BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ulat sutera merupakan salah satu dari beberapa serangga berguna (beneficial insects) yang dipandang mempunyai nilai ekonomis tinggi karena mampu menghasilkan serat sutera. Selain industri sutera yang dihasilkan oleh ulat sutera domestik (Bombyx mori), sekarang telah dikembangkan industri sutera yang dihasilkan oleh ulat sutera liar, hal ini telah dilakukan di Jepang, India dan Cina. Industri pemanfaatan serat sutera liar semakin berkembang karena tuntutan estetika, model dan perkembangan industri fashion “ haute culture” (industri butik kelas atas). Pasar mode di Perancis, Turki dan Italia telah memanfaatkan sutera liar Attacus atlas ini untuk variasi mode dan industri garmen (ISA, 2000; Saleh, 2004). Salah satu kelebihan dari sutera liar Attacus atlas adalah variasi warna alami dari seratnya yang eksklusif, Attacus atlas adalah hewan asli Indonesia, serangga ini adalah polyvoltin yaitu dapat hidup lebih dari dua generasi dalam setahun (ada sepanjang tahun), dapat menkonsumsi lebih dari 90 jenis tanaman pakan atau lebih dikenal sebagai polipagus, bobot kokon dan benang yang jauh lebih besar dari ulat sutera biasa (Bombyx mori), harga benang yang sangat tinggi serta semua bagian dari serangga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Tenun sutera ini banyak digunakan dalam upacara adat, keagamaan dan peristiwa penting lainnya. Jenis ulat sutera yang dapat dimanfaatkan sangat terbatas (1-2 spesies saja) dan masih mengandalkan pengumpulan kokon dari alam (ISA, 2000; Moerdoko, 2002).
1
Indonesia sebagai negara tropis dan memiliki habitat hutan tropika basah yang cukup luas ternyata berpotensi besar karena memiliki banyak spesies ulat sutera liar dengan kisaran inang (host) yang luas (Kalshoven, 1981). Di Indonesia ada 15 jenis ulat sutera liar, yaitu Attacus atlas L., Attacus crameri, Attacus dohertyi, Attacusparaliaei, Attacus erebus, Attacus inopinatus, Attacus aurentiacus, Attacus intermedius, Cricula trifenesterata Heef, Cricula aelaezea Jord, Samia cynthia ricini (Bsd), Antheraea pernyi, Antheraea halferi, Anteraeae rosseeri dan Actias maenus (Kalshoven, 1981; Peigler, 1989; Situmorang, 1996). Salah satu jenis ulat sutera liar yang potensial dan paling banyak dimanfaatkan adalah ulat sutera liar Attacus atlas, penyebarannya hampir terdapat di seluruh Indonesia diantaranya pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua yang dapat menkonsumsi 90 jenis tanaman pakan alami (Peigler, 1989). Ulat sutera liar di luar negeri seperti Antheraea yamami telah dipelihara di Jepang, Antheraea mylitta di India dan Antheraea pernyi di Cina yang dikenal sebagai sutera tasar. Ulat sutera Antheraea assamensis atau yang dikenal sebagai sutera muga dan ulat sutera eri (Philosamia ricini) telah dieksplorasi di India. Sutera Anape yang terkenal di Afrika dipanen dari kokon ulat sutera liar Anaphe moloneyi, Anaphe panda, Anaphe reticulata, Anaphe ambrezia, Anaphe carteri, Anaphe venata, dan Anaphe infracta. Dari jenis-jenis ulat sutera liar tersebut di atas ulat sutera liar Attacus atlas yang dipelihara dan diproduksi di Indonesia, mempunyai kualitas yang lebih bagus bila dibandingkan dengan ulat sutera liar dari luar negeri. Hal ini disebabkan ulat sutera liar Attacus atlas mempunyai benang yang panjang (bisa mencapai 2500 meter/kokon), warna yang bervariasi (coklat muda, coklat tua, keabu-abuan) dan eksklusif, tidak kusut, kainnya
2
halus dan lembut, tahan panas dan anti alergi, dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam pakaian (batik, kain kimono, wol, dasi, kemeja, rok, baju pria), dapat digunakan di bidang elektronik (digital komputer, alat cetak film), bahan baku industri (bahan pembuat karpet dan tali sepatu), bahan obat-obatan dan makanan, bahan industri kerajinan dan seni (lukisan dinding, berbagai macam kembang, bahan pembuat kasur) dan dapat dijadikan sebagai eko-wisata (FAO, 1979; Saleh, 2004). Dengan besarnya peluang pasar dan banyaknya lokasi yang cocok untuk kegiatan persuteraan alam di Indonesia, baik dilihat dari faktor biofisik, sosial, ekonomi maupun budaya, maka diharapkan usaha ini dapat berkembang baik serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus dapat mengentaskan kemiskinan. Permintaan pasar dunia untuk ulat sutera liar ini cukup menantang. Negara konsumen terbesar dunia saat ini adalah Cina, membutuhkan kokon dan benang sutera mentah 37.441 ton, India 1529 ton, Madagaskar 40 ton, Nepal 2 ton setiap tahunnya (ISA, 2000). Dari segi permintaan pasar, kebutuhan benang sutera liar di dalam negeri untuk industri belum pernah tercukupi. Permintaan benang sutera liar Attacus atlas di Jepang 1 ton/tahun, sedangkan Yogyakarta baru dapat menediakan 10 Kg saja (ISA, 2000). Telah dilakukan beberapa penelitian tentang ulat sutera liar Attacus atlas dengan berbagai macam pakan alami, diantaranya pada tanaman gempol, dadap dan cengkeh (Situmorang, 1996; Elzinga, 1998) akan tetapi hanya sebatas di lapang, larva diletakkan di pohon inang. Pemeliharaan di ruangan (in situ) belum pernah dilakukan. Selama ini tingkat keberhasilan di lapangan baru sekitar 10 % saja (Situmorang, 1996).
3
Agar sutera liar terutama Attacus atlas dapat dibudidayakan secara besar-besaran diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam tentang bioekologi Attacus atlas tersebut. Informasi tentang budidaya penghasil sutera liar Attacus atlas sampai saat ini masih sangat sedikit. Mengingat arti pentingnya sutera liar khususnya Attacus atlas secara ekonomis, maka perlu diusahakan cara budidaya yang sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan kokon tanpa harus tergantung dari alam. Dalam usaha memenuhi hal tersebut maka pemahaman tentang daur hidup dengan pakan alami dalam skala laboratorium mutlak diperlukan.
1.2. Perumusan Masalah Dari uraian di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan untuk mendukung pengembangan dan budidaya ulat sutera liar Attacus atlas adalah : 1. Adanya prospek yang baik terhadap produksi sutera liar untuk memenuhi kebutuhan domestik dan luar`negeri. 2. Jenis sutera liar lokal (Attacus atlas) memiliki keunggulan secara kuantitas dan kualitas. 3. Diperlukan optimalisasi produksi ulat sutera liar lokal (Attacus atlas) dengan eksplorasi tumbuhan inang (pakan alami) yang paling disukai dan hasil produksinya tinggi. 4. Pengembangan produksi secara besar-besaran harus ditunjang oleh perkembangan bioekologi sutera liar baik dalam skala laboratorium maupun lapang.
4
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan ulat sutera liar lokal (Attacus atlas) yang mampu berproduksi baik dalam skala laboratorium dan menjadi dasar pengembangannya di lapang. 2. Bagaimana bioekologi dan produksi Attacus atlas dalam skala laboratorium hingga generasi ketiga (F3). 3. Mendapatkan pakan atau tumbuhan inang potensial bagi pengembangan ulat sutera liar Attacus atlas di laboratorium dan skala lapang. 4.
Rekomendasi budidaya ulat sutera liar khususnya Attacus atlas dalam skala komersial.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi tentang jenis pakan alami yang paling disukai dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, perkembangan dan produktivitas ulat sutera liar Attacus atlas 2. Dapat dijadikan sebagai suatu acuan atau petunjuk tentang teknik budidaya ulat sutera liar Attacus atlas untuk pengembangan persuteraan nasional. 3. Sebagai informasi dasar bagi peneliti dalam melakukan usaha budidaya ulat sutera liar di Indonesia. 4. Dapat menunjang pengembangan agroindustri, meningkatkan penghasilan petani dan menambah devisa negara.
5
1.5. HIPOTESIS 1. Ulat sutera liar Attacus atlas dapat didomestikasi dalam ruangan 2. Kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) sangat mempengaruhi perkembangan dan produktivitas sutera alam liar. 3. Pakan alami yang cocok sangat berpengaruh terhadap siklus hidup, keberhasilan hidup dan produktivitas ulat sutera liar Attacus atlas. 4. Kualitas kokon dan serat sutera yang diproduksi oleh ulat sutera liar (Attacus atlas) sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Ulat Sutera Liar dan Jenis-Jenis yang Berpotensi Jenis ulat sutera liar di dunia ini banyak sekali jumlahnya, yang tercatat hingga kini meliputi 205 jenis, 8 Genus, dan 2 Famili dari Ordo Lepidoptera (FAO, 1979 ; Peigler, 1989). Jenis-jenis ulat sutera liar tersebut secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Ulat Sutera Tasar dari Genus Antheraea (Lepidoptera : Saturniidae) Genus ini menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) terdiri dari : Antheraea mylitta, A.
daeamensia, A. knyvetti, A. compta, A. frithii, A. halferi, A. roylei, A.
sivalica, A. andamana, A. pernyi, A. yamamai, A. pasteuri, A. raffrayi, A. jana, A. cemperi, A. cordifolia, A. pritti, A. imperator, A. brunea, A. billitonensis, A. larissa, A. ridleyi, A. prelarissa, A. surakarta, A. mylittoides, A. delegata, A. fickei, A. pristina, A. sciron, A. harti, A. .gephyra, A. rumphi, A. eucalypti, A. larissoides, A. polyphemus, A. fasciata, A. versicolor, A. pulohra, A. ochripiota, A.. fraterna, A. oingalesa, A. celebensis, A. buruensis, A. subcaeca, A. fusca, A. minahassae, A. sumatrana,A. borneensis, A. korintjina, A. perrotetti, A. yongei, A. ineularie, A. javanensis, A. hazina, A. calida, A. olivescens dan A. platessa. Selain ulat sutera tasar dari genus Antheraea ini dihasilkan juga sutera muga yang dihasilkan oleh ulat sutera jenis Antheraea assamensis (Peigler, 1989 dan Mulyana, 2003). 2. Ulat Sutera Eri dari genus Philosamia (Lepidoptera : Saturniidae) Menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) terdiri dari : Philosamia cynthia, P. ricini, P. lunuloides, P. obscura, P. canningii, P. walkeri, P. pryeri, P. fluva, P. insularis,
7
P. vaneeckei, P. vanderberghi, P. luzonica, P. tetrica, P. borneensis, P. ceramensis, P. mindanaensis dan P. advena. 3. Ulat Sutera Fagara genus Attacus (Lepidoptera : Saturniidae) Menurut Peigler (1989) dan FAO (1979) ulat sutera liar ini terdiri dari : Attacus atlas, A. standingeri, A. crameri, A. erdwarsi, A. dohertyi, A. taprobansis, A. macmulleri, A. simalurana, A. erebus, A. gladiator, A. lorquinii, A. caesar dan A. temperator. 4. Ulat sutera Anaphe (Lepidoptera : Notodontiidae) Menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) ulat sutera liar ini terdiri dari Anaphe infracta, A. venata, A. moloney, A. panda, A. reticulat dan A. carteri . 5. Ulat Sutera Spider dari genus Nephila (Lepidoptera : Saturniidae), yaitu Nephila madagascarensi (FAO, 1979). 6. Ulat Sutera Coan Genus Pachypasa (Lepidoptera : Notodontiidae). Terdiri dari Pachypasa otus dan Pachypasa lineosa (FAO, 1979). 7. Ulat sutera Mussel Genus Pinna (Lepidoptera : Saturniidae), yaitu Pinna squamosa (FAO, 1979). 8. Ulat sutera dari genus Actias (Lepidoptera : Saturniidae), yaitu Actias maenus (Atrmosoedarjo, 2000). Dari jenis-jenis ulat sutera liar yang disebutkan di atas, beberapa negara telah memelihara dan memiliki potensi besar sebagai produk benang sutera yang dapat di ekspor oleh negara pengembangnya yaitu ulat sutera tasar
Antheraea mylitta
(Lepidoptera : saturniidae), ulat sutera muga A. assamensis (Lepidoptera : Saturniidae) dan A. proylei (Lepidoptera : saturniidae) di India, Antheraea pernyi (Lepidoptera : saturniidae) di Cina , Antheraea yamami (Lepidoptera : Saturniidae) di Jepang, ulat sutera
8
fagara Attacus atlas (Lepidoptera : saturniidae) dan Cricula trifenesterata (Lepidoptera : Saturniidae) di Indonesia dan ulat sutera eri Philosamia cyntia ricini (Lepidoptera : Saturniidae) di Cina dan Jepang (FAO, 1979; Peigler, 1989; Situmorang, 1996; Mulyana, 2003). Berdasarkan bukti sejarah, ulat sutera liar Attacus atlas sudah lama dikembangkan dalam bentuk budidaya di India. Akan tetapi ulat sutera liar ini tidak lagi dikembangkan. Seorang ahli dari Jepang yang bernama Genggo Nakajima telah memelihara dan meneliti kualitas dan produktivitas dari sutera liar Attacus atlas di Yogyakarta, mengungkapkan bahwa ternyata sutera Attacus atlas yang dicoba di Indonesia kualitasnya jauh lebih bagus bila dibandingkan dengan India yang sudah lebih dahulu membudidayakan ulat ini, karena iklim negara Indonesia lebih mendukung untuk pengembangan ulat sutera liar ini. Tentu saja merupakan kabar gembira karena ada kaitannya dengan permintaan pasar yang cukup menantang. Di daerah Jawa Barat khususnya ulat sutera liar Attacus atlas sering disebut hileud (ulat) badori, hileud orok (bayi), atau ulat gajah karena larvanya yang besar, adapun kupu-kupunya disebut kupu sirama-rama atau kupu-kupu gajah (Saleh, 2000). Di Yogyakarta dan sekitarnya serta daerah Temanggung, Wonosari dan Wonogiri (Jawa Tengah), ngengat dari Attacus atlas ini disebut kupu gajah atau kupu sirama-rama (Situmorang, 1996).
2.2. Potensi Sutera Liar di Indonesia Menurut Kalshoven (1981) dan Peigler (1989) ulat sutera liar di Indonesia terdapat 15 jenis, 5 genus (Attacus, Cricula, Philosamia, Antheraea dan Actias) dan satu famili (Saturniidae) dari Ordo lepidoptera. Genus Attacus (Lepidoptera : Saturniidae)
9
terdiri dari 8 spesies yaitu : A. atlas, A. cremeri, A. erebus, A. paraliae, A. dohertyi, Attacus inopinatus, Attacus aurentiacus, Attacus intermedius. Dari genus Cricula (Lepidoptera : Saturniidae) terdiri dari 2 spesies yaitu, Cricula trifenesterata dan Cricula aleazea. Genus Philosamia (Lepidoptera : Saturniidae) satu spesies yaitu Philosamia cyntia ricini, Genus Antheraea terdiri dari 3 spesies yaitu Antherea pernyi (Lepidoptera : Saturniidae), Antherea halferi (Lepidoptera : Saturniidae), dan Antherea roseeri (Lepidoptera : Saturniidae). Genus Actias satu spesies yaitu Actias maenus. Diantara 15 jenis ulat sutera liar yang ada di Indonesia ini telah dipelihara dan eksplorasi adalah ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dan Cricula trifenesterata (Lepidoptera : Saturniidae). Daerah yang telah memelihara dan mengeksplorasi ulat sutera liar ini yaitu Yogyakarta, Temanggung, Wonogiri, Wonosari (Jawa tengah), Purwakarta, Garut (Jawa Barat) (Situmorang, 1996 ; Saleh, 2000). Tak dimungkiri jika sutera merupakan bahan utama bagi dunia mode, bukan saja karena nilai eksklusifnya namun lebih dari itu bahannya dipercaya sangat elegan sebagai rancangan adibusana. Busana sutera liar menjadi hand mode yang bernilai ekonomi tinggi, lebih nyaman dipakai dan lebih bagus jahitannya. Temuan baru berupa kepompong emas yang menghadirkan tekstur spesifik bagi perancang busana untuk memberi sentuhan, khususnya aksen dekoratif, sulir dan pewarnaan. Dari pewarnaan kain sutera liar bisa menghasilkan warna yang indah daripada kain jenis lain dan lebih cemerlang (APPMI, 2004). Budidaya sutera liar dapat memberikan lapangan kerja dalam jumlah besar mengingat banyaknya komoditi olahan yang dapat diproduksi dari bahan sutera liar. Industri ini ramah lingkungan, tidak merusak sumberdaya alam dan dapat
10
melestarikannya. Menghasilkan bahan baku bagi industri lain, misalnya industri tenun, batik, kecantikan, makanan, obat-obatan dan industri kerajinan tangan. Industri ini dapat dipanen dalam waktu yang singkat, menambah penghasilan dari sektor hasil hutan non kayu, menghilangkan penjarahan dan pengundulan hutan, produknya halus, lembut, tidak kusut, sejuk, anti alergi dan anti bakteri. Cendera mata sutera liar mudah dikerjakan, beragam corak, unik dan warnanya alami (Moerdoko, 2004). Sutera liar Attacus atlas yang dipelihara di Indonesia kualitasnya jauh lebih bagus bila dibandingkan dengan India yang lebih dulu memelihara ulat sutera ini. Benang sutera Attacus atlas panjang benang bisa mencapai 2.500 meter/kokon, bobot badan ulat sutera Attacus atlas 20 kali lebih besar dari ulat sutera Bombyx mori . Bahan kain sutera liar Attacus atlas banyak diminati dari luar negeri, terutama dari Jepang untuk kain kimono para Sumosan (atlet sumo), benang sutera mentahnya laku dibayar dengan harga Rp 400.000 /Kg (Saleh, 2000). Kebutuhan pasar dunia sutera cukup menantang, menurut International Silk Association (ISA, 2000). Negara konsumen terbesar adalah Cina 447.261 ton, Jepang 34.780 ton, Eropa 13.342 ton, India 126.94 ton, Iran 4.600 ton, Indonesia 639 ton. Namun dari sejumlah kebutuhan itu, sampai sejauh ini hanya tercukupi 10 persen saja (ISA, 1990; Saleh, 2000). Kebutuhan pasar Internasional cukup banyak, sementara bahan baku yang tersedia tidak mencukupi. Data negara-negara yang membutuhkan kokon, pupa dan benang mentah untuk produksi olahannya disajikan pada Tabel 1.
11
Tabel 1. Negara-Negara Pengguna Hasil Olahan Ulat Sutera Liar Attacus atlas No
Negara Konsumen
Kebutuhan
Penggunaan
1
Timur tengah (Persia,
Benang
Bahan pembuat karpet, tas, sajadah,
Libanon, Iran, Yaman 2
3
kain sarung selendang
India (Bangalore &
Pupa &
Karmantaka)
Benang
Amerika
Benang
Makanan dan Pakaian
Digital komputer, foto, dasi, pakaian, vescose & benang polyester
4
Perancis
Benang
Pakaian & seni
5
Italia
Benang
Pakaian & seni
6
Jepang
Benang,
Kain kimono
kokon 7
Indonesia & Cina
Benang,
Pakaian, tas, selendang, kembang,
Kokon
lukisan,
Sumber : (ISA, 1990; Saleh, 2000) Serat sutera dari beberapa ulat sutera liar seperti Antheraea, Attacus, dan Cricula memiliki keunggulan kualitas yang lebih baik dari ulat sutera Bombyx mori, yaitu lebih lembut, porous, tak mudah kusut, tahan panas, tidak menimbulkan rasa gatal (alergi) dan anti bakteri. Berdasarkan sifat tersebut maka serat sutera liar memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Akai, 1997). Produsen kokon sutera dunia seperti Cina, Korea dan Jepang kini banyak mengimpor kokon sutera dari produsen lain, sehingga menjadi peluang bagi Indonesia dalam mengembangkan budidaya sutera sutera liar untuk memasok kebutuhan pasar dunia (Dadang, 1998). Selain itu industri sutera Attacus atlas ini akan turut
12
mengurangi laju urbanisasi ke kota-kota besar. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam penelitian dan budidaya ulat sutera liar secara masal, khususnya A. atlas, sehingga dapat menunjang agroindustri, meningkatkan penghasilan petani dan menambah perolehan devisa negara (Anonim, 1988). Melihat kebutuhan nasional akan benang sutera yang hingga kini sebagian besar belum terpenuhi, serta peluang pasar di luar negeri yang sangat besar, maka proses budidaya ulat sutera dimasa mendatang tampaknya cerah. Berkembangnya sektor pariwisata yang antara lain ditandai dengan meningkatnya arus kunjungan wisatawan asing ternyata memberikan dampak positif terhadap perkembangan industri garmen di dalam negeri dan diharapkan akan menambah peluang bagi usaha budidaya ulat sutera.
2.3. Klasifikasi Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae). Kedudukan Attacus atlas dalam klasifikasi menurut Peigler (1989) adalah : Phylum
: Arthropoda
Klas
: Insecta
Subklas
: Pterygota
Ordo
: Lepidoptera
Subordo
: Ditrysia
Familia
: Saturniidae
Subfamilia
: Saturniinae
Genus
: Attacus
Species
: Attacus atlas (L.)
13
Attacus atlas merupakan jenis ngengat terbesar dan atraktif dari ordo Lepidoptera. Ngengat Famili Saturniidae memiliki sayap berwarna menyolok dengan fenestrate transparan dan bintik seperti mata besar. Bentangan sayapnya bisa mencapai 25 cm. Larva memiliki tuberkel di bagian dorsal. Pupa terbungkus oleh kokon sutera yang ukuran dan warnanya bervariasi. Sebagian larva dari anggota familia ini menghasilkan serat sutera yang kuat dengan tenunan yang panjang, sehingga bisa dimanfaatkan untuk industri (Peigler, 1989).
2.4. Distribusi dan Penyebaran Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Genus Attacus (ngengat atlas) dilaporkan ada 50 jenis, namun yang telah diproduksi hanya ada 14 jenis (Peigler, 1989), yaitu : Attacus atlas Linnaeus dari Asia bagian selatan, Asia tenggara dan Asia Timur, Attacus aurantiacus Rothschild dari Kepulauan Kai (Maluku), Attacus caesar Maassen dari daerah Philipina Selatan, Attacus crameri Felder dari kepulauan Maluku, Attacus dohertyi Rothschild dari pulau Timor, Attacus erebus Fruhstor dari pulau Sulawesi, Attacus inopinatus Jurriaanse dari pulau Flores dan Sumba, Attacus intermedius Jurriaanse dari kepulauan Tanimbar, Attacus lemairei Peigler dari pulau Pallawan Philipina, Attacus lorquinii dari Philipina, Attacus mcmulleni Watson dari kepulauan Andaman, Attacus paraliae Peigler dari kepulauan Banggai di Sulawesi tengah bagian timur, Attacus taprobanis Moore dari Sri Lanka dan daerah India Selatan dan Attacus wardi Rothschild dari Australia Utara (Peigler, 1989). Indonesia memiliki 8 spesies yang paling dominan adalah dari jenis Attacus atlas karena terdapat hampir di semua wilayah Indonesia yaitu di Pulau Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Gambar 1). Spesies lainnya yaitu
14
Attacus aurantiacus di Kepulauan Kei (Maluku), Attacus dohertyi di pulau Timor, Attacus intermedius di kepulauan Tanimbar (Maluku), Attacus inopinatus di Flores dan Sumba (Nusa tenggara Timur), Attacus crameri (Maluku), Attacus paraliae di kepulauan Banggai (Sulawesi tengah) dan Attacus erebus di Sulawesi Selatan (Peigler, 1989). Di pulau Jawa pengembangan Attacus atlas dilakukan di daerah Gunung Kidul dan Yogyakarta (wilayah daerah istimewa Yogyakarta) dan di daerah Purwakarta dan Bogor (Jawa Barat).
Gambar 1. Distribusi dan Penyebaran Ulat Sutera Liar Attacus atlas (lepidoptera : Saturniidae) di dunia (Peigler, 1989)
15
2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan, Reproduksi dan Mortalitas Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae)
Kelangsungan hidup dan keberhasilan hidup Attacus atlas mulai dari tahap larva sampai menjadi imago dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dibagi menjadi dua faktor utama yaitu biotik dan faktor abiotik.
2.5.1
Faktor biotik (Tanaman Inang, Parasit, Predator dan Penyakit)
2.5.1.1 Tanaman Inang (host) Tanaman inang ulat sutera Attacus atlas tercatat paling banyak jenisnya dibandingkan dengan genus-genus lain penghasil ulat sutera. Peigler (1989), menyatakan bahwa lebih dari 90 jenis tumbuh-tumbuhan dari 48 famili tanaman dapat dimakan daunnya oleh larva ulat sutera ini, antara lain : tumbuhan asam (Terminalia tomentosa Oak), kaliki (Ricinus communis), ketela pohon (Manihot utilisima), arjun (Terminalia arjuna), banj (Q. incana), som (Machilus bombycina), Michelia (Magnolliaceae) dan Mussaenda (FAO, 1979, Peigler; 1989, Mulyana, 2003). Attacus atlas khususnya di Yogyakarta, sering dijumpai pada tanaman keben (Baringtonia asiatica Kurtz.), pancasuda (Thunbergia fragrans Roxb.), kenanga (Canangium odoratum), rambutan (Nephelium sp.), jambu biji (Psidium guajava L.), gempol (Nauclea sp.), mahoni (Sweetnia mahagoni Jacq.) dan dadap (Erythrina sp.) (Situmorang, 1996). Di Kulonprogo diketemukan pada tanaman mahoni (Sweetnia mahagoni), di daerah Cepu (Jawa Tengah) banyak ditemukan pada tanaman jambu (Psidium guajava L.) dan sirsak (Annona muricata). Hasil pengamatan di peternakan ulat
16
sutera liar Purwakarta pada bulan Agustus 2004 didapatkan Attacus atlas pada tanaman mahoni (Sweetnia mahagoni), kunyit (Curcuma domestika), dadap
(Erythrina
lithosperma Miq), teh (Camelia sinensis), alpokat (Persea americana Mil),
sirsak
(Annona muricata), jambu biji (Psidium guajava), Ylang-ylang (Canangium odoratum) dan pada tanaman cengkeh (Zingeber purpereum). Tanaman inang sangat mempengaruhi kondisi ulat sutera maupun hasil suteranya. Kondisi
fisiologis,
kualitas
kokon,
produktivitas
telur,
serta
lamanya
siklus
perkembangan dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Kualitas pakan juga mempengaruhi hasil pemeliharaan generasi selanjutnya. Jika kualitas pakan kurang baik, larva dapat sakit dan apabila kurang gizi akan menghambat pertumbuhan larva, sehingga sulit untuk memperoleh hasil yang maksimum, meskipun pada tahap berikutnya diberikan pakan yang lebih baik (Wangsan-Min, 1989).
2.5.1.2. Parasit Telur Attacus atlas sebagian besar diparasit oleh anggota Famili Chalcidoidea (Hymenoptera) diantaranya yaitu Anastasus menzeli Ferr, Anastasus colemani Crawford, Agioemmatus
attaci
Ichhneumonidae
Ferr,
Ooencyyrtus
(Hymenoptera)
terdiri
major dari
Ferr,
Tetrasticus
Xanthopimpla
sp.
konowi
Famili Krieger,
Xanthopimpla brullei Krieger, Xanthopimpla sp, Teronia sp, Enicospilus plicatus Brulle Serangan oleh Anastasus bisa mencapai 80 % (Peigler, 1989). Parasit pada larva Attacus atlas diantaranya adalah Familia Tachinidae (Diptera) Exorista sorbillans Wiedeman dan Blepharia wainwrighti Baronov, Familia Braconidae (Hymenoptera) misalnya Apanteles dan dari Familia Ichneumonidae (Hymenoptera)
17
seperti Xanthopimpla konowi Kriger, X. brullei, Enicopilus plicatus Brulle dan Theronia sp. Parasit-parasit ini telah banyak menyerang larva (FAO, 1979 ; Peigler, 1989).
2.5.1.3. Predator Semua fase kehidupan Attacus atlas, baik fase telur, larva, pupa maupun imago tidak luput dari serangan predator. Predator seperti berbagai jenis burung, laba-laba, tawon, semut, cicak, kadal dan anggota vertebrata lain sering memangsa telur, larva maupun pupa dari Attacus atlas ini (Kalshoven, 1981). Aktivitas predator merupakan faktor biotik yang sangat mempengaruhi populasi dan kehidupan serangga. Dalam populasi Attacus atlas di alam, kompetisi intra dan antar generasi dalam mendapatkan makanan, perlindungan dan tempat untuk pupasi akan menyebabkan kegagalan pupasi dan kematian (Kalshoven, 1981 ; Peigler, 1989). Beberapa golongan predator yang sering dijumpai yaitu tawon jenis Parustewon collaris (Hymenoptera : Vespidae), belalang sembah (Orthoptera : Mantidae), semut jenis Solenopsis geminata (Hymenoptera : Formicidae) capung dari ordo Odonata, lalat perampok dari ordo Diptera, laba-laba jenis Pardosa pseudoannulata (Arachnida : Lycosidae), Oxyopes javanus (Arachnida : Oxyopidae), Salticidae) ,
Bianor sp (Arachnida :
Erigone biurca Locket (Arachinida : Araneidae), Solenopsis geminata
(Hymenoptera : Formicidae) dan cicak dari kelas Reptilia (Kalshoven, 1981 ; Peigler, 1989 ). Predator-predator ini umumnya menyerang telur dan larva Attacus atlas dari berbagai macam tingkatan instar. Larva instar satu, dua dan tiga di lapang biasanya diserang oleh predator dari golongan semut, tawon, laba-laba, capung dan cicak. Larva
18
dari instar` awal ini diserang dan dimangsa oleh predator karena fisiknya yang masih cukup lemah, sehingga tingkat mortalitasnya cukup tinggi.
2.5.1.4. Penyakit Ulat Sutera Jenis-jenis penyakit yang sering menyerang telur, pupa dan larva ulat sutera domestik adalah jenis penyakit yang disebabkan oleh virus, cendawan, protozoa dan bakteri. Penyakit yang disebabkan oleh virus, yaitu penyakit Grasserie, penyebabnya adalah Barrolina virus yang menyerang sel-sel larva yang terbentuk di nukleus dari berbagai organ diikuti rusaknya sel-sel inang. Selain itu terdapat penyakit Cytoplasmic polyhedrosis virus (CPV) yang disebabkan oleh Smithia virus (Samsijah, 1994). Penyakit yang disebabkan oleh cendawan yaitu Aspergilus oryzeae dan Muscardine putih (Beauvenia bassiana). Aspergilus oryzeae masuk melalui kulit, tumbuh hypha yang berwarna putih menutupi seluruh badan larva yang mati, kemudian tumbuh pada kayu atau bambu yang digunakan dalam ruangan. Protozoa yang menyebabkan kerusakan pada ulat sutera adalah Microsporidia yang menimbulkan penyakit pebrin. Penyebab penyakit pebrin adalah Nosema bombycis. Pebrin ini berkembang biak dengan spora dan juga membelah diri, sumber utamanya adalah kontaminasi antara makanan dengan spora, gejalanya adalah keluarnya ngengat dari kokon terlambat, sayap ngengat tidak lengkap, terdapat ngengat tanpa sayap, sisik mudah rontok dan kemampuan bertelur sangat rendah (Samsijah, 1994). Pada ulat sutera Attacus atlas belum dilaporkan mengenai penyakit yang menghambat perkembangan ulat sutera liar ini.
19
2.5.2. Faktor abiotik Lingkungan abiotik di sekitar tempat hidup Attacus atlas adalah hal penting untuk diperhatikan. Kondisi lingkungan ini diantaranya, yaitu suhu, kelembaban, cahaya matahari, sirkulasi udara dan kebersihan tempat hidupnya. Bila kondisi abiotik ini tidak diperhatikan akan mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan Attacus atlas jadi terganggu. Kondisi lingkungan abiotik yang ideal untuk pemeliharaan Attacus atlas di lapangan belum diketahui pasti. Sebagai acuan perbandingan dipakai pada ulat sutera Bombyx yang sudah lama dibudidayakan. Beberapa faktor abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera Bombyx mori, diantaranya adalah suhu, kelembaban, cahaya, dan udara (Veda et al., 1997).
2.5.2.1 Suhu lingkungan Ulat sutera adalah organisme poikilotermal yaitu dipengaruhi langsung oleh suhu lingkungannya. Umumnya suhu tubuh ulat sutera lebih tinggi 1 0C daripada lingkungan di luar tubuhnya. Aktivitas fisiologis dipengaruhi oleh temperatur tubuhnya, sehingga memberi kemungkinan terjadi variasi rerata pertumbuhan pada ulat sutera ini. Pada tahap larva jika suhu lingkungan lebih tinggi dari 30 0C atau kurang dari 20 0C, akan mengakibatkan aktivitas kehidupannya jadi terganggu dan kesehatan ulat sutera akan memburuk. Larva sebaiknya tidak mengalami perubahan suhu yang ekstrim pada waktu lama (Veda et al. 1997). Berdasarkan hal ini maka dalam pemeliharaan larva A. atlas, suhu sebaiknya stabil pada kisaran antara 20 0C-30 0C.
20
2.5.2.2. Kelembaban Kelembaban mempengaruhi perkembangan ulat sutera baik secara langsung maupun tidak langsung. Kelembaban selama pemeliharaan ulat sutera rendah maka perkembangan mikrobia patogen jadi rendah pula. Kelembaban meningkat akan menyebabkan kelayuan tanaman pakan jadi lambat, sehingga tetap segar yang disukai oleh ulat sutera, namun kelembaban yang tinggi ini akan meningkatkan pertumbuhan mikrobia patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada ulat sutera. Kelembaban untuk pemeliharaan larva instar satu dan dua umumnya lebih tinggi yaitu sekitar 80-95 %, sedang pada larva instar tiga, empat dan lima sekitar 70 %. Bila kelembaban dan temperatur berubah secara ekstrim dan tiba-tiba maka akan menyebabkan ulat sutera tak bisa beradaptasi sehingga kesehatan ulat sutera jadi memburuk (Veda et al, 1997).
2.5.2.3 Intensitas cahaya Intensitas cahaya yang ideal untuk larva Bombyx adalah sekitar 15-30 lux. Ulat sutera umumnya akan menghindari intensitas cahaya yang terlalu tinggi (Veda et al. 1997). Nintensitas cahaya kurang berpengaruh untuk pemeliharaan larva Attacus atlas di daerah tropis.
2.5.2.4 Udara Ulat sutera bernapas dengan spirakel. Udara yang dihisap akan diangkut menuju sel-sel tubuh melalui trakea. Udara yang dihisap ini (oksigen) digunakan untuk mengolah karbohidrat, lemak dan protein menjadi energi. Energi yang dihasilkan ini digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera selanjutnya. Pengaturan sirkulasi udara
21
perlu dilakukan. Selain itu untuk pemeliharaan ulat sutera harus diperhatikan juga kebersihan lingkungan pemeliharaan, sebab lingkungan yang kotor dan penuh sampah akan mengeluarkan gas-gas yang berbahaya bagi ulat sutera, misalnya gas karbondioksida dan amonia dari hasil pembusukan sampah.
2.6. Pakan Uji yang digunakan Pada Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas Pakan sangat penting dalam usaha ternak apapun termasuk pemeliharaan ulat sutera liar. Sumber pakan harus tersedia secara pasti dan kesinambungannya terjamin. Pakan yang diberikan sebaiknya memenuhi syarat mengenai bagian tanaman yang paling disukai, selain itu kebersihan daun juga harus dijaga, demikian pula kesegaran dan bebas dari bibit penyakit (Guntoro, 1994).
2.6. 1. Tanaman Sirsak (Annona muricata.L) Sirsak disebut juga nangka belanda atau nangka seberang. Merupakan tanaman buahbuahan tropis dari famili Annonaceae. Adapun susunan taksonomi tanaman sirsak adalah Divisi : Spermatophyta, Sub divisio : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo : Ranales, Famili : Annonaceae, Genus : Annona, Spesies : Annona muricata L. (Radi, 1997). Tanaman yang termasuk famili Annonaceae, seperti sirsak dicirikan dengan bau yang tidak sedap dari daunnya. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis yaitu sirsak manis dan sirsak asam. Secara morfologis susah dibedakan (Radi, 1997).
22
Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing, warna daun bagian atas hijau tua, sedangkan bagian bawah hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak kaku dengan urat daun tegak pada urat daun utama. Aroma yang ditimbulkan bau yang tidak sedap. Daun mahkota berwarna hijau muda, jumlahnya enam helai yang terbagi dalam dua lapis, tiga daun mahkota lingkaran dalam lebih kecil. Bila mendekati mekar mahkota bunga ini berubah menjadi kuning muda (Radi, 1997).
2.6. 2 Tanaman Teh (Camelia sinensia (L). Dalam spesies Camelia sinensis, dikenal beberapa varietas yaitu : Varietas Cina, asam dan Cambodia. Di Indonesia terdapat varietas asam, dengan susunan taksonominya, yaitu : Divisi : Spermatophyta, Sub divisi : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo : Ranales, Famili : Theaceae, Genus : Camelia, Spesies
: Camelia sinensis (L).
(Setyamijaya, 2002) Varietas asam berbatang tunggal (jika tidak dipangkas) dengan ketinggian pohon mencapai 6-9 meter. Dari varietas ini dapat dibedakan lima sub varietas, yaitu : teh asam berdaun cerah, teh asam berdaun kelam, manipuni, Burma dan Luski. Ciri-ciri varietas asam ini secara umum adalah daun panjang (15-20 cm) buah berbentuk lonjong, berkilat, bergerigi banyak dengan ujung yang jelas, berwarna hijau tua, serta duduk daun pada cabang dan ranting agak tegak (Setyamidjaja, 2002). Dari kelima subvarietas ini, teh asam adalah yang terpenting. Teh asam selain memiliki sifat-sifat seperti disebutkan di atas, juga masih memiliki spesifikasi : daunnya lunak dan duduk agak terhelai, daun pucuk berbulu, kuantitas dan kualitas hasil tinggi. 99 % daun teh di Indonesia adalah teh asam ini. Komponen kimia daun teh, terdiri dari 4
23
kelompok, yaitu : Substansi fenol : Catechin dan flavanol bukan fenol : Pectin, recin, vitamin dan mineral, aromatik dan enzim-enzim : Theoflavin dan theorubigin. Dari keempat komponen kimia ini menyebabkan warna, rasa dan aroma yang baik dan disukai oleh ulat sutera Attacus atlas (Setyamidjaya, 2002).
2.7. Perilaku Makan Serangga Chapman dan de Boer (1995) menyatakan bahwa perilaku makan serangga diatur dan dipengaruhi oleh titer nutrien tertentu dalam darahnya terutama titer asam-asam amino dan gula. Dengan kata lain dipengaruhi oleh osmolitas hemolimn dan kebutuhan jaringan untuk metabolisme dan pertumbuhan. Oleh karena itu keberadaan zat-zat tertentu di dalam darah merupakan informasi yang penting. Perilaku makan meliputi rangkaian komponen perilaku menemukan pakan, menerima atau menolak dan menelan pakan. Menemukan pakan dipengaruhi oleh defisiensi nutrien di dalam hemolim. Defisiensi nutrien dapat mencakup turunnya osmolitas, turunnya kadar nutrien tertentu, turunnya regangan usus atau turunnya kadar hormon yang dikeluarkan karena rangsangan regangan usus. Defisiensi nutrien selanjutnya akan mempengaruhi atau menyebabkan hewan bergerak mencari dan menemukan pakannya. Setelah hewan mendekati pakannya, hewan tersebut
akan
menggunakan reseptor-reseptor organ sensorisnya (Gambar 2) untuk mengenali pakan dan biasanya digunakan reseptor kimiawi. Ulat sutera pada maxilanya terdapat berbagai macam reseptor seperti tampak pada Gambar 2. Rangsangan dari pakan akan diterima oleh susunan saraf pusat, kemudian ditanggapi dengan keputusan makan atau tidak makan. Makanan selanjutnya mengalami proses pencernaan. Di dalam saluran
24
pencernaan juga terdapat berbagai reseptor yang akan mendeteksi pakan yang dicerna. Pakan dicerna dan diabsorbsi. Absorbsi makanan akan menyebabkan perubahan osmolitas dari nutrien, perubahan ini akan ditanggapi dengan berhentinya makan.
Pada tahap selanjutnya penggunaan nutrien, metabolisme yang terjadi di jaringan juga akan mempengaruhi osmolitas nutrien dan seterusnya mempengaruhi perilaku makan berikutnya. Jadi pada serangga perilaku makan merupakan suatu proses fisiologis yang kompleks yang melibatkan pengaturan hormon dan saraf yang dipengaruhi oleh osmolitas nutrien di hemolim (Chapman dan de Boer, 1995).
25
Ulat sutera memiliki beberapa reseptor yang dapat digunakan untuk mengenali pakannya. Ishikawa dalam Tazima (1978) menyatakan bahwa pada maxillanya terdapat dua macam sensilla styloconoca, untuk mengenali gula (sugar sensory hair = SS3) dan air (water sensory hair = SS1 dan SS2). Pada pangkal bulu sensor gula terdapat tiga sel (Ls, Li dan G) yang dapat mengenali glukosa. Sedangkan pada pangkal bulu sensor air terdapat empat sel ( R, W, N2 dan N2’), masing-masing untuk zat repellant, air, garam dan asam.
26
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian meliputi beberapa kegiatan dan dilakukan di beberapa tempat, yaitu : a). Analisa proksimat pakan alami daun sirsak dan daun teh dilakukan di laboratorium Nutrisi dan Biologi Radiasi PAU IPB Bogor, b). Pengambilan sampel pakan dan ulat sutera Attacus atlas di Peternakan Ulat sutera Cisomang Purwakarta, c). Proses adaptasi dan perlakuan dilaksanakan di Peternakan Ulat Sutera Sukamantri IPB Bogor, d). Analisa kualitas kokon dan kualitas filamen dilaksanakan di Koperasi Gunung Bayu Tenun Sutera Alam dan Kerajinan Tangan Desa Depok Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta (Jawa Barat).
3.2. Waktu Penelitian Penelitian ini dimulai sejak Pebruari 2004 sampai September 2006, yang dibagi menjadi tiga tahap, yaitu : Percobaan Pertama : Proses habituasi ulat sutera liar Attacus atlas terhadap pakan alami daun sirsak dan teh dari alam sampai generasi kedua (F2). Percobaan Kedua : Respon perlakuan jenis pakan alami (Sirsak dan Teh) terhadap pertumbuhan dan produktivitas Attacus atlas dari F3. Percobaan Ketiga : Analisa kualitas kokon Attacus atlas dan kualitas filamen mulai dari F1 sampai F3.
27
Data penunjang yang dikerjakan untuk mendukung percobaan di atas adalah analisa proksimat pakan
alami di laboratorium Nutrisi dan Biologi Radiasi PAU IPB Bogor
serta data kondisi lingkungan.
3.3. Bahan dan Alat 3.3.1
Hewan Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ulat (larva) sutera liar Attacus
atlas (Lepidoptera : Saturniidae) yang diambil dari Peternakan Ulat Sutera, Desa Cisomang Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta sebanyak 160 ekor larva instar pertama. Masing-masing 80 ekor dipelihara pada pakan alami daun sirsak dan teh. Larva yang diambil dari alam dipelihara sampai F2. Proses habituasi diteruskan dari F1 hingga F2 dengan penggunaan larva instar pertama hasil dari penetasan telur F1 dan F2. Jumlah larva F1 dan F2 yang digunakan untuk habituasi adalah masing-masing 160 ekor larva. Pada percobaan pertama total larva yang digunakan adalah 320 ekor larva, sedangkan untuk percobaan kedua 160 ekor larva dari F3 dan pada percobaan ketiga diproses sebanyak 480 kokon (F1-F3).
3.3. 2 Bahan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan alami (daun sirsak dan daun teh), formalin 4 %, popzol, kaporit, alkohol, NaOH (soda kuastik), aquades dan sabun netral (cap kunci/tangan), teepol (pembersih).
28
3.3. 3 Alat Alat yang digunakan adalah tempat kandang serangga peneluran berupa kotak kayu berdinding kawat kasa ukuran 40 x 40 x 60 cm, ruang sungkup kasa berukuran 1,5 x 1,2 x 3 meter untuk tempat pemeliharaan, tempat/wadah pemeliharaan adalah baki plastik yang berukuran 25 x 20 cm. Alat yang lain yaitu : timbangan, higrothermograf, oven, botol sprayer, jam, kamera dan eksikator.
3.3.4
Tempat Pemeliharaan Inkubasi telur dan pemeliharaan ulat kecil
(instar 1 dan 2) dilakukan pada
ruangan berukuran 2 x 3 m2 yang berdinding kawat kasa dengan kisaran suhu ruang 22 0
C- 24 0C. Pemeliharaan ulat besar (instar 3 -6) di ruangan yang berukuran 3 x 4 meter
dengan kisaran suhu ruangan adalah 24 0C-29 0C. Pembentukan kokon dan masa pupasi terjadi di ruangan yang berukuran ( 3 x 4) m2 dengan kisaran suhu 26 0C- 29 0C. Rata-rata suhu harian di lokasi Peternakan Ulat Sutera Sukamantri Bogor adalah pada pagi hari, 22 0
C-24 0C, pada siang hari ; 25 0C-29 0C, pada sore hari ; 25 0C-27 0C, dan pada malam
hari ; 22 0C-24 0C.
3.4. Rancangan Percobaan 3.4.1 Percobaan pertama: Proses habituasi. Dari 160 ekor larva instar pertama yang diambil dari alam dipelihara dalam ruangan dengan pemberian jenis pakan alami daun sirsak dan teh, masing-masing 80 ekor larva untuk tiap jenis pakan. Pemeliharaan bertujuan untuk mendapatkan generasi pertama (F1). Proses habituasi dilanjutkan terus dari F1 sampai
29
F2. Pakan diberikan mulai dari instar pertama sampai instar enam. Waktu pemberian pakan 3 kali sehari, yaitu pada pagi hari mulai dari jam 7.00 – 9.00 WIB, siang hari dari jam 12.00 – 14.00 WIB dan pada sore hari dari jam 17.00 – 19.00 WIB. Jumlah pakan yang diberikan pada proses habituasi tidak terbatas. Suhu ruang disesuaikan dengan perkembangan instar. Masa inkubasi telur (22-24 0C), pemeliharaan ulat kecil dan besar (instar 1-6) suhu ruangnya berkisar antara 24-29 0C dan masa pupasi 26-29 0C, Jika suhu berfluktuatif (pada musim hujan diberikan sinar tambahan dari lampu petromax dan musim kemarau diberikan percikan air pada pakan dan ruang pemeliharaan) supaya suhu ruang tetap stabil pada kisaran 22-29 0C. Parameter yang diukur adalah : Tingkah laku, keberhasilan hidup, siklus hidup, produksi telur dan produksi kokon.
3.4.2 Percobaan kedua : Respon perlakuan jenis pakan alami terhadap pertumbuhan dan produktivitas Attacus atlas. Larva yang digunakan adalah generasi ketiga (F3). Pada F3 disiapkan wadah pemeliharaan sebanyak 20 buah untuk masing-masing jenis pakan, setiap wadah pemeliharaan berisi 4 ekor larva, sehingga total larva yang digunakan adalah ( 4 x 20 x 2 = 160 ekor ) larva. Penelitian ini menggunakan rancangan Faktorial (2 x 2 x 20), 2 jenis perlakuan pakan alami (sirsak dan teh) dan generasi, 20 kali ulangan. Satu unit percobaan terdiri dari satu wadah berisi 4 ekor larva. Perlakuan diberikan pada saat instar pertama sampai instar enam. Jumlah awal pakan yang diberikan, yaitu : instar pertama 1 gram pakan/larva, instar kedua 2 gram pakan/larva, instar ketiga 3 gram pakan/larva, instar keempat 5 gram pakan/larva, instar kelima 6 gram pakan/larva dan instar keenam 7 gram pakan/larva. Waktu pemberian pakan 3 kali sehari, kadar air daun yang diberikan diukur
30
(ditimbang), yaitu pada pagi hari dari jam 7.00 – 9.00 WIB, siang hari dari jam 12.00 – 14.00 WIB dan pada sore hari dari jam 17.00 – 19.00 WIB. Sisa pakan dikumpulkan per instar dan dikeringkan dengan oven pada suhu 105 0C, 24 jam kemudian ditimbang. Pengaturan suhu ruang untuk masing-masing perkembangan sama dengan percobaan pertama. Parameter yang diukur dalam percobaan kedua ini adalah keberhasilan hidup, tingkah laku, siklus hidup, konsumsi pakan, laju pertumbuhan (bobot badan awal dan akhir instar), daya cerna, produksi telur dan produksi kokon.
3.4.3. Percobaan Ketiga : Analisa kualitas kokon Attacus atlas. Total kokon yang diuji adalah dari proses habituasi sampai domestikasi (F1 – F3) sebanyak (80 x 2 x 3 = 480 ) kokon. Analisis yang digunakan pada percobaan ketiga ini adalah kualitas kokon ( bentuk kokon, bobot kokon, persentase kulit kokon) dan kualitas filamen (panjang filamen dan berat filamen).
3.5. Tahapan Pelaksanaan Penelitian 3.5.1. Tahap Persiapan Sebagai tahap awal penelitian ini
dimulai dari
penyediaan tanaman pakan,
ruangan, alat dan tempat pemeliharaan, sterilisasi alat dan tempat pemeliharaan di kandang pemeliharaan peternakan ulat sutera IPB Sukamantri Bogor dan pengambilan ulat sutera liar Attacus atlas dari peternakan ulat sutera Desa Cisomang Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta.
31
3.5.2
Proses habituasi Proses habituasi adalah proses penyesuaian pada kondisi dalam ruangan. Larva
instar pertama Attacus atlas yang diambil dari peternakan ulat sutera Cisomang Darangdan Kabupaten Purwakarta yang biasanya diletakkan di pohon, dipelihara dalam ruangan yang ditutupi dengan sungkup kasa sampai mendapatkan generasi pertama (F1). Proses habituasi dilanjutkan terus dari hasil F1 sampai F2 (dilakukan pada percobaan pertama).
3.5.3
Perlakuan Pada Percobaan Kedua
Respon perlakuan dengan pakan uji (sirsak dan teh) dimulai pada Attacus atlas generasi ketiga (F3), dengan tahapan pelaksanaan sebagai berikut : a. Perkawinan imago. Pupa yang telah berubah menjadi ngengat dari stok kultur (hasil habituasi), kemudian dikawinkan pada kandang serangga/ngengat dengan perbandingan 1 ekor jantan dan 1 ekor betina. Telur-telur hasil perkawinan dikumpulkan dalam cawan petri, kemudian dicuci dengan larutan formalin 4 %, tujuannya adalah untuk melepaskan cairan yang melekat pada telur dan menghindari telur dari penyakit. b. Seleksi telur. Telur-telur yang telah dicuci dan terlepas dari ikatan lendir yang menyatukannya, kemudian diseleksi di laboratorium dengan menggunakan mikroskop binokuler. Dipilih telur-telur yang berbentuk oval dan tidak mengempis, kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri dan ditetaskan pada suhu kamar dengan kelembaban yang cukup. Dalam usaha menjaga kelembaban pada tengah hari dapat dilakukan dengan penyemprotan air pada kertas pelembab.
32
Tahap ini dilakukan pencatatan untuk jumlah telur yang diinkubasikan, masa inkubasi sampai telur menetas, serta jumlah telur yang menetas. c. Setelah telur menetas, larva awal instar 1 ditimbang, dimasukkan daun pakan yang masih muda ke dalam wadah pemeliharaan sehingga larva berpindah ke daun, dengan menggunting daun di sekitar tempat larva tersebut, kemudian dipindahkan dalam wadah pemeliharaan yang telah diberi pakan daun. d. Larva instar pertama sampai instar ketiga diberikan daun muda dan setiap hari pakan diganti, sedangkan mulai instar keempat sampai instar enam diberikan daun agak tua, pakan diberikan tiga kali setiap hari (pagi, siang dan sore hari). e. Pakan yang diberikan dalam perlakuan masing-masing ditimbang terlebih dahulu untuk mendapatkan berat basah awal dari pakan. Daun diukur bahan keringnya dengan mengeringkan dalam oven dengan suhu 105 0C selama 24 jam. Setelah larva dibiarkan makan selama 24 jam, kemudian ditimbang berat feses dan sisa pakan, setelah itu diadakan pengeringan terhadap sisa pakan, diukur bahan kering sisa pakan dan bahan kering feses dari masing-masing perlakuan dengan mengeringkan sisa pakan dan feses dalam oven dengan suhu 105 0C selama 24 jam. Masing-masing perlakuan dibungkus dengan aluminium foil dan diberi label agar sampel tidak tertukar, kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat kering sisa pakan dan feses. f. Dicatat perilaku larva tiap instar serta masa ekdisis antar fase sampai larva memasuki fase pupa (pembentukan kokon). Kemudian tahapan berikutnya dilakukan pengujian kualitas kokon (yaitu jumlah kokon baik, kokon cacat, bobot
33
kokon, persentase kulit kokon) dan kualitas filamen (panjang filamen dan berat filamen) serta diamati mortalitas selama penelitian. g. Parameter yang diukur dan cara pengukuran (ISA, 1990). 1. Stadium, waktu perkembangan dalam satu siklus (mulai dari inkubasi telur sampai imago bertelur lagi). 2. Bobot badan setiap tahapan, bobot badan satu larva pada setiap tahapan instar. 3. Konsumsi pakan, jumlah pakan yang dimakan setiap periode instar dari setiap larva. 4. Daya cerna, presentase pakan yang dapat dimanfaatkan oleh larva. 5. Kualitas kokon, mutu kokon yaitu untuk mengetahui bentuk kokon, kokon normal dan kokon cacat, bobot kokon, % kulit kokon dan kualitas filamen (panjang filamen dan berat filamen) . Cara pengukuran. Adapun urutan dari tiap parameter tersebut sebagai berikut : a. Stadium dihitung mulai dari telur sampai imago. Lama instar dihitung dari mulai telur menetas (instar 1) atau ganti kulit (instar ke-2 – instar ke-6) sampai dengan istirahat/moulting (hari). b. Pertambahan bobot badan (PBB). PBB basah (gram) adalah bobot akhir instar bobot awal instar. c. Konsumsi bahan kering (gram), bahan kering pakan yang diberikan-bahan kering sisa pakan.
34
Kadar air pakan d. BK pakan yang diberikan = bobot basah x 1 - -----------------100 e. BK sisa pakan = sisa pakan setelah dikeringkan/dioven 1050C selama 24 jam. 100 f. Konsumsi bahan segar = BK konsumsi pakan x -----------------------1- KA pakan BK konsumsi pakan-BK feses g. Daya cerna (%)
=
-------------------------------- x 100 BK konsumsi pakan
BK feses = Bobot feses setelah dioven 105 0C selama 24 jam.
3.6. Kualitas Kokon 3.6.1. Uji Kualitas Kokon Kokon A. atlas yang telah terbentuk ditimbang bobot isi pupanya minimum 7 hari setelah mulai pembentukan kokon. Kurang dari waktu tersebut filamen belum terbentuk sempurna dan tidak perlu ditunggu hingga berakhirnya masa pupasi dengan munculnya imago. Kokon yang sudah tidak berisi pupa kokon/filamennya masih dapat proses. Cara pengukuran untuk menentukan kualitas kokon adalah sebagai berikut : 1. Bentuk kokon dilihat secara visual, antara kokon yang normal dan cacat Jumlah kokon cacat 2. Persentase Kokon cacat = --------------------------- x 100 % Jumlah total kokon
35
3. Bobot kokon segar ditimbang setiap kokon yang normal dengan pupanya. 4. Bobot kulit kokon adalah bobot kokon segar setelah dikeluarkan pupanya. Bobot kulit kokon 5. Persentase kulit kokon = ---------------------- x 100 % Bobot seluruh kokon 6. Panjang serat sutera adalah panjang benang yang digulung dari sebutir kokon. 7. Berat filamen yaitu ditimbang berat filamen dari sebutir kokon. Data hasil pengukuran dari setiap parameter pengujian kualitas kokon ini adalah untuk menentukan mutu kokon. Penentuan kokon ke dalam kelas mutu kokon dilakukan dengan uji visual dan uji laboratorium. Parameter uji visual (bentuk kokon, bobot kokon dan persentase kulit kokon). Sedangkan uji laboratorium yaitu panjang filamen dan berat filamen. Untuk menentukan kualitas kokon dan kualitas filamen, digunakan modifikasi dari kriteria kualitas kokon yang sering dilakukan pada Bombyx mori, karena dii Indonesia belum ada standar Nasional untuk kriteria kualitas kokon pada ulat sutera liar.
3.6.2. Uji Visual Klasifikasi mutu kokon yang dimodifikasi dari kriteria kualitas kokon Bombyx mori. Tabel 2. Klasifikasi Kokon Berdasarkan Kokon Cacat (Saleh, 2000; Moerdoko, 2002) Nomor
Kokon Cacat (%)
Kelas Mutu (grade)
1
〈1
A
2
1,1-4
B
3
4,1-8
C
4
〉8
D
36
Dari hasil tabel ini, apabila jumlah kokon yang diuji terdapat kokon cacat kurang dari 1 %, maka dapat dikatakan kokon tersebut masuk kelas mutu (Grade) A. Tabel 3. Klasifikasi Berdasarkan Bobot Kokon (Saleh,2000 ; Moerdoko, 2002) Nomor
Bobot Kokon (g)
Kelas Mutu (grade)
1
〉 10
A
2
8-9,9
B
3
7-7,9
C
4
〈 7
D
Tabel 4. Klasifikasi Kulit kokon (Saleh, 2000; Moerdoko, 2002) Nomor
Bobot Kulit Kokon
Kelas Mutu (grade)
1
〉 2
A
2
1,5-1,9
B
3
1-1,4
C
4
〈 0,9
D
Tabel 5. Klasifikasi Prosentase Kulit Kokon (Saleh, 2000 ; Moerdoko, 2002) Nomor
% Kulit Kokon
1
〉 25
A
2
20-24,9
B
3
15-19,9
C
4
〈 14,9
D
37
Kelas Mutu (grade)
Untuk menentukan kelas kokon digunakan langkah-langkah sebagai berikut ; misalkan : a. Bobot kokon rata-rata setelah ditimbang 1,8 gram, berarti masuk kelas B. b. Prosentase kulit kokon rata-rata 20 %, masuk kelas B. c. Prosentase kokon cacat rata-rata 15 %, masuk kelas C. d. Kelas akhir merupakan kelas terendah dari hasil yang didapatkan dari tiga parameter tersebut. Kerena kelas terendah adalah kelas C, yaitu prosentase kokon cacat, maka kesimpulannya adalah kualitas kokon tersebut masuk kelas C. Penentuan kokon ini dapat dikembangkan, dengan mengaitkan harga/kg dari kokon.
3.6.3
Uji laboratorium (Panjang filamen dan berat filamen )
Uji laboratorium, sampai saat ini di Indonesia belum ada sarana dan prasarana untuk mengadakan pengujian dengan alat yang modern, yang digunakan hanya sebatas untuk mengetahui panjang filamen dengan menggunakan “hand spund” (alat pemintal tradisional). Pengujian panjang filamen dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : persiapan bahan, penyortiran, pemasakan, pencucian, pemerasan, pengeringan dan penyeratan benang. Dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Persiapan bahan : Disiapkan (Kokon, soda kaustik (NaOH), sabun netral (cap tangan/kunci, teepol (deterjen), air.. b. Penyortiran dan penimbangan: sebelum proses pemasakan, kokon harus dibersihkan dari sisa-sisa kotoran yang ada pada kokon, kemudian kokon tersebut ditimbang, demikian pula dengan bahan lain yang akan digunakan. c. Pemasakan. Disiapkan Resep Pemasakan sutera, yaitu :
38
Plot 1: 20, artinya (1 gram kokon 20 ml air) : Sabun netral (cap tangan) : 15 : 20 g/l, Soda kaustik (NaOH) : 2 cc/l, Suhu (sampai mendidih), Waktu : 1 jam. Prosedurnya adalah : Bahan ditimbang (kokon, sabun dan soda), diisi bak celup dengan air plot, kokon dimasukkan ke dalam bak celup, kemudian proses pemasakan.
Proses pemasakan
tujuannya adalah untuk menghilangkan serisin yang terdapat pada kokon, setelah itu kokon dikeluarkan untuk dicuci. Proses pencucian dilakukan dengan bertahap, yaitu : air panas, air hangat kemudian dengan air dingin, selanjutnya kokon tersebut disimpan di atas saringan. Setelah itu proses pemerasan barulah dipintal satu persatu memakai hand spund (alat pemintal tradisional.) Tahapan pengolahan benang dari kokon, yaitu dimulai dari persiapan bahan (kokon, soda kaustik/NaOH, sabun netral, teepol/deterjen dan air), kemudian dilanjutkan dengan penyortiran, penimbangan bahan, pemasakan/perebusan kokon, pencucian, penyeratan benang pada setiap butir kokon, pengeringan benang sampai proses pemintalan ditentukan dengan metode sederhana. Urutan prosesnya disajikan pada Gambar 3. Sutera
mengandung fibroin, serisin, lilin dan garam-garam mineral.
Serisinnya dihilangkan melalui proses pemasakan (degumming). Sebelum pemasakan, kokon harus dibersihkan terlebih dahulu dari sisa-sisa kotoran yang ada pada kokon, kemudian kokon dan bahan-bahan yang akan digunakan ditimbang. Proses pemasakan (degumming) tersebut bertujuan untuk menghilangkan serisin yang terdapat pada kokon, setelah itu kokon dikeluarkan untuk dicuci. Proses pencucian dilakukan dengan bertahap, yaitu : air panas, air hangat kemudian dengan air dingin. Selanjutnya kokon tersebut disimpan di atas saringan (ditiriskan). Setelah itu proses pemerasan barulah dipintal satu persatu dengan alat pemintal tradisional (hand spund).
39
3.7. Prosedur Pengolahan Kokon A. atlas dan Hasilnya Menjadi Benang Dengan menggunakan “Hand Spund” (Alat pemintal ), kokon Attacus atlas dapat diolah menjadi benang. Prosedur pengolahan kokon menjadi benang dapat dilihat pada Gambar 3. Persiapan Bahan
Penyortiran
Penimbangan
Pemasakan
Pencucian
Penyeratan Benang
Pengeringan
Pemintalan
Gambar 3 Prosedur dan Hasil Pengolahan Kokon A. atlas
40
Hasil dari proses degumming (pemasakan) dari kokon berupa filamen yang lembut dan dapat diurai dengan baik. Hal ini disebabkan zat perekat berupa serisin yang terdapat pada setiap filamen kokon telah dihilangkan, sehingga benangnya dapat terurai dan tidak putus-putus pada saat penyeratan benang atau proses pemintalan. Filamen serat sutera Attacus atlas seringkali putus, hal ini disebabkan kokon dari Attacus atlas telah berlubang. Hasil uji laboratorium untuk mengukur panjang filamen dan berat filamen dapat dilihat pada Tabel 24 dan 26. Namun sampai saat ini di Indonesia belum ada sarana dan prasarana untuk mengukur panjang filamen memakai alat yang lebih modern, karena selama ini hanya menggunakan “ Hand spun”.
3.8. Analisa data Data yang diperoleh dari pengamatan dianalisis dengan menggunakan metode sidik ragam (Anova). Apabila diperoleh pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji lanjut jarak berganda (Steel and Torrie, 1993). Dengan Model matematis :
=
µ + ti + Σij
Xij
=
X perlakuan ke-i, ulangan ke-j
µ
=
rataan umum
ti
=
Perlakukan ke-i
Σij
=
Error (galat) perlakuan ke-i, ulangan ke-j
Xij Dimana :
41
BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh
4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua macam pakan daun sirsak dan teh, telah terjadi perubahan tingkah laku dari alam dan di ruangan (Tabel 6). Tabel 6. Perubahan tingkah laku A. atlas dari alam dan di ruangan _______________________________________________________________ Karakteristik di alam
Karakteristik di ruangan
_______________________________________________________________ - Sangat aktif & selalu berpindah
- Lebih tenang
tempat - Siklus hidupnya panjang
- Siklus hidupnya pendek
- Produksi telur rendah
- Produksi telur tinggi
Berdasarkan Tabel 6 dapat dijelaskan bahwa terjadi perubahan tingkah laku dari liar di alam menjadi tenang dalam ruangan. Selama proses habituasi berlangsung (F1-F2) A. atlas dapat beradaptasi dengan kondisi dalam ruangan, sehingga tampak terjadi perubahan tingkah laku, yaitu larva lebih tenang, imago tidak terbang jauh, dapat menkonsumsi dan memanfaatkan pakan dengan baik, proses oogenesis dan embriogenesis menjadi cepat dan siklus hidupnya menjadi lebih pendek. Berdasarkan hasil pengamatan selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian pakan daun sirsak dan teh dalam ruangan, menunjukkan keberhasilan hidup (100 %), jumlah telur yang banyak dan kualitas kokon yang baik (Tabel 13).
42
Di alam cuaca sering berfluktuatif dengan kisaran suhu di bawah 20 0C dan di atas 30 0C. Kondisi ini yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas ulat sutera liar Attacus atlas. Pada tahap larva aktifitas kehidupan jadi terganggu dam kesehatannya jadi memburuk, suhu di atas 30 0C mengakibatkan pakan cepat layu, larva tercekam dan tidak bisa menkonsumsi pakan dengan baik, sehingga mengganggu pertumbuhan ulat sutera. Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan mikrobia patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada ulat sutera. Bila kelembaban dan suhu berubah secara ekstrim maka akan menyebabkan ulat sutera tidak bisa beradaptasi, sehingga kesehatan ulat sutera menjadi buruk. Di dalam ruangan/laboratorium suhu berkisar antara 20 0C-29 0C. Masing-masing fase perkembangan mempunyai suhu optimal yang berbeda-beda. Masa inkubasi telur dan ulat kecil (instar 1-3) kisaran suhu berkisar antara 22 0C-24 0C, karena pada tahapan instar ini larva masih peka terhadap rangsangan sinar matahari secara langsung yang dapat mengganggu kulit/tubuh larva . Ulat besar (instar 4-6) suhunya berkisar antara 2429 0C dengan kelembaban 68-70 %, tahapan ini aktivitas fisiologis ulat sutera menuju pematangan larva, pola makan secara teratur dan pembentukan protein sutera dengan serat-seratnya. Masa pupasi berada pada kisaran suhu 26-29 0C. Jika suhu di bawah 26 0
C atau kelembaban yang tinggi, menyebabkan kemunculan imago menjadi cacat,
sayapnya kerdil dan tidak mengembang, sehingga tidak bisa melakukan aktivitas lainnya seperti tidak bisa terbang dan berkopulasi, masa pupasinya menjadi lambat.
43
4.2. Proses Habituasi dan Domestikasi A. Atlas (F1-F2) Pada Pakan Daun Sirsak Hasil pengamatan selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2), dari 160 ekor larva yang dipelihara diambil 250 butir telur dari 3 ekor betina yang selalu dikawinkan, kemudian ditetaskan dan dipelihara pada pakan daun sirsak, dapat dijelaskan sebagai berikut : Total waktu yang diperlukan A. atlas yang diberikan pakan daun sirsak untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu F1 : 64-88 hari dengan rataan 76,0 ± 8,14 hari (Tabel 7) Tabel 7. Daur Hidup Habituasi F1 Pada Daun Sirsak (n = 80).
Lamanya waktu (hari) Stadium _________________________________________________ Kisaran Rata-rata ________________________________________________________ 1. Inkubasi telur 10-12 11,40 ± 0,89 2. Larva 34-47 39,55 ± 4,38 a) Instar 1 5-8 6,20 ± 1,06 b) Instar 2 5-7 5,85 ± 0,59 c) Instar 3 4-6 5,10 ± 0,64 d) Instar 4 4-6 4,75 ± 0,64 e) Instar 5 6-8 6,55 ± 0,60 f) Instar 6 10-12 11,0 0± 0,85 3. Munculnya Imago 20-29 a) Jantan 20-28 23,33 ± 3,06 b) Betina 27-29 28,0 0± 0,71 ___________________________________________________________ • Lamanya umur imago jantan 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari
Setelah hasil dari F1 kemudian dilanjutkan dengan proses pemeliharaan pada generasi kedua (F2), total waktu yang diperlukan Attacus atlas yang diberikan pakan daun sirsak untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya pada F2 ini, yaitu mulai dari telur
44
sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu 56-76 hari dengan rataan 66,0 ± 6,72 hari (Tabel 8). Tabel 8. Daur Hidup Habituasi F2 Pada Daun Sirsak (n= 80) Lamanya waktu (hari) Stadium _________________________________________________ Kisaran Rata-rata ________________________________________________________ 1. Inkubasi telur 6-8 7,25± 0,96 2. Larva 30-40 33,95± 4,12 a) Instar 1 4-6 4,90± 0,79 b) Instar 2 4-6 4,70± 0,73 c) Instar 3 4-5 4,60 ± 0,50 d) Instar 4 4-5 4,65 ± 0,49 e) Instar 5 6-8 6,90 ±0,72 f) Instar 6 8-10 8.20 ± 0.89 3. Munculnya Imago 20-28 • a) Jantan 20-24 23,33 ± 0,58 b) Betina 23-28 24,74 ±2,22 ___________________________________________________________ • Lamanya umur imago jantan 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari 4.3. Proses Habituasi dan Domestikasi A. atlas (F1-F2) Pada Pakan Daun Teh Dari 160 ekor larva yang dipelihara diambil 250 butir telur dari 3 ekor betina yang telah dikawinkan, kemudian ditetaskan dan dipelihara pada pakan daun teh, didapatkan bahwa total waktu yang diperlukan A. atlas dengan pemberian pakan daun teh untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, yaitu mulai dari telur sampai imago bertelur lagi untuk generasi pertama (F1) memerlukan waktu 63-82 hari dengan rataan 72,5 ± 7,48 hari (Tabel 9).
45
Tabel 9. Daur Hidup Habituasi F1 Pada Pakan Teh (n=80) ________________________________________________________ Lamanya waktu (hari) Stadium _________________________________________________ Kisaran Rata-rata ________________________________________________________ 1. Inkubasi telur 10-12 11,0± 0,82 2. Larva 33-44 38,75± 4,29 a) Instar 1 4-6 5,20± 0,62 b) Instar 2 4-6 5,05± 0,69 c) Instar 3 4-6 4,90 ± 0,72 d) Instar 4 4-6 5,15 ± 0,67 e) Instar 5 7-8 7,75± 0,79 f) Instar 6 10-12 10,7 ± 0,83 3. Munculnya Imago 20-26 • a) Jantan 20-25 21,33 ± 1,53 b) Betina 23-26 25,0 ± 1,41 ___________________________________________________________ • Lamanya umur imago jantan 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari Setelah hasil dari F1 dilanjutkan pemeliharaan pada generasi kedua (F2), yaitu diambil dari 5 ekor betina yang telah dikawinkan, dari 250 butir telur ditetaskan hanya 160 ekor. Total perkembangan 56-74 hari dengan rataan 65,0 ± 8,19 hari (Tabel 10). Tabel 10. Daur Hidup Habituasi F2 Pada Pakan Daun Teh _______________________________________________________ Lamanya waktu (hari) Stadium _________________________________________________ Kisaran Rata-rata ________________________________________________________ 1. Inkubasi telur 6-8 6,75± 0,96 2. Larva 30-39 33,80± 3,69 a) Instar 1 4-6 4,65± 0,81 b) Instar 2 4-5 4,50± 0,51 c) Instar 3 4-5 4,40 ± 0,50 d) Instar 4 4-5 4,55 ± 0,51 e) Instar 5 6-8 7,3 ±0,86 f) Instar 6 8-10 8,40 ± 0,50 3. Munculnya Imago 20-27• a) Jantan 20-24 22,20 ± 1,77 b) Betina 20-27 22,67 ± 1,71 ___________________________________________________________ • Lamanya umur imago jantan 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari 46
Selama proses habituasi (F1-F2) dari bulan Februari 2006-Juli 2006, kondisi suhu dan kelembaban di lokasi penelitian disajikan pada tabel 11. Tabel 11. Kisaran Suhu dan Kelembaban Selama Proses Habituasi (F1-F2) ____________________________________________________________________ Bulan Kisaran Suhu Rata-rata Kelembaban Rata-rata (0C) (0C) (%) (%) ____________________________________________________________________ Pebruari 20-24 23,08 87-96 88,53 Maret 21-26 24,83 72-95 85,74 April 22-27 25,09 70-92 84,52 Mei 22-27 25,39 63-88 78,50 Juni 23-28 26,58 60-80 70,91 Juli 23-29 26,77 60-78 71,75 ___________________________________________________________________ Proses habituasi (F1-F2) pada masing-masing fase perkembangan, dipelihara pada ruangan dan kisaran suhu yang berbeda. Masa inkubasi telur 22 0C-24 0C, ulat kecil (instar 1-3) dan ulat besar (instar 4-6) pada kisaran suhu ruang 24 0C-29 0C, Masa pupasi dan perkawinan imago 26 0C-29 0C.
47
4.4. Ciri morfologi Attacus atlas ( Lepidoptera : Saturniidae) dan Perilakunya 4.4.1. Imago Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah salah satu jenis serangga yang merupakan ngengat terbesar dan atraktif dari ordo Lepidoptera. Serangga ini hidup secara liar di alam,
Attacus atlas memiliki sayap berwarna menyolok dengan fenestrata
transparan dan bintik seperti mata besar, bentangan sayapnya bisa mencapai 25 cm, memiliki tuberkel (duri) di bagian dorsal. Keluarnya ngengat dari dalam kokon berlangsung pada malam hingga pagi hari, antara pukul 21.00 hingga sekitar pukul 09.00. Imago keluar melalui lubang di ujung anterior kokon, yang telah terbentuk saat pembuatan kokon. Imago yang baru keluar dari kokon biasanya masih basah oleh suatu cairan yang berwarna putih keruh, sayap belum terbentuk sempurna. Imago yang baru keluar ini akan segera mencari ranting, atau dahan dan akan mengambil posisi menggantung dengan abdomen berada di bawah, sehingga mudah mengembangkan sayapnya. Setelah beberapa saat sayap akan mulai mengembang. Sayap yang baru mengembang ini kondisinya masih lemah dan belum dapat digunakan untuk terbang. Sayap yang telah mengembang sempurna beberapa jam kemudian akan segera mengeras dan cukup kuat digunakan untuk terbang. Imago yang keluar dari kokon akan berada di sekitar kokon hingga matahari terbit. Imago ini bila tidak terganggu akan aktif terbang pada sore menjelang malam. Imago ini bila terganggu akan mengeluarkan cairan berwarna putih dari anusnya.
48
Gambar 4. Imago Attacus atlas Imago jantan dan betina dapat dibedakan berdasarkan bentuk antenanya. Imago jantan mempunyai bulu-bulu antena yang panjang dan lebar, sedangkan imago betina mempunyai bulu-bulu yang pendek dan lebih kecil. Warna antena coklat kemerahan, tubuh imago betina biasanya lebih besar dari imago jantan. Proses perkawinan dimulai saat imago betina mengeluarkan semacam zat pemikat lawan jenis yang disebut pheromone. Ngengat jantan yang cara mendeteksi adanya pheromone dengan antena yang panjang dan melebar akan segera mencari dan mendatangi imago betina. Perkawinan akan berlangsung selama sehari penuh dari dinihari hingga menjelang malam hari. Setelah melakukan perkawinan, imago betina akan segera bertelur. Imago betina akan meletakkan telurnya berjajar di bawah daun dan kadang-kadang ada yang diranting, wadah pemeliharaan, dan tempat lain yang dianggap cocok. Imago betina yang tidak melakukan perkawinan tetap akan bertelur dengan pola peletakan telur yang sama. Selama proses habituasi dan domestikasi A. atlas (F1-F3), imago betina mampu menghasilkan telur sebanyak 100 sampai 362 butir.
49
4.4.2. Telur Telur dihasilkan oleh imago betina baik yang telah kawin maupun yang tidak. Telur yang dapat menetas menjadi larva adalah telur yang telah dibuahi. Imago betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur steril yang tidak menetas menjadi larva. Ciri-ciri telur A. atlas secara umum berwarna putih kehijauan, bentuk oval agak gepeng dengan ukuran panjang 2,5-2,7 mm, lebar 2,1-2,3 mm dan tinggi 2,1 mm. Telur yang baru keluar dari imago betina biasanya dilindungi oleh suatu cairan berwarna kemerahan hingga coklat. Cairan ini bersifat lengket ketika basah yang berfungsi untuk melekatkan telur pada substrat. Cairan ini disekresi oleh imago betina bersamaan dengan keluarnya telur. Induk betina biasanya meletakkan telurnya di daun, ranting, wadah pemeliharaan, dan tempat lain yang cocok (Gambar 5).
Gambar 5. Bentuk telur yang diletakkan pada wadah pemeliharaan
50
Penetasan telur biasanya berlangsung pada pagi hari antara pukul 05.00 hingga sekitar 9.30 pagi. Masa bertelur 2 sampai 10 hari, yang diletakkan secara berkelompok. Setelah masa inkubasi telur antara 10 sampai 12 hari, telur mulai menetas menjadi larva. Larva-larva ini menggunakan sisa kulit telurnya sebagai makanan pertama ketika baru menetas, sebelum menggunakan daun sebagai makanan utamanya.
4.4.3. Larva Pada tahap larva, A. atlas memiliki 6 tahapan instar. Pada setiap instar, ciri-ciri, ukuran dan perilaku larva berbeda sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan larva. Pergantian masa instar ditandai dengan pergantian kulit (molting). Instar pertama dimulai saat larva menetas dari telur hingga pergantian kulit yang pertama. Pergantian kulit pada larva menandai pergantian masa instar, demikian selanjutnya sampai instar keenam. Pada instar keenam diakhiri saat larva mulai merajut kokon untuk selanjutnya memasuki periode pupa. Pergantian kulit pada tahap larva sangat diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan larva, karena kulit dari zat kitin telah mengeras dan tidak mungkin lagi untuk tumbuh dan mengembang. Pada akhir instar, kulit ini harus dilepaskan dan diganti yang baru untuk melangsungkan pertumbuhan dan perkembangan larva. Pergantian kulit dilakukan pada saat pertumbuhan larva telah mencapai maksimal yang ditandai dengan larva tidak aktif makan dan banyak berdiam diri dengan menggulungkan kepalanya membentuk huruf C atau J. Kondisi ini berlangsung kurang lebih selama 6-24 jam hingga terjadi pergantian kulit. Pergantian kulit terjadi pada seluruh lapisan kutikula dinding tubuh, kepala, dan lapisan-lapisan kutikula trakea, usus
51
depan dan usus belakang yang dilakukan dalam bentuk potongan-potongan melalui anusnya (Borror, 1992). Larva yang selesai melakukan pergantian kulit akan diam sebentar dan sesaat kemudian larva akan memakan sebagian eksuvalennya. Kulit yang baru terbentuk tidak tertutup oleh bubuk putih. Bubuk putih ini akan semakin menebal dengan bertambahnya umur tiap instar. Aktivitas makan larva akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur instar larva.
4.4.3.1 Larva instar pertama Larva yang baru menetas panjangnya rata-rata 0,5-0,9 cm (rataan dari 4 ekor larva ) (Gambar 6). Kepala berwarna hitam, bagian dorsal tubuh terdapat scolus berwarna kuning pucat tanpa bubuk putih dan bagian ventral larva hitam kehijauan.
Daun sirsak larva A. atlas
Gambar 6. Larva instar 1 yang diletakkan pada daun Larva yang baru menetas akan memakan sebagian dari sisa kulit telurnya sebelum memakan daun. Larva segera aktif untuk mencari makan dan tempat yang cocok untuk
52
berlindung. Larva biasanya berlindung di bawah daun untuk menghindari sinar matahari secara langsung. Setelah memakan sisa kulit telurnya, beberapa saat kemudian larva mulai memilih daun-daun yang muda dan memakan di bagian tepi daun. Ketersediaan daun-daun muda sangat diperlukan pada instar awal, pemeliharaan larva instar 1 harus mendapatkan perhatian yang lebih, terutama terhadap predator, pengaruh lingkungan fisik, cuaca, pakan, karena pada instar awal ini larva sangat rentan terhadap kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Ukuran larva instar 1 menjelang molting antara 1-1,3 cm, warnanya menjadi kuning pucat dan menjadi kurang aktif bergerak. Molting dapat berlangsung beberapa menit dengan gerakan ke kiri dan ke kanan, mengangkat dan menurunkan kepalanya hingga kulit bagian prothoraks robek dan segera melepaskan kulit kepala serta seluruh bagian tubuh lainnya. Setelah kulitnya terkelupas, larva akan berdiam sebentar untuk menguatkan kulit sebelum memakan eksuvalennya.
4.4.3.2. Larva instar kedua Setelah mengalami pergantian kulit yang pertama, larva mulai memasuki instar kedua. Pada awal instar 2 ini, panjang larva rata-rata 1,31 cm dan mencapai 1,7 cm di akhir instar 2. Instar 2 scolus mulai tertutup bubuk putih, kepala berwarna kecoklatan, dan bagian ventral larva masih berwarna hijau gelap. Terdapat bercak merah di lateral segmen ke 3, 4 dan 8-10. Dengan bertambahnya umur larva, bubuk putih semakin menebal dan mendominasi warna larva (Gambar 7). Kecepatan memakan daun pada
53
instar 2 lebih cepat bila dibandingkan instar 1, sehingga daun-daun yang termakan pun lebih banyak.
Gambar 7. Larva Attacus atlas instar 2 Aktivitas makanpun semakin meningkat, sesuai dengan meningkatnya kebutuhan metabolisme larva. Beberapa saat setelah larva aktif makan, larva akan beristirahat, larva kembali meneruskan aktivitas makannya. Perilaku ini biasanya dialami
pada instar-
instar awal (instar 1 dan 2)
4.4.3.4 Larva instar ketiga Ciri morfologi larva instar 3 hampir sama dengan larva instar 2, hanya ukuran tubuh semakin besar dan panjang. Panjang larva instar 3 berkisar antara 1,71 -3 cm, bubuk putih dan bercak merah di bagian lateral segmen mendominasi warna larva, kepala berwarna merah kecoklatan (Gambar 8). Menjelang molting mencapai 3,5-3,8 cm.
Gambar 8. Larva Attacus atlas instar 3
54
4.4.3.5 Larva Instar keempat Larva instar 4 ditandai dengan pergantian kulit yang ketiga. Pada awal instar 4 panjang larva mencapai 3,81 cm (dari 1 ekor larva). Ciri morfologi larva instar 4 berbeda dengan instar-instar sebelumnya. Setelah berganti kulit, kepala berwarna kehijauan, bercak merah di bagian lateral segmen 3, 4 dan 8-10 warnanya memudar menjadi agak kekuningan (Gambar 9). Pada akhir instar bercak ini hampir tidak kelihatan. Warna kepala akan berubah menjadi kekuningan seiring dengan perkembangan larva, pada awal instar warna bagian dorsal dan ventral larva hijau kebiruan, dan di akhir instar bagian dorsal tertutupi oleh bubuk putih. Panjang tubuh larva di akhir instar dapat mencapai 5,5 cm (dari 1 ekor larva). Perbedaan antara awal dan akhir instar terlihat pada ukuran tubuh yang semakin gemuk dan kokoh. Pada larva instar 4 ini, aktivitas makan larva lebih meningkat bila dibandingkan dengan instar sebelumnya. Larva mampu makan daun-daun yang telah tua dengan pola makan mulai teratur yaitu makan daun di bagian pangkal sampai ke ujung dan menyisakan ibu tulang daun. Larva makan dan tidak mengenal waktu, pada pagi hari, siang dan malam hari, baik hujan, maupun panas.
Gambar 7. Larva Attacus atlas instar IV Gambar 9 Larva Attacus atlas Instar 4
55
4.4.3.6 Larva Instar kelima Ciri morfologi larva instar 5 hampir sama dengan larva instar 4. Hal yang membedakan adalah ukuran tubuh yang semakin besar, gemuk dan kokoh. Ukuran panjang tubuh larva instar 5 antara 5,51-8 cm (rataan dari 4 ekor larva). Pertambahan ukuran tubuh larva instar 5 terlihat sangat nyata. Seiring dengan kecepatan larva menkonsumsi pakan daun sirsak maupun daun teh. Larva mampu menghabiskan seluruh bagian daun kecuali ibu tulang daunnya, baik daun yang muda maupun daun yang sudah tua. Pola makan larva instar 5 sudah teratur, yaitu dengan memakan daun setengah bagian dan di kiri atau di kanan ibu tulang daun, dari pangkal hingga ke ujung daun (Gambar 10). Aktivitas makan larva berlangsung terus menerus sepanjang hari yang diikuti dengan periode istirahat beberapa saat. Pada periode ini pengaruh lingkungan terhadap larva relatif kecil, karena perilaku larva tidak menunjukkan hal-hal yang lain dari biasanya. Hal ini kemungkinan karena larva sudah beradaptasi secara baik terhadap kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Perubahan lingkungan yang tidak ekstrim akan memberikan pengaruh yang kecil terhadap metabolisme larva.
Gambar 10 Larva Attacus atlas instar 5
56
4.4.3.7 Larva instar Keenam Larva instar 6 merupakan tahapan terakhir stadium larva. Larva instar 6 ini memiliki ciriciri : ukuran tubuh relatif sangat besar, gemuk dan kokoh, panjang tubuh mencapai 8.1-12 cm (rataan dari 4 ekor larva) (Gambar 11).
Gambar 11 Larva Attacus. atlas instar 6 Pada awal instar tubuh berwarna hijau cerah dengan bintik-bintik berwarna hitam di bagian dorsal thoraks dan di sekitar anal. Gerakan larva terlihat lamban karena tubuh yang gemuk dan kokoh. Aktivitas makan larva sangat tinggi, dikarenakan larva instar 6 merupakan periode terakhir untuk memperoleh makanan sebagai cadangan energi pada stadium pupa. Menjelang berakhirnya larva instar 6, tubuh dominan berwarna putih di bagian dorsal, hijau kekuningan di bagian ventral dan lateral. Larva menjadi kurang aktif makan dan aktif berjalan-jalan dari dan ke daun atau ke sudut mencari tempat yang tepat untuk membuat kokon. Kondisi ini diawali ketika larva masih aktif makan, tetapi feses yang dikeluarkan bersifat encer atau diare. Beberapa saat kemudian larva menjadi kurang aktif makan. Larva instar 6 biasanya memilih daun sebagai tempat melekatkan kokon yang aman. Larva yang telah menemukan daun yang cocok akan segera merajut kokon pada
57
daun tersebut. Larva instar 6 membuat kokon dengan menggunakan cairan sutera yang akan segera mengering. Pada saat merajut kokon sudah tidak memakan daun, aktivitas sepenuhnya digunakan untuk membuat kokon.
4.3.4
Pembentukan kokon dan Pupa Pembentukan kokon (Gambar 12), dimulai ketika larva instar 6 mulai
mengeluarkan cairan sutera yang dilekatkan pada wadah pemeliharaan atau pada daun, yang akan digunakan untuk melekatkan kokon. Serat-serat yang terbentuk ini berfungsi untuk menguatkan daun agar tidak jatuh ketika daun sudah tua dan mengering. Setelah menguatkan agar tidak mudah jatuh, larva akan meneruskan pembuatan kokon pada daun tersebut. Pembentukan kokon ini dilakukan larva hingga terbentuk kokon sempurna. Larva akan membentuk kokon dengan memanfaatkan daun sebagai tempat melekatkan kokonnya. Biasanya daun dilipat bagian ujung dan tepi daun, dan dihubungkan dengan serat-serat sutera sehingga akan terbentuk suatu rongga tempat pupa. Bagian kokon yang menghadap ke atas biasanya terdapat lubang sebagai tempat keluar imago. Posisi larva sebelum berubah menjadi pupa biasanya dengan kepala ada di bagian atas, sehingga pada saat pupa calon kepala imago berada di atas, posisi ini akan menguntungkan ketika imago keluar dari kokon. Pembentukan kokon biasanya dimulai pada sore hari. Larva akan tertutup seluruhnya kurang dari 6 jam. Larva yang telah tertutup ini masih terus merajut kokon hingga kokon tersebut terbentuk sempurna. Hal ini terlihat pada kokon yang masih tipis. Setelah kokon tersebut sempurna larva akan berdiam diri beberapa saat kemudian mempersiapkan metamorfosa dari larva menjadi pupa. Kokon yang di dalamnya masih
58
terbentuk larva atau sudah menjadi pupa dapat diketahui dengan menggoyang-goyangkan kokon. Apabila isi dalam kokon tidak dapat bergeser berarti isi di dalam kokon masih berwujud larva, dan apabila isi kokon tersebut bergeser, dan terdapat rongga antar isi kokon dan kokon berarti larva telah berubah menjadi pupa. Larva instar 6 akan membuat kokon sesuai dengan ukuran tubuhnya. Tahapan pupa merupakan stadium yang lemah. Keberadaan kokon sangat diperlukan untuk menjaga pupa dari gangguan luar. Selain itu kokon berfungsi untuk menjaga agar kondisi luar pupa (dalam kokon) tetap sesuai dan menjaga dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan pupa.
Gambar 12. Pembentukan Kokon Attacus atlas Kokon yang terbentuk sempurna berbentuk elips, ujungnya membulat, dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon berwarna coklat keemasan, kokon yang baru terbentuk masih agak lemah dan agak basah, oleh pengaruh sinar matahari dan gerakan angin, lama kelamaan akan lebih kuat dan lebih kering.
Daun sirsak
Kokon A. atlas
Gambar 13. Kokon Attacus atlas yang terletak pada daun
59
Tahap pupa merupakan tahapan yang paling penting dalam perkembangan metamorfosis dari larva menjadi imago. Dalam stadium ini terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago antara lain pembentukan sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Selama tahapan pupa tidak boleh terganggu agar proses organogenesis berlangsung sempurna. Apabila dalam proses ini terganggu maka akan menyebabkan kegagalan pembentukan organ dan kemungkinan besar akan menyebabkan kematian . Pupa Attacus atlas (Gambar 14 b) bertipe obteca yang berwarna coklat hingga coklat tua. Pada stadium ini sudah dapat diketahui jenis kelamin imago, yaitu dengan melihat bentuk dan ukuran calon antena imago. Calon-calon organ yang lain juga sudah dapat terlihat antara lain calon kepala, sayap dan abdomen. Pada saat ini calon organ tersebut masih dalam proses pembentukan organ. Kondisi lingkungan pupa sangat mempengaruhi perkembangan pupa. Pupa akan berkembang menjadi imago, sedangkan imago akan segera bertelur untuk meneruskan generasinya.
a b Gambar 14 a. Bentuk kulit kokon Attacus atlas b. Bentuk pupa Attacus atlas
60
4.5. PEMBAHASAN Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di lapangan oleh Situmorang (1996) pada tanaman keben (Baringtonia asiatica K.) dan mahoni (Sweetenia mahagoni) , Tjiptoro (1997) pada tanaman gempol (Nauclea orientalis L.), Widyarto (2001) pada tanaman dadap (Eryhrina lithospermata M.) dan Wahyudi (2000) pada tanaman mahoni, disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Keberhasilan hidup A. atlas pada dadap, gempol, mahoni, keben, sirsak & teh Jumlah larva (n= 100 ekor). ____________________________________________________________ Keberhasilan hidup (%) Peneliti _________________________________________________ Dadap Gempol Mahoni Keben Teh Sirsak ____________________________________________________________ Widyarto (2001) 19,17 44,58 Situmorang (1996) 10 10 Tjiptoro (1997) 44 Wahyudi (2000) 10 Ali Awan (2007) 100 100 _____________________________________________________________ Dari Tabel 12 dapat dijelaskan bahwa beberapa penelitian yang dilakukan di lapangan, menunjukkan hasil sebagai berikut : Situmorang (1996) yang memelihara A. atlas pada tanaman mahoni dan keben mengatakan bahwa dari 100 ekor larva yang dipelihara hanya 10 % yang berhasil, bobot kokon ada pupa antara 6,6-11,8 gram. Tjiptoro (1997) melaporkan bahwa dari 100 ekor larva yang dipelihara pada tanaman gempol yang berhasil 44 %, total perkembangan 73.308 hari. Widyarto (2001) yang memelihara pada tanaman dadap dari 100 ekor yang berhasil mencapai masa pupasi hanya 19,17 % dan 44,58 % pada tanaman gempol. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan hidup Attacus atlas yang dipelihara di ruangan/laboratorium lebih tinggi bila dibandingkan dengan di lapangan (Tabel 12).
61
Tabel 13. Keberhasilan Hidup Pada Berbagai Stadia A. atlas (F1-F2) pada pakan daun sirsak dan teh ______________________________________________________________________ Sirsak Teh Fase Perkembangan _____________________________________________________ F1 F2 F1 F2 Periode larva (%) 100 100 100 100 Masa Pupasi (%) 100 100 100 100 Munculnya Imago (%) 10 15 15 22,5 Imago Jantan (%) 3,75 5 5 8.75 Imago Betina (%) 6,25 10 10 13,75 Sex ratio (1:1,5) (1:1,6) (1:1,6) (1:1,6) Jumlah telur /ngengat (137,8±25,5) (165,8±9,32) 182,5±26,72) (193,8±29,28) ______________________________________________________________________ Berdasarkan Tabel 13, dari total 320 ekor larva A. atlas (F1-F2) selama proses habituasi dan domestikasi yang
dipelihara pada pakan daun sirsak dan teh, menunjukkan
keberhasilan hidup yang cukup tinggi. Keberhasilan hidup yang tinggi ini dapat dilihat dari periode larva yang 100 % mencapai masa pupasi, munculnya imago sebanyak 8 ekor (10 %) pada F1 meningkat menjadi 12 ekor (15 %) pada F2 untuk pakan sirsak. Sedangkan pada daun teh, munculnya imago 12 ekor (15 %) pada F1 meningkat menjadi 18 ekor (22,5 %) pada F2. Jumlah telur yang cukup banyak yaitu pada pakan daun sirsak, F1 : 137,8 butir/ngengat meningkat menjadi 165,8 butir/ngengat pada F2. Sedangkan pada pakan daun teh, F1 182,5 butir/ngengat meningkat menjadi
193,8 butir/ngengat
pada F2. Kemunculan imago dan produksi telur yang cukup tinggi di laboratorium, bila dibandingkan dengan di alam yang hanya 10 %. Keberhasilan hidup yang tinggi ini disebabkan terjadinya perubahan tingkah laku dari alam menjadi lebih tenang dalam ruangan dan A. atlas telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan kualitas pakan yang tersedia secara berkesinambungan. Selama proses habituasi dan domestikasi A. atlas
62
(F1-F2) dalam ruangan, menunjukkan tahapan perkembangan sebagai berikut (Gambar 15).
Gambar 15. Perkembangan Attacus atlas dalam Ruangan
63
Total perkembangan Attacus atlas yang dipelihara dalam ruangan pada pakan daun sirsak yaitu, F1 : 64-88 hari dengan rata-rata 76,0 ± 8,14 hari, F2 : 56-76 hari dengan rata-rata 66,0 ± 6,72 hari. Sedangkan pada pakan daun teh, F1 : 63-82 hari dengan rata-rata 72,5 ± 7,48 hari, F2 : 56-74 hari dengan rata-rata 65,0± 8,19 hari.
4.4.1. Masa Inkubasi telur Masa inkubasi telur sebagai tahap awal perkembangan Attacus atlas (F1-F2) pada pakan alami daun sirsak dan teh selama proses habituasi dan domestikasi disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Masa Inkubasi Telur A. atlas (F1-F2) proses Habituasi dan Domestikasi Jumlah telur (n = 500 butir) _________________________________________________________________ Lamanya masa inkubasi Telur ____________________________________________________ Pada generasi Pakan daun sirsak Pakan daun teh _________________________________________________________________ F1 (hari) 10-12 (11,40 ± 0,89)a 10-12 (11,00± 0,82)a F2 (hari) 6-8 (7,25± 0,96)b 6-8 (6,75 ± 0,96)b _________________________________________________________________
Ket : Superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
Dari data ini ternyata bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara F1 dengan F2
pada
pakan daun sirsak maupun pakan daun teh. Lamanya masa inkubasi pada F1 karena sebagai awal proses habituasi dimana cuaca dalam ruangan sangat mempengaruhi, menyebabkan proses embriogenesis menjadi lambat sehingga penetasan telur menjadi lama. Pada F2 telah beradaptasi dengan suhu dalam ruangan dimana suhu (22 0C-290C), kelembaban (68-70 %) sehingga proses oogenesis dan penetasan telur menjadi cepat.
64
4.4.2. Periode Larva Attacus atlas mengalami enam perkembangan instar, masing-masing instar memiliki kisaran hidup yang berbeda-beda. Instar lima dan enam memerlukan waktu yang cukup lama dan tampak berbeda nyata dengan instar satu sampai instar lainnya pada pakan daun sirsak maupun daun teh. Masa stadium larva A. atlas mulai dari proses habituasi dan domestikasi (F1-F2) disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Masa Stadium Larva A. atlas (F1-F2) Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh Jumlah Larva (n=160 ekor/larva)
Lamanya waktu (hari) Masa larva ________________________________________________ Pada generasi Daun sirsak Daun teh ________________________________________________________ 38,75± 4,29a F1 39,55 ± 4,38a F2 33,95 ± 4,12b 33,8 0± 3,69b ___________________________________________________________ Ket : Superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
Dari data ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara F1 dengan F2. Kisaran hidup larva cukup lama mulai pada F1, sedangkan pada F2 kisaran hidup menjadi lebih pendek. Hal ini disebabkan terjadi penyesuaian pada setiap tahapan instar dengan cuaca dan kelembaban dalam ruangan yang tetap stabil serta kelanjutan dari masa inkubasi telur pada F2 yang lebih cepat.
65
4.4.3. Masa Pupasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama periode pupa A. atlas pada pakan daun teh dan sirsak tampak berbeda, yaitu lama periode pupa pada F2 lebih pendek bila dibandingkan dengan F1. Selama perkembangan, didapatkan bahwa sebagian pupa A. atlas tidak berhasil menjadi imago. Akan tetapi terjadi peningkatan kemunculan imago yaitu 10 % (8 ekor) pada F1 meningkat menjadi 15 % (12 ekor) pada F2 dengan pemberian pakan sirsak. A. atlas yang diberikan pakan daun teh 11,25 % (9 ekor) pada F1 meningkat menjadi 18,75 % (15 ekor) pada F2 (Tabel 13). Mortalitas pra pupa biasanya berupa kegagalan larva instar ke-6 dalam membuat kokon. Larva instar enam yang telah siap berpupasi akan membuat kokon pelindung dirinya di permukaan atas ataupun di bawah daun, berdasar pertimbangan keamanan dan kenyamanan saat melewati masa-masa pupasi. Larva yang siap berpupasi tingkat kepekaan terhadap gangguan akan meningkat, jadi apabila larva mendapat gangguan akan menyebabkan terjadinya kegagalan dalam penyelesaian pembuatan kokon dan kegagalan mencapai tahap pupa dan imago.
4.4.4. Imago Ketika masa pupasi telah berakhir maka imago Attacus atlas akan muncul dari kokonnya, biasanya imago muncul dari kokon pada malam hari. Imago yang muncul dari kokon umurnya pendek dan tidak makan. Imago A. atlas biasanya istirahat pada siang hari (Peigler, 1989). Munculnya imago Attacus atlas dari generasi pertama (F1) sampai F3 pada imago jantan maupun betina tampak berbeda nyata pada pakan daun sirsak maupun pakan daun teh. Imago betina memerlukan waktu yang cukup lama bila
66
dibandingkan dengan imago jantan, hal ini disebabkan pada imago betina terjadi pembentukan telur (oogenesis). Tabel 16. Munculnya Imago A. atlas (F1-F2) pada Pakan Daun Sirsak dan Teh _____________________________________________________________ Lamanya waktu (hari) Generasi ___________________________________________________ Daun sirsak Daun teh _____________________________________________________________ F1 Betina 28,00 ± 0,71a 25,00 ± 1,41a F1 Jantan 23,33 ± 3,06b 21,33 ± 1,53b 22,25 ± 1,71a F2 Betina 24,75 ± 2,22a b F2 Jantan 23,33 ± 0,58 24,50 ± 4,80b _____________________________________________________________ Ket : Superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
4.4.5. Keperidian (Fecundity) Jumlah telur yang dihasilkan oleh imago betina yang diberi pakan daun teh dan sirsak disajikan pada Tabel 17. Keperidian (fecundity) imago A. atlas pada pakan daun teh mempunyai jumlah telur lebih banyak bila dibandingkan dengan imago A. atlas pada pakan daun sirsak. Tabel 17. Keperidian Imago A. atlas (F1-F2) pada Pakan Daun Sirsak dan Teh _________________________________________________________________ Jumlah telur (butir) Generasi ________________________________________________________ Daun sirsak Daun teh _________________________________________________________________ 182,50 ± 26,72 b F1 137,80 ± 25,15a a F2 165,80 ± 9,32 193,87 ± 29,28b _________________________________________________________________ Ket : Superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata Data yang ada mulai dari F1 sampai dengan F2, dapat dijelaskan bahwa siklus hidup pada generasi pertama (F1) pada sirsak maupun teh lebih panjang dibandingkan dengan F2.
67
Generasi kedua (F2) jumlah telurnya lebih banyak, hal ini disebabkan karena : Perubahan tingkah laku, lebih tenang, efisien dan produktif. Pemeliharaan A. atlas pada pakan daun sirsak maupun pakan daun teh di dalam ruangan menunjukkan tingkat keberhasilan hidup yang sama (100 %). Keberhasilan hidup yang tinggi dapat diketahui dari prosentase hidup larva yang tinggi, periode larva yang singkat, bobot kokon dan keperidian (fecundity) imago betina yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva A. atlas yang dipelihara pada pakan daun teh maupun sirsak menunjukkan tingkat keberhasilan hidup mencapai 100 %. Dari data yang ada mulai dari F1 sampai dengan F2, dapat dijelaskan bahwa siklus hidup pada generasi pertama (F1) lebih panjang, bila dibandingkan dengan F2. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu : 1. Faktor eksternal (suhu dan kelembaban). Ulat sutera adalah hewan poikiloterm, dimana suhu tubuhnya diatur secara langsung oleh suhu lingkungannya. Aktivitas fisiologis sangat dipengaruhi oleh suhu tubuh, jika suhu yang terlalu tinggi menyebabkan pakan cepat layu dan larva tersebut tidak mau makan, selain itu menyebabkan kecepatan respirasi bertambah dan kontraksi pembuluh darah di bagian dorsal meningkat, terjadi peningkatan metabolisme sehingga sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera. Kelembaban tinggi akan mempengaruhi secara langsung kandungan air dalam tubuh larva. Kelembaban yang tinggi juga akan mempermudah proliferasi mikroba pada pakan menyebabkan penyakit pada larva, selain itu kelembaban yang tinggi imago yang akan keluar sayapnya akan cacat dan tidak bisa terbang sehingga tidak bisa terjadi kopulasi.
68
2. Perubahan siklus Larva Attacus atlas awal proses adaptasi berada pada suhu dan kelembaban serta kondisi lingkungan musim penghujan, sehingga pada kondisi ini kandungan air dalam daun tanaman untuk makanan larva relatif lebih banyak. Hal ini secara fisiologis (Chapman, 1969) mengganggu keseimbangan hormon juvenil dan ekdison dalam tubuh larva, yang mengakibatkan pergantian kulit pada instar tertunda, sehingga stadium bertambah lama. Dengan demikian jelas bahwa musim hujan cenderung mempengaruhi siklus hidup Attacus atlas.
3. Perubahan Tingkah Laku Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) terjadi perubahan tingkah laku dari alam menjadi lebih tenang dalam ruangan, karena Attacus atlas telah beradaptasi dengan kondisi dalam ruangan serta kuantitas dan kualitas pakan tersedia secara kontinyu.. Larva instar keenam membutuhkan waktu paling panjang dibandingkan dengan instar lain yang berlangsung 8-10 hari. Hal ini disebabkan pada instar keenam akan memasuki stadium pupa yang secara morfologis dan fisiologis berbeda dengan stadium lainnya. Perubahan stadium larva menjadi pupa dalam metamorfosis serangga (Chapman, 1969) membutuhkan waktu cukup lama karena : 1. Terjadinya pertumbuhan dan perubahan dari organ tertentu. 2. Terjadinya proses pengumpulan dan penimbunan cadangan makanan sebagai sumber energi guna mendukung perubahan dari pupa menjadi imago, karena dalam stadium pupa terjadi aktivitas morfologi berikutnya.
69
3. Sekresi protein sutera. Hampir seluruh rongga tubuh larva instar terakhir dipenuhi oleh kelenjar sutera, ulat sutera menggunakan sebagian besar nutrien yang dikonsumsinya selama stadium larva untuk mensintesis protein sutera cair. Pada serat sutera kokon Attacus atlas secara garis besar dipengaruhi oleh kandungan nutrien tumbuhan yang terdapat pada pakan ulat sutera liar Attacus atlas. Ulat sutera liar menggunakan protein dan asam amino dalam daun untuk mensintesis protein khusus di dalam tubuh ulat sutera. Variasi protein daun mempengaruhi pengaturan jumlah protein yang diambil oleh ulat sutera liar dari pakan dan secara langsung mempengaruhi serat kokon. Protein juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera liar. Protein tumbuhan yang dibentuk dari nitrogen udara dan nitrat dalam tanah kemudian akan mengalami metabolisme di dalam tanaman pakan, sehingga akan menghasilkan protein tumbuhan dan asam amino. Tanaman pakan ini kemudian akan dimakan oleh ulat sutera liar Attacus atlas yang selanjutnya akan mengalami metabolisme, sehingga akan menghasilkan berbagai produk antara lain asam amino, peptida, zat warna dan protein yang lain. Asam amino dan peptida tersebut kemudian akan digunakan untuk membentuk protein kelenjar sutera. Protein serat sutera ini dibentuk di dalam kelenjar sutera di bagian sublingual. Lama stadium pupa antara 20-29 hari. Variasi tersebut disebabkan adanya perbedaan kepribadian tiap individu pupa yang telah ada mulai dari stadium telur ataupun larva, sehingga akan berpengaruh juga terhadap lama stadium pupa. Berdasarkan hal tersebut di atas terbukti bahwa tanaman inang dapat mempengaruhi tingkat perkembangan serangga.
70
Hasil penelitian dari pemeliharaan Attacus atlas di dalam ruangan menunjukkan tingkat keberhasilan mendekati 100 persen bila dibandingkan dengan di alam yang hanya mencapai 10 persen saja. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kurangnya keberhasilan disebabkan beberapa faktor, yaitu adanya predator, patogen penyakit dan cuaca. Golongan predator yang dijumpai yaitu semut (Ordo Hymenoptera dari Famili Formicidae), tawon (Ordo Hymenoptera Famili Vespidae), belalang sembah (Ordo Orthoptera dari Famili Mantidae), kepik (Ordo Hemiptera), lalat perampok (Ordo Diptera), laba-laba (Klas Arachnida), dengan beberapa Famili yaitu Lycosidae, Oxiyopidae, Salcicidae) (Situmorang, 1996). Predator-predator ini umumnya menyerang larva dari bermacam tingkatan instar. Larva instar satu, dua dan tiga di lapangan biasanya diserang oleh predator dari golongan semut, tawon, laba-laba. Larva dari instar awal ini sangat mudah diserang dan dimangsa predator karena sifat fisiknya yang masih cukup lemah, sehingga tingkat mortalitasnya cukup tinggi terutama dari larva instar satu.
71
BAB V Hasil Respon Perlakuan Jenis Pakan Alami (Sirsak dan Teh) Terhadap Pertumbuhan dan Produktifitas A. atlas (F3) (Lepidoptera : Saturniidae) 5.1 Konsumsi Pakan A. atlas (F3) Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh Dari masing-masing 80 ekor larva A. atlas (F3) yang dipelihara pada daun sirsak dan teh dari instar 1- 6, menunjukkan konsumsi pakan segar meningkat sesuai dengan stadianya. Tabel 18. Rataan Konsumsi Pakan segar A. atlas (F3) pada Sirsak & Teh _________________________________________________________________ Sirsak Teh (n=80) (n=80) Instar _________________________________________________________ Konsumsi pakan Segar (g)/larva Konsumsi Pakan Segar (g)/larva __________________________________________________________________ Pertama 1,60±0,27a 1,62±0,03a a Kedua 3,65±0,16 3,72±0,14a Ketiga 5,16±0,38a 5,44±0,15a Keempat 23,32±0,67a 23,95±0,86a a Kelima 33,86±1,26 34,12±0,53b Keenam 61,42±2,05a 68,58±2,03b Total Konsumsi 129,01 137,97 _________________________________________________________________ Ket : Superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata
Berdasarkan Tabel 18 dapat dijelaskan bahwa Attacus atlas dengan pemberian pakan daun teh dapat menkonsumsi pakan segar sebanyak 137,97 gram pakan/larva selama satu periode instar. Sedangkan Attacus atlas dengan pemberian pakan daun sirsak dapat menkonsumsi pakan segar sebanyak 129,01 gram pakan/larva selama satu periode. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terjadi perbedaan antara konsumsi pakan segar pada daun sirsak dengan daun teh, yaitu pada instar kelima dan instar keenam.
72
Gambar 16. Konsumsi Pakan A.atlas (F3) pada Sirsak dan Teh
5.2. Daya Cerna Pakan Attacus atlas (F3) Pada Daun Sirsak dan Teh Pemanfaatan pakan Attacus atlas (F3) pada pakan daun sirsak dan teh selama perlakuan berlangsung disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Pemanfaatan Pakan A. atlas (F3) Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh _________________________________________________________________ Daya Cerna (%) Instar _________________________________________________________ Sirsak Teh _________________________________________________________________ 29,88±1,37b Pertama 25,34± 2,5a a Kedua 33,38±1,26 35,41±1,15b Ketiga 36,98±0,98a 39,00±1,23b Keempat 42,24±1,39a 44,46±1,46b a Kelima 46,00± 0,71 47,78±1,42b 48,61±0,93b Keenam 48,01± 0,98a _________________________________________________________________ Ket : Superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata
73
Berdasarkan Tabel 19 dapat dijelaskan bahwa rataan pemanfaatan pakan A. atlas (F3) dengan pemberian pakan daun sirsak dan teh, yaitu A. atlas yang diberikan pakan daun sirsak dapat memanfaatkan pakan sebanyak 38,66 % (instar 1 sampai 6) dan daun teh 40.86 % selama periode larva instar. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara sirsak dan teh, mulai dari instar pertama sampai dengan instar enam. Dari aspek pemanfaatan pakan menunjukkan bahwa Attacus atlas yang diberikan pakan daun teh, dapat memanfaatkan pakan
lebih banyak
dibandingkan
dengan daun sirsak (Gambar 17).
60 Daya Cerna (% )
50 40
Sirsak
30
.Teh
20 10
na
im rK st a
In
In
st a
rK
ee
el
m ee rK st a
m
a
t pa
a ig et rK
In
st a
rK st a In
In
In
st a
rP
er ta
ed
m
a
ua
0
Tahapan Instar
Gambar 17. Pemanfaatan Pakan A. atlas (F3) Pada Sirsak dan Teh
74
5.3. Pertambahan Bobot Badan A. atlas (F3) Pada Setiap Instar yang diberi Pakan Daun Sirsak dan Teh Masing-masing (n = 80)
Pertambahan bobot badan awal dan akhir instar Attacus atlas (F3) pada pakan daun sirsak dan teh selama perlakuan berlangsung dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Rataan Bobot Badan A. atlas (F3) Pada Daun Sirsak dan Teh Pada Setiap Instar (n = 80)
Bobot Badan (g)/Ekor Stadium Awal instar daun sirsak
Awal instar daun teh
Akhir instar Akhir instar Daun sirsak daun teh
1,41 ± 0,00a 1,51±0,01a 0,0003±0,0a 0,0004±0,00a 1,06±0,06a 1,51±0,01b 5,11 ± 0,06b 5,25±0,02b 4,50±0,01a 4,79±0,01b 16,83 ± 0,01a 17,02±0,03b a b 15,03±0,04 16,06±0,02 19,03±0,01a 21,59±0,02b 20,13±0,13a 21,28±0,03b 29,30±0,04a 30,02±0,04b 26,30±0,43a 28,53±0,03b 26,85±0,43a 28,57±0,05b Ket : Superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata
Instar pertama Instar kedua Instar ketiga Instar keempat Instar kelima Instar keenam
Dari Tabel 20 ini terlihat bahwa terjadi perbedaan bobot badan awal dan akhir instar pada pakan daun sirsak maupun teh. Bobot badan tertinggi terdapat pada instar keenam, karena pada instar enam larva dapat menkonsumsi pakan cukup banyak serta waktu periode cukup lama yaitu 8-10 hari., larva dapat menkonsumsi pakan cukup banyak yang digunakan sebagai cadangan energi untuk memasuki masa pupasi. Pertambahan bobot badan akhir instar enam kecil disebabkan pada akhir instar enam larva sudah tidak makan lagi, kemudian banyak mengeluarkan feses seperti diare menyebabkan bobot badannya menurun.
75
5.4. Keberhasilan Hidup dan Perkembangan A. atlas (F3) Pada Pakan Daun Sirsak Respon perlakuan Attacus atlas (F3), yaitu dari 80 ekor larva yang dipelihara dengan pemberian pakan daun sirsak, larva yang hidup sampai instar keenam adalah 80 (4 x 20) ekor (100 %). Total waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu : 56-72 hari dengan rataan (64,0 ± 5,63) hari (Tabel 21). Tabel 21. Daur Hidup A. atlas F3 Pada Daun Sirsak (n= 80) ________________________________________________________ Lamanya waktu (hari) Stadium _________________________________________________ Kisaran Rata-rata ________________________________________________________ 1. Inkubasi telur 6-8 (7,5 ± 0,71) 2. Larva 30-38 (33 ± 3,33) a) Instar 1 4-5 (4,75 ± 0,44) b) Instar 2 4-5 (4,6 ± 0,5) c) Instar 3 4-5 (4,6 ± 0,5) d) Instar 4 4-5 (4,65 ± 0,49) e) Instar 5 6-8 (6,75 ± 0,91) f) Instar 6 8-10 (8,75 ± 0,59) 3. Munculnya Imago 20-26 • a) Jantan 20-23 (22,00 ± 1,26) b) Betina 21-26 (24,60 ± 0,70) ___________________________________________________________ • Lamanya umur imago jantan 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari Selanjutnya keberhasilan hidup A. atlas (F3) pada pakan daun sirsak, yaitu dari 80 ekor larva yang dipelihara 100 % mencapai masa pupasi. Munculnya imago sebanyak 20 ekor ( 25 %) dari total 80 pupa dengan rincian imago jantan 8 ekor (8/20 = 0,4) dan imago betina 12 ekor (12/20 = 0.6), sehingga sex ratio antara jantan dan betina adalah (1 : 1,6). Jumlah telur 3124 butir dari 12 ekor betina dengan rataan (260,33±8,36) butir.
76
Lamanya daur hidup Attacus atlas (F1-F3) dengan pemberian pakan daun sirsak di setiap fase perkembangan, mulai dari telur sampai imago bertelur lagi berbeda dengan Attacus atlas (F1-F3) yang diberikan pakan daun teh. Dari 240 ekor larva Attacus atlas (F1-F3) yang dipelihara pada pakan daun sirsak, menunjukkan perkembangan hidup, yaitu : F1 inkubasi telur 11,40 ± 0,89 hari, periode larva 39,55 ± 4,38 hari, masa pupasi 26,75 ±2,87 hari, munculnya imago jantan 23,33±3,06 hari, imago betina 28,0±0,71 hari. F2 : Inkubasi telur 7,25±0,96 hari, periode larva 33,95±4,12 hari, masa pupasi 24,13±1,64 hari, munculnya imago jantan 23,33±0,58 hari, imago betina 24,74±2,22 hari. F3 : Inkubasi telur 7,50±0,71 hari, periode larva 33,00±3,33 hari, masa pupasi 23,63 ±1,59 hari, munculnya imago jantan 22,00±1,26 hari, imago betina 24,60±0,70 hari.
5.5. Keberhasilan Hidup dan Perkembangan A. atlas (F3) Pada Pakan Daun Teh Respon perlakuan Attacus atlas generasi ketiga (F3), dari 80 ekor larva yang dipelihara dengan pemberian pakan daun teh, larva yang hidup sampai dengan instar enam adalah 80 (4 x 20) ekor larva (100 %). Total waktu yang diperlukan A. atlas yang diberikan pakan alami daun teh untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, yaitu mulai dari telur sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu 56-72 hari dengan rataan (64,0± 5,88) hari (Tabel 22).
77
Tabel 22. Daur Hidup A. atlas F3 Pada Daun Teh (n= 80) ________________________________________________________ Lamanya waktu (hari) Stadium _________________________________________________ Kisaran Rata-rata ________________________________________________________ 1. Inkubasi telur 6-8 7,10± 0,88 2. Larva 30-38 33,00± 3,33 a) Instar 1 4-5 4.65± 0.49 b) Instar 2 4-5 4,50± 0,51 c) Instar 3 4-5 4,45 ± 0,51 d) Instar 4 4-5 4,45 ± 0,51 e) Instar 5 6-8 6,60 ±0,82 f) Instar 6 8-10 7,45 ± 0,76 3. Munculnya Imago 20-26 • a) Jantan 20-24 20,57 ± 0,53 b) Betina 21-26 23,60 ± 0,70 ___________________________________________________________ • Lamanya umur imago jantan 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari
Selanjutnya keberhasilan hidup A. atlas (F3) yang dipelihara pada pakan daun teh, yaitu dari 80 ekor larva yang dipelihara 100 % hidup dan mencapai masa pupasi. Munculnya imago 23 ekor (28,75 %). Imago jantan 8 ekor (8/23 = 0,35) dan imago betina 15 ekor (15/23 = 0,65), sehingga sex ratio antara jantan dan betina adalah (1 : 1,65). Jumlah telur 4271 butir dari 15 ekor betina dengan rataan (284,73±7,93) butir. Keberhasilan hidup Attacus atlas (F1-F3) pada pakan daun teh, yaitu dari 240 ekor larva yang dipelihara, menunjukkan hasil F1 : Inkubasi telur 11,00±0,82 hari, periode larva 38,75±4,29 hari, masa pupasi 23,42±2,37 hari, munculnya imago jantan 21,33±1,53 hari, imago betina 25,00±1,41 hari. F2 : Inkubasi telur 6,75±0,96 hari, periode larva 33,80±3,69 hari, masa pupasi 23,38±3,54 hari, munculnya imago jantan 22,20±1,77 hari, munculnya imago betina 22,67±1,71 hari. F3 : Inkubasi telur 7,10±0,88
78
hari, periode larva 33,00±3,33 hari, masa pupasi 22,20±1,67 hari, munculnya imago jantan 20,57 hari, imago batina 23,60±0,70 hari. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan antara fase perkembangan pada pakan daun sirsak dan teh. Inkubasi telur, periode larva dan masa pupasi F1 pada daun sirsak dan teh berbeda nyata dengan F2 dan F3. Munculnya imago antara F1, F2 dan F3 tidak berbeda nyata. Terjadinya perbedaan perkembangan hidup antara generasi ini disebabkan kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) serta kualitas pakan yang tersedia. Berdasarkan data yang ada, keberhasilan hidup Attacus atlas (F1-F3) dalam ruangan lebih baik dan siklus hidupnya lebih pendek bila dibandingkan dengan di alam. Hal ini didasarkan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan di alam, yaitu Situmorang (1996) melaporkan bahwa Attacus atlas dengan pemberian pakan daun keben, periode larva berkisar antara 35-41 hari, inkubasi telur 5-11 hari, periode pupasi 25-38 hari, dengan keberhasilan hidup 10 % dari 100 ekor larva. Subagyo (2000) yang memelihara Attacus atlas pada daun mahoni, menunjukkan periode larva 35,96 ± 2,82 hari, masa pupasi 26-32 hari, keberhasilan hidup 40 %dari 100 ekor larva. Widyarto (2001) memelihara Attacus atlas pada daun gempol, menghasilkan periode larva 38.50±10.61 hari, kemunculan imago 6 %, keberhasilan hidup 44,58 %. Terjadinya perbedaan perkembangan hidup antara dalam ruangan dengan di alam, dimana pertumbuhan dan perkembangan di alam lebih lambat dan keberhasilan hidupnya rendah, disebabkan kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) di alam yang selalu berfluktuatif dan kualitas pakan yang tidak pasti. Cuaca di alam akan berpengaruh terhadap proses metabolisme larva. Jika cuaca di bawah 20 0C atau melebihi dari 30 0C akan mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas ulat sutera.
79
5.6. PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh terlihat bahwa
jenis pakan yang berbeda mempunyai
dampak yang berbeda terhadap serangga A. atlas. Hasil tertinggi terdapat pada A. atlas (F3) yang diberikan pakan daun teh, sedangkan A. atlas yang diberikan pakan daun sirsak lebih rendah. Perbedaan pola tersebut dapat dilihat pada semua tahapan instar, dimana konsumsi pakan segar dan pemanfaatan pakan meningkat sesuai dengan umur, baik pada pakan daun sirsak maupun pakan daun teh. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara konsumsi pakan segar dan daya cerna, pada ulat sutera liar Attacus atlas yang diberi pakan daun sirsak maupun teh, yaitu pada instar kelima sampai instar keenam (Tabel 18). Attacus atlas (F3) yang diberikan pakan daun teh lebih banyak menkonsumsi pakan (137,97 g pakan/larva), dapat memanfaatkan pakan sebanyak 40,86 persen selama satu periode instar, bila dibandingkan dengan daun sirsak yang dapat menkonsumsi pakan segar sebanyak 129,01 gram pakan/larva dengan daya cerna 38,66 persen. Terjadinya perbedaan konsumsi pakan antara daun teh dengan sirsak disebabkan karena pada pakan daun teh terdapat kandungan nutrisi dan komponen senyawa kimia yang sangat disukai oleh ulat sutera liar Attacus atlas (Tabel 23). Tabel 23. Rata-rata kandungan nutrisi pada pakan daun sirsak dan teh __________________________________________________________________ Kandungan nutrisi Daun sirsak Daun teh (%) (%) ___________________________________________________________________ Kadar air 65,46 69,64 Protein 6,59 6,87 Lemak 1,24 1,43 Karbohidrat 8,80 5,66 Kadar abu 1,08 1,72 ___________________________________________________________________
80
Selain faktor kualitas nutrisi, pada pakan daun teh juga mengandung komponen kimia tertentu seperti catechin, flefanol, pectin, recin, substansi aromatik dan enzimenzim (theoflavin dan theoruligin), sebagai zat perangsang untuk makan. Komponen kimia ini menyebabkan aroma, warna dan rasa yang dapat disukai oleh ulat sutera Attacus atlas. Komponen kimia sangat erat hubungannya dengan reseptor yang dimiliki oleh ulat sutera untuk mengenali pakannya, dimana pada ulat sutera terdapat maxilla dan antenanya untuk mengenal sukrosa, gula, mineral, vitamin dan air (Tazima, 1978; Setyamijaya, 2000). Beberapa peneliti ulat sutera menyatakan bahwa perilaku makan ulat sutera ini dipengaruhi oleh kelompok bahan perangsang makan, yaitu zat perangsang (Olfactory atractant) termasuk di dalamnya adalah flefanol dan zat perangsang untuk menggigit (bitting faktor) yaitu berupa pectin, resin dan vitamin. Kombinasi dari kelompok tersebut berperan penting bagi larva dalam penerimaan pakannya (Hamamura, 1962). Rangsangan ini memberi sinyal kepada sistem neurohormonalnya, yang kemudian ditanggapi dengan pengaturan sekresi hormon. Selain hal tersebut, kadar air pakan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas Attacus atlas. Kecukupan air dalam daun sangat berpengaruh terhadap rangsangan peristiwa “menyilih”. Dari hasil analisa proksimat kedua jenis pakan (sirsak dan teh), menunjukkan kadar air rata-rata yang cukup tinggi yaitu sebesar 69,64 % (daun teh) dan 65,46 % (daun sirsak). Kadar air kedua pakan tersebut masih dalam kisaran ideal (kisaran yang baik adalah 70 %) (Ekastuti, 1999; Ekastuti, 2005). Oleh karena itu terjadinya lama stadium tidak terlalu memanjang. Jika kadar air pakan tidak mencukupi, maka rangsangan pada peristiwa ganti kulit (molting) tertunda atau tidak kunjung tiba. Akibatnya siklus hidup menjadi lebih panjang.
81
Selama pengamatan dan hasil pengukuran konsumsi pakan pada kedua jenis pakan uji (sirsak dan teh) menunjukkan bahwa, instar keenam menkonsumsi pakan yang cukup banyak (61,42 gram/ekor) untuk sirsak dan (68,58 gram/ekor) pada daun teh selama satu periode. Hasil uji statistik (Tabel 18) berbeda nyata, yaitu konsumsi pakan segar teh lebih tinggi dari sirsak. Hal ini disebabkan karena kadar air daun teh lebih tinggi daripada daun sirsak. Kadar air daun sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan segar, kecernaan, pertumbuhan dan produksi kokon (Ekastuti, 2005). Kadar air daun teh (69,64 %) jauh lebih baik dari sirsak (65,46), oleh karena itu konsumsi pakan segar (137,97) gram, kecernaan, laju pertumbuhan, produksi telur dan kualitas kokon lebih baik dari sirsak. Hasil penelitian terhadap Attacus atlas (F3) dengan pemberian pakan daun sirsak dan teh, menunjukkan keberhasilan hidup yang tinggi. Dari 80 ekor larva yang dipelihara pada pakan daun sirsak 100 persen mencapai masa pupasi. Keberhasilan hidup yang tinggi ini disebabkan Attacus atlas (F3) telah beradaptasi dengan kondisi (suhu dan kelembaban) dalam ruangan serta tersedianya kualitas pakan yang baik dan diberikan secara kontinyu. Bila dibandingkan dengan pemeliharaan di alam persentase keberhasilan hidupnya relatif kecil. Hasil penelitian Situmorang (1996) menunjukkan bahwa dari 100 ekor larva Attacus atlas yang dipelihara pada tanaman keben (Barringtonia asiatica K.), keberhasilan hidupnya hanya mencapai 10 %, bobot kokon berisi pupa antara 6,6-11,8 gram. Widyarto (2001) yang memelihara 100 ekor larva A. atlas pada tanaman dadap (Erythrina lithosperina M.), dan gempol (Nauclea orientalis L.), di Kebun Sawit Fakultas Biologi UGM Yogyakarta, keberhasilan hidup pada tanaman dadap 10 % dan pada gempol 8,33 %. Tjiptoro (1997) melaporkan bahwa dari 100 ekor larva A. atlas
82
yang dipelihara pada tanaman gempol di Kebun Biologi, setiap pohon ditutupi dengan kain kasa (kelambu) untuk menghindari dari serangan predator, keberhasilan hidupnya mencapai 44 % dengan
total perkembangan 73,08 hari. Subagyo (2000) yang
memelihara A. atlas pada tanaman mahoni (Swietenia mahagoni J.) di Kebun Biologi UGM Yogyakarta, dari 100 ekor larva yang dipelihara tingkat mortalitas 58 % (keberhasilan hidup 42 %) dengan waktu perkembangan 73,08 hari. Kalshoven (1981) mengatakan bahwa sutera yang dipelihara di alam, tidak menghasilkan kokon yang banyak. Hal ini disebabkan sekitar 85 % telur-telurnya terserang penyakit, parasit dan predator, sehingga telur-telur yang berkembang sampai dewasa sekitar 2-5 % saja. Attacuss atlas dapat menkonsumsi dan memanfaatkan pakan dengan baik, maka akan terjadi pertambahan bobot badan yang besar sesuai dengan tahapan instar. Dari hasil pengamatan terlihat jelas bahwa terjadi pertambahan bobot badan pada setiap tahapan instar, mulai dari instar pertama sampai instar terakhir pada pakan daun sirsak maupun pada pakan daun teh. Bobot badan awal instar enam pada daun sirsak 28,30 gram/ekor dan 29,53 gram/ekor pada daun teh. Pada awal instar enam antara daun sirsak dan daun teh tidak berbeda nyata. Pada setiap awal instar terjadi penurunan bobot badan, hal ini disebabkan pada awal instar terjadi proses molting (pergantian kulit), dimana semua lapisan kulitnya terkelupas mulai dari thorax sampai anus, selain itu pada saat molting larva tidak makan sampai beberapa saat kemudian baru makan, sehingga bobot badannya menurun. Pada akhir instar`enam terjadi penurunan bobot badan. Hal ini disebabkan pada akhir instar enam, menjelang molting larva sudah tidak makan lagi, hanya bergerak atau mencari tempat yang cocok untuk pengokonan. Selain itu pada akhir instar enam larva mengeluarkan cairan dan feses seperti diare, sehingga bobot badan
83
larva lebih kecil. Pada Gambar 18, disajikan pola perubahan bobot badan awal instar dan akhir instar. Perubahan bobot badan awal instar polanya mirip kurva sigmoid (Gambar
35 30 25 20
Sirsak
15
.Teh
10 5
In st ar 6
In st ar 5
In st ar 4
In st ar 3
In st ar 2
0 In st ar 1
Pertambahan Bobot Badan (g)
18).
Tahapan Perkembangan Instar
Gambar 18. Perubahan bobot badan A. atlas (F3) pada sirsak dan teh
Perbedaan bobot badan ini tidak saja terjadi pada setiap awal dan akhir instar, tetapi juga terlihat pada setiap tahap masing-masing instar. Dari hasil analisis dan pengamatan terlihat bahwa pertambahan bobot badan A. atlas (F3) pada pakan daun teh lebih tinggi dibandingkan dengan pakan daun sirsak. Beberapa hasil penelitian para ahli mengemukakan bahwa : Pertumbuhan larva Lepidoptera sangat tergantung pada kandungan air pakan (Reese dan Beck, 1978; Scriber dan Slansky, 1978 dan Paul et al., 1992, Ekastuti, 2005). Reese dan Beck (1978) menyatakan bahwa pertumbuhan menurun bila kandungan bahan kering pakan sangat rendah atau tinggi. Pertumbuhan optimal dicapai bila kandungan bahan kering pakan mendekati pakan kontrol. Scriber (1979) menyatakan bahwa daun yang diberi suplementasi air memperpendek secara nyata
84
stadium larva dan mempercepat laju pertumbuhan relatif dibandingkan dengan larva yang daunnya tidak dicelup air. Paul et al. (1992) menyatakan bahwa laju pertumbuhan meningkat dengan meningkatnya persentase kelembaban daun (65 % s/d 76,6 %). Bobot badan akhir larva juga meningkat secara nyata dengan meningkatnya kadar air daun. Pada penelitian tersebut juga dikemukakan bahwa periode larva yang diberi daun dengan kadar air rendah lebih lama daripada larva yang kadar airnya tinggi. Evans (1984) mengatakan rendahnya kandungan gizi pada pakan mengakibatkan pertumbuhan (bobot badan ) yang rendah pada serangga. Chapman (1982) menyatakan bahwa adanya kandungan nutrisi yang sesuai bagi serangga, tidak hanya menyebabkan laju pertumbuhan yang cepat, tetapi juga menyebabkan kemampuan bertahan hidup yang lebih baik.
85
BAB VI Analisis Kualitas Kokon Attacus atlas (F1-F3) Yang Diberi Pakan Daun Sirsak (Annona muricata) dan Daun Teh (Camelia sinensis)
6.1. Kriteria Uji Kualitas Kokon Pengujian dan klasifikasi kokon bertujuan untuk mengukur mutu kokon dan jumlah benang sutera yang dapat dihasilkan darinya. Saleh, (2000) dan Moerdoko (2002), melaporkan tentang standar mutu kokon untuk Indonesia, menggunakan uji visual dan uji laboratorium. Ada lima pokok pengujian yang dilakukan pada kokon, yaitu : 1. Persen kokon cacat. Dibedakan antara kokon yang normal dan kokon cacat (Kokon ganda, berlubang, tipis, berkerut). 2. Bobot kokon. Kokon rata-rata per buah ditentukan dengan menimbang sejumlah kokon dan ditentukan bobot rata-ratanya per butir. 3. Persentase kulit kokon : Ditentukan dengan cara menghitung persentase bobot kulit kokon terhadap bobot kokon pada setiap kokon. 4. Panjang filamen. Panjang rata-rata filamen pada setiap kokon yang diuji. 5. Berat filamen : Berat rata-rata filamen pada setiap kokon yang diuji. Di Indonesia belum ada pengujian kualitas kokon untuk ulat sutera liar, sehingga dipakai modifikasi dari kriteria kualitas kokon pada Bombyx mori. (Saleh, 2000; Moerdoko, 2002), parameter yang diuji secara visual adalah : persentase kokon cacat, bobot kokon per butir dan persentase kulit kokon. Adapun parameter uji laboratorium terdiri dari uji panjang filamen dan berat filamen.
86
6.2. Hasil Analisis Kualitas Kokon Attacus atlas (F1-F3) Yang Diberi Pakan Sirsak Hasil analisa kualitas sebanyak 240 kokon Attacus atlas (F1-F3) pada pakan daun sirsak, terdiri dari masing-masing generasi sebanyak 80 kokon, setelah diuji secara visual dan diuji laboratorium, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Hasil Analisis Beberapa Parameter Kualitas Kokon A. atlas mulai dari F1-F3 yang diberikan pakan daun sirsak (masing-masing generasi sebanyak 80 butir)
Setiap Generasi Ke Kualitas Kokon Kokon Cacat (%)/ekor Bobot Kokon isi Pupa (g)/butir Bobot Kulit Kokon (g)/butir Kulit Kokon (%)/butir Panjang Filamen (m)/butir Berat Filamen (g)/butir
F1
F2
F3
0 6,47 (±0,8)a 1,15 (±0,3)a 15,23 (±2,3)a 57,85 (±19,1)a 4,84± (0,71)a
0 7,43 (±2,0)b 1,59 (±0,4)b 17,31(±1,5)b 66,71 (±18.)b 6,03 (±0,76)b
0 7,46 (±1,6)b 1,66 (±0,4)b 20,17 (±2,0)c 78,73 (±20,3)c 6,84 (±0,8)c
Ket : Superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata
Berdasarkan Tabel 24, dapat dijelaskan bahwa domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (F1-F3) pada daun sirsak menyebabkan terjadinya peningkatan isi pupa (F2 = F3 › F1), peningkatan bobot kulit kokon (F2 = F3 › F1), peningkatan panjang filamen (F3 › F2 › F1) dan peningkatan berat filamen (F3 › F2 › F1). Hasil analisis kelas mutu kokon disimpulkan dari grade terendah, adapun datanya dapat dilihat pada Tabel 25.
87
Tabel 25. Kelas Mutu Kokon Attacus atlas (F1-F3) Kualitas Kokon
Generasi F1
Generasi F2
Generasi F3
Kokon Cacat (%)
A
A
A
Bobot Kokon Isi Pupa
C
C
C
Bobot Kulit Kokon
C
C
B
Persentase kulit kokon
C
C
B
Kelas Mutu
C
C
C
Hasil kelas mutu kokon pada pakan daun sirsak menunjukkan terjadinya pergeseran kelas mutu kokon, dari C ke B terutama pada bobot kulit kokon dan % kulit kokon.
6.3. Hasil Analisis Kualitas Kokon A. atlas (F1-F3) Yang Diberi Pakan Daun Teh Hasil uji visual kualitas kokon sebanyak 240 kokon Attacus atlas (F1-F3) pada pakan daun teh, dari masing-masing generasi sebanyak 80 kokon, kemudian diuji secara visual dan diuji laboratorium, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Hasil Analisis Beberapa Parameter Kualitas Kokon A. atlas (F1-F3) yang diberi Pakan daun Teh (Masing-masing generasi 80 Kokon) Setiap Generasi Ke Kualitas Kokon Kokon Cacat (%) Bobot Kokon isi Pupa (g)/butir Bobot Kulit Kokon (g) Kulit Kokon (%)/butir Panjang Filamen (m)/butir Berat Filamen (g)/butir
F1
F2
F3
0 7,00 (±1,5)a
0 8.26 (±2,0)b
0 8,72 (±2,0)b
1,29 (±0,3)a 1,59 (±0,4)b 1,66 (±0,4)b a b 18,22 (±2,0) 20,11 (±1,7) 20,26 (±1,2)b 66,64 (±16,3)a 73,42 (±16,1)b 83,61 (±19,3)c 5,28 (±0,78)a 6,22 (±0,83)b 7,17 (±0,87)c
Ket : Superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata
88
Dari Tabel 26, dapat dijelaskan bahwa domestikasi Attacus atlas dari F1 sampai F3 menghasilkan peningkatan kualitas kokon baik berat kokon isi pupa, berat kulit kokon, % kulit kokon, panjang filamen dan berat filamen. Semua parameter tersebut nyata F3 lebih baik dari F2 dan nyata lebih dari F1. Sehingga kelas mutu kokon bergeser dari C pada F1 menjadi B pada F2 dan F3. Hasil analisis kualitas kokon menunjukkan bahwa Attacus atlas (F3) yang diberi pakan daun teh mempunyai kualitas kokon lebih baik, bila dibandingkan dengan F1 dan F2. Dari data tersebut Attacus atlas
yang
dipelihara pada pakan daun teh menunjukkan perubahan F1-F3 hasil kelas mutu kokon menjadi lebih baik (dari C ke B) dan datanya dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Kelas Mutu Kokon Attacus atlas (F1-F3) Pada Daun Teh Kualitas Kokon
Generasi F1
Generasi F2
Generasi F3
Kokon Cacat (%)
A
A
A
Bobot Kokon Isi Pupa
C
B
B
Bobot Kulit Kokon
C
B
B
Persentase kulit kokon
C
B
B
Kelas Mutu
C
B
B
Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa Attacus atlas (F3)
yang
dipelihara pada pakan daun teh, mempunyai kualitas kokon pada kelas mutu (grade) “B”, padahal pada generasi F1 dan F2 hanyalah grade C. Hasil perbandingan analisis uji kualitas kokon pada pakan daun teh pada generasi (F1-F3), selalu terjadi perbaikan mutu kokon.
89
6.4. PEMBAHASAN Hasill analisis kualitas kokon Attacus atlas (F1-F3) dari pemeliharaan pada masing-masing pakan uji (sirsak dan teh) ternyata berbeda satu dengan lainnya, baik dalam hal berat kokon isi pupa, kulit kokon, panjang filamen dan berat filamen. Pengujian kualitas kokon pada ketiga generasi dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Kualitas Kokon A. atlas (F1-F3) Pada Daun Sirsak dan Teh Parameter Kualitas Kokon
Sirsak F1 Kokon cacat (%) 0 Bobot kokon berisi pupa (g)/butir 6,47a 1,15b Bobot kulit kokon (g)/butir Kulit kokon (%) 15,23a Panjang filamen (m)/butir 57,85a 4,84a Berat Filamen (g)/butir
Teh F1 0 7,00b 1,29b 18,22b 66,64b 5,28b
Sirsak F2 0 7,43a 1,59a 17,31a 66,71a 6,03a
Teh F2 0 8,26b 1,59a 20,11a 73,42b 6,22b
Sirsak F3 0 7,46a 1,66a 20,17a 78,73a 6,84a
Teh F3 0 8,72b 1,66a 20,26a 83,61b 7,17b
Ket : Superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata.
Berdasarkan Tabel 28, dapat dijelaskan bahwa terjadi perbedaan kualitas kokon Attacus atlas yang dipelihara pada pakan daun teh dan daun sirsak. Hasil uji statistik kualitas kokon Attacus atlas (F1-F3) yang dipelihara pada pakan daun sirsak dan teh, menunjukkan terjadinya peningkatan kualitas kokon, terutama pada parameter kokon berisi pupa (baik pada F1, F2 dan F3), kulit kokon (hanya pada F1) dan persentase kulit kokon. Perbandingan kualitas kokon berisi pupa dan berat kulit kokon pada pakan sirsak dan teh, dapat dilihat pada Gambar 19. Selain itu terjadi perbedaan kualitas filamen Attacus atlas (F1-F3) yang dipelihara pada pakan daun sirsak dan teh (Tabel 28) menunjukkan bahwa terjadi perbedaan panjang filamen mulai dari generasi pertama (F1) sampai generasi ketiga (F3) pada kedua jenis pakan ini.
90
Berat Pupa
F3 .te h
F2 .te h
F1 .te h
si rs ak
F3
F2
F1
si rs ak
Kulit Kokon
si rs ak
Kualitas Kokon (g)
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Generasi
Gambar 19. Kualitas kokon Attacus atlas (F1-F3) pada daun sirsak dan teh Perbandingan panjang filamen Attacus atlas (F1-F3) pada sirsak dan teh, dapat dilihat pada Gambar 20. 90 Panjang Filamen (m)
80 70 60 50
Sirsak
40
.Teh
30 20 10 0 F1
F2
F3
Generasi
Gambar 20. Panjang Filamen A. atlas Pada Pakan daun Sirsak dan Teh Selain perbedaan panjang filamen, terjadi juga perbedaan berat filamen Attacus atlas yang dipelihara pada kedua jenis pakan tersebut. Perbedaan berat filamen dapat dilihat pada Gambar 21.
91
8
Berat Filamen (g)
7 6 5 Sirsak
4
.Teh
3 2 1 0 F1
F2
F3
Generasi
Gambar 21. Berat Filamen A. atlas Pada Sirsak dan Teh Terjadinya perbedaan tersebut menunjukkan bahwa generasi melalui tahapan domestikasi sangat mempengaruhi kualitas kokon. Kualitas pakan sangat mempengaruhi hasil sutera dan produktivitas kokon. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa Attacus atlas yang dipelihara pada pakan daun teh, mempunyai kualitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan Attacus atlas yang dipelihara pada pakan daun sirsak. Perbandingan kelas mutu (grade) kokon (F1-F3) pada daun sirsak dan teh, dapat dilihat pada Tabel 29. Grade kokon pada teh telah berkembang menjadi grade sejak F2 sedangkan pada sirsak tidak. Tabel 29. Kesimpulan Mutu (grade) Kokon Dari Dua Jenis Pakan Berbeda Jenis Pakan
F1
F2
F3
Sirsak
C
C
C
Teh
C
B
B
92
Dari data yang ada menunjukkan bahwa pakan daun teh mempunyai kandungan nutrisi, terutama kadar air yang cukup dan komponen kimia yang sangat disukai oleh ulat sutera, sehingga attacus atlas dapat menkonsumsi pakan dengan baik, dapat memanfaatkan pakan (daya cerna) yang banyak, bobot badan yang besar, produksi dan kualitas kokon yang lebih baik.
93
BAB VII PEMBAHASAN UMUM 7. 1. Polyvoltin Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah serangga polyvoltin yaitu dapat hidup lebih dari dua generasi dalam satu tahun. Sifat polyvoltin ini menguntungkan bagi usaha pembudidayaan ulat sutera liar Attacus atlas karena : a). Bibit dalam bentuk ketersediaan telur dapat dipenuhi sepanjang tahun, b). Musim berkembang biak terjadi sepanjang tahun, c). Pada musim hujan maupun musim kemarau dapat dipelihara, d). Produksi kokon akan ada sepanjang tahun, e). Produksi benang akan dapat ditingkatkan jika jumlah populasi tinggi, f). Breeding dapat dilakukan secara kontinyu sehingga pemuliaan ke arah peningkatan produktivitas dapat dicapai. Telur Attacus atlas yang dihasilkan dapat dipenuhi sepanjang tahun, hal ini dapat dilihat dari proses habituasi dan domestikasi yang dipelihara pada kedua jenis pakan (sirsak dan teh). Hasil domestikasi menunjukkan bahwa generasi pertama (F1) dapat berkembang biak dan menghasilkan telur, kemudian dapat dilanjutkan pada generasi kedua (F2), generasi ketiga (F3) dan seterusnya,
sehingga ketersediaan telur dapat
tersedia sepanjang tahun. Musim berkembang biak Attacus atlas dapat terjadi sepanjang tahun, hal ini dapat dilihat pada hasil proses habituasi dan domestikasi (F1-F3) pada setiap generasi. Waktu kemunculan imago selalu diakhiri dengan perkawinan antara jantan dan betina, baik pada pakan daun sirsak maupun pada daun teh. Dari hasil perkawinan imago ini, akan lahir generasi kedua (F2), generasi ketiga (F3) dan seterusnya, sehingga ulat sutera liar Attacus
94
atlas ini dapat tersedia sepanjang tahun. Hal yang sama juga terjadi di lapangan, dimana perkawinan antara imago jantan dan betina tetap saja berlangsung pada setiap tahapan generasi, akan tetapi telur yang dihasilkan tidak dapat bertahan lama, karena dapat dimakan oleh predator dan mikroba patogen lainnya. Pemeliharaan Attacus atlas dapat dilakukan pada musim kemarau maupun pada musim hujan. Selama proses habituasi dan domestikasi berlangsung (F1-F3) ulat sutera liar Attacus atlas ini dapat dipelihara pada musim hujan (Februari sampai Juni) dan musim kemarau (Juli sampai September), dengan hasil yang cukup baik yaitu keberhasilan hidup yang tinggi (100 %), jumlah telur banyak (100-362 butir/ekor), serta kualitas kokon yang baik pada setiap tahapan generasi. Ini menunjukkan bahwa iklim tropis (musim hujan dan kemarau) dapat dilakukan domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas. Tjiptoro (1997) memelihara Attacus atlas pada pakan daun gempol di lapangan pada musim hujan (bulan April sampai Juni), yang menghasilkan telur sebanyak 113-280 butir. Widyarto (2001) memelihara A. atlas pada musim kemarau (Juli – September) dengan pemberian pakan daun dadap, menghasilkan telur antara 100-300 butir. Jika hasil domestikasi berlangsung efektif dan dapat dilakukan terus menerus, maka produksi kokon juga akan tersedia sepanjang tahun. Hal ini dapat dilihat dari hasil domestikasi Attacus atlas (F1-F3), yang dipelihara pada kedua jenis pakan (sirsak dan teh). Dari 480 ekor larva yang dipelihara, semuanya mencapai masa pupasi mulai dari generasi pertama (f1) sampai generasi ketiga (F3) dan dapat dilanjutkan pada generasi selanjutnya. Ini membuktikan bahwa produksi kokon dapat tersedia sepanjang tahun.
95
Jika populasi Attacus atlas yang didapatkan pada setiap generasi cukup tinggi, produksi kokon yang dihasilkan juga cukup banyak, maka produksi dan kualitas benang juga dapat ditingkatkan. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil pemeliharaan Attacus atlas (F1-F3) pada pakan daun sirsak dan teh yang menghasilkan produksi kokon banyak, kualitas kokon cukup baik, serta terjadi peningkatan kualitas benang. Selama proses habituasi dan domestikasi terjadi peningkatan kualitas mutu kokon, dari grade C ke grade B (pada daun teh). Berat kokon berisi pupa pada pakan daun sirsak, yaitu 7,46 gram pada generasi ketiga (F3), sedangkan pada daun teh rata-rata 8.72 gram/kokon, ini lebih baik dari Situmorang (1996) 6,61 gram dan Widyarto (2001) 6,89 gram. Kualitas benang juga dapat ditingkatkan pada setiap tahapan generasi. Attacus atlas yang dipelihara pada pakan daun sirsak, panjang filamen pada F1 : 57,85 meter/kokon, F2 : 66,71 meter, F3 : 78,71 meter. Sedangkan pada daun teh panjang filamen pada F1 : 66,64 meter, F2 : 73,42 meter, F3 : 83,61 meter. Breeding dapat dilakukan terhadap ulat sutera liar Attacus atlas secara kontinyu sepanjang tahun. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F3), breeding dapat dilakukan pada setiap tahapan generasi, mulai dari generasi pertama (F1) sampai generasi ketiga (F3). Jika setiap generasi dapat dilakukan breeding secara kontinyu, maka pemulyaan ke arah peningkatan produktivitas dapat tercapai. Sifat polyvoltin yang terdapat pada ulat sutera liar Attacus atlas ini, sangat menguntungkan bagi para petani untuk membudidayakan ulat sutera liar ini, terutama dalam proses breeding. Untuk mendapatkan ketersediaan telur, produksi kokon yang banyak serta produksi benang yang tinggi dan berkualitas, maka kelanjutan generasi dan ketersedian populasi Attacus atlas sepanjang tahun sangat diperlukan. Sebab dengan
96
melakukan penelitian, Attacus atlas dapat tersedia secara kontinyu, sehingga ketersediaan telur, produksi kokon dan benang dapat ditingkatkan dan tersedia sepanjang tahun. Hal ini dapat terlihat dari hasil proses habituasi dan domestikasi A. atlas (F1-F3), mendapat kan warna kokon yang bervariasi (coklat, coklat muda dan abu-abu), produksi dan kualitas kokon yang lebih baik, munculnya larva yang tahan terhadap penyakit, mendapatkan kualitas benang yang lebih panjang dan berkualitas. Bukti bahwa kesinambungan pada Attacus atlas ini dijamin, yaitu selama proses habituasi dan domestikasi (F1-F2) yang dilaksanakan pada bulan Pebruari sampai dengan bulan Juli dan domestikasi Attacus atlas pada generasi ketiga (F3) yang dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September pada kedua jenis pakan (sirsak dan teh), dapat berlangsung dengan baik (Gambar 22), seratus persen mencapai masa pupasi, produksi telur yang banyak serta produksi kokon dan kualitas benang yang tinggi pada setiap tahapan, hal ini dapat dilakukan pada skala lapangan dan laboratorium.
Habituasi & Domestikasi Awal F1
akhir F1
Pebruari Maret April Mei
Perlakuan & Domestikasi F2
Mei Juni
F3
Juli Agustus September Breeding diteruskan
Gambar 22. Pola Kontinuitas Jumlah Telur A. atlas (F1-F3) Pada Sirsak dan Teh
97
Attacus atlas
merupakan hewan yang mengalami metamorfosis sempurna
sepanjang hidupnya. Ulat sutera liar ini mengalami empat fase, yaitu telur, larva, pupa dan imago. Telur merupakan awal dari metamorfosis, kemampuan imago betina bertelur antara 100-362 butir. Jumlah telur yang dihasilkan selama proses habituasi dan domestikasi (F1-F3) pada daun sirsak yaitu, dari setiap betina rata-rata didapat F1 : 137,8 butir, F2 : 165,8 butir, F3 : 256,60 butir dari 3 sampai 5 pasang betina tiap generasi. Sedangkan jumlah telur dengan pemberian pakan daun teh, yaitu F1 : dengan rata-rata 182,5 butir, F2 : 193,8 butir, F3 : 282,4 butir dari 5 pasang betina pada tiap generasi. Tjiptoro (1997) melaporkan bahwa Attacus atlas yang dipelihara di Lapangan pada pakan daun dadap, rata-rata menghasilkan telur sebanyak 92 butir per ekor. Subagyo (2000) memelihara A. atlas pada pakan daun mahoni, menghasilkan telur 100-366 butir. Selama proses habituasi dan domestikasi berlangsung terdapat beberapa kendala pada telur Attacus atlas ini, yaitu telur yang tidak dibuahi tidak dapat menetas dan pasti bertahan lama, masa inkubasi telur menjadi lebih lama jika cuaca dalam ruangan berfluktuatif, banyak telur yang tidak bisa menetas, hal ini disebabkan proses perkawinan antara imago betina dan jantan jarang terjadi, karena kemunculan imago tidak secara bersamaan. Biasanya kemunculan imago betina lebih banyak dan waktunya lebih lama bila dibandingkan dengan jantan. Selain itu umur imago jantan (2-4) hari lebih cepat bila dibandingkan dengan imago betina (4-10) hari. Selama pemeliharaan berlangsung mulai dari generasi pertama (F1) sampai generasi ketiga (F3), diketahui bahwa kemunculan imago tidak bersamaan, sex ratio yang tidak sama serta umur imago berbeda antara jantan dan betina. Imago jantan lebih cepat keluar dan umurnya lebih pendek bila dibandingkan dengan betina, hal ini mempengaruhi
98
proses perkawinan dalam mendapatkan telur. Namun demikian selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F3) pada pakan daun srisak dan teh, telah terjadi peningkatan kemunculan imago dan produksi telur pada setiap tahapan generasi (F1-F3), sehingga produksi telur dan kokon dapat tersedia sepanjang tahun.
7.2. Suhu, Kelembaban dan Ruang Pemeliharaan Larva Attacus atlas mengalami 6 perkembangan instar. Tingkah laku, pola makan serta suhu dan kelembaban yang diperlukan berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan instar. Masa inkubasi telur suhu ruangnya berkisar antara 22 0C-24 0C karena pada tahapan ini, saat penetasan telur ulat kecil sangat peka terhadap rangsangan sinar matahari yang dapat mengganggu kulit/tubuh dari larva. Ulat kecil (larva instar 1-3) terutama instar pertama, masih sangat peka terhadap kondisi cuaca yang berubah- ubah secara mendadak. Kondisi ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva. Ulat besar (larva instar 4-6) memakan daun yang sudah tua dengan pola makan secara teratur, kisaran suhu lingkungan berkisar antara 24 0
C-29 0C. Pada tahapan ini intensitas makan tinggi, pola makan teratur serta melakukan
seluruh aktivitas fisiologis lainnya. Kondisi yang paling ideal untuk ulat sutera liar mulai dari ulat kecil hingga besar adalah 22 0C – 30 0C (FAO, 1979). Masa pupasi adalah masa pembentukan pupa atau kepompong. Pada masa ini suhu lingkungan yang diperlukan adalah antara 26 0C-29 0C, jika suhu lebih dari 30 0C atau kurang dari 26 0C, menyebabkan imago yang keluar akan menjadi cacat, tubuhnya kerdil, sayapnya patah dan tidak bisa mengembang. Secara fisiologis imago tersebut tidak bisa melakukan aktivitas lain, seperti terbang, berkopulasi dan sulit bertelur.
99
Pemeliharaan ulat sutera liar Attacus atlas dapat dilakukan pada musim hujan maupun musim kemarau. Hambatan yang perlu diperhatikan adalah kondisi suhu dan kelembaban dalam ruangan. Suhu ruang perlu dijaga berkisar antara 22 0C-29 0C agar tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera. Jika cuaca berfluktuatif, maka suhu dalam ruangan harus dirangsang dengan sinar tambahan agar cuaca tetap stabil, sehingga pemeliharaan dapat berlangsung efektif. Jika suhu lebih dari 30 0C menyebabkan pakan cepat layu dan sangat tidak disukai oleh larva, suhu di bawah 20 0C kelembaban menjadi tinggi, pakan menjadi lebih segar akan tetapi menimbulkan mikrobia patogen penyakit yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan ulat sutera. Attacus atlas adalah hewan poikiloterm, suhu tubuhnya diatur secara langsung oleh suhu lingkungan. Suhu dan kelembaban sangat mempengaruhi siklus hidupnya. Aktivitas fisiologis sangat dipengaruhi suhu tubuh, sehingga suhu sangat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan. Jika suhunya tinggi (lebih dari 30 0C) menyebabkan pakan cepat layu, larva tidak mau makan dan menjadi stres. Energi yang dikeluarkan cukup banyak, kecepatan respirasi bertambah dan kontraksi pembuluh darah meningkat, pakan yang dicerna semakin sedikit, sehingga meningkatkan proses metabolisme, menyebabkan proses pertumbuhan dan perkembangan larva menjadi terganggu. Suhu dan kelembaban lingkungan yang optimal bagi perkembangan ulat sutera Attacus atlas dalam ruangan adalah masa inkubasi telur (22 0C-24 0C), larva instar pertama sampai enam (22 0C-29 0C), pembentukan kokon, masa pupasi dan perkawinan imago (26 0C-29 0C).
100
Pemeliharaan ulat sutera di dalam ruangan/laboratorium akan berlangsung dengan baik, jika suhu dalam ruangan tetap dipertahankan stabil serta kualitas pakan baik dan pakan tersedia secara kontinyu. Jika cuaca di dalam ruangan berfluktuatif dan berubah secara ekstrim, maka suhu dalam ruangan harus dirangsang dengan cara memberikan sinar tambahan berupa cahaya dari lampu petromax atau dari sinar listrik, terutama pada musim hujan. Pada musim kemarau dimana suhu melebihi 30 0C, pakan harus dicelup dalam air agar tetap segar dan dapat dimakan oleh larva atau percikan air pada ruang pemeliharaan agar suhu dan kelembaban dapat terjaga dengan baik.
7.3. Kandungan Gizi Pakan Selain suhu dan kelembaban, kualitas pakan juga sangat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan produktvitas ulat sutera. Kondisi fisiologis, kualitas kokon, produksi telur, lama instar, bobot badan dan kualitas benang, sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Kualitas pakan juga akan mempengaruhi hasil pemeliharaan generasi selanjutnya. Jika pakan yang diberikan kurang baik, larva akan jatuh sakit dan kurang gizi sekaligus akan menghambat pertumbuhan ulat, sehingga sulit untuk memperoleh hasil yang maksimum, meskipun pada tahap berikutnya diberikan pakan yang lebih baik. Reese and Beck (1978) melaporkan bahwa larva Agrotis ipsilon yang diberi pakan yang sangat kering, konsumsi pakan yang dimakan (Bobot basah maupun bobot kering) menurun, dengan efisiensi konversi pakan yang dimakan dan pakan yang dicerna berbanding terbalik terhadap persen bahan kering pakan, artinya bila pakan sangat kering larva enggan untuk makan, dan energi banyak terbuang karena kemungkinan larva lebih banyak mondar-mandir.
101
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kecukupan kadar air pakan pada daun sirsak (65,46 %) dan teh (69,64 %), kandungan nutrisi berupa (protein, karbohidrat, lemak dan serat kasar) serta komponen kimia yang dimiliki pada kedua jenis pakan ini, menyebabkan ulat sutera Attacus atlas sangat menyukainya. Paul et al. (1992) meneliti pengaruh kelembaban daun murbei (60,5 %, 65 %, 70 % dan 76,6 %) terhadap indeks nutrien dan pertumbuhan ulat sutera (Bombyx mori). Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa konsumsi meningkat dengan meningkatnya persentase kelembaban daun. Jumlah bahan kering pakan yang dikonsumsi, efisiensi konversi pakan, efisiensi konversi pakan tercerna meningkat secara nyata dengan meningkatnya kadar air daun. Kecernaannya meningkat tajam sampai kandungan air daun 70 %, setelah itu menurun. Scriber (1979) menyatakan bahwa daun yang memiliki kandungan air rendah memerlukan energi metabolisme yang lebih tinggi daripada daun yang kandungan airnya cukup. Adanya kandungan nutrisi yang sesuai bagi serangga tidak hanya menyebabkan laju pertumbuhan yang cepat, tetapi juga menyebabkan kemampuan bertahan hidup yang lebih baik. Chapman (1982) mendapatkan tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dan bertahan hidup yang lebih baik dari Schistocerca dan Locusta ketika sejumlah besar sellulosa ditambahkan pada makanan buatan dan penggunaan makanannya turun 45-50 % dibandingkan sebelumnya 70-80 %. Hasil proses habituasi dan domestikasi F1-F3 menunjukkan bahwa keberhasilan hidup yang tinggi, produksi telur dan kualitas kokon yang baik, serta peningkatan kualitas benang dan dapat tersedia sepanjang tahun. Attacus atlas dapat menkonsumsi pakan segar pada daun sirsak sebanyak 129,01 gram pakan/larva, selama satu periode tahap larva (instar 1-instar 6), dengan daya cerna 38,66 persen. Sedangkan Attacus atlas yang dipelihara pada pakan daun teh, dapat
102
menkonsumsi pakan segar sebanyak 137,97 gram pakan/larva, selama satu periode tahap larva. Instar keenam dapat menkonsumsi pakan cukup banyak, hal ini disebabkan pada instar enam membutuhkan pakan cukup banyak sebagai cadangan energi dalam tubuh larva, karena pada akhir instar enam larva sudah tidak makan lagi untuk tahapan berikutnya. Secara fisiologis larva Attacus atlas memasuki masa pupasi sebagai proses pembentukan protein sutera, hampir seluruh tubuh larva instar terakhir dipenuhi kelenjar sutera. Ulat sutera menggunakan sebagian besar pakan yang dikonsumsinya selama stadium ini untuk mensintesis sutera cair (Fibroin dan Serisin).
7.4. Produksi Kokon dan Kualitas Benang Komposisi serat kokon sutera secara umum, terdiri dari protein sutera yang meliputi fibroin dan serisin. Fibroin yang terkandung dalam serat sutera sebesar 70-80 %, sedangkan serisin sebesar 20-30 %. Unsur yang lainnya adalah lilin, karbohidrat, pigmen dan materi anorganik yang masing-masing jumlahnya sangat kecil. Serat sutera juga tersusun oleh unsur-unsur kimia antara lain C, H, O, N, S (Huang, 1997). Serisin adalah protein yang tidak larut dalam air dingin, tetapi menjadi lunak dalam air panas dan larut dalam alkali lemah dan sabun. Tetapi dalam kenyataannya, pada sutera liar lebih sedikit serisinnya, namun bahan-bahan yang perlu dihilangkan tidak hanya serisin, tetapi bahan lainnya seperti lilin, garam-garam mineral dan zat warna lain (pigmen) alam berwarna kekuningan perlu dihilangkan juga (Saleh, 2000). Populasi ulat sutera yang tinggi pada setiap generasi dapat menghasilkan produksi kokon yang banyak, sekaligus dapat meningkatkan produksi benang. Satu buah kokon dapat menghasilkan ribuan meter filamen dengan ketebalan tipis (Alat pemintal modern).
103
Namun demikian dengan memakai alat pemintal tradisional (Hund spund) menghasilkan panjang benang hanya ratusan meter saja. Dari 500-600 buah kokon dapat dihasilkan 1 Kg
benang. Selanjutnya dapat menghasilkan benang tersebut kalau diproses dapat
menghasilkan 7-8 meter kain. Akai (1997) melaporkan bahwa panjang benang sutera dari sebuah kokon adalah 2500 meter (dengan memakai alat pemintal modern). Roni (2005) mendapatkan dari 700-750 buah kokon Attacus atlas dihasilkan 1 kg benang dan kalau ditenun akan dapat membuat 7-8 meter kain. Anita (pengusaha tenun sutera) di Yogyakarta melaporkan bahwa dari sekitar 800 buah kokon Attacus atlas dapat menghasilkan 1 Kg benang, dan kalau ditenun dapat menghasilkan 8-9 meter kain (hasil wawancara tahun 2007). Semakin banyak produksi kokon, maka produksi benang juga dapat ditingkatkan. Jika Attacus atlas dapat menkonsumsi pakan secara kontinyu dan berkualitas, maka akan menghasilkan kualitas kokon dan benang yang baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemeliharaan pada kedua jenis pakan alami (sirsak dan teh), dimana rata-rata berat kokon yang dihasilkan yaitu 8,72 gram (F3), panjang filamen 83,61 meter pada F3 dan tidak ada kokon cacat. Pengujian kelas mutu (grade) berada pada kelas mutu “B”. Sedangkan Attacus. Atlas
yang dipelihara pada pakan daun sirsak (Annona muricata),
menunjukkan produktivitas dan kualitas kokon, yaitu : Bobot kokon berisi pupa 7,36 gram (F3), panjang filamen 78,73 meter, tidak ada kokon cacat. Pengujian kelas mutu (grade) berada pada kelas mutu “ C”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Attacus atlas yang dipelihara pada ruangan/laboratorium, menunjukkan keberhasilan hidup dan kualitas kokon yang lebih baik, bila dibandingkan dengan di alam.
104
Manfaat lain dari domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas adalah, selain dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam pakaian (batik, kain kimono, wol, dll), dapat juga digunakan di bidang elektronik (digital komputer, alat cetak film), bahan baku industri (bahan pembuat karpet dan tali sepatu), bahan obat-obatan dan makanan ternak, pupa dapat dijadikan sebagai makanan, bahan industri kerajinan dan seni (lukisan dinding, berbagai macam kembang) dan dapat dijadikan sebagai eko-wisata. Harga per meter kain dari tenun sutera liar Attacus atlas, berkisar antara 500 ribu sampai 700 ribu per meter.
7.5. Rekomendasi Dalam Skala Komersial Tujuan dilaksanakannya usaha domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas dalam ruangan, sangat diharapkan dapat memberikan suatu rekomendasi dalam skala yang komersial untuk pengembangan persuteraan nasional. Usaha ini dapat dipenuhi jika : a) Jumlah daun pakan tersedia cukup banyak, b). Kondisi tempat pemeliharaan (suhu, kelembaban dan ruang pemeliharaan) tersedia dan cocok, c). Produksi secara ekonomi dapat menguntungkan, baik dalam hal penggunaan lahan maupun analisis secara ekonomi produksi dari usaha ini. Keberhasilan dan kelangsungan hidup ulat sutera liar Attacus atlas sangat bergantung terhadap jumlah
daun yang tersedia. Selama proses habituasi dan
domestikasi Attacus atlas (F1-F3) dengan pemberian daun sirsak dan teh, menunjukkan bahwa jumlah daun harus tersedia secara kontinyu. Hal ini disebabkan larva ulat sutera liar Attacus atlas, terutama ulat besar (instar 4-6) dapat menkonsumsi jumlah daun cukup banyak. Larva ulat sutera menkonsumsi pakan tidak mengenal waktu, yaitu pagi, siang, sore dan malam hari dengan proporsinya yang berbeda.
105
Jumlah pakan yang dapat dimakan cukup banyak yaitu 129,01 gram pakan/larva dalam satu siklus hidup untuk sirsak dan 137,97 gram pakan/larva untuk teh. Dengan demikian apabila petani atau pengusaha ulat sutera liar yang ingin mengembangkan usaha ini, 20.000 ekor larva memerlukan 2.580. 200 gram (2.580,2 Kg) daun dalam satu siklus hidup atau setara dengan 25.802. 000 Helai daun untuk sirsak ( 1 Kg daun sirsak setara dengan 1.000.000 helai daun). Untuk daun teh dari 20.000 ekor larva yang dipelihara memerlukan 2.759.400 gram daun (2.759,4 Kg) daun atau setara dengan 22.075.200 helai daun. Berarti untuk memelihara 20.000 ekor larva dibutuhkan 852 pohon sirsak ( 1 pohon sirsak yang berumur 4 tahun jumlah 3000 helai daun), sedangkan untuk pohon teh memerlukan 736 pohon (1 pohon teh jumlah 3000 helai daun ). Hasil wawancara dengan Anita seorang petani sekaligus sebagai pengusaha sutera di Yogyakarta pada tahun 2006, mengatakan bahwa untuk memelihara ulat sutera liar Attacus atlas pada tanaman sirsak di lapangan, setiap pohon (umur 5 tahun) biasanya hanya terdapat maksimal sekitar 25 ekor larva saja. Dari 1000 pohon sirsak seluas 1 Ha (jarak tanam 3 x 3 meter) yang ada di Kebun Peternakannya mampu memelihara sekitar 25.000 ekor larva. Sementara itu hasil wawancara dengan Roni dan Nursana (petani/pengusaha sutera) di Purwakarta pada tahun 2005, mengatakan bahwa sekitar 20-25 ekor larva dapat dipelihara pada satu pohon teh, dengan 3 sampai 4 kali panen dalam setahun. Keberhasilan yang diperoleh dari Anita di Yogyakarta, yaitu 25 % dari 25 000 ekor larva atau setara dengan 6. 250 butir kokon (1 Kg kokon tanpa pupa setara dengan 600 butir kokon), apabila diproses akan menghasilkan 2,6 Kg benang ( 1 Kg benang menghasilkan 8 meter kain). Sedangkan Roni di Purwakarta dari 20.000 ekor larva, keberhasilan
106
hidupnya hanya 25 % atau menghasilkan 5.000 butir kokon (500 butir kokon tanpa pupa setara dengan 1 Kg kokon), sehingga dapat menghasilkan 10 Kg kokon atau setara dengan 2,5 Kg benang ( 1 Kg benang apabila diproses akan menghasilkan 8 meter kain, harga /meter Rp 750. 000,-), atau didapat Rp. 15.000.000,-. Kondisi tempat pemeliharaan (suhu, kelembaban dan ruang pemeliharaan) sangat berpengaruh terhadap produktivitas ulat sutera liar Attacus atlas. Selama proses habituasi dan domestikasi A. atlas (F1-F3) berlangsung didapatkan suhu ruang yang sangat ideal untuk pemeliharaan ulat sutera liar adalah 22 0C – 29 0C, dengan kelembaban 68-70 %. Kelembaban ruang tidak boleh keluar dari persyaratan tersebut. Oleh karena itu kelembaban ruangan harus tetap terjaga. Kondisi tempat pemeliharaan harus ditata dengan baik. Suhu ruang untuk masing-masing fase perkembangan diatur sesuai dengan tahapan instarnya. Ruang untuk inkubasi telur dipisahkan dengan ulat kecil (larva instar 1-3), begitu juga dengan ulat besar (larva instar 4-6) dan masa pupasi, sehingga masingmasing fase berada pada ruangan sendiri. Hal ini disebabkan setiap fase perkembangan memerlukan
suhu
dan
kelembaban
yang
berbeda
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama proses habituasi dan domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas yang dipelihara pada pakan alami (sirsak dan teh) menunjukkan hasil yang cukup baik, yaitu jumlah telur, produksi kokon dan kualitas benang yang lebih baik. Saleh (2000) melaporkan bahwa Attacus atlas yang dipelihara pakan daun sirsak keuntungannya cukup besar. Dari 1 hektar lahan bisa ditanami 1000 pohon sirsak dengan jarak tanam 3 x 3 meter. Selam 3 tahun bisa memperoleh keuntungan sebesar Rp
107
120.000.000,- yang didapatkan dari hasil penjualan buah sirsak yang dijadikan dodol dan kokon hasil pemeliharaan pada tanaman sirsak (Rp 40 juta/tahun). Keberhasilan hidup pada tanaman sirsak hanya 25 % saja, sehingga dari 20.000 ekor larva akan menghasilkan 5000 butir kokon atau setara dengan 10 Kg kokon (500 butir kokon menghasilkan 1 Kg kokon atau dihasilkan 2,5 Kg benang). Hasil yang diperoleh akan semakin banyak dengan bertambah besarnya pohon sirsak. Kelebihan usaha ulat sutera pada tanaman ini adalah tanaman terdapat hampir di semua tempat di Indonesia dan dapat ditanam pada berbagai lokasi tanah, yaitu di pekarangan rumah, pegunungan maupun di dataran rendah. Roni (2005) seorang petani sekaligus sebagai pengusaha sutera di Purwakarta yang memelihara Attacus atlas pada tanaman teh melaporkan bahwa walaupun Attacus atlas ini sebagai hama, tetapi tidak merusak secara keseluruhan perkebunan teh, bahkan sangat membantu perekonomian petani pemetik teh. Hal ini disebabkan selain mendapatkan daun teh, petani setempat juga dapat mengambil kokon dari tanaman tersebut. Berdasarkan hasil proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F3), terlihat bahwa ulat kecil (instar 1-3) menkonsumsi daun yang masih muda dengan hanya memakan sebagian kecil saja, lebih banyak menkonsumsi daun yaitu pada ulat besar (instar 4-6) yang dapat memakan daun lebih tua, sehingga daun yang masih muda dapat diambil untuk pembuatan minuman teh. Selain itu tanaman teh adalah tanaman perdu dimana daunnya dapat diambil bagian pucuk saja dan dapat diperbanyak dengan stek.
108
7.6. Analisis Finansial Analisis produksi (analisis finansial) dari pemeliharaan ulat sutera liar A. atlas pada pakan daun sirsak untuk 20.000 ekor larva/ha, dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Modal Memelihara Ulat Sutera Liar A. atlas untuk 20. 000 ekor/Ha 1. Sarana dan Alat (biaya tetap) 1.1. Sebuah gedung untuk inkubasi telur dan pemeliharaan ulat kecil (instar 1-3) berukuran 5 x 6 meter Rp 5 000 000,1.2. Sebuah gedung untuk pemeliharaan ulat besar (instar 4-6) dan ruang masa pupasi, berukuran 9 x 6 meter
Rp. 10 000 000,-
1.3. Rak pemeliharaan ulat kecil dan inkubasi telur sebanyak 6 buah rak Rp. 1 800 000,1.4. Rak pemeliharaan ulat besar dan masa pupasi 9 buah Rp. 2. 700 000,2. Bahan Untuk Sterilisasi Ruangan 2. 1. Formalin 10 liter a. Rp 20.000,- = Rp. 200.000,2. 2. Poppzol 5 Kg a Rp. 10.000,- = Rp. 50.000,2. 3. Kaporit 25 Kg a Rp. 10.000,- = Rp. 250.000,3. Tenaga Kerja (biaya rutin) 3.1. Upah untuk 2 orang pekerja per/bulan selama satu tahun a Rp. 400 000,- = Rp. 9.600. 000. 4. Sewa tanah
= Rp. 3.000.000/tahun
109
b. Modal Pembuatan dan Pemeliharaan Kebun Sirsak Untuk 1 Ha Lahan 1. Bahan 1.1. Bibit 1000 pohon sirsak (jarak tanam 3 x 3 meter) a Rp. 2 500 = Rp. 2 500 000,1.2. Pupuk kandang 1000 blek a Rp 1 500 = Rp. 1 500 000,1.3. Alat semprot Rp. 500 000,1.4. Peralatan lain Rp. 300 000,2. Tenaga kerja 2.1. Pengolahan dan Perataan Tanah Rp 2.000 000,2.2. Pembuatan lubang dan isi pupuk Rp 2 000 000,2.3. Pemeliharaan kebun dan panen daun 2 orang = Rp. 9.600.000,-
c. Pengolahan Benang 1. Alat 1.1. Alat Pemasakan kokon Rp. 5.000.000,-. 1.2. Pengering kokon dan Benang Rp. 7.500.000,1.3. Cloos Rp. 7.500.000,1.4. Alat untuk reeling Rp 8.000.000,2. Bahan Untuk Pemasakan Kokon 2.1. Teepol (deterjen) 10 liter a Rp. 15.000 = Rp. 150.000,2.2. Soda kuastik (NaOH) 4 botol a Rp. 75.000 = Rp. 300.000,2.3. Sabun netral 2 karton a Rp. 100.000 = Rp. 200.000,-
110
3. Upah Pengolahan Benang dan Penenun 3.1. 2 orang x 12 (satu tahun) a. Rp. 400.000,- = Rp. 9.600.000,4. Pengolahan Kain 4.1. Alat Pintal
Rp. 10.000.000,-
4.2. Upah untuk 2 orang x 12 (satu tahun) a. Rp.400.000,- = Rp. 9.600.000,-
d. Produksi dan Pendapatan Jika larva yang dipelihara sebanyak 20.000 ekor dengan keberhasilan hidup 50 %, maka kokon yang dihasilkan sebanyak 10.000 butir kokon atau setara dengan 16.67 Kg kokon. (600 butir kokon setara dengan 1 Kg kokon), 1 kg benang menghasilkan 8 meter kain dengan harga/meter Rp 750.000,-. Apabila diproses akan menghasilkan 4.17 Kg benang. Hasil yang diperoleh adalah 4.17 Kg benang x 8 meter kain x Rp 750.000 = Rp 25.020.000,- untuk sekali panen, sehingga dalam satu tahun menghasilkan ( 4 kali panen dalam satu tahun) = Rp 100.060.000,-
e. Keuntungan : B = e – (a + b + c + d). Jika hasil yang didapatkan sebanyak 50 %, maka keuntungan yang diperoleh adalah 16.67 Kg kokon atau setara dengan 4.17 Kg benang x 8 x Rp 750. 000,- = Rp 25. 020 000 untuk sekali panen. ( 1 Kg benang menghasilkan 8 meter kain, satu meter kain harganya Rp 750.000). Maka keuntungan yang diperoleh adalah Rp 100. 060. 000 - modal usaha Rp 108.850.000,- = Rp -8.790.000,- untuk tahun pertama. Hasil analisis usaha pemeliharaan ulat sutera Attacus atlas selama lima tahun dapat dilihat pada Tabel 30. Gaji petani sutera untuk tahun pertama adalah Rp. -8.790.000 : 12 = Rp. -.732. 500.
111
Tahun kedua Rp. 64.260.000 : 12 = Rp 5.355.000,- untuk tahun ketiga, keempat dan kelima keuntungannya sama dengan tahun kedua.
Tabel 30. Analisis Usaha Pemeliharaan Attacus atlas (20.000 ekor larva/Ha Lahan Pohon Sirsak) dengan Keberhasilan Hidup 50 % Selama 5 Tahun Pengeluaran (Cost)
Produksi & pendapatan
1. Modal Pemeliharaan Ulat
Triwulan I 4,17 Kg Benang Tahun Pertama
Rp. 32.600.000,2. Pemeliharaan Kebun Rp. 18.400.000,3. Pengolahan Benang Rp. 57.850.000,4. Total pengeluaran Rp. 108.850.000,-
Keuntungan (Benefit)
= Rp. 25. 020.000,-
= Rp. -8.790.000,-
Triwulan II
Tahun Kedua
= Rp. 25.020.000,-
= Rp. 64.260.000,-
Triwulan III
Tahun Ketiga
= Rp. 25.020.000,-
= Rp. 64.260.000,-
Triwulan IV
Tahun ke-4 & ke-5 sama
= Rp. 25.020.000,-
dengan tahun ke-2 dan 3
Berdasarkan Tabel 30 dapat dijelaskan bahwa hasil analisis usaha ulat sutera Attacus atlas, dari 20.000 ekor larva yang dipelihara pada pakan daun sirsak dengan keberhasilan hidup 50 %, dapat memberikan keuntungan selama lima tahunn, yaitu Rp. 260.250.000,( hasil yang didapatkan dari tahun pertama sampai tahun kelima).
112
7.7. Kelebihan Sutera Liar Attacus atlas dibandingkan dengan Bombyx Mori Selama proses habituasi dan domestikasi
Attacus atlas (F1-F3), dengan
pemberian pakan daun sirsak dan teh menunjukkan kualitas lebih baik dibandingkan Bombyx mori, termasuk strain C301 (hasil persilangan dari ras Jepang dan China). Kelebihan kualitas tersebut antara lain : a). Attacus atlas merupakan hewan asli Indonesia, b). Attacus atlas adalah polyvoltin, c). Attacus atlas dapat menkonsumsi lebih dari 90 jenis tanaman pakan (polipagus), d). bobot kokon dan benang lebih baik, e). benang Attacus atlas warnanya alami dan eksklusif. Attacus atlas merupakan hewan asli Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua). Sedangkan Bombyx mori, termasuk strain C301 berasal dari negara sub tropis, sehingga Attacus atlas lebih tahan dengan iklim Indonesia dibandingkan dengan Bombyx mori. Attacus atlas adalah hewan polyvoltin, artinya serangga ini dapat hidup lebih dari satu generasi dalam satu tahun, bahkan ada sepanjang tahun (Januari sampai Desember), sedangkan Bombyx mori adalah Bivoltin yaitu dapat hidup tidak lebih dari dua generasi dalam satu tahun. Hal ini dapat dibuktikan dari proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F3) yang dapat dipelihara sepanjang tahun, pada musim kemarau maupun musim hujan . Attacus atlas merupakan hewan polipagus, yaitu dapat menkonsumsi pakan lebih dari 90 jenis tanaman pakan, sehingga dapat beradaptasi sesuai dengan ketersediaan pakan, diantaranya pohon sirsak, dadap, gempol, mahoni, alpokat, cengkeh dan tanaman
113
tahunan lainnya. Sedangkan Bombyx mori adalah monopagus, artinya dapat menkonsumsi satu jenis tanaman pakan saja (Murbei). Kualitas bobot kokon dan benang dari Attacus atlas jauh lebih besar dibandingkan dengan Bombyx mori. Hal ini dapat dibuktikan dari proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F3), menunjukkan bobot kokon berisi pupa antara 6.61 – 13 gram/kokon dan panjang benang sekitar 2500 meter. Sedangkan Bombyx mori berat kokon berkisar antara 2.5-3 gram dengan panjang benang antara 1500-2000 meter. Benang yang dihasilkan dari kokon Attacus atlas warnanya alami dan sangat eksklusif (coklat, coklat muda dan keabu-abuan), sedangkan pada Bombyx mori warnanya hanya satu jenis yaitu warna putih. Keunggulan lain dari sutera Attacus atlas ini adalah kain hasil tenunnya lembut, tahan panas, tidak kusut dan tidak alergi.
114
VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dari rangkaian penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dapat didomestikasi dalam ruangan atau di laboratorium. 2. Keberhasilan pemeliharaan dalam ruangan (domestikasi) mencapai 100 %, siklus hidup menjadi lebih pendek, produksi kokon banyak (F1 › F2 › F3) dan produksi telur lebih banyak. 3. Kuantitas dan kualitas pakan serta kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan dan produktivitas ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae). 4. Pakan alami daun teh mempunyai kualitas lebih baik untuk pemeliharaan ulat sutera liar A. atlas, bila dibandingkan dengan pakan daun sirsak. 5. Skala hasil domestikasi sangat menguntungkan apabila pakan tersedia secara memadai, kondisi tempat pemeliharaan yang optimal dan produksi dapat dilakukan setahun empat kali panen.
8.2. Saran 1. Untuk meningkatkan keberhasilan hidup dan produksi kokon/benang sutera sebaiknya dilakukan pemeliharaan larva ulat sutera A. atlas di dalam ruangan (ex situ). 2. Untuk menjamin terjadinya perkawinan, karena kemunculan imago jantan lebih cepat dari pada imago betina, maka perlu dipelihara secara simultan (tidak bersamaan).
115
3. Perlu dilakukan berbagai penelitian lebih lanjut berbagai macam pakan alami yang produktivitas daun lebih banyak daripada sirsak dan teh. 4. Untuk mempercepat dan memperbanyak produksi telur, maka jumlah kokon disiapkan sebanyak-banyaknya sehingga imago Attacus atlas, antara jantan dan betina seimbang (pada saat bersamaan dapat kawin dan bertelur). 5. Agar Kualitas kokon lebih baik, maka diusahakan pembuatan tempat untuk pengokonan secara terpisah dengan ruang pemeliharaan.
116
DAFTAR PUSTAKA Akai, H. 1997. Recent of Wild Silkmoth and Silk Research. Makalah Seminar Prospek Pengembangan Ulat Sutera Liar Indonesia dan Prospek Kerjasama Kyoto. Pusat Studi Jepang UGM. Yogyakarta. Anonim. 1988. Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna P.T Dai Nippon Printing Indonesia, Jakarta. Anonim. 1998. Profil Budidaya Attacus. Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Yoyakarta dan Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta. APPMI, 2004. Eksklusifnya Sutera Liar. Persuteraan Alam Indonesia, hal 8. Jakarta. Atmosoedarjo, 2000. Sutera Alam Indonesia. Penerbit Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Borror, D.J, C.A. Triplehorn dan N.F. Jhonson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga (Terjemahan). Edisi ke-6. Gadjah Mada University Press. Chapman, R.F. 1969. The Insects Structure and Function. The English Universities Press Ltd. London. Cui, H., Gongyi.Y and Xuefang, L. 1994. Preliminary Studies an Effects of Jinlu, an Inidozale Derivate with Water Solubility on the Growth and Development of the Japanese Oak Silkworm, Anthereae yamami. Int.J. Wild. Silk 1. 99-102. Dadang, W.I. 1998. Sutera Alam Menunggu Dibangkitkan. Trubus. Juli No. 344 Th. XXIX, Jakarta : 47-48. Ekastuti, D. R. 1999. Pengaruh Kadar Air Pakan Terhadap Katabolisme Nutrien, Pertumbuhan dan Kinerja Produksi Ulat Sutera Bombyx mori L. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ekastuti, D. R. 2005. Pengaruh Kadar Air Pakan Terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Ulat Sutera (Bombyx mori). Jurnal Medis Veteriner Indonesia (Indonesian Journal of Veteriner Medicine) Vol 9 No. 2 Juli 2005 : 47-53. Elzinga, R.J. 1978. Fundamentals of Entomology. Prentice Hall of India. Private limited. New Delhi. FAO, 1979. Non Mulbery Silk. FAO Agriculture Service Bulletin 29. Publication Division, Food and Agriculture Organization of the United Nation. Via delle Teme, Caracolla, Italy.
117
Guntoro, K. 1994. Budidaya Ulat Sutera. Cetakan Pertama. Penerbit Kanisius, Yokyakarta. Hadley, 1977. Ocellus Variation and Wingspan in Attacus atlas L. (Saturniidae). J. Res. Lepi 16 (3) : 141-145, England. Hamamura, Y , K. Hayashiya, K. Naito; K. Matsura and J. Nishida. 1962. Food selection by silkworm larvae. Nature, 194 (4830) : 755. Hsiao, T.L. 1985. Feeding Behaviour. In G.A. Kerkut, & L. I. Gilbert. Comprehensive Insect Physiology, Biochemistry and Pharmacology (Behavior). Vol. 9. Pergamon Press, Oxvord . Huang Gun Rui, 1997. Silk Reeling (Cocoon Silk Study). Science Publisher Inc. U.S.A. ISA, 1990. Silk Weaving, Dyeing & Finishing. Japan International Cooperation Agency. ISA, 2000. Sericologia 40 (4). Japan International Cooperation Agency. Jolly, M.S., S.K. Sen, T.N. Sonwalker & G.K. Prasad. 1979. Non Murberry Silk. FAO Agriculture Service Bulletin No. 29. FAO United Nation. Rome, Italy. Joly, S. 1987. Appropriate Sericulture Techniques Instructional Center for Training and Research in Tropical Sericulture. Mysore-India. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest Crop in Indonesia. Reviced and Translated by P.A. Van Der Laan. P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Luki, A. 2003. Jalur Sutera yang Kian Terjal. Dalam Kompas. Hal 28 Kolom 1-2 Rabu, 5 maret 2003. Maji, K. and Chatterijee, M. 1994. “Some Characteristic Aspect of Wild Silk Cocoon. (Int. J. Wild. Silk) 1. 93-98. Maida, R. and Ziesman, 2001. Female Attacus atlas Respond to Pheromons of Antheraea polyphemus Comparative Electrophysiological and Biochemical Study. MaxPlant Institut Fur Verhaltensphysiologie, Germany. Cham.Res. 26 : 17-24. Mani, M.S. 1973. General Entomology. 2nd edition. Oxford and I.B.H. Publishing Co., New Delhi. Miller, D and Miller, Y. 2004. The Butterfly Handbook. First edition for the United Kingdom published. London Mitra Bisnis, 2000. Sutera Coklat Ulat Badori Menunggu Investor. Buletin Persuteraan, Jakarta.
118
Moerdoko, W. 2002. Sutera Alam Pengembangan Terakhir dan Prospeknya di Indonesia. Disampaikan Pada Konferensi Internasional Tentang Sutera Alam Yang Dihasilkan Oleh Ulat Sutera Liar. Yogyakarta. Mulyana, 2003. Teknologi Pengolahan Sutera Alam. Workshop Sinergi Pengembangan Hasil Litbang, Bandung. Nayak, B. at al. Inovation of Technology for Comercial rearing of India Wild Tasar Silk the Insect, Godamodal Ecorace of Antheraea paphia L. (Lepidoptera : Saturniidae). Int. J. Wild Silk 1. 75-79. Paul, D.C., G. Subra Rao and D. C. Deb. 1992. Impact of Dietary Moisture on Nutritional Indices and Growth of Bombyx mori and Concommitant Larval Duration. J.Insect Physiol.., 38 : 229-235. Peigler, R.S. 1989. A. Revision of the Indo Australian Genus Attacus. The Lepidoptera Research Foundation, Inc. Beverly Hills, California. Radi, J. 1997. Sirsak Budidaya dan Pemanfaatannya. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Reese, J.C. and S. D. Beck. 1978. Interrelationschips of Nutritional Indices and Dietary Moisture in the black Cutworm (Agrotis ipsilon) digestive effeciency. J. Insect Physiol., 24 : 473-479. Romulo, V.J. 1997. Daur Hidup dan Faktor Mortalitas Attacus atlas L. Departemen Biologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Roni. R. 2005. Teknik Pengolahan Sutera Liar Attacus atlas menjadi benang. Industri Tenun Sutera dan Kerajinan Tangan Gunung Bayu Bangkit. Purwakarta. Saleh, 2000. Sutera Alam Menunggu Investor. Mitra Bisnis Hal. 8-9, Minggu III April 2000. Jakarta. Saleh, 2004. Eksklusifnya Sutera liar. Tabloid Persuteraan Alam Indonesia, . Hal. 7-8 April 2004. Jakarta. Scriber, J. M. 1979. Efect o Leaf Water Supplementation Upon post-ingestive Nutritional indices of forb-shurb-,vine and tree eeding lepidoptera. Ent. Exp. & appl. 25 : 240-252. Ned. Entomol. Ver. Amsterdam. Setyamijaya, 2002. Budidaya Tanaman Teh dan Pemanfaatannya. Penerbit Kanisius Yogyakarta Samsijah, 1994. Sutera Alam. Hutan dan Kehutanan, Pusat Dokumentasi dan Informasi Manggala Wanabakti. Jakarta.
119
Simbolon, K dan Ismani, A. 1990. Jenis Kupu-kupu yang dilindungi Undang-undang di Indonesia. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Alam, Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Situmorang J, 1996. An Attemp to Produce Attacus`atlas L., Using Baringtonia Leaves as Plant Fooder. Int. J. Of Wld Silkmoth and Silk. 1. 25-29. Steel, RG, J.H. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik . Gramedia Jakarta. 748p Steinman and Zombori, 1981. An Atlas of Insect Morphology. Akademi Kiado Budapest. Hungary. Subagyo, 2000. Daur Hidup Attacus atlas L., (Lepidoptera : Saturniidae) dengan pemberian Pakan Daun Mahoni (Swietenia mahagoni J.) di Alam. Skripsi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Subyanto & Sulthoni. A. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Program Nasional Pelatihan dan Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Sunarjono, H. 2005. Sirsak dan Srikaya. Budi daya Untuk Menghasilkan Buah Prima. Seri Agrobisnis. Penerbit Penebar Swadaya. Bogor. Syamsuri, S. 1995. Peluang Persuteraan Alam Bagi Pengusaha Kecil. Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran Bandung. Tazima, J. M. 1978. The Silkworm : an Important Laboratory Tool. Kodansha Tokyo. Tjiptoro, 1997. “Daur Hidup Attacus atlas L. Dengan pemberian Pakan Daun Gempol (Nauclea orientalis) di Laboratorium” . Skripsi Fakultas Biologi Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Teramoto, N. 1994. Serious Insect Pest Attacking Deciduous Oaks (Fagaraea) as the Food Plants of the Wild Silk Saturniidae moth, Antheraea yamami, in Japan. J. Wild Silk 1. 75-79. Veda, K.I. Nagai, and M. Harikomi. 1997. Silkworm Rearing. Science Publisher Inc, U.S.A. Wahyudi, A. 2000. Keberhasilan Hidup Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Pada Tanaman Dadap Dan Gempol di Lapangan. Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Wang San, M. 1989. Silkworm Egg Production. FAO Agriculture Service Bulletin 3. FAO United Nation Rome, Italy.pp. 9-11.
120
Widayat, S. 2003. Silk Weaving, Dyeing & Finishing For SME Textile Industry. Japan International Cooperation Agency. Widyarto, 2001. Keberhasilan Hidup Attacus atlas L. (Lepidoptera : Saturniidae) Pada Pakan Daun Gempol dan Keben di Lapang. Skripsi Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Yatim, W. 2003. Kamus Biologi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Zebua, B.B.T.U. 1997. Daur Hidup Attacus atlas L. dengan Pemberian Pakan Daun Dadap (Erythrina lithosperma Miq.) di Laboratorium. Skripsi Fakultas Biologi Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
.
121
LAMPIRAN
122
Lampiran 1
A
B
C Gambar a. kebun unit lapang Sukamantri Bogor b. Pusat pelatihan sutra alam Sukamantri Bogor c. Rumah pemeliharaan ulat Sukamantri Bogor
123
Lampiran 2
Gambar laboratorium Analisis Proksimat Pakan PAU IPB Bogor
124
Lampiran 3
A
B
Gambar a dan b lokasi pengambilan sampel kebun peternakan ulat Cisomang Purwakarta
125
Lampiran 4
B Gambar a. Tempat inkubasi telur b. Kandang perkawinan imago
126
Lampiran 5
A A
B
C Gambar a. Rak pemeliharaan ulat b. Wadah masa pupasi c. Kandang pemeliharaan imago
127
Lampiran 6
B Gambar a. Alat perebusan kokon b. Alat pengeringan kokon dan benang
128
Lampiran 7
A
B
C
Gambar a. Alat Hund Spund untuk proses penyeratan benang b. Hasil Penyeratan pada tiap sampel c. Benang hasil penyeratan
129
Lampiran 8
A
B Gambar a. Mesin tenun b. Kain hasil tenun
130