg dalam sehari. Tetapi pada debit sekitar 40 m3/dt yang juga seringkali terjadi, maka beban COD rata-rata bisa mencapai 178986 kg/hari, dan pada debit 60 m/dt beban COD rata-rata sekitar 268479 (Lampiran 16).
Pada debit sungai
yang lebih tinggi, yang mencapai lebih dari 100 m3/dt (Lampiran 3), tentu masukan beban organik dari sungai jauh lebih tinggi lagi.
78
Tabel 4.13. Beban organik setara COD di zona percampuran (payau) estuari Cisadane pada musim kemarau Beda pasut
Kondisi
0,2 m
Pasang Surut
0,7 m
Pasang Surut
1m
Pasang Surut
Beban organik (kg COD) permukaan dasar permukaan dasar permukaan dasar permukaan dasar permukaan dasar permukaan dasar
47034 42988 38817 56481 49570 45408 36427 53156 51091 46860 34993 51161
Beban organik (kg COD) Pasang/Surut 90023 95298 94978 89583 97951 86154
4.11. Neraca Oksigen Hasil
perhitungan
muatan
oksigen
pada
segmen
estuari
(zona
percampuran) Sungai Cisadane yang terbagi dalam ruas I (km 4,3 sampai dengan km 9,35 dari muara, St. 2) dan ruas II (km 0 muara sampai dengan km 4,3, St. 3) disajikan pada Tabel 4.14. Perhitungan muatan untuk neraca oksigen ini mengacu pada pendekatan model sebagaimana disajikan pada persamaan 3.5, sedangkan perhitungan untuk masing-masing komponen muatan adalah sebagaimana diuraikan dalam sub-bab analisis muatan pada metode dan cara atau contoh perhitungannya secara rinci disajikan dalam Lampiran 17 sampai dengan Lampiran 21. Muatan masukan oksigen dari aktifitas fotosintesis fitoplankton (kolom 1) pada umumnya lebih besar bila dibandingkan dengan muatan masukan oksigen akibat difusi dari udara atau reaerasi (kolom 2) (Tabel 4.14). Hal ini berhubungan dengan kondisi kecepatan arus yang relatif rendah dan kedalaman difusi udara atau reaerasi yang juga rendah. Berdasarkan pendekatan flux difusi, kedalaman reaerasi hanya mencapai kedalaman perairan
0,3 – 0,8 m.
Kedua sumber
masukan oksigen terlarut tersebut, yakni fotosintesis dan reaerasi, ternyata tidak memberikan pasokan oksigen yang cukup bagi keperluan dekomposisi (termasuk respirasi) kolom air maupun sedimen.
Ini terlihat dari terjadinya defisit yang
79
cukup besar, mencapai -3189 kg oksigen selama periode surut atau mencapai -5034 kg oksigen per hari pada Ruas II atau estuari bagian hilir (Tabel 4.14, kolom 5). Sementara itu, muatan aktual oksigen di perairan yang dihitung dari ratarata kandungan oksigen hasil pengamatan (Tabel 4.14, kolom 6) menunjukkan nilai yang cukup besar bila dibandingkan dengan muatan pasokan dari reaerasi dan fotosintesis.
(Rata-rata kandungan oksigen hasil pengamatan adalah
sebesar 1,26 mg/L (pasang) dan 0,88 mg/L (surut) di Ruas I, dan 2,53 mg/L (pasang) dan 1,67 mg/L (surut) di Ruas II). Muatan oksigen aktual pada dasarnya adalah muatan oksigen yang tersisa setelah digunakan oleh metabolisme perairan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mengingat masih adanya
muatan yang tersisa (muatan aktual), maka defisit bagi keperluan dekomposisi dan respirasi perairan sudah terpenuhi dan masih berlebih.
Ini berarti,
kemungkinan sumber oksigen lainnya, yaitu bawaan dari aliran sungai dan bawaan dari aliran pasang air laut (kolom 7), memberikan muatan pasokan yang jauh lebih besar daripada muatan pasokan dari fotosintesis maupun reaerasi. Kolom muatan bawaan sungai/laut (kolom 7) pada Tabel 4.14 adalah perhitungan muatan oksigen masukan dari sungai dan laut berdasarkan pendekatan model, yakni muatan aktual (kolom 6) ditambah muatan fotosintesis (kolom 1) ditambah muatan reaerasi (kolom 2) dikurangi muatan dekomposisi kolom air (kolom 3) dan muatan dekomposisi sedimen (kolom 4); atau dapat juga dinyatakan, muatan bawaan sungai/laut setara dengan muatan aktual (kolom 6) ditambah muatan defisit (kolom 5). Dari Tabel 4.14 tersebut terlihat bahwa peranan pasokan oksigen bawaan dari sungai atau laut adalah yang paling besar dibanding pasokan dari fotosintesis maupun reaerasi.
Faktor fotosintesis dan reaerasi tidak cukup
berperanan dalam meningkatkan kandungan oksigen terlarut yang sudah sangat rendah yang berasal dari bagian sungai. Bila jumlah muatan ketiga faktor ini adalah 100% pasokan oksigen yang masuk ke zona estuari, maka fotosintesis dan reaerasi hanya menyumbang sekitar 6% dan 1% saja dari seluruh pasokan oksigen yang ada.
Bila dicermati lebih lanjut pada data kandungan oksigen
terlarut
sungai
di
bagian
yang
pada
umumnya
kurang
dari
3
mg/L
(hipoksia), bahkan beberapa kali anoksia (0 mg/L) (Gambar 4.12 A), maka dapat dikatakan bahwa yang lebih besar berperan dalam memasok oksigen di zona
80
percampuran adalah oksigen bawaan dari laut. Kandungan oksigen rata-rata di zona laut (St. 4) adalah sekitar 6 mg/L atau lebih (Gambar 4.11). Tabel 4.14. Muatan oksigen terlarut (kg/½hari untuk pasang atau surut, kg/hari untuk harian) di zona estuari (percampuran) muara Cisadane pada musim kemarau Muatan Muatan Muatan dekomfotosin- reaerasi posisi tesis (kg) (kg) kolom air (kg) (1)
(2)
Muatan dekomMuatan Defisit* posisi aktual (kg) Sedimen (kg) (kg)
Muatan bawaan** sungai/laut (kg)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1741 2873 4614 2127 3498 5625
94 94 188 58 58 117
-1599 -2692 -4291 -1845 -3189 -5034
1756 1182 2939 3043 1883 4927
3355 3874 7229 4888 5073 9961
Pada pasut rendah (beda pasut 0,2 m): Ruas I
pasang surut harian Ruas II pasang surut harian
210 210 420 329 329 659
26 65 91 11 38 49
Pada pasut tinggi (beda pasut 1 m): pasang 210 23 1853 94 -1714 1869 3582 surut 210 74 2683 94 -2493 1104 3597 harian 420 97 4535 188 -4206 2973 7179 Ruas II pasang 329 10 2382 58 -2102 3409 5511 surut 329 43 3051 58 -2737 1643 4379 harian 659 53 5433 117 -4839 5052 9890 *Defisit adalah jumlah muatan kolom (1) dan (2) dikurangi kolom (3) dan (4) **Muatan bawaan sungai/laut adalah jumlah kolom (5) (tanpa tanda minus) dan kolom (6) Ruas I
Untuk memperbaiki kondisi estuari dengan kandungan oksigen terlarut yang sangat rendah tersebut, maka harus diupayakan peningkatan kandungan oksigen tersisa atau oksigen aktual hingga tidak kurang dari 3 mg/L sebagai batas kondisi hipoksia. Dengan menjaga kadar oksigen di estuari tidak kurang dari 3 mg/L tersebut, diharapkan ekosistem estuari dapat pulih dan berkembang semakin membaik.
Dengan persamaan atau pendekaan model yang sama,
dapat dihitung berapa besar pasokan oksigen yang diperlukan, terutama bawaan dari sungai, agar kadar oksigen di estuari terjaga pada tingkat tidak kurang dari 3 mg/L. Bila kandungan oksigen rata-rata di tiap ruas di estuari baik waktu pasang maupun surut ditetapkan sebesar 3 mg/L (sebagai kadar oksigen aktual), dengan
81
asumsi kondisi fotosintesis, reaerasi, dan kebutuhan oksigen perairan (kolom air dan sedimen) sama, maka dapat diestimasi muatan oksigen harapan yang terbawa air sungai atau laut.
Selanjutnya, berdasarkan volume estuari dapat
diprediksi kebutuhan oksigen yang diharapkan terbawa dari sungai/laut.
Bila
pasokan bawaan dari laut diasumsikan tetap, mengingat nilai DO di laut berada pada konsentrasi yang cukup baik (hasil pengamatan berkisar 4,10 – 7,60 mg/L), maka nilai DO harapan tersebut dapat dianggap sebagai kandungan oksigen minimal yang seharusnya (yang diharapkan) ada pada air sungai yang masuk ke estuari.
Pendekatan
formulasinya
adalah
sebagaimana
disajikan
pada
persamaan 3.9 dan 3.10 (sub-bab Analisis Muatan). Dengan pendekatan ini, kadar oksigen aktual-harapan sebesar 3 mg/L dengan volume di Ruas I pada saat pasang sebesar 1389949 m3 (beda pasut 0,2 m), akan menghasilkan muatan aktual sebesar 4170 kg per periode pasang (kg/½hari). Dengan beban defisit sebesar 1599 kg/½hari, maka muatan dari sungai dan laut adalah sebesar 5769 kg/½hari. Muatan ini, untuk volume Ruas I sebesar 1389949 m3 yang telah disebutkan, setara dengan kandungan oksigen terlarut (DO) sebesar 4,15 mg/L. Perhitungan konsentrasi DO yang diharapkan selengkapnya disajikan pada Tabel 4.15. Tabel 4.15. Muatan oksigen terlarut bawaan dari sungai/laut per volume estuari dan konsentrasi DO dari zona sungai yang diharapkan agar DO di estuari Cisadane tidak kurang dari 3 mg/L di musim kemarau
(1)
Muatan aktual (kg/½hari) pada DO 3 mg/L (2)
1389949 1345434 1200641 1128497 1478978 1256405 1344931 984207
Volume estuari 3 (m )
(3)
Muatan (kg/½hari) dari sungai/ laut (4)*
4170 4036 3602 3385
1599 2692 1845 3189
5769 6728 5447 6574
4,15 5,00 4,54 5,83
4437 3769 4035 2953
1714 2493 2102 2737
6151 6262 6137 5690
4,16 4,98 4,56 5,78
Muatan (kg/½hari) Defisit
Konsentrasi DO (mg/L) (5)**
Beda pasut 0.2 m: Ruas I Ruas II
Pasang surut pasang surut
Beda pasut 1 m: Ruas I Ruas II
pasang surut pasang surut
*Muatan kolom (4) adalah jumlah kolom (2) dan (3) **Konsentrasi DO= muatan kolom (4) dibagi volume kolom (1)
82
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 4.15 ini dapat dikatakan bahwa untuk mendapatkan nilai DO aktual di estuari sedikitnya pada tingkat 3 mg/L, perlu dijaga agar DO air sungai yang masuk ke estuari sedikitnya pada tingkat 5,8 mg/L. Untuk meningkatkan kandungan oksigen air sungai yang pada saat ini, berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata adalah sekitar 1 mg/L, maka perlu upaya pengurangan limbah yang masuk ke sungai sejak di bagian yang lebih hulu, terutama dari kawasan pemukiman/perkotaan.
4.12. Pembahasan umum Estuari muara Sungai Cisadane pada saat debit rendah di musim kemarau ternyata mencakup bagian sungai di muara sepanjang sekitar 12 km. Ini berarti pasang air laut masuk ke badan sungai hingga sejauh 12 km dari titik muara di pantai. Sementara, menurut Hadikusumah (2008), pada musim hujan (November 2005) air tawar sungai Cisadane mencapai sekitar titik muara di pantai. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan oksigen di estuari Sungai Cisadane di musim kemarau sangat rendah, dari kondisi hipoksia (DO ≤ 3 mg/L) hingga anoksia (tanpa oksigen).
Kondisi hipoksia cukup banyak dijumpai di perairan
estuari di berbagai belahan dunia, seperti di estuari Neuse River, North Carolina (Borsuk et al., 2001; Buzzelli et al., 2002), delta Sungai Mississippi (Rowe, 2001), estuari St. Lawrence, Kanada (Gilbert et al., 2005), estuari Sungai Seine, Perancis (Garnier et al., 2001), estuari Ems-Dollard, Jerman (Talke et al., 2009), estuari Yangtze River, Cina (Daoji et al. 2002), dan estuari Pearl River, Cina (Yin et al. 2004). Rendahnya kandungan oksigen di estuari Cisadane berhubungan dengan kandungan oksigen yang sudah sangat rendah di bagian sungai. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata kandungan oksigen terlarut di zona sungai adalah sekitar 0,98 mg/L.
Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air
Sungai Cisadane tahun 2007-2009 oleh tim yang dikoordinir oleh PUSARPEDAL (2010), kadar oksigen sungai sudah rendah (<3 mg/L) sejak di stasiun pengamatan Cikokol, kota Tangerang, sekitar 10 km ke arah hulu dari St.1 (zona sungai). Oksigen yang rendah dari sungai ini bersama-sama dengan kandungan bahan organik terbawa masuk ke perairan estuari, sehingga tanpa pasokan
83
oksigen yang cukup dari sumber lain, kandungan oksigen akan tetap rendah atau bahkan semakin berkurang. Pada berbagai studi estuari, stratifikasi termal atau stratifikasi salinitas merupakan salah satu faktor yang ikut berperan pada kondisi anoksia maupun hipoksia (Schroeder & Wiseman, 1988; Welsh & Eller, 1991; D’Avanzo & Kremer, 1994; Lin et al., 2006; Lee & Lwiza, 2008), namun hal ini tidak terjadi di estuari S. Cisadane. Hipoksia di estuari Cisadane terjadi di bagian permukaan maupun dasar, bahkan kondisi anoksia beberapa kali terjadi di bagian permukaan, walaupun perairan terstratifikasi salinitas. Faktor lain yang ikut berperan pada rendahnya kandungan oksigen terlarut di estuari Cisadane adalah rendahnya pasokan dari proses fotosintesis yang terja-di di perairan. Berdasarkan perhitungan neraca oksigen, bila pasokan oksigen ke perairan hanya berasal dari reaerasi, fotosintesis dan bawaan sungailaut, maka fotosintesis hanya berkontribusi sebesar 6% saja (Tabel 4.16). Hal ini terutama terkait dengan kekeruhan perairan yang relatif tinggi sehingga membatasi kedalaman fotosintesis. Pendekatan berdasarkan kedalaman Secchi disk menun-jukkan bahwa kedalaman fotosintesis hanya berkisar 0,24 – 1,60 m di permukaan (Lampiran 17) dibanding kedalaman rata-rata yang sekitar 5,3 m. D’Avanzo & Kremer (1994) dalam penelitiannya di Waquoit Bay dan estuari Child River, Amerika Serikat, juga menyebutkan faktor keterbatasan fotosintesis sebagai salah satu faktor penyebab hipoksia, walaupun dengan situasi yang berbeda. Di estuari Child River, nutrien yang tinggi dari pemukiman menyebabkan berkembangnya alga makro (benthic seaweed) hingga menutupi dasar perairan, sehingga fotosintesis yang terjadi di dasar perairan sangat berperan penting sebagai pemasok oksigen untuk respirasi organisme bentik yang tinggi, dan cuaca mendung berdampak pada kondisi hipoksia. Relatif tingginya amonia dibanding nitrogen terlarut lainnya, mungkin juga memberikan indikasi adanya faktor kebutuhan oksigen untuk proses nitrifikasi. Penelitian Lehman et al. (2004) di estuari sungai San Joaquin, California, yang mendapat masukan amonia dan nitrogen antara lain dari instalasi pengolahan air limbah serta sumber-sumber tak tertunjuk (nonpoint sources),
menunjukkan
kebutuhan oksigen untuk proses nitrifikasi yang tinggi, mencapai sekitar 81% dari total kebutuhan oksigen perairan.
Penelitian Garnier et al. (2001) di
estuari
Sungai Seine, Perancis, juga menunjukkan bahwa proses nitrifikasi dan respirasi
84
bakteri – benthos – fitoplankton berpengaruh besar pada neraca oksigen perairan. Lebih lanjut dikatakan bahwa faktor nitrifikasi terkait dengan dampak dari buangan domestik dan industri dari kawasan yang padat penduduk. Sebagaimana telah disebutkan, kandungan oksigen yang rendah di estuari S. Cisadane berhubungan dengan rendahnya oksigen bawaan dari sungai (karena langsung atau tidak langsung terkait dengan akumulasi bahan organik dan bahan-bahan lain yang telah terjadi selama ini) dan masih tingginya kebutuhan oksigen untuk dekomposisi bahan organik. Walaupun nilai BOD perairan estuari yang rata-rata sekitar 5 mg/L tidaklah dapat dikatakan cukup tinggi, tetapi dalam perhitungan neraca oksigen nampak bahwa muatan oksigen untuk keperluan dekomposisi (dan respirasi mikroorganisme) kolom air ini adalah yang paling berperan dalam mengkonsumsi oksigen di perairan (Tabel 4.14, kolom 3). Di sisi lain, pasokan oksigen dari proses fotosintesis dan dari reaerasi tergolong sangat rendah. Bila faktor-faktor pemasok oksigen ke perairan adalah fotosintesis, reaerasi dan bawaan sungai-laut, maka fotosintesis dan reaerasi hanya menyumbang masing-masing sebesar 6% dan 1% saja (Tabel 4.16). Tabel 4.16. Muatan oksigen dari fotosintesis dan reaerasi dan peranannya dalam memasok oksigen estuari Cisadane
Ruas I
Ruas II
pasang surut harian pasang surut harian
Persentase rata-rata
Muatan Muatan O2 dari O2 dari fotosintesis reaerasi (kg) (kg) 210 23 210 74 420 97 329 10 329 43 659 53 6%
1%
Muatan O2 bawaan Muatan O2 sungai-laut total (kg) (kg) 3582 3815 3597 3881 7179 7696 5511 5850 4379 4751 9890 10602 93 %
100 %
Dari neraca oksigen juga nampak bahwa pada dasarnya telah terjadi defisit oksigen di perairan. Bila di zona sungai pada saat ini kandungan oksigen rata-rata adalah sekitar 1 mg/L, sementara untuk memperbaiki kondisi kadar oksigen di estuari diharapkan kandungan oksigen di zona sungai adalah sebesar 5,8 mg/L, maka berarti di zona sungai terjadi defisit sebesar 4,9 mg/L atau sekitar 84%. Di zona estuari (percampuran), rata-rata oksigen adalah sebesar 1,6 mg/L
85
dengan kisaran 0,22 – 2,98 mg/L.
Bila kandungan oksigen di estuari dapat
ditingkatkan dan diper-tahankan sebesar 3 mg/L, maka terjadi defisit sebesar 1,4 mg/L atau sekitar 47% (Tabel 4.17). Kondisi kadar oksigen yang sedikit lebih baik di zona percampuran adalah karena faktor pasang air laut yang secara periodik masuk ke zona percampuran dengan kandungan oksigen yang lebih tinggi (ratarata 6,37 mg/L).
Bilamana tidak terjadi kecenderungan pendangkalan di titik
muara, besar kemungkinan lebih jauh lagi jangkauan air laut masuk ke bagian
Tabel 4.17. Defisit oksigen perairan di zona sungai dan zona percampuran (estuari) Cisadane Zona Sungai mg/L persentase
Zona Estuari mg/L persentase
Rata-rata DO saat ini
0,98
17%
1,6
53%
DO yang diharapkan
5,8
100%
3,0
100%
Defisit
4,8
83%
1,4
47%
sungai yang lebih hulu, dan peranannya semakin besar dalam memperbaiki kandungan oksigen perairan melalui oksigen bawaanya yang berkadar lebih tinggi. Rendahnya
kadar
oksigen
perairan
di
zona
sungai
dan
zona
percampuran, menyebabkan tidak adanya ikan, udang ataupun kerang-kerangan di zona tersebut, setidaknya selama periode waktu penelitian.
Walaupun
demikian, di zona laut di depan muara, terdapat kegiatan perikanan tangkap yang cukup ramai. Hal ini menunjukkan bahwa begitu masuk ke perairan laut, dengan kondisi kadar oksigen yang baik, bawaan dari sungai dan estuari yang berupa bahan organik maupun nutrien, menjadi termanfaatkan dengan baik sehingga menjadi daerah berkumpulnya ikan dan sekaligus menjadi daerah penangkapan ikan. Nilai kebutuhan oksigen biokimia (BOD) estuari yang sekitar 5 mg/L tidaklah menggambarkan jumlah bahan organik mudah urai yang ada di perairan. Hal ini karena pengukuran BOD dilakukan dengan kondisi sampel dari perairan, dengan aerasi dan pengenceran seperlunya, tanpa perlakuan penambahan benih bakteri (seeding) ataupun nutrien. Dengan demikian, nilai BOD tersebut lebih merupakan gambaran dari kemampuan perairan dalam mendegradasi bahan
86
organik, dan bukan gambaran jumlah bahan organik mudah urai yang ada. Dengan kondisi perairan yang kemungkinan juga tercemari oleh bahan-bahan anorganik, maka bisa jadi perairan mengandung bahan toksik yang menghambat jumlah dan jenis mikroorganisme dekomposer yang ada, sehingga tidak semua bahan organik mudah urai yang ada dapat terdegradasi. Sehubungan dengan ini, maka kandungan bahan organik perairan lebih tercermin dari nilai COD. Penelitian lebih lanjut mengenai kandungan bahan organik perairan dengan parameter lain, seperti TOC (total organic carbon) dan TVS (total volatile solids), akan melengkapi penelitian ini dalam kaitannya dengan perhitungan ataupun pembatasan beban organik yang masuk ke perairan. Kondisi hipoksia dan anoksia di zona percampuran (estuari) dan zona sungai Cisadane ini kemungkinan akan berulang terjadi pada tiap periode musim kemarau. Bila periode debit rendah dari sungai semakin lama, maka diperkirakan kondisi hipoksia akan semakin meluas di zona sungai, yakni semakin meluas ke arah hulu. Dampak meluasnya kondisi hipoksia ke arah laut atau perairan pantai, mungkin terjadi pada awal-awal musim hujan pada saat debit mulai tinggi dan menggelontorkan massa air yang mengalami hipoksia ke laut. Pada saat itu, area pantai sekitar muara kemungkinan berada pada kondisi terburuk, karena hampir semua air kotor sungai terbilas ke laut. Hanya saja, mungkin kondisi ini tidak berlangsung lama, mengingat muara pantai Cisadane ini adalah muara yang langsung berhadapan dengan Laut Jawa, bukan merupakan teluk, sehingga dapat dengan cepat tercampur dengan massa air laut akibat sirkulasi atau pergerakan air laut yang terjadi.
Selain itu, dengan berlanjutnya musim hujan,
diperkirakan kondisi air sungai menjadi lebih baik, tidak lagi anoksia ataupun hipoksia. Untuk memperbaiki kualitas perairan estuari, khususnya peningkatan kandungan oksigen terlarut, maka perbaikan perlu dilakukan pada zona sungai, sehingga nantinya air sungai yang masuk ke estuari membawa
kandungan
oksigen yang lebih tinggi dan kandungan bahan organik yang lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi beban pencemaran melalui antara lain pengelolaan sampah di lingkungan pemukiman maupun perkotaan agar tidak masuk dan mencemari sungai, pengoperasian instalasi pengolahan air limbah (IPAL) untuk limbah-limbah cair yang akan dibuang ke sungai, baik limbah cair industri maupun limbah cair pemukiman/perkotaan, dan penataan pemukiman atau kegiatan di bantaran sungai.
Tentu saja hal ini perlu dibarengi dengan
87
penataan kelembagaan terkait.
Dengan semakin berkurangnya beban pen-
cemaran, selain berkurangnya kandungan bahan organik,
maka kemampuan
biodegradasi perairan juga akan meningkat sehubungan dengan semakin berkurangnya bahan-bahan yang dapat menghambat proses dekomposisi aerobik oleh mikroorganisme, sehingga diharapkan kemampuan pulih diri perairan dapat berlangsung kembali dengan baik.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Perhitungan neraca kandungan oksigen terlarut di perairan estuari Sungai Cisadane menunjukkan terjadinya defisit hingga sekitar 83%.
Pasokan dari
fotosintesis dan reaerasi hanya menyumbang sekitar 6% dan 1% dari kebutuhan oksigen perairan.
Masih adanya kadar oksigen yang terukur di perairan
mengindikasikan bahwa bawaan oksigen terlarut dari laut pada saat pasang berperanan cukup besar dalam memasok oksigen perairan. Tidak terdapat pola hubungan tertentu antara kandungan oksigen terlarut dengan nilai BOD di estuari Sungai Cisadane. Konstanta laju reaksi BOD yang sangat bervariasi dari sangat rendah sampai tinggi menunjukkan keberadaan bahan organik yang juga bervariasi tingkat kemudahan biodegradasinya, selain faktor jumlah dan jenis dekomposer yang kemungkinan juga berbeda-beda. Bahan organik yang ada di perairan estuari, yang digambarkan oleh nilai BOD, nilai COD dan nilai total N organik, menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil saja yang berupa bahan organik mudah urai, dan di antara bahan organik yang mudah urai tersebut, hanya sebagian kecil saja yang berupa N-organik. Rasio nilai BOD/COD yang rendah, yang hanya sekitar 21-24%, memberikan gambaran bahwa kemampuan perairan dalam mendegradasi bahan organik yang ada juga rendah. Pada musim kemarau, zona percampuran (payau) dan zona sungai di estuari Cisadane dapat digolongkan sebagai zona kritis, sehubungan dengan kandungan oksigen terlarut yang sangat rendah, yakni hipoksia (< 3 mg/L) hingga anoksia (0 mg/L). Kandungan oksigen terlarut yang rendah tersebut terutama karena pengaruh bawaan sungai, baik berupa oksigen terlarut yang sudah sangat rendah maupun berupa bahan organik yang akan menggunakan oksigen untuk dekomposisi. Berdasarkan data yang ada, pendekatan model perhitungan neraca oksigen terlarut yang digunakan telah dapat menunjukkan peranan dari masingmasing komponen penyedia dan pengguna oksigen di perairan secara kuantitatif. Dengan pendekatan perhitungan neraca oksigen yang sama, dapat diduga kadar oksigen terlarut bawaan dari sungai yang diperlukan agar kondisi
oksigen di
estuari layak secara ekologis. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa diperlukan
90
sedikitnya kandungan oksigen terlarut dari sungai sebesar 5,8 mg/L untuk mempertahankan kadar oksigen estuari agar tidak kurang dari 3 mg/L.
5.2. Saran Dalam penelitian ini terlihat bahwa kondisi kandungan oksigen terlarut dan beban bahan organik dari sungai telah berakibat pada perairan estuari Cisadane yang kekurangan oksigen, hipoksia hingga anoksia pada waktu-waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa beban organik yang masuk ke perairan telah melebihi kapasitas asimilasi atau daya tampungnya. Selain itu juga terlihat bahwa peranan pasang air laut cukup besar dalam memasok oksigen di zona estuari atau percampuran. Walaupun demikian, pengaruh pasang dan surut ini kurang terlihat dengan jelas, terkait misalnya dengan lebih tingginya kandungan oksigen
di
bagian dasar dibanding dengan di bagian permukaan (kasus di St. 3). Sehubungan dengan ini, pengamatan secara terus menerus setiap periode pasang dan surut berturut-turut selama satu siklus pasut (satu bulan), mungkin akan memberikan hasil kondisi oksigen dan kualitas perairan estuari yang lebih baik. Penelitian lebih lanjut mengenai konstanta laju reaksi BOD perairan juga menarik untuk dilakukan terkait dengan waktu yang diperlukan bagi degradasi bahan organik mudah urai yang ada dalam rangka prediksi kapasitas asimilasi perairan.
DAFTAR PUSTAKA Abdelrasoul. 2001. A comparative study of the BOD rate constant of industrial wastewater and sewage. Di dalam: Sixth International Water Technology Conference, IWTC; Alexandria (Egypt): 2001. hlm 7. Abdo MH. 2005. Physico-chemical characteristics of Abu Za'baal ponds, Egypt. Egyptian Journal of Aquatic Research Vol. 31(2):1-15. Afdal, Riyono SH. 2008. Konsentrasi dan sebaran klorofil-a fitoplankton di Estuari Cisadane. Di dalam: Ruyitno et al., editor. Ekosistem Estuari Cisadane. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta: LIPI Press. hlm 15-26. Amon RM, Meon B. 2004. The Biogeochemistry of Dissolved Organic Matter and Nutrients in two Large Arctic Estuaries and Potential Implications for our Understanding of the Arctic Ocean System. American Geophysical Union, Fall Meeting 2004. abstr no C41A-0184. http://adsabs. harvard.edu/abs/2004AGUFM.C41A0184A [30 April 2007] Andriani. 2004. Analisis hubungan parameter fisika-kimia dan klorofil-a dengan produktivitas primer fitoplankton di perairan pantai Kabupaten Luwu [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. APHA (American Public Health Association). 2005. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 21st ed. APHA, AWWA (American Water Works Association), and WPCF (Water Pollution Control Federation). Washington, D.C. Baird RB,
Smith RK. 2002. Third Century of Biochemical Oxygen Demand. Alexan-dria (VA): Water Environment Federation.
Blauw AN, Hans FJL, Bokhorst M, Erftemeijer PLA. 2009. GEM: a generic ecological model for estuaries and coastal waters. Hydrobiologia 618:175-198. BPLH Kota Tangerang. 2010. Pemantauan Sungai Cisadane di Wilayah Kota Tangerang Tahun 2009. Presentasi Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLHD) Kota Tangerang, disampaikan pada Rapat Teknis Pemantauan Sungai Cisadane Antar Wilayah Tahun 2010 di Kota Tangerang, 27 Mei 2010. BPSDA (Balai Pengelolaan Sumber Daya Air). 2007-2008. Laporan/Data Pengalokasian debit harian Sungai Cisadane di Bendung Pasar Baru, Tangerang Tahun 2007 dan Tahun 2008. Tangerang: BPSDA Wilayah Sungai Cidurian–Cisadane, Dinas Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi Banten. Borsuk ME, Stow CA, Luettich Jr RA, Paerl HW, Pinckney JL. 2001. Modelling oxygen dynamics in an intermittenly stratified estuary: Estimation of process rates using field data. Estuarine, Coastal and Shelf Science 52: 33-49.
92
Boyd CE. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Auburn: Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University, Alabama. Boyd CE. 1998. Water quality for pond aquaculture. Research and Development Series No. 43. Auburn: International Center for Aquaculture and Aquatic Environment, Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University, Alabama. Boyd CE. 2000. Water Quality: An Introduction. Kluwer Academic Publishers. Breitburg D. 2002. Effects of hypoxia, and the balance between hypoxia and enrichment, on coastal fishes and fisheries. Estuaries 25:767-781 Breitburg DL, Adamack A, Rose KA, Kolesar SE, Decker MB, Purcell JE, Keister JE, Cowan Jr JH. 2003. The pattern and influence of low dissolved oxygen in the Patuxent River, a seasonally hypoxic estuary. Estuaries 26(2A):280–297. Buzzelli CP, Luettich RA Jr, Powers SP, Peterson CH, McNinch JE, Pinckney JL, Paerl HW. 2002. Estimating the spatial extent of bottom-water hypoxia and habitat degradation in a shallow estuary. Marine Ecology Progres Series 230:103-112. Calfarme. 2000. Biodegradation Summary. BioClean/BioPlus/BioTabs Technical Bulletin. Singapore: Calfarme. http://www.calfarme.net/biotech data.pdf [15 Juni 2010] Clark J. 1974. Coastal Ecosystems: Ecological considerations for management of the coastal zone. Washington, D.C: The Conservation Foundation. Clark JR. 1996. Coastal Zone Management Handbook. Boca Raton–Washing ton, DC: CRC Press LLC, Lewis Publishers. hlm 338 – 343. Cowan JLW, WR Boynton. 1996. Sediment-water oxygen and nutrient exchanges along the longitudinal axis of Chesapeake Bay: Seasonal patterns, controlling factors and ecological significance. Estuaries Vol. 19 (3):562-580. Cunha MA, Almeida MA, Alcântara F. 1999. Compartments of oxygen consumption in a tidal mesotrophic estuary (Ria de Aveiro, Portugal). Acta Oecologica 20 (4), 1999: 227-235. Dai M, Guo X, Zhai W, Yuan L, Wang B, Wang L, Cai P, Tang T, Cai W. 2006. Oxygen depletion in the upper reach of the Pearl River estuary during a winter drought. Marine Chemistry 102 (2006):159-169 Daoji L, Jing Z, Daji H, Ying W, Jun L. 2002. Oxygen depletion of the Changjiang (Yangtze River) Estuary. Science in China (Series D) 45 (12):11371146 Darwati. 2003. Evaluasi Program Kali Bersih (Prokasih) di Kaligarang, Semarang [tesis]. Semarang: Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. D’Avanzo C, Kremer JN. 1994. Diel oxygen dynamics and anoxic events in an eutrophic estuary of Waquoit Bay. Estuaries 17:131-139.
93
Day JW, Hall CAS, Kemp WM, Yanez-Arancibia A. 1989. Estuarine Ecology. New York: John Wiley & Sons, Inc. De Santo RS. 1978. Concepts of applied ecology. Heidelberg: Heidelberg Science Library. Springer-Verlag, New York Inc. Dyer KR. 1973. Estuaries: A Physical Introduction. London – New York: A Wiley - Interscience Publication, John Wiley & Sons. ESA. 2002. "Hypoxia." Ecological Society of America. (PDF, 4 pp, 714K). http: //www.esa.org/education_diversity/pdfDocs/hypoxia.pdf [12 Nopember 2010] France J, Thornley JHM. 1984. Mathematical models in agriculture. A quantitative approach to problems in agriculture and related science. London: Butterworth & Co. hlm 79-80. Garnier J, Servais P, Billen G, Akopian M, Brion N. 2001. Lower Seine River and Estuary (France) Carbon and Oxygen Budgets During Low Flow. Estuaries 24: 964-976 Gilbert D, Sundby B, Gobeil C, Mucci A, Tremblay G-H. 2005. A seventy-twoyear recordof diminishing deep-water oxygen in the St. Lawrence estuary: The northwest Atlantic connection. Limnol.Oceanogr. 50(5):1654-1666 Gray NF. 2004. Biology of wastewater treatment. 2nd ed. Series on Environmental Science and Mangement Vol. 4. London: Imperial College Press. Haag I, Schmid G, Westrich B. 2006. Dissolved oxygen and nutrien fluxes across the sediment-water interface of the Neckar River, Germany: in situ measurements and simulations. Water, Air, and Soil Pollution: Focus 6:413-422. Hadikusumah. 2008. Boxmodel budget air tawar dan salinitas di Estuari Cisadane. Di dalam: Ruyitno et al., editor. Ekosistem Estuari Cisadane. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta: LIPI Press. hlm 57-69. Hayakawa Y, Hayashizaki K, Watanabe K. 1999. Measurement of dissolved oxygen consumption rates by bottom sediment in estuary. Journal of National Fisheries University 48(1): 73-80. Helfinalis. 2008. Distribusi total suspensi padat (total suspended solid) dan menduga pergerakan masa air di Estuari Cisadane. Di dalam: Ruyitno et al., editor. Ekosistem Estuari Cisadane. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta: LIPI Press. hlm 97-110. Helland A, Holtan G, Jørgensen P. 2003. Riverine Inputs of Organic Carbon and Nitrogen to Norwegian Coastal Areas. AMBIO: A Journal of the Human Environment 32 (6}: 412–417. (Royal Swedish Academy of Sciences 2003). Hoitink T. 1999. Dynamics of suspended sediment in a marginal reef environment. http://www.coastalresearch.nl/banten.htm [23 Juni 2009]
94
James
A. 1984. An introduction to water quality modelling. Singapore: John Wiley & Sons.
Chichester –
Janhidros (Jawatan Hidro-oseanografi). 2007. Daftar Pasang Surut Kepulauan Indonesia Tahun 2007. Jawatan Hidro-oseanografi TNI AL, Jakarta. Janhidros (Jawatan Hidro-oseanografi). 2008. Daftar Pasang Surut Kepulauan Indonesia Tahun 2008. Jawatan Hidro-oseanografi TNI AL, Jakarta. Ji Z-G. 2008. Hydrodynamics and water quality: modeling rivers, lakes, and estuaries. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Jorgensen SE. 1988. Fundamentals of ecological modelling. Development of Environmental Modelling Series. Amsterdam – New York: Elsevier Science Publishing Company Inc. Kaban S, Prianto E, Solekha. 2010. Telaah salinitas dan oksigen terlarut di muara sungai Pantai Timur Sumatera. (Abstrak Seminar Nasional Limnologi V 2010 di IPB Internasional Convention Center, Bogor, 28 Juli 2010). Kerner M. 2000. Interactions between local oxygen deficiencies and heterotrophic microbial processes in the Elb Estuary. Limnologica 30:137-143 (Urban & Fischer Verlag) Kerner M, Edelkraut F. 1995. Decomposition of organic matter in aggregated seston from the Elbe estuary: redox dependency and production of low molecular weight DOC compounds. Marine Ecology Progress Series Vol. 123: 281-293, 1995. Krebs JC. 1990. Ecological Methodology. New York: Harper & Row. Kunarso DH, Darmayati Y, Nuchsin R. 2008. Kajian bakteri produktiviti di Estuari Cisadane. Di dalam: Ruyitno et al., editor. Ekosistem Estuari Cisadane. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta: LIPI Press. hlm 27-38. Lafont M. 2001. A conceptual approach to the biomonitoring of freshwater: the Ecological Ambience System. Di dalam: Ravera O, editor. Scientific and legal aspects of biological monitoring in freshwater. J. Limnol., 60 (Suppl. 1): 17-24. Lee YJ, Lwiza KMM. 2008. Characteristics of bottom dissolved oxygen in Long Island Sound, New York. Estuarine, Coastal and Shelf Science 76:187-200 Lehman PW, Sevier J, Giulianotti J, Johnson M. 2004. Sources of oxygen demand in the Lower San Joaquin River, California. Estuaries 27(3):405-418. Lin J, Xie L, Pietrafesa LJ, Shen J, Mallin MA, Durako MJ. 2006. Dissolved oxygen stratification in two micro-tidal partially-mixed estuaries. Estuarine, Coastal and Shelf Science 70: 423-437 Lowery TA. 1998. Modelling estuarine eutrophication in the context of hypoxia, nitrogen loadings, stratification, and nutrient ratios. Journal of Environmental Management 52 (3):289-305
95
Madubun U. 2008. Produktivitas primer fitoplankton dan kaitannya dengan unsur hara dan cahaya di perairan Muara Jaya Teluk Jakarta [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Malina JF. 1996. Water Quality. Di dalam: Mays LW, editor. Water Resources Handbook. New York – Singapore: McGraw-Hill Companies, Inc. hlm 8.1 – 8.49. Mangkoedihardjo S. 2006. Biodegradability improvement of industrial wastewater using hyacinth. Journal of Applied Sciences 6(6):1409-1414 Mara DD. 1976. Sewage treament in hot climates. London – New York: A WileyInterscience Publication, John Wiley & Sons, Ltd. Martinotti W, Camusso M, Guzzi L, Patrolecco L, Pettine M. 1997. C, N and their stable isotopes in suspended and sedimented matter from the PO estuary (Italy). Journal of Water, Air, & Soil Pollution 99 (1-4), October 1997. Matson EA, Brinson MM. 1990. Stable carbon isotopes and the C:N ratio in the estuaries of the Pamlico and Neuse Rivers, North Carolina. Journal of Limnology and Oceanography 35(6):1290-1300. McGhee TJ. 1991. Water supply and sewerage. 6th ed. McGraw-Hill International Edition series in water resources and environmental engineering. New York – Singapore: McGraw-Hill, Inc. Metcalf & Eddy. 1991. Wastewater Engineering: treatment, disposal, reuse. Metcalf & Eddy Inc. 3rd ed. (Revisi oleh: G. Tchobanoglous dan F.L. Burton). New York – Singapore: McGraw-Hill, Inc. Middelburg JJ, Nieuwenhuize J. 1998. Carbon and nitrogen stable isotopes in suspended matter and sediments from the Schelde Estuary. Marine chemistry (Mar. chem.) 60(3-4):217-225. Millero FJ, Sohn ML. 1992. Chemical Oceanography. Bocca Raton – Ann Arbor – London: CRC Press Inc. Mishima Y, Hoshika A, Tanimoto T. 1999. Deposition Rates of Terrestrial and Marine Organic Carbon in the Osaka Bay, Seto Inland Sea, Japan, Determined Using Carbon and Nitrogen Stable Isotope Ratios in the Sediment. Journal of Oceanography 55:1 – 11. Mohamed M. 2003. Measurements of sediment oxygen demand (SOD) in situ measuring chamber and its applications for stream water quality modeling and aquaculture management. Institute of Environmental and Water Resource Management, Universiti Teknologi Malaysia. http://eprints.utm.my/5224/ [24 Juni 2009]. Muchtar M, Simanjuntak M. 2008. Karakteristik dan fluktuasi zat hara fosfat, nitrat dan derajad keasaman (pH) di Estuari Cisadane pada musim yang berbeda. Di dalam: Ruyitno et al., editor. Ekosistem Estuari Cisadane. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta: LIPI Press. hlm 139-148.
96
NOAA. 1998. State of The Coast Report: Oxygen depletion in coastal waters. http://state-of-the-coast.noaa/gov/ [10 Mei 2010]. Nontji A. 1984. Biomassa dan produktivitas fitoplankton di perairan Teluk Jakarta serta kaitannya dengan faktor-faktor lingkungan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Nurhayati, Suyarso. 2008. Penyebaran turbiditas di perairan Estuari Cisadane. Di dalam: Ruyitno et al., editor. Ekosistem Estuari Cisadane. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta: LIPI Press. hlm 111-122. O’Connor DJ, Dobbins WE. 1958. Mechanism of reaeration in natural streams. Transactions ASCE, 123:641-684. Oke IA, Olarinoye NO, Olajumoke AM, Oladepo KT. 2006. A Novel Statistical Method for Determining Parameters in BOD Kinetic. Journal of Applied Sciences Research, 2(8): 503-509. Ongkosongo. 1980. The oceanographic features of the coastal region between Jakarta and Cirebon: Geology. Di dalam: Bird ECF, Soegiarto A, editor. Proceedings of the Jakarta workshop on coastal resources management. The Indonesian Institute of Sciences (LIPI) - The United Nations University, 11-15 September 1979. Orhon D, Cokgor EU. 1997. COD fractionation in wastewater characteristization: the state of the art. J. Chem. Tech. Biotechnol., 68 (3):283-293. Papadopoulos A, Parissopoulos G, Papadopoulos F, Karteris A. 2001. Variations of COD/BOD5 ratio at different units of a wastewater stabilization pond pilot treatment facility. Di dalam: 7th International Conference on Environmental Science and Technology Ermoupolis, Syros Island (Yunani), Sept. 2001. hlm 369-376 Peirson WL, Bishop K, Van Senden D, Horton PR, Adamantidis CA. 2002. Environmental Water Requirements to Maintain Estuarine Processes. School of Civil and Environmental Engineering, University of New South Wales. Technical Report Number 3, Environment Australia, April 2002. (http://www.environment.gov.au/
water/rivers/nrhp/estuarine/chapter5.html).
Peňa MA, Katsev S, Oguz T, Gilbert D. 2010. Modelling dissolved oxygen dynamics and hypoxia. Biogeosciences 7:933-957. Polii B. 1994. Kajian konsep pengukuran BOD sebagai indikator pendugaan pencemaran bahan organik di perairan daerah tropis [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. PUSARPEDAL. 2010. Pelaksanaan Pemantauan Cisadane Antar Wilayah Tahun 2010. Presentasi disampaikan pada Rapat Teknis Pemantauan Sungai Cisadane Antar Wilayah Tahun 2010 di Kota Tangerang, 27 Mei 2010. Radwan M, Willems P, El-Sadek A, Berlamont J. 2003. Modelling of dissolved oxygen and biochemical oxygen demand in river water using a detailed and a simplified model. Intl. J. River Basin Management 1(No.2):97–103.
97
Riley JP, Skirrow G. 1975. Chemical oceanography. 2nd Ed. London: Academic Press. Rochyatun E. 1994. Kandungan oksigen terlarut (DO) dan oksigen kimiawi (COD) di perairan muara Sungai Bengawan Solo dan Kali Porong, tahun 1992-1993. Di dalam: Hasil-hasil penelitian oseanologi tahun 19921993. Proyek Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut. Jakarta: P3O-LIPI. hlm 147-154. Rochyatun E. 1996. Pengamatan oksigen kimiawi (COD) dan oksigen terlarut (DO) di perairan muara Sungai Bengawan Solo dan Kali Porong. Di dalam: Inventarisasi dan evaluasi lingkungan pesisir, oseanologi, biologi dan ekologi. Jakarta: P3O-LIPI. hlm 125-130. Rochyatun E, Susana T. 1998. Kualitas lingkungan muara Cisadane dan Cengkareng Drain ditinjau dari kondisi oksigen terlarut. Jakarta: P3O-LIPI. hlm 19-24. Rojas N, Silva N. 2005. Early diagenesis and vertical distribution of organic carbon and total nitrogen in recent sediments from southern Chilean fjords (Boca del Guafo to Pulluche Channel). Invest. Mar., Valparaíso, Chile 33(2):183-194. Rowe GT. 2001. Seasonal hypoxia in the bottom water of The Mississippi River Delta. J. Environ. Qual. 30:281-290. Ruyitno, Syahailatua A, Muchtar M, Pramudji, Sulistijo, Susana T. 2008. Ekosistem Estuari Cisadane. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta: LIPI Press. Schroeder WW, Wiseman Jr WJ. 1988. The Mobile Bay estuary: Stratification, oxygen depletion, and jubilees. Di dalam: Kjerfve B, editor. Hydrodynamic of Estuaries, Vol. II, Estuarine Case Studies. Boca Raton (Florida): CRC Press. hlm 41-52. Sharp JH. 2010. Estuarine oxygen dynamics: What can we learn about hypoxia from long-time records in the Delaware Estuary? Limnol. Oceanogr. 55(2):535–548 Singh
B. 2004. Determination of BOD kinetic parameters and evaluation of alternate methods [tesis]. Patiala (India): Thapar Institute of Engineering & Technology.
Sunarto.
2001. Pola hubungan intensitas cahaya dan nutrien dengan produktivitas primer fitoplankton di Teluk Hurun, Lampung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Talke SA, de Swart HE, de Jonge VN. 2009. An idealized model and systematic process study of oxygen depletion in highly turbid estuaries. Estuaries and Coasts 32:602-620 Tambaru R. 2000. Pengaruh intensitas cahaya pada berbagai waktu inkubasi terhadap produktivitas primer fitoplankton di perairan Teluk Hurun [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
98
Tarigan MS. 2008. Ujicoba digitalisasi pemetaan sebarankonsentrasi klorofil-a, transparansi dan seston di Estuari Cisadane. Di dalam: Ruyitno et al., editor. Ekosistem Estuari Cisadane. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta: LIPI Press. hlm 39-56. Teague KG, CJ Madden, JW Day. 1988. Sediment-water oxygen and nutrient fluxes in a river-dominated estuary. Estuaries Vol. 11 (1):1-9. TKCM 2005. The Cisadane River. TKCM (Tirta Kencana Cahaya Mandiri) – Water Management and Services. http://www.tkcmindonesia.com/ english/ river.html [18 September 2006]. Umaly CR, Cuvin MLA. 1988. Limnology, Laboratory and field guide, PhysicoChemical factors, Biological factors. Metro Manila: National Book Store, Inc. US EPA. 1998. Hypoxia 101. U.S. EPA Office of Wetlands, Oceans, and Watersheds http://water.epa.gov/type/watersheds/named/msbasin/ hypoxia101.cfm [10 Mei 2010]. Vallino JJ, Hopkinson CS, Garritt RH. 2005. Estimating estuarine gross production, community respiration and net ecosystem production: a nonlinear inverse technique. Ecological Modelling 187:281-296 Vaquer-Sunyer R, Duarte CM. 2008. Thresholds of hypoxia for marine biodiversity. The National Academy of Sciences, USA. PNAS 105(40):15452-15457. Veritya PG.
2002. A Decade of Change in the Skidaway River Estuary. II. Particulate Organic Carbon, Nitrogen, and Chlorophyll a. Estuaries 25 (5):961–975 [terhubung berkala].
Ward GH, Montague CL. 1996. Estuaries. Di dalam: Mays LW, editor. Water Resources Handbook. New York – Singapore: McGraw-Hill Companies, Inc. hlm 12.1 – 12.114. Web-1. Organic matter decomposition. http://forest.mtu.edu/classes/fw5350/om_ decomposition/slide25.html [18 September 2006]. Webster I, Atkinson I, Radke L. 2010. Salinity. OzCoasts – Australian online Coastal information. http://www.ozcoasts.org.au/indicators/salinity. jsp [6 Februari 2010]. Weiner ER. 2008. Applications of Environmental Aquatic Chemistry: A practical guide. 2nd ed. Boca Raton-London-New York: CRC Press. Welsh BL, Eller FC. 1991. Mechanisms controlling summertime oxygen depletion in western Long Island Sound. Estuaries 14:265-278. Wood LB, Sheldon D. 1980. Water Quality Control. Di dalam: Gower AM, editor. Water Quality in Catchment Ecosystems. Chichester – New York: John Wiley & Sons Ltd. hlm 193-241. Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of Southeast Asian Waters. NAGA Report,vol.2. La Jolla, California: Scripps Institution of Oceanography.
99
Yin K, Lin Z, Ke Z. 2004. Temporal and spatial distribution of dissolved oxygen in the Pearl River estuary and adjacent coastal waters. Elsevier. Continental Shelf Research 24: 1935-1948. Zheng L, Chen C, Zhang FY. 2004. Development of water quality model in the Satilla River Estuary, Georgia. Ecological Modelling 178:457-482.
103
Lampiran 1. Sebaran salinitas di muara S. Cisadane pada saat pasang (atas) dan surut (bawah) pada musim kemarau 2007 dan 2008
A. Kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 22 September 2007
B. Kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 6 Oktober 2007
104
Lampiran 1. (lanjutan)
C. Kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 20 Oktober 2007
D. Kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 26 Juni 2008
105
Lampiran 1. (lanjutan)
E. Kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 19 Juli 2008
F. Kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 6 Agustus 2008
106
Lampiran 2. Sebaran suhu di muara S. Cisadane berdasarkan pengamatan di keempat stasiun pada saat pasang dan surut
A. Kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 22 September 2007
B. Kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 26 September 2007
107
Lampiran 2. (lanjutan)
C. Kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 20 Oktober 2007
D. Kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 26 Juni 2008
108
Lampiran 2. (lanjutan)
E. Kondisi pasang (atas) dan surut (bawah) pada tanggal 6 Agustus 2008
LAMPIRAN
109
Lampiran 3. Debit S. Cisadane bagian hilir pada musim kemarau tahun 2007 (kiri, Agustus, September, Oktober) dan musim kemarau 2008 (kanan, Juni, Juli, Agustus)
m3/dt
DEBIT S. CISADANE HILIR - AGUSTUS 2007
DEBIT S. CISADANE HILIR - JUNI 2008
m3/dt 200
200
150
150 100
100
50
50 0
0 0
5
10
15
20
25
0
30
5
10
-50
-50
20
25
30
25
30
TANGGAL 1 - 30
TANGGAL 1 - 31
*debit minimum : 0.52 m3/dt m3/dt 300
15
*debit minimum : 0.0 m3/dt
DEBIT S. CISADANE HILIR - SEPTEMBER 2007
DEBIT S. CISADANE HILIR - JULI 2008
m3/dt 200
250
150
200 100
150 100
50
50 0
0 -50
0
5
10
15
20
25
30
0
5
10
-50
m3/dt 200
*debit minimum: 0.52 m3/dt
DEBIT S. CISADANE HILIR - OKTOBER 2007
DEBIT S. CISADANE HILIR - AGUSTUS 2008
m3/dt 200
150
150
100
100
50
50 0
0 0
-50
20
TANGGAL 1 - 31
TANGGAL 1 - 30
*debit minimum: 0.53 m3/dt
15
5
10
15
20
25
0
30
-50
TANGGAL 1 - 31
*debit minimum: 0.53 m3/dt
5
10
15
20
25
TANGGAL 1 - 31
*debit minimum: 0.0 m3/dt
(Sumber: Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Cidurian – Cisadane, Dinas Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi Banten; data limpasan + bocoran Bendung Pasar Baru, 2007, 2008 )
30
110
Lampiran 4. Kandungan oksigen (DO) di tiap stasiun pengamatan pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan) di bagian permukaan (atas) dan dasar (bawah) di estuari S. Cisadane
Pasang
Surut
mg/L
Pasang permukaan
mg/L
6,00
22-Sep-07
6,00
5,00
23-Sep-07
26-Sep-07
5,00
4,00
4,00
27-Sep-07
6-Okt-07
3,00
20-Okt-07
3,00
2,00
26-Jun-08
2,00
19-Jul-08
1,00
8,00 7,00
1,00 0,00 St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
mg/L
8,00 7,00 6,00
0,00
Pasang dasar
mg/L
22-Sep-07
6,00
6-Okt-07
4,00
20-Okt-07
3,00
26-Jun-08
2,00
19-Jul-08
1,00
6-Agt-08
0,00 St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
7,00
6-Agt-08
26-Sep-07
5,00
Surut permukaan
8,00
6-Okt-07 21-Okt-07 26-Jun-08 21-Jul-08 St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
7-Agt-08
Surut dasar
8,00 7,00
23-Sep-07 27-Sep-07
5,00
6-Okt-07
4,00
21-Okt-07
3,00
26-Jun-08
2,00
21-Jul-08
1,00
7-Agt-08
0,00 St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
111
Lampiran 5. Nilai BOD3 tiap stasiun pengamatan pada saat pasang (kiri) dan surut (kanan) di bagian permukaan (atas) dan dasar (bawah) di estuari S. Cisadane
Pasang
Surut
mg/L
Pasang permukaan
14,0 12,0
22-Sep-07
10,0
26-Sep-07
8,0
6-Okt-07
6,0
20-Okt-07
4,0
26-Jun-08
2,0
21-Jul-08
0,0 St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
mg/L
6-Agt-08
Pasang dasar
14,0 12,0
22-Sep-07
10,0
26-Sep-07
8,0
6-Okt-07
mg/L
Surut permukaan
14,0 12,0 10,0
23-Sep-07
8,0
27-Sep-07 6-Okt-07
6,0
21-Okt-07
4,0
26-Jun-08
2,0
19-Jul-08
0,0 St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
mg/L
7-Agt-08
Surut dasar
14,0 12,0
23-Sep-07
10,0
27-Sep-07
8,0
6-Okt-07
6,0
20-Okt-07
6,0
21-Okt-07
4,0
26-Jun-08
4,0
26-Jun-08
2,0
21-Jul-08
2,0
19-Jul-08
0,0
6-Agt-08
0,0
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
7-Agt-08 St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
112
Lampiran 6. Nilai BOD3 dan kandungan oksigen (DO) tiap pengamatan pada ketiga bagian estuari, St. 1 (sungai), St. 2 & St. 3 (percampuran), dan laut (St. 4) di muara Cisadane
St. 1 - Pasang
mg/L 14,00
DO
12,00
BOD
mg/L 14,00 10,00
8,00
8,00
6,00
6,00
4,00
4,00
2,00
2,00
0,00
0,00
mg /L
St. 2 dan St. 3 - Pasang DO
10,00
St. 2 dan St. 3 - Surut
12,00
DO
BO D
BO D
10,00
8,00
8,00
6,00
6,00
4,00
4,00
2,00
2,00
0,00
0,00 1
mg/L 12,00
BOD
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
mg /L
DO
12,00
10,00
12,00
St. 1 - Surut
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27
St. 4 - Pasang
DO
BOD
1
mg/L 12,00
10,00
10,00
8,00
8,00
6,00
6,00
4,00
4,00
2,00
2,00
0,00
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27
St. 4 - Surut
DO
BOD
0,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
113
Lampiran 7. Laju reaksi BOD3 (k-BOD) dan BOD ultimate di bagian sungai (St.1), bagian percampuran (St. 2 dan St. 3) dan di bagian laut (St. 4) di estuari Cisadane Lokasi
Kisaran k-BOD (per hari)
k-BOD rata-rata
0,10 - 0,48 0,07 - 0,43 0,02 - 0,41 0,08 - 0,50 0,01 - 0,89 0,05 - 0,48 0,02 - 0,56 0,21 - 0,59
Pasang St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 Surut St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 Permukaan St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 Dasar St. 1 St. 2 St. 3 St. 4
SD
Kisaran BODu (mg/L)
BODu (mg/L)
0,20 0,24 0,24 0,21
0,14 0,14 0,14 0,15
7,8 - 52,2 3,2 - 30,6 4,4 - 54,8 1,6 - 18,6
24,6 ± 16,7 15,2 ± 9,7 16,9 ± 19,0 8,9 ± 6,2
0,42 0,21 0,19 0,40
0,43 0,16 0,22 0,15
5,4 - 105,5 9,9 - 61,4 5,9 -54,4 6,0 - 25,8
39,0 ± 47,2 23,0 ± 20,0 32,6 ± 20,6 9,8 ± 7,8
0,01 - 0,86 0,05 - 0,27
0,22 0,15
0,32 0,09
7,5 - 105,5 10,2 - 61,4
34,0 ± 39,0 25,8 ± 18,7
0,02 - 0,56 0,10 - 0,59
0,21 0,36
0,22 0,18
6,0 - 54,8 3,7 - 25,8
33,0 ± 23,5 10,3 ± 8,1
0,06 - 0,89 0,06 - 0,48 0,05 - 0,38 0,08 - 0,56
0,40 0,30 0,23 0,25
0,34 0,15 0,13 0,17
5,4 - 94,0 3,2 - 28,1 4,4 - 43,0 1,6 - 18,6
29,6 ± 33,2 12,5 ± 8,6 16,4 ± 14,7 8,4 ± 5,7
Lokasi St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 1 St. 2 St. 3 St. 4
Permk Dasar Permk Dasar Permk Dasar Permk Dasar Permk Dasar Permk Dasar Permk Dasar Permk Dasar
Kisaran k-BOD (per hari) 0,10 - 0,17 0,11 - 0,48 0,07 - 0,21 0,31 - 0,43 0,02 - 0,41 0,24 - 0,35 0,10 - 0,50 0,08 - 0,22 0,01 - 0,86 0,06 - 0,89 0,05 - 0,27 0,06 - 0,48 0,02 - 0,56 0,05 - 0,38 0,32 - 0,59 0,21 - 0,56
k-BOD rata-rata (per hari) 0,14 0,25 0,12 0,35 0,20 0,28 0,28 0,14 0,30 0,54 0,17 0,24 0,22 0,17 0,45 0,36
SD 0,04 0,20 0,07 0,07 0,20 0,06 0,20 0,07 0,48 0,43 0,11 0,21 0,30 0,18 0,13 0,18
Kondisi Pasang Pasang Pasang Pasang Surut Surut Surut Surut
114
Lampiran 8. Hasil pengamatan degradasi sedimen di laboratorium, kandungan oksigen terlarut (DO) pada setiap waktu pengamatan pada sampel air dan sampel sedimen dan air di akuarium yang berasal dari St. 2 dan St. 3. estuari Cisadane DO pada Perlakuan 1 - St. 2
7
1 2 3
6 4 3 2 1
1 2 3
6 5 4 3 2 1
0 0
24
48
60
72
78
Jam ke
84
90
93
96
DO pada Perlakuan 2 - St. 2
8
0 0
24
1 2 3
6
48
60
72
78
Jam ke
84
90
93
96
DO pada Perlakuan 2 - St. 3
8
7
7
1 2 3
6 5
5
4
4
3
3 2
2
1
1 0
0 0
24
48
60
72
78
Jam ke
84
90
93
0
96
DO pada Perlakuan 3 - St. 2
8 7
1 2 3
6 5 4 3
24
48
60
72
78
Jam ke
84
90
93
96
DO pada Perlakuan 3 - St. 3
8 7
DO (mg/L)
DO (mg/L)
7
DO (mg/L)
DO (mg/L)
5
DO (mg/L)
DO pada Perlakuan 1 - St. 3
8
DO (mg/L)
8
1 2 3
6 5 4 3
2
2
1
1 0
0 0
24
Keterangan:
48
60
72
78
Jam ke
84
90
93
96
0
24
48
60
72
Perlakuan 1= air sampel tanpa sedimen Perlakuan 2= air sampel dan sedimen tanpa diaduk Perlakuan 3= air sampel dan sedimen diaduk
78
Jam ke
84
90
93
96
115
Lampiran 9. Tabel sidik ragam percobaan degradasi bahan organik sedimen dengan Rancangan Acak Bersarang (Nested design) dan uji lanjut BNT Analisis sidik ragam pada Rancangan Acak Bersarang: Sumber Keragaman Perlakuan Induk (P) Anak Perlakuan (K) Perlakuan Sisa (S) Total
db (derajat bebas)
JK (jumlah kuadrat)
KT (kuadrat tengah)
F Hit
F Tab
i-1
JKP
KTP
KTP/KTS
F(0,05;dbp;dbs)
j-1
JKK
KTK
KTK/KTS
(ij-1)-(i-1)-(j-1) ij-1
JKS JKT
KTS
Sumber Keragaman Perlakuan Induk (P) Anak Perlakuan (K) Perlakuan Sisa (S) Total
db (derajat bebas)
JK (jumlah kuadrat)
KT (kuadrat tengah)
F Hit
F Tab
1
0,500
0,191
0,0495
2,927
4
40,393
10,098
2,615
2,035
18 23
69,516 110,408
3,862
Formula untuk uji BNT (Beda Nyata Terkecil):
Stasiun 2: Perlakuan 1 2 3
(tα/2,dbs) . ( 2
)
1
2
3
0 2,975 2,567
0 0,408
0
1
2
3
0 2,517 2,450
0 0,067
0
BNT= 2,341
Stasiun 3: Perlakuan 1 2 3 BNT= 2,341
116
Lampiran 10. Tekstur (atas) dan tipe (bawah) sedimen zona percampuran (St. 2 dan St. 3) estuari Cisadane
St. 2
liat 53,07%
St. 2
pasir 12,33%
St. 3
debu liat 34,6% 45,57%
St. 3
*Gambar segitiga tanah dari www.eslarp.uiuc.edu/la/LA437-F94/soils/texture
pasir 6,72%
debu 47,71%
117
Lampiran 11. Kondisi kualitas air estuari Cisadane pada saat pengamatan produktivitas primer (2008)
Parameter o
Juni St. 1 St. 2
Juli St. 1
St. 2
Agustus St. 1 St. 2
Temperatur ( C)
28
31
26
27,5
24
26
Kecerahan (cm)
32,5
80
12
17
75
75
Kekeruhan (NTU)
7
6
48
35
11
7.5
TSS (mg/L)
12
11
61
34
10
7
Salinitas (%o)
1,2
3,0
0,5
1,3
2,4
4,5
7
7
6,5
6,5
7
7
DO (mg/L) BOD (mg/L) COD (mg/L) NO2-N (mg/L)
1,26 6,11 73,42 0,242
1,79 7,16 16,86 0,013
3,58 6,12 105,75 0,045
2,48 5,72 65,34 0,067
2,58 4,31 24,94 0,092
2,74 5,09 41,10 0,200
NO3-N (mg/L) Amonia total (mgN/L) Klorofil a (µg/L)
0,801
0,741
0,550
0,611
1,469
1,122
1,094 8,010
1,384 2,670
0,688 1,068
0,609 4,272
0,711 4,272
0,814 16,020
pH
118
Lampiran 12. Nilai BOD dan nilai COD tiap pengamatan pada ketiga bagian estuari, St. 1 (sungai), St. 2 & St. 3 (payau), dan laut (St. 4) di muara Cisadane mg/L 120 100 80
St. 1 - Pasang
mg/L 160
COD BOD
120
60
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
100
St. 2 dan St. 3 - Pasang COD
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
mg/L BOD
120 100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
mg/L 120 100 80
BOD
40
20
120
COD
80
40
mg/L
St. 1 - Surut
St. 4 - Pasang COD BOD
COD
BOD
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
mg/L 120 100 80
60
60
40
40
20
20
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
St. 2 dan St. 3 - Surut
St. 4 - Surut COD BOD
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
119
Lampiran 13. Nilai pH perairan tiap pengamatan pada ketiga bagian estuari, St.1 (sungai), St. 2 & St. 3 (payau), dan St. 4 (laut) di estuari Cisadane
8.00
pHperairan-St. 1
5.00 4.00
8.00
St. 1permk-pas St. 1dasar-pas St. 1permk-sur St. 1dasar-sur
pHperairan- St. 3
5.00 4.00
6.00 5.00 4.00
9.00
St. 2permk-pas St. 2dasar-pas St. 2permk-sur St. 2dasar-sur
pHperairan- St. 4
8.00
7.00 6.00
pHperairan-St. 2
7.00
7.00 6.00
8.00
7.00
St. 3permk-pas St. 3dasar-pas St. 3permk-sur St. 3dasar-sur
6.00 5.00 4.00
St. 4permk-pas St. 4dasar-pas St. 4permk-sur St. 4dasar-sur
120
Lampiran 14. Kandungan N-organik (), nitrogen terlarut (DIN) () dan amonia total () tiap pengamatan pada ketiga bagian estuari, St. 1 (sungai), St. 2 & St. 3 (payau), dan laut (St. 4) di muara Cisadane Pasang mg/L 5,0 4,0
Surut
St. 1 DIN
Amonia
N-org
mg/L 5,0
3,0
2,0
2,0
1,0
1,0
0,0
0,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27
3,0
N-org
St. 2 dan St.3
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 mg/L 4,0
St. 4
Amonia
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
mg/L 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0
St. 2 dan St.3
mg/L 4,0
DIN
4,0
3,0
mg/L 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0
St. 1
St. 4
3,0 DIN
Amonia
N-org
DIN
2,0
2,0
1,0
1,0
0,0
0,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Amonia
N-org
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
121
Lampiran 15. Nilai BOD dan kandungan nitrogen organik (N-org) tiap pengamatan pada ketiga bagian estuari, St. 1 (sungai), St. 2 & St. 3 (payau), dan laut (St. 4) di muara Cisadane
15,00 12,00
St. 1 - Pasang
15,00
BOD N-org
12,00
9,00
9,00
6,00
6,00
3,00
3,00
0,00
0,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
12,00 10,00
St. 2 dan St. 3 - Pasang BOD
N-org
12,00 10,00 8,00
6,00
6,00
4,00
4,00
2,00
2,00
0,00
0,00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27
10,00 8,00
St. 4 - Pasang BOD
10,00 8,00
6,00
6,00
4,00
4,00
2,00
2,00
0,00
0,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
St. 2 dan St. 3 - Surut BOD
N-org
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27
12,00 N-org
BOD N-org
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
8,00
12,00
St. 1 - Surut
St. 4 - Surut BOD
N-org
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
122
Lampiran 16. Beban organik total (kg COD/hari) dari bagian sungai (St. 1) di estuari Cisadane pada beberapa kondisi debit sungai di musim kemarau COD rata2 Beban pada debit rendah
51,79 mg/L 3
0.54 m /dt :
2416 kg/hari
3
Beban pada debit sedang
40 m /dt : 178986 kg/hari
Beban pada debit tinggi
60 m3/dt : 268479
COD rendah Beban pada debit rendah Beban pada debit sedang Beban pada debit tinggi
6,03
mg/L
3
281 kg/hari
3
20840 kg/hari
3
31260 kg/hari
0.54 m /dt : 40 m /dt : 60 m /dt :
COD tinggi Beban pada debit rendah
kg/hari
159,54 mg/L 3
0.54 m /dt :
7443 kg/hari
3
Beban pada debit sedang
40 m /dt : 551370 kg/hari
Beban pada debit tinggi
60 m3/dt : 827055 kg/hari
123
Lampiran 17. Perhitungan neraca oksigen: Penentuan muatan oksigen terlarut dari fotosintesis (MOfo) P E N E N TU A N M U A TA N O K S IG E N TE R L A R U T D A R I F O TO S IN TE S IS H a sil pe nga m a ta n pro duktiv ita s prim e r di dua sta siun pe nga m a ta n e stua ri S. C isa da ne P ro duktiv ita s prim e r be rsih (N P P ) R a ta - ra ta L o ka si (m gO 2 /L /4 ja m ) (Juni & A gt) Juni Juli A gustus (m g O 2 /L /4 ja m ) St. 2 d1 1 ,2 2 0 ,5 8 1 ,0 0 1 ,1 1 0 d2 0 ,6 3 0 ,7 4 0 ,6 8 5 St. 3 d1 0 ,9 4 0 ,6 4 3 ,3 7 2 ,1 5 5 d2 0 ,6 3 1 ,6 8 1 ,1 5 5
R a ta - ra ta pe r sta siun (m g O 2 /L /4 ja m )
0 ,9 0 1 ,6 6
P ro duktiv ita s prim e r be rsih (N P P ) S t. 2 S t. 3 0 ,3 2 0 ,5 8 0 ,9 0 1 ,6 6 0 ,3 6 0 ,6 6 1 ,5 8 2 ,9 1
Inte nsita s pe ny ina ra n m a ta ha ri (% )* pa gi 4 ja m 35% sia ng 4 ja m 100% so re 4 ja m 40% P ro duktiv ita s prim e r pe r sta siun (m gO 2 /L /ha ri) =
Ca ta ta n : * B e rda s a rka n da ta B a da n M e te orolog i da n G e ofis ika (2 0 0 8 ) pa da nom or s ta s iun 9 6 7 4 9
D e nga n pe nde ka ta n ba hw a di ke da la m a n Se c c hi (Sd) inte nsita s c a ha y a a da la h 1 0 % (http:// lim nolog y.w is c .e du/c ours e s /zoo3 1 6 /R E V IE W % 2 0 O F% 2 0 A % 2 0 FE W % 2 0 M A JO R % 2 0 C O N C E P T S.htm l)
de nga n pe rsa m a a n L a m be e rt- B e e r te nta ng ra dia si a ktif f o to sinte sis (P A R ): I z = I o .e (D e v lin e t a l. 2 0 0 8 ) a ka n da pa t dite ntuka n nila i ko nsta nta pe re dupa n c a ha y a K d
-K dz
I z = I o .e - K d z
-K z 1 0 % = 1 0 0 % e -K d z 0 .1 = 1 e d L n 0 .1 = -K d z 2 .3 = -K z z = 2 .3 /K d d
→
K d = 2 .3 / z
U ntuk I z = 1 %
L n 0 .0 1 = - K d z
z = Sd (m ) 0 ,1 2 0 ,1 7 0 ,3 3 0 ,7 5 0 ,8 0 R a ta - ra ta =
Kd 1 9 ,1 6 7 1 3 ,5 2 9 6 ,9 7 0 3 ,0 6 7 2 ,8 7 5
- 4 .6 0 5 2 = - K d z z 1 % (m ) 0 ,2 4 0 ,3 4 0 ,6 6 1 ,5 0 1 ,6 0 1 ,0 3
z 1 % = 4 .6 0 5 2 / K d
z 1 % (c m ) 24 34 66 150 160 ← ke da la m a n ra ta - ra ta f o to sinte sis
D e nga n ke da la m a n ra ta - ra ta f o to sinte sis se be sa r 1 ,0 3 m te rse but, diguna ka n untuk m e nghitung be ba n m a suka n O 2 da ri pro se s f o to sinte sis: P e rhitunga n v o lum e pe r rua s: ru a s I ( S t. 2 ) ru a s II ( S t. 3 ) L e ba r sunga i
P a nja ng (m ) 5050 4300 5 1 ,1
L ua s (m 2 ) 258055 219730
P e rhitunga n m ua ta n (lo a d) da ri f o to sinte sis (M O - f o ): m gO 2 /L /ha ri R u a s I ( S t. 2 ) R u a s II ( S t. 3 ) R u a s e stu a ri ( I + II)
f o to sinte sis 1 ,5 8 2 ,9 1
v o l (m 3 ) 2 6 5 7 9 6 ,7 2 2 6 3 2 1 ,9
da la m (m ) 1 ,0 3 1 ,0 3
v o l (m 3 ) 2 6 5 7 9 6 ,7 2 2 6 3 2 1 ,9
Load
Load
Load
g/ha ri 419959 658597
kg/ha ri 4 1 9 ,9 6 6 5 8 ,6 0 1 0 7 8 ,5 6
kg/½ ha ri 2 0 9 ,9 8 3 2 9 ,3 0 5 3 9 ,2 8
M ua ta n m a suka n o ksige n da ri f o to sinte sis (M O - f o ) pe r pe rio de pa sa ng a ta u surut: R u a s I ( S t. 2 ) : 2 0 9 ,9 8 kg/½ ha ri R u a s II ( S t. 3 ) : 3 2 9 ,3 0 kg/½ ha ri
124
Lampiran 18. Perhitungan neraca oksigen: Penentuan muatan oksigen terlarut dari reaerasi atau difusi (MOdif) PENENTUAN KONSENTRASI DAN MUATAN OKSIGEN TERLARUT DARI REAERASI Perhitungan difusi oksigen dengan persamaan O'Connor & Dobbins (Ji 2008):
Kr (20 ºC) = 3.93
V 0.5 dan D 1.5
Ka = Kr (20 ºC)●1,024 (T-20)
Beda pasut 1 m:
per hari V (m/s)
rata-rata pasang surut
DO reaerasi = K a (DO s - DO)
0,202 0,122 0,250
K a (per hari)
V
0.5
D (m)
0,44922 0,34919 0,49971
D
1.5
K r (20 ºC)
T
T-20
0,14469 0,10439 0,17408
29,5 30 29
9,5 10,0 9,0
(T-20)
1.024
5,3 5,6 5,0
12,20152 13,14567 11,28111
1,25271 1,26765 1,23794
mg/L/hari
mg/L/hari DOs 7,48 7,43
DO-St.3 1,89 2,58
DO reaerasi (II) 1,013 0,642
1,20
1,365
rata-rata pasang
0,1813 0,1323
DOs 7,62 7,54
DO-St.2 1,57 1,79
DO reaerasi (I) 1,097 0,761
surut
0,2155
7,66
1,34
1,363
7,53
V (m/s)
V 0.5
D (m)
D1.5
K r (20 ºC)
T
T-20
0,202 0,122 0,250
0,44922 0,34919 0,49971
5,3 5,4 5,3
12,20152 12,37459 12,02926
0,14469 0,11090 0,16326
29,5 30 29
9,5 10,0 9,0
mg/L/hari
mg/L/hari
DO-St.2 1,57 1,79 1,34
DO reaerasi (I) 1,097 0,808 1,278
DO reaerasi (II) 1,013 0,682 1,280
K a (per hari) 0,1813 0,1323 0,2155
Beda pasut 0.2 m: rata-rata pasang surut
Ka (per hari) rata-rata pasang surut
0,1813 0,1406 0,2021
DOs 7,62 7,54 7,66
DOs 7,48 7,43 7,53
DO-St.3 1,89 2,58 1,20
(T-20)
1.024
1,25 1,27 1,24
Hasil pengukuran oksigen terlarut di beberapa kedalaman: 06-Okt-07
St. 2 (mg/L)
St. 3 (mg/L)
19-Jul-08
permk 1m
3,63 0,05
2,32 0,36
prmk
2m
0,06
21-Jul-08
prmk 1m 2m
St. 2 (mg/L)
1,14 0,37 0,10
St. 2 (mg/L)
St. 3 (mg/L)
1m
3,1 -
3,3 5,5
0,11
2m
1,4
2,1
St. 3 (mg/L)
06-Agt-08
0,94 1,40
prmk 1m 2m
St. 2 (mg/L)
2,25 0,98 0,58
St. 3 (mg/L)
3,78 2,04 1,85
K a (per hari) 0,1813 0,1406 0,2021
125
Lampiran 18. (Lanjutan) Perhitungan flux difusi oksigen F = D f
Ca - Cb z
Perhitungan flux difusi (F) di St. 2 Ca (mg/L) 3,63 1,14 2,25 3,1
Cb (mg/L) 0,05 0,37 0,98 1,4
Df z (m) 1 2,1E-09 1 2,1E-09 1 2,1E-09 2 2,1E-09 F2 = Rata-rata F = SD =
F (mg/L/ m/dt) 7,52E-09 1,62E-09 2,67E-09 1,79E-09 3,397E-09 2,79E-09
Perhitungan flux difusi (F) di St. 3 Cb Ca (mg/L) (mg/L) z (m) 2,32 3,78 5,5
0,36 2,04 2,1
1 1 1
Df
2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09
F (mg/L/ m/dt) 4,12E-09 3,65E-09 7,14E-09
F3 = Rata-rata F = SD =
4,970E-09 1,89E-09
Dengan flux difusi F (F2 atau F3) ini dan DO reaerasi tiap ruas sebagai Ca, dapat ditentukan kedalaman reaerasi z yakni pada saat Cb = nol : Df F Ca Cb z (m) Rata-rata: ruas I ruas II Pasut tertinggi (1m): ruas I, pasang ruas II, pasang ruas I, surut ruas II, surut Pasut terendah (0,2m): ruas I, pasang ruas II, pasang ruas I, surut ruas II, surut
2,1E-09 3,397E-09 2,1E-09 4,970E-09
1,097 1,013
0 0
0,68 0,43
2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09
3,397E-09 4,970E-09 3,397E-09 4,970E-09
0,761 0,642 1,363 1,365
0 0 0 0
0,47 0,27 0,84 0,58
2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09
3,397E-09 4,970E-09 3,397E-09 4,970E-09
0,808 0,682 1,278 1,280
0 0 0 0
0,50 0,29 0,79 0,54
Selanjutnya beban reaerasi di tiap ruas dihitung per kedalaman 5 cm dengan konsentrasi oksigen yang semakin berkurang sampai di kedalaman reaerasi masing-masing tersebut. Catatan: lebar rata-rata estuari= 51,1 m, panjang ruas I= 5050 m, dan panjang ruas II= 4300 m (kuas ruas I= 258055 m2, luas ruas II= 219730 m2).
Contoh perhitungan muatan(load) reaerasi di ruas I (St. 2) pada kondisi pasut rata-rata: DO rea (I)
Df
2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09
F 3,397E-09 3,397E-09 3,397E-09 3,397E-09 3,397E-09 3,397E-09 3,397E-09 3,397E-09 3,397E-09 3,397E-09 3,397E-09 3,397E-09 3,397E-09 3,397E-09 3,397E-09 3,397E-09
Ca
1,097 1,097 1,097 1,097 1,097 1,097 1,097 1,097 1,097 1,097 1,097 1,097 1,097 1,097 1,097 1,097
mg/L/hari
Cb
0 0,03 0,06 0,10 0,13 0,21 0,29 0,37 0,45 0,53 0,61 0,69 0,77 0,85 0,94 1,02
load mg/hari
load kg/hari
258055 5161100 77244 258055 5161100 237968 258055 5161100 413278 258055 5161100 580240 258055 12902750 2160186 258055 12902750 3203696 258055 12902750 4247206 258055 12902750 5290716 258055 12902750 6334226 258055 12902750 7377736 258055 12902750 8421245 258055 12902750 9464755 258055 12902750 10508265 258055 12902750 11551775 258055 12902750 12595285 258055 12902750 13638795 Total load ruas I (kg/hari) =
0,077 0,238 0,413 0,580 2,160 3,204 4,247 5,291 6,334 7,378 8,421 9,465 10,508 11,552 12,595 13,639 96,10
dalam
luas ruas
(m2)
z (m)
DO rea (I)
∆z (m)
0,68 0,66 0,64 0,62 0,60 0,55 0,50 0,45 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05
0,015 0,046 0,080 0,112 0,167 0,248 0,329 0,410 0,491 0,572 0,653 0,734 0,814 0,895 0,976 1,057
0,02 0,02 0,02 0,02 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
vol (L)
126
Lampiran 18. (Lanjutan) Contoh perhitungan muatan (load) reaerasi di ruas II (St. 3) pada kondisi pasut rata-rata: DO rea (II)
Df
2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09 2,1E-09
F 4,970E-09 4,970E-09 4,970E-09 4,970E-09 4,970E-09 4,970E-09 4,970E-09 4,970E-09 4,970E-09
Ca
1,013 1,013 1,013 1,013 1,013 1,013 1,013 1,013 1,013
Cb
0 0,07 0,18 0,30 0,42 0,54 0,66 0,78 0,89
load mg/hari
load kg/hari
219730 6591900 219293 219730 10986500 1381011 219730 10986500 2681080 219730 10986500 3981150 219730 10986500 5281219 219730 10986500 6581288 219730 10986500 7881357 219730 10986500 9181426 219730 10986500 10481495 Total load ruas II (kg/hari) =
0,219 1,381 2,681 3,981 5,281 6,581 7,881 9,181 10,481 47,67
mg/L/hari
dalam
luas ruas
z (m)
DO rea (II)
∆z (m)
(m2)
0,43 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05
0,033 0,126 0,244 0,362 0,481 0,599 0,717 0,836 0,954
0,03 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
vol (L)
Rekapitulasi hasil perhitungan muatan oksigen dari reaerasi atau difusi (MO-dif) dan kedalaman reaerasi untuk masing-masing ruas: muatan difusi Kondisi pasut RATA-RATA RATA-RATA PASANG (1 m) PASANG (1 m) SURUT (1 m) SURUT (1 m) PASANG (0,2 m) PASANG (0,2 m) SURUT (0,2 m) SURUT (0,2 m)
(MO-dif) Ruas I = Ruas II = Ruas I = Ruas II = Ruas I = Ruas II = Ruas I = Ruas II = Ruas I = Ruas II =
96,10 47,67 46,19 19,12 148,16 86,52 52,12 21,60 130,32 76,06
kg/hari kg/hari kg/hari kg/hari kg/hari kg/hari kg/hari kg/hari kg/hari kg/hari
kedalaman reaerasi (m) 0,68 0,43 0,47 0,27 0,84 0,58 0,50 0,29 0,79 0,54
127
Lampiran 19. Perhitungan neraca oksigen: Penentuan muatan oksigen terlarut untuk dekomposisi kolom air (MOde) PENENTUAN MUATAN OKSIGEN TERLARUT UNTUK DEKOMPOSISI KOLOM AIR Hasil penelitian konstanta laju reaksi BOD (k): Konstanta laju BOD (k) kisaran rata-rata PASANG St.2 permk St.2 dasar St.3 permk St.3 dasar SURUT St.2 permk St.2 dasar St.3 permk St.3 dasar
SD
BOD ultimate (BODu, mg/L) kisaran rata-rata
n
0,07 - 0,21 0,31 - 0,43 0,02 - 0,41 0,24 - 0,35
0,12 0,35 0,20 0,28
0,08 0,07 0,20 0,06
18.44 -24.06 3.18 - 13.57 5.97 - 54.81 4.40 - 13.39
20,37 7,95 24,88 8,83
6 6 6 6
0,05 - 0,27 0,06 - 0,48 0,02 - 0,56 0,05 - 0,38
0,17 0,24 0,22 0,17
0,11 0,22 0,30 0,18
10.25 - 61.44 9.95 - 28.06 15.59 - 54.43 5.89 - 42.97
28,99 17,04 41,20 24,06
6 6 6 6
e
kt Dengan menggunakan persamaan 1.3 : Y t L o (1 ) Y t = BOD pada waktu t L o = BOD ultimate dapat dihitung BOD 0,5 (BOD setelah setengah hari ≈ satu periode pasang atau surut):
PASANG St.2 permk St.2 dasar St.3 permk St.3 dasar SURUT St.2 permk St.2 dasar St.3 permk St.3 dasar
e -kt
Lo = BODu
-k
20,37 7,95 24,88 8,83
-0,12 -0,35 -0,20 -0,28
0,94020 0,83806 0,90423 0,86863
1,22 1,29 2,38 1,16
28,99 17,04 41,20 24,06
-0,17 -0,24 -0,22 -0,17
0,92004 0,88544 0,89808 0,91683
2,32 1,95 4,20 2,00
Yt = BOD 0.5 (mg/L)
Berdasarkan BOD 0,5 tersebut dihitung muatan (load) dekomposisi kolom air (MO-de) untuk masing-masing ruas. Perhitungan muatan dekomposisi kolom air (MO-de) untuk masing-masing ruas pada beda pasut 1 m: BOD 0.5 PASANG Ruas I (St. 2)
atas bawah Ruas II (St. 3) atas bawah SURUT Ruas I (St. 2) atas bawah Ruas II (St. 3) atas bawah
Volume (m 3 )
Muatan g/½hari
Muatan kg/½hari
1,22 1,29 2,38 1,16
739489 739489 672465 672465
900862 951681 1602418 779998
901 952 1602 780
ruas I
2,32 1,95 4,20 2,00
628203 628203 492104 492104
1456219 1226399 2066321 984621
1456 1226 2066 985
ruas I
mgO 2 /L/½hari
Muatan kg/½hari
1853 ruas II 2382
2683 ruas II 3051
128
Lampiran 19. (Lanjutan) Perhitungan muatan dekomposisi kolom air (MO-de) untuk masing-masing ruas pada beda pasut 0,2 m: BOD0.5
Muatan
Muatan
Muatan
(m )
g/½hari
kg/½hari
kg/½hari
1,22 1,29 2,38 1,16
694974 694974 600320,67 600320,67
846634 894393 1430504 696317
847 894 1431 696
ruas I
2,32 1,95 4,20 2,00
672717,13 672717,13 564248,33 564248,33
1559407 1313301 2369253 1128971
1559 1313 2369 1129
ruas I
mgO2/L/½hari PASANG Ruas I (St. 2) atas bawah Ruas II (St. 3) atas bawah SURUT Ruas I (St. 2) atas bawah Ruas II (St. 3) atas bawah
Volume 3
Muatan dekomposisi dan respirasi kolom air di setiap ruas (MO-de):
Beda pasut 1 m Beda pasut 0,2 m
Pasang Surut Pasang Surut
Muatan (kg/½hari) Ruas I (St. 2) Ruas II (St. 3) 1853 2382 2683 3051 1741 2127 2873 3498
1741 ruas II 2127
2873 ruas II 3498
129
Lampiran 20. Perhitungan neraca oksigen: Penentuan muatan oksigen terlarut untuk dekomposisi sedimen (MOsed) PENENTUAN MUATAN OKSIGEN TERLARUT UNTUK DEKOMPOSISI SEDIMEN Hasil pengamatan laboratorium menunjukkan bahwa kebutuhan oksigen sedimen dalam satu hari untuk tiap perlakuan adalah sebagai berikut: SOD jam ke-24 (mg/L) perlakuan
1 2 3 4
St. 2
St. 3
0,87 3,47 3,13 2,87
1,03 2,73 2,87 2,07
rata-rata 2-3
3,30
sedimen saja
perlakuan 1: air sampel saja perlakuan 2: air sampel dan sedimen tidak dicampur perlakuan 3: air sampel dan sedimen dicampur perlakuan 4: akuades dan sedimen kering
2,80
2,43 1,77 (selisih sedimen+air sampel dikurangi air sampel saja)
Sedimen di dasar estuari berkontribusi dalam memanfaatkan oksigen yang terkandung dalam perairan, St. 2 : 2,43 mgO2/L sebesar 1,77 – 2,43 mg/L dalam sehari St. 3 : 1,77 mgO2/L percobaan : ukuran "van veen" : tinggi sedimen : tinggi air : volume air akuarium = vol sedimen yang diperlukan =
3 perlakuan 3 kali ulangan 26 x 13 cm ketebalan sedimen yang diambil:13 cm 5 cm 15 cm 30x30x15 = 13500 cc = 13,5 liter vol sed akuarium / vol grab = (30 x 30 x 5) x 6 akuarium / 0,5 (3,14 x 13 x 13) x 13 = 27000 cc/3452 cc = 7,8 atau 8 grab Jadi luas 6 akuarium setara dengan luas 8 grab Luas sedimen per grab = 26 x 13 = 338 cm2 luas 8 grabs = 8 x 338 = 2704 cm2 Luas sedimen per akuarium = 30 x 30 = 900 cm2 luas 6 akuarium = 6 x 900 = 5400 cm2
→ Berar 1 cm
2
luas akuarium setara dengan 0.5 cm2 luas aktual dasar sungai
→ maka luas per akuarium setara dengan 450 cm2 (0,5 x 900 cm2) luas aktual
Ruas I (St. 2) II (St. 3) Rata-rata
SOD volume air beban per luas mgO2/L/hari akuarium sed akuarium (liter) (mg/hari) 2,43 13,5 32,805 1,77 13,5 23,895 2,1 13,5 28,35
luas sedimen muatan per luas aktual (mg/cm2 /hari) (mg/m2 /hari) (g/m2/hari) (cm2) 450 450 450
0,0729 0,0531 0,063
729 531 630
Muatan penggunaan oksigen oleh sedimen (MO-sed) adalah:
ruas I (St. 2) ruas II (St. 3)
Panjang (m)
Luas (m2)
SOD (g/m2/hari)
Muatan (g/hari)
Muatan (kg/hari)
Muatan (kg/½hari)
5050 4300
258055 219730
0,729 0,531
188122 116677
188,1 116,7
94 58
*Lebar sungai = 51,1 m
0,729 0,531 0,630
130
Lampiran 21. Perhitungan neraca oksigen: Penentuan muatan oksigen terlarut aktual di perairan (MOak) PEN EN TU A N M U A TA N O KS IG EN TER LA R U T A KTU A L D I PER A IR A N V o lu m e s egm en (ru as ) d id as ark an atas p erb ed aan k ed alam an p as an g - s u ru t Pas ang s urut te rtinggi (1 m ): V o l ru as I (S t. 2 ) d ari k m 4 ,3 h in gga k m 9 ,3 5 d ari m u ara = 1 4 7 8 9 7 7 ,7 m 3 (p as an g) & 1 2 5 6 4 0 5 ,3 m 3 (s u ru t) V o l ru as I I (S t. 3 ) d ari k m 0 h in gga k m 4 ,3 d ari m u ara = 1 3 4 4 9 3 0 ,7 m 3 (p as an g) & 9 8 4 2 0 7 ,3 m 3 (s u ru t) Pe rhitungan m uatan oks ige n te rlarut aktual (M O -ak) pada pas ang s urut te rtinggi (1 m ): Pas ang Ru as I Ru as I I Surut Ru as I Ru as I I
B agian
D O (m g/L)
volum e
m uatan (g)
m uatan (kg)
m uatan ruas (kg)
atas b aw ah atas b aw ah
1 ,7 9 0 ,7 3 2 ,5 8 2 ,4 9
7 3 9 4 8 8 ,9 7 3 9 4 8 8 ,9 6 7 2 4 6 5 ,4 6 7 2 4 6 5 ,4
1 3 2 6 5 1 1 ,3 5 4 2 1 6 8 ,9 1 7 3 5 6 9 3 ,4 1 6 7 3 4 6 6 ,2
1 3 2 6 ,5 5 4 2 ,2 1 7 3 5 ,7 1 6 7 3 ,5
1 8 6 8 ,6 8
atas b aw ah atas b aw ah
1 ,3 4 0 ,4 1 1 ,2 0 2 ,1 4
6 2 8 2 0 2 ,6 6 2 8 2 0 2 ,6 4 9 2 1 0 3 ,6 4 9 2 1 0 3 ,6
8 4 3 6 6 6 ,0 2 6 0 4 5 8 ,7 5 8 8 3 1 9 ,4 1 0 5 4 2 7 2 ,6
8 4 3 ,7 2 6 0 ,5 5 8 8 ,3 1 0 5 4 ,3
1 1 0 4 ,1 2
3 4 0 9 ,1 6
1 6 4 2 ,5 9
Pas ang s urut rata-rata (0 ,7 m ): V o l ru as I (S t. 2 ) d ari k m 4 ,3 h in gga k m 9 ,3 5 d ari m u ara = 1 4 4 5 5 9 1 ,9 m 3 (p as an g) & 1 2 8 9 7 9 1 ,1 m 3 (s u ru t) V o l ru as I I (S t. 3 ) d ari k m 0 h in gga k m 4 ,3 d ari m u ara = 1 2 9 0 8 2 2 ,2 m 3 (p as an g) & 1 0 3 8 3 1 5 ,8 m 3 (s u ru t) Pe rhitungan m uatan oks ige n te rlarut aktual (M O -ak) pada pas ang s urut rata-rata (0 ,7 m ): D O (m g/L)
volum e
m uatan (g)
m uatan (kg)
m uatan ruas (kg)
atas
1 ,7 9
7 2 2 7 9 5 ,9
1 2 9 6 5 6 7 ,2
1 2 9 6 ,6
1 8 2 6 ,5 0
b aw ah
0 ,7 3
7 2 2 7 9 5 ,9
5 2 9 9 3 0 ,2
5 2 9 ,9
atas
2 ,5 8
6 4 5 4 1 1 ,1
1 6 6 5 8 6 3 ,9
1 6 6 5 ,9
b aw ah
2 ,4 9
6 4 5 4 1 1 ,1
1 6 0 6 1 4 0 ,3
1 6 0 6 ,1
atas
1 ,3 4
6 4 4 8 9 5 ,6
8 6 6 0 8 4 ,3
8 6 6 ,1
b aw ah
0 ,4 1
6 4 4 8 9 5 ,6
2 6 7 3 7 9 ,7
2 6 7 ,4
atas
1 ,2 0
5 1 9 1 5 7 ,9
6 2 0 6 6 3 ,3
6 2 0 ,7
b aw ah
2 ,1 4
5 1 9 1 5 7 ,9
1 1 1 2 2 3 3 ,1
1 1 1 2 ,2
B agian Pas ang Ru as I Ru as I I
3 2 7 2 ,0 0
Surut Ru as I Ru as I I
1 1 3 3 ,4 6 1 7 3 2 ,9 0
Pas ang s urut te re ndah (0 ,2 m ): V o l ru as I (S t. 2 ) d ari k m 4 ,3 h in gga k m 9 ,3 5 d ari m u ara = 1 3 8 9 9 4 8 ,7 m 3 (p as an g) & 1 3 4 5 4 3 4 ,3 m 3 (s u ru t) V o l ru as I I (S t. 3 ) d ari k m 0 h in gga k m 4 ,3 d ari m u ara = 1 2 0 0 6 4 1 ,3 m 3 (p as an g) & 1 1 2 8 4 9 6 ,7 m 3 (s u ru t) Pe rhitungan m uatan oks ige n te rlarut aktual (M O -ak) pada pas ang s urut te re ndah (0 ,2 m ): D O (m g/L)
volum e
m uatan (g)
m uatan (kg)
m uatan ruas (kg)
atas
1 ,7 9
6 9 4 9 7 4 ,4
1 2 4 6 6 6 0 ,2
1 2 4 6 ,7
1 7 5 6 ,1 9
b aw ah
0 ,7 3
6 9 4 9 7 4 ,4
5 0 9 5 3 2 ,4
5 0 9 ,5
atas
2 ,5 8
6 0 0 3 2 0 ,7
1 5 4 9 4 8 1 ,5
1 5 4 9 ,5
b aw ah
2 ,4 9
6 0 0 3 2 0 ,7
1 4 9 3 9 3 0 ,3
1 4 9 3 ,9
atas
1 ,3 4
6 7 2 7 1 7 ,1
9 0 3 4 4 8 ,2
9 0 3 ,4
b aw ah
0 ,4 1
6 7 2 7 1 7 ,1
2 7 8 9 1 4 ,8
2 7 8 ,9
atas
1 ,2 0
5 6 4 2 4 8 ,3
6 7 4 5 6 9 ,8
6 7 4 ,6
b aw ah
2 ,1 4
5 6 4 2 4 8 ,3
1 2 0 8 8 3 3 ,9
1 2 0 8 ,8
B agian Pas ang Ru as I Ru as I I
3 0 4 3 ,4 1
Surut Ru as I Ru as I I
1 1 8 2 ,3 6 1 8 8 3 ,4 0