Pendahuluan I.Latar Belakang Ekuador adalah sebuah negara terletak di Amerika Latin, berada tepat di antara Peru dan Kolombia serta Lautan Atlantik. Ekuador luasnya 272.045 km persegi dan berpenduduk sekitar 15 juta jiwa. Seperti layaknya negara-negara Amerika Latin lainnya, secara demografis Ekuador mempunyai komposisi yang didominasi Mestizo( campuran kulit putih dengan Indian) sekitar 55% , orangorang Indian pribumi sekitar 25% , kulit putih Spanyol 10% dan kulit hitam 10 %1. Sebagai sebuah negara, Ekuador dibagi atas 3 zona ekonomi. Letak geografis dengan kondisi alam yang unik membuat ke 3 daerah ini memiliki sumber daya alam yang khas namun kaya. Daerah pantai dengan perkebunan orientasi ekspor (pisang, beras, gula, coklat dan kopi); Daerah Siera, yang merupakan tempat hidup sekitar separuh penduduk dengan pertanian berorientasi pasar dalam negeri (gandum, kentang, dan produk peternakan); sedangkan terakhir di wilayah Timur yang lebih jarang penduduknya adalah tempat Napo, suku Indian asli dari Ekuador ini hidup2. Serupa dengan hampir semua negara Amerika Latin, Ekuador pada tahun 1930-an pernah menerapkan industrialisasi subtitusi impor untuk bisa menerapkan kemandirian ekonomi yang berbasis pada sumber daya alam milik negara tersebut3. Hal ini berubah pada sekitar tahun 1970-an, ketika paham pasar bebas dibawa masuk melalui rezim politik Ekuador yang berkuasa saat itu. Paham pasar bebas ini juga membawa paham developmentalisme yang ditujukan untuk membangun ekonomi secara makro. Saat itu pula, Ekuador berkenalan dengan modernitas. Kota-kota besar tumbuh dengan cepat dan borjuasi di Ekuador tumbuh dengan suburnya. Ekuador menggenjot perdagangan dan masuk ke pasar 1
H.Smith, Thomas E.Skidmore and Peter. Modern Latin America 6th Edition. London: Oxford University Press, 2005.hal . 32. 2 Ibid., 3 Ibid.,hal.51
4
bebas mengandalkan komoditi sumber daya alam untuk memenuhi permintaan pasar. Developmentalisme di Ekuador tidak saja membawa keuntungan secara ekonomi dan menumbuhkan kelas menengah, namun juga memperluas kesenjangan antara kehidupan area urban dan rural di Ekuador. Banyak petanipetani di Ekuador yang lahannya dikomodifikasi untuk bisa memenuhi permintaan industri dan mayoritas petani ini adalah suku Indian Napo4. Beragam rezim semenjak kemerdekaan Ekuador di tahun 1830 dari Kolombia Raya adalah contoh dari negara yang sepanjang kemerdekaannya mengutamakan produksi ekspor dan mengabaikan kehidupan rakyat pedesaan. Kehidupan rakyat pedesaan sangat diterbelakangkan di bawah rezim-rezim kolonial maupun pasca kolonial. Masyarakat Adat tidak memperoleh pengakuan atas hak-hak historisnya , seperti hak atas tanah dan kekayaan alam yang tersedia di wilayah adatnya, dab hak atas identitasnya. Penggantian rezim dari satu ke yang lainya , sama sekali tidak berada dalam jangkauan rakyat pedesaan5. Inilah yang membuat masyarakat rural , kaum miskin kota dan masyarakat adat Napo di pedesaan bergabung menjadi satu paguyuban atau forum bersama bernama CONAIE( Confederations Of Indigenous Nationalities Of Ecuador).
Bentuk
perlawanan
terhadap
kepentingan
neoliberalisme,
developmentalisme, dan ketimpangan sosial dengan menggunakan basis kelas dan identitas masyarakat adat inilah yang menjadikan CONAIE memiliki ciri khas agenda tersendiri. Dilandaskan pada perlunya otonomi dan pengakuan hak kaum adat atas tanah mereka, CONAIE lahir untuk menjadi oposisi dari rezim otoriter yang mengeksploitasi hak-hak milik masyarakat adat di Ekuador . CONAIE mempunyai organisasi kecil yaitu FOIN( Foderation der Indigenes des Napo ,Federasi Masyarakat Adat Napo) sebagai sebuah federasi di paguyuban CONAIE yang paling besar dan paling lama.
4
Fauzi, Noer. Memahami Gerakan Dunia Ketiga. Yogyakarta: InsistPress, 2005.hal 51. Ibid., hal.51
5
5
FOIN yang berdiri semenjak tahun 1975 menjadi sorotan ketika fokus perjuangan mereka yang pada awalnya berbasis kelas menjadi perjuangan politik masyarakat adat dikarenakan suku Indian Napo inilah yang paling tertindas oleh arus modernitas dan terancam kehilangan hak-hak masyarakat adat mereka apabila modernisasi dan developmentalisme yang terus menggerus Ekuador. Organisasi FOIN ini yang akan diulas secara lebih lanjut dalam skripsi ini dengan membahas agenda-agenda mereka untuk memperlihatkan bahwa masyarakat adat Napo di Ekuador bukanlah warga kelas dua. Di tahun 1997, massa masyarakat adat memainkan peran utama dalam menggulingkan Presiden Bucaram Abdala. Di bawah bendera pelangi The Confederation of Indigenous Nationalities of Ecuador (CONAIE), mereka berdemonstrasi berkeliling kota Quito, ibukota Ekuador. Bendera pelangi itu, suatu simbol dari persatuan keragaman dan kedaulatan adat, telah dipakai untuk menandingi pandangan umum bahwa mereka adalah warga negara kelas dua. Dengan cara mengorganisir diri dan berpartisipasi dalam pemerintahan sementara yang menggantikan Bucaram, masyarakat adat yang tergabung dalam FOIN berjuang melawan pandangan bahwa orang-orang Indian adalah pasif, tidak mampu merangkul modernitas dan apolitis6. Perjuangan tiga dekade ini, masyarakat adat secara drastis mentransformasikan apa yang dimaknakan sebagai “orang asli’ di Ekuador. Dengan membingkai identitas politiknya untuk berpasangan serasi dengan national citizenship, para aktivis mengedepankan konsepsi berbasiskan adat. Suatu identitas yang dahulu berarti terbelakang menjadi instrumen handal bagi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak politik, budaya dan ekonomi mereka.
6
Pallares, Amalia. From Peasant Struggles to Indian Resistance : The Ecuadorian Andes in the Late Twentieth Century. Oklahoma: University Of Oklahoma Press, 2002. hal.40.
6
FOIN yang merupakan anggota CONAIE, berdiri semenjak tahun 1975 telah menjadi contoh bagaimana federasi masyarakat adat menjadi aktor untuk memperjuangkan eksistensi, hak dan identitas rakyat terutama rakyat Indian di pegunungan di hadapan negara dan pasar yang terus berubah7. Bukan sekedar sebagai aktor perjuangan, FOIN ini unik seperti Zapatista di Meksiko dan MST di Brazil karena ia adalah bagian dari contoh berubahnya gerakan rakyat yang tadinya berbasis kelas ke gerakan rakyat berbasis identitas8. FOIN tidak lagi mengedepankan basis ideologi, namun mengedepankan isu etnisitas yang lebih kontemporer sebagai alat oposisi dan modal mobilisasi politik dari pemerintah yang lebih mengedepankan modernisasi ekonomi. Di tahun 1970an , pernah dikenal gerakan sosial di Ekuador bernama FENOC (Federasi Nasional Organisasi Petani) yang memiliki pendekatan populis9.FENOC, ketika itu menggunakan cara aksi kolektif yang klasik seperti mobilisasi massa, pemogokan untuk melaksanakan agendanya yaitu land reform.FOIN tidak jauh berbeda dengan FENOC yaitu mengusahakan perlunya land reform di hampir seluruh propinsi di Ekuador10. Fokus perjuangan FENOC adalah fokus perjuangan yang berbasis material, sedangkan FOIN lebih mengeksplisitkan identitas masyarakat adat dalam perjuangan mereka menuntut hak –hak mereka sebagai warga negara Ekuador. FOIN mengeksplisitkan identitas masyarakat adat mereka agar bisa menjadi mediasi antara masyarakat adat dan pemerintah. FOIN juga membuka diri namun tetap otonom dalam menjalin aliansi dengan kaum miskin kota, buruh tani, serikat buruh dan elemen masyarakat sipil yang satu tujuan dengan mereka. Dengan modus kerja yang kooperatif, FOIN bisa berjalan beriringan dengan institusi negara seperti IERAC untuk mengklaim hak – hak adat atas tanah mereka. FOIN mengfungsikan diri sebagai mesin politik dan mediasi antara pemerintah dengan 7
Ibid., Ibid., 9 Fauzi, Noer. Memahami Gerakan Dunia Ketiga. Yogyakarta: InsistPress, 2005.hal.59 10 Ibid., 2005. hal.61 8
7
anggota komunitas. FOIN dan aktivis –aktivis masyarakat adat lainnya juga terlibat dalam lembaga-lembaga lokal dan memperoleh pengetahuan politik mengenai struktur dan fungsi pemerintahan nasional. FOIN juga terlibat dalam partisipasi yang lebih jauh seperti merundingkan anggaran, pemakaian dana-dana negara, mempunyai pengalaman dalam memeriksa, merundingkan, menilai dan mulai menuntut kendali atas perencanaaan dan pelaksanaan pembangunan pedesaan11. Profil singkat dari FOIN ini adalah sebuah gambaran dari bagaimana forum masyarakat adat sebagai gerakan sosial baru bisa menjadi kekuatan resistensi. II.Rumusan Masalah Pertanyaan riset: “Mengapa FOIN melawan kapitalisme dan developmentalisme dengan mengubah jalur perjuangannya dari berbasis kelas menjadi berbasis identitas?” III.Landasan Konseptual Sebagai cara elaborasi terhadap pertanyaan riset mengenai gerakan sosial FOIN diperlukan landasan konseptual untuk mengeksplanasi kasus apa yang dihadapi oleh FOIN di Ekuador, agenda apa yang mereka lawan dan cara mereka melakukan resistensi dengan metode yang bagaimana . Akar dari masalah yang dihadapi oleh FOIN seperti kehilangan hak untuk hidup secara subsisten seperti kehilangan hak historis atas kendali tanah adat mereka dapat dilacak dari kapitalisme global. Kapitalisme sebagai sebuah mode produksi memiliki karakteristik dalam cara kerja mengkomodifikasi barang dan jasa menjadi barang orientasi pasar. Kapitalisme bermula dari proses ganda, yakni melepaskan petani dari tanah pertaniannya dan mengintegrasikan tanah tersebut menjadi modal12. Proses transformasi ganda ini yang disebut Karl Marx dalam Das Kapital sebagai akumulasi primitif.
11
Perreault, Thomas. Community Organization, Agrarian Change and The Politics of Scale in the Ecuadorian Andes. 2003.hal.98. 12 Marx, Karl. Selected Works Of Marx and Engels . Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1962.hal.71-75.
8
Yang khas dari mode produksi kapitalisme adalah karakter produksinya yang berorientasi kepada penjualan13. Di Negara Dunia Ketiga, sistem kapitalisme memiliki ciri khas yang lebih khusus yang disebut Alavi sebagai kapitalisme pinggiran. Pinggiran dalam artian ada sebuah proses penarikan profit dari dari pemiliknya dalam hal ini petani, diakumulasikan terlebih dahulu oleh pemiliknya di
perkotaan-perkotaan
metropolis14. Kapitalisme pinggiran inilah
yang
memerlukan sebuah struktur kolonial yang khusus. Dalam kasus –kasus negara Dunia Ketiga, pola mode produksi kapitalisme pinggiran tumbuh dengan mengandalkan agen-agen kolonial yang berada di perkotaan. Dalam kasus Ekuador, hacienda atau tuan tanah menggunakan legitimasi politik mereka dan penguasaan struktur sosial yang ada untuk membantu mode produksi kapitalisme pinggiran tetap berjalan. Di negara-negara Dunia Ketiga seperti Ekuador, neoliberalisme justru ditumbuhkan dengan mengandalkan rezim otoriter politik setempat yang memiliki cara–cara yang koersif untuk bisa menjinakkan gejolak politik dan membuat negara-negara poskolonial menjadi market friendly15. Pada era kapitalisme global, kapitalisme pinggiran berevolusi dalam bentuk yang lebih canggih yaitu dengan mengandalkan agen-agen neoliberalisme membentuk sebuah pagelaran kuasa lebih rumit dengan stakeholder yang lebih beragam untuk bisa menghisap sumber daya alam negara-negara poskolonial agar bisa mempertahankan kelangsungan permintaan pasar. Agen –agen neoliberalisme dalam hal ini adalah korporasi transnasional dan korporasi multinasional16. Korporasi dengan bentuk TNC atau MNC menawarkan adanya reformasi kepada negara nasional. Reformasi dalam konteks ini bukanlah menawarkan perubahan pemerintahan negara yang bersangkutan secara mendasar seperti yang dilakukan developmentalisme cara lama.
13
Ibid., hal.75. Alavi, Hamza. The Structure Of Peripheral Capitalism. London: Macmillan Publisher, 1982.hal.81. 15 Fauzi, Noer. Memahami Gerakan Dunia Ketiga. Yogyakarta: InsistPress, 2005. hal. 154. 16 Ibid., hal.157. 14
9
Reformasi yang dimaksud adalah lebih ke arah melakukan penataan agar kerja tata pemerintahan bisa kembali ramah terhadap kepentingan modal raksasa merajai investasi dan pasar17. Kapitalisme pinggiran inilah yang nantinya membuat struktur pranata sosial berubah di negara Ekuador. Developmentalisme menghasilkan apa yang disebut modernisasi terutama di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Dalam kasus Ekuador, suku-suku Indian Napo lambat laun akan kehilangan hak-hak historis atas tanah mereka karena tanah akan dikomodifikasikan dan diambil alih kepemilikannya oleh korporasi maupun negara. Situasi yang dimusuhi oleh FOIN sebagai gerakan sosial pedesaan adalah negara Ekuador terus menerus menjalankan kebijakan pembangunan mereka tanpa kompromi yang otomatis mengancam hak eksistensi dari masyarakat adat Indian Napo dalam menjalankan hak subsistensi atas tanah, mengatur hasil produksi komunal mereka dan juga kelangsungan budaya mereka. Modernisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Ekuador melahirkan ideologiideologi dominan pembangunan dan demokrasi yang masih belum bisa menimbulkan sense of inclusion kepada masyarakat adat Ekuador18. Konsep kewarganegaraan yang ekslusif juga merupakan musuh utama bagi FOIN. Konsep kewarganegaraan yang ekslusif dimana tidak adanya pengakuan atas hak adat yang bersifat historis untuk masyarakat Indian Napo membuat FOIN perlu mengadvokasi dan menjadikan isu ini sebagai isu politik. Analisa dari kapitalisme pinggiran ini bisa dijadikan gambaran untuk menjelaskan situasi yang dimusuhi oleh FOIN di Ekuador. Untuk analisa gerakan sosial, Antonio Gramsci dalam bukunya yang berjudul Selections Of Prison Notebooks memaparkan tentang adanya hegemoni, sebuah praktek kuasa yang sifatnya menciptakan kesadaran umum untuk menjinakkan oposan –oposan yang kritis.
17
Ibid., Pallares, Amalia. From Peasant Struggles to Indian Resistance : The Ecuadorian Andes in the Late Twentieth Century. Oklahoma: University Of Oklahoma Press, 2002.hal.98 18
10
Gramsci melihat kapitalisme sebagai sebuah praktek hegemoni dalam negara19. Kapitalisme menciptakan kuasa hegemoni dalam pandangan Gramsci untuk menciptakan sebuah tatanan sosial yang “jinak’. Senada dengan Gramsci, Louis Althusser memperluas praktek kuasa ini dengan melihat bagaimana negara dengan perangkat aparatusnya berusaha untuk masyarakat sipil secara ideologis maupun represif. Kedua pemikir ini menyediakan sebuah entry point untuk memasuki eksplanasi lebih lanjut terhadap urgensi munculnya gerakan sosial. Gerakan sosial pada masa –masa awal berbasis kepada perjuangan kelas20 seperti yang dipaparkan Charles Tilly. Namun pada masa globalisasi dengan isu-isunya yang beragam memunculkan sebuah cara lain dalam melihat terminologi dalam gerakan –gerakan sosial. Istilah New Social Movements memunculkan paradigma baru dalam melihat gerakan sosial dengan agenda beragam seperti LGBT, hak asasi manusia, masyarakat adat, dan isu lingkungan serta nuklir. Pola New Social Movement dengan agenda politiknya yang plural dan polymorphous21(berubahubah) akan lebih bisa untuk menganalisa gerakan masyarakat adat seperti FOIN. Aksi kolektif dan struktur kesempatan politik ini akan menjadi landasan konseptual untuk melihat metode kolektif apa yang digunakan oleh gerakan sosial dan relasi antara gerakan sosial dengan negara. Gerakan sosial akan menjadi naïf apabila tidak memperhitungkan momentum politik apa yang bisa digunakan untuk melahirkan perubahan yang sifatnya reformatif maupun transformatif. Untuk menjalankan agenda politiknya,gerakan sosial perlu untuk melakukan akumulasi kekuatan politik melalui instrumen aksi kolektif. Aksi kolektif adalah sebuah cara kelompok subordinat agar kemampuan bargaining position-nya memungkinkan untuk bisa menjalin mediasi dengan kelompok dominan dalam hal ini negara22.Dalam membaca gerakan sosial, Charles Tilly membandingkan dari tahun 1768-2004 dengan cara melihat pola gerakan sosial dari masa ke masa.
19
Gramsci, Antonio. Selections Of Prison Notebooks . New York: International Publisher, 1976. hal.89. 20 Tilly, Charles. Social Movements : 1768-2004. London : Paradigm Publishing, 2007.hal.120 21 Ibid., hal.65 22 Melluci, Alberto. Challenging Codes : Collective Action in Information Age. Milan: Milan Publishing Press, 1996.hal.22.
11
Dapat ditarik satu hal, bahwa gerakan sosial yang bersifat transformatif dan reformatif baru bermunculan di awal tahun 1970-an sampai sekarang23. Pergeseran isu juga terjadi dari mulai perjuangan kelas, ideologi, dan land reform menjadi isu yang lebih kontemporer, salah satunya status eksistensi masyarakat adat. Untuk bisa membuat agenda politiknya tercapai, FOIN memerlukan instrumen dan juga kesempatan politik, karena tanpa kedua hal pokok ini gerakan sosial tidak lebih dari sekedar oposan yang tidak berarti. Mengenai definisi aksi kolektif, teoritisi Alberto Melluci melihat perlunya aksi kolektif sebagai cara mengkonsepsikan kuasa, agenda, simbol dan sistem pengorganisasian yang jelas untuk melakukan resistensi terhadap dominasi struktur dan fungsi pranata sosial tertentu24. Aksi kolektif memberikan arti dan mendefinisikan apa yang perlu dilawan. Instrumen politik melalui aksi kolektif tadi tidak akan berjalan mulus tanpa adanya momentum yang tepat. Hanspeter Kriesi menawarkan konsep struktur kesempatan politik untuk bisa melihat bagaimana momentum dan struktur bisa berpengaruh dalam menilik efektivitas dan kesempatan apa yang bisa dimanfaatkan oleh gerakan sosial. Struktur kesempatan politik, ini menurut Kriesi tidak bersifat stabil, struktur bisa berubah secara internal dan tidak selalu mengandalkan kekuatan eksternal seperti gerakan sosial. Kriesi memberlakukan beberapa parameter dalam melihat struktur kesempatan politik. Pertama Kriesi membedakan tiga perangkat dari sistem politik seperti: (i) struktur kelembagan formal; (ii) prosedur informal dan strategi dan strategi dominan dan (iii) konfigurasi kekuasaan yang dihadapi para penantang(gerakan sosial)25.Ketiga perangkat ini digunakan gerakan untuk menyusun dan memobilisasi aksi kolektif mereka. Dua elemen yang pertama akan berhadapan vis-à-vis dengan konfigurasi kekuasaan.
23
Tilly, Charles. Social Movements : 1768-2004. London : Paradigm Publishing, 2007.hal.95-98. Melluci, Alberto. Challenging Codes : Collective Action in Information Age. Milan: Milan Publishing Press, 1996.hal.125. 25 Kriesi, Hanspeter. The Political Opportunity Structure Of New Social movements: Its Impact on their Mobilization. London : London College Press, 1995.hal.170 24
12
Kedua, ketika perlawanan dari gerakan sosial sampai pada konfigurasi kekuasaan akan membentuk reaksi untuk menghadapi para penantang seperti misalnya perlawanan akan direpresi atau difasilitasi, melihat peluang dari keberhasilan atau kegagalan aksi tersebut, dan melihat peluang keberhasilan atau kegagalan ketika aksi itu tidak berlangsung. Dengan mengandalkan definisi Hanspeter Kriesi ini, terlihat bahwa FOIN memanfaatkan kekuatan mobilisasi aksi kolektifnya ketika rezim militer tumbang, demokratisasi diperkenalkan secara penuh dengan membuka ruang-ruang publik, pemerintahan yang lebih kooperatif dan juga lembaga masyarakat adat yang di tahun 1980-an lebih terpolitisasi serta lebih solid26. IV.Argumen Utama Perubahan anatomi gerakan FOIN dari gerakan sosial berbasis kelas menjadi gerakan berbasis identitas masyarakat adat merupakan sebuah proses perubahan paradigma yang niscaya karena adanya perubahan konteks pagelaran kuasa rezim akibat transisi demokrasi,perubahan jejaring kapitalisme dan developmentalisme, dan juga sebagai bentuk evolusi menjadi New Social Movements. V.Sistematika Penulisan Penelitian ini dikembangkan melalui sistematika penelitian, sebagai berikut:
26
-
Bab I : Pendahuluan. Bab ini meliputi alasan latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan konseptual, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
-
Bab II: Profil Gerakan Masyarakat Adat FOIN (Ekuador) : Bab ini memberikan uraian mengenal profil singkat FOIN meliputi sejarah terbentuknya , peristiwa-peristiwa penting dimana FOIN terlibat serta tuntutan politik yang dibawa oleh FOIN .
-
Bab III : Perubahan sosio-kultural pada tubuh FOIN sebagai reaksi pada isu yang dimusuhi: Bab ini meliputi pembahasan tentang
Ibid.,
13
alasan mengapa FOIN menentang ekses kapitalisme dimulai dari mendefinisikan apa itu ekses kapitalisme dan situasi global yang dihadapi oleh FOIN serta gejala ekses –ekses kapitalisme seperti apa yang membuat FOIN melakukan resistensi terhadap hal tersebut. -
Bab IV: Analisis Aksi Kolektif dan Struktur Kesempatan Politik yang dihadapi FOIN : Bab ini meliputi pembahasan mengenai analisa instrumen aksi kolektif apa yang digunakan oleh FOIN, dan juga struktur kesempatan politik seperti apa yang dihadapi oleh FOIN.
-
Bab V: Kesimpulan
14