BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Persimpangan Jalan Persimpangan adalah simpul pada jaringan jalan yang merupakan
pertemuan antar jalan dan perpotongan lintasan kendaraan. Lalulintas pada masing-masing kaki persimpangan menggunakan ruang jalan pada persimpangan secara bersama-sama dengan lalu lintas lainnya. Persimpangan-persimpangan merupakan faktor-faktor yang penting dalam menentukan kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan jalan, khususnya didaerah-daerah perkotaan (Departemen Perhubungan Jenderal Perhubungan Darat., 1995). Terdapat dua jenis persimpangan jalan dari segi pandangan untuk kontrol kendaraan, yaitu persimpangan dengan sinyal dan persimpangan tanpa sinyal (Morlok E. K., 1988). 3,5Persimpangan jalan merupakan simpul transportasi yang terbentuk dari beberapa pendekat dimana arus kendaraan dari beberapa pendekat tersebut bertemu dan memencar meninggalkan persimpangan (Hobbs F.D., 1995). Menurut MKJI (1997), suatu pendekat dapat diartikan sebagai daerah dari suatu lengan persimpangan jalan untuk mengantri sebelum keluar melewati garis henti. Bila gerakan lalulintas kekiri atau kekanan dipisahkan dengan pulau lalulintas, sebuah lengan persimpangan jalan dapat mempunyai dua pendekat. Berdasarkan pengaturan lalulintas untuk simpang bersinyal terdapat dua jenis simpang yaitu simpang tiga lengan dan simpang empat lengan. Pemilihan jenis simpang
untuk
suatu
daerah
didasarkan
pada
pertimbangan
ekonomi,
pertimbangan keselamatan lalulintas, dan pertimbangan lingkungan. 1. Pertimbangan ekonomi. Pertimbangan ekonomi tersebut menyangkut mengenai masalah pembebasan tanah. Di luar daerah perkotaan harga pembesan
II - 1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
tanah lebih rendah, yang memungkinkan simpang yang lebih besar, tetapi kecepatan rencana biasanya lebih tinggi, yang menyebabkan rencana simpang yang lebih luas untuk tipe yang sama menurut standar Bina Marga. 2. Pertimbangan keselamatan lalulintas. Angka kecelakaan lalulintas pada simpang bersinyal diperkirakan sebesar 0,43 kecelakaan/juta kendaraan dibandingkan dengan 0,60 pada simpang tak bersinyal dan 0,30 pada bundaran. 3. Pertimbangan lingkungan. Pada pertimbangan lingkungan tersebut menyangkut mengenai masalah polusi udara atau pencemaran udara oleh akibat asap kendaraan yang melebihi ambang batas kesehatan. Asap kendaran dan emisi kebisingan umumnya berkurang dalam keadaan-keadaan sebagai berikut. a) Pengaturan sinyal terkoordinasi dan/atau sinyal aktuasi kendaraan akan mengurangi asap kendaraan dan emisi kebisingan bila dibandingkan dengan pengaturan sinyal waktu tetap untuk simpang terisolir. b) Waktu sinyal yang efisien akan mengurangi emisi.
2.2.
Sinyal dan Pengaturan Lalulintas Menurut MKJI (1997), pada umumnya sinyal lalulintas dipergunakan untuk
beberapa alasan seperti dibawah ini. 1. Untuk menghindari kemacetan simpang akibat adanya konflik arus lalulintas, sehingga terjamin bahwa suatu kapasitas tertentu dapat dipertahankan, bahkan selama kondisi jam puncak. 2. Memberikan mekanisme pengaturan laluintas yang lebih efektif dan murah dibandingkan pengaturan dengan cara manual. 3. Untuk memberi kesempatan kepada kendaraan dan / atau pejalan kaki dari jalan minor memotong jalan mayor. II - 2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
4. Dengan dipasangnya lampu lalulintas maka kecelakaan yang timbul diharapkan akan berkurang, karena konflik yang timbul antar lalulintas dapat dikurangi. Gambar dibawah ini menunjukkan perbandingan jumlah konflik yang terjadi pada simpang dengan rambu lalulintas dan dengan lampu lalulintas. Mengenai konflik lalulintas yang terjadi pada simpang empat bersinyal dengan rambu lalulintas dan dengan lampu lalulintas dapat dilihat seperti gambar dibawah ini (MKJI., 1997).
Gambar 2.1 Konflik Lalulintas pada Simpang Empat Lengan (Sumber : Munawar A., 2004, Manajemen Lalulintas Perkotaan). Lalulintas adalah suatu peralatan yang dioperasikan secara manual, mekanis, atau elektris untuk mengatur kendaraan-kendaraan agar berhenti atau berjalan. Biasanya alat ini terdiri dari tiga warna yaitu merah, kuning, dan hijau. Penggunaan sinyal dengan lampu tiga warna diterapkan untuk memisahkan lintasan dari gerakan-gerakan lalulintas yang saling bertentangan dalam dimensi waktu. Hal ini adalah keperluan yang mutlak bagi gerakan-gerakan lalulintas yang datang dari jalan-jalan yang saling berpotongan atau pada konflik-konflik utama. Sinyal-sinyal dapat juga digunakan untuk memisahkan gerakan membelok dari lalulintas lurus melawan, atau untuk memisahkan gerakan lalulintas membelok dari pejalan kaki yang menyeberang atau pada konflik-konflik kedua. Penggunaan II - 3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
lebih dari dua fase biasanya akan menambah waktu siklus, namun demikian penggunaan sinyal tidak selalu meningkatkan kapasitas dan keselamatan dari simpang tertentu karena berbagai faktor lalulintas. (Hobbs, F.D, 1995) Gambar dibawah ini menunjukkan adanya beberapa konflik yang terjadi di simpang bersinyal (MKJI, 1997).
Gambar 2.2 Titik konflik pada suatu simpang-4 (Sumber : Hightway Trafic Analisys and Design. Penerbit University of Bradford) Menurut Munawar A (2004), sistem pengontrolan lalulintas merupakan pengaturan lalulintas yang berupa perintah atau larangan. Perintah atau larangan tersebut dapat berupa lampu lalulintas, rambu-rambu lalulintas atau marka jalan. Sistem pengontrolan lalulintas pada persimpangan jalan meliputi beberapa hal sebagai berikut. 1. Optimalisasi lampu lalulintas, berupa pengaturan cycle time (waktu siklus), waktu hijau merah/merah dari lampu lalulintas serta jumlah fase. II - 4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. Pemasangan/pemindahan lampu lalulintas, dengan memasang lampu lalulintas di tempat-tempat dengan arus lalulintas yang tinggi. 3. Prioritas kepada bus kota pada persimpangan dengan lampu lalulintas, yakni berupa pemasangan antena pemancar pada bus kota, sehingga jika bus kota tersebut mendekati lampu lalulintas, lampu akan selalu hijau. 4. Koordinasi lampu lalulintas, berupa koordinasi antara lampu-lampu lalulintas, sehingga sebagian kendaraan akan dapat melewati beberapa lampu lalulintas tanpa berhenti
2.3.
Satuan Mobil Penumpang Parameter Satuan Mobil Penumpang (SMP) atau Passenger Car Unit (PCU)
adalah efek dari beberapa jenis kendaraan dalam kondisi arus lalu lintas yang berakibat kepada mobil penumpang dalam kondisi satu area studi. Kondisi yang mempengaruhi parameter SMP adalah :` 1. Ukuran kendaraan 2. Kekuatan atau berat kendaraan 3. Kondisi pengemudi (metode, perilaku, pendidikan, jenis kelamin) Jumlah lalu-lintas yang datang dan jumlah aliran lalu-lintas jenuh (s) dapat diukur/ dihitung berdasarkan jumlah kendaraan per jam (vesh/h) atau (PCU/h). Bila arus lalu-lintas adalah identik dengan perbandingan (headways) sehingga PCU pada kondisi dalam lalu lintas dapat diperhitungkan sebagai berikut dimana perhitungan perbandingan didapat selama dalam kondisi arus aliran lalu-lintas jenuh (s = saturated). Jenis kendaraan dibagi dalam beberapa tipe yang terdapat pada tabel 2.1 dan memiliki nilai konversi pada tiap pendekatan seperti pada tabel 2.2
II - 5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 2.1 Tipe Kendaraan
Tipe Kendaraan
No.
Definisi
1
Kendaraan tak bermotor (UM)
Sepeda, becak, gerobak
2
Sepeda bermotor (MC)
Sepeda motor
3
Kendaraan ringan (LV)
Sedan, jeep, minibus, pick up, microbus
4
Kendaraan berat (HV)
Bus, truk sedang, trailer, truk gandengan
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
Tabel 2.2 Nilai konversi smp pada simpang untuk jalan perkotaan
Nilai konversi smp pada simpang untuk jalan Jenis kendaraan
perkotaan Terlindungi (P)
Terlawan (O)
LV
1
1
HV
1,3
1,3
MC
0,2
0,4
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
Untuk rasio kendaraan belok kiri Plt, dan rasio belok kanan Prt dihitung dengan rumus : (2.1) (2.2) Data masukan lalu lintas diperlukan untuk dua hal, yaitu pertama data arus lalu lintas eksisting dan kedua data arus lalu lintas rencana. Data lalu lintas eksisting digunakan untuk melakukan evaluasi kinerja lalu lintas, berupa arus lalu lintas per jam eksisting pada jam-jam tertentu yang dievaluasi, misalnya arus lalu lintas pada jam sibuk pagi atau arus lalu lintas pada jam sibuk sore. Data arus lalu lintas rencana digunakan sebagai dasar untuk menetapkan lebar jalur lalu lintas II - 6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
atau jumlah lajur lalu lintas, berupa arus lalu lintas jam desain (qJD) yang ditetapkan dari LHRT, menggunakan faktor k. Keterangan :
ππ½π·
πΏ π
π Γ
LHRT : adalah volume lalu lintas harian rata-rata tahunan, dinyatakan dalam skr/hari. K
: adalah faktor jam rencana, ditetapkan dari kajian fluktuasi arus
lalu lintas jam-jaman selama satu tahun. Nilai k yang dapat digunakan untuk jalan perkotaan berkisar antara 7% sampai dengan 12%. LHRT dapat ditaksir menggunakan data survei perhitungan lalu lintas selama beberapa hari tertentu sesuai dengan pedoman survei perhitungan lalu lintas yang berlaku. 2.4.
Sinyal Pengguna sinyal a. Penentuan Fase Sinyal Fase adalah suatu rangkaian dari kondisi yang diberlakukan untuk suatu arus atau beberapa arus, yang mendapatkan identifikasi lampu lalu lintas yang sama (Munawar, 2004:45). Jumlah fase yang baik adalah fase yang menghasilkan kapasitas besar danrata-rata tundaan rendah. Pengaturan dua fase dapat dipertimbangkan pada awal analisis karena memberikan kapasitas terbesar dengan tundaan yang terendah dibandingkan dengan pengaturan fase lainnya seperti terlihat pada gambar di bawah ini (Gambar 2.8 dan Gambar 2.4). Jika pengaturan dua fase ini belum memadai, maka perlu dievaluasi arus belok kanan, apakah memungkinkan bila dipisahkan dari arus lurus dan apakah tersedia lajur untuk memisahkannya. Pengaturan arus belok kanan yang terpisah hanya dilakukan bila arusnya melebihi 200 smp/jam, tetapi bisa saja dilakukan pemisahan ini, walaupun arus belok kanan lebihrendah dari 200 smp/jam dengan pertimbangan peningkatan terhadap keselamatan lalu lintas. II - 7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.3 Tipikal pengaturan fase APILL pada simpang tiga Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
Gambar 2.4Tipikal pengaturan 3 fase APILL pada simpang 4, khususnya pemisahan pergerakan belok kanan Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997 II - 8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.5 Tipikal pengaturan 4 fase APILL pada simpang 4, khususnya pemisahan pergerakan belok kanan Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
b. Waktu anatara hijau dan waktu hilang Waktu antar hijau (intergreen), adalah waktu antara berakhirnya hijau suatu fase dengan berawalnya hijau fase berikut. Biasanya disimbolkan
sebagai
IG.
Waktu
ini
ditentukan
berdasarkan
pertimbangan keselamatan terhadap waktu yang diperlukan oleh satu kendaraan untuk keluar dari suatu persimpangan sebelum pergerakan yangberlawanan diperbolehkan mulai bergerak. IG = amber (waktu kuning) + all red (semua merah) Waktu semua merah (all red)yang diperlukan untuk pengosongan pada akhir setiap fase harus memberi kesempatan bagi kendaraan terakhir (melewati garis henti pada akhir sinyal kuning) berangkat dari titik konflik sebelum kedatangan kendaraan yang datang pertama dari fase berikutnya (melewati garis henti pada awal sinyal hijau) pada titik yang sama. Jadi merah semua merupakan fungsi dari kecepatan dan jarak dari kendaraan yangberangkat dan yang datang dari garis henti II - 9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
sampai ke titik konflik, dan panjang dari kendaraan yang berangkat, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.6Titik konflik kritis dan jarak untuk keberangkatan dan kedatangan Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
Titik konflik kritis pada masing-masing fase(i) adalah titik yang menghasilkan Waktu Merah Semua terbesar :
(2.3)
Dimana : LEV, LAV
= jarak dari garis henti ke titik konflik masingmasing untuk kendaran yang berangkat dan yang datang (m).
IEV
= panjang kendaraan yang berangkat (m)
VEV, VAV
= kecepatan masing-masing untuk kendaraan yang II - 10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
berangkat dan yang datang (m/detik). Nilai-nilai yang dipilih untuk VEV, VAV, dan IEV tergantung dari komposisi lalu lintas dan kondisi kecepatan pada lokasi. Nilai-nilai sementara berikut dapat dipilih untuk kondisi di Indonesia. Kecepatan kendaraan yang datang (VAV) = 10 m/detik (kendaraan bermotor) Kecepatan kendaraan yang berangkat (VEV) = 10 m/detik (kendaraan bermotor)
3 m/detik (kend. tak bermotor)
1,2 m/detik (pejalan kaki) Panjang kendaraan yang berangkat, IEV = 5 m (LV atau HV) 2 m (MC atau UM) Waktu hilang, apabila periode merah semua untuk masing-masing akhir fase telah ditetapkan, maka waktu hilang (LTI) untuk simpang dapat dihitung sebagai jumlah dari waktu-waktu antar hijau : LTI = β (merah semua + kuning) I = β Igi
(2.4)
Panjang waktu kuning pada sinyal lalu lintas perkotaan di Indonesia biasanya adalah 3,0 detik. 1. Penentuan Waktu Sinyal a. Pemilihan tipe pendekat (approach) Pemilihan tipe pendekat (approach) yaitu termasuk tipe terlindung (protected = P) atau tipe terlawan (opossed = O).
b. Lebar pendekat efektif, We = effective Width Lebar pendekat efektif dengan pulau lalu lintas atau tanpa pulau lalu lintas menggunakan rumus di bawah ini :
II - 11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.7 Lebar pendekat dengan dan tanpa pulau lalu lintas Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
1) Untuk pendekat tipe O (terlawan) Jika WLTORβ₯ 2.0 meter, maka We= WA-WLTOR Jika WLTORβ€ 2.0 meter, maka We= WAx (1+PLTOR) WLTOR. Keterangan: WA= lebar pendekat WLTOR= lebar pendekat dengan belok kiri langsung 2) Untuk pendekat tipe P (terlindung) Jika Wkeluar < Wex(1-PRT-PLTOR), Wesebaiknya diberi nilai baru = Wkeluar Keterangan: PRT= rasio kendaraan belok kanan PLTOR= rasio kendaraan belok kiri langsung c. Arus jenuh nyata (S) Arus jenuh nyata dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian dari arus jenuh dasar (So) untuk keadaan yang standar dengan faktor penyesuaian (F) untuk penyimpangan dari kondisi yang sebenarnya. Arus jenuh dasar merupakan besarnya keberangkatan antrian di dalam pendekat selama kondisi ideal (smp/ jam hijau ). II - 12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.8 Model dasar untuk arus jenuh (Akcelik, 1989) Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
Arus jenuh nyata dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian dari arus jenuh dasar (So) untuk keadaan yang standar dengan faktor penyesuaian (F) untuk penyimpangan dari kondisi yang sebenarnya, dari suatu kumpulan kondisi-kondisi (ideal) yang telah ditetapkan sebelumnya. S = SOx F1x F2xF3x F4x ...............................Fn Untuk tipe pendekat P (arus berangkat terlindung) : keberangkatan tanpa konflik antara gerakan lalu lintas belok kanan dan lurus, arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari lebar efektif pendekat (We). (Sumber : MKJI) So = 600 x We
(2.5)
Keterangan : So = arus jenuh dasar (smp/jam waktu hijau) We = lebar efektif pendekat (m)
II - 13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Penyesuaian kemudian dilakukan untuk kondisi-kondisi berikut ini: Ukuran kota
CS, jutaan penduduk
Hambatan samping
SF, kelas hambatan samping dari lingkungan jalan dan kendaraan tak bermotor
Kelandaian
G, % naik (+) atau turun(-)
Parkir
P,
jarak
garis
henti-
kendaraan parker pertama Gerakan membelok
RT, % belok-kanan RT, % belok
Untuk tipe pendekat O, (arus berangkat terlawan): keberangkatan dari antrian sangat dipengaruhi oleh kenyataan bahwa sopir-sopir di Indonesia tidak menghormati βaturan hak jalanβ dari sebelah kiri yaitu kendaraan-kendaraan belok kanan memaksa menerobos lalu-lintas lurus yang berlawanan. Model-model dari Negara barat tentang keberangkatan ini,yang didasarkan pada teori βpenerimaan celahβ (gap-acceptance), tidak dapat diterapkan. Suatu model penjelasan yang didasarkan pada pengamatan perilaku pengemudi telah dikembangkan dan diterapkan dalam MKJI 1997. Apabilaterdapat gerakan belok kanan dengan rasio tinggi, umumnya menghasilkan kapasitas-kapasitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan model barat yang sesuai. Nilai-nilai smp yang berbeda untuk pendekat terlawan juga digunakan seperti diuraikan diatas. 2.5.
Tipe Simpang Simpang adalah bagian yang sulit dihindarkan dalam jaringan jalan, karena
persimpangan jalan merupakan tempat bertemu dan berganti arah arus lalu lintas dari dua jalan atau lebih. Ketika berkendara didalam kota orang dapat melihat bahwa kebanyakan jalan didaerah perkotaan biasanya memiliki persimpangan, II - 14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
dimana pengemudi dapat memutuskan untuk jalan terus atau berbelok dan pindah jalan. Berikut adalah jenis simpang empat lengan,
Gambar 2.9 Jenis-jenis simpang empat lengan Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997 Tabel 2.3 Definisi Jenis Simpang Bersinyal Empat Lengan
Kode
Pendekat jalan utama
Pendekat jalan minor
Jenis Jumlah Median LTOR Jumlah Media LTOR lajur
lajur
Janis fase LT/RT % 10/10 25/2.5
411
1
N
N
1
N
N
42
42
412
2
Y
N
1
N
N
42
42
422
2
Y
N
2
Y
N
42
42
422L
2
Y
Y
2
Y
Y
42
42
423
3
Y
N
2
Y
N
43A
43C
433
3
Y
N
3
Y
N
44C
44B
433L
3
Y
Y
3
Y
Y
44β
44B
434
4
Y
N
3
Y
N
44C
44B
444
4
Y
N
3
Y
N
44C
44B
444L
4
Y
Y
4
Y
Y
44C
448
445L
5
Y
Y
4
Y
Y
44C
44B
455L
5
Y
Y
5
Y
Y
44C
44B
Sumber : MKJI 1997 Hal 2-25 II - 15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.6.
Arus Jenuh Arus jenuh lalulintas (saturation flow) adalah tingkat arus maksimal yang
dinyatakan dalam ekivalen mobil penumpang (emp) yang dapat mengalir secara terus menerus melewati garis henti suatu kaki persimpangan selama periode nyala hijau (Salter R. J, 1980). Suatu siklus dianggap jenuh apabila pada akhir siklus (akhir nyala hijau) masih terdapat kendaraan yang antri. Model keberangkatan kendaraan dibuat dengan asumsi bahwa tidak ada kendaraan yang melewati garis henti pada saat lampu merah sedang menyala efektif (Malkhamah S., 1994). Menurut MKJI besarnya penelitian yang dilakukan Munawar ternyata nilai arus jenuh dasar dilapangan ternyata lebih besar dari nilai tersebut, yaitu sekitar 1,3 kali, sehingga nilai variabel pengali arus jenuh dasar tersebut dikoreksi menjadi 780. (Munawar, A, 2004). Estimasi arus jenuh didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya dari sejumlah persimpangan pada masa tertentu. Aspek-aspek yang mempengaruhi arus jenuh secara umum adalah faktor lingkungan, tipe lajur, kemiringan dan komposisi lalulintas. Estimasi empiris yang pernah dilakukan pada setiap metode pengukuran arus jenuh dikembangkan atas dasar pertimbangan pengaruh faktorfactor tersebut Metode perhitungan arus jenuh yang diberikan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 ditentukan bahwa arus lalulintas yang mengalir pada saat waktu hijau dapat disalurkan oleh suatu pendekatan. Penentuan arus jenuh dasar (S 0 ) untuk setiap pendekatan yang diuraikan dibawah ini : Untuk pendekatan tipe P (Protected), yaitu arus terlindung: S 0 = 600 x We smp/jam hijau
(2.6)
II - 16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dimana, S 0 = arus jenuh dasar (smp/jam) We = lebar jalan efektif (m)
Gambar 2.10 Arus jenuh dasar untuk pendekat tipe P Sumber, Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 Berdasarkan pada nilai jenuh dasar S 0 yang menggunakan lebar pendekatan, maka besar arus jenuh dipengaruhi oleh komposisi kendaraan yakni dengan kendaraan yang lewat atas jenis kendaraan penumpang, kendaraan berat dan sepeda motor yang merupakan bagian dari arus lalulintas. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar arus jenuh adalah jumlah lajur dalam kelompok lajur yang bersangkutan, lebar jalur, persentase kendaraan yang lewat, kemiringan memanjang jalan, adanya lajur parkir dan jumlah manuver parkir perjam, pengaruh penyesuaian kota dan penduduk, hambatan samping sebagai fungsi fungsi dari jenis lingkungan jalan dan pengaruh membelok ke II - 17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
kanan dan kekiri. Persamaan matematis untuk menyatakan hal diatas dapat digunakan dalam perhitungan arus jenuh sebagai berikut: S = S 0 x F cs x F sf x F g x F p x F rt x F lt smp/jam
(2.6)
Dimana: S
= Arus jenuh untuk kelompok lajur yang dianalisi, dalam kendaraan perjam waktu hijau (smp/jam)
S0
= Arus jenuh dasar untuk setiap pendekat (smp/jam)
FCS
= Faktor penyesuaian ukuran kota dengan jumlah penduduk
Fsf
= Faktor penyesuaian hambatan samping sebagai fungsi dari jenis
lingkungan C
= Faktor penyesuain kelandaian jalan
Fp
= Faktor penyesuaian terhadap parker
F st
= Faktor penyesuaian belok kanan (hanya berlaku untuk pendekat tipe P, jalan dua arah)
F lt
= Faktor penyesuaian belok kiri (hanya berlaku untuk pendekat tipe P,tanpa belok kiri langsung)
a) Rasio Arus / Arus Jenuh (Fr) Rasio arus jenuh (flow ratio) yang terjadi pada tiap-tiap pendekat pada kaki simpang dengan fase yang sama, merupakan perbandingan antara arus (flow: Q) dan arus jenuh (saturation flow: S). Nilai arus jenuh untuk setiap pendekat dihitung dengan rumus :
π
(2.7)
dimana, Q = Arus lalu lintas (smp/jam) S = Arus jenuh (smp/jam) Nilai kritis dari FRcrit (maksimum) dari arusyang ada dihitung pada simpang dengan penjumlahan rasio arus kritis tersebut:
II - 18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
IFR = β (FRcrit)
(2.8)
Dari kedua nilai di atas maka diperoleh rasio fase PR (Phase Ratio)untuk tipe fase yaitu :
π
(2.9)
b) Waktu Siklus dan Waktu Hijau 1) Waktu Siklus, adalah waktu untuk urutan lengkap dan indikasi sinyal dari awal waktu hijau sampai waktu hijau berikutnya. Waktu siklus sebelum penyesuaian (Cua) untuk pengendalian waktu tetap dihitung dengan rumus:
Cua = (1,5 . LTI + 5) / (1-IFR)
(2.10)
Dimana : Cua = Panjang Siklus (detik) LTI = Jumlah waktu yang hilang setiap siklus (detik) IFR = Rasio arus perbandingan dari arus terhadap arus jenuh Waktu siklus penyesuaian juga dapat diperoleh dari gambar di bawah ini :
Gambar 2.11 Penetapan waktu siklus sebelum penyesuaian Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997 II - 19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Untuk memperoleh waktu siklus optimal (Co), sebaiknya memperhatikan batasan-batasan yang dianjurkan sebagai berikut : Tabel 2.4 Daftar batasan waktu siklus yang dianjurkan
Tipe Pengatur
Waktu siklus yang layak (detik)
Pengaturan 2 Fase
40 β 80
Pengaturan 3 Fase
50 β 100
Pengaturan 4 Fase
80 - 130
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
2) Waktu hijau adalah waktu nyala hiajau dari suatu pendekat dan dieri symbol gi. Waktu hijau dihitung dengan rumus : gi = (Cua β LTI) x PRi (2.11) dimana :
gi
= tampilan waktu hijau pada fase I (detik)
CUA
= waktu siklus sebelum waktu penyesuaian
sinyal (detik) LTI
= waktu hilang total persiklus (detik)
PRi = rasio arus simpang RFcrt / β(FRcrit)
II - 20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.12 Grafik arus jalan dasar untuk pendekat tipe O Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997. II - 21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
d. Faktor β faktor penyesuaian
1) Penetapan faktor koreksi untuk nilai arus lalu lintas dasar kedua tipe pendekat (protecteddan opposed)pada simpang adalah sebagai berikut: a) Faktor ukuran kota (Fcs) Yaitu ukuran besarnya jumlah penduduk yang tinggal dalam suatu daerah perkotaan. Untuk menentukan nilai faktor ukuran kota digunakan tabel berikut : Tabel 2.5 Faktor penyesuaian ukuran kota (Fcs)
Penduduk kota (juta
Faktor penyesuaian (Fcs)
jiwa) > 3,0
1,05
1,0 β 3,0
1,00
0,5 β 1,0
0,94
0,1 β 0,5
0,83
< 0,1
0,82
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
b) Faktor koreksi hambatan samping (Fsf) Faktor koreksi hambatan samping (Fsf) ditentukan dari tabel di bawah ini sebagai fungsi dari jenis tikungan jalan, tingkat hambatan samping dan ratio kendaraan tak bermotor. Jika hambatan samping tidak diketahui, dapat dianggap tinggi agar tidak menilai kapasitas terlalu besar.
II - 22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 2.6 Faktor koreksi hambatan samping (Fsf)
Rasio Kendaraan Tak Bermotor Lingkungan
Hambatan
Jalan
Samping
Tipe Fase 0,00
0,05
0,1
0,15
0,2
β₯ 0,25
0,93
0,88
0,84
0,79
0,74
0,7
Terlindung
0,93
0,91
0,88
0,87
0,85
0,81
Terlawan
0,94
0,89
0,85
0,8
0,75
0,81
Terlindung
0,94
0,92
0,89
0,88
0,86
0,82
Terlawan
0,95
0,9
0,86
0,81
0,76
0,72
Terlindung
0,95
0,93
0,9
0,89
0,87
0,83
0,96
0,91
0,86
0,81
0,78
0,72
Terlindung
0,96
0,94
0,92
0,89
0,86
0,84
Terlawan
0,97
0,92
0,87
0,82
0,79
0,73
Terlindung
0,97
0,95
0,93
0,9
0,87
0,85
Terlawan
0,98
0,93
0,88
0,83
0,80
0,74
Terlindung
0,98
0,96
0,94
0,91
0,88
0,86
1,00
0,95
0,90
0,85
0,90
0,75
1,00
0,98
0,98
0,93
0,90
0,88
Terlawan Tinggi
Komersial Sedang
(COM)
Kecil
Pemukiman
Terlawan
(RES)
Tinggi
Sedang
Kecil
Akses
Tinggi /
terbatas (RA)
sedang / kecil
Terlawan Terlindung
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
c) Faktor kelandaian (Fg) Faktor penyesuaian kelandaian ditentukan gambar di bawah ini sebagai fungsi kelandaian (G). II - 23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.13 Faktor penyesuaian untuk kelandaian (Fg) Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
d) Faktor koreksi parkir (Fp) Parkir kendaraan berpengaruh terhadap penentuan waktu sinyal karena lokasi parkir di sekitar simpang mengganggu arus lalu lintas. Faktor koreksi parkir ditentukan dari gambar di bawah ini sebagai fungsi jarak dari garis henti sampai kendaraan yang diparkir pertama dan lebar pendekat.
II - 24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.13 Faktor penyesuaian untuk pengaruh parkir dan lajur belok kiri yang pendek (Fp) Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
FP juga dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut yang mencakup panjang waktu hijau : FP
= [Lp/3 β(WAβ2) x (Lp/3 βg)/ WA] / g
(2.12)
dimana : LP
= jarak antara garis henti dan kendaraan yang diparkir pertama (m)
atau
panjang dari lajur
pendek. WA
= lebar pendekat (m)
G
= waktu hijau pada pendekat (nilai normal 26 detik)
2) Faktor penyesuaian untuk nilai arus jenuh dasar hanya untuk pendekat tipe terlindung (P)
II - 25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
a) Faktor koreksi belok kanan (Frt) Faktor koreksi terhadap arus belok kanan pada pendekat yang ditinjau, dapat dihitung dengan rumus berikut ini atau dapatkan nilainya dari gambar di bawah. Frt = 1 + Prt β 0,26
(2.13)
Dimana Prt = rasio arus belok kanan pada pendekat.
Gambar 2.14 Faktor penyesuaian untuk belok kanan (Frt) Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
b) Faktor koreksi belok kiri (Flt) Pengaruh arus belok kiri dihitung dengan rumus : FLT= 1 βPLTx 0,16
(2.14)
dimana PLT = rasio arus belok kiri pada pendekat Atau dapatkan nilainya dari gambar berikut :
II - 26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.15 Faktor penyesuaian untuk belok kiri (Flt) Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
2.7.
Perilaku Lalulintas Perilaku lalulintas adalah ukuran kuantitas yang menerangkan kondisi
operasional fasilitas dari lalulintas. Pengukuran kuantitas sendiri diartikan sebagai kemampuan maksimum yang dapat melintasi suatu penampang jalan dalam melayani lalulintas ditinjau dari volume kendaraan yang dapat ditampung oleh jalan tersebut pada kondisi tertentu. Perilaku lalulintas pada simpang bersinyal meliputi kapasitas, rasio kendaraan henti, panjang antrian, tundaan rerata, derajat kejenuhan, waktu siklus dan arus lalulintas (MKJI., 1997). 2.8.
Kapasitas Kapasitas suatu ruas jalan dalam satu sistem jalan raya adalah jumlah
kendaraan maksimum yang memiliki kemungkinan yang cukup untuk melewati ruas jalan tersebut (dalam satu maupun kedua arah) dalam periode waktu tertentu dan dibawah kondisi jalan dan lalulintas yang umum. Kondisi jalan yang umum menyangkut ciri fisik sebuah jalan yang mempengaruhi kapasitas, seperti lebar II - 27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
jalur dan bahu jalan, jarak pandang, serta landai jalan. Kondisi lalulintas yang umum mencerminkan perubahan karakter arus lalulintas (Oglesby C. H dan Gary Hicks. R., 1990). Evaluasi mengenai kapasitas bukan saja bersifat mendasar pada permasalahan pengoperasian dan perancangan lalulintas tetapi juga dihubungkan dengan aspek keamanan dan ekonomi dalam pengoperasian jalan raya. Kapasitas merupakan ukuran kinerja (performance), pada kondisi yang bervariasi, dapat diterapkan pada suatu lokasi tertentu atau pada suatu jaringan jalan yang sangat kompleks. Berhubung beragamnya geometri jalan-jalan, kendaraan, pengendara dan kondisi lingkungan, serta sifat saling keterkaitannya, kapasitas bervariasi menurut kondisi lingkungannya (Hobbs F. D., 1995). Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum yang melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Untuk jalan dua-lajur dua-arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah (kombinasi dua arah), tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan perlajur (MKJI., 1997). Selain kecepatan, kapasitas merupakan salah satu dari dua karakteristik utama arus kendaraan yang melelui ruas jalan dan persimpangan. Besar kapasitas pada suatu jalur gerak mempunyai pengaruh yang besar terhadap kecepatan volume kendaraan. Kapasitas sendiri dapat diartikan sebagai volume maksimum yang dapat ditampung oleh ruas jalan atau persimpangan (Morlok E. K., 1988). Berdasar Highway Capacity Manual (2000) dalam Munawar A.(2004), kapasitas simpang didasarkan atas 2 faktor sebagai berikut. 1. Distribusi celah dalam arus lalulintas jalan utama. 2. Pertimbangan pengemudi dalam memilih celah sebelum melakukan gerakan belok atau lurus. Kapasitas lengan persimpangan atau kelompok dinyatakan dengan persamaan 2.1 yang merupakan persamaan dalam penentuan kapasitas untuk setiap metode. II - 28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
C = S x g/c
(2.15)
Dimana: C = Kapasitas untuk lengan atau kelompok lajur (smp/jam) S = Arus jenuh, yaitu arus berangkat rata-rata dari antrian dalam pendekat selama sinyal hijau (smp/jam hijau) g = Waktu hijau (det) c = Waktu siklus, yaitu selang waktu untuk perubahan sinyal yang lengkap (yaitu antara dua awal hijau yang berurutan pada fase yang sama) 2.9.
Rasio kendaraan henti Rasio kendaraan henti adalah rasio kendaraan yang harus berhenti akibat
sinyal merah sebelum melewati simpangan atau rasio dari arus lalulintas yang terpaksa berhenti sebelum melewati garis henti akibat pengendalian sinyal (MKJI 1997) 2.10. Panjang antrian Panjang antrian (queve length) merupakan jumlah kendaraan yang antri pada suatu pendekat. Pendekat adalah daerah suatu lengan persimpangan jalan untuk kendaraan mengantri sebelum keluar melewati garis henti. Satuan panjang antrian yang digunakan adalah satuan mobil penumpang (MKJI., 1997). Jumlah rata-rata antrian kendaraan (smp) pada awal isyarat lampu hijau (NQ)dihitung sebagai jumlah kendaraan terhenti (smp) yang tersisa dari fase hijau sebelumnya (NQ1) ditambah jumlah kendaraan (smp) yang datang dan terhenti dalam antrian selama fase merah (NQ2), dihitung menggunakan persamaan : NQ = NQ1 + NQ2
(2.16)
Untuk derajat kejenuhan (DS) > 0,5 :
β
[
π·
Untuk derajat kejenuhan (DS) β€ 0,5 maka NQ1 = 0 :
π·
http://digilib.mercubuana.ac.id/
] (2.17)
(2.18) II - 29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dimana : NQ1= jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya NQ2= jumlah smp yang datang selama fase merah DS = derajat kejenuhan GR = rasio hijau c = waktu siklus (detik) Qmasuk= arus lalu-lintas pada tempat masuk diluar LTOR (smp/jam) Nilai NQ1dapat pula diperoleh dengan menggunakan diagram pada Gambar2.16 dan nilai NQ2 menggunakan diagram pada Gambar2.17.
Gambar 2.16 Jumlah kendaraan tersisa (smp) dari sisa fase sebelumnya Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
II - 30
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.17 Jumlah kendaraan yang datang kemudian antri pada fase merah Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
Gambar 2.18 Jumlah kendaraan yang datang kemudian antri pada fase merah Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
II - 31
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Panjang antrian (QL) diperoleh dari perkalian NQ (smp) dengan luas area rata-rata yang digunakan oleh satu kendaraan ringan (smp) yaitu 20m2, dibagi lebar masuk (m), sehingga persamaannya adalah sebagai berikut : πΏ
(2.19)
1) Kendaraan terhenti (NS) Angka henti (NS) masing-masing pendekat yang didefinisikan sebagai jumlah rata-rata kendaraan berhenti per smp, ini termasuk henti berulang sebelum melewati garis stop simpang. Persamaan dari angka henti (NS) adalah sebagai berikut :
x 3600
(2.20)
Dimana : c
= waktu siklus (detik)
Q = Arus lalu lintas (smp/jam) Jumlah rata-rata kendaraan berhenti, Nsv, adalah jumlah berhenti rata rata per kendaraan (termasuk berhenti terulang dalam antrian) sebelum melewati suatu simpang, dihitung menggunakan persamaan :
(2.21) Laju henti untuk seluruh simpang : β
(2.22)
2) Tundaan (delay) Tundaan (D) pada suatu simpang dapat terjadi karena 2 hal, yaitu : II - 32
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
a) Tundaan lalu lintas (DT) yang disebabkan oleh interaksi lalu lintas dengan gerakan lainnya pada suatu simpang; b) Tundaan geometri (DG) yang disebabkan oleh perlambatan dan percepatan saat membelok pada suatu simpang dan atau terhenti karena lampu merah. Tundaan rata-rata untuk suatu pendekat j merupakan jumlah tundaan lalu lintas rata-rata (DTj) dengan tundaan geometrik rata-rata (DGj) yang persamaannya dapat dituliskan seperti berikut ini :
Dj = DTj + DGj
(2.23)
Dimana : Dj
= Tundaan rata-rata pendekat j (detik/smp).
DTj = Tundaan lalu lintas rata-rata pendekat j (detik/smp). DGj
=
Tundaan
geometrik
rata-rata
pendekat
(detik/smp). Tundaan lalu lintas (DT) yaitu akibat interaksi antar lalu lintas pada simpang dengan faktor luar seperti kemacetan pada hilir (pintu keluar) dan pengaturan manual oleh polisi, dengan rumus :
π
π
1
π΄
(2.24)
dimana: DT
= Tundaan lalu-lintas rata-rata (detik/smp)
c
= waktu siklus yang disesuaikan (detik)
A
=
atau lihat Gambar 2.19)
GR = rasio hijau (g/c) DS
= derajat kejenuhan
NQ1
= jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya
C
= kapasitas (smp/jam)
II - 33
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.19 Penetapan tundaan lalu lintas rata β rata (DT) Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
Tundaan geometrik (DG) adalah tundaan akibat perlambatan atau percepatan pada simpang atau akibat terhenti karena lampu merah. Persamaan dari tundaan geometrik adalah sebagai berikut : 6
π π£
4
`
(2.26)
dimana :
π π£
DGj
= Tundaan geometrik rata-rata untuk pendekat j (det/smp)
PSV
= Rasio kendaraan terhenti pada pendekat = Min (NS, 1)
PT
= Rasio kendaraan berbelok pada pendekat
Nilai normal DGj untuk kendaraan belok tidak berhenti adalah 6 detik, dan untuk yang berhenti adalah 4 detik. Nilai normal ini didasarkan pada anggapan - anggapan bahwa : a) kecepatan = 40 km/jam b) kecepatan belok tidak berhenti =10 km/jam c) percepatan dan perlambatan = 1,5 m/det2
II - 34
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
d) kendaraan berhenti melambat untuk meminimumkan tundaan, sehingga menimbulkan hanya tundaan percepatan.
2.11. Tundaan rerata Menurut Hobbs F. D. (1995), tundaan rata-rata memiliki pengertian bahwa waktu tempuh yang diperlukan untuk melalui simpang apabila dibandingkan lintasan tanpa melalui suatu simpang. Ada 2 macam tundaan yang terdiri dari beberapa hal seperti dibawah ini. 1. Tundaan lalulintas memiliki pengertian bahwa waktu menunggu yang disebabkan interaksi lalulintas dengan gerakan lalulintas yang bertentangan. 2. Tundaan Geometri memiliki pengertian bahwa disebabkan oleh perlambatan dan percepatan kendaraan yang berbelok disimpangan atau yang terhenti oleh lampu merah. Tundaan karena pertemuan jalan (junction) adalah area interaksi lalulintas yang komplek, maka sifatnya (jumlah jalur, jenis permukaan, tata letak geometrik, pemberhentian bis dan penyeberangan pejalan kaki) dan bentuk pengendalian lalulintas (rambu-rambu, pengaturan arus/jalur, bundaran di persimpangan, pengendalian pembelokan, pemisahan dengan ketinggian permukaan) semuanya mempengaruhi jenis dan jumlah penundaan yang terdistribusi pada para pemakai (Hobbs F. D., 1995). Menurut MKJI (1997), tundaan lalulintas simpang didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut. 1. Kecepatan kendaraan dalam kota 40 km/jam. 2. Kecepatan kendaraan tak terhenti 10 km/jam. 3. Tingkat percepatan dan perlambatan 1,5 m/detΒ². 4. Kendaraan terhenti mengurangi kecepatan untuk menghindari tundaan perlambatan, sehingga hanya menimbulkan tundaan percepatan. II - 35
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.12. Derajat kejenuhan Derajat kejenuhan lalulintas (degree of saturation) menunjukkan rasio dari suatu arus lalulintas terhadap kapasitas untuk suatu pendekat (MKJI., 1997). 2.13. Waktu siklus Waktu siklus merupakan waktu untuk urutan lengkap dari indikasi sinyal (antara dua saat permulaan hijau yang berurutan didalam pendekat yang sama) waktu siklus yang paling memanjangnya antrian kendaraan dan panjangnya tundaan, sehingga akan mengurangi kapasitas keseluruhan simpang (MKJI, 1997). Waktu siklus (cycle time) merupakan waktu urutan lengkap dari indikasi sinyal atau satu periode lampu lalulintas, misalnya pada saat suatu arus di suatu ruas jalan mulai hijau, hingga pada ruas jalan tersebut mulai hijau kembali (Munawar A., 2004). 2.14. Arus lalulintas Arus lalulintas adalah jumlah unsur lalulintas yang melalui titik tak terganggu di hulu, pendekat persatuan waktu. Sebagai contoh kebutuhan lalulintas kendaraan/jam; smp/jam (MKJI., 1997). 2.15. Konflik pada simpang Menurut Hobbs F. D. (1995), arus lalulintas dari berbagai arah akan bertemu pada suatu titik persimpangan, kondisi tersebut menyebabkan terjadinya konflik antara pengendara dari arah yang berbeda. Konflik antar pengendara dibedakan menjadi dua titik konflik yang meliputi beberapa hal sebagai berikut. 1. Konflik Primer, konflik antara lalu-lintas dari arah memotong 2. Konflik sekunder, konflik antara arus lalu-lintas kanan dan arus lalu-lintas arah lainnya atau antara arus lalulintas belok kiri dengan pejalan kaki
II - 36
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.20 Konflik primer dan sekunder pada persimpangan (Sumber : Hobbs, 1995, Perencanaan dan Teknik Lalulintas).
Jumlah konflik yang terjadi setiap jamnya pada masing-masing pertemuan jalan dapat langsung diketahui dengan cara mengukur volume aliran untuk seluruh gerakan kendaraan. Masing-masing titik berkemungkinan menjadi tempat terjadinya kecelakaan dan tingkat keparahan kecelakaan berkaitan dengan kecepatan relatif suatu kendaraan. Apabila ada pejalan kaki yang menyeberang jalan pada pertemuan jalan tersebut, konflik langsung kendaraan dan pejalan kaki akan meningkat; frekuensinya sekali lagi tergantung pada jumlah dan arah pejalan kaki. Pada saat pejalan kaki menyeberang jalur pendekat, 24 titik konflik kendaraan/pejalan
kaki
terjadi
pada
pertemuan
jalan
tersebut,
dengan
mengabaikan gerakan diagonal yang dilakukan oleh pejalan kaki. Suatu operasi yang paling sederhana ialah hanya melibatkan suatu mouneuvre bergabung, berpencar, atau berpotongan dan memang hal ini diinginkan sepanjang memungkinkan, untuk menghindari gerakan yang banyak dan berkombinasi yang kesemuanya ini agar diperoleh pengoperasian yang sederhana. Biasanya terdapat II - 37
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
batas pemisah dari aliran yang paling disenangi (prioritas) dan kemudian gerakan yang terkontrol dibuat terhadap dan dari sebuah aliran sekunder. Keputusan untuk menerima atau menolak sebuah gap diserahkan kepada pengemudi dari aliran yang bukan prioritas (Hobbs F. D., 1995). 2.16. Volume Lalulintas Menurut Sukirman Silvia. (1994), pengukur jumlah dari arus lalu lintas digunakanlah volume. Volume lalu lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit). Volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar perkerasan jalan yang lebih lebar, sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan. Sebaliknya jalan yang terlalu lebar untuk volume lalu lintas rendah cenderung membahayakan, karena pengemudi cenderung mengemudikan kendaraannya pada kecepatan yang lebih tinggi sedangkan kondisi jalan belum tentu memungkinkan. Dan disamping itu mengakibatkan peningkatan biaya pembangunan jalan yang jelas tidak pada tempatnya. Volume lalulintas merupakan variabel yang penting dalam teknik lalulintas dan pada dasarnya merupakan proses perhitungan yang penting dalam teknik lalulintas dan pada dasarnya merupakan proses perhitungan yang berhubungan dengan jumlah gerakan per satuan waktu pada lokasi tertentu. Pada perhitungan volume lalulintas secara manual, pengamat selama periode tersebut. Satuan volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan penentuan jumlah dan lebar lajur adalah sebagai berikut. 1. Lalu lintas harian rerata 2. Volume jam perencanaan. 3. Kapasitas. Arus atau volume lalulintas pada suatu jalan raya diukur berdasarkan jumlah kendaraan yang melewati titik tertentu selama selang waktu tertentu. Dalam beberapa hal, lalulintas dinyatakan dengan Lalulintas Harian Rerata per II - 38
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
tahun yang disebut AADT (average annual daily traffic) atau Lalulintas Harian Rerata (LHR) bila periode pengamatanya kurang dari satu tahun. Disamping itu, volume lalulintas juga dapat diukur dan dinyatakan atas dasar jam-jaman, seperti volume lalulintas yang diamati tiap jam. (Oglesby C. H dan Gary Hicks. R., 1990) 2.17. Kecepatan Menurut Hobbs F. D. (1995), kecepatan merupakan indikator dari kualitas gerakan lalulintas yang digambarkan sebagai suatu jarak yang dapat ditempuh dalam waktu tertntu dan biasanya dinyatakan dalam km/jam, kecepatan ini menggambarkan nilai gerak dari kendaraan. Perencanaan jalan yang baik tentu saja haruslah berdasarkan kecepatan yang dipilih dari keyakinan bahwa kecepatan tersebut sesuai dengan kondisi dan fungsi jalan yang diharapkan. Kecepatan terbagi menjadi 3 macam yang meliputi beberapa hal seperti dibawah ini. 1. Kecepatan perjalanan (journey speed), adalah kecepatan efektif kendaraan yang sedang dalam perjalanan antara dua tempat dan merupakan jarak antara dua tempat dibagi dengan lama waktu kendaraan untuk menempuh perjalanan antara tempat tersebut. 2. Kecepatan setempat (spotspeed), adalah kecepatan kendaraan pada suatu saat diukur dari tempat yang ditentukan. 3. Kecepatan bergerak (running speed), adalah kecepatan kendaraan rerata pada suatu jalur pada saat kendaraan bergerak yang didapat dengan membagi jalur dengan waktu kendaraan bergerak menempuh jalur tersebut. Kecepatan adalah besaran yang menunujukkan jarak yang ditempuh, biasanya dinyatakan dalam km/jam. Kecepatan ini menggambarkan nilai gerak dari kendaraan. Perencanaan jalan yang baik tentu saja haruslah berdasarkan kecepatan yang dipilih dari keyakinan bahwa kecepatan tersebut sesuai dengan kondisi dan fungsi jalan yang diharapkan (Sukirman Silvia., 1994).
II - 39
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.18. Karakteristik Geometrik Menurut Sukirman Silvia (1994), tujuan dari perencanaan geometrik jalan adalah menghasilkan infrastruktur yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas, dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan/biaya pelaksanaan. Ruang, bentuk, dan ukuran jalan dikatakan baik, jika dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada pemakai jalan. Yang menjadi dasar perencanaan geometrik adalah sifat gerakan, dan ukuran kendaraan, sifat pengemudi dalam mengendalikan gerak kendaraannya, dan karakteristik arus lalu lintas. Hal-hal tersebut bentuk dan ukuran jalan, serta ruang gerak kendaraan yang memenuhi tingkat kenyamanan dan keamanan yang diharapkan. Dalam perencanaan geomertrik jalan dibagi menjadi beberapa macam sebagai berikut. 1. Klasikasi jalan Sesuai dengan fungsinya jalan dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan yang terdiri dari beberapa hal sebagai berikut. a) Jalan arteri, yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rerata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisian. b) Jalan kolektor, yaitu jalan angkutan pengumpul dan pembagian, dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rerata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi. c) Jalan lokal, yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rerata rendah dan jalan masuk tidak dibatasi. 2. Jalur dan lajur lalulintas Jalur lalulintas adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan. Jalur lalu lintas terdiri dari beberapa lajur (lane) kendaraan. Lajur kendaraan yaitu bagian dari jalur lalu lintas yang khusus diperuntukkan untuk dilewati oleh satu rangkaian kendaraan beroda empat atau lebih dalam satu arah. Jadi jumlah lajur minimal untuk jalan 2 arah II - 40
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
adalah 2 dan pada umumnya disebut sebagai jalan 2 lajur 2 arah. Jalur lalulintas untuk 1 arah minimal terdiri dari 1 lajur lalulintas. Lebar lajur lalulintas merupakan bagian jalan yang paling menentukan lebar melintang jalan secara keseluruhan. Besarnya lebar lajur lalulintas hanya dapat ditentukan dengan pengamatan langsung dilapangan, ini disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut. a) Lintasan kendaraan yang satu tidak mungkin akan dapat diikuti oleh lintasan kendaraan lain dengan tepat. b) Lajur lalulintas tidak mungkin tepat sama dengan lebar kendaraan maksimum. Untuk keamanan dan kenyamanan setiap pengemudi membutuhkan ruang gerak antara kendaraan. c) Lintasan kendaraan tidak mungkin dibuat tetap sejajar sumbu lajur lalulintas, karena kendaraan selama bergerak akan mengalami gaya-gaya samping seperti tidak ratanya permukaan, gaya sentrifugal di tikungan, dan gaya angin akibat kendaraan lain yang menyiap.
3. Bahu jalan (shoulder) Bahu jalan (shoulder) adalah suatu jalur yang letaknya berdampingan dengan jalur lalulintas yang berfungsi sebagai berikut. a) Ruangan untuk tempat berhenti sementara kendaraan yang mogok
atau
sekedar
berhenti
karena
pengemudi
ingin
berorientasi mengenai jurusan yang akan ditempuh, atau untuk beristirahat. b) Ruangan untuk menghidari diri dari saat-saat darurat, sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan.
II - 41
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
c) Memberikan kelegaan pada pengemudi, dengan demikian dapat meningkatkan kapasitas jalan yang bersangkutan. d) Memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan jalan dari arah samping. e) Ruangan pembantu pada waktu mengadakan pekerjaan pernaikan atau pemeliharaan jalan (untuk penempatan alat-alat dan penimbun bahan material). f) Ruangan untuk lintasan kendaraan-kendaraan patroli, ambulan, yang sangat dibutuhkan pada keadaan darurat seperti terjadinya kecelakaan. Berdasarkan tipe perkerasannya, bahu jalan dapat dibedakan menjadi dua macam sebagai berikut. a) Bahu yang tidak diperkeras, yaitu bahu yang hanya dibuat dari material perkerasan jalan tanpa bahan pengikat, biasanya digunakan material agregat bercampur sedikit lempung. Bahu yang tidak diperkeras ini dipergunakan untuk daerah-daerah yang tidak begitu penting. Kendaraan yang berhenti dan tidak mempergunakan bahu tidak begitu banyak jumlahnya. b) Bahu yang diperkeras, yaitu bahu yang dibuat dengan mempergunakan bahan pengikat sehingga lapisan tersebut lebih kedap air dibandingkan dengan bahu yang tidak diperkeras. Bahu jenis ini dipergunakan untuk jalan-jalan untuk kendaraan yang akan berhenti dan memakai bagian tersebut besar jumlahnya. Contoh bahu jalan yang diperkeras dapat kita jumpai di sepanjang jalan tol, disepanjang jalan arteri yang melintasi kota, dan di tikungan-tikungan yang tajam. Dilihat dari letaknya bahu terhadap arah arus lalulintas, maka bahu jalan dapat dibedakan atas beberapa hal sebagai berikut. a) Bahu kiri/bahu luar (left/outer shoulder), adalah bahu yang terletak di tepi sebelah kiri dari jalur lalulintas. II - 42
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
b) Bahu kanan/bahu dalam (right/inner shulder), adalah bahu yang terletak di tepi sebelah kanan dari jalur lalulintas. Besarnya lebar bahu jalan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal penting seperti dibawah ini. a) Fungsi jalan Menurut fungsinya, jalan arteri direncanakan untuk kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jalan lokal. Dengan demikian jalan arteri membutuhkan kebebasan samping, keamanan, dan kenyamanan yang lebih besar, atau menuntut lebar bahu yang lebih lebar dari jalan lokal. b) Volume lalulintas Volume lalulintas yang tinggi membutuhkan lebar bahu yang lebih lebar dibandingkan dengan volume lalulintas yang lebih rendah. c) Kegiatan di sekitar jalan. Kegiatan di sekitar jalan tersebut memiliki arti bahwa jalan yang melintasi daerah perkotaan, pasar, sekolah, membutuhkan lebar bahu jalan yang lebih lebar daripada jalan yang melintasi daerah rural. Hal tersebut dikarenakan bahu jalan di sisi-sisi ruas jalan dipergunakan pula sebagai tempat parkir dan pejalan kaki. d) Ada atau tidaknya trotoar. e) Biaya yang tersedia sehubungan dengan biaya pembebasan tanah dan biaya untuk konstruksi.
4. Trotoar Troroar (side walk) adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalulintas yang khusus digunakan pejalan kaki (pedestrian). Untuk keamanan pejalan kaki maka trotoar ini harus dibuat terpisah dari jalur lalulintas oleh struktur fisik berupa kereb. II - 43
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Perlu atau tidaknya trotoar disediakan sangat tergantung dari volume pejalan kaki dan volume lalulintas pemakai jalan tersebut. Lebar trotoar yang dibutuhkan ditentukan oleh volume pejalan kaki, tingkat pelayanan pejalan kaki yang diinginkan, dan fungsi jalan. Untuk lebar 1,5 - 3,0 meter merupakan nilai yang umum dipergunakan. 5. Kereb Kereb adalah penonjolan atau peninggian tepi perkerasan dan bahu jalan yang terutama untuk keperluan drainasi dan mencegah keluarnya kendaraan dari tepi perkerasan serta memberikan ketegasan tepi perkerasan. Pada ummnya kereb digunakan pada jalan-jalan di daerah perkotaan, sedangkan untuk jalan-jalan antar kota kereb hanya dipergunakan jika jalan tersebut direncanakan untuk lalulintas dengan kecepatan tinggi atau apabila melintasi perkampungan.berdasarkan fungsi dari kereb, maka kereb dapat dibedakan menjadi empat macam sebagai berikut. a) Kereb peninggi (mountable curb), adalah kereb yang direncanakan agar dapat didaki kendaraan, biasanya terdapat di tempat parkir di pinggir jalan atau jalur laulintas. Untuk kemudahan didaki oleh kendaraan maka kereb harus mempunyai bentuk permukaan lengkung yang baik, tingginya berkisar antar 10 - 15 cm. b)
Kereb
penghalang
(barriar
curb),
adalah
kereb
yang
direncanakan untuk menghalangi atau mencegah kendaraan meninggalkan jalur lalulintas, terutama di median, trotoar, pada jalan-jalan tanpa pagar pengaman. Tingginya berkisar antara 25 - 30 cm. c) Kereb berparit (gutter curb), adalah kereb yang direncanakan untuk membentuk drainase perkerasan jalan. Kereb ini dianjurkan pada jalan yang memerlukan sistem drainase perkerasan lebih baik. Pada jalan lurus diletakkan di tepi luar II - 44
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
dari perkerasan, sedangkan pada tikungan diletakkan pada tepi dalam. Tingginya berkisar antara 10 - 20 cm. d) Kereb penghalang berparit (barrier gutter curb), adalah kereb penghalang yang direncanakan untuk membentuk sistem drainase perkerasan jalan. Tingginya berkisar antara 20 - 30 cm.
6. Median jalan Pada arus lalulintas yang tinggi sering dibutuhkan median guna memisahkan arus lalulintas yang berlawanan arah. Jadi median adalah jalur yang terletak ditengah jalan, yang berfungsi untuk membagi jalan dalam masing-masing arah. Secara garis besar median jalan berfungsi sebagai berikut. a) Menyediakan daerah netral yang cukup lebar dimana pengemudi masih dapat mengontrol kendaraannya pada saat darurat. b) Menyediakan jarak yang cukup untuk membatasi/mengurangi kesilauan terhadap lampu besar dari kendaraan
yang
berlawanan arah. c) Menambah rasa kelegaan, kenyamanan, dan keindahan bagi setiap pengemudi. d) Mengamankan kebebasan samping dari masing-masing arah arus lalulintas.
Untuk memenuhi keperluan-keperluan tersebut diatas, maka median serta batas-batasnya harus nyata oleh setiap mata pengemudi baik pada siang hari ataupun malam hari, serta segala cuaca dan keadaan. Lebar median bervariasi antara 1 - 12 meter. Median dengan lebar sampai 5 meter sebaiknya ditinggikan dengan kereb atau dilengkapi dengan pembatas agar tidak dilanggar II - 45
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
kendaraan. Semakin lebar median semakin baik bagi lalulintas tetapi semakin mahal biaya yang dibutuhkan. Jadi biaya yang tersedia dan fungsi jalan sangat menentukan lebar median yang dipergunakan. Disamping median terdapat juga yang dinamakan jalur tepian median, yaitu jalur yang terletak berdampingan dengan median. Jalur tepian median ini berfungsi untuk mengamankan kebebasan samping dari arus lalulintas. Lebar jalur dengan marka berupa garis putih menerus.
7. Alinyeman jalan Alinyemen jalan merupakan elemen dari perencanaan geometrik jalan untuk menghasilkan infrastruktur yang aman, efisiensi pelayanan arus lalulintas, dan memaksimalkan rasio dari tingkat penggunaan dengan biaya pelaksanaan. Elemen dari perencanaan geometrik jalan meliputi 2 hal sebagai berikut. a) Alinyemen horisontal Alinyemen horisontal atau trase jalan, merupakan proyeksi sumbu jalan pada bidang horisontal yang terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah busur peralihan, busur peralihan saja, atau busur lingkaran saja. Perencanaan geometrik jalan memfokuskan pada pemilihan letak dan panjang dari bagianbagian ini sesuai dengan kondisi medan. b) Alinyemen vertikal Alinyemen vertikal merupakan perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan untuk jalan 2 jalur 2 arah atau melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dengan median. Alinyemen vertical seringkali disebut juga sebagai penampang memanjang jalan. Perencanaan geometrik jalan mempertimbangkan bagaimana meletakkan sumbu jalan sesuai kondisi medan berkaitan dengan II - 46
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
pekerjaan tanah yang mungkin timbul akibat adanya galian dan timbunan yang harus dilakukan.. Menurut MKJI (1997), karakteristik geometrik jalan meliputi beberapa hal sebagai berikut. 1. Tipe jalan Berbagai tipe jalan akan menunjukkan kinerja berbeda pada pembebanan lalulintas tertentu, misalnya jalan terbagi dan jalan tak terbagi, jalan satu arah. Tipe jalan ditunjukkan dengan tipe potongan melintang jalan berdasarkan jumlah lajur dan arah pada suatu segmen jalan. Tipe jalan dibedakan menjadi beberapa hal diantaranya seperti dibawah ini. a. Jalan dua lajur dua arah tak terbagi (2/2 UD).
Tipe jalan ini meliputi semua jalan perkotaan dua lajur dua arah (2/2 UD) dengan lebar jalur lalulintas lebih kecil dari dan sama dengan 10,5 meter. Untuk jalan dua arah yang lebih lebar dari 11 meter, jalan sesungguhnya selama beroperasi pada kondisi arus tinggi sebaiknya diamati sebagai dasar pemilihan prosedur perhitungan jalan perkotaan dua lajur atau empat lajur tak terbagi. Kondisi dasar tipe jalan ini didefinisikan sebagai berikut. 1. Lebar lajur lalulintas adalah 7 meter. 2. Lebar bahu efektif paling sedikit 2 meter pada setiap sisi. 3. Tidak ada median. 4. Pemisahan arah lalulintas 50 - 50. 5. Hambatan samping rendah. 6. Ukuran kota 1,0 β 3,0 juta. 7. Tipe alinyemen datar
b. Jalan empat lajur dua arah tak terbagi, tanpa median (4/2 UD) dan jalan empat lajur dua arah terbagi, dengan median (4/2 D). Tipe II - 47
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
jalan ini meliputi semua jalan dua arah dengan lebar jalur lalulintas antara 10,5 meter sampai dengan 16,0 meter.
c. Jalan empat lajur dua arah tak terbagi, tanpa median (4/2 UD). Kondisi dasar tipe jalan ini didefinisikan sebagai berikut. 1. Lebar lajur 3,5 meter (lebar jalur lalulintas total 14,0 meter). 2. Kereb (tanpa bahu). 3. Jarak antara kereb dan penghalang terdekat pada trotoar β₯ 2 meter. 4. Tidak ada median. 5. Pemisahan arah lalulintas 50 β 50. 6. Hambatan samping rendah. 7. Ukuran kota 1,0 β 3,0 juta. 8. Tipe alinyemen datar.
d. Jalan empat lajur dua arah terbagi, dengan median (4/2 D). Kondisi dasar tipe jalan ini didefinisikan sebagai berikut. 1. Lebar lajur 3,5 meter (lebar jalur lalulintas total 14,0 meter). 2. Kereb (tanpa bahu). 3. Jarak antara kereb dan penghalang terdekat pada trotoar β₯ 2 meter. 4. Ada median. 5. Pemisahan arah lalulintas 50 β 50. 6. Hambatan samping rendah. 7. Ukuran kota 1,0 β 3,0 juta. 8. Tipe alinyemen datar.
e. Jalan enam lajur dua arah terbagi (6/2 D). II - 48
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tipe jalan ini meliputi semua jalan dua arah dengan lebar jalur lalulintas antara 18 meter sampai dengan 24 meter. Kondisi dasar tipe jalan ini didefinisikan sebagai berikut. 1. Lebar lajur 3,5 meter (lebar jalur lalulintas total 14,0 meter). 2. Kereb (tanpa bahu). 3. Jarak antara kereb dan penghalang terdekat pada trotoar β₯ 2 meter. 4. Ada median. 5. Pemisahan arah lalulintas 50 β 50. 6. Hambatan samping rendah. 7. Ukuran kota 1,0 β 3,0 juta. 8. Tipe alinyemen datar.
f. Jalur satu arah dan jalur bebas hambatan (1-3/1). Tipe jalan ini meliputi semua jalan satu arah dengan lebar jalur lalulintas antara 5,0 meter sampai dengan 10,5 meter. Kondisi dasar tipe jalan ini didefinisikan sebagai berikut: 1. Lebar lajur 7 meter. 2. Lebar bahu efektif paling sedikit 2 meter pada setiap sisi. 3. Tidak ada median. 4. Hambatan samping rendah. 5. Ukuran kota 1,0 β 3,0 juta. 6. Tipe alinyemen datar.
2. Lebar jalur lalulintas Kecepatan
arus
bebas
dan
kapasitas
meningkat
dengan
pertambahan lebar jalur lalulintas. 3. Kereb Kereb sebagai batas antar jalur lalulintas dan trotoar berpengaruh terhadap dampak hambatan samping pada kapasitas dan kecepatan. II - 49
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kapasitas jalan dengan kereb lebih kecil dari jalan dengan bahu. Selanjutnya kapasitas berkurang jika terdapat penghalang tetap dekat tepi jalur lalulintas, tergantung apakah jalan mempunyai kereb atau bahu.
4. Bahu jalan Jalan perkotaan tanpa kereb pada umumnya mempunyai bahu pada kedua sisi jalur lalulintasnya. Lebar dan kondisi permukaannya mempengaruhi penggunaan bahu, berupa penambahan kapasitas dan kecepatan pada arus tertentu, akibat pertambahan lebar bahu, terutama karena pengurangan hambatan samping yang disebabkan kejadian di sisi jalan seperti kendaraan angkutan umum berhenti, pejalan kaki, dan sebagainya. 5. Median jalan Median yang direncanakan dengan baik akan meningkatkan kapasitas. 6. Alinyemen jalan Lengkung horisontal dengan jari-jari mengurangi kecepatan arus bebas. Tanjakan yang curam juga mengurangi kecepatan arus bebas. Karena secara umum kecepatan arus bebas di daerah perkotaan adalah rendah maka pengaruh ini diabaikan.
2.19. Tinjauan Lingkungan Faktor lingkungan yang cukup berpengaruh antara lain ukuran kota, tataguna lahan atau kondisi lingkungan jalan, dan hambatan samping (MKJI, 1997). 2.20. Tataguna lahan Tataguna lahan sangat penting pengaruhnya terhadap lalulintas. Tempat kerja yang jauh letaknya dengan tempat tinggal akan menyebabkan orang perlu II - 50
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
melakukan perjalanan yang lama, melewati jalan-jalan di dalam kota, guna mencapai tujuannya. Ini tentu saja memberikan andil yang cukup besar terhadap arus lalulintas. Tataguna lahan harus sejak awal direncanakan dengan seksama, dengan mempertimbangkan akibatnya terhadap pola arus lalulintas (Sukirman Silvia., 1994). Menurut MKJI (1997), lingkungan jalan dibedakan menjadi tiga bagian utama yang penentuan kriterianya berdasarkan pengamatan visual, seperti dibawah ini. 1. Komersial (commercial) yaitu tataguna lahan komersial seperti toko, restoran, dan kantor dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan. 2. Pemukiman (residential) yaitu tataguna lahan seperti tempat tinggal dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan. 3. Akses terbatas (restricted area) yaitu jalan masuk terbatas atau tidak sama sekali. 2.21. Ukuran kota Ukuran kota diklafisikasikan dalam jumlah penduduk pada kota yang bersangkutan. Maksud dimasukkannya ukuran kota sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kapasitas, karena dianggap ada korelasi antara ukuran kota dengan sifat pengemudi. Semakin besar ukuran kota, maka semakin agresif pengemudi di jalan raya sehingga semakin tinggi kapasitas jalan/simpang (Sukirman Silvia., 1994).
2.22. Hambatan samping Banyak aktivitas samping jalan di Indonesia sering menimbulkan konflik, kadang-kadang besar pengaruhnya terhadap arus lalu-lintas. Pengaruh konflik ini, (hambatan samping), diberikan perhatian utama dalam MKJI (1997), jika dibandingkan dengan manual negara Barat. Hambatan samping yang terutama II - 51
http://digilib.mercubuana.ac.id/
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan perkotaan adalah : a. Pejalan kaki b. Kendaraan berhenti / Parkir c. Kendaraan lambat (misalnya becak, kereta kuda, gerobak) d. Kendaraan masuk dan keluar dari lahan di samping jalan Untuk menyederhanakan peranannya dalam prosedur perhitungan, tingkat hambatan samping telah dikelompokkan dalam lima kelas dari sangat rendah sampai sangat tinggi sebagai fungsi dari frekuensi kejadian hambatan samping sepanjang segmen jalan yang diamati. Foto khusus juga ditunjukkan dalam manual untuk memudahkan pemilihan kelas hambatan samping yang digunakan dalam analisa (MKJI, 1997). Untuk menentukan kelas hambatan samping dapat dilihat pada Tabel 2.7 dibawah ini. Tabel 2.7 Kelas hambatan samping untuk jalan perkotaan
Jumlah berbobot
Kelas Hambatan
Kode
Kondisi khusus
per jam (dua sisi)
Samping (SFC) Sangat rendah
kejadian per 200 m
VL
< 100
Daerah pemukiman, jalan dengan jalan samping
Rendah
L
100-299
Daerah pemukiman, jalan beberapa kendaraan umum
Sedang
M
300-499
Daerah industry, beberapa toko disisi jalan
Tinggi
H
500-899
Daerah komersial, aktivitas sisi jalan tinggi
Sangat Tinggi
VH
> 900
Daerah komersial dengan aktivitas pasar di samping jalan
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 II - 52
http://digilib.mercubuana.ac.id/