1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi hasil adalah suatu sistem perjanjian pengelolaan tanah dengan upah sebagian dari hasil yang diperoleh dari pengelolaan tanah itu. Menurut Undangundang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil dalam Pasal 1 huruf c dinyatakan bahwa perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun yang diadakan antara pemilik pada sesuatu dan seorang atau badan hukum pada pihak lain yang dalam Undang-undang ini disebut penggarap berdasarkan mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak. Kerjasama pengelolaan sawah antara petani dan pemilik sawah tidak terdapat suatu hubungan yang mengikat, hubungan kerjasamanya hanya terbatas pada pekerjaan dan bagi hasil, baik terhadap petaninya sendiri maupun pemilik tanah. Dalam praktek kerjasama pengelolaan sawah, perjanjian di antara petani dan pemilik tanah/sawah dilakukan secara lisan, meskipun hal tersebut kurang mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak ada bukti yang kuat bahwa perjanjian tersebut telah terjadi. Cara pembagian keuntungan atau pertanian akan dibagi, petani akan mendapatkan dari seluruh penghasilan setelah diambil untuk biaya perawatan, sedang bagian yang lain untuk pemilik sawah yang biasanya mendapatkan setengah bagian. Syariat Islam telah memberikan pokok-pokok aturan di dalam melaksanakan hubungan kerja yang baik, saling menolong, saling menguntungkan dan tanpa merugikan antara satu dengan lainnya. Dengan demikian maka cara pembagian yang menjadi konsekuensinyapun harus demikian adanya. Artinya bagian yang diterima si petani itu harus sesuai dengan pengorbanannya dan sesuai dengan pekerjaannya. 1
2
Tenaga merupakan satu-satunya modal bagi petani untuk mencari kebutuhan hidup, apalagi keringatnya harus benar-benar dihargai. Kemudian jumlah bagian atau imbalan yang harus diberikan kepada pekerja (petani penggarap) adalah sesuai dengan perjanjian. Dalam hukum Islam, praktek kerjasama bagi hasil pengelolaan sawah termasuk dalam katagori muzara’ah. Dalam kerjasama ini terdapat dua belah pihak yang satu sebagai pemilik modal, sedangkan dipihak lain sebagai pelaksana usaha. Keduanya mempunyai kesepakatan untuk kerjasama, kemudian hasilnya akan dibagi sesuai dengan kesepakatan. Seperti halnya mudharabah, merupakan bentuk kontrak yang melibatkan antara dua kelompok yakni, pemilik modal (shahih al maal) yang mempercayakan modalnya kepada pengelola usaha (mudharib) dengan tujuan untuk mencapai keuntungan (profit) yang dibagi di antara mereka berdasarkan proporsi yang telah disetujui bersama.1 Pada hakekatnya muzara’ah sama dengan mudharabah karena keduanya merupakan kerjasama (partnership) antara pemilik tanah dengan penyewa tanah (penggarap). “Dalam hal ini pemilik tanah adalah shahib al maal karena ia memberi kontribusi tanah (dianalogikan dengan uang) sementara penggarap atau penyewa adalah mudharib karena ia memberi kontribusi wirausaha atau tenaga”.2 Pengertian muzara’ah adalah “kerjasama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, yakni pemilik lahan memberikan lahan pertaniannya kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen”.3 Muzara’ah merupakan salah satu bentuk muamalah dalam bidang pertanian. Penduduk Indonesia menyebutnya sebagai kerjasama “paroan sawah”. Kerjasama dalam bidang pertanian ini harus dilakukan dengan cara yang saling menguntungkan dalam rangka mencapai kebutuhan ekonomi. Karena di antara anggota masyarakat, ada yang memiliki lahan pertanian (sawah atau ladang), 1
Muhammad Ufuqul Mubin “Bank Islam dan Bunga Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003), cet. ke-I, h. 91. 2 Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, diterjemehkan oleh Abdul Hayyik Al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 480 3 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), (Jakarta: PT. Cipta Pustaka, 2010), h. 99
3
tetapi tidak mampu mengerjakannya (mengolahnya), mungkin karena sibuk dengan kegiatan lain atau memang tidak mempunyai keahlian (skill, keterampilan) untuk bertani. Sebaliknya ada juga di antara anggota masyarakat yang tidak mempunyai lahan pertanian tetapi ada kemampuan untuk mengolahnya. 4 Karena
Islam
mengakui pemilikan tanah
bukan penggarap,
maka
diperkenankan memberikan pada orang lain untuk menggarapnya dengan menerima sebagian hasilnya atau uang, akan tetapi bersamaan dengan itu dianjurkan agar seorang yang mampu sebaiknya meminjamkan tanahnya tanpa sewa kepada saudarasaudaranya yang miskin. Setelah melihat kenyataan ini dalam masyarakat, maka “pemilik lahan pertanian menyerahkan lahannya kepada petani (pengolah) untuk ditanami hingga kedua belah pihak saling diuntungkan. Dengan demikian rasa tolong menolong, saling memperdulikan akan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat”.5 Sistem muzara’ah ini bisa lebih menguntungkan dari pada sistem ijarah (sewa tanah), baik bagi pemilik tanah maupun bagi penggarapnya. Sebab pemilik tanah biasa memperoleh bagian dari bagi hasil (muzara’ah) ini, yang harganya lebih banyak dari uang sewa tanah, sedangkan penggarap tanah tidak banyak menderita kerugian dibandingkan dengan menyewa tanah, kalau ia mengalami kegagalan tanamannya. 6 Secara istilah muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik tanah dengan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, tetapi pada umumnya paroan sawah atau fifty-fifty untuk pemilik tanah dan penggarap tanah. Menurut Syekh Muhammad Yusuf Qordhawi, muzara’ah adalah “pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak menanaminya dengan
4
Ibid M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 271. 6 Masyfuk Zuhdi, Op. Cit, h.12 5
4
suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah ditentukan, misalnya: 1/2 , 1/3 atau kurang atau lebih menurut pesetujuan bersama”.7 Namun adakalanya suatu aktifitas perjanjian bagi hasil atau muzara’ah tidaklah selalu berjalan dengan baik-baik sesuai dengan harapan, adakalanya juga dapat menimbulkan sengketa jika tidak dilakukan dengan sebaik-baiknya termasuk dalam hal ini sengketa muzara’ah pada bidang pertanian(sawah). Sengketa biasa bermula dari situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain, yang diawali oleh perasaan tidak puas yang bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul kepermukaan apabila terjadi conflict of interest. Proses sengketa terjadi karena tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa. Secara potensial, dua pihak yang mempunyai pendirian atau pendapat yang berbeda dapat beranjak kesituasi sengketa. 8 Berdasarkan observasi pendahuluan yang penulis lakukan di Desa Paya Unoe dapat penulis ketahui bahwa ada perbedaan kejadian di lapangan. Hal itu dapat penulis lihat dengan pembagian hasil yang dilaksanakan, bagian pemilik lahan jauh lebih banyak dari pada yang mengelola lahan (sawah) tersebut dan telah melanggar perjanjian muzara’ah yang dibuat sebelum pelaksanaan muzara’ah sehingga menimbulkan sengketa antara pemilik lahan (sawah) dengan penggarap/pengelola. Perjanjian di awal pengelolaan sawah adalah 60 : 40 yaitu pemilik lahan (sawah) adalah 60 dan pengelola 40. Namun pembagian yang dilakukan setelah pengelolaan sawah selesai dan memperoleh hasil di Desa Paya Unoe adalah menjadi 70 : 30 hal ini dirasakan sangat memberatkan bagi pengelola tanah tersebut.9
7
Muhammad Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Jakarta: PT. Bina Ilmu, 1993),
h. 383. 8
Suyud Margono, Alternative dispute Resolution and Arbitrase, (Jakarta : Ghali Indonesia, 2000),
9
Observasi penulis di Desa Paya Unoe pada tanggal 24 Maret 2014
h. 34
5
Berdasarkan hasil observasi tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian “Penyelesaian Sengketa Muzara’ah Dalam Bidang Pertanian (Sawah) (Studi Kasus di Desa Paya Unoe).” B. Rumusan Masalah Dari rumusan latar belakang tersebut diatas ada beberapa pokok masalah yang ingin penulis bahas secara lebih mendalam. Adapun pokok masalah yang penulis angkat sebagai pokok bahasan adalah: 1. Bagaimana perjanjian muzara’ah dalam bidang pertanian (sawah) di Desa Paya Unoe ? 2. Bagaimana penyelesaian sengketa muzara’ah dalam bidang pertanian (sawah) di Desa Paya Unoe?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui perjanjian muzara’ah dalam bidang pertanian (sawah) di Desa Paya Unoe. 2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa muzara’ah dalam bidang pertanian (sawah) di Desa Paya Unoe. Kegunaan Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan baik secara teoritis maupun praktis 1. Secara Teoritis
6
a. Sebagai bahan untuk pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi kalangan akademis dan masyarakat yang ingin mengetahui dan memperdalam tentang perjanjian, pelaksanaan dan penyelesaian sengketa muzara’ah dalam bidang pertanian (sawah) di Desa Paya Unoe. b. Memperkaya khasanah perpustakaan hukum khususnya dibidang perjanjian muzara’ah. 2. Secara Praktis a. Untuk memberikan sumbangan pikiran kepada masyarakat khususnya memberikan informasi ilmiah mengenai perjanjian, pelaksanaan dan penyelesaian sengketa muzara’ah. b. Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi masyarakat tentang pelaksanaan perjanjian muzara’ah yang baik.
D. Kajian Terdahulu Berdasarkan penelusuran kepustakaan Jurusan syari’ah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Zawiyah Cot Kala Langsa, penelitian tentang “Penyelesaian Sengketa Muzara’ah Dalam Bidang Pertanian (Sawah) (Studi Kasus di Desa Paya Unoe)”, telah ada. Tetapi substansi dan lokasi pembahasannya berbeda dengan penelitian ini. Adapun karya ilmiah yang hampir sama atas nama Nurul Hikmah, Nim : 510800547 dengan judul “Penerapan Muzara’ah Menurut Imam Syafi’I Dalam Masyarakat Gampong Matang Peusangan Kecamatan Matang Kuli Tahun 1434H/2013” dengan rumusan masalah adalah bagaimana penerapan muzara’ah oleh masyarakat Gampong Matang Peusangan dan bagaimana kesesuaian konsep muzara’ah Imam Syafi’I dengan yang dipraktekkan masyarakat Gampong Matang Peusangan. Dengan demikian
karya
ilmiah/skripsi
ini
adalah asli dan
dapat
7
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Penjelasan Istilah Untuk tidak menimbulkan kesalah pahaman serta pengertian dalam memahami istilah yang terdapat dalam proposal skripsi ini, maka penulis memberi beberapa pengertian istilah yang terdapat dalam judul proposal skripsi ini. 1. Penyelesaian Penyelesaian adalah menemukan jalan keluar; mendamaikan perselisihan.10 Yang penulis maksud disini adalah penyelesaian sengketa muzara’ah dalam bidang pertanian (sawah) di Desa Paya Unoe 2. Sengketa Sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran; perbantahan.11 Yang penulis maksud disini adalah sengketa muzara’ah dalam bidang pertanian (sawah) di Desa Paya Unoe. 3. Muzara’ah Secara istilah muzara’ah adalah “kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik tanah dengan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, tetapi pada umumnya paroan sawah atau fifty-fifty untuk pemilik tanah dan penggarap tanah”.12 4. Pertanian (Sawah) Pertanian adalah “cabang produksi dimana terdapat perubahan bahan-bahan anorganik menjadi bahan organik dengan bantuan tumbuh- tumbuhan dan hewan.
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1252. 11 Ibid, h. 1272. 12 Masyfuk Zuhdi, Op.Cit, h. 130
8
Proses ini bersifat reproduktif yang artinya usaha untuk memperbaharui” .13 Pertanian yang penulis maksud disini adalah tanah pertanian yang ada di Desa Paya Unoe.
F. Sistematika Penulisan Skripsi Perumusan sistematika penulisan proposal skripsi ini untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai materi pembahasan dalam penelitian, sehingga dapat memudahkan pembaca untuk mengetahui maksud dilakukannya penelitian proposal skripsi. Bab I
: Pendahuluan dalam bab ini peneliti mengemukakan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian terdahulu, penjelasan istilah, dan sistematika penulisan.
Bab II
: Landasan teori dalam bab ini dijelaskan mengenai beberapa teori-teori yang akan diteliti, mengenai pengertian akad, pengertian muzara’ah, ketentuan muzara’ah menurut hukum Islam, pelaksanaan muzara’ah menurut hukum Islam dan penyelesaian sengketa menurut hukum Islam.
BabIII
: Metode Penelitian terdiri dari pendekatan dan jenis penelitian, lokasi dan waktu penelitian, populasi dan sampel, instrumen pengumpulan data, teknik pengumpulan data, analisis data.
Bab IV : Hasil Penelitian terdiri dari gambaran umum lokasi penelitian, perjanjian muzara’ah dalam bidang pertanian (sawah) di Desa Paya Unoe dan penyelesaian sengketa muzara’ah dalam bidang pertanian (sawah) di Desa Paya Unoe. Bab V
13
: Penutup, dalam bab ini berisikan kesimpulan dan saran
atas
Kaslan Tohir, Semua Berawal dariSebuah Mimpi, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 72
9
permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Untuk keseragaman dalam tehnik penulisannya, penulis berpedoman kepada buku pedoman penulis karya ilmiah Jurusan Syariah Prodi Muamalah IAIN Zawiyah Cot Kala, Edisi pertama yang diterbitkan oleh IAIN Zawiyah Cot Kala Tahun 2011