1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu sindroma/
kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus yang menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh (Siregar, 2004). Sejak epidemiknya, 68 juta penduduk dunia telah terinfeksi HIV, dan rata-rata 30 juta telah menjadi AIDS. Diperkirakan 34 juta orang dilaporkan telah terinfeksi HIV tahun 2010, dengan 2,7 juta kasus merupakan infeksi baru dan 1,8 juta kasus meninggal akibat AIDS. Setiap 6 menit, satu orang di dunia terinfeksi HIV dan setiap 9 menit, satu orang meninggal akibat AIDS (Kalinowska et al., 2013). Sejak diketemukan kasus pertama di Bali pada tahun 1987, awal tahun 1999 tercatat 815 kasus HIV dan AIDS, 112 di antaranya meninggal. Pada tahun 2002 orang yang rawan tertular HIV di Indonesia antara 13 juta sampai 20 juta, sedangkan orang dengan HIV dan AIDS diperkirakan antara 90.000 sampai 130.000 orang. Di Jawa Timur tahun 2002 tercatat 597 kasus. Di Surabaya hingga November 2002 tercatat 340 kasus HIV dan AIDS. Di RSU Dr. Soetomo hingga November 2002 telah dirawat 110 kasus, 39 (35%) di antaranya meninggal dalam perawatan di rumah sakit. Hingga September 2006 dirawat di RSU Dr. Soetomo 711 kasus AIDS dengan kematian 27,9%. Saat ini Indonesia menghadapi ancaman epidemik HIV dan AIDS yang semakin besar. Sejak tahun 2000, berdasarkan hasil survei pada sub populasi tertentu di mana prevalensi HIV di beberapa provinsi telah melebihi 5% secara konsisten.
2
Keadaan tersebut mampu mengantarkan suatu perubahan di Indonesia dari negara low level epidemic menjadi concentrated level epidemic (Nasronudin, 2011). Komplikasi neuropsikiatri yang paling sering timbul pada pasien infeksi HIV adalah gangguan kognitif (cognitive impairment). Gangguan kognitif ini dapat berupa gangguan yang bersifat ringan (mild cognitive disorder) sampai keadaan yang berat berupa demensia (severe dementia). Kondisi klinis dari keadaan gangguan kognitif yang bersifat sedang sampai berat biasanya muncul pada fase akhir dari infeksi HIV sementara gangguan kognitif yang lebih ringan, yang biasanya disebut minor cognitive motor disorder (MCMD), dapat timbul sejak kondisi asimtomatik atau kondisi awal dari infeksi HIV. Beberapa faktor telah diidentifikasikan sebagai faktor risiko timbulnya demensi yang berhubungan dengan HIV (HIV-associated Dementia (HAD)) (Wilkie et al., 1998). Studi terdahulu dari negara yang berbeda melaporkan bahwa WHO clinical staging, viral load, usia, jenis kelamin, angka CD4, angka total limfosit, body mass index (BMI), kepatuhan ART dan hemoglobin merupakan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap mortalitas pasien HIV (Hambisa et al., 2013). Walaupun sudah menggunakan anti retroviral, angka kejadian gangguan kognitif pada pasien HIV masih cukup tinggi (>50%) dan HIV associated neurocognitive disorders (HAND) sudah bergeser dari gejala yang berat menjadi ringan, sehingga kadang sering tidak tedeteksi jika tidak dilakukan asesmen neurokognitif secara formal dan tes neuropsikologi. HAND, walaupun ringan, tetap merupakan salah satu prediktor kematian pada pasien HIV (Cysique et al., 2010). Meskipun pemeriksaan neurokognitif merupakan pemeriksaan yang tidak rutin dilakukan dan belum direkomendasikan di dalam guideline terapi pasien HIV, namun
3
gangguan kognitif memberikan pengaruh besar terhadap kepatuhan pasien HIV dalam meminum obat antiretroviral dan juga akan menyebabkan gangguan fungsional seharihari (Hasbun et al., 2012). HAND terbukti menyebabkan gangguan fungsional yang cukup bermakna, berupa kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dan butuh lebih banyak pendampingan untuk memastikan ketaatan minum obat. Pasien juga akan kesulitan dalam mengerjakan beberapa tugas dan butuh lebih banyak bantuan. HAND juga berhubungan dengan angka nadir CD4 yang rendah (Chan et al., 2012). Penelitian yang dilakukan Stern et al. (2001), pada 146 pasien positif HIV didapatkan hasil bahwa 45 orang di antaranya memenuhi kriteria HIV demensia. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain depresi, jenis kelamin, hematokrit, hemoglobin dan kadar ß2-mikroglobulin. Defisit fungsi kognitif, gangguan motorik dan depresi merupakan manifestasi awal HIV demensia. Studi oleh Sereia et al. (2012), pada 100 pasien positif HIV menunjukkan hasil bahwa 27% pasien menunjukkan hasil Mini Mental State Examination (MMSE) yang lebih rendah dari yang diharapkan dan dianggap mengalami gangguan kognitif. Faktor- faktor yang dianggap berpengaruh terhadap gangguan kognitif tersebut antara lain, depresi, body mass index (BMI), hematokrit, hemoglobin, angka CD4, viral load dan usia. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan korelasi yang positif antara gangguan kognitif dengan perubahan kadar hemoglobin dan hematokrit darah, usia dan depresi. Sama seperti kekurangan gizi, anemia dapat ditemukan sebagai komplikasi lanjutan pada pasien HIV. Studi yang dilakukan Meidani et al. (2012), mengatakan bahwa anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering ditemukan pada
4
penderita HIV. Anemia dapat menurunkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup penderita HIV. Anemia juga berkorelasi dengan peningkatan progresivitas penyakit dan menurunnya survival rate. Prevalensi anemia pada penderita positif HIV adalah 71%, dengan persentase 67% derajat ringan-sedang dan 4% derajat berat. Prevalensi anemia defisiensi besi pada wanita positif HIV sama dengan prevalensi anemia defisiensi besi pada wanita hamil. Hal ini mengindikasikan bahwa lebih dari setengah anemia pada penderita HIV disebabkan oleh defisiensi besi (Kupka et al., 2007). Penelitian yang dilakukan Peters et al. (2008), mengatakan bahwa kadar hemoglobin yang rendah atau anemia meningkatkan risiko terjadinya demensia atau gangguan kognitif. Pengaruh anemia terhadap kognitif diperkirakan karena anemia secara langsung menyebabkan penurunan kadar oksigen dalam darah di otak atau secara tidak langsung dapat meningkatkan angka kejadian serebrovaskular seperti stroke ringan atau transient ischaemic attack (TIA), yang kesemuanya itu berpengaruh besar terhadap gangguan kognitif. Lau et al. (2003), menyatakan bahwa penurunan Total Lymphocyte Count (TLC) dan Hemoglobin (Hb) berguna untuk memonitor status penyakit pasien HIV, terutama pada daerah dengan peralatan pemeriksaan laboratorium yang terbatas. Sampai saat ini studi yang meneliti hubungan nilai hemoglobin dengan nilai Montreal Cognitive Assesment (MoCA) yang merupakan alat ukur untuk mengetahui adanya gangguan kognitif pada pasien HIV masih sangat sedikit.
5
B.
Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, disimpulkan adanya beberapa masalah,
yaitu: 1) Jumlah pasien HIV/AIDS semakin meningkat dari waktu ke waktu. 2) Infeksi HIV/AIDS berhubungan dengan prevalensi tinggi gangguan kognitif. 3) Anemia dapat memperberat gangguan kognitif pada pasien HIV/AIDS. C.
Pertanyaan penelitian Dari permasalahan di atas timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut; 1) Apakah terdapat hubungan antara kadar hemoglobin dan kejadian gangguan kognitif pada pasien HIV/AIDS. 2) Apakah faktor-faktor lain yang mempengaruhi kejadian gangguan kognitif pada pasien HIV/AIDS.
D.
Tujuan penelitian 1) Mencari hubungan antara kadar hemoglobin dengan kejadian gangguan kognitif pada pasien HIV/AIDS. 2) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian gangguan kognitif pada pasien HIV/AIDS.
E.
Manfaat penelitian Pemeriksaan kadar hemoglobin merupakan pemeriksaan yang dapat dilakukan
pada setiap pusat pelayanan laboratorium sehingga diharapkan dapat berguna untuk menilai lebih dini kemungkinan munculnya gangguan kognitif yang merupakan komplikasi lebih lanjut dari infeksi HIV/AIDS.
6
F.
Keaslian penelitian Dari hasil penelusuran, diperoleh beberapa penelitian mengenai hubungan
kadar hemoglobin dengan gangguan kognitif pada pasien infeksi HIV/AIDS seperti yang tertera pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Keaslian Penelitian Penelitian
Judul
Metode
Alat Ukur
Hasil
McArthur et al., (1993)
Dementia in AIDS patient: incidence and risk factors
Cohort study Subjek: 492 lakilaki homoseksual dan biseksual yang terinfeksi AIDS
Kadar hemoglobin pre-AIDS merupakan prediktor kuat untuk kejadian demensia
Stern et al., (2001)
Factors associated with incident Human Immunodeficiency Virus-dementia
Cohort study Subjek: 146 pasien HIV/AIDS
American academy of neurology criteria for probable HIV-1 associated dementia, pemeriksaan laboratorium American academy of neurology criteria for probable HIV-1 associated dementia
Sereia et al., (2012)
Mini Mental State Examination and evaluation of factors associated with cognitive decline in HIV/AIDSinfected people Hubungan antara kadar hemoglobin dan kejadian gangguan kognitif pada pasien infeksi HIV/AIDS
Cross sectional Subjek: 100 pasien HIV/AIDS
Mini Mental State Examination, Montgomery and Asberg Depression scale, pemeriksaan laboratorium
Cross sectional
Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia (MoCAIna)
Penelitian saat ini (2014)
Depresi, usia, hematokrit, hemoglobin dan ß2mikroglobulin merupakan faktor risiko demensia pada HIV Didapatkan hubungan yang signifikan antara gangguan kognitif dengan perubahan kadar hemoglobin, hematokrit, usia dan depresi
Berdasarkan penelusuran, penelitian mengenai hubungan antara kadar hemoglobin (Hb) dan terjadinya gangguan kognitif pada pasien infeksi HIV/AIDS di Indonesia belum pernah dilakukan.