BAB 1: PENDAHULUAN
Subsidi merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam membantu kondisi perekonomian negara. Kebijakan tersebut dilakukan dengan cara memberikan uang kepada produsen untuk menekan harga suatu barang dibawah harga pasar. Tujuan bertujuan melindungi masyarakat yang memiliki daya beli rendah agar dapat membeli barang tersebut. Bahan bakar minyak (BBM) adalah komoditas yang sampai saat ini belum ada barang subtitusi yang setara. Oleh karena itu, BBM merupakan suatu kebutuhan mutlak masyarakat yang sampai saat ini belum ada penggantinya. Beberapa tahun yang lalu, negara masih dapat memenuhi kebutuhan masyarakat atas BBM karena jumlah produksi yang dihasilkan lebih besar daripada konsumsi masyarakat, sehingga pemerintah dapat mengekspor sisanya dan mensubsidi kebutuhan dalam negeri. Akan tetapi, saat ini kondisi riilnya berkebalikan dengan masa lalu. Jumlah produksi saat ini dengan proyeksi kebutuhan tidak seimbang, dimana jumlah produksi lebih sedikit daripada proyeksi jumlah konsumsi BBM. Kondisi tersebut mengakibatkan pemerintah harus mengimpor sisa dari kebutuhan masyarakat guna memenuhi kebutuhan tersebut. Hal tersebut mengakibatkan harga BBM menjadi melambung tinggi, dan untuk menjaga daya beli masyarakat maka pemerintah memberikan subsidi BBM. Menurut jurnal kajian Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, subsidi BBM memiliki dampak positif seperti mendorong perkembangan industri yang dapat menyerap lapangan kerja. Namun pada kenyataannya, pemerintah malah melarang industri untuk menggunakan BBM bersubsidi. Sehingga subsidi BBM difokuskan konsumsi masyarakat saja. Data tahun 2012 milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa dengan kurs 1US$=Rp 8800 dan harga minyak mentah Indonesia di kisaran harga 90US$ per barel, maka diperkirakan harga minyak mentah seharusnya sekitar Rp 4981. Pengolahan minyak mentah untuk menjadi bensin
premium dan mendistribusikannya ke masyarakat diperkirakan memakan biaya Rp 3019. Maka, harga pokok dan distribusi BBM jenis premium adalah Rp 8000 per liter.1 Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2012, pemerintah harus mensubsidi BBM Rp 3500 per liter dengan kurs 1US$=Rp 8800 dan harga minyak mentah per barel sekitar 90US$. Tahun ini kurs rupiah ke dollar sekitar 1US$=Rp 9700 dan harga minyak mentah Indonesia sekitar 105US$ per barel. Artinya, harga BBM bersubsidi sudah tidak berada dikisaran harga Rp 8000 per liter melainkan dikisaran Rp 10000 per liter.2 Sehingga, saat ini pemerintah mensubsidi BBM bersubsidi 100% lebih dari harga seharusnya. Selain merugikan rakyat menengah kebawah, kebijakan pemerintah yang merupakan akibat dari kebijakan BBM bersubsidi adalah tidak maksimalnya operasional TNI dan POLRI akibat pelarangan penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan mereka. Kasus tersebut dialami oleh Polair Polda DIY karena konsumsid BBM untuk Polair Polda DIY hanya dijatah 1400 liter per bulan. Padahal untuk patroli Sadeng – Congot, Kulonprogo yang membutuhkan waktu sekitar delapan jam, satu kapal patroli butuh BBM 600 liter. Jumlah 1400 liter tersebut sudah termasuk operasional kendaraan di darat3. Jelaslah bahwa dalam kebijakan BBM bersubsidi ini tidak hanya tidak tepat sasaran, tapi juga menimbulkan efek domino kepada sektor lain. Bisa dibayangkan kerugiaan non materiil lainnya akibat tidak masksimalnya operasioanal patroli Polisi dan TNI dalam menjaga wilayah Indonesia karena terbatasnya BBM yang disediakan untuk operasional mereka. Kerugiaan tersebut dapat berupa penyelendupan manusia (human trafficking), penyelundupan barangbarang yang dilarang, dll.
1
10 Jawaban Kenaikan Harga BBM, Kementerian ESDM http://economy.okezone.com/read/2013/04/30/19/800063/hatta-hargakeekonomian-bbm-nonsubsidi-rp10-ribu 3 http://www.wonogiripos.com/2013/jogjapolitan/bantul2/jatah-bbm-terbataspolair-malah-ingin-jaring-ikan-376787 2
1
BAB 2: KETIDAKADILAN SUBSIDI BBM
Ketidakadilan
dari
bbm
bersubsidi
bersumber
pada
penggunaan
serta
pengalokasian bbm tersebut. Mayoritas penggunaan bbm bersubsidi tersebut dihabiskan oleh kendaraan pribadi khususnya mobil. Asumsinya, seseorang yang memiliki mobil adalah seseorang dengan tingkat ekonomi menengah keatas yang tidak pantas untuk menerima subsidi yang dikhususkan untuk orang yang tidak mampu. Data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan mencatat bahwa pada tahun 2011, 53% dari bbm bersubsidi dihabiskan oleh mobil pribadi dengan nilai sebesar Rp 77.9 Triliun kemudian diikuti dengan sepeda motor dengan 40% (Rp 58.8 Triliun). Sedangkan kendaraan umum dan kendaraan angkutan barang hanya menggunakan sebesar masing-masing 3% (Rp 4.1 Triliun) dan 4% (Rp 5.9 Triliun). Angka tersebut juga sesungguhnya telah melebihi target subsidi bbm dimana pemerintah hanya mencanangkan Rp 129.7 Triliun yang pada realisasinya justru melebihi jumlah tersebut sebesar 127.4% atau sekitar Rp 165.2 Triliun. Hal tersebut menunjukkan bahwa kendaraan umum dan kendaraan pengangkut barang yang notabene nya merupakan salah satu sarana pelayanan dan pemenuhan kebutuhan orang banyak justru menerima jumlah bbm bersubsidi dengan jumlah yang paling sedikit. Harusnya, justru angkutan umum dan angkutan barang lah yang menerima bbm bersubsidi dengan jumlah yang lebih besar untuk menekan biaya operasional mereka sehingga jasa mereka bisa ditawarkan dengan harga yang lebih murah. Karena selain melayani kepentingan umum, angkutan umum pada khususnya juga dapat membantu daerah-daerah yang sering dilanda kemacetan untuk meningkatkan antusianisme masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum sehingga dapat membantu mengurangi kemacetan. Asumsinya, sebagian pemilik mobil merupakan golongan menengah ke atas sehingga mereka sudah tidak pantas menikmati subsidi bbm karena mereka
2
termasuk golongan orang-orang yang mampu. Dilihat dari harga per unitnya, mobil berada di kisaran harga barunya paling murah sekitar Rp 125 juta, bandingkan dengan motor yang harga barunya paling murah sekitar Rp 12 juta. Selain itu, pada dasarnya juga mobil jauh lebih boros dalam mengkonsumsi bbm (Testimoni dari beberapa situs komparasi tentang konsumsi bbm mobil, mobil avanza yang mayoritas banyak digunakan di Indonesia, rata-rata rasio 1L bbm dapat menempuh sekitar 10km. Sedangkan untuk motor supra x 125, rasionya rata-rata 1L bbm dapat menempuh sekitar 60km). Oleh karena itu jika dikaitkan dengan data dari Dirjen Perhubungan Darat, tepatlah jika disebut bahwa subsidi bbm pada saat ini tidak tepat sasaran, karena berdasarkan harga per unitnya dapat disimpulkan bahwa mayoritas pemilik mobil merupakan golongan menengah ke atas dengan konsumsi bbm yang cukup besar. Ketidakadilan lainnya adalah kuota bbm bersubsidi banyak dihabiskan oleh masyarakat yang mayoritas berada di pulau jawa. Berdasarkan indeks Williamson (IW) yang diolah oleh Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D. dalam buku yang ditulisnya yang berjudul Mudah Memahami & Menganalisis Indikator Ekonomi , angka IW yang diperoleh adalah 0.82 (lihat lampiran 1), artinya terjadi ketimpangan yang relatif besar di Indonesia. Angka tersebut hanya sedikit lebih baik dari hasil olah data tahun 2001 yang menghasilkan angka 0.84 (lihat lampiran 2). Oleh karena itu, Prof. Sudrajad menyimpulkan bahwa”... tidak ada perubahan signifikan dari adanya rezim pemerintahan maupun era otonomi daerah dengan paradigma baru.” Dikutip dari Jurnal Nasional tanggal 9 April 20134, data tahun 2011 mencatat bahwa provinsi DKI Jakarta tercatat sebagai provinsi terboros dengan konsumsi melebihi kouta sebesar 37,40 persen (padahal dari data yang dihasilkan oleh penelitian Prof. Sudrajad, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan PDRB per kapita tertinggi [Rp 41 juta]) disusul Jabar 24,30 persen, dan Kalbar 20,70 persen. Dari sumber yang sama tercatat bahwa pulau jawa merupakan daerah terboros dalam mengkonsumsi premium bersubsidi. Tercatat bahwa provinsi Jawa Barat tercatat sebagai provinsi paling boros dalam konsumsi premium bersubsidi, 4
http://www.jurnas.com/halaman/6/2013-04-09/240317 3
sebesar 16,36 persen dari kuota nasional, kemudian Jawa Tengah dengan 10,61%, Jatim dengan 13,83%. Gabungan ketiga provinsi ini menghasilkan 40,8% kuota nasional bbm bersubsidi dihabiskan hanya di 3 provinsi di pulau jawa saja. Angka tersebut belum termasuk provinsi Banten, DKI Jakarta, dan D.I. Yogyakarta. Hal demikian juga ditemukan pada alokasi solar bersubsidi, dimana 50,19% dari kuota nasional dihabiskan di pulau Jawa. Tidak salah apabila beberapa waktu yang lalu (tepatnya hampir setahun yang lalu), 4 gubernur Kalimantan5 memprotes pemerintah karena pemotongan kuota bbm bersubsidi. Jelaslah terjadi ketimpangan dalam pengalokasian kuota bbm bersubsidi kepada daerah-daerah di Indonesia. Pengurangan kuota tersebut dapat diakibatkan karena konsumsu masyarakat di daerah lainnya melebihi kuota yang ditetapkan sehingga pemerintah guna mencegah defisit APBN yang semakin parah dan “citra baik di mata masyarakat”, pemerintah justru memotong kuota daerah lain guna memenuhi kebutuhan dari yang lain. Padahal pada saat itu di Kalimantan terjadi antrian bbm yang panjang, mulai dari 500 meter hingga 2 km dari SPBU. Hal tersebut justru menambah masalah karena para gubernur Kalimantan mengeluarkan suatu ancaman balik untuk tidak memasok batu bara ke pulau Jawa. Inilah ketidakadilan dari subsidi bbm yang salah satu solusi terbaiknya adalah menaikkan harga bbm bersubsidi yang berarti menambah kuota bbm bersubsidi tanpa harus membuat defisit APBN bertambah. Namun karena pertimbangan (mengutip dari artikel Jurnal Nasional tanggal 9 April 2013) “... kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi akan sangat memperburuk citra pemerintah. Pemerintah akan dianggap gagal, neoliberal, dan tidak pro kepentingan masyarakat.” Namun (kembali mengutip tulisan yang sama di Jurnal Nasional), ”... akan menarik jika pengurangan subsidi BBM dapat dianggap sebagai bentuk nasionalisme baru dari kewajiban bela negara, karena bangsa ini sudah terlalu lama dimanja dengan subsidi yang tidak rasional.”
5
http://finance.detik.com/read/2012/05/10/172008/1914325/1034/kuota-bbmsubsidi-dipangkas-4-gubernur-kalimantan-ancam-jero-wacik?991104topnews 4
BAB 3: PERMASALAHAN TERKAIT SUBSIDI BBM
Kementerian ESDM mencatat bahwa kebutuhan bbm Indonesia mencapai angka 1.3 juta barrel per hari (tahun 2012)6. Padahal, lifting minyak kita saat ini adalah 835 ribu barrel per hari (835.230 barrel per hari lebih tepatnya). Oleh karena itu, pemerintah harus mengimpor bbm dari luar negeri sebanyak kurang lebih 500 ribu barrel per hari. Namun menurut bapak Rubi Rubiandini (Kepala BP Migas pada saat itu), secara total jumlah minyak yang diimpor Indonesia adalah sebanyak 700 ribu barrel per hari dengan rincian 200 ribu barrel adalah minyak mentah, sedangkan sisanya adalah bbm. Akibat dari mengimpor inilah yang sangat mempengaruhi harga bbm bersubsidi. Hal tersebut dikarenakan harga bbm impor ditentukan oleh harga minya mentah dunia yang sering sekali fluktuatif. Data Kementerian ESDM sendiri mencatat bahwa kenaikan harga minyak US$ 1 per barel dengan asumsi kurs Rp 9.000 per dolar akan menaikan penerimaan ke negara sebesar Rp 3,37 triliun, akan tetapi kenaikan US$ 1 barel itu juga meningkatkan pengeluaran negara dalam jumlah yang lebih besar, yakni Rp 4,3 triliun. Artinya kenaikan harga minya membuat defisit anggaran pemerintah sebesar kurang lebih Rp 1 Triliun. Hal tersebutlah yang menjadi penyebab utama beratnya beban subsidi bbm bagi APBN. Faktor perubahan harga sedikit saja membuat negara merugi Rp 1 triliun. Rumitnya proses eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber minyak yang ekonomis untuk dieksploitasi. Contohnya adalah eksplorasi Exxon di selat Makassar pada tahun 2011. Untuk pengeboran di laut dibutuhkan biaya sekitar 90 s/d 100 juta US$ atau sekitar Rp 800 miliar s/d Rp 1 triliun untuk satu pengeboran. Namun, setelah dieksplorasi ditemukan fakta bahwa cadangan minyak tersebut ternyata tidak ekonomis untuk dieksploitasi. Hal tersebut merupakan bukti bahwa sekalipun ada cadangan minyak di suatu tempat, namun belum tentu cadangan minyak tersebut dapat menghasilkan keuntungan apabila dilakukan kegiatan eksploitasi pada lokasi cadangan minyak tersebut. Sedangkan 6
http://finance.detik.com/read/2012/04/11/203221/1890362/1034/tiap-hariindonesia-impor-bbm-500000-barel 5
perusahaan minyak yang melakukan ekplorasi tersebut harus menanggung kerugian akibat tidak adanya feedback dari eksplorasi tersebut. Demikian pula terkait dengan jumlah cadang minyak yang saat ini dimiliki oleh BUMN pengelola bbm, yaitu Pertamina. Data yang diolah oleh bapak Benny Lubiantara dalam bukunya yang berjudul Ekonomi Migas; Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas, menunjukkan fakta bahwa Pertamina saat ini hanya memiliki cadangan minyak sebesar 1.505 juta barrel. Jumlah tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan cadangan minyak milik Petronas yang berjumlah sebesar 7.876 juta barrel. Tabel dibawah akan memperlihatkan kondisi Pertamina dibandingkan dengan perusahaan minyak lainnya,: Peringkat Perusahaan
... ...
1 Saudi Aramco 2 NIOC 3 INOC 4 KPC 5 PDVSA 6 ADNOC ... 20 Petronas ... 44 Pertamina
Asal Negara Arab Saudi
Kepemilikan Negara 100%
264.200
Iran Irak Kuwait Venezuela UEA ... Malaysia ... Indonesia
100% 100% 100% 100% 100%
138.400 115.000 101.500 99.377 52.800
...
Jumlah Cadangan Minyak (dalam juta barrel)
... 100%
...
7.876 ...
100%
1.505
Apa yang membuat jumlah cadangan Pertamina lebih kecil dibandingkan yang lain? Salah satu jawabannya adalah kurangnya political support dari pemerintah. Selama ini Pertamina sudah melakukan ekspansi kegiatan eksploitasi minyak ke luar negeri seperti Irak. Akan tetapi, pemerintah belum mau memberikan Pertamina kepercayaan untuk mengelola ladang minyak yang ada di Indonesia sendiri. Yang paling baru adalah permasalahan blok mahakam dimana ada indikasi pemerintah lebih condong untuk memperpanjang kerja sama dengan perusahaan minyak asal Prancis, Total dibandingkan dengan memberikan pengelolaan ladang tersebut kepada Pertamina.
6
BAB 4: KESIMPULAN, SOLUSI, DAN SARAN
Permasalahan subsidi bbm yang terjadi di Indonesia merupakan suatu masalah yang kompleks. Hal tersebut berawal ketika produksi minyak kita tidak mencukupi
kebutuhan
semua
masyarakat.
Akibatnya
pemerintah
harus
mengimpor minyak dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tersebut. Hal tersebut mengkibatkan harga bbm bersubsidi sangat sensitif terhadap perubahan harga. Selama ini pemerintah selalu berkorban dengan memotong anggaran pemerintah yang lain seperti belanja barang modal, dana sosial, dsb. Data dari Kementerian ESDM mencatat bahwa,”Dalam RAPBN 2012 Pemerintah telah memotong belanja Kementerian/Lembaga Negara yang dapat ditunda ke tahun-tahun berikutnya. Contoh-contoh pengurangan belanja itu antara lain: Kementerian Sekretariat Negara, dari Rp 2.606 miliar menjadi Rp 1.977 miliar, turun Rp 629 miliar. Kementerian Dalam Negeri, dari Rp 17.134 miliar menjadi Rp 16.542 miliar, turun Rp 592 miliar. Kementerian Luar Negeri, dari Rp 5.242 miliar menjadi Rp 4.977 miliar, turun Rp 265 miliar. Kementerian Pertahanan, dari Rp 72.538 miliar menjadi Rp 72.527 miliar, turun Rp 281 miliar. Kementerian Keuangan, dari Rp 17.780 miliar menjadi Rp 16.914 miliar, turun Rp 866 miliar. Dan demikian juga kementerian dan lembaga negara lainnya”. Oleh karena itu, guna menjaga APBN sekaligus menambah kuota, pemerintah akan menaikkan harga bbm bersubsidi. Kebijakan ini tidak serta merta sama dengan mencabut subsidi itu sendiri, tetapi hanya mengurangi jumlah subsidinya untuk menambah kuota bbm agar kebutuhan masyarakat tetap terpenuhi dan tidak mengganggu APBN yang sejak dari awalnya memang defisit sehingga tidak menjadi semakin defisit. Untuk melindungi rakyat miskin sekaligus membantu mereka pada saat masa transisi, pemerintah sudah merumuskan beberapa rancangan rencana kebijakan pengiring kenaikan harga bbm. Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM mempunyai rancangan bantuan kepada masyarakat miskin berupa Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Subsidi Beras Miskin (Raskin), Subsidi Siswa Miskin (SSM) dan Subsidi Transportasi Angkutan Umum. BLSM 7
akan diberikan kepada 18,5 juta rumah tangga selama 9 bulan dengan jumlah yang diterima setiap rumah tangga sebesar Rp 150.000. Total dana yang dialokasikan termasuk untuk biaya operasionalnya adalah Rp 25,6 trilyun. Lama penyaluran Raskin akan ditambah dari semula 12 bulan menjadi 14 bulan masingmasing 15 kg per bulan. SSM diberikan kepada siswa SD, SMP, SMA dan SMK. Total dana yang dialokasikan adalah Rp 3,4 trilyun. Subsidi transportasi berjumlah Rp 5 trilyun dan diberikan dalam bentuk: - Penambahan anggaran PSO (Public Social obligation) untuk angkutan umum penumpang dan barang. - Kompensasi terhadap pajak kendaraan bermotor, biaya administrasi pengurusan STNK.7 Agar pengaplikasiannya tepat sasaran, maka diperlukan pengawasan dan kontrol yang ketat guna mengawal program tersebut. Selain itu dapat digunakan sistem kupon atau voucher dengan mekanisme cashback bagi masyarakat miskin yang membeli BBM bersubsidi dengan menunjukkan kartu tanda tidak mampu (seperti yang diaplikasikan di rumah sakit). Solusi lain yang ditawarkan oleh bapak Tumiran, anggota Dewan Energi Nasional dan paker energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) menilai kombinasi penaikan harga secara bertahap sebesar Rp500 tiap 3 bulan dan percepatan program konversi BBM ke gas dinilai sebagai langkah yang tepat guna mengurangi volume penggunaan BBM bersubsidi. Dia juga berpendapat bahwa seharusnya APBN digunakan untuk menciptakan lapangan kerja, membangun infrastruktur dan menggerakkan industri bernilai tambah di dalam negeri. Tujuan menaikkan harga BBM bersubsidi Rp 500 setiap 3 bulan agar masyarakat dapat menerima kenaikan harga tersebut dibandingkan dengan menaikkan sebesar Rp 2000 atau Rp 3000 sekaligus.8
7
10 Jawaban Kenaikan Harga BBM, Kementerian ESDM http://www.bisnis.com/subsidi-apbn-pakar-energi-ugm-dukung-penaikan-hargabbm-rp5000 8
8
Selain itu harus adanya revitalisasi angkutan umum khususnya di wilayah ibukota DKI Jakarta (karena sebagian besar BBM bersubsidi dikonsumsi warga DKI) agar masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Dengan begitu konsumsi BBM bersubsidi di wilayah DKI Jakarta dapat ditekan sekaligus dapat membantu mengurangi kemacetan di DKI Jakarta. Untuk menambah cadangan minyak milik Pertamina, pemerintah sebaiknya lebih mengutamakan Pertamina dalam pengelolaan eksploitasi ladang minyak yang ada di Indonesia saat ini. Political support inilah yang dibutuhkan Pertamina untuk mengelola dan mengeksploitasi sumber-sumber minyak yang ada. Selain melakukan eksploitasi di dalam negeri, pemerintah juga harus menjalin kerja sama dengan negara yang memiliki banyak cadangan minyak untuk membantu Pertamina melakukan eksploitasi di negara tersebut. Subsidi sebaiknya tidak digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan konsumtif melainkan untuk subsidi yang bersifat investasi seperti pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan dan infrastruktur transportasi agar pengiriman barang antar kota dan bahkan pulau bisa berjalan lebih cepat.
9
DAFTAR PUSTAKA
Lubiantara, Benny, 2012, Ekonomi Migas; Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Kuncoro, Prof.
Mundrajad Ph.D., 2013,
Mudah Memahami
&
Menganalisis Indikator Ekonomi, UPP STIM YKPN, Yogyakarta
Model Proyeksi Konsumsi BBM Bersubsidi, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
10 Jawaban Kenaikan Harga BBM, Kementerian ESDM
The Economist
10