www.litbang.depkes.go.id
LAPORAN TAHUNAN PUSAT TEKNOLOGI TERAPAN KESEHATAN DAN EPIDEMIOLOGI KLINIK TAHUN 2014
KEMENTERIAN KESEHATAN RI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN PUSAT TEKNOLOGI TERAPAN KESEHATAN DAN EPIDEMIOLOGI KLINIK Jl. Dr. Sumeru No. 63, Bogor 16112 Telp. (0251) 832176 Fax. (0251) 8326248
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga Buku Laporan Tahunan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (Pusat TTK EK) Tahun 2014 ini terselesaikan. Buku Laporan Tahunan ini merupakan salah satu evaluasi setiap tahun dari pelaksanaan kegiatan yang memuat gambaran ringkas tentang kinerja Pusat TTK EK dengan menggunakan pendekatan sistem, yakni meliputi masukan (input), proses, keluaran (output), outcome dan impact. Output diukur dengan capaian indikator kinerja kegiatan. Sedangkan outcome dan impact hasil penelitian dan pengembangan tidak dapat diukur di tingkat masyarakat, karena penelitian dan pengembangan adalah kegiatan penunjang program, maka parameternya adalah seberapa jauh hasil penelitian dan pengembangan dapat dipakai oleh penentu kebijakan atau pemegang program untuk perbaikan kebijakan maupun perbaikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Terbitnya Buku Laporan ini diharapkan akan bermanfaat dan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Informasi yang terdapat pada Buku Laporan Tahunan ini diharapkan dapat dipakai sebagai alat untuk mawas diri sekaligus masukan untuk perbaikan perencanaan tahun berikutnya. Kepada Tim Penyusun yang telah menyelesaikan buku ini kami sampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahannya, untuk itu saran dan usulan yang membangun dan bermanfaat akan kami terima.
Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
dr. Siswanto, MHP, DTM
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ..…………………………………………………………..…… DAFTAR ISI ……………………………………………………….……….……..… DAFTAR TABEL ….……………………………………………………….……..… DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….……..… DAFTAR SINGKATAN ..………………………………………………...….…..…
i ii iii iv v
BAB I. ANALISA AWAL TAHUN ….……………………………..………………… A. HAMBATAN TAHUN LALU ………………………….………………….. B. KELEMBAGAAN ..........................................................………………. C. SUMBER DAYA …………………………………………………………..
1 1 2 4
BAB II. TUJUAN DAN SASARAN KERJA ………………………………………. A. DASAR HUKUM ……………………………..…………………………. B. TUJUAN, SASARAN DAN INDIKATOR ..………………………………
13 13 14
BAB III. STRATEGI PELAKSANAAN …….……………………………………… A. STRATEGI PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN ……………… B. HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN STRATEGI ….……………….. C. TEROBOSAN YANG DILAKUKAN ……………………………………
17 17 17 18
BAB IV. HASIL KERJA …………………….……………………………………… A. PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN ……………………………… B. PENCAPAIAN KINERJA …………………………..…………………….. C. REALISASI ANGGARAN .................................................................... D. PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI ...................................
19 19 21 34 35
BAB V. PENUTUP ……………………………………………………………………
36
Lampiran: Ringkasan Eksekutif Pemetaan Kerjasama Luar Negeri Pengiriman Pegawain Pada Forum Ilmiah Luar Negeri
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page ii
DAFTAR TABEL Tabel 1.1. :
Sarana dan Prasarana, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014
Tabel 1.2. :
Alokasi Anggaran Berdasarkan Belanja, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Tahun 2014
Tabel 1.3. :
Alokasi Anggaran Berdasarkan Output Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik,Tahun 2014
Tabel 2.1. :
Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014
Tabel 3.1. :
Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014
Tabel 3.2. :
Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan, Jumlah produk/model/prototipe/standar/formula, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Tahun 2014
Tabel 3.3. :
Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan, Publikasi ilmiah yang dimuat pada media cetak dan elektronik nasional, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Tahun 2014
Tabel 3.4. :
Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan, Publikasi ilmiah yang dimuat pada media cetak dan elektronik Internasional, Bidang Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Tahun 2014
Tabel 3.5. :
Jumlah Laporan Status Kesehatan Masyarakat, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Tahun 2014
Tabel 3.6. :
Daftar Judul dan Ketua Pelaksana Penelitian, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Tahun 2014
Tabel 3.7. :
Kegiatan Panitia Pembina Ilmiah, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Tahun 2014
Tabel 3.8. :
Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan Belanja, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Tahun 2014
Tabel 3.9. :
Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan IKK, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Tahun 2014
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page iii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. Gambar 1.2. Gambar 1.3. Gambar 1.4. Gambar 1.5. Gambar 1.6. Gambar 1.7. Gambar 1.8. Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 3.3.
: Struktur Organisasi Pusat TTK EK : Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenjang Jabatan : Jumlah Pegawai Pegawai Berdasarkan Jenjang Jabatan Fungsional : Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenjang Fungsional Peneliti : Jumlah Pegawai Berdasarkan Umur : Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin : Jumlah Pegawai Berdasarkan Golongan : Jumlah Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan : Rapat Kerja Pusat TTK EK : Sertifikat Akreditasi Laboratorium Penguji : Kegiatan Penelitian Status Kesehatan Gigi Pada Anak TK Yogyakarta, 7 Juni 2014
Gambar 3.4. Gambar 3.5.
: Workshop Penyusunan Kajian, Bogor, 2-4 Oktober 2014 : Workshop Registri Penelitian Klinik, Jakarta, 15-17 Oktober 2014
Gambar 3.6.
: Diseminasi Hasil Studi Efikasi Dosis Tunggal AN dgn 3 day DHP, Kunming, China, 25 Agustus 2014
Gambar 3.7
: Training Off Trainer Studi Diet Total, Yogyakarta, 21-30 April 2014
Gambar 3.8
: Supervisi Studi Diet Total, Yogyakarta, 29 Mei 2014
Gambar 3.9.
: Workshop Studi Diet Total, 17 Juni 2014
Gambar3.10
: Penyusunan Laporan SDT, Solo, 27-31 Oktober 2014
Gambar 3.11
: Diseminasi Riskesnas, Yogyakarta, 8-11 Desember 2014
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page iv
DAFTAR SINGKATAN ACKM
:
Analisis Cemaran Kimia Makanan
ACT
:
Artemisinin-based combination therapy
AIDS
:
Aqquaired Imunodefeciency Syndrom
AKE
:
Angka Kecukupan Energi
AKP
:
Angka Kecukupan Protein
AN
:
Artemisinin-naphthoquine
ARV
:
Anti Retroviral
BPJS
:
Badan Pengelola Jaminan Sosial
BS
:
Blok Sensus
BTA
:
Bakteri Tahan Asam
BUKR
:
Bina Upaya Kesehatan Rujukan
CAPD
:
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
CT Scan
:
Computerized Tomography Scan
D1, D2, D3
:
Diploma 1, Diploma 2, Diploma 3
DHP
:
Dihidroartemisinin piperaquine
DIPA
:
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
DKI
:
Daerah Khusus Ibukot
DM
:
Diabetes melitus
DMF-T
:
Decay Missing Filled Teeth
DP
:
Dihydroartemisinin-piperaquine
EK
:
Epidemiologi Klinik
EK PM
:
Epidemiologi Klinik Penyakit Menular
EK PTM
:
Epidemiologi Klinik Penyakit Tidak Menular
ESRD
:
End Stage Renal Disesasses
Fasyankes
:
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
HbA1C
:
Hemoglobine A1C
HD
:
Hemodialisis
HIV
:
Human Imunodeficiency Virus
IKK
:
Indikator Kinerja Kegiatan
ILSI
:
Institute Life Science International
INA
:
Indonesian
INA CBGs
:
Indonesian Case Based Groups
INA RESPOND :
Indonesia Research Partnership on Infectious Disease
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page v
IPKM
:
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
ISO
:
International for Standardization Organization
Jamkesmas
:
Jaminan Kesehatan Masyarakat
JKN
:
Jaminan Kesehatan Nasional
KDIGO
:
Kidney Disease Improving Global Outcome
KUA
:
Kantor Urusan Agama
KKU
:
Keuangan, Kepegawaian dan Umum
LDL
:
Low Density Lipoprotein
LFG
:
Laju Fitrasi Glomerulus
LIPI
:
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MRA
:
Mutual Recognition Arrangement
OR
:
Ods Ration
PBI
:
Penerima Bantuan Iuran
PCR
:
Polimerase Chain Reaction
Permenkes
:
Peranturan Menteri Kesehatan
Permensos
:
Peraturan Menteri Sosial
PERNEFRI
:
Perhimpunan Nefrologi Indonesia
PKM
:
Pusat Kesehatan Masyarakat
PKS
:
Program dan Kerjasama
PP
:
Peraturan Pemerintah
PPI
:
Panitia Pembina Ilmiah
PGK
:
Penyakit Ginjal Kronik
PPK 1
:
Pemberi Pelayanan Kesahatan Tingkat 1
QoL
:
Quality of Life
Raker
:
Rapat Kerja
RPJMN
:
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
RS
:
Rumah Sakit
RSJ
:
Rumah Sakit Jiwa
RSU
:
Rumah Sakit Umum
RSUP
:
Rumah Sakit Umum Pusat
RSUPN
:
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional
SD
:
Sekolah Dasar
SDM
:
Sumber Daya Manusia
SEAICRN
:
South East Asia Infectious disease Clinical Research Network
SLTP
:
Sekolah Lanjutan Pertama
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page vi
SLTA
:
Sekolah Lanjutan Atas
SPPD
:
Surat Perintah Perjalanan Dinas
STR
:
Surat Tanda Registrasi
S1, S2, S3
:
Strata 1, Strata 2, Strata 3
TB
:
Tuberkulosis
TK
:
Taman Kanan Kanan
TP2U
:
Tim Penilai Peneliti Unit
TTK
:
Teknologi Terapan Kesehatan
TTK FK
:
Teknologi Terapan Kesehatan Farmasi dan Kedokteran
TTK GM
:
Teknologi Terapan Kesehatan Gizi dan Makanan
TU
:
Tata Usaha
UGM
:
Universitas Gadjah Mada
UU
:
Undang Undang
UNILA
:
Universitas Lampung
WHO
:
World Health Organization
XDR TB
:
Extensively drug resistant tuberculosis
YANKESTRAD
:
Pelayanan Kesehatan Tradisional
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page vii
BAB I ANALISA SITUASI AWAL TAHUN 2014
A. HAMBATAN TAHUN 2013
Pencapaian pembangunan jangka menengah sektor kesehatan ditandai dengan membaiknya beberapa indikator kesehatan, baik penyakit menular maupun tidak menular. Namun demikian, kondisi sekarang berbagai penyakit menular, terutama penyakit infeksi menjadi masalah bagi masyarakat Indonesia, dan menjadi ancaman bagi negara lain. Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (Pusat TTK EK), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, harus ikut berperan dalam upaya perbaikan indikator kesehatan dan upaya pemecahan masalah dan penanggulangan penyakit, melalui penelitian dan pengembangan bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik. Selama pelaksanaan Tahun 2013, terdapat beberapa hal yang menghambat dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik, yakni: 1. belum adanya rumah sakit penelitian dan laboratorium penunjang, 2. terbaginya kantor Jakarta Bogor menyebabkan terhambatnya rentang kendali bidang manajemen dan administrasi, 3. masih rendahnya kemampuan untuk melaksanakan penelitian klinik, 4. masih sedikitnya peneliti yang berlatar belakang klinisis. 5. adanya kebijakan pemotongan anggaran untuk subsidi bahan bakar minyak, 6. adanya kebijakan pemotongan anggaran untuk pembayaran tunjangan kinerja, dimana belum ada kepastian besaran tunjangan kinerja yang akan dibayarkan, baik bulan maupun persentasenya sehingga berapa yang harus direvisi juga belum jelas, dan tidak semua satuan kerja bisa memenuhi kebutuhan tunjangan kinerja, sehingga harus disubsidi dari satuan kerja lain.
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 1
B. KELEMBAGAAN
Sesuai
dengan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
1144/Menkes/Per/VII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Nomor
Kementerian
Kesehatan, Pusat TTK EK mempunyai tugas mengelola, melaksanakan penelitian dan pengembangan kesehatan, serta menapis teknologi di bidang
teknologi
terapan kesehatan dan epidemiologi klinik. Dalam melaksanakan tugas dimaksud, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik menyelenggarakan fungsi : 1. penyiapan penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program penelitian dan pengembangan
kesehatan di bidang
teknologi terapan kesehatan dan
epidemiologi klinik; 2. pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik; 3. pelaksanaan pembinaan, koordinasi, dan fasilitasi teknis pelaksanaan penelitian dan
pengembangan
kesehatan bidang teknologi terapan
kesehatan dan epidemiologi klinik; 4. pemantauan,
evaluasi
dan
penyusunan
laporan
penelitian
dan
pengembangan di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik; dan 5. pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga Pusat Penjabaran dari tugas dan fungsi tersebut, maka dalam susunan organisasi Pusat TTK EK yang terdiri dari: 1. Bagian Tata Usaha (Bagian TU) 2. Bidang Teknologi Terapan Kesehatan (Bidang TTK) 3. Bidang Epidemiologi Klinik (Bidang EK) 4. Sub Bagian Program dan Kerjasama (Sub-bagian PKS) 5. Sub Bagian Keuangan, Kepegawaian dan Umum (Sub-bagian KKU) 6. Sub Bidang Teknologi Terapan Farmasi dan Kedokteran (Sub-bidang TT FK) 7. Sub Bidang Teknologi Terapan Gizi dan Makanan (Sub-bidang TT GM) 8. Sub Bidang Epidemiologi Klinik Penyakit Menular (Sub-bidang EK PM) 9. Sub Bidang Epidemiologi Klinik Penyakit Tidak Menular (Sub-bidang EK PTM)
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 2
Kepala Dr. Siswanto, MHP, DTM
TP2U Pusat TTKEK
Panitia Pembina Ilmiah (PPI) Pusat TTKEK Bagian Tata Usaha Drs. M Gozali, MM
Sub-bag PKS Junediyono, SKM, MKM
Sub-bag KKU Dra. Excalanti P
Bidang TTK DR. Fitrah Ernawati
Bidang EK DR. Sri Idaiani
Sub-bidang TT FK Ully Adhi, Apt, M.Si
Sub-bidang EK PM Dr. Karyana, M.Kes
KF Peneliti
Sub-bidang TT GM DR. Nelis Imaningsih
Sub-bidang EK PTM Drg. Lelly A, M.Kes
Gambar 1.1. Struktur Organisasi Pusat TTKEK
Di samping itu, Pusat TTKEK, sebagai lembaga penelitian dan pengembangan, juga mempunyai struktur ad-hoc yakni:
1. Panitia Pembina Ilmiah (PPI) Tugas Panitia Pembina Ilmiah Pusat TTK EK adalah sebagai berikut: a) Memberikan masukan kepada Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan
Epidemiologi
Klinik
tentang
prioritas
dan
kualitas
penelitian
pengembangan bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik b) Memberikan saran dalam penyusunan rencana program dan kerjasama penelitian dan pengembangan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik serta pengembangan kemampuan institusi c) Melakukan seleksi dan menilai usulan penelitian sesuai dengan kriteria pedoman yang telah ditentukan dan memberikan saran perbaikan sebagai masukan
untuk
Kepala
Pusat
Teknologi
Terapan
Kesehatan
dan
Epidemiologi Klinik
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 3
d) Melakukan pembinaan penelitian dari proposal, pelaksanaan penelitian, hingga penyusunan laporan akhir e) Memberikan saran-saran perbaikan terhadap laporan hasil penelitian, penyebarluasan hasil penelitian termasuk dalam seminar hasil penelitian dan publikasi f) Membina peneliti melalui seminar, diskusi ilmiah, kursus, perumusan pedoman dan lain sebagainya. g) Memupuk lingkungan kehidupan ilmiah
2. Tim Penilai Peneliti Unit (TP2U) Tugas Tim Penilai Peneliti Unit Pusat TTK EK adalah sebagai berikut: a) Membantu para peneliti dalam proses penilaian dan perhitungan angka kredit jabatan fungsional b) Memberikan saran perbaikan kepada para peneliti dalam proses penilaian dan perhitungan angka kredit jabatan fungsional c) Memberikan penjelasan kepada para peneliti tentang Angka Kredit Jabatan Fungsional Peneliti d) Melaporkan hasil kerjanya kepada Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik e) Mengecek kebenaran artikel/tulisan yang diajukan f) Mengingatkan/memberi peringatan pada peneliti yang angka kreditnya akan habis sesuai batas waktu yang ditentukan
C. SUMBER DAYA
Sumber daya yang dipunyai Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik meliputi sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta dana. Jabaran tentang sumber daya dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu aset utama dalam organisasi penelitian. Berdasarkan data kepegawaian sampai dengan 31 Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 4
Desember 2014, Pusat TTK EK memiliki 178 orang pegawai. Berikut adalah penjabaran jumlah pegawai berdasarkan jabatan struktural dan fungsional, kelompok umur, jenis kelamin, golongan, pendidikan. Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1974 jabatan pegawai negeri sipil dikelompokkan menjadi 2 yakni jabatan fungsional dan jabatan struktural. Berikut gambaran pegawai berdasarkan jenjang jabatan tersebut: Gambar 1.2. Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenjang Jabatan 100
88
80
80 60
Jumlah Pegawai
40 10
20 0 Fungsional
Struktural
Staf
Berdasarkan jenjang jabatan, staf merupakan jumlah pegawai terbanyak. pegawai. Struktural sebanyak 10 pegawai, dan dalam jenjang tersebut terdapat pegawai dengan jenjang fungsional (merangkap jabatan, sebagai pejabat
struktural
namun
yang
bersangkutan
juga
memiliki
jenjang
fungsional). Apabila dipilah, maka jenjang jabatan fungsional, dapat dibagi menjadi peneliti, teknisi litkayasa dan analisis kepegawaian. Berikut adalah gambaran pegawai berdasarkan jenjang jabatan fungsional.
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 5
Gambar 1.3. Jumlah Pegawai Pegawai Berdasarkan Jenjang Jabatan Fungsional 70 60
59
50 40 30
22
Jumlah Pegawai
20 10
3
0 Peneliti
Teknisi Litkayasa
Analisis Kepegawaian
Berdasarkan jenjang jabatan fungsional maka peneliti merupakan jenjang jabatan fungsional dengan jumlah pegawai terbanyak.
Jenjang fungsional penelitipun bila dilihat lebih detil dapat dibagi lagi berdasarkan ketentuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yakni peneliti utama, peneliti madya, peneliti muda, dan peneliti pertama. Berikut gambaran jenjang fungsional peneliti berdasarkan kriteria LIPI.
Gambar 1.4. Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenjang Fungsional Peneliti 28
30 25 20 15
13
15 Jumlah Pegawai
10 3
5 0 Pertama
Muda
Madya
Utama
Berdasarkan jenjang jabatan fungsional peneliti maka peneliti madya merupakan jenjang jabatan fungsional peneliti dengan jumlah pegawai terbanyak.
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 6
Menurut kelompok umur pegawai dikelompokkan menjadi 5 kelompok umur, yakni 1) ≤ 30 tahun, 2) 31- 40 tahun, 3) 41-50 tahun, 4) 51-55 tahun, dan 5) ≥ 56 tahun. Berikut jumlah pegawai berdasarkan umur.
Gambar 1.5. Jumlah Pegawai Berdasarkan Umur 60
51
50
46
40
40 27
30
Jumlah Pegawai
20
14
10 0 ≤ 30
31-40
41-50
51-55
≥ 56
Menurut jenis kelamin, pegawai dibagi berdasarkan jenis kelamin laki laki dan perempuan. Berikut jumlah pegawai berdasarkan jenis kelamin ;
100 80
Gambar 1.6.. Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin 104 79
60 Jumlah Pegawai
40 20 0 Laki-Laki
Perempuan
Menurut golongan, pegawai dibagi berdasarkan golongan I, II, III, dan IV. Berikut jumlah pegawai berdasarkan golongan;
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 7
Gambar 1.7. Jumlah Pegawai Berdasarkan Golongan 120 99
100 80 60
Jumlah Pegawai
44 33
40 20
2
0 I
II
III
IV
Berdasarkan golongan, dari 178 pegawai banyak didominasi oleh pegawai dengan golongan III. Menurut tingkat pendidikan, pegawai dibagi berdasarkan tingkat pendidikan SD, SLTP, SLTA/D1, D2/D3, S1, S2, dan S3. Berikut jumlah pegawai berdasarkan tingkat pendidikan;
Gambar 1.8. Jumlah Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan 60
49
48
50
41
40 30 20 10
12
12
10
Jumlah Pegawai
2
0
Berdasarkan tingkat pendidikan, dari 178 pegawai banyak didominasi oleh pegawai dengan tingkat pendidikan S2.
2. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang ada di Pusat TTK EK meliputi yang bergerak maupun tidak bergerak. Secara umum sarana yang tidak begerak meliputi: Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 8
gedung perkantoran, gedung pelatihan, gedung peneliti, gedung laboratorium, gedung perpustakaan.
Tabel 1.1. Sarana dan Prasarana Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014 Kondisi No Sarana dan Prasarana Jumlah (Baik/Rusak) I Tanah 1 Tanah persil 21.442 m² II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 III 1 2 IV 1 2 V 1 VI 1 2 3
Peralatan dan Mesin Alat bantu Alat angkutan darat bermotor Alat angkutan darat tak bermotor Alat bengkel bermesin Alat bengkel tak bermesin Alat ukur Alat kantor Alat rumah tangga Alat studio Alat komunikasi Alat kedokteran Alat kesehatan umum Unit alat laboratorium Unit alat laboratorium kimia nuklir Alat laboratorium fisika nuklir elektronika Alat proteksi radiasi/ proteksi lingkungan Alat laboratorium lingkungan hidup Alat laboratorium standarisasi kalibrasi dan instrumentasi Komputer unit Peralatan komputer Gedung dan bangunan Bangunan gedung tempat kerja Bangunan gedung tempat tinggal Jalan dan jembatan Jalan Jembatan Irigasi Bangunan air irigasi Jaringan Instalasi gardu listrik Instalasi gas Jaringan listrik
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
1 unit 5 unit 14 unit 1 buah 3 buah 115 buah 940 2.951 buah 64 buah 48 buah 204 buah 6 buah 602 buah 363 buah 31 buah 2 buah 15 buah 1 buah
Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
121 buah 41 buah
Baik Baik
14 unit 15 unit
Baik Baik
4.500 m² 105 m²
Baik Baik
1 unit
Baik
1 unit 2 unit 1 unit
Baik Baik Baik
Page 9
VII 1 2 3
Aset tetap lainnya Eksakta Non eksakta Koleksi barang-barang perpustakaan/non buku
VIII 1 2 3 4
Laboratorium Gizi Klinis/Klinik Gizi Laboratorium Terpadu Gedung pelatihan Laboratorium hewan coba
1 buah 1 buah 1 buah
Baik Baik Baik
1 1 1 1
Baik Baik Baik Baik
3. Dana Pada
tahun
2014
Pusat
TTK
EK
mendapat
anggaran
sebesar
Rp. 64.270.826.000,00 (Enam puluh empat milyar dua ratus tujuh puluh juta delapan ratus dua puluh enam ribu rupiah) yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan belanja modal. Besaran alokasi masing-masing belanja sebagai berikut:
Tabel 1.2. Alokasi Anggaran Berdasarkan Belanja Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014 No Alokasi Jumlah 1
Belanja Pegawai
Rp. 12.181.354.000,00
2
Belanja Barang
Rp. 51.617.948.000,00
3
Belanja Modal Jumlah
Rp.
471.524.000,00
Rp. 64.270.826.000
Alokasi terbanyak adalah alokasi untuk belanja barang. Apabila dipilah berdasarkan output maka alokasi anggaran tersebut sebagai berikut:
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 10
Tabel 1.4. Alokasi Anggaran Berdasarkan Output Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014 No Output Jumlah 1.
Layanan Perkantoran
2.
Penelitian Bidang Teknologi Terapan
Rp. 15.152.306.000,00 Rp. 8.279.831.000,00
Kesehatan dan Epidemiologi Klinik 3.
Dokumen perencanaan program dan
Rp. 164.240.000,00
anggaran 4.
Laporan Kinerja
Rp. 280.308.000,00
5.
Dokumen Keuangan, kekayaan negara
Rp. 270.520.000,00
dan tata usaha 6.
Sarana dan prasarana lingkungan kantor
Rp. 50.000.000,00
7.
Manajemen Laboratorium
Rp. 298.675.000,00
8.
Dokumen informasi, publikasi dan
Rp. 464.500.000,00
diseminasi 9.
Peralatan Fasilitas Perkantoran
Rp. 144.800.000,00
10.
Dokumen hukum, organisasi dan
Rp. 484.645.000,00
kepegawaian 11.
Dokumen bidang ilmiah dan etik
Rp. 832.340.000,00
12.
Alat Pengolah Data
Rp. 107.000.000,00
12.
Fasilitas Laboratoium
Rp.88.924.000,00
Buku Perpustakaan
Rp. 25.000.000,00
Data status kesehatan masyarakat hasil
Rp. 37.536.730.000,00
Riset Kesehatan Nasional Wilayah I Jumlah
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Rp. 64.270.826.000,00
Page 11
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 12
BAB II TUJUAN DAN SASARAN KERJA
A. DASAR HUKUM
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Pusat TTK EK mengacu pada dasar hukum sebagai berikut:
1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219); 2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 3) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 4) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang
Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3609); 5) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional Tahun 2010-2014 6) Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012 7) Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Prioritas Pembangunan Nasional 8) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 29 Tahun 2010 Tentang
Pedoman
Penyusunan
Penetapan
Kinerja
Dan
Pelaporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 13
9) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1179A/Menkes/SK/X/1999 tentang Kebijakan Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 10) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/X/2002 tentang Persetujuan Penelitian Kesehatan Terhadap Manusia; 11) Keputusan Menteri Kesehatan No. 375 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025 12) Peraturan Menteri Kesehatan No. 1144/Menkes/Per/VII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan 13) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 021/Menkes/SK/I/2011 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010 – 2014 14) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1099/Menkes/SK/VI/2011 tentang Indikator Kinerja Utama Tingkat Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014 15) DR. Dr. Trihono, MSc. (2011): Rencana Besar Pengembangan Badan Litbangkes, Jakarta. 16) Rencana Aksi Kegiatan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan Tahun 2010 – 2015.
B. TUJUAN, SASARAN DAN INDIKATOR
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.1144 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan kesehatan, serta menapis teknologi di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik. Dan untuk mencapai tugas pokok fungsi tersebut telah ditetapkan, visi, misi, tujuan, sasaran, dan indikator.
1. Visi Visi yang ingin dicapai adalah menjadi institusi unggulan penelitian dan pengembangan kesehatan di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 14
2. Misi Untuk mencapai visi tersebut telah ditetapkan beberapa misi, yang dilaksanakan oleh segenap jajaran dilingkungan Pusat TTK EK. Adapun misi yang telah ditetapkan meliputi: a. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui penelitian teknologi terapan kesehatan dalam bidang kedokteran dan farmasi. b. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui penelitian teknologi terapan kesehatan dalam bidang gizi dan makanan. c. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui penelitian dan epidemiologi klinis penyakit menular dan penyakit tidak menular. d. Menjadikan Badan Litbangkes menjadi koordinator jejaring penelitian klinis di Indonesia melalui Pusat TTKEK. e. Menjadikan Indonesia sebagai salah satu simpul (hub) penelitian klinis di Asia Tenggara
3. Tujuan Tujuan organisasi ditetapkan berdasarkan yang ingin dicapai dalam jangka panjang selam 5 tahun dan jangka pendek selama satu tahun. Untuk tahun 2014, tujuan yang ingin dicapai meliputi: a. Melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik b. Melaksanakan publikasi hasil penelitian dan pengembangan di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik c. Melaksanakan penelitian skala nasional berupa Studi Diet Total
4. Sasaran Untuk mencapai tujuan telah ditetapkan beberapa sasaran. Sasaran ini merupakan hasil nyata akan akan dicapai dengan rumusan yang spesifik, terarah. Adapun sasaran yang telah ditetapkan meliputi: a. Terlaksananya penelitian dan pengembangan di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik yang ditandai dengan jumlah produk/model Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 15
intervensi/prototipe/ standar/formula di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik b. Terlaksanakan publikasi hasil penelitian dan pengembangan di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik yang ditandai dengan publikasi ilmiah di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik yang dimuat pada media cetak dan elektronik, baik nasional maupun internasional c. Terlaksanakan penelitian skala nasional berupa Studi Diet Total yang ditandai dengan jumlah data status kesehatan masyarakat hasil Riset Kesehatan Nasional
5. Indikator Kinerja Kegiatan Kegiatan yang telah ditetapkan akan diukur setiap akhir tahun anggaran, dan selama tahun tersebut dilakukan monitoring dan evaluasi dan pencapaiannya. Indikator kinerja kegiatan yang ditetapkan tahun 2013, adalah:
Tabel 2.1. Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014 No 1. 2.
3.
Indikator
Target
Jumlah produk/model/prototipe/standar/ formula di bidang klinik terapan dan epidemiologi klinik Jumlah Publikasi ilmiah di bidang klinik terapan dan epidemiologi klinik yang dimuat pada media cetak dan elektronik: a. Nasional b. Internasional Jumlah laporan Status Kesehatan Masyarakat hasil Riset Kesehatan Nasional Wilayah 1
4
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
10 2 7
Page 16
BAB III STRATEGI PELAKSANAAN
A. STRATEGI PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN
Strategi pencapaian sasaran dilakukan dengan menyusun program tahun 2014, dengan mengacu pada RPJMN, Rencana Strategis Kementerian Kesehatan, dan Rencana Aksi Kegiatan Pusat TTK EK Tahun 2010 - 2015. Secara umum strategi pencapaian tujuan dan sasaran dilakukan dengan 3 kegiatan, yakni; 1. Melaksanakan penelitian dan pengembangan 2. Melaksanakan penyebarluasan dan pemanfaatan hasil litbang 3. Melaksanakan riset kesehatan nasional berupa Riset Kesehatan Dasar
B. HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN STRATEGI
Dalam melaksanakan strategi pencapaian tujuan dan sasaran, dirasakan adanya beberapa hambatan. Hambatan tersebut berasal dari internal maupun eksternal Pusat TTK EK. Adapaun hambatan yang dirasakan meliputi: 1. Adanya pembagian kantor Jakarta Bogor, dimana manajemen administrasi berada di Bogor, memberikan kesulitan dalam rentang kendali manajemen dan administrasi 2. Tidak adanya rumah sakit dan laboratorium penunjang penelitian 3. Kurangnya peneliti yang mempunyai kepakaran dibidang penelitian klinik 4. Sarana dan prasarana untuk mendukung penelitian klinik juga sangat minim 5. Belum terakreditasinya laboratorium terpadu 6. Riset Kesehatan Nasional memerlukan sumber daya manusia yang banyak, sementara di Pusat jumlah sumber daya manusia terbatas. Belum lagi kegiatan penelitian lain di luar riset nasional juga perlu dilakukan. 7. Penelitian klinik yang dilakukan disetiap fasilitas pelayanan kesehatan masih belum terkoordinasi.
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 17
C. TEROBOSAN YANG DILAKUKAN
Terobosan telah dilakukan untuk meminimalisasi hambatan yang ada agar tidak menganggu dalam pencapaian tujuan. Terobosan yang dilakukan berupa:
1. Adanya pembagian kantor Jakarta Bogor, dimana manajemen administrasi berada di Bogor, terobosan yang dilakukan agar tidak kesulitan dalam rentang kendali manajemen dan administrasi, adalah dengan melaksanakan komunikasi melalui internet, short massage service, black berry massanger. Semua komunikasi dilakukan secara elektronik, termasuk adanya disposisi, dilakukan pengarsipan secara elektornik selanjutnya dikirimkan kepada yang bersangkutan. 2. Tidak adanya rumah sakit dan laboratorium penunjang penelitian dilakukan diansipasi dengan melaksanakan jejaring penelitian dengan institusi yang mempunyai rumah sakit dan laboratorium penunjang. 3. Kurangnya peneliti yang mempunyai kepakaran dibidang penelitian klinik dilakukan antisipasi dengan mengirimkan peneliti dalam sebuah forum ilmiah, mengirimkan penelitian melalui jenjang pendidikan, dan membuat workshop terkait penelitian klinik, serta dengan mentandemkan peneliti menjadi bagian dari sebuah tim penelitian institusi lain yang sudah ahli di bidang penelitian klinik. 4. Sarana dan prasarana untuk mendukung penelitian klinik juga sangat minim dilaksanakan dengan membuat kerjasama dengan institusi penelitian lain. 5. Melaksanakan akreditasi laboratorium pemeriksaan 6. Riset Kesehatan Nasional memerlukan sumber daya manusia yang banyak, sementara di Pusat jumlah sumber daya manusia terbatas, maka untuk melaksanakan Studi Diet Total melibatkan poli teknik kesehatan khususnya jurusan gizi untuk menjadi penanggung jawab teknis kabupaten. Sedangkan untuk tenaga pengumpul data melibatkan dinas kesehatan maupun lulusan politeknik kesehatan. 7. Membuat panduan registri penelitian klinik
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 18
BAB IV HASIL KERJA
A. PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN
Pencapaian tujuan dan sasaran dilakukan dengan kegiatan berupa input dan output. Detil capaian dari masing-masing kegiatan adalah:
1. Masukan (Input) Untuk melaksanakan kegiatan agar diperoleh output maka telah dilakukan dengan masukan berupa:
a. Sumber daya manusia sebanyak 178 sangat mendukung untuk pelaksanaan kegiatan. Sumber daya manusia yang terbagi antara struktural dan fungsional, fungsional yang terbagi penelitian dan litkayasa serta analis kepegawaian, jenjang pendidikan yang lebih banyak S2, jenjang peneliti yang lebih didominasi peneliti madya, umur pegawai yang lebih didominasi usia produksi 31-40 tahun.
b. Sarana dan Prasarana yang dimiliki meliputi tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, irigasi, dan jaringan. Sarana berupa kantor, ruang peneliti, laboratorium, gedung pelatihan, alat laboratorium dll.
c. Biaya yang teralokasi sebesar Rp. 64.270.826.000,00 (Enam puluh empat milyar dua ratus tujuh puluh juta delapan ratus dua puluh enam ribu rupiah), sangat membantu untuk kelancaran kegiatan. Biaya ini termasuk penelitian yang berasal dari hibah luar negeri.
d. Komunikasi dengan menggunaan internet, short massage service, black berry massanger. Semua komunikasi dilakukan secara elektronik, termasuk adanya disposisi, dilakukan pengarsipan secara elektornik selanjutnya dikirimkan kepada yang bersangkutan. Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 19
e. Melaksanakan jejaring penelitian dengan institusi yang mempunyai rumah sakit dan laboratorium penunjang f. Mengirimkan peneliti dalam sebuah forum ilmiah, mengirimkan penelitian melalui jenjang pendidikan, dan membuat workshop terkait penelitian klinik, serta dengan mentandemkan peneliti menjadi bagian dari sebuah tim penelitian institusi lain yang sudah ahli di bidang penelitian klinik. g. Membuat kerjasama dengan institusi penelitian lain. h. Melaksanakan pelatihan penulisan publikasi. i. Melaksanakan Riset Kesehatan Nasional dengan metode atau tahapan yang berjenjang untuk menjaga mutu kualitas penelitian, dikarenakan dalam pelaksanaannya melibatkan perguruan tinggi, dinas kesehatan, poli teknik kesehatan untuk menjadi penanggung jawab teknis kabupaten. Sedangkan untuk tenaga pengumpul data melibatkan dinas kesehatan maupun lulusan politeknik kesehatan. j. Membuat panduan dan regulasi terkait penelitian klinik k. Mengoptimalkan fungsi Panitia Pembina Ilmiah
2. Keluaran (Output) Output yang dicapai setelah dilakukan upaya dengan memberikan masukan baik berupan sumber daya manusia, dana, saran dan prasarana, teknologi meliputi: a. Pelaksanaan jejaring penelitian klinik dengan fasilitas pelayanan kesehayan sebagai antisipasi ketiadaan rumah sakit dan laboratorium penunjang. Jejaring dilakukan dengan wadah Indonesia Research Partnership on Infectious Disease = INA RESPOND, yang terdiri dari 8 rumah sakit dan 7 fakultas kedokteran. Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia/RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, FK Universitas Padjadjaran/RSUP Dr Hasan Sadikin, FK Universitas Diponegoro/RSUP Dr Kariadi, FK Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr Sardjito, FK Universitas Airlangga/RSUD Dr Soetomo, FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah dan FK Universitas Hasanuddin/RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo. Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 20
b. Mengirimkan peneliti dalam sebuah forum ilmiah, mengirimkan penelitian melalui jenjang pendidikan, c. Mentandemkan peneliti menjadi bagian dari sebuah tim penelitian institusi lain yang sudah ahli di bidang penelitian klinik. d. Membuat kerjasama dengan institusi penelitian lain. e. Panitia Pembina Ilmiah melakukan monitoring setiap pelaksanaan penelitian, dan dengan bersama tim manajemen melakukan supervisi penelitian f. Melaksanakan workshop sebagai operasionalisasi dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Registri Penelitian Klinik. Peraturan ini dimaksudkan mengatur penyelenggaraan penelitian klinik, bahwa setiap pelaksanaan penelitian klinik harus diregistrasi oleh pihak yang ditunjukan Menteri Kesehatan dalam hal ini Badan Litbangkes sebagai pengelola registri penelitian klinik. Ketentuan WHO menyebutkan bahwa setiap penelitian klinik yang akan dipubliksi dalam jurnal ilmiah harus diregistrasi, jadi dengan terbitnya Permenkes ini lebih memudahkan kepada pelaksana penelitian klinik, dalam hal ini Ketua Pelaksana untuk melakukan registrasi. Sebagai tahap awal registrasi diwajibkan bagi penelitian klinik yang bersumber dana dan lokasi penelitian di institusi penelitian atau sarana pelayanan kesehatan dibawah Kementerian Kesehatan. Salah satu syarat dalam registrasi adalah bahwa penelitian tersebut sudah dilolos secara etik, sehingga waktu melakukan registrasi secara elektornik harus mencantumkan nomor surat persetujuan etik. Dan nantinya setiap penelitian klinik akan mendapatkan satu nomor registrasi. Registri dilakukan melalui web: www.ina-registry.org (Indonesia Diseases Registry Web Portal).
B. PENCAPAIAN KINERJA Berbagai upaya yang dilakukan untuk pencapaian tujuan dan sasaran baik berupa masukan maupun keluaran berujung pada pencapaian indikator kinerja kegiatan. Dan berikut capaian kinerja tersebut:
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 21
Tabel 3.1. Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014 No 1.
2.
3.
Indikator
Target
Realisasi
Realisasi
Jumlah produk/model/prototipe/standar/ formula di bidang klinik terapan dan epidemiologi klinik Jumlah Publikasi ilmiah di bidang klinik terapan dan epidemiologi klinik yang dimuat pada media cetak dan elektronik: a. Nasional b. Internasional Jumlah laporan Status Kesehatan Masyarakat hasil Riset Kesehatan Nasional Wilayah 1
4
10
275%
10 2
15 3
150% 150%
7
7
100%
Dari target sebanyak 4 dokumen, telah dilakukan pencapaian sebesar 10 dokumen terkait dengan jumlah produk informasi dibidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik. Sedangkan publikasi ilmiah internasional capaianya sebanyak > 100%. Kesepuluh capaian indikator Jumlah produk/model/prototipe/standar/ formula di bidang klinik terapan dan epidemiologi klinik adalah sebagai barikut: Tabel 3.2. Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Jumlah produk/model/prototipe/standar/formula Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014 No 1 2
3
4
Output Produk Informasi Studi Kasus Kontrol Gagal Ginjal. Produk informasi Penyakit Tuberkulosis
Model regstri penyakit tuberkulosis dan diabetes mellitus Produk informasi penanggulangan penyakit tidak menular
Judul Penelitian Studi Kasus Kontrol Gagal Ginjal. Studi Pengamatan Prospektif Kejadian Ikutan Pemberian Obat Anti Tuberkulosis Tahap III Diseases registry tuberkulosis dan diabetes mellitus
Ketua Pelaksana Dr. Delima, M.Kes
Status kesehatan gigi anak usia TK di dua provinsi di Indonesia
Drg. Sintawati, M.Kes
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Ully Adie Mulyani, S.Si, Apt, M.Si
Dr. Karyana, M.Kes
Page 22
No 5
6 7
8
9
10
Output Produk informasi mengenai kesehatan reproduksi Model registri jamu Produk informasi pelayanan kesehatan tradisional dalam era JKN Produk informasi kesehatan jiwa pada pelayanan primer di Indonesia Produk informasi penanganan gagal ginajl di era asuransi Produk informasi studi perbandingan efikasi dan ekamanan dari satu dosis artemisinin-naphthoquine dengan dosis 3 hari dihidroartemisininpiperaquine untuk pengobatan malaria tanpa komplikasi pada anakanak Indonesia.
Judul Penelitian Tingkat Pengetahuan gizi dan kesehatan serta status gizi remaja siap bereproduksi Jamu registri Kajian Pelayanan Kesehatan Tradisional dihubungkan dengan program JKN Kajian kesehatan jiwa di Pelayanan Primer di Indonesia
Ketua Pelaksana Erna Luciasari, SP, MP
Penanganan gagal ginjal dalam era asuransi kesehatan
Drg. Lelly Andayasari, M.Kes
Studi perbandingan efikasi dan ekamanan dari satu dosis artemisinin-naphthoquine dengan dosis 3 hari dihidroartemisinin-piperaquine untuk pengobatan malaria tanpa komplikasi pada anakanak Indonesia.
Prof. Emiliana Tjitra, PhD
Dra. Lucie W, M.SI dr. Hadi Siswoyo, M.Epid DR. Dr. Sri Idaiani, SpKJ
Capaian kelima belas Publikasi ilmiah di bidang klinik terapan dan epidemiologi klinik yang dimuat pada media cetak dan elektronik nasional, adalah sebagai berikut: Tabel 3.3. Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Publikasi ilmiah yang dimuat pada media cetak dan elektronik nasional Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014 No 1
2
3
Judul Artikel Bahan aktif dalam kombinasi obat flu dan batuk-pilek, dan pemilihan obat flu yang rasional . Nilai batas dan indikator obesitas terhadap terjadinya diabetes mellitus tipe 2 Asupan serat makanan dan kadar kolesterol-LDL penduduk berusia 25-65 tahun di kelurahan kebon Kalapa, Bogor
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Nama Penulis
Media Publikasi
Retno Gitawati
Media Litbangkes Vol. 24 No.1 Maret 2014
Made Dewi Susilawati, Krisnawati Brantas, Abas Basuni Jahari Yunita Diana Sari, Sri Prihatini, Krisnwati Brantas
Jurnal Gizi dan Makanan Volume 37 No. 1, Juni 2014 Jurnal Gizi dan Makanan Volume 37 No. 1, Juni 2014
Page 23
No 4
Judul Artikel
Nama Penulis
Evaluasi praktik dokter yang meresepkan jamu untuk pasien penderita penyakit degeneratf di 12 provinsi. Situasi paten obat anti diabetes, anti hipertensi, anti malaria dan anti tuberculosis di Indonesia. Parity, education level and risk for (pre-) eclamsia in selected hospitals in Jakarta
Lucie Widowati, Siswanto, Delima, Hadi Siswoyo
The tuber extract and flour of Dioscorea alata normalize the blood lipid profile of rabbits treated with high cholesterol diets. Recommended alternative daily intake of fruits and vegetables for Indonesia elderly. The use of antibiotics in hospitalized adult typhoid patients in an Indonesia hospital Pengetahuan tentang factor risiko, perilaku dan deteksi dini kanker serviks dengan Inspeksi Visual Asetat (IVA) pada wanita di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Disabilitas pada lanjut usia menurut status gizi, anemia, dan karateristik sosidemografi Faktor riwayat konsumsi makanan penderita stroke yang masuk rumah sakit
Nelis Imaningsih, Deddy Muchtadi, Nurheni S Palupi, Tutik Wresdiyati, Komari
13
Hubungan panjang badan lahir terhadap perkembangan anak usia 12 bulan
Fitrah Ernawati, Sri Mulyati, Made Dewi, Amalia
14
Kadar c-erbB2 dalam serum dan saliva pasien kanker payudara
Eva Sulistiowati, Samuel Haryono
15
Efficacy of ArtemisininHadjar Siswantoro, Armedy napthoquine and Ronny Hasugian, Emiliana Dihydroartemisnin-piperaquine Tjitra for uncomplicated malaria patient at primary health care.
5
6
7
8
9
10
11
12
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Basundari Sri Utami, Sekar Tuti, Anggita Bunga Anggraini, Mukhlisul Fatih, Siswanto, Trihono Cicih Opitasari, Lelly Andayasari
Nurhayati
Anggita Bunga Anggraini, Cicih Opitasari, Qurrotul Aini Eva Sulistiowati, Anna Maria Siratit
Sri Mulyati, Agus Triwinarto, Yudi Kristanto
Basuki Budiman, Karyana, Sri Mulyati
Media Publikasi Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Volume 24 No. 2. Juni 2014 Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Volume 24 No. 2. Juni 2014 Health Science Journal of Indonesia, Vol. 5, Number 1 Juni 2014 Health Science Journal of Indonesia, Vol .5, Number 1 Juni 2014 Health Science Journal of Indonesia, Vol. 5, Number 1 Juni 2014 Health Science Journal of Indonesia, Vol. 5, Number 1 Juni 2014 Buletin Penelitian Kesehatan. Vol. 42 No. 3 September 2014
Jurnal Gizi dan Makanan Volume 37 No. 2, Desember 2014 Jurnal Gizi dan Makanan Volume 37 No. 2, Desember 2014 Jurnal Gizi dan Makanan Vol. 37 No. 2, Desember 2014 Buletin Penelitian Kesehatan. Vol. 42 No. 4 Desember 2014 Health Science Journal of Indonesia, Volume 5, Number 2 Desember 2014 Page 24
Untuk capaian ketiga publikasi ilmiah di bidang klinik terapan dan epidemiologi klinik yang dimuat pada media cetak dan elektronik internasional, adalah sebagai berikut Tabel 3.4. Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Publikasi ilmiah yang dimuat pada media cetak dan elektronik Internasional Bidang Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014 No
Judul Artikel
1
Rapid Clinical Assessment to Facilitate the Triage of Adults with Falciparum Malaria, a Retrospective Analysis Dihydroartemisinin-Piperaquine Treatment of Multidrug Resistant Falciparum and Vivax Malaria in Pregnancy Decreased Endothelial Nitric Oxide Bioavailability, Impaired Microvascular Function, and Increased Tissue Oxygen Consumption in Children With Falciparum Malaria
2
3
Nama
Media Publikasi
Penulis Emilana Tjitra
PLOS ONE | www.plosone.org 1 January 2014 | Volume 9 | Issue 1 | e87020
Emilana Tjitra
PLOS ONE | www.plosone.org 1 January 2014 | Volume 9 | Issue 1 | e84976
Emiliana Tjitra
BRIEF REPORT • JID 2014:210 (15 November) • 1627
Sedangkan 7 Laporan Status Kesehatan Masyarakat hasil Riset Kesehatan Nasional Wilayah 1 adalah sebagai berikut:
No 1 2 3 4 5 6 7
Tabel 3.5. Jumlah Laporan Status Kesehatan Masyarakat Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014 Judul Laporan Penanggung Jawab Studi Diet Total Survei Konsumsi Makanan Djoko Kartono, PhD Individu Provinsi Aceh Ir. Hermina, M.Kes Studi Diet Total Survei Konsumsi Makanan Drh. Endi Ridwan, M.Sc Individu Provinsi Riau Studi Diet Total Survei Konsumsi Makanan Dyah Santi P, SKM, M.Kes Individu Provinsi DKI Jakarta Studi Diet Total Survei Konsumsi Makanan Budi Santoso, SKM, M.Kes Individu Provinsi Jawa Tengah Dr. Eva Sulistiowati, M.Epid Studi Diet Total Survei Konsumsi Makanan Sugianto, SKM, M.ScPH Individu Daerah Istimewa Yogyakarta Studi Diet Total Survei Konsumsi Makanan Dr. Hadjar Siswantoro, MPH Individu Provinsi Sulawesi Selatan Dr. Armaji Kamaludi Studi Diet Total Survei Konsumsi Makanan Dr. Lusianawaty, SpOK Individu Provinsi Nusa Tenggara Timur Syachroni, S.Si
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 25
Beberapa capaian tersebut dapat terlaksana dikarenakan adanya kegiatan sepanjang tahun 2014, yakni: a) Rapat Kerja (Raker) Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Raker Pusat TTK EK dilaksanakan pada tanggal 20-22 Maret 2014. Pada rapat kerja tersebut telah dihasilkan beberapa penelitian untuk mendukung Jaminan
Kesehatan
Nasional,
mempertajam
pemahaman
tentang
epidemiologi klinik, menata sumber daya manusia untuk pelaksanaan Studi Diet Total. Pemahaman tentang epidemiologi klinik dalam hal ini penelitian klinik dilakukan untuk menjawab adanya kesenjangan antara tugas pokok fungsi dengan kepakaran yang ada. Sedangkan penataan sumber daya manusia untuk antisipasi pelaksanaan Riset Kesehatan Nasional berupa Studi Diet Total, mengantisipasi adanya kekurangan tenaga peneliti. Pada raker tersebut juga disepakati jika tenaga penelit kurang maka akan direkrut dari Politeknik Kesehatan khususnya Jurusan Gizi.
Gambar 3.1. Rapat Kerja Pusat TTK EK
b) Pelaksanaan Penelitian Produk/model/ prototipe/standar/formula di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik yang dicapai merupakan hasil dari beberapa judul penelitian. Judul tersebut meliputi: Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 26
Tabel 3.6. Daftar Judul dan Ketua Pelaksana Penelitian Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014 No Judul 1 Produk Informasi Studi Kasus Kontrol Gagal Ginjal. Judul Penelitian: Studi Kasus Kontrol Gagal Ginjal. 2 Produk informasi Penyakit Tuberkulosis Judul Penelitian: Studi Pengamatan Prospektif Kejadian Ikutan Pemberian Obat Anti Tuberkulosis Tahap III 3 Model regstri penyakit tuberkulosis dan diabetes mellitus Judul Penelitian: Diseases registry tuberkulosis dan diabetes mellitus 4 Produk informasi penyebaran plasmodium knowlesi Judul Penelitian: Studi epidmeiologi Plasmodium Knowlesi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 5 Produk informasi penanggulangan penyakit tidak menular Judul Penelitian: Status kesehatan gigi anak usia TK di dua provinsi di Indonesia 6 Produk informasi mengenai kesehatan reproduksi Judul Penelitian: Tingkat Pengetahuan gizi dan kesehatan serta status gizi remaja siap bereproduksi 7 Model registri jamu Judul Penelitian: Jamu regisrti 8 Produk informasi: Judul Penelitian: Comparative study of the efficacy and safety dose artemisinin-napthoquine with 3-day doaseg of dihidroartemisinin-piperaquine for the treatment of uncomplicated malaria in Indonesian children. 10 Kajian Judul: Kajian Pelayanan Kesehatan Tradisional dihubungkan dengan program JKN 11 Kajian Judul: Kajian tatalaksana stroke dalam konteks asuransi 12 Kajian Judul: Kajian tatalaksana HIV/AIDS dalam konteks asuransi 13 Kajian Judul: Penanganan gagal ginjal dalam era asuransi kesehatan
Ketua Pelaksana Dr. Delima, M.Kes Ully Adie Mulyani, S.Si, Apt, M.Si Dr. Karyana, M.Kes Drh. Sahat Ompusunggu, M.Sc Drg. Sintawati, M.Kes Erna Luciasari, SP, MP Dra. Lucie Widowati, M.SI Prof. Dr. Emiliana Tjitra, PhD
dr. Hadi Siswoyo, M.Epid Dr. Hadjar Siswantoro, M.Epid Dr. Armedy RH, M.Epid Drg. Lelly Andayasari, M.Kes
Ketigabelas judul diatas telah berkontribusi untuk mendapatkan produk dan model bidang TTK EK.
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 27
c) Akreditasi Laboratorium Pelaksanaan penelitian perlu didukung oleh adanya laboratorium yang terstandar. Tahun 2014, telah dilakukan akreditasi terhadap Laboratirum Pusat TTK EK. Akreditasi diperoleh untuk ISO 17025 yakni standar utama untuk Laboratorium Penguji dan Kalibrasi, untuk pengujian Vitamin A dan Zinc.
Gambar 3.2. Sertifikat Akreditasi Laboratorium Penguji
d) Panitia Pembina Ilmiah Panitia Pembina Ilmiah dibentuk untuk membantu Kepala Pusat TTK EK dalam pelaksanaan kegiatan terutama penelitian dan pengembangan. Anggota PPI adalah para peneliti yang mempunyai komitmen untuk membina dan memberikan masukan kepada peneliti lain agar pelaksanaan penelitian tidak lepas dari kaidah ilmiah.
Beberapa kegiatan yang
dilakukan meliputi:
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 28
Tabel 3.7. Kegiatan Panitia Pembina Ilmiah Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014 No 1.
Tanggal 3 Januari 2014
2.
8 Januari 2014
3.
13 Januari 2014
4.
27-28 Januari 14
5.
12 Februari 2014
6.
17 Februari 2014
7.
28 Februari 2014
8. 9. 10. 11. 12. 13.
11 Maret 2014 27 Maret 2014 7 April 2014 14 April 2014 7 dan 8 Juli 2014 14 Juli 2014
14.
8 Agustus 2014
15.
2-3 Oktober 2014
16. 17. 18. 19.
13 November 2014 27 November 2014 15 Desember 2014 19 Desember 2014
Topik Bahasan 1. Evaluasi hasil pemeriksaan Itjen (kegiatan tahun 2013) 2. Rencana Kegiatan PPI 2014 3. Rencana penyusunan keanggotaan PPI 2014 4. Rencana penyusunan laporan kegiatan PPI 2013 1. Sosialisasi Agenda Riset Kesehatan Nasional 2. Pembentukan PPI periode 2014 3. Pembentukan Kelompok Peneliti Seminat 1. Sosialisasi Agenda Riset Kesehatan Nasional 2. Sosialisasi pedoman pembuatan protokol 3. Sosialisasi Permenkes No. 66 Registri penelitian klinis Evaluasi laporan hasil penelitian 2013 1. Evaluasi laporan hasil penelitian 2013 2. Proposal Penelitian tahun 2015 3. Lain-lain (pembentukan tim pokja PPI) 1. Pembahasan proposal Penelitian tahun 2015 2. Pembahasan proposal kajian 2014 1. Telaah penelitian kesehatan Komunitas Asean 2015 2. Membahas Buku Pembangunan Kesehatan (KIB) 2004-2009) dan KIB (2010-2013) Pembahasan Kerangka Acuan Kajian 2014 Pembahasan kajian tahun 2014 Pembahasan protokol Penelitian tahun 2015 Pembahasan proposal Analisis Lanjut Tahun 2014 Pembahasan kajian tahun 2013 Pembahasan Laporan Triwulan 2 Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (Monitoring dan evaluasi kegiatan tahun 2014). Penyusunan draft Standard Operating Procedur manajemen penelitian Pusat TTKEK Pemberdayaan SDM: Workshop Kajian dan Penyusunan Rekomendasi Pusat TTK EK Pembahasan rencana Penelitian 2016 Proposal Penelitian tahun 2016 Pemaparan Laporan Akhir Penelitian 2014 Rencana PPI Tahun 2015
Beberapa dokumentasi kegiatan PPI sebagai berikut:
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 29
Gambar 3.3. Kegiatan Penelitian Status Kesehatan Gigi Pada Anak TK Yogyakarta, 7 Juni 2014
Gambar 3.4. Workshop Penyusunan Kajian, Bogor, 2-4 Oktober 2014
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 30
Gambar 3.5. Workshop Registri Penelitian Klinik, Jakarta, 15-17 Oktober 2014 e) Diseminasi Hasil Penelitian Pertemuan review dari artikel yang masuk dilakukan setiap jurnal akan terbit, dengan melibatkan dewan redaksi dan peer reviewer. Jurnal Gizi dan Makanan akreditas oleh LIPI No. 434/AU2/P2MI-LIPI/08/2012. Kepesertaan pameran dari Pusat TTK EK dilakukan pada kegiatan dalam rangka Pekan Raya Pembangunan Jawa Tengah di Pekalongan dan Simposiun Internasional Badan Litbangkes di Jakarta. Topik yang dipamerkan meliputi; 1) Isolat galaktomanan dari ampas kelapa, 2) Ready Use Therapeutic Food untuk penanggulangan gizi buruk, 3) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya persalinan sesar, dan 4) Faktor risiko terjadinya balita stunting.
Gambar 3.6. Diseminasi Hasil Studi Efikasi Dosis Tunggal AN dgn 3 day DHP, Kunming, China, 25 Agustus 2014 Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 31
f) Penelitian skala nasional berupa Riset Kesehatan Nasional Koordinator Wilayah 1 Studi Diet Total merupakan riset kesehatan nasional, yang terdiri dari Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) dan Analisis Cemaran Kimia Makanan (ACKM). Tahapan kegiatan tediri dari training for trainer, training centre, pengumpulan data, penyusunan laporan.
Gambar 3.7. Trining Off Trainer Studi Diet Total, Yogyakarta, 21-30 April 2014
Gambar 2.8 Supervisi Studi Diet Total, Yogyakarta, 29 Mei 2014
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 32
Gambar 2.9. Workshop Studi Diet Total, 17 Juni 2014
Gambar 2.10. Penyusunan Laporan SDT, Solo, 27-31 Oktober 2014
Gambar 3.11 Diseminasi Riskesnas, Yogyakarta, 8-11 Desember 2014
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 33
C. REALISASI ANGGARAN Anggaran yang dikelola Pusat TTK EK sebanyak Rp. 64.270.826.000,(Enam puluh empat milyar dua ratus tujuh puluh juta delapan ratus dua puluh enam ribu), dengan realisasi sebesar Rp. 54.307.424.368,- (Lima puluh empat milyar tiga ratus tujuh juta empat ratus dua puluh empat ribu tiga ratus enam puluh delapan rupiah) atau 84,4%. Realisasi masing-masing indikator kinerja kegiatan sebagai berikut: Tabel 3.8. Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan Belanja Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014 No
Alokasi
Pagu
Realisasi
%
1
Belanja Pegawai
Rp. 12.181.354.000,00 Rp. 10.980.496.912,00
90,1
2
Belanja Barang
Rp. 51.617.948.000,00 Rp. 42.879.479.456,00
83,0
3
Belanja Modal
Rp.
447.448.000,00
94,9
Jumlah
Rp. 64.270.826.000,00 Rp. 54.307.424.368,00
84,4
No 1
2
3
471.524.000,00 Rp.
Tabel 3.9. Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan IKK Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014 Tahun 2014 Indikator Kinerja Kegiatan Pagu Realisasi Jumlah produk/model/prototipe/ 24.924.611.000 23.463.647.898 standar/formula di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik Jumlah publikasi ilmiah di 1.806.485.000 1.214.133.450 bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik yang dimuat pada media cetak dan elektronik. Jumlah laporan Status 37.535.730.000 31.629.644.010 Kesehatan Masyarakat hasil Riset Kesehatan Nasional Wilayah 1 Jumlah 64.270.826.000 54.307.424.368
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
% 94,3
67,0
84,2
84,4
Page 34
D. PELAKSANAAN REFORMASI BIROKASI
Upaya untuk pelaksanaan reformasi birokrais telah dilakukan. Upaya tersebut meliputi:
1. Penatausahaan Barang Milik Negara-aset tetap 2. Penatausahaan barang persediaan 3. Proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara elektronik 4. Pengelolaan hibah dimana semua penelitian dimasukan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran 5. Penatalaksanaan
perjalanan
dinas;
surat
tugas,
kelengkapan
SPPD
ditandatangani pejabat tempat tujuan, tiket pesawat dilampiri boarding pass, kuitansi hotel, pengeluaran riil, laporan perjalanan dinas. 6. Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 35
BAB V PENUTUP
Secara umum kegiatan Pusat TTK EK¸ yakni penelitian dan pengembangan teknologi terapan kesehatan dan epidmeiologi klinik dapat berjalan. Indikator keberhasilan ditentukan oleh tingkat capaian dari ketiga Indikator Kinerja Kegiatan, yang melebihi target, terutama publikasi internasional. Keberhasilan dibidang penelitian dan pengembangan dikarenakan adanya pembinaan yang dilakukan manajemen Litbangkes, baik oleh struktural maupun komisi ad hoc PPI. Pun demikian, untuk capaian publikasi disokong oleh adanya Jurnal Gizi dan Makanan, serta keaktifan peneliti untuk publikasi di internasional. Adapun untuk capaian status kesehatan masyarakat dapat terlaksana dikarenakan adanya dukungan dari berbagai pihak. Kedepan capaian tersebut akan lebih ditingkatkan lagi dengan adanya penelitian yang langsung diarahkan pada produk/model/protipe/standar. Dan publikasi juga dilaksanakan dengan seminar internasional.
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2014
Page 36
LAMPIRAN
Ringkasan Eksekutif Studi Kasus Kontrol Gagal Ginjal Kronik
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang semakin meningkat. Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO) 2012 mendefinisikan PGK sebagai suatu abnormalitas pada ginjal secara struktur atau fungsi selama lebih dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan. Penurunan fungsi ginjal dapat dinilai dengan menghitung estimasi Laju Filtrasi Glomerulus (eLFG) atau estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR) berdasarkan nilai kreatinin serum. Beberapa faktor risiko yang diketahui sebagai faktor risiko PGK adalah faktor genetik, penyakit diabetes melitus (DM), hipertensi, penyakit autoimun, konsumsi obat-obatan dan jamu yang bersifat nefrotoksik, merokok, dan bahkan muncul isu bahwa minuman berenergi juga merupakan faktor risiko PGK. Saat ini, data prevalensi PGK di Indonesia belum diketahui dengan pasti dan studi mengenai faktor risiko PGK pun belum banyak dilakukan. Survei oleh Pernefri di Jakarta, Bali, dan Yogyakarta pada tahun 2009 mendapatkan prevalensi PGK 12,5% dengan kriteria eLFG < 60ml/menit. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko PGK. Secara khusus, bertujuan menghitung risiko tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pola konsumsi air putih, konsumsi minuman berenergi, bersoda, berkafein, beralkohol, konsumsi obat dan jamu nefrotoksik, perilaku merokok, penyakit DM, hipertensi, infeksi ginjal, dan batu ginjal terhadap kejadian PGK. Penelitian multisenter ini dilaksanakan di 4 Rumah Sakit (RS) pemerintah di Jakarta yaitu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Fatmawati, RSUP Persahabatan, dan RSPAD Gatot Subroto. Desain penelitian adalah kasus kontrol dengan padanan jenis kelamin dan menggunakan perbandingan kasus dan kontrol 1:1, dengan menggunakan 2 kelompok kontrol, yaitu RS dan komunitas. Besar sampel penelitian meliputi 1.098 subyek (429 kasus, 429 kontrol di rumah sakit, dan 240 kontrol di komunitas). Kasus adalah penduduk Indonesia usia ≥ 18 tahun yang merupakan pasien baru atau lama di RS yang didiagnosis PGK ≤ 10 tahun yang lalu oleh dokter. Kontrol RS adalah pasien di poliklinik atau ruang rawat inap pada RS yang sama dan belum pernah didiagnosis PGK oleh dokter atau didukung data laboratorium dari rekam medik. Kontrol komunitas adalah anggota keluarga atau xx
warga yang tinggal minimal 3 tahun di sekitar kediaman Kasus, belum pernah didiagnosis PGK oleh dokter, dan hasil laboratorium menunjukkan nilai eLFG ≥ 60 ml/menit dan urinalisis yang baik. Kasus dan Kontrol RS dipilih secara consecutive sedangkan kontrol di komunitas dipilih secara purposive. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur dan melakukan abstraksi data dari rekam medik maupun data dari sumber (source document) lainnya. Pada kontrol komunitas dilakukan pengukuran tekanan darah, untuk menentukan status hipertensi, dan pemeriksaan HbA1C, untuk menentukan status DM. Pengumpulan data dilaksanakan pada 14 Agustus 2014 hingga 31 Oktober 2014. Analisis data untuk mendapatkan adjusted odds ratio dilakukan 2 kali yaitu pertama antara 429 subyek kasus dengan 429 subyek kontrol RS serta analisis kedua 429 subyek kasus dengan 669 subyek kontrol (429 kontrol RS ditambah 240 kontrol komunitas). Hasil analisis menunjukkan konsumsi minuman kopi, teh, coklat, dan minuman beralkohol, serta kualitas air minum yang kurang baik bukan merupakan faktor risiko PGK. Faktor yang merupakan faktor risiko PGK adalah pernah didiagnosis gangguan ginjal (pielonefritis kronik atau glomerulonefritis kronik, atau sindroma nefrotik), minum air putih ≤ 1000 ml/hari, minum minuman bersoda, minuman berenergi ≥ 1x/hari, umur yang semakin meningkat, riwayat PGK pada keluarga sedarah, batu ginjal, hipertensi, diabetes melitus, serta minum jamu pegal linu atau pelangsing dengan kisaran OR adjusted 1,56 hingga 9,37. Penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor risiko paling dominan adalah pernah didiagnosis gangguan ginjal, diikuti kebiasaan minum air putih ≤ 1000 ml/hari, dan kebiasaan konsumsi minuman bersoda ≥ 1x/hari. Sebagian besar faktor risiko PGK tersebut dapat dicegah dan dikendalikan. Kementerian Kesehatan perlu meningkatkan kerjasama internal maupun lintas sektoral
untuk
meningkatkan
dan
mensukseskan
upaya
pencegahan
pengendalian PGK dengan fokus pada faktor-faktor risiko tersebut.
dan
Ringkasan Eksekutif Studi Pengamatan Prospektif Kejadian Ikutan Pemberian Obat Anti Tuberkulosis Tahap III
Ringkasan Eksekutif Registry Penyakit Tuberkulosis – Diabetes Melitus
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang telah lama dikenal luas di dunia. Selama lebih dari 50 tahun sejak pertama ditemukannya obat TB, penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan di dunia dan merupakan penyebab kematian no 2 tertinggi setelah HIV. Dilain pihak diabetes mellitus (DM) yang juga menjadi epidemik secara global. Dimana pada tahun 2030, DM diproyeksikan menjadi peringkat ke-7 penyebab kematian di seluruh dunia. Negara dengan beban tinggi TB, seperti Indonesia akan terkena dampak dari meningkatnya kontribusi DM terhadap kasus TB ini. Adanya kecenderungan peningkatan kasus TB dan DM serta interaksi antara kedua penyakit tersebut, diperlukan suatu kewaspadaan terhadap kedua penyakit ini. Data yang masif diperlukan untuk menggambarkan besaran masalah yang dihadapi pada kasus TB-DM. Data ini pula diharapkan dapat menggambarkan interaksi antara kedua penyakit ini. Salah satu cara untuk mendapatkan data ini adalah melalui sebuah sistem yang disebut registri penyakit. Registri penyakit adalah pencatatan berkesinambungan, sistematis dan inklusif dari seluruh individu dengan diagnosis penyakit tertentu pada populasi tertentu pula. Data yang dicatat mulai dari diagnostik sampai terapi, tindakan rehabilitatif
dan
upaya
preventif.
Sehingga
registri
dapat
mendeskripsikan
manajemen kasus dalam praktik sehari-hari. Dengan perancangan dan pelaksanaan yang tepat, permasalahan yang diidentifikasi dari data registri dapat ditranslasikan untuk perbaikan kebijakan kesehatan dan manajemen kasus untuk memperbaiki outcome pasien. Registri dapat dijadikan juga sebagai data dasar yang dapat dimanfaatkan secara langsung atau sebagai sarana untuk menginduksi penelitian lain yang lebih maju dan komprehensif. Registri Penyakit telah dikembangkan sejak tahun 2011 oleh Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik melalui pengembangan sistem registri penyakit berbasis Rumah Sakit. Registri Penyakit TB-DM adalah registri penyakit ke3 yang telah dilaksanakan, setelah Registri Stroke dan Registri Kelainan Bawaan.
Registri Penyakit TB-DM dilaksanakan untuk memperoleh data dasar mengenai situasi penyakit TB di Rumah Sakit pelaksana. Tujuan utamanya memperoleh proporsi kasus TB dengan atau tanpa DM di Rumah Sakit. Dengan tujuan khususnya adalah identifikasi karakteristik penderita, identifikasi gejala TB, identifikasi hasil pemeriksaan bakteriologik, identifikasi gambaran radiologik, identifikasi terapi yang digunakan dan identifikasi luaran pengobatan pada penderita TB dengan atau tanpa DM. Disain registri merupakan suatu studi observational yang bersifat deskriptif. Populasi dalam Registri TB-DM adalah semua pasien dengan diagnosis TB berdasarkan ICD-10 dengan atau tanpa DM di rumah sakit pemerintah dan swasta di Indonesia. Sampel penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosis TB yang datang berobat atau dirawat di 7 rumah sakit pelaksana registri TB-DM yang mewakili Jawa dan Bali. Keterbatasan Registri Penyakit TB-DM 2014 mencakup: 1) under reporting karena belum semua kasus yang ada di rumah sakit teregistri, 2) estimasi tingkat rumah sakit tidak bisa berlaku untuk semua indikator karena masih ada keterbatasan jumlah sampel untuk keperluan analisis. Registri Penyakit TB-DM pada tahun 2014 berhasil mengumpulkan 1239 kasus TB, yang terdiri 13,4% kasus TB dengan DM dan 86,6% kasus TB tanpa DM. Dengan uraian jumlah kasus di setiap rumah sakit sebagai berikut: RSPI Sulianti Saroso sebanyak 41 kasus (3,3%), RSUD Dr Soetomo sebanyak 88 kasus (7,1%), RSUP Dr Hasan Sadikin sebanyak 133 kasus (10,7%), RSUP Dr Kariadi sebanyak 217 kasus (17,5%),
RSUP Dr Sardjito sebanyak 60 kasus (4,8%), RSUP
Persahabatan sebanyak 622 kasus (50,2%), dan RSUP Sanglah sebanyak 78 kasus (6,3%). Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit kronis yang dapat menyerang semua lapisan usia. Dari hasil registi, kasus TB dengan DM cenderung umur berada diatas 45 tahun yaitu sebanyak 78,1%, dengan rata-rata 50,84 tahun, median 51 tahun dan standar deviasi 10,36 tahun, dengan range umur 18- 79 tahun. Berbeda dengan kasus TB tanpa DM yang cenderung pada umur dibawah 45 tahun yaitu sebanyak 71,8%, rata-rata 37,14 tahun, median 35 tahun dan standar deviasi 14,38 tahun, dengan range umur 15-89 tahun. Keadaan ini diduga ada hubungannya dengan tingkat aktivitas dan pekerjaan sebagai tenaga kerja produktif yang
memungkinkan untuk mudah tertular dengan kuman TB setiap saat dari penderita, khususnya dengan BTA positif. Laki-laki lebih banyak menderita tuberkulosis. Dimana 727 orang (58,7%) kasus TB adalah laki-laki dan sebanyak 512 orang (41,3%) kasus adalah perempuan. Beberapa penjelasan tentang perbedaan berbandingan penyakit infeksi TB pada laki-laki dan wanita, di antaranya: 1. adanya perbedaan biologi pada lakilaki dan wanita, yang menyebabkan perbedaan tingkat imunitas; 2. laki-laki dilaporkan lebih sering mengkonsumsi alkohol dan rokok yang dapat mempengaruhi kejadian
progresifitas
tuberkulosis
menjadi
aktif;
3.
perbedaan
pola
kehidupan/aktivitas interaksi social; 4. laki-laki memiliki tingkat pengetahuan tentang tuberkulosis
lebih
tinggi
bila
dibandingkan
dengan
perempuan,
sehingga
menyebabkan adanya perbedaan gender dalam mencari bantuan kesehatan kepada tenaga profesional yang juga dapat mempengaruhi tingginya pencatatan kejadian tuberkulosis pada laki-laki; 5. stigma buruk terhadap mereka yang terdiagnosis positif tuberkulosis
menyebabkan
banyak
wanita
yang
akhirnya
enggan
mencari
pengobatan. Subyek yang menderita tuberkulosis berada pada tingkat berpendidikan rendah (tidak sekolah, tamat SD, SMP dan SMA), yaitu sebanyak 683 orang (87,2%). Sisanya sebanyak 95 orang (12,1%) subyek berpendidikan tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan ini, berpengaruh pada pemahaman tentang penyakit tuberkulosis. Masyarakat yang tingkat pendidikannya tinggi, lebih waspada terhadap TB (gejala, cara penularan, pengobatan). Dan dengan pengetahuan yang baik seseorang akan mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat yang baik pula. Gejala terbanyak ditemui pada kasus TB dengan DM adalah penurunan berat badan, batuk lebih dari dua minggu, berkeringat di malam hari, dan penurunan nafsu makan, berturut-turut sebanyak 75,3%; 69,69%; 65,1%; dan 63,9%.
Sedangkan
pada kasus TB tanpa DM adalah penurunan berat badan dan nafsu makan, demam, dan malaise/lelah, berturut-turut sebanyak 64,2%; 63,2%; 63,2%; dan 59,4%. Dan gejala klinis TB umumnya lebih banyak ditemukan pada kasus TB dengan DM. Manifestasi klinis TB tidak selalu khas atau dapat menyerupai gejala penyakit lain dan tidak semua penderita TB memiliki gejala. Tenaga kesehatan harus jeli dalam melakukan skrining TB, apalagi jika penderita memiliki penyakit lain yang meningkatkan risiko terkena TB seperti DM. Skrining DM pada kasus TB sebaiknya
dilakukan pada awal pemeriksaan bila memungkinkan. Pada pasien DM, skrining TB sebaiknya dilakukan pada awal pemeriksaan dan bila memungkinkan pada setiap waktu kontrol DM, minimal ditanyakan adanya gejala batuk lebih dua minggu. Intensifikasi penemuan kasus DM pada TB atau sebaliknya yang disebut sebagai skrining dua arah (bidirectional screening) adalah strategi yang direkomendasi WHO pada negara dengan “double-disease burden” TB dan DM. Pada TB dengan DM, terdapat jauh lebih banyak kasus yang sebelumnya diobati yaitu lebih dua kali lipat kasus TB tanpa DM (38,6% vs 16%). Hal ini memperlihatkan
pengaruh
negatif
DM
terhadap
outcome
pengobatan
TB
(kekambuhan lebih tinggi dan kegagalan pengobatan lebih tinggi). Pemeriksaan bakteriologi dengan hasil pemeriksaan BTA positif + paling banyak ditemukan (257 kasus) diikuti secara berturut-turut BTA positif +++ (176 kasus) dan BTA positif ++ (165 kasus). Penderita DM paling banyak ditemukan diantara kasus BTA positif ++ sebanyak 57 dari 165 kasus (35%) dari kasus yang ada. Sebagian besar kasus yang diperiksa kultur hasilnya positif (289 kasus), dari kasus-kasus dengan kultur positif tersebut 70 dari 289 kasus (24,2%) diantaranya adalah penderita DM. Hasil pemeriksaan resistensi 111 kasus yang hasilnya resisten, 34 kasus (30,6%) diantaranya adalah penderita DM. TB dengan resistensi OAT ini terutama berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya yang tidak adekuat. Oleh karean itu sangat diperlukan strategi penatalaksanaan yang tepat pada kasus TB dengan resistensi OAT agar tidak berlanjut menjadi extensively drug resistant tuberculosis (XDR TB). X-pert adalah suatu metode pemeriksaan TB dengan menggunakan mesin pemeriksaan molekular yang otomatis. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi TB dan resistensi terhadap rifampisin. Hasil dapat diketahui dalam waktu dua jam. Sebagian besar kasus yang diperiksa hasilnya positif TB dan resisten Rifampisin (132 kasus), dari kasus-kasus tersebut 37 dari 132 kasus (28%) diantaranya adalah penderita DM. Foto-thorax dapat menunjukkan keaktifan TB dalam tubuh pasien. Hasil yang abnormal dapat diinterpretasikan sebagai TB aktif tergantung kondisi pasien yang diperiksa. Dari kasus yang diperiksa Foto-Thorax, hampir semua (864 kasus) menunjukkan hasil yang abnormal dan 147 kasus diantaranya (17%) adalah
penderita DM. Hasil Foto-Thorax abnormal, sebagian besar menunjukkan infiltrat (533 kelainan) dan kavitas (209 kelainan). KDT masih merupakan jenis terbanyak (81,6%) yang diberikan pada pasienpasien TB dengan atau tanpa DM. Sementara obat-obat lepas (kombipak ataupun merk lainnya) yang merupakan kombinasi dari H, R, dan E, kombinasi dari H, Z, dan E, kombinasi dari R, Z, dan E, maupun kombinasi H dan E masih digunakan, terutama pada kasus TB tanpa DM. Dari data ini didapatkan bahwa tidak ada perbedaan regimen yang diberikan antara pasien TB dengan DM dan pasien TB tanpa DM terutama pada fase intensif. Perbedaan yang ditemukan dilapangan adalah pada penderita TB kategori I yang disertai DM, fase lanjutan diperpanjang menjadi 6 bulan, sehingga durasi pengobatan TB pada kasus TB dengan DM adalah 9 bulan. Penambahan waktu pengobatan pada pasien ini dapat mengurangi rekurensi TB. Rifampisin masih tetap diberikan pada penderita TB dengan DM. Walaupun kondisi
DM
mempengaruhi
kecepatan
absorpsi
dari
rifampisin.
DM
juga
mempengaruhi volume distribusi obat yang bersifat lipofilik seperti rifampisin. Perubahan volume distribusi ini secara spontan juga mempengaruhi konsentrasi obat dalam plasma. Volume distribusi ini berbanding terbalik dengan konsetrasi obat dalam plasma. Hal ini menjelaskan mengapa pada pasien TB dengan DM angka kegagalan terapi lebih tinggi jika dibandingkan penderita TB tanpa DM. Pada kasus MDR TB, kombinasi terbanyak yang digunakan (42,9%) dalam fase intensif pada penderita TB dengan DM adalah Capreomisisn, etionamid, levofloxacin, sikloserin, pyrazinamide dan ethambutol (Cm–Eto–Lfx–Cs–Z-E). Pada penderita TB tanpa DM pengobatan yang paling banyak digunakan adalah kombinasi dari kanamisin, moxifloxacin, etionamid, sikloserin, PAS, pyrazinamide dan ethambutol, (Km–Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–E), yaitu 11,54%. Setelah mendiagnosis dan memberikan pengobatan langkah selanjutnya adalah mengevaluasi luaran pada kasus TB. Luaran pada pasien TB dibagi menjadi; sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, gagal pengobatan, lost to follow up dan tidak dievaluasi. Pada data registri ini, kasus yang terdaftar kebanyakan adalah kasus yang masih dalam pengobatan (48%) saat registri ini berlangsung, sehingga luarannya masih belum ditentukan. Data lain memperlihatkan bahwa pasien TB dengan DM (29%) menunjukkan persentase luaran “Lost to follow up/default” lebih
banyak jika dibandingkan dengan kasus TB tanpa DM (13%). Tetapi persentase mortalitas kasus TB dengan DM (9%) lebih tinggi dari pada kasus TB tanpa DM (5%). Registri penyakit merupakan instrumen penting dalam menyediakan informasi terkini mengenai situasi pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan dan perlu dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Monitoring dan evaluasi pada semua upaya pelayanan kesehatan perorangan hendaknya dilakukan oleh berbagai pihak sehingga upaya penyediaan pelayanan kesehatan yang lebih baik dapat tercapai.
Ringkasan Eksekutif Studi epidemiologi Plasmodium Knowlesi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah Selama ini hanya dikenal adanya 4 spesies parasit malaria yang menginfeksi manusia, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Di Indonesia tiga spesies pertama menyebar di seluruh daerah dengan angka infeksi yang beragam, sedangkan Plasmodium ovale terbatas hanya di kawasan Timur. Beberapa spesies parasit malaria kera, salah satu di antaranya Plasmodium knowlesi, dilaporkan mampu menginfeksi manusia di beberapa negara, tetapi kurang mendapat perhatian karena jumlah kasusnya sangat jarang dan bersifat insidentil. Kasus malaria Plasmodium knowlesi dilaporkan telah menyebar di seluruh negara-negara di Asia Tenggara, kecuali Laos. Malaysia merupakan negara yang paling banyak melaporkan kasus-kasus malaria Plasmodium knowlesi dan di negara itu kasus paling tinggi terjadi di Negara Bagian Sabah dan Serawak yang terletak di Kalimantan. Kasus-kasus impor malaria Plasmodium knowlesi di negara-negara di luar Asia Tenggara, yang infeksinya terjadi di Asia Tenggara juga telah dilaporkan. Sumber infeksi malaria Plasmodium knowlesi yang utama ke manusia sudah dibuktikan berupa kera Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina dan vektor yang sudah dikonfirmasi adalah Anopheles crasens dan Anopheles latens yang merupakan anggota Anopheles leucosphysus group. Hingga tahun 2012, di Kalimantan Selatan telah ditemukan empat kasus Plasmodium knowlesi pada manusia, di mana satu kasus dilaporkan sebagai kasus impor di Australia pada tahun 2010, satu kasus pada penduduk asli dilaporkan pada tahun yang sama dan dua kasus, juga penduduk asli, dilaporkan pada tahun 2012. Di Kalimantan, kera Macaca fascicularis dan Macaca. nemestrina adalah hewan endemik. Dua jenis nyamuk anggota Anopheles leucosphyrus group (Anopheles balabacensis dan Anopheles leucosphyrus) juga terdapat di kawasan yang sama, di mana An. balabacensis merupakan vektor malaria manusia yang sudah diketahui selama ini. Kehadiran kedua jenis kera dan kedua jenis Anopheles di kawasan itu merupakan faktor pendukung terhadap kemungkinan Plasmodium knowlesi ke manusia di daratan Kalimantan.
meningkatnya penularan
Kalimantan adalah salah satu kawasan di Indonesia yang ditargetkan tereliminasi malaria pada tahun 2020. Pemerintah Kalimantan Tengah menargetkan eliminasi malaria di provinsi itu dipercepat menjadi tahun 2018. Penemuan empat kasus malaria P. knowlesi pada manusia di Kalimantan Selatan merupakan bukti awal bahwa sudah terjadi penularan jenis malaria itu di provinsi tersebut. Yang perlu dibuktikan selanjutnya adalah sumber infeksi parasit Plasmodium knowlesi, apakah jenis kera tersebut dan sudah seberapa tinggi angka infeksinya di kawasan itu. Penelitian ini merupakan lanjutan penelitian tahun 2013. Penelitian tahun 2013 bertujuan untuk menentukan seberapa tinggi angka infeksi malaria Plasmodium knowlesi pada manusia, bagaimana gejala klinis infeksi dan bagaimana morfologi parasitnya. Hasilnya adalah telah ditemukan tambahan 2 kasus malaria Plasmodium knowlesi pada manusia di antara 290 yang diperiksa (angka infeksi 0,7 %) yang terdiri dari 1 kasus di Kalimantan Tengah dan 1 kasus di Kalimantan Selatan. Gejala klinis yang dialami penderita relatif ringan, hanya berupa demam dan ngilu-ngilu dan tambahan trombositopenia dan leukositosis pada satu kasus. Morfologi Plasmodium knowlesi mempunyai ciri tersendiri meskipun mirip dengan Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax dan Plasmodium malariae. Penelitian tahap kedua pada tahun 2014 ini bertujuan untuk mengetahui seberapa tinggi angka infeksi malaria Plasmodium knowlesi pada kera, bagaimana gejala klinis infeksi dan bagaimana morfologi parasitnya pada kera. Lokasi penelitian adalah Kalimantan Tengah (Kota Palangkaraya dan Kabupaten Pulang Pisau) dan Kalimantan Selatan (Kabupatan Tanah Laut dan Kabupaten Banjar). Sampel adalah kera Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina yang jumlahnya masing-masing 215 dan 9 ekor; selain itu juga tertangkap 7 ekor Presbytis cristatus dengan tidak sengaja. Sebagian besar kera itu merupakan kera liar dan hanya sebagian kecil kera peliharaan. Kera diperiksa secara fisik dan darahnya diambil dan diperiksa dengan dua cara pemeriksaan, pemeriksaan mikroskopis dan PCR. Pemeriksaan PCR dilakukan terhadap 4 spesies Plasmodium: Plasmodium knowlesi, Plasmodium inui, Plasmodium cynomolgi dan Plasmodium coatneyi. Selain pemeriksaan kera, juga dilanjutkan pemeriksaan pada manusia yang cara pemeriksaannya sama dengan yang dilakukan pada tahun 2013 terhadap manusia.
Hasilnya adalah, 69,7 % (76 ekor) Macaca fascicularis dan 6 di antara 7 ekor Plasmodium cristatus positif genus Plasmodium dengan pemeriksaan mikroskopis sedangkan Macaca nemestrina tidak ada yang positif. Dengan pemeriksan PCR ditemukan 51,2 % (110 ekor)
Macaca fascicularis, 1 di antara 9 ekor Macaca
nemestrina dan 5 di antara 7 ekor Plasmodium cristatus positif genus Plasmodium. Besarnya sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopis terhadap PCR dalam penentuan genus Plasmodium pada seluruh spesimen kera masing-masing adalah 89,8 % (106/118) dan 91,2 % (103/113) oleh pemeriksa pertama dan 38,9 (46/118) dan 87,6 (99/113) oleh pemeriksa kedua. DNA Plasmodium knowlesi ditemukan pada 5,1 % (11 di antara 215 yang diperiksa) Macaca fascicularis sedangkan Macaca nemestrina tidak ditemukan di antara 9 ekor yang diperiksa. Karakteristik kera Macaca fascicularis yang terinfeksi didominasi oleh kera jantan dan berumur dewasa tua. Gejala klinis pada kera Macaca fascicularis yang terinfeksi Plasmodium knowlesi hampir tidak ada. Morfologi Plasmodium
knowlesi pada kera tersebut
mempunyai ciri tersendiri meskipun ada kemiripannya dengan Plasmodium falciparum pada stadium cincin/trofozoit muda dan dengan Plasmodium vivax serta Plasmodium malariae pada stadium trofozoit dewasa dan skizon muda. Morfologi spesies parasit malaria lainnya menunjukan bahwa Plasmodium inui mirip dengan Plasmodium malariae, dan Plasmodium cynomolgi mirip dengan Plasmodium vivax. Di Kalimantan Tengah ditemukan tambahan satu kasus malaria Plasmodium knowlesi pada manusia, yang gejalanya klinis yang agak berat dan morfologi Plasmodium knowlesi yang mirip dengan yang menginfeksi kera, tetapi didominasi oleh stadium cincin/trofozoit muda. Secara filogenetik terbukti bahwa terdapat kekerabatan yang erat genom Plasmodium knowlesi pada 3 ekor kera yang terinfeksi di Kalimantan Selatan dengan genom Plasmodium knowlesi pada satu kasus manusia ditemukan pada tahun 2013 di Kalimantan Selatan dan pada satu kasus yang ditemukan pada 2014 di Kalimantan Tengah. Disimpulkan bahwa hanya di Kalimantan Selatan yang ditemukan kera Macaca fascicularis yang terinfeksi Plasmodium knowlesi sedangkan di Kalimantan Tengah tidak ditemukan dan besarnya prevalensi infeksi di kedua provinsiitu adalah 5,1 % (11 di antara 215 yang diperiksa). Karakteristik kera yang terinfeksi Plasmodium knowlesi didominasi oleh kera jantan dan berumur dewasa tua. Kera
yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala klinis yang berarti dan morfologi Plasmodium knowlesi mempunyai ciri tersendiri meskipun ada kemiripan dengan P. falciparum,
Plasmodium vivax dan Plasmodium malariae. Plasmodium knowlesi
yang menginfeksi kera dan manusia mempunyai genom yang berkerabat erat yang menunjukkan bahwa Plasmodium knowlesi yang menginfeksi manusia kemungkinan besar berasal dari kera. Disarankan agar surveilans penemuan kasus malaria Plasmodium knowlesi pada manusia perlu digiatkan dan diperluas ke kabupaten lain di provinsi yang sama dan ke provinsi lainnya, khususnya di daratan Kalimantan. Dalam surveilans ini diperlukan kerjasama antara dinas-dinas kesehatan daerah dalam pengumpulan spesimen dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dalam pemeriksaan laboratoris terhadap spesimen. Juga diharapkan agar penelitian ini dapat dilanjutkan dalam aspek vektornya.
Ringkasan Eksekutif Status kesehatan gigi anak usia TK di dua provinsi di Indonesia Gigi sulung pada anak-anak akan digantikan dengan gigi tetap yang akan menjadi giginya seumur hidup. Pergantian terjadi mulai usia 5 tahun, biasanya didahului dengan goyahnya gigi sulung di atas calon gigi tetap yang akan tumbuh. Akan tetapi tidak demikian dengan gigi geraham pertama/molar pertama yang tumbuh di belakang gigi sulung terakhir. Mengingat kerusakan gigi bersifat irreversible sehingga perlu pencegahan sedini mungkin. Di samping itu, tumbuhnya geraham pertama tidak didahului dengan goyahnya gigi sulung (tidak menggantikan gigi sulung). Banyak masyarakat tidak menyadari kalau gigi geraham pertama yang baru tumbuh adalah gigi tetap yang tidak tergantikan. Faktor tersebut membuat tingginya prevalensi karies pada gigi geraham pertama, menyumbang tingginya prevalensi DMF-T usia 12 tahun. Karies pada anak juga perlu mendapat perhatian karena akan mengganggu proses pengunyahan, menghambat pertumbuhan anak dan lain-lain. Untuk itu telah dilakukan penelitian kejadian karies pada anak TK yang meliputi pemeriksaan gigi anak, pengetahuan ibu tentang kesehatan gigi serta faktor penyebabnya. Lokasi penelitian di Daerah Ismitemwa Yogyakarta dan Provinsi Banten. Daerah Istimewa Jogjakarta dipilih atas pertimbangan memiliki prevalensi karies (DMF-T) tinggi 6,60 dan termasuk provinsi dengan IPKM tertinggi setelah Provinsi Bali. Sedangkan Provinsi Banten memiliki prevalensi karies (DMF-T) rendah 3,29. Hasil penelitian menunjukkan anak TK di Provinsi Banten lebih banyak yang mengeluh sakit gigi (57,45%) dari pada anak TK di Daerah Istimewa Yogyakarta (39%). Akan tetapi yang membawa anaknya berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan gigi lebih banyak di DI Jogjakarta (47, 8 %) dari pada di Provinsi Banten (42,5%). Disimpulkan bahwa kejadian karies pada anak TK di Provinsi Banten lebih tinggi dari pada di DI Jogjakarta. Gigi anak banyak berlubang, tambalan dan gigi yang hilang sangat sedikit. Pengetahuan dan sikap ibu tentang kesehatan gigi mulut anak cukup bagus, akan tetapi perilakunya masih kurang. Draft pedoman edukasi kesehatan gigi anak sudah disiapkan dan diperlukan Fokus Grup Diskusi orang tua
anak
(ibu) untuk menggali mengapa tidak ada kesesuaian antara pengetahuan,
sikap yang sudah benar dengan perilakunya.
Ringkasan Eksekutif Kajian Pelayanan Kesehatan Tradisional dihubungkan dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional
Berbagai negara memasukan integrasi kessehatan jiwa pada pelayanan primer saat ini sebagai salah satu dari kebijakan kesehatan jiwa misalnya Indonesia, Malaysia, Singapura, Kamboja, Myanmar, Muang Thai, Vietnam, dan Filipina adalah negara-negara Asean yang menyebutkan dengan jelas pada kebijakan kesehatan jiwa negaranya. Tiga peristiwa penting di bidang kesehatan jiwa saat ini antara lain program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), UU N0 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa yang baru diluncurkan tahun 2014 dan menuju Masyarakat Ekonomi Asean tahun 2015. Tujuan umum kajian ini adalah untuk mengetahui seluk beluk integrasi kesehatan jiwa di tingkat pelayanan dasar (primer) di Indonesia berdasarkan tiga peristiwa penting tersebut. Kajian ini disusun dengan cara melakukan telaah terhadap peraturan-peraturan, kepustakaan dan melakukan kunjungan ke Puskesmas. Berdasarkan telaah terhadap isi Undang – Undang Kesehatan Jiwa No.18 Tahun 2014 terdapat hal-hal yang perlu ditingkatkan dan disempurnakan misalnya mekanisme yang mengatur fasilitas non kesehatan yang melakukan pengobatan dan perawatan pasien gangguan jiwa yang belum ada, anggaran yang disediakan pemerintah lebih banyak untuk kegiatan kuratif dibandingkan promotif, preventif dan rehabilitatif. Upaya rehabilitasi yang belum jelas bentuknya serta kriterianya. Ketersediaan psikofarmaka perlu ditata kembali yaitu dengan mempertimbangkan kebutuhan pasien, jenjang rujukan serta kompetensi dokter. Pada sebagian Puskesmas, dana untuk membeli obat psikofarmaka tersedia tetapi terdapat masalah surat edaran yang membatasi ruang lingkup pelayanan pengobatan jiwa di Puskesmas. Bagian UU yang menyebutan perlunya mengintegrasikan pelayanan kesehatan jiwa kedalam sistem pelayanan kesehatan masih menimbulkan pengertian yang tidak jelas terutama definisi sistem pelayanan kesehatan.Masih terdapat provinsi yang belum mempunyai Rumah Sakit Jiwa dan psikiater. Jumlah tempat tidur untuk pasien napza belum ada.
Pada pelaksanaan JKN, petugas kesehatan, pasien dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut belum menjalankan mekanisme rujuk balik. Program Prolanis hipertensi dan diabetes melitus layak ditiru untuk program preventif dan kuratif pasien gangguan jiwa berat. Panduan Praktik Klinis dokter di pelayanan primer masih memerlukan penyempurnaan serta peninjauan kembali mengenai prioritas penyakit yang harus tuntas di pelayanan PPK1.
Penyempurnaan ini diharapkan
diselaraskan dengan kurikulum dokter spesialis layanan primer. Sebagian pasien (yang secara teori merupakan peserta JKN) masih belum mendapat pelayanan kesehatan jiwa yang dibutuhkan oleh karena faktor geografis yang sulit sedangkan BPJS Kesehatan hanya mampu memberikan kompensasi berupa transportasi antar fasilitas kesehatan. Hal ini belum banyak diketahui masyarakat, tetapi perlu disusun langkah-langkah antisipasi terjadinya tuntutan dari pasien. Daftar kasus kegawat daruratan yang dikeluarkan BPJS belum mengakomodir kasus kegawatdaruratan psikiatrik. Dengan anggaran kesehatan yang sangat minim serta rasio psikiater dan tenaga kesehatan di bidang jiwa yang masih sangat kecil, sangat kecil kemungkinan untuk melakukan pengiriman tenaga kesehatan jiwa ke negara lain. Rekomendasi yang disusun terhadap hasil kajian ini antara lain pemerintah perlu segera mengeluarkan PP, Permenkes dan Permensos yang mengatur hal-hal misalnya fasilitas non kesehatan harus bekerja sama dengan pusat pelayan kesehatan mulai tingkat dasar hingga rujukan. Alokasi dana untuk program kesehatan jiwa terutama non kuratif oleh pemerintah pusat dan daerah. Upaya kesehatan jiwa harus diselenggarakan pada setiap kelompok sesuai siklus kehidupan dan bersifat komprehensif. Upaya ini ditujukan pada kelompok ibu hamil, balita, anak-anak, remaja, dewasa, usia lanjut dalam bentuk kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Provinsi Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Utara, Gorontalo, Maluku Utara dan Papua Barat harus segera mendirikan RSJ minimal 1 disetiap wilayah tersebut. Pemerintah dan BPJS wajib menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa yang bermutu, merata , dan terstandar untuk seluruh warga nefara Indonesia. Perlu diuraikan serta didefinisikan mengenai sistem pelayanan kesehatan. Pemerintah serta BPJS perlu memperbaiki mekanisme pengadaan obat psikofarmaka dan mensosialisasikan mekanisme rujuk balik untuk pasien gangguan jiwa.
Sehubungan dengan pelaksanan Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia, diperlukan: peninjauan kembali Panduan Praktik Klinik, memilih diagnosis yang harus tuntas di pelayanan primer dengan berbasis bukti dan melibatkan panel ahli dan mempertimbangkan deajat penyakit (bukan hanya diagnosis penyakit). Poliklinik jiwa di RSU dan tempat tidur untuk pasien psikiatri harus diselenggarakan oleh pemerintah dan diperlukan penanggung jawab dokter spesialis kedokteran jiwa agar biaya pengobatan pasien yang dirujuk dapat dipertanggung jawabkan. Berdasarkan kenyataan bahwa upaya kesehatan jiwa di Puskesmas dilaksanakan oleh banyak program yang saling berkaitan serta menunjang, maka perlu dilakukan analisis beban kerja petugas kesehatan (pelaksana program) untuk menilai efektivitas program yang dilaksanakan. Liberalisasi sektor jasa kesehatan di Asean harus dihadapi dengan usaha untuk meningkatkan SDM khususnya tenaga kesehatan di bidang kesehatan jiwa sesuai rambu-rambu yang disyaratkan MRA. Perangkat –perangkat yang dibutuhkan misalnya STR bagi perawat dan penyempurnaan kurikulum dan kompetensi dokter diharapkan segera disusun.
Ringkasan Eksekutif Tingkat Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Serta Status Gizi Remaja Siap Bereproduksi Sebagai pasangan yang akan membina keluarga baru diperlukan berbagai kesiapan secara fisik, mental dan pengetahuan. Kesiapan fisik yang diperlukan dengan mengetahui status gizi dan kesehatan sebelum mempunyai keturunan. Pengetahuan tidak hanya nasihat untuk bekal membina keluarga yang sehat, bahagia dan sejahtera, namun juga pengetahuan gizi dan kesehatan calon pengantin. Status gizi dan kesehatan, pendidikan calon pengantin berpengaruh terhadap status gizi ibu dan anak yang akan dilahirkan. Informasi tentang status gizi dan kesehatan dapat diketahui dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan biokimia darah yang dilakukan awal sebelum menikah. Informasi status gizi yang tersedia saat ini terbatas hanya pada pemeriksaan kadar hemoglobin, sedangkan pemeriksaan yang berkaitan dengan kehamilan tidak banyak tersedia. Untuk pendidikan gizi yang baik diperlukan sarana antara lain modul yang efektif berbentuk buku atau leaflet. Modul yang efektif ini harus disiapkan dan dikaji. Penelitian ini melakukan pemahaman modul oleh calon pengantin didahului dengan pemeriksaan anamnese klinis dan biokimia. Modul disusun berdasarkan hasil pengukuran fisik dan biokimia, hasil Riskesdas 2013, penelusuran pustaka dan lokakarya dengan para pakar di bidang gizi dan kesehatan. Hasilnya buku panduan dan leaflet yang akan diuji coba pada petugas KUA dan calon pengantin kemudian dievaluasi sebagai media pendidikan gizi yang mudah difahami dan siap digunakan.
Ringkasan Eksekutif Jamu registri Data Riskesdas 2010, sebanyak 59,12 % penduduk Indonesia berusia 15 tahun keatas pernah minum jamu dan merasakan manfaat minum jamu sebanyak 95,6 %. Pemetaan penggunaan jamu oleh dokter praktik jamu di Jawa dan Bali 2010, menunjukkan data bahwa
menurut pengakuan dokter, sebanyak 70 % dokter
menggunakan jamu. Hasil penelitian tahun 2012, menunjukkan data bahwa 91,6 % pasien memilih sendiri pelayanan kesehatan tradisional kepada dokter atas keinginan sendiri. Data Riskesdas 2013, menunjukkan bahwa sebanyak 30,6 % rumah tangga memilih pelayanan kesehatan tradisional, dan 40,9 % diantaranya memilih jamu. Tahun 2014, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemenrintah No. 103 tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad), dimana dokter sebagai tenaga kesehatan diatur pada pelayanan integrasi di pelayanan kesehatan formal. Kementerian Kesehatan melalui Badan Litbang Kesehatan telah menyusun Catatan Medik Jamu, yang telah diimplementasikan pada Dokter Praktik Jamu, sebagai bagian pengembangan sistem informasi dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual jamu. Catatan medik standar tersebut dapat digunakan sebagai perangkat (tools) untuk menilai keamanan dan kemanfaatan pelayanan jamu, walaupun dalam tingkat ilmiah yang rendah. Responden adalah dokter praktik jamu di Puskesmas, Rumah Sakit, Klinik Mandiri, Klinik bersama dan Klinik Jamu yang berada di 7 provinsi, yaitu DKI, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Bali, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan.
Sampling penelitian ditentukan secara purposif. Catatan medik jamu pasien dikirimkan melalui website Jamu Registri Pusat Teknologi Terapan dan Epidemiologi Klinik. Keluhan penyakit yang dikirimkan adalah pada kasus artritis, hiperglikemia, dispepsia, hemorhoid, hepatitis, hiperlipidemia, hipertensi, hiperurisemia, kanker/ tumor, kegemukan. Dari 77 dokter sebagai responden, jumlah pasien 908 orang dan 1.452 kunjungan sebagai data catatan medik. Dari 908 pasien, fasyankes, sebaran fasyankes yang dipilih yaitu: Klinik jamu (43%); Praktik bersama (2,2%); Praktik mandiri (34,3%), Puskesmas (17,2%) dan Rumah Sakit (3,4%), terbagi menjadi
kunjungan awal dan kunjungan follow up (kunjungan II, III dan IV). Anamnesa gejala terdiri atas gejala umum, kardiovaskular, muskoloskeletal, saluran nafas, saluran pencernaan, neurologi, saluran kencing. Gambaran gejala umum dan lainnya pada anamnesa awal, akan digunakan untuk penilaian perubahan gejala pada anamnesa setelah dilakukan terapi. Kasus terbanyak berturut turut kasus hipertensi, hiperglikemia dan dispepsia. Diperoleh 1.382 ramuan baik bentuk tunggal, bentuk formula godog maupun bentuk kapsul sebagai jamu yang beredar di pasaran. Bentuk formula terbanyak dapat ditetapkan komponen utama ramuan untuk ke sepuluh keluhan penyakit yaitu hiperglikemia: sambiloto, brotowali (7,8%); hiperlipidemia jati belanda, kemuning (9,1%); hipertensi: seledri, kumis kucing (8,3%), seledri, kumis kucing, pegagan (4,2%); arthritis: alang-alang, rumput bolong (3,2%); hiperurisemia: kepel, tempuyung (1,9%); dyspepsia : sembung, kapulogo (3,4%); hepatitis: produk industri : buah cardui mariae, daun cynarae, kunyit (0,7%); hemorrhoid: daun ungu, daun iler, daun duduk (3,9%); produk industri: daun ungu, citrus flavonoid
(3,8%); obesitas :jati
belanda, kemuning, kelembak (4,1%), jati belanda, jati cina (3,7%); tumor/kanker: rumput mutiara, kunir putih (4,1%). Tanaman obat tunggal yang banyak digunakan adalah terbanyak adalah temulawak (28,3%) diikuti oleh daun kumis kucing (21,8%), rimpang kunyit (21,8%) dan daun sambiloto (20,6%). Penilaian kemanfaatan dinilai dari jumlah gejala pada anamnesa dan hasil penilaian Quality of Life (QoL) dari kunjungan pertama dan setelah kunjungan follow up. Penurunan gejala gejala umum; gejala kardiovaskular; gejala muskoloskeletal; saluran nafas; saluran pencernaan; neurologi dan saluran kemih berturut turut 49.2; 11.5; 15.7; 6.3; 23.8; 27.1; dan 7.1%. Hasil penilaian QoL antara penggunaan jamu, dibandingkan dengan jamu dan konvensional maupu jamu, konvensional dan kesehatan tradisional terbagi atas modalitas jamu, jamu kombinasi konvensional, jamu kombinasi konvensional serta kesehatan tradisional. Terjadi peningkatan nilai QoL membaik untuk jamu, jamukonvensional, dan jamu-konvensional-kestrad. Untuk jamu, membaik meningkat dari 54,8% menjadi 72%, menetap menurun dari 42,6% menjadi 25,1% dan skor memburuk
turun dari 1,6% menjadi 0,4%. Ketiga terapi, pada kujungan akhir,
meningkat perbaikannya. Untuk jamu-konvensional dan jamu-konvensional-kestrad mempunyai pola yang sama. Guna menilai keamanan, pada kuesioner ditanyakan mengenai keluhan yang disampaikan oleh pasien, terkait jamu yang telah diberikan kepada pasien. Terdapat 6,5% keluhan pasien, misalnya kembung, mual, diare dan lainnya, yang terlihat hanya terjadi kasus per kasus, dan bersifat sementara. Kesimpulan: 1. Jamu registri dapat dijadikan model pelayanan kesehatan tradisional oleh dokter. 2. Dengan jamu registry, dapat dinilai keamanan dan manfaat terapi, walaupun masih dalam tingkat ilmiah yang rendah. Dapat dinilai perbaikan gejala pada anamnesa dan perubahan nilai Quality of Life (QoL) dibandingkan anatar kunjungan pertama dan kunjungan akhir (follow up). 3. Bentuk sediaan jamu pada terapi, merupakan kombinasi antara bentuk godog/ramuan, kapsul/beredar di pasaran, suplemen dan bentuk lainnya. Terbanyak jamu yang beredar di pasaran 41%, dan bentuk ramuan 39.5% dan sisanya adalah merupakan kombinasi keempat bentuk sediaan. Tanaman obat tunggal yang banyak digunakan adalah terbanyak adalah temulawak (28.3%) diikuti oleh daun kumis kucing (21.8%), rimpang kunyit (21.8%) dan daun sambiloto (20.6%). 4. Nilai QoL mengalami perubahan membaik untuk terapi dengan jamu, jamuobat konvensional, dan jamu-obat konvensional-kestrad. Diperoleh 309 jenis ramuan, untuk 10 penyakit, dan dapat ditetapkan komponen utama ramuan untuk ramuan 10 penyakit
Ringkasan Eksekutif Kajian Pelayanan Kesehatan Tradisional dihubungkan dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional Latar belakang disusunnya kajian pelayanan kesehatan dengan jamu dihubungkan dengan program JKN adalah karena belum adanya pembiayaan oleh pemerintah (JKN) terhadap pengobatan tradisional dengan jamu yang sudah dilaksanakan di beberapa fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) dasar dan rujukan. Diharapkan kajian ini dapat menjadi masukan bagi penentu kebijakan pelaksana program pelayanan kesehatan tradisional komplementer dengan jamu sebagai bentuk kemandirian bangsa. Metode kajian adalah mencari data dasar pembiayaan pelayanan kesehatan tradisional dalam fasyankes di berbagai negara. Membuat fokus pertanyaan dari masukan narasumber praktisi herbal untuk di verifikasi tentang sistim pembiayaan dan pelaksanaan pelayanan kesehatan tradisional di RS Cipto Mangunkusumo, RS Kanker Dharmais Jakarta dan RS Soetomo Surabaya. Sehingga ada besaran standar pembiayaan untuk acuan dalam program JKN. Mengumpulkan data tentang pembiayaan pelayanan kesehatan dengan jamu tingkat dasar di Dinkes Kota Surakarta dan Kabupaten Semarang. Lalu dibuat kajian dari data yang sudah dikumpulkan bersama tim kajian. Dari data diketahui beberapa negara maju seperti di beberapa negara Eropa, Amerika,
Australia,
Afrika
dan
Asia
sudah
banyak
masyarakatnya
yang
menggunakan herbal sebagai pengobatan alternatif dan komplementer, dan beberapa negara sudah memasukkan pembiayaan kesehatan tradisional dalam sistim kesehatan nasional. Obat Anti Inflamasi tidak dapat masuk kriteria dalam JKN karena tidak ada di dalam Formularium Nasional, sedang untuk masuk dalam Formularium Nasional perlu ada standarisasi bahan baku jamu dan pertimbangan lain termasuk potensi harus lebih kuat untuk menggantikan yang sudah ada, hal itu sangat sulit dilaksanakan. Sehingga yang utama adalah harus dibuatnya fornas khusus herbal, sehingga bisa disediakan dan dibiayai JKN. Perlu peran pemerintah pusat untuk membantu pendanaan yankestradkom dengan jamu di fasyakes dasar dan rujukan di daerah. Data tentang efektifitas secara klinis yankestradkom pada
fasyankes rujukan/RS di Indonesia belum lengkap, sehingga perlu adanya studi ke depan. Masukan dan rekomendasi untuk Badan Pengelola Jaminan Sosial adalah perlu adanya fornas khusus herbal. Untuk Direktorat Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Komplementer, perlu adanya payung khusus untuk melindungi pelaksana yankestradkom di RS dan puskesmas dan perlu pendanaan khusus untuk pelaksana pemda kota/kabupaten yang sudah menjalankan yankestradkom dengan baik. Untuk Badan Litbangkes adalah perlu ada studi khusus untuk mencari data efektifitas secara klinik dari yankestradkom di tingkat rujukan/RS, selain secara penilaian klinik dapat juga penilaian kepuasan pasien (QoL). Untuk Pemerintah Pusat adalah perlu dibuat Keppres khusus untuk perlindungan pengembangan pelayanan jamu di fasyankes (RS dan PKM). Ini merupakan bentuk Kemandirian Bangsa melalui pengobatan asli Indonesia. Dari hulu sampai hilir dan antar beberapa kementerian terkait dibawah suatu badan tersendiri yang mengelola segala urusan Jamu yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Ringkasan Eksekutif Kajian Tatalaksana Stroke Dalam Konteks Asuransi
Stroke merupakan akhir dari suatu proses penyakit berisiko dan prilaku yang tidak ditangani dengan baik. Selain itu stroke merupakan penyebab kematian yang tinggi dan juga penyebab kehilangan biaya pada keluarga dan negara akibat besarnya biaya pengobatan dan rehabilitasi. Stroke juga menimbulkan stigma bagi penderita dan keluarga sehingga sulit untuk beraktivitas seperti sediakala di masyarakat. Sejak Januari 2014 telah dilaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam era JKN ini, biaya klaim rumah sakit dibayarkan dengan paket INA CBGs yang dihitung berdasarkan besaran biaya yang dikeluarkan mulai peserta masuk ke RS hingga sembuh dari RS. Paket ini diharapkan menjadi kendali pengeluaran biaya di RS. Untuk mengetahui sejauh mana kendali biaya melalui paket INA CBGs dan kaitannya dengan tatalaksana peserta dengan stroke iskemik yang tetap sesuai dengan standar mutu layanan, maka dilakukan kajian tatalaksana stroke iskemik dalam konteks jaminan kesehatan nasional. Kajian ini bertujuan untuk merekomendasikan tatalaksana stroke yang efektif dalam era JKN. Kajian ini dilakukan pada bulan Oktober hingga Desember 2014 dengan cara melakukan review dan tinjauan kepustakaan terkait tatalaksana stroke dan jaminan kesehatan nasional. Selain itu juga dilakukan diskusi dengan para narasumber terkait, yaitu: pusat pembiayaan dan jaminan kesehatan, Subdit Jantung dan Pembuluh Darah, Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) dan asuransi swasta untuk memperkaya hasil kajian. Dalam kajian ini juga dilakukan analisis gap antara tatalaksana stroke yang normatif dibandingkan dengan pelaksanaannya di RS melalui hasil-hasil laporan penelitian, registri stroke dan review artikel. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa: 1. Salah satu sumber anggaran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah berasal dari pemerintah (peserta Jamkesmas) untuk para peserta penerima bantuan iuran (PBI). Berdasarkan analisis klaim RS Januari hingga Juli 2014 oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah peserta dengan stroke yang dirawat inap dan rawat jalan adalah terbanyak kedua dan ketiga. Stroke adalah salah satu penyakit katastropik yang membutuhkan biaya besar
dalam pengobatan dan rehabilitasinya hingga pasien dapat berfungsi secara normal kembali di masyarakat. Namun apabila hal ini tidak ditanggulangi dengan baik maka dikhawatirkan akan banyak menyedot anggaran JKN lebih banyak lagi di masa mendatang. Sementara tujuan JKN adalah untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan terhadap seluruh jenis penyakit, termasuk jenis penyakit akibat infeksi yang masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. 2. Sistem tarif INA CBGs disusun berdasarkan data costing 2011 dari 160 RS. Dari beberapa laporan penelitian menyimpulkan bahwa biaya riil pengobatan stroke iskemik pasien Jamkesmas di RS masih sesuai dengan biaya pengobatan berdasarkan tarif INA CBGs. Namun berdasarkan hasil diskusi dengan narasumber tarif INA CBGs masih belum mencukupi, seperti mahalnya pengobatan rt-PA. 3. Walaupun masih ada beberapa obat stroke yang belum tercantum dalam Formularium Nasional (Fornas), namun berdasarkan hasil diskusi dengan para narasumber menunjukkan bahwa hal tersebut dapat diusulkan melalui komite medik di RS untuk dimasukkan dalam fornas yang dikeluarkan oleh BPJS. 4. Berdasarkan paparan laporan hasil registri stroke 2014 memperlihatkan bahwa penggunaan atau utilisasi alat CT scan dalam diagnosis stroke adalah sebesar 90,3%. Pemeriksaan penunjang CT scan adalah sangat penting dalam menentukan jenis pengobatan selanjutnya, tanpa hasil pemeriksaan ini akan menyulitkan dokter dalam memberikan terapi. 5. Pada laporan hasil registri stroke 2014, onset pasien stroke sebelum masuk RS yang kurang dari 6 jam sebesar 22% (1000 kasus) namun pasien yang mendapatkan pengobatan recombinant tissue Plasminogen Activator (rt-PA) hanya sekitar 5% (50 kasus). Hal ini kemungkinan akibat belum tercantumnya rtPA dalam daftar formularium nasional. Pada pasien kandidat pemberian rt-PA, maka obat ini sangat penting untuk menentukan keberhasilan pengobatan dan rehabilitasi pasien stroke selanjutnya. 6. Berdasarkan
hasil
registri
stroke
memperlihatkan
bahwa
neurorestorasi
terbanyak adalah neurorestorasi fisik (74,9%) dibandingkan neurorestorasi kognitif (21,5%). Hal ini menunjukkan bahwa rehabilitasi yang didapatkan oleh
pasien stroke adalah belum maksimal dan akan berperngaruh pada sulitnya pasien kembali dalam kehidupan di masyarakat secara normal. 7. Hasil registri stroke menunjukkan bahwa masih tinggi komplikasi akibat perawatan stroke di RS (pneumoni 50%). Berdasarkan hasil diskusi dengan para narasumber dan hasil registri stroke memperlihatkan masih terdapat banyaknya variasi atau perbedaan dalam tatalaksana stroke di tiap RS. Hal ini kemungkinan disebabkan karena hingga saat ini belum terdapat panduan/pedoman clinical pathway secara nasional yang digunakan sebagai acuan dalam tatalaksana di RS. 8. Berdasarkan hasi penelitian di RS Bukit Tinggi, diperlukan dukungan dari manajemen dalam bentuk kebijakan operasional dengan mengeluarkan prosedur tetap (protap) penerapan clinical pathway. Perlu dibentuk Tim Clinical Pathway di RS Stroke Nasional Bukit tinggi yang terdiri dari multidiplin ilmu dan menunjuk komite medik sebagi leader. 9. Berdasarkan hasil diskusi dengan narasumber keberadaan unit stroke dalam tatalaksana stroke di RS adalah sangat penting. Hal ini juga berdasarkan beberapa hasil studi yang menunjukkan manfaat dari unit stroke dalam mengobati pasien stroke. 10. Berdasarkan hasil laporan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa kelompok non-PBI mandiri mempunyai risiko dimana pesertanya adalah masyarakat yang sakit, cenderung sakit, dan berada pada masyarakat kelas menengah ke atas. Hal ini merupakan gejala Adverse Selection. Ada kemungkinan di sistem JKN akan terjadi kebalikan dari tujuan dimana orang kaya yang sehat seharusnya mensubsidi orang miskin yang sakit.
Rekomendasi: 1. Perlu dilakukan skrining terlebih dahulu bagi peserta berisiko stroke sebelum menjadi peserta JKN mandiri sebagaimana hasil masukan saat diskusi dengan para narasumber (pihak asuransi swasta). Selanjutnya dapat dilakukan sharing cost terhadap klaim biaya RS, sehingga BPJS tidak menanggung seluruh beban biaya akibat pengobatan stroke di RS. Selain itu mengingat stroke merupakan
salah satu penyakit katastropik dan terbanyak kedua klaim biaya JKN maka perlu peningkatan kegiatan program promotif dan preventif (pencegahan) oleh program pengendalian penyakit jantung dan pembuluh darah agar masyarakat dengan penyakit dan perilaku berisiko tidak jatuh menjadi pasien stroke. 2. Mengingat masih belum mencukupinya paket tarif INA CBGs dalam tatalaksana stroke di RS, maka perlu dilakukan penyesuaian paket tarif sesuai dengan situasi dan kondisi. 3. Mengingat masih belum maksimalnya penggunaan CT scan dalam diagnostik dan membedakan jenis stroke terkait pemberian terapi selajutnya pada pasien, maka perlu ditingkatkan sosialisasi tentang pentingnya CT scan pada pihak terkait. 4. Mengingat pentingnya keberadaan obat stroke yang belum tercantum dalam fornas maka pihak komite medik di RS perlu lebih pro-aktif dalam mengusulkan obat yang dimaksud pada BPJS. 5. Mengingat
masih
rendahnya
pasien
kandidat
pengobatan
rt-PA
yang
mendapatkan rt-PA sebagaimana mestinya, maka perlu diusulkan agar obat rt-PA masuk dalam daftar obat formularium nasional dan siap digunakan di ruang gawat darurat. 6. Mengingat masih rendahnya pasien stroke yang mendapatkan tatalaksana rehabilitasi pasca stroke, berdasarkan hasil diskusi dengan para narasumber terkait hal ini maka perlu ditingkatkan lagi sosialisasi terhadap tarif rehabilitasi paket INA CBGs dalam tatalaksana stroke pada pihak terkait. 7. Mengingat pentingnya pedoman clinical pathway tatalaksana stroke secara nasional sebagai acuan di RS, maka perlu dibuat pedoman tersebut agar tidak ada variasi/ perbedaan dalam tatalaksana selanjutnya 8. Mengingat perlu adanya kendali biaya dan tetap menjaga mutu pelayanan kesehatan maka perlu dilakukan peningkatan kegiatan clinical pathway dalam tatalaksana stroke di RS. 9. Perlu adanya kegiatan monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan untuk melihat sejauh mana upaya implementasi yang telah dilakukan dan mengetahui hambatan dalam implementasi clinical pathway.
10. Perlunya ditingkatkan pelaksanaan dan keberadaan unit stroke sebagai bagian dalam tatalaksana di RS agar pasien mendapatkan pelayanan terstandar dan cepat pulih sedia kala.
Ringkasan Eksekutif Kajian Tatalaksana HIV/AIDS dalam Konteks Asuransi
HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit kronik dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi di dunia termasuk Indonesia. HIV/AIDS adalah penyakit menular dengan stigma negatif yang ditularkan melalui seks bebas dan narkoba suntik. Hal ini menjadikan HIV/AIDS sebagai penyakit yang berdampak beban berat bagi berbagai aspek, diantaranya bidang sosial, ekonomi dan kesehatan. Biaya pengendalian HIV/AIDS diperkirakan meningkat setiap tahunnya dan tentu sangat memberatkan sumber pembiayaan yaitu pemerintah. Besarnya biaya pengendalian HIV/AIDS menjadi pertanyaan apakah memang dibutuhkan dikaitkan dengan stigma bahwa penyakit ini sebagian besar disebabkan oleh ulah sendiri. Namun kelayakan atau tidaknya seseorang harus dilihat dari sisi kemanusiaan yang mana tidak melihat masa lalunya, umurnya suku, kecacatan, karena semua orang adalah sama. Dampak pembiayaan HIV/AIDS besar bagi anggaran suatu negara. Pengabaian terhadap pengendalian HIV/AIDS akan berakibat meningkatnya kasus infeksi HIV. Salah satu jalan keluar yang bisa membantu adalah jaminan kesehatan/ asuransi. Walaupun demikian ada keterbatasan dalam memberi pertanggungan kepada penderita HIV/AIDS.
Oleh karenanya kajian ini diperbuat untuk memberikan
informasi bagaimana seharusnya tatalaksana HIV/AIDS dalam sistem jaminan kesehatan/asuransi di Indonesia. Kajian dilakukan dengan memilih dan menelaah data–data yang berkaitan dengan tatalaksana HIV/AIDS. Data yang dikumpulkan berupa pedoman, artikel, perundang-undangan, website. Selain itu dilakukan konfirmasi ke narasumber berkaitan dengan tatalaksana HIV/AIDS. Penilaian dilakukan pada epidemiologi, patogenesis, diagnosis, pengobatan, landasan hukum, pembiayaan, jaminan kesehatan nasional dan asuransi kesehatan komersial. Temuan pada bahan dinilai antara yang sudah dijalankan dengan fakta hasil konfirmasi (analisa gap). Luaran adalah langkah–langkah pengendalian terhadap gap yang ditemukan. Hasil gap menunjukkan pada bidang epidemiologi data penderita belum melingkupi semua populasi berisiko, belum adanya tabel kematian dan life expectating living. Hasil gap bidang patogenesis adalah belum adanya data yang akurat dari para penderita HIV/AIDS tentang kapan mulai hidup berisiko dengan HIV,
informasi CD4 dan viral load. Gap pada diagnosis adalah tidak semua kelompok berisiko memeriksakan diri walaupun sudah ada ketentuan/indikasi yang telah ditentukan padahal ini berpengaruh pada progresivitas HIV, ketersediaan alat diagnosis dan reagensia yang masih terbatas. Hasil gap pada pengobatan adalah keterlambatan minum obat ARV, pemantauan laboratorium yang belum maksimal setelah minum ARV, penyediaan semua obat IO masih belum dapat ditanggung, ketersediaan ARV terutama lini 2 dan 3 yang masih belum ditanggung oleh pemerintah dan dana pembelian ARV sangat terbatas. Gap yang muncul dalam landasan
hukum
pembiayaan
adalah
sistem
JKN
belum
bisa
dievaluasi,
pelaksanaannya didaerah belum maksimal walau sudah dijamin undang–undang. Hasil analisis gap pembiayaan tatalaksana HIV/AIDS adalah anggaran pembiayaan pengendalian HIV/AIDS sangat besar terutama untuk pembelian alat diagnostik dan obat ARV. Saat ini hampir 100% ditanggung oleh negara. Jaminan kesehatan yang bersifat menanggung risiko sulit mengalokasikan dana untuk beli obat. Gap dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional adalah belum adanya clinical pathway yang jelas pada IO apakah harus dilakukan secara menyeluruh atau per penyakit IO sehingga paket yang ada belum diketahui kecukupannya oleh karena evaluasi yang belum berjalan. Selain itu belum ada rujukan balik yang tentunya akan membantu pencatatan riwayat penyakit HIV/AIDS. Terakhir gap dalam asuransi kesehatan komersial adalah infeksi HIV/AIDS belum dpat diterima sepenuhnya dalam asuransi swasta. Dan sistem Coordination of Benefit (COB) antara BPJS dan asuransi kesehatan komersial pada tatalaksana HIV/AIDS belum ada. Langkah–langkah yang dilakukan untuk mengatasi semua gap diatas dalam bidang epidemiologi adalah melakukan sistem e-registri HIV/AIDS yang terpusat di Kementerian Kesehatan, melakukan perhitungan life expectating living dan melakukan perhitungan tabel kematian. Dalam bidang
patogenesis
adalah
memaksimalkan program sadar diri, melakukan survei CD4+ dan viral load secara nasional. Untuk bidang diagnosis melakukan sosialisasi diagnosis HIV dengan prinsip 5C yang dilakukan ke setiap orang berisiko berbasis registri, dibuatnya peraturan diagnosis HIV sudah waktunya menjadi syarat untuk mengikuti asuransi, pedoman minimal diagnosis penderita HIV direvisi, ketersediaan alat diagnostik HIV dan reagensia wajib ada yang didukung skema distribusi alat berbasis online yang dapat diakses oleh berbagai pihak dan adanya insentif bagi kesehatan daerah jika
pemda mengalokasikan dana untuk membeli reagensi. Langkah – langkah pengendalian di bidang pengobatan adalah revisi pedoman pengobatan ARV sedini mungkin, obat IO pada HIV sebaiknya masuk dalam paket JKN, sharing dana untuk membantu pemerintah dalam pengadaan obat ARV. Untuk langkah penyelesaian di bidang landasan hukum diperlukan evaluasi tatalaksana HIV/AIDS dan paket tarif yang sudah disusun, dikeluarkannya peraturan khusus yang memuat kewajiban dan hak asuransi kesehatan komersial untuk mengikutsertakan penderita HIV/AIDS dalam risiko yang ditanggung, serta evaluasi sistem JKN didaerah terpencil. Untuk gap pembiayaan adalah obat ARV sebaiknya bersifat ready stock dan sharing sudah diputuskan dari awal jika menghendaki melibatkan pihak swasta adalah langkah – langkah pengendalian pengobatan. Kemudian patent obat diatasi dengan upaya penemuan obat dalam negeri, serta keterlibatan asuransi kesehatan komersial meningkatkan isi pertanggungan yang mengalokasikan item pembelian obat ARV khusus pada penderita HIV/AIDS. Pada bidang jaminan kesehatan nasional langkah yang dapat dilakukan adalah pembuatan clinical pathway untuk HIV yang dimulai dari tatalaksana awal HIV/AIDS hingga munculnya IO, evaluasi sistem paket, melakukan pendataan IO berbasis online sehingga diketahui beban biaya yang dibutuhkan untuk tatalaksana HIV/AIDS, melaksanakan rujukan balik bagi penderita HIV/AIDS yang dirawat, serta memaksimalkan usaha promotif dan preventif HIV/AIDS dilakukan bagi penderita yang melakukan kontrol di FKTP. Dan terakhir upaya yang dapat dilakukan adalah bidang asuransi kesehatan komersial adalah perlunya landasan hukum khusus untuk mewajibkan HIV/AIDS menjadi bagian dalam pertanggungan dan sistem COB untuk HIV/AIDS mungkin sulit direalisasikan dalam waktu dekat tetapi dapat dipersiapkan untuk yang akan datang. Kesimpulan dari kajian ini adalah tatalaksana HIV/AIDS sudah ada dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional namun demikian masih diperlukan perbaikan karena banyaknya gap yang terjadi, dimulai dari pembuatan sistem clinical pathway infeksi HIV dengan infeksi oportunistik, kemudian perbaikan harga paket, penentuan life expectating living, tabel kematian, revisi pedoman ARV, pendataan penderita HIV/AIDS berbasis e-registri, penyediaan alat diagnostik di semua fasilitas pelayanan kesehatan terdaftar, penyediaan ARV yang berkelanjutan, evaluasi rutin tatalaksana HIV dalam JKN, penguatan dan pengejawantaan landasan hukum serta dukungan
pihak yang terkait dengan pihak jaminan kesehatan serta memaksimalkan keterlibatan asuransi kesehatan komersial dalam menanggung penderita HIV.
Ringkasan Eksekutif Penanganan Gagal Ginjal Dalam Era Asuransi Kesehatan
Penyakit ginjal kronik adalah suatu kondisi kerusakan ginjal yang terjadi selama tiga bulan atau lebih berupa abnormalitas struktur atau fungsional ginjal dengan atau tanpa penurunan Laju Fitrasi Glomerulus (LFG) yang bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau kerusakan ginjal termasuk ketidak seimbangan komposisi zat di dalam darah atau urin serta ada atau tidaknya gangguan hasil pemeriksaan pencitraan atau suatu kondisi kerusakan ginjal yang terjadi selama tiga bulan atau lebih berupa LFG yang kurang dari 60 mL/menit/ 1,73 m lebih dari tiga bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Jumlah kasus penyakit ginjal kronik (PGK) meningkat dengan pesatnya, terutama di negara berkembang. PGK menjadi masalah kesehatan utama karena memerlukan penanganan yang mahal dan biaya yang besar. Penanganan PGK di Indonesia seluruhnya sudah dijamin oleh BPJS sedangkan negara maju dan negara berkembang tidak seluruhnya membiayainya. Di Indonesia pembiayaan PGK menempati urutan nomor satu dalam menyerap anggaran BPJS. Tujuan kajian ini adalah untuk mengidentifikasi kebijakan pembiayaan penanganan PGK di Indonesia, negara berkembang dan negara maju serta untuk menyusun policy option. Kajian ini bermanfaat sebagai masukan untuk kementerian kesehatan
c.q
Pusat
Pembiayaan
Jaminan
Kesehatan
dalam
merancang
pembiayaan penanganan PGK, sebagai masukan untuk Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) dalam merancang pembiayaan penanganan PGK, dan sebagai informasi bagi BPJS selaku pelaksana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam penanganan PGK. Cara melakukan kajian ini adalah dengan: melakukan telaah literatur/bahan pustaka dari Google Scholar dengan kata kunci CKD, End Stage Renal Disesasses (ESRD), health insurance kemudian menganalisis dan menyimpulkannya. Selain itu juga melakukan klarifikasi kepada Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan, PERNEFRI dan BPJS.
Temuan kajian ini adalah penanganan PGK memerlukan penanganan secara komprehensif mulai dari upaya promotif, preventif guna mengurangi prevalensi dan beban biaya yang besar serta upaya kuratif dan rehabilitatif.
Guna menunjang
pelaksanaan skrining tersebut diperlukan peraturan/kebijakan pemerintah untuk wajib skrining tekanan darah yang harus dilakukan oleh dokter di pelayanan primer sebagai ujung tombak pelayanan. Dalam hal ini pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota juga wajib melengkapi sarana penunjang pemeriksaan laboratorium (Hb, darah rutin, gula darah, urin lengkap). Perlu adanya mapping ketersediaan SDM dan laboratorium. Dalam penanganan PGK Tahap 1-4, organisasi profesi (PERNEFRI) perlu menyusun clinical pathway untuk digunakan sebagai dasar regulasi pembiayaan PGK yang akan diproses oleh Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan (BUKR). Sedangkan untuk Penanganan PGK Tahap 5 (Gagal ginjal terminal) PERNEFRI perlu membuat daftar special drug dan obat-obatan non stabil yang disampaikan ke Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan. Penangan PGK dengan hemodialisis perlu Ditjen Bina Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan menyusun Permenkes yang jelas mengenai HD
dan obat yang
digunakan, sounding mengenai ketersediaan dan distribusi obat ke Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan. Selain itu juga perlu sosialisasi tentang JKN terkait dengan penanganan PGK ke profesi/klinisi lebih intensif. Penanganan PGK dengan CAPD pun masih ada kesenjangan/gap. Untuk itu perlu ada kebijakan yang meliputi sosialisasi yang intensif kepada para klinisi, perlu pengaturan kembali masalah pengadaan dan distribusi cairan CAPD agar lebih baik. Dilakukan sounding mengenai ketersediaan dan distribusi obat ke Ditjen Bina Kefarmasiaan dan Alat Kesehatan. Selain itu perlu memberikan pelatihan kepada tenaga kesehatan sehingga mempunyai kompetensi dalam hal melakukan insersi kateter tenckhoff. Transplantasi ginjal sebagai penanganan PGK masih sangat rendah, hal ini karena masih terbatasnya jumlah donor ginjal. Dalam pelaksanaannya masih ada kesenjangan/gap, sehingga diusulkan untuk melakukan pengkajian ulang masalah dana yang diperlukan dalam persiapan, pelaksanaan, pasca transplantasi ginjal;
sosialisasi paket INA CBG’s ke para klinisi lebih diintensifkan serta melakukan jejaring antar RS (sister hospital). Khusus untuk transplantasi ginjal untuk High Risk Group selain itu perlu membentuk jejaring laboratorium pemeriksaan tacrolimus.
Ringkasan Eksekutif Comparative study of the efficacy and safety dose artemisinin-napthoquine with 3-day doaseg of dihidroartemisinin-piperaquine for the treatment of uncomplicated malaria in Indonesian children.
In Indonesia, artemisinin-based combination therapy (ACT) has been used for treatment of malaria since 2004, however clinical trial of ACT specifically in children is very rare. The 3-day regimen of dihydroartemisinin-piperaquine (DP) was introduced in 2008, started in Papua and then gradually replaced artesunateamodiaquine as ACT in malaria control program because of variation of its efficacy and poor compliance. Study on a new single dose ACT, artemisinin-naphthoquine (AN) showed similar efficacy to DP and safe for treatment of uncomplicated malaria in adults. A comprehensive data is needed for a practical alternative ACT in the field. Therefore, we conduct a clinical trial to compare the safety and efficacy of AN with DP for treatment of uncomplicated malaria in Indonesian children. Considering the safety of children subjects and less number of malaria cases in children, a quasi-experimental non-equivalent control group ACT efficacy and safety clinical trial was conducted in the hospitals for study drug AN (Noongan hospital, North Sulawesi; and Manokwari General Hospital, West Papua), and in Primary Health Cares (PHCs) for control drug DP (Touluaan and Tambelang, North Sulawesi; and Sanggeng, West Papua). There were “feeder” PHCs as suppliers of malaria cases to Noongan Hospital (Tombatu) and Manokwari Hospital (Wosi, Pasir Putih and Amben). The study was performed for one year from July 2013 to June 2014. The participants were children with confirmed uncomplicated malaria infection. They were screened according to the modified WHO inclusion (age between 6 months
to 14 years; monoinfection with Plasmodium falciparum or P.vivax or
P.malariae or P.ovale, or mixed infection detected by microscopy; parasitaemia of ≤100.000/µl asexual forms; presence of axillary temperature ≥ 37.5 °C or history of fever during the past 48 hours; ability to swallow oral medication; ability and willingness to comply with the study protocol for the duration of the study and to comply with the study visit schedule; and informed consent from the parent or guardian in the case of children and assent informed consent from children over 12
years) and exclusion (presence of general danger signs in children aged under 5 years or signs of severe falciparum malaria according to the definitions of WHO; presence of severe malnutrition; presence of febrile conditions due to diseases other than malaria or other known underlying chronic or severe diseases; regular medication, which may interfere with antimalarial pharmacokinetics; or history of hypersensitivity reactions or contraindications to any of the medicine being tested or used as alternative treatment) criteria for in-vivo drug efficacy assessment. Based on the parasite clearance after completed treatment of study drug AN and the first dose of control drug DP (day 1), a minimum of 89 subjects per treatment group must be included at a confidence level of 95% and a power 80%. We planned to recruit 100 subjects in each group to anticipate withdrawals during the 42-day follow-up period. Baseline characteristics, clinical (physical examination: symptoms and signs) and laboratory data (Giemsa microscopy: species and parasitemia; BeneCheck: haemoglobin; and molecular using multiplex single round PCR method: confirmation parasite, and species) of eligible subjects were collected. The study drug subjects were treated with single dose of AN based on artemisinin dose of 14-33.3 mg/kgbw or naphthoquine dose of 5.5-13.3 mg/kgbw and encouraged to stay in the hospital for 3-day supervision. While the control subjects were treated with 3-day of DP based on dihydroartemisinin dose of 2-4 mg/kgbw or piperaquine dose of 16-32 mg/kgbw by well trained investigator. Any subject who vomited during 30 minutes observation period was re-treated with the same dose of medicine and observed for an additional 30 minutes. If the subject vomited again, he or she was withdrawn and offered rescue therapy as per national treatment guideline. Clinical, parasitological, hemoglobin, and molecular parameters were monitored over a 42-day follow-up period to evaluate drug safety and efficacy. SPSS version 17 was used for data management and analysis. Safety data was assessed by recording the nature and incidence of adverse events and serious adverse events. Treatment outcomes were classified on the basis of an assessment of the clinical and parasitological outcome of antimalarial treatment according to the WHO guidelines.
Data were analysed by
two methods: per-intention to treat (ITT) and per-protocol (PP) analysis with the Kaplan-Meier method. In addition, subjects were considered withdrawn from the analysis if the PCR results were unclassifiable.
Only 195 uncomplicated malaria in children were enrolled by local investigators where North Sulawesi contributed more cases (59% AN and 92% DP cases) in this trial. Of a total 195 subjects, 95 were treated with AN single dose in the hospital and 100 were treated with 3-day regimen of DP in PHCs, respectively. After cross-checking by NIHRD expert microscopists for malaria confirmation and Plasmodium species, 4 cases were false positives (one in AN and 3 in DP groups) and they were not included in the analysis. The performance of microscopists were varied, Touluaan microscopist was the best with the species accuracy of 92.2%, error rate of <10% and kappa of 0.9, respectively. While Tambelang microscopist had low performance with species accuracy only 56.4%, error rate almost 50% and kappa 0.3, respectively. The baseline characteristics of the 94 AN subjects (49 P.falciparum, 40 P.vivax and 5 other infections) and 97 DP subjects (47 P.falciparum, 41 P.vivax and 9 other infections) were not different with age, axillary temperature and frequency suffering of malaria in the last year ranged from 6 months to 14 years old, 35.0 to 40.30C, and 1 to 10 times, respectively. Only body weight with ranged 6.6 to 66.0 kgs was lower in AN than DP groups which was likely consistent recorded younger of age in AN subjects compare to DP subjects. The proportions of males or females subjects, subjects with aillary temperature ≥37.50C, subjects with history of experience malaria in the last year, and subjects with history of taken antimalaria in the last 4 weeks were also similar in both groups. The clinical symptoms and signs of subjects on enrollment were generally reported more frequent in DP group than subjects in AN group. The most common symptom and sign were feeling unwell (78%) and sweating (71.7%). Hemoglobin ranged between 6.0 and 15.5 g/dl, mean of haemoglobin in AN group (8.8 g/dl) was significantly lower than in DP group (9.8 g/dl), and proportion of anemia in AN group (81%) was significantly higher than in DP group (65%). There were 14.1% severe anemia cases (≤7 g/dl), 16 cases in AN and 11 in DP groups. Asexual and sexual parasite densities ranged from 10 to 125.000/ul and 0 to 768/ul, and geometric means of both groups were not significant difference. Though five cases in AN group (four at Manokwari and one at Noongan) had >100,000 asexual parasite/ul, but they were uncomplicated malaria. The proportion of gametocyte carriage in AN and DP groups were also found similar about 56%. There were 3 protocol violations in AN group because of two cases were treated with under dosage and another one had congenital heart disease. There was no protocol
violation in DP group. Overall, 188 subjects received a full course of treatment, 91 with AN and 97 with DP were included in ITT analysis. This ITT population (188) cases were used for assessment of adverse events. The adverse events were few (<8%) and mild. Proportion of adverse events (AEs) were not different between AN and DP groups. The common AE was cough which occurred after day-7 of follow up days. Lost to follow up subjects were more in AN group (7.7%) compare with DP group (1.3%). All withdrawn consent and lost to follow-up cases were excluded in PP analysis. Therefore, only 178 subjects PP population, 82 in AN and 96 in DP groups were used for assessment of the therapeutic efficacy. There were 13 treatment failures, eight cases in AN group (2Pf, 4 Pv and 2 PfPv) and five cases in DP group (3 Pf, 1 Pv and 1 PfPv). The uncorrected PCR ACPR on day-28 and 42 were 92.7% (76 of 82) and 90.2% (74 of 82) in AN group, and 94.8% (91 of 96) and 94.8% (91 of 96) in DP group. These ACPRs were not different between groups. All treatment failure (TF) samples (13 pairs) confirmed as microscopy results by PCR, except one sample DP showed a negative result on day failure (day 42) and that sample was considered as successful case. Of the remaining TFs (12 pairs), 5 of them were caused by P. falciparum (four monoinfections and one mixed P. falciparum and P. vivax). Four of the five pair samples demonstrated identical bands between days 0 and failures, and classified as recrudescences. The remaining one sample in DP group showed a new infection. The corrected PCR ACPR on day- 28 and 42 were 93.9% (77 of 82) and 90.2% (74 of 82) in AN group, and 95.8% (92 of 96) and 95.8% (92 of 96) in DP group. The corrected PCR ACPRs on day-28 and day-42 were not different between AN and DP groups. However, proportion of late parasitological failure (LPF) was significant higher in AN group (9.7%) than in DP group (2.1%). Following treatment 87% ACPR subjects in AN and 98% subjects in DP became afebrile on day 1. The proportion of fever clearance (FC) in AN group was lower compare with DP group with RR=0.9 [95%CI:0.8-0.9]. However, by days 2 and 3 after completed dosages given, the proportions of FC in both groups were similar and almost 100%. Proportion of asymptomatic ACPR subjects in AN and DP were increasing and almost 100% after day 7. The proportions on days 1, 2 and 3 were significant higher in AN than DP groups with RR=3.0 (95%CI: 1.7-5.5), RR=1.7 (95%CI:1.3-2.3), and RR=1.3 (95%CI:1.1-1.6). After day 3 the proportions of asymptomatic subjects were similar in both groups. Among ACPR cases, AN group
had significant higher proportion of anemia than DP group on enrolment and day 14, however by days 28 and 42 proportions of anemia were not different. AN group also had a higher proportion of hemoglobin recovery than DP group (90.5% vs 80.4%). Proportion of haemoglobin recovery was significant higher in AN group compare with DP group on days 14 and 42. Asexual parasites were cleared slower in ACPR AN group compare with DP group on day 1 (52.7% vs 71.7%), almost 100% asexual parasites were cleared by day 2, and there was none subject with asexual parasitemia by day 3 of observation. Gametocyte carriages were >50 % on day recruitment in both ACPR of AN and DP groups. Though the proportion of gametocyte carriages on days 2 and 3 were higher in group in AN than in group DP, gametocyte carriages reduced by days of follow up and cleared after day 21 in both groups. There were three gametocyte carriages in AN found at day of follow up which was absent in recruitment day. By ITT analysis, the 42-day efficacy of AN vs DP was not difference 90.5% vs 95.8% with Hazard Ratio of 0.419 (95%CI:0.1-1.4) and p=0.146. While the 28-day efficacy of AN vs DP were 96.6% vs 100%, and it was also not significant difference. By PP analysis, the 42-day efficacy of AN vs DP were also not different 90.2% vs 95.8% with Hazard Ratio of 0.411 (95%CI: 0.1-1.4) and p=0.155. While, the 28-day efficacy of AN vs DP were 96.5% vs 100% , and it was also not significant difference. Based on the results of this trial that parasite clearance of study drug (AN) and control drug (DP) asexual were 0,527 (P1) and 0,717 (P2) with number of samples of 91 (AN) and 97 (DP), so the power of the trial (1-β) is slightly lower (75.3% -78%) than calculation power used of 80%. However, this trial showed both ACTs are confirmed safe and effective with ACPRs of ≥90% for treatment of any malaria in children. Though the efficacies of AN by ITT and PP analysis do not exceed or meet with the recent WHO recommendation for replacing ineffective drugs, the single dose of AN may consider as a simple and practical alternative ACT
use in the field
especially in remote areas for a better compliance with direct observe treatment. Further analysis of factors influenced the efficacy of AN, and a drug dosing study in children to determine the optimum dose use in the field are needed.
Ringkasan Eksekutif Studi Diet Total, Survei Konsumsi Makanan Individu Provinsi Aceh
Studi Diet Total (SDT) 2014 adalah studi berbasis komunitas dengan sampel individu yang dapat mewakili provinsi dan nasional dengan menggunakan sub sampel Riskesdas 2013. SDT 2014 mencakup Survei Konsumsi Makanan Indonesia (SKMI) dan Analisis Cemaran Kimia Makanan (ACKM). SKMI merupakan kegiatan mengumpulkan informasi konsumsi makanan individu yang lengkap, sebagai dasar untuk melakukan kegiatan ACKM yaitu menentukan tingkat keterpaoparan senyawa kimia pada makan yang dikonsumsi penduduk. Laporan ini hanya fokus pada hasil SKMI di Provinsi Aceh. Riskesdas 2013 menunjukkan peningkatan penyakit tidak menular dan masih tingginya masalah gizi di masyarakat yang ditengarai berkaitan dengan perilaku konsumsi makanan di masyarakat.
Oleh karena itu, hasil SKMI menjadi bagian
penting dari SDT. SKMI bertujuan memperoleh data tentang pola konsumsi makanan dan tingkat kecukupan gizi masyarakat/penduduk, dan untuk menyediakan informasi untuk ACKM yaitu tentang cara dan proses memasak dan alat yang digunakan untuk memasak serta daftar bahan makanan.
SKMI ini merupakan survei berskala
nasional pertama di Indonesia yang mengumpulkan data konsumsi makanan individu secara lengkap. Survei ini dilakukan bekerjasama dengan perguruan tinggi, Badan Pusat Statistik, Dinas Kesehatan Provinsi dan kabupaten/kota dan dibantu secara teknis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Institute Life Science International (ILSI). Pelaksanan SKMI dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah Indonesia. Disain SKMI adalah potong lintang.
Di Provinsi Aceh mencakup 6.611
individu pada 1.868 rumah tangga (RT) dan tersebar di 82 blok sensus (BS) di 18 kabupaten dan 5 kota. Survei ini dilaksanakan pada tahun 2014 dan pada tahun 2015 dilanjutkan dengan kegiatan ACKM.
Metode yang digunakan dalam SKMI
adalah metode yang telah digunakan di berbagai negara di dunia. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara tentang konsumsi makanan individu sehari sebelumnya.
Wawancara dibantu dengan menggunakan pedoman pengumpulan
data konsumsi makanan. Data yang dikumpulkan meliputi menu dan jenis makanan, cara memasak dan alat yangvdigunakan untuk memasak. Hasil analisis SKMI di Provinsi Aceh mencakup rerata konsumsi bahan makanan perorang perhari menurut kelompok makanan dan proporsi penduduk yang mengonsumsinya serta asupan energi dan zat gizi. Bahan karbohidrat.
Pada kelompok serealia dan olahan, konsumsi beras adalah
yang tertinggi yaitu 230,1 gram perorang perhari diikuti mie (26,2 gram).
Beras
dikonsumsi oleh semua (99,2%) penduduk sedangkan mie oleh 20,3 persen penduduk.
Pada kelompok umbi dan olahan, kentang dan olahan adalah yang
tertinggi dikonsumsi yaitu 3,6 gram perorang perhari yang dikonsumsi oleh 7,4 persen penduduk diikuti oleh singkong dan olahan 1,8 gram yang dikonsumsi oleh 4,3 persen penduduk. Sumber protein.
a) Protein nabati. Pada kelompok kacang-kacangan dan
hasil olahannya, kacang kedelai dan olahan adalah yang dikonsumsi tertinggi yaitu 12,7 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsi kacang kedelai dan olahannya adalah 17,6 persen diikuti oleh kacang tanah dan olahan yaitu 1,0 gram perorang perhari yang dikonsumsi oleh 4,5 persen penduduk. b) Protein hewani. Kelompok ikan dan olahan, ikan laut merupakan yang dikonsumsi tertinggi yaitu 149,3 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsi ikan laut adalah 66,7 persen. Kelompok telur dan olahan, telur ayam merupakan yang terbanyak yaitu 18,9 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsinya adalah 35,7 persen. Kelompok daging dan olahannya, daging unggas adalah yang dikonsumsi tertinggi yaitu 16,7 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsi daging daging unggas adalah 12,7 persen. Pada kelompok jeroan dan olahannya, jenis jeroan lainnya (0,3 gram) adalah yang dikonsumsi tertinggi yaitun 0,3 gramperorang perhari dan penduduk yang mengonsuksinya adalah 1,1 persen. Pada kelompok susu dan olahan, jenis susu formula bayi adalah yang dikonsumsi terbanyak yaitu 0,2 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsinya adalah 1,4 persen sedangkan susu cair adalah 1,4 ml perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsinya dan penduduk yang mengonsumsinya adalah 1,0 persen.
Sumber lemak. Pada kelompok minyak, lemak dan olahan, jenis kelapa dan olahan merupakan yang dikonsumsi tertinggi yaitu 20,2 gram perorang perhari dan dikonsumsi oleh 33,6 persen penduduk. Konsumsi terbanyak kedua adalah jenis minyak kelapa sawit dan minyak olahan adalah 18,9 gram perorang perhari namun dikonsumsi oleh 93,2 persen penduduk. Sumber air.
Konsumsi kelompok air, air minum merupakan jenis yang
dikonsumsi terbanyak yaitu 1.082,4 ml perorang perhari dan dikonsumsi oleh semua (99,0%) penduduk. Konsumsi terbanyak kedua adalah air minum bermerek yaitu 53,8 ml perorang perhari. Sumber vitamin dan mineral. Pada kelompok sayur dan hasil olahannya, sayuran daun merupakan jenis yang dikonsumsi terbanyak yaitu 59,7 gram perorang perhari dan dikonsumsi oleh 81,6 persen.
Pada kelompok buah-buahan dan
olahannya, mangga merupakan jenis yang terbanyak dikonsumsi yaitu 20,6 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsi adalah 11,3 persen diikuti pisang (9,3 gram) dan penduduk yang mengonsumsinya 9,6 persen. Konsumsi kelompok gula dan konfeksionari, gula 14,2 gram merupakan jenis yang tertinggi dikonsumsi yaitu 14,2 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsi gula adalah 63,0 persen. Konsumsi kelompok bumbu, bumbu basah 17,7 gram merupakan jenis yang tertinggi dikonsumsi yaitu 17,7 gram perorang perhari diikuti garam (4,1 gram) dan terendah adalah vetsin/MSG/mecin (0,1 gram). Konsumsi kelompok minuman jenis serbuk, kopi bubuk merupakan jenis yang dikonsumsi tertinggi yaitu 3,3 gram perorang perhari dan dikonsumsi oleh 26,1 persen penduduk.
Sedangkan pada kelompok minuman jenis cair, minuman
kemasan cairan merupakan yang tertinggi dikonsumsi yaitu 8,1 ml dan dikonsumsi oleh 4,8 persen penduduk. Konsumsi kelompok makanan komposit, ayam goreng merupakan jenis makanan komposit yang tertinggi yaitu 0,36 gram perorang perhari dan hanya dikonsumsi oleh 0,3 persen penduduk. Konsumsi kelompok suplemen, minuman suplemen merupakan jenis yang dikonsumsi yaitu 0,09 ml perorang perhari dan dikonsumsi oleh 0,05 persen
penduduk. Sementara itu, pada kelompok jamu, jamu tradisional merupakan jenis yang dikonsumsi terbanyak yaitu 0,05 ml perorang perhari dan dikonsumsi oleh 0,02 persen penduduk.
Kecukupan dan asupan Energi. Rerata kecukupan energi perorang perhari menurut kelompok umur adalah pada kelompok umur 0-59 bulan (96,9%) diikuti oleh kelompok umur 5-12 tahun laki-laki maupun perempuan yaitu 84,1 persen dan umur > 55 tahun yaitu sekitar 80 persen. Kecukupan energi di perkotaan (78,6%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (74,6%). Proporsi penduduk dengan kecukupan energi sangat kurang (<70% AKE) tertinggi adalah 55,2 persen pada kelompok umur 13-18 tahun, proporsi dengan kecukupan energi kurang (70 - <100% AKE) tertinggi adalah 52,8 persen yaitu pada kelompok umur 0-59 bulan, proporsi penduduk dengan asupan energi cukup (≥100 - <130% AKE) tertinggi adalah 29,3 persen juga pada kelompok umur 0-59 bulan dan proporsi penduduk dengan risiko kelebihan energi (≥130% AKE) yaitu 10,3 persen yaitu pada kelompok umur 0-59 bulan. Protein. Rerata kecukupan protein perorang perhari menurut kelompok umur adalah pada kelompok umur 0 - 59 bulan (161,1%) diikuti oleh kelompok umur 5-12 tahun laki-laki maupun perempuan yaitu sekitar 130 persen dan umur 19-55 tahun yaitu sekitar 120 persen.
Kecukupan protein di perkotaan (119,5%) lebih tinggi
dibandingkan dengan di perdesaan (116,1%).
Semakin tinggi kuintil indeks
kepemilikan semakin tinggi pula terpenuhinya kecukupan protein.
Proporsi
penduduk dengan kecukupan protein sangat kurang (<80% AKP) tertinggi adalah 40,1 persen pada kelompok umur 13-18 tahun, proporsi dengan kecukupan protein kurang (80 - <100% AKP) tertinggi adalah 19,6 persen juga pada kelompok umur 1318 tahun, proporsi penduduk dengan asupan protein cukup (≥100 - <130% AKP) tertinggi adalah 18,5 persen pada kelompok umur 19-55 tahun dan proporsi penduduk dengan kelebihan asupan protein (≥120% AKP) yaitu 68,7 persen yaitu pada kelompok umur 0-59 bulan. Lemak. Asupan lemak perorang perhari tertinggi pada laki-laki adalah pada kelompok umur 13-18 tahun yaitu 49,4 gram dan untuk perempuan pada kelompok
umur 5-12 tahun yaitu 48,7 gram.
Asupan protein di perkotaan lebih tinggi
dibandingkan dengan di perdesaan. Karbohidrat.
Asupan karbohidrat perorang perhari tertinggi pada laki-laki
adalah pada kelompok umur 19-55 tahun yaitu 292,4 gram dan untuk perempuan juga pada kelompok umur 19-55 tahun yaitu 246,3 gram. Natrium. Asupan natrium perorang perhari tertinggi pada laki-laki adalah pada kelompok umur 5-12 tahun yaitu 1.256,2 miligram dan untuk perempuan pada kelompok umur 13-18 tahun yaitu 1.324,4 miligram.
Proporsi penduduk dengan
asupan natrium ≥ 2.000 miligram di perkotaan (8,9%) lebih rendah dibandingkan dengan di perdesaan (11,5%) dan tertinggi pada kuintil terbawah (12,3%) dan terendah pada kuintil teratas (8,7%). Gula, garam dan lemak.
Rerata konsumsi gula menurut kelompok umur,
tertinggi pada kelompok umur > 55 tahun (20,5 g) dan di perkotaan (15,1 g) lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (13,9 g). Rerata konsumsi garam menurut kelompok umur sekitar 4 gram kecuali pada kelompok umur 0-59 bulan 2,2 gram dan konsumsi di perkotaan sama dengan di perdesaan yaitu 4 gram. Rerata konsumsi minyak/lemak menurut kelompok umur tertinggi pada kelompok umur 19-55 tahun (20,1 g) dan di perkotaan (21,8 g) lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (18,2 g). Proporsi penduduk yang mengonsumsi gula ≥ 50 gram tertinggi pada kelompok umur > 55 tahun (8,3%), di perkotaan (5,2%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (4,5%). Proporsi penduduk dengan asupan natrium ≥ 2000 miligram di perkotaan (8,9%) lebih rendah dibandingkan di perdesaan (11,5%) dan tertinggi pada kuintil terbawah (12,3%) dan terendah pada kuintil teratas (8,7%). Proporsi penduduk yang mengonsumsi lemak ≥ 67 gram di perkotaan (25,0%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (13,5%) dan terendah pada kuintil terbawah (9,9%) dan tertinggi pada kuintil teratas (24,1%). Rekomendasi Mengingat sumber energi dan karbohidrat (makanan pokok) masih sangat tergantung pada beras maka perlu kampanye penganekaragaman makanan pokok berbasis sumber makanan lokal selain beras yaitu umbi-umbian.
Mengingat sumbangan protein hewani ikan laut dan olahan cukup tinggi yang dikonsumsi dua-pertiga penduduk diikuti telur dan olahan yang dikonsumsi oleh sepertiga penduduk maka perlu dilakukan kampanye untuk terus meningkatkan konsumsi ikan laut. Mengingat sumbangan vitamin dan mineral dari sayuran belum tinggi namun dikonsumsi oleh lebih 80 persen penduduk dan buah-buahan masih rendah yang hanya dikonsumsi oleh 10 persen penduduk maka digalakkan produksi sayuran dan buah-buahan seta kampanye untk meningkatkan konsumsinya. Mengingat sudah terdapat penduduk yang mengonsumsi gula, garam (natrium) dan lemak melebihi batas yang ditetapkan dalam Permenkes nomor 30 tahun 2013, maka perlu ditingkatkan kampanye agar lebih banyak masyarakat yang menyadari akan risiko mengonsumsi gula, natrium dan lemak yang berlebih.
Ringkasan Eksekutif Studi Diet Total, Survei Konsumsi Makanan Individu Provinsi Riau
Studi Diet Total (SDT) 2014 termasuk dalam Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas)
berbasis
komunitas,
dilaksanakan
oleh
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Studi Diet Total terdiri dari dua kegiatan besar, yaitu Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) dan Analisis Cemaran Kimia Makanan (ACKM). Survei Konsumsi Makanan Individu merupakan kegiatan mengumpulkan informasi data konsumsi makanan individu yang lengkap, sebagai dasar untuk melakukan kegiatan ACKM untuk menentukan tingkat keterpaparan senyawa kimia pada makanan yang dikonsumsi penduduk. Laporan ini difokuskan pada hasil SKMI di Provinsi Riau. Riskesdas 2013 menunjukkan peningkatan penyakit degeneratif dan masih tingginya masalah gizi di masyarakat yang diduga berkaitan dengan perubahan pola konsumsi makanan di masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan SKMI sebagai bagian dari kegiatan SDT. Survei konsumsi makanan individu bertujuan untuk memperoleh informasi tentang gambaran pola konsumsi makanan dan tingkat kecukupan zat gizi penduduk, dan untuk menyediakan informasi tentang cara, proses dan alat yang digunakan untuk memasak makanan serta daftar bahan makanan untuk keperluan ACKM. SKMI merupakan survei berskala nasional pertama di Indonesia yang mengumpulkan data konsumsi individu secara lengkap, bekerjasama dengan perguruan
tinggi,
Badan
Pusat
Statistik,
Dinas
Kesehatan
Provinsi
dan
kabupaten/kota. Pelaksanaan SKMI dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah Indonesia. Disain penelitian SKMI adalah potong lintang (cross-sectional) yang mencakup 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Blok Sensus yang berhasil ditemukan dan dikunjungi di Provinsi Riau sebanyak 54 BS (100%) yang tersebar di 12 kabupaten/kota. Target rumah tangga sebanyak 1.330 RT, yang berhasil dikunjungi 1.092 RT (82,1%). Sedangkan untuk ART 5.359 orang, dan terdapat 4.038 orang yang berhasil diwawancarai (75,3%).
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara tentang konsumsi makanan individu sehari sebelumnya. Wawancara dibantu dengan menggunakan pedoman pengumpulan data konsumsi makanan. Data yang dikumpulkan meliputi menu dan jenis makanan, cara memasak dan alat yang digunakan untuk memasak. Kendala yang dihadapi dalam pengumpulan data antara lain, mobilitas penduduk dan keengganan untuk diwawancara. Hasil analisis SKMI di Provinsi Riau menunjukkan rerata konsumsi bahan makanan perorang perhari menurut kelompok dan jenis makanan dan proporsi penduduk yang mengonsumsinya serta asupan energi dan zat gizi. Bahan makanan Sumber karbohidrat. Pada kelompok serealia dan olahan, konsumsi beras adalah yang tertinggi yaitu 166,2 gram perorang perhari diikuti mie (25,6 gram). Beras dikonsumsi oleh hampir semua (97,0%) penduduk sedangkan mie oleh 22,4 persen penduduk. Pada kelompok umbi dan olahan, kentang adalah yang tertinggi dikonsumsi yaitu 8,9 gram perorang perhari yang dikonsumsi oleh 10,5 persen penduduk diikuti oleh singkong 5,2 gram yang dikonsumsi oleh 7,3 persen penduduk. Sumber protein.
a) Protein nabati. Pada kelompok kacang-kacangan dan
hasil olahannya, kacang kedelai dan olahan adalah yang dikonsumsi tertinggi yaitu 28,6 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsi kacang kedelai dan olahannya adalah 25,3 persen diikuti oleh kacang tanah dan olahan yaitu 1,5 gram perorang perhari yang dikonsumsi oleh 5,7 persen penduduk . b) Protein hewani. Kelompok ikan dan olahan, ikan air tawar merupakan yang dikonsumsi tertinggi yaitu 55,7 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsi ikan air tawar adalah 20,4 persen, dikuti oleh ikan laut dengan konsumsi 40,9 gram yang dikonsumsi oleh penduduk sebanyak 22,9 persen. Kelompok telur dan olahan, telur ayam merupakan yang terbanyak yaitu 20,6 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsinya adalah 33,5 persen. Kelompok daging dan olahannya, daging unggas adalah yang dikonsumsi tertinggi yaitu 35,7 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsi daging daging unggas adalah 20,6 persen.
Pada kelompok jeroan dan olahannya, jenis jeroan unggas adalah yang dikonsumsi tertinggi yaitu 0,6 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsinya adalah 1,0 persen. Pada kelompok susu dan olahan, jenis susu kental manis dikonsumsi sebanyak 2,0 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsinya sebanyak 5,5 persen sedangkan susu cair dikonsumsi sebanyak 3,3 ml perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsinya adalah 2,2 persen. Sumber lemak. Pada kelompok minyak, lemak dan olahan, jenis kelapa dan olahan merupakan yang tertinggi yaitu 19,8 gram perorang perhari dikonsumsi oleh 30,1 persen penduduk. Konsumsi terbanyak kedua adalah minyak kelapa sawit dan minyak kelapa yaitu 18,4 gram perorang perhari namun dikonsumsi oleh 93,7 persen penduduk. Sumber air.
Konsumsi kelompok air, air minum merupakan jenis yang
dikonsumsi terbanyak yaitu 1.353 ml perorang perhari dan dikonsumsi oleh semua 98,2 persen penduduk. Konsumsi terbanyak kedua adalah air minum bermerek yaitu 61,0 ml perorang perhari dan dikonsumsi oleh 8,1 persen penduduk. Sumber vitamin dan mineral. Pada kelompok sayur dan hasil olahannya, sayuran daun merupakan jenis yang dikonsumsi terbanyak yaitu 45,7 gram perorang perhari dan dikonsumsi oleh 75,4 persen penduduk. Pada kelompok buah-buahan dan olahannya, mangga merupakan jenis yang terbanyak dikonsumsi yaitu 10,6 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsi adalah 6,1 persen diikuti pisang (6,8 gram) dan penduduk yang mengonsumsinya 6,5 persen. Konsumsi kelompok gula dan konfeksionari, gula merupakan jenis yang tertinggi dikonsumsi yaitu 12,3 gram perorang perhari dan penduduk yang mengonsumsi gula adalah 58,3 persen. Konsumsi kelompok bumbu, bumbu basah merupakan jenis yang tertinggi dikonsumsi yaitu 24,8 gram perorang perhari yang dikonsumsi oleh 93,0 persen penduduk, diikuti garam (2,6 gram) dan terendah adalah vetsin/MSG/mecin (0,7 gram). Konsumsi kelompok minuman jenis serbuk, kopi bubuk merupakan jenis yang dikonsumsi tertinggi yaitu 2,3 gram perorang perhari dan dikonsumsi oleh 12,6 persen penduduk.
Sedangkan pada kelompok minuman jenis cair, minuman
kemasan cairan merupakan yang tertinggi dikonsumsi yaitu 27 ml dan dikonsumsi oleh 11 persen penduduk. Konsumsi kelompok makanan komposit, ayam goreng merupakan jenis makanan komposit yang tertinggi yaitu 0,9 gram perorang perhari dan hanya dikonsumsi oleh 0,6 persen penduduk. Konsumsi kelompok suplemen, minuman multi vitamin merupakan jenis yang tertinggi dikonsumsi yaitu 0,03 ml perorang perhari dan dikonsumsi oleh 0,1 persen penduduk. Sementara itu, pada kelompok jamu, jamu pabrikan merupakan jenis yang dikonsumsi terbanyak yaitu 0,21 ml perorang perhari dan dikonsumsi oleh 0,1 persen penduduk. Kecukupan dan asupan gizi Energi. Rerata kecukupan energi perorang perhari menurut kelompok umur tertinggi adalah pada kelompok umur 0 - 59 bulan (97%) diikuti oleh kelompok umur 5 - 12 tahun laki-laki maupun perempuan yaitu 79 persen dan umur > 55 tahun yaitu sekitar 75 persen. Kecukupan energi di perkotaan (75,0%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (69,0%). Proporsi penduduk dengan kecukupan energi sangat kurang (< 70% AKE) tertinggi adalah 59,0 persen pada kelompok umur 13-18 tahun, proporsi dengan kecukupan energi kurang (70 - <100% AKE) tertinggi adalah 58,2 persen yaitu pada kelompok umur 0-59 bulan, proporsi penduduk dengan asupan energi cukup (≥100 - <130% AKE) tertinggi adalah 16,5 persen juga pada kelompok umur 0-59 bulan dan proporsi penduduk dengan risiko kelebihan energi (≥ 130% AKE) yaitu 14,8 persen pada kelompok umur 0-59 bulan. Protein. Rerata kecukupan protein perorang perhari menurut kelompok umur, tertinggi adalah pada kelompok umur 0 - 59 bulan yaitu sebesar 144,5 persen, diikuti oleh kelompok umur 5 - 12 tahun laki-laki maupun perempuan yaitu sekitar 125 persen dan umur 19 - 55 tahun sekitar 113 persen. Kecukupan protein di perkotaan (118,0%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (107,8%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi pula terpenuhinya kecukupan protein. Proporsi penduduk dengan kecukupan protein sangat kurang (<80% AKP) tertinggi adalah 45,1 persen pada kelompok umur 13-18 tahun, proporsi dengan kecukupan protein kurang (80 - <100% AKP) tertinggi adalah 18,8 persen pada kelompok umur diatas 55 tahun. Proporsi penduduk dengan asupan protein cukup (≥100 - <120%
AKP) tertinggi sebanyak 16,2 persen pada kelompok umur diatas 55 tahun dan proporsi penduduk dengan kelebihan asupan protein (≥120% AKP) tertinggi yaitu 52,6 persen 0-59 bulan. Lemak. Asupan lemak perorang perhari tertinggi pada laki-laki adalah pada kelompok umur 5 - 12 tahun yaitu 55,5 gram dan untuk perempuan juga pada kelompok umur 5 -12 tahun yaitu 57,7 gram. Asupan lemak di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan. Karbohidrat. Asupan karbohidrat perorang perhari tertinggi pada laki-laki ada pada kelompok umur 19 - 55 tahun yaitu 261,7 gram dan untuk perempuan juga pada kelompok umur 19 - 55 tahun yaitu 211,6 gram. Gula, garam dan lemak.
Rerata konsumsi gula menurut kelompok umur,
tertinggi pada kelompok umur diatas 55 tahun yaitu 17,5 gram perorang perhari, dan di perkotaan sebanyak 11,8 gram lebih rendah dibandingkan dengan di perdesaan yaitu 12,7 gram. Rerata konsumsi garam menurut kelompok umur tertinggi pada kelompok umur
diatas 55 tahun yaitu 3 gram perorang perhari, terendah pada
kelompok umur 0-59 bulan 0,9 gram perorang perhari, dan konsumsi di perkotaan sama dengan di perdesaan yaitu sekitar 3 gram. Rerata konsumsi minyak/lemak menurut kelompok umur tertinggi pada kelompok umur 19-55 tahun sebanyak 19,6 gram perorang perhari, dan konsumsi minyak/lemak di perkotaan sama dengan di perdesaan yaitu 15 gram. Proporsi penduduk yang mengonsumsi gula ≥ 50 gram tertinggi pada kelompok umur > 55 tahun sebanyak 7,1 persen, di perkotaan sebanyak 2,8 persen lebih rendah dibandingkan di perdesaan sebanyak 4,4 persen. Proporsi penduduk dengan asupan natrium ≥ 2.000 miligram di perkotaan sebanyak 14,3 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan yaitu 10,6 persen. Tertinggi pada kuintil teratas sebanyak 12,0 persen dan terendah pada kuintil terbawah sebanyak 9,2 persen.
Proporsi penduduk yang mengonsumsi lemak ≥ 67 gram di perkotaan
sebanyak 30,9 persen lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan sebesar 20,2 persen dan terendah pada kuintil terbawah yaitu15,0 persen dan tertinggi pada kuintil teratas sebanyak 31,3 persen.
Rekomendasi Perlu dirumuskan kebijakan penganekaragaman makanan pokok agar tidak hanya mengonsumsi beras,mengingat beras masih tergantung kepada impor sedangkan sumber makanan pokok lokal (umbi-umbian) masih sedikit dikonsumsi oleh penduduk. Mengingat sumbangan protein dari hasil laut relatif masih kurang dibandingkan dengan potensi yang ada, maka perlu dilakukan kebijakan untuk peningkatan potensi hasil laut sebagai sumber protein hewani bagi penduduk. Konsumsi sayuran secara proporsional cukup tinggi namun dalam rerata perlu peningkatan, sedangkan konsumsi buah relatif masih sedikit maka perlu dirumuskan kebijakan promosi kesehatan untuk meningkatkan konsumsi sayur dan buah baik melalui edukasi dilanjutkan dengan peningkatan produksi sehingga sayuran dan buah tersedia dengan harga terjangkau. Mengingat sebagian penduduk sudah mengonsumsi gula, garam, natrium dan minyak/lemak melebihi batas yang ditetapkan dalam Permenkes nomor 30 tahun 2013 maka perlu ditingkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko akibat mengonsumsi gula, garam, dan minyak/lemak dan natrium melalui edukasi atau kampanye di media massa seperti surat kabar dan radio. Mengingat masih banyak ibu hamil yang mengalami kekurangan energi dan protein maka perlu dirumuskan kebijakan dalam rangka pencegahan bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah ≤ 2500 gram) dan stunting (panjang badan lahir < 48 cm) dengan cara pemberian makanan tambahan pada ibu hamil untuk mencukupi kebutuhan keseluruhan zat gizi makro dan mikro.
Ringkasan Eksekutif Studi Diet Total, Survei Konsumsi Makanan Individu Provinsi DKI
Studi Diet Total (SDT) 2014 termasuk dalam Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas)
berbasis
komunitas,
dilaksanakan
oleh
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Studi Diet Total terdiri dari dua kegiatan besar, yaitu Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) dan Analisis Cemaran Kimia Makanan (ACKM). Survei Konsumsi Makanan Individu merupakan kegiatan mengumpulkan informasi data konsumsi makanan individu yang lengkap, sebagai dasar untuk melakukan kegiatan ACKM untuk menentukan tingkat keterpaparan senyawa kimia pada makanan yang dikonsumsi penduduk. Laporan ini difokuskan pada hasil SKMI. Riskesdas 2013 menunjukkan peningkatan penyakit degeneratif dan masih tingginya masalah gizi di masyarakat yang diduga berkaitan dengan perubahan pola konsumsi makanan di masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan SKMI sebagai bagian dari kegiatan SDT. Survei konsumsi makanan individu bertujuan untuk memperoleh informasi tentang gambaran pola konsumsi makanan dan tingkat kecukupan zat gizi penduduk, dan untuk menyediakan informasi tentang cara, proses dan alat yang digunakan untuk memasak makanan serta daftar bahan makanan untuk keperluan ACKM. Survei konsumsi makanan individu merupakan survei berskala nasional pertama di Indonesia yang mengumpulkan data konsumsi individu secara lengkap. Survei ini dilakukan bekerjasama dengan perguruan tinggi, Badan Pusat Statistik, Dinas Kesehatan provinsi dan Kab/Kota dan dibantu secara teknis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Institute Life Science International (ILSI). Pelaksanaan SKMI dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah Indonesia. Disain penelitian SKMI adalah kroseksional yang mencakup 1.722 individu pada 504 rumah tangga dan tersebar di 30 blok sensus di seluruh kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta. Survei konsumsi makanan individu dilaksanakan pada tahun 2014 dan pada tahun 2015 dilanjutkan dengan kegiatan ACKM.
SKMI menggunakan cara pengumpulan data yang sudah digunakan secara universal. Data yang dikumpulkan meliputi menu dan jenis makanan, cara memasak dan alat yang digunakan untuk memasak. Data dikumpulkan dengan cara wawancara tentang konsumsi makanan individu sehari sebelumnya. Wawancara dibantu dengan menggunakan pedoman pengumpulan data konsumsi makanan. Dalam proses pengumpulan data dihadapi berbagai kendala antara lain mobilitas penduduk, perbedaan antara nama dengan data yang ada atau tidak bersedia menjadi responden SKMI. Hasil analisis SKMI 2014 menunjukkan berat bahan makanan yang dikonsumsi menurut jenis dan kelompok makanan, mempengaruhi asupan zat gizi dan kecukupan energi dan protein individu, hasil secara lengkap sebagai berikut: 1. Pada jenis kelompok serealia, hampir semua penduduk DKI Jakarta mengonsumsi beras (98,0%) dengan konsumsi sebesar 173,3 gram perorang perhari, diikuti dengan konsumsi terigu yang dikonsumsi oleh sekitar 50,6 persen penduduk dengan konsumsi sebesar 15,9 gram perorang perhari. Jenis makanan pokok dari kelompok umbi dan olahannya sebanyak 32 gram perorang perhari. Sebanyak 39,1 persen penduduk mengonsumsi singkong dan olahan dengan konsumsi sebesar 12,8 gram perorang perhari. Dari ketiga jenis makanan pokok tersebut, jenis umbi-umbian yang umumnya merupakan produksi lokal yang paling sedikit dikonsumsi oleh penduduk. 2. Konsumsi protein hewani penduduk Indonesia, terbanyak berasal dari kelompok daging dan olahan sebanyak 74,6 gram perorang perhari. Disusul oleh kelompok ikan dan olahan, yaitu sebesar 53,5 gram perorang perhari. Tiga kelompok lain yang lebih sedikit dikonsumsi, secara berurutan yaitu telur dan olahan sebesar 34,4 gram perorang perhari, susu dan olahan sebanyak 25 gram perorang perhari, dan kelompok jeroan sebesar 7,6 gram perorang perhari. Protein nabati lebih banyak dikonsumsi penduduk dibandingkan protein hewani, terlihat pada konsumsi kacang-kacangan dan olahan yang mencapai 63,1 gram perorang perhari. Berdasarkan jumlah penduduk yang mengonsumsi kelompok kacang-kacangan dan olahan, proporsi terbesar adalah pada konsumsi kacang kedele yaitu sebesar 62,1 persen dengan jumlah konsumsi sebanyak 56,6 gram perorang perhari. Jenis protein dalam
makanan penduduk sangat didominasi oleh protein nabati. Jumlah protein nabati dalam makanan penduduk yang tinggi mempengaruhi kualitas makanan penduduk. 3. Konsumsi sayur dan olahan dan buah-buahan dan olahan penduduk masih kecil yaitu 55,3 gram perorang perhari dan 48,2 gram perorang perhari. Dalam kelompok sayur, sayuran daun
dikonsumsi
paling banyak (81,4%)
dibandingkan sayur lainnya. Sebaliknya dalam kelompok buah-buahan dan olahan, buah pisang terbanyak dikonsumsi oleh penduduk (15,2%). Konsumsi sayur dan olahan dan buah-buahan dan olahan yang belum memadai akan berpengaruh terhadap asupan vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. 4. Konsumsi minyak, lemak dan olahan sebesar 60,9 gram perorang perhari, terbanyak dikonsumsi dalam kelompok ini adalah kelapa dan olahan (35,5 gram/ orang/hari). Hampir semua penduduk DKI Jakarta mengonsumsi minyak kelapa sawit dan minyak kelapa (96,6%), menyusul kelapa dan olahannya (48,0%) dan minyak lainnya (20,9%). 5. Konsumsi gula dan konfeksionari penduduk Indonesia sebesar 18,9 gram perorang perhari, terbanyak dikonsumsi dalam kelompok ini adalah dari jenis gula (14,3 gram/ orang/hari). Gula pasir dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia (70,1%), diikuti oleh coklat (10,5%), madu, selai, agaragar dan jely (7,7%), permen (4,7%) dan terendah sirup (2,1%). 6. Konsumsi kelompok bumbu penduduk Indonesia sebesar 26,6 gram perorang perhari, terbanyak dikonsumsi dalam kelompok ini adalah bumbu basah (17,8 gram/orang/hari), menyusul bumbu instant (4,1 gram/orang/hari) dan garam (3,5 gram/orang/hari). Konsumsi bumbu kering, vetsin/MSG/Mecin dikonsumsi dalam jumlah yang sedikit, yaitu berkisar antara 0,8 – 0,1 gram perorang perhari. Hampir semua penduduk DKI Jakarta mengonsumsi garam (97,6%). Bumbu basah dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk (82,61%). Vetsin/MSG/Mecin, bumbu instan dan bumbu kering dikonsumsi oleh penduduk dengan kisaran antara 31,3 – 39,3 persen dan terendah bahan tambahan (2,6%).
7. Total konsumsi minuman serbuk penduduk Indonesia sebesar 11,3 gram perorang perhari.
Teh instan/daun kering dikonsumsi terbanyak (41,1 %)
diikuti kopi bubuk (21,0%) dan terendah minuman serbuk (11,2%), dengan konsumsi terbanyak adalah
kopi bubuk (7,4 gram/orang/hari), menyusul
minuman serbuk (2,3 gram/orang/hari) dan terendah adalah teh instan/daun kering (1,5 gram/orang/hari). Minuman serbuk sudah dikonsumsi oleh balita (kelompok umur 0-59 bulan), dan konsumsi tertinggi ditemukan pada kelompok 5-12 tahun. 8. Konsumsi minuman cair penduduk Indonesia sebesar 60,0 ml perorang perhari.
Dalam kelompok ini, konsumsi minuman kemasan cair penduduk
terbanyak (46,2 ml/orang/hari), diikuti dengan minuman berkarbonasi (8,5 ml/orang/hari) dan terendah adalah minuman beralkohol (0,3 ml/orang/hari). Minuman kemasan cairan dikonsumsi oleh penduduk terbanyak (17,1%), diikuti minuman lainnya (5,5%), minuman berkarbonasi (3,0%) dan terendah minuman beralkohol (0,1%). Minuman kemasan cairan merupakan minuman terbanyak dikonsumsi pada semua kelompok umur. 9. Konsumsi total kelompok air minum penduduk DKI Jakarta sebanyak 2.141 ml perorang perhari. Air minum bukan kemasan dikonsumsi terbanyak yaitu oleh 93,6 persen penduduk diikuti air minum kemasan bermerek (47,0%) dan terendah minuman cair kemasan pabrikan (20,5%). 10. Konsumsi kelompok makanan komposit, suplemen termasuk jamu penduduk Indonesia amat kecil yaitu dibawah 2 gram perorang perhari. Kelompok makanan tersebut dikonsumsi oleh sedikit penduduk yaitu dibawah 1,5 persen. 11. Rerata kecukupan asupan energi perorang perhari penduduk DKI Jakarta sebesar 90 persen AKE dengan rerata kecukupan asupan energi tertinggi pada penduduk kelompok umur 0 - 59 bulan (114% AKE), diikuti oleh laki-laki kelompok umur 5 - 12 tahun dan 13 - 18 tahun masing-masing sebanyak 107 dan 102 persen AKE. Terendah pada perempuan kelompok umur > 55 tahun (82% AKE). 12. Rerata kecukupan asupan protein perorang perhari di DKI Jakarta adalah sebesar 121,4 persen AKP. Pada laki-laki, tertinggi ada dikelompok umur 5 -
12tahun (144,4% AKP) dan terendah kelompok umur > 55 tahun (108,2% AKP).Rerata tertinggi pada perempuan ada pada kelompok umur 5 - 12 tahun (127,1% AKP) dan terendah pada kelompok umur (90,8% AKP). 13. Penduduk DKI Jakarta dengan tingkat kecukupan asupan energi sangat kurang (< 70% AKE)sebesar 28,8 persen, tingkat kecukupan asupan energi kurang (70 - <100% AKE) sebesar 37,1persen, tingkat kecukupan asupan energi normal atau sesuai AKG (100 - <130% AKE) sebesar 21,7 persen dan tingkat kecukupan asupan energi berlebih (> 130 AKE)sebesar 12,4 persen. 14. Tingkat kecukupan asupan protein sangat kurang (< 80% AKP) sebesar 21,7 persen, kurang (80 - <100% AKP) sebesar 15,3 persen, normal (100 - <120% AKP) sebesar 17,3 persen dan berlebih (≥120% AKP) sebesar 45,8 persen. Proporsi penduduk dengan tingkat kecukupan asupan protein normal hanya berkisar antara 11,3 – 19,4 persen. Proporsi terbesar penduduk pada semua kelompok umur adalah dengan tingkat kecukupan asupan protein berlebih, kecuali pada kelompok >55 tahun. 15. Rerata asupan lemak per orang per hari penduduk DKI Jakarta sebesar 25,4 gram. Rerata tertinggi pada kelompok umur 5-12 tahun (22,9 g), kelompok umur 19-55 tahun (28,2 g). Berdasarkan kuintil terlihat rerata asupan lemak pada kelompok terbawah dan teratas tidak jauh berbeda. 16. Asupan karbohidrat perorang perhari pada penduduk laki-laki di DKI Jakarta tertinggi terdapat pada kelompok umur13-18 tahun (365,7 gram), diikuti kelompok umur 19-55 tahun (311,5 gram). Pada perempuan terlihat adanya penurunan asupan karbohidrat seiring dengan pertambahan umur. 17. Pada laki-laki dan perempuan, rerata asupan natrium perorang perhari tertinggi pada kelompok umur 13 – 18 tahun, yaitu masing-masing sebesar 2.115 mg dan 2.105 mg perorang perhari, diikuti kelompok umur 19 – 55 tahun yaitu 1.825 mg pada laki-laki dan 1.856 mg pada perempuan. 18. Rerata konsumsi garam penduduk DKI perhari, konsumsi
yaitu sebesar 3,5 gram perorang
gula sebesar 14,3 gram perorang perhari dan minyak
sebanyak 25,4 gram perorang perhari.
Seluruh hasil SKMI dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk evaluasi dan perencanaan kesehatan khususnya di bidang gizi. Rekomendasi 1. Mengingat sumber makanan pokok lokal (umbi-umbian) sedikit dikonsumsi penduduk dibandingkan dengan makanan pokok yang diimpor (terigu dan olahannya) dan tingginya jumlah penduduk yang tidak mampu memenuhi kecukupan energinya maka perlu dirumuskan kebijakan penganekaragaman makanan pokok yang berbasis makanan lokal dan terjangkau oleh daya beli penduduk. 2. Mengingat sumbangan protein dari hasil laut masih sedikit dibandingkan dengan potensi yang ada maka perlu kebijakan peningkatan potensi hasil laut sebagai sumber protein hewani bagi penduduk. 3. Mengingat konsumsi sayuran dan buah masih sedikit maka perlu dirumuskan kebijakan untuk meningkatkan konsumsi sayur dan buah melalui edukasi gizi seimbang bagi masyarakat dan peningkatan ketersediaan sayuran dan buah dengan harga yang terjangkau. 4. Mengingat konsumsi minuman kemasan baik serbuk maupun cair pada anak mulai meningkat maka perlu dirumuskan kebijakan untuk melindungi anak dari konsumsi minuman kemasan yang berlebihan. 5. Mengingat sudah terdapat sebagian penduduk yang mengonsumsi gula, garam dan minyak/lemak melebihi batas yang ditetapkan dalam Permenkes nomor 30 tahun 2013 maka perlu ditingkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko mengonsumsi berlebih gula, garam dan minyak/lemak melalui edukasi atau kampanye.
Ringkasan Eksekutif Studi Diet Total, Survei Konsumsi Makanan Individu Provinsi Jawa Tengah
Studi Diet Total (SDT) 2014 termasuk dalam Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas)
berbasis
komunitas,
dilaksanakan
oleh
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Studi Diet Total terdiri dari dua kegiatan besar, yaitu Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) dan Analisis Cemaran Kimia Makanan (ACKM). Survei Konsumsi Makanan Individu merupakan kegiatan mengumpulkan informasi data konsumsi makanan individu yang lengkap, sebagai dasar untuk melakukan kegiatan ACKM untuk menentukan tingkat keterpaparan senyawa kimia pada makanan yang dikonsumsi penduduk. Laporan ini difokuskan pada hasil SKMI. Riskesdas 2013 menunjukkan peningkatan penyakit degeneratif dan masih tingginya masalah gizi di masyarakat yang diduga berkaitan dengan perubahan pola konsumsi makanan di masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan SKMI sebagai bagian dari kegiatan SDT. Survei konsumsi makanan individu bertujuan untuk memperoleh informasi tentang gambaran pola konsumsi makanan dan tingkat kecukupan zat gizi penduduk, dan untuk menyediakan informasi tentang cara, proses dan alat yang digunakan untuk memasak makanan serta daftar bahan makanan untuk keperluan ACKM. Survei konsumsi makanan individu merupakan survei berskala nasional pertama di Indonesia yang mengumpulkan data konsumsi individu secara lengkap. Survei ini dilakukan bekerjasama dengan perguruan tinggi, Badan Pusat Statistik, Dinas Kesehatan provinsi dan Kab/Kota dan dibantu secara teknis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Institute Life Science International (ILSI). Pelaksanaan SKMI dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah Indonesia. Disain penelitian SKMI Provinsi Jawa Tengah sesuai dengan desain nasional adalah potong lintang, mencakup 14.816 individu pada 4.587 rumah tangga dan tersebar di 195 Blok Sensus (BS) di seluruh kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Survei konsumsi makanan individu dilaksanakan pada tahun 2014 dan pada tahun 2015 akan dilanjutkan dengan kegiatan ACKM.
SKMI menggunakan cara pengumpulan data yang sudah digunakan secara universal. Data yang dikumpulkan meliputi menu dan jenis makanan, cara memasak dan alat yang digunakan untuk memasak. Data dikumpulkan dengan cara wawancara tentang konsumsi makanan individu sehari sebelumnya. Wawancara dibantu dengan menggunakan pedoman pengumpulan data konsumsi makanan. Dalam proses pengumpulan data dihadapi berbagai kendala antara lain mobilitas penduduk sehingga tidak memungkinkan untuk menjangkau seluruh rumah tangga/individu. Hasil analisis SKMI Provinsi Jawa Tengah 2014 menunjukkan konsumsi bahan makanan menurut jenis dan kelompok makanan, asupan zat gizi dan kecukupan energi dan protein individu, hasil secara lengkap sebagai berikut: 1. Pada makanan pokok penduduk Provinsi Jawa Tengah, beras merupakan makanan pokok utama yang dikonsumsi oleh hampir seluruh penduduk (97,9%) dengan konsumsi sebesar 179,2 gram perorang perhari diikuti mie yang dikonsumsi oleh sekitar 24,1 persen penduduk dengan konsumsi sebesar 33,7 gram perorang perhari. Singkong merupakan jenis umbi-umbian dan olahannya yang menempati urutan ketiga dengan konsumsi sebesar 13,3 gram perorang perhari dan dikonsumsi oleh sekitar 28,0 persen penduduk. Dari ketiga jenis makanan pokok tersebut, jenis umbi-umbian yang umumnya merupakan produksi lokal jumlahnya paling sedikit dikonsumsi oleh penduduk. 2. Konsumsi protein hewani penduduk Provinsi Jawa Tengah berasal dari daging, ikan maupun telur. Konsumsi protein hewani daging dan olahannya hampir sama dengan konsumsi ikan dan olahannya, yaitu sebesar 39,9 gram perorang perhari untuk konsumsi daging dan 38,95 gram perorang perhari untuk konsumsi yang berasal dari ikan dan olahannya. Tiga kelompok lain yang sedikit dikonsumsi, secara berurutan yaitu telur dan olahan sebesar 18,2 gram per orang per hari, susu bubuk dan olahan sebanyak 5,7 gram perorang perhari, dan kelompok jeroan sebesar 4,4 gram perorang perhari. Konsumsi protein nabati lebih tinggi dibandingkan konsumsi protein hewani. Hal ini dapat dilihat dari konsumsi kacang-kacangan dan olahan yang mencapai 87,6 gram perorang perhari, dimana bahan makanan yang berasal dari kacang kedelai dan olahannya dikonsumsi terbanyak yaitu oleh 72,7 persen penduduk dan dikonsumsi sebesar
83,4 gram per orang per hari. Jenis protein dalam
makanan penduduk sangat didominasi oleh protein nabati dan jumlah protein nabati dalam makanan penduduk yang tinggi mempengaruhi kualitas makanan penduduk. 3. Konsumsi sayur dan olahan dan buah-buahan dan olahan penduduk masih kecil yaitu 61,9 gram perorang perhari dan 37,1 gram perorang perhari. Dalam kelompok sayur, sayuran hijau dikonsumsi
paling banyak (82,3%)
dibandingkan sayur lainnya. Sebaliknya dalam kelompok buah-buahan dan olahan, buah pisang terbanyak dikonsumsi oleh penduduk (18,7%). Konsumsi sayur dan olahan dan buah-buahan dan olahan yang belum memadai berpengaruh terhadap penyediaan vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. 4. Konsumsi minyak, lemak dan olahan sebesar 42,2 gram perorang perhari, terbanyak dikonsumsi dalam kelompok ini adalah minyak kelapa sawit dan minyak kelapa (22,3 gram/orang/hari). Minyak kelapa sawit dan minyak kelapa tertinggi dikonsumsi oleh penduduk Provinsi Jawa Tengah (95,4%), menyusul kelapa dan olahannya (38,4%) dan minyak lainnya (7,6%). 5. Konsumsi gula dan konfeksionari penduduk Provinsi Jawa Tengah sebesar 22,9 gram per orang per hari, terbanyak dikonsumsi dalam kelompok ini adalah gula (gula putih/ gula pasir/ gula aren/ gula kelapa) sebesar 13,6 gram/orang/hari. Gula dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia (81,0%), diikuti oleh bahan makanan lain, permen, coklat dan sirup dengan kisaran antara 2,3 sampai 3,3 persen. 6. Konsumsi kelompok bumbu penduduk Provinsi Jawa Tengah sebesar 21,3 gram perorang perhari, terbanyak dikonsumsi dalam kelompok ini adalah bumbu basah (14,8 gram/orang/hari), menyusul garam (4,0 gram/orang/hari). Bahan tambahan makanan dikonsumsi dalam jumlah yang sangat kecil yaitu sebesar 0,05 gram dan pada sekelompok kecil penduduk (1,3%). Garam tertinggi dikonsumsi penduduk (97,7%) diikuti dengan bumbu basah (83,4%) dan vetsin (55,3%). 7. Konsumsi minuman serbuk penduduk Provinsi Jawa Tengah sebesar 8,3 gram perorang perhari. Teh instan/daun kering dikonsumsi terbanyak (49,8 %) diikuti kopi bubuk (18,1%) dan terendah minuman serbuk (8,3%), dengan konsumsi terbanyak adalah kopi bubuk (4,0 gram/orang/hari), menyusul teh
instan daun kering (2,7 gram/orang/hari) dan terendah adalah minuman serbuk (1,6 gram/orang/hari). Minuman serbuk sudah dikonsumsi oleh balita (kelompok umur 0-59 bulan), dan konsumsi tertinggi ditemukan pada kelompok 5-12 tahun. 8. Konsumsi minuman cair penduduk Provinsi Jawa Tengah sebesar 18 mililiter perorang perhari.
Dalam
kelompok
minuman kemasan terbanyak
ini,
konsumsi
penduduk
untuk
(15 ml/orang/hari), diikuti dengan minuman
berkarbonasi (2 ml/orang/hari). Minuman kemasan cairan dikonsumsi oleh penduduk terbanyak (7,7%), diikuti minuman lainnya (1,8%) dan minuman berkarbonasi (1,0%). Minuman kemasan cairan merupakan minuman terbanyak dikonsumsi pada semua kelompok umur. 9. Konsumsi total kelompok air minum penduduk Provinsi Jawa Tengah 1.213 mililiter perorang perhari. Air minum dikonsumsi terbanyak yaitu oleh 98,3 persen penduduk diikuti air minum kemasan bermerek (11,4%) dan terendah minuman cair kemasan pabrikan (9,1%). 10. Konsumsi kelompok makanan komposit, suplemen termasuk jamu penduduk Provinsi Jawa Tengah amat kecil yaitu dibawah 1,0 gram perorang perhari. Kelompok makanan tersebut dikonsumsi oleh sedikit penduduk (kurang dari 1,0%). Asupan dan kecukupan gizi 1. Rerata kecukupan energi per orang per hari pada penduduk kelompok umur 0-59 bulan adalah 101 persen AKE. Pada penduduk laki-laki, kecukupan energi tertinggi terdapat pada kelompok umur 5–12 tahun yaitu 90,7 persen AKE dan terendah pada kelompok umur 13-18 tahun (73,1% AKE). Pada penduduk perempuan, kecukupan energi tertinggi terdapat pada kelompok umur 5-12 tahun yaitu 87,1 persen AKE dan terendah pada kelompok umur 13-18 tahun (72,6% AKE). 2. Rerata kecukupan protein per orang per hari pada penduduk kelompok umur 0-59 bulan adalah 125,4 persen AKP. Pada penduduk laki-laki, kecukupan protein tertinggi terdapat pada kelompok umur 5 – 12 tahun yaitu 119,5 persen AKP dan terendah pada kelompok umur 13-18 tahun (88,5% AKP). Pada penduduk perempuan, kecukupan protein tertinggi terdapat pada
kelompok umur 5-12 tahun yaitu 106,3 persen AKP dan terendah pada kelompok umur 13-18 tahun (80,7% AKP). 3. Penduduk dengan tingkat kecukupan asupan energi sangat kurang (<70% AKE) sebesar 44,0 persen, kecukupan asupan energi kurang (70-<100% AKE) sebesar 35,2 persen, kecukupan asupan energi normal atau sesuai AKG (100-130% AKE) sebesar 14,9 persen dan kecukupan asupan energi lebih dari AKG (>130% AKE) adalah sebesar 13,7persen. 4. Penduduk dengan tingkat kecukupan asupan protein sangat kurang (<80% AKP) sebesar 40,1 persen, kecukupan asupan protein kurang (80-<100% AKP) sebesar 18,9 persen, kecukupan asupan protein normal (100%-120 AKP) sebesar 14,2 persen dan kecukupan asupan protein lebih dari AKG (>120% AKP) adalah sebesar 26,9 persen. 5. Rerata asupan lemak perorang perhari pada penduduk Provinsi Jawa Tengah pada kelompok umur 0-59 bulan adalah 42,4 gram. Pada penduduk laki-laki konsumsi lemak tertinggi terdapat pada kelompok umur 19-55 tahun yaitu 63,6 gram dan terendah pada kelompok umur >55 tahun (49,8 g). Pada penduduk perempuan, konsumsi lemak tertinggi terdapat pada kelompok umur 5-12 tahun yaitu 60,9 gram dan terendah pada kelompok umur >55 tahun (42,7 g). 6. Asupan karbohidrat perorang perhari pada penduduk Provinsi Jawa Tengah pada kelompok umur 0-59 bulan adalah 145,5 gram. Pada penduduk laki-laki konsumsi karbohidrat tertinggi terdapat pada kelompok umur 19-55 tahun yaitu 296,7 gram dan terendah pada kelompok umur 5-12 tahun (222,6 g). Pada penduduk perempuan, konsumsi karbohidrat tertinggi terdapat pada kelompok umur 19-55 tahun yaitu 223,9 gram dan terendah pada kelompok umur >55 tahun (194,8 g). 7. Rerata asupan natrium perorang perhari pada penduduk Provinsi Jawa Tengah pada kelompok umur 0-59 bulan adalah 798 miligram. Pada penduduk laki-laki konsumsi natrium tertinggi terdapat pada kelompok umur 512 tahun yaitu 1.559 miligram dan terendah pada kelompok umur >55 tahun (868 mg). Pada penduduk perempuan, konsumsi natrium tertinggi terdapat pada kelompok umur 5-12 tahun yaitu 1.524 miligram dan terendah pada kelompok umur >55 tahun (782 mg).
8. Rerata konsumsi garam penduduk Provinsi Jawa Tengah yaitu sebesar 3,9 gram, konsumsi gula sebesar 20,2 gram dan minyak sebanyak 22,6 gram. Seluruh hasil SKMI dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk evaluasi dan perencanaan kesehatan khususnya di bidang gizi di tingkat pusat maupun daerah. Rekomendasi 1. Mengingat sumber makanan pokok lokal (umbi-umbian) masih sedikit dikonsumsi penduduk dibandingkan dengan makanan pokok impor (terigu dan olahannya) dan tingginya jumlah penduduk yang tidak mampu memenuhi kecukupan
energinya
maka
perlu
diintensifkan
kembali
kebijakan
penganekaragaman makanan pokok yang berbasis makanan lokal yang telah dirumuskan. 2. Mengingat sumbangan protein dari hasil laut masih sedikit dibandingkan dengan potensi yang ada maka perlu kebijakan peningkatan konsumsi hasil laut sebagai sumber protein hewani bagi penduduk 3. Mengingat konsumsi sayuran dan buah masih sedikit maka perlu dirumuskan kebijakan untuk meningkatkan konsumsi sayur dan buah melalui edukasi dan peningkatan ketersediaan sayuran dan buah dengan harga yang terjangkau 4. Mengingat konsumsi minuman kemasan baik serbuk maupun cair pada anak mulai meningkat maka perlu dirumuskan kebijakan untuk melindungi anak dari konsumsi minuman kemasan yang berlebihan 5. Mengingat sudah sebagian penduduk yang mengonsumsi gula, natrium dan lemak melebihi batas yang ditetapkan dalam Permenkes nomor 30 tahun 2013 maka perlu ditingkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko mengonsumsi berlebih gula, natrium dan minyak/lemak melalui jalur KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi).
Ringkasan Eksekutif Studi Diet Total, Survei Konsumsi Makanan Individu Provinsi DIY
Studi Diet Total (SDT) 2014 adalah studi berbasis komunitas dengan sampel individu yang dapat mewakili provinsi dan nasional dengan menggunakan sub sampel Riskesdas 2013. SDT 2014 mencakup Survei Konsumsi Makanan Indonesia (SKMI) dan Analisis Cemaran Kimia Makanan (ACKM).
SKMI dilakukan karena
belum tersedia data konsumsi makanan individu nasional yang lengkap sebagai dasar melakukan ACKM.
Penelitian ini merupakan survei berskala nasional dan
multi years, dengan disain potong lintang (cross-sectional), non-intervensi/observasi, deskriptif dan analitik. Penelitian Studi Diet Total dilakukan pada tahun 2014 dan 2015. Studi Diet Total terdiri dari SKMI dan ACKM. Dari 26 BS terpilih untuk sampel SDT 2014 Daerah Istimewa Yogyakarta, BS yang berhasil ditemukan dan dikunjungi 26 BS (100%) yang tersebar di 5 Kabupaten/Kota. Adapun dari jumlah target rumah tangga sebesar 642 RT terdapat 575 RT yang berhasil dikunjungi (89,6%). Sedangkan untuk jumlah target ART 2053 orang terdapat 1805 orang yang berhasil diwawncarai (87,9%). Hasil SDT di Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan bahwa rata-rata penduduk mengonsumsi bahan makanan kelompok serealia dan hasil olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah beras yaitu 143,2 gram per hari. Persentase penduduk yang mengkonsumsi bahan makanan kelompok serealia dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah beras yaitu 97,7 persen. Rerata penduduk mengonsumsi bahan makanan kelompok umbi dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah singkong dan olahan yaitu 19,1 gram per hari, kentang dan olahan 8,9 gram per hari dan ubi jalar 3,4 gram perhari. Persentase penduduk yang mengkonsumsi bahan makanan kelompok umbi dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah singkong dan olahan yaitu 29,5 persen. Rerata penduduk mengkonsumsi bahan makanan kelompok kacangkacangan dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah kacang kedelai dan olahan yaitu sebesar 72,3 gram perhari. Persentase penduduk mengkonsumsi bahan makanan kelompok kacang-kacangan dan olahan di Daerah
Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah kacang kedelai dan olahan sebesar 72,0 persen. Rerata penduduk mengonsumsi bahan makanan kelompok sayuran dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah sayuran daun yaitu sebesar 65,5 gram perhari. Persentase penduduk yang mengkonsumsi bahan makanan kelompok sayuran dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah sayuran daun sebesar 85,0 persen. Rerata penduduk mengonsumsi bahan makanan kelompok buah-buahan dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah pisang yaitu sebesar 20,3 gram per hari. Persentase penduduk yang mengkonsumsi bahan makanan kelompok buah-buahan dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah pisang sebesar 20,4 persen. Rerata penduduk mengonsumsi bahan makanan kelompok daging dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah daging unggas yaitu sebesar 42,5 gram perhari, Persentase penduduk yang mengkonsumsi bahan makanan kelompok daging dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah daging unggas sebesar 36,9 persen. Rerata penduduk mengonsumsi bahan makanan kelompok jeroan dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah jeroan unggas yaitu sebesar 1,6 gram perhari, Persentase penduduk yang mengkonsumsi bahan makanan kelompok jeroan dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah jeroan lainnya sebesar 4,0 persen. Rerata penduduk mengkonsumsi bahan makanan kelompok ikan dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah ikan air tawar yaitu sebesar 15,6 gram perhari. Persentase penduduk yang mengkonsumsi bahan makanan kelompok ikan dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah ikan laut sebesar 6,9 persen. Rerata penduduk mengkonsumsi bahan makanan kelompok telur dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah telur ayam yaitu sebesar 25,20 gram perhari. Persentase penduduk yang mengkonsumsi bahan makanan kelompok telur dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah telur ayam sebesar 51,5 persen. Rerata penduduk mengonsumsi bahan makanan kelompok susu dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah susu cair yaitu sebesar 4,9 gram perhari. Persentase penduduk yang mengkonsumsi bahan makanan kelompok susu dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah susu kental manis
sebesar 12,3 persen. Rerata penduduk mengonsumsi bahan makanan kelompok minyak, lemak dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah minyak kelapa dan olahan yaitu sebesar 28,5 gram perhari. Persentase penduduk yang mengkonsumsi bahan makanan kelompok minyak, lemak dan olahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah minyak kelapa sawit dan minyak kelapa sebesar 94,5 persen. Rerata penduduk mengonsumsi bahan makanan kelompok gula dan konfeksionari di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah gula yaitu sebesar 28,96 gram perhari. Persentase penduduk yang mengkonsumsi bahan makanan kelompok gula dan konfeksionari di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah gula sebesar 92,3 persen. Rerata penduduk mengonsumsi bahan makanan kelompok bumbu di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah bumbu basah yaitu sebesar 14,56 gram perhari. Persentase penduduk yang mengkonsumsi bumbu di Daerah Istimewa Yogyakarta tertinggi adalah garam sebesar 98,9 persen. Rerata konsumsi kelompok minuman jenis minuman serbuk, tertinggi adalah teh instan/daun kering (3.8 gram). Persentase penduduk yang mengkonsumsi kelompok minuman menurut kelompok umur tertinggi tertinggi adalah minuman serbuk (74,1%). Rerata tertinggi konsumsi air minum pada kelompok uisa 19-55 tahun (1.330,6 ml). Rerata tertinggi konsumsi air minum kemasan bermerek adalah pada kelompok usia 19-55 tahun (248,6 ml). Rerata tertinggi konsumsi minuman cair kemasan pabrikan adalah pada kelompok usia 5-12 tahun (38,7 ml). Persentase tertinggi penduduk yang mengonsumsi air minum berdasarkan sumber air adalah mengonsumsi air minum (97,7%). Rerata konsumsi suplemen tertinggi pada semua kelompok usia adalah minuman suplemen (0,4 ml). Rerata konsumsi jamu tradisional (0,54 ml) lebih tinggi dibanding konsumsi jamu pabrikan (0,02 mg) pada semua kelompok usia. Persentase tertinggi penduduk yang mengonsumsi suplemen adalah mengonsumsi suplemen multivitamin (1%). Persentase penduduk mengonsumsi jamu tradisional (0,9%) lebih tinggi dibanding jamu pabrikan (0,6%). Rerata asupan energi penduduk laki-laki baik di daerah perkotaan, perdesaan maupun secara keseluruhan lebih tinggi dibanding penduduk perempuan. Rerata asupan energi penduduk laki-laki di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan, paling tinggi pada kelompok usia 13-18 tahun. Rerata asupan energi penduduk laki-
laki di daerah pedesaan, tertinggi pada kelompok usia 19-55 tahun. Sedangkan rerata asupan energi penduduk perempuan di daerah pedesaan, tertinggi pada kelompok usia 5-12 tahun. Rerata kecukupan energi pada laki-laki berdasarkan kelompok usia, tertinggi pada kelompok usia 5-12 tahun (99%). Rerata kecukupan energi pada perempuan berdasarkan kelompok usia, tertinggi pada kelompok usia 512 tahun (96%). Berdasarkan tempat tinggal, rerata kecukupan energi penduduk perkotaan lebih tinggi dibanding pedesaan. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, kelompok teratas memiliki rerata kecukupan energi tertinggi, dan kelompok menengah bawah memiliki rerata kecukupan energi terendah. Proporsi penduduk yang defisit energi menurut jenis kelamin, menunjukkan bahwa perempuan lebih mengalami defisit energi dibanding laki-laki. Berdasarkan tempat tinggal, penduduk daerah perkotaan lebih mengalami defisit energi dibanding pedesaan. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, penduduk kelas menengah bawah mengalami defisit energi tertinggi (49,1% ) dan penduduk kelas teratas mengalami defisit energi terendah. Persentase penduduk yang lebih dari 100 persen AKE menurut jenis kelamin, menunjukkan bahwa laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Berdasarkan tempat tinggal, penduduk daerah perkotaan lebih mengalami kelebihan energi dibanding pedesaan. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, penduduk kelas teratas mengalami kelebihan energi > 100 persen AKE tertinggi (31%) dan penduduk kelas menengah bawah mengalami kelebihan energi > 100% AKE terendah (15,7%). Rerata asupan protein penduduk laki-laki di perkotaan, tertinggi pada kelompok usia 13-18 tahun (78 g). Rerata asupan protein penduduk perempuan di perkotaan, tertinggi pada kelompok usia 5-12 tahun (72 g). Rerata asupan protein penduduk laki-laki di pedesaan, tertinggi pada kelompok usia 19-55 tahun (69 g). Rerata asupan protein penduduk perempuan di pedesaan, tertinggi pada kelompok usia 5-12 tahun (56 g). Rerata kecukupan protein penduduk laki-laki
maupun
perempuan menurut kelompok usia, tertinggi pada kelompok usia 5-12 tahun (129). Berdasarkan tempat tinggal, penduduk daerah perkotaan lebih tinggi kecukupan proteinnya dibanding penduduk daerah pedesaan. Berdasartkan indeks kepemilikan, rerata kecukupan protein tertinggi pada penduduk menengah teratas (107 persen).
Proporsi penduduk yang defisit protein menurut jenis kelamin, menunjukkan bahwa perempuan lebih mengalami defisit protein dibanding laki-laki. Berdasarkan tempat tinggal, penduduk daerah pedesaan lebih mengalami defisit protein dibanding pedesaan. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, penduduk kelas menengah bawah mengalami defisit energi tertinggi (50,6%) dan penduduk kelas teratas mengalami defisit energi terendah (26,3%). Proporsi penduduk yang lebih dari 100 persen AKP menurut jenis kelamin, menunjukkan bahwa laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Berdasarkan tempat tinggal, penduduk daerah perkotaan lebih mengalami kelebihan protein dibanding pedesaan. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, penduduk kelas teratas mengalami kelebihan protein > 100 persen AKP tertinggi (56,8%) dan penduduk kelas terbawah mengalami kelebihan protein > 100 persen AKP terendah (30%). Rerata asupan lemak penduduk laki-laki di perkotaan, tertinggi pada kelompok usia 13-18 tahun (81,1 g). Rerata asupan lemak penduduk perempuan di perkotaan, tertinggi pada kelompok usia 13-18 tahun (78,4 g). Rerata asupan lemak penduduk laki-laki di pedesaan, tertinmggi pada kelompok usia 19-55 tahun (70,7 g). Rerata asupan lemak penduduk perempuan di pedesaan, tertinggi pada kelompok usia 5-12 tahun (76,0 g). Rerata asupan karbohidrat penduduk laki-laki di perkotaan, tertinggi pada kelompok usia 13-18 tahun (302,6 g). Rerata asupan karbohidrat penduduk perempuan di perkotaan, tertinggi pada kelompok usia 13-18 tahun (254,2 g). Rerata asupan karbohidrat penduduk laki-laki di pedesaan, tertinggi pada kelompok usia 1955 tahun (295,3 g). Rerata asupan karbohidrat penduduk perempuan di pedesaan, tertinggi pada kelompok usia 13-18 tahun (245,7 g). Rerata asupan natrium penduduk laki-laki di perkotaan, tertinggi pada kelompok usia 5-12 tahun (1.553 mg). Rerata asupan natrium penduduk perempuan di perkotaan, tertinggi pada kelompok usia 13-18 tahun (2.126 mg). Rerata asupan natrium penduduk laki-laki di pedesaan, tertinggi pada kelompok usia 13-18 tahun (1.258 mg). Rerata asupan natrium penduduk perempuan di pedesaan, tertinggi pada kelompok usia 5-12 tahun (1.558 mg). Rerata konsumsi gula dan garam, penduduk laki-laki menurut kelompok usia, tertinggi pada kelompok usia 55 + tahun. Rerata konsumsi minyak/lemak, penduduk laki-laki menurut kelompok usia, tertinggi pada kelompok usia 19-55 tahun (24,5 g). Berdasarkan tempat tinggal, penduduk
daerah perkotaan lebih rendah rerata konsumsi gula, garam, maupun minyak/lemak dibanding penduduk daerah pedesaan. Seluruh hasil SKMI dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk evaluasi dan perencanaan kesehatan khususnya di bidang gizi di tingkat pusat maupun daerah. Rekomendasi 1. Mengingat sumber makanan pokok lokal (ubi-ubian) masih sedikit dikonsumsi penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta (rerata 32,5 gram per orang per hari) dan masih ada penduduk yang mengalami defisit energy, maka perlu dirumuskan kebijakan penganekaragaman makanan pokok yang berbasis makanan lokal sebagai. 2. Mengingat sumbangan protein dari hasil laut masih sedikit (rerata konsumsi ikan laut 9,3 per orang per hari dan proporsi penduduk yang mengkonsumsi ikan laut hanya 6,9%) dibandingkan dengan potensi yang ada maka perlu kebijakan peningkatan potensi hasil laut sebagai sumber protein hewani bagi penduduk 3. Mengingat konsumsi sayuran dan buah masih sedikit maka perlu dirumuskan kebijakan untuk meningkatkan konsumsi sayur dan buah melalui edukasi dan peningkatan ketersediaan sayuran dan buah dengan harga yang terjangkau 4. Mengingat konsumsi minuman kemasan baik serbuk maupun cair pada anak mulai meningkat (kelompok usia 5-12 tahun mengkonsumsi minuman kemasan serbuk sebesar 3,6 gram perorang perhari dan mengkonsumsi minuman kemasan cairan sebesar 32,2 ml perorang perhari), maka perlu dirumuskan kebijakan untuk melindungi anak dari konsumsi minuman kemasan yang berlebihan 5. Mengingat sudah terdapat sebagian penduduk yang mengonsumsi gula (31,61 gram perorang perhari), garam (3,7 gram perorang perhari), dan minyak/lemak (50,3 gram perorang perhari), ini melebihi batas yang ditetapkan dalam Permenkes nomor 30 tahun 2013, maka perlu ditingkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko mengonsumsi berlebih gula, garam dan minyak/lemak melalui edukasi atau kampanye.
Ringkasan Eksekutif Studi Diet Total, Survei Konsumsi Makanan Individu Provinsi Sulawesi Selatan
Studi Diet Total (SDT) 2014 termasuk dalam Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas)
berbasis
komunitas,
dilaksanakan
oleh
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Studi Diet Total terdiri dari dua kegiatan besar, yaitu Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) dan Analisis Cemaran Kimia Makanan (ACKM). Survei Konsumsi Makanan Individu merupakan kegiatan mengumpulkan informasi data konsumsi makanan individu yang lengkap, sebagai dasar untuk melakukan kegiatan ACKM untuk menentukan tingkat keterpaparan senyawa kimia pada makanan yang dikonsumsi penduduk. Laporan ini difokuskan pada hasil SKMI. Riskesdas 2013 menunjukkan peningkatan penyakit degeneratif dan masih tingginya masalah gizi di masyarakat yang diduga berkaitan dengan perubahan pola konsumsi makanan di masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan SKMI sebagai bagian dari kegiatan SDT. Survei konsumsi makanan individu bertujuan untuk memperoleh informasi tentang gambaran pola konsumsi makanan dan tingkat kecukupan zat gizi penduduk, dan untuk menyediakan informasi tentang cara, proses dan alat yang digunakan untuk memasak makanan serta daftar bahan makanan untuk keperluan ACKM di Provinsi Sulawesi Selatan. Disain penelitian SKMI adalah kroseksional yang mencakup 7.753 individu pada 2.180 rumah tangga dan tersebar di 97 blok sensus di seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Survei konsumsi makanan individu dilaksanakan pada tahun 2014 dan pada tahun 2015 dilanjutkan dengan kegiatan ACKM. SKMI menggunakan cara pengumpulan data yang sudah digunakan secara universal. Data yang dikumpulkan meliputi menu dan jenis makanan, cara memasak dan alat yang digunakan untuk memasak. Data dikumpulkan dengan cara wawancara tentang konsumsi makanan individu sehari sebelumnya. Wawancara dibantu dengan menggunakan pedoman pengumpulan data konsumsi makanan.
Dalam proses pengumpulan data dihadapi berbagai kendala antara lain mobilitas penduduk, tidak ditemukan alamat dan tidak bersedia diwawancara sehingga tidak memungkinkan untuk menjangkau lokasi blok sensus. Dari 97 BS terpilih untuk sampel SDT 2014 di Sulawesi Selatan, berhasil ditemukan dan dikunjungi sebanyak 97 BS (100%) yang tersebar di 24 Kabupaten/Kota. Adapun dari jumlah target rumah tangga sebesar 2.180 RT terdapat 2.169 RT yang berhasil dikunjungi (99,5%). Sedangkan untuk jumlah target ART 7.753 orang terdapat 6.987 orang yang berhasil diwawancarai (90,1%). Hasil analisis SKMI 2014 menunjukkan berat bahan makanan yang dikonsumsi menurut jenis dan kelompok makanan, mempengaruhi asupan zat gizi dan kecukupan energi dan protein individu, hasil secara lengkap sebagai berikut: 1. Pada makanan pokok penduduk Sulawesi Selatan, beras terbanyak dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk (98,2%) dengan konsumsi sebesar 223,3 gram perorang perhari diikuti terigu dan olahannya yang dikonsumsi oleh sekitar 56,6 persen penduduk dengan konsumsi sebesar 54,7 gram perorang perhari. 2. Konsumsi protein hewani penduduk Sulawesi Selatan, terbanyak berasal dari kelompok ikan dan olahan, yaitu sebesar 110,5 gram perorang perhari. Disusul oleh kelompok daging dan olahan sebanyak 30,6 gram perorang perhari, dan tiga kelompok lain yang sedikit dikonsumsi, secara berurutan yaitu telur dan olahan sebesar 18,4 gram perorang perhari, susu dan olahan sebanyak 4,5 gram perorang perhari, dan kelompok jeroan sebesar 0,38 gram perorang perhari. 3. Konsumsi sayur dan olahan dan buah-buahan dan olahan penduduk masih kecil yaitu 53,7gram per orang per hari dan 18,4 gram perorang perhari. Dalam kelompok sayur, sayuran hijau dikonsumsi paling banyak (74,5 %) dibandingkan sayur lainnya. Sebaliknya dalam kelompok buah-buahan dan olahan, buah pisang terbanyak dikonsumsi oleh penduduk (17,7%). Konsumsi sayur dan olahan dan buah-buahan dan olahan yang belum memadai berpengaruh terhadap suplai vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. 4. Konsumsi minyak, lemak dan olahan sebesar 24,9 gram perorang perhari, terbanyak dikonsumsi dalam kelompok ini adalah minyak kelapa dan olahan (12,3 gram/orang/hari) dan minyak kelapa sawit dan minyak kelapa (12,1
gram/orang/hari). Minyak kelapa sawit dan minyak kelapa tertinggi dikonsumsi oleh penduduk Sulawesi Selatan (82,2%), menyusul kelapa dan olahannya (26,1%) dan minyak lainnya (9,7%). 5. Konsumsi gula dan konfeksionari penduduk Sulawesi Selatan sebesar 16,7 gram perorang perhari, terbanyak dikonsumsi dalam kelompok ini adalah gula putih/gula pasir (14,7 gram/orang/hari). Gula pasir dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk (63 %), diikuti oleh coklat dan permen dengan kisaran antara 3,1 sampai 3,5 persen dan terendah sirup (1,6%). 6. Konsumsi kelompok bumbu penduduk Sulawesi Selatan sebesar 13,1 gram perorang perhari, terbanyak dikonsumsi dalam kelompok ini adalah bumbu basah (7,6 gram/orang/hari), menyusul garam (3,7 gram/orang/hari) dan terkecilbahan tambahan (0,05 garam/orang/hari). Garam tertinggi dikonsumsi penduduk (95,6%) diikuti dengan vetsin (74%) dan terendah bahan tambahan (5,5%). 7. Konsumsi minuman serbuk penduduk Sulawesi Selatan sebesar 5,9 gram perorang perhari. Teh instan/daun kering dikonsumsi terbanyak (28 %) diikuti kopi bubuk (25,1%) dan terendah minuman serbuk (2,1%), dengan konsumsi terbanyak adalah kopi bubuk (6,0 gram/orang/hari), menyusul teh instan daun kering (3,9 gram/orang/hari) dan terendah adalah minuman serbuk (1,2 gram/orang/hari). Minuman serbuk sudah dikonsumsi oleh balita (kelompok umur 0-59 bulan), dan konsumsi tertinggi ditemukan pada kelompok 5-12 tahun (6,5%). 8. Konsumsi total kelompok air minum penduduk Sulawesi Selatan 1.379,6 ml perorang perhari. Air minum dikonsumsi terbanyak yaitu oleh 99,4 persen penduduk diikuti minuman cair kemasan pabrikan (14,9%) dan terendahair minum kemasan bermerek (11,2%). 9. Konsumsi kelompok makanan komposit, suplemen termasuk jamu penduduk Sulawesi Selatan amat kecil yaitu dibawah 1,0 gram perorang perhari. Asupan dan kecukupan gizi 1. Secara provinsi, rerata kecukupan energi per orang per hari tertinggi terlihat pada penduduk kelompok umur 0-59 bulan (103,6 % AKE), diikuti kelompok umur 5-12 tahun (88,2 % AKE), kelompok umur >55 tahun (81,5% AKE),
kelompok umur 19-55 tahun (76,4% AKE) dan terendah, kelompok umur 1318 tahun (71,7% AKE). 2. Secara provinsi kecukupan protein per orang per hari tertinggi terlihat pada kelompok umur 0-59 bulan (128,0% AKP), diikuti kelompok umur 5-12 tahun (117,5% AKP), kelompok umur 19-55 tahun (115,4% AKP), kelompok umur >55 tahun (104,0% AKP) dan terendah kelompok umur 13-18 tahun (93,5% AKP). 3. Secara provinsi, penduduk dengan tingkat kecukupan energi sangat kurang (<70% AKE) berkisar9,3 hingga 51,1 persen dan kecukupan energi melebihi 130 % AKEberkisar 4,4 hingga15,8 persen. 4. Secara provinsi, penduduk dengan tingkat kecukupan protein sangat kurang (<80% AKP) sebesar24,8 - 46 persen dan kecukupan protein normal (>120% AKP) sebesar 20,4 - 50 persen. 5. Secara provinsi, penduduk dengan asupan gula, garam, natrium dan lemak yang melebihi batas yang ditetapkan permenkes nomor 30 tahun 2013 tentang AKG yang dianjurkan adalah berkisar antara 1,0 hingga 30,9 persen. Seluruh hasil SKMI dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk evaluasi dan perencanaan kesehatan khususnya di bidang gizi di tingkat pusat maupun daerah. Rekomendasi 1. Mengingat sumber makanan pokok lokal (ubi-ubian) sedikit dikonsumsi penduduk dibandingkan dengan makanan pokok impor (terigu dan olahannya) dan tingginya jumlah penduduk yang tidak mampu memenuhi kecukupan energinya maka perlu dirumuskan kebijakan penganekaragaman makanan pokok yang berbasis makanan lokal. 2. Mengingat sumbangan protein dari hasil laut masih sedikit dibandingkan dengan potensi yang ada maka perlu kebijakan peningkatan potensi hasil laut sebagai sumber protein hewani bagi penduduk 3. Mengingat konsumsi sayuran dan buah masih sedikit maka perlu dirumuskan kebijakan untuk meningkatkan konsumsi sayur dan buah melalui edukasi dan peningkatan ketersediaan sayuran dan buah dengan harga yang terjangkau
4. Mengingat konsumsi minuman kemasan baik serbuk maupun cair pada anak mulai meningkat maka perlu dirumuskan kebijakan untuk melindungi anak dari konsumsi minuman kemasan yang berlebihan 5. Mengingat sudah terdapat sebagian penduduk yang mengonsumsi gula, garam dan minyak/lemak melebihi batas yang ditetapkan dalam Permenkes nomor 30 tahun 2013 maka perlu ditingkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko mengonsumsi berlebih gula, garam dan minyak/lemak melalui edukasi atau kampanye.
Ringkasan Eksekutif Studi Diet Total, Survei Konsumsi Makanan Individu Provinsi Nusa Tenggara Timur
Studi Diet Total (SDT) 2014 termasuk dalam Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas)
berbasis
komunitas,
dilaksanakan
oleh
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Studi Diet Total terdiri dari dua kegiatan besar, yaitu Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) dan Analisis Cemaran Kimia Makanan (ACKM). Survei Konsumsi Makanan Individu merupakan kegiatan mengumpulkan informasi data konsumsi makanan individu yang lengkap, sebagai dasar untuk melakukan kegiatan ACKM untuk menentukan tingkat keterpaparan senyawa kimia pada makanan yang dikonsumsi penduduk. Laporan ini difokuskan pada hasil SKMI. Riskesdas 2013 menunjukkan peningkatan penyakit degeneratif dan masih tingginya masalah gizi di masyarakat yang diduga berkaitan dengan perubahan pola konsumsi makanan di masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan SKMI sebagai bagian dari kegiatan SDT. Survei konsumsi makanan individu bertujuan untuk memperoleh informasi tentang gambaran pola konsumsi makanan dan tingkat kecukupan zat gizi penduduk, dan untuk menyediakan informasi tentang cara, proses dan alat yang digunakan untuk memasak makanan serta daftar bahan makanan untuk keperluan ACKM. Survei konsumsi makanan individu merupakan survei berskala nasional pertama di Indonesia yang mengumpulkan data konsumsi individu secara lengkap. Survei ini dilakukan bekerjasama dengan perguruan tinggi, Badan Pusat Statistik, Dinas Kesehatan provinsi dan Kab/Kota dan dibantu secara teknis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Institute Life Science International (ILSI). Pelaksanaan SKMI dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah Indonesia. Disain penelitian SKMI adalah kroseksional yang mencakup 7.980 individu pada 1.891 rumah tangga dan tersebar di 76 blok sensus di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Indonesia. Survei konsumsi makanan individu
dilaksanakan pada tahun 2014 dan pada tahun 2015 dilanjutkan dengan kegiatan ACKM. SKMI menggunakan cara pengumpulan data yang sudah digunakan secara universal. Data yang dikumpulkan meliputi menu dan jenis makanan, cara memasak dan alat yang digunakan untuk memasak. Data dikumpulkan dengan cara wawancara tentang konsumsi makanan individu sehari sebelumnya. Wawancara dibantu dengan menggunakan pedoman pengumpulan data konsumsi makanan. Dalam proses pengumpulan data dihadapi berbagai kendala antara lain mobilitas penduduk baik yang sudah pindah maupun karena sedang tidak berada di tempat pada saat dilakukan kunjungan, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan wawancara pada semua sampel anggota rumah tangga. Hasil analisis SKMI 2014 menunjukkan berat bahan makanan yang dikonsumsi menurut jenis dan kelompok makanan, mempengaruhi asupan zat gizi dan kecukupan energi dan protein individu, hasil secara lengkap sebagai berikut. Konsumsi Makanan menurut Kelompok Bahan Makanan 1. Pada makanan pokok penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur, beras terbanyak dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur (91,9%) dengan konsumsi sebesar 208,1 gram perhari diikuti jagung dan olahannya yang dikonsumsi sebesar 30,1 gram perorang perhari. Jenis umbi-umbian dan olahannya menempati urutan ketiga dengan konsumsi sebesar 45,4 gram perorang perhari dan dikonsumsi oleh sekitar 12,6 persen penduduk. Dari ketiga jenis makanan pokok tersebut, jenis umbi-umbian yang umumnya merupakan produksi lokal jumlahnya paling sedikit dikonsumsi oleh penduduk. 2. Konsumsi protein hewani penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur, terbanyak berasal dari kelompok ikan dan olahannya, yaitu sebesar 59,8 gram perorang perhari. Disusul oleh kelompok daging dan olahannya sebanyak 24,8 gram per orang per hari, dan tiga kelompok lain yang sedikit dikonsumsi, secara berurutan yaitu telur dan olahannya sebesar 3,4 gram per orang per hari, susu dan olahan sebanyak 1,3 gram perorang perhari, dan kelompok jeroan sebesar 0,11 gram perorang perhari.
3. Protein nabati lebih banyak dikonsumsi penduduk dibandingkan protein hewani, terlihat pada konsumsi kacang-kacangan dan olahannya dan serealia dan olahannya mencapai 56,7 gram dan 257,7 gram perorang perhari. Berdasarkan jumlah penduduk yang mengonsumsi kacang kedele dan beras dengan kisaran dari 6,1-91,9 persen, maka jenis protein dalam makanan penduduk sangat didominasi oleh protein nabati. Jumlah protein nabati dalam makanan penduduk yang tinggi mempengaruhi kualitas makanan penduduk. 4. Sumber vitamin dan mineral diperoleh dari konsumsi sayur dan olahan dan buah-buahan dan olahan penduduk masih kecil yaitu 92,9 gram perorang perhari dan 34,9 gram perorang perhari. Dalam kelompok sayur, sayuran daun dikonsumsi paling banyak (92,7%) dibandingkan sayur lainnya. Sebaliknya dalam kelompok buah-buahan dan olahan, buah pisang terbanyak dikonsumsi oleh penduduk (31,0%). Konsumsi sayur dan olahan dan buahbuahan dan olahan yang belum memadai berpengaruh terhadap suplai vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. 5. Konsumsi minyak, lemak dan olahan sebesar 15,9 gram perorang perhari, terbanyak dikonsumsi pada kelompok makanan ini adalah minyak kelapa sawit dan minyak kelapa (7,4 gram/orang/hari). Minyak kelapa sawit dan minyak kelapa tertinggi dikonsumsi oleh penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur (57,6%), menyusul kelapa dan olahannya (13,3%), dan minyak lainnya (4,0%). 6. Konsumsi gula dan konfeksionari penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 10,8 gram perorang perhari, terbanyak dikonsumsi dalam kelompok ini adalah gula putih/gula pasir (10,3 gram/orang/hari). Gula pasir dikonsumsi oleh lebih dari separuh penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur (54,6%), diikuti oleh bahan makanan lain, coklat dan permen dengan kisaran antara 0,3 sampai 1,1 persen dan terendah sirup (0,1%). 7. Konsumsi kelompok bumbu penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 8,7 gram perorang perhari, terbanyak dikonsumsi dalam kelompok ini adalah bumbu basah (4,5 gram/orang/hari), menyusul garam (3,4 gram/orang/hari) dan terkecil bahan tambahan (0,01 gram/orang/hari). Garam tertinggi
dikonsumsi penduduk (92,4%) diikuti dengan bumbu basah (67,5%), vetsin/MSG/mecin (57,7%) dan terendah bahan tambahan (0,5%). 8. Konsumsi minuman serbuk penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 5,9 gram perorang perhari, terbanyak kopi bubuk (4,9 gram/orang/hari), diikuti teh instan daun kering (0,8 gram/orang/hari). Kopi bubuk dikonsumsi terbanyak (36,3%) diikuti teh instan/daun kering (20,3 %) dan terendah minuman serbuk (0,9%). Minuman serbuk sudah dikonsumsi terbanyak oleh balita (kelompok umur 0-59 bulan) sebanyak 0,7 gram/orang/hari. 9. Konsumsi minuman cair penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 12,0 mililiter perorang perhari. Dalam kelompok ini, konsumsi minuman beralkohol terbanyak dikonsumsi penduduk (5 mililiter/orang/hari), diikuti minuman kemasan cairan (4 mililiter/orang/hari), dan terendah adalah minuman berkarbonasi (1 mililiter/orang/hari). Minuman kemasan cairan dikonsumsi terbanyak oleh penduduk (2,6%), diikuti minuman beralkohol (1,3%), dan minuman lainnya (0,9%) sedangkan yang terendah minuman berkarbonasi (0,2%). Minuman kemasan cairan merupakan minuman terbanyak dikonsumsi pada semua kelompok umur. 10. Konsumsi total kelompok air minum penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur 1.063 ml per orang per hari. Air minum dikonsumsi terbanyak oleh 98,9 persen penduduk diikuti minuman cair kemasan pabrikan (4%), dan terendah air minum kemasan bermerek (2,8%). 11. Konsumsi kelompok makanan komposit, suplemen termasuk jamu penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur amat kecil yaitu dibawah 1,1 gram per orang per hari. Kelompok makanan tersebut dikonsumsi oleh sedikit penduduk (0,00-6,7%).
Asupan dan kecukupan gizi di Provinsi Nusa Tenggara Timur 1. Rerata kecukupan energi perorang perhari tertinggi pada kelompok umur 0-59 bulan (92,3% AKE). Rerata kecukupan energi perorang perhari pada laki-laki dan perempuan umur 5 tahun ke atas, tertinggi pada kelompok umur lebih 55 tahun (laki-laki 72,5% AKE dan perempuan 71,2% AKE), diikuti kelompok
umur 5-12 tahun (laki-laki 68,8% AKE dan perempuan 69,5% AKE), kelompok umur 19-55 tahun (laki-laki 62,1% AKE dan perempuan 65,4% AKE), dan terendah pada kelompok umur 13-18 tahun (laki-laki 55,7% AKE dan perempuan 60,9% AKE). 2. Rerata kecukupan protein perorang perhari tertinggi pada kelompok umur 059 bulan (104,7% AKP), pada umur 5 tahun ke atas tertinggi pada kelompok umur 5-12 tahun (laki-laki 86,4% AKP dan perempuan 83,4% AKP), diikuti kelompok umur 19-55 tahun (laki-laki 85,2% AKP dan perempuan 82,1% AKP), kelompok umur >55 tahun (laki-laki 77,1% AKP dan perempuan 69,8% AKP) dan terendah kelompok umur 13-18 tahun (laki-laki 66,5% AKP dan perempuan 63,1% AKP). 3. Penduduk dengan tingkat kecukupan energi sangat kurang (<70% AKE) berdasarkan kelompok umur antara 9,6 persen-72,1 persen, tertinggi pada kelompok umur 13-18 tahun (72,1%), diikuti kelompok umur 19-55 tahun (64,7%), kelompok umur lebih 55 tahun (55,0%), kelompok umur 5-12 tahun (52,4%), dan terendah pada kelompok umur balita (9,6%). 4. Kecukupan energi kurang (70 - <100% AKE) berdasarkan kelompok umur antara 21,0 persen- 61,5 persen, tertinggi pada kelompok umur balita (61,5%), diikuti kelompok umur 5-12 tahun (37,0%), kelompok umur lebih 55 tahun (29,6%), kelompok umur 19-55 tahun (26,3%), dan terendah pada kelompok umur 13-18 tahun (21,0%). 5. Kecukupan energi normal atau sesuai AKG (>100% AKE) berdasarkan kelompok umur antara 9 persen-28,8 persen, yaitu tertinggi pada kelompok umur balita (28,8%), diikuti kelompok umur lebih 55 tahun (15,5%), kelompok umur 5-12 tahun (10,7%), kelompok umur 13-18 tahun (6,9%), dan terendah pada kelompok umur 19-55 tahun (9%). 6. Tingkat kekurangan energi kurang pada penduduk di perdesaan lebih banyak yang kekurangan energi (61,2%) dibandingkan di perkotaan (54,6%). Sebaliknya, kelebihan asupan energi ≥100% - <130% AKE dan ≥130% AKE lebih tinggi pada penduduk di perkotaan (8,7% dan 5,8%) dibandingkan di perdesaan (5,8% dan 2,1%).
7. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, penduduk dengan tingkat kecukupan protein sangat kurang (<80% AKP) berdasarkan kelompok umur antara 41,9 persen-75,6 persen, tertinggi pada kelompok umur 13-18 tahun (75,6%), diikuti kelompok umur lebih 55 tahun (66,8%), kelompok umur 19-55 tahun (59,7%), kelompok umur 5-12 tahun (57,8%), dan terendah kelompok umur balita (41,9%). 8. Kecukupan protein kurang (80 - <100% AKP) berdasarkan kelompok umur antara 8,5 persen-14,9 persen, tertinggi pada kelompok umur 5-12 tahun (14,9%), diikuti kelompok umur balita (13,4%), kelompok umur 19-55 tahun (12,0%), kelompok umur lebih 55 tahun (11,6%), dan terendah kelompok 1318 tahun (8,5%). Kecukupan protein normal (>100% - <120% AKP) antara 5,9 persen-11,7 persen, yaitu tertinggi pada kelompok umur balita (11,7%), diikuti kelompok umur 5-12 tahun dan kelompok umur 19-55 tahun (9,0% dan 8,9%), kelompok umur 19-55 tahun (7,8%) dan terendah kelompok umur 13-18 tahun 5,9%). Kecukupan protein lebih (≥120 AKP) antara 9,9 persen-33,0 persen, tertinggi pada kelompok balita (33%), diikuti keloompok umur 19-55 tahun (19,5%), kelompok umur 5-12 tahun (18,2%), kelompok umur > 55 tahun (13,8%), terendah kelompok umur 13-18 tahun (9,9%). Tingkat kecukupan protein sangat kurang (<80% AKP) di Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di perdesaan dibandingkan dengan yang di perkotaan (67,5% dan 37,7%). Pada proporsi kecukupan protein normal ≥100 persen AKP lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di perkotaan dibandingkan yang di perdesaan (11,6% dan 7,7%). 9. Rerata asupan lemak perorang perhari pada penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur paling rendah pada kelompok umur 0-59 bulan (19,4 g), diikuti kelompok umur 13-18 tahun (24,1 g), kelompok lebih 55 tahun (25,4 g), kelompok umur 5-12 tahun (25,5 g), dan tertinggi pada kelompok umur 19-55 tahun (29,6 g). 10. Rerata asupan karbohidrat perorang perhari pada penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur terendah pada kelompok umur 0-59 bulan (138,5 gram), diikuti untuk laki-laki kelompok umur 5-12 tahun (234,8 gram), kelompok umur 13-18 tahun 254,9 gram, dan tertinggi pad kelompok umur 19-55 tahun dan
kelompok umur lebih 55 tahun (281,1 gram dan 271,5 gram). Sedangkan yang terendah pada perempuan kelompok umur lebih 55 tahun (225.6 gram) diikuti kelompok umur 13-18 tahun dan 5-12 tahun dan (228,5 gram dan 231,1 gram), dan tertinggi pada kelompok umur 19-55 tahun (250,6 gram). 11. Rerata asupan natrium perorang perhari di Provinsi Nusa Tenggara Timur terendah pada kelompok balita (0-59 bulan) sebesar 383 miligram, diikuti kelompok umur 13-18 tahun (566 mg), kelompok umur > 55 tahun (578 mg), kelompok umur 5-12 tahun (641 mg), dan tertinggi kelompok umur 19-55 tahun (659 mg). 12. Proporsi penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mengonsumsi natrium melebih batas yang dianjurkan (≥ 2000 mg perorang perhari) berdasarkan kelompok umur antara 1,4 persen-5,1 persen, tertinggi pada kelompok umur 5-12 tahun (5,1 %), diikuti kelompok umur 13-18 tahun (4,6%), kelompok umur 19-55 tahun (4,5%), kelompok umur > 55 tahun (3,0%), dan terendah pada kelompok balita (1,4%). 13. Proporsi penduduk yang mengonsumsi gula melebih batas yang dianjurkan (≥ 50 g per orang per hari) berdasarkan kelompok umur antara 0,6 persen-2,3 persen, tertinggi pada kelompok umur 19-55 tahun dan > 55 tahun (2,3 %), diikuti kelompok umur 13-18 tahun (1,7%), dan terendah kelompok umur 5-12 tahun dan balita (,0,6% dan 0,7%). 14. Proporsi penduduk yang mengonsumsi lemak melebih batas yang dianjurkan (≥ 67 g per orang per hari) berdasarkan kelompok umur antara 2,7 persen-8,0 persen, tertinggi pada kelompok umur 19-55 tahun (8,0%), diikuti kelompok umur 13-18 tahun (7,1%), kelompok umur 5-12 tahun (6,0%), kelompok umur > 55 tahun (4,2%) dan terendah kelompok umur balita (2,7%).
Seluruh hasil SKMI dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk evaluasi dan perencanaan kesehatan khususnya di bidang gizi di tingkat pusat maupun daerah.
Rekomendasi 1. Mengingat sumber makanan pokok lokal (umbi-umbian) sedikit dikonsumsi penduduk dibandingkan dengan makanan pokok impor (terigu) dan tingginya jumlah penduduk yang tidak mampu memenuhi kecukupan energinya maka perlu dirumuskan kebijakan penganekaragaman makanan pokok yang berbasis makanan lokal. 2. Mengingat sumbangan protein dari hasil laut masih sedikit dibandingkan dengan potensi yang ada maka perlu kebijakan peningkatan potensi hasil laut sebagai sumber protein hewani bagi penduduk. 3. Mengingat konsumsi sayuran dan buah masih sedikit maka perlu dirumuskan kebijakan untuk meningkatkan konsumsi sayur dan buah melalui edukasi dan peningkatan ketersediaan sayuran dan buah dengan harga yang terjangkau. 4. Mengingat konsumsi minuman kemasan baik serbuk maupun cair pada anak mulai meningkat maka perlu dirumuskan kebijakan untuk melindungi anak dari konsumsi minuman kemasan yang berlebihan. 5. Mengingat sudah terdapat sebagian penduduk yang mengonsumsi gula, natrium dan minyak/lemak melebihi batas yang ditetapkan dalam Permenkes Nomor 30 Tahun 2013, maka perlu ditingkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko mengonsumsi berlebih gula, natrium dan minyak/lemak melalui edukasi atau kampanye. 6. Mengingat tingginya tingkat kekurangan akan kecukupan energi dan protein pada masyarakat khususnya kelompok umur remaja (13-18 tahun), maka perlu ditingkatkan pemahaman pentingnya edukasi mengenai konsumsi makanan sehat dan bergizi dalam jumlah yang cukup dan peningkatan ketersediaan makanan yang sehat khususnya di rumah dan di lingkungan sekolah dengan harga yang terjangkau.
PEMETAAN KERJASAMA LUAR NEGERI (HIBAH) Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014 NO 1
Nama Proyek
Tujuan
Nomor
Penelitian Uji Bandung Efikasi dan Keamanan Dosis Tunggal Artemisininnafthoguine dengan dosis 3-hari Dihydroartemisininpiperaquine untuk Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi pada Subyek Anak Indonesia.
Membanding kan efikasi dan keamanan antara Dosis Tunggal Artemisininnafthoguine dengan dosis 3-hari Dihydroartem isininpiperaquine
LB.02.01/III/0 380/2013
Nmor Regster 73734001
Sumber Dana
Jumlah
Kunming Pharmaceutical Corporation
Rp. 888.848.000
Tangga Perjanjian Perjanjian: 24 April 2013 Efektif 1 Juli 2013 Penutupan; 20 Maret 2014
Lokasi RS Kandou RSUD Noongan RSU Manokwari Puskesmas: Tombatu, Ratahan, Towuntu Timur, Touluan, Tambelang, Sanggeng
Pengiriman Pegawai Pada Forum Ilmiah Luar Negeri Pusat Teknologi terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2014
No
Nama
1.
Siswanto
2.
Sri Idaiani
3.
4.
Nama Pertemuan HWG 1st Meeting
Asia Pacific International Forum Network (ASPIRE) meeting/maternal mental health Sri Idaiani, South East Asia M.Karyana, Infectious Diseases Armaji KS. Clinical Research Network (SEAICRN) annual meeting/participant/sepsi s study/source Siswanto Senior Oficial Meeting 3 APEC Beijing
Tujuan/ Negara
Tanggal
Peran
Ningbo, China
23 – 25 Februari
Penyaji (Komnas SJ)
HanoiVietnam
14-15 April 2014
Peserta
Bangkok Thailand
16-17 Juni 2014
Beijing, China
13 – 15 Agustus
Materi yang DIsampaikan The Role of T & CM to Complement Conventional Health System
Sumber Dana APBN
Penyelenggara Kegiatan Asia Pacific Economic Corporation
University Rochester-Univ Melbourne-WHO WPRO Ina Respond
Penyaji (Delri)
Utilizing Traditional and Complementary Medicine for better Achieving Universal Health Coverage.
APBN
APEC
No
Nama
Nama Pertemuan Seanuts PI Meeting
Tujuan/ Negara
6.
Sandjaja
7.
Ully Adhie Mulyani
Thailand
8.
Sri Idaiani
VancouverCanada
5-7 October 2014
9.
Sandjaja
Le Palmas, Spanyol
9-12 Novembe r 2014
World Congress of Public Health Nutrition
Singapore
Tanggal 2-3 Oktober 2014 2 Oktober 2014
Peran Penyaji
Penyaji
Penyaji
Materi yang DIsampaikan Hasil Penelitian SEANUTS di Indonesia The development of the Asia-Pacific Observatory’s Policy Brief (APO) Pacific Rim College of Psychiatry conference/ speaker/ psychotic and pasung in Indonesian community Hasil Penelitian SEANUTS di Indonesia
Sumber Dana Friesland Campina, Netherlands HITAP
University of British Columbia Canada
Penyelenggara Kegiatan