KATA PENGANTAR KATA SAMBUTAN REKTOR IAIN RADEN INTAN DAFTAR ISI BAB 1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DISEKOLAH A. B. C. D. E. F. G.
Pengertian Pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam ........................ Tujuan dan Fungsi Pendidikan Agama Islam................................................ Pentingnya Pendidikan Agama Islam di sekolah ......................................... Pendekatan Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di Sekolah .................... Rangkuman ................................................................................................... Latihan .......................................................................................................... Bahan Bacaan ...............................................................................................
1 14 17 30 33 34 35
BAB 2 AKTIVITAS PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM A. Orientasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ....................................... B. Definisi Pembelajaran PAI ............................................................................ C. Tujuan Pembelajaran (Pengajaran) ............................................................... D. Prinsip-Prinsip Belajar Dan Pembelajaran ................................................... E. Unsur-Unsur Pembelajaran Pendidikan Agama Islam .................................. F. Pendekatan dan Pengembangan Pembelajaran Agama Islam ....................... G. Sasaran Pembelajaran Pembelajaran Agama Islam....................................... H. Rangkuman ................................................................................................... I. Latihan .......................................................................................................... J. Bahan Bacaan ...............................................................................................
38 38 40 48 55 65 77 104 105 105
BAB 3 METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN APLIKASINYA A. Pengertian Metodelogi Pendidikan Agama Islam ......................................... B. Bentuk-Bentuk Metode Pembelajaran........................................................... C. Faktor-Faktor Pilihan Metode ....................................................................... D. Asas Dan Syarat Penggunaan Metode Pembelajaran .................................... E. Langkah-Langkah Pelaksanaan Metode ....................................................... F. Rangkuman ................................................................................................... G. Latihan .......................................................................................................... H. Bahan Bacaan ...............................................................................................
110 111 117 121 126 134 135 135
BAB 4 KOMPETENSI PROFESIONALISME GURU PAI A. Pengertian Profesionalisme Guru .................................................................. B. Pentingnya Profesionalisme Guru dalam Pendidikan ................................... C. Ciri-ciri Profesi Keguruan .............................................................................
138 138 142
D. E. F. G.
Standar Kompetensi Guru Profesional .......................................................... Rangkuman ................................................................................................... Latihan .......................................................................................................... Bahan Bacaan ...............................................................................................
150 194 195 195
BAB 5 PENGEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 PADA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM A. B. C. D. E. F. G. H. I. J. K. L.
Arah Perkembangan Pembelajaran pada Kurikulum 2013............................ Perlunya Perubahan dan Pengembangan Kurikulum 2013 ........................... Tujuan Pengembangan Kurikulum 2013 ...................................................... Landasan Pengembangan Kurikulum 2013................................................... Rasional Pengembangan Kurikulum 2013 .................................................... Karakteristik Kurikulum 2013 ...................................................................... Krangka Dasar Kurikulum 2013 ................................................................... Konsep Pembelajaran Pendidikan Agama Islam .......................................... Menetapkan Keriteria Keberhasilan ............................................................. Rangkuman ................................................................................................... Latihan .......................................................................................................... Bahan Bacaan ...............................................................................................
198 202 207 208 209 212 212 216 229 232 234 234
BAB 1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DISEKOLAH
A. Pengertian Pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam Formulasi konsep pendidikan Islam dan pendidikan Agama Islam di sekolah tidak bisa dilepaskan dari sumber pokok ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah karena kedua sumber tersebut merupakan pedoman otentik dalam penggalian khazanah keilmuan Islam. Dengan berpijak kepada dua sumber di atas akan diperoleh pemahaman yang jelas tentang definisi pedidikan Islam dan pendidikan agama Islam di sekolah. 1. Pengertian Pendidikan Islam Dikalangan para pakar pendidikan Islam belum ada kesepakatan tentang definisi pendidikan Islam yang dapat diterima oleh semua pihak, baik secara etimologis maupun secara terminologis. Walaupun demikian upaya untuk mencari pengertian yang tepat senantiasa terus dilakukan. Secara etimologis Pendidikan Islam diambil dari tiga istilah bahasa Arab yaitu “tarbiyah”, “ta’lim”, dan “ta’dib” sebagaimana dapat dilihat dari hasil Konferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam yang diselenggarakan pada tahun 1997 di Universitas King Abdul Aziz Makkah dan Jeddah. Para peserta konferensi belum berhasil merumuskan definisi pendidikan Islam secara komprehensif. Mereka hanya merekomendasikan bahwa defenisi Pendidikan Islam adalah keseluruhan
1
makna yang terkadung dalam istilah “tarbiyah”, “ta’lim” dan “ta’dib”1, tanpa ada penjelasan apa-apa tentang ketiga istilah tersebut. Untuk menjelaskan istilah “tarbiyah” para ahli pendidikan Islam merujuk pada istilah-istilah yang ada dalam Al-Qur’an seperti kata “rabb” (QS,1:2) “rabbayani” (QS,17:24), “raba-yarbu“ (QS,30:39), “rabiyah” (QS,69:10), “murabbi” (QS,1:2), “rabbiyyin dan ribbiyani” (QS, 3:79 dan 146). Kata “tarbiyah” merupakan bentuk masdar kata “raba-yurabbu-tarbiyatan” artinya “pemeliharaan”. Karim Al-Bastani mengartikan “al-rabb” sebagai “tuan”, “pemilik”,
“memperbaiki”,
“perawatan”,
“tambah”,
“mengmpulkan”
dan
“memperindah”. Ibnu Abdillah Muhammad Bin Abmad Al-Qutubi dalam Tafsir Qurtubi mengartikan kata al-rabb sebagai “pemilik”, “tuan”, “pemeliharaan” “Yang Maha Memperbaiki”, “Yang Maha Mengatur”, “Yang Maha Menambah dan Maha Menunaikan”.2 Pengertian di atas sebagai interpretasi dari kata al-rabb dalam surat al-fatihah yaitu merupakan nama dari nama-nama Allah SWT. Imam Fahrur Razy berpendapat bahwa al-rabb merupakan fonem yang seakar dengan kata al-tarbiyah yang mempunyai makna al-tanmiyah yaitu pertumbuhan atau perkembangan.3 Untuk itu term rabbayani mengandung arti bukan sekedar pengembangan potensi manusia yang bersifat pengembangan intelektual semata, akan tetapi meliputi pengembangan dalam bentuk tingkah laku. Seperti yang diungkapkan Sayyed Qutb bahwa fonem rabbayani adaalah sebagai pemelihara anak serta menumbuhkan kematangan sikap mental. Untuk bisa melakukan tugas seperti itu perlu ilmu, sikap penyantun, luas wawasan dan penuh kasih sayang. 4 Dengan merujuk pada kamus-kamus bahasa arab, Abdurrahman An-Nahlawi menggunakan istilah pendidikan Islam dengan kata tarbiyah yang berasal dari tiga 1
Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Firdaus.1997) ,terj Sori Siregar, hal.15. selanjutnya disebut.Ali Ashaf: Khorison Baru Pendidikan IslamI. Lihat pula Sayyed Naquib Alattas, Aims and Objectivies of Islamic Eduacation. (King Abdul Aziz University, Jeddah, 1997), hal, 64-65. Buku ini merupakan kumpulan makalah yang dibahas dalam “World Conference on Muslim Education” I yang diselenggarakan di Makkah dan Jeddah 1997. 2 Muhaimin &Abdul Mujib. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya.1993, hal.128-130. 3 Fahrur Razy. Tafsir Fakhrur Razy. Teheren: Darul Kutub Al-Ilmiyah.1981, Juz XXI, hal.151. 4 Sayyid Qutb.Tafsir Fadhilali Al-Qur’an , Cairo-Mesir: Darul Fikri.1985, Juz XV hal.15.
2
akar kata bahasa Arab; pertama raba-yarbu yang artinya bertambah, dan berkembang. Dengan merujuk pada Al-Qur’an surat al-Rum ayat 39. kedua; rabiyayarba dibandingkan dengan kata khafiyah-yakhfa, artinya yang terkandung dalam tubuh dan berkembang. Dengan merujuk pada Syair Ibnu Arabi. Ketiga; rabbayarubbu yang dibandingkan dengan kata madda-yamuddu yang artinya memperbaiki, mengurusi, kepentingan mengatur dan menjaga. 5 Abdul Fatah Jalal mendefinisikan tarbiyah adalah suatu proses persiapan dan pemeliharaan anak didik pada masa kanak-kanak di dalam keluarga.6 Menurut Abdul Fatah Jalal kata tarbiyah lebih cocok pada suatu proses persiapan dan pengasuhan pada fase pertama pertumbuhan manusia atau menurut istilah psikologi disebut fase bayi dan kanak-kanak. Pengertian tersebut diambil dari surat Al-Isra Ayat 24. Kata tarbiyah dalam ayat di atas berkaitan erat dengan proses persiapan dan pemelihara pada masa kanak-kanak di dalam keluarga. Berbeda dengan istilah ta’lim yang mempunyai jangkauan arti yang lebih luas dan umum karena proses ta’lim tidak berhenti sampai anak itu menjelang dewasa melainkan seumur hidup. Untuk itu Jalal berpendapat bahwa istilah yang paling tepat untuk pendidikan dalam Islam adalah ta’lim, dengan merujuk pada surat Al-Baqarah 30-34, yaitu ketika
Allah
mengajarkan kepada Nabi Adam as. tentang nama-nama benda. Dari pernyataan ayat di atas memperlihatkan bahwa pendidikan Islam lebih tepat diartikan istilah ta’lim karena proses ta’lim lebih bersifat universal dibanding dengan proses tarbiyah. Pendapat ini diperkuat ketika Rasulullah Saw, mengajarkan tilawah Al-Qur’an kepada kaum muslim. Beliau tidak hanya sebatas membuat mereka pandai membaca melainkan kepada membaca dengan perenungan yang berisikan pengertian, pemahaman, tanggung jawab dan penanaman amanah. Dari kondisi semacam ini Rasulullah membawa mereka kepada proses tazkiyatu-al-nafsi yaitu suatu proses penyucian dan pembersihan diri manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam suatu yang memungkinkan untuk menerima al-Hikmah, serta 5
Abdurrahman Al-Nahlawi. Pendidikan Islam di Sekolah, Madrasah dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press. 1985, (terj. Syhabuddin), hal.20-21. 6 Abdul Fatah Jalal. Azaz-azaz Pendidikan Islam, terj. Heri Noor, Bandung Diponegoro.1977, hal.17.
3
mempelajari segala apa yang bermanfaat dari suatu yang belum diketahuinya. AlHikmah tidak dapat dipelajari secara persial dan sederhana melainkan mencakup keseluruhan ilmu secara terinegrasi. Menurut Sayyed Naquib Al Attas,7 istilah tarbiyah konotasinya yang sekarang merupakan istilah yang relatif baru yang bisa dikatakan telah di buat-buat oleh orangorang yang mengaitkan dirinya dengan pemikiran modern. Istilah tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan makna pendidikan tanpa memperhatikan sifat yang sebenarnya. Istilah tarbiyah tidak sebagaimana yang mereka nyatakan melainkan sebagai terjemahan dari istilah “education” menurut konsep Barat karena makna-makna dasar yang dikandung olehnya mirip dengan yang bisa ditemui di dalam rekaman latinnya. Selanjutnya Alattas merekomendasikan istilah “adab” dipandang lebih tepat untuk menyebutkan pendidikan Islam. Adab merupakan disiplin tubuh, jiwa dan ruh; disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual dan ruhaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajatnya. Adab didefinisikan sebagai ungkapan keadilan seperti dicerminkan oleh kearifan. Untuk itu adab dikenal sebagai ilmu tentang tujuan mencari pengetahuan. Sedangkan tujuan mencari pengetahuan dalam Islam adalah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai individu atau kelompok. Istilah Adab menurut Alattas,8 melibatkan tindakan untuk mendisiplinkan pikiran dan jiwa. hal ini berarti pencapaian kualitas-kualitas dan sifat-sifat yang baik oleh pikiran; penyelenggarakan tindakan-tindakan yang betul, penyelamatan diri dari kehilangan kemuliaan sebagai manusia. Adab menunjukkan pengenalan dan pengakuan akan kondisi kehidupan, kedudukan dan tempat yang tepat lagi layak, serta disiplin diri ketika berpartisipasi aktif dan sukarela dalam menjalankan peranan seseorang sesuai dengan pengenalan
7
Sayyed Naquib Alattas, Aims and Objectivies of Islamic Education. King Abdul Aziz University.Jeddah, 1997, hal, 64-65. 8 Ibid, hal 73.
4
dan pengakuan itu. Pemenuhannya dalam diri seseorang secara keseluruhan mencerminkan kondisi keadilan. Dari berbagai penjelasan di atas, secara etimologis penggunaan term “tarbiyah”, “ta’lim” dan “ta’dib” pada prinsipnya sama yaitu digunakan untuk menjelaskan suatu proses dalam menumbuhkan dan mengembangkan seluruh potensi baik manusia ke arah kematangannya, baik secara fisik, akal, maupun kejiwaan. Perbedaan dalam penggunaan ketiga istilah dimaksud merupakan gambaran betapa luasnya kandungan kitab suci Al-Qur’an itu. Ketiga istilah tadi boleh saja dipakai untuk menyebutkan istilah pendidikan. Oleh sebab itu konferensi Islam Internasional di Jeddah tahun 1997 merekomendasikan bahwa pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dalam istilah “tarbiyah”, “ta’lim” dan “ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama. Menurut Azyumardi Azra,9 ketiga istilah di atas mengandung makna yang sangat dalam, yaitu menyangkut masalah manusia dan masyarakat serta lingkungan yang begitu dalam hubungannya dengan Tuhan. Ketiga istilah itu saling berkaitan satu sama lain karena menyangkut totalitas kehidupan manusia, baik hubungannya dengan Sang Pencipta maupun hubungannya dengan sesama makhluk-Nya. Ketiganya sekaligus menjelaskan bagaimana ruang lingkup pendidikan Islam yang meliputi “informal, formal, dan nonformal”. Perbedaan pandangan dalam menggunakan ketiga istilah di atas merupakan gambaran betapa kompleksnya masalah pendidikan dan betapa luasnya khazanah keilmuan dalam Islam karena masing-masing memiliki alasan yang sama-sama kuat merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Sebagai contoh Naquib Alattas mempertahankan istilah ta’dib, Fatah Jalal dengan istilah ta’lim dan Abdurrahman An-Nahlawi dengan istilah tarbiyah. Perbedaan pemahaman mereka sangat tergantung pada latar belakang pendidikan, pengalaman dan kedalaman analisis masing-masing.
9
Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2000, hal. 49.
5
Imam al-Jauhari dalam Naquib Alattas,10 memberi makna tarbiyah sama dengan makna rabban dan rabba yang berarti “memberi makan”, “memelihara”, dan “mengasuh”. Menurut Alattas, apabila istilah al-tarbiyah diidentikkan dengan bentuk madlinya rabbayani, dan bentuk mudharinya murabbi akan mempunyai arti “mengasuh”,
“menanggung”,
“memberi
makan”,
“memproduksi”,
dan
“menjinakkan”, dan ini berarti pendidikan jasmani. Apabila memperhatikan kontek kalimat dalam surat Al-Israa ayat 24, menunjukkan bahwa pengertian tarbiyah dalam ayat di atas, nampak lebih luas dari pada apa yang disampaikan Naquib Alattas, yang menyatakan bahwa pengertiaan tarbiyah itu hanya sebatas aspek jasmani saja. Pendapat Alattas seperti itu dapat dipahami karena dia melihatnya dari persepektif bahasa sesuai dengan keahliannya sebagai ahli dibanding kesustraan Arab, bukan ahli dalam bidang pendidikan. Hal ini tercermin dalam aktivitas doa seseorang untuk orang tuanya. Ketika seseorang berdoa memohon kepada Allah untuk kedua orang tuanya, yang diperlukan kedua orang tua itu adalah kasih sayang Allah bukannya pemeliharaan secara fisik, karena saat itu fisik mereka sudah tidak lagi memerlukan apa-apa. Jadi kalimat “rabbi” di sini dapat dimaknai “Sebagaimana mereka telah mendidik kami waktu kami masih kecil dengan penuh kasih sayang”. Demikian pula dalam surat Al-Syu’ara ayat 18, ketika Fir’aun berkata kepada Nabi Musa As, sebagaimana berkata yang aritnya : “......Fir’aun menjawab: bukankah kami telah mendidikmu di dalam (kelurga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu” Kata murabbi di sini berarti “mengasuh”, sedangkan proses pengasuhan tidak mungkin hanya aspek jasmani saja, yang lebih dominan adalah aspek kejiwaannya. Dari kedua ayat di atas menunjukkan bahwa esensi dari suatu proses pengasuhan atau pendidikan adalah aspek kasih sayang pendidik kepada yang terdidik.
10
Haidar Bagir. Konsep Pendidikan Islam. (Bandung : Mizan. 1994) Cet IV, hal. 29 buku ini sebahagian besar merupakan terjemahan dari Aims and Objectivies of Islamic Education, karya Sayyed Naquib Alattas, yang gasasan-gagasannya diperkaya dan dikembangkan oleh penerjemah.
6
Mustafa Al-Maraghi, memberikan dua makna al-tarbiyah yaitu: “tarbiyah kholqiyyah” yakni pembinaan dan pengembangan jasad, jiwa dan akal dengan berbagai petunjuk, dan “tarbiyah diniyah“, yakni pembinaan jiwa dengan wahyu untuk kesempurnaan akal dan kesucian jiwa.11 Berangkat dari pengertian etimologis yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw, para ulama dan para intelektual muslim kontemporer mengartikan pendidikan Islam secara terminologi sebagai berikut. Mustafa al-Gholayani berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses penanaman nilai-nilai etika yang mulia pada jiwa anak yang sedang tumbuh dengan cara memberi petunjuk dan nilai, sehingga mereka memiliki potensi-potensi dan kompetensi-kompetensi jiwa yang mantap yang dapat membuahkan sifat-sifat bijak, cinta akan kreasi dan berguna bagi tanah airnya.12 Sementara itu Imam Baidlowi dalam Tafsir Anwar al-Tanzil wa’asrarut Ta’wil,13 mengartikan pendidikan sebagai suatu proses penyampaian sesuatu sampai batas kesempurnaan, dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Masih dalam kitab yang
sama
Al-Asfahani
mendefinisikan
pendidikan
sebagai
suatu
proses
menumbuhkan sesuatu secara bertahap yang dilakukan setapak sampai batas kesempurnaan. Muhammad Rasyid Ridha mengartikan pendidikan dengan istilah ta’lim, yaitu suatu proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan yang ketat.14 Pengertian ini berpijak pada pemahaman terhadap Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 31, tentang makna ‘allama Tuhan kepada Adam as. Sedangkan proses transmisi itu dilakukan secara bertahap sebagaimana Nabi Adam As, menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan oleh Allah Swt kepadanya.
11
Ahmad Mustafa Al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. (Mesir : Darul Fakri. Mesir. 1974), cet ke III, Juz I, hal,13. Selanjutnya disebut Tafsir Al-Maraghi 12 Muhaimin & A.Mujib Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam, hal,131. 13 Abdurrahman An-Nahlawi. Pendidiklan Islam di Sekolah, Madrasah dan Masyarakat hal. 20 14 Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Mesir: Darul Ma’arif 1373H, Cet.Ke IV. Juz I, hal 262
7
Dari ketiga peristilahan di atas dapat ditafsirkan bahwa istilah tarbiyah dalam pengertian aslinya, penerapan dan pengamalannya dipakai oleh orang Islam pada masa-masa yang lebih dini. Penonjolan kuantatif pada konsep tarbiyah adalah kasih sayang (rahmah) dan bukan pengetahaun (‘ilm). Ali Ashraf mencoba mendefinisikan pendidikan Islam sebagai suatu aktivitas yang memiliki maksud tertentu, diarahkan untuk mengembangkan individu secara penuh berdasarkan ajaran Islam.15 Sementara Sayyed Naquib Alattas mendefinisikan pendidikan Islam sebagai suatu upaya melatih sensibilitas para murid sedemikian rupa. Sehingga dalam perilaku terhadap kehidupan, langkah-langkah dan keputusan, begitu pula pendekataan terhadap semua ilmu pengetahuan mereka, diatur oleh nilainilai etika Islam yang sangat dalam dirasakan.16 Muhammad Yusuf Qardowi memberikan pengertian pendidikan Islam agak lebih rinci yaitu pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia agar hidup lebih dalam keadaan damai maupun perang dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.17 Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peran, memindahkan pengetahaun dan nilainilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.18 Dari rumusan tersebut Azyumardi Azra,19 memaknai pendidikan Islam sebagai suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam, melalui proses di mana individu dibentuk agar mencapai derajat yang tinggi sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai khalifah di bumi, dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Ahmad D. Marimba mendefiniskan pendidikan Islam dalam bimbingan
15
Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam, hal. 11. Seyyed Nuquib Alattas, Aims And Objectivies Of Islamic Education, hal.23 17 Muhammad Yusuf Qordowi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Bana. (Jakarta: Bulan Bintang. 1980), terj. Bustami A. Gani & .Zainal A. Ahmad), hal.157 18 Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam . (Bandung: Al-Ma’arif 1980), hal .94 19 Azyumardi Azra Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi Menuju Milenium Baru hal.6 16
8
jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuranukuran Islam.20 Dari berbagai pengertian dan rumusan pendidikan Islam sebagaimana telah dikemukakan di atas, pada dasarnya masih bersifat global. Secara lebih rinci Endang Syaifuddin Anshari,21 mencoba memberikan pengertian yang lebih teknis yaitu pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi dan sebagainya) dan raga objek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu, dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah tercapainya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian kajian masalah pendidikan dalam Islam sangat luas sehingga sukar untuk diberikan batasan yang tegas atau defenisi yang dapat disepakati bersama. Maka pantas filosof Amerika John Dewey, memberikan pengertian pendidikan itu adalah kehidupan itu sendiri.22 Dari berbagai definisi pendidikan sebagaimana telah dimukakan di atas penulis mencoba mengambil esensinya yaitu bahwa pendidikan Islam merupakan suatu upaya pengasuhan, bimbingan, dan pengembangan kemampuan fisik, akal dan jiwa murid secara utuh berdasarkan ajaran Islam. Pengasuhan tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan potensi baik menuju pada tingkat kesempurnaannya yaitu insan kamil. Dengan pengembangan sensibilitas murid, yakni pengembangkan potensi baik dan menekan potensi buruk secara sempurna, jasmani, akal dan jiwa, mereka akan terlatih secara mental dan fisik. Keinginan untuk memiliki pengetahuan bukan saja untuk memuaskan rasa ingin tahu intelektulnya atau hanya untuk manfaat kebendaan yang bersifat duniawi, tetapi juga untuk tumbuh sebagai makhluk yang rasional, berbudi, dan menghasilkan kesejahteraan spiritual, moral dan fisik.
20
Ahmad D Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif 1980, hal
23 21
Endang Syafuddin Anshari, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam. (Jakarta: Usaha Enterprise. 1976), hal. 85. Baca juga Azyumardi Azra. Esei-Esei Intelektual Pendidikan Islam. Hal. 6 22 Djamari, Nilai-nilai Agama dan Budaya yang Melandasi Interaksi Sosial di Pondok Pesantren Cikaduen Banten. Disertasi FPs IKIP Bandung tidak diterbitkan, 1985, hal. 64.
9
Sikap ini berasal dari keyakinan terhadap adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya. Mereka menerima sepenuh hati hukum moral yang diberikan Tuhan, keabadian-Nya dan eksistensi-Nya bagi pengembangan kehidupan manusia, baik pengembangan rasional maupun spiritualnya demi kebahagiaan didunia dan akhirat. Dari uraian tadi Azyumardi Azra23, melihat perbedaan utama antara pendidikan Islam dengan pendidikan pada umumnya, yaitu pendidikan Islam bukan hanya mementingkan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia saja, tetapi juga untuk kebahagiaan akhirat. Lebih dari itu, pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi yang bernafaskan Islam, sehingga pribadi-pribadi yang dibentuk itu tidak terlepas dari nilai-nilai agama. Seorang murid yang telah menerima pendidikan Islam akan tumbuh sebagai pribadi yang mencintai perdamaian, dapat hidup selaras, stabil dan berbudi pekerti yang baik. Semua itu didasarkan atas keyakinan sepenuhnya akan adanya Allah, kemurahan-Nya yang tak terbatas, dan keadilan-Nya tak tertandingi. Mereka hidup dalam kehamonisan individual, sosial dan lingkungan sekitarnya, bukan dalam konflik dengan alam dan atau lingkungannya. 24 Dengan demikian pendidikan Islam lebih menekankan pada proses “bimbingan dan asuhan” bukan pada “pengajaran” yaitu transfer informasi tentang berbagai pengetahuan, yang mengandung konotasi otoritatif pihak institusional yakni pelaksanaan pendidikan dan lebih khususnya lagi adalah pihak guru. Dengan proses bimbingan dan asuhan sesuai dengan ajaran Islam, maka anak didik mempunyai ruang gerak yang luas untuk mengaktualisasikan segala potensi baiknya demi mencapai kedewasaan fisik, akal dan jiwa. Di sini guru lebih berfungsi sebagai “fasilitator” atau penunjuk jalan ke arah penggalian potensi baik anak didik. Karena Allah telah mengilhamkan kepada jiwa manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan ketakwaan seperti yang termaktub dalam QS. 91:8 yang artinya: “Maka Dia mengilhamkan kepada (jalan) kejahatan dan ketakwaannya”
23
Azyumardi Azra. Esei-Esei Intelektual Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2000, hal 6. 24 Haidar Bagir. Konsep Pendidikan Islam. hal.29.
10
Fungsi pendidikan disini adalah mengarahkan dan membimbing jiwa manusia agar potensinya selalu berada dalam ketakwaan. Dari ketiga istilah yaitu “tarbiyah”, “ta’lim” dan “ta’dib” sebagaimana telah diuraikan di atas para pendidikan di Indonesia nampaknya lebih senang menggunakan istilah tarbiyah untuk menyebut istilah pendidikan Islam sebagaimana terlihat dalam penggunaan istilah tarbiyah untuk menyebut fakultas pendidikan yang ada di perguruan tinggi Islam (UIN, IAIN, STAIN). 2. Pengertian Pendidikan Agama Islam disekolah Dalam struktur kurikulum nasional pendidikan menengah atas mata pelajaran agama merupakan mata pelajaran wajib yang diberikan di seluruh sekolah, di setiap jurusan, program dan jenjang pendidikan, baik di sekolah negeri maupun swasta. Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah memandang penting pendidikan agama diajarkan di sekolah. Misi utamanya adalah membina kepribadian siswa secara utuh dengan harapan bahwa siswa kelak akan menjadi siswa yang beriman kepada Allah Swt, mampu mengabdikan ilmu-Nya untuk kesejahteraan umat manusia. Menurut Satryo Soemantri Brodjonegoro,25 profil di atas merupakan tolok ukur sosok manusia Indonesia yang utuh dan diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan dalam perkembangan global. PAI di sekolah berada di suatu sistem persekolahan. Secara institusional terikat oleh sistem persekolahan yang cenderung menganut sistem pendidikan sekuler. Di satu sisi PAI merupakan subsistem dari sistem pendidikan di sekolah , namun di sisi lain PAI sebagai subsistem dari pendidikan Islam yang dituntut untuk mengembangan dan mengelola diri sendiri sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam. Oleh karena itu persoalan yang dihadapi PAI di sekolah sangat berbeda dengan pendidikan Islam secara keseluruhan. Dalam sistem pendidikan di persekolahan terdapat dua peristilahan, yaitu “pendidikan” dan “pengajaran”. Terhadap kedua istilah di atas para parktisi 25
Satrio Soemantri Brodjonegoro. “Wacana tentang Pendidikan Agama Islam” dalam Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi Editor Fuaduddin & Cik Hasan Basri, Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1999, hal. 11.
11
pendidikan lebih cenderung ke arah pengajaran bukan pendidikan. Berkaitan dengan makna pendidikan dan pengajaran, Harun Nasution menegaskan bahwa untuk membentuk kepribadian murid sebagai pribadi yang utuh diperlukan pendidikan agama bukan pengajaran agama. Namun yang berlaku pada umumnya di sekolah umum termasuk sekolah adalah pengajaran agama bukan pendidikan agama”.26 Mungkin hal seperti ini merupakan salah satu penyebab kemerosotan akhlak, khususnya di kalangan para siswa sebagai generasi penerus bangsa. Menurut Azyumardi Azra pendidikan lebih dari sekedar pengajaran karena pendidikan lebih diarahkan kepada pembentukan dan pembinaan seluruh aspek kepribadian peserta didik, bukan sekedar transfer informasi tentang ilmu pengetahuan kepada murid. Pendidikan merupakan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya sedangkan pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan “tukang” atau spesialisasi yang terkurung dalam ruang spesialisasinya yang sempit”. 27 Berdasarkan dua pendapat di atas, pemberian materi agama Islam di sekolah semestinya disampaikan melalui proses pendidikan bukan pengajaran, sesuai dengan namanya yaitu mata pelajaran Pendidkan Agama Islam (PAI). Dalam menyelenggarakan dan melaksanakan PAI di sekolah harus dibedakan antara program dengan tujuan. PAI di sekolah merupakan salah satu program dari pendidikan Islam yang berfungsi sebagai media pendidikan Islam melalui lembaga pendidikan formal, yang diberikan di sekolah. Nurcholis Madjid,28 membedakan penyelenggarakan pendidikan Islam kepada dua bagian. Pertama program pendidikan yang bertujuan untuk mencetak ahli-ahli agama. Kedua program
pendidikan agama yang bertujuan untuk memenuhi
kewajiban setiap pemeluk agama untuk mengetahui dan mengamalkan dasar-dasar agamanya. 26
Harun Nasution. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. (Bandung: Mizan, 1995), Bandung: Mizan. 1995,cet.ke II, hal. 385. 27 Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi menuju Milenium Baru hal. 3 28 Nurcholis Madjid, “Masalah Pendidikan Agama Di Sekolah Menengah Umum”.dalam Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi, Editor Fuaduddin & Cik Hasan Basri Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1999, hal 40.
12
Yang dimaksud dengan pendidikan agama Islam di sini adalah bagian yang kedua, yaitu program pendidikan agama Islam sebagai satu pelajaran tentang agama Islam yang diberikan di sekolah. Tujuannya untuk membina peserta didik menjadi orang yang memiliki kepribadiaan muslim secara utuh yakni pribadi yang selalu taat menjalankan perintah agamanya, bukan menjadikan mereka sebagai ahli dalam bidang agama Islam. Untuk pengertian PAI di sekolah adalah suatu pelajaran atau program studi yang bertujuan untuk menghasilkan para siswa yang memiliki jiwa agama dan taat menjalankan perintah agamanya, bukan menghasilkan siswa yang berpengetahuan agama secara mendalam. Titik tekannya di sini adalah mengarahkan siswa agar menjadi orang-orag yang beriman
dan
bertakwa
untuk
melaksanakan
amal
shaleh
sesuai
dengan
kemampuannya masing-masing. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran pengetahuan tentang agama Islam yang diberikan di sekolah merupakan bagian integral dari pendidikan Islam. Mata pelajaran PAI di sekolah mempunyai misi lebih luas dari sekedar memberi pengetahuan tentang ajaran agama Islam. PAI lebih dititik beratkan pada pembinaan kepribadian peserta didik berdasarkan ajaran Islam, yang salah satu aspeknya adalah pembekalan pengetahuan tentang agama Islam. Sebagaimana layaknya mata pelajaran PAI memiliki materi, metode, dan sistem evaluasi secara terencana. Mengingat posisi PAI di sekolah sangat strategis yaitu merupakan suatu mata pelajaran wajib yang diberikan kepada seluruh siswa yang beragama Islam dari berbagai jurusan, program, dan jenjang maka program pembelajarannya harus dirumuskan secara baik. Walaupun mata pelajaran PAI haya diberikan dua jam perminggu, namun apabila dikelola secara optimal maka akan memperoleh hasil yang baik.
B. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Agama Islam
13
Secara umum tujuan pendidikan agama Islam yaitu untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.29 PAI di sekolah bertujuan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan siswa tentang agama Islam sehingga menjadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Tujuan yang diharapkan dalam mengembangkan PAI adalah (1) menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) menanamkan nilai-nilai budaya pada umumnya, (3) mengembangkan kepribadian, (4) mengembangkan kepekaan rasa, (5) mengembangkan bakat, (6) mengembangkan minat belajar, (7) meningkatkan budi pekerti yang luhur sesuai dengan agama dan keyakinannya. Secara lebih tegas dan mendalam Dahlan M.D. memberikan penjelasan tentang tujuan pendidikan agama Islam yang tidak jauh dari tujuan dienul Islam itu sendiri, yakni agar peserta didik menjadi umat yang berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw dalam melaksanakan kehidupan dan penghidupan agar mencapai kebahagiaan dan keselamatan hidup baik lahiriah maupun batiniah di dunia dan di akhirat.30 Jadi PAI di sini memiliki tujuan (1) agar peserta didik dapat mengatasi keterbatasan dirinya; (2) memberi santapan rohani; (3) memenuhi tuntutan fitrah manusia; (4) mencapai kebahagiaan dan keselamatan; (5) memelihara ketinggian martabat sebagai manusia; (6) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai kebenaran mutlak; (7) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber moral; (8) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber prinsip hidup; (9) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber hukum; (10) memberikan 29
Depdiknas RI., Kurikulum Sekolah Menengah Atas: Gari-Garis Besar Program Pendidikan Jakarta: Depdiknas, 1999, hal. 15. 30 Dahlan M.D., Model-model Mengajar , Bandung: CV. Diponegoro, 1994, hal. 6-10.
14
keyakinan bahwa Islam sebagai sumber informasi dan metafisika; dan (11) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber inspirasi dan ilmu pengetahuan. Di
sekolah pada umumnya pendidikan lebih cenderung mengajarkan
pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani, kemandirian dan rasa tanggung jawab bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan yang dilaksanakan kurang dan jarang terpadu dengan pembinaan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang nanti wujudnya akan sampai pada tercapainya perilaku budi pekerti yang luhur. Berbagai pihak menyatakan bahwa pendidikan telah menyimpang dari tujuan semestinya. Pengertian pendidikan telah diperkecil dengan “persekolahan” yang kemudian diperkecil lagi dengan “pengajaran”, untuk selanjutnya diperkecil dengan “pengajar di kelas” dan makin diperkecil lagi menjadi penyampaian materi kurikulum. Untuk selanjutnya berakhir dengan mempersiapkan diri pada Ujian Akhir Nasional (UAN). Akibatnya pendidikan telah berorientasi pada suatu hal yang sangat sempit, berpusat pada aspek-aspek kognitif dan intelektual sehingga pendidikan tidak mampu menghasilkan kepribadian yang utuh, bahkan untuk membina imtak yang ada pada siswa sangat sulit dilaksanakan. Tujuan pendidikan menurut ajaran agama Islam adalah membimbing menjadi individu menjadi “khalifah fil ardh”. Dikemukakan oleh Muhaimin dan Mujib bahwa tujuan manusia diciptakan adalah untuk mengabdi kepada Alllah swt dengan indikasi tugasnya berupa ibadah kepada Allah swt.31 Semua pihak yang peduli terhadap pendidikan mengembalikan praktik pendidikan sesuai dengan tujuan yang dicanangkan. Pendidikan yang telah diperkecil dan dipersempit, dikembangkan kembali menjadi pendidikan yang dapat membina dan membimbing siswa dalam pengembangan berbagai potensi yang dimilikinya. Untuk mengembangkan tugas-tugas sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah fil ardh. Pendidikan yang mampu mengembangkan dan membina perwujudan diri siswa secara optimal sesuai dengan tuntunan Allah swt. Selanjutnya dikemukakan oleh Muhaimin dan Mujib bahwa tujuan PAI harus berorientasi pada hakikat pendidikan yaitu seperti berikut ini. 31
Muhaimin dan A. Mujib, Pemikiran Filsafat Pendidikan, hal. 153-154.
15
1) Tujuan dan tugas hidup manusia, manusia diciptakan untuk membawa tujuan dan tugas hidup tertentu. Tujuan hidup manusia untuk beribadah kepada Allah swt, dan bertugas sebagai pemimpin di muka bumi sebagai khalifah fil ardh Hal ini sesuai dengan firman Allah swt yang berbunyi: “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam”. 2) Sifat-sifat dasar (nature) manusia, yaitu konsep tentang manusia yang diciptakan sebagai khalifah di muka bumi (Q.S. az-Zariyaat [51]: 56). Penciptaan itu dibekali dengan berbagai macam fitrah yang berkecenderungan pada alternatif (rindu akan kebenaran dari tuhan) berupa agama Islam (Q.S. al-Kahfi [18]: 19) sebatas kemampuan dan kapasitas ukuran yang ada. 3) Tuntutan masyarakat, untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan tuntutan dunia modern. 4) Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam, mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia sedunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kesejahteraan hidup di akhirat, serta mengandung nilai-nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan, sehingga manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki.32 Tujuan PAI ini merupakan penjabaran dari Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yaitu “ Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. 33 Beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang maha Esa dalam rumusan tujuan pendidikan nasional di atas menunjukkan bahwa pendidikan agama diharapkan memberikan kontribusi positif terhadap usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional. 32
Ibid., hal. 153-154. Afnil Guza, ”Standar Nasional Pendidikan (SNP)”, Kumpulan Undang-undang tentang Pendidikan, Jakarta: Asa Mandiri, 2007. 33
16
Karena keimanan dan ketakwaan hanya dapat terbina secara sempurna melalui pendidikan dan pengajaran agama Islam. Karena itu PAI mempunyai peran penting dalam sistem pendidikan nasional. Sejalan dengan uraian di muka Dahlan mengemukakan makna pendidikan Islam sebagai berikut, yaitu: “…bahwa pendidikan agama Islam merupakan penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk, taat pada Islam dan menerapkannya secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat. Untuk merealisasikannya dituntut komunikasi, mengakui adanya inisiatif, aktivitas, dan kreativitas terdidik yang masih perlu bantuan dan arahan, agar tidak menyimpang dari tujuan yang diharapkan. Sedangkan tugas yang diembannya menyiratkan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi”. 34 Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa melalui tujuan PAI manusia diharapkan selalu bersih untuk mencapai taraf makhluk yang tertinggi, makhluk termulia, sebagai khalifah fil ardh, agar mendapat ridho Allah swt. Sehingga tercapai kebahagian hidup di dunia dan kehidupan di akhirat nanti. Di samping itu manusia tidak boleh lupa bahwa segala sesuatu yang diperolehnya adalah atas petunjuk serta atas izin Allah swt. Dengan hasil pendidikan yang dijalani manusia dapat berusaha mencapai tujuan hidupnya yang hakiki sesuai dengan ajaran agama Islam. C. Pentingnya Pendidikan Agama Islam di sekolah 1. Eksistensi pendidikan Agama Islam dalam Pendidikan Nasional Berangkat dari suatu pemikiran bahwa PAI di sekolah merupakan salah satu media pendidikan Islam, maka pelaksanaannya sudah barang tentu harus merujuk pada sistem pendidikan Islam secara utuh. Pendidikan agama Islam dalam berbagai tingkatannya mempunyai kedudukan penting dalam sistem pendidikan nasional sesuai dengan Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan Undang-undang ini posisi pendidikan agama sebagai subsistem pendidikan nasioanal menjadi semakin
34
Dahlan M.D., Sistem Pendidikan Islam, Makalah, disajikan dalam seminar “Implementasi Akhlak al-Qur’an di Musabaqah al-Qur’an Metodik Pendidikan Islam Progresif ”. Kamis, 19 Rajab/26 September, Fakultas Tarbiyah UBINSA, 2002. hal.5.
17
mantap.35 Dalam UU No .20/2003 pasal 3 dikemukakan: bahwa “Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.36 Dalam tujuan pendidikan nasional tersebut, dimensi keimanan dan ketakwaan merupakan bagian yang terpadu dari tujuan pendidikan nasional. Hal ini mengimplikasikan bahwa pembinaan iman dan takwa bukan hanya tugas dari bidang kegiatan atau bidang kajian tertentu secara terpisah, melainkan tugas pendidikan secara keseluruhan sebagai suatu sistem. Artinya, sistem pendidikan nasional dan seluruh upaya pendidikan sebagai suatu sistem yang terpadu harus secara sistematis diarahkan untuk menghasilkan manusia yang utuh, yang salah satu cirinya adalah manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penjabaran tujuan pendidikan nasional secara operasional ke dalam sejumlah bidang kegiatan pendidikan secara sadar dan terarah ditujukan untuk mencapai keseluruhan dimensi tujuan pendidikan nasional masih mengalami kesulitan. Dalam kenyataan praktik-praktik pendidikan lebih mengutamakan dimensi-dimensi tujuan yang bersifat intrumental yang berkenaan dengan aspek pengetahuan dan keterampilan. Hal ini dapat dipahami karena secara konvensional, kegiatan pendidikan atau yang lebih tepat proses belajar dan mengajar lebih banyak berkenaan dengan belajar akademik (academic learning) untuk penguasaan bidang pengetahuan atau keterampilan tertentu.37 Alasan lain proses pendidikan untuk mencapai aspek pengetahuan dan keterampilan lebih mudah diamati dan diukur dari pada aspek nilai dan sikap. Akibatnya dimensi-dimensi nilai dan efektif yang bersifat intrinsik dari tujuan pendidikan seringkali terabaikan dan hanya menjadi efek penyerta (nurturant effect)
35
Azyumardi Azra Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi menuju Milenium Baru ,hal.
57. 36
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No 20 Tahun 2003. Ahmad Tirto Sudiro. Pendidikan Agama dalam Persepektif Agama-agama. Jakarta: Dirjen Dikti, 1995, hal.82. 37
18
dari upaya pendidikan.38 Sementara itu dari sejarah dan filsafat pendidikan yang sejati mampu memberikan perhatian secara seimbang kepada semua dimensi potensi manusia, baik dimensi pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), nilai dan sikap (afektif), serta kemauan (konatif).39 Pentingnya perhatian yang besar dicurahkan kepada pembinaan keimanan dan ketakwaan siswa ditegaskan pula dalam sejumlah hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Setiap tahun Rakernas Depdiknas menetapkan peningkatan pendidikan agama sebagai salah satu kebijaksanaan yang memperoleh perhatian sungguh-sungguh. Pengertian pendidikan agama dalam butir kebijaksanaan tersebut idealnya bukan hanya mengacu kepada PAI, melainkan kepada seluruh upaya pembinaan kualitas keberagaman siswa secara terpadu di sekolah. Karena alasan tersebut dan didasari oleh adanya kebutuhan untuk memberikan penekanan yang lebih kuat pada pendidikan yang dapat mengembangkan kualitas imtak siswa, maka upaya-upaya pembinaan keimanan dan ketakwaan siswa mengalami perluasan dan pengayaan. Ia tidak lagi cukup hanya didekati secara monolitik, melainkan harus secara integratif.40 Artinya, ia tidak lagi hanya sematamata dipercayakan kepada PAI secara sebagai suatu mata pelajaran, melainkan dikembangkan strategi lain yang secara komplementer membina imtak siswa. Bersamaan dengan itu dikotomi yang selama ini terjadi antara pendidikan agama dan pendidkan umum mulai dijembatani. Adapun strategi yang dapat dilakukan antara lain melalui (1) integrasi materi imtak ke dalam mata pelajaran lain yang nonPAI; (2) penciptaan iklan lingkungan sekolah yang kondusif untuk tumbuhnya imtak; (3) kegiatan ekstra-kurikuler yang bernafaskan imtak; dan (4) mempererat kerjasama sekolah dengan orang tua dan masyarakat dalam pembinaan imtak siswa.
38
Dedi Supriadi, Membangun Bangsa melalui Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004, hal. 71. 39 Ibid, 75. 40 Permendiknas RI No. 23 Th. 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas, 2006, baca juga Permendiknas RI No. 6 Th. 2007 tentang Perubahan Permendiknas RI No. 24 Th. 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas RI no 22 dan 23 Th. 2006.
19
2. Pendidikan Agama Islam di Sekolah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 dan 2 sebagai berikut. 1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilki kekuatan keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, bangsa, dan negara. 2. Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila Dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilainilai agama, kebudayaan nasional indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Dari rumusan diatas, dalam rangka mengembangkan dan membangun potensi manusia seutuhnya, dalam arti utuh jasmani dan rohani sesuai dengan amanah Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, diperlukan adanya pelaksanaan pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah ada semua jalur jenis dan jenjang pendidikan. Pendidikan secara kulturan pada umumnya berada dalam lingkup peran, fungsi dan tujuan yang tidak berbeda. Semuanya hidup dalam upaya yang bernaksud mengankat dan menegakkan martabat manusia melalui transmisi yang dimilikinya, terutama dalam bentuk transfer of knowledge dan transfer of values. Dalam konteks ini secara jelas juga menjadi sasaran jangkauan pendidikan Agama Islam merupakan bagian dari system pendidikan nasional, sekalipun dalam kehidupan bangsa Indonesia tampak sekali eksistensinya secara cultural. Tapi secara kuat ia telah berusaha untuk mengambil peran yang kompetitif dalam setting sosiologis bangsa, walaupun tetap saja tidak mampu menyamai pendidikan umumnya yang ada dengan otonomi dan dukungan yang lebih luas, dalam mewujudkan tujuan pendidikan secara nyata. Sebagai pendidikan yang berlebel agama, maka pendidikan Agama Islam memiliki transmisi spritual yang lebih nyata dalam proses pengajarannya dibanding dengan pendidikan umum, sekalipun lembaga ini juga memiliki muatan serupa. Kejelasannya
20
terletak pada keinginan pendidikan Agama Islam untuk mengembangkan keseluruhan aspek dalam diri anak didik secara berimbang, baik aspek intelektual, imajinasi dan keilmiahan, kulturan serta kepribadian. Karena itulah pendidikan Agama Islam memiliki beban yang multi paradigma, sebab berusaha memadukan unsur iman dan taqwa, dimana dengan pemaduan ini, akan membuka kemungkinan terwujudnya tujuan inti pendidikan Agama Islam yaitu melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang. Antara ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan, karena perkembangan masyarakat Islam, serta tuntutannya dalam membangun manusia seutuhnya (jasmani dan rohani) sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ilmu pengetahuan yang dicerna melalui proses pendidikan. Proses pendidikan tidak hanya menggali dan mengembangkan sains, tetapi juga, lebih penting lagi yaitu dapat menemukan konsepsi baru ilmu pengetahuan yang utuh, sehingga dapat membangun masyarakat Islam sesuai dengan keinginan dan kebutuhan yang diperlukan. Berangkat dari pengertian pendidikan Islam, maka pendidikan agama Islam di sekolah dapat didefinisikan sebagai suatu program pendidikan yang menanamkan nilai-nilai Islam melalui proses pembelajaran, dikemas dalam mata pelajaran, diberi nama pendidikan agama Islam (PAI). Sebagai mata pelajaran wajib di sekolah, PAI memiliki kurikulum yang rancangannya sesuai dengan sistem di sekolah umum. Pengertian ini berangkat dari suatu pemikiran bahwa PAI di sekolah merupakan salah satu media pendidikan Islam, maka segala upayanya harus selalu merujuk pada konsep pendidikan Islam secara utuh. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum sesuai dengan ketentuan undang-undang dapat dilihat pada beberapa asal dari UUSPN No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pada pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa: Kurikulum pendidikan Dasar dan Menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewargaan, bahasa, matematika, ilmu pengetahauan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejujuran, dan muatan lokal.
21
Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 37 ayat (1) tersebut diatas ditegasna bahwa: Pendidikan agar dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Bab V tentang peserta didik, pasal 12 ayat (1) (1)
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang se-agama b. Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan.
Bab X tetntang kurikulum pada pasal 36 ayat (3) juga dinyatakan: (3)
kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonsia dengan memperhatikan: a. Peningkatkan iman dan takwa; b. Peningkatan akhlak mulai; c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. Keraguan potensi daerah dan lingkungan; e. Tuntutan pembangunan daerah dan lingkungan; f. Tuntutan dunia kerja; g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. Agama i. Dinamika perkembangan global; dan j. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Dengan demikian, pelaksanaan pendidikan agama di sekolah di atur dalam
undang-undang, baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum, dan komponen pendidikan lainnya. Lebih lanjut dapat diungkapkan bahwa dalam rangka membangun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, maka pendidikan agama berfungsi sebagai berikut. a. Dalam aspek individual adalah untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia.
22
b. Dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah untuk hal-hal sebagai berikut. a) Melestarikan asas pembangunan nasional, khususnya asas perikehidupan dan keseimbangan. b) Melestarikan modal dasar pembangunan nasional yakni modal rohaniah dan mental berupa keimanan, ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. c) Membimbing warga negara Indonesia menjadi warga negara yang baik sekaligus umat yang taat menjalankan agamanya. Hal ini sesuai dengan rumusan UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis seta bertanggung jawab. Dari kutipan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional diatas, dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pendidikan agama menempati tempat yang strategis secara operasional, yaitu pendidikan agama mempunyai relevansi enan pendidikan kehidupan bangsa dalam mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya sesuai amanah pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Upaya pendidikan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, memberikan makna perlunya pengembangan dimensi aspek kepribadian seluruh makna perlunya pengembangan seluruh dimensi aspek keperibadian seluruhnya secara seimbang dan selaras. Konsep manusia seutuhnya harus dipandang memlki unsur jasad, akal, dan kalbu serta aspek kehidupannya sebagi makhluk individu, sosial, susila, dan agama. Kesemuannya harus berada dalam kesatuan integralistik yang bulat. Pendidikan agama perlu diarahkan untuk mengembangkan iman, akhlak,
23
hati nurani, budi pekerti serta aspek kecerdasan dan keterampilan sehingga terwujud keseimbagan. Dengan demikian, pendidikan agama secara langsung akanmampu memberikan kontribusi terhadap seluruh dimensi perkembangan manusia Indonesia seutuhnya seperti tercermindari semua unsur yang terkandung dalam rumusan dalam rumusan tujan pendidikan nasional seperti yang dimaksudkan. 41 Dalam pelaksanaan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang objeknya adalah pribadi anak yang sedang berkembang, maka adanya hubungan timbal balik antara penanggung jawab pendidikan, yaitu yang didalamnya terdiri dari kepala sekolah, para guru, staf ketatausahaan, orang tua dan anggota keluarga lainnya mutlak diperlukan. Hal ini bukan hanya kaena peserta didik masih memerlukan perlindungan dan bimbingan sekoah dan keluarga tersebut, tetapi juga pengaruh pendidikan dan perkembangan kejiwaan yang diterima peserta didik dari kedua lingkungan tersebut tidak boleh menimbulkan pecahnya keperibadian anak. Pengaruh komplikasi psikologis tersebut selain bisa mengakibatkan frustasi pada diri anak, juga dapat menghambat perkembangan jiwa anak didik. Dengan kata lain, kerja sama antara penaggung jawab pendidikan tersebut perlu diintensifkan, baik melalui usaha guru-guru di sekolah maupun orang-orang tua murid. Pertemuan antara kedua pendidik ( guru dan orang tua) perlu diadakan secara periodik; kunjungan guru kerumah orang tua murid yang diatur secara periodik untuk saling mengadakan pertukaran pikiran dan pendapat tentang anak didiknya adalah merupakan kegiatan pedagogis yang sangat penting artnya bagi usaha menyukseskan pendidikan agama. Guru perlu mengetahui sedikit tentang suasana rumah, tempat anak itu hidup, sehingga guru mengetahui suasana hidup keagamaannaya dan bagaimana pandangannya terhadap perlunya pendidikan agama bagi putra-putrinya. Guru memerlukan keterangan-Keterangan dari orang tua murid mengenai anaknya masing-masing. Melalui cara demikian, guru akan memperoleh petunjuk-petunjuk yang berharga yang dapat digunakan guna pendidikan anak di sekolah.
41
Depdikanas, Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas Dan Madrasah Aliyah, Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas,2003, hal. 17
24
Lingkungan masyarakat juga mempunyai pengaruh pada pendidikan anak di sekolah terhadap peaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah, sekolah dan masyarakatnya juga dipengaruhi oleh hasil pendidikan sekolah. Menjadi tugas sekoah untuk mengenal anak agar mereka belajar hidup dimasyarakat dan belajar memahaminya dan mengenal baik buruknya. Dengan demikian, dengan cara tersebut diharapkan agar anak memahami dan menghargai suasana masyarakatnya. Salah satu dari tujuan sekolah adalah menagntar anak dalam kehidupannya di dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan agama yang berlangsung dan diselenggarakan masyarakat harus menjadi penunjang dan pelengkap yang mampu untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan keagamaan anak. Dengan demikian pula hendaknya yang terjadi dilingkunagn keluarga, pendidikan agama harus menjadi pendorong yang saling menguatkan, sehingga melalaui program keterpaduan dapat dikembangkan program pendidikan agama yang berkelanjutan, yang saling mengisi dan menguatkan. Program pendidikan agama tersebut harus diusahakan agar tidak tumpang tindih, tidak saling melemahkan dan tidak terjadi bertentangan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, prinsip keterpaduan pendidikan agama Islam akan tercapai dengan baik. Selanjutnya, perlu ditegaskan kembali di sini bahwa pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kerukunan hubungan antara umat beragama. Adapun tujuan pendidikan, yaitu untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam mengembangkan, memahami, menghormati dan mengamalkan nilai-nilai agama Islam, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Perlu diingat bahwa dalam pelaksanaan pendidikan agama harus memperhatiakn prinsip dasar sebagai berikut. 1) Pelaksanakan pendidikan agar harus mengacu pada kurikulum pendidikan agama yang berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik. 2) Pendidiakn agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.
25
3) Pendidikan agama harus dapat menumbuhkan sikap kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan, teknokrat, dan seni. 4) Pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan dan rasa hormat internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. 5) Satuan pendidikan yang berciri khas agama dapat menciptakan suasana keagamakan dan menambah mutan pendidikan agama sesuai kebutuhan, seperti tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalamannya. Dengan demikian, setiap satuan pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama, dengan ketentuan sebagai berikut. a) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama. b) Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik. c) Setiap satuan pendidikan seharusnya menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan persyaratan agama yang dianut oleh peserta didik. d) Tempat melaksanakan ibadah agama dapat berupa ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya. e) Satuan pendidikan yang bercirikan khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun tempat ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan. Adapun kualifikasi minimum pendidik pendidikan agama pada tingkat SD, SMP, SMU/SMK, atau bentuk lain yang sederajad adalah sarjana agama, ditambah sertifikat profesi Pendidik pendidikan agama dari perguruan tinggi yang terakreditasi. Pendidik pendidikan agama adalah guru mata pelajaran pendidikan gama harus memiliki latar belakang agama sesuai dengan agama yang dianut peserta didik dan mata pelajaran pendidikan agama yang diajarkan bagi pendidik yang tidak memenuhi
26
kualifikasi minimum sebagaiman tersebut, tetap memiliki keahlian di bidang agama dan diperlukan dapat menjadi pendidik pendidikan gama setelah melalui uji kelayakan dan kesetaraan. Pendidikan pendidikan agama pada satuan pendidikan disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan atau pengawasan pendidikan agama dilakukan oleh pengawasan pendidikan agama terhadap penyelenggaraan pendidikan agama, tidak lanjut hasil pengawasan. Laporan sebagaimana dimaksud diatas dan ditujukan kepada kantor Departemen Agama Kabupaten/kota atau kantor Wilayah Departemen Agama. 3. Pendidikan Agama Islam sebagai Pendidikan Nilai (Afektif) di sekolah Pengembangan sumber daya manusia (SDM) pada hakekatnya merupakan upaya untuk mewujudkan dan mengembangkan seluruh aspek keperibadian meliputi pengembangan daya nalar, pengembangan sikap dan perilaku sebagai makhluk Tuhan yang beriman dan berbudaya. Dalam rangka pengembangan kepribadian tersebut, Ahmad Watik Pratiknya,42 berpendapat bahwa dalam pengembangan sumber daya manusia dapat menganut paradigma ”nilai tambah”. Dalam tinjauan makro paradigma ”nilai tambah” setidak-tidaknya memiliki dua makna penting yaitu makna ekonomis dan nonekonomis (nilai tambah insani). Nilai tambah ekonomis menjadikan manusia lebih produktif dan secara material nilainya lebih tinggi. Nilai tambah ekonomis dipengaruhi oleh pemanfaatan teknologi dalam proses produksi, kemampuan manajerial, dan profesionalisme. Nilai tambah insani (martabat kemanusiaan) menjadikan manusia lebih tinggi harkat serta derajat kemanusiaannya yaitu manusia sebagai subjek pembangunan. Sementara nilai tambah insani menempatkan manusia sebagai objek atau sasaran yang perlu dibangun. Kedua nilai tambah di atas amat diperlukan dalam menata sumber daya yang berkualitas menuju kehidupan masyarakat sejahtera.
42
Ahmad Watik Pratiknya. Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi Umum, Editor Fuaduddin dan Cik Hasan Basri. Jakarta: Logos Wacaana Ilmu 1999, hal. 87
27
Sumber daya manusia yang berkualitas itu menyangkut tiga demensi (1) dimensi spiritual, (2) dimensi ekonomis, dan (3) dimensi budaya. 43 Upaya pengembangan kualitas
sumber
daya
manusia
melalui
pendidikan
perlu
mengacu
pada
pengembangan nilai tambah pada tiga demensi tadi. Pendidikan agama di SMU merupakan salah satu implementasi dari pembinaan dimensi spiritual. Dari uraian di atas dapat diambil maknanya bahwa pendidikan merupakan suatu proses dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya. Secara makro misi pendidikan meliputi pembinaan iman dan takwa, pembinaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan pembinaan budaya. Proses pembinaan iman artinya proses transformasi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupannya sebagai hamba Allah yang meliputi ketaatan melaksanakan ibadah, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial dalam rangka membina pribadi yang beragama. Proses pembinaan iptek artinya proses pembinaan dan pengembangan potensi manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ke arah terbinanya kemampuan manusia dalam mengolah kekayaan alam dengan kemampuan ilmu dan teknologi untuk mendapatkan manfaat demi kesejahteraan manusia. Proses pemberdayaan artinya proses transformasi nilai-nilai budaya, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai spiritual menyangkut nilai-nilai etis, estetis, serta wawasan kebangsaan dalam rangka membina sikap saling menghormati. Dalam tinjauan secara makro dapat dilihat peran PAI dalam pengembangan SDM yaitu sebagai suatu proses pengembangan fitrah sebagai makhluk Tuhan yang potensinya sempurna. Dalam pelaksanaannya meliputi tiga tahapan yaitu alih pengetahuan (transfer of knowledge), alih metode (transfer of methodologi) dan alih nilai (transfer of value). Fungsi pendidikan sebagai alih pengetahuan dapat dilihat dari teori human capital di mana pendidikan tidak dipandang sebagai barang konsumsi belaka tetapi sebagai investasi jangka panjang. Pemahaman tentang ajaran agama yang luas dan komperehensif merupakan suatu investasi yang sangat berharga bagi siswa di sekolah
43
Ibid.
28
untuk meningkatkan prestasi belajar, beramal dan beribadah demi masa depan yang lebih baik. Fungsi pendidikan sebagai alih metode sangat berperan terutama dalam kemampuan penerapan ilmu pengetahauan dan teknologi. Pada teknological sciences lebih merupakan proses transfer of methodology dari pada transfer of knowlede. Dalam persepekif agama Islam hakekat iptek tidak lebih dari sekedar bagaimana menemukan proses sunatullah (hukum alam) itu terjadi, bukan menciptakan suatu ”hukum alam”. Pendidikan berfungsi membimbing peserta didik memahami bagaimana proses sunantullah itu terjadi di alam ini dan bagaiman mengolah dan memanfaatkan hasilnya untuk kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian tidak ada alasan bagi para ilmuwan untuk berlaku sombong karena prestasi akademisnya karena Tuhan telah menyediakan segalanya itu untuk kemaslahatan manusia. Yang dimaksud iptek di sini adalah iptek yang berwawasan iman dan takwa (imtak). Dilihat sacara makro, PAI sebagai proses alih nilai yang memiliki tiga sasaran. Pertama, PAI sebagai alat untuk membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan antara kemampuana afektif, kognitif, dan psikomotor. Di sini dapat digambarkan bahwa misi pendidikan adalah dapat menghasilkan manusia-manusia yang berkepribadian utuh. Kedua, dalam sistem nilai yang dilahirkan juga termasuk nilai-nilai keimanan dan ketakwaan akan terpancar pada ketundukan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada Tuhannya menurut keyakinannya masing-masing. Berakhlak
mulia,
dalam
alih
nilai
tersebut
juga
bermakna
dan
dapat
ditransformasikan yaitu nilai-nilai yang mendukung proses industrialisasi dan penerapan teknologi, seperti penghargaan terhadap waktu, disiplin, etos kerja, kemandirian, kewirausahaan, dan sebagainya. Seperti diketahui bahwa era industrialisasi yang berorientasi pada penggunaan teknologi memerlukan sikap dan pola pikir yang menunjang ke arah pemanfaatan dan penerapannya secara seimbang. Oleh karena itu nilai-nilai imtak perlu dijadikan landasan dalam pengembangan SDM Indonesia yang berkualitas.
29
Dari uraiaan di atas secara makro kita melihat fungsi dan peran pendidikan agama Islam dalam proses pembinaan pribadi yang beriman dan bertakwa, yang menguasai teknologi, dan berbudaya. Esensi dari nilai-nilai yang ditanamkan melalui tiga bentuk pembinaan di atas semuanya terkandung dalam PAI, dan keseluruhannya merupakan nilai-nilai yang sangat diperlukan dalam kehidupan di dunia modern. Yang menjadi persoalan sekarang sejauh mana mata pelajaran PAI di sekolah dapat menjadi fasilitas dalam memenuhi harapan siswa terhadap pegangan nilai yang mereka butuhkan dalam menghadapi kehidupan modern yang bercorak sekuler ini. D. Pendekatan Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Bertolak dari pemikiran bahwa PAI di sekolah merupakan salah satu media pendidikan Islam, kedudukannya sangat strategis dalam menanamkan nilai-nilai keislaman bagi para calon intelektual muslim. Untuk mewujudkannya diperlukan berbagai pendekatan dan startegi yang dapat sesuai dengan karakter dan kultur sekolah masing-masing. Menurut Siti Malikah Towaf,44 dalam menghadapi berbagai tantangan dalam melaksanakan ajaraan agama di abad modern-khususnya bagi kalangan siswa pelaksanaan pembelajaran PAI di sekolah dapat mengembangkan dua pendekataan yaitu pendekatan holistik dan pendekatan kontekstual. Istilah pendekatan holistik diambil dari kata holis yang merupakan “the view an organic or integrated whole has reality independent of and greater then the some of its part”
45
yaitu suatu pandangan
bahwa suatu organisasi atau suatu keseluruhan yang terpadu itu mempunyai realitas yang mandiri dan lebih besar dari sekedar kumpulan bagian-bagiannya. Pendekatan holistik memandang masalah, gejala atau masyarakat sebagai suatu kesatuan organisme. Pendekatan ini dipandang cocok dalam pengembangan PAI karena tujuan
44
Siti Malikah Towaf, Pendekatan Holistik, hal,169. Cottins, W.W Webstrer’s New School and Affice Dictionary. Wartrd Publising Co.Inc.United States of America.1983, hal, 687. 45
30
PAI adalah membina siswa agar lebih memiliki kepribadian muslim secara utuh melalui pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam secara utuh pula. Istilah pendekatan kontekstual diambil dari kata “contextus to weave together”, yang dapat dijabarkan sebagai the whole situation background and environment relevant to some happening or personality46 yang berarti seluruh situasi, latar belakang atau lingkungan yang relevan dengan beberapa kepribadian. Pendekatan ini dipilih juga berdasarkan pada rumusan tujuan PAI yang menghendaki siswa memiliki wawasan berpikir komprehensif dan pendekatan integratif dalam menyikapi berbagai masalah kehiduannya, baik sosial, konomi, politik, pertahanan, keamanan dan kebudayaan, baik dalam lingkup pribadi, keluarga maupun masyarakat luas. Berkenaan dengan hal tersebut terdapat
tuntutan bahwa PAI di sekolah dapat
dikembangkan dengan memperhatikan latar belakang situasi dan lingkungan, baik dalam konteks makro maupun mikro karena semua itu dapat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian. Adanya pendekatan holistik PAI di sekolah sebagai tradisi normatif dan ediologis, sedangkan pendekatan kontektual lebih mencerminkan tradisi ilmiah. Kedua pendekatan ini sangat memungkinkan dalam memberikan kesempatan belajar seluas-luasnya kepada siswa tentang ajaran Islam. Pendekatan ini disebut pendekatan integratif. Pendekatan kontektual dalam PAI tercermin pada pengembangan materi dan proses yang tidak hanya memberikan gambaran utuh tentang ajaran Islam yang diyakini siswa, tetapi juga mencerminkan pemenuhan harapan siswa terhadap ilmu pengetahuan dan pengembangan pengetahuan secara islami serta mengarah kepekaan siswa terhadap masalah-masalah aktual yang menyentuh bidang kehidupan nyata. Dari kedua pendekatan di atas, PAI di sekolah dapat diposisikan sebagai suatu strategi untuk merombak dikotomisasi antara ilmu pengetahuan agama dengan ilmu pengetahan umum, karena di benak siswa di sekolah sebagai calon intelektual Islam di masa depan, proses dikotomisasi hampir mendominasi proses belajar mereka seiring dengan perkembagan iptek modern yang bercorak sekuler. Untuk merombak 46
Ibid, hal 394.
31
pemahaman dikotomis tersebut, pendekatan kontekstual merupakan pilihan yang tepat untuk mempertautkan ajaran Islam dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang digali dan dipelajari siswa. Upaya tersebut dapat diawali dengan mengupas secara jelas dan tuntas tentang sistem pengetahuan dalam Islam. Penjelasan tersebut dimulai dari pertanyaan-pertanyaan filosofis berikut (1) bagaimana kedudukan ilmu pengetahuan yang benar dalam persefektif Islam, (2) bagaimana cara memperoleh pengetahaun yang benar dalam Islam, dan (3) bagaimana cara memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam. Konsentrasi dari pendekatan itu diperlukan materi tentang filsafat ilmu dalam persefektif Islam. Sebagai contoh pandangan dasar Islam tentang ilmu dinyatakan bahwa ilmu pengetahuan hanya merupakan deskripsi tentang alam yang disepakati oleh Allah Swt, sedangkan pengembangannya hanya merupakan upaya manusia dalam mengungkap kebenaran Ilahi dengan menggunakan akal dan pengamalan indra yang dimilikinya. Penggunaan kedua pendekatan di atas sejalan pula dengan hasil analisis yang dikemukakan oleh Kuntowidjoyo,47 bahwa tradisi keilmuan dalam Islam memiliki tiga aspek, yaitu: (1) tradisi normatif baik yang bersifat deklaratif maupun apologetis dalam arti menjelaskan norma-norma ajaran Islam ataupun sikap pembelaan dalam menghadapi tulisan orang luar tentang Islam, (2) tradisi ideologis yaitu cita-cita mewujudkan akhlakul karimah secara individual maupun sosial dan kontektual, sosial dan historis yang berkembang akhir-akhir ini. Pendekatan ini dimungkinkan dapat menjangkau kemampuan berpikir dan bertindak para siswa dalam menyikapi berbagai masalah dalam kehidupan yang dihadapinya, baik kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik pengetahuan dan keamanan karena mereka dibekali wawasan berpikir agama yang komprehensif dan integral. Untuk menerapkan kedua pendekatan di atas pelaksanaan pembelajaran PAI di sekolah dituntut untuk memperhatikan latar belakang disiplin ilmu siswa dan situasi lingkungan aktual kehidupan mereka, baik dalam konteks makro maupun mikro. 47
Siti Malikah Towaf. Pendekatan Holistik, hal 169
32
Yang dimaksud dengan konteks makro di sisni adalah latar belakang sosial, politik, ekonomi dan hudaya masyarakat Indonesia, dan perkembangan iptek. Sedangkan yang dimaksud dengan konteks mikro adalah latar belakang kebutuhan sekolah siswa terhadap PAI. Untuk mengaplikasikan kedua pendekatan yang ditawarkan tersebut perlu dicari strategi yang tepat.
E. Rangkuman Pendidikan Islam lebih tepat diartikan istilah ta’lim karena proses ta’lim lebih bersifat universal dibanding dengan proses tarbiyah. Secara etimologis penggunaan term “tarbiyah”, “ta’lim” dan “ta’dib” pada prinsipnya sama yaitu digunakan untuk menjelaskan suatu proses dalam menumbuhkan dan mengembangkan seluruh potensi baik manusia ke arah kematangannya, baik secara fisik, akal, maupun kejiwaan. Perbedaan pandangan dalam menggunakan ketiga istilah di atas merupakan gambaran betapa kompleksnya masalah pendidikan dan betapa luasnya khazanah keilmuan dalam Islam karena masing-masing memiliki alasan yang sama-sama kuat merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Sebagai contoh Naquib Alattas mempertahankan istilah ta’dib, Fatah Jalal dengan istilah ta’lim dan Abdurrahman An-Nahlawi dengan istilah tarbiyah. Perbedaan pemahaman mereka sangat tergantung pada latar belakang pendidikan, pengalaman dan kedalaman analisis masing-masing. Pendidikan Islam yaitu pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia agar hidup lebih dalam keadaan damai maupun perang dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. Pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi dan sebagainya) dan raga objek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu, dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah tercapainya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.
33
Penyelenggarakan pendidikan Islam kepada dua bagian. Pertama program pendidikan yang bertujuan untuk mencetak ahli-ahli agama. Kedua program pendidikan agama yang bertujuan untuk memenuhi kewajiban setiap pemeluk agama untuk mengetahui dan mengamalkan dasar-dasar agamanya. Terkait dengan pengertian pendidikan Islam dalam proses menuntun manusia maka pendidikan agama Islam disini adalah bagian yang kedua, sebagai satu pelajaran tentang agama Islam yang diberikan di sekolah. Tujuannya untuk membina peserta didik menjadi orang yang memiliki kepribadiaan muslim secara utuh yakni pribadi yang selalu taat menjalankan perintah agamanya, bukan menjadikan mereka sebagai ahli dalam bidang agama Islam. Untuk pengertian PAI di sekolah adalah suatu pelajaran atau program studi yang bertujuan untuk menghasilkan para siswa yang memiliki jiwa agama dan taat menjalankan perintah agamanya, bukan menghasilkan siswa yang berpengetahuan agama secara mendalam. Titik tekannya di sini adalah mengarahkan siswa agar menjadi orang-orag yang beriman
dan
bertakwa
untuk
melaksanakan
amal
shaleh
sesuai
dengan
kemampuannya masing-masing. Tujuan yang diharapkan dalam mengembangkan PAI adalah (1) menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) menanamkan nilai-nilai budaya pada umumnya, (3) mengembangkan
kepribadian,
(4)
mengembangkan
kepekaan
rasa,
(5)
mengembangkan bakat, (6) mengembangkan minat belajar, (7) meningkatkan budi pekerti yang luhur sesuai dengan agama dan keyakinannya.
F. Latihan 1. Jelaskan defenisi pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam yang anda ketahui ? 2. Apa yang anda ketahui tentang konsep pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam ? 3. Pendidikan Afektif adalah termasuk pendidikan Nilai, coba anda uraikan apa yang dimaksud pendidikan Nilai itu sendiri ?
34
4. Apa yang anda ketahui tentang pendidikan Agama Islam dalam sistem pendidikan Nasional Di Indonesia ? G. Bahan Bacaan Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.1997. Aims and Objectivies of Islamic Eduacation. (King Abdul Aziz University, Jeddah, 1997), hlm, 64-65. Buku ini merupakan kumpulan makalah yang dibahas dalam “World Conference on Muslim Education” I yang diselenggarakan di Makkah dan Jeddah 1997. Muhaimin &Abdul Mujib. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya.1993. Fahrur Razy. Tafsir Fakhrur Razy. Teheren: Darul Kutub Al-Ilmiyah.1981, Juz XXI. Sayyid Qutb.Tafsir Fadhilali Al-Qur’an, Cairo-Mesir: Darul Fikri.1985. Abdurrahman Al-Nahlawi. Pendidikan Islam di Sekolah, Madrasah dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press. 1985 Abdul Fatah Jalal. Azaz-azaz Pendidikan Islam, terj. Heri Noor, Bandung Diponegoro.1977. Sayyed Naquib Alattas, Aims and Objectivies of Islamic Education. King Abdul Aziz University.Jeddah, 1997. Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2000. Haidar Bagir. Konsep Pendidikan Islam. (Bandung : Mizan. 1994) Cet IV, hlm. 29 buku ini sebahagian besar merupakan terjemahan dari Aims and Objectivies of Islamic Education, karya Sayyed Naquib Alattas, yang gasasangagasannya diperkaya dan dikembangkan oleh penerjemah. Ahmad Mustafa Al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. (Mesir : Darul Fakri. Mesir. 1974), cet ke III, Juz I, hlm,13. Selanjutnya disebut Tafsir Al-Maraghi Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Mesir: Darul Ma’arif 1373H. Muhammad Yusuf Qordowi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Bana. Jakarta: Bulan Bintang. 1980.
35
Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam . Bandung: Al-Ma’arif 1980. Ahmad D Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif 1980. Endang Syafuddin Anshari, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam. (Jakarta: Usaha Enterprise. 1976), hlm. 85. Baca juga Azyumardi Azra. Esei-Esei Intelektual Pendidikan Islam. Djamari, Nilai-nilai Agama dan Budaya yang Melandasi Interaksi Sosial di Pondok Pesantren Cikaduen Banten. Disertasi FPs IKIP Bandung tidak diterbitkan, 1985 Azyumardi Azra. Esei-Esei Intelektual Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2000. Satrio Soemantri Brodjonegoro. “Wacana tentang Pendidikan Agama Islam” dalam Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi Editor Fuaduddin & Cik Hasan Basri, Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1999. Harun Nasution. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. (Bandung: Mizan, 1995), Bandung: Mizan. 1995. Nurcholis Madjid, “Masalah Pendidikan Agama Di Sekolah Menengah Umum”.dalam Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi, Editor Fuaduddin & Cik Hasan Basri, Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1999. Depdiknas RI., Kurikulum Sekolah Menengah Atas: Gari-Garis Besar Program Pendidikan, Jakarta: Depdiknas, 1999. Dahlan M.D., Model-model Mengajar, Bandung: CV. Diponegoro, 1994. Afnil Guza, ”Standar Nasional Pendidikan (SNP)”, Kumpulan Undang-undang tentang Pendidikan, Jakarta: Asa Mandiri, 2007. Dahlan M.D., Sistem Pendidikan Islam, Makalah, disajikan dalam seminar “Implementasi Akhlak al-Qur’an di Musabaqah al-Qur’an Metodik Pendidikan Islam Progresif ”. Kamis, 19 Rajab/26 September, Fakultas Tarbiyah UBINSA, 2002. Ahmad Tirto Sudiro. Pendidikan Agama dalam Persepektif Agama-agama. Jakarta: Dirjen Dikti, 1995. Dedi Supriadi, Membangun Bangsa melalui Pendidikan. (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004.
36
Permendiknas RI No. 23 Th. 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas, 2006, baca juga Permendiknas RI No. 6 Th. 2007 tentang Perubahan Permendiknas RI No. 24 Th. 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas RI no 22 dan 23 Th. 2006. Depdikanas, Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas Dan Madrasah Aliyah, Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas,2003. Ahmad Watik Pratiknya. Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi Umum, Editor Fuaduddin dan Cik Hasan Basri. Jakarta: Logos Wacaana Ilmu 1999. Cottins, W.W Webstrer’s New School and Affice Dictionary. (Wartrd Publising Co.Inc.United States of America.1983 Ahmad D Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif 1980 Depdiknas RI., Kurikulum Sekolah Menengah Atas: Gari-Garis Besar Program Pendidikan, Jakarta: Depdiknas, 1999
37
BAB 2 MEMAHAMI PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH
A. Orientasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Untuk mencapai tuntutan Pendidikan Agama Islam (PAI) menghasilkan lulusan yang berkualitas, pembelajaran pada pendidikan Pendidikan Agama Islam (PAI) perlu dipikirkan kembali. Pembelajaran yang mengena perlu dipikirkan dan diterapkan. Definisi pembelajaran PAI yang cocok perlu di tinjau ulang. Paradigma Pembelajaran PAI yang sekarang dianggap cocok di sekolah adalah pembelajaran dengan pengalaman yang berbasis pada saintifik1. Pembelajaran sekarang juga tidak boleh hanya menekankan pada aspek kognitif saja tetapi juga harus memperhatikan aspek afeksi atau perasaan.2 Selanjutnya, yang paling penting bagi pembelajaran sekarang adalah pembelajaran harus mengarah ke pembelajaran aktif bukan ke pembelajaran pasif, yaitu siswa-siswa harus aktif berintraksi dikelas dan guru berperan sebagai mesivator, fasilitator an orator. Disamping itu pemeblajaran PAI harus gambarkan dengan realitas sosial yaiutu apa yang disebut dengan contekstual teaching and learning. B. Definisi Pembelajaran PAI Manusia dan binatang sama-sama belajar tetapi cara belajar mereka berbeda. Descartes
berpikir
bahwa
manusia
berbeda
dengan
binatang
dalam
hal
kemampuannya untuk berpikir dan menciptakan produk-produk baru dengan
1
Pembelajaran sainstifik yaitu pembelajaran berbasis metode Ilmiah di mana pembelajaran Agama Islam harus diulang dengan prinsip-prinsip Ilmiah (obyektif Rasional, impiris/faktual) sesuai dengan semangat kurikulum 2013 2 Jagiyanto, Filosofi, Pendekatan Dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus Untuk Dosen Dan Mahasiswa : Yogyakarta, Andi Offset, 2006, hal 11
38
menggunakan pikiran dan mentalnya. Binatang hanya dapat didorong mengerjakan sesuatu karena dilatih dan diprogram. Manusia sebaliknya dapat berubah perilakunya lewat kreativitas, kemauan yang kuat, komitmen, visi tentang masa depan dan aspirasi-aspirasi. Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mana suatu kegiatan berasal atau berubah lewat reaksi dan suatu situasi yang dihadapi, dengan keadaan bahwa karakteristik-karaktenistik dan perubahan aktivitas tersebut tidak dapat dijelaskan dengan dasar kecenderungan-kecenderungan reaksi, kematangan, atau perubahan-perubahan sementara dan organisme. (Learning is the process by which an activity originates or is changed through reacting to an encountered situation, provided that the characteristics of the change in activity cannot be explained on the basis of native response tendencies, maturation, or temporary states of the organism3) (Hilgard dan Bower, 1966, hal.2, di Bonoma, 1987). Dari definisi ini dapat dipahami bahwa pembelajaran terjadi ketika manusia berubah karena suatu kejadian dan perubahan yang terjadi bukan karena perubahan secara alami atau karena menjadi dewasa yang dapat terjadi dengan sendirinya atau karena perubahannya sementara saja, tetapi lebih karena reaksi dan situasi yang dihadapi. Bertolak dari pengertian tersebut diatas bahwa pembelajaran merupakan suatu proses belajar bagi manusia dan merupakan upaya untuk menjadikan manusia memahami makna dari apa yang dipelajarinya. Pembelajaran pendidikan agama Islam adalah suatu upaya membuat peserta didik dapat belajar dan tertarik untuk terusmenerus mempelajari agama Islam. Oleh karena itu Istilah pembelajaran lebih tepat digunakan karena ia menggambarkan upaya untuk membangkitkan prakarsa belajar seseorang. Di samping itu, ungkapan pembelajaran memiliki makna yang lebih dalam untuk mengungkapkan hakikat desain pembelajaran dalam upaya membelajarkan peserta didik.
3
Hilgard, E. R., Bower, Teories Of Learning, New York: Appleton Century, 1966, hal 2 (dalam Jagiyanto), 2006, hal 12
39
Konsep pembelajaran mengandung beberapa implikasi, yaitu (1) perlu diupayakan agar dapat terjadi proses belajar yang interaktif antara peserta didik dan sumber belajar yang direncanakan; (2) ditinjau dari sudut peserta didik, proses itu mengandung makna bahwa terjadi proses internal interaksi antara seluruh potensi individu dengan sumber belajar yang dapat berupa pesan-pesan ajaran dan nilai-nilai serta norma-norma ajaran Islam, guru sebagai fasilitator, bahan ajar cetak atau noncetak yang digunakan, media dan alat yang dipakai belajar, cara dan teknik belajar yang dikembangkan, serta latar atau lingkungannya (spiritual, budaya, sosial dan alam) yang menghasilkan perubahan perilaku pada diri peserta didik yang semakin dewasa dan memiliki tingkat kematangan dalam beragama; dan (3) ditinjau dari sudut pemberi rangsangan perancang pembelajaran pendidikan agama, proses itu mengandung arti pemilihan, penetapan dan pengembangan metode pembelajaran yang memberikan kemungkinan paling baik bagi terjadinya proses belajar pendidikan agama.4 Pembelajaran pada dasarnya merupakan suatu rekayasa yang diupayakan untuk membantu peserta didik agar dapat tumbuh berkembang sesuai dengan maksud dan tujuan penciptaannya. Dalam konteks proses belajar di sekolah/madrasah, pembelajaran tidak dapat hanya terjadi dengan sendirinya, yakni peserta didik belajar berinteraksi dengan lingkungannya seperti yang terjadi dalam proses belajar di masyarakat (social learning). Proses pembelajaran hams diupayakan dan selalu terikat dengan tujuan (goal based). Oleh karenanya, segala kegiatan interaksi, metode, dan kondisi pembelajaran harus direncanakan dengan selalu mengacu pada tujuan pembelajaran yang dikehendaki. 5 C. Tujuan Pembelajaran Mengapa mengajar ?, ini adalah pertanyaan yang mendasar yang dapat diberikan kepada pendidik. Banyak jawaban yang diberikan oleh mereka. Gleason (1982)
4
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam-Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004, hal 184 5 Lok Cit
40
menunjukkann ada beberapa alasan mereka mengajar, yaitu untuk uang (for money), untuk kebanggaan (for glory), untuk kesempatan melakukan riset (for the opportunity to do research) dan untuk siswa-siswa (for students). Disamping itu banyak juga guru/pendidik yang mengajar untuk kesenangan (for fun), untuk status (for status), untuk bergurau (for joke), untuk menghibur (for entertain) atau untuk menghabiskan waktu (for killing a time). Beberapa diantara mereka mengatakan bahwa tujuan mengajar adalah untuk mencari uang. Mengajar untuk uang. Guru/pendidik yang mengajar semata-mata untuk uang adalah mereka yang berhati murah. Mereka ingin menyamakan profesi mereka dengan profesi teman mereka seperti akuntan atau banker yang tidak dapat disalahkan karena memang lebih berorientasi ke mencari uang. Beberapa menjawab bahwa mereka mengajar untuk kebanggaan dan kejayaan (for glory). Mereka yang mengatakan ini juga pengajar yang berhati murah. Mereka mementingkan diri mereka sendiri. Mereka ingin dipuji dan diagungkan. Mereka mengajar untuk mendapatkan pangkat akademik yang tinggi. Mereka yang mengatakan mengajar untuk mendapat kesempatan melakukan riset (for the opportunity to do research) biasanya mengajar hanya sebagai sarana untuk dapat melaksanakan riset. Supaya mendapat dana riset, mereka terpaksa menjadi guru/dosen dan mengajar. Mereka mengajar bukan untuk uang, bukan untuk pangkat atau kebanggaan, tetapi mereka mengajar karena terpaksa untuk mendapatkan dana riset. Mereka yang mengatakan mengajar untuk mendapat kesenangan (for fun) juga merupakan pengajar yang mementingkan dirinya sendiri. Mereka mengajar untuk kesenangan mereka. Mereka tidak perduli apakah murid mereka mengerti atau tidak tetapi yang penting mereka puas. Mereka yang mengajar untuk bergurau (for joke) atau untuk menghibur (for entertain) juga sebenarnya untuk kesenangan mereka sendiri. Mereka merasa senang dan puas jika siswa terhibur. Mereka berpikir jika siswa terhibur dengan cara melemparkan
gurauan-gurauan,
mereka
41
akan
dianggap
guru
yang
tidak
membosankan dan menyenangkan. Mereka tidak menyadari bahwa dengan membuat siswa senang tidak sama dengan membuat siswa pintar. Mereka yang mengajar untuk menghabiskan waktu (for killing a time) juga merupakan pengajar yang mementingkan diri sendiri. Pengajar mi biasanya adalah mereka yang sudah pensiun dan pekerjaannya dan merasa mempunyai banyak waktu yang luang untuk mengajar. Mereka berdalih bahwa sebenarnya jiwa mereka adalah pengajar tetapi karena kesibukannya mereka tidak sempat untuk mengajar dan baru setelah mereka pensiun dapat melakukannya. Jika mereka benar-benar senang mengajar mengapa tidak mengajar pada waktu masih usia produktif tidak pada usia pensiun. Pada usia produktif mereka lebih senang mencari uang daripada mengajar dan bagaimana mungkin mereka mengatakan sebenarnya jiwa mereka adalah pengajar. Mereka yang menjawab mengajar adalah untuk siswa-siswa (for students) menganggap keberhasilan mengajar jika siswa yang diajar mendapatkan sesuatu sesuai dengan tujuannya. Oleh karena itu tujuan pembelajaran pendidikan agama islam di sekolah sebagai pendidikan formal bertujuan meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.6 Pembelajaran PAI di sekolah bertujuan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan siswa tentang agama Islam sehingga menjadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Tujuan yang diharapkan dalam mengembangkan PAI adalah (1) menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) menanamkan nilai-nilai budaya pada umumnya, (3) mengembangkan kepribadian, (4) 6
Depdiknas RI. Kurikulum Sekolah Menengah Atas. Gari-Garis Besar Program Pendidikan, Jakarata: Depdiknas, 1999, hal.15.
42
mengembangkan kepekaan rasa, (5) mengembangkan bakat, (6) mengembangkan minat belajar, (7) meningkatkan budi pekerti yang luhur sesuai dengan agama dan keyakinannya. Secara lebih tegas dan mendalam Dahlan, M.D memberikan penjelasan tentang tujuan pembelajaran pendidikan agama Islam yang tidak jauh dari tujuan Islam itu sendiri, yakni agar peserta didik menjadi umat yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw dalam melaksanakan kehidupan dan penghidupan agar mencapai kebahagiaan dan keselamatan hidup baik lahiriah maupun batiniah di dunia dan di akhirat.7 Jadi PAI di sini memiliki tujuan (1) agar peserta didik dapat mengatasi keterbatasan dirinya, (2) memberi santapan rohani, (3) memenuhi tuntutan fitrah manusia, (4) mencapai kebahagian dan keselamatan, (5) memelihara ketinggian martabat sebagai manusia, (6) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai kebenaran mutlak, (7) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber moral, (8) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber prinsip hidup, (9) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber hokum, (10) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber informasi dan metafisika, (11) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber inspirasi dan ilmu pengetahuan. Di sekolah pada umumnya pembelajaran lebih cenderung mengajarkan pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani, kemandirian dan rasa tanggung jawab bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan yang dilaksanakan kurang dan jarang terpadu dengan pembinaan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang nanti wujudnya akan sampai pada tercapainya perilaku budi pekerti yang luhur. Berbagai pihak menyatakan bahwa pendidikan telah menyimpang dari tujuan semestinya. Pengertian pendidikan telah diperkecil dengan “persekolahan” yang kemudian diperkecil lagi dengan “pengajaran”, untuk selanjutnya diperkecil dengan “pengajar di kelas” dan makin diperkecil lagi menjadi penyampaian materi kurikulum. Untuk selanjutnya berakhir dengan mempersiapkan diri pada Ujian Akhir Nasional (UAN). Akibatnya pendidikan telah berorientasi pada suatu hal yang sangat
7
Dahlan , M.D. Model-model Mengajar, Bandung: CV.Diponegoro, 1994. hal.6-10.
43
sempit, berpusat pada aspek-aspek kognitif dan intelektual sehingga pendidikan tidak mampu menghasilkan kepribadian yang utuh, bahkan untuk membina imtak yang ada pada siswa sangat sulit dilaksanakan. Tujuan pembelajaran PAI menurut ajaran agama Islam adalah membimbing menjadi individu menjadi “khalifah fil ardh”. Dikemukakan oleh Muhaimin dan Mujib bahwa tujuan manusia diciptakan adalah untuk mengabdi kepada Alllah Swt dengan indikasi tugasnya berupa ibadah kepada Allah Swt.8 Semua pihak yang peduli terhadap pemebelajaran PAI mengembalikan praktik pendidikan sesuai dengan tujuan yang dicanangkan. Pendidikan yang telah diperkecil dan dipersempit, dikembangkan kembali menjadi pendidikan yang dapat membina dan membimbing siswa dalam pengembangan berbagai potensi yang dimilikinya. Untuk mengembangkan tugas-tugas sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah fil ardh. Pembelajaran PAI yang mampu mengembangkan dan membina perwujudan diri siswa secara optimal sesuai dengan tuntunan Allah Swt. Selanjutnya dikemukakan oleh Muhaimin dan Mujib bahwa tujuan Pembelajaran PAI harus berorientasi pada hakikat pendidikan yaitu seperti berikut ini. 1. Tujuan dan tugas hidup manusia, manusia diciptakan untuk membawa tujuan dan tugas hidup tertentu. Tujuan hidup manusia untuk beribadah kepada Allah Swt, dan bertugas sebagai pemimpin di muka bumi sebagai khalifah fil ardh Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt yang berbunyi: “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam”. 2. Sifat-sifat dasar (nature) manusia, yaitu konsep tentang manusia yang diciptakan sebagai khalifah di muka bumi (QS. 51: 56). Penciptaan itu dibekali dengan berbagai macam fitrah yang berkecenderungan pada alternatif (rindu akan kebenaran dari tuhan) berupa agama Islam (QS.18:19) sebatas kemampuan dan kapasitas ukuran yang ada. 8
Muhaimin dan A. Mujib. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, hal. 153-154.
44
3. Tuntutan masyarakat, untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan tuntutan dunia modern. 4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam, mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia sedunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kesejahteraan hidup di akhirat, serta mengandung nilai-nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan, sehingga manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki 9. Tujuan pembelajaran PAI ini merupakan penjabaran dari Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yaitu “ Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.10 Beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang maha Esa dalam rumusan tujuan pendidikan nasional di atas menunjukkan bahwa pendidikan agama diharapkan memberikan kontribusi positif terhadap usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional. Karena keimanan dan ketakwaan hanya dapat terbina secara sempurna melalui pendidikan dan pengajaran agama Islam. Karena itu PAI mempunyai peran penting dalam sistem pendidikan nasional. Sejalan dengan uraian di muka Dahlan mengemukakan makna pendidikan Islam sebagai berikut, yaitu: “…bahwa pendidikan agama Islam merupakan penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk, taat pada Islam dan menerapkannya secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat. Untuk merealisasikannya dituntut komunikasi, mengakui adanya inisiatif,
9
Ibid , hal. 153-154. Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kumpulan Undang-undang tentang Pendidikan kompilasi oleh Afnil Guza. Jakarta: Asa mandiri. 10
45
aktivitas, dan kreativitas terdidik yang masih perlu bantuan dan arahan, agar tidak menyimpang dari tujuan yang diharapkan. Sedangkan tugas yang diembannya menyiratkan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi”. 11 Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa melalui pembelajaran PAI manusia diharapkan selalu bersih untuk mencapai taraf makhluk yang tertinggi, makhluk termulia, sebagai khalifah fil ardh, agar mendapat ridho Allah SWT. Sehingga tercapai kebahagian hidup di dunia dan kehidupan di akhirat nanti. Di samping itu manusia tidak boleh lupa bahwa segala sesuatu yang diperolehnya adalah atas petunjuk serta atas izin Allah SWT. Dengan hasil pendidikan yang dijalani manusia dapat berusaha mencapai tujuan hidupnya yang hakiki sesuai dengan ajaran agama Islam. D. Prinsip-Prinsip Belajar Dan Pembelajaran Menetapkan, dan mengembangkan metode pembelajaran PAI perlu memahami prinsip-prinsip pembelajaran yang mengacu pada teori belajar dan pembelajaran. Untuk memenuhi keperluan tersebut, dalam bagian ini disajikan prinsip-prinsip pembelajaran, yaitu tentang kesiapan belajar, motivasi, persepsi, retensi, dan transfer dalam pembelajaran. Dari konsep belajar dan pembelajaran dapat diidentifikasi prinsip-prinsip belajar dalam pelaksanaan pembelajaran PAI sebagai berikut.12 1. Prinsip Kesiapan (Readiness) Proses belajar sangat dipengaruhi oleh kesiapan individu sebagai subjek yang melakukan kegiatan belajar. Kesiapan belajar adalah kondisi fisik-psikis (jasmanimental) individu yang memungkinkan subjek dapat melakukan belajar. Biasanya, kalau beberapa taraf persiapan belajar telah dilalui peserta didik maka ia siap untuk melaksanakan suatu tugas khusus. Peserta didik yang belum siap melaksanakan suatu tugas dalam belajar akan mengalami kesulitan atau malah putus asa tidak mau belajar. Kesiapan belajar ialah kematangan dan pertumbuhan fisik, psikis, inteligensi, latar
11
Dahlan M.D. Sistem Pendidikan Islam, Makalah, disajikan dalam seminar “Implementasi Akhlak Al-Qur’an di Musabaqah Al-Qur’an Metodik Pendidikan Islam Progresif ”. Kamis, 19 Rajab /26 September Fakultas Tarbiyah UBINSA, 2002. hal.5. 12 Muhaimin, et. Al. Paradigma Pendidikan Islam-Upaya Mengefektifkan Agama Islam Disekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004, hal 137-145
46
bela-kang pengalaman, hasil belajar yang baku, motivasi, persepsi, dan faktor-faktor lain yang memungkinkan seseorang dapat belajar. Berdasarkan prinsip kesiapan belajar tersebut, dapat dikemuka-kan hal-hal yang terkait dengan pembelajaran PAI, antara lain (1) individu akan dapat belajar dengan baik apabila tugas yang dibe-rikan kepadanya sesuai dengan kesiapan (kematangan usia, kemampuan, minat, dan latar belakang pengalamannya); (2) kesiapan belajar harus dikaji lebih dulu untuk memperoleh gambaran kesiapan belajar siswanya dengan jalan mengetes kesiapan atau ke-mampuan; (3) jika individu kurang siap untuk melaksanakan suatu tugas belajar maka akan menghambat proses pengaitan penge-tahuan baru ke dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Karena itu, jika kesiapan sebagai prasyarat belajar maka prasyarat itu harus diberikan lebih dulu; (4) kesiapan belajar mencerminkan jenis dan taraf kesiapan untuk menerima sesuatu yang baru dalam membentuk atau mengembangkan kemampuan yang lebih mantap; dan (5) bahan dan tugas-tugas belajar akan sangat baik kalau divariasi sesuai dengan faktor kesiapan kognitif, afektif, dan psikomotor peserta didik yang akan belajar. 2. Prinsip Motivasi (Motivation) Motivasi dapat diartikan sebagai tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu (Morgan, 1986). Ada tidaknya motivasi dalam diri peserta didik dapat diamati dari observasi tingkah lakunya. Apabila peserta didik mempunyai motivasi, ia akan: (1) bersungguhsungguh, me-nunjukkan minat, mempunyai perhatian, dan rasa ingin tahu yang kuat untuk ikut serta dalam kegiatan belajar; (2) berusaha keras dan memberikan waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan tersebut; dan (3) terus bekerja sampai tugastugas tersebut terse-lesaikan. (Worfel dan Stilwill, 1981) Berdasarkan sumbernya, motivasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu (1) motivasi intrinsik, yakni motivasi yang datang dari dalam diri peserta didik; dan (2) motivasi ekstrinsik, yakni motivasi yang datang dari lingkungan di luar diri peserta didik. Dalam pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam perlu diupayakan bagaimana agar dapat mempengaruhi dan me-nimbulkan motivasi intrinsik melalui penataan metode pembelajaran yang dapat mendorong tumbuhnya motivasi belajar
47
dalam diri peserta didik. Sedangkan untuk menumbuhkan motivasi ekstrinsik dapat diciptakan suasana lingkungan yang religius sehingga tumbuh motivasi untuk mencapai Tujuan pembelajaran PAI sebagaimana yang ditetapkan. Berkenaan dengan prinsip motivasi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam: a. Memberikan dorongan (drive} Tingkah laku seseorang akan terdorong ke arah suatu tujuan tertentu apabila ada kebutuhan. Kebutuhan ini menyebabkan timbulnya dorongan internal, yang selanjutnya mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu menuju tercapainya suatu tujuan. Setelah tujuan dapat dicapai biasanya intensitas dorongan semakin menurun. Hubungan kebutuhan dan motivasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Hubungan Kebutuhan dengan Motivasi (Teori Morgan, 1986). b. Memberikan insentif Adanya karakteristik tujuan menyebabkan seseorang berting-kah laku untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan yang menyebabkan seseorang bertingkah laku tersebut disebut
insentif. Setiap orang mengharapkan kesenangan dengan
mendapatkan insentif yang bersifat positif. Begitu pula sebaliknya, orang akan menghindari insentif yang bersifat negatif. (Morgan, 1986). Dalam kegiatan pembelajaran PAI juga diperlukan insentif untuk lebih meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Insentif dalam pembelajaran pendidikan agama Islam tidak se-lalu berupa materi, tetapi bisa berupa nilai atau penghargaan sesuai kadar kemampuan yang dapat dicapai peserta didik. Bila perlu insentif dapat diberikan kepada peserta didik secara bertahap sesuai tahap tingkatan yang dapat dicapainya. c. Motivasi berprestasi Setiap orang mempunyai motivasi untuk bekerja karena adanya kebutuhan untuk dapat berprestasi. McClelland (dalam Carleson, 1986) mengemukakan bahwa motivasi merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu (1) harapan untuk melakukan
48
tugas dengan berhasil; (2) prestasi tertinggi tentang nilai tugas; dan (3) kebutuhan untuk keberhasilan atau kesuksesan. Karena itu, guru perlu mengetahui sejauh mana kebutuhan berprestasi setiap peserta didik. Peserta didik yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan menyelesaikan tugas atau masalah yang memberikan tantangan dan kepuasan secara lebih cepat. Peserta didik jenis ini memerlukan balikan setiap unjuk kerjanya dengan nilai atau pujian yang tepat. Sebaliknya, peserta didik yang memiliki motivasi berprestasi rendah, pada umumnya tidak realistik untuk mencapai tujuannya. Karena itu, tugas berat atau ringan bagi peserta didik jenis ini sama saja tidak ada pengaruhnya bagi tumbuhnya motivasi untuk berprestasi. Jika tugas-tugas itu mudah, ia akan mengerja-kannya, tetapi jika tugas-tugas itu berat dan gagal melakukan-nya maka tidak akan memiliki dampak atau arti apa-apa baginya, bahkan ia tidak merasa mempunyai beban atas kegagalannya. d. Motivasi kompetensi Setiap peserta didik memiliki keinginan untuk menunjukkan kompetensi dengan berusaha menaklukkan lingkungannya. Motivasi belajar tidak bisa dilepaskan dari keinginannya untuk menunjukkan kemampuan dan penguasaannya kepada yang lain. Karena itu, diperlukan: (1) keterampilan mengevaluasi diri; (2) nilai tugas bagi setiap peserta didik; (3) harapan untuk sukses; (4) patokan keberhasilan; (5) kontrol belajar; dan (6) pe-nguatan diri untuk mencapai tujuan. (Worell dan Stilwell, 1981) e. Motivasi kebutuhan menurut Maslow Menurut Maslow, manusia memiliki kebutuhan yang bersifat hierarkis, yaitu:
49
Teori tersebut menunjukkan bahwa: (1) individu bukan hanya didorong oleh pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis, sosial, dan emosional, melainkan dapat diberikan dorongan untuk mencapai sesuatu yang lebih dari apa yang dimiliki saat ini; (2) pengetahuan tentang kemajuan yang dicapai dalam memenuhi keinginan untuk mencapai tujuan dapat mendorong terjadinya peningkatan usaha, dan pengalaman tentang kegagalan yang tidak merusak citra diri peserta didik dapat memperkuat kemampuan memelihara kesung-guhan dalam belajar; (3) dorongan yang mengatur perilaku tidak selalu jelas bagi peserta didik, misalnya seorang peserta didik yang mengharapkan dari gurunya untuk bisa berubah lebih dari itu karena kebutuhan emosi untuk mencapai sesuatu; (4) motivasi dipengaruhi oleh unsur-unsur kepribadian, seperti rasa rendah diri atau keyakinan diri sehingga peserta didik yang termasuk pandai belum tentu bisa menghadapi setiap masalah; (5) rasa aman dan keberhasilan dalam mencapai tujuan cenderung meningkatkan motivasi belajar, kegagalan dapat meningkatkan atau menurunkan motivasi belajar, semuanya ini bergantung pada berbagai faktor. Karena itu, tidak semua peserta didik dapat diberikan dorongan yang sama untuk melakukan suatu tugas; dan (6) setiap media pembelajaran memiliki pengaruh motivasi yang berbeda pada diri peserta didik sesuai dengan karakteristik individu. 3. Prinsip Perhatian Perhatian merupakan suatu strategi kognitif yang mencakup empat keterampilan, yaitu (1) berorientasi pada suatu masalah; (2) me-ninjau sepintas isi masalah; (3) memusatkan diri pada aspek-aspek yang relevan; dan (4) mengabaikan stimuli yang tidak relevan. (Worell dan Stilwill, 1981). Dalam proses pembelajaran, perhatian merupakan faktor yang besar pengaruhnya. Kalau peserta didik mempunyai perhatian yang besar mengenai apa yang disajikan atau dipelajari, peserta didik dapat menerima dan memilih stimuli yang relevan untuk diproses lebih lanjut di antara sekian banyak stimuli yang datang dari luar. Perhatian dapat membuat peserta didik untuk: (1) mengarahkan diri pada tugas yang akan diberikan; (2) melihat masalah-masalah yang akan diberikan; (3) memilih dan
50
memberikan fokus pada ma- " salah yang harus diselesaikan; dan (4) mengabaikan hal-hal lain yano- tidak relevan. Beberapa prinsip yang diajukan Chield (1977), yang perlu diperhatikan dalam mempengaruhi perhatian seseorang adalah (1) memperhatikan faktor-faktor internal yang mempengaruhi belajar, yaitu minat, kelelahan, karakteristik peserta didik, motivasi; dan (2) memperhatikan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi belajar, meliputi intensitas stimulus, kemenarikan stimulus yang baru, keragaman stimuli, penataan metode yang sesuai dan sebagainya. 4. Prinsip Persepsi Pada umumnya, seseorang cenderung percaya pada sesuatu sesuai dengan bagaimana ia memahami sesuatu itu pada situasi tertentu. Persepsi adalah suatu proses yang bersifat kompleks yang menye-babkan orang dapat menerima atau meringkas informasi yang diperoleh dari lingkungannya (Fleming dan Levie, 1981). Semua proses belajar selalu dimulai dengan persepsi, yaitu setelah peserta didik menerima stimulus atau suatu pola stimuli dari lingkungannya. Persepsi dianggap sebagai kegiatan awal struktur kognitif seseorang. Persepsi bersifat relatif, selektif, dan teratur. Karena itu, sejak dini kepada peserta didik perlu ditanamkan rasa memiliki persepsi yang baik dan akurat mengenai apa yang dipe-lajari. Kalau persepsi peserta didik terhadap apa yang akan dipe-lajari salah maka akan mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan kegiatan belajar yang akan ditempuh. Sekali peserta didik memiliki persepsi yang salah mengenai apa yang dipelajari maka uktuk selanjutnya akan sukar diubah persepsi yang sudah melekat tadi, sehingga dengan demikian ia akan mem-punyai struktur kognitif yang salah (Lawther, 1977). Agar persepsi dapat berfungsi secara efektif, kemampuan untuk mengadakan persepsi tentang sesuatu harus ditanamkan dan dikembangkan sebagai suatu kebiasaan dalam setiap memulai kegiatan pembelajaran. Untuk membentuk persepsi yang akurat mengenai stimuli yang diterima serta mengembangkannya menjadi suatu kebiasaan, perlu ada latihan-latihan dalam bentuk
51
dan kondisi situasi yang ber-macam-macam agar peserta didik tetap dapat mengenai pola stimuli itu, meskipun disajikan dalam bentuk yang baru. Prinsip-prinsip umum yang perlu diperhatikan dalam menggu-nakan persepsi: a. makin baik persepsi mengenar sesuatu, makin mudah peserta didik belajar mengingat sesuatu tersebut; b. dalam pembelajaran perlu dihindari persepsi yang salah karena hal ini akan memberikan pengertian yang salah pula pada peserta didik tentang apa yang dipelajari; dan c. dalam pembelajaran perlu diupayakan berbagai sumber belajar yang dapat mendekati benda sesungguhnya sehingga peserta didik memperoleh persepsi yang lebih akurat. (Fleming dan Levie, 1981). 5. Prinsip Retensi Retensi adalah apa yang tertinggal dan dapat diingat kembali setelah seseorang mempelajari sesuatu. Dengan retensi membuat apa yang dipelajari dapat bertahan atau tertinggal lebih lama dalam struktur kognitif dan dapat diingat kembali jika diperlukan. Karena itu, retensi sangat menentukan hasil yang diperoleh peserta didik dalam proses pembelajaran. Apabila seseorang belajar maka setelah selang beberapa waktu apa yang dipelajari akan banyak dilupakan, dan apa yang diingat-nya secara otomatis akan berkurang jumlahnya. Penurunan jumlah apa yang diingat ini akan terasa sangat cepat pada taraf permulaan, namun selanjutnya akan lambat. Dalam pembelajaran perlu diperhatikan prinsip-prinsip untuk meningkatkan retensi belajar seperti yang diungkapkan dari hasil temuan Thomburg (1984) yang menunjukkan bahwa: (1) isi pembelajaran yang bermakna akan lebih mudah diingat dibandingkan dengan isi pembelajaran yang tidak bermakna; (2) benda yang jelas dan kongkret akan lebih mudah diingat dibandingkan dengan benda yang bersifat abstrak; (3) retensi akan lebih baik untuk isi pembelajaran yang bersifat kontekstual atau serangkaian kata-kata yang mempunyai kekuatan asosiatif dibandingkan dengan katakata yang tidak memiliki kesamaan internal; dan (4) tidak ada perbedaan antara
52
retensi dengan apa yang telah dipelajari peserta didik yang mempunyai berbagai tingkatan IQ. Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi retensi belajar, yaitu (1) apa yang dipelajari pada permulaan (original learning); (2) belajar melebihi penguasaan (over learning); dan (3) pengulangan dengan interval waktu (spaced review). Di samping yang diusulkan dari hasil temuan Thomburg tersebut, Chauham (1979) mengajukan cara-cara untuk meningkatkan retensi belajar, antara lain (1) usahakan agar isi pembelajaran yang dipelajari disusun dengan baik dan bermakna. Sebagai bukti, pembelajaran syair akan diingat sebanyak 58% setelah 30 hari, pembelajaran prosa akan diingat sebanyak 40%, dan pembelajaran kata tanpa makna diingat sebanyak 28%; (2) pembelajaran dapat dibantu dengan jembatan keledai (macmonic), karena akan meningkatkan organisasi materi yang dipelajari seperti akronim NIMIM (Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad) untuk mengingat nabi mendapat gelar Ulul azmi; (3) berikan resitasi karena hal ini akan meningkatkan aktivitas peserta didik; (4) susun dan sajikan konsep yang jelas, misalnya dengan bantuan media audio visual; dan (5) berikan latihan pengulangan terutama untuk pembelajaran keterampilan motorik. 6. Prinsip Transfer Transfer merupakan suatu proses dimana sesuatu yang pernah dipelajari dapat mempengaruhi proses dalam mempelajari sesuatu yang baru. Dengan demikian, transfer berarti pengaitan pengeta-huan yang sudah dipelajari dengan pengetahuan yang baru dipelajari. Pengetahuan atau keterampilan yang diajarkan di sekolah selalu diasumsikan atau diharapkan dapat dipakai untuk meme-cahkan masalah yang dialami dalam kehidupan atau dalam pe-kerjaan yang akan dihadapi kelak. Transfer belajar atau transfer latihan berarti aplikasi atau pemindahan pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, sikap, atau respon-respon lain dari suatu situasi ke dalam situasi yang lain. Ada beberapa bentuk transfer, yaitu (1) transfer positif, terjadi apabila pengalaman sebelumnya dapat membantu atau memper-mudah pembentukan unjuk kerja peserta didik dalam tugas-tugas selanjutnya; (2) transfer negatif, terjadi apabila pengalaman yang diperoleh sebelumnya menghambat atau mempersulit unjuk kerja
53
dalam tugas-tugas baru; dan (3) transfer nol, terjadi apabila pengalaman yang diperoleh sebelumnya tidak mempengaruhi unjuk kerja dalam tugas-tugas barunya. Menurut Chauham (1979), transfer dapat diklasifikasikan ke dalam: (1) transfer horisontal, yakni apabila pengetahuan atau keterampilan yang dipelajari sebelumnya dapat dialihkan ke dalam proses mempelajari pengalaman yang setingkat atau dalam satu kategori. Bentuk transfer horisontal meliputi transfer lateral, yakni apabila pengetahuan atau keterampilan yang dipelajari sebelumnya dapat diterapkan dalam situasi belajar di dalam kehidupan tanpa pengawasan orang yang mengajar, dan transfer sequential, yakni apabila yang dipelajari sekarang secara positif ada hubungannya dengan apa yang akan dipelajari pada masa yang akan datang; dan (2) transfer vertikal, yaitu apabila pemahaman tentang apa yang dipelajari sebelumnya dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang lebih sulit atau yang berada pada jenjang pengetahuan yang lebih tinggi. Selanjutnya, Chauham mengemukakan beberapa teori yang melandasi transfer dalam pembelajaran, yaitu (1) teori disiplin mental (mental dicipline theory), dimana seseorang dapat dilihat seperti badan yang terdiri atas bagian-bagian; (2) teori unsurunsur yang sama (identical elements), di mana sesuatu yang dipelajari dapat ditransfer ke dalam situasi lain selama terdapat unsur-unsur yang identik pada kedua macam pengalaman tersebut; (3) teori gene-ralisasi, di mana transfer belajar dapat terjadi apabila si belajar dapat memahami prinsip-prinsip umum, bukan pemecahan masalah yang bersifat spesifik. Tekanan dari teori ini terletak pada inte-ligensi yang menyebabkan seseorang dapat memakai dan mene-rapkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip dari satu situasi ke dalam situasi lain; dan (4) teori transposisi, dimana terjadinya persamaan persepsi antara situasi dengan apa yang ada dalam bentuk umum. Belajar dapat menumbuhkan sesuatu dalam pola yang utuh atau dalam suatu konfigurasi yang mempunyai makna. Proses yang terjadi dalam transfer adalah (a) pengelompokan, generalisasi, dan strukturisasi materi; (b) terdapat hubungan dalam berbagai bentuk atau ukuran; (c) adanya struktur dalam; dan (d) adanya proses berpikir yang konsisten.
54
Dari prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran yang telah dikemukakan di atas patut menjadi perhatian secara seksama bagi guru-guru tidak terkecuali bagi guruguru Agama agar dalam pembelajaran PAI betul-betul mencapai sasaran yang dikehendaki. Penerapan prinsip-prinsip tersebut memerlukan kesungguhan dan kemauan yang kuat yang dilandasi dengan ketulusan dan rasa bahagia bila ajaranajaran agama dapat diaplikasikan oleh para siswa-siswa. E.
Unsur-Unsur Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini berlangsung agaknya
terasa kurang terkait atau kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi "makna" dan "nilai" yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berperilaku secara kongkretagamis dalam kehidupan praksis sehari-hari. Bila kita mengamati fenomena empirik yang ada di hadapan dan sekeliling kita maka tampaklah bahwa pada saat ini terdapat banyak kasus kenakalan di kalangan pelajar. Isu perkelahian pelajar, tindak kekerasan, premanisme, white collar crime (kejahatan kerah putih), konsumsi minuman keras, etika berlalu lintas, perubahan pola konsumsi makanan, kriminalitas yang semakin hari semakin menjadi-jadi dan semakin rumit dan sebagainya, telah mewarnai halaman surat kabar, majalah dan media massa lainnya. Pada era globalisasi ini para siswa menghadapi beberapa kekuatan global yang hendak membentuk dunia masa kini dan masa depan, yaitu (1) kemajuan iptek dalam bidang informasi serta inovasi-inovasi baru di dalam teknologi yang mempermudah kehidupan manusia; (2) masyarakat yang serba kompetitif; dan (3) meningkatnya kesadaran terhadap hak-hak asasi manusia serta kewajiban manusia dalam kehidupan bersama, dan semakin meningkatnya kesadaran bersama dalam alam demokrasi. Semuanya itu akan berpengaruh juga pada model pengembangan pendidikan agama Islam yang akan disajikan kepada peserta didik.
55
Membicarakan faktor-faktor proses kependidikan Islam berarti membicarakan unsur atau komponen apa saja terlibat dalam proses kependidikan Islam. Untuk menentukan faktor dan kedudukannya dalam struktur hierarki ilmu harus ditelusuri dan konsep paling dasar proses pendidikan, yaitu akar ilmu atau hubungan subjekobjek.13 Subjek dalam hal ini adalah manusia yang mencari tahu tentang objek. Kegiatan mencari tahu ini disebut sebagai proses belajar atau dalam konteks pendidikan disebut proses pembelajaran, yaitu proses hubungan antara manusia (subjek) dengan ilmu (objek). Proses hubungan subjek-objek ini yang melahirkan tujuan atau arah dan pendidikan. Tujuan adalah unsur ketiga setelah ada hubungan subjek-objek. Sifat ketidak berdayaan, ketergantungan, dan ketidak-mampuan manusia (baca anak didik)14 dalam menyempurnakan hubungan sebagai subjek ataupun objek dalam diri nya itulah muncul konsep pendidik/guru. Sementara proses hubungan subjek dan objek itu sendiri pasti menggunakan metode atau cara tertentu sekaligus menempati ruang dan waktu. Artinya, proses pembelajaran itu sendiri pasti melibatkan unsur lingkungan. Lingkungan dalam hal ini menempati kedudukan kelima, setelah peserta didik (subjek), ilmu pengetahuan (objek), tujuan, dan pendidik. Dalam konteks luas, lingkungan tersebut mencakup lingkungan konkret maupun abstrak. Dikatakan konkret karena terlibat langsung di dalam proses pembelajaran itu sendiri, dan abstrak karena tidak terlibat secara langsung tetapi turut memengaruhi perkembangan, peranan, dan arah pembelajaran dalam pendidikan Islam. Secara hierarkis, unsur-unsur dalam Pembelajaran pendidikan Agama Islam dapat disusun berturut-turut adalah (1) anak didik, (2) ma- ten Pendidikan (ilmu Pengetahuan), (3) tujuan pendidikan, (4) Pendidik/guru; dan (5) Lingkungan Masingmasing unsur akan dibahas lebth luas pada pembahasan berikutnya. 15
13
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, hal 12 H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, hal, 9 15 Redja Mudyharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2002, hal 49-52 14
56
1. Unsur Anak Didik Anak didik adalab seorang anak yang selalu mengalami perkembangan sejak terciptanya sampai meninggal dan perubahan-perubahan itu terjadi secara wajar.16 Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga hams diperlakukan sebagai subjek pendidikan. 17 Sebagai subjek pendidikan, manusia memiliki kemampuan belajar yang berkaitan erat dengan kemampuan manusia untuk mengetahui dan mengenal terhadap objek-objek pengamatan melalui indranya. Pengetahuan manusia terbentuk karena ada realita sebagai objek pengamatan indra.’ lndra manusia merupakan alat kelengkapan yang dapat membuka kenyataan alam sebagai sumber pengetahuan yang memungkinkan dirinya untuk menemukan hakikat kebenaran yang diajarkan oleh agamanya, atau oleh Tuhannya. Indra merupakan pintu gerbang dan pengetahuan yang semakin berkembang. Tuhan mewajibkan manusia menggunakan indranya untuk memperoleh pengetahuan. 18 Sebagai bagian dan objek pendidikan, manusia pada hakikatnya terbentuk dan kenyataan rohaniah (kejiwaan) dan kenyataan jasmaniah. Perpaduan pola-pola hubungan jasmani dan rohani mi yang memberi arti hidup manusia. 19 Kajian keilmuan atas anak didik dalam pendidikan harus memerhatjlcan dua unsur kemanusjaan mi. Dasar konsep anak didik sebagai objek sekaligus subjek mi wilayah keilmuan unsur anak didik dalam sistem pendidikan khususnya pendidikan Islam seharusnya dikaji dan dikembangkan secara maksimal. Perpaduan pengembangan keilmuan anak didik ditinjau sebagai subjek maupun objek dalam jangka panjang dapat menghindarkan terjadinva perpecahan kepribadian (split personality) dalam din anak didik Seperti yang diungkapkan Azyumardi Azra. 20
16
Ibid, hal 45-56 Ibid, hal 64 18 Paul Suparno, Filsafat Kontrutivisme Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal 17
64 19
Ibid, hal 71-72 Abdul Munir Mulkhan, akar pendidikan Islam sebagai ilmu, dalam Abdul Munir Mulkhan, Dkk, Rilegius Iptek, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan pustaka Pelajar, 1998, hal 96 20
57
2. Unsur Tujuan Faktor tujuan mempunyai peranan penting dalam pendidikan Islam, sebab akan memberikan standar, arahan, batas ruang gerak, dan penilaian atas keberhasilan kegiatan yang dilakukan.21 Dalam merumuskan tujuan pendidikan, terdapat berbagai macam cara dan pendekatan, khusüs Untuk pendidikan Islam, disesuaikan dengan kriteria dan karakter ilmu dalam Islam, yaitu terstruktur hierarkis dan tingkat konkreta sampai dengan ilata. Implikasi penyusunan tujuan pendidikan Islam berdasarkan struktur konsep dengan pendekatan waktu adalah tujuan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Kriteria ataupun karakter mi berlaku pula untuk penentuan tujuan pendidikan terkait dengan metodologi keilmuan. Perumpamaan, untuk tujuan jangka pendek disusunlah rumusan objek-objek ilmu jasmaniah yang dalam pendekatan metodologi pengajaran lebth dikenal sebagai psikomotor. Terkait dengan objek material studi ilmu lebih difokuskan pada kosmologi. Untuk jangka panjang secara metodologis dirumuskan sebagai metodologi spiritual, sementara objek studi ilmu adalah filsafat atau lebih khusus agama. Jangka pendek bertujuan mencapai kebahagiaan hidup di dunia, jangka panjang kebahagiaan hidup setelah mati (akhirat). Karakter mi sebangun dengan rangka konsep doa dalam Islam “Ya Tuhan kami berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dati api neraka” (Q.S. 2:201).22 Alternatif lain penyusunan struktur tujuan aplikatif juga dapat dilakukan dengan pendekatan objek eksistensi material bidang stucli yang dalam hal mi diwakilkan oleh ilmu sains dan teknologi, antropologi, dan filsafat. Seluruhnya disajikan secara berjenjang (hierarkis), perumpamaannya, tingkat dasar adalah studi ilmu sains dan teknologi. Tahap berikutnya studi ilmu antropologi dan tahap akhir adalah filsafat. Objek ilmu sains dan teknologi menggambarkan studi ilmu jasmaniah atau duniawi,
21
Tarmizi Bahrudin, Akhlak pesantren solusi bagi kerusakan akhlak, yogyakarta: ittaqa press, 2001, hal 97 22 Depag RI, Al Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1996, hal 24
58
objek ilmu antropologi penggambaran studi ilmu terkait perikehidupan manusia di dunia. Kehidupan yang dalam “proses” dari satu titik kembali menuju ke satu titik, yaitu Tuhan (Q.S. 2: 156).23 Objek ilmu filsafat penggambaran kajian seluruh realitas semesta baik di dunia dan akhirat. Dalam hal mi, agama adalah objek materiil dan kajian kefilsafatan. Terkait dengan penyusunan konsep tujuan etis dari pendidikan dapat merujuk pada kesemestaan konsep tutunggal fungsi etis belajar, yaitu kedewasaan, kesadaran din, kebijaksanaan hidup dan rna’rifatullah. Rumusan tersebut masih dalam kerangka teoretis, artinya masing-masing perlu diterjemahkan dalam bentuk konkret. 3. Unsur Pendidik Pendidik adalah orang yang mendidik. 24 Pendidik adalah orang yang dengan sengaja memengaruhi orang lain untuk mencapai25 tujuan pendidikan. Semula kata pendidik mengacu pada seseorang yang memberikan pengetahuan, keterampilan, atau pengalaman kepada orang lain. 26 Konsep ini mengarah pada pandangan yang menempatkan anak didik sebagai objek pendidikan ini terlihat menonjol pada aliran empirisme dengan konsepnya bahwa pengaruh lingkungan ekstemal khususnya pendidikan merupakan satu-satunya pembentuk dan penentu perkembangan hidup manusia.27 Pendidik adalah faktor dominan dalam mencapai tujuan dan anak didik inilah ditempatkan sebagai “wadah kosong yang harus dilsi” oleh seorang pendidik. Akibatnya, potensi alami anak didik sering kali terabaikan. Sejalan perkembangan keilmuan pendidik, muncul konsep bahwa mendidik bukan hanya mentrartsfer pengetahuan dan orang yang sudah tahu kepada yang belum tahu, tetapi suatu proses membantu seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
23 24
Ibid, Hal 18 W.J.S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai Pustaka, 1982,
hal. 250 25
Sutarmi Imam Barnadhib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis,Yogyakarta : Andi Offset , 1997, hal. 61 26 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hal.61 27 M.Arifin, M.Ed. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1994, cet, ke-4, hal.94
59
Proses seseorang dalam membantu orang lain agar dapat mengonstruksi sendiri pengetahuan lewat kegiatan terhadap fenomena dan objek yang ingin diketahui.28 Petunjuk ini dapat digunakan untuk menyusun konsep hierarkis kurikulum pengajaran. Pengetahuan dalam diri seseorang pada hakikatnya telah dimiliki selama manusia dikatakan hidup, dimiliki dalam arti belum terstruktur/terbentuk. Pendidikan hanya berfungsi membantu proses pembentukan pengetahuan dalam diri anak didik. lmplikasinya terhadap struktur kurikulum pendidikan akan sangat luas. Anak didik harus ditempatkan pada urutan pertama, sedangkan pendidik hanya sebatas suplemen. Bakat alami anak didik lebih diutamakan sebelum tujuan akademis pendidikan. Dalam hal metodologi, pendidikan yang melibatkan pengalaman, seperti kegiatan, eksperimen, penelitian, pembuktian lapangan, dan sejenis ditempatkan pada tingkat awal, sebelum kesimpulan akhir dalam bentuk transfer pengetahuan diberikan. Penyusunan kriteria hierarkis ini bukan berarti tahap yang satu lebth penting dari tahap yang lainnya, tetapi hanya menunjukkan sistematika dan runtutan metodologis, oleh sebab itu, perlu ada semacam shfting paradigm.29 Terkait dengan objek materi pendidikan yang harus diberikan oleh seorang pendidik juga harus terintegrasi antara yang fisik dan metafisik. Pengetahuan yang bersifat fisik secara metodologi diberikan pada tahap awal pendidikan sebelum pengetahuan yang bersifat metafisik. Implikasi lebih jauh dan struktur ilmu pendidikan terhadap pencapaian tujuan akhir pendidikan adalah keterkaitan faktor manusia. Dengan kata lain, tujuan pendidikan yang terintegrasi dalam struktur hierarkis. Dalam konsep Islam, integrasi tujuan pendidikan terwujud dalam beragam bentuk dan jenis, namun keseluruhannya menunjukkan keseimbangan dua kutub bipolaritas. Salah satu contoh adalah pendapat M.J. Langeveld, yaitu integrasi kedewasaan jasmani dan rohani.30 Atau merujuk pendapat Azyumardi Azra tentang integrasi keilmuan dan moral. Seorang pencildik
28
Paul Suparno Konstruktivisme dalam pendidikan, Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1997,
hal.71-72 29
M. Amin Abdullah, Antara Al Ghazali dan Kant; Filsafat Etika Islam, Bandung; Mizan , 2002, hal. 71-72 30 Opcit Sutarman, Op Cit, hal 28
60
dituntut untuk menjadi tokoh identifikasi dalam hal keluasan ilmu dan keluhuran akhlaknya, sehingga anak didiknya selalu berupaya untuk mengikuti langkahlangkahnya. Kesatuan antara kepemimpinan moral dan keilmuan dalam diri seorang pendidik dapat menghindarkan anak didik dari bahaya keterpecahan pnibadi (split personality).31 4. Unsur Lain-Lain Unsur-unsur lain yang memengaruhi pembentukan pengetahuan dalam proses pendidikan. Faktor-faktor lain ini dibedakan dalam empat kelompok, yaitu (1) metode; (2) alat; (3) lingkungan manusia; dan (4) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dua unsur pertama terlibat langsung dalam proses pembelajaran, dan dua unsur benkutnya tidak terlibat secara langsung, namun turut memengaruhi pembentukan hasil proses belajar-mengajar. a. Metode. Metode (method) secara harfiah berasal dani dua perkataan, yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui” dan hodos berarti “jalan” atau “cara”. Metode berarti cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.32 Dalam pemakaian yang umum, metode diartikan sebagai cara melakukan sesuatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis.33 Dalam dataran praktis secara umum kita kenal dengan bentuk-bentuk, seperti metode teladan, kisah-kisah, nasihat, pembiasaan, hukuman dan ganjaran, ceramah, diskusi, dan seterusnya. Metode dalam sistem pendidikan Islam mempunyai peran dan fungsi khusus. Penerapan metode yang tepat hams disesuaikan dengan kekhususan kemampuan peserta didik dalam belajar, oleh sebab itu metode secara operasional memiliki berbagai macam bentuk dan variasi praktis.
31
Abudin Nata, Op Cit, hal 91 Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan suatu Pendekatan Baru , (Bandung; Remaja Rosdakarya, 1995), Cet. Ke- 2, hal.7 33 Abudin Nata, Op Cit, hal 91 32
61
b. AIat Alat pengajaran adalah tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan. 34 Pengertian “alat” mengarah pada objek benda mati sementara istilah tindakan atau perbuatan merujuk pada objek yang “hidup atau berubah” dan ini terkait erat dengan perbuatan manusia. Oleh sebab itu, tindakan atau perbuatan manusia dalam pendidikan dibahas dalam unsur metode pendidikan. Sebaliknya, istilah “alat” dalam pembahasan mi merujuk pada barang yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu.35 Mat pendidikan dapat berupa fisik atau nonfisik (situasi) yang dalam proses kependidikan perlu didayagunakan Secara bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Tujuan utama mempergunakan alat tersebut ialah untuk mencapai hasil yang optimal dalam proses kependidikan. 36 Oleh sebab itu, istilah “alat” lebih tepat digunakan untuk objek yang “nonmanusia”. Contohnya, papan tulis, kapur, OHP, buku, tempat belajar, situasi, dan kondisi ruangan, dan seterusnya akan sangat membantu proses pengajaran yang kondusif. Berbeda dengan nasihat, hukuman atau ancaman. Nasihat, hukuman, atau ancaman adalah situasi yang berhubungan dengan metode pengajaran yang dilakukan manusia. Alat pendidikan hanya sekadar benda mati yang bersifat material. Sehingga lebih tepat diartikan sebagai situasi atau benda yang ada secara alami maupun direkayasa yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikam Alat pendidikan berfungsi mempermudah penyerapan indra manusia terhadap objek kenyataan belajar. Kemampuan mengindra dalam diri manusia selalu dikaitkan pada tiga unsur indra belajar dalam diri manusia, yaitu visual, auditorial, dan kinestetik.37 Pengetahuan
34
Sutarman Imam Burnadib, Op Cit, hal 96 W.J.S. Poerwadarmita, Op Cit, hal 29 36 M. Arifin, Op Cit, hal 145 37 Bobbi DePoter dan Mike Hernackhi, Quantum Learning: Uneashing The Genius in you” , Alwiyah Abdurrohman(trjh), Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman Dan Menyenangkan, Bandung: Kaifa, 2002, hal. 113-124 35
62
indrawi menjadi sangat penting, karena bertindak selaku pintu gerbang pertama untuk menuju pengetahuan yang lebih utuh. 38 Semakin banyak indra terlibat dalam proses pengetahuan, suatu pengetahuan menjadi lebih mudah diingat.39 Alat pendidikan dalam arti benda atau barang yang digunakan untuk melakukan proses belajar atau mengajar 40bertujuan membantu dan mempermudah proses penyerapan pengetahuan manusia melalui media visual, auditorial, dan kinestetik dna manusia tersebut. c. Lingkungan manusia. Manusia dengan segala perilakunya secara tidak langsung maupun langsung sangat memengaruhi hasil proses belajar-mengajar. Lingkungan manusia dan perilakunya yang memengaruhi proses pendidikan dapat dibedakan menjadi dua bentuk. Legkungan tersebut adalah lingkungan yang disengaja (rekayasa) dan lmgkungan yang tak disengaja (alami). Lmgkungan yang direkayasa itu adalah lingkungan kependidikan, kebudayaan, masyarakat, dan lain-lain. Lingkungan yang tak rekayasa terwujud sebagai lingkungan alam, lingkungan hidup (ekosistem), dan seterusnya yang secara langsung maupun tak langsung memengaruhi proses pendidikan.41 Perkembangan ilmu pengetahuan akan selalu melibatkan interaksi manusia dengan alam sekitamya, baik dalam konteks sosial kemasyarakatan atau ruang lingkup alam. Manusia akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai kebaikan dan kejahatan, kesadaran politik, nilai-nilai religius, etika, dan seterusnya atas akibat “teknis” ilmu pengetahuan manusia terhadap pemanfaatan alam dan manusia itu sendiri. Manusia tidak dapat bersikap netral lagi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia tidak hanya dituntut objektif, tetapi juga dituntut
38
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta : kanisius, 1990, hal. 22 39 W.J.S. Poerwadarmita, Op Cit, hal 29 40 M. Arifin, Op Cit, hal 145 41 M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Tiori dan Konsep Ilmu Sosial, Bandung; PT. Eresko Bandung , 1995, hal.160
63
bersikap subjektif. Karena manusia hidup dalam satu dunia, hasil ilmu pengetahuan. Manusia dalam pekerjaan ilmiahnya tidak hanya bekerja dengan akal budinya, melainkan dengan seluruh eksistensmya, dengan seluruh keadaannya, dengan hatinya dan dengan seluruh indranya. d. Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi Pembentukan ilmu akan berhadapan dengan objek yang merupakan bahan dalam penelitian, meliputi objek material sebagai bahan yang menjadi tujuan penelitian bulat dan utuh, serta objek formal, yaitu sudut pandangan yang mengarah kepada persoalan yang menjadi pusat perhatian.42 Ilmu pengetahuan menghasilkan bipolaritas kesenjangan antara: wujud dengan gaib, konkret dengan abstrak, fisik dengan metafisik, dan seterusnya. Dalam sistem ilmu pengetahuan, objek yang “wujud, konkret, fisik, dan sejenis” melahirkan objek yang disebut teknoiogi. Pada sisi lain, objek yang “gaib, abstrak, metafisik, dan sejenis” melahirkan objek yang disebut ilmu pengetahuan. Indra manusia lebih mudah menangkap dan menerima kebenaran ilmu yang bersifat teknologis dibandingkan ilmu pengetahuan yang bersifat teoretis. Perkembangan ilmu pengetahuan akan selalu diikuti hambatan sosialnya, dan perkembangan teknologi akan memunculkan pertanyaan moral etis religius kemanusiaan.43 Kehidupan manusia berkembang semakin rumit dan kompleks seiring perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan hidup manusia itu sendiri merupakan proses pendidikan. Selama masih disebut manusia hidup, maka ia tidak akan pernah lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sesederhana atau sekecil apa pun bentuk pengetahuan dan teknologi tersebut. Semakin maju dan berkembang sistem ilmu pengetahuan, maka objek ilmu pengetahuan pun semakin luas dan mendalam.
42 43
Ibid, hal 58 Ibid, hal 159-16-
64
F. Pendekatan dan Pengembangan Pembelajaran Agama Islam Pemahaman tentang Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah/perguruan tinggi dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu PAI sebagai aktivitas dan PAI sebagai fenomena. PAI sebagai aktivitas, berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk upaya untuk membantu seseorag atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang untuk menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupannya), sikap hidup dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran yang bernilai-nilai Islam. Sedangkan PAI sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih dan/atau penciptaan suasana yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak, 44 Diskursus tentang pengembangan pendidikan agama Islam di Indonesia yang persentasikan oleh para ahli dan pemerhati pendidikan Islam, baik tulisan-tulisan mereka diberbagai buku, majalah, jurnal, dan sebagainya, maupun melalui kegiatan seminar, penataran dan lokakarya, serta kegiatan lainnya, telah memperkaya wawasan dan visi kita dalam mengembangakan pendidikan agama Islam di Indonesia. Berbagai pemikiran dan pengalaman mereka perlu dipotret, ditata dan didukung dalam suatu paradigma, sehingga model-model orientasi dan langkah-langkah yang hendak dituju menjadi semakin jelas. Lagi pula kalau seseorang hendak melakukan pengembangan dan penyempurnaan, maka tata kuncinya sudah dapat dipegang, sehingga tidak terjadi salah letak, arah dan langkah, yang pada gilirannya yang menimbulkan sikap overacting dalam menyikapi paradigma tertentu. Selama ini telah banyak pemikiran dan kebijakan yang diambil dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan agama Islam yang diharapkan mampu memberikan nuansa baru bagi pengembangan sistem pendidikan di Indonesia, dan sekaligus hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna pendidikan nasional yang 44
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Mengefekkan Pendidikan Agama di Sekolah. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002) Cet. II.
65
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membangaun watak serta peradaban bangsa, yang bermartabat yang bertujuan untuk mengembangkan peserta didik agar menjadi manusia ynag beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis seta bertanggung jawab,45 Munculnya berbagai pemikiran dan kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama Islam secara terpadu pada sekolah umum, pengembngan dan peningkatan kualitas madrasah, pesantren, kegiatan pesantren kilat serta pendidikan agama Islam disekolah menengah umum, dan sebagainya, adalah beberapa contoh menifestasi dari usaha-usaha tersebut di atas. Namun
demikian,
dalam
beberapa
hal
agaknya
pemikiran
konseptual
pengembangan pendidikan agama Islam dan beberapa kebijakan yang diambil kadang-kadang terkesan menggebu-gebu, idealis, romantis, atau bahkan kurang realistis, sehingga para pelaksana dilapangan kadang-kadang mengalami beberapa hambatan
dan kesulitan untuk merealisasikannya atau bahkan etensitas
atau
pelaksanaan efektivitasnya masih dipertanyakan. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya kejelasan dan lemahnya pemahaman paradigma (jendela pandang) pengembangan pendidikan agama Islam itu sendiri, yang berimplikasi pada kesalahan orientasi dan langkah, atau ketidakjelasan wilayah dan arah pengembangannya. Kajian ini dimaksudkan untuk memberikan diskripsi tentang pengembangan pendidikan agama Islam melalui potret atau pemetaan paradigma yang ada dan memperjelas oreintasi dan wilayah dari masing-masing paradigma tersebut, sehingga pemikiran dan kebijakan yang terkesan yang menggebu-gebu, idealis dan kurang realistis, dapat ditelaah ulang dan dikoreksi kembali. Selanjutnya dapat dikontrusi paradigma mana yang sekitarnya relevan untuk dikembangkan dalam menatap masa depan bangsa Indonesia menuju masyarakat madani.
45
Undang-Undang Nomor:20/2003,Tentang Sistem Pendidikan Nasional
66
Dari hasil kajian penulis tantang paradigma pengembangan pendidikan Islam,46 ditemukan ada tiga peta paradigma pengembangan pendidikan agama Islam, yaitu paradigma dikotomois, paradigma Mechanism, paradigma organism atau sistemik. 1. Pendekatan Dikotomis Di dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan tidak bulat, pendidikan keagamaan dan non keagamaan atau pendidikan agama dan pendidikan umum, demikian seterusnya. Pandangan dikotomis tersebut pada giliranya dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Seksi yang mengurusi masalah keagamaan disebut sebagai seksi kerohanian. Dengan demikian pendidikan keagamaan dihadapkan dengan pendidikan non-keagamaan, pendidikan keislaman dan non keislaman, pendidikan agama dengan pendidikan umum, demikian seterusnya. Pendidikan (agama) Islam seolah-olah hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni budaya, ilmu pengentahuan dan ilmu pengentahuan serta seni, dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi bidang garap pendidikan non-agama. Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan istilah pendidikan agama dan pendidikan umum, atau ilmu agama dan ilmu umum sebenarnya muncul dari paradigma dikotomis tersebut. Adanya perubahan dan/atau penyempitan pengertian ulama dan puqaha, sebagai orang yang hanya mengerti soal-soal keagamaan belaka, sehingga tidak termasuk ke dalam
barisan kaum intelektual, juga merupakan implikasi dari pandanagan
dikotomis tersebut. Menurut azra,47 pemahaman senacam itu muncul ketika umat Islam Indonesia mengalami penjajahan yang sangat panjang, dimana umat Islam
46
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Mengefekkan Pendidikan Agama di Sekolah. (Bandung: Remaja Rosdakarya,2002) Cet. II. hal 47 Azra Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru. (Jakarta: Logos, 1999), hal
67
mengalami keterbelakangan dan disentegrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perbenturan umat Islam dengan pendidikan dan kemajuan barat memunculkan kaum intelektual baru (cendikiawan sekular. Dalam proses pendidikannya, mereka mengalami brain washing (cuci otak) dari hal-hal yang berbau Islam, sehingga mereka terjadi teralienasi (terasing) dari ajaran-ajaran Islam dan muslim sendiri. Bahkan terjadi gap antara kaum intelektual baru (sekular) dengan intelektual lama (ulama), dan ulama dikonotasikan sebagai kaum sarungan yang hanya mengerti soal-soal keagamaan dan buta dalam masalah keduniaan. Paradigma dikotomis mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan agama Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman al-‘ulum al-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan) yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains (ilmu pengentahuan) dianggap terpisah dari agama. demikian pula pendekatan yang digunakan lebih bersipat keagamaan yang normatif, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (actor) yang loyal (setia), memiliki sikap commitment (keberpihakan), dan didekasi (pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-keritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang normatif dan doktriner tersebut. Paradigma tersebut sering tersebut dalam realitas sejarah pendidikan Islam. Pada periode pertengahan, lembaga pendidikan Islam (terutama madrasah sebagai pendidikan tinggi atau al-jami’ah) tidak pernah menjadi universitas yang difungsikan semata-mata untuk mengembangkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar. Ia banyak diabdikan kepada al-‘ulum al-diniyah (ilmu-ilmu agama) dengan penekanan pada fiqih, tafsir dan hadits. Sementara ilmu-ilmu non-agama (keduniaan), terutama ilmu-ilmu alam dan eksakta sebagai akar pengembangan sains dan teknologi, sejak awal perkembangan madrasah dan al-jami’ah sudah berada dalam posisi marginal. Islam memang tidak pernah membedakan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum (keduniaan), dan/atau tidak berpandangan dikotomis mengenai ilmu
68
pengentahuan. Namun demikian, dalam realitas sejarahnya justru suprimasi lebih diberikan pada ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-diniyah) sebagai jalan tol untuk menuju Tuhan. Sebelum kehancuran teologi mu’tazilah pada masa khalifah al-ma’mun (198218 H/813-833M), mempejalari ilmu-ilmu umum (kajian nalar dan empiris) ada dalam kurikulum madrasah, tetapi ada juga pemakruhan atau bahkan lebih eronis lagi “pengharaman” penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah ilmu-ilmu yang dicurigai itu dihapuskan dari kurikulum madrasah. Mereka yang berminat mempelajari
ilmu-ilmu
umum
dan
mempunyai
semangat
scientificinquiry
(penyelidikan ilmiah) guna membuktikan kebenaran ayat-ayat kauniyah, terpaksa harus belajar sendiri-sendiri atau dibawa tanah, karena dipandang sebagai ilmu-ilmu subversif yang dapat menggugat kemapanan doktrin sunni terutama dalam kalam dan fiqih.
Adanya
madrasah
al-thib
(sekolah
kedokteran)
juga
tidak
dapat
mengembangkan ilmu kedokteran dengan bebas, karena sering digugat Fuqaha’, misalnya tidak diperkenankan menggunakan organ-organ mayat sekalipun dibedah untuk diselidiki. Demikian pula rumah sakit riset dibagdad dan kairo, karena dibayangi legalisme fiqih yang kaku akhirnya harus berkonsentrasi pada ilmu kedokteran teoritis dan perawatan. Mengapa legalisme fiqih atau syariah dan/atau ortodoksi agama serta semangat intoleransi. Terhadap para saintis (dari kalangan ulama Islam dan apalagi non muslim) begitu dominan dalam lembaga pendidikan Islam? Menurut azra,48 karena: (1) pandangan tentang ketinggian syariah atau ilmu-ilmu keagamaan, sebagai “jalan tol” untuk menuju Tuhan; (2) lembaga-lembaga pendidikan Islam secara institusional dikuasai oleh mereka yang ahli dalam bidang-bidang keilmuan keagamaan, sehingga kelompok saintis, (Dar al-‘ilm) tidak mendapat dukungan secara institusional, justru Fuqaha’ berhadapan dengan tantangan saintis, sehingga kaum saintis tidak berdaya menghadapi Fuqaha’ yang mengklaim legitimasi religius sebagai the Quardian of
48
Azra Azyumardi, Pendidikan Tinggi Islam Dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar), Dalam: Charles Michael Stanton, Pendidkan Tinggi Dalam Islam (Terj. Afandi & Hasan Asari ). Jakarta: logos, 1994, hal
69
God’s given law (pelindung/penguasa syariah); (3) hampir seluruh madrasah/aljami’ah didirikan dan dipertahankan dengan dana wakap dari para dermawan dan penguasa politik muslim. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah pada lapangan ilmu-ilmu agama yang lebih banyak mendatangkan pahala, sementara itu penguasa politik tertentu atau motivasi murni untuk menegakkan ortodoksi sunni, sering mendikte madrasah/ al-jami’ah untuk tetap dalam kerangka ortodoksi (kerangka syariah). Bertolak dari kenyataan sejarah tersebut, maka kemunduran peradapan Islam serta kelatarbelakangan sains dan teknologi didunia Islam, disamping karena faktor dari dalam diri umat Islam sendiri, yang kurang peduli terhahap kebebasan penalaran intelektual
dan
kurang
menghargai
kajian
rasional-impiris
atau
semangat
pengembangan ilmiah dan filosifis. Dengan kata lain, paradigma dikotomis dijadikan sebagai titik tolak dalam pengembangan pendidikan. 2. Pendekatan Mekanisme Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia49, secara etimologi mechanism berarti: hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau hal saling bekerja seperti mesin, yang masing-masing bergerak sesuai dengan fungsinya. Paradigma mechanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak. Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas; nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetik, nilai biofisik, dan lain lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya kadang-kadang bersifat 49
Depdikbud RI,Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jakarta:Balai Pustaka, 1996
70
horizonlateral (indenpendent) atau bersifat lateral-sekuensial, tetapi tidak sampai kepada vertikal linier. Relasi yang bersifat horizontal lateral (indenpendent), mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran yang ada dan pendidikan agama mempunyai hubungan sederajad yang independent, dan tidak saling berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial berarti diantara masing-masing mata pelajaran tersebut mempunyai relasi sederajad yang bisa saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertikal-linier berarti mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata pelajaran yang lain adalah termasuk pengembangan nilai-nilai insani yang mempunyai relasi vertikel-linier dengan agama. Dalam konteks tersebut, menurut pengamatan penulis, selama di sekolah-sekolah masih ada proses sekularisasi ilmu, yakni pemisahan antara ilmu agama dan pengetahuan umum. Nilai-nilai keimanan dan ketakwaan seolah-olah hanya merupakan bagian dari mata pelajaran pendidikan agama Islam, sementara mata pelajaran yang lain mengajarkan bidang ilmunya seolah-olah tidak ada hubungannya dengan masalah nilai keimanan dan ketakwaan. Paradigma tersebut tampak dikembangkan pada sekolah menengah umum yang didalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan, salah satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang hanya diberi 2 atau 3 jam pelajaran per minggu, dan didudukkan sebagai mata pelajaran umum, yakni sebagai upaya pembentukan keperibadian yang religius. Kebijakan tentang PAI sebagai mata pelajaran umum, atau sebagai upaya pembentukan keperibadian yang religius, adalah sangat prospektif dalam membangun watak, moral, peradaban bangsa yang bermartabat. Namun demikian, dalam realitasnya pendidikan agama Islam sering termarginalkan, bahkan guru PAI di sekolah umum pun kadang-kadang terhambat kariernya untuk menggapai jabatan fungsional tertinggi (guru besar) Kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama Islam secara terpadu disekolah umum misalnya, antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan sekaligus para guru agamanya mampu memandukan antara mata pelajaran agama dengan pelajaran
71
umum. Kebijakan ini akan sulit diimplementasikan pada sekolah umum yang cukup puas hanya mengembangkan pola relasi horizontal-lateral (independent). Barangkali kebijakan tersebut relatif mudah diimplimentasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan pola lateral-sekuesial. Hanya saja implikasi dari kebijakan tersebut adalah para guru agama harus menguasai ilmu agama dan memahami substansi ilmuilmu umum, sebaliknya guru umum dituntut untuk mengusai ilmu-ilmu umum (bidang keahliannya) dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama. Bahkan guru dituntut untuk mampu menyusun buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan hubungan antara keduanya. Namun demikian kadang-kadang dirasakan adanya kesulitan, terutama ketika berhadapan dengan dasar pemikiran yang berbeda, sehingga terjadi konflik antara keduanya. Contoh sederhana adalah menyangkut asal usul manusia. Sains yang diajarkan disekolah bertolak dari asal pemirikaran bahwa manusia berasal dari kera, sementara pendidikan agama tidak demikian. Psikologi behavioristik bertolak dari hasil penelitian terhadap sejumlah hewan untuk diterapkan kepada manusia, sementara pendidikan agama dari hasil pemahaman terhadap wahyu (kitab suci). Ilmu ekonomi bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang serakah (kapitalisme), sehingga bagaimana seseorang yang memiliki modal sedikit tetapi mampu menghasilkan keuntungan yang lebih besar, yang berbeda halnya dengan pendidikan agama, demikian seterusnya. Suasana tersebut kadang-kadang menimbulkan ketegangan pada diri peserta didik, terutama jika kedua-duanya (baik pendidikan agama maupun pendidikan umum) saling memaksakan kebenaran pandangannya. Agama memang bertolak dari keimanan terhadap kebenaran wahyu ilahi, sedangkan ilmu pengetahuan bertolak dari fenomena empiris. Dari sini peserta didik tampaknya diuji pandangannya. Ketika pandangan agama mendominasi pemikirannya, kadang-kadang ada kecenderungan untuk bersikap pasif dan statis atau fatalistik, sedangkan bila ilmu pengetahuan mendominasi pemikirannya, maka ada kecenderungan untuk bersikap split of personality. Jangan-jangan munculnya budaya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) antara lain sebagai akibat dari pengembangan pendidikan agama Islam yang
72
menggunakan paradigma Mechanism tersebut, terutama yang menerapkan pola relasi horozontal-lateral (independent) dan lateral-sekuinsial. 3. Pendekatan Organisme Meminjam istilah Biologi, organism dapat berarti susunan yang bersistem dari berbagai bagian jasad hidup untuk suatu tujuan, 50. Dalam konteks pendidikan Islam paradigma organism bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas dari komponen-komponen bersama dan bekerjasama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran nilai-nilai agama. Pandangan semacam itu menggaris bawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental values yang tetuang dan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah Shahihah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai ilahi/ agama/ wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai hubungan vertikal-linier dengan nilai Ilahi/agama. Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengetahaun, teknologi dan seni, memiliki kematanag profesional, dan sekaligus hidup didalam nilai-nilai agama. Paradigma tersebut tampaknya mulai dirintis dan dikembangkan dalam sistem pendidikan dimadrasah, yang dikdeklarasikan sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam. Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan tiga kepentingan utama, yaitu: (1) sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik hidup ke Islaman; (2) memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sederajad dengan sistem sekolah, sebagai wahana pembinaan warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkeperibadian serta produktif; dan (3) mampu merespons
50
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 1996
73
tuntutan-tuntutan masa depan, dalam arti sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, industralisasi maupun era informasi.51 Secara konseptual-teoretis pendidikan agama di Sekolah berfungsi sebagai: 1) Pengembangan iman dan ketakwaan kepada Allah Swt. Serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin; 2) Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat; 3) Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial; 4) Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari; 5) Pencegahan dari hal-hal negatif budaya asing yang dihadapinya sehari-hari; 6) Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan non-nyata), sistem dan fungsionalnya; dan 7) Penyaluran untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi. PAI disekolah umum, menurut keputusan Dirjin Dikti Depdiknas RI Nomor: 38/DIKTI/Kep/2002
tentang
rambu-rambu
mata
pelajaran
pengembangan
keperibadian di sekolah menengah umum, merupakan salah satu mata pelajaran kelompok pengembangan keperibadian, visi mata pelajaran ini menjadi sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan peserta didik mengembangkan keperibadiannya. Sedangkan misinya adalah membantu peserta didik agar mampu mewujudkan nilai besar agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni yang dikuasainya dengan rasa tanggung jawab kemanusiaan Dilihat dari fungsi PAI di sekolah serta visi dan misi PAI disekolah tersebut, maka secara konseptual-teoretis PAI disekolah dikembangkan ke arah paradigma organisme atau sistemik, yang ingin menjadikan PAI sebagai sumber nilai dan pedoman bagi peserta didik untuk mencapai kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat,
51
Fadjar, A. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan ,1998, hal 54
74
serta bagi penyelenggaraan program studi sekolah umum dan membantu peserta didik agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Namun demikian, realitasnya dilapangan menunjukkan bahwa pada umumnya PAI disekolah umum dikembangkan dengan menggunakan paradigma dikotomis atau mekanisme, dan jarang menggunakan paradigma organisme atau sistemik52. Hal ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pendidikan agama Islam di sekolah umum/madrasah. Fenomena pengembangan pendidikan agama Islam disekolah menengah umum tampaknya sangat bervariasi. Dalam arti cukup puas dengan pola horizontal-lateral (independent), yakni bidang studi (non-agama) kadang-kadang berdiri sendiri tanpa dikonsultasikan
dan
berintraksi
dengan
nilai-nilai
agama,
dan
ada
yang
mengembangkan pola relasi lateral-sekuensial, yakni bidang studi (non-agama) dikonsultasikan dengan nilai-nilai agama. Ada pula yang mengembangkan pola vertikel-linier, mendudukan agama sebagai sumber nilai atas sumber konsultasi dari berbagai bidang studi. Namun demikian, pada umumnya dikembangkan ke pola horizontal-lateral (independent), kecuali bagi lembaga pendidikan tertentu yang memiliki
komitmen,
kemampuan,
atau
political
will
dalam
mewjudkan
relasi/hubungan lateal-sekuensial dan vertikal-linier. Menurut Tilar,53 bahwa penelitian, pemikiran dan gagasan-gagasan dari para ahli yang terpisah-pisah (horozontal-lateral/independent) atau tidak bertolak belakang dari paradigma organisme tersebut, dapat berbahaya dalam eksistensi kehidupan manusia. Hal ini dapat dilihat dari bahaya praktik bio-teknologi kloning terhadap manusia. Tetapi hal ini merupakan indikasi perlunya seseorang berhati-hati di dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang terlepas dari nilai-nilai agama. Karena itu sekolah menengah umum masa depan perlu dikembangkan ke arah integrasi nilai-
52
Tim STAIN, Hasil Penelitian Evaluasi Pelaksanaan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Malang: STAIN, 2003 53 Tilaar, H.A.R.,Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Magelang: Tera Indonesia, 1998, hal 76
75
nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik yang merupakan karakteristik dari masyarakat madani di era global. Paradigma organisme atau sistemik ini dapat dilakukan apabila para guru memahami
keterkaitan
nilai-nilai
keimanan
dan
ketakwaan
dengan
mata
pelajaran/bidang studi yang dibinanya. Dalam konteks ini ada dua permasalahan yang dihadapi para guru, yaitu: (1) para guru dan guru harus melek (menguasai) bidang ilmunya; dan (2) para guru/guru harus mampu menerjemahkan bidang ilmu tersebut dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang terkandung dalam ajaran agama Islam. Paradigma tersebut seyogyanya berjalan secara alamiah, tidak melalui proses yang mengada-ada. Sebab, dalam kenyataan ada beberapa konsep ilmu pengetahuan yang tidak bisa diterjemahkan kedalam nilai-nilai tersebut. Melalui paradigma tersebut bukan berarti pokok bahasan harus di legalkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits, melainkan dari setiap pokok bahasan tersebut diambil hikmah yang dapat diambil peserta didik bagi kehidupan (nilai spritual)-Nya. Dengan demikian, diperlukan upaya spiritualisasi pendidikan dalam pembelajaran atau berupaya menginternaliasi nilai-nilai atau spirit. Agama melalui proses pendidikan ke dalam seluruh aspek pendidikan di sekolah-sekolah menengah umum. Hal ini dimaksud untuk memadukan nilai-nilai sains dan teknologi serta seni dengan keyakinan dan kesalehan dalam diri peserta didik. Ketika belajar biologi misalnya, maka pada waktu yang sama diharapkan pelajaran itu dapat meningkatkan keyakinannya kepada Allah, karena didalam ajaran agama diterangkan bahwa Tuhanlah yang telah menciptakan keanekaragaman di muka bumi ini dan semuanya tunduk pada hukum-Nya. Berbagai krisis multidimensional yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia memang tidak bisa hanya dilihat dan diatasi melalui pendekatan mono dimensional. Namun demikian, karena segala krisis tersebut berpangkal dari krisis akhlak atau moral, maka pendidikan agama dipandang sebagai masalah yang sangat vital dalam membangun watak dan peradaban bangsa yang bermartabat. Untuk itu, diperlukan pengembangan pendidkan agama yang lebih kondusif dan prospektif terutama di sekolah menengah umum. Paradigma pengembangannya perlu direkontruksi, dari
76
paradigma yang bersifat dikotomi dan mekanisme ke arah paradigma organisme atau sistemik. Hanya saja untuk merombak paradigma tersebut diperlukan kemampuan guru PAI dan political will dari para pengambil kebijakan, termasuk di dalamnya para pimpinan lembaga pendidikan itu sendiri. G. Sasaran Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pembelajaran yang baik mempunyai sasaran-sasaran yang seharusnya berfokus pada hal-hal sebagai berikut ini.. 1. Meningkatkan kualitas berpikir (qualities of mind) yaitu berpikir dengan efisien, konstruktif, mampu melakukan judmen (judgment) dan kearifan (wisdom). Wisdom dapat diperoleh dan pengalaman-pengalaman guru, teman diskusi atau manajer-manajer
yang
sudah
berpengalaman.
Pendidikan
yang
baik
menggandengkan pengalaman-pengalaman masa lalu dengan pengalamanpengalaman sekarang yang akan digunakan bersama-sama untuk mengantisipasi keadaan masa depan. Proses belajar harus menekankan pada pengembangan pemahaman, judmen, pengalaman-pengalaman dan bahkan intuisi. 2. Meningkatkan attitude of mind, yaitu menekankan pada keingintahuan (curiosity), aspirasi-aspirasi dan pertemuan-penemuan. Pembelajaran juga merupakan suatu kegiatan “seni” untuk mendorong orang untuk menemukan sesuatu (discovery process). 3. Meningkatkan kualitas personal (qualities of person) yaitu karakter (character), sensitivitas (sensitivity), integritas (integrity), tanggungjawab (responsibility). 4. Meningkatkan kemampuan untuk menerapkan konsep-konsep dan pengetahuanpengetahuan di situasi spesifik.54 E. Komponen Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam 1. Tujuan Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dalam pendidikan formal ada suatu istilah yang sering digunakan oleh pakar pendidikan untuk menyebut bagian-bagain dalam keseluruhan aktifitas pendidikan
54
Jagiyanto, Op Cit, hal 20
77
yaitu komponen pendidikan. Namun mereka tidak sepakat menyebut jumlah komponen yang dimaksud. Hasil studi Ahmad Tafsir,55 menyimpulkan bahwa yang disepakati sebagai komponen pendidikan formal adalah tujuan pendidikan, pendidik, anak didik, dan alat pendidikan yang meliputi materi, metode dan evaluasi. Untuk menentukan jumlah komponen pendidikan dalam studi ini merujuk pada hasil studi diatas. Pendidikan agama Islam bertujuan meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.56 PAI di sekolah bertujuan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan siswa tentang agama Islam sehingga menjadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Tujuan yang diharapkan dalam mengembangkan PAI adalah (1) menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) menanamkan nilai-nilai budaya pada umumnya, (3) mengembangkan kepribadian, (4) mengembangkan kepekaan rasa, (5) mengembangkan bakat, (6) mengembangkan minat belajar, (7) meningkatkan budi pekerti yang luhur sesuai dengan agama dan keyakinannya. Secara lebih tegas dan mendalam Dahlan, M.D memberikan penjelasan tentang tujuan pendidikan agama Islam yang tidak jauh dari tujuan dienul Islam itu sendiri, yakni agar peserta didik menjadi umat yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw dalam melaksanakan kehidupan dan penghidupan agar
55
Ahmad Tafsir, Sistem Pendidikan Muhammadiyah. Disertasi S3 Program Doktoral IAIN Jakart 1987, tidak diterbitkan, hal.29. 56 Depdiknas RI. Kurikulum Sekolah Menengah Atas. Gari-Garis Besar Program Pendidikan. Jakarata: Depdiknas, 1999, hal.15.
78
mencapai kebahagiaan dan keselamatan hidup baik lahiriah maupun batiniah di dunia dan di akhirat.57 Jadi PAI di sini memiliki tujuan yaitu: 1) Agar peserta didik dapat mengatasi keterbatasan dirinya, 2) Memberi santapan rohani, 3) Memenuhi tuntutan fitrah manusia, 4) Mencapai kebahagian dan keselamatan, 5) Memelihara ketinggian martabat sebagai manusia, 6) Memberikan keyakinan bahwa islam sebagai kebenaran mutlak, 7) Memberikan keyakinan bahwa islam sebagai sumber moral, 8) Memberikan keyakinan bahwa islam sebagai sumber prinsip hidup, 9) Memberikan keyakinan bahwa islam sebagai sumber hokum, 10) Memberikan keyakinan bahwa islam sebagai sumber informasi dan metafisika, 11) Memberikan keyakinan bahwa islam sebagai sumber inspirasi dan ilmu pengetahuan. Di sekolah pada umumnya pendidikan lebih cenderung mengajarkan pengetahuan, keterampilan,
kesehatan
jasmani,
kemandirian
dan
rasa
tanggung
jawab
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan yang dilaksanakan kurang dan jarang terpadu dengan pembinaan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang nanti wujudnya akan sampai pada tercapainya perilaku budi pekerti yang luhur. Berbagai pihak menyatakan bahwa pendidikan telah menyimpang dari tujuan semestinya. Pengertian pendidikan telah diperkecil dengan “persekolahan” yang kemudian diperkecil lagi dengan “pengajaran”, untuk selanjutnya diperkecil dengan “pengajar di kelas” dan makin diperkecil lagi menjadi penyampaian materi kurikulum. Untuk selanjutnya berakhir dengan mempersiapkan diri pada Ujian Akhir Nasional (UAN). Akibatnya pendidikan telah berorientasi pada suatu hal yang sangat sempit, berpusat pada aspek-aspek kognitif dan intelektual sehingga pendidikan tidak mampu menghasilkan kepribadian yang utuh, bahkan untuk membina imtak yang ada pada siswa sangat sulit dilaksanakan.
57
Dahlan , M.D. Model-model Mengajar, Bandung: CV.Diponegoro, 1994. hal.6-10.
79
Tujuan pendidikan menurut ajaran agama Islam adalah membimbing menjadi individu menjadi “khalifah fil ardh”. Dikemukakan oleh Muhaimin dan Mujib bahwa tujuan manusia diciptakan adalah untuk mengabdi kepada Alllah Swt dengan indikasi tugasnya berupa ibadah kepada Allah Swt.58 Semua pihak yang peduli terhadap pendidikan mengembalikan praktik pendidikan sesuai dengan tujuan yang dicanangkan. Pendidikan yang telah diperkecil dan dipersempit, dikembangkan kembali menjadi pendidikan yang dapat membina dan membimbing siswa dalam pengembangan berbagai potensi yang dimilikinya. Untuk mengembangkan tugas-tugas sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah fil ardh. Pendidikan yang mampu mengembangkan dan membina perwujudan diri siswa secara optimal sesuai dengan tuntunan Allah Swt. Selanjutnya dikemukakan oleh Muhaimin dan Mujib bahwa Tujuan pembelajaran PAI harus berorientasi pada hakikat pendidikan yaitu seperti berikut ini. 1. Tujuan dan tugas hidup manusia, manusia diciptakan untuk membawa tujuan dan tugas hidup tertentu. Tujuan hidup manusia untuk beribadah kepada Allah Swt, dan bertugas sebagai pemimpin di muka bumi sebagai khalifah fil ardh Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt yang berbunyi: “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam”. 2. Sifat-sifat dasar (nature) manusia, yaitu konsep tentang manusia yang diciptakan sebagai khalifah di muka bumi (QS. 51: 56). Penciptaan itu dibekali dengan berbagai macam fitrah yang berkecenderungan pada alternatif (rindu akan kebenaran dari tuhan) berupa agama Islam (QS.18:19) sebatas kemampuan dan kapasitas ukuran yang ada. 3. Tuntutan masyarakat, untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan tuntutan dunia modern. 58
Muhaimin dan A. Mujib. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, hal. 153-154.
80
4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam, mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia sedunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kesejahteraan hidup di akhirat, serta mengandung nilai-nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan, sehingga manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki.59 Tujuan pembelajaran PAI ini merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yaitu “ Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. 60 Beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang maha Esa dalam rumusan tujuan pendidikan nasional di atas menunjukkan bahwa pendidikan agama diharapkan memberikan kontribusi positif terhadap usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional. Karena keimanan dan ketakwaan hanya dapat terbina secara sempurna melalui pendidikan dan pengajaran agama Islam. Karena itu PAI mempunyai peran penting dalam sistem pendidikan nasional. Sejalan dengan uraian di muka Dahlan mengemukakan makna pendidikan Islam sebagai berikut, yaitu: “…bahwa pendidikan agama Islam merupakan penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk, taat pada Islam dan menerapkannya secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat. Untuk merealisasikannya dituntut komunikasi, mengakui adanya inisiatif, aktivitas, dan kreativitas terdidik yang masih perlu bantuan dan arahan, agar tidak menyimpang dari tujuan yang diharapkan. Sedangkan tugas yang diembannya menyiratkan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi”. 61
59
Ibid , hal. 153-154. Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kumpulan Undang-undang tentang Pendidikan kompilasi oleh Afnil Guza. Jakarta: Asa mandiri. 61 Dahlan M.D. Sistem Pendidikan Islam, Makalah, disajikan dalam seminar “Implementasi Akhlak Al-Qur’an di Musabaqah Al-Qur’an Metodik Pendidikan Islam Progresif ”. Kamis, 19 Rajab /26 September Fakultas Tarbiyah UBINSA, 2002. hal.5. 60
81
Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa melalui Tujuan pembelajaran PAI manusia diharapkan selalu bersih untuk mencapai taraf makhluk yang tertinggi, makhluk termulia, sebagai khalifah fil ardh, agar mendapat ridho Allah SWT. Sehingga tercapai kebahagian hidup di dunia dan kehidupan di akhirat nanti. Di samping itu manusia tidak boleh lupa bahwa segala sesuatu yang diperolehnya adalah atas petunjuk serta atas izin Allah SWT. Dengan hasil pendidikan yang dijalani manusia dapat berusaha mencapai tujuan hidupnya yang hakiki sesuai dengan ajaran agama Islam. 2. Materi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Perspektif ini diawali dari peristiwa diturunkannya Al Quran yang terbagi pada dua priode. Pertama di Mekkah dengan turunnya 93 surat dengan lama waktu 12 tahun 5 bulan 21 hari. Pokok-pokok ajaran pada periode Makiyyah ini berkenaan dengan keimanan, shalat, dan akhlak. Kedua di Madinah, dengan jumlah surat Al Quran sebanyak 22 surat. Ajarannya bukan saja mencakup keimanan tetapi juga meliputi muamalah-sosial. Ahmad Tafsir62 mengelompokkan materi pendidikan Nabi Saw di Madinah terdiri atas (1) membaca Al-Quran, (2) keimanan/rukun iman, (3) ibadah/rukun Islam, (4) akhlak, (5) dasar ekonomi, (6) dasar politik, (7) olahraga kesehatan, dan (8) membaca dan menulis. Lebih lanjut Tafsir mengatakan bahwa ada tiga kelompok bahan ajar yang tercakup dalam kurikulum pendidikan Islam yakni pendidikan untuk kesehatan jasmani agar sehat dan kuat, kecerdasan otak seperti logika dan sains, dan pendidikan hati untuk penguat keimanan. Secara lebih sistemtis Hasan bin Ali Hijazi (dalam Anshari)63 menguraikan cakupan materi pendidikan Islam, yaitu:
62
Tafsir, Ahmad. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung: Rosda Karya (1992)
hal.59 63
Anshari, E.S. Kuliah Al Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajawali, 1986) hal. 99.
82
1. Tarbiyah Imaniyah Yaitu pendidikan yang bertujuan untuk (1) menghambakan manusia hanya kepada Allah, (2) mewujudkan pribadi muslim yang beriman dengan komitmen amaliyah yang tinggi, (3) ‘ubudiyah yang dilakukan berdasarkan ‘uluhiyah dengan dasar kecintaan dan ketundukan yang sempurna, (4) menjaga hati dari segala hal yang menyebabkan kemusyrikan. Sarana yang dibutuhkan dalam tarbiyah imaniyah adalah sarana peningkatan, sarana preventif, dan sarana kuratif. Sarana peningkatan dilakukan melalui tadabur atas tanda-tanda kekuasaan yang disertai luasnya rahmat Allah dan hikmah dari setiap kehendak Allah, mengingat akan kematian, dan mendalami makna ibadah yang dilakukan. Sarana preventif, yakni menjaga komitmen, keyakinan, ucapan dan perbuatan, melatih menahan diri dari berbagai kemaksiatan dan menjauhkan diri dari segala yang dilarang, serta berlatih untuk berbuat sabar. Sarana kuratif, yakni melatih diri dari perbuatan lalai (ghaflah) dan melakukan taubat atas perbuatan dosa. 2. Tarbiyah Ruhiyah Yakni pendidikan yang bertujuan untuk mendidik keseimbangan dalam diri manusia antara kekuatan jiwa dan jasad. Kedua kekuatan ini harus dibangun secara tepat agar melahirkan harmonisasi kehidupan manusia. Sarana dalam pendidikan ruhiyah ini meliputi pendalaman atas keimanan akan hal-hal gaib, adanya surga dan neraka, termasuk keyakinan bahwa nilai-nilai kesurgaan dan kenerakaan terasa semenjak manusia berada di alam djunia fana ini. Kemampuan memahami hakikat dari apa yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi suatu kekuatan besar untuk pendidikan ruhiyah. 3. Tarbiyah Fikriyah Yakni pendidikan yang melatih pendidikan akal agar tunduk pada ketentuan Allah secara ikhlas. Pendidikan fikriyah meliputi tafakur, yakni merenungkan sesuatu yang sedang difikirkan agar menghadirkan keimanan: nadzara, yaitu melihat dengan mata, ta’amul yaitu mengamati untuk memperoleh keyakinan yang hakiki, i’tibar, yakni berfikir melampaui apa yang sedang dipikirkan sehingga menemukan kebenaran di balik setiap pikirannya.
83
4. Tarbiyah Athfiyah Yakni pendidikan yang mampu melatih perasaan agar berjalan secra proporsional. Dalam diri manusia terdiri atas instink (gharizah), perasaan sedih (al-huzn), perasaan takut (al-khauf), rasa gembira (al-farah), nafsu amarah (al-ghadhab), dan rasa cinta (al-mahabbah). Semua potensi perasaan ini perlu mendapatkan pendidikan yang tepat agar potensi-potensi perasaan bergerak pada naluri dasarnya, yani berjlan pada titik kebenaran yang hakiki. 5. Tarbiyah Khuluqiyah Pendidikan untuk melatih sesorang agar berakhlak mulia, memiliki kebiasaan terpuji dan tertanam dalam pribadi seseorang secara mendalam, sehingga menjadi sistem nilai yang terinternalisasi dan terindividuasi. Contoh tarbiyah khuluqiyah adalah sabar, syukur, memiliki keberanian, dan medahulukan kepentingan orang lain. 6. Tarbiyah Ijtima’iyah Pendidikan untuk melatih seseorang agar memiliki kepedulian dan kecerdasan sosial yang tinggi. Bentuk kecerdasan sosial dapat berupa saling mencintai sesama. Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kamu, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari). Kecerdasan sosial dapat dilakukan melalui rumah, lingkungan masyarakat, sekolah, dan pergaulan sehari-hari sebagai laboratorium sosial. Setiap individu dapat memiliki kecerdasan dan kesalehan sosial apabila dilatih secara tepat dan berkesinambungan. 7. Tarbiyah Badaniyah Pendidikan badan (jasmani sama pentingnya dengan pendidikan ruhani. Sebuah Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad menyebutkan bahwa “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah”. Mengingat pendidikan jasmani sangat penting maka pemeliharaan, perawatan dan penjagaan terhadap kondisi fisik menjadi sebuah kebutuhan dan keharusan. Sedangkan menjaga dari sebab-sebab yang bisa berakibat pada sakit,
84
rusak, atau lemahnya fisik menajdi keniscayaan. Untuk itu mengatur makanan dan minuman dalam jumlah yang tepat, waktu yang tepat, dan memilikih jenis makanan yang sesuai merupakan salah satu bentuk memelihara keadaaan fisik agar tetap sehat dan kuat. Oleh karena itu makanan yang berlebihan, tidak teratur bahkan tidak memperhatikan kehalalannya, merupakan pengrusakan terhadap fisik yang bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam. Allah Swt berfirman dlam QS. Al-A’raf: 31, yang artinya: “Makan dan minumlah kalian dan jangan berlebihan”. Menilik uraian tentang materi pendidikan Islam, maka dapat disimak bahwa ada tiga unsur yang perlu dijadikan perhatian dalam penyusunan materi PAI di sekolah yaitu (1) kebutuhan (need) siswa, setidak-tidaknya memenuhi harapan mereka bagi pertumbuhan
dan perkembangan
kepribadiannya, (2) standar mutu akademik
sebagai suatu pengajaran sesuai dengan tingkat pendidikannya, (3) keseimbangan antara isi dan proses pembelajaran. Berdasarkan pertimbangan ketiga unsur tersebut maka penyusunan materi PAI di sekolah hendaknya diarahkan pada aspek-aspek berikut. Pertama, pemahaman tentang nilai-nilai dasar Islam yang menjadi landasan untuk pembentukan dan perkembangan seluruh aspek kepribadian siswa. Menurut Zakiah Daradjat,64 ada empat nilai dasar yang harus ditanamkan kepada murid melalui materi PAI termasuk di sekolah yaitu : 1) Nilai material, yaitu sejumlah pengetahuan tentang agama Islam yang bersangkutan. Penambahan pengetahuan itu berlangsung melalui peneriman siswa baru di kelas sesuai dengan tingkat dan jenjang pendidikan masing-masing, 2) Nilai formal, yaitu nilai pembentukan pribadi yang bersangkutan dengan daya serap peserta didik atas segala bahan yang selalu diterimanya. Hal itu berarti sejauh manakah daya serap sisiwa sehingga ia mampu dengan tenaganya sendiri membentuk kepribadian yang utuh, kokoh dan tahan uji. Semua itu merupakan kerja mental sebagai reaksi atas pengaruh yang diterimanaya dan melalui
64
Zakiah Daradjat. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: Bumi Aksara,1995,hal 192
85
pengalaman kejiwaan terjadi pembentukan rohani yang menjadi ciri kepribadian seseorang. 3) Nilai fungsional, yaitu bahan ajar yang relevan dengan kebutuhan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Jika bahan ajar itu mengandung kegunaan - artinya sesuai dengan kebutuhan peserta didik atau berfungsi dalam kehidupan sehari-hari maka nilai tersebut mengandung nilai fungsional, 4) Nilai esensial, yaitu nilai hakiki. Agama mengajarkan bahwa kehidupan yang hakiki atau hidupan yang sebenarnya itu berlangsung di alam baqa (akhirat). Jadi kehidupan itu tidak terhenti sampai kematian di dunia saja melainkan kehidupan itu terus berlanjut sampai akhirat. Kedua, pemahaman tentang hakikat hidup dan kehidupan manusia dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai hamba Allah Swt dan khalifah Allah di muka bumi. Hal ini sangat penting disampaikan untuk membina tanggung jawab siswa dalam melaksanakannya. PAI harus mampu menjelaskan secara rasioanal kepada murid bahwa segala amal perbuatan manusia akan diminta pertanggung jawaban dihadapan Allah Swt. Penanaman keyakinan seperti ini hendaknya dijadikan materi pokok PAI. Ketiga, pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar Islam (rukun iman dan rukun Islam), dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari yang bernuansa sekuler (modern). Salah satu bentuk aktualisasi adalah menjelaskan manfaat dibalik penetapan hukum-hukum Islam yang Allah Swt turunkan. Menurut Qurais Shihab65 materi PAI di sekolah hendaknya disajikan dengan menjelaskan hikmatu al-tasyri’nya, yaitu pada hikmah dibalik ketentuan-ketentuan hukum Allah itu. Hal ini diusahakan dengan tujuan agar siswa dapat memahami dan menghayati sebab dan manfaat yang diperoleh. Tentu saja setelah materi-materi yang disajikan itu dipertimbangkan dan disajikan sesuai dengan usia dan perkembangan kepribadian siswa.
65
Qurais Shihab. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan,1996, hal 185
86
Merujuk pendapat Abu Hali Mahmud dalam kitab Al-Islam Syari’ah,
66
Aqidah wa
dapat disimpulkan bahwa materi tentang aqidah (teologi) tidak lagi
sepenuhnya relevan untuk memberi “pencerahan” pada kondisi masa kini. Hal ini karena materi-materi tersebut ditransfer secara utuh dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Sedangkan penulisan pertama kalinya dipengaruhi oleh situasi sosial politik ketika itu, yang tergambar dalam superioritas pemerintah dinasti-dinasti yang “mewakili” umat Islam dan pertikaian kelompok-kelompok tertentu yang menganggap bahwa mereka yang tidak sealiran dengan teologi yang mereka percayai, adalah kafir. Bahkan hanya perbedaan furu’iah dalam mazhab fiqih yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, dan mereka dianggap bukan muslim. Untuk kondisi saat ini hanya mengajarkan materi tersebut kuranglah relevan, namun perlu pengayaan yang disesuaikan dengan kondisi dan semangat zaman (zietgeizt). Dalam materi syari’ah seperti bersuci, puasa, shalat, dan zakat, dan haji merupakan materi-materi yang harus disampaikan sedini mungkin. Sedangkan untuk tingkat siswa apalagi di sekolah seyogyanya menonjolkan hikmah al-tasyri’ artinya apa manfaat yang terkandung dibalik penetapan suatu hukum keagamaan bagi kehidupan manusia. Keempat, pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan dalam ajaran Islam. Materi PAI di sekolah harus berkaitan erat dengan disiplin ilmu yang dikembangkan lembaga pendidikan tempat berlangsungnya proses belajar mengajar PAI itu sendiri. Ini amat mungkin, sebab baik dilihat dari sudut kenyakinan maupun kenyataan, suatu hal yang mustahil terjadi tabrakan antara apa yang dinyatakan wahyu Allah dengan apa yang diperbuat Allah Swt pada alam ini. Karena wahyu Allah maupun alam sama-sama ciptaan-Nya di alam ini. Jadi mustahil antara kedua ciptaan Allah itu terjadi pertentangan antara satu dengan yang lainnya. Keterpaduan dan kesinambungan materi PAI bersifat normatif Qur’aniah dengan disiplin ilmu yang bersifat fungsional-kauniyah merupakan prinsip dalam pengembangan materi PAI di sekolah.
66
Zakiah Daradjat. Metodik Khusus Pendidikan Agama, hal. 195.
87
Dalam konteks pembelajaran di kelas materi-materi PAI di sekolah telah disusun sedemikian rupa dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang secara substansional mencakup materi Akidah Akhlak, Al-Qur’an, Hadits dan Fiqh, serta Sejarah Kebudayaan Islam. Materi-materi tersebut dikembangkan dengan tetap mengacu pada tujuan dan pendekatan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. 3. Metode Pendidikan Agama Islam di Sekolah Metodologi pengajaran merupakan salah satu komponen penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam pembelajaran PAI di sekolah. Pembelajaran PAI tidak hanya diarahkan pada pengembangan kognitif siswa dan pengalihan ajaran Islam semata, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana agar ”daya jiwa” peserta didik dapat berfungsi secara maksimal untuk merubah watak yang jelek mencapai kesempurnaannya yaitu manusia yang berakhlak mulia. Menurut Ibnu Miskawaih67 “daya jiwa” bermakna bahwa jiwa manusia memiliki daya. Daya jiwa yang dimaksud dapat dibagi ke dalam tiga bagian yaitu: a) Jiwa Rasional (al-nafs al-natikah) yang memiliki daya berpikir (al-aqlu alnatiqah) yang disebutnya jiwa atau raja (al-malakiyah). Ini merupakan fungsi jiwa tertinggi, memiliki kekuatan berpikir dan melihat fakta. Alat yang dipergunakannya dalam jasmani adalah otak. b) Jiwa apetitif atau binatang buas (al-nafsu sabu’iyah) yang memilki daya marah (al-quwwah al-ghadabiyah)
yaitu keberanian menghadapi resiko, ambisi
terhadap kekuasaan, kedudukan dan kehormatan. Alat yang digunakannya dalam badan adalah hati (al-qolbu) c) Jiwa binatang (al-nafsu al-bahamiyah) dengan daya gairah atau nafsu (al-quah alsyahwiyah) yaitu daya hewani yang berkehendak kepada hal-hal seperti dorongan untuk makan, minum, kelezatan seksualitas dan segala macam kenikmatan indrawi (al-ladzaah al-hissyah) dan alat dipergunakannya dalam tubuh manusia adalah jantung.
67
Ibnu Miskawaih. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Bandung: Mizan. 1997, hal 35-43. (Buku Aslinya Berjudul Tahdzib al-Akhlak).
88
Lebih lanjut Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa ketiga daya jiwa tersebut berbeda-beda kekuatan dan kapasitasnya pada setiap orang. Jika berkembang salah satunya akan dapat merusak yang lainnya atau meniadakan aktivitasnya. Namun terkadang ketiganya dianggap sebagai tiga jiwa dan terkadang dianggap sebagai tiga daya atau fakultas dari satu jiwa. Ditegaskannya pula bahwa ketiga daya atau kekuatan jiwa ini masing-masing bisa menjadi kuat atau lemah tergantung kepada temperamen, kebiasaan dan pendidikannya. Selanjutnya
dengan
pandangannya
tentang
manusia
sebagaimana
telah
dikemukakan di atas bahwa manusia yang paling sempurna dan paling mulia adalah manusia yang paling besar dan unggul jiwa rasionalnya ( intelektualnya) dan dalam hidupnya selalu setuju dan cenderung mengikuti jiwa ini. Manusia yang dikuasai oleh kedua jiwa lainnya (sabu’iyah dan bahimiyah) maka akan turun derajatnya sesuai dengan jiwa yang lebih kuat dominasinya, menjadi manusia buas atau manusia syahwat yang menjadikannya seperti binatang. Dalam pembahasan tentang jiwa, Ibnu Miskawaih banyak mengkaitkannya dengan akhlak seperti juga terlihat dalam definisinya tentang akhlak. Baginya akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan dipertimbangkan sebelumnya. Dengan kata lain akhlak merupakan keadaan jiwa yang mendorong lahirnya aktivitas-aktivitas secara spontan. Keadaan jiwa itu dapat berupa naluri atau fitrah manusia sejak lahir dan dapat pula merupakan hasil latihan pembiasaan. Dari uraian di atas diperoleh pengertian bahwa sikap mental yang mendorong manusia melahirkan aktivitas-aktivitas secara spontan bisa berasal dari naluri atau fitrah dan bisa juga lewat latihan dan pembiasaan. Maskawaih menolak anggapan bahwa akhlak itu tidak dapat diperbaiki atau diubah. Melalui latihan dan pembiasaan manusia dapat mengubah watak kejiwaan, yang tidak baik menjadi baik. Manusia mempunyai karakter yang berbeda-beda dan karakter yang bermacam-macam. Hal ini dapat dibuktikan melalui proses pembinaan dan pengembangan watak. Seorang anak dapat tumbuh dan berkembang wataknya karena pengaruh lingkungan alam, budaya sosial, dan pendidikan yang diterimanya.
89
Dengan penolakan Ibnu Miskawaih terhadap pendapat yang mengatakan bahwa akhlak itu tidak dapat diperbaiki karena sudah merupakan karakter atau watak seseorang, maka nampak jelas bahwa Ibnu Miskawaih mendasarkan argumentasi secara jelas dan gamblang, yaitu watak atau karakter manusia itu sesungguhnya dapat diubah dan dipengaruhi melalui suatu proses terencana dan simultan. Proses yang mempengaruhi watak itu disebut upaya pendidikan.68 Perubahan watak itu tidak mungkin terjadi seketika karena hal ini merupakan proses alamiah. Keberhasilan dari suatu proses pendidikan itupun bukanlah suatu jaminan instant melainkan peraihan melaui suatu proses dan usaha oleh manusia. Upaya PAI di sekolah umum lebih diarahkan pada perubahan watak anak didik. Untuk itu proses pembelajaran PAI tidak hanya tertuju pada pengawetan, pelestarian dan pengalihan ajaran semata, namun lebih ditujukan pada ikhtiar mengembangkan sikap beragama dan watak (karakter) peserta didik daripada menjadi agamawan atau ahli dalam bidang agama. Oleh sebab itu pembelajarannya harus kaya dengan metodologi. Menurut Zakiah Daradjat dan Sukmadinata,69 ada tiga alasan pokok tentang pentingnya metodologi dalam proses pembelajaran. Pertama, karena pembelajaran tidak saja menunjuk kepada kedua komponen utama pendidik dan peserta didik, akan tetapi ada aspek penting lainnya yaitu pendidik harus merancang pembelajaran tersebut dari sudut pandang peserta didik. Kedua, tercakup dalam istilah ”pembelajaran” tersebut adalah pendidikan dan pengajaran serta dampak pengasuhan (nurturent effect) atau dampak pengirim yang mengandung pengertian lebih luas dari sekedar menyampaikan ilmu sebab dalam istilah pembelajaran justru segi pendidikan (asuhannya) harus mengiringi kegiatan pembelajaran tersebut. Ketiga, perolehan pembelajaran PAI secara umum diharapkan mampu mengantipasi dan beradaptasi dengan era informasi dan globalisasi. Pengembangan metodologi PAI dapat
68
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 76 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 88 dan .Nana Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 1997, hal.123. 69
90
berpedoman dan berlandaskan pada pemahaman Islam secara utuh atau disebut dengan pemahaman tentang dienul Islam secara “kaffah”. Untuk membantu siswa agar sanggup mengubah sikapnya, maka materi-materi PAI di sekolah disajikan dengan cara (metode) menemukan sendiri. Pengajaran perlu diletakkan pada proses belajar tentang konsep-konsep ataupun kejadian dalam lingkungannya masing-masing. Untuk itu diperlukan pendekatan integratif antara komponen-komponen sistem PAI itu sendiri. Untuk mengintegrasikan ketiga komponen sistem pembelajaran PAI, para pengelola perlu mengklasifikasikan materi-materi PAI kedalam tiga kelompok, yaitu (a) materi tentang dasar keislaman dan implimentasinya, (b) materi tentang pengembangan wawasan pemikiran keislaman, (c) materi tentang integrasi nilai-nilai keislaman ke dalam bidang studi siswa. Menurut J. Riberu,70 penghayatan dan pengamalan materi dengan pembelajaran agama atau “pengendapan nilai” bagi peserta didik dapat dilakukan secara realistis dalam praktek kehidupan keseharian. Di samping pengalaman ini akan memberikan keasyikan tersendiri bagi siswa, pengalaman ini juga diperlukan sebagai jembatan menuju titik tolak yang sama dalam melibatkan siswa secara mental, emosional, sosial dan fisik dalam pembelajaran serta sekaligus merupakan usaha melihat konteks permasalahan yang diperolehnya. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar PAI di kelas seorang guru juga dapat mempertimbangkan berbagai metode pembelajaran yang lazim dipakai dalam PAI. Menurut Abdurrahman An-Nahlawi metode-metode PAI tersebut adalah:71 a. Mendidik dengan hiwar (percakapan) Qurani dan nabawi. b. Mendidik dengan kisah-kisah Qurani dan nabawi. c. Mendidik dengan amtsal (perumpamaan) Qurani dan nabawi. d. Mendidik dengan memberi teladan. e. Mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman.
70
J. Riberu. Pendidikan Agama dalam Perspektif Agama-agama. (Dirjen Dikti 1995), hal 41 An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, dan Masyarakat,. Hal. 58. 71
91
f. Mendidik dengan mengambil ‘ibrah (pelajaran) dan mau’idzah (peringatan), mendidik dengan targhib (membuat senang), dan tarhib (membuat takut). Sedangkan Hadari Nawawi72 menambahkan dengan adanya metode3 disiplin, partisipasi dan pemeliharaan. Ahmad Tafsir menjelaskan menjelaskan bahwa metode hiwar ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih dengan sengaja diarahkan kepada suatu tujuan yang dikehendaki. Bahan percakapan atau materi menggunakan berbagai konsep sesuai kondisi yang diajak bercakap. Pada percakapan ini dapat saja ada kesimpulan, tetapi jika dibiarkanpun tidak menjadi masalah yang berarti, sebab dalam metode ini dimaksudkan agar terjadi klarifikasi nilai yang dilakukan diri masing-masing. Dalam konteks metode hiar tersebut yang berkitan dengan metode PAI, maka pendidik sengaja atau tidak sengaja terlihat untuk menyampaikan pesan-pesan atau nilai-nilai yang dikehendaki. Tetapi perlu untuk dipikirkan agar dalam prosesnya tidak terlalu memaksakan atau mengintervensi yang terlalu kuat. Biarkan suasana dialogis terjadi secara alamiah. Metode kisah Qurani dan nabawi adalah metode pengkisahan orang-orang salah yang layak diikuti dan orang-oranf jahat yang layak dijauhi yang terdapat dalam AlQuran. Metode amtsal adalah memberi pemisalan terhadap sifat baik dan buruk. Perumpamaan ini digali dari Al Quran. Dalam Al-Quran misalnya disebutkan bahwa orang yang beramal secara riya’ seperti tanah yang beada di atas batu kemudian tersapu bersih oleh air, atau perumpamaan orang kafir seperti api yang menyalanyala. Adapun metode keteladan adalah metode yang menekankan pada perilaku seseorang sebagai modelling. Model ini kemudian diidentifikasi dan diteladi oleh peserta didik. Proses meneladani sebenarnya bisa terjadi pada jenjang usia manapun. Oleh karena itu pendidikan melalui keteladanan sangatlah dibutuhkan sekalipun untuk pendidikan orang dewasa.
72
Nawawi, Hadari. Organisasi Sekolah dan Pengelolan Kelas. (Jakarta: CV. H. Masagung. 1989) hal 211
92
Metode pembiasaan sering digunakan oleh Al Ghazali. Keyakinan yang dibangun oleh Al Ghazali berdasarkan bahwa budi pekerti dapat menjadi dengan banyaknya mengerjakan amal perbuatan yang mendukung, menaati dan meyakininya sebagai baik dan terpuji.73 Metode ibrah dan mauidzah menurut An-Nahlawi memiliki segi perbedaan dari segi makna. Ibrah adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, dihadpi dengan menggunakan nalar yang menyebabkan hati tunduk. Sedangkan mauidzah adalah nasehat yang lembut yang diterima dengan hati dan cara menjelaskan pahala atau ancaman. Jadi kedua metode ini merupakan nasehat yang dapat menyejukkan hati, yang memungkinkan hati pendengarnya akan luluh, terharu dan menimbulkan empati yang mendalam. Metode kedisiplinan merupakan metode yang melatih peserta didik agar taat pada aturan dengan penuh kesadaran dan keyakinan, bahwa dengan disiplin yang baik jauh akan bermanfaat daripada hidup tanpa disiplin. Metode partisipasi adalah peserta didik bukan hanya diperankan sebagai penonton belaka tetapi pelaku aktif dalam proses pembelajaran. Metode ini memang tepat digunakan untuk pendidikan orang dewasa.74 Sejumlah metode yang diuraikan di atas tentu akan lebih bermakna, bermanfaat dan berfungsi secara tepat apabila dalam penggunaannya bervariasi. Aertinya tidak menggunakan satu metode saja, melainkan menggunakan beberapa metode secara terpadu. Apalagi jika dikaitkan denga banyaknya metode yang dapat dipakai dalam proses pembelajaran, seperti metode ceramah, tanya jawab, diskusi, eksperimen, karyawisata, kerja kelompok, bermain peran, dan sejumlah metode alternatif lainnya yang sekarang banyak dipakai dalam proses pembelajaran.
4. Sistem Evaluasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah
73
Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, penyunting: KH. Misbah Z. Musthofa, Jakarta: Bintang Pelajar, hal.189. 74 Ibid.
93
Evaluasi memiliki bermacam-macam konotasi. Sebagian orang menganggap bahwa evaluasi sama dengan tes atau pemberian nilai. Pemberian nilai memang bagian dari evaluasi. Namun lingkup evaluasi pembelajaran adalah suatu penilaian terhadap murid, guru, kegiatan belajar mengajar atau kurikulum. Sekalipun demikian evaluasi dikatakan relatif bagus apabila mampu memberikan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar siswa. Evaluasi terhadap proses dan hasil belajar siswa, meliputi tiga hal, yaitu keluaran, efek, dan dampak. Keluaran berupa prestasi belajar yang dicapai siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Efek berupa perubahan tingkah laku dalam tingkatan yang lebih tinggi sebagai akibat adanya perlakuan belajar. Dampak merupakan pengaruh suatu kurikulum pada perkembangan lembaga pendidikan itu sendiri, ilmu pengetahuan, dan masyarakat. Evaluasi bukalah tahap akhir dari pendidikan, melainkan proses yang terus berjalan sejak perencanaan pembelajaran dimulai.Dalam kerangka PAI, evaluasi merupakan proses dan produk yang saling mengisi. Bahkan berdasarkan evaluasi, proses yang baik akan mengahsilkan produk yang baik pula. Evaluasi proses merupakan suatu strategi untuk melihat bagaimana perencanan dapat dilaksanakan atau tidak. Jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik, maka segera lakukan perubahan sesuai kebutuhan. Sedangkan evaluasi produk untuk melihat hasil akhir yang dicapai dari suatu produk pendidikan. Namun perlu diingat bahwa ketercapaian produk yang terlihat dari kemampuan hasil belajar bukan hanya diukur dari aspek kognitif saja, melainkan harus terintegrasi dengan aspek afektif dan psikomotor dengan proporsiyang tepat. Dalam dunia pendidikan formal, suatu proses belajar mengajar harus dapat dievaluasi guna melihat sejauh mana keberhasilan atau kegaagalan suatu proses pendidikan. Menurut Zakiah Daradjat,
75
pada umumnya ada dua kesulitan bagi guru
PAI dalam menilai hasil belajar yaitu (1) disebabkan karena perumusan Tujuan pembelajaran PAI kurang jelas, (2) kurangnya kemampuan para guru dalam
75
Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pendidikan Agama, hal. 207.
94
mengembangkan alat evaluasi yang tepat. Kedua hal hal tersebut sanagt berkaitan dengan proses belajar mengajar di sekolah karena fungsi utama evaluasi belajar adalah untuk mengukur sejauhmana tujuan pengajaran dapat tercapai. Oleh sebab itu perumusan tujuan yang jelas akan memudahkan dalam pelaksanaan evaluasi hasil belajar mengajar. Secara formal sistem evaluasi PAI merujuk pada sistem penilaian program mata pelajaran yang menerapkan prinsip-prinsip perolehan berimbang antara tiga komponen, yaitu (1) perolehan pengetahuan dan pemahaman, (2) pembentukan keterampilan intelektual dan hubungan antara pribadi, (3) pembentukan serta pengamalan nilai. Dari ketiga komponen tersebut mencerminkan suatu konsepsi pembinaan kepribadian menyeluruh, berimbang dan berkesinambungan. Prinsip di atas dijabarkan secara operasional sehingga hasil proses belajar mengajar PAI itu dapat dievaluasi dengan baik. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ada sejumlah faktor yang menjadi persoalan dalam melakukan evalausi hasil belajar PAI di SMU,76 yaitu (1) adanya perbedaan persepsi tentang batasan materi-materi yang tidak dapat di evaluasi seperti masalah-masalah keimanan, padahal Al-Qur’an telah mengisyaratkan tentang karakteristik orang-orang yang beriman. Sekurang-kurangnya evaluasi dapat dilihat dari indikator perilaku orang-orang beriman, (2) perumusan Tujuan pembelajaran PAI terlalu ideal dan terkesan kurang jelas sehingga sulit diukur keberhasilannya, (3) kurangnya kemampuan guru PAI dalam mengembangkan instrumen evaluasi sehingga evaluasi PAI hanya terbatas pada aspek kognitif siswa, kurang menjangkau pada aspek efektif, (4) rasio guru dan siswa terlalu jauh sehingga seorang guru harus mengajar di luar kapasitasnya. Hal ini tentu akan berdampak pada efektifitas pelaksanaan evaluasi.
76
Muhaimin & A. Mujib Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam:. Filosifis Kerangka Dasar Operasional, hal 281.
95
Lebih lanjut Muhaimin menjelaskan ada empat jenis evaluasi PAI yang dapat dikembangkan,77 yaitu: 1. Evaluasi penempatan (placement test), yaitu evaluasi yang dilakukan sebelum peserta didik mengikuti pembeljaran (PBM). Gunanya untuk mengukur sejauh mana kemampuan awal dan latar belakang pengalaman keagamaan siswa. Dengan evaluasi ini guru akan mempunyai gambaran kemampuan awal siswa tentang ajaran agama dan apa yang mereka harapkan dari PAI. 2. Evaluasi diagnosis yaitu evaluasi terhadap hasil suatu penganalisisan tentang keadaan belajar peserta didik baik berupa kesulitan-kesulitan belajar atau berupa hambatan-hambatan dalam menghadapi situasi belajar. 3. Evaluasi normatif, yakni evaluasi yang dilakukan terhadap hasil belajar siswa yang dicapai anak didik setelah ia menyelesaikan program dalam suatu mata pelajaran. 4. Evaluasi sumatif, yakni evaluasi terhadap apa yang dilakukan siswa pada satu semester, yaitu hasil belajar siswa setelah mengikuti pelajaran dalam satu semester, atau akhir tahun untuk menentukan jenjang berikutnya. Keempat jenis evaluasi di atas nampaknya belum cukup untuk mengukur keberhasilan pembelajaran PAI karena lebih menekankan pada perubahan sikap dan tingkah laku ke arah positif. Padahal perubahan sikap siswa banyak dipengaruhi faktor-faktor di luar kegiatan belajar mengajar di kelas. Untuk itu sistem evaluasi PAI perlu terus dicari dan dikembangkan. Menurut Zakiah Darajat,78 ada lima strategi dalam usaha menilai hasil pembelajaran PAI secara efektif, agar penilaian dapat dilakukan terhadap semua aspek hasil belajar secara serasi dan seimbang yaitu (1) perumusan tujuan yang jelas dan tegas sehingga mudah dievaluasi, (2) pencatatan tingkah laku peserta didik, (3) kesinambungan dalam penilaian, (4) kualitas istrumen dalam penilaian, (5) kesesuaian antara aspek yang diukur dengan materi yang disampaikan.
77
Ibid. Selanjutnya baca: Sukardi, Evaluasi Pendidikan, Prinsip dan Operasionalnya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hal 5-8. 78 Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pendidikin Pendidikan Agama, hal 207
96
Sesuai dengan karakteristik mata pelajaran PAI di SMU, pelaksanaan evaluasi terhadap hasil belajar mengajar di kelas perlu dikembangkan instrumen evaluasi PAI. Pengembangan ini didasarkan pada pemikiran bahwa semakin banyak variabel evaluasi, akan semakin objektif hasil penilaiannya. Dalam pelaksanaannya semua variabel evaluasi ini diberitahukan kepada siswa sejak awal pembelajaran agar mereka terpengaruh dan termotivasi untuk mengejar prestasi puncaknya. Di samping sejumlah instrumen yang telah ditawarkan di atas, ada empat bentuk instrumen penilaian yang dapat dikembangkan dalam mengevaluasi PAI di sekolah, yaitu : a. Menegaskan siswa untuk melaporkan aktivitas keagamaan masing-masing, baik di lingkungan siswa maupun di luar siswa. b. Sosiometrik yaitu memberikan penilaian dan meranking dari 5 orang teman sekelasnya yang paling tinggi sikap keberagamaannya meliputi; (1) cara berpakaian, (2) pelaksanaan shalat, (3) kejujuran, (4) aktivitas keagamaan, (5) menepati janji, (6) pengetahuan dan wawasan keislamannya, (7) sopan santun, (8) membaca Al-Qur’an, (9) pergaulan dengan teman (bahasa dan perilakunya seharihari). c. Observasi mencari informasi dari berbagai sumber tentang perilaku keagamaan siswa. Sumber-sumber bisa diperoleh dari guru-guru
PAI, himpunan siswa.
Demikian juga sekitar tempat tinggal siswa dapat dilacak. d. Mengadakan studi sosial
keagamaan di sekitar tempat tinggalnya. Mereka
ditugaskan mendata kehidupan keagamaan khususnya kemakmuran masjid yang ada didekat tempat tinggalnya. e.
Cara seperti ini cukup efektif dalam mempengaruhi proses belajar mengajar di kelas dan pemantauan perilaku siswa di luar kelas. Memang diakui bahwa instrumen seperti ini memerlukan tenaga pendidik yang memadai dan ketekunan mereka dalam
97
Al-Gazali yang dikutip Abdullah ’Abdul Daim 79 pernah mengatakan bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan
kegiatan yang sangat mulia yang dapat
menentukan masa depan seseorang. Karena itu para pendidik akan selalu di kenang oleh peserta didiknya. Al-Gazali memberikan argumen yang kuat, baik berdasarkan Al-Qur’an, Al-Sunnah maupun argumentasi secara rasional. Selanjutnya Al-Gazali pernah menyampaikan bahwa makhluk yang paling mulia adalah manusia. Sedangkan sesuatu yang paling mulia pada diri manusia adalah hatinya. Tugas utama pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, dan menggiring peserta didik agar hatinya selalu dekat kepada Allah Swt. Dalam bagian awal kitab Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali memulainya dengan menerangkan
tentang
keutamaan
ilmu
dan
pengajaran.
Selanjutnya
menggambarkan kedudukan tinggi bagi para ahli ilmu dan para ulama
di
dengan
menyitir ayat-ayat Al-Qur’an dan sabda Rasulullah Swt, serta perkataan ahli pikir. Pandangannya tentang hal-hal di atas sangat kuat. Ini terbukti dengan seringnya menerangkan kedudukan dan keutamaan ulama dan guru dalam berbagai karya monumentalnya. Dalam pernyataan di atas Al-Gazali sangat menghargai orang yang berilmu dan mengamalkan
ilmunya
dengan
ikhlas.
Salah
satu
pengamalannya
adalah
mengajarkan kepada orang lain. Menurut Al-Gazali orang yang berilmu dan tidak mengamalkannya adalah termasuk orang-orang celaka. Ia mengatakan “seluruh manusia akan binasa, kecuali orang-orang berilmu. Orang-orang berilmu pun celaka kecuali orang-orang mengamalkan ilmunya. Orang-orang
yang mengamalkan
ilmunya pun akan binasa kecuali orang-orang ikhlas”80 Kedudukan guru dalam pandangan Al-Ghazali sangat terhormat dan mulia. Ia menggambarkan kemuliaan guru diibaratkan bagaikan pelita di segala zaman. Orang yang hidup bersamanya akan memperoleh pancaran cahaya ilmunya yang dapat
79
‘Abdullah ’Abdul Daim. Al-Tarbiyah ‘Abru al-Tarikh min Unhuri al-Qodhimah hatta Awail Qorni al-‘Isyirin. (Bairut: Darul ilmi Lil Mu’alimin. 1984), hal 232. 80 Fathiyah Hasan Sulaiman, Pemikiran-pemikiran Pendidikan menurut Al-Ghazali, terj. Hery Noor. Bandung : Diponegoro. 1986, hal.30.
98
meneranginya dari perjalanan kegelapan dunia. Andaikan dunia ini tidak ada guru, manusia ini bagaikan binatang, karena pendidik selalu berupaya mengeluarkan manusia yang bersifat kebinatangan menuju sifat ketuhanan 81. Dari ungkapan-ungkapan Al-Ghazali di atas dapat disimak bahwa tugas utama seorang
guru
adalah
menyempurnakan,
membersihkan,
mensucikan
dan
membawakan hati peserta didik untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt guna mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Sebagai pembimbing sudah barang tentu seorang guru harus menjadi suri tauladan bagi muridnya dalam perilaku keseharian sehingga ia akan menjadi penuntun, baik bagi murid maupun masyarakat luas. Sesuai dengan julukannnya sebagai orang berilmu, guru berperan sebagai tempat bertanya, tentang pengetahuan yang bersifat umum dan pengetahuan tentang hidup. Untuk itu ia harus menguasai bidang studi yang diajarkannya dan dia harus memiliki wawasan yang luas tentang ilmu penegetahuan. Sehubungan dengan tugas dan perananya, guru di samping harus memiliki sifatsifat umum seperti berakal sempurna, berahklak mulia dan pantas diserahi amanat untuk mengajar anak, dia juga harus memiliki sifat-sifat khusus. Dalam kegiatan belajar di sekolah guru berperan sebagai pengajar sekaligus sebagai pembimbing. Untuk itu guru dituntut memiliki perangai yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Apabila murid diperlakukan dengan lemah lembut dan kasih sayang, mereka akan merasa aman dan percaya serta berani terbuka atas persoalan-persoalan yang dihadapainya. Sekaitan dengan sifat-sifat khusus bagi seorang guru, Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin82 mengungkapkan tentang tata krama sebagai pendidik dengan istilah adab li al-mu’alim, yaitu sebagai berikut. 1. Mempunyai rasa kasih sayang kepada semua murdinya dan memperlakukan mereka seperti kepada anaknya sendiri.
81 82
Muhaimin & A.Mujib Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam, hal.,169. Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin, hal, 212-222.
99
2. Selalu mengukuti jejak Rasul Saw. Ia tidak menuntut upah, imbalan dan ucapan terimakasih dari hasil mengajarnya itu. 3. Tidak membiarkan murid mempelajari satu tingkat dalam ilmu, padahal dia belum seselsai mengikuti pada tingkat tertentu. Ia juga tidak meninggalkan nasehat sedikitpun kepada murid untuk belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang. 4. Menghardik murid yang berperangai jelek dengan cara sindiran selama cara itu dapat dipahami oleh murid. 5. Tidak melecehkan mata pelajaran lain dihadapan muridnya. 6.
Menyingkatkan pelajaran dan menyampaikannya sesuai dengan kemampuan daya nalar murid.
7.
Memberikan materi pembelajaran secara jelas dan tuntas, tidak menyembunyikan sesuatu dibalik yang diterangkannya. Kepada para pelajar yang cerdas dijelaskan bahwa dibalik itu masih ada pelajaran yang sulit.
8. Pendidik mengamalkan ilmu yang diajarkannya. Jangan sampai membohongi perbuatannya sendiri. Ilmu dapat dilihat dengan mata hati sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Dari kedelapan adab li al-mu’alim yang disampaikan Al-Ghazali, Muhammad Nawawy Al-jawawy83 memberi penjelasan ada tujuh belas sikap yang harus dimiliki seorang guru muslim, yaitu sebagai berikut. 1. Menerima segala problematika yang dihadapi muridnya dengan sikap terbuka. 2. Bersikap penyantun dan penyayang (Q.S, 3:159). 3. Menjaga kewibawaan dan kehormatnnya dalam bertindak. 4. Menghindari dan menghilangkan sifat-sifat angkuh terhadap sesama (Q.S, 15 : 32). 5. Bersikap merendah ketika menyatu dengan sekelompok masyarkat (Q.S, 15:88). 6. Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia.
83
Muhammad Nawawy Al-Jawawy. Muraqil Ubudiyah fi Syarhil Biayatul Hidayah, Semarang : Toha Putra. 1985; Hal, 32
100
7. Bersifat lemah lembut dalam menghadapi anak didik yang rendah tingkat IQ-nya, serta membinanya sampai tahap maksimal. 8. Meninggalkan sifat pemarah. 9. Memperbaiki sikap muridnya dan guru bersikap lemah lembut terhadap anak didik yang kurang lancar berbicara. 10. Meninggalkan sikap yang menakutkan pada anak didik yang belum mengerti atau belum mengetahui. 11. Berusaha memperhatikan pertanyaan-pertanyaan anak didik walaupun pertanyaan itu tidak bermutu. 12. Menerima kebenaran dari anak didik yang berani membantahnya. 13. Menjadikan kebenaran sebagi acuan proses pendidikan walaupu kebenaran itu datang dari anak didik. 14. Mencegah anak didik untuk mempelajari yang membahayakan dirinya (Q.S, 2 : 195) 15. Menanamkan sifat ikhlas pada anak didik serta terus-menerus mencari informasi guna disampaikan pada anak didiknya yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah SWT (Q.S, 98). 16. Mencegah anak didik mempelajari ilmu yang fardukifayah sebelum ia mempelajari ilmu yang fardu’ain. 17. Mengaktualisasikan ilmu yang akan diajarkan pada anak didik (Q.S, 2 :2, Q.S, 61:2) Dalam sistem pendidikan formal, Muhamman Abduh84 mengatakan bahwa seorang guru muslim, disamping harus menguasai materi dan metode mengajar, ia harus mampu memberikan contoh yang baik sehingga mereka menjadi panutan bagi muridnya. Untuk itu seorang guru harus memiliki kretria sebagai berikut : 1) Guru harus melaksanakan ajaran agama dengan baik, berakhlak mulia dan mempunyai kemampuan mendidik. Guru yang dipilih adalah guru yang layak
84
Rasyid Ridha. Tarikh Mohammad Abduh., hal, 756.
101
menangani tugas pendidikan, sehingga tujuan pendidikan yang telah digariskan dapat tercapai. 2) Guru harus mengetahui kemampuan yang dmiliki oleh muridnya. 3) Guru harus mempunyai kepedulian terhadap perkembangan murid, baik perkembangan kecakapan maupun keseriusannya dalam belajar, kehadiran, dan akhlaknya. Kriteria seorang pendidik yang dikemukan oleh Muhammad Abduh di atas bukan hanya dikhususkan bagi para pendidik dalam bidang studi agama Islam saja, melainkan bagi seluruh pendidik muslim yang mengajarkan bidang-bidang studi umum. Sekaitan dengan pendidikan seorang pendidik yang ideal, maka perlu dijelaskan bagaimana tentang kriteria guru PAI di sekolah. PAI merupakan salah satu mata pelajaran yang bertujuan membina kepribadian siswa secara utuh sebagai makhluk Tuhan, anggota keluarga, anggota masyarakat dan sebagai warga negara. PAI merupakan salah satu mata pelajaran umum memiliki karakteristik sebagai mata pelajaran yang membina kepribadian siswa secara utuh berdasarkan ajaran agama. Penekanannya pada aspek pembinaan akhlak. Untuk itu tugas guru PAI di samping harus mampu menyampaikan materi pelajaran dengan baik mereka juga dituntut tampil memberikan suri tauladan kepada masyarakat, khususnya bagi siswanya dan segenap warga sekolah di SMU masing-masing. Secara kultural image masyarakat bahwa predikat guru agama identik dengan orang yang ahli agama, yang saleh, dan tekun menjalankan ibadah. Ini semestinya dijadikan motivasi bagi guru agama dalam meningkatkan kualitas pemahaman dan kualitas keimanannya. Untuk itu guru PAI di sekolah yang ideal adalah mereka yang memenuhi kualifikasi tertentu sebagaimana yang digambarkan oleh Ahmad Tirto Sudiro85 yaitu bahwa guru agama hendaknya mempunyai kualifikasi sebagai ahli-ahli agama yang memiliki wawasan sosial, memiliki integritas kepribadian, sanggup
85
Ahmad Sanusi, Pendidikan Alternatif Menyisipkan Vektor Percepatan (Untuk Memacu Mutu Belajar dan Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah) Bandung: PPs UPI Bandung, 1998, hal. 361
102
mengekspresikan kata hatinya dalam bentuk perbuatan dan mampu melaksanakan proses pembelajaran dengan baik. Sejalan dengan kriteria pendidikan yang ideal sebagaimana telah diuraikan di atas, Ahmad Sanusi86 menyoroti secara khusus tentang kriteria pendidik termasuk guru PAI di sekolah. Ia berpendapat untuk mendukung terselenggaranya proses belajar mengajar yang bersemangat tinggi yang menuju pada output yang paling optimal, maka di samping tersedianya sarana prasarana, fasilitas dan anggaran yang memadai, diperlukan guru yang dapat memenuhi beberapa kriteria penting seperti; (1) merasa terpanggil sebagai guru mata pelajaran, (2) menampilkan perilaku keteladanan, (3) memiliki visi yang jelas tentang mata pelajaran kependidikan agama, (4) menyadari dan dapat mengantisipasi tantangan yang dihadapinya, (5) berkedudukan senior dan berpengalaman dalam segi dialektik dan metodik, (6) cukup waktu dan berdedikasi untuk menjalankan tugasnya secara berhasil. Sesuai dengan perkembagan kebutuhan dan tuntunan siswa dewasa ini, guru PAI di sekolah sebaiknya adalah para ahli yang memiliki wawasan sosial, punya integritas kepribadian, sanggup mengekspresiakan kata hatinya dalam bentuk perbuatan dan mampu melaksanakan prose pembelajaran. Untuk iu mereka harus memiliki wawasan keislaman yang luas dan memiliki kemampuan akademis yang tinggi, karena mereka harus mampu menerangkan teks-teks ajaran agama secara kontekstual - kini dan di sini - serta responsif terhadap masalah-masalah kemasyarakatan. Karena peserta didik di sekolah adalah individu yang sedang mencari identitas diri dengan segala dinamika perkembangannya. Sering timbul pertanyaan dalam dirinya dan itu menuntut jawaban yang kiranya dapat dipenuhi oleh guru agama. Dengan demikian keberadaan PAI di sekolah akan sanggup menjadi fasilitas bagi pengembangan daya nalar atas teks-teks keagamaan sesuai dengan berbagai ilmuilmu yang ditekun siswa. Dari sekian banyak kriteria pendidik sebagaimana dikemukakan di atas yang paling penting adalah pengalaman keagamaan dan keteladanan guru terutama dalam perilaku sehari-hari yang nampak didepan mata
86
Ibid, hal. 362-364.
103
muridnya, seperti cara berpakaian, kedisiplinan, sopan santun dan tutur katanya. Terlebih lagi bagi guru pendididkan agama karena selama ini penilaian masyarakat terhadap aspek moralitas mereka lebih sensitf dibandingkan dengan guru-guru pendidikan bidang studi lainnya. Begitu beratnnya tugas dan fungsi guru agama di sekolah, seolah-olah tidak mungkin ditemukan figur guru agama yang memenuhi kriteria seperti itu. Namun di sisi lain upaya pendidikan agama yang tidak boleh berhenti karena tidak ditemukannya guru yang ideal. Untuk mencapai kriteria di atas semua pihak terkait terus menerus mengupayakannya melalui pembinaan yang intensif terhadap para guru dan guru agama yang ada, baik perkembangan intelektualnya maupun aspek sikap dan perilakunya. H. Rangkuman Paradigma Pembelajaran Pendidikan Agama Islam sekarang yang dianggap cocok disekolah adalah pembelajaran dengan pengalaman yang berbasis pada saintifik. Pembelajaran sekarang juga tidak boleh hanya menekankan pada aspek kognitif saja tetapi juga harus memperhatikan aspek afeksi atau perasaan. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa pembelajaran terjadi ketika manusia berubah karena suatu kejadian dan perubahan yang terjadi bukan karena perubahan secara alami atau karena menjadi dewasa yang dapat terjadi dengan sendirinya atau karena perubahannya sementara saja, tetapi lebih karena reaksi dan situasi yang dihadapi. Pembelajaran merupakan suatu proses belajar bagi manusia dan merupakan upaya untuk menjadikan manusia memahami makna dari apa yang dipelajarinya. Pembelajaran pendidikan agama Islam adalah suatu upaya membuat peserta didik dapat belajar dan tertarik untuk terus-menerus mempelajari agama Islam. Oleh karena itu Istilah pembelajaran lebih tepat digunakan karena ia menggambarkan upaya untuk membangkitkan prakarsa belajar seseorang. Di samping itu, ungkapan pembelajaran memiliki makna yang lebih dalam untuk mengungkapkan hakikat desain pembelajaran dalam upaya membelajarkan peserta didik.
104
Tujuan pembelajaran PAI menurut ajaran agama Islam adalah membimbing menjadi individu “khalifah fil ardh”. Karna tujuan manusia diciptakan adalah untuk mengabdi kepada Alllah Swt dengan indikasi tugasnya berupa ibadah kepada Allah Swt Selama ini telah banyak pemikiran dan kebijakan yang diambil dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan agama Islam yang diharapkan mampu memberikan nuansa baru bagi pengembangan sistem pendidikan di Indonesia, dan sekaligus hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna pendidikan nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membangaun watak serta peradaban bangsa, yang bermartabat yang bertujuan untuk mengembangkan peserta didik agar menjadi manusia ynag beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis seta bertanggung jawab I.
Latihan
1. Jelaskan defenisi pembelajaran dan pembelaajran Pendidikan agama islam yang anda ketahui 2. Apa yang anda ketahui tentang belajar ? Kegiatan belajar seperti apa menurut anda yang cocok dengan materi pendidikan Agama Islam disekolah ? 3. Apa yang anda ketahui tentang tujuan pembelajaran pendidikan Agama Islam di sekolah ? 4. Tujuan pembelajaran PAI menurut ajaran agama Islam adalah membimbing menjadi individu menjadi “khalifah fil ardh. Jelaskan apa yang dimaksud dengan khalifah fil ardh ? Berikan contohnya ? J.
Bahan bacaan
Pembelajaran sainstifik yaitu pembelajaran berbasis metode Ilmiah di mana pembelajaran Agama Islam harus diulang dengan prinsip-prinsip Ilmiah (obyektif Rasional, impiris/faktual) sesuai dengan semangat kurikulum 2013 Jagiyanto, Filosofi, Pendekatan Dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus Untuk Dosen Dan Mahasiswa : Yogyakarta, Andi Offset, 2006
105
Hilgard, E. R., Bower, Teories Of Learning, New York: Appleton Century, 1966 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam-Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004. Depdiknas RI. Kurikulum Sekolah Menengah Atas. Gari-Garis Besar Program Pendidikan. (Jakarata: Depdiknas, 1999. Dahlan , M.D. Model-model Mengajar, Bandung: CV.Diponegoro, 1994. M.D. Sistem Pendidikan Islam, Makalah, disajikan dalam seminar “Implementasi Akhlak Al-Qur’an di Musabaqah Al-Qur’an Metodik Pendidikan Islam Progresif ”. Kamis, 19 Rajab /26 September Fakultas Tarbiyah UBINSA, 2002 Muhaimin dan A. Mujib. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kumpulan Undang-undang tentang Pendidikan kompilasi oleh Afnil Guza. Jakarta: Asa mandiri. Muhaimin, et. Al. Paradigma Pendidikan Islam-Upaya Mengefektifkan Agama Islam Disekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Mengefekkan Pendidikan Agama di Sekolah. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000 Redja Mudyharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2002 Paul Suparno, Filsafat Kontrutivisme Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997 Abdul Munir Mulkhan, akar pendidikan Islam sebagai ilmu, dalam Abdul Munir Mulkhan, Dkk, Rilegius Iptek, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan pustaka Pelajar, 1998 Depag RI, Al Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1996 W.J.S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai Pustaka, 1982 106
Sutarmi Imam Barnadhib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis,Yogyakarta : Andi Offset , 1997 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 M.Arifin, M.Ed. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1994 Paul Suparno Konstruktivisme dalam pendidikan, Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1997 M. Amin Abdullah, Antara Al Ghazali dan Kant; Filsafat Etika Islam, Bandung; Mizan , 2002 Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan suatu Pendekatan Baru , Bandung; Remaja Rosdakarya, 1995. Bobbi DePoter dan Mike Hernackhi, Quantum Learning: Uneashing The Genius in you” , Alwiyah Abdurrohman(trjh), Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman Dan Menyenangkan, Bandung: Kaifa, 2002. Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta : kanisius, 1990 M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Tiori dan Konsep Ilmu Sosial, Bandung; PT. Eresko Bandung , 1995 Azra Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru. Jakarta: Logos, 1999. Depdikbud RI,Kamus Besar Bahasa Indonesia:Jakarta:Balai Pustaka, 1996 Fadjar, A. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan ,1998. Tilaar, H.A.R.,Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Magelang: Tera Indonesia, 1998. Tafsir, Ahmad. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung: Rosda Karya, 1992. Anshari, E.S. Kuliah Al Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Rajawali, 1986. Zakiah Daradjat. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: Bumi Aksara,1995. Ibnu Miskawaih. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Bandung: Mizan. 1997.
107
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996 Nana Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 1997. J. Riberu. Pendidikan Agama dalam Perspektif Agama-agama. Dirjen Dikti 1995. Nawawi, Hadari. Organisasi Sekolah dan Pengelolan Kelas. Jakarta: CV. H. Masagung. 1989. Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, penyunting: KH. Misbah Z. Musthofa.Jakarta: Bintang Pelajar. Sukardi, Evaluasi Pendidikan, Prinsip dan Operasionalnya, Jakarta: Bumi Aksara, 2008 Abdullah ’Abdul Daim. Al-Tarbiyah ‘Abru al-Tarikh min Unhuri al-Qodhimah hatta Awail Qorni al-‘Isyirin. Bairut: Darul ilmi Lil Mu’alimin. 1984. Fathiyah Hasan Sulaiman, Pemikiran-pemikiran Pendidikan menurut Al-Ghazali, terj. Hery Noor. Bandung : Diponegoro. 1986. Muhammad Nawawy Al-Jawawy. Muraqil Ubudiyah fi Syarhil Biayatul Hidayah, (Semarang : Toha Putra. 1985. Ahmad Sanusi, Pendidikan Alternatif Menyisipkan Vektor Percepatan, Untuk Memacu Mutu Belajar dan Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah) Bandung: PPs UPI Bandung, 1998.
108
BAB 3 METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN APLIKASINYA
Salah satu kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh guru adalah kemampuan dalam menguasai dan melaksanakan berbagai macam metode mengajar yang bervariasi dalam setiap mengajarnya. Kemampuan tersebut merupakan bagian dari salah satu kompetensi profesional guru yang harus melekat dalam pribadinya sebagai guru maupun pendidik. Sebagimana diketahui dalam proses intraksi belajar mengajar terjadi hubungan timbal balik antara guru dengan siswa, dalam hubungan tersebut memerlukan suatu media komunikasi bahasa dari pihak guu dalam bentuk pilihan metodelogi mengajar yang bervariasi. Dengan begitu maka proses penyampaian pesan (materi pelajaran) akan berjalan secara baik dan memperoleh hasil yang memuaskan. Memahami pentingnya penguasaan dan penerapan metode mengajar pada setiap pengajaran oleh pihak guru, maka sudah selayaknya bila persoalan metodelogi mengajar tidak hanya dipahami dalam batas teoritik saja dari pihak guru, akan tetapi pada tingkat pelaksanaan mencerminkan kualitas penguasaan yang meyakinkan. Gambaran bahwa kalau profesinya sebagai seorang guru dengan sendirinya akan menguasi metodelogi mengajar yang baik adalah sesuatu yang ideal. Akan tetapi manakala kenyataannya berbeda dengan seharusnya tentu itu merupakan masalah yang harus mendapat perhatiaan Di kalangan para ahli pendidikan banyak yang mengakui bahwa keampuhan suatu
metode
yang
digunakan
oleh
seorang
guru
setidaknya
harus
mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya: (1) tujuan yang hendak dicapai, (2) kemampuan guru dan suasana anak didik, (3) situasi dan kondisi dimana pengajaran berlangsung, (4) fasilitas sarana dan media yang ada, (5) waktu yang sedia, dan (6)
109
kebaikan dan kekurangan suatu metode1. Berikut ini akan dibahas konsep-konsep teoritik mengenai metodelogi pendidikan agama islam dan aplikasinya berdasrkan dari berbagai pendapat para ahli yang memiliki kompetensi di bidang pendidikan. Atas dasar itu uraian difokoskan kepada enam pokok bahasan yaitu: pengertian metodelogi pendidikan agama islam, bentuk-bentuk metode mengajar, faktor-faktor pilihan metode, syarat penggunaan metode, langkah pelaksanaan metode. A. Pengertian Metodelogi Pendidikan Agama Islam Defenisi metodelogi dari aspek semantik sangat erat kaitannya dengan kata metodik yang berasl dari kata metode. Dengan kata lain metodik sama pengertiannya dengan metodelogi, yang mengandung makna seperti yang dikemukakan oleh Asmuni Syakir yaitu: “ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil yang efektif dan efisien. Sedangkan secara etimologi istilah metodologi berasal dari kata metodos yang berarti cara atau jalan dan logos artinya ilmu”2 Adapun cara umum metodologi sering diartikan suatu cara dan sistematis dan umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan, ia merupakan jawaban atas pertanyaan “bagaimana” Dalam bidang pendidikan/pengajaran pengertian metodologi telah dirumuskan oleh John Dewey sebagai : In brief, the method of teaching is the method of an art, af action intelligently directed by ends. Pada dasarnya metode mengajar itu adalah metode seni, metode berbuat yang secara bijaksana (dengan cerdik) oleh tujuan3 Definisi di atas senada dengan pendapat yang dikemukan oleh Tayar Yusuf sebagai berikut “Metode mengajar adalah suatu cara tertentu yang tepat dan serasi untuk menyajikan suatu materi pelajaran, sehingga tercapai tujuan pelajaran tersebut”4.
1
Winarno Surahmad, Metode Pengajaran Nasional, Jermmars, Bandung: 1980, hal 28 Asumsi Syukir, Metode Da’wah,Jakarta: Bulan Bintang,1979, hal 90 3 HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hal. 143 4 Tayar Yusuf , Ilmu Praktek Mengajar: Metodik Khusus Pengajaran Agama,Bandung :PT . Al-Maarif, 1985, hal. 50 2
110
Bertitik tolak dari pengertian metodologi sebagai suatu cara untuk mencapai tujuan, dikaitkan dengan bidang materi bidang studi Islam, maka dapat dirumuskan pengertian metodologi Pendidikan Agama Islam adalah: suatu cara yang ditempuh dalam menyajikan materi pelajaran agama Islam pada anak didik sehingga tercapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Akan tetapi dikarenakan materi bidang studi Agama Islam itu sendiri masuk ruang lingkup pembicaraan metodik khusus, maka formulasi metode yang digunakan dalam pelajaran harus disesuaikan dengan sifat-sifat ke khususan dari bidang studi Agama Islam itu sendiri5. Adapun sifat kekhususan itu berupa materi pelajaran, seperti: Fiqih, Akhlak/Tasawuf, Sejarah Kebudayaan Islam, Tafsir/Hadist dan Tauhid/Ilmu Kalam6. Kaitan dengan materi PAI di sekolah-sekolah umum dalam buku ini ini mencakup materi:
Fiqih, Akhlak/Tasawuf, Sejarah Kebudayaan Islam, Tafsir/Hadist dan
Tauhid/Ilmu Kalam. Namun demikian dalam konteks buku ini perlu ditegaskan bahwa formulasi metode PAI dimaksudkan disini bukanlah metode Pendidikan Islam dalam arti murni seperti: metode bil kalam, metode khudwah, metode mua’isah dan lain sebagainya itu. Akan tetapi dimaksud adalah metode-metode yang umum yang langsung dipakai dalam mengajarkan bidang studi agama Islam seperti metode ceramah, metode tanya jawab, metode diskusi, metode demontasi, metode sosiodrama, metode pemberian tugas dan lain sebagainya. B. Bentuk-Bentuk Metode Pembelajaran Setelah diuraikan pengertian metodelogi pendidikan agama Islam diatas, maka berikut ini akan dikemukakan bentuk-bentuk metode PAI itu sendiri pada prinsipnya metode mengajr materi bidang studi Agama Islam, walaupun diakui adanya perbedaan ciri khusus yang melekat pada bidang studi Agama Islam. Para ahli umumnya mengakui sulitnya memberikan suatu klasifikasi yang jelas mengenai setiap metode yang pernah dikenal didalam pengajaran, dan terasa lebih sulit lagi upaya untuk menggolongkan metode itu kedalam pilihan nilai kualitas dan ` hal. 12
5
Tafsir, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990,
6
Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Jakarta: PT. Alhidayah, 1965, hal. 50
111
efektifitas. Sebab metode yang kurang baik sekali ditangan guru yang lain, dan metode yang baik akan gagal ditangan guru yang lain yang tidak menguasai tiknik pelaksanaannya. Namun demikian ada sifat-sifat umum yang terdapat pada setiap metode. Dengan mencermati sifat-sifat umum yang terdapat pada setiap metode. Maka upaya menggolongkan dan mengklasifikasikan yang lebih jelas mengenal bentuk-bentuk metode yang lazim dan praktis digunakan/dilaksanakan dapat dilakukan. Dalam konteks pengelompokan metode yang layak untuk digunakan itu Wanarno Surachmad memformulasikan ke dalam 10 bentuk kategori mengajar yaitu: 1. Metode ceramah 2. Metode latihan siap (drill) 3. Metode tanya jawab 4. Metode diskusi 5. Metode demontrasi dan eksperimen 6. Metode pemberian tugas (resitasi) 7. Metode karyawisata 8. Metode kerja kelompok atau gotong royong 9. Metode sistem regu 10. Metode sosiodrama dan bermain peran.7 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk metode mengajar itu banyak sekali, namun demikian dalam tulisan ini mengacu kepada bentuk-bentuk metode yang ada dalam kurikulum di sekolah umum yang merekomendir 10 metode sebagai berikut: 1. Metode Pemberian Tugas Dalam percakapan sehari-hari metode ini dikenal dengan sebutan lain yaitu pekerjaan rumah (PR). Akan tetapi sebenarnya metode ini jauh lebih luas dari pekerjaan rumah karena siswa belajar tidak hanya di rumah mungkin laboratorium,
7
Winarno Surachmad. Ibid, hal 32
112
dihalaman sekola atau tempat-tempat lainnya.8 Metode ini dalam pelaksanaannya melalui tiga tahapan yaitu: a. Guru memberi tugas b. Siswa melakukan tugas belajar c. Siswa mempertanggngjawabkan kepada guru apa yang telah dilakukannya. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa metode pemberian tugas dimaksud: guru memberikan bahwa bahan pelajaran dengan cara memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran 9 2. Metode Diskusi Metode diskusi adalah cara penyampaian pelajaran dimana guru dan peserta didik berama-sama mencari jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi. 10 Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam hubungan intraksi edukatif sering dihadapkan kepada berbagai macam permasalahan, yang kadang-kadang tidak jarang permasalahan itu sulit diatasi/dipecahkan. Metode ini salah satu cara yang tepat digunakan dalam kepentingan bersama, dengan cara bermusyawarah untuk menemukan kata sepakat. 3. Metode Tanya Jawab Yang dimaksud dengan metode tanya jawab yaitu: cara penyajian pelajaran dengan jalan guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa untuk dijawab. Dalam pelaksanaannya perbedaan antara metode tanya jawab dengan metode diskusi terletak dalam: a. Cara dan jenis pertanyaan yang dikemukakan oleh guru b. Sifat partisipasi yang diharapkan dari siswa Dalam metode tanya jawab pada umumnya guru berusaha menanyakan apakah siswa telah mengetahui fakta tetentu yang mudah diajarkan, atau apakah proses pemikiran yang telah dipakai oleh siswa.
8
Winarno Surachmad, Ibid, hal. 92 Tayar Yusuf, Ibid,1992, hal. 133 10 Subandijad, Pengembangan dan Persada,1993, hal.133 9
Inovasi
113
Kurikulum,Jakarta:
PT.
Raja
Grafindo
Dalam metode diskusi, pertanyaan guru lebih diarahkan untuk merangsang sswa menggunakan fakta yang lebih kompleks. Pertanyaan tidak bersifat faktual, sebab itu juga maka jawabannya tidak bersifat tunggal atau mutlak.11 4. Metode Ceramah Yang dimaksud dengan metode ceramah adalah penerangan dan penuturan secara lisan oleh guru terhadap siswa. Dalam pelaksanaan ceramah untuk menjelaskan uraiannya guru dapat menggunakan alat-alat pembantu seperti gambar-gambar. Tetapi metode utama berhubungan guru dengan siswa adalah berbicara 12 Ciri-ciri yang menonjol dalam metode ini, dalam pelaksanaan pengajaran dikelas adalah peranan guru nampak sangat dominan. Adapun siswa mendengarkan dengan teliti dan bila perlu mencatatnya apa yang disampaikan guru didepan kelas. Atas dasar ciri diatas, maka metode ceramah ini sering dianggap pengajaran terlalu menolong kurang menumbuhkan kreatifitas dan sensitivitas siswa. Oleh karena itu sering pula metode ini disebut sebagai metode tradisional. 5. Metode Demontrasi Berlainan dengan metode ceramah, metode demontrasi dimaksud sebagai suatu metode mengajar dengan menggunakan alat peraga (meragakan) untuk memperjelas suatu pengertian, atau untuk memperlihatkan bagaimana untuk melakukan dan memperjelas suatu proses pembuatan tetentu. 13 Metode ini merupakan metode mengajar yang sangat efektif dalam membantu siswi-siswa mencari jawaban atas pertanyaan seperti: Bagimana cara membuatnya?, Terdiri dari bahan apa?, Cara mana yang paling baik? Bagaimana dapat diketahui kebenarannya? Dan Bagaimana cara melakukan sesuatu (memperaktikkan) secara baik dan benar?. Dalam pengajaran agama Islam metode ini tentu sangat penting dalam mengetahui kemampuan dan aplikasi pengajaran agama Islam bagi siswa. Misalnya aplikasi ibadah dalam hal shalatnya, wudhunya, adzan, dan tatacara ibadah lainnya. 6. Metode Penemuan 11
Winarno, Ibid, hal. 83. Winarno, Ibid, hal 77 13 Winarno, Ibid, hal 87 12
114
Metode Inquiri (penemuan) yaitu merupakan salah satu metode mengajar dengan cara guru menyuguhkan suatu pristiwa kepada siswa yang menimbulkan teka-teki dan motvasi siswa untuk mencari pemecahan masalah.14 Metode ini dalam pelaksanaannya di telurusi dalam fakta menuju teori dengan harapan agar siswa teransang untuj mencari dan meneliti, serta memecahkan masalah dengan kemampuan sendiri. 7. Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving) Metode pemecahan masalah lazim juga disebut dengan problem solving. Dalam pengajaran metode program solving dimaksudkan adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran dimana siswa dihadapkan dengan kondisi masalah dari masalah yang sederhana, menuju masalah yang sulit komplek.15 Dalam pelaksanaan metode ini Jhon Dewey menyarankan agar siswa-siswi dibiasakan untuk percaya diri sendiri, dalam mengatasi kesulitan/masalah yang sedang dihadapi. Mengingat inti metode ini melatih siswa agar ia mampu menyelesaikan masalahmasalah yang dihadapi, maka dalam pengajaran agama Islam metode ini sangat baik dalam mengajarkan hal--hal yang mengandung problem dan perbedaan-perbedaan pendapat untuk dipadukan. Misalnya dalam mana guru agama mengajarkan masalahmasalah khilafiyah dalam Islam, baik menyangkut fiqih maupun masalah teologi (ilmu kalam) dan lain sebagainya. 8. Metode Latihan Siap (drill) Latihan siap dimaksud yaitu agar pengetahuan siswa dan kecakapan tertentu dapat menjadi miliknya, dan betul-betul dikuasai siswa. Dengan kata lain metode latihan siap (drill) adalah suatu cara dalam menyajikan bahan pelajaran dengan jalan melatih siswa agar menguasai pelajaran dan tampil dalam melaksanakan tugas yang telah diberikan.
14
Rostiyah N.K, Masalah Pengajaran Sebagai Suatu Sistem,Jakarta: Bina Aksara, 1985, hal.
15
Tayar Yusuf, Ibid, hal 80
175-177
115
Dalam melaksanakan metode ini tentu siswa sebelumnya telah diberikan/dibekali dengan pengetahuan secara teoritik secukupnya. Kemudian siswa disuruh mempraktekkannya atas bimbingan guru, sehingga menjadi mahir terampil. 16 9. Metode Sosiodrama dan Bermain Peranan Metode sosiodrama dan bermain peranan adalah dua metode yang dapat dikatakan bersamaan dan dalam pemakaiannya sering bergantian. Sosiodrama artinya cara meyajikan pelajaran dengan cara mendramatisasikan cara tingkah laku didalam hubungan sosial. Sedangkan bermain peranan menekankan kenyataan dimana siswa diturut sertakan dalam memainkan peranan didalam mendramatisasikan masalahmasalah hubungan sosial. Tujuan yang ingin dicapai dengan metode sosiodrama antara lain: (1) mengertikan perasaan orang lain, (2) membagi pertanggungjawaban dan memikulnya, (3) menghargai pendapat orang lain, dan (4) mengambil keputusan dalam kelompok.17 Dalam pelaksanaan pengajaran agama Islam metode sosiadrama dan bermain peranan ini baik sekali dalam mana melatih siswa agar memiliki sikap dan tingkah laku yang baik seperti dalam pengajaran akhlak. Di samping pelajaran agama Islam dalam menghayati nilai-nilai perjuangan para pahlawan Islam, melalui drama tetentu dari kisah perjuangan pahlawan Islam yang diinginkan. 10. Metode Karyawsata/Widyawisata Dalam belajar siswa tidak hanya terbatas dikelas atau dirumah saja. Akan tetapi suatu pergi kesuatu tempat lain untuk mempelajari suatu hal tertentu. Dengan karyawisata sebagai suatu metode menagajar dimaksudkan siswa-siswa dibawah bimbingan guru pergi meninggalkan sekolah menuju kesuatu tempat untuk menyelidiki atau mempelajari hal tertentu. Misalnya guru bersama siswa pergi ke musium, ke taman hewan, kepabrik tertentu dalam rangka pelajaran. Beda halnya dengan tamasya dimana manusia-manusia yang pergi kesuatu tempat hanya mncari
16 17
Tayar Yusuf, Ibid, hal. 66. Winarno, Ibid, hal, 102.
116
kesengan atau hiburan18 Dalam pelajaran agama melalui metode ini sangat penting artinya bagi siswa-siswi dalam rangka menanamkan jiwa agama dan semangat kebersamaan dengan melalui kunjungan ketempat-tempat bersejarah, keyayasan anak yatim piatu dan tempat-tempat suci dan ibadah umat Islam atau mungkin sekali ketempat puncak (gunung) tetentu. Sehingga diharapkan muncul pengakuan terhadap kebearan dan kemaha Agungan Allah sebagai pencipta alam semesta ini. C. Faktor-Faktor Pilihan Metode Dalam proses pelaksanaan pengajaran metode sering dihadapkan pada kesulitan menetapkan mana diantara metode-metode yang ada itu cocok diterapkan kedalam suatu materi pelajaran tertentu. Hal ini dikarenakan terbatasnya kemampuan dan wawasan guru terhadap metodelogi yang ada atau dapat juga disebabkan adanya sikap yang memandang bahwa masalah metodelogi pengajaran bukanlah sesuatu hal amat penting dalam proses pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Bagi guru yang menganggap pekerjaaan bukanlah pekerjaan sembarangan akan tetapi merupakan pekerjaan profesional, tentu ia senantiasa mempersiapkan mengajarnya secara optimal. Di antaranya ia selalu mempertimbangkan berbagai macam metode mengajar itu kedalam pilihan yang tepat pada setiap saat menyampaikan bahan pelajaran itu di kelas. Secara teoritik semua macam metode mengajar itu tentu baik adanya, hanya saja bila pemakaiannya tidak sesuai dengan materi dan tujuan pengajaran yang hendak disampaikan maka tidak membawa proses dinamis dalam intraksi belajar mengajar dengan siswa, akan tetapi lebih jauh dapat berakibat gagal dalam pentingnya bagi guru memperhatikan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemecahan metode yang tepat dan serasi. Menurut Winarno Surachmad ada lima faktor yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan metode yaitu: 1. Faktor tujuan yang hendak dicapai 2. Faktor anak didik yang dihadapi 18
Winarno, Ibid, hal, 93.
117
3. Faktor situasi dan kondisi 4. Faktor yang tersedia 5. Faktor pribadi guru itu sendiri 19 Dalam konsep yang senada, Abu Ahmadi menambahkan selain lima faktor diatas, ada faktor lain yang juga harus diperhatikan, yaitu bahan pelajaran yang akan disampaikan, partisipasi kebaikan dan kelemahan metode tertentu serta filsafat. 20 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-fakktor yang harus dipertimbangkan seorang guru dalam mentapkan pilihan metode mengajar yang tepat dalam mengajar adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Yang Hendak Dicapai Pada setiap mata pelajaran tertentu biasanya memiliki tujuan yang berbda-beda antara satu dengan yang lainnya. Misalnya pada tujuan pengajaran Tafsir Al-Qur’an dan Hadist berbeda dengan tujuan akhlak Tasawuf, dan pelajaran Tauhid berbeda tujuannya dengan pelajaran Fiqih, dan lain sebagainya. Oleh karena tujuan umum dan tujuan khusus dari masing-masing pelajaran tersebut memiliki perbedaan dan tekanannya masing-masing, maka aplikasinya dalam pemilihan dan penetapan metode mengajar, guru hendaklah mampu melihat perbedaan-perbedaan tersebut dari sisi kepentingan ketetapan dan penerapan metode yang cocok dan serasi. Dengan kata lain tujuan yang ingin dicapai dari masing-masing mata pelajaran atau Sub pokok bahasan yang ingin disampaikan itu haruslah menjadi. Perhatian utama bagi guru dalam menetapkan metode apa yang digunakan dalam mengajar. 2. Kemampuan Guru Efektif tidaknya suatu metode mengajar juga sangat ditentukan oleh kemampuan guru dalam memakainya, disamping faktor ini berkaitan langsung dengan sifat dan keperibadian guru tetentu. Misalnya ada guru yang sifat dan keperibadiannya seorang pendiam, tentu baginya kurang tepat bila menggunakan metode ceramah sebagai metode utamanya. Sebaliknya seorang guru bernama Si A, oleh karena mahir dalam 19 20
Winarno, Ibid, hal ,76. Abu Ahmadi, Metodik Khusus Pendidikan Agama (MKPA, Bandung:Armico1985, hal.
108.
118
berbicara
dan
retorik,
(bukan
sifat
pendiam)
maka
bagiannya
akan
mempertimbangkan metode ceramah sebagai metode utama disamping metode lain sebagai pendukung. 3. Anak Didik Bila hal ketiga yang perlukan mendapat perhatian oleh guru dalam mamilih dan menetapkan suatu metode mengajar adalah masalah anak didik. Dimana dalam proses intraksi belajar mengajar guru berhadapan dengan makhluk hidup yang namnya manusia anak didik. Dengan potensi dan fitnah yang dimiliki anak didik memberikan kemungkinan dan sekaligus harapan untuk berkembang dengan baik kearah pribadi yang sempurna. Di samping hal diatas dapat disadari oleh guru bahwa anak didik yang dihadapinya memiliki: kemampuan kecerdasan, karakter, latar belakang sosial ekonomi, unsur bakat dan minat masing-masing satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu implikasi dan keberadaan siswa tersebut membawa adanya perlakuan guru yang berbeda dari sekian anak yang ia hadapi itu dengan modus metode mengajarnya yang beragam. Di harapkan dengan keragaman metode dan penuh gairah belajar bagi siswa, karena keterampilan metode mengajar guru sangat menatik dan merangsang bagi setiap siswa yang mengikuti belajar. Adalah suatu yang dapat dinilai kurang arif jika guru mengajar tanpa mempertimbangkan sisi perbedaan dan perkembangan anak tersebut dalam cara menyampaikan bahan pelajaran kepada siswanya. Nabi sendiri dalam sebuah hadistnya menyatakan: ”hendaklah kamu sekalian berbicara kepada seseorang sesuai dengan siapa yang dihadapi” (Al-Hadist). Hadist tersebut tentunya mencerminkan suatu upaya bagi setiap orang termasuk guru dalam menyampaikan ide ataupun pembicaraan disesuaikan dengan audiens yang dihadapi. 4. Situasi Dan Kondisi Pengajaran Dimana Berlangsung. Situasi dan kondisi saat mana berlangsung pengajaran hendaknya juga perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pemilihan metode mengajar. Situasi dan kondisi yang dimaksud yaitu termasuk fisik/gedung sekolah. Demikian juga kondisi
119
fisik dan psikis siswa dan lingkungan pada umumnya saat berlangsung belajar mengajar. Sebagai salah satu contoh lingkungan sekolahan yang nampak kesehariannnya begitu bising (karena kemungkinan dekat dengan jalan raya) akan dapat berakibat proses pengajaran menjadi terganggu. Begitu juga terhadap siswa yang karena secara fisik maupun psikis lemah dan lelah dari pekerjaan atau olahraga tertentu suatu saat akan berpengaruh terhadap suasana belajar mengajar. Bagi guru hal-hal yang demikian perlu menjadi perhatian, terutama dalam memilih dan menetapkan mana metode yang tepat bila menghadapi suasana demikian. Adalah juga indikator guru yang tidak memahami prinsip-prinsip penerapan metode yang tepat bila dikemukakan dilapangan banyak diantara guru mengajar tanpa memperdulikan situasional belajar dan kondisi obyektif siswanya. Misalnya guru mengajar dengan menggunakan metode pemberian tugas disaat siswanya mengalami kelelahan belajar dan lain sebaginya. 5. Fasilitas Yang Sedia Tersedianya sarana dan media pengajaran di sekolah/ kelas merupakan pendukung yang sangat berarti bagi pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Hal ini dikarenakan bukan hanya fungsi dan kegunaan media ini dapat memperkuat pemahaman dan persepsi siswa terhadap apa yang akan disimpulkan guru, akan tetapi keberadaanya sangt vital bahkan merupakan keharusan bagi kelancaran dan pencapaian tujuan pengajaran secara optimal. Sungguh keterkaiatan sarana dan media dengan metode apa yang akan digunakan oleh guru sangat erat dan saling ketergantungan. Artinya metode yang ditetapkan telah baik namun media yang akan dipakai tidak ada maka proses pengajaran akan mendapatkan hambatan. Sebagai cotoh seorang guru agama Islam menggunakan metode demontasi dalam mengajarnya namun dalam pelaksanaannya media ataupun sarana yang tidak menunjang/tidak ada, maka efektifitas metode yang digunakan oleh para guru agama Islam tersebut bolh dikatakan tidak ada artinya. Gambaran yang telah dikemukakan diatas memberikan arti bahwa guru bukan hanay dituntut mempertimbangkan faktor-faktor seperti yang telah dikemukakan
120
terdahulu, juga dituntut mempertimbangkan ketepatan metode dengan keberadaan media yang ada di sekolahnya masing-masing. 6. Kelebihan Dan Kekurangan Suatu Metode Dari masing-masing metodeyang banyak itu, sudah barang tentu memiliki kelebihan dan kekurangannay masing-masing. Akan tetapi kekurangan suatu metode tertentu dapat dilengkapi oleh keunggulan metode lain. Oleh karena itu kita perlu memakai banyak metode dalam setiap kali mengajar di kelas. Mengkin sekali kita harus menggunakan 1,2,3 dan 4 macam metode dalam setiap mengajar dikelas secara bervariasi. Dalam oleh karena itu pula guru hendaknya mempertimbangkan dan memilih-milih man diantara sekian metode itu lebih unggul keefektifannya bila dikaitkan dengan materi pelajaran apa yang akan disampaikan pada siswa. Dengan memperhitungkan secara umum dan kekhususan sifat sebagai faktor baik tujuan, kemampuan guru, anak didik, situasi, fasilitas/media, waktu serta mengenai sifat berbagai metode, maka seorang guru akan lebih mudah menetapkan metode apakah yang paling serasi dan sesuai untuk situasi kondisi pengajaran. D. Asas Dan Syarat Penggunaan Metode Pembelajaran 1. Asas-Asas Penggunaan Metode Asas-asas pelaksanakan metode pendidikan agama Islam pada dasar dapt diformulasikan sebagai berikut: a. Asas Motivasi Pendidikan harus berusaha membangkitkan minat anak didiknya sehingga seluruh perhatian mereka tertuju dan terpusat pada bahan pelajaran yang sedang disajikan. Asas ini dapat diupayakan melalui pengajaran dengan cara menarik sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik, mengadakan selingan yang sehat, menggunakn alat peraga yang sesuai dengan sifat materi, menghindari pngaruh yang dapat mengganggu konsenterasi siswa dan mengadakan kompetensi sehat sehingga timbul perlombaan untuk mencari prestasi yang lebih baik diantara siswa, tentu dalam hal ini akan lebih baik bila guru juga menyediakan hadiah-hadiah tertentu.
121
b. Asas Aktivitas Dalam proses belajar mengajar anak didik harus diberi kesempatan untuk mengambil bagian yang aktif, baik rohani maupun jasmani, terhadap pengajaran yang akan diberikan, secara individual maupun kolektif. Asas ini menghindari adanya verbalisme bagi anak didik. Asas aktivitas ini dapat diupayakan melalui adanya aktivitas jasmani berupa: tulisan, eksprimen, pembuatan kontruksi model, atau juga kegiatan berupa rohani seperti ketekunan dalam mengikuti pelajaran, mengamati secara cermat, dan berkemauan keras untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal. c. Asas Apersepsi Mengalami dalam proses belajar mengajar bararti menghayati situasi aktual yang sekaligus menimbulkan respon-respon tertentu dari pihak anak didik hingga memperoleh perubahan pola tingkah laku (pematangan dan kedewasaan), perubahan dalam pembendeharaan konsep-konsep (pengertian) dan kekayaan akan informasi. Asas apersepsi bertujuan menghubungkan bahwa pelajaran yang akan diberikan dengan apa yang telah dikenalkan oleh anak didik. d. Asas Peragaan Dalam asas ini, pendidik/guru memberikan variasi dalam cara-cara mengajar dengan mewujudkan bahan yang akan diajarkan secara nyata, baik dalam bentuk aslinya maupun tiruan (model-model), sehingga anak didik dapat mengamati dengan jelas dan pengajarn lebih tertuju untuk mencapai hasil yang diinginkan. Asas ini diupaykan melalui penggunaan berbagai macam alat peraga secara wajar, yaitu dengan memeragakan pelajaran dengan percobaan, membuat herbarium, ruang ekspresi, bulliten botd, poster, serta menyelenggarakan karya wisata dan mengadakan sandiwara, sosiodrama pantomin dan lain sebagainya. e. Asas Ulangan Asas yang merupakan usaha untuk mengetahui tarap perkembangan, kemajuan dan keberhasilan belajar anak didik dalam aspek pengetahuan, keterampilan serta sikap setelah mengikuti pengajaran sebelumnya. Hal ini karena penguasaan pengetahuan mudah terlupakan oleh anak didik jika tidak diadakan pengulangan.
122
Oleh karena itu semakin banyak diadakan ulangan oleh guru maka semakin pengetahuan itu melekat dan tetap berkesan dalam ingatan dan dapat difungsikan dengan baik. Asas ulangan ini dapat dilakukan melalui oksional yaitu diberikan secara kebetulan, atau cara sistematis yaitu diberikan secara teratur, kontinyu dan terencana. f. Asas Korelasi Pristiwa belajar mengajar adalah menyeluruh, mencakup berbagai dimensi yang kompleks. Guru hendaknya memandang anak didik sebagai sejumlah daya-daya yang dinamis yang senantiasa dalam keadaan intraksi dengan dunia sekitar untuk mencapai tujuan. Hal ini akan menyebabkan dalam menerima pelajaran, anak didik akan bersifat selektif kemudian bereaksi mengolahnya. g. Asas Konsentarsi Asas ini memfokuskan pada suatu pokok masalah teretentu dari keseluruhan bahan pelajaran untuk melaksanakan tujuan pendidikan serta memperhatikan anak didik dalam segala aspeknya. Asas ini dapat diupayakan melalui pemberian masalah yang baru muncul. h. Asas Individualisasi Asas ini menekankan adanya perlakuan yang berbeda pada setiap masing-masing anak didik oleh guru. Hal ini didasarkan pada filosofinya bahwa setiap anak memiliki perbedaan-perbedaan satu dengan lainya baik dari segi bentuk maupun kemampuan masing-masing Aplikasi dari asas ini adalah setiap pendidik dapat dan harus mempelajari pribadi setiap anak, terutama tentang kepandaian, kelebihan, serta kekurangan, dan memberi tugas sebatas dengan kemampuannya. i. Asas Sosialisasi Asas yang memperhatikan penciptaan suasana sosial yang dapat membangkitkan semangat kerja sama antara anak didik dengan pendidik atau sesama anak didik dengan masyarakat sekitar, dalam menerima pelajaran agar lebih berdaya guna. Asas ini guru dapat memanfaatkan sumber-sumber fasilitas dari masyarakat untuk kepentingan pelajarannya dengan jalan membawa anak didik untuk mengunjungi
123
karyawisata, survey, pengabdian masyarakat (survise projects) dan perkemahan (school camping) j. Asas Evaluasi Asas ini menekankan perlunya guru memperhatikan hasil dan penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki anak dalam memperbaiki cara mengajar. k. Asas Kebebasan Azaz ini merupakan memberian kebebasan keleluasaan keinginanan dan tindakan bagi anak didik dengan dibatasi atas kebebasan yang mengacu pada hal-hal yang positif. Asas ini mengandung tiga aspek, yaitu : self direktinees, self discipl;ine dan self-control. l. Asas Lingkungan Azaz yang menentukan metode yang berpijak pada pengaruh lingkungan yang berakibat intraksi dengan lingkungan. Azaz in menghendaki agar guru dalam menyajikan pelajaran senantiasa menghubungkan pelajaran dengan lingkungan
anak didik sehari-hari. Terutama
lingkungan orang tuanya, teman sepermainannya dan sosial masyarakat. m. Asas Globalisasi Asan ini menghendaki agar adanya upaya guru dalam menyajikan pelajran kepada anak didiknya dengan jalan menyampaikan bahanitu secara menyeluruh tidak dalam arti sempit, sepotong-sepotong. Jadi kebutuhan bahan merupakan hal yang amat penting dilaksanakan. n. Asas Pusat Minat Asas ini merupakan memperhatikan kecendrungan jiwa yang tetap kejujuran suatu hal yang berharga bagi seseorang. Sesuatu berharga bagi seseorang apabila sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu asas ini hendaknya dikaitkan pula dengan nilai ketuhanan, sosial dan kealaman. o. Asas Ketauladanan Asas ketauladanan ini memperhatikan bahwa setiap anak didik memiliki tingkat perniruan (imitasi) yang tinggi kepada sesuatu yang baru atau pada seseorang yang dikagumunya. Asas keatuladanan ini juga menghendaki agar seorang guru dalam
124
menyajikan pelajaran disertai dengan contoh-contoh yang kongkrit dan baik terhadap oeristiwa tertentu. Dan juga yang lebih penting keperibadian guru yang merupakan cermin yang dapat menjadi contoh yang nyata bagi anank-anaknya. p. Asas Pembiasaan Pembiasaan-pembiasaan yang baik adalah sesuatu mesti dikembangkan oleh guru kepada anaknya. Upaya pembiasaan disni dapat dilakukan dngan jalan melatih anak dengan hal-hal yang baik sehingga menjadi kebiasaan. Hal ini penting mengingat manusia mempunyai sifat lupa. 21 2. Syarat-Syarat Penggunaan Metode Dalam suatu penerapan metode, syarat-syarat berikut ini harus diperhatikan oleh seorang guru pada setiap akan menyajikan bahan pelajran di kelas, nyaitu : a. Metode mengajar yang digunakan harus dapat membangkitkan motif, minat atau gairah balajar. b. Metode yang digunakan harus dapat menjamin perkembangan kegiatan keperinbadian murid. c. Metode yang digunakan harus dapat memberikan kesempatan baik baik ekspresi yang kereatif dari keperibadian murid. d. Metode mengajar yang di gunakan harus meransang kegiatan murid untuk belajar yang lebih lanjut, melakukan eksplorasi dan inovasi (pembeharuan) e. Metode yang harus digunaklan harus dapat mendidik muri dalam teknik belajar sendiri dan cara memperoleh pengentahuan melalui usahah sendiri. f. Metode mrgajar harus dapat meniadakan penyajian bahan pelajaran yang bersifat perpelistik dan mengantinya dengan pengalaman yang nya dan bertujuan. g. Metode
mengajar
yang
digunakan
harus
dapat
menanamkan
dan
mengembangakan nilai-nilai dari sikap-sikap utama yang diharapkan dari kebiasaan dari cara belajar yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
21
(Muhaimin dan Abd. Mujid, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya ), Bandung: Trigendakarya, 1993, hal. 234-240
125
Asas dan styarat-syarat yang telah dikemukakan diatas akan memberkan orientasi dalam menyeleksi guru-guru yang memiliki pengentahuan dan kemampuan dalam mengemplimentasikan metode mengajar secara optoimal dan afektif. E. Langkah-Langkah Pelaksanaan Metode Dikarenakan masing-masing metode manggunakan spesifikasi kebaikan dan kekurangan masing-masing, tentu saja langkan-langkah opersional metode-metode tersebut kedalam pengajaran memiliki ciri dan cara masing-masing. Berikut ini akan dikemukakan langkah-langkah masing-masing metode dengan membatasi sepuluh pokok metode yang di maksud dalam tulisan ini. Metode-metode tersebut yaitu : 1. Metode Pemberian Tugas Dalam metode pemberian tugas (pendidik) harus mengentahui dan menerapkan langkah-langkah berikut : a. Merumuskan secxara oprasional/spesifikasi mengenal target yang akan dicapai b. Memperkirakan apakah tujuan yang akan dirumuskan itu dapat dicapai dalam batas-batas waktu, tenaga serta sarana yang tersedia, masalahnya, buku-buku serta alat-alat lainnya c. Dapat mendorong siswa secara aktif dan kreatif untuk mempelajari dan mempraktekkan pelajaran yang telah diberikan d. Agar siswa mempunyai pengentahuan yang integral/terpadu. Adapun langkah-langkah teknis pemberian tugas kepada siswa hendaknya melalui tahapan sebagai berikut : a. Guru pertama-tama memberikan teori-teori pelaksanaan tugas kepada siswa berikut penjelasannya b. Menetapkan jenis tugas dan ruang lingkup tugas yang telah dikerjakan c. Menetapkan batas waktu yang tugas yang akan dikerjakan serta mekanisme pengumpulan tugas bila telah selasai. 2. Metode Diskusi
126
Dalam proses pelaksanaan mengajar metode diskusi ini mendapat perhatian karena dengan diskusi akan meransang murid-murid berpikir mengeluarkan pendapatnya. Untuk melaksanakan metode diskusi, langkah-langkah yang perlu diperhatikan oleh seorang guru sebagai pemimpin diskusi seperti : a. Mengikut sertakan semua siswa dalam diskusi b. Batasi pendapat sendiri dan dan hargai pendapat peserta diskusi c. Jangan dipertaruhkan seorang peserta diskusi untuk memborong pertanyaan d. Simpulkan pembicaraan diskusi/hasil-hasil pembicaraan e. Ciptakan suasana hormat-menghormati tentang pendapat sehingga suasana diskusi menjadi tegang f. Perhatikan waktu dan terpedahkan nya persoalan diskusi g. Usahakan suasana demokratis dan dinamis dalam diskusi . Pertanyaan yang layak didiskusikan ialah yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : a. Menarik minat dan sesuai dengan tarap perkembangan b. Mempunyai kemungkinan-kemungkinan jawaban lebih dari satu. c. Pada umumnya tidak menyakan manakah jawaban mana yang benar dan mana. Tapi lebih mengutamakan hal yang mempertimbangkan dari membandingkan Dalam upaya mengarahkan hasil diskusi mencapai sasaran maka pimpinan diskusi perlu memperhatikan tiga hal berikut ini : a. Pimpinan diskusi sebagai pengatur dan pengarah diskusi b. Pimpinan diskusi sebagai pengatur lalu lintas pembicaraan c. Pimpinan diskusi sebagai pengarah dan menyimpulkabn berbagai poendapat 3. Metode Tanya Jawab Langkah-langkah metode tanya jawab yang perlu diperhatikan oleh guru adalah sebagai berikut : a. Merumuskan tujuan sejelasnya dalam bentuk khusus dan berpusat pada tingkah laku siswa b. Mencari alasan mengapa mempergunakan metode tanya jawab
127
c. Menetapkan kemungkinan jawaban pertanyaan apakah mengandung banyak pertanyaan/masalah ataukah hanya terbatas pada jawaban ya atau tidak d. Menetapkan kemungkinan untuk menjaga agar tidak menyimpang dari pokok persoalan. Selain langkah-langkah umum diatas, maka langkah-langkah teknis berikut juga perlu dipedomi yaitu : a. Pertanyaan yang diberikan adalah berkisar pada pelajaran yang telah diberikan b. Pertanyaan yang telah diberikan mula-mula ditawarkan kepada semua peserta/siswa, lalu kemudian ditujukan pada salah seorang siswa tertentu dengan pertimbagan psikologi tertentu pula c. Petanyaan yang diajukan hendaklah mengandung nilai problematik, dimana guru tidak akan menjawabnya kecuali semua siswa menunjukan ketidakmampuannya. d. Guru dapat menjelaskan seperlunya dari pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan dan di jawab oleh siswa itu setelah mengakhiri pertanyaan-pertanyaan. 4. Metode Ceramah Berikut ini langkah-langkah yang harus diperhatikan guru pada saat menggunakan metode ceramah, agar dapat mempertinggi hasil ceramah: a. Rumusan tujuan yang hendak dicapai melalui metode ceramah itu hendaknya dirumuskan secar jelas dan terarah. b. Setelah menetapkan tjuan yang hendak dicapai hendaklah diselidiki apakah metode ceramah benar-benar merupakan metode yang tepat untuk dipakai. c. Susun bahan ceramah yang benar-benar perlu diceramahkan, dan minimal guru membuatnya dalam bentuk garis-garis pokok bahasanya. d. Pengertian yang dapat dijelaskan dengan menggunakan alat atau media mengajar hendaknya ditetapkan sebelumnya. e. Tangkaplah perhatian siswa dan arahkan pada pokok yang akan diceramahkan. f. Kemudian usahakan menanamkan perhatian yang jelas. Hal ini bisa dilakukan melalui beberapa jalan misalnya pertama guru memberikan ikhtisar ringkasan mengenai pokok-pokok yang akan diuraikan. Kedua menguraikan pokok tersebut dan akhirnya menyimpulkan pokok-pokok penting dalam materi ceramah.
128
g. Adanya rencana tulisan. Teknik evaluasi yang wajar digunakan untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. 5. Metode Demokrasi Berikut ini langkah-langkah yang perlu diperhatikan oleh seorang guru bila menggunakan metode demontasi dalam mengajarnya yaitu: a. Merumuskan tujuan yang jelas dari sudut kecakapan atau kegiatan yang diharapkan melalui metode demontrasi tersebut. b. Menetapkan garis besar langkah-langkah demontrasi yang akan dilaksanakan, oleh guru telah dicobakan terlebih dahulu supaya tidak gagal pada waktunya. c. Menperhitungkan waktu yang telah ditentukan apakah tersedia waktu untuk memberikan kesempatan siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan komentar selama dan sesudah demontrasi dilakukan. d. Selama dementrasi berlangsung kita bertanya pada diri kita apakah keteranganketerangan diberikan dapat didengar dengan jelas oleh siswa. Dan apakah juga alat/media pengajaran yang mendukung pelaksanaan demostrasi cukup tersedia, dan kalau tersedia dimana ditempatkan. e. Menetapkan rencana untuk menilai kemajuan siswa. 6. Metode Penemuan (Inquiri) Langkah-langkah pelaksanaan metode penemuan (inquiri) ini dapat dilakukan dengan cara guru membagi tugas meneliti suatu masalah di kelas. Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok dan masing-masing kelompok mendaptkan tugas tertentu yang harus diselesaikan. Kemudian tugas itu mereka pelajari, diteliti serta dibahas dan didiskusikan kemudian masing-masing kelompok itu membuat laporan hasil kerja dengan sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (objektif) Metode penemuan (inquiri) juga dapat berjalan dengan cara guru menunjukkan suatu benda/barang berupa buku yang masih asing bagi siswa di depan kelas, kemudian menyuruh siswa untuk mengambil, meneliti dan membaca buku tersebut secara cermat. Lalu guru memberikan masalah atau bertanya kepada seluruh siswa
129
yang sudah siap dengan pertanyaan dan menjawabnya dengan tepat. Dalam hal ini pertanyaan yang diajukan tidak menyimpan dari isi buku yang ditunjuk. 22 Suatu hal yang harus diperhatikan guru agar penggunaan metode penemukan ini dapat dilaksanakan secara baik maka memerlukan kondisi belajar sebagai berikut: a. Menciptakan situasi dan kondisi yang fleksibel (tidak kaku) dalam intraksi belajar, dan siswa bebas dari perasaan takut dan tertekan. b. Kondisi lingkungan hendaknya diciptakan sedemikian rupa sehingga dapat memancing gairah dan semangat belajar dan intelektual yang tinggi. c. Menciptakan suasana belajar yang kondusif dan responsip sehingga kreativitas siswa dapat tercipta. 7. Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving) Agar metode problem ini dapat efektif dalam pelaksanaan pengajaran, maka guru harus memperhatikan langkah-langkah berikut ini: a. Dalam memilih masalah hendaknya guru mempertimbangkan segi kemampuan dan perbedaan siswa. b. Siswa lebih dahulu diberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. c. Bimbingan secara kontinyu dan penyediakan alat/media pengajaran harus diperhatian. d. Merencanakan tujuan yang hendak dicapai melalui metode pemacahan masalah tersebut e. Mula-mula guru mengajukan pokok-pokok permasalahan yang akan dipecahkan itu, lalu siswa meresponinya dan berusaha secara maksimal untuk mencari jalan keluar pemecahan masalah tersebut, apakah malalui usaha individu atau usaha kelompok (bersama) f. Bila diinginkan dapat membentuk tim tertentu sebagai memudahkan usaha pemecahan masalah, bila masalah itu dianggap kompleks g. Menyimpulkan/merangkum semua masukan yang deberikan siswa.
22
Tayar Yusuf, Ibid, hal. 82-83
130
8. Metode Latihan Siap (Drill) Jika guru akan menggunakan metode drill dalam pengajaran maka prinsip-prinsip dan langkah-langkah berikut ini harus diperhatikan: a. Drill hanyalah untuk bahan atau tindakan yang bersifat otomatis. b. Latihan harus memiliki arti dalam rangka yang lebih luas a) Sebelum dilaksanakan latihan siswa perlu mengetahui terlebih dahulu arti latihan itu. b) Siswa perlu menyadari bahwa latihan-latihan itu berguna untuk untuk kebutuhan siswa selanjutnya. c) Siswa perlu mempunyai sikap bahwa latihan-latihan itu diperlukan untuk melengkapi belajar c. Latihan-latihan itu pertama harus ditekankan kepada diagnosa a) Pada taraf permulaan jangan diharapkan repduksi yang sempurna. b) Dalam percobaan kembali harus diteliti kesulitan yang timbul. c) Respon yang benar akhirnya harus dikenal oleh siswa dan respon yang salah harus diperbaiki d. Di dalam latihan pertama-tama ketetapan kemudian kecepatan, dan pada akhirnya kedua-keduanya harus dapat tercapai. e. Masalah latihan secara relatif harus harus singkat, tetapi harus sering dilakukan pada waktu-waktu lain f. Masa latihan harus menarik, gembira dan menyenangkan a) Agar hasil latihan memuaskan, minat, intristik diperlukan b) Tiap-tiap kemajuan yang dicapai siswa harus jelas c) Hasil latihan terbaik dengan sedikit menggunakan emosi g. Pada waktu latihan harus lebih didhulukan proses yang efisiesial. 9. Metode sosiodrama dan bermain peranan Langkah-langkah guru dalam menggunakan metode sosiodrama dan bermain peranan sebagai berikut: a. Guru menerangkan teknik ini dengan cara yang sederhana bila kelompok siswa baru untuk pertama kalinya diperkenalkan dengan metode ini.
131
b. Situasi masalah yang akan dimainkan ditetapkan sediamkan rupa c. Guru menciptanya pristiwa itu secukupnya untuk mengatur adegan atau untuk memberikan kesiapan mental. d. Jika sosiodrama untuk pertama kalinya dilakukan sebaliknya guru sendiri memiliki siswa yang kiranya dalm melaksanakan tugas itu. e. Guru mendengar dan memperhatikan peran siswa yang tidak melaksanakan tugas. f. Guru menetapkan dengan jelas masalah dan peran yang harus mereka mainkan g. Guru menyarankan kalimat yang pertama yang baiak diucapkan oleh pemain untuk memulai. h. Guru menghentikan sosiodrama pada detik-detik situasi sedang memuncak, dan kemudian membuka diskusi umum. i. Sebagai hasil diskusi, kadang-kadang dapat diminta kepada siswa untuk menyelesaikan masalah itu dengan cara-cara lain j. Guru dan siswa menarik kesimpulan-kesimpulan. 23 10. Metode Karyawisata/Widiyawisata Proses
belajar
mengajar
dengan
menggunakan
matode
karyawisata
/widiyawisata ini dalam pelaksanaannya memerlukan keahlian dan keterampilan para guru, sebab banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan diperhatikan. Adapun langkah-langkah pelaksanaan melalui metode ini dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Tahap Perencanaan Hal yang harus diperhatikan dalam tahap ini adalah sebagai berikut: a. Menetapkan tujuan b. Mempertimbangkan dan menetapkan obyek c. Menetapkan lamanya waktu pelaksanaan d. Mentapkan teknik-teknik dalam mempelajari obyek e. Menetapkan orang-orang atau instansi yang harus dihubungi sebagai nara sumber atau pihak yang terkait 23
Winarno, Ibid, hal.102-103.
132
f. Memperhitungkan jumlah peserta didik yang akan mengikuti karyawisata g. Mempersiapkan perlengkapan h. Memberi penjelasan tentang cara membuat/menyusun laporan i. Memperhitungkan keadaan iklim, musim dan suasana j. Menjelaskan secara garis besarnya keadaan obyek yang akan dikunjungi
2. Tahapan Pelaksanaan Setelah peserta didik tiba dilokasi obyek, segera segala sesuatunya diatur sesuai dengan hal-hal yang telah direncanakan: a. Semua peserta didik melakukan observasi dengan tgas yang telah dibicarakan dikelas. b. Tata tertib selama berada dilokasi harus di pegang teguh. c. Peserta
didik
memperhatikan
secara/
dengan
teliti,
obyek,
mencatat,
mendengarkan wawancara atau informasi yang diberikan oleh guru atau petugas. d. Peserta didik harus memperoleh penjelasan yang sebaik-baiknya mengenai obyek yang diteliti e. Guru mendorong peserta didik untuk berani bertanya dan mengingatkan peserta didik untuk mencacat semua hasil yang telah siperoleh. 3. Tahap Tindak Lanjut Tindak lanjut dilakukan setelah peserta didik tiba kembali kekelas dengan cara menagdakan diskusi dan pertukaran data yang diperoleh dari hasil pengamatan obyek dilokasi karyawisata. a. Para peserta didik masuk kelas dan melengkapai cacatan. Hal ini dilakukan agar semua peserta didik memperoleh gambaran yang sama dan lebih lengkap tentang yang lebih diamati dilokasi. b. Menyusun bahan yang telah diperoleh ditempat lokasi baik berupa benda asli, tiruan, gambar, cacatan atau laporan untuk dijadikan bahan dokumentasi di kelas berupa pajangan24 24
Subadijad, Ibid, hal. 136-137
133
Langkah-langkah yang telah dipaparkan tersebut diatas merupakan patokan (tolak ukur) tingkat keberhasilan dan penggunaan metode mengajar seorang guru pada umumnya. F. Rangkuman Memahami pentingnya penguasaan dan penerapan metode mengajar pada setiap pengajaran oleh pihak guru, maka sudah selayaknya bila persoalan metodelogi mengajar tidak hanya dipahami dalam batas teoritik saja dari pihak guru, akan tetapi pada tingkat pelaksanaan mencerminkan kualitas penguasaan yang meyakinkan. Gambaran bahwa kalau profesinya sebagai seorang guru dengan sendirinya akan menguasi metodelogi mengajar yang baik adalah sesuatu yang ideal. Akan tetapi manakala kenyataannya berbeda dengan seharusnya tentu itu merupakan masalah yang harus mendapat perhatiaan Defenisi metodelogi dari aspek semantik sangat erat kaitannya dengan kata metodik yang berasl dari kata metode. Dengan kata lain metodik sama pengertiannya dengan metodelogi, yang mengandung makna bahwa “ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil yang efektif dan efisien. Adapun cara umum metodologi sering diartikan suatu cara dan sistematis dan umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan, ia merupakan jawaban atas pertanyaan “bagaimana. Di kalangan para ahli pendidikan banyak yang mengakui bahwa keampuhan suatu
metode
yang
digunakan
oleh
seorang
guru
setidaknya
harus
mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya: (1) tujuan yang hendak dicapai, (2) kemampuan guru dan suasana anak didik, (3) situasi dan kondisi dimana pengajaran berlangsung, (4) fasilitas sarana dan media yang ada, (5) waktu yang sedia, dan (6) kebaikan dan kekurangan suatu metode. G. Latihan 1. Apa yang anda ketahui tentang metode pembelajaran dan berikan contohnya ? 2.
berikan penjelasan tentang metode pembelajaran pendidikan agama islam di sekolah ?
134
3. Sebutkan syarat-syarat dalam menggunakan metode pembelajaran pendidikan agama islam ? 4. Sebutkan dan jelaskan lima faktor yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan metode pembelajaran ? H. Bahan Bacaan Winarno Surahmad, Metode Pengajaran Nasional, Jermmars, Bandung: 1980. Asumsi Syukir, Metode Da’wah, Jakarta: Bulan Bintang,1979 HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997. Tayar Yusuf , Ilmu Praktek Mengajar: Metodik Khusus Pengajaran Agama, Bandung :PT . Al-Maarif, 1985. `Tafsir, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990. Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Jakarta: PT. Alhidayah, 1965. Subandijad, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1993. Rostiyah N.K, Masalah Pengajaran Sebagai Suatu Sistem, Jakarta: Bina Aksara, 1985 Abu Ahmadi, Metodik Khusus Pendidikan Agama (MKPA), Bandung:Armico1985. (Muhaimin dan Abd. Mujid, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya ) (Bandung: Trigendakarya, 1993.
135
BAB 4 KOMPETENSI PROFESIONALISME GURU
A. Pengertian Profesionalisme Guru Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Secara etimologi, istilah profesi berasal dari bahasa Inggris, yaitu profession atau bahasa latin, profecus, yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan secara terminologi, profesi berarti suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental, yaitu adanya persyaratan pengetahuan teoretis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis, bukan pekerjaan manual (Danin,2002 dalam Rusman)1. Jadi suatu profesi harus memiliki tiga pilar pokok, yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik. Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian tertentu. Artinya, jabatan profesional tidak bisa dilakukan atau dipegang oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut. Melainkan melalui proses pendidikan dan pelatihan yang disiapkan secara khusus untuk bidang yang diembannya. Misalnya, seorang guru profesional yang memiliki kompetensi keguruan melalui pendidikan guru seperti (S1-PGSD, Si Kependidikan, AKTA Pendidikan) yang diperoleh dan pendidikan khusus untuk bidang tersebut. Jadi kompetensi guru tersebut diperoleh melalui apa yang disebut profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi itu (preservice training atau pra-jabatan) maupun setelah menjalani suatu profesi (inservice training). 1
Rusman, model-model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru, Jakarta: PT. Rajawali Perss, 2011, hal 16
136
Menurut Martinis Yamin (2007) “profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan intelektualitas. “Sedangkan menurut Jasin Muhammad (dalam Yunus Namsa, 2006),” profesi adalah suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan tugasnya memerlukan teknik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi, serta cara menyikapi lapangan pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan yang ahli.” Pengertian profesi mi tersirat makna bahwa di dalam suatu pekerjaan profesional diperlukan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual yang mengacu pada pelayanan yang ahli. Sementara itu, menurut Didi Atmadilaga, “profesi merupakan wewenang praktik suatu kejuruan yang bersifat pelayanan pada kemanusiaan secara intelektual spesifik yang sangat tinggi, yang didukung oleh penguasaan pengetahuan keahlian serta seperangkat sikap dan keterampilan teknik, yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus yang penyelenggaraanya dilimpahkan kepada lembaga pendidikan tinggi yang bersama memberikan izin praktik atau penolakan praktik dan kelayakan praktik dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang diawasi langsung oleh pemerintah maupun asosiasi profesi yang bersangkutan.” Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu bidang pekerjaan atau keahlian tertentu yang mensyaratkan kompetensi intelektualitas, sikap, dan kete.rampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan secara akademis yang intensif. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian atau kecakapan yang memenuhi mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. (UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Menurut Djam’an Satori, “profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, orang yang menyandang suatu profesi, misalnya, “Dia seorang profesional”. Kedua, penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya.” Dalam pengertian kedua mi, istilah profesional dikontraskan dengan “non-profesional” atau “amatiran”. Dalam kegiatan sehari-hari seorang profesional melakukan pekerjaan sesuai dengan bidang ilmu yang
137
telah dimilikinya, jadi tidak asal-asalan. Sementara itu, menurut Walter Johnson (1959) profesional (professionals) sebagai “.... seseorang yang menampilkan suatu tugas
khusus
yang
mempunyai
tingkat
kesulitan
lebih
dan
biasa
dan
mempersyaratkan waktu persiapan dan pendidikan cukup lama untuk menghasilkan pencapaian kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan yang berkadar tinggi”. Adapun pengertian profesional menurut Uzer Usman (1992) adalah “suatu pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum.” Kata profesional itu sendiri berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain. Artinya pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahljan khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal. H.A.R.
Tilaar2
menjelaskan
bahwa
seorang
profesional
menjalankan
pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan kata lain memiliki kemampuan dan sikap sesuai dengan tuntutan profesinya. Seorang profesional menjalankan kegiatannya berdasarkan profesionalisme, dan bukan secara amatiran. Profesjonaljsme bertentangan dengan amatirisme. Seorang profesional akan terusmenerus meningkatkan mutu karyanya secara sadar, melalui pendidikan dan pelatihan. Profesionalisme berasal dari profession yang berarti pekerjaan. Menurut Arifin (1995)3 Pengertian profesionalisme merupakan suatu pandangan terhadap keahli-an tertentu yang diperlukan dalam pekerjaan tertentu,iyang mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus. Jadi profesionalisme 2
H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997,
3
Arifin, Kapita selekta pendidikan (Islam dan umum), Jakarta: Bumi Aksara, hal 105
86
138
mengarah kepada komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-meneru s mengembangkan strategistrategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesi yang diembannya. Profesionalisme Guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pembelajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pembelajaran. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan, sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Guru yang profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang luas di bidangnya.4 B. Pentingnya Profesionalisme Guru dalam Pendidikan Guru merupakan seorang pendidik, pembimbing, pelatih, dan pengembang kurikulum yang dapat menciptakan kondisi dan suasana belajar yang kondusif, yaitu suasana belajar menyenangkan, menarik, memberi rasa aman, memberikan ruang pada siswa untuk berpikir aktif, kreatif, dan inovatif dalam mengeksplorasi dan mengelaborasi kemampuannya. Guru yang profesional merupakan faktor penentu proses pendidikan yang berkualitas. Untuk dapat menjadi guru profesional, mereka harus mampu menemukan jati diri dan mengaktualisasikan diri sesuai dengan kemampuan dan kaidah-kaidah guru yang profesional. Mengomentari mengenai rendahnya kualitas pendidikan saat mi, merupakan indikasi perlunya keberadaan guru profesional. Untuk itu, guru diharapkan tidak hanya sebatas menjalankan profesinya, tetapi guru harus memiliki interest yang kuat untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan kaidah-kaidah profesionalisme guru yang dipersyaratkan.
4
Rusman, Op Cit, 2011, hal 19
139
Guru dalam era teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini bukan hanya sekadar mengajar (transfer of knowledge) melainkan harus menjadi manajer belajar. Hal tersebut mengandung arti, setiap guru diharapkan mampu menciptakan kondisi belajar yang menantang kreativitas dan aktivitas siswa, memotivasi siswa, menggunakan multimedia, multimetocie, dan multisumber agar mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Berkenaan dengan pentingnya profesionalisme guru dalam pendidikan, Ahmad Sanusi5 (1991) mengutarakan enam asumsi yang melandasi perlunya profesionalisasi dalam pendidikan, yaitu: 1. Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi, dan perasaan dan dapat dikembangkan sesuai dengan potensinya; sementara itu pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat manusia, 2. Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni secara sadar bertujuan, maka pendidikan menjadi normatif yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik secara universal, nasional, maupun lokal, yang merupakan acuan para pendidik, peserta didik, dan pengelola pendidikan. 3. Teori-teori pendidikan merupakan jawaban kerangka hipotesis dalam menjawab permasalahan pendidikan. 4. Pendidik bertolak dari asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia mempunyai potensi yang baik untuk berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan itu adalah usaha untuk mengembangkan potensi unggul tersebut. 5. Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni situasi di mana terjadi dialog antara peserta didik dengan pendidik yang memungkinkan peserta didik tumbuh ke arah yang dikehendaki oleh pendidik agar selaras dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat.
5
Ahmad Sanusi, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan, Bandung: IKIP Bandung, 1991, hal 23
140
6. Sering terjadinya dilema antara tujuan utama pendidikan, yaitu menjadikan manusia sebagai manusia yang baik (dimensi intrinsik) dengan misi instrumental, yakni yang merupakan alat untuk perubahan atau mencapal sesuatu. Kalau kita lihat sejenak kondisi real pendidikan yang ada di daerah, kita masih banyak menemukan guru berada di dalam Situasi yang kurang menguntungkan untuk melaksanakan tugas yang diamanahkan kepadanya. Banyak guru yang ditempatkan di dalam ruang yang penuh sesak dengan anak didik dengan perlengkapan yang kurang memadai, dengan dukungan manajerial yang kurang mutakhir. Di tempat yang demikian itulah, guru-guru itu diharapkan mampu melaksanakan tugas yang maha mulia untuk mendidik generasi penerus anak bangsa. Hal mi akan bertambah lebih berat dan kompleks, bilamana dihadapkan lagi dengan luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi dengan dukungan fasilitas dan sarana yang minim serta dengan iklim kerja yang kurang menyenangkan. Selain itu, beban guru ditambah lagi dengan berbagai tugas di luar kegiatan akademik yang banyak menyita waktu dan tenaga para guru. Luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak, serta kemajuan dan perkembangan yang dialami masyarakat serta aspirasi nasional dalam kemajuan bangsa dan umat manusia di lain pihak, membawa konsekuensi serta persyaratan yang semakin berat dan kompleks bagi pelaksana dalam sektor pendidikan pada umumnya dan guru pada khususnya. Pendidikan yang baik, sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat modern dewasa mi dan sifatnya yang selalu menantang, mengharuskan adanya pendidik yang profesional. Hal mi berarti bahwa di masyarakat diperlukan pemimpin yang baik, di rumah diperlukan orang tua yang baik dan di sekolah dibutuhkan guru yang profesional. Akan tetapi, dengan ketiadaan pegangan tentang persyaratan pendidikan profesional, maka hal ini menyebabkan timbulnya bermacam-macam tafsiran orang tentang arti guru yang baik, tegasnya guru yang profesional. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa dalam mencari jawaban tentang apa dan siapa itu guru yang profesional memerlukan suatu tinjauan yang luas serta melingkupi berbagai segi. Sesudah itu barulah disimpulkan profil guru
141
yang bagaimana yang dikehendaki. Dalam bentuknya yang modern, profesi itu ditandai pula oleh adanya pedoman-pedoman tingkah laku
yang khusus
mempersatukan mereka-mereka yang tergolong di dalamnya sebagai satu korps, ditinjau dan pembinaan etik jabatan. Pelembagaan profesi, serupa itu tidak saja dapat memperkuat pengaruh teknis, tetapi juga pengaruh-pengaruh sosial dan politik, ke dalam maupun ke luar. Umumnya dengan mudah orang menyetujui bahwa tugas sebagai seorang guru baiknya dipandang sebagai tugas profesional. Tetapi tidak semua menyadari bahwa profesionalisasi tenaga pelaksana itu bukan hanya terletak dalam masa-masa persiapan (pendidikan pendahuluan), tetapi juga di dalam pembinaan dan cara-cara pelaksanaan tugas sehari-hari. Dengan perkataan lain, profesionalisasi guru tidak selesai dengan diberikannya lisensi mengajar kepada mereka yang berhasil menamatkan pendidikannya. Untuk menjadi guru ini harus mencakup aspeknya yang formal. Kualifikasi yang formal ini masih perlu dijiwai dengan kualifikasi riil dan ini hanya mungkin diwujudkan dalam praktik. 6 C. Ciri-ciri Profesi Keguruan Menurut Ornstein dan Levine (1984)7 menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi di bawah mi: 1. Melayani masyarakat merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat. 2. Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan khalayak ramai. 3. Menggunakan hasil penelitin dan aplikasi dan teori ke praktik. 4. Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang. 5. Terkendali berdasarkan lisensi buku dan/atau mempunyai persyaratan yang masuk. 6. Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu. 7. Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan. 6
Rusman, Model-model Pembelajaran-mengembangkan profesionalisme Guru, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal 23 7 Omstein, Allan C, dan Levine, Daniel U. An Introduction Foundasion Of Education, Third Edition. Boston: Houghton Miffin Co (dalam Rusman, 2011, hal 24-26)
142
8. Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien. 9. Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya relatif bebas dan supervisi dalam jabatan. 10. Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri. 11. Mernpunyai asosiasi profesi dan/atau kelompok ‘elite’ untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan anggotanya. 12. Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan. 13. Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dan pablik dan kepercayaan diri setiap anggotanya. 14. Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi. Senada dengan pendapat di atas, Sanusi et al. (1991), mengutarakan ciri-ciri utama suatu profesi itu sebagai berikut. 1. Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang menentukan. 2. Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu. 3. Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah. 4. Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematik, eksplisit, yang bukan hanya sekadar pendapat khalayak umum. 5. Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama. 6. Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan Melibatkan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri. 7. Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi. 8. Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgetnent terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya. 9. Dalam praktiknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom bebas dan campur tangan orang lain.
143
10. Jabatan mi mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat, Sehingga memperoleh imbalan yang tinggi pula. Menurut Robert W. Richey (1974) ciri-ciri profesionalisasi jabatan guru adalah sebagai berikut. 1. Guru akan bekerja hanya semata-mata memberikan pelayanan kemanusiaan daripada usaha untuk kepentingan pribadi. 2. Guru secara hukum dituntut untuk memenuhi berbagai persyaratan untuk mendapatkan lisensi mengajar serta persyaratan yang ketat untuk menjadi anggota organisasi guru. 3. Guru dituntut memiliki pemahaman serta keterampilan yang tinggi dalam hal bahan pengajar, metode, anak didik, dan landasan kependidikan. 4. Guru dalam organisasi profesional, memiliki publikasi profesional yang dapat melayani para guru, sehingga tidak ketinggalan, bahkan selalu mengikuti perkembangan yang terjadi. 5. Guru, selalu diusahakan untuk selalu mengikuti kursus-kursus, workshop, seminar, konvensi, serta terlibat secara luas dalam berbagai kegiatan “in service”. 6. Guru diakui sepenuhnya sebagai suatu karier hidup (a life career). 7. Guru memiliki nilai dan etika yang berfungsi secara nasional maupun secara lokal. Sedangkan ciri-ciri profesi keguruan menurut NEA (National Education Association) (1948) 8 adalah sebagai berikut. 1. Jabatan yang Melibatkan Kegiatan Intelektual Jabatan guru melibatkan kegiatan intelektual karena mengajar melibatkan upayauPaya yang sifatnya sangat didominasi kegiatan intelektual. Malahan lebih lanjut dapat diamati bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota profesi mi adalah dasar bagi persiapan dan semua kegiatan profesional lainnya. 2. Jabatan yang Menggeluti Batang Tubuh Ilmu yang Khusus
8
Loc Cit
144
Semua jabatan mempunyai monopoli pengetahuan yang memisahkan anggota mereka dan orang awam dan memungkinkan mereka mengadakan pengawasan tentang jabatannya. Anggota-anggota suatu profesi menguasai bidang ilmu yang membangun keahlian’ mereka dan melindungi masyarakat dan penyalahgunaan, amatiran yang tidak terdidik, dan kelompok tertentu yang ingin mencari keuntungan. Menurut Encyclopedia of Educational Research, terdapat bukti-bukti bahwa pekerjaan mengajar telah secara intensif mengembangkan batang tubuh ilmu khusus. 3. Jabatan yang Memerlukan Persiapan Latihan yang Lama Menjadi guru melalui pendidikan cukup lama di perguruan tinggi, yaitu Si Kependidikan. Anggota kelompok guru dan yang berwenang di Kementerian Pendidikan Nasional berpendapat bahwa persiapan profesional yang cukup lama, amat perlu untuk mendidik guru yang profesional. Konsep mi menjelaskan keharusan memenuhi kurikulum perguruan tinggi yang terdiri dan pendidikan umum, profesional dan khusus sekurangkurangflya empat tahun bagi guru pemula (Si di LPTK) atau pendidikan persiapan profesional di LPTK paling kurang selama setahun setelah mendapat gelar akademik Si di perguruan tinggi nonLPTK. 4. Jabatan yang Memerlukan Latihan dalam Jabatan yang Berkesinambungan Jabatan guru cenderung menunjukkan bukti yang kuat sebagai jabatan prorofesional, sebab hampir tiap tahun guru melakukan berbagai kegiatan latihan profesional, baik yang mendapatkan penghargaan kredit maupun tanpa kredit. Bahkan pada saat sekarang mi bermacam-macam pendidikan profesional tambahan diikuti guru-guru dalam menyetarakan dirinya dengan kualifikasi yang telah ditetapkan (penyetaraan Si untuk guru SD). Dilihat dan sudut pandang ini jelas kriteria keempat mi dapat dipenuhi bagi jabatan guru di Indonesia.
5. Jabatan yang Menjanjikan Karier Hidup dan Keanggotaan yang Permanen
145
Dengan adanya sertifikasi guru, berimplikasi terhadap tunjangan profesi guru sebesar satu kali gaji pokok, hal mi dapat menjanjikan karier hidup, sehingga profesi guru sekarang mulai dilirik orang. Keanggotaan guru memang permanen. 6. Jabatan yang Menentukan Standarnya Sendiri Dikarenakan jabatan guru menyangkut hajat hidup orang banyak, maka pembakuan jabatan guru ini sering tidak diciptakan oleh anggota profesi sendiri terutama di negara kita. Pembakuan jabatan guru masih sangat banyak diatur oleh pihak pemerintah, atau pihak lain yang menggunakan tenaga guru tersebut seperti yayasan pendidikan swasta. Namun sedikit demi sedikit LPTK mulai menyusun standarnya sendiri. 7. Jabatan yang Mementingkan Layanan di Atas Keuntungan Pribadi Jabatan guru adalah jabatan yang mempunyai nilai sosial kemasyarakatan yang tinggi, tidak perlu diragukan lagi. Guru yang baik akan selalu ikhlas dalam menjalankan aktivitas mengajarnya. Jabatan guru telah terkenal secara universal sebagai suatu jabatan yang anggotanya termotivasi oleh keinginan untuk membantu oang lain dan bukan disebabkan oleh keuntungan ekonomi atau keuangan semata. Kebanyakan guru memilih jabatan Ini berdasarkan apa yang dianggap baik oleh mereka, yakni mendapat keuntungan rohaniah ketimbang kepuasan ekonomi atau lahiriah. Namun, alasan INi bukan berarti guru harus dibayar lebih rendah. Oleh sebab itu, tidak perlu diragukan lagi bahwa persyaratan ketujuh ini dapat dipenuhi dengan baik. 8. Jabatan yang Mempunyai Organisasi Profesional yang Kuat dan Terjalin Erat Di Indonesia telah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wadah seluruh guru mulai dan guru TK sampai dengan guru SLTA, ada pula Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) yang mewadahi para sarjana pendidikan, ada juga kelompok-kelompok guru bidang studi. Namun, eksistensi dan organisasi tersebut perlu diteliti lebih jauh, apakah sudah terjalin dengan kuat dan terjalin erat? Semua perlu dibuktikan.
146
Dan definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diangkat beberapa kriteria untuk menentukan ciri-ciri suatu profesi, yaitu sebagai berikut (Rochman Natawidjaja, 1989)9. a. Ada standar untuk kerja yang baku dan jelas. b. Ada lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan pelakunya dengan program dan jenjang pendidikan yang baku serta memiliki standar akademik yang memadai dan yang bertanggung jawab tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang melandasi profesi itu. c. Ada organisasi profesi yang mewadahi para pelakunya untuk mempertahankan dan memperjuangkan eksistensi dan kesejahteraannya. d. Ada etika dan kode etik yang mengatur perilaku etik para pelakunya dalam memperlakukan kliennya. e. Ada sistem imbalan terhadap jasa layanannya yang adil dan baku. f. Ada pengakuan masyarakat (profesional, penguasa, dan awam) terhadap pekerjaan itu sebagai suatu profesi. Dari uraian di atas tentang cini-ciri suatu profesi, maka profesi mempunyai cinicini utama sebagai benikut. a. Pungsi dan signifikansi sosial: suatu profesi merupakan suatu pekerjaan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial dan krusial. b. Keterampilan/keahlian:
untuk
mewujudkan
fungsi,
dituntut
derajat
keterampilafl/keahlian tertentu. c. Pemerolehan keterampilan tersebut bukan hanya dilakukan secara rutin, melainkan bersifat pemecahan masalah atau penanganan situasi kritis yang menuntut pemecahan dengan menggunakan teori dan metode ilmiah. d. Batang tubuh ilmu: suatu profesi didasarkan kepada suatu disiplin ilmu yang jelas, sistematis, dan eksplisit (a systematic body of knowledge) dan bukan hanya common sense.
9
Rahman Natawijaya, Meningkatkan Kualitas Professional Guru Sd Melalui Pemantapan Lembaga Pendidikan, Makalah Seminar, Bandung PGRI, 1989
147
e. Masa pendidikan: upaya mempelajari dan menguasai batang tubuh ilmu dan keterampilan/keahlian tersebut membutuhkan masa latihan yang lama, bertahuntahun dan tidak cukup hanya beberapa bulan. Hal mi dilakukan pada tingkat perguruan tinggi. f. Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional: proses pendidikan tersebut juga merupakan wahana untuk sosialisasi nilai-nilai profesional di kalangan para siswa/mahasiswa. g. Kode etik dalam memberikan pelayanan kepada klien, seorang profesional berpegang teguh kepada kode etik yang pelaksanaannya dikontrol oleh organisasi profesi. Setiap pelanggaran terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi. h. Kebebasan untuk memberikan judgment: anggota suatu profesi mempunyai kebebasan untuk menetapkan judgment-nya sendiri dalam menghadapi atau memecahkan sesuatu dalam lingkup kerjanya. i. Tanggung jawab profesional dan otonomi: komitmen pada suatu profesi adalah melayani klien dan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Tanggung jawab profesional harus diabdikan kepada mereka. Oleh karena itu, praktik profesional itu otonom dan campur tangan pihak luar. j. Pengakuan dan imbalan: sebagai imbalan dan pendidikan dan latihan yang lama, komitmennya dan seluruh jasa yang diberikan kepada klien, maka seorang profesional mempunyai prestise yang tinggi di mata masyarakat dan karenanya juga imbalan yang layak. Ciri-ciri suatu profesi menurut Robert W. Richey (1974) sebagai berikut. a. Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal daripada kepentingan pribadi. b. Seorang pekerja profesional, secara relatif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya. c. Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkemhanan dalam pertumbuhan jabatan.
148
d. Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap serta cara kerja. e. Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi. f. Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin din dalam profesi, serta kesejahteraan anggotanya. g. Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan kemandirian. h. Memandang profesi sebagai suatu karier hidup (a life career) dan menjadi seorang anggota yang permanen. Secara terperinci, ciri keprofesian ini dikemukakan oleh D. Westby Gibson (1965) sebagai berikut. a. Pengakuan oleh masyarakat terhadap layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok pekerja yang dikategorikan sebagai suatu profesi. b. Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang unik. c. Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang mampu melaksanakan suatu pekerjaan profesional. d. Dimilikinya suatu mekanisme untuk menyaring, sehingga hanya mereka yang dianggap kompeten yang diperbolehkan bekerja untuk lapangan pekerjaan tertentu. e. Dimilikinya organisasi profesional yang di samping melindungi kepentingan anggotanya dan saingan kelompok luar, juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat, termasuk tindak etis profesional pada anggotanya. Sementara itu Rusman10 merici tentang ciri-ciri profesi guru, yaitu: a. Memiliki standar unjuk kerja yang baku atau dengan kata lain memiliki áturan yang jelas tentang hal yang dikerjakannya. b. Anggota profesinya memperoleh pendidikan tinggi yang memberikan dasar pengetahuan yang bertanggung jawab. 10
Rusman, Op Cit, hal 32
149
c. Memiliki lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan tenaga profesi yang dibutuhkan. Contohnya untuk menghasilkan tenaga guru, maka ada perguruan tinggi keguruan seperti UPI, IKIP, FKIP dan STKIP. d. Memiliki organisasi profesi yang memperjuangkan hak-hak anggotanya, serta bertanggung jawab untuk meningkatkan profesi yang bersangkutan. e. Adanya pengakuan yang layak dan masyarakat. f. Adanya sistem imbalan yang memadai sehingga anggota profesi dapat hidup dan profesinya. g. Memiliki kode etik yang mengatur setiap anggota profesi. Sekarang ini, masyarakat menginginkan semua pelayanan yang diberikannya adalah yang terbaik. Misalnya, setiap orang tua menginginkan anaknya bersekolah di sekolah yang gurunya profesional, setiap orang menginginkan menyimpan uang di bank yang pelayanannya profesional, dan sebagainya. Tuntutan-tuntutan masyarakat inilah yang membuat setiap profesi untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik. Jika setiap anggota profesi dapat melakukan pekerjaannya dengan profesional, maka dengan sendirinya dia akan membangun profesinya sehingga semua ciriciri profesi yang diuraikan sebelumnya dapat tercapai. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana seorang anggota profesi melakukan pekerjaannya dengan profesional? Setiap anggota profesi baik secara sendiri-sendiri atau dengan cara bersama melalui wadah organisasi profesi dapat belajar. Belajar yang dimaksud, yaitu belajar untuk mendalami pekerjaan yang sedang disandangnya dan belajar dari masyarakat apa yang menjadi kebutuhan mereka saat ini dan saat yang akan datang. Telah dikemukakan pada bagian muka kegiatan belajar mi tentang profesionalisasi, yaitu usaha untuk mengembangkan profesi melalui pendidikan prajabatan dan pendidikan dalam jabatan, sehingga pelayanan kepada pemakai (klien) akan semakin meningkat. D. Standar Kompetensi Guru Profesional Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik minimal Si atau D-IV dan memiliki empat standar kompetensi yakni kompetensi pedagogis, kompetensi 150
profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial (pasal 10). Keempat kompetensi tersebut kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 28 dan penjelasannya, kompetensi pedagogis adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan
dan
pelaksanakan
pembelajaran,
evaluasi
hasil
belajar,
dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan guru untuk membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Pendidikan Nasional. Sedangkan kompetensi sosial adalah kemampuan pendidikan sebagai bagian dan masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidk, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Berikut adalah uraian garis besar tentang hakikat keempat standar kompetensi11 tersebut disertai dengan komentar dan catatan kritis yang relevan. 1. Kompetensi Pedagogis Secara etimologis, kata pedagogi berasal dari kata bahasa Yunani, paedos dan agogos (paedos=anak dan agoge = mengantar atau membimbing). Karena itu pedagogi berarti membimbing anak. Tugas membimbing ini melekat dalam tugas seorang ,pendidik, apakah guru atau orang tua. Karena itu pedagogi berarti segala usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk membimbing anak muda menjadi manusia yang dewasa dan matang. Dan asal kata ini maka kompetensi pedagogis nampaknya merupakan kompetensi yang tertua dan bahkan sudah menjadi tuntutan mutlak bagi
11
Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru.
151
manusia sepanjang zaman, karena kompetensi ini melekat dalam martabat manusia sebagai pendidik, khususnya pendidik asali yakni orangtua. Ketika peran pendidik dan orang tua digantikan dengan peran guru di sekolah maka tuntutan kemampuan pedagogis ini juga beralih kepada guru. Karena itu guru tidak hanya sebagai pengajar yang mentransfer ilmu, pengetahuan dan keterampilan kepada siswa tetapi juga merupakan pendidik dan pembimbing yang membantu siswa untuk mengembangkan segala potensinya terutama terkait dengan potensi akademis maupun non akademis. Melalui peran mi, para guru secara spesifik haruslah menjadi orang yang dapat membuat siswa bisa belajar. Dengan demikian kompetensi pedagogis terkait erat dengan kemampuan didaktik dan metodik yang harus dimiliki guru sehingga dia dapat berperan sebagai pendidik dan pembimbing yang baik. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru telah menggarisbawahi 10 kompetensi inti yang harus dimiliki oleh guru yang terkait dengan standar kompetensi pedagogis. Kesepuluh kompetensi inti itu adalah sebagai berikut: 1) Menguasai karakteristik peserta didik dan aspek fisik, moral, kultural, emosional, dan intelektual. 2) Menguasai teori-teori belajar dan prirsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. 3) Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran atau bidang pengembangan yang diampu. 4) Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik. 5) Memanfaatkan
teknologi
informasi
dan
komunikasi
untuk
kepentingan
pembelajaran. 6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 7) Berkomuriikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik. 8) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar 9) Menianfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran. 10) Melakukan tindakanreflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
152
a. Pemahaman terhadap Karakteristik Peserta Didik Siswa atau peserta didik yang dilayani oleh guru adalah individu-individu yang unik. Mereka bukanlah sekelompok manusia yang dapat dengan mudah diatur, didikte, diarahkan atau diperintah menurut kemauan guru. Mereka adalah subjek yang memiliki latar belakang, karakteristik, keunikan, kemampuan yang berbeda-beda. Karena itu pemahaman terhadap karakteristik peserta didik dan berbagai aspek perkembangannya dan faktor-faktor yang memengaruhinya merupakan syarat mutlak bagi guru agar guru dapat berhasil dalam pembelajararinya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Benjamin Bloom12, setidak-tidaknya ada dua karakteristik individual siswa yang harus diperhatikan dalam memberikan layanan pendidikan yang optimal yakni karakteristik kognitif dan karakteristik afektif. Kedua karakteristik ini sangat berpengaruh terhadap pembelajaran dan hasil belajarnya, sebagaimana yang terlihat dalam gambar berikut:
Gambar 1: Karakteristik siswa yang memengaruhi hasil belajar Diadaptasi dan Bloom.
12
Benjamin Bloom, Human Characteristik In School Learning, New York: McGrawu-Hil Book Co, 1974, hlm 11
153
Karakteristik pertama adalah karakteristik kognitif. ini terkait dengan kemampuan
intelektual
siswa
dan
faktor-faktor
yang
memengaruhinya.
Perkembangan intelektual manusia telah diteliti oleh para ahli psikologi kognitif, dan salah seorang ahli psikologi kognitif yang pandangannya sangat berpengaruh terhadap pemahaman manusia tentang perkembangan kognitif usia anak dan remaja adalah Jean Piaget. Piaget membagi perkembangan kognitif manusia atas empat tahap yakni tahap sensori motorik (0-2 tahun), tahap pra operasional (2-7 tahun), tahap operasi konkret (7-11 tahun), dan tahap operasi formal (11-15 tahun).13 Anak-anak usia sekolah berada pada tahap operasi konkret dan operasi formal. Ciri kemampuan intelektual pada tahap operasi konkret adalah kemampuannya untuk memahami sesuatu melalui instrumen-instrumen benda-benda konkret. Karena kemampuan berpikir mereka masih terbatas pada representasi konkret maka anak-anak pada usia ini harus membutuhkan banyak bantuan berupa media atau alat peraga untuk menjelaskan konsep-konsep yang abstrak. Sementara bagi remaja yang sebagian besar sudah berada pada tahap operasi formal, di mana kemampuan berpikir abstrak sudah berkembang maka tugas guru adalah mengembangkan kreativitas berpikir dan mencipta melalui metode-metode seperti penemuan, pemecahan masalah, dsb. Sementara itu karakteristik afektif berkaitan dengan aspek-aspek seperti minat, motivasi, konsep diri, dan sikap (terhadap sekolah, mata pelajaran, guru dan teman sebaya) juga ikut berpengaruh sebagai prakondisi terciptanya proses pembelajaran yang efektif. Guru perlu memahami karakteristik siswa semacam ini agar bisa merancang dan menciptakan pembelajaran yang menggugah siswa. Karakteristik siswa yang lain yang juga ikut berpengaruh terhadap proses pembelajaran adalah karakteristik psikososial. Sebagaimana yang telah dikaji oleh Erikson14 pada umumnya perkembangan psikososial manusia terjadi dalam delapan tahap dan pada setiap tahap perkembangan selalu disertai dengan krisis tertentu, karena adanya pertentangan atau konflik antara perkembangan maju dan perkembangan mundur. Berikut adalah tahap perkembangan psikososial menurut 13 14
Anita Woolfolk, Education Psychology, Boston: Allyn and Bacon, 1993, hal 31 Ibid, hal 67
154
Erikson: a) kepercayaan dasariah vs ketidakpercayaan dasariah (usia 12 — 18 bulan), b) otonomi vs rasa malu (18 bulan—3 tahun), c) inisiatif vs rasa bersalah (usia 3 — 6 tahun), d) keinginan untuk terlibat dalam pekerjaan produktif vs rendah diri, e) identitas vs kebingungan peran, f) keintiman vs isolasi, g) generativitas vs stagnasi, dan h) integritas vs keputusasaan. Pada umumnya, siswa sekolah dasar dan menengah berada pada usia perkembangan psikososial keempat dan kelima. Pada siswa sekolah dasar, di satu sisi mereka mulai menyadari peran mereka untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan produktif. Jika kesadaran ini direalisasikan maka mereka akan merasa berguna dan memiliki ideal dan cita-cita untuk berguna di masa depan. Di pihak lain, bagi siswa yang tidak dapat merealisasikan keinginannya ini maka ia akan merasa rendah diri. Pada fase mi proses pembentukan konsep diri menjadi sangat menonjol. Ada rasa kemampuan diri (self-efficacy) di satu pihak tetapi di lain pihak jika tenjadi kegagalan maka ada perasaan rendah diri (inferior) menyebabkan hambatan bagi siswa untuk maju. Pada siswa sekolah menengah, di satu sisi mereka sedang berkembang untuk menjadi diri sendiri, menemukan keunikan diri sendiri. Mereka menyadan bahwa dirinya adalah unik dan khas yang berbeda dengan orang lain. Tetapi di pihak lain, jika mereka gagal untuk menemukan diri sendiri maka mereka akan menjadi terombang ambing, karena adanya kebingungan peran yang dimainkannya. Jika ini terjadi maka bisa saja menjerumuskan meneka ke dalam hal-hal yang negatif. b. Menguasai Teori Belajar dan Prinsip-prinsip Pembelajaran yangMendidik Tugas utama gunu adalah memenganuhi siswa bisa belajar. Kanena itu tidak tenelakkan bahwa guru juga harus menguasai dengan baik teori-teori belajar, dan bagaimana teori-teori itu diaplikasikan dalam pembelajaran melalui model-model pembelajaran tertentu. Secara umum ada tiga teori belajar yang masih benpengaruh sampai saat mi yakni teori-teori behaviorisme, teori-teori kognitivisme, dan teori-teori humanistikkonstnuktivis. Ketiga teori ini meletakkan dasan bagi berbagai model pembelajanan yang ada saat ini. 155
Teori behaviorisme adalah teori awal dalam pembelajaran yang menekankan pentingnya stimulus-stimulus dan luar untuk memenganuhi siswa bisa belajar. Asumsinya bahwa siswa adalah subjek pasif yang hanya bisa belajar kalau ada ransangan tententu dan luar. Gunu adalah pusat dan siswa adalah periferial atau pelengkap dalam belajar. Bagi kaum behavioris, belajar harus bisa diamati melalui perilaku konkretnya. Teori-teori kognitif pada kontinum lain mengatakan bahwa belajar merupakan proses pengolahan informasi yang tidak dapat diamati. Proses itu terjadi dalam benak seseorang ketika memperoleh informasi atau rangsangan dan luar melalui panca inderanya. Informasi yang diterima kemudian diolah, disaring, diproses dan jika bermakna maka akan disimpan di dalam unit penyimpanan baik sementara (shortterm memory) maupun permanen (ion gterm memory). Informasi yang telah disimpan di dalam unit penyimpanan itu kemudian dapat ditarik kembali dan digunakan sesuai kebutuhan. Teori humanistik-konstruktivis justru berbeda pandangan secara radikal dengan kedua teori di atas. Perbedaan yang paling menonjol adalah perubahan pandangan tentang siswa/peserta didik yang sebelumnya dianggap sebagai subjek yang pasif menjadi subjek yang aktif. Pendukung teori konstruktivis berpendapat bahwa siswa adalah subjek yang aktif menciptakan pengetahuannya sendiri, berdasarkan pengalaman-pengalamannya dengan lingkungan. Karena itu pengetahuan bukanlah kumpulan fakta atau konsep-konsep yang dicekokkan kepada siswa, tetapi lebih merupakan suatu rekonstruksi terhadap pengalaman yang didapat. Selain menguasai teori-teori belajar dan pembelajaran, guru juga harus menguasai prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. Menurut T. Raka Joni15, pembelajaran yang mendidik adalah pembelajaran yang tidak hanya berupa penerusan informasi, melainkan pembelajaran yang lebih banyak memberikan peluang bagi peserta didik untuk pembentukan kecerdasan, pemerolehan pengetahuan dan keterampilan. mi berarti guru harus lebih mengedepankan peran siswa sebagai subjek aktif dalam 15
T. Raka Joni, Pembelajaran yang mendidik: artikulasi Konseptual, terapan konstekstual, dan vrivikasi emperik, jurnal ilmu pendidikan, jilid 12 No.2, 2005, hal 91-127
156
pembelajaran. Pembelajaran yang mendidik juga berarti pembelajaran yang memberikan pengalaman-pengalaman bermakna yang tidak hanya berguna untuk kepentingan sesaat (seperti untuk menyelesaikan soal tes agar bisa lulus), tetapi pembelajaran yang memberikan kemampuan bagi siswa untuk bisa belajar sepanjang hayat (learning how to learn). c. Mengembangkan Kurikulum Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori “pendidikan berdasarkan standar” (standard-based education), dan teori kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum). Pendidikan berdasarkan standar menetapkan adanya standar nasional sebagai kualitas minimal warganegara yang dirinci menjadi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Kurikulum
berbasis
kompetensi
dirancang
untuk
memberikan
pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik dalam mengembangkan kemampuan untuk bersikap, berpengetahuan, berketerampilan, dan bertindak. Kurikulum 2013 menganut: (1) pembelajaran yang dilakukan guru (taught curriculum) dalam bentuk proses yang dikembangkan berupa kegiatan pembelajaran di sekolah, kelas, dan masyarakat; dan (2) pengalaman belajar langsung peserta didik (learned-curriculum) sesuai dengan latar belakang, karakteristik, dan kemampuan awal peserta didik. Pengalaman belajar langsung individual peserta didik menjadi hasil belajar bagi dirinya, sedangkan hasil belajar seluruh peserta didik menjadi hasil kurikulum. Berdasarkan peraturan tersebut membuktikan bahwa guru bukan hanya pelaksana kurikulum tetapi juga pengembang kurikuium di tingkat satuan pendidikan. Kurikulum untuk tahun 2013 setiap satuan pendidikan telah mulai diterapkan untuk jenjang pendidikan dasar dan Mengah. Kurikulum tahun 2013 telah memberikan peluang bagi para guru untuk mengembangkan perangkat pembelaajran secara madniri, seperti Silabus dan RPP maupun dalam wadah seperti Kelompok Kerja Guru
157
(KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Salah satu otonomi profesional guru terletak pada kemampuannya untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik yang dilayaninya. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah menetapkan kompetensi (inti) semua mata pelajaran di jenjang pendidikan dasar dan menengah yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
59
Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013. Kompetensi Inti Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dimiliki seorang peserta didik SMA/MA pada setiap tingkat kelas. Kompetensi Inti dirancang untuk setiap kelas. Melalui kompetensi inti, sinkronisasi horisontal berbagai kompetensi dasar antarmata pelajaran pada kelas yang sama dapat dijaga. Selain itu sinkronisasi vertikal berbagai kompetensi dasar pada mata pelajaran yang sama pada kelas yang berbeda dapat dijaga pula. Rumusan kompetensi inti menggunakan notasi sebagai berikut: 1.
Kompetensi Inti-1 (KI-1) untuk kompetensi inti sikap spiritual;
2.
Kompetensi Inti-2 (KI-2) untuk kompetensi inti sikap sosial;
3.
Kompetensi Inti-3 (KI-3) untuk kompetensi inti pengetahuan; dan
4.
Kompetensi Inti-4 (KI-4) untuk kompetensi inti keterampilan. Standar kompetensi inti yang harus dicapai oleh para siswa setelah mengikuti
pembelajaran. Tugas para guru adalah mengembangkan kompetensi Inti ini ke dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Selain itu para guru diberikan kewenangan untuk mengembangkan bahan ajar dan berbagai perangkat pembelajaran untuk menunjang proses pembelajaran yang optimal. d. Melaksanakan Pembelajaran yang Mendidik Penguasaan terhadap prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik oleh para guru harus juga diwujudkan dalam proses pembelajaran aktual. Guru dituntut untuk menerapkan
prinsip-prinsip
pembelajaran
mendidik
tersebut
dalam
situasi
pembelajaran riil. Salah satu pendekatan pembe1ajaran yang mendukung karakter pembelajaran yang mendidik adalah pendekatan PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Pendekatan mi harus tercermin dalam
158
perencanaan pembelajaran, pelaksanaan dan pengorganisasian pembelajaran serta penilaian pembelajaran. Karena itu guru harus menerapkan berbagai strategi, metode, teknik dan prosedur yang inovatif, sehingga dapat membuat siswa bisa belajar dalam situasi atau kondisi yang bebas dan berbagai macam tekanan, ancaman, ketekunan, dan sebagainya. Pendekatan ini menempatkan siswa sebagai subjek belajar dan guru Sebagai mitra belajar dan fasilitator. Melalui intervensi dan penciptaan kondisi tertentu, siswa menjadi subjek yang aktif dalam merencanakan dan mengorgantisir belajarnya. Mereka memiliki peluang yang seluas-luasnya untuk memanfaatkan berbagai sumber belajar yang tersedia secara efektif guna meningkatkan hasil belajarnya. Pembelajaran inovatif artinya guru dan siswa dalam pelaksanaan pembelajaran memanfaatkan berbagai strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran baru, yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman, sehingga mampu memberdayakan siswa untuk tetap up to date dengan perkembangan zaman. Salah satu ciri pembelajaran inovatif adalah pemanfaatan strategi mutakhir yang berasal dari perkembangan baru dalam bidang teori-teori pembelajaran. Juga pembelajaran yang memanfaatkan multimedia dan teknologi komunikasi dan informasi untuk penyampaian pembelajaran. Pembelajaran yang kreatif adalah pembelajaran yang mampu merangsang siswa untuk dapat menemukan cara-cara baru dan unik untuk memecahkan masalah. Pembelajaran kreatif juga mendorong siswa untuk mampu menemukan hal-hal kecil (ide, metode, teknik, atau prosedur) sehingga mampu melahirkan insan-insan yang kreatif dan berdaya cipta. Pembelajaran yang efektif artinya pembelajaran yang memiliki dampak tertentu bagi perubahan perilaku siswa sebagaimana yang ditetapkan dalam tujuan-tujuan pembelajaran atau standar-standar kompetensi yang diharapkan. Pembelajaran efektif menempatkan guru dan siswa Sebagai mitra kolaboratif yang berjalan bersama mencapai tujuan yang diharapkan.16 16
Marselus R, Payong, Sertifikasi Profesi Guru-Konsep Dasar Problematika, Dan Implementasinya, Jakarta: Indeks, 2011, hal 35
159
Sedangkan pembelajaran yang menyenangkan (Joyfuii Learning) adalah pembelajaran yang membuat siswa merasa betah dan bebas dan situasi tertekan, takut, terancam, dan membawa siswa kepada suatu lingkungan belajar yang ramah terhadap anak (friendly classroom). Melalui lingkungan belajar semacam ini anak bebas untuk mengekspresikan diri dan mengaktualisasikan berbagai potensinya, sehingga segala bakat dan kemampuan siswa dapat berkembang secara optimal. Selain itu siswa juga semakin mencintai pelajarannya dan memiliki minat yang kuat terhadap pelajaran, sehingga dapat memberikan peluang bagi siswa untuk berhasil. Pembelajaran yang mendidik juga bermakna pembelajaran yang tidak hanya memengaruhi perubahan perilaku pada aspek-aspek kemampuan tertentu saja, tetapi pada semua aspek kemampuan pribadi manusia secara menyeluruh. Sebagaimana yang telah ditawarkan oleh UNESCO, pembelajaran yang mendidik hendaknya berpijak pada empat pilar belajar yakni: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.17 Belajar ntuk mengetahui segala sesuatu, mentranfer berbagai ilmu dan pengetahuan adalah penting, tetapi bukan satu-satunya. Karena itu harus dilengkapi dengan belajar untuk bisa menjadi terampil dalam melakukan segala sesuatu, belajar untuk menjadi diri sendiri, dan belajar untuk bisa hidup dan beradaptasi dengan orang lain. Pembelajaran mendidik adalah pembelajaran yang memotivasi siswa untuk belajar, tidak hanya pembelajaran yang mentransfer pengetahuan dan keterampilan. Karena itu kemasan pembelajaran yang dibuat guru hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip motivasional yang baik, sehingga dapat memengaruhi kemampuan siswa untuk belajar. Realitas ini perlu dicermati sungguh-sungguh oleh guru karena belajar di abad ini tidak hanya menguasai sebanyak-banyaknya pengetahuan, keterampilan atau nilai-nilai yang perlu bagi kehidupan tetapi lebih dan itu; belajar untuk bisa belajar dan menyesuaikan diri (learning how to learn). Karena itu guru dalam pembelajaran yang mendidik hendaknya memposisikan diri sebagai motivator dan pemberi semangat (inspirator) bagi siswa. Guru hendaknya menantang siswa 17
Jagoes delors, learning: The Treasure Within, Report To UNESCO Of The International Commision On Education Go The Twenty Firs Century, Paris: UNESCO Publication, 1996, hal 86-89
160
untuk bisa menemukan pengetahuan sendiri dan menemukan cara-cara pemecahan masalah sendir secara kreatif. e. Memanfaatkan Teknologi Informasi untuk Pembelajaran Kita hidup di abad informasi dan teknologi komunikasi dan informasi memainkan peranan penting dalam menentukan kualitas kehidupan umat manusia. Era mi sudah diisyaratkan oleh Alfin Toffler pada awal dasawarsa 1990-an dan ia menyebuthya sebagai era informasi (information era). Dalam era mi informasi telah menjadi satu kekuatan utama yang memengaruhi dan menentukan segala aspek kehidupan manusia sekaligus memengaruhi kualitas budaya dan suatu bangsa. Guru di abad ini berhadapan dengan kenyataan, bahwa para siswa yang hadir di sekolah telah memiliki kekayaan informasi yang mereka peroleh di luar sekolah. 18 Di pihak lain, UNESCO telah mengingatkan akan peran baru guru dalam abad informasi ini. Menurut UNESCO, dalam tahn-tahun terakhir ini sumber dan distribusi informasi telah berkembang dalam cara yang sangat spektakuler hampir di mana-mana. Anakanak sudah terbiasa dengan kemasan-kemasan informasi yang menghibur, menyenangkan bahkan penuh dengan hura-hura sehingga tantangan terberat bagi para guru di abad informasi ini adalah, bagaimana mengemas pembelajaran semenarik kemasan yang biasa diriikmati anak-anak di media (televisi, radio, internet, dsb) 19 Karena itu, pembelajaran di abad ini juga telah dipengaruhi oleh ketersediaan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi, Sehingga peran guru sebagai sumber informasi semakin perlahan digantikan dengan kehadiran teknologi informasi semacam itu (komputer, internet, dan sebagainya). Satu survei yang dilakukan oleh The National Center for Education Statistics (NCES) dan Departemen Pendidikan Amerika Serikat pada tahun 1999 menunjukkan bahwa komputer dan teknologi informasi telah menjadi kebutuhan yang mendesak bagi para guru, administrator, dan praktisi pendidikan di Amerika sehingga dibutuhkan kemampuan untuk menguasai teknologi ini. Para guru melaporkan bahwa mereka selalu 18
Anvirl Loveless, ICT in the primery curriculum”, dalam avril loveless dan Dabs Dore, (ed) ICT in the premery, Buckingham: open University Press, 2002, 4-5 19 Jaques Delors, Op Cit, 142
161
menggunakan komputer untuk menyiapkan pelajaran, mengerjakan tugas-tugas administratif seperti perekaman dan pengolahan nilai hasil belajar, dan sebagainya. Mereka juga telah memanfaatkan internet untuk mencari materi atau bahan ajar, mengakses informasi-informasi terbaru, tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memanfaatkannya dalam pembelajaran. Selain itu para guru telah menugaskan para siswanya untuk mencari sumber-sumber informasi atau materi dari internet, dan memanfaatkan internet untuk berdiskusi atau berbagi informasi. 20 Dengan semakin luasnya penetrasi teknologi informasi dan komputer dalam berbagai segi kehidupan manusia, termasuk dalam latar pembelajaran, maka para guru juga dituntut untuk melek terhadap teknologi informasi dan dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran. Guru harus bisa memanfaatkan teknologi komputer ini untuk memudahkan pembelajaran atau mengemas pesan-pesan pembelajaran secara menarik, sehingga dapat menggugah imnat dan motivasi belajar siswa. Selain itu juga komputer dan internet dapat digunakan sebagai sarana untuk menjelajah informasi terbaru guna memperkaya bahan ajarnya atau wawasan pengetahuan yang dimilikinya. James D Finn,21 salah seorang tokoh teknologi pendidikan pernah mengatakan, masa depan pendidikan akan berada di tangan mereka yang menghayati arti penting teknologi dan memanfaatkannya dalam pembelajaran. Karena itu jika para guru ingin berperan lebih di abad mi, mereka juga harus menguasai teknologi, termasuk teknologi informasi dan komputer. f. Membantu Peserta Didik Mengaktualisasikan Potensinya Kemampuan guru lain adalah membantu peserta didik mengaktualisasikan segenap potensinya. Siswa sebagai individu memiliki berbagai bakat dan kemampuan yang beragam. Karena itu tugas guru adalah menciptakan kondisi sedemikian rupa agar berbagai potensi dan kemampuan yang beragam itu dapat dikembangkan secara 20
NCES, Teacher tools for the 21ST Century: S report on the teacher use of teknology, Washinton DC: US Departemen of education, office of educaation Reseach an imprrovment, 2000 hal, diakses http:nces.ed.gov.20november 2014 21 Dikutif dalam EACT, Definisi teknologi Pendidikan, satuan tugas definisi dan terminologi AECH, diterjemahkan oleh Yusufhardi Marso, dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, hal 176
162
optimal. Salah satu wahana untuk mengembangkan kemampuan, potensi, bakat atau minat siswa adalah melalui kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Guru tidak hanya menjadi fasilitator belajar di ruang kelas, tetapi juga harus menjadi fasilitator belajar di luar ruang kelas pada situasi-situasi non pembelajaran. Para
guru
dapat
melibatkan
diri
menjadi
pembiria
kegiatan-kegiatan
ekstrakurikuler secara spesifik sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Guru yang berbakat olahraga dapat menjadi pembina olahraga siswa. Guru yang berbakat kesenian dapat menjadi pembina kesenian siswa. Kegiatan-kegiatan pengembangan minat, bakat dan potensi siswa dalan Kurikulum Tinkat Satuan Pendidikan termasuk dalam kegiatan perigembangan diri yang setara dengan dua jam pelajaran per minggu. Melalui kegiatan pengembangan minat, bakat dan kemampuan siswa mi, para siswa merasa dihargai dan memiliki peluang untuk mengembangkan kemampuannya secara optimal tanpa dihambat oleh berbagai kegiatan-kegiatan akademik pembelajaran semata. Selain dikemas dalam kegiatan-kegiatan ektrakurikuler, kegiatan pengembangan bakat, minat dan potensi siswa dapat juga diintegrasikan dalam pembelajaran melalui penciptaan pengalaman-pengalaman belajar tertentu. Kegiatan pembelajaran yang bernuansa PAIKEM di satu sisi membantu siswa mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya, tetapi di sisi lain dapat juga membantu siswa mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya secara maksimal. g. Berkomunikasi secara Efektif, Empatik, dan Santun dengan Siswa Kegiatan pembelajaran adalah suatu bentuk komunikasi. Karena esensi dan pembelajaran adalah interaksi antara individu-individu tertentu, sehingga terjadi pertukaran pesan (informasi, pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan lain-lain). Agar supaya guru dapat berinteraksi dengan siswa dan dapat melaksanakan pembelajarannya secara efektif, kemampuan komunikasi merupakan salah satu prasyaratnya. Guru harus bisa berkomunikasi secara efektif dengan siswa agar pesanpesan pembelajaran dapat dipahami, dihayati atau diamalkan oleh para siswa.
163
Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang mengena, atau komunikasi yang menyebabkan pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami dengan sempurna. Karena itu berkomunikasi secara efektif mengandung pengertian adanya interaksi yang bermakna yang menimbulkan saling pengertian, dan saling pemahaman di antara guru dan siswa. Komunikasi secara empatik adalah komunikasi yang menggugah di mana semua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi dapat saling menyelami isi hati, maksud, tujuan dan masing-masing pihak. Guru dapat berkomunikasi secara empatik dengan siswa jika ia mampu memahami dengan baik kebutuhan-kebutuhan siswanya, sehingga dapat menyesuaikan pelayanannya secara tepat. Menurut Gordon, hubungan guru dan murid yang baik ditandai dengan beberapa ciri berikut: 1) adanya keterbukaan dan transparan sehingga memungkinkan keterusterangan dan kejujuran satu sama lain, 2) adanya saling perhatian, 3) adanya saling ketergantungan satu sama lain, 4) adanya keterpisahan yang memungkinkan guru dan siswa mengembangkan keunikan, kreativitas dan individualitas masingmasing, dan 5) adanya pemenuhan kebutuhan bersama. 22 Dalam berkomunikasi secara efektif dengan para siswa, guru hendaknya memperhatikan beberapa hambatan komunikasi berikut ini:23 1) memerintah, mengkomando, mengatur, 2) memperingkatkan, mengancam, 3) mengkotbahi, memberi keharusan, 4) menasihati, menawarkan pemecahan dan saran secara berlebihan, 5) menggurui, menceramahi, 6) menghakimi, mengkritik, menyalahkan, 7) membentak, memberikan stereotip atau label, 8) mendiagnosis, menafsirkan atau menganalisis secara keliru, 9) menginterogasi, mendesak, 10) menanik diri, sinis, mengganggu. Selain itu, akibat adanya pengaruh dan psikologi humanistik terhadap praktik pendidikan, maka perlakuan terhadap siswa oleh para guru juga berubah. Kalau dulu, ada hubungan sub ordinasi antara guru dan siswa. Siswa dianggap sebagai objek dan pelengkap dalam pembelajaran. Saat mi siswa adalah subjek pembelajaran dan guru 22
Thomas Gordon, Menjadi Guru Efektif, (terjemah Aditya Kumara Dewi), Jakarta: PT. Gramedia, 1997, hal 23 23 Ibid, hal 46-48
164
adalah mitra belajar. Karena itu dalam pergaulan dan interaksi edukatif guru dan siswa dibutuhkan komunikasi yang santun. Guru harus menggunakan pendekatanpendekatan komunikasi yang lebih manusiawi dalam berinteraksi dengan para siswa karena siswa adalah partnernya. Dalam kaitan dengan itu maka guru harus mengembangkan sikap yang positif terhadap siswa, memperlakukan mereka sebagai subjek yang sedang berkembang dengan segala keunikannya, dan membantu mereka dalam merealisasikan segenap potensi yang dimilikinya melalui interaksi pedagogis yang bermakna. h. Menilai Proses dan Hasil Pembelajaran Salah satu tugas utama guru dalam pembelajaran adalah menilai proses dan hasil pembelajaran. Guru harus bisa mengembangkan alat penilaian yang tepat dan sahih untuk dapat mengukur kemajuan belajar dan hasil belajar siswa secara komprehensif. Penilaian terhadap proses dan hasil pembelajaran tidak hanya mencakup aspek atau ranah tertentu, tetapi harus dapat mengungkap kemampuan utuh dalam ketiga ranah secara komprehensif (ranah kognitif, afektif dan psikomotor). Penilaian proses harus dilakukan secara berkesinambungan, sehingga diharapkan dapat membantu guru untuk melakukan perbaikan-perbaikan pembelajaran yang lebih optimal. Di sisi lain penilaian ini diharapkan dapat
membantu siswa untuk
memperbaiki atau meningkatkan kinerja belajarnya. Penilaian proses terkait dengan pencapaian-pencapaian sementara siswa Selama pembelajaran, keterlibatan, motivasi, minat dan antusiasme siswa dalam pembelajaran. Penilaian harus dilakukan secara adil, transparan, komprehensif, imparsial dan akuntabel dengan menggunakan alat dan teknik penilaian yang valid dan reliabel. Sementara itu, penilaian hasil dimaksudkan untuk mengukur ketercapaian tujuantujuan pembelajaran (standar kompetesi dan kompetensi dasar) pada akhir dan satu unit pembelajaran tertentu. Hasil-hasil penilaian ini kemudian dapat dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan, mendiagnosis kelemahankelemahan atau kesulitan yang dialami siswa, atau untuk menjadi bahan refleksi bagi guru atau sekolah untuk meningkatkan kinerja pelayanan mereka.
165
Dalam Kurikulum tahun 2013 penilaian proses sama pentingnya dengan penilaian hasil. Karena itu keduanya harus dilakukan secara berkesinambungan dan konsisten. Terkait dengan itu, telah diperukan setidak-tidaknya tujuh jenis penilaian berbasis kelas yang dapat diaatkan guru untuk melakukan penilaian pembelajaran. Ketujuh jenis pean itu adalah: penilaian tertulis, penilaian kinerja, penilaian produk, penilaian ek, penilaian sikap, penilaian diri, dan penilaian portofolio. Ketujuh jenis peran ini dapat digunakan dengan tepat apabila guru mampu mengidenasi kemampuankemampuan atau perilaku yang harus dikuasai setelah engikuti proses pembelajaran. Untuk melakukan penilaian yang baik, guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut: 1) Penilaian hendaknya dilakukan secara objektif yakni lai apa yang seharusnya dinilai serta terfokus pada kompetensi atau tuuan pembelajaran yang telah ditetapkan. 2) Penilaian hendaknya dian secara menyeluruh dan komprehensif, yakni mencakup semua askemampuan atau kompetensi siswa (kognitif, afektif, dan perilaku). 3) laian hendaknya menggunakan alat-alat ukur yang tepat dengan melambangkan validitas dan reliabilitasnya. 4) Penilaian hendaknya bersifat ‘‘idik artinya menjadi alat motivasi bagi siswa untuk belajar. Siswa harus ntang untuk melakukan refleksi dan memperbaiki kinerja belajarnya mehasil penilaian yang diperoleh. 5) Penilaian hendaknya dilakukan secara berkesmambungan dan memperhatikan perkembangan siswa dan waktu ke waktu. 24 i. Melakukan Tindakan Reflektif Salah satu ciri dari tugas guru sebagai seorang profesional adalah kemampuan untuk merefleksikan praktiknya dan melakukan perbaikan-perbaikan secara berkelanjutan. Menurut Bloud dkk (1985) sebagaimana yang dikutip oleh Jones, Jenkin, dan Lord,25 refleksi merupakan satu bagian dan proses belajar dan merupakan
24
Marsel R, Payong, Evaluasi Pembelajaran, Ruteng: SKIP ST, Paulus, 2007 hal 3 Jeff Jones, Mazda Jenkin dan Sue Lord, Developing Efective Teacher Performance, London: Chaoman Publishing, 2006, hal 45 25
166
satu istilah generik bagi kegiatan intelektual yang efektif, di mana individu-individu yang terlibat di dalamnya berusaha untuk menyelidiki pengalamannya guna membantu pemahaman dan apresiasi baru terhadap sesuatu hal tertentu. Dengan demikian, tindakan-tindakan reflektif adalah sejenis proses belajar yang merupakan bagian dan proses pengembangan profesionalisme berkelanjutan. Sejak tahun 1980-an guru sering disebut juga sebagai ‘praktisi reflektif’ (reflective practitioners). Istilah ini dipopulerkan oleh Schon (1983). Menurut Schon yang dikutip Day, guru sebagai praktisi reflektif dapat melakukan tiga bentuk refleksi:26 Pertama, refleksi dalam tindakan (reflection-in-action) yang berkaitan dengan proses pembuatan keputusan yang dilakukan pada saat guru secara aktif terlibat dalam pembelajaran. Proses mi biasanya terjadi secara spontan tetapi dialami ketika terjadi pembelajaran. Misalnya, ketika guru menerapkan suatu metode tertentu dan kemudian memperoleh respons yang kurang memuaskan dari siswa maka pada saat itu juga guru dapat berpikir, apa yang salah dengan metode ini, Kedua, refleksi atas tindakan (reflection-on-action) yakni suatu refleksi yang dilakukan sebelum dan setelah tindakan dilakukan. Biasanya, sebelum melakukan pembelajaran, guru sudah mempertimbangkan secara cermat, mengapa ia menggunakan metode atau pendekatan tertentu. Ia sudah memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu tentang kesesuaiannya dengan konteks pembelajarannya. Setelah melaksanakan pembelajaran ia melakukan refleksi ulang untuk melihat kembali efektivitas penggunaan metode yang sudah diterapkannya, apa saja kekurangan dan kelebihannya. Dalam refleksi atas tindakan, guru dapat menemukan kekurangan dan kelebihan secara sistematis dan analitis. Ketiga, refleksi tentang tindakan (reflection-about-action), yakni suatu kegiatan refleksi yang relatif lebih komprehensif, dengan mengambil sudut pandang yang lebih luas dan dalam serta kritis terhadap praktik-praktik pembelajarannya dengan mengkajinya dan berbagai aspek lain seperti etis, moral, politis, ekonomis, sosiologis, dan lain sebagainya. Melalui refleksi ini, para guru dapat memperoleh pemahaman yang lebih luas tentang praktik pembelajarannya dan meningkatkan 26
Christoper Day, Developing Teacher: the Challengers Of Lifelong Learning, London: Falmer Press, 1999, hal 27-29
167
tanggungjawab dan akuntabilitasnya terhadap pilihan, dan keputusan-keputusan yang dibuat dalam praktik pembelajaran. Salah satu medium untuk melakukan refleksi adalah dengan mencatat Secara teratur pengalaman-pengalaman pembelajarannya seusai pembelajaran. Catatancatatan mi berisi kasus atau pengalaman-pengalaman unik yang dialami guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Guru mencatat itu dalam diary atau catatan hariannya dan kemudian merefleksikan pengalaman itu dengan mengkonfrontasikan dengan basis pengetahuan atau pengalaman Sebelumnya. Jika ini dilakukan secara terus-menerus maka guru dapat belajar banyak hal untuk bisa berubah, atau secara alamiah akan memperbaiki caracara lamanya yang mungkin kurang cocok. Jika pengalaman-pengalaman itu selalu ditulis dan direfleksikan secara terusmenerus, maka secara sadar atau tidak para guru telah mengembangkan kemampuan menulisnya; dan jika refleksi dibuat secara sistematis. maka dapat menjadi pintu masuk bagi guru untuk melakukan penelitian-penelitian (penelitian tindakan kelas, studi kasus, eksperimen, dsb). 2. Kompetensi Profesional Kompetensi profesional sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan terkait penguasaan terhadap struktur keilmuan dan mata pelajaran yang diasuh secara luas dan mendalam, sehingga dapat membantu guru membimbing siswa untuk menguasai pengetahuan atau keterampilan secara optimal. Secara lebih spesifik menurut Permendiknas No. 16/2007, standar kompetensi mi dijabarkan ke dalam lima kompetensi inti yakni: 1) Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu 2) Menguasai standar kompetensi, dan kompetensi dasar mata pelajaran atau bidang pengembangan yang diampu 3) Mengembangkan
materi
pembelajaran
yang
diampu
secara
kreatif
Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif
168
4) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri. a. Menguasai Materi, Struktur, dan Konsep Keilmuan Mata Pelajaran Guru profesional adalah seorang ahli bidang studi (subject matter specialist). Setelah melewati proses pendidikan dan pelatihan yang relatif lama (kurang lebih empat tahun untuk jenjang strata satu (S-1) ditambah dengan satu tahun pendidikan profesi), maka para guru dianggap memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup tentang isi mata pelajaran yang terkait dengan struktur, konsep dan keilmuannya. 27 Penguasaan terhadap materi ini menjadi salah satu prasyarat untuk dapat melaksanakan pembelajaran secara efektif, karena guru sering menjadi tempat bertanya bagi siswa dan dapat juga menjadi sumber pemuas dahaga keingintahuan siswa. Dalam diri siswa tentu ada kebanggan, bila memiliki guru yang bisa menjadi pemuas dahaga keingintahuannya. Selain itu penguasaan terhadap mateni juga dapat menjadi salah satu prasyarat bagi guru, untuk dapat memberikan bantuan yang tepat terhadap permasalahan belajar yang dihadapi oleh siswa. Sering dijumpai, siswa mengalami kesulitan dalam belajar karena ketidakmampuannya memahami konsepkonsep keilmuan dalam mata pelajaran yang dipelajani. Kepada siapa mereka akan bertanya jika sumber-sumber belajar lain tidak dapat membenikan jawaban yang memuaskan bagi mereka. Dalam kondisi semacam mi, guru adalah andalan yang diharapkan bisa memberikan bantuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi siswa. Kesalahan atau ketidakmampuan menguasai konsep-konsep dalam mata pelajaran dapat berakibat fatal bagi para siswa, terlebih apabila konsep-konsep yang salah itu kemudian diajarkan kepada pana siswa. Hal mi akan berdampak serius jika konsepkonsep keilmuan itu menjadi prasyarat untuk mempelajari materi pada jenjang selanjutnya atau belajar bidang-bidang yang lain. Karena itu penguasaan materi dan bahan ajar sudah sepantasnya, menjadi salah satu tuntutan dalam kompetensi profesional dalam standar kompetensi profesional. 27
Maselus R. Payong, Op Cit, hal 44
169
b. Menguasai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran yang Diasuh Sebagai pengembang kurikulum di tingkat satuan pendidikan, guru memiliki kewajiban untuk menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar dan mata pelajaran yang diasuh. Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) untuk semua mata pelajaran dan jenjang SD/MI/SDLB sampai SMA/ MA/ SMK/SMALB sudah disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan sudah ditetapkan melalui Permendiknas No. 22 tahun 2006. Melalui penguasaan terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran maka diharapkan guru dapat mengembangkan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran secara cermat. Hal mi karena standar kompetensi dan kompetensi dasar merupakan arah dan dasar untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi.28 Pengembangan materi pembelajaran berdasarkan pada standar kompetensi bukan berdasakan materi, sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik. Karena itu penguasaan terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi prasyarat bagi guru untuk mengembangkan kurikulum di tingkat satuan pendidikannya. Melalui penguasaan tersebut pada guru dapat menjabarkan, menganalisis dan mengembangkan indikator-indikator pencapaian yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah serta kebutuhan dan karakteristik siswa yang dilayani. Indikasi kemampuan ini dapat dilihat pada bagaimana guru dapat mengembangkan rencana pembelajarannya (silabus dan RPP) secara cermat dengan memperhatikan standar kompetensi dan kompetensi dasar dan struktur keilmuan mata pelajarannya. Penguasaan terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar juga dapat diketahui dari adanya kemampuan guru untuk mengembangkan alat penilaian yang tepat, sesuai dengan indikator-indikatornya.
28
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013
170
c. Mengembangkan Materi Pembelajaran Secara Kreatif Penguasaan terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar dan mata pelajaran yang diasuh guru harus juga dibarengi dengan kemampuan guru untuk mengembangkan materi pembelajaran sesuai dengan struktur keilmuan dan kebutuhan khas peserta didik. Dalam mengembangkan materi pembelajaran, guru dapat menggunakan model-model pengembangan Sebagaimana yang telah dikuasai dalam teori-teori pembelajaran. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pengembangan materi pembelajaran harus dapat mengikuti suatu pola atau urutan logis tertentu, misalnya dan yang sederhana kepada yang kompleks, dari yang konkret kepada yang abstrak, dari yang dekat kepada yang jauh. Prinsip utama dan penguasaan kompetensi ini adalah agar materi pembelajaran yang akan dipelajari oleh siswa menjadi bermakna bagi mereka, sehingga tidak hanya diketahui tetapi juga dapat dihayati dan diamalkan oleh siswa. Melalui prinsip mi, guru dapat mengembangkan materinya secara kreatif (asalkan tidak menyimpang dan konsep keilmuan) dengan menyesuaikannya dengan kebutuhan khas siswa. Dalam mengembangkan materi, guru perlu memperhatikan prinsip-pninsip berikut: 29 a) Validitas artinya ketepatan materi terkait dengan konsep keilmuannya. Materi yang diberikan haruslah sudah teruji kebenarannya sehingga tidak menimbulkan salah tafsir atau perdebatan. b) Keberartian artinya signifikansi dari materi tersebut terhadap kebutuhan peserta didik. Materi yang diberikan haruslah bermakna bagi siswa terutama untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan khasnya. c) Relevansi: yakni bahwa mateni yang dikembangkan harus sesuai juga dengan kemampuan siswa untuk menerimanya. d) Kemenarikan: hendaknya mateni juga dapat mendorong siswa untuk mendalami lebih jauh atau menimbulkan rasa ingin tahu.
29
E. Mulyasa, Standar Kompetensidan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, hal 139-140
171
e) Kepuasan: artinya materi yang diberikan dapat menimbulkan perasaan senang dan puas dalam diri siswa, karena kebutuhan atau keinginannya terpenuhi. d. Mengembangkan Profesional Berkelanjutan Melalul Tindakan Reflektif Kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan (continuing professional development = CPD) merupakan sebuah tuntutan mutlak bagi para guru karena perkembangan ilmu dan teknologi beijalan begitu cepat. Karena itu penyesuaian terhadap penguasaan ilmu dan teknologi bagi guru haruslah senantiasa up to date dan menjadi salah satu syarat penting bagi guru, untuk mengembangkan diri dan memperbaharui praktik profesionalnya. Penguasaan kompetensi mi masih terkait dengan penguasaan salah satu kompetensi pada standar kompetensi pedagogis. Pengembangan profesi berkelanjutan merupakan satu keniscayaan karena guru di abad mi haruslah menjadi teladan pebelajar seumur hidup. Hasil-hasil penelitian sebagaimana yang dilaporkan oleh David Hustler30 dkk., menunjukkan bahwa: 1) Pengembangan profesional dilihat sebagai hal yang penting dan bermanfaat bagi sebagian besar guru karena sebagai alat, untuk memperbaharui pengetahuan dan keterampilan mereka demi pengembangan diri mereka maupun demi siswa yang dilayani. 2) Kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan dapat memberikan manfaat yang lebih baik, jika dilaksanakan secara terstruktur dan terfokus serta terkait langsung dengan rencana pengembangan sekolah dan disajikan oleh para ahli atau praktisi dengan memberikan peluang bagi para guru untuk bekerja secara kolaboratif dan terlibat secara aktif. 3) Pengembangan profesional juga dapat dilihat Sebagai faktor yang membatasi peluang-peluang guru untuk berkembang, Seandainya kegiatan pengembangan profesional lebih diakibatkan oleh tekanan dan tanggapan terhadap prakarsa baru atau tanggungjawab baru yang harus diemban guru. 4) Dukungan bagi guru dalam kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan dirasa penting khususnya dalam hal dukungan pendanaan dan fasilitas yang dibutuhkan.
30
Davit Hustler, et al, Teacher’s preception of Continung Profesional Develoment, Manchester: Institut Of Education Mancester Metropolitan University, 2000, hal 27
172
Menurut Michael Eraut31, pengembangan profesionalisme berkelanjutan merupakan suatu bentuk akuntabilitas moral sebagai profesional karena guru memiliki: 1) komitmen moral untuk melayani kepentingan siswa meIalui refleksi terus-menerus terhadap praktik profesionalnya sehingga dapat diketahui manakah yang terbaik yang dapat diberikan kepada siswa; 2) kewajiban profesional untuk meninjau secara berkala efektivitas dan praktik pembelajarannya sehingga dapat meningkatkan mutu pembelajaran, manajemen, dan pedagogi; 3) kewajiban profesional untuk mengembangkan secara terus-menerus pengetahuan-pengetahuan praktis baik melalui refleksi pribadi maupun melalui interaksi dengan teman-teman sejawat. Kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan itu dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pelatihan-pelatihan dalam jabaran (in-service training) yang dilaksanákan di sekolah atau dalam wadah kelompok guru (KKG atau MGMP), penelitian kolaboratif, penelitian tindakan kelas, praktik mengajar bersama dalam bentuk lesson study, atau juga mengikuti workshop atau pelatihan-pelatihan fungsional
lainnya
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
pengetahuan
dan
keterampilan guru guna memperbaiki atau meningkatkan mutu pembelajarannya. Guru profesional harus memiliki dorongan untuk selalu terbuka terhadap perubahanperubahan dan inovasi-inovasi baru, dan berani membawa inovasi-inovasi baru itu ke dalam praktik pembelajarannya di kelas. Melalui kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan guru dapat mengasah kemampuan inovatifnya, mengembangkan kepekaannya terhadap perkembangan dan tuntutantuntutan baru dalam praktik profesionalnya. Bolam yang dikutip Sugue32 berpendapat bahwa tujuan akhir dan pengembangan profesional berkelanjutan adalah di satu sisi untuk meningkatkan kinerja belajar siswa, dan di sisi lain untuk meningkatkan mutu pelayanan sekolah secara 31
Michael Eraut, Developing Professional Knoledge and Competence, dalam T.R. Guskey dan M Huberman (ed), Professional Develoment In Educatioan : New Paradigms and Practies, Colombia: Teachers College Press, 2995, hal 232 32 Ciaran Sugue, rethorics and realities of CPD Acroos Europe: FFrom Cachoponi Toward Coherence’ dalam (Maselus R. Payong, Sertifikasi Profesi Guru-Konsep Dasar, Problematika, Implementasinya, Jakarta: Indeks, 2011), hal 48
173
menyeluruh. Akibatnya bagi Bolam kegiatan pengembangan profesional guru berkelanjutan telah menempatkan posisi guru pada dua sayap kepentingan yang berbeda. Karena itu perlu dibuat keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan guru dan siswa di satu sisi, dan pemenuhan kebutuhan sekolah dan stakeholders lain di sisi lainnya. Tindakan refleksi guru juga merupakan satu ciri dan pekerjaan guru profesional karena sebagaimana yang dikatakan oleh Villegas-Reimers,33 sebagai praktisi reflektif (reflective practitioners) guru adalah individu-individu yang memasuki profesi pengajaran dengan basis pengetahuan tertentu dan mereka akan selalu belajar pengetahuan dan pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman sebelumnya. Agar proses belajar mi senantiasa berjalan secara berkesinambungan, maka para guru harus selalu melakukan refleksi terhadap praktikpraktik yang telah dilakukan sebelumnya, melakukan evaluasi diri secara terusmenerus dengan demikian praktik-praktik baru akan semakin bermunculan karena guru selalu berlajar dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Hasil kegiatan refleksi guru semacam itu dapat menjadi dasar bagi guru untuk melakukan penelitian-penelitian tentang praktik pembelajarannya guna menemukan inovasi-inovasi baru dalam pembelajaran. Kegiatan penelitian tindakan kelas adalah salah satu penelitian terapan yang dilakukan oleh guru untuk memecahkan masalahmasalah pembelajaran yang dihadapi melalui tindakan-tindakan tertentu secara kolaboratif. Guru dapat menerapkan metode atau strategi baru untuk mengatasi masalah-masalah pembelajararinya melalui penelitian tindakan kelas. Karena itu indikator pencapaian yang lain dan standar mi adalah kemampuan untuk melakukan penelitian (penelitian tindakan kelas, eksperiman, studi kasus, dsb) yang berorientasi pada perbaikan mutu pembelajaran dan hasil-hasil penelitian itu harus dapat dipublikasikan di jurnal ilmiah, atau dikomunikasikan melalui forum-forum ilmiah tertentu (seminar, simposium, semiloka, dsb).
33
Eleonora Villagas-reimers, Teacher Professional Development: An International Rievw Of The Literature, (paris: international institute for educationa planning, 2003) diakses http://unesco.org/iiep, 24 oktober 2010
174
e. Memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Berkomunikasi dan Mengembangkan Diri Jika dalam standar kompetensi pedagogis, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi diperuntukkan bagi peningkatan kualitas pembelajaran, maka dalam kompetensi profesional, pemanfaatan teknologi komunikasi bagi guru diperuntukkan bagi pengembangan diri atau berkomunikasi dengan kolega atau sejawat. Sebagaimana yang telah diketahui, penetrasi teknologi informai dan komunikasi terutama melalui komputer dan internet telah merambah begitu dalam pada segala segi kehidupan manusia, dan telah dimanfaatkan secara luas oleh semua kalangan, dan anak-anak, remaja, orang dewasa dan para profesional maka kemampuan untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi merupakan suatu hal yang mutlak. Menurut Partnership for Century Skills,34 perubahan-perubahan yang mendalam dalam segala segi kehidupan manusia, terutama pada bidang ekonomi, politik, teknologi komunikasi dan informasi, demografis, dan lain-lain telah memaksa manusia untuk mengubah cara-cara mereka untuk hidup dan bekerja. Satu hal yang membuat manusia tetap eksis di abad ke-21 adalah kemampuannya mnggunakan perangkat peralatan abad ke-21 untuk mengembangkan keterampilan belajarnya. Yang termasuk dalam perangkat abad ke-21 adalah komputer dan internet, janngan telekomunikasi, media dan peralatan multimedia. Guru sebagai agen pembaharu haruslah yang terdepan dalam memanfaatkan perangkat ke-21 mi terutama untuk mengembangkan dirinya, meningkatkan keinovatifanniya serta mengembangkan kemampuannya untuk terbuka dan tanggap terhadap perubahan-perubahan. Selain itu UNESCO mencatat bahwa agar supaya berhasil dalam hidup, belajar dan bekerja dalam suatu masyarakat yang kompleks, kaya informasi, dan berbasis pengetahuan, para siswa dan guru harus memanfaatkan teknologi khususnya ICT secara efektif. Di dalam latar pendidikan, teknologi dapat membuat siswa menjadi: 1) pengguna informasi yang cakap, 2) pencari, penelaah, dan penilai iniformasi, 3) 34
Partnership for 21st Century Skills, Learning for the 21st Century, A Report and Mile Guide for 21st Century Skills, tanpa tahun, tanpa penerbit (dalam buku Maselus R. Payong, 2011,hal 48)
175
penyelesai masalah dan pembuat keputusan, 4) pengguna alat-alat produktivitas yang kreatif dan efektif, 5) komunikator, kolaborator, penerbit, dan produser, dan 6) warga negara yang banyak pengetahuan, bertanggungjawab dan berkontribusi bagi kebaikan bersama. 35 Atas dasar itulah maka UNESCO merumuskan standar kompetensi ICT bagi para guru yang didasarkan pada tiga pendekatan yakni: 1) Pendekatan melek teknologi (technology literacy approach) yakni meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi dengan menggabungkan keterampilan teknologi ke dalam kurikulum. 2) Pendekatan pendalaman pengetahuan (the knowledge deepening approach) yakni meningkatkan kemampuan menggunakan pengetahuan guna meningkatkan nilai bagi output ekonomi dengan menerapkan pengetahuan itu, untuk mengatasi masalah yang kompleks atau masalah nyata. 3) Pendekatan penciptaan pengetahuan (the knowledge creation approach) yakni meningkatkan kemampuan untuk berinovasi dan menghasilkan pengetahuan baru yang bisa dimanfaatkan bagi warga negara yang lain. Masing-masing pendekatan itu kemudian dikembangkan lagi ke dalam enam kompetensi utama dengan indikator-indikatornya. Dan keenam kompetensi dan berbagai indikatornya36 itu nampaknya guru tidak hanya menjadi pengguna ICT (baik untuk keperluan pembelajaran maupun keperluan pribadi) tetapi juga menjadi perancang, pengorganisir, dan penilai isi dan perangkat ICT. 3. Kompetensi Kepribadian Menurut Permendiknas No. 16/2007, kemampuan dalam standar kompetensi mi mencakup lima kompetensi utama yakni: 1) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, 2) menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, 3) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa,
35
ICT Competency Standards for Teachers: Implementation Guidelines, (Paris: UNESCO, 2008), (dalam buku Maselus R. Payong, 2011,hal 48) 36 ICT Competency Standards for teacher: implementation guidelines, (paris: UNISCO, 2008) p 1 (dalam webset: UNESCO, http://www.unesco.org/en/competency-standars-teacher) pada 10 maret 2011
176
4) menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri, dan 5) menjunjung tinggi kode etik profesi guru. a. Bertindak Sesual Norma Agama, Hukum, Sosial dan Kebudayaan Nasional Indonesia Guru tidak hanya bekerja mentransfer ilmu pengetahuan tetapi juga menjadi pemberi teladan nilai-nilai moral yang dianut oleh masyarakat. Ia harus menjadi garda terdepan dalam teladan moral yang tercermin dalam sikap, perilaku dan cara hidupnya. Karakter inilah yang menyebabkan guru dianggap sebagai sebuah tugas yang istimewa dan mulia di mata masyarakat. Bertindak sesuai norma agama, norma hukum dan norma sosial serta kebudayaan Nasional Indonesia mengharuskan guru untuk satu dalam kata dan perbuatan. Apa yang diajarkannya kepada para murid haruslah menjadi sikap dan cara hidupnya yang selalu diterapkan secara konsisten; Dalam kaitan dengan guru Indonesia, segala sikap, tutur kata dan tindakannya menjadi cerminan dan kesetiaan penghayatarmya terhadap nilai-niIai lulur yang terkandung dalam Pancasila sebagai sumber dan segala norma kehidupan bangsa Indonesia. Karena itu guru Indonesia adalah guru yang Pancasilais. Artinya guru yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai religiositas melalui penghayatan terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya; nilai-nilai kemanusiaan yang menempatkan martabat manusia dan keluhurannya sebagai salah satu keutamaan; nilai kebersamaan dalam persatuan dan kesatuan bangsa dengan menjunjung tinggi dan menghormati kedaulatan NKRI; nilai demokrasi yang mengedepankan musyawarah untuk mencapai kesepakatan; dan nilai keadilan sosial yang berpihak pada seluruh bangsa Indonesia tanpa membedakan latar belakang agama, etnis, kebudayaan, jenis kelamin, dan sebagainya. Kemampuan ini memang membutuhkan waktu dan proses pembentukan yang panjang, karena berkaitan erat dengan pembentukan karakter sebagai seorang guru. Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional telah mewariskan karakter ini melalui semboyan-semboyannya: Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, dari Tut Wuri Handayani.
177
Norma adalah seperangkat ukuran yang berasal dari nilai-nilai tertentu yang menjadi dasar untuk menentukan balk buruknya perilaku manusia. Norma bersumber dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, seperti norma agama, norma adat istiadat, atau norma hukum. Mengapa guru dituntut untuk bertindak sesuai dengan norma-norma tersebut, karena guru senantiasa berurusan dengan nilai-nhlai, sehingga kehidupan guru haruslah merupakan perwujudan dari nilai-nilai itu. Melalui tugas ini juga, guru menjadi penjaga sikap dan perilaku masyarakat dalam kaitan dengan pelaksanaan norma-norma yang ada. Maka guru hendaknya menjadi sumber pencerahan bagi terlaksananya norma-norma dalam kehidupan di sekolah dan masyarakat. Ia haruslah berani untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan yang bersumber dari nilai dan norma-norma yang dianut. Tugas ini tentu saja tidak mudah, terutama di tengah semakin merosotnya peran guru dalam kehidupan masyarakat di satu pihak dan semakin merajalelanya perilaku hidup elit masyarakat atau pemerintah yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di pihak lainnya. Akibat dan pergeseran pandangan tentang profesi guru, masyarakat juga semakin kurang merasakan pengaruh dari kehidupan guru sebagai pilar penegak norma-norma yang menjadi suluh bagi masyarakat. Implikasi dari kemampuan ini adalah bagaimana guru menjaga disiplin dan aturan serta menerapkan secara konsisten dalam interaksi pembelajaran di sekolah. Untuk mewujudkan ini maka guru haruslah orang yang memiliki disiplin dan ketaatan terhadap peraturan yang ada di sekolah. Disiplin waktu misalnya mengharuskan guru untuk tertib waktu dan tidak boleh terlambat masuk sekolah. Selanjutnya terkait dengan disiplin dalam berpakaian, guru hendaknya menunjukkan teladan dengan mengenakan pakaian yang rapi, bersih dan pantas. Dalam menjaga kebersihan sekolah, guru juga harus menunjukkan teladan dengan membuang sampah pada tempatnya, menjaga kelas selalu bersih, rapih, dan bebas dari berbagai macam sampah atau kotoran. Disiplin berbicara juga mengharuskan guru untuk berbicara secara santun, ramah, dan baik dengan siswa maupun dengan rekan sejawat.
178
b. Pribadi yang Jujur, Berakhlak Mulia, dan Teladan Bagi Peserta didik dan Masyarakat Tugas guru sebagai seorang pribadi profesional juga harus nampak dalam eksistensi dirinya sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia dan menjadi suri teladan bagi siswa dan masyarakat. Menjadi pribadi yang jujur berarti berani untuk mengakui kekurangan dan kelemahaimya serta bersedia untuk memperbaiki diri. Guru memang bukanlah superman atau superwoman yang bisa dalam segala hal, tetapi juga memiliki keterbatasan-keterbatasan
tertentu
dalam
sikap,
perilaku
atau
kemampuan-
kemampuan yang dimilikinya. Karena itu ia harus terbuka juga terhadap masukan, kritik atau saran, serta bersedia mendengarkannya dengan hati yang lapang. Ia harus juga menyadari bahwa siswa sebagai individu yang unik, dapat menjadi sumber untuk belajar tentang kehidupan. Seorang guru dapat berkembang menjadi semakin profesional apabila senantiasa belajar dalam pergaulan dan interaksinya dengan siswa. Ia bisa melengkapi kekurangan-kekurangannya melalui interaksi pedagogis dengan para siswa. Tuntutan untuk menjadi pribadi yang jujur sebetulnya harus dimulai dari diri sendiri. Jujur terhadap diri sendiri adalah kunci bagi keberhasilan hidup dan juga kenyamanan dalam berkarya. Banyak orang yang mengalami gangguan atau bahkan sakit mental diakibatkan oleh ketidakmampuan untuk berlaku jujur terhadap diri sendiri. Jujur terhadap diri sendiri berarti berlaku autentik, bertindak sesuai dengan hati nurani dan bersedia untuk “diadili” oleh hati nurani apabila melakukan kesalahan-kesalahan atau bentindak tidak sesuai dengan kata hati. Ia harus berani untuk menolak atau bahkan melawan kecurangan, kelicikan, atau praktik-praktik kotor yang Sering dijumpai dalam tugasnya sebagai pendidik. Hati nurani sebagai pelita jiwa dan sumber dan nilai dan kearifan hidup haruslah senantiasa didengar. Karena itu apabila guru bertindak autentik dan berlaku jujur maka pertama-tama ia harus berjalan sesuai dengan apa kata hati nuraninya. Hati nurani dapat bertindak sebagai pemberi terang atau petunjuk (index), tetapi juga dapat bertindak sebagai hakim (iudex) yang mengadili segala perbuatan kita yang tidak
179
sesuai dengan hati nurani atau norma-norma yang berlaku. Untuk dapat melakukan hal mi maka dibutuhkan kemampuan guru untuk terus-menerus melakukan refleksi terhadap segala sikap, perilaku, dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan baik dalam kehidupannya sebagai manusia maupun dalam tugas pengabdiannya sebagai seorang pendidik. Selain bertindak jujur, guru juga harus menampilkan diri sebagai pribadi yang memiliki akhlak yang mulia sehingga dapat menjadi sumber teladan bagi siswa maupun masyarakat. Berakhlak mulia berarti guru harus menampilkan sikap dan perilaku yang terpuji, mengedepankan sopan santun dan tata krama dan menjauhkan perilaku-perilaku yang buruk. Hendaknya sikap dan perilaku guru jangan menjadi skandal bagi pembentukan moralitas siswa. Karena itu ia haruslah menjadi pribadi yang bermoral atau memiliki keteladanan moral (moral leadership), tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta selalu memilih untuk bertindak sesuai dengan nilainilai luhur yang tidak bertentangan dengan harkat dan martabatnya sebagai pendidik dan pemberi terang kepada siswa dan masyarakat sekitar. Guru merupakan seorang individu yang bermakna bagi siswa (the significant others). Ia menjadi model (role model) yang memperlihatkan sikap dan perilaku yang paritas dicontohi. Itulah sebabnya guru itu dikatakan digugu dan ditiru karena karakternya sebagai pemberi teladan. Peribahasa Latin mengatakan, verba movent exempla trahunt. Kata-kata menggerakkan, namun teladanlah yang memikat. Karena itu nilai-nilai yang diajarkan guru tidak hanya sekadar berwujud kata-kata kosong tetapi lebih dari itu harus menggema dan terpancar dalam sikap dan cara hidup guru itu sendiri. Ketika guru mengajarkan sikap dan penilaku yang baik dan berbudi pekerti luhur, maka semua itu akan menjadi berdaya guna dan memengaruhi sikap dan perilaku siswa bila apa yang diajarkannya itu nyata juga dalam sikap dan cara hidupnya. Inilah keutamaan yang luar biasa dalam diri guru.
180
c. Pribadi yang Mantap, Stabil, Dewasa dan Berwibawa Guru juga haruslah individu yang memiliki pribadi yang stabil secara emosional sehingga mampu membimbing siswa secara efektif. ini memprasyaratkan bahwa guru setidak-tidaknya harus memiliki kecerdasan emosional yang cukup. Kecakapan dan kemampuan yang dimilikinya baik pedagogis maupun keilmuan belumlah cukup apabila tidak dibarengi dengan kestabilan emosional guru. Menjadi pribadi yang matang secara emosional berarti guru haruslah mampu mengendalikan diri, hawa nafsu, dan kecenderungan-kecenderungan tertentu yang dimilikinya. Berhadapan dengan siswa yang berasal dari berbagai macam latar belakang, watak dan karakter, guru haruslah dapat menempatkan diri, mengelola diri dan emosinya sehingga dapat berinteraksi secara efektif dengan siswa. Tidak jarang memang ditemukan bahwa ada guru yang tidak dapat menahan emosinya berhadapan dengan siswa yang nakal, bandel, tidak disiplin, bahkan siswa yang mungkin memiliki keterbatasan kemampuan sehingga lamban dalam belajar. Guru yang labil secara emosional tidak jarang melakukan kekerasan-kekerasan kepada para siswa. UNESCO dalam publikasinya bejudul topping Violence in Schools: A Guide for Teachers menulis, bahwa meskipun setiap kultur mungkin melihat secara berbeda setiap perilaku mana yang dikategorikan sebagai perilaku kekerasan dan manakah yang tidak dianggap sebagai perilaku kekerasan namun setidak-tidaknya terdapat empat bentuk kekerasan utama yang bisa saja terjadi di sekolah, yang di antaranya dapat dilakukan oleh guru yakni: 1) hukuman fisik dan psikologis, 2) bullying, 3) kekerasan berbasis jender dari jenis kelamin, dan 4) kekerasan eksternal akibat dan pengaruh gang, situasi konflik, atau juga penembakan.37 Dan beberapa jenis kekerasan tersebut, hukuman fisik dan psikologis adalah yang paling sering dilakukan oleh guru terhadap para siswa. Hukuman fisik adalah setiap jenis hukuman yang menggunakan kekuatan fisik yang dimaksudkan untuk menyebabkan rasa sakit atau tidak menyenangkan. Jenis hukuman semacam ini yang sering ditemukan dalam latar pendidikan adalah: menendang, memukul, menjambak 37
Diakses dari http://www.unisco.org/unesco/184162E.pdf diakses 2010
181
rambut, menjewer telinga, memelintir tangan, mencekik, atau memaksa siswa untuk berada dalam posisi yang tidak nyaman (misalnya berlutut, mengangkat kaki sebelah, berjemur di terik matahari, dsb). Sementara itu hukuman psikologis adalah bentuk hukuman yang memberikan rasa tidak nyaman dalam diri siswa secara psikologis sehingga mereka merasa tertekan, terancam, atau bahkan mengalami ketakutan. Jenis hukuman mi tidak menggunakan kontak fisik secara langsung tetapi melalui ungkapan-ungkapan verbal atau non verbal seperti cemoohan, gertakan, ancaman, omelan, makian, sinisme, atau juga penggunaan kata-kata kasar sehingga menyebabkan siswa merasa terluka secara psikologis dan menjadi tidak nyaman. Akibat dari jenis-jenis hukuman seperti itu maka dapat mengakibatkan reaksi serius terhadap kesehatan mental dan fisik siswa. Jenis hukuman semacam itu juga membawa dampak pada rendahnya keterampilan sosial siswa, timbulnya depresi, kecemasan, perilaku agresif, dan bahkan kurangnya rasa empati kepada orang lain. Hukuman fisik juga dapat memperburuk hubungan guru siswa sehingga dapat menjadi halangan yang serius terhadap proses pembelajaran di sekolah.38 Dalam kaitan dengan promosi pembelajaran PAIKEM dan juga pendidikan inklusif, guru harus mengedepankan manajemen konflik dan manajemen diri yang baik sehingga bisa berinteraksi dengan siswa. Pendekatanpendekatan humanistik yang mengedepankan pemberian tanggungjawab dan kepercayaan kepada para siswa haruslah menjadi pedoman dalam berinteraksi dengan siswa. Menurut sudut pandang ini, dalam melihat siswa hendaknya guru tidak menggunakan kaca mata orang dewasa tetapi melihat siswa dan sudut pandang siswa sehingga ia mampu memahami mereka sebagaimana adanya. Tidak berarti bahwa dengan demikian, guru harus merelativisir berbagai nilai dan norma yang berlaku tetapi melalui bimbingan dan tuntutan yang terus-menerus diharapkan siswa juga dapat menyesuaikan diri dengan sikap dan perilaku hidup orang dewasa serta nilai dan norma yang dihayati oleh orang dewasa. Emosi adalah daya insani yang menggerakkan segenap perilaku manusia, namun demikian harus dikelola sedemikian rupa sehingga dapat terarah kepada sikap dan 38
Ibid
182
perilaku yang positif. Menurut kaum humanis, emosi yang dikemukakan secara jujur dapat menjadi modal ampuh untuk membangun hubungan baik dengan orang lain. Karena itu emosi harus diekspresikan secara jujur. Misalnya ketika seorang guru marah kepada siswa karena tingkah lakunya yang tidak disiplin atau melanggar aturan di kelas, ia dapat mengatakan melalui ungkapan verbal, “Maaf saya merasa sangat terganggu dengan sikap dan perilaku Anda”. Atau, “Saya sulit untuk menyesuaikan diri dengan Anda bila Anda tetap bersikap atau berperilaku semacam itu”. Agar dapat berhasil dalam mengelola emosi sehingga guru dapat menampilkan pribadinya yang stabil dan mantap maka kecerdasan emosi sebagaimana yang ditawarkan oleh Daniel Goleman39 nampaknya sangat bermanfaat. Memiliki kecerdasan intelektual saja bagi guru tidaklah cukup, karena itu ia harus memiliki kecerdasan emosi yang baik. Melalui kecerdasan emosi, guru dapat mengenali emosinya secara baik, mengelolanya, dan menggunakannya secara tepat. Guru juga harus menampilkan dan sebagai pribadi yang berwibawa. Wibawa adalah pengaruh tertentu yang timbul dan dalam diri seseorang pendidik atau orang dewasa dan dirasakan oleh orang lain sehingga menyebabkan orang lain memberikan rasa hormat atau penghargaan kepadanya. Dalam pedagogi tradisional pendidikan dalam arti sesungguhnya baru dimulai ketika anak mengenal adanya kewibawaan atau pengaruh tertentu dalam diri pendidik sehingga anak merasa taat atau hormat terhadapnya. Dengan demikian maka kewibawaan (gezag) adalah keutamaan yang dimiliki oleh pendidik yang menyebabkan segala perkataannya dituruti oleh anak. Menjadi pribadi yang berwibawa tidak berarti guru haruslah gila hormat tetapi penghormatan atau penghargaan yang diberikan siswa kepada guru bersumber dan pancaran kepribadiannya yang mulia. Keteladanan guru Sekaligus menjadi sumber kewibawaannya. Karena itu guru dihormati atau ditaati bukan karena posisi atau jabatannya sebagai guru melainkan karena pribadinya yang memperlihatkan keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai yang dihayati. Pancaran nilai yang tercermin
39
Danie Golemen, Emotional Intelegence, kecerdasan Emosional (terj. T. Hermaya), Jakarta: Gramedia, 1996) (dalam Marselus 2011, hal 56
183
dalam sikap dan perilaku guru itulah yang menjadi daya tarik dan kekuatan bagi guru sehingga ia dihormati dan disegani oleh para siswa. d. Menunjukkan Etos Kerja, Tanggung Jawab, Rasa Bangga Menjadi Guru, dan Rasa Percaya Diri Guru profesional adalah guru yang memiliki etos kerja yang tinggi dan bertanggungjawab terhadap tugas atau pekerjaannya. Etos kerja tercermin dalam sikap yang positif terhadap pekerjaan, kesetiaan dan dedikasi dalam tugas dan pelayanannya serta kesediaan untuk melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab. Guru yang memiliki etos kerja yang tinggi selalu menjunjung tinggi Semangat pengabdian tanpa pamrih. Ia mengedepankan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dan mengutamakan pelayanan prima kepada siswa atau pihak-pihak lain yang membutuhkannya. Etos kerja tercermin dalam kedisiplinan dan ketaatannya dalam bekerja, keberanian mengambil tanggungjawab dan kesediaan melakukan inovasi-inovasi yang bermanfaat bagi perkembangan siswa maupun bagi peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan. Guru yang bertanggung jawab adalah guru yang setia kepada tugas yang diembannya yakni tugas dalam mengajar, membimbing dan mendampingi siswa. Ia tidak hanya mengutamakan tuntutan-tuntutan administratif birokrasi tetapi lebih dan itu fokus kesetiaannya adalah pada bagaimana kebutuhan-kebutuhan siswa terpenuhi melalui pelayanannya yang tanpa pamrih. Ia berani bertanggungjawab terhadap keputusan-keputusan profesional yang dilakukannya yang dilandasi pertimbanganpertimbangan etis dan rasional. Guru profesional juga harus memiliki kebanggaan terhadap profesinya. Kebanggaan terhadap profesi ini ditunjukkan dengan tidak melakukan pekerjaanpekerjaan lain sebagai sarana untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Ketika seseorang memilih untuk menjadi guru maka profesi ini sudah menjadi panggilan hidupnya. Karena itu pekerjaan-pekerjaan lain yang tidak menunjang pengembangan profesionalisme guru haruslah dikesampingkan. Menulis buku bagi seorang guru
184
adalah hal yang positif karena menunjang pengembangan profesionalismenya sebagai guru, karena itu pantas didorong atau diapresiasi. Tetapi jika seorang guru bekerja juga sebagai manajer atau konsultan di sebuah perusahaan tentu merupakan sebuah pelanggaran atau bahkan pelecehan terhadap tugas profesinya sebagai guru. Pekerjaan sebagai manajer atau konsultan perusahaan tentu saja akan membagi perhatiannya terhadap tugas pokoknya sebagai guru. Banyak sekali pelayanan guru menjadi terbengkalai karena para guru melakukan pekeiaan-pekerjaan lain dan bahkan pekerjaan guru dianggap sebagai pekerjaan nomor dua. Rasa bangga menjadi guru juga harus ditunjukkan melalui kepercayaan din yang kokoh. Menurut Branden, kepercayaan din sebetulnya bersumber dan harga din (selfesteem). Harga din memiliki dua aspek yang saling berkaitan yakni rasa kemampuan din (a sense of personal efficacy) dan rasa kber- maknaan din (a sense of personal worth).40 Rasa kemampuan din kemudian melahirkan kepercayaan din (selfconfidence) sedangkan rasa kebermaknaan din melahirkan penghargaan terhadap din sendiri (self-respect). Seorang yang memiliki kepercayaan din pertama-tama merasa bahwa dirinya mampu melakukan tugas atau pekerjaan yang diberikan kepadanya. Ia memiliki optimisme bahwa kemampuan potensial yang dimiliki menjadikan dirinya dapat melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya. Guru harus merasa diri kompeten dalam tugas dan profesinya meskipun di sana-sini terdapat kekurangankekurangan. Menurut Branden, rasa percaya diri tidak serta merta menutupi kekurangan atau ketidakmampuan yang dimilikinya, tetapi justru dalam kekurangankekurangan itu ia bisa berharap dapat berbuat sesuatu melalui pertimbanganpertimbangan rasionalnya. Sementara itu rasa kebermaknaan diri yang melahirkan penghargaan terhadap diri sendiri (self-respect) justru lahir dan kesadaran tentang kemampuan dirinya. Ketika seseorang merasa diri mampu dan kompeten dan dapat berbuat .sesuatu maka pada saat yang sama ia merasa dirinya bermakna Sehingga kemudian memberikan rasa penghargaan terhadap dirinya. Guru bisa menyadari bahwa dirinya kompeten dan 40
Nathaniel Branden, The Psychology Of Self-Esteem, Tonoko: Bantan Books, 1981, hal 10 dalam Marselus, 2011, hal 58
185
karena itu dapat melaksanakan tugasnya secara profesional. Pada saat yang sama ia merasa dirinya berguna karena kompetensi yang dimilikinya dapat disumbangkan untuk melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Itulah sebabnya, bagi Branden, antara self-confidence dan self-respect keduanya bisa dipilah-pilah secara konseptual tetapi tidak dapat dipisahkan secara praktis. 41 e. Menjunjung Tinggi Kode Etik Pro fesi Guru Guru sebagai profesional yang diikat melalui suatu persekutuan kesejawatan dalam sebuah organisasi profesi guru tertentu harus memiliki kode etik yang mengatur sikap dan perilaku profesionalnya. Kode etik merupakan pedoman sikap dan perilaku bagi anggota profesi dalam layanan profesional maupun dalam hubungan dengan masyarakat. Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 43 menyatakan: (1) untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik; (2) kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan. Menurut Hermawan sebagaimana yang dikutip Soetjipto dan Kosasi, kode etik profesi apa saja pada umumnya memiliki beberapa tujuan yakni: 1) untuk menjunjung tinggi martabat profesi, 2) untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya, 3) untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi, 4) untuk meningkatkan mutu profesi, 5) untuk meningkatkan mutu organisasi profesi. 42 Khusus untuk profesi guru, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dalam Kongres PGRI XIII di Jakarta pada tahun 1973 telah menetapkan Sebuah Kode Etik Guru Indonesia.43 Dalam pidato pembukaan Kongres PGRI XIII tersebut, Ketua Umum PGRI Basuni menandaskan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan
41
Ibid, hal 114 Ibid, hal 31-32 43 Hanadi Nawawi dan Mimi Martini, Kebijakan Kependidikan Di Indonesia Di Tinjau Dari Sudut Hokum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994 hal 335 42
186
landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya sebagai guru. 44 Beberapa pokok kode etik guru Indonesia berdasarkan hasil Kongres PGRI XIII tahun 1973 di Jakarta yang kemudian disempurnakan dalam Kongres PGRI XVI tahun 1989 di Jakarta adalah bahwa guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut: 1) Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila, 2) Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional, 3) Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan, 4) Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar, 5) Guru memelihara hubungan baik dengan orangtua murid dan masyarakmat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan, 6) Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya, 7) Guru
memelihara
hubungan
seprofesi,
semangat
kekeluargaan,
dan
kesetiakawanan sosial, 8) Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian, 9) Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan. 45
74
Guru profesional terikat dengan kode etik profesionalnya karena itu sudah menjadi kewajiban bagi guru untuk menjunjung tinggi dan melaksanar kan kode etik profesional itu secara konsisten. Guru dalam tugas pengabdiannya, dalam tutur kata
44
Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hal, 15-16
45
187
dan perbuatannya haruslah memperhatikan kode etik sebagai pedoman kerja dan pelayanannya. Pelanggaran terhadap kode etik sekaligus juga merupakan pelecehan terhadap martabat guru sebagai profesional karena itu harus mendapatkan sar’iksi tertentu. Karena itu dibutuhkan dewan etik dan organisasi profesi guru untuk senantiasa memantau sikap dan perilaku guru anggota profesi ini dan berani mengambil tindakan tegas terhadap anggota profesi ini yang melakukan pelanggaran serius terhadap kode etik profesi. Sanksi terhadap anggota profesi yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa sanksi moral sampai pemecatan sebagai anggota profesi. Jika pelanggaran itu berat dan memiliki implikasi hukum tertentu, maka guru dapat dipecat dan keanggotaan profesi guru dan jabatan profesionalnya sebagai guru dicabut serta dapat diproses melalui jalur hukum, apakah pidana atau perdata. Guru profesional hendaknya menjunjung tinggi kode etik profesinya sebagai pedoman sikap dan perilaku, dengan tidak melakukan pelanggaran kode etik. 4. Kompetensi Sosial Guru profesional juga memiliki kompetensi sosial yang dapat diandalkan. Kompetensi ini nampak dalam kemampuannya untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain secara efektif (siswa, rekan guru, orang tua, kepala sekolah, dan masyarakat pada umuninya). Menurut Permendiknas No. 16/2007, kemampuan dalam standar kompetensi ini mencakup empat kompetensi utama yakni: 1) bersikap inklusif dan dan bertindak objektif serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi; 2) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat; 3) beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya; 4) berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain. Berikut akan dijelaskan secara lebih spesifik keempat kompetensi utama tersebut.
188
a. Bersikap Inklusif, Bertindak Objektif dan tidak Diskrimitatif Bersikap inklusif artinya bersikap terbuka terhadap berbagai perbedaan yang dimiliki oleh orang lain dalam berinteraksi. Guru dalam berinteraksi dengan siswa atau sesama guru juga berhadapan dengan realitas mi. Siswa memiliki latar belakang yang berbeda-beda dari segi jenis kelamin, agama, suku, ras, status sosial ekonomi, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan selera, minat, preferensi juga dapat membawa situasi konflik yang potensial. Situasi semacam ml memiliki potensi konflik tertentu baik laten atau nyata. Guru profesional adalah guru yang bisa membawa diri dalam situasi semacam mi. Ia harus bisa berinteraksi dan bergaul dengan siswa atau rekan sejawat, atau bahkan anggota masyarakat yang berbeda latar belakang semacam in mi menuntut kemampuan untuk bisa mengelola koriflik. Dalam latar pembelajaran, berhadapan dengan siswa yang memiliki keragaman semacam ini guru harus mampu mengelola kelas dengan baik. Ia harus bisa menempatkan dirinya di tengah perbedaan-perbedaan itu. Dengan bertindak demikian, maka guru telah melaksanakan amanat dan Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (Education for All) yang dicanangkan di Jomtien Thailand, tahun 1990 yang lalu. Salah satu butir deklarasi menyatakan bahwa pendidikan harus dapat dinikmati oleh semua orang tanpa memandang usia, latar belakang ras, agama, dan sebagainya. Dengan itu guru bertindak non diskriminatif karena ia tidak membeda-bedakan peserta didik berdasarkan latar belakang mereka. Dalam berinteraksi dengan rekan sejawat atau pun masyarakat sebagai pemangku kepentingan dalam pendidikan, guru juga harus bisa menempatkan diri dalam situasi yang mungkin penuh dengan keragaman latar belakang. Guru juga dituntut untuk bertindak objektif baik dalam memberikan penilaian terhadap hasil belajar siswa, maupun dalam memberikan pandangan-pandangan atau pendapat terhadap suatu persoalan tertentu. Meskipun dalam hal tertentu pandangan atau sikap guru terpaksa berpihak, namun keberpihakan guru harus dilandasi oleh kebenaran ilmiah, rasional dan etis. Di atas sikap objektif guru ini terdapat penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
189
Sikap objektif guru tidak boleh dikalahkan oleh desakan pragmatis atau tuntutan kepentingan sesaat. Banyak guru yang menjadi tidak objektif dan tidak kritis terhadap persoalan tertentu atau melacurkan profesinya hanya karena kepentingan sesaat. Misalnya, banyak guru terpaksa melakukan pengkatrolan nilai untuk meluluskan siswa karena dituntut oleh kebijakan sekolah atau diinstruksikan oleh pejabat dinas pendidikan tertentu, dalam rangka menaikan pamor dan “mutu” pendidikan di sekolah atau wilayah tersebut. Kecurangan-kecurangan yang selalu terjadi sebelum, selama dan Setelah perhelatan Ujian Nasional (UN) yang dilakukan oleh sejumlah oknum guru menjadi bukti bahwa banyak guru kita belum bertindak objektif dan independen, tetapi masih bekerja di bawah pesanan, tekanan, atau intrik-intrik tertentu. b. Berkomunikasi secara Efektif, Empatik dan Santun Pada prinsipnya, komunikasi yang efektif terjadi apabila pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan (guru) dapat diterima dengan baik oleh penerima (orang tua, rekan sejawat, atau masyarakat pada umumnya), dipahami maksudnya dan bisa menghasilkan efek yang diharapkan dalam diri penerima pesan.
46
Efektivitas
komunikasi tergantung pada beberapa faktor yakni: penerima pesan (komunikan), pengirim pesan (komunikator), pesan, dan situasi. 47 Komunikasi yang efektif memprasyaratkan guru dalam berkomunikasi dengan orang lain haruslah memperhatikan kebutuhan dasar, kecenderungan, minat dan aspirasi, serta nilai-nilai yang mereka anut. Di pihak guru sendiri selaku komunikator juga harus memperhatikan kredibilitas dan daya tarik yang dimilikinya. Kredibilitas berkaitan dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki guru sehingga apa yang disampaikan kepada orang lain selaku penerima pesan dapat diterima dengan baik karena dianggap berasal dari sumber yang dapat dipercaya atau diandalkan. Kredibilitas yang dimiliki guru selaku komunikator juga sekaligus berlaku sebagai daya tarik tertentu bagi orang lain, sehingga pesan-pesan guru dapat memikat perhatian mereka. Pesan juga memiliki pengaruh tertentu bagi efektif tidaknya suatu 46
Marsel R. Payong, Komunikasi Pembelajaran, Ruteng: STKIP St. Paulus, 2000, hal 6 Unong Uchana Efendi, Ilmu, teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hal 42-45 47
190
komunikasi. Komunikasi yang efektif memprasyaratkan bahwa pesan dan kemasannya harus menarik, membangkitkan minat, dan dapat dipahami oleh orang lain selaku penerima pesan. Selain itu situasi juga ikut menentukan efektif tidaknya suatu komunikasi. Situasi yang dimaksud berkaitan dengan waktu penyampaian pesan, kondisi pada saat penyampaian pesan dan ada tidaknya gangguan pada saat penyampaian pesan. Jika guru ingin agar komunikasi dengan orang lain berlangsung efektif maka hendaknya memperhatikan keempat faktor tersebut secara baik. Berkomunikasi secara empatik berarti komunikasi yang memungkinkan komunikator dapat merasakan apa yang dirasakan oleh penerima pesan. Istilah empati sendiri berasal dari kata bahasa Jerman einfuhlung yang berarti “merasakan”. 48 Berempati dengan seseorang berarti merasakan apa yang seseorang itu rasakan, mengalami apa yang seseorang itu alami, atau melihat dan sudut pandang orang itu tetapi tanpa kehilangan identitas atau jati din sendiri. Guru dapat berkomunikasi secara empatik dengan orang lain apabila ia dapat menyelami dan berusaha untuk merasakan, apa yang dirasakan oleh orang lain atau mengalami apa yang dirasakan oleh mereka. Devito menyarankan, jika ingin berkomunikasi secara empatik maka lakukan tiga hal berikut: 1) Nyatakan keterlibatan aktif Anda dengan orang lain melalui ekspresi wajah atau gerak-gerik tertentu yang cocok, 2) Fokuskan konsentrasi, misalnya dengan menjaga kontak mata, postur tubuh, dan kedekatan fisik, 3) Gunakan sentuhan-sentuhan setepatnya bila perlu. 49 Komunikasi juga harus dilakukan secara santun, artinya harus disesuaikan dengan kebiasaan, adat istiadat atau kebudayaan setempat. Mengingat orang lain yang dihadapi guru bisa berasal dari latar kultur yang berbeda-beda, ada kemungkinan makna santun dalam berkomunikasi dapat bervariasi. Penggunaan kata-kata dan dinamikanya, ekspresi wajah, termasuk paralinguistik (tekanan suara, keras lembut suara, sentuhan, dan sebagainya) harus diperhatikan kesesuaiannya dengan kebiasaan berkomunikasi setempat. Itulah sebabnya, pengetahuan tentang multikulturalisme bagi guru sangatlah penting karena menjadi dasar bagi guru untuk memupuk 48
Josep A Devito, The Interpersonal Comunication Book, New York: Harper Collin College Publisers, 1995, hal 107 (dalam Marselus, Sertifikasi Profesi Guru, 2011, hal 63) 49 Ibid, hal 108 (Marselus, 2011, hal 64)
191
kemampuan komunikasinya dengan orang lain yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. c. Beradaptasi di Tempat Tugas di Seluruh Wilayah RI Guru Indonesia telah disiapkan untuk mampu bekerja di seluruh Indonesia. Ia telah disiapkan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat di mana saja. d’ seluruh wilayah Indonesia. Karena itu guru harus memiliki cultural intelligence (CI) yakni kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi budaya yang beraneka ragam di seluruh Indonesia. Kemampuan beradaptasi mi antara lain ditunjukkan dengan kemampuan untuk menempatkan din sebagai warga masyarakat di mana ia bekerja, kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa setempat sebagai bahasa pergaulan, dan kemampuan untuk menghargai keunikan, kekhasan dan nilai-nilai budaya dan adat istiadat dan masyarakat setempat. Undang-undang No. 14 /2005 tentang Guru dan Dosen yang kemudian dipertegas melalui Peraturan Pemerintah No. 74/ 2008 tentang Guru membuka kemungkinan bagi guru untuk bekeija di seluruh wilayah Indonesia. Dalam keadaan darurat misalnya, pemerintah dapat menerapkan wajib kerja bagi guru dan ditempatkan di mana saja bila dibutuhkan. Selain itu, dalam rangka distribusi pemerataan guru di seluruh Indonesia maka terdapat kemungkinan perpindahan guru dan red istribusi guru antar kabupaten maupun antar provinsi di seluruh Indonesia. Akibat dan kondisi-kondisi mi, keharusan untuk memupuk kecerdasan kultural (cultural intelligence)
adalah
suatu
keharusan
disamping
pemahaman
tentang
multikulturalisme di Indonesia. d. Berkomunikasi dengan Komunitas Profesi Sendiri dan Profesi Lain Kemampuan komunikasi guru tidak hanya sebatas berkomunikasi dalam konteks pembelajaran yang melibatkan interaksi guru siswa, tetapi juga kemampuan untuk bisa berkomunikasi secara ilmiah dengan komunitas seprofesi maupun komunitas profesi lain dengan menggunakan berbagai macam media dan forum. Berkaitan dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) No. 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya tentang penilaian angka kredit pada pasal 11 menyatakan bahwa salah satu
192
sub unsur yang dapat dinilai terkait dengan pengembangan keprofesian berkelanjutan adalah publikasi iimiah berupa hasil penelitian atau gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal, atau juga publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan, dan pedoman guru. Melalui komunikasi semacam ini guru dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui media seperti majalah, surat kabar, bahkan melalui websitewebsite gratis yang sekarang banyak tersedia di dunia maya. Saat ini memang sudah banyak guru yang memanfaatkan media online mi untuk pembelajaran, bahkan penyampaian ide-idenya kepada masyarakat luas. Berbeda dengan komunikasi melalui media surat kabar, majalah, atau jurnal ilmiah, komunikasi melalui media online dikelola oleh guru sendiri. Karena itu selain kemampuan berbahasa tulis yang baik, guru juga dituntut untuk melek ICT seperti bagaimana membuat konten-konten media online dan menyebarluaskannya melalui situs online. Karena itu kemampuan dasar untuk kompetensi ini terkait erat dengan kemampuan ICT yang telah dikemukakan di depan. Komunikasi dengan sejawat seprofesi maupun profesi lain, juga dapat dilakukan melalui penyajian hasil penelitian atau pemikiran dalam forumforum ilmiah seperti seminar, lokakarya, panel, dan lain sebagainya pada berbagai level (lokal, nasional, maupun internasional). Demikian penjabaran dari masing-masing (4 macam) kompetensi yang seyogyanya dapat dipahami dan diimplementasikan oleh guru, tidak terkecuali oleh guru agama. Dengan memahami dan mengimplementasikan empat kompetensi berikut aspeknya masing-masing itu maka akan dapat meningkatkan dan menwujudkan guru-guru yang professional dalam melaksanakan tugas dan pengabdiannya. Khusus untuk guru-guru agama, selain dari penguasaan empat kompetensi tersebut Direktorat PAIS kemenag RI juga merekomendasikan dua kompetensi tambahan selain empat kompetensi tersebut yaitu (1) kompetensi spiritual dan (2) kompetensi ledersip. Kompetensi spiritual berkaitan dengan keharusan guru agama memiliki kecerdasan beragama, artinya sikap, prilaku dan keprofesiannya selalu di
193
warnai dengan nilai-nilai spiritual (keagamaan) misalnya guru agama itu menunjukkan ketaatan melaksanakan ibadah, baik ibadah mahdap dan ibadah ………………………………………………………, selain itu tampilan guru agama selalu mencerminkan sikap toleransi yang tinggi baik kaitannya dengan iman maupun antar agama dalam intraksi social dan intraksi pembelajaran di kelas. Sementara itu kompetensi ledersip yaitu kompetensi yang berkaitan dengan jiwa kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang guru agama. Kompetensi ini berkaitan dengan ajaran agama Islam yang menekankan bahwa setiap pribadi seorang muslim disebut sebagai pemimpin, baik pemimpin dalam konteks profesinya maupun pemimpin pribadinya sendiri, yang itu dituntut oleh agama agar bersiap-siap mempertanggungjawabkannya di hari akhir nanti, namun hakekat kepemimpinan sebagai guru agama disini tentu juga berkaitan langsung dengan tugas-tugasnya sebagai guru untuk selalu konsesten dan tanggung jawab dalam melaksanakan karir gurunya dengan baik. E. Rangkuman Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian tertentu. Artinya, jabatan profesional tidak bisa dilakukan atau dipegang oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut. Melainkan melalui proses pendidikan dan pelatihan yang disiapkan secara khusus untuk bidang yang diembannya. Profesi merupakan wewenang praktik suatu kejuruan yang bersifat pelayanan pada kemanusiaan secara intelektual spesifik yang sangat tinggi, yang didukung oleh penguasaan pengetahuan keahlian serta seperangkat sikap dan keterampilan teknik, yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus yang penyelenggaraanya dilimpahkan kepada lembaga pendidikan tinggi yang bersama memberikan izin praktik atau penolakan praktik dan kelayakan praktik dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang diawasi langsung oleh pemerintah maupun asosiasi profesi yang bersangkutan. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian atau kecakapan yang memenuhi mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
194
Setiap anggota profesi baik secara sendiri-sendiri atau dengan cara bersama melalui wadah organisasi profesi dapat belajar. Belajar yang dimaksud, yaitu belajar untuk mendalami pekerjaan yang sedang disandangnya dan belajar dari masyarakat apa yang menjadi kebutuhan mereka saat ini dan saat yang akan datang. Telah dikemukakan pada bagian muka kegiatan belajar mi tentang profesionalisasi, yaitu usaha untuk mengembangkan profesi melalui pendidikan prajabatan dan pendidikan dalam jabatan, sehingga pelayanan kepada pemakai (klien) akan semakin meningkat. F. Latihan 1. Jelaskan menurut anda, apa yang dimaksud dengan profesionalisme ? 2. Apa yang anda ketahui tentang profesi seorang guru ? 3. Kemampuan komunikasi guru tidak hanya sebatas berkomunikasi dalam konteks pembelajaran. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kalimat tersebut dan berikan contohnya ? 4. Sebutkan dan jelaskan syarat-syarat profesi seorang guru di sekolah ? G. Bahan bacaan Anita Woolfolk, Education Psychology, Boston: Allyn and Bacon, 1993. Anvirl Loveless, ICT in the primery curriculum”, dalam avril loveless dan Dabs Dore, (ed) ICT in the premery, Buckingham: open University Press, 2002. Ahmad Sanusi, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan, Bandung: IKIP Bandung, 1991. Benjamin Bloom, Human Characteristik In School Learning, New York: McGrawuHil Book Co, 1974 Ciaran Sugue, rethorics and realities of CPD Acroos Europe: FFrom Cachoponi Toward Coherence’ dalam (Maselus R. Payong, Sertifikasi Profesi GuruKonsep Dasar, Problematika, Implementasinya, Jakarta: Indeks, 2011). Christoper Day, Developing Teacher: the Challengers Of Lifelong Learning, London: Falmer Press, 1999.
195
Danie Golemen, Emotional Intelegence, kecerdasan Emosional (terj. T. Hermaya), Jakarta: Gramedia, 1996. Davit Hustler, et al, Teacher’s preception of Continung Profesional Develoment, Manchester: Institut Of Education Mancester Metropolitan University, 2000. Dikutif dalam EACT, Definisi teknologi Pendidikan, satuan tugas definisi dan terminologi AECH, diterjemahkan oleh Yusufhardi Marso, dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Eleonora Villagas-reimers, Teacher Professional Development: An International Rievw Of The Literature, (paris: international institute for educationa planning, 2003) diakses http://unesco.org/iiep, 24 oktober 2010 E. Mulyasa, Standar Kompetensidan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007. H.A.R. Tilaar, manajemen pendidikan nasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997. Jagoes delors, learning: The Treasure Within, Report To UNESCO Of The International Commision On Education Go The Twenty Firs Century, Paris: UNESCO Publication, 1996. Jeff Jones, Mazda Jenkin dan Sue Lord, Developing Efective Teacher Performance, London: Chaoman Publishing, 2006. Josep A Devito, The Interpersonal Comunication Book, New York: Harper Collin College Publisers, 1995. Hanadi Nawawi dan Mimi Martini, Kebijakan Kependidikan Di Indonesia Di Tinjau Dari Sudut Hokum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994. ICT Competency Standards for Teachers: Implementation Guidelines, Paris: UNESCO, 2008. ICT Competency Standards for teacher: implementation guidelines, (paris: UNISCO, 2008) p 1 (dalam webset: UNESCO, http://www.unesco.org/en/competencystandars-teacher) pada 10 maret 2011 Marsel R, Payong, Evaluasi Pembelajaran, Ruteng: SKIP ST, Paulus, 2007. Maselus R. Payong, Sertifikasi Profesi Guru-Konsep Dasar, Problematika, Implementasinya, Jakarta: Indeks, 2011
196
Michael Eraut, Developing Professional Knoledge and Competence, dalam T.R. Guskey dan M Huberman (ed), Professional Develoment In Educatioan : New Paradigms and Practies, Colombia: Teachers College Press, 2995. Marsel R. Payong, Komunikasi Pembelajaran, Ruteng: STKIP St. Paulus, 2000. Nathaniel Branden, The Psychology Of Self-Esteem, Tonoko: Bantan Books, 1981, hal 10 dalam Marselus, 2011 NCES, Teacher tools for the 21ST Century: S report on the teacher use of teknology, Washinton DC: US Departemen of education, office of educaation Reseach an imprrovment, 2000 hal, diakses http:nces.ed.gov.20 november 2014 Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013
59
Partnership for 21st Century Skills, Learning for the 21st Century, A Report and Mile Guide for 21st Century Skills, tanpa tahun, tanpa penerbit (dalam buku Maselus R. Payong, 2011). Rusman, model-model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru, Jakarta: PT. Rajawali Perss, 2011. Rahman Natawijaya, Meningkatkan Kualitas Professional Guru Sd Melalui Pemantapan Lembaga Pendidikan, Makalah Seminar, Bandung PGRI, 1989 Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Thomas Gordon, Menjadi Guru Efektif, (terjemah Aditya Kumara Dewi), Jakarta: PT. Gramedia, 1997. T. Raka Joni, Pembelajaran yang mendidik: artikulasi Konseptual, terapan konstekstual, dan vrivikasi emperik, jurnal ilmu pendidikan, jilid 12 No.2, 2005. Unong Uchana Efendi, Ilmu, teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru.
197
BAB 5
ORIENTASI DAN IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN KURIKULUM 2013 PADA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH A. Arah Perkembangan Kurikulum 2013 Dalam rangka mempersiapkan lulusan pendidikan memasuki era globalisasi yang penuh tantangan dan ketidakpastian, diperlukan pendidikan yang dirancang berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan. Untuk kepentingan tersebut Pemerintah melakukan penataan kurikulurn. Kurikulum 2013 merupakan tindak lanjut dari kurikulum berbasis kompeteisi (KBK) yang pernah diterapkan pata tahun 2004. KBK atau (Competency Based Cunkulum) dijadikan acuan dan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan untuk mengembangkan berbagai ranah pendidikan (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) dalam seluruh jenjang dan jalur pendidikan, khususnya pada jalur pendidikan sekolah. Pada hakikatnya kompetensi merupakan perpaduan dan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Burke1 (1995) mengemukakan bahwa kompetensi: “... is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, afective, and psychomotor behaviors”. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemarnpuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotonik dengan sebaik-baiknya. Pengertian tersebut mengandung arti bahwa kompetensi merupakan penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan
1
Burke (1995) dalam E. Mulyasa, Pengembangan Kurikulum 2013, Bandung: PT. Remajarosdakarya, 2013, hal 66
198
untuk menunjang keberhasilan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kompetensi mencakup tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang harus dirnthki oleh peserta didik untuk dapat melaksanakan tugas-tugas pembelajaran sesuai dengan jenis pekerjaan tertentu. Dengan demikian, terdapat hubungan (link) antara tugas-tugas yang dipelajani peserta didik di sekolah dengan kemampuan yang diperlukan oleh dunia kerja. Untuk itu, kurikulum menuntut kerja sama yang baik antara pedidikan dengan dunia kerja, terutama dalam mengidentifikasi dan nenganalisis kompetensi yang perlu diajarkan kepada peserta didik di sekolah. Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat dinilai, sebagai wujud hasil belajar peserta didik yang mengacu pada pengalaman Iangsung. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkattingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai kriteria pencapaian secara eksplisit, dikembangkan berdasarkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, dan merniliki kontribusi terhadap kompetensi-kompetensi yang sedang dipelajari. Penilaian terhathp pencapaian kompetensi penlu dilakukan secara objektif, berdasarkan kinenja peserta didik, dengan bukti penguasaan mereka terhadap pengetahuan, keterampilan, nilal dan sikap sebagai hasil belajan. Dengan demikian dalam pembelajaran yang dirancang
berdasarkan
kompetensi,
penilaian
tidak
dilakukan
berdasarkan
pertimbangan yang bersifat subyektif. Beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi dapat diuruikan sebagai berikut. 1. Pengetahuan (knowledge); yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, misalnya seorang guru mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar, dan bagaimana melakukan pembelajaran terhadap peserta didik sesuai dengan kebutuhannya. 2. Pemahaman (understanding); yaitu kedalaman kognitif, dan afektif yang dimiliki oleh individu. Misalnya seorang guru yang akan melaksanakan pembelajaran harus memiliki pemahaman yang baik tentang karakteristik dan kondisi peserta didik, agar dapat melaksanakan pembelajaran secara efektif dan efisien. 3. Kemampuan (skill); adalah sesuatu yang dnruliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekenjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya kemampuan guru
199
dalam memilih, dan rnembuat alat peraga sederhana untuk memberi kemudahan belajar kepada pesenta didik. 4. Nilai (value); adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diii seseorang. Misalnya standar perilaku gum dalam pembelajaran (kejujuran, keterbukaan, demokratis, dan lain-lain). 5. Sikap (attitude); yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dan luar. Misalnya reaksi terhadap krisis ekonomi, perasaan terhadap kenaikan upah/gajih, dan sebagainya. 6. Minat (interest); adalah kecenderungan seseorang untukmelakukan sesuatu perbuatan. Misalnya minat untuk mempelajani atau melakukan sesuatu. 2 Berdasarkan analisis kompetensi di atas, Kurikulum 2013 berbasis kompetensi dapat dimaknai sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. Kurikulum ini diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab. Implementasi dan Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang kompleks, dan melibatkan berbagai komponen yang saling terkait. Oleh karena itu dalam proses pengembangan Kurikulum 2013, tidak hanya menuntut keterampilan teknis dan pihak pengembang terhadap pengembangan berbagai komponen kurikulum, tetapi harus pula dipahami berbagai komponen yang mempengaruhinya. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Karakteristik pembelajaran pada setiap satuan pendidikan terkait erat pada Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Standar Kompetensi Lulusan 2
E. Mulyasa, Op Cit, hal, 67-68
200
memberikan kerangka konseptual tentang sasaran pembelajaran yang harus dicapai. Standar Isi memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang diturunkan dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi. Keterampilan diperoleh melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta. Karakteristik kompetensi beserta perbedaan lintasan
perolehan turut
Penguatan
pendekatan
serta
mempengaruhi
saintifik
perlu
karakteristik
diterapkan
standar
pembelajaran
proses. berbasis
penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning). Untuk mendorong kemampuan peserta didik menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok maka
sangat
disarankan
menggunakan pendekatan
pembelajaran yang
menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning). Prinsip pembelajaran pada kurikulum 2013 menekankan perubahan paradigma: 1) Peserta didik diberi tahu menjadi peserta didik mencari tahu; 2) Guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar; 3) Pendekatan
tekstual
menjadi pendekatan
proses
sebagai
penguatan
penggunaan pendekatan ilmiah; 4) Pembelajaran berbasis konten menjadi pembelajaran berbasis kompetensi; 5) Pembelajaran parsial menjadi pembelajaran terpadu; 6) Pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menjadi pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi; 7) Pembelajaran verbalisme menjadi keterampilan aplikatif; 8) Peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan keterampilan mental (softskills); 9) Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat; 10) Pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani);
201
11) Pembelajaranyang berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat; 12) Pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa, dan di mana saja adalah kelas; 13) Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran; dan 14) Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik. Dalam konteks penilaian hasil belajar dalam kurikulum 2013 bersifat autentik. Penilaian autentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran, yang meliputi ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Penilaian autentik menilai kesiapan siswa, serta proses dan hasil belajar secara utuh. Keterpaduan penilaian ketiga komponen (input – proses – output) tersebut akan menggambarkan kapasitas, gaya, dan hasil belajar peserta didik, bahkan mampu menghasilkan dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect) dari pembelajaran. B. Perlunya Perubahan dan Pengembangan Kurikulum 2013 Dalam suatu sistem pendidikan, kurikukim itu sifatnya dinamis serta harus selalu dilakukan perubahan dan pengembangan, agar dapat mengikuti perkembangan dan tantangan zaman. Meskipun demikian, perubahan dan pengembangannya harus dilakukan secara sistematis dan terarah, tidak asal beubah. Perubahan dan pengembangan kurikulum tersebut harus memiliki visi dan arah yang jelas, mau dibawa ke mana sistem pendidikan nasional dengan kurikulum tersebut. Sehubungan dengan itu, sejak wacana perubahan dan pengembangan Kurikulurn 2013 digulirkan, telali muncui berbagai tanggapan dan berbagai kalangan, balk yang pro maupun kontra. Menghadapi berbagai tanggapan tersebut, terutama “nada miring” dan yang kontra terhadap perubahan kurikulum; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
202
Muhammad Nuh3 dalam berbagai kesempatan menegaskan perlunya perubahan dan pengembangan Kurikulum 2013. Mendikbud mengungkapkan bahwa perubaan dan pengembangan kurikulum merupakan persoalan yang sangat penting, karena kurikulum harus senantiasa disesuaikan dengan tuntutan zarnan. Perlunya perubahan dan pengembangan Kurikulum 2013 didorong oleh beberapa hasil studi internasional tentang kemampuan peserta didik Indonesia dalam kancah internasional. Hasil survei ‘Trends in International Math and Science” tahun 2007, yang dilakukan oleh Global Institute, menunjukkan hanya lima persen peserta didik Indonesia yang mampu mengerjakan soal penalaran berkategori tinggi; padahal peserta didik Korea dapat mencapai 71 persen. Sebaliknya, 78 persen peserta didik Indonesia dapat mengerjakan soal hapalan berkategori rendah, sementara siswa Korea 10 persen. Data lain diungkapkan oleh Programme for International Student Assessment (PISA), hasil studinya tahun 2009 menempatkan Indonesia pada peringkat bawah 10 besar, dan 65 negara peserta PISA. Hampir semua peserta didik Indonesia temyata cuma menguasai pelajaran sampai level tiga saja, sementara banyak peserta didik dan negara lain dapat menguasai pelajaran sampal level empat, lima, bahkan enam. Ilasil dan kedua survei tersebut merujuk pada suatu simpulan bahwa: prestasi peserta didik Indonesia tertinggal dan terbelakang. Dalam kerangka inilah pelunya penambahan dan pengembangan kurikulum, yang dimulai dengan penataan terhadap empat elemen standar nasional, yaitu standar kompetensi kelulusan (SKL), standar isi, standar proses, dan standar penilaian. Dalam pada itu dilakukan penataan terhadap empat mata pelajaran, yakni: agama, PPKN, matematika, dan bahasa Indonesia. Perlunya perubahan kurikulum juga karena adanya beberapa kelemahan yang ditemukan dalam KTSP 2006 sebagai berikut (diadaptasi dan materi sosialisasi Kurikulum 2013). 1. Isi dan pesan-pesan kurikuluin masih terlalu padat, yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan kesukarannya melainpui tingkat perkembangan usia anak.
3
Ibid, hal 60
203
2. Kurikulum belum mengembangkan kompetensi secara utuh sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan Nasional 3. Kompetensi yang dikembangkan lebih didominasi oleh aspek pengetahuan, belum sepenuhnya menggambarkan pnibadi peserta didik (pengetahuan, keterampilan, dan sikap). 4. Berbagai kompetensi yang diperlukan sesuai dengan perkembangan masyarakat, seperti pendidikan karakter, kesadaran lingkungan, pendekatan dan metode pembelajaran kompetensi keseimbangan soft skills and hard skills, serta jiwa kewirausahaan, belum terakomodasi di dalam kurikulum. 5. Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap berbagai perubahan sosial yang teijadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global. 6. Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsirari yang beraneka ragam dan bemjung pada pembelajaran yang berpusat pada guru. 7. Penilaian belum menggunakan standar penilaian berbasis kompetensi, serta belum tegas memberikan layanan remediasi dan pengayaan secara berkala. Jadi, kita juga dihadapkan pada berbagai permasalahan yang melibatkan pelajar dan mahasiswa, seperti perkelahian pelajar, perjudian, penyalahgunaan obat terlarang, narkoba, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), plagiarisme, kebocoran dan berbagai kecurangan dalam ujian.4 Di samping beberapa kelemahan sebagaimana dikemukakan di atas, perubahan dan pengembangan kurikulum diperlukan karena adanya beberapa kesenjangan kurikulum yang sedang berlaku sekarang (KTSP). Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni yang berlangsung cepat dalam era global dewasa ini, dapat dlidentifikasikan beberapa kesenjangan kurikulum sebagai berikut:
4
Ibid, 59-61
204
KONDISI SAAT INI
KONSEP IDEAL
A. KOMPETENSI LULUSAN
A. KOMPETENSI LULUSAN
1
1
Berkarakter mulia
2
Keterampilan yang relevan
3. Pengetahuan-pengetahuan lepas
3
Pengetahuan-pengetahuan terkait
1
1
Relevan dengan materi yang
Belum sepenuhnya menekankan pendidikan karakter
2
Belum menghasilkan keterampilan sesuai kebutuhan
Belurn relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan
2
dibutuhkan
Beban be!ajar terlalu berat
2
Materi esensial
3. Terlalu luas, kurang rnendalam
3.
Sesuai dengan tlngkat perkembangan anak
1
Berpusat pada guru
2
Proses pembelajaran berurientasi 2
Sifat pembelajaran yang
pada buku teks
kontekstual
3. Buku teks hanya memuat materi
1
Berpusat pada peserta didik
3.
Buku teks memuat materi dan proses pernbelajaran, sistem penilaian serta kompetensi yang diharapkan Menekankan aspek kognitif, afektif, psikornotonik secara proporsional Penilaian tes pada portofolio
bahasan
1
Menekankan aspek kognitif
1
2
Tes menjadi cara penilaian
2
dominan
205
1
2
Fokus pada ukuran kinerja
1
Memenuhi kompetensi profesi, pedagogi, sosiai, dan personal
2
Motivasi mengajar
1
Pemerintali pusat dan daerah memiliki kendall kualitas dalam pelaksanaan kurikulum di tingkat satuan pendidikan Satuan pendidikan mampu menyususn kurikulum dengan mempertimbangkan kondisi satuan pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan potensi daerah
FK
1
Satuan pendidikan niempunyai pembebasan dalam pengelolaan kurikulum
2
Masth terdapat kecenderungan satuan pendidikan nienyusun kurikulum tanpa mempemmbangkan kondisi satuan pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan potensi daerah 3. Pemetintah hanya menyiapkan sampai standar isi mata pelajaran
2
3.
Pemeriritah menyiapkan semua komponen kurikulum sampai buku teks dan pedoman
Berdasarkan kondisi tersebut, dilakukanbeberapa penyempurnaan pola pikir sebagai berikut5. Penyempurnaan Pola Pikir Perumusan Kurikulum 1
Siandax Kompetensi Lu1uan dfthñikdari Stándar isi Standar Isi dirumuskan berdasarkan Tujuan Mata Pelajaran (Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran) yang dirinci rnenjadi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pernisaban antara mata peIajaranpembentuk sikap, pembituk keterainpilan dan pembentuk pengetahuah Kompetensi diturunkan dan mata 5
Ibid, hal 63
206
Standar Kompetensi Lultisàn ditünkan dan kebutuhan. Standar Isi ditunmkan dan Standar KompetenSi Lulusan melalui Kompetensi Inti yang bebas mata pelajaran
Semua mata pelaiaran I)arus berkontnbusi erhadap pembentukáh ikap, keterampilan dan pengetahuan Mata pelajaran diturunkan
pelajaran
dan kompetensi yang ingin dicapai
Màta pejaxt lepas satu dengan yaiig lain seperta sekuinpulan mata pelajaraif tepisah Dalam kerangka inilah perlunya pengembangan Kurikulum 2013, untuk menghadapi berbagai masalah dan tantangan masa depan yang semakin lama semakin rumit dan kompleks. Berbagai tantangan masa depan tersebut antara lain berkaitan dengan globalisasi dan pasar bebas, rnasalah lingkungan hidup, pesatnya kemajuan teknologi infonnasi, konvergensi ilmu dan teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan, kebangkitan mdustri kreatif dan budaya, pergeseran kekuatan ekonomj dunia, pengaruh dan imbas teknosaijis, mutu, investasi dan transforrnasj pada sektor pendidikan, serta materi TIMSS dan PISA yang harus dimiliki oleh peserta didik. Untuk menghadapi tantangan tersebut, kurikulum harus mampu membekali peserta didik dengan berbagai kompetensi. Kompetensi yang diperlukan di masa depan sesuai dengan perkembangan global antara lain: kemampuan berkomunikasi kemarnpuan berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawa, kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, kemampuan hidup dalarn masyarakat yang mengglobal, memiliki minat luas dalam kehidupan, memiliki kesiapan untuk bekerja, memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat minatnya, dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan. C. Tujuan Pengembangan Kurikulum 2013 Seperti yang dikemukakan di berbagai media massa, bahwa melalui pengembangan Kurikulum 2013 kita akan menghasilkan insan Indonesia yang: produktif, kreatif, inovatif, afektif melalul penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Dalam hal ini, pengembangan kurikulum difokuskan pada pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik, berupa paduan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik
207
sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya secara kontekstual. Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Oleh karena itu, peserta dlidik perlu mengetahui kriteria penguasaan kompetensi dan karakter yang akan dijadikan sebagai standar penilaian hasil belajar, sehingga para peserta didik dapat mempersiapkan dirinya melalui penguasaan terhadap sejumlah kompetensi dan karakter tertentu, sebagai prasyarat untuk melanjutkari ke tingkat penguasaan kompetensi dan karakter berikutnya. Mengacu pada penjelasan UU No. 20 Tahun 2003, bagian umum dikatakan, bahwa “Strategi penthangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi: pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbosis kompetensi dan pada penjelasan Pasal 35, bahwa “Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang rnencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati.” maka diadakan perubahan kurikulum dengan tujuan untuk “Melanjutkan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara tepadu.6” Untuk mencapai tujuan tersebut menuntut perubahan pada berbagai aspek lain, terutama dalam implementasinya di lapangan. Pada proses pembelajaran, dan siswa diberi tahu rnenjadi siswa mencari tahu, sedangkan pada proses penilaian, dan berfokus pada pengetahuan melalui penilaian output menjadi berbasis kemampuan melalui penilaian proses, portofolio clan penilaian output secara utuh dan menyelunih, sehingga memerlukan penambahan jam pelajaran.
6
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan Dasar dan Menengah Kurikulum 2013
208
D. Landasan Pengembangan Kurikulum 2013 Pengembang kurikulum 2013 dilandasi secara filosofis, yuridis, dan konseptuaj sebagai berikut. 1. Landasan filosofi a. Fiosofis Pancasila yang memberikan berbagai prinsip dasar dalam pembangunan pendidikan b. Fiosofi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilaj luhur, nillai akademii(, kebutithan peserta didik, dan masyarakat 2. Landasan Yuridis a. RPJMM 2010-2014 Sektor Pendidikan, tentang Perubahan Metodologi Pembelajaraji dan Penatan Kurikukum b. PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan c. INPRES Nomor 1 Tahun 2010, tentang Percepatan Pelaksanaaj Priorftas Pembangurian Nasionaj, penyempun kurikulum dan metode pembe1ajai aktif berdasark nilai-nilaj budaya bangsa untuic membentuk daya saing dan karakter bangsa. 3. Landasan Konseptual a. Relevansi pendidikan (link and match) b. Kurikulum berbasis kornpetensi, dan karakter c. Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) d. Pembelajaran aktif (student active learning) e. Penilalan yang valid, utuh, dan menyeluruh E. Rasional Pengembangan Kurikulum 2013 Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut: a. Tantangan Internal Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar
209
pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Tantangan internal lainnya terkait dengan perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif. Saat ini jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dari usia tidak produktif (anakanak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia 65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70%. Oleh sebab itu tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar sumberdaya manusia usia produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban. b. Tantangan Eksternal Tantangan eksternal antara lain terkait dengan arus globalisasi dan berbagai isu yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat internasional. Arus globalisasi akan menggeser pola hidup masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri dan perdagangan modern seperti dapat terlihat di World Trade Organization (WTO), Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Community, Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), dan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Tantangan eksternal juga terkait dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains serta mutu, investasi, dan transformasi bidang pendidikan. Keikutsertaan Indonesia di dalam studi International Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Program for International Student Assessment (PISA) sejak tahun 1999 juga menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA. Hal ini disebabkan antara lain banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia. c. Penyempurnaan Pola Pikir Kurikulum 2013 dikembangkan dengan penyempurnaan pola pikir sebagai berikut.
210
1) Penguatan pola pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari dan gaya belajarnya (learning style) untuk memiliki kompetensi yang sama; 2) Penguatan
pola
pembelajaran
interaktif
(interaktif
guru-peserta
didik-
masyarakat-lingkungan alam, sumber/media lainnya); 3) Penguatan pola pembelajaran secara jejaring (peserta didik dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh melalui internet); 4) Penguatan pembelajaran aktif-mencari (pembelajaran siswa aktif mencari semakin diperkuat dengan pendekatan pembelajaran saintifik); 5) Penguatan pola belajar sendiri dan kelompok (berbasis tim); 6) Penguatan pembelajaran berbasis multimedia; 7) Penguatan
pola
pembelajaran
berbasis
klasikal-massal
dengan
tetap
memperhatikan pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik; 8) Penguatan pola pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines); dan 9) Penguatan pola pembelajaran kritis. d. Penguatan Tata Kelola Kurikulum Kurikulum 2013 dilakukan penguatan tata kelola sebagai berikut. 1) Penguatan tata kerja guru lebih bersifat kolaboratif; 2) Penguatan manajeman sekolah melalui penguatan kemampuan manajemen kepala sekolah sebagai pimpinan kependidikan (educational leader); dan 3) Penguatan sarana dan prasarana untuk kepentingan manajemen dan proses pembelajaran. e. Penguatan Materi Penguatan materi dilakukan dengan cara pengurangan materi yang tidak relevan serta pendalaman dan perluasan materi yang relevan bagi peserta didik.
211
F. Karakteristik Kurikulum 2013 Kurikulum 2013 dirancang dengan karakteristik sebagai berikut. 1.
Mengembangkan keseimbangan antara sikap spiritual dan sosial, pengetahuan, dan keterampilan, serta menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat;
2.
Menempatkan sekolah sebagai bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar agar peserta didik mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar;
3.
Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan, dan keterampilan;
4.
Mengembangkan kompetensi yang dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran;
5.
Mengembangkan
kompetensi
inti
kelas
menjadi
unsur
pengorganisasi
(organizing elements) kompetensi dasar. Semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti; 6.
Mengembangkan kompetensi dasar berdasar pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antar-mata pelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal).7
G. Kerangka Dasar Kurikulum 1. Landasan Filosofis Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum menentukan kualitas peserta didik yang akan dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum, proses pembelajaran, posisi peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan peserta didik dengan masyarakat dan lingkungan alam di sekitarnya. Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan filosofis yang memberikan dasar bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia berkualitas yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. Pada dasarnya tidak 7
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Kurikulum 2013.
212
ada satupun filosofi pendidikan yang dapat digunakan secara spesifik untuk pengembangan kurikulum yang dapat menghasilkan manusia yang berkualitas. Berdasarkan hal tersebut, Kurikulum 2013 dikembangkan menggunakan filosofi sebagai berikut. 1) Pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa kini dan masa mendatang. Pandangan ini menjadikan Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan budaya bangsa Indonesia yang beragam, diarahkan untuk membangun kehidupan masa kini, dan untuk membangun dasar bagi kehidupan bangsa yang lebih baik di masa depan. Mempersiapkan peserta didik untuk kehidupan masa depan selalu menjadi kepedulian kurikulum, hal ini mengandung makna bahwa kurikulum adalah rancangan pendidikan untuk mempersiapkan kehidupan generasi muda bangsa. Dengan demikian, tugas mempersiapkan generasi muda bangsa menjadi tugas utama suatu kurikulum. Untuk mempersiapkan kehidupan masa kini dan masa depan peserta didik, Kurikulum 2013 mengembangkan pengalaman belajar yang memberikan kesempatan luas bagi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diperlukan bagi kehidupan di masa kini dan masa depan, dan pada waktu bersamaan tetap mengembangkan kemampuan mereka sebagai pewaris budaya bangsa dan orang yang peduli terhadap permasalahan masyarakat dan bangsa masa kini. 2) Peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Menurut pandangan filosofi ini, prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di masa lampau adalah sesuatu yang harus termuat dalam isi kurikulum untuk dipelajari peserta didik. Proses pendidikan adalah suatu proses yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi kemampuan
berpikir
rasional dan kecemerlangan akademik dengan memberikan makna terhadap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari dari warisan budaya berdasarkan makna yang ditentukan oleh lensa budayanya dan sesuai dengan tingkat kematangan psikologis serta kematangan fisik peserta didik. Selain mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan cemerlang dalam akademik, Kurikulum 2013 memposisikan keunggulan budaya tersebut dipelajari untuk menimbulkan rasa
213
bangga, diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan berbangsa masa kini. 3) Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendidikan disiplin ilmu. Filosofi ini menentukan bahwa isi kurikulum adalah disiplin ilmu dan pembelajaran adalah pembelajaran disiplin ilmu (essentialism). Filosofi ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kecemerlangan akademik. 4) Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, kemampuan berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik (experimentalism and social reconstructivism). Dengan filosofi ini, Kurikulum 2013 bermaksud untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi kemampuan dalam berpikir reflektif bagi penyelesaian masalah sosial di masyarakat, dan untuk membangun kehidupan masyarakat demokratis yang lebih baik. Dengan demikian, Kurikulum 2013 menggunakan filosofi sebagaimana di atas dalam mengembangkan kehidupan individu peserta didik dalam beragama, seni, kreativitas, berkomunikasi, nilai dan berbagai dimensi inteligensi yang sesuai dengan diri seorang peserta didik dan diperlukan masyarakat, bangsa dan umat manusia. 2. Landasan Sosiologis Kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar adanya kebutuhan akan perubahan rancangan dan proses pendidikan dalam rangka memenuhi dinamika kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, sebagaimana termaktub dalam tujuan pendidikan nasional. Dewasa ini perkembangan pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Perubahan ini dimungkinkan karena berkembangnya tuntutan baru dalam masyarakat, dunia kerja, dan dunia ilmu pengetahuan yang berimplikasi pada tuntutan perubahan kurikulum secara terus menerus. Hal itu dimaksudkan agar pendidikan selalu dapat menjawab
214
tuntutan perubahan sesuai dengan jamannya. Dengan demikian keluaran pendidikan akan mampu memberikan kontribusi secara optimal dalam upaya membangun masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society). 3. Landasan Psikopedagogis Kurikulum 2013 dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan perwujudan konsepsi pendidikan yang bersumber pada perkembangan peserta didik beserta konteks kehidupannya sebagaimana dimaknai dalam konsepsi pedagogik transformatif. Konsepsi ini menuntut bahwa kurikulum harus didudukkan sebagai wahana pendewasaan peserta didik sesuai dengan perkembangan psikologisnya dan mendapatkan perlakuan pedagogis sesuai dengan konteks lingkungan dan jamannya. Kebutuhan ini terutama menjadi prioritas dalam merancang kurikulum untuk jenjang pendidikan menengah khususnya SMA. Oleh karena itu implementasi pendidikan di SMA yang selama ini lebih menekankan pada pengetahuan, perlu dikembangkan menjadi kurikulum yang menekankan pada proses pembangunan sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik melalui berbagai pendekatan yang mencerdaskan dan mendidik. Penguasaan substansi mata pelajaran tidak lagi ditekankan pada pemahaman konsep yang steril dari kehidupan masyarakat melainkan pembangunan pengetahuan melalui pembelajaran otentik. Dengan demikian kurikulum dan pembelajaran selain mencerminkan muatan pengetahuan sebagai bagian dari peradaban manusia, juga mewujudkan proses pembudayaan peserta didik sepanjang hayat. 4. Landasan Teoritis Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori “pendidikan berdasarkan standar” (standard-based education), dan teori kurikulum berbasis kompetensi (competencybased curriculum). Pendidikan berdasarkan standar menetapkan adanya standar nasional sebagai kualitas minimal warganegara yang dirinci menjadi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kurikulum berbasis kompetensi dirancang untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik
215
dalam
mengembangkan
kemampuan
untuk
bersikap,
berpengetahuan,
berketerampilan, dan bertindak. Kurikulum 2013 menganut: (1) pembelajaran yang dilakukan guru (taught curriculum) dalam bentuk proses yang dikembangkan berupa kegiatan pembelajaran di sekolah, kelas, dan masyarakat; dan (2) pengalaman belajar langsung peserta didik (learned-curriculum) sesuai dengan latar belakang, karakteristik, dan kemampuan awal peserta didik. Pengalaman belajar langsung individual peserta didik menjadi hasil belajar bagi dirinya, sedangkan hasil belajar seluruh peserta didik menjadi hasil kurikulum. H. Konsep Pembelajaran PAI berbasis Kurikulum 2013 1. Merancang Pembelajaran Efektif dan Bermakna Implementasi Kurikulum 2013 merupakan aktuaiisasi kurikulum dalam pembelajaran dan pembentukkan kompetensi serta karakter peserta didik. Hal tersebut menuntut keaktifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan berbagai kegiatan sesuai dengan rencaiia yang telah diprogramkan. Saylor (1981) dalam Mulyasa8 (2002) mengatakan bahwa “Instruction is thus the iniplernentation of cwnculum plan, usually, but not necessarily, involving teaching in the sense of student, teacher interaction in an educational setting”. Dalam hal iru, guru harus dapat mengambil keputusan atas dasar penllaian yang tepat ketika peserta didik belum dapat membentuk kompetensi dasar, apakah kegiatan pembelajaran dihentikan, diubah metodenya, atau mengiilang dulu pembelajaran yang lalu. Guru hanis menguasai prinsip-prinsip pembelajaran, pemilihan dan penggunaan media pembelajaran, pemilihan dan penggunaan metode pembelajaran, keterampilan menilai hasil-hasil belajar peserta didik, serta memilih dan menggunakan strategi atau pendekatan pembelajaran. Kompetensikompetensi tersebut merupakan bagian integral bagi seorang guru sebagai tenaga profesional, yang hanya dapat dikuasai dengan baik melalui pengalaman praktik yang intensif.
8
E. Mulyasa, Op Cit, hal 99
216
Guni harus menyadari bahwa pembelajaran merniliki sifat yang sangat kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis, dan didaktis secara bersamaari. Aspek pedagogis menunjuk pada kenyataan bahwa pembelajaran berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan. Karena itu, guru harus mendampingi peserta didik menuju kesuksesan belajar atau penguasaan sejurnlah kompetensi tertentu. Aspek psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa peserta didik pada umumnya memilild taraf perkembangan yang berbecla, yang menuntut materi yang berbeda pula. Selain itu, aspek psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa proses belajar itu sendiri mengandung variasi, seperti belajar keterampilan motorik, belajar konsep, belajar sikap, dan seterusnya (Gagne, 1984). Perbedaan tersebut menuntut pembelajaran yang berbeda, sesuai dengan jenis belajar yang sedang berlangsung, Aspek didaktis menunjuk pada pengaturan belajar peserta didik oleh guru. Dalam hal im, guru harus menentukan secara tepat jenis belajar manakah yang paling berperan dalam proses pembelajaran tertentu, dengan mengingat kompetensi dasar yang harus dicapai. Kondisi ekstemal yang harus diciptakan oleh guru menunjuk variasi juga dan tidak sama antara jenis belajar yang satu dengan yang lain, meskipun ada pula kondisi yang paling dominan dalam segala jenis belajar. Untuk kepentingan tersebut, guru harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai jenisjenis belajar, kondisi internal dan eksternai peserta didik, serta cara melakukan pembelajaran yang efektif dan bermakna. Pembelajaran menyenangkan, efektif dan bermakna dapat dirangcang oleh setiap guru, dengan prosedur sebagai berikut : a. Pemanasan dan Apersepsi Pemanasan dan apersepsi perlu dilakukan untuk menjajaki pengetahuan peserta didik, memotivasi peserta didik dengan menyajikan materi yang menarik, dan mendorong mereka untuk meiigetahui berbagai hal baru. Pemanasan dan apersepsi mi dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut. a) Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang diketahui dan dipahami peserta didik.
217
b) Peserta didik dimotivasi dengan bahan ajar yang menarik dan berguna bagi kehidupan mereka. c) Peserta didik digerakkan agar tertarik dan bemafsu untuk mengetahui hal-hal yang baru. b. Eksplorasi Eksplorasi menipakan tahapan kegiatan pembelajaran untuk mengenalkan bahan dan mengaitkannya dengan pengetahuan yang telah dirnihki peserta didik. Hal tersebut dapat ditempuh dengan prosedur sebagai berikut a) Perkenalkan materi standar dan kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh peserta didik; b) Kaitkan materi standar dan kompetensi dasar yang barn dengan pengetahuan dan kompetensi yang sudah dimiliki oleh peserta didik; c) Pilihlah metode yang paling tepat, dan gunakan secara bervariasi untuk meningkatkan penerimaan peserta clidik terhadap maten standar dan kompetensi baru. c. Konsolidasi Pembelajaran Konsolidasi merupakan kegiatan untuk mengaktifkan peserta didik dalam pembentukan kompetensi dan karakter, serta menghubungkannya dengan kehidupan peserta didik. Konsolidasi pembelajaran mi dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut. a) Libatkan peserta didik secara aktif dalam menafsirkan dan memahami materi dan kompetensi baru; b) Libatkan peserta didik secara aktif dalam proses pemecahan masalah (problem solving), terutama dalam masalah-masalah aktual; c) Letakkan penekanan pada kaitan struktural, yaitu kaitan antara materi standar dan kompetensi barn dengan berbagai aspek kegiatan dan kehidupan dalam lingkungan masyarakat; d) Pilihlah metode yang paling tepat sehingga rnateri standar dapat diproses menjadi kompetensi dan karakter peserta didik.
218
d. Pembentukkan Sikap, Kompetensi, dan Karakter Pembentukan sikap, kompetensi, dan karakter peserta didik dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut. a) Dorong peserta didik untuk menerapkan konsep, pengertian, kompetensi, dan karakter yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari; b) Praktekkan pembelajaran secara langsung, agar peserta didik dapat membangun sikap, kompetensi, dan karakter barn dalam kehidupan seharihari berdasarkan pengertian yang dipelajari; c) Gunakan metode yang paling tepat agar terjadi perubahan sikap, kompetensi, dan karakter peserta didik secara nyata. e. Penilaian Formatif Penilaian formatif perlu dilakukan untuk perbaikan, yang pelaksanaannya dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut. a) Kembangkan cara-cara untuk menilai hasil pembelajaran peserta didik; b) Gunakan hasil penilaian tersebut untuk menganalisis kelemahan atau kekurangan peserta didik dan masalah-masalah yang dihadapi guru dalam membentuk karakter dan kompetensi peserta didik; c) Pilihlah metodologi yang paling tepat sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai. Prosedur pembelajaran efektif dan bermakna sebagaimana diuraikan di atas, dapat dilukiskan sebagai berikut9.
9
Ibid, 103
219
Dalam pembelajaran efektif dan bermakna, peserta didik perlu dilibatkan secara aktif, karena mereka adalah pusat dari kegiatan pembelajaran serta pembentukan kompetensi, dan karakter. Peserta didik harus dilibatkan dalam tanya-jawab yang terarah, dan mencari pemecahan terhadap berbagai masalah pembelajaran. Peserta didik harus didorong untuk menafsirkan informasi yang diberikan oleh guru, sampai hiformasi tersebut dapat diterima oleh akal sehat. Strategi seperti mi memerlukan pertukaran pikiran, diskusi, dan perdebatan, dalam rangka mencapai pengertian yang sama terhadap setiap materi standar. Melalui pembelajaran efektif dan bermakna, kompetensi dapat diterima dan tersimpan lebih baik, karena masuk otak dan membentuk karakter melalul proses yang logis dan sistematis. Dalam pembelajaran efektif dan bermakna, setiap materi pelajaran yang barn harus dikaitkan dengan berbagai pengalaman sebelumnya. Materi pembelajaran barn disesuaikan secara aktif dengan pengetahuan yang sudah ada, sehingga pembelajaran harus dimulai dengan hal yang sudah dikenal dan dipahami peserta didik, kemudian guru rnenambahkan unsur-unsur pembelajaran dan kompetensi barn yang disesuaikan dengan pengetahuan dan kompetensi yang sudah dimiild peserta didik. Agar peserta didik belajar secara aktif, guru perlu menciptakan strategi yang tepat guna, sedemikan rupa, sehingga mereka mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar. Motivasi yang seperti mi akan dapat tercipta kalau guru dapat meyakinkan peserta didik akan kegunaan materi pembelajaran bagi kehidupan nyata peserta didik. Demikian juga, guru harus dapat menciptakan situasi sehingga materi pembelajaran 220
selalu tampak menarik, dan tidak membosankan. Untuk kepentingan tersebut, guru harus mampu bertindak sebagai fasilitator, yang perannya tidak terbatas pada penyampaikan informasi kepada peserta didik. Sesuai kemajuan dan tuntutan zaman, guru harus memiliki kemampuan untuk memahami peserta didik dengan berbagai keunikannya agar mampu membantu mereka dalam menghadapi kesulitan belajar. Dalam pada itu, guru dituntut memahami berbagai pendekatan pembelajaran agar dapat membimhing peserta didik secara optimal. 2. Mengorganisasikan Pembelajaran Implementasi Kurikulum 2013 menuntut guru untuk mengorganisasikan pembelajaran secara efektif. Sedikitnya terdapat lima hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pengorgaxdsasian pembelajaran dalam implementasi Kurikulum 2013, yaitu pelaksanaan pembelajaran, pengadaan dan pembinaan tenaga ahli, pendayagunaan lingkungan dan sumber daya masyarakat, serta pengembangan dan penataan kebijakan. a. Pelaksanaan Pembelajaran Pembelajaran dalam implementasi Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi hendaknya dilaksanakan berdasarkan kebutuhan dan karakteristik peserta didik, serta kompetensi dasar pada umumnya. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dan prosedur pembelajaran berbasis karakter dan kompetensi sudah seharusnya dijadikan sebagai salah sam acuan dan dipahanii oleh pam guru, fasilitator, kepala sekolah, pengawas sekolah, dan tenaga kependidikan lam di sekolah. Sehubungan dengan itu, implementasi Kurikulum 2013 dalam pembelajaran berbasis kompetensi, dan karakter yang dilakukan dengan pendekatan tematik integratif harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut. 1) Mengintegrasikan pembelajaran dengan kehidupan masyarakat di sekitar lingkungan sekolah. 2) Mengidentifikasi kompetensi dan karakter sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang dirasakan peserta didik.
221
3) Mengembangkan mdikator setiap kompetensi dan karakter agar relevan dengan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. 4) Menata struktur organisasi dan mekanisme kexja yang jelas serta menjalin keijasama di antara pam fasilitator dan tenaga kependidikan lain dalam pembentukan kompetensi peserta didik. 5) Merekrut tenaga kependidikan yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dèngan tugas dan fungsinya. 6) Melengkapi sarana dan prasarana belajar yang memadai, seperti perpustakaan, laboratorjum, pusat sumber belajar, perlengkapan teknis, dan perlengkapan adrninistrasi, serta ruang pembelajaran yang memadai. 7) Menilaiprugrampembelajaransecam berkaladanberkesinambungan untuk melihat keefektifan dan ketercapaian kompetensi yang clikembangkan. Di samping itu, penilaian juga penting unti.ik melihat apakah pembelajaran berbasis kompetensi yang dikembangkan sudah dapat mengembangkan potensi peserta didik atau belum. b. Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Ahli Dalam implementasi Kurikulum 2013 diperlukan pengadaan dan pembinami tenaga alili, yang memjljkj sikap, pribadi, kompetensi dan keteranipilan yang berkaitan dengan pembelajaran berbasis kompetensi dan karakter. Hal mi sangat penting dilaksanakan, karena berkaitan dengan deskripsi kerja yang akan dilakukan oleh masing-masing tenaga kependidikan. Dalam pada itu, Kurikulum 2013 yang akan diimplementasikan secara bertahap, rencananya akan dilakukan pendampingan. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya tenaga abli, agar setiap personil memiliki pemahaman dan kompetensi yang menunjang terlaksananya pembelajaran tematik integratif dalam mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. c. Pendayagunaan Lingkungan sebagal Sumber Belajar Dalam rangka menyukseskan implementasi kurikulum, perlu drdayagunakan lingkungan sebagai sumber belajar secara optimal. Untuk kepentingan tersebut pan guru, fasilitator dituntut untuk mendayagunakan lingkungan, baik lingkungan fisik
222
maupun lingkungan sosial, set-ta menjalin kerjasama dengan unsur-unsur terkait yang dipandang dapat menunjang upaya pengembangan mum dan kualitas pembelajasan. Pendayagunaan dan jalinan hubungan tersebut antara lain dapat dilakukan dengan masyarakat di sekitar lingkungan sekolah. d. Pengembangan Kebijakan Sekolah Implementasi kurikulum perlu didukung oleh kebijakan-kebijakan kepala sekolah. Kebijakan yang jelas dan balk akan dapat memberikan kelancaxan dan kernudahan dalam implementasi pembelajaran berbasis kompetensi. Ada beberapa kebijakan yang relevan diambil kepala sekolah dalam membantu kelancaran pengembangan pembelajaran berbasis kompetensi, yaitu: 1) Mempmgmmkan pembahan kurikulum sebagai bagian integral dan program sekolah secam keselumhan; 2) Menganggarkanbiaya operasionalpembelajaranberbasiskompetensi dan karakter sebagai bagian dad anggaxan sekolah. 3) Meningkatkan mum dan kualitas gum, serta fasilitator agar dapat bekerja secam profesional (meningkatkan pmfesionalisme gum). 4) Menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk kepentingan belajar, dan pembentukan kompetensi dasar. 5) Menjalin kerjasarna yang balk dengan unsur-unsur terkait secara nesnii dalam kaitannya dengan pernbelajaran berbasis kompetensi, seperti dunia usaha, pesantren, dan tokoh-tokoh masyarakat. 3. Melaksanakan Pembelajaran, Pembentukan Kompetensi, dan Karakier Pembelajaran dalam menyukseskan impelementasi Kurikulum 2013 merupakan keseluruhan proses belajar, pembentukan kompetensi, dan karakter peserta didik yang direncanakan. Untuk kepentingan tersebut, kompetensi inti, kompetensi dasar, materi standar, indikator hasil belajar, dan waktu yang diperlukan harus ditetapkan sesual dengan kepentingan pembelajaran sehingga peserta didik diharapkan mempemleh kesempatan dan pengalaman belajar yang optimal. Dalam hal mi, pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya,
223
sebingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, balk faktor internal yang datang dart dalam diii individu, maupun faktor eksternal yang datang dan lirigkungan. Pada umumnya, kegiatan pembelajaran mencakup kegiatan awal atau pembukaan, kegiatan inti atau pembentukan kompetensi dan karakter, serta kegiatan akhir atau penutup. 1. Kegiatan Awal atau Pembukaan Kegiatan awal atau pembukaanpembelajaran berbasis kompetensi dalam menyukseskan implementasi Kurikulum 2013 mencakup pembinaan keakraban dan pre-test. a. Pembinaan Keakraban Pembinaan keakraban perlu dilakukan untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif bagi pembentukan kompetensi peserta didik, sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara guru sebagai fasilitator dan peserta didik serta antara peserta didik dengan peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik perlu diperlakukan sebagai individu yang merniliki persamaan dan perbedaan individual. Tahap pembinaan keakraban mi bertujuan untuk mengkondisikan para peserta didik agar mereka siap melakukan kegiatan belajar. Para peserta didik perlu saling mengenal terlebih dahilu antara yang satu dengan yang lain. Sating mengenal merupakan persyamtan tumbuhnya keakraban antara peserta didik dan antara peserta didik dengan sumber belajar (guru/fasifitator). Terbinanya suasana yang akrab amat penting untuk mengembangkan sikap terbuka dalarn kegiatan belajar, dan pembentukan kompetensi peserta didik. Suasana mi dapat mendorong peserta didik untuk melakukan kegiatan sating belajar, suasana keakraban ml penting dlitumbuhlan oleh gurulfasilitator sebelum kegiatan inti pembelajaran dimulai. Hal ml didasarkari atas asumsi bahwa peserta didik tidak dapat berpartisipasi secara optimal daiam kegiatan pembelajaran apabila tidak sating mengenal satu sama lain secara akrab. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut.
224
a) Di awal pertemuan pertama, guru memperkenaikan din kepada peserta didik dengan memberi salam, menyebut nama, alamat, pendidikan terakhir, dan tugas pokoknya di sekolah. b) Peserta didik masing-masing memperkenalkan din dengan memberi salam, menyebut nama, alamat, dan pengalaman dalana kehidupan sehari-hari, serta mengapa mereka belajar di sekolah ini. b. Pretes (tes awal) Setelah pembinaan keakraban, kegiatan dilakukan dengan pretes. Pretes mi memiliki banyak kegunaan dalam menjajagi proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu pretes rnemegang peranan yang cukup penting dalam proses pembelajaran. Fungsi pretes ini antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut: a) Untuk menyiapkan peserta 1idik dalam proses belajar, karena dengan pretes maka pikiran mereka akan terfokus pada soal-. soal yang harus mereka jawab/kerjakan. b) Untuk mengetahui tingkat kemajuan peserta didik sehubungan dengan proses pembelajaran
yang
dilakukan.
Hal
ml
dapat
dilakukan
dengan
membandingkan basil pietes dengan posttes. c) Untuk mengetahui kemampuan awal yang telah dimiliki peserta didik mengenai bahan ajaran yang akan dljadiican topik dalam proses pembelajaran. d) Untuk mengetahul darimana seharusnya proses pembelajaran dixnulai, tujuantujuan rnana yang telah dikuasaj peserta didik, dan tujuan-tujuan mana yang perlu mendapat penekanan dan perhatian khusus. Untuk mencapai fungsi yang ketiga dan keempat maka hasil pretes harus segera diperiksa, sebelum pelaksanaan proses pembelajaran inti dilaksanakax-i (sebelum siswa mempelajani modul). Pemerjksaaj-i jul harus dilakukan secara cepat dan cermat, jangan sarnpai mengganggu suasana belajar, dan jangan sampai mengalihkan perhatian peserta didik, Untuk itu, pada waktu memeriksa pretes perlu dibexikan kegiatan lain, misalnya membaca hand out, atau text books. Dalam hal mi pretes sebaiknya dilakukan secara tertulis, meskipun bisa saja dilaksanakan secara lisan atau perbuatan.
225
2. Kegiatan Enti atau Pembentukan Kompetensi dan Karakter Kegiatan inti pembelajaran antara lain mencakup penyampaian informasi, membahas matet-i standar untuk membentuk kompetensi dan karakter peserta didik, serta melakukan tukar pengalaman dan pendapat dalam membahas materi standar atau memecahkan masalah yang dihadapm bersama. Dalam pembelajaran, peserta ctidik dibantu oleh guru dalam melibatkan din untuk membentuk kompetensi dan karakter, serta mengembangk. dan memodifikasj kegiatan pembelajaran. Pembentukan kompetensj dan karakter peserta didik perlu dilakukaj dengan tenang dan menyenangkan, hal tersebut tentu Saja menuntut aktjvjtas dan kreativjtas guru dalam menciptakan lingkungan yang kondusif. Pembentukan kompetensi dan karakter dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik terlibat secara akti baik mental, fisik maupun sosialnya. Pembentukan kompetensi dan karakter mi ditandai keikutser peserta didik dalam pengelolaan pembelajaran (participative teaching and learning), berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab mereka dalam menyelenggarakan program pembelajaran. Tugas peserta didik adalah belajar sedangkan tanggung jawabnya rnencakup keterlibatan mereka dalam membina dan mengembangkan kegiatan belajar yang telah disepakati dan ditetapkan bersama pada saat penyusunan program. Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran mi peserta didik yang dibantu oleh guru melibatkan din dalam
proses
pembelajaran.
Upaya mengembangkan atau
rnemodifikasi kegiatan belajar tersebut erat kaitarinya dengan hasil penilaian kegiatan pembelajaran. Teknik
yang dapat
digunakan dalam
pelaksanaan kegiatan
pembelajaran tersebut mencakup antara lain teknik ceramah bervaniasi, forum, studi kasus, dan simulasi. Pembentukan kompetensi dan karakter mencakup berbagai langkah yang perlu ditempuh oleh peserta didik dan guru untuk mewujudkan kompetensi dan karakter yang telah ditetapkan. Hal mi ditempuh melalui berbagai cam, bergantung pada situasi, kondlisi dan kebutuhan serta kemampuan peserta didik. Prosedur yang ditempuh dalam pembentukan kompetensi dan karakter adalah sebagai berikut.
226
a) Berdasarkan kompetensi dasar dan materi standar yang telah dituangkan dalam
rencana
pelaksanaan
pembelajaran
(RPP),
guru
menjelaskan
kompetensi minimal yang hanis dicapai peserta didik, dan cam belalar individual. b) Guru menjelaskan materi standar secara logis dan sistematis, pokok baliasan dikemukakan dengan jelas atau ditulis di papan tulis. Memberi kesempatan peserta didik untuk bertanya sampai mateni standar tersebut benar-benar dapat dikuasai. c) Membagikan materi standar atau sumber belajar berupa hand out dan fotokopi beberapa bahan yang akan dipelajari. Materi standar tersebut sebagian terdapat di perpustakaan. Jika materi standar yang diperlukan tidak tersedia di perpustakaan, maka guru im-mfotokopi dan surnber lain, seperti majalah, dan surat kabar. d) Membagikan lembaran kegiatan untuk setiap peserta didik. Lembaran kegiatan berisi tugas tentang materi standar yang telah dijelaskan oleh guru dan dipelajani oleh peserta didik. e) Guru memantau dan memeriksa kegiatan peserta didik dalam a mengerjakan lembaran kegiatan, sekaligus memberikan bantuan, arahan bagi mereka yang memerlukan. f) Setelah selesai diperiksa bersama-sama dengan cara menukar pekeijaan dengan teman lain, lalu guru menjelaskan setiap jawabannya. g) Kekeliruan dan kesalahan jawaban diperbaiki oleh peserta didik, jika ada yang kurang jelas guru memberi kesempatan bertanya, tugas atau kegiatan mana yang perlu penjelasan lebih lanjut. Dalam pembentukan karakter dan kompetensi perlu diusahakan untuk melibatkan peserta didik seoptimal mungkin. Melibatkan pesera didik adalah memberikan kesempatan dan mengikutsertakan mereka untuk turut ambil bagian dalam proses pembelajaran. Hal mi bertujuan untuk saling bertukar informasi antarpeserta didik dan antarpeserta didiJ.c dengan guru mengenai topik yang dibahas, untuic mencapal kesepakatan, kesamaan, kecocokan dan keselarasan pikiran mengenai apa yang akan
227
dipelajani. Hal mi penting untuk menentukan persetujuan atau kesimpulan tentang gagasan yang bisa diambil atau tindakan yang akan dilakukan berkenaan dengan topik yang dibicarakan. 3. Kegiatan Akhir atau Penutup Kegiatan akhir pembelajaran atau penutup dapat dilakukan dengan memberikan tugas, dan post test. Tugas yang diberikari merupakan tindak lanjut dan pembelajaran inti atau pembentukan kompetensi, yang berkenaan dengan materi standar yang telah dipelajani maupun materi yang akan dipelajani berikutnya. Tugas ml bisa merupakan pengayaan dan remedial terhadap kegiatan inti pembelajaran atau pembentukkan kompetensi. Berdasarkan hasil analisis terhadap kegiatan belajar, dan terhadap tugas-tugas modul, hasil tes, dan ulangan dapat diperoleh tingkat kemampuan belajar setiap peserta didik. Hasil analisis ini dipandukan dengan catatan-catatan yang ada pada program mingguan dan harlan, untuk dgunakan sebagai bahan tindak lanjut proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Program mi juga mengidentifikasi modul yang perlu diulang, peserta didik yang wajib mengkuti remedial, dan yang mengkuti program pengayaan. Berdasarkan teori belajar tuntas, seorang peserta didik dipandang tuntas belajar jika mampu menyelesaikan, menguasai kompetensi, dan kaxakter atau mencapai tujuan pembelajaran minimal 65% dan seluruh tujuan pembelajaran. Sedangkan keberhasilan kelas dilihat dan jumlah peserta didik yang mampu menyelesaikan atau mencapai minimal 65%, sekurang-kurangnya 85% dan jurnlah peserta didik yang ada di kelas tersebut. Sekolah perlu memberikan perlakukan khusus terhadap peserta didik yang mendapat kesulitan belajar melalui kegiatan remedial. Peserta didik yang cemerlang diberikan kesempatan untuk tetap mempertahankan kecepatan belajamya melalul kegiatan pengayaan. Kedua program itt dilakukan oleh sekolah karena lebih mengetahui dan memahami kemajuan belajar setiap peserta didik. Pada umurnnya pelaksanaan pembelajaran diakhini dengan post tes. Sama halnya dengan pretes, post tes juga memiliki banyak kegunaan, terutama dalam melihat
228
keberhasilan pembelajaran. Fungsi post tes antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut: a) Untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah ditentukan, baik secara indivldu maupun kelompok. Hal mi dapat diketahui dengan membandingkan antara hasil pretes dan post tes. b) Untuk mengetahui kompetensi dan tujuan-tujuan yang dapat dikuasai oleh peserta didik, serta kompetensi dan tujuan-tujuan yang belum dikuasainya. Sehubungan dengan kompetensi dan tujuan yang belum dikuasai mi, apabila sebagian besar belum menguasainya maka perlu dilakukan pembelajaran kembali (remedial teaching). c) Untuk mengetahui peserta didik-peserta didik yang perlu mengikuti kegiatan remedial, dan peserta didik yang perlu mengikuti kegiatan pengayaali, serta untuk mengetahui tingkat kesulitan dalam mengeijakan modal (kesulitan belajar). d) Sebagai bahan acuan untuk melakukan perbaikan terhadap komponenkomponeri modul, dan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan, baik terhadap perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi. I. Menetapkan Kriteria Keberhasilan Keberhasilan implementasi Kurikulum 2013 dalam pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik dapat dilihat dan segi proses dan dan segi hash. Dan segi proses, pembentukan kompetensi dan karakter dikatakan berhasil dan berkualits apabila seluruhnya atau setidak-tidakriya sebagian besar (75%) peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran, di samping menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya pada din sendiri. Sedangkan dan segi hasil, proses pernbentukan kompetensi dan karakter dikatakan berhasil apabila teijadi penibahan perilaku yang positif pada din peserta didik selunuhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%). Lebth lanjut pembentukan kompetensi dan karakter dikatakan berhasil dan berkualitas apabila masukan merata, menghasjlkan otuput yang banyak dan bennutu tinggi, serta sesuai dengân kebutuhan, perkembangan masyarakat dan pernbangungan.
229
Untuk memenuhi tuntutan tersebut di atas perlu dikembangkan pengalaman belajan yang kondusif untuk membentuk manusia yang berkualitas tinggi, balk mental, moral maupun fisik. Hal mi berarti kalau tujuannya bersifat afektif psikomotonik, tidak cukup hanya diajarkan dengan modul, atau sumber yang mengandung nilai kognitil Namun perlu penghayatan yang disertai pengalaman nilainilai karakter yang dimanifestasikan dalam perilaku (behaivioral skill) sehanihani. Metode dan strategi pernbelajaran yang kondusif untuk hal tersebut perlu dikembangkan, misalnya seperti: metode inquby, discovery, dan problem solving. Penggunaan metode dan strategi tersebut diharapican setiap peserta didik dapat mengembangkan potensinya secara optimal, sehingga akan lebih cepat dapat menyesuaikan din dengan kebutui-an masyarákat apabila mereka telah menyelesaikan suatu program pendidikan. Keberhasilan implementasi Kurikulum 2013 berbasis kompetensi dan karakter dapat dilihat dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, dengan kriteria sebagai berikut. 1. Kriteria Jangka Pendek b. Sekurang-kurangnya 75% isi dan prinsip-prinsip pembelajaran dapat dipahami, diterima dan diterapkan oleh para peserta didik dan guru di kelas. c. Sekurang-kurangnya 75% peserta didik merasa mendapat kemudahan, senang dan mernilild kemauan belajar yang tinggi. d. Para peserta didik berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran. e. Materi yang dikomunikasikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan mereka memandang bahwa hal tersebut akan sangat berguna bagi kehidupannya kelak. f. Pembelajaran yang dikembangkan dapat menumbuhkan minat belajar para peserta didik untuic belajar lebih lanjut (continuing). 2. Kriteria Jangka Menengah a. Adanya umpan balik terhadap guru tentang pembelajaran yang dilakukannya bersama peserta didik.
230
b. Para peserta didik menjadi insan yang kreatif dan mampu menghadapi berbagai pemiasalahan yang dihadapinya. c. Para peserta didik tidak memberikan pengaruh negatif terhadap masyarakat lingkungarmya dengan cara apapun. 3. Kriteria Jangka Panjang a. Adanya peningkatan mutu pendidikan, yang dapat dicapai oleh sekolah melalui kemandirian dan inisiatif kepala sekolah dan guru dalam mengelola dan medayagunakan sumber-sumber yang tersedia. b. Adanya peningkatan efisiensl dan efektivitas pengelolaan dan penggunaan sumber-sumber pendidikan. melalui pembagian tanggungjawab yang jelas, transparan, dan demokratis. c. Adanya peningkatan perhtian serta partisipasi warga dan masyarakat sekitar sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran yang dicapai melalui pengambilan keputusan bersama. d. Adanya peningkatan tanggung jawab sekolah kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya berkaitan dengan mutu sekolah, baik dalam intra maupun ekstra kurikuler. e. Adanya kompetisi yang sehat antarsekolah dalara peningkatan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orangtua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat. f. Tumbuhnya kemandirian dan berkurangnya ketergantungan di kalangan warga
sekolah,
bersifat
adaptif
dan
proaktif
serta
memiliki
jiwa
kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, dan berarii mengambil resiko). g. Terwujudnya proses pembelajaran yang efektif, yang lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to do), belajar menjadi dlii sendiri (learning to be), dan belajar hidup bersama secara harmonis (learning to live together). h. Terciptanya iklim sekolah yang aman, nyaman dan tertib, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan (enjoya and learning).
231
i. Adanya proses evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutari. Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya scrap dan kemampuan peserta didik, tetapi untuk memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut bagi perbaikan dan penyempumaan proses pembelajaran di sekolah. Akhirnya, perlu dikemukakan di sini bahwa dalam rangka implementasi Kurikulum 2013, Pemerintah telah menyediakan buku acuan utama (babon), buku guru, buku siswa, dan juga silabus. Dengan demikian, guru tinggal mengikuti apa-apa yang telah disiapkan dalam buku tersebut, serta melaksanakan pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik. Buku babon dimaksudkan Untuk memberikan mated
standar
dalam
pembelajaran,
sebagai
langkah
standardisasi
dalarn
implementasi kurikulum. Dalam hal mi, buku babon dirancang untuk memfasffitasi gum dan peserta didik dalam melakukan pembelajaran. Buku babon menyajikan materi standar minimal yang harus dikuasai oleh setiap peserta didik. Oleh karena) itu, jika ada sekolah satuan pendidikan yang marnpu mencapai standar Iebih tinggi dan standar minimal, maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak melarangnya, bahkan mendorong setiap sekolahlsatuan pendidikan untuk menjadi sekolah unggulan, dengan kualitas pembelajaran di atas standar. J. Rangkuman Dalam rangka mempersiapkan lulusan pendidikan memasuki era globalisasi yang penuh tantangan dan ketidakpastian, diperlukan pendidikan yang dirancang berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan. Untuk kepentingan tersebut Pemerintah melakukan penataan kurikulurn. Kurikulum 2013 merupakan tindak lanjut dari kurikulum berbasis kompeteisi (KBK) yang pernah diterapkan pata tahun 2004. KBK atau (Competency Based Cunkulum) dijadikan acuan dan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan untuk mengembangkan berbagai ranah pendidikan (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) dalam seluruh jenjang dan jalur pendidikan, khususnya pada jalur pendidikan sekolah. Implementasi dan Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang kompleks, dan melibatkan berbagai komponen yang saling terkait. Oleh karena itu dalam proses pengembangan Kurikulum 2013, tidak hanya menuntut keterampilan
232
teknis dan pihak pengembang terhadap pengembangan berbagai komponen kurikulum, tetapi harus pula dipahami berbagai komponen yang mempengaruhinya. Jadi kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Karakteristik pembelajaran
pada
setiap
satuan
pendidikan
terkait
erat
pada Standar
Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Standar Kompetensi Lulusan memberikan kerangka konseptual tentang sasaran pembelajaran yang harus dicapai. Standar Isi memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang diturunkan dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi. Untuk mendorong kemampuan peserta didik menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning). Prinsip pembelajaran pada kurikulum 2013 menekankan perubahan paradigma: 1) Peserta didik diberi tahu menjadi peserta didik mencari tahu; 2) Guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar; 3) Pendekatan tekstual menjadi pendekatan proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah; 4) Pembelajaran berbasis konten menjadi pembelajaran berbasis kompetensi; 5) Pembelajaran parsial menjadi pembelajaran terpadu; 6) Pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menjadi pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi; 7) Pembelajaran verbalisme menjadi keterampilan aplikatif; 8) Peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan
fisikal
(hardskills) dan
keterampilan mental (softskills); 9) Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat;
233
Dalam hal ini, pengembangan kurikulum difokuskan pada pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik, berupa paduan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya secara kontekstual. Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. K. Latihan 1. Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik agar dapat dinilai, sebagai wujud
hasil belajar. Jelaskan maksud dari kalimat tersebut ? 2. Kurikulum 2013 berbasis kompetensi dapat dimaknai sebagai suatu konsep
kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi). Dari pernyataan tersebut jelaskan kompetensi yang harus dikuasai peserta didi ? 3. Prinsip pembelajaran pada kurikulum 2013 menekankan perubahan paradigma.
Paradigma bagaimana yang dimaksud pada kaliat tersebut ? 4. Perlunya perubahan kurikulum juga karena adanya beberapa kelemahan yang
ditemukan dalam KTSP 2006. sebutkan dan jelaskan kelemahan KTSP tersebut ? L. Bahan Bacaan E. Mulyasa, Pengembangan Kurikulum 2013, Bandung: PT. Rosdakarya, 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan Dasar dan Menengah Kurikulum 2013 Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Kurikulum 2013. E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013.
234
Daftar Pustaka Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.1997. Aims and Objectivies of Islamic Eduacation. (King Abdul Aziz University, Jeddah, 1997), hlm, 64-65. Buku ini merupakan kumpulan makalah yang dibahas dalam “World Conference on Muslim Education” I yang diselenggarakan di Makkah dan Jeddah 1997. Abdurrahman Al-Nahlawi. Pendidikan Islam di Sekolah, Madrasah dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press. 1985 Abdul Fatah Jalal. Azaz-azaz Pendidikan Islam, terj. Heri Noor, Bandung Diponegoro.1977. Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2000. Ahmad Mustafa Al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. (Mesir : Darul Fakri. Mesir. 1974), cet ke III, Juz I, hlm,13. Selanjutnya disebut Tafsir Al-Maraghi Ahmad D Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif 1980. ; Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif 1980 Afnil Guza, ”Standar Nasional Pendidikan (SNP)”, Kumpulan Undang-undang tentang Pendidikan, Jakarta: Asa Mandiri, 2007. Ahmad Tirto Sudiro. Pendidikan Agama dalam Persepektif Agama-agama. Jakarta: Dirjen Dikti, 1995. Ahmad Watik Pratiknya. Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi Umum, Editor Fuaduddin dan Cik Hasan Basri. Jakarta: Logos Wacaana Ilmu 1999. Abdul Munir Mulkhan, akar pendidikan Islam sebagai ilmu, dalam Abdul Munir Mulkhan, Dkk, Rilegius Iptek, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan pustaka Pelajar, 1998 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta : kanisius, 1990 Azyumardi Azra. Esei-Esei Intelektual Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2000. ; Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru. Jakarta: Logos, 1999. Anshari, E.S. Kuliah Al Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Rajawali, 1986.
Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, penyunting: KH. Misbah Z. Musthofa.Jakarta: Bintang Pelajar. Abdullah ’Abdul Daim. Al-Tarbiyah ‘Abru al-Tarikh min Unhuri al-Qodhimah hatta Awail Qorni al-‘Isyirin. Bairut: Darul ilmi Lil Mu’alimin. 1984. Ahmad Sanusi, Pendidikan Alternatif Menyisipkan Vektor Percepatan, Untuk Memacu Mutu Belajar dan Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah) Bandung: PPs UPI Bandung, 1998. Ahmad Sanusi, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan, Bandung: IKIP Bandung, 1991. Asumsi Syukir, Metode Da’wah, Jakarta: Bulan Bintang,1979 Abu Ahmadi, Metodik Khusus Pendidikan Agama (MKPA), Bandung:Armico1985. (Muhaimin dan Abd. Mujid, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya ) (Bandung: Trigendakarya, 1993. Anita Woolfolk, Education Psychology, Boston: Allyn and Bacon, 1993. Anvirl Loveless, ICT in the primery curriculum”, dalam avril loveless dan Dabs Dore, (ed) ICT in the premery, Buckingham: open University Press, 2002. Bobbi DePoter dan Mike Hernackhi, Quantum Learning: Uneashing The Genius in you” , Alwiyah Abdurrohman(trjh), Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman Dan Menyenangkan, Bandung: Kaifa, 2002. Benjamin Bloom, Human Characteristik In School Learning, New York: McGrawu-Hil Book Co, 1974 Ciaran Sugue, rethorics and realities of CPD Acroos Europe: FFrom Cachoponi Toward Coherence’ dalam (Maselus R. Payong, Sertifikasi Profesi Guru-Konsep Dasar, Problematika, Implementasinya, Jakarta: Indeks, 2011). Christoper Day, Developing Teacher: the Challengers Of Lifelong Learning, London: Falmer Press, 1999. Cottins, W.W Webstrer’s New School and Affice Dictionary. (Wartrd Publising Co.Inc.United States of America.1983 Danie Golemen, Emotional Intelegence, kecerdasan Emosional (terj. T. Hermaya), Jakarta: Gramedia, 1996. Davit Hustler, et al, Teacher’s preception of Continung Profesional Develoment, Manchester: Institut Of Education Mancester Metropolitan University, 2000. Dikutif dalam EACT, Definisi teknologi Pendidikan, satuan tugas definisi dan terminologi AECH, diterjemahkan oleh Yusufhardi Marso, dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Depdikbud RI,Kamus Besar Bahasa Indonesia:Jakarta:Balai Pustaka, 1996 Depag RI, Al Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1996 Depdiknas RI. Kurikulum Sekolah Menengah Atas. Gari-Garis Besar Program Pendidikan. Jakarata: Depdiknas, 1999. Dahlan , M.D. Model-model Mengajar, Bandung: CV.Diponegoro, 1994. Depdiknas RI., Kurikulum Sekolah Menengah Atas: Gari-Garis Besar Program Pendidikan, Jakarta: Depdiknas, 1999 Depdikanas, Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas Dan Madrasah Aliyah, Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas,2003. Dedi Supriadi, Membangun Bangsa melalui Pendidikan. (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004. Dahlan M.D., Sistem Pendidikan Islam, Makalah, disajikan dalam seminar “Implementasi Akhlak al-Qur’an di Musabaqah al-Qur’an Metodik Pendidikan Islam Progresif ”. Kamis, 19 Rajab/26 September, Fakultas Tarbiyah UBINSA, 2002. Depdiknas RI., Kurikulum Sekolah Menengah Atas: Gari-Garis Besar Program Pendidikan, Jakarta: Depdiknas, 1999. Dahlan M.D., Model-model Mengajar, Bandung: CV. Diponegoro, 1994. Eleonora Villagas-reimers, Teacher Professional Development: An International Rievw Of The Literature, (paris: international institute for educationa planning, 2003) diakses http://unesco.org/iiep, 24 oktober 2010 E. Mulyasa, Standar Kompetensidan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007. ; Pengembangan Kurikulum 2013, Bandung: PT. Rosdakarya, 2013. ; Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013. Fahrur Razy. Tafsir Fakhrur Razy. Teheren: Darul Kutub Al-Ilmiyah.1981, Juz XXI. Endang Syafuddin Anshari, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam. (Jakarta: Usaha Enterprise. 1976. Fadjar, A. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan ,1998. Fathiyah Hasan Sulaiman, Pemikiran-pemikiran Pendidikan menurut Al-Ghazali, terj. Hery Noor. Bandung : Diponegoro. 1986.
Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam . Bandung: Al-Ma’arif 1980. Harun Nasution. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1995, Bandung: Mizan. 1995. Hilgard, E. R., Bower, Teories Of Learning, New York: Appleton Century, 1966 HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997. H.A.R. Tilaar, manajemen pendidikan nasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997. Hanadi Nawawi dan Mimi Martini, Kebijakan Kependidikan Di Indonesia Di Tinjau Dari Sudut Hokum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994. Haidar Bagir. Konsep Pendidikan Islam. (Bandung : Mizan. 1994) Cet IV, hlm. 29 buku ini sebahagian besar merupakan terjemahan dari Aims and Objectivies of Islamic Education, karya Sayyed Naquib Alattas, yang gasasan-gagasannya diperkaya dan dikembangkan oleh penerjemah. H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Ibnu Miskawaih. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Bandung: Mizan. 1997. ICT Competency Standards for Teachers: Implementation Guidelines, Paris: UNESCO, 2008. ICT Competency Standards for teacher: implementation guidelines, (paris: UNISCO, 2008) p 1 (dalam webset: UNESCO, http://www.unesco.org/en/competency-standars-teacher) pada 10 maret 2011 J. Riberu. Pendidikan Agama dalam Perspektif Agama-agama. Dirjen Dikti 1995. Jagiyanto, Filosofi, Pendekatan Dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus Untuk Dosen Dan Mahasiswa : Yogyakarta, Andi Offset, 2006 Jagoes delors, learning: The Treasure Within, Report To UNESCO Of The International Commision On Education Go The Twenty Firs Century, Paris: UNESCO Publication, 1996. Jeff Jones, Mazda Jenkin dan Sue Lord, Developing Efective Teacher Performance, London: Chaoman Publishing, 2006. Josep A Devito, The Interpersonal Comunication Book, New York: Harper Collin College Publisers, 1995. Muhaimin &Abdul Mujib. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya.1993. Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Mesir: Darul Ma’arif 1373H.
Muhammad Yusuf Qordowi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Bana. Jakarta: Bulan Bintang. 1980. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam-Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004. M.D. Sistem Pendidikan Islam, Makalah, disajikan dalam seminar “Implementasi Akhlak AlQur’an di Musabaqah Al-Qur’an Metodik Pendidikan Islam Progresif ”. Kamis, 19 Rajab /26 September Fakultas Tarbiyah UBINSA, 2002 Muhaimin dan A. Mujib. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kumpulan Undang-undang tentang Pendidikan kompilasi oleh Afnil Guza. Jakarta: Asa mandiri. Muhaimin, et. Al. Paradigma Pendidikan Islam-Upaya Mengefektifkan Agama Islam Disekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Mengefekkan Pendidikan Agama di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 M.Arifin, M.Ed. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1994 M. Amin Abdullah, Antara Al Ghazali dan Kant; Filsafat Etika Islam, Bandung; Mizan , 2002 Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan suatu Pendekatan Baru , Bandung; Remaja Rosdakarya, 1995. M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Tiori dan Konsep Ilmu Sosial, Bandung; PT. Eresko Bandung , 1995 Muhammad Nawawy Al-Jawawy. Muraqil Ubudiyah fi Syarhil Biayatul Hidayah, Semarang : Toha Putra. 1985. Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Jakarta: PT. Alhidayah, 1965. Marsel R, Payong, Evaluasi Pembelajaran, Ruteng: SKIP ST, Paulus, 2007. Maselus R. Payong, Sertifikasi Profesi Guru-Konsep Dasar, Problematika, Implementasinya, Jakarta: Indeks, 2011 Michael Eraut, Developing Professional Knoledge and Competence, dalam T.R. Guskey dan M Huberman (ed), Professional Develoment In Educatioan : New Paradigms and Practies, Colombia: Teachers College Press, 2995. Marsel R. Payong, Komunikasi Pembelajaran, Ruteng: STKIP St. Paulus, 2000.
Nathaniel Branden, The Psychology Of Self-Esteem, Tonoko: Bantan Books, 1981, hal 10 dalam Marselus, 2011 NCES, Teacher tools for the 21ST Century: S report on the teacher use of teknology, Washinton DC: US Departemen of education, office of educaation Reseach an imprrovment, 2000 hal, diakses http:nces.ed.gov.20 november 2014 Nawawi, Hadari. Organisasi Sekolah dan Pengelolan Kelas. Jakarta: CV. H. Masagung. 1989. Nana Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 1997. Nurcholis Madjid, “Masalah Pendidikan Agama Di Sekolah Menengah Umum”.dalam Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi, Editor Fuaduddin & Cik Hasan Basri, Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1999. Permendiknas RI No. 23 Th. 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas, 2006, baca juga Permendiknas RI No. 6 Th. 2007 tentang Perubahan Permendiknas RI No. 24 Th. 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas RI no 22 dan 23 Th. 2006. Pembelajaran sainstifik yaitu pembelajaran berbasis metode Ilmiah di mana pembelajaran Agama Islam harus diulang dengan prinsip-prinsip Ilmiah (obyektif Rasional, impiris/faktual) sesuai dengan semangat kurikulum 2013 Paul Suparno, Filsafat Kontrutivisme Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997 ;Konstruktivisme dalam pendidikan, Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1997 Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Partnership for 21st Century Skills, Learning for the 21st Century, A Report and Mile Guide for 21st Century Skills, tanpa tahun, tanpa penerbit (dalam buku Maselus R. Payong, 2011). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan Dasar dan Menengah Kurikulum 2013 Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Kurikulum 2013. Redja Mudyharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2002 Rostiyah N.K, Masalah Pengajaran Sebagai Suatu Sistem, Jakarta: Bina Aksara, 1985. Rusman, model-model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru, Jakarta: PT. Rajawali Perss, 2011.
Rahman Natawijaya, Meningkatkan Kualitas Professional Guru Sd Melalui Pemantapan Lembaga Pendidikan, Makalah Seminar, Bandung PGRI, 1989 Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Subandijad, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1993. Sukardi, Evaluasi Pendidikan, Prinsip dan Operasionalnya, Jakarta: Bumi Aksara, 2008 Sayyid Qutb.Tafsir Fadhilali Al-Qur’an, Cairo-Mesir: Darul Fikri.1985. Sayyed Naquib Alattas, Aims and Objectivies of Islamic Education. King Abdul Aziz University.Jeddah, 1997. Satrio Soemantri Brodjonegoro. “Wacana tentang Pendidikan Agama Islam” dalam Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi Editor Fuaduddin & Cik Hasan Basri, Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1999. Sutarmi Imam Barnadhib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis,Yogyakarta : Andi Offset , 1997 Tilaar, H.A.R.,Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Magelang: Tera Indonesia, 1998. Tafsir, Ahmad. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung: Rosda Karya, 1992. Tayar Yusuf , Ilmu Praktek Mengajar: Metodik Khusus Pengajaran Agama, Bandung :PT . Al-Maarif, 1985. Tafsir, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990. Thomas Gordon, Menjadi Guru Efektif, (terjemah Aditya Kumara Dewi), Jakarta: PT. Gramedia, 1997. T. Raka Joni, Pembelajaran yang mendidik: artikulasi Konseptual, terapan konstekstual, dan vrivikasi emperik, jurnal ilmu pendidikan, jilid 12 No.2, 2005. Unong Uchana Efendi, Ilmu, teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru. W.J.S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai Pustaka, 1982 Winarno Surahmad, Metode Pengajaran Nasional, Jermmars, Bandung: 1980. Zakiah Daradjat. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: Bumi Aksara,1995.
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996