978- 979- 028- 493- 7
Tim Penulis :
Yuni Sri Rahayu Sarmini Suyatno Martadi Muji Pras wi FX Sri Sadewo Anwar Holil Haryanto
KATA PENGANTAR
01
Prof. Dr. Muchlas Samani (Rektor Universitas Negeri Surabaya)
P
ada Desember 2011 hingga Januari 2012, Universitas Negeri Surabaya dipercaya oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melaksanakan penelitian tentang karakter siswa se-Indonesia. Pekerjaan besar yang mencakup 45 wilayah/provinsi di Indonesia itu dilaksanakan oleh 120 peneliti dari kalangan civitas akademika Universitas Negeri Surabaya (dosen, mahasiswa, alumni, dan karyawan). Laporan lengkapnya telah disampaikan ke Balitbang Kemendikbud, dengan judul Peta Profil Variabel-variabel Karakter Bangsa Siswa-Siswi pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Laporan resmi dalam format dan kaidah ilmiah tersebut tentu amat berguna sebagai dokumen negara dalam hal karakter generasi muda dan pendidikan karakter se-Indonesia. Dokumen tersebut dapat menjadi dasar pengembangan pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Buku di tangan Anda ini merupakan versi populer dari laporan tersebut, yang telah disusun ulang dan dirangkai dalam bahasa esai dan gaya featuristik, dengan harapan dapat dibaca dan dipahami oleh khalayak pembaca yang lebih luas. Ada motivasi dan misi khusus yang terkandung dalam penulisan buku ini, yaitu keinginan civitas akademika Universitas Negeri Surabaya untuk memberikan persembahan yang bermakna bagi dunia pendidikan di Indonesia, khususnya dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional pada bulan Mei 2012. Buku Jejak Budaya dalam Karakter Siswa Indonesia ini merupakan rangkuman dari highlights (hal-hal yang menonjol) atas laporan
Kata Pengantar
Balitbang tersebut, berupa aksentuasi pada beberapa kasus dan atau wilayah, serta diperkaya dengan sumber-sumber di luar hasil penelitian. Buku ini banyak mengacu pada konsep Thomas Lickona, seorang pemikir di bidang pengembangan pendidikan karakter. Dari 120 peneliti, tujuh orang menyediakan diri untuk menyusun buku versi ilmiah popular ini, kemudian disunting oleh dua anggota tim yang masing-masing bertugas menyunting isi dan bahasa. Mengapa Unesa memilih mempersembahkan buku yang berkaitan dengan pendidikan karakter dan karakter siswa ini kepada bangsa Indonesia dalam rangka Hari Pendidikan dan Hari Kebangkitan Nasionalnya? Hal itu bukan sekadar kelatahan atau ikut arus. Dalam berbagai diskusi, baik secara internal di Unesa, maupun pada tataran regional dan nasional, dirasakan ada sesuatu yang hilang dalam implementasi pendidikan di Indonesia. Pendidikan formal yang menjadi tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia telah disepakati, sejalan dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 bahkan tercantum dalam UUD 1945. Namun, ada pertanyaan besar yang bergayut di atas plafon besar bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia: sejauh manakah efektivitas implementasi pendidikan di Indonesia? Sudahkah implementasi pendidikan di Indonesia on the right track seperti yang diinginkan oleh para pendiri bangsa (the founding fathers)? Pertanyaan semacam itulah, yang terus mengusik benak kesadaran kita selaku pendidik, yang mungkin dijawab oleh penelitian dan buku ini. Demikianlah proses diterbitkannya buku ini, termasuk motivasi dan misi di baliknya. Universitas Negeri Surabaya sangat menghargai prakarsa Balitbang Kemendikbud untuk memetakan variabel profil karakter siswa di seluruh Indonesia ini (dengan sampel). Unesa juga merasakan perlunya membukukan buku hasil penelitian ini untuk dapat mengilhami penerapan pendidikan karakter di sekolah dan mengilhami upaya pengembangan konsep dan strategi pendidikan karakter bangsa. Semoga buku ini dapat diterima tidak hanya di kalangan ilmuwan kependidikan, tetapi juga di kalangan para praktisi pendidikan, mahasiswa ilmu kependidikan, para orangtua, para pemimpin 2
Kata Pengantar
masyarakat, serta para birokrat dan pemangku kepentingan. Namun tidak kalah penting dari itu semua adalah agar buku ini dibaca, dipahami, dan dihayati oleh generasi muda kita. Banyak teladan yang baik dari nilai-nilai budaya bangsa yang tertulis di buku ini, yang dapat menjadi bekal mengarungi kehidupan masa depan.
Surabaya, Mei 2012
3
04
BAB 1 MENGAPA KARAKTER?
“Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building), karena character building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya, serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli.” (Soekarno, Presiden Republik Indonesia)
I
tulah pesan moral founding father Indonesia, yang ternyata relevan sampai sekarang. Itulah pula jawaban telak atas pertanyaan menggelitik yang menjadi judul bab awal buku ini. Seluruh buku ini akan menjawab pertanyaan pendek dan tajam itu. Namun, pernyataan Soekarno ini adalah jiwa dari seluruh paparan dalam buku ini. Ungkapan Bung Karno tersebut sejalan dengan pendapat William Franklin Graham Jr.: When wealth is lost, nothing is lost When health is lost, something is lost When character is lost, everything is lost (Bila harta benda hilang, tidak ada yang hilang Bila kesehatan hilang, ada sesuatu yang hilang Bila karakter hilang, segalanya hilang) Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia yang mendirikan PerguruanTaman Siswa pada 3 Juli 1922, memikirkan hal yang sama. Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan sebagai 'daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Komponen-komponen budi pekerti,
Mengapa Karakter?
pikiran, dan tubuh anak itu tidak boleh dipisah-pisahkan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak'. Pernyataan itu dapat dimaknai bahwa menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan karakter merupakan bagian integral yang sangat penting dalam pendidikan (Samani dan Hariyanto, 2011:33). Sebelum membahas lebih jauh tentang pendidikan karakter, harus dipahami terlebih dahulu makna 'karakter' yang akan menjadi pokok perbincangan utama buku ini. Istilah karakter sering dihubungkan dengan istilah etika, akhlak, moral, dan atau nilai, yang berkonotasi positif, bukan netral, apalagi negatif. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) menyebutkan, karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, yang membedakan seseorang dari yang lain. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa karakter adalah nilai-nilai yang unik dan baik, yang terpateri dalam diri, dihayati, dan diwujudkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Karakter seseorang dipengaruhi faktor pembawaan (nature) dan lingkungan (nurture). Samani dan Hariyanto (2011) memaknai karakter sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, yang terbentuk baik karena pengaruh hereditas (bawaan) maupun lingkungan, yang membedakan seseorang dengan orang lain, dan diwujudkan dalam sikap dan perilaku kehidupan sehari-hari. Faktor hereditas (bawaan) yang “sudah dari sononya”, boleh dikata, berada di luar jangkauan manusia untuk memengaruhinya. Sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor yang dapat dikembangkan melalui intervensi individu dan masyarakat. Faktor lingkungan itu, dalam konteks pendidikan karakter, memiliki peran yang teramat penting. Perubahan perilaku peserta didik sebagai hasil proses pendidikan karakter amat ditentukan oleh faktor lingkungan. Pembentukan dan rekayasa lingkungan yang berkait dengan proses pendidikan karakter mencakup, di antaranya, rekayasa terhadap lingkungan fisik, budaya sekolah, manajemen sekolah, kurikulum, pendidik, dan seluruh warga sekolah, serta strategi dan metode pembelajaran. Sebagai sebuah konsep akademis, karakter memiliki makna substantif dan proses psikologis yang sangat mendasar. Aristoteles 5
Mengapa Karakter?
memaknai karakter yang baik sebagai hidup dengan berperilaku baik dan penuh kebajikan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pihak lain (Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, dan alam lingkungan). Karakter seseorang akan tercermin dalam sikap dan perilakunya. Contohnya, seorang yang jujur, amanah (dapat dipercaya), bertanggung jawab, berempati pada orang lain, suka menolong, dapat dipastikan bahwa orang tersebut memiliki karakter yang luhur`dan mulia. Karakter jelas erat kaitannya dengan nilai moralitas. Seseorang dapat disebut berkarakter (a person of character) bila perilakunya sesuai kaidah moral. Dalam kaitan itu, pendidikan karakter dapat berjalan dengan baik jika mampu mengajarkan aspek pengetahuan akan hal yang baik (moral knowing), kemudian mengembangkan perasaan cinta atau penghayatan terhadap hal yang baik (moral feeling), dan mampu membangun kemampuan peserta didik untuk berperilaku baik (moral action). Pertanyaannya kemudian adalah, “Apakah yang dimaksud dengan pendidikan karakter dan bagaimana karakter diimplementasikan?” Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendefinisikan pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mengambil keputusan yang baik, memelihara yang sudah baik, dan mewujudkan kebaikan tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian dan Pendidikan dan Kebudayaan, 2011). Pendidikan karakter yang efektif semestinya berlaku pada seluruh warga sekolah, tidak hanya peserta didik. Atas asumsi itu, Samani dan Hariyanto (2011:237) memaknai pendidikan karakter sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah. Sistem itu meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga menjadi manusia sempurna atau 6
Mengapa Karakter?
insan kamil. Pada masa orde lama, pendidikan karakter telah diimplementasikan dengan nama pendidikan budi pekerti (antara lain diatur dalam Kurikulum 1968). Namun, sejak Kurikulum 1974 sampai dengan Kurikulum 1994 yang diterapkan di zaman orde baru, pendidikan karakter atau budi pekerti tidak jelas lagi keberadaannya. Sesungguhnya, pada tahun 1997, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu pernah menginventarisasi sejumlah nilai-nilai budi pekerti luhur yang seharusnya menjadi pedoman dalam membangun generasi muda Indonesia. Sayang, nilai-nilai tersebut tidak pernah disosialisasikan ke sekolah-sekolah, apalagi diterapkan. Ada kemungkinan, nilai-nilai budi pekerti luhur itu belum sempat disosialisasikan karena setahun kemudian, tahun 1998, orde baru runtuh. Wacana tentang pendidikan karakter kemudian digalakkan kembali sejak tahun 2010.Wacana tersebut mengikuti penegasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi, esensi pendidikan nasional adalah pengembangan kemampuan sekaligus kepribadian pembelajar dan pebelajar dalam situasi pembelajaran yang demokratis, aktif, dan dua arah. Tujuan akhirnya adalah pembentukan insan akademis yang pandai bersyukur, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tekun beribadah sesuai iman dan kepercayaan masing-masing, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, sehat jasmani dan rohaninya, berilmu dengan kuriositas (kepenasaran intelektual, istilah Mendikbud Mohammad Nuh, Pen.) yang tinggi, cakap dan terampil, menguasai hardskill, softskill, dan portable skill, kreatif dan inovatif, mandiri, dan jauh dalam hatinya tertanam sikap demokratis, terbuka, penuh toleransi. 7
Mengapa Karakter?
Lebih jauh dari itu, pendidikan juga diarahkan untuk membentuk watak seluruh warga bangsa, yang pada gilirannya akan mempertajam dan mempertegas jati diri bangsa. Warga bangsa diharapkan memiliki kompetensi yang tinggi dan relevan dengan kebutuhan perkembangan dunia, serta berwatak teguh, dinamis, fleksibel dan adaptif, kokoh, visioner namun tetap memiliki keadaban yang tinggi, terbuka, penuh sopan-santun dalam berkomunikasi, baik dengan sesama warga bangsa maupun dalam perjumpaan dan persentuhannya dengan bangsa lain. Menilik catatan sejarah kependidikan bangsa Indonesia, sebenarnya di atas kertas, tujuan pendidikan bangsa Indonesia sudah sangat komprehensif dan memadai. Berbagai aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik telah diakomodasi. Namun, dengan melihat berbagai fakta di Indonesia belakangan ini, patut pertanyakan lagi, “Apakah implementasi pendidikan, khususnya pendidikan karakter, di Indonesia telah berjalan menurut arah yang benar?” Di dunia pendidikan saja, faktanya cukup memalukan. Di perguruan tinggi, plagiarisme, mencontek, dan copy-paste sudah menjadi kebiasaan. Perilaku curang alias tidak jujur itu bukan hanya oleh mahasiswa tingkat D3/S1, atau mahasiswa S2, S3, tetapi ironisnya bahkan dilakukan oleh para dosen bergelar doktor. Segala cara dilakukan untuk meraih predikat guru besar. Di kalangan pelajar dan mahasiswa, bukan hanya kebiasaan mencontek yang menjadi penyakit utama. Di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, Bogor, dan Makassar, tawuran antarsiswa atau mahasiswa sudah biasa terjadi, dan tidak jarang menimbulkan korban jiwa. Di kalangan akar rumput, tawuran antarsuporter sepak bola, pengeroyokan di kalangan pecandu bola, terjadi di mana-mana, dan hampir selalu ada korban yang tewas. Siswa di Sekolah Dasar pun tidak luput dari peniruan akan karakter buruk yang dicontohkan oleh senior (kakak kelas) maupun masyarakat di sekitar mereka, bahkan oleh program televisi. Perilaku bullying (pemalakan dan kekerasan, sekarang diberi istilah perundungan) oleh siswa senior terhadap yuniornya atau pada siswa 8
Mengapa Karakter?
sekolah lain, banyak terjadi di sejumlah SMA dan SMK di kota besar, bahkan di level Sekolah Dasar. Geng motor yang dahulu hanya ada di Bandung telah menjamur di Jakarta dan kota-kota lain, dan mereka selalu membawa nuansa kekerasan. Secara umum, ada dua hal pokok yang berpotensi menjadi penghambat implementasi pendidikan karakter, yaitu maraknya korupsi oleh elit politik serta tawuran dan perkelahian antarkomponen bangsa. Pita Bhinneka Tunggal Ika yang dikalungkan di leher burung garuda telah robek dan terkoyak, dikoyak oleh tangan bangsa sendiri! Ibu Pertiwi tidak saja merintih dan mengeluh, namun air matanya telah kering terkuras habis. Garuda Pancasila nyaris lumpuh, sulit mengepakkan sayap untuk terbang tinggi ke angkasa. Kinilah saatnya untuk bangun dan bangkit kembali. Khususnya di dunia pendidikan, saat ini perlu penegasan kembali eksistensi dan implementasi character building. Pendidikan karakter perlu digalakkan kembali dengan lebih sistematis, dan dilaksanakan secara sinergis dan strategis. Indonesia telah ketinggalan jauh dalam implementasi pendidikan karakter, dibandingkan dengan Amerika Serikat, Kanada,Australia, Inggris dan Negara Persemakmuran lainnya (Singapura, Hong Kong, Malaysia), serta China, Jepang, dan Korea. Kita harus yakin dan meyakinkan bangsa ini bahwa knowledge is power, but character is more! Para pakar, ahli, dan pemerhati pendidikan –melalui berbagai seminar dan diskusi- secara bersama-sama menegaskan perlunya implementasi pendidikan karakter di Indonesia, dengan menggali kembali, memilah, memilih, dan merumuskan nilai-nilai inti untuk dikembangkan dalam pembelajaran dan pendidikan. Nilai-nilai inti itu harus timbul dari aktivitas olah hati, olah pikir, olah rasa, dan karsa, serta olah raga. Nilai inti dikembangkan untuk membangun watak pribadi dan watak sosial, dua watak yang diperlukan dalam pergaulan secara beradab dengan orang lain. Pengembangan nilai inti pribadi diwujudkan melalui pengembangan sikap jujur (terkait olah hati/heart) dan cerdas (terkait olah pikir/head). Sedangkan pengembangan nilai inti sosial diarahkan 9
Mengapa Karakter?
pada pembentukan sikap peduli dan tangguh. Dari keempat nilai inti tersebut dapat berkembang berbagai nilai turunan, yang dapat menjadi indikator perolehan nilai-nilai inti tersebut dalam diri peserta didik. Ini bisa di tataran kognitif (moral knowing), tataran afektif (moral feeling), atau diwujudkan dalam tindakan (tataran psikomotor) berbasis moral (moral action), seperti diungkapkan oleh Thomas Lickona. Temuan penelitian dengan sampel peserta didik di seluruh Indonesia, dari tingkat SD, SMP, sampai SMA/SMK, diharapkan dapat merupakan representasi atau potret dari karakter warga bangsa Indonesia. Dalam pembahasan mengenai karakter siswa Indonesia di babbab selanjutnya, buku ini mengambil posisi awal pada fakta akan keragaman budaya Indonesia dan kearifan lokal yang mewarnai karakter dan jati diri para siswa. Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II Tahun 1998, kebudayaan nasional dimaknai sebagai, “Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya, dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya”. Secara umum, budaya didefinisikan sebagai suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang (masyarakat, suku) dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya adalah suatu pola hidup yang menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Dalam hubungan itu, banyak aspek budaya yang ikut menentukan perilaku komunikatif. Secara fitrah, bangsa Indonesia lahir dengan kebudayaan yang beragam, yang merupakan rahmat dan karunia, asalkan pandai mengelolanya. Keragaman budaya (cultural diversity) adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Masyarakat Indonesia dibangun dari berbagai budaya ras dan suku bangsa, dan juga budaya yang bersifat 10
Mengapa Karakter?
kewilayahan, yang merupakan perjumpaan berbagai kelompok suku yang ada di wilayah tersebut. Kondisi geografis dan topografis juga dapat membentuk budaya yang khas, menimbulkan cabang-cabang atau variasi budaya. Warna-warni budaya tersebut semakin kaya warna tatkala timbul perjumpaan (encounter) dengan berbagai budaya asing atau budaya asal para migran yang kemudian menetap sebagai warga bangsa Indonesia. Kemampuan mengelola keanekaragaman budaya tersebut dengan baik dapat memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia, lebih luas daripada sekadar komoditas pariwisata. Kekayaan budaya umumnya berkaitan dengan produk kebudayaan yang bermanifestasi ke dalam tiga hal, yaitu pengetahuan budaya, perilaku atau praktik budaya, serta produk fisik kebudayaan berupa artefak atau bangunan budaya. Itu semua wujud produk seni dan sastra, tradisi, gaya hidup, sistem nilai, dan sistem kepercayaan. Menurut UNESCO, hal-hal itu disebut ekspresi budaya (cultural expression) yang mengacu pada makna simbolik, dimensi artistik, dan nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya. Dari temuan di lapangan (lokasi penelitian), terutama hasil diskusi terpandu (guided discussion) dengan berbagai komponen masyarakat termasuk pakar budaya, dapat dicatat produk budaya berupa bangunan rumah, tarian, lagu, musik, alat musik, seni patung, pakaian, dan sejumlah karya sastra/tulisan. Rumah adat yang khas, misalnya, dijumpai di Padang (rumah gadang), Toraja, Papua (honai), Jawa Tengah (joglo), Sulawesi Utara (rumah panggung), Kalimantan Barat (rumah betang), dan lain-lain. Proses pembangunan dan bentuk rumahnya mencerminkan kearifan lokal yang dimiliki setiap suku bangsa, yang umumnya dipengaruhi karakteristik lingkungan setempat. Budaya dalam bentuk tarian juga ada, seperti Tari Bedaya (Jawa Tengah), Reog dan Remo (Jawa Timur), Kuda Lumping serta Jaipong (Jawa Barat), Yapong (DKI Jakarta), Kecak dan Barong (Bali), Saman dan Seudati (Aceh), Cakalele (Maluku), Tari Piring, Tari Payung, dan Tari Lilin (Sumatra Barat),Tortor (Sumatra Utara),Tari Pakarenna dan Tari Anging Mamiri (Sulawesi Selatan), Zapin dan Serampang Dua 11
Mengapa Karakter?
Belas (Riau),Tari Sembah (Lampung), dan lain-lain. Lagu khas daerah misalnya Kicir-kicir dan Jali-jali (Jakarta), Bubuy Bulan dan Manuk Dadali (Jawa Barat), Rasa Sayange, Ayo Mama, Buka Pintu (Maluku), Soleram, Tanjung Katung (Melayu), Kampuang nan Jauh di Mato, Ayam den Lapeh (Minangkabau), Bungong Jeumpa (Aceh), Ampar-ampar Pisang, Paris Barantai (Kalimantan Selatan), Anak Kambing Saya, Potong Bebek (NTT),Anging Mamiri (Makassar), Anjuau, Butet, Lisoi, Dago Inang Sage (Batak, Sumatra Utara), Injitinjit Semut (Jambi), Cik-cik Periuk (Kalimantan Barat), Dek Sangko, Gending Sriwijaya (Sumatra Selatan), Gambang Suling, Ilir-ilir (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Mejangeran (Bali), O Ina Ni Keke (Sulawesi Utara), Mande-mande (Maluku), Apuse dan Yambe Rambe Yamko (Papua), dan masih banyak lagi yang lain. Semua pada umumnya menggambarkan keindahan alam, melukiskan budaya, atau karakter suku bangsa yang bersangkutan. Alat musik yang khas dari daerah antara lain angklung (Jawa Barat, sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya yang khas Indonesia), gamelan (Jawa), sasando (NTT), gendang Bali, kulintang (Sulawesi Utara), dan sebagainya. Seni patung yang terkenal adalah ukiran Bali, ukiranYogyakarta, patung Asmat (Papua), ukiran Trowulan Mojokerto Jawa Timur, dan lainnya. Pakaian khas daerah misalnya batik (Jawa), sasirangan (Kalimantan Selatan), ulos (Sumatra Utara), songket (Sumatra Selatan dan Bengkulu), tapis (Lampung) tenun ikat (NTT), baju bodo (Sulawesi Selatan). Di ranah kuliner terdapat ratusan kuliner yang berkembang sangat bervariasi di seluruh Nusantara. Seni teater tradisonal dan tontonan yang menjadi ciri khas daerah antara lain wayang golek di Jawa Barat, wayang kulit dan wayang orang di Jawa Tengah dan JawaTimur, wayang Bali di Bali, wayang gong di Kalimantan Barat, dan lain-lain. Dalam pertunjukan wayang, banyak petuah atau pepatah petitih yang mengandung nilai luhur, yang merupakan perwujudan nilai-nilai karakter yang khas di daerah setempat. Kearifan lokal (local wisdom) yang juga banyak terkandung dalam produk budaya kesenian sejatinya bermakna 'usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap 12
Mengapa Karakter?
sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu'. Kearifan lokal masyarakat Simeulue (di Aceh) berupa cerita turun temurun yang disebut nafi-nafi, memberikan peringatan pada warga Aceh tentang bahaya smong/tsunami. Karena kerap mendengar pitutur kearifan lokal perihal tsunami itulah, hanya sedikit penduduk Simeulue yang tewas saat tsunami yang sesungguhnya melanda Aceh pada tahun 2004 lalu. Kearifan lokal umumnya berkaitan dengan pemaknaan manusia terhadap peristiwa alam serta cara manusia setempat dalam mengelola dan menyikapi alam. Kearifan lokal berupa sistem subak di Bali menyebabkan tataguna air efisien dan sumber daya air terlestarikan. Kearifan lokal masyarakat suku Bajo di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dalam membaca tanda-tanda alam, seperti gerak gugusan bintang atau gerak permukaan laut, menyebabkan mereka dapat hidup sebagai pelaut yang tangguh. Kearifan lokal pada hakikatnya menggambarkan usaha masyarakat setempat memaknai, menyikapi, dan mengelola alam. Buku ini tidak akan mengungkapkan seluruh hasil penelitian, dengan tujuan keterbacaan yang lebih tinggi dan luas. Universitas Negeri Surabaya bermaksud menjadikan laporan hasil penelitian yang amat tebal, lengkap, dan komprehesif itu beberapa seri buku tentang karakter siswa di Indonesia. Pada tahap pertama ini, wilayah yang akan diungkap nilai karakter siswanya adalah Sumatra (Aceh, Sumatra Utara/Batak, Padang/Minangkabau, Melayu Palembang, Abung Lampung, dan Serawai Bengkulu); Jawa (Betawi, Banyumas, Samin yang merupakan perjumpaan kultur tradisional kejawen dan kultur Islam, Ngawi sebagai representasi budaya Mataraman, Surabaya dengan budaya Arek-nya, serta wilayah/budaya Tengger yang merupakan perjumpaan kultur tradisional Jawa dan Hindu. Di luar Jawa dan Sumatera, ada wilayah NTB (budaya Suku Samawa), NTT (Sikka dan Kupang), Kalimantan Timur (kultur Kutai Kertanegara), Kalimantan Barat (budaya Singkawang yang pengaruh tradisional Tionghoa sangat kuat), Kalimantan Selatan (budaya Banjarmasin), Sulawesi Selatan (diwakili tradisi budaya Bugis dan Makassar), SulawesiTengah (Buton, Bajo, serta 13
Mengapa Karakter?
Kaili), dan Sulawesi Utara (budaya Gorontalo dan Minahasa) di Sulawesi Utara. Sementara itu, ras Melanesia diwakili oleh budaya Ambon (Maluku) dan Papua. Data yang dipergunakan untuk menyusun buku ini diperoleh dari hasil wawancara para peneliti dengan para responden yang merupakan guru atau kepala sekolah di sekolah sasaran. Jadi, karakter siswa tidak hanya diamati langsung oleh para peneliti, namun terutama yang telah diamati selama sekian tahun oleh para guru/kepala sekolah. Kecuali itu, data juga diperoleh dari daftar cek berupa format isian yang harus ditanyakan pada responden dan dicatat jawabannya oleh peneliti. Peneliti juga melakukan pengamatan langsung terhadap kondisi sekolah dan aktivitas pembelajaran di sebagian besar sekolah sampel. Dari sini, diketahui spanduk atau poster-poster yang menganjurkan kejujuran, kepedulian, ketangguhan, dan kecerdasan. Juga, interaksi antarsiswa, atau antara siswa dengan warga sekolah lainnya diketahui peneliti. Sebagai penguat, dilakukan pula diskusi terpandu bersama para wakil guru, kepala sekolah, anggota komite sekolah, pakar budaya, pakar adat, dan ahli agama setempat, untuk memperoleh data dasar tentang nilai-nilai karakter masyarakat setempat. Dari diskusi terpandu dengan berbagai pihak tersebut, terekam nilai-nilai karakter masyarakat yang tetap dipegang teguh oleh para siswa dan juga terpantau nilai-nilai karakter yang mulai ditinggalkan. Di tiap daerah yang dikunjungi, dipilih satu SD, satu SMP, satu SMA, dan satu SMK sebagai sampel, yang penentuannya atas saran dan kewenangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Secara umum, dari hasil temuan di sekolah-sekolah sasaran, mulai dari SD, SMP, sampai SMA/SMK, nilai karakter yang berkembang dapat dikatakan memang sangat bervariasi. Jika laporan penelitian yang disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berfokus pada bagaimana dan apa variabel nilai-nilai berkembang di setiap tingkat satuan pendidikan di seluruh daerah di Indonesia, buku ini lebih berfokus pada nilai-nilai karakter dalam diri peserta didik, bagaimana nilai-nilai karakter khas di wilayah tersebut, serta bagaimana nilai-nilai 13
Mengapa Karakter?
karakter khas tersebut diimplementasikan secara umum di sekolah. Memang, dengan demikian agak rumit mengelola data dan mengolahnya menjadi suatu sajian yang comprehensible (mudah dipahami). Para peneliti utama (yang juga penulis buku ini) harus mencermati nilai-nilai budaya yang berkembang di seluruh satuan pendidikan di setiap daerah penelitian. Sementara itu, data yang tersedia lebih banyak tentang nilai-nilai karakter siswa di setiap satuan pendidikan di daerah termaksud. Namun, dalam diskusi terpandu di setiap daerah, muncul nilai-nilai karakter yang khas, yang berkembang dan menjadi ciri budaya masing-masing daerah. Data inilah (data hasil diskusi terpandu) yang terutama digunakan sebagai bahan dasar penyusunan buku ini, di samping acuan lain yang berkaitan.
15
16 BAB 2 BELAJAR DARI ALAM
N
atura magistra, bahasa Latin, yang berarti bahwa alam adalah guru. Sophocles dan Plato adalah sedikit dari filsuf Yunani yang meyakini falsafah tersebut. Belajarlah kepada alam, karena alam takambang jadi guru, alam berkembang menjadi guru. Bila tidak ada manusia yang menjadi guru, belajarlah kepada apa saja di sekitarmu. Falsafah semacam itulah yang dipercayai oleh para guru di Kota Padang yang diwawancarai oleh peneliti sebagai fondasi nilai kecerdasan suku bangsa Minangkabau. Mengapa kemudian berkembang sebagai pepatah bahasa Melayu Minangkabau dapat dimaklumi? Banyak ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Rusdi (Averroes) yang mendalami kajian filsafat bangsa Yunani, mendapati hikmahnya. Karena falsafah tersebut sesuai dengan perintah Allah agar kaum muslimin mau mencari ayat-ayat kauniyah (bukti-bukti kekuasaan Allah) di alam, ajaran itu melekat dalam ajaran Islam. Sehingga konsep alam terkembang menjadi guru juga diimplementasikan di Aceh maupun di Sulawesi Selatan. Nilai ajaran seperti itu diturunkan, diimplementasikan, dan dikembangkan turun-temurun. Itulah sekadar contoh bahwa nilai karakter siswa setempat ternyata selalu berkaitan dengan nilai-nilai budaya dan tradisi suku bangsanya. Hal tersebut menunjukkan besarnya pengaruh hereditas (bawaan, turunan). Meskipun demikian, tidak sedikit fakta menunjukkan banyak anak muda sekarang yang menyimpang atau berubah karakternya dari karakter leluhur atau suku bangsanya. Sejalan dengan itu, banyak ahli menimpakan kesalahan itu pada pengaruh lingkungan, bahkan juga karena (kurang efektifnya) pendidikan. Sejak psikologi gestalt (teori psikologi yang menggabungkan
Belajar Dari Alam
berbagai aspek dalam proses pertumbuhan manusia) dikembangkan oleh Marx Wertheimer, tidak ada lagi polarisasi antara kutub pewarisan sifat (nature/hereditas) dengan kutub pengaruh lingkungan, sosial maupun alam (nurture), karena keduanya telah menyatu. Karena sifat yang diturunkan/diwariskan orangtua itu sudah given (tak dapat ditolak/diubah), dalam buku ini hanya akan diperbincangkan pengaruh lingkungan sosial budaya dan lingkungan alam. Berkait dengan pengaruh lingkungan alam, didapati fakta bahwa di daerah yang secara geografis sulit untuk hidup (bergunung, berbukit, daerah tandus, dataran yang dikitari laut), muncul karakter berani, tangguh, serta cenderung berwatak keras. Hal itu tampak dalam karakter orang Batak, Madura, Bugis dan Makassar, Buton, Maluku, dan Papua. Namun selalu ada perkecualian, orang Sunda yang alamnya juga dianggap sulit, berkarakter lembut (dalam buku ini wilayah Pasundan dan orang Sunda tidak termasuk dalam pembahasan). Orang Bajo yang tinggal di laut juga ditengarai tidak bersifat keras, walaupun tetap tangguh dan berani mengarungi samudera luas. Dari pergumulan manusia dengan alam dan lingkungan, diperoleh ilmu untuk menjalani kehidupan. Dari peribahasa Minangkabau alam takambang jadi guru, atau alam terkembang (siap) menjadi guru, diperoleh hikmah dari observasi terhadap alam. Sebenarnya seperti yang diungkapkan di atas, hal itu tidak autentik tradisi Minangkabau, namun berakar dari tradisi Islam, yang menganjurkan manusia mendalami ayat kauniyah, yaitu firman tentang bukti-bukti kekuasaan Allah yang terserak di alam semesta. Jika membincangkan karakter siswa mulai dari sebelah barat wilayah Indonesia menuju ke timur, secara umum dapat dikatakan bahwa karakter siswa di Aceh terbangun berdasarkan budaya Melayu dan budaya Islam (sesuai julukan Aceh sebagai Serambi Mekah). Pembahasan mengenai karakter siswa Aceh dan siswa dari wilayah lain dilakukan dengan mengacu pada nilai inti cerdas, jujur, peduli, dan tangguh. Nilai inti cerdas dan tangguh siswa Aceh pada umumnya berada di atas rata-rata. Nilai inti cerdas tersebut mudah dikembangkan karena mencari ilmu merupakan hal yang wajib dilakukan, sesuai 17
Belajar Dari Alam
tuntunan agama Islam (thalabul ilmi faridhatun ala kulli muslimin wal muslimat, menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi muslimin dan muslimat). Ketangguhan siswa Aceh berkaitan dengan sifat militan dan loyalitasnya pada orang yang diakui sebagai pemimpin. Nilai inti jujur dan peduli siswa Aceh berada pada tingkat rata-rata, setara dengan siswa di suku bangsa yang lain di Indonesia. Suku Batak di Sumatera Utara lebih menekankan pada nilai inti cerdas, tangguh, dan peduli, sementara nilai inti jujur berada pada level rata-rata seperti halnya suku bangsa lain di Indonesia. Nilai peduli berkembang secara khas di Batak, karena adanya falsafah dalihan na tolu (tungku berkaki tiga), yang bermakna ‘kekerabatan dalam marga merupakan tali yang mengikat saudara semarga (dongan sabutuha)’. Falsafah ini kemudian berkembang pada ikatan persaudaraan sesuku, lebih luas dari semarga. Dari sini, berkembang nilai-nilai karakter seimbang, harmonis, rasa solidaritas, rendah hati (humble), dan rasa ingin mewujudkan kasih sayang (olong). Dengan falsafah dalihan na tolu, kebiasaan musyawarah dan demokrasi dipupuk dan dikembangkan. Meskipun orang Batak dikenal bersifat terbuka dan bersuara keras, musyawarah dan demokrasi dijalankan dengan penuh kesantunan. Hal itu dilandasi falsafah yang lain lagi, tetapi melengkapi, yakni “pangkuling do situan na denggan” (budi bahasa yang baik sangat penting dalam bermasyarakat). Budaya Melayu hidup dan berkembang di sebagian besar wilayah Sumatera seperti Palembang, Riau, Jambi, dan di sebagian pulau Kalimantan. Di sini, akan disoroti budaya Melayu Palembang yang tercerminkan dalam karakter para siswanya. Nilai inti cerdas dan tangguh sudah dimiliki sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Keturunan Sriwijaya terbiasa menaklukkan laut, mengalahkan musuh, dan mengembangkan daerah koloni. Ketangguhan, keberanian, dan militansi, sebagai warisan budaya, terlihat dalam diri para siswa di Palembang. Untuk berlayar mengarungi lautan dan menempuh gelombang diperlukan kecerdasan dalam membaca tanda-tanda alam seperti bintang, arah angin, cuaca, dan sebagainya. Jejak budaya Melayu juga terlacak dari diri siswa di 18
Belajar Dari Alam
daerah Lampung, yang orangtuanya berlatar belakang budaya Abung, maupun para siswa di Bengkulu yang berlatar belakang budaya Serawai. Sementara di Jawa, para siswa di kota Bekasi yang merepresentasikan suku Betawi, ternyata juga memiliki serpihan darah suku bangsa Melayu Muda. Mereka memiliki dan mengembangkan nilai inti cerdas melalui berbagai ungkapan seperti makan sekolahan (anak muda berpendidikan), akal kancil (cerdik), dan sebagainya. Nilai inti peduli ditumbuhkan dengan ungkapan baik ati (berbaik hati), ngambil peduli (peduli pada orang lain), dan lain-lain. Sementara itu nilai inti tangguh dalam menghadapi kehidupan terdapat dalam pepatah mereka ngebanting tulang (membanting tulang = bekerja keras). Siswa di Banyumas merepresentasikan karakter ngapak (dari ucapan mereka yang selalu berakhiran –ak) yang memiliki sifat terbuka atau berterus terang, cablaka atau blakasuta (apa adanya).Artinya, dalam budaya Banyumasan, kejujuran dijunjung tinggi. Sementara itu, orang Samin di Jawa Timur, tepatnya di daerah Bojonegoro, dipengaruhi tradisi Jawa kuno dan tradisi Islam, selain budaya utama yang diturunkan dan dikembangkan oleh tokoh mereka Ki Samin Surosentika. Yang menonjol pada siswa dari budaya Samin adalah kejujuran, keluguan, serta kesederhanaan mereka. Mereka juga pemurah, yang menunjukkan tingginya nilai peduli. Dari wilayah Ngawi diperoleh temuan bahwa nilai peduli dikembangkan siswa dengan baik, sedangkan nilai inti jujur, cerdas, dan tangguh sama tingkatannya dengan siswa dari wilayah lain di Indonesia. Penghargaan terhadap pluralitas amat dijunjung tinggi baik di Banyumas maupun Ngawi, mereka meyakini bahwa desa mawa cara, negara mawa tata, setiap desa memiliki adat tersendiri, setiap negara memiliki hukum sendiri, yang harus dijunjung tinggi. Siswa di Surabaya bersikap terbuka, jujur, apa adanya (opo onoke). Semboyan kalah cacak menang cacak (kalah menang, coba saja), menggambarkan semangat untuk mencoba apapun, tidak peduli akan kalah/gagal atau menang/berhasil. Sifat tidak gentar terhadap apapun itu dilambangkan dalam ikan Sura dan Buaya (Boyo), yang artinya berani menghadapi bahaya. Kini, nilai ketangguhan dan keberanian itu 19
Belajar Dari Alam
lebih banyak tercermin dalam Bonek (Bondo Nekad = bermodal tekad semata), julukan pada suporter sepak bola yang kerap mengganggu masyarakat dan lingkungan. Dalam Perang 10 November 1945, semboyan arek Suroboyo berhasil mengusir penjajah dengan semboyan rawe-rawe rantas, malang-malang putung yang menunjukkan ketangguhan dan keberanian (arti harfiahnya: membabat dan memberantas semua penghalang). Para siswa dari Suku Tengger dipengaruhi oleh nilai budaya Jawa dan nilai budaya Hindu. Nilai inti peduli terbangun dengan baik karena rasa kebersamaan sebagai bagian dari masyarakat yang dianggap asing di pulau Jawa–wilayah mereka dikelilingi budaya Islam, sementara mereka adalah keturunan (dan pelarian) dari Kerajaan Majapahit yang Hindu. Sementara itu wilayah yang bergunung-gunung telah menggembleng mereka menjadi manusia yang tangguh. Ketangguhan yang diturunkan pada generasi muda tampak dari kemampuan para siswa berjalan kaki ke sekolah menempuh jarak yang jauh tanpa mangeluh. Siswa yang berasal dari kultur Kutai di Kalimantan Timur tampak kuat pada nilai inti peduli, karena adat budaya mereka yang suka berkumpul bersama. Kota Singkawang di Kalimantan Barat merupakan tempat yang khas karena banyak dihuni etnis Tionghoa. Nilai inti peduli tertanam kuat karena rasa sepenanggungan sebagai warga keturunan dan migran. Faktor tersebut juga memperkuat bangunan nilai inti tangguh. Mereka siap bekerja apa saja untuk mempertahankan hidup. Karakter siswa NTB diwakili oleh para siswa di wilayah Sumbawa Besar, yang merupakan representasi dari budaya Samawa. Karakter tersebut merupakan sinkretisme antara budaya tradisional setempat dengan budaya Islam pendatang. Para siswanya memiliki ciriciri berani dan tangguh, sementara nilai inti cerdas bervariasi karena pengaruh ketersediaan infrastruktur. Di provinsi ini, semakin menuju ke pusat kota, yang lebih lengkap fasilitas pendidikannya dan lebih mudah aksesnya, nilai inti cerdas semakin tinggi. Di Manado, para siswa yang merepresentasikan budaya Minahasa menunjukkan nilai inti cerdas dan nilai inti peduli yang kuat. 20
Belajar Dari Alam
Rasa kebersamaan mereka begitu kuat, sedang nilai inti tangguh dan jujur pada tataran normal seperti pada para siswa lain di Indonesia. Para siswa Gorontalo terbiasa berbuat jujur dengan melakukan berbagai aktivitas yang melambangkan kejujuran. Nilai kecerdasan dikembangkan secara intensif di sekolah, antara lain dengan pembiasaan mempraktikkan bahasa asing dalam English Day, membaca senyap, dan membaca 10 menit di awal pembelajaran. Nilai kepedulian dikembangkan melalui tradisi huluya, yang maknanya adalah gotongroyong. Nilai kepedulian berupa kebiasaan bekerja sama (sintuvu) dikembangkan juga oleh para siswa di Kaili (Donggala, Sulawesi Tengah). Ketika perjalanan tiba di Sulawesi Selatan, akan dijumpai suku bangsa Bugis, Makassar, dan Buton. Ketiga suku bangsa tersebut adalah para pelaut ulung, yang ahli membaca tanda-tanda alam. Kecuali itu, ada aspek lain yang berkaitan dengan tingkat kecerdasan, yaitu pengaruh konsumsi atau bahan makanan terhadap otak manusia. Para pelaut dan nelayan yang terbiasa mengkonsumsi ikan akan tercukupi protein dan asupan bahan-bahan lain yang vital bagi perkembangan otak seperti EPA (asam eikosa pentanoat, eicosapentanoic acid) dan DHA (asam dokosaheksanoat, docosahexanoix acid). Tidak sedikit siswa SMP dan SMA Makassar yang menjadi juara olimpiade sains tingkat nasional atau internasional. Jadi, boleh dikata, nilai inti tangguh dan cerdas adalah trade mark para siswa Sulawesi Selatan. Sementara itu nilai inti jujur juga berkembang baik karena implementasi sifat amanah (dapat dipercaya) sesuai ajaran agama Islam yang mereka pegang secara kuat. Di Ambon atau Maluku, nilai inti tangguh tumbuh subur dan kuat, karena mereka pun umumnya pelaut serta nelayan yang ahli dan bijak mengelola alam. Di wilayah yang dikitari lautan yang cantik itu, ada kearifan lokal dalam mengelola sumber daya ikan yang disebut sasi, salah satu cara mereka menjaga kelestarian sumber daya ikan di laut. Nilai inti cerdas pun berkembang dengan baik. Nilai inti peduli dikembangkan dalam tradisi masohi, yang maknanya ‘bekerjasama’; maupun tradisi pela gandong (saling mendukung) yang maknanya kebersamaan dalam kebhinnekaan. 21
Belajar Dari Alam
Di Papua, akan dijumpai gradasi pengembangan nilai-nilai inti. Semakin menjauh dari perkotaan, yakni ke arah laut maupun arah wilayah pegunungan, nilai inti tangguh semakin kuat, walau secara ratarata mereka memang mengembangkan ketangguhan yang kuat. Sementara itu, nilai inti jujur, peduli, dan cerdas amat bervariasi di Papua. Nilai-nilai inti itu berkembang semakin baik ketika mereka bersentuhan dengan budaya pendatang, atau karena tersedianya infrastruktur yang lebih baik.Terutama, kemudahan akses infrastruktur pendidikan serta sarana transportasi yang amat penting untuk wilayah seperti Papua. Dalam hal nilai inti cerdas, semangat belajar siswa Papua cukup tinggi, walau mereka banyak mengalami kendala alam. Kondisi tersebut tentu patut diapresiasi. Mereka bersemboyan ko tra kosong, kita orang tidak kosong. Orang tidak akan kosong kalau berbekal pengetahuan, oleh sebab itu belajarlah. Namun, nilai inti jujur dan peduli tampaknya memang masih perlu dibangun dan kembangkan lebih lanjut. Setelah mendapat gambaran umum tentang hubungan antara budaya suku bangsa dengan karakter siswanya, sekarang kita menilik latar belakang dari tiap daerah. Latar belakang tersebut akan meliputi alam (geografi), budaya, tradisi, agama, kearifan lokal, gempuran globalisasi, dan lain-lain, yang pada gilirannya membentuk karakter siswa. Lingkungan Sosial Budaya Aceh Daerah Nanggroe Aceh Darussalam diberi julukan “Serambi Mekah”. Julukan itu berarti suatu penghormatan, karena Aceh dianggap sebagai beranda dari Tanah Suci Mekah. Sebutan tersebut melekat karena dahulu, bila hendak menunaikan ibadah haji ke Mekah, kaum muslim Indonesia hanya dapat menggunakan transportasi kapal laut. Sebelum mengarungi Samudera Hindia, mereka harus melalui wilayah Aceh, dan dari sana bertolak menuju Mekah. Jadi, Aceh ibarat serambi/beranda tempat pelepasan jemaah haji Indonesia menuju ke Tanah Suci Mekah. Aceh juga merupakan daerah awal masuknya Islam 22
Belajar Dari Alam
di Nusantara, tepatnya di kawasan pantai Timur, Peureulak, dan Pasai. Dari Aceh, Islam berkembang sangat cepat ke seluruh Nusantara. Di Aceh terdapat empat suku utama, yaitu Suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas, dan Suku Tamiang. Suku Aceh mayoritas mendiami kawasan pesisir Aceh, yaitu kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan. Suku Gayo dan Suku Alas yang minoritas mendiami dataran tinggi di kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri, seperti bahasa, karya sastra, nyanyian, tarian, musik, dan adat istiadat. Kehidupan orang Aceh sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam.Tarian, kerajinan, ragam hias, adat istiadat, dan lain-lain, berakar dari nilai keislaman. Misalnya, ragam hias banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang, daun, dan bunga; atau bentuk objek alam seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya. Prose situ sejalan dengan ajaran Islam yang tidak membenarkan ditampilkannya figur-figur manusia atau binatang. Kesenian tarinya juga sangat lekat dengan warna Islami. Seni tari yang terkenal di Aceh antara lain Tari Seudati, Seudati Inong, Seudati Tunang,Tari Rateb Meuseukat, dan Tari Saman. Dalam Tari Saman, para penarinya bergerak dinamis dan serentak (rancak) dengan iringan lagu (syair) acapela atau tanpa tetabuhan. Tarian itu mencerminkan ekspresi keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan, dan kebersamaan. Salah satu sifat khas orang Aceh adalah militan. Sikap militansi orang Aceh sudah tertempa sejak ratusan tahun lalu. Semangat rela berkorban, berjuang dan berperang sampai titik darah penghabisan, itu lantas mengental, mengkristal, menjadi sebuah karakter yang melekat erat dalam diri setiap orang Aceh. Hal itu terbaca antara lain pada peribahasa atau syair-syair do daidi, senandung penina bobo bayi, dengan isi pesan agar si bayi kelak setelah dewasa pergi ke medan perang, dan berjuang membela bangsa (nanggroe). Bagi masyarakat Aceh, yang senang menyebut dirinya ureueng Aceh, peribahasa atau hadih maja sudah menjadi ‘petuah’ sepanjang zaman. Mohd Harun, pengajar sastra, adat, dan budaya di Universitas Syiah Kuala, menuliskannya dalam buku bertajuk Memahami Orang Aceh (2009). 23
Belajar Dari Alam
Harun menyebutkan, orang Aceh dikenal memiliki lima watak dominan. Pertama, watak reaktif, sebagai sikap awas atas martabat dan harga diri yang dipertaruhkan dalam konstelasi sosial budaya. Orang Aceh peka terhadap situasi sosial di sekitarnya, yang tercermin dalam beberapa pepatah mereka, yakni Meunyoe teupeh, bu leubeh han geu peu taba (apabila perasaan tidak tersinggung, ia akan memberikan segalagalanya), Meunyoe hana teupeh, aneuk kreh jeut ta raba (sikap ramah seseorang akan berubah menjadi sifat benci jika sakit hati). Peribahasaperibahasa tersebut memberi gambaran bahwa orang Aceh pantang diusik atau dihina. Jika mereka sampai tersinggung atau malu, dapat timbul kebencian dan dendam. Kedua, watak semangat juang yang tinggi, pantang menyerah, seperti tampak dalam peribahasa ini, yakni Nibak udep dalam susah, bah manoe darah teungoh padang (daripada hidup dalam kesusahan, lebih baik bermandikan darah di tengah padang). Ketiga, watak optimistis, yang tampak ketika mereka menjalankan pekerjaannya. Orang Aceh beranggapan bahwa setiap pekerjaan yang kelihatan sulit dan berat harus dicoba dan dilalui. Sifat tidak mudah putus asa tercermin dalam pepatah ini, yakni Siploh pinto teutob, na saboh nyang teubah (sepuluh pintu tertutup, pasti ada satu yang terbuka). Kesempatan akan selalu ada. Kegagalan hari ini merupakan modal untuk meraih kesuksesan di masa depan. Keempat adalah watak konsisten. Itu tampak dalam sikap dan pendirian yang tidak plin-plan (berubah-ubah), tegas, apalagi jika berkaitan dengan harga diri dan kebenaran. Sikap itulah yang membuat Aceh dikenal konsisten memperjuangkan sesuatu yang diyakini benar. Misalnya, penerapan syariat Islam. Mereka konsisten berjuang sejak zaman penjajahan Belanda, era kemerdekaan dan era orde baru, hingga akhirnya terwujud di era reformasi saat ini. Kini Aceh adalah satusatunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam. Kelima adalah watak loyal atau setia. Watak tersebut sangat berkaitan dengan rasa percaya atau kepercayaan terhadap seseorang. Jika seseorang, lebih-lebih seorang pemimpin, mampu menghargai, mempercayai, tidak menipu, tidak mencurigai rakyatnya, rakyat akan 24
Belajar Dari Alam
membaktikan diri sepenuhnya kepada sang pemimpin. Loyalitas dan kepatuhan, bagi orang Aceh, tinggi nilainya. Agar orang Aceh bersikap loyal dan patuh, sang pemimpin haruslah jujur, setia kepada rakyatnya, tidak ingkar janji, bijak dalam pelayanan/pengabdian, serta percaya kepada rakyat. Lingkungan Sosial Budaya Batak Batak merupakan sebuah terminologi kolektif untuk mengidentifikasi beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli, bagian timur Sumatera Utara (letaknya di sebelah selatan NAD). Yang disebut Suku Batak terdiri atas lima subsuku yang dibagi berdasarkan ketersebaran geografis sebagai berikut: (1) Batak Toba (Tapanuli) yang mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan mengunakan bahasa Batak Toba; (2) Batak Simalungun yang kebanyakan tinggal di Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan menggunakan bahasa Batak Simalungun; (3) Batak Karo yang mendiami Kabupaten Karo, Langkat, dan sebagian Aceh, dan menggunakan bahasa Batak Karo; (4) Batak Mandailing yang mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan Muara Sipongi, dan menggunakan bahasa Batak Mandailing; dan (5) Batak Pakpak yang mendiami Kabupaten Dairi dan Aceh Selatan, dan menggunakan bahasa Pakpak. Dalam buku Aneka Ragam Budaya Batak (seri Dolok Pusuk Buhit10) terbitan Yayasan Bina Budaya Nusantara Taotoba Nusa Budaya (2000), disebutkan bahwa jumlah etnis Batak bukan hanya 5, akan tetapi 11. Ke-6 etnis batak lainnya adalah (1) Batak Pasisir yang mendiami Pantai Barat antara Natal dan Singkil; (2) Batak Angkola yang tinggal di wilayah Sipirok dan Pulau Sidempuan; (3) Batak Padanglawas yang tinggal di wilayah Sibuhuan, Godang, Rambe, Harahap; (4) Batak Melayu yang tinggal di wilayah Pesisir Timur Melayu; (5) Batak Nias yang tinggal di Pulau Nias dan sekitarnya; serta (6) Batak Alas Gayo yang banyak tinggal di Aceh Selatan,Tenggara, danTengah. Kehidupan suku bangsa Batak tak dapat dilepaskan dari penggunaan kain ulos (semacam selendang yang disampirkan di badan, 25
Belajar Dari Alam
kainnya lebih tebal dari selendang yang dikenal di Jawa, pada umumnya buatan tangan). Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai upacara adat, misalnya pernikahan, kain ulos merupakan elemen penting yang tidak boleh ditinggalkan. Ulos pada mulanya diperlakukan sebagai azimat, dipercaya mengandung ‘kekuatan’ yang bersifat religius magis, dianggap keramat, serta memiliki daya perlindungan. Menurut beberapa penelitian, penggunaan ulos oleh orang Batak mirip dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai, dan Laos (biasanya mereka pakai untuk ikat kepala). Sebelum orang Batak (Toba, Karo, Simalungun) mengenal tekstil buatan luar, ulos (disebut Uis oleh suku bangsa Batak Karo) adalah pakaian sehari-hari. Namun tidak semua ulos dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Sistem kekerabatan Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dunia, dalam tiga posisi yang disebut dalihan na tolu; di Simalungun disebut tolu sahundula. Tiga posisi penting itu adalah: 1. Hula hula atau tondong, yaitu kelompok orang yang posisinya di atas, biasanya keluarga marga pihak istri, sehingga ada ungkapan sombasomba marhula-hula yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. 2. Dongan tubu atau sanina, yaitu kelompok orang yang posisinya sejajar, seperti teman/saudara semarga, sehingga ada ungkapan manat mardongan tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari pertikaian. 3. Boru yaitu kelompok orang orang yang posisinya di bawah, seperti saudara perempuan kita sendiri, pihak marga suami, keluarga perempuan pihak ayah. Dalam kehidupan sehari-hari, ada ungkapan elek marboru, artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat. Dalihan Na Tolu bukanlah kasta seperti dalam pengertian kasta atau warna di Hindu-Bali, karena dalam diri setiap orang Batak 26
Belajar Dari Alam
terkandung ketiga posisi tersebut, bergantung pada konteks tempat dia berada pada situasi tertentu. Ada saatnya seseorang menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina, dan ada saatnya menjadi Boru. Dengan falsafah Dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta, atau status seseorang, melainkan posisinya dalam kekerabatan. Dalam sebuah acara adat, misalnya, dapat terjadi seorang Gubernur harus mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat–karena keluarga istri harus dihormati. Dapat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan sistem demokrasi khas Batak, dan sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang universal. Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam.Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu) dan agama Malim, yaitu agama yang dianut komunitas Parmalim, sebuah komunitas Batak Toba yang menjalankan kepercayaan asli dan berakar pada kebudayaan Batak. Agama Malim memiliki ajaran pokok yang terdiri dari tona (pesan, semacam wahyu), poda (wejangan), patik (kaidah) dan uhum (aturanaturan dasar untuk upaya pemulihan integrasi dalam penyelesaian konflik). Patik terbagi dua, yakni pertama, tatahubungan dengan sang pencipta dan sesama manusia (internal maupun eksternal); kedua, aturan-aturan dasar terkait hukum dan pelaksanaan upacara-upacara keagamaan. Penganutnya berpantang memakan daging babi dan makanan yang mengandung darah. Selain itu, mereka juga dilarang menebang kayu secara sembarangan di hutan. Tiap golongan suku Batak memiliki salam khasnya masing masing. Yang paling terkenal tentu saja ucapan salam Horas. Namun, masih ada dua salam lagi, meskipun kurang populer di masyarakat, yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan golongan yang menggunakannya. Masyarakat Batak memiliki dua bentuk kekerabatan, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis. Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan terlihat dari silsilah 27
Belajar Dari Alam
marga mulai dari Si Raja Batak, dalam hal ini semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (paduan antarmarga tertentu), maupun karena perkawinan. Adat dan tradisi Batak bersifat dinamis, seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat. Hal itu berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antardaerah. Ada falsafah dalam perumpamaan Batak Toba yang menonjolkan keutamaan persahabatan, yakni Jonok dongan partubu, jonokan dongan parhundul (akrab teman semarga, masih lebih akrab sahabat karib). Perumpamaan itu mendasari sifat orang Batak, yang membuat mereka mudah bergaul dan menjalin persahabatan di luar orang sesuku atau semarga. Hal itu juga mengajarkan agar orang Batak senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan adat. Silsilah merupakan hal yang sangat penting bagi orang Batak. Mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak tersesat (nalilu). Khususnya kaum pria Batak, mereka diwajibkan mengetahui silsilah keluarganya, minimal nenek moyang yang menurunkan marganya, dan teman semarganya (dongan tubu). Hal itu perlu agar setiap orang tahu letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga. Orang Batak sangat memegang falsafah Somba Marhula-hula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri), Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan), dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah tersebut dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan bermasyarakat di lingkungan orang Batak. Lingkungan Sosial Budaya Minangkabau Mayoritas penduduk Sumatera Barat merupakan suku Minangkabau. Di daerah Pasaman, selain suku Minang, berdiam pula suku Batak dan suku Mandailing. Suku Mentawai terdapat di Kepulauan Mentawai. Di beberapa kota di Sumatera Barat, terutama Kota Padang, 28
Belajar Dari Alam
terdapat etnis Tionghoa, Tamil, dan suku Nias. Di beberapa daerah transmigrasi terdapat pula suku Jawa, di antaranya adalah keturunan imigran berdarah Jawa dari Suriname, yang memilih kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1950-an. Bahasa yang digunakan dalam keseharian adalah bahasa daerah Minangkabau, yang memiliki beberapa dialek, seperti dialek Bukit Tinggi, Pariaman, Pesisir Selatan, dan Payakumbuh. Di daerah Pasaman dan Pasaman Barat yang berbatasan dengan Sumatera Utara, dituturkan juga bahasa Batak dan bahasa Melayu dialek Mandailing. Sementara itu, di Kepulauan Mentawai digunakan bahasa Mentawai. Islam adalah agama mayoritas, yang dipeluk oleh sekitar 98% penduduk Sumatera Barat, yang kebanyakan pemeluknya adalah orang Minangkabau. Tatanan kehidupan Minangkabau sejak dahulu hingga sekarang sangat ideal karena didasari nilai-nilai agama Islam dan norma-norma adat budaya secara menyeluruh. Ada satu ungkapan berbunyi Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (Adat Berdasarkan Syariat, Syariat Berdasarkan Kitab Quran). Tujuan hidup orang Minangkabau tergambarkan dengan tepat dalam peribahasa bumi sanang, padi menjadi, teranak berkembang biak (bumi senang, padi menjadi/panen, ternak berkembang biak). Artinya, warga Minangkabau selalu ingin hidup aman, damai, makmur, ceria, dan penuh keberkahan. Beberapa ungkapan Minangkabau di bawah ini dapat mencerminkan pandangan atau falsafah hidup masyarakatnya. a. Saiyo Sakato (seiya sekata = sepakat) Ketika menghadapi perbedaan pandangan satu orang dengan lainnya, orang Minangkabau sepakat menerapkan peribahasa saiyo sakato (seiya sekata = sepakat). Perbedaan pendapat dianggap lumrah sebagai wujud demokrasi. Namun, kalau perbedaan dibiarkan berlanjut, masalah tidak akan terselesaikan. Karena itu, harus dicari jalan keluar. Jalan keluar ala adat Minang adalah melakukan musyawarah untuk mufakat, bukan musyawarah untuk melanjutkan pertengkaran. Keputusan boleh bulat (aklamasi), boleh juga pipih atau picak (melalui voting). Adat Minang tidak mengenal istilah “Sepakat 29
Belajar Dari Alam
untuk tidak se-Mufakat”. Bagaimanapun, keluar harus bersuara satu dan dilaksanakan. Adat Minang tidak terlalu memuja kemandirian (privacy) ala individualisme Barat. Adat Minang mengajarkan tradisi berembuk dengan lingkungan masyarakat, termasuk menyangkut masalah pribadi. Hal itu mendorong orang Minang lebih mengutamakan “kebersamaan” daripada ego pribadi. Meskipun individu Minang itu menduduki posisi penting, seperti mamak-rumah (orang yang dituakan) atau Penghulu Andiko (penghulu utama), keputusan tidak mungkin diambilnya sendiri. Sikap otoriter tidak disukai orang Minang. Mereka selalu mencoba memelihara komunikasi dan mengupayakan dialog. Penyelesaian masalah di luar musyawarah adalah buruk. b. Sahino Samalu (sehina semalu = sama-sama hina, sama-sama malu) Kehidupan kelompok sesuku sangat erat, yang tergambar dalam ungkapan sahino samalu, artinya ‘satu rasa’. Mereka bagaikan suatu kesatuan yang tunggal-bulat. Jarak antara ‘kau’ dan ‘aku’ hampir tidak ada. Istilah “awak” menggambarkan kedekatan ini. Urusan yang rumit diselesaikan dengan cara awak samo awak (antara kita), sehingga menjadi lebih mudah. Kedekatan hubungan dalam kelompok suku ini menjadikan harga diri individu melebur menjadi harga diri kelompok. Kalau seorang anggota suku diremehkan dalam pergaulan, seluruh anggota suku merasa tersinggung. Begitu juga bila suatu suku dipermalukan, maka seluruh anggota suku akan serentak membela nama baik sukunya. c. AnggoTanggo (tertib hukum) Unsur ketiga yang dapat membentuk masyarakat nan sakato, adalah terciptanya pergaulan yang tertib serta disiplin dalam masyarakat. Setiap anggota masyarakat dituntut mematuhi aturan dan undang-undang, serta mengindahkan pedoman dan petunjuk yang diberikan penguasa adat. Dalam pergaulan hidup, tentu akan ada kesalahan dan kekhilafan. Kesalahan dan kekhilafan itu harus diselesaikan sesuai aturan, agar ketertiban dan ketenteraman terjaga. 30
Belajar Dari Alam
d. Sapikua Sajinjiang (sepikul sejinjing = tanggung jawab bersama) Dalam masyarakat komunal, semua tugas menjadi tanggung jawab bersama. Sifat gotong-royong, saling membantu dan menunjang, merupakan kewajiban. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing atau barek sapikua ringan sajinjiang. Dalam menjalankan kehidupannya, masyarakat Minangkabau memiliki banyak tatacara atau aturan. Mereka memiliki aturan tentang hubungan antara wanita dan pria, aturan mengenai harta kekayaan yang menjadi tumpuan kehidupan manusia, tatakrama pergaulan, dan sistem kekerabatan. Orang Minang juga memiliki gambaran tentang sifat atau watak ideal, yang diajarkan kepada generasi muda secara turun temurun, di antaranya sebagai berikut. (1) Hiduik baraka, baukue jo bajangka (hidup berpikir, berukur, dan berjangka). Dalam menjalani hidup, orang Minang dituntut untuk selalu menggunakan akalnya. Berukur dan berjangka artinya harus mempunyai rencana yang jelas dan perkiraan yang tepat. Dengan mengunakan akalnya, manusia akan selalu waspada dan siap. Merencanakan pekerjaan harus dipikirkan dengan matang dan cermat. Melaksanakan pekerjaan perlu mengikuti urutan prioritas, seperti pepatah mengaji dari alif, babilang dari aso (mengaji dimulai dari alif, berhitung dimulai dari satu). Efek dari kehidupan ‘nalar’ yang tinggi ini, satu kelemahan orang Minang adalah: banyak dari mereka yang menderita penyakit ‘excessive individualism’, sikap individualistis yang berlebihan. Mereka susah diatur, merasa lebih super dari orang lain, berpegangan pada pedoman pantang taimpik (pantang terhimpit), dan mereka tidak suka berada di bawah (tak suka menjadi bawahan). (2) Baso-basi, malu jo sopan (basa-basi, malu dan sopan). Adat Minang mengutamakan sopan santun dalam pergaulan. Budi pekerti yang tinggi menjadi salah satu ukuran martabat seseorang, dan etika menjadi salah satu sifat standar yang harus dimiliki setiap orang. Adat Minang mengatur dengan jelas dan rinci tentang tata kesopanan dalam 31
Belajar Dari Alam
pergaulan. Pepatah menyebutkan nan tuo dihormati, nan ketek disayangi; samo gadang bawo bakawan, ibu jo bapak diutamakan. Artinya, yang lebih tua dihormati, yang kecil disayangi; sama besar bawa berkawan, ibu dan ayah diutamakan. (3) Tenggang raso (tenggang rasa, toleransi). Pergaulan yang baik adalah yang dapat saling menjaga perasaan orang lain.Adat mengajarkan untuk selalu berhati-hati dalam pergaulan; ucapan, tingkah laku, maupun perbuatan, jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Tenggang rasa adalah salah satu sifat yang dianjurkan adat, seperti tercermin dalam peribahasa Nan elok dek awak katuju dek urang, Lamak dek awak lamak dek urang, Sakik dek awak sakik dek urang. Artinya, ‘yang baik menurut kita, harus juga disukai orang lain; yang enak menurut kita, harus juga enak menurut orang lain; kalau sakit bagi kita, sakit pula bagi orang lain’. (4) Setia (loyal).Yang dimaksud setia adalah teguh hati, merasa senasib, dan menyatu dalam lingkungan kekerabatan. Sifat ini menjadi sumber lahirnya rasa setia kawan, cinta kampung halaman, cinta tanah air, dan cinta bangsa. Dari sini pula berawal sikap saling membantu, saling membela, dan saling berkorban untuk sesama. Bila terjadi konflik, dan orang Minang terpaksa harus memilih, orang Minang akan memihak pada dunsanak (saudara/kerabatnya). Dalam kondisi semacam itu, orang Minang sama fanatiknya dengan orang Inggris. Right or wrong is my country ‘salah atau benar, negaraku’. (5) Adil, maksudnya mengambil sikap tidak berat sebelah, dan berpegang teguh pada kebenaran. Bersikap adil semacam ini sangat sulit dilaksanakan bila berhadapan dengan dunsanak sendiri. (6) Berani karena benar. Islam mengajarkan untuk mengamalkan “amar makruf, nahi mungkar”, yang artinya menganjurkan orang berbuat baik, dan mencegah orang berbuat kemungkaran. Menyuruh orang berbuat baik mudah, tapi melarang orang berbuat mungkar, 32
Belajar Dari Alam
mengandung risiko sangat tinggi. Bisa-bisa nyawa menjadi taruhan. Untuk bertindak menghadang kemungkaran seperti ini, memerlukan keberanian. Adat Minang dengan tegas menyatakan bahwa orang Minang harus punya keberanian untuk menegakkan kebenaran. Berani karena benar. (7) Arif bijaksana, tanggap, dan sabar. Orang yang arif bijaksana adalah yang dapat memahami pandangan orang lain, dapat mengerti yang tersurat dan tersirat. Tanggap artinya mampu menangkis setiap bahaya yang bakal datang. Sabar artinya mampu menerima segala cobaan dengan dada yang lapang dan mampu mencarikan jalan keluar dengan pikiran yang jernih. (8) Rajin, sifat lain yang dipunyai orang Minang adalah rajin. Pepatah berikut ini dengan baik menggambarkan kadar kerajinan orang Minang: Kok duduak marauik ranjau (kalau duduk meraut ranjau), Tagak maninjau jarah (berdiri mengintai mangsa),Nan kayo kuek mancari (kalau ingin kaya harus ulet mencari uang),Nan pandai kuek baraja (ingin pandai harus rajin belajar). (9) Rendah hati. Mungkin lebih dari separuh orang Minang hidup di rantau. Hidup di rantau artinya hidup sebagai minoritas dalam lingkungan mayoritas suku bangsa lain. Mereka yang merantau ke Jakarta mungkin kurang merasakan sebagai kelompok minoritas.Tetapi yang merantau ke Bandung, Semarang, Malaysia, Australia, Eropa, Amerika, hidup di tengah-tengah orang lain yang berbudaya lain. Bagaimana perantau Minang harus bersikap? Mereka telah dibekali falsafah hidup merantau, yang menyebabkan mereka survive bahkan berjaya di negeri orang: Kok mangecek di bawah-bawah (kalau berbicara, bersahaja), Tibo di kandang kambiang mangembek, tibo di kandang kabau manguak (berada di kandang kambing, mengembik, berada di kandang kerbau menguak); Dimano bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang (di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung). Peribahasa-peribahasa tersebut mengajarkan pada orang Minang, sebagai perantau yang hidup 33
Belajar Dari Alam
dalam lingkungan budaya lain, sebagai kelompok minoritas, mereka harus tahu diri, pandai menempatkan diri, menghormati adat setempat. Mungkin, inilah kunci keberhasilan para perantau Minang. Lingkungan Sosial Budaya Palembang Penduduk Palembang merupakan etnis Melayu dan menggunakan bahasa Melayu yang telah disesuaikan dengan dialek setempat, kini dikenal sebagai bahasa Palembang. Masyarakat Palembang akrab dengan kehidupan sungai dan rawa-rawa, sehingga penggambaran karakter atau julukan bagi orang Palembang sering dihubungkan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan air. Salah satunya dihubungkan dengan ikan belido, sejenis ikan yang menguasai Sungai Musi dari hulu ke hilir. Ikan belido menjadi simbul kekuasaan atas wilayahnya. Hal itu menggambarkan karakter masyarakat Palembang yang dianggap menguasai sungai dan rawa-rawa. Ikan belido merupakan ikan yang paling enak sebagai bahan makanan khas Palembang, pempek atau kerupuk. Beberapa sifat dan karakter manusia Palembang yang dihubungkan dengan ikan antara lain: 1. Bungkuk belido, menggambarkan orang yang tinggi libidonya. Ada kepercayaan, orang yang bentuk fisiknya bungkuk serupa ikan belido mempunyai hasrat seks yang tinggi. 2. Rasan juaro, adalah julukan bagi orang yang selalu punya rasa atau kehendak yang tidak benar; sesuai sifat ikan juaro yang biasa hidup bergerombol, lalu berebut cepat saat ada sesuatu yang jatuh ke air. 3. Kelakar betok, menggambarkan pembicaraan yang sangat seru dan cenderung heboh, tetapi tidak menghasilkan apaapa. Ikan betok suka hidup berkelompok di satu lubuk. Apabila pemancing mendapatkan satu ekor betok, dipastikan dia akan mendapatkan “teman-teman” si betok itu lebih banyak. Sifat betok yang cepat menyambar umpan 34
Belajar Dari Alam
juga dipakai untuk menggambarkan orang yang cerdas (tanggap terhadap sesuatu). Tak heran, di beberapa daerah di luar Kota Palembang, orang yang pandai mendapat julukan Mat Betok. 4. Pecak sepat, metu denget, tau-tau mingsep, artinya “Seperti sepat, muncul sebentar, tahu-tahu menghilang (dengan cepat)”, menggambarkan orang yang muncul atau menghilang tiba-tiba. Sikap itu sesuai sifat ikan sepat yang pada waktu tertentu (terutama saat matahari terik) muncul sesaat di permukaan untuk mengambil oksigen, dan segera menghilang kembali. 5. Gaji toman menggambarkan orang yang berpenghasilan besar. Ikan toman (Channa micropletes) dikenal sebagai ikan yang bergajih (berlemak) sangat banyak. Orang Palembang tidak biasa berbicara kasar. Semua disampaikan dalam bentuk simbol, sindiran, pepatah, dan pantun. Namun mereka menyadari perlunya beradaptasi dengan tradisi atau lingkungan tempat mereka hidup. Tepasok di reban kambeeng melok ngembek, tepasok di reban ayam baketok, “masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang ayam berkotek”. Lingkungan Sosial Budaya Abung Etnis Abung berkembang di Kabupaten Lampung Utara, dengan ibukota Kotabumi. Penduduk Kabupaten Lampung Utara terdiri atas beberapa suku asli Lampung, seperti suku Abung, Tulang Bawang, Sungkai, Way Kanan, Paminggir, dan sejumlah suku pendatang seperti suku Jawa, Batak, Bali, Sumatera Selatan, Padang, dan lain-lain. Bahasa yang digunakan di kalangan masyarakat Abung di Kotabumi adalah bahasa Lampung dialek Nyow (“O”), tetapi sebagian besar masyarakat Abung mengerti dan memahami bahasa Jawa, bahasa Palembang, dan bahasa Melayu. Berdasarkan peta bahasa, bahasa Lampung memiliki dua subdialek. Pertama, dialek A (api) yang dipakai oleh ulun (orang) Sekala 35
Belajar Dari Alam
Brak, Melinting Maringgai, Darah Putih Rajabasa, Balau Telukbetung, Semaka Kota Agung, Pesisir Krui, Ranau, Komering dan Daya (yang beradat Lampung Saibatin); serta Way Kanan, Sungkai, dan Pubian (yang beradat Lampung Pepadun). Kedua, subdialek O (nyo) yang dipakai oleh ulun Abung dan Tulangbawang (yang beradat Lampung Pepadun). Masyarakat Abung dikenal memiliki karakter lapang dada dan besar jiwa. Itu sebabnya mereka mudah menerima pendatang. Adat pepadun juga bermakna hidup bersama, dilandasi saling hormat menghormati. Terkait hubungan sosial kekerabatan, sifat gotongroyong masih berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Adat Lampung Abung Pepadun sangat menjunjung tinggi martabat dan asal-usul keluarga. Keluarga dinilai dari kekerabatannya yang tinggi, khususnya dari garis keturunan ibu. Sedangkan perilaku yang diturunkan dari generasi ke generasi digambarkan dengan istilah Ibung mak jaweh jak ghuppun yang berarti rebung (tunas bambu) tumbuh tidak jauh dari rumpunnya. Maknanya, perilaku anak pasti menurun dari orangtua atau adat keluarganya. Nilai-nilai pengembangan ilmu dan kecerdasan digambarkan dalam masyarakat Abung-Lampung dalam peribahasa siwo pandai sepuluh kurang tawai, artinya jangan pernah puas dalam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Engkau mungkin pandai, tetapi dapat lebih pandai lagi. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Abung juga menanamkan aspek kejujuran dan kebijaksanaan, seperti terungkap dalam peribahasa candung bukkuk mengan saghung no sayan (golok yang bengkok akan memakan sarungnya sendiri, maknanya, orang yang tak jujur akan merugi). Dalam hal ketekunan dan kegigihan, suku bangsa Abung berpedoman mak pateh lamun lemeh mak pegat lamun kendur (tidak patah bila lemah, tidak putus bila kendor, maknanya, orang yang sabar akan menuai kebaikan). Terkait keimanan dan kepercayaan, masyarakat Abung percaya bahwa tulisan surat diunggak keddak (tersurat di dahi, maknanya, suratan takdir sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa). Mereka bahkan percaya bahwa obat tidak menyembuhkan dan sakit tidak membuatmu 36
Belajar Dari Alam
meninggal (Ubat mak nundo waras, aban mak nundo matei), yang artinya, segala sesuatu Tuhan yang mengatur. Begitu percayanya mereka kepada takdir, sehingga dapat dikatakan mereka terlalu pasrah pada nasib dan kurang daya juang (bila dibandingkan dengan orang Minang di Padang, misalnya). Dalam kehidupan sehari-hari, sukubangsa Abung di Lampung dipayungi enam filsafat hidup yaitu: 1. Piil Pasenggiri, mengandung makna ’harga diri’, yaitu menjunjung tinggi harkat dan martabat diri. 2. Nemui Nyimah atau Ngejuk Ngakuk, mengandung arti suka menerima dan memberi dalam suka dan duka. 3. Nengah Nyappur, berarti bergaul dan bermusyawarah dalam menyelesaikan suatu masalah untuk menjalin kebersamaan hidup bermasyarakat. 4. Sakai Sambayan, berarti suka menolong dan bergotong royong untuk membina hubungan persaudaraan dan bertetangga. 5. Bejuluk Beadek atau Juluk Adek, berarti suka dengan nama baik dan gelar yang terhormat, artinya mempunyai kepribadan sesuai gelar adat yang disandangnya. 6. Carem Ragem, mengandung makna eratnya kekerabatan atau kinship. Semua falsafah hidup itu dilambangkan dalam simbolisme Lima Kembang Penghias Sigor (mahkota adat yang dipakai pengantin wanita dalam perkawinan adat suku Abung). Perilaku yang dipahami masyarakat sebagai piil pasenggiri (menjunjung harga diri) di antaranya adalah (1) tak mau disaingi (pencemburu); (2) berusaha memenuhi kebutuhan demi nama baik, karena status sosial yang dimiliki lebih rendah; (3) suka berbagi dengan yang lainnya jika mendapatkan keuntungan; (4) bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah; (5) memotong kerbau sebanyak-banyaknya, melaksanakan acara adat yang megah, serta mengundang tamu sebanyak-bayaknya, agar mendapatkan gelar adat yang tinggi dan prestise/penghargaan dari masyarakat; (6) merasa malu bila harga dirinya dijatuhkan di depan 37
Belajar Dari Alam
banyak orang; (7) keras kepala dan selalu merasa paling benar; (8) memberi sesuatu karena merasa malu dan merasa segan terhadap kerabat/keluarga bila tidak, sehingga membuat seseorang selalu berusaha; (9) saling menghargai dengan sesama, sehingga seorang merasa dirinya wajib membantu dalam perekonomian keluarga; (10) melakukan perlawanan demi membela harga diri; (11) gengsi (malu) untuk berdagang atau menjadi pelayan. Konsekuensi dari sifat pi-il atau harga diri ini mengakibatkan kuatnya hirarki kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakat Lampung, serta kegigihan meraih status atau prestise dalam masyarakat. Lingkungan Sosial Budaya Orang Serawai Suku bangsa mayoritas di Bengkulu adalah Suku Serawai, yang merupakan suku pengembara, gabungan dari suku-suku lain seperti Rejang, Pekal, Muko-muko, dan Lembak. Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Kaur. Budaya Bengkulu disatukan oleh tabot, yakni suatu ritual agama yang bertujuan mengingat perjuangan rasul dan cucunya. Perayaan Tabot dilaksanakan dengan berbagai pameran, lomba, serta kegiatan kesenian yang diikuti oleh kelompok–kelompok kesenian yang ada di Provinsi Bengkulu. Perayaan itu menjadi ajang hiburan rakyat dan salah satu kalender wisatawan tahunan. Tabot mempersatukan masyarakat Bengkulu lebih dari 300 tahun lalu. Pada masa itu, Islam masuk ke Bengkulu, dibawa oleh laskar India Selatan. Islam kemudian berakulturasi dengan budaya Bengkulu. Tabot, kemudian menjadi budaya Bengkulu secara turun-temurun. Sekitar 95% masyarakat Bengkulu menganut agama Islam. Selain perayaan keagamaan, upacara adat juga banyak dilakukan, seperti sunatan, upacara adat perkawinan, upacara mencukur rambut anak yang baru lahir, dan lain-lain. Masyarakat Bengkulu memiliki pantun untuk kebersamaan, yaitu Ke bukit samo mendaki, ke lurah samo menurun; yang berat samo dipikul, yang ringan samo dijinjing. Artinya, dalam membangun, pekerjaan seberat apapun jika dikerjakan bersama akan terasa ringan. Selain itu, ada pepatah Bulek air kek peukuh, bulek kata rek sepakat. Artinya, bersatu air dengan bambu, bersatunya pendapat 38
Belajar Dari Alam
dengan musyawarah. Bahasa Serawai sebenarnya termasuk rumpun bahasa Melayu juga, namun lebih dekat dengan bahasa Pasemah. Dialeknya ada dua, yaitu dialek Manna dan dialek Serawai. Pada zaman dahulu, suku Serawai mengembangkan suatu aksara yang disebut tulisan ulu atau tulisan rencong. Ini menunjukkan bahwa budaya literasi sudah mengakar di Bengkulu sejak dahulu kala. Strata sosial orang Serawai zaman lampau cukup tajam. Mereka mengenal golongan tinggi yang terdiri dari pasirah, mangku, depati, penghulu dan anak-anak mereka. Golongan kedua adalah kaum ulama, cerdik pandai, dan pedagang besar. Kemudian baru golongan rakyat biasa. Mirip pengkastaan di Bali, dan tatanorma masyarakat di Jawa. Meskipun sekarang orang Serawai telah memeluk agama Islam, namun sisa keyakinan aninisme masih ada. Hal itu terlihat dari upacara anismisme yang masih dilaksanakan. Alat musik tradisional orang Serawai adalah kelintang, reban, rebab atau redab, suling, gendang, dan sebagainya. Alat-alat itu dimainkan untuk mengiringi tari-tarian seperti tari Lelawan, Piring, Kebayakan, Dang Kumbang, Ari Mabuk, Lagu Duo, Pedang, dan sebagainya. Selain itu, mereka juga mengenal seni bertutur yang disebut berejung, yaitu acara berbalas pantun antara orang muda. Lingkungan Sosial Budaya Betawi Kota Bekasi merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian Utara pulau Jawa. Meskipun secara administratif kota Bekasi termasuk ke dalam Provinsi Jawa Barat, namun secara geografis daerah ini lebih dekat dengan Jakarta. Oleh karena itu, tatakehidupan dan kebiasaan masyarakat Bekasi lebih mirip dengan masyarakat Betawi di Jakarta. Sebagian besar penduduknya berasal dari Suku Sunda dan Suku Betawi. Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut 39
Belajar Dari Alam
dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis itu lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dahulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Makasar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India,Tionghoa, dan Eropa. Bekasi saat ini menjadi wilayah yang dipenuhi pabrik-pabrik, dari yang kelas kecil dan rumahan, hingga bertaraf nasional dan internasional. Semangat berproduksi warga Betawi yang tumbuh sejak dahulu menjadikan kawasan ini sebagai sentra industri yang andal di Jawa Barat, bahkan di Indonesia.Tantangan hidup di wilayah urban dan industri yang keras semacam itu menempa karakter orang Betawi, di Bekasi khususnya, untuk ulet mengarungi hidup. Mereka mau dan siap bekerja apa saja, untuk menumbuhkan semangat entrepreneurship (kewirausahaan) yang tinggi. Di sisi lain, kerasnya hidup, sempitnya waktu, menyebabkan kurangnya silaturahim antartetangga, kerabat, teman, yang pada giliriannya menumbuhkan sifat individualistis. Sifat individualistis itu menjadi salah satu senjata bertahan hidup. Meskipun demikian, karakter asli orang Betawi yang ramah dan suka menolong akan muncul pada saat yang tepat, yaitu bila mereka sedang tidak diburu-buru target pekerjaan. Lingkungan Sosial Budaya Banyumasan Banyumas terletak di sebelah selatan Jogyakarta ke arah Barat. Penduduk asli daerah Banyumas adalah suku Jawa yang memiliki budaya dan karakter khas Banyumasan. Bahasa Banyumasan adalah bahasa Jawa yang memiliki dialek khas, biasanya berakhiran dengan bunyi –ak di akhir kata atau kalimat. Itu sebabnya bahasa Banyumasan kerap disebut ngapak-ngapak. Perbedaan utama dengan bahasa induknya (bahasa Jawa Jogyakarta atau Solo) terletak pada bunyi akhir “a”. Bahasa Jawa membaca/mengucap “a” sebagai “o”, dialek Banyumasan membacanya/mengucapkannya tetap “a” dengan kadang-kadang ada tambahan konsonan “k” halus di belakangnya. Misalnya kata kelapa, orang Solo membacanya “klopo”, orang Banyumas akan mengatakan 40
Belajar Dari Alam
“klapa”. Kata yang berakhiran huruf mati, dibaca sesuai huruf yang ditulis, misalnya kata gaplek oleh dialek Jogya dan Solo dengan “k” halus di bagian akhir, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca “gaplek” dengan bunyi akhiran ‘k’ yang jelas. Ciri keterbukaan dalam berbahasa ini (meninggalkan pakem tatakrama inggil bahasa Jawa Jogyakarta dan Solo), mencerminkan sifat terbuka, egaliter, dan kesederhanaan masyarakat Banyumas. Kecuali itu, orang Banyumas juga menjunjung tinggi persaudaraan.Tuna sathak bathi sanak, rugi sedikit asal untung dalam jalinan persaudaraan, menjadi slogan yang dihayati bersama. Lingkungan Sosial dan Budaya Samin Masyarakat Samin yang tinggal di daerah Bojonegoro, Jawa Timur, adalah pencerminan figur orang-orang yang gigih berjuang menentang Kolonial Belanda. Pada masa penjajahan itu, leluhur orang Samin melakukan gerakan yang dikenal dengan Gerakan Saminisme, dipimpin oleh Ki Samin Surosentika (besar kemungkinan, dari nama tokoh gerakan itulah masyarakat di wilayah ini mendapatkan sebutannya ‘Masyarakat Samin’). Dalam falsafah orang Samin, tidak ada istilah membantu Pemerintah Belanda. Mereka menolak membayar pajak, tidak mau bekerja sama, tidak mau menjual apalagi memberikan hasil bumi kepada Pemerintah Belanda. Prinsip bertahan dalam menjalani masa Kolonial Belanda adalah dengan penanaman dan penerapan ajaran Saminisme, yang artinya sami-sami amin (bersamasama akan selamat). Falsafah tersebut dilandasi kekuatan (dalam bertahan terhadap penindasan), kejujuran, kebersamaan, dan kesederhanaan. Sikap perjuangan mereka dapat dilihat dari gaya hidup orang Samin pada umumnya yang tidak bergelimangan harta, tidak menjadi antek Belanda, bekerja keras, berdoa, berpuasa, dan berderma kepada sesama. Ajaran-ajarannya antara lain agar bersikap sabar, nrima, rila, dan trokal (bersabar, menerima dengan rasa syukur, ikhlas, dan bekerja keras). Sifat pekerja keras juga tercermin dalam ungkapan sepi ing pamrih rame ing gawe (tidak banyak bicara, banyak kerja). Sikap hati-hati 41
Belajar Dari Alam
dalam berbicara diungkapkan dalam pepatah aja waton ngomong, ning ngomong kang maton (jangan asal bicara, kalau bicara yang jelas/nyata). Salah satu lokasi tempat tinggal masyarakat Samin (Dusun Jepang) memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi objek Wisata Minat Khusus atau Wisata Budaya Masyarakat Samin, melalui pengembangan paket Wisata Homestay bersama masyarakat Samin. Dalam paket tersebut, para wisatawan dapat menikmati suasana dan gaya hidup khas masyarakat Samin. Saat ini, tengah dirintis penataan kampung dan penyediaan fasilitas dasar. Kabupaten Bojonegoro yang terletak di Jawa Timur bagian barat (berbatasan dengan kota Cepu di Jawa Tengah), didominasi suku Jawa. Subsuku Samin hanyalah minoritas namun masih kuat memegang teguh warisan budaya nenek moyangnya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa ragam ngoko (dipergunakan di antara orang yang setara derajat dan kedudukannya) dan krama (digunakan untuk/kepada orang yang lebih tinggi derajat dan kedudukannya). Namun, bagi mereka, menghormati orang lain tidak hanya dari bahasa yang digunakan, tetapi juga dari sikap dan perbuatan yang ditunjukkan. Bahasa dan perilaku orang Samin yang berbeda dengan kebanyakan orang di Jawa Timur menyebabkan masyarakat Samin kerap disalahmaknai (salah persepsi). Sampai-sampai, kalau ada orang yang menunjukkan perilaku aneh atau buruk, orang itu dikatakan nyamin alias berperilaku seperti orang Samin. Lingkungan Sosial Budaya Mataraman di Ngawi Wilayah pedalaman di provinsi Jawa Timur, seperti Kabupaten Ngawi, Madiun, Magetan,Trenggalek, Ponorogo, Nganjuk, Kediri dan Jombang dikenal sebagai wilayah Jawa yang dipengaruhi nilai-nilai Mataraman (dari Kerajaan Mataram di Jawa Tengah). Sistem nilai yang diacu oleh masyarakat di wilayah ini adalah sistem nilai budaya kerajaan Mataram Jogyakarta, tempat nilai budaya kraton (kerajaan/kesultanan) yang menjunjung tinggi aristokrasi (kebangsawanan) menjadi dasar perilaku masyarakat. Masyarakat Jawa Timur Mataraman pada umumnya hidup di bidang pertanian, perkebunan, hutan, dan 42
Belajar Dari Alam
perdagangan. Namun tidak sedikit, terutama di wilayah MadiunMagetan, yang menekuni dunia kependidikan (menjadi guru). Dalam kehidupan berkesenian, sejak dahulu hingga sekarang, masyarakat Jawa Timur Mataraman mendapat pengaruh yang sangat kuat dari model kesenian Jawa Tengahan. Kesenian gaya Jawa Tengahan merupakan pilar dalam proses produksi dan konsumsi masyarakat. Oleh sebab itu, sifat keseniannya amat terkait erat dengan kebutuhan dan pola hidup masyarakat, yakni bersifat selaras, seimbang, dan simbolik. Seni rakyat jenis wayang kulit, ketoprak, wayang orang, dan reog, merupakan model kesenian yang mengandung nilai-nilai tersebut. Di wilayah ini terjadi perjumpaan budaya antara budaya Jawa Tengahan yang halus dan menjunjung tinggi tata krama berbasis kelas sosial (Jogyakarta, Solo) dengan budaya JawaTimuran yang terbuka dan egaliter (Arek, Pandalungan). Kondisi tersebut menjadikan watak orang di Ngawi (tepat di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah) bersifat khas. Namun, baik orang Banyumas maupun Ngawi yang budaya Jawanya masih kental, pepatah yang menyatakan bahwa wong Jawa ngggone semu, orang Jawa suka menggunakan simbol, tetap dipertahankan, artinya dalam berpikir dan bertindak orang Jawa bersikap tidak selalu terbuka atau cenderung bersifat simbolik. Sementara itu sifat tekun dalam pekerjaan (pengalaman bertani yang amat mengandalkan iklim dan cuaca) dan tidak ngoyo (berusaha keras) karena alamnya yang ramah dan subur (perkebunan, hutan, sawah) menyisakan jejaknya pada karakter siswa di Kota Ngawi dalam pembelajaran dan pergaulan di sekolah. Lingkungan Sosial Budaya Arek – Surabaya Surabaya merupakan kota multietnis yang kaya akan adat dan budaya. Beragam etnis dan bangsa bermigrasi ke Surabaya. Di Surabaya, ada bangsa Melayu, China, India, Arab, Eropa, dan ada pula etnis dari nusantara seperti Minang, Madura, Sunda, Batak, Banjar, Bali, dan Bugis. Mereka datang dan menetap, hidup bersama, membaur dengan penduduk asli, membentuk budaya plural yang kemudian menjadi ciri 43
Belajar Dari Alam
khas kota Surabaya. Bahkan ciri khas tersebut sangat kental mewarnai kehidupan pergaulan sehari-hari. Karena keanekaragamannya, di Surabaya tidak dapat ditentukan satu aturan pergaulan yang meninggikan yang satu dan merendahkan yang lain. Itu sebabnya di Surabaya, bahasa dan cara pergaulannya sangat terbuka dan egaliter. Setiap warga dapat dengan nyaman berterus terang, tanpa khawatir menyinggung warga yang lain. Mereka juga saling mengkritik dan menerima kritik dengan baik. Keterbukaan sifat dan sikap Arek Suroboyo tidak hanya didasari pluralitas etnis penghuninya, tetapi juga atmosfer geografisnya, yakni kota pelabuhan, dagang, dan industri. Atmosfer yang terbentuk dari arus keluar masuk orang dan barang di kota pelabuhan, pergaulan di dunia dagang dan industri, menjadikan warga Surabaya terbuka dan tanpa tedeng alingaling (tanpa hambatan apapun) dalam berbicara. Kesenian dan makanan khasnya juga mencerminkan pluralitas tradisi dan budaya di Surabaya. Pengantin adat Surabaya, misalnya, tidak akan mengenakan busana seperti pengantin Jawa Tengahan, melainkan mengenakan gaun panjang warna putih (rok) ala Eropa dan berkerudung (seperti Ning Surabaya). Di kampung-kampung di tengah atau pinggiran Surabaya, masih dijumpa pengantin dengan adat Surabaya yang khas seperti ini. Tradisi dan gaya hidup yang berbeda dari tiap etnis atau suku bangsa merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan atau pendatang di Surabaya. Di beberapa kampung asli di Surabaya ada game (permainan) yang khas, seperti Adu Doro, Musik Patrol, dan Manten Pegon. Pemerintah Kota Surabaya juga melestarikan budaya dengan pemilihan Cak dan Ning Surabaya, yaitu lelaki dan perempuan muda yang dianggap merepresentasikan budaya Surabaya (salah satu ujian bagi kontestan adalah berpidato menggunakan bahasa Suroboyoan, atau ngidung, menyanyi gaya Suroboyo yang diselingi parikan, semacam pantun jenaka). Surabaya memiliki dialek khas bahasa Jawa yaitu Boso Suroboyoan. Dialek itu dituturkan di daerah Surabaya dan sekitarnya, dan memiliki pengaruh ke bagian timur Provinsi JawaTimur. Dialek Surabaya dikenal 44
Belajar Dari Alam
egaliter, blak-blakan (terbuka), dan tidak mengenal ragam tingkatan bahasa seperti Bahasa Jawa standar (Jawa Tengahan). Masyarakat Surabaya amat fanatik dan bangga terhadap bahasanya. Meskipun banyak pendatang mempengaruhi keaslian budaya Surabaya, kebanyakan arek Suroboyo menyebut saudara dengan cak (dari cacak = kakak laki-laki) dan ning (kakak perempuan), bukannya mas/kangmas dan mbakyu (yang masih digunakan di wilayah Jawa Mataraman). Mereka menyebut ibu dengan panggilan emak atau mak, dan bibi (adik orangtua) dengan sebutan lik (dari bulik/paklik). Keterbukaan masyarakat Surabaya memengaruhi karakter siswa Surabaya. Mereka ramah, terbuka, dan mudah menerima pendatang atau orang baru. Namun sifat lebih suka bermain (adu doro, misalnya) daripada bekerja dan sifat keberanian yang kadang cenderung bablas menjadi kenekadan (berani tanpa perhitungan), juga tak luput mewarnai karakter anak muda Surabaya. Itulah sebabnya muncul istilah Bonek. Lingkungan Sosial BudayaTengger Secara administratif, orang Tengger bertempat tinggal di empat kabupaten, yaitu: 1) Kabupaten Probolinggo: Kecamatan Sumber dan Kecamatan Sukapura (Desa Jetak, Desa Wanatara, Desa Ngadisari; 2) Kabupaten Lumajang: Kecamatan Senduro (Desa Argosari); 3) Kabupaten Malang: Kecamatan Poncokusumo (Desa Ngadas); 4) Kabupaten Pasuruan: Kecamatan Tosari (Desa Tosari, Desa Wonokitri, Desa Ngadiwono, Desa Podokoyo, dan Desa Mororejo). Masyarakat di empat wilayah tersebut mayoritas beragama Hindu dan masih memegang teguh adat istiadat Tengger. Adat istiadat tersebut dapat disaksikan saat upacara Kasada. Mereka melempar kurban ke kawah Gunung Bromo sebagai simbol memuliakan roh nenek moyang. Ada juga Hari Raya Karo, saat dilakukan berbagai upacara dan sesaji yang bertujuan untuk mengenang roh nenek moyang. Gunung Bromo yang dianggap suci oleh masyarakat Tengger berada di lautan pasir, dengan ketinggian 2.392 m. Kawah gunung Bromo masih aktif dan mengeluarkan asap ke angkasa. Pada saat-saat 45
Belajar Dari Alam
tertentu, Gunung Bromo masih mengeluarkan belerang yang baunya menyengat dan membuat sesak nafas, yang terhembus hingga ke Desa Cemara Lawang. Kawah yang menganga dan senantiasa mengepulkan asap itu disebut “pelabuhan”, tempat melabuh hasil bumi dan ternak sesuai pesan leluhur. Di selatan Gunung Bromo ada Gunung Semeru atau Mahameru, dengan puncak ketinggian 3.676 m, yang juga dianggap suci dalam mitologi Hindu Jawa. Di dekat Gunung Bromo juga ada gunung kecil yang dikeramatkan, yaitu Gunung Widodaren. Gunung itu dipercaya sebagai tempat tinggal salah satu dari dua puluh lima putra Rara Anteng dan Jaka Seger yang bernama Puspa Ki Gontong. Di lereng gunung tersebut terdapat Goa Widodaren yang menitikkan air suci, yang dipercaya dapat menyembuhkan segala penyakit. Penduduk asli Tengger berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang hidup pada masa pemerintahan kerajaan Majapahit. Saat Islam masuk ke Pulau Jawa (Kerajaan Demak), terjadi persinggungan dengan kerajaan-kerajaan Hindu di Pulau Jawa, salah satunya Kerajaan Majapahit. Merasa terdesak oleh pengaruh Islam, banyak rakyat Majapahit kemudian melarikan diri hingga ke Pulau Bali dan Lombok. Di Jawa, mereka mengungsi ke pedalaman Gunung Bromo dan Semeru. Pasangan Roro Anteng dan Joko Seger yang melarikan diri ke pedalaman Bromo, kemudian menjadi penguasa daerah tersebut. Wilayah dan masyarakatnya kemudian dinamai “Tengger” (dari Roro An-Teng dan Joko Se-Ger). Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa yang masih berbau Jawa Kuno. Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko, bahasa sehari-hari terhadap orang yang setara, dan krama untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati. Pada masyarakat Tengger tidak terdapat perbedaan kasta seperti di Bali. Namun, ada sedikit perbedaan dalam penyebutan kata ganti orang. Reang adalah aku (laki-laki), Isun adalah aku (wanita), Sira adalah kamu (untuk seusia), Rika adalah kamu/Anda (untuk yang lebih tua atau yang dihormati). Bapak biasa dipanggil Pak, ibu dipanggil Mak, kakek dipanggil Wek, kakak dipanggil Kang (laki-laki) atau Mbak/Yuk 46
Belajar Dari Alam
(perempuan). Ditinjau dari arti etimologisnya, kata teng berasal dari kata anteng yang artinya “ora kakehan polah” (tidak banyak tingkah) kata ger dari kata seger yang artinya “krasa enak sumyah ngemu adhem tumrap pangrasa ilat utawa badan” (terasa enak, dingin/sejuk untuk lidah dan badan). Makna lebih dalamnya dilihat dari kenyataan keseharian adalah kelompok masyarakat yang sederhana, mengutamakan ketenteraman dan kedamaian, yang tinggal di tempat yang sejuk. Makna tersebut sesuai dengan letak geografis, yakni daerah perbukitan, dengan sebagian besar penduduk bermata pencaharian bertani, dalam suasana suhu udara pegunungan yang segar. Di samping melaksanakan agama Hindu, masyarakat Tengger juga memegang teguh tradisi kejawen leluhurnya. Tradisi itulah yang menjadikan masyarakat Tengger unik. Masyarakat Tengger sangat patuh pada pimpinan yang disebut “dukun”, sesepuh yang diangkat oleh masyarakat. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan “sabda pandita ratu”, yaitu taat melaksanakan perintah pemimpin. Bila “dukun” telah bertitah (memerintahkan sesuatu), rakyat wajib melaksanakannya. Umumnya dukun memerintahkan pelaksanaan semua tradisi leluhur yang diwariskan kepada mereka. Kesadaran masyarakat Tengger tentang pentingnya pendidikan dan pengetahuan mulai dirasakan pada akhir abad ke-20, yaitu dengan masuknya wisatawan ke daerah Tengger. Para wisatawan secara tidak langsung menanamkan pengetahuan pada masyarakat sehingga pengetahuan masyarakat meningkat. Pengetahuan tersebut kemudian menjadi motivasi masyarakat untuk belajar lebih jauh. Lingkungan Sosial Budaya Etnis Singkawang Awalnya Singkawang, Kalimantan Barat, merupakan sebuah desa, bagian dari wilayah Kesultanan Sambas. Desa Singkawang merupakan tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari Monterado, yang kebanyakan berasal dari negeri China. Sebelum menuju ke Monterado, mereka terlebih dahulu beristirahat di Singkawang. Singkawang juga sebagai tempat transit pengangkutan 47
Belajar Dari Alam
hasil tambang emas (serbuk emas). Waktu itu, mereka (orang Tionghoa) menyebut Singkawang dengan kata San Keuw Jong (Bahasa Hakka). Mereka berasumsi, dari sisi geografis, Singkawang sangat menjanjikan: berbatasan langsung dengan Laut Natuna dan memiliki wilayah daratan yang kaya, dihiasi pengunungan, hutan, dan sungai. Melihat perkembangan Singkawang yang menjanjikan itu, tak sedikit penambang pendatang itu beralih profesi menjadi petani dan pedagang, dan akhirnya memutuskan untuk menetap di Singkawang. Kota Singkawang juga dikenal dengan sebutan Kota Seribu Kuil, karena di setiap sudut kota itu dapat ditemui banyak bangunan vihara atau lebih dikenal sebagai kelenteng atau pekong. Bangunan vihara tersebut memiliki arsitektur yang khas, didominasi warna merah, dan hiasan naga. Suku yang dominan di Singkawang adalah Tionghoa, Dayak, dan Melayu, gabungan ketiganya sering disebut sebagai “Tidayu” (Tionghoa, Dayak, dan Melayu). Sedangkan suku-suku lain seperti Jawa dan Madura bersifat minoritas. Dari ketiga suku tersebut, yang paling besar adalahTionghoa. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika berbagai sudut kota dihiasi unsur budaya Tionghoa (China). Bentuk bangunan, warna cat bangunan, jenis kuliner, ragam kesenian, warna pakaian, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, hingga pernikpernik kehidupan sehari-hari, dipengaruhi budaya Tionghoa.Tegasnya, kebudayaan Tionghoa, baik material maupun imaterial, sangat mendominasi budaya masyarakat Singkawang. Bahasa yang digunakan tentu saja didominasi bahasa/dialek Tionghoa, selain bahasa Dayak, Melayu, Jawa, dan Madura. Dalam hal kegiatan budaya, seperti halnya komunitas Tionghoa di Indonesia lainnya, suku Tionghoa di Singkawang juga merayakan Imlek. Tahun baru China merupakan tradisi yang selalu dirayakan secara megah oleh seluruh masyarakat Singkawang. Tahun baru Imlek berasal dari tradisi masyarakat Tiongkok yang mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas panenan, dan sekaligus harapan agar musim berikutnya memperoleh hasil yang lebih baik. Imlek selalu dirayakan selama 15 hari berturut-turut, dan hari ke-15, puncaknya, disebut dengan perayaan Cap Go Meh. Perayaan itu sekaligus mampu menjadi ikon 48
Belajar Dari Alam
Kota Singkawang, yang mampu menarik wisatawan. Puncak acara Imlek atau Cap Go Meh dimaksudkan untuk menangkal gangguan atau kesialan di masa mendatang. Pengusiran rohroh jahat dan pencegahan terjadinya kesialan dalam tradisi Cap Go Meh disimbulkan dalam pertunjukan Tatung. Atraksi Tatung dipenuhi unsur mistik dan beratmosfer mencekam, karena banyak orang kesurupan. Orang-orang kesurupan inilah yang disebut Tatung. Upacara pemanggilan Tatung (atau roh orang yang sudah meninggal) dipimpin oleh pendeta. Roh-roh yang dipanggil diyakini sebagai roh-roh yang baik, yang dianggap mampu menangkal roh jahat yang hendak mengganggu keharmonisan hidup masyarakat. Roh-roh yang dipanggil untuk dirasukkan ke dalam Tatung diyakini sebagai roh para pahlawan dalam legenda Tiongkok, seperti panglima perang, hakim, sastrawan, pangeran, pelacur yang sudah bertobat, dan orang suci lainnya. Roh-roh yang dipanggil dapat merasuki siapa saja, bergantung pada para pemeran Tatung yang memenuhi syarat dalam tahapan yang ditentukan pendeta. Para Tatung diwajibkan berpuasa selama tiga hari sebelum hari perayaan, dengan maksud agar mereka berada dalam keadaan suci sebelum dirasuki roh. Saat atraksi berlangsung, Tatung yang sudah dirasuki roh akan bertingkah aneh. Ada yang menginjakinjak sebilah mata pedang atau pisau, ada pula yang menancapkan kawat-kawat baja runcing ke pipi kanan hingga menembus pipi kiri. Anehnya, para Tatung itu sedikit pun tidak tergores atau terluka. Beberapa Tatung yang lain dengan lahapnya memakan hewan atau ayam hidup-hidup, lalu meminum darahnya. Di Singkawang, banyak pribumi atau orang Dayak yang juga turut serta menjadi Tatung. Mereka terdorong berpartisipasi karena ritual Tatung mirip upacara adat Dayak. Sejak pertama kali datang ke Singkawang, masyarakat Tionghoa menjalin persahabatan dengan penduduk pribumi, khususnya suku Dayak. Karena itu, tak ada kecanggungan di antara dua etnis ini. Di era orde baru, perayaan Imlek khususnya ritual Tatung, dilarang dipertontonkan di depan umum. Tetapi di era Reformasi, mantan presiden Gus Dur mengizinkan kembali, bahkan pemerintahan berikutnya–Presiden Megawati Soekarnoputri- mengesahkannya 49
Belajar Dari Alam
dalam undang-undang. Dengan demikian, warga Tionghoa di Singkawang menjadi lebih leluasa menjalankan tradisi atau upacara keagamaan mereka. Di bidang pariwisata, Tatung berpotensi menarik turis dalam negeri dan mancanegara. Selain mengangkat nama Singkawang di dunia internasional, Tatung juga meningkatkan perekonomian daerah setempat.Tentu saja, untuk mewujudkan potensi ini menjadi kompetensi pariwiata dibutuhkan kerja keras dari pemerintah daerah untuk mempersiapkan berbagai sarana pendukung lainnya. Di Singkawang selain akrab dengan acara Imlek atau Cap Go Meh, juga dilaksanakan upacara Naik Dango. Upacara yang dilaksanakan suku Dayak itu merupakan kegiatan ritual seputar panen padi sebagai bentuk ungkapan syukur masyarakat Dayak kepada Sang Pencipta. Upacara diadakan di setiap kabupaten yang memiliki warga masyarakat yang berasal dari suku Dayak. Tempat pelaksanaan upacara dilaksanakan secara bergantian antarkecamatan dalam setiap tahun, dan ditetapkan oleh dewan adat kabupaten setempat. Di samping upacara adat, diadakan pula pesta wisata dan budaya Naik Dango, berisi berbagai pertunjukan kesenian, permainan tradisional, pameran, seminar kebudayaan, dan pasar rakyat. Jika dicermati dalam kehidupan sehari-hari, warga masyarakat Singkawang menjalankan kehidupannya dengan sangat damai. Singkawang tidak memiliki suku yang pluralitas. Hadirnya berbagai etnis yang membangun Kota Singkawang, menempatkan pemerintah harus mengembangkan nilai toleransi pendidikan di sekolah maupun pemerintah terkait. Pernyataan itu didasarkan pada argumentasi berikut. Pertama, setiap suku bangsa memiliki nilai, norma, dan moral atau standar moral yang digunakan sebagai blue print perilaku dalam komunitas. Sesuatu yang dikatakan ‘baik’ menurut etnis tertentu, terkadang berbeda dengan etnis yang lain. Misalnya, yang dikatakan cantik menurut orangTionghoa adalah perempuan yang memiliki ukuran kaki yang kecil. Berbeda halnya dengan orang Dayak, dikatakan cantik jika memiliki tubuh yang ramping. Sedangkan bagi etnis Melayu berbeda 50
Belajar Dari Alam
lagi, dikatakan cantik jika memiliki kulit yang putih. Hanya melihat satu aspek, yaitu ’perempuan cantik’, masyarakat memiliki pandangan berbeda. Perbedaan itu tentunya juga berkait dengan berbagai nilai yang digunakan sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Implementasi nilai toleransi dalam dunia pendidikan terwujud dalam kebijakan pemerintah yang tidak mengizinkan sekolah eksklusif (hanya menampung siswa dari etnis tertentu, misalnya khusus sekolah anak-anak Tionghoa). Sekolah-sekolah di Singkawang pada umumnya memiliki siswa yang sangat multikultur, multietnis: ada Tionghoa, Dayak, Melayu, Madura, Batak, dan sebagainya. Demikian juga dengan guru-guru, di kota ini banyak guru dari etnisTionghoa yang mengajar di kelas yang sebagian besar siswanya dari etnis Melayu. Mengingat nilai karakter juga bersumber dari ajaran agama dan norma atau nilai masyarakat (baca: etnis), terkadang terjadi perbedaan antara ‘sesuatu yang dikatakan baik’ menurut guru, dengan ‘sesuatu yang dikatakan baik’ menurut ajaran orangtua siswa. Untuk mengatasi hal itu, masyarakat Singkawang menjunjung tinggi toleransi. Hal tersebut bersinergi dengan pepatah yang berkembang dalam masyarakat, seperti, Duduk sama rendah berdiri sama tinggi, artinya, semua warga masyarakat memiliki derajat yang sama. Jika dicermati dari uraian di atas, terkait fungsi kebudayaan sebagai blue print perilaku, dapat dikatakan bahwa berbagai etnis yang ada di Singkawang memiliki pandangan yang sama. (1) Ada nilai-nilai yang mengikat secara ketat untuk etnis itu sendiri, namun tidak berlaku untuk etnis yang lain. Misalnya, ada pantangan untuk mengkonsumsi atau melakukan sesuatu bagi orang China, Dayak, Melayu, dan sebagainya, (2) Ada nilai-nilai yang digunakan sebagai pedoman tingkah-laku yang mengikat anggota etnis tertentu, dan berlaku juga bagi etnis yang lain. Misalnya, toleransi, kebersamaan, dan kedamaian. Nilai-nilai ini dijunjung tinggi oleh semua etnis di Singkawang, yang terwujud dalam adat dan tradisi yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Bagi penduduk Singkawang, nilai-nilai semacam ini sangat penting, mengingat semua etnis yang menempati wilayah itu 51
Belajar Dari Alam
bukanlah penduduk asli (native) yang dilingkari kebudayaan sendiri (boundary society), melainkan warga masyarakat yang ‘tercerabut’ dari kebudayaan asalnya, meski tidak dipungkiri kebudayaan asal tetap menghegemoni dan menjadi referensi bagi pedoman tingkah laku. Lingkungan Sosial Budaya Masyarakat Kutai Kartanegara Kutai Kartanegara adalah kabupaten yang terkenal dengan sebutan sebagai ‘kebupaten terkaya di Indonesia’, terletak di provinsi Kalimantan Timur. Sesungguhnya, Kabupaten Kutai Kartanegara tidak hanya kaya akan sumber daya alam, namun juga kaya akan tradisi dan budaya. Contohnya adalah kebudayaan Kutai dan Dayak yang amat berbeda, padahal keduanya berada di satu wilayah kabupaten. Sebagian besar penduduk Kutai, terutama yang yang berdiam di daerah pantai dan tepian sungai, memeluk agama Islam. Sebagian kecil penduduk, yaitu yang tinggal di pedalaman, masih menganut kepercayaan animisme. Sebagian lagi memeluk agama Kristen dan Katolik. Kutai Kartanegara memiliki berbagai kegiatan seni budaya, terutama yang diselenggarakan setiap tahun dalam rangka memeriahkan Erau Kutai Kartanegara. Ada juga kegiatan kebudayaan yang dilaksanakan pihak Lembaga Adat Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Selain upacara-upacara sakral, lembaga tersebut juga menyelenggarakan pagelaran seni budaya Kutai yang berlangsung di Kedaton Kutai Kartanegara. Upacara adat keraton yang ditampilkan umumnya berupa serangkaian upacara adat perkawinan Kutai yang diawali dengan Melamar, Nyorong Tanda, Akad Nikah, Bepacar, Mendi-Mendi dan Bealis, Naik Penganten, Beluluh Pengantin, dan Naik Mentuha. Upacara lainnya adalah Belenggang dan Mandi-Mandi, yang dikhususkan bagi calon ibu yang tengah mengandung, dilanjutkan upacara yang berkaitan dengan kelahiran anak seperti Tasmiyah, Naik Ayun, dan Tumbang Apam. Kutai Kartanegara juga memiliki banyak ragam kesenian, seperti tari Jepen, Tingkilan, Ganjar Ganjur, Topeng, Hadrah, dan Rudat. Dalam pagelaran budaya semacam itu, biasanya juga diperagakan busana tradisional bangsawan Kutai. 52
Belajar Dari Alam
Suku Kutai adalah suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan Timur, mayoritas beragama Islam, dan hidup di tepi sungai. Mereka merupakan bagian dari rumpun suku Dayak, khususnya Dayak rumpun Ot-danum. Pada awalnya, Kutai merupakan nama teritori tempat bermukimnya masyarakat asli Kalimantan atau Dayak. Namun seiring berjalannya waktu, terbentuklah Suku Kutai, yang kebudayaannya merupakan asimilasi budaya suku Dayak dengan pendatang, terutama suku Jawa. Sejarahnya diawali dari peperangan antara dinasti Kartanegara dari Jawa dan Kutai Mulawarman dari Kalimantan, yang kemudian justru meleburkan dua suku berbeda pulau itu menjadi satu hingga sekarang. Suku Kutai termasuk suku Melayu Tua, sebagaimana suku Dayak di Kalimantan Timur. Oleh karena itu, secara fisik suku Kutai mirip dengan suku Dayak rumpun Ot-danum. Hubungan kekerabatan suku Kutai dengan suku Dayak dikisahkan juga dalam tradisi lisan suku Dayak, dengan berbagai versi di beberapa subsuku rumpun Ot-danum (karena masing-masing subsuku memiliki sejarahnya sendiri). Adat-istiadat lama suku Kutai banyak bermiripan dengan adatistiadat suku Dayak rumpun Ot-danum. Misalnya, dalam Festival Erau (upacara adat yang paling meriah), ditampilkan juga ‘belian’ (upacara tarian penyembuhan penyakit), dengan mantra-mantra serta ilmu gaib (parang maya, panah terong, polong, racun gangsa, perakut, peloros, dan lain-lain) yang dimiliki suku Kutai dan Dayak. Hingga saat ini, masih ada suku Kutai di Desa Kedang Ipil yang menganut kepercayaan Kaharingan, seperti banyak dianut suku Dayak. Festival Erau diadakan untuk memperingati lahirnya Kabupaten Kutai Kartanegara, setiap tanggal 28 September, dengan aktivitas antara lain Melas kampong (bersih desa), Sedekah bumi, Belimbur (siram air tuli ke masyarakat untuk tujuan pembersihan diri), Turunnya naga, Tempong tawar (menaburkan beras kuning, yang bermakna menjauhkan mara bahaya). Penduduknya terbagi menjadi lima puak (lima suku): Puak Pantun, Punang, Pahu, Sendawar, dan Melani. Puak Pantun adalah suku tertua di Kalimantan Timur, yang mendirikan kerajaan tertua di nusantara yaitu kerajaan Kutai Martadipura di Muara Kaman, pada abad 53
Belajar Dari Alam
ke-4 Masehi. Raja pertamanya Kudungga. Kerajaan itu mengalami masa kejayaan pada zaman dinasti ketiga, yang dipimpin Raja Mulawarwan. Di bawah Maharaja Mulawarman, kehidupan masyarakat maju pesat. Pemerintahan berpusat di Martapura, dengan wilayah kekuasaan terbentang dari dataran tinggi Tunjung (Kerajaan Pinang Sendawar) hingga ke pesisir Kalimantan Timur, dengan menaklukkan kerajaankerajan kecil di sepanjang wilayah itu. Puak Punang (Puak Kedang) yang mendiami wilayah pedalaman diperkirakan merupakan percampuran antara Puak Pantun dan Puak Sendawar (TunjungBenuaq). Suku itu mendirikan kerajaan Sri Bangun di Kota Bangun (atau dikenal dengan nama Negeri Daha pada masa pemerintahan Kutai Matadipura). Puak Punang tersebar di wilayah Kota Bangun, Muara Muntai, Danau Semayang, Sungai Belayan, dan sekitarnya. Puak Pahu adalah suku yang mendiami wilayah Kedang Pahu, tersebar di Muara Pahu dan sekitarnya. Puak Sendawar mendiami wilayah Sendawar (di pedalaman Kutai Barat). Suku ini dahulu membangun Kerajaan Sendawar di Kutai Barat dengan rajanya yang terkenal Aji Tulut Jejangkat. Kemudian, mereka berpencar meninggalkan tanah aslinya dan membentuk kelompok-kelompok baru yang sekarang dikenal sebagai suku Dayak Tunjung, Bahau, Benuaq, Modang, Penihing, Busang, Bukat, Ohong, dan Bentian. Selain suku-suku asli, di wilayah Kutai terdapat pula suku-suku yang datang dari tempat lain, seperti suku Dayak Kenyah, Punan, Basap, dan Kayan. Suku Kenyah yang datang dari Apo Kayan, Kabupaten Bulungan, kini mendiami wilayah Kecamatan Muara Ancalong, Muara Wahau, Tabang, Long Bagun, Long Pahangai, Long Iram dan Samarinda Ilir. Suku Punan mendiami hutan belantara di seluruh Kalimantan Timur, mulai dari daerah Bulungan, Berau, hingga Kutai. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil di gua-gua batu dan pohon-pohon, dibina oleh Departemen Sosial melalui Proyek Pemasyarakatan Suku Terasing. Suku Basap, menurut cerita, merupakan keturunan bangsa China yang kawin dengan suku Punan. Mereka mendiami wilayah 54
Belajar Dari Alam
Kecamatan Sangkulirang. Suku Kayan, berasal dari Kalimantan Tengah, sering juga disebut suku Biaju. Mereka mendiami daerah Kecamatan Long Iram. Puak Melani mendiami wilayah pesisir, dan merupakan suku termuda di antara puak-puak Kutai. Di suku ini terjadi percampuran antara suku Kutai asli dengan suku pendatang seperti Banjar, Bugis, Jawa, dan Melayu. Dapat dikatakan, puak merupakan kesatuan etnis. Suku inilah yang mendirikan kerajaan Kutai Kartanegara. Mereka mendiami wilayah pesisir seperti Kutai Lama dan Tenggarong. Dalam perkembangannya, Puak Pantun, Punang, Pahu, dan Melani menjadi Suku Kutai. Puak Sendawar (Puak Tulur Jejangkat) yang hidup di pedalaman-lah yang kemudian oleh peneliti Belanda disebut sebagai Orang Dayak. Dari perspektif mata pencaharian, penduduk asli di pedalaman dahulu hidup berpindah-pindah (nomaden), karena mata pencaharian utama mereka adalah berladang secara berpindah-pindah, dan berburu. Sedangkan penduduk di daerah pantai dan tepi sungai, selain bercocok tanam secara menetap, ada juga yang hidup sebagai nelayan, pedagang, dan pegawai pemerintah maupun swasta. Sejarah dan kondisi geografis selalu memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan budaya, yang kemudian menjadi karakter, dari setiap sukubangsa. Karakter masyarakat Kutai adalah ramah tamah, jujur, dan memiliki semangat gotong-royong yang tinggi. Tamu atau pendatang dari luar sangat dihormati. Masyarakatnya juga sangat religius dan memiliki toleransi antar umat beragama yang tinggi. Masyarakat Kutai yang terdiri dari banyak suku dan subsuku memiliki bahasa yang beragam. Beberapa bahasa subsuku yang sudah tidak dipergunakan lagi atau sudah punah adalah bahasa Umaa Wak, Umaa Palaa, Umaa Luhaat, Umaa Palog, Baang Kelo, dan Umaa Sam, bahasa-bahasa tersebut dahulunya lazim digunakan oleh masyarakat Dayak di hulu maupun hilir Mahakam. Sekarang bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah dikenal hampir di seluruh pelosok Kutai dan dipergunakan sebagai bahasa dalam acara-acara resmi serta untuk berkomunikasi dengan 55
Belajar Dari Alam
orang luar daerah. Bahasa suku hanya dipergunakan untuk berkomunikasi antar anggota suku sendiri. Lingkungan Sosial Budaya Banjar Suku Banjar terutama berdomisili di Kota Banjarmasin yang merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan. Kota tersebut semula terletak di antara dua sungai, yakni Sungai Barito dan Sungai Martapura. Dengan perkembangan kota ke arah Barat, saat ini Sungai Martapura seolah membelah dua Kota Banjarmasin. Karena kondisi geografisnya, Kota Banjarmasin dijuluki Kota Seribu Sungai (City of Thousand Rivers). Sebagian besar penduduknya (96%) beragama Islam, sisanya beragama Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha. Motto Kota Banjarmasin adalah Kayuh Baimbai (dayung samasama), yang menggambarkan tekad kegotongroyongan penduduknya. Motto Provinsi Kalimantan Selatan adalah Haram ManyarahWaja Sampai Kaputing (haram menyerah, baja/kuat sampai ke ujung) yang menggambarkan etos dan semangat kerja yang tak mudah menyerah/putus asa. Hal itu juga menggambarkan sifat keberanian masyarakat Kalimantan Selatan yang diwarisi dari Pangeran Antasari pada waktu melawan penjajah Belanda. Dari kronik sejarah diketahui bahwa kerajaan tertua di Kalimantan Selatan adalah kerajaan Nan Serunai yang memiliki kepercayaan animisme, yang kemudian diganti oleh kerajaan Tanjungpuri yang masyarakatnya beragama Budha. Pada abad XIV, wilayah Banjarmasin merupakan bagian dari negara Dipa dan negara Daha, yang merupakan bagian dari kerajaan Majapahit. Kemudian pada abad XV, Pangeran Samudera mengubahnya menjadi kerajaan Islam dan mendirikan Kota Banjarmasin pada daerah pertemuan antara Sungai Barito dan Sungai Martapura, pada 24 September 1526. VOC kemudian menguasai Banjarmasin pada 1606. Hikayat Banjar yang mengisahkan riwayat Kota Banjarmasin juga disebut dan lebih dikenal sebagai Kisah Lambung Mangkurat. Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Banjar. Selain digunakan di provinsi Kalimantan Selatan, dengan banyaknya migrasi 56
Belajar Dari Alam
suku Banjar (urang Banjar), bahasa itu juga digunakan di Kalimantan Timur, termasuk wilayah Kutai Kartanegara, Kabupaten Sampit di Kalimantan Tengah, dan beberapa daerah di Sumatera, misalnya di wilayah Muara Tungkal dan Tembilahan. Bahasa Banjar ada dua macam, yakni bahasa Banjar Kuala yang digunakan oleh penduduk Banjarmasin, Martapura, dan Pelaihari; serta bahasa Banjar Hulu yang digunakan oleh penduduk di daerah Kabupaten Tapin, Kabupaten Tabalong, serta sejumlah kabupaten di hulu sungai lainnya. Bahasa Banjar Hulu hanya mengenal tiga vokal, yakni a, i, dan u. Bahasa Banjar Kuala sudah mengenal vokal o dan e, kemungkinan karena banyak terpengaruh oleh pergaulan dengan masyarakat Jawa. Berbagai ungkapan dan peribahasa asli banyak bersumber dari bahasa Banjar Hulu. Banyak ungkapan atau peribahasa yang masih berlaku di Kota Banjarmasin yang dapat dipergunakan sebagai inspirasi pembangunan karakter siswa. Ada peribahasa, Asal mambawa bujur lawan banar, salamat (asal membawa sikap jujur dan benar pasti selamat). Bungul pada kalum atau bungul pada kuduk (lebih bodoh daripada kelompen, atau lebih bodoh daripada kodok). Peribahasa itu semacam sindiran agar orang muda rajin belajar agar tidak bodoh seperti kelompen (benda mati yang dipakai alas kaki) atau kodok.Yang berkaitan dengan nilai Kepedulian, yakni Barandah pada kancur (lebih rendah daripada pohon kencur). Maknanya, orang harus memiliki etika dan tatakrama, bersikap rendah hati. Ada juga Kayuh baimbai (kayuh/dayung bersama-sama), yang maknanya, orang hidup harus terbiasa bergotong royong, bekerja sama mencapai satu tujuan. Ungkapan ini menjadi motto Kota Banjarmasin. Pepatah Haram manyarah, waja sampai ka puting (haram menyerah, baja/kuat sampai ke ujung) menyiratkan nilai karakter Ketangguhan. Lingkungan Sosial dan Budaya Bugis Bugis merupakan salah satu suku bangsa di Sulawesi Selatan, yang mendiami Kabupaten Bulu Kumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Sindenreng-Rappang, Polewali-Mamasa, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajene, dan Maros. Suku bangsa Makassar juga kerap dikaitkan dengan suku bangsa Bugis, sehingga sering ditemukan istilah Bugis57
Alam Takambang Jadi Guru
Makassar. Penduduk Sulawesi Selatan sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Itu sebabnya mereka sangat memperhatikan cuaca, misalnya hujan dan angin. Wilayah pemukiman suku Bugis ada yang berupa dataran rendah, daerah perbukitan, dan daerah pegunungan. Bahasa yang digunakan sehari-hari dalam berkomunikasi adalah bahasa Bugis dengan dialek tersendiri yang dikenal dengan bahasa Ugi. Bahasa tersebut mempunyai aksara/huruf Bugis yang disebut aksara Lontara Bugis. Aksara itu telah ada sejak abad ke-12, yaitu sejak meluasnya pengaruh Hindu di Indonesia. Lontara ialah aksara asli masyarakat Bugis-Makassar, bukan asimilasi apalagi pengaruh budaya lain, termasuk dari India. Bentuk aksara lontara, menurut budayawan Prof. Mattulada (alm), berasal dari sulapa eppa wala suji. Wala suji berasal dari kata wala, artinya, pemisah/pagar/penjaga dan suji berarti puteri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Hal itu mencerminkan pengaruh filsafat Islam. Aksara lontara, yang berisi syair-syair bermakna sangat dalam dan kebijakan yang sangat tinggi. Contoh syair yang berasal dari huruf (bahasa) Sansekerta: De’ga pasa’ ri lipumu Balanca ri kampommu Mulinco’ mabela? Artinya: Tak adakah pasar di negerimu Maka engkau mengembara jauh Untuk berbelanja? Di masyarakat Sulawesi Selatan ada beberapa sistem kekerabatan.Yang pertama, keluarga inti atau keluarga batih. Keluarga tersebut merupakan sistem keluarga yang terkecil. Dalam bahasa 58
Belajar Dari Alam
Bugis, sistem keluarga seperti itu dikenal dengan istilah sianang, yang terdiri atas bapak, ibu, anak, saudara laki-laki bapak, atau ibu yang belum menikah. Yang kedua, sepupu, yaitu kekerabatan yang terjadi karena hubungan darah, baik dari pihak ibu maupun pihak bapak. Kekerabatan yang disebut juga dengan istilah sompulolo ini terdiri atas dua macam, yaitu sepupu dekat dan sepupu jauh. Sepupu dekat adalah sepupu satu kali sampai tiga kali, sedangkan sepupu jauh adalah sepupu empat kali sampai lima kali. Pola ketiga adalah keturunan, yaitu kekerabatan yang terjadi berdasarkan garis keturunan baik dari garis ayah maupun garis ibu. Mereka biasanya tinggal di satu kampung. Terkadang ada juga keluarga yang bertempat tinggal di daerah lain, biasanya karena jalinan/ikatan perkawinan dengan seseorang yang bermukim di daerah tersebut. Bagi masyarakat Bugis, kekerabatan semacam ini disebut Siwija. Yang keempat adalah pertalian sepupu/persambungan keluarga. Kekerabatan tersebut muncul setelah ada hubungan kawin antara rumpun keluarga yang satu dan yang lain. Kedua rumpun keluarga tersebut biasanya tidak memiliki pertalian keluarga sebelumnya, namun kemudian kedua pihak saling menganggap pihak lain sebagai keluarga sendiri. Hubungan itu disebut kekerabatan Siteppangteppang. Kekerabatan keenam adalah Sikampong, yang terbangun karena bermukim dalam satu kampung, sekalipun orang-orangnya sama sekali tidak ada hubungan darah/keluarga. Perasaan akrab dan saling menganggap saudara/keluarga muncul karena kesamaan pemukiman. Biasanya hal itu dialami orang Bugis di perantauan. Dalam perantauan, mereka saling menopang, membantu dalam segala hal karena merasa senasib sepenanggungan. Orang Bugis masih hidup dalam norma dan aturan yang dianggap luhur dan keramat. Budaya Bugis menjunjung tinggi kehormatan, yang tewujud dalam sistem sosial Sir’i na Pesse (menjaga kehormatan diri). Tanpa kehormatan dan tanpa siri’ na pesse, mereka menganggap tidak layak hidup sebagai manusia. Hidup tanpa kehormatan bak hidup laiknya binatang. Bahkan mereka berprinsip 59
Belajar Dari Alam
lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dengan kehormatan tercabik-cabik. Siri’mi narituo, narekko degage siri’na sirupaini olok-koloe (karena malu kita hidup, kalau tidak ada malu, tidak ada beda dengan binatang). Sistem kekerabatan dalam budaya Bugis Makassar dianggap sebagai asal muasal munculnya tradisi siri’ na pesse ini. Zainal Abidin Farid (1983:2) membagi adat siri dalam dua jenis, yakni (1) Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Dia (atau keluarganya) harus menegakkan Siri’-nya untuk mengembalikan kehormatan yang telah dirampas. Jika tidak, dia akan disebut mate siri (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia) dan (2) Siri’ Masiri’, yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan, atau mencapai suatu prestasi, yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah, demi Siri’ itu sendiri dan demi Siri’ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan Bugis yang menyatakan bahwa Narekko sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji punggawako (Kalau kamu pergi merantau, janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin). Dalam masyarakat Bugis Makassar, kekerabatan juga sinonim dengan kehormatan. Membaur menjadi anggota dari suatu rumpun kekerabatan yang terhormat adalah suatu kebanggaan. Sering terjadi pernikahan antarkeluarga yang ongkos sosialnya sangat tinggi dalam bentuk uang panaik (semacam persembahan atau mas kawin). Selain biaya teknis, pesta pernikahan yang perlu ditanggung oleh keluarga calon mempelai lelaki, uang panaik juga merepresentasikan biaya asimilasi menjadi anggota keluarga dari rumpun kerabatan calon mempelai perempuan. Pembauran ke rumpun kerabat yang terhormat dapat menaikkan derajat kehormatan keluarga lelaki. Untuk itu, ongkosnya memang tidak murah. Lingkungan Sosial Budaya Makassar Suku Makassar sebenarnya identik dengan suku Bugis. Mereka berasal dari rumpun yang sama, yaitu tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero, yaitu gelombang migrasi pertama dari daratan Asia, 60
Belajar Dari Alam
tepatnya dari Yunnan ke nusantara. Lidah Makassar menyebut ‘Mangkasara’, artinya mereka yang bersifat terbuka. Mereka mendiami Kota Makassar, Kabupaten Gowa, dan Maros. Suku Makassar gemar berperang, jaya di laut, berjiwa penakluk, namun demokratis dalam memerintah. Karena identik dengan suku Bugis, kedua suku itu sering disebut Bugis-Makasar. Namun, sebenarnya baik Bugis maupun Makasar mempunyai beberapa perbedaan. Dalam hal menanyakan kabar seseorang, baik orang Bugis maupun Makassar menggunakan sapaan yang sama, yaitu “Aga kareba?” Namun, saat menjawab, mereka berbeda. Orang Makassar menjawab ”Baji-baji ji” (baik-baik saja), orang Bugis menjawab ”Kareba madeceng” (kabar baik). Prinsip hidup suku Makassar mirip dengan orang Bugis, yaitu Siri’ na pace, kata siri’, artinya, membela kehormatan orang-orang yang hendak memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce artinya membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi, Punna tena siriknu, paccenu seng paknia (kalau tidak ada siri’/harga dirimu, paccelah/kekerabatan kau pegang teguh –karena mereka yang akan menolong kita saat menderita). Apabila siri’na pacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki, orang akan bertingkah laku seperti binatang. Mereka tidak memiliki harga diri dan rasa kepedulian sosial. Sesungguhnya budaya Makassar bertitik sentral pada konsepsi mengenai “tau” (manusia). Manusia amat dijunjung tinggi keberadaannya. Konsep itu mendasari pandangan hidup orang Makassar, yang amat menghargai kemanusiaan dan sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya sipakatau, artinya, saling memahami dan menghargai. Falsafah sipakatau membantu orang Makassar mencapai keharmonisan dan memungkinkan kehidupan masyarakat berjalan sesuai harkat dan martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan. Yang dinilai pada diri seseorang adalah kepribadian dan adat/budayanya. Lingkungan Sosial Budaya Suku Kaili Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun61
Belajar Dari Alam
temurun tersebar mendiami sebagian besar Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai Timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Tojo-Una Una, dan Poso. Suku Kaili mempunyai adat istiadat (termasuk hukum adat) sebagai pedoman hidup yang dipatuhi. Pada masa sebelum agama Islam dan Kristen masuk, banyak upacara adat dilakukan dengan mantera-mantera yang mengandung kepercayaan animisme. Setelah agama Islam dan Kristen masuk, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dan upacara menurut agama yang dianut. Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat tampak saat ada kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan, dan kegiatan bertani yang disebut sintuvu (kebersamaan/gotong royong). Salah satu sikap hidup mereka adalah tidak menginginkan jarak atau perbedaan antara kaya dan miskin. Mereka yang tergolong mampu akan menolong kerabatnya untuk hidup lebih layak. Sikap itu mewarnai karakter peduli di kalangan anak muda dan pelajar. Lingkungan Sosial Budaya Suku Bajo Suku Bajo banyak berdomisili di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, suatu wilayah yang sangat terkenal dengan keindahan alam bawah lautnya. Ada juga suku Bajo yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah maupun NTT.Wakatobi yang menjadi wilayah koloni suku Laut Bajo merupakan kependekan dari nama pulau-pulau besar, yaitu Wangi-wangi, Kaledupa, Tomea, Binongko (Wakatobi). Suku Bajo menetap di perairan Wakatobi. Laut bagi Suku Bajo, menjadi tumpuan hidup, sebagai tempat tinggal, tempat mencari nafkah, dan melakukan kegiatan sosial. Mereka mendapat julukan sea nomads, yang artinya kaum yang hidup berpindah-pindah dari laut ke laut. Sebagai suku pelaut yang sering berpindah-pindah tempat, mereka juga dikenal sebagai kaum imigran. Karena itu, masyarakat Bajo tersebar tidak hanya di Pulau Sulawesi, tetapi juga di Pulau Flores, Sumbawa, sebagian 62
Belajar Dari Alam
Papua, hingga Kepulauan Riau. Di tempat barunya, mereka akan mendiami tepian-tepian pantai dengan membangun rumah-rumah panggung dari bambu beratap rumbia. Suku Bajo menjadikan perahu atau sampan sebagai rumah dan alat transportasi utama, sekaligus sebagai alat dan tempat mencari nafkah. Mereka menjual berbagai hasil tangkapan laut sebagai mata pencaharian utama mereka. Karena berdiam di perahu-perahu yang mereka disain sebagai tempat bermukim, perahu itu mereka sebut palemana atau rumah perahu. Tidak salah jika ada yang menyebut mereka sebagai Orang-orang Perahu. Selain sampan sebagai pusat kegiatan ekonomi, kerajinan kain tenun tradisional juga menjadi kegiatan tidak terpisahkan dari kaum ibu di Wakatobi. Kain-kain yang disebut ledja dan kasopa ditenun dengan alat-alat tradisional, dengan motif yang khas. Suku Bajo masih lebih percaya pada kearifan lokal (tatacara hidup tradisional) ketimbang bergantung kepada instrumen dan budaya modern yang mulai melandaWakatobi. Salah satu kearifan lokal masyarakat Bajo adalah konsepnya dalam konservasi sumber daya laut. Laut dan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya merupakan sumber kehidupan. Mereka menggantungkan hampir seratus persen sumber mata pencahariannya dari hasil laut. Ketergantungan mereka terhadap laut tercermin dalam pembagian hierarki kelompok sosial masyarakatnya. Ada empat kelompok masyarakat yang dibagi menurut kebiasaan mencari ikan di laut, yakni kelompok Lilibu (yang melaut satu hingga dua hari), Papongka (melaut satu hingga dua minggu), Sakai (melaut satu hingga dua bulan), dan Lame (yang melaut hingga berbulan-bulan). Kearifan lokalnya adalah dalam hal mengatur dan mengelola waktu berkaitan dengan aktivitas di laut, yang dibedakan menurut jenis biota lautnya. Misalnya, kegiatan pengambilan teripang dan kerangkerangan biasanya mereka lakukan hanya pada bulan tujuh dan delapan setiap tahun. Menangkap ikan mereka lakukan hanya pada bulan sebelas dan dua belas, dan empat bulan yang tersisa mereka gunakan untuk menangkap jenis biota laut lainnya. Praktik seperti itu tentu saja memberi peluang lebih banyak bagi sumber daya hayati laut untuk 63
Belajar Dari Alam
berkembang biak dan pada gilirannya akan menjamin kuantitas dan kualitas hasil tangkapan, meskipun nelayan hanya menggunakan alat sederhana seperti pancing dan tombak. Lingkungan Sosial Budaya Suku Buton Kabupaten Buton terletak di bagian Tenggara Pulau Sulawesi, meliputi sebagian pulau Muna dan Pulau Buton. Kabupaten Buton di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Muna, di sebelah Selatan berbatasan dengan laut Flores, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Wakatobi, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bombana. Suku yang dominan adalah suku Buton, yang memiliki sekitar 73 subetnik. Adapun etnik dan subetnik yang dominan adalah etnik Walio, Wakatobi, Cia-Cia, dan Gulamas. Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Walio, Wakatobi, Cia-Cia, Gu, dan masih banyak lagi bahasa daerah yang khas. Masyarakat Buton memiliki karakteristik sosial budaya yang sangat beragam, yang mengindikasikan bahwa masyarakat yang tinggal di Pulau Buton terbuka terhadap perubahan dan kemajuan. Kebiasaan merantau orang Buton merupakan jembatan bagi kemajuan. Aktivitas berlayar suku Buton ke berbagai penjuru dunia membawa pulang berbagai informasi dan membuka wawasan masyarakat Buton untuk hidup lebih maju. Sebagai suku pelaut yang andal, karakteristik perahu orang Buton sangat unik, menggambarkan kejayaan pelaut di masa lampau. Perahu tersebut dikenal dengan nama boti. Kegiatan pesta adat yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Buton dinamakan kandea-kandea. Pesta adat dilaksanakan untuk menyukuri nikmat panen hasil bumi di setiap desa, dan untuk mendoakan keberhasilan masyarakat dalam mengolah hasil buminya, agar selalu meningkat dan berkelanjutan. Masyarakat di sini memiliki kegiatan yang menarik, yaitu forum diskusi untuk mambahas berbagai permasalahan desa. Dalam diskusi secara adat itu, dibahas persoalan kehidupan masyarakat, antara satu individu dengan individu yang lain, individu dengan kelompok masyarakat, interaksi masyarakat dengan sumber daya alam berkaitan dengan penerapan hukum adat atas sumber 64
Belajar Dari Alam
daya alam yang dilindungi, dan sebagainya. Seluruh proses diskusi dilakukan dengan penuh kekeluargaan dengan hasil yang disepakati bersama. Adat yang mengandung semangat “kesepakatan” dan “kebersamaan” tersebut terungkap dalam prinsip yang disebut Pobincibinci kuli. Jika prinsip “kesepakatan” membentuk nilai persatuan, “kebersamaan” membentuk nilai “tenggang rasa”. Hubungan antara penguasa dan rakyat (vertikal) dan sesama rakyat (horizontal) dilandasi kedua prinsip nilai tersebut. Lingkungan Sosial Budaya Suku Minahasa Provinsi Sulawesi Utara terletak di jazirah Utara Pulau Sulawesi dan merupakan salah satu dari tiga provinsi di Indonesia yang terletak di sebelah utara garis khatulistiwa. Suku yang dominan adalah Suku Minahasa, dengan sembilan subsuku yaitu Tonsea, Tombulu, Toutemboan, Tondano, Tonsawang, Pasan Ratahan, Ponosakan, Babontahu, dan Bantik. Bahasa daerah yang kerap digunakan adalah bahasa Manado dan bahasa Minahasa, yang terdiri atas bahasa lokal, yaitu bahasa Tonsawang, Toutemboan, Toulour, Tonsea, dan Tombulu. Agama yang dianut para penduduk adalah Kristen Protestan (89%), Katolik Roma (10,5%), dan Islam (0,5%). Dalam masyarakat Minahasa, terdapat semangat kerja sama yang mencakup semua aspek kehidupan. Mereka saling membantu dalam menghadapi kendala hidup baik, baik secara perorangan maupun antarkelompok, yang dinamakan mapalus. Kerja sama kelompok dibedakan, misalnya, bila berdasarkan wilayah disebut Mapalus kampung Sendangan, berdasarkan kekerabatan disebut Mapalus Pemuda, berdasarkan perkumpulan Kumawangkoan, berdasarkan marga/keluarga Mapalus keluarga besar Lapian, Masengi. Kegiatan mereka pada umumnya berkaitan dengan kegiatan sosial, seperti Mendu impero’ongan (kegiatan kerja bakti di kampung atau lingkungan tempat tinggal); Berantang (kegiatan membantu keluarga yang berduka); Sumakey (kegiatan bersama dalam acara syukuran). Ada pula kegiatan mereka yang tidak bersifat sosial, melainkan ekonomi dan keuangan, seperti 65
Belajar Dari Alam
Ma’endo (usaha bersama untuk menggarap kebun atau perbaikan rumah); dan Pa’ando (arisan). Lingkungan Sosial Budaya Suku Gorontalo Gorontalo adalah provinsi di Indonesia yang terletak di daerah yang dikenal sebagai Semenanjung Minahasa. Wilayah Gorontalo membentang dari Timur ke Barat di bagian Utara Pulau Sulawesi. Suku yang dominan adalah Suku Gorontalo, dengan bahasa Gorontalo. Namun, mengingat kaum muda banyak yang tidak tahu tentang bahasa Gorontalo, bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Para guru dan siswa di sini mengaku iri kepada suku Jawa. Ketika bertemu dengan orang sesama sukunya, orang Jawa akan menggunakan bahasa Jawa. Hal itu tidak berlaku bagi suku Gorontalo. Bila mereka bertemu dengan sesama warga Gorontalo, mereka akan menggunakan bahasa Indonesia. Di rumah pun, bahasa sehari-hari juga bahasa Indonesia. Kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Gorontalo dijalankan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh nenek moyang sejak dahulu. Hal itu dapat dilihat dari Tahudu lo mongopanggola (ucapan orang-orang tua), yang tertuang dalam Buku Empat Aspek Adat Daerah Gorontalo, 1985: Aadati ma dili-dilito Bolo mopo’aito Aadati ma hunti-huntingo Bolo mopodembingo Diduboli-diduboli Tomali’a limongoli
Adat telah dipatokkan Tinggal merangkaikan, Adat telah ditetapkan Tinggal melekatkan Jangan lagi Kamu mengubahnya
Namun, bahwa adat dan hukum dapat dan selalu berubah sesuai perkembangan zaman, para leluhur yang arif bijaksana sudah memikirkannya. Hal itu diumpamakan dengan pepatah tentang ‘mengayuh biduk’ sebagai berikut.
66
Belajar Dari Alam
Wonu tangga kumoungo Poötulide dahulungo Wonu tangga mobibidu Ito mopoötulidu Wonu tangga tumumbolo Ito tuö-tuödulo
Jika galah bengkok Luruskan arahnya Jika galah berpilin Kita meluruskannya Jika galah patah Kitalah yang mendayungnya
Pada waktu agama Islam mulai menjadi agama masyarakant Gorontalo, pada abad ke-16, ada kata-kata bijak leluhur yang terkenal, Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah (Adat berdasarkan syariat, syariat berdasarkan Kitab Suci Al Quran). Kata bijak itu mirip pepatah di Suku Minang. Tatakrama adat yang dilaksanakan masyarakat Gorontalo haruslah sesuai dengan ajaran agama. Kebudayaan yang bernafaskan Islam lambat laun masuk ke dalam tataadat Gorontalo, antara lain melalui bahasa, musik, tatakrama perhelatan, bahkan sapaan seperti Aba (Ayah), Umi (Ibu), Ami (Paman). Kata-kata itu berasal dari bahasa Arab. Nilai adat Gorontalo, pada hakikatnya, adalah saling menghargai dan menghormati. Walaupun pada dasarnya manusia sama, namun Allah memberikan amanah kepada yang dikehendaki-Nya (pemimpin). Allah menciptakan manusia tidak serentak di seluruh dunia tetapi berlapis-lapis, turun temurun, sehingga terjadi tingkatan orang tua, muda, dan anak-anak. Demikian pula susunan masyarakat ada yang dituakan karena jabatannya atau ilomato-nya (karyawan) dan ada pula rakyat (tuangolipu).Yang muda menghormati yang tua dan masyarakat menghormati pimpinan. Tatakrama menghormati orang lain bukan dianggap sikap merendahkan diri, malah dapat mengangkat derajat diri seseorang. Yang dihormati merasa dihargai, sedangkan yang menghormati terangkat derajatnya sebagai manusia yang mengenal tatakarma, adat, dan keadaban. Muara dari penghormatan itu ditujukan kepada Allah SWT, seperti tersimak dari kata-kata arif leluhur sebagai berikut.
67
Belajar Dari Alam
Wolipopo todidi lobaya Tuau lo humaya U wito u tombuluo TuotoTio woluwo
Kunang-kunang (amanah) di dahi Merupakan suatu tanda Itu yang dihormati Pertanda Dia (Allah) itu ada
Sifat menjunjung tinggi tatakrama yang berhubungan dengan budaya saling menghormati, salah satunya tercermin dalam kebiasaan ’sapaan’/‘toli’ atau nama panggilan bagi seseorang. Sapaan akan memperlihatkan kadar kehormatan yang disapa maupun yang menyapa. Tak dapat dihindari, banyak pengaruh budaya luar masuk ke Gorontalo, mengingat letak geografisnya yang amat terbuka. Pengaruh itu datang, misalnya, dari negeri Arab, Cina, negara-negara Barat, maupun dari daerah-daerah lain di tanah air. Namun budaya leluhur tetap dilestarikan. Ito tuö- tuödulo (Kitalah yang mendayung/ mengendalikan), sebagaimana tercantum dalam bait terakhir pesan leluhur. Lingkungan Sosial dan Budaya Suku Samawa Pulau Sumbawa merupakan bagian dari dua pulau besar Lombok-Sumbawa, yang merupakan bagian utama Provinsi Nusa Tenggara Barat atau NTB. Di Pulau Sumbawa terdapat dua etnis besar. Etnis Tau Samawa berdiam di Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Sumbawa Besar. Etnis Mbojo berdiam di Kabupaten Dompu dan Kabupaten-Kota Bima. Kedua etnis tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan, terutama dari aspek kebahasaan. Selain itu, di Pulau Sumbawa banyak etnik pendatang, seperti etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), dan Cina (Tolkin danTartar), serta Arab. Salah satu suku Sumbawa yang disebut Suku Samawa atau Tau Samawa mendiami bagian Barat Pulau Sumbawa, yang merupakan bekas wilayah Kesultanan Sumbawa. Suku Samawa adalah pembauran antara kelompok etnik pendatang baru dengan kelompok etnik 68
Belajar Dari Alam
pendatang yang lebih dahulu/lama datang. Dalam diri orang Samawa terdapat darah etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Mandar, dan Makasar), Sumatera (Padang, Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), Cina, dan Arab. Sebagian penduduk yang mengklaim sebagai pribumi atau suku Samawa asli menempati wilayah pegunungan seperti Tepal, Dodo, dan Labangkat. Hal itu terjadi karena daerah pesisir dan dataran rendah tempat hunian mereka terdahulu, tidak dapat ditempati lagi pascabencana alam letusan GunungTambora. Kesadaran akan identitas budaya sendiri muncul dengan kehadiran bahasa Sumbawa atau basa Samawa sebagai bahasa persatuan multietnik di pulau ini. Bermula dari bahasa Sumbawa purba (prabasa Samawa), bahasa Samawa kemudian pecah menjadi dua dialek, yakni pradialek Taliwang-Jerewe-Tongo dan pradialek Sumbawa Besar (disebut juga dialek Seran). Selanjutnya, pradialek Taliwang-JerewehTongo pecah menjadi tiga dialek, masing-masing dialek Taliwang, dialek Jereweh, dan dialekTongo. Budaya yang terkait dengan adat dan tradisi masyarakat Sumbawa Besar yang menjadi bagian dalam penanaman pendidikan karakter di sekolah, di antaranya adat nyorong, yang artinya mengantar barang bawaan untuk bantuan. Maknanya adalah kebersamaan. Hal itu masih dipahami dan diyakini siswa umumnya, karena mereka masih sering melihat dan menyaksikan langsung para orangtua mereka melaksanakan adat tersebut. Terkait etika dan tatakrama, ada budaya tabe yang artinya permisi, yang berarti pentingnya menghormati orang lain, terutama yang lebih tua. Hal itu juga masih dipahami dan diyakini para siswa umumnya dan sering diterapkan. Ada lagi budaya Seseng kalenge angan kabalong, yang artinya anjuran untuk menghindari perbuatan tercela dan anjuran untuk saling membantu sesama tetangga. Lingkungan Sosial Budaya Etnis Sikka Kabupaten Sikka tempat berdiam etnis Sikka, terletak di bagian tengah Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan ibukota Maumere, yang terletak di pantai Utara Kabupaten Sikka. Kabupaten 69
Belajar Dari Alam
tersebut memiliki wilayah daratan dan beberapa pulau kecil, antara lain Pulau Besar, Pulau Sukun, dan Pulau Pananan. Topografis kabupaten Sikka terdiri atas dataran rendah, pegunungan, dan pantai. Pesisir pantai Utara Sikka dihuni suku Bajo yang berumah panggung di atas air. M. Yamin (dalam Mandalangi, 2011:4) menerjemahkan nama Pulau Flores sebagai Pulau Bunga yang berasal dari bahasa Latin flores, berarti ‘bunga-bunga’, meniru sebutan bangsa Portugis. Dalam pelayaran Antonio Pigafetta dan Magelhaens (Magellans) pada abad ke15, mereka menamakan Tanjung Flores Timur dengan Cabo de Flores yakni Tanjung Bunga (S.M. Cabot 1544 dalam Mandalangi, 2011:4). Selanjutnya, seluruh pulau ini dikenal sebagai Pulau Flores atau Pulau Bunga atau Nusa Bunga, sesuai alam Pulau Flores yang indah. Di Kabupaten Sikka terdapat gunung berapi, yaitu Iling-Api Egon(g). Pada Zaman Purba, penduduk Sikka Krowe menyebutnya secara lengkap dengan Iling-Api Egon(g) Mapitara. Menurut Oscar Pareira Mandalangi (2011:5), mapitara berarti sama bengisnya ia dengan Gunung Merapi yang ada di Pulau Jawa. Suku yang dominan di Kabupaten Sikka ada 6 etnis, yaitu Ata Sikka Krowe, Ata Lio-Krowe atau Ata Lio-Ma’umere, Ata Tana ‘Ai atau Ata Sikka Tana ‘Ai, Ata Krowin Tana ‘Ai, Ata Mohan(g) atau Ata Sikka Mohan(g),Ata Palu’e atau Ata Lu’a Kapa Raja, dan AtaTidong Bajo Lau. Penduduk Kabupaten Sikka tersebar di 21 kecamatan. Konsentrasi penduduk perkotaan ada di Kota Maumere dan kawasan Geliting di Kewapante. Mayoritas penduduk Kabupaten Sikka beragama Katolik (91%). Mulai 2005, wilayah Sikka menjadi keuskupan baru, yakni keuskupan Maumere, yang berada di bawah Keuskupan Agung Ende. Kawasan pesisir Utara cukup banyak dihuni oleh warga keturunan etnik Tidung, Bajo, Bugis, Jawa danTionghoa. Lingkungan Sosial dan Budaya Etnis Kupang Etnis Kupang banyak berdiam di Pulau Timor di NTT.Terutama di Kota Kupang. Kupang tidak hanya merupakan kota yang multietnis, tetapi juga multibangsa, karena selain banyak suku bangsa Indonesia tinggal di kota ini (Jawa, Bugis, Timor), juga ada bangsa lain seperti 70
Belajar Dari Alam
Belanda dan Portugis. Orang Kupang umumnya sangat ramah dan mudah tertawa. Masyarakatnya dibedakan dalam kelas-kelas sosial: kelas bangsawan disebut Amaf, para pemimpin/penguasa disebut Alupas, orang biasa disebut Too. Pada zaman sebelum sekarang, ada juga kelas budak yang disebut Ata. Masing-masing kelas sosial memiliki fungsi tersendiri dalam masyarakat dan terlihat pada saat ritual tradisi diselenggarakan. Agama yang banyak dianut adalah agama Katolik, Kristen, kemudian Islam. Anehnya, apapun agama yang dianut, mereka juga tetap mempraktikkan kepercayaan nenek moyang/leluhur. Orang Kupang mengembangkan seni tenun ikat, yang merupakan karya budaya lokal, dengan corak penuh warna yang indah dan bermakna. Tenun ikat Kupang telah diakui sebagai warisan budaya nasional. Lingkungan Sosial Budaya Maluku-Ambon Maluku, sebagai provinsi yang terdiri banyak pulau, mempunyai budaya khas dan unik yang memberi kekuatan nilai karakter penduduknya. Budaya khas dan unik itu terbentang dalam kehidupan suku Ambon, Lumoli, Nuaulu, Pelauw, dan Rana, yang mendiami Kepulauan Maluku sejak ratusan tahun yang lalu. Sembilan puluh persen dari luas daerahnya merupakan lautan.Tidak heran jika sebagian besar masyarakat Maluku hidup sebagai nelayan, dan Maluku merupakan penghasil ikan terbesar di Indonesia. Terkait alamnya yang khas, muncullah aneka produk budaya berupa tari, lagu, ukiran, anyaman, tenun, dan adat kehidupan masyarakat yang juga khas, umumnya bertema kelautan. Selain itu, Maluku memiliki budaya leluhur yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya, di antaranya yang terkenal adalah pelagandong yaitu hubungan kekerabatan yang sangat erat bagi orang Maluku. Karena sangat eratnya budaya kekerabatan tersebut, masalah baru muncul, yaitu tawuran yang disebabkan rasa setia kawan dalam kekerabatannya. Ketika seorang warga suatu kampung atau suatu suku membuat masalah, tidak peduli dia benar atau salah, seluruh anggota suku atau warga desanya akan langsung menyerang suku lawan tanpa 71
Belajar Dari Alam
konfirmasi terlebih dahulu. Akar budaya Maluku berasal dari ratusan subsuku, yang memiliki 117 bahasa lokal yang masih aktif (dari 130 jumlah bahasa lokal yang pernah ada). Akar budaya yang tersebar itu mempunyai kesamaan nilai yang merepresentasikan falsafah hidup masyarakat kepulauan yang terdiri dari ratusan etnis/subsuku. Filosofi yang terkenal adalah siwalima yang berarti kehidupan bersama, yang kemudian dijabarkan lagi menjadi berbagai kearifan lokal. Kini, siwalima menjadi simbol Pemerintah Provinsi Maluku. Falsafah siwalima juga termaknai dalam tari Gaba-Gaba yang dibawakan oleh satu penari dan pemegang galah suta dan sembilan penari Cakalele. Musik pengiringnya adalah tifa (instrumental etnik Maluku). Tarian tersebut menggambarkan sikap pertahanan dari serangan musuh. Ada banyak lagi ragam tarian Maluku, seperti tari Soya-soya, Cakalele, Loliyana, Mamae,Tide, Pite Pala, dan sebagainya. Ada tari Bambu Gila yang ditarikan beramai-ramai dengan seorang pawang. Tifa ditabuh bertalu-talu, alunan irama monotonik mengiringi wangi kemenyan. Sebatang bambu sepanjang 2,5 meter dibekap oleh tujuh laki-laki bertelanjang dada, berikat kepala merah, dan bercelana merah selutut. Seorang pawang berbaju hitam dan bercelana pendek merah meniupkan asap kemenyan yang dibakar di atas batok kelapa. Selain itu terdapat tari Katreji sebagai tari pergaulan masyarakat Maluku yang mengandung semangat siwalima (kebersamaan), biasanya digelar saat upacara pelantikan raja/kepala desa, menyambut tamu kehormatan, acara pesta rakyat, dan hajatan keluarga. Tarian yang menggambarkan suasana suka cita serta kegembiraan masyarakat itu diiringi alat musik biola, suling bambu, ukulele, karakas, gitar, tifa, dan bas gitar. Iramanya dominan musik barat –mengingat Belanda lama berkuasa di Maluku dan meninggalkan pengaruh seni musik dan dansa yang tetap digemari masyarakat Maluku sampai sekarang. Tarian Maluku pada umumnya menggambarkan semangat pergaulan yang riang gembira dan persahabatan yang erat. Sifat riang dan kesukaan orang Maluku terhadap seni musik dan tari, membawa nilai-nilai 72
Belajar Dari Alam
kecintaan terhadap seni di kalangan siswa Maluku (banyak penyanyi berasal dari Maluku) dan membangun karakter kepedulian mereka terhadap sesamanya (solidaritas yang tinggi). Peribahasa sering secara spontan diucapkan orang Maluku dalam percakapan sehari-hari, misalnya, pake sandal lupa tarupa (memakai sandal, melupakan terompa/sandal tradisional), yang maknanya mengkritik anak muda yang lupa akan tradisinya. Orang Maluku juga akrab dengan ungkapan samua basudara (semua bersaudara), yang menyiratkan semangat persaudaraan. Bila mengkritik kesalahan pun, kritik akan dilakukan dengan sopan santun. Budaya Maluku juga menurunkan kearifan lokal dalam mengelola hidup dan sumber daya kehidupan, seperti sasi (upaya pelestarian alam dan lingkungan) dan masohi (kerja sama kemanusiaan yang saling menguntungkan). Nilai budaya Maluku yang masih hidup di kalangan masyarakat dapat menjadi modal untuk membangun karakter generasi muda. Nilai yang masih hidup itu adalah manggurebe maju, lawamena hau lala, artinya, bersatu membangun Maluku, maju terus pantang mundur. Nilai lainnya adalah Katong samua satu gandong, satu jantung dan satu hati, artinya, kita semua sekeluarga/bersaudara. Di Maluku, semua elemen alam dipandang sebagai lambang kehidupan. Sagu, padi, cengkeh, dan kelapa adalah lambang kehidupan. Mutiara lambang kekayaan. Tombak adalah lambang satria. Gunung adalah lambang keperkasaan dan kekayaan alam yang berlimpah. Orang Maluku juga ditempa untuk tangguh melalui lomba dayung perahu yang rutin diselenggarakan setiap tahun.Tradisi lomba dayung itu sesuai dengan alam Maluku yang dikelilingi pantai dan laut. Lingkungan Sosial dan Budaya Papua Papua, provinsi di ujung timur Indonesia dan berbatasan dengan negara Papua New Guini (Papua Nugini), merupakan pulau besar dengan kekayaan tradisi dan budaya. Provinsi yang disebut mutiara hitam itu memiliki kekayaan budaya yang terbangun dari pengalaman kehidupan warganya sejak dahulu kala. Gunung, bukit, hutan lebat, sungai, pantai, dan samudra luas, menghiasi Papua. Dalam hidup 73
Belajar Dari Alam
bermasyarakat, setiap etnis Papua dipimpin oleh kepala suku yang disebut Ondoafi. Sampai sekarang, peran kepala suku sangat besar, antara lain harus mengayomi keluarga dan seluruh warganya. Dalam hal pembayaran mas kawin, misalnya, kepala suku bertugas mengantarkan makanan dan menerima mas kawin dari pengantin pria. Kepala suku dan warganya memperkuat eksistensi Papua sebagai tanah yang sangat kaya dengan produk budaya beserta nilai-nilainya. Produk budaya tersebut berupa ragam lukis, alat bunyi, senjata perang, anyaman, ukiran, tari-tarian, lagu, peribahasa, peralatan bekerja, alat berburu, dan lain-lainnya. Keragaman budaya itu tercermin dalam kekayaan kearifan lokal yang menjadi pedoman hidup dan membentuk nilai karakter warga Papua. Kearifan lokal itu mewarnai karakter para siswa sebagai generasi muda Papua. Ragam lukis dijumpai di lukisan kulit kayu, perahu, dinding rumah, pagar, tameng, dan sebagainya. Motif lukis tersebut bernama motif rasindale dan yoniki. Motif rasindale hanya boleh dipahat di tiang rumah kepala suku (ondoafi) dan dipakai oleh istrinya. Dari motif rasindale, orang-orang akan mengenali istri sang kepala suku. Selain dipahat di tiang rumah, simbol khusus itu juga dipakai di dayung kolekole (perahu). Motif yoniki yang dipakai oleh semua kepala suku di Pulau Asei Besar, berupa simbol berbentuk bulat yang melambangkan kebersamaan. Motif yoniki berupa garis silang dengan warna putih dan hitam mencerminkan keuletan, ketegasan, dan kekuatan, yang mencerminkan karakter warga Papua. Selain itu, alat bunyi berupa tifa, terompet kerang, alat pukul batok kelapa, teriakan perang, dan sebagainya mencerminkan kreasi dasar dalam mengolah bunyi sebagai bagian kehidupan warga Papua. Tifa biasanya dipakai untuk tari-tarian, terompet kerang dipakai untuk alat komunikasi, dan alat pukul batok kelapa digunakan sebagai peralatan tari di pesisir pantai. Senjata perang berupa panah, tombak, pisau tulang burung kasuari, sumpit (panah kecil yang ditiup agar anak panah melesat ke sasaran), dan batu-batu antik, merupakan saksi sejarah bahwa warga Papua mempunyai tradisi kejuangan dalam mempertahankan harga diri, sukubangsa, dan tanahnya. Ukiran khas 74
Belajar Dari Alam
dengan dominasi warna putih biasa dijumpai di kayu-kayu potongan yang menjulang dengan motif orang yang ditumpuk-tumpuk, menyiratkan kebersamaan dalam kehidupan warga Papua. Tari di Papua mempunyai warna gerak yang berbeda-beda sesuai asal daerahnya. Tari khas daerah Puncak Jaya, seperti tari Waropen, Yapen, dan tari lainnya, yang didominasi gerakan kaki dan badan yang meloncat-loncat kecil.Tari tersebut menggambarkan aksi perang serta persembahan kepada leluhur, mencerminkan karakter religius sekaligus semangat juang, dan keindahan yang dimiliki warga Papua. Banyak peribahasa dari bahasa daerah di Papua (terdapat sekitar 200-an bahasa daerah di Papua) memberikan gambaran karakter warga Papua. Karakter kejuangan, keuletan, ketangguhan, kejujuran, kepedulian, ketegaran, jiwa estetis, religius, dan sosial, sudah terdapat dalam diri orang Papua. Jayapura merupakan ibukota provinsi yang dihuni beragam etnis/suku, baik etnis Papua maupun suku lain dari wilayah lain di Indonesia. Sebagai ibukota provinsi, Jayapura menggeliat dengan cepat sejalan dengan perkembangan zaman. Di Jayapura bertebaran mall, tempat hiburan, mobil aneka merek, sepeda motor, pertokoan, perumahan, dan simbol kemajuan lainnya seperti terdapat di kota-kota besar lain di Indonesia. Karena dihuni oleh masyarakat multisuku, ada yang mengatakan, “Kalau ingin melihat Indonesia, lihatlah Jayapura, karena semua pernik dan tradisi suku-suku di Indonesia ada di sini.” Di Jayapura ada suku-suku pendatang seperti suku Batak, Ambon, Jawa, Minang, Bugis, Buton, Bali, dan lainnya. Yang dominan adalah suku Papua sendiri seperti subsuku Biak, Waropen, Wamena, Puncakjaya, Sorong, Merauke, dan lainnya.Anak-anak mereka berbaur menjadi satu di sekolah dan mengembangkan nilai kecerdasan sebagai generasi penerus bangsa Indonesia.
75
Karakter Siswa Indonesia
76
BAB 3 KARAKTER SISWA INDONESIA Di Gorontalo, siswa dibiasakan membaca 10 menit sebelum jam pelajaran dimulai
S
etelah pada bagian terdahulu, dibahas karakter lingkungan sosial, budaya, dan alam yang membangun karakter manusia Indonesia. Pada bagian ini, akan disoroti alas an faktor-faktor tersebut mewarnai atau mempengaruhi karakter siswa di Indonesia, mulai jenjang SD, SMP, hingga SMA/SMK. Perlu dipahami bahwa pemotretan atas karakter siswa dilakukan melalui dua cara. Pertama, karakter siswa dipotret berdasarkan hasil wawancara dan daftar isian dengan responden guru, staf, atau kepala sekolah, di sekolah sampel (sesuai Kerangka Acuan Kerja yang diamanatkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada Tim Peneliti Unesa). Kedua, sekolah sampel yang dipilih/ditentukan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat pada umumnya (lebih dari 90%) adalah sekolah unggulan. Bahkan sejumlah sekolah yang ditunjuk merupakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Lebih dari 90% sekolah sampel adalah sekolah negeri. Dalam hal ini, para peneliti tentu tidak dapat menolak atau mengelak. Karena latar belakang pemilihan sekolah sampel yang demikian, dapat dimaklumi jika hasil temuan penelitian seperti seragam di seluruh Indonesia. Karakter siswa rata-rata baik, terutama pada tataran pengetahuan moral (moral knowing), yakni pengetahuan tentang nilai baik dan buruk. Hal-hal yang baik tentang karakter siswa Indonesia seperti terpotret dalam penelitian dan buku ini lebih mudah dipahami, karena umumnya siswa sekolah negeri di Indonesia berasal dari masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas. Hanya sebagian kecil
Karakter Siswa Indonesia
siswa berasal dari kelas ekonomi menengah bawah. Siswa dari Suku Bajo di Sulawesi, misalnya, rata-rata berasal dari keluarga tidak mampu dan orangtuanya berpendidikan rendah. Bukan berarti siswa kelas atas akan ‘lebih baik karakternya’ dibandingkan siswa dari kelas ekonomi yang lebih rendah. Namun penggambaran latar belakang itu untuk menunjukkan bahwa ‘potret karakter siswa yang baik’ merupakan hasil penelitian yang berdasarkan sampel sekolah unggulan. Namun, tidak perlu risau atas potensi kelemahan kajian ini, karena dengan pertanyaan yang tidak langsung kepada siswa, ternyata tidak semuanya baik-baik saja. Terutama, pada tataran merasakan/menghayati nilai moral (moral feeling) dan melaksanakan moral yang baik (moral action). Masalahnya kemudian menjadi, mengapa demikian? Mengapa tidak ada keterhubungan antara moral knowing dengan moral feeling dan moral action? Itulah yang dibahas dan dipaparkan di bagian ini. Untuk memperkuat temuan hasil observasi di sekolah yang respondennya guru tersebut, ada upaya triangulasi dengan melaksanakan diskusi terpandu yang dihadiri pihak sekolah (kepala sekolah atau wakilnya), anggota Komite Sekolah, pengawas dan pengamat pendidikan, anggota dewan pendidikan, budayawan, tetua adat, anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan/atau wakil agama lain setempat, dan banyak lagi unsur masyarakat lainnya. Dalam diskusi terpandu, terungkap adat, tradisi, dan karakter yang masih dipegang teguh oleh para siswa (yang diturunkan atau dibawa dari suku bangsanya), serta adat, tradisi, dan karakter yang mulai pudar bahkan ditinggalkan oleh para siswa. Kajian ini mengacu pada empat nilai inti karakter siswa yang dicanangkan dalam program pendidikan karakter nasional, yaitu jujur (kejujuran), cerdas (kecerdasan), peduli (kepedulian), dan tangguh (ketangguhan). Nilai jujur adalah nilai yang berkembang dalam diri pribadi setiap siswa yang berasal dari olah hati (heart), sedangkan nilai cerdas adalah nilai yang berkembang dalam diri pribadi yang berasal dari olah pikir (head). Nilai peduli adalah nilai yang berkembang dari hati sebagi akibat sentuhan seseorang secara sosial dengan orang lain. 77
Karakter Siswa Indonesia
Sedangkan, nilai tangguh adalah nilai yang terjadi sebagai hasil komunikasi dengan orang lain dan lingkungan yang berasal dari olah hati, olah rasa, dan karsa, maupun olah raga (hand). Dari keempat nilai inti tersebut, kemudian dikembangkan berbagai nilai turunannya seperti berikut ini. 1. Nilai inti jujur dikembangkan menjadi nilai-nilai tulus hati, beriman dan bertakwa, bertanggung jawab, menghargai diri sendiri, amanah (dapat dipercaya), dan berjiwa sportif. 2. Nilai inti cerdas dikembangkan menjadi nilai-nilai analitis, mampu memecahkan masalah, memiliki kuriositas (rasa ingin tahu = gemar belajar), kritis, mandiri, dan disiplin. 3. Nilai inti peduli dikembangkan menjadi nilai-nilai suka membantu, sadar akan hak dan kewajiban sebagai warganegara, berkomitmen, menghargai kesetaraan, suka memberi maaf, toleran, peka, hemat, tahu keadaban (beradab), berjiwa patriotik, demokratis, menghargai waktu, lembut hati, memiliki rasa humor, memiliki kebanggaan, dan menghargai kebersamaan. 4. Nilai inti tangguh dikembangkan menjadi nilai-nilai tegas bersikap, berani, hati-hati, berdaya upaya, suka berkompetisi, dinamis, beretos kerja, yakin/percaya diri, antisipatif, dan rajin. Untuk mengantarkan pembaca pada makna dari tiap-tiap nilai turunan tersebut, Samani dan Hariyanto (2011) memberikan definisi dari setiap nilai, sekaligus mengumpulkan pemaknaan nilai-nilai itu dari sejumlah sumber. Nilai Kejujuran (Honesty): menjunjung tinggi kebenaran, ikhlas dan lurus hati, tidak suka berbohong, tidak suka mencuri, tidak memfitnah, tidak pernah bermaksud menjerumuskan orang lain. Nilai turunan dari nilai kejujuran tersebut adalah sebagai berikut. 1. Ketulusan hati (Sincerity): secara teguh melaksanakan sesuatu yang benar dengan motif yang transparan, tanpa mengharapkan pujian atau imbalan/balasan dari orang lain. 78
Karakter Siswa Indonesia
2. Keimanan dan Ketakwaan (Faith): kepercayaan yang tinggi terhadapTuhan Sang Maha Pencipta, yang diwujudkan dengan berbuat sesuai perintah dan tuntunan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. 3. Rasa tanggung jawab (Responsibility): mengetahui dan melaksanakan yang seharusnya dilakukan sebagaimana diharapkan oleh orang lain, masyarakat, dan negara. 4. Menghargai diri sendiri (Self-respect): menghargai diri sendiri dengan memamahi kekuatan dan kelemahan diri serta tidak merasa rendah diri. 5. Amanah (Trustworthiness): dapat dipercaya, taat, menepati janji, tidak berbohong atau mengkhianati, dan berkomitmen tinggi untuk menjalankan kebenaran. 6. Sportivitas (Sportivity/sportmanship) : menghargai dan menaati aturan main, dapat menerima kemenangan dan kekalahan dengan lapang dada. Nilai Kecerdasan (Resourcefulness/Intelligence): melakukan sesuatu dengan cerdik dan bijak, melakukan hal-hal yang oleh orang lain mungkin tidak pernah terpikirkan, dan mampu keluar secara cerdas (smart) dalam suatu situasi sulit. Nilai turunan dari nilai kecerdasan sebagai berikut. 1. Analitis (Analytic): sikap dan perilaku yang gemar menalar atau bertindak berdasarkan persepsi bagian-bagian atau interrelasi sebuah subjek. 2. Pemecah masalah (Problem solver): menciptakan atau merancang pemecahan masalah dari suatu situasi yang sulit maupun masalah yang dijumpai sehari-hari. 3. Kuriositas (Curiosity) : keingintahuan atas hal-hal baru untuk menyelidiki dan mencari pemahaman atas rahasia alam atau peristiwa sosial (Mendikbud M. Nuh menyebut istilah ini dengan ‘kepenasaran intelektual’, Ed.). 4. K r i t i s ( C r i t i c a l ) : g e m a r m e l a k u k a n a n a l i s i s , mengklasifikasikan, menafsirkan atau menilai, dan 79
Karakter Siswa Indonesia
mengkritisi suatu karya/produk atau kondisi. 5. Kemandirian (Independence, Entrepreneurship): mampu memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain. 6. Disiplin Diri (Self Discipline): mampu mengontrol dan mengendalikan tindakan, perilaku, dan kebiasaan. Nilai Kepedulian (Careness, Attentiveness): memperlakukan orang lain dengan penuh kebaikan dan kedermawanan, peka terhadap perasaan orang lain, siap membantu orang yang membutuhkan pertolongan, tidak pernah berbuat kasar dan menyakiti hati orang lain, peduli pada lingkungan. Nilai turunannya sebagai berikut. 1. Suka Membantu (Helpful): sikap dan sifat siap membantu orang lain yang memerlukan pertolongan. 2. Sadar akan kewarganegaraan (Citizenship): bertindak sebagai warga negara yang baik, bertanggungjawab terhadap yang terjadi di sekelilingnya, berpartisipasi dalam kegiatan pelayanan masyarakat dan pembangunan, peduli alam dan lingkungan, memperlakukan orang lain dengan hormat, mengikuti aturan keluarga, norma masyarakat, dan taat pada hukum negara. 3. Memiliki komitmen (Commitment): secara emosional, fisik, dan intelektual merasa terikat pada suatu kewajiban dan ada panggilan jiwa yang kuat untuk melaksanakannya. 4. Kesetaraan (Equality) : menyadari adanya hak dan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi seseorang sebagai umat manusia. 5. Suka memberi maaf (Forgiveness): menghapus semua ingatan akan kesalahan orang lain dan mudah memberi maaf. 6. Toleransi (Tolerance): menerima dan menghargai perbedaan di segala hal (budaya, ras, agama, kelas ekonomi, golongan, warna kulit, dll). 7. Kepekaan (Sensitivity): menggunakan seluruh panca indra untuk menilai dan menyikapi orang lain, menjaga hati, dalam 80
Karakter Siswa Indonesia
situasi apapun. 8. Menghargai (Respect) : menghargai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, tahu adab (beradab), tidak melecehkan dan menghina orang lain, tidak menilai orang lain sebelum mengenalnya dengan baik. 9. Sikap berhemat (Thriftiness): hanya berbelanja untuk sesuatu yang benar-benar diperlukan, tidak boros. 10.Keadaban (Civility, Manner): memiliki sifat dan sikap santun, berlandaskan etika dan tata krama yang berterima di situasi dan lingkungan apapun. 11.Patriotisme (Patriotism): cinta dan siap mengabdi pada negara dan peduli pada pertahanan negara, rela berkorban demi negara. 12.Demokratis (Democratic): menghargai pendapat orang lain, toleran, terbuka, mengedepankan musyawarah untuk mufakat, bilamana perlu melakukan pemungutan suara (voting) untuk kepentingan rakyat, bukan semata-mata kepentingan pribadi dan golongan, taat aturan main. 13.Ketepatan waktu (Punctuality, Sense ofTime): melakukan segala sesuatu secara tepat, menghargai (tidak menyia-nyiakan) waktu, tidak suka terlambat, bertindak efektif dan efisien. 14.Kelembutan Hati (Kind-heartedness): menomorduakan hakhak personal dan harapan-harapan pribadi, mengutamakan melayani orang lain. 15.Rasa Humor (Sense of Humor): suka bercanda dan bermainmain tanpa mengganggu orang lain, mudah tertawa, dan berjiwa periang. 16.Kebanggaan (Pride): merasa puas dan bangga atas diri dan hasil kerja yang baik. 17.Kebersamaan (Togetherness): perasaan kedekatan dan saling mengasihi dalam kesatuan dengan orang lain, mampu melakukan harmonisasi sumber daya yang dimiliki masingmasing orang, mampu bekerjasama. 81
Karakter Siswa Indonesia
Nilai Ketangguhan (Tenacity, Toughness): sukar dikalahkan dan tidak mudah menyerah dalam mewujudkan cita-cita atau mencapai suatu tujuan. Nilai turunan dari nilai tangguh sebagai berikut. 1. Ketegasan (Assertiveness): kualitas yang menunjukkan ketegasan, kemampuan mengekspresikan emosi dan kebutuhan pribadi dengan penuh percaya diri, berani, terutama dalam mempertahankan hak-hak pribadi dan mendudukkan hak-hak orang lain tanpa bertindak agresif. 2. Keberanian (Caurage): teguh memegang atau menjalankan kebenaran, berani, bernyali, tidak takut pada tekanan negatif, tidak takut gagal, tidak takut menyuarakan suara hati, dan berani berbuat karena benar. 3. Kehati-hatian (Cautiousness): bersikap cermat, teliti dalam bertindak, dan penuh kehati-hatian. 4. Daya Upaya (Effort): berusaha sebaik-baiknya, berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. 5. Suka Berkompetisi (Competitiveness): berjiwa petarung, suka terlibat atau berpartisipasi dalam kompetisi/kontes. 6. Dinamis (Dynamic): menggunakan kekuatan sosial, kekuatan moral, dan kekuatan intelektual untuk menciptakan perubahan dan keluar dari situasi rutin tertentu. 7. Beretos Kerja (Work Ethic): memiliki kebiasaan kerja yang baik, taat aturan, mencapai target, menciptakan atmosfer yang produktif dan menyenangkan. 8. Sifat Tegas dan Yakin (Desiciveness): memiliki kekuatan untuk memutuskan, tidak ragu-ragu, dan siap menghadapi risiko. 9. Antisipatif (Being anticipative): mempersiapkan diri atas segala sesuatu sebelum terjadi. 10.Rajin (Being diligent): memusatkan tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan tugas-tugas, tidak malas, memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Pembahasan hasil temuan akan mengacu pada konsep Thomas Lickona, yaitu apakah nilai karakter sekadar diketahui oleh siswa 82
Karakter Siswa Indonesia
(knowing), atau sudah dirasakan/dihayati kebutuhannya (feeling), atau bahkan sudah diwujudkan dalam tindakan (action) nyata sehari-hari? Sebagai sebuah karya penelitian, tentu ada sampel yang mewakili sasaran penelitian. Populasi penelitian adalah siswa-siswa SD, SMP, SMA, dan SMK se-Indonesia. Sampelnya adalah 45 wilayah di Indonesia, mulai dari Jayapura di ujung Timur sampai ke Banda Aceh di ujung Barat. Berbagai pulau dan wilayah kepulauan di Indonesia terwakili, mulai dari Papua, Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa, Kalimantan, dan sampai Sumatera. Buku ini hanya menarasikan laporan atas temuan di sebagian wilayah penelitian yang dianggap mewakili daerah-daerah dengan budaya yang unik. Faktor ketersebaran geografis, keragaman tradisi, serta kelengkapan data, turut menentukan pilihan wilayah yang dinarasikan dalam buku ini. Laporan ini dilandasi temuan penelitian di sekolah sasaran dengan responden guru, kepala sekolah, dan atau staf yang ditunjuk. Jumlah responden bervariasi dan bergantung kebijakan sekolah. Resminya, hanya diperlukan satu orang responden, namun mengingat berbagai instrumen seperti daftar cek, wawancara, dan isian hasil observasi, secara faktual peneliti didampingi 2–4 responden. Jika ratarata tiap sekolah menyediakan 2 responden, untuk 4 jenis satuan pendidikan yang diteliti (SD,SMP, SMA, dan SMK), setiap peneliti didampingi 8 orang responden. Jika hal itu dikalikan dengan 45 daerah penelitian, responden yang mendampingi semua peneliti (sekitar 120 peneliti) adalah 360 orang. Kajian atas tingkat pengetahuan (knowing), perasaan/ penghayatan (feeling), dan tindakan/perilaku (action) nilai-nilai karakter siswa pada setiap satuan pendidikan di Indonesia ini didasarkan pada analisis hasil penelitian. Temuan berupa persentase pilihan jawaban responen atas pertanyaan di daftar cek (check list) berasal dari informasi yang disampaikan oleh peneliti. Sebetulnya, esensi daftar cek adalah angket, namun karena kerumitan masalah yang diteliti, responden dimungkinkan hanya memberikan afirmasi atau negasi atas pertanyaan surveyor. Sambil mendengarkan jawaban responden, surveyor 83
Karakter Siswa Indonesia
memberi tanda cek pada kolom jawaban yang sesuai jawaban responden, serta mengisi jawaban responden atas pertanyaan terbuka, sesuai kondisi yang ada di sekolah. Cek dilakukan di kolom yang disediakan. Patut pula diketahui, walau para peneliti diterjunkan ke daerah penelitian selama rata-rata lima hari, namun daerah sasaran adalah ibukota kabupaten/kota, agar waktu tidak terbuang di perjalanan. Selama lima hari di lapangan, setiap tingkat satuan pendidikan (SD, SMP, SMA, dan SMK) mendapat kesempatan diobservasi dalam satu hari, dan satu hari lagi diluangkan untuk kegiatan diskusi terpandu. Nilai Karakter Siswa SD Secara umum, pengetahuan (moral knowing) akan nilai-nilai karakter siswa di Indonesia mulai dari SD, SMP, sampai SMA/SMK terentang pada skala sedang sampai baik, dengan kecenderungan tinggi ke baik. Namun, perasaan atau penghayatan akan moral yang baik (moral feeling) ternyata rendah. Posisi itu kemudian menyebabkan rendahnya tindakan/aksi moral yang baik (moral action). Ada sejumlah kemungkinan penyebabnya. Salah satunya, kebanyakan anak masih merasa bahwa nilai-nilai tersebut sebagai kewajiban yang harus dihafal karena tuntutan orangtua dan guru. Mereka belum merasakan manfaat atau perlunya penerapan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan seharihari. Mereka belum menganggap penerapan nilai-nilai tersebut sebagai kebutuhan dan landasan bagi perkembangan hidupnya di masa depan. Kecuali itu, ada temuan menarik saat diskusi terpandu di Kota Makassar. Pada akhir diskusi, para peserta diskusi menyatakan bahwa sebenarnya agama, budaya, dan tradisi sudah dan selalu mengembangkan karakter jujur, cerdas, peduli, dan tangguh. Namun akhir-akhir ini, oleh pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi (melalui TV, internet, film layar lebar), seluruh nilai inti karakter yang dibangun dan dikembangkan menjadi terdistorsi. Muncullah yang oleh peserta diskusi disebut krisis moral. Situasi itulah yang menajamkan kondisi bahwa nilai karakter cuma sekadar dikenal/diketahui (moral knowing), bukan dirasakan (moral 84
Karakter Siswa Indonesia
feeling) atau dilaksanakan (moral action). Benar tidaknya asumsi tersebut masih memerlukan penelitian tersendiri. Sejumlah nilai-nilai karakter yang berkembang cukup baik di kalangan siswa SD pada tataran ‘pengetahuan’ adalah sebagai berikut. 1. Dari nilai inti jujur: ketulusan hati, keimanan dan kepercayaan, dan menghargai diri sendiri. 2. Dari nilai inti cerdas: analitik, pemecah masalah, kreativitas, dan disiplin diri. 3. Dari nilai inti peduli: suka membantu, kewarganegaraan, komitmen, kesetaraan, kepekaan, suka menghargai, keadaban, patriotisme, demokratis, rasa humor, kebanggaan, dan kebersamaan. 4. Dari nilai inti tangguh: ketegasan, keberanian, kehatihatian, dinamis, dan beretos kerja. Selanjutnya, di bawah ini adalah perkembangan nilai-nilai karakter siswa yang patut menjadi fokus dalam pengembangan pendidikan karakter, karena ditemukan kurang memuaskan, baik pada tataran moral knowing, moral feeling, maupun moral action. Nilai Karakter Siswa SD Se-Indonesia Nilai Inti Jujur Pada tataran pengetahuan, ditemukan bahwa umumnya pengetahuan siswa SD di Indonesia tentang nilai kejujuran dan nilai turunannya sangat tinggi. Nilai turunan kejujuran yang banyak diketahui oleh para siswa SD adalah rasa tanggung jawab, keimanan dan kepercayaan, ketulusan hati, dan menghargai diri sendiri. Pengetahuan tentang nilai amanah dan sportivitas masih rendah. Pada tataran moral feeling, ternyata hasilnya menunjukkan hal yang bertolak belakang, yakni, nilai-nilai karakter amanah dan sportivitas relatif lebih baik. Sementara itu, nilai karakter rasa tanggung jawab, keimanan dan kepercayaan, ketulusan hati, serta menghargai diri sendiri justru menurun. Siswa-siswa SD tahu tapi belum merasakan pentingnya karakter 85
Karakter Siswa Indonesia
tulus hati, beriman, dan menghargai diri sendiri. Di lain sisi, setelah berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat di luar lingkup keluarganya, siswa mulai merasakan perlunya bersifat amanah dan bersikap sportif, karena ada semacam sanksi sosial bila tidak melaksanakannya. Apakah pengetahuan dan perasaan tersebut kemudian diwujudkan dalam tindakan nyata (action) dalam kehidupan sehari-hari? Nilai umumnya antara rendah dan moderat. Patut dicatat, di tataran tindakan, nilai karakter tanggung jawab amat dominan rendah. Hal itu dapat dimaknai bahwa siswa SD di Indonesia belum mampu mempertanggungjawabkan tindakannya dengan baik. Nilai amanah yang sudah dirasakan perlu, tampak mulai ditindaklanjuti dengan tindakan nyata, walaupun belum optimal. Nilai Inti Cerdas Pada tataran pengetahuan, ditemui bahwa umumnya siswa SD tahu/memahami nilai kecerdasan. Nilai turunan dari nilai inti cerdas yang bertingkat sangat tinggi (paling diketahui oleh siswa) adalah disiplin diri (untuk belajar, mengerjakan tugas-tugas, dan sebagainya). Pengetahuan mengenai nilai karakter pemecah masalah (problem solver) bertingkat sedang. Nilai karakter kuriositas (rasa ingin tahu) dan kreativitas bertingkat cukup. Pengetahuan akan nilai karakter kritis dan analitis berada pada tingkat sedang. Yang patut menjadi perhatian adalah belum optimalnya pengetahuan tentang nilai kemandirian. Pada tataran selanjutnya, apakah pengetahuan tentang karakter yang baik itu telah dirasakan kepentingannya (moral feeling) oleh siswa SD, hasilnya menunjukkan hal yang bertolak belakang. Seluruh nilai turunan dari kecerdasan, mulai dari analitis, pemecah masalah, kuriositas, kreativitas, kritis, kemandirian, dan disiplin diri, berada pada tingkat yang rendah (kurang dirasakan/dihayati).Agaknya siswasiswa SD belum merasakan atau memahami gunanya memiliki kecerdasan bagi hidup mereka di masa depan. Mereka belajar dengan baik bukan karena ingin menjadi cerdas, melainkan hanya menuruti perintah orangtua atau guru di sekolah. Mereka tahu bahwa cerdas itu baik, tapi belum merasakan kegunaannya. Nilai turunan yang paling 86
Karakter Siswa Indonesia
bertingkat rendah dirasakan siswa adalah nilai kritis dan kemandirian. Di tataran tindakan nyata (moral action), setiap nilai turunan dari nilai cerdas juga bertingkat rendah (kurang dilaksanakan). Karena tidak merasakan kegunaan menjadi cerdas, agaknya siswa SD tidak juga menerapkan tindakan-tindakan yang mendukung nilai cerdas. Nilai turunan yang paling rendah tingkat pelaksanaannya dan patut menjadi perhatian guru adalah daya kritis. Memang anak usia SD mungkin belum terbiasa kritis, namun para guru dapat mulai menanamkan p e n g e r t i a n t e n t a n g p e r l u ny a n i l a i k r i t i s d a n c a r a mengimplementasikannya (tindakan sifat kritis) sejak level pendidikan dasar ini. Nilai Inti Peduli Pada umumnya pengetahuan siswa SD tentang nilai peduli dan nilai turunannya sangat tinggi, terutama pada nilai suka membantu dan demokratis. Pengetahuan tentang nilai kesetaraan, kepekaan, suka menghargai, dan kelembutan hati, cukup tinggi. Yang patut menjadi perhatian adalah kurang diketahuinya nilai kesadaran akan kewarganegaraan. Siswa SD juga kurang mengetahui perihal nilai memaafkan, toleran, berhemat, tahu keadaban, patriotis, dan menghargai serta tepat waktu. Pada tataran perasaan, umumnya siswa SD malah kurang merasakan/menghayati pengetahuan tentang nilai karakter peduli. Hampir seluruh nilai turunan dari nilai kepedulian, kecuali nilai suka membantu, berada pada tingkat yang rendah. Siswa SD belum merasakan makna peduli kepada sesama. Nilai turunan yang paling rendah adalah mudah memberi maaf, mengerti keadaban, lembut hati, dan rasa bangga. Karena rendahnya perasaan tentang nilai kepedulian, tindakan nyata (moral action) nilai turunan dari nilai peduli pada umumnya rendah, kecuali nilai karakter suka membantu. Perlu menjadi perhatian guru adalah masih rendahnya tindakan nyata dari karakter mudah memaafkan, tahu keadaban, menghargai orang lain, dan berhemat. 87
Karakter Siswa Indonesia
Nilai IntiTangguh Keculai nilai karakter yakin (percaya diri), antisipatif, dan rajin, pengetahuan siswa SD tentang nilai ketangguhan dan nilai turunannya sebagian besar tinggi. Ketiga nilai yang rendah diketahui oleh para siswa ini patut menjadi perhatian guru dan orangtua. Namun, di tataran merasakan (moral feeling), kembali ditemukan hal yang bertolak belakang. Seluruh nilai turunan dari nilai ketangguhan berada pada tingkat yang rendah (kurang dirasakan) dan nilai sifat yakin, antisipatif, rajin, yang paling rendah (hampir tidak dirasakan). Dalam tataran tindakan nyata (moral action), setiap nilai turunan dari nilai ketangguhan di tingkat rendah. Terletak pada garis lurus paling rendah -mulai dari tataran pengetahuan, perasaan, sampai pada tindakan (action)- adalah sifat yakin (percaya diri), antisipatif, dan rajin. Nilai Karakter Siswa SMP Se-Indonesia Nilai Inti Jujur Moral knowing atau pengetahuan para siswa SMP tentang nilai kejujuran dan nilai turunannya berada pada tingkat tinggi. Bahkan, nilai ketulusan hati sangat tinggi. Nilai turunan kejujuran yang banyak diketahui oleh para siswa SMP adalah rasa tanggung jawab, keimanan dan kepercayaan, dan penghargaaan pada diri sendiri. Yang patut menjadi perhatian adalah rendahnya pengetahuan tentang nilai amanah dan sportivitas. Apakah pengetahuan tentang karakter yang baik itu dirasakan kepentingannya? Pada umumnya siswa SMP menunjukkan hal yang kurang konsisten. Bahkan, pada nilai ketulusan hati, hasilnya cenderung bertolak belakang. Hanya nilai karakter bertanggung jawab yang cenderung naik (diketahui, kemudian dirasakan/dihayati). Uniknya, nilai karakter amanah dan sportivitas relatif lebih baik pada tataran perasaan dibanding pada tataran pengetahuan. Hal itu dapat diartikan, mereka tanpa memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai itu, tetap saja dapat merasakannya. Justru nilai-nilai turunan yang tadinya baik di tataran pengetahuan (keimanan dan kepercayaan, ketulusan hati, menghargai diri sendiri) menurun pada tataran perasaan (kurang 88
Karakter Siswa Indonesia
dihayati). Siswa SMP belum merasakan perlunya bersikap tulus hati, menikmati indahnya iman dan kepercayaan, dan pentingnya menghargai diri sendiri. Di lain pihak, kontaknya dengan lingkungan dan masyarakat membuat mereka mulai merasakan perlunya bersifat amanah dan bersikap sportif, yang di tataran ini nilainya bergeser menjadi moderat. Perwujudan dari pengetahuan dan perasaan tersebut dalam tindakan nyata (action) sehari-hari, khususnya pada nilai ketulusan hati, berada pada tingkat tinggi. Nilai lainnya bervariasi pada tataran moderat. Hal yang patut dicatat, seperti di tingkat SD, nilai karakter tanggung jawab amat dominan bertingkat rendah. Apakah ini berarti siswa-siswa SMP di Indonesia belum mampu bertanggungjawab atas tindakannya? Yang menggembirakan, nilai amanah yang diam-diam dirasakan perlunya, mulai ditindaklanjuti dengan tindakan nyata, walau belum optimal. Nilai Inti Cerdas Pada umumnya pengetahuan siswa SMP tentang nilai kecerdasan dan nilai turunannya hanya tinggi pada nilai disiplin diri (untuk belajar, mengerjakan tugas-tugas dan sebagainya) dan nilai kreativitas. Yang berada pada tingkat tinggi adalah pengetahuan tentang nilai karakter pemecah masalah (problem solver). Nilai turunan kecerdasan yang bergerak pada tataran moderat (sedang) adalah pada nilai analitis, kritis, dan mandiri. Di tataran perasaan dan penghayatan (moral feeling), terjadi hal yang bertolak belakang. Seluruh nilai turunan dari kecerdasan mulai dari analitis, pemecah masalah, kuriositas, kreativitas, daya kritis, kemandirian, berada pada tingkat yang rendah–kurang dihayati. Hanya penghayatan atas nilai disiplin diri, bergerak ke arah moderat dan tinggi. Dapat dimaknai, siswa-siswa SMP belum merasakan atau benar-benar memahami gunanya memiliki kecerdasan bagi masa depan mereka. Mereka belajar dengan baik hanya karena menuruti perintah orangtua atau gurunya di sekolah. Namun, mereka telah menyadari perlunya membiasakan berdisiplin. Dalam tataran tindakan nyata (moral action), akibat rendahnya 89
Karakter Siswa Indonesia
perasaan tentang nilai kecerdasan, penerapan atau pelaksanaan dari setiap nilai turunannya, juga berada pada tingkat rendah, bahkan termasuk nilai disiplin diri–yang tercatat cukup tinggi di tataran perasaan. Patut dicemaskan, bahwa siswa SMP di Indonesia masih rendah sifat kemandiriannya. Nilai Inti Peduli Pengetahuan siswa SMP di Indonesia tentang nilai peduli dan nilai turunannya sangat tinggi, terutama pada nilai karakter suka membantu, peka, demokratis, dan semangat kebersamaan. Terlihat bahwa nilai demokratis sudah mulai tumbuh di level SMP. Bisa jadi, hal itu ada kaitannya dengan kenyataan bahwa yang mengajar mereka bukan lagi guru kelas. Tidak ada lagi guru kelas yang dominan. Pengetahuan tentang sifat demokratis itu juga tumbuh karena di usia pancaroba, siswa mulai terbiasa bermusyawarah, misalnya melalui rapat atau program OSIS. Yang berada pada tingkat tinggi juga adalah pengetahuan tentang nilai komitmen, kesetaraan, dan rasa bangga.Yang kurang diketahui adalah nilai kesadaran kewarganegaraan, perlunya memberi maaf, toleransi dan penghargaan pada orang lain, sifat hemat, keadaban, patriotisme, penghargaan atas waktu, kelembutan hati, dan rasa humor. Patut menjadi perhatian adalah rendahnya nilai karakter hemat. Hal tersebut menunjukkan gejala konsumtif mulai merasuki anak usia SMP. Pada tataran perasaan (moral feeling), ditemukan hasil yang bertolak belakang. Seluruh nilai turunan dari nilai inti kepedulian berada pada tingkat yang rendah. Perlu menjadi perhatian, apakah siswa SMP belum merasakan/memahami makna peduli kepada sesama? Nilai turunan yang paling rendah adalah dalam hal memberi maaf, keadaban, dan kelembutan hati. Rendahnya nilai kelembutan hati inilah, yang dapat menjadi potensi perkelahian dan tawuran antarpelajar serta pemalakan (bullying) di kalangan anak-anak sekolah. Pemahaman tentang karakter atau moral yang baik itu, pada gilirannya akan diwujudkan dalam tindakan nyata (moral action). Karena perasaan tentang perlunya karakter peduli rendah, nilai turunannya juga rendah 90
Karakter Siswa Indonesia
dalam pelaksanaan. Hanya nilai kepekaan dan demokratis yang cenderung ke arah tinggi, sementara nilai toleransi dan ketepatan waktu, bernilai sedang. Nilai IntiTangguh Pada tataran pengetahuan moral (moral knowing), pengetahuan siswa SMP di Indonesia tentang nilai ketangguhan dan nilai turunannya sebagian besar tinggi, kecuali nilai yakin (percaya diri), antisipatif, dan rajin. Ketiga nilai yang rendah itu patut menjadi perhatian, apalagi hal itu juga terjadi pada siswa SD. Keberlanjutan rendahnya pengetahuan akan tiga nilai karakter tersebut dari jenjang SD ke SMP, perlu segera dicarikan solusinya. Apakah pengetahuan tentang moral yang baik itu juga dirasakan kepentingannya oleh para siswa SMP? Lagi-lagi, ditemukan hal yang bertolak belakang. Seluruh nilai turunan dari nilai ketangguhan berada pada tingkat yang rendah. Sejalan dengan rendahnya moral knowing, sifat yakin, antisipatif, dan rajin juga paling rendah dirasakan. Di tataran tindakan nyata (moral action), setiap nilai turunan dari nilai ketangguhan juga rendah. Terletak pada garis lurus yang rendah-mulai dari tataran pengetahuan, perasaan, sampai pada tindakan (action)adalah nilai sifat yakin, antisipatif, dan rajin.
Nilai-Nilai Karakter Siswa SMA Se-Indonesia Nilai Inti Jujur Siswa SMA di Indonesia telah memasuki jenjang usia remajadewasa, sehingga akan menarik sekali mengetahui perkembangan pengetahuan, perasaan, dan tindakan nyata mereka tentang moral dan karakter yang baik. Pengetahuan mereka tentang nilai kejujuran dan nilai turunannya yang tergolong tinggi adalah dalam hal ketulusan hati, keimanan dan kepercayaan, serta rasa tanggung jawab. Perhatikan bahwa nilai rasa tanggung jawab sudah menjadi tinggi di level SMA, setelah di level sebelumnya (SD-SMP) nilainya selalu rendah atau sedang. 91
Karakter Siswa Indonesia
Nilai karakter amanah (dapat dipercaya) berada pada tingkatan cukup. Kondisi itu juga menandakan sebuah perkembangan yang baik, karena pada level SD dan SMP, pengetahuan tentang nilai amanah bertingkat rendah. Yang patut menjadi perhatian adalah belum optimalnya pengetahuan tentang nilai menghargai diri sendiri dan nilai sportivitas. Pada tataran moral feeling, umumnya siswa SMA belum merasakan dan menghayati yang telah diketahui tentang nilai-nilai karakter kejujuran. Siswa SMA belum merasakan perlunya tulus hati, beriman dan bertakwa, menghargai diri sendiri, dan amanah. Yang patut menjadi perhatian adalah nilai sportivitas yang amat rendah. Sekali lagi, jangan-jangan rendahnya nilai sportivitas di kalangan remaja SMA ini juga berpotensi memicu perkelahian atau tawuran yang belakangan semakin marak. Kalau sombong, mereka mentangmentang; kalau kalah, mereka akan marah. Itulah perilaku tidak sportif yang harus diperbaiki. Agak mencemaskan, ketika dalam tindakan nyata (action) seharihari, pergerakan setiap nilai karakter umumnya bertingkat rendah. Karena pengetahuan dan perasaan tentang nilai karakter sportif amat rendah, siswa SMA tampak belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya (rendah rasa tanggung jawabnya), dan tidak sportif dalam menghadapi situasi tertentu. Sangat memprihatinkan, rendahnya karakter bertanggung jawab itu terjadi sejak SD dan SMP di Indonesia. Di level SMA, belum ada perbaikan. Nilai Inti Cerdas Pada tataran pengetahuan moral (moral knowing), umumnya pengetahuan siswa SMA tentang nilai kecerdasan dan nilai turunannya sangat tinggi untuk nilai karakter disiplin diri (untuk belajar, mengerjakan tugas-tugas dan sebagainya) dan kreativitas. Pengetahuan tentang nilai karakter pemecah masalah (problem solver) cukup tinggi. Yang masih rendah adalah pengetahuan tentang nilai karakter kuriositas (ingin tahu), daya analitis, daya kritis, dan kemandirian. Pada tataran moral feeling, seluruh nilai turunan dari nilai 92
Karakter Siswa Indonesia
kecerdasan umumnya berada pada tingkat yang rendah. Beberapa pada tataran sedang. Tampaknya siswa SMA belum merasakan atau benarbenar memahami gunanya memiliki kecerdasan bagi hidup mereka di masa depan. Namun, mereka menyadari perlunya disiplin diri agar diterima di masyarakat. Agak mengherankan bahwa nilai turunan yang paling rendah dihayati adalah nilai daya kritis dan kemandirian. Dengan tingkat pengetahuan dan penghayatan seperti tersebut, tindakan nyata (moral action) dari nilai karakter kecerdasan dan nilai turunannya menjadi rendah. Hanya, konsisten dengan moral feeling-nya yang cukup tinggi, pelaksanaan disiplin diri juga cukup tinggi. Paling rendah angka tindakan nyatanya adalah sikap kritis dan mandiri. Kita mencatat bahwa di level SMP, sudah muncul daya kritis siswa Indonesia, namun di level SMA, karakter itu menyurut lagi. Patut dicemaskan juga bahwa hingga level SMA, anak-anak Indonesia masih belum merasakan perlunya sifat mandiri. Nilai Inti Peduli Pada tataran pengetahuan moral (moral knowing), pengetahuan siswa SMA tentang nilai peduli dan nilai turunannya yang sangat tinggi pada nilai suka membantu, peka, dan demokratis. Yang cukup tinggi adalah nilai kesadaran kewarganegaraan, perlunya komitmen, kesetaraan, penghargaan pada orang lain, kelembutan hati, dan rasa humor. Yang kurang diketahui adalah nilai karakter pemaaf, toleransi, sikap hemat, keadaban, patriotisme, dan ketepatan waktu. Sangat perlu menjadi perhatian adalah nilai karakter hemat, yang nilainya paling rendah. Di level SMA, pengetahuan akan sifat hemat semakin menurun jika dibandingkan dengan level SMP. Bisa jadi, hal itu akibat usia mereka yang semakin konsumtif dan godaan gaya hidup yang mengitari mereka. Pada tataran moral feeling, hampir seluruh nilai turunan dari nilai kepedulian berada pada tingkat yang rendah, beberapa pada tingkat sedang, hanya satu nilai berada pada tingkat yang tinggi, yakni sifat demokratis. Mungkin praktik demokrasi dalam pemilihan ketua kelas serta ketua OSIS, kesempatan berkampanye bagi para kandidat, 93
Karakter Siswa Indonesia
pemilihan umum secara langsung dan terbuka, berpengaruh besar pada perasaan dan penghayatan siswa tentang makna demokrasi. Sayangnya, mereka paling rendah dalam nilai karakter toleransi, keadaban, dan ketepatan waktu. Pada tataran perwujudan pengetahuan dan penghayatan nilai karakter yang baik, mayoritas nilai turunan terlaksana di tingkat rendah. Hanya nilai karakter demokratis yang cenderung ke tinggi, dan beberapa bergeser ke sedang. Nilai yang paling rendah diterapkan oleh siswa adalah sifat toleran, tahu akan keadaban, dan menghargai (ketepatan) waktu. Nilai IntiTangguh Pada umumnya pengetahuan siswa SMA tentang nilai ketangguhan dan nilai turunannya adalah tinggi, kecuali pada nilai sifat yakin, antisipatif, dan rajin. Ketiga nilai yang rendah ini patut menjadi perhatian, karena membentuk suatu garis lurus di level rendah dengan karakter siswa SD dan SMP. Hal tersebut berarti tidak ada perkembangan yang positif dari nilai karakter yang masih dirasakan kurang. Sementara itu, sesuai psikologi perkembangan usia siswa SMA, nilai karakter yang dominan adalah keberanian dan suka berkompetisi (kompetitif). Namun, siswa SMA tidak sungguh-sungguh merasakan dan menghayati pengetahuannya tentang nilai karakter yang baik. Kecuali nilai ketegasan dan keberanian yang cukup tinggi, sebagian besar nilai turunan dari nilai ketangguhan masih rendah, bahkan nilai sifat yakin, antisipatif, dan rajin paling rendah. Selanjutnya, di tataran tindakan nyata (moral action), kecuali nilai keberanian, umumnya penerapan nilai turunan yang lain berada pada tingkat rendah.Terletak pada garis lurus yang rendah mulai dari pengetahuan, perasaan, dan tindakan adalah nilai sifat yakin, antisipatif, dan rajin. Patut dicatat bahwa karakter yang paling menonjol di kalangan siswa SMA adalah berani. Menilik hubungan pada aspek yang sama di tingkat SD dan SMP, perlu perhatian ekstra dalam implementasi pendidikan karakter terkait rendahnya sikap yakin, antisipatif, dan rajin. 94
Karakter Siswa Indonesia
Nilai-Nilai Karakter Siswa SMK Se-Indonesia Nilai Inti Jujur Siswa SMK tentu memiliki kekhasan dibandingkan dengan siswa SMA pada umumnya. Kekhasan kurikulum dan atmosfer belajar tentu mempengaruhi dan mewarnai perkembangan karakter mereka. Pada tataran pengetahuan moral (moral knowing yang identik dengan character knowing), misalnya, pengetahuan siswa SMK tentang nilai kejujuran dan nilai turunannya berada pada tingkat tinggi. Bahkan, pengetahuan akan sikap tanggung jawab sangat tinggi. Mungkin hal itu terkait tugas-tugas keseharian yang harus mereka pertanggung-jawabkan (hasil kerja praktik). Nilai turunan dari nilai kejujuran yang paling banyak diketahui oleh para siswa SMK adalah rasa tanggung jawab, kemudian keimanan dan kepercayaan. Patut menjadi perhatian adalah rendahnya pengetahuan tentang nilai amanah dan nilai sportivitas. Pada tataran moral feeling, umumnya siswa SMK belum merasakan cara untuk tulus hati, menikmati indahnya iman dan kepercayaan, menghargai diri sendiri, berperilaku amanah, dan sportif. Nilai sportivitas mereka amat rendah di tataran perasaan/penghayatan. Kondisi itu dapat menjadi catatan dalam atmosfer sekolah kejuruan yang diwarnai kompetisi, kontes, dan rivalitas. Guru harus pandaipandai mengendalikan situasi dan emosi para peserta didiknya, baik saat kalah maupun menang dalam lomba atau pertandingan. Apakah pengetahuan dan perasaan tersebut kemudian diwujudkan dalam tindakan nyata (action)? Terlihat bahwa pergerakan setiap nilai umumnya antara rendah dan moderat. Hal yang patut dicatat, nilai karakter rasa tanggung jawab amat dominan rendah, yakni 0% pada tataran tinggi. Padahal, bukankah di tataran pengetahuan, rasa tanggung jawab nilainya sangat tinggi dalam bilik pengetahuan siswa SMK? Mengapa pada tataran praktik/aksi, menjadi 0%? Perlu diperhatikan juga rendahnya nilai sportivitas dan nilai amanah. Apakah rendahnya nilai amanah ini berkaitan dengan tugas-tugas yang berat sehingga anak-anak melakukan kecurangan (mencontek atau tugas dikerjakan orang lain)? 95
Karakter Siswa Indonesia
Nilai Inti Cerdas Hampir senada dengan hasil temuan pada satuan pendidikan SD, SMP, dan SMA, pada tataran pengetahuan moral (moral knowing yang identik dengan character knowing) pengetahuan siswa SMK tentang nilai kecerdasan dan nilai turunannya, yang tinggi hanya pada nilai kreativitas. Boleh dikatakan bahwa anak-anak Indonesia (SD, SMP, SMA/SMK) adalah anak-anak yang kreatif. Pengetahuan mereka juga cukup tinggi pada nilai karakter pemecah masalah (problem solver) dan disiplin diri. Patut menjadi perhatian adalah rendahnya pengetahuan tentang nilai karakter kritis. Memprihatinkan, ketika pada tataran moral feeling (pengetahuan yang dirasakan dan dihayati), ternyata seluruh nilai turunan dari nilai kecerdasan (analitis, pemecah masalah, kuriositas, kreativitas, kritis, kemandirian, dan disiplin diri) berada pada tingkat yang rendah. Dalam tindakan nyata (moral action), nilai kecerdasan dan turunannya juga rendah, dan yang paling rendah adalah penerapan sifat kritis dan mandiri. Nilai Inti Peduli Pada tataran pengetahuan tentang nilai kepedulian, siswa SMK memiliki pengetahuan yang tinggi dalam hal sifat suka membantu, peka, dan demokratis. Pengetahuan tentang karakter demokratis yang tinggi bisa jadi terbentuk dari kebiasaan dalam musyawarah OSIS. Pengetahuan tentang sifat penolong dan peka pada kondisi orang lain terbentuk dari seringnya terjadi bencana alam dan musibah di Indonesia, yang membuat mereka berempati. Nilai yang cukup tinggi ditemukan pada pengetahuan tentang nilai komitmen, kesetaraan, dan kebersamaan. Patut menjadi perhatian adalah kurangnya pengetahuan tentang nilai kewarganegaraan, memberi maaf, toleransi, sikap berhemat, keadaban, patriotisme, ketepatan waktu, rasa humor, dan kebanggaan. Seperti rekan-rekannya di SMA, pengetahuan tentang hemat nilainya paling rendah. Pada tataran moral feeling, seluruh nilai turunan dari nilai kepedulian berada pada tingkat yang rendah. Maknanya, siswa-siswa 96
Karakter Siswa Indonesia
SMK belum merasakan atau benar-benar memahami perlunya peduli pada sesamanya. Nilai turunan yang paling rendah dirasakan siswa adalah nilai suka memberi maaf, menghargai orang lain, keadaban, dan kelembutan hati. Dalam kaitan pengetahuan dan perasaan tersebut kemudian diwujudkan dalam tindakan nyata (moral action), penerapan nilai peduli dan nilai turunannya pada umumnya rendah. Paling rendah adalah sifat memberikan maaf, keadaban, dan kelembutan hati. Nilai IntiTangguh Pengetahuan siswa SMK tentang nilai ketangguhan dan nilai turunannya sebagian besar cukup tinggi, kecuali pada nilai daya upaya (effort), sifat yakin, antisipatif, dan rajin. Ada hal yang menarik di sini. Pada siswa SMK, pengetahuan tentang nilai daya upaya (effort) rendah, padahal sifat pembelajaran mereka adalah menumbuhkan dan membiasakan semangat berwirausaha. Secara umum, keempat nilai yang rendah diketahui oleh siswa SMK ini patut menjadi perhatian. Seluruh nilai turunan dari nilai ketangguhan, pada tataran dirasakan atau dihayati, berada pada tingkat yang rendah. Penghayatan akan sifat yakin, antisipatif, dan rajin paling rendah. Dalam tindakan nyata (moral action), nilai ketangguhan dan nilai turunannya masih rendah penerapannya.Terletak pada garis lurus yang rendah mulai dari tataran pengetahuan, perasaan, dan tindakan (action) adalah nilai sifat yakin, antisipatif, dan rajin. Nilai Karakter Siswa diTiapWilayah Pengertian wilayah di sini adalah wilayah yang memiliki kemiripan secara kultural. Berdasarkan fakta, kemiripan kultur biasanya berkaitan dengan domisili suatu ras atau suku bangsa di suatu pulau. Oleh karena itu, pembahasan karakter siswa di bagian ini berpedoman pada kepulauan di Indonesia, dalam hal ini Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku, dan Papua. Di bagian ini, tidak lagi dibahas karakter siswa per tataran satuan pendidikan, tetapi secara umum karakter siswa di suatu wilayah. Yang telah dipaparkan pada Bab 2, Berguru kepada Alam, menjadi reasoning latar 97
Karakter Siswa Indonesia
budaya dan lingkungan dari fenomena karakter siswa di daerah tertentu. Sebelum membahas karakter siswa per wilayah, perlu ditilik terlebih dahulu b karakter siswa Indonesia pada umumnya. Seperti diungkapkan di depan, walaupun tidak ada keterhubungan antara moral knowing, moral feeling, dan moral action, umumnya karakter siswa di Indonesia-dipotret melalui instrumen penelitian terutama yang berupa daftar cek- akan terlihat ‘baik-baik saja’. Mengapa demikian? Berdasarkan sejumlah temuan dari berbagai wilayah, salah satu penyebabnya adalah tidak konsistennya atau tidak seiringnya yang diajarkan dan dianjurkan di sekolah dengan yang menjadi pembiasaan di rumah. Sementara sekolah menganjurkan anak-anak untuk rajin belajar, di rumah orang tua malah asyik menonton sinetron pada jamjam anak belajar. Sementara itu, di sejumlah daerah, latar belakang pendidikan orangtua yang rendah menyebabkan kekurangpedulian bahkan ketidakpedulian mereka pada pembinaan aspek akademis maupun pembinaan karakter siswa. Pada umumnya, orangtua sepenuhnya pasrah kepada pihak sekolah. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah pasrah bongkokan (menyerahkan sepenuhnya). Bagi orangtua seperti itu, yang penting anak-anak sudah memenuhi wajib belajar yang ditetapkan pemerintah. Implementasi Nilai Inti Jujur Pada umumnya nilai kejujuran ditanamkan dan dikembangkan dengan cara mengintegrasikannya ke dalam mata pelajaran dan dalam kehidupan sehari-hari. Integrasi ke dalam mata pelajaran antara lain melalui mata pelajaran Pelajaran Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Program konkret untuk menanamkan kejujuran umumnya melalui Kantin Kejujuran yang cukup berhasil. Di sejumlah sekolah, selain Kantin Kejujuran, juga ada Buku Kejujuran. Khas untuk daerah Gorontalo, diselenggarakan Kotak Kejujuran yang dilengkapi kartu pahala dan kartu dosa. Kartu pahala dimasukkan ke dalam Kotak Kejujuran jika pada hari itu siswa berbuat jujur, misalnya tidak mencontek saat ulangan, menemukan barang yang ditinggalkan orang 98
Karakter Siswa Indonesia
lain dan memberikannya kepada guru kelas atau guru piket. Jika tanpa sengaja siswa menyakiti hati temannya, mereka akan menuliskannya di kartu dosa. Kartu-kartu itu dimasukkan ke dalam Kotak Kejujuran. Selain itu, ada juga Kotak Barang Temuan untuk tempat menyimpan barang-barang temuan, khususnya uang. Uang yang terkumpul, jika tidak ada yang menyatakan sebagai pemiliknya setelah diumumkan oleh guru beberapa kali, akhirnya akan diberikan kepada fakir miskin, kaum duafa, anak yatim, dan mereka yang berhak menurut tuntunan agama. Sifat loyal siswa ditunjukkan melalui tanggung jawab dalam mengemban amanah. Misalnya, bila ditunjuk untuk mengikuti lomba dalam rangka mewakili sekolahnya, mereka akan berusaha semaksimalnya untuk memberikan kebanggaan sekolah dan korpsnya. Implementasi Nilai Inti Cerdas Semangat juang siswa dalam belajar supaya cerdas, dapat dilihat dari upaya mencapai prestasi dan berkompetisi secara sehat. Mereka saling berkompetisi untuk menjadi yang terbaik, agar menjadi kebanggaan keluarga. Dalam pengembangan kreativitas, para siswa umumya sering memunculkan ide-ide baru dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Di sekolah yang memfasilitasi dan mendorong pembuatan karya siswa, biasanya siswa sangat kreatif dalam membuat atau merancang sesuatu yang lain daripada yang lain, atau menemukan cara memecahkan sesuatu masalah secara lebih cepat. Siswa Indonesia juga memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, sehingga dalam proses belajar mengajar banyak bertanya kepada guru. Namun, karena rasa segan atau enggan dianggap menonjolkan diri, siswa perempuan jarang mengangkat/mengacungkan tangan. Sifat kritis dikembangkan melalui kritik terhadap program OSIS yang kurang berjalan baik atau menyimpang dari rencana semula. Implementasi Nilai Inti Peduli Kepedulian siswa yang paling menonjol adalah kepedulian 99
Karakter Siswa Indonesia
mereka kepada teman. Bila ada teman yang sakit atau mengalami musibah, mereka siap membantu. Tidak jarang mereka berinisiatif mengumpulkan iuran untuk membantu teman yang membutuhkan. Sikap peduli juga diterapkan dalam hal menjaga kebersihan lingkungan kelasnya. Mereka merawat dan menjaga tanaman, memungut sampah, menjalankan piket menghapus papan tulis, membersihkan kelas, dan lain-lain. Ketegasan siswa dalam bersikap umumnya ditunjukkan dengan tetap melakukan tindakan yang benar, meski ada bisikan dari kawan dekat untuk bersikap sebaliknya, yaitu berperilaku menyimpang. Mereka sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Sifat patriotisme biasanya tampak dari fakta bahwa mereka hafal lagu-lagu daerah dan lagu-lagu nasional, dan penggunaan bahasa Indonesia di sekolah, meskipun dalam kehidupan keluarga dan masyarakat mereka menggunakan bahasa daerah masing-masing. Impementasi Nilai IntiTangguh Karakter tangguh dibuktikan oleh para siswa dengan memiliki semangat yang tinggi untuk menjadi yang terbaik. Ketika diberi tugas, misalnya, siswa akan berusaha menyelesaikan tepat waktu. Mereka juga bercita-cita bersekolah sampai ke perguruan tinggi. Dalam hal ini, masyarakat yang sederhana seperti masyarakat Samin, Tengger, dan Bajo, belum berpikir sejauh itu. Bagi mereka, yang penting anak-anak sudah memenuhi kewajiban wajib belajar yang merupakan program pemerintah. Sekarang akan dibahas karakter siswa Indonesia per wilayah dengan mengungkap hal-hal yang menonjol dan khas, baik yang bersifat positif maupun yang negatif.
Karakter Siswa Aceh Siswa Aceh amat menghormati guru. Ada trilogi yang dipegang teguh dalam konsep penghormatan yaitu ibu, ayah, dan guru (mak, ngun, dan guree). Seperti orangtua mereka, siswa Aceh juga bersikap militan 100
Karakter Siswa Indonesia
(loyal), berani, rela berkorban demi membela nanggroe (bangsa), dan berjuang sampai titik darah penghabisan (untill their blood runs dry). Sikap lain yang melekat adalah pantang menyerah, optimistis, konsisten (istiqamah), dan setia kepada pemimpin. Sikap optimistis tergambarkan dalam keyakinan siploh pinto teutob, na saboh nyang teubah, Sepuluh pintu tertutup, pasti ada satu yang terbuka. Sementara itu,. sikap konsisten dan tidak plin-plan tergambarkan dalam peribahasa cab di bate labang di papeuen lagee ka lon kheun jeut metuba, Cap di batu, paku di papan, seperti sudah kukatakan tidak boleh bertukar. Dalam hal peningkatan kecerdasan, mereka terpacu oleh semangat tameuruno metemee eleme, artinya, siapa yang belajar akan mendapatkan ilmu. Hal itu agaknya juga dipacu oleh semangat Islam yang terkandung dalam hadis, tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina (thalabul ilmi walau bi sinni). Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi muslimin dan muslimat. Karakter tangguh berkembang sesuai dengan peribahasa meumet jaro meu eek igoe, bek tasak jaro lam lungkik pha, artinya, ada kerja ada makan, gerak-gerak tangan dapat rezeki, jangan hanya berpangku tangan. Siswa Aceh terbiasa berhemat. Hal itu merupakan manifestasi dari peribahasa, tahemat yoh mantong na, beugoet-goet that yoh goh cilaka, hemat semasa masih ada, hati-hati sebelum celaka. Siswa Aceh juga terbiasa untuk menjunjung demokrasi untuk memanifestasikan ungkapan, bulet lagu umut, tirus lagu gelas, bulat seperti batang pisang, lurus seperti gelas. Suatu kebijakan harus melalui musyawarah mufakat yang bulat, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Hal yang masih patut dikembangkan dalam pendidikan karakter adalah menghilangkan atau mereduksi karakter pendendam, pasif dalam inisiatif, serta masih belum kuatnya rasa tanggung jawab. Dengan upaya sungguh-sungguh melalui proses pendidikan di sekolah, sifat reaktif masyarakat Aceh dapat direduksi, dan kini tidak lagi terlihat dalam karakter siswa. Karakter Siswa Batak Siswa dari etnis Batak umumnya berwatak keras. Sikap itu 101
Karakter Siswa Indonesia
terutama terlihat dari nada bicaranya. Namun sesungguhnya, mereka menjunjung tinggi sopan santun. Mereka berpendapat bahwa sopan santun, sikap hormat, dan ramah, akan membuahkan hidup yang mulia dan bahagia. Hal itu sesuai dengan peribahasa mereka, pangkuling do situan na denggan, yang artinya budi bahasa yang baik sangat penting dalam bermasyarakat. Mereka juga percaya bahwa sikap ceroboh dan sombong dapat menyebabkan penderitaan, malapetaka, dan kematian. Mereka menjaga diri jangan sampai menjadi orang yang tidak berguna, yang tidak disukai oleh siapa pun, seperti tercermin dalam peribahasanya, bau so jolo busuk, bari so jolo masak, artinya, berbau busuk walau belum busuk, sudah basi walaupun belum masak. Kecuali itu, mereka juga terbiasa bekerja keras karena kemiskinan itu identik dengan penderitaan. Hotang hotari hotang pulogos, gogo ma mansari, na dangol do na pogos, berusahalah sekuat tenaga karena kemiskinan itu identik dengan penderitaan. Sementara itu, mereka juga berkeyakinan sepanjang masih ada pengharapan, miskin dan menderita tidaklah apa-apa. Agia pe lapalapa asal di toru ni sobuon. Agia pe malapalap asal ma di hangoluhon, ai sai na boi do jolma partalaga muga gabe parjuluon, biar miskin dan menderita tidak mengapa, asalkan dapat hidup terus, karena selama masih hidup selalu ada harapan mendapatklan perbaikan nasib. Dalam menuntut ilmu, mereka ingat petuah yang menyatakan, hotang do raginan, hadang hadangan pansalongan, sihahaan gabe sianggian, molo hurang sinaloan, anak sulung akan menjadi anak bungsu jika kurang pengetahuan. Umumnya siswa Batak rajin, suatu sikap yang diperlukan untuk menaklukkan alam yang berbukit dan bergunung. Peribahasa mereka dalam hal ini adalah do hangoluan, jala tois do hamogoan, rajin pangkal kaya, malas pangkal miskin, dan menyebabkan kehancuran. Kecuali itu, siswa Batak amat menjunjung tinggi demokrasi. Mereka berkeyakinan, hata manunjang hata lalaen, hata torop sabungan ni hata, kata orang yang mau menang sendiri (dalam bermusyawarah) adalah kata orang gila, kata bersama adalah kata yang menentukan. 102
Karakter Siswa Indonesia
Karakter Siswa di Minangkabau Siswa dari etnis Minangkabau pada umumnya memiliki landasan ajaran agama Islam, bahwa setiap muslim melakukan perbuatan yang baik dan menjauhi atau mencegah perbuatan yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar). Nilai kejujuran dijunjung tinggi. Di sekolah-sekolah, hal tersebut direalisasikan dalam bentuk Kantin Kejujuran dan Buku Kejujuran. Mereka berprinsip: mencontek itu haram hukumnya. Dalam belajar atau menuntut ilmu, mereka meyakini bahwa alam semesta ini merupakan guru yang baik, alam takambang jadi guru. Banyak konsep ilmu yang terkandung di alam, yang merupakan bukti kebenaran (ayat kauniyah), alam juga merupakan wahana bagi pencarian ilmu. Dalam hal menuntut ilmu, siswa Minangkabau termasuk yang paling bersungguh-sungguh, karena kecerdasan dijunjung tinggi dalam budaya dan oleh leluhurnya. Ada peribahasa, baburu ke padang data, dapek ruso belang kaki, baguru kepalang aja, bak bungo kembang tak jadi, artinya, kalau kita berburu ke padang yang datar, akan mendapat rusa belang kaki; dan kalau berguru/belajar tidak bersungguh-sungguh, bagai bunga yang tidak mekar (kuncup layu). Kecuali itu, siswa Minang juga meyakini bahwa kejujuran akan membawa kebaikan dan harus selalu hati-hati dalam berkata maupun melakukan tindakan. Bakato paliharokan lidah, bajalan paliharokan kaki, lidah tataruang ameh padahannyo, kaki tataruang inai padahanyo, berkata pelihara lidah, berjalan pelihara kaki, lidah tertarung emas tumbalnya, kaki tertarung inai tumbalnya. Inai adalah tumbuhan yang daunnya untuk pemerah kuku, Lawsonia inermis. Asal benar, siswa Minang juga sangat berani. Keberanian siswa Minangkabau dibuktikan dengan tingginya angka masyarakat Minangkabau yang merantau dan berdagang. Jiwa kemandirian dan entrepreneurship sudah melekat dalam diri siswa. Mereka juga siap melakukan adaptasi di masyarakat setempat, sesuai peribahasa tibo di kandang kambiang mangembek, tibo di kandang kabau menguak, tiba di kandang kambing mengembik, tiba di kandang kerbau menguak. Mereka juga berani menghadapi rintangan, dengan landasan ‘lawan 103
Karakter Siswa Indonesia
pantang dicari, kalau bertemu pantang dielakkan’. Siswa Minangkabu memiliki sikap tenggang rasa yang kuat. Hal tu merupakan manifestasi dari peribahasa, kok hanyuik bapintasi, tabanam basilami, tatilantang samo minum embun, tatungkuik samo makan tanah, tarapuang samo hanyuik, tarandam samo basah, jika hanyut dipintasi, terbenam diselami, terlentang sama minum embun, tertelungkup sama makan tanah, terapung sama hanyut, terendam sama basah. Merupakan gambaran dari semangat tenggang rasa senasib sepenanggungan masyarakat Minang dalam menjalani hidup seharihari. Karakter Siswa Palembang Nilai kecerdasan berkembang di dalam diri siswa di Palembang, karena sikap yang dilandasi Hadis Nabi Muhammad SAW. Dalam bahasa Palembang, hal itu diungkapkan dengan kalimat tuntun da ilmu tunggak di nagari Cina, tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Karakter peduli berkembang sesuai dengan pepatah lemak didiri nak lemak di urang, enak di diri tidak enak di orang lain (pemeo anak muda sekarang, yang dalam bahasa Jakartanya enak di lo, gak enak di gue), artinya, jangan mau menang sendiri. Sikap kerjasama dituntun oleh prinsip sebimbing sekundang, saling bimbing untuk mencapai tujuan bersama. Kewajiban untuk menolong sesama yang menderita tergambarkan dalam ungkapan, telok di ujung waton, telur di ujung daun pisang, sewaktuwaktu akan jatuh dan pecah, menggambarkan orang susah yang wajib ditolong. Siswa Palembang juga mengenal dan memahami sikap kerja keras, yang merupakan nilai ketangguhan, sesuai ungkapan antak kelemak nanggung kudai, artinya, jika mau senang harus susah dahulu. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Siswa Palembang terbiasa untuk berhatihati dalam mengerjakan sesuatu. Hal itu merupakan manifestasi dari peribahasa, beras tumpa dak baleek taker, beras tumpah tidak kembali takaran. Segala sesuatu yang telah rusak sulit diperbaiki menjadi sempurna seperti sediakala. Oleh karenanya, dalam mengerjakan 104
Karakter Siswa Indonesia
sesuatu, manusia harus berhati-hati jangan sampai berbuat salah. Karakter Siswa Serawai (Bengkulu) Etnis yang dominan di Bengkulu adalah etnis Serawai. Di Bengkulu, kejujuran siswa diperteguh dengan kewajiban menuliskan peribahasa yang esensinya mengharuskan berlaku jujur, setiap kali mereka melaksanakan ulangan/ujian (peribahasa ditulis di kertas ulangan). Siswa memegang petuah bahwa siswa harus lurus/jujur selurus batang pinang. Karakter peduli terbangun melalui kerapnya dikumandangkan ungkapan-ungkapan bioatum binenem rangcuitanum (ingatlah kebaikan orang lain) dan nido buliah nebang beringin (jangan menebang pohon sembarangan). Ungkapan yang terakhir itu melambangkan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Karakter tangguh siswa ditempat melalui nasihat-nasihat akan ketekunan dan kesabaran. Ada ungkapan jangan balik amun lun dampek, jangan kembali jika belum mendapat sesuatu yang berharga. Mereka yang bekerja setengah-tengah atau tidak pernah tuntas akan disindir dengan ucapan, dang kemina adan seati mengaton, jangan meninggalkan ladang sebelum panen. Kecuali itu, siswa Bengkulu juga dianjurkan berpikir dulu dalam-dalam sebelum bertindak terhadap sesuatu informasi agar tidak terjatuh dalam perangkap yang menjerumuskan. Amun manis jangan mudah diteguak, jika manis jangan mudah ditelan (dimakan). Dengan demikian setiap orang harus membiasakan diri berhati-hati dalam menghadapi berbagai masalah yang ditemui setiap hari. Karakter Siswa Abung (Lampung) Lampung adalah provinsi yang secara konvensional menjadi sasaran transmigrasi orang Jawa, sejak zaman Belanda hingga Orde Baru. Karena Bandar Lampung telah menjadi kota multietnis, dipilihlah kota Abung Timur sebagai tujuan penelitian, wilayah sebagai tempat suku asli Lampung (etnis Abung) berdiam. Nilai jujur di kalangan siswa etnis Abung dikembangkan karena keyakinan candung bukkuk mengan saghung no sayan, golok yang bengkok 105
Karakter Siswa Indonesia
akan memakan sarungnya sendiri. Maknanya yang lebih mendalam, ketidakjujuran akan merugikan diri sendiri. Siswa Abung sangat menghayati peribahasa leluhurnya, siwo pandai sepuluh kurang tawai, maknanya engkau mungkin pandai, tetapi masih dapat lebih pandai lagi. Dengan demikian, mereka tidak mudah puas dalam mencari dan mengembangkan ilmu. Penghormatan terhadap orang berilmu (dalam hal ini guru) dicatat dalam peribahasa kiya nangun inton, kepak butahun delom litak kiri asah pagun ya mangkilat, artinya jika memang intan (lambang orang berilmu tinggi), biar bertahun dalam lumpur, jika diasah akan mengilap. Karakter peduli siswa dilandasi semangat sakai sambayan, suka bergotong royong agar beban hidup dapat ditanggulangi bersama. Ada juga semangat ngejuk ngakuk, yang maknanya suka menerima dan memberi, baik dalam keadaan suka maupun duka. D a l a m h a l ketangguhan, berlaku petuah mak pateh lamun lemeh, mak pegat lamun kendur, tidak patah bila lemah, tidak putus bila kendor. Siswa tahu bahwa orang yang sabar dan gigih dalam berusaha, pasti akan memperoleh kebaikan pada akhirnya. Sifat mandiri juga dibangun dengan kebiasaan tidak berharap atau bergantung pada orang lain. Ada pepatah bacak pedih ngalikut, anjak pedih ngalimak; lebih baik tidak berharap, daripada berharap tetapi tidak diberi. Keberanian siswa ditempa digambarkan dalam peribahasa bacak mati mandi khah, jak hokhek kena jajah; lebih baik mati mandi darah daripada hidup dijajah. Siswa Abung Lampung juga didorong untuk selalu bekerja keras sesuai dengan ungkapan, bala mak dapok ti tulak, khajeki mak dapok ti kilu, malapetaka tidak dapat ditolak, rezeki tidak dapat diminta. Manusia hanya dapat berencana, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Namun, untuk mencapai cita-cita tetap diperlukan usaha yang gigih dan sungguh-sungguh. Sifat negatif siswa Abung yang perlu direduksi melalui pendidikan karakter adalah sifat pencemburu dan iri hati. Sifat setia kawan yang sebetulnya positif menjadi negatif karena siswa cenderung berusaha menutupi kesalahan temannya. Sifat keras kepala, sukar dinasihati, juga akan menghambat keberhasilan mereka kelak dalam 106
Karakter Siswa Indonesia
pekerjaan dan kehidupan. Karakter Siswa Betawi (Bekasi) Dari Sumatra, pembahasan berlanjut ke Jawa. Saat ini mencari etnis Betawi di Jakarta sudah sulit, karena Jakarta sudah menyerupai panci peleburan, yakni berbagai kultur telah lebur menjadi satu. Juga, para penduduk asli Jakarta (etnis Betawi) sudah banyak yang minggir (pindah ke pinggir kota) karena Jakarta dibangun sebagai kota metropolitan, pusat pemerintahan, perkantoran, dan perdagangan. Peneliti menuju kota Bekasi dan menemukan jejak etnis Betawi di sana. Di sini, untuk membangun karakter kejujuran siswa, sekolah memfasilitasi Kantin Kejujuran yang dikelola seperti minimarket. Siswa yang bertransaksi diharuskan menuliskan sendiri barang yang dibeli dan jumlah uang yang harus dibayar. Sifat terbuka yang menjadi ciri orang Betawi kerap diungkap para siswa lewat kata buke kartu (terus terang), buke mulut (berkata terus terang), dan buke kulit tampak isi (membuka kulit tampak isi). Mereka tidak suka berpura-pura atau berbasa-basi. Sikap menghargai ilmu dan mengembangkan kecerdasan tergambarkan dalam ungkapan makan sekolahan (berilmu) dan akal kancil (cerdik dalam pengertian positif). Di kalangan anak muda Betawi, kalau tidak makan sekolahan dia akan direndahkan (merasa malu). Budaya tersebut digambarkan dengan sangat baik dalam Sinetron Si Doel Anak Sekolahan (sebagai lanjutan Si Doel Anak Betawi), karya Rano Karno. Sikap peduli siswa tergambarkan dalam ungkapan-ungkapan baik ati (berbudi luhur, baik hati), ngambil peduli (berkepedulian tinggi), ngangkat alis (memperhatikan dan memedulikan orang lain), serta ngebelokin ati (membelokkan hati), memberi petunjuk terhadap orang yang “salah jalan” dalam hidupnya. Rasa kebersamaan dibangun seperti ungkapan lidi due batang bisa dipatahin, lidi seiket kagak (dua batang lidi dapat dipatahkan, lidi seikat tidak). Karena itu, anak-anak Betawi kebanyakan kompak dan solidaritasnya cukup tinggi. Karakter tangguh dihayati oleh siswa Bekasi melalui tingginya penghargaan bagi orang 107
Karakter Siswa Indonesia
yang berati baja (berhati baja). Kalau ada anak yang berani, dijuluki atinye gede banget (hatinya/nyalinya amat besar). Karakter Siswa Banyumas (Purbalingga) Etnis Banyumas merupakan bagian dari suku Jawa yang memiliki budaya tersendiri, yang merupakan peralihan dan percampuran antara kultur Jawa dengan kultur Sunda. Kota yang diteliti adalah Kota Purbalingga. Anak-anak di wilayah Banyumas, tingkat religiusitasnya belum setinggi siswa di Minangkabau, misalnya.Walaupun nilai keimanan dan ketakwaan selalu ditanamkan sejak mereka berada di Sekolah Dasar, untuk melaksanakan kewajiban shalat mereka umumnya harus digurahi, diayo-ayo, digurak-gurak (diajak dengan setengah memaksa). Ternyata kebiasaan itu terjadi karena orangtua di rumah tidak terlalu peduli apakah anak-anaknya sembahyang atau tidak. Meskipun demikian, pada umumnya siswa Banyumas cablaka atau blaka suta, yaitu terbiasa berucap jujur dan berterus terang. Sayangnya, pemahaman dan penghargaan terhadap nilai jujur kurang diterapkan dalam tindakan. Hal itu terbukti bahwa mereka sering saling mencontek dalam mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Tidak heran, di Purbalingga, ada wacana diskusi berjudul,Apa Gunanya PR? Dalam hal kuriositas untuk mempertajam kecerdasan, umumnya yang sering bertanya kepada guru adalah siswa laki-laki. Anak perempuan masih rikuh pakewuh (malu dan segan). Patut pula disayangkan, dalam melakukan sesuatu di sekolah, mereka hanya aktif jika ditunggui guru. Belum ada motivasi untuk mandiri dan belajar dengan baik. Di Banyumas, ada fenomena media pembelajaran yang disalahgunakan. Jika diharuskan belajar dengan internet, mereka lebih banyak bermain-main (nge-game) ketimbang belajar. Di daerah Banyumas, juga ada penilaian akan sikap dan dan gaya guru dalam mengajar, sehingga muncul istilah guru favorit dan non-favorit. Guru yang menjadi favorit justru yang tidak ketat (alias longgar) dalam penerapan kedisiplinan, yaitu guru-guru yang populer. Sifat kurang disiplin tampaknya kuat mewarnai karakter sebagian siswa Banyumas. 108
Karakter Siswa Indonesia
Mereka ditengarai oleh guru sebagai siswa ndableg, semaunya sendiri, sukar diatur dan dinasihati. Umumnya para orangtua siswa berasal dari kalangan ekonomi kelas menengah ke bawah (ini salah satu perbedaan yang jelas antara sampel sekolah di ibukota kabupaten dengan sampel di ibukota provinsi). Karena latar belakang itu, cita-cita para siswa tidak terlalu tinggi. Mereka mudah puas jika setelah lulus sekolah lanjutan dapat langsung bekerja.Tidak terbayang di benak mereka untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Itu sebabnya, SMK menjadi pilihan utama dan menjadi sekolah favoritnya. Apalagi, hal itu didukung munculnya berbagai perusahaan dan industri di wilayah ini. Kondisi tersebut semakin mendorong para siswa untuk segera melamar pekerjaan setelah lulus`SMA. Umumnya para siswa Banyumas berjiwa pemaaf. Hal itu disimbolkan secara budaya dalam bentuk blangkon (penutup kepala yang khas masyarakat Jawa Tengah). Tidak seperti blangkon Jogyakarta yang menonjol di belakang, blangkon Banyumas gepeng (datar) di bagian belakang, tidak bendhol mburi (menggelembung, bengkak di belakang). Bila ada yang perlu disampaikan, mereka akan menyampaikannya secara blak-blakan (terbuka), tak ada yang disimpan dalam hati. Karakter peduli berkembang karena mereka berasal dari masyarakat yang sumeh (ramah dan suka tersenyum). Slogan mereka adalah 3S (senyum, sapa, dan salam). Tradisi Jawa dalam menerima tamu juga masih mereka pegang, gupuh, aruh, lungguh, lan suguh (tergopoh-gopoh menyambut kedatangan, menyapa dengan santun, mempersilakan duduk, dan memberikan suguhan). Sifat yang harus dihilangkan melalui pendidikan karakter adalah sifat boros atau tidak hemat. Anak-anak di sini boros terhadap penggunaan air dan listrik, dan kurang bertanggungjawab, serta tidak peduli bila ada sampah berserakan. Juga, budaya jam karet masih berlaku, dan ironisnya, termasuk dilakukan oleh guru. Berdasarkan catatan dalam diskusi terpandu, dapat dipastikan bahwa rapat guru atau rapat OSIS selalu molor. Ketepatan waktu (punctuality) belum menjadi tradisi. Satu hal lagi yang perlu dipupuk adalah sifat agar tidak mudah 109
Karakter Siswa Indonesia
menyerah atau tidak lekas puas. Karakter Siswa di Ngawi Para siswa di Ngawi dipilih sebagai representasi budaya Mataraman (pengaruh Kerajaan Mataram di Jawa Timur). Secara umum, karakter mereka tidak terlalu berbeda dengan karakter siswa di wilayah lain di Indonesia. Hanya, sebagaimana khas budaya Jawa, mereka terbiasa meyakini perlunya akal, ukil, ketimbang okol (akal, penalaran logis, keterampilan dan kecakapan daripada kekuatan fisik). Oleh sebab itu, mereka juga berusaha belajar dengan baik untuk menumbuhkan kecerdasan. Sayangnya, ada perubahan budaya yang mempengaruhi masyarakat Ngawi, yaitu tayangan televisi. Banyak orangtua yang cuek, lebih memilih menonton sinetron daripada menyuruh dan menemani putera-puterinya belajar. Dalam hal belajar, siswa Ngawi cenderung egois dan kompetitif. Namun, dalam hal yang bersifat kemanusiaan mereka sangat peduli. Mereka tanpa segan membantu kawan atau orang lain yang menderita atau tertimpa kemalangan. Sebagai bagian dari budaya Jawa, mereka juga menganut falsafah mangan ora mangan asal kumpul (makan atau tidak, yang penting berkumpul/bersama-sama). Mereka juga memiliki falsafah alon-alon waton kelakon, yang kemudian terdistorsi menjadi alon-alon asal kelakon. Waton artinya batu landasan (dalam hal ini: norma, adat, hukum yang berlaku). Jadi, makna peribahasa itu adalah membiasakan orang bekerja dengan tertib, hati-hati, menaati prosedur, meskipun lambat. Dalam pemaknaannya sekarang, ‘sudah bekerjanya lambat, asal jadi lagi’. Itu sama dengan ungkapan, aja waton ngomong, ning ngomongo nganggo waton; jangan asal bicara, tetapi bicaralah berdasarkan landasan fakta. Perwujudan falsafah itu dalam tradisi Jawa adalah bekerja cukat-ceket, trengginas, gemi, nastiti, ngati-ati. Maksudnya, bekerja itu mesti cepat namun terarah dengan penuh kesigapan, keterampilan, kecermatan, dan kehati-hatian. Dalam kaitan pembelajaran dan kewajiban menuntut pengetahuan, mereka menyadari bahwa orang yang banyak ngomong justru menandakan kurangnya pengetahuan. Kocak tandha lokak, air 110
Karakter Siswa Indonesia
dalam suatu tempat jika masih berguncang dan berbunyi, itu tanda tidak penuh. Ungkapan tersebut senada dengan ungkapan dalam bahasa Indonesia, tong kosong nyaring bunyinya. Karakter Siswa Samin (Bojonegoro) Etnis Samin merupakan bagian suku Jawa yang amat dipengaruhi oleh falsafah hidup pemimpinnya, almarhum Samin Surasentika. Bosan diperlakukan tidak adil oleh penjajah Belanda pada waktu itu, etnis Samin mengembangkan sistem dan budaya tersendiri. Falsafah pokoknya adalah sabar, nrima, rila, lan trokal (sabar, atau mampu menahan diri, menerima dengan ikhlas, rela menerima dengan tulus, dan bekerja keras). Falsafah bekerja secara ikhlas yang terkait dengan nilai inti kejujuran adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe (tidak ada pamrihvested interest, tetapi tekun bekerja). Para siswa juga dipengaruhi keyakinan orang tua-tua bahwa wong temen tinemu (orang yang jujur itu pasti akan menemukan apa yang dicarinya, bisa juga diartikan, orang jujur akan diketahui/ditemukan). Untuk menumbuhkan kecerdasan, siswa Samin setuju mematikan TV pada jam-jam belajar, demikian pula orangtua mereka, menyepakati hal itu. Keterampilan mereka dikembangkan dengan memperdalam keahlian dalam seni ukir kayu (mengingat daerah ini banyak kayu–hutan jati). Bahkan, keterampilan memasak dan menjahit diajarkan bagi siswa perempuan. Keterampilan itu dianggap perlu karena umumnya siswa Samin ingin segera bekerja setelah lulus sekolah lanjutan atas. Karakter Siswa Arek di Surabaya Surabaya adalah wilayah yang beriklim panas dan dekat dengan pantai. Hal itu memberikan dampak sifat berani menghadapi segala cuaca/keadaan di kalangan arek Surabaya. Semboyannya ketika berperang melawan sekutu pada 10 November 1945, walau hanya bersenjatakan bambu runcing (kakiari) adalah rawe-rawe rantas, malangmalang putung. Rawe adalah tetumbuhan setinggi lutut yang bijinya gatal jika menempel kulit. Umumnya memang dibabati, diberantas, 111
Karakter Siswa Indonesia
dihabiskan karena akan mengganggu. Sementara, halangan yang merintang juga harus dipatahkan. Barang siapa hendak merampas kemerdekaan bangsa Indonesia, arek Suroboyo siap membabat dan mematahkan (di banyak buku sejarah ini digambarkan dalam insiden perobekan bendera Belanda menjadi bendera Indonesia di Hotel Oranye –sekarang Hotel Majapahit). Bagaimanapun, arek Suroboyo (demikian mereka menyebut diri sendiri) adalah bagian dari etnis Jawa yang bersemboyan sedumuk bathuk, sanyari bumi, ditohi pati; satu sentuhan saja di dahi, sejengkal tanah saja diganggu, wajib dibayar dengan nyawa. Sifat keberanian tersebut masih kental di kalangan remaja Surabaya. Namun, bila dulu leluhurnya mengangkat bambu runcing mengusir penjajah, anak muda sekarang menjadi bonek dalam menyokong klub sepak bola, Persebaya, kebanggaan mereka. Kejujuran di sekolah difasilitasi dengan Kantin Kejujuran. Dalam pembelajaran, umumnya siswa Surabaya bersifat kooperatif sehingga implementasi pembelajaran kooperatif berjalan dengan baik. Mereka juga ramah dan cukup sopan. Sifat santun yang tercerminkan dalam kebiasaan 4S, senyum, sapa, salam, dan salaman (mencium tangan) tidak saja diberlakukan terhadap guru kelasnya, namun juga dengan guru lain serta staf sekolah (terutama di level SD dan SMP). Siswa Surabaya juga humoris dan mereka suka berkelakar. Kadangkala humor anak-anak Surabaya dibarengi kebiasaan mengumpat (misuh). Namun, umpatan khas Surabaya tak dapat dimaknai mereka sedang marah atau berperilaku kurang ajar. Mereka justru menganggap itu sebagai ungkapan keakraban. Mereka bisa berkipas-kipas sambil berkata, “Jancuk panase”, (maksudnya, alangkah panasnya) tanpa ditujukan kepada seseorang. Kecuali, tentu saja, bila intonasinya keras dan tinggi, dibarengi mata melotot. Umpatan itu menandakan anak sedang marah. Karakter SiswaTengger (JawaTimur) Etnis Tengger ditengarai sebagai suku Jawa pelarian dari zaman Kerajaan Majapahit. Mereka yang beragama Hindu merasa terdesak 112
Karakter Siswa Indonesia
dengan masuknya Islam ke Jawa Timur (dari Kerajaan Demak). Sifat loyal kepada pemimpin di kalangan siswa Tengger tinggi, mengingat pepatah leluhur sabda pandita ratu, perkataan pemimpin harus dituruti. Jika tidak dituruti, akan kualat (ketulah). Sifat penurut tersebut diwujudkan siswa dalam kepatuhannya terhadap perintah guru maupun orangtua. Takut kualat (berdosa) juga memperkuat karakter jujur siswa Tengger, selain mendasari rasa hormat pada guru dan orangtua. Dalam hal kerjasama, walaupun mereka rela berbagi makanan, egoisme mereka akan muncul dalam hal belajar. Mereka lebih suka belajar dengan kawan akrabnya ketimbang dalam kelompok belajar yang dibentuk baru. Mereka juga tidak terbiasa berdiskusi untuk memecahkan masalah bersama-sama. Masalah tidak segera diselesaikan, namun dibiarkan berlalu atau hilang bersama waktu. Hal yang patut diapresiasi adalah kegigihan dan ketekunan mereka menuntut ilmu. Walaupun harus berjalan kaki ke sekolah, mendaki bukit dan gunung, mereka selalu berupaya untuk tidak terlambat datang ke sekolah. Sikap disiplin mereka dalam hal bersekolah tinggi. Mereka adalah keturunan dan mewarisi sifat orangorang yang tangguh, terbiasa bertani dan berladang di daerah yang keras/sulit, di lereng bukit dan gunung. Namun, karena mereka puas dengan hidup yang mereka jalani, umumnya anak-anak Tengger tidak bercita-cita tinggi. Bersekolah sekadar memenuhi kewajiban belajar yang digariskan pemerintah. Karakter Siswa Etnis Singkawang Sekarang, marilah menyeberang ke Pulau Kalimantan, dimulai dari Kalimantan Barat, tepatnya di Kota Singkawang. Walaupun sebagian besar penduduk Singkawang adalah masyarakat keturunan Tionghoa, namun Singkawang juga merupakan melting pot yang meleburkan etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu, disingkat Tidayu. Ketiga etnis tersebut dapat berdampingan secara damai dan harmonis, walaupun adat masing-masing masih dipegang teguh. Sementara itu, pada kenyataannya, walau nilai jujur selalu 113
Karakter Siswa Indonesia
ditanamkan di sekolah, di sini masih ada saja siswa yang kehilangan barang, misalnya uang, buku, pensil, rautan dan sebagainya. Tak jarang guru terpaksa melakukan operasi penggeledahan tas. Agaknya, karena menjaga harmonisasi antaretnis, sekolah belum memiliki formula yang tegas dan jelas atas bentuk hukuman (punishment) yang harus diterapkan jika terjadi pelanggaran. Sanksi yang pernah ditetapkan dianggap terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera pada diri siswa. Kecuali itu sekolah di Singkawang belum memiliki fasilitas Kantin Kejujuran atau Kotak Kejujuran. Siswa Singkawang terbiasa menerima motivasi untuk bersifat tangguh sebagai strategi menghadapi kehidupan. Peribahasa yang mendukung misalnya, mun kite mau ade jak jalannye, di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Kebiasaan bekerja sampai tuntas digambarkan dalam ungkapan chan cho chu kin, menebas rumput harus sampai ke akarnya. Semangat yang kukuh bagaikan baja diungkapkan dengan sun con sak chom; dengan hati yang teguh, batu pun tembus. Karakter Siswa Kutai Kertanegara Etnis Kutai Kartanegara banyak dipengaruhi budaya Melayu dan Dayak. Mereka juga hidup berdampingan secara damai dengan pendatang, baik dari suku Jawa, Bugis, Mandar, Kaili, dan Makassar. Budaya gotong royong diwujudkan dengan semboyan olah bebaya, artinya mengayuh bersama-sama. Orang Banjarmasin menyebutnya kayuh baimbai. Ketangguhan dan kebiasaan bekerja keras diekspresikan dalam ungkapan jangan alang-alang, artinya jangan bekerja setengahsetengah, atau kepalang tanggung. Di sebuah sekolah di Kutai Kartanegara, nilai cerdas dikembangkan melalui kegiatan rutin Jumat Ceria. Pada kesempatan itu, diselenggarakan kuis antarkelas atau lomba cerdas cermat terkait bidang ajar, sehingga terjadi kompetisi yang sehat antarsiswa. Nilai-nilai karakter yang lain, dipahami, dihayati, dan dilaksanakan sama dengan siswa lain di Indonesia.
114
Karakter Siswa Indonesia
Karakter Siswa Suku Banjar Siswa di Banjarmasin selalu melaksanakan aturan 4S (senyum, sapa, salam, dan salaman) bila bertemu guru atau orangtua. Kejujuran difasilitasi dengan Kantin Kejujuran yang berjalan baik. Mereka juga terbiasa melaporkan barang temuan. Kecerdasan dimotivasi di tingkat sekolah maupun tingkat kota dengan lomba cerdas cermat. Agak istimewa di sini, keterampilan untuk membina jiwa kewirausahaan/kemandirian dilatihkan sejak SD. Mereka dilatih membuat berbagai produk kerajinan yang layak jual. Di SMP, para siswa sudah dilatih membuat sasirangan (batik khas Banjarmasin). Jiwa kewirausahaan juga dikembangkan melalui koperasi siswa. Agaknya jiwa wirausaha memang menjadi adat dan melekat dalam suku Banjar. Di sejumlah kota besar seperti di Surabaya, Malang, Jakarta, banyak orang Banjar yang membuka galangan (toko alat-alat dan material bangunan). Warung/restoran Soto Banjar ada di manamana. Di Kota Banjarmasin, sejak pagi seusai subuh banyak warung menjual nasi kuning dengan lauk pokok ikan haruan (ikan gabus). Satu bungkus dijual cukup murah, hanya Rp5.000,00 (di Balikpapan dan Samarinda per bungkus Rp10.000,00). Hal itu sesuai prinsip mereka, yakni bekerja apa saja asal halal. Siswa Banjar menghayati ungkapan halus-halus iwak, ganal-ganal biawak (kecil-kecil ikan, besar-besar biawak). Artinya, ikan melambangkan pekerjaan yang halal, sedangkan biawak melambangkan pekerjaan yang haram. Lebih baik pekerjaan kecil tapi halal, daripada pekerjaan besar tapi haram. Terkait nilai kepedulian, umumnya siswa Banjar memisahkan antara kepedulian terhadap manusia dan kepedulian terhadap alam lingkungan. Kehati-hatian dalam menjaga perasaan orang lain terungkap dalam pepatah tabarusuk batis kawa dicabut, tabarusuk basa jadi hual, terperosok kaki dapat dicabut, terperosok kata jadi masalah. Maknanya, jika berkata seseorang harus berhati-hati, jangan sampai menyakiti hati orang lain. Ungkapan itu senada dengan ungkapan ibarat bajalan kada bagalumbang banyu, ibarat berjalan di sungai tidak menimbulkan riak gelombang. Selalu berhati-hati dalam membawa diri dalam pergaulan, dalam komunikasi antarsiswa, komunikasi antara 115
Karakter Siswa Indonesia
siswa dengan guru dan para orangtua yang lain. Siswa Banjar pun suka mengikat tali persaudaraan, jika mereka berteman, diharapkan terjalin sarantang saruntung samuak saliur, satu rantang satu runtung, satu muak satu liur. Konsep tentang masyarakat yang selalu dilandasi dan disemangati rasa persaudaraan dan persahabatan. Di samping itu, mereka juga saling setia satu sama lain sehingga senantiasa rukun dan damai, sakapik sapaguringan, sabantal sakalang gulu, satu tikar tempat tidur, satu bantal penyangga leher. Siswa Banjarmasin umumnya bercita-cita tinggi dan bersemangat untuk belajar, karena kebodohan itu memalukan. Mereka tidak ingin dikatakan sebagai, bungul pada haduk, atau bungul pada kalum. Bodoh seperti ijuk atau bodoh seperti kelompen. Bodoh, bahkan lebih bodoh daripada benda mati seperti ijuk dan kelompen. Ijuk biasa untuk dibuat menjadi sapu, sedangkan kelompen letaknya di kaki. Orang yang bodoh dianggap kurang berguna, sehingga berlalu pemeo, ada kada malabihi, kada ada kada mangurangi, ada tidak membuat lebih, tidak ada tidak membuat kurang. Siswa Banjar juga dibiasakan untuk berendah hati dan tidak sombong, untuk memanifestasikan ungkapan barandah pada kancur, rendah seperti pohon kencur. Masalah karakter siswa Banjar adalah masih rendahnya kesadaran akan kebersihan dan kelestarian lingkungan. Sekolah yang dikunjungi oleh tim peneliti memang sekolah unggulan, bahkan SMK-nya merupakan percontohan nasional, sehingga tampak bersih dan rapi. Namun, di Banjarmasin masih banyak sampah yang tersebar di manamana. Tentu hal itu bukan sekadar persoalan siswa, tetapi membangun masa depan negara atau wilayah, dimulai dengan membangun karakter anak mudanya. Karakter Siswa Sulawesi: Etnis Minahasa Etnis Minahasa tersebar di kota Manado, Tomohon, dan Tondano. Penelitian ini mengambil sampel Kota Manado. Adat suku Minahasa yang memanusiawikan manusia patut diapresiasi tinggi. Mereka menyebutnya dalam ungkapan si tou timou tumou tou, maknanya, seorang manusia menjadi manusia dalam perannya 116
Karakter Siswa Indonesia
menghidupi manusia lain. Sebuah falsafah yang sangat mulia. Manusia harus mengembangkan potensi dan kualitasnya agar berguna dan memiliki arti bagi kehidupan masyarakat. Secara umum karakter siswa Minahasa sama dengan karakter siswa Indonesia yang lain.Yang paling menonjol adalah sikapnya yang ramah dan peduli pada sesama. Sifat filantropis, mencintai sesama umat manusia telah menjadi tradisi sesuai ungkapan lama asi kakele’tow, setia mengasihi sesama manusia. Siswa Minahasa biasa berdemokrasi dan pantang mau menang sendiri. Sako wo muka nuwu e tio pamandeian, bila hendak menyampaikan pendapat (buka bicara) jangan berlagak pandai (dan mau menang sendiri). Kebersamaan harus dijunjung tinggi dan jangan mau menang sendiri. Kecuali itu, mereka juga terbiasa egaliter, sesuai ungkapan ungketur untamporok wo ulembe masuat uman, puncak gunung dan lembah sama saja. Jangan membedakan manusia satu dengan yang lain, jangan memandang suku, golongan, atau agama. Dalam hubungan ini, muncullah semboyan esa ate u mawangun banua, satu hati membangun atau memperindah desa/kampung. Ungkapan untuk mengajak bersatu jika menghadapi pekerjaan besar yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, tolong-menolong, dan saling bergotong royong. Dalam hal pembelajaran, ada keyakinan bahwa yang rajin belajar dan berusaha dengan sungguh-sungguh niscaya akan pandai juga. Sa upahi padaney-daneyan dai-medai tewelna, kalau parang selalu diasah tentu akhirnya tajam. Manusia harus selalu berusaha keras menuntut ilmu agar pandai dan berhasil mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Ungkapan itu seiring dengan ungkapan, sa pi’pi’ untumid pi’pi’ tikoo, apabila basah tumit basah kerongkongan. Orang yang rajin bekerja, siswa yang rajin belajar, akan memperoleh kesuksesan (rezeki, nilai yang tinggi, dan sebagainya). Penghargaan terhadap waktu tercermin dalam ungkapan, kurakan katerang ni endo sa sia terange mantangi, seperti terang matahari ketika baru terbit. Setiap orang harus mampu menggunakan waktu atau kesempatan yang baik dalam hidupnya.
117
Karakter Siswa Indonesia
Karakter Siswa Suku Gorontalo Gorontalo adalah wilayah Sulawesi bagian Utara, merupakan provinsi tersendiri (terpisah dari Sulawesi Utara), dengan penduduk mayoritas Islam. Nilai kejujuran di sini dibangun dengan Kotak Kejujuran, bukan dengan Kantin Kejujuran seperti di wilayah lain. Kotak kejujuran terdiri dari dari dua kotak, kotak pahala dan kotak dosa. Kotak pahala diisi dengan kartu pahala yang bertulisan perbuatan jujur atau perbuatan baik yang dilakukan siswa pada hari itu. Sebaliknya, kotak dosa diisi kartu catatan perbuatan yang melanggar kebaikan. Selain itu, ada juga program Jam Kejujuran, untuk membiasakan siswa tidak datang terlambat di sekolah. Mereka diwajibkan menuliskan jam berapa tepatnya mereka tiba di sekolah. Pola pendidikan di Gorontalo amat maju dibandingkan dengan pendidikan di wilayah lain. Di sini, para pengelola pendidikan mencontoh kebiasaan siswa di Singapura, yaitu mereka dibiasakan membaca sepuluh menit saat awal belajar. Nama programnya drop everything and read, baca buku apa saja selama sepuluh menit. Kegiatan tersebut ditindaklanjuti dengan menunjuk wakil siswa untuk mempresentasikan esensi dari buku yang dibacanya. Kebiasaan membaca itu amat menunjang tumbuhnya nilai kecerdasan. Demikian pula, terkait kemampuan berbahasa Inggris, sekolah memberlakukan program English Day, hari wajib berbahasa Inggris. Sayang, kebiasaan membaca dan berbahasa Inggris hanya diwajibkan kepada siswa, bukan seluruh warga/anggota sekolah (guru, kepala sekolah, staf, misalnya). Sifat kepedulian terhadap kemajuan disimbolkan dengan semboyan dulo ito momongu lipu, mari kita bersama membangun negeri. Karakter Siswa Suku Kaili Suku Kaili mendiami hampir sebagian besar wilayah Sulawesi Tengah, terutama di kota Donggala dan Palu. Masyarakat Kaili suka bergotong royong sesuai tradisi sintuvu (kebersamaan/gotong royong). Siswa Kaili memiliki sifat hemat, terbukti walau wilayah Donggala kaya akan air, mereka bersikap hemat air. Mereka suka berkompetisi dengan jujur dan bersifat dinamis. Mereka dibiasakan untuk melakukan 118
Karakter Siswa Indonesia
kebaikan, seperti ungkapan belo rapovia belo rakava, baik dibuat, baik didapat. Jika kebaikan diberikan kepada orang lain, kebaikan pula yang diperoleh dari orang lain. Kecuali itu mereka juga dibiasakan berpikir masak-masak sebelum melakukan sesuatu, apa lagi jika sesuatu itu merugikan orang lain. Taisi karo mboto ulu pade mantaisi koro ntau, beraki badan sendiri dulu daripada memberaki badan orang lain. Jika mau berbuat sesuatu kepada orang lain pertimbangkan masak-masak, coba terapkan pada diri sendiri dahulu. Siswa Kaili pantang menggosip. Hal itu sesuai dengan ungkapan, nompene ri vamba mbaso nanau ri vamba kodi, naik melalui pintu besar turun melalui pintu kecil. Apabila menerima berita tentang aib seseorang hendaknya jangan disebarluaskan kepada umum. Karakter Siswa Suku Bajo Suku Bajo di provinsi Sulawesi Tenggara disebut ‘orang-orang perahu’ karena umumnya menjadikan perahu sebagai tempat bermukim. Suku Bajo memiliki pola hidup sederhana dan senantiasa harmonis dengan alam, khususnya laut. Mereka ahli membaca tandatanda alam yang berhubungan dengan laut. Prinsip mereka dalam berjuang mempertahankan hidup adalah selama air laut masih ada, jangan takut akan hidup. Kejujuran, kerja keras, dan pola hidup sederhana, telah melekat pada karakter siswa Bajo. Namun, semangat menuntut ilmu mereka tergolong di bawah rekan mereka dari wilayah lain. Mungkin karena jauhnya letak sekolah dari rumah, yang menjadi halangan pokok. Jika tidak ada yang mengantarkan, terutama siswa SD dan SMP, mereka tidak berangkat ke sekolah. Penghalang utama untuk bercita-cita tinggi adalah rendahnya pendidikan orangtua serta ketiadaan biaya. Sekolah bagi mereka adalah sekadar memenuhi wajib belajar yang ditetapkan pemerintah. Nilai kepedulian dibangun oleh adat sipupukang. Mereka mengumpulkan dana dan membantu dengan tenaga terhadap orang yang tertimpa musibah atau kemalangan. Bagusnya, belakangan ini uang yang terkumpulkan juga diperuntukkan bagi anak-anak Bajo yang bersekolah sampai ke peguruan tinggi. Kabarnya sudah ada anak Bajo 119
Karakter Siswa Indonesia
yang menjadi sarjana. Upaya itu akan menjadi kebanggan bagi suku dan daerahnya. Karakter Siswa Etnis Bugis Etnis Bugis sering dirancukan dengan etnis Makassar. Etnis Bugis menjangkau wilayah yang lebih luas, se-Sulawesi Selatan dan sebagian Sulawesi Tenggara, bahkan sampai ke Kalimantan Timur. Oleh sebab itu, etnis Makassar sering disebut Bugis Makassar. Memang ada kemiripan, walau budaya dan bahasa keduanya berbeda. Budaya yang kuat mewarnai karakter siswa Bugis. Dengan adat siri’ na pesse, siswa Bugis akan malu ketika berbuat salah. Mereka pantang mencuri dan berkata bohong. Sesuai karakter leluhur Bugis yang berani menantang gelombang menghadapi ganasnya lautan sehingga menjadi pelaut yang andal, para siswanya juga bersemboyan ewako (maju terus pantang mundur), yang menyiratkan keberanian dan ketangguhan. Kantin Kejujuran dibangun di sekolah untuk memperkuat implementasi ajaran kejujuran sesuai perintah agama. Mereka berprinsip: berdusta, mencontek, dan mencuri adalah dosa. Keberanian menghadapi hidup ini tergambarkan dalam ungkapan dek nalabu essoe ri tenngana bitarae, tidak akan tenggelam matahari di tengah langit. Keraguan harus disingkirkan dalam mengadapi segala tantangan hidup. Di sisi lain, siswa Bugis biasa mengikat erat tali persaudaraan. Mereka mempraktikkan ungkapan mattulu’ perajo teppettu siranrang, padapi mapeettu iya, terjalin laksana tali pengikat batang bajak pada luku, yang selalu bertautan, tak akan putus sebelum putus ketiganya. Siswa Bugis amat menjunjung tinggi kejujuran. Ka-antu jekkongan kammai batu nibuanga naung rilikua, naantu lambu suka kammai bulo ammawanga ri je’neka, nuassakangi poko’na ammumbai appa’na, nuasakangi appa’na ammumbai poko’na. Kecurangan itu sama dengan batu yang dibuang ke dalam lubuk, sedangkan kejujuran laksana bambu yang terapung di air, engkau tekan pangkalnya maka ujungnya timbul, engkau tekan ujungnya maka pangkalnya timbul. Maknanya, kecurangan mudah disembunyikan, namun kejujuran akan senantiasa tampak dan muncul 120
Karakter Siswa Indonesia
ke permukaan. Berbuat baik juga merupakan kewajiban. Ia decennge mabuang tassanrama, kebaikan itu meskipun jatuh tersangkut juga. Kebaikan mungkin tertutup oleh gelapnya keadaan. Namun tidak akan lenyap, suatu saat akan tampak juga. Keyakinan akan kekuasaan Tuhan, kekuasaan Allah Sang Maha Pencipta siswa Bugis amat tinggi. Hal itu tergambarkan dalam ungkapan taroi telleng linoe, tellaing pesonaku ri masagalae, biar dunia tenggelam, tidak akan berubah keyakinanku kepadaTuhan. Sayang sekali dengan pengaruh dari arus globalisasi, ditambah tekanan ekonomi yang semakin menghimpit, terjadinya ketidakadilan yang marak di sana-sini, falsafah siri’ terdistorsi menjadi mudah tersinggung. Itulah yang menyebabkan maraknya tawuran antarpelajar dan mahasiswa. Di Makassar, bahkan ada tawuran yang sampai membakar kampus, fasilitas pendidikan yang seharusnya dihormati dan dipelihara. Falsafah siri’ juga menanamkan sifat sulit memaafkan, sulit menghapus kesalahan orang lain, bahkan ada yang berkembang menjadi dendam. Di lain sisi, semangat siri’ juga membuat siswa Bugis dan Makassar giat dan bersemangat dalam belajar. Mereka kerap unggul dalam olimpiade ilmiah tingkat nasional. Sayangnya, dalam hal nilai kepedulian dan sikap toleransi, disampaikan oleh peserta diskusi terpandu, bahwa saat ini kepekaan sosial para pelajar telah mulai luntur. Karakter Siswa Etnis Makassar Sesuai dengan sebutan asli mereka sendiri, kata Makassar berarti mereka yang bersifat terbuka. Sikap terbuka tersebut menjadi karakter inti siswa Makassar. Orang Makassar punya falsafah sipakatau yang maknanya saling memahami dan menghargai secara manusiawi. Dengan falsafah tersebut kehidupan orang Makassar dapat berjalan harmonis, menciptakan iklim yang kondusif bagi penghidupan masyarakat. Kejujuran di kalangan siswa dikembangkan melalui fasilitas Kantin Kejujuran. Ada larangan mencontek, namun masih ada saja yang kurang yakin atau malas belajar sehingga berusaha mencontek. Bahkan, 121
Karakter Siswa Indonesia
masih ada siswa SD yang PR-nya dikerjakan oleh orangtuanya. Secara umum karakter siswa Makassar mirip sekali dengan karakter siswa Bugis. Dalam hubungan penngajaran dan pembelajaran, etnis Makassar mengutamakan ketekunan dan kesabaran. Manantu dongkok pakdang punna simata nikantisikja tarang tonji, walau punggung pedang, jika diasah terus akhirnya akan tajam juga. Betapapun bodoh seseorang siswa, jika rajin belajar niscaya akan pandai juga. Karakter Siswa Etnis Buton Dengan wilayah yang berdekatan dengan laut, apalagi bertetangga dengan etnis Bugis dan Makassar, karakter etnis Buton secara umum mirip dengan kedua etnis tersebut. Mereka juga pelaut yang tangguh. Sebagian wilayah Maluku, terutama di sekitar Ambon juga merupakan tempat migrasi ketiga etnis itu. Mereka juga berani dan berwatak keras. Sifat berani dan berwatak keras tersebut mengindikasikan karakter ketangguhan. Orang Buton tangguh dalam mencari nafkah. Pentingnya mencari nafkah tercermin dalam semboyan hidup mereka solopaso wutomu komingkuamu, siapkan dirimu untuk mencari nafkah. Ajaran bertanggung jawab didorong oleh petuah yinda membali palayataka parauleamu, jangan lari dari tanggung jawabmu. Namun sifat keras ini juga mengakibatkan munculnya sikap kurang toleran, tidak mudah memaafkan, dan kadang kurang menghargai orang lain. Bahkan tidak jarang, konflik antaranak sudah selesai dan berdamai, namun antara orangtuanya malah masih ada dendam. Karena terbiasa berpikir dan berpola hidup sederhana, umumnya para siswa lekas merasa puas dengan prestasi yang telah diraih, meskipun apa adanya. Mereka tidak ingin yang muluk-muluk. Dalam hal kejujuran yang hendak dibangun dan ditanamkan di sekolah, tidak sedikit orangtua yang acuh tak acuh dan kurang menunjukkan dukungan. Dikhawatirkan, terjadi kelunturan karakter asli suku Buton yang menjunjung tinggi nilai-nilai seperti di pantun ini. 122
Karakter Siswa Indonesia
Pamae-maeka, Pamae-maasiaka, Popita-piara, Poangka-angkataka,
saling menghormati saling menyayangi saling memelihara saling mengangkat derajat.
Karakter Siswa Etnis Samawa (NTB) Etnis Samawa yang diteliti mendiami wilayah Pulau Sumbawa, terutama di Sumbawa Besar. Adat etnis Samawa yang paling menonjol adalah peduli dengan orang lain. Kepedulian itu digambarkan dalam adat nyorong, yang artinya mengantar barang bawaan untuk bantuan. Adat menghormati orang lain, apalagi kepada orang yang lebih tua, diwujudkan oleh adat tabe, yang artinya minta permisi. Adat yang esensinya membiasakan membantu sesama tetangga dan menghindari perbuatan tercela disebut seseng kalenge angan kabalong. Peduli terhadap kemajuan negeri yang tetap bersandar kepada Tuhan dan melestarikan fungsi lingkungan diungkap dengan slogan Sabalong Samalewa, maknanya, membangun secara serasi dan seimbang baik jasmani maupun rohani. Di sekolah, nilai kejujuran diperkuat dengan membangun Kantin Kejujuran. Namun, masih ditemui siswa yang senang mencontek, atau yang PR-nya dikerjakan oleh orangtua. Hal yang baik adalah mereka tidak suka menggosip atau membicarakan keburukan orang lain, dan mereka tidak biasa mengingkari janji (dapat dipercaya). Dalam pengembangan nilai cerdas, siswa Samawa sudah belajar kritis dan analitis dengan terbiasa mengkritisi program OSIS yang tidak berjalan semestinya. Sayangnya, di wilayah ini masih banyak orangtua yang kurang perhatian terhadap kemajuan belajar anaknya. Hal yang perlu ditingkatkan dalam pendidikan karakter di sekolah-sekolah di wilayah ini adalah kesetiakawanan yang telah menjadi salah arah. Mereka sering menutupi kesalahan temannya yang berbuat salah. Juga, anak-anak di sini kurang terbiasa bersikap ramah pada orang yang baru dikenal, serta mereka belum terbiasa menepati/menghargai waktu. 123
Karakter Siswa Indonesia
Karakter Siswa Etnis Sikka (NTT) Etnis Sikka mendiami Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur (NTT). Wilayah kajian mengambil sampel di Kota Maumere. Di wilayah tersebut, sekolah-sekolah memperkuat nilai kejujuran dengan mendirikan Kantin Kejujuran. Umumnya siswa berjiwa kompetitif. Guru yang berdisiplin justru digolongkan sebagai guru yang tidak favorit, namun justru yang longgar disiplinnya dan suka humor diklasifikasikan sebagai guru favorit. Masyarakat Sikka adalah masyarakat yang peduli dan tangguh. Kepedulian dilambangkan dengan penghargaan secara simbolik terhadap pohon beringin dan pohon huler. Pohon beringin bersifat memberi keteduhan, sedangkan pohon huler adalah pohon yang batang dan akarnya selalu mengandung air. Air dari pohon huler dipakai untuk memerciki tamu yang datang. Nilai kepedulian dan kebersamaan terungkap dalam ungkapan, lemer watu itu mogat bawak papan hamahama, maknanya: tenggelam bersama-sama seperti batu, terapung bersama seperti papan. Kecuali itu siswa Sikka juga terbiasa menghargai sesama dan bermusyawarah, uhe die dang hading, pintu selalu terbuka, tangga tetap terpasang. Rela berunding untuk memecahkan masalah secara kekeluargaan. Kecuali itu, mereka juga senang berlaku adil. Lelir lopa geba’ emang koli’ emang te ha, pakailah ukuran sama dalam mengecilkan daun lontar, jangan ada perbedaan besar-kecil, karena mereka adalah sama. Setiap manusia harus diperlakukan adil karena sama-sama makhluk Tuhan. Siswa Sikka juga menyadari perlunya suatu persatuan yang kuat, ai batu tali beta, ibarat pohon tumbang, tali putus. Perlu suatu persatuan yang kuat, perlu keputusan tentang suatu masalah yang dilandasi kesepakatan bersama melalui musyawarah mufakat. Di sekolah, kejujuran difasilitasi dengan Kantin Kejujuran, namun sikap jujur ditengarai hanya melekat selama di sekolah. Karena selalu ingin dianggap oleh orangtuanya sebagai siswa berprestasi, siswa kadang berbohong. Hanya menjadi juara kedua, dikatakan kepada orangtua sebagai juara pertama; mendapatkan skor 70 dikatakan mendapatkan skor 90; dan sebagainya. Sikap tersebut membangun 124
Karakter Siswa Indonesia
perasaan/semangat unggul yang semu. Kejujuran juga dinodai oleh kebiasaan membolos bersama-sama dengan alasan yang dibuat-buat tanpa sepengetahuan orang tua. Namun umumnya, mereka menyadari bahwa orang yang pandai seharusnya tidak sombong, pare wulir benu wekuk, bulir padi kian penuh kian merunduk, manusia yang kaya akan pengetahuan umumnya justru tidak sombong. Pemuda Sikka merupakan pemuda yang tangguh. Ungkapan yang terkenal dan mendarah daging adalah, tibong Sikka didi dodo, lobo benggala wawa benggala, wawa tahi taji nora wair, maknanya: saya seorang pemuda Sikka yang kuat dan perkasa, tidak kenal hujan dan angin, berjuang untuk menempuh masa depan yang lebih cerah. Kebiasaan bersama mengatasi masalah diungkapkan dengan kalimat, kukun keket aur gajung, tukejung moga-moga baak naha nora lisang, rehi boga puihah, maknanya: bertahan bagai serumpun bambu, menahan bersama jika tumbang. Karakter Siswa Etnis Kupang Etnis Kupang mendiami Pulau Timor bagian Barat. Orang Kupang umumnya ramah dan mudah tertawa, walau hal itu hanya dilakukannya kepada orang yang sudah dikenalnya. Berdasarkan wawancara surveyor dengan responden yang umumnya para guru, ditengarai bahwa kejujuran masih merupakan masalah di daerah ini. Kejujuran sudah merupakan barang langka. Demikian pula, ketulusan hati dalam membantu, sudah memudar. Usaha sekolah untuk membangun kejujuran di sekolah tidak banyak didukung oleh orangtua di rumah. Di sekolah, siswa masih mau menyerahkan uang yang ditemukannya kepada gurunya. Ketulusan yang luntur itu menyebabkan tidak ada istilah membantu dengan ikhlas, yang ada adalah mau membantu jika ada imbalan. Para orangtua di rumah pun kurang bersikap membantu dalam membangun nilai cerdas di rumah. Mereka terbiasa memanjakan anak-anaknya. Para siswa tidak biasa berdisiplin dan antre menunggu giliran. Umumnya, mereka suka berjubel bila ada pembagian sesuatu. Mereka suka berkompetisi, yang terkadang memunculkan rasa egoistis yang 125
Karakter Siswa Indonesia
kuat.Walau sifat tersebut akan memunculkan siswa-siswa yang tangguh dalam belajar, namun terlihat bahwa mereka tidak terbiasa belajar secara kooperatif. Mereka merasa biasa-biasa saja jika guru secara monoton menerapkan metode ceramah. Mereka tidak protes. Guru dikelompokkan menjadi guru favorit dan guru nonfavorit. Guru nonfavorit adalah guru yang berdisiplin dan suka memberi sanksi jika ada pelanggaran. Kepada orang yang baru dikenal, siswa Kupang cenderung tidak ramah. Ketangguhan dalam menghadapi hidup mewarnai karakter siswa, karena PulauTimor adalah pulau karang yang kurang subur dengan ketebalan tanah yang tipis, sementara di bawahnya adalah karang yang keras. Perlu perjuangan yang keras untuk bertahan hidup. Karakter Siswa Etnis Maluku Sekolah yang dituju oleh peneliti adalah sejumlah sekolah di Ambon, ibukota Maluku. Orang Ambon terkenal karena kearifan lokalnya. Misalnya, tradisi masohi untuk menjalin kerjasama atau bergotong royong, serta tradisi sasi untuk menjamin pelestarian sumber daya ikan dan hasil laut lainnya. Kerukunan antaretnis yang berbeda budaya dan agama dijamin oleh tradisi pela gandong yang bermakna toleransi dan kebersamaan. Sayangnya, sekian tahun lalu, karena pengaruh luar dan jurang perbedaan status ekonomi antarwarga, tradisi pela gandong sempat tercabik-cabik. Terjadi pertumpahan darah antaranak bangsa, yang merupakan konflik antaragama terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Sadar bahwa hal itu tidak bermanfaat dan malah merusak/menghancurkan, akhir-akhir ini tradisi pela gandong diperkuat lagi. Pada umumnya karakter siswa Maluku adalah riang gembira, suka becanda, cinta pada kesenian, dan amat ramah pada orang yang baru dikenalnya. Karakter Siswa Papua Sebenarnya sulit untuk membuat generalisasi karakter siswa Papua hanya dengan memotret karakter siswa Jayapura. Papua adalah sebuah pulau besar yang dihuni oleh banyak suku dengan banyak bahasa 126
Karakter Siswa Indonesia
yang berbeda serta adat yang berbeda pula. Namun, karena Jayapura adalah ibukota provinsi, dapat diyakini bahwa Jayapura merupakan panci pelebur berbagai adat tersebut. Semua adat dan tradisi orang Papua dapat dikatakan terwakili. Secara umum, karakter siswa Papua hampir mirip dengan karakter siswa di Indonesia lainnya (sampelnya adalah sekolah unggulan di Papua). Namun ada juga karakter yang berlandaskan adat yang khas daerah. Misalnya, adat untuk bekerjasama atau bergotong royong tergambarkan dalam ungkapan nenggi kengi, artinya tanganku tanganmu. Maknanya, dengan kerjasama antara dua tangan, pekerjaan akan cepat selesai dan tuntas. Sementara itu, tentang pentingnya pengetahuan, anak-anak Papua suka berkata ko tra kosong, yang kepanjangannya ‘kita orang tidak kosong’, artinya: mereka memiliki pengetahuan yang dapat diandalkan. Ketangguhan siswa Papua bila belajar dengan sungguh-sungguh dibuktikan oleh Novela Kristin Auparay, siswa Papua yang menjuarai Olimpiade Sains Nasional (OSN) Fisika pada tahun 2011. Pada tahun itu juga,. siswa-siswa SD di Papua berhasil membawa pulang 4 emas, 5 perak, dan 3 perunggu pada ajang Asian Science and Mathematics Olympiad for Primary School yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia. Olimpiade Sains dan Matematika tersebut diikuti oleh 131 peserta dari Negara-negara di Asia. Namun, di samping hal-hal yang positif tersebut, ada hal yang patut dibenahi, yaitu masih banyak tawuran antarpelajar yang berbeda sekolah, berkelahi dengan sesama teman di sekolah, sifat cepat marah dan mudah tersinggung, perundungan senior terhadap yuniornya, berani menantang guru, corat-coret tembok sekolah, kebiasaan merokok di sekolah, maupun membolos. Bahkan, tidak sedikit siswa yang saat pulang sekolah tidak segera pulang, tetapi bermabukmabukan dengan teman satu “gang”nya. Itulah yang menjadi tantangan pendidikan karakter, yaitu adat/tradisi turun temurun yang terlanjur negatif dan tidak produktif.
127
128
S
BAB 4 STRATEGI PENDIDIKAN KARAKTER
etelah mengenali karakter umum siswa Indonesia serta beragam karakter siswa di daerah yang berbeda-beda di Indonesia, langkah berikutnya bagi pelaksana dan pemerhati pendidikan adalah merancang dan menyusun strategi pendidikan karakter. Rancangan strategi ini tentunya dilandasi data dan gambaran nyata di lapangan tentang tingkat pengetahuan, perasaan, dan tindakan, serta ragam karakter siswa-siswa di Indonesia. Bab ini akan membahas strategi tersebut secara umum dan strategi yang lebih khusus. Strategi secara umum adalah strategi pendidikan karakter berdasarkan pengalaman di sejumlah negara, seperti di Amerika Serikat dan Kanada. Strategi yang khusus akan mengacu pada best practices sejumlah sekolah unggulan di Indonesia. Mengapa dipilih sekolah unggulan? Semata-mata karena sekolahsekolah tersebut telah secara sadar mengakui perlunya penanaman nilai-nilai karakter bagi anak bangsa dan telah merintis penerapan pendidikan karakter di sekolah. Jika pada konteks makro (skala nasional) pengembangan pendidikan karakter dilaksanakan secara sinergis, pada konteks mikro pendidikan karakter berlangsung di satuan pendidikan atau sekolah secara holistik (menyeluruh). Sekolah sedapat-dapatnya memanfaatkan dan memberdayakan semua elemen belajar dalam menginisiasi, memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus menerus proses pendidikan karakter di sekolah. Hal itu pada mulanya sudah dilakukan oleh sejumlah sekolah unggul yang berlokasi di Pulau Jawa. Harus diakui bahwa di Indonesia, belum ada konsep dan sistem yang memadai untuk membangun karakter melalui pendidikan. Belum
Strategi Pendidikan Karakter
ada konsep dan praktik pendidikan karakter yang dapat menjadi instrumen untuk mengelola keragaman (the art of managing diversity); bagaimana beragam suku, bahasa, budaya, agama, dan tradisidi masyarakat tidak saling bertabrakan tetapi justru saling melengkapi dan menyempurnakan. Untuk itulah, sebagai langkah lanjut dari penelitian ini, perlu dilakukan reorientasi dan rekonstruksi model pembentukan karakter anak bangsa melalui pendidikan di Indonesia. Hal tersebut harus diawali dari paradigma, tujuan, materi, dan strategi implementasinya. Jika tujuan pendidikan karakter ingin menghasilkan dampak pada ranah praktis, materi pendidikan memang akan lebih bersifat praktis. Namun, paradigma pembangunan dan pengembangan karakter di sekolah-sekolah Indonesia tetap harus dilandasi oleh hal-hal yang bersifat filosofis. Berangkatnya dari moral absolute, yakni generasi muda harus diajari agar memahami betul dasar-dasar tentang yang baik dan benar (what is good and`right). Sebagai paradigma, pendidikan karakter kemudian mencakup lebih dari sekadar pengetahuan dasar tentang moral yang baik. Pendidikan karakter bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk. Tetapi lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik kepada peserta didik. Dengan demikian, mereka menjadi paham (domain kognitif, setara dengan moral knowing) tentang benar salah atau baik buruk, mampu merasakan (domain afektif, setara dengan moral feeling) nilainilai itu, dan dapat melaksanakannya (domain psikomotor, setara dengan moral action) dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter erat kaitannya dengan kebiasaan (habit) yang harus terus menerus dipraktikkan, baik dalam lingkup informal, formal, dan nonformal, secara sinergis dan terpadu. Paling penting dari itu, pendidikan karakter harus diteladankan dan dicontohkan. A. Strategi Umum Pendidikan Karakter Strategi dapat dimaknai menjadi tiga hal, pertama, berkaitan 129
Strategi Pendidikan Karakter
dengan kurikulum; kedua, berkaitan dengan tokoh panutan (model); ketiga, berkaitan dengan metode pembelajaran. Berkaitan dengan kurikulum, telah disepakati secara nasional bahwa pendidikan karakter tidak dimasukkan sebagai mata pelajaran atau pokok bahasan tersendiri, tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran yang telah ada. Selain itu, pendidikan karakter juga dilakukan melalui pembinaan dan pengembangan diri siswa melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler, dan tidak kalah pentingnya: budaya satuan pendidikan (lingkungan sekolah). Pendidik dan satuan pendidikan, setelah menandai nilai-nilai karakter yang perlu dikembangkan dalam diri peserta didik, mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam kurikulum. Perwujudannya dilaksanakan dengan mencantumkan ke dalam rencana pembelajaran dan silabus. Hal itu selanjutnya akan menjadi panduan bagi guru dalam menanamkan nilai-nilai karakter selama pembelajaran berlangsung. Berkaitan dengan tokoh model, guru, para konselor, dan tenaga kependidikan harus mampu menjadi model teladan yang baik (uswatun hasanah), baik dalam ucapan maupun perilaku sehari-hari. Sementara itu, berkaitan dengan metode pembelajaran, Indonesia dapat meniru implementasi metode pengembangan pendidikan karakter dari negaranegara yang lebih berpengalaman dalam hal ini. Prinsip pembelajaran dalam pendidikan karakter adalah agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai karakter yang dicontohkan dan diajarkan sebagai milik mereka. Mereka harus dapat bertanggung jawab atas keputusan atau pilihan yang diambil, melalui tahap-tahap mengenali pilihan nilai, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan nilai pilihan itu sebagai keyakinan dirinya. 1. Prinsip Pengembangan Pendidikan Karakter Berikut ini prinsip yang diterapkan dalam pengembangan pendidikan karakter. a. Berkelanjutan; Proses pengembangan nilai-nilai karakter merupakan sebuah proses panjang yang dimulai sejak peserta didik 130
Strategi Pendidikan Karakter
masuk ke satuan pendidikan (sekolah) sampai selesai. Proses ini seyogyanya dimulai dari PAUD atau TK/RA berlanjut terus sampai ke perguruan tinggi. b. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya satuan pendidikan; Proses pendidikan karakter dilakukan secara terintegrasi ke dalam setiap mata pelajaran, kegiatan kurikuler, dan ekstrakurikuler. Hal tersebut sesuai dengan konsep internasional tentang pengembangan pendidikan karakter, yang menyatakan bahwa, Effective character education is not adding a program or set of programs to a school.Rather, it is a transformation of the culture and life of the school (Berkowitz, 2004). c. Nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan melalui proses belajar; Materi nilai-nilai karakter bukanlah pokok bahasan biasa. Namun, pokok bahasan yang dapat digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai karakter. d. Menerapkan pembelajaran PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan); Perlu ditegaskan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik, bukan oleh pendidik. Pendidik sebagai fasilitator hanya menerapkan prinsip tut wuri handayani. Prinsip tersebut juga menegaskan bahwa proses pendidikan dilaksanakan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif. Pendidik boleh mengawalinya dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembangkan sebagai apersepsi. Kemudian, pendidik menuntun peserta didik agar aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi, mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, mengolahnya, merekonstruksi data/fakta/nilai, menyajikan hasil rekonstruksi, atau proses pengembangan nilai. Paling tidak ada inkuiri terpandu (guided inquiry) di situ. Selain itu, pendidik bertugas menumbuhkan nilai-nilai karakter ke dalam diri peserta didik melalui berbagai kegiatan belajar yang berlangsung di kelas, di satuan pendidikan, dan di luar satuan pendidikan. 2. Pendekatan Pendidikan Karakter Pendekatan pendidikan karakter berkaitan dengan nilai-nilai 131
Strategi Pendidikan Karakter
karakter yang diajarkan dalam pengembangan proses pembelajaran, pengembangan budaya satuan pendidikan, integrasi nilai-nilai karakter dalam mata pelajaraan, kegiatan ekstrakurikuler, program pengembangan diri, dan pembiasaan serta penguatan perilaku. a. Pengembangan Proses Pembelajaran Secara umum dapat dinyatakan bahwa pembelajaran pendidikan karakter menggunakan pendekatan yang berpusat pada peserta didik (student-centered learning) dan dalam situasi belajar secara aktif (active learning). Hal itu dilaksanakan di dalam kelas, di sekolah, maupun di masyarakat. (1) Di dalam kelas, pembelajaran pendidikan karakter dilaksanakan melalui proses belajar setiap mata pelajaran yang mengembangkan baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. (2) Di sekolah, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan yang diikuti seluruh peserta didik dan warga sekolah yang lain. Kegiatan direncanakan sejak awal tahun pelajaran dan dimasukkan ke dalam kalender akademik. Contoh kegiatannya, lomba vocal group antarkelas tentang lagu-lagu yang bertema cinta tanah air, lomba kerajinan kreatif untuk memupuk jiwa entrepreneurship, mengundang nara sumber berbicara dan memberi motivasi agar tangguh menghadapi masa depan, tidak mudah menyerah menghadapi kehidupan. Siswa diwajibkan mengikuti shalat berjamaah atau ibadah lainnya. Hal tersebut merupakan kegiatan yang baik untuk dilaksanakan di level sekolah (mengajarkan nilai keimanan dan ketakwaan –religiusitas). (3) Di luar sekolah, pembelajaran pendidikan karakter dilaksanakan melalui bekerja bakti membersihkan lingkungan, mengunjungi panti asuhan anak yatim, panti wreda, korban bencana alam. Hal itu dapat memupuk karakter peduli. b. Pengembangan Budaya Satuan Pendidikan Budaya satuan pendidikan (school culture) adalah suasana kehidupan 132
Strategi Pendidikan Karakter
sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesama, peserta didik dengan pendidik, pendidik dengan pendidik, pendidik dengan tenaga kependidikan, dan sebagainya. Interaksi semacam itu tentu terikat oleh berbagai aturan, norma, nilai, kaidah, moral, serta etika yang berlaku di sekolah. Nilai-nilai yang dapat dikembangkan melalui interaksi seperti itu antara lain kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja sama, dan lain-lain. Penelitian Teerakiat Jareonsttasin, 2000 menyatakan bahwa budaya satuan pendidikan merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap perkembangan karakter peserta didik (dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011). Hal yang terpenting adalah iklim atau budaya sekolah. Bila suasana sekolah penuh dengan kedisiplinan, kejujuran, dan kasih sayang, peserta didik akan berkarakter baik. Guru merasakan kedamaian. Pada gilirannya, efektivitas pengelolaan kelas meningkat. Karena pengelolaan pembelajaran baik, terjadi pengaruh positif pada prestasi akademik para siswa. Oleh sebab itu, langkah awal dalam program pendidikan karakter adalah menciptakan suasana sekolah yang berkarakter, yang dapat mentransformasi seluruh warga sekolah lebih berkarakter. Pembangunan budaya sekolah tersebut termasuk adanya visi, misi, dan tujuan yang baik, serta partisipasi orangtua dan masyarakat dalam mewujudkan semua itu. Sebagai contoh, di sekolah banyak tersedia tempat sampah, pot-pot bunga yang terawat rapi, kebun sekolah yang hijau penuh dengan tanaman peneduh, dan tanaman budi daya seperti cabai, bayam, sawi, kangkung, serta TOGA (tanaman obat keluarga). Tanaman tersebut sekaligus dapat menjadi sumber pendapatan koperasi sekolah, mengajarkan semangat berwirausaha, dan hidup harmonis dengan alam dan lingkungan sekitar. c. Integrasi Pendidikan Karakter dalam Mata Pelajaran Integrasi pendidikan karakter dalam mata pelajaran dilaksanakan dengan melakukan intervensi. Tindakan itu bertujuan untuk mengembangkan interaksi pembelajaran yang dirancang 133
Strategi Pendidikan Karakter
untuk mencapai tujuan pembentukan karakter, dengan penerapan pengalaman belajar terstruktur. Pendidik perlu memastikan bahwa pembelajaran akan berdampak instruksional (instructional effects) dan berdampak pengiring (nurturant effects) bagi pembentukan karakter. Mata pelajaran yang wajib memiliki dampak keduanya adalah Pendidikan Agama dan PKn. Seyogyanya pelajaran bahasa (baik bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan atau bahasa asing lainnya), serta IPS, juga memiliki kedua dampak tersebut. Mata pelajaran yang lain wajib memiliki dampak pengiring. Secara praktis, proses pengintegrasian nilai-nilai karakter dalam pembelajaran dilakukan melalui pencantuman ke dalam silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). d. Integrasi Pendidikan Karakter dalam Kegiatan Ekstrakurikuler Pada kegiatan ekstrakurikuler Pramuka misalnya, dapat disisipkan program yang mengajarkan survival skills (kemampuan b e r t a h a n h i d u p ) , s e l a i n a s p e k ke p e m i m p i n a n d a n organisasi/manajemen. Pembentukan sikap kebersamaan, rasa seni, dan rasa humor dibentuk dalam kegiatan api unggun. Kedisiplinan dibangun dalam kegiatan baris-berbaris. Dalam kegiatan Palang Merah Remaja, dibangun kesiagaan menghadapi bencana, membangun rasa peduli, empati, dan lain-lain. e. Program Pengembangan Diri Dalam program pengembangan diri, pelaksanaan pendidikan karakter dilakukan melalui integrasi ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah, seperti: (1) Kegiatan Rutin Sekolah Contohnya: membaca doa pada awal dan akhir pelajaran (nilai religiusitas); upacara bendera setiap hari Senin (patriotisme); berbaris saat akan masuk kelas (disiplin) pemeriksaan kesehatan badan seperti kuku, telinga, rambut, gigi, dan pakaian seragam yang rapi (menghargai diri sendiri). (2) Kegiatan Spontan 134
Strategi Pendidikan Karakter
Contoh: mengumpulkan sumbangan saat ada bencana alam (peduli), memungut sampah yang berceceran (peduli dan cinta lingkungan).Teguran spontan untuk perilaku keliru, misalnya, membuang sampah sembarangan, berteriak-teriak, bullying (mengganggu dan menyakiti siswa yang lemah, perundungan), termasuk dalam pendidikan karakter. Sebaliknya, pujian juga perlu diberikan untuk perbuatan spontan yang positif, seperti menolong anak kecil atau orang tua menyeberang jalan., menolong orangtua yang renta dalam mengangkat beban yang berat. (3) Keteladanan Dalam tradisi pendidikan dan budaya timur, keteladanan jauh lebih berarti daripada aturan tertulis atau nasihat lisan. Segala nilai karakter yang dianjurkan, sudah seharusnya dilakukan dan dicontohkan oleh warga sekolah yang lebih dewasa/senior agar dapat ditiru para yunior. Misalnya, guru harus datang tepat waktu/tidak terlambat, pegawai kantor juga berpakaian rapi dan bersih, tukang kebun sopan santun dalam berkomunikasi, kakak kelas perhatian dan sayang terhadap adik kelas, dan sebagainya. (4) Pengkondisian Sekolah dikondisikan agar mencerminkan suatu masyarakat kecil yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Dijaga agar sekolah menjadi tempat yang indah, rapi, bersih, dan menyenangkan untuk belajar. Agar siswa terkondisi bersikap jujur, perlu disediakan atau dipraktikkan Kantin Kejujuran, Kotak Kejujuran, Kartu Kejujuran, maupun Buku Kejujuran. Bisa juga, jika mereka berbelanja di kantin atau koperasi sekolah, tas plastik tidak disediakan. Pada awalanya siswa mungkin akan merasa terpaksa membawa tasnya sendiri, tas kain yang ramah lingkungan. Namun, dalam jangka panjang, mereka akan merasa bangga turut menyelamatkan bumi kita dari sampah plastik. Sampah plastik bila dibakar dapat menimbulkan kanker. 135
Strategi Pendidikan Karakter
f. Dukungan Orangtua dan Masyarakat Melalui buku Effective Character Education (2008), Merle Schwartz menyatakan bahwa pendidikan karakter yang efektif akan terjadi jika yang dilakukan di sekolah yang didukung orangtua dan masyarakat. Orangtua harus benar-benar menjadi mitra sekolah dalam membangun karakter anak. Orangtua adalah guru di rumah, sebagaimana guru adalah orangtua di sekolah. Mereka harus dapat menerima dan setuju dengan visi, misi, dan tujuan sekolah. Bahkan, orangtua dan masyarakat turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sekolah. Komunitas atau masyarakat juga berperan penting dalam pembentukan karakter anak.Warga sekolah sangat dipengaruhi oleh kegiatan di tempat-tempat ibadah, komunitas pasar, perkantoran, pertokoan, dan lain-lain, yang berada di sekitar sekolah. Bergotongroyong, bekerja bakti membersihkan lingkungan sekitar sekolah adalah proses pembangunan karakter yang baik. 3. Metode Pendidikan Karakter Dengan mengacu pendidikan karakter di negara-negara Barat (Whitley, 2007), metode yang digunakan antara lain adalah cheerleading (memberi applause, menyoraki), praise-and-reward (memuji dan memberi hadiah), define-and-drill (mendefinisikan dan melatihkan), forced formality (formalitas yang dipaksakan, semacam penegakan disiplin), dan juga penobatan siswa yang berkarakter terbaik bulan ini. Dengan pendekatan cheerleading, setiap bulan dapat ditempelkan poster-poster, baliho, spanduk, banner, textline, tentang nilai-nilai yang baik yang telah dipraktikkan atau dianjurkan untuk dipraktikkan. Penempelan tersebut dapat disesuaikan dengan tema tertentu pada bulan itu, misalnya, pada Mei, tema yang diusung mengenai pendidikan dan patriotisme (kebangkitan nasional), pada April tentang kepedulian pada perempuan (kesetaraan) dan pelestarian bumi, pada Desember terkait hormat dan rasa cinta terhadap ibu dan penegakan hak-hak asasi manusia, dan sebagainya. Tema dikaitkan dengan momentum yang 136
Strategi Pendidikan Karakter
sesuai dengan bulan tersebut. Metode pujian dan hadiah dilandasi pemikiran positif dan penguatan positif (positive reinforcement). Alih-alih mencari-cari kesalahan anak, metode itu justru menonjolkan perbuatan baik. Perlu diwaspadai, metode ini dapat disalahmaknai. Jika semula anak-anak tertangkap/ketahuan berbuat baik karena ketulusan hati, namun karena mendapatkan pujian dan hadiah, banyak anak yang berbuat baik karena semata-mata agar mendapatkan pujian dan hadiah. Sehingga, perbuatan siswa sudah tidak tulus dan ikhlas lagi. Metode definisikan dan latihkan membuat siswa mendefiniskan nilai kebaikan menurut bahasanya sendiri (membuat parafrase). Cara tersebut akan mengasah pengetahuan dan penghayatan siswa akan nilai karakter yang baik (moral knowing and moral feeling). Metode penegakan disiplin dapat membiasakan para siswa melaksanakan hal-hal baik yang telah disepakati. Contohnya: pembiasaan berbaris rapi sebelum masuk kelas. Pada sekolah yang menerapkan full-day school, setelah makan siang, siswa dibiasakan mencuci sendiri peralatan makannya. Metode penobatan siswa berkarakter terbaik setiap bulan pada hakikatnya mirip metode cheerleading, tetapi tanpa spanduk, baliho, dan poster. 4. Metode Pendidikan Karakter yang Lain Hariyanto (2012) mengamati kehidupan sehari-hari untuk mengidentifikasi sejumlah metode yang dapat diterapkan dalam pendidikan karakter. Salah satu gagasannya adalah penanaman nilainilai karakter melalui lagu. Ibu Sud adalah perempuan dan guru Indonesia yang meneladankan karakter daya kreatif. Sepanjang hidupnya hingga usia 85 tahun, Ibu Sud telah mengarang 480 lagu anakanak dan lagu perjuangan. Ketika genting rumahnya bocor, Ibu Sud secara spontan mengarang lagu Tik Tik Bunyi Hujan. Saat agresi militer Belanda 1948, Ibu Sud melihat bapakYusuf Ronodipuro (Kepala Stasiun RRI Jakarta) tetap kukuh tidak sudi menurunkan bendera Merah Putih di depan Kantor RRI Jakarta, walau ditodong senjata. Kejadian itu spontan melahirkan lagu nasional Berkibarlah Benderaku. Kisah-kisah seperti ini dapat diceritakan kepada siswa sehingga mereka juga 137
Strategi Pendidikan Karakter
terdorong untuk mencipta, berdasarkan situasi dan pengalaman apapun. Untuk anak-anak yang beranjak remaja, banyak lagu-lagu Bimbo yang dapat menjadi sarana pembelajaran nilai karakter. Lagu-lagu Bimbo yang liriknya berisi pemujaan terhadap Tuhan, umumnya ditulis oleh sastrawan Taufik Ismail, dapat menginspirasi tindakan moral yang baik (religiositas). Pendidikan karakter juga dapat dikembangkan dengan metode penulisan dan pembacaan puisi, serta membaca dan merenungkan doa atau pidato orang-orang terkenal. Doa yang ditulis Jendral Douglas Mac Arthur, pahlawan Perang Dunia II dari Amerika Serikat untuk putranya ini bisa menjadi doa para orangtua di Indonesia untuk anakanaknya Tuhan, Berilah saya seorang putra yang cukup kuat untuk menyadari bila ia sedang lemah, Dan cukup tabah untuk menghadapi dirinya sendiri kalau dia sedang takut, Yang akan bangga dan tidak putus asa kalau kalah secara jujur, dan rendah hati serta lembut dalam kemenangan Berilah saya seorang putra, yang tak hanya bisa berharap, tetapi juga mampu berbuat Putra yang akan mengenal Engkau Jangan bawa ia ke jalan yang serba mudah dan nyaman, tetapi biarkan ia belajar berdiri di tengah badai dan biarkan ia merasakan penderitaan orang-orang yang gagal Berilah saya seorang putra yang hatinya jernih, dan cita-citanya tinggi, Putra yang dapat mengendalikan dirinya sendiri sebelum mengendalikan orang lain, yang meraih masa depan tetapi tidak melupakan masa lalu 138
Strategi Pendidikan Karakter
Dan kalau semua itu sudah menjadi miliknya, Saya mohon agar Kau beri dia rasa humor, Beri pula kerendahan hati, supaya ia selalu ingat kesederhanaan dari keagungan sejati, keterbukaan dari kebijaksanaan sejati, dan kelemahan dari kekuatan sejati Doa tersebut mengandung banyak nilai karakter yang diharapkan setiap orangtua kepada anaknya, maupun harapan negara kepada warganya. Jika metode itu lebih pada refleksi atas buah karya orang lain, metode yang lain adalah refleksi diri. Metode ini akan efektif jika ditanamkan sejak kecil, mulai jenjang SD. Misalnya, jika anak berkelahi di sekolah, di samping dibiasakan saling memaafkan, mereka juga diwajibkan menuliskannya dalam Buku Penghubung (atau buku lain yang khusus disediakan untuk memantau perilaku siswa). Misalnya sebagai berikut, Hari ini aku berkelahi. Aku yakin aku yang benar, tetapi mungkin kawan yang kuajak berkelahi yang benar.Aku telah saling memaafkan dengan dia, namun hari ini tercatat aku telah melukai hati temanku.Maafkanlah aku teman,Tuhan maafkanlah kami berdua, kami berjanji akan berteman kembali dengan baik dan saling menyayangi.Amin. Dengan memiliki catatan tersebut, yang akan dibaca berkalikali, anak akan terbiasa melakukan refleksi diri sejak kecil. Lebih baik lagi, bila orangtua juga diminta turut menandatangani pernyataan/refleksi putranya. Di salah satu sekolah swasta unggulan di Bogor, sebelum memulai pelajaran, anak-anak diajak untuk hening bersama. Dengan menutup mata beberapa menit saja, mereka mengingat yang telah dilakukan kemarin, yang wajib dilakukan hari ini, dan hari esok. Perhatikan narasi guru pendamping selama siswa duduk hening sambil menutup mata (melakukan refleksi), “Sekarang pusatkan seluruh 139
Strategi Pendidikan Karakter
perhatian pada nafas. Bayangkan di hadapan kita ada sebuah cahaya. Cahaya itu adalah cahaya kasih sayang yang datangnya dariTuhanYang Maha Esa”. Melalui kata-katanya, guru mengingatkan bahwa belajar untuk mencari ilmu, dan ilmu datangnya dari Tuhan YME (nilai religiusitas). Dengan cara ini, ternyata terbentuk siswa yang memiliki keadaban yang unggul, penuh kepedulian pada sesama, dan menghayati bahwa hidup harus dihadapi dengan perjuangan. Kebetulan, meskipun ini sekolah swasta unggul, para siswa umumnya berasal dari keluarga yang kurang mampu. Biaya sekolah sepenuhnya gratis, dan siswa dapat makan siang (karena full-day school). Untuk diketahui, sekolah gratis yang bernafaskan Islam tersebut dibiayai oleh yayasan yang dimiliki oleh Ram Punjabi (produser film dan sinetron, yang beragama Hindu). Fakta ini saja sudah merupakan pembelajaran karakter tentang kebersamaan dan kepedulian yang tidak pernah digembar-gemborkan, tetapi langsung diwujudkan. Selanjutnya, pendidikan karakter juga dapat diasah melalui pembiasaan menulis kata-kata bijak karangan sendiri, yang dapat menjadi motto hidup peserta didik. Sebelumnya, guru dapat memberikan contoh kata bijak. John Adams, presiden kedua Amerika Serikat, memiliki semboyan yang mendorong nilai kecerdasan, Let us dare to read, think, speak, and write. Mari kita berani membaca, berpikir, berbicara, dan menulis. Tentang pentingnya kegiatan menulis, diinspirasikan oleh kalimat filsuf Inggris Francis Bacon, yakni Reading maketh a full man, conference a ready man, and writing an exact man. Membaca menciptakan manusia seutuhnya, konferensi (maksudnya berdiskusi) membuat manusia siap, dan menulis menjadikan manusia sejati. Di tanah air, ada motto sederhana seperti ini, yakni Hidup hendaklah seperti seruling, lurus, sederhana, namun penuh dengan lagu-lagu merdu. Kata-kata bijak yang baik disarankan menjadi motto hidup siswa sendiri, ditulis dan dicetak dengan baik, diberi pigura, dan digantungkan di dinding kamar, dinding kelas, atau tempat lain yang mudah dilihat. 140
Strategi Pendidikan Karakter
5. Pendidikan Karakter dalam Proses Pembelajaran Di sini secara khusus dibahas metode pembelajaran (learning process) yang diterapkan untuk dapat menyisipkan pendidikan karakter. Lickona (1991) menyarankan, agar pendidikan karakter berlangsung efektif, guru dapat menggabungkan berbagai metode, seperti bercerita (telling story), menugasi siswa membaca literatur, bermain peran, berdiskusi tentang moral yang baik dan buruk, dan bekerjasama (dalam pembelajaran kooperatif). Pada prinsipnya, para pendidik dan seluruh warga sekolah yang dewasa tidak dapat mengelakkan kewajiban untuk mengajarkan dan memberi contoh nilai-nilai yang baik dan buruk. Berkaitan dengan tugas guru, penggunaan berbagai metode seperti saran Lickona tersebut memang lebih leluasa diimplementasikan dalam mata pelajaran yang memiliki dampak instruksional (instructional effects) dan dampak pengiring (nurturant effects) sekaligus. Dalam hal ini, contohnya adalah pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Untuk mata pelajaran yang hanya memiliki dampak pengiring, implementasinya disesuaikan dengan karakteristik bahan ajar. Berikut ini, metode pendidikan karakter yang merupakan gabungan dari berbagai metode. a. Metode Berkisah, Mendongeng (Telling Story) Metode ini mirip dengan metode ceramah, hanya lebih bersifat santai dan informal. Guru pun lebih banyak berimprovisasi, melalui mimik, gerak, intonasi suara, sesuai suasana cerita. Hal itu menghindarkan efek monoton dan membosankan sebagaimana sering dikeluhkan dalam metode ceramah. Jika perlu, guru boleh menggunakan boneka, gerak jari tangan, alat bantu, simulasi tempat duduk, melibatkan peserta didik, dan lain sebagainya. Di tengah-tengah dongeng, siswa diperbolehkan “nyeletuk” memberikan komentar atau bertanya, supaya suasananya hidup. Pada akhir cerita, siswa diwajibkan membuat simpulan tentang karakter para tokoh dalam dongeng, baik yang protagonis maupun yang antagonis. 141
Strategi Pendidikan Karakter
Dongeng juga tidak harus dari kisah fiktif atau fantasi, tetapi dapat tentang kepahlawanan dan perjuangan nyata. Kisah perjuangan mencapai sukses dari seorang wirausaha yang berhasil, terutama bagaimana dia mengalami jatuh bangun tetapi pantang menyerah, sangat baik untuk mengilhami nilai daya juang. Cerita tentang Thomas A. Edison yang sebelum menemukan bola lampu listrik harus jatuh bangun dalam percobaan 1000 kali, adalah contoh yang baik. Ajaklah siswa membayangkan, bagaimana kalau Edison dulu menyerah saat gagal, betapa kelamnya dunia ini tanpa lampu listrik. Hal itu mengajarkan penghargaan siswa pada penelitian dan temuan ilmiah. Di Jawa Timur (Kota Lawang), pengusaha bakpao telo (ubi jalar) menyampaikan bahwa usahanya baru berhasil setelah mencoba lebih dari 100 kali. Hal tersebut memberi teladan tentang kegigihan dan semangat kewirausahaan. Biografi Chairul Tanjung si Anak Singkong, yang jatuh bangun berusaha sehingga ia mencapai sukses dapat pula dipakai sebagai bahan ajar. Metode ini secara tidak langsung juga “memaksa” guru untuk banyak membaca. b. Metode Diskusi Diskusi adalah pertukaran pikiran antara dua orang atau lebih, dengan tujuan memperoleh kesamaan pandangan tentang suatu masalah. Dalam ranah pembelajaran, ada dua macam diskusi, yaitu diskusi seluruh kelas (whole class discussion) dan diskusi kelompok (group discussion). Diskusi seluruh kelas biasanya dipandu oleh guru sebagai pemimpin diskusi, yang didasari asumsi bahwa peserta diskusi belum cukup dewasa, misalnya di kelas V atau kelas VI Sekolah Dasar. Mulai SMP ke atas, pemimpin diskusi kelas sudah layak dipercayakan kepada siswa sendiri. Diskusi kelompok dapat dilakukan mulai dari kelompok dua orang sampai sekitar 10 orang. Lebih dari jumlah itu, kelompoknya terlalu besar dan akan mirip diskusi seluruh kelas. Para penganjur pembelajaran kooperatif menyarankan, agar diskusi kelompok efektif, anggota idealnya 4 orang saja. Guru memulai diskusi dengan mengemukakan masalah nilai karakter, memberikan arahan 142
Strategi Pendidikan Karakter
seperlunya, membentuk kelompok diskusi. Kemudian siswa mendiskusikannya dalam kelompok. Selain menemukan jawaban tentang permasalahan nilai karakter yang menjadi topik diskusi, metode ini juga mengajarkan tentang menghargai pendapat orang lain, bersabar, peduli, mendengarkan, karakter kepemimpinan (bila menjadi ketua kelompok), dan kerjasama. c. MetodeTugas Membaca Guru memberikan tugas kepada siswa untuk membaca di perpustakaan sekolah atau sebagai pekerjaan rumah. Kemudian, siswa meringkas dan mempresentasikan nilai-nilai karakter yang menonjol dalam buku yang dibacanya. Bacaannya bisa berupa biografi para pahlawan atau otobiografi seorang tokoh bangsa (politisi maupun pengusaha, atau bahkan artis). Bahkan, siswa dapat ditugasi membaca karya puisi atau novel, dan mengidentifikasi nilainilai yang diungkap oleh pengarangnya. Novel berseri Harry Potter, misalnya, dapat dianggap mengandung nilai karakter keberanian, kegigihan, dan kesetiakawanan. d. Metode Simulasi Dalam pembelajaran, simulasi dilakukan agar peserta didik memperoleh kecakapan tertentu, baik yang bersifat profesional maupun yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan pendidikan karakter, simulasi dapat dilakukan untuk memperoleh pemahaman tentang suatu nilai, konsep, atau prinsipprinsip nilai karakter yang baik dan/atau untuk memecahkan masalah yang relevan dengan nilai karakter. Simulasi dapat berupa bermain peran (role playing) dan sosiodrama. Melalui metode ini, siswa diberi pengalaman memainkan karakter yang baik dan buruk. Selanjutnya, mereka akan merefleksikan pengalaman tersebut, dan akan dapat menentukan bagi dirinya sendiri, sesuatu yang sebaiknya dianut dan dilakukan dalam kehidupan. 143
Strategi Pendidikan Karakter
e. Metode Pembelajaran Kooperatif Metode ini diakui di dunia sebagai paling efektif dalam implementasi pendidikan karakter. Lickona (1991), Berkowitz (2004), Schwartz (2008) mengakui hal ini. Nilai-nilai tersebut antara lain semangat bekerja sama, sikap mandiri, terbuka, toleransi, menghargai pendapat orang lain, berani berpendapat, santun dalam berbicara, analitis, kritis, logis, kreatif,dan dinamis (Samani dan Hariyanto, 2011:159). Dengan demikian, mata pelajaran apa saja, jika menerapkan metode ini, sudah pasti mengimplementasikan pendidikan karakter. Pembelajaran kooperatif amat cocok diterapkan di Indonesia, yang masyarakatnya terdiri atas berbagai ras, suku, dan tradisi serta budaya. Untuk mempertahankan kesatuan Indonesia, diperlukan kerjasama dan saling pengertian antarkomponen bangsa, yang diwujudkan melalui pembelajaran kooperatif (esensi pembelajaran kooperatif adalah gotong royong).
B. Strategi Khusus Implementasi Pendidikan Karakter Strategi khusus ini dimaksudkan untuk mengatasi temuan tentang nilai karakter yang cenderung negatif di kalangan siswa Indonesia. Cukup melegakan bahwa pada nilai inti cerdas, rata-rata moral knowing, moral feeling, dan moral action siswa Indonesia lumayan baik, sehingga tidak memerlukan pembenahan secara khusus. Berdasarkan temuan penelitian, karakter yang perlu dibenahi melalui strategi dan metode pembelajaran khusus antara lain sifat amanah, sportivitas, dan tanggung jawab (nilai inti jujur), hemat, pemberi maaf, keadaban, toleransi, dan ketepatan waktu (nilai inti peduli); serta sifat yakin, antisipatif, dan rajin (nilai inti tangguh). Amanah yang mirip trustworthy dalam bahasa Inggris, berarti terpercaya. Kata itu memang bersifat abstrak, karena menyangkut hubungan antarmanusia dan manusia dengan Tuhan. Oleh sebab itu, mengembangkan sikap amanah tidak hanya tanggung jawab pihak sekolah, tetapi juga orangtua dan masyarakat. Pengkondisikan melalui 144
Strategi Pendidikan Karakter
Kantin Kejujuran merupakan salah satu cara yang baik untuk memupuk sifat amanah. Sikap sportif atau sportivitas memiliki kedekatan dengan sifat amanah, keduanya merupakan turunan dari nilai inti jujur. Sportif mengandung keterpaduan antara nilai jujur dan adil. Konotasi sportif adalah yang mereka harapkan dilakukan orang lain terhadap mereka sepadan dengan tindakan mereka terhadap orang lain. Jika nilai tersebut tergerus dari karakter anak didik, kelak dia akan cenderung tidak jujur, tidak adil, dan mau menang sendiri. Siswa Indonesia dalam penelitian ditemukan kurang sportif. Untuk membangun nilai sportif, pengkondisian dapat dilakukan dengan kerap mengadakan pertandingan atau lomba, tidak lupa sikap untuk siap menerima kekalahan dan kemenangan juga diajarkan. Mochtar Lubis pernah menulis bahwa manusia Indonesia adalah manusia yang enggan bertanggung jawab. Pendapat tersebut ternyata sesuai dengan temuan penelitian ini. Sifat “lempar batu sembunyi tangan” tampak berakar dari budaya Indonesia. Kehidupan politik Indonesia saat ini pun menunjukkan hal itu. Saling tuding dan saling lempar kesalahan adalah kebiasaan elit politik kita. Tanggung jawab erat kaitannya dengan jiwa kepemimpinan. Pembiasaan bertanggungjawab, latihan kepemimpinan, dan sikap demokratis, dicontohkan dengan baik oleh sebuah sekolah TK unggulan. Sebelum masuk kelas, semua anak harus berbaris rapi dipimpin oleh seorang anak. Anak yang harus memimpin tersebut dipilih sendiri oleh teman-temannya secara aklamasi dalam suasana demokratis, dan tugas memimpin dilakukan bergantian setiap hari. Pelajaran tentang tanggung jawab sekaligus mengembangkan jiwa kewirausahaan dilakukan dengan menunjuk setiap kelas secara bergiliran menjadi pemasok barang Kantin Kejujuran atau Koperasi Sekolah. Jadi, pemasok barang di kantin atau Koperasi Sekolah bukan perseorangan, misalnya guru, kepala sekolah, staf sekolah, melainkan kelas. Hal tersebut memperkecil kemungkinan berbuat tidak jujur. Dalam kaitan dengan nilai inti peduli, rendahnya sifat hemat tampak konsisten mulai dari siswa SD, SMP sampai SMA/SMK. Sebagai negara yang kaya sumber daya alam maupun manusia, air dan 145
Strategi Pendidikan Karakter
sinar matahari yang berlimpah, agaknya malah meninabobokan masyarakat Indonesia. Siswa cenderung boros. Pembiasaan dan pengkondisian agar berlaku hemat, adalah kata kuncinya. Sejak kecil (misal, level SD), anak dibiasakan membuat perencanaan peruntukkan uang sakunya. Dengan terbiasa membuat perencanaan yang ketat, sifat boros dapat dideteksi dan dicegah sejak awal.Terkait perilaku hemat akan sumber daya alam (melestarikan alam dan lingkungan), siswa perlu dibiasakan perilaku sebagai berikut. 1. Hemat menggunakan selampe kertas (tissue) dan menggantinya dengan sapu tangan. 2. Berbelanja membawa tas kain atau bahan daur ulang (meminimalkan pemakaian plastik). 3. Memakai air bekas cucian yang masih layak pakai untuk mencuci mobil dan motor, air bersih hanya dipakai untuk membilas. 4. Mencetak draft menggunakan kertas bekas yang halaman belakangnya masih kosong, belum bertulisan. 5. Mandi dengan cara shower, tidak berendam (bath). 6. Mematikan komputer/laptop begitu selesai dipakai, mematikan teve yang tidak ditonton, dan tidur dengan lampu redup. Meningkatnya sifat berani dari siswa SD ke SMP dan SMA/SMK ternyata berbanding terbalik dengan sikap keadaban (civility). Justru semakin meningkat tataran satuan pendidikannya, sikap keadaban siswa semakin menurun.Ada strategi yang baik untuk menyalurkan semangat belajar siswa, yang diterapkan di salah satu sekolah unggulan di Surabaya. Wali kelas di sekolah tersebut diharuskan berkantor di kelasnya (stand by), sehingga lebih intensif mengamati anak didiknya. Strategi itu berdampak positif. Keadaban para siswa makin tinggi, ruang kelas terbiasa bersih, kegiatan KIR di sekolah berkembang pesat (karena selalu ada guru pembimbing/wali kelas di kelas). Siswa sekolah tersebut sering menjuarai lomba tingkat nasional. Strategi tersebut perlu ditiru oleh sekolah lainnya. Untuk siswa Indonesia yang kurang percaya diri, tidak 146
Strategi Pendidikan Karakter
antisipatif, dan tidak rajin, perlu strategi khusus untuk membenahinya. Di bab 3, telah disentuh alasan ketiga nilai tersebut konsisten muncul di siswa SD, SMP, dan SMA/SMK. Penyebabnya adalah rasa ketidakpastian akan masa depan. Fakta memang menunjukkan, sampai akhir 2011 jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih dari 30 juta, sedangkan jumlah penganggur (termasuk sarjana) lebih dari 8 juta, dan lapangan kerja makin sempit. Menurut Ciputra, sampai saat ini jumlah wirausahawan Indonesia tidak sampai 0,2% dari seluruh tenaga kerja. Angka tersebut tidak sehat untuk negara yang mau membangun. Semangat wirausaha harus ditumbuhkan di kalangan anak didik yang tidak yakin atas ketersediaan lapangan kerja. Pelajaran tentang kewirausahaan dapat menjadi landasan atau terselip dalam muatan kegiatan keterampilan (keterampilan apapun: kesenian, olahraga, PKK, penelitian, dll). Di samping itu, semangat kewirausahaan dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain, misalnya ekonomi, agama, dan kewarganegaraan. Dalam pelajaran Agama Islam, selain mempelajari kaidah dan syariat agama, perlu pula ditekankan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah juga seorang wirausahawan, yang sukses karena modal jujur dan amanah (dapat dipercaya). Saat menikah dengan Siti Khadijah RA, mahar (mas kawin) beliau antara lain adalah 16 ekor unta. Untuk memberi motivasi para siswa, sekolah juga dianjurkan mendatangkan wirausahawan yang berhasil, terutama narasumber dari kalangan alumni sekolah sendiri atau orangtua siswa sendiri. Strategi tersebut telah dilakukan oleh salah satu SMA swasta unggulan di Jakarta. Selain meningkatkan rasa yakin dan percaya diri, sifat antisipatif, dan daya kreatif dan daya juang siswa. Peristiwa seperti itu dapat menjadi sarana mempererat ikatan alumni. Pada gilirannya, ikatan alumni yang erat akan sangat bermanfaat bagi sekolah dan siswanya.
147
148
BAB 5 CATATAN AKHIR A man's character is his fate (Heraclitus, 540-470 SM)
K
arakter seseorang akan menentukan takdirnya. Semua orang tahu dan mengalami, bahwa seseorang yang pandai dalam bidang akademis, namun karena karakternya buruk (misalnya angkuh, mau menang sendiri, atau kurang percaya diri), akan sulit diterima oleh lingkungannya. Dia dapat tidak disenangi atasannya, yang membuat karirnya sulit berkembang. Sebaliknya, seseorang yang nilai akademiknya biasa-biasa, namun karena pandai bergaul, tulus, dan tidak segan membantu, dia dapat dengan cepat menuju puncak karier. Bagian ini akan membahas kaitan karakter yang baik dan takdir anakanak di masa depan mereka, namun terlebih dulu ditilik kembali potret karakter mereka sebagai sebuah simpulan sekaligus refleksi. Jika mengamati secara selintas temuan di lapangan tentang nilainilai karakter siswa di Indonesia dalam berbagai tingkat satuan pendidikan, secara umum sebenarnya tidak banyak berbeda. Misalnya hal yang memrihatinkan sekaligus mencengangkan, kurangnya sikap yakin, antisipatif, dan kerajinan siswa mulai dari SD, SMP, SMA/SMK. Kurangnya sifat yakin tersebut mungkin disebabkan oleh sebagian besar anak Indonesia telah tahu bahwa ternyata sekolah tidak merupakan jaminan bagi perolehan jaminan kehidupan yang layak di masa depan. Jangan lagi lulusan SMA/SMK, sarjana lulusan perguruan tinggi pun banyak yang menganggur. Hal itu menyiratkan bahwa pembangunan jiwa entrepreneurship melalui wahana pendidikan memang harus digalakkan secara nasional sejak di SD dan berkesinambungan sampai perguruan tinggi. Kurangnya sikap antisipatif menunjukkan bahwa para
Catatan Akhir
siswa Indonesia belum terbiasa berperilaku visioner dan berorientasi perencanaan. Hal tersebut mengingatkan akan perlunya pembinaan jiwa kepemimpinan (leadership) dan pengetahuan tentang manajemen yang berkesinambungan. Hal yang perlu dicermati lebih lanjut adalah rendahnya sifat rajin (kerajinan). Hal itu berarti jika para siswa tidak terlambat masuk sekolah bukan karena pengetahuan dan perasaan tentang perlunya sikap rajin, tetapi lebih karena takut kepada hukuman yang akan diterimanya jika terlambat datang ke sekolah. Rajin belajar dan membaca pun juga takut karena hukuman atau teguran dari orang tua jika nilai hasil ulangan maupun nilai rapor yang diterimanya jelek atau di bawah Ketentuan Ketuntasan Minimal (KKM). Hal itu pula mungkin yang menyebabkan rendahnya kebiasaan membaca pada bangsa Indonesia. Hal umum yang perlu penegasan implementasinya dalam pendidikan adalah kurangnya sikap hemat dari seluruh siswa mulai dari SD, SMP, dan SMA/SMK. Agaknya kesediaan sumber daya yang melimpah di tanah air justru kontraproduktif, anak-anak bangsa malah terbiasa boros. Boros akan penggunaan air misalnya, atau kebiasaan berperilaku konsumtif. Mungkin juga kebiasaan konsumtif yang berasal dari ketiadaan sikap hemat terjadi karena pengaruh iklan di media massa, terutama dari media elektronik. Bisa juga hal itu terjadi karena adanya semacam kejutan budaya (culture shock) dari kondisi serba kekurangan menjadi keadaan berkecukupan, yang ditandai oleh bangkitnya kelas memengah di Indonesia. Dalam hubungan ini, agaknya pembiasaan dalam keluarga tentang penghematan terhadap hal-hal kecil perlu dibudayakan. Setelah membaca paparan temuan hasil penelitian ini, pertanyaan yang kemudian bergelayut dalam benak, “Apa yang sebenarnya terjadi dengan implementasi pendidikan di Indonesia saat ini?” “Bagaimana di negara yang berdasarkan KetuhananYang Maha Esa ini, sifat amanah belum menjadi pegangan siswa?” Belum kukuhnya karakter amanah tergambar secara linear sejak tataran moral knowing, berlanjut kepada moral feeling sampai moral action. Bentuk konkretnya adalah terjadi kecurangan dalam ulangan/ujian, termasuk Ujian 149
Catatan Akhir
Nasional. Karakter amanah yang rendah dikhawatirkan menjadi akar “budaya korupsi” di Indonesia. Betul-betul temuan yang mencemaskan dan mesti dilakukan pembenahan segera. Sikap jiwa amanah biasanya linear dengan sikap jiwa sportif. Hal itu dibuktikan oleh rendahnya sportivitas siswa pada semua tataran pendidikan yang linear mulai dari moral knowing, moral feeling sampai moral action. Temuan di lapangan tentang nilai-nilai karakter siswa Indonesia menunjukkan konsistensi karakter pada berbagai tingkat satuan pendidikan. Hal yang memprihatinkan adalah sikap percaya diri/yakin, antisipatif, dan rajin para siswa SD, SMP, sampai SMA/SMK yang masih rendah. Bila nilai-nilai karakter siswa yang rendah menunjukkan kesamaan (konsisten) antara satuan pendidikan ke jenjang pendidikan, di ranah tataran pengetahuan, penghayatan, dan penerapan, ditunjukkan hal yang tidak konsisten. Jika pada tataran moral knowing umumnya keempat nilai inti dan turunannya tercatat baik, tidak demikian dengan tataran moral feeling. Jika moral feeling rendah, moral action juga rendah. Sebagai temuan penelitian ini, dapat ditengarai bahwa bangsa Indonesia memiliki karakter tidak suka memberi maaf, sehingga berpotensi menjadi pendendam. Hal tersebut dibuktikan dengan rendahnya karakter pemaaf (forgiveness) sebagai turunan nilai inti peduli-pada semua level satuan pendidikan. Kebiasaan tawuran yang muncul mulai dari level SMP ke atas merupakan indikator meningkatnya nilai keberanian (courage) sekaligus merupakan indikator belum mantapnya nilai keadaban (civility) dan toleransi (tolerance). Garis linear dari SD, SMP, SMA/SMK juga muncul dalam hal kurangnya nilai tanggung jawab (responsibility), yang merupakan nilai turunan dari nilai inti jujur. Model pendidikan seperti di Jepang yang membiasakan tanggung jawab sejak kecil perlu diterapkan di Indonesia. Memanjakan anak merupakan tindakan kurang cerdas dan kurang bijaksana, karena hal itu tidak akan menolong anak di masa depan. Kurangnya tanggung jawab itu terbukti dari joroknya fasilitas WC di sekolah serta tidak terawatnya fasilitas sekolah dan fasilitas umum yang lain. Tidak sedikit pula grafiti di tembok-tembok kota yang berisi 150
Catatan Akhir
tulisan cacian maupun kata-kata kotor. Banyak fasilitas umum seperti telepon umum, taman kota, halte bus, dan lain-lain yang tidak terawat atau rusak. Salah satu nilai karakter positif yang konsisten sejak di SD, SMP, SMA/SMK adalah nilai suka membantu sebagai turunan nilai inti peduli, walau lebih dominan pada tataran moral knowing, atau sudah menjadi pengetahuan (kecuali pada siswa SD sudah pada moral feeling). Ada kecemasan di kalangan responden (guru, budayawan) terhadap lunturnya budaya suka membantu (kepedulian) karena tergerus oleh nilai-nilai individualistis dan egoisme, yang disebarluaskan oleh media massa. Kemudian, “Apakah jam karet merupakan tradisi dan budaya bangsa Indonesia?” Kenyataannya, nilai ketepatan waktu (punctuality) dari para siswa di seluruh tingkatan satuan pendidikan sangat rendah. Ada sedikit variasi pada nilai inti cerdas dan turunannya. Pada siswa SD dan SMP, nilai karakter cerdas yang paling tinggi tingkat diketahuinya (moral knowing) adalah disiplin diri dan pemecah masalah. Pada siswa SD, yang paling rendah diketahui adalah kemandirian. Nilai kemandirian yang rendah terus berlanjut pada moral feeling, sementara nanti pada moral action yang paling rendah adalah sikap kritisnya. Sementara itu, pada siswa SMP pada tataran moral feeling, karakter disiplin diri masih tinggi, sedangkan pada tataran moral action, sikap kemandirian adalah yang paling rendah dijumpai. Pada siswa SMA, nilai karakter yang paling sering dijumpai sebagai turunan nilai cerdas adalah disiplin diri, pemecah masalah, dan kreativitas. Artinya, perlunya kreativitas sudah muncul pada siswa SMA. Sedangkan yang paling rendah adalah karakter kritis, analitis, dan kemandirian. Sementara itu pada siswa SMA dalam tataran moral feeling dan moral action nilai karakter yang sering dijumpai adalah disiplin diri. Sementara itu pada siswa SMK nilai karakter yang kurang pada tataran diketahui adalah nilai kritis, hal itu berlanjut pada tataran moral feeling dan moral action. Berkaitan dengan itu, pada tataran moral action, nilai kemandirian siswa SMK juga ditemui rendah. Bila ditarik suatu garis lurus secara umum mulai dari siswa SD, SMP, SMA/SMK, nilai karakter yang paling perlu diperkuat baik pada 151
Catatan Akhir
tataran moral knowing, moral feeling, dan moral action adalah nilai kritis dan kemandirian. Sementara itu, nilai yang secara rata-rata tinggi dan linear dari SD, SMP ke SMA adalah nilai karakter disiplin diri. Artinya, sudah ada kesadaran pada anak-anak sekolah dasar dan menengah untuk belajar sebaik-baiknya. Dari pertanyaan retorika yang menjadi judul Bab 1, Mengapa Karakter?, dapat dipahami betapa krusialnya implementasi pendidikan karakter bagi generasi muda penerus bangsa. Sebuah survai yang direlease Mei 2012 mencatat bahwa lebih dari 30% remaja di kota-kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan) terbiasa melakukan hubungan seks pranikah. Hal itu agaknya sejalan dengan sinyalemen sebagai hasil survei Ketua Komisi Perlindungan Anak A.M. Sirait, Maret 2012, bahwa Indonesia merupakan negara terbesar nomor 3 sebagai pengguna situs porno. Walaupun keakuratan survei-survei tersebut masih dapat diperdebatkan, tetapi paling tidak harus menjadi perhatian semua rakyat Indonesia. Senyampang laporan ini diselesaikan, banyak kasus kecurangan yang dilakukan oleh elit politik divonis oleh pengadilan dengan hukuman yang jauh dari rasa keadilan. Landasan laporan yang kemudian diwujudkan dalam buku ini adalah asumsi bahwa karakter seseorang dipengaruhi baik oleh aspek hereditas (nature) yang sudah given dan aspek lingkungan (nurture). Dari wacana dan fenomena yang terurai pada Bab 2, Berguru kepada Alam, tergambar kekayaan budaya Indonesia. Itulah modal yang berlimpah dan berharga bagi para pendidik untuk menerapkan pendidikan karakter dan membangun karakter siswa Indonesia. Sejalan dengan itu, patut juga diakui bahwa pada tataran moral knowing yang mengembangkan aspek kognitif siswa, para siswa di Indonesia telah banyak mengukir prestasi pada lomba sains tingkat internasional. Namun, jika diamati lebih lanjut, para siswa yang memenangi perhelatan olimpiade sains internasional tersebut umumnya memang berasal dari sekolah-sekolah yang memiliki tradisi disiplin tinggi. Di samping menerapkan kedisiplinan yang ketat, sekolah-sekolah yang bersangkutan memang memfasilitasi dan 152
Catatan Akhir
mendorong tumbuh dan berkembangnya nilai kuriositas dan keberanian bersikap kompetitif yang positif. Hal yang perlu menjadi catatan, jika dibuat presentase secara kasar, justru umumnya para siswa yang berasal dari sekolah swasta unggulanlah (sekitar 70%) yang mampu mengharumkan nama bangsa pada event internasional semacam itu. Seperti diketahui pada tingkat internasional ada International Physics Olympiad (IPhO), International Biology Olympiad (IBO), International Chemistry Olympiad (ICO), dan International Mathematics Olympiad (IMO), serta International Junior Science Olympiad (IJSO). Sejak 1996 pada saat IPhO diselenggarakan di Tblisi, Georgia (eks Uni Sovyet), peserta dari Indonesia telah menorehkan namanya untuk pertama kali sebagai juara, walau hanya meraih medali perak, atas nama Wahyu Setyawan. Tetapi semenjak 1996 tersebut boleh dikatakan hampir setiap tahun peserta dari Indonesia memperoleh medali, baik berupa medali perak maupun perunggu. Medali emas untuk pertama kali diraih pada 1999 oleh I Made Agus Wirawan. Perolehan medali emas yang terbaik diraih pada 2001 tatkala IPhO diselenggarakan di Bali ada 3 peserta dari Indonesia yang meraih medali emas atas nama Agustinus Peter S., Fajar Ardian, danWidagdo Setyawan. Sementara itu pada olimpiade kimia internasional (ICO) tercatat pada 2010, Manuel Manuputty menyabet emas pertama kali. Pada kesempatan itu, Indonesia juga memperoleh medali perunggu atas nama Stephen Yuwono. Untuk olimpiade biologi internasional (IBO) pada 2007, Stephanie Senna memperoleh medali emas untuk pertama kali. Namun, untuk olimpiade matematika internasional (IMO), Indonesia belum beroleh kesempatan untuk meraih medali emas, sedangkan medali perak pertama kali diraih pada tahun 1995. Walhasil ternyata bergantung pendekatan dan strategi yang dipergunakan, banyak anak Indonesia yang merupakan intan yang belum diasah, belum terlihat kecemerlangannya. Namun jika dipergunakan pendekatan dan metode “pengasahan” yang sesuai, ternyata siswa Indonesia tidak terlalu tertinggal di perbincangan olimpiade sains tingkat internasional. Pesaing-pesaingnya di kawasan 153
Catatan Akhir
Asia sementara ini adalah Republik Rakyat Tiongkok, Singapura, Vietnam, Iran, Jepang, dan Korea Selatan, sementara itu bahkan Malaysia, dan Republik China Taiwan, perolehan medalinya secara kumulatif masih di bawah Indonesia. Dalam konteks empat pilar pendidikan karakter yang meliputi olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga, agaknya pendidikan karakter di Indonesia secara khusus harus dikembangkan di wilayah olah hati serta olah rasa dan karsa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seyogyanya menganggap kata kebudayaan tidak sekadar tempelan, apalagi beban. Elemen budaya justru harus dilihat sebagai peluang untuk memperbaiki karut-marut pendidikan dan kehidupan di Indonesia. Secara garis besar, belajar dari fakta hasil penelitian, tim penulis buku ini menyarankan hal-hal umum di bawah ini untuk menjadi pertimbangan pendidikan karakter di sekolah. Pertama, agar potret karakter siswa Indonesia lebih lengkap dan utuh, perlu kajian dengan sampel yang lebih terbatas namun menjangkau semua stratifikasi sekolah, tidak hanya sekolah unggul, tetapi juga sekolah yang kualitasnya rata-rata atau bahkan yang kualitasnya rendah. Kedua, lemahnya siswa di tataran moral feeling, dan kembalinya aspek kebudayaan ke dalam Kementerian Pendidikan, dapat dipertemukan sebagai peluang untuk kembali menanamkan elemen budaya dalam sistem pendidikan di Indonesia. Budaya antara lain direpresentasikan dalam karya seni, sedangkan seni timbul dari penghayatan/perasaan akan nilai-nilai moral (moral feeling). Ketiga, model pendidikan karakter harus dipilih dengan cermat. Metode pembelajaran kooperatif yang berakar dari tradisi bangsa gotong-royong, dianggap salah satu pendekatan yang baik untuk menanamkan nilai-nilai karakter. Metode diskusi dan metode penguatan karakter melalui puisi, lagu-lagu, refleksi diri, juga disarankan. Keempat, pendidikan karakter baru efektif jika seluruh warga sekolah dilibatkan, termasuk orangtua, masyarakat, bahkan aparat 154
Catatan Akhir
pemerintah. Kelima, mengingat kurang kuatnya nilai karakter kemandirian pada siswa pendidikan dasar dan menengah, upaya Kemendikbud untuk mengembangkan pendidikan kewirausahaan mulai tahun ajaran 20122013 ini perlu didukung, namun jangan sampai mengulang kesalahan implementasinya seperti di perguruan tinggi, pendidikan kewirausahaan hanya bersifat teoretis dan kurang menyentuh sama sekali tataran praktisnya. Terakhir, penulis mengutip pandangan David Livermore (2010) tentang 'senjata masa depan', yaitu Cultural Intelligence. Menurut Livermore, kecerdasan budaya merupakan kunci sukses di era global, saat orang-orang bergerak antarbangsa dan budaya. Secerdas apapun seorang manajer, dan sebijaksana apapun dia (dengan IQ dan EQ yang tinggi), dia akan gagal mengembangkan bisnisnya bila tidak memiliki CQ atau cultural intelligence. Pendidikan karakter yang sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia ini, tak pelak lagi, adalah sebuah langkah tepat dan cerdik untuk menyiapkan anak-anak kita bersaing di masa depan di era global.
Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Laporan Penelitian Pemetaan Profil VariabelVariabel Karakter Bangsa Siswa-Siswa pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud. Daud, Mohd. 2009. Memahami Orang Aceh, Bandung: Citrapustaka Media Perintis. Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Hariyanto. 2012. Metodologi Pendidikan Karakter di Sekolah dan di Rumah. 155
Catatan Akhir
Surabaya: (Draf Buku; belum diterbitkan) Iman Budhi Santosa. 2008. Budi Pekerti Bangsa. Yogyakarta: ARTI Bumi Intaran. Livermore, David. 2010. Leading with Cultural Intelligence. New York: Amacom Malau, Gens G. 2000. Aneka Ragam Ilmu Pengetahuan Budaya Batak. Jakarta:Taotoba Nusa Budaya. Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung: Remaja Rosda Karya. Schwartz, Merle. 2008. Effective Character Education. New York: McGraw-Hill Higher Education
156