MENGGAGAS PERIKLANAN TELEVISI YANG SANTUN DENGAN MENGANGKAT KEARIFAN LOKAL BAHASA JAWA Dian Marhaeni K Abstrak Iklan televisi adalah salah satu karya komunikasi pemasaran yang unik dan menarik. Agar mencapai tujuan komunikasi, desain iklan dirancang penuh kreatifitas. Salah satunya adalah penyusunan pesan dengan kata-kata yang tepat, sehingga unsur bahasa menjadi sesuatu yang penting. Kondisi periklanan televisi Indonesia saat ini terjadi pemusatan bahasa iklan. Iklan televisi nasional cenderung menggunakan bahasa Nasional untuk mewakili aneka jenis produk dengan sasaran yang segmentatif. Terjadi reduksi bahasa iklan lokal. Penting menggagas periklanan yang santun berdasarkan kearifan lokal ini. Tulisan ini memfokuskan pada gagasan mengangkat bahasa Jawa sebagai produk budaya lokal dalam iklan televisi Indonesia.
Pendahuluan Periklanan merupakan salah satu kegiatan komunikasi pemasaran yang cukup efektif di media massa khususnya televisi. Melalui iklan di media televisi, radio, surat kabar dan majalah, media luar ruang hingga iklan media on line, para pemilik produk menyampaikan informasi produknya di media tersebut. Salah satu media favorit adalah televisi. Kalau kita amati iklan televisi, kita akan mendapati unsur kreatif periklanan yang sangat dinamis. Baik itu dari segi desain visual maupun penciptaan pesannya. Produk iklan televisi sangatlah bervariasi. Iklan makanan dan minuman, iklan obat-obatan, iklan barang konsumsi,
iklan perbankan, iklan kendaraan, iklan perumahan hingga iklan
provider dan pariwisata. Sebuah fenomena yang menarik manakala tampilan iklan televisi didesain dengan kreatifitas yang unik sehingga menarik perhatian pemirsa. Bidang kreatif periklanan tidak ada hentinya menciptakan pesan yang cantik dan diingat pemirsanya. Coba simak beberapa tag line berikut. “ Lo Gue End”, “Biskuit Hollanda Biskuitnya para Raja”, “Tinggi itu keatas tidak kesamping”, atau pesan yang ini “Kulit putih cantik merona ” atau
”Berani Kotor itu baik”. Bagi pemerhati iklan, pesan-pesan tersebut sering kita dengar. Susunan kata dalam pesan iklan sangat sederhana namun mampu menarik perhatian pemirsa. Iklan-iklan senada menghiasi layar televisi Indonesia setiap hari. Iklan produk yang didominasi oleh produk nasional dan multinasional, sabun, shampo, pasta gigi, pewangi pakaian, pembersih lantai, kosmetik, soft drink, rokok, kecap, gula pasir, teh, kopi, mie instans dan lainlain. Bisa dikatakan jarang produk lokal muncul ditelevisi nasional. Sementara
penonton
televisi sebagian besar tinggal di daerah dengan ciri khas produknya yang unik, yang berbeda di masing-masing daerah.
Seluruh bangsa Indonesia berinteraksi dengan televisi.
Masyarakat Indonesia sangat
heterogen, terdiri dari 13.000 pulau (http://www.antaranews.com/berita/1282043158/hasilsurvei-terbaru-jumlah-pulau-indonesia), adapun tercatat pada kementrian Pariwisata, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah total pulau mencapai 17.508 pulau. Terdiri dari 5 kepulauan besar dan 30 kelompok kepulauan kecil. Termasuk 9.634 pulau yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni. Di dalamnya ada 3 dari 6 pulau terbesar didunia, yaitu : Kalimantan sebagai pulau terbesar ketiga di dunia dengan luas 539.460 km², Sumatera luasnya 473.606 km² dan Papua yang luasnya 421.981 km².. ( http://www.indonesia.travel/id/travel-information/indonesian-phrases/28 Agustus 2012)
Pulau Jawa adalah pulau terpadat di dunia yaitu sekitar 60% penduduk Indonesia atau sekitar 130 juta jiwa tinggal di pulau yang luasnya hanya 7% dari seluruh wilayah RI. Indonesia adalah negara maritim terbesar di dunia dengan perairan seluas 93.000 km² dan panjang pantai sekitar 81.000 km² atau hampir 25% dari panjang pantai di dunia.
Indonesia memiliki suku bangsa yang terbanyak di dunia. Yaitu terdapat lebih dari 740 suku bangsa atau etnis, bahkan di Papua saja terdapat 270 suku. Dengan jumlah suku sebanyak itu menjadikan Indonesia memiliki bahasa daerah terbanyak, yaitu 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia. Meski banyak memiliki bahasa
daerah namun bahasa nasionalnya yaitu Bahasa Indonesia mampu menyatukannya tanpa menghilangkan
tutur
bahasa
daerahnya. (
http://www.indonesia.travel/id/travel-
information/indonesian-phrases/28 Agustus 2012)
Pada prinsipnya tayangan iklan televisi memiliki dua unsur penting, pertama adalah unsur visual berupa gambar, atau adegan dalam tayangan iklan, dan kedua adalah unsur verbal berupa tulisan atau pesan lisan yang disampaikan bintang iklan atau seorang narator iklan. Dalam penyusunan pesan iklan, unsur bahasa menjadi hal yang penting. Karena melalui bahasa ini informasi yang ingin disampaikan pemilik produk dapat dikomunikasikan. Bahasa memiliki dua unsur yaitu penanda dan tertanda. Penanda adalah bahasa itu sendiri, sebuah bunyi, ucapan yang menunjuk kepada sesuatu yang penujukan itu melalui kesepakatan bersama. Sedangkan tertanda adalah makna dari bunyi atau ucapan itu sendiri. Bahasa iklan di televisi nasional belum dapat mewakili kepentingan daerah atau kearifan lokal masyarakat setempat. Pertama dalam produk, karena produk iklan adalah produk nasional dan produk internasional maka pilihan bahasa yang digunakan adalah bahasa nasional dan internasional. Kedua makna bahasa yang dibangun iklan televisi nasional adalah mewakili makna dalam pemahaman nasional dan internasional. Contoh penggunakan bahasa “Lo Gue end “ dalam sebuah iklan provider menunjukkan pemilihan kata Lo dan Gue adalah bahasa Jakarta, yang identik bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Sedangkan konsumen provider sebagiannya adalah masyarakat Jawa—focus dalam studi ini-- yang menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari. Dalam studi ini penulis memfokuskan pada bahasa Jawa sebagai salah satu bahasa ibu di Indonesia yang dipakai sebagai bahasa komunikasi oleh masyarakat Jawa yang tinggal di pulau Jawa dan diluar pulau Jawa. Dengan pertimbangan di Pulau Jawa terletak ibukota negara Indonesia, pulau dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi. Dalam arti bahasa sebagai makna, bagaimana konsep cantik secara nasional?, apakah sama dengan konsep cantik
secara lokal. Konsep cantik dalam konsep
nasional dan
multinasional yang dibangun oleh
iklan sering diidentikkan dengan berkulit putih, tinggi,
berwajah indo. Apakah demikian halnya dengan konsep tersebut bagi masyarakat Jawa? Dengan mengambil latar belakang kearifan lokal bahasa Jawa, permasalahannya adalah mengapa terjadi pemusatan bahasa nasional dan mereduksi bahasa lokal dalam tayangan iklan televisi? bagaimana menggagas periklanan televisi yang santun dengan mengangkat kearifan lokal bahasa Jawa. Latar Belakang Periklanan Moderen Berbicara tentang dunia periklanan mau tidak mau kita harus berpijak pada Cikal bakal periklanan dunia dimasa lalu. Ada beberapa versi alur perkembangan ini karena muncul dari pendapat beberapa
pakar. Salah satunya
dari W Ronald Lane dkk yang memulai jejak
periklanan dari Era prapemasaran, era ini dimulai sejak dimulainya tukar menukar produk pada masa prasejarah
hingga pertengahan abad ketujuh belas. Pada masa itu pembeli dan penjual
berkomunikasi dengan cara yang masih sangat primitif. Pada periode ini “media” seperti lempeng tembikar, peneriak kota dan tanda-tanda kedai minuman merupakan cara terbaik untuk menjangkau calon pembeli produk dan jasa. Pada akhir periode ini cetak primitif muncul sebagai pelopor media massa moderen. (W Ronald Lane :2009:12-13) Era berikutnya adalah komunikasi massal, era ini ditandai dengan aktifitas pengiklan mampu menjangkau segmen populasi yang semakin luas. Surat kabar massal muncul pada era 1830-an diikuti sejumlah majalah nasional. Pada era 1920-an memasuki era radio dimana periklanan radio disampaikan secara cuma-cuma pada setiap rumah tangga di Amerika. Pada era komunikasi massal pengiklan mulai melakukan diferensiasi merek. Selanjutnya adalah era penelitian pada era ini pengiklan memakai sejumlah teknik untuk menjangkau dan memotivasi pemirsa massal. Dengan merefleksikan sifat media yang lebih bersifat pribadi, pengiklan mengganti focus mereka pada teknik yang lebih canggih untuk mengenali dan menjangkau
pemirsa sasaran yang lebih sempit dengan pesan yang disiapkan secara khusus untuk kelompok atau individu khusus. Era selanjutnya disebut era interaktif. Model ini menciptakan konsumen partisipan yang aktif dalam proses komunikasi. Pada era interaktif komunikasi akan semakin dikendalikan konsumen yang akan menentukan kapan dan dimana mereka dapat dijangkau dengan pesan promosi. (W Ronald Lane :2009:12-13) Era pergeseran menuju kreatifitas dalam periklanan dimulai manakala
perusahaan
periklanan asli seolah hanya berfungsi sebagai pedagang perantara ruang media tetapi perubahan dalam lingkungan perekonomian memaksa biro iklan maupun klien-klien mereka untuk menekankan fungsi kreatif. Cikal Bakal Periklanan di Indonesia Di Indonesia sejarah ditandai dengan muncul secara bersamaan dengan surat kabar di Indonesia. Pada masa awal kehidupan pers Indonesia dapat disebut juga bahwa
surat kabar
tidak lain adalah advertentieblad ( media iklan ) belaka. Pada masa itu, koran (dari bahasa Belanda:het krant) misalnya, sebagian besar isi beritanya adalah iklan tentang perdagangan, pelelangan, dan pengumuman resmi pemerintah Hindia Belanda. Pada awal abad ke-20 perusahaan periklanan terbesar saat itu, Aneta
mendatangkan tiga orang tenaga spesialis
periklanan dari negeri Belanda. Mereka adalah F. Van Bemmel, Is van Mens, dan Cor van Deutekom. Mereka didatangkan atas sponsorship BPM ( Bataafsche Petroleum Maatschappij, perusahaan minyak terbesar saat itu) dan General Motors yang perlu mempromosikan produkproduk mereka. ( Bondan Winarno:2009) Pada masa perintisan periklanan di Indonesia, sebuah babak baru muncul dimana hampir semua perusahaan periklanan
merupakan afiliasi perusahaan media—sesuatu yang dimasa
sekarang justru dianggap sebagai pembenturan kepentingan ( conflict of interest). Pemilik surat kabar Java Bode, misalnya, juga memiliki sebuah perusahaan periklanan HM van Dorp yang
diawaki oleh seorang bernama C.A. Kruseman. Ia dianggap sebagai salah seorang perintis dalam periklanan di Indonesia. Sejak awal bisnis media di Indonesia tidak terlepas dari keterlibatan orang-orang etnis Tionghoa. Yap Goan Ho, adalah seorang yang sudah bertahun-tahun bekerja sebagai copywriter diperusahaan periklanan De Locomotief, kemjudian mendirikan perusahaan periklanan sendiri di Jakarta. Perusahaannya dikontrak oleh surat kabar berbahasa Melayu, Sinar terang khusus dengan tujuan untuk mendatangkan iklan bagi perusahan itu. Tokoh keturunan Tionghoa lainnya adalah Liem Bie Goan, juga memiliki perusahaan periklanan yang dikontrak surat kabar Pertja Barat untuk menangani iklan-iklannya. Juga seorang bernama Tie Ping Goan ( lebih dikenal dengan nama samaran Kadhool ) yang dikontak perusahaan periklanannya oleh surat kabar Tjaja Soematra. ( Bondan Winarno:2009) Tokoh-tokoh perintis periklanan pribumi diantaranya adalah R.M. Tirto Adisoeryo, Raden Goenawan, dan Tjokroamodjojo. Adisoryo adalah pemilik surat kabar Medan Prijaji yang beredar di Batavia. Ia kemudian mendirikan perusahaan periklanan yang dipercayakan kepada Goenawan, sorang yang sebelumnya pernah bekerja di per-iklanan NV Soesman’s Tjokroamodjojo adalah seorang aktivis
Sarikat Dagang Islam di semarang yang
menerbitkan surat kabar sinar Djawa. Sebagai orang yang berpengalaman di bidang copywriter, Tjokro tahu manfaat iklan dan kemudian juga mendirikan sebuah perusahaan periklanan sebagai bagian penting usaha penerbitannya. Tokoh-tokoh penting lainnya adalah M.Sastrositojo dari Medan Moeslimin, Abdoel Moeis dari Neratja, Liem Kha Tong dari Ming, Joedoprajitno dari Jupiter, Hendromartono dari Mardi Hoetomo, dan S. Soemodihardjo dari Economic Blad. (Bedjo Riyanto:2000:15) Perusahan periklanan perintis di Indonesia
Salah satu perusahaan consumer products yang aktif beriklan pada masa itu adalah Unilever—Amalgamasi perusahaan Margarine union (Belanda) dan Lever Brother (Inggris)— yang sejak tahun 1993 telah membangun pabrik sabun di Bacherachtsgrachr, Batavia (sekarang Angke, Jakarta Barat). Setelah berdirinya pabrik sabun itu, Unilever juga membangun pabrik margarin. Sebelumnya, produk-produk diimpor langsung diimpor dari negeri Belanda. Hadirnya Unilever juga kemudian membawa masuknya cikal bakal bakal Lintas ( Lever International advertising services) ke Nusantara. Lintas sebelumnya adalah divisi periklanan dari Lever Brothers, sebelum kemudian berdiri sendiri menjadi perusahaan periklanan independen. Pada masa-masa awal, Lintas
yang berlogo bola dunia ini telah melakukan adaptasi bentuk-
bentuk iklan yang telah mereka luncurkan terhadap produk-produk serupa di bagian dunia lainnya, serta melakukan media placement. Pada masa itu Lintas sudah memiliki keberanian membuat iklan dalam bahasa daerah. Misalnya iklan margarin Blue Band “Blue Band dalam bahasa Sunda memakai judul “ Poemuda Sehat.....Rajat Kiat” (Pemuda Sehat Rakyat Kuat), dengan tagline “ Blue Band Mengandoeng Seueur Vitamin” (Mengandung banyak vitamin). ( Bondan Winarno:2009) Sebelum masa kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa perusahaan periklanan (ketika itu disebut reclamebureau atau advertentiebureau) sudah beroperasi di Indonesia hingga masa pendudukan Jepang. Perusahaan periklanan yang terkenal di Jakarta antara lain A de la Mar, di Koningsplein sekarang Jalan Medan Medeka Utara, Aneta di Passer Baroe, Globe di jalan Kali Besar Timur, IRAB di Molenvliet sekarang di jalan Hayam Wuruk, Preciosa, di Gang Secretarie dan Elite. Hampir semua perusahaan periklanan itu dipimpin oleh orang-orang Belanda, kecuali IRAB dan Elite yang diselenggarakan oleh kaum bumiputera. Pada masa pendudukan Jepang merosotnya aktivitas ekonomi ikut mengerdilkan periklanan Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan republik Indonesia bergairah kembali. Namun itu tidak berlangsung lama karena ada peristiwa agresi militer Belanda yang
menyebabkan ibukota negara dipindah ke Jogyakarta. Setelah ibukota negara kembali ke Jakarta, perekonomian mulai bangkit kembali. Perusahaan-perusahaan nasional bermunculan hal ini dibarengi juga oleh perusahaan multinasional. Dunia periklanan bangkit lagi. Beberapa perusahaan periklanan terkenal diantaranya Azeta, contact, Cotey, de Unie, Elite, Garuda, Grafika, Lintas, Reka dan lain-lain. Pada masa itu dan memasuki tahun 1950-an iklan media cetak banyak dipenuhi iklan obat-obatan. ( Bondan Winarno:2009) Munculnya Asosiasi Periklanan Indonesia. Ada tiga istilah umum untuk menyebut advertising, yaitu: reklame, advertensi, dan iklan. Reklame berasal dari bahasa Belanda yang disebut reclame. Advertensi berasal dari bahasa Belanda advertentie yang juga mengacu kepada bahasa Inggris advertising. Sedangkan iklan berasal dari bahasa Arah yaitu: I’lan atau I’lanun yang diartikan informasi. Pada tahun 1951 istilah iklan pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh pers Indonesia, Soedarjo Tjokrosisworo untuk menggantikan istilah reklame atau advertising yang kebelanda-belandaaan. Dengan semangat kebangsaan sebuah biro reklame di Bandung mengubah namanya menjadi Balai iklan yang sebelumnya bernama Medium. Atas prakarsa dan dukungan beberapa perusahaan periklanan yang berdomisili di Jakarta dan Bandung, pada awal September 1949 dilembagakan sebuah asosiasi bagi perusahaanperusahaan periklanan. Asosiasi ini diberi nama Bond van Reclamebureaux Indonesia atau dalam bahasa Indonesia Perserikatan Biro Reklame Indonesia (PBRI). PBRI beranggotakan 11 perusahaan periklanan besar dan didominasi oleh orang-orang Belanda. Perusahaan-perusahaan kecil merasa bahwa aspirasinya tidak tersampaikan dalam wadah PBRI. Suasana ini mendorong munculnya perusahaan
periklanan nasional yang dipelopori
orang-orang Indonesia. Serikat Biro Reklame Nasional (SBRN) dibentuk pada tahun 1953.
SBRN memiliki anggota sebanyak 13 perusahaan periklanan. SBRN masih eksis menggunakan istilah Belanda reklame meskipun para anggota adalah orang pribumi. Terpecahnya asosiasi perusahaan periklanan yang membentukl kelompok tersendiri membuat prihatin. F. Berkhout, ketua PBRI saat itu menghubungi beberapa pimpinan SBRN untuk menawarkan sebuah fusi atau peleburan dari asosiasi tersebut.
Gagasan fusi diterima
dan orang-orang Belanda memilih mengundurkan diri dan digantikan oleh pribumi Indonesia. Namun pada kenyataannya terjadi perpecahan di SBRN, sehingga semua anggotanya mengundurkan diri dan bergabung dalam PBRI. Gagasan nasionalisme melalui Indonesianisasi pengurus PBRI juga tidak berjalan mulus. Para aktivis periklanan Indonesia merasa masih membutuhkan orang-orang Belanda demi pembinaan dan pengembangan PBRI sertta industri periklanan Indonesia. Lalu dipilihlah pengusaha muda Indonesia pemilik Bhineka sebagai wakil ketua PBRI. Posisi ketua masih dipegang oleh F. Berkhout. Aktivis Indonesia lainnya menduduki jabatan wakil sekretaris, wakil bendahara dan berbagai fungsi. Pada tahun 1956 melalui forum rapat umum anggota, Muhammad Napis dikukuhkan sebagai ketua PBRI. Setahun kemudian pada tahun 1957, PBRI menyelenggarakan konggres Reklame seluruh Indonesia yang pertama. Dalam konggres tersebut, kata “perserikatan” dalam nama PBRI diubah menjadi “Persatuan”(Bondan Winarno :2009) Iklan dan perekonomian nasional Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia iklan bagi media belum mampu mendukung kehidupan pers secara signifikan. Tarif iklan masih rendah. Krena harga iklan Rp 1 perbaris, sedangkan harga koran Rp 3. Sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan tarif iklan dan perbandingan harga media cetak saat ini.
Denyut iklan di Indonesia berjalan seiring dengan suasana politik dan ekonomi negara ini. Banyak partai politik bermunculam sehingga sektor dana banyak lari kesana. Kondisi politik dan ekonomi diperparah dengan berbagai krisis yang terus menerus di alami bangsa Indonesia. Mulai dari konferensi Meja Bundar, masalah Irian Barat, nasionalisasi perusahaan Belanda ke Indonesia, perpecahan dwi-tunggal Sorkarno dan Hatta, kabionet karya Djuanda, politik demokrasi ekonomi Bung karno, Dekrit presiden. Hingga pada puncaknya kisruh politik pada peristiwa pemberontakan G 30 S PKI tahun 1965. Kepemimpinan Soeharto yang kemudian secara efektif menjadi Presiden Republik Indonesia menandai babak baru perekonomian Indonesia. Pada tahun 1967, pemerintah menerbitkan Undang-Undang tentang penanaman Modal Asing, disusul dengan Undang-Undang tentang Penanaman Modal dalam negeri pada tahun 1968. Era kapitalistik secara secara luar biasa mendorong pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia. Cara berusaha (way of working) perusahaan-perusahaan multinasional inilah yang kemudian memberi nafas baru bagi hadirnya konsep pemasaran dan periklanan moderen Indonesia. Sebuah era baru pula bagi pertumbuhan periklanan Indonesia. Perlu digarisbawahi adanya latar belakang yang panjang industri periklanan di Indonesia adalah dominasi asing, mulai dari orang Belanda, Tionghoa, baru Pribumi. Hal ini sejalan dengan perkembangan perekonomian dimana pemilik produk pada mulanya adalah orang asing dan baru Pribumi.
Sedangkan sentra industri dan pelopor atau pelaku industri sejak awal adalah
di Jawa dan Sumatra mengingat disana penduduknya cukup potensial sebagai pasar. Bahasa Alat Komunikasi Pentingnya unsur bahasa dalam sebagai alat komunikasi.
Bahasa dapat dibayangkan
sebagai kode atau sistem simbol yang kita gunakan untuk membentuk pesan-pesan verbal kita. Kita dapat mendefinisikan bahasa sebagai sistem produktif yang dapat dialih-alihkan dan terdiri
atas simbol-simbol yang cepat lenyap (rapidly fading), bermakna bebas (arbitrary), serta dipancarkan secara kultural.(De Vito:2001) Bahasa bersifat produktif, terbuka, kreatif. Setiap pesan verbal kita merupakan gagasangagasan baru. Setiap gagasan bersifat baru. Ketika kita berbicara kita tidak mengulang ulang kalimat hasil mengingat melainkan menciptakan sendiri kalimat-kalimat baru. Demikian juga pemahaman kita atas pesan-pesan verbal menunjukkan produktivitas atau pemahaman pemikiran-pemikiran baru yang dikemukakan.dimensi lain dari produktivitas adalah bahwa sistem pesan manusia memungkinkan terciptanya kata-kata baru Bahasa memiliki fungsi pengalihan (displacement), kita dapat berbicara mengenai hal-hal yang jauh dari kita baik dari tempat maupun waktu. Kita dapat berbicara tentang masa lalu dan masa depan semudah kita berbicara tentang masa kini. Dan kita dapat berbicara tentang hal-hal yang tidak pernah kita lihat. Bahasa bersifat pelenyapan cepat, suara bicara melenyap dengan cepat. Suara harus diterima segera setelah dikirimkan atau kita tidak akan pernah menerimanya. Simbol-simbol akan lenyap karena isyarat suara bisa jadi merupakan media yang paling tidak permanen diantara media komunikasi lainnya. Bahasa juga memiliki kebebasan makna (arbitrary) isyarat bahasa tidak memiliki karakteristik atau sifat fisik dari benda atau hal yang mereka gambarkan. Suatu kata memiliki arti atau makna yang mereka gambarkan karena kitalah yang secara bebas menentukan arti atau maknanya. Bahasa merupakan transmisi budaya. Bentuk bahasa manusia dipancarkan secara budaya atau tradisional (culturally transmitted). Karunia genetik bahasa bagi manusia berkaitan dengan bahasa manusia secara umum, tidak dengan bahasa manusia tertentu.
Karena sifat-sifat bahasa yang demikian berimplikasi kepada komunikasi antar manusia. Produktivitas memungkinkan kita menciptakan kalimat-kalimat yang belum pernah kita ucapkan sebelumnya secara tidak terbatas. Tetapi kalimat-kalimat ini harus mengikuti aturan atau kaidah bahasa agar dimengerti orang lain. Artinya produktivitas bekerja dalam batas sistem kaidah yang terdefinisi secara jelasa dan terperinci apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Komunikasi yang efektif dimulai dengan, dan dalam batas-batas kaidah bahasa. Makin banyak kita melanggar kaidah bahasa, makin kecil kemungkinan pesan kita dimengerti orang lain. Pengalihan bersama produktivitas memungkinkan kita berdusta. Karena kita mampu menciptakan pemikiran-pemikiran baru (produktivitas) dan karena pemikiran-pemikiran baru ini tidak terbatas hanya pada apa yang ada dalam lingkungan disekitar kita (pengalihan). Tidak ada kendala bahasa yang membatasi gagasan kita untuk menguraikan secara akurat kenyataan yang ada. Yang terpenting adalah bahwa kalimat yang benar dan kalimat yang dusta memiliki bentuk yang sama. Kebenaran dan kebohongan tidak bisa ditentukan melalui analisis linguistik. Memiliki kemudahan dimengerti dengan cepat (instant intelligibility)karena cepat lenyap pesan-pesan lisan kita harus mudah dimengerti, jika tidak mereka akan hilang. Selanjutnya tentang makna dan kebebasan makna, karena semua simbol linguistik bebas diberi makna, kita perlu mencari makna tidak saja pada kata-kata, melalinkan juga pada orang
yang
mengomunikasikannya. Kita perlu mengetahui bukan hanya pada apa yang dikatakan tetapi juga apa yang dimaksudkan. Persepsi yang berbeda lazim terjadi oleh karena itu kita perlu mengecek ulang dengan pembicara untuk mengerti apa yang dimaksudkannya dan tidak mengartikan sendiri. Bahasa berada dalam sistem makna. Jika bukan kebutuhan kita untuk mengkomunikasikan makna, bahasa tidak akan ada. Dari semua fungsi bahasa , komunikasi makana dari satu orang ke orang lain adalah paling penting. Karena itu makna harus ditempatkan pada posisi sentral dalam setiap usaha untuk menjelaskan bahasa.
Pemberian makna merupakan proses yang aktif. Makna diciptakan dengan kerjasama diatara sumber dan penerima, pembicara dan pendengar, penulis dan pembaca. Karena proses makna tersebut berimplikasi bagi komunikasi antara manusia. Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata ini tidak sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian juga makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda
dengan makna yang ingin kita
komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk memproduksi, dibenak pendengar, apa yang ada dalam benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah. Makna selalu berubah. Sedangkan kata-kata relatif statis. Makna dari kata-kata terus berubah dan ini khususnya pada dimensi emosional dari makna. Makna juga membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal kata John ( De Vito: 2001) bilamana bila ia memiliki kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Makna tidak terbatas jumlahnya,
jumlah kata dalam
suatu bahasa terbatas tetapi
maknanya tidak terbatas. Ini dapat menimbulkan masalah bila sebuah kata diartikan berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi. Bila kedauanya ada keraguan lebih baik bertanya dan bukan membuat asumsi sehingga ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing pihak diketahui. Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna itu yang benar-benar dapat dijelaskan. Makna juga bersifat denotatif dan konotatif. Makna denotatif bersifat objektif dan makna konotatif bersifat subjektif atau sangat pribadi. ( De Vito: 2001) Keunikan Kearifan Lokal Bahasa Jawa dan Penggunaanya Dalam Komunikasi
Orang Jawa menggunakan bahasa Jawa untuk komunikasi. Pemakai bahasa Jawa dituntut oleh masyarakatnya untuk menggunakan tataran bahasa Jawa secara tepat, sesuai dengan kedudukan seseorang di dalam keluarga, status sosial, kedudukan dan martabatnya, umur. Tingkatan bahasa dalam masyarakat Jawa dipakai sebagai unggah-ungguh. Unggah ungguh berarti tata sopan santun.( Purwadi, 2011) Ragam komunikasi dengan menggunakan basa krama dapat diklasifikasi menjadi lima golongan, yaitu basa krama mudha krama, basa kramantara, basa wredha krama, basa krama inggil dan basa krama desa.( Purwadi, 2011) Basa krama mudha adalah basa yang dipakai untuk semua kalangan tidak bersandarkan pada kedudukan pembicara dan orang yang diajak bicara. Atau
basa yang dipakai untuk
kalangan sebaya. Sesuai kelaziman maka orang yang mengajak bicara menggunakan bahasa yang merendahkan diri (menunjukkan kerendahan
hati) dan orang yang diajak bicara
menggunakan bahasa penghormatan. Bahasa krama mudha digunakan orang muda ketika berbicara dengan orang tua. Atau seorang berkedudukan rendah kepada orang yang berkedudukan lebih tinggi dengan hubungan komunikasi yang sudah intens. Misalnya orang mudha mengatakan kepada orang tua nyaosi (memberi), sedangkan orang tua kepada yang muda maringi (memberi). Demikian kesopanan yang dijaga agar hubungan komunikasi diatara mereka tetap harmonis. Adapun ragam basa kramantara adalah bahasa yang lazim digunakan dalam pergaulan komunikasi antara orang tua kepada orang muda. Bahasa yang digunakan adalah krama biasa dan tidak menggunakan krama inggil. Penggunakan bahasa kramantara ini dimaksudkan untuk menjaga kesopanan pada orang yang saling berkomunikasi. Masing-masing saling menghormati dan menunjukkan keakraban.
Mirip dengan basa kramantara adalah wredha krama. Basa wredha krama dipakai oleh orang tua kepada orang muda atau orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi.tentu saja penggunannya tetap menjaga etika sopan santun. Tingkatan basa Jawa yang paling tinggi adalah krama inggil. Basa krma inggil menggunakan kata-kata krama dan dicampur dengan krama inggil. Basa krma inggil digunakan oleh orang yang berkedudukan rendah atau bermartabat rendah, orang muda kepada orang tua yang dihormati atau priyayi luhur. Karena basa krama inggil memiliki karakter bahasa yang sangat halus sehingga jarang dipergunakan dalam komunikasi sehari-hari. Basa krama inggil tetap dipergunakan sampai sekarang dikalangan keraton dan kalangan bangsawan di sekitar keraton. Di wilayah Yogyakarta basa krama inggil juga masih digunakan seorang anak kepada orang tuanya. Ada jenis basa Jawa yang unik yaitu krama desa. Ciri-ciri krama desa diantara adalah sebagai berikut. Kata-kata yang sudah krama, dikramakan lagi. Misalnya uang basa kramanya arto, dikramakan lagi nyotro. Nama kota dikramakan misalnya Wonosari menjadi Wonosunten, Boyolali menjadi bajul kesupen,
Semarang
menjadi Semawis. Nama tanaman, biji-bijian
dikramakan. Seperti kedhele menjadi kedangsul. Nama binatang dikramakan misalnya jagung dikramakan boga. Pari dikramakan pantun. Penggunakan basa krama desa maksud sebenarnya digunakan untuk memberi penghormatan kepada yang diajak bicara, namun sering dalam prakteknya terlalu berlebihan sehingga keluar dari etika kaidah basa yang berlaku dalam tataran basa masyarakat Jawa. Bahasa Nasional dan Internasional Periklanan Konsep kreatif iklan terdiri dari unsur kata-kata dan visual ( Sandra dkk, 2001). Kata-kata adalah bahasa itu sendiri. Melalui bahasa pesan iklan mampu dipahami oleh pemirsa. Unsur lainnya adalah visual, visual iklan muncul sebagai gambar atau adegan. Bahasa iklan terdiri dari dua unsur, yaitu bahasa verbal dan non verbal. Bahasa verbal adalah bahasa yang dilakukan
manusia melalui perantaraan lisan dan atau tulisan. Adapun bahasa non verbal adalah bahasa tubuh atau isyarat yang lain. Bahasa periklanan di Indonesia adalah bahasa Nasional Indonesia
atau bahasa
Internasional. Pertanyaannya siapa pemilik bahasa itu?, siapa yang menggunakan bahasa Indonesia ? Dan dimana wilayah mereka tinggal?. Kalau ditelusuri berapa orang bangsa ini yang secara keseharian memakai bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi sehari-hari. Misalnya ketika bertemu teman lama, di dalam keluarga, dan dalam transaksi bisnis. Orang Surabaya akan tetap menggunakan logat Surabayanya yang medok dalam transaksi bisnisnya di Jakarta. Demikian juga orang Padang, orang Tegal, Medan, Jawa, Banyumas, Madura dan lain-lain. Karena penggunaan bahasa daerah memiliki cultural historis sebagai implementasi dari jiwa keterikatan daerah (in group). Bagi bangsa perantau, pengunaan bahasa daerah di tanah rantau menjadi penting karena mereka merasa bak bekerja di tanah kelahiran sendiri. Selain bahasa nasional Internasional sebagai
berapa prosen warga negara ini yang menggunakan bahasa
komunikasi sehari-hari.
Indonesia kaya dengan produk daerah atau
produk lokal yang merupakan kekayaan alam dan kekayaan budaya bangsa. Kekayaan budaya juga disempurnakan dengan kekayaan bahasanya. namun itu belum optimal mengangkat bahasa lokal sebagai kearifan budaya lokal, yang lebih dipahami masyarakatnya dan secara cultural lebih dekat dari sisi emosi. Makna bahasa periklanan Demikian juga dengan penafsiran makna pesan periklanan yang lebih merepresentasikan makna nasional dan internasional. Iklan wanita yang dominan menawarkan cream pemutih (whitening). Dalam image periklanan global wanita cantik digambarkan sebagai wanita yang tinggi, langsing, putih, berambut lurus dan panjang. Image ini berbeda dengan pandangan
wanita Jawa bagaimana menilai cantik. Wanita Jawa mungkin dinilai cantik karena wajah keibuannya, atau kelembutannya, atau kesahajaannya. Pesan iklan merepresentasikan anak-anak dan orang dewasa dengan minum susu agar sehat dan tumbuh tinggi. Anak-anak sering direpresentasikan ideal
apabila tumbuh tinggi.
Meskipun secara ras tubuh ideal orang Indonesia adalah berkulit sawo matang dan tubuh tidak terlalu tinggi. Makna bahasa iklan diarahkan pada makna yang berkiblat ke Barat. Dengan nilainilai budaya barat sebagai acuannya. Contoh selera makan orang Indonesia dipaksa untuk mengacu kepada bangsa Eropa. Seperti pesan iklan biskuit Hollanda. Pesan produk makanan sereal dengan pesan yang khas untuk mengganti sarapan pagi dengan secangkir sereal. Secara tidak langsung pes an-pesan iklan masuk dibenak konsumen yang lambat laun melahirkan budaya baru sarapan pagi, yang berarti juga sudah merubah kedaulatan pangan. Akibatnya semakin komplek secara ekonomi dan sosial. Contoh iklan sabun, masyarakat seperti diteror bahwa dimanapun selalu ada kuman dan itu kotor. Mungkin kita lupa sebagai bangsa Indonesia yang agraris yang keseharian para petani bergelut dengan tanah dan binatang ternak dengan penuh harap panen akan melimpah. Perbedaan persepsi bahasa menimbulkan kerancuan dalam iklan. Pemahaman Kearifan Lokal Sartini memahami dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. ( http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/45/41tanggal 27 Agustus 2012)
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah: 1. mampu bertahan terhadap budaya luar 2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar 3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli 4. mempunyai kemampuan mengendalikan 5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya. I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam http://www. balipos.co.id, didownload 17/9/2003 oleh Sartini, mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun, http://www.balipos.co.id mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal
adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Kearifan lokal adalah produk budaya.
EB Tylor menjelaskan bahwa Budaya atau
peradaban adalah kompleksitas menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan berbagai kapabilitas lainnya serta kebiasaan apa saja yang diperoleh seorang manusia
sebagai bagian dari sebuah masyarakat. (Sobirin, 2007:52)
Pemahaman budaya terus mengalami kemajuan seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Budaya tidak lagi dikaitkan dengan semata-mata dengan aspek kehidupan manusia secara umum tetapi mulai dikaitkan dengan manusia sesuai dengan kelompok-kelompoknya. Pandangan ini sejalan dengan Melville Herskovits yang mengatakan bahwa budaya adalah sebuah kerangkan pikir (construct) yang menjelaskan tentang keyakinan , perilaku, pengetahuan, kesepakatankesepakatan, nilai-nilai, tujuan yang kesemuanya itu membentuk pandang hidup (way of life) sekelompok orang. (Sobirin, 2007:53) Dalam membuat strategi kreatif, sebuah merek terkadang dihadapkan pada masalah standardisasi dan lokalisasi. Duncan (2011: 683) menyatakan strategi standardisasi (juga disebut strategi global) merupakan strategi komunikasi pemasaran internasional di mana pesan dasar merek yang sama digunakan di semua negara. Sedangkan strategi lokal merupakan strategi komunikasi pemasaran internasional di mana pesan merek disesuaikan agar sesuai dengan budaya masing-masing negara serta kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat.( Leonita K. Syarief, M.Si, Muatan Lokal insight dalam Strategi Kreatif iklan Indonesia, Prociding, 2011) Strategi standarisasi dan lokal berada pada ujung berlawanan dari strategi pemasaran. Kebanyakan strategi komunikasi pemasaran internasional terjebak strategi "berpikir secara global, bertindak lokal". Yang menentukan apakah pesan tersebut akan distandardisasi atau lokal adalah kategori produk. Situasi seperti ini terkadang membuat sebagian besar perusahaan multinasional
yang
beroperasi
dengan
strategi
komunikasi
mengkombinasikan antara strategi global yang dieksekusi secara lokal.
pemasaran
internasional
Pendekatan seperti ini menggabungkan keunggulan dari kedua strategi, yaitu: konsistensi pengembangan citra merek dan komunikasi yang berhasil mengakomodasi perbedaan budaya.
Mengapa kurang Mengangangkat Kearifan Lokal? Ada beberapa alasan mengapa iklan televisi
bahkan televisi lokal kurang mengangkat
nilai-nilai lokal dalam mendesain karya iklannya. 1. Crative periklanan Bidang Creatif yang membawahi copywriter, visualiser, typografer, dan lainnya yang berkedudukan menciptakan ide kreatif dalam sebuah industri periklanan pada prinsipnya bekerja berdasarkan hasil client brief. Melalui diskusi panjang dengan client dan bidang Creatif maka disepakati ide iklan pra eksekusi. Ada dua kepentingan dalam menyusun ide iklan ini. Pertama dari client sebagai pemilik produk tentu berharap bahwa melalui tayangan iklan ini akan dilakukan komunikasi pemasaran yang goalnya adalah transaksi pembelian atau tujuan
pemasaran lainnya. Kedua
bidang Creatif periklanan melakukan penggalian ide kreatif dengan idealis karyanya lain daripada yang lain, diingat pemirsa, dan dapat mengkomunikasikan produk. Atau kepentingan yang lain seperti art, attractive, unik dan sebagainya. Tarik ulur kepentingan yang cukup tajam ini akhirnya kurang terpikirkan unsur lainnya seperti muatan lokal ini. 2. Lemahnya survey biro iklan Biro iklan atau perusahaan periklanan selama ini lemah dalam melakukan niat membumikan karya iklan dengan muatan lokal. Terutama survey pada profesi di industrinya. Kenyataan ini bisa dimaklumi mengingat tuntutan kinerja biro iklan yang harus profesional diantara tuntutan client dan bidang creatif.
Upaya membumikan
iklan dengan muatan lokal hanya mampu dilakukan pada insan yang peduli, sebuah
tugas suci yng menuntut idealisme yang tinggi yang menuntut kondisi perusahaan periklanan yang cukup stabil. 3. Tidak menguasai kearifan lokal Profesional di lembaga periklanan berasal dari berbagai daerah diseluruh Indonesia. Dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda mereka memiliki bahasa ibu yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Tetapi karena pemakaian bahasa nasional sudah lazim di gunakan dalam pergaulan formal sejak bangku Sekolah Dasar sangat mungkin para profesional periklanan ini tidak memahami lagi kearifan lokal tanah kelahirannya. Secara Makro ada beberapa alasan kurangnya mengankat kearifan lokal ini dalam karya iklan. 1. Sistem pemerintah yang terpusat di ibukota negara 2. Sistem ekonomi yang terpusat 3. Perusahaan periklanan yang terpusat 4. Dominasi produk nasional dan multinasional di iklan televisi 5. Jangkauan sasaran pasar nasional 6. Pemakaian Bahasa Indonesia lebih universal 7. Bahasa Indonesia yang identik dengan logat Jakarta atau Betawi. Menggagas periklanan televisi yang santun dengan mengangkat kearifan lokal bahasa Jawa. Periklanan tanah air sampai hari ini didominasi oleh produk-produk nasional dan produk internasional.
Sehingga penyampaiannyapun menggunakan bahasa nasional Indonesia atau
bahasa internasional. Hal yang diberlakukan juga pada produk lokal. Produk asli daerah yang secara emosi dekat dengan selera masyarakatnya terpaksa tunduk dengan bahasa nasional dan bahasa internasional periklanan.
Kelebihan
bahasa nasional di Indonesia adalah demokratis, sebuah sistem yang
memandang semua manusia dalam satu kedudukan yang sama. Sedangkan bahasa Jawa diperkaya dengan hierarki bahasa. Ada tingkatan dalam penggunaan bahasa. Tingkatan mana yang harus digunakan tergantung kepada siapa kita bicara. Adanya tingkatan bahasa ini secara nasional menjadi kurang demokratis, tetapi dari sisi budaya lokal, sistem ini digunakan dan diakui sebagai budaya yang luhur yang patut dijaga dan dilestarikan. Karena disetiap tingkatan bahasa yang ada didapati makna dan rasa bahasa yang berbeda, makna yang lebih mendalam yang hanya mampu dipahami masyarakat lokal. Alangkah santunnya kearifan bahasa Jawa yang berupa ungguh ungguh (tata krama) muncul dalam dialog iklan. Baik itu dalam iklan televisi nasional maupun lokal. Begitupun penggunaan bahasa Jawa pada produk lokal atau sasaran lokal akan lebih pas maknanya karena dalam bahasa Jawa lebih banyak memiliki kosa kata. Bisa jadi pengucapan kata “enak” dalam bahasa Indonesia akan berbeda makna dengan kata “mantep, tonjo, kemepyar, ,nyalut” dalam bahasa Jawa. Kata Cantik dalam bahasa Indonesia bisa diartikan, kalem, manis, ayu, dalam bahasa Jawa. Suatu kondisi yang cukup memprihatinkan ketika iklan produk di tanah air belum dapat mencerminkan kearifan lokal masyarakatnya. Padahal kearifan lokal adalah produk budaya masyarakat sebagai nilai yang luhur yang patut dipahami dan digunakan oleh masyarakatnya. Nilai-nilai lokal semacam bahasa Jawa adalah simbol eksistensi sebuah budaya atau eksistensi bangsa itu sendiri. Sudah sepatutnya menggagas periklanan yang santun dengan mengangkat kearifan lokal berupa unsur bahasa lokal bahasa Jawa dalam ranah iklan Televisi.
Penulis : Dian Marhaeni K S.Sos,M.Si, Dosen Fikom Unissula Semarang
DAFTAR PUSTAKA Achmad Sobirin, (2007) Budaya Organisasi, Pengertian, Makna dan Aplikasinya dalam Kehidupan Organisasi, UPP STIM YKPN, Yogyakarta. Bedjo Riyanto,(2000), Iklan Surat kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915), Tarawang, Yogyakarta Bondan Winarno, (2008), Rumah iklan, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta. Joseph A. DeVito, (2001) Komunikasi Antar Pribadi, edisi kelima, Karisma Publishing Group, Tangerang. Purwadi, (2011), Etika Komunikasi dalam Bahasa Jawa, Jurnal Ilmu Komunikasi, Program Studi Ilmu Komunikasi Fisip UPN Yogyakarta. Sandra Moriarty, Nancy Mitchell, William Wells,(2001) Advertising, edisi kedelapan, Prenada Media Group, Jakarta. W Ronald Lane, Whitehill King, J Thomas Russell,(2009), Kleppner’s Prosedur Periklanan, Indeks, Jakarta. http://www.antaranews.com/berita/1282043158/hasil-survei-terbaru-jumlah-pulau-indonesia, diunduh 28 Agustus 2012 http://www.indonesia.travel/id/travel-information/indonesian-phrases/diunduh 28 Agustus 2012 http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/45/41diunduh tanggal 27 Agustus 2012